Kepmen Pu Teknis Bangunan Gedung

download Kepmen Pu Teknis Bangunan Gedung

of 110

Transcript of Kepmen Pu Teknis Bangunan Gedung

KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 441/KPTS/1998 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG MENTERI PEKERJAAN UMUM,

Menimbang

:

a.

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di bidang Pekerjaan Umum kepada Daerah, urusan penyelenggaraan bangunan gedung telah diserahkan kepada Daerah baik Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II; bahwa perkembangan penyelenggaraan bangunan gedung dewasa ini semakin kompleks sehingga perlu adanya pengaturan mengenai ketentuan teknis yang menyangkut peruntukan dan intensitas bangunan, arsitektur dan lingkungan, serta keandalan bangunan yang menjadi persyaratan pokok suatu bangunan gedung; bahwa sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987, kepada Menteri Pekerjaan Umum diberi wewenang untuk melakukan pembinaan teknis dan pengawasan teknis dalam penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah; bahwa sehubungan dengan pertimbangan pertimbangan tersebut diatas perlu mengatur persyaratan teknis bangunan gedung, dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah; Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun; Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Parumahan dan Permukiman; Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Pekerjaan Umum kepada Daerah; Keputusan Presiden Rl Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen; Keputusan Presiden Rl Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Keputusan Rl Nomor 15 tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen Sebagaimana Telah Tiga Puluh Kali Diubah Terakhir Dengan Keputusan Rl Nomor 23 Tahun 1994 Keputusan Presiden Rl Nomor 122/M Tahun 1998 tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan;

b.

c.

d.

Mengingat

:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

8.

9.

Keputusan Menteri PU Nomor 211/KPTS/1994 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Pekerjaan Umum.MEMUTUSKAN :

Menetapkan

:

KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG. BAB I KETENTUAN UMUM

TENTANG

Bagian Pertama Pengertian Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam suatu lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, diatas, atau di dalam tanah dan atau perairan secara tetap yang berfungsi sebagai tampat manusia melakukan kegiatannya. 2. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah proses kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan bangunan gedung 3. Daerah adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. 4. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kotamadya Daerah T'ngkat II. Bagian Kedua Maksud dan Tujuan Pasal 2 (1) Pengaturan persyaratan teknis bangunan gedung dimaksudkan untuk mewujudkan bangunan gedung yang berkualitas sesuai dengan fungsinya. (2) Pengaturan persyaratan teknis bangunan gedung bertujuan terselenggaranya fungsi bangunan gedung yang aman, sehat, nyaman, efisien, seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya

BAB II PENGATURAN PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG

Bagian Pertama Persyaratan Teknis Pasal 3 (1) Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan mengenai : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. I. m. (2) Peruntukan dan Intensitas Bangunan. Arsitektur dan lingkungan. Struktur Bangunan Gedung. Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran. Sarana Jalan Masuk dan Keluar. Transportasi dalam Gedung. Pencahayaan Darurat, Tanda Arah Keluar, dan Sistem Peringatan Bahaya. Instalasi Listrik Penangkal Petir, dan Komunikasi dalam Gedung Instalasi Gas. Sanitasi dalam gedung. Ventilasi dan Pengkondisian Udara Pencahayaan. Kebisingan dan Getaran.

Rincian persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini tercantum pada lampiran Keputusan Menten ini yang merupakan satu kesatuan pengaturan dalam keputusan ini Setiap orang atau badan termasuk instansi Pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung wajib memenuhi ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) Pasal ini. Pasal 4

(3)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedua Pengaturan Pelaksanaan di Daerah Pasal 5 (1) Untuk pedoman pelaksanaan penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah perlu dibuat Peraturan Daerah yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Menteri ini. Dalam hal Daerah belum mempunyai Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini maka terhadap penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah

(2)

diberlakukan ketentuan-ketentuan Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada Pasal 3. (3) Daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah tentang persyaratan teknis bangunan gedung sebelum Keputusan Menteri ini diterbitkan harus menyesuaikannya dengan ketentuan-ketentuan persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada Pasal 3. Pasal 6 Dalam melaksanakan pembinaan pembangunan bangunan gedung, Pemerintah Daerah melakukan peningkatan kemampuan aparat Pemerintah maupun masyarakat dalam memenuhi ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 untuk terwujudnya tertib pembangunan bangunan gedung. Dalam melaksanakan pengendalian pembangunan bangunan gedung, Pemerintah Daerah wajib menggunakan persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 sebagai landasan dalam mengeluarkan persetujuan atau perizinan yang diperlukan. Terhadap aparat Pemerintah Daerah yang bertugas dalam pengendalian pembangunan bangunan gedung yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3 dikenakan sanksi administrasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Ketiga Sanksi Administrasi Pasal 7 (1) Penyelenggaraan bangunan gedung yang melanggar ketentuan-ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Keputusan Menteri ini dikenakan sanksi administrasi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 5. Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dikenakan sesuai dengan tingkat pelanggaran dapat berupa: a. Peringatan tertulis b. Pembatasan kegiatan c. Penghentian sementara kegiatan sampai dilakukannya pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung. d. Pencabutan izin yang telah dikeluarkan untok menyelenggarakan pembangunan bangunan gedung. (3) Selain sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), di dalam Peraturan Daerah dapat diatur mengenai pengenaan denda dan tindakan Pembongkaran atas terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan persyaratan teknis bangunan gedung.

(1)

(2)

(3)

(2)

BAB III PEMB1NAAN DAN PENGAWASAN TEKNIS

Pasal 8 (1) Pembinaan dan Pengawasan Teknis untuk pelaksanaan ketentuan persyaratan teknis bangunan gedung dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 58/PRT/1991 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Teknis dan Pengawasan Teknis Bidang Pekerjaan Umum kepada Dinas Pekerjaan Umum. Pelaksanaan pembinaan teknis dan pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini didasarkan pada Rencana dan program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Cipta Karya.BAB IV KETENTUAN PERALIHAN

(2)

Pasal 9 Dengan berlakunya Keputusan Menteri inl, maka semua ketentuan persyaratan teknis bangunan gedung yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan Menteri ini masih tetap berlaku, sampai digantikan dengan yang baru.BAB V KETENTUAN PENUTUP

Pasal 10 (1) (2) Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Keputusan Menteri ini disebarluaskan kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk diketahui dan dilaksanakan.DITETAPKAN Dl PADA TANGGAL : JAKARTA : 10 NOPEMBER 1998

MENTERI PEKERJAAN UMUM

RACHMADI BAMBANG SUMADHIJO

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 441/KPTS/1998 TANGGAL 10 NOPEMBER 1998

DAFTAR ISIBAGIAN I KETENTUAN UMUM I. 1 I.2 PENGERTIAN 1. Umum 2. Teknis MAKSUD DAN TUJUAN 1. Maksud 2. Tujuan

BAGIAN II PERUNTUKAN DAN INTENSITAS BANGUNAN II.1 PERUNTUKAN, FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN 1. Peruntukan Lokasi 2. Fungsi Bangunan 3. Klasifikasi Bangunan INTENSITAS BANGUNAN 1. Kepadatan dan Ketinggian Bangunan 2. Penetapan KDB dan Jumlah Lantai/KLB 3. Perhitungan KDB dan KLB GARIS SEMPADAN BANGUNAN 1. Garis Sempadan (muka) Bangunan 2. Garis Sempadan Samping dan Belakang Bangunan 3. Pemisah di Sepanjang Halaman Depan, Samping, dan Belakang Bangunan

II.2

II.3

BAGIAN III ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN III.1 ARSITEK BANGUNAN 1. Tata Letak Bangunan 2. Bentuk Bangunan 3. Tata Ruang Dalam 4. Kelengkapan Bangunan RUANG TERBUKA HIJAU PEKARANGAN 1. Fungsi dan Persyaratan Ruang Tebuka Hijau Pekarangan 2. Ruang Sempadan Bangunan 3. Tapak Basement 4. Hijau Pada Bangunan 5. Tata Tanaman SIRKULASI, PERTANDAAN, DAN PENCAHAYAAN RUANG LUAR BANGUNAN 1. Sirkulasi dan Fasilitas Parkir 2. Pertandaan (Signage) 3. Pencahayaan Ruang Luar Bangunan

III.2

III.3

III.4

PENGELOLAAN DAMPAK LINGKUNGAN 1. Dampak Penting 2. Ketentuan Pengelolaan Dampak Ligkungan 3. Ketentuan UPL dan UKL 4. Persyaratan Teknis Pengelolaan Dampak Lingkungan 5. Pengelolaan Daerah Bencana

BAGIAN IV STRUKTUR BANGUNAN GEDUNG IV.1 PERSYARATAN STRUKTUR DAN BAHAN 1. Persyaratan Struktur 2. Persyaratan Bahan PEMBEBANAN STRUKTUR ATAS 1. Kontruksi Bangunan 2. Kontruksi Baja 3. Kontruksi Kayu 4. Kontruksi Dengan Bahan dan Teknologi Khusus 5. Pedoman Spesifik Untuk Tiap Jenis Konstruksi STRUKTUR BAWAH 1. Pondasi Langsung 2. Pondasi Bawah KEANDALAN STRUKTUR 1. Keselamatan Struktur 2. Keruntuhan Struktur DEMOLISI STUKTUR 1. Kriteria Demolisi 2. Prosedur dan Metoda

IV.2 IV.3

IV.4

IV.5

IV.6

BAGIAN V PENGAMANAN TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN V.1 SISTEM PROTEKSI PASIF 1. Ketahanan Api dan Stabilitas 2. Tipe Konstruksi Tahan Api 3. Tipe Konstruksi Yang Diwajibkan 4. Kompartemensasi dan Pemisahan 5. Proteksi Bukaan SISTEM PROTEKSI AKTIF 1. Sistem Pemadam Kebakaran 2. Sistem Diteksi & Alarm Kebakaran 3. Pengendalian Asap Kebakaran 4. Pusat Pengendali Kebakaran

V.2

BAGIAN VI SARANA JALAN MASUK DAN KELUAR VI.1 FUNGSI DAN PERSYARATAN KINERJA 1. Fungsi 2. Pesyaratan Kinerja KETENTUAN JALAN KELUAR 1. Persyaratan Keamanan 2. Kebutuhan Jalan Keluar 3. Jalan Keluar Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran 4. Jarak Jalur Menuju Pintu Keluar 5. Jarak antara Pintu-pintu Keluar Alternatif 6. Dimensi/ukuran Pintu Keluar 7. Jalur Lintasan Melalui Jalan Keluar Yang Diisolasi Tehadap Kebakaran 8. Tangga Luar Bangunan 9. Lintasan Melalui Tangga/ramp Yang Tidak Diisolasi Terhadap Kebakaran 10. Keluar Melalui Pintu-pintu Keluar 11. Pintu Keluar Horisontal 12. Tangga, Ramp atau Eskalator Yang Tidak Disyaratkan 13. Ruang Peralatan dan Ruang Motor Lift 14. Jumlah Orang Yang Ditampung KONTRUKSI JALAN KELUAR 1. Penerapan 2. Tangga dan Ramp Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran 3. Tangga dan Ramp Yang Tidak Diisolasi Terhadap Kebakaran 4. Pemisahan Tanjakan dan Turunan Tangga 5. Ramp dan Balkon Akses Yang Terbuka 6. Lobby Bebas Asap 7. Instalasi pada Pintu Keluar dan Jalan Lintasan 8. Perlindungan pada Ruang di Bawah Tangga dan Ramp 9. Lebar Tangga 10. Ramp Pejalan Kaki 11. Lorong Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran 12. Atap sebagai Ruang Terbuka 13. Injakan dan Tanjakan Tangga 14. Bordes 15. Ambang Pintu 16. Balustrade 17. Pegangan Rambat pada Tangga 18. Pintu 19. Pintu Ayun 20. Pengoperasian Gerendel Pintu 21. Masuk dari Pintu Keluar Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran 22. Rambu pada Pintu AKSES BAGI PENYANDANG CACAT

