Keragaman Tingkah Laku Beberapa Bangsa Domba Yang ... · tingkah laku yang lain adalah unik untuk...
Transcript of Keragaman Tingkah Laku Beberapa Bangsa Domba Yang ... · tingkah laku yang lain adalah unik untuk...
9
TINJAUAN PUSTAKA
Tingkah Laku dalam Ilmu Genetika
Baker (2004) mengemukakan definisi tingkah laku adalah aktivitas tingkah laku
makhluk hidup yang dihasilkan sebagai sebuah keseluruhan dalam bereaksi dengan
dunia di sekelilingnya. Sementara itu, Craig (1981) mengemukakan bahwa tingkah laku
bisa didefinisikan sebagai pergerakan hewan, termasuk perubahan dari bergerak ke
tidak bergerak, yang dihasilkan sebagai reaksi rangsangan eksternal atau internal.
Tingkah laku dapat dihasilkan dalam keadaan sadar/disengaja atau tidak sadar/bergerak
tanpa sadar atau secara naluriah (instinctual). Manifestasi fisik dari penyakit adalah
juga tingkah laku. Sebagian tingkah laku seragam untuk seluruh spesies, sementara itu
tingkah laku yang lain adalah unik untuk hewan tertentu (Baker 2004).
Ethology adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku hewan (Craig 1981; Jensen
2002). Sejak tahun 1960, ethology berkembang menjadi cabang ilmu pengetahuan
hingga saat ini. Ethology terapan tidak hanya berhubungan dengan kesejahteraan
hewan (animal welfare) akan tetapi mencakup beberapa bidang yaitu evaluasi
kesejahteraan hewan (welfare assessment), optimalisasi produksi (optimizing
production), pengendalian tingkah laku (behavioural control), dan kelainan tingkah
laku (behavioural disorders) (Jensen 2002).
Sehubungan dengan adanya keterkaitan yang sangat erat antara tingkah laku
dengan genotipe, maka berkembang hingga kini bidang ilmu Genetika Tingkah Laku
(Behaviour Genetics). Genetika tingkah laku adalah ilmu yang mempelajari hubungan
antara faktor genetik dan lingkungan untuk menjelaskan perbedaan tingkah laku
individu (Baker 2004) atau mempelajari pengaruh perbedaan genotipe terhadap tingkah
laku (Goddard 1980). Bidang genetika tingkah laku bisa dikatakan menjadi kuat ketika
Fuller dan Thompson pada tahun 1960 mempublikasikan buku berjudul Genetika
Tingkah Laku. Buku tersebut menceritakan sejarah studi psikologi tingkah laku dan
inteligensia manusia dari awal abad tersebut dan mereview bukti pengaruh genetik
terhadap tingkah laku (McFarland 1999). Genetika tingkah laku merupakan bidang
ilmu yang mengkombinasikan antara perspektif ilmu genetika dan ilmu tingkah laku
(Plomin et al. 1990).
10
Terdapat beberapa peluang aplikasi dari ilmu Genetika Tingkah Laku dalam
upaya peningkatan produksi ternak seperti dikemukakan oleh Goddard (1980) yaitu (1)
Penggunaan tingkah laku sebagai kriteria seleksi, (2) Pengenalan interaksi genotipe-
lingkungan, (3) Penggunaan variasi genetik untuk mempelajari hubungan antar sifat, (4)
Penjelasan perbedaan genetik dalam sifat-sifat produksi.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkah Laku
Gen pool dalam suatu populasi hewan selalu mengalami perubahan frekuensi gen
secara perlahan dalam lingkungan alami. Perubahan frekuensi gen dalam populasi
dapat terjadi secara cepat bila terdapat campur tangan manusia. Beberapa faktor yang
dapat merubah frekuensi gen dalam suatu populasi adalah mutasi, migrasi antar
populasi, penghanyutan genetik (random genetic drift) dan seleksi. Pengaruh keempat
faktor tersebut; yang dapat tidak sama; menentukan frekuensi gen dan karakteristik dari
suatu populasi, dan secara acak diteruskan kepada generasi berikutnya.
Gen pool dari suatu populasi berevolusi di bawah pengaruh seleksi alam untuk
menyediakan bahan dasar tingkah laku adaptif umum di bawah kondisi alami. Hewan
domestik dipelihara secara intensif maka penting disadari bahwa seleksi atas suatu sifat
yang diinginkan bisa juga mempengaruhi tingkah laku. Kadang-kadang sifat tingkah
laku diseleksi secara langsung. Keefektifan seleksi, baik seleksi alam dan buatan,
tergantung kepada variasi genetik yang ada sebelumnya yang disediakan oleh mutasi.
Pada beberapa kasus, hewan bermigrasi dari satu populasi ke populasi yang lain, yang
dengan cara demikian memasukkan sebuah pool gen yang berbeda. Di lain pihak,
frekuensi gen dari populasi yang relatif kecil, yang terisolasi, mungkin untuk berubah
secara nyata karena random genetic drift (Craig 1981).
Pada Gambar 2 ditunjukkan beberapa penentu utama dari tingkah laku individu
hewan. Fenotipe seperti yang terlihat adalah tingkah laku yang terobservasi. Tingkah
laku dipengaruhi oleh satu set gen-gen yang dimiliki hewan (genotipe), suatu kombinasi
unik yang tidak dimiliki hewan lain kecuali saudara kembar identiknya. Seekor hewan
mempunyai banyak gen-gen yang umum dengan individu lain di dalam populasi dimana
hewan tersebut menjadi bagian dari populasi tersebut, dan tingkah lakunya lebih banyak
mirip dengan individu anggota-anggota populasi tersebut dibandingkan dengan individu
anggota populasi yang lain (Craig 1981).
11
Di samping genotipe, status fisiologi hewan, lingkungan umum, kejadian yang
baru terjadi, dan stimulus yang terjadi saat ini juga mempengaruhi tingkah lakunya.
Tingkat nutrisi, pengaruh musim seperti panjang hari dan temperatur, kesehatan,
pengalaman sebelumnya, dan pelajaran, semuanya dapat mempengaruhi aktivitas
tingkah laku yang terlihat (Craig 1981).
Gambar 2. Faktor genetik dan lingkungan yang menentukan populasi dan fenotipe
tingkah laku individu (Craig 1981)
Gen pool populasi
Perubahan frekuensi gen
secara perlahan dalam
lingkungan alami
Migrasi individu
antar populasi
Seleksi
individu yang
paling fit
Mutasi genetik
Random
genetic drift,
populasi
terisolasi
Sampling gen melalui reproduksi seksual ke
individu atau generasi berikutnya
Genotipe
Lingkungan
internal atau
status fisiologi :
Umur
Jenis kelamin
Kelaparan
Kesehatan
dan lain-lain
Lingkungan Eksternal
Fisik :
Nutrisi
Panjang hari
Temperatur
Pembatasan
pergerakan
dan lain-lain
Sosial :
Ukuran
kelompok
Parental
contact
Sexual
grouping
dan lain-lain
Fenotipe : Tingkah laku individu
12
Kontrol Genetik dan Pengaruh Lingkungan terhadap Sifat Tingkah Laku
Tingkah laku sebagaimana semua sifat-sifat hewan yang lain dipengaruhi oleh
faktor genetik dan lingkungan. Kedua faktor tersebut beraksi dalam keselarasan untuk
membentuk pola dan karakteristik tingkah laku (Ewing et al. 1999). Sifat tingkah laku
diketahui ada yang dikendalikan oleh gen tunggal, seperti dibuktikan dari hasil
penelitian Rothenbuhler pada tahun 1964 mengenai sifat tingkah laku bersih (hygienic)
dan tidak pembersih (nonhygienic) pada lebah madu (Apis mellifera), meskipun
demikian banyak sifat-sifat tingkah laku yang dipengaruhi oleh sejumlah besar gen,
seperti dibuktikan hasil penelitian Bentley dan Hoy pada tahun 1972 mengenai suara
jangkrik (calling song) (McFarland 1999). Tingkah laku dapat merupakan hasil dari
aktivitas banyak gen di tengah pengaruh banyak faktor lingkungan (Baker 2004).
