Kepentingan Utama GLOBALISASI

146
Kepentingan Utama GLOBALISASI (1) Anup Shah Perdagangan global mungkin akan menjadi dambaan sebagian besar orang seandainya saja ia bisa memberikan kesempatan kepada semua bangsa untuk makmur, membangun secara adil dan saling menguntungkan. Neoliberalisme digembar-gemborkan sebagai mekanisme untuk mencapainya. Margaret Thatcher membuat singkatan TINA--There Is No Alternative (tak ada alternatif lain). Tapi, apakah yang dimaksud dengan neoliberalisme itu? Liberalisme Politik versus Liberalisme Ekonomi Perlu dicatat, bahwa terdapat perbedaan penting antara politik liberal dengan ekonomi liberal. Kekaburan tersebut tak pernah diklarifikasi oleh media massa mainstream (terkemuka)! Politik liberal berbicara tentang kepedulian terhadap isu-isu sosial dan upaya untuk memberikan saran-saran yang progresif dan fleksibel dalam menanganinya, cara yang bertentangan dengan yang dilakukan oleh unsur konservatif, atau sayap kanan. Namun, liberalisme dalam terminilogi ilmu ekonomi berbicara tentang kepedulian terhadap liberalisasi kapital. Politisi konservatif bisa sangat mendukung ekonomi liberal; sebaliknya terhadap politik liberal. Sebagaimana yang disimpulkan oleh Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia: “’Liberalisme’ mengacu pada ide-ide politik, ekonomi, bahkan agama. Di AS, liberalisasi politik telah menjadi strategi untuk menghindari konflik sosial. Yakni dengan menyuguhkan (liberalisme) pada si miskin dan kaum pekerja sebagai hal yang progresif ketimbang kaum konservatif atau Kaum Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda lagi. Politisi-politisi konservatif, yang mengatakan bahwa mereka membenci kata “liberal”¾dalam arti tipe politik¾tak memiliki keberatan apa pun dengan liberalisme ekonomi, temasuk neo-liberalisme.” (2)

Transcript of Kepentingan Utama GLOBALISASI

Page 1: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Kepentingan Utama GLOBALISASI (1)

 Anup Shah 

 Perdagangan global mungkin akan menjadi dambaan sebagian besar orang seandainya saja ia bisa memberikan kesempatan kepada semua bangsa untuk makmur, membangun secara adil dan saling menguntungkan. Neoliberalisme digembar-gemborkan sebagai mekanisme untuk mencapainya. Margaret Thatcher membuat singkatan TINA--There Is No Alternative (tak ada alternatif lain). Tapi, apakah yang dimaksud dengan neoliberalisme itu?

 Liberalisme Politik versus Liberalisme Ekonomi

 Perlu dicatat, bahwa terdapat perbedaan penting antara politik liberal dengan ekonomi liberal. Kekaburan tersebut tak pernah diklarifikasi oleh media massa mainstream (terkemuka)!

 Politik liberal berbicara tentang kepedulian terhadap isu-isu sosial dan upaya untuk memberikan saran-saran yang progresif dan fleksibel dalam menanganinya, cara yang bertentangan dengan yang dilakukan oleh unsur konservatif, atau sayap kanan.

 Namun, liberalisme dalam terminilogi ilmu ekonomi berbicara tentang kepedulian terhadap liberalisasi kapital. Politisi konservatif bisa sangat mendukung ekonomi liberal; sebaliknya terhadap politik liberal.

 Sebagaimana yang disimpulkan oleh Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia:

  “’Liberalisme’ mengacu pada ide-ide politik, ekonomi, bahkan agama. Di AS, liberalisasi politik telah menjadi strategi untuk menghindari konflik sosial. Yakni dengan menyuguhkan (liberalisme) pada si miskin dan kaum pekerja sebagai hal yang progresif ketimbang kaum konservatif atau Kaum Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda lagi. Politisi-politisi konservatif, yang mengatakan bahwa mereka membenci kata “liberal”¾dalam arti tipe politik¾tak memiliki keberatan apa pun dengan liberalisme ekonomi, temasuk neo-liberalisme.” (2)

 Sekilas tentang Sejarah Neoliberalisme

 Sistem modern perdagangan bebas, perusahaan bebas dan ekonomi yang berbasiskan-pasar, sebenarnya telah muncul sejak 200 tahun yang lalu, sebagai satu mesin penggerak utama dalam pembangunan Revolusi Industri. Namun, akarnya adalah merkantilisme yang terbentuk selama Abad Pertengahan dan Zaman Kegelapan Eropa, beberapa ratus tahun sebelumnya! Dan juga memiliki akar serta pararel dengan berbagai metode yang digunakan imperium sepanjang sejarahnya (dan, saat ini, masih digunakan) untuk menguasai tempat-tempat yang lebih lemah di sekitarnya serta untuk merampas kekayaannya. Sebenarnya, bisa saja diyakini bahwa neoliberalisme (sekarang ini) tak lain merupakan merkantilisme yang didandani oleh retorika yang lebih bersahabat, mengingat relitasnya tetap sama dengan proses merkantilis yang telah berlangsung selama ratusan tahun yang lalu. (3)

 

Page 2: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Pada tahun 1776, ekonom Inggris, Adam Smith, menerbitkan bukunya, The Wealth of Nations. Adam Smith, yang dianggap beberapa orang sebagai bapak kapitalisme pasar bebas (modern) dan bisa menulis buku yang sangat berpengaruh, menganjurkan bahwa untuk mencapai efesiensi maksimum, semua bentuk campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi sebaiknya ditanggalkan, dan seharusnya tak ada pembatasan atau tarif dalam manufaktur serta perdagangan satu bangsa agar bangsa tersebut bisa berkembang.

Itu lah yang membentuk landasan bagi kapitalis untuk bebas berusaha (memiliki perusahaan bebas) dan, hingga Krisis Berat (Great Depression) pada tahun 1930-an, pemikiran tersebut dijadikan teori ekonomi utama yang berlaku di Amerika Serikat dan Inggris. Perlu dicatat, bahwa agar kedua bangsa tersebut sukses mempertahankan pemikiran tersebut, mereka membutuhkan alasan dan penyokong yang kuat, yakni imperialisme, kolonialisme, dan penundukan bangsa lain, (yang mereka lakukan) agar mereka memiliki akses kepada sumber daya yang bisa memproduksi kemakmuran yang sangat tinggi.

Namun, dalam waktu yang tak begitu lama, hingga sebelum Perang Dunia II, telah kelihatan tanda-tanda melebarnya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. 

Karena Krisis Berat pada tahun 1930-an tersebut, seorang ekonom, John Maynard Keynes, menganjurkan bahwa regulasi dan campur tangan pemerintah sebenarnya dibutuhkan untuk memberikan keadilan yang lebih besar dalam pembangunan. Anjuran tersebut merupakan landasan bagi model pembangunan Keynesian dan, setelah Perang Dunia II, dijadikan landasan model pembangunan untuk membangun kembali sistem ekonomi internasional. Marshall Plan Eropa membantu menata kembali ekonomi Eropa, dan bangsa-bangsa Eropa bisa memperoleh manfaatnya, yakni sanggup menyediakan berbagai pelayanan sosial--seperti untuk program-program kesehatan, pendidikan dan sebagainya--dan Roosevelt (dengan New Deal nya) tentu saja sangat paham akan dampak-dampak positif nya.

Sebenarnya, lembaga-lembaga yang didirikan pada pertemuan di Bretton Woods--seperti Dana Moneter Internasional (International Monetary Funds/IMF) dan Bank Dunia (Wolrd Bank/WB)--dirancang dengan berpijak pada kebijakan pemikiran Keynesian; sebagai cara untuk membantu menyediakan regulasi internasional dan pengawasan terhadap kapital. Sebagimana yang dikatakan Susan George: “… ketika lembaga-lembaga tersebut didirikan di Bretton Woods pada tahun 1944, mandatnya adalah mencegah konflik di masa depan dengan memberi pinjaman bagi rekonstruksi dan pembangunan, serta untuk (sementara waktu) mengatasi masalah-masalah dalam neraca pembayaran. Mereka tak memiliki mandat untuk mengontrol orang-orang pemerintahan yang membuat keputusan-keputusan ekonomi, termasuk tak memberikan izin untuk campur tangan dalam  kebijakan nasional.”  Sangat lah berbeda dengan apa yang berlangsung saat ini!

 Pada tahun 1945 hingga tahun 1950, jika anda bersikukuh menawarkan berbagai gagasan dan kebijakan dengan standar perangkat neoliberal (seperti saat ini), anda akan ditertawai (diolok-olok) atau dikirim ke rumah sakit jiwa. Pada saat itu, paling tidak di negeri Barat, setiap orang adalah Keynesian, sosial demokrat, sosial-Kristen demokrat, atau dipengaruhi ide-ide Marxis. Gagasan bahwa pasar sebaiknya diizinkan membuat keputusan ekonomi dan politik yang penting; bahwa negara seharusnya secara sukarela mengurangi perannya dalam ekonomi; atau

Page 3: Kepentingan Utama GLOBALISASI

perusahaan-perusahaan sebaiknya diberikan kebebasan total; serikat buruh sebaiknya dikekang; dan warga negara dikurangi jaminan sosialnya—ide-ide semacam itu sama sekali asing dengan semangat pada saat itu. Bahkan, bila pun seseorang sebenarnya setuju dengan gagasan-gagasan tersebut, ia akan ragu mengambil posisi nya di hadapan publik karena akan kesulitan untuk mencari pendegar. (4)

 Namun, karena para elit dan perusahaan-perusahaan menganggap bahwa dampak pemikiran yang berupaya menyetarakan masyarakat tersebut (Keynesian) mengurangi keuntungan mereka, maka ekonomi liberal pun dihidupkan kembali, dan muncul lah terminologi baru--“neoliberalisme”. Yang ujudnya tak memiliki batas-batas nasional, atau diterapkan terhadap ekonomi internasional. Berawal dari Universitas Chichago--dengan filsuf-ekonom nya, Friederich von Hayek dan muridnya, Milton Friedman--ideologi neoliberalisme disebar ke seluruh dunia dengan sangat baiknya.

 Namun, bahkan sebelumnya, sudah terlihat tanda-tanda bahwa tatanan ekonomi dunia akan menempuh cara tersebut: sebagian besar perang (di sepanjang sejarah) pada intinya bertujuan menguasai ekonomi, perdagangan, dan sumber daya. Keinginan memiliki akses terhadap sumber daya murah menyebabkan kekuasaan imperium mengesyahkan aksi militer, tentu saja dengan kedok “kepentingan nasional”, “keamanan nasional”, “campur tangan “kemanusiaan” dan sebagainya. Sesungguhnya, sebagaimana diungkapkan J.W Smith, pola-pola (yang serupa dengan) merkantilisme telah terlihat sepanjang sejarah:

 “Kemakmuran negara-kota kuno (seperti Venesia dan Genoa) landasannya adalah kekuatan angkatan laut mereka, dan pakta/perjanjian dengan kekuatan besar lainnya untuk menguasai perdagangan. Hal itu diperluas juga pada bangsa-bangsa lain agar bisa merancang kebijakan perdagangan mereka demi mengeruk kekayaannya (merkantilisme). Adakalanya satu negeri yang kuat akan menindas negeri lainnya (agar bisa merampas kekayaannya) dengan  diawali perang dagang, perang terselubung, atau perang fisik; namun,  negeri yang lebih  lemah, yang terbelakang,  biasanya akan kalah dalam perang tersebut. Karena kekuatan militer nya, negeri-negeri yang lebih maju mampu mendiktekan aturan-aturan dagang dan mempertahankan hubungan yang tidak adil/setara." (5)

 Karena ekonomi Eropa dan Amerika bisa berkembang, mereka kemudian membutuhkan perluasan yang lebih besar guna mempertahankan standar hidup yang tinggi (bagi segelintir orang). Dengan demikian mereka harus meluaskan teritori kolonialnya agar bisa memperoleh akses yang lebih besar pada bahan mentah dan sumberdaya lainnya, termasuk buruh murah yang bisa dieksploitasi. Negeri yang melawan sering menghadapi penindasan yang brutal atau campur tangan militer.

Karena perdagangan harus mengabaikan batas-batas nasional, dan manufaktur membutuhkan pasar dunia, maka bendera bangsa harus diseragamkan, dan pintu bangsa (yang tertutup bagi negeri-negeri maju) harus didobrak. Konsesi-konsesi yang diperoleh oleh pemodal harus diselamatkan oleh kementerian negara bahkan, dalam proses tersebut, kedaulatan negeri-negeri lain akan diobrak-abrik. Koloni harus diperoleh atau didirikan, tak ada sudut dunia yang luput atau tak terpakai. (6)

Page 4: Kepentingan Utama GLOBALISASI

 Pernyataan Ricahards Robinson, Profesor Antropologi dan pengarang Global Problems and the Culture of Capitalism, juga layak dikutip lebih panjang:

 “Depresi Berat Dunia pada tahun 1873, yang sebenarnya tetap berlangsung hingga pada tahun 1859, merupakan manisfestasi besar (pertama) krisis bisnis kapitalis. Depresi itu sebenarnya bukan lah krisis ekonomi yang pertama (karena beberapa kali, ribuan tahun sebelumnya, juga pernah terjadi), tapi kehancuran keuangan pada tahun 1873 mengungkapkan derajat integrasi ekonomi global--bagaimana kejadian ekonomi di salah satu bagian dunia akan mempengaruhi negeri lainnya…”

 Depresi pada tahun 1873 membuktikan adanya problem besar lainnya yang menghambat upaya kapitalis untuk memperluas diri dan meningkatkan pertumbuhannya secara terus menerus; pertumbuhan yang hanya bisa dilanjutkan sepanjang bisa disediakan bahan-bahan mentah dan ada peningkatan permintaan terhadap barang-barang nya, yang sejalan dengan cara-cara (kebutuhan) untuk menginvestasikan keuntungan dan kapital. Dalam situasi tersebut, jika pada tahun 1873 anda adalah seorang investor Amerika atau Eropa, ke mana anda akan melakukan ekspansi ekonomi?

 Jawabannya jelas: Eropa dan Amerika akan melakukan ekspansi kekuasaannya menyeberangi lautan, khususnya ke daerah-daerah yang relatif masih belum tersentuh kapitalis—Afrika, Asia, dan Pasifik. Kolonialisme, faktanya, menjadi jalan keluar yang direstui demi memenuhi kebutuhan untuk meluaskan pasar, meningkatkan kesempatan bagi para investor, dan menjamin pasokan bahan mentah. Cecil Rhodes, salah seorang tokoh besar kolonisasi Afrika dari Inggris, mengakui pentingnya ekspansi ke luar negeri justru untuk mempertahankan perdamaian di dalam negeri. Pada tahun 1895 Rhodes berkata:

 “Kemarin aku berada di Ujung Timur London, menghadiri sebuah pertemuan para pengangguran. Aku mendegar pidato yang liar yang, ringkasannya, hanya lah teriakan: “roti”, ”roti”. Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku merenungkan kejadian tersebut, dan aku menjadi lebih yakin ketimbang sebelumnya akan pentingya imperialisme... Ide cemerlang ku itu merupakan jalan keluar bagi masalah sosial--yakni untuk menyelamatkan 40 juta penduduk Kerajaan Inggris dari perang saudara berdarah--karenanya, kami, negarawan kolonial, membutuhkan tanah baru untuk menempatkan kelebihan penduduk, untuk menyediakan pasar baru bagi barang-barang yang kami produksi di pabrik-pabrik dan pertambangan kami. Imperium, sebagaimana yang sering aku katakan, merupakan persoalan roti dan mentega. Jika anda ingin menghindari perang saudara, maka anda harus menjadi imperialis.

 Hasil dari hasrat untuk melakukan ekspansi imperialis: rakyat seluruh dunia diubah menjadi produsen hasil panenan (untuk diekspor)--sebagaimana jutaan petani subsisten dipaksa menjadi buruh upahan yang memproduksi barang-barang yang dibutuhkan pasar--dan mengharapkan para pedagang serta para industrialis Eropa, Amerika, membelinya, ketimbang memasoknya untuk diri sendiri, atau demi memenuhi kebutuhan pokoknya.” (7)

 Esensinya, Perang Dunia I adalah perang untuk memperebutkan sumber daya, atau pertempuran antar pusat-pusat imperium demi menguasai dunia. Perang Dunia II adalah pertempuran

Page 5: Kepentingan Utama GLOBALISASI

lain semacamnya. Boleh jadi, menurut mereka, perang-perang semacam itu bukan cara yang baik dan, karenanya, harus mencari cara yang lebih kooperatif. 

 Tapi, kerjasama tersebut bukan lah terutama untuk semua kepentingan dunia, atau hanya demi kepentingan dirinya. Upaya keras Soviet untuk mengambil cara pembangunan yang independen--yang memiliki cacat karena karakter sentralistik nya, dan perspektif paranoid serta totaliter nya--merupakan ancaman bagi pusat-pusat kapital tersebut karena akan menyebabkan koloni mereka “mengambil gagasan yang salah”, dan juga mencoba jalan independen bagi pembangunan mereka. 

 Karena Perang Dunia II menyebabkan negeri-negeri imperialis semakin melemah, banyak negeri koloni mulai me-merdeka-kan diri. Di beberapa tempat terdapat negeri-negeri yang memiliki potensi untuk mengusung proses demokratik dan, bahkan, bisa memberikan contoh kepada negeri-negeri tetangganya untuk mengikutinya. Proses demokratik tersebut jelas akan mengurangi akses terhadap sumber daya murah, dan hal itu akan mengancam pengaruh, kekuasaan, dan kontrol perusahaan-perusahaan multinasional serta negeri-negeri imperium nya (mantan-mantan imperialis). Sering, kemudian, mereka memberikan sanksi berupa aksi militer. Untuk mencari dukungan di dalam negeri, mereka menyebarkanluaskan, menggembar-gemborkan, ketakutan akan komunisme, seandainya pun harus berbohong.

 “…Untuk memberikan alasan bagi (intervensi atau aksi militer lainnya) anda harus berbohong sedemikian rupa agar tercipta kesan (yang salah) bahwa Uni Soviet lah yang sedang kalian perangi…" (8)

 Tujuannya akhir nya adalah adalah memastikan semuanya ada di jalur yang memudahkan suatu bentuk globalisasi yang bisa memuaskan perusahaan besar dan kelas elit kekuatan-kekuatan (mantan) imperialis. (Jadi, tidak lah mengherankan bila Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang, sebagaimana juga bangsa Eropa lainnya bisa begitu makmur, sedangkan negeri-negeri bekas koloni masih tetap miskin;  boom ekonomi bangsa maju diongkosi oleh sebagian besar penduduk 

dunia). Sebagai hasilnya, globalisasi akan ditopang oleh kekuatan militer (hingga sekarang masih demikian) untuk memastikan dan mempertahankan keuntungannya.

Jadi, walaupun sepertinya kolonialisasi dan imperialisme berakhir bersamaan dengan usainya Perang Dunia II, namun upaya mati-matian untuk mengembangkan anjuran Adam Smith-perdagangan bebas dan pasar bebas--dan kebijakan-kebijakan merkantilis masih tetap berlangsung. (Sesungguhnya, dengan membaca tulisan Adam Smith, The Wealth of Nation, akan terungkap bahwa kenyataan sekarang ini sangat menyimpang jauh dari doktrin kapitalisme pasar bebas; atau masih tetap bisa dianggap sebagai kapitalisme monopoli; atau seolah zaman merkantilisme telah mencapai kematangannya. Kita akan membicarakannya kemudian). Dan, dengan demikian, sistim kepercayaan nya pun harus  selaras dengan tujuan politiknya:

 “Saat ketidakadilan imperialisme (merkantilis) sudah sedemikian mencolok dan begitu memalukannya, maka dipasok lah sistim kepercayaan bahwa merkantilisme sudah ditanggalkan, kini perdagangan bebas lah yang menggantikannya. Dalam kenyataan nya, perampasan kekayaan

Page 6: Kepentingan Utama GLOBALISASI

masih dilakukan, ditutup rapat-rapat oleh sistem monopoli yang kompleks, dan perdagangan yang tak adil/setara disembunyikan di balik tabir pasar bebas. Berbagai alasan diberikan bila ada perang antar bangsa-bangsa imperium yang sedang memperebutkan tujuan yang sama: ‘Siapa yang akan menguasai sumber daya, perdagangan, dan kemakmuran, yang dihasilkan melalui ketidakadilan dalam perdagangan?’ Semua itu dibuktikan oleh adanya ketimpangan dalam perdagangan, yang mengalirkan kekayaan dunia ke pusat-pusat kapital imperium yang ada saat ini, tak beda dengan perampasan tersembunyi (melalui perdagangan) yang mereka lakukan berabad-abad yang lalu. Pertempuran memperebutkan kekayaan dunia hanya lah sedang disembunyikan di balik berbagai sistim kepercayaan, apalagi bila rahasia kebohongan nya (perampasan kekayaan negeri-negeri lain) terbongkar.” (1)

 Khususnya pada era Reagan dan Thatcher, neoliberalisme didesakkan ke sebagian besar belahan dunia, menghancurkan apa saja yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan menswastakan apa saja yang dimiliki oleh publik, menggunakan campur tangan militer jika dibutuhkan. Kebijakan Penyesuaian Struktural digunakan untuk membuka ekonomi negeri-negeri miskin sehingga bisnis-bisnis besar dari negeri-negeri maju bisa memiliki dan mengakses berbagai sumber daya dengan murah. Jadi, dimulai dari sekte kecil dan tak populer yang, sebenarnya, tak memiliki pengaruh, neoliberalisme kemudian menjadi agama utama dunia dengan doktrin-doktrin dogmatik nya, dengan para pendeta nya, dengan lembaga-lembaga yang menghasilkan hukum-hukum nya dan, yang mungkin paling penting dari semuanya, neraka nya, bagi mereka yang murtad dan para pendosa yang menentang kebenarannya. Oskar Lafontaine, mantan Menteri Keuangan Jerman, yang oleh Financial Times dijuluki sebagai  “Keynesian tak tergoyahkan”, baru saja dikirim ke neraka tersebut karena ia berani mengajukan pajak perusahaan yang lebih tinggi dan memangkas pajak orang-orang biasa dan keluarga yang kurang mampu.

 Tahun 1979, tahun Margaret Thatcher menduduki jabatannya dan menerapkan revolusi neo-liberal di Inggris. Wanita Besi ini mendidik dirinya sebagai murid Friederich von Hayek, ia seorang sosial Darwinis dan tak memiliki rasa cemas dalam mengungkapkan keyakinan-keyakinan nya. Dia begitu terkenal karena mengabsyahkan program nya dengan sebutan satu kata, TINA, singkatan dari There is No Alternative. Nilai pokok doktrin Thatcher dan neo-liberalisme itu sendiri adalah gagasan persaingan--persaingan antar bangsa, antar wilayah, antar perusahaan, dan tentu saja antar individu. Kompetisi menjadi sentral nya karena ia bisa memisahkan domba dari kambing, orang dewasa dari anak-anak, yang layak dari yang tak layak. Hal itu dimaksudkan untuk mengalokasikan (dengan kemungkinan efesiensi yang paling besar) seluruh sumber daya, apakah sumber daya fisik, sumber daya alam, sumber daya manusia, atau sumber daya keuangan.

 Berbeda tajam dengan filsuf besar China Lao Tzu, yang menuntaskan filsafat Tao-te Ching nya dengan kata-kata: ”Di atas segalanya, jangan bersaing”. Satu-satunya aktor dalam dunia neo-liberal yang nampaknya paling percaya pada anjuran nya adalah aktor paling besar--perusahaan-perusahaan Transnasional. Prinsip kompetisi jarang diterapkan di antara sesama mereka; mereka lebih senang mempraktekkan apa yang kita sebut dengan Aliansi Kapitalis. (2)

 Karena Perang Dingin telah “berakhir”, tak mengherankan bila globalisasi bentuknya seperti yang kita lihat sekarang ini--arah yang tak akan dituju “oleh perjalanan” Perang Dingin. Perang

Page 7: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Dunia berkaitan dengan upaya melebarkan jalan-rimbun perdagangan dan yang menguntungkannya. Sepanjang Perang Dingin kita mengisi dunia dengan ancaman terhadap demokrasi pasar: sekarang sebaiknya kita mengupayakan perluasan pencapaian nya. (3)

 Saat ini kebijakan neoliberal dipahami secara negatif dan positif. Perusahaan yang diberikan kebebasan telah menghasilkan banyak inovasi produk. Pertumbuhan dan pembangunan (bagi segelintir orang) telah melimpah ruah. Namun, bagi sebagian besar orang, malah meningkatkan kemiskinannya, dan inovasi serta pertumbuhannya tidak lah dirancang untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar rakyat dunia.

 Tak seorang pun bisa memisahkan ilmu ekonomi, ilmu politik, dan sejarah. Politik lah yang mengontrol ekonomi. Sejarah, bila akurat dan sepenuhnya didokumentasikan, bisa menceritakannya. Dalam sebagian besar buku-buku teks dan pengajaran, tak hanya ketiga bidang studi itu saja yang dipisah-pisah tapi, lebih jauh lagi, masing-masing nya juga dikotak-kotakan menjadi sub bidang studi sehingga mengaburkan kaitan-kaitan (ketat) nya. (4)

 Jadi, Neoliberalisme adalah…

 Neoliberalisme, bila dikatakan secara retorik, esensi nya adalah bagaimana mengusahakan agar perdagangan antar bangsa menjadi lebih mudah. Maksudnya, mengusahakan agar barang-barang, sumber daya dan perusahaan-perusahaan lebih bebas bergerak, dalam upaya untuk mendapatkan sumber daya yang lebih murah, untuk memaksimalkan keuntungan dan efisiensi. 

Agar tujuan tersebut bisa dipenuhi maka berbagai kontrol harus disingkirkan. Atau satu-satu nya jalan untuk memaksimalkan itu semua adalah dengan menanggalkan berbagai kontrol; menghapuskan  hal-hal yang dianggap membatasi perdagangan bebas, seperti :

Tarif.

Peraturan-peraturan.

Standar-standar tertentu, legislasi, dan ukuran-ukuran yang diregulasi.

Pembatasan-pembatasan terhadap aliran kapital dan investasi.

Tujuannya agar mampu melepaskan pasar bebas mencari keseimbangan nya sendiri secara alamiah melalui tekanan permintaan-permintaan pasar, kunci bagi keberhasilan ekonomi yang berbasiskan-pasar. 

 Bila artikel What is "Neo-Liberalism? , A Brief Definition for Activists" (apa itu neo-liberalisme?, garis besar definisi bagi aktivis), yang ditulis Elizabeth Martinez dan Arnoldo Gracia, dari Corporate Watch, diringkas, maka poin-poin utama neoliberalisme mencakup:

Hukum pasar--kebebasan bagi kapital, barang dan jasa, sehingga pasar bisa mengatur dirinya sendiri agar gagasan “tetesan ke bawah” dapat mendistribusikan kekayaan. Juga mencakup upaya agar tenaga kerja tak diwakili oleh serikat buruh, dan menyingkirkan

Page 8: Kepentingan Utama GLOBALISASI

semua hambatan yang menghalangi mobilitas kapital, seperti peraturan-peraturan. Kebebasan tersebut harus diberikan oleh negara atau pemerintah.

Mengurangi pembelanjaan publik bagi pelayanan-pelayanan sosial, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah.

Deregulasi, agar kekuatan pasar bisa bekerja menurut mekanisme aturannya sendiri.

Swastanisasi perusahaan-perusahaan milik publik (seperti perusahaan yang mengelola kebutuhan air, bahkan perusahaan internet).

Mengubah persepsi baik tentang publik dan komunitas menjadi individualisme dan tanggung jawab individual.

Sama hal nya juga dengan Richard Robinson, dalam bukunya Global Problems and the Culture of Capitalism (Allyn Bacon, 1999), yang meringkas (pada halaman 100) prinsip-prinsip utama di balik ideologi  neoliberalisme ini:

Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebagai cara untuk memajukan manusia.

Pasar bebas tanpa “campur tangan” pemerintah adalah yang paling ampuh dan secara sosial bisa mengoptimalkan alokasi sumber daya.

Globalisasi ekonomi akan menguntungkan semua orang.

Swastanisasi akan menghilangkan pemborosan dalam sektor publik.

Fungsi utama pemerintah seharusnya adalah menyediakan infrastruktur untuk memajukan kepatuhan akan hukum, yang berkaitan denga hak-hak pemilikan dan kontrak.

 

Selanjutnya, pada tataran internasional, bisa kita mengerti tambahan-tambahan nya, yakni diterjemahkan dalam bentuk: 

Kemerdekaan dalam perdagangan barang dan jasa.

Sirkulasi kapital yang lebih bebas.

Kemampuan bergerak (investasi) harus lebih dibebaskan.

Asumsi yang digaris-bawahi selanjutnya adalah bahwa pasar bebas merupakan sesuatu yang baik. Bisa saja demikian tapi, sayangnya, jika kita bedakan antara realitas dengan  retorika, apakah benar pasar itu sedemikian bebas nya, dan tak dipengaruhi oleh yang berkuasa, atau dimanipulasi demi kepentingan mereka. Walau bagi beberapa ekonom, ideologi dianggap, bahkan, seperti teologi--dalam pengertian bahwa cara perkembangan nya alamiah--tapi realitas

Page 9: Kepentingan Utama GLOBALISASI

juga merupakan faktor yang bisa menjelaskan permainan kekuasaan yang mempengaruhi “kebebasan” dalam perdagangan bebas. Dilihat dari perspektif kekuasaan, pasar “bebas” dalam kenyataan nya--sebagaimana yang dipahami banyak orang di seluruh dunia--merupakan kelanjutan kebijakan lama--yakni perampasan--apakah itu disengaja atau tidak. Tapi kita tak pernah mendengar ada diskusi semacam itu dalam  media mainstream (terkemuka).

Apa kah neoliberalisme itu? Suatu program untuk menghancurkan struktur kolektif--yang bisa menghambat logika pasar murni.

  Dalam wacana yang dominan, dunia ekonomi dianggap sebagai tatanan yang murni dan sempurna; wacana yang bersikukuh mengaku bisa membeberkan logika konsekuensi-konsekuensinya (karena bisa diprediksi); wacana yang dengan segera menindak semua pelanggaran dengan sanksi yang keras, baik secara otomatis atau--lebih tak lazim--melalui perantaraan penggunaaan kekuatan bersenjata, menggunakan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), menggunakan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD), dan menggunakan kebijakan-kebijakan yang mereka paksakan: mengurangi biaya tenaga kerja (upah buruh), mengurangi pembelanjaan publik, dan mengupayakan agar kerja menjadi lebih fleksibel. Apakah wacana yang dominan tersebut benar? Bagaimana jika, dalam kenyataan nya, tatanan ekonomi tersebut tak lebih dari sekadar upaya untuk mewujudkan utopia--utopia neoliberalisme--yang kemudian berubah menjadi suatu problem politik? Sesuatu yang, dengan bantuan teori ekonomi yang diproklamirkan nya, sukses mengkhayalkan dirinya seolah-olah sebagai suatu penjelasan ilmiah tentang kenyataan? 

 Teori yang menggurui itu sepenuhnya merupakan fiksi matematis. Sejak awal sudah bisa dimengerti bahwa teori nya berlandaskan abstraksi yang sangat padat. Karena mengatasnamakan konsepsi rasionalitas yang dangkal dan ketat--yakni rasionalitas individual--maka teori tersebut mengabaikan orientasi-orientasi rasional kondisi-kondisi sosial dan ekonomi, dan mengabaikan stuktur-struktur ekonomi serta sosial yang menjadi syarat bagi penerapannya. 

 Untuk menakar kelalaian tersebut, cukup lah dengan berpikir tentang sistem pendidikan. Pendidikan tak pernah diperlakukan dengan selayaknya, walaupun ia memainkan peran yang menentukan dalam produksi barang dan jasa, bahkan juga dalam memproduksi produsen nya itu sendiri. Dosa asal ini--sebagaimana yang tertulis dalam mitos Walrasian (3) tentang “teori murni”--merupakan sumber seluruh cacat dan pelanggaran terhadap disiplin ilmu ekonomi. Selain itu, yang merupakan basis kesalahan fatal nya adalah: bahwa logika ekonomi yang selayaknya, katanya, harus didasarkan pada kompetisi dan efesiensi; yang bertentangan dengan logika sosial (yang merupakan subyek untuk menegakkan keadilan). Walaupun pemahaman terhadap pertentangan tersebut, tentu saja, serampangan tapi, (semata-mata) eksistensi nya lah yang memaksanya mengikatkan diri pada kesalahan tersebut. 

 Memang, “teori” tersebut tak memiliki watak sosial dan ahistoris sejak dari akarnya. Tapi, saat ini, lebih dari sebelumnya, mereka mengaku memiliki cara/peralatan untuk membenarkan dirinya dan, katanya, secara empiris, bisa diuji. Akibatnya, wacana neoliberal bukan lah satu-satu nya wacana di antara sekian banyak yang lainnya. Ia lebih layak disebut sebagai “wacana yang kuat”--seperti wacana psikatri di satu rumah sakit jiwa, sebagaimana dalam analisis Erving

Page 10: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Goffman. (4) Wacana tersebut begitu kuat dan sangat sulit diserang (hanya) karena di pihaknya ia memiliki seluruh kekuatan dari dunia relasi kekuatan--suatu dunia yang andil nya memang memberikan kekuatan pada wacana tersebut. Yakni (terutama) dengan mengarahkan pilihan-pilihan ekonomi dari mereka yang mendominasi relasi ekonomi. Karenanya, wacana tersebut kemudian bisa menambahkan kekuatan simbolik nya (sendiri) ke dalam relasi kekuatan tersebut. Atas nama program ilmiah tersebut, yang diubah menjadi perencanaan tindakan politik, suatu proyek politik besar sedang dijalankan--meskipun status demikian itu disangkal nya karena terlihat sangat negatif. Proyek tersebut bertujuan menciptakan kondisi-kondisi agar “teori” tersebut bisa mewujudkan dan memfungsikan: sebuah program untuk menghancurkan (secara metodelogis) struktur kolektif. 

 Gerakan untuk meraih utopia neoliberal--yakni pasar yang murni dan sempurna--bisa diwujudkan melalui politik deregulasi finansial. Dan hal itu bisa dicapai melalui tindakan yang bisa mentransformasikan dan (ini harus diungkapkan) yang bisa menghancurkan semua ukuran-ukuran politik--yang terbaru adalah Perjanjian Investasi Multilateral [Multilateral Agreement on Investment (MAI), yang dirancang untuk melindungi perusahaan-perusahaan asing dan investasinya dari gangguan negara setempat/nasional]. Tujuannya adalah agar bisa mempertanyakan setiap dan semua struktur kolektif yang dapat menghalangi logika pasar murni:  bangsa, yang ruang geraknya harus terus-menerus dikurangi; kelompok kerja, melalui cara (sebagai contoh) individualisasi gaji dan jenjang karir, yang harus dianggap sebagai fungsi untuk menakar kompetensi individual sehingga, konsekunsinya, memecah belah (atomisasi) buruh; kolektif yang membela hak-hak buruh, serikat-serikat buruh, perhimpunan-perhimpunan, koperasi-koperasi, bahkan keluarga, akan dihilangkan kontrolnya atas konsumsi karena pasar dibentuk berdasarkan kelompok umur.

 Program neoliberal mendapatkan kekuatan sosial nya melalui kekuatan politik dan ekonomi dari mereka yang kepentingannya diuntungkan: para pemegang saham, para operator keuangan, para industrialis, para politisi konservatif atau sosial-demokratik (yang telah diubah menjadi penjamin dikukuhkannya pasar bebas), pejabat-pejabat keuangan tingkat-tinggi (yang sangat bernafsu/serampangan mendesakkan kebijakan-kebijakan--yang, sebenarnya, merupakan anjuran untuk membunuh dirinya sendiri--karena mereka, tak seperti manajer perusahaan, tak memiliki resiko untuk membayar konsekuensinya di kemudian hari). Neoliberalisme, secara keseluruhan, cenderung dengan liciknya memisahkan ekonomi dari realitas sosial dan, dengan demikian, dalam kenyataan nya, sedang membangun sebuah sistem ekonomi yang bisa disesuaikan dengan gambaran teori murni--semacam mesin logika yang menampilkan dirinya sebagai belenggu pembatas yang mengatur agen-agen ekonomi. 

 Globalisasi pasar-pasar keuangan, apalagi saat digabungkan dengan kemajuan teknologi informasi, bisa menjamin mobilitas kapital lebih dari yang sebelumnya. Sehingga investor--yang khawatir terhadap keuntungan jangka pendek investasi mereka--bisa diberikan kemungkinan (secara permenen) untuk membandingkan keuntungan investasi nya dengan keuntungan investasi perusahaan-perusahaan besar. Konsekuensi nya, informasi tersebut menjadi tekanan/ancaman bagi perusahaan-perusahaan yang keuntungannya mengalami kemunduran relatif. Dihadapkan pada ancaman permanen itu, perusahaan-perusahaan tersebut harus menyesuaikan dirinya lebih, lebih, cepat lagi terhadap perubahan pasar yang tak terduga; juga terhadap ancaman “kehilangan kepercayaan pasar”; juga sama hal nya, seperti yang mereka katakan, ancaman

Page 11: Kepentingan Utama GLOBALISASI

kehilangan dukungan dari para pemegang saham mereka. Para pemegang saham--yang cemas hanya bisa meraih keuntungan jangka pendek--menjadi lebih dan lebih mungkin untuk memaksakan kehendak mereka kepada para manajer: dengan menggunakan badan-badan keuangan, mereka menciptakan aturan main bagaimana seharusnya manajer bekerja, dan membuatkan kebijakan (bagi para manajer) tentang penerimaan tenaga kerja, kesempatan kerja, dan upah. 

 Dengan demikian, kekuasaan absolut (fleksibilitas) nya bisa terbentuk. Fleksibilitas untuk memperkerjakan buruh dengan basis kontrakan (atau hanya dalam jangka waktu tertentu saja; atau sesuai dengan restrukturisasi perusahaan, yang sedemikian sering); dan fleksibilitas untuk menerapkan watak kompetisi di dalam perusahaan itu sendiri, antar-divisi yang otonom, sebagaimana juga antar-kelompok kerja, agar buruh bisa dipaksa menjalankan fungsi-fungsi ganda. Akhirnya, kompetisi tersebut meluas hingga antar-individu sendiri, melalui individualisasi hubungan upah: menetapkan capaian-capaian hasil kerja individual, evaluasi (permanen) hasil kerja individual, kenaikan upah secara individual, atau pemberian bonus yang berfungsi untuk menakar nilai kompetensi dan jasa individual; jenjang karir yang diindividualisasi; strategi “pelimpahan tanggung jawab” yang bertujuan menjamin eksploitasi-diri sang bawahan (staff)--yang, di satu sisi, sekadar buruh upahan biasa (bila dikaitkan dengan ketergantungannya terhadap hirarki yang di atasnya) tapi, di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab terhadap penjualan nya, produksi nya, kantor-kantor cabang nya, dan sebagai nya seolah-olah mereka adalah kontraktor independen. Tekanan untuk “mengontrol diri sendiri” tersebut memperluas “keterlibatan” buruh berdasarkan teknik “manajemen partisipatif”, yang jauh melampaui kemampuan manajemen nya. Semua itu merupakan teknik dominasi (rasional) yang memaksa buruh terlibat-berlebihan dalam kerja (tak sekadar dalam manajemen), dan memaksa buruh bekerja seperti di bawah kondisi darurat atau tekanan-tinggi. Dan semua nya itu ditumpuk-tumpuk bebannya sehingga melemahkan bahkan meniadakan nilai-nilai kolektif atau solidaritas. (5)

 Dengan cara seperti itu, nampaknya dunia Darwinian sedang diterapkan dalam kehidupan kita--yakni pertempuran sesama makhluk di semua tingkat hirarki, sehingga sulit mencari dukungan karena semua orang berusaha mempertahankan pekerjaan dan organisasi nya di bawah kondisi yang mengancam, menderita, dan tertekan. Tak diragukan lagi, upaya (praktis) untuk mengkukuhkan dunia yang penuh dengan perjuangan tidak lah akan berhasil (sepenuhnya) tanpa kerumitan, terutama dalam mengaturkeadaan genting--yang menciptakan perasaan tak aman bagi keberadaan cadangan tenaga kerja (yang masih menganggur), yang dijinakkan oleh proses sosial yang justru membuat situasi mereka menjadi genting, tak bedanya dengan ancaman pengangguran yang membayangi nya secara permanen. Cadangan tenaga kerja (pengangguran)  tersebut ada di semua tingkat hirarki, bahkan di tingkatan yang lebih tinggi, terutama di kalangan para manajer. Pondasi utama seluruh tatanan ekonomi yang ditempatkan di bawah simbol kebebasan ini sebenarnya memberikan dampak kekerasan struktural--pengangguran, tak amannya posisi dalam pekerjaan, dan ancaman pemecatan sementara. Kondisi “harmoni” untuk menjalankan model ekonomi-mikro individualis tersebut memunculkan fenomena massal--bala tentara pengangguran. 

 Kekerasan struktural tersebut juga dibebankan pada apa yang mereka sebut buruh kontrakan (yang dirasionalisasi dengan bijaksana dan diubah menjadi tidak nyata berdasarkan “teori

Page 12: Kepentingan Utama GLOBALISASI

kontrak”). Wacana organisasi tak pernah dibicarakan sebanyak pembicaraan tentang kepercayaan, kerjasama, kesetiaan, dan budaya organisasi, sebagaimana layaknya pada era ketika sokongan terhadap organisasi bisa diperoleh setiap saat dengan menyingkirkan semua jaminan sementara dalam penyediaan lapangan pekerjaan [padahal tiga perempat nya dari lapangan kerja yang tersedia diberikan untuk masa kerja yang sudah ditentukan, proporsi pekerja musiman terus meningkat, pekerjaan “sesuka hati” (pekerjaan apa saja) dan hak memecat individu cenderung dibebaskan, tak diberi batasan apapun].

 Jadi, kita bisa melihat bagaimana utopia neoliberal berusaha mewujudkan dirinya dalam kenyataan dengan menjadi semacam iblis yang bengis, yang memiliki kebutuhan untuk memaksakan dirinya bahkan kepada penguasa. Seperti Marxisme pada masa-masa awal nya yang, dalam hal ini, memiliki banyak kesamaan, yakni utopia nya membangkitkan kepercayaan yang sangat kuat--iman perdagangan bebas--tak hanya di antara mereka yang hidup dari nya, seperti pemodal, pemilik dan manajer perusahaan-perusahaan besar, dan sebagainya, tapi juga di antara mereka yang mendapatkan justifikasi untuk bertahan dalam sistem tersebut, seperti pejabat pemerintah dan politisi tingkat tinggi. Agar mereka bisa mensucikan kekuasaan pasar (atas nama efisiensi ekonomi), maka hambatan administratif atau politis harus dihapuskan karena bisa mengganggu pemilik kapital (dalam upaya individualnya) memaksimalkan keuntungan individual--yang telah diubah sehingga memiliki model rasionalitas nya. Mereka menghendaki bank sentral yang independen. Dan mereka mengkhotbahkan ketundukan negara-bangsa pada syarat-syarat kebebasan ekonomi demi para penguasa/pemilik ekonomi, dengan menyingkirkan segala peraturan terhadap pasar apa pun--dimulai dari pasar tenaga kerja, larangan terhadap defisit dan inflasi, swastanisasi besar-besaran dalam pelayanan publik, dan pengurangan pembelanjaan publik serta sosial. 

 Para ekonom mungkin tak perlu ikut berbagi kepentingan ekonomi dan sosial dengan para penganut setia nya, dan mungkin memiliki pendapat bathin yang beragam mengenai dampak ekonomi dan sosial akibat utopia neoliberal ini--yang mereka selubungi dengan alasan matematis. Namun, mereka cukup memiliki kepentingan khusus dalam bidang ilmu ekonomi--yakni harus memberikan sumbangan berarti bagi produksi dan reproduksi kepercayaan pada utopia neoliberal ini. Karena menolak kenyataan dunia ekonomi dan sosial--tentu saja karena keberadaan mereka dan, di atas segalanya nya, karena formasi intelektual mereka (yang lebih sering sangat abstrak, terpaku pada buku, dan teoritis)--maka mereka, terutama, cenderung mengacaukan antara perangkat-perangkat logika dengan logika perangkat-perangkat. 

