KEPENTINGAN EKONOMI INDONESIA DALAM...
Transcript of KEPENTINGAN EKONOMI INDONESIA DALAM...
1
KEPENTINGAN EKONOMI INDONESIA DALAM
MEMPRAKARSAI COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING
COUNTRIES (CPOPC) TAHUN 2015
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Fachry Hadin
1112113000108
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018
2
3
4
5
ABSTRAK
Indonesia ketika melakukan hubungan dagang di minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil
(CPO) mengalami situasi hambatan, sehingga akhirnya Indonesia memprakarsai Council of Palm
Oil Producing Countries (CPOPC). Pendirian CPOPC tersebut adalah hasil kesepakatan antara
Indonesia dengan negara produsen CPO yang mana dalam industri CPO yang saat ini menjadi
produk unggulan di bidang pertanian Indonesia. CPO Indonesia tidak hanya menjadi komoditas
unggulan di dalam pasar dalam negeri, namun CPO Indonesia juga menjadi produk yang banyak
dikonsumsi oleh negara maju, seperti negara Eropa karena kandungan manfaat yang begitu besar
di dalam CPO. Dalam penelitian skripsi ini menjelaskan mengenai kepentingan ekonomi
Indonesia di bidang sawit dengan membuat CPOPC, karena adanya kepentingan ekonomi
Indonesia di bidang perkebunan dan sebagai penyumbang terbesar devisa Indonesia di sektor
perkebunan.
Penulis menggunakan konsep kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional, dimana di
dalamnya menjelaskan bahwa setiap negara dalam menjalankan kebijakan luar negerinya selalu
mengutamakan kepentingan nasionalnya, agar pelaksanaan kebijakan luar negerinya bisa terarah
dan tercapai sesuai dengan yang telah disepakati oleh para pembuat kebijakan, dalam hal ini
pemerintahan Presiden Joko Widodo, kemudian dari hasil penelitian skripsi ini penulis
menemukan bahwa kepentingan ekonomi Indonesia di sektor minyak kelapa sawit sangat
penting untuk dilaksanakan oleh pemerintah RI agar devisa negara dari sektor perkebunan sawit
dapat terjaga dan tidak terjadi defisit anggaran, serta dari sektor kepentingan tata global
pemerintah RI perlu untuk terus mempromosikan sawit yang berkelanjutan.
Kata kunci: CPO, CPOPC, Kebijakan Luar Negeri, Kepentingan Nasional.
6
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kehadirat illah rabbi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kepentingan Indonesia
Memprakarsai Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) terkait Isu Lingkungan Pada
Tahun 2015”. Sholawat serta salam tidak lupa penulis curahkan kepada Nabi Muhammad saw
beserta keluarganya, sahabatnya, serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini
merupakan bentuk perjuangan penulis agar dapat menyelesaikan pendidikan di tingkat Strata
Satu (S1) yang juga menjadi syarat untuk lulus dari program studi Hubungan Internasional. Pada
akhirnya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini baik berupa dukungan, motivasi, dan bantuan yang lain. Maka
dari itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta Ibunda Chairumi Tabrani dan Ayahanda Rudekon Rahman,
serta adinda Yasirly Amalia yang merupakan adik perempuan penulis yang telah
memberikan doa tulus, dukungan moril dan materiil, dan untuk menjadi semangat utama
penulis, serta kepada Om dan Tante yang selalu mengingatkan penulis agar segera
menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Febri Dirgantara Hasibuan, MM. selaku Dosen Pembimbing penulis, terimakasih
atas waktu, arahan, nasihat, saran dan kritik positif kepada penulis agar dapat dengan
segera menyelesaikan skipsi ini.
3. Para dosen jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terimakasih atas ilmu dan pengalaman berharga yang diberikan selama masa
perkuliahan.
4. Sahabat kuliah penulis, Anak The Kontrakan macam Ahmad Kiflan Wakik, Akbar Azmi,
Dede Abdurachman, M. Darmawan Ardiansyah, Labib Syarief, Eufrat Kamil Kahar,
Tegar Haniv Alviandita, Mabrur Alfath Didi, Muhammad Ismail, Dirga Eka Dzuliardi,
Redynal Umar, Lutfi Kurnia Agustian, Luthfi Anugrah, Ash Shiddiq, Haerudin Fauzi,
7
Djordi Prakoso, Gufron Syahrial, Indra Saputra, Juliana Yusuf, Rizky Ahmad Firdaus.
Terimakasih atas segala kebersamaan, pengalaman, canda tawa, dan duka rindu. Kalian
merupakan pendorong untuk dapat melewati segala aral rintangan yang setiap saat datang
„tuk menguji.
5. Teman-teman HI UIN Jakarta angkatan 2012 yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Terima
kasih telah memberikan pengalaman kepada penulis di masa perkuliahan, teman-teman KKN
2015, para teman LBI UI, Komplek Poin Mas Depok, dan teman-teman SD, SMP, dan SMA.
Penulis berharap segala dukungan dan bantuan ini mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Terakhir, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa
mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi setiap
pembacanya, serta dapat bermanfaat perkembangan studi Hubungan Internasional.