VI.2

VI.3

VI.4

BAGIAN VII TRANSPORTASI DALAM GEDUNG VII.1 LIF 1. Kapasitas Lif 2. Lif Kebakaran 3. Peringatan Terhadap Pengguna Lif pada Saat Terjadi Kebakaran 4. Lif untuk Rumah Sakit 5. Sangkar Lif 6. Saf Lif 7. Mesin Lif dan Ruang Mesin Lif 8. Instalasi Listrik 9. Pemeriksaan, Pengujian dan Pemeliharaan TANGGA BERJALAN DAN LANTAI BERJALAN

VII.2

BAGIAN VIII PENCAHAYAAN DARURAT, TANDA ARAH KELUAR, SISTEM PERINGATAN BAHAYA VIII.1 VIII.2 VIII.3 1SISTEM PENCAHAYAAN DARURAT TANDA ARAH KELUAR SISTEM PERINGATAN BAHAYA

BAGIAN IX INSTALANSI LISTRIK, PENANGKAL PETIR, DAN KOMUNIKASI DALAM GEDUNG IX.1 INSTALANSI LISTRIK 1. Perencanaan Instalansi Listrik 2. Jaringan Distribusi Listrik 3. Beban Listrik 4. Sumber Daya Listrik 5. Transformator Distribusi 6. Pemerikasaan dan Pengujian 7. Pemeliharaan INSTALANSI PENANGKAL PETIR 1. Perencanaan Penangkal Petir 2. Instalansi Penangkal Petir 3. Pemeriksaan dan Pengujian 4. Pemeliharaan INSTALASI KOMUNIKASI DALAM GEDUNG 1. Perencanaan Komunikasi dalam Gedung 2. Instalansi Telepon 3. Instalansi Tata Suara

IX.2

IX.3

BAGIAN X INSTALANSI GAS X.1 INSTALANSI GAS PEMBAKARAN 1. Jenis Gas 2. Jaringan Distribusi Gas Kota 3. Pemeriksaan dan Pengujian INSTALANSI GAS MEDIK 1. Jenis Gas 2. Jaringan Distribusi Gas Medik 3. Pemeriksaan dan Pengujian

X.2

BAGIAN XI SANITASI DALAM GEDUNG XI. 1 SISTEM PLAMBING 1. Perencanaan Sistem Plumbing 2. Sistem Penyediaan Air Bersih 3. Sistem Pembuangan Air Kotor 4. Alat Plambing 5. Tangki Penyediaan Air Bersih 6. Pompa Air Bersih PERSAMPAHAN 1. Penempatan pada Bangunan 2. Pewadahan 3. Sampah Berbahaya

XI.

BAGIAN XII VENTILASI DAN PENGKONDISIAN UDARA XII.1 VENTILASI 1. Kebutuhan Ventilasi 2. Ventilasi Alami 3. Ventilasi Buatan PENGKONDISIAN UDARA 1. Kebutuhan Pengkondisian Udara 2. Konservaasi Energi 3. Perhitungan Perkiraan Beban Pendinginan

XII.2

BAGIAN XIII PENCAHAYAAN XIII.1 XIII.2 XIII.3 KEBUTUHAN PENCAHAYAAN PENCAHAYAAN BUATAN PENCAHAYAAN ALAMI

XIII.4

PENGENDALIAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN

BAGIAN XIV KEBISINGAN DAN GETARAN XIV.1 XIV.2 KEBISINGAN GETARAN

BAGIAN XV PENUTUP LAMPIRAN

I. KETENTUAN UMUM1. PENGERTIAN 1. Umum Dalam pedoman teknis ini yang dimaksud dengan: a. b. c. Daerah adalah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kepala Daerah adalah Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, atau Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dinas Bangunan adalah salah satu Dinas Teknis di Daerah yang diantaranya mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan pengaturan, pembinaan, dan pengendalian pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung yang berada di Daerah yang bersangkutan. Pengawas/Penilik Bangunan adalah pejabat atau tenaga teknis profesional yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah atau ketentuan yang berlaku untuk bertugas mengawasi/menilik bangunan gedung.

d.

2. Teknis a. b. Air kotor adalah semua air yang bercampur dengan kotoran-kotoran dapur, kamar mandi, kakus dan peralatan-peralatan pembuangan lainnya. Atrium adalah suatu ruang dalam suatu bangunan yang menghubungkan 2 atau lebih tingka/lantai, di mana: i. seluruh atau sebagian ruangnya tertutup pada bagian atasnya oleh lantai atau atap, termasuk struktur atap kaca; ii. termasuk setiap ruang yang berbatasan/ berdekatan tetapi tidak terpisahkan oleh pembatas; iii. tidak termasuk lorong tangga, lorong ramp, atau ruang dalam shaft. Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam suatu lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, di atas, atau di daiam tanah dan/atau perairan secara tetap yang berfungsi sebagai tempat manusia untuk melakukan kegiatan bertempat tinggal, berusaha, bersosial-budaya, dan kegiatan lainnya. Bangunan turutan adalah bangunan sebagai tambahan atau pengembangan dari bangunan yang sudah ada. Bangunan umum adalah bangunan yang berfungsi untuk tempat manusia berkumpul, mengadakan pertemuan, dan melaksanakan kegiatan yang bersifat publik lainnya, seperti keagamaan, pendidikan, rekreasi, olah raga, perbelanjaan, dsb.

c.

d. e.

f. g.

Bangunan Induk adalah bangunan yang mempunyai fungsi dominan dalam suatu persil. Baku Tingkat Getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dan usaha atau kegiatan pada media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan. Baku tingkat Kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dituang kelingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Daerah Hijau Bangunan, yang selanjutnya disebut DHB adalah ruang terbuka pada bangunan yang dimanfaatkan untuk penghijauan. Demolisi adalah kegiatan merobohkan atau membongkar bangunan secara total. Dinding Pembatas adalah dinding yang menjadi pembatas antara bangunan. Dinding Luar adalah suatu dinding bangunan terluar yang bukan merupakan dinding pembatas. Dinding Luar Non-struktural adalah suatu dinding luar yang tidak memikul beban dan bukan merupakan dinding panel. Garis Sempadan Bangunan merupakan jarak bebas minimum dari bidang terluar suatu massa bangunan terhadap: i. Batas lahan yang dikuasai, ii. Batas tepi sungai/pantai, iii. Antar massa bangunan lainnya, atau iv. Rencana saluran, jaringan tegangan tinggi listrik, jaringan pipa gas dan sebagainya. Garis sempadan pagar adalah garis bagian luar dari pagar persil atau pagar pekarangan. Garis sempadan loteng adaiah garis yang terhitung dan tepi jalan berbatasan yang tidak diperkenankan didirikan tingkat bangunan. Getaran adalah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan seimbang terhadap suatu titik acuan. Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat. Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan kegiatan manusia. Getaran seismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa alam dan kegiatan manusia.

h.

a. b. c. d. e. f.

g. h. i. j. k. l.

m. n. o. p. q.

Jarak antara bangunan adalah jarak terkecil antara bangunan yang diukur antara permukaan-permukaan denah bangunan. Jaringan persil adalah jaringan sanitasi dan jaringan drainasi dalam persil. Jaringan saluran umum kota adalah jaringan sarana dan prasarana saluran umum perkotaan, seperti jaringan sanitasi dan jaringan drainasi. Kamar adalah ruangan yang tertutup seluruhnya atau sebagian, untuk tempat kegiatan manusia, selain kamar untuk MCK dan dapur. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah koefisien perbandingan antara luas lantai dasar bangunan terhadap luas persil/ kaveling/ blok peruntukan. Koefisien Daerah Hijau (KDH) adalah angka prosentase perbandingan antara luas ruang terbuka di luar bangunan yang diperuntukkan bagi pertamanan/ penghijauan dengan luas tanah perpetakan/ daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah koefisien perbandingan antara luas keseluruhan lantai bangunan terhadap luas persil/ kaveling/ blok peruntukan. Koefisien Tapak Basement (KTB) adalah angka prosentasi perbandingan luas tapak basement dengan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada. Lubang Atrium adalah ruang dari suatu atrium yang dikelilingi oleh batas pinggir bukaan lantai atau oleh batas pinggir lantai dan dinding luar. Mendirikan Bangunan i. Mendirikan, memperbaiki, memperluas, mengubah atau membongkar secara keseluruhan atau sebagian suatu bangunan; ii. Melakukan pekerjaan tanah untuk keperluan pekerjaan-pekerjaan yang dimaksud pada butir 2.w.i. Pekarangan adalah bagian yang kosong dari suatu persil/ kaveling/blok peruntukan bangunan. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah pedoman rencana teknik, program tata bangunan dan lingkungan, serta pedoman pengendalian pelaksanaan yang umumnya meliputi suatu lingkungan/kawasan (urban design and development guidelines).

r. s.

t. u.

v. w.

x. y.

z.

Ruang persiapan adalah ruang yang berhubungan dengan, dan berbatasan ke suatu panggung pada bangunan klas 9b yang dipergunakan untuk barang-barang dekorasi panggung, peralatan, ruang ganti, atau sejenisnya.

aa. Rumah adalah bangunan yang terdiri atas ruangan atau gabungan ruangan yang borhubungan satu sama lain, yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. bb. Sambungan jaringan adalah penghubung antara sesuatu jaringan persil dengan jaringan saluran umum kota. cc. Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang akan dinyatakan dalam satuan Desibel disingkat dB. dd. Tinghat Ketahanan Api (TKA), adalah tingkat ketahanan api yang dipersyaratakan pada bagian atau komponen bangunan sesuai ketentuan butir V.1.2 dalam ukuran waktu satuan menit, dengan kriteria-kriteria berurut yaitu aspek ketahanan struktural, integritas, dan insulasi. Contoh: TKA 90/-/60 berarti hanya terdapat persyaratan TKA untuk ketahanan struktural 90 menit dan insulasi 60 menit. ee. Tinggi bangunan adalah jarak antara garis potong permukaan atap dengan muka bangunan bagian luar dan permukaan lantai denah bawah. I.2 MAKSUD DAN TUJUAN 1. Maksud Persyaratan Teknis Bangunan Gedung ini dimaksudkan sebagai acuan persyaratan teknis yang diperlukan dalam mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan bangunan gedung di Indonesia, termasuk dalam rangka proses perijinan pelaksanaan dan pemanfaatan bangunan, serta pemeriksaan kelaikan fungsi/keandalan bangunan gedung. 2. Tujuan. Tujuan Pedoman Teknis ini bertujuan untuk dapat terwujudnya bangunan gedung sesuai fungsi yang ditetapkan dan yang memenuhi persyaratan teknis, yaitu meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan, arsitektur dan lingkungan, serta keandalan bangunan. Adapun tujuan dari pengaturan per-bagian adalah: a. Peruntukan dan Intensitas: i. menjamin bangunan gedung didirikan berdasarkan ketentuan tata ruang dan tata bangunan yang ditetapkan di Daerah yang bersangkutan, ii. menjamin bangunan dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya,

