Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

115
UNIVERSITAS INDONESIA KERENTANAN PERKEBUNAN TEH TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DI WILAYAH PUNCAK GUNUNG GEDE PANGRANGO SKRIPSI SUBHAN MAULANA SYIFA 1006679301 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN GEOGRAFI DEPOK JULI 2014

description

Skripsi

Transcript of Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Page 1: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

UNIVERSITAS INDONESIA

KERENTANAN PERKEBUNAN TEH TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

DI WILAYAH PUNCAK GUNUNG GEDE PANGRANGO

SKRIPSI

SUBHAN MAULANA SYIFA

1006679301

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

DEPARTEMEN GEOGRAFI

DEPOK

JULI 2014

Page 2: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

ii

UNIVERSITAS INDONESIA

KERENTANAN PERKEBUNAN TEH TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

DI WILAYAH PUNCAK GUNUNG GEDE PANGRANGO

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains

HALAMAN JUDUL

SUBHAN MAULANA SYIFA

1006679301

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

DEPARTEMEN GEOGRAFI

DEPOK

JULI 2014

Page 3: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan

semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Subhan Maulana Syifa

NPM : 1006679301

Tanda Tangan :

Tanggal : 9 Juli 2014

Page 4: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

iv

HALAMAN PENGESAHAN

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Subhan Maulana Syifa

NPM : 1006679301

Program Studi : Geografi

Judul Skripsi : Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di

Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana

Sains pada Program Studi Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang : Dr.rer.nat. Eko Kusratmoko, MS ( ............................. )

Pembimbing I : Drs. Sobirin, M.Si ( ............................. )

Pembimbing II : Dr. Tito Latif Indra, M.Si ( ............................. )

Penguji I : Dr. Djoko Harmantyo, MS ( ............................. )

Penguji II : Drs. Frans Sitanala, MS ( ............................. )

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 9 Juli 2014

Page 5: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat-

Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam

rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains Departemen

Geografi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Indonesia.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

mulai dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit

bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

(1) Drs. Sobirin, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Dr. Tito Latif Indra, M.Si

selaku dosen pembimbing II yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan

pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini;

(2) Bapak Dr. Djoko Harmantyo, MS selaku dosen penguji I dan Bapak Drs. Frans

Sitanala, MS selaku dosen penguji II serta Bapak Dr.rer.nat. Eko Kusratmoko,

MS selaku ketua sidang atas koreksi masukan dan kritik saran yang

membangun bagi penulis dalam menyusun skripsi;

(3) Seluruh dosen pengajar beserta staf dan karyawan di Departemen Geografi

FMIPA UI atas segala ilmu dan dukungan kepada penulis;

(4) Pihak perusahaan perkebunan teh di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

yang telah bersedia untuk memberikan data yang diperlukan dalam penelitian

ini;

(5) Para informan kunci (A. Suwandi, Rusmana, dan Ir. Salwa Lubnan D, MS)

yang telah meluangkan waktu untuk menjawab kuesioner penelitian ini;

(6) Keluarga Besar Geografi UI 2010 yang telah memberikan memori yang tak

ternilai dan akan selalu dikenang sepanjang hayat;

(7) Teman-teman dekat yang baik dan selalu baik, mendominasi hari penulis di

masa-masa perkuliahan: Diky, Arif, Acep, Dani, Babas, Ari. Terima kasih atas

ketulusan dan segala kenangan yang terukir selama masa kuliah. Kalian akan

menjadi salah satu kisah yang tak terlupakan;

Page 6: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

vi

(8) Teman dekat penulis yang telah membantu dalam mencari dan mengolah data

dalam penelitian ini Rafika. Terima kasih atas bantuan dan ketulusan dalam

menyelesaikan penelitian ini;

(9) Terakhir yang paling spesial untuk keluargaku tercinta yang telah banyak

mengorbankan banyak hal, terutama Ibu dan Bapak, tanpa kalian penulis tak

akan bisa jadi seperti ini dan di detik ini. Kasih sayang, doa, perhatian,

dukungan moral maupun materiil yang takkan pernah bisa kubalas;

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan

semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, Amin.

Depok, 9 Juli 2014

Penulis

Page 7: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan

di bawah ini:

Nama : Subhan Maulana Syifa

NPM : 1006679301

Program Studi : Geografi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Jenis karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan

kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive

RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak

Gunung Gede Pangrango

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama

saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 9 Juli 2014

Yang menyatakan

( Subhan Maulana Syifa )

Page 8: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

viii

ABSTRAK

Nama : Subhan Maulana Syifa

Program Studi : Geografi

Judul Skripsi : Kerentanan Perkebunan Teh terhadap Perubahan Iklim di

Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Hingga saat ini terjadinya perubahan iklim beserta dampaknya sudah mulai

dirasakan hampir di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Perubahan iklim

memiliki dampak yang penting dalam produksi tanaman teh. Tanaman teh sangat

bergantung pada distribusi curah hujan dan suhu udara yang baik. Perubahan iklim

akan menyebabkan kerentanan pada perkebunan teh sehingga perlu untuk

memetakan kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim di wilayah

Puncak Gunung Gede Pangrango. Penilaian kerentanan dilihat dari tiga aspek yaitu

keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi. Pemetaan kerentanan dilakukan

menggunakan analisis spasial dengan teknik skoring yang dipadukan dengan

metode AHP dan weighted sum, sehingga diperoleh hasil yang menunjukan bahwa

sebagian besar (sekitar 80 persen) area perkebunan teh di wilayah Puncak memiliki

kerentanan wilayah terhadap perubahan iklim dalam kategori sedang. Perkebunan

teh yang paling rentan (kerentanan tinggi) adalah perkebunan teh Gunung Mas yang

disebabkan oleh tingginya dampak potensial dan rendahnya kapasitas adaptasi yang

dimiliki, sebagian besar lahan perkebunan teh yang sangat rentan terhadap

perubahan iklim berada di sebelah utara puncak Gunung Gede Pangrango.

Kata Kunci : kerentanan, perubahan iklim, perkebunan teh, wilayah

Puncak

xv + 80 halaman : 40 gambar, 15 tabel, 4 lampiran

Bibliografi : 32 (1986-2014)

Page 9: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

ix

ABSTRACT

Name : Subhan Maulana Syifa

Study Program : Geography

Title : Vulnerability of Tea Plantation to Climate Change in

Gede Pangrango Mountain Peak Region

Until now, climate change and its impacts are already being felt almost all

over the world, including in Indonesia. Climate change has a significant impact in

the production of tea plants. Plants are highly dependent on the distribution of

rainfall and air temperature. Climate change will lead to vulnerabilities in the tea

plantation so it is necessary to map the vulnerability to climate change of tea

plantations in the Peak region. Vulnerability assessment viewed from three aspects:

exposure, sensitivity and adaptive capacity. Vulnerability mapping using spatial

analysis by scoring technique combined with the AHP and the weighted sum

method, so that the obtained results show that the majority (approximately 80

percent) in the tea plantation area of the Peak has areas of vulnerability to climate

change in the medium category. Tea plantations are most vulnerable (high

vulnerability) is Gunung Mas tea plantation is due to high potential impact and low

adaptive capacity owned, tea plantations mostly highly vulnerable to climate

change are in the north peak of Gede Pangrango Mountain.

Keywords : vulnerability, climate change, tea plantation, peak region

xv + 80 pages : 40 pictures, 15 tables, 4 attachments

Bibliography : 32 (1986-2014)

Page 10: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................ iii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................. vii ABSTRAK ........................................................................................................... viii ABSTRACT ........................................................................................................... ix DAFTAR ISI ............................................................................................................ x

DAFTAR TABEL .................................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3 1.4 Batasan Penelitian ......................................................................................... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5 2.1 Perubahan Iklim ............................................................................................ 5

2.2 Kerentanan ..................................................................................................... 7

2.3 Tanaman Teh ................................................................................................. 11 2.3.1 Syarat Tumbuh ....................................................................................... 11 2.3.2 Pemeliharaan Teh .................................................................................. 13

2.3.3 Hama dan Penyakit Tanaman Teh ......................................................... 15 2.3.4 Pengolahan Teh ..................................................................................... 16

2.4 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ............................................. 20

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 24 3.1 Kerangka Penelitian .................................................................................... 24

3.1.1 Alur Pikir Penelitian ............................................................................. 24

3.1.2 Alur Kerja Penelitian ............................................................................ 25

3.2 Variabel Penelitian ....................................................................................... 25

3.3 Pengumpulan Data ...................................................................................... 25 3.3.1 Data Primer ........................................................................................... 26 3.3.2 Data Sekunder ....................................................................................... 26

3.4 Pengolahan Data .......................................................................................... 27 3.4.1 Data Perubahan Iklim ........................................................................... 28

3.4.2 Klasifikasi Nilai Kerentanan ................................................................. 30 3.4.3 Data Keterpaparan ................................................................................ 32 3.4.4 Data Sensitivitas ................................................................................... 33

3.4.5 Data Kapasitas Adaptasi ....................................................................... 34 3.4.6 Proses Pembobotan Menggunakan Metode AHP ................................. 34 3.4.7 Membuat Peta Kerentanan dengan Metode Weighted Sum .................. 35

3.5 Analisis Data ................................................................................................ 36

Page 11: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

xi

BAB 4 GAMBARAN UMUM ............................................................................. 37 4.1 Letak dan Kondisi Umum ........................................................................... 37

4.1.1 Daerah Penelitian .................................................................................. 37 4.1.2 Perkebunan Teh ..................................................................................... 39

4.2 Wilayah Ketinggian ..................................................................................... 40 4.3 Kondisi Iklim ............................................................................................... 41

4.4 Penggunaan Tanah ....................................................................................... 42 4.5 Kondisi Kependudukan ............................................................................... 46 4.6 Kondisi Sosial .............................................................................................. 47

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 49 5.1 Perubahan Iklim .......................................................................................... 49

5.1.1 Curah Hujan .......................................................................................... 49 5.1.2 Suhu Udara ........................................................................................... 53

5.2 Nilai Kerentanan .......................................................................................... 58 5.3 Variabel Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim .............. 62

5.3.1 Keterpaparan ......................................................................................... 62 5.3.2 Sensitivitas ............................................................................................ 67 5.3.3 Kapasitas Adaptasi ................................................................................ 71

5.4 Hasil Pembobotan Menggunakan Metode AHP .......................................... 75

5.5 Kerentanan Perkebunan Teh ........................................................................ 76

BAB 6 KESIMPULAN ........................................................................................ 80

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 81

Page 12: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Karakteristik pengolahan teh hitam Orthodoks dan teh hitam CTC ..... 19

Tabel 2.2 Perbedaan cara pengolahan teh Orthodoks dan CTC ............................ 20

Tabel 2.3 Nilai skala perbandingan berpasangan .................................................. 22

Tabel 3.1 Jenis dan sumber data sekunder ............................................................ 26

Tabel 3.2 Koordinat stasiun meteorologi .............................................................. 28

Tabel 3.3 Nama, jabatan dan instansi para pakar/informan .................................. 35

Tabel 4.1 Curah hujan dan suhu udara di Stasiun Meteorologi Citeko tahun 2011

............................................................................................................................... 42

Tabel 4.2 Luas penggunaan tanah pada setiap kecamatan .................................... 45

Tabel 4.3 Kepadatan penduduk di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango ..... 46

Tabel 4.4 Mata pencaharian penduduk dalam berbagai sektor ............................. 48

Tabel 5.1 Klasifikasi pemeliharaan teh ................................................................. 60

Tabel 5.2 Kriteria dan skor pada setiap variabel kerentanan ................................ 61

Tabel 5.3 Persentase bobot rata-rata ...................................................................... 75

Tabel 5.4 Luas dan persentase tingkat kerentanan ................................................ 77

Tabel 5.5 Luas tingkat kerentanan pada setiap perkebunan teh ............................ 77

Page 13: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Suplai CO2 dari bumi bagi gas rumah kaca......................................... 5

Gambar 2.2 Model kerentanan tempat .................................................................... 8

Gambar 2.3 Faktor pembentuk kerentanan ............................................................. 9

Gambar 2.4 Kerangka kerja penilaian kerentanan perubahan iklim dan adaptasi 10

Gambar 2.5 Proses pengolahan teh hitam Orthodoks ........................................... 17

Gambar 2.6 Proses pengolahan teh hitam CTC .................................................... 18

Gambar 3.1 Alur pikir penelitian .......................................................................... 24

Gambar 3.2 Alur kerja penelitian .......................................................................... 25

Gambar 3.3 Lokasi stasiun meteorologi................................................................ 29

Gambar 4.1 Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango ....................................... 37

Gambar 4.2 Kondisi topografi di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango ...... 38

Gambar 4.3 Perkebunan teh .................................................................................. 39

Gambar 4.4 Grafik wilayah ketinggian di Puncak Gunung Gede Pangrango....... 40

Gambar 4.5 Wilayah ketinggian di Puncak Gunung Gede Pangrango ................. 41

Gambar 4.6 Penggunaan tanah di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango ...... 43

Gambar 4.7 Grafik luas penggunaan tanah di wilayah Puncak Gunung Gede

Pangrango .............................................................................................................. 43

Gambar 5.1 Persebaran curah hujan di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

............................................................................................................................... 49

Gambar 5.2 Tren curah hujan tahunan St. Citeko ................................................. 50

Gambar 5.3 Tren curah hujan musim hujan St. Citeko ......................................... 51

Gambar 5.4 Tren curah hujan musim kemarau St. Citeko .................................... 52

Gambar 5.5 Penurunan curah hujan di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

............................................................................................................................... 53

Gambar 5.6 Persebaran suhu udara di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango 54

Gambar 5.7 Tren suhu udara rata-rata tahunan St. Citeko .................................... 55

Gambar 5.8 Tren suhu udara maksimum absolut tahunan St. Citeko ................... 56

Gambar 5.9 Tren suhu udara minimum absolut tahunan St. Citeko ..................... 57

Gambar 5.10 Peningkatan suhu udara di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

............................................................................................................................... 58

Page 14: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

xiv

Gambar 5.11 Penurunan curah hujan di daerah penelitian .................................... 63

Gambar 5.12 Peningkatan suhu udara di daerah penelitian .................................. 64

Gambar 5.13 Luas lahan di daerah penelitian ....................................................... 65

Gambar 5.14 Intensitas serangan hama dan penyakit di daerah penelitian ........... 66

Gambar 5.15 Jenis tanah di daerah penelitian ....................................................... 68

Gambar 5.16 Jenis tanaman teh di daerah penelitian ............................................ 69

Gambar 5.17 Ketinggian di daerah penelitian....................................................... 71

Gambar 5.18 Pemeliharaan teh di daerah penelitian ............................................. 72

Gambar 5.19 Pendapatan perusahaan di daerah penelitian ................................... 73

Gambar 5.20 Teknologi pengolahan di daerah penelitian ..................................... 74

Gambar 5.21 Kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim ................... 76

Gambar 5.22 Serangan penyakit cacar daun teh ................................................... 78

Gambar 5.23 Kondisi tanaman teh yang tidak terpelihara .................................... 78

Gambar 5.24 Alih fungsi lahan menjadi tanaman jeruk ........................................ 79

Page 15: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hingga saat ini terjadinya perubahan iklim beserta dampaknya sudah mulai

dirasakan dimana-mana hampir di seluruh belahan dunia ini, termasuk juga yang

terjadi di Indonesia. Laporan ilmiah tentang perubahan iklim telah dirilis oleh

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada awal Februari 2007 yang

lalu berupa laporan tentang hasil pengamatan dan proyeksi dampak perubahan

iklim di dunia dalam berbagai skenario. Seperti diketahui, iklim adalah rata-rata

dan variasi dari unsur keadaan atmosfer atau cuaca seperti curah hujan, temperatur,

tekanan, kelembaban, penguapan, angin, penyinaran matahari selama periode

tertentu yang berkisar dalam hitungan bulan, tahun, dekade, abad bahkan hingga

jutaan tahun.

Pertumbuhan dan produksi tanaman sangat bergantung pada interaksi antara

parameter iklim, tanah, tananaman dan pengelolaannya, dengan kata lain produksi

tanaman dengan sistem pengelolaan tertentu merupakan fungsi dari kualitas atau

karakteristik lahan dan iklim sekitarnya (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2013).

Jumlah dan sebaran curah hujan mempunyai pengaruh kuat terhadap sebaran

penanaman maupun pada produktivitasnya. Tanaman teh lebih sensitif terhadap

peningkatan hujan di dataran tinggi, diperkirakan karena peningkatan hujan akan

menurunkan suhu minimum lebih rendah dari normal. Selain itu, lama penyinaran

dan intensitas radiasi juga menurun drastis karena tingginya tingkat penutupan

awan sehingga kelembaban udara menjadi tinggi. Meningkatnya hujan pada musim

kemarau tahun 2010 menyebabkan lama penyinaran matahari berkurang,

kelembaban udara tinggi sehingga serangan penyakit cacar daun teh cukup berat

dan berakibat menurunnya pencapaian produksi (Margono, 2013).

Beberapa tahun terakhir, perusahaan perkebunan teh dihadapkan pada

semakin rendahnya margin usaha, bahkan beberapa diantaranya mengalami

kerugian. Dari sisi proses produksi, hal tersebut disebabkan oleh produktivitas

kebun masih rendah (± 2000 kg/ha/th); kenaikan biaya produksi yang terus menerus

(upah kerja, sarana produksi); perubahan iklim global; luas tanaman klon unggul

Page 16: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

2

Universitas Indonesia

masih di bawah 40 persen dari total areal kebun; kerusakan lingkungan akibat

terjadinya erosi tanah yang berat yang berakibat penurunan kesuburan tanah sangat

cepat; semakin rendahnya populasi tanaman teh/ha; sering terjadi ledakan

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT); usaha untuk mengendalikan erosi tanah

masih sangat minim; mesin pabrik yang pada umumnya sudah tua, sehingga

kualitas kurang prima; pemasaran perlu diperbaiki dan diperluas (Margono, 2013).

Produksi tanaman teh di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung menurun.

Pada tahun 2010 luas areal tanaman teh mencapai 124.573 ha dengan total produksi

daun teh kering 150.342 ton. Dari total areal tersebut, yang diusahakan dalam

bentuk Perkebunan Rakyat (PR) seluas 56.264 ha, Perkebunan Besar Negara (PBN)

40.158 ha dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) 28.151 ha. Tingkat produktivitas

daun teh kering di Indonesia saat ini hanya 1.516 kg/ha/tahun, jauh lebih rendah

dari produktivitas potensial yaitu 2.000 kg/ha/tahun. Kondisi tersebut antara lain

disebabkan karena sebagian besar areal tanaman teh belum menggunakan benih

unggul, umurnya sudah tua/rusak/tidak menghasilkan, populasi tiap hektar tidak

penuh dan pemeliharaan tanaman teh oleh petani kurang intensif (Septyan, 2013).

Perubahan iklim memiliki dampak yang penting dalam produksi tanaman teh.

Karena tanaman teh sangat bergantung pada distribusi curah hujan yang baik,

pertambahan suhu udara dan perubahan pola curah hujan yang akan berpengaruh

pada kuantitas dan kualitas dari produksi tanaman teh. Ancaman terutama

menyebabkan kerentanan pada petani kecil dan pemilik perkebunan teh (ITC,

2014).

Kondisi optimal yang diperlukan oleh pertumbuhan tanaman teh adalah suhu

udara yang berkisar antara 13-25 oC, yang diikuti oleh cahaya matahari yang cerah

dengan kelembapan relatif pada siang hari tidak kurang dari 70 persen, curah hujan

tahunan yang diperlukan adalah 2000 mm - 2500 mm, dengan jumlah hujan pada

musim kemarau rata-rata tidak kurang dari 100 mm (Setyamidjaja, 2000).

Fenomena perubahan iklim berpengaruh terhadap kondisi iklim mikro di

wilayah Puncak. Salah satu fenomena perubahan iklim yang terjadi di wilayah

Puncak adalah meningkatnya suhu udara. Saat ini udara di wilayah Puncak tidak

sedingin seperti dahulu karena adanya peningkatan gas CO2 akibat kendaraan

Page 17: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

3

Universitas Indonesia

bermotor dan banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi perumahan,

hotel, ataupun villa (Wikantika dkk, 2006).

Produksi teh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Gunung Mas, saat ini

terus mengalami penurunan selama tiga tahun terakhir, dari semula mampu

menghasilkan teh sebanyak 30 ton/hari sekarang hanya 10 ton/hari. Terus

menurunnya produksi teh tersebut disebabkan kondisi cuaca yang mulai kurang

mendukung, usia tanaman teh yang semakin tua, makin berkurangnya luas areal

lahan tanam, serta sejumlah faktor penunjang lainnya (Sukarno, 2013).

Perubahan iklim tentunya akan mempengaruhi tingkat kerentanan

perkebunan teh di wilayah Puncak. Hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri untuk

melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kerentanan perkebunan teh terhadap

perubahan iklim di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijabarkan, maka masalah yang akan

diteliti adalah : “Bagaimana kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim

di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan kerentanan perkebunan teh

terhadap perubahan iklim di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.