Gambar 3. Diagram kontrol gen-gen terhadap tingkah laku yang bekerja secara
tidak langsung melalui sistem fisiologi (Plomin et al. 1990)
Lingkungan 1 (L1)
Gen 1 (G1) Protein 1 (P1) Intermediary 1 (I1) Tingkah Laku 1 (T1)
L2
G2 P2 I2 T2 I3
G3 P3 I4 T3 I5
L3 L5 L4
Pendekatan
dengan titik
perhatian gen
(Gene-centered
approach)
Pendekatan dengan titik
perhatian fisiologi
(Physiology-centered
approach)
Pendekatan
dengan titik
perhatian tingkah
laku (Behavior-
centered
approach)
13
Plomin et al. (1990) mengemukakan kerja gen yang mengontrol tingkah laku
sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Gen-gen mengkode produksi protein tertentu atau
mengatur aktivitas dari gen-gen lain. Protein tidak secara langsung menyebabkan
tingkah laku. Sebagai contoh satu gen (G2) mengkode protein tertentu (P2), meskipun
demikian protein tersebut tidak menyebabkan tipe tingkah laku tertentu. Protein
berinteraksi dengan intermediary fisiologi lain (seperti I2) yang bisa berupa hormon
atau neurotransmitter atau bisa juga property struktural dari sistem syaraf. Faktor-
faktor lingkungan (seperti L2, yang bisa berupa nutrisi) bisa juga terlibat. Pengaruh-
pengaruh tersebut akhirnya dapat secara tidak langsung mempengaruhi tingkah laku
dalam pengaturan tertentu. Pengaruh genetik terhadap tingkah laku berhubungan
dengan path yang tidak langsung dan kompleks di antara gen-gen dan tingkah laku
melalui protein dan sistem fisiologi.
Hewan melakukan homeostasis untuk menghadapi perubahan lingkungan
eksternal yang dapat mempengaruhi atau mengganggu proses fisiologi normal internal
tubuhnya. Proses tersebut adalah proses fisiologi yang demikian kompleks dan khas di
dalam tubuh hewan yang selalu mempertahankan status kondisi tubuh yang paling stabil
untuk hidup sebagai reaksi adanya kondisi lingkungan eksternal yang berubah. Peran
homeostasis yang dilakukan oleh tingkah laku dalam mengontrol lingkungan internal
bervariasi tergantung oleh spesies dan penyebabnya (McFarland 1999).
Gambar 3 juga menunjukkan pendekatan-pendekatan untuk mempelajari genetika
tingkah laku. Plomin et al. (1990) menjelaskan lebih jauh bahwa gene-centered
approach mulai dengan gen tunggal dan mempelajari pengaruhnya terhadap tingkah
laku, misalnya mempelajari mutasi gen tunggal dan mengamati pengaruh tingkah
lakunya. Pendekatan yang lain (physiology-centered approach) terfokus kepada
intermediary fisiologi antara gen-gen dan tingkah laku. Kedua pendekatan tersebut
menempatkan tingkah laku benar-benar hanya sebuah alat untuk memahami kerja gen-
gen dan sistem fisiologi. Pendekatan ketiga (behavior-centered approach) mulai
dengan tingkah laku. Tingkah laku dipilih tidak karena kesederhanaan genetik atau
fisiologinya tetapi lebih karena daya tarik intrinsik (intrinsic interest) atau relevansi
sosial (social relevance) nya.
14
Pewarisan Sifat Tingkah Laku
Sebagai konsekuensi dari sifat tingkah laku yang dikendalikan secara genetik
maka sifat tingkah laku tersebut diwariskan oleh tetua kepada keturunannya. Bukti-
bukti bahwa sifat-sifat tingkah laku dapat diwariskan telah ditemukan pada banyak
spesies, seperti pada serangga (Roff dan Mousseau 1987) dan tikus (DeFries et al.
1974). Heritabilitas digunakan untuk mengukur seberapa besar suatu sifat diwariskan
kepada keturunannya. Hardjosubroto (1994) mengemukakan bahwa pada umumnya
heritabilitas dikatakan rendah bila nilainya berkisar antara 0 sampai 0.1, sedang atau
intermedia bila nilainya 0.1 sampai 0.3 dan tinggi bila melebihi 0.3.
Tabel 2. Estimasi nilai heritabilitas untuk beberapa sifat tingkah laku pada beberapa
hewan ternak
Spesies Sifat Tingkah Laku Heritabilitas
(%)
Sapi Temperamen (kemudahan penanganan selama pemerahan) 47 - 53
Nilai dominansi sosial 0 – 29
Skor kejinakan 22
Skor pergerakan 0 - 67
Skor temperamen 0 - 67
Skor temperamen maternal 17 - 32
Babi Avoidance learning (pada umur 3 minggu) 50
Kuda Kecepatan berlari 25 - 50
Berjalan, kecepatan derap langkah 40
Skor pergerakan 40
Skor temperamen 25
Kemampuan daya tarik 25
Ayam Konsumsi pakan (broiler), 4 – 8 minggu 86 - 96
Sifat agresif, dominansi sosial 16 – 57
Frekuensi perkawinan (jantan) 18 - 31
Learning factors 9 - 28
Sumber : Craig (1981) dan Buchenauer (1999)
Pengetahuan tentang besarnya heritabilitas penting dalam mengembangkan
seleksi dan rencana perkawinan untuk memperbaiki ternak. Pengetahuan tersebut
memberikan dasar untuk menduga besarnya kemajuan untuk program pemuliaan yang
berbeda-beda dan memungkinkan untuk membuat keputusan yang penting mengenai
15
kesepadanan biaya program dengan hasil yang diharapkan. Manfaat lain dari
heritabilitas adalah kegunaannya untuk menaksir nilai pemuliaan dari suatu individu
(Warwick et al. 1990).
Nilai heritabilitas untuk beberapa sifat tingkah laku seperti terlihat pada Tabel 2.
Meskipun respon untuk seleksi mungkin kecil dalam satu generasi (ketika nilai
heritabilitas kecil atau sedang), respon genetik kumulatif dan perbedaan fenotipe yang
besar dapat dihasilkan beberapa generasi seleksi (Craig 1981).