iii. menjamin keselamatan pengguna, masyarakat, dan lingkungan. b. Arsitektur dan Lingkungan: i. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang didirikan berdasarkan karakteristik lingkungan, ketentuan wujud bangunan, dan budaya daerah, sehingga seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya. ii. menjamin terwujudnya tata ruang hijau yang dapat memberikan keseimbangan dan keserasian bangunan terhadap lingkungannya. iii. menjamin bangunan gedung dibangun dan dimanfaatkan dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. c. Strukfur Bangunan: i. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang dapat mendukung beban yang timbul akibat perilaku alam dan manusia. ii. menjamin keselamatan manusia dari kemungkinan kecelakaan atau luka yang disebabkan oleh kegagalan struktur bangunan. iii. menjamin kepentingan manusia dari kehilangan atau kerusakan benda yang disebabkan oleh perilaku struktur. iv. menjamin perlindungan properti lainnya dari kerusakan fisik yang disebabkan oleh kegagalan struktur. d. Ketahanan terhadap Kebakaran: i. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang dapat mendukung beban yang timbul akibat perilaku alam dan manusia pada saat terjadi kebakaran. ii. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang dibangun sedemikian rupa sehinga mampu secara struktural stabil selama kebakaran, sehingga: (1) cukup waktu bagi penghuni melakukan evakuasi secara aman; (2) cukup waktu bagi pasukan pemadam kebakaran memasuki lokasi untuk memadamkan api; (3) dapat menghindari kerusakan pada properti lainnya. e. Sarana Jalan Masuk dan Keluar: i. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang mempunyai akses yang layak, aman dan nyaman ke dalam bangunan dan fasilitas serta layanan di dalamnya. ii. menjamin terwujudnya upaya melindungi penghuni dari cedera atau luka saat evakuasi pada keadaan darurat

iii. menjamin tersedianya aksesibilitas bagi penyandang cacat, khususnya untuk bangunan fasilitas umum dan sosial. f. Transportasl dalam Gedung: i. menjamin tersedianya alat transportasi yang layak, aman, dan nyaman di dalam bangunan gedung. ii. menjamin tersedianya aksesibiltas bagi penyandang cacat khususnya untuk bangunan fasilitas umum dan sosial. g. Pencahayean Darurat, Tanda arah Keluar, dan Sistem Peringatan Bahaya: i. menjamin tersedianya pertandaan dini yang informatif di dalam bangunan gedung apabila terjadi keadaan darurat; ii. menjamin penghuni melakukan evakuasi secara mudah dan aman, apabila terjadi keadaan darurat. h. Instalasi Listrik, Penangkal Petir dan Komunikasi: i. menjamin terpasangnya instalasi listrik secara cukup dan aman dalam menunjang terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan fungsinya; ii. menjamin terwujudnya keamanan bangunan gedung dan penghuninya dari bahaya akibat petir; iii. menjamin tersedianya sarana komunikasi yang memadai dalam menunjang terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan fungsinya. i. Instalasi Gas: i. menjamin terpasangnya instalasi gas secara aman dalam menunjang terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan fungsinya; ii. menjamin terpenuhinya pemakaian gas yang aman dan cukup; iii. menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan secara baik. j. Sanitasi dalam Bangunan: i. menjamin tersedianya sarana sanitasi yang memadai dalam menunjang terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan fungsinya; ii. menjamin terwujudnya kebersihan, kesehatan dan memberikan kenyamanan bagi penghuni bangunan dan lingkungan; iii menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan sanitasi secara baik.

k Ventilasi dan Pengkondisian Udara: i. menjamin terpenuhinya kebutuhan udara yang cukup, baik alami maupun buatan dalam menunjang terselenggaranya kegiatan dalam bangunan gedung sesuai dengan fungsinya; ii. menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan tata udara secara baik. l. Pencahayaan: i. menjamin terpenuhinya kebutuhan pencahayaan yang cukup, baik alami maupun buatan dalam menunjang terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan fungsinya; ii. menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan pencahayaan secara baik. m. Kebisingan dan Getaran: i. menjamin terwujudnya kehidupan yang nyaman dari gangguan suara dan getaran yang tidak diinginkan; ii. menjamin adanya kepastian bahwa setiap usaha atau kegiatan yang menimbulkan dampak negatif suara dan getaran perlu melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau mencegah perusakan lingkungan.

II. PERUNTUKAN DAN INTENSITAS BANGUNAN

II.I. PERUNTUKAN, FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN

1. Peruntukan Lokasi a. Bangunan gedung harus diselenggarakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam ketentuan tata ruang dan tata bangunan dari lokasi yang bersangkutan. b. Ketentuan tata ruang dan tata bangunan ditetapkan melalui: i. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah, ii. Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR), iii. Peraturan bangunan setempat dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Peruntukan lokasi sebagaimana dimaksud dalam butir a, merupakan peruntukan utama, sedangkan peruntukan penunjangnya sebagaimana ditetapkan di dalam ketentuan tata bangunan yang ada di Daerah setempat atau berdasarkan pertimbangan teknis Dinas Bangunan. Setiap pihak yang memerlukan keterangan atau ketentuan tata ruang dan tata bangunan dapat memperolehnya secara terbuka melalui Dinas Bangunan. Keterangan atau ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir d meliputi keterangan tentang peruntukan lokasi dan intensitas bangunan, seperti kepadatan bangunan, ketinggian bangunan, dan garis sempadan bangunan. Dalam hal rencana-rencana tata ruang dan tata bangunan sebagaimana dimaksud pada butir b belum ada, Kepala Daerah dapat memberikan pertimbangan atas ketentuan yang diperlukan, dengan tetap mengadakan peninjauan seperlunya terhadap rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada di Daerah. Bagi Daerah yang belum memiliki RTRW, RRTR, ataupun peraturan bangunan setempat dan RTBL, maka Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan membangun bangunan gedung dengan pertimbangan: i. Persetujuan membangun tersebut berstfat sementara sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan tata ruang yang lebih makro, kaidah perencanaan kota dan penataan bangunan ii. Kepala Daerah segera menyusun dan menetapkan RRTR, peraturan bangunan setempat dan RTBL berdasarkan rencana tata ruang yang lebih makro. iii. Apabila persetujuan yang telah diberikan terdapat ketidak sesuaian dengan rencana tata ruang dan tata bangunan yang ditetapkan kemudian, maka perlu

c.

d. e.

f.

g.

diadakan penyesuaian dengan resiko ditanggung oleh pemohon/pemilik bangunan. iv. Bagi Daerah yang belum memilih RTRW Daerah, Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan membangun bangunan pada daerah tersebut untuk jangka waktu sementara. v. Apabila di kemudian hari terdapat penetapan RTRW Daerah yang bersangkutan, maka bangunan tersebut harus disesuaikan dengan rencana tata ruang yang ditetapkan. h. Pembangunan bangunan gedung diatas jalan umum, saluran, atau sarana lain perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut: i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah; ii. tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas kendaraan, orang, maupun barang; iii. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah dan atau diatas tanah; iv. tetap memperhatikan keserasian bangunan terhadap lingkungannya. i. Pembangunan bangunan gedung dibawah tanah yang melintasi sarana dan prasarana jaringan kota perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut: i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah; ii. tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal; iii. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah tanah; iv. penghawaan dan pencahayaan bangunan telah memenuhi persyaratan kesehatan sesuai fungsi bangunan; v. memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bagi pengguna bangunan. j. Pembangunan bangunan gedung dibawah atau diatas air perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut: i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah; ii. tidak mengganggu keseimbangan lingkungan, dan fungsi indung kawasan; iii. tidak menimbulkan perubahan atau arus air yang dapat merusak lingkungan;

iv. tidak menimbulkan pencemaran; v. telah mempertimbangkan faktor keamaan, kenyamanan, kesehatan dan aksesibilitas bagi pengguna bangunan. k. Pembangunan bangunan gedung pada daerah hantaran udara (transmisi tegangan tinggi perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai perikut: i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah; ii. letak bangunan minimal 10 (sepuluh) meter diukur dari as (proyeksi) jalur tegangan tinggi terluar; iii. letak bangunan tidak boleh melebihi atau melampaui garis sudut 45 (empat puluh lima derajat) diukur dari as (proyeksi) jalur tegangan tinggi terluar; iv. setelah mendapat pertimbangan teknis dari para ahli terkait. 2. Fungsi Bangunan a. Fungsi dan klasifikasi bangunan merupakan acuan untuk persyaratan teknis bangunan gedung, baik ditinjau dari segi intensitas banguanan arsitektur dan lingkungan, keselamatan, keamanan, kesehatan, kenyamanan, maupun dari segi keserasian bangunan terhadap lingkungannya. b. Penetapan fungsi dan klasifikasi bangunan yang bersifat sementara harus dengan mempertimbangkan tingkat permanensi, keamanan, pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran, dan sanitasi yang memadai. c. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan fungsi utama bangunan. d. Fungsi bangunan dapat dikelompokkan dalam fungsi hunian, fungsi usaha, fungsi sosial dan budaya, dan fungsi khusus. e. Bangunan dengan fungsi hunian meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama hunian yang merupakan: i. ii. iii. iv. v. Rumah tinggal tunggal Rumah tinggal deret Rumah tinggal susun Rumah tinggal vila Rumah tinggal asrama

f. Bangunan dengan fungsi usaha meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama untuk: i. Bangunan perkantoran: perkantoran pemerintah, perkantoran niaga, dan sejenisnya.

ii.

Bangunan perdagangan: pasar, pertokoan, pusat perbelanjaan, mal, dan sejenisnya.

iii. Bangunan Perhotelan/Penginapan: hotel, motel, hostel, penginapan, dan sejenisnya. iv. Bangunan Industri : industri kecil, industri sedang, industri besar/berat. v. Bangunan Terminal: stasiun kereta, terminal bus, terminal udara, halte bus, pelabuhan laut.

vi. Bangunan Penyimpanan: gudang, gedung tempat parkir, dan sejenisnya. vii Bangunan Pariwisata: tempat rekreasi, bioskop, dan sejenisnya. g. Bangunan dengan fungsi umum, sosial dan budaya, meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama untuk : i. ii. Bangunan pendidikan: sekolah taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah lanjutan, sekolah tinggi/universitas. Bangunan pelayanan kesehatan: puskesmas, poliklinik, rumah bersalin, rumah sakit klas A, B. & C, dan sejenisnya.

iii. Bangunan peribadatan: mesjid, gereja, pura, kelenteng, dan vihara. iv. Bangunan kebudayaan : museum, gedung kesenian, dan sejenisnya h. Bangunan dengan fungsi khusus meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi, atau tingkat resiko bahaya tinggi : seperti bangunan kemiliteran, bangunan reaktor, dan sejenisnya. i. Dalam suatu persil, keveling, atau blok peruntukan dimungkinkan adanya fungsi campuran (mixed use), sepanjang sesuai dengan peruntukan lokasinya dan standar perencanaan lingkungan yang berlaku. Setiap bangunan gedung, selain terdiri dari ruang-ruang dengan fungsi utama, juga dilengkapi dengan ruang fungsi penunjang, serta dilengkapi pula dengan instalasi dan kelengkapan bangunan yang dapat menjamin terselenggaranya fungsi bangunan, sesuai dengan persyatatan pokok yang diatur dalam Pedoman Teknis ini.

j.

3.

Klasifikasi Bangunan Klasifikasi bangunan atau bagian dari bangunan ditentukan berdasarkan fungsi yang dimaksudkan di dalam perencanaan, pelaksanaan, atau perubahan yang diperlukan pada bangunan. a. Klas 1 : Bangunan Hunian Biasa Adalah satu atau lebih bangunan yang merupakan:

i.

