KERAGAMAN GENETIK NILAM

54
1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nilam (Pogostemon sp.) termasuk famili Labiateae. Dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama patchouli. Daerah asal nilam tidak diketahui secara pasti, kemungkinan berasal dari daerah subtropik Himalaya, Asia Selatan, Filipina atau Malaysia. Nilam telah dibudidayakan secara ekstensif di Indonesia, Malaysia, Cina dan Brasilia untuk menghasilkan minyak atsiri yang disebut patchouli oil (Bunrathep et al. 2006). Nilam masuk ke Indonesia, mula-mula dibudidayakan di Aceh, kemudian berkembang di beberapa provinsi lainnya seperti Sumatera Utara (Nias, Tapanuli dan Dairi), Sumatera Barat dan Bengkulu (Mangun, 2002) dan sejak tahun 1998 pengembangan nilam meluas ke Jawa (Nuryani, 2006a). Hasil utama tanaman nilam adalah minyak atsiri yang dikenal sebagai patchouli oil. Minyak nilam banyak digunakan dalam industri parfum sebagai bahan fixatif. Disamping itu, minyak nilam memiliki daya pestisida sehingga dapat digunakan sebagai pengusir serangga. Produktivitas nilam di Indonesia baru mencapai 20 - 25 ton terna basah per ha per panen yang setara dengan 5 – 6,25 ton terna kering dengan rendemen 2 – 4 % (Untung, 2009; Armando, 2009). Rendahnya produktivitas dan mutu minyak nilam disebabkan oleh belum jelasnya varietas nilam yang ditanam petani dan belum digunakannya varietas unggul, teknologi budidaya yang masih sederhana, serangan penyakit, teknik panen dan pasca panen yang belum tepat (Mauludi dan Asman, 2005). Peningkatan produktivitas dan mutu minyak dapat didekati dari 3 aspek yaitu

Transcript of KERAGAMAN GENETIK NILAM

Page 1: KERAGAMAN GENETIK NILAM

1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nilam (Pogostemon sp.) termasuk famili Labiateae. Dalam dunia

perdagangan dikenal dengan nama patchouli. Daerah asal nilam tidak diketahui

secara pasti, kemungkinan berasal dari daerah subtropik Himalaya, Asia Selatan,

Filipina atau Malaysia. Nilam telah dibudidayakan secara ekstensif di Indonesia,

Malaysia, Cina dan Brasilia untuk menghasilkan minyak atsiri yang disebut

patchouli oil (Bunrathep et al. 2006). Nilam masuk ke Indonesia, mula-mula

dibudidayakan di Aceh, kemudian berkembang di beberapa provinsi lainnya

seperti Sumatera Utara (Nias, Tapanuli dan Dairi), Sumatera Barat dan Bengkulu

(Mangun, 2002) dan sejak tahun 1998 pengembangan nilam meluas ke Jawa

(Nuryani, 2006a).

Hasil utama tanaman nilam adalah minyak atsiri yang dikenal sebagai

patchouli oil. Minyak nilam banyak digunakan dalam industri parfum sebagai

bahan fixatif. Disamping itu, minyak nilam memiliki daya pestisida sehingga

dapat digunakan sebagai pengusir serangga. Produktivitas nilam di Indonesia baru

mencapai 20 - 25 ton terna basah per ha per panen yang setara dengan 5 – 6,25 ton

terna kering dengan rendemen 2 – 4 % (Untung, 2009; Armando, 2009).

Rendahnya produktivitas dan mutu minyak nilam disebabkan oleh belum

jelasnya varietas nilam yang ditanam petani dan belum digunakannya varietas

unggul, teknologi budidaya yang masih sederhana, serangan penyakit, teknik

panen dan pasca panen yang belum tepat (Mauludi dan Asman, 2005).

Peningkatan produktivitas dan mutu minyak dapat didekati dari 3 aspek yaitu

Page 2: KERAGAMAN GENETIK NILAM

2

aspek genetik, budidaya dan pasca panen. Peningkatkan produktivitas dan mutu

melalui perbaikan genetik memerlukan keragaman yang tinggi dalam sifat-sifat

yang dibutuhkan. Tanaman nilam pada umumnya tidak berbunga dan diperbanyak

secara vegetatif. Dengan sifat yang demikian keragaman genetik secara alami

hanya diharapkan dari mutasi alami yang frekuensinya biasanya rendah (Nuryani

dkk. 2003).

Keragaman genetik tanaman nilam dapat ditingkatkan dengan cara

hibridisasi somatik. Untuk itu, pada tingkat awal perlu dikumpulkan plasma

nutfah dari berbagai daerah (Nuryani dkk. 2003). Informasi keragaman genetik

juga diperlukan untuk mendukung kegiatan konservasi. Besarnya keragaman

genetik mencerminkan sumber genetik yang diperlukan untuk adaptasi ekologi

dalam jangka waktu pendek dan evolusi dalam jangka panjang (Indrawan dkk.

2007). Mengingat begitu bervariasinya kualitas maupun kuantitas minyak nilam

yang dihasilkan dari hasil kebun petani maka perlu dilakukan pengujian

keragaman genetik dari nilam pada tingkat molekuler.

Menurut Nuryani (2002) pengujian secara molekuler akan mampu

mengungkap tidak saja keragaman genetik juga mengungkap tingkat kekerabatan

dari masing-masing jenis tanaman nilam tersebut. Penanda molekuler banyak

digunakan dalam analisis keragaman genetik tanaman. Penanda DNA adalah

bagian kecil dari DNA yang memperlihatkan polimorfisme sekuen pada individu

– individu berbeda dalam suatu spesies. Dengan berkembangannya teknologi

penanda DNA pengkarakterisasian keanekaragaman genetik tanaman dapat

dilakukan (Pandin, 2009).

Page 3: KERAGAMAN GENETIK NILAM

3

Salah satu teknik penanda DNA yang telah digunakan adalah random

amplified polymorphic DNA (RAPD). RAPD digunakan untuk mengidentifikasi

genotipe tanaman karena memiliki kelebihan dalam pelaksanaan dan analisis

(Suryanto, 2003). Kelebihan RAPD dalam menganalisis keragaman genetik dan

hubungan kekerabatan adalah prosedurnya lebih mudah, murah, cepat, contoh

DNA yang diperlukan sedikit (0,5 – 50 ng) dan tidak memerlukan radioisotop

(Sharma et al., 2008). Marka RAPD juga mampu menghasilkan karakter yang

relatif tidak terbatas sehingga sangat membantu dalam analisis keragaman

organisme yang tidak diketahui latar belakang genomnya (Suryanto, 2003).

RAPD memerlukan ekstraksi DNA, kondisi amplifikasi optimum, dan

analisis data yang kesemuanya dapat dilakukan dalam waktu yang relatif cepat.

Penanda RAPD diperoleh dengan amplifikasi segmen DNA random (acak) dari

primer tunggal acak. Primer yang digunakan biasanya berukuran 10 bp dan

memiliki kandungan GC 50 - 80%. Kondisi reaksi PCR membatasi ukuran pita

hingga 100 - 3000 bp. Oleh karena itu hanya fragmen komplemen DNA dalam

kisaran ukuran inilah yang akan diamplifikasi oleh sekuen DNA primer (Bardakci,

2001; Sharma et al., 2008).

1.2. Rumusan Masalah

Nilam yang dibudidayakan para petani di Bali semuanya dinyatakan

sebagai nilam Aceh yang berasal dari perbanyakan vegetatif. Produktivitas

tanaman nilam sangat beragam tergantung varietasnya. Nilam Aceh memiliki

beberapa varietas dengan karakteristik yang relatif berbeda. Permasalahannya

adalah:

Page 4: KERAGAMAN GENETIK NILAM

4

1. Adakah primer RAPD yang dapat dipakai untuk analisis keragaman

genetik nilam?

2. Bagaimanakah keragaman genetik nilam yang dibudidayakan di Bali?

3. Bagaimanakah kekerabatan tanaman nilam yang dibudidayakan di Bali?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan primer RAPD yang dapat dipergunakan untuk analisis keragaman

genetik nilam.

2. Mengetahui keragaman genetik dari nilam yang dibudidayakan di Bali.

3. Mengetahui kekerabatan tanaman nilam yang di budidayakan di Bali.

3.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini sangat bermanfaat dalam mendukung proses

pemuliaan. Informasi keragaman genetik tanaman nilam diperlukan untuk

pemilihan indukan nilam. Makin tinggi tingkat keragaman genetik nilam maka

akan dapat menyediakan sumber gen yang diperlukan dalam merakit tanaman

nilam unggul.

Page 5: KERAGAMAN GENETIK NILAM

5

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1. Sistematika Dan Karakteristik Nilam

Menurut Guenther (1952) dalam Nuryani (2006a) sistematika nilam adalah

sebagai berikut:

Devisi : Spermatophyta

Klas : Angiospermae

Ordo : Lamiales

Famili : Labiateae

Genus : Pogostemon

Spesies : - Pogostemon cablin Benth

- Pogostermon heyneatus Benth

- Pogostemon hortensis Backer

Tanaman nilam adalah tanaman perdu wangi yang berakar serabut,

Daunnya halus seperti beludru apabila diraba dengan tangan, bentuk daunnya

agak membulat lonjong seperti jantung dengan warnannya agak pucat. Bagian

bawah daun dan rantingnya berbulu halus. Batangnya berkayu dengan diameter 10

– 20 mm relatif hampir berbentuk segi empat. Sebagian besar daun yang melekat

pada ranting hampir selalu berpasangan satu sama lain. Jumlah cabang yang

banyak dan bertingkat mengelilingi batang sekitar 3 – 5 cabang per tingkat.

Tanaman ini memiliki umur tumbuh yang cukup panjang, yaitu sekitar tiga tahun,

panen perdana dapat dilakukan pada bulan ke 6 – 7 dan seterusnya setiap 2-3

bulan tergantung pemeliharaan dan pola tanam, kemudian dapat diremajakan

Page 6: KERAGAMAN GENETIK NILAM

6

kembali dari hasil tanaman melalui pesemaian atau pembibitan berupa setek

(Mangun, 2002).

Hasil produksi tanaman nilam berupa daun. Selain daun, bagian tanaman

lain yang dapat dipetik untuk disuling yaitu ranting, batang dan akar, tetapi

kandungan minyak yang dimilikinya relatif lebih sedikit (Mauludi dan Asman,

2005). Dalam prakteknya semua bagian tanaman disuling dalam keadaan

bercampur.

Ciri khas lainnya yaitu bila daun nilam digosok akan basah dan

mengeluarkan aroma khas nilam. Minyak nilam memiliki sifat khas yaitu semakin

bertambah umurnya semakin harum wanginya. Oleh sebab itu minyak nilam yang

berumur lebih lama lebih baik (Mangun, 2002).

Nilam termasuk tanaman yang mudah tumbuh seperti herba lainnya.

Tanaman ini memerlukan suhu yang panas dan lembab. Tanaman nilam tumbuh

dan berproduksi dengan baik pada ketinggian sampai 700 m dpl (Nuryani, 2006a).

Sedangkan Mauludi dan Asman (2005) menyebutkan tanaman nilam dapat

tumbuh pada ketinggian 10 – 1200 m dpl. Lebih lanjut disebutkan nilam dapat

tumbuh pada segala jenis tanah, akan tetapi tumbuh lebih baik pada tanah yang

gembur dan banyak mengandung humus, bertekstur lempung sampai liat berpasir,

pH 5-5,7. Selain itu nilam juga memerlukan curah hujan yang merata dalam

jumlah cukup. Saat berumur lebih dari 6 bulan, ketinggian tanaman nilam dapat

mencapai 60-90 cm dengan radius cabang sekitar 60 cm.

Di Indonesia terdapat tiga jenis nilam yang dapat dibedakan antara lain dari

karakter morfologi, kandungan dan kualitas minyak dan ketahanan terhadap

cekaman biotik dan abiotik. Ketiga jenis nilam tersebut adalah: 1) P. cablin

Page 7: KERAGAMAN GENETIK NILAM

7

Benth. sinonim P. patchouli Pellet van Suavis Hook disebut nilam Aceh, 2) P.

heyneatus Benth. disebut nilam Jawa dan 3) P. hortensis Becker disebut nilam

sabun (Nuryani, 2006a).