 Para ekonom tersebut mempercayai model yang hampir tak pernah sempat mereka uji dengan pembuktian eksperimental, dan cenderung memandang rendah hasil ilmu-ilmu historis lainnya--

yang, tak pernah mengakui kemurnian dan kerjernihan permainan matematis mereka, yang kebutuhan sejati dan kerumitan nya (yang sangat berat) tak sanggup mereka mengerti. Mereka terlibat dan bekerjasama dalam perubahan ekonomi-sosial yang dahsyat. Bahkan seandainya pun beberapa konsekuensinya menakutkan mereka (mereka bisa bergabung dalam partai sosialis dan memberikan masukan pengetahuan bagi perwakilan-perwakilan nya di struktur kekuasaan), namun mereka tak menggusarkannya. Mereka tak gusar menyerahkan kesimpulan tentang realitas kepada utopia ultra-logika (ultra-logika seperti dalam beberapa bentuk penyakit gila), tempat mereka mengabdikan hidupnya. Mereka tak gusar karena, katanya, resiko kegagalannya

Page 13: Kepentingan Utama GLOBALISASI

kecil, dan kegagalan tersebut akan mereka persalahkan pada apa yang mereka sebut “gagasan spekulatif”.

 Namun dunia masih tetap ada, yang menanggung beban-dampak (yang segera terlihat) dari penerapan mimpi besar neoliberal: tak hanya kemiskinan segmen masyarakat ekonomi maju, yang semakin meluas saja; kesenjangan pendapatan yang tumbuh pesat; penyingkiran (terus menerus) produk bidang-bidang budaya yang otonom, seperti film, penerbitan, dan sebagainya, melalui pemaksaan nilai-nilai komersial yang mengganggu. Selain itu juga, yang lebih penting dari semuanya, munculnya dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk menghancurkan semua lembaga kolektif yang mampu melawan dampak dari mesin iblis tersebut, terutama lembaga negara--gudang/wadah bagi semua nilai universal yang berkaitan dengan ide dunia publik. Kedua, kecenderungan pemaksaan (di mana-mana) dalam dunia ekonomi (yang lebih tinggi) dan negara (yang dianggap sebagai jantung dari perusahaan-perusahaan). Kecenderungan kedua tersebut semacam Darwinisme moral, yakni: dengan pemujaan pada pemenang--yang dididik oleh matematika tingkat tinggi dan bungee jumping--dilembagakan lah pertempuran sesama makhluk dan sinisme sebagai norma setiap tindakan dan perilaku.

 Bisa kah diharapkan bahwa penderitaan massal yang luar biasa, yang dihasilkan oleh rejim politik-ekonomi semacam itu, suatu hari nanti akan menjadi titik tolak suatu gerakan yang mampu menghentikan perlombaan menuju jurang kehancuran ini? Sungguh, dalam hal ini kita berhadapan dengan paradoks yang luar biasa. Hambatan-hambatan bermunculan dalam upaya merealisasikan tatanan baru bagi individu-individu (kesepian) tapi bebas ini, yang kini bertahan menjadi orang yang tak bisa disalahkan dan tak mengenali jejak-jejaknya. Semua intervensi langsung dan sadar dalam bentuk apapun, apalagi bila itu berasal dari negara, belum apa-apa sudah didiskreditkan, dihujat agar segera menyingkir, demi keuntungan sebuah mekanisme murni dan tak bernama--pasar, yang hakikat nya (sebagai tempat di mana kepentingan diuji) dilupakan. Tapi, dalam kenyataan, apa yang menjaga tatanan sosial dari kehancuran (agar tak kacau balau), walau jumlah populasi yang harus dilindungi terus bertambah, adalah kesinambungan atau bertahannya lembaga dan perwakilan tatanan lama yang masih dalam proses kehancuran, serta bekerjanya semua kategori pekerja sosial, sebagaimana juga masih adanya semua bentuk solidaritas sosial, kekeluargaan atau yang lainnya. 

 Transisi menuju “liberalisme” terjadi dengan cara yang tak kentara, layaknya pemisahan benua, sehingga menyembunyikan dampaknya dari pandangan. Konsekuensi yang paling mengerikan adalah dampak yang berjangka panjang. Dampak-dampak nya sendiri bisa disembunyikan (secara paradoksal) karena ada perlawanan (terhadap apa yang dihasilkan oleh transisi tersebut), yang bangkit di kalangan mereka yang mempertahankan tatanan lama dengan mendekatkan sumber daya yang dimiliki nya pada solidaritas lama, pada cadangan kapital sosial, yang akan melindungi seluruh bagian dari tatanan sosial sekarang ini dari kejatuhan, dari penyimpangan. Nasib kapital sosial tersebut akan melenyap--walau bukan dalam waktu mendekat--bila tak diperbarui dan direproduksi.

 Tapi kekuatan yang hendak “mengawetkan” tatanan lama ini--yang terlalu mudah dianggap sebagai konservatif--juga merupakan, dari sudut pandang lain, kekuatan perlawanan terhadap pembangunan tatanan baru, dan bisa menjadi kekuatan subversif. Jika memang masih ada alasan untuk memiliki beberapa harapan, itu karena masih ada kekuatan, baik dalam institusi negara

Page 14: Kepentingan Utama GLOBALISASI

maupun dalam orientasi aktor-aktor sosial nya (khususnya individu dan kelompok-kelompok yang paling melekat dengan pranata-pranata tersebut) yang memiliki tradisi pelayanan sipil dan publik. Kekuatan tersebut--di bawah penampakan (sederhana saja) sebagai kekuatan yang bertujuan mempertahankan tatanan yang telah menghilang, tentu saja juga untuk mempertahankan “privilese” yang menyertainya (itu lah alasan tuduhan yang dengan segera akan ditimpakan kepada mereka)--akan mampu menghadapi tantangan tersebut hanya bila bisa menemukan dan membangun tatanan sosial yang baru. Yakni tatanan sosial yang tak akan memiliki satu-satunya hukum--yang mengejar kepentingan egoistis dan hasrat individual akan keuntungan--dan yang akan memberikan ruang bagi orientasi kolektif--yang secara rasional mengejar tujuan yang hendak dicapai bersama dan disepakati bersama. 

Apa kah neoliberalisme itu? Suatu program untuk menghancurkan struktur kolektif--yang bisa menghambat logika pasar murni.

  Dalam wacana yang dominan, dunia ekonomi dianggap sebagai tatanan yang murni dan sempurna; wacana yang bersikukuh mengaku bisa membeberkan logika konsekuensi-konsekuensinya (karena bisa diprediksi); wacana yang dengan segera menindak semua pelanggaran dengan sanksi yang keras, baik secara otomatis atau--lebih tak lazim--melalui perantaraan penggunaaan kekuatan bersenjata, menggunakan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), menggunakan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD), dan menggunakan kebijakan-kebijakan yang mereka paksakan: mengurangi biaya tenaga kerja (upah buruh), mengurangi pembelanjaan publik, dan mengupayakan agar kerja menjadi lebih fleksibel. Apakah wacana yang dominan tersebut benar? Bagaimana jika, dalam kenyataan nya, tatanan ekonomi tersebut tak lebih dari sekadar upaya untuk mewujudkan utopia--utopia neoliberalisme--yang kemudian berubah menjadi suatu problem politik? Sesuatu yang, dengan bantuan teori ekonomi yang diproklamirkan nya, sukses mengkhayalkan dirinya seolah-olah sebagai suatu penjelasan ilmiah tentang kenyataan? 

 Teori yang menggurui itu sepenuhnya merupakan fiksi matematis. Sejak awal sudah bisa dimengerti bahwa teori nya berlandaskan abstraksi yang sangat padat. Karena mengatasnamakan konsepsi rasionalitas yang dangkal dan ketat--yakni rasionalitas individual--maka teori tersebut mengabaikan orientasi-orientasi rasional kondisi-kondisi sosial dan ekonomi, dan mengabaikan stuktur-struktur ekonomi serta sosial yang menjadi syarat bagi penerapannya. 

 Untuk menakar kelalaian tersebut, cukup lah dengan berpikir tentang sistem pendidikan. Pendidikan tak pernah diperlakukan dengan selayaknya, walaupun ia memainkan peran yang menentukan dalam produksi barang dan jasa, bahkan juga dalam memproduksi produsen nya itu sendiri. Dosa asal ini--sebagaimana yang tertulis dalam mitos Walrasian (3) tentang “teori murni”--merupakan sumber seluruh cacat dan pelanggaran terhadap disiplin ilmu ekonomi. Selain itu, yang merupakan basis kesalahan fatal nya adalah: bahwa logika ekonomi yang selayaknya, katanya, harus didasarkan pada kompetisi dan efesiensi; yang bertentangan dengan logika sosial (yang merupakan subyek untuk menegakkan keadilan). Walaupun pemahaman terhadap pertentangan tersebut, tentu saja, serampangan tapi, (semata-mata) eksistensi nya lah yang memaksanya mengikatkan diri pada kesalahan tersebut. 

Page 15: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Memang, “teori” tersebut tak memiliki watak sosial dan ahistoris sejak dari akarnya. Tapi, saat ini, lebih dari sebelumnya, mereka mengaku memiliki cara/peralatan untuk membenarkan dirinya dan, katanya, secara empiris, bisa diuji. Akibatnya, wacana neoliberal bukan lah satu-satu nya wacana di antara sekian banyak yang lainnya. Ia lebih layak disebut sebagai “wacana yang kuat”--seperti wacana psikatri di satu rumah sakit jiwa, sebagaimana dalam analisis Erving Goffman. (4) Wacana tersebut begitu kuat dan sangat sulit diserang (hanya) karena di pihaknya ia memiliki seluruh kekuatan dari dunia relasi kekuatan--suatu dunia yang andil nya memang memberikan kekuatan pada wacana tersebut. Yakni (terutama) dengan mengarahkan pilihan-pilihan ekonomi dari mereka yang mendominasi relasi ekonomi. Karenanya, wacana tersebut kemudian bisa menambahkan kekuatan simbolik nya (sendiri) ke dalam relasi kekuatan tersebut. Atas nama program ilmiah tersebut, yang diubah menjadi perencanaan tindakan politik, suatu proyek politik besar sedang dijalankan--meskipun status demikian itu disangkal nya karena terlihat sangat negatif. Proyek tersebut bertujuan menciptakan kondisi-kondisi agar “teori” tersebut bisa mewujudkan dan memfungsikan: sebuah program untuk menghancurkan (secara metodelogis) struktur kolektif. 

 Gerakan untuk meraih utopia neoliberal--yakni pasar yang murni dan sempurna--bisa diwujudkan melalui politik deregulasi finansial. Dan hal itu bisa dicapai melalui tindakan yang bisa mentransformasikan dan (ini harus diungkapkan) yang bisa menghancurkan semua ukuran-ukuran politik--yang terbaru adalah Perjanjian Investasi Multilateral [Multilateral Agreement on Investment (MAI), yang dirancang untuk melindungi perusahaan-perusahaan asing dan investasinya dari gangguan negara setempat/nasional]. Tujuannya adalah agar bisa mempertanyakan setiap dan semua struktur kolektif yang dapat menghalangi logika pasar murni:  bangsa, yang ruang geraknya harus terus-menerus dikurangi; kelompok kerja, melalui cara (sebagai contoh) individualisasi gaji dan jenjang karir, yang harus dianggap sebagai fungsi untuk menakar kompetensi individual sehingga, konsekunsinya, memecah belah (atomisasi) buruh; kolektif yang membela hak-hak buruh, serikat-serikat buruh, perhimpunan-perhimpunan, koperasi-koperasi, bahkan keluarga, akan dihilangkan kontrolnya atas konsumsi karena pasar dibentuk berdasarkan kelompok umur.

 Program neoliberal mendapatkan kekuatan sosial nya melalui kekuatan politik dan ekonomi dari mereka yang kepentingannya diuntungkan: para pemegang saham, para operator keuangan, para industrialis, para politisi konservatif atau sosial-demokratik (yang telah diubah menjadi penjamin dikukuhkannya pasar bebas), pejabat-pejabat keuangan tingkat-tinggi (yang sangat bernafsu/serampangan mendesakkan kebijakan-kebijakan--yang, sebenarnya, merupakan anjuran untuk membunuh dirinya sendiri--karena mereka, tak seperti manajer perusahaan, tak memiliki resiko untuk membayar konsekuensinya di kemudian hari). Neoliberalisme, secara keseluruhan, cenderung dengan liciknya memisahkan ekonomi dari realitas sosial dan, dengan demikian, dalam kenyataan nya, sedang membangun sebuah sistem ekonomi yang bisa disesuaikan dengan gambaran teori murni--semacam mesin logika yang menampilkan dirinya sebagai belenggu pembatas yang mengatur agen-agen ekonomi. 

 Globalisasi pasar-pasar keuangan, apalagi saat digabungkan dengan kemajuan teknologi informasi, bisa menjamin mobilitas kapital lebih dari yang sebelumnya. Sehingga investor--yang khawatir terhadap keuntungan jangka pendek investasi mereka--bisa diberikan kemungkinan (secara permenen) untuk membandingkan keuntungan investasi nya dengan keuntungan investasi

Page 16: Kepentingan Utama GLOBALISASI

perusahaan-perusahaan besar. Konsekuensi nya, informasi tersebut menjadi tekanan/ancaman bagi perusahaan-perusahaan yang keuntungannya mengalami kemunduran relatif. Dihadapkan pada ancaman permanen itu, perusahaan-perusahaan tersebut harus menyesuaikan dirinya lebih, lebih, cepat lagi terhadap perubahan pasar yang tak terduga; juga terhadap ancaman “kehilangan kepercayaan pasar”; juga sama hal nya, seperti yang mereka katakan, ancaman kehilangan dukungan dari para pemegang saham mereka. Para pemegang saham--yang cemas hanya bisa meraih keuntungan jangka pendek--menjadi lebih dan lebih mungkin untuk memaksakan kehendak mereka kepada para manajer: dengan menggunakan badan-badan keuangan, mereka menciptakan aturan main bagaimana seharusnya manajer bekerja, dan membuatkan kebijakan (bagi para manajer) tentang penerimaan tenaga kerja, kesempatan kerja, dan upah. 

 Dengan demikian, kekuasaan absolut (fleksibilitas) nya bisa terbentuk. Fleksibilitas untuk memperkerjakan buruh dengan basis kontrakan (atau hanya dalam jangka waktu tertentu saja; atau sesuai dengan restrukturisasi perusahaan, yang sedemikian sering); dan fleksibilitas untuk menerapkan watak kompetisi di dalam perusahaan itu sendiri, antar-divisi yang otonom, sebagaimana juga antar-kelompok kerja, agar buruh bisa dipaksa menjalankan fungsi-fungsi ganda. Akhirnya, kompetisi tersebut meluas hingga antar-individu sendiri, melalui individualisasi hubungan upah: menetapkan capaian-capaian hasil kerja individual, evaluasi (permanen) hasil kerja individual, kenaikan upah secara individual, atau pemberian bonus yang berfungsi untuk menakar nilai kompetensi dan jasa individual; jenjang karir yang diindividualisasi; strategi “pelimpahan tanggung jawab” yang bertujuan menjamin eksploitasi-diri sang bawahan (staff)--yang, di satu sisi, sekadar buruh upahan biasa (bila dikaitkan dengan ketergantungannya terhadap hirarki yang di atasnya) tapi, di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab terhadap penjualan nya, produksi nya, kantor-kantor cabang nya, dan sebagai nya seolah-olah mereka adalah kontraktor independen. Tekanan untuk “mengontrol diri sendiri” tersebut memperluas “keterlibatan” buruh berdasarkan teknik “manajemen partisipatif”, yang jauh melampaui kemampuan manajemen nya. Semua itu merupakan teknik dominasi (rasional) yang memaksa buruh terlibat-berlebihan dalam kerja (tak sekadar dalam manajemen), dan memaksa buruh bekerja seperti di bawah kondisi darurat atau tekanan-tinggi. Dan semua nya itu ditumpuk-tumpuk bebannya sehingga melemahkan bahkan meniadakan nilai-nilai kolektif atau solidaritas. (5)

 Dengan cara seperti itu, nampaknya dunia Darwinian sedang diterapkan dalam kehidupan kita--yakni pertempuran sesama makhluk di semua tingkat hirarki, sehingga sulit mencari dukungan karena semua orang berusaha mempertahankan pekerjaan dan organisasi nya di bawah kondisi yang mengancam, menderita, dan tertekan. Tak diragukan lagi, upaya (praktis) untuk mengkukuhkan dunia yang penuh dengan perjuangan tidak lah akan berhasil (sepenuhnya) tanpa kerumitan, terutama dalam mengaturkeadaan genting--yang menciptakan perasaan tak aman bagi keberadaan cadangan tenaga kerja (yang masih menganggur), yang dijinakkan oleh proses sosial yang justru membuat situasi mereka menjadi genting, tak bedanya dengan ancaman pengangguran yang membayangi nya secara permanen. Cadangan tenaga kerja (pengangguran)  tersebut ada di semua tingkat hirarki, bahkan di tingkatan yang lebih tinggi, terutama di kalangan para manajer. Pondasi utama seluruh tatanan ekonomi yang ditempatkan di bawah simbol kebebasan ini sebenarnya memberikan dampak kekerasan struktural--pengangguran, tak amannya posisi dalam pekerjaan, dan ancaman pemecatan sementara. Kondisi “harmoni” untuk

Page 17: Kepentingan Utama GLOBALISASI

menjalankan model ekonomi-mikro individualis tersebut memunculkan fenomena massal--bala tentara pengangguran. 

 Kekerasan struktural tersebut juga dibebankan pada apa yang mereka sebut buruh kontrakan (yang dirasionalisasi dengan bijaksana dan diubah menjadi tidak nyata berdasarkan “teori kontrak”). Wacana organisasi tak pernah dibicarakan sebanyak pembicaraan tentang kepercayaan, kerjasama, kesetiaan, dan budaya organisasi, sebagaimana layaknya pada era ketika sokongan terhadap organisasi bisa diperoleh setiap saat dengan menyingkirkan semua jaminan sementara dalam penyediaan lapangan pekerjaan [padahal tiga perempat nya dari lapangan kerja yang tersedia diberikan untuk masa kerja yang sudah ditentukan, proporsi pekerja musiman terus meningkat, pekerjaan “sesuka hati” (pekerjaan apa saja) dan hak memecat individu cenderung dibebaskan, tak diberi batasan apapun].

 Jadi, kita bisa melihat bagaimana utopia neoliberal berusaha mewujudkan dirinya dalam kenyataan dengan menjadi semacam iblis yang bengis, yang memiliki kebutuhan untuk memaksakan dirinya bahkan kepada penguasa. Seperti Marxisme pada masa-masa awal nya yang, dalam hal ini, memiliki banyak kesamaan, yakni utopia nya membangkitkan kepercayaan yang sangat kuat--iman perdagangan bebas--tak hanya di antara mereka yang hidup dari nya, seperti pemodal, pemilik dan manajer perusahaan-perusahaan besar, dan sebagainya, tapi juga di antara mereka yang mendapatkan justifikasi untuk bertahan dalam sistem tersebut, seperti pejabat pemerintah dan politisi tingkat tinggi. Agar mereka bisa mensucikan kekuasaan pasar (atas nama efisiensi ekonomi), maka hambatan administratif atau politis harus dihapuskan karena bisa mengganggu pemilik kapital (dalam upaya individualnya) memaksimalkan keuntungan individual--yang telah diubah sehingga memiliki model rasionalitas nya. Mereka menghendaki bank sentral yang independen. Dan mereka mengkhotbahkan ketundukan negara-bangsa pada syarat-syarat kebebasan ekonomi demi para penguasa/pemilik ekonomi, dengan menyingkirkan segala peraturan terhadap pasar apa pun--dimulai dari pasar tenaga kerja, larangan terhadap defisit dan inflasi, swastanisasi besar-besaran dalam pelayanan publik, dan pengurangan pembelanjaan publik serta sosial. 

 Para ekonom mungkin tak perlu ikut berbagi kepentingan ekonomi dan sosial dengan para penganut setia nya, dan mungkin memiliki pendapat bathin yang beragam mengenai dampak ekonomi dan sosial akibat utopia neoliberal ini--yang mereka selubungi dengan alasan matematis. Namun, mereka cukup memiliki kepentingan khusus dalam bidang ilmu ekonomi--yakni harus memberikan sumbangan berarti bagi produksi dan reproduksi kepercayaan pada utopia neoliberal ini. Karena menolak kenyataan dunia ekonomi dan sosial--tentu saja karena keberadaan mereka dan, di atas segalanya nya, karena formasi intelektual mereka (yang lebih sering sangat abstrak, terpaku pada buku, dan teoritis)--maka mereka, terutama, cenderung mengacaukan antara perangkat-perangkat logika dengan logika perangkat-perangkat. 

 Para ekonom tersebut mempercayai model yang hampir tak pernah sempat mereka uji dengan pembuktian eksperimental, dan cenderung memandang rendah hasil ilmu-ilmu historis lainnya--

yang, tak pernah mengakui kemurnian dan kerjernihan permainan matematis mereka, yang kebutuhan sejati dan kerumitan nya (yang sangat berat) tak sanggup mereka mengerti. Mereka terlibat dan bekerjasama dalam perubahan ekonomi-sosial yang dahsyat. Bahkan seandainya pun

Page 18: Kepentingan Utama GLOBALISASI

beberapa konsekuensinya menakutkan mereka (mereka bisa bergabung dalam partai sosialis dan memberikan masukan pengetahuan bagi perwakilan-perwakilan nya di struktur kekuasaan), namun mereka tak menggusarkannya. Mereka tak gusar menyerahkan kesimpulan tentang realitas kepada utopia ultra-logika (ultra-logika seperti dalam beberapa bentuk penyakit gila), tempat mereka mengabdikan hidupnya. Mereka tak gusar karena, katanya, resiko kegagalannya kecil, dan kegagalan tersebut akan mereka persalahkan pada apa yang mereka sebut “gagasan spekulatif”.

 Namun dunia masih tetap ada, yang menanggung beban-dampak (yang segera terlihat) dari penerapan mimpi besar neoliberal: tak hanya kemiskinan segmen masyarakat ekonomi maju, yang semakin meluas saja; kesenjangan pendapatan yang tumbuh pesat; penyingkiran (terus menerus) produk bidang-bidang budaya yang otonom, seperti film, penerbitan, dan sebagainya, melalui pemaksaan nilai-nilai komersial yang mengganggu. Selain itu juga, yang lebih penting dari semuanya, munculnya dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk menghancurkan semua lembaga kolektif yang mampu melawan dampak dari mesin iblis tersebut, terutama lembaga negara--gudang/wadah bagi semua nilai universal yang berkaitan dengan ide dunia publik. Kedua, kecenderungan pemaksaan (di mana-mana) dalam dunia ekonomi (yang lebih tinggi) dan negara (yang dianggap sebagai jantung dari perusahaan-perusahaan). Kecenderungan kedua tersebut semacam Darwinisme moral, yakni: dengan pemujaan pada pemenang--yang dididik oleh matematika tingkat tinggi dan bungee jumping--dilembagakan lah pertempuran sesama makhluk dan sinisme sebagai norma setiap tindakan dan perilaku.

 Bisa kah diharapkan bahwa penderitaan massal yang luar biasa, yang dihasilkan oleh rejim politik-ekonomi semacam itu, suatu hari nanti akan menjadi titik tolak suatu gerakan yang mampu menghentikan perlombaan menuju jurang kehancuran ini? Sungguh, dalam hal ini kita berhadapan dengan paradoks yang luar biasa. Hambatan-hambatan bermunculan dalam upaya merealisasikan tatanan baru bagi individu-individu (kesepian) tapi bebas ini, yang kini bertahan menjadi orang yang tak bisa disalahkan dan tak mengenali jejak-jejaknya. Semua intervensi langsung dan sadar dalam bentuk apapun, apalagi bila itu berasal dari negara, belum apa-apa sudah didiskreditkan, dihujat agar segera menyingkir, demi keuntungan sebuah mekanisme murni dan tak bernama--pasar, yang hakikat nya (sebagai tempat di mana kepentingan diuji) dilupakan. Tapi, dalam kenyataan, apa yang menjaga tatanan sosial dari kehancuran (agar tak kacau balau), walau jumlah populasi yang harus dilindungi terus bertambah, adalah kesinambungan atau bertahannya lembaga dan perwakilan tatanan lama yang masih dalam proses kehancuran, serta bekerjanya semua kategori pekerja sosial, sebagaimana juga masih adanya semua bentuk solidaritas sosial, kekeluargaan atau yang lainnya. 

 Transisi menuju “liberalisme” terjadi dengan cara yang tak kentara, layaknya pemisahan benua, sehingga menyembunyikan dampaknya dari pandangan. Konsekuensi yang paling mengerikan adalah dampak yang berjangka panjang. Dampak-dampak nya sendiri bisa disembunyikan (secara paradoksal) karena ada perlawanan (terhadap apa yang dihasilkan oleh transisi tersebut), yang bangkit di kalangan mereka yang mempertahankan tatanan lama dengan mendekatkan sumber daya yang dimiliki nya pada solidaritas lama, pada cadangan kapital sosial, yang akan melindungi seluruh bagian dari tatanan sosial sekarang ini dari kejatuhan, dari penyimpangan. Nasib kapital sosial tersebut akan melenyap--walau bukan dalam waktu mendekat--bila tak diperbarui dan direproduksi.

Page 19: Kepentingan Utama GLOBALISASI

 Tapi kekuatan yang hendak “mengawetkan” tatanan lama ini--yang terlalu mudah dianggap sebagai konservatif--juga merupakan, dari sudut pandang lain, kekuatan perlawanan terhadap pembangunan tatanan baru, dan bisa menjadi kekuatan subversif. Jika memang masih ada alasan untuk memiliki beberapa harapan, itu karena masih ada kekuatan, baik dalam institusi negara maupun dalam orientasi aktor-aktor sosial nya (khususnya individu dan kelompok-kelompok yang paling melekat dengan pranata-pranata tersebut) yang memiliki tradisi pelayanan sipil dan publik. Kekuatan tersebut--di bawah penampakan (sederhana saja) sebagai kekuatan yang bertujuan mempertahankan tatanan yang telah menghilang, tentu saja juga untuk mempertahankan “privilese” yang menyertainya (itu lah alasan tuduhan yang dengan segera akan ditimpakan kepada mereka)--akan mampu menghadapi tantangan tersebut hanya bila bisa menemukan dan membangun tatanan sosial yang baru. Yakni tatanan sosial yang tak akan memiliki satu-satunya hukum--yang mengejar kepentingan egoistis dan hasrat individual akan keuntungan--dan yang akan memberikan ruang bagi orientasi kolektif--yang secara rasional mengejar tujuan yang hendak dicapai bersama dan disepakati bersama. 

  Bagaimana bisa kita tak memberi tempat khusus bagi kolektif-kolektif , asosiasi-asosiasi, serikat-serikat buruh, dan partai-partai tersebut di dalam negara: negara-bangsa--atau lebih baik disebut negara-supranasional (seperti negara Eropa yang sedang mengadakan perjalanan menuju negara dunia)--yang mampu secara efektif mengendalikan dan membebani pajak atas keuntungan yang didapatkan dari pasar finansial dan, lebih dari itu, melawan dampak yang merusak (di masa yang akan datang) terhadap pasar tenaga kerja. Upaya ini bisa dilakukan dengan bantuan dari serikat-serikat buruh, yakni dengan mengorganisir pekerjaan dan pembelaan atas kepentingan publik. Suka atau tidak, kepentingan publik tak akan muncul--sendainya pun resiko kesalahan matematis nya sedikit--dari pandangan para akuntan (di periode-periode awal orang akan menyebutnya “pelayan toko”) karena sistem kepercayan baru merupakan bentuk tertinggi prestasi manusia.

Dan pengambilalihan industri minyak makan tersebut mempengaruhi kehidupan 10 juta orang. Pengambilalihan atau penukaran tepung (atau apa yang disebut atta) dengan tepung bermerek dan dikemas dalam bungkus mempengaruhi hidup 100 juta orang. Jutaan orang dijerumuskan menjadi orang miskin baru.

 Pemaksaaan penggunaan kemasan akan menambah beban lingkungan, yakni jutaan ton sampah baru.

 Globalisasi sistem pangan sedang menghancurkan keragaman budaya pangan lokal dan ekonomi pangan lokal. Globalisasi monokultur sedang dipaksakan kepada orang-orang dengan menganggap bahwa apa saja yang segar, berasal dari tanah setempat dan buatan tangan, akan berbahaya bagi kesehatan. Tangan manusia dianggap sebagai alat penyebar penyakit yang paling berbahaya, dan kerja tangan dikatakan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang, yang harus digantikan oleh mesin dan bahan kimia yang dibeli dari perusahaan-perusahaan global. Yang demikian itu bukan lah resep untuk memberikan makan dunia, tetapi mencuri kehidupan orang miskin untuk menciptakan pasar bagi mereka yang sangat berkuasa.  Manusia dianggap sebagai parasit, yang harus dibasmi demi “kesehatan” ekonomi global. 

Page 20: Kepentingan Utama GLOBALISASI

 Dalam proses nya, konsep kesehatan baru dan ancaman ekologi dipaksakan kepada rakyat negeri-negeri dunia ketiga melalui dumping bahan pangan yang telah direkayasa secara genetis dan berbagai produk berbahaya lainnya.

 Perkembangan yang terakhir, karena aturan WTO, India telah dipaksa untuk menyingkirkan semua batasan bagi masuknya barang-barang impor. 

 Diantaranya adalah sampah atau bagian dari binatang yang telah mati yang akan mengancam budaya kami dan menyebabkan ancaman terhadap kesehatan, seperti penyakit sapi gila. 

 Pusat Pencegahan Penyakit Amerika Serikat yang berada di Atlanta telah menghitung  bahwa setiap tahun nya terjadi hampir 80 juta penyakit bawaan (sejak lahir) karena pangan. Kematian akibat keracunan makanan melonjak empat kali lipat setelah deregulasi. Infeksi tersebut paling banyak diakibatkan oleh pabrik penghasil daging.  Amerika Serikat menyembelih 93 juta babi, 37 juta sapi, 2 juta anak sapi, 6 juta kuda, kambing, biri-biri dan 8 milyar ayam dan kalkun setiap tahun nya.

 Sekarang perusahaan daging besar Amerika Serikat ingin men-dumping daging yang telah terkontaminasi dengan cara kekerasan dan keji kepada konsumen India.

 Sampah sang kaya di-dumping kepada orang-orang miskin. Kemakmuran si miskin dirampas secara kasar melalui (cara baru dan pintar) seperti melalui  hak paten atas keanekaragaman hayati dan pengetahuan penduduk asli. 

 Hak paten dan hak kekayaan intelektual sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan penghargaan terhadap penemuan baru. Tapi, hak paten juga dikenakan terhadap varietas padi semacam basmati--di daerah kelahiran ku, varietas tersebut sudah sangat lama  dikenal--atau pestisida yang berasal dari Neem (sejenis tumbuhan)--yang telah digunakan oleh nenek dan ibu ku lama sebelumnya.

 Rise Tec, satu perusahaan yang berkantor di AS, telah mengenakan hak paten No. 5.663.484 terhadap jenis beras dan biji-bijian basmati.

 Basmati (satu jenis padi yang harum), neem (berguna juga untuk penguat dan pengharum rambut), lada, labu-labuan, kunyit... setiap aspek inovasi yang terkadung dalam pangan atau sistem kesehatan penduduk  asli sekarang dibajak dan dipatenkan. Pengetahuan si miskin telah diubah/dirampas menjadi kekayaan peruasahaan global, sehingga orang miskin harus membayar  bibit dan obat-obatan yang telah mereka kembangkan sendiri untuk nutrisi dan kesehatan mereka.

 Klaim yang tak benar tentang hak cipta tersebut sekarang telah menjadi norma global, dan Trade Related Intellectual Property Rights Agreement (perjanjian perdagangan atas hak-hak kekayaan intelektual yang bisa diperdagangkan) nya WTO lah yang memaksa negeri-negeri di dunia mengkukuhkan rejim yang mengizinkan mempatenkan bentuk-bentuk kehidupan dan pengetahuan penduduk pribumi.  

Page 21: Kepentingan Utama GLOBALISASI

 Ketimbang mengakui bahwa kepentingan komersial dibangun berlandaskan alam dan sumbangan dari kebudayaan lain, hukum global malahan mendewa-dewakan mitos patriarkis tentang penciptaan agar hak-hak kekayaan baru diterima sebagai bentuk-bentuk kehidupan--tak beda nya bagaimana kolonialisme menggunakan mitos penemuan sebagai basis/alasan untuk mengambil laih tanah milik orang lain sebagai koloni. 

 Manusia tidak menumbuhkan kehidupan bila mereka memanipulasi nya. Pengakuan Rice Tec bahwa ia menghasilkan “penemuan instan bibit padi unggulan”, atau pengakuan Institut Roslin bahwa  Ian Wilmut telah “menciptakan” rel, berarti menyangkal kemampuan kreativitas alam, menyangkal kemandirian mengorganir kapasitas bentuk-bentuk kehidupan,  dan menyangkal inovasi-inovasi lebih awal dari komunitas-komunitas Dunia Ketiga. 

 Pemberian hak-hak paten dan hak-hak kekayaan intelektual bertujuan mencegah pembajakan. Sebaliknya, hak-hak tersebut telah menjadi alat untuk membajak pengetahuan tradisionil (milik bersama) negeri-negeri Dunia Ketiga yang miskin, dan menjadikan nya “hak milik” ilmuwan dan perusahaan dari Barat.

 Saat benih dan tanaman semacam dipatenkan, seperti dalam kasus basmati, pencurian mereka sebut sebagai penciptaan, dan menyimpan serta membagi-bagikan benih disebut sebagai pencurian kekayaan intelektual. Perusahaan-perusahaan yang telah memiliki hak paten yang demikian banyak/luas seperti terhadap kapas, kacang kedelai, mustard (bumbu-bumbuan tumbukan dari biji-bijian), menuntut petani yang menyimpannya sebagai bibit, dan menyewa lembaga detektif untuk menemukan petani yang menyimpan bibit tersebut atau membagi-bagikannya kepada tetangga nya. 

 Pengumuman terakhir yang menyatakan bahwa Monsanto memberikan bahan-bahan genetik padi tiruan (genome) secara gratis adalah salah kaprah, karena Monsanto tak pernah memiliki suatu komitmen untuk tidak mematenkan varietas padi atau varietas tanaman lainnya.

 Berbagi dan saling tukar--yang merupakan landasan kemanusiaan kami dan bagaimana kami mempertahankan lingkungan hidup (ecological survival) kami--dianggap sebagai perbuatan kriminal. Anggapan seperti itulah yang membuat kita (semua) miskin. 

 Alam telah memberikan pada kita kelimpahan--pengetahuan tentang keanekaragaman hayati, pertanian, dan nutrisi yang dimiliki oleh kaum perempuan penduduk asli dikembangkan berdasarkan kelimpahan tersebut, agar kita tak kekurangan, agar kita tumbuh-berkembang karena kita saling-berbagi. 

 Orang-orang miskin dijerumuskan menjadi lebih miskin lagi dengan memaksa mereka membayar apa yang tadinya milik mereka. Bahkan orang-orang kaya menjadi makin kaya karena keuntungan mereka diperoleh dengan mencuri dan menggunakan pemaksaan serta kekerasan. Cara-cara seperti itu bukan lah upaya untuk menciptakan kesejahteraan tapi penjarahan.

 

Page 22: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan perlindungan terhadap semua spesies dan semua manusia, serta pengakuan bahwa spesies yang beragam dan manusia yang beragam berperan penting dalam proses ekologi. Binatang penyerbuk sangat penting bagi pembuahan dan kelanjutan generasi berbagai tanaman. Keanekaragaman hayati di suatu ladang menyediakan sayur-sayuran, pakan ternak, obat-obatan, dan melindungi tanah dari erosi air serta udara.

 Bila manusia semakin jauh melantur ke jalan pembangunan tak berkelanjutan, maka manusia akan semakin tidak toleran terhadap spesies lainnya dan tak akan sanggup melihat pentingnya peran mereka untuk keberlangsungan hidup nya.

Pada tahun 1992, saat petani India menghancurkan perusahaan pembibitan Cargill di Bellary, Kartanaka, untuk memprotes kegagalan pembibitan, Direktur Utama Cargill mengatakan, “Kami mencoba memberikan teknologi tinggi (cerdas) kepada petani India, yang akan mencegah lebah mengganggu penyerbukan.” Saat aku berpastisipasi dalam pertemuan United Nations Biosafety Negotiations (negosisasi keanekaragaman hayati PBB), Monsanto membagikan bahan bacaan yang membela penggunaan herbisida nya (Roundup)--

yang, katanya, mampu membersihkan lahan (yang ditanami) dari “tumbuhan liar yang mencuri sinar matahari”. Tapi apa yang Monsanto sebut sebagai tumbuhan liar adalah tetumbuhan hijau yang menyediakan vitamin A (seperti yang terdapat dalam beras) yang berguna untuk mencegah kebutaan pada anak-anak dan anemia pada perempuan dewasa.

Pandangan dunia yang menganggap bahwa penyerbukan sebagai “pencurian oleh lebah”, dan pengakuan bahwa keanekaragaman hayati sebagai “pencuri” sinar matahari, adalah pandangan yang digunakan untuk mencuri hasil alam--dengan cara menggantikan varietas terbuka (melalui penyerbukan) dengan benih hibrida dan steril, yang akan menghancurkan keanekaragaman flora karena dibasmi oleh hibrida semacam Roundup.  Menyusutnya jumlah kupu-kupu Raja--karena tanaman nya kini sudah direkayasa secara genetik--merupakan salah satu contoh perusakan lingkungan oleh teknologi hayati (biotechnologies) yang baru. Bila kupu-kupu dan lebah menghilang, maka produksi akan berkurang. Bila keanekaragaman hayati melenyap, maka  pula lenyap pula lah sumber nutrisi dan pangan.

Bila perusahaan-perusahaan besar memandang petani kecil dan lebah sebagai pencuri, dan melalui aturan perdagangan serta teknologi baru berupaya mendapatkan hak untuk menyingkirkan mereka, maka kemanusiaan telah mencapai ambang yang berbahaya. Otoritas untuk menindas serangga kecil, tumbuhan kecil, petani kecil datang dari sebuah ketakutan yang mendalam--takut akan semua yang hidup dan bebas. Dan ketidakamanan serta ketakutan yang mendalam tersebut akan membuat mereka melakukan kekerasan terhadap semua spesies dan manusia.

Ekonomi perdanganan  bebas dunia, yang telah menjadi ancaman bagi kesinambungan dan kelangsungan hidup rakyat miskin serta spesies lainnya (sebagai taruhannya), bukan lah sekadar efek samping atau merupakan sebuah penyimpangan tapi, memang, merupakan sebuah cara yang sistematis--melalui restrukturisasi cara pandang kita pada tataran yang paling mendasar. Atas nama persaingan dan efisiensi pasar, pembangunan berkeberlanjutan, saling-berbagi, dan bertahan hidup dianggap (secara ekonomi) sebagai pelanggaran. 

Page 23: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Malam ini, aku hendak berpendapat: kita harus dengan segera membawa planet ini dan manusia nya kembali pada gambaran nya yang sejati. 

Memberi makan dunia hanya lah bermakna memberi makan segala sesuatu yang membangun dunia.

Dengan memberikan pangan kepada makhluk dan spesies lain berarti memelihara kondisi untuk keamananan pangan kita sendiri. Dengan memberi makan cacing berarti memberi makan kita sendiri. Dengan memberi makan sapi berati memberi makan tanah; dan menyediakan pangan bagi tanah berarti menyediakan pangan bagi manusia. Cara pandang tentang kelimpahan dilandaskan pada saling berbagi dan kesadaran mendalam manusia sebagai anggota keluarga dari bumi ini. Kesadaran bahwa jika kita menyengsarakan mahluk lain, berarti kita menyengsarakan diri sendiri; dan bila kita menyehatkan makan mahluk lain, berarti kita menyehatkan  diri sendiri; kesadaran seperti itu lah yang merupakan landasan nyata bagi pembangunan berkelanjutan. Tantangan bagi pembangunan berkelanjutan (pada milenium baru) adalah apakah manusia (dalam ekonomi  global) bisa mengakhiri cara pandang yang berlandaskan pada ketakutan dan kelangkaan, monokultur dan monopoli, perampasan dan penyingkiran, serta digantikan dengan cara pandang  yang berlandaskan kelimpahan dan saling berbagi, keanekaragaman dan desentralisasi, serta  menghargai dan memberikan martabat kepada segala makhluk. 

Pembangunan berkelanjutan menuntut kita untuk menyingkirkan jebakan ekonomi yang tak menyisakan ruang bagi spesies dan manusia lainnya. Globalisasi Ekonomi telah menjadi perang melawan alam dan rakyat miskin. Tetapi hukum globalisasi bukan lah suatu takdir.  Hukum globalisasi bisa diubah. Hukum globalisasi memang harus diubah. Kita harus menghentikan peperangan ini.

 Sejak Seattle, sebuah sistim yang berbasiskan peraturan membutuhkan ungkapan yang paling sering digunakan. Globalisasi adalah aturan komersial yang mendewakan Wall Street sebagai satu-satunya sumber nilai.  Hasilnya, segala sesuatu harus bernilai tinggi--alam, budaya, masa depan direndahkan nilainya dan dirusak. Aturan-aturan  globalisasi meremehkan aturan-aturan keadilan dan pembangunan berkelanjutan, meremehkan welas-asih dan saling bagi. Kita harus menyingkirkan totalitarisme pasar dan mengganti nya dengan demokrasi bumi.

Kita bisa bertahan sebagai spesies hanya jika kita hidup sesuai dengan aturan-aturan biosfir. Biosfir bisa mencukupi kebutuhan manusia jika ekonomi global menghargai batas-batas  yang ditentukan oleh pembangunan berkelanjutan dan keadilan.

 

Sebagaimana Gandhi mengingatkan kita: “Bumi bisa mencukupi kebutuhan setiap orang, tapi tak bisa mencukupi orang-orang rakus.”

 

 

Page 24: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Pertanyaan dari Hadirin

Sujata Gupta,  dari Tata Energy Research Institute:Aku ingin mendengar pandangan anda tetang penggunaan yang berkelanjutan terhadap barang yang terbatas, misalnya air untuk pertanian. Apa yang saya dengar dari kuliah anda adalah: secara total mengutuk sistem pasar.

Vandana Shiva (VS): Biarkan aku menanggapinya dengan berkata: aku mencintai pasar. Aku mencintai pasar lokal ku,  tempat “angsa” lokal dijual, dan seseorang bisa ngobrol dengan perempuan. Tragedi sesungguhnya adalah: pasar telah berbalik menjadi satu-satunya prinsip yang mengatur kehidupan, dan Wall Street telah menjadi satu-satunya sumber nilai; dan yang aku kutuk adalah, mereka menghancurkan pasar serta nilai-nilai lainnya. Dalam masalah air, jalan keluar nya adalah: manajemen konservasi dan kelangkaan air jangan diserahkan pada  orang yang mampu membeli sampai tetes yang terakhir, tapi harus diserahkan  ke tangan komunitas, sehingga bisa digunakan secara berkesinambungan dalam batas-batas pengganti nya, yang baru, bisa disediakan. Air harus dikembalikan kepada komunitas dan diatur dengan akal sehat--diperlakukan melebihi kepentingan pasar semata.

Professor Marva, dari University of Delhi: Bisa kah pembangunan berkelanjutan tanpa populasi berkelanjutan?

VS: Aku pikir,  pertumbuhan populasi yang tak berkelanjutan merupakan gejala dan produk dari pembagunan yang tak berkelanjutan. Pertumbuhan penduduk bukan lah merupakan gejala yang terpisah.  Anda bisa melihat data nya: pertumbuhan populasi India stabil hingga tahun 1800--hingga adanya kolonisasi, penyingkiran orang dari lahan-lahan nya, mulai menyebabkan populasi bertambah. Tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi di Inggris terjadi setelah rakyat kecil digusur dari lahan-lahan nya. Semua itu menyebabkan orang kehilangan sumber daya untuk meningkatkan kehidupan nya dan, kemudian, orang harus mengandalkan/menjual tenaga kerja nya ke pasar--dengan upah harian (yang berlaku di pasar) yang tak menentu. Itu lah yang memicu pertumbuhan populasi. Peningkatan populasi merupakan hasil dari pembagunan yang tak berkelanjutan.