Klas 1a : bangunan hunian tunggal yang berupa: (1) satu rumah tunggal; atau (2) satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang masing-masing bangunannya dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk rumah deret, rumah taman, unit town house , villa, atau

ii.

Klas 1b : rumah asrama/kost, rumah tamu, hostel, atau sejenisnya dengan luas total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih dari 12 orang secara tetap, dan tidak terletak diatas atau dibawah bangunan hunian lain atau bangunan klas lain selain tempat garasi pribadi.

b. c.

Klas 2: Bangunan hunian yang terdiri atas 2 atau lebih unit hunian yang masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah. Klas 3: Bangunan hunian diluar bangunan klas 1 atau 2, yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang yang tidak berhubungan, termasuk: i. ii iii. iv. v. rumah asrama, rumah tamu, losmen; atau bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak; atau bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan yang menampung karyawan-karyawannya.

d.

Klas 4 : Bangunan Hunian Campuran Adalah tempat tinggal yang berada didalam suatu bangunan klas 5, 6, 7, 8 atau 9 dan merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut

e.

Klas 5: Bangunan kantor Adalah bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan usaha profesional, pengurusan administrasi, atau usaha komersial, diluar bangunan klas 6, 7, 8, atau 9.

f.

Klas 6: Bangunan Perdagangan Adalah bangunan toko atau bangunan lain yang dipergunakan untuk tempat penjualan barang-barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada masyarakat, termasuk i. ruang makan, kafe, restoran,; atau ii. ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel atau motel; atau iii. tempat potong rambut /salon, tempat cuci umum; atau iv. pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.

g.

Klas 7: Bangunan Penyimpanan/Gudang Adalah bangunan gedung yang dipergunakan penyimpanan, termasuk: i. tempat parkir umum; atau ii. gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau cuci gudang.

h.

Klas 8 : Bangunan Laboratorium/lndustri/Pabrik Adalah bangunan gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan untuk tempat pemrosesan suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan, pengepakan, finishing, atau pembersihan barang-barang produksi dalam rangka perdagangan atau penjualan.

i. Klas 9: Bangunan Umum Adalah bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu: i. ii. Klas 9a: bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian dari bangunan tersebut yang berupa laboratorium; Klas 9b: bangunan pertemuan, temmasuk bengkel kerja, laboratorium atau sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hall, bangunan peribadatan, bangunan budaya atau sejenis, tetapi tidak temmasuk setiap bagian dari bangunan yang merupakan klas lain.

j. Klas 10 : Adalah bangunan atau struktur yang bukan hunian: i. Klas 10a: bangunan bukan hunian yang merupakan garasi pribadi, carport, atau sejenisnya; ii. Klas 10b: struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding penyangga atau dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau sejenisnya.

k. Bangunan-bangunan yang tidak diklasifikasikan khusus Bangunan atau bagian dari bangunan yang tidak termasuk dalam klasifikasi bangunan 1 s/d 10 tersebut, dalam Pedoman Teknis dimaksudkan dengan klasifikasi yang mendekati sesuai dengan peruntukannya l. Bangunan yang penggunaannya insidentil Bagian bangunan yang penggunaannya insidentil dan sepanjang mengakibatkan gangguan pada bagian bangunan lainnya, dianggap memiliki klasifikasi yang sama dengan bangunan utamanya. m. Klasifikasi jamak Bangunan dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari bangunan harus diklasifikasikan secara terpisah, dan:

i. bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10% dari luas lantai dari suatu tingkat bangunan, dan b' laboratorium, klasifikasinya disamakan dengan klasifikasi bangunan utamanya; ii. Klas-klas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah; iii. Ruang-ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lift, ruang boiler atau sejenisnya diklasifikasikan sama dengan bagian bangunan dimana ruang tersebut terletak II.2 INTENSITAS BANGUNAN 1. Kepadatan dan Ketinggian Bangunan a. Bangunan gedung yang didirikan harus memenuhi persyaratan kepadatan dan ketinggian bangunan gedung berdasarkan rencana tata ruang wilayah Daerah yang bersangkutan, rencana tata bangunan dan lingkungan yang ditetapkan, dan peraturan bangunan setempat. Kepadatan bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir a, meliputi ketentuan tentang Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yang dibedakan dalam tingkatan KDB padat, sedang, dan renggang. Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir a, meliputi ketentuan tentang Jumlah Lantai Bangunan (JLB), dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang dibedakan dalam tingkatan KLB tinggi, sedang, dan rendah. Persyaratan kinerja dari ketentuan kepadatan dan ketinggian bangunan ditentukan oleh: i. kemampuannya dalam menjaga keseimbangan daya dukung lahan dan optimalnya intensitas pembangunan, ii. kemampuannya lingkungan, dalam mencerminkan keserasian bangunan dengan

b.

c.

d.

iii. kemampuannya dalam menjamin kesehatan dan kenyamanan pengguna serta masyarakat pada umumnya. e. Untuk suatu kawasan atau lingkungan tertentu, seperti kawasan wisata, pelestarian dan lain lain, dengan pertimbangan kepentingan umum dan dengan persetujuan Kepala Daerah dapat diberikan kelonggaran atau pembatasan terhadap ketentuan kepadatan, ketinggian bangunan dan ketentuan tata bangunan lainnya dengan tetap memperhatikan keserasian dan kelestarian lingkungan. Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud pada butir c tidak diperkenankan mengganggu lalu-lintas udara.

f.

2. Penetapan KDB dan Jumlah Lantai/KLB a. Penetapan besarnya kepadatan dan ketinggian bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam II.2.1 butir b dan c, ditetapkan dengan mempertimbangkan perkembangan kota, kebijaksanaan intensitas pembangunan, daya dukung lahan/ lingkungan, serta keseimbangan dan keserasian lingkungan. Apabila KDB dan JLB/KLB belum ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan, peraturan bangunan setempat, maka Kepala Daerah dapat menetapkan berdasarkan berbagai pertimbangan dan setelah mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait. Ketentuan besarnya KDB dan JLB/KLB dapat diperbanui sejalan dengan pertimbangan perkembangan kota, kebijaksanasn intensitas pembangunan, daya dukung lahan/lingkungan, dan setelah mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait. Dengan pertimbangan kepentingan umum dan ketertiban pembangunan, Kepala Daerah dapat menetapkan rencana perpetakan dalam suatu kawasan/lingkungan dengan persyaratan: i. setiap bangunan yang didirikan harus sesuai dengan rencana perpetakan yang telah diatur di dalam rencana tata ruang, ii. apabila perpetakan tidak ditetapkan, maka KDB dan KLB diperhitungkan berdasarkan luas tanah di belakang garis sempadan jalan (GSJ) yang dimiliki. iii. untuk persil-persil sudut bilamana sudut persil tersebut dilengkungkan atau disikukan, untuk memudahkan lalu lintas, maka lebar dan panjang persil tersebut diukur dari titik pertemuan garis perpanjangan pada sudut tersebut dan luas persil diperhitungkan berdasarkan lebar dan panjangnya. iv. penggabungan atau pemecahan perpetakan dimungkinkan dengan ketentuan KDB dan KLB tidak dilampaui, dan dengan memperhitungkan keadaan lapangan, keserasian dan keamanan lingkungan serta memenuhi persyaratan teknis yang telah ditetapkan. v. dimungkinkan adanya pemberian dan penerimaan besaran KDB/KLB diantara perpetakan yang berdekatan, dengan tetap menjaga keseimbangan daya dukung lahan dan keserasian lingkungan. Dimungkinkan adanya kompensasi berupa penambahan besarnya KDB JLB/KLB bagi perpetakan tanah yang memberikan sebagian luas tanahnya untuk kepentingan umum. Penetapan besamya KDB, JLB/KLB untuk pembangunan bangunan gedung diatas fasilitas umum adalah setelah mempertimbangkan keserasian, keseimbangan dan persyaratan teknis serta mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.

b.

c.

d.

e.

f.

3. Perhitungan KDB dan KLB Perhitungan KDB maupun KLB ditentukan dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. b. c.

perhitungan luas lantai bangunan adalah jumlah luas lantai yang diperhitungkan sampai batas dinding terluar; luas lantai ruangan beratap yang sisi-sisinya dibatasi oleh dinding yang tingginya lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan tersebut dihiitung penuh 100 %; luas lantai ruangan beratap yang bersifat terbuka atau yang sisi-sisinya dibatasi oleh dinding tidak lebih dari 1,20 m diatas lantai ruangan dihitung 50 %, selama tidak melebihi 10 % dari luas denah yang diperhitungkan sesuai dengan KDB yang ditetapkan; overstek atap yang melebihi lebar 1,50 m maka luas mendatar kelebihannya tersebut dianggap sebagai luas lantai denah; teras tidak beratap yang mempunyai tinggi dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai teras tidak diperhitungkan sebagai luas lantai; luas lantai bangunan yang diperhitungkan untuk parkir tidak diperhitungkan dalam perhitungan KLB, asal tidak melebihi 50 % dari KLB yang ditetapkan, selebihnya diperhitungkan 50 % terhadap KLB; ramp dan tangga terbuka dihitung 50 %, selama tidak melebihi l0% dari luas lantai dasar yang diperkenankan; Dalam perhitungan KDB dan KLB, luas tapak yang diperhitungkan adalah yang dibelakang GSJ; Batasan perhitungan luas ruang bawah tanah (basement) ditetapkan Kepala Daerah dengan pertimbangan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan pendapat teknis para ahli terkait; Untuk pembangunan yang berskala kawasan (superblock), perhitungan KDB dan KLB adalah dihitung terhadap total seluruh lantai dasar bangunan, dan total keseluruhan luas lantai bangunan dalam kawasan tersebut tehadap total keseluruhan luas kawasan; Dalam perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 m, maka ketinggian bangunan tersebut dianggap sebagai dua lantai; Mezanine yang luasnya melebihi 50 % dari luas lantai dasar dianggap sebagai lantai penuh;

d. e. f.

g. h. i.

j.

k.

l.

I.3

GARIS SEMPADAN BANGUNAN 1. Garis Sempadan (muka) Bangunan a. Garis Sempadan Bangunan ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan, serta peraturan bangunan setempat.

b. Dalam mendirikan atau memperbarui seluruhnya atau sebagian dari suatu bangunan, Garis Sempadan Bangunan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam butir a. tidak boleh dilanggar. c. Apabila Garis Sempadan Bangunan sebagaimana dimaksud pada butir a. tersebut belum ditetapkan, maka Kepala Daerah dapat menetapkan GSB yang bersifat sementara untuk lokasi tersebut pada setiap permohonan perijinan mendirikan bangunan. d. Penetapan Garis Sempadan Bangunan didasarkan pada pertimbangan keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan keserasian dengan lingkungan serta ketinggian bangunan. e. Daerah menentukan garis-garis sempadan pagar, garis sempadan muka bangunan, garis sempadan loteng, garis sempadan podium, garis sempadan menara, begitu pula garis-garis sempadan untuk pantai, sungai, danau, jaringan umum dan lapangan umum. f. Pada suatu kawasan/lingkungan yang diperkenankan adanya beberapa klas bangunan dan di dalam kawasan peruntukan campuran, untuk tiap-tiap klas bangunan dapat ditetapkan garis-garis sempadannya masing-masing. g. Dalam hal garis sempadan pagar dan garis sempadan muka bangunan berimpit (GSB sama dengan nol), maka bagian muka bangunan harus ditempatkan pada garis tersebut. h. Daerah berwenang untuk memberikan pembebasan dari ketentuan dalam butir g, sepanjang penempatan bangunan tidak mengganggu jalan dan penataan bangunan sekitarnya. i Ketentuan besarnya GSB dapat diperbarui dengan pertimbangan perkembangan kota, kepentingan umum, keserasian dengan lingkungan, maupun pertimbangan lain dengan mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.

