Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
-
Upload
subhan-maulana-s -
Category
Documents
-
view
281 -
download
4
description
Transcript of Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
UNIVERSITAS INDONESIA
KERENTANAN PERKEBUNAN TEH TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
DI WILAYAH PUNCAK GUNUNG GEDE PANGRANGO
SKRIPSI
SUBHAN MAULANA SYIFA
1006679301
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DEPARTEMEN GEOGRAFI
DEPOK
JULI 2014
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
KERENTANAN PERKEBUNAN TEH TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
DI WILAYAH PUNCAK GUNUNG GEDE PANGRANGO
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains
HALAMAN JUDUL
SUBHAN MAULANA SYIFA
1006679301
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DEPARTEMEN GEOGRAFI
DEPOK
JULI 2014
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan
semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Subhan Maulana Syifa
NPM : 1006679301
Tanda Tangan :
Tanggal : 9 Juli 2014
iv
HALAMAN PENGESAHAN
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Subhan Maulana Syifa
NPM : 1006679301
Program Studi : Geografi
Judul Skripsi : Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di
Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana
Sains pada Program Studi Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang : Dr.rer.nat. Eko Kusratmoko, MS ( ............................. )
Pembimbing I : Drs. Sobirin, M.Si ( ............................. )
Pembimbing II : Dr. Tito Latif Indra, M.Si ( ............................. )
Penguji I : Dr. Djoko Harmantyo, MS ( ............................. )
Penguji II : Drs. Frans Sitanala, MS ( ............................. )
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 9 Juli 2014
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains Departemen
Geografi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
mulai dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit
bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
(1) Drs. Sobirin, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Dr. Tito Latif Indra, M.Si
selaku dosen pembimbing II yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini;
(2) Bapak Dr. Djoko Harmantyo, MS selaku dosen penguji I dan Bapak Drs. Frans
Sitanala, MS selaku dosen penguji II serta Bapak Dr.rer.nat. Eko Kusratmoko,
MS selaku ketua sidang atas koreksi masukan dan kritik saran yang
membangun bagi penulis dalam menyusun skripsi;
(3) Seluruh dosen pengajar beserta staf dan karyawan di Departemen Geografi
FMIPA UI atas segala ilmu dan dukungan kepada penulis;
(4) Pihak perusahaan perkebunan teh di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
yang telah bersedia untuk memberikan data yang diperlukan dalam penelitian
ini;
(5) Para informan kunci (A. Suwandi, Rusmana, dan Ir. Salwa Lubnan D, MS)
yang telah meluangkan waktu untuk menjawab kuesioner penelitian ini;
(6) Keluarga Besar Geografi UI 2010 yang telah memberikan memori yang tak
ternilai dan akan selalu dikenang sepanjang hayat;
(7) Teman-teman dekat yang baik dan selalu baik, mendominasi hari penulis di
masa-masa perkuliahan: Diky, Arif, Acep, Dani, Babas, Ari. Terima kasih atas
ketulusan dan segala kenangan yang terukir selama masa kuliah. Kalian akan
menjadi salah satu kisah yang tak terlupakan;
vi
(8) Teman dekat penulis yang telah membantu dalam mencari dan mengolah data
dalam penelitian ini Rafika. Terima kasih atas bantuan dan ketulusan dalam
menyelesaikan penelitian ini;
(9) Terakhir yang paling spesial untuk keluargaku tercinta yang telah banyak
mengorbankan banyak hal, terutama Ibu dan Bapak, tanpa kalian penulis tak
akan bisa jadi seperti ini dan di detik ini. Kasih sayang, doa, perhatian,
dukungan moral maupun materiil yang takkan pernah bisa kubalas;
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, Amin.
Depok, 9 Juli 2014
Penulis
vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan
di bawah ini:
Nama : Subhan Maulana Syifa
NPM : 1006679301
Program Studi : Geografi
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jenis karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive
RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah Puncak
Gunung Gede Pangrango
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 9 Juli 2014
Yang menyatakan
( Subhan Maulana Syifa )
viii
ABSTRAK
Nama : Subhan Maulana Syifa
Program Studi : Geografi
Judul Skripsi : Kerentanan Perkebunan Teh terhadap Perubahan Iklim di
Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
Hingga saat ini terjadinya perubahan iklim beserta dampaknya sudah mulai
dirasakan hampir di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Perubahan iklim
memiliki dampak yang penting dalam produksi tanaman teh. Tanaman teh sangat
bergantung pada distribusi curah hujan dan suhu udara yang baik. Perubahan iklim
akan menyebabkan kerentanan pada perkebunan teh sehingga perlu untuk
memetakan kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim di wilayah
Puncak Gunung Gede Pangrango. Penilaian kerentanan dilihat dari tiga aspek yaitu
keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi. Pemetaan kerentanan dilakukan
menggunakan analisis spasial dengan teknik skoring yang dipadukan dengan
metode AHP dan weighted sum, sehingga diperoleh hasil yang menunjukan bahwa
sebagian besar (sekitar 80 persen) area perkebunan teh di wilayah Puncak memiliki
kerentanan wilayah terhadap perubahan iklim dalam kategori sedang. Perkebunan
teh yang paling rentan (kerentanan tinggi) adalah perkebunan teh Gunung Mas yang
disebabkan oleh tingginya dampak potensial dan rendahnya kapasitas adaptasi yang
dimiliki, sebagian besar lahan perkebunan teh yang sangat rentan terhadap
perubahan iklim berada di sebelah utara puncak Gunung Gede Pangrango.
Kata Kunci : kerentanan, perubahan iklim, perkebunan teh, wilayah
Puncak
xv + 80 halaman : 40 gambar, 15 tabel, 4 lampiran
Bibliografi : 32 (1986-2014)
ix
ABSTRACT
Name : Subhan Maulana Syifa
Study Program : Geography
Title : Vulnerability of Tea Plantation to Climate Change in
Gede Pangrango Mountain Peak Region
Until now, climate change and its impacts are already being felt almost all
over the world, including in Indonesia. Climate change has a significant impact in
the production of tea plants. Plants are highly dependent on the distribution of
rainfall and air temperature. Climate change will lead to vulnerabilities in the tea
plantation so it is necessary to map the vulnerability to climate change of tea
plantations in the Peak region. Vulnerability assessment viewed from three aspects:
exposure, sensitivity and adaptive capacity. Vulnerability mapping using spatial
analysis by scoring technique combined with the AHP and the weighted sum
method, so that the obtained results show that the majority (approximately 80
percent) in the tea plantation area of the Peak has areas of vulnerability to climate
change in the medium category. Tea plantations are most vulnerable (high
vulnerability) is Gunung Mas tea plantation is due to high potential impact and low
adaptive capacity owned, tea plantations mostly highly vulnerable to climate
change are in the north peak of Gede Pangrango Mountain.
Keywords : vulnerability, climate change, tea plantation, peak region
xv + 80 pages : 40 pictures, 15 tables, 4 attachments
Bibliography : 32 (1986-2014)
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................ iii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................. vii ABSTRAK ........................................................................................................... viii ABSTRACT ........................................................................................................... ix DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3 1.4 Batasan Penelitian ......................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5 2.1 Perubahan Iklim ............................................................................................ 5
2.2 Kerentanan ..................................................................................................... 7
2.3 Tanaman Teh ................................................................................................. 11 2.3.1 Syarat Tumbuh ....................................................................................... 11 2.3.2 Pemeliharaan Teh .................................................................................. 13
2.3.3 Hama dan Penyakit Tanaman Teh ......................................................... 15 2.3.4 Pengolahan Teh ..................................................................................... 16
2.4 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ............................................. 20
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 24 3.1 Kerangka Penelitian .................................................................................... 24
3.1.1 Alur Pikir Penelitian ............................................................................. 24
3.1.2 Alur Kerja Penelitian ............................................................................ 25
3.2 Variabel Penelitian ....................................................................................... 25
3.3 Pengumpulan Data ...................................................................................... 25 3.3.1 Data Primer ........................................................................................... 26 3.3.2 Data Sekunder ....................................................................................... 26
3.4 Pengolahan Data .......................................................................................... 27 3.4.1 Data Perubahan Iklim ........................................................................... 28
3.4.2 Klasifikasi Nilai Kerentanan ................................................................. 30 3.4.3 Data Keterpaparan ................................................................................ 32 3.4.4 Data Sensitivitas ................................................................................... 33
3.4.5 Data Kapasitas Adaptasi ....................................................................... 34 3.4.6 Proses Pembobotan Menggunakan Metode AHP ................................. 34 3.4.7 Membuat Peta Kerentanan dengan Metode Weighted Sum .................. 35
3.5 Analisis Data ................................................................................................ 36
xi
BAB 4 GAMBARAN UMUM ............................................................................. 37 4.1 Letak dan Kondisi Umum ........................................................................... 37
4.1.1 Daerah Penelitian .................................................................................. 37 4.1.2 Perkebunan Teh ..................................................................................... 39
4.2 Wilayah Ketinggian ..................................................................................... 40 4.3 Kondisi Iklim ............................................................................................... 41
4.4 Penggunaan Tanah ....................................................................................... 42 4.5 Kondisi Kependudukan ............................................................................... 46 4.6 Kondisi Sosial .............................................................................................. 47
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 49 5.1 Perubahan Iklim .......................................................................................... 49
5.1.1 Curah Hujan .......................................................................................... 49 5.1.2 Suhu Udara ........................................................................................... 53
5.2 Nilai Kerentanan .......................................................................................... 58 5.3 Variabel Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim .............. 62
5.3.1 Keterpaparan ......................................................................................... 62 5.3.2 Sensitivitas ............................................................................................ 67 5.3.3 Kapasitas Adaptasi ................................................................................ 71
5.4 Hasil Pembobotan Menggunakan Metode AHP .......................................... 75
5.5 Kerentanan Perkebunan Teh ........................................................................ 76
BAB 6 KESIMPULAN ........................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 81
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Karakteristik pengolahan teh hitam Orthodoks dan teh hitam CTC ..... 19
Tabel 2.2 Perbedaan cara pengolahan teh Orthodoks dan CTC ............................ 20
Tabel 2.3 Nilai skala perbandingan berpasangan .................................................. 22
Tabel 3.1 Jenis dan sumber data sekunder ............................................................ 26
Tabel 3.2 Koordinat stasiun meteorologi .............................................................. 28
Tabel 3.3 Nama, jabatan dan instansi para pakar/informan .................................. 35
Tabel 4.1 Curah hujan dan suhu udara di Stasiun Meteorologi Citeko tahun 2011
............................................................................................................................... 42
Tabel 4.2 Luas penggunaan tanah pada setiap kecamatan .................................... 45
Tabel 4.3 Kepadatan penduduk di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango ..... 46
Tabel 4.4 Mata pencaharian penduduk dalam berbagai sektor ............................. 48
Tabel 5.1 Klasifikasi pemeliharaan teh ................................................................. 60
Tabel 5.2 Kriteria dan skor pada setiap variabel kerentanan ................................ 61
Tabel 5.3 Persentase bobot rata-rata ...................................................................... 75
Tabel 5.4 Luas dan persentase tingkat kerentanan ................................................ 77
Tabel 5.5 Luas tingkat kerentanan pada setiap perkebunan teh ............................ 77
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Suplai CO2 dari bumi bagi gas rumah kaca......................................... 5
Gambar 2.2 Model kerentanan tempat .................................................................... 8
Gambar 2.3 Faktor pembentuk kerentanan ............................................................. 9
Gambar 2.4 Kerangka kerja penilaian kerentanan perubahan iklim dan adaptasi 10
Gambar 2.5 Proses pengolahan teh hitam Orthodoks ........................................... 17
Gambar 2.6 Proses pengolahan teh hitam CTC .................................................... 18
Gambar 3.1 Alur pikir penelitian .......................................................................... 24
Gambar 3.2 Alur kerja penelitian .......................................................................... 25
Gambar 3.3 Lokasi stasiun meteorologi................................................................ 29
Gambar 4.1 Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango ....................................... 37
Gambar 4.2 Kondisi topografi di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango ...... 38
Gambar 4.3 Perkebunan teh .................................................................................. 39
Gambar 4.4 Grafik wilayah ketinggian di Puncak Gunung Gede Pangrango....... 40
Gambar 4.5 Wilayah ketinggian di Puncak Gunung Gede Pangrango ................. 41
Gambar 4.6 Penggunaan tanah di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango ...... 43
Gambar 4.7 Grafik luas penggunaan tanah di wilayah Puncak Gunung Gede
Pangrango .............................................................................................................. 43
Gambar 5.1 Persebaran curah hujan di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
............................................................................................................................... 49
Gambar 5.2 Tren curah hujan tahunan St. Citeko ................................................. 50
Gambar 5.3 Tren curah hujan musim hujan St. Citeko ......................................... 51
Gambar 5.4 Tren curah hujan musim kemarau St. Citeko .................................... 52
Gambar 5.5 Penurunan curah hujan di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
............................................................................................................................... 53
Gambar 5.6 Persebaran suhu udara di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango 54
Gambar 5.7 Tren suhu udara rata-rata tahunan St. Citeko .................................... 55
Gambar 5.8 Tren suhu udara maksimum absolut tahunan St. Citeko ................... 56
Gambar 5.9 Tren suhu udara minimum absolut tahunan St. Citeko ..................... 57
Gambar 5.10 Peningkatan suhu udara di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
............................................................................................................................... 58
xiv
Gambar 5.11 Penurunan curah hujan di daerah penelitian .................................... 63
Gambar 5.12 Peningkatan suhu udara di daerah penelitian .................................. 64
Gambar 5.13 Luas lahan di daerah penelitian ....................................................... 65
Gambar 5.14 Intensitas serangan hama dan penyakit di daerah penelitian ........... 66
Gambar 5.15 Jenis tanah di daerah penelitian ....................................................... 68
Gambar 5.16 Jenis tanaman teh di daerah penelitian ............................................ 69
Gambar 5.17 Ketinggian di daerah penelitian....................................................... 71
Gambar 5.18 Pemeliharaan teh di daerah penelitian ............................................. 72
Gambar 5.19 Pendapatan perusahaan di daerah penelitian ................................... 73
Gambar 5.20 Teknologi pengolahan di daerah penelitian ..................................... 74
Gambar 5.21 Kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim ................... 76
Gambar 5.22 Serangan penyakit cacar daun teh ................................................... 78
Gambar 5.23 Kondisi tanaman teh yang tidak terpelihara .................................... 78
Gambar 5.24 Alih fungsi lahan menjadi tanaman jeruk ........................................ 79
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hingga saat ini terjadinya perubahan iklim beserta dampaknya sudah mulai
dirasakan dimana-mana hampir di seluruh belahan dunia ini, termasuk juga yang
terjadi di Indonesia. Laporan ilmiah tentang perubahan iklim telah dirilis oleh
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada awal Februari 2007 yang
lalu berupa laporan tentang hasil pengamatan dan proyeksi dampak perubahan
iklim di dunia dalam berbagai skenario. Seperti diketahui, iklim adalah rata-rata
dan variasi dari unsur keadaan atmosfer atau cuaca seperti curah hujan, temperatur,
tekanan, kelembaban, penguapan, angin, penyinaran matahari selama periode
tertentu yang berkisar dalam hitungan bulan, tahun, dekade, abad bahkan hingga
jutaan tahun.
Pertumbuhan dan produksi tanaman sangat bergantung pada interaksi antara
parameter iklim, tanah, tananaman dan pengelolaannya, dengan kata lain produksi
tanaman dengan sistem pengelolaan tertentu merupakan fungsi dari kualitas atau
karakteristik lahan dan iklim sekitarnya (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2013).
Jumlah dan sebaran curah hujan mempunyai pengaruh kuat terhadap sebaran
penanaman maupun pada produktivitasnya. Tanaman teh lebih sensitif terhadap
peningkatan hujan di dataran tinggi, diperkirakan karena peningkatan hujan akan
menurunkan suhu minimum lebih rendah dari normal. Selain itu, lama penyinaran
dan intensitas radiasi juga menurun drastis karena tingginya tingkat penutupan
awan sehingga kelembaban udara menjadi tinggi. Meningkatnya hujan pada musim
kemarau tahun 2010 menyebabkan lama penyinaran matahari berkurang,
kelembaban udara tinggi sehingga serangan penyakit cacar daun teh cukup berat
dan berakibat menurunnya pencapaian produksi (Margono, 2013).
Beberapa tahun terakhir, perusahaan perkebunan teh dihadapkan pada
semakin rendahnya margin usaha, bahkan beberapa diantaranya mengalami
kerugian. Dari sisi proses produksi, hal tersebut disebabkan oleh produktivitas
kebun masih rendah (± 2000 kg/ha/th); kenaikan biaya produksi yang terus menerus
(upah kerja, sarana produksi); perubahan iklim global; luas tanaman klon unggul
2
Universitas Indonesia
masih di bawah 40 persen dari total areal kebun; kerusakan lingkungan akibat
terjadinya erosi tanah yang berat yang berakibat penurunan kesuburan tanah sangat
cepat; semakin rendahnya populasi tanaman teh/ha; sering terjadi ledakan
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT); usaha untuk mengendalikan erosi tanah
masih sangat minim; mesin pabrik yang pada umumnya sudah tua, sehingga
kualitas kurang prima; pemasaran perlu diperbaiki dan diperluas (Margono, 2013).
Produksi tanaman teh di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung menurun.
Pada tahun 2010 luas areal tanaman teh mencapai 124.573 ha dengan total produksi
daun teh kering 150.342 ton. Dari total areal tersebut, yang diusahakan dalam
bentuk Perkebunan Rakyat (PR) seluas 56.264 ha, Perkebunan Besar Negara (PBN)
40.158 ha dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) 28.151 ha. Tingkat produktivitas
daun teh kering di Indonesia saat ini hanya 1.516 kg/ha/tahun, jauh lebih rendah
dari produktivitas potensial yaitu 2.000 kg/ha/tahun. Kondisi tersebut antara lain
disebabkan karena sebagian besar areal tanaman teh belum menggunakan benih
unggul, umurnya sudah tua/rusak/tidak menghasilkan, populasi tiap hektar tidak
penuh dan pemeliharaan tanaman teh oleh petani kurang intensif (Septyan, 2013).
Perubahan iklim memiliki dampak yang penting dalam produksi tanaman teh.
Karena tanaman teh sangat bergantung pada distribusi curah hujan yang baik,
pertambahan suhu udara dan perubahan pola curah hujan yang akan berpengaruh
pada kuantitas dan kualitas dari produksi tanaman teh. Ancaman terutama
menyebabkan kerentanan pada petani kecil dan pemilik perkebunan teh (ITC,
2014).
Kondisi optimal yang diperlukan oleh pertumbuhan tanaman teh adalah suhu
udara yang berkisar antara 13-25 oC, yang diikuti oleh cahaya matahari yang cerah
dengan kelembapan relatif pada siang hari tidak kurang dari 70 persen, curah hujan
tahunan yang diperlukan adalah 2000 mm - 2500 mm, dengan jumlah hujan pada
musim kemarau rata-rata tidak kurang dari 100 mm (Setyamidjaja, 2000).
Fenomena perubahan iklim berpengaruh terhadap kondisi iklim mikro di
wilayah Puncak. Salah satu fenomena perubahan iklim yang terjadi di wilayah
Puncak adalah meningkatnya suhu udara. Saat ini udara di wilayah Puncak tidak
sedingin seperti dahulu karena adanya peningkatan gas CO2 akibat kendaraan
3
Universitas Indonesia
bermotor dan banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi perumahan,
hotel, ataupun villa (Wikantika dkk, 2006).
Produksi teh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Gunung Mas, saat ini
terus mengalami penurunan selama tiga tahun terakhir, dari semula mampu
menghasilkan teh sebanyak 30 ton/hari sekarang hanya 10 ton/hari. Terus
menurunnya produksi teh tersebut disebabkan kondisi cuaca yang mulai kurang
mendukung, usia tanaman teh yang semakin tua, makin berkurangnya luas areal
lahan tanam, serta sejumlah faktor penunjang lainnya (Sukarno, 2013).
Perubahan iklim tentunya akan mempengaruhi tingkat kerentanan
perkebunan teh di wilayah Puncak. Hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri untuk
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kerentanan perkebunan teh terhadap
perubahan iklim di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijabarkan, maka masalah yang akan
diteliti adalah : “Bagaimana kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim
di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan kerentanan perkebunan teh
terhadap perubahan iklim di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.