Nilam Aceh (P. cablin Benth atau P. patchouli) merupakan tanaman yang

memiliki aroma khas dan rendemen minyak daun keringnya tinggi yaitu 2,5-5%

dibandingkan dengan jenis lain. Nilam Aceh dikenal pertama kali dan ditanam

secara meluas hampir diseluruh wilayah Aceh. Sedangkan nilam Jawa (P.

heyneatus Benth) disebut juga nilam hutan. Nilam ini berasal dari India dan

masuk ke Indonesia serta tumbuh liar di beberapa hutan di wilayah pulau Jawa.

Jenis tanaman ini hanya memiliki kandungan minyak sekitar 0,5-1,5%. Jenis daun

dan rantingnya tidak memiliki bulu – bulu halus dan ujung daunnya agak

meruncing. Nilam Sabun (P. hortensis Backer) sering dipergunakan untuk

mencuci pakaian terutama kain jenis batik. Jenis nilam ini hanya memiliki

kandungan minyak sekitar 0,5-1,5%. Selain itu komposisi kandungan minyak

yang dimiliki tidak baik sehingga minyak dari jenis nilam ini tidak disukai

(Mangun, 2002).

Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam Aceh dan nilam sabun tidak

berbunga. Yang paling luas penyebarannya dan banyak dibudidayakan yaitu

nilam Aceh, karena kadar minyak dan kualitas minyaknya lebih tinggi dari kedua

jenis yang lainnya. Nilam Aceh berkadar minyak tinggi (> 2,5%) sedangkan nilam

Jawa rendah (< 2%) (Nuryani, 2006a).

Ciri-ciri spesifik yang dapat membedakan nilam Jawa dan nilam Aceh

secara visual yaitu pada daunnya. Permukaan daun nilam Aceh halus sedangkan

nilam Jawa kasar. Tepi daun nilam Aceh bergerigi tumpul, sedangkan pada nilam

Page 8: KERAGAMAN GENETIK NILAM

8

Jawa bergerigi runcing. Ujung daun nilam Aceh meruncing sedangkan nilam Jawa

runcing. Nilam Jawa lebih toleran terhadap nematoda dan penyakit layu bakteri

dibandingkan nilam Aceh, karena antara lain disebabkan kandungan fenol dan

ligninnya lebih tinggi dari pada nilam Aceh (Nuryani, 2006a).

Tanaman nilam adalah tanaman penghasil minyak atsiri, oleh sebab itu

produksi, kadar dan mutu minyak serta sifat ketahanan terhadap penyakit

merupakan faktor penting yang dapat dipergunakan untuk menentukan keunggulan

suatu varietas. Banyak faktor yang mempengaruhi kadar dan mutu minyak nilam,

antara lain, genetik, budidaya, lingkungan, panen dan pasca panen (Nuryani, 2006a).

2.2. Keragaman Genetik

Keragaman genetik merupakan variasi gen dalam satu spesies baik

diantara populasi – populasi yang terpisah secara geografis maupun di antara

individu – individu dalam satu populasi (Indrawan dkk., 2007). Keragaman

genetik dalam sebuah populasi organisme terutama dihasilkan oleh tiga

mekanisme; mutasi, perpasangan alel secara bebas atau rekombinasi dan migrasi

gen dari satu tempat ketempat lain (Suryanto, 2003; Elrod dan Stansfield, 2007).

Genotipe suatu individu menentukan fenotipe yang beragam, sebagian

diantaranya akan memberi kontribusi pada kelestarian individu tersebut. Seleksi

alam akan bekerja dengan cara memilih individu – individu dengan kelestarian

tertinggi dalam populasi. Dengan demikian kombinasi – kombinasi gen yang

sesuai cenderung diteruskan atau diturunkan, sedangkan yang kalah adaptif

cenderung dihilangkan dari populasi (Elrod dan Stansfield, 2007).

Gen adalah unit – unit kromosom yang membawa kode untuk pembuatan

protein spesifik. Setelah dibentuk dan diberi kode oleh gen, protein – protein ini

Page 9: KERAGAMAN GENETIK NILAM

9

selanjutnya menentukan perkembangan serta tampilan, bentuk, dan fungsi dari

jaringan dan organ terkait. Alternatif atau bentuk yang berbeda – beda dari suatu

gen dikenal sebagai alel (Indrawan dkk. 2007).

Keanekaragaman genetik dapat terjadi karena adanya perubahan

nukleotida penyusun deoxyribonucleic acid (DNA) (Suryanto, 2003). Mutasi

merupakan perubahan yang terjadi dalam DNA yang menyusun kromosom.

Variasi alel dari gen dapat mempengaruhi perkembangan dan fisiologi individu

organisme. Keragaman genetik bertambah ketika keturunan menerima kombinasi

unik gen dan kromosom dari induknya melalui rekombinasi gen yang terjadi

melalui reproduksi seksual. Gen – gen dipertukarkan antar kromosom. Kombinasi

baru terbentuk ketika kromosom dari kedua induk itu menyatu untuk membentuk

keturunan dengan genetik yang unik. Susunan keseluruhan dari gen dan alela

dalam populasi disebut gene pool (lungkang gen atau kumpulan gen) (Indrawan

dkk. 2007).

Jumlah keragaman genetik dalam populasi ditentukan oleh banyaknya gen

yang memiliki lebih dari satu alela (gen polimorfik), dan banyaknya alela pada

setiap gen tersebut (Indrawan dkk. 2007). Polimorfik adalah keberadaan dua atau

lebih alel pada sebuah lokus dalam populasi. Pada umumnya sebuah unsur atau

lokus polimorfik memiliki frekuensi alel kurang dari 0,99. Polimorfisme bisa

terdapat dalam tiga tingkat; kromosom, gen dan panjang fragmen restriksi.

Polimorfisme sekuen DNA bisa sesederhana perbedaan satu nukleotida ataupun

insersi atau delesi sejumlah nukleotida (Elrod dan Stansfield, 2007). Polimorfik

dapat merupakan hasil mutasi titik, insersi, delesi, dan inverse (Demeke dan

Adams, 1994).

Page 10: KERAGAMAN GENETIK NILAM

10

Adanya gen polimorfik juga berarti bahwa beberapa individu dalam

populasi mempunyai gen heterozigot; artinya individu tersebut menerima alela

gen yang berbeda dari setiap induknya. Semua tingkat keragaman genetik ini

berkontribusi pada kemampuan populasi untuk beradaptasi terhadap perubahan

lingkungan. Spesies langka seringkali memiliki keragaman genetik yang lebih

sedikit sehingga menjadi lebih mudah punah jika kondisi lingkungan berubah

(Indrawan dkk. 2007).

Lebih lanjut Elrod dan Stansfield (2007) menyatakan besarnya keragaman

di dalam suatu spesies tergantung pada jumlah individu, kisaran penyebaran

geografinya, tingkat isolasi dari populasi dan sistem genetiknya. Peran penting

juga dilakukan oleh proses-proses seleksi alami serta faktor-faktor yang

berpengaruh pada perubahan spasial dan temporal pada komposisi genetik dari

spesies atau populasi. Menurut Indrawan dkk. (2007) keragaman genetik penting

bagi kemampuan spesies dan populasi beradaptasi terhadap perubahan kondisi

lingkungan dan karena itu merupakan persyaratan bagi kelangsungan hidupnya.

Pada spesies yang berkembang biak secara seksual, setiap populasi lokal

mengandung kombinasi gen tertentu. Jadi, suatu spesies merupakan kumpulan

populasi yang berbeda secara genetik satu sama lain. Perbedaan genetik ini

diwujudkan sebagai perbedaan di antara populasi dalam sifat morfologi, fisiologi,

kelakuan, dan sejarah hidup (life history).

Seleksi alami pada awalnya bekerja pada level fenotipik, yang

mempengaruhi sifat-sifat yang diekspresikan (fenotipe). Lukang gen (gene pool)

akan berubah ketika organisme dengan fenotipe yang kompatibel dengan

lingkungan. Organisma ini akan lebih mampu bertahan hidup dalam jangka lama

Page 11: KERAGAMAN GENETIK NILAM

11

dan akan berkembang biak lebih banyak dan meneruskan gen-gennya lebih

banyak pula ke generasi berikutnya (Elrod dan Stansfield, 2007).

Besarnya keragaman genetik dalam populasi lokal sangat bervariasi.

Populasi kecil yang berbiak secara aseksual dan terisolasi, sering memiliki

keragaman genetik yang kecil di antara individu, sedangkan pada populasi besar

dan berbiak secara seksual sering memiliki keragaman yang besar. Dua faktor

utama yang bertanggungjawab kepada adanya keragaman ini, yaitu cara

bereproduksi (seksual atau aseksual) dan ukuran populasi.

Pada populasi seksual, gen direkombinasi pada setiap generasi,

menghasilkan genotipe baru. Kebanyakan keturunan spesies seksual mewarisi

separuh gennya dari induk betina dan separuhnya lagi dari induk jantan, susunan

genetiknya dengan demikian berbeda dengan kedua induknya atau dengan

individu yang lain di dalam populasi (Indrawan dkk., 2007).

Adanya mutasi yang menguntungkan, yang pada awalnya muncul pada

suatu individu dapat direkombinasi dalam kurun waktu tertentu pada populasi

seksual. Sebaliknya, keturunan individu aseksual secara genetik identik dengan

induknya. Satu-satunya sumber kombinasi gen dalam populasi aseksual adalah

mutasi (perubahan dalam material genetik yang diwariskan ke keturunannya).

Mutasi mungkin terjadi spontan (kekeliruan dalam replikasi material genetik) atau

terjadi karena pengaruh faktor eksternal (misal radiasi dan bahan kimia tertentu).

Mutasi terjadi di dalam gen yang terdapat pada molekul DNA. Populasi aseksual

mengakumulasi variasi genetiknya hanya pada laju mutasi genya. Mutasi yang

menguntungkan pada individu aseksual yang berbeda tidak mungkin mengalami

rekombinasi gen dan muncul pada suatu individu seperti layaknya pada populasi

Page 12: KERAGAMAN GENETIK NILAM

12

seksual. Kombinasi gen yang menguntungkan akan lebih besar pada populasi

seksual daripada populasi aseksual (Indrawan dkk., 2007).

Dalam jangka panjang, keragaman genetik akan lebih lestari dalam

populasi besar daripada dalam populasi kecil. Melalui efek damparan genetik

(genetic drift) atau perubahan dalam lukang gen dari suatu populasi kecil yang

berlangsung semata-mata karena proses kebetulan, suatu sifat genetik dapat hilang

dari populasi kecil dengan cepat (Indrawan dkk., 2007).

Informasi hubungan genetik antara individu di dalam dan di antara spesies

mempunyai kegunaan penting bagi perbaikan tanaman. Dalam pemuliaan tanaman

pendugaan hubungan genetik sangat berguna untuk mengelola plasma nutfah,

identifikasi kultivar, membantu seleksi tetua persilangan serta mengurangi jumlah

individu yang dibutuhkan untuk mengambil sampel dengan kisaran keragaman

yang luas (Julisaniah dkk., 2008).

Salah satu teknologi pilihan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan

keragaman genetik tanaman adalah melalui teknologi kultur invitro. Regenerasi tanaman

kultur sel (somaklonal) dapat berasal dari kalus (calliclones) atau dari protoplas

(protoclones). Keragaman somaklonal disebabkan karena adanya sel-sel bermutasi

maupun adanya polisomik dari jaringan tertentu. Keragaman tersebut dapat ditingkatkan

dengan pemberian mutagen baik fisik maupun kimiawi (Hutami dkk. 2006). Menurut

Martono (2009) keragaman hibrida somatik dapat merupakan hasil dari sub kultur kalus

yang dilakukan terus menerus yang mengakibatkan suatu variasi somaklonal; ketidak

stabilan dari kombinasi inti sel yang mengakibatkan hilangnya ekspresi gen atau

hilangnya bagian dari informasi genetik; dan adanya segregasi dari sitoplasma atau inti

Page 13: KERAGAMAN GENETIK NILAM

13

setelah fusi sehingga menghasilkan suatu kombinasi yang unik antara informasi genetik

pada sitoplasma dan inti.