Bhoopinder Singh Hooda, anggota  Majelis Legislatif dari Haryama: Aku berasal dari keluarga petani, dan aku sendiri adalah seorang petani. Petani terus menerus dieksploitasi, bahkan sebelum ada globalisasi. Dan aku sepenuhnya sependapat dengan kau--globalisasi menyebabkan neo-kolonialisasi, tapi kita tak bisa menghindari globalisasi. Aturan WTO telah menjadi kenyataan--tak ada satu negeri pun yang bisa menghindari nya, sebagaimana yang kau anjurkan.

VS: Aturan-aturan WTO ditulis di atas lembaran-lembaran kertas--seperti yang selalu aku katakan dalam kuliah ku, aturan-aturan tersebut bukan lah takdir dari Tuhan. Dengan demikian, aturan-aturan tersebut bukan lah kenyataan yang abadi (yang tak bisa diubah) layaknya tanah dan  dataran Gangga. Aturan-aturan tersebut justru harus diubah--itu lah pesan yang disampaikan di Seattle, dan cara untuk mengubahnya adalah dengan mempertimbangan kehidupan rakyat, mempertimbangkan penggunaan sumber daya yang berkeberlanjutan, dalam nurani setiap langkah keputusan perdagangan, agar menjamin bahwa setiap aturan perdagangan

Page 25: Kepentingan Utama GLOBALISASI

mencerminkan pembangunan berkelanjutan dan hak-hak rakyat untuk memperoleh jaminan kehidupan.  

Bhoopinder Singh Hooda: Petani di India tak memperoleh subsidi (negatif)--tak ada subsidi pagi petani. Jadi, bagaimana mungkin, persaingan yang tak seimbang tersebut bermain dalam globalisasi?

VS: Tepat, sekali, itu lah isu yang sebenarnya--menurut mereka, kita akan memiliki medan yang setara. Menurut mereka, bila aturan-aturan WTO diterapkan/dilaksanakan maka kita akan memiliki pasar yang adil bagi petani India. Itu lah alasan terpenting satu-satunya mengapa India setuju menandatangani pakta GATT setelah peretemuan Uruguay Round (putaran/pertemuan Uruguay). Sekarang, nyatanya, sebaliknya: medan nya tak setara--negeri-negeri Utara (anggota OECD) memberikan subsidi sebesar 343 milyar dollar, dan subsidi tersebut sebenarnya sudah meningkat dua kali lipat nya begitu pertemuan Uruguay Round selesai; sementara India  memberikan subsidi (negatif) sebesar 25 milyar dollar. Sekarang orang bisa saja tetap sengit (mendebat) mempersoalkan negeri-negeri utara yang memberikan subsidi demikian tinggi--aku pikir argumen nya harus diubah menjadi seperti ini:  bagaimana kita bisa menjamin bahwa petani kecil di setiap negeri, juga air, tanah, keragaman hayati di setiap negeri dapat dilindungi, dan bagaimana kita bisa memastikan bahwa aturan-aturan perdagangan yang sama sekali salah (yang disepakati oleh para menteri atau sekretaris/pejabat perdagangan) bisa diperbaiki untuk menjamin bahwa medan yang tak setara tersebut tak akan menghancurkan Bumi  dan para produsen nya.

Dr. Sandhya Tiwari, dari Confederation of Indian Industry (konfederasi industri india): Dr Shiva, apakah memang benar bahwa pekerjaan untuk menyelamatkan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati harus diserahkan pada petani, juga untuk mengembangkan tanaman-tanaman yang kurang produktif? Apakah tak sebaiknya  pekerjaan tersebut diserahkan pada akhli nya?

VS: Baik lah, aku juga akan mengatakan nya: serahkan pada akhli nya, yaitu petani perempuan. Alasan mengapa sampai sekarang kita bisa memiliki/menyediakan keanekaragaman hayati adalah karena ada akhli-akhli keanekaragaman hayati--yakni orang-orang yang, secara jender, disebut perempuan; yang hanya memiliki sejumput tanah di belahan dunia termiskin--yang terus menerus menyelamatkan keanekaragaman hayati karena (menurut perspektif mereka) lebih produktif. Tidak lah akan produktif bila setiap petani (di satu wilayah) menanam jagung, seperti yang dikehendaki perusahaan perdagangan monopoli (satu-satunya);  yang sangat produktif dan efesien dalam menggunakan air dan tanah--untuk memberi makan keluarga, memiliki sedikit kelebihan produksi untuk dijual ke pasar lokal, untuk memembiayai sekolah anaknya; adalah komunitas tersebut yang, sesungguhnya, akan menyelamatkan, menjaga, sumber daya demi kita. Kita tak bisa mempercayakan sumber daya tersebut  ke tangan yang lainnya.

 

Gulgit Choudhury, dari Ram Organics: Sebelumnya aku bekerja di Monsanto. Aku punya pertanyaan sederhana buat kau. Seandainya saja anda diberi peluang untuk mengembangkan

Page 26: Kepentingan Utama GLOBALISASI

parameter pengaturan sosial (yang menjamin pembangunan berkelanjutan), apa yang akan kau anjurkan untuk negeri seperti India?

VS: Sebenarnya, dalam lima tahun terakhir ini, kami--dengan cara membangun demokrasi partisipatoris;  dengan cara yang bisa menjamin bahwa setiap orang dari semua lapisan bisa mendapatkan akses informasi; dengan cara yang bisa menjamin bahwa  suatu komunitas telah terorganisir--telah terlibat dalam mengembangkan semacam kriteria untuk mengatur sumber  daya secara kolektif, karena sumberdaya hanya bisa dipertahankan (keberadaan nya) secara kolektif. Jika uang dan kekuasaan yang kumiliki kugunakan untuk menggali/membor sumur-pipa, maka aku bisa mengeringkan sumur-dangkal tetangga ku, (biasanya) seorang perempuan miskin.  Dan, karena nya, satu-satunya cara bagi penduduk desa untuk menyelamatkan air tanah adalah dengan melakukan apa yang Paani Panchayath  lakukan di Harash--memastikan penggunaan air sesuai dengan batasnya. Sistem pengaturan harus dimulai dari tempat di mana orang akan merasakan dampaknya dan, karena nya, mensyaratkan pembangunan kembali desentralisasi demokrasi langsung. Menurutku, para penggarap bukan lah individu-individu yang terisolasi karena konsekuensi dari apa yang mereka lakukan akan dirasakan oleh tetangga-tetangganya. Bila aku menanam bibit jagung (rekayasa) bio-teknologi di ladangku, maka aku akan membunuh kupu-kupu raja di ladang tetanggaku. Komunitas, kolektif, merupakan kesatuan masyarakat yang lebih penting dibicarakan ketimbang para penggarap individual, dan itu lah yang menjadi landasan utama pembuatan keputusan yang harus dipertanggungjawabkan baik oleh perusahaan maupun oleh pemerintah. Demikian lah pengalaman yang telah dirintis setelah aksi Seatle; dan pengalaman tersebut--yang harus bisa dipertanggungjawabkan (atau disesuaikan) lokalisasi nya, agar keputusan-keputusan yang dibuat dijamin sesuai dengan tempat nya, dan produksi yang dijalankan sesuai dengan tingkatan nya--merupakan upaya baru demokrasi yang melibatkan masyarakat seluruh dunia, bahkan saat globalisasi sedang mengancam hidup kita. 

Pembawa acara, Kate Adie: Terima kasih. Nah, kita masih disediakan waktu agar hadirin (yang ada di Nehru Memorial Library, Delhi, ini) bisa mengajukan beberapa pertanyaan. Tapi itu nanti, sebentar lagi. Sebelumnya, aku akan membacakan beberara surat-elektronik (e-mail) yang dikirimkan ke situs Reith BBC. Dari Bangladesh, Alimgihia Haque, mengatakan bahwa ia sendiri simpati pada Vandana Shiva dan Pangeran Wales dalam menangani masalah pangan GM. Syukur pada Tuhan, katanya, bahwa rakyat Inggris bisa mengemukakan suaranya, dan Perdana Menteri Blair harus mendengarkan nya. 

Seorang peserta dari Malaysia, yang bernama Yong, mengkritisi pemimpin-pemimpin negeri nya sendiri. Menurutnya, di satu sisi, para pemimimpin tersebut mengutuk globalisasi; tapi, di sisi lain, mereka memberikan persetujuan bagi pembangunan bendungan dan aktivitas-aktivitas lain yang merusak lingkungan. 

Chris Whitehouse, yang mengirim kan surat elektronik nya dari Nepal, bertanya apakah bila dibangun jalan lebih banyak, disediakan lemari pendingin lebih banyak, dihadirkan kakus (berpenyiram) yang rakus air lebih banyak, rakyat negeri-negeri berkembang akan lebih bahagia? Apakah kakus berpenyiram air membuat negara berkembang lebih bahagia? Setiap masyarakat, menurutnya, harus diberikan hak untuk menentukan visi pembangunan nya sendiri. 

Page 27: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Zeb Phibbs, dari Inggris, mengatakan bahwa karena kita makan daging lah maka kita punya banyak persoalan.  70% dari tetumbuhan digunakan untuk memberi makan binatang yang, kemudian, kita bunuh untuk makanan kita. Gunakan saja lahan tersebut untuk (langsung menanam) tanaman pangan kita, sehingga kita  bisa dengan mudah memberi makan setiap orang. Menjadi seorang vegetarian memudahkan jawaban nya--bebas dari kekerasan dan keberkelanjutan. Apalagi yang kalian butuhkan?

Akhirnya, kita mendapat surat dari Anthoni Giddens, yang sebelumnya juga memberikan kuliah di acara ini. Ia menulis untuk Anda, Vanda, seperti ini: “Aku megucapkan selamat atas presentasi anda yang menantang. Aku harus mengatakan nya, walau aku banyak tak setuju dengan apa yang anda katakan. Bukan kah sessuatu yang kontradiktif: menggunakan media global untuk melawan globaliasasi?”

VS: Menurutku BBC bukan lah produk dari rezim globalisasi ekonomi seperti yang telah diberikan oleh WTO, atau seperti liberalisasi perdagangan yang baru-baru ini diberlakukan. Menurutku BBC, yang didirikan pada tahun 1922, merupakan cerminan dari intergrasi ekonomi dan komunikasi internasional yang berbeda dengan apa yang disebut globalisasi ekonomi. Makna globalisasi ekonomi yang ada sekarang ini adalah konsentrasi korporat, atau penguasaan korporat; dan, sebenarnya, BBC merupakan contoh (perlawanan) terhadap nya, berbeda dengan media dan komunikasi global seperti Time Warner yang, sekarang, telah dibeli oleh American on Line, Disney, dan New Corporation.

Prof. Vinod Chowdhury, pengajar  ekonomi di St. Stephen's College: sangat lah mengejutklan ku bahwa Vandanaji bisa memiliki cara pandang sepihak seperti itu. Aku menghormati presentasi nya yang begitu bersemangat. Nampaknya Vandanaji sangat percaya bahwa terdapat dua paradigma yang, jelas, saling bertentangan. Yang satu,  adalah paradigma yang intinya dilandaskan pada desentralisasi, demokrasi--segala hal yang baik dalam kehidupan: kaum perempuan diperhatikan dan dijaga; anak-anak diperhatikan dan dijaga; ini, itu, dan sebagainya, diperhatikan dan dijaga. Yang lainnya, adalah sisi yang sangat jahat. Segala yang salah. Sebenarnya, hidup tak seperti seperti itu. Aku memohon dengan sangat pada Vandanaji, hendaknya kau mempertimbangkan paradigma ketiga--sesedikit apapun, kita bisa mengambil yang terbaik dari kedua sisi; mengambil pendekatan yang eklektis (campuran) dan praktis. Aku mendukung  Boopinder Singh Hooda--Ketua Kongres Haryama--yang telah bertanya kepada kau sebelumnya tapi kau tak menjawabnya: saat ini, apa alternatif nya bila tak satu negeri pun yang sanggup menghindari WTO? WTO bukan lah sekadar secarik kertas ibu; tapi merupakan suatu komitmen yang harus dilakukan oleh  negeri-negeri yang terlibat dalam WTO, bila tak ingin negerinya menjadi negeri paria, dan kita tak boleh menjadi negeri paria. Mohon ditanggapi.

VS: Aku sudah menanggapinya; aku sudah mengatakan bahwa aturan-aturan tersebut harus ditulis ulang. Menulis ulang aturan-aturan yang berat sebelah. Sebenarnya, aturan-aturan WTO lah yang samasekali berat sebelah karena mereka sesungguhnya hanya melindungi kepentingan salah satu sektor dari komunitas global, yakni adalah korporasi global, bukan industri lokal, bahkan bukan bisnis eceran lokal, bukan petani kecil di mana pun, baik di utara, maupun di selatan. Dan aturan-aturan tersebut bisa ditulis ulang. Itu lah pemikiran yang hendak aku sampaikan. Jangan anggap aturan-aturan WTO dalam Uruguay Round Treaty (pakta/kesepakatan pertemuan Uruguay) sebagai sesuatu yang sudah final, atau sebagai aturan-aturan perdagangan

Page 28: Kepentingan Utama GLOBALISASI

yang selayaknya. Aturan-aturan nya sedang ditinjau ulang. Apa yang kami serukan di Seattle merupakan masukan yang lebih demokratik, yang berkelanjutan dan adil, sebagaimana layaknya aturan-aturan yang hendak diterapkan di bidang pertanian, pada hak-hak kepemilikan intelektual, dalam bidang jasa, dalam bidang investasi, empat area baru yang mau diatur mereka. Sebelumnya, tak ada yang mempermasalahkan GATT.  GATT yang lama merupakan cerminan: perdagangan riil atas produk riil lintas nasional. GATT yang baru, hasil dari Uruguay Round, adalah tentang siasat untuk menginvasi setiap relung kehidupan sehari-hari kita; dan bila kau seorang perempuan, kau akan memiliki cara pandang yang agak berbeda. Itu lah sebabnya kita harus berbicara masalah jender. Bila kau seorang yang miskin, kau akan memiliki pandangan yang berbeda dari orang kaya. Memiliki pandangan yang berbeda karena berbeda tempat/posisi dalam masyarakat bukan lah suatu masalah. Adalah opurtunistik bila kita mengambil sejumput (elemen) perspektif orang kaya, sejumput perspektif orang miskin, dan menempatnya menjadi kepingan-kepingan kecil  tersusun (jigsaw) pernyataan-pernyataan oportunis. Masyarakat hidup dengan prinsip-prinsip, sistim organisasi, nilai-nilai, dan cara pandang yang terpadu. Dan apa yang sedang kita serukan/perjuangkan adalah menyeimbangkan pandangan sepihak yang berat sebelah, sepihak--bahwa kita hidup sekadar dalam dunia komersil. 

Rovinder Raki, pelajar: Anda kelihatannya sangat memuji keadilan dan efesiensi pertanian tradisionil, masyarakatnya, serta pola produksinya. Tetapi kenyatannya, petani dihisap dalam masyarakatnya, oleh lintah darat dan tuan-tuan feodal. Saat pasar menyentuh masyarakat seperti itu, sistem sosial yang menghisap tersebut bisa ditaklukan. Sekarang, apa yang hendak kutanyakan adalah: apa yang menahan kau sehingga tak menghargai dampak baik dari pasar, bisa membersihkan yang kotor/jahat, atau apa yang disebut dampak sanitasi pasar? 

VS: Baik lah, dampak sanitasi pasar memang seharusnya menghentikan perlakuan terhadap manusia layaknya kuman. Menyapu bersih semuanya. Pemikiran yang tidak menyingkirkan, menghilangkan yang kecil/tak berdaya lah yang sebenarnya aku coba ungkapkan (untuk disimak, ditakzimi benar) dalam kuliahku ini. Selama ini, selalu terjadi penghisapan¾aku sepakat dengan Tuan Hooda¾tapi seharusnya tak boleh lagi ada penghisapan dalam periode ekonomi sekarang ini.

Perwakilan Dagang Amerika Serikat, Robert Zoellick, mulai menggunakan tragedi mengerikan 11 September, 2001, sebagai rasionalisasi untuk memaksakan agenda perdagangan bebas yang agresif. Ia bersikukuh bahwa kita harus “menjawab terorisme dengan perdagangan.” Agenda ekspansif globalisasi ekonomi merupakan salah satu dari empat prioritas kebijakan yang diajukan President Bush pada Kongres untuk segera disetujui, segera setelah setelah penyerangan 11 September.  Pemerintah bersikeras bahwa untuk mengakhiri terorisme harus lah dengan perdagangan, karena globalisasi ekonomi merupakan solusi bagi kemiskinan. Tapi semua bukti menunjukkan yang sebaliknya--bahwa globalisasi ekonomi merupakan penyebab kemiskinan dan ketidaksetaraan global, bukan solusi. Lebih jauh lagi, bukti-bukti tersebut semakin bertambah, justru dari dalam institusi globalisasi ekonomi itu sendiri. 

Contoh nya, Central Intelligence Agency (CIA) sendiri, dalam laporan bulan Desember, 2000, memperingatkan bahwa globalisasi ekonomi akan semakin meningkatkan ketidaksetaraan dan kemiskinan, dan karenanya mendorong kekerasan: “gelombang pasang ekonomi global akan menghasilkan para pemenang ekonomi, tapi tidak semuanya, tak semua kapal akan terangkat

Page 29: Kepentingan Utama GLOBALISASI

pasang. … (dan ini akan) menimbulkan konflik, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, kesenjangan antara yang menang dengan yang kalah (di wilayahnya) pasti akan semakin dalam ketimbang yang ada  saat ini… evolusi (Globalisasi) akan terguncang, yang ditandai dengan ketidakstabilan keuangan yang kronis dan pembelahan ekonomi yang semakin meluas. Wilayah-wilayah, negeri-negeri, dan kelompok-kelompok yang merasa ditinggalkan akan menghadapi stagnasi ekonomi yang dalam, ketidakstabilan politik, dan keterasingan budaya. Mereka akan memicu ekstrimisme politik, etnik, ideologi, dan keagamaan, berbarengan dengan kekerasan yang sering menyertainya (penekanan diberikan oleh penulis).” (Global Trends 2015, United States Central Intelligence Agency, 2000).

Data yang paling bisa dipercaya sudah tersedia, terutama disediakan oleh para pendukung globalisasi ekonomi sendiri: yang bisa membuktikan bahwa globalisasi ekonomi telah menyebabkan peningkatan ketidaksetaraan dan kemiskinan global yang paling dramatis dalam sejarah modern. Lebih dari itu, dampak-dampak tersebut memang terkandung dalam model globalisasi ekonomi semacam itu. Argumentasi-argumentasi yang menyatakan bahwa globalisasi ekonomi  merupakan obat bagi “demokrasi yang rapuh” agar bisa “mengatasi kemiskinan dan menciptakan kesempatan,”--seperti yang ditulis oleh Perwakilan Dagang AS, Zoellic, di Washington Post--benar-benar merupakan suatu kesalahan yang serius.  Jika kebijakan-kebijakan semacam itu dilaksanakan, dunia, di masa depan, akan menjadi lingkungan yang semakin buruk ketimbang yang kita lihat saat ini.

Pemerintah sudah mulai bergerak lebih jauh: melalui tangan IMF, memberikan pinjaman kepada Pakistan dan Indonesia atas nama perang melawan terorisme. Jika harapan kita memang membantu negeri-negeri tersebut mengatasi persoalan-persoalan ekonomi mereka, mengapa yang kita berikan malah pinjaman, bukannya bantuan langsung? Mengapa kita menggunakan tangan IMF, sebuah lembaga yang telah gagal (secara menyedihkan) di wilayah tersebut--seperti yang ditulis mantan ekonom terkemuka World Bank (WB/bank dunia), Joseph Stiglitz, “Semua yang telah dilakukan IMF adalah membuat resesi di Asia Timur semakin dalam, semakin lama, dan semakin berat.”--bukannya sumber keuangan alternatif, seperti PBB yang, secara historis, mewakili kepentingan negeri-negeri berkembang? Jawabannya bisa saja seperti ini: bila melalui IMF, pemerintah AS bisa memberikan nya dengan persyaratan pinjaman/hutang dan, dengan demikian, dapat mengontrol dana-dana yang mengalir ke satu negeri. Syarat-sayarat seperti itu, secara historis, justru lebih menguntungkan kepentingan korporat dan para elit ketimbang rakyat negeri-negeri yang sedang bermasalah. 

Bukan CIA saja yang memberikan penilaian tentang akibat-akibat yang demikian buruk dari kebijakan-kebijakan globalisasi ekonomi diseluruh duinia ini. Contohnya, WB--salah satu lembaga globalisasi ekonomi terkemuka--melaporkan bahwa “Globalisasi hanya lah menyebabkan meningkatnya kemiskinan dan ketidaksetaraan… biaya untuk menyesuaikan diri dengan keterbukaan (nasional--

ed.) yang semakin lebar nampaknya dibayar (semata-mata) oleh orang-orang miskin, tak peduli berapa lama penyesuaian tersebut akan berlangsung.” (The Smultaneous Evolution of Growth and Inequality, The World Bank, 1999).

Page 30: Kepentingan Utama GLOBALISASI

The United Nations (UN/perserikatan bangsa-bangsa) mewanti-wanti (dalam Human Development Report,1999):  “Aturan-aturan baru globalisasi--yang ditulis para pemainnya--memusatkan upaya nya untuk mengintegrasikan psar-pasar global, mengenyampingkan kebutuhan rakyat yang tak bisa/boleh dipenuhi pasar. Proses tersebut mengkonsentrasikan kekuasaan dan menyingkirkan negeri atau rakyat miskin…. Perdebatan [tentang globalisasi] yang ada sekarang ini … terlalu sempit… mengabaikan kepedulian manusia yang lebih luas seperti kemiskinan global yang tetap saja bertahan, ketidaksetaraan yang terus tumbuh di dalam dan antar-negeri, penyingkiran kaum miskin dan negeri-negeri miskin, serta  pelanggaran hak-hak azasi manusia yang terus berlanjut.”

Kebijakan-kebijakan globalisasi ekonomi--perdagangan bebas, liberalisasi keuangan, deregulasi, pemotongan pengeluaran pemerintahan, dan privatisasi--mengkonsentrasikan kekayaan di lapisan atas, tak lagi ada di bawah kekuasaan pemerintah dan komunitas, padahal kekayaan tersebut merupakan perangkat yang paling dibutuhkan untuk menjamin kesetaraan dan melindungi buruh, pelayanan sosial, lingkungan hidup, dan kehidupan yang berkelanjutan. Bila demikian cara nya, maka globalisasi eknomi dan lembaga-lembaganya--termasuk International Monetary Fund  (IMF), WB, World Trade Organization  (WTO), dan North American Free Trade Agreement (NAFTA)--hanya menghasilkan peningkatan ketidaksetaraan global yang sangat dramatik--baik di dalam maupun di antara bangsa-bangsa--dalam sejarah modern dan telah meningkatkan kemiskinan global.  

Contoh nya, kesenjangan pendapatan antara penduduk dunia (ke-lima terbanyak) yang hidup di negeri-negeri terkaya dengan penduduk (ke-lima terbanyak) yang hidup di negeri-negeri termiskin meningkat dua kali lipat--dari 30 : 1, di tahun 1960; menjadi 60 : 1, di tahun 1990. Di tahun 1998, kembali meningkat, dengan peningktan kesenjangan yang mengejutkan, menjadi 78 : 1. Kecendrungan kemiskinan juga semakin memburuk; saat ini, ada lagi penambahan (100 juta) penduduk miskin di negeri-negeri berkembang ketimbang satu dekade lalu. Kekayaan tiga orang terkaya di bumi ini lebih besar ketimbang gabungan Gross National Product (GNP) dari, paling sedikit, empat puluh delapan negeri berkembang. Bahkan di AS--di mana penghasilan (menengah) buruh nya telah lebih dari sekali mengalami peningkatan (sebanyak dua kali lipat), dari tahun 1947 dan 1973--dalam dua dekade terakhir, jatuh hampir 15 persen, dengan 20 persen rumah tangga termiskin mengalami kemerosotan pendapatan paling rendah. Kenyataanya, satu-satunya segmen masyarakat AS yang mengalami peningkatan kesejahteraan (yang besar) sejak 1983 adalah 20 persen rumah tangga terkaya. Di AS, nilai bersih kekayaan 1 persen rumah tangga terkaya melebih nilai kekayaan 90 persen rumah tangga di bawah nya.

Sebagaimana yang ditulis Profesor Robert Wade dari London School of Economics dalam The Economist, “Kesetaraan global begitu cepatnya memburuk… Perubahan teknologi dan liberalisasi keuangan menghasilkan peningkatan yang begitu cepat (namun tak proposional) dalam jumlah rumah tangga yang sangat (ekstrim) kaya, tanpa membagi nya pada yang miskin… Dari tahun 1988 hingga tahun 1993, pembagian pendapatan dunia bagi 10 persen penduduk dunia termiskin anjlog sebesar lebih dari seperempatnya; sedangkan pembagian bagi 10% penduduk dunia terkaya meningkat 8 %. 10 persen orang terkaya yang meningkat pendapatan nya tersebut tadinya berpendapatan menengah; 10% orang termiskin yang anjlog pendapatannya tersebut tadinya berpendapatan menengah, benar-benar terjerembab miskin, kehilangan banyak pendapatan.” 

Page 31: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Inilah saatnya untuk mengakui bahwa globalisasi ekonomi tidak lah mengabdi pada kaum miskin, tapi mengabdi pada si kaya; globalisasi ekonomi sebenarnya hanya menambah jumlah kaum miskin, sembari mengkonsentrasikan kekayaan (dalam jumlah yang lebih besar) ke tangan (semakin) segelintitr orang-orang saja. Sebagaimana yang dikatakan Thabo Mbeki, presiden Afrika Selatan, “Kami percaya orang akan semakin sadar--termasuk dalam musyawarah-musyawarah negeri Utara--bahwa ketidaksetaraan dan ketidakamanan globalisasi telah membahayakan negeri-negeri miskin.”

Kini lah saatnya untuk menolak model-model yang telah gagal dan menerima alternatif baru. Pada kolom berikutnya, kami akan mendiskusikan model-model alternatif--yang bisa menandingi globalisasi ekonomi--yang menempatkan perlindungan lingkungan dan persamaan sosial serta politik di atas kepentingan korporat dan para elit.

Pada saat ini, wacana (perbincangan) tentang kemiskinan, dan kebutuhan untuk mengurangi daya tariknya--bila  bukan untuk mengugurkannya--telah menjadi begitu mempesona; yakni wacana yang lebih bermakna sedekah (dalam model abad ke-19), yang tak berupaya memahami mekanisme ekonomi dan sosial yang menyebabkan kemiskinan, meskipun prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghilangkan (kemiskinan tersebut) sekarang telah tersedia.

Kapitalisme dan Permasalahan Baru dalam Pertanian 

Semua masyarakat sebelum masa modern (kapitalis) adalah masyarakat petani. Produksi mereka diatur oleh berbagai logika dan sistem yang khas--yang bukan aturan seperti dalam pasar kapitalisme, yang harus  memaksimalkan pengembalian modal.

Pertanian kapitalis modern--yang mencakup pertanian keluarga dalam skala  besar dan pertanian-bisnis perusahaan--saat ini sedang terlibat dalam penghancuran besar-besaran produksi petani Dunia Ketiga. Lampu hijau untuk melakukan  penghancuran tersebut diberikan pada saat pertemuan World Trade Organisation (WTO) di Doha, Qatar, November 2001. Banyak sekali korban dari penghancuran tersebut--sebagian besar adalah petani Dunia Ketiga, yang sedang memperbaiki status (setengah kemanusiaan) nya.  

Pertanian kapitalis diatur oleh prinsip pengembalian modal, yang eksklusif ditempatkan hampir semata-mata di Amerika Utara, Eropa, Australia, dan di bagian selatan (kerucut) Amerika Latin mereka hanya mempekerjakan sedikit pekerja saja dari puluhan juta petaninya--itu pun sudah menjadi pekerja yang tak bisa lagi disebut pertani. Karena tingkat mekanisasi yang tinggi, dan (dengan demikian) luas pertanian yang bisa dikelola satu petaninya bisa menjadi luas, maka  produksi mereka umumnya berkisar antara 1-2 juta kilogram (2-4.5 juta pon) gandum per petani nya.

Perbedaannya sangat tajam bila dibandingkasn dengan 3 milyar petani yang mengelola pertanian kecil. Pertanian mereka dikelompokkan menjadi 2 sektor yang berbeda, dengan tolak ukur perbedaan skala produksi, karakteristik ekonomi dan sosial, serta tingkat efisiensi nya.  Sektor yang satu, yang bisa mengambil manfaat dari revolusi hijau, mendapatkan pupuk, pestisida, meperbaiki keunggulan bibit, dan (dalam kadar tertentu) memiliki mekanisasi. Produktivitas pertanian seperti itu berkisar antara 10.000 sampai 50.000 kilogram (20.000 sampai 110.000

Page 32: Kepentingan Utama GLOBALISASI

pon) gandum per tahun nya. Namun demikian, produktivitas tahunan petani yang tak bisa mendapatkan manfaat dari teknologi baru berkisar antara 1.000 kilogram (2.000 pon) gandum untuk setiap pertani nya.

Dalam pertanian dunia, rasio produktivitas antara segmen kapitalis yang paling maju dengan pertanian yang paling terbelakang berkisar 10 : 1 sebelum tahun 1940, sekarang mendekati 2.000 : 1. Itu artinya, peningkatan/kemajuan produktivitas dunia lebih tidak merata di bidang pertanian dan produksi pangan ketimbang di bidang lainnya. Seiring dengan itu, evolusi (kemajuan produktivitas) tersebut berperan dalam mengurangi harga relatif produk-produk makanan--bila dibandingkan dengan industri dan produk-produk jasa lainnya, menjadi 1/5 tingkat harga 50 tahun yang lalu. Permasalahan baru pertanian merupakan akibat dari ketaksetaraan perkembangan tersebut.

Modernisasi selalu merupakan penggabungan antara dimensi-dimensi yang berkembang--yakni akumulasi modal; dan peningkatan produktivitas--¾dengan aspek-aspek yang merusak--yakni pengurangan penggunaaan tenaga kerja (sampai ke status sekadar sebagai komoditi yang dijual di pasar); bahkan seringkali merusak landasan ekologis alam yang dibutuhkan bagi reproduksi kehidupan dan produksi; serta polarisasi distribusi kekayaan pada tingkat global. Modernisasi selalu menggabungkan beberapa hal secara bersamaan--saat pasar meluas maka dibutuhkan tenaga kerja; tapi dengan memecat yang lainnya, yang tak bisa diintegrasikan sebagai tenaga kerja baru (setelah kehilangan posisi dalam sistim sebelumnya). Ketika tahapnya sedang menaik,  ekspansi global kapitalis mengintegrasikan banyak hal tapi, bersamaan dengan itu, terjadi proses penyingkiran. Dan sekarang, dalam masyarakat pertanian Dunia Ketiga, kapitalis menyingkirkan sejumlah besar orang dan hanya mengintegrasikan beberapa saja.

Pertanyaan yang tepat untuk diajukan disini: apakah kecenderungan tersebut akan terus dijalankan bila kita mempertimbangkan bahwa terdapat tiga milyar manusia yang masih berproduksi dan hidup dalam masyarakat pertanian kecil di Asia, Africa, dan Amerika Latin. Sungguh, bagaimana jadinya bila pertanian dan produksi pangan diperlakukan sebagaimana produksi yang berada di bawah aturan kompetisi pasar terbuka dan bebas--sebagaimana, secara prisipil, diputuskan  dalam pertemuan WTO di Doha, November, 2001. Akan kah prinsip-prinsip tersebut bisa mendorong percepatan produksi?

Seseorang bisa membayangkan bahwa pangan yang dijual ke pasar oleh tiga milyar petani kecil yang ada sekarang--setelah mereka yakin bahwa pangan yang tak dijualnya bisa menjamin kehidupan mereka secukupnya--sebenarnya bisa diproduksi hanya oleh 20 juta petani modern. Syarat-syarat agar alternatif produksi semacam itu bisa terwujud meliputi: (1) pengalihan bagian-bagian tanah yang subur kepada  petani kapitalis (dan tanah tersebut akan diambil dari petani kecil); (2) modal (untuk membeli bahan-bahan produksi dan peralatan); dan (3) bisa mendapatkan pasar (konsumen). Petani kapitalis semacam itu tentu saja akan menang saat bersaing dengan milyaran petani kecil. Tapi apa yang akan terjadi pada milyaran (manusia) petani kecil tersebut?

Di bawah situasi seperti itu, menyetujui prinsip-prinsip umum persaingan dalam produksi pertanian dan bahan-pangan--sebagaimana yang ditentukan oleh WTO--sama artinya dengan menyetujui penyingkiran milyaran produsen yang tak sanggup besaing, yang akan disingkirkan

Page 33: Kepentingan Utama GLOBALISASI

dalam beberapa dekade saja, sejarah penyingkiran yang pendek. Apa yang akan terjadi pada milyaran manusia tersebut, yang sebagian besar telah miskin (sekalipun) di antara yang miskin, yang untuk menghidupi diri sendiri saja sudah susah. Dalam hipotesa yang mempesona sekali pun, selama 50 tahun perkembangan industri--dengan  perkembangan rata-rata 7 persen setiap tahun nya--tak bisa menyerap (bahkan) sepertiga saja cadangan tenaga kerja tersebut.

Pendapat utama yang diajukan untuk melegitimasi doktrin persaingan (yang direstui WTO) tersebut adalah bahwa pembangunan seperti itu telah terbukti berhasil di Eropa dan Amerika pada abad 19 dan 20; sanggup menciptakan masyarakat industri modern dan post-industri perkotaan yang berkecukupan, sebagai hasil dari pertanian modern yang bisa menghidupi bangsa bahkan mampu mengekspor pangan. Kenapa pola seperti itu tidak diulang pada masa kini di negeri-negeri dunia ketiga?

Pendapat tersebut tak mampu mempertimbangkan dua faktor utama yang membuat reproduksi pola tersebut di negeri-negeri dunia ketiga hampir-hampir  tidak mungkin. Pertama, model Eropa dibangun (selama satu setengah abad) pada awalnya menggunakan teknologi industri padat-karya/tenga kerja. Teknologi modern menggunakan lebih sedikit tenaga kerja/buruh--dan pendatang baru (yakni, negeri-negeri dunia ketiga) harus mengadopsinya bila menginginkan ekspor industri nya sanggup bersaing di pasar global. Kedua, bahwa selama transisi panjang tersebut, Eropa mendapatkan keuntungan dari migrasi besar-besaran (kelebihan) populasinya ke Amerika.

Anggapan bahwa kapitalisme sungguh-sungguh telah memecahkan permasalahan pertanian (di pusat-pusat negeri maju) selalu diterima oleh sebagian besar kalangan kiri, contohnya seperti yang ditulis dalam buku terkenal Karl Kautsky, The agrarian Question (Permasalahan Pertanian), yang ditulis sebelum perang dunia pertama. Ideologi Soviet juga mewarisi pandangan tersebut yang, dengan landasan tersebut, menjalankan modernisasi melalui kolektifisasi Stalin, yang hasilnya jelek. Apa yang selalu diabaikan adalah bahwa kapitalisme, yang memang bisa mengatasi permasalahan pertanian di pusat nya, malah menyebabkan persoalan yang sangat besar di negeri-negeri pinggiran--yang, dalam pandangan kapitalisme hanya bisa dipecahkan melalui pemusnahan setengah penduduknya. Dalam tradisi marxis, hanya kaum Maois lah yang faham pentingnya permasalahan tersebut. Oleh karena itu, mereka yang menuduh Maoisme tersebut sebagai suatu “penyimpangan terhadap Petani”, terbukti, dari kritisme keras tersebut, bahwa mereka kekurangan kapasitas untuk memahami kapitalisme imperialis--yang mereka reduksi hanya sekadar menjadi wacana abstrak kapitalisme secara umum. 

Modernisasi, melalui liberalisasi pasar kapitalis, sebagaimana yang disarankan oleh WTO dan para pendukungnya, akhirnya menyandingkan dua komponen tersebut bersisian, bahkan tanpa perlu digabungkan: produksi pangan dalam skala global oleh petani modern yang kompetitif, yang kebanyakan berbasis di negeri-negeri Utara (tapi ada kemungkinan di masa depan beberapa paketnya akan dijalankan di wilayah Selatan); dan, marginalisasi, penyingkiran, serta pemiskinan lebih jauh mayoritas 3 milyar petani kecil di dunia ketiga saat ini, harus dianggap sebagai seleksi untuk dipisahkan sebagai/menjadi cadangan tenaga kerja. Karenannya, ia mengkombinasikan wacana  pro-modernisasi dan sarat-efisiensi dengan seperangkat kebijakan yang bisa mengatur cadangan (tenaga kerja) yang secara kebudayaan dan ekologsi bisa membuat korban-korban

Page 34: Kepentingan Utama GLOBALISASI

tersebut bertahan saat dimiskinkan secara material (termasuk secara ekologis). Dua komponen tersebut bisa saling melengkapi satu sama lain, ketimbang berkonflik.

Bisa kah kita membayangkan alternatif-alternatif lain dan memperdebatkannya secara luas? Seorang petani bisa saja bertahan sepanjang abad ke-21 ke depan ini, tapi,  bisa kah secara simultan juga ia terlibat dalam proses perkembangan teknologi dan sosial yang sedang berlangsung? Dalam proses tersebut, perubahan dari petani menjadi buruh non-pertanian di kota dianggap sebagai peralihan progresif. 

Strategi seperti itu mencanangkan target-target yang akan membutuhkan kebijakan-kebijakan yang rumit, baik di tingkat nasional, regional, maupun global.

Pada tingkat nasional menyiratkan  kebijaksanaan makro untuk melindungi  petani (yang memproduksi pangan) dari persaingan yang tak setara dengan pertanian modern dan perusahaan-perusahaan agribisnis¾lokal dan internasional. Dengan begitu akan menjamin harga internal pangan yang layak diterima¾yang terlepas dari harga pasar internasional, yang mengandung bias tambahan karena telah disubsidi di negeri-negeri (kaya) Utara. 

Sasaran kebijaksanaan seperti itu juga mempersoalkan pola industri dan pembangunan perkotaan, yang seharusnya tak terlalu didasarkan pada prioritas orientasi-ekspor (yang, misalnya: menahan agar upah tetap rendah sehingga, dengan demikian, secara tak langsung harga pangan pun jadi rendah) dan lebih memperhatikan ekspansi yang secara sosial bisa menjaga keseimbangan pasar dalam negeri. 

Secara simultan, hal tersebut menyangkut keseluruhan pola kebijaksanaan yang bisa menjamin keamanan pangan nasional--sebagai syarat yang harus diterima bagi suatu negeri yang akan menjadi anggota aktif komunitas global, yang akan menikmati tambahan kapasitas otonomi dan negosiasi (yang tak terhindarkan). 

Pada tingkat regional dan global, hal tersebut menyiratkan kesepakatan dan kebijakan internasional yang bisa menghindari prinsip-prinsip liberal (yang doktriner) dalam mengatur WTO--dan menggantikannya dengan solusi-solusi spesifik dan imaginatif bagi berbagai area, yang mempertimbangkan isu-isu spesifik serta kondisi-kondisi sosial dan historis konkret.

Persoalan baru bagi buruh

Populasi perkotaan di bumi ini diisi oleh setengah umat manusia--setidaknya 3 milyar orang--dan, dari yang setengahnya lagi, jumlah populasi petani secara statistik prosentasenya cukup signifikan. Data tersebut juga memungkinkan kita membedakan antara populasi yang disebut kelas menengah atau kelas bawah. 

Dalam tahap evolusi kapitalis sekarang ini, kelas dominan--yakni, pemilik formal alat-alat produksi utama dan manajer-manajer senior yang mengelolanya--merupakan sebagian fraksi (kecil) saja dibandingkan dengan populasi global. (Namun demikian, bagian yang mereka ambil dari pendapatan yang tersedia di masyarakat cukup signifikan.) Dalam hitungan statistik tersebut bisa kita tambahkan kelas menengah dalam terminologi (dengan makna) lama--yang tak begaji,

Page 35: Kepentingan Utama GLOBALISASI

pemilik perusahan-perusahaan kecil, manajer-manajer menengah--yang jumlahnya tak mengalami penurunan.

Massa buruh yang besar dalam segmen-segmen produksi modern terdiri dari para pencari upah yang sekarang jumlahnya mencapai 4/5 populasi perkotaan negeri-negeri pusat (yang telah maju). Massa buruh tersebut terbagi paling tidak atas dua kategori, yang batasnya kasat mata bagi peninjau dari luar kelas tersebut, dan (batas tersebut) benar-benar hidup dalam kesadaran individu-individu yang bersangkutan.  

Mereka yang bisa kita sebut sebagai kelas-kelas popular yang stabil--dalam makna pekerjaannya relatif aman--adalah mereka yang memiliki kelebihan kualifikasi profesional sehingga memiliki kekuatan tawar-menawar denga majikannya dan, karenanya, mereka sering terorganisir, paling tidak di beberapa negeri, ke dalam serikat buruh yang kuat. Dalam beberapa kasus, mereka sanggup mengemban beban politik yang, bahkan, akan memperkuat kapasitas negosiasinya. 

Pekerja lainnya adalah kelas popular yang hidupnya tak menentu, yakni  buruh yang lemah kapasitas negosiasinya--karena tingkat keterampilannya rendah, statusnya yang bukan warga negera, atau karena ras-jender nya--atau orang-orang tak bergaji tetap (secara normal mereka bisa disebut pengangguran dan orang miskin yang bekerja di sektor informal). Kita bisa menyebut kategori kedua ini sebagai kelas popular yang “hidupnya tak menentu/sulit”, ketimbang menyebutnya sebagai kelas “tersingkir” yang “tak teritegrasi”, karena sebenarnya para buruh tersebut seutuhnya terintegrasi ke dalam logika sistimik yang mengatur akumulasi kapital.

Dari informasi mengenai negeri-negeri maju dan negeri-negeri Selatan tertentu (dari situ lah landasan kita memperhitungkan data) maka kita akan memperoleh proporsi relatif bahwa setiap kategori yang telah ditentukan di atas mewakili polulasi perkotaan di bumi ini. 

Meskipun pusat-pusat  (negeri maju) populasinya hanya 18 persen dari populasi bumi ini tapi, karena 90 persen populasinya menetap di perkotaan, maka penduduk perkotaannya mendekati 1/3 penduduk perkotaan dunia.

Kelas popular terhitung berjumlah 3/4 penduduk perkotaan dunia, sementara kelas dengan sub-kategori yang hidupnya tak menentu berjumlah 2/3 kelas popular (dalam skala dunia). (Sekitar 40% kelas popular yang berada di pusat-pusat negeri maju, dan 80% kelas popular yang berada di negeri-negeri pinggiran, berada dalam sub-kategori mereka yang hidupnya tak menentu). Dengan kata lain, kelas popular yang hidupnya tak menentu berjumlah (paling tidak) setengah populasi perkotaan dunia--dan lebih besar lagi jumlahnya yang berada di negeri-negeri pinggiran. 

Dilihat dari komposisi kelas popular perkotaan 1/2 abad yang lalu, setelah Perang Dunia II, terlihat bahwa proporsi yang mencirikan struktur kelas popular sangat berbeda dengan yang ada sekarang. 

Pada masa itu, di dunia, ketiga proporsinya tak lebih dari setengah populasi perkotaan dunia (berjumlah sekitar 1 milyar orang) dibanding sekarang, yang 2/3 nya. Kota-kota besar, seperti

Page 36: Kepentingan Utama GLOBALISASI

yang kita kenali sekarang (praktis) ada di semua negeri-negeri Selatan, belum lah ada. Pada saat itu, hanya ada beberapa kota besar saja, terutama di Cina, India dan Amerika Latin.  