Jakarta, Maret 2018
Fachry Hadin
8
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ..................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN.……… ........................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 2
A. Pernyataan Masalah........................................................................................... 2
B. Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................................... 6
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................... 7
E. Kerangka Teori .................................................................................................. 10
1. Kepentingan Nasional .................................................................................... 10
2. Kebijakan Luar Negeri ................................................................................... 14
F. Metode Penelitian .............................................................................................. 17
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 17
BAB II BENTUK-BENTUK PENOLAKAN INDUSTRI KELAPA SAWIT
INDONESIA ....................................................................................................... 19
1. Kebijakan RSPO terkait Tata Kelola Kelapa Sawit Indonesia ............... 19
2. Aksi individu Perancis sebagai Anggota RSPO terkait Kelapa Sawit
Indonesia ………………………………… ............................................ 24
3. Aksi non-State Actor terkait Isu Lingkungan ..…………………………. 29
9
BAB III KEBIJAKAN INDONESIA MEMPRAKARSAI PEMBENTUKAN
CPOPC .................................................................................................................. 33
A. Proses Berdirinya CPOPC ..................................................................... 33
1. Periode Ide Awal Pembentukan CPOPC ............................................... 33
2. Periode Pertemuan Tingkat Menteri ...................................................... 36
3. Periode Kesepakatan CPOPC ................................................................ 39
4. Periode Pelaksanaan CPOPC ................................................................. 41
B. Kebijakan Internal dan Eksternal Pemerintah Indonesia terkait
Pembentukan CPOPC . ............................................................................... 42
1. Pemerintah Indonesia Berusaha Menghadirkan ISPO sebagai
standar Minyak Sawit Berkelanjutan (kebijakan internal) … ................. 42
2. Melakukan Harmonisasi Standar Global Baru Produksi Minyak Sawit
Berkelanjutan (kebijakan eksternal) ...................................................... 44
BAB IV ANALISIS KEPENTINGAN INDONESIA MEMPRAKARSAI CPOPC
TERKAIT ISU LINGKUNGAN PADA TAHUN 2015 .................................. 46
A.Kepentingan Nasional Indonesia di Bidang Ekonomi terkait
Pembentukan CPOPC Pada Tahun 2015 .................................................. 47
B. Kepentingan Nasional di Bidang Tata Internasional terkait
Pembentukan CPOPC Pada tahun 2015 ..................................................... 52
1. Pencegahan Kampanye Negatif dari Pihak Luar .................................. 5
2. Mempromosikan ISPO sebagai Standar Penentu
Harga Minyak Sawit Global .................................................................. 56
BAB V KESIMPULAN ....................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... xii
LAMPIRAN .......................................................................................................... xiii
10
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.D.1 : Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit .. ............... 8
Gambar I.E.2 : Cara Menentukan Intensitas Suatu Negara Terkait
Penentuan Kepentingan Nasional ……. .............................. 12
Gambar I.E.3 : Konsep Kebijakan Luar Negeri … ....................................... 16
Gambar II.B.1 : Isu yang Menjadi Perhatian Masyarakat Perancis
Terhadap Kelapa Sawit Tahun 2014 … ................................. 25
Gambar IV.A.3 : Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit
Indonesia (1980-2016) … ...................................................... 51
11
DAFTAR TABEL
Tabel II.A.1 : Perbandingan Biaya Relatif dan Manfaat Mekanisme Rantai Pasokan
Sertifikasi Minyak Kelapa Sawit …… .............................................................. 23
Tabel II.B.2 : Perbandingan Kandungan Lemak Pada Minyak Nabati.. ....... 26
Tabel IV.A.2 : Peta Kekuatan Industri Sawit Indonesia dan Malaysia.… ...... 47
Tabel IV.A.3 : Data Delapan Perusahaan Kelapa Sawit Terbesar
di Indonesia … ....................................................................... 49
12
DAFTAR LAMPIRAN
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2016 tentang Pengesahan
Charter of The Establishment of The Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC
(Piagam Pembentukan Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit) … .... xiii
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Pada era globalisasi saat ini, liberalisasi perdagangan merupakan hal yang umum dilakukan
oleh banyak negara. Liberalisasi perdagangan merupakan salah satu kegiatan di bidang ekonomi
yang mempunyai peran strategis dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi.1 Hal itu
juga berlaku pada persaingan pasar minyak nabati dunia, terutama kelapa sawit atau Crude Palm
Oil. Indonesia sebagai produsen sekaligus pengekspor CPO terbesar di dunia belum mampu
menguasai pasar minyak nabati Eropa, selain di pasar India dan Tiongkok.2
Dengan demikian pilihan-pilihan mekanisme pasar tentunya akan sangat terlihat dari
bagaimana pasar merespon dan memberikan umpan balik dari proses perdagangan lintas negara
yang terjadi saat ini. Misalnya, mekanisme persaingan usaha komoditas kelapa sawit di tingkat
pasar dunia yang terus mengalami suatu tekanan dari kecenderungan hegemoni negara Eropa dan
Amerika. Tekanan ini dilatarbelakangi oleh persaingan usaha industri minyak nabati di pasar
global. Bentuk tekanannya seperti adanya upaya intervensi dalam hal regulasi dan kebijakan
melalui mekanisme sistem pasar yang telah ditentukan sehingga kondisi keberpihakan yang
hanya pada satu mekanisme saja.3
Hal ini tentunya tidak terlepas dari isu negatif yang dikampanyekan oleh lembaga-lembaga
yang berkaitan pada kepentingan bisnis dari sisi pengimpor. Kondisi tersebut tentu dapat
1Prabowo Siswanto, “Analisis Dampak Perdagangan Bebas Terhadap Ketimpangan Pembangunan Wilayah”, Jurnal
Fakultas Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Diponegoro (Agustus 2010):3. 2 Partogi Pangaribuan, 2015, Mengamankan Akses Pasar Komoditit Kelapa Sawit, 18 Juni 2015. Dikutip dari
http://indonesiapalmoil.net/mengamankan-akses-pasar-komoditi-kelapa-sawit/ pada 16 April 2017. 3Porter M. Competitive Strategy: Techniques for Analysis Industries and Competitors. New York: Free Press, 1980.