2.3. Keragaman Genetik Nilam Aceh

Tanaman nilam merupakan tanaman introduksi, kemungkinan berasal dari

daerah subtropik Himalaya, Asia Selatan, Filipina atau Malaysia (Bunrathep et

al. 2006). Menurut Nuryani (2006b) diperkirakan daerah asal nilam Aceh dari

Filipina atau Semenanjung Malaysia, masuk ke Indonesia lebih dari seabad yang

lalu. Setelah sekian lama berkembang di Indonesia, tidak tertutup kemungkinan

terjadi perubahan-perubahan dari sifat-sifat asalnya. Dari hasil ekplorasi ditemukan

bermacam-macam tipe yang berbeda baik karakter morfologinya, kandungan

minyak, sifat fisika kimia minyak dan sifat ketahanannya terhadap penyakit dan

kekeringan.

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah mengoleksi 28

nomor nilam, dari hasil seleksi terhadap beberapa nomor nilam, telah dilepas 3

varietas unggul yaitu Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang (Nuryani,

2006a). Penamaan ketiga varietas nilam tersebut berdasarkan nama daerah asalnya.

Ketiga varietas mempunyai keunggulan masing-masing. Tapak Tuan unggul dalam

produksi dan kadar patchouli alkohol. Lhokseumawe kadar minyaknya tinggi

sedangkan Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda.

Disamping karakter kuantitatif, karakter kualitatif yang dapat

membedakan ketiga varietas tersebut adalah warna pangkal batang. Varietas Tapak

Tuan, warna pangkal batangnya hijau dengan sedikit ungu, varietas Lhokseumawe

lebih ungu dan varietas Sidikalang paling ungu (Nuryani, 2006b). Deskripsi

varietas dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Page 14: KERAGAMAN GENETIK NILAM

14

Tabel 2.1. Karakteristik Aksesi Nilam Aceh (Nuryani, 2006b)

Karakteristik Aksesi

0007 0012 0013

Asal Lhokseumawe

(NAD)

Tapak Tuan

(NAD)

Sidikalang

(Sumut)

Tinggi tanaman (cm) 61,07-65,97 50,57-82,28 70,70-75,69

Warna batang muda Ungu Ungu Ungu

Warna batang tua Ungu kehijauan Ungu kehijauan Ungu kehijauan

Bentuk batang Persegi Persegi Persegi

Percabangan Lateral Lateral Lateral

Jumlah cabang primer 7,00-19,76 7,30-24,48 8,00-15,64

Jumlah cabang sekunder 11,42-25,72 18,80-25,70 17,37-20,70 Panjang cabang primer (cm) 34,40-63,12 46,24-65,98 43,01-61,69 Panjang cabang sekunder (cm) 18,96-35,06 19,80-45,31 25,80-34,15

Bentuk daun Delta, bulat telur Delta, bulat telur Delta, bulat telur

Petulangan daun Menyirip Menyirip Menyirip

Warna daun Hijau Hijau Hijau keunguan

Panjang daun (cm) 6,23-6,75 6,47-7,52 6,30-6,45

Lebar daun (cm) 5,16-6,36 5,22-6,39 4,88-6,26

Tebal daun (mm) 0,31-0,81 0,31-0,78 0,30-4,25 Panjang tangkai daun (cm) 2,66-4,28 2,67-4,13 2,71-3,34 Jumlah daun/cabang primer 48,05-118,62 35,37-157,84 58,07-130,43

Ujung daun Runcing Runcing Runcing

Pangkal daun Datar, membulat Rata, membulat Rata, membulat

Tepi daun Bergerigi ganda Bergerigi ganda Bergerigi ganda

Bulu daun Banyak, lembut Banyak, lembut Banyak, lembut

Produktivitas terna kering (t/ha) 19,58-59,20 19,70-110,00 13,66-108,10 Produktivitas minyak (kg/ha) 125,83-380,06 111,50-622,26 78,90-624,89

Kadar minyak pada terna kering (%) 2,00-4,14 2,07-3,87 2,23-4,23 Kadar patchouli alcohol (%) 29,11-34,46 28,69-39,90 30,21-35,20

Keragaman genetik yang tinggi merupakan salah satu faktor penting untuk

merakit varietas unggul baru. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan dengan

memanfaatkan plasma nutfah yang tersedia di alam dan dapat pula melalui persilangan

Page 15: KERAGAMAN GENETIK NILAM

15

(Hutami dkk., 2006). Usaha perbaikan genetik tanaman nilam memerlukan adanya

plasma nutfah dengan keragaman genetik yang luas (Martono, 2009).

2.4. Penanda Genetik

Penanda genetik, biasa juga disebut dengan 'marka', merupakan ekspresi

pada individu yang terlihat oleh mata atau terdeteksi dengan alat tertentu, yang

menunjukkan dengan pasti genotipe suatu individu. Beberapa penanda genetik

sangat terpercaya karena bersifat lembam, tidak mudah berubah karena pengaruh

lingkungan. Penanda genetik sangat penting dalam penyelidikan phylogeni suatu

organisme (Tao et al., 2009).

Penanda genetik hanya berguna apabila polimorfik dan terpaut dengan

sifat yang akan diamati atau dengan penanda genetik lain. Syarat polimorfik

diperlukan karena penanda genetik harus bisa membedakan individu-individu

dalam populasi yang diteliti. Suatu penanda genetik paling tidak harus bisa

mengelompokkan individu dalam dua kelompok. Syarat terpaut dengan penanda,

gen atau sifat lain diperlukan karena fungsi penanda genetik adalah sebagai tanda

pengenal yang harus melekat pada sifat yang diteliti (Sharma et al., 2008).

Penanda genetik juga mengikuti hukum pewarisan Mendel dalam suatu

analisis genetik. Terdapat dua kelas penanda genetik dalam kaitan dengan hal ini:

penanda bersifat kodominan, artinya dapat membedakan ketiga kelas genotipe

pada generasi F2 (dua homozigot dan heterozigot); dan penanda bersifat dominan,

yang tidak bisa memisahkan heterozigot dari salah satu kelas homozigot (Sharma

et al., 2008).

Page 16: KERAGAMAN GENETIK NILAM

16

Terdapat bermacam-macam penanda genetik seperti penanda morfologi,

sitologi, biokimia dan molekuler, yang masing-masing memiliki kelebihan dan

kelemahan (Pandin, 2009; Tao et al., 2009).

Penanda morfologi merupakan penanda yang mudah dilihat oleh mata.

Contohnya adalah warna, ukuran, atau bentuk organ tertentu. Walaupun mudah

dan masih dipakai, penanda morfologi dapat termodifikasi oleh pengaruh

lingkungan sehingga dianggap tidak stabil (Pandin, 2009). Selain itu, penanda

morfologi jumlahnya sangat terbatas dan untuk mengamatinya harus menunggu

hingga sifat penanda itu muncul.

Penanda biokimiawi biasanya memerlukan alat atau metode khusus untuk

mengamatinya. Kalangan genetika tumbuhan banyak menggunakan penanda

biokimia dengan menggunakan isoenzim (isozim) (Karsinah dkk., 2002). Penanda

isoenzim bersifat kodominan sehingga dapat dipakai pada populasi segregasi

dengan individu heterozigot. Penanda isozim juga dapat digunakan dalam analisis

keragaman genetik tanaman termasuk mengidentifikasi varietas (Julisaniah dkk.,

2008). Meskipun cukup diskriminatif dan tidak mudah terpengaruh lingkungan,

penanda ini seringkali diekspresikan pada waktu dan organ tertentu saja.

Jumlahnya tidak banyak dan analisisnya memakan waktu dan biaya.

Penanda molekuler adalah penanda yang mengandalkan sifat-sifat aplikatif

DNA atau cDNA. Penanda biokimia tidak termasuk di dalamnya meskipun

sebenarnya juga merupakan molekul. Penanda molekul bersifat stabil karena

DNA bersifat baka, mampu menyediakan polimorfik pola pita DNA dalam jumlah

lebih banyak, tidak terpengaruh lingkungan serta tahap perkembangan tanaman

(Pandin, 2009). Penanda ini mulai dipakai semenjak ditemukannya enzim

Page 17: KERAGAMAN GENETIK NILAM

17

endonuklease restriksi, teknik southern blot dan PCR. Teknik elektroforesis gel,

yang juga menjadi prasyarat penggunaan penanda ini. Dukungan dari bidang

automasi, robotika, dan bioinformatika terhadap teknik sekuensing menjadikan

penanda molekul menjadi hal yang relatif ekonomis untuk dikerjakan (Sharma et

al., 2008).

Penanda molekul telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi suatu

individu atau genotip, derajat kekerabatan antar genotip dan adanya variasi

genetik suatu populasi tanaman (Sharma et al., 2008), menentukan adanya suatu

gen atau komplek gen yang diinginkan dalam suatu genotipe tertentu, pemetaan

gen, dan konservasi plasma nutfah (Pandin, 2009). Penanda melekul juga sangat

efektif dalam analisis genetik dan telah diaplikasikan secara luas dalam program

pemuliaan tanaman (Karsinah dkk., 2002). Menurut Sanjaya dkk., (2002) penanda

molekuler seperti marka DNA merupakan alat yang sesuai untuk menentukan

jarak genetik, karena marka yang polimorfik dapat diperoleh lebih cepat dan lebih

banyak dari pada penanda morfologi.

2.5. Polymerase Chain Reaction (PCR) - Random Amplified Polymorphic

DNA (RAPD)

Polymerase chain reaction (PCR) merupakan fasilitas dalam mempelajari

genetik tanaman maupun hewan. Sidik DNA, analisis forensik, pemetaan genetik

dan filogenetik dapat dipelajari dengan PCR. Beberapa teknik analisis

keanekaragaman genetik, membutuhkan amplifikasi daerah genom tertentu dari

suatu organisme (Demeke dan Adams. 1994). Primer biasanya terdiri dari 10-20

nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut.

Makin panjang primer, makin spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu

Page 18: KERAGAMAN GENETIK NILAM

18

kelompok organisme memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan

untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok

tersebut. Beberapa faktor seperti konsentrasi DNA, ukuran panjang primer,

komposisi basa primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus

dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik

(Suryanto, 2003).

Keberhasilan teknik ini lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan

efisiensi dan optimasi proses PCR. Reaksi berantai polymerase (Polymerase

Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan

secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode

ini telah banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik

baik berupa molekul DNA maupun RNA (Yuwono, 2006).

Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan; yaitu

fragmen DNA yang akan dilipatgandakan. (2) oligonukleotida primer; yaitu suatu

sekuen oligonukleotida pendek (15 – 25 basa nukleotida) yang digunakan untuk

mengawali sintesa rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri

atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP dan (4) enzim DNA pilomerase yaitu enzim yang

melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting

adalah senyawa buffer (Yuwono, 2006).

Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah

lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah

genom yang teramplifikasi. Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan

karakter yang diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan

annealing DNA dalam mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah dapat

Page 19: KERAGAMAN GENETIK NILAM

19

menyebabkan belum terbukanya DNA utas ganda sehingga tidak dimungkinkan

terjadinya polimerisasi DNA baru. Proses penempelan primer pada utas DNA

yang sudah terbuka memerlukan suhu optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi

dapat menyebabkan amplifikasi tidak terjadi atau sebaliknya suhu yang terlalu

rendah menyebabkan primer menempel pada sisi lain genom yang bukan sisi

homolognya; akibatnya dapat teramplifikasi banyak daerah tidak spesifik dalam

genom tersebut. Suhu penempelan (annealing) ini ditentukan berdasarkan primer

yang digunakan yang dipengaruhi oleh panjang dan komposisi primer. Suhu

penemelan ini sebaiknya sekitar 5°C di bawah suhu leleh. Secara umum suhu

leleh (Tm) dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) + 2(A+T)°C (Suryanto, 2003).