Tetua Bangsa Domba Komposit
Tetua pembentuk bangsa domba Komposit Sumatera adalah domba Barbados
Black Belly, domba St. Croix dan domba Lokal Sumatera sedangkan domba Komposit
Garut adalah domba Moulton Charollais, domba St. Croix dan domba Lokal Garut.
Ciri-ciri atau standar bangsa tetua dari domba komposit diuraikan sebagaimana
diuraikan di bawah ini.
Domba Barbados Black Belly. Barbados Black Belly adalah salah satu domba bulu
yang berkembang biak di Pulau Barbados di Karibia. Bangsa tersebut diturunkan dari
persilangan antara domba bulu Afrika dengan bangsa-bangsa domba wool Eropa yang
dibawa ke pulau tersebut pada awal pertengahan 1600-an (The American Livestock
Breeds Conservancy 2009).
Empat domba betina dan seekor domba jantan domba Barbados Black Belly
awalnya diperkenalkan ke Amerika Serikat oleh USDA pada tahun 1904. Impor domba
Barbados Black Belly selanjutnya dilakukan North Carolina State University pada tahun
1970 sebagai populasi domba murni untuk penelitian. Saat ini, antara 250.000 hingga
500.000 keturunan domba ini ditemukan di Texas, dimana hampir semua ternak tersebut
telah dikawinsilangkan dalam berbagai derajat dengan domba domestik, sebagian besar
Rambouillet, dan dalam beberapa tahun terakhir dengan Mouflon Eropa, spesies liar.
Melalui penangkaran selektif hati-hati untuk pertumbuhan tanduk, shedding ability, dan
karakteristik warna, crossbred ini dikembangkan menjadi bangsa domba terpisah yang
disebut Black Belly Amerika (Oklahoma State University 1997).
Di dalam situs Barbados Black Belly Sheep Association International Int’l
(http://www.Blackbellysheep.org/index.html) dikemukakan standar spesifikasi bangsa
domba Barbados Black Belly dan American Black Belly. Warna tubuh dan pola warna
16
tubuh kedua bangsa tersebut sama, yang membedakan kedua bangsa tersebut adalah
bangsa domba Barbados Black Belly pada kedua jenis kelamin tidak mempunyai tanduk
sedangkan bangsa domba American Black Belly pada domba jantan mempunyai tanduk.
Gambar 4. Domba Barbados Black Belly jantan (a) dan betina (b) serta domba jantan
American Black Belly (c) (Barbados Black Belly Sheep Association
International Int’l 2011)
Ciri-ciri standar bangsa domba Barbados Black Belly adalah sebagai berikut
(Gambar 4) : Warna tubuh dapat bervariasi dari coklat kekuningan hingga coklat sampai
merah gelap. Garis warna hitam dapat bervariasi tetapi harus mencakup perut hitam
kontras memanjang ke bawah sisi belakang kaki belakang dan termasuk bagian bawah
ekor. Bagian atas hidung dan rahang bawah berwarna hitam dan termasuk sebuah garis
hitam terus di bagian depan leher yang berhubungan dengan perut. Tanda hitam lebar
dari sudut bagian dalam mata masing-masing ke puncak kepala dan akan terus ke bawah
mulut. Tanda-tanda ini disebut bar wajah, tanda ini kadang-kadang lebih jelas pada
(a) (b)
(c)
17
domba jantan. Mungkin ada tanda hitam tambahan dari sudut luar mata ke sudut mulut.
Ada sebuah mahkota rambut hitam di bagian atas kepala. Bagian dalam telinga
berwarna hitam. Kaki depan dan kaki belakang hitam ke bawah dari lutut; sering tepi
luar kaki tidak hitam. Jantan dewasa memiliki surai rambut kasar yang menutupi leher
dan ke bawah dada (Barbados Black Belly Sheep Association International Int’l 2011).
Domba St. Croix. Domba St. Croix merupakan salah satu keluarga domba rambut
Karibia yang dikembangkan dari domba rambut Afrika Barat dan beberapa domba wool
Eropa yang dibawa ke Karibia awal tahun 1600-an. Sebagian besar domba ini berwarna
putih dengan beberapa cokelat tua, coklat, hitam atau putih dengan coklat atau bintik
hitam (Gambar 5). Kedua jenis kelamin tidak bertanduk dan domba jantan mempunyai
rambut leher yang besar (The American Livestock Breeds Conservancy 2009;
Oklahoma State University 1997).
Pada tahun 1975, diimpor 25 ekor domba St. Croix yang terdiri dari 23 ekor
domba betina dan 3 domba jantan ke US olah Dr. W. C. Foote dari Utah State
University. Domba tersebut diseleksi berdasarkan kriteria warna putih, sedikit wol dan
ukuran tubuh serta konformasi. Domba-domba ini adalah cikal bakal dari bangsa
domba St. Croix saat ini yang ada di US (Oklahoma State University 1997).
Gambar 5. Domba St. Croix jantan (a) dan betina (b) (Rising Sun Farm 2006)
Domba Charollais. Domba Charollais berasal dari Perancis yang dibentuk pada awal
tahun 1800-an dari persilangan bangsa domba Leicester Longwool dan bangsa domba
lokal Landrace. Bangsa domba ini digunakan terutama sebagai terminal sire
meningkatkan perototan dan laju pertumbuhan domba. Domba Charollais termasuk
(a) (b)
18
domba berukuran sedang hingga besar, bertubuh panjang, perototan tebal dan baik, dada
dalam dan lebar. Kepala bebas dari wool, berwarna abu-abu/agak merah muda kadang-
kadang dengan totol-totol (Gambar 6) (Oklahoma State University 1997; National
Sheep Association 2012).
Gambar 6. Domba Charollais jantan (a) dan betina (b) (Coldharbour Charollais
2008)
Domba Sumatera. Domba lokal Sumatera dikategorikan sebagai domba yang lambat
laju pertumbuhannya serta memiliki ukuran tubuh dewasa yang kecil (Iniguez et al.
1991). Warna tubuh dominan domba lokal Sumatera umumnya coklat muda (50.9 %)
atau putih (41.2 %), sedangkan warna lainnya dalam persentase kecil adalah coklat
sedang, coklat tua dan hitam (Gambar 7).
Gambar 7. Domba lokal Sumatera jantan (a) dan betina (b) (atas kebaikan Prof. Dr.
Ir. Subandriyo, M.Sc., Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor)
(a) (b)
(a) (b)
19
Pola warna tubuh umumnya satu warna (61.8 %) atau dua warna (35.5 %) hanya
sedikit yang berpola tiga warna (2.8 %). Warna belang domba lokal Sumatera
umumnya putih (33.3%), coklat muda (26.1%) dan abu-abu (21.7%), dengan proporsi
penyebaran belang 1-10 % (60.3%) dan 10-20% (19.1%). Domba lokal Sumatera
sebagian besar mempunyai garis muka lurus (68.6%), sedangkan yang mempunyai garis
muka cembung mencapai 27.5% dan sisanya cekung (3.9%). Umumnya memiliki wool
penutup tubuh yang relatif tebal terkecuali pada perut, kaki bawah atau kepala (74.9%)
sedangkan yang memiliki tipe bulu rambut hanya mencapai 11.1% (Priyanto et al.