14
berpengaruh terhadap keberadaan industri kelapa sawit Indonesia yang dilihat secara skala dunia
terus memiliki trend positif, dibandingkan dengan jenis industri minyak nabati lainnya, seperti
halnya; minyak kedelai, canola, bunga matahari, dan zaitun yang banyak memberikan kontribusi
pada industri pangan dan bahan baku industri lainnya. Menurut data Oil World tahun 2008
kapasitas produktivitas minyak sayur dunia mengalami kenaikan, seperti: minyak sawit/palm oil
yang menempati posisi pertama yang memproduksi sebesar 4,27 ton/ha/tahun, urutan kedua
rapeseed oil memproduksi sebesar 0,69 ton/ha/tahun, urutan ketiga minyak bunga
matahari/sunflower oil memproduksi sebesar 0,52 ton/ha/tahun, dan minyak kedelai/soybean oil
memproduksi sebesar 0,45 ton/ha/tahun.4
Dari pembahasan diatas dapat dikatakan bahwa sektor minyak sawit/palm oil pada trend
dunia enam kali lebih produktif dibandingkan dengan rapeseed oil, delapan kali lebih produktif
dari minyak bunga matahari dan sembilan kali lebih produktif dari minyak kedelai. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa sektor minyak kelapa sawit jauh lebih produktif dibandingkan
industri minyak nabati lainnya.
Trend komoditas sawit dunia yang semakin meningkat ini mendapatkan respon positif dari
para pelaku dunia usaha industri sawit, seperti halnya industri sawit Indonesia sebagai negara
produsen terbesar di dunia untuk terus mengembangkannya lebih luas lagi, serta intensitas
produksi ditingkatkan lebih banyak lagi. Namun, kondisi trend positif tersebut tidak sejalan
dengan image/pencitraan di mata dunia.
Dengan kata lain ada upaya untuk memberikan gambaran yang tidak baik tentang usaha
perluasan dan penanaman bibit kelapa sawit yang dianggap telah memberikan dampak buruk
bagi lingkungan, seperti terjadinya deforestation dan bahaya penyakit yang dapat mengancam
4Oi World, 2008-2013, Oil World Statistic, ISTA Mielke GmBh, Hamburg.
15
kesehatan manusia jika mengonsumsi minyak kelapa sawit.5 Adanya perlakuan yang tidak adil
karena melihat kecenderungan persaingan usaha di industri minyak sayur dunia, tentu banyak
strategi politik dagang yang dilakukan untuk dapat memberikan efek negatifnya dari sisi
persaingan usaha pada jenis minyak sayur lainnya.
Pada penelitian skripsi ini, penulis berusaha menghadirkan isu-isu kontemporer yang
menjadi bagian dari isu mengenai agenda hitam/black campaign atas keberlangsungan industri
sawit yang terus berkembang. Penelitian ini menjelaskan tentang kepentingan Indonesia
memprakarsai Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) terkait isu lingkungan pada
tahun 2015.
Pembentukan CPOPC ini telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo dengan adanya
peraturan Presiden/Perpres RI nomor 42 tahun 2016 tentang pengesahan CPOPC. Piagam ini
dibentuk sebagai payung hukum bagi pemerintah Indonesia untuk mengakui keberadaan dan
operasional Dewan Negara-negara Produsen Minyak Kelapa Sawit (CPOPC) di Indonesia.6
Indonesia sejak lama mengembangkan industri CPO dan menjadi negara pengekspor minyak
kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) di pasar minyak nabati global. Komoditas kelapa sawit
banyak digunakan sebagai bahan baku berbagai industri, seperti halnya digunakan sebagai bahan
campuran pelumas kendaraan, pembuatan bahan pangan, dan sebagai campuran bahan bakar
biodiesel.7
Sejak tahun 2006 Indonesia sudah menjadi negara produsen CPO terbesar dengan total
ekspor mencapai 90%, serta menurut data dari FAOstat sampai pada tahun 2014 Indonesia dapat
5 Nurtjahjawilasa, Kusdamayanti Duryat dan rekan, “Modul: Konsep REDD+ dan Implementasinya”, The Nature
Concervancy Program Terestraial Indonesia (November 2013) : 28. 6Penjelasan lebih lengkap mengenai pengesahan The Chartere of The Establishment of The Council of Palm OIl Producing
Countries (CPOPC) terdapat pada lampiran 1. 7 Juliati Suparaningsih, 2012, Pengembangan Kelapa Sawit Sebagai Biofuel dan Produksi Minyak Sawit Serta
Hambatannya, Fakultas Ekonomi, Universitas Dama Persada, Jakarta, Tahun 29 nomor 321 Juli - Agustus 2012, 11-12.