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) adalah suatu sistem

deteksi molekuler yang berbasis PCR, salah satu teknik molekuler untuk

mendeteksi keragaman DNA didasarkan pada penggandaan DNA . RAPD juga

merupakan penanda DNA yang memanfaatkan primer acak oligonukleotida

pendek (dekamer) untuk mengamplifikasi DNA genom organisme (Bardakci,

2001; Sharma et al. 2008).

Prinsip teknik RAPD didasarkan pada kemampuan primer menempel pada

cetakan DNA. Primer yang didesain berupa primer tunggal pendek agar dapat

menempel secara acak pada DNA genom organisme. Dengan demikian akan

terdapat banyak pola fragmen DNA. Perbedaan ini dapat dilihat dengan adanya

pola pita pada gel agarosa setelah diwarnai dengan pewarnaan DNA seperti

etidium bromide. Disamping ditentukan oleh ada tidaknya situs penempelan

primer, keberhasilan teknik ini ditentukan juga oleh kemurnian dan keutuhan

DNA cetakan. DNA cetakan yang tidak murni akan mengganggu penempelan

Page 20: KERAGAMAN GENETIK NILAM

20

primer pada situsnya dan akan menghambat aktifitas enzim polymerase DNA.

Enzim ini berfungsi untuk melakukan polimerisasi DNA. Sedangkan DNA

cetakan yang banyak mengalami fragmentasi dapat menghilangkan situs

penempelan primer (Bardakci, 2001).

Data pita DNA hasil RAPD umumnya dianalisis dengan mengubah

menjadi data biner satu dan nol berdasarkan ada atau tidak adanya pita. Primer

acak yang digunakan jumlahnya dapat banyak dan tidak terbatas sehingga data

biner yang terbentuk berupa matriks biner peubah ganda.

Keunggulan teknik RAPD (Demeke dan Adams. 1994; Bardakci, 2001)

terletak pada beberapa kemudahan: pengetahuan latar belakang genom organisme

tidak diperlukan, hasil RAPD dapat diperoleh secara cepat terutama jika

dibandingkan dengan analisis RFLP yang memerlukan banyak tahapan, beberapa

jenis primer acak dapat dibeli dan digunakan untuk analisis genom semua

organisme, tidak memerlukan radioisotop dan tidak memerlukan keterampilan

yang tinggi, jumlah DNA sampel yang diperlukan relatif sedikit (0,5 – 50 ng).

Kelemahan RAPD (Demeke dan Adams. 1994) adalah: pemunculan pita

DNA kadang–kadang tidak konsisten. Hal ini lebih sering terjadi jika suhu

annealing yang digunakan terlalu tinggi. Dalam analisis kekerabatan, hal ini dapat

diatasi dengan menggunakan primer yang lebih banyak. Ruas DNA yang

berulang sering berlipat ganda, homologi urutan nukleotida pada pita-pita DNA

dengan mobilitas yang sama pada gel tidak diketahui, penanda RAPD bersifat

dominan dan tingkat keberulangannya (reproducibility) rendah.

Karakter yang dihasilkan melalui penggunaan primer RAPD bisa sangat

banyak, namun dalam menentukan primer (sekuen primer) dan kondisi PCR yang

Page 21: KERAGAMAN GENETIK NILAM

21

sesuai untuk menghasilkan produk amplifikasi yang maksimum perlu dilakukan

penelitian tersendiri. Untuk tujuan analisis keragaman, hal penting lainnya adalah

pemilihan primer yang dapat menampilkan polimorfisme pita-pita DNA diantara

individu yang diuji. Kualitas pita DNA yang tajam juga penting untuk

memudahkan interpretasi dan keakuratan data. Beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi kualitas pita DNA produk amplifikasi PCR dalam analisis RAPD

adalah konsentrasi MgCl2, konsentrasi DNA, konsentrasi enzim polimerase,

primer dan suhu siklus PCR terutama anneling (Padmalatha dan Prasad, 2006).

Konsentrasi primer berpengaruh terhadap intensitas produk PCR-RAPD.

Menurut Padmalatha dan Prasad (2006) konsentrasi primer yang terlalu rendah

atau yang terlalu tinggi menyebabkan tidak terjadinya amplifikasi. Rasio yang

rendah antara primer dan DNA cetakan dapat menyebabkan produk RAPD yang

dihasilkan tidak konsisten. Magnesium merupakan komponen yang penting dalam

reaksi PCR dan mempengaruhi kualitas profil RAPD yang dihasilkan

(Pharmawati, 2009). Magnesium mempengaruhi penempelan primer serta

aktifitas enzim (Padmanatha dan Prasad, 2006). Konsentrasi MgCl2 yang tinggi

juga mempengaruhi jumlah band yang dihasilkan dan mengakibatkan penurunan

intensitas band tertentu.

Konsentrasi enzim polymerase yang rendah tidak menghasilkan produk

amplifikasi sedangkan terlalu tinggi menyebabkan berkurangnya spesifisitas. Hal

lain yang mempengaruhi produk RAPD adalah siklus termal, dan temperatur yang

digunakan. Jumlah siklus dapat mengubah pola-pola DNA produk RAPD.

Peningkatan jumlah siklus termal secara umum menyebabkan peningkatan

intensitas band produk RAPD (Pharmawati, 2009), sedangkan temperatur

Page 22: KERAGAMAN GENETIK NILAM

22

berpengaruh terhadap aktivitas enzim dan mengurangi spesifisitas. Perubahan

intensitas band juga tergantung pada primer yang digunakan (Padmalatha dan

Prasad 2006).

Page 23: KERAGAMAN GENETIK NILAM

23

III. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Tiga jenis tanaman nilam yang tumbuh di Indonesia dapat dibedakan antara

lain dari karakter morfologi, kandungan dan kualitas minyak serta ketahanan

terhadap cekaman biotik dan abiotik. Ketiga jenis nilam tersebut; nilam Aceh,

nilam Jawa dan Nilam Sabun. Yang paling luas penyebarannya dan banyak

dibudidayakan yaitu nilam Aceh, karena kadar minyak dan kualitas minyaknya

lebih tinggi dari kedua jenis yang lainnya. Nilam Aceh berkadar minyak tinggi (>

2,5%) sedangkan nilam Jawa rendah (< 2%) (Nuryani, 2006a).

Nilam Aceh memiliki beberapa varietas. Balittro Bogor tahun 2005 telah

melepas tiga varietas unggul nilam Aceh yaitu; varietas Lhokseumawe,

Sidikalang dan Tapak Tuan (Nuryani, 2006a). Varietas Tapak Tuan, warna pangkal

batangnya hijau dengan sedikit ungu, varietas Lhokseumawe lebih ungu dan

varietas Sidikalang paling ungu (Nuryani, 2006b). Namun bila tanaman ini

dibudidayakan pada tempat yang berbeda fenotipe ketiga varietas tanaman nilam

Aceh relatif susah dibedakan. Ketiga varietas mempunyai keunggulan masing-

masing. Tapak Tuan unggul dalam produksi dan kadar patchouli alkohol.

Lhokseumawe kadar minyaknya tinggi sedangkan Sidikalang toleran terhadap

penyakit layu bakteri dan nematoda.

Tanaman nilam yang dibudidayakan di Bali semuanya dinyatakan sebagai

nilam Aceh, yang secara genetis belum jelas keragaman genetis dan varietasnya.

Beberapa petani menyatakan tanaman yang dimiliki adalah varietas Sidikalang,

Page 24: KERAGAMAN GENETIK NILAM

24

petani lain menyatakan hanya nilam Aceh tetapi tidak tahu varietasnya, sehingga

produktivitas tanaman nilam yang ada sangat beragam.

Nilam Aceh tidak berbunga sehingga perbanyakan dilakukan dengan stek.

Tingkat produktivitas terna maupun minyak antar kebun sangat beragam. Hal ini

kemungkinan karena varietas tanaman dan sistem budidaya yang berbeda.

Walaupun demikian, tanaman yang sudah lama dibudidayakan di Bali tentunya

merupakan sumber genetis yang telah memiliki daya adaptasi yang baik. Nilam

seperti ini sangat berpeluang dimuliakan untuk dijadikan bibit unggul.

Untuk memastikan varietas tanaman yang dibudidayakan di Bali dan

untuk melihat keragaman genetiknya, maka perlu dilakukan pengujian secara

molekuler. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan menggunkan

marka RAPD. RAPD digunakan untuk mengidentifikasi genotipe tanaman karena

memiliki kelebihan dalam pelaksanaan dan analisis (Suryanto, 2003), prosedurnya

lebih mudah, murah, cepat, contoh DNA yang diperlukan sedikit (0,5 – 50 ng) dan

tidak memerlukan radioisotop (Sharma at al., 2008). Marka RAPD juga mampu

menghasilkan karakter yang relatif tidak terbatas sehingga sangat membantu

dalam analisis keragaman organisme yang tidak diketahui latar belakang

genomnya (Suryanto, 2003).

Page 25: KERAGAMAN GENETIK NILAM

25

Gambar 3.1. Bagan Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Hipotesis Penelitian

1. Ada primer RAPD yang dapat dipergunakan untuk analisis keragaman

genetik nilam.

2. Ada keragaman genetik pada nilam yang dibudidayakan di Bali.

3. Nilam Aceh yang dibudidayakan di Bali memiliki hubungan kekerabatan

dengan varietas nilam Aceh tertentu.

Nilam yang dibudidayakan di

Indonesia (nilam aceh, dan nilam jawa)

Perbanyakan tanaman nilam dengan stek

Nilam yang dibudidayakan di Bali belum jelas varietasnya dan

semua diklaim nilam Aceh

Fenotip masing – masing varietas nilam relatif susah dibedakan

Perlu dilakukan pengujian secara molekuler dengan

RAPD

- Dapat diketahui keragaman genetik nilam

- Dapat ditentukan kekerabatannya

Varietas Nilam Aceh; - Sidikalang, - Tapak Tuan dan - Lhokseumawe

Produktivitas tanaman beragam

Page 26: KERAGAMAN GENETIK NILAM

26

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan Laboratorium Marine Universitas

Udayana Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan di beberapa petani nilam

yang ada di Bali. Penelitian ini akan dilakukan dari bulan Juni sampai Oktober

2010.

4.2. Penentuan Sumber Data

Pada penelitian ini, sebagai populasi adalah tanaman nilam yang

dibudidayakan oleh petani di Bali. Sampel diambil dengan teknik stratified

sampling. Dimana daerah penanaman nilam dikelompokan kedalam tiga zone

yaitu wilayah dengan ketinggian ≥ 1000 m dpl, wilayah dengan ketinggian antara

500 – 1000 m dpl dan wilayah dengan ketinggian ≤ 500 m dpl. Masing – masing

wilayah dikelompokan kembali berdasarkan ada tidaknya hubungan sumber bibit

yang ditanam petani. Dari masing masing kelompok ini diasumsikan tanamannya

memiliki jenis yang sama selanjutnya sampel tanaman (daun muda) diambil

secara acak.

4.3. Bahan dan Alat

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah daun nilam yang

diperoleh dari sejumlah kebun petani yang ada di Bali yaitu: empat sampel dari

dataran tinggi (≥ 1000 m dpl); Lemukih, Wanagiri, Pupuan dan Belok. Empat

sampel dari dataran menengah (antara 500 - 1000 m dpl); Mekarsari, Nungnung,

Page 27: KERAGAMAN GENETIK NILAM

27

Plaga dan Sidan. Empat sampel dari dataran rendah (≤ 500 m dpl); Mengwi,

Lukluk, Abiansemal dan Jegu. Sebagai pembanding digunakan nilam Aceh

(Sidikalang, Lhokseumawe, Tapak Tuan) dan Nilam Jawa yang diperoleh dari

Balittro, Bogor.