2000).
Domba Garut. Domba Garut atau Priangan merupakan domba yang diduga terbentuk
secara spontan melalui populasi awal hasil persilangan tiga bangsa domba yaitu
Kaapstad, Merino dan domba lokal. Istilah domba Priangan diduga sesuai asal
penyebarannya yang dilakukan oleh K. F. Holle sekitar tahun 1864 berawal dari di
daerah Garut kemudian menyebar ke daerah Priangan (Bandung, Sumedang, Ciamis dan
Tasikmalaya) (Merkens dan Soemirat 1926). Di Garut melalui persilangan yang tidak
terencana tampaknya terdapat dua arah pengembangan, yaitu yang mengarah ke domba
daging dan domba tangkas (Mulyaningsih 1990).
Domba Garut daging umumnya berwarna putih baik pada yang jantan (47.7%)
maupun betina (53.7%) atau dalam persentase kecil berwarna hitam, coklat dan abu-abu
(Gambar 8). Sementara itu, warna tubuh domba Garut tangkas warna putih dan hitam
adalah warna yang umum baik pada jantan (21.5% putih, 19.3% hitam) maupun pada
betina (21.6% putih, 23.6% hitam), terdapat domba yang berwarna coklat dan abu-abu
dalam persentase kecil. Domba Garut daging umumnya mempunyai warna tubuh satu
warna baik pada yang jantan (61.3%) maupun yang betina (68.5%), sedangkan yang
mempunyai dua warna sebanyak 37.2% dan tiga warna sebanyak 1.5% untuk yang
jantan dan untuk yang betina 28.6% dan 2.9% mempunyai kombinasi dua warna dan
tiga warna. Domba Garut tangkas yang jantan umumnya mempunyai kombinasi warna
tubuh dua warna (52.4%) atau satu warna (46.5%), sedangkan domba betina umumnya
satu warna (58.8%) dan dua warna (38.2%), terdapat domba dengan persentase kecil
yang mempunyai kombinasi tiga warna. Domba Garut daging jantan, Garut tangkas
jantan dan betina yang mempunyai kombinasi dua warna umumnya adalah berwarna
hitam putih atau putih hitam, sedangkan domba Garut daging betina umumnya putih
20
hitam atau putih coklat. Domba jantan Garut daging dan tangkas seluruhnya bertanduk
sedangkan domba betina Garut daging lebih dari 98% tidak bertanduk kecuali domba
Garut tangkas diperoleh 2.1% bertanduk dan 14.8% berupa tonjolan (Mulliadi 1996).
Gambar 8. Domba Garut jantan (a) dan kelompok domba Garut betina (b)
Pembeda Bangsa Ternak
Definisi bangsa ternak menurut FAO (2000) adalah sekelompok ternak domestik
dengan karakteristik eksternal yang dapat didefinisikan dan dapat dikenali yang
memungkinkan kelompok tersebut dapat dibedakan secara visual dari kelompok yang
lain di dalam spesies yang sama. Definisi lain bangsa ternak yang dipakai secara umum
adalah populasi atau kelompok populasi yang dapat dibedakan dari populasi lain dari suatu
spesies yang didasarkan pada perbedaan frekuensi alel, perubahan kromosom atau
perbedaan karakteristik morfologi yang disebabkan oleh faktor genetik (Maijala 1997).
Sementara itu, Carter dan Cox (1982) mengemukakan definisi bangsa ternak adalah suatu
sub-kelompok ternak domba yang telah diketahui pembentukannya oleh asosiasi bangsa
domba tertentu atau telah tercatat dalam official flockbook. Berbagai bangsa ternak di
dunia dan karakteristiknya dengan mudah dapat diakses di beberapa website yang dikelola
oleh asosiasi atau breeder maupun perguruan tinggi, diantaranya adalah http://www.cattle-
today.com/aubrac.htm untuk bangsa-bangsa ternak sapi, http://www.sheep101.info/
breeds.html untuk bangsa-bangsa domba dan http://www.ansi.okstate.edu/breeds/ yang
mempublikasikan berbagai bangsa ternak dari beberapa spesies ternak domestik.
(a) (b)
21
Studi untuk mengkarakterisasi suatu suatu bangsa ternak umumnya diperlukan untuk
memberikan gambaran karakteristik bangsa ternak tersebut. Apabila suatu bangsa ternak
telah ditetapkan beserta karakteristik yang dimilikinya maka penyimpangan karakteristik
dari yang telah ditetapkan dapat menjadi indikasi bahwa bangsa tersebut telah “tidak
murni” atau telah terjadi aliran gen dari luar bangsa tersebut. Karakterisasi bangsa ternak
yang membedakannya dengan bangsa lain dapat menjadi ukuran kemurnian bangsa
tersebut dan sebagai dasar program konservasi bagi bangsa ternak tersebut.
Dalam kegiatan karakterisasi, sifat/karakter yang diamati sebenarnya dapat berupa
sifat morfologis, pertumbuhan, reproduksi, kemampuan adaptasi, ketahanan parasit dan
penyakit, atau beberapa sifat unik yang diwariskan seperti tipe golongan darah,
karyotipe, polimorfisme biokimia dan DNA atau frekuensi gen untuk tiap-tiap bangsa
(Balain 1992). Sebagai penanda atau pembeda bangsa dan dari definisi bangsa ternak di
atas, maka penanda bangsa ternak dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok, yaitu
(1) Penanda DNA, (2) Penanda kromosom, (3) Penanda biokomia atau serologi, dan (4)
Penanda morfologi.
Penanda DNA. Jenis penanda DNA yang digunakan untuk membuat peta genetik
umumnya dapat digolongkan ke dalam dua kategori (O’Brien et al. 1993). Jenis
pertama (tipe I) adalah penanda yang terkait dengan runutan gen yang terkonservasi di
seluruh spesies mamalia. Jenis ini tidak polimorfik dan oleh karena itu sukar untuk
digunakan dalam linkage maping. Jenis kedua (tipe II) adalah sangat polimorfik tetapi
biasanya merupakan segmen DNA anonimous dan paling umum digunakan sebagai
penanda genetik.
Hingga saat ini telah dikembangkan berbagai penanda DNA yang digunakan
untuk mempelajari variasi yang terdapat pada runutan DNA yang dapat digunakan
sebagai pembeda bangsa. Beberapa penanda DNA yang biasa digunakan adalah RFLP
(Restriction Fragment Length Polymorphism), RAPD (Random Amplified Polymorphic
DNA), SSCP (Single-Strand Conformational Polymorphism), AFLP (Amplified
Fragment Length Polymorphism), VNTR (Variable Number of Tandem Repeats
/Minisatelit), STR (Short Tandem Repeat /Mikrosatelit), SNP (Single Nucleotide
Polymorhism) dan lain-lain (Montgomery dan Crawford 1997; Barendse dan Fries
1999). Handiwirawan (2003) telah berhasil menguji penanda mikrosatelit INRA 035
yang dapat digunakan sebagai penanda bangsa sapi Bali yang membedakannya dengan
22
bangsa sapi lain di Indonesia. DNA runutan berulang juga telah berhasil digunakan
untuk membedakan spesies tikus Mus musculus dan Mus caroli (Siracusa et al. 1983).