1.4 Batasan Penelitian
Agar penelitian ini lebih fokus dan terarah, maka penelitian ini dibatasi dalam
upaya memahami tingkat kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim di
wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango. Secara lebih spesifik penelitian ini
dibatasi pada :
1. Daerah penelitian adalah perkebunan teh yang berada di wilayah Gunung
Gede Pangrango yang berada pada ketinggian di atas 500 mdpl dan dilalui
oleh jalan Raya Puncak-Cianjur.
2. Perubahan iklim pada penelitian ini menggunakan perubahan curah hujan dan
suhu udara sebagai indikator adanya perubahan iklim di wilayah Puncak.
4
Universitas Indonesia
3. Curah hujan dan suhu udara yang diteliti yaitu dari tahun 1981-2010 dengan
melihat adanya perubahan tren curah hujan dan suhu udara yang terjadi
selama 30 tahun. Tren adalah kecenderungan perubahan nilai parameter iklim
naik atau turun pada suatu periode tertentu (BMKG, 2012).
4. Perkebunan teh di wilayah Puncak merupakan perkebunan yang dimiliki oleh
perusahaan. Perkebunan teh yang diteliti adalah perkebunan teh milik negara
dan perkebunan teh milik swasta. Terdapat dua perkebunan teh milik negara
yaitu Gedeh dan Gunung Mas. Dan terdapat empat perkebunan teh milik
swasta yaitu Ciliwung, Ciseureuh, Maleber dan Pasir Sarongge.
5. Pemeliharaan teh yang dimaksud adalah cara pembudidayaan teh yang
dilakukan oleh perusahaan agar teh yang dihasilkan berkualitas baik.
Pemeliharaan teh ini dilihat dari pengendalian hama dan penyakit, dan
pemupukan.
6. Intensitas serangan hama dan penyakit yang dimaksud adalah persentasi luas
lahan yang terkena serangan hama dan penyakit dibandingkan dengan luas
seluruh lahan di perkebunan teh.
7. Jenis tanaman teh adalah persebaran mayoritas jenis tanaman teh unggulan
atau jenis tanaman teh bukan unggulan. Tanaman teh unggulan yaitu jenis
Tea Research Institute (TRI) dan jenis tanaman teh bukan unggulan yaitu
jenis Gambung (GMB).
8. Pendapatan perusahaan adalah besar pendapatan (rupiah) yang didapat
perusahaan perkebunan teh dalam setahun per luas lahan dalam hektar (ha).
9. Teknologi pengolahan adalah teknologi yang digunakan oleh perusahaan
setelah melakukan panen teh agar teh yang dihasilkan dapat dikonsumsi.
Pengolahan teh terdiri dari pengolahan teh modern dan tradisional.
Pengolahan teh modern menggunakan teknologi pengolahan Cutting, Tearing
and Curling (CTC) sedangkan pengolahan teh tradisional menggunakan
teknologi pengolahan Orthodoks.
5 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perubahan Iklim
Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau
tidak langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi
atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati
pada kurun waktu yang dapat dibandingkan (UU No. 31 Tahun 2009).
Perubahan iklim mengacu pada perubahan dalam keadaan iklim yang dapat
diidentifikasi (dengan menggunakan uji statistik) oleh perubahan dalam iklim dan
variabilitas sifat-sifatnya yang berlangsung selama jangka waktu yang panjang,
biasanya dalam dekade atau lebih. Perubahan iklim mungkin terjadi karena proses
internal (alami) dan eksternal atau perubahan aktifitas manusia terus-menerus
dalam komposisi atmosfer dan penggunaan lahan. Bukti-bukti baru yang kuat
menyatakatan bahwa mayoritas pemanasan bumi yang diobservasi selama 50 tahun
terakhir disebabkan oleh aktifitas manusia (IPCC, 2007).
Cuaca berubah sepanjang waktu, iklim biasanya akan sama dalam berabad-
abad jika tidak diganggu. Manusia melakukan aktivitas yang signifikan sehingga
merubah bumi dan iklimnya. Perubahan iklim disebabkan oleh efek gas rumah kaca
(GRK), yaitu gas-gas hasil emisi yang terakumulasi di atmosfer.
Gambar 2.1 Suplai CO2 dari bumi bagi gas rumah kaca
[Sumber : IPCC, 2007]
6
Universitas Indonesia
Gas rumah kaca yang paling dominan adalah uap air (H2O), kemudian disusul
oleh karbondioksida (CO2). Gas rumah kaca yang lain adalah methana (CH4),
dinitro-oksida (N2O), ozone (O3) dan gas-gas lain dalam jumlah yang lebih kecil.
Dengan demikian pengertian dari pemanasan global pada dasarnya adalah
peningkatan suhu rata-rata atmosfer di dekat permukaan bumi dan laut selama
beberapa dekade terakhir dan proyeksi untuk beberapa waktu yang akan datang.
Sementara itu hasil pengamatan selama 157 tahun terakhir menunjukkan bahwa
suhu permukaan bumi global mengalami peningkatan sebesar 0,05 oC/dekade. Dan
selama 25 tahun terakhir peningkatan suhu semakin tajam, yaitu sebesar 0,18
oC/dekade. Gejala pemanasan juga terlihat dampaknya dengan adanya peningkatan
suhu laut, naiknya permukaan laut, pencairan es dan berkurangnya salju di belahan
kutub utara (BMKG, 2012).
Variabilitas iklim mengacu pada variasi dalam keadaan rata-rata dan statistik
lainnya (seperti standar deviasi, terjadinya ekstrem, dll) dari iklim pada semua skala
spasial dan temporal, di luar itu dari beberapa peristiwa cuaca. Variabilitas mungkin
terjadi karena proses internal alami dalam sistem iklim (variabilitas internal),
variasi terjadi secara alami dan terjadi karena proses pendorong antropogenik
(variabilitas eksternal) (IPCC, 2007).
Sistim iklim bumi merupakan sebuah sistim interaksi kompleks antara
atmosfer, permukaan tanah, salju dan es, lautan serta badan air lainnya, dan
makhluk hidup. Komponen iklim yang paling mendominasi karakter iklim adalah
atmosfer. Iklim sering didefinisikan sebagai “cuaca rata-rata‟. Iklim biasanya
dideskripsikan sebagai rata-rata dari variabilitas suhu, hujan dan angin selama
beberapa periode waktu (bulan hingga jutaan tahun). Periode yang sering digunakan
adalah 30 tahun. Sistim iklim berubah karena dipengaruhi oleh dinamika internal
iklim itu sendiri dan akibat perubahan faktor pendorong luar yang
mempengaruhinya (disebut ”forcing”). Faktor (forcing) luar meliputi fenomena
alamiah (seperti letusan gunung berapi dan variabilitas matahari) dan perubahan
akibat aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer. Radiasi matahari
merupakan sumber tenaga utama sistim iklim bumi (IPCC, 2007).
Menurut Rusbiantoro (2008), jika ditinjau dari kejadiannya perubahan iklim
merupakan kejadian yang diakibatkan oleh :
7
Universitas Indonesia
1. Meningkatnya temperatur rata-rata pada lapisan atmosfer
2. Meningkatnya temperatur pada air laut
3. Meningkatnya temperatur pada daratan
Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa gejala terjadinya perubahan iklim
dapat diamati dan dirasakan dengan adanya :
1. Pergantian musim yang tidak bisa diprediksi
2. Hujan badai sering terjadi di mana-mana
3. Sering terjadi angin puting beliung
4. Banjir dan kekeringan terjadi pada waktu yang bersamaan
5. Penyakit mewabah di banyak tempat
6. Terumbu karang memutih
Banyak ahli berpendapat bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah
aktivitas manusia walau ada penyebab lain yang bersifat alami. Penyebab
pemanasan bumi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia ini antara lain :
1. Pembakaran bahan bakar batu bara, misalnya untuk pembangkit listrik
2. Pembakaran minyak bumi, misalnya untuk kendaraan bermotor
3. Pembakaran gas alam, misalnya untuk keperluan memasak
Akibat dari proses pembakaran itu, karbon dioksida dan gas-gas lainnya
terlepas ke atmosfer. Gas-gas tersebut disebut dengan gas rumah kaca. Jika gas
rumah kaca yang memenuhi atmosfer semakin banyak, maka akan semakin kuat
juga menjadi insulator yang menyekat panas dari sinar matahari yang dipancarkan
ke permukaan bumi. Diperkirakan proses menghangat dan mendinginnya bumi ini
telah saling berganti-ganti dan kurang lebih terjadi selama 4 milyar tahun
(Rusbiantoro, 2008).
2.2 Kerentanan
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengkaji pengaruh
perubahan iklim adalah tingkat kerentanan. Kerentanan merupakan suatu
terminologi yang komplek dan tidak pasti sehingga masih banyak terdapat
pengertian tentang kerentanan tergantung pada lingkup penelitian (Fussel, 2007).
Kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik,
sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dapat meningkatkan resiko terhadap dampak
8
Universitas Indonesia
bahaya. Secara garis besar kerentanan merupakan kondisi dimana sistem tidak
dapat menyesuaikan dengan dampak dari suatu perubahan. Kerentanan berbeda
secara temporal dan spasial (Fussel, 2007).
Pada tahun 1996, Cutter mendefinisikan kerentanan tempat sebagai hasil
penggabungan dari kerentanan fisik dan kerentanan sosial. Konteks dalam
kerentanan fisik misalnya adalah ketinggian dan jarak, sedangkan struktur pada
kerentanan sosial misalnya adalah pengalaman, persepsi dan lingkungan. Seperti
yang diilustrasikan pada Gambar 2.2 berikut.
Gambar 2.2 Model kerentanan tempat
[Sumber : Cutter, 1996]
Kerentanan terhadap perubahan iklim dalam International Panel on Climate
Change (IPCC, 2007) diartikan sebagai keterbatasan kapasitas yang dimiliki untuk
mengatasi konsekuensi negatif dari perubahan iklim. Kerentanan dapat juga
diartikan sebagai derajat kemudahan suatu sistem terkena dampak, atau
ketidakmampuan untuk menanggulangi dampak, termasuk dampak dari variabilitas
iklim dan kondisi ekstrim. Hutan dan masyarakat memperlihatkan kerentanan yang
berbeda terhadap iklim yang bervariasi, tergantung pada daerah dan tipe hutan,
kondisi geografis, latar belakang budaya, kebijakan, kelembagaan, dan sebagainya.
Keterpaparan (Exposure) menunjukkan derajat, lama dan atau besar peluang
suatu sistem untuk kontak atau dengan goncangan atau gangguan. Sensitivitas
(Sensitivity) merupakan kondisi internal dari sistem yang menunjukan derajat
9
Universitas Indonesia
kerawanannya terhadap gangguan. Gabungan aspek keterpaparan dan aspek
sensitivitas terhadap perubahan iklim akan menghasilkan potensi dampak (potential
impact) pada suatu sistem.
Kapasitas adaptasi (Adaptive Capacity) menunjukkan kemampuan dari suatu
sistem untuk melakukan penyesuaian (adjust) terhadap perubahan iklim sehingga
potensi dampak negatif dapat dikurangi dan dampak positif dapat dimaksimalkan
atau dengan kata lain kemampuan untuk mengatasi konsekuensi dari perubahan
iklim “to cope with the consequences” (Gallopin, 2006). Secara konseptual faktor
pembentuk kerentanan dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 Faktor pembentuk kerentanan
[Sumber : LCC-VP, 2012]
IPCC (2007) menyatakan bahwa kerentanan perubahan iklim dapat dikaji dari
tiga komponen kerentanan yaitu Eksposure (E), Sensitivity (S), dan Adaptive
Capacity (AC). Besarnya kerentanan sangat tergantung pada besarnya bobot dari
ketiga komponen tersebut. Tingkat kerentanan (V, vulnerability) berbanding lurus
dengan (E, eksposure) dan (S, sensitivity) serta berbanding terbalik dengan (AC,
adaptive capacity), yang dapat dinyatakan dalam bentuk formulasi berikut ini :
𝑉 = (𝐸 𝑥 𝑆)
AC
(2.1)
10
Universitas Indonesia
Keterangan :
V = Vulnerability (kerentanan)
E = Eksposure (keterpaparan)
S = Sensitivity (sensitivitas)
AC = Adaptive Capacity (kapasitas adaptasi)
Penilaian kerentanan dilihat pada aspek fisik (bentang alam) dan aspek
sosial (rumah tangga) yang didasarkan pada tiga faktor kerentanan, yaitu :
exposure (keterpaparan), sensitivity (sensitivitas) dan adaptive capacity (kapasitas
adaptasi) pernah dilakukan oleh Quan, dkk (2013) (lihat Gambar 2.4). Strategi
adaptasi digunakan untuk mengatasi faktor-faktor yang diidentifikasi saat
penilaian kerentanan. Kemudian hasil dari setiap strategi adaptasi terhubung
kembali untuk menilai apakah berkontribusi untuk mengurangi kerentanan.
Gambar 2.4 Kerangka kerja penilaian kerentanan perubahan iklim dan adaptasi
di tingkat lokal
[Sumber : Quan dkk, 2013]
Penelitian tentang kerentanan wilayah terhadap perubahan iklim yang
didasarkan atas aspek keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi, antara lain
11
Universitas Indonesia
pernah dilakukan oleh Prasetyo (2013) yang mengkaji kerentanan wilayah
kekeringan terhadap perubahan iklim di Kabupaten Gunung Kidul dan Bakti
(2013) yang mengkaji kerentanan wilayah terhadap penyimpangan curah hujan
musim kemarau di Kabupaten Temanggung.
2.3 Tanaman Teh
Tanaman teh merupakan tanaman subtropis yang sejak lama telah dikenal
dalam peradaban manusia. Tanaman teh termasuk genus Camellia dari famili
Theaceae (Setyamidjaja, 2000). Tanaman teh merupakan tanaman tahunan, para
ahli tanaman memberi nama antara lain Camellia theifera, Thea sinensis,
Camellia thea dan terakhir dikenal dengan sebutan Camellia sinensis (L) O.
Kuntze. Tanaman teh mempunyai lebih dari 82 spesies, terutama tersebar di
kawasan Asia Tenggara hingga India, baik pada garis lintang 30° sebelah Utara
maupun Selatan khatulistiwa (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006).
Daun teh berupa daun tunggal yang berbentuk lanset dengan ujung
meruncing, berwarna hijau, dan tepinya bergerigi. Daun tua bertekstur seperti
kulit, permukaan atasnya berkilat dan berwarna hijau kelam. Bunga teh termasuk
bunga sempurna yang mempunyai putik (calyx) dengan 5 sampai 7 mahkota
(sepal). Daun bunga (petal) berjumlah sama dengan mahkota, berwarna putih
halus berlilin, berbentuk lonjong cekung. Tangkai sari panjang dengan benang sari
(anther) kuning bersel kembar, menonjol 2 mm sampai dengan 3 mm ke atas
(Setyamidjaja, 2000).
Buah yang masih muda berwarna hijau, bersel tiga, dan berdinding tebal,
mula-mula berkilat, tetapi semakin tua bertambah suram dan kasar. Bijinya
berwarna cokelat beruang tiga, berkulit tipis, berbentuk bundar di satu sisi dan
datar di sisi lain. Biji berbelah dua dengan kotiledon besar, yang jika dibelah akan
secara jelas memperlihatkan embrio akar dan tunas (Setyamidjaja, 2000).
2.3.1 Syarat Tumbuh
Tanaman teh berasal dari daerah subtropik yang terletak pada 25 - 35°
Lintang Utara dan 95 - 105° Bujur Timur, terutama terpusat pada kawasan antara
29° Lintang Utara dan 98° Bujur Timur. Daerah teh berada pada daerah miring
berbentuk kipas, terletak di antara Pegunungan-pegunungan Naga, Manipuri, dan
12
Universitas Indonesia
Lushai di sepanjang perbatasan Assam-Birma di ujung barat, membentang
melalui wilayah China sampai Provinsi Chekiang di ujung timur, dan ke selatan
melalui pegunungan-pegunungan di Birma (sekarang Myanmar), Thailand, terus
ke Vietnam (Setyamidjaja, 2000).
Tanaman teh karena berasal dari sub tropis, maka cocok ditanam di daerah
pegunungan. Garis besar syarat tumbuh untuk tanaman teh adalah kecocokan
iklim dan tanah.
1. Iklim
Faktor iklim yang harus diperhatikan seperti suhu udara yang baik berkisar
13 - 15 °C, kelembaban relatif pada siang hari lebih dari 70 persen, curah hujan
tahunan tidak kurang 2.000 mm, dengan bulan penanaman curah hujan kurang
dari 60 mm tidak lebih 2 bulan. Dari segi penyinaran sinar matahari sangat
mempengaruhi pertanaman teh. Makin banyak sinar matahari makin tinggi suhu,
bila suhu mencapai 30 °C pertumbuhan tanaman teh akan terlambat. Pada
ketinggian 400 – 800 m kebun-kebun teh memerlukan pohon pelindung tetap atau
sementara. Disamping itu perlu mulsa sekitar 20 ton/ha untuk menurunkan suhu
tanah. Suhu tanah tinggi dapat merusak perakaran tanaman, terutama akar
dibagian atas. Faktor iklim lain yang harus diperhatikan adalah tiupan angin yang
terus menerus dapat menyebabkan daun rontok. Angin dapat mempengaruhi
kelembaban udara serta berpengaruh pada penyebaran hama dan penyakit
(Effendi dkk, 2010).
2. Tanah
Tanah yang cocok untuk pertumbuhan tanaman teh adalah tanah yang serasi.
Tanah yang serasi adalah tanah yang subur, banyak mengandung bahan organik,
tidak terdapat cadas dengan derajat keasaman 4,5 – 5,6. Tanah yang baik untuk
pertanaman teh terletak di lereng-lereng gunung berapi dinamakan tanah Andisol.
Selain Andisol terdapat jenis tanah lain yang serasi bersyarat, yaitu Latosol dan
Podzolik. Kedua jenis tanah ini terdapat di daerah yang rendah di bawah 800
mdpl. Dalam rangka pembukaan dan pengelolaan kebun perlu dilakukan survei
tanah agar diketahui klasifikasi kesesuaian tanah dan kemampuan lahan.
Kesesuaian tanah yang ada dibagi kedalam kategori I, II, dan III. Sedangkan
kemampuan lahan menghasilkan peta yang berisi kemiringan lahan, ketebalan
13
Universitas Indonesia
tanah, peta kemampuan lahan dan peta rekomendasi penggunaan lahan (Effendi
dkk, 2010).
3. Elevasi
Sepanjang iklim dan tanah serasi bagi pertanaman teh, elevasi tidak menjadi
faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman teh. Terdapat kaitan antara elevasi
dan unsur iklim seperti suhu udara. Makin rendah elevasi pertanaman, suhu udara
akan makin tinggi. Oleh sebab itu pada daerah rendah diperlukan pohon pelindung
untuk mempengaruhi suhu udara menjadi lebih rendah sehingga tanaman teh
tumbuh baik. Menurut keserasian elevasi di Indonesia terdapat tiga daerah, yaitu:
Daerah rendah < 800 m di atas permukaan laut
Daerah sedang 800 – 1.200 m di atas permukaan laut
Daerah tinggi > 1.200 m di atas permukaan laut
Pengaruh suhu udara sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
teh sehingga mutu yang dihasilkan tergantung dari tempat teh itu ditanam.
Umumnya aroma teh yang dihasilkan pada daerah tinggi lebih baik dari pada
daerah rendah. Perkebunan teh di Indonesia terdapat pada keserasian elevasi
cukup luas, sekitar 400-2000 mdpl (Effendi dkk, 2010).
Perkebunan teh yang terletak pada ketinggian di atas 1500 mdpl sering
mengalami kerusakan karena terjadinya embun beku (night forst) pada bulan
terkering di musim kemarau. Pembekuan yang ringan hanya akan merusak
ranting-ranting petikan dan hanya mengakibatkan kerugian hasil tenpa merusak
tanamannya sendiri. Tetapi pembekuan yang berat dapat mengakibatkan matinya
cabang-cabang dan pendaunannya, sehingga untuk membuang jaringan-jaringan
tanaman yang mati, terpaksa mengadakan pemangkasan pada bagian kebun yang
cukup luas (Setyamidjaja, 2000).
2.3.2 Pemeliharaan Teh
1. Pembibitan
Dalam rangka pengembangan budidaya teh, pembibitan dapat
menggunakan bahan tanaman yang berasal dari biji atau stek.
14
Universitas Indonesia
2. Penanaman
Sebelum ditanami perlu dilakukan penetapan jarak tanam dengan
pengajiran. Setelah itu baru dilakukan pembuatan lobang tanam sesuai letak ajir.
Selesai pembuatan lobang tanam baru dilakukan penanaman.