Bahan kimia yang dipakai adalah sebagai berikut; Tris-HCl

(tris(hydroxmethyl)aminomethane-HCl) pH 8.0 (1.0 M); EDTA (ethylenediamine

tetraacetic acid) pH 8.0 (0.5 M); NaCl (5.0 M); CTAB (cetyltrimethyl ammonium

bromide) (20%); Chloroform: Isoamyl alkohol (24:1 v/v); Polyvinylpyrrolidone

(PVP); β-mercaptoethanol; RNase A; Etanol 80 %; Taq DNA Polymerase dan

Taq DNApolymerase buffer (KAPA Taq); Nukleotida: dNTPs (KAPA Taq) dan

primers; MgCl2 , Agarosa, Aquabidest (ddH2O), DNA ladder 1 kb (Fermentas)

Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sentrifuse, alat

pendingin, tabung eppendorf dan rak, gelas ukur, pipet mikro (micropipette),

TaKaRa PCR Thermal Cycler, elektroforesis, UV translumninator dan kamera

digital.

4.4. Isolasi DNA Nilam

Isolasi DNA nilam menggunakan protokol isolasi DNA yang

dikembangkan oleh Khanuja et al. (1999) dengan langkah – langkah sebagai

berikut;

Daun nilam (0,2 g) yang sudah dibekukan pada -20 ºC, digerus secara

cepat hingga halus dengan mortal dan pestle dingin. Selanjutnya material

dipindahkan pada tabung eppendorf 2 ml dan ditambahkan 500 µl buffer

pengekstrak (Lampiran 1) yang baru dibuat dengan suhu 60 ºC, dicampur sampai

homogen. Campuran diinkubasi pada 60 °C di dalam suatu waterbath selama 1

Page 28: KERAGAMAN GENETIK NILAM

28

jam, dengan sesekali digoyang – goyang, selanjutnya ditambahkan 500 µl

chloroform : isoamylalcohol (24:1) dan dicampur (divortek) sampai homogen.

Campuran yang sudah homogen disentrifuse pada 12.000 rpm selama10 menit

suhu 25–30 °C. Supernatant dipindahkan secara hati-hati ke tabung eppendorf

baru, ditambahkan 250 µl NaCl 5 M dan dicampur dengan baik (tidak divortex).

Selanjutnya ditambahkan 0.6 volume isopropanol dingin dan diinkubasi pada suhu

-20 ºC selama 1 jam. Setelah 1 jam, sampel disentrifuse pada 12.000 rpm selama

10 menit suhu 25–30 °C. Supernatant dibuang secara hati – hati, pellet dicuci

dengan 500 µl etanol 70% dan disentrifuse 3 menit pada 12.000 rpm, kemudian

etanol dibuang. Pelet yang diperoleh dicuci kembali dengan 500 µl etanol 70%,

dan disentrifuse 3 menit. Etanol dibuang, kemudian pellet dikering anginkan

selama 15 menit kemudian dilarutkan dengan 500 µl buffer TE. Pelet DNA

ditambahkan 5 µl RNase A dan inkubasi pada suhu 37 °C selama 30 menit.

Selanjutnya diekstrak dengan volume sepadan dengan chloroform : isoamyl

alkohol (24:1). Supernatan dipindahkan ke tabung eppendorf 1.5 ml dan

ditambahkan 2 volume etanol dingin. Selanjutnya disentrifuse pada 12.000 rpm

selama 10 menit pada 25–30 °C. Pelet dicuci dengan etanol 70%. Pelet

dikeringkan anginkan dan dilarutkan dalam 200 µl ddH2O.

4.5. Optimalisasi dan Amplifikasi DNA dengan PCR

Amplifikasi DNA dilakukan dengan metode William et al. (1990) dalam

Nuryani (2002). Amplifikasi DNA dengan polymerase chain reaction (PCR)

menggunakan primer acak yang disusun oleh 10 oligonukleotida (10-oligomer).

Sebelumnya dilakukan optimasi PCR. Beberapa variable seperti konsentrasi

primer, konsentrasi DNA template, konsentrasi Taq DNA Polymerase, dan suhu

Page 29: KERAGAMAN GENETIK NILAM

29

annealing yang digunakan untuk PCR dicoba untuk mendapatkan produk PCR

yang optimal. Sebanyak 7 jenis primer acak 10-mer dari Operon Technology Ltd.

USA dan University British Colombia yang dipergunakan dalam penelitian ini

yaitu OPA 04 (5’-AATCGGGCTG-3’ ), OPD 11 (5’-AGCGCCATTG-3’), OPD

14 (5’-CTTCCCCAAG-3’), OPF 11 (5’-TTGGTACCCC-3’), UBC 106 (5’-

CGTCTGCCC-3’), UBC 127 (5’-ATCTGGCAGC-3’) dan UBC 250 (5’-

CGACAGTCCC-3’).

PCR dilakukan pada total volume 20 µl campuran yang mengandung 12 µl

master mix (terdiri dari 2 µl dNTPmix yang mengandung dATP, dTTP, dGTP,

dan dCTP; 2 µl Taq buffer polymerase; 1,5 µl MgCl2; 0,5 µl Taq polymerase;

0,5 µl gliserol; 5,8 µl ddH2O), 6 µl primer dan 2 µl DNA.

Reaksi PCR dilakukan sebanyak 35 siklus. Pemanasan pertama pada suhu

940C selama 5 menit, diikuti oleh 35 siklus yang terdiri atas denaturasi 1 menit

pada suhu 940C, annealing 3 menit pada suhu 350C, dan 2 menit ekstensi pada

suhu 720C. Setelah 35 siklus selesai, kemudian diikuti 7 menit pada suhu 720C

dan pendinginan selama 30 menit.

Hasil amplifikasi dievaluasi secara elektroforesis menggunakan Mupid

Mini Cell pada gel agarosa 2,0% dalam buffer TAE (Tris-Asetat EDTA) selama

50 menit pada 100 V. Kemudian direndam dalam larutan ethidium bromida

dengan konsentrasi akhir 15 µl/100 ml selama 10 menit. Hasil pemisahan fragmen

DNA dideteksi dengan UV transluminator, kemudian difoto dengan kamera

digital. Sebagai standar digunakan 1 kb DNA ladder (Fermentas) untuk

menetapkan ukuran pita hasil amplifikasi DNA. Pita hasil amplifikasi kemudian

dicatat dan diberi kode.

Page 30: KERAGAMAN GENETIK NILAM

30

4.6. Analisis Data

Setiap pita RAPD berhubungan dengan lokus yang mengandung alel

tertentu. Pita hasil amplifikasi pada posisi yang sama pada laju elektroforesis

yang sama untuk setiap tanaman nilam dianggap sebagai satu lokus homolog.

Lokus tersebut diubah ke dalam data biner. Hanya lokus yang menunjukkan pita

yang jelas yang diberi kode yaitu: ada (A) dan tidak ada (T). Matriks band RAPD

ini digunakan untuk analisis pengelompokan dengan metode Unweighted Pair

Group Methods Arithmatic Average (UPGMA) menggunakan software MEGA 5-

01.

Ukuran pita DNA tentukan berdasarkan standar ladder dengan

menggunakan kertas grafik semi logaritma. Jarak pita diukur dari pertengahan

sumur sampai pertengahan pita.

Tingkat keinformatifan primer ditentukan dengan penghitungan

Polymorphic Information Content (PIC) (Weir. 1990). PIC dihitung dengan

rumus;

n PIC = 1-Σ Pij2

j=1 Dimana Pij adalah frekuensi pola j yang dihasilkan oleh primer i yang kemudian

dijumlahkan untuk keseluruhan pola – pola yang dihasilkan primer.

Page 31: KERAGAMAN GENETIK NILAM

31

V. HASIL PENELITIAN

5.1. Karakteristik Morfologi Tanaman Nilam

Hasil pengamatan dan pengukuran terhadap beberapa karakteristik

morfologi tanaman nilam yang dibudidayakan di beberapa daerah di Bali adalah

sebagai berikut; bentuk daun agak bulat telur dengan warna hijau sampai hijau

pucat keunguan. Tulang daun menyirip. Panjang daun bervariasi dari 5,75 - 8,25

cm pada tanaman tanpa naungan dan 9,15 - 13,70 cm pada tanaman yang

ternaungi. Sedangkan lebar daun 4,70 - 6,75 cm pada tanaman tanpa naungan dan

8,10 - 11,20 cm pada tanaman ternaungi. Disamping itu ukuran daun juga

tergantung pada tingkat kesuburan tanaman. Ujung daun nilam meruncing dengan

pangkal daun rata membulat. Tepi daun bergerigi ganda dan pada permukaan

daun terdapat bulu yang lembut. Hal ini serupa dengan karakteristik nilam Aceh.

Nilam Jawa memiliki karakteristik morfologi; bentuk daun agak membulat,

tepi daun nilam bergerigi runcing, dengan ujung daun meruncing, warna daun

hijau, tulang daun menyirip. Permukaan daun nilam Jawa kasar (Gambar 5.1)

Gambar 5.1. Bentuk daun nilam Jawa (kiri), nilam Aceh (tengah) dan nilam yang

dibudidayakan di Bali (kanan)

Page 32: KERAGAMAN GENETIK NILAM

32

Tanaman nilam berupa perdu dengan batang tanaman berbentuk persegi

dan percabangan yang lateral. Warna batang muda ungu sedangkan pada bagian

pangkal batang ungu kehijauan. Sedangkan tinggi tanaman dapat mencapai 1 m

pada umur lebih dari 6 bulan setelah tanam.

5.2. Analisis Marka RAPD

Tujuh dekamer primer dari sekuen acak digunakan pada 16 nilam dalam

suatu reaksi RAPD. Empat dari tujuh primer mengamplifikasi DNA pada semua

sample. Hasil amplifikasi dari tiga primer (OPF11, UBC 106, dan UBC127) tidak

konsisten dalam mengamplifikasi DNA. Primer OPF11 menghasilkan produk

amplifikasi hanya pada salah satu sampel DNA sedangkan UBC 106 dan UBC

127 tidak menghasilkan produk amplifikasi. Ketiga primer ini tidak diikutkan

dalam analisis selanjutnya untuk mencegah kesalahan penentuan polimorfisme

yang disebabkan oleh kegagalan reaksi PCR.

Pada penelitian ini, dari empat primer (OPA 04, OPD 11, OPD 14 dan

UBC 250) dihasilkan 262 produk amplifikasi yang berbeda. Masing – masing

primer menghasilkan 44 sampai 114 fragmen DNA. Dari empat primer tersebut

menghasilkan 4 sampai 8 pola pita dengan ukuran 100 - 2375 bp (base pair).

Jumlah fragmen DNA dari masing-masing nilam dan tingkat keinformatifan dari

masing-masing primer disajikan pada Tabel 5.1.

Amplifikasi primer OPA 04 pada 16 nilam yang diuji menghasilkan 6

pola pita dengan 57 fragmen DNA yang berukuran 100 – 750 bp. Empat puluh

satu pita (71,9 %) adalah polimorfik (Gambar 5.2). Tingkat keinformatifan dari

primer ini sebesar 0,69.

Page 33: KERAGAMAN GENETIK NILAM

33

Tabel 5.1. Jumlah fragmen DNA dari masing-masing nilam dan tingkat keinformatifan dari

masing-masing primer

Primer Kisaran ukuran

pita (bp)

Jumlah pola pita

Jumlah pita polimorphik

Jumlah total produk

amplifikasi

Persentase polimorphik

PIC

OPA 04 100 - 750 6 41 57 71,9 0,69 OPD 11 100 - 958 5 35 51 68,6 0,76 OPD 14 225 - 2375 8 82 114 71,9 0,87 UBC 250 350 - 893 4 28 44 63,6 0,68

Gambar 5.2. Gambar elektroforesis hasil amplifikasi dengan primer OPA 04 (lajur

paling kiri adalah ladder DNA 1 kb; angka secara berurutan adalah nilam Lhokseumawe, Tapak Tuan, Sidikalang, Jawa, Lemukih, Wanagiri, Pupuan,

Belok, Mekar Sari, Nungnung, Plaga, Sidan, Mengwi, Lukluk, Abiansemal dan Jegu)

Amplifikasi primer OPD 11 pada 16 nilam yang diuji menghasilkan 5

pola pita dengan 51 fragmen DNA yang berukuran 100 – 958 bp. Tiga puluh lima

pita (68,6 %) adalah polimorfik (Gambar 5.3). Tingkat keinformatifan primer ini

sebesar 0,76.