16
memproduksi CPO hampir mencapai 47% dari produksi CPO global, diikuti oleh Malaysia
sebesar 37% dan sisanya sebesar 10% oleh negara-negara lain, seperti yang tertera dalam
diagram lingkaran di bawah ini.8
Sumber: FAOstat, 2014
Hasil produksi CPO Indonesia dapat melampaui minyak nabati Eropa, seperti; palm oil,
soybean oil, sunflower oil, rapeseed oil, coconut oil, peanut oil, cottonseed oil, olive oil, castor
oil, sesame oil, dan linseed oil.9 Industri CPO Indonesia juga memberikan kontribusi sebesar
10%-16% dalam dua dekade terakhir dengan bukti adanya luas lahan kelapa sawit Indonesia
mencapai 4,1 juta hektar.10
Hasil persentase di atas dapat menjelaskan bahwa Indonesia sebagai negara pengekspor dan
produsen CPO terbesar di dunia memiliki alasan utama untuk mendirikan CPOPC, tetapi dunia
industri kelapa sawit Indonesia kerap kali dilanda tuduhan isu lingkungan terhadap hasil
produksinya, sehingga Indonesia melakukan diplomasi dengan negara produsen CPO lainnya
agar bergabung menjadi anggota CPOPC.
8Ronny Noor, 2016, Industri Minyak Kelapa Sawit Dunia Berada di Persimpangan Jalan, Kompasiana Beyond Blogging, 24
Juni 2016. Dikutip dari www.kompasiana.com. 9Dandy Dharmawan dan Tintin Sarianti, 2015, Indonesia’s Crude Palm Oil (CPO) Against Black Campaign (The
Macrotheme Review A Multidisplinary Journal of Global Macro Trends), Faculty of Economic and Management, Bogor
Agricultural University, Indonesia, 55. 10http://www.ditjenbun.pertanian.go.id/setditjenbun/berita-238-pertumbuhan-areal-kelapa-sawit-meningkat.html.
17
B. Pertanyaan Penelitian
Dari penyataan masalah di atas maka pertanyaan penelitian yang perlu dijawab adalah Apa
Kepentingan Ekonomi Indonesia Memprakarsai Council of Palm Oil Producing Countries
(CPOPC) tahun 2015 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulis dengan memilih topik skripsi tentang kelapa sawit antara lain sebagai berikut
menjelaskan tentang motif kepentingan Indonensia memprakarsai Council of Palm Oil
Producing Countries (CPOPC) tahun 2015. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari
penelitian ini antara lain sebagai berikut penulis mengharapkan melalui penelitian ini dapat
memberikan penjelasan mengenai kepentingan Indonesia terkait pembentukan CPOPC sebagai
jawaban atas isu lingkungan pada tahun 2015, serta penulis juga mengharapkan agar penelitian
kelapa sawit dari sudut pandang ilmu hubungan internasional semakin bertambah, serta dapat
menambah wawasan mahasiswa program studi hubungan internasional terutama mahasiswa
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Pada artikel yang berjudul “Indonesia’s Crude Palm Oil (CPO) Against Black Campaign
(The Macrotheme Review A Multidisciplinary Journal of Global Macro Trends); karangan Dandi
Dharmawan dan Tintin Sarianti, akademisi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor menjelaskan tentang potensi CPO Indonesia sebagai minyak sayur terbaik dunia.
Penjelasan mengenai potensi CPO tersebut didukung oleh beberapa fakta dalam penjelasan
penelitian tentang kelebihan minyak sawit dibandingkan minyak sayur lainnya, seperti minyak
kelapa, bunga matahari, dan zaitun.
18
Pembahasan dalam jurnal ini menjelaskan potensi CPO Indonesia yang digunakan untuk
ekspor terhambat oleh adanya larangan non-tariff barrier oleh Uni Eropa. Bentuk hambatan
tersebut antara lain berupa adanya kampanye hitam/black campaign yang menuduh produk sawit
Indonesia tidak ramah lingkungan dan dapat mengganggu kesehatan. Padahal kelapa sawit
Indonesia memiliki komposisi asam lemak baik untuk kesehatan.
Komposisi asam lemak kelapa sawit ini terdiri dari sektor 40% asam oleat (asam lemak
tidak jenuh tunggal), 10% asam linoleat (asam lemak tidak jenuh ganda), 44% asam palmitat
(asam lemak jenuh) dan 4,5% asam stearat (asam lemak jenuh) seperti yang tercantum dalam
tabel di bawah ini. Oleh karena itu, secara umum asam jenuh dan asam lemak tidak jenuh pada
minyak kelapa sawit berada dalam proporsi yang seimbang. Tabel I.D.3 di bawah ini
menunjukkan komposisi asam lemak minyak kelapa sawit.11
Tabel I.D.1 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit
Sumber: Purwiyanto Hariyadi, 2013
11Dandy Dharmawan dan Tintin Sarianti, 2015, Indonesia’s Crude Palm Oil (CPO) Against Black Campaign (The
Macrotheme Review A Multidisplinary Journal of Global Macro Trends), Faculty of Economic and Management, Bogor
Agricultural University, Indonesia, 55.