Penanda Kromosom. Jumlah kromosom diploid domba domestik (Ovis aries) adalah
54 buah. Autosom terdiri dari tiga pasang kromosom metasentrik besar dan 23 pasang
kromosom telosentrik. Kromosom X adalah kromosom akrosentrik paling besar dan
kromosom Y adalah kromosom metasentrik sangat kecil, yang biasanya menyerupai
sebuah titik persegi empat kecil (Broad et al. 1997). Polimorfisme kromosom pada
mamalia diketahui khususnya pada kromosom kelamin. Stranzinger et al. (2007) telah
melaporkan adanya polimorfisme panjang kromosom Y pada berbagai bangsa sapi di
Switzerland. Panjang relatif kromosom Y dapat membedakan bangsa sapi Holstein
(hitam dan merah) dengan bangsa sapi purebred Brown Swiss, crossbred Brown Swiss,
purebred Simmental dan berbagai bangsa sapi potong asli (terutama bangsa sapi
Limousin, Angus dan Charollais). Sementara itu, rasio panjang lengan kromosom Y
dapat membedakan sapi Holstein dengan crossbred Brown Swiss dan berbagai bangsa
sapi potong asli (terutama bangsa sapi Limousin, Angus dan Charollais). Berdasarkan
kromosom ini juga telah dapat dibedakan sapi Bali murni dengan sapi Bali yang diduga
telah tercampur secara genetik dengan sapi lain (Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB
Singosari 2000).
Penanda Biokimia atau Serologi. Golongan darah, protein darah dan protein susu
tergolong ke dalam penanda biokimia atau serologi. Ketiga molekul tersebut
mempunyai frekuensi yang bervariasi di antara bangsa ternak domba. Glikoprotein
pada membran sel darah merah atau faktor golongan darah diketahui terdapat dalam
berbagai bentuk molekul yang dibedakan oleh daya antigeniknya dan oleh karena itu
dapat dikenali dari reaksi antigen-antibodi atau analisis serologi (Di Stasio 1997).
Hingga saat ini telah dikenal luas 22 faktor golongan darah pada domba dalam tujuh
sistem (Warwick et al. 1990; Di Stasio 1997). Lokus untuk sistem golongan darah
domba seperti terlihat pada Tabel 3.
Banyak varian protein darah dan susu dapat dideteksi dengan metode
elektroforesis berdasarkan muatan listriknya. Studi-studi genetik menunjukkan bahwa
protein yang diteliti di bawah kontrol alel yang mengikuti pewarisan Mendel sederhana
sehingga identifikasi polimorfisme protein adalah suatu identifikasi tidak langsung dari
23
polimorfisme pada tingkat DNA. Analisis segregasi menunjukkan bahwa varian protein
dikontrol oleh alel pada lokus tunggal, pada umumnya kodominan (Di Stasio 1997).
Lokus untuk polimorfisme biokimia pada domba seperti terlihat pada Tabel 4, dimana
sistem protein Transferrin di dalam plasma diketahui mempunyai alel yang paling
banyak (15 alel).
Tabel 3. Lokus sistem golongan darah pada domba
Sistem Simbol
lokus
Antigen Jumlah alel
Antigen eritrosit A EAA a (A), b (B) Setidak-tidaknya 5
Antigen eritrosit B EAB a (P), b (B’), c (Y), d (N’), e
(E’), f (E), g (O’), h (S), I (lx)
Kira-kira 100
Antigen eritrosit C EAC a (C), b(Cx) Kira-kira 20
Antigen eritrosit D EAD a (D), b Setidak-tidaknya 3
Antigen eritrosit M EAM a (M), b (L), c (M’) Setidak-tidaknya 3
Antigen eritrosit R EAR R, O 2
Antigen eritrosit X EAX X, Z 2
Sumber : Di Stasio (1997) Keterangan : ( ) = Nama asli
Tabel 4. Lokus untuk polimorfisme biokimia pada domba
Sistem Simbol lokus Alel
Di dalam plasma :
Albumin ALB F, S, W, (D), (T), (V)
Arylesterase ES A, o
Transferrin TF A, B, C, D, E, G, P, U, V, H,
K, (M), (N), (L), (X)
Di dalam eritrosit :
Amino acid transport TR H, h
Carbonic anhydrase CA2 F, S, (M)
Haemoglobin-α1 HBA1 D, L, (A)
Haemoglobin-β HBB A, B, (E), (G), (H), (I)
Haemoglobin-βC HBBC C
Malic enzyme 1 ME1 F, S
Nicotinamide Adenine
Dinucleotide (NADH) diaphorase
DIA F, S
Nucleoside phosphorylase NP H, I
Potassium transport KE L, h
X protein XP P, n
Di dalam susu :
Laktoglobulin LGB A, B, (C)
Sumber : Di Stasio (1997) Keterangan : ( ) = masih dalam konfirmasi
24
Penelitian penanda biokimia (protein darah) sebagai penanda bangsa sapi telah
dilaporkan oleh Namikawa et al. (1982), dimana alel haemoglobin X (Hb
X) diduga
spesifik untuk sapi Bali karena alel tersebut adalah alel yang paling umum ditemukan
pada sapi Bali dan pada banteng sebagai leluhur dari sapi Bali.
Penanda Morfologi. Seekor hewan mempunyai banyak gen-gen yang umum dengan
individu lain di dalam populasi dimana hewan tersebut menjadi bagian dari populasi
tersebut. Perbedaan gen antar anggota individu di dalam bangsa tersebut relatif tidak
besar (lebih seragam) olehkarena adanya tekanan seleksi, yang ditunjukkan dengan
relatif seragamnya fenotipe seperti warna dan pola warna bulu, bentuk tanduk, ukuran
tubuh, tinggi, bobot badan dan lain-lain. Ciri-ciri fenotipe yang khas dari
populasi/bangsa yang dapat diamati atau terlihat secara langsung tersebut dapat
digunakan sebagai penanda morfologi untuk populasi/bangsa tersebut. Pembedaan
bangsa dan estimasi jarak genetik dengan mempergunakan data ukuran tubuh telah
dilakukan pada sapi (Abdullah 2008), domba (Suparyanto et al. 2000; 2002), kambing
(Herrera et al. 1996; Zaitoun et al. 2005) dan kelinci (Brahmantiyo 2006).
Menurut Capitan et al. (2009), model pewarisan sifat tanduk yang paling umum
diterima adalah melibatkan tiga lokus (Tabel 5) yaitu lokus polled, scurs dan African
horn, sebagai berikut :
1. Lokus polled mempunyai dua alel yaitu P (polled atau tidak bertanduk) yang
dominan terhadap alel p (bertanduk).
2. Lokus scurs mempunyai dua alel yaitu Sc yang mengkode perkembangan scurs dan
sc untuk sifat tidak ada scurs. Scurs berkembang seperti tanduk kecil dan tumbuh di
tempat yang sama tanduk tumbuh tetapi tidak menempel di tengkorak, bervariasi
dalam ukuran dan bentuk hingga sampai terlihat seperti tanduk. Fenotipe scurs
terjadi jika lokus polled mempunyai sedikitnya alel P. Alel Sc dominan terhadap
alel sc pada jantan bergenotipe P/p Sc/sc tetapi resesif pada betina bergenotipe P/p
Sc/sc.