1.4 Batasan Penelitian

Agar penelitian ini lebih fokus dan terarah, maka penelitian ini dibatasi dalam

upaya memahami tingkat kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim di

wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango. Secara lebih spesifik penelitian ini

dibatasi pada :

1. Daerah penelitian adalah perkebunan teh yang berada di wilayah Gunung

Gede Pangrango yang berada pada ketinggian di atas 500 mdpl dan dilalui

oleh jalan Raya Puncak-Cianjur.

2. Perubahan iklim pada penelitian ini menggunakan perubahan curah hujan dan

suhu udara sebagai indikator adanya perubahan iklim di wilayah Puncak.

Page 18: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

4

Universitas Indonesia

3. Curah hujan dan suhu udara yang diteliti yaitu dari tahun 1981-2010 dengan

melihat adanya perubahan tren curah hujan dan suhu udara yang terjadi

selama 30 tahun. Tren adalah kecenderungan perubahan nilai parameter iklim

naik atau turun pada suatu periode tertentu (BMKG, 2012).

4. Perkebunan teh di wilayah Puncak merupakan perkebunan yang dimiliki oleh

perusahaan. Perkebunan teh yang diteliti adalah perkebunan teh milik negara

dan perkebunan teh milik swasta. Terdapat dua perkebunan teh milik negara

yaitu Gedeh dan Gunung Mas. Dan terdapat empat perkebunan teh milik

swasta yaitu Ciliwung, Ciseureuh, Maleber dan Pasir Sarongge.

5. Pemeliharaan teh yang dimaksud adalah cara pembudidayaan teh yang

dilakukan oleh perusahaan agar teh yang dihasilkan berkualitas baik.

Pemeliharaan teh ini dilihat dari pengendalian hama dan penyakit, dan

pemupukan.

6. Intensitas serangan hama dan penyakit yang dimaksud adalah persentasi luas

lahan yang terkena serangan hama dan penyakit dibandingkan dengan luas

seluruh lahan di perkebunan teh.

7. Jenis tanaman teh adalah persebaran mayoritas jenis tanaman teh unggulan

atau jenis tanaman teh bukan unggulan. Tanaman teh unggulan yaitu jenis

Tea Research Institute (TRI) dan jenis tanaman teh bukan unggulan yaitu

jenis Gambung (GMB).

8. Pendapatan perusahaan adalah besar pendapatan (rupiah) yang didapat

perusahaan perkebunan teh dalam setahun per luas lahan dalam hektar (ha).

9. Teknologi pengolahan adalah teknologi yang digunakan oleh perusahaan

setelah melakukan panen teh agar teh yang dihasilkan dapat dikonsumsi.

Pengolahan teh terdiri dari pengolahan teh modern dan tradisional.

Pengolahan teh modern menggunakan teknologi pengolahan Cutting, Tearing

and Curling (CTC) sedangkan pengolahan teh tradisional menggunakan

teknologi pengolahan Orthodoks.

Page 19: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

5 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Iklim

Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau

tidak langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi

atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati

pada kurun waktu yang dapat dibandingkan (UU No. 31 Tahun 2009).

Perubahan iklim mengacu pada perubahan dalam keadaan iklim yang dapat

diidentifikasi (dengan menggunakan uji statistik) oleh perubahan dalam iklim dan

variabilitas sifat-sifatnya yang berlangsung selama jangka waktu yang panjang,

biasanya dalam dekade atau lebih. Perubahan iklim mungkin terjadi karena proses

internal (alami) dan eksternal atau perubahan aktifitas manusia terus-menerus

dalam komposisi atmosfer dan penggunaan lahan. Bukti-bukti baru yang kuat

menyatakatan bahwa mayoritas pemanasan bumi yang diobservasi selama 50 tahun

terakhir disebabkan oleh aktifitas manusia (IPCC, 2007).

Cuaca berubah sepanjang waktu, iklim biasanya akan sama dalam berabad-

abad jika tidak diganggu. Manusia melakukan aktivitas yang signifikan sehingga

merubah bumi dan iklimnya. Perubahan iklim disebabkan oleh efek gas rumah kaca

(GRK), yaitu gas-gas hasil emisi yang terakumulasi di atmosfer.

Gambar 2.1 Suplai CO2 dari bumi bagi gas rumah kaca

[Sumber : IPCC, 2007]

Page 20: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

6

Universitas Indonesia

Gas rumah kaca yang paling dominan adalah uap air (H2O), kemudian disusul

oleh karbondioksida (CO2). Gas rumah kaca yang lain adalah methana (CH4),

dinitro-oksida (N2O), ozone (O3) dan gas-gas lain dalam jumlah yang lebih kecil.

Dengan demikian pengertian dari pemanasan global pada dasarnya adalah

peningkatan suhu rata-rata atmosfer di dekat permukaan bumi dan laut selama

beberapa dekade terakhir dan proyeksi untuk beberapa waktu yang akan datang.

Sementara itu hasil pengamatan selama 157 tahun terakhir menunjukkan bahwa

suhu permukaan bumi global mengalami peningkatan sebesar 0,05 oC/dekade. Dan

selama 25 tahun terakhir peningkatan suhu semakin tajam, yaitu sebesar 0,18

oC/dekade. Gejala pemanasan juga terlihat dampaknya dengan adanya peningkatan

suhu laut, naiknya permukaan laut, pencairan es dan berkurangnya salju di belahan

kutub utara (BMKG, 2012).

Variabilitas iklim mengacu pada variasi dalam keadaan rata-rata dan statistik

lainnya (seperti standar deviasi, terjadinya ekstrem, dll) dari iklim pada semua skala

spasial dan temporal, di luar itu dari beberapa peristiwa cuaca. Variabilitas mungkin

terjadi karena proses internal alami dalam sistem iklim (variabilitas internal),

variasi terjadi secara alami dan terjadi karena proses pendorong antropogenik

(variabilitas eksternal) (IPCC, 2007).

Sistim iklim bumi merupakan sebuah sistim interaksi kompleks antara

atmosfer, permukaan tanah, salju dan es, lautan serta badan air lainnya, dan

makhluk hidup. Komponen iklim yang paling mendominasi karakter iklim adalah

atmosfer. Iklim sering didefinisikan sebagai “cuaca rata-rata‟. Iklim biasanya

dideskripsikan sebagai rata-rata dari variabilitas suhu, hujan dan angin selama

beberapa periode waktu (bulan hingga jutaan tahun). Periode yang sering digunakan

adalah 30 tahun. Sistim iklim berubah karena dipengaruhi oleh dinamika internal

iklim itu sendiri dan akibat perubahan faktor pendorong luar yang

mempengaruhinya (disebut ”forcing”). Faktor (forcing) luar meliputi fenomena

alamiah (seperti letusan gunung berapi dan variabilitas matahari) dan perubahan

akibat aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer. Radiasi matahari

merupakan sumber tenaga utama sistim iklim bumi (IPCC, 2007).

Menurut Rusbiantoro (2008), jika ditinjau dari kejadiannya perubahan iklim

merupakan kejadian yang diakibatkan oleh :

Page 21: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

7

Universitas Indonesia

1. Meningkatnya temperatur rata-rata pada lapisan atmosfer

2. Meningkatnya temperatur pada air laut

3. Meningkatnya temperatur pada daratan

Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa gejala terjadinya perubahan iklim

dapat diamati dan dirasakan dengan adanya :

1. Pergantian musim yang tidak bisa diprediksi

2. Hujan badai sering terjadi di mana-mana

3. Sering terjadi angin puting beliung

4. Banjir dan kekeringan terjadi pada waktu yang bersamaan

5. Penyakit mewabah di banyak tempat

6. Terumbu karang memutih

Banyak ahli berpendapat bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah

aktivitas manusia walau ada penyebab lain yang bersifat alami. Penyebab

pemanasan bumi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia ini antara lain :

1. Pembakaran bahan bakar batu bara, misalnya untuk pembangkit listrik

2. Pembakaran minyak bumi, misalnya untuk kendaraan bermotor

3. Pembakaran gas alam, misalnya untuk keperluan memasak

Akibat dari proses pembakaran itu, karbon dioksida dan gas-gas lainnya

terlepas ke atmosfer. Gas-gas tersebut disebut dengan gas rumah kaca. Jika gas

rumah kaca yang memenuhi atmosfer semakin banyak, maka akan semakin kuat

juga menjadi insulator yang menyekat panas dari sinar matahari yang dipancarkan

ke permukaan bumi. Diperkirakan proses menghangat dan mendinginnya bumi ini

telah saling berganti-ganti dan kurang lebih terjadi selama 4 milyar tahun

(Rusbiantoro, 2008).

2.2 Kerentanan

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengkaji pengaruh

perubahan iklim adalah tingkat kerentanan. Kerentanan merupakan suatu

terminologi yang komplek dan tidak pasti sehingga masih banyak terdapat

pengertian tentang kerentanan tergantung pada lingkup penelitian (Fussel, 2007).

Kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik,

sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dapat meningkatkan resiko terhadap dampak

Page 22: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

8

Universitas Indonesia

bahaya. Secara garis besar kerentanan merupakan kondisi dimana sistem tidak

dapat menyesuaikan dengan dampak dari suatu perubahan. Kerentanan berbeda

secara temporal dan spasial (Fussel, 2007).

Pada tahun 1996, Cutter mendefinisikan kerentanan tempat sebagai hasil

penggabungan dari kerentanan fisik dan kerentanan sosial. Konteks dalam

kerentanan fisik misalnya adalah ketinggian dan jarak, sedangkan struktur pada

kerentanan sosial misalnya adalah pengalaman, persepsi dan lingkungan. Seperti

yang diilustrasikan pada Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Model kerentanan tempat

[Sumber : Cutter, 1996]

Kerentanan terhadap perubahan iklim dalam International Panel on Climate

Change (IPCC, 2007) diartikan sebagai keterbatasan kapasitas yang dimiliki untuk

mengatasi konsekuensi negatif dari perubahan iklim. Kerentanan dapat juga

diartikan sebagai derajat kemudahan suatu sistem terkena dampak, atau

ketidakmampuan untuk menanggulangi dampak, termasuk dampak dari variabilitas

iklim dan kondisi ekstrim. Hutan dan masyarakat memperlihatkan kerentanan yang

berbeda terhadap iklim yang bervariasi, tergantung pada daerah dan tipe hutan,

kondisi geografis, latar belakang budaya, kebijakan, kelembagaan, dan sebagainya.

Keterpaparan (Exposure) menunjukkan derajat, lama dan atau besar peluang

suatu sistem untuk kontak atau dengan goncangan atau gangguan. Sensitivitas

(Sensitivity) merupakan kondisi internal dari sistem yang menunjukan derajat

Page 23: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

9

Universitas Indonesia

kerawanannya terhadap gangguan. Gabungan aspek keterpaparan dan aspek

sensitivitas terhadap perubahan iklim akan menghasilkan potensi dampak (potential

impact) pada suatu sistem.

Kapasitas adaptasi (Adaptive Capacity) menunjukkan kemampuan dari suatu

sistem untuk melakukan penyesuaian (adjust) terhadap perubahan iklim sehingga

potensi dampak negatif dapat dikurangi dan dampak positif dapat dimaksimalkan

atau dengan kata lain kemampuan untuk mengatasi konsekuensi dari perubahan

iklim “to cope with the consequences” (Gallopin, 2006). Secara konseptual faktor

pembentuk kerentanan dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Faktor pembentuk kerentanan

[Sumber : LCC-VP, 2012]

IPCC (2007) menyatakan bahwa kerentanan perubahan iklim dapat dikaji dari

tiga komponen kerentanan yaitu Eksposure (E), Sensitivity (S), dan Adaptive

Capacity (AC). Besarnya kerentanan sangat tergantung pada besarnya bobot dari

ketiga komponen tersebut. Tingkat kerentanan (V, vulnerability) berbanding lurus

dengan (E, eksposure) dan (S, sensitivity) serta berbanding terbalik dengan (AC,

adaptive capacity), yang dapat dinyatakan dalam bentuk formulasi berikut ini :

𝑉 = (𝐸 𝑥 𝑆)

AC

(2.1)

Page 24: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

10

Universitas Indonesia

Keterangan :

V = Vulnerability (kerentanan)

E = Eksposure (keterpaparan)

S = Sensitivity (sensitivitas)

AC = Adaptive Capacity (kapasitas adaptasi)

Penilaian kerentanan dilihat pada aspek fisik (bentang alam) dan aspek

sosial (rumah tangga) yang didasarkan pada tiga faktor kerentanan, yaitu :

exposure (keterpaparan), sensitivity (sensitivitas) dan adaptive capacity (kapasitas

adaptasi) pernah dilakukan oleh Quan, dkk (2013) (lihat Gambar 2.4). Strategi

adaptasi digunakan untuk mengatasi faktor-faktor yang diidentifikasi saat

penilaian kerentanan. Kemudian hasil dari setiap strategi adaptasi terhubung

kembali untuk menilai apakah berkontribusi untuk mengurangi kerentanan.

Gambar 2.4 Kerangka kerja penilaian kerentanan perubahan iklim dan adaptasi

di tingkat lokal

[Sumber : Quan dkk, 2013]

Penelitian tentang kerentanan wilayah terhadap perubahan iklim yang

didasarkan atas aspek keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi, antara lain

Page 25: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

11

Universitas Indonesia

pernah dilakukan oleh Prasetyo (2013) yang mengkaji kerentanan wilayah

kekeringan terhadap perubahan iklim di Kabupaten Gunung Kidul dan Bakti

(2013) yang mengkaji kerentanan wilayah terhadap penyimpangan curah hujan

musim kemarau di Kabupaten Temanggung.

2.3 Tanaman Teh

Tanaman teh merupakan tanaman subtropis yang sejak lama telah dikenal

dalam peradaban manusia. Tanaman teh termasuk genus Camellia dari famili

Theaceae (Setyamidjaja, 2000). Tanaman teh merupakan tanaman tahunan, para

ahli tanaman memberi nama antara lain Camellia theifera, Thea sinensis,

Camellia thea dan terakhir dikenal dengan sebutan Camellia sinensis (L) O.

Kuntze. Tanaman teh mempunyai lebih dari 82 spesies, terutama tersebar di

kawasan Asia Tenggara hingga India, baik pada garis lintang 30° sebelah Utara

maupun Selatan khatulistiwa (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006).

Daun teh berupa daun tunggal yang berbentuk lanset dengan ujung

meruncing, berwarna hijau, dan tepinya bergerigi. Daun tua bertekstur seperti

kulit, permukaan atasnya berkilat dan berwarna hijau kelam. Bunga teh termasuk

bunga sempurna yang mempunyai putik (calyx) dengan 5 sampai 7 mahkota

(sepal). Daun bunga (petal) berjumlah sama dengan mahkota, berwarna putih

halus berlilin, berbentuk lonjong cekung. Tangkai sari panjang dengan benang sari

(anther) kuning bersel kembar, menonjol 2 mm sampai dengan 3 mm ke atas

(Setyamidjaja, 2000).

Buah yang masih muda berwarna hijau, bersel tiga, dan berdinding tebal,

mula-mula berkilat, tetapi semakin tua bertambah suram dan kasar. Bijinya

berwarna cokelat beruang tiga, berkulit tipis, berbentuk bundar di satu sisi dan

datar di sisi lain. Biji berbelah dua dengan kotiledon besar, yang jika dibelah akan

secara jelas memperlihatkan embrio akar dan tunas (Setyamidjaja, 2000).

2.3.1 Syarat Tumbuh

Tanaman teh berasal dari daerah subtropik yang terletak pada 25 - 35°

Lintang Utara dan 95 - 105° Bujur Timur, terutama terpusat pada kawasan antara

29° Lintang Utara dan 98° Bujur Timur. Daerah teh berada pada daerah miring

berbentuk kipas, terletak di antara Pegunungan-pegunungan Naga, Manipuri, dan

Page 26: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

12

Universitas Indonesia

Lushai di sepanjang perbatasan Assam-Birma di ujung barat, membentang

melalui wilayah China sampai Provinsi Chekiang di ujung timur, dan ke selatan

melalui pegunungan-pegunungan di Birma (sekarang Myanmar), Thailand, terus

ke Vietnam (Setyamidjaja, 2000).

Tanaman teh karena berasal dari sub tropis, maka cocok ditanam di daerah

pegunungan. Garis besar syarat tumbuh untuk tanaman teh adalah kecocokan

iklim dan tanah.

1. Iklim

Faktor iklim yang harus diperhatikan seperti suhu udara yang baik berkisar

13 - 15 °C, kelembaban relatif pada siang hari lebih dari 70 persen, curah hujan

tahunan tidak kurang 2.000 mm, dengan bulan penanaman curah hujan kurang

dari 60 mm tidak lebih 2 bulan. Dari segi penyinaran sinar matahari sangat

mempengaruhi pertanaman teh. Makin banyak sinar matahari makin tinggi suhu,

bila suhu mencapai 30 °C pertumbuhan tanaman teh akan terlambat. Pada

ketinggian 400 – 800 m kebun-kebun teh memerlukan pohon pelindung tetap atau

sementara. Disamping itu perlu mulsa sekitar 20 ton/ha untuk menurunkan suhu

tanah. Suhu tanah tinggi dapat merusak perakaran tanaman, terutama akar

dibagian atas. Faktor iklim lain yang harus diperhatikan adalah tiupan angin yang

terus menerus dapat menyebabkan daun rontok. Angin dapat mempengaruhi

kelembaban udara serta berpengaruh pada penyebaran hama dan penyakit

(Effendi dkk, 2010).

2. Tanah

Tanah yang cocok untuk pertumbuhan tanaman teh adalah tanah yang serasi.

Tanah yang serasi adalah tanah yang subur, banyak mengandung bahan organik,

tidak terdapat cadas dengan derajat keasaman 4,5 – 5,6. Tanah yang baik untuk

pertanaman teh terletak di lereng-lereng gunung berapi dinamakan tanah Andisol.

Selain Andisol terdapat jenis tanah lain yang serasi bersyarat, yaitu Latosol dan

Podzolik. Kedua jenis tanah ini terdapat di daerah yang rendah di bawah 800

mdpl. Dalam rangka pembukaan dan pengelolaan kebun perlu dilakukan survei

tanah agar diketahui klasifikasi kesesuaian tanah dan kemampuan lahan.

Kesesuaian tanah yang ada dibagi kedalam kategori I, II, dan III. Sedangkan

kemampuan lahan menghasilkan peta yang berisi kemiringan lahan, ketebalan

Page 27: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

13

Universitas Indonesia

tanah, peta kemampuan lahan dan peta rekomendasi penggunaan lahan (Effendi

dkk, 2010).

3. Elevasi

Sepanjang iklim dan tanah serasi bagi pertanaman teh, elevasi tidak menjadi

faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman teh. Terdapat kaitan antara elevasi

dan unsur iklim seperti suhu udara. Makin rendah elevasi pertanaman, suhu udara

akan makin tinggi. Oleh sebab itu pada daerah rendah diperlukan pohon pelindung

untuk mempengaruhi suhu udara menjadi lebih rendah sehingga tanaman teh

tumbuh baik. Menurut keserasian elevasi di Indonesia terdapat tiga daerah, yaitu:

Daerah rendah < 800 m di atas permukaan laut

Daerah sedang 800 – 1.200 m di atas permukaan laut

Daerah tinggi > 1.200 m di atas permukaan laut

Pengaruh suhu udara sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman

teh sehingga mutu yang dihasilkan tergantung dari tempat teh itu ditanam.

Umumnya aroma teh yang dihasilkan pada daerah tinggi lebih baik dari pada

daerah rendah. Perkebunan teh di Indonesia terdapat pada keserasian elevasi

cukup luas, sekitar 400-2000 mdpl (Effendi dkk, 2010).

Perkebunan teh yang terletak pada ketinggian di atas 1500 mdpl sering

mengalami kerusakan karena terjadinya embun beku (night forst) pada bulan

terkering di musim kemarau. Pembekuan yang ringan hanya akan merusak

ranting-ranting petikan dan hanya mengakibatkan kerugian hasil tenpa merusak

tanamannya sendiri. Tetapi pembekuan yang berat dapat mengakibatkan matinya

cabang-cabang dan pendaunannya, sehingga untuk membuang jaringan-jaringan

tanaman yang mati, terpaksa mengadakan pemangkasan pada bagian kebun yang

cukup luas (Setyamidjaja, 2000).

2.3.2 Pemeliharaan Teh

1. Pembibitan

Dalam rangka pengembangan budidaya teh, pembibitan dapat

menggunakan bahan tanaman yang berasal dari biji atau stek.

Page 28: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

14

Universitas Indonesia

2. Penanaman

Sebelum ditanami perlu dilakukan penetapan jarak tanam dengan

pengajiran. Setelah itu baru dilakukan pembuatan lobang tanam sesuai letak ajir.

Selesai pembuatan lobang tanam baru dilakukan penanaman.