3. Pengelolaan Tanaman
Untuk mencapai tujuan pengelolaan tanaman yang baik, maka kegiatan
yang harus dilakukan terdiri atas : penyiangan, pembuatan rorak, penyulaman,
pengelolaan tanaman pelindung, dan pembentukan bidang petik.
4. Pemangkasan
Pekerjaan pemangkasan dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi
bidang petik sehingga memudahkan dalam pekerjaan pemetikan dan mendapatkan
produktivitas tanaman yang tinggi.
Tujuan dari pekerjaan pemangkasan adalah:
a. Memelihara bidang petik tetap rendah untuk memudahkan pemetikan
b. Mendorong pertumbuhan tanaman teh agar tetap pada fase vegetatif.
c. Membentuk bidang petik (frame) seluas mungkin.
d. Merangsang pertumbuhan tunas-tunas baru.
e. Meringankan biaya pengendalian gulma.
f. Membuang cabang-cabang yang tidak produktif.
g. Mengatur fluktuasi produksi harian pada masa flush dan masa minus
(kemarau).
5. Pemupukan
Pemupukan bertujuan untuk meningkatkan daya dukung lahan untuk
perkembangan dan pertumbuhan tanaman teh. Oleh karena itu pemupukan harus
dilakukan pada waktu, dosis, jenis, dan pelaksanaan yang tepat.
6. Pemetikan
Fungsi dari pemetikan pucuk tanaman teh agar memenuhi syarat-syarat
pengolahan dimana tanaman mampu membentuk suatu kondisi yang berproduksi
secara berkesinambungan. Kecepatan pertumbuhan dari tunas baru tergantung
dari tebal lapisan daun pendukung pertumbuhan tunas 15-20 cm. Kecepatan
pembentukan tunas menentukan aspek-aspek pemetikan seperti: jenis pemetikan,
15
Universitas Indonesia
jenis petikan, daun petik, areal petik, tenaga petik, dan pelaksanaan pemetikan
(Effendi dkk, 2010).
2.3.3 Hama dan Penyakit Tanaman Teh
1. Kepik pengisap daun teh (Helopeltis spp.)
Helopeltis antonii dan Helopeltis theivora, Famili Miridae, Ordo
Hemiptera. Kepik pengisap daun atau Helopeltis menyerang pucuk daun muda.
Kepik ini menusuk dan mengisap daun teh sehingga menjadi bercak-bercak hitam.
2. Ulat penggulung daun
Homona coffearia, Famili Tortricidae, Ordo Lepidoptera. Ulat penggulung
daun membuat tempat berlindung untuk diri sendiri dari daun teh; caranya dengan
menyambungkan dua (atau lebih) daun bersama-sama dengan benang sutra, atau
dengan menggulung satu daun lalu menyambungkan pinggirnya. Daun yang
terserang tidak dapat dipetik sebagai hasil panen teh.
3. Ulat jengkal (ulat kilan)
Hyposidra talaca, Ectropis bhurmitra dan Buzura suppressaria, Famili
Geometridae, Ordo Lepidoptera. Ulat jengkal menyerang daun, pupus daun dan
pentil teh. Serangan berat menyebabkan daun berlobang dan pucuk tanaman
gundul, sehingga tinggal tulang daun saja.
4. Ulat penggulung pucuk
Cydia leucostoma, Famili Tortricidae, Ordo Lepidoptera. Ulat penggulung
pucuk menyerang bagian tanaman teh yang akan dipanen oleh petani, jadi hama
ini memiliki potensi cukup besar untuk merugikan petani. Ulat tersebut
menggulung daun pucuk dengan memakai benang-benang halus untuk mengikat
daun pucuk sehingga tetap tergulung. Cara dia menggulung daun cukup khas.
5. Cacar daun (Exobasidium vexans Massee)
Penyakit cacar daun teh yang disebabkan oleh jamur E. vexans dapat
menurunkan produksi pucuk basah sampai 50 persen karena menyerang daun atau
ranting yang masih muda. Umumnya serangan terjadi pada pucuk peko, daun
pertama, kedua dan ketiga. Gejala awal terlihat bintik-bintik kecil tembus cahaya,
kemudian bercak melebar dengan pusat tidak berwarna dibatasi oleh cincin
berwarna hijau, lebih hijau dari sekelilingnya dan menonjol ke bawah. Pusat
bercak menjadi coklat tua akhirnya mati sehingga terjadi lobang.
16
Universitas Indonesia
6. Penyakit akar
Penyakit akar yang penting pada tanaman teh yaitu :
a. Penyakit akar merah anggur (Ganoderma pseudoferreum);
b. Penyakit akar merah bata (Proria hypolateritia);
c. Penyakit akar hitam (Rosellinia arcuata dan R. bunodes);
d. Penyakit leher akar (Ustulina maxima);
e. Penyakit kanker belah (Armellaria fuscipes).
7. Penyakit busuk daun
Cylindrocladium scoparium dan Glomerella cingulata. Penyakit busuk
daun disebabkan oleh C. Scoparium dan G. cingulata yang menyerang tanaman
teh di pesemaian, dapat mengakibatkan matinya setek teh. Bibit terserang, timbul
bercak-bercak coklat pada daun induknya, dimulai dari bagian ujung atau dari
ketiak daun. Pada serangan lanjut, daun induk terlepas dari tangkai, akhirnya setek
mengering /mati.
8. Penyakit mati ujung (Die back) Pestalotia theae
Penyakit mati ujung disebabkan oleh jamur Pestalotia thea yang menyerang
tanaman terutama melalui luka atau bagian daun yang rusak. Gejala pada daun
dimulai bercak kecil berwarna coklat, kemudian melebar. Pusat bercak keabu-
abuan dengan tepinya berwarna coklat. Dapat menyerang ranting yang masih
hijau, dengan gejala sama seperti di daun. Serangan jamur dapat menjalar sampai
ke tunas sehingga ranting dan tunas mengering (Effendi dkk, 2010).
2.3.4 Pengolahan Teh
Teh hitam diolah melalui fermentasi, dan dibagi dua, yaitu teh orthodoks
dan teh CTC (Cutting, Tearing, dan Curling). Teh orthodoks adalah teh yang
diolah melelui proses pelayuan sekitar 16 jam, penggulungan, fermentasi,
pengeringan, sortasi, hingga terbentuk the jadi. Teh CTC (Cutting, Tearing, dan
Curling) yakni teh yang diolah melalui perajangan, penyobekan, dan
penggulungan daun basah menjadi bubuk kemudian dilanjutkan dengan
fermentasi, pengeringan, sortasi, hingga terbentuk teh jadi.
Pada awalnya, di Indonesia hanya memproduksi teh hitam orthodoks.
Sejalan dengan pergeseran selera konsumen yang mengarah pada teh celup yang
komponen terbesarnya merupakan teh CTC (Crushing Tearing and Curling), teh
17
Universitas Indonesia
hitam orthodoks kini jarang dipakai. Kini banyak industri teh yang mengolah teh
dengan sistem CTC (Crushing, Tearing, dan Curling). Sistem CTC ini relatif baru
di Indonesia.
Berikut ini merupakan tahap-tahap dan penjelasan pengolahan teh dengan
menggunakan sistem orthodoks :
Gambar 2.5 Proses pengolahan teh hitam Orthodoks
[Sumber : Wagu, 2001]
1. Proses Pelayuan, yaitu menggunakan kotak untuk melayukan daun
(Whithering trought), merupakan kotak yang diberikan kipas untuk
menghembuskan angin ke dalam kotak. Proses ini mengurangi kadar air
dalam daun teh sampai 70%. Pembalikan pucuk 2 - 3 kali untuk meratakan
proses pelayuan.
2. Proses Penggilingan, yaitu bertujuan untuk memecah sel-sel daun, agar
proses fermentasi dapat berlangsung secara merata.
3. Proses Oksidasi. Setelah proses penggilingan selesai daun teh di tempatkan
di meja dan enzim didalam daun teh akan memuali oksidasi karena
bersentuhan dengan udara luar. Ini akan menciptakan rasa dan warna teh.
Proses ini berlangsung sekitar 0,5 sampai 2 jam.
4. Proses Pengeringan, yaitu menggunakan ECP drier (Endless Chain
Pressure drier) & Fluid bed drier. Kadar air produk yang dihasilkan 3-5 %.
18
Universitas Indonesia
Berikut ini merupakan tahap-tahap dan pengolahan teh menggunakan sistem
CTC (Crushing Tearing and Curling) :
Gambar 2.6 Proses pengolahan teh hitam CTC
[Sumber : Wagu, 2001]
1. Penyiapan bahan baku, yaitu bahan baku yang berupa pucuk halus dari hasil
pemetikan medium murni, karena pucuk yang halus sangat membantu
kelancaran proses penggilingan. Pucuk teh halus ini minimal harus 60% dan
utuh.
2. Pelayuan. Cara pelayuan pucuk untuk pengolahan teh CTC ini bisa
mencapai 32%-35% derajat layu, dan kadar air 65%- 68%. Proses pelayuan
membutuhkan waktu 4-6 jam dan masih memerlukan pelayuan bahan kimia,
sehingga pelayuan diperpanjang menjadi 12-16 jam.
3. Pengayakan pucuk layu. Pengayakan ini sangat berguna dalam pengolahan,
yaitu untuk memisahkan pucuk dari berbagai kotoran, seperti pasir krikil
dan benda lainnya yang dapat menyebabkan tumpulnya pisau/gigi pada
gilingan CTC.
4. Penggilingan. Mesin giling CTC mampu menghancurkan daun dengan
sempurna, sehingga seluruh sel daunnya pecah, dengan demikian
menghasilkan oksidasi enzimatis (fermentasi) senyawa-senyawa polifenol
lebih banyak. Penghancuran daun yang merta ini, akan menunjang
terjadinya berbagai proses biokimia, antara lain adalah proses oksidasi
19
Universitas Indonesia
enzimatis polifenol, perombakan pektin oleh enzim dan perombakan
klorofil oleh enzim.
5. Fermentasi. Fermentasi bubuk basah memerlukan suhu udara rendah 25ºC
dan kelembaban tinggi 90%-100%. Fermentasi pada pengolahan CTC ini
dapat memakai fermenting trays, dibeber dilantai atau continous fermenting
mechine (CFM). Waktu fermentasi antara 80-85 menit. Hasil fermentasi teh
CTC lebih merata, karena bubuk basah lebih kecil dan rata.
6. Pengeringan. Pengeringannya dilakukan sampai kadar air pada bahan
mencapai 3-5%.
7. Sortasi. Sortasi teh kering pada pengolahan CTC lebih sederhana
dibandingkan dengan teh hitam orthodoks. Keringan teh CTC ukurannya
hampir seragam dan serta-serat yang tercampur dengan keringan hanya
sedikit. Di samping memisahkan serat dan tangkai, sor tasi kering juga dapat
memisahkan partikel-partikel teh yang ukurannya seragam.
Karakteristik Pengolahan Teh Hitam Orthodoks dan The Hitam CTC :
Tabel 2.1 Karakteristik pengolahan teh hitam Orthodoks dan teh hitam CTC
Sistem Orthodoks Sistem CTC
Derajat layu pucuk 44-46 % Derajat layu pucuk 32-35%
Dilakukan sortasi bubuk basah Tanpa dilakukan sortasi bubuk
basah
Tangkai/tulang terpisah disebut
badag Bubuk basah ukuran hampir sama
Diperlukan pengeringan ECP
(Endless Chain Preasure)
Pengeringan cukup FBD (Fluid
Bad Dryer)
Cita rasa air seduhan kuat Cita rasa air seduhan kurang kuat,
air seduhan cepat merah
Tenaga kerja banyak Tenaga kerja sedikit
Tenaga listrik tinggi Tenaga listrik sedikit
Sortasi kering kurang sederhana Sortasi kering sederhana
Oksidasi enzimatis bubuk basah
105-120 menit
Oksidasi enzimatis bubuk basah
80-85 menit
Waktu yang diperlukan dalam
proses pengolahan lebih dari 20
jam
Waktu yang diperlukan dalam
proses pengolahan kurang dari 20
jam [Sumber : Rosyadi, 2001]
20
Universitas Indonesia
Akibat perbedaan cara pengolahan, maka teh Orthodoks dan CTC memiliki
perbedaan-perbedaan, baik dari bentuk maupun cita rasanya. Dapat dilihat pada
table dibawah ini.
Tabel 2.2 Perbedaan cara pengolahan teh Orthodoks dan CTC
[Sumber : Rosyadi, 2001]
2.4 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan
oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan
masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki,
menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah
permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level
pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan
seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu
masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang
kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan
tampak lebih terstruktur dan sistematis. AHP sering digunakan sebagai metode
pemecahan masalah dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan
sebagai berikut :
1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih,
sampai pada subkriteria yang paling dalam.
2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi
berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan.
3. Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan
keputusan.
Pada dasarnya, prosedur atau langkah-langkah dalam metode AHP meliputi
(Kusrini, 2007) :
No Uraian Orthodoks CTC
1 Bentuk Agak pipih Butiran
2 Cita rasa Kuat Kurang kuat
3 Penyajian Lambat Cepat
4 Kebutuhan
penyeduhan
400-500
cangkir/kg
800-1000
cangkir/kg
21
Universitas Indonesia
1. Mengidentifikasi masalah dan menentukan solusi yang diinginkan, lalu
menyusun hierarki dari permasalahan yang dihadapi. Penulisan hierarki
adalah dengan menetapkan tujuan yang merupakan sasaran sistem secara
keseluruhan pada level teratas.
2. Menentukan prioritas elemen
a. Langkah pertama dalam menentukan prioritas elemen adalah
membuat perbandingan pasangan, yaitu membandingkan elemen
secara berpasangan sesuai kriteria yang diberikan.
b. Matriks perbandingan berpasangan diisi menggunakan bilangan untuk
merepresentasikan kepentingan relative dari suatu elemen terhadap
elemen yang lainnya.
3. Sintesis
Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan
disintesiskan untuk memperoleh keseluruhan prioritas. Hal-hal yang
dilakukan dalam langkah ini adalah :
a. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap kolom pada matriks
b. Membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang
bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks.
c. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan
jumlah elemen untuk mendapatkan nilai rata-rata.
Penilaian kriteria dan subkriteria dilakukan dengan perbandingan
berpasangan. Menurut Saaty (1986) untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9
adalah skala terbaik untuk mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat
kualitatif dari skala perbandingan Saaty bisa diukur menggunakan tabel analisis
seperti berikut :
22
Universitas Indonesia
Tabel 2.3 Nilai skala perbandingan berpasangan
Tingkat
Kepentingan Definisi Keterangan
1 Sama
Pentingnya
Kedua elemen mempunyai pengaruh yang
sama
3 Sedikit lebih
penting
Pengalaman dan penilaian sangat memihak
satu elemen dibandingkan dengan
pasangannya
5 Lebih Penting
Satu elemen sangat disukai dan secara
praktis dominasinya sangat nyata,
dibandingkan dengan elemen pasangannya.
7 Sangat
Penting
Satu elemen terbukti sangat disukai dan
secara praktis dominasinya sangat nyata,
dibandingkan dengan elemen pasangannya.
9 Mutlak lebih
penting
Satu elemen terbukti mutlak lebih disukai
dibandingkan dengan pasangannya, pada
keyakinan tertinggi.
2,4,6,8 Nilai Tengah
Diberikan bila terdapat keraguan penilaian
di antara dua tingkat kepentingan yang
berdekatan.
[Sumber : Saaty, 1986]
Penelitian terdahulu menggunakan metode AHP :
1. Anggi Puji Lestari dalam penelitiannya berjudul Pemintakatan Risiko Bencana
Banjir Bandang di Wilayah Dinoyo dan Kaliputih Kabupaten Jember
membahas tentang zona risiko banjir bandang (flash flood) yang melanda
Kabupaten Jember berdasarkan tingkat bahaya dan kerentanannya. Penelitian
ini menggunakan empat aspek untuk menentukan risiko banjir yaitu aspek
lingkungan, sosial, ekonomi dan fisik yang terdiri dari sebelas parameter, yaitu
curah hujan dengan bobot sebesar 16,9%, penggunaan lahan dengan bobot
sebesar 12,9%, kelerengan dengan bobot sebesar 12,3%, topografi dengan
bobot sebesar 10,7%, jarak dengan sungai dengan bobot sebesar 9,5%,
kepadatan bangunan dengan bobot sebesar 8,3%, kepadatan penduduk dengan
bobot sebesar 7,9, jenis tanah dengan bobot sebesar 7%, aspek ekonomi
(penduduk petani) dengan bobot sebesar 6,4%, penduduk tua + balita dengan
bobot sebesar 4,9%, dan jarak dari jalan dengan bobot sebesar 3,3%.
2. Wika Ristya dalam penelitiannya berjudul Kerentanan Wilayah terhadap
Banjir di Sebagian Cekungan Bandung membahas tentang tingkat bahaya
banjir, memetakan wilayah tergenang dan memetakan tingkat kerentanan
23
Universitas Indonesia
wilayah terhadap banjir. Penelitian ini menggunakan tiga aspek untuk
menentukan risiko banjir yaitu aspek sosial, ekonomi dan fisik yang terdiri dari
tujuh parameter, yaitu kepadatan penduduk dengan bobot sebesar 30,2%,
penduduk usia tua dengan bobot sebesar 9,5%, penduduk usia balita dengan
bobot sebesar 7,3%, pekerja di sektor informal dengan bobot sebesar 9,5%,
kemiskinan penduduk dengan bobot sebesar 17,4%, kepadatan bangunan
dengan bobot sebesar 20,2%, bangunan tidak permanen dengan bobot sebesar
5,9%. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tingkat bahaya banjir di daerah
penelitian didominasi oleh tingkat bahaya banjir rendah, semakin ke arah
tengah dan timur daerah penelitian tingkat bahaya banjir semakin tinggi,
kerentanan wilayah terhadap banjir didominasi oleh kerentanan sedang.
24 Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Penelitian
Metode penelitian yang akan dilakukan pada penelitian ini antara lain
meliputi metode pengumpulan data, metode pengolahan data dan analisis data.
Adapun alur pikir dan alur kerja dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.1.1 Alur Pikir Penelitian
Gambar 3.1 Alur pikir penelitian
Curah Hujan
Kapasitas Adaptasi :
Pemeliharaan Teh
Pendapatan
Perusahaan
Teknologi Pengolahan
Perubahan Iklim
Wilayah Puncak
Keterpaparan :
Penurunan Curah Hujan
Peningkatan Suhu Udara
Luas Lahan
Intensitas Serangan
Hama & Penyakit
Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap
Perubahan Iklim di Wilayah Puncak
Gunung Gede Pangrango
Sensitivitas :
Jenis Tanah
Jenis Tanaman Teh
Ketinggian
Perkebunan Teh
Suhu Udara
25
Universitas Indonesia
3.1.2 Alur Kerja Penelitian
Gambar 3.2 Alur kerja penelitian
3.2 Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : curah hujan, suhu udara,
luas lahan, intensitas serangan hama dan penyakit, jenis tanah, jenis tanaman teh,
ketinggian, pemeliharaan teh, pendapatan perusahaan, dan teknologi pengolahan.
3.3 Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data terdiri dari data primer dan data sekunder. Metode
pengumpulan data dilakukan melalui kajian atau studi literatur, survei instansi,
wawancara dan pengamatan langsung (direct observation).
Persiapan
•Studi literatur (pencarian buku teks, jurnal, e-book, internet browsing)
•Mencari lokasi lokasi perkebunan teh di wilayah Puncak
•Pembuatan peta lapang
•Pembuatan kuesioner
Pengumpulan Data/Survei
•Observasi dan foto lapang
•Pengumpulan data sekunder yaitu data curah hujan, data suhu udara, luas lahan perkebunan, intensitas serangan hama dan penyakit, peta jenis tanah, jenis tanaman teh, peta ketinggian, pemeliharaan teh, pendapatan perusahaan, teknologi pengolahan
•Pengumpulan data melalui wawancara dan penyebaran kuesioner
Pengolahan Data/Analisis
•Membuat peta persebaran curah hujan dan suhu udara
•Mencari tren curah hujan dan suhu udara
•Membuat dan memasukkan skor tiap variabel
•Membuat peta kerentanan pada setiap variabel
•Menghitung pembobotan tiap variabel dengan metode AHP
•Menganalisis data secara spasial untuk membuat peta kerentanan dengan metode Weighted Sum
•Menganalisis data secara deskriptif untuk menjelaskan kerentanan yang terjadi pada perkebunan teh
Hasil
•Peta kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim di wilayah Puncak
•Penjelasan kerentanan yang terjadi pada perkebunan teh
•Kesimpulan
26
Universitas Indonesia
3.3.1 Data Primer
Data primer dikumpulkan dengan melakukan penyebaran kuesioner kepada
para informan kunci (key informan) yang terdiri dari para pihak yang berkompeten
menangani masalah perubahan iklim dan perkebunan teh. Informan kunci yang
dilakukan wawancara ini terdiri dari tiga pakar yang digunakan untuk menghitung
bobot setiap variabel. Informan kunci yang dimaksud adalah dari Dinas Pertanian
dan Perkebunan Kabupaten Bogor, staf ahli perkebunan teh milik negara atau
swasta, dan Balai Penelitian Teh dan Kina.