3. Lokus African horn mempunyai dua alel yaitu Ha (bertanduk African horn) dan ha
(tidak bertanduk African horn) dimana alel Ha dominan terhadap alel ha pada jantan
bergenotipe P/p Ha/ha dan resesif pada betina bergenotipe P/p Ha/ha.
Sponenberg (1997) mengemukakan bahwa ada beberapa lokus penentu warna
pada domba. Salah satu lokus yang cukup penting adalah lokus Agouti. Lokus ini
25
mempunyai beberapa macam alel, beberapa diantaranya adalah Awt
(mengatur warna
putih atau coklat), A+ (liar), A
gt (abu-abu dan coklat), A
g (abu-abu), A
t (hitam dan
coklat), Aa (non agouti). Lokus lain adalah lokus Ekstension yang mempunyai interaksi
penting dengan lokus Agouti dalam menentukan warna domba. Alel tipe liar (E+) pada
lokus Ekstension mengijinkan ekspresi dari lokus Agouti. Alel dominan pada lokus
Ekstension biasanya disebut hitam dominan (ED) (Roberts 1926). Warna belang pada
domba diatur oleh alel yang terletak pada lokus Piebald (Belang), yang mempunyai alel
AsPp (belang) dan AsP
+ (liar). Lokus spotting mengatur warna totol (spot) yang
terdapat pada domba. Pada lokus spotting terdapat 3 alel yang terdiri dari alel liar (S+),
totol (Ss) dan bizet spotting (tingkat ekspresinya lebih rendah) (S
b) (Sponenberg 1997).
Tabel 5. Model pewarisan tanduk dan scurs
Genotipe lokus polled Genotipe lokus scurs
Sc/Sc Sc/sc sc/sc
P/P S Jantan NS atau S, betina NS NS
P/p S Jantan S, betina NS NS
p/p H H H
Sumber : Capitan et al. (2009)
Keterangan : S = scurs, H = bertanduk, NS = tidak scurs
Disamping itu, penggunaan indeks morfologi dapat dikembangkan dan
bermanfaat untuk melakukan penaksiran/penilaian tipe atau fungsi suatu bangsa ternak
di dalam spesies. Indeks morfologi dapat menggambarkan bentuk dan proporsi tubuh
dari suatu bangsa ternak yang sangat berkaitan dengan jenis tipe ternak tersebut.
Penggunaan indeks morfologi untuk menaksir tipe dan fungsi pada ternak sapi
(Alderson 1999) dan domba (Salako 2006) telah dilaporkan.
Tingkah Laku sebagai Pembeda Bangsa
Fenotipe sifat tingkah laku yang merupakan ekspresi gen-gen juga berpeluang
untuk dapat digunakan sebagai alat pembeda bangsa ternak. Craig (1981)
mengemukakan bahwa tingkah laku suatu individu hewan lebih banyak mirip dengan
individu anggota-anggota populasi tersebut dibandingkan dengan individu anggota
populasi yang lain. Studi tingkah laku untuk membedakan bangsa hewan pada beberapa
spesies telah dilaporkan, sebagai contoh terdapat perbedaan karakteristik tingkah laku
26
pada bangsa anjing Spaniel dan Basenjis (Scott dan Fuller 1965) dan perbedaan suara
nyanyian spesies jangkrik T. oceanicus, T, commodus dan hibridnya (Bentley dan Hoy
1972).
Sifat tingkah laku pada domba cukup banyak, Hafez et al. (1969)
mengelompokkannya menjadi 9 macam jenis tingkah laku yang meliputi tingkah laku
makan (ingestif), shelter seeking, menyelidik (investigatory), berkelompok
(allelomimetic), berkelahi (agonistic), membuang kotoran (eliminatif), merawat diri
(care giving), bermain (play) dan perkawinan (sexual). Sementara itu, Ewing et al.
(1999) membagi tingkah laku hewan lebih terperinci menjadi 14 tipe tingkah laku yang
meliputi tingkah laku sosial (socially oriented), berkelahi (agonistic), penguasaan
wilayah (spacing), bermain (play), merawat diri (self care), menyelidik (exploratory),
reproduksi (reproductive), tingkah laku janin (fetal), melahirkan (parturient), keindukan
(maternal), tingkah laku anak (juvenile), makan (feeding), merumput (grazing) dan
tingkah laku menyimpang (aberrant).
Karakteristik Suara sebagai Pembeda Bangsa
Komunikasi adalah perjalanan informasi dari satu hewan ke hewan yang lain
melalui pesan-pesan atau sinyal-sinyal (Grier 1984). Komunikasi adalah kritis bagi
tingkah laku sosial hewan, seperti kemampuannya untuk mempertahankan hubungan
positif dengan lingkungan dimana mereka berada. Sehubungan dengan hal itu,
perhatian karakteristik komunikasi dan kemampuan sensory adalah penting dalam
pemahaman tingkah laku hewan dan hubungannya dengan manajemen (Ewing et al.
1999).
Semua hewan berkomunikasi dengan sejumlah kombinasi arti penglihatan
(visual), pendengaran (auditory) dan penciuman (olfactory/transmisi kimia) dan melalui
kontak fisik. Komunikasi adalah kritis dalam kelangsungan hidup individu dan spesies
karena mempunyai hubungan dengan perlindungan, reproduksi, tingkah laku maternal
dan belajar (Ewing et al. 1999).
Grier (1984) mengemukakan bahwa untuk spesies burung, suara dikelompokkan
ke dalam dua kategori umum yaitu suara panggilan (call) dan suara nyanyian (song).
Suara panggilan biasanya pendek dan sederhana, yang digunakan untuk banyak fungsi
sinyal pada burung. Suara nyanyian di lain pihak, umumnya lebih berkembang dan
27
kompleks. Tergantung kepada spesies dan kompleksitas suara nyanyian, suara
nyanyian bisa mempunyai potensi informasi identitas beberapa tipe perbedaan, seperti
pengenalan spesies (berbeda antar spesies tetapi konstan di dalam spesies), dialek lokal
(konsekuensi dari pemisahan geografi antar populasi dan drift dalam ekspresi yang
meniru suara melalui proses belajar), pengenalan individu (bervariasi di dalam spesies
tetapi konstan pada jantan) dan variasi motivasi (informasi keadaan internal burung).
Analisa suara kokok ayam lokal Indonesia telah dilakukan oleh Rusfidra (2004), dengan
melihat pola waveform dan spectogram (sonogram/audiogram) dapat dibedakan kokok
ayam Balenggek dengan ayam Pelung, ayam Bekisar, ayam Kampung dan burung
perkutut.
Pada domba suara antara induk dan anak penting dalam ikatan hubungan, dalam
identifikasi dan menemukan setiap yang lain di dalam kelompok. Ketika induk dan
anak terpisah, secara khas kedua hewan tersebut berupaya untuk bersuara sampai
mereka bersama lagi. Domba dewasa menggunakan suara dalam kelompok sosial dan
kemungkinan besar dalam mempertahankan kontak dengan yang lain. Ada korelasi
antara suara dengan tingkat aktivitas. Ukuran kelompok mempengaruhi tingkat suara.
