Keputusan Fatwa

9
Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Kepiting Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersar, dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabl. Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M, Setelah MENIMBANG 1. Bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya; 2. Bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi till’.. Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya. MENGINGAT 1. Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara lain : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah [2]: 168).

Transcript of Keputusan Fatwa

Page 1: Keputusan Fatwa

Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Kepiting

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersar,

dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan

Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabl.

Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M, Setelah MENIMBANG

 1. Bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi

kepiting masih dipertanyakan kehalalannya;

 2.  Bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan

fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi

till’.. Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.

MENGINGAT

1.    Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib

(baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara

lain :

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di

bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena

sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah

[2]: 168).

°(yaitu) orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka

dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh

mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang

munkar dan menghalalkan bagimereka segala yang balk dan mengharamkan bagi

mereka segala yang buruk… “(QS. al-A’raf [7]: 157).

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bag]imereka? ”

Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap

oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu

mengajarnya menurut apa yang telah dinjarkan Allah kepadamu, Maka,

Page 2: Keputusan Fatwa

makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas

binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah,

sesunggahnya Allah amat cepat hisab-Nya”. Maka makanlah yang halal lagi balk

dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; clan syukurilah ni’mat Allah jika

kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal

lag] balk dari apa yang Allah telah berikan kepadamu, clan bertakwalah kepada

Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut

dan makan. (yang berasal) dari taut sebagai makanan yang Iu, bagimu, dan bagi

orang-orang yang dalam pcrjukinr, hcpadunzti… ‘(OS. al-Bcrclura6i /?J: 172).

Kemudian Nabi mencritakan seorang laki-laki yai?:r melakukan peijalanan

panjang, rambutny a acak-acakar3, dan badannya berlumur debu. Sambil mene-

ngadahk,+.; tangan ke langit ia bcrdoa, ‘Ya Tuhan : ya Tuhan,.. (13erdoa dalarn

perjalanan, apalagi dengan kondisi seperr-; itu, pada umumnya dikabulkan olch

Allah–pen. ~ Sedangkan, inakanan orang itu hararn, minumanny~~ haram,

pakaiannya haram, clan la diberi makatl dengan yang haram. (Nabi memberikan

komentar), ‘Jika demikian halnva, bagaimana mtmgkin la akw; dikabulkan

doanya”… (HR. Muslim dari Abu Hurairah), “Yang halal itu sudah jelas dan

yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang

musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halas harainnya), kebanyakan

manusia tidak mengetahu2 hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara

syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya…” (HR.

Muslim).

2. Hadist Nabi : “Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)-nya” (HR. Khat-

iisa11),

3. Ka'idah Hilafiyah • Pada dasarnya hukum tentang sesuatau adalah boleh sampai

ada dalil

     yang mengharamkannya

4. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI Periode 2001-2005

5. Pedoman Penetapan Fatwa MUI

Page 3: Keputusan Fatwa

Memperhatikan :

1.    Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtaj ila Ma’rifah Alfadza-al-

Minhaj, (t.t : Dar’al –Fikr, t.th) juz VIII, halaman 150 tentang pengertian

“Binatang laut/air , dan halaman 151- 152 tantang binatang yang hidup dilaut

dan didaratan

2.    Pendapat Syeikh Muhammad al-Kathib a;-Syarbaini dalam Mughni Al-

Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Al-Minhaj, (t.t : Dar Al-Fikr, T.th), juz IV Hal

297 tentang pengertian “binatang laut/Air “, pendapat Imam Abu Zakaria bin

Syaraf al-Nawawi dalam Minhaj Al-Thalibin, Juz IV, hal. 298 tentang

binatang laut dan didaratan serta alas an (‘illah) hokum keharamannya yang

dikemukakan oleh al-Syarbaini :

3.    Pendapat Ibn al’Arabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq

dalam Fiqh al-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr, 1992), Juz lll, halaman 249

tentang “binatang yang hidup di daratan dan laut”

4.    Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggot a Komisi Fatwa) dalam

makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasan yang disampaikannya

pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab 29

Mei 2002 M. / 16 Rabi’ul Awwal 1421 H.

5.    Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)

dalam makalah Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scyllla spp) dan penjelasannya

tentang kepiting yang disampaikan pada Rapat Kornisi Fatwa MUI pada hari

Sabtu, 4 Rabi’ul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002 M. antara lain sebagai berikut :

1.    Ada 4 (empat)jenis kepiting bakau yang sering dikonsutnsi dan menjadi

komoditas, yaitu :

1. Scylla serrata,

2. Scylla tranquebarrica,

Page 4: Keputusan Fatwa

3. Scylla olivacea, dan

4.  Scylla pararnarnosain.

Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengar

“kepiting”.