19
Tabel diatas menjelaskan bahwa kandungan kimiawi dalam minyak kelapa sawit tergolong
baik, maka dari itu perbedaan penelitian penulis dengan penelitian ini adalah membahas
penolakan terhadap tuduhan kelapa sawit dari sisi ilmu kedokteran, sedangkan penulis akan
membahas dari sisi ilmu hubungan internasional di bidang ekonomi. Alasan penulis menjelaskan
dari sisi ekonomi karena pengelolaan kelapa sawit Indonesia sudah memiliki standar sertifikasi
sawit sendiri yaitu adanya Indonesian Sustainable of Palm Oil (ISPO).
Artikel junal selanjutnya adalah “Upaya Mengatasi Black Campaign Kelapa Sawit dan
Langkah Strategis ke Depan”, karangan Bambang Drajat seorang peneliti dari Lembaga Riset
Perkebunan Nusantara, Bogor yang juga membahas tentang upaya Indonesia untuk menghalau
hambatan perdagangan kelapa sawit. Artikel tersebut menjelaskan bahwa tuduhan terhadap
kelapa sawit Indonesia tidak seluruhnya benar, namun para lembaga swadaya masyarakat (LSM)
dan lembaga internasional yang kontra dengan CPO menggunakan tuduhan tersebut sebagai
perlawanan terhadap pembudidayaan kelapa sawit Indonesia.
Kelompok tersebut tidak menginginkan kehadiran kelapa sawit karena beranggapan bahwa
kelapa sawit lebih banyak mendatangkan kerugian dibandingkan manfaatnya. Selain itu, produk
CPO Indonesia juga terhambat tidak bisa masuk ke pasar Eropa karena harus memiliki sertifikat
Certified Sustainable of Palm Oil (CSPO) yang merupakan sistem sertifikasi dari Roundtable on
Sustainable Palm Oil (RSPO) sebagai syarat agar produksi sawit Indonesia dapat diterima di
pasar Uni Eropa.
Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian penulis adalah penelitian ini lebih
membahas tentang upaya melawan kampanye hitam/black campaign yang didukung oleh RSPO,
LSM, dan juga lembaga internasional tetapi tidak menyinggung isu lingkungan. Sedangkan
20
penelitian penulis lebih memfokuskan isu lingkungan yang juga akan membahas tentang
bentuk-bentuk kampanye hitam/black campaign terhadap lingkungan.
E. Kerangka Teoritis
Penelitian skripsi ini menggunakan konsep yang digunakan untuk menjawab pertanyaan
penelitian dalam skripsi ini, kemudian akan dijabarkan lebih rinci pada pembahasan bab IV.
Konsep yang digunakan dalam skripsi ini yaitu kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional.
Menurut penulis bahwa suatu negara dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya selalu
mengutamakan kepentingan nasionalnya, sebab kepentingan nasional merupakan landasan awal
bagi suatu negara ketika merumuskan suatu kebijakan luar negeri. Kepentingan nasional juga
bisa menjadi identitas suatu negara dalam hubungan internasional karena sebagai cara untuk
menjalin kerjasama dengan negara lain. Oleh sebab itu, kebijakan luar negeri tidak dapat
dipisahkan dengan kepentingan nasional suatu negara.
1. Kepentingan Nasional
Setiap negara dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya selalu berpedoman kepada
kepentingan nasionalnya. Menurut Donald E. Nuechterlein pengertian kepentingan nasional
dijelaskan ke dalam empat kategori, defence interest, economic interest, world order interest dan
ideological interest.12
a. Defence Interest/kepentingan pertahanan; Pertahanan suatu negara sangat penting untuk
diperhatikan karena untuk melindungi kedaulatan negara dan masyarakatnya dari serangan
negara lain, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik seperti menyerang negara lain
dengan suatu sistem pemerintahan negara yang sah. Maka, kepentingan nasional dalam
bidang pertahanan selalu menjadi prioritas bagi suatu negara.
12Donald E. Nuechterlein, National Interest and Foreign Policy: A Conceptual Framework for Analysis and Decision Making,
British Journal of International Studies, VOL. 2, No. 3 (Oct, 1976), pp. 251.
21
b. Economic Interest/kepentingan ekonomi; ekonomi suatu negara sangat diperlukan guna
memperkuat kerjasama antar negara dan tentunya setiap negara perlu menguatkan
kepentingan ekonominya agar roda perekonomian dapat terus berjalan. Kepentingan
nasional di bidang ekonomi saat ini menjadi prioritas paling utama suatu negara dalam
menjalankan kebijakan luar negerinya.
c. World Order Interest/kepentingan tata internasional; politik internasional dan sistem
ekonomi saling berkaitan satu sama lain yang pada prakteknya setiap negara juga berusaha
untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Kepentingan nasional dalam bidang tatanan
internasional hingga kini masih dipengaruhi oleh negara-negara maju, sehingga negara
yang tidak memiliki pengaruh pada tatanan internasional menyesuaikan kepentingan
nasional mereka dengan kepentingan nasional negara yang berkuasa. Bagi suatu negara
jika bisa menguasai kepentingan tata internasional maka secara tidak langsung akan
mengangkat bargaining position negara tersebut.
d. Ideological Interest/kepentingan ideologi; setiap negara menganut ideologi yang berbeda
satu sama lain. Kemudian ideologi yang dianut tersebut menjadi pedoman bagi suatu
negara dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Tentunya, kepentingan nasional bagi
suatu negara tidak terlalu berperan besar karena merupakan bagian dari sistem pendukung
kebijakan suatu negara, tetapi secara tidak langsung negara juga akan menyebarkan
pengaruhnya sesuai dengan ideologi yang dianutnya.
