Keputusan Fatwa
-
Upload
lailatur-rahmi -
Category
Documents
-
view
212 -
download
0
Transcript of Keputusan Fatwa
Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Kepiting
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersar,
dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabl.
Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M, Setelah MENIMBANG
1. Bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi
kepiting masih dipertanyakan kehalalannya;
2. Bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan
fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi
till’.. Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.
MENGINGAT
1. Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib
(baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara
lain :
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah
[2]: 168).
°(yaitu) orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
munkar dan menghalalkan bagimereka segala yang balk dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk… “(QS. al-A’raf [7]: 157).
Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bag]imereka? ”
Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap
oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu
mengajarnya menurut apa yang telah dinjarkan Allah kepadamu, Maka,
makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas
binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah,
sesunggahnya Allah amat cepat hisab-Nya”. Maka makanlah yang halal lagi balk
dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; clan syukurilah ni’mat Allah jika
kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal
lag] balk dari apa yang Allah telah berikan kepadamu, clan bertakwalah kepada
Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut
dan makan. (yang berasal) dari taut sebagai makanan yang Iu, bagimu, dan bagi
orang-orang yang dalam pcrjukinr, hcpadunzti… ‘(OS. al-Bcrclura6i /?J: 172).
Kemudian Nabi mencritakan seorang laki-laki yai?:r melakukan peijalanan
panjang, rambutny a acak-acakar3, dan badannya berlumur debu. Sambil mene-
ngadahk,+.; tangan ke langit ia bcrdoa, ‘Ya Tuhan : ya Tuhan,.. (13erdoa dalarn
perjalanan, apalagi dengan kondisi seperr-; itu, pada umumnya dikabulkan olch
Allah–pen. ~ Sedangkan, inakanan orang itu hararn, minumanny~~ haram,
pakaiannya haram, clan la diberi makatl dengan yang haram. (Nabi memberikan
komentar), ‘Jika demikian halnva, bagaimana mtmgkin la akw; dikabulkan
doanya”… (HR. Muslim dari Abu Hurairah), “Yang halal itu sudah jelas dan
yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang
musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halas harainnya), kebanyakan
manusia tidak mengetahu2 hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara
syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya…” (HR.
Muslim).
2. Hadist Nabi : “Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)-nya” (HR. Khat-
iisa11),
3. Ka'idah Hilafiyah • Pada dasarnya hukum tentang sesuatau adalah boleh sampai
ada dalil
yang mengharamkannya
4. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI Periode 2001-2005
5. Pedoman Penetapan Fatwa MUI
Memperhatikan :
1. Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtaj ila Ma’rifah Alfadza-al-
Minhaj, (t.t : Dar’al –Fikr, t.th) juz VIII, halaman 150 tentang pengertian
“Binatang laut/air , dan halaman 151- 152 tantang binatang yang hidup dilaut
dan didaratan
2. Pendapat Syeikh Muhammad al-Kathib a;-Syarbaini dalam Mughni Al-
Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Al-Minhaj, (t.t : Dar Al-Fikr, T.th), juz IV Hal
297 tentang pengertian “binatang laut/Air “, pendapat Imam Abu Zakaria bin
Syaraf al-Nawawi dalam Minhaj Al-Thalibin, Juz IV, hal. 298 tentang
binatang laut dan didaratan serta alas an (‘illah) hokum keharamannya yang
dikemukakan oleh al-Syarbaini :
3. Pendapat Ibn al’Arabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq
dalam Fiqh al-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr, 1992), Juz lll, halaman 249
tentang “binatang yang hidup di daratan dan laut”
4. Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggot a Komisi Fatwa) dalam
makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasan yang disampaikannya
pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab 29
Mei 2002 M. / 16 Rabi’ul Awwal 1421 H.
5. Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)
dalam makalah Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scyllla spp) dan penjelasannya
tentang kepiting yang disampaikan pada Rapat Kornisi Fatwa MUI pada hari
Sabtu, 4 Rabi’ul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002 M. antara lain sebagai berikut :
1. Ada 4 (empat)jenis kepiting bakau yang sering dikonsutnsi dan menjadi
komoditas, yaitu :
1. Scylla serrata,
2. Scylla tranquebarrica,
3. Scylla olivacea, dan
4. Scylla pararnarnosain.
Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengar
“kepiting”.