2.    Kepiting adalah jenis binatang air, dengal alasan :

1.    Bernafas dengan insang.

2.    Berhabitat di air.

3.    Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air

karena memerlukan oksigen dari air.

3.    Kepiting termasuk keempat,jenis di atas (lili._angka 1) hanya ada yang :

1.    hidupdiair tawar saja

2.    hidup di air taut saja, dan

3.    hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau

berhabitat di dua alam : di laut dan di darat.

4.    Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya

bagi kesehatan Manusia.

5.    Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika

dikemudian han term::teerdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaima:,

mestinya.

Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya,

menghimbau semua pihak untuk mcnyebarluaskan fatwa ini.

Page 5: Keputusan Fatwa

Fatwa Tentang Kopi Luwak

Ketentuan Umum:

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan kopi luwak adalah kopi yang berasal

dari biji buah kopi yang dimakan oleh luwak (paradoxorus hermaproditus)

kemudian keluar bersama kotorannya dengan syarat:

1. Biji kopi masih utuh terbungkus kulit tanduk

2. Dapat tumbuh jika ditanam kembali

Ketentuan Hukum:

1. Kopi Luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah

mutanajjis (barang terkena najis), bukan najis.

2. Kopi Luwak sebagaimna dimaksud dalam ketentuan umum adalah halal

setelah disucikan.

Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa pada 20 Juli 2010. Dalam

Fatwa Nomor 07 Tahun 2010 itu, MUI menyatakan kopi luwak halal dengan

syarat: kopi yang dikeluarkan bersama kotoran itu masih utuh terbungkus kulit

tanduk dan jika ditanam kembali bisa tumbuh.

Sehingga, dalam fatwa itu pula MUI menyatakan kopi luwak yang memenuhi

syarat itu barang yang terkena najis, bukan najis. Kopi seperti itu boleh

dikonsumsi jika disucikan. Menurut MUI, memproduksi dan memperjualbelikan

kopi luwak hukumnya juga boleh.

Fatwa serupa juga pernah diuat oleh Majelis Agama Islam Negeri (MAIN)

Malaysia. Dalam fatwa itu, MAIN menyatakan kopi luwak bisa dikonsumsi

dengan syarat biji kopi –yang keluar bersama kotoran musang– dalam kondisi

baik, tidak berlubang, tidak pecah, dan dapat tumbuh jika ditanam. Dan biji kopi

itu harus disucikan sebelum dikonsumsi.

Page 6: Keputusan Fatwa

Selain itu, MAIN Malaysia juga menyatakan kopi luwak yang dihasilkan

hendaknya mendapat pengesahan halal dari MAIN sebelum dipasarkan kepada

masyaraka

Fatwa MUI Nomor 35 Tahun 2013 tentang Rekayasa Genetika dan

Produknya dikeluarkan dengan ketentuan hukum sebagai berikut:

1. Melakukan rekayasa genetika terhadap hewan, tumbuh-tumbuhan dan mikroba

(jasad renik) adalah mubah (boleh), dengan syarat:

a. dilakukan untuk kemaslahatan (bermanfaat);

b. tidak membahayakan (tidak menimbulkan mudharat), baik pada manusia

maupun lingkungan; dan

c. tidak menggunakan gen atau bagian lain yang berasal dari tubuh manusia.

2. Tumbuh-tumbuhan hasil rekayasa genetika adalah halal dan boleh digunakan,

dengan syarat:

a. bermanfaat; dan

b. tidak membahayakan.

3. Hewan hasil rekayasa genetika adalah halal, dengan syarat:

a. Hewannya termasuk dalam kategori maâkul al-lahm (jenis hewan yang ��dagingnya halal dikonsumsi);

b. bermanfaat; dan

c. tidak membahayakan.

4. Produk hasil rekayasa genetika pada produk pangan, obat-obatan, dan

kosmetika adalah halal dengan syarat:

a. bermanfaat;

b. tidak membahayakan; dan

c. sumber asal gen pada produk rekayasa genetika bukan berasal dari yang haram.

Fatwa tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan dari Komisi Keamanan

Hayati Produk Rekayasa Genetika, LPPOM MUI, Fatwa Nomor 3/Munas

Page 7: Keputusan Fatwa

VI/MUI/2000 Tentang Kloning, serta diskusi Sidang Komisi Fatwa MUI. Fatwa

ini juga didasarkan pada Al-Qur'an, hadis, dan qaidah fiqiyyah.