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder berasal dari dokumen atau data Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Bogor, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Balai Penelitian
Tanah, Badan Informasi Geospasial, Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara dan
Perusahaan Swasta. Jenis dan sumber data dalam kajian kerentanan perkebunan teh
terhadap perubahan iklim, meliputi :
Tabel 3.1 Jenis dan sumber data sekunder
No Jenis Data Sumber
1 Curah Hujan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika)
2 Suhu Udara BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika)
3 Jenis Tanah BPT (Balai Penelitian Tanah)
4 Ketinggian BIG (Badan Informasi Geospasial)
5 Luas Lahan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Bogor
6 Pemeliharaan Teh PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan
Nusantara) dan Perusahaan Swasta
7 Jenis Tanaman Teh PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan
Nusantara) dan Perusahaan Swasta
8 Pendapatan
Perusahaan
PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan
Nusantara) dan Perusahaan Swasta
9 Intensitas Serangan
Hama dan Penyakit
PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan
Nusantara) dan Perusahaan Swasta
10 Teknologi
Pengolahan
PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan
Nusantara) dan Perusahaan Swasta
27
Universitas Indonesia
3.4 Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam
mengolah data primer dan sekunder untuk dilakukan pemetaan. SIG adalah sistem
yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data, manusia (brainware),
organisasi dan lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan,
menganalisis, dan menyebarkan informasi-informasi mengenai daerah-daerah di
permukaan bumi (Chrisman, 1997). Pengolahan data dalam penelitian ini
menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process), interpolasi IDW
(Inverse Distance Weighting) dan metode Weighted Sum.
Metode AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang
dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan
menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu
hirarki (tersusun). Penggunaan metode AHP dalam penelitian ini adalah untuk
menentukan seberapa besar bobot (kontribusi) yang diberikan variabel-variabel
kerentanan pada perkebunan teh.
Interpolasi adalah metode untuk mendapatkan data berdasarkan beberapa data
yang telah diketahui. Dalam pemetaan, interpolasi adalah proses estimasi nilai pada
wilayah yang tidak disampel atau diukur, sehingga terbentuk peta atau sebaran nilai
pada seluruh wilayah. Metode IDW merupakan metode deterministik yang
sederhana dengan mempertimbangkan titik disekitarnya. Asumsi dari metode ini
adalah nilai interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang dekat daripada data
sampel yang lebih jauh. Bobot (weight) akan berubah secara linear sesuai dengan
jaraknya dengan data sampel. Bobot ini tidak akan dipengaruhi oleh letak dari data
sampel (Pramono, 2008). Penggunaan interpolasi IDW dalam penelitian ini adalah
untuk melakukan pemetaan data iklim agar wilayah yang tidak diukur dapat
memiliki nilai, metode IDW dipilih karena nilai interpolasi IDW akan lebih mirip
pada data sampel yang lebih dekat. Daerah penelitian berada dekat dengan stasiun
pengamatan Citeko yang berarti hasil interpolasi akan maksimal.
Metode Weighted Sum adalah metode penyatuan data dari lapisan layer yang
berbeda (overlay) yang inputnya berupa data raster (pixel based), masing-masing
variabel memiliki pengaruh yang berbeda-beda dalam sebuah analisis yang
direpresentasikan dalam bentuk pembobotan. Output pada metode ini berupa data
28
Universitas Indonesia
raster dengan bilangan floating point . Floating point yaitu sebuah format bilangan
yang dapat digunakan untuk merepresentasikan sebuah nilai yang sangat besar atau
sangat kecil.
3.4.1 Data Perubahan Iklim
Perubahan iklim yang terjadi di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
dapat dilihat dari data curah hujan dan suhu udara yang berada di stasiun
meteorologi Citeko. Untuk melihat persebaran iklim yang terjadi di wilayah Puncak
diperlukan data dari beberapa stasiun meteorologi yang tersebar di dalam maupun
di luar (pada jarak terdekat) wilayah Puncak, yaitu terdiri dari 5 stasiun yang dapat
dilihat pada Tabel 3.2 dan lokasi stasiun meteorologi pada Gambar 3.3 di bawah
ini.
Tabel 3.2 Koordinat stasiun meteorologi
Stasiun Koordinat
Bujur Lintang
Cibinong 106,87 BT 6,47 LS
Darmaga Bogor 106,75 BT 6,50 LS
Geofisika Bandung 107,60 BT 6,92 LS
Citeko 106,93 BT 6,70 LS
Lembang 107,62 BT 6,83 LS
[Sumber : BMKG]
29
Universitas Indonesia
Gambar 3.3 Lokasi stasiun meteorologi
1. Curah Hujan
Membuat peta persebaran curah hujan di wilayah Puncak dengan
menggunakan metode interpolasi IDW pada perangkat lunak Arcgis 10. Peta
persebaran ini dibagi menjadi 3 periode, periode 1 yaitu dari tahun 1981-1990,
periode 2 yaitu dari tahun 1991-2000, dan periode 3 yaitu dari tahun 2001-2010.
Interpolasi dilakukan dengan memasukan nilai curah hujan pada 5 stasiun di
wilayah Puncak dan sekitarnya yaitu pada Tabel 3.2.
Setiap stasiun meteorologi dimasukan nilai curah hujan yang telah dihitung
nilai rata-rata jumlah curah hujan tahunan pada setiap periode. Kemudian mencari
tren curah hujan dari tahun 1981-2010 dengan membuat 3 grafik parameter tren
curah hujan, yaitu grafik tren curah hujan tahunan, curah hujan musim hujan dan
curah hujan musim kemarau yang diperoleh dari stasiun meteorologi Citeko dan
diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.
Selanjutnya membuat peta penurunan curah hujan di wilayah Puncak yang
diperoleh dengan mencari nilai tren curah hujan pada setiap stasiun meteorologi
dengan membuat grafik sehingga akan terlihat nilai tren pada setiap grafik, dan
terlihat bahwa rata-rata 5 stasiun meteorologi mengalami penurunan curah hujan
30
Universitas Indonesia
(Lampiran 4). Kemudian memasukan nilai tren pada setiap stasiun meteorologi
yang diolah menggunakan perangkat lunak Arcgis 10 dengan metode interpolasi
IDW.
2. Suhu Udara
Membuat peta persebaran suhu udara di wilayah Puncak dengan
menggunakan metode interpolasi IDW pada perangkat lunak Arcgis 10. Peta
persebaran ini dibagi menjadi 3 periode, periode 1 yaitu dari tahun 1981-1990,
periode 2 yaitu dari tahun 1991-2000, dan periode 3 yaitu dari tahun 2001-2010.
Interpolasi dilakukan dengan memasukan nilai suhu udara pada 5 stasiun di wilayah
Puncak dan sekitarnya yaitu pada Tabel 3.2.
Setiap stasiun meteorologi dimasukan nilai suhu udara yang telah dihitung
nilai rata-rata suhu udara tahunan pada setiap periode. Kemudian mencari tren suhu
udara dari tahun 1981-2010 dengan membuat 3 grafik parameter tren suhu udara,
yaitu grafik tren suhu udara rata-rata tahunan, suhu udara maksimum absolut
tahunan dan suhu udara minimum absolut tahunan yang diperoleh dari stasiun
meteorologi Citeko dan diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.
Selanjutnya membuat peta peningkatan suhu udara di wilayah Puncak yang
diperoleh dengan mencari nilai tren suhu udara pada setiap stasiun meteorologi
dengan membuat grafik sehingga akan terlihat nilai tren pada setiap grafik, dan
terlihat bahwa rata-rata 5 stasiun meteorologi mengalami peningkatan suhu udara
(Lampiran 4). Kemudian memasukan nilai tren pada setiap stasiun meteorologi
yang diolah menggunakan perangkat lunak Arcgis 10 dengan metode interpolasi
IDW.
3.4.2 Klasifikasi Nilai Kerentanan
Pada penelitian ini digunakan 3 kelas interval kerentanan, yaitu kerentanan
rendah, sedang dan tinggi. Dengan kategori skor sebagai berikut :
a. Kerentanan Rendah = skor 1
b. Kerentanan Sedang = skor 2
c. Kerentanan Tinggi = skor 3
Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada setiap variabel adalah sebagai
berikut :
31
Universitas Indonesia
1. Penurunan Curah Hujan
Untuk mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel penurunan curah
hujan digunakan rumus 3.1 di bawah ini.
Interval =nilai penurunan curah hujan di wilayah Puncak (tertinggi − terendah)
jumlah kelas kerentanan
(3.1)
2. Peningkatan Suhu Udara
Untuk mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel peningkatan suhu
udara digunakan rumus 3.2 di bawah ini.
Interval =nilai peningkatan suhu udara di wilayah Puncak (tertinggi − terendah)
jumlah kelas kerentanan
(3.2)
3. Luas Lahan
Untuk mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel luas lahan
digunakan rumus 3.3 di bawah ini.
Interval =luas lahan perkebunan teh (tertinggi − terendah)
jumlah kelas kerentanan (3.3)
4. Intensitas Serangan Hama dan Penyakit
Untuk menghitung besarnya intensitas serangan hama dan penyakit adalah
dengan menggunakan rumus 3.4 di bawah ini.
I = n
N x 100% (3.4)
Keterangan :
I = Intensitas serangan hama dan penyakit
n = Luas lahan yang terkena serangan hama dan penyakit (ha)
N = Luas lahan di perkebunan teh (ha)
Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada variabel intensitas serangan
hama dan penyakit adalah dengan melakukan wawancara dengan informan
kunci.
5. Jenis Tanah
Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada variabel jenis tanah adalah
dengan melihat lieratur yang ditulis oleh Effendi dkk (2010).
6. Jenis Tanaman Teh
Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada variabel jenis tanaman teh
adalah dengan melakukan wawancara dengan informan kunci.
32
Universitas Indonesia
7. Ketinggian
Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada variabel ketinggian adalah
dengan melihat lieratur yang ditulis oleh Effendi dkk (2010).
8. Pemeliharaan Teh
Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada variabel pemeliharaan teh
adalah dengan melakukan wawancara dengan informan kunci.
9. Pendapatan Perusahaan
Untuk mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel pendapatan
perusahaan digunakan rumus 3.4 di bawah ini.
Interval =pendapatan perusahaan perkebunan teh (tertinggi − terendah)
jumlah kelas kerentanan (3.5)
10. Teknologi Pengolahan
Penentuan klasifikasi nilai kerentanan pada variabel teknologi pengolahan
adalah dengan melakukan wawancara dengan informan kunci.
3.4.3 Data Keterpaparan
1. Penurunan Curah Hujan
Data penurunan curah hujan diperoleh dengan mencari nilai tren curah hujan
pada setiap stasiun meteorologi dengan membuat grafik sehingga akan terlihat nilai
tren pada setiap grafik, dan terlihat bahwa rata-rata 5 stasiun meteorologi
mengalami penurunan curah hujan (Lampiran 4). Kemudian memasukan nilai tren
pada setiap stasiun meteorologi yang diolah menggunakan perangkat lunak Arcgis
10 dengan metode interpolasi IDW. Hasil interpolasi kemudian dilakukan
pemotongan (clip) pada daerah penelitian. Langkah terakhir yaitu memasukan nilai
klasifikasi kerentanan di dalam atribut data penurunan suhu udara yang diolah
dengan menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.
2. Peningkatan Suhu Udara
Data peningkatan suhu udara diperoleh dengan mencari nilai tren suhu udara
pada setiap stasiun meteorologi dengan membuat grafik sehingga akan terlihat nilai
tren pada setiap grafik, dan terlihat bahwa rata-rata 5 stasiun meteorologi
mengalami peningkatan suhu udara (Lampiran 4). Kemudian memasukan nilai tren
pada setiap stasiun meteorologi yang diolah menggunakan perangkat lunak Arcgis
10 dengan metode interpolasi IDW. Hasil interpolasi kemudian dilakukan
pemotongan (clip) pada daerah penelitian. Langkah terakhir yaitu memasukan nilai
33
Universitas Indonesia
klasifikasi kerentanan di dalam atribut data peningkatan suhu udara yang diolah
dengan menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.
3. Luas Lahan
Luas lahan perkebunan diperoleh dari peta perkebunan di wilayah puncak
yang diperoleh dari BIG (Badan Informasi Geospasial). Selanjutnya dilakukan
digitasi ulang menggunakan perangkat lunak Google Earth untuk validasi data dan
untuk memisahkan perkebunan-perkebunan teh yang ada di daerah penelitian.
Kemudian menghitung luas lahan perkebunan dengan fitur Calculate Geometry
yang terdapat pada perangkat lunak Arcgis 10. Langkah terakhir yaitu memasukan
nilai klasifikasi kerentanan di dalam atribut data luas lahan yang diolah dengan
menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.
4. Intensitas Serangan Hama dan Penyakit
Data intensitas serangan hama dan penyakit diperoleh dari wawancara kepada
Kepala Bagian, Staf maupun pekerja yang berada di setiap perkebunan teh.
Kemudian memasukan nilai klasifikasi kerentanan di dalam atribut data intensitas
serangan hama dan penyakit yang diolah dengan menggunakan perangkat lunak
Arcgis 10.
3.4.4 Data Sensitivitas
1. Jenis Tanah
Data jenis tanah diperoleh dari BPT (Balai Penelitian Tanah) dalam bentuk
data spasial. Data yang telah diperoleh ini kemudian dilakukan pemotongan (clip)
pada daerah penelitian. Langkah terakhir yaitu memasukan nilai klasifikasi
kerentanan di dalam atribut data jenis tanah yang diolah dengan menggunakan
perangkat lunak Arcgis 10.
2. Jenis Tanaman Teh
Data jenis tanaman teh diperoleh dari wawancara kepada Kepala Bagian, Staf
maupun pekerja yang berada di setiap perkebunan teh. Kemudian memasukan nilai
klasifikasi kerentanan di dalam atribut data jenis tanaman teh yang diolah dengan
menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.
3. Ketinggian
Data Ketinggian diperoleh dari BIG (Badan Informasi Geospasial) dalam
bentuk garis kontur skala 1 : 25.000 berformat shapefile. Data kontur ini diolah
34
Universitas Indonesia
menggunakan fitur 3D Analyst pada perangkat lunak Arcgis 10 untuk menghasilkan
data raster dan dilakukan klasifikasi untuk mendapatkan nilai kerentanan.
Kemudian memasukan nilai klasifikasi kerentanan di dalam atribut data ketinggian
yang diolah dengan menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.
3.4.5 Data Kapasitas Adaptasi
1. Pemeliharaan Teh
Data pemeliharaan teh diperoleh dari wawancara kepada Kepala Bagian, Staf
maupun pekerja yang berada di setiap perkebunan teh. Kemudian memasukan nilai
klasifikasi kerentanan di dalam atribut data pemeliharaan teh yang diolah dengan
menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.
2. Pendapatan Perusahaan
Data pendapatan perusahaan diperoleh dari wawancara kepada Kepala
Bagian, Staf maupun pekerja yang berada di setiap perkebunan teh. Kemudian
memasukan nilai klasifikasi kerentanan di dalam atribut data pendapatan
perusahaan yang diolah dengan menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.
3. Teknologi Pengolahan
Data teknologi pengolahan diperoleh dari wawancara kepada Kepala Bagian,
Staf maupun pekerja yang berada di setiap perkebunan teh. Kemudian memasukan
nilai klasifikasi kerentanan di dalam atribut data teknologi pengolahan yang diolah
dengan menggunakan perangkat lunak Arcgis 10.
3.4.6 Proses Pembobotan Menggunakan Metode AHP
1. Mewawancarai pakar yang berkompeten terhadap masalah kerentanan
perkebunan teh terhadap perubahan iklim dengan mengisi kuesioner matriks
perbandingan berpasangan antar kriteria. Proses metode AHP dalam penelitian
ini adalah menentukan peringkat dan pembobotan variabel kerentanan
perkebunan. Langkah dari metode AHP yaitu membuat matriks persepsi dari 3
pakar yang digunakan dalam penelitian ini. Persepsi tersebut dijadikan input
utama dalam memperoleh bobot dari masing-masing variabel. Persepsi dalam
penelitian ini bersumber dari para pakar yang dapat dilihat pada tabel berikut :
35
Universitas Indonesia
Tabel 3.3 Nama, jabatan dan instansi para pakar/informan
INFORMAN NAMA JABATAN INSTANSI
1 A. Suwandi Kasi Pelayanan
Usaha
Dinas Pertanian dan
Perkebunan Kab.
Bogor
2 Rusmana
Administrasi
Tanaman dan
Pembibitan Teh
Kebun Teh Ciliwung
3
Ir. Salwa
Lubnan D,
MS
Peneliti Agronomi /
Fisiologi Tanaman
Pusat Penelitian Teh
dan Kina (PPTK)
Gambung
2. Perhitungan pembobotan AHP dilakukan diolah dengan menggunakan
perangkat lunak Microsoft Excel (lihat Lampiran 2).
3. Menentukan nilai prioritas pada variabel yang diperoleh dari setiap informan dan
dibandingkan dalam matriks.
4. Menentukan nilai bobot pada setiap variabel dengan menjumlahkan penilaian
tiap kolom tabel dan tiap sel dari kolom dibagi berdasarkan dari hasil
penjumlahan penilaian tiap kolom.
5. Menghitung nilai rata-rata bobot yang diperoleh dari nilai bobot yang dihitung
pada poin 4.
3.4.7 Membuat Peta Kerentanan dengan Metode Weighted Sum
1. Mengkonversi semua variabel yang berjenis data vektor menjadi data raster
dengan menggunakan metode 3D Analyst dalam perangkat lunak ArcGIS 10.
2. Memasukan semua data variabel yang berbentuk raster dan memberi nilai bobot
pada setiap variabel ke dalam fitur Weighted Sum.
36
Universitas Indonesia
3.5 Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial
dan analisis deskriptif. Analisis spasial digunakan untuk menghasilkan peta pada
setiap variabel dan menghasilkan peta kerentanan perkebunan teh terhadap
perubahan iklim di wilayah puncak Gunung Gede Pangrango. Pada setiap peta
variabel dimasukkan nilai atau skor tingkat kerentanan dan digunakan metode
Weighted Sum untuk memasukkan bobot sehingga dapat dihasilkan peta kerentanan
perkebunan teh. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan penjelasan dari
data fakta di lapangan dan untuk menjelaskan peta kerentanan perkebunan teh di
wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.
37 Universitas Indonesia
BAB 4
GAMBARAN UMUM
4.1 Letak dan Kondisi Umum
4.1.1 Daerah Penelitian
Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango berada di dalam dua Kabupaten,
yaitu Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur yang berada pada ketinggian diatas
500 mdpl dan dilalui oleh jalan Raya Puncak-Cianjur. Secara geografis, wilayah
Puncak terletak antara 106°48'55" - 107° 7'32" BT dan 6°38'1" - 6°55'12" LS.
Gambar 4.1 Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango merupakan gabungan dari batas
administrasi pada delapan kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Cianjur. Kecamatan yang termasuk dalam wilayah Puncak tersebut
adalah :
1. Ciawi, Kabupaten Bogor
2. Megamendung, Kabupaten Bogor
38
Universitas Indonesia
3. Cisarua, Kabupaten Bogor
4. Cipanas, Kabupaten Cianjur
5. Cugenang, Kabupaten Cianjur
6. Gekbrong, Kabupaten Cianjur
7. Pacet, Kabupaten Cianjur
8. Warungkondang, Kabupaten Cianjur
Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango merupakan daerah tangkapan air
(catchment area) yang penting untuk kota-kota besar di Jawa Barat dan Jakarta.
Wilayah ini terbagi ke dalam dua daerah aliran sungai (DAS), yaitu DAS Ciliwung
dengan 17 anak sungai di bagian barat (Bogor), DAS Citarum dengan 20 anak
sungai di bagian timur (Cianjur) (Roni, 2011).
Adapun peta kondisi topografi di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
dapat dilihat pada Gambar 4.2 di bawah ini.