Di negeri-negeri pusat (negeri-negeri maju), selama periode setelah perang, kelas-kelas popular diuntungkan oleh situasi pengecualian--yakni siatuasi yang didasarkan pada kompromi sejarah yang dipaksakan pada kapital oleh kelas pekerja. Kompromi tersebut memberikan stabilitas kepada  mayoritas pekerja dalam bentuk organisasi kerja yang dikenal sebagai sistim pabrik fordist. (3) Di negeri-negeri pinggiran, proporsi kelas yang hidupnya tak menentu--yang, seperti biasanya, jumlahnya lebih besar daripada yang ada di negeri-negeri pusat (negeri-negeri majau)--tidak lebih dari setengah dari kelas popular perkotaan (bandingkan dengan proporsi  yang ada saat ini, lebih dari 70 persen). Setengah lainnya terdiri, sebagiannya, pekerja berpendapatan stabil dalam ekonomi kolonial baru masyarakat modern dan, sebagiannya lagi, dalam bentuk industri kerajinan tangan.   

Transformasi sosial penting yang mencirikan paruh kedua abad ke-20 dapat di ringkas dalam satu statistik: proporsi dari kelas popular yang hidupnya tak menentu meningkat dari  kurang dari 1/4 menjadi  lebih dari 1/2 penduduk kota dunia, dan gejala pemiskinan tersebut telah muncul kembali dalam skala yang signifikan di pusat-pusat negeri maju sendiri.  Populasi kota yang tak stabil tersebut meningkat dalam setengah abad dari kurang dari ¼ milyar menjadi lebih dari 1 1/2 milyar orang, menunjukkan suatu tingkat pertumbuhan yang melampaui  karakter ekspansi ekonomi, pertumbuhan penduduk, atau proses urbanisasi itu sendiri.

Pemiskinan--tak ada istilah yang lebih baik untuk menamai kecenderungan evolusioner selama paruh kedua abad ke-20.

Secara keseluruhan, fakta itu sendiri diakui dan dikuatkan kembali dalam bahasa baru yang lebih dominan: “pengentasan kemiskinan” telah menjadi tema yang diulang-ulang sebagai tujuan kebijakan pemerintah yang katanya hendak dicapai. Tapi persoalan kemiskinan hanya dikedepankan sebagai fakta hitung-hitungan empiris--apakah dalam bentuk yang sangat kasar berupa distribusi pendapatan (garis kemiskinan) atau yang tak begitu kasar berupa indeks gabungan (seperti indeks perkembangan manusia yang diajukan United Nations Development Program/UNDP)--tanpa pernah mempersoalkan  logika dan mekanisme yang menyebabkan kemiskinan tersebut.

Fakta-fakta yang sama tersebut akan kami gambarkan lebih jauh lagi karena fakta-fakta tersebut setepatnya bisa mulai menjelaskan gejala dan evolusinya. Strata menengah, strata popular yang stabil, dan strata pupular yang hidupnya tak menentu, semuanya terintegrasi  ke dalam sistim produksi sosial yang sama, tapi mereka memenuhi fungsi-fungsi  yang berbeda di dalamnya. Beberapa nya benar-benar disingkirkan dari kemungkinan keuntungan memperoleh kesejahteraan.  Mereka yang disingkirkan benar-benar bagian dari sistim dan tidak dimarginalkan dalam makna tidak terintegrasi-- secara fungsional--ke dalam sistim.

Pemiskinan  merupakan gejala modern yang samasekali tak bisa disederhanakan menjadi pengertian:  kekurangan pendapatan untuk bertahan hidup. Pemiskinan benar-benar merupakan modernisasi kemiskinan dan memiliki dampak merusak terhadap dimensi kehidupan sosial. Selama masa keemasan (1945-1975), emigran pedesaan relatif terintegrasi dengan baik ke dalam

Page 37: Kepentingan Utama GLOBALISASI

kelas popular yang stabil--mereka cenderung menjadi buruh pabrik. Sekarang, mereka yang baru saja datang bersama anak-anaknya ditempatkan di pinggiran sitim produktif utama, sehingga menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk menggantikan solidaritas komunitas dengan kesadaran kelas. Sementara itu, perempuan semakin dikorbankan oleh ekonomi pemiskinan ketimbang lelaki, yang menyebabkan kemerosotan dalam kondisi sosial dan materialnya. Dan gerakan feminis, tak diragukan lagi, telah mencapai kemajuan penting dalam dunia ide dan perilaku, tapi manfaat dari keuntungan tersebut hampir-hampir eksklusif hanya dinikmati oleh perempuan kelas menengah saja, pastinya, bukan dinikmati oleh perempuan dari kelas-kelas popular yang dimiskinkan. Dalam hal demokrasi, kredibilitasnya--dengan demikian juga legitimasinya--melemah karena ketidakmampuannya mengekang degradasi pertumbuhan fraksi kelas-kelas popular.

Kemiskinan adalah fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari polarisasi (dalam skala dunia)--suatu produk yang melekat dalam perluasan kapitalisme yang ada sekarang yang, dengan alasan tersebut, kita harus menyebutnya sebagai hakikat imperialis. 

Pemiskinan dalam kelas popular penduduk kota erat sekali hubungannya dengan pembangunan yang mengorbankan masyarakat petani dunia ketiga. Penaklukan masyarakat kepada kebutuhan ekspansi pasar kapitalis tersebut mendukung bentuk-bentuk baru polarisasi sosial yang menyingkirkan petani (yang proporsinya semakin banyak) sehingga tak bisa lagi mendayagunakan tanah. Petani-petani tersebut, yang telah dimiskinkan atau menjadi orang-orang-orang yang bertahan hidup tanpa tanah--yang jumlahnya melebihi jumlah peningkatan penduduk--bermigrasi ke pemukiman-pemukiman kumuh di perkotaan. Walaupun demikian keadaannya, gejala tersebut diperkirakan akan lebih memburuk--selama dogma-dogma liberal tak mendapat tantangan dan, selama kebijakan yang mengkoreksinya berada dalam kerangka liberal, maka kebijakan tersebut tak akan bisa mengendalikan perluasannya. 

Pemiskinan mengharuskan kita menjawab pertanyaan tentang teori ekonomi dan strategi-strategi perjuangan sosial.  

Teori ekonomi konvensional yang vulgar menghindari persoalan nyata yang ditimbulkan oleh ekspansi kapitalisme. Sebabnya, karena pemahaman terhadap kapitalisme (yang benar-benar ada sekarang ini) digantikan oleh analisa yang menggunakan teori kapitalisme khayalan, yang digambarkan sebagai hubungan pertukaran (pasar) yang sederhana dan seolah berkelanjutan, dengan sistim nya yang sakan-akan bisa berfungsi dan bereproduksi dengan sendirinya dalam landasan produksi kapitalis dan hubungan-hubungan pertukaran (bukan hubungan-hubungan pasar yang sederhana). Analisa tersebut dengan mudahnya bisa bersisian dengan gagasan-purbasangka, yang tak bisa dibenarkan oleh sejarah atau pun argumen rasional bahwa, sebenarnya, pasar tidak bisa mengatur dirinya sendiri dan tidak bisa menghasilkan optimalisasi sosial. Kemiskinan, karenanya, kemudian hanya bisa dijelaskan oleh sebab-sebab (hukum) yang di luar logika ekonomi, seperti pertumbuhan penduduk atau kesalahan kebijakan. Oleh teori ekonomi konvensional, hubungan antara kemiskinan dengan proses akumulasi dihilangkan. Hasil virus liberal tersebut--yang mengotori pemikiran sosial yang ada sekarang dan menghancurkan kapasitas untuk memahami dunia, apalagi merubahnya--telah merasuki (secara mendalam) pemikiran kiri sejak Perang Dunia II. Gerakan-gerakan yang sekarang terlibat dalam perjuangan sosial untuk menciptakan “dunia yang lain” dan alternatif  globalisasi hanya bisa menghasilkan

Page 38: Kepentingan Utama GLOBALISASI

kemajuan sosial signifikan bila mereka bisa membuang virus tersebut, agar bisa membangun debat teoritik yang otentik. Selama mereka tak membuang virus tersebut, gerakan sosial, bahkan yang memiliki tujuan yang paling baik sekali pun, akan tetap dikunci oleh belenggu pikiran konvensional dan, karenanya, akan menjadi narapidana proposisi-proposisi koreksi yang tak ampuh--yang sarat dengan retorika mengenai pengentasan kemiskinan.

Analisa ringkas di atas seharusnya memberikan sumbangan untuk membuka perdebatan. Dengan demikian bisa menetapkan kembali  hubungan/kaitan yang relevan anatar akumulasi kapital, di satu sisi, dengan gejala pemiskinan sosial, di sisi lain. 150 tahun yang lalu, Marx memulai menganalisa mekanisme di belakang hubungan/kaitan tersebut yang, setelah masa itu, sangat sulit diajukan--dan, pada skala dunia, hampir-hampir diabaikan. 

Tabel 1

Prosentase Total Penduduk Kota Dunia

(Prosentase mungkin tak sepenuhnya tepat karena merupakan taksiran statistik)

Di Negeri-negeri Pusat

Kaya dan Kelas menengah: 11 % Kelas Bawah: 24 %  Stabil: (13) % Tak Menentu: (11) %

Di Negeri-negeri Pinggiran  

Kaya dan Kelas menengah: 13 % Kelas Bawah: 54 % Stabil: (11) % Tak Menentu: (43) %  

Di Dunia

Kaya dan Kelas menengah: 25 % Kelas Bawah: 75% Stabil: (25)% Tak Menentu: (50) %

T  O  T  A  L 

Di Negeri -negeri Pusat: 33 %

Di Negeri-negeri Pinggiran: 67 %

Di Dunia: 100%

Page 39: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Populasi Keseluruhan (dalam jutaan)

Di Negeri -negeri Pusat: (1.000)

Di Negeri-negeri Pinggiran: (2.000)

Di Dunia: (3.000)

Modal yang  dimiliki 200 orang terkaya dunia berjumlah 1 trilyun dolar--rata-rata masing-masing memiliki 5 milyar dolar. Setelah mengalami penggandaan (sejak 1995), jumlah kekayaan mereka sekarang sama dengan jumlah pendapatan per kapita 2,5 milyar orang termiskin dunia. Sementara itu, 80 negeri melaporkan bahwa pendapatannya  lebih rendah dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Sejak 1980, 60 negeri terus menerus semakin miskin. Saat ini, 3  milyar orang hidup hanya dengan 2 dolar (atau kurang) per harinya, sementara 1.3 milyar orang hanya berpendapatn 1 dolar (atau kurang) per harinya.

Dengan pertambahan penduduk dunia sebesar 80 juta per tahunnya, Direktur World Bank (Bank Dunia), Jim Wolfensohn, memperingatkan, bila kita tidak bisa mengupayakan “perubahan pendapatan”, maka dalam  tiga dekade ke depan akan terdapat 5 milyar orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dolar per harinya. Bila kita memasukkan 2 milyar orang yang saat ini kekurangan gizi, maka terdapat 3,7 milyar orang (keluarga manusia) akan menderita penghinaan semacam itu, termasuk 100 juta orang yang hidup di negeri-negeri industri. Itu lah masa depan masyarakat global, yang bisa dihindari--bila kita mau memilih mengihindarinya. 

Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menghitung bahwa dana sebesar 35 milyar dollar per tahun sudah cukup untuk menciptakan kondisi minimum yang dibutuhkan agar potensi kemanusiaan di seluruh dunia bisa berkembang: air minum yang sehat, sanitasi yang memadai, nutrisi yang cukup, pelayanan kesehatan pokok, pendidikan dasar, dan keluarga berencana bagi yang hendak berpasangan. Syarat-syarat pokok tersebut, yang bisa menjadi pondasi bagi kebaikan (standard) umat manusia, bisa dibiayai oleh pendapatan yang diperoleh dari 3,5 persen pajak kekayaan 200 orang terkaya di dunia--lebih kecil dari pajak (tipikal) nilai tambah. Tiga perempat dari orang-orang yang hidup “berkelimpahan” tersebut tinggal di 30 negeri yang paling maju di dunia; 60 nya menetap di Amerika Serikat (AS). 

Sebenarnya, sudah selayaknya bahwa pajak yang dipaksakan tersebut dipandang sebagai “biaya bagi manfaat yang diperoleh oleh para pengguna kapital”. Pasar modal adalah ajang global tempat untuk mengambil manfaat, serupa dengan  padang rumput yang bisa digunakan oleh setiap gembala yang akan memberi makan ternaknya. Tak seorang pun bisa memiliki padang rumput tersebut, namun setiap orang bisa memperoleh manfaat nya.

Adalah tepat bila aset keuangan disebut sebagai "securities (jaminan agar merasa aman)" karena, memang, hukum internasional menjamin keamanan hak para pemiliknya--yang, sebenarnya, bisa diambil sejumput kecil saja (dari kelimpahan keuntungannya) untuk dompet kemanusiaan. 

Page 40: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Misalnya, 400 warga negara terkaya Amerika Serikat memiliki aset keuangan yang setara dengan 1/8 GDP ekonomi terbesar dunia. Kekayaan pribadi mereka tumbuh rata-rata 940 juta dolar per orangnya sejak 1997 hingga 1999--berarti per harinya meningkat sebesar 1. 287.671 dolar; 225.962 dolar, per jam nya. Antara  tahun 1989 hingga tahun 1997, 86 % keuntungan pasar saham mengalir kepada 10% keluarga kaya Amerika, yang 42% nya menjadi hak 1% orang-orang terkaya nya.

Model pembangunan dominan, yang mengandalkan “kebangkitan pasar”, bersiap-siap meniru penyebaran distribusi kekayaan seperti itu (di tingkatan dunia). Di Indonesia, sebagai contoh, 61,7 % nilai pasar saham nya dimiliki oleh 15 keluarga terkaya di negeri itu. Bila dibandingkan: di Filipina 55,1% nya; dan di Thailand 53,3% nya. Dalam perputaran modal global di seluruh dunia, di dalamnya termasuk kira-kira 60 trilyun dollar yang telah didaftar-jaminkan  (securitized) sebagai saham, surat berharga atau obligasi, dan sejenisnya. Para akhli, yang berhasil menemukan 90 trilyun dollar tambahan dalam bentuk aset yang telah didaftar-jaminkan, mempertimbangkan bahwa model pembangunan sekarang ini sudah berada di jalur nya yang benar untuk mengalirkan ½ dari 90 trilyun dollar tambahan tersebut bagi 15 keluarga yang sudah makmur di setiap negeri.

Penggunaan ajang pasar keuangan tersebut bisa merealisasikan manfaat yang benar-benar nyata, substansial dan dapat dirasakan. Sebagai tambahan terhadap manfaat pengurangan-resiko (saat melakukan diversifikasi), likuiditas yang disediakan pasar modal bisa meningkatkan nilai sekuritas yang diperdagangankan hingga sekitar 35 % bila dibandingkan dengan sekuritas yang tak diperdagangkan (dalam perusahaan-perusahaan yang diperbandingkan tersebut). 3,5 persen “biaya pengguna” setara dengan 10% nilai peningkatan tersebut, yang disebabkan karena sebagian  dari arena keuangan nya sekarang ditawarkan bebas. 

Dengan demikian, jelas lah ternak siapa yang menjadi gemuk dengan adanya globalisasi pasar/arena keuangan. Persoalannya tak berbelit-belit: harus kah mereka (yang memperoleh manfaatnya) memberikan sumbangan untuk mempertahan kondisi tersebut?   Mencadangkan penghasilan tersebut untuk kebutuhan kemanusiaan akan menjamin stabilitas--yakni dengan memastikan bahwa globalisasi demokrasi memberikan makna lebih ketimbang hak memilih kemiskinan. Pemastian tersebut akan menjamin bahwa orang-orang yang makmur akan menerima tanggung jawab melakukan lebih dari sekadar menghilangakan dahaganya, untuk kemudian lebih dahaga lagi. 

IMF (The International Monetary Fund/Dana Modeter Internasional) melaporkan bahwa setidaknya 4.5 trilyun dolar disamarkan/dihilangkan dari  kewajiban pajak 1.5 juta perusahaan di seluruh dunia--

meningkat dari 200.000 perusahaan sejak tahun 1989. Estimasi saham semacam itu paling tinggi nilainya sekitar 13.7 trilyun US dolar. Dokumen Bank Dunia memberikan taksiran bahwa paling tidak sekitar150 milyar dolar kabur dari bekas Uni Sovyet sejak runtuhnya tembok Berlin, meninggalkan 1/3 orang Rusia yang mengais-ngais pendapatan sekadar 38 dollar per bulannya. Kejahatan terorganisir sekarang ini mengumpulkan pendapatan sekitar 1.5 trilyun dolar per tahun nya, menyaingi pendapatan perusahaan-perusahaan transnasional dalam  skala global. Untuk

Page 41: Kepentingan Utama GLOBALISASI

orang kaya, koruptor,  dan yang memiliki koneksi, pembayaran pajak sekarang ini hanya lah pilihan buatnya.

Taksiran terbaik kewajiban pajak para pemegang saham berjumlah sekitar 8 trilyun dolar. “Keringanan pajak” 3,5% yang diberikan setiap tahunnya akan memberikan tambahan sebesar 280 milyar dollar--165 kali lebih banyak dari anggaran pembangunan PBB, atau 93 kali anggaran perdamaian, sekarang malah sudah lebih dari itu. Uang sebanyak itu mendekati jumlah 300 milyar dolar yang, menurut para akhli lingkungan dari universitas Cambridge dan Sheffield, dibutuhkan untuk “menyelamatkan bumi”.  

Bisa kah persoalan tersebut diselesaikan? Kesuksesan nya tergantung pada matangnya politik global--yang tetap sulit dipahami. Kebutuhan trasparansi keuangan bisa diingatkan melalui kombinasi dua hal: memberikan imbalan bagi mereka yang bisa membongkarnya; dan menawarkan perlindungan/suaka politik bagi mereka yang  mengungkapkan informasi yang dibutuhkan. Atau upaya tersebut bisa diajukan oleh sektor swasta, yang didanai oleh aliansi lembaga-lembaga dan para pengusaha dengan menawarkan imbalan berupa uang tunai atau berupa saham.

Apakah persoalan itu memang harus diselesaikan? 80% manusia hidup di negeri-negeri berkembang. 95% anak-anak generasi berikutnya  akan lahir dari perempuan-perempuan yang hidup di negeri-negeri berkembang. 70% dari perempuan-perempuan tersebut akan mengandalkan hidupnya hanya dari pendapatan kurang dari 1 dolar per harinya. Keberhasilannya akan sangat tergantung dari apakah yang sudah diberikan oleh globalisasi itu merupakan kebaikan atau dominasi. 

 Memburuknya situasi sosial di negeri-negeri Dunia Ketiga merupakan salah satu manifestasi gamblang globalisasi neoliberal. Penerapan kebijakan Program-program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment Programs) (SAP), krisis finansial, dan meningkatnya instabilitas yang disebabkan oleh proses globalisasi,  memberikan dampak negatif yang sangat mendalam terhadap realitas sosial negeri-negeri berkembang. 

Situasi dramatik tersebut tercermin dari indikator-indikator signifikan yang benar-benar memberikan tantangan bagi negeri-negeri Dunia Ketiga, sehingga memaksa kita harus segera mendapatkan jalan keluar yang sejati agar bisa memenuhi tuntutan rakyat Dunia Ketiga.

Kemerosotan pendapatan merupakan karakter utama yang menjadi kepedulian model-model sosio-ekonomi saat ini. Berdasarkan data PBB, pada tahun 1960, 20% penduduk dunia yang hidup di negeri-negeri terkaya berpendapatan 30 kali pendapatan 20% penduduk termiskinnya. Pada tahun 1997, jumlahnya meningkat menjadi 74 kali. Antara tahun 1994 dan 1998, kekayaan 200 orang terkaya di dunia meningkat dari 440 milyar dolar AS menjadi lebih dari 1 trilyun dolar AS. Lebih jauh lagi, pada periode yang sama, harta kekayaan 3 orang terkaya dunia lebih besar dari jumlah keseluruhan GDP 49 negeri-negeri berkembang. 

Dalam laporan UNDP tahun 1999--Laporan Perkembangan Kemanusiaan--tercatat bahwa persentase pendapatan yang terbagi pada negeri-negeri berkembang telah merosot dari 56% pada tahun 1950, menjadi 12% pada tahun 1960, dan 15% pada tahun-tahun belakangan ini.

Page 42: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Di negeri-negeri berkembang, kesenjangan pendapatan antara 20% orang-orang terkayanya (berpendapatan rata-rata 6.195 dolar AS per tahunnya) dengan 20 % orang-orang termiskinnya (berpendapatan rata-rata 768 dolar AS per tahunnya) 8 kali lipat, tapi di Amerika Latin--wilayah yang berada di peringkat utama dunia dalam hal kesenjangan distribusi kekayaannya--kejenjangannya 19 kali lipat. Di wilayah ini, 20% orang-orang terkaya Amerika Latin meraup pendapatan rata-rata 17.380 dolar AS per tahunnya, sedangkan 20% orang-orang termiskinnya sekadar berpendapatan 933 dolar AS per tahunnya.

Ketika globalisasi mampu menghasilkan kemajuan ilmu dan teknologi dalam taraf yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, terdapat sekitar 1,3 milyar manusia di Dunia Ketiga yang hidup dalam kemiskinan atau, dengan kata lain, terdapat 1 orang miskin di antara 3 penduduknya. Dalam laporan terakhirnya, Bank Dunia (World Bank/WB) memperkirakan bahwa, saat memasuki milenium baru, akan terdapat 1,5 milyar manusia yang hidup dalam kemiskinan yang mengenaskan, hina.

Bila dilihat dari wilayahnya, kemiskinan terasa lebih drastis di Asia Tenggara dan Afrika. Berdasarkan perkiraan WB, tingkat kemiskinan telah meningkat demikian pesatnya sejak krisis di negeri-negeri Asia.

Di Afrika, kemiskinan terus menerus menjadi persoalan besar. Dalam laporan UNDP (yang telah disebut di atas), ditunjukkan bahwa sekelompok negeri yang signifikan di wilayah ini telah berada pada status 50% melampaui Index Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index/HPI) yang, artinya, kemiskinan telah melanda (paling tidak) setengah penduduknya. 

Dalam kasus Amerika Latin, menurut laporan terakhir CEPAL, jumlah orang-orang miskin telah mencapai 204 juta, dan sekitar 90 juta-nya hidup melarat.

Lebih dari 1,125 milyar manusia yang hidup di negeri-negeri berkembang tak sanggup memenuhi kebutuhan dasar hidupnya--hidup melampaui umur 40 tahun; kesempatan menikmati pengetahuan dasar; dan pelayanan-pelayanan sosial.

Menghadapi kondisi kehidupan seperti itu, dan untuk mempertahankan hidup sehari, mereka tak segan-segannya, layaknya kewajiban, merusak lingkungan; saling-keterkaitan antara kemiskinan dengan perusakan lingkungan dipengaruhi oleh (kombinasi) beberapa faktor.

Salah satu faktornya adalah pertumbuhan penduduk yang tak terkontrol, yang memberikan dampak negatif bagi negeri-negeri berkembang. Dalam skala dunia, antara tahun 1975 dan 1997, tingkat rata-rata pertumbuhan penduduk per tahunnya adalah 1,6%; sementara di negeri-negeri berkembang, 2%;  dan di negeri-negeri termiskin, 2,5%. Di sub-wilayah Sub-Sahara Afrika tingkat pertumbuhannya sangat memprihatinkan, 2,8%. Walaupun prediksi untuk tahun 2015 memperkirakan bawah tingkat pertumbuhan penduduk dunia per tahunnya akan menurun (menjadi 1,1%) namun, di negeri-negeri berkembang,  akan  terus meningkat (1,4%).

Gejala tersebut akan menghasilkan problem lain: eksodus penduduk ke kota-kota, guna mencari penghidupan yang lebih baik atau, bahkan, sekadar untuk mempertahankan hidup yang, tentu saja, akan menaikan tingkat urbanisasi. Masyarakat urban/perkotaan di negeri-negeri

Page 43: Kepentingan Utama GLOBALISASI

berkembang meningkat jumlahnya dari 26,1% pada tahun 1975 menjadi 38,4% pada tahun 1997, dan diperkirakan, pada tahun 2015, menjadi 49,1% dari jumlah keseluruhan penduduk. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan konsentrasi penduduk di kota-kota, saling berdesakan, memperburuk derajat kesehatan, tak terjaminnya persediaan pangan, perusakan lingkungan dan penyakit-penyakit sosial lainnya. 

Tak diragukan lagi, kecenderungan demografis semacam itu, yang mengharuskan penyediaan pangan yang cukup bagi penduduk dunia yang semakin bertambah--yang menggunakan teknik pemeliharaan lingkungan yang berkelanjutan--semakin bertambah sulit saja.

Situasi pangan di negeri-negeri berkembang menunjukkan bahwa lebih dari 800 juta penduduk menderita kelaparan kronis dan tak mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan demikian, di negeri-negeri Dunia Ketiga, diperkirakan bahwa 507 juta penduduk tak akan sanggup hidup lebih dari 40 tahun. 61%-nya hidup di Asia Tenggara dan Sahara Selatan (Afrika); bahkan, di wilayah Sahara Selatan (Afrika), lebih dari 30% penduduk akan mati sebelum mencapai umur 40 tahun.

Jumlah penduduk yang kekurangan gizi masih besar. Diperkirakan bahwa, pada tahun 1995-1997, 820 juta penduduk kekurangan gizi, sebagian besar--790 juta orang--hidup di negeri-negeri berkembang. Dalam tahun-tahun belakangan ini, telah kita saksikan beberapa kemajuan: jumlah penduduk negeri-negeri maju yang kekurangan gizi berkurang menjadi 40 juta orang. Namun demikian, jumlah penduduk yang kekurangan gizi hanya berkurang di 37 negeri; di negeri-negeri lainnya, jumlah penduduk yang kekurangan gizi kronis meningkat hampir 60 juta orang. Dalam kasus negeri-negeri yang kurang maju, 38% penduduknya kekurangan gizi, dan tak berubah (menjadi menurun) selama 16 tahun terakhir.

Menghadapi situasi seperti itu, sangat lah sulit untuk memenuhi tujuan yang disepakati dalam Pertemuan Tingkat Tinggi (Puncak) Dunia dalam Masalah Pangan (World Food Summit)--yakni, mengurangi jumlah penduduk yang kelaparan sebesar setengahnya pada tahun 2015. Pada tahun-tahun belakangan, jumlahnya memang semakin menurun 8 juta per tahunnya, tapi itu tak mencukupi. Untuk mencapai tujuan yang disepakati pertemuan puncak tersebut, tingkat kemajuan yang harus dicapai adalah sebesar 150%, atau ketika telah mencapi penurunan jumlah yang kelaparan sebesar 20 juta per tahunnya.

Kasus penduduk yang kekurangan gizi (karena tak ada jaminan yang kronis dalam penyediaan pangan), sebagian besar hidup di wilayah Asia dan Pasifik. 70% penduduk Dunia Ketiga, dan 2/3 penduduk yang kekurangan gizi--sekitar 526 juta orang--terkonsentrasi di negeri-negeri tersebut. Namun demikian, bila kita mempertimbangakan jumlah penduduk yang menderita kelaparan, hampir 1/4-nya menetap di Sub-Sahara (Afrika).

Secara keseluruhan, lebih dari 1/4 penduduk yang menderita kelaparan kronis menetap di negeri-negeri yang sangat menderita kekuarangan gizi (30% lebih). Problem tersebut terutama sangat serius diderita oleh negeri-negeri di Afrika tengah, Afrika Selatan dan Afrika Timur, yang hampir setengah (44%) dari 360 juta penduduknya--yang menetap di 26 negeri sub-wilayah tersebut--menderita kekuarangan gizi.

Page 44: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Di negeri-negeri berkembang, kemungkinan anak-anak bisa panjang umur dan sehat nampaknya sulit, karena kemiskinan, penyakit, kekurangan gizi dan konflik bersenjata. Menurut data yang diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh FAO antara tahun 1987 dan 1998, dua dari lima anak-anak di negeri-negeri berkembang menderita gangguan pertumbuhan, satu dari tiga anak-anak menderita ketidaksesuaian berat badan bila dibandingkan dengan umurnya, dan satu dari sepuluh anak-anak menderita ketidaksesuaian berat badan bila dibandingkan dengan tingginya. Hampir setengah anak-anak di dunia yang menderita kekurangan tersebut, hidup di Asia Selatan, wilayah yang paling tinggi insiden kekurangan gizinya, dan wilayah yang paling banyak anak-anak berumur di bawah lima tahun. Pada saat yang sama, di negeri berkembang, kekurangan gizi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan separuh jumlah kematian anak-anak berumur di bawah lima tahun.

Dalam kasus negeri-negeri Amerika Latin dan Karibia, kekurangan gizi kronis dan kelaparan terus menerus menjadi problem serius, hingga sekarang. Di wilayah-wilayah tersebut, kekurangan nutrisi penting seperti, misalnya, vitamin A, diderita kurang lebih 14 juta anak-anak di bawah umur lima tahun.

Dalah hal pendidikan, masih terdapat lebih dari 840 juta orang dewasa yang buta huruf. Dalam hal itu, anak-anak dan kaum perempuan adalah yang paling menderita kerugian sosial.

Lebih dari 130 juta anak-anak usia sekolah di negeri-negeri maju sekali pun, tumbuh tanpa bisa menikmati pendidikan dasar. 60% dari anak-anak yang tak mampu sekolah adalah anak-anak perempuan. 

Ketidaksetaraan jender juga terus menerus menjadi persoalan yang menjadi keprihatinan. Di negeri-negeri berkembang, kaum perempuan yang buta huruf 60% lebih banyak ketimbang kaum lelaki, dan perempuan yang bisa menikmati pendidikan 6% lebih sedikit ketimbang kaum lelaki.

Dalam kasus Amerika Latin dan Karibia, tingkat rata-rata penduduk yang bisa menikmati pendidikan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti keterlambatan mendaftar, harus tinggal kelas dan mengundurkan diri dari sekolah. Karena itu, jumlah anak-anak lelaki dan perempuan yang bisa menyelesaikan pendidikan dasar merosot. Di seluruh wilayah tersebut, diperkirakan bahwa 20% anak-anak lelaki dan perempuan telat mendaftarkan sekolah, 42%-nya tinggal kelas (satu), dan 30%-nya tinggal kelas (dua). Di semua tingkatan/kelas, tingkat rata-rata anak-anak yang tinggal kelas adalah 30%.

Di negeri-negeri berkembang, jumlah dokter dan perawat adalah 75 (dokter) dan 85 (perawat) bagi setiap 100.000 penduduk; di negeri-negeri maju, 253 dokter. Di negeri-negeri termiskin, 14 (dokter) dan 26 (perawat).

Situasi kesehatan juga mencerminkan tingkat kematian bayi dan anak-anak balita. Sekadar contoh: di Sub-Sahara (Afrika) tingkat kematiannya sekitar 107 bayi dan 173 balita per 1.000 bayi yang terlahir-hidup; di Asia Selatan rata-rata kematiannya adalah 76 (bayi) dan 114 (balita). Di negeri-negeri Dunia Ketiga, 2,2 juta anak-anak mati setiap tahunnya akibat diare. Dari 192 juta anak-anak yang hidup di Amerika Latin dan Karibia, hampir 1/2 juta balitanya mati setiap tahunnya karena sakit, sebagian saja bisa disembuhkan.

Page 45: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Dalam kasus Amerika Latin, pada tahun 1998, rata-rata angka kematian balita adalah 39 per 1.000 anak yang terlahir hidup namun, sebagaimana layaknya tingkat rata-rata, tingkat tersebut tak mencerminkan perbedaan baik di berbagai negeri maupun di negeri-negeri itu sendiri--karena tingkat kematian dan tingkat berpenyakit lebih tinggi di daerah pedesaan, juga di kalangan kelompok berpendapatan rendah. Diperkirakan, pada akhir dekade, antara 20% dan 50% penduduk wilayah perkotaan tetap tak bisa menikmati pelayanan kebersihan/saniter. Di daerah pedesaan, 50% penduduk tak bisa menikmati pasokan air bersih, dan lebih dari 60% tak bisa menikmati pelayanan kebersihan/saniter.

Di amerika Latin, tingkat rata-rata kematian ibu yang melahirkan adalah 190 ibu (yang mati) per 100.000 ibu (yang hidup). Bila kasus yang tak tercatat menjadi bahan pertimbangan, diperkirakan jumlahnya 40% lebih besar. Lebih dari 1/2 juta ibu menderita problem kesehatan kronis disebabkan oleh perawatan kesehatan yang tak memadai selama mengandung dan melahirkan.

Di negeri-negeri berkembang, harapan hidup merupakan indikator lain dalam melihat kemerosotan situasi sosial. Antara tahun 1975 dan 1997, tingkat harapan hidup merosot di 10 negeri: antara lain, di empat negeri--semuanya di Sub-Sahara (Afrika)--harapan hidup merosot lebih dari 10%. Kemerosotan tersebut, dalam periode waktu yang begitu pendek, menunjukkan ganasnya dampak AIDS.   

Dilihat dari wilayahnya, harapan hidup di Afrika Utara dan Timur Tengah adalah mencapai umur 66 tahun, tapi di Sub-Sahara (Afrika) hanya 48 tahun. UNDP memperkirakan bahwa, di wilayah tersebut, proporsi penduduk yang tak bisa hidup lebih dari 60 tahun mencapai 56%.

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi merosotnya tingkat harapan hidup adalah dampak HIV/AIDS. Pada prinsipnya, orang miskin lebih rentan terhadap serangan virus tersebut. Diperkirakan bahwa, dari 33,4 juta penduduk yang terserang HIV--yang menyebabkan AIDS--1,4 juta-nya  menetap di Amerika Latin, dan 330.000-nya di Karibia. Tingkat insiden--yang terkena infeksi HIV--lebih tinggi di Karibia, peringkat kedua setelah Sub-Sahara (Afrika).

Di kawasan Afrika, selama dekade terakhir, dampak sosial dan ekonomi akibat HIV/AIDS lebih besar ketimbang kerusakan yang diakibatkan oleh konflik bersenjata. Pada tahun 1998, sekitar 200.000 penduduk Afrika--sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak--mati akibat konflik bersenjata, sementara sekitar 2 juta manusia kehilangan nyawanya akibat terkena virus HIV.

Instabilitas ekonomi memberikan dampak negatif terhadap peningkatan pengangguran dan karakter penganggurannya. Menurut perkiraan ILO, tingkat pengangguran lebih tinggi di kalangan pemuda dan kaum perempuan.

Diperkirakan bahwa, di negeri-negeri terbelakang, jumlah pemuda kota pengangguran mencapai 30%. Di Amerika Latin, pada tahun 1990-an, lapangan kerja yang tersedia terutama di sektor informal. Tingkat pengangguran meningkat menjadi 8,7% pada tahun 1999, tingkat tertinggi pada dekade tersebut.

Page 46: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Di wilayah-wilayah perkotaan, diperkirakan bahwa sekitar 18 juta penduduknya tak memiliki pekerjaan. Tingkat pengangguran meningkat baik di kalangan kaum perempuan maupun di kalangan kaum lelaki; pengangguran di kalangan kaum lelaki yang tadinya 7,2%, pada semester awal 1998, menjadi 8,2%, pada awal semester 1999; pengangguran di kalangan kaum perempuan meningkat dari 9,5% menjadi 10,2%, pada periode yang sama.

Menurut catatan ILO, upah nyata/riil sektor industri di Amerika Latin dan Karibia jatuh sebesar 0,9% pada awal semester 1999, dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun yang lalu. Kesenjangan upah antara buruh terampil dengan buruh tak terampil juga semakin melebar--antara 18% hingga 24% dalam hitungan rata-rata wilayah tersebut. Presentase penduduk perkotaan yang mendapatkan upah juga menurun (yang, secara formal, akan menjadi beban sistim jaminan sosial)--antara tahun 1990 dan 1998, jumlahnya merosot dari 67% menjadi 62%.

Di Afrika, peningkatan penyediaan lapangan kerja lebih rendah ketimbang peningkatan jumlah penduduk yang (secara ekonomis) aktif. Dalam persoalan tersebut, menurut ILO, dengan pertumbuhan penduduk (yang secara ekonomis) aktif mencapai hampir 3%, dan tak memadainya peningkatan penyediaan lapangan kerja di sektor formal, maka mayoritas tenaga kerja akan diserap di sektor informal dan di sektor pertanian yang produktivitasnya rendah.

Problem pengangguran akan terus menjadi beban yang menekan, apalagi dengan tingkat kecepatan migrasi dari desa-desa ke kota-kota, dan disebabkan pada fakta bahwa, antara tahun 1997 dan 2010, diperkirakan penduduk yang (secara ekonomis) aktif akan meningkat 2,9% setiap tahunnya. Itu artinya 8,7 juta penduduk akan masuk ke pasar tenaga kerja setiap tahunnya, walaupun tanpa jaminan penyediaan tenaga kerja.

Menurut laporan ILO, di Asia, pengangguran dan kemiskinan lebih tinggi ketimbang di kawasan lain dunia, dan hampir 2/3 dari 1,3 milyar penduduk miskin di dunia menetap di kawasan tersebut, terutama di Asia Selatan. Dalam laporan yang sama, juga tercatat bahwa kondisi-kondisi pasar tenaga kerja di Asia akan semakin memburuk bila lingkungan ekonomi eksternal berubah menjadi ancaman.

Sistim-sistim kesejahteraan dan jaminan sosial di kawasan tersebut tak sepenuhnya melindungi penduduk dari ancaman kemerosotan (drastis) kondisi-kondisi hidupnya. Tak ada satu pun negeri yang dilanda krisis memberikan jaminan bagi para pengangguran--itu artinya para penganggur dibiarkan terlunta-lunta tanpa bahan-bahan untuk mempertahankan hidupnya.

Aspek lainnya yang harus diperhatikan adalah situasi pekerja anak-anak. Menurut perkiraan yang dibuat oleh ILO, di negeri-negeri berkembang terdapat 250 juta pekerja anak berumur di bawah 15 tahun--kebanyakan bekerja di lapangan kerja yang membahayakan, namun demikian hak-hak dasarnya seperti jaminan kesehatan, bahkan keselamatan hidupnya, tak dipenuhi.

Di Amerika Latin dan Karibia sendiri, terdapat sekitar 20 juta pekerja anak berumur di bawah 15 tahun. Jika jumlah tersebut digabungkan dengan pekerja remaja/dewasa berumur antara 15-18 tahun, maka jumlahnya menjadi sekitar 30 juta. Berdasarkan sumber yang sama, lebih dari 1/2 pekerja anak tersebut adalah perempuan yang, sebagian besar, bekerja tanpa terdaftar, apalagi masuk dalam hitungan resmi statistik.

Page 47: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Sebelum keruntuhan finansial di tahun 1998 (“September Hitam”), ekonomi dunia bisa dikatakan berhasil mencapai booming dengan dorongan reformasi  “pasar bebas”.

Tanpa perdebatan dan diskusi, yang disebut “bunyi kebijakan ekonomi makro”--yang artinya kumpulan keseluruhan nada dalam rencana penghematan anggaran belanja, deregulasi, memperkecil skala bisnis (terutama rasionalisasi tenaga kerja), dan privatisasi--terus menerus digembar-gemborkan sebagai kunci kesuksesan ekonomi dan pengentasan (pengurangan) kemiskinan. Akibatnya, dengan otoritas penuh, baik Bank Dunia maupun United Nations Development Program (UNDP) menegaskan kembali bahwa pertumbuhan ekonomi di akhir abad ke-20 telah ikut memberi sumbangan pada pengentasan tingkat kemiskinan dunia. Menurut UNDP, “Upaya pengentasan kemiskinan di akhir abad ke-20 mencapai kemajuan yang luar biasa dan belum pernah terjadi... Indikator kunci dalam pembangunan manusia telah meningkat kuat."

(2) Perkembangan tingkat kemiskinan global, yang diakibatkan oleh reformasi ekonomi makro, biasanya tidak bisa diterima oleh pemerintahan negara-negara G7 dan lembaga-lembaga internasional (termasuk Bank Dunia dan IMF); realitas sosial nya disembunyikan, angka statistik resmi dimanipulasi, konsep-konsep ekonomi diputarbalikkan.  Kerangka kerja Bank Dunia dengan sengaja menyimpang dari semua konsep dan prosedur (mapan) dalam mengukur kemiskinan--contohnya seperti yang biasanya dibuat oleh Biro Sensus AmerikaSerikat atau PBB).

(3) Mereka, dengan sewenang-wenang, mengatur suatu “standar kemiskinan” dengan tolak ukur: berpendapatan per kapita satu dolar per hari; kemudian (bahkan tanpa pengukuran), diputuskan bahwa kelompok populasi dengan pendapatan per kapita di atas satu dolar per hari “tidak lah miskin”. Metodologi Bank Dunia dengan baik sekali mengurangi catatan kemiskinan tanpa butuh mengumpulkan data level-negara. Penilaian subjektif dan bias tersebut disuguhkan--masing-masing--dengan tidak mencerminkan kondisi yang nyata (sebenarnya) pada tingkatan negara. (4) Prosedur satu dolar sehari adalah tak masuk akal: terdapat bukti-bukti yang cukup meyakinkan bahwa populasi dengan pendapatan perkapita dua, tiga atau bahkan lima dolar per hari tetap ditemukan miskin-- tidak mampu memenuhi pengeluaran paling mendasar untuk makanan, pakaian, perlindungan, kesehatan dan pendidikan, sekali pun.

 Manipulasi Aritmatik 

Begitu standar satu dolar sehari ditetapkan (dan “dimasukan” ke dalam komputer), maka perkiraan tingkat kemiskinan global dan nasional memiliki landasan perhitungan aritmatik. Indikator kemiskinan diperhitungkan dalam suatu kebiasaan mekanik dengan asumsi awal satu dolar sehari. Angka otoritatif dari Bank Dunia itulah yang sering dikutip semua orang--sehingga ada kesimpulan: 1,3 milyar orang di bawah garis kemiskinan. Tetapi, tak seorang pun terlihat ambil pusing memeriksa bagaimana Bank Dunia sampai pada hitungan tersebut.  Data tersebut kemudian ditabulasikan dalam tabel mengkilap (di majalah-majalah mewah) yang memberikan “ramalan” penurunan tingkat kemiskinan global pada abad ke-21. “Ramalan” Bank Dunia atas kemiskinan tersebut didasari atas sebuah asumsi rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita-- termasuk di dalamnya upaya menaik-nurunkan (merendahkan) tingkat kemiskinan. Benar-benar permainan angka saja!

Page 48: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Sesuai dengan “simulasi Bank Dunia”, angka kemiskinan di Cina menurun dari 20% (di tahun 1985) menjadi 2,9% (di tahun 2000).

(5) Serupa dengan itu, tingkat kemiskinan di India--yang, menurut data resmi, lebih dari 80% dari populasinya memiliki pendapatan per kapita di bawah satu dolar per hari--dalam “Simulasi Bank Dunia” (yang membantah metodologi “satu dolar sehari”nya sendiri) diindikasikan adanya penurunan tingkat kemiskinan dari 55% (di tahun 1985) menjadi 25% (di tahun 2000).

(6) Semua pandangan tersebut--yang berakar dari asumsi satu dolar sehari--merupakan tautologi (ulangan yang tak berguna); yang benar-benar jauh dan bersih dari upaya untuk memeriksa dan mengamati kondisi nyata kehidupan. Cara tersebut tak perlu menganalisa pengeluaran rumah tangga atas makanan, perlindungan dan pelayanan sosial; tak perlu mengamati kondisi nyata di desa-desa (yang semakin miskin) dan kawasan kota-kota (yang semakin kumuh). Dalam pandangan Bank Dunia, “perkiraan” atas indikator kemiskinan hanyalah suatu latihan permainan angka belaka.