3. Pengelolaan Tanaman

Untuk mencapai tujuan pengelolaan tanaman yang baik, maka kegiatan

yang harus dilakukan terdiri atas : penyiangan, pembuatan rorak, penyulaman,

pengelolaan tanaman pelindung, dan pembentukan bidang petik.

4. Pemangkasan

Pekerjaan pemangkasan dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi

bidang petik sehingga memudahkan dalam pekerjaan pemetikan dan mendapatkan

produktivitas tanaman yang tinggi.

Tujuan dari pekerjaan pemangkasan adalah:

a. Memelihara bidang petik tetap rendah untuk memudahkan pemetikan

b. Mendorong pertumbuhan tanaman teh agar tetap pada fase vegetatif.

c. Membentuk bidang petik (frame) seluas mungkin.

d. Merangsang pertumbuhan tunas-tunas baru.

e. Meringankan biaya pengendalian gulma.

f. Membuang cabang-cabang yang tidak produktif.

g. Mengatur fluktuasi produksi harian pada masa flush dan masa minus

(kemarau).

5. Pemupukan

Pemupukan bertujuan untuk meningkatkan daya dukung lahan untuk

perkembangan dan pertumbuhan tanaman teh. Oleh karena itu pemupukan harus

dilakukan pada waktu, dosis, jenis, dan pelaksanaan yang tepat.

6. Pemetikan

Fungsi dari pemetikan pucuk tanaman teh agar memenuhi syarat-syarat

pengolahan dimana tanaman mampu membentuk suatu kondisi yang berproduksi

secara berkesinambungan. Kecepatan pertumbuhan dari tunas baru tergantung

dari tebal lapisan daun pendukung pertumbuhan tunas 15-20 cm. Kecepatan

pembentukan tunas menentukan aspek-aspek pemetikan seperti: jenis pemetikan,

Page 29: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

15

Universitas Indonesia

jenis petikan, daun petik, areal petik, tenaga petik, dan pelaksanaan pemetikan

(Effendi dkk, 2010).

2.3.3 Hama dan Penyakit Tanaman Teh

1. Kepik pengisap daun teh (Helopeltis spp.)

Helopeltis antonii dan Helopeltis theivora, Famili Miridae, Ordo

Hemiptera. Kepik pengisap daun atau Helopeltis menyerang pucuk daun muda.

Kepik ini menusuk dan mengisap daun teh sehingga menjadi bercak-bercak hitam.

2. Ulat penggulung daun

Homona coffearia, Famili Tortricidae, Ordo Lepidoptera. Ulat penggulung

daun membuat tempat berlindung untuk diri sendiri dari daun teh; caranya dengan

menyambungkan dua (atau lebih) daun bersama-sama dengan benang sutra, atau

dengan menggulung satu daun lalu menyambungkan pinggirnya. Daun yang

terserang tidak dapat dipetik sebagai hasil panen teh.

3. Ulat jengkal (ulat kilan)

Hyposidra talaca, Ectropis bhurmitra dan Buzura suppressaria, Famili

Geometridae, Ordo Lepidoptera. Ulat jengkal menyerang daun, pupus daun dan

pentil teh. Serangan berat menyebabkan daun berlobang dan pucuk tanaman

gundul, sehingga tinggal tulang daun saja.

4. Ulat penggulung pucuk

Cydia leucostoma, Famili Tortricidae, Ordo Lepidoptera. Ulat penggulung

pucuk menyerang bagian tanaman teh yang akan dipanen oleh petani, jadi hama

ini memiliki potensi cukup besar untuk merugikan petani. Ulat tersebut

menggulung daun pucuk dengan memakai benang-benang halus untuk mengikat

daun pucuk sehingga tetap tergulung. Cara dia menggulung daun cukup khas.

5. Cacar daun (Exobasidium vexans Massee)

Penyakit cacar daun teh yang disebabkan oleh jamur E. vexans dapat

menurunkan produksi pucuk basah sampai 50 persen karena menyerang daun atau

ranting yang masih muda. Umumnya serangan terjadi pada pucuk peko, daun

pertama, kedua dan ketiga. Gejala awal terlihat bintik-bintik kecil tembus cahaya,

kemudian bercak melebar dengan pusat tidak berwarna dibatasi oleh cincin

berwarna hijau, lebih hijau dari sekelilingnya dan menonjol ke bawah. Pusat

bercak menjadi coklat tua akhirnya mati sehingga terjadi lobang.

Page 30: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

16

Universitas Indonesia

6. Penyakit akar

Penyakit akar yang penting pada tanaman teh yaitu :

a. Penyakit akar merah anggur (Ganoderma pseudoferreum);

b. Penyakit akar merah bata (Proria hypolateritia);

c. Penyakit akar hitam (Rosellinia arcuata dan R. bunodes);

d. Penyakit leher akar (Ustulina maxima);

e. Penyakit kanker belah (Armellaria fuscipes).

7. Penyakit busuk daun

Cylindrocladium scoparium dan Glomerella cingulata. Penyakit busuk

daun disebabkan oleh C. Scoparium dan G. cingulata yang menyerang tanaman

teh di pesemaian, dapat mengakibatkan matinya setek teh. Bibit terserang, timbul

bercak-bercak coklat pada daun induknya, dimulai dari bagian ujung atau dari

ketiak daun. Pada serangan lanjut, daun induk terlepas dari tangkai, akhirnya setek

mengering /mati.

8. Penyakit mati ujung (Die back) Pestalotia theae

Penyakit mati ujung disebabkan oleh jamur Pestalotia thea yang menyerang

tanaman terutama melalui luka atau bagian daun yang rusak. Gejala pada daun

dimulai bercak kecil berwarna coklat, kemudian melebar. Pusat bercak keabu-

abuan dengan tepinya berwarna coklat. Dapat menyerang ranting yang masih

hijau, dengan gejala sama seperti di daun. Serangan jamur dapat menjalar sampai

ke tunas sehingga ranting dan tunas mengering (Effendi dkk, 2010).

2.3.4 Pengolahan Teh

Teh hitam diolah melalui fermentasi, dan dibagi dua, yaitu teh orthodoks

dan teh CTC (Cutting, Tearing, dan Curling). Teh orthodoks adalah teh yang

diolah melelui proses pelayuan sekitar 16 jam, penggulungan, fermentasi,

pengeringan, sortasi, hingga terbentuk the jadi. Teh CTC (Cutting, Tearing, dan

Curling) yakni teh yang diolah melalui perajangan, penyobekan, dan

penggulungan daun basah menjadi bubuk kemudian dilanjutkan dengan

fermentasi, pengeringan, sortasi, hingga terbentuk teh jadi.

Pada awalnya, di Indonesia hanya memproduksi teh hitam orthodoks.

Sejalan dengan pergeseran selera konsumen yang mengarah pada teh celup yang

komponen terbesarnya merupakan teh CTC (Crushing Tearing and Curling), teh

Page 31: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

17

Universitas Indonesia

hitam orthodoks kini jarang dipakai. Kini banyak industri teh yang mengolah teh

dengan sistem CTC (Crushing, Tearing, dan Curling). Sistem CTC ini relatif baru

di Indonesia.

Berikut ini merupakan tahap-tahap dan penjelasan pengolahan teh dengan

menggunakan sistem orthodoks :

Gambar 2.5 Proses pengolahan teh hitam Orthodoks

[Sumber : Wagu, 2001]

1. Proses Pelayuan, yaitu menggunakan kotak untuk melayukan daun

(Whithering trought), merupakan kotak yang diberikan kipas untuk

menghembuskan angin ke dalam kotak. Proses ini mengurangi kadar air

dalam daun teh sampai 70%. Pembalikan pucuk 2 - 3 kali untuk meratakan

proses pelayuan.

2. Proses Penggilingan, yaitu bertujuan untuk memecah sel-sel daun, agar

proses fermentasi dapat berlangsung secara merata.

3. Proses Oksidasi. Setelah proses penggilingan selesai daun teh di tempatkan

di meja dan enzim didalam daun teh akan memuali oksidasi karena

bersentuhan dengan udara luar. Ini akan menciptakan rasa dan warna teh.

Proses ini berlangsung sekitar 0,5 sampai 2 jam.

4. Proses Pengeringan, yaitu menggunakan ECP drier (Endless Chain

Pressure drier) & Fluid bed drier. Kadar air produk yang dihasilkan 3-5 %.

Page 32: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

18

Universitas Indonesia

Berikut ini merupakan tahap-tahap dan pengolahan teh menggunakan sistem

CTC (Crushing Tearing and Curling) :

Gambar 2.6 Proses pengolahan teh hitam CTC

[Sumber : Wagu, 2001]

1. Penyiapan bahan baku, yaitu bahan baku yang berupa pucuk halus dari hasil

pemetikan medium murni, karena pucuk yang halus sangat membantu

kelancaran proses penggilingan. Pucuk teh halus ini minimal harus 60% dan

utuh.

2. Pelayuan. Cara pelayuan pucuk untuk pengolahan teh CTC ini bisa

mencapai 32%-35% derajat layu, dan kadar air 65%- 68%. Proses pelayuan

membutuhkan waktu 4-6 jam dan masih memerlukan pelayuan bahan kimia,

sehingga pelayuan diperpanjang menjadi 12-16 jam.

3. Pengayakan pucuk layu. Pengayakan ini sangat berguna dalam pengolahan,

yaitu untuk memisahkan pucuk dari berbagai kotoran, seperti pasir krikil

dan benda lainnya yang dapat menyebabkan tumpulnya pisau/gigi pada

gilingan CTC.

4. Penggilingan. Mesin giling CTC mampu menghancurkan daun dengan

sempurna, sehingga seluruh sel daunnya pecah, dengan demikian

menghasilkan oksidasi enzimatis (fermentasi) senyawa-senyawa polifenol

lebih banyak. Penghancuran daun yang merta ini, akan menunjang

terjadinya berbagai proses biokimia, antara lain adalah proses oksidasi

Page 33: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

19

Universitas Indonesia

enzimatis polifenol, perombakan pektin oleh enzim dan perombakan

klorofil oleh enzim.

5. Fermentasi. Fermentasi bubuk basah memerlukan suhu udara rendah 25ºC

dan kelembaban tinggi 90%-100%. Fermentasi pada pengolahan CTC ini

dapat memakai fermenting trays, dibeber dilantai atau continous fermenting

mechine (CFM). Waktu fermentasi antara 80-85 menit. Hasil fermentasi teh

CTC lebih merata, karena bubuk basah lebih kecil dan rata.

6. Pengeringan. Pengeringannya dilakukan sampai kadar air pada bahan

mencapai 3-5%.

7. Sortasi. Sortasi teh kering pada pengolahan CTC lebih sederhana

dibandingkan dengan teh hitam orthodoks. Keringan teh CTC ukurannya

hampir seragam dan serta-serat yang tercampur dengan keringan hanya

sedikit. Di samping memisahkan serat dan tangkai, sor tasi kering juga dapat

memisahkan partikel-partikel teh yang ukurannya seragam.

Karakteristik Pengolahan Teh Hitam Orthodoks dan The Hitam CTC :

Tabel 2.1 Karakteristik pengolahan teh hitam Orthodoks dan teh hitam CTC

Sistem Orthodoks Sistem CTC

Derajat layu pucuk 44-46 % Derajat layu pucuk 32-35%

Dilakukan sortasi bubuk basah Tanpa dilakukan sortasi bubuk

basah

Tangkai/tulang terpisah disebut

badag Bubuk basah ukuran hampir sama

Diperlukan pengeringan ECP

(Endless Chain Preasure)

Pengeringan cukup FBD (Fluid

Bad Dryer)

Cita rasa air seduhan kuat Cita rasa air seduhan kurang kuat,

air seduhan cepat merah

Tenaga kerja banyak Tenaga kerja sedikit

Tenaga listrik tinggi Tenaga listrik sedikit

Sortasi kering kurang sederhana Sortasi kering sederhana

Oksidasi enzimatis bubuk basah

105-120 menit

Oksidasi enzimatis bubuk basah

80-85 menit

Waktu yang diperlukan dalam

proses pengolahan lebih dari 20

jam

Waktu yang diperlukan dalam

proses pengolahan kurang dari 20

jam [Sumber : Rosyadi, 2001]

Page 34: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

20

Universitas Indonesia

Akibat perbedaan cara pengolahan, maka teh Orthodoks dan CTC memiliki

perbedaan-perbedaan, baik dari bentuk maupun cita rasanya. Dapat dilihat pada

table dibawah ini.

Tabel 2.2 Perbedaan cara pengolahan teh Orthodoks dan CTC

[Sumber : Rosyadi, 2001]

2.4 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)

AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan

oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan

masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki,

menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah

permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level

pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan

seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu

masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang

kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan

tampak lebih terstruktur dan sistematis. AHP sering digunakan sebagai metode

pemecahan masalah dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan

sebagai berikut :

1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih,

sampai pada subkriteria yang paling dalam.

2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi

berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan.

3. Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan

keputusan.

Pada dasarnya, prosedur atau langkah-langkah dalam metode AHP meliputi

(Kusrini, 2007) :

No Uraian Orthodoks CTC

1 Bentuk Agak pipih Butiran

2 Cita rasa Kuat Kurang kuat

3 Penyajian Lambat Cepat

4 Kebutuhan

penyeduhan

400-500

cangkir/kg

800-1000

cangkir/kg

Page 35: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

21

Universitas Indonesia

1. Mengidentifikasi masalah dan menentukan solusi yang diinginkan, lalu

menyusun hierarki dari permasalahan yang dihadapi. Penulisan hierarki

adalah dengan menetapkan tujuan yang merupakan sasaran sistem secara

keseluruhan pada level teratas.

2. Menentukan prioritas elemen

a. Langkah pertama dalam menentukan prioritas elemen adalah

membuat perbandingan pasangan, yaitu membandingkan elemen

secara berpasangan sesuai kriteria yang diberikan.

b. Matriks perbandingan berpasangan diisi menggunakan bilangan untuk

merepresentasikan kepentingan relative dari suatu elemen terhadap

elemen yang lainnya.

3. Sintesis

Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan

disintesiskan untuk memperoleh keseluruhan prioritas. Hal-hal yang

dilakukan dalam langkah ini adalah :

a. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap kolom pada matriks

b. Membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang

bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks.

c. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan

jumlah elemen untuk mendapatkan nilai rata-rata.

Penilaian kriteria dan subkriteria dilakukan dengan perbandingan

berpasangan. Menurut Saaty (1986) untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9

adalah skala terbaik untuk mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat

kualitatif dari skala perbandingan Saaty bisa diukur menggunakan tabel analisis

seperti berikut :

Page 36: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

22

Universitas Indonesia

Tabel 2.3 Nilai skala perbandingan berpasangan

Tingkat

Kepentingan Definisi Keterangan

1 Sama

Pentingnya

Kedua elemen mempunyai pengaruh yang

sama

3 Sedikit lebih

penting

Pengalaman dan penilaian sangat memihak

satu elemen dibandingkan dengan

pasangannya

5 Lebih Penting

Satu elemen sangat disukai dan secara

praktis dominasinya sangat nyata,

dibandingkan dengan elemen pasangannya.

7 Sangat

Penting

Satu elemen terbukti sangat disukai dan

secara praktis dominasinya sangat nyata,

dibandingkan dengan elemen pasangannya.

9 Mutlak lebih

penting

Satu elemen terbukti mutlak lebih disukai

dibandingkan dengan pasangannya, pada

keyakinan tertinggi.

2,4,6,8 Nilai Tengah

Diberikan bila terdapat keraguan penilaian

di antara dua tingkat kepentingan yang

berdekatan.

[Sumber : Saaty, 1986]

Penelitian terdahulu menggunakan metode AHP :

1. Anggi Puji Lestari dalam penelitiannya berjudul Pemintakatan Risiko Bencana

Banjir Bandang di Wilayah Dinoyo dan Kaliputih Kabupaten Jember

membahas tentang zona risiko banjir bandang (flash flood) yang melanda

Kabupaten Jember berdasarkan tingkat bahaya dan kerentanannya. Penelitian

ini menggunakan empat aspek untuk menentukan risiko banjir yaitu aspek

lingkungan, sosial, ekonomi dan fisik yang terdiri dari sebelas parameter, yaitu

curah hujan dengan bobot sebesar 16,9%, penggunaan lahan dengan bobot

sebesar 12,9%, kelerengan dengan bobot sebesar 12,3%, topografi dengan

bobot sebesar 10,7%, jarak dengan sungai dengan bobot sebesar 9,5%,

kepadatan bangunan dengan bobot sebesar 8,3%, kepadatan penduduk dengan

bobot sebesar 7,9, jenis tanah dengan bobot sebesar 7%, aspek ekonomi

(penduduk petani) dengan bobot sebesar 6,4%, penduduk tua + balita dengan

bobot sebesar 4,9%, dan jarak dari jalan dengan bobot sebesar 3,3%.

2. Wika Ristya dalam penelitiannya berjudul Kerentanan Wilayah terhadap

Banjir di Sebagian Cekungan Bandung membahas tentang tingkat bahaya

banjir, memetakan wilayah tergenang dan memetakan tingkat kerentanan

Page 37: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

23

Universitas Indonesia

wilayah terhadap banjir. Penelitian ini menggunakan tiga aspek untuk

menentukan risiko banjir yaitu aspek sosial, ekonomi dan fisik yang terdiri dari

tujuh parameter, yaitu kepadatan penduduk dengan bobot sebesar 30,2%,

penduduk usia tua dengan bobot sebesar 9,5%, penduduk usia balita dengan

bobot sebesar 7,3%, pekerja di sektor informal dengan bobot sebesar 9,5%,

kemiskinan penduduk dengan bobot sebesar 17,4%, kepadatan bangunan

dengan bobot sebesar 20,2%, bangunan tidak permanen dengan bobot sebesar

5,9%. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tingkat bahaya banjir di daerah

penelitian didominasi oleh tingkat bahaya banjir rendah, semakin ke arah

tengah dan timur daerah penelitian tingkat bahaya banjir semakin tinggi,

kerentanan wilayah terhadap banjir didominasi oleh kerentanan sedang.

Page 38: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

24 Universitas Indonesia

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

Metode penelitian yang akan dilakukan pada penelitian ini antara lain

meliputi metode pengumpulan data, metode pengolahan data dan analisis data.

Adapun alur pikir dan alur kerja dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.1.1 Alur Pikir Penelitian

Gambar 3.1 Alur pikir penelitian

Curah Hujan

Kapasitas Adaptasi :

Pemeliharaan Teh

Pendapatan

Perusahaan

Teknologi Pengolahan

Perubahan Iklim

Wilayah Puncak

Keterpaparan :

Penurunan Curah Hujan

Peningkatan Suhu Udara

Luas Lahan

Intensitas Serangan

Hama & Penyakit

Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap

Perubahan Iklim di Wilayah Puncak

Gunung Gede Pangrango

Sensitivitas :

Jenis Tanah

Jenis Tanaman Teh

Ketinggian

Perkebunan Teh

Suhu Udara

Page 39: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

25

Universitas Indonesia

3.1.2 Alur Kerja Penelitian

Gambar 3.2 Alur kerja penelitian

3.2 Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : curah hujan, suhu udara,

luas lahan, intensitas serangan hama dan penyakit, jenis tanah, jenis tanaman teh,

ketinggian, pemeliharaan teh, pendapatan perusahaan, dan teknologi pengolahan.

3.3 Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data terdiri dari data primer dan data sekunder. Metode

pengumpulan data dilakukan melalui kajian atau studi literatur, survei instansi,

wawancara dan pengamatan langsung (direct observation).