Kelompok yang besar lebih berisik, kemungkinan besar berhubungan dengan usaha
untuk mempertahankan kontak. Frekuensi suara domba terbentang dari 125 Hz hingga
40 kHz, dengan frekuensi terbaik kira-kira 10 kHz (Ewing et al. 1999). Suara yang
dikeluarkan ketika sedang bertingkah laku agresif dan tidak agresif menunjukkan
perbedaan dalam lama dan frekuensinya. Compton et al. (2001) melaporkan hasil
penelitiannya pada mamalia white-nosed coatis (Nasua narica) bahwa ketika tidak
agresif lama bersuara lebih pendek (106 vs 222 m detik) dan frekuensi lebih tinggi (17
vs 9 kHz) dibandingkan dengan ketika bertingkah laku agresif.
Tingkah Laku sebagai Indikator Seleksi
Hasil review yang disampaikan Buchenauer (1999) menunjukkan bahwa banyak
penelitian yang memberikan perhatian pada bukti adanya variasi genetik sifat-sifat
tingkah laku antar bangsa. Variasi genetik terjadi dalam banyak tingkah laku yang
mempengaruhi produksi ternak meliputi perkawinan, interaksi anak-induk, respon
dengan peternakan intensif, sifat agresif (aggressiveness), sifat takut (fearfulness),
tingkah laku flok dan temperamen. Variasi genetik dalam tingkah laku adalah sangat
28
umum dan dalam beberapa keadaan tingkah laku hewan dapat menjadi kriteria seleksi
yang bermanfaat dalam program pemuliaan (Goddard 1980).
Seleksi untuk sifat tingkah laku telah dipraktekkan sejak manusia mulai
menjinakkan hewan ternak. Perbedaan tingkah laku di antara populasi ternak dapat
dihubungkan dengan kemampuan adaptasi mereka terhadap ekologi tempat yang cocok
dimana mereka dikembangkan atau karena perbedaan tujuan seleksi dalam sistem
peternakan dan budaya yang berbeda (Buchenauer 1999). Tabel 6 menunjukkan
karakteristik tingkah laku yang disukai pada waktu domestikasi. Terlihat bahwa pada
fase awal domestikasi dihubungkan dengan pilihan hewan dengan sifat tingkah laku
yang cocok dengan kebutuhan manusia (Hinch 1997).
Tabel 6. Karakteristik tingkah laku yang disukai pada saat domestikasi
Sifat Tingkah Laku Sifat Tingkah Laku yang Disukai
Struktur kelompok Struktur kelompok yang secara hirarki besar
Tingkah laku seksual Tingkah laku perkawinan tidak diskriminasi (tidak
membeda-bedakan)
Interaksi anak-induk Perkembangan ikatan induk-anak dibentuk dengan
seawal mungkin
Reaksi terhadap manusia Short flight distances
Kebutuhan habitat Herbivora dan dapat beradaptasi dengan kisaran kondisi
lingkungan yang luas
Sumber : Hinch (1997)
Hasil review yang disampaikan Buchenauer (1999) menunjukkan bahwa dari nilai
heritabilitas menunjukkan banyak sifat tingkah laku yang akan memberikan respon bila
diseleksi. Kemajuan genetik suatu sifat berbanding lurus dengan heritabilitas sifat
tersebut dan diferensial seleksi (Warwick et al. 1990), dengan demikian semakin tinggi
nilai heritabilitas dari sifat tingkah laku yang akan diseleksi maka akan memberikan
tambahan respon kemajuan genetik yang semakin tinggi. Contoh beberapa sifat yang
memberikan respon ketika diseleksi pada beberapa jenis ternak dikemukakan oleh
Ewing et al. (1999) seperti terlihat pada Tabel 7.
Sifat-sifat pada ternak dapat mempunyai korelasi antara satu dengan yang lain.
Korelasi di antara sifat-sifat dapat disebabkan oleh akibat dari pengaruh lingkungan atau
dapat diakibatkan oleh pengaruh genetik. Korelasi fenotipik dapat dibagi menjadi
bagian-bagian yang disebut korelasi lingkungan dan genetik. Korelasi genetik adalah
29
korelasi dari pengaruh genetik aditif atau nilai pemuliaan antara kedua sifat itu.
Korelasi genetik dapat terjadi karena dua sebab yaitu (1) Pleiotropi, bila gen yang sama
mempengaruhi ekspresi dari dua sifat atau lebih, atau (2) Gen-gen yang mengatur sifat
tersebut dalam posisi berangkai sangat dekat sehingga selalu diwariskan secara
bersama-sama (Warwick et al. 1990).
Tabel 7. Contoh beberapa sifat tingkah laku yang memberikan respon jika diseleksi
Jenis Ternak Sifat Tingkah Laku
Sapi perah Temperamen dan milk letdown
Sapi potong Tingkah laku kawin dan keindukan
Babi Penurunan agresi, tingkah laku kawin dan keindukan
Domba Tingkah laku keindukan, kawin dan kelompok/flok
Kuda Temperamen dan kemampuan dilatih (trainability)
Lebah madu Kejinakan (docility) dan tingkah laku higienik
Anjing Kemampuan dilatih, kepatuhan/kejinakan, berburu, dan karakteristik
kerja
Ayam Pengeraman (karakteristik yang berkaitan dengan penetasan dan
pengasuhan anak) dan adaptasi dengan kandang (cage adaptability)
(penurunan agresi sosial)
Sumber : Ewing et al. (1999)
Adanya korelasi sifat tingkah laku dengan sifat produksi pada ternak telah
dilaporkan. Goddard (1980) melaporkan bahwa babi yang sangat agresif bisa
menurunkan laju pertumbuhan keseluruhan babi di kelompoknya dibandingkan laju
pertumbuhannya sendiri. Hasil penelitian Voisinet et al. (1997) melaporkan bahwa
meningkatnya skor temperamen secara nyata menurunkan pertambahan bobot badan
harian pada beberapa bangsa sapi. Masih ada variasi genetik dalam banyak sifat tingkah
laku yang relevan dengan produksi ternak menunjukkan bahwa perbaikan ke depan
seharusnya mungkin dilakukan (Goddard 1980).
Pemanfaatan seleksi secara tidak langsung terhadap suatu sifat yang mempunyai
korelasi genetik erat merupakan salah satu metode alternatif seleksi yang dapat
dilakukan. Goddard (1980) mengemukakan beberapa keadaan dimana seleksi untuk
tingkah laku bisa bermanfaat, diantaranya (1) Sifat yang ingin diperbaiki sukar untuk
diukur, misalnya fertilitas pejantan dimana seleksi terhadap tingkah laku kawin bisa
memperbaiki fertilitas; (2) Kita tidak dapat mengukur sifat yang diinginkan untuk
30
diperbaiki dengan tepat/akurat atau secara terus-menerus, misalnya daya hidup anak
(lamb survival) dimana seleksi terhadap tingkah laku keindukan (maternal) bisa lebih
akurat; (3) Sebuah sifat yang mempengaruhi performans sifat yang lain di dalam
kelompok, misalnya babi yang mempunyai sifat agresif berlebihan dapat menurunkan
laju pertumbuhan keseluruhan babi dalam kelompok dibandingkan dengan laju
pertumbuhannya sendiri. Kemampuan kompetitif adalah sebuah komponen penting dari
produksi, seleksi individu untuk produktivitas dapat menurunkan produktivitas
kelompok; (4) Sebuah sifat tingkah laku yang berpengaruh nilai ekonomi langsung,
misalnya sapi yang sulit ditangani dapat meningkatkan biaya tenaga kerja.