2.

Garis sempadan samping dan belakang bangunan a. Kepala Daerah dengan pertimbangan keselamatan, kesehatan dan kenyamanan, juga menetapkan garis sempadan samping kiri dan kanan, serta belakang bangunan terhadap batas persil, yang diatur di dalam rencana tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan, dan peraturan bangunan setempat. b. Sepanjang tidak ada jarak bebas samping maupun belakang bangunan yang ditetapkan, maka Kepala Daerah menetapkan besarnya garis sempadan tersebut dengan setelah mempertimbangkan keamanan kesehatan dan kenyamanan, yang ditetapkan pada setiap permohonan perijinan mendirikan bangunan.

c. Untuk bangunan yang digunakan sebagai tempat penyimpanan bahanbahan/benda-benda yang mudah terbakar dan atau bahan berbahaya, maka Kepala Daerah dapat menetapkan syarat-syarat lebih lanjut mengenai jarakjarak yang harus dipatuhi, diluar yang diatur dalam butir a. d. Pada daerah intensitas bangunan padat/rapat, maka garis sempadan samping dan belakang bangunan harus memenuhi persyaratan: i. bidang dinding terluar tidak boleh melampaui batas pekarangan; ii. struktur dan pondasi bangunan terluar harus berjarak sekurang-kurangnya 10 cm kearah dalam dari batas pekarangan, kecuali untuk bangunan rumah tinggal; iii. untuk perbaikan atau perombakan bangunan yang semula menggunakan bangunan dinding batas bersama dengan bangunan di sebelahnya, disyaratkan untuk membuat dinding batas tersendiri disamping dinding batas terdahulu; iv. pada bangunan rumah tinggal rapat tidak terdapat jarak bebas samping, sedangkan jarak bebas belakang ditentukan minimal setengah dari besarnya garis sempadan muka bangunan. e. Pada daerah intensitas bangunan rendah/renggang, maka jarak bebas samping dan belakang bangunan harus memenuhi persyaratan: i. jarak bebas samping dan jarak bebas belakang ditetapkan minimum 4 m pada lantai dasar, dan pada setiap penambahan lantai/tingkat bangunan, jarak bebas di atasnya ditambah 0,50 m dari jarak bebas lantai di bawahnya sampai mencapai jarak bebas terjauh 12,5 m, kecuali untuk bangunan rumah tinggal, dan sedangkan untuk bangunan gudang serta industri dapat diatur tersendiri. ii. sisi bangunan yang didirikan harus mempunyai jarak bebas yang tidak dibangun pada kedua sisi samping kiri dan kanan serta bagian belakang yang berbatasan dengan pekarangan. f. Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk apapun. g Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu tapak diatur sebagai berikut: i. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan, maka jarak antara dinding atau bidang tersebut minimal dua kali jarak bebas yang ditetapkan; ii. dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok tertutup dan yang lain merupakan bidang terbuka dan atau berlubang, maka jarak antara dinding tersebut minimal satu kali jarak bebas yang ditetapkan;

iii. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan, maka jarak dinding terluar minimal setengah kali jarak bebas yang ditetapkan. 3. Pemisah disepanjang halaman depan, samping, dan belakang bangunan a. Halaman muka dari suatu bangunan harus dipisahkan dari jalan menurut cara yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan, serta keserasian lingkungan. b. Kepala Daerah menetapkan ketinggian maksimum pemisah halaman muka. c. Untuk sepanjang jalan atau kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat menerapkan desain standar pemisah halaman yang dimaksudkan dalam butir a. d. Dalam hal yang khusus Kepala Daerah dapat memberikan pembebasan dari ketentuan-ketentuan dalam butir a dan b, dengan setelah mempertimbangkan hal teknis terkait. e. Dalam hal pemisah berbentuk pagar, maka tinggi pagar pada GSJ dan antara GSJ dengan GSB pada bangunan rumah tinggal maksimal 1,50 m di atas permukaan tanah, dan untuk bangunan bukan rumah tinggal termasuk untuk bangunan industri maksimal 2 m di atas permukaan tanah pekarangan. f. Pagar sebagaimana dimaksud pada butir e harus tembus pandang, dengan bagian bawahnya dapat tidak tembus pandang maksimal setinggi 1 m diatas permukaan tanah pekarangan. g h Untuk bangunan-bangunan tertentu, Kepala Daerah dapat menetapkan lain terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir e dan f. Penggunaan kawat berduri sebagai pemisah disepanjang jalan-jalan umum tidak diperkenankan.

i. Tinggi pagar batas pekarangan sepanjang pekarangan samping dan belakang untuk bangunan renggang maksimal 3 m di atas permukaan tanah pekarangan, dan apabila pagar tersebut merupakan dinding bangunan rumah tinggal bertingkat tembok maksimal 7 m dari permukaan tanah pekarangan, atau ditetapkan lebih rendah setelah mempertimbangkan kenyamanan dan kesehatan lingkungan. j. Antara halaman belakang dan jalur-jalur jaringan umum kota harus diadakan pemagaran. Pada pemagaran ini tidak boleh diadakan pintu-pintu masuk, kecuali jika jalur-jalur jaringan umum kota direncanakan sebagai jalur jalan belakang untuk umum . k. Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan syarat-syarat lebih lanjut yang berkaitan dengan desain dan spesifikasi teknis pemisah di sepanjang halaman depan, samping, dan belakang bangunan.

l. Kepala Daerah dapat menetapkan tanpa adanya pagar pemisah halaman depan, samping maupun belakang bangunan pada ruas-ruas jalan atau kawasan tertentu, dengan pertimbangan kepentingan kenyamanan kemudahan hubungan (aksesibilitas), keserasian lingkungan, dan penataan bangunan dan lingkungan yang diharapkan.

III. ARSITEKTUR DAN LINGKUNGANIII.1. ARSITEKTUR BANGUNAN 1. Tata Letak Bangunan a. Ketentuan Umum i. Penempatan bangunan gedung tidak boleh mengganggu fungsi prasarana kota, lalu lintas dan ketertiban umum. ii. Pada lokasi-lokasi tertentu Kepala Daerah dapat menetapkan secara khusus arahan rencana tata bangunan dan lingkungan. iii. Pada jalan-jalan tertentu, perlu ditetapkan penampang-penampang (profil) bangunan untuk memperoleh pemandangan jalan yang memenuhi syarat keindahan dan keserasian. iv. Bilamana dianggap perlu, persyaratan lebih lanjut dari ketentuanketentuan ini dapat ditetapkan pelaksanaaannya oleh Kepala Daerah dengan membentuk suatu panitia khusus yang bertugas memberi nasehat teknis mengenai ketentuan tata bangunan dan lingkungan.

b. Tapak Bangunan i. Tinggi rendah (peil) pekarangan harus dibuat dengan tetap menjaga keserasian lingkungan serta tidak merugikan pihak lain. ii. Penambahan lantai atau tingkat suatu bangunan gedung diperkenankan apabila masih memenuhi batas ketinggian yang ditetapkan dalam rencana tata ruang kota, dengan ketentuan tidak melebihi KLB, harus memenuhi persyaratan teknis yang berlaku dan keserasian lingkungan. iii. Penambahan lantai/tingkat harus memenuhi persyaratan keamanan struktur. iv. Pada daerah / lingkungan tertentu dapat ditetapkan: (1) ketentuan khusus tentang pemagaran suatu pekarangan kosong atau sedang dibangun, pemasangan nama proyek dan sejenisnya dengan memperhatikan keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian lingkungan, (2) larangan membuat batas fisik atau pagar pekarangan. (3) ketentuan penataan bangunan yang harus diikuti dengan memperhatikan keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian lingkungan. (4) Kekecualian kelonggaran terhadap ketentuan butir III.1.1 b.iv.(2) dapat diberikan untuk bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan. 2. Bentuk Bangunan a. Ketentuan Umum i. Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur lingkungan yang ada di sekitarnya, atau yang mampu sebagai pedoman arsitektur atau teladan bagi lingkungannya.

ii. Setiap bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan bangunan yang dilestarikan, harus serasi dengan bangunan yang dilestarikan tersebut. iii. Bangunan yang didirikan sampai pada batas samping persil tampak bangunannya harus bersambungan secara serasi dengan tampak bangunan atau dinding yang telah ada di sebelahnya. iv. Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan yang nyaman dan serasi terhadap lingkungannya. v. Bentuk, tampak, profil, detail, material maupun warna bangunan harus dirancang memenuhi syarat keindahan dan keserasian lingkungan yang telah ada dan atau yang direncanakan kemudian dengan tidak menyimpang dari persyaratan fungsinya. vi. Bentuk bangunan gedung sesuai kondisi daerahnya harus dirancang dengan mempertimbangkan kestabilan struktur dan ketahanannya terhadap gempa. vii. Syarat-syarat lebih lanjut mengenai tinggi/tingkat dan sesuatunya ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan rencana tata ruang, dan atau rencana tata bangunan lingkungan yang ditetapkan untuk daerah/lokasi tersebut. b. Perancangan Bangunan i. Bentuk bangunan gedung harus dirancang sedemikian rupa sehingga setiap nuang dalam dimungkinkan menggunakan pencayahayaan dan penghawaan alami. ii. Ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada butir II 1.1.2.b.i tidak berlaku apabila sesuai fungsi bangunan diperlukan sistem pencahayaan dan penghawaan buatan. iii. Ketentuan pada butir II.1.1.2.b.ii harus tetap mengacu pada prinsipprinsip konservasi energi. iv. Untuk bangunan dengan lantai banyak, kulit atau selubung bangunan harus memenuhi persyaratan konservasi energi. v. Aksesibilitas bangunan harus mempertimbangkan kemudahan bagi semua orang, termasuk para penyandang cacat dan usia lanjut. vi. Suatu bangunan gedung tertentu berdasarkan letak ketinggian dan penggunaannya, harus dilengkapi dengan perlengkapan yang berfungsi sebagai pengaman terhadap lalu lintas udara dan atau lalu lintas laut.