Persiapan

•Studi literatur (pencarian buku teks, jurnal, e-book, internet browsing)

•Mencari lokasi lokasi perkebunan teh di wilayah Puncak

•Pembuatan peta lapang

•Pembuatan kuesioner

Pengumpulan Data/Survei

•Observasi dan foto lapang

•Pengumpulan data sekunder yaitu data curah hujan, data suhu udara, luas lahan perkebunan, intensitas serangan hama dan penyakit, peta jenis tanah, jenis tanaman teh, peta ketinggian, pemeliharaan teh, pendapatan perusahaan, teknologi pengolahan

•Pengumpulan data melalui wawancara dan penyebaran kuesioner

Pengolahan Data/Analisis

•Membuat peta persebaran curah hujan dan suhu udara

•Mencari tren curah hujan dan suhu udara

•Membuat dan memasukkan skor tiap variabel

•Membuat peta kerentanan pada setiap variabel

•Menghitung pembobotan tiap variabel dengan metode AHP

•Menganalisis data secara spasial untuk membuat peta kerentanan dengan metode Weighted Sum

•Menganalisis data secara deskriptif untuk menjelaskan kerentanan yang terjadi pada perkebunan teh

Hasil

•Peta kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim di wilayah Puncak

•Penjelasan kerentanan yang terjadi pada perkebunan teh

•Kesimpulan

Page 40: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

26

Universitas Indonesia

3.3.1 Data Primer

Data primer dikumpulkan dengan melakukan penyebaran kuesioner kepada

para informan kunci (key informan) yang terdiri dari para pihak yang berkompeten

menangani masalah perubahan iklim dan perkebunan teh. Informan kunci yang

dilakukan wawancara ini terdiri dari tiga pakar yang digunakan untuk menghitung

bobot setiap variabel. Informan kunci yang dimaksud adalah dari Dinas Pertanian

dan Perkebunan Kabupaten Bogor, staf ahli perkebunan teh milik negara atau

swasta, dan Balai Penelitian Teh dan Kina.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder berasal dari dokumen atau data Dinas Pertanian dan Kehutanan

Kabupaten Bogor, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Balai Penelitian

Tanah, Badan Informasi Geospasial, Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara dan

Perusahaan Swasta. Jenis dan sumber data dalam kajian kerentanan perkebunan teh

terhadap perubahan iklim, meliputi :

Tabel 3.1 Jenis dan sumber data sekunder

No Jenis Data Sumber

1 Curah Hujan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi

dan Geofisika)

2 Suhu Udara BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi

dan Geofisika)

3 Jenis Tanah BPT (Balai Penelitian Tanah)

4 Ketinggian BIG (Badan Informasi Geospasial)

5 Luas Lahan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten

Bogor

6 Pemeliharaan Teh PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan

Nusantara) dan Perusahaan Swasta

7 Jenis Tanaman Teh PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan

Nusantara) dan Perusahaan Swasta

8 Pendapatan

Perusahaan

PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan

Nusantara) dan Perusahaan Swasta

9 Intensitas Serangan

Hama dan Penyakit

PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan

Nusantara) dan Perusahaan Swasta

10 Teknologi

Pengolahan

PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan

Nusantara) dan Perusahaan Swasta

Page 41: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

27

Universitas Indonesia

3.4 Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam

mengolah data primer dan sekunder untuk dilakukan pemetaan. SIG adalah sistem

yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data, manusia (brainware),

organisasi dan lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan,

menganalisis, dan menyebarkan informasi-informasi mengenai daerah-daerah di

permukaan bumi (Chrisman, 1997). Pengolahan data dalam penelitian ini

menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process), interpolasi IDW

(Inverse Distance Weighting) dan metode Weighted Sum.

Metode AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang

dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan

menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu

hirarki (tersusun). Penggunaan metode AHP dalam penelitian ini adalah untuk

menentukan seberapa besar bobot (kontribusi) yang diberikan variabel-variabel

kerentanan pada perkebunan teh.

Interpolasi adalah metode untuk mendapatkan data berdasarkan beberapa data

yang telah diketahui. Dalam pemetaan, interpolasi adalah proses estimasi nilai pada

wilayah yang tidak disampel atau diukur, sehingga terbentuk peta atau sebaran nilai

pada seluruh wilayah. Metode IDW merupakan metode deterministik yang

sederhana dengan mempertimbangkan titik disekitarnya. Asumsi dari metode ini

adalah nilai interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang dekat daripada data

sampel yang lebih jauh. Bobot (weight) akan berubah secara linear sesuai dengan

jaraknya dengan data sampel. Bobot ini tidak akan dipengaruhi oleh letak dari data

sampel (Pramono, 2008). Penggunaan interpolasi IDW dalam penelitian ini adalah

untuk melakukan pemetaan data iklim agar wilayah yang tidak diukur dapat

memiliki nilai, metode IDW dipilih karena nilai interpolasi IDW akan lebih mirip

pada data sampel yang lebih dekat. Daerah penelitian berada dekat dengan stasiun

pengamatan Citeko yang berarti hasil interpolasi akan maksimal.

Metode Weighted Sum adalah metode penyatuan data dari lapisan layer yang

berbeda (overlay) yang inputnya berupa data raster (pixel based), masing-masing

variabel memiliki pengaruh yang berbeda-beda dalam sebuah analisis yang

direpresentasikan dalam bentuk pembobotan. Output pada metode ini berupa data

Page 42: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

28

Universitas Indonesia

raster dengan bilangan floating point . Floating point yaitu sebuah format bilangan

yang dapat digunakan untuk merepresentasikan sebuah nilai yang sangat besar atau

sangat kecil.

3.4.1 Data Perubahan Iklim

Perubahan iklim yang terjadi di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

dapat dilihat dari data curah hujan dan suhu udara yang berada di stasiun

meteorologi Citeko. Untuk melihat persebaran iklim yang terjadi di wilayah Puncak

diperlukan data dari beberapa stasiun meteorologi yang tersebar di dalam maupun

di luar (pada jarak terdekat) wilayah Puncak, yaitu terdiri dari 5 stasiun yang dapat

dilihat pada Tabel 3.2 dan lokasi stasiun meteorologi pada Gambar 3.3 di bawah

ini.

Tabel 3.2 Koordinat stasiun meteorologi

Stasiun Koordinat

Bujur Lintang

Cibinong 106,87 BT 6,47 LS

Darmaga Bogor 106,75 BT 6,50 LS

Geofisika Bandung 107,60 BT 6,92 LS

Citeko 106,93 BT 6,70 LS

Lembang 107,62 BT 6,83 LS

[Sumber : BMKG]

Page 43: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

29

Universitas Indonesia

Gambar 3.3 Lokasi stasiun meteorologi

1. Curah Hujan

Membuat peta persebaran curah hujan di wilayah Puncak dengan

menggunakan metode interpolasi IDW pada perangkat lunak Arcgis 10. Peta

persebaran ini dibagi menjadi 3 periode, periode 1 yaitu dari tahun 1981-1990,

periode 2 yaitu dari tahun 1991-2000, dan periode 3 yaitu dari tahun 2001-2010.

Interpolasi dilakukan dengan memasukan nilai curah hujan pada 5 stasiun di

wilayah Puncak dan sekitarnya yaitu pada Tabel 3.2.

Setiap stasiun meteorologi dimasukan nilai curah hujan yang telah dihitung

nilai rata-rata jumlah curah hujan tahunan pada setiap periode. Kemudian mencari

tren curah hujan dari tahun 1981-2010 dengan membuat 3 grafik parameter tren

curah hujan, yaitu grafik tren curah hujan tahunan, curah hujan musim hujan dan

curah hujan musim kemarau yang diperoleh dari stasiun meteorologi Citeko dan

diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.

Selanjutnya membuat peta penurunan curah hujan di wilayah Puncak yang

diperoleh dengan mencari nilai tren curah hujan pada setiap stasiun meteorologi

dengan membuat grafik sehingga akan terlihat nilai tren pada setiap grafik, dan

terlihat bahwa rata-rata 5 stasiun meteorologi mengalami penurunan curah hujan

Page 44: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

30

Universitas Indonesia

(Lampiran 4). Kemudian memasukan nilai tren pada setiap stasiun meteorologi

yang diolah menggunakan perangkat lunak Arcgis 10 dengan metode interpolasi

IDW.

2. Suhu Udara

Membuat peta persebaran suhu udara di wilayah Puncak dengan

menggunakan metode interpolasi IDW pada perangkat lunak Arcgis 10. Peta

persebaran ini dibagi menjadi 3 periode, periode 1 yaitu dari tahun 1981-1990,

periode 2 yaitu dari tahun 1991-2000, dan periode 3 yaitu dari tahun 2001-2010.

Interpolasi dilakukan dengan memasukan nilai suhu udara pada 5 stasiun di wilayah

Puncak dan sekitarnya yaitu pada Tabel 3.2.

Setiap stasiun meteorologi dimasukan nilai suhu udara yang telah dihitung

nilai rata-rata suhu udara tahunan pada setiap periode. Kemudian mencari tren suhu

udara dari tahun 1981-2010 dengan membuat 3 grafik parameter tren suhu udara,

yaitu grafik tren suhu udara rata-rata tahunan, suhu udara maksimum absolut

tahunan dan suhu udara minimum absolut tahunan yang diperoleh dari stasiun

meteorologi Citeko dan diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.

Selanjutnya membuat peta peningkatan suhu udara di wilayah Puncak yang

diperoleh dengan mencari nilai tren suhu udara pada setiap stasiun meteorologi

dengan membuat grafik sehingga akan terlihat nilai tren pada setiap grafik, dan

terlihat bahwa rata-rata 5 stasiun meteorologi mengalami peningkatan suhu udara

(Lampiran 4). Kemudian memasukan nilai tren pada setiap stasiun meteorologi

yang diolah menggunakan perangkat lunak Arcgis 10 dengan metode interpolasi

IDW.

3.4.2 Klasifikasi Nilai Kerentanan

Pada penelitian ini digunakan 3 kelas interval kerentanan, yaitu kerentanan

rendah, sedang dan tinggi. Dengan kategori skor sebagai berikut :

a. Kerentanan Rendah = skor 1

b. Kerentanan Sedang = skor 2

c. Kerentanan Tinggi = skor 3

Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada setiap variabel adalah sebagai

berikut :

Page 45: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

31

Universitas Indonesia

1. Penurunan Curah Hujan

Untuk mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel penurunan curah

hujan digunakan rumus 3.1 di bawah ini.

Interval =nilai penurunan curah hujan di wilayah Puncak (tertinggi − terendah)

jumlah kelas kerentanan

(3.1)

2. Peningkatan Suhu Udara

Untuk mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel peningkatan suhu

udara digunakan rumus 3.2 di bawah ini.

Interval =nilai peningkatan suhu udara di wilayah Puncak (tertinggi − terendah)

jumlah kelas kerentanan

(3.2)

3. Luas Lahan

Untuk mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel luas lahan

digunakan rumus 3.3 di bawah ini.

Interval =luas lahan perkebunan teh (tertinggi − terendah)

jumlah kelas kerentanan (3.3)

4. Intensitas Serangan Hama dan Penyakit

Untuk menghitung besarnya intensitas serangan hama dan penyakit adalah

dengan menggunakan rumus 3.4 di bawah ini.

I = n

N x 100% (3.4)

Keterangan :

I = Intensitas serangan hama dan penyakit

n = Luas lahan yang terkena serangan hama dan penyakit (ha)

N = Luas lahan di perkebunan teh (ha)

Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada variabel intensitas serangan

hama dan penyakit adalah dengan melakukan wawancara dengan informan

kunci.

5. Jenis Tanah

Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada variabel jenis tanah adalah

dengan melihat lieratur yang ditulis oleh Effendi dkk (2010).

6. Jenis Tanaman Teh

Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada variabel jenis tanaman teh

adalah dengan melakukan wawancara dengan informan kunci.

Page 46: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

32

Universitas Indonesia

7. Ketinggian

Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada variabel ketinggian adalah

dengan melihat lieratur yang ditulis oleh Effendi dkk (2010).

8. Pemeliharaan Teh

Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada variabel pemeliharaan teh

adalah dengan melakukan wawancara dengan informan kunci.

9. Pendapatan Perusahaan

Untuk mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel pendapatan

perusahaan digunakan rumus 3.4 di bawah ini.

Interval =pendapatan perusahaan perkebunan teh (tertinggi − terendah)

jumlah kelas kerentanan (3.5)

10. Teknologi Pengolahan

Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada variabel teknologi pengolahan

adalah dengan melakukan wawancara dengan informan kunci.

3.4.3 Data Keterpaparan

1. Penurunan Curah Hujan

Data penurunan curah hujan diperoleh dengan mencari nilai tren curah hujan

pada setiap stasiun meteorologi dengan membuat grafik sehingga akan terlihat nilai

tren pada setiap grafik, dan terlihat bahwa rata-rata 5 stasiun meteorologi

mengalami penurunan curah hujan (Lampiran 4). Kemudian memasukan nilai tren

pada setiap stasiun meteorologi yang diolah menggunakan perangkat lunak Arcgis

10 dengan metode interpolasi IDW. Hasil interpolasi kemudian dilakukan

pemotongan (clip) pada daerah penelitian. Langkah terakhir yaitu memasukan nilai

klasifikasi kerentanan di dalam atribut data penurunan suhu udara yang diolah

dengan menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.

2. Peningkatan Suhu Udara

Data peningkatan suhu udara diperoleh dengan mencari nilai tren suhu udara

pada setiap stasiun meteorologi dengan membuat grafik sehingga akan terlihat nilai

tren pada setiap grafik, dan terlihat bahwa rata-rata 5 stasiun meteorologi

mengalami peningkatan suhu udara (Lampiran 4). Kemudian memasukan nilai tren

pada setiap stasiun meteorologi yang diolah menggunakan perangkat lunak Arcgis

10 dengan metode interpolasi IDW. Hasil interpolasi kemudian dilakukan

pemotongan (clip) pada daerah penelitian. Langkah terakhir yaitu memasukan nilai

Page 47: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

33

Universitas Indonesia

klasifikasi kerentanan di dalam atribut data peningkatan suhu udara yang diolah

dengan menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.

3. Luas Lahan

Luas lahan perkebunan diperoleh dari peta perkebunan di wilayah puncak

yang diperoleh dari BIG (Badan Informasi Geospasial). Selanjutnya dilakukan

digitasi ulang menggunakan perangkat lunak Google Earth untuk validasi data dan

untuk memisahkan perkebunan-perkebunan teh yang ada di daerah penelitian.

Kemudian menghitung luas lahan perkebunan dengan fitur Calculate Geometry

yang terdapat pada perangkat lunak Arcgis 10. Langkah terakhir yaitu memasukan

nilai klasifikasi kerentanan di dalam atribut data luas lahan yang diolah dengan

menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.

4. Intensitas Serangan Hama dan Penyakit

Data intensitas serangan hama dan penyakit diperoleh dari wawancara kepada

Kepala Bagian, Staf maupun pekerja yang berada di setiap perkebunan teh.

Kemudian memasukan nilai klasifikasi kerentanan di dalam atribut data intensitas

serangan hama dan penyakit yang diolah dengan menggunakan perangkat lunak

Arcgis 10.

3.4.4 Data Sensitivitas

1. Jenis Tanah

Data jenis tanah diperoleh dari BPT (Balai Penelitian Tanah) dalam bentuk

data spasial. Data yang telah diperoleh ini kemudian dilakukan pemotongan (clip)

pada daerah penelitian. Langkah terakhir yaitu memasukan nilai klasifikasi

kerentanan di dalam atribut data jenis tanah yang diolah dengan menggunakan

perangkat lunak Arcgis 10.

2. Jenis Tanaman Teh

Data jenis tanaman teh diperoleh dari wawancara kepada Kepala Bagian, Staf

maupun pekerja yang berada di setiap perkebunan teh. Kemudian memasukan nilai

klasifikasi kerentanan di dalam atribut data jenis tanaman teh yang diolah dengan

menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.

3. Ketinggian

Data Ketinggian diperoleh dari BIG (Badan Informasi Geospasial) dalam

bentuk garis kontur skala 1 : 25.000 berformat shapefile. Data kontur ini diolah

Page 48: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

34

Universitas Indonesia

menggunakan fitur 3D Analyst pada perangkat lunak Arcgis 10 untuk menghasilkan

data raster dan dilakukan klasifikasi untuk mendapatkan nilai kerentanan.

Kemudian memasukan nilai klasifikasi kerentanan di dalam atribut data ketinggian

yang diolah dengan menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.

3.4.5 Data Kapasitas Adaptasi

1. Pemeliharaan Teh

Data pemeliharaan teh diperoleh dari wawancara kepada Kepala Bagian, Staf

maupun pekerja yang berada di setiap perkebunan teh. Kemudian memasukan nilai

klasifikasi kerentanan di dalam atribut data pemeliharaan teh yang diolah dengan

menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.

2. Pendapatan Perusahaan

Data pendapatan perusahaan diperoleh dari wawancara kepada Kepala

Bagian, Staf maupun pekerja yang berada di setiap perkebunan teh. Kemudian

memasukan nilai klasifikasi kerentanan di dalam atribut data pendapatan

perusahaan yang diolah dengan menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.

3. Teknologi Pengolahan

Data teknologi pengolahan diperoleh dari wawancara kepada Kepala Bagian,

Staf maupun pekerja yang berada di setiap perkebunan teh. Kemudian memasukan

nilai klasifikasi kerentanan di dalam atribut data teknologi pengolahan yang diolah

dengan menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.

3.4.6 Proses Pembobotan Menggunakan Metode AHP

1. Mewawancarai pakar yang berkompeten terhadap masalah kerentanan

perkebunan teh terhadap perubahan iklim dengan mengisi kuesioner matriks

perbandingan berpasangan antar kriteria. Proses metode AHP dalam penelitian

ini adalah menentukan peringkat dan pembobotan variabel kerentanan

perkebunan. Langkah dari metode AHP yaitu membuat matriks persepsi dari 3

pakar yang digunakan dalam penelitian ini. Persepsi tersebut dijadikan input

utama dalam memperoleh bobot dari masing-masing variabel. Persepsi dalam

penelitian ini bersumber dari para pakar yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Page 49: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

35

Universitas Indonesia

Tabel 3.3 Nama, jabatan dan instansi para pakar/informan

INFORMAN NAMA JABATAN INSTANSI

1 A. Suwandi Kasi Pelayanan

Usaha

Dinas Pertanian dan

Perkebunan Kab.

Bogor

2 Rusmana

Administrasi

Tanaman dan

Pembibitan Teh

Kebun Teh Ciliwung

3

Ir. Salwa

Lubnan D,

MS

Peneliti Agronomi /

Fisiologi Tanaman

Pusat Penelitian Teh

dan Kina (PPTK)

Gambung

2. Perhitungan pembobotan AHP dilakukan diolah dengan menggunakan

perangkat lunak Microsoft Excel (lihat Lampiran 2).

3. Menentukan nilai prioritas pada variabel yang diperoleh dari setiap informan dan

dibandingkan dalam matriks.

4. Menentukan nilai bobot pada setiap variabel dengan menjumlahkan penilaian

tiap kolom tabel dan tiap sel dari kolom dibagi berdasarkan dari hasil

penjumlahan penilaian tiap kolom.

5. Menghitung nilai rata-rata bobot yang diperoleh dari nilai bobot yang dihitung

pada poin 4.

3.4.7 Membuat Peta Kerentanan dengan Metode Weighted Sum

1. Mengkonversi semua variabel yang berjenis data vektor menjadi data raster

dengan menggunakan metode 3D Analyst dalam perangkat lunak ArcGIS 10.

2. Memasukan semua data variabel yang berbentuk raster dan memberi nilai bobot

pada setiap variabel ke dalam fitur Weighted Sum.

Page 50: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

36

Universitas Indonesia

3.5 Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial

dan analisis deskriptif. Analisis spasial digunakan untuk menghasilkan peta pada

setiap variabel dan menghasilkan peta kerentanan perkebunan teh terhadap

perubahan iklim di wilayah puncak Gunung Gede Pangrango. Pada setiap peta

variabel dimasukkan nilai atau skor tingkat kerentanan dan digunakan metode

Weighted Sum untuk memasukkan bobot sehingga dapat dihasilkan peta kerentanan

perkebunan teh. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan penjelasan dari

data fakta di lapangan dan untuk menjelaskan peta kerentanan perkebunan teh di

wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.

Page 51: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

37 Universitas Indonesia

BAB 4

GAMBARAN UMUM

4.1 Letak dan Kondisi Umum

4.1.1 Daerah Penelitian

Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango berada di dalam dua Kabupaten,

yaitu Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur yang berada pada ketinggian diatas

500 mdpl dan dilalui oleh jalan Raya Puncak-Cianjur. Secara geografis, wilayah

Puncak terletak antara 106°48'55" - 107° 7'32" BT dan 6°38'1" - 6°55'12" LS.

Gambar 4.1 Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango merupakan gabungan dari batas

administrasi pada delapan kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor dan

Kabupaten Cianjur. Kecamatan yang termasuk dalam wilayah Puncak tersebut

adalah :

1. Ciawi, Kabupaten Bogor

2. Megamendung, Kabupaten Bogor

Page 52: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

38

Universitas Indonesia

3. Cisarua, Kabupaten Bogor

4. Cipanas, Kabupaten Cianjur

5. Cugenang, Kabupaten Cianjur

6. Gekbrong, Kabupaten Cianjur

7. Pacet, Kabupaten Cianjur

8. Warungkondang, Kabupaten Cianjur

Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango merupakan daerah tangkapan air

(catchment area) yang penting untuk kota-kota besar di Jawa Barat dan Jakarta.

Wilayah ini terbagi ke dalam dua daerah aliran sungai (DAS), yaitu DAS Ciliwung

dengan 17 anak sungai di bagian barat (Bogor), DAS Citarum dengan 20 anak

sungai di bagian timur (Cianjur) (Roni, 2011).

Adapun peta kondisi topografi di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

dapat dilihat pada Gambar 4.2 di bawah ini.

Gambar 4.2 Kondisi topografi di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Page 53: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

39

Universitas Indonesia

4.1.2 Perkebunan Teh

Gambar 4.3 Perkebunan teh

Terdapat enam perkebunan teh di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

yang berada dalam daerah administrasi Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur.