L 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

bp 1500 1000 750 500 250

Page 34: KERAGAMAN GENETIK NILAM

34

Gambar 5.3. Gambar elektroforesis hasil amplifikasi dengan primer OPD 11 (lajur

paling kiri adalah ladder DNA 1 kb; angka secara berurutan adalah nilam Lhokseumawe, Tapak Tuan, Sidikalang, Jawa, Lemukih, Wanagiri, Pupuan,

Belok, Mekar Sari, Nungnung, Plaga, Sidan, Mengwi, Lukluk, Abiansemal dan Jegu)

Amplifikasi primer OPD 14 pada 16 nilam yang diuji menghasilkan 8 pola

pita dengan 114 fragmen DNA yang berukuran 225 – 2375 bp . Delapan puluh

dua pita (71,9 %) adalah polimorfik (Gambar 5.4). Tingkat keinformatifan primer

ini sebesar 0,87.

Amplifikasi primer UBC 250 pada 16 nilam yang diuji menghasilkan 4

pola pita dengan 44 fragmen DNA yang berukuran 350 – 893 bp. Dua puluh

delapan pita (63,6 %) adalah polimorfik (Gambar 5.5). Tingkat keinformatifan

primer ini sebesar 0,68.

L 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 bp 2000 1500 1000 750 500 250

Page 35: KERAGAMAN GENETIK NILAM

35

Gambar 5.4. Gambar elektroforesis hasil amplifikasi dengan primer OPD 14 (lajur paling kiri adalah ladder DNA 1 kb; angka secara berurutan adalah nilam Lhokseumawe,

Tapak Tuan, Sidikalang, Jawa, Lemukih, Wanagiri, Pupuan, Belok, Mekar Sari, Nungnung, Plaga, Sidan, Mengwi, Lukluk, Abiansemal dan Jegu)

Gambar 5.5. Gambar elektroforesis hasil amplifikasi dengan primer UBC 250 (lajur paling kiri

adalah ladder DNA 1 kb; angka secara berurutan adalah nilam Lhokseumawe, Tapak Tuan, Sidikalang, Jawa, Lemukih, Wanagiri, Pupuan, Belok, Mekar Sari,

Nungnung, Plaga, Sidan, Mengwi, Lukluk, Abiansemal dan Jegu)

L 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

L 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

bp 2000 1500 1000 750 500 250

bp 2000 1500 1000 750 500 250

Page 36: KERAGAMAN GENETIK NILAM

36

5.2. Analisis Filogeni Nilam

Berdasarkan profil pita DNA hasil amplifikasi dengan menggunakan 4

primer, ditentukan matrik kesamaan untuk menentukan kesamaan hubungan

genetik antar individu dalam 16 sample nilam. Hasil analisis pengelompokan

dengan UPGMA menggunakan program MEGA 5. 01, menunjukkan bahwa 16

nilam yang dianalisis terbagi menjadi 6 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari

nilam Tapak Tuan, nilam Lemukih, nilam Plaga dan nilam Lhokseumawe.

Kelompok kedua merupakan nilam Pupuan, nilam Nungnung, nilam Mekar Sari,

nilam Mengwi. Kelompok ketiga adalah nilam Sidan dan nilam Abiansemal.

Kelompok keempat adalah nilam Sidikalang, nilam Wanagiri dan nilam Jegu.

Kelompok kelima terdiri dari nilam Belok dan Lukluk. Kelima kelompok ini

merupakan nilam Aceh dengan jarak genetik lebih kecil dari 0,3. Sedangkan

kelompok keenam adalah nilam Jawa.

Secara molekuler semua nilam yang dibudidayakan di Bali merupakan

nilam Aceh. Ditinjau dari jarak genetik; dua nilam (nilam Lemukih dan nilam

Plaga) memiliki jarak genetik 0,087 dengan nilam Tapak Tuan dan nilam

Lhokseumawe. Enam nilam (nilam Pupuan, nilam Nungnung, nilam Mekar Sari,

nilam Mengwi, nilam Sidan dan nilam Abiansemal) lebih mirip dengan Nilam

Lhokseumawe dengan jarak genetik 0,087- 0,130, dibandingkan dengan nilam

Tapak Tuan (jarak genetik 0,174 – 0,304) dan Sidikalang (jarak genetik 0.174 -

0,261). Dua nilam (nilam Wanagiri dan nilam Jegu) memiliki kemiripan dengan

nilam Sidikalang dengan jarak genetik 0,130 dan dua nilam (nilam Belok dan

Lukluk) diluar nilam Sidikalang, Tapak Tuan dan Lhokseumawe dengan jarak

genetik 0,174 (Lampiran 2)

Page 37: KERAGAMAN GENETIK NILAM

37

Nilai bootstrap pada 500 replikasi untuk mengetahui tingkat sibling

pengelompokan ditunjukkan pada Gambar 5.6. Nilam Lemukih sibling 58%

dengan nilam Plaga tetapi keduanya sibling 21% dengan nilam Tapak Tuan.

Nilam Wanagiri dan nilam Jegu sibling 30 % dengan nilam Sidikalang. Nilam

Belok sibling 50 % dengan nilam Lukluk, nilam Pupuan sibling 23 % dengan

nilam Nungnung. Nilam Mekarsari sibling 34 % dengan nilam Mengwi

sedangkan nilam Sidan sibling 44 % dengan nilam Abiansemal.

Gambar 5.6. Dendrogram filogeni nilam Lhokseumawe, Tapak Tuan, Sidikalang, Jawa dan

nilam yang dibudidayakan di Bali. Angka pada percabangan menunjukkan nilai bootstrap sedangkan angka dibawah menunjukkan panjang cabang

nilam Lemukih

nilam Plaga

nilam Tapak Tuan

nilam Lhokseumawe

nilam Pupuan

nilam Nungnung

nilam Mekar Sari

nilam Mengwi

nilam Sidan

nilam Abiansemal

nilam Sidikalang

nilam Wanagiri

nilam Jegu

nilam Belok

nilam Lukluk

nilam Jawa

58

50

44

34

23

21

11

6

5

10

34

3033

0.000.020.040.060.080.100.120.140.160.180.200.220.24

Page 38: KERAGAMAN GENETIK NILAM

38

VI. PEMBAHASAN

6.1. Karakteristik Morfologi Nilam

Morfologi tanaman merupakan salah satu alat penanda genetik yang dapat

dipakai untuk mengidentifikasi tanaman. Morfologi tanaman dipengaruhi oleh

faktor genetik dan faktor lingkungan. Beberapa karakter morfologi tanaman yang

dapat dipakai untuk mengidentifikasi tanaman adalah; ukuran, bentuk dan warna

dari daun, batang maupun bunga.

Tanaman nilam yang dibudidayakan di Bali memiliki rentang ukuran daun

yang cukup luas dibandingkan dengan ukuran daun nilam menurut Nuryani

(2006b) (panjang daun 5,95 - 7,52 cm dan lebar 4,88 - 6,39). Hal ini sangat

dipengaruhi oleh kesuburan tanah dan tingkat naungan pada tanaman nilam.

Tanaman nilam yang tumbuh ditempat subur atau dibudidayakan dengan

pemupukan yang cukup menunjukkan daun dengan ukuran yang lebih lebar dan

lebih panjang. Tanaman yang tumbuh pada tanah subur menyebabkan

ketersediaan unsur hara mencukupi untuk pertumbuhan tanaman yang optimal

sehingga ukuran fisik tanaman menjadi lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa

ukuran daun sangat dipengaruhi oleh lingkungan sehingga kurang baik dijadikan

penanda genetik, dibandingkan dengan menggunakan bentuk daun.

Keanekaragaman fenotip sangat berhubungan dengan perbedaan lokasi

tempat tumbuhnya (populasi) khususnya ketinggian tempat tumbuh. Hal

tersebut berhubungan dengan kebutuhan sinar matahari dan kelembaban yang

sesuai oleh tanaman nilam sehingga sifat genetik nilam akan muncul secara

lebih baik dibandingkan populasi lainnya. Menurut Welsh dan Mogea (1991)

Page 39: KERAGAMAN GENETIK NILAM

39

intensitas radiasi matahari, kelembaban, zat hara yang diperoleh akan

berinteraksi dengan sifat genotip sehingga keadaan lingkungan yang sesuai

akan memperbaiki kualitas tanaman secara genetik dan berpengaruh terhadap

fenotip suatu tanaman.

Karakteristik morfologi (bentuk daun, permukaan daun, tulang daun

warna daun dan bentuk batang) nilam yang dibudidayakan di Bali serupa

dengan karakteristik morfologi nilam Aceh yang dideskripsikan oleh Nuryani

(2006b), tetapi agak sulit membedakan varietasnya. Menurut Nuryani (2006b)

bentuk daun nilam Aceh agak membulat, ujung daun meruncing dengan pangkal

daun rata membulat, tepi daun bergerigi ganda dan pada permukaan daun terdapat

bulu yang lembut. Sedangknan nilam Jawa memiliki bentuk daun agak membulat,

tepi daun nilam bergerigi runcing, dengan ujung daun meruncing. Warna daun hijau

dengan permukaan daun kasar. Secara morfologi daun, tidak ada nilam yang

diuji memiliki karakteristik morfologi seperti nilam Jawa.

Penanda morfologi mudah dilihat oleh mata, contohnya adalah warna,

ukuran atau bentuk organ tertentu. Walaupun mudah dan masih dipakai, penanda

morfologi dapat termodifikasi oleh pengaruh lingkungan sehingga dianggap tidak

stabil (Pandin, 2009). Selain itu, penanda morfologi jumlahnya sangat terbatas

dan untuk mengamatinya harus menunggu hingga sifat penanda itu muncul.

6.2. Analisis RAPD Nilam

Asam deoksiribonukleat (DNA) genom dari daun nilam telah berhasil

diisolasi. Isolasi DNA dari sample merupakan langkah awal semua jenis

pengujian dengan menggunakan penanda molekuler. Menurut Sanjaya dkk.,

(2002) penanda molekuler seperti marka DNA merupakan alat yang sesuai untuk

Page 40: KERAGAMAN GENETIK NILAM

40

menentukan jarak genetik, karena marka yang polimorfik dapat diperoleh lebih

cepat dan lebih banyak dari pada penanda morfologi.

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) adalah suatu sistem

deteksi molekuler yang berbasis PCR, salah satu teknik molekuler untuk

mendeteksi keragaman DNA didasarkan pada penggandaan DNA. RAPD

merupakan penanda DNA yang memanfaatkan primer acak oligonukleotida

pendek (dekamer) untuk mengamplifikasi DNA genom organisme (Bardakci,

2001; Sharma et al. 2008).

Amplifikasi DNA tergantung dari kecocokan primer dengan sekuen DNA

nilam. Primer yang tidak sesuai dengan sekuen DNA nilam tidak menghasilkan

produk amplifikasi. Hal ini disebabkan karena tidak terdapat situs yang

komplementer pada DNA nilam dengan sekuen primer tersebut.

Menurut Yuwono (2006) primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan

teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau

sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi. Disamping ditentukan

oleh ada tidaknya situs penempelan primer, keberhasilan teknik ini ditentukan

juga oleh kemurnian dan keutuhan DNA cetakan (Bardakci, 2001). Menurut

Caetano-Anollés (2004) untuk beberapa genom, kemurnian dari sample DNA

tidak mempengaruhi reaksi amplifikasi. Konsentrasi DNA genom merupakan

faktor terpenting dalam reaksi amplifikasi. Konsentrasi DNA yang terlalu tinggi

dapat meningkatkan kontaminan yang mengganggu reaksi amplifikasi (Chen,

2000). Faktor lain yang menentukan keberhasilan reaksi PCR adalah kecocokan

primer dalam membentuk ikatan komplementer dengan DNA sampel (Caetano-

Anollés, 2004).

Page 41: KERAGAMAN GENETIK NILAM

41

Primer yang sesuai dapat membedakan antara nilam Jawa dan nilam Aceh.