Dari keempat kepentingan di atas, terdapat satu cara untuk menganalisa intensitas
kepentingan nasional adalah dengan memilih sebuah negara dan sebuah kebijakan luar negeri
yang penting ketika negara tersebut menghadapinya di masa lalu dan dapat digambarkan dengan
gambar di bawah ini.
22
Tabel I.E.2 Cara Menentukan Intensitas Suatu Negara terkait Penentuan Kepentingan
Nasional
Sumber: Donald E. Nuechterlein, 1976
Dari keempat faktor kepentingan nasional di atas, maka suatu negara dapat memilih aspek
mana yang menjadi skala prioritas. Setelah menentukan satu aspek yang dianggap paling
penting, maka aspek yang lain akan mengikuti dan saling melengkapi satu sama lain. Sehingga
suatu negara dapat memfokuskan diri terhadap aspek yang dianggap paling penting dan sejalan
dengan kepentingan nasionalnya. Kebijakan Luar Negeri.
Pengertian kebijakan luar negeri sudah banyak ditulis oleh para akademisi dan peneliti
hubungan internasional, namun para akademisi dan peneliti tersebut hampir mempunyai variasi
dasar yang pemikiran yang beragam. Kebijakan luar negeri bisa dikatakan sebagai tindakan yang
dirumuskan oleh para pembuat keputusan, dalam hal ini pemerintah negara yang menggunakan
keputusan yang telah dirumuskan tersebut untuk menghadapi negara lain, dengan tujuan untuk
mencapai tujuan nasional yang diimplementasikan dalam kepentingan nasional.
Country: X Issue: Y
Basic Interest
I n v o l v e d
Intensity of Interest
Survival Vital Major Peripheral
Defence
Economic
World Order
Ideological
23
Menurut K.J. Holsti kebijakan luar negeri adalah sikap beserta tindakan yang dilaksanakan
oleh para pembuat kebijakan suatu negara, dalam hal ini pemerintah terhadap negara lain agar
kepentingan nasional yang telah dirumuskan dapat tercapai sesuai dengan yang telah
dirumuskan. Dalam melaksanakan kebijakan luar negeri setiap negara tentunya mengutamakan
kepentingan nasionalnya agar arah dan tujuan kebijakan luar negerinya terarah, terukur, dan
sesuai dengan yang ingin dicapai. Kebijakan luar negeri yang dibuat oleh para pembuat
keputusan negara sebagai alat untuk mencapai tujuan negara dalam kepentigan nasional.13
Sementara James N. Rosenau mengartikan kebijakan luar negeri sebagai keseluruhan sikap serta
aktivitas negara untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya,
dalam hal ini negara lain.14
Maka dari itu, Rosenau berpendapat ketika suatu negara melaksanakan kebijakan luar negeri
terhadap situasi dan kejadian di luar negaranya akan memiliki tiga konsep, yaitu orientasi
sebagai urutan pertama. Pengertian orientasi adalah petunjuk bagi para pembuat keputusan agar
dapat menghadapi lingkungan eksternalnya yang pada prakteknya akan menuntut pembuatan
keputusan dan tindakan yang berdasarkan orientasi tersebut. Posisi negara dalam politik
internasional akan ditentukan dari nilai-nilai pengalaman sejarah dan keadaan strategis, sikap,
dan persepsi yang merupakan arti dari pengertian orientasi tersebut.15
Oleh karena itu, kebijakan
luar negeri yang dipandang sebagai orientasi harus berpedoman pada prinsip-prinsip suatu
negara, ketika menjabarkan kebijakan luar negerinya di tingkat dunia internasional, sebagai
contoh Indonesia mempunyai Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi negara dan rumusan
undang-undang.
13K.J. Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987, 182. 14James N. Rosenau, Gavin Boyd, dan Kenneth W. Thompson, Wolrd Politics: An Introduction. New York: The Free Press,
1976, 27. 15James N. Rosenau, Gavin Boyd, dan Kenneth W. Thompson, Wolrd Politics: An Introduction, 16.
24
Kedua, rencana tindakan dan komitmen. Urutan kedua ini menjelaskan bahwa kebijakan
luar negeri bisa dipahami sebagai cara untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang datang
dari luar negeri. Para pembuat keputusan yang menjalankan urutan kedua ini bertujuan untuk
membimbing dan mempertahankan situasi lingkungan eksternal yang berasal dari luar dengan
orientasi kebijakan luar negeri.16
Ketiga, perilaku. Urutan ketiga ini adalah para pembuat keputusan akan mengambil reaksi
terhadap situasi dan kejadian di lingkungan eksternal negara. Bentuk perilaku para pembuat
keputusan tersebut adalah berupa kebijakan pemerintahan yang terdiri dari kegiatan dan tentunya
berdasarkan pada orientasi, komitmen, dan rencana tindakan yang ingin dicapai.17
Dari ketiga konsep yang telah di jelaskan diatas dapat diilustrasikan framework kebijakan
luar negeri Indonesia. Framework tersebut digambarkan sebagai berikut:
Bagan I.E.3 Konsep Kebijakan Luar Negeri
Sumber: Olahan Penulis
Dari konsep diatas jika dijelaskan ke dalam pembentukan CPOPC oleh Indonesia maka akan
terdiri dari, Orientasi: Adanya pembentukan Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC)
ini merupakan cara bagi Indonesia agar dapat mempertahankan kepentingan ekonomi di bidang
kelapa sawit, serta kelapa sawit merupakan sumber devisa terbesar bagi Indonesia dari sektor
16James N. Rosenau, Gavin Boyd, dan Kenneth W. Thompson, Wolrd Politics: An Introduction, 16. 17James N. Rosenau, Gavin Boyd, dan Kenneth W. Thompson, Wolrd Politics: An Introduction, 17.