Di dalam Kabupaten Bogor terdapat dua perkebunan teh, yaitu perkebunan teh

Gunung Mas dan perkebunan teh Ciliwung. Sedangkan di dalam Kabupaten Cianjur

empat perkebunan teh, yaitu perkebunan teh Ciseureuh, perkebunan teh Maleber,

perkebunan teh Pasir Sarongge dan perkebunan teh Gedeh.

Perkebunan teh Ciliwung terletak di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan

Megamendung. Sebagian besar terletak di Kecamatan Cisarua dan sebagian kecil

terletak di Kecamatan Megamendung. Perkebunan teh Gunung Mas terletak di

Kecamatan Cisarua, Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Ciawi. Sebagian

Page 54: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

40

Universitas Indonesia

besar terletak di Kecamatan Cisarua dan sebagian kecil terletak di Kecamatan

Ciawi. Perkebunan teh Ciliwung dan perkebunan teh Gunung Mas dilalui oleh Jalan

Raya Puncak-Cianjur.

Perkebunan teh Ciseureuh terletak di Kecamatan Cipanas. Perkebunan teh

Maleber dan perkebunan teh Pasir Sarongge terletak di Kecamatan Pacet, kedua

perkebunan teh ini memiliki luas perkebunan yang kecil dibandingkan dengan luas

perkebunan teh yang lain di wilayah Puncak. Perkebunan teh Gedeh terletak di

Kecamatan Cugenang, Kecamatan Warungkondang dan Kecamatan Gekbrong.

Sebagian besar perkebunan teh Gedeh terletak di Kecamatan Cugenang dan

sebagian kecil terletak di Kecamatan Gekbrong.

4.2 Wilayah Ketinggian

Berdasarkan data ketinggian yang diperoleh dari Badan Informasi

Geospasoal skala 1:25.000 bahwa wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

mempunyai ketinggian antara kurang dari 1.000 mdpl hingga lebih dari 2.400 mdpl.

Wilayah ketinggian di Puncak ini diklasifikasi menjadi empat kelas wilayah

ketinggian.

Gambar 4.4 Grafik wilayah ketinggian di Puncak Gunung Gede Pangrango

[Sumber : Pengolahan Data, 2014]

2% 9%

38%

51%

Wilayah Ketinggian

> 2.400 mdpl

1.700 - 2.400 mdpl

1.000 - 1.700 mdpl

< 1.000 mdpl

Page 55: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

41

Universitas Indonesia

Wilayah ketinggian kurang dari 1.000 mdpl mempunyai luas sekitar

22.996,65 ha atau sebesar 51 % dari luas keseluruhan wilayah Puncak. Selanjutnya,

wilayah ketinggian 1.000 - 1.700 mdpl mempunyai luas sekitar 17.088,40 ha atau

dengan persentase sebesar 38 %. Sedangkan wilayah ketinggian 1.700 - 2.400 mdpl

mempunyai luas sekitar 4.081,08 ha atau sebesar 9 % dari luas keseluruhan wilayah

Puncak. Wilayah ketinggian lebih dari 2.400 mdpl mempunyai luas sekitar 1.136,82

ha atau dengan persentase sebesar 2 %.

Dengan demikian berdasarkan luasnya, wilayah ketinggian di Puncak

didominasi oleh wilayah ketinggian kurang dari 1.000 mdpl sedangkan wilayah

ketinggian dengan luas terkecil adalah wilayah ketinggian lebih dari 2.400 mdpl.

Gambar 4.5 Wilayah ketinggian di Puncak Gunung Gede Pangrango

4.3 Kondisi Iklim

Secara umum wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango berada di dataran

tinggi atau pegunungan sehingga membuat suhu udara di daerah ini cukup sejuk

yaitu dengan suhu udara berkisar antara 15 oC - 28,5 oC dengan kondisi curah hujan

berbeda-beda di setiap bulannya. Dengan begitu kondisi iklim ini dapat

mempengaruhi sektor pertanian dan perkebunan di wilayah Puncak.

Page 56: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

42

Universitas Indonesia

Tabel 4.1 Curah hujan dan suhu udara di Stasiun Meteorologi Citeko tahun 2011

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOV DES

Curah

Hujan

(mm)

389,2 263,4 223,4 215,6 175,1 140,7 38,9 8,8 57,4 254,6 394,5 251,8

Suhu

Udara

(oC)

20,4 20,9 21,1 21,3 21,5 21,3 20,9 21,1 21 21,9 21,1 21,5

[Sumber : BMKG]

Pada dapat terlihat kondisi curah hujan dan suhu udara yang terjadi di wilayah

Puncak Gunung Gede Pangrango pada tahun 2011. Jumlah curah hujan tertinggi

terdapat pada bulan November yaitu sebesar 394,5 mm, sedangkan jumlah curah

hujan terendah terdapat pada bulan Agustus yaitu sebesar 8,8 mm. Suhu udara

bulanan tertinggi terdapat pada bulan Mei dan Desember yaitu sebesar 21,5 oC,

sedangkan suhu udara bulanan terendah terdapat pada bulan Januari yaitu sebesar

20,4 oC.

4.4 Penggunaan Tanah

Penggunaan tanah merupakan indikator dari aktivitas manusia di suatu

tempat, maka penggunaan tanah dikatakan sebagai petunjuk tentang kondisi

masyarakat di suatu tempat. Makin meningkat jumlah penduduk serta

kebutuhannya maka kebutuhan akan suatu tempat/tanah untuk pelaksanaan

kegiatan dalam memenuhi kebutuhan tersebut menjadi meningkat (Sandy, 1982).

Penggunaan tanah di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango menunjukan jenis

beragam dan terbagi ke dalam jenis penggunaan tanah badan air, semak belukar,

pemukiman, perkebunan, tanah kososng, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegalan

dan hutan dengan luas dalam ha.

Page 57: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

43

Universitas Indonesia

Gambar 4.6 Penggunaan tanah di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Gambar 4.7 Grafik luas penggunaan tanah di wilayah Puncak Gunung Gede

Pangrango

[Sumber : Pengolahan Data, 2014]

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

BadanAir

SemakBelukar

Pemukiman

Perkebunan

TanahKosong

SawahIrigasi

SawahTadahHujan

Tegalan Hutan

Luas (ha) 45,90 5.615,89 4.707,48 8.125,38 657,25 4.620,45 5.070,84 6.133,37 10.326,2

Page 58: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

44

Universitas Indonesia

Grafik penggunaan tanah pada Gambar 4.7 di atas menjelaskan bahwa

penggunaan tanah terluas di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango adalah

penggunaan tanah hutan yaitu sebesar 10.326,2 ha. Penggunaan tanah hutan terletak

di sebelah barat dan utara wilayah Puncak. Penggunaan tanah badan air dan tanah

kosong memiliki luas terkecil diantara penggunaan tanah lainnya yaitu hanya

657,25 ha untuk tanah kosong dan 45,90 untuk badan air.

Pada penggunaan tanah perkebunan, terlihat bahwa perkebunan di wilayah

Puncak memiliki luas sebesar 8.125,38 ha yang tersebar merata di utara, selatan,

timur dan barat dalam wilayah Puncak. Namun perkebunan lebih banyak tersebar

di utara dan selatan wilayah Puncak. Penggunaan tanah perkebunan terluas terdapat

di kecamatan Cugenang yaitu sebesar 1.792,96 ha sedangkan penggunaan tanah

perkebunan terkecil terdapat pada kecamatan Pacet yaitu sebesar 244,37 ha (lihat

Tabel 4.2).

Page 59: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

45

Universitas Indonesia

Tab

el 4

.2 L

uas

pen

ggunaa

n t

anah

pad

a se

tiap

kec

amat

an

Lu

as

Pen

ggu

naan

Tan

ah

Pad

a K

ecam

ata

n (

ha)

Hu

tan

1.7

13,5

3

2.5

20,2

2

1.7

86,7

4

2.0

72,8

3

270,9

3

1.1

87,5

0

159,2

0

615,2

8

[Sum

ber

: P

engola

han

Dat

a, 2

014]

Teg

ala

n

356,6

0

1.7

08,8

8

1.1

18,1

8

1.0

39,5

0

718,6

0

508,7

9

389,5

0

293,3

2

Saw

ah

Tad

ah

Hu

jan

674,1

9

331,9

5

847,6

4

356,5

8

504,9

6

965,8

4

1.1

37,5

9

252,0

9

Saw

ah

Irig

asi

66

,66

15

,08

411

,02

1.4

81,6

6

374

,60

437

,42

1.8

34,0

0

Tan

ah

Koso

ng

41,9

0

23,5

2

7,1

2

148,6

7

49,2

4

0,5

9

385,8

1

0,4

1

Per

keb

un

an

748,7

6

1.5

53,9

5

1.4

08,0

3

909,8

8

1.7

92,9

6

871,5

2

244,3

7

595,9

1

Pem

uk

iman

696,9

2

1.0

53,7

8

640,2

3

462,3

7

575,5

5

340,8

8

452,6

3

485,1

1

Sem

ak

Bel

uk

ar

406,3

4

516,5

3

122,9

9

925,5

5

1.8

61,1

1

543,2

5

861,4

8

378,6

3

Bad

an

Air

7,0

7

12,2

8

24,6

1

0,2

8

0,7

8

0,8

8

Kec

am

ata

n

Cia

wi

Cis

aru

a

Meg

am

end

un

g

Cip

an

as

Cu

gen

an

g

Gek

bro

ng

Pace

t

Waru

ngk

on

dan

g

Page 60: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

46

Universitas Indonesia

4.5 Kondisi Kependudukan

Tabel 4.3 Kepadatan penduduk di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Keterangan :

Kecamatan dengan kepadatan penduduk paling tinggi

Kecamatan dengan kepadatan penduduk paling rendah

Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango dalam penelitian ini masuk ke

dalam administrasi Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur yang mempunyai

jumlah penduduk yang berbeda-beda dengan luas wilayah yang berbeda pula di

setiap tempatnya. Luas wilayah paling kecil terdapat pada Kecamatan Ciawi yaitu

sebesar 25,81 km2 sedangkan luas wilayah terbesar terdapat pada Kecamatan

Cugenang yaitu sebesar 76,15 km2. Luas wilayah yang besar tidak menjamin

kepadatan penduduk di daerah tersebut besar karena kepadatan penduduk tidak

hanya dipengaruhi oleh luas wilayah akan tetapi juga oleh banyaknya penduduk di

daerah tersebut.

Jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kecamatan Gekbrong yaitu

sebesar 52.686 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan

Cisarua yaitu sebesar 117.370 jiwa. Jumlah penduduk berbanding lurus dengan luas

Kabupaten Kecamatan

Luas

Wilayah

(km2)

Jumlah

Penduduk

(Jiwa)

Kepadatan

Penduduk

(Jiwa/km2)

Bogor

Ciawi 25,81 108.210 4.193

Cisarua 63,74 117.370 1.841

Megamendung 39,87 101.070 2.535

Cianjur

Cipanas 67,28 107.329 1.595

Cugenang 76,15 102.647 1.348

Gekbrong 50,77 52.686 1.038

Pacet 41,66 99.845 2.397

Warungkondang 45,16 66.642 1.476

Wilayah Puncak 410,44 755.799,00 1.841

[Sumber : BPS, 2013]

Page 61: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

47

Universitas Indonesia

penggunaan tanah pemukiman di daerah tersebut. Luas penggunaan tanah

pemukiman paling kecil terdapat di Kecamatan Gekbrong yaitu sebesar 340,88 ha,

sedangkan luas penggunaan tanah pemukiman paling luas terdapat di Kecamatan

Cisarua yaitu sebesar 1.053,78 ha (lihat Tabel 4.2).

Berdasarkan kepadatan penduduk di wilayah Puncak, kecamatan dengan

kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Ciawi yaitu sebesar 4.193

jiwa/km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 108.210 jiwa dan luas wilayah sebesar

25,81 km2. Ini berarti bahwa dalam luas 1 km2 didiami oleh penduduk sebanyak

4.193 jiwa. Sedangkan kecamatan yang mempunyai nilai kepadatan terendah

terdapat di Kecamatan Gekbrong yaitu sebesar 1.038 jiwa/km2 dengan jumlah

penduduk sebanyak 52.686 jiwa dan luas wilayah sebesar 50,77 km2. Ini berarti

bahwa dalam luas 1 km2 didiami oleh penduduk sebanyak 1.038 jiwa. Kepadatan

penduduk di wilayah Puncak adalah sebesar 1.841 jiwa/km2.

4.6 Kondisi Sosial

Mata pencaharian penduduk Kabupaten Bogor yang bekerja di sektor

pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan sebanyak 13,36 %, industri

pengolahan sebanyak 28,86 %, perdagangan, rumah makan dan hotel mencapai

25,63 %, jasa kemasyarakatan sebanyak 13,74 %, dan lainnya meliputi

pertambangan dan penggalian, listrik, gas & air, bangunan, angkutan, pergudangan

dan komunikasi, keuangan, asuransi, persewaan dan jasa perusahaan mencapai

18,42 %. Dengan demikian sektor industri pengolahan paling mendominasi

penyerapan tenaga kerja (mata pencaharian penduduk) terbesar dan disusul oleh

sektor perdagangan. Sektor pertanian/perkebunan memiliki persentase paling

sedikit dalam penyerapan tenaga kerja (mata pencaharian penduduk) yaitu hanya

sebesar 13,36 % (lihat Tabel 4.4).

Mata pencaharian penduduk Kabupaten Cianjur yang bekerja di sektor

pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan sebanyak 44,94 %, industri

pengolahan sebanyak 7,98 %, perdagangan, rumah makan dan hotel mencapai

19,61 %, jasa kemasyarakatan sebanyak 13,58 %, dan lainnya meliputi

pertambangan dan penggalian, listrik, gas & air, bangunan, angkutan, pergudangan

dan komunikasi, keuangan, asuransi, persewaan dan jasa perusahaan mencapai

Page 62: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

48

Universitas Indonesia

13,89 %. Dengan demikian sektor pertanian/perkebunan, kehutanan, perburuan,

dan perikanan paling mendominasi penyerapan tenaga kerja (mata pencaharian

penduduk) terbesar. Umumnya penduduk di Kabupaten Cianjur bekerja sebagai

petani dan peternak. Sektor industri pengolahan memiliki persentase paling sedikit

dalam penyerapan tenaga kerja (mata pencaharian penduduk) yaitu hanya sebesar

7,98 % (lihat Tabel 4.4).

Tabel 4.4 Mata pencaharian penduduk dalam berbagai sektor

Mata Pencaharian

Penduduk (Sektor)

Kabupaten Bogor Kabupaten Cianjur

Jumlah

(jiwa)

Persentase

(%)

Jumlah

(jiwa)

Persentase

(%)

Pertanian, Kehutanan,

Perburuan, dan Perikanan 266.492 13,36 404.273 44,94

Industri Pengolahan 575.770 28,86 71.811 7,98

Perdagangan Besar, Eceran,

Rumah Makan, dan Hotel 511.351 25,63 176.348 19,61

Jasa Kemasyarakatan 274.020 13,74 122.130 13,58

Lainnya (Pertambangan

dan Penggalian, Listrik,

Gas & Air, Bangunan,

Angkutan, Pergudangan,

dan Komunikasi,

Keuangan, Asuransi, Usaha

Persewaan Bangunan,

Tanah dan Jasa Perusahaan)

367.399 18,42 124.940 13,89

[Sumber : BPS, 2013]

Page 63: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

49

Universitas Indonesia

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Perubahan Iklim

5.1.1 Curah Hujan

Perubahan iklim yang terjadi di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

dapat dilihat dari adanya perubahan curah hujan. Hal ini dikarenakan perubahan

curah hujan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui adanya

perubahan iklim. Berdasarkan pengamatan curah hujan di lima Stasiun Meteorologi

yang terdapat pada Tabel 3.2 dan dilakukan interpolasi untuk mendapatkan wilayah

persebarannya, bahwa wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango telah mengalami

perubahan persebaran curah hujan secara spasial dari periode 1, periode 2 hingga

periode 3.

Gambar 5.1 Persebaran curah hujan di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa terdapat perubahan persebaran curah hujan

di wilayah Puncak dari periode 1 hingga periode 3. Periode 1 memiliki persebaran

curah hujan yang berkisar antara (2.750 - 3.000) mm/tahun sampai (3.250 - 3.500)

mm/tahun, persebaran curah hujan didominasi oleh curah hujan sebesar (3000 -

3250) mm/tahun. Periode 2 memiliki persebaran curah hujan yang berkisar antara

(2.750 - 3.000) mm/tahun sampai (3.250 - 3.500) mm/tahun, persebaran curah hujan

Page 64: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

50

Universitas Indonesia

didominasi oleh curah hujan sebesar (3000 - 3250) mm/tahun. Sedangkan periode

3 memiliki persebaran curah hujan yang berkisar antara (2.500 - 2750) mm/tahun

sampai (3000 - 3250) mm/tahun, persebaran curah hujan didominasi oleh curah

hujan sebesar (2750 - 3000) mm/tahun. Jika dilihat dari peta persebaran curah hujan

periode 1 hingga periode 3, maka telah terjadi penurunan intensitas curah hujan

selama 30 tahun di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.

Berdasarkan pengamatan curah hujan di Stasiun Meteorologi Citeko yang

berada di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, terdapat tren penurunan curah

hujan yang dilihat dari parameter curah hujan tahunan, curah hujan pada musim

hujan dan curah hujan pada musim kemarau. Perubahan tren pada parameter curah

hujan tahunan ini kemudian dilakukan interpolasi untuk mendapatkan wilayah

persebarannya yang diambil dari lima Stasiun Meteorologi yang terdapat pada

Tabel 3.2.

1. Curah Hujan Tahunan

Tren curah hujan tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukkan variasi

sebesar 1.500 mm, curah hujan tahunan tertinggi terjadi pada tahun 1999 mencapai

4.111 mm dan terendah pada tahun 1997 sebesar 2.619 mm. Atas dasar variasi

tersebut, curah hujan tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukan

kecenderungan (tren) penurunan sebesar 8,3 mm per tahun, seperti yang

diperlihatkan pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2 Tren curah hujan tahunan St. Citeko

y = -8,304x + 3430

2.500

2.700

2.900

3.100

3.300

3.500

3.700

3.900

4.100

4.300

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Page 65: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

51

Universitas Indonesia

2. Curah Hujan Musim Hujan

Tren curah hujan musim hujan (Oktober-Maret) di Stasiun Meteorologi

Citeko menunjukkan variasi sebesar 1.200 mm, curah hujan musim hujan tertinggi

terjadi pada tahun 1999 mencapai 2.964 mm dan terendah pada tahun 2000 sebesar

1.757 mm. Atas dasar variasi tersebut, curah hujan musim hujan di Stasiun

Meteorologi Citeko menunjukan kecenderungan (tren) penurunan sebesar 0,67 mm

per tahun, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.3.

Gambar 5.3 Tren curah hujan musim hujan St. Citeko

3. Curah Hujan Musim Kemarau

Tren curah hujan musim kemarau (April-September) di Stasiun Meteorologi

Citeko menunjukkan variasi sebesar 1.100 mm, curah hujan musim kemarau

tertinggi terjadi pada tahun 1984 mencapai 1.650 mm dan terendah pada tahun 1994

sebesar 512 mm. Atas dasar variasi tersebut, curah hujan musim kemarau di Stasiun

Meteorologi Citeko menunjukan kecenderungan (tren) penurunan sebesar 7,63 mm

per tahun, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.4.

y = -0,673x + 2323

1.700

1.900

2.100

2.300

2.500

2.700

2.900

3.100

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Page 66: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

52

Universitas Indonesia

Gambar 5.4 Tren curah hujan musim kemarau St. Citeko

4. Penurunan Curah Hujan di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Penurunan curah hujan di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

didominasi oleh penurunan curah hujan sebesar 12 - 14 mm/tahun. Penurunan curah

hujan terkecil yaitu kurang dari 10 mm/tahun terletak di sebelah barat daya wilayah

Puncak, pada wilayah ini memiliki ketinggian tertinggi di wilayah Puncak.

Sedangkan penurunan curah hujan terbesar yaitu lebih dari 16 mm/tahun terletak di

sebelah utara wilayah Puncak, wilayah ini dekat dengan wilayah administrasi Kota

Bogor dan berada jauh dengan puncak Gunung Gede-Pangrango. Semakin ke arah

utara wilayah Puncak maka penurunan curah hujan akan semakin tinggi, seperti

diperlihatkan pada Gambar 5.5.

y = -7,630x + 1106

400

600

800

1.000

1.200

1.400

1.600

1.800

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

Page 67: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

53

Universitas Indonesia

Gambar 5.5 Penurunan curah hujan di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

5.1.2 Suhu Udara

Perubahan iklim yang terjadi di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

dapat dilihat dari adanya perubahan suhu udara. Hal ini dikarenakan perubahan

suhu udara dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui adanya

perubahan iklim. Berdasarkan pengamatan suhu udara di lima Stasiun Meteorologi

yang terdapat pada Tabel 3.2 dan dilakukan interpolasi untuk mendapatkan wilayah

persebarannya, bahwa wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango telah mengalami

perubahan persebaran suhu udara secara spasial dari periode 1, periode 2 hingga

periode 3.