Gambar 4.2 Kondisi topografi di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
39
Universitas Indonesia
4.1.2 Perkebunan Teh
Gambar 4.3 Perkebunan teh
Terdapat enam perkebunan teh di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
yang berada dalam daerah administrasi Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur.
Di dalam Kabupaten Bogor terdapat dua perkebunan teh, yaitu perkebunan teh
Gunung Mas dan perkebunan teh Ciliwung. Sedangkan di dalam Kabupaten Cianjur
empat perkebunan teh, yaitu perkebunan teh Ciseureuh, perkebunan teh Maleber,
perkebunan teh Pasir Sarongge dan perkebunan teh Gedeh.
Perkebunan teh Ciliwung terletak di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan
Megamendung. Sebagian besar terletak di Kecamatan Cisarua dan sebagian kecil
terletak di Kecamatan Megamendung. Perkebunan teh Gunung Mas terletak di
Kecamatan Cisarua, Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Ciawi. Sebagian
40
Universitas Indonesia
besar terletak di Kecamatan Cisarua dan sebagian kecil terletak di Kecamatan
Ciawi. Perkebunan teh Ciliwung dan perkebunan teh Gunung Mas dilalui oleh Jalan
Raya Puncak-Cianjur.
Perkebunan teh Ciseureuh terletak di Kecamatan Cipanas. Perkebunan teh
Maleber dan perkebunan teh Pasir Sarongge terletak di Kecamatan Pacet, kedua
perkebunan teh ini memiliki luas perkebunan yang kecil dibandingkan dengan luas
perkebunan teh yang lain di wilayah Puncak. Perkebunan teh Gedeh terletak di
Kecamatan Cugenang, Kecamatan Warungkondang dan Kecamatan Gekbrong.
Sebagian besar perkebunan teh Gedeh terletak di Kecamatan Cugenang dan
sebagian kecil terletak di Kecamatan Gekbrong.
4.2 Wilayah Ketinggian
Berdasarkan data ketinggian yang diperoleh dari Badan Informasi
Geospasoal skala 1:25.000 bahwa wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
mempunyai ketinggian antara kurang dari 1.000 mdpl hingga lebih dari 2.400 mdpl.
Wilayah ketinggian di Puncak ini diklasifikasi menjadi empat kelas wilayah
ketinggian.
Gambar 4.4 Grafik wilayah ketinggian di Puncak Gunung Gede Pangrango
[Sumber : Pengolahan Data, 2014]
2% 9%
38%
51%
Wilayah Ketinggian
> 2.400 mdpl
1.700 - 2.400 mdpl
1.000 - 1.700 mdpl
< 1.000 mdpl
41
Universitas Indonesia
Wilayah ketinggian kurang dari 1.000 mdpl mempunyai luas sekitar
22.996,65 ha atau sebesar 51 % dari luas keseluruhan wilayah Puncak. Selanjutnya,
wilayah ketinggian 1.000 - 1.700 mdpl mempunyai luas sekitar 17.088,40 ha atau
dengan persentase sebesar 38 %. Sedangkan wilayah ketinggian 1.700 - 2.400 mdpl
mempunyai luas sekitar 4.081,08 ha atau sebesar 9 % dari luas keseluruhan wilayah
Puncak. Wilayah ketinggian lebih dari 2.400 mdpl mempunyai luas sekitar 1.136,82
ha atau dengan persentase sebesar 2 %.
Dengan demikian berdasarkan luasnya, wilayah ketinggian di Puncak
didominasi oleh wilayah ketinggian kurang dari 1.000 mdpl sedangkan wilayah
ketinggian dengan luas terkecil adalah wilayah ketinggian lebih dari 2.400 mdpl.
Gambar 4.5 Wilayah ketinggian di Puncak Gunung Gede Pangrango
4.3 Kondisi Iklim
Secara umum wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango berada di dataran
tinggi atau pegunungan sehingga membuat suhu udara di daerah ini cukup sejuk
yaitu dengan suhu udara berkisar antara 15 oC - 28,5 oC dengan kondisi curah hujan
berbeda-beda di setiap bulannya. Dengan begitu kondisi iklim ini dapat
mempengaruhi sektor pertanian dan perkebunan di wilayah Puncak.
42
Universitas Indonesia
Tabel 4.1 Curah hujan dan suhu udara di Stasiun Meteorologi Citeko tahun 2011
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOV DES
Curah
Hujan
(mm)
389,2 263,4 223,4 215,6 175,1 140,7 38,9 8,8 57,4 254,6 394,5 251,8
Suhu
Udara
(oC)
20,4 20,9 21,1 21,3 21,5 21,3 20,9 21,1 21 21,9 21,1 21,5
[Sumber : BMKG]
Pada dapat terlihat kondisi curah hujan dan suhu udara yang terjadi di wilayah
Puncak Gunung Gede Pangrango pada tahun 2011. Jumlah curah hujan tertinggi
terdapat pada bulan November yaitu sebesar 394,5 mm, sedangkan jumlah curah
hujan terendah terdapat pada bulan Agustus yaitu sebesar 8,8 mm. Suhu udara
bulanan tertinggi terdapat pada bulan Mei dan Desember yaitu sebesar 21,5 oC,
sedangkan suhu udara bulanan terendah terdapat pada bulan Januari yaitu sebesar
20,4 oC.
4.4 Penggunaan Tanah
Penggunaan tanah merupakan indikator dari aktivitas manusia di suatu
tempat, maka penggunaan tanah dikatakan sebagai petunjuk tentang kondisi
masyarakat di suatu tempat. Makin meningkat jumlah penduduk serta
kebutuhannya maka kebutuhan akan suatu tempat/tanah untuk pelaksanaan
kegiatan dalam memenuhi kebutuhan tersebut menjadi meningkat (Sandy, 1982).
Penggunaan tanah di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango menunjukan jenis
beragam dan terbagi ke dalam jenis penggunaan tanah badan air, semak belukar,
pemukiman, perkebunan, tanah kososng, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegalan
dan hutan dengan luas dalam ha.
43
Universitas Indonesia
Gambar 4.6 Penggunaan tanah di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
Gambar 4.7 Grafik luas penggunaan tanah di wilayah Puncak Gunung Gede
Pangrango
[Sumber : Pengolahan Data, 2014]
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
BadanAir
SemakBelukar
Pemukiman
Perkebunan
TanahKosong
SawahIrigasi
SawahTadahHujan
Tegalan Hutan
Luas (ha) 45,90 5.615,89 4.707,48 8.125,38 657,25 4.620,45 5.070,84 6.133,37 10.326,2
44
Universitas Indonesia
Grafik penggunaan tanah pada Gambar 4.7 di atas menjelaskan bahwa
penggunaan tanah terluas di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango adalah
penggunaan tanah hutan yaitu sebesar 10.326,2 ha. Penggunaan tanah hutan terletak
di sebelah barat dan utara wilayah Puncak. Penggunaan tanah badan air dan tanah
kosong memiliki luas terkecil diantara penggunaan tanah lainnya yaitu hanya
657,25 ha untuk tanah kosong dan 45,90 untuk badan air.
Pada penggunaan tanah perkebunan, terlihat bahwa perkebunan di wilayah
Puncak memiliki luas sebesar 8.125,38 ha yang tersebar merata di utara, selatan,
timur dan barat dalam wilayah Puncak. Namun perkebunan lebih banyak tersebar
di utara dan selatan wilayah Puncak. Penggunaan tanah perkebunan terluas terdapat
di kecamatan Cugenang yaitu sebesar 1.792,96 ha sedangkan penggunaan tanah
perkebunan terkecil terdapat pada kecamatan Pacet yaitu sebesar 244,37 ha (lihat
Tabel 4.2).
45
Universitas Indonesia
Tab
el 4
.2 L
uas
pen
ggunaa
n t
anah
pad
a se
tiap
kec
amat
an
Lu
as
Pen
ggu
naan
Tan
ah
Pad
a K
ecam
ata
n (
ha)
Hu
tan
1.7
13,5
3
2.5
20,2
2
1.7
86,7
4
2.0
72,8
3
270,9
3
1.1
87,5
0
159,2
0
615,2
8
[Sum
ber
: P
engola
han
Dat
a, 2
014]
Teg
ala
n
356,6
0
1.7
08,8
8
1.1
18,1
8
1.0
39,5
0
718,6
0
508,7
9
389,5
0
293,3
2
Saw
ah
Tad
ah
Hu
jan
674,1
9
331,9
5
847,6
4
356,5
8
504,9
6
965,8
4
1.1
37,5
9
252,0
9
Saw
ah
Irig
asi
66
,66
15
,08
411
,02
1.4
81,6
6
374
,60
437
,42
1.8
34,0
0
Tan
ah
Koso
ng
41,9
0
23,5
2
7,1
2
148,6
7
49,2
4
0,5
9
385,8
1
0,4
1
Per
keb
un
an
748,7
6
1.5
53,9
5
1.4
08,0
3
909,8
8
1.7
92,9
6
871,5
2
244,3
7
595,9
1
Pem
uk
iman
696,9
2
1.0
53,7
8
640,2
3
462,3
7
575,5
5
340,8
8
452,6
3
485,1
1
Sem
ak
Bel
uk
ar
406,3
4
516,5
3
122,9
9
925,5
5
1.8
61,1
1
543,2
5
861,4
8
378,6
3
Bad
an
Air
7,0
7
12,2
8
24,6
1
0,2
8
0,7
8
0,8
8
Kec
am
ata
n
Cia
wi
Cis
aru
a
Meg
am
end
un
g
Cip
an
as
Cu
gen
an
g
Gek
bro
ng
Pace
t
Waru
ngk
on
dan
g
46
Universitas Indonesia
4.5 Kondisi Kependudukan
Tabel 4.3 Kepadatan penduduk di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
Keterangan :
Kecamatan dengan kepadatan penduduk paling tinggi
Kecamatan dengan kepadatan penduduk paling rendah
Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango dalam penelitian ini masuk ke
dalam administrasi Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur yang mempunyai
jumlah penduduk yang berbeda-beda dengan luas wilayah yang berbeda pula di
setiap tempatnya. Luas wilayah paling kecil terdapat pada Kecamatan Ciawi yaitu
sebesar 25,81 km2 sedangkan luas wilayah terbesar terdapat pada Kecamatan
Cugenang yaitu sebesar 76,15 km2. Luas wilayah yang besar tidak menjamin
kepadatan penduduk di daerah tersebut besar karena kepadatan penduduk tidak
hanya dipengaruhi oleh luas wilayah akan tetapi juga oleh banyaknya penduduk di
daerah tersebut.
Jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kecamatan Gekbrong yaitu
sebesar 52.686 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan
Cisarua yaitu sebesar 117.370 jiwa. Jumlah penduduk berbanding lurus dengan luas
Kabupaten Kecamatan
Luas
Wilayah
(km2)
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
Kepadatan
Penduduk
(Jiwa/km2)
Bogor
Ciawi 25,81 108.210 4.193
Cisarua 63,74 117.370 1.841
Megamendung 39,87 101.070 2.535
Cianjur
Cipanas 67,28 107.329 1.595
Cugenang 76,15 102.647 1.348
Gekbrong 50,77 52.686 1.038
Pacet 41,66 99.845 2.397
Warungkondang 45,16 66.642 1.476
Wilayah Puncak 410,44 755.799,00 1.841
[Sumber : BPS, 2013]
47
Universitas Indonesia
penggunaan tanah pemukiman di daerah tersebut. Luas penggunaan tanah
pemukiman paling kecil terdapat di Kecamatan Gekbrong yaitu sebesar 340,88 ha,
sedangkan luas penggunaan tanah pemukiman paling luas terdapat di Kecamatan
Cisarua yaitu sebesar 1.053,78 ha (lihat Tabel 4.2).
Berdasarkan kepadatan penduduk di wilayah Puncak, kecamatan dengan
kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Ciawi yaitu sebesar 4.193
jiwa/km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 108.210 jiwa dan luas wilayah sebesar
25,81 km2. Ini berarti bahwa dalam luas 1 km2 didiami oleh penduduk sebanyak
4.193 jiwa. Sedangkan kecamatan yang mempunyai nilai kepadatan terendah
terdapat di Kecamatan Gekbrong yaitu sebesar 1.038 jiwa/km2 dengan jumlah
penduduk sebanyak 52.686 jiwa dan luas wilayah sebesar 50,77 km2. Ini berarti
bahwa dalam luas 1 km2 didiami oleh penduduk sebanyak 1.038 jiwa. Kepadatan
penduduk di wilayah Puncak adalah sebesar 1.841 jiwa/km2.
4.6 Kondisi Sosial
Mata pencaharian penduduk Kabupaten Bogor yang bekerja di sektor
pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan sebanyak 13,36 %, industri
pengolahan sebanyak 28,86 %, perdagangan, rumah makan dan hotel mencapai
25,63 %, jasa kemasyarakatan sebanyak 13,74 %, dan lainnya meliputi
pertambangan dan penggalian, listrik, gas & air, bangunan, angkutan, pergudangan
dan komunikasi, keuangan, asuransi, persewaan dan jasa perusahaan mencapai
18,42 %. Dengan demikian sektor industri pengolahan paling mendominasi
penyerapan tenaga kerja (mata pencaharian penduduk) terbesar dan disusul oleh
sektor perdagangan. Sektor pertanian/perkebunan memiliki persentase paling
sedikit dalam penyerapan tenaga kerja (mata pencaharian penduduk) yaitu hanya
sebesar 13,36 % (lihat Tabel 4.4).
Mata pencaharian penduduk Kabupaten Cianjur yang bekerja di sektor
pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan sebanyak 44,94 %, industri
pengolahan sebanyak 7,98 %, perdagangan, rumah makan dan hotel mencapai
19,61 %, jasa kemasyarakatan sebanyak 13,58 %, dan lainnya meliputi
pertambangan dan penggalian, listrik, gas & air, bangunan, angkutan, pergudangan
dan komunikasi, keuangan, asuransi, persewaan dan jasa perusahaan mencapai
48
Universitas Indonesia
13,89 %. Dengan demikian sektor pertanian/perkebunan, kehutanan, perburuan,
dan perikanan paling mendominasi penyerapan tenaga kerja (mata pencaharian
penduduk) terbesar. Umumnya penduduk di Kabupaten Cianjur bekerja sebagai
petani dan peternak. Sektor industri pengolahan memiliki persentase paling sedikit
dalam penyerapan tenaga kerja (mata pencaharian penduduk) yaitu hanya sebesar
7,98 % (lihat Tabel 4.4).
Tabel 4.4 Mata pencaharian penduduk dalam berbagai sektor
Mata Pencaharian
Penduduk (Sektor)
Kabupaten Bogor Kabupaten Cianjur
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
Pertanian, Kehutanan,
Perburuan, dan Perikanan 266.492 13,36 404.273 44,94
Industri Pengolahan 575.770 28,86 71.811 7,98
Perdagangan Besar, Eceran,
Rumah Makan, dan Hotel 511.351 25,63 176.348 19,61
Jasa Kemasyarakatan 274.020 13,74 122.130 13,58
Lainnya (Pertambangan
dan Penggalian, Listrik,
Gas & Air, Bangunan,
Angkutan, Pergudangan,
dan Komunikasi,
Keuangan, Asuransi, Usaha
Persewaan Bangunan,
Tanah dan Jasa Perusahaan)
367.399 18,42 124.940 13,89
[Sumber : BPS, 2013]
49
Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perubahan Iklim
5.1.1 Curah Hujan
Perubahan iklim yang terjadi di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
dapat dilihat dari adanya perubahan curah hujan. Hal ini dikarenakan perubahan
curah hujan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui adanya
perubahan iklim. Berdasarkan pengamatan curah hujan di lima Stasiun Meteorologi
yang terdapat pada Tabel 3.2 dan dilakukan interpolasi untuk mendapatkan wilayah
persebarannya, bahwa wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango telah mengalami
perubahan persebaran curah hujan secara spasial dari periode 1, periode 2 hingga
periode 3.
Gambar 5.1 Persebaran curah hujan di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa terdapat perubahan persebaran curah hujan
di wilayah Puncak dari periode 1 hingga periode 3. Periode 1 memiliki persebaran
curah hujan yang berkisar antara (2.750 - 3.000) mm/tahun sampai (3.250 - 3.500)
mm/tahun, persebaran curah hujan didominasi oleh curah hujan sebesar (3000 -
3250) mm/tahun. Periode 2 memiliki persebaran curah hujan yang berkisar antara
(2.750 - 3.000) mm/tahun sampai (3.250 - 3.500) mm/tahun, persebaran curah hujan
50
Universitas Indonesia
didominasi oleh curah hujan sebesar (3000 - 3250) mm/tahun. Sedangkan periode
3 memiliki persebaran curah hujan yang berkisar antara (2.500 - 2750) mm/tahun
sampai (3000 - 3250) mm/tahun, persebaran curah hujan didominasi oleh curah
hujan sebesar (2750 - 3000) mm/tahun. Jika dilihat dari peta persebaran curah hujan
periode 1 hingga periode 3, maka telah terjadi penurunan intensitas curah hujan
selama 30 tahun di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.
Berdasarkan pengamatan curah hujan di Stasiun Meteorologi Citeko yang
berada di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, terdapat tren penurunan curah
hujan yang dilihat dari parameter curah hujan tahunan, curah hujan pada musim
hujan dan curah hujan pada musim kemarau. Perubahan tren pada parameter curah
hujan tahunan ini kemudian dilakukan interpolasi untuk mendapatkan wilayah
persebarannya yang diambil dari lima Stasiun Meteorologi yang terdapat pada
Tabel 3.2.
1. Curah Hujan Tahunan
Tren curah hujan tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukkan variasi
sebesar 1.500 mm, curah hujan tahunan tertinggi terjadi pada tahun 1999 mencapai
4.111 mm dan terendah pada tahun 1997 sebesar 2.619 mm. Atas dasar variasi
tersebut, curah hujan tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukan
kecenderungan (tren) penurunan sebesar 8,3 mm per tahun, seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Tren curah hujan tahunan St. Citeko
y = -8,304x + 3430
2.500
2.700
2.900
3.100
3.300
3.500
3.700
3.900
4.100
4.300
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
51
Universitas Indonesia
2. Curah Hujan Musim Hujan
Tren curah hujan musim hujan (Oktober-Maret) di Stasiun Meteorologi
Citeko menunjukkan variasi sebesar 1.200 mm, curah hujan musim hujan tertinggi
terjadi pada tahun 1999 mencapai 2.964 mm dan terendah pada tahun 2000 sebesar
1.757 mm. Atas dasar variasi tersebut, curah hujan musim hujan di Stasiun
Meteorologi Citeko menunjukan kecenderungan (tren) penurunan sebesar 0,67 mm
per tahun, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.3.
Gambar 5.3 Tren curah hujan musim hujan St. Citeko
3. Curah Hujan Musim Kemarau
Tren curah hujan musim kemarau (April-September) di Stasiun Meteorologi
Citeko menunjukkan variasi sebesar 1.100 mm, curah hujan musim kemarau
tertinggi terjadi pada tahun 1984 mencapai 1.650 mm dan terendah pada tahun 1994
sebesar 512 mm. Atas dasar variasi tersebut, curah hujan musim kemarau di Stasiun
Meteorologi Citeko menunjukan kecenderungan (tren) penurunan sebesar 7,63 mm
per tahun, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.4.
y = -0,673x + 2323
1.700
1.900
2.100
2.300
2.500
2.700
2.900
3.100
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
52
Universitas Indonesia
Gambar 5.4 Tren curah hujan musim kemarau St. Citeko
4. Penurunan Curah Hujan di Wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
Penurunan curah hujan di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
didominasi oleh penurunan curah hujan sebesar 12 - 14 mm/tahun. Penurunan curah
hujan terkecil yaitu kurang dari 10 mm/tahun terletak di sebelah barat daya wilayah
Puncak, pada wilayah ini memiliki ketinggian tertinggi di wilayah Puncak.
Sedangkan penurunan curah hujan terbesar yaitu lebih dari 16 mm/tahun terletak di
sebelah utara wilayah Puncak, wilayah ini dekat dengan wilayah administrasi Kota
Bogor dan berada jauh dengan puncak Gunung Gede-Pangrango. Semakin ke arah
utara wilayah Puncak maka penurunan curah hujan akan semakin tinggi, seperti
diperlihatkan pada Gambar 5.5.
y = -7,630x + 1106
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.600
1.800
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
53
Universitas Indonesia
Gambar 5.5 Penurunan curah hujan di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
5.1.2 Suhu Udara
Perubahan iklim yang terjadi di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
dapat dilihat dari adanya perubahan suhu udara. Hal ini dikarenakan perubahan
suhu udara dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui adanya
perubahan iklim. Berdasarkan pengamatan suhu udara di lima Stasiun Meteorologi
yang terdapat pada Tabel 3.2 dan dilakukan interpolasi untuk mendapatkan wilayah
persebarannya, bahwa wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango telah mengalami
perubahan persebaran suhu udara secara spasial dari periode 1, periode 2 hingga
periode 3.