 Tabel 1:

Indeks Kemiskinan Manusia Menurut UNDP

(Negeri-negeri Berkembang Tertentu)

 Negeri 

Tingkat Kemiskinan (Persentase Penduduk yang Berada di Bawah Garis Kemiskinan)

 Trinidad and Tobago (4,1)  Mexico (10,9) Thailand (11,7)  Colombia (10,7) Philippines (17,7)  Jordan (10,9)  Nicaragua (27,2)  Jamaica (12,1) Iraq (30,7)  Rwanda (37,9_ Papua New Guinea (32,0)  Nigeria (41,6) Zimbabwe (17,3) 

 Sumber: Human Development Report, 1997, tabel 1.1, halaman 21

 Pandangan UNDP

 Sementara Human Development Group, UNDP, di tahun sebelumnya telah menyuguhkan apa yang disebut International Community, yang menilai secara kritis isu-isu kunci perkembangan global, maka Human Development Report 1997 mencurahkan perhatian pada upaya untuk memberantas kemiskinan secara luas yang, sebenarnya, hanya lah membawa pandangan serupa seperti yang digembar-gemborkan oleh institusi Brettonwoods. Indeks Kemiskinan Manusia ala UNDP didasari pada “dimensi yang paling mendasar dalam perampasan terhadap kesejahteraan,

Page 49: Kepentingan Utama GLOBALISASI

yang menyebabkan kesempatan hidup yang pendek, minimnya pendidikan dasar, dan sulitnya akses terhadap sumber penghasilan pribadi dan umum.”

(7)  Berdasarkan pada kriteris di atas, Human Development Report, UNDP, disuguhkan lah perkiraan atas kemiskinan manusia yang samasekali tidak konsisten dengan kenyataan tingkatan-negara. Indeks Kemiskinan Manusia untuk Kolombia, Mexico atau Thailand, contohnya, berkisar antara10-11 persen (lihat Tabel 1). Ukuran UNDP atas “kesuksesan” dalam pengurangan jumlah kemiskinan di Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah dan India benar-benar ganjil bila disebandingkan dengan data tingkat-negara. Perkiraan kemiskinan manusia yang diletakkan dalam gambaran UNDP bahkan lebih menyimpang dan menyesatkan ketimbang ukuran yang digambarkan Bank Dunia. Contohnya, hanya 10,9% penduduk Mexico yang digolongkan oleh UNDP sebagai penduduk “miskin”. Perkiraan tersebut menyangkal situasi (nyata) yang berhasil diteliti di Mexico sejak pertengahan 1980-an: kebangkrutan pelayanan sosial, pemiskinan kaum tani kecil, dan penurunan besar-nesaran dalam penghasilan hidup--yang dipicu oleh devaluasi mata uang secara berturut-turut. Studi OECD baru-baru ini meyakinkan tanpa ragu-ragu bahwa gelombang pasang kemiskinan di Mexico terjadi sejak penandatanganan perjanjian NATO.(8)

Standar Ganda 

 “Standard ganda” berlaku dalam pengukuran kemiskinan: kriteria satu dolar sehari dari Bank Dunia berlaku hanya bagi “negeri berkembang”. Baik Bank Dunia maupun UNDP gagal menjawab adanya kemiskinan di Eropa Barat dan Amerika Utara. Terlebih-lebih, kreteria satu dolar sehari bertentangan--terang-terangan--dengan metodologi yang sudah ajeg digunakan oleh pemerintahan Barat dan organisasi-organisasi  antar-pemerintahan untuk menetapkan dan mengukur kemiskinan di “negeri-negeri berkembang”. 

Di dunia Barat, metode untuk mengukur kemiskinan didasari pada tingkat minimum permintaan belanja rumah tangga--yang sesuai dengan pengeluaran pokok atas makanan, pakaian, perlindungan, kesehatan dan pendidikan. Di Amerika Serikat, contohnya, badan Social Security Administration (di tahun 1960-an) telah membuat sebuah “standard kemiskinan” yang terdiri dari “biaya minimum atas makanan yang memadai dikalikan dengan tiga demi memenuhi pengeluaran lainnya”. Penghitungan tersebut didasari atas sebuah kesepakatan yang luas di pemerintahan Amerika Serikat (AS). (9)

“Standard Kemiskinan” AS atas empat anggota keluarga (dua dewasa dan dua anak-anak) di tahun 1996 digolongkan sebesar $16,036. Angka tersebut, bila diartikan ke dalam pendapatan per kapita, menjadi sebesar $11 sehari (bandingkan dengan kriteria satu dolar sehari yang digunakan Bank Dunia terhadap negeri-negeri berkembang). Di tahun 1996, 13,1% penduduk AS dan 19,6% penduduk di ibukota-ibukota metropolitan berada di bawah standar kemiskinan. (10)

Baik UNDP maupun Bank Dunia tidak membandingkan tingkat kemiskinan antara negeri-negeri “sudah berkembang” dan “sedang berkembang”. Bila kedua karakter tersebut dibandingkan, maka karakter tersebut tak ragu lagi akan menjadi sumber “pendekatan ilmiah yang memalukan”--indikator kemiskinan yang ditampilkan oleh kedua organisasi yang melayani

Page 50: Kepentingan Utama GLOBALISASI

negeri-negeri Dunia Ketiga, dalam beberapa hal, menggolongkan tingkat kemiskinan di negeri-negeri Dunia Ketiga sama besarannya (atau bahkan di bawah) tingkat kemiskinan resmi yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga resmi di AS, Kanada dan Uni Eropa. Menurut Human Development Report yang sama di tahun 1997, Kanada, yang digembar-gemborkan sebagai “tanah perjanjian”, menempati ranking pertama di antara semua bangsa--17,4% populasinya berada di bawah standard kemiskinan (resmi); bandingkan dengan angka 10.9% untuk Mexico dan 4.1% untuk Trinidad/Tobago, yang didasarkan atas pendapatan per kapita 1 dolar sehari. (11)

Sebaliknya, jika metodologi Badan Sensus Amerika Serikat (berdasarkan pemenuhan biaya kebutuhan makanan-minimum) digunakan pada negeri-negeri sedang berkembang, maka sebagian besar penduduk tentu akan digolongkan “miskin”. Penggunaan “standar Barat” tersebut (dan definisinya) belum dianggap sebagai sebuah cara yang sistemik--misalnya, bila terjadi kebijakan deregulasi komoditas pasar, maka harga barang eceran kebutuhan dasar konsumen kemudian tidak dianggap menjadi lebih rendah ketimbang di AS atau Eropa Barat. Biaya hidup di sebagian besar kota-kota negeri Dunia Ketiga bahkan lebih tinggi ketimbang di AS.

Table 2

Kemiskinan di Negeri-negeri (tertentu) G7 (Berdasarkan Standar Nasional) 

 Negeri 

Tingkat Kemiskinan (Persentase Penduduk yang Berada di Bawah Garis Kemiskinan)

Amerika Serikat (1996)* (13.7)

 Kanada (1995)** (17.8)

 Inggris (1993)*** (20.0)

 Itali (1993)*** (17.0)

 Jerman (1993)*** (13.0)

 Prancis (1993)*** (17.0)

 Sumber-Sumber:

 * US Bureau of Census

 ** Centre for International Statistics, Canadian Council on Social Development

 *** European Information Service

Page 51: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Terlebih-lebih, survei anggaran rumah tangga di beberapa negeri Amerika Latin menyarankan bahwa paling sedikit 60% penduduk di wilayah tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan kalori dan protein. Contoh lainnya, Di Peru, yang mengikuti Sponsor IMF, menurut data sensus rumah tangga tahun 1990, 83,5% tak mampu memenuhi kebutuhan kalori dan protein--paling minimimpun--setiap harinya. (12) Situasi umum yang berlaku di Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan lebih serius lagi--mayoritas penduduk menderita kelaparan dan kekurangan gizi kronis.

Penyidikan kemiskinan oleh kedua organisasi tersebut mengambil data statistik resmi yang hanya memberikan penilaian di permukaan saja. “Pelatihan dasar yang resmi diberikan pemerintah”, yang diselenggarakan di Washington dan New York, ternyata hanya memberikan pandangan atau kesadaran yang sangat sedikit atas “apa yang sebenarnya sedang terjadi di lapangan”.

Laporan UNDP tahun 1997 menunjukan bahwa terjadi penurunan angka kematian anak di negeri-negeri (tertentu) Sub-Sahara sekitar sepertiga sampai setengahnya, meskipun terjadi kemerosotan dalam pengeluaran negara dan tingkat pendapatan nya. Bagaimanapun juga, banyak hal yang gagal dicantumkan: penutupan klinik-klinik kesehatan; kaum profesional kesehatan berhenti bekerja secara besar-besaran (tak jarang hanya diganti oleh tenaga sukarela kesehatan yang semi-melek huruf); dan semua ini bertanggung jawab atas pengumpulan data kematian anak yang seolah-olah angkanya menurun secara de facto--padahal karena tak tersedianya tenaga kesehatan yang mencatatnya. IMF-Bank Dunia--sponsor kebijakan reformasi ekonomi makro--juga bertanggung jawab terhadap kemerosotan pengumpulan data.

Semua itu merupakan kenyataan yang kerap dibantah dalam penelitian kemiskinan yang dilakukan Bank Dunia dan UNDP. Indikator kemiskinan (secara terang-terangan dan mencolok) salah dalam mengemukakan (kenyataan) kondisi di tingkat negeri, juga salah dalam mengemukakan gentingnya (kenyataan) kondisi kemiskinan di tingkat global. Bank Dunia dan UNDP bekerja dengan tujuan memberikan gambaran bahwa kaum miskin merupakan kelompok minoritas di dunia, hanya mewakili dari 20% dari seluruh penduduk dunia (1.3 milyar jiwa).

Pada tanggal 30 November, 1999, saat WTO membuka Putaran (Pertemuan) Tingkat Menteri yang Ketiga, 3.000 delegasi resmi, 2.000 jurnalis, dan pengamat lainny yang terdaftar, tak bisa menandingi 10.000 orang demonstran yang datang dari seluruh penjuru dunia untuk mencela organisasi tersebut. Bahkan estimasi jumlah demonstran mencapai 40.000 orang. Menurut Seattle Times, demonstrasi tersebut lebih besar ketimbang demonstrasi pada tahun 1970--saat itu, 20 sampai 30 ribu orang (10.000 orang menurut Seattle Times) menutup jalan Interstate 5 (4) untuk memprotes perang Vietnam. Paralelisasi tersebut sangat lah tepat. Gerakan (yang masih terus berkembang) tersebut, yang menentang upaya-upaya lembaga seperti WTO--yang mencoba mengambilalih manajemen ekonomi internasional--bisa dikatakan merupakan gerakan protes popular yang terbesar dibandingkan dengan yang terjadi selama  20 tahun terakhir ini (bahkan mungkin lebih). Presiden Clinton mewanti-wanti Wakil Presiden bahwa kesempatan untuk mensukseskan pemilihan dirinya kembali terletak di tangan para pemilih inti Partai Demokrat, dan para pemilih tersebut, yang berada di jalan-jalan Seattle, sepertinya memainkan peran bermuka-dua. Walikota Seatle juga memperingatkan bahwa sebagian besar penduduk kotanya mendukung para demostran (beserta keprihatinannya), meskipun surat kabar harian dan televisi menggembar-gemborkan pentingnya perdagangan bebas bagi kesejahteraan mereka.

Page 52: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Presiden awalnya mencoba menggambarkan issue (5) tersebut sebagai pilihan antara perdagangan bebas yang, memang, disyaratkan modal; atau, bila tak ada perdagangan bebas, maka tak akan ada perdagangan sama sekali (layaknya pilihan orang-orang yang menolak tehnologi/pembaruan)--tawaran pilihan tersebut, dengan sendirinya, sekarang, sepertinya telah menjadi retorika usang “rasakan sakitmu”. Katanya, dalam retorika sok suci nya, persoalan lingkungan dan hak-hak buruh akan mendapatkan dukungan; sementara, kenyataannya, kebebasan korporat (perusahaan-perusahaan besar), yang mengotori alam dan menghisap buruh, masih saja diberikan keleluasaan yang lebih besar. 

Walikota Seattle, yang berlindung di balik samaran yang sama, yakni “keprihatinan”, gagal menjelaskan kenapa ribuan pengunjuk rasa (tanpa kekerasan), yang memblokir perempatan-perempatan, ditembaki dari jarak dekat dengan peluru karet, semprotan merica, dan gas air mata. Ia juga tak bisa menjelaskan kenapa aksi sejumlah kecil “kaum anarkis”  digunakan untuk mengkriminalkan aksi damai tersebut, dan membenarkan penangkapan-penangkapan (asal comot) terhadap mereka yang sedang menggunakan hak nya untuk memprotes (secara damai) atau menangkapi mereka yang, sederhana saja, menurut polisi, karena sedang berada “di tempat yang salah”. Walikota dengan bangga nya membual bahwa ia telah  memberikan dukungan terhadap kebebasan berbicara meskipun, sementara itu, berupaya (dan berhasil) mencegahnya; seperti juga Presiden, yang membual bahwa ia telah memperjuangkan hak-hak buruh dan lingkungan meskipun, sementara itu, mendukung agenda-tamak korporat--sebagaimana yang juga telah ia lakukan terus menerus sepanjang karir nya yang memalukan.

Percobaan untuk memanipulasi, atau “memutarbalikan”, protes tersebut jelas-jelas telah mengalami kegagalan. Saat ini, tak ada salah pengertian lagi saat menilai kekuatan, tingkat komitmen, dan pemahaman dalam (kemunculan) gerakan radikal melawan globalisme korporat. Dalam mengantisipasi pertemuan Seattle, sekitar 800 organisasi akar rumput, yang berasal lebih dari 75 negeri, terpanggil untuk melakukan perlawanan terhadap tumbuhnya kekuatan-tamak korporat. WTO merupakan sasaran yang tepat, karena kontribusinya terhadap konsentrasi kekayaan, peningkatan kemiskinan, dan pola produksi serta konsumsi yang tak berkesinambungan. Organisasi-organisasi akar rumput tersebut mendakwa bahwa aturan-aturan dan prosedur-prosedur WTO tidak lah demokratis, dan sekadar bekerja untuk (lebih lanjut lagi) menyingkirkan mayoritas penduduk dunia, menjebaknya dalam ketidakstabilan dan degradasi sosial sebagai akibat proses globalisasi yang tak memiliki kontrol sosial. Dalam kebangkitan Seattle, gerakan perlawanannya menjadi lebih kuat dan lebih berkomitmen, serta memungkinkan menjadi lebih besar dan lebih efektif lagi.

Karena sebagian besar penduduk tidak mengetahui apa itu WTO, apalagi mengerti bagaimana aksi tersebut bisa mempengaruhi hidup mereka, maka berbagai kelompok--mulai dari United Church of Christ Network for Environmental and Economic Responsibility hingga Pax Romana di Thailand; mulai  Green Action di Tel Aviv hingga Green Library di Latvia; mulai dari kelompok-kelompok hak asasi di Kamerun hingga Indigenous People's Biodiversity Network di Peru; dari Pax Christi di Florence hingga the United Students Against Sweatshops--terlibat dalam upaya-upaya yang terkoordinasi untuk menyebarluaskan suatu pandangan (tentang WTO) yang berangkat dari bawah. Mereka telah mencoba untuk menunjukkan apa arti WTO bagi kehidupan rakyat pekerja di dunia, bagi lingkungan, dan bagi masa depan semua kehidupan di planet. Seattle adalah contoh global.  

Page 53: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Para pejabat WTO terus menerus mempertahankan pendapat bahwa “apa yang terjadi di Seattle hanya lah sekadar kegagalan berkomunikasi,” bahwa semangat turun ke jalan dilandasi ketidakpedulian, dan semakin memperjelas kebutuhan WTO “untuk memberikan informasi dan pendidikan” pada masyarakat umum tentang apa “yang sebenarnya dilakukan” WTO. Memangnya, apa yang sebenarnya telah mereka lakukan?  Seorang pejabat di kantor Direktur Jenderal WTO mengatakan, “Jika anda memikirkan suatu tempat yang layaknya sebuah pasar, dimana semua pedagang di dunia terlibat bersama dan saling tawar menawar, maka anda tidak terlalu jauh menyimpang dalam memahami WTO.” Cukup menyimpang, sebenarnya. Sebagian besar penduduk dunia tidak terwakili. Tenaga kerja mereka dinilai rendah oleh perusahaan-perusahaan trans-nasional [Trans-Nasional Corporations (TNCs)], yang datang untuk tawar-menawar, dan kekuatan utama nya lah--yang paling unggul adalah Amerika Serikat (A.S.)--yang mendesakkan  pilihan-pilihannya dalam tawar-menawar. Hanya beberapa negeri berkembang saja yang memiliki tingkat keakhlian yang sama dalam menangani kompleksitas hukum di WTO; beberapa negeri berkembang lainnya sangat tak beruntung, bahkan untuk memiliki perwakilannya dalam pertemuan tersebut. Dan negeri-negeri berkembang, dalam banyak kasus, diwakili oleh suatu jajaran elit yang sejak lama telah menjual diri nya pada pusat kapitalisme global. Si kaya dan yang berkuasa lah yang membuat aturan demi aturan yang, tidak lah mengejutkan, sekadar melayani kepentingan si kaya dan yang berkuasa. Tawar menawar merupakan urusan antar-elit tapi, sebagai hasil dari miltansi popular, mereka mulai dilawan. 

Izinkan lah aku meninjau kembali dari mana asalnya WTO itu, bagaimana cara kerjanya, dan kenapa orang-orang yang memprotes ingin (secara revolusioner) merubah aturan TNCs dalam sistem dunia. Mari kita mulai dari Havana di tahun 1948, dimana sebagian besar pemimpin  bangsa-bangsa paling terkemuka (dalam perdagangan) bertemu dan setuju untuk membentuk International Trade Organization (ITO). Ide dan teks aktual ITO datang dari (A.S.). ITO lah yang akan menentukan/mendesakan aturan sistim perdagangan dunia, untuk menghindarkan kemerosotan-spiral seperti yang terjadi pada tahun 1930-an--kebangkrutan yang benar-benar mengancam keberadaan sistem kapitalis. Karena perusahaan-perusahaan A.S. berhasil keluar dari perang tanpa saingan kapitalis lainnya, mereka sangat percaya diri bisa menang dalam kompetisi melawan Eropa yang sedang melemah. Perdagangan bebas, yang melayani ekonomi dominan, bukan lah merupakan penemuan baru, dan unsur-unsur korporat serta modal keuangan (yang paling berkepentingan) lah yang berhasil meraup manfaat nya--menduduki eksekutif-eksekutif cabang ITO untuk mendorong nya maju. Tapi sentimen nasionalis yang sangat kuat di Kongres, yang khawatir A.S. akan kehilangan kedaulatannya dalam pemerintahan dunia, menolak untuk terikat pada lembaga pemerintahan internasional yang mungkin di masa depan akan menolak dikontrol A.S., dan bahkan menolak meratifikasi perjanjian ITO.

Persetujuan pendahuluan telah disepakati dalam perjanjian umum mengenai tarif dan perdagangan [General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)], yang diarahkan sebagai kerangka sementara sampai ITO bisa diwujudkan. Karena A.S. menolak menggabungkan diri ke dalam ITO, maka GATT menjadi suatu alat tetap yang permanen. GATT tak memiliki  kekuatan pemaksa, bahkan secara formal bukan lah sebuah organisasi. Selama hampir lima puluh tahun, walau telah melewati serangkaian pertemuan, GATT  tetap menjadi forum tempat untuk bernegosiasi dalam merendahkan tarif (pajak impor, yang akan menghambat perdagangan, apalagi jika tarifnya menjadi tinggi). Dalam meninjaunya, beberapa ekonom pasar (fundamentalis) dan yang lainnya sangat gembira ITO tidak bisa berfungsi karena, pada masa

Page 54: Kepentingan Utama GLOBALISASI

itu, ITO merupakan sesuatu yang tidak menguntungkan. Seusai perang, semua bangsa setuju bahwa pemenuhan lapangan kerja merupakan cita-cita utama dalam setiap persetujuan ekonomi internasional, bahwa hak-hak buruh sebaiknya dilindungi, bahwa kekuasaan dan dominasi pasar yang terlalu besar oleh  korporat sebaiknya dihalangi oleh undang-undang antitrust (6), dan yang lemah, yakni bangsa-bangsa yang baru berdiri, seharusnya mendapatkan perlakuan istimewa agar mereka bisa ditolong dalam mengatasi warisan dominasi kolonial serta keterbelakangan nya. Semua asas itu lah yang merupakan bagian dari kerangka ITO.

Tak satu bagian pun dari WTO--yang berdiri pada tahun 1995--yang mendapatkan oposisi dari Kongres (lagi-lagi dari mereka yang takut kehilangan kedaulatan). Pada pertemuan pertamanya di Singapura pada tahun 1996, setelah melalui diskusi-diskusi yang bersemangat mengenai hak-hak buruh dan perlindungan lingkungan, diputuskan bahwa: hal-hal tersebut bukan lah persoalan perdagangan dan sebaiknya tidak menjadi pertimbangan WTO; juga, tidak seharusnya menetapkan perlakuan istimewa bagi negeri-negeri berkembang tapi, sebaiknya, setahap demi setahap, dihapuskan untuk menciptakan “arena bermain yang setara bagi semua”. Tentu saja tak ada ketetapan untuk mengontrol modal transnasional, sebagaimana seruan bangsa-bangsa berkembang yang berkehendak menciptakan tatanan baru ekonomi internasional (New International Economic Order) pada pertemuan PBB di tahun 1970-an--tentu saja, ditolak mati-matian oleh negeri-negeri kaya. Bagi WTO, deregulasi (dan kebebasan yang lebih besar bagi modal transnasional untuk melakukan apa saja yang diinginkannya, di mana dan kapan saja menginginkannya) menjadi satu-satunya agenda.

Dalam mukadimah WTO, berbagai macam gagasan congkak dan maksud-maksud positif dibeber-beberkan: bahwa perdagangan itu sebaiknya membantu meningkatkan taraf hidup, menjamin lapangan pekerjaan sepenuh-penuhnya, dan melindungi lingkungan. Tapi tak ada satu  pun dari semua itu yang dipenuhi dalam pelaksanaannya. Dalam mekanisme peninjauan kembali kebijakan perdagangan WTO, tak ada yang memberikan penilaian terhadap dampak peraturan-peraturan WTO terhadap buruh, konsumen, atau pembangunan yang berkesinambungan. Dalil pokok WTO adalah bahwa liberalisasi perdagangan dan investasi harus mengarah pada kompetisi yang lebih ketat, efisiensi pasar yang lebih besar dan, dengan demikian, itu lah yang memang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup. Jika faktor-faktor produksi--buruh, modal, dan tanah (termasuk aset-aset lingkungan)--diberi harga yang selayaknya, maka faktor-faktor produksi tersebut akan digunakan dengan bijaksana, layaknya “Tangan-Tangan Tuhan” yang merawatnya dengan lembut, atau, bila tidak,  kebohongan akan berlanjut.

Keprihatinan lain--terhadap hak-hak azasi manusia, hak-hak buruh, dan perlindungan lingkungan--bukan lah urusan WTO, sebuah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk memaksa pemerintahan-pemerintahan nasional. Mereka malah menyelewengkannya menjadi organisasi yang hanya memiliki tujuan khusus, yang tak memiliki kekuasaan terhadap TNCs dan pemerintah nasionalnya. Pemilahan antara lembaga-lembaga yang sangat berkuasa [seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan WTO, yang berkaitan dengan masalah keuangan] dengan organisasi-organisasi yang tak memiliki kekuasaan (yang membicarakan kepedulian-kepedulian yang sangat penting artinya bagi sebagian besar penghuni dunia), menyebabkan agenda-agenda perusahaan-perusahaan raksasa bisa dibicarakan sambil dilatarbelakangi retorika bodoh yang tak henti-hentinya dikumandangakan itu--”rasakan sakit kau”.

Page 55: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Pemaksaan diberlakukannya arena bermain yang setara memang seharusnya dijamin dalam mekanisme resolusi, dan pemaksaaan kebijakan-kebijakannya seharusnya dilakukan oleh negeri-negeri yang sedang bersengketa dengan negeri-negeri yang melanggar. Tak pernah ada bukti bahwa negeri-negeri miskin bisa diuntungkan oleh prosedur penyelesaian hukum seperti itu, dan sering tak punya nyali untuk menantang atau memaksakan kebijakan-kebijakan untuk melawan negeri-negeri yang lebih kuat, karena si kaya memiliki kelebihan/pengaruh ketimbang si miskin atau yang tak memiliki kekuasaan. Proses untuk memaksakan aturan-aturannya bukan lah dalam pengertian bahwa komunitas dunia bisa menggunakan kekuatan kolektif dari suatu demokrasi mayoritas. Tapi, lebih individualistik, murni konsep keadilan formal lah yang diunggulkan atau, dengan kata lain,  pertempuar satu lawan satu dalam persetaraan hukum (yang, pada kenyataannya, tidak lah setara). Sistem tersebut, layaknya sistem hukum di AS yang, secara efektif, bisa membasmi segala tantangan terhadap si kaya dan yang berkuasa.  

Selanjutnya, hanya negeri-negeri yang mempunyai “status keanggotaan” lah yang memiliki  hak untuk mengambil bagian dalam prosedur WTO. Rakyat pribumi seperti Ogone, yang mungkin menentang apa yang dilakukan Shell di tanah-tanah nya, tidak lah memiliki hak tersebut (bandingkan dengan keinginan berpartisipasi pemerintahan reperesif Nigeria). Penduduk Papua Nugini bagian barat (Papua-Indonesia) juga tak memiliki hak tersebut, karena status keanggotaan hanya diberikan pada pemerintahnya--pemerintah Indonesia, yang menolak untuk menghormati hak-hak penduduk Papua, membunuhi mereka yang memprotes, mencuri sumber-sumber penghasilan mereka, dan membiarkan lingkungan mereka dirusak. LSM-LSM juga tak memiliki status keanggotaan tersebut, padahal beberapa di antaranya mengajukan pembelaan terhadap hak-hak rakyat pribumi atau buruh-buruh pabrik yang ditindas, dipenjarakan, dan dibunuh oleh pemerintahnya agar tercipta iklim perburuhan “yang menyenangkan” serta demi kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional. WTO adalah forum yang hanya membela hak-hak perdagangan para pemilik modal, dengan syarat-syarat yang dirundingkan oleh badan-badan pemerintahan yang mewakili kepentingan modal.  Bagi WTO, tak ada hak-hak lain yang berarti.

Dalam perundingan-perundingan terakhir GATT, dalam Pertemuan/Putaran Uruguay (Uruguay Round) dari tahun 1986 hingga tahun 1994,  industri jasa Amerika Serikat (seperti Federal Express, American Express, dan perusahaan-perusahaan keuangan serta jasa lainnya, yang mencoba mempercepat penetrasi mereka ke dalam pasar global) berhasil mempengaruhi delegasi A.S. agar secara paksa membuka pasar luar negeri bagi produk-produk mereka. Departmen Perdagangan A.S. mendirikan panitia konsultasi resmi; komite tersebut memiliki banyak sub-komite yang menangani berbagai sektor berbeda, yang perwakilan-perwakilannya bertugas mempengaruhi para negosiator pemerintah agar memenangkan kepentingannya dalam perundingan. Hasilnya adalah (simulasi-percontohan) dibentuknya General Agreement on Trade in Services (GATS). United States Council on International Business, dengan keanggotaan lebih dari tigaratus TNCs yang berbasis di A.S., kantor-kantor pengacara, dan perhimpunan-perhimpunan bisnis, melakukan tekanan agar kesepakatan hak kepemilikian intelektual yang bisa diperdagangkan  (atau berkaitan dengan perdagangan) [Trade Related Intellectual Property (TRIPs)] disyahkan, karena sebagian besar keuntungan TNCs diperoleh dari bidang tersebut. Mereka menuntut (dan memperoleh) persetujuan mengenai ukuran-ukuran investasi yang bisa diperdagangkan (atau berkaitan dengan perdagangan)  [Trade Related Investment Measures (TRIMs)], yang menjamin bahwa negeri-negeri lain tak akan

Page 56: Kepentingan Utama GLOBALISASI

mendiskriminasi investasi mereka--agar industri-industri negeri asalnya dapat dilindungi, dan agar TNCs A.S. dapat menembus pasar luar negeri.  

Kelompok-kelompok pe-lobby (1) lainnya, yang sangat berpengaruh, memberikan tekanan pada para negosiator Eropa (seperti European Round Table, tempat para eksekutifnya berkedudukan); dan Transatlantic Business Dialogue yang membantu agar prosedurnya berjalan dengan lancar. Yang tak diikutsertakan dalam forum rahasia ini adalah perusahaan-perusahaan kecil, kelompok-kelompok konsumen, buruh, dan sebagian besar pemerintahan dunia. Saat WTO bertemu untuk mempertimbangkan topiknya, semuanya sudah diatur sedemikian rupa sehingga bisa berjalan lancar--sejak dari pertemuan yang diselenggarakan oleh Trilateral Commission hingga pertemuan tahunan yang sangat berpengaruh seperti di Davos, Switzerland, di mana yang kuat dan yang lemah bertemu untuk menetukan posisi-posisi yang akan ditetapkan oleh organisasi internasional yang resmi.

Banyak Pemerintahan yang tunduk pada tuntutan modal transnasional, yang menginginkan tak satu negeri pun diperbolehkan mendiskriminasi produk-produk dan investasi-investasi nya. Mereka punya hak untuk menuntut (secara legal) pemerintah mana pun yang mencoba melakukan diskriminasi--itu lah sebagian dari apa yang diusulkan dalam kesepakatan multilateral tentang investasi (Multilateral Agreements on Investment) (MAIs)]. Tapi tuntutan itu sekarang harus dilakukan melalui badan yang disyahkan pemerintah nya. Pernah terjadi: hak-hak tersebut dijadikan landasan untuk menuntut negara bagian Massachusetts--karena ada undang-undang yang melarang pemerintah membeli barang-barang yang diproduksi oleh perusahaan yang menjalin hubungan bisnis dengan Birma. Hukum memaksa perusahaan-perusahaan seperti Apple dan Eastman Kodak untuk berhenti menjalin hubungan bisnis dengan negara penindas yang didominasi militer, Burma. Perusahaan-perusahaan Jepang dan Eropa lebih suka menuntut negara bagian Massachusetts karena melanggar undang-undang non-diskriminasi WTO tentang pembelian oleh pemerintah. Di dalam aturan tersebut, hanya pemerintahan (lokal dan nasional yang efektif/diakui) yang memboikot pemerintahan rasis apartheid saja lah yang tak diperbolehkan melakukannya.  

U.S. Trade Representative sedang mendorong (atas nama perusahaan raksasa Amerika HMOs) disyahkannya hak-hak untuk bersaing dengan sistem kesehatan nasional Eropa yang memberikan pelayanan pengobatan/kesehatan--hal tersebut akan menghancurkan sistim pelayanan pengobatan/kesehatan yang, sekarang, jauh lebih unggul diberikan di banyak negeri Eropa. Contoh lainnya: tuntutan satu perusahaan (jasa pengiriman bingkisan dan surat) terhadap pemerintah Eropa yang “memonopoli” jasa pos; dampaknya akan berpengaruh terhadap pilihan pemerintah (yang dipilih secara demokratik) dalam membuat keputusan tentang bagaimana surat-surat mereka harus dikirimkan.  

Dalam kasus lain, hukum-hukum lingkungan A.S. telah berhasil menentang, memaksa, pemerintahnya sendiri untuk menyempitkan, mengecilkan, ukuran-ukuran perlindungan lingkungan.  Dalam hukum A.S., ikan tuna/cakalang yang ditangkap dengan jala--yang rancangannya dan prosesnya bisa membunuh banyak ikan lumba-lumba--tidak boleh dijual di negara nya. Tapi A.S. telah “mempraktekan perdagangan yang tak adil”. Karena WTO tak peduli bagaimana ikan cakalang ditangkap, atau jika udang ditangkap dengan cara yang sedikit banyak dapat membunuh kura-kura laut raksasa, atau apakah sebuah produk dibuat dengan

Page 57: Kepentingan Utama GLOBALISASI

menggunakan tenaga kerja anak, maka semua itu tak pernah menjadi pertimbangan pemerintah-pemerintah anggota WTO.

Atas nama perusahaan-perusahaan raksasa yang dilayaninya, pemerintah Clinton dengan segera menggunakan WTO untuk merendahkan standar lingkungan dan kesehatan di seluruh dunia. A.S. menentang syarat-syarat pengujian residu-pestisida Jepang dalam impor pertanian mereka. Pada tahun 1998, dan lagi pada tahun 1999, WTO menyatakan bahwa standar residu-pestisida Jepang lebih tinggi ketimbang standar WTO; oleh karena itu, rakyat Jepang sekarang harus menerima kadar pestisida yang lebih besar. Guatemala mematuhi pedoman  WHO/UNICEF dalam melarang kemasan yang menyetarakan formula bayi dengan bayi-bayi yang sehat, tapi Gerber Corporation meminta Departemen Luar Negeri A.S. untuk menentangnya karena hal itu mencampuri urusan hak-hak kekayaan intelektual Gerber, dan mengancam akan mengadukannya ke WTO. Akibatnya, Guatemala sekarang membolehkan penggunaan label kemasan yang bertentangan denga pedoman WHO/UNICEF. WTO, atas nama pemerintah Clinton, mengatakan pada orang-orang Eropa bahwa mereka tidak bisa melarang daging sapi yang berasal dari hormon buatan karena mereka tidak bisa membuktikan, sesuai dengan standar yang memuaskan WTO, bahwa daging tersebut beresiko terhadap kesehatan. Dahulu, produsen nya lah yang harus membuktikan bahwa produk mereka aman, dan keputusannya diserahkan kepada perwakilan-perwakilan yang dipilih secara demokratik dan terpercaya. Di bawah WTO, pemerintah lah yang harus membeberkan bukti (yang tak bisa dibantah lagi). Dengan begitu, transnational bisa memperoleh alasan di hadapan panel penyelesaian perselisihan WTO--yang bertemu secara rahasia--namun LSM-LSM dan pihak-pihak yang berkepentingan, yang bukan negara-bangsa, dilarang campur tangan.

Sekarang, hak-hak perusahaan melingkupi apa yang disebut dengan pembajakan-entitas-kehidupan (biopiracy): mencuri bahan-bahan genetik dan pengetahuan tradisional dari masyarakat pribumi dan kemudian mem-paten-kannya. Pencurian intelektual seperti itu sudah menjadi semakin lazim. Yves St. Laurent, sesudah mengimpor bunga tertentu (Cananga odorata atau ilang-ilang, sebagaimana dikenal di Filipina, tempat bunga itu tumbuh), kemudian membuka perkebunannya sendiri di Afrika dan mendapatkan paten atas parfum yang didapat dari spesies asli Filipina tersebut. Dalam kejadian lain, pohon neem India, merupakan sumber tiga puluh lima hak paten, sebagian besar bagi hak kepemilikan pestisida tanaman tersebut. Pemakai lokal, yang telah lama mendapatkan manfaat dari kepemilikan pohon tersebut,  tidak mendapatkan apa pun dari penggunaan pengetahuan tersebut oleh perusahaan-perusahaan Eropa dan A.S.

Di bawah kesepakatan TRIPs, semua pengetahuan dinyatakan memiliki hak kepemilikan dan siapa pun harus memilikinya. Sekarang ini ada “para penemu” mikro-organisme (yang memiliki hak terhadap mikro organisme dan segala hal yang berhubungan dengannya). Tanaman yang menghasilkan pemanis, yang telah lama dipelihara oleh para petani India, dan penghilang sakit yang dikembangkan di Cina, sudah dicuri oleh TNCs. Kita juga sedang menyaksikan langkah-langkah penting dalam hal hak paten berbagai benih, yang mengurangi keanekaragaman pertanian.

Di Filipina, MASIPAG (sebuah perkumpulan petani, yakni komunitas yang mengelola pembiakan dan konservasi padi serta sayuran) menentang ide bahwa bibit merupakan “sumber

Page 58: Kepentingan Utama GLOBALISASI

genetik” yang tak bernama, yang gratis bagi perusahaan-perusahaan agribisnis transnasional. Mereka berupaya mempertahankan hak-hak petani untuk secara leluasa menukar bibit dan membagi pengetahuan serta sumberdaya. Di seluruh dunia kejadiannya seperti Daud melawan Goliat. Patut lah organisasi-organisasi semacam GRAIN (Genetic Resources Action International, di Barcelona, Spanyol), Transnational Institute di Amsterdam, dan kelompok-kelompok pengawas lainnya (dengan situs-situsnya) diberi penghargaan, sebagaimana juga tulisan-tulisan akhli-akhli hukum yang membela kepentingan umum, yang memberikan informasi tentang apa makna perdagangan bebas bagi rakyat di seluruh dunia.

Bukan sekadar keaneka-ragaman hayati, warisan bersama umat manusia pun berada dalam bahaya karena sedang dirampok; upaya untuk mematenkan bibit dan meningkatkan monopoli penyewaan (yang dibebankan kepada para petani) akan menaikan harga makanan dan merendahkan pendapatan pertanian. Monsanto, partisipan-penasihat bagi masalah Intellectual Property Committee selama negosiasi GATT dan WTO, mencoba menghubungkan penjualan bibit dengan pestisidanya, caranya dengan menginventarisir semua produk dan memaksa para penggunanya mengizinkan inspeksi di lahan-lahan mereka, agar Monsanto bisa melihat bahwa mereka telah memenuhi syarat-syarat yang dituntut perusahaan. Dengan menggunakan mesin WTO, perusahaan tersebut juga merupakan salah satu pihak (di antara orang-orang Eropa) yang sedang berjuang agar produk-produk rekayasa genetik pertanian mereka tidak digunakan.

Tapi, sekarang, banyak orang yang peduli dan yang cerdas mulai memprotes kekuasaan WTO (yang tidak demokratik dan tak mereka pilih) dalam membuat keputusan tentang apa yang diizinkan dan apa yang tidak--bukan saja dalam hal produk-produk makanan, tapi juga dalam hal-hal mendasar mengenai apa itu yang pribadi dan apa itu yang publik. Kepedulian tersebut menghasilkan oposisi yang meluas terhadap kekuasaan WTO (dan modis operandinya) dalam meletakkan keuntungan perusahaan di atas segala pertimbangan-pertimbangan lainnya. Pertempuran tersebut terus berlangsung--pertempuran antara Daud dan Goliat, atau pertempuran antara WTO, TNC, dan pemerintahan-pemerintahan yang paling berkuasa di dunia, di satu pihak, melawan produsen dan konsumen di akar rumput, serta kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak-hak buruh dan perlindungan lingkungan, di lain pihak, yang terus menerus memajukan tuntutannya.  Buruh A.S., yang terorganisir, telah mengajukan tuntutannya dan (sebagaimana ditunjukkan di Seattle) mulai bergerak melampaui kepentingan-kepentingan nasionalis sempit--menuju solidaritas global. Dan sekarang, si raksasa khawatir; memekikkan kemarahannya dalam halaman editorial The Economist.

Kampanye akar rumput melawan Nike, perusahaan raksasa pakaian olahraga, sangat lah efektif. Kampanye tersebut turut membantu menunjukan bahwa, ketika pers menyelidiki dan membuktikan tuntutan aktivis hak-hak Buruh, wartawan nya malahan ditahan dan kadang-kadang dipenjarakan. Reporter Mark Clifford dipenjarakan di Indonesia, dan merasakan bagaimana hidup sebagai buruh di pabrik-pabrik sub-kontraktor TNCs. Cerita Clifford di Business Week, yang berjudul “Di dalamnya, adalah Neraka”, merinci gaji dan kondisi kerja yang, oleh para aktivisnya, sedang diupayakan agar bisa dipublikasikan. Cerita yang sama juga dimuat di New York times, Washington Post, dan di media-media lainnya. Kelompok-kelompok hak-hak buruh sedang mengarahkan fokus utamanya pada Nike, Gap, Disney, dan para penghisap lainnya.

Page 59: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Tantangan hukum oleh pengacara (yang memperjuangkan kepentingan publik) terhadap Texaco, yang sedang merampok Oriente (salah satu bagian dari lembah sungai Amazon, Ekuador) di pengadilan Amerika Serikat mulai mendapat liputan utama dan mengkhawatirkan TNCs lainnya.  Texaco, tentu saja, mengatakan bahwa mereka telah memenuhi seluruh peraturan pemerintah Ecuador. Tapi, menurut para aktivis lingkungan, Texaco telah mengotori dan meninggalkan begitu saja hutan tadah hujan yang telah sekian lama menghidupi manusia, dan mewariskan ancaman bagi kesehatan penduduk di sekitarnya.

Lewat kampanye (hubungan kemasyarakatan) dan tantangan hukum, juga disertai dengan demonstrasi besar dan mencolok seperti di Seattle, suatu gerakan protes mendapatkan momentumnya, menantang dominasi modal transnasional dan lembaga-lembaga yang melaksanakan perintahnya. Perdagangan bebas semakin dimengerti sebagai antitesis terhadap pertukaran/perdangan yang adil, hak-hak mendasar manusia, kondisi kerja yang baik, tingkat kompensasi yang memadai, perlindungan lingkungan, dan pembagian setara warisan bersama umat manusia.

WTO yakin sedang menghadapi tantangan (hubungan kemasyarakatan). Memang, demikian lah adanya. Tetapi lebih daripada itu, WTO sedang menghadapi gerakan akar rumput yang telah sadar, yang jumlahnya semakin meningkat. Semakin banyak warga yang sadar tentang nilai-nilai yang sedang dibangun WTO (beserta kebijakan-kebijakan yang sedang dipertahannya), maka semakin tumbuh lah oposisi terhadapnya. Seorang juru bicara WTO membantah: bahwa kritikan-kritikan tersebut lebih banyak mendatangkan kerugian ketimbang kebaikan--“Dengan mengatakan bahwa WTO merusak, sebenarnya sama juga dengan mengatakan bahwa dunia akan lebih baik bila tak memiliki perangkat aturan multilateral dalam perdagangannya”; menurutnya: “Itu jelas jelas omong kosong. Tak seorang pun dengan sungguh-sungguh bisa membela posisi tersebut.” Tapi tentu saja pihak-pihak yang menentang WTO di jalan-jalan Seattle dan di tempat-tempat lain bukan bermaksud menentang aturan-aturan untuk mengelola ekonomi global. Sungguh, mereka memerlukan aturan-aturan--aturan-aturan yang bisa mengawasi, menjaga, rakusnya modal. Jadi, bukan lah soal pilihan antara aturan-aturan yang mereka buat dengan dunia yang tanpa aturan. Gerakan sedang mengajukan seperangkat aturan untuk dirundingkan.

Apa yang sebenarnya menjadi keberatan gerakan popular--dan WTO sangat memahaminya--adalah bahwa sekarang penguasa lah yang membuat aturan, sementara sebagian lainnya dipaksa sekadar harus mematuhinya. Tantangan nya sebenarnya terhadap seluruh kerangka-kerja perdagangannya, yang digambarkan oleh WTO untuk memaksimalkan kepentingan-sendiri melalui pertukaran ekonomi; memang, senyatanya, merupakan suatu rejim dagang yang sedang memaksimalkan kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa. Hal itu dilakukan dengan (secara paksa) menghapuskan rintangan yang diterapkan oleh negara-negara yang, saat ini, sampai batas tertentu, menghambat kepentingan TNCs. Dibutuhkan hukum yang lebih kuat yang dapat membela kepentingan nilai-nilai yang diajukan oleh usaha-usaha yang menghidupi hajat mayoritas besar penduduk dunia. Mereka yang mengerti bahwa praktek-praktek perdagangan bebas tersebut merusak martabat manusia, keadilan sosial, dan pembangunan yang berkesinambungan, seharusnya menolak bualan WTO bahwa aturan yang mereka buat adalah aturan yang terbaik (apalagi dianggap sebagai satu-satunya aturan yang tanpa alternatif). Padahal tidak, ada puluhan ribu Daud dan para pengikut Daud di jalan-jalan--bukan saja di Seattle, tapi juga di London, di Paris, di berbagai tempat demonstrasi, dalam rangkaian pidato dan diskusi,

Page 60: Kepentingan Utama GLOBALISASI

serta bentuk-bentuk lain gerakan yang membangkitkan perlawanan. Goliat, berhati-hati lah: enerji dan vitalitas kekuasaan rakyat (yang sejati) sedang bergejolak, dan akar rumput sedang bergerak dengan teguhnya.