3. Tata Ruang Dalam a. Ketentuan Umum i. Tinggi ruang adalah jarak terpendek dalam ruang diukur dari permukaan bawah langit-langit ke permukaan lantai. ii. Ruangan dalam bangunan harus mempunyai tinggi yang cukup untuk fungsi yang diharapkan. iii. Ketinggian ruang pada lantai dasar disesuaikan dengan fungsi ruang dan arsitektur bangunannya. iv. Dalam hal tidak ada langit-langit, tinggi ruang diukur dari permukaan atas lantai sampai permukaan bawah dari lantai di atasnya atau sampai permukaan bawah kaso-kaso.

v. Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan perbaikan, perluasan, penambahan, tidak boleh menyebabkan berubahnya fungsi/penggunaan utama, karakter arsitektur bangunan dan bagian-bagian bangunan serta tidak boleh mengurangi atau mengganggu fungsi sarana jalan keluar/masuk. vi. Perubahan fungsi dan penggunaan ruang suatu bangunan atau bagian bangunan dapat diijinkan apabila masih memenuhi ketentuan penggunaan jenis bangunan dan dapat menjamin keamanan dan keselamatan bangunan serta penghuninya. vii Ruang penunjang dapat ditambahkan dengan tujuan memenuhi kebutuhan kegiatan bangunan, sepanjang tidak menyimpang dari penggunaan utama bangunan. viii.Jenis dan jumlah kebutuhan fasilitas penunjang yang harus disediakan pada setiap jenis penggunann bangunan ditetapkan oleh Kepala Daerah. ix. Tata ruang dalam untuk bangunan tempat ibadah, bangunan monumental, gedung serbaguna, gedung pertemuan, gedung pertunjukan, gedung sekolah, gedung olah raga, serta gedung sejenis lainnya diatur secara khusus. b. Perancangan Ruang Dalam i. Bangunan tempat tinggal sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi utama yang mewadahi kegiatan pribadi, kegiatan keluarga bersama dan kegiatan pelayanan. ii. Bangunan kantor sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi utama yang mewadahi kegiatan kerja, ruang umum dan ruang pelayanan. iii. Bangunan toko sekurang-kurang memiliki ruang-ruang fungsi utama yang mewadahi kegiatan toko, kegiatan umum dan pelayanan. iv. Suatu bangunan gudang, sekurang-kurangnya harus dilengkapi dengan kamar mandi dan kakus serta nuang kebutuhan karyawawan v. Suatu bangunan pabrik sehurang-kurangnya harus dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan kakus, ruang ganti pakaian karyawan, ruang makan, ruang istirahat, serta ruang pelayanan kesehatan yang memadai. vi. Perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 meter, maka ketinggian bangunan dianggap sebagai dua lantai, kecuali untuk penggunaan ruang lobby, atau ruang pertemuan dalam bangunan komersial (antara lain hotel, perkantoran, dan pertokoan). vii. Mezanin yang luasnya melebihi 50% dari luas lantai dasar dianggap sebagai lantai penuh. ; viii. Penempatan fasilitas kamar mandi dan kakus untuk pria dan wanita harus terpisah. ix. Ruang rongga atap hanya dapat diijinkan apabila penggunaannya tidak menyimpang dari fungsi utama bangunan serta memperhatikan segi kesehatan, keamanan dan keselamatan bangunan dan lingkungan. x. Ruang-rongga atap untuk rumah tinggal harus mempunyai penghawaan dan pencahayaan alami yang memadai. xi. Ruang rongga atap dilarang dipergunakan sebagai dapur atau kegiatan lain yang potensial menimbulkan kecelakaan/ kebakaran

xii. Setiap penggunaan ruang rongga atap yang luasnya tidak lebih dari 50% dari luas lantai di bawahnya, tidak dianggap sebagai penambahan tingkat bangunan. xiii Setiap bukaan pada ruang atap, tidak boleh mengubah sifat dan karakter arsitektur bangunannya. xiv Pada ruang yang penggunaannya menghasilkan asap dan atau gas harus disediakan lobang hawa dan atau cerobong hawa secukupnya, kecuali menggunakan alat bantu mekanis. xv. Cerobong asap dan atau gas harus dirancang memenuhi persyaratan pencegahan kebakaran. xvi. Tinggi ruang dalam bangunan tidak boleh kurang dari ketentuan minimum yang ditetapkan. xvii. Tinggi lantai dasar suatu bangunan diperkenankan mencapai maksimal 1,20 m di atas tinggi rata-rata tanah pekarangan atau tinggi rata-rata jalan, dengan memperhatikan keserasian lingkungan. xviii Apabila tinggi tanah pekarangan berada di bawah titik ketinggian (peil) bebas banjir atau terdapat kemiringan yang curam atau perbedaan tinggi yang besar pada tanah asli suatu perpetakan, maka tinggi maksimal lantai dasar ditetapkan tersendiri. xix. Tinggi Lantai Denah: (1) Permukaan atas dari lantai denah (dasar) harus: (a) Sekurang-kurangnya 15 cm diatas titik tertinggi dari pekarangan yang sudah dipersiapkan. (b) Sekurang-kurangnya 25 cm diatas titik tertinggi dari sumbu jalan yang berbatasan. (2) Dalam hal-hal yang luar biasa, ketentuan dalam butir (1) tersebut, tidak berlaku jika letak lantai-lantai itu lebih tinggi dari 60 cm di atas tanah yang ada di sekelilingnya, atau untuk tanah-tanah yang miring. xx. Lantai tanah atau tanah dibawah lantai panggung harus ditempatkan sekurang-kurangnya 15 cm diatas tanah pekarangan serta dibuat kemiringan supaya air dapat mengalir. 4. Kelengkapan Bangunan a. Ketentuan Umum i. Bangunan tertentu berdasarkan letak, ketinggian dan penggunaannya harus dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan bangunan, termasuk pengaman/ rambu-rambu terhadap lalu-lintas udara dan atau laut. ii. Syarat-syarat teknis lebih lanjut terhadap ketentuan tersebut di atas mengikuti standar teknis yang berlaku. b. Sarana dan Prasarana Bangunan Gedung i. Bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan, kenyamanan, kesehatan dan keselamatan pengguna bangunan gedung. ii Prasarana-prasarana pendukung bangunan harus direncanakan secara terintegrasi dengan sistem prasarana lingkungan sekitarnya iii. Sarana dan prasarana pendukung harus menjamin bahwa pemanfaatan bangunan tersebut tidak mengganggu bangunan gedung lain dan lingkungan sekitarnya.

iv. Bangunan gedung harus direncanakan dan dirancang sebaik-baiknya, sehingga dapat menjamin fungsi bangunan juga dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh semua orang, termasuk para penyandang cacat dan warga usia lanjut. v. Pintu masuk dan keluar area bangunan gedung harus direncanakan secara terintegrasi serta tidak mengganggu tata sirkulasi lingkungannya. III.2 RUANG TERBUKA HIJAU PEKARANGAN 1. Fungsi dan Persyaratan Ruang Terbuka Hijau Pekarangan a. Ruang Terbuka Hijau adalah ruang yang diperuntukkan sebagai daerah penanaman di kota/wilayah/halaman yang berfungsi untuk kepentingan ekologis, sosial, ekonomi maupun estetika. Ruang Terbuka Hijau yang berhubungan langsung dengan bangunan gedung dan terletak pada persil yang sama disebut Ruang Terbuka Hijau Pekarangan (RTHP). Ruang Terbuka Hijau Pekarangan berfungsi sebagai tempat tumbuhnya tanaman, peresapan air, sirkulasi, unsur-unsur estetik, baik sebagai ruang kegiatan dan maupun sebagai ruang amenity. Sebagai ruang transisi, RTHP menupakan bagian integral dari penataan bangunan gedung dan sub-sistem dari penataan lansekap kota. Syarat-syarat Ruang Terbuka Hijau Pekarangan ditetapkan dalam rencana tata ruang dan tata bangunan baik langsung maupun tidak langsung dalam bentuk ketetapan GSB, KDB, KDH, KLB, Parkir dan ketetapan lainnya. Ruang Terbuka Hijau Pekarangan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang dan tata bangunan tidak boleh dilanggar dalam mendirikan atau rnemperbaharui seluruhnya atau sebagian dari bangunan. Apabila Ruang Terbuka Hijau Pekarangan sebagaimana dimaksud pada butir 111.2.1.e ini belum ditetapkan dalam rencana tata ruang dan tata bangunan, maka dapat dibuat ketetapan yang bersifat sementara untuk lokasi/lingkungan yang terkait dengan setiap pemmohonan bangunan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir III.2.1.e dapat dipertimbangkan dan disesuaikan untuk bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan. Setiap perencanaan bangunan baru harus memperhatikan potensi unsur-unsur alami yang ada dalam tapak seperti danau, sungai, pohon-pohon menahun, tanah dan permukaan tanah. Dalam hal terdapat makro lansekap yang dominan seperti laut, sungai besar, gunung dan sebagainya, terhadap suatu kawasan/daerah dapat diterapkan

b.

c.

d. e.

f.

g.

h.

i.

j.

pengaturan khusus untok orientasi tata letak bangunan mempertimbangkan potensi arsitektural lansekap yang ada. k.

yang

Sebagai perlindungan atas sumber-sumber daya alam yang ada, dapat ditetapkan persyaratan khusus bagi permohonan ijin mendirikan bangunan dengan mempertimbangkan hal-hal pencagaran sumber daya alam, keselamatan pemakai dan kepentingan umum. Ketinggian maksimum/minimum lantai dasar bangunan dari muka jalan ditentukan untuk pengendalian keselamatan bangunan, seperti dari bahaya banjir, pengendalian bentuk estetika bangunan secara keseluruhan/ kesatuan lingkungan, dan aspek aksesibilitas, serta tergantung pada kondisi lahan.

1.

2. Ruang Sempadan Bangunan a. Pemanfaatan Ruang Sempadan Depan Bangunan harus mengindahkan keserasian lansekap pada ruas jalan yang terkait sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada. Keserasian tersebut antara lain mencakup: pagar dan gerbang, vegetasi besar / pohon, bangunan penunjang seperti pos jaga, tiang bendera, bak sampah dan papan nama bangunan. Bila diperlukan dapat ditetapkan karakteristik lansekap jalan atau ruas jalan dengan mempertimbangkan keserasian tampak depan bangunan ruang sempadan depan bangunan, pagar, jalur pejalan kaki, jalur kendaraan dan jalur hijau median jalan berikut utilitas jalan lainnya seperti tiang listrik, tiang telepon di kedua sisi jalan / ruas jalan yang dimaksud. Koefisien Dasar Hijau (KDH) ditetapkan sesuai dengan peruntukan dalam rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan. KDH minimal 10% pada daerah sangat padat/padat. KDH ditetapkan meningkat setara dengan naiknya ketinggian bangunan dan berkurangnya kepadatan wilayah. Ruang terbuka hijau pekarangan sebanyak mungkin diperuntukkan bagi penghijauan / penanaman di atas tanah. Dengan demikian area parkir dengan lantai perkerasan masih tergolong RTHP sejauh ditanami pohon peneduh yang ditanam di atas tanah, tidak di dalam wadah / container yang kedap air. KDH tersendiri dapat ditetapkan untuk tiap-tiap klas bangunan dalam kawasan-kawasan bangunan, dimana terdapat beberapa klas bangunan dan kawasan campuran.

b.

c.

d.

e.

3. Tapak Basement a. b. Kebutuhan basement dan besaran koefisien tapak basement (KTB) ditetapkan berdasarkan rencana peruntukan lahan, ketentuan teknis dan kebijaksanaan Daerah setempat. Untuk keperluan penyediaan RTHP yang memadai, lantai basement pertama (B-1) tidak dibenarkan keluar dari tapak bangunan (di atas tanah) dan atap

basement kedua (B-2) yang di luar tapak bangun harus berkedalaman sekurangnya 2 (dua) meter dari permukaan tanah tempat penanaman. 4. Hijau Pada Bangunan a. Daerah Hijau Bangunan (DHB) dapat berupa taman-atap (roof-garden) maupun penanaman pada sisi-sisi bangunan seperti pada balkon dan cara-cara perletakan tanaman lainnya pada dinding bangunan. DHB merupakan bagian dari kewajiban pemohon bangunan untuk menyediakan RTHP. Luas DHB diperhitungkan sebagai luas RTHP namun tidak lebih dari 25% luas RTHP.

b.

5. Tata Tanaman a. Pemilihan dan penggunaan tanaman harus memperhitungkan karakter tanaman sampai pertumbuhannya optimal yang berkaitan dengan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Potensi bahaya terdapat pada jenis-jenis tertentu yang sistem perakarannya destruktif, batang dan cabangnya rapuh, mudah terbakar serta bagian-bagian lain yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Penempatan tanaman harus memperhitungkan pengaruh angin, air, kestabilan tanah / wadah sehingga memenuhi syarat-syarat keselamatan pemakai. Untuk memenuhi fungsi ekologis khususnya di perkotaan, tanaman dengan struktur daun yang rapat besar seperti pohon menahun harus lebih diutamakan. Untuk pelaksanaan kepentingan tersebut pada butir III.2.5.a dan III.2.5.b Kepala Daerah dapat membentuk tim penasehat untuk mengkaji rencana pemanfaatan jeni-jenis tanaman yang layak tanam di Ruang terbuka Hijau Pekarangan berikut standar perlakuannya yang memenuhi syarat keselamatan pemakai.

b. c.

d.