Hal ini sejalan dengan hasil amplifikasi primer UBC 250 yang menghasilkan pita

DNA unik dengan ukuran sekitar 400 bp yang hanya muncul pada nilam Jawa.

Menurut Roberts (1993) primer RAPD biasanya mampu mengamplifikasi DNA

dengan ukuran 100 bp sampai 3000 bp tergantung DNA genom dan primer.

Tingkat keinformatifan dari primer (PIC) berkisar dari 0,68 – 0,87 yang

artinya primer tersebut dapat mendeteksi polymorphisme dalam suatu populasi

sebesar 68 – 87%. Semakin besar nilai PIC suatu primer maka primer tersebut

semakin baik untuk dipakai sebagai penanda molekuler. PIC mengacu pada nilai

suatu penanda untuk mendeteksi polymorphisme di dalam suatu populasi. PIC

tergantung pada banyaknya dapat ditemukan allel dan distribusi dari frekwensinya

(Anderson et al. (1993).

6.3. Analisis Filogeni Nilam

Analisis filogeni menunjukkan bahwa dengan primer OPA 04, OPD 11,

OPD 14 dan UBC 250, nilam yang dibudidayakan di beberapa daerah di Bali

dapat dikelompokan. Nilam yang dibudidayakan di daerah Pupuan, Nungnung,

Mekar Sari dan Mengwi berada dalam satu kelompok dengan jarak genetik 0,043

– 0,130. Sedangkan nilam Sidan dan Abiansemal yang berada dalam satu

kelompok memiliki jarak genetik 0.087. Kedua kelompok tersebut lebih mirip

dengan nilam Lhokseumawe (jarak genetik 0,087- 0,130), dibandingkan dengan

nilam Tapak Tuan (jarak genetik 0,174 – 0,304) dan Sidikalang (jarak genetik

0.174 - 0,261). Namun secara filogeni tanaman nilam tersebut berada diluar

kelompok Lhokseumawe. Nilam di daerah Lemukih dan daerah Plaga berada

dalam satu kelompok serta memiliki jarak genetik 0,087 dengan nilam Tapak

Page 42: KERAGAMAN GENETIK NILAM

42

Tuan dan Lhokseumawe. Nilam yang dibudidayakan di Wanagiri dan di Jegu

memiliki kemiripan dengan nilam Sidikalang dengan jarak genetik 0,130. Nilam

yang dibudidayakan di daerah Belok mirip dengan nilam yang dibudidayakan di

daerah Lukluk dengan jarak genetik 0,174. Kedua nilam ini memiliki jarak

genetik 0,217 – 0,304 dengan nilam Lhokseumawe, Sidikalang dan Tapak Tuan.

Dari Gambar 5.6 terlihat bahwa nilai bootstrap dari pengelompokan nilam

yang diuji relatif rendah. Hal ini disebabkan karena primer yang dipergunakan

terbatas. Untuk mendapatkan hasil pengelompokan yang lebih baik dengan nilai

bootstrap yang tinggi perlu dilakukan pengujian dengan menggunakan primer

yang lebih banyak. Menurut Holmes (2005) makin tinggi nilai bootstrap makin

baik.

Secara molekuler nilam yang dibudidayakan di Bali memiliki kemiripan

dengan nilam Aceh dengan jarak genetik dari 0,087 - 0,304 dibandingkan jarak

genetik dengan nilam Jawa sebesar 0,652. Rentang jarak genetik menunjukan

keragaman genetik tanaman nilam yang diuji. Menurut Hasan et al. (2009)

rentang jarak genetik yang tinggi dari sampel mengindikasikan tingginya

keragaman antar individu dalam suatu wilayah.

Cabang pada pohon filogeni mewakili hubungan antar unit yang

menggambarkan hubungan keturunan dengan leluhur, sedangkan panjang cabang

menggambarkan jumlah perubahan evolusioner yang terjadi antara dua nodus (Li

dan Graur, 1991).

Adanya keragaman genetik nilam yang dibudidayakan di beberapa

wilayah di Bali mencerminkan sumber bibit yang ditanam tidak berasal dari induk

yang sama. Keragaman genetik nilam antar wilayah dengan ketinggian berbeda

Page 43: KERAGAMAN GENETIK NILAM

43

tidak konsisten. Hal ini menjelaskan bahwa keragaman tersebut tidak disebabkan

oleh perbedaan tempat pembudidayaan di Bali, tetapi lebih disebabkan karena

perbedaan sumber bibit atau varietas. Hal ini sesuai dengan informasi dari

sejumlah petani dan pedagang bibit nilam yang ada di Bali, dimana nilam yang

dibudidayakan di daerah Pupuan, Nungnung, Mekar Sari dan Mengwi sumber

bibitnya berasal dari daerah Jogjakarta. Demikian juga dengan nilam Sidan dan

Abiansemal. Nilam di daerah Lemukih, daerah Plaga, Wanagiri dan Jegu berasal

dari Bogor. Nilam yang dibudidayakan di daerah Belok dan Lukluk berasal dari

Jawa Timur.

Keragaman genetik nilam ini bisa timbul karena adanya mutasi alami akibat

cekaman lingkungan dari tempat asal bibit nilam tersebut. Keragaman genetik

tanaman nilam berpengaruh terhadap beragamnya produktivitas tanaman nilam

dalam menghasilkan minyak atsiri. Menurut Nuryani (2006a) Tapak Tuan unggul

dalam produksi dan kadar patchouli alkohol. Lhokseumawe kadar minyaknya tinggi

sedangkan Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda.

Keragaman genetik dapat terjadi karena mutasi dan persilangan. Mutasi

pada tanaman dapat terjadi secara spontan di alam (spontaneous mutation) dan

dapat juga terjadi melalui induksi (induced mutation). Tanaman nilam Aceh

umumnya diperbanyak secara vegetatif, sehingga keragaman genetiknya hanya

mengandalkan adanya mutasi alam.

Mutasi alami terjadi secara lambat. Faktor luar yang secara alami

merangsang terjadinya mutasi adalah sinar-sinar kosmis dari luar angkasa, sinar

radioaktif yang terdapat di alam, dan sinar ultraviolet. Mutasi juga bisa terjadi

kerena suhu yang tinggi, adanya mutagen berupa senyawa-senyawa alkil yang

Page 44: KERAGAMAN GENETIK NILAM

44

terdapat pada pestisida, defisiensi unsur hara ataupun karena bahan biologi

seperti virus (Amato, 1977).

Materi genetik (DNA) tidak semuanya berada di dalam inti sel (nucleus).

Hal tersebut terbukti dengan dijumpai bahwa beberapa sifat tanaman diturunkan

dengan tidak menuruti pola hukum Mendel. Penyimpangan ini terjadi karena

penurunan sifat juga dikontrol oleh gen-gen yang berada di luar inti sel atau

sitoplasma, dan penurunan sifat model ini dikenal dengan istilah extranuclear

inheritance. Kloroplas dan mitokondria merupakan organel diluar inti sel yang

mengandung materi genetik (gen atau DNA) yang juga dapat termutasi (Bayu,

2005).

Mutasi pada gen kloroplas dapat menyebabkan terganggunya proses

fotosintesis pada daun. Dampak mutasi gen kloroplas sering diekspresikan

dengan munculnya perubahan warna pada daun tanaman. Mutasi di luar inti sel

sering pula menimbulkan gejala pertumbuhan kerdil, berubahan morfologi bunga

dan penyimpangan morfologi lainnya, dan ketahanan terhadap herbisida, yang

biasanya disandikan oleh gen mitokondria (Bayu, 2005).

Seleksi alami pada awalnya bekerja pada level fenotipe, yang akhirnya

mempengaruhi sifat-sifat yang diekspresikan. Organisme akan berusaha

menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Organisma ini akan lebih mampu

bertahan hidup dalam jangka lama dan akan berkembang biak lebih banyak dan

meneruskan gen-gennya lebih banyak pula ke generasi berikutnya (Elrod dan

Stansfield, 2007).

Keragaman genetik tanaman sangat penting dalam hal pemuliaan tanaman

dan keberlangsungan hidup tanaman. Tanaman dengan keragaman yang tinggi

Page 45: KERAGAMAN GENETIK NILAM

45

akan memungkinkan untuk didapatkannya tanaman unggul melalui seleksi klon

maupun melalui perbaikan genetik.

Menurut Hutami, dkk. (2006) keragaman genetik yang tinggi merupakan salah

satu faktor penting untuk merakit varietas unggul baru. Peningkatan keragaman genetik

dapat dilakukan dengan memanfaatkan plasma nutfah yang tersedia di alam dan dapat

pula melalui persilangan. Usaha perbaikan genetik tanaman nilam memerlukan adanya

plasma nutfah dengan keragaman genetik yang luas (Martono, 2009).

Informasi hubungan genetik antara individu di dalam dan di antara spesies

mempunyai kegunaan penting bagi perbaikan tanaman. Dalam pemuliaan tanaman

pendugaan hubungan genetik sangat berguna untuk mengelola plasma nutfah,

identifikasi kultivar, membantu seleksi tetua persilangan serta mengurangi jumlah

individu yang dibutuhkan untuk mengambil sampel dengan kisaran keragaman

yang luas (Julisaniah dkk., 2008).

Nilam Aceh pada umumnya tidak berbunga sehingga peningkatan

keragaman genetik tanaman nilam melalui hibridisasi seksual sulit dilakukan,

Salah satu teknologi pilihan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keragaman

genetik tanaman adalah melalui teknologi kultur invitro. Regenerasi tanaman kultur sel

(somaklonal) dapat berasal dari kalus (calliclones) atau dari protoplas (protoclones).

Keragaman somaklonal disebabkan karena adanya sel-sel bermutasi maupun adanya

polisomik dari jaringan tertentu. Keragaman tersebut dapat ditingkatkan dengan

pemberian mutagen baik fisik maupun kimiawi (Hutami dkk. 2006). Menurut Martono

(2009) keragaman hibrida somatik dapat merupakan hasil dari sub kultur kalus yang

dilakukan terus menerus yang mengakibatkan suatu variasi somaklonal; ketidak stabilan

dari kombinasi inti sel yang mengakibatkan hilangnya ekspresi gen atau hilangnya

Page 46: KERAGAMAN GENETIK NILAM

46

bagian dari informasi genetik; dan adanya segregasi dari sitoplasma atau inti setelah fusi

sehingga menghasilkan suatu kombinasi yang unik antara informasi genetik pada

sitoplasma dan inti.

Page 47: KERAGAMAN GENETIK NILAM

47

VII. SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

Dari Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa;

1. DNA nilam dapat diamplifikasi dalam reaksi RAPD dengan primer OPA

04, OPD 11, OPD 14 dan UBC 250.

2. Nilam yang dibudidayakan di beberapa wilayah di Bali secara molekuler

beragam dengan jarak genetik 0,08 - 0,34 dan memiliki hubungan

kekerabatan dengan varietas nilam Aceh.

3. Nilam di daerah Lemukih dan Plaga berada dalam satu kelompok dengan

nilam Aceh varietas Tapak Tuan dan varietas Lhokseumawe. Nilam

Pupuan, nilam Nungnung, nilam Mekar Sari dan nilam Mengwi berada

dalam satu kelompok. Nilam Sidan satu kelompok dengan nilam

Abiansemal. Nilam di Wanagiri dan Jegu satu kelompok dengan nilam

Aceh varietas Sidikalang. Nilam di daerah Belok satu kelompok dengan

nilam di daerah Lukluk.

7.2. Saran

1. Perlu dilakukan pengujian molekuler dengan menggunakan primer yang

lebih banyak agar diperoleh hasil pengelompokan yang lebih baik.

2. Untuk meningkatkan keragaman genetik nilam yang ada di Bali perlu

dilakukan upaya hibridisasi somatik dengan menggunakan plasma nutfah

nilam yang sudah adaptif dengan lingkungan Bali.