Page 68: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

54

Universitas Indonesia

Gambar 5.6 Persebaran suhu udara di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Pada Gambar 5.6 terlihat bahwa terdapat perubahan pola persebaran suhu

udara di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango dari periode 1 hingga periode 3.

Periode 1 memiliki persebaran suhu udara yang didominasi oleh suhu udara sebesar

20 - 22,5 oC. Periode 2 memiliki persebaran suhu udara yang didominasi oleh suhu

udara sebesar 22,5 - 25 oC. Sedangkan periode 3 memiliki persebaran suhu udara

yang juga didominasi oleh suhu udara sebesar 22,5 - 25 oC. Antara periode 2 dan 3

memiliki perbedaan, yaitu terlihat pada persebaran suhu udara 20 - 22,5 oC lebih

luas terdapat pada periode 2 dibandingkan dengan periode 3. Jika dilihat dari peta

persebaran suhu udara periode 1 hingga periode 3, maka telah terjadi peningkatan

suhu udara selama 30 tahun di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.

Berdasarkan pengamatan suhu udara di Stasiun Meteorologi Citeko yang

berada di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, terdapat tren penurunan suhu

udara yang dilihat dari parameter suhu udara rata-rata tahunan, suhu udara

maksimum absolut tahunan dan suhu udara minimum absolut tahunan. Perubahan

tren pada parameter suhu udara tahunan ini kemudian dilakukan interpolasi untuk

mendapatkan wilayah persebarannya yang diambil dari lima Stasiun Meteorologi

yang terdapat pada Tabel 3.2.

Page 69: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

55

Universitas Indonesia

1. Suhu Udara Rata-Rata Tahunan

Dari data tahun 1981-2010, suhu rata-rata tahunan di Stasiun Meteorologi

Citeko menunjukkan variasi sebesar 1,5 ºC, suhu udara rata-rata tertinggi tercatat

pada tahun 1987 sebesar 22,2 ºC dan suhu udara rata-rata terendah terjadi pada

tahun 1993 sebesar 20,7 ºC. Atas dasar variasi tersebut, suhu udara rata-rata tahunan

di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukan kecenderungan (tren) peningkatan

sebesar 0,004 ºC per tahun, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.7.

Gambar 5.7 Tren suhu udara rata-rata tahunan St. Citeko

2. Suhu Udara Maksimum Absolut Tahunan

Suhu udara maksimum absolute tahunan adalah nilai suhu maksimum harian

paling rendah dalam satu tahun (BMKG, 2012). Dari data tahun 1981-2010, suhu

udara maksimum absolut tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukkan

variasi sebesar 1,5 ºC, suhu udara maksimum absolut tertinggi tercatat pada tahun

2006 sebesar 28,5 ºC dan suhu udara maksimum absolut terendah terjadi pada tahun

1985 sebesar 26,9 ºC. Atas dasar variasi tersebut, suhu udara maksimum absolut

tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukan kecenderungan (tren)

peningkatan sebesar 0,04 ºC per tahun, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.8.

y = 0,0049x + 21,138

19,5

20,0

20,5

21,0

21,5

22,0

22,5

Suh

u (

de

raja

t C

elc

ius)

Page 70: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

56

Universitas Indonesia

Gambar 5.8 Tren suhu udara maksimum absolut tahunan St. Citeko

3. Suhu Udara Minimum Absolut Tahunan

Suhu udara minimum absolute tahunan adalah nilai suhu minimum harian

paling rendah dalam satu tahun (BMKG, 2012). Dari data tahun 1981-2010, suhu

udara minimum absolut tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukkan

variasi sebesar 3,3 ºC, suhu udara minimum absolut tertinggi tercatat pada tahun

2009 sebesar 18,3 ºC dan suhu udara minimum absolut terendah terjadi pada tahun

2002 sebesar 15 ºC. Atas dasar variasi tersebut, suhu udara minimum absolut

tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukan kecenderungan (tren)

peningkatan sebesar 0,04 ºC per tahun, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.9.

y = 0,0401x + 27,042

26,0

26,5

27,0

27,5

28,0

28,5

29,0

Suh

u (

de

raja

t C

elc

ius)

Page 71: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

57

Universitas Indonesia

Gambar 5.9 Tren suhu udara minimum absolut tahunan St. Citeko

4. Persebaran Tren Suhu Udara Tahunan

Peningkatan suhu udara di wilayah Puncak didominasi oleh peningkatan suhu

udara sebesar kurang dari 0,02 ºC yang terletak di sebelah barat daya wilayah

Puncak, pada wilayah ini terdapat puncak Gunung Gede-Pangrango yang memiliki

ketinggian tertinggi di wilayah Puncak. Sedangkan peningkatan suhu udara terbesar

yaitu lebih besar dari 0,08 ºC terletak di ujung sebelah utara dan ujung sebelah

selatan wilayah Puncak, wilayah ini berada jauh dengan puncak Gunung Gede-

Pangrango. Semakin ke arah utada dan selatan wilayah Puncak maka peningkatan

suhu udara akan semakin tinggi, seperti diperlihatkan pada Gambar 5.10.

y = 0,0369x + 15,525

15

15,5

16

16,5

17

17,5

18

18,5

Suh

u (

de

raja

t C

elc

ius)

Page 72: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

58

Universitas Indonesia

Gambar 5.10 Peningkatan suhu udara di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

5.2 Nilai Kerentanan

1. Penurunan Curah Hujan

Dalam mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel penurunan curah

hujan digunakan rumus 3.1. Perhitungan nilai penurunan curah hujan tertinggi dan

terendah di wilayah Puncak dapat dilihat pada Lampiran 3. Sehingga didapatkan

klasifikasi penurunan curah hujan sebagai berikut :

Kerentanan Rendah : 8-12 mm

Kerentanan Sedang : 12-16 mm

Kerentanan Tinggi : 16-20 mm

2. Peningkatan Suhu Udara

Dalam mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel peningkatan suhu

udara digunakan rumus 3.2. Perhitungan nilai peningkatan suhu udara tertinggi dan

terendah di wilayah Puncak dapat dilihat pada Lampiran 3. Sehingga didapatkan

klasifikasi peningkatan suhu udara sebagai berikut :

Page 73: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

59

Universitas Indonesia

Kerentanan Rendah : 0,004-0,04 oC

Kerentanan Sedang : 0,04-0,07 oC

Kerentanan Tinggi : 0,07-0,1 oC

3. Luas Lahan

Dalam mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel luas lahan

digunakan rumus 3.3. Sehingga diperoleh interval luas lahan sebesar :

Interval =1012,05 − 61,94

3= 316,7

Maka klasifikasi luas lahan adalah sebagai berikut :

Kerentanan Rendah : 62-380 ha

Kerentanan Sedang : 380-700 ha

Kerentanan Tinggi : 700-1012 ha

4. Intensitas Serangan Hama dan Penyakit

Dalam menghitung besarnya intensitas serangan hama dan penyakit adalah

dengan menggunakan rumus 3.4. Klasifikasi nilai kerentanan pada variabel

intensitas serangan hama dan penyakit adalah dengan melakukan wawancara

dengan informan kunci sehingga diperoleh klasifikasi sebagai berikut :

Kerentanan Rendah : < 15 %

Kerentanan Sedang : 15-30 %

Kerentanan Tinggi : > 30 %

5. Jenis Tanah

Klasifikasi nilai kerentanan pada variabel jenis tanah adalah dengan melihat

lieratur yang ditulis oleh Effendi dkk (2010) sehingga diperoleh klasifikasi sebagai

berikut :

Kerentanan Rendah : Andisol

Kerentanan Sedang : Latosol dan Podzolik

Kerentanan Tinggi : Selain jenis tanah (Andisol, Latosol dan Podzolik)

6. Jenis Tanaman Teh

Klasifikasi nilai kerentanan pada variabel jenis tanaman teh adalah dengan

melakukan wawancara dengan informan kunci sehingga diperoleh klasifikasi

sebagai berikut :

Kerentanan Rendah : TRI (Tea Research Institute)

Kerentanan Sedang : GMB (Gambung)

Page 74: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

60

Universitas Indonesia

7. Ketinggian

Klasifikasi nilai kerentanan pada variabel ketinggian adalah dengan melihat

lieratur yang ditulis oleh Effendi dkk (2010) sehingga diperoleh klasifikasi sebagai

berikut :

Kerentanan Rendah : 800-1.200 mdpl

Kerentanan Sedang : 400-800 mdpl dan 1.200-1.500 mdpl

Kerentanan Tinggi : < 400 mdpl dan > 1.500 mdpl

8. Pemeliharaan Teh

Klasifikasi nilai kerentanan pada variabel pemeliharaan teh adalah dengan

melakukan wawancara dengan informan kunci sehingga diperoleh klasifikasi

sebagai berikut :

Tabel 5.1 Klasifikasi pemeliharaan teh

Tingkat

Kerentanan Kriteria

Bahan

Pestisida

Intensitas

Pemupukan

Kerentanan

Rendah Baik

Kimiawi < 3 bulan

Kimiawi 3-6 bulan

Kerentanan

Sedang Cukup

Kimiawi > 6 bulan

Biologis < 3 bulan

Kerentanan

Tinggi Kurang

Biologis 3-6 bulan

Biologis > 6 bulan

[Sumber : Survei Lapang, 2014]

9. Pendapatan Perusahaan

Dalam mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel pendapatan

perusahaan digunakan rumus 3.4. Sehingga diperoleh interval pendapatan

perusahaan sebesar :

Interval =30.000.000 − 12.000.000

3= 6.000.000

Maka klasifikasi pendapatan perusahaan adalah sebagai berikut :

Kerentanan Rendah : Rp 24.000.000,00 - Rp 30.000.000,00

Kerentanan Sedang : Rp 18.000.000,00 - Rp 24.000.000,00

Kerentanan Tinggi : Rp 12.000.000,00 - Rp 18.000.000,00

Page 75: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

61

Universitas Indonesia

10. Teknologi Pengolahan

Klasifikasi nilai kerentanan pada variabel teknologi pengolahan adalah

dengan melakukan wawancara dengan informan kunci sehingga diperoleh

klasifikasi sebagai berikut :

Kerentanan Rendah : Modern

Kerentanan Sedang : Tradisional

Kerentanan Tinggi : Tidak Ada Pengolahan

Kriteria dan skor pada setiap variabel kerentanan adalah sebagai berikut :

Tabel 5.2 Kriteria dan skor pada setiap variabel kerentanan

Faktor Variabel Kriteria Skor

Keterpaparan

Penurunan

Curah Hujan

(mm/tahun)

< 12 1

12 - 16 2

> 16 3

Peningkatan

Suhu Udara

(°C/tahun)

< 0,04 1

0,04-0,07 2

> 0,07 3

Luas Lahan

(ha)

< 380 1

380 - 700 2

> 700 3

Intensitas

Serangan

Hama &

Penyakit (%)

< 15 1

15 - 30 2

> 30 3

Sensitivitas

Jenis Tanah

Andisol 1

Latosol dan Podzolik 2

Selain jenis tanah (Andisol,

Latosol dan Podzolik) 3

Jenis

Tanaman Teh

TRI 1

GMB 2

Ketinggian

(mdpl)

800 - 1200 1

400 - 800 dan 1200 - 1500 2

< 400 dan > 1500 3

Page 76: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

62

Universitas Indonesia

Kapasitas

Adaptasi

Pemeliharaan

Teh

Kurang 3

Cukup 2

Baik 1

Pendapatan

Perusahaan

(rupiah/ha)

< Rp 18.000.000,00 3

Rp 18.000.000,00 - Rp

24.000.000,00 2

> Rp 24.000.000,00 1

Teknologi

Pengolahan

Tidak ada pengolahan 3

Tradisional 2

Modern 1 [Sumber : Wawancara dan studi literatur]

5.3 Variabel Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim

Wilayah Puncak merupakan wilayah yang terkenal dengan perkebunan

tehnya. Namun adanya perubahan iklim tentunya akan mengganggu perkebunan teh

di wilayah Puncak. Seberapa besarnya pengaruh perubahan iklim bagi perkebunan

teh akan terlihat dari kerentanan perkebunan teh itu sendiri terhadap perubahan

iklim yang diukur berdasarkan variabel-variabel dari perkebunan teh yang

mempunyai kaitan dengan perubahan iklim.

Penelitian ini menggunakan konsep kerentanan yang terdiri dari keterpaparan

(exposure), sensitivitas (sensitivity) dan kapasitas adaptasi (adaptive capacity).

Setiap dimensi kerentanan tersebut mempunyai berbagai variabel, yaitu

keterpaparan terdiri dari penurunan curah hujan, peningkatan suhu udara, luas

lahan, dan intensitas serangan hama dan penyakit. Sensitivitas terdiri dari jenis

tanah, jenis tanaman teh, dan ketinggian. Dan kapasitas adaptasi terdiri dari

pemeliharaan teh, pendapatan perusahaan, dan teknologi pengolahan.

5.3.1 Keterpaparan

a. Penurunan Curah Hujan

Perkebunan teh sangat memerlukan banyak asupan air untuk

pertumbuhannya, jika jumlah curah hujan sedikit maka pertumbuhan tanaman teh

akan terganggu dan tidak maksimal sehingga menyebabkan rendahnya hasil

produksi teh. Perkebunan teh di wilayah Puncak mengalami penurunan curah hujan

yang berpotensi menurunkan hasil produksi teh.

Page 77: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

63

Universitas Indonesia

Gambar 5.11 Penurunan curah hujan di daerah penelitian

Pada Gambar 5.11 terlihat bahwa penurunan curah hujan di daerah penelitian

terdiri dari dua kriteria, yaitu kurang dari 12 mm/tahun dan 12 - 16 mm/tahun.

Perkebunan teh di wilayah Puncak sebagian besar mengalami penurunan curah

hujan sebesar kurang dari 12 mm/tahun, dan sebagian kecil mengalami penurunan

curah hujan sebesar 12 – 16 mm/tahun. Perkebunan teh yang mengalami penurunan

curah hujan sebesar 12 – 16 mm/tahun terletak di sebelah timur daerah penelitian.

b. Peningkatan Suhu Udara

Perkebunan teh membutuhkan suhu udara yang cocok untuk

pertumbuhannya. Jika suhu udara diatas 30 oC maka pertumbuhan tanaman teh akan

terhambat, begitu juga sebaliknya jika suhu udara dibawah 10 oC maka

pertumbuhan tanaman teh juga akan terhambat karena suhu udara terlalu dingin dan

Page 78: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

64

Universitas Indonesia

akan menimbulkan banyak penyakit pada tanaman teh. Perkebunan teh di wilayah

Puncak mengalami peningkatan suhu udara yang berpotensi menghambat

pertumbuhan tanaman teh sehingga hasil produksi semakin berkurang.

Gambar 5.12 Peningkatan suhu udara di daerah penelitian

Pada Gambar 5.12 terlihat bahwa peningkatan suhu udara di daerah penelitian

terdiri dari dua kriteria, yaitu kurang dari 0,04 (oC/tahun) dan 0,04 – 0,07

(oC/tahun). Sebagian besar perkebunan teh di wilayah Puncak mengalami

peningkatan suhu udara sebesar kurang dari 0,04 (oC/tahun). Pada peningkatan suhu

udara sebesar 0,04 – 0,07 (oC/tahun) terletak di sebelah timur daerah penelitian.

c. Luas Lahan

Luas lahan perkebunan berkontribusi terhadap aktivitas perkebunan teh di

wilayah Puncak. Lahan perkebunan yang luas akan memiliki produksi teh yang

Page 79: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

65

Universitas Indonesia

lebih banyak. Namun apabila lahan perkebunan terganggu, semakin luas lahan

perkebunan akan semakin banyak pula kerugian yang akan ditanggung perusahaan.

Oleh karena itu lahan perkebunan yang semakin luas akan semakin rentan terhadap

gangguan seperti perubahan iklim dan berpotensi menurunkan hasil produksi.

Gambar 5.13 Luas lahan di daerah penelitian

Lahan perkebunan teh di wilayah Puncak memiliki luas yang beragam.

Perkebunan teh yang memiliki luas kurang dari 380 ha diantaranya adalah

perkebunan teh Maleber dan Pasir Sarongge. Perkebunan teh yang memiliki luas

380 – 700 ha diantaranya adalah perkebunan teh Ciliwung dan Ciseureuh.

Perkebunan teh yang memiliki intensitas lebih dari 700 ha diantaranya adalah

perkebunan teh Gedeh dan Gunung Mas. Perkebunan teh milik negara yaitu

Page 80: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

66

Universitas Indonesia

perkebunan teh Gedeh dan Gunung Mas memiliki luas lahan yang besar

dibandingkan dengan perkebunan teh milik swasta di wilayah Puncak.

d. Intensitas Serangan Hama dan Penyakit

Intensitas serangan hama dan penyakit saling berhubungan dengan perubahan

iklim yang terjadi. Jika intensitas curah hujan di perkebunan teh sangat tinggi maka

intensitas serangan hama dan penyakit pun sangat tinggi. Jika intensitas curah hujan

di perkebunan teh rendah maka intensitas serangan hama dan penyakit pun rendah

namun curah hujan yang rendah dapat berpotensi terganggunya pertumbuhan

tanaman teh.

Gambar 5.14 Intensitas serangan hama dan penyakit di daerah penelitian

Intensitas serangan hama dan penyakit di daerah penelitian sangat bervariasi.

Perkebunan teh yang memiliki intensitas kurang dari 15 % diantaranya adalah

Page 81: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

67

Universitas Indonesia

perkebunan teh Ciliwung, Maleber dan Pasir Sarongge. Perkebunan teh yang

memiliki intensitas 15 % - 30 % diantaranya adalah perkebunan teh Ciseureuh dan

Gedeh. Perkebunan teh yang memiliki intensitas lebih dari 30 % adalah perkebunan

teh Gunung Mas.

5.3.2 Sensitivitas

a. Jenis Tanah

Perkebunan teh membutuhkan tanah yang serasi untuk pertumbuhan tanaman

teh. Tanah yang serasi adalah tanah yang subur, banyak mengandung bahan

organik, tidak terdapat cadas dengan derajat keasaman 4,5 – 5,6. Tanah yang baik

untuk pertanaman teh terletak di lereng-lereng gunung berapi dinamakan tanah

Andisol. Tanah ini mempunyai kedalaman efektif dan berstruktur remah lebih dari

40 cm sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan akar tanaman teh. Tanah yang

serasi dapat bertahan jika terjadi curah hujan yang tinggi karena tanah ini dapat

menyerap air secara maksimal.

Page 82: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

68

Universitas Indonesia

Gambar 5.15 Jenis tanah di daerah penelitian

Pada Gambar 5.15 terlihat bahwa terdapat dua jenis tanah di daerah penelitian

yaitu jenis tanah Andisol dan jenis tanah Latosol. Sebagian besar perkebunan teh

berjenis tanah Andisol sedangkan sebagian kecil perkebunan teh berjenis tanah

Latosol. Perkebunan teh yang berjenis tanah Andisol diantaranya adalah

perkebunan teh Gedeh, Gunung Mas, Maleber, Pasir Sarongge, sebagian Ciliwung

dan sebagian Ciseureh. Sedangkan jenis tanah Latosol terdapat di sebagian

perkebunan teh Ciliwung dan Ciseureuh. Jenis tanah andisol umumnya terletak

dekat dengan Gunung Gede-Pangrango dan berada pada ketinggian diatas 1.000

mdpl.

Page 83: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

69

Universitas Indonesia

b. Jenis Tanaman Teh

Perkebunan teh memerlukan jenis tanaman teh (klon) yang baik dalam

pertumbuhannya dan juga mampu untuk bertahan dari gangguan perubahan iklim.

Jenis tanaman teh (klon) TRI mampu bertahan dan berproduksi jika terjadi

perubahan iklim. Klon seri TRI ini menghasilkan produksi pucuk yang lebih sedikit

dibandingkan dengan seri GMB, namun seri TRI dapat tumbuh pada suhu udara

yang tinggi maupun rendah.

Gambar 5.16 Jenis tanaman teh di daerah penelitian

Jenis tanaman teh di daerah penelitian terdiri dari dua jenis yaitu klon TRI

(Tea Research Institute) dan klon GMB (Gambung). Perkebunan teh yang

mayoritas tanaman tehnya berjenis TRI diantaranya adalah perkebunan teh

Ciliwung, Gedeh, Gunung Mas dan Maleber. Perkebunan teh yang mayoritas

Page 84: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

70

Universitas Indonesia

tanaman tehnya berjenis GMB diantaranya adalah perkebunan teh Ciseureuh dan

Pasir Sarongge.

c. Ketinggian

Ketinggian tempat sangat berpengaruh terhadap iklim yang terjadi, terutama

pada suhu udara. Semakin tinggi ketinggian perkebunan teh dari permukaan laut

maka semakin rendah suhu udara di perkebunan tersebut. Tanaman teh tidak akan

tumbuh baik pada ketinggian kurang dari 400 mdpl karena suhu udara pada

ketinggian tersebut tinggi sehingga tanaman teh tidak dapat tumbuh dengan baik.