54
Universitas Indonesia
Gambar 5.6 Persebaran suhu udara di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
Pada Gambar 5.6 terlihat bahwa terdapat perubahan pola persebaran suhu
udara di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango dari periode 1 hingga periode 3.
Periode 1 memiliki persebaran suhu udara yang didominasi oleh suhu udara sebesar
20 - 22,5 oC. Periode 2 memiliki persebaran suhu udara yang didominasi oleh suhu
udara sebesar 22,5 - 25 oC. Sedangkan periode 3 memiliki persebaran suhu udara
yang juga didominasi oleh suhu udara sebesar 22,5 - 25 oC. Antara periode 2 dan 3
memiliki perbedaan, yaitu terlihat pada persebaran suhu udara 20 - 22,5 oC lebih
luas terdapat pada periode 2 dibandingkan dengan periode 3. Jika dilihat dari peta
persebaran suhu udara periode 1 hingga periode 3, maka telah terjadi peningkatan
suhu udara selama 30 tahun di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.
Berdasarkan pengamatan suhu udara di Stasiun Meteorologi Citeko yang
berada di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, terdapat tren penurunan suhu
udara yang dilihat dari parameter suhu udara rata-rata tahunan, suhu udara
maksimum absolut tahunan dan suhu udara minimum absolut tahunan. Perubahan
tren pada parameter suhu udara tahunan ini kemudian dilakukan interpolasi untuk
mendapatkan wilayah persebarannya yang diambil dari lima Stasiun Meteorologi
yang terdapat pada Tabel 3.2.
55
Universitas Indonesia
1. Suhu Udara Rata-Rata Tahunan
Dari data tahun 1981-2010, suhu rata-rata tahunan di Stasiun Meteorologi
Citeko menunjukkan variasi sebesar 1,5 ºC, suhu udara rata-rata tertinggi tercatat
pada tahun 1987 sebesar 22,2 ºC dan suhu udara rata-rata terendah terjadi pada
tahun 1993 sebesar 20,7 ºC. Atas dasar variasi tersebut, suhu udara rata-rata tahunan
di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukan kecenderungan (tren) peningkatan
sebesar 0,004 ºC per tahun, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.7.
Gambar 5.7 Tren suhu udara rata-rata tahunan St. Citeko
2. Suhu Udara Maksimum Absolut Tahunan
Suhu udara maksimum absolute tahunan adalah nilai suhu maksimum harian
paling rendah dalam satu tahun (BMKG, 2012). Dari data tahun 1981-2010, suhu
udara maksimum absolut tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukkan
variasi sebesar 1,5 ºC, suhu udara maksimum absolut tertinggi tercatat pada tahun
2006 sebesar 28,5 ºC dan suhu udara maksimum absolut terendah terjadi pada tahun
1985 sebesar 26,9 ºC. Atas dasar variasi tersebut, suhu udara maksimum absolut
tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukan kecenderungan (tren)
peningkatan sebesar 0,04 ºC per tahun, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.8.
y = 0,0049x + 21,138
19,5
20,0
20,5
21,0
21,5
22,0
22,5
Suh
u (
de
raja
t C
elc
ius)
56
Universitas Indonesia
Gambar 5.8 Tren suhu udara maksimum absolut tahunan St. Citeko
3. Suhu Udara Minimum Absolut Tahunan
Suhu udara minimum absolute tahunan adalah nilai suhu minimum harian
paling rendah dalam satu tahun (BMKG, 2012). Dari data tahun 1981-2010, suhu
udara minimum absolut tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukkan
variasi sebesar 3,3 ºC, suhu udara minimum absolut tertinggi tercatat pada tahun
2009 sebesar 18,3 ºC dan suhu udara minimum absolut terendah terjadi pada tahun
2002 sebesar 15 ºC. Atas dasar variasi tersebut, suhu udara minimum absolut
tahunan di Stasiun Meteorologi Citeko menunjukan kecenderungan (tren)
peningkatan sebesar 0,04 ºC per tahun, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.9.
y = 0,0401x + 27,042
26,0
26,5
27,0
27,5
28,0
28,5
29,0
Suh
u (
de
raja
t C
elc
ius)
57
Universitas Indonesia
Gambar 5.9 Tren suhu udara minimum absolut tahunan St. Citeko
4. Persebaran Tren Suhu Udara Tahunan
Peningkatan suhu udara di wilayah Puncak didominasi oleh peningkatan suhu
udara sebesar kurang dari 0,02 ºC yang terletak di sebelah barat daya wilayah
Puncak, pada wilayah ini terdapat puncak Gunung Gede-Pangrango yang memiliki
ketinggian tertinggi di wilayah Puncak. Sedangkan peningkatan suhu udara terbesar
yaitu lebih besar dari 0,08 ºC terletak di ujung sebelah utara dan ujung sebelah
selatan wilayah Puncak, wilayah ini berada jauh dengan puncak Gunung Gede-
Pangrango. Semakin ke arah utada dan selatan wilayah Puncak maka peningkatan
suhu udara akan semakin tinggi, seperti diperlihatkan pada Gambar 5.10.
y = 0,0369x + 15,525
15
15,5
16
16,5
17
17,5
18
18,5
Suh
u (
de
raja
t C
elc
ius)
58
Universitas Indonesia
Gambar 5.10 Peningkatan suhu udara di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
5.2 Nilai Kerentanan
1. Penurunan Curah Hujan
Dalam mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel penurunan curah
hujan digunakan rumus 3.1. Perhitungan nilai penurunan curah hujan tertinggi dan
terendah di wilayah Puncak dapat dilihat pada Lampiran 3. Sehingga didapatkan
klasifikasi penurunan curah hujan sebagai berikut :
Kerentanan Rendah : 8-12 mm
Kerentanan Sedang : 12-16 mm
Kerentanan Tinggi : 16-20 mm
2. Peningkatan Suhu Udara
Dalam mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel peningkatan suhu
udara digunakan rumus 3.2. Perhitungan nilai peningkatan suhu udara tertinggi dan
terendah di wilayah Puncak dapat dilihat pada Lampiran 3. Sehingga didapatkan
klasifikasi peningkatan suhu udara sebagai berikut :
59
Universitas Indonesia
Kerentanan Rendah : 0,004-0,04 oC
Kerentanan Sedang : 0,04-0,07 oC
Kerentanan Tinggi : 0,07-0,1 oC
3. Luas Lahan
Dalam mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel luas lahan
digunakan rumus 3.3. Sehingga diperoleh interval luas lahan sebesar :
Interval =1012,05 − 61,94
3= 316,7
Maka klasifikasi luas lahan adalah sebagai berikut :
Kerentanan Rendah : 62-380 ha
Kerentanan Sedang : 380-700 ha
Kerentanan Tinggi : 700-1012 ha
4. Intensitas Serangan Hama dan Penyakit
Dalam menghitung besarnya intensitas serangan hama dan penyakit adalah
dengan menggunakan rumus 3.4. Klasifikasi nilai kerentanan pada variabel
intensitas serangan hama dan penyakit adalah dengan melakukan wawancara
dengan informan kunci sehingga diperoleh klasifikasi sebagai berikut :
Kerentanan Rendah : < 15 %
Kerentanan Sedang : 15-30 %
Kerentanan Tinggi : > 30 %
5. Jenis Tanah
Klasifikasi nilai kerentanan pada variabel jenis tanah adalah dengan melihat
lieratur yang ditulis oleh Effendi dkk (2010) sehingga diperoleh klasifikasi sebagai
berikut :
Kerentanan Rendah : Andisol
Kerentanan Sedang : Latosol dan Podzolik
Kerentanan Tinggi : Selain jenis tanah (Andisol, Latosol dan Podzolik)
6. Jenis Tanaman Teh
Klasifikasi nilai kerentanan pada variabel jenis tanaman teh adalah dengan
melakukan wawancara dengan informan kunci sehingga diperoleh klasifikasi
sebagai berikut :
Kerentanan Rendah : TRI (Tea Research Institute)
Kerentanan Sedang : GMB (Gambung)
60
Universitas Indonesia
7. Ketinggian
Klasifikasi nilai kerentanan pada variabel ketinggian adalah dengan melihat
lieratur yang ditulis oleh Effendi dkk (2010) sehingga diperoleh klasifikasi sebagai
berikut :
Kerentanan Rendah : 800-1.200 mdpl
Kerentanan Sedang : 400-800 mdpl dan 1.200-1.500 mdpl
Kerentanan Tinggi : < 400 mdpl dan > 1.500 mdpl
8. Pemeliharaan Teh
Klasifikasi nilai kerentanan pada variabel pemeliharaan teh adalah dengan
melakukan wawancara dengan informan kunci sehingga diperoleh klasifikasi
sebagai berikut :
Tabel 5.1 Klasifikasi pemeliharaan teh
Tingkat
Kerentanan Kriteria
Bahan
Pestisida
Intensitas
Pemupukan
Kerentanan
Rendah Baik
Kimiawi < 3 bulan
Kimiawi 3-6 bulan
Kerentanan
Sedang Cukup
Kimiawi > 6 bulan
Biologis < 3 bulan
Kerentanan
Tinggi Kurang
Biologis 3-6 bulan
Biologis > 6 bulan
[Sumber : Survei Lapang, 2014]
9. Pendapatan Perusahaan
Dalam mencari klasifikasi nilai kerentanan pada variabel pendapatan
perusahaan digunakan rumus 3.4. Sehingga diperoleh interval pendapatan
perusahaan sebesar :
Interval =30.000.000 − 12.000.000
3= 6.000.000
Maka klasifikasi pendapatan perusahaan adalah sebagai berikut :
Kerentanan Rendah : Rp 24.000.000,00 - Rp 30.000.000,00
Kerentanan Sedang : Rp 18.000.000,00 - Rp 24.000.000,00
Kerentanan Tinggi : Rp 12.000.000,00 - Rp 18.000.000,00
61
Universitas Indonesia
10. Teknologi Pengolahan
Klasifikasi nilai kerentanan pada variabel teknologi pengolahan adalah
dengan melakukan wawancara dengan informan kunci sehingga diperoleh
klasifikasi sebagai berikut :
Kerentanan Rendah : Modern
Kerentanan Sedang : Tradisional
Kerentanan Tinggi : Tidak Ada Pengolahan
Kriteria dan skor pada setiap variabel kerentanan adalah sebagai berikut :
Tabel 5.2 Kriteria dan skor pada setiap variabel kerentanan
Faktor Variabel Kriteria Skor
Keterpaparan
Penurunan
Curah Hujan
(mm/tahun)
< 12 1
12 - 16 2
> 16 3
Peningkatan
Suhu Udara
(°C/tahun)
< 0,04 1
0,04-0,07 2
> 0,07 3
Luas Lahan
(ha)
< 380 1
380 - 700 2
> 700 3
Intensitas
Serangan
Hama &
Penyakit (%)
< 15 1
15 - 30 2
> 30 3
Sensitivitas
Jenis Tanah
Andisol 1
Latosol dan Podzolik 2
Selain jenis tanah (Andisol,
Latosol dan Podzolik) 3
Jenis
Tanaman Teh
TRI 1
GMB 2
Ketinggian
(mdpl)
800 - 1200 1
400 - 800 dan 1200 - 1500 2
< 400 dan > 1500 3
62
Universitas Indonesia
Kapasitas
Adaptasi
Pemeliharaan
Teh
Kurang 3
Cukup 2
Baik 1
Pendapatan
Perusahaan
(rupiah/ha)
< Rp 18.000.000,00 3
Rp 18.000.000,00 - Rp
24.000.000,00 2
> Rp 24.000.000,00 1
Teknologi
Pengolahan
Tidak ada pengolahan 3
Tradisional 2
Modern 1 [Sumber : Wawancara dan studi literatur]
5.3 Variabel Kerentanan Perkebunan Teh Terhadap Perubahan Iklim
Wilayah Puncak merupakan wilayah yang terkenal dengan perkebunan
tehnya. Namun adanya perubahan iklim tentunya akan mengganggu perkebunan teh
di wilayah Puncak. Seberapa besarnya pengaruh perubahan iklim bagi perkebunan
teh akan terlihat dari kerentanan perkebunan teh itu sendiri terhadap perubahan
iklim yang diukur berdasarkan variabel-variabel dari perkebunan teh yang
mempunyai kaitan dengan perubahan iklim.
Penelitian ini menggunakan konsep kerentanan yang terdiri dari keterpaparan
(exposure), sensitivitas (sensitivity) dan kapasitas adaptasi (adaptive capacity).
Setiap dimensi kerentanan tersebut mempunyai berbagai variabel, yaitu
keterpaparan terdiri dari penurunan curah hujan, peningkatan suhu udara, luas
lahan, dan intensitas serangan hama dan penyakit. Sensitivitas terdiri dari jenis
tanah, jenis tanaman teh, dan ketinggian. Dan kapasitas adaptasi terdiri dari
pemeliharaan teh, pendapatan perusahaan, dan teknologi pengolahan.
5.3.1 Keterpaparan
a. Penurunan Curah Hujan
Perkebunan teh sangat memerlukan banyak asupan air untuk
pertumbuhannya, jika jumlah curah hujan sedikit maka pertumbuhan tanaman teh
akan terganggu dan tidak maksimal sehingga menyebabkan rendahnya hasil
produksi teh. Perkebunan teh di wilayah Puncak mengalami penurunan curah hujan
yang berpotensi menurunkan hasil produksi teh.
63
Universitas Indonesia
Gambar 5.11 Penurunan curah hujan di daerah penelitian
Pada Gambar 5.11 terlihat bahwa penurunan curah hujan di daerah penelitian
terdiri dari dua kriteria, yaitu kurang dari 12 mm/tahun dan 12 - 16 mm/tahun.
Perkebunan teh di wilayah Puncak sebagian besar mengalami penurunan curah
hujan sebesar kurang dari 12 mm/tahun, dan sebagian kecil mengalami penurunan
curah hujan sebesar 12 – 16 mm/tahun. Perkebunan teh yang mengalami penurunan
curah hujan sebesar 12 – 16 mm/tahun terletak di sebelah timur daerah penelitian.
b. Peningkatan Suhu Udara
Perkebunan teh membutuhkan suhu udara yang cocok untuk
pertumbuhannya. Jika suhu udara diatas 30 oC maka pertumbuhan tanaman teh akan
terhambat, begitu juga sebaliknya jika suhu udara dibawah 10 oC maka
pertumbuhan tanaman teh juga akan terhambat karena suhu udara terlalu dingin dan
64
Universitas Indonesia
akan menimbulkan banyak penyakit pada tanaman teh. Perkebunan teh di wilayah
Puncak mengalami peningkatan suhu udara yang berpotensi menghambat
pertumbuhan tanaman teh sehingga hasil produksi semakin berkurang.
Gambar 5.12 Peningkatan suhu udara di daerah penelitian
Pada Gambar 5.12 terlihat bahwa peningkatan suhu udara di daerah penelitian
terdiri dari dua kriteria, yaitu kurang dari 0,04 (oC/tahun) dan 0,04 – 0,07
(oC/tahun). Sebagian besar perkebunan teh di wilayah Puncak mengalami
peningkatan suhu udara sebesar kurang dari 0,04 (oC/tahun). Pada peningkatan suhu
udara sebesar 0,04 – 0,07 (oC/tahun) terletak di sebelah timur daerah penelitian.
c. Luas Lahan
Luas lahan perkebunan berkontribusi terhadap aktivitas perkebunan teh di
wilayah Puncak. Lahan perkebunan yang luas akan memiliki produksi teh yang
65
Universitas Indonesia
lebih banyak. Namun apabila lahan perkebunan terganggu, semakin luas lahan
perkebunan akan semakin banyak pula kerugian yang akan ditanggung perusahaan.
Oleh karena itu lahan perkebunan yang semakin luas akan semakin rentan terhadap
gangguan seperti perubahan iklim dan berpotensi menurunkan hasil produksi.
Gambar 5.13 Luas lahan di daerah penelitian
Lahan perkebunan teh di wilayah Puncak memiliki luas yang beragam.
Perkebunan teh yang memiliki luas kurang dari 380 ha diantaranya adalah
perkebunan teh Maleber dan Pasir Sarongge. Perkebunan teh yang memiliki luas
380 – 700 ha diantaranya adalah perkebunan teh Ciliwung dan Ciseureuh.
Perkebunan teh yang memiliki intensitas lebih dari 700 ha diantaranya adalah
perkebunan teh Gedeh dan Gunung Mas. Perkebunan teh milik negara yaitu
66
Universitas Indonesia
perkebunan teh Gedeh dan Gunung Mas memiliki luas lahan yang besar
dibandingkan dengan perkebunan teh milik swasta di wilayah Puncak.
d. Intensitas Serangan Hama dan Penyakit
Intensitas serangan hama dan penyakit saling berhubungan dengan perubahan
iklim yang terjadi. Jika intensitas curah hujan di perkebunan teh sangat tinggi maka
intensitas serangan hama dan penyakit pun sangat tinggi. Jika intensitas curah hujan
di perkebunan teh rendah maka intensitas serangan hama dan penyakit pun rendah
namun curah hujan yang rendah dapat berpotensi terganggunya pertumbuhan
tanaman teh.
Gambar 5.14 Intensitas serangan hama dan penyakit di daerah penelitian
Intensitas serangan hama dan penyakit di daerah penelitian sangat bervariasi.
Perkebunan teh yang memiliki intensitas kurang dari 15 % diantaranya adalah
67
Universitas Indonesia
perkebunan teh Ciliwung, Maleber dan Pasir Sarongge. Perkebunan teh yang
memiliki intensitas 15 % - 30 % diantaranya adalah perkebunan teh Ciseureuh dan
Gedeh. Perkebunan teh yang memiliki intensitas lebih dari 30 % adalah perkebunan
teh Gunung Mas.
5.3.2 Sensitivitas
a. Jenis Tanah
Perkebunan teh membutuhkan tanah yang serasi untuk pertumbuhan tanaman
teh. Tanah yang serasi adalah tanah yang subur, banyak mengandung bahan
organik, tidak terdapat cadas dengan derajat keasaman 4,5 – 5,6. Tanah yang baik
untuk pertanaman teh terletak di lereng-lereng gunung berapi dinamakan tanah
Andisol. Tanah ini mempunyai kedalaman efektif dan berstruktur remah lebih dari
40 cm sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan akar tanaman teh. Tanah yang
serasi dapat bertahan jika terjadi curah hujan yang tinggi karena tanah ini dapat
menyerap air secara maksimal.
68
Universitas Indonesia
Gambar 5.15 Jenis tanah di daerah penelitian
Pada Gambar 5.15 terlihat bahwa terdapat dua jenis tanah di daerah penelitian
yaitu jenis tanah Andisol dan jenis tanah Latosol. Sebagian besar perkebunan teh
berjenis tanah Andisol sedangkan sebagian kecil perkebunan teh berjenis tanah
Latosol. Perkebunan teh yang berjenis tanah Andisol diantaranya adalah
perkebunan teh Gedeh, Gunung Mas, Maleber, Pasir Sarongge, sebagian Ciliwung
dan sebagian Ciseureh. Sedangkan jenis tanah Latosol terdapat di sebagian
perkebunan teh Ciliwung dan Ciseureuh. Jenis tanah andisol umumnya terletak
dekat dengan Gunung Gede-Pangrango dan berada pada ketinggian diatas 1.000
mdpl.
69
Universitas Indonesia
b. Jenis Tanaman Teh
Perkebunan teh memerlukan jenis tanaman teh (klon) yang baik dalam
pertumbuhannya dan juga mampu untuk bertahan dari gangguan perubahan iklim.
Jenis tanaman teh (klon) TRI mampu bertahan dan berproduksi jika terjadi
perubahan iklim. Klon seri TRI ini menghasilkan produksi pucuk yang lebih sedikit
dibandingkan dengan seri GMB, namun seri TRI dapat tumbuh pada suhu udara
yang tinggi maupun rendah.