Kemampuan maternal yang baik adalah sangat penting pada banyak spesies bagi
daya hidup dan pertumbuhan dari keturunannya. Tingkah laku induk dapat mempunyai
dampak besar pada peluang hidup keturunannya selama periode pra sapih. Beberapa
sifat tingkah laku induk memainkan peran pada peluang hidup keturunannya dan awal
yang baik dalam hidupnya. Contoh sifat-sifat tingkah laku tersebut adalah kesigapan
terhadap sinyal dari anak (babi), tingkah laku agresif terhadap anak (babi dan domba),
tingkah laku menyusui (babi dan domba) dan tingkah laku khawatir (fear behavior)
(babi, domba dan sapi). Sejumlah sifat tersebut dikontrol secara genetik sehingga
berpeluang untuk diperbaiki dengan seleksi (Grandinson 2005).
Laju pertumbuhan dan daya hidup anak merupakan dua sifat produksi penting
dalam peternakan domba. Berdasarkan tinjauan di atas dan umumnya nilai heritabilitas
skor temperamen yang berkisar antara sedang sampai tinggi yang menunjukkan bahwa
skor temperamen akan tanggap bila diseleksi (Buchenauer 1999), maka diduga juga
terdapat korelasi antara sifat tingkah laku temperamen dengan laju pertumbuhan pada
domba. Demikian pula dengan daya hidup anak domba yang berkorelasi dengan sifat
tingkah laku maternal induk domba.
Penanda SNP untuk Sifat Agresif
Mono Amine Oxidase (disingkat MAO) adalah enzim yang bertanggung jawab
untuk mendegradasi/mengoksidasi berbagai amina biogenik termasuk neurotransmitter
yaitu epinephrine, norepinephrine, dopamine dan serotonin (Weyler et al. 1990). Dua
bentuk enzim MAO; MAOA dan MAOB; telah diidentifikasi berdasarkan perbedaan
berat molekul, afinitas susbtrat, sensitivitas inhibitor dan immunological properties.
31
Enzim ini diekspresikan di seluruh tubuh tetapi berbeda dalam perkembangan dan
ekspresi sel spesifik (Hotamisligil dan Breakefield 1991). MAOA dan MAOB adalah
enzim mitokondria yang dikode oleh gen inti yang berlokasi pada lengan panjang dari
kromosom X (Xp 11.4-p11.3) yang berasal dari duplikasi leluhur (Levy et al. 1989;
Grimsby et al. 1991).
Tabel 8. Panjang runutan mRNA gen MAOA pada beberapa spesies
Spesies Kode aksesi Panjang runutan (bp)
Anjing
Canis lupus familiaris AB038563 1715 bp
Canis lupus familiaris NM_001002969 1715 bp
Kuda
Equus caballus AB178282 1895 bp
Equus caballus NM_001081832 1895 bp
Babi
Sus scrofa AY563632 1745 bp
Sus scrofa NM_001001640 1745 bp
Tikus rumah
Mus musculus BC029100 1977 bp
Mus musculus NM_173740 4068 bp
Sapi
Bos taurus BT030540 1864 bp
Bos taurus NM_181014 2127 bp
Ayam
Gallus gallus NM_001030799 2851 bp
Manusia
Homo sapiens BC044787 3356 bp
Homo sapiens NM_000240 4090 bp
Manusia HUMMAOAAA 1931 bp
Pencarian (searching) pada database gene bank NCBI (The National Center for
Biotechnology Information) pada bulan Pebruari 2012 di alamat
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/, diperoleh runutan mRNA gen MAOA dari beberapa
spesies hewan seperti terlihat pada Tabel 8. Panjang runutan mRNA gen MAOA
tersebut berbeda-beda antar spesies dan di dalam spesies kecuali anjing, kuda dan babi
yang masing-masing dua contoh runutannya mempunyai panjang yang sama. Runutan
32
gen MAOA untuk domba tidak terdapat pada database gene bank NCBI. Dalam
sistematika hewan, domba bersama-sama kambing masuk di dalam Subfamily Caprinae.
Subfamily Caprinae bersama-sama dengan Subfamily Bovinae yang anggotanya adalah
bison, kerbau dan sapi domestik termasuk ke dalam Family Bovidae (Franklin 1997).
Sapi merupakan spesies yang terdekat domba dalam satu Family yang runutannya
dijadikan acuan karena hingga penelitian ini dilakukan runutan gen MAOA untuk
kambing sebagai spesies yang terdekat belum tersedia. Pada manusia, gen MAOA
terdiri dari 15 ekson dan 14 intron yang membentang sedikitnya 16 Kb (Grimsby et al.
1991).
Kedua MAO penting dalam inaktivasi monoaminergik nuerotransmiter tetapi
berbeda untuk kekhususannya. Serotonin, norepinephrine (noradrenaline) dan
epinephrine (adrenaline) serta beberapa amina eksogenous terutama dipecah oleh
MAOA, sementara itu phenylethylamine dipecah oleh MAOB, dan dopamine dipecah
oleh keduanya (Andres et al. 2004). Kedua protein tersebut menunjukkan 70 persen
runutan asam amino yang identik (Son et al. 2008). Beberapa neurotransmitter yang
dipecah oleh enzim MAOA tersebut harus dipecah karena konsentrasinya yang
meningkat abnormal akan menyebabkan orang bereaksi secara berlebihan dan
kadangkala bahkan secara keras (Morell 1993). Serotonin mengatur tingkah laku
agresif melalui ikatan dengan reseptornya pada manusia dan tikus, dan hasil penelitian
pada ayam pemberian antagonis reseptor telah meningkatkan sifat agresif (Denis et al.
2008). Karena perannya yang vital dalam menginaktivasi neurotransmitter maka
disfungsi MAO menyebabkan sejumlah psychiatric dan neurological disorders,
termasuk depresi dan penyakit Parkinson (Son et al. 2008).
Kekurangan enzim MAOA yang diakibatkan mutasi pada gen MAOA yang
berhubungan dengan tingkah laku agresif telah dilaporkan. Cases et al. (1995)
melaporkan meningkatnya tingkah laku agresif pada tikus transgenik karena adanya
delesi pada gen MAOA. Mutasi titik telah diidentifikasi pada ekson 8 dari gen
struktural MAOA yang merubah glutamine menjadi kodon terminasi (mutasi C→T).
Defisiensi MAOA diketahui dihubungkan dengan fenotipe tingkah laku yang mencakup
gangguan pengendalian agresi (Brunner et al., 1993). Tikus yang kekurangan enzim
tersebut menunjukkan pertambahan agresi dan mengubah emosional relatif menjadi
hewan tipe liar (Kim et al. 1997).