Keratitis Neurotropik
-
Upload
jessieca-liusen -
Category
Documents
-
view
233 -
download
0
Embed Size (px)
Transcript of Keratitis Neurotropik

Presentasi referat
KERATITIS NEUROTROPIK
Disusun Oleh:
EKA SAPUTRI
INDAH PERMATA
JESSIECA LIUSEN
MITHA PRADINI
SYARIFAH YURIZA APRYANA
Pembimbing:dr. Bagus Sidharto, SpM
KEPANITERAAN KLINIK KBKBAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAURUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU2012
1

BAB I
PENDAHULUAN
Keratitis neurotropik adalah penyakit kornea degeneratif jarang terjadi dan
disebabkan oleh gangguan inervasi nervus trigeminus kornea yang mengakibatkan
terjadinya penurunan atau tidak adanya sensasi kornea. Banyak penyakit mata
maupun penyakit sistemik yang dapat mengakibatkan kerusakan pada nervus
trigeminal meliputi kerusakan pada nukleusnya di pons, ganglion Gasseri, cabang
oftalmikus, nervus nasosiliaris, nervus siliaris.1
Etiologi tersering yang mengakibatkan terjadinya anestesi pada kornea
adalah infeksi virus (herpes simpleks dan herpes zoster), trauma kimia, trauma
fisik, pembedahan kornea. Space occupying lesion seperti neuroma, meningioma,
dan aneurisma juga dapat menekan nervus trigeminal maupun ganglionnya yang
mengakibatkan gangguan sensasi kornea. Penyakit sistemik seperti diabetes
melitus, multipel sklerosis, dan lepra dapat menurunkan sensasi nervus atau
merusak serat sensorik neuron yang mengakibatkant terjadinya anestesi kornea. 1
Secara epidemiologi, 15% kasus dengan anestesi kornea mengalami
komplikasi serius. Sebanyak 40.000-60.000 ribu kasus infeksi herpes zoster
terjadi tiap tahunnya, 50% melibatkan mata, 16%nya mengalami keratitis
neurotropik. Insiden keratitis neurotropik meningkat sejalan dengan usia.2
Epitel kornea merupakan target utama yang berubah akibat anestesi
kornea, yakni terjadi distrofi dan menurunnya kemampuan sembuh jika terjadi
lesi. Penyakit dapat progresif hingga membentuk ulkus, kemudian terjadi
perforasi. Diagnosis klinis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Penanganan penyakit ini merupakan satu di antara
banyak penyakit kornea yang sulit ditangani.1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan epidemiologi
Keratitis neurotropik adalah penyakit kornea degeneratif yang jarang dan
disebabkan oleh gangguan inervasi nervus trigeminus kornea yang mengakibatkan
terjadinya penurunan atau tidak adanya sensasi kornea.1 Keratitis neurotropik juga
diartikan sebagai keratitis yang terjadi akibat palsi nervus oftalmikus trigeminal.3
Secara epidemiologi, 15% kasus dengan anestesi kornea mengalami komplikasi
serius. 40.000-60.000 ribu kasus infeksi herpes zoster terjadi tiap tahunnya, 50%
melibatkan mata, 16% diantaranya mengalami keratitis neurotropik. Insiden
keratitis neurotropik meningkat sejalan dengan usia.2
2.2 Etiologi
Etiologi terjadinya keratitis neurotropik secara umum dapat dibagi menjadi
4, yaitu :3,4
1. Infeksi : herpes simplex, herpes zoster dan lepra.
2. Palsi Nervus Trigeminal : post pembedahan, neoplasia (seperti neuroma
akustik), aneurisma, trauma wajah.
3. Kongenital : dysautonomia keluarga (Riley-Day syndrome), Möbius
sindrom, sindrom Goldenhar, anhidrotic ectodermal displasia dan
neuropati sensorik herediter .
4. Penyakit sistemik : Diabetes melitus, defisiensi vitamin A, dan multiple
sclerosis.
5. Distrofi kornea : Lattice, Granular
6. Iatrogenik : penggunaan kontak lens, trauma pada nervus silier, bedah
refraksi kornea dan LASIK Panretinal laser fotokoagulasi.
7. Toksin / obat-obatan : Anestesi topikal, Timolol, Betaxolol,
Sulfacetamide, Sodium diklofenaks, trauma kimia paparan karbon
disulfida, paparan hidrogen sulfida.
8. Penyebab lainnya : peningkatan usia, Adie’s pupil dan setiap kondisi
peradangan kronis yang menyebabkan cedera epitel kornea.
3