Page 48: KERAGAMAN GENETIK NILAM

48

DAFTAR PUSTAKA Amato, F. D. 1977. Other Causes of Mutations. in Manual on Mutation Breeding

2nd. International Atomic Energy Agency. Vienna. Anderson JA, Churchill GA, Autrique JE, Tanksley SD, Sorrells ME 1993.

Optimizing parental selection for genetic linkage maps. Genome, 36: 181-186

Armando, R. 2009. Memproduksi Minyak Atsiri Berkualitas. Jakarta: Penebar

Swadaya. Bayu, E. S. 2005. Pewarisan Bahan Genetik di Luar Nukleus. e-USU Repository

Universitas Sumatra Utara Bardakci, F. 2001. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Markers. Turk.

J. Biol. 25:185-196 Bunrathep, S., G. B. Lockwood, T. Songsak and N. Ruangrungsi. 2006. Chemical

Constituents from Leaves and Cell Cultures of Pogostemon cablin and Use of Precursor feeding to Improve Patchouli Alkohol Level. Science Asia. 32: 293-296

Caetano-Anollés, G., 2004. DNA Amplification Fingerprinting. A forum for DNA

marker methodologies: University of Illinois at Urbana- Champaign. Chen, H.A., 2000. PCR [online]. Chen's own protocols: Chen’s protocol list:

PCR. http://users. breathe.com/hachen/protocols/PCR.html. Elrod, S. dan W. Stansfield. 2007. Genetika. (Damaring Tyas W. Pentj). Jakarta:

Erlangga. Demeke, T. and R. P. adams. 1994. The Use of PCR-RAPD Analysis in Plant

Taxonomy and Evolution. In : Griffin, H. G. and A. M. Griffin. Eds. PCR Technology: Current Innovations. Boca Raton. CRC Press : 179-191

Hasan, S. M., M. Shafie, B. Shafie and R. M. Shah. 2009. Analysis of Random

Amplified Polymorphic DNA (RAPD) of Artemisia capillaries in East Coast of Peninsular Malaysia. World Applied Science Journal 6 (7): 976-986

Hutami, S., I. Mariska, dan Y. Supriati. 2005. Peningkatan Keragaman Genetik

Tanaman melalui Keragaman Somaklonal. Jurnal AgroBiogen. 2(2):81-88 Holems, S. 2005. Bootstrapping Phylogenetic Trees: Theory and Methods.

Stanford-USA.

Page 49: KERAGAMAN GENETIK NILAM

49

Indrawan, M., R. B. Primack dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia. Jones, C.J., K.J. Edwards, S. Castagiole, M.O. Winfield, F. Sala, C. van del Wiel,

G. Bredemeijer, B. Vosman, M. Matthes, A. Daly, R. Brettsshneider, P. Bettini, M, Buiatti, E. Maestri, A. Malcevschi, N. Marmiroli, R. Aert, G. Volckaert, J. Rueda, R. Linacero, A. Vasquez and A. Karp. 1997. A Reproducibility Testing of RAPD, AFLP and SSR Markers in Plants by a Network of European laboratories. Molecular Breeding. 3 (5): 382-390.

Julisaniah, N. I., L. Sulistyowati, dan A. N. Sugiharto. 2008. Analisis kekerabatan

Mentimun (Cucumis sativus L.) Menggunakan Metode RAPD-PCR dan Isozim. Biodiversitas. 9 (2): 99-102

Karsinah, Sudarsono, L. Setyobudi dan H. Aswidinnoor. 2002. Keragaman

Genetik Plasma Nutfah Jeruk Berdasarkan Analisis Penanda RAPD. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 7 (1): 8-16

Khanuja, S. P.S., A. K. Shasany, M.P. Darokar and S. Kumar. 1999. Rapid

Isolation of DNA from Dry and Fresh Samples of Plants Producing Large Amounts of Secondary Metabolites and Essential Oils. Plant Molecular Biology Reporter 17: 1–7

Li, W. and D. Graur. 1991. Fudamental of Moluculer Evolution. Sinauer

Associates Inc. Sunderland. Lynch, M. and B.G. Milligan. 1994. Analysis of Population Genetic Structure

with RAPD Markers. Moleculer Ecology. 3:91-99. Mangun, H. M. S. 2002. Nilam. Jakarta: Penebar Swadaya. Martono, B. 2009. Keragaman Genetik, Heritabilitas dan Korelasi antar Karakter

Kuantitatif Nilam (Pogostemon sp.) Hasil Fusi Protoplas. Jurnal Littri. 15 (1): 9-14

Mauludi, L. dan A. Asman. 2005. Profil Investasi Pengusahaan Nilam. Bogor:

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

Nei, M. and W. Li. 1979. Mathematical Model for Studying Genetik Variation in

Terms of Restriction Endonucleases. Procedeeng of National Academic of Science, USA. 76:5269-5273.

Nuryani, Y., O. Rostiana dan C. Syukur. 2002. Penetapan Keragaman Genetik

Nilam (Pogostemon sp.) Hasil Fusi Protoplas dengan Teknik RAPD. Jurnal Littri. 8(2) ; 39-44

Page 50: KERAGAMAN GENETIK NILAM

50

Nuryani, Y., Hobir dan C. Syukur. 2003. Status Pemuliaan Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth.). Perkembangan Teknologi TRO. 15(2):57-66

Nuryani, Y. 2006a. Budidaya Tanaman Nilam (Pogostemon Cablin Benth).

Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

Nuryani. Y. 2006b. Karakteristik Empat Aksesi Nilam. Buletin Plasma Nutfah. 12

(2): 45-49 Padmalatha, K. and M. N. V. Prasad. 2006. Optimization of DNA Isolation and

PCR Protocol for RAPD Analysis of Selected Medicinal and Aromatic Plant of Conservation Concern from Peninsular India. African Journal of Biotechnology. 5 (3): 230-234

Pandin, D. S. 2009. Keragaman Genetik Kultivar Kelapa Dalam Mapanget

(DMT) dan Dalam Tenga (DTA) Berdasarkan Penanda Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Buletin Palma. 36: 17-27

Pharmawati, M. 2009. Optimalisasi Ekstraksi DNA dan PCR-RAPD pada

Grevillea spp. (Proteaceae). Jurnal Biologi. 13 (1): 12-16 Robert, K. 1993. Using Random Amplified polymorphic DNA (RAPD) analysis to

Examine Phylogenetic Distance Among Different Plant Species. Prince George Community College.

Sanjaya, L., G. A. Wattimena, E. Guharja, M. Yusup, H. Aswindinoor dan P.

Stam. 2002. Keragaman Ketahanan Aksesi Capsicum terhadap Antraknose (Colletotrichum capsici) berdasarkan Penanda RAPD. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 7 (2): 37-42

Sharma, A., A. G. Namdeo and K.R.Mahadik. 2008. Molecular Markers: New

Prospects in Plant Genome Analysis. Pharmacognosy Reviews 2 (3): 23-31.

Suryanto, D. 2003. Melihat Keanekaragaman Organisme Melalui Beberapa

Teknik Genetika Molekuler. USU digital library Tao, J., Zhi-yong Luo, C. I. Msangi, Xiao-shun Shu, L. Wen, Shui-ping Liu,

Chang-quan Zhou, Rui-xin Liu and Wei-xin Hu. 2009. Relatiomship Among Genetic Makeup, Active Ingredient Content and Place of Origin of the Medicinal Plant Gastrodia Tuber. Biochem Genet. 47:8-18

Untung, O. 2009. Minyak Atsiri. Jakarta: Penebar Swadaya. Weir, B. S. 1990. Genetic Data Analysis: Methods for Discrete Genetic Data.

Sunderland Massachusetts. Sinauer Associates.

Page 51: KERAGAMAN GENETIK NILAM

51

Welsh JR, Mogea 1JP. 1991. Dasar-dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Jakarta; Erlangga.

Williams, J.G., A.R. Kubelik, K.J. Livak, J.A. Rafalsky and S.V. Tingev. 1990.

DNA Polymorphism Amplified by Arbitrary Primers are Useful as Genetic Markers. Nucleic Acid Research. 18 (22): 6531-6535.

Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta:

Andi Offset.

Page 52: KERAGAMAN GENETIK NILAM

52

Lampiran 1. Larutan Stok dan Formula Ekstrak Buffer

Pembuatan larutan stok untuk ekstraksi DNA @ 100 ml:

1. CTAB 10 %

Ditimbang 4,1 g NaCl dalam gelas piala 100 ml dilarutkan dengan aquades

dan ditambahkan 10 g CTAB kedalamnya. stirrer (bila ada yang tidak larut

panaskan maksimum 65 ºC), Ditambahkan aquades sehingga volume

larutan menjadi 100 ml.

2. Tris HCl 1 M pH 8

Ditimbang 12,11 g Trizma base dalam glass piala, larutkan dengan 80 ml

aquades, stirrer, ditambahkan 4,2 ml HCL pekat sedikit demi sedikit

sampai pH mencapai 8. Masukan dalam labu ukur 100 ml, tambahkan

aquades hingga garis tera.

3. EDTA 0,5 M pH 8

Ditimbang 18,61 g EDTA dalam gelas piala, dilarutkan dengan 75 ml

aquades, stirrer. Ditambahkan 2 g NaOH pellet sampai pH 8 (EDTA tidak

akan larut bila pH < 8), masukan dalam labu ukur 100 ml tambahkan

aquades sampai garis tera.

4. NaCl 5 M

Ditimbang 29,22 g NaCl p.a. dalam gelas piala 100 ml, larutkan dengan 80

ml aquades, stirrer. Masukkan dalam labu ukur 100 ml, tambahkan

aquades sampai tanda tera.

Semua bahan ini disterilkan dalam autoklaf, dan disimpan pada suhu

dingin (kecuali CTAB 10 %)

Page 53: KERAGAMAN GENETIK NILAM

53

Lampiran 1. (lanjutan)

Ekstrak buffer: 100 mMTris-Cl (pH 8.0); 25 mM EDTA; 1.5M NaCl; 2.5%

CTAB; 0.2% β-mercaptoethanol (v/v) dan 1% PVP (w/v). Formula lihat

Tabel

Chloroform : isoamil alcohol (24 : 1); 24 ml chloroform ditambah 1 ml isoamil

alkohol

High salt TE buffer: 1 M NaCl, 10 mM Tris-Cl (pH 8.0) and 1 mM EDTA.

Untuk membuat 50 ml larutan diperlukan; 10 ml NaCl 5 M ditambah 0,5

ml Tris-HCl 1M pH 8 dan 100 µl EDTA 0,5 M pH 8 lalu diencerkan

dengan aquades sampai volume 50 ml.

TE Buffer ; 1 ml Tris HCl 1M pH 8.0 ditambahkan 0,2 ml EDTA 0.5 M. Dibuat

total volume 100 ml dengan aquades.

Buffer TAE (Tris Acetic EDTA) 50 x

24,2 g Tris base ditambah 5,71 ml asam asetat glacial, ditambahkan 10 ml

EDTA 0,5 M pH 8, tambahkan aquadest sampai volume 100 ml

Ethidium bromide 1 %

Ditimbang 1 g Et-Br, dilarutkan dalam 100 ml aquades. Simpan pada

tempat gelap. Penggunaan 0,5 µl dalam setiap 10 ml larutan.

Loading buffer untuk DNA

Untuk 10 ml diperlukan sukrosa 4 g (40%) dan bromophenol blue 0,025 g

(0,025 %) ditambah aquades sampai volume 10 ml.

Page 54: KERAGAMAN GENETIK NILAM

54

Lampiran 1. (lanjutan) Tabel formula ekstrak buffer Larutan stok Volume akhir yang dibuat Konsentrasi

akhir 5 ml 10 ml 100 ml Tris-HCl 1M pH 8 500 µl 1000 µl 10 ml 100 mM EDTA 0,5 M pH 8 250 µl 500 µl 5 ml 25 mM NaCl 5 M 1500 µl 3000 µl 30 ml 1,5 M CTAB 10 % 1259 µl 2500 µl 25 ml 2,5 % Aqudest 1500 µl 3000 µl 30 ml β-mercaptoethanol 10 µl 20 µl 0,2 ml 0,2 % PVP 0,05 g 0,1 g 1 g 1 %