Aksi-aksi anti-WTO di Seattle terbukti sanggup membangkitkan banyak perhatian, menggairahkan kembali aktivisme politik, dan mendorong banyak diskusi serius mengenai langkah-langkah selanjutnya di kalangan gerakan kiri. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, kita berada dalam posisi untuk berpikir dan bertindak strategis, memasukkan agenda pembangunan-gerakan dalam pikiran kita. Saat aku mengevaluasi pengalaman Seattle, bagaimana seharusnya aku memahaminya; bagaimana menguji beberapa inisiatif politiknya; bagaimana mengeksplorasi hubungan berbagai issue-nya, kampanye-kampanyenya, dan gerakan-gerakannya; serta bagaimana menyarankan kriteria politik dan program aksi yang dapat memandu perjuangan organisasi kita. Tujuanku adalah membantu mencapai kejelasan dan kesatuan politik yang dibutuhkan untuk menyadari potensi suatu periode.

Merayakan  Seattle

Gerakan Seattle patut dicatat karena kreativitasnya, bisa memasukkan banyak hal, dan melibatkan orang dari berbagai usia, yang terdorong oleh berbagai keprihatinan, untuk bersatu menentang WTO (dan kebijakan-kebijakan neoliberal) sebagai agendanya. Mereka yang secara langsung terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi mencoba bertahan terhadap gempuran polisi dan Garda Nasional dengan penuh semangat, kebulatan tekad dan solidaritas yang mengagumkan. Para demonstran telah menyelesaikan pekerjaannya (secara mengagumkan) dalam menyampaikan pesan hari-hari itu kembali ke masyrakatnya, bahkan kepada pemirsa yang lebih luas dan bersemangat. Banyak juga yang telah mempublikasikan ringkasan dan analisa kejadian-kejadiannya. (3)

Saat kita merayakan kemenangan pertempuran di jalanan Seattle, sangat penting bahwa kita tidak kehilangan perhatian terhadap perkembangan-perkembangan sosial yang lebih luas, yang bahkan memberikan sinifikansi politik pada  peristiwa Seattle. Yang berikut ini adalah di antara nya yang paling penting:  selama periode ekspansi ekonomi sekarang ini, rakyat pekerja yang marah karena kondisi kerja dan hidupnya hanya mengalami sedikit perbaikan (bila pun ada) jumlahnya semakin meningkat dan patut diperhitungkan. Selain itu, banyak yang menjadi paham bahwa situasi sekarang ini bukan lah merupakan hasil dari proses evolusioner dan alamiah (yang sering disebut sebagai “globalisasi”), tapi lebih karena pilihan-pilihan sadar yang mencerminkan minat politik yang ditentukan terutama oleh (makna) keniscayaan kapitalis.  Dan banyak lagi yang juga mulai menyadari bahwa rakyat pekerja seluruh dunia sedang menghadapi kecenderungan dan proses politik yang sama dan, selain itu, muncul kesadaran bahwa aksi bersama bukan saja sekadar memungkinkan tapi memang dibutuhkan bila menghendaki perubahan positif dalam kondisi-kondisi kerja dan hidup. 

Limpahan mayoritas orang yang berpartisipasi dan mendukung demostrasi-demonstrasi di Seattle tak pernah menyebut dirinya sebagai kaum radikal, namun pengertian dan motivasi mereka menunjukkan bahwa mereka terbuka pada pemahaman radikal dalam memandang kapitalisme dan aksi politik yang beorientasi-sosialis. Jadi, periode pasca-Seattle

Page 61: Kepentingan Utama GLOBALISASI

menggambarkan kesempatan yang penting dan menggairahkan bagi kita yang memiliki komitmen membangun gerakan yang kuat dan demokratik demi sosialisme.

Pada saat yang sama, tak ada arah perkembangan-perkembangan politik masa depan yang terjadi dengan sendirinya. Sebagian besar kuliah, ceramah, diskusi, baik sebelum maupun sesudah protes-protes terhadap WTO, menawarkan rangkaian perspektif politik, mulai dari anti-korporat, anti-konsumerisme, hingga anti-kapitalis. Beberapa penceramah menganjurkan pembubaran WTO; yang lainnya menyerukan reformasi WTO melalui kesepakatan-kesepakatan yang mengabungkan antara kepedulian terhadap buruh dengan kepedulian terhadap perlindungan lingkungan. Seruan bagi perjuangan-perjuangan untuk membela hak-hak buruh atau melindungi lingkungan kerap kali berbaur (secara simpang siur) dengan seruan perjuangan untuk mencapai bentuk-bentuk baru kehidupan dan pekerjaan dalam masyarakat (yang bercita-cita untuk mandiri).

Oleh karena itu, periode sekarang ini memerlukan--jika bukan tuntutan--kehati-hatian pemikiran kita dalam hal bagaimana merespon kemarahan dan enerji yang sedang dirasakan dan diungkapkan rakyat. Dengan kata lain, kita butuh mengembangkan suatu fokus strategi yang bisa membantu membangun gerakan-gerakan bagi perubahan yang menyangkut prinsip-prinsip persamaan, demokrasi, dan solidaritas baik dalam praktek maupun dalam visi. Bila kita lemah dalam fokus seperti itu, segalanya akan menyebabkan kita kehilangan peristiwa yang sangat berharga untuk menciptakan kemajuan yang nyata bagi sosialisme. Bagaimana pun juga, situasi darurat tidak lah selalu memberikan kejelasan.

Strategi  yang  Cacat:  Kampanye  Cina

Kepedulian terhadap buruknya kondisi-kondisi buruh dan lingkungan memotivasi banyak rakyat pekerja untuk menentang WTO. Presiden Clinton, yang mengetahui seriusnya keprihatinan tersebut, mencoba meredam potensi radikalnya dengan mengakuinya dan menganjurkan perlunya mengadopsi pembentukan kelompok yang mempelajari buruh sebagai langkah pertama untuk memasukkan standar buruh ke dalam WTO. Sejumlah aktivis dan kelompok yang terlibat dalam aksi-aksi Seattle mengusulkan respon berbeda terhadap keprihatinan tersebut, yang satu berharap akan bisa menguatkan ikatan antara buruh dengan kelompok sosial lainnya dan (juga) dengan oposisi popular yang menentang WTO. Strategi mereka adalah mengarahkan enerji polular menjadi kampanye menentang Cina masuk ke dalam WTO. Sayangnya, itu adalah strategi yang sungguh cacat. Kampanye seperti itu menyelewengkan arah enerji politik periode saat itu. Strategi tersebut tidak mengakibatkan pendalaman pengertian terhadap hakikat kapitalisme atau tidak bisa membangun gerakan perubahan yang berorientasi-sosialis. Tak lama sebelum pertemuan Seattle, pemerintah A.S. dan Cina telah menyepakati syarat-syarat yang memaksa A.S. menyetujui Cina masuk ke dalam WTO. Syarat-syarat tersebut tidak menyebut-nyebut tentang standar hak-hak buruh dan perlindungan lingkungan. Bagaimana pun juga, agar kesepakatan tersebut memiliki kekuatan, maka Kongres A.S. harus lah pertama-tama menyetujui untuk memberikan hak Normal Trade Relations (NTR) secara permanen.

Dengan berbagai alasan terkait, kelompok-kelompok seperti Public Citizen dan pimpinan-pimpinan AFL-CIO menentang kesepakatan dengan Cina. Mereka menganggap Cina sebagai dikator “kelas-dunia”, pedagang yang tidak adil, dan penghisap kelas buruh. Mereka percaya

Page 62: Kepentingan Utama GLOBALISASI

bahwa masuknya Cina ke dalam WTO akan menurunkan (secara intensif) tekanan-tekanan terhadap kondisi kerja dan lingkungan di Amerika Serikat dan di tempat lain. Singkatnya, mereka menganggap kesepakatan dengan Cina merupakan lambang dari semua kesalahan dinamika globalisasi sekarang ini, dan mereka yakin bahwa mereka dapat menggunakan momentum (4) Seattle, sebagaimana juga menggunakan ketidakpercayaan publik terhadap Cina, untuk memenangkan suara menentang NTR yang diberikan kepada Cina dan untuk melancarkan pukulan lainnya, yakni menentang mereka yang mendukung kapitalisme internasional yang tak  diatur.

Saat mengakui potensi signifikan debat mengenai NTR-Cina, Wall  Street Journal, dalam berita halaman depannya--yang berjudul “Kegagalan Pengajuan WTO dalam Menawarkan Perundingan Perdagangan menyemangati Para Pemrotes”--menyuarakan profil suara (progresif) terkemuka dalam gerakan yang mencegah Cina masuk WTO:

“Kegagalan perundingan (WTO) mewariskan musuh bagi euforia perdagangan bebas.  Dan mereka meninggalkan Seattle dengan enerji baru, bermaksud menetang tujuan utama perdagangan pemerintahan Clinton: memasukan Cina ke dalam WTO.  ‘Cina. Kami datang’, ujar Mike Dolan, perancang utama protes-protes Seattle, saat merayakan kacau balaunya pertemuan WTO tingkat menteri. ‘Tak ada keraguan tentang hal itu. Isu selanjutnya adalah cina’.” (5)

WTO Ada juga artikel yang mengutip sejumlah orang yang berkaitan dengannya  AFL-CIO, yang memberikan pernyataan serupa. Denise Mitchell, juru-bicara AFL-CIO, mengatakan “Pengambilan suara masuknya Cina ke WTO akan menyelewengkan seluruh agenda keprihatinan kami mengenai globalisasi.” Artikel tersebut juga menggaris bawahi posisi Jeff faux, presiden Economic Policy Institute (EPI) yang progresif, yang  menentang masuknya Cina ke dalam WTO karena kehadirannya akan menyebabkan “nihilnya penetapan standar buruh dan lingkungan.” Alasannya, bukan saja karena Cina itu diktator, tapi juga merupakan negeri yang terlalu besar untuk ditekan.

Strategi yang menetapkan isu Cina sebagai isu utama kita, dengan beberapa alasan, merupakan problematik. Yang paling penting, hal itu mendorong orang yang prihatin terhadap kondisi buruh dan lingkungan di Amerika Serikat menjadi menyalahkan Cina sebagai yang paling mmiliki tanggung jawab besar atas kondisi tersebut, bukannya kapitalis A.S. atau kapitalisme secara umum. Hal itu mengarahkan orang untuk berpikir bahwa respon terbaik terhadap problem-problem di A.S. adalah memaksa Cina merubah sistimnya, mungkin dengan mengadopsi peraturan-peraturan buruh dan lingkungan A.S. dan,  tambahannya, pemikiran bahwa memang tak ada yang salah secara fundamental dengan kapitalisme A.S.

Hal-hal tersebut bukan lah cerminan ketakutan yang abstrak. Contohnya adalah satu artikel yang ditulis oleh Robert E. Scott, seorang ekonom EPI, yang dipublikasikan di jurnal progresif Working USA. (6)  Scott menentang masuknya Cina ke dalam WTO dengan beberapa alasan, yang paling penting di antara nya adalah bahwa menurutnya sistim statis Cina tak mengizinkan perdagangan yang adil. Jadi, masuknya Cina ke dalam WTO akan menambah problem perdagangan bagi ekonomi A.S.

Scott mengusulkan tiga syarat yang, jika dipenuhi, ia akan menghentikan perlawananya:

Page 63: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Pertama, Amerika Serikat harus menentang keanggotaan Cina di WTO kecuali dan hingga Cina setuju memasukan standar hak-hak buruh dan perlindungan lingkungan (yang memiliki kekuatan memaksa) sebagai unsur inti kesepakatan. Kedua, Amerika Serikat tidak seharusnya masuk ke dalam perjanjian perdagangan apapun dengan Cina bila tidak memberikan hasil keuntungan komersil yang dapat diukur….(Hal tersebut mengharuskan Cina) setuju untuk menjaga dan menghargai nilai mata uangnya sebagaimana dibutuhkan… (dan) sepakat, di bawah jadwal yang ketat, untuk mencapai target (yang dapat diukur) dalam menerima penetrasi impor pada tingkatan produk dan industri. Terakhir, semua perjanjian tersebut harus bisa dipaksakan melalui mekanisme multilateral yang telah ditentukan. Setiap perubahan yang dibutuhkan, agar struktur WTO cocok dengan mekanisme pemaksa yang dibutuhkan, harus diletakan pada tempat yang selayaknya (hal. 87).

Sepertinya tak terdapat kesalahan politik yang terkandung dalam artikel tersebut. Scott tidak menyerukan pembubaran WTO, tapi justru menguatkannya dengan memasukan standar hak-hak buruh dan perlindungan lingkungan, serta juga menetapkan mekanisme pemaksa  terhadap pelanggaran dalam tingkat pertukaran dan aktivitas ekonomi secara umum.

Apa sebenarnya yang menyebabkan Cina menjadi pendorong bagi tuntutan yang begitu kuat tersebut? Scott menyimpulkan  bahwa Cina “menghisap buruh dan menindas hak-hak azasi manusia” (hal. 83), serangannya terutama ditujukan terhadap bentuk-bentuk non-pasar dalam sistim Cina. Menurut Scott, “Kompetisi yang tak adil dibangun dan dimasukan ke dalam sistim ekonomi Cina" (hal.84). Alasannya adalah karena Cina menggunakan “sejumlah kebijakan pemerintah yang mendistorsi-pasar, termasuk keharusan untuk mentransfer teknologi kepada perusahaan-perusaaan domestik, keharusan kandungan lokal dan syarat keseimbangannya, serta pengaturan izin impor dan pertukaran luar negeri“ (hal.84).

Secara signifikan, saat menyoroti meningkatnya defisit perdagangan A.S. dengan Cina di sektor-sektor pokok seperti komputer dan perlengkapan telekomunikasi, Scott menjelaskan bahwa ekspor teknologi-canggih Cina ke A.S. sebenarnya sebagian besar (barang-barangnya) diporoduksi oleh perusahaan-perusahaan A.S. dan perusahaan-perusahaan multinasional asing lainnya yang beroperasi di Cina. Menurut dia, misalnya, “Dalam kasus komputer, A.S. mengekspor perangkat/suku cadangnya dan memberi pekerjaan kepada Cina dengan ‘batas-batas akses’nya (dengan pengertian: dianggap sebagai impor perangkat/suku cadang dan ekspor barang jadi pabrik-pabrik milik-asing yang beroperasi di Cina), dan, sebagai imbalannya, A.S. mendapatkan telpon yang sudah dirakit”. (hal.84) Namun demikian, Scott tidak mempertanyakan secara kritis tentang perusahaan-perusahaan multinasional A.S. yang operasinya merusak lingkungan atau logika kapitalisme yang berorientasi-ekspor. Serangannya hanya di tujukan atau hanya di tataran menyerang kebijakan negara Cina, dan khususnya bagian-bagian dari sistim Cina yang kelihatan menyimpang dari neoliberalisme.

Tidak diragukan lagi, memang, banyak orang--yang termobilisasi karena kejadian di sekitar protes-protes Seattle--tertarik  pada kampanye menentang masuknya Cina ke WTO. Pemerintah Cina tidak lah demokratis, dan sebagian besar buruh Cina berada dalam kondisi kerja yang sangat sulit dan keras. Lebih dari itu, hanya sedikit saja keraguan bahwa buruh Cina, terutama petaninya, akan sangat menderita bila negerinya masuk menjadi anggota  WTO.

Page 64: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Masih harus diingat juga bahwa kampanye menetang persoalan Cina bukan lah suatu kampanye solidaritas. Bila dibandingkan, perbedaan dengan aksi-aksi boikot menentang era-aparteid  (7) di Afrika Selatan atau Burma sangat lah jelas. Dalam kasus-kasus tersebut, negeri kita memiliki kekuatan demokratik yang menyerukan boikot perdagangan dan investasi sebagai bagian dari strategi internal mereka untuk mencapai perubahan.

Hingga kini, tak ada gerakan buruh independen Cina yang meminta dukungan internasional untuk berkampanye agar Cina tidak diterima menjadi anggota WTO. Bahkan, organisasi-organisasi yang beroperasi di Hong Kong, yang berjuang untuk meningkatkan pengorganisasian buruh independen di Cina, menghentikan dukungannya terhadap kampanye semacam itu. (8) Lebih dari itu, banyak gerakan buruh independen dan militan, termasuk mereka yang ada di Korea Selan dan Brazil, seperti juga LSM-LSM dunia ketiga, tak ada yang tercatat menentang perluasan kekuasaan WTO yang gagal memasukkan standar kondisi-kondisi buruh dan perlindungan lingkungan. Jadi, memajukan suatu kampanye yang mengajukan tuntutan semacam itu sebagai elemen kritis dalam strateginya bisa membahayakan solidaritas internasional yang dibangun selama aksi-aksi Seattle. Prestasi tersebut seharusnya tidak dengan mudah dikesampingkan.

Kampanye anti-Cina menjadi berarti hanya jika tujuan utamanya adalah mereformasi  WTO agar mau mengadopsi kepentingan buruh dan perlidungan lingkungan. Tapi, tujuan tersebut bukan saja meremehkan solidaritas internasional, tapi juga merupakan kemunduran bagi perkembangan gerakan politik (yang berorientasi-sosialis) di A.S. Terdapat radikalisasi dalam gerakan buruh (yang sedang berkembang) di A.S., dan upaya kita seharusnya diarahkan untuk memperdalam proses tersebut, bukan meredamnya. Suatu gerakan yang hanya bertujuan mereformasi WTO, bukan menolaknya, menyemangati buruh untuk menyambut neoliberalisme, dan menekan negeri lain untuk merekstrukturisasi ekonomi-politiknya di jalur yang sama dengan kita (agar bisa memecahkan problem-problem kita) jelas-jelas berada dalam arah yang salah.

Kita seharusnya menolak menjadikan Cina sebagai titik pusat kerja politik kita. Respon kita terhadap mereka yang ingin mengetahui opini kita dalam issue tersebut seharusnya adalah: bahwa rakyat Cina akan lebih baik hidupnya bila tidak masuk ke dalam WTO, demikian juga halnya rakyat pekerja di seluruh negeri, termasuk yang di A.S. Itu lah alasan mengapa kita menentang WTO dan berupaya membubarkannya. Secara mendasar, issue Cina-WTO menggambarkan pertarungan kaum elit baik di A.S. maupun di Cina. Perhatian dan upaya organisasi kita seharusnya difokuskan untuk mengembangkan kampanye yang bisa mengungkapkan keprihatinan-keprihatinan kita dalam masalah buruh di A.S. dan seluruh negeri, yang akan meningkatkan bukan memperlemah solidaritas buruh internasional. 

Ratifikasi Konvensi-konvensi Ketenagakerjaan International Labor Organization (ILO)

Ada cara yang lebih produktif untuk menanggapi buruknya kondisi buruh dan kehidupan di A.S., yang akan tetap memfokuskan perhatian kita pada kapitalisme A.S.. Salah satu nya adalah mengambil keuntungan dari retorika pemerintah A.S. Sebagai contoh, Presiden dan sebagian besar anggota Kongres mengaku mendukung hak-hak buruh yang sangat baik/kuat. Namun demikian, “tindakan” mereka cenderung terbatas hanya pada mengkritik kondisi-kondisi buruh

Page 65: Kepentingan Utama GLOBALISASI

yang terjadi di negeri-negeri lain. Kita harus menentang upaya Presiden (mengajukan) dan Kongres (meratifikasi) tujuh konvensi (ketenagakerjaan) mendasar ILO.

ILO telah mengadopsi lebih dari 180 konvesi ketenagakerjaan internasional. Konvensi-konvensi tersebut, dalam kata-kata WTO, “adalah traktat-traktat internasional, yang merupakan subyek yang harus diratifikasi oleh negara-negara anggota ILO.” Badan Pengurus ILO sudah menentukan “bahwa tujuh konvensi tersebut harus dianggap mendasar sebagai hak-hak azasi manusia di tempat kerja”, dan harus diratifikasi serta diterapkan oleh seluruh negara anggota ILO. Ketujuh hak-hak mendasar itu disebut Konfensi-konfensi Mendasar ILO (Fundamental ILO Conventions)” (1)

Tujuh standar inti buruh tersebut dirancang untuk melindungi kebebasan berkumpul dan berorganisasi (konvensi nomer 87 dan 98), menghapuskan kerja paksa (konvensi nomer 29 dan 105), menjamin kesetaraan dalam pekerjaan dan upah (konvensi nomor 111 dan 100), serta menghapuskan buruh anak (konvensi nomor 138). Pada saat ini, A.S. hanya baru meratifikasi 1 dari ketujuh standar buruh (fundamental) tersebut, yakni No. 105. ILO mencatat perbedaan berarti antara legislasi nasional A.S. dengan 4 konvensi fundamental tersebut--nomer 29, 87, 98, dan 100. (2)

International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) mengeluarkan laporan yang ditujukan pada WTO General Council--sebagai bagian dari tinjauan paling akhir dalam kebijakan perdagangan--yang menekankan tentang A.S. yang tidak memenuhi  komitmen internasionalnya. (3) Laporan tersebut mengatakan, misalnya, banyak buruh di A.S. yang ditolak haknya untuk menggabungkan diri dengan serikat buruh dan melakukan kesepakatan bersama. “Di sektor pekerjaan umum, sekitar 40 persen buruh dari seluruh buruh yang ada--hampir tujuh juta orang--ditolak haknya untuk menyelenggarakan kesepakatan (tawar menawar) bersama” (hal.2). Dan di “sektor swasta, hukum tidak melindungi buruh saat majikan dengan keras menghapuskan dan mencegah perwakilan buruh” (hal. 3). Contoh-contoh yang dikutip termasuk kebiasaan memecat aktivis serikat buruh tanpa melalui keputusan pengadilan dan menggantikan (secara permanen) buruh-buruh yang terlibat dalam pemogokan. Laporan tersebut juga mencatat bahwa buruh agrikultur dan domestik, sebagaimana juga para buruh penyelia dan “kontraktor independen”, tak dimasukkan kedalam Undang-undang Hubungan Perburuhan Nasional.

Laporan ICFTU juga melaporkan tentang diskriminasi ras dan jender yang terus berlangsung di A.S. baik dalam merekrut atau pun mengupah buruh, dan berlanjutnya penggunaan buruh anak, terutama di pertanian dan pabrik-pabrik garmen kecil. Juga terdapat peningkatan dalam penggunaan tenaga kerja paksa di penjara di terirori-teritori yang sangat tergantung pada A.S.--persemakmuran Kepulauan Mariana Bagian Utara--juga di mana buruh asing yang diimpor dipaksa kerja di bawah kondisi-kondisi Ikatan hutang.

Catatan ratifikasi A.S. terhadap standar mendasar buruh berada di antara yang terburuk di negeri-negeri Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Kampanye untuk mempublikasikan fakta-fakta tersebut dan tuntutan untuk meratifikasi ketujuh konfensi mendasar tersebut memiliki potensi untuk mempertajam kesadaran-kelas dan memperdalam pengertian popular mengenai keniscayaan kapitalis. Kampanye seperti itu juga dapat meningkatkan solidaritas internasional antara buruh A.S. dan buruh negeri-negeri lain. Misalnya, percakapan

Page 66: Kepentingan Utama GLOBALISASI

dengan buruh-buruh negeri lain bisa membantu gerakan buruh A.S. belajar lebih banyak tentang kerangka legal alternatif, dan bagaimana mereka mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perjuangan pengorganisasian buruh dan tempat kerja. 

Kampanye untuk meratifikasi 7 konvensi mendasar ILO hanya lah menggambarkan salah satu alternatif yang mungkin ketimbang kampanye menolak Cina menjadi anggota WTO. Aku menyorotinya untuk menggambarkan pilihan-pilihan yang kita hadapi, dan pentingnya menggunakan kreteria politik yang harus disiapkan dengan baik untuk memandu perjuangan-perjuangan politik kita. Kampanye-kampanye lain yang layak didukung adalah termasuk yang dapat memperbaiki (kontrak-kontrak) upah (yang menunjang kehidupan buruh beserta keluarganya), transformasi sektor publik, oposisi terhadap produksi pabrik-pabrik kecil yang tak memperhatikan kondisi kerja serta upah buruhnya (sweatshop), dan oposisi terhadap kebijakan-kebijakan International Monetary Fund (IMF) serta World Bank (WB).

Tantangan  Politik  Pengorganisasin  Kampanye

Tantangan kita meluas melebihi kreteria yang bernada politik, dan menggunakan nya untuk menentukan kampanye mana yang memiliki potensi progresif yang paling besar. Kita juga ditantang untuk bekerja di dalam komunitas kita untuk saling berbagi dan memenangkan dukungan bagi kreteria dan pilihan-pilihan politik kita. Sebagai contoh, menentang kampanye Cina bisa mengarah pada tuduhan bahwa kita adalah simpatisan komunis dan sektarianisme. Lebih penting lagi, bila pun ada kesepakatan umum tentang kampanye yang akan diajukan, tak ada jaminan kampanye tersebut akan merealisasikan potensinya.

Kampanye-kampanye itu sendiri merupakan proses-proses politik yang kompleks. Tak ada issue yang “murni” yang akan menjamin bahwa kampanye terkait akan meningkatkan partisipasi akar rumput; kesadaran-kelas; perspektif anti-kapitalis; dan solidaritas internasional. Akan selalu ada bahaya bahwa tekanan dari dalam dan dari luar kampanye akan memoderasi politik serta akan mempersempit fokus kampanye, dengan hasil-hasil politiknya yang mencelakakan pula.

Contohnya, Aku telah mengajurkan suatu kampanye untuk meratifikasi konfensi-konfensi mendasar ILO, karena aku melihatnya sebagai kendaraan untuk pembangunan-gerakan. Namun demikian, kampanye seperti itu, bila didominasi oleh unsur-unsur reformasi, dapat dengan mudah gagal mencapai tujuannya. Para organiser dapat membatasi tindakan-tindakannya sekadar menjadi kampanye kartu pos yang ditujukan pada angota-anggota Kongres; orang bisa saja didorong untuk melihat konvensi-konvensi tersebut sebagai jawaban akhir bagi masalah-masalah tenaga kerja di A.S., namun hasilnya pasti akan menjadi kebuntuan politik. Pengujian kondisi-kondisi buruh di Jerman dan Prancis--negeri-negeri yang telah meratifikasi ketujuh Konvensi fundamental tersebut--harus menjadi jelas: bahwa ratifikasi itu sendiri di dalam dirinya telah membatasi kemampuan untuk menantang dan mentransformasikan dinamika kapitalis. Bahkan Guatemala sudah meratifikasi ketujuhnya! 

Demikian pula, beberapa kampanye anti pabrik-pabrik kecil yang tidak mengindahkan kondisi kerja dan upah buruhnya (anti-sweatshop) bisa menjadi bahaya bila digambarkan sebagai penyimpangan sejarah yang akan bisa diakhiri dengan menggunakan kampanye konsumen untuk menekan kapitalis merubah tingkah lakunya. Hasilnya, banyak partisipannya mulai berpikir

Page 67: Kepentingan Utama GLOBALISASI

dalam kerangka kapitalis yang baik dan kapitalis yang jahat, ketimbang membanguan suatu kesadaran anti-kapitalis. Bahkan kampanye menentang IMF dan WB terbagi ke dalam garis ya/tidak--dengan harapan dapat memberikan pemahaman politik dan visi-visi perubahan.

Pendeknya, kampanye bisa dibedakan berdasarkan dinamika organisasi dan fokus politiknya, bahkan saat mengajukan “issue” yang sama. Dan, sebagaimana issue nya, beberapa kampanye nampaknya lebih bisa memajukan hasil politik yang sesuai ketimbang yang lainnya. Karenanya, kita juga harus memberikan perhatian yang hati-hati kepada pilihan-pilihan yang kita buat (saat mengorganisasikan kampanye) bila kita hendak mencapai keberhasilan dalam mengembangkan periode yang menjanjikan sekarang ini. Yang menggembirakan, terdapat contoh-contoh sejarah yang dapat membantu kita membangun kreteria bagi--sebagaimana juga pendekatan yang dianjurkan oleh--pengorganisasian kampanye yang berhasil.

Belajar dari Sejarah: Contoh Hari Buruh 1 Mei

Ujian bagi perjuangan memperpendek jam kerja, yang dijadikan simbol demonstrasi-demonstrasi dan aksi-aksi mogok, telah banyak mendidik kita tentang bagaimana mengorganisasikan buruh di sekitar issue “reformasi”, sementara itu secara simultan membangun gerakan kelas-buruh yang militan, berskala nasional, dan membangun visi-visi revolusioner. Lebih sepesifik lagi, sejarah menawarkan cara pandang yang penting tentang bagaimana memaksimalkan potensi radikal dalam kampanye-kampanye kita dan solidaritas internasional yang bermakna. Itu lah tekanan pengertian tentang hakikat kritis hubungan antara kampanye dengan gerakan. 

Perjuangan demi jam kerja yang lebih pendek di A.S. dimulai pada abad ke-18, bahkan sebelum serikat buruh pertama terbentuk. Tujuan nya adalah sepuluh-jam kerja dalam sehari. Aspek kunci kampanye nya adalah kepedulian terhadap cara para organiser menyusun tuntutan mereka. Mereka berpendapat bahwa sepuluh-jam kerja dalam sehari dibutuhkan bukan saja untuk melindungi kesehatan para buruh, tapi juga karena jam kerja yang panjang dan melelahkan merupakan hambatan bagi perubahan revolusioner yang lebih besar. Issue yang dieradarkan oleh buruh-buruh Boston menganjurkan bahwa sepuluh jam kerja setiap harinya memberi arti pada: “Kita telah begitu lama menjadi subyek sistim tirani yang memuakkan, kejam, dan tidak adil, yang memaksa cara kerja mekanik yang melelahkan/menguras tenaga fisik dan mental. Kita punya hak dan kewajiban berperan sebagai warganegara Amerika dan sebagai anggota masyarakat, yang tak memperbolehkan kita bekerja lebih dari 10 jam setiap hari kerjanya.” (4)

Pada tahun 1866, walaupun masih banyak buruh yang bekerja lebih dari sepuluh jam sehari, gerakan buruh sudah mencoba mengusahakan delapan jam-kerja seharinya. Para organiser terus memajukan tuntutan bagi jam-kerja yang lebih pendek sebagai langkah yang dibutuhkan dalam proses transformasi sosial yang lebih panjang, tidak dilihat sebagai perjuangan itu sendiri dan akhir perjuangan itu sendiri. Pada konvensi pertamanya tahun 1866, National Labor Union (NLU) mendeklarasikan “Kebutuhan pertama dan besar pada masa sekarang (untuk membebaskan buruh negeri ini dari perbudakan kapitalis) adalah dengan meluluskan hukum yang mensyahkan delapan jam-kerja menjadi jam kerja yang normal di seluruh negara bagian A.S." (5)

Page 68: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Dua minggu kemudian, Perserikatan Buruh Internasional (The International Workingmen's Association), yang juga dikenal sebagai Internasional Pertama (First International), mengeluarkan pernyataan serupa, yang ditulis oleh Karl Marx, yang mengatakan: “batas legal jam kerja merupakan syarat awal yang tanpa itu upaya perbaikan dan emansipasi kelas buruh akan terbukti gagal... Kongres mengajukan 8 jam sebagai batas kerja per harinya.” Bila kita perhatikan fakta bahwa buruh di Eropa dan A.S. sedang menuntut dan mogok demi delapan jam-kerja, maka sepantasnya lah resolusinya kemudian berlanjut sebagai berikut: “karena batas tersebut menggambarkan tuntutan umum para buruh di A.S., maka Kongres kemudian merubah tuntutannya menjadi ketentuan kebijakan tuntutan umum Buruh Sedunia." (6)

Satu sanggahan yang digunakan oleh majikan untuk menolak tuntutan pemendekan jam kerja tersebut adalah bahwa bila tuntutan tersebut disetujui maka, secara relatif, akan tidak menguntungkan bagi majikan di negeri nya ketimbang majikan di negeri lain. Karena itu, respon yang ampuh adalah membuat tuntutan jam kerja yang lebih pendek menjadi tuntuan internasional, yang diajukan oleh gerakan buruh nasional, sebagai jalan yang terbaik--dalam makna yang bisa membuat setiap gerakan mendukung atau mendapatkan dukungan dari perjuangan di negeri-negeri lain. 

 The Federation of Organized Trades and Labor Unions of the United States and Canada [sebelum terbentuknya American Federation of Labor (AFL)], yang didirikan pada tahun 1881, dengan cepat membahas tuntutan delapan jam kerja sehari. Dalam konvensinya, pada tahun 1884, mereka menyerukan untuk mengorganisir upaya untuk memperjuangakan tuntutan tersebut pada tanggal 1 Mei, 1886, yang diarahkan untuk mogok secara besar-besaran menentang majikan-majikan yang masih membangkang. Dan memang terjadi mogok besar-besaran pada hari itu.   

Pemogokan tersebut memberikan landasan (konteks) bagi apa yang terjadi pada tanggal 4 Mei, 1886, yakni tragedi Lapangan Haymarket. Pada tanggal 4 Mei, pada penutupan pertemuan, mereka memprotes tindakan kekerasan yang dilakukan polisi dalam menghadapi pemogokan buruh--satu kekuatan besar polisi bersenjata masuk ke lapangan dan memaksa pertemuan itu dihentikan. Sebelum ada satu tindakan apapun, sebuah bom dilempar ke arah massa aksi. Satu polisi meninggal saat itu juga; yang lainnya luka-luka.  Polisi menjawabnya dengan menembaki buruh yang sedang berkumpul.

Pimpinan-pimpinan pengusaha dan pemerintah, yang takut akan peningkatan kekuatan gerakan buruh, mengambil keuntungan dari kejadian Haymarket. Polisi menangkap delapan orang pimpinan buruh dan mendakwanya melakukan pembunuhan terhadap seorang polisi di lapangan Haymarket, meskipun sebenarnya sebagian dari mereka bahkan tak hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka didakwa telah menyemangati pelemparan bom melalui pidato-pidatonya. Kedelapan yang ditangkap tersebut kemudian dinyatakan bersalah dalam suatu pengadilan yang sangat curang; empat orang dihukum gantung, yang satu nampaknya bunuh diri. Tiga lainnya yang selamat akhirnya diampuni. Martir perisatiwa Haymarket kemudian menjadi simbol Hari Buruh 1 Mei (May Day).

Walaupun terdapat penidasan yang sangat sering, gerakan buruh berlanjut dengan serangan-tuntutan delapan jam kerja. AFL, pada konvensinya tahun 1888, menyetujui resolusi yang

Page 69: Kepentingan Utama GLOBALISASI

menargetkan 1 Mei, 1890, sebagai hari bagi buruh untuk melancarkan aksi pemogokan untuk mencapai tujuannya. Kampanye pendidikan dan organisasional, termasuk demostrasi, dijadwalkan agar bisa dilaksanakan dalam periode berselang sebelum hari jadinya.

Pada 1866, seruan dari A.S. juga diterima oleh gerakan buruh internasional. Internasional Ke-2 (Second International) didirikan pada tahun 1898. Samuel Gompers, presiden AFL, mengirimkan perwakilannya ke pertemuannya di Paris, mengoinformasikan strategi pemogokan AFL dan meminta dukungan mereka. Delegasi Prancis menyiapkan suatu tawaran resolusi yang menyerukan aksi-aksi internasional (yang terkoordinasi) oleh buruh untuk memenangkan delapan jam kerja. Dalam persetujuannya terhadap permohonanan A.S., ia memilih 1 Mei, 1890, sebagai hari yang ditetapkan. 

Karena tak sanggup mengorganisir pemogokan umum pada tanggal 1 Mei, AFL akhirnya memutuskan suatu strategi yang menyerukan agar satu kelompok buruh bertugas menyebarluaskan perjuangan tersebut. Pada tahun 1890, sektor tukang kayu lah yang memulainya. Buruh lainnya diminta mogok kalau mereka sanggup, tapi seluruh buruh didorong untuk menunjukkan dukungannya terhadap tuntutan tersebut. Buruh terus melihat 8 jam kerja sebagai sutu langkah di dalam perjuangan yang lebih besar untuk menentang kapitalisme. Pengertian tersebut ditunjukkan oleh slogan yang dipampangkan pada spanduk yang dibawa oleh para demonstran New York (dalam pertemuannya): "TAK ADA LAGI MAJIKAN--PERBUDAKAN UPAH HARUS BERAKHIR DAN 8 JAM PER HARI ADALAH LANGKAH SELANJUTNYA DALAM GERAKAN BURUH PERSEMAKMURAN SOSIALIS (SEBAGAI TUJUAN AKHIRNYA)." (7)

Terdapat pemogokan yang lebih banyak/besar pada tanggal 1 Mei, 1890, ketimbang yang pernah ada sebelumnya dalam sejarah A.S.. Hari tersebut juga merupakan bukti kesanggupan buruh melakukan aksinya menjadi hari aksi internasional. Pemogokan dan demontrasi terjadi di kota-kota industri utama di dunia. Resolusi awal Internasional Kedua, yang menyerukan aksi pada tanggal 1 Mei, 1890, tidak lah dimaksudkan untuk menetapkan tradisi 1 Mei. Tapi keberhasilan hari tersebut mendorong gerakan buruh di seluruh dunia untuk mempertahankan hari tersebut sebagai hari perjuangan kolektif mereka; 1 Mei kemudian menjadi Hari Buruh Intenasional. 

Dalam memperjuangkan delapan jam kerja sehari, sebagaimana juga dalam semua perjuangan yang dirangkai untuk menumbuhkan perubahan sosial yang luas, perbedaaan politik berkembang berulang-ulang. Di beberapa negeri, para pejabat gerakan serikat buruh mulai mencari jalan untuk meremehkan signifikansi radikal hari tersebut. Beberapa di antaranya sekadar mengorganisir perayaan Hari Buruh di hari minggu terdekat, agar mereka tak perlu mengorganisir aksi-aksi pemogokan. Pada awal 1900-an, AFL bahkan menolak mengakui peran Hari Buruh 1 Mei tersebut dan secara aktif menentang pemogokan pada hari tersebut.

Internasional Kedua, yang berjuang mati-matian menetang kecenderungan tersebut, secara resmi menyerukan gerakan buruh untuk mempertahankan aksi-aksi pada hari Buruh 1 Mei sebesar mungkin, terlibat dalam pemogokan dan mengorganisir tindakan-tindakan yang dapat memperdalam kesadaran kelas dan karakter kelas dalam perjuangannya. Tapi, saat waktu berlalu, kemenangan demi kemenangan, sebagaimana juga kekalahan demi kekalahan--dan bahkan lebih

Page 70: Kepentingan Utama GLOBALISASI

banyak penindasan--lambat laun melemahkan gerakan dan tradisi yang dapat menghidupkan semangat revolusioner Hari Buruh 1 Mei.

Pemerintah A.S. mengabadikan Hari Buruh 1 Mei dengan satu hari libur, yang katanya akan menginspirasikan negeri-negeri lainnya, dan mengajukannnya sebagai hari libur resmi di A.S. Pada tahun 1995, jelas lah apa yang dipertaruhkan, pemerintah A.S. mengumumkan Hari Buruh 1 Mei sekadar sebagi Hari  Penghormatan (Loyalty Day).

Walaupun kapitalis dan para pendukungnya tak lagi takut akan Hari Buruh 1 Mei, para aktivis masih bisa belajar sejumlah pelajaran penting dari sejarah perjuangan menuntut hari kerja yang lebih pendek. Di antara yang sangat penting adalah: tuntutan sepsifik untuk perubahan harus lah ditempatkan dalam konteks yang lebih besar dan revolusioner. Solidaritas harus dibangun dengan menggarisbawahi kepedulian nasional bersama dan menciptakan kerangka untuk menghubungkannya secara nasional. Dan, keberhasilan kampanye akhirnya tergantung pada kekuatan gerakan-gerakan yang memajukannya.

Menghidupkan  Kembali  Tradisi  Hari  Buruh  1  Mei

Di luar kandungan nilai pembelajaran sejarah seperti ditekankan di atas, Hari Buruh 1 Mei tetap lah penting (sebagaimana keharusannya) karena tetap menawarkan kesempatan unik untuk membangun kembali suatu 

gerakan radikal. Pertama, banyak kepentingan yang tetap patut diperhitungkan dalam hari bersejarah tersebut. Hal itu memungkinkan organiser memperoleh kesempatan yang mengagumkan untuk menghubungkan rakyat pekerja di A.S. dengan sejarah gerakan buruh militan negerinya.  Diskusi-diskusi sejarah Hari Buruh 1 Mei juga menyediakan kesempatan yang berguna bagi para aktivis untuk mengembangkan kreteria pembangunan gerakan, sebagaimana juga belajar bagaimana politik serikat buruh reformis dan penindasan pemerintah bisa melemahkan aktivisme dan solidaritas buruh.

Kerangka kerja untuk mengorganisir aktivitas-aktivitas Hari Buruh 1 Mei dapat dan seharusnya tetap dipertahankan. Sebagaimana telah kita lihat, aksi-aksi Hari Buruh 1 Mei  mencoba menggabungkan upaya untuk mendorong perjuangan-perjuangan mendesak dengan pengembangan perjuangan jangka panjang untuk mentrasnformasikan masyarakat. Dalam terminologi kontemporer, aksi-aksi Hari Buruh 1 Mei harus didorong untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan di tempat kerja dan di dalam masyarakat. Tapi aksi-aksi tersebut juga harus mendorong suatu kepercayaan dan komitemen kepada pembangunan masyarakat baru seara radikal. Jadi, Pengorganisasian Hari Buruh 1 Mei menuntut upaya yang serius untuk membangun aliansi dengan komunitas masyarakat lainnya.

Salah satu aspek yang paling menggairahkan dalam perjuangan anti-WTO adalah bahwa perjuangan tersebut dapat menarik minat orang untuk memperhatikan kapitalisme dan kebutuhan untuk mencari jalan keluar terhadapnya. Sebagia contoh, individu-individu dan gerakan-gerakan yang terlibat dalam eksperimen-ekprimen sosial yang meliputi upaya-upaya untuk mewujudkan cara-cara hidup yang baru--baik melalui komunitas-komunitas yang sederhana-sukarela pembentukannya; maupun melalui pendirian komunitas-komunitas yang sengaja dibentuk--

Page 71: Kepentingan Utama GLOBALISASI

semuanya berdemonstrasi melawan WTO, dengan dimotivasi oleh kesadaran bahwa eksperimen-eksperimen mereka tak akan bisa dipertahankan selama kapitalisme, dengan dorongannya untuk mengkomoditaskan segala aspek keberadaan manusia, tetap saja diberikan peluang untuk mengeruk keuntungan.

Pertumbuhan perlawanan terhadap kapitalisme sebagai sistim sosial telah menciptakan kemungkinan baru untuk membangun aliansi antara gerakan buruh dengan gerakan lingkungan dengan perspektif kelas. Dengan mendorong perwakilan dari sektor-sektor tersebut, dan juga dari gerakan-gerakan sosial utama lainnya, untuk merencanakan peringatan Hari Buruh 1 Mei (yang disponsori masyarakat) dan aksi-aksi bersama, maka para aktivis bisa membantu memperdalam dan memperluas aliansi tersebut dan, dalam prosesnya, akan menghasilkan kerangka sosial yang di dalamnya menggabungkan antara perlawanan terhadap struktur-struktur dan bentuk-bentuk organisasi kapitalisme dengan pandangan baru terhadap kondisi kerja dan hidup.

Sebagai dijelaskan sebelumnya, sejarah Hari Buruh 1 Mei juga menggarisbawahi pentingnya hubungan antara kampanye dengan gerakan. Aksi-aksi Hari Buruh 1 Mei diorganisir oleh gerakan buruh-komunitas yang, pada gilirannya, akan diperkuat oleh aksi-aksi tersebut.  Bila gerakan-gerakan tersebut melemah, maka sangat lah sulit bagi para aktivis untuk menjamin bahwa aksi-aksi Hari Buruh 1 Mei akan mempertahankan orientasi radikalnya. Pada akhirnya, Hari Buruh 1 Mei sendiri akan kehilangan signifikansi sosial nya. Itu lah pelajaran yang sangat penting karena banyak aktivis masa kini, yang terbius oleh keberhasilan di Seattle, cenderung memfokuskan diri secara eksklusif dalam mengorganisir aksi-aksi dan kampanye-kampanye baru. Walaupun aktivitas-aktivitas tersebut merupakan cara yang sangat penting untuk menciptakan hubungan-hubungan dan menginspirasikan aktivisme di masa mendatang, namun aktivitas-aktivitas tersebut tidak lah serta merta mengarah pada pembangunan gerakan-gerakan yang mampu mentransformasikan kapitalisme. Dengan kata lain, kita harus berupaya untuk menjamin bahwa aksi-aksi dan kampanye-kampanye tersebut adalah bagian dari, dan akan memperkaya, strategi pembangunan gerakan yang lebih luas.