Tanaman teh juga tidak akan tumbuh maksimal jika ketinggian perkebunan teh

lebih dari 1500 mdpl karena suhu udara pada ketinggian tersebut sangat rendah

yang mengakibatkan tanaman teh dapat terserang penyakit embun beku sehingga

pertumbuhan teh terganggu.

Page 85: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

71

Universitas Indonesia

Gambar 5.17 Ketinggian di daerah penelitian

Pada Gambar 5.17 terlihat bahwa ketinggian di daerah penelitian berkisar

antara 800 mdpl – lebih dari 1.500 mdpl. Sebagian besar perkebunan teh berada

pada ketinggian 1.200 mdpl – 1.500 mdpl. Perkebunan teh yang berada di

ketinggian lebih dari 1.500 mdpl adalah sebagian perkebunan teh Ciliwung dan

sebagian kecil dari perkebunan teh Gedeh.

5.3.3 Kapasitas Adaptasi

a. Pemeliharaan Teh

Perusahaan perkebunan teh harus melakukan pemeliharaan yang baik agar

potensi dampak dari perubahan iklim dapat dicegah sehingga tidak mengakibatkan

penurunan produksi yang drastis. Pemeliharaan teh yang baik dapat

Page 86: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

72

Universitas Indonesia

memaksimalkan pertumbuhan tanaman teh sehingga hasil produksinya dapat

meningkat.

Gambar 5.18 Pemeliharaan teh di daerah penelitian

Pemeliharaan teh di daerah penelitian terdiri dari tiga kategori yaitu baik,

cukup dan kurang. Pemeliharaan teh dengan kategori baik terdapat pada

perkebunan teh Ciliwung, Maleber dan Pasir Sarongge. Pemeliharaan teh dengan

kategori cukup terdapat pada perkebunan teh Ciseureuh dan Gedeh. Pemeliharaan

teh dengan kategori kurang terdapat pada perkebunan teh Gunung Mas.

b. Pendapatan Perusahaan

Perubahan iklim dapat diminimalisir dampaknya apabila pendapatan

perusahaan perkebunan teh tinggi. Pendapatan perusahaan yang tinggi dapat

Page 87: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

73

Universitas Indonesia

memenuhi biaya modal produksi dan melakukan persiapan apabila terjadi gangguan

perubahan iklim.

Gambar 5.19 Pendapatan perusahaan di daerah penelitian

Pada gambar diatas, terlihat bahwa perkebunan teh yang memiliki pendapatan

lebih dari Rp 24.000.000,00 (rupiah/ha) adalah perkebunan teh Ciliwung, Maleber

dan Pasir Sarongge. Perkebunan teh yang memiliki pendapatan antara Rp

18.000.000,00 - Rp 24.000.000,00 (rupiah/ha) adalah perkebunan teh Gedeh.

Perkebunan teh yang memiliki pendapatan kurang dari Rp 18.000.000,00

(rupiah/ha) adalah perkebunan teh Ciseureuh dan Gunung Mas.

c. Teknologi Pengolahan

Perkebunan teh memiliki nilai tambah apabila perkebunan ini mempunyai

teknologi pengolahan teh sendiri. Perkebunan teh yang memiliki teknologi

Page 88: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

74

Universitas Indonesia

pengolahan sendiri dapat menghasilkan pendapatan yang lebih besar kepada

perusahaan sehingga potensi dampak yang dihasilkan dari perubahan iklim dapat

diminimalisir.

Gambar 5.20 Teknologi pengolahan di daerah penelitian

Perkebunan teh yang menggunakan teknologi pengolahan modern adalah

perkebunan teh Ciseureuh dan Gunung Mas. Perkebunan teh yang menggunakan

teknologi pengolahan tradisional adalah perkebunan teh Gedeh, Maleber dan Pasir

Sarongge. Perkebunan teh yang tidak memiliki teknologi pengolahan adalah

perkebunan teh Ciliwung.

Page 89: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

75

Universitas Indonesia

5.4 Hasil Pembobotan Menggunakan Metode AHP

Proses metode AHP dalam penelitian ini adalah menentukan peringkat dan

pembobotan variabel kerentanan perkebunan teh. Langkah dari metode AHP yaitu

membuat matriks persepsi dari 3 pakar (informan) yang digunakan dalam penelitian

ini. Persepsi tersebut dijadikan input utama dalam memperoleh bobot dari masing-

masing variabel. Para pakar yang dijadikan informan dalam penelitian ini dapat

dilihat pada Tabel 3.3.

Hasil akhir dalam menghitung bobot adalah dengan menghitung nilai rata-

rata bobot yang terdiri dari persentase informan 1, informan 2 dan informan 3 (lihat

Lampiran 2). Nilai rata-rata bobot pada setiap variabel adalah sebagai berikut :

Tabel 5.3 Persentase bobot rata-rata

Variabel

Persentase Bobot

Informan

1

Informan

2

Informan

3 Rata-Rata

Curah Hujan 11,7% 15,4% 28,7% 18,6%

Suhu Udara 9,6% 8,2% 13,1% 10,3%

Luas Lahan Perkebunan 4,7% 1,7% 4,1% 3,5%

Intensitas Serangan Hama

& Penyakit 5,4% 23,7% 6,8% 12,0%

Jenis Tanah 2,8% 2,7% 1,4% 2,3%

Jenis Tanaman Teh 7,5% 6,9% 2,6% 5,7%

Ketinggian 23,9% 27,1% 23,0% 24,7%

Pemeliharaan Teh 13,7% 8,1% 14,0% 11,9%

Pendapatan Perusahaan 1,2% 4,4% 1,9% 2,5%

Teknologi Pengolahan 19,5% 1,8% 4,5% 8,6%

Jumlah 100%

[Sumber : Pengolahan Data, 2014]

Pada Tabel 5.3 terlihat bahwa variabel yang memiliki nilai bobot tertinggi

adalah variabel ketinggian dengan nilai bobot 24,7%. Artinya bahwa variabel

ketinggian memiliki pengaruh yang paling besar dalam tingkat kerentanan

perkebunan teh. Sedangkan untuk variabel yang memiliki nilai bobot terendah

adalah variabel jenis tanah dengan nilai bobot 2,3%. Artinya bahwa variabel jenis

tanah memiliki pengaruh yang paling kecil dalam tingkat kerentanan perkebunan

teh.

Page 90: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

76

Universitas Indonesia

5.5 Kerentanan Perkebunan Teh

Kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim di wilayah Puncak

Gunung Gede Pangrango diperoleh dari semua variabel yang telah dilakukan

klasifikasi nilai kerentanan kemudian dilakukan pembobotan dengan menggunakan

metode AHP. Pembuatan peta kerentanan diolah dengan menggunakan metode

Weighted Sum dalam perangkat lunak Arcgis 10 sehingga diperoleh hasil sebagai

berikut :

Gambar 5.21 Kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim

di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Pada Gambar 5.21 terlihat bahwa tingkat kerentanan perkebunan teh terhadap

perubahan iklim didominasi oleh tingkat kerentanan sedang (warna kuning).

Persebaran tingkat kerentanan tinggi (warna merah) terletak di sebelah utara

Page 91: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

77

Universitas Indonesia

Gunung Gede-Pangrango dan sebagian kecil terletak di sebelah timur Gunung

Gede-Pangrango.

Tabel 5.4 Luas dan persentase tingkat kerentanan

Tingkat Kerentanan Luas (ha) Persentase (%)

Kerentanan Rendah 203,00 6,29

Kerentanan Sedang 2617,02 81,11

Kerentanan Tinggi 406,44 12,60

[Sumber : Pengolahan Data, 2014]

Tingkat kerentanan perkebunan teh terbesar adalah pada kelas kerentanan

sedang yaitu dengan luas sebesar 2617,02 ha dengan persentase sebesar 81,11 %.

Selanjutnya pada kelas kerentanan tinggi yaitu dengan luas sebesar 406,44 ha

dengan persentase sebesar 12,60 %. Kemudian kelas kerentanan rendah yaitu

dengan luas sebesar 203,00 ha dengan persentase sebesar 6,29 %.

Tabel 5.5 Luas tingkat kerentanan pada setiap perkebunan teh

Tingkat

Kerentanan

Luas Lahan Pada Perkebunan Teh (ha)

Ciliwung Ciseureuh Gedeh Gunung

Mas Maleber

Pasir

Sarongge

Kerentanan

Rendah 31,36 26,41 0 0 83,29 61,94

Kerentanan

Sedang 568,20 515,93 991,55 541,33 0 0

Kerentanan

Tinggi 0 113,49 21,02 271,93 0 0

[Sumber : Pengolahan Data, 2014]

Pada kelas kerentanan rendah, perkebunan yang memiliki luas terkecil adalah

perkebunan teh Gunung Mas karena perkebunan teh ini tidak memiliki lahan

dengan tingkat kerentanan rendah, sedangkan perkebunan yang memiliki luas

terbesar adalah perkebunan teh Maleber yaitu sebesar 83,29 ha. Pada kelas

kerentanan sedang, perkebunan yang memiliki luas terkecil adalah perkebunan teh

Maleber dan Pasir Sarongge karena perkebunan teh ini tidak memiliki lahan dengan

tingkat kerentanan sedang, sedangkan perkebunan yang memiliki luas terbesar

adalah perkebunan teh Gedeh yaitu sebesar 991,55 ha. Pada kelas kerentanan tinggi,

perkebunan yang memiliki luas terkecil adalah perkebunan teh Ciliwung, Maleber

dan Pasir Sarongge karena perkebunan teh ini tidak memiliki lahan dengan tingkat

kerentanan tinggi, sedangkan perkebunan yang memiliki luas terbesar adalah

perkebunan teh Gunung Mas yaitu sebesar 271,93 ha.

Page 92: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

78

Universitas Indonesia

Perkebunan teh Gunung Mas memiliki luas yang terbesar pada kategori

kerentanan tinggi disebabkan oleh tingginya dampak potensial (potential impact)

dan rendahnya kapasitas adaptasi (adaptif capacity) yang dimiliki. Dampak

potensial yang memiliki kategori kerentanan tingi terlihat pada variabel intensitas

serangan hama dan penyakit, dan luas lahan. Intensitas serangan hama dan penyakit

di perkebunan teh Gunung Mas yaitu sebesar lebih dari 30 persen sedangkan luas

lahan yaitu sebesar lebih dari 700 ha. Kapasitas adaptasi yang rendah (kategori

kerentanan tinggi) terlihat pada variabel pendapatan perusahaan dan pemeliharaan

teh. Pendapatan perusahaan di perkebunan teh Gunung Mas yaitu sebesar kurang

dari Rp 18.000.000,00 , sedangkan pemeliharaan teh yang dilakukan kurang baik.

Foto hasil survei lapang yang dilakukan di lokasi perkebunan teh yang

memiliki luas terbesar pada tingkat kerentanan tinggi (perkebunan teh Gunung

Mas) adalah sebagai berikut :

Gambar 5.22 Serangan penyakit cacar

daun teh

Gambar 5.23 Kondisi tanaman teh yang

tidak terpelihara

[Sumber : Survei lapang, 2014]

Pada Gambar 5.22 terlihat bahwa terjadi serangan penyakit cacar (lingkaran

merah) pada perkebunan teh Gunung Mas yang berlokasi di wilayah kerentanan

tinggi. Selain itu pada Gambar 5.23 kondisi tanaman teh setelah dilakukan

pemangkasan terlihat tidak terpelihara karena masih banyaknya rumput liar dan

tidak adanya pemupukan yang dilakukan pada tanaman teh tersebut.

Page 93: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

79

Universitas Indonesia

Gambar 5.24 Alih fungsi lahan menjadi tanaman jeruk

[Sumber : Survei lapang, 2014]

Beberapa lahan kebun teh di perkebunan teh Gunung Mas kini telah beralih

fungsi menjadi kebun jeruk. Hal ini dilakukan karena produksi teh yang semakin

menurun yang berakibat perusahaan mengalami kerugian sehingga dilakukan alih

fungsi lahan pada sebagian kecil lahan perkebunan teh, seperti yang terlihat pada

Gambar 5.24.

Page 94: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

80 Universitas Indonesia

BAB 6

KESIMPULAN

Sebagian besar (sekitar 80 persen) area perkebunan teh di wilayah Puncak

Gunung Gede Pangrango memiliki kerentanan wilayah terhadap perubahan iklim

dalam kategori sedang. Area perkebunan teh yang memiliki kerentanan wilayah

tergolong tinggi hanya mendekati 13 persen. Perkebunan teh yang paling rentan

(kerentanan tinggi) terhadap perubahan iklim adalah perkebunan teh Gunung Mas

dengan luas area pada kategori kerentanan tinggi sebesar 271,93 ha. Tingginya

kerentanan di perkebunan teh Gunung Mas disebabkan oleh tingginya dampak

potensial dan rendahnya kapasitas adaptasi yang dimiliki. Sebagian besar lahan

perkebunan teh yang sangat rentan terhadap perubahan iklim berada di sebelah

utara puncak Gunung Gede Pangrango.

Page 95: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

81

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. (2012). Buku Informasi Perubahan

Iklim dan Kualitas Udara di Indonesia. Jakarta.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. (2013). Kabupaten Bogor dalam Angka

2013. Katalog BPS: 1102001.3201.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur. (2013). Kabupaten Cianjur dalam Angka

2013. Katalog BPS: 1102001.3203.

Bakti, C.H. (2013). Kerentanan Wilayah terhadap Penyimpangan Curah Hujan

Musim Kemarau di Kabupaten Temanggung. Departemen Geografi. Fakultas

MIPA. Universitas Indonesia. Depok.

Chrisman, N. (1997). Exploring Geographic Infomation Systems. Wiley & Sons,

Incorporated, John.

Cutter, S.L. (1996). Vulnerability to Environmental Hazards. Department of

Geography University of South Carolina.

Direktorat Jenderal Perkebunan. (2007). Pedoman Teknis Praktek Budidaya Teh

yang Baik. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian

RI. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perkebunan. (2013). Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap

Produktivitas Lahan. Direktorat Perlindungan Perkebunan. Direktorat

Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian RI. Jakarta.

Effendi, D.S., Syakir, M., Yusron, M., & Wiratno. (2010). Budidaya dan Pasca

Panen Teh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Kementrian

Pertanian RI. Jakarta.

Fussel, H.M. (2007). Vulnerability: A generally applicable conceptual framework

for climate change research. Global Environmental Change. Volume 17,

Issue 2,Pages 155–167.

Gallopín, G.C. (2006). Linkages between vulnerability, resilience, and adaptive

capacity. Global Environmental Change 16(3):293-303. United Nations

Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC),

Casilla 179 D, Avda. Dag Hammarskjold s/n, Santiago, Chile.

Page 96: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

82

Universitas Indonesia

Intergovernmental Panel on Climate Change. (2007). Summary for Policy Makers,

Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the

Intergovernmental Panel on Climate Change. Climate Change: The Physical

Science Basis. Paris.

International Trade Centre. (2014). Mitigating Climate Change in Tea Sector.

Geneva. Switzerland.

Kusrini. (2007). Strategi Perancangan dan Pengelolaan Basis Data. Yogyakarta.

Landscape Climate Change Vulnerability Project. (2012). Vulnerability

Assessments for LCC‐VP. Great Northern LCC. US.

Lestari, A.P. (2010). Pemintakatan Risiko Bencana Banjir Bandang di Wilayah

Dinoyo dan Kaliputih Kabupaten Jember. Program Studi Perencanaan

Wilayah dan Kota. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Institut Teknologi

Sepuluh Nopember. Surabaya

Margono, T.T. (2013). Pengaruh Iklim dan Kejadian La Nina dan Antisipasinya

Terhadap Produksi Tanaman Teh. Direktorat Perlindungan Perkebunan,

Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian RI. Jakarta.

Pramono, G. H. (2008). Akurasi Metode IDW dan Kriging untuk Interpolasi

Sebaran Sedimen Tersuspensi di Maros Sulawesi Selatan. Forum Geografi.

Vol. 22, No. 1, Juli 2008: 145-158.

Prasetyo, D. (2013). Kerentanan Wilayah Kekeringan terhadap Perubahan Iklim di

Kabupaten Gunung Kidul. Departemen Geografi. Fakultas MIPA. Universitas

Indonesia. Depok.

Quan, N., Minh, H.H., Öborn, I., & Noordwijk, M. (2013). Multipurpose

agroforestry as a climate change adaptation option for farmers - an example

of local adaptation in Vietnam. Journal of Climate Change, 117, 241–257.

Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang No. 31 Tahun 2009 tentang

Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Lembaran Negara RI Tahun 2009,

Nomor 139. Sekretariat Negara. Jakarta.

Ristya, W. (2012). Kerentanan Willayah Terhadap Banjir di Sebagian Cekungan

Bandung. Departemen Geografi. Fakultas MIPA. Universitas Indonesia.

Depok.

Rosyadi, A.I. (2001). Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Untuk Memproduksi Teh

Hitam Berkelanjutan. Bandung: Disertasi, Universitas Padjajaran.

Rusbiantoro, D. (2008). Global Warming For Beginner. ISBN: 979-17343-0-1. O2.

Yogyakarta.

Saaty, T.L. (1986). Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Pustaka

Binaman Pressindo. Jakarta.

Page 97: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

83

Universitas Indonesia

Saaty, T.L. (1993). Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses. Hirarki

Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks.

Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.

Sandy. I.M. (1982). Penggunaan Tanah di. Indonesia. Publ. No 75. Direktorat Tata

Guna Tanah. Depdagri. Jakarta.

Septyan. (2013). Pedoman Teknis Pembangunan Kebun Perbanyakan Sumber

Benih Teh. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan

Surabaya, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian RI.

Setyamidjaja, D. (2000). Teh Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen. Kanisius.

Yogyakarta. 154 hal.

Sukarno, P.A. (2013). Produksi Teh PTPN VIII Gunung Mas Merosot Jadi 10

Ton/Hari. 4 Desember 2013. http://industri.bisnis.com.

Wagu. (2001). Teh Produk Hilir Lebih Prospektif. Majalah Gema Industri Kecil,

Edisi 14 Juni 2006.

Wikantika, K., & Agus, A. (2006). Analisis Perubahan Luas Pertanian Lahan

Kering Menggunakan Transformasi TasseledCap (Studi Kasus: Kawasan

Puncak, Jawa Barat). Jurnal Infrastruktur dan Lingkungan Binaan Vol. II No.

1.

Page 98: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

LAMPIRAN

Page 99: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Lampiran 1. Kuesioner AHP

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

DEPARTEMEN GEOGRAFI

KUESIONER KERENTANAN PERKEBUNAN TEH TERHADAP

PERUBAHAN IKLIM MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL

HIERARCHY PROCESS (AHP)

Informan

Nama :

Pekerjaan :

Instansi :

Tujuan Kuesioner

Kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui bobot dari tiap variabel yang

mempengaruhi kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim. Adapun

nilainya yaitu dengan menggunakan skala penilaian berikut ini.

Tabel. Nilai skala perbandingan berpasangan

Tingkat

Kepentingan Definisi

1 Kedua elemen sama penting

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari yang lain

5 Elemen yang satu lebih penting dari yang lain

7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya

9 Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen lainnya

2,4,6,8 Nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Cara pengisian

Variabel pada kolom kiri dibandingkan dengan variabel pada kolom kanan. Tingkat

kepentingan 2-9 (pada bagian kiri) adalah milik kriteria pada kolom paling kiri,

sedangkan tingkat kepentingan 2-9 (pada bagian kanan) adalah milik kriteria pada

kolom paling kanan. Kemudian, berilah tanda () pada kolom yang sesuai untuk

penilaian tingkat kepentingan antara masing-masing variabel (kolom kiri

dibandingkan dengan kolom kanan).