Etiologi tersering yang mengakibatkan terjadinya anestesi pada kornea
adalah infeksi virus (herpes simpleks dan herpes zoster), trauma kimia, trauma
fisik, pembedahan kornea. Space occupying lesion seperti neuroma, meningioma,
dan aneurisma juga dapat menekan nervus trigeminal maupun ganglionnya yang
mengakibatkan gangguan sensasi kornea. Penyakit sistemik seperti diabetes
melitus, multipel sklerosis, dan lepra dapat menurunkan sensasi nervus atau
merusak serat sensorik neuron yang mengakibatkant terjadinya anestesi kornea.
Epitel kornea merupakan target utama yang berubah akibat anestesi kornea, yakni
terjadi distrofi dan menurunnya kemampuan sembuh jika terjadi lesi. Penyakit
dapat progresif hingga membentuk ulkus, kemudian terjadi perforasi.1
2.3 Patofisiologi
Kornea merupakan jaringan tubuh yang sangat kaya akan inervasi saraf (40x
lebih banyak dibandingkan pulpa gigi dan 400x lebih banyak dari kulit). Saraf
sensoris kornea berperan dalam mengatur fungsi dan integritas kornea. Hilangnya
inervasi sensoris kornea mengakibatkan penurunan vitalitas, metabolisme, dan
mitosis sel epitel sehingga terjadi degenerasi epitel. Ketebalan epitel kornea
menurun dan terjadi edem intraseluler pada epitel, hilangnya mikrovili, dan
produksi abnormal dari sel lamina basalis. Perubahan pada konjunctiva yang
terjadi berupa perubahan kepadatan sel goblet dan hilangnya mikroplika
permukaan sel.1,3
Kerusakan sensorik neuron pada kornea mengakibatkan peningkatan
neuromediator akibat kerusakan sel epitel kornea yang menghasilkan defek yang
rekuren atau bersifat persisten. Beberapa penelitian telah berfokus pada peran
neuromediator sensorik dalam patofisiologi epitel kornea. Studi-studi telah
menunjukkan menipisnya substansi P (SP) dan asetilkolin (Ach) dalam kornea
tikus setelah kerusakan saraf sensorik. Secara invitro SP, cholecystokinin gen-
related peptide (CGRP), dan Ach menginduksi proliferasi epitel.1
Bukti eksperimental dan klinis menunjukkan kontrol dua arah proliferasi
epitel kornea: neuromediator sensorik menginduksi mitosis sel epitel, sedangkan,
mediator simpatik (epinefrin dan norepinefrin) mengurangi mitosis sel epitel.
Selain itu, pada hewan percobaan, perubahan epitel kornea yang disebabkan oleh
lesi pada saraf sensorik dapat dikurangi dengan denervasi simpatetik servik.1
4

Secara in vitro dan in vivo, peran faktor pertumbuhan potensial saraf
(NGF) menginduksi pemulihan neuron sensorik dan menginduksi produksi Ach
dalam sistem saraf pusat dan SP di system saraf perifer. Selain itu, NGF
memainkan peran penting dalam keseimbangan antara persarafan sensorik dan
simpatik, dengan mengatur fungsinya. Pada tikus, persarafan sensorik kornea
tergantung pada peran NGF dan secara in vitro, NGF menginduksi proliferasi dan
diferensiasi epitel kornea kelinci.1
Disfungsi saraf trigeminal karena trauma, pembedahan, tumor,
peradangan, atau penyebab lainnya, dapat mengakibatkan anestesi kornea dengan
hilangnya refleks berkedip, yaitu salah satu mekanisme pertahanan kornea, serta
kurangnya faktor trofik yang penting untuk fungsi epitel. Pada tahap awal keratitis
neurotropik, terdapat infiltrat difus pada epitel yang edema. Selanjutnya hilangnya
epitel (ulkus neurotropik), yang dapat memperluas kornea. Dengan hilangnya
sensasi kornea, pada keratitis yang berat dapat menghasilkan sedikit
ketidaknyamanan.6,7,8 Akibat hilangnya sensasi kornea terhadap rangsangan dari
luar, maka mata tidak lagi merasakan dry eye sehingga efek berkedip menurun.5
2.4 Diagnosis
Keratitis neurotropik merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus.
Kelainan saraf trigeminus dapat terjadi akibat herpes zoster, tumor fossa posterior
kranium, trauma, tindakan bedah, obat topikal kronis, pemakaian kontak lens
yang salah, peradangan atau keadaan lain sehingga kornea menjadi anestesi.
Penyakit sistemik seperti diabetes melitus atau terapi sistemik (neuroleptik,
antipsikotik) juga dapat menyebabkan gangguan saraf trigeminus.1,6,9
Pasien akan mengeluhkan kemerahan pada mata, tajam penglihatan
menurun, kotoran mata yang semakin banyak, silau, dan tidak nyeri. Mata akan
memberikan gejala jarang berkedip karena hilangnya refleks berkedip. Selain itu,
palpebral dapat edem dan disertai sensasi seperti ada benda asing di mata. Refleks
berkedip merupakan salah satu pertahanan terbaik kornea terhadap degenerasi,
ulserasi, dan infeksi. Refleks berkedip sangat nyata menurun jika keratitis
neurotropik bilateral terjadi. Perhatikan gambar 1.1,5,6,9
5