Kebijakan Luar Negeri
Orientasi Komitmen
& Tindakan Perilaku
25
perkebunan, sedangkan komitmen & tindakan; merupakan cara yang dilakukan oleh Indonesia
berupa melaksanakan diplomasi dengan negara lain yang tidak setuju dengan kehadiran kelapa
sawit Indonesia, seperti mengajak Malaysia membentuk CPOPC sebagai pendiri organisasi
tersebut.
Cara melakasanakan kebijakan luar negeri yang terakhir adalah Perilaku merupakan cara
bagi Indonesia dengan membentuk CPOPC agar dapat menjawab tantangan dari pihak luar,
berupa penguatan dalam bidang hukum serta dengan harapan adanya pengkuan dari negara lain
akan pentingnya kehadiran kelapa sawit Indonesia.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode kualitatif.
Menurut Staruss dan Corbin mengartikan penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang
menghasilkan beragam penemuan yang tidak dapat dicapai dan diperoleh dengan menggunakan
data statistik, seperti layaknya penelitian kualitatif, sehingga penelitian dengan metode ini lebih
ditekankan pada penjelasan lebih mendalam terhadap objek penelitiannya.18
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan/libarary research yang berupa data sekunder, yaitu berasal dari buku, jurnal, surat
kabar, maupun internet terkait dengan topik penelitian skripsi ini. Data-data yang diperoleh
selanjutnya diolah berdasarkan topik penelitian dalam skripsi ini. Lalu dianalisa dengan
menggunakan kerangka teori sesuai dengan topik penelitian skripsi ini, sehingga hasil analisanya
dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini.
18Anselm Strauss & Juliet Corbin, 2003, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 39.
26
G. Sistematika Penulisan
Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari penyataan masalah yang membahas secara
umum tentang kondisi industri kelapa sawit Indonesia. Pembahasan selanjutnya yaitu pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian,
dan yang terakhir sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang bentuk-bentuk penolakan industri kelapa sawit Indonesia. Salah
satunya tentang aksi RSPO terkait produk kelapa sawit Indonesia. Selanjutnya yang akan dibahas
adalah usaha Perancis sebagai anggota RSPO yang berencana akan menaikkan pajak terhadap
produk kelapa sawit Indonesia, sebelum terbentuknya CPOPC, serta aksi non-state actor terkait
isu lingkungan pada tahun 2015 sebagai bentuk protes atas industri kelapa sawit Indonesia.
Bab III membahas tentang kebijakan Indonesia memprakarsai pembentukan Council of
Palm Oil Producing Countries (CPOPC). Bab ini terdiri dari proses berdirinya CPOPC yang
dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu periode ide awal pembentukan CPOPC, periode
pertemuan tingkat menteri, periode kesepakatan CPOPC, dan periode pelaksanaan CPOPC, serta
kebijakan Indonesia memprakarsai pembentukan CPOPC yang terbagi ke dalam dua aspek, yaitu
aspek internal dan eksternal.
Bab IV membahas tentang analisis kebijakan Indonesia dalam memprakarsai CPOPC terkait
isu lingkungan tahun 2015 yang dibahas dengan menggunakan konsep kebijakan luar negeri,
serta konsep kepentingan nasional. Kepentingan nasional yang digunakan adalah kepentingan
ekonomi dan kepentigan tata internasional.
Bab V merupakan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Pada bagian ini
juga termasuk intisari dari Bab I sampai dengan Bab IV yang dilengkapi dengan data tambahan
yang berfungsi sebagai penguat argumen penulis.