Gambar 5.16 Jenis tanaman teh di daerah penelitian
Jenis tanaman teh di daerah penelitian terdiri dari dua jenis yaitu klon TRI
(Tea Research Institute) dan klon GMB (Gambung). Perkebunan teh yang
mayoritas tanaman tehnya berjenis TRI diantaranya adalah perkebunan teh
Ciliwung, Gedeh, Gunung Mas dan Maleber. Perkebunan teh yang mayoritas
70
Universitas Indonesia
tanaman tehnya berjenis GMB diantaranya adalah perkebunan teh Ciseureuh dan
Pasir Sarongge.
c. Ketinggian
Ketinggian tempat sangat berpengaruh terhadap iklim yang terjadi, terutama
pada suhu udara. Semakin tinggi ketinggian perkebunan teh dari permukaan laut
maka semakin rendah suhu udara di perkebunan tersebut. Tanaman teh tidak akan
tumbuh baik pada ketinggian kurang dari 400 mdpl karena suhu udara pada
ketinggian tersebut tinggi sehingga tanaman teh tidak dapat tumbuh dengan baik.
Tanaman teh juga tidak akan tumbuh maksimal jika ketinggian perkebunan teh
lebih dari 1500 mdpl karena suhu udara pada ketinggian tersebut sangat rendah
yang mengakibatkan tanaman teh dapat terserang penyakit embun beku sehingga
pertumbuhan teh terganggu.
71
Universitas Indonesia
Gambar 5.17 Ketinggian di daerah penelitian
Pada Gambar 5.17 terlihat bahwa ketinggian di daerah penelitian berkisar
antara 800 mdpl – lebih dari 1.500 mdpl. Sebagian besar perkebunan teh berada
pada ketinggian 1.200 mdpl – 1.500 mdpl. Perkebunan teh yang berada di
ketinggian lebih dari 1.500 mdpl adalah sebagian perkebunan teh Ciliwung dan
sebagian kecil dari perkebunan teh Gedeh.
5.3.3 Kapasitas Adaptasi
a. Pemeliharaan Teh
Perusahaan perkebunan teh harus melakukan pemeliharaan yang baik agar
potensi dampak dari perubahan iklim dapat dicegah sehingga tidak mengakibatkan
penurunan produksi yang drastis. Pemeliharaan teh yang baik dapat
72
Universitas Indonesia
memaksimalkan pertumbuhan tanaman teh sehingga hasil produksinya dapat
meningkat.
Gambar 5.18 Pemeliharaan teh di daerah penelitian
Pemeliharaan teh di daerah penelitian terdiri dari tiga kategori yaitu baik,
cukup dan kurang. Pemeliharaan teh dengan kategori baik terdapat pada
perkebunan teh Ciliwung, Maleber dan Pasir Sarongge. Pemeliharaan teh dengan
kategori cukup terdapat pada perkebunan teh Ciseureuh dan Gedeh. Pemeliharaan
teh dengan kategori kurang terdapat pada perkebunan teh Gunung Mas.
b. Pendapatan Perusahaan
Perubahan iklim dapat diminimalisir dampaknya apabila pendapatan
perusahaan perkebunan teh tinggi. Pendapatan perusahaan yang tinggi dapat
73
Universitas Indonesia
memenuhi biaya modal produksi dan melakukan persiapan apabila terjadi gangguan
perubahan iklim.
Gambar 5.19 Pendapatan perusahaan di daerah penelitian
Pada gambar diatas, terlihat bahwa perkebunan teh yang memiliki pendapatan
lebih dari Rp 24.000.000,00 (rupiah/ha) adalah perkebunan teh Ciliwung, Maleber
dan Pasir Sarongge. Perkebunan teh yang memiliki pendapatan antara Rp
18.000.000,00 - Rp 24.000.000,00 (rupiah/ha) adalah perkebunan teh Gedeh.
Perkebunan teh yang memiliki pendapatan kurang dari Rp 18.000.000,00
(rupiah/ha) adalah perkebunan teh Ciseureuh dan Gunung Mas.
c. Teknologi Pengolahan
Perkebunan teh memiliki nilai tambah apabila perkebunan ini mempunyai
teknologi pengolahan teh sendiri. Perkebunan teh yang memiliki teknologi
74
Universitas Indonesia
pengolahan sendiri dapat menghasilkan pendapatan yang lebih besar kepada
perusahaan sehingga potensi dampak yang dihasilkan dari perubahan iklim dapat
diminimalisir.
Gambar 5.20 Teknologi pengolahan di daerah penelitian
Perkebunan teh yang menggunakan teknologi pengolahan modern adalah
perkebunan teh Ciseureuh dan Gunung Mas. Perkebunan teh yang menggunakan
teknologi pengolahan tradisional adalah perkebunan teh Gedeh, Maleber dan Pasir
Sarongge. Perkebunan teh yang tidak memiliki teknologi pengolahan adalah
perkebunan teh Ciliwung.
75
Universitas Indonesia
5.4 Hasil Pembobotan Menggunakan Metode AHP
Proses metode AHP dalam penelitian ini adalah menentukan peringkat dan
pembobotan variabel kerentanan perkebunan teh. Langkah dari metode AHP yaitu
membuat matriks persepsi dari 3 pakar (informan) yang digunakan dalam penelitian
ini. Persepsi tersebut dijadikan input utama dalam memperoleh bobot dari masing-
masing variabel. Para pakar yang dijadikan informan dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 3.3.
Hasil akhir dalam menghitung bobot adalah dengan menghitung nilai rata-
rata bobot yang terdiri dari persentase informan 1, informan 2 dan informan 3 (lihat
Lampiran 2). Nilai rata-rata bobot pada setiap variabel adalah sebagai berikut :
Tabel 5.3 Persentase bobot rata-rata
Variabel
Persentase Bobot
Informan
1
Informan
2
Informan
3 Rata-Rata
Curah Hujan 11,7% 15,4% 28,7% 18,6%
Suhu Udara 9,6% 8,2% 13,1% 10,3%
Luas Lahan Perkebunan 4,7% 1,7% 4,1% 3,5%
Intensitas Serangan Hama
& Penyakit 5,4% 23,7% 6,8% 12,0%
Jenis Tanah 2,8% 2,7% 1,4% 2,3%
Jenis Tanaman Teh 7,5% 6,9% 2,6% 5,7%
Ketinggian 23,9% 27,1% 23,0% 24,7%
Pemeliharaan Teh 13,7% 8,1% 14,0% 11,9%
Pendapatan Perusahaan 1,2% 4,4% 1,9% 2,5%
Teknologi Pengolahan 19,5% 1,8% 4,5% 8,6%
Jumlah 100%
[Sumber : Pengolahan Data, 2014]
Pada Tabel 5.3 terlihat bahwa variabel yang memiliki nilai bobot tertinggi
adalah variabel ketinggian dengan nilai bobot 24,7%. Artinya bahwa variabel
ketinggian memiliki pengaruh yang paling besar dalam tingkat kerentanan
perkebunan teh. Sedangkan untuk variabel yang memiliki nilai bobot terendah
adalah variabel jenis tanah dengan nilai bobot 2,3%. Artinya bahwa variabel jenis
tanah memiliki pengaruh yang paling kecil dalam tingkat kerentanan perkebunan
teh.
76
Universitas Indonesia
5.5 Kerentanan Perkebunan Teh
Kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim di wilayah Puncak
Gunung Gede Pangrango diperoleh dari semua variabel yang telah dilakukan
klasifikasi nilai kerentanan kemudian dilakukan pembobotan dengan menggunakan
metode AHP. Pembuatan peta kerentanan diolah dengan menggunakan metode
Weighted Sum dalam perangkat lunak Arcgis 10 sehingga diperoleh hasil sebagai
berikut :
Gambar 5.21 Kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim
di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango
Pada Gambar 5.21 terlihat bahwa tingkat kerentanan perkebunan teh terhadap
perubahan iklim didominasi oleh tingkat kerentanan sedang (warna kuning).
Persebaran tingkat kerentanan tinggi (warna merah) terletak di sebelah utara
77
Universitas Indonesia
Gunung Gede-Pangrango dan sebagian kecil terletak di sebelah timur Gunung
Gede-Pangrango.
Tabel 5.4 Luas dan persentase tingkat kerentanan
Tingkat Kerentanan Luas (ha) Persentase (%)
Kerentanan Rendah 203,00 6,29
Kerentanan Sedang 2617,02 81,11
Kerentanan Tinggi 406,44 12,60
[Sumber : Pengolahan Data, 2014]
Tingkat kerentanan perkebunan teh terbesar adalah pada kelas kerentanan
sedang yaitu dengan luas sebesar 2617,02 ha dengan persentase sebesar 81,11 %.
Selanjutnya pada kelas kerentanan tinggi yaitu dengan luas sebesar 406,44 ha
dengan persentase sebesar 12,60 %. Kemudian kelas kerentanan rendah yaitu
dengan luas sebesar 203,00 ha dengan persentase sebesar 6,29 %.
Tabel 5.5 Luas tingkat kerentanan pada setiap perkebunan teh
Tingkat
Kerentanan
Luas Lahan Pada Perkebunan Teh (ha)
Ciliwung Ciseureuh Gedeh Gunung
Mas Maleber
Pasir
Sarongge
Kerentanan
Rendah 31,36 26,41 0 0 83,29 61,94
Kerentanan
Sedang 568,20 515,93 991,55 541,33 0 0
Kerentanan
Tinggi 0 113,49 21,02 271,93 0 0
[Sumber : Pengolahan Data, 2014]
Pada kelas kerentanan rendah, perkebunan yang memiliki luas terkecil adalah
perkebunan teh Gunung Mas karena perkebunan teh ini tidak memiliki lahan
dengan tingkat kerentanan rendah, sedangkan perkebunan yang memiliki luas
terbesar adalah perkebunan teh Maleber yaitu sebesar 83,29 ha. Pada kelas
kerentanan sedang, perkebunan yang memiliki luas terkecil adalah perkebunan teh
Maleber dan Pasir Sarongge karena perkebunan teh ini tidak memiliki lahan dengan
tingkat kerentanan sedang, sedangkan perkebunan yang memiliki luas terbesar
adalah perkebunan teh Gedeh yaitu sebesar 991,55 ha. Pada kelas kerentanan tinggi,
perkebunan yang memiliki luas terkecil adalah perkebunan teh Ciliwung, Maleber
dan Pasir Sarongge karena perkebunan teh ini tidak memiliki lahan dengan tingkat
kerentanan tinggi, sedangkan perkebunan yang memiliki luas terbesar adalah
perkebunan teh Gunung Mas yaitu sebesar 271,93 ha.
78
Universitas Indonesia
Perkebunan teh Gunung Mas memiliki luas yang terbesar pada kategori
kerentanan tinggi disebabkan oleh tingginya dampak potensial (potential impact)
dan rendahnya kapasitas adaptasi (adaptif capacity) yang dimiliki. Dampak
potensial yang memiliki kategori kerentanan tingi terlihat pada variabel intensitas
serangan hama dan penyakit, dan luas lahan. Intensitas serangan hama dan penyakit
di perkebunan teh Gunung Mas yaitu sebesar lebih dari 30 persen sedangkan luas
lahan yaitu sebesar lebih dari 700 ha. Kapasitas adaptasi yang rendah (kategori
kerentanan tinggi) terlihat pada variabel pendapatan perusahaan dan pemeliharaan
teh. Pendapatan perusahaan di perkebunan teh Gunung Mas yaitu sebesar kurang
dari Rp 18.000.000,00 , sedangkan pemeliharaan teh yang dilakukan kurang baik.
Foto hasil survei lapang yang dilakukan di lokasi perkebunan teh yang
memiliki luas terbesar pada tingkat kerentanan tinggi (perkebunan teh Gunung
Mas) adalah sebagai berikut :
Gambar 5.22 Serangan penyakit cacar
daun teh
Gambar 5.23 Kondisi tanaman teh yang
tidak terpelihara
[Sumber : Survei lapang, 2014]
Pada Gambar 5.22 terlihat bahwa terjadi serangan penyakit cacar (lingkaran
merah) pada perkebunan teh Gunung Mas yang berlokasi di wilayah kerentanan
tinggi. Selain itu pada Gambar 5.23 kondisi tanaman teh setelah dilakukan
pemangkasan terlihat tidak terpelihara karena masih banyaknya rumput liar dan
tidak adanya pemupukan yang dilakukan pada tanaman teh tersebut.
79
Universitas Indonesia
Gambar 5.24 Alih fungsi lahan menjadi tanaman jeruk
[Sumber : Survei lapang, 2014]
Beberapa lahan kebun teh di perkebunan teh Gunung Mas kini telah beralih
fungsi menjadi kebun jeruk. Hal ini dilakukan karena produksi teh yang semakin
menurun yang berakibat perusahaan mengalami kerugian sehingga dilakukan alih
fungsi lahan pada sebagian kecil lahan perkebunan teh, seperti yang terlihat pada
Gambar 5.24.
80 Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN
Sebagian besar (sekitar 80 persen) area perkebunan teh di wilayah Puncak
Gunung Gede Pangrango memiliki kerentanan wilayah terhadap perubahan iklim
dalam kategori sedang. Area perkebunan teh yang memiliki kerentanan wilayah
tergolong tinggi hanya mendekati 13 persen. Perkebunan teh yang paling rentan
(kerentanan tinggi) terhadap perubahan iklim adalah perkebunan teh Gunung Mas
dengan luas area pada kategori kerentanan tinggi sebesar 271,93 ha. Tingginya
kerentanan di perkebunan teh Gunung Mas disebabkan oleh tingginya dampak
potensial dan rendahnya kapasitas adaptasi yang dimiliki. Sebagian besar lahan
perkebunan teh yang sangat rentan terhadap perubahan iklim berada di sebelah
utara puncak Gunung Gede Pangrango.
81
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. (2012). Buku Informasi Perubahan
Iklim dan Kualitas Udara di Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. (2013). Kabupaten Bogor dalam Angka
2013. Katalog BPS: 1102001.3201.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur. (2013). Kabupaten Cianjur dalam Angka
2013. Katalog BPS: 1102001.3203.
Bakti, C.H. (2013). Kerentanan Wilayah terhadap Penyimpangan Curah Hujan
Musim Kemarau di Kabupaten Temanggung. Departemen Geografi. Fakultas
MIPA. Universitas Indonesia. Depok.
Chrisman, N. (1997). Exploring Geographic Infomation Systems. Wiley & Sons,
Incorporated, John.
Cutter, S.L. (1996). Vulnerability to Environmental Hazards. Department of
Geography University of South Carolina.
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2007). Pedoman Teknis Praktek Budidaya Teh
yang Baik. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian
RI. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2013). Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap
Produktivitas Lahan. Direktorat Perlindungan Perkebunan. Direktorat
Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian RI. Jakarta.
Effendi, D.S., Syakir, M., Yusron, M., & Wiratno. (2010). Budidaya dan Pasca
Panen Teh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Kementrian
Pertanian RI. Jakarta.
Fussel, H.M. (2007). Vulnerability: A generally applicable conceptual framework
for climate change research. Global Environmental Change. Volume 17,
Issue 2,Pages 155–167.
Gallopín, G.C. (2006). Linkages between vulnerability, resilience, and adaptive
capacity. Global Environmental Change 16(3):293-303. United Nations
Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC),
Casilla 179 D, Avda. Dag Hammarskjold s/n, Santiago, Chile.
82
Universitas Indonesia
Intergovernmental Panel on Climate Change. (2007). Summary for Policy Makers,
Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Climate Change: The Physical
Science Basis. Paris.
International Trade Centre. (2014). Mitigating Climate Change in Tea Sector.
Geneva. Switzerland.
Kusrini. (2007). Strategi Perancangan dan Pengelolaan Basis Data. Yogyakarta.
Landscape Climate Change Vulnerability Project. (2012). Vulnerability
Assessments for LCC‐VP. Great Northern LCC. US.
Lestari, A.P. (2010). Pemintakatan Risiko Bencana Banjir Bandang di Wilayah
Dinoyo dan Kaliputih Kabupaten Jember. Program Studi Perencanaan
Wilayah dan Kota. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember. Surabaya
Margono, T.T. (2013). Pengaruh Iklim dan Kejadian La Nina dan Antisipasinya
Terhadap Produksi Tanaman Teh. Direktorat Perlindungan Perkebunan,
Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian RI. Jakarta.
Pramono, G. H. (2008). Akurasi Metode IDW dan Kriging untuk Interpolasi
Sebaran Sedimen Tersuspensi di Maros Sulawesi Selatan. Forum Geografi.
Vol. 22, No. 1, Juli 2008: 145-158.
Prasetyo, D. (2013). Kerentanan Wilayah Kekeringan terhadap Perubahan Iklim di
Kabupaten Gunung Kidul. Departemen Geografi. Fakultas MIPA. Universitas
Indonesia. Depok.
Quan, N., Minh, H.H., Öborn, I., & Noordwijk, M. (2013). Multipurpose
agroforestry as a climate change adaptation option for farmers - an example
of local adaptation in Vietnam. Journal of Climate Change, 117, 241–257.
Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang No. 31 Tahun 2009 tentang
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Lembaran Negara RI Tahun 2009,
Nomor 139. Sekretariat Negara. Jakarta.
Ristya, W. (2012). Kerentanan Willayah Terhadap Banjir di Sebagian Cekungan
Bandung. Departemen Geografi. Fakultas MIPA. Universitas Indonesia.
Depok.
Rosyadi, A.I. (2001). Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Untuk Memproduksi Teh
Hitam Berkelanjutan. Bandung: Disertasi, Universitas Padjajaran.
Rusbiantoro, D. (2008). Global Warming For Beginner. ISBN: 979-17343-0-1. O2.
Yogyakarta.
Saaty, T.L. (1986). Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Pustaka
Binaman Pressindo. Jakarta.
83
Universitas Indonesia
Saaty, T.L. (1993). Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses. Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks.
Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Sandy. I.M. (1982). Penggunaan Tanah di. Indonesia. Publ. No 75. Direktorat Tata
Guna Tanah. Depdagri. Jakarta.
Septyan. (2013). Pedoman Teknis Pembangunan Kebun Perbanyakan Sumber
Benih Teh. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan
Surabaya, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian RI.
Setyamidjaja, D. (2000). Teh Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen. Kanisius.
Yogyakarta. 154 hal.
Sukarno, P.A. (2013). Produksi Teh PTPN VIII Gunung Mas Merosot Jadi 10
Ton/Hari. 4 Desember 2013. http://industri.bisnis.com.
Wagu. (2001). Teh Produk Hilir Lebih Prospektif. Majalah Gema Industri Kecil,
Edisi 14 Juni 2006.
Wikantika, K., & Agus, A. (2006). Analisis Perubahan Luas Pertanian Lahan
Kering Menggunakan Transformasi TasseledCap (Studi Kasus: Kawasan
Puncak, Jawa Barat). Jurnal Infrastruktur dan Lingkungan Binaan Vol. II No.
1.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner AHP
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
DEPARTEMEN GEOGRAFI
KUESIONER KERENTANAN PERKEBUNAN TEH TERHADAP
PERUBAHAN IKLIM MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL
HIERARCHY PROCESS (AHP)
Informan
Nama :
Pekerjaan :
Instansi :
Tujuan Kuesioner
Kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui bobot dari tiap variabel yang
mempengaruhi kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim. Adapun
nilainya yaitu dengan menggunakan skala penilaian berikut ini.
Tabel. Nilai skala perbandingan berpasangan
Tingkat
Kepentingan Definisi
1 Kedua elemen sama penting
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari yang lain
5 Elemen yang satu lebih penting dari yang lain
7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya
9 Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen lainnya
2,4,6,8 Nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Cara pengisian
Variabel pada kolom kiri dibandingkan dengan variabel pada kolom kanan. Tingkat
kepentingan 2-9 (pada bagian kiri) adalah milik kriteria pada kolom paling kiri,
sedangkan tingkat kepentingan 2-9 (pada bagian kanan) adalah milik kriteria pada
kolom paling kanan. Kemudian, berilah tanda () pada kolom yang sesuai untuk
penilaian tingkat kepentingan antara masing-masing variabel (kolom kiri
dibandingkan dengan kolom kanan).