III.3

PERTANDAAN, DAN PENCAHAYAAN RUANG LUAR BANGUNAN 1. Sirkulasi dan Fasilitas Parkir a. Ketentuan Umum i. Setiap bangunan bukan rumah hunian diwajibkan menyediakan area parkir kendaraan sesuai dengan jumlah area parkir yang proporsional dengan jumlah luas lantai bangunan. ii. Penyediaan parkir di pekarangan tidak boleh mengurangi daerah penghijauan yang telah ditetapkan. iii. Prasarana parkir untuk suatu rumah atau bangunan tidak diperkenankan mengganggu kelancaran lalu lintas, atau mengganggu lingkungan di sekitarnya. iv. Jumlah kebutuhan parkir menurut jenis bangunan ditetapkan sesuai dengan standar teknis yang berlaku.

b.

Sirkulasi i. Sistem sirkulasi yang direncanakan harus saling mendukung, antara sirkulasi eksternal dengan internal bangunan, serta antara individu pemakai bangunan dengan sarana transportasinya. Sirkulasi harus memberikan pencapaian yang mudah dan jelas, baik yang bersifat pelayanan publik maupun pribadi. ii. Sistem sirkulasi yang direncanakan harus telah memperhatikan kepentingan bagi aksesibilitas pejalan kaki. iii. Sirkulasi harus memungkinkan adanya ruang gerak vertikal (clearance) dan lebar jalan yang sesuai untuk pencapaian darurat oleh kendaraan pemadam kebakaran, dan kendaraan pelayanan lainnya. iv. Sirkulasi pertu diberi perlengkapan seperti tanda penunjuk jalan, rambu-rambu, papan informasi sirkulasi, elemen pengarah sirkulasi (dapat berupa elemen perkerasan maupun tanaman), guna mendukung sistim sirkulasi yang jelas dan efisien serta memperhatikan unsur estetika.

c.

Jalan i. Penataan jalan tidak dapat terpisahkan dari penataan pedestrian, penghijauan, dan ruang terbuka umum. ii. Penataan ruang jalan dapat sekaligus mencakup ruang-ruang antar bangunan yang tidak hanya terbatas dalam Damija, dan termasuk untuk penataan elemen lingkungan, penghijauan, dll. iii. Pemilihan bahan pelapis jalan dapat mendukung pembentukan identitas lingkungan yang dikehendaki, dan keJelasan kontinyuitas pedestrian.

d.

Pedestrian i. Jalur utama pedestrian harus telah mempertimbangkan sistem pedestrian secara keseluruhan, aksesibilitas terhadap subsistem pedestrian dalam lingkungan, dan aksesibilitas dengan lingkungan sekitarnya. ii. Jalur pedestrian harus berhasil menciptakan pergerakan manusia yang tidak terganggu oleh lalu lintas kendaraan. iii. Penataan pedestrian harus mampu merangsang terciptanya ruang yang layak digunakan/manusiawi, aman, nyaman, dan memberikan pemandangan yang menarik. iv. Elemen pedestrian (street fumiture) harus berorientasi pada kepentingan pejalan kaki.

e.

Parkir i. Penataan parkir harus berorientasi kepada kepentingan pejalan kaki, memudahkan aksesibilitas, dan tidak terganggu oleh sirkulasi kendaraan. ii. Luas, distribusi dan perletakan fasilitas parkir diupayakan tidak mengganggu kegiatan bangunan dan lingkungannya, serta disesuaikan dengan daya tampung lahan. iii. Penataan parkir tidak terpisahkan dengan penataan lainnya seperti untuk jalan, pedestrian dan penghijauan.

2. Pertandaan (Signage) a. Penempatan signage termasuk papan iklan/ reklame, harus membantu orientasi tetapi tidak mengganggu karakter lingkungan yang ingin diciptakan/ dipertahankan, baik yang penempatannya pada bangunan keveling, pagar, atau ruang publik. Untuk penataan bangunan dan lingkungan yang baik untuk lingkungan/ kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat mengatur pembatasa-pembatasan ukuran, bahan, motif, dan lokasi dari signage.

b.

3. Pencahayaan Ruang Luar Bangunan a. Pencahayaan ruang luar bangunan harus disediakan dengan memperhatikan karakter lingkungan, fungsi dan arsitektur bangunan estetika amenity, dan komponen promosi. Pencahayaan yang dihasilkan harus memenuhi keserasian dengan pencahayaan dari dalam bangunan dan pencahayaan dari jalan umum Pencahayaan yang dihasilkan dengan telah menghindari penerangan ruang luar yang berlebihan, silau, visual yang tidak menarik, dan telah memperhatikan aspek operasi dan pemeliharaan.

b. c.

III.4

PENGELOLAAN DAMPAK LAINGKUNGAN 1. Dampak Penting a. Setiap kegiatan dalam bangunan dan atau lingkungannya yang mengganggu dan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan harus dilengkapi dengan AMDAL sesuai ketentuan yang berlaku. Setiap kegiatan dalam bangunan dan atau lingkungannya yang menimbulkan dampak tidak penting terhadap lingkungan, atau secara teknologi sudah dapat dikelola dampak pentingnya, tidak perlu dilengkapi dengan AMDAL, tetapi diharuskan melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) sesuai ketentuan yang berlaku. Kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan adalah bila rencana kegiatan tersebut akan: i. menyebabkan perubahan pada sifat-sifat fisik dan atau hayati lingkungan, yang melampaui baku mutu lingkungan menurut peraturan penundang-undangan yang bertaku; ii. menyebabkan perubahan mendasar pada komponen lingkungan yang melampaui kriteria yang diakui, berdasarkan pertimbangan ilmiah; iii. mengakibatkan spesies-spesies yang langka dan atau endemik, dan atau dilindungi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku terancam punah; atau habitat alaminya mengalami kerusakan;

b.

c.

iv. menimbulkan kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung (hutan lindung, cagar alam, taman nasional, suaka margasatwa, dan sebagainya) yang telah ditetapkan menunut peraturan perundang-undangan; v. merusak atau memusnahkan benda-benda dan bangunan peninggalan sejarah yang bernilai tinggi; vi. mengubah atau memodifikasi areal yang mempunyai nilai keindahan alami yang tinggi; vii. mengakibatkan/ menimbulkan konflik atau kontroversi dengan masyarakat, dan atau pemerintah. d. Kegiatan yang dimaksud pada butir III.3.1.c merupakan kegiatan yang berdasarkan pengalaman dan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai potensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup.

2. Ketentuan Pengelolaan Dampak Lingkungan Jenis-jenis kegiatan pada pembangunan bangunan gedung dan atau lingkungannya yang wajib AMDAL, adalah sesuai Ketentuan pengelolaan Dampak Lingkungan yang berlaku. 3. Ketentuan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) Jenis-jenis kegiatan pada pembangunan bangunan gedung dan atau lingkungannya yang harus melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) adaiah sesuai ketentuan yang berlaku. 4. Persyaratan Teknis Pengelolaan Dampak Lingkungan a. Persyaratan Bangunan i. Untuk mendirikan bangunan yang menurut fungsinya menggunakan menyimpan atau memproduksi bahan peledak dan bahan-bahan lain yang sifatnya mudah meledak, dapat diberikan ijin apabila: (1) Lokasi bangunan terletak di luar lingkungan perumahan atau berjarak tertentu dari jalan umum, jalan kereta api dan bangunan lain di sekitarnya sesuai rekomendasi dinas teknis terkait. (2) Bangunan yang didirikan harus terletak pada jarak tertentu dari batas-batas pekarangan atau bangunan lainnya dalam pekarangan sesuai rekomendasi dinas terkait. (3) Bagian dinding yang terlemah dari bangunan tersebut diarahkan ke daerah yang paling aman. ii. Bangunan yang menurut fungsinya menggunakan, menyimpan atau memproduksi bahan radioaktif, racun, mudah terbakar atau bahan lain yang berbahaya, harus dapat menjamin keamanan keselamatan serta kesehatan penghuni dan lingkungannya. iii. Pada bangunan yang menggunakan kaca pantul pada tampak bangunan, sinar yang dipantulkan tidak boleh melebihi 24% dan dengan memnperhatikan tata letak serta orientasi bangunan terhadap matahari.

iv. Bangunan yang menurut fungsinya memerlukan pasokan air bersih dengan debit > 5 l/dt atau > 500 m3/hari dan akan mengambil sumber air tanah dangkal dan atau air tanah dalam (deep well) harus mendapat ijin dari dinas terkait yang bertanggung jawab serta menggunakan hanya untuk keperluan darurat atau alternatif dari sumber utama PDAM. v. Guna pemulihan cadangan air tanah dan mengurangi debit air larian, maka setiap tapak bangunan gedung harus dilengkapi dengan bidang resapan yang ukurannya disesuaikan dengan standar teknis yang berlaku. vi. Apabila bangunan yang menurut fungsinya akan membangkitkan LHR >= 60 SMP per 1000 ft2 luas lantai, maka rencana teknis sistem jalan akses keluar masuk bangunan gedung harus mendapat ijin dari dinas teknis yang berwenang. b. Persyaratan Pelaksanaan Konstruksi i. Setiap kegiatan konstruksi yang menimbulkan genangan baru sekitar tapak bangunan harus dilengkapi dengan saluran pengering genangan sementara yang nantinya dapat dibuat permanen dan menjadi bagian sistem drainase yang ada. ii. Setiap kegiatan pelaksanaan konstruksi yang dapat menimbulkan gangguan terhadap lalu lintas umum harus dilengkapi dengan rambu-rambu lalu lintas yang dioperasikan dan dikendalikan oleh tim pengatur lalu lintas. iii. Penggunaan hammer pile untuk pemancangan pondasi hanya diijinkan bila tidak ada bangunan rumah sakit di sekitarnya, atau tidak ada bangunan rumah yang rawan keretakan. iv. Penggunaan peralatan konstruksi yang diperkirakan menimbulkan keretakan bangunan, sekelilingnya harus dilengkapi dengan kolam peredam getaran. v. Setiap kegiatan pengeringan (dewatering) yang menimbulkan kekeringan sumur penduduk harus memperhitungkan pemberian kompensasi berupa penyediaan air bersih kepada masyarakat selama pelaksanaan kegiatan, atau sampai sumur penduduk pulih seperti semula. c. Pembuangan limbah cair dan padat i. Setiap bangunan yang menghasilkan limbah cair dan padat atau buangan lainnya yang dapat menimbulkan pencemaran air dan tanah, harus dilengkapi dengan sarana pengumpulan dan pengolahan limbah sebelum dibuang ke tempat pembuangan yang diijinkan dan atau ditetapkan oleh instansi yang berwenang. ii. Sarana pongumpulan dan pongolahan air limbah harus dipelihara secara berkala untuk menjamin kualitas effluen yang memenuhi standar baku mutu limbah cair. iii. Sampah yang dikumpulkan di sarana pengumpulan sampah padat harus selalu dikosongkan setiap hari untuk menjamin agar lalat tidak berkembang biak dan mengganggu kesehatan lingkungan bangunan gedung.

5.