27
BAB II
BENTUK-BENTUK PENOLAKAN INDUSTRI
KELAPA SAWIT INDONESIA
A. Kebijakan RSPO Terkait Tata Kelola Kelapa Sawit Indonesia
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) merupakan lembaga sertifikasi yang
dikeluarkan oleh negara-negara Uni Eropa terhadap produk minyak nabati, termasuk minyak
kelapa sawit atau Crude Palm Oil. Alasan dibalik penerbitan sertifikasi RSPO ini adalah adanya
dugaan kehancuran hutan hujan tropis yang selama ini banyak dihasilkan dari hasil memotong
dan membakar pohon yang dilakukan oleh produsen kelapa sawit, terutama para produsen yang
beroperasi di Indonesia dan Malaysia, di mana kedua negara ini merupakan produsen kelapa
sawit dunia dengan jumlah produksi sebesar 84% pada tahun 2014 menurut data dari FAOstat,
seperti yang digambarkan pada diagram lingkaran di bawah ini.19
Untuk menghambat kehancuran hutan tersebut maka telah dilakukan berbagai usaha oleh
berbagai pihak, mulai dari antara Government to Government (GtoG) maupun Non-Government
Organization to Non-Government Organization (NGO to NGO) dalam bentuk regulasi,
perjanjian, dan juga kampanye-kampanye. Beberapa kerusakan lahan kelapa sawit tersebut
ternyata menuai banyak tanggapan, salah satu diantaranya oleh Roundtable on Sustainable Palm
Oil (RSPO), sebuah organisasi internasional yang didirikan pada tahun 2004 di Swiss yang
beranggotakan para pengusaha minyak nabati dan multistakeholder, serta ide awal pendirian
RSPO digagas oleh World Wide Fun for Nature (WWF) pada tahun 2001.20
Nilai-nilai yang
diadopsi oleh RSPO bersumber dari nilai-nilai yang terdapat dalam Millenium Development
19Helena Ivanic and Lian Pin Koh, “Evolution of sustainable palm oil policy in Southeast Asia”. Cogent Enviromental
Science, 2, (Mei 2016) : 4.
20http://www.rspo.org/about, diakses pada 30 Maret 2017, pukul 14.15 WIB
28
Goals (MDGs) yang membahas tentang people, planet, profit (3P) terkait Prinsip dan Kriteria
(P&C) pembudidayaan kelapa sawit berkelanjutan.21
RSPO juga dibentuk karena banyaknya protes keras yang dilakukan oleh para
non-governmental organization (NGO) terhadap hancurnya hutan hujan tropis khususnya dalam
memenuhi kebutuhan hasil kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan untuk beragam keperluan,
antara lain sebagai bahan dasar kosmetik, minyak goreng, dan terutama untuk campuran bahan
bakar biofuel.22
Dalam menanggulangi kehancuran hutan hujan tropis RSPO mengadopsi prinsip yang
signifikan yaitu produsen kelapa sawit tidak boleh menjalankan operasionalnya di dalam
kawasan hutan alami atau High Conservation Value (HCV).23
Nilai-nilai ini dicerminkan dari
dikeluarkannya peraturan bahwa produsen-produsen sawit harus memiliki tiga sertifikasi yang
dikeluarkan oleh RSPO agar dapat melakukan transaksi jual beli sawit di wilayah kerja RSPO.
Proses sertifikasi awal RSPO tersebut adalah segregation process, main balance process, dan
book & claim process.24
Pengertian tentang ketiga proses awal sertifikasi RSPO tersebut perlu diperjelas untuk
mengetahui perbedaan antara ketiga sertifikasi tersebut, terutama bagi kalangan pengusaha sawit
agar mereka dapat beroperasi secara jelas dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Proses
sertifikasi yang pertama adalah the segregation process, merupakan cara yang dilakukan untuk
21 http://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/library/environment_energy/studi-bersama-persamaan-dan-perbedaan
-sistem-sertifikasi-ispo-da.html, diakses pada 30 Maret 2017.
22Vimukthi Nupearachchi, “The Role of RSPO towards Sustainability in the Palm Oil Industry: A Case Study about
Indonesia,” The IMRE Journal, 8, (Januari 2014) : 5.
23Helena Ivanic and Lian Pin Koh, “Evolution of sustainable palm oil policy in Southeast Asia”, Cogent Enviromental
Science, 2, (Mei 2016) : 7.
24Vimukthi Nupearachchi, “The Role of RSPO towards Sustainability in the Palm Oil Industry: A Case Study about
Indonesia,” The IMRE Journal, 8, (Januari 2014) : 8.
29
mendapatkan sertifikasi RSPO dengan menyaring minyak sawit secara murni dalam buah sawit
tanpa mencampur dengan jenis minyak sayur lainnya. Proses sertifikasi pada saat pengujian
tersebut bisa digabung dengan sertifikasi minyak sayur lainnya, namun kelebihan dari proses ini
adalah hasil pengujiannya murni dari sisi minyak sawit dan tidak digabungkan dengan hasil jenis
minyak nabati lainnya. Hasil pengujian sertifikasi ini menjadikan para pengusaha sawit
menerima hasil akhir minyak sawit bersertifikasi sebesar 100%.25
Proses yang kedua adalah M ass Balance Process, merupakan cara yang dilakukan untuk
menguji kualitas minyak kelapa sawit yang memiliki sertifikasi dan dapat digabungkan
pengujiannya dengan minyak kelapa sawit yang tidak bersertifikasi, tetapi hasilnya tetap
berdasarkan jumlah minyak sawit bersertifikasi. Hasil dari pengujian tersebut nantinya akan
dibagi menjadi dua bagian berdasarkan besarnya volume, jika hasil volumenya sama dengan
hasil yang bersertifikasi pada saat pengujian awal maka hasilnya tetap bersertifikasi, sedangkan
sisanya yang terjual tidak termasuk ke dalam jenis minyak sawit bersertifikasi.26
Proses sertifikasi yang ketiga adalah Book and Claim Process, merupakan cara yang terakhir
untuk mendapatkan sertifikasi awal RSPO. Cara penjualan sertifikasi ini terpisah dari penjualan
fisik minyak sawit. Artinya adalah ketika para pengusaha sawit yang ingin menjual produk
mereka kepada pembeli yang tidak tertarik dengan pembelian sesuai mekanisme RSPO, maka