Tab
el K
ues
ioner
AH
P
Ko
lom
Kan
an
Su
hu
Ud
ara
Lu
as L
ahan
Inte
nsi
tas
Ser
ang
an
Ham
a &
Pen
yak
it
Jen
is T
anah
Jen
is T
anam
an T
eh
Ket
ing
gia
n
Pem
elih
araa
n T
eh
Pen
dap
atan
Per
usa
haa
n
Tek
no
log
i P
eng
ola
han
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
anan
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
iri
9
8
7
6
5
4
3
2
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
iri
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
anan
9
8
7
6
5
4
3
2
Dii
si b
ila
sam
a p
enti
ng
1
Ko
lom
Kir
i
Cu
rah
Hu
jan
Ko
lom
Kan
an
Lu
as L
ahan
Inte
nsi
tas
Ser
ang
an
Ham
a &
Pen
yak
it
Jen
is T
anah
Jen
is T
anam
an T
eh
Ket
ing
gia
n
Pem
elih
araa
n T
eh
Pen
dap
atan
Per
usa
haa
n
Tek
no
log
i P
eng
ola
han
Ko
lom
Kan
an
Inte
nsi
tas
Ser
ang
an
Ham
a &
Pen
yak
it
Jen
is T
anah
Jen
is T
anam
an T
eh
Ket
ing
gia
n
Pem
elih
araa
n T
eh
Pen
dap
atan
Per
usa
haa
n
Tek
no
log
i P
eng
ola
han
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
anan
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
iri
9
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
anan
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
iri
9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
iri
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
anan
9
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
iri
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
anan
9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
Dii
si b
ila
sam
a p
enti
ng
1
Dii
si b
ila
sam
a p
enti
ng
1
Ko
lom
Kir
i
Su
hu
Ud
ara
Ko
lom
Kir
i
Lu
as L
ahan
Ko
lom
Kan
an
Jen
is T
anah
Jen
is T
anam
an T
eh
Ket
ing
gia
n
Pem
elih
araa
n T
eh
Pen
dap
atan
Per
usa
haa
n
Tek
no
log
i P
eng
ola
han
Ko
lom
Kan
an
Jen
is T
anam
an T
eh
Ket
ing
gia
n
Pem
elih
araa
n T
eh
Pen
dap
atan
Per
usa
haa
n
Tek
no
log
i P
eng
ola
han
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
anan
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
iri
9
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
anan
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
iri
9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
iri
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
anan
9
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
iri
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
anan
9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
Dii
si b
ila
sam
a p
enti
ng
1
Dii
si b
ila
sam
a p
enti
ng
1
Ko
lom
Kir
i
Inte
nsi
tas
Ser
ang
an
Ham
a &
Pen
yak
it
Ko
lom
Kir
i
Jen
is T
anah
Ko
lom
Kan
an
Ket
ing
gia
n
Pem
elih
araa
n T
eh
Pen
dap
atan
Per
usa
haa
n
Tek
no
log
i P
eng
ola
han
Ko
lom
Kan
an
Pem
elih
araa
n T
eh
Pen
dap
atan
Per
usa
haa
n
Tek
no
log
i P
eng
ola
han
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
anan
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
iri
9
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
anan
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
iri
9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
iri
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
anan
9
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
iri
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
anan
9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
Dii
si b
ila
sam
a p
enti
ng
1
Dii
si b
ila
sam
a p
enti
ng
1
Ko
lom
Kir
i
Jen
is T
anam
an T
eh
Ko
lom
Kir
i
Ket
ing
gia
n
Ko
lom
Kan
an
Pen
dap
atan
Per
usa
haa
n
Tek
no
log
i P
eng
ola
han
Ko
lom
Kan
an
Tek
no
log
i P
eng
ola
han
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
anan
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
iri
9
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
anan
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
iri
9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
iri
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
anan
9
Dii
si b
ila
var
iab
el k
olo
m k
iri
leb
ih
pen
tin
g d
iban
din
gk
an k
olo
m k
anan
9
8 8
7 7
6 6
5 5
4 4
3 3
2 2
Dii
si b
ila
sam
a p
enti
ng
1
Dii
si b
ila
sam
a p
enti
ng
1
Ko
lom
Kir
i
Pem
elih
araa
n T
eh
Ko
lom
Kir
i
Pen
dap
atan
Per
usa
haa
n
Lampiran 2. Perhitungan AHP
Untuk lebih mempermudah dalam menghitung bobot dengan metode AHP,
maka variabel-variabel kerentanan dituliskan dalam bentuk simbol seperti tabel di
bawah ini :
Variabel Simbol
Curah Hujan A
Suhu Udara B
Luas Lahan Perkebunan C
Intensitas Serangan Hama & Penyakit D
Jenis Tanah E
Jenis Tanaman Teh F
Ketinggian G
Pemeliharaan Teh H
Pendapatan Perusahaan I
Teknologi Pengolahan J
1) Informan 1
1. Nilai prioritas pada variabel
Cara mengisi nilai prioritas yaitu dengan menganalisa prioritas antara
variabel baris dibandingkan dengan variabel kolom, pengisian ini terlebih dahulu
dilakukan pada prioritas variabel yang terdapat diatas pada garis diagonal (kotak
dengan warna dasar biru). Kemudian melakukan pengisian prioritas variabel yang
terdapat dibawah pada garis diagonal (kotak dengan warna dasar biru). Hal ini
sesuai dengan persamaan matematika seperti berikut :
Jika A ∶ B = X, maka B ∶ A = 1/X
Contoh : jika prioritas variabel B (baris) : variabel C (kolom) = 5, maka
prioritas variabel C (baris) : variabel B (kolom) = 1/5 (lihat rumus 5.1). Sehingga
prioritas setiap variabel antara variabel A : variabel A = 1, variabel C : variabel A =
1/5, variabel E : variabel B = 1/4, variabel D : variabel E = 6.
Variabel A B C D E F G H I J
A 1 1 5 5 4 9 1/9 1 9 1
B 1 1 5 5 4 5 1/9 1/6 7 1
C 1/5 1/5 1 1/6 1 1 1/9 1 5 1
D 1/5 1/5 6 1 6 1 1/9 1/9 5 1/9
E 1/4 1/4 1 1/6 1 5 1/7 1/9 1 1/9
F 1/9 1/5 1 1 1/5 1 1/9 6 5 1/9
G 9 9 9 9 7 9 1 1 9 1/9
H 1 6 1 9 9 1/6 1 1 9 1
I 1/9 1/7 1/5 1/5 1 1/5 1/9 1/9 1 1/6
J 1 1 1 9 9 9 9 1 6 1
2. Bobot pada setiap variabel
Nilai bobot ini berkisar antara 0 - 1, dan total bobot untuk setiap kolom adalah
1. Cara menghitung bobot adalah angka pada setiap kotak dibagi dengan
penjumlahan semua angka dalam kolom yang sama. Contoh bobot dari (variabel A,
variabel A) = 1 / (1 + 1 + 1/5 + 1/5 + 1/4 + 1/9 + 9 + 1 + 1/9 + 1) = 0,072. (variabel
B, variabel C) = 5 / (5 + 5 + 1 + 6 + 1 + 1 + 9 + 1 + 1/5 + 1) = 0,166. Dengan
perhitungan yang sama bobot prioritas menjadi :
Variabel A B C D E F G H I J
A 0,072 0,053 0,166 0,126 0,095 0,223 0,009 0,087 0,158 0,178
B 0,072 0,053 0,166 0,126 0,095 0,124 0,009 0,014 0,123 0,178
C 0,014 0,011 0,033 0,004 0,024 0,025 0,009 0,087 0,088 0,178
D 0,014 0,011 0,199 0,025 0,142 0,025 0,009 0,010 0,088 0,020
E 0,018 0,013 0,033 0,004 0,024 0,124 0,012 0,010 0,018 0,020
F 0,008 0,011 0,033 0,025 0,005 0,025 0,009 0,522 0,088 0,020
G 0,649 0,474 0,298 0,228 0,166 0,223 0,085 0,087 0,158 0,020
H 0,072 0,316 0,033 0,228 0,213 0,004 0,085 0,087 0,158 0,178
I 0,008 0,008 0,007 0,005 0,024 0,005 0,009 0,010 0,018 0,030
J 0,072 0,053 0,033 0,228 0,213 0,223 0,762 0,087 0,105 0,178
Selanjutnya adalah mencari nilai bobot untuk masing-masing variabel.
Caranya adalah dengan melakukan penjumlahan setiap nilai bobot prioritas pada
setiap baris tabel dibagi dengan jumlah variabel. Contoh bobot pada variabel A =
(0,072 + 0,053 + 0,166 + 0,126 + 0,095 + 0,223 + 0,009 + 0,087 + 0,158 + 0,178)
/ 10 = 0,117 = 11,7%. Sehingga diperoleh bobot masing-masing variabel yaitu
sebagai berikut :
Variabel Persentase
A 11,7%
B 9,6%
C 4,7%
D 5,4%
E 2,8%
F 7,5%
G 23,9%
H 13,7%
I 1,2%
J 19,5%
Jumlah 100%
Pada tabel diatas, terlihat bahwa variabel yang memiliki nilai bobot tertinggi
adalah variabel G (ketinggian) dengan nilai bobot 23,9%. Artinya bahwa, menurut
informan 1 variabel ketinggian memiliki pengaruh yang paling besar dalam tingkat
kerentanan perkebunan teh. Sedangkan untuk variabel yang memiliki nilai bobot
terendah adalah variabel I (pendapatan perusahaan) dengan nilai bobot 1,2%.
Artinya bahwa, menurut informan 1 variabel pendapatan perusahaan memiliki
pengaruh yang paling kecil dalam tingkat kerentanan perkebunan teh.
2) Informan 2
Semua perhitungan untuk mendapatkan bobot setiap variabel pada informan
2 sama halnya dengan perhitungan pada informan 1. Hasil perhitungannya adalah
sebagai berikut :
1. Nilai prioritas pada variabel
Variab
el A B C D E F G H I J
A 1 9 9 1/9 9 9 1/9 9 1 9
B 1/9 1 9 1/9 9 1 1/9 9 1 1
C 1/9 1/9 1 1/9 1/5 1/9 1/9 1 1 1
D 9 9 9 1 9 9 1/9 9 9 9
E 1/9 1/9 5 1/9 1 1 1/9 1/6 1 1
F 1/9 1 9 1/9 1 1 1 1/9 1 5
G 9 9 9 9 9 1 1 1 6 9
H 1/9 1/9 1 1/9 6 9 1 1 1 1
I 1 1 1 1/9 1 1 1/6 1 1 7
J 1/9 1 1 1/9 1 1/5 1/9 1 1/7 1
2. Bobot pada setiap variabel
Variabel A B C D E F G H I J
A 0,048 0,287 0,167 0,010 0,195 0,279 0,029 0,279 0,045 0,205
B 0,005 0,032 0,167 0,010 0,195 0,031 0,029 0,279 0,045 0,023
C 0,005 0,004 0,019 0,010 0,004 0,003 0,029 0,031 0,045 0,023
D 0,435 0,287 0,167 0,092 0,195 0,279 0,029 0,279 0,406 0,205
E 0,005 0,004 0,093 0,010 0,022 0,031 0,029 0,005 0,045 0,023
F 0,005 0,032 0,167 0,010 0,022 0,031 0,261 0,003 0,045 0,114
G 0,435 0,287 0,167 0,827 0,195 0,031 0,261 0,031 0,271 0,205
H 0,005 0,004 0,019 0,010 0,130 0,279 0,261 0,031 0,045 0,023
I 0,048 0,032 0,019 0,010 0,022 0,031 0,043 0,031 0,045 0,159
J 0,005 0,032 0,019 0,010 0,022 0,006 0,029 0,031 0,006 0,023
Variabel Persentase
A 15,4%
B 8,2%
C 1,7%
D 23,7%
E 2,7%
F 6,9%
G 27,1%
H 8,1%
I 4,4%
J 1,8%
Jumlah 100%
Pada tabel diatas, terlihat bahwa variabel yang memiliki nilai bobot tertinggi
adalah variabel G (ketinggian) dengan nilai bobot 27,1%. Artinya bahwa, menurut
informan 2 variabel ketinggian memiliki pengaruh yang paling besar dalam tingkat
kerentanan perkebunan teh. Sedangkan untuk variabel yang memiliki nilai bobot
terendah adalah variabel C (luas lahan perkebunan) dengan nilai bobot 1,7%.
Artinya bahwa, menurut informan 2 variabel luas lahan perkebunan memiliki
pengaruh yang paling kecil dalam tingkat kerentanan perkebunan teh.
3) Informan 3
Semua perhitungan untuk mendapatkan bobot setiap variabel pada informan
3 sama halnya dengan perhitungan pada informan 1. Hasil perhitungannya adalah
sebagai berikut :
1. Nilai prioritas pada variabel
Variab
el A B C D E F G H I J
A 1 9 6 9 9 9 1 5 9 9
B 1/9 1 5 5 9 9 1 1 5 5
C 1/6 1/5 1 1/9 6 6 1/9 1/9 1 1
D 1/9 1/5 9 1 6 5 1/9 1/9 5 1
E 1/9 1/9 1/6 1/6 1 1/6 1/9 1/9 1 1/6
F 1/9 1/9 1/6 1/5 6 1 1/9 1/9 1 1
G 1 1 9 9 9 9 1 6 9 6
H 1/5 1 9 9 9 9 1/6 1 5 7
I 1/9 1/5 1 1/5 1 1 1/9 1/5 1 1/6
J 1/9 1/5 1 1 6 1 1/6 1/7 6 1
2. Menentukan bobot pada setiap variabel
Variabel A B C D E F G H I J
A 0,330 0,691 0,145 0,260 0,145 0,179 0,257 0,363 0,209 0,287
B 0,037 0,077 0,121 0,144 0,145 0,179 0,257 0,073 0,116 0,160
C 0,055 0,015 0,024 0,003 0,097 0,120 0,029 0,008 0,023 0,032
D 0,037 0,015 0,218 0,029 0,097 0,100 0,029 0,008 0,116 0,032
E 0,037 0,009 0,004 0,005 0,016 0,003 0,029 0,008 0,023 0,005
F 0,037 0,009 0,004 0,006 0,097 0,020 0,029 0,008 0,023 0,032
G 0,330 0,077 0,218 0,260 0,145 0,179 0,257 0,435 0,209 0,191
H 0,066 0,077 0,218 0,260 0,145 0,179 0,043 0,073 0,116 0,223
I 0,037 0,015 0,024 0,006 0,016 0,020 0,029 0,015 0,023 0,005
J 0,037 0,015 0,024 0,029 0,097 0,020 0,043 0,010 0,140 0,032
Variabel Persentase
A 28,7%
B 13,1%
C 4,1%
D 6,8%
E 1,4%
F 2,6%
G 23,0%
H 14,0%
I 1,9%
J 4,5%
Jumlah 100%
Pada tabel diatas, terlihat bahwa variabel yang memiliki nilai bobot tertinggi
adalah variabel A (curah hujan) dengan nilai bobot 28,7%. Artinya bahwa, menurut
informan 3 variabel curah hujan memiliki pengaruh yang paling besar dalam tingkat
kerentanan perkebunan teh. Sedangkan untuk variabel yang memiliki nilai bobot
terendah adalah variabel E (jenis tanah) dengan nilai bobot 1,4%. Artinya bahwa,
menurut informan 3 variabel jenis tanah memiliki pengaruh yang paling kecil dalam
tingkat kerentanan perkebunan teh.
Lampiran 3. Perhitungan Klasifikasi Penurunan Curah Hujan dan Peningkatan
Suhu Udara
1. Penurunan Curah Hujan
Untuk mencari nilai penurunan curah hujan tertinggi dan terendah di wilayah
Puncak, sebelumnya dilakukan pembuatan peta penurunan curah hujan di wilayah
Puncak yang diperoleh dengan mencari nilai tren curah hujan pada setiap stasiun
meteorologi dengan membuat grafik sehingga akan terlihat nilai tren pada setiap
grafik. Kemudian memasukan nilai tren pada setiap stasiun meteorologi yang diolah
menggunakan perangkat lunak Arcgis 10 dengan metode interpolasi IDW.
Setelah melakukan interpolasi menggunakan metode IDW, selanjutnya
dilakukan pemotongan (clip) pada wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.
Kemudian didapatkan nilai penurunan curah hujan tertinggi dan terendah seperti
terlihat pada gambar di bawah ini.
Sehingga diperoleh nilai interval untuk mengklasifikasikan penurunan curah
hujan yang dapat dilihat pada perhitungan di bawah ini.
Interval =20 − 8
3= 4
2. Peningkatan Suhu Udara
Untuk mencari nilai peningkatan suhu udara tertinggi dan terendah di wilayah
Puncak, sebelumnya dilakukan pembuatan peta peningkatan suhu udara di wilayah
Puncak yang diperoleh dengan mencari nilai tren suhu udara pada setiap stasiun
meteorologi dengan membuat grafik sehingga akan terlihat nilai tren pada setiap
grafik. Kemudian memasukan nilai tren pada setiap stasiun meteorologi yang diolah
menggunakan perangkat lunak Arcgis 10 dengan metode interpolasi IDW.
Setelah melakukan interpolasi menggunakan metode IDW, selanjutnya
dilakukan pemotongan (clip) pada wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango.
Kemudian didapatkan nilai peningkatan suhu udara tertinggi dan terendah seperti
terlihat pada gambar di bawah ini.
Sehingga diperoleh nilai interval untuk mengklasifikasikan peningkatan suhu
udara yang dapat dilihat pada perhitungan di bawah ini.
Interval =0,1 − 0,004
3= 0,32
Lampiran 4. Data Curah Hujan dan Suhu Udara
1. Nilai hujan setiap periode
Stasiun Periode 1
(mm)
Periode 2
(mm)
Periode 3
(mm)
Cibinong 3.297 3.016 1.927
Darmaga Bogor 3.797 3.907 3.926
Geofisika Bandung 2.210 2.113 2.117
Citeko 3.339 3.385 3.180
Lembang 1.906 1.888 2.021 [Sumber : BMKG]
2. Tren curah hujan
Stasiun Tren Curah Hujan
(mm/tahun)
Cibinong -68,86
Darmaga Bogor 3,09
Geofisika Bandung -2,22
Citeko -8,30
Lembang 14,06
[Sumber : Pengolahan Data, 2014]
3. Nilai suhu udara setiap periode
Stasiun Periode 1
(oC)
Periode 2
(oC)
Periode 3
(oC)
Cibinong 25,9 26,1 26,1
Darmaga Bogor 25,5 25,6 25,8
Geofisika Bandung 23,0 23,1 23,2
Citeko 21,2 21,3 21,2
Lembang 19,9 20,0 20,1
[Sumber : BMKG]
4. Tren suhu udara
Stasiun Tren Suhu Udara
(oC/tahun)
Cibinong 0,23
Darmaga Bogor 0,13
Geofisika Bandung 0,16
Citeko 0,004
Lembang 0,09
[Sumber : Pengolahan Data, 2014]
5. Curah hujan dan suhu udara di stasiun Citeko
Tahun
Curah Hujan (mm) Suhu Udara (oC)
Tahunan Musim
Hujan
Musim
Kemarau Rata-Rata Maksimum Minimum
1981 3.931 2.692 1.239 21,0 27,2 15,4
1982 3.178 2.305 873 21,0 27,0 15,8
1983 2.925 2.060 865 20,9 27,3 15,5
1984 4.006 2.356 1.650 20,9 27,1 15,7
1985 3.226 1.769 1.457 21,1 26,9 16,0
1986 3.975 2.639 1.336 21,3 27,3 15,5
1987 2.804 2.239 566 22,2 27,7 15,7
1988 2.855 2.181 674 21,4 28,3 15,2
1989 3.251 2.120 1.132 21,2 27,5 16,4
1990 3.240 2.100 1.140 21,2 27,3 16,6
1991 3.101 2.413 688 21,1 27,3 16,3
1992 4.018 2.515 1.503 21,1 27,4 15,6
1993 3.851 2.724 1.127 20,7 27,2 15,9
1994 2.777 2.265 512 20,8 27,4 15,5
1995 3.602 2.624 978 21,0 27,3 16,8
1996 3.360 2.493 868 20,9 27,4 16,6
1997 2.619 1.978 641 21,8 28,0 16,5
1998 3.561 2.582 979 22,0 28,1 17,3
1999 4.111 2.964 1.148 21,7 27,8 15,9
2000 2.849 1.757 1.092 21,6 27,2 15,9
2001 3.688 2.665 1.023 20,9 27,4 15,5
2002 2.978 2.169 808 21,2 28,1 15,0
2003 2.794 1.890 904 21,2 27,9 15,4
2004 2.834 1.962 873 21,1 28,3 16,0
2005 3.070 1.995 1.076 21,2 28,3 16,5
2006 2.630 2.105 525 21,3 28,5 16,4
2007 3.479 2.709 770 21,1 28,3 16,1
2008 3.156 2.294 862 20,9 28,0 16,2
2009 3.322 2.419 903 21,3 28,4 18,3
2010 3.850 2.409 1.441 21,4 28,0 17,4
Rata- Rata 3.301 2.313 988 21,2 27,7 16,1
[Sumber : Pengolahan Data, 2014]