Gambar 1. Keratitis neurotropic pada infeksi herpes zoster oftalmikus
(Dikutip dari kepustakaan no.8)
Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan adanya kekeruhan kornea yang
tidak sensitif disertai kekeringan kornea, injeksi siliar, infiltrat dan vesikel pada
kornea. Selain itu, terlihat terbentuknya deskuamasi epitel seluruh permukaan
kornea yang dimulai pada bagian tengah dan meninggalkan sedikit lapisan epitel
kornea yang sehat di dekat limbus.9
Secara klinis, keratitis neurotropic dibagi menjadi 5 stadium sebagai
berikut keratopati punctate interpalpebra dengan iregularitas epitel (gambar a),
opasitas dan edema kornea dengan defek kecil (b), persisten defek pada epitel
disertai sedikit penebalan (c), perluasan defek epitel disertai infiltrate dan edem
stroma, mencairnya stroma kornea (d), perforasi kornea (Gambar 2).
6

Gambar 2. Keratitis neurotropik (Dikutip dari kepustakaan no.3)
Pada keadaan anestesi dan tanpa persarafan, kornea kehilangan daya
pertahanannya terhadap iritasi dari luar, diduga terjadi kemunduran metabolisme
kornea yang memudahkan terjadinya peradangan kornea. Kornea mudah terjadi
infeksi yang akan mengakibatkan terbentuknya ulkus kornea.8 Pada tahap awal
ulkus neurotropik khas, larutan fluorosein akan menghasilkan bintik-bintik
berwarna pada epitel bagian superfisial. Dengan berlanjutnya proses ini, timbul
daerah-daerah berupa bercak terbuka. Kadang-kadang epitelnya hilang dari daerah
yang luas di kornea.6
Pemeriksaan oftalmologi yang akurat harus dilakukan. Uji sensitivitas
kornea dapat dilakukan dengan menyentuh pusat dan perifer kornea dengan ujung
kapas. Alternatif pemeriksaan dengan aesthesiometer Cochet-Bonnet dapat
digunakan untuk melokalisir dan menghitung hilangnya sensitivitas kornea, untuk
melihat respon pasien terhadap sentuhan benang nilon (antara 0 dan 6 cm).
Umumnya, tingkat keparahan dari keratitis neurotropik berhubungan dengan
tingkat keparahan penurunan sensorik kornea. Tingkat berkedip secara nyata
menurun jika terjadi keratitis neurotropik bilateral.1
7

Tes Schirmer harus dilakukan pada keratitis neurotropik, karena produksi
air mata dapat dipengaruhi oleh tingkat sensitivitas kornea, penurunan sensitivitas
kornea menyebabkan penurunan produksi air mata. Pewarnaan vital dengan
fluorescein, menunjukkan perubahan epitel kornea dan konjungtiva. Pemeriksaan
akurat marginal kelopak mata, posisi, dan motilitas penting karena paparan
keratitis dan blepharitis dapat dikaitkan dengan keratitis neurotropik. Pemeriksaan
mikrobiologi juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan bakteri, fungi, dan virus
sebagai penyebab terbentuknya ulkus kornea.1
Pemeriksaan funduskopi dapat memberikan informasi tentang etiologi
keratitis neurotropik. Jaringan parut pada stroma kornea dapat mengindikasikan
infeksi sebelumnya. Atrofi iris merupakan tanda infeksi herpes
sebelumnya. Pemeriksaan fundoskopi dilatasi dapat mengungkapkan adanya
retinopati diabetes. Saraf optik pucat atau bengkak karena adanya tumor
intrakranial.10
2.5 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah progresivitas kerusakan
kornea dan meningkatkan kesembuhan epitel kornea. Tatalaksana dilaksanakan
begitu diagnosis dan stadium klinis ditegakkan. Pada stadium 1 semua terapi
topical harus dihentikan dan identifikasi efek samping terapi sistemik yang
diberikan sebelumnya seperti neuroleptic, antipsikotik, dan antihistamin.
Penggunaan air mata buatan membantu melindungi permukaan kornea.
Penggunaannya dilakukan 8x1 hari. Tujuan terapi pada stadium ini adalah
meningkatkan kualitas epitel dan tranparansinya serta mencegah kerusakan epitel.
Penyakit lain yang mendasari terjadinya keratitis neurotropik juga harus dilakukan
tatalaksana. Pemberian lubrikans topikal seperti insulin like growth factor-1,
substansi P, dan neurogenic growth factor untuk penyembuhan defek, masih
kontroversial, dan sedang dalam tahap penelitian. Selain itu dapat juga diberikan
tetrasiklin per oral dengan dosis 2x250 mg, atau doksisiklin 1x100 mg pada
malam hari, keduanya dapat mengurangi produksi mucus. Penutupan punctum
lakrimal dapat dipertimbangkan. Pada stadium 1 dilakukan follow up pada pasien
secara rawat jalan 3-7 hari sekali. 1,2,3,7
8