Pengelolaan Daerah Bencana a. b. Suatu daerah dapat ditetapkan sebagai daerah bencana, daerah Banjir dan yang sejenisnya. Pada daerah bencana sebagaimana dimaksud pada butir III.3.5.a dapat ditetapkan larangan membangun atau menetapkan tata cara dan persyaratan khusus di dalam membangun, dengan memperhatikan keamanan, keselamatan dan kesehatan lingkungan. Lingkungan bangunan yang mengalami kebakaran dapat ditetapkan sebagai daerah tertutup dalam jangka waktu tertentu, dibatasi, atau dilarang membangun bangunan. Bangunan-bangunan pada lingkungan bangunan yang mengalami bencana, dengan memperhatikan keamanan, keselamatan dan kesehatan dapat diperkenankan mengadakan perbaikan darurat, bagi bangunanan yang rusak atau membangun bangunan sementara untuk kebutuhan darurat dalam batas waktu penggunaan tertentu dan dapat dibebaskan dari izin. Daerah sebagaimana dimaksud pada butir III.3.5.a, dapat ditetapkan sebagai daerah peremajaan kota.

c.

d.

e.

IV. STRUKTUR BANGUNAN GEDUNGIV. 1 PERSYARATAN STRUKTUR DAN BAHAN1.

Persyaratan Struktur a. b. Struktur bangunan yang direncanakan secara umum harus memenuhi persyaratan keamanan (safety) dan kelayakan (serviceability). Struktur bangunan harus direncanakan dan dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pada kondisi pembebanan maksimum, keruntuhan yang terjadi menimbulkan kondisi struktur yang masih dapat mengamankan penghuni, harta benda dan masih dapat diperbaiki. Struktur bangunan harus direncanakan mampu memikul semua beban dan / atau pengaruh luar yang mungkin bekerja selama kurun waktu umur layan struktur, termasuk kombinasi pembebanan yang kritis (antara lain: meliputi beban gempa yang mungkin terjadi sesuai zona gempanya), dan beban-beban lainnya yang secara logis dapat terjadi pada struktur.

c.

2.

Persyaratan Bahan a. Bahan struktur yang digunakan harus sudah memenuhi semua persyaratan keamanan, termasuk keselamatan terhadap lingkungan dan pengguna bangunan, serta sesuai standar teknis (SNI) yang terkait. Dalam hal bilamana bahan struktur bangunan belum mempunyai SNI maka bahan struktur bangunan tersebut harus memenuhi ketentuan teknis yang sepadan dari negara/ produsen yang bersangkutan. Bahan yang dibuat atau dicampurkan di lapangan, harus diproses sesuai dengan standar tata cara yang baku untuk keperluan yang dimaksud. Bahan bangunan prefabrikasi harus dirancang sehingga memiliki sistem hubungan yang baik dan mampu mengembangkan kekuatan bahan-bahan yang dihubungkan, serta mampu bertahan terhadap gaya angkat pada saat pemasangan/pelaksanaan.

b.

c. d.

IV.2

PEMBEBANAN 1 Analisa struktur harus dilakukan untuk memeriksa tanggap struktur terhadap beban - beban yang mungkin bekerja selama umur layan struktur, termasuk beban tetap, beban sementara (angin, gempa) dan beban khusus. Penentuan mengenai jenis, intensitas dan cara bekerjanya beban harus sesuai dengan standar teknis yang berlaku, seperti :

2.

a. b. IV.3

Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung SNI 1726; Tata Cara Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung SNI 1727.

STRUKTUR ATAS1.

Konstruksi beton Perencanaan konstruksi beton harus memenuhi standar-standar teknis yang berlaku, seperti: a. b. c. d. e. f. g. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung SNI 2847; Tata Cara Perencanaan Dinding Struktur Pasangan Blok Beton Berongga Bertulang untuk Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-3430. Tata Cara Pelaksanaan Mendirikan Bangunan Gedung, SNI-1728 Tata Cara Perencanaan Beton dan Struktur Dinding Bertulang untuk Rumah dan Gedung, SNI -1734. Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal, SNI-2834 Tata Cara Pengadukan dan Pengecoran Beton, SNI-3976. Tata Cara Rencana Pembuatan Campuran Beton Ringan dengan Agregat Ringan, SNI-3449.

2.

Konstruksi Baja Perencanaan konstruksi baja harus memenuhi standar-standar yang berlaku seperti: a. b. c. d. Tata Cara Perencanaan Bangunan Baja untuk Gedung, SNI-1729 Tata cara / pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan konstruksi baja. Tata Cara Pembuatan atau Perakitan Konstruksi Baja. Tata Cara Pemeliharaan Konstruksi Baja Selama Pelaksanaan Konstruksi.

3.

Konstruksi Kayu Perencanaan konstruksi kayu harus memenuhi standar-standar teknis yang berlaku. seperti: a. Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu untuk Bangunan Gedung.

b. c. d. 4.

Tata cara/ pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan konstruksi kayu. Tata Cara Pembuatan dan Perakitan Konstruksi Kayu Tata Cara Pengecatan Kayu untuk Rumah dan Gedung, SNI-2407.

Konstruksi dengan Bahan dan Teknologi Khusus a. Perencanaan konstruksi dengan bahan dan teknologi khusus harus dilaksanakan oleh ahli struktur yang terkait dalam bidang bahan dan teknologi khusus tersebut. Perencanaan konstruksi dengan memperhatikan standar-standar teknis padanan untuk spesifikasi teknis, tata cara, dan metoda uji bahan dan teknologi khusus tersebut.

b.

5.

Pedoman Spesifik Untuk Tiap Jenis Konstruksi Selain pedoman yang spesifik untuk masing-masing jenis konstruksi, standar teknis lainnya yang terkait dalam perencanean suatu bangunan yang harus dipenuhi, antara lain: a. b. c. d. e. f. g. h. i. Tata Cara Perencanaan Bangunan dan Lingkungan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-1735. Tata Cara Perencanaan Struktur Bangunan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-1736. Tata Cara Pemasangan Sistem Hidran untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-1745. Tata Cara Dasar Koordinasi Modular untuk Perancangan Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-1963. Tata Cara Perencanaan dan Perancangan Bangunan Radiologi di Rumah Sakit, SNI-2395. Tata Cara Perencanaan dan Perancangan Bangunan Kedokteran Nuklir di Rumah Sakit, SNI-2394. Tata Cara Perancangan Bangunan Sederhana Tahan Angin, SNI-2397. Tata Cara Pencegahan Rayap pada Pembuatan Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-2404. Tata Cara Penanggulangan Rayap pada Bangunan Rumah dan Gedung dengan Temmitisida, SNI-2405

IV.4

STRUKTUR BAWAH

1.

Pondasi Langsung a. Kedalaman pondasi langsung harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dasarnya terletak di atas lapisan tanah yang mantap dengan daya dukung tanah yang cukup kuat dan selama berfungsinya bangunan tidak mengalami penurunan yang melampaui batas. Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai tipikal dan korelasi tipikal dengan korelasi tipikal parameter tanah yang lain. Pelaksanaan pondasi langsung tidak boleh menyimpang dari rencana dan spesifikasi teknik yang berlaku atau ditentukan oleh perencana ahli yang memiiki sertifikasi sesuai. Pondasi langsung dapat dibuat dari pasangan batu atau konstruksi beton bertulang.

b.

c.

d. 2.

Pondasi Dalam a. Pondasi dalam pada umumnya digunakan dalam hal lapisan tanah dengan daya dukung yang cukup terletak jauh di bawah permukaan tanah sehingga penggunaan pondasi langsung dapat menyebabkan penurunan yang berlebihan atau ketidakstabilan konstruksi. Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai tipikal dan korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain. Umumnya daya dukung rencana pondasi dalam harus diverifikasi dengan percobaan pembebanan, kecuali jika jumlah pondasi dalam direncanakan dengan faktor keamanan yang jauh lebih besar dari faktor keamanan yang lazim. Percobaan pembebanan pada pondasi dalam harus dilakukan dengan berdasarkan tata cara yang lazim dan hasilnya harus dievaluasi oleh perencana ahli yang memiliki sertifikasi sesuai. Jumlah percobaan pembebanan pada pondasi dalam adalah 1 % dari jumlah titik pondasi yang akan dilaksanakan dengan penentuan titik secara random, kecuali ditentukan lain oleh perencana ahli serta disetujui oleh Dinas Bangunan.

b.

c.

d.

e.

IV.5

KEANDALAN STRUKTUR 1. Keselamatan Struktur a. Keselamatan struktur tergantung pada keandalan struktur tersebut terhadap gaya-gaya yang dipikulnya, beban akibat perilaku manusia maupun beban yang diakibatkan oleh perilaku alam. Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan, harus dilakukan pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman/ Petunjuk Teknis Tata Cara Pemeriksaan Keandalan Bangunan Gedung. Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan harus segera dilakukan sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan keandaian bangunan gedung, sehingga bangunan gedung selalu memenuhi persyaratan keselamatan struktur. Pemeriksaan keandalan bangunan gedung dilaksanakan secara berkala sesuai klasifikasi bangunan, dan harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.

b.

c.

d.

2.

Keruntuhan Struktur a. Keruntuhan sruktur adalah diakibatkan oleh ketidak andalan suatu sistem atau komponen stnuktur untuk memikul beban sendiri, beban yang didukungnya, beban akibat perilaku manusia, dan atau beban yang diakibatkan oleh perilaku alam. Ketidak andalan struktur akibat beban sendiri dan atau beban yang didukungnya disebabkan oleh karena umur bangunan yang secara teknis telah melebihi umur yang direncanakan, atau karena dilampauinya beban yang harus dipikulnya sesuai rencana sebagai akibat berubahnya fungsi bangunan atau kesalahan dalam pemanfaatannya. Ketidak andalan struktur akibat beban perilaku alam dan atau manusia dapat diakibatkan oleh adanya kebakaran, gempa, maupun bencana lainnya. Untuk mencegah terjadinya keruntuhan struktur yang tidak diharapkan pemeriksaan keandalan bangunan harus dilakukan secara berkala sesuai dengan pedoman/ petunjuk teknis yang berlaku.

b.

c. d.

IV.6

DEMOLISI STRUKTUR 1. Kriteria Demolisi Demolisi struktur dilakukan apabila: a. Struktur bangunan sudah tidak andal, dan kerusakan struktur sudah tidak memungkinkan lagi untuk diperbaiki karena alasan teknis dan atau

ekonomis, serta dapat membahayakan pengguna bangunan, masyarakat dan lingkungan. b. 2. Adanya perubahan peruntukan lokasi/fungsi bangunan, dan secara teknis struktur bangunan tidak dapat dimanfaatkan lagi.

Prosedur dan Metoda a. Prosedur, metoda dan rencana demolisi struktur harus memenuhi persyaratan teknis untuk pencegahan korban manusia dan untuk mencegah kerusakan serta dampak lingkungan. b. Penyusunan prosedur, metoda dan rencana demolisi struktur dilakukan atau didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.

V. PENGAMANAN TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN

V.1 SISTEM PROTEKSI PASIF 1. Ketahanan Api dan Stabilitas. a. Bangunan gedung harus mampu secara struktural stabil selama kebakaran, sehingga: i. cukup waktu untuk evakuasi penghuni secara aman; ii. cukup waktu bagi pasukan pemadam kebakaran memasuki lokasi untuk memadamkan api; iii. dapat menghindari kerusakan pada properti lainnya. Bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana/ prasarana pengamanan dan pencegahan penyebaran api, terutama pada bangunan klas 2, 3 atau bagian dan bangunan klas 4: i. yang menghubungkan kompartemen api, dan ii. antara bangunan. Bangunan gedung harus mempunyai bagian atau elemen bangunan yang pada tingkat tertentu akan mempertahankan stabili