2. Kepiting adalah jenis binatang air, dengal alasan :
1. Bernafas dengan insang.
2. Berhabitat di air.
3. Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air
karena memerlukan oksigen dari air.
3. Kepiting termasuk keempat,jenis di atas (lili._angka 1) hanya ada yang :
1. hidupdiair tawar saja
2. hidup di air taut saja, dan
3. hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau
berhabitat di dua alam : di laut dan di darat.
4. Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya
bagi kesehatan Manusia.
5. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika
dikemudian han term::teerdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaima:,
mestinya.
Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya,
menghimbau semua pihak untuk mcnyebarluaskan fatwa ini.
Fatwa Tentang Kopi Luwak
Ketentuan Umum:
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan kopi luwak adalah kopi yang berasal
dari biji buah kopi yang dimakan oleh luwak (paradoxorus hermaproditus)
kemudian keluar bersama kotorannya dengan syarat:
1. Biji kopi masih utuh terbungkus kulit tanduk
2. Dapat tumbuh jika ditanam kembali
Ketentuan Hukum:
1. Kopi Luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah
mutanajjis (barang terkena najis), bukan najis.
2. Kopi Luwak sebagaimna dimaksud dalam ketentuan umum adalah halal
setelah disucikan.
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa pada 20 Juli 2010. Dalam
Fatwa Nomor 07 Tahun 2010 itu, MUI menyatakan kopi luwak halal dengan
syarat: kopi yang dikeluarkan bersama kotoran itu masih utuh terbungkus kulit
tanduk dan jika ditanam kembali bisa tumbuh.
Sehingga, dalam fatwa itu pula MUI menyatakan kopi luwak yang memenuhi
syarat itu barang yang terkena najis, bukan najis. Kopi seperti itu boleh
dikonsumsi jika disucikan. Menurut MUI, memproduksi dan memperjualbelikan
kopi luwak hukumnya juga boleh.
Fatwa serupa juga pernah diuat oleh Majelis Agama Islam Negeri (MAIN)
Malaysia. Dalam fatwa itu, MAIN menyatakan kopi luwak bisa dikonsumsi
dengan syarat biji kopi –yang keluar bersama kotoran musang– dalam kondisi
baik, tidak berlubang, tidak pecah, dan dapat tumbuh jika ditanam. Dan biji kopi
itu harus disucikan sebelum dikonsumsi.
Selain itu, MAIN Malaysia juga menyatakan kopi luwak yang dihasilkan
hendaknya mendapat pengesahan halal dari MAIN sebelum dipasarkan kepada
masyaraka
Fatwa MUI Nomor 35 Tahun 2013 tentang Rekayasa Genetika dan
Produknya dikeluarkan dengan ketentuan hukum sebagai berikut:
1. Melakukan rekayasa genetika terhadap hewan, tumbuh-tumbuhan dan mikroba
(jasad renik) adalah mubah (boleh), dengan syarat:
a. dilakukan untuk kemaslahatan (bermanfaat);
b. tidak membahayakan (tidak menimbulkan mudharat), baik pada manusia
maupun lingkungan; dan
c. tidak menggunakan gen atau bagian lain yang berasal dari tubuh manusia.
2. Tumbuh-tumbuhan hasil rekayasa genetika adalah halal dan boleh digunakan,
dengan syarat:
a. bermanfaat; dan
b. tidak membahayakan.
3. Hewan hasil rekayasa genetika adalah halal, dengan syarat:
a. Hewannya termasuk dalam kategori maâkul al-lahm (jenis hewan yang ��dagingnya halal dikonsumsi);
b. bermanfaat; dan
c. tidak membahayakan.
4. Produk hasil rekayasa genetika pada produk pangan, obat-obatan, dan
kosmetika adalah halal dengan syarat:
a. bermanfaat;
b. tidak membahayakan; dan
c. sumber asal gen pada produk rekayasa genetika bukan berasal dari yang haram.
Fatwa tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan dari Komisi Keamanan
Hayati Produk Rekayasa Genetika, LPPOM MUI, Fatwa Nomor 3/Munas
VI/MUI/2000 Tentang Kloning, serta diskusi Sidang Komisi Fatwa MUI. Fatwa
ini juga didasarkan pada Al-Qur'an, hadis, dan qaidah fiqiyyah.