Page 100: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Tab

el K

ues

ioner

AH

P

Ko

lom

Kan

an

Su

hu

Ud

ara

Lu

as L

ahan

Inte

nsi

tas

Ser

ang

an

Ham

a &

Pen

yak

it

Jen

is T

anah

Jen

is T

anam

an T

eh

Ket

ing

gia

n

Pem

elih

araa

n T

eh

Pen

dap

atan

Per

usa

haa

n

Tek

no

log

i P

eng

ola

han

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

anan

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

iri

9

8

7

6

5

4

3

2

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

iri

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

anan

9

8

7

6

5

4

3

2

Dii

si b

ila

sam

a p

enti

ng

1

Ko

lom

Kir

i

Cu

rah

Hu

jan

Page 101: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Ko

lom

Kan

an

Lu

as L

ahan

Inte

nsi

tas

Ser

ang

an

Ham

a &

Pen

yak

it

Jen

is T

anah

Jen

is T

anam

an T

eh

Ket

ing

gia

n

Pem

elih

araa

n T

eh

Pen

dap

atan

Per

usa

haa

n

Tek

no

log

i P

eng

ola

han

Ko

lom

Kan

an

Inte

nsi

tas

Ser

ang

an

Ham

a &

Pen

yak

it

Jen

is T

anah

Jen

is T

anam

an T

eh

Ket

ing

gia

n

Pem

elih

araa

n T

eh

Pen

dap

atan

Per

usa

haa

n

Tek

no

log

i P

eng

ola

han

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

anan

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

iri

9

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

anan

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

iri

9

8 8

7 7

6 6

5 5

4 4

3 3

2 2

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

iri

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

anan

9

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

iri

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

anan

9

8 8

7 7

6 6

5 5

4 4

3 3

2 2

Dii

si b

ila

sam

a p

enti

ng

1

Dii

si b

ila

sam

a p

enti

ng

1

Ko

lom

Kir

i

Su

hu

Ud

ara

Ko

lom

Kir

i

Lu

as L

ahan

Page 102: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Ko

lom

Kan

an

Jen

is T

anah

Jen

is T

anam

an T

eh

Ket

ing

gia

n

Pem

elih

araa

n T

eh

Pen

dap

atan

Per

usa

haa

n

Tek

no

log

i P

eng

ola

han

Ko

lom

Kan

an

Jen

is T

anam

an T

eh

Ket

ing

gia

n

Pem

elih

araa

n T

eh

Pen

dap

atan

Per

usa

haa

n

Tek

no

log

i P

eng

ola

han

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

anan

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

iri

9

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

anan

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

iri

9

8 8

7 7

6 6

5 5

4 4

3 3

2 2

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

iri

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

anan

9

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

iri

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

anan

9

8 8

7 7

6 6

5 5

4 4

3 3

2 2

Dii

si b

ila

sam

a p

enti

ng

1

Dii

si b

ila

sam

a p

enti

ng

1

Ko

lom

Kir

i

Inte

nsi

tas

Ser

ang

an

Ham

a &

Pen

yak

it

Ko

lom

Kir

i

Jen

is T

anah

Page 103: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Ko

lom

Kan

an

Ket

ing

gia

n

Pem

elih

araa

n T

eh

Pen

dap

atan

Per

usa

haa

n

Tek

no

log

i P

eng

ola

han

Ko

lom

Kan

an

Pem

elih

araa

n T

eh

Pen

dap

atan

Per

usa

haa

n

Tek

no

log

i P

eng

ola

han

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

anan

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

iri

9

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

anan

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

iri

9

8 8

7 7

6 6

5 5

4 4

3 3

2 2

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

iri

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

anan

9

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

iri

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

anan

9

8 8

7 7

6 6

5 5

4 4

3 3

2 2

Dii

si b

ila

sam

a p

enti

ng

1

Dii

si b

ila

sam

a p

enti

ng

1

Ko

lom

Kir

i

Jen

is T

anam

an T

eh

Ko

lom

Kir

i

Ket

ing

gia

n

Page 104: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Ko

lom

Kan

an

Pen

dap

atan

Per

usa

haa

n

Tek

no

log

i P

eng

ola

han

Ko

lom

Kan

an

Tek

no

log

i P

eng

ola

han

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

anan

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

iri

9

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

anan

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

iri

9

8 8

7 7

6 6

5 5

4 4

3 3

2 2

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

iri

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

anan

9

Dii

si b

ila

var

iab

el k

olo

m k

iri

leb

ih

pen

tin

g d

iban

din

gk

an k

olo

m k

anan

9

8 8

7 7

6 6

5 5

4 4

3 3

2 2

Dii

si b

ila

sam

a p

enti

ng

1

Dii

si b

ila

sam

a p

enti

ng

1

Ko

lom

Kir

i

Pem

elih

araa

n T

eh

Ko

lom

Kir

i

Pen

dap

atan

Per

usa

haa

n

Page 105: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Lampiran 2. Perhitungan AHP

Untuk lebih mempermudah dalam menghitung bobot dengan metode AHP,

maka variabel-variabel kerentanan dituliskan dalam bentuk simbol seperti tabel di

bawah ini :

Variabel Simbol

Curah Hujan A

Suhu Udara B

Luas Lahan Perkebunan C

Intensitas Serangan Hama & Penyakit D

Jenis Tanah E

Jenis Tanaman Teh F

Ketinggian G

Pemeliharaan Teh H

Pendapatan Perusahaan I

Teknologi Pengolahan J

1) Informan 1

1. Nilai prioritas pada variabel

Cara mengisi nilai prioritas yaitu dengan menganalisa prioritas antara

variabel baris dibandingkan dengan variabel kolom, pengisian ini terlebih dahulu

dilakukan pada prioritas variabel yang terdapat diatas pada garis diagonal (kotak

dengan warna dasar biru). Kemudian melakukan pengisian prioritas variabel yang

terdapat dibawah pada garis diagonal (kotak dengan warna dasar biru). Hal ini

sesuai dengan persamaan matematika seperti berikut :

Jika A ∶ B = X, maka B ∶ A = 1/X

Contoh : jika prioritas variabel B (baris) : variabel C (kolom) = 5, maka

prioritas variabel C (baris) : variabel B (kolom) = 1/5 (lihat rumus 5.1). Sehingga

prioritas setiap variabel antara variabel A : variabel A = 1, variabel C : variabel A =

1/5, variabel E : variabel B = 1/4, variabel D : variabel E = 6.

Page 106: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Variabel A B C D E F G H I J

A 1 1 5 5 4 9 1/9 1 9 1

B 1 1 5 5 4 5 1/9 1/6 7 1

C 1/5 1/5 1 1/6 1 1 1/9 1 5 1

D 1/5 1/5 6 1 6 1 1/9 1/9 5 1/9

E 1/4 1/4 1 1/6 1 5 1/7 1/9 1 1/9

F 1/9 1/5 1 1 1/5 1 1/9 6 5 1/9

G 9 9 9 9 7 9 1 1 9 1/9

H 1 6 1 9 9 1/6 1 1 9 1

I 1/9 1/7 1/5 1/5 1 1/5 1/9 1/9 1 1/6

J 1 1 1 9 9 9 9 1 6 1

2. Bobot pada setiap variabel

Nilai bobot ini berkisar antara 0 - 1, dan total bobot untuk setiap kolom adalah

1. Cara menghitung bobot adalah angka pada setiap kotak dibagi dengan

penjumlahan semua angka dalam kolom yang sama. Contoh bobot dari (variabel A,

variabel A) = 1 / (1 + 1 + 1/5 + 1/5 + 1/4 + 1/9 + 9 + 1 + 1/9 + 1) = 0,072. (variabel

B, variabel C) = 5 / (5 + 5 + 1 + 6 + 1 + 1 + 9 + 1 + 1/5 + 1) = 0,166. Dengan

perhitungan yang sama bobot prioritas menjadi :

Variabel A B C D E F G H I J

A 0,072 0,053 0,166 0,126 0,095 0,223 0,009 0,087 0,158 0,178

B 0,072 0,053 0,166 0,126 0,095 0,124 0,009 0,014 0,123 0,178

C 0,014 0,011 0,033 0,004 0,024 0,025 0,009 0,087 0,088 0,178

D 0,014 0,011 0,199 0,025 0,142 0,025 0,009 0,010 0,088 0,020

E 0,018 0,013 0,033 0,004 0,024 0,124 0,012 0,010 0,018 0,020

F 0,008 0,011 0,033 0,025 0,005 0,025 0,009 0,522 0,088 0,020

G 0,649 0,474 0,298 0,228 0,166 0,223 0,085 0,087 0,158 0,020

H 0,072 0,316 0,033 0,228 0,213 0,004 0,085 0,087 0,158 0,178

I 0,008 0,008 0,007 0,005 0,024 0,005 0,009 0,010 0,018 0,030

J 0,072 0,053 0,033 0,228 0,213 0,223 0,762 0,087 0,105 0,178

Selanjutnya adalah mencari nilai bobot untuk masing-masing variabel.

Caranya adalah dengan melakukan penjumlahan setiap nilai bobot prioritas pada

setiap baris tabel dibagi dengan jumlah variabel. Contoh bobot pada variabel A =

(0,072 + 0,053 + 0,166 + 0,126 + 0,095 + 0,223 + 0,009 + 0,087 + 0,158 + 0,178)

/ 10 = 0,117 = 11,7%. Sehingga diperoleh bobot masing-masing variabel yaitu

sebagai berikut :

Page 107: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Variabel Persentase

A 11,7%

B 9,6%

C 4,7%

D 5,4%

E 2,8%

F 7,5%

G 23,9%

H 13,7%

I 1,2%

J 19,5%

Jumlah 100%

Pada tabel diatas, terlihat bahwa variabel yang memiliki nilai bobot tertinggi

adalah variabel G (ketinggian) dengan nilai bobot 23,9%. Artinya bahwa, menurut

informan 1 variabel ketinggian memiliki pengaruh yang paling besar dalam tingkat

kerentanan perkebunan teh. Sedangkan untuk variabel yang memiliki nilai bobot

terendah adalah variabel I (pendapatan perusahaan) dengan nilai bobot 1,2%.

Artinya bahwa, menurut informan 1 variabel pendapatan perusahaan memiliki

pengaruh yang paling kecil dalam tingkat kerentanan perkebunan teh.

2) Informan 2

Semua perhitungan untuk mendapatkan bobot setiap variabel pada informan

2 sama halnya dengan perhitungan pada informan 1. Hasil perhitungannya adalah

sebagai berikut :

1. Nilai prioritas pada variabel

Variab

el A B C D E F G H I J

A 1 9 9 1/9 9 9 1/9 9 1 9

B 1/9 1 9 1/9 9 1 1/9 9 1 1

C 1/9 1/9 1 1/9 1/5 1/9 1/9 1 1 1

D 9 9 9 1 9 9 1/9 9 9 9

E 1/9 1/9 5 1/9 1 1 1/9 1/6 1 1

F 1/9 1 9 1/9 1 1 1 1/9 1 5

G 9 9 9 9 9 1 1 1 6 9

H 1/9 1/9 1 1/9 6 9 1 1 1 1

I 1 1 1 1/9 1 1 1/6 1 1 7

J 1/9 1 1 1/9 1 1/5 1/9 1 1/7 1

Page 108: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

2. Bobot pada setiap variabel

Variabel A B C D E F G H I J

A 0,048 0,287 0,167 0,010 0,195 0,279 0,029 0,279 0,045 0,205

B 0,005 0,032 0,167 0,010 0,195 0,031 0,029 0,279 0,045 0,023

C 0,005 0,004 0,019 0,010 0,004 0,003 0,029 0,031 0,045 0,023

D 0,435 0,287 0,167 0,092 0,195 0,279 0,029 0,279 0,406 0,205

E 0,005 0,004 0,093 0,010 0,022 0,031 0,029 0,005 0,045 0,023

F 0,005 0,032 0,167 0,010 0,022 0,031 0,261 0,003 0,045 0,114

G 0,435 0,287 0,167 0,827 0,195 0,031 0,261 0,031 0,271 0,205

H 0,005 0,004 0,019 0,010 0,130 0,279 0,261 0,031 0,045 0,023

I 0,048 0,032 0,019 0,010 0,022 0,031 0,043 0,031 0,045 0,159

J 0,005 0,032 0,019 0,010 0,022 0,006 0,029 0,031 0,006 0,023

Variabel Persentase

A 15,4%

B 8,2%

C 1,7%

D 23,7%

E 2,7%

F 6,9%

G 27,1%

H 8,1%

I 4,4%

J 1,8%

Jumlah 100%

Pada tabel diatas, terlihat bahwa variabel yang memiliki nilai bobot tertinggi

adalah variabel G (ketinggian) dengan nilai bobot 27,1%. Artinya bahwa, menurut

informan 2 variabel ketinggian memiliki pengaruh yang paling besar dalam tingkat

kerentanan perkebunan teh. Sedangkan untuk variabel yang memiliki nilai bobot

terendah adalah variabel C (luas lahan perkebunan) dengan nilai bobot 1,7%.

Artinya bahwa, menurut informan 2 variabel luas lahan perkebunan memiliki

pengaruh yang paling kecil dalam tingkat kerentanan perkebunan teh.

Page 109: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

3) Informan 3

Semua perhitungan untuk mendapatkan bobot setiap variabel pada informan

3 sama halnya dengan perhitungan pada informan 1. Hasil perhitungannya adalah

sebagai berikut :

1. Nilai prioritas pada variabel

Variab

el A B C D E F G H I J

A 1 9 6 9 9 9 1 5 9 9

B 1/9 1 5 5 9 9 1 1 5 5

C 1/6 1/5 1 1/9 6 6 1/9 1/9 1 1

D 1/9 1/5 9 1 6 5 1/9 1/9 5 1

E 1/9 1/9 1/6 1/6 1 1/6 1/9 1/9 1 1/6

F 1/9 1/9 1/6 1/5 6 1 1/9 1/9 1 1

G 1 1 9 9 9 9 1 6 9 6

H 1/5 1 9 9 9 9 1/6 1 5 7

I 1/9 1/5 1 1/5 1 1 1/9 1/5 1 1/6

J 1/9 1/5 1 1 6 1 1/6 1/7 6 1

2. Menentukan bobot pada setiap variabel

Variabel A B C D E F G H I J

A 0,330 0,691 0,145 0,260 0,145 0,179 0,257 0,363 0,209 0,287

B 0,037 0,077 0,121 0,144 0,145 0,179 0,257 0,073 0,116 0,160

C 0,055 0,015 0,024 0,003 0,097 0,120 0,029 0,008 0,023 0,032

D 0,037 0,015 0,218 0,029 0,097 0,100 0,029 0,008 0,116 0,032

E 0,037 0,009 0,004 0,005 0,016 0,003 0,029 0,008 0,023 0,005

F 0,037 0,009 0,004 0,006 0,097 0,020 0,029 0,008 0,023 0,032

G 0,330 0,077 0,218 0,260 0,145 0,179 0,257 0,435 0,209 0,191

H 0,066 0,077 0,218 0,260 0,145 0,179 0,043 0,073 0,116 0,223

I 0,037 0,015 0,024 0,006 0,016 0,020 0,029 0,015 0,023 0,005

J 0,037 0,015 0,024 0,029 0,097 0,020 0,043 0,010 0,140 0,032

Page 110: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Variabel Persentase

A 28,7%

B 13,1%

C 4,1%

D 6,8%

E 1,4%

F 2,6%

G 23,0%

H 14,0%

I 1,9%

J 4,5%

Jumlah 100%

Pada tabel diatas, terlihat bahwa variabel yang memiliki nilai bobot tertinggi

adalah variabel A (curah hujan) dengan nilai bobot 28,7%. Artinya bahwa, menurut

informan 3 variabel curah hujan memiliki pengaruh yang paling besar dalam tingkat

kerentanan perkebunan teh. Sedangkan untuk variabel yang memiliki nilai bobot

terendah adalah variabel E (jenis tanah) dengan nilai bobot 1,4%. Artinya bahwa,

menurut informan 3 variabel jenis tanah memiliki pengaruh yang paling kecil dalam

tingkat kerentanan perkebunan teh.

Page 111: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Lampiran 3. Perhitungan Klasifikasi Penurunan Curah Hujan dan Peningkatan

Suhu Udara

1. Penurunan Curah Hujan

Untuk mencari nilai penurunan curah hujan tertinggi dan terendah di wilayah

Puncak, sebelumnya dilakukan pembuatan peta penurunan curah hujan di wilayah

Puncak yang diperoleh dengan mencari nilai tren curah hujan pada setiap stasiun

meteorologi dengan membuat grafik sehingga akan terlihat nilai tren pada setiap

grafik. Kemudian memasukan nilai tren pada setiap stasiun meteorologi yang diolah

menggunakan perangkat lunak Arcgis 10 dengan metode interpolasi IDW.

Setelah melakukan interpolasi menggunakan metode IDW, selanjutnya

dilakukan pemotongan (clip) pada wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.

Kemudian didapatkan nilai penurunan curah hujan tertinggi dan terendah seperti

terlihat pada gambar di bawah ini.

Sehingga diperoleh nilai interval untuk mengklasifikasikan penurunan curah

hujan yang dapat dilihat pada perhitungan di bawah ini.

Interval =20 − 8

3= 4

2. Peningkatan Suhu Udara

Untuk mencari nilai peningkatan suhu udara tertinggi dan terendah di wilayah

Puncak, sebelumnya dilakukan pembuatan peta peningkatan suhu udara di wilayah

Puncak yang diperoleh dengan mencari nilai tren suhu udara pada setiap stasiun

meteorologi dengan membuat grafik sehingga akan terlihat nilai tren pada setiap

grafik. Kemudian memasukan nilai tren pada setiap stasiun meteorologi yang diolah

menggunakan perangkat lunak Arcgis 10 dengan metode interpolasi IDW.

Setelah melakukan interpolasi menggunakan metode IDW, selanjutnya

dilakukan pemotongan (clip) pada wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.

Page 112: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Kemudian didapatkan nilai peningkatan suhu udara tertinggi dan terendah seperti

terlihat pada gambar di bawah ini.

Sehingga diperoleh nilai interval untuk mengklasifikasikan peningkatan suhu

udara yang dapat dilihat pada perhitungan di bawah ini.

Interval =0,1 − 0,004

3= 0,32

Page 113: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

Lampiran 4. Data Curah Hujan dan Suhu Udara

1. Nilai hujan setiap periode

Stasiun Periode 1

(mm)

Periode 2

(mm)

Periode 3

(mm)

Cibinong 3.297 3.016 1.927

Darmaga Bogor 3.797 3.907 3.926

Geofisika Bandung 2.210 2.113 2.117

Citeko 3.339 3.385 3.180

Lembang 1.906 1.888 2.021 [Sumber : BMKG]

2. Tren curah hujan

Stasiun Tren Curah Hujan

(mm/tahun)

Cibinong -68,86

Darmaga Bogor 3,09

Geofisika Bandung -2,22

Citeko -8,30

Lembang 14,06

[Sumber : Pengolahan Data, 2014]

3. Nilai suhu udara setiap periode

Stasiun Periode 1

(oC)

Periode 2

(oC)

Periode 3

(oC)

Cibinong 25,9 26,1 26,1

Darmaga Bogor 25,5 25,6 25,8

Geofisika Bandung 23,0 23,1 23,2

Citeko 21,2 21,3 21,2

Lembang 19,9 20,0 20,1

[Sumber : BMKG]

Page 114: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

4. Tren suhu udara

Stasiun Tren Suhu Udara

(oC/tahun)

Cibinong 0,23

Darmaga Bogor 0,13

Geofisika Bandung 0,16

Citeko 0,004

Lembang 0,09

[Sumber : Pengolahan Data, 2014]

5. Curah hujan dan suhu udara di stasiun Citeko

Tahun

Curah Hujan (mm) Suhu Udara (oC)

Tahunan Musim

Hujan

Musim

Kemarau Rata-Rata Maksimum Minimum

1981 3.931 2.692 1.239 21,0 27,2 15,4

1982 3.178 2.305 873 21,0 27,0 15,8

1983 2.925 2.060 865 20,9 27,3 15,5

1984 4.006 2.356 1.650 20,9 27,1 15,7

1985 3.226 1.769 1.457 21,1 26,9 16,0

1986 3.975 2.639 1.336 21,3 27,3 15,5

1987 2.804 2.239 566 22,2 27,7 15,7

1988 2.855 2.181 674 21,4 28,3 15,2

1989 3.251 2.120 1.132 21,2 27,5 16,4

1990 3.240 2.100 1.140 21,2 27,3 16,6

1991 3.101 2.413 688 21,1 27,3 16,3

1992 4.018 2.515 1.503 21,1 27,4 15,6

1993 3.851 2.724 1.127 20,7 27,2 15,9

1994 2.777 2.265 512 20,8 27,4 15,5

1995 3.602 2.624 978 21,0 27,3 16,8

1996 3.360 2.493 868 20,9 27,4 16,6

1997 2.619 1.978 641 21,8 28,0 16,5

1998 3.561 2.582 979 22,0 28,1 17,3

1999 4.111 2.964 1.148 21,7 27,8 15,9

2000 2.849 1.757 1.092 21,6 27,2 15,9

2001 3.688 2.665 1.023 20,9 27,4 15,5

2002 2.978 2.169 808 21,2 28,1 15,0

2003 2.794 1.890 904 21,2 27,9 15,4

2004 2.834 1.962 873 21,1 28,3 16,0

Page 115: Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango

2005 3.070 1.995 1.076 21,2 28,3 16,5

2006 2.630 2.105 525 21,3 28,5 16,4

2007 3.479 2.709 770 21,1 28,3 16,1

2008 3.156 2.294 862 20,9 28,0 16,2

2009 3.322 2.419 903 21,3 28,4 18,3

2010 3.850 2.409 1.441 21,4 28,0 17,4

Rata- Rata 3.301 2.313 988 21,2 27,7 16,1

[Sumber : Pengolahan Data, 2014]