Membangun Gerakan Sembari Merespon Kebutuhan Mendesak Rakyat

Keberhasilan membangun gerakan meliputi upaya untuk menciptakan organisasi-organisasi yang kuat, terpercaya dan terpolitisasi; suatu struktur yang berbasiskan masyarakat yang dapat menghubungkan organisasi-organisasi tersebut; dan komitmen bersama untuk berjuang dengan landasan visi ke depan sebagai milik bersama. Pada saat yang sama, gerakan-gerakan untuk perubahan sosial harus responsif terhadap kebutuhan mendesak rakyat.

Banyak cara bagi para aktivis untuk membantu membangun organisasi-organisasi yang kuat di dalam struktur yang berbasiskan masyarakat. Pertama, kita harus serius dalam mengemban tugas pembangunan organisasi. Itu artinya bahwa kampanye dan aktivitas-aktivitasnya butuh diorganisir dengan cara yang dapat mendorong mereka yang berpartisipasi untuk bergabung dan menjadi aktif di dalam organisasi-organisaasi yang akan berbicara tentang keprihatinan mereka. Juga berarti bahwa organsiasi-organisasi tersebut harus dapat mengambil keuntungan dari aksi-aksi tersebut untuk memobilisasi dan melibatkan anggota-angotanya.

Page 72: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Kedua, kita harus menjamin bahwa organisasi-organisasi tersebut bisa menyelenggarakan pendidikan secara serius. Banyak kelompok gereja, buruh, lingkungan, mahasiswa dan pekerja sosial telah berhasil membangkitkan partispasi pada satu peristiwa, tapi kurang sukses dalam menciptakan ruang internal tempat para anggotanya bisa berdiskusi tentang aksi-aksi yang lalu, memperluas pemahaman politik mereka, mendebatkan strategi, dan berpartisipasi dalam perencanaan aksi-aksi mendatang.

Ketiga, kita harus bisa mempersatukan organisasi sebanyak-banyaknya ke dalam komunitas. Salah satu caranya adalah menciptakan rapat-rapat umum informal agar para aktivis organisasi-organisasi tersebut bisa saling membagi pengalamannya dan mengembangkan strategi-strategi yang dapat mengintegrasikan aktivitas-aktivitas masing-masing organisasi ke dalam suatu proyek bersama.

Keempat, tugas tersebut bisa dan harus digabungkan. Contohnya, pertemuan-pertemuan aktivis harus bisa membantu meningkatkan pengertian dan penghargaan yang lebih besar terhadap keprihatinan berbagai partisipan dan komunitas yang diwakilinya. Pengertian dan penghargaan tersebut harus kemudian diintegrasikan ke dalam program pendidikan internal berbagai organisasi tersebut. Dengan cara ini, orang dari berbagai komunitas yang lebih luas bisa belajar menghargai kekuatan dan perjuangan yang lainnya. Solidaritas, karenanya, dibangun dari bawah, bukan dari atas. Solidaritas tersebut akan memudahkan bagi organisasi-organsiasi tersebut untuk merencanakan aksi-aksi dan kegiatan-kegiatan bersama serta menjamin partisipasi yang berbasiskan lebih luas dari masing-masing anggota.

Keberhasilan pembangunan-gerakan juga mensyaratkan pembangunan visi ke depan yang dirumuskan bersama. Hal ini, pada gilirannya, membutuhkan pengembangan program aksi politik yang jernih dan terfokus dengan baik. Akhirnya, melalui aksi politik lah kepercayaan akan terbangun, komunitas dapat dibentuk, dan kemungkinan baru kehidupan dan kerja dapat dibayangkan serta diwujudkan. Bila memang sosialisme bertujuan menyediakan kerangka untuk mencapai pembebasan manusia, maka ia harus lah berlandaskan pada prinsip-prisip persamaan, demokrasi, dan solidaritas. Karenanya, prinsip-prinsip tersebut harus menjadi pedoman pembangunan program politik kita, dan aksi-aksi yang diajukan harus lah, pada gilirannya,  memberikan pada prinsip-prinsip tersebut arti yang kongkrit dan dapat menguatkan komitmen rakyat terhadapnya.

Program aksi harus lah juga merespon kebutuhan mendesak rakyat. Karena kapitalisme menyebabkan banyak rakyat pekerja berjuang untuk sekadar hidup, maka tak ada kebutuhan yang kurang mendesak untuk disampaikan. Terdapat banyak upaya-upaya yang kreatif dan semakin berhasil untuk memperbaiki kondisi rakyat pekerja di A.S. dan negeri-negeri lainnya. Termasuk perjuangan untuk memperbaiki tingkat upah, perjuangan melawan pabrik-pabrik kecil yang jelek kondisi kerja dan upahnya (anti-sweatshop), dan perjuangan-perjuangan yang diarahkan untuk memperluas dan mentransformasikan sektor-publik. Upaya pertama sudah banyak mendapatkan publisitas, maka aku lebih baik memfokuskan perhatian ku pada yang kedua dan ketiga. (1)

Perlawanan Terhadap Pabrik-pabrik Kecil yang Buruk Kondisi Kerja dan Upahnya (Anti-sweatshop) 

Page 73: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Perlawanan terhadap pabrik-pabrik kecil yang buruk kondisi kerja dan upahnya (anti-sweatshop) punya potensi yang besar untuk memajukan proses pembangunan-gerakan. Dimulai pada tahun 1990-an, sejumlah kelompok mulai mengarahkan sasarannya pada perusahaan-perusahaan yang menjual busana dan alas kaki seperti GAP dan Nike karena praktek-praktek brutal sub-kontraktornya yang beroperasi di dunia ketiga. Praktek-praktek yang disoroti tersebut termasuk mempekerjakan buruh anak, kondisi-kondisi kerja yang tidak aman dan biadab, upah yang tak mencukupi, penindasan-anti-serikat buruh, dan jam kerja yang semena-mena.  Para aktivis anti-sweatshop membangun koalisi dengan serikat buruh, kelompok-kelompok komunitas dan hak-hak azasi manusia, dan LSM dunia ketiga untuk mengorganisir demonstrasi-demonstrasis dan boikot konsumen untuk menuntut keadilan bagi buruh dunia ketiga.

Upaya-upaya dari aktivis-aktivis tersebut berhasil memperjelas ke hadapan dimensi kemanusian suatu struktur produksi global yang semakin kompleks dan mendorong konsumen untuk berpikir dalam mengambil keputusan pembelian mereka (dalam makna yang lebih politik). Tuntutan akan perubahan pada akhirnya tumbuh cukup kuat sehingga bisa memaksa perusahaan untuk menanggapinya.

Namun demikian, tanggapan perusahaan sejauh ini masih terbatas. Beberapa perusahaan memiliki kode etik lembaga yang diarahkan untuk mengurangi penggunaan buruh anak dan memperbaiki kondisi keamanan kerja. Tapi kebanyakan tak memilikinya. Respon pebisnis sejauh ini sangat terbatas, bagaimanapun juga. Semua perusahaan terus menolak meningkatkan upah dan hak-hak mendirikan serikat buruh. Secara umum, semua industri busana dan alas kaki terkemuka telah memfokuskan enerjinya dalam mencoba menyingkirkan issue tersebut dari pandangan umum dengan menggunakan Fair Labor Association (FLA).  FLA didirikan pada tahun 1998 sebagai hasil pertemuan—yang diselenggarakan oleh Gedung Putih—yang di dalamnya termasuk perusahaan-perusahaan, serikat-serikat buruh, kelompok-kelompok hak-hak azasi manusia dan keagamaan. Bertentangan dengan janjinya semula, FLA jelas-jelas hanya melayani kepentingan perusahaan-perusahaan besar (korporat). Tak ada yang dikerjakannya untuk menjamin upah yang layak atau jam kerja yang manusiawi; sistim pengawasan yang dibentuknya dikuasai oleh perusahaan dan terbatas ruang lingkup kerjanya; dan mekanisme pemaksanya hampir-hampir tak ada. (2)  Mahasiswa-mahasiswa akedemi dan universitas, yang telah membangkitkan kembali anti-sweatshop, menentang upaya-upaya korporat dengan kekuatan penuh yang membingungkan Mahasiswa-mahasiswa akedemi dan universitas, yang telah membangkitkan kembali anti-sweatshop, menentang upaya-upaya korporat dengan kekuatan penuh yang membingungkan.

Di bawah payung United Students Againts Sweatshops (USAS), para mahasiswa tersebut menuntut produk-produk berlisensi-sekolah harus diproduksi di bawah syarat yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan buruh di negeri-negeri dunia ketiga. Itu artinya buruh harus dibayar sesuai dengan strandar hidup negeri-tertentu, mempunyai hak untuk berserikat tanpa rasa takut mendapatkan tindakan balasan, dan menikmati kondisi kerja yang aman. Walaupun sejumlah akedemi dan universitas setuju menandatangani kode etik pelaksanaan/pengarahan (codes of conduct) yang sesuai dengan tuntutan tersebut, namun tak ada mekanisme untuk menjamin kepatuhan perusahahaan. Untuk mengatasi masalah tersebut, USAS membangun organisasi monitoring/pengawasan sendiri (yang mendapatkan masukan dari kelompok-kelompok hak-hak azasi manusia di dunia ketiga),  Worker Rights Consortium (WRC). Mahasiswa-mahasiswa

Page 74: Kepentingan Utama GLOBALISASI

tersebut sekarang bekerja untuk memaksa sekolah-sekolahnya keluar dari FLA dan bergabung dengan WRC.

Dikobarkan oleh aksi-aksi anti-WTO di Seattle, para mahasiswa melancarakan aksi duduk dan penutupan sekolah (yang militan dan bersemangat  tinggi) seperti di universitas-universitas seperti University of Johns Hopkins, University of Michigan, University of Oregon, University of Pennsylvania, University of Wisconsin. Beberapanya berhasil dimenangkan. Pada bulan Februari, 2000, University of Pensylvania telah menjadi sekolah pertama yang keluar dari FLA, tak lama kemudian diikuti oleh University of Wisconsin dan University of Johns Hopkins. Pada bulan yang sana, University of Michigan, University of Indiana dan Obelin College setuju bergabung dengan WRC.

Para aktivis mahasiswa juga bekerja keras untuk menempatkan gerakan anti-sweatshop dalam konteks politik yang lebih luas. Contohnya, Komite aksi Mahasiswa-buruh di University of Johns Hopkins menuntut tak hanya universitasnya keluar dari FLA dan bergabung dengan WRC, tapi juga setuju untuk membayar upah yang layak terhadap semua kerja di Johns Hopkins sendiri (termasuk yang dipekerjakan oleh sub-kontraktor), dan mendirikan komite gabungan untuk mengawasi praktek perburuhan di sekolahan. Sampai bulan April, 2000, kemenangan-kemenangannya adalah termasuk mundurnya University of John Hopkins dari FTA dan komitmen untuk meningkatkan upah buruh yang dibayar paling rendah, sebagaimana juga memberikan laporan tentang kebijakan-kebijakan konpensasi/penggajian setiap tahunnya. Mahasiswa-mahasiwa tersebut juga memenangkan dukungan dari kelompok pengorgnisasian masyarakat, SMA setempat, serikat-serikat buruh, gereja, dan dewan kota. Mereka bisa memaksa sekolah mereka sebagai majikan (swasta) pertama yang menerapkan kesepakatan upah yang layak.  Hal tersebut bukan lah hasil prestasi yang kecil. Johns Hopkins University and Health System merupakan majikan swasta terbesar di Baltimore sebagai mana juga di Maryland secara keseluruhan.

Potensi perjuangan  antisweatshop  terletak pada fakta bahwa mereka bisa mendorong perlawanan terhadap dominasi korporat di sektor pendidikan, memaksimalkan aliansi mahasiswa-buruh, dan  dan memperkuat solidaritas internasional. Mereka juga menarik orang-orang baru ke dalam gerakan politik demi perubahan. (3)

Perjuangan  Sektor  Publik

Perjuangan untuk keadilan sosial harus lah diperluas, tak sekadar melibatkan banyak orang dan merespon lebih banyak issue, tapi juga meningkatkan tantangan langsung terhadap lebaga-lembaga dan keniscayaan kapitalis baik dalam tataran idelogis maupun dalam tataran material. Salah satu caranya adalah membangun pengorganisasian kampanye baru di sekitar perluasan dan rekonseptualisasi sektor publik. Perjuangan ideologis sektor publik sangat lah besar kepentingannya bagi sosialisme di  masa mendatang.

Demi alasan sejarah, sebagian besar rakyat pekerja tidak bisa mengkonseptualisasi alternatif-alternatif terhadap dunia (yang tergantung pada kepemilikan swata/pribadi). Sebagaimana dijelaskan oleh Daniel Suinger:

Page 75: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Ideologi kepemilikan swata/pribadi sekarang ini sedang mengalami kemenangan/kejayaan bukan karena orang pada khususnya menyenanginya atau juga bukan karena propaganda yang mendukungnya sangat berkelimpahan. Kampanyenya berhasil karena ada kesalahan--kebangkrutan Soviet dan kegagalan sosial-demokrat. Mengapa berjuang untuk sesuatu yang lain bila sesuatu yang lain itu menjadi berbalik--yang walau dengan label berbeda tapi, secara garis besarnya, tak kurang menghisapnya? Agar kepemilikan sosial memiliki daya tariknya kembali, maka kepemilikan sosial harus lah dipahami sebagai alat untuk mencapai tujuan, sebagai instrumen yang memungkinkan “produser-produsen terkait” dapat menguasai hasil kerja mereka, menguasai lingkungan sosialnya dan, karenanya, dalam satu makna: mengusasi nasibnya. (4)

Perjuangan untuk mengakui dan menghidupkan kembali gagasan tentang sektor  publik dan kepemilikan sosial harus lah dilancarakan di tingkat nasional maupun di tingkat lokal, dan harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang. Pada tahap pertama, kita harus mengorganisir pembelaan terhadap pembelanjaan publik. Bila inisiatif perjuangan untuk upah yang layak dan anti-sweatshop membantu mengurangi ketidaksetaraan dan mendorong komitmen terhadap konstruksi “masyarakat yang setara”, maka hal yang lebih jauh lagi harus dikerjakan/diselesaikan melalui penyediaan publik terhadap barang-barang dan jasa-jasa esensial, termasuk kualitas pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan jaminan ekonomi. Karena itu, kita harus berjuang untuk menjamin bahwa sumberdaya yang memadai harus secara progresif dapat diperoleh dan disalurkan kepada program-program publik yang diminati. Pada tingkatan federal, itu artinya menentang pengurangan (atau swastanisasi) jaminan sosial dan mendukung penggunaan “surplus anggaran” untuk menambah pembelanjaan sosial.

Namun demikian, karena tujuan kita adalah perubahan sosial, maka strataegi kita tidak boleh dibatasi sekadar untuk membela dan atau bahkan memperluas program-program negara yang sekarang ada. Kita harus menggabungkan dukungan terhadap pembelanjaan sosial dengan satu strategi yang dapat mendorong transformasi sektor publik. Dengan kata lain, kita harus mulai membuat gagasan nyata tentang kepemilikan sosial. Strategi tersebut yang paling baik diarahkan pada aktivitas negara dan pemerintahan lokal serta harus dilandaskan pada penciptaan proyek politik bersama yang melibatkan buruh-buruh sektor publik, buruh-buruh sektor lain dan kelompok-kelompok komunitas. 

Pendidikan mungkin bisa menjadi titik awal yang baik. Sistim pendidikan publik di hampir sebagian besar kota dan negara bagian sedang dalam krisis. Sebagian besar gurunya dibayar murah (diupah kecil), terlalu banyak kerja, dan merasa terasing dari komunitas yang lebih besar. Fasilitas-fasilitas sekolah memburuk dan anggarannya diperketat. Lebih dari itu, inisiatif yang tak bersahabat, yang diarahkan kepada sistim dan guru-guru sekolah-umum, memenangkan dukungan dari sejumlah besar buruh-buruh sektor-swasta. Satu contohnya adalah pengujian yang distandarisasi untuk membentuk kurikulum dan memonitor guru serta kinerja sekolah.

Rakyat pekerja adalah korban dari kecenderungan-kecenderungan tersebut. Mungkin pihak yang mengalami kekalahan terbesar adalah anak-anak dari kelas buruh yang, pada akhirnya, hanya menerima kualitas pendidikan yang semakin rendah dan sempit. Dan, tentu saja, kepercayaan terhadap sektor publik merupakan  korban lainnya.

Page 76: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Salah satu jawaban terhadap situasi tersebut adalah menfasilitasi pertemuan antara guru-guru sekolah-umum, yang bersimpati terhadap perubahan radikal, dengan aktivis-aktivis dari berbagai komunitas berbeda, yang akan berbagi komitmen politik bersama. Pengalaman WTO sudah membantu untuk mengidentifikasikan para partisipannya. Pertemuan tersebut harus punya satu agenda: menciptakan sistim pendidikan publik yang tanggap, terlibat dan membebaskan.

Peserta dalam perjuangan menentang penghisapan, imperialisme, rasisme, sexisme, homopobia, dan perusakan lingkungan sangat lah mengerti bahwa sisitim pendidikan bisa membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai yang selayaknya, keakhlian, dan komitmen yang akan memperbaiki uapaya-upaya mereka. Aksi-aksi anti-WTO dan anti-sweatshop telah menunjukan bahwa banyak mahasiswa bergairah terlibat dalam gerakan politik demi dunia yang lebih baik. Para aktivis karenanya memiliki berbagai alasan bekerja dengan guru-guru dan mahasiswa-mahasiswa yang terpolitisasi untuk menciptakan ruang dalam sistim pendidikan yang sanggup menciptakan kurikulum baru dan kuat--mencerminkan dan melengkapi pelajarnya sehingga sanggup merespon tantangan sekarang ini. Dengan kata lain, kita harus bekerja untuk mendefinisikan kembali makna pendidikan publik. 

Perjuangan kritis untuk pendidikan baru seperti itu pada akhirnya akan hidup dalam sistim sekolah, artinya suara yang terkemuka dalam perjuangan tersebut harus lah para guru. Sampai saat ini, banyak guru sekolah-umum butuh lebih banyak belajar tentang sejarah kelas buruh dan perubahan sosial, serta saling pengaruh antara topik tersebut dengan ilmu pendidikan (pedagogi). Kelompok-kelompok aktivis guru harus lah, karenanya, meningkatkan upaya-upaya pendidikan dan pengorganisasian di kalangan guru sembari secara simultan membantu membangun hubungan jaringan antara komunitas pendidikan dengan komunitas aktivis yang lebih luas. Salah satu potensi keuntungan bagi guru-guru adalah meningkatnya dukungan komunitas dalam makna uang dan penghargaan. Manfaat yang lebih besar bahkan adalah kemampuan untuk menawarkan suatu pengalaman pendidikan yang penuh makna kepada pendengar yang berminat.

Dorongan politik yang dikelola dengan cara seperti itu bisa menciptakan ruang-ruang yang terbebaskan dalam sistim pendidikan-publik, dan mampu memobilisir orang-orang di luar lingkaran aktivis yang peduli dengan apa yang terjadi pada pendidikan publik. Secara ideal, prosesnya akan lambat dalam mentranformasikan gagasan pendidikan publik tersebut. Orang-orang akan mengembangkan harapan-harapan baru bagi sistim “nya”, termasuk yang berfungsi sebagai arena yang demokratik dan responsif untuk memajukan visi-visi baru masyarakat, dengan guru-guru-publik yang akan menjadi penjaga kepentingan-kepentingan publik. Upaya-upaya yang sama bisa dan harus dilancarkan di sekitar masalah pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial dalam segala bentuknya.

Sementara terdapat batasan untuk sejauh mana suatu proses akan dikembangakan di dalam sistim kapitalis, pengalaman yang diperoleh dalam perjuangan harus memberikan penghargaan yang lebih besar terhadap manfaat yang akan dinikmati bila lembaga-lembaga tersebut diorganisir menurut prinsip-prinsip kesetaraan, demokrasi, dan solidaritas, sebagaimana juga penghargaan terhadap hasrat untuk memiliki ekonomi yang berbasiskan sosial ketimbang yang berbasiskan kepemilikan swasta/pribadi. Pembangunan-gerakan tersebut menantang rasionalitas kapitalis dan meletakan rakyat pekerja secara bertentangan untuk membentuk pandangan-pandangan sosialnya sendiri.

Page 77: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Tentu saja, semua inisiatif pengorganisasian seharusnya dipahami sebagai bagian dari strategi politik yang terpadu. Contohnya, gerakan untuk membentuk kembali pendidikan-publik membutuhkan komunitas aktivis yang terlibat dengan, dan terpercaya untuk, secara demokratik dan politis memobilisir organisasi-organisasi. Dan, pada saat yang sama, hanya melalui upaya-upaya memenangkan kesepakatan-kesepakatan upah yang layak, menghentikan praktek-praktek sweatshop, mengusulkan hukum perburuhan yang baru, merencanakan aktivitas-aktivitas Hari Buruh 1 Mei, dan memperbaiki kemungkinan sektor publik agar dapat diwujudkan, maka  kita bisa membentuk masyarakat yang dicita-citakan tersebut.

Pemikiran  Terakhir

Dalam menulis strategi politik, gampang sekali segalanya bergerak ke titik-titik yang ekstrim. Aku berharap aku telah terhindar dari perangkap tersebut. Aku tak mau meminimalkan hambatan-hambatan terhadap pembangunan-gerakan atau terlalu melebih-lebihkannya. Aku lebih senang menetapkan posisi bahwa kita sedang dalam periode kemungkinan-kemungkinan.

Kecenderungan Ekonomi, sosial, dan lingkungan saat ini, sebagaimana juga inisiatif dan perjuangan-perjuangan yang aku tekankan di atas, sangat kuat membuktikan bahwa kapitalisme A.S. secara ideologi sangat ringkih. Dan ini terjadi saat perluasan perputaran bisnis memakan waktu yang sangat panjang dalam sejarah A.S.;  resesi berkutnya terikat pada atau dapat memberikan kesempatan yang besar untuk memperluas pengorganisasian. Tantangan kita adalah menjadi lebih baik dalam mempelajari, memberikan sumbangan, dan memobilisasi perjuangan-perjuangan yang sedang berlangsung. Bila kita berhasil, upaya-upaya kita mungkin akan dihargai oleh terciptanya gerakan yang punya kekuatan untuk menawarkan tantangan terhadap kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek yang diinspirasikan oleh kapitalis. Dan bila gerakan tersebut bisa menikmati hubungan-hubungan dengan gerakan di mana pun, maka kemungkinan-kemungkinan tersebut, memang, senyatanya ada

Oleh A. F. Klimenko

Globalisasi sebagai kekuatan yang berpengaruh dan Pola Utama Pembangunan Dunia di abad 21.

Ekspansi ekonomi (umum) dan peradaban terjadi ketika mayoritas negara bagian yang telah bergabung dalam ekonomi pasar bebas dan perdagangan dunia menjadi liberal diakhir Perang Dingin. Itulah yang dimaksud dengan globalisasi--walaupun komunitas akademik dan para ahli sampai saat ini belum dapat mendefiniskan apa sebenarnya globalisasi itu. Itu menjelaskan kenapa konsep globalisasi belum mempunyai definisi pasti: kebanyakan orang menganggap globalisasi adalah langkah baru internasionalisasi yang dimulai pada abad 20 dan dipersingkat oleh dua perang dunia serta terbelahnya dunia menjadi dua bagian sistem sosio-ekonomi yang saling bertentangan.

Bagian terbesar model globalisasi adalah produk teknologi Politik Amerika yang dirancang untuk membenarkan kepemimpinan Amerika dan sekutunya di dunia. Seperti yang dikatakan V. Mendez, ini mejelaskan “globalisasi  tidak lebih dari upaya menjadikan fitur budaya barat menjadi kebudayaan dunia.” (2) Revolusi informasi dan tekhnologi yang dikuasai Amerika

Page 78: Kepentingan Utama GLOBALISASI

merupakan jalan untuk meperlancar globalisasi. Ahli IMF menggambarkan globalisasi sebagai “peningkatan ketergantungan ekonomi negeri-negeri lain berdasarkan oleh peningkatan volume  dan keanekaragaman pertukaran jasa dan barang di perbatasan negaranya, kapital internasional yang mengalir, dan dipengaruhi oleh penyebaran tekhnologi yang terus menyebar keseluruh dunia.” (3)  Berdasarkan penjelasan tersebut, istilah umum globalisasi dapat disebut sebagai gerakan kontemporer dunia terhadap integritas universal dimana perkembanagn yang efisien ekonomi nasional bergantung pada perekembangan di bidang lain.

Elemen-elemen Globalisasi ekonomi didefinisikan oleh para ekonom sebagai berikut. (4)

Pertama. Aktifitas ekonomi menjadi trans-nasional.  Korporasi trans-nasional dan bank semakin berpengaruh di dunia, dan terkadang menjadi lebih kuat ketimbang pengaruh negara-berbangsa tunggal. Kenyataannya, secara ekonomi, mereka lebih kuat dari beberapa negara. Sebagai contoh, pasar keseluruhan kapital lima perusahaan ternama (Microsoft, General Electric, Exxon, Royal Dutc/Shell) melampaui angka 1 triliun dolar  Amerika. Saat perusahaan-perusahaan tersebut mulai mendunia, mereka mengkonsentrasasikan sumber dayanya, dan menghilangkan rintangan terhadap pergerakan teknologi, properti, dan tenaga kerja.

Kedua. Membentuk ruang ekonomi (umum). Batas negara jadi lemah: kapital, informasi, jasa dan tenaga kerja bisa membelinya. Teknologi elektronik menggerakkan sumber daya keuntungan hingga 1 triliun dolar Amerika setiap harinya; beberapa negeri memiliki satu mata uang, Euro contohnya. Organisasi-organisasi internasional yang setipe dengan IMF semakin dibutuhkan dan penting.

Ketiga. Ruang Komunikasi umum muali terbentuk. internet memungkinkan semua orang mendapat berita di lautan informasi dunia, sementara itu, jaringan transportasi dan angkutan kargo semakin cepat dan mampu mengantar barang hingga ke pelosok dunia.

Keempat. Regulasi ekstra-negara dan supra-negara terhadap dunia ekonomi dan hubungan internasional menjadi semakin penting. Struktur finansial dan ekonomi internasional seperti IMF, WB, WTO memperluas lingkup mereka dan mendulang kekuasaan. Mereka bahkan dapat memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam ekonomi nasional. Organisasi-organisasi regional (APEC, ASEAN, NAFTA, EU, dan lain-lainnya) juga semakin berkuasa. Ada usaha untuk membentuk ekonomi antar benua berdasarkan APEC dan struktur politik di Timur Jauh yang akan menghubungkan pasar Rusia, Asia Timur-Laut dan Asia Tengah, Amerika Utara dan Selatan. Organisai-organisasi antar-negara dan antar pemerintahan tidak berdiri sendiri: ada organisasi-organisasi non-pemerintahan--seperti Greenpeace--yang sibuk membangun landasan hukum dan perintah sebagai syarat ekonomi yang stabil dan aman dalam perkembangan sosial.

Menteri kuar negeri Rusia, Igor Ivanov, menggambarkan proses globalisai, yang menghasilkan efek samping pada setiap segi kehidupan, sebagai “faktor penting perkembangan dunia pada abad 21.” (5) Bagaimana caranya negara dan negara bagian mendapat pengaruh dari globalisasi? Spesialis menunjukkan beberapa efek positif globalisasi. Pertama, globalisasi menstimulasi produksi melalui persaingan, memperluas pasar, memperdalam spesialisasi dan divisi internasional buruh di tingkat dunia. Kedua, meningkatnya bidang produksii memungkinkan  pemotongan pengeluaran dan harga yang menciptakan kondisi yang kondusif untuk menciptakan

Page 79: Kepentingan Utama GLOBALISASI

pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Ketiga, produktifitas buruh meningkat sebab produksi dirasionalisasikan di tingat global, teknologi tinggi menyebar luas dan semangat kompetisi untuk lebih menerima dan inovatif. Dengan meningkatkan produksi, semua rekan kerja mendapat kesempatan yang sama atas kenaikan upah dan meningkatkan taraf kehidupan. Keempat, ada orang yang percaya bahwa negara menjalin hubungan hingga ke taraf bahwa “konflik militer antara kekuasaan besar tidak lagi masuk hitungan.” (6) Hal-hal tersebut menyebabkan globalisasi--secara obyektif--berguna karena menerimanya secara positif dan aktif menstimulasi.

Globalisasi semakin mempengaruhi segi kehidupan sosial dan aktifitas manusia. Dalam bidang ekonomi, dampaknya merupakan manifestasi dari ketergantungan konstan sektor ekonomi. Sebagai hasilnya, pembangunan dan kestabilan di satu negeri tidak akan tercapai tanpa mempertahankan pertumbuhan di sektor lain dan negeri lain.

Di bidang politik, negara harus mengikuti globalisai ekonomi. Kebijakan mereka ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi, situasi yang memberikan ekonomi nasional peran dalan proses-proses dunia dan mengizinkan mereka menciptakan serta menggunakan pendapatan dunia. (7) Pada saat yang sama, negara yang ekonominya paling kuat dapat mengeksploitasi globalisasi demi kepentingan nasionalnya. Diplomasi dan strategi adalah dua instrumen yang digunakan untuk mengeksploitasi. Dunia tampaknya sedang beralih dari rancangan geo-politik menuju ke hukum geo-ekonomi.

Prioritas di bidang ekonomi juga berubah. Perubahan tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa globalisasi ekonomi mendevaluasi wilayah seperti halnya ekspansi geo-politik. Sumber daya, infrastruktur dan komunikasi menjadi sangat penting, ibarat harta karun yang mengikat negeri-negeri bedasarkan kepentingan umum atasnya, sehingga mereka berusaha melestarikannya. Hal tersebut merumuskan konsep kerja strategi baru--bersamaan dengan tugas menjaga kedaulatan negara--dalam menjaga kepentingan ekonomi negeri termasuk mereka yang melanggar batas negara. Di masa lalu, perjuangan mempertahankan wilayah negara diserahkan kepada elemen militer di bawah kepentingan negara. Di bawah globalisasi pengaruh--yang ditentukan oleh sumber daya apa yang dibutuhkan suatu negeri--diperluas oleh metode non-militer. Intervensi dan pneyerobotan militer tidak lagi penting.

Negeri-negeri yang kepentinganya didasarkan atas beberapa faktor--seperti perkembangan ekonomi, pengaruh politik dan diplomasi, serta lingkup informasi yang efisien--sangant diuntungkan. Bersamaan dengan itu, perkembangan ekonomi, pertukaran  barang dan smber daya yang konsisten, serta alur komunikasi hanya dapat terjadi jika kondisi tetap stabil. Sehingga, peran angkatan bersenjata sebagai alat mempertahankan stabilitas (dalam masa kritis) tetap dibutuhkan. Hal tersebut menawarkan beberapa kesimpulan-kesimpulan penting metodologi.

Pertama. Strateginya bertujuan untuk menciptakan kontrol atas wilayah yang kaya sumber daya alam, yang menguasai komunikasi, sehingga demonstrasi kekuatan militer menjadi metode utamanya. Pada kondisi-kondisi tertentu, strateginya mengabdi pada globalisasi dengan menggunakan kekuatan militer bukan untuk memperluas wilayah tetapi untuk mejaga keamanan

Page 80: Kepentingan Utama GLOBALISASI

dan stabilitas wilayah, yang juga sangat penting untuk perkembangan ekonomi. Operasi menjaga perdamaian kian hari kian penting.

Kedua. Dalam konflik militer, tujuan utama politik dan strategi tidak hanya memukul mundur musuh dan menempati lahan mereka, tetapi melucuti mereka dan memaksa mereka untuk beraliansi dan bekerja untuk mereka.

Ketiga. Ketika memilah tujuan, metode, dan bentuk perlawanan bersenjata, mereka harus membatasi kemungkinan pengrusakan dan kerugian, sebab pertumbuhan ekonomi bergantung pada negeri-negeri yang sedang berperang dan kerapuhan infrastruktur  mereka. Senjata nuklir dianggap mencegah terjadinya konfrontasi langsung, walau, di berbagai tempat, mendapat tekanan dunia internasional--karena kemungkinan kehancuran yang dihasilkannya. Beberapa negara tidak dapat secara efisien melawan penguasa nuklir tersebut sebab  potensi militer mereka lebih lemah. Sebagai hasil perang skala besar, maka permusuhan ditransformasikan menjadi konflik daerah yang terkendali dan diupayakan operasi perdamaian untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas, serta untuk menciptakan perdamaian. Penjaga perdamaian adalah pemimpin dunia yang bekerja atas persetujuan PBB, ataupun tanpa persetujuan PBB jika tindakan mereka mewakili keinginan banyak pihak. Faktor-faktor tersebut menurunkan kebutuhan akan angkatan bersenjata tetapi meningkatkan perminataan akan pelatihan militer.

Keempat. Strategi negara yang membutuhkan sumber daya dari luar negeri dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip “memproyeksikan” kekutanan militer mereka yang dikombinasikan dengan prinsip-prinsip kemajuan yang membutuhkan mobilitas tinggi. negara-negara yang negerinya kaya sumber daya alam lebih berkonsentrasi menjaga batas wilayah mereka, integritas wilayah dan hak mereka untuk menggunakan sumber daya tersebut untuk memenuhi kebutuhan negerinya. Mereka juga harus menjaga kepentingan geo-ekonomi mereka. Pada kasus Rusia, masalahnya adalah perairan internasional dan komunikasi daratan, prioritas wilayah ekonomi serta zona laut, wilayah, dan lain-lainnya.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa globalisasi bukanlah fenomena novel yang baru saja muncul. Globalisasi adalah proses panjang, stabil, obyektif, pertumbuhan dinamis dan mengakselerasi.Pijakannya adalah manifestasi pola perkembangan komunitas internasional. Tidak ada analisis jangka menegah dan jangka panjang tentang kondisi dunia yang dapat mengabaikan globalisasi.  Politik, termasuk politik militer, dan strategi militer bahkan di negeri besar pun harus memperhitungkan globalisasi.

Ilmu pengetahuan harus menganggap globalisasi sebagai metodologi analisa dan elaborasi perkembangan strategi negara di segala bidang: ekonomi, politik, militer, dan lain-lain.

Kontradiksi tantangan utamam globalisasi ekonomi

Kontradiksi dan tantangan seperti disebut di atas dapat menciptakan ilusi bahwa globalisasi menuju ke arah yang lebih baik, perdamaian, dan stabilitas. Padahal, kenyataannya, dampak globalisasi bertolak belakang dengan ideal-ideal tersebut. Di lain pihak, globalisasi membuat negeri-negeri dan wilayah-wilayah semakin dekat, globalisasi menstimulasi secara luas korporasi internasional, pra-perjanjian dunia baru, berdasarkan persamaan keamanan, tanggungjawab dan

Page 81: Kepentingan Utama GLOBALISASI

kerjasama antar negara. Walaupun demikian, dampak positif  hanya berlaku untuk beberapa negeri maju; sisanya, tidak dapat apa-apa selain dampak buruknya. Dampak buruk apa saja?

Dibidang sosial dan ekonomi lah bahaya kontradiksi dan konfromtasi antagonis terkonsentrasi.

Hanya seperlima populasi dunia yang mengkonsumsi 86 persen total produksi nyata dalam pasar umum, lingkungan informasi, dan menikmati akses atas sumber informasi. Sejauh ini, globalisasi merangkul bagian utara bumi: Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Afrika (sebagai pengecualian), Timur Tengah, dan sebagina besar Asia (terutama yang dunia muslim) disingkirkan. 20 persen populasi termiskin dunia hanya mengkonsumsi 1.5 persen produk dunia. Globalisasi memperlebar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, baik di dalam negeri maupun secara keseluruhan (mendunia), itulah efek samping yang membahayakan. Menurut laporan PBB, Globalisasi bertopeng manusia, diterbitkan tahun 1999, jurang antara pendapatan 5 negeri terkaya dengan 5 negeri termiskin, pada tahun 1960, 30:1; dan pada tahun 1997, mencapai 74:1. Perhatian berlebihan atas ekonomi dalam hubungan internasional dan pasar menekan motif sosial dalam pengambilan keputusan.

Kemiskinan dan kemerosotan sosial melahirkan ketidakpuasan pada kelompaok tertentu teruatama di negeri-negeri yang meliki banyak etnis dan kolot. Ketidakpuasan tersebut diubah menjadi perlawanan yang kita hadapi sekarang ini: ketidaktoleranan etnik dan agama, separatisme, konflik dalam negri, serta perang sipil.

Revolusi komunikasi yang, di atas kertas, dapat menyatukan negeri-negeri dan bangsa-bangsa juga menciptakan jurang, sebab negeri-negeri yang paling maju sajalah yang menikmati akses akan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru.

Negeri-negeri dan bangsa-bangsa menjadi semakin bergantung pada supra-nasional dan mekanisme pasar yang lepas kendali dan struktur. gelombang krisis keuangan yang melanda dunia tahun 1998 dan menghantam Rusia adalah contoh grafis kerapuhan ekonomi regional dan nasional dalam globalisasi.

Kontradiksi kebudayaan menciptakan bahaya kelompok kedua. Timur dengan nilai-nilai philosofi, spiritual, dan agamais merupakan oposisi barat dan menghambat penyebaran pencapaian teknologi dan nilai kemanusiaan dunia Barat  ke seluruh dunia. Kontradiksi kebudayaan tersebut, bersama-sama dengan ketimpangan distribusi globalisasi menghasilkan berkah, yang bertabrakan dengan konflik antara si kaya di Utara dengan si miskin diSelatan.

Kontradiksi lain yang membuat jengah keseimbangan internasional--terjadi antara negeri kaya dengan negeri berkembang yang miskin. Dunia Barat merasa terpojok dengan migrasi besar-besaran dan tidak terkontrol. Migrasi yang menyedot dan mebngahancurkan ekonomi negeri berkembang yang lemah. Situasi semakin memanas dengan kenyataan bahwa globalisasi tidak dapat melepaskan Utara dari Selatan yang terus menguntitnya dan menciptakan zona isolasi kekayaan ekonomi. Negeri maju di Eropa dan Amerika dengan struktur sosialnya terkena dampak migrasi besar-besaran. Para imigran, sebagai gantinya juga mengalami masa sulit menyesuaikan diri dengan budaya Barat dan berusaha sekuat tenaga agar dipandang sebagi rekan sejajar. Di Ingris, Prancis dan Jerman dan negeri-negeri lain, kaum miskin muslim membentuk

Page 82: Kepentingan Utama GLOBALISASI

kantong-kantong daerah, dan  sebagai gantinya menyuplai komunitas kriminal internasional dengan anggota baru yang beranjak kaya dengan menjual obat-obat terlarang, senjata dan penipuan finansial. Kehadiran warga negara asing menciptakan ketidaksenangan penduduk lokal dan menghasilkan sentimen semacam neo-nazi. Terkadang kelompok kriminal dari Timur dan Selatan bergabung menjadi fundamentalis internasional yang bertujuan mengejar kepentingan politik. Mereka bertanggung jawab mengkoordinasi dan mendanai perjuangan melawan “kafir-kafir” di Eropa, Timur Tengah dan Timur Jauh dan berbagai daerah yang ketidakstabilannya menonjol, dan menjauhkan si kaya dari Utara dengan simiskian dari Selatan.

Dan kontradiksi yang sama pentingnya tercipta saat ada kebutuhan akan regulasi proses transisi dan hakikat kekuasaan negara. Globalisasi menuntut tidak hanya kerja sama antar negara tetapi juga membatasi kekuasaan meraka. Kontradiksi antara kebutuhan ekonomi dunia dan bentuk ekonomi negara lah yang dianggap sebagai “kontradiksi utama masa kontemporer--masa globalisasi.”  (1)

Mereka yang mendukung globalisai yakin  bahwa lembaga negara telah menjadi anakronisme dan ditakdirkan punah. Mereka bersikeras bahwa prioritas harus diubah dari keamanan negara menjadi keamanan indivudual. Tidak ada konsepsi “halangan manusiawi” dan “pembatasan kekuasaan” seperti yang menurut HAM lebih penting dibandingkan prinsi non-gangguaan (pada masalah dalam negeri) dan kesetaraan kekuasaan (pada wilayah internasional). Jelas sudah, prinsip baru ini tidak dirancang melawam para penguasa yang sangat kuat dan kaya. Mereka mengisyaratkan kesenjangan dan standar ganda pada hubungan internasional. (2)

Konsepsi “pembatasan kekuasaan” dan “halangan manusiawi” bukanlah istilah belaka: NATO menggunakanya sebagai landasan saat melawan kekuasaan Yogoslavia. Tanpa keraguan sedikit pun ketertarikan negara Barat akan hal tersebut menyebabkan Barat memainkan kelicikan berperan bersamaan dengan kepentingan mereka. Pada kesempatan pertama, kepentingan tersebut menciptakan lokasi geografis Balkan: di Barat mereka berdekatan dengan laut hitam dan Kaspia, yang telah diumumkan sebagai zona khusus Amerika, dan  merestorasi jalur sutra. Di selatan, Balkan berbatasan dengan Asia Kecil (minor), dan di Timur Tengah terkena imbas masalah Israel dan Palestina. Terlebih lagi dengan adanya teluk Persia, sumber utama bahan bakar hidrokarbon. Rute terpendek dari Jerman dan Inggris Raya menuju laut Mediteranian Timur dan Terusan Suez melintasi Yugoslavia.

Blunder politik di Barat, yang disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan geo-ekonomi menggeser bencana kemanusiaan dari Albania ke Serbia. Lebih dari 400 ribu orang Serbia harus meninggalkan rumahnya di Kosovo; monumen peradaban Kristen kuno dihancurkan. Kedudukan ekstremisme Islam memunculkan instabilitas dan teror yang diciptakan di jantung Balkan di bawah perlindungan NATO. Ini dengan jelas dibuktikan dengan upaya orang Albania untuk menguasai lebih banyak wilayah, saat ini di Makedonia. Satu yang terbaca di belakang ini adalah rencana jangka panjang untuk menciptakan Albania yang lebih agung.

Konsepsi di atas berdasarkan anggapan yang salah bahwa lembaga negara turut campur dalam perlindungan terhadap hak asasi. Sementara itu, dekade terakhir abad ke-20 menunjukkan bahwa negara bagian yang lebih lemah menghasilkan situasi khaos dan anarki serta menghilangkan masyarakat dunia dengan instrumen-dalam yang stabil dalam penyelesaian konflik. Diskusi

Page 83: Kepentingan Utama GLOBALISASI

tentang lembaga negara bagian melahirkan bahaya baru. Kaum nasionalis dan separatis mengangkat panji-panji hak bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri sehingga menghancurkan negeri multi-bangsa dari dalam. Mereka menelurkan perselisihan etnis, memberi ruang bagi konflik etnis yang sangat sulit diselesaikan. Kebijakan “kedaulatan terbatas” dan “intervensi kemanusiaan” mendorong kelompok-kelompok etnis dan religius radikal untuk mengangkat senjata melawan penguasa federal, dan berharap menang dengan bantuan penjaga perdamaian.

Patut dicatat bahwa separatisme bukanlah monopoli egeri-negeri yang politiknya tidak stabil atau perekonomiannya lemah: ini juga muncul di negeri-negeri maju (seperti Kanada, Inggris, Spanyol, dan sebagainya.).

Hari ini, sekitar 2.500 kelompok etnis hidup dalam 150 negeri multi-bangsa. Penerapan hak menentukan nasib sendiri untuk beberapa negeri akan menciptakan kekacauan dalam hubungan internasional. Ini telah nyata tergambarkan di Balkan, Kaukasus, Timur Tengah, Asia Tengah dan wilayah lain tempat konflik bersenjata telah berlangsung selama dua puluh tahun hingga sekarang. Mereka membuat situasi dunia menjadi tidak stabil. Sebagai tambahan, keberadaan instabilitas mempengaruhi komunikasi stabil yang dengannya sumber daya dan barang-barang mengalami pergerakan (atau akan bergerak). Keberadaan beberapa ketegangan juga mempengaruhi globalisasi.