Pada stadium 2, tujuan terapi berupaya untuk mencegah terbentuknya
ulkus kornea, meningkatkan kesembuhan epitel, dan mencegah rekurensi
kerusakan epitel. Penghentian semua obat topical dilakukan dan diberikan air
mata buatan. Progresivitas penyakit dapat terjadi tanpa menunjukkan gejala yang
signifikan. Kontak lens kornea atau sclera untuk terapeutik dapat digunakan,
tetapi memiliki efek samping infeksi sekunder dan dapat mengakibatkan hipopion
steril. Pada ulkus kornea yang tidak berespon terhadap air mata buatan maupun
kontak lens, tarsoraphy dapat dilakukan. Jika penyembuhan terjadi, tarsoraphy
dapat dibuka setelah beberapa minggu. Jika dibuka sebelum waktunya, maka
dapat mengakibatkan kerusakan epitel yang rekuren. Selain itu, dapat juga
digunakan membrane amnion tranplan untuk menutupi kerusakan pada epitel
kornea atau bahkan dengan injeksi toksin Botulinum A pada palpebra.
Penggunaan tetrasiklin topical dikatakan dapat meningkatkan proses
penyembuhan defek epitel. Jika terjadi peradangan pada bilik mata depan, maka
dapat diberikan siklopegik topical seperti atropine 1% atau skopolamin 0,25% 1x1
hari. Pada stadium 2 dilakukan follow up ketat tiap 1-2 hari sekali hingga tampak
kemajuan terapi, setelah itu follow up dilakukan tiap 3-5 hari sekali.1,2
Steroid topikal dapat digunakan juga sebab prostaglandin menghambat
pertumbuhan epitel, dan penggunaan steroid dapat mengurangi prostaglandin,
terutama pada pasien dengan trauma kimia. Akan tetapi, steroid juga menghambat
penyembuhan stroma, sehingga meningkatkan melting stroma dan perforasi
sehingga penggunaannya harus extra hati-hati. OAINS (obat antiinflamasi non
steroid) tidak meningkatkan proses penyembuhan, malah dapat mengurangi
sensitivitas kornea.1,2
Pada stadium 3, tujuan terapi untuk meningkatkan kesembuhan kornea dan
mencegah melting dan perforasi. Pasien pada stadium ini harus dirawat inap
sehingga dapat dilakukan follow up yang lebih signifikan. Pemberian air mata
buatan dan penghentian terapi topical lain harus dilakukan juga pada stadium ini.
Jika terjadi melting pada stroma, maka dapat diberikan inhibitor kolagenase
seperti N-asetilsistein, tetrasiklin, atau medroksiprogesteron. Terapi sistemik
doksisiklin dan minoksiklin juga dapat mencegah melting. Suplementasi omega 3
sebanyak 3 tablet per hari membantu stabilisasi tear film. Tarsoraphy dan flap
9

konjunctiva merupakan prosedur terapi beedah yang meningkatkan kesembuhan
epitel tetapi dapat memberikan efek samping kosmetik yang jelek. Pada defek
yang kecil diberikan salep antibiotic seperti eritromisin atau bacitrasin 4-8x per
hari selama 3-5 hari atau sampai defek sembuh. Pada yang telah menjadi ulkus
dan belum perforasi diberikan salep antibiotic, tetes mata sikloplegik, dan bebat
tekan selama 24 jam. Prosedur ini diulang tiap hari hingga sembuh. Perforasi kecil
diterapi dengan lem sianoakrilat diikuti dengan kontak lens lembut. Defek yang
lebih besar memerlukan keratoplasti lamellar (Gambar 3) atau penetrasi.
Transplantasi membrane amnion multilapis digunakan untuk mengurangi defek
stroma sebanyak 90%. Lem sianoakrilat dengan kontak lens soft digunakan pada
defek yang kurang dari 2 mm. Kedua metode di atas dilaksanakan pada
keratoplasti lamellar. Keberhasilan transplan kornea rendah sebab kesembuhan
luka jelek dan risiko defek yang persisten akibat anestesi kornea. Reed et al
meneliti bahwa 75% dari 12 pasien dengan transplan kornea terjadi jaringan parut
pada kornea graft.1,2,7,8
Gambar 3. Keratoplasti lamelar (dikutip dari kepustakaan nomor 1)
Komplikasi yang mungkin terjadi pada keratitis neurotropik adalah
perforasi kornea, keratitis bakteri sekunder, dan penurunan ketajaman penglihatan
yang bersifat permanen akibat jaringan parut pada kornea dan astigmatisme
iregular.2
10

2.6 Prognosis
Prognosis bergantung pada beberapa faktor seperti penyebab gangguan
sensitivitas kornea, derajat hipo atau anestesi kornea, hubungan penyakit mata
superfisial seperti dry eye, keratitis exposure, dan defisiensi limbus. Semakin
parah kerusakan neuron sensorik maka progresivitas penyakit semakin tinggi.
Semakin lama penyakit tersebut diderita serta semakin banyak ocular surface
disease yang terjadi maka prognosis akan semakin buruk. Sehingga perlu
dilakukan monitoring rutin sebab gejala klinis dapat tidak ada tetapi perjalanan
penyakit terus berlanjut. Penggunaan air mata buatan dapat mencegah kerusakan
epitel lebih lanjut.1,2
11

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Keratitis neurotropik adalah penyakit kornea degeneratif yang disebabkan
oleh palsi nervus trigeminus cabang oftalmikus yang mengakibatkan hipo
hingga anestesi pada kornea.
2. Epidemiologi keratitis neurotropik 16% dari kasus infeksi herpes virus,
dan mengakibatkan komplikasi serius pada mata.
3. Etiologi keratitis neurotropik berupa infeksi, palsi nervus trigeminal,
kongenital, penyakit sistemik, distrofi kornea, iatrogenik, toksin/obat-
obatan dan penyebab lainnya.
4. Patofisiologi keratitis neurotropik yaitu terjadinya lesi atau penekanan
pada nervus trigeminus cabang oftalmikus mengakibatkan hipo hingga
anestesi kornea yang mengakibatkan penyembuhan luka epitel kornea
terganggu sehingga terjadi defek epitel, ulkus, hingga perforasi.
5. Diagnosis keratitis neurotropik ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang, dan dibagi menjadi 5 stadium klinis.
6. Penatalaksanaan keratitis neurotropik bergantung dari stadium klinisnya,
bertujuan untuk mengurangi progresivitas kerusakan epitel kornea dan
mencegah melting serta perforasi kornea.
7. Prognosis keratitis neurotropik tergantung dari factor penyebab dan derajat
kerusakan neuron trigeminal.
3.2 Saran
Pencegahan dan pengobatan keratitis neurutropik merupakan upaya yang
harus dilakukan untuk mencegah atau menunda timbulnya kerusakan epitel
kornea hingga perforasi. Timbulnya keratitis neurotropik yang progresif dapat
diperlambat apabila digunakan air mata buatan sehingga meningkatkan
kesembuhan epitel.
12

DAFTAR PUSTAKA
1. Bonini S, Rama P, Olzi D, Lambiase A. Neuthropic keratitis. Eye. 2003;
17: 989-95.
2. Medscape [homepage on the Internet]. Washington: Graham RH; c1994-
2012 [updated 2012 Feb 14; cited 2012 May 6]. Medscape; [about 2
screens]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1194889-
overview#a0199
3. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophthalmology: a systematic approach. 7th
ed. Edinburg: Elsevier; 2011;203-4.
4. Groos, E. Cornea. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins.
2004;94:1189–1196.
5. Lang GK. Opthalmology : a short textbook. New York: Thieme; 2000;35.
6. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s general ophtalmology. 17th
ed. Columbus: Mc Graw Hill; 2007;165.
7. Langston DP. Manual of ocular diagnosis and therapy. 6th ed. Philadelpia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008;205-6.
8. Tasman W, Jaeger EA. The Will eye hospital atlas of opthalmology. 2nd ed.
Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001;198.
9. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. p. 159.
10. Jill R, Wells MD, Marc A, Michelson MD. Diagnosing and treating
neurotrophic keratopathy. America: American Academy of
Ophtalmology; 2008;98-9.
13