Apakah konsekuensi globalisasi pada lingkup politik-militer dan bagaimana mereka mempengaruhinya?

Separatisme yang berlandaskan kontradiksi agama dan etnis--yang berakar pada pengangguran, kemiskinan dan minimnya hak-hak mayoritas mutlak--diarahkan pada pemerintah federal negara multi-bangsa, sehingga dengan jelas mendekatkan fundamentalisme Islam. Aliansi tersebut tumbuh dari apa yang mereka yakini sebagai musuh bersama—subyek globalisasi yang utama. Aliansi tersebut berbahaya karena mewarnai perjuangan sosial-ekonomi dengan warna agama dan ideologi. Kaum separatis, yang bergerak di bawah perlindungan dan bersama dengan pusat-pusat dan organisasi-organisasi fundamentalis internasional, lebih suka mengabaikan cara-cara non-militer untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Saat ini, mereka tidak cukup kuat untuk mewujudkan tujuan politik mereka dengan pertempuran bersenjata dengan lembaga negara. Ini dipastikan dengan kejadian-kejadian di Balkan, Kaukasus, Xinjiang, dan di manapun. Ini menjelaskan mengapa mereka menetapkan teror massal sebagai instrumen utama penekan pemerintah yang paling membuat kaum sipil menderita. Teror internasional yang diorganisasikan oleh kesatuan usaha kaum separatis dan fundamentalis Islam yang mengambil bentuk militer berskala besar dan operasi-operasi teroris adalah suatu kesinambungan politik mereka dengan kekerasan. Ini membawa makin dekat pada perang (menurut Karl Clausewitz). Faktanya, separatis dan fundamentalis adalah ancaman serius bagi negara-negara yang membentuk tulang punggung globalisasi dan bagi negara-negara multi-bangsa dengan jumlah kaum Muslim yang besar di antara warga negaranya. Ancaman ini telah menetap.

Kini, berbagai jenis organisasi ekstremis dan fundamentalis yang terlibat dalam teror tersebar di seluruh dunia. Mereka bersandar pada negara tertentu yang mendanai mereka dan mensuplai

Page 84: Kepentingan Utama GLOBALISASI

mereka dengan persenjataan dan alat-alat komunikasi terbaru. Ini membuat mereka menjadi kekuatan militer yang harus diperhitungkan.

Dampak serius dari serangan teroris memaksa pemerintah untuk memusatkan usaha mereka pada terorisme internasional dan mencabutnya sebagai fenomena. Di satu sisi, ini penuh dengan konflik militer lintas bangsa dalam wilayah-wilayah dan dalam skala global. Di sisi lain, terorisme internasional telah memisahkan ancaman militer tradisional dan perang yang sudah dipersiapkan negara untuk dihadapi di abad ke-20 dari ancaman baru yang akan mereka hadapi di abad ke-21. Bayangan kita tentang sifat-sifat konflik militer masa depan dan keseimbangan kekuatan telah berubah.

Saat ini, keberadaan ancaman militer membentuk rantai yang membentang dari Balkan, melintasi Kaukasus dan lebih jauh hingga Asia Timur. Ia bercabang ke banyak negeri di semua benua. Satu yang seharusnya tidak diabaikan adalah fakta bahwa ancaman separatisme dan fundamentalisme Islam berkembang menjadi fenomena global yang suram dan berjangka panjang. Ini menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, ada kebutuhan mutlak untuk menerapkan pendekatan dengan argumentasi yang kuat untuk globalisasi dan interpretasi atas kedaulatan, integritas teritorial, hak bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, hak-hak etnis minoritas, dan lain-lain. Masyarakat dunia harus memformulasikan pendekatan yang tidak menganut standard ganda dan preseden (contoh buru) yang berbahaya. Kedua, seluruh negara yang berkepentingan harus menyatukan kerja mereka (termasuk kekuatan militer) di bawah payung PBB untuk melawan kaum separatis dan fundamentalis berpikiran radikal yang terlibat dalam perang teror melawan masyarakat dunia. Mereka harus mempolakan strategi militer dan doktrin mereka menurut tujuan, tugas, dan metode setiap perjuangan.

Di Rusia, sifat-sifat obyektif globalisasi diakui di level negara meski tetap belum ada pendapat pasti tentang itu. Argumentasi lawannya, bahwa globalisasi menjauhkan negara dari kedaulatan negaranya, yang berarti pengaruh Amerika yang lebih besar terhadap dunia. Sekaligus, ada kesadaran bahwa kompetisi yang setara dimungkinkan hanya jika negara tersebut aktif berpartisipasi dalam proses globalisasi. Itulah sebab keterlibatan Rusia yang lebih besar dalam G7--yang sesungguhnya telah menjadi G8; negara itu telah menyiapkan dirinya untuk keanggotaan WTO, dan lain-lainnya. Cukup wajar jika Rusia bekerjasama dengan negara lain dan aliansi negara-negara di ranah militer (terutama untuk memelihara perdamaian dan stabilitas). Kerjasama ini seharusnya didapatkan dari prinsip-prinsip hukum internasional dan memperhitungkan kepentingan nasional kita.

Subyek Utama Hubungan Internasional sebagai Pusat Kekuasaan (Kutub) Penguasa Dunia Kontemporer

Aku telah menuliskan di atas bahwa Amerika Serikat dikenal sebagai pemimpin globalisasi. Ia adalah kekuatan terbesar dunia dari sudut pandang ekonomi, politik dan militer. Bersama dengan negara-negara Barat lainnya, Amerika Serikat--yang tercatatberpenduduk 15 persen dari populasi dunia--mengendalikan lebih dari 70 persen produksi, perdagangan, dan konsumsi dunia. (3) Globalisasi telah mempersenjatai AS dengan alat kendali dan penekan yang kuat--mulai dari hutang hingga intervensi militer. Itulah mengapa dunia ditantang oleh model satukutub yang tidak dapat diselaraskan dengan kedaulatan nasional.

Page 85: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Amerika Serikat berkepentingan atas kepemimpinan dunia dan menggunakan tujuan proses globalisasi yang, dengannya, menghubungkan kecendrungan menuju dunia satu-kutub dan menyelaraskan strategi militernya. Di masa lalu, kehadirannya di Eropa Barat dalam bentuk NATO adalah langkah penting sejarah dalam jalan ini. Aliansi ini membantu menahan komunisme dan memastikan keamanan Barat. Dengan cara yang sama Eropa ditempatkan di bawah kendali Amerika.

Ketika Uni Soviet terpecah-pecah dan penguasa dunia dua-kutub hancur, Amerika Serikat memasuki tahap baru kepemimpinannya dengan maksud menguasai seluruh dunia. Proses tersebut dilandaskan pada penyebaran nilai-nilai Amerika: demokrasi dan pasar. Elemen terbesarnya dirumuskan oleh Anthony Lake, penasihat keamanan nasional Presiden Bill Clinton: memperkuat masyarakat di negeri-negeri demokratis besar yang berekonomi pasar--sebagai tulang punggung masyarakat dunia--dengan memperbaiki organisasi ekonomi supra-nasional dan aliansi kebijakan militer; mendukung negeri demokratis besar dan pasar, yakni negeri-negeri yang akan mempengaruhi kepentingan global Amerika (Rusia, negara-negara Eropa Timur, Jepang dan Korea); menolak agresor dan membantu pembebasan di negeri-negeri yang menolak demokrasi dan pasar. Beberapa negeri dianggap layak untuk diisolasi dalam lingkup diplomatik, ekonomi, dan teknologi; perhatian yang lebih harus diberikan untuk intelejen dan kontrol atas ekspor teknologi tinggi. (4)

Untuk menjalankan itu, Amerika Serikat harus memodernkan Aliansi Utara. Pada bulan Desember ,199,5 sebuah program baru trans-Atlantik diadopsi--yang menambah pentingnya gerakan bersama di luar lingkup tanggung jawab aliansi, yang sebelumnya terbatas pada wilayah para anggotanya.

Sistem baru keamanan bersama Eropa Barat, tidaklah lebih daripada perangkat bantu AS. Itulah yang dimaksud oleh Brzezinski, konsultan di Pusat Penelitian Strategis dan Internasional, ketika ia menulis: “Eropa yang lebih besar akan memperluas jangkauan pengaruh Amerika—dan,  dengan pengakuan anggota-anggota baru dari Eropa Tengah, yang menambah keanggotaan Dewan Eropa dengan sejumlah negara dengan kecenderungan pro-Amerika--tanpa secara simultan menciptakan Eropa yang begitu terintegrasi secara politik sehingga dapat segera menantang Amerika dalam hal geopolitik.”  (5)

Amerika Serikat tidak membutuhkan Rusia yang mengejar kebijakan luar negeri yang independen. Kenyataannya, Eropa Barat juga sering tidak puas dengan ini. Sebelum tragedi September, 2001, di New York, Barat mengkritik Rusia atas “tindakan berlebihan” melawan separatisme dan terorisme internasional di Kaukasus Utara. Ini menjelaskan mengapa semua macam kegiatan yang direncanakan dalam program Kerjasama untuk Perdamaian bersifat sporadis. Setelah krisis Kosovo, semua itu dihentikan bersamaan. Pada waktu yang sama, gerakan NATO ke Timur tak terhentikan: itu memberi aliansi peluang strategis untuk memberikan tekanan pada Rusia.

Dapat dikatakan bahwa, dengan tidak adanya Uni Soviet dan dalam sebuah keseimbangan kekuatan baru yang mendunia, banyak negara tidak merasa perlu berdampingan dengan Amerika Serikat. Belakangan didapati semakin sulit untuk mengabaikan perlindungan kepentingan nasionalnya karena adanya perlindungan atas nilai demokrasi. Karena itu, integrasi regional

Page 86: Kepentingan Utama GLOBALISASI

berkembang berdampingan dengan globalisasi. Beberapa orang percaya bahwa integrasi regional berlawanan dengan globalisasi, yang lainnya melihat itu sebagai bagian dari keseluruhan proses globalisasi. Menurut Academicus Primakov, keduanya salah. Integrasi regional bukanlah lawan ataupun komponen bagian dari globalisasi. “Proses integrasi regional, secara mendasar, independen, memiliki kekuatan pendorongnya sendiri, tetapi berkembang dalam interaksi yang erat dengan globalisasi.” (6)

Itu sangat penting. Dengan demikian, maka salah jika mengabaikan kontradiksi yang dilahirkan oleh globalisasi dan regionalisasi, khususnya dari mereka yang dihubungkan dengan penguasa dunia yang sedang muncul. Integrasi di tingkat regional memainkan peranan penting dalam politik dan ekonomi, ia memiliki pengaruh yang terus bertambah atas bidang militer dan dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam perimbangan kekuatan di tingkat regional dan global. Itu terjadi karena baik regionalisasi maupun globalisasi didukung oleh subyek tertentu hubungan internasional dengan kepentingannya masing-masing, yang hampir tidak pernah sebangun. Integrasi regional memberi kemungkinan bagi dunia yang multi-polar. 

Saat ini, di bagian barat Eropa lah tempat dengan integrasi paling tuntas: ia bergerak dari Komunitas Batubara dan Baja menuju Pasar Bersama Uni Eropa. Pada tahun 1998, integrasi ekonomi Eropa Barat dilengkapi dengan integrasi militer.

Posisi Uni Eropa yang menguat dan kerjasamanya dengan Rusia menimbulkan perhatian tertentu di Amerika Serikat. Beberapa pusat kekuasaan ekonomi dan politik menghadapkan masyarakat dunia pada kontradiksi antara dunia uni-polar dan multi-polar. Kini, kita melihat kemunculan dua kutub: Amerika dan Eropa yang saling bertarung untuk mempengaruhi Rusia. Ada kecenderungan pro-Amerika dan anti-Amerika di setiap negeri Eropa Barat dan NATO. Di satu sisi, karena fakta adanya eksistensi mereka, tiap blok membicarakan kepentingan yang sama dari anggota-anggotanya dan menyimbolkan kesatuan Barat. Di sisi lain, hingga tingkat tertentu Uni Eropa dan AS terbagi oleh vektor geopolitik yang berbeda. Amerika Serikat paling berkepentingan dengan politik global, sementara Eropa Barat berkonsentrasi pada benuanya dan teritori yang berdekatan. Ini menjelaskan mengapa Uni Eropa kadangkala kurang antusias dengan dominasi AS di NATO dan beberapa keputusan yang mengenai Eropa (seperti operasi penjagaan perdamaian di Kosovo).

Satu yang harus diingat, bahwa tidak semua anggota Uni Eropa adalah anggota NATO, demikian pula sebaliknya. Hal tersebut, dan keinginan untuk menjalankan kebijakan yang independen, mendorong Uni Eropa untuk membangun struktur pertahanannya sendiri yang berbasis di Uni Eropa Barat. Keputusan-keputusan berkaitan dengan itu dibuat pada sidang tahun 1999 di Cologne (4 Juni) dan Helsinki (10-11 Desember).

Di Helsinki anggota-anggota Uni Eropa merumuskan tujuan menciptakan kekuatan bersenjata (50-60 ribu) dengan komando mereka sendiri yang independen dan struktur kendali, intelijen serta infrastruktur yang dapat bekerjasama dengan angkatan darat, angkatan udara dan angkatan laut lainnya jika dibutuhkan. Markas Besar Eropa akan dibangun untuk menjalankan perencanaan operasional dan penyelesaian krisis.

Page 87: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Bersamaan dengan itu, industri senjata dan industri pertahanan akan direstrukturisasi. Menurut Daniel Culmi, delegasi umum dari Institut Masalah Pertahanan dan Keamanan Eropa (Perancis), “keputusan yang dibuat pemerintah pada tahun 1999 memuat kerangka kerja bagi apa yang disebut kerjasama pembentengan, suatu jaringan penting dalam pembangunan pertahanan Eropa.” (1)

Kesadaran bahwa stabilitas Eropa mustahil tanpa Rusia membawa pada kerjasama yang lebih dekat di di antara mereka dan semua struktur Eropa Barat (dari ekonomi hingga militer). IItulah kecenderungan yang stabil yang memberi Rusia kesempatan baik untuk mempromosikan kepentingannya sehingga tidak tertinggal di belakang kemajuan dunia.

Menjadi logis untuk menganggap bahwa tindakan-tindakan Uni Eropa adalah hasil dari kontradiksi antara globalisasi dan regionalisasi, penguasa dunia uni-polar dan multi-polar yang berkembang di Barat. Baik AS maupun Uni Eropa tidak ada yang saling mengganggu. Karena berbeda dengan kontradiksi yang diciptakan oleh pembagian produk dunia, seperti yang digambarkan di atas, maka  kontradiksi tersebut tidak bersifat antagonistik. Tampaknya, begitu “egotisme politik” Amerika semakin dalam dan berlanjut dengan mengabaikan kepentingan Eropa, maka kontradiksi di antara mereka akan memuncak. Saat ini, Amerika Serikat seharusnya tidak menyiapkan usaha untuk menjaga kontrolnya atas Uni Eropa.

Menurut Brzezinski, tujuan strategi utama Amerika di Eropa adalah untuk memperketat kendalinya di sana “sehingga sebuah Eropa yang diperbesar dapat menjadi batu loncatan yang dapat terus berjalan untuk diproyeksikan menjadi kekuasaan demokratis dan kerjasama internasional Eurasia.” (2)

Agar berhasil (dan memantapkan kontrolnya atas Balkan) Amerika Serikat sudah seharusnya, pertama, mencegah kemunculan pusat kekuasaan lain yang akan menjadi pusat Eurasian dipimpin oleh Rusia; kedua, membangun kontrol Amerika dan Turki atas sumber energi di Kaukasus dan Asia Tengah, serta dominasi geopolitik Amerika di batas selatan Rusia; ketiga, memastikan kehadiran strategis di barisan belakang Cina, karena Cina dapat berkembang menjadi lawan utama secara geo-politik. Jika operasi anti-teroris di Afghanistan berhasil, dan jika pangkalan militer di beberapa negara Asia Tengah berdiri (300 km dari perbatasan Cina), tugas tersebut akan berhasil diselesaikan.

Satu yang dapat diharapkan Amerika Serikat melanjutkan memanipulasi ekstremis Islam (seperti dilakukan di Balkan) untuk merealisasikan kepentingannya. Ke depan, akan dapat juga menggunakan mereka sebagai alat politik untuk menciptakan khaos di sepanjang “garis instabilitas” (disebut juga “sabuk hijau”) untuk membenarkan keberadaannya di sana. Salah satu dari tugas yang paling mungkin adalah menjaga Rusia dan khususnya Cina tetap di tumit mereka.

Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa saat ini globalisasi belumlah berkembang menjadi pengatur baru proses-proses dunia. Di abad terakhir kontradiksi antara kapitalisme dan sosialisme dunia mengambil bentuk antagonisme ideologis dan membawa pada konfrontasi global, Perang Dingin, perang lokal dan konflik bersenjata yang besar.

Page 88: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Bagaimana masyarakat dunia akan terpengaruh oleh kontradiksi dari zaman globalisasi yang sedang muncul? Analisi di atas memberi kesimpulan bahwa mereka berubah menjadi sumber dari ancaman militer; karenanya, globalisasi itu sendiri membutuhkan pengaturan yang serius dan kontrol dalam kepentingan masyarakat dunia. Tidak ada negara, bahkan yang terkuat, tidak juga perusahaan transnasional dan struktur ekonomi-finansial yang mengejar kepentingan egotistis mereka, yang dapat menjalankan pengaturan dan peran pengendalian.

Di saat yang sama, ketika berbicara tentang sisi negatif globalisasi seseorang tidak dapat menjadi ekstrim. Globalisasi adalah sebuah proses obyektif dan tak dapat diulang kembali sehingga masyarakat dunia dapat mengontrolnya sehingga mendasarkannya pada sisi sosial dan kemanusiaan serta menambahkan aspek kemanusiaan padanya. Untuk memecahkan kontradiksi yang melekat dalam proses globalisasi dengan tepat waktu dan dengan cara damai, masyarakat dunia membutuhkan penguasa dunia yang memadai yang akan bertanggung jawab atas kepentingan semua bangsa dan negara, yang akan menggunakan mekanisme politik kontrol kolektif efisien atas proses global dan penyelesaian krisis. Hampir tidak ada alternatif bagi sistem hubungan internasional yang multi-polar demokratik seperti diusulkan oleh Rusia dan Cina. Ini tidak berkontradiksi baik dengan proses globalisasi maupun integrasi regional di bawah kondisi-kondisi tertentu: setiap orang sepakat bahwa kepentingan nasional tiap negeri berbeda, sehingga mereka tidak seharusnya egotistis dan melanggar norma hukum internasional yang dipahami bersama.

Jelas sekali, struktur yang dikepalai oleh PBB adalah yang paling sesuai untuk menyelesaikan krisis dalam sistem multi-polar. PBB seharusnya bekerjasama dengan organisasi regional seperti OSCE, CIS, ACEAN yang didesain untuk memastikan keamanan di wilayah tersebut. Sistem ini harus dimatangkan menjadi sistem hubungan bilateral negara. Norma hukum internasional yang dipahami bersama dapat memberikan ikatan dan mekanisme pengatur.

Peran penjagaan perdamaian yang lebih penting dari PBB mensyaratkan peran dan tanggung jawab yang lebih penting dari Dewan Keamanan, suatu struktur kendali militer di dalam PBB (markas besar atau komite staf militer). Peran ini dapat dipercayakan dengan mentransformasi struktur NATO yang telah menunjukkan kompetensinya. Kenyataannya, tugas transformasi ini begitu mendesak. Ini menjadi jelas ketika dunia telah memahami sendiri sedang menghadapi tipe baru peperangan—perang melawan terorisme anti-negara internasional yang dilahirkan oleh kontradiksi globalisasi. Sudah tiba waktunya untuk menyingkirkan penghalang yang membagi dunia pada abad terakhir. Saat ini, kita harus memusatkan usaha dari semua negara yang berkepentingan untuk menciptakan sistem keamanan dunia.

Terlihat bahwa Rusia adalah yang pertama merealisasikan ini ketika sekelompok teroris internasional menyerang Daghestan di teritori “Ichkeria bebas” untuk menciptakan kondisi yang di dalamnya Kaukasus Utara dapat dipisahkan dari Rusia dan menjadi bagian dari negara Islam di antara Laut Hitam dan Kaspia. Tidak ada yang mendengarkan Rusia waktu itu karena tragedi itu terjadi di negeri yang biasanya dilihat sebagai sisi yang salah dari penghalang (tipikal abad ke-20) antara Barat dan Timur. Hanya setelah tragedi September di AS dunia menjadi sadar akan jangkauan dari ancaman baru dan kebutuhan untuk melawan terorisme bersama.

Page 89: Kepentingan Utama GLOBALISASI

Menjadi bertambah jelas bahwa tipe organisasi militer tertutup seperti NATO, aliansi Amerika-Jepang dan Amerika-Korea Selatan, yang dalam masa damai terus memilah-milah negara menurut prinsip “yang tidak bersama kita adalah musuh kita”, tidak dapat memecahkan tugas memberikan kemanan bagi semua negeri dan setiap negeri yang menghadapi ancaman baru dan tantangan baru.

Dari sini, maka PBB, bersama dengan seluruh organisasi regional yang terkaitlah, satu-satunya “kutub dunia” dalam sistem hubungan internasional yang memiliki legitimasi dan dikenal umum. Globalisasi politik macam ini yang melengkapi globalisasi ekonomi tidak akan menimbulkan kecurigaan bahwa “hak untuk memandu masyarakat internasional” telah dirampas. Elemen militer akan melengkapi proses globalisasi ekonomi dan politik jika Aliansi Atlantik Utara yang sudah ditransformasi dengan memadai ke dalam PBB. Proses ini akan memakan banyak waktu. Dalam hal bahwa komunitas internasional harus dengan sukarela mengabaikan kediriannya dan kepentingan nasional egotistis, serta menunjukkan kesadaran bahwa ancaman bersama yang makin dan semakin mendesak membutuhkan upaya bersama.

Kemiskinan dan Degradasi Lingkungan: Tantangan dalam Ekonomi Global (1)

Oleh: Akin L. Mabogunje   

Penurunan tingkat hidup dihadapi setiap orang di negeri yang sedang berkembang setiap harinya. Mungkin sebagian saja yang jarak dan tingkat hidupnya mengalami kenaikan mencolok--yang merupakan fenomena yang muncul pada perang dunia kedua--meskipun telah diusahakan diatur kesenjangannya, dan agen internasional yang berhubungan dengannya telah berusaha menawarkan pembangunan global dan pembangunan ekonomi dalam serangkaian pengenalan sosial. Meskipun beberapa negeri mengalami perkembangan yang sangat penting dalam segala hal, dan beberapa kelompok pribadi serta kelas sosial telah keluat dari kemiskinan, jutaan sisanya telah terperosok dan kehilangan harapan.

Menurut Laporan World Development tahun 2000/2001, 1,2 milyar orag dari 6 milyar populasi dunia hidup dengan 1 dollar perhari, 2,8 milyar manusia, atau hampir setengah dari populasi dunia, hidup dengan kurang dari 2 dollar perhari. Di tahun 1998, 40% populasi di Asia Selatan dan lebih dari 46% di pinggiran kota Sahara-Afrika, hidup kurang dari 1 dollar perhari. (2)

Bagaimanapun juga, kemiskinan tidak lagi cukup didefinisikan dengan istilah pendapatan sedikit, ini harus dijelaskan dari beberapa segi fenomena. Dalam sebuah percobaan yang memggambarkan rumitnya kemiskinan, UNDP membedakan antara orang yang berpendapatan rendah dengan orang yang miskin. (3) Menurut UNDP, orang yang berpendapatan rendah terdapat ketika tingkat pendapatan seseorang jatuh di bawah ukuran garis kemiskinan nasional. Pendapatan didasarkan pada ukuran penialaian kemiskinan--yang menjelaskan sumber-sumber ekonomi bagi kebutuhan dasar minimum, khususnya makanan; juga untuk memudahkan perbandingan penilaian dengan negeri-negeri yang sedang mengalami kemajuan dalam mengurangi kemiskinan. 

UNDP mendefinisikan kemiskinan manusia sebagai penolakan atau kerugian terhadap kesempatan dan pilihan yang akan memungkinkan pribadi itu “sehatan, hidup kreatif, dan

Page 90: Kepentingan Utama GLOBALISASI

menikmati standar kebaikan hidup, kebebasan, martabat, penghormatan terhadap diri sendir serta orang lain.” (4) Untuk mengukur kemiskinan manusia, UNDP  mengemukakan tiga indikasi: pertama, hubungan manusia dengan ancaman kematian--hubungannya dengan status usia muda, dalam arti ukuran prosentase populasi yang meninggal sebelum usia 40; kedua, hubungannya dengan pribadi membaca dan komunikasi--dalam arti ukuran prosentase orang dewasa yang buta huruf; ketiga, hubungannya dengan standar hidup dan ukuran prosentase manusia yang memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersi, serta prosentase balita kurang gizi.

Kesalahan-kesalahan definisi tersebut--yang menghubungkan kemiskinan dengan gambaran lingkungan--merupakan kelemahan dalam pendekatan penyelesaian permasalahan. Dalam sebuah pembicaraan dalam sessi utama pertemuan Lembaga ekonomi dan sosial PBB, pada Juni, 1993, Boutros Boutros Ghali, Sekretaris jenderal PBB, menunjukkan usaha untuk merubah pendekatan tersebut ketika dia menunjukkan bahwa kemiskinan hanyalah salah satu aspek dari fenomena umum kerugian kemanusiawian.

Kerugian adalah konsep multi-dimensi dalam bidang ekonomi, dan perwujudan dari kerugian itu sendiri adalah kemiskinan, dalam politik (marginalisasi), dalam hubungan sosial (diskriminasi), dalam budaya (ketidakmapanan), dan dalam ekologi (ancaman penyeranga. Perbedaan bentuk kerugian menguatkan satu sama lain, seringkali rumahtangga yang sama, daerah yang sama, desa yang sama menjadi korban dari semua bentuk kerugian ini. Kita harus melawan kerugian tersebut dalam setiap bentuk. Bagaimana pun juga, tidak ada dimensi lain dari kerugian yang dapat dipecahkan kecuali kita membicarakan persoalan kemiskinan dan pengangguran. (5)

Konsep-konsep tersebut menempatkan kemiskinan dalam jaringan yang lebih luas saat memaknai kerugian. Karena orang miskin seringkali terlempar dari proses pembuatan keputusan komunitas mereka, diskriminasi saat melakukan protes terhadap kerusakan lingkungan dalam masyarakatnya, terbuang dari sumber abadi masyarakatnya, dan dipindahkan untuk mengisi daerah lingkungan yang tidak aman dalam ruang sosialnya. Dan solusi bagi dilema mereka membutuhkan berbagai cara pendekatan guna memahami batas kerugiannya.

Globalisasi, kemiskinan, dan lingkungan

Bisa jadi, yang paling penting dalam pembangunan di dunia saat ini adalah apa yang secara umum di maksaud “globalisasi”. Globalisasi adalah sebagian hasil  kemajuan yang luar biasa luar biasa dalam informasi tehnologi yang mereka punya, sebagi akibatnya menyusutkan dunia dan mata rantai luas di seluruh bagian di bumi ini, atau menciptakan hubungan secara global. Globalisasi juga hasil dari perluasan model produksi kapitalis. Berubahnya organisasi teknologi dan manufaktur membantu perkembangan perusahaan transnasional yang telah menimbun orang-orang kaya dan menjadikan individu negara menjadi berbangsa tunggal. Teknologi komunikasi membolehkan sumber keuangan yang sangat besar bergerak dari satu bagian dunia ke bagian yang lain, hanya dalam satu menit. Transfer seketika itu juga dari sumber-sumber ekonomi secra luas berpotensi merusak kekayaan ekonomi dari negeri-negeri dan berakibat hancurnya kesempatan hidup dan pekerjaan dalam jumlah yang besar. Karena itu, negara dengan bangsa yang tunggal, mendesak dengan hebat dalam bentuk persaingan untuk investasi asing guna meninggikan tingkat pertumbuhan ekonomi mereka. Untuk menarik investasi tersebut, negara-

Page 91: Kepentingan Utama GLOBALISASI

bangsa harus mencapai tingkat minimum pembangunan infrastruktur dan, lebih penting lagi, mempertahankan tingkat kestabilan politik, ekonomi,dan sosial.

Menjalankan manufaktur disusun dari model klasik --diambil dari contoh dari operasi produksi kendaraan oleh Henry Ford pada awal abad duapuluh)--sehingga pabrik terbesar dapat memproduksi semua komponen yang baik hingga berakhirnya produk, dan guna menghasilkan metode yang mudah dalam produksi komponennya, maka komponen-komponen tersebut diproduksi  berbagai negeri yang berbeda dan kemudian dipasang di tempat lain di dekat tempat penjualan.

Karena itu, meskipun globalisasi menambah buruk kemiskinan di beberapa tempat--dan di antara kelompok yang sama--hal tersebut juga memiliki potensi demokratisasi (yang mungkin mendasar) untuk menghancurkan kemiskinan. Membangun ekonomi tidak dapat keluar dari kemiskinan tanpa menarik perusahaan transnasional tapi, pada waktu yang sama, mereka tidak dapat menarik perusahaan-perusahaan tersebut kecuali  mereka mencapai tingkatan tertentu pembangunan. Karena banyak negeri berkembang ekonominya berada dalam tingkat awal transfomasi pasar bebas model kapitalis,  dan kondisi tersebut diperlukan untuk menarik investor internasional yang sangat sulit didatangkan, khususnya untuk Asia Selatan dan pinggiran Sahara-Afrika.

Menggabungkan Pembangunan Ekonomi kedalam Pasar Global        

Dalam tingkat awal kapitalisme, sangat kritis perbedaan faktor-faktor produksi-- tanah, buruh, modal, dan pengusaha--sebagai komoditi, yang dapat mereka bawa bebas, mengatur sendiri pasar pasokan dan permintaan. Untuk masuk kedalam ekonomi global, orang miskin dari negeri berkembang harus mentransformasikan diri mereka sendiri dari petani dengan lahan sendiri menjadi pekerja upahan. Bagaimanapun juga, harga tenaga mereka harus di ditentukan oleh pasokan dan permintaan. Meskipun buruh dianggap sebagai komoditi sebagaimana komoditi yang lain namun, dalam kenyataannya, buruh memiliki sifat manusiawi. Komoditas yang lain dapat menjadi pendorong produksi dan, karenanya, digunakan tanpa pandang bulu, bahkan bisa tak pernah dipakai. Tapi, buruh, tidak dapat diperlakukan dengan cara tersebut, tanpa konsekuensi kemanusiaan yang keras. Untuk alasan tersebut lah, ketika model produksi kapitalis muncul di Eropa, massa rakyat dilemparkan ke dalam kemiskinan yang hina dan dihinakan. Perkembangan ekonomi seperti menghadapi akibat yang serupa, setelah mereka tergabung dalam pasar kapitalis global.

Ulasan dalam Sistem Kapitalis di Inggris pada pertengahann abad pertama dari abad ke sembilanbelas, catatan Karl Polanyi,

"Sistem ini, yang mengatur kekuatan manusia (buruh)--yang menggunakan fisik, juga psikologi dan moralitas sejak lahirnya, 'manusia', label yang diberikannya. Perampokan yang dilindungi karena ditutupi oleh institusi budaya, mengakibatkan manusia akan binasa disebabkan oleh berkembangnya permasalahan sosial. Mereka akan mati sebagai korban karena tergelincir oleh keadaan sosial yang sangat akut--masalah buruk, asusila, kejahatan dan mati kelaparan. Alam akan mengurangi unsur lingkungan tempat tinggal, dan pencemaran alam, kotornya sungai,

Page 92: Kepentingan Utama GLOBALISASI

ancaman terhadap keamanan (dari serangan militer), kekuatan produksi pangan dan bahan mentah dihancurkan...

Niscaya, buruh, tanah dan peredaran uang menjadi unsur utama dalam ekonomi pasar. Tapi tidak ada masyarakat yang  dapat tahan dengan akibat dari sistem tersebut, ... melawan kerusakan akibat pabrik setan ini." (6)

Dalam wajah dampak-dampak permasalahan sosial seperti ini, tidak mengherankan jika masyarakat Eropa, dan disusul di Amerika Utara, dari pertengahan abad keduapuluh hingga kini, memaksa melindungi individu dari kemungkinan kerusakan akibat ekonomi pasar bebas. Perlindungan tersebut datang dalam bentuk serikat buruh, dan pemerintah pusat, sebagai wakil rakyat, berjanji untuk mengendalikan potensi kekacauan sosial yang mengganggu akibat kapitalisme melalui peraturan seperti bea cukai, undang-undang pabrik, jaminan sosial dan undang-undang pensiun, kode etik pekerja, serta undang- undang lain tentang kesejahteraan sosial.

Globalisasi merupakan perwujudan dari luasnya jangkauan kapitalisme, dan mereka memaksa negeri-negeri yang berada dalam fase awal kapitalisme untuk berhadapan dengan kemiskinan yang ada dalam populasi mereka. Populasi seperti itu mengejar produksi bahan-bahan mentah untuk pasar global, dan hal tersebut menjadikannya bertambah beradab dengan pilihan menggunakan pengganti produk industri--seperti mengganti kawat tembaga dengan serat optik. Negeri sedang berkembang, dengan produk industrial yang baru lahir, harus bersaing dengan produk yang lebih murah dan baik dari negeri maju. Kapasitas bersaing negeri yang sedang berkembang sangat lemah terutama dalam sektor inovasi tehnologi, disebabkan oleh kelemahan dalam sistem pendidikan dan kemampuan lembaga mereka. Karenanya, harga untuk produksi awal terlihat menurun dari nilai sebenarnya.

Situasi tersebut tidak membantu negeri yang sedang berkembang, yang cenderung melindungi produk pertanian mereka dengan bea cukai, kuota, dan subsidi ekspor. Prektek tersebut menyengsarakan perdagangan negeri yang sedang membangun--yang lebih dari 2 pertiga orang miskinnya  hidup di daerah pinggiran--sehingga perdagangan produksi pertanian di dunia tumbuh  hanya 1.8 persen per tahun antara antara 1985 dan 1994.

Ditambah globalisasi, ketidakstabilan politik dan konflik daerah adalah faktor yang membuat kemiskinan semakin dalam di berbagai negeri yang sedang berkembang. Antara 1987 dan 1997, lebih dari 85% konflik bersenjata yang terjadi didunia--yaitu perang sipil melawan perbatasan negara mereka sendiri. (7) 14 konflik terjadi di negeri-negeri Afrika, seperti Sudan, Somalia, Angola, Rwanda, Burundi, Liberia, dan Sierra Leone. Di Asia tercatat 14 konflik, di Kamboja, Vietnam, Sri Lanka, dan Indonesia, sementra di Eropa puas dengan pecahnya bekas Yugoslavia. (8) Meskipun populasi keseluruhan naik,  dan konflik tersebut dilakukan oleh populasi yang berbeda secara sosial-ekonomi, namun korban-korbannya terutamadari kalangan rakyat miskin. Jumlah yang sangat berarti dari peristiwa tersebut adalah orang-orang yang asetnya (secara sosial dan material) serta sumber mata pencahariannya dirusak, dan  merupakan orang-orang yang terlantar sebagai akibat konflik bersenjata--yang menambah deretan orang miskin. Pemindahan populasi menciptakan pengungsian besar-besaran, yang mengacaukan pasar-pasar dan bentuk lain lembaga ekonomi dan sosial, dan membebani biaya pengalihan tenaga manusia dan

Page 93: Kepentingan Utama GLOBALISASI

pengeluaran belanja aktivitas produksi. Di tahun 1998, diperkirakan ada 12.4 juta pengungsi internasional dan 18 juta rakyat terlantar, hampir setengahnya berada di Afrika. (9)

Kemiskinan dan degradasi lingkungan

Meskipun globalisasi mencoba mendesakkan pertumbuhan ekonomi dan ketidakamanan yang ditimbulkan dari konfflik bersenjata di daerah, namun terdapat kemajuan di bidang ilmu kesehatan--khususnya dalam ilmu penyakit mewabah--yang telah mengakibatkan peledakan jumlah penduduk. Antara tahun 1960-2000, pertumbuhan populasi penduduk berkembang dari 3 milyar menjadi sekitar 6 milyar. Populasi dunia mencapai 6.1 milyar di pertengahan 2000, dan saat ini rata-rata pertumbuhan per tahunnya sekitar 1.2 persen (sekitar 77 juta orang). PBB memperkirakan bahwa, di tahun 2050, populasi dunia akan mencapai antara 7.9 milyar dan 10.9 milyar penduduk. (10) Populasi di negeri yang sedang membangun diharapkan berubah sedikit selama 50 tahun kedepan dan, bahkan, diharapkan lagi untuk menguranginya di beberapa negeri. Bagaimanapun juga, di dunia berkembang, populasi dikuatirkan mencapai 3.3 juta antara tahun 2000 dan 2050. (11)

Perubahan luar biasa dalam populasi global, dari pinggiran kota hingga masyarakat kota, telah  terjadi di wilayah yang sedang membangun dan di daerah yang sedang berkembang di dunia. Kenyataannya, di tahun 2030, populasi penduduk kota dikuatirkan  2 kali dari jumlah populasi penduduk pinggiran kota secara global. (12) Perubahan penyebaran populasi dari pinggiran kota menuju daerah kota telah diikuti dengan perubahan pemusatan orang miskin. Kemiskinan di pusat kota telah mencapai lebih cepat dibanding daerah pinggiran. Menurut perhitungan PBB, 600 juta penduduk di daerah kota di negeri yang sedang berkembang (hampir 28 persen  dari penduduk negeri yang sedang berkembang) tidak dapat menemukan kebutuhan dasarnya untuk bernaung, mendapatkan air dan pelayanan kesehatan. Kenyataannya, sekitar setengah dari populasi penduduk kota di negeri miskin hidup di bawah garis kemiskinan yang ditentukan. (13) Jumlah ini diperkirakan  muncul secara fenomenal melebihi beberapa dekade selanjutnya. Cepatnya pertumbuhan penduduk dan urbanisasi menyebabkan kebutuhan produksi untuk ekspor, yang selanjutnya berakibat buruk pada lingkungan setidaknya dalam 7 cara:

Penebangan hutan. Jalannya pertanian di negeri yang sedang berkembang relatif masih sangat primitif, bergantung pada pengolahan lahan kosong, dengan membersihkan dan membakar semak-semak serta hutan untuk membuat ruang bagi hasil pangan. Secara bersamaan, penebangan hutan muncul dari kebutuhan untuk kayu bakar. Untuk contoh, diperkirakan, kayu bakar dan semak-semak yang tersedia sekitar 52 % dari pasokan energi deomestik di daerah pinggiran sahara afrika; kayu arang, produk lain dari hutan, juga merupakan sumber utama dari energi domestik. (14)

Penggundulan tanah hingga menjadi padang pasir (desertifikasi). Pengolahan tanah berlebihan dan ternak yang berlebihan, dalam tanah pinggiran sebagian besar menyebabkan desertifikasi. Meskipun desertifikasi akibat dari berbagai faktor dan terjadi di berbagai jenis lingkungan, namun yang menyebabkan resiko terutama sekali sering ditemukan dalam wilayah yang bertanah gersang atau setengah gersang. Di wilayah padang rumput tropis, di perbatasan padang pasir, kelebihan ternak berpotensi menyebabkan desertifikasi karena pemberian makanan populasi ternak yang sangat banyak--yang secara cepat berkembang untuk memenuhi

Page 94: Kepentingan Utama GLOBALISASI

permintaan--memerlukan batas pengembangannya. Desertifikasi juga muncul disebabkan karena penghilangan kayu--yang dijadikan sebagai bahan bakar--dan salinisasi hasil panen disebabkan aturan pengairan yang jelek.

Hilangnya anekaragam hayati. Jurang lebar ekosistem menyebabkan orang miskin mengembangkan penghidupannya dengan susah payah dan dihinakan, dan ekosistem berbagai komunitas--baik tanaman maupun binatang--telah ditempatkan dalam proses resiko. Menurut World Resources Institute, sebagian ilmuan setuju bahwa antara 5 dan 10 % spesies/makhluk hutan tropis akan mati pada setiap dekade, sejumlah tertentu hutan akan hilang dan mengalami gangguan. Hilangnya hutan tersebut telah mencapai sekitar 100 species perhari. (15) Lebih dalam lagi, sekitar sepertiga hutan yang hidup di tahun 1950 telah musnah, terutama untuk pertanian, ternak, atau pengumpulan kayu bakar. (16) Perguruan tinggi ilmu pengetahuan Amerika serikat memperkirakan lebih dari 50% dari semua spesies di bumi hidup di hutan tropis: empat mil persegi bidang tanah khas hutan tadah hujan mengandung sebanyak 1,500 spesies tanaman dan tumbuhan, 750 spesies pohon, 125 spesies mamalia, 400 spesies unggas, 100 specses reptil, 60 spesies amphibi, dan 150 speies kupu-kupu. (17)

Erosi. Tekanan populasi telah membuat masa tanah tandus, selain itu juga pengolahan yang berlebihan hasil panen, khususnya di negeri yang sedang berkembang, di mana kemiskinan mengakibatkan dominasi pengembalaan ternak di kosong. Sebagai akibat dari pengolahan tanah yang berlebihan dan musnahnya hutan, erosi tanah menjadi tersebar luas, sebagai contoh, di Ethiopia, tercatat secara relatif tiap tahun humus hilang sampai 296 ton metric per hektar dalam lereng curam. Bahkan negeri-negeri yang agak moderat, erosi dapat dihasilkan secara cepat terutama di daerah-daerah yang tidak dilindungi oleh vegetasi. Di Afrika Barat, tercatat kehilangan 30 sampai 35 tons metric per hektar di lereng yang hanya 1 sampai 2 persen. (18) Di wilayah-wilayah dengan letak batu endapan yang tidak stabil, seperti di Nigeria bagian selatan, erosi di selokan sangat merusak lahan. Erosi angin juga menjadikan kering tanah pinggiran hingga mendekati seperti gurun pasir.

Polusi kota. Polusi kota menggambarkan "keberhasilan" pembentukan kota dan daerah metropolitan dalam negeri yang sedang berkembang. Dimulai dengan sulitnya kondisi tempat perlindungan dari perkampungan penduduk liar, yang terdiri dari pondok pengganti sementara dalam lahan yang orang-orang miskin, yang tidak punya hak kepemilikan, dan biasanya kurang memadainya pasokan air dan  fasilitas sanitasinya. Polusi udara menjadi permasalahan yang serius di daerah seperti itu. Ketergantungan orang-orang miskin pada bahan bakar biomass untuk memasak dan keperluan domestik lain meningkatkan konsentrasi ketergantungan khusus, yang sering melampaui standar WHO, terutama di daerah daerah dimana orang-orang miskin terkonsentrasi. Kebutuhan orang-orang miskin yang rendah berarti transport di antara orang kota telah mendorong berkembang nya model transportasi dengan polusi tinggi, seperti motor dengan mesin satu tak. Kendaran bekas tidak dipelihara dengan baik sehingga menambah tingkat polusi di sebagian kota di negeri yang sedang berkembang. (19)

Membangun sistem dan mekanisme yang efektif yang dapat memfasilitasi ilmu pengetahun dan tekhnik, yang digunakan untuk membantu kaum miskin dan lingkungan hidup, menjadi sangat penting. Munculnya paradigma kesinambungan ilmu pengetahuan mendorong proses yang dapat membantu produksi ilmu pengetahuan di mana para cendekiawan dan para pemegang saham,

Page 95: Kepentingan Utama GLOBALISASI

termasuk kaum miskin, saling berhubungan dalam merumuskan isu-isu penting, bukti-bukti yang relevan, dan membentuk argumen yang dilandaskan pada pemahaman sosial.

Kepastian ilmu pasti menekankan bahwa, ketika pemegang saham terlibat dalam pembentukan pengetahuan seperti itu, maka mereka akan menjadi perantara bagi perkembangan yang berkesinambungan dan wajar. (1) Hanya dengan cara itulah, kita dapat dengan efektif mengatasi masalah kemiskinan dan perusakan lingkungan hidup di negeri-negeri berkembang, dan memulai tugas menghapuskan kemiskinan dalam konteks pembangunan yang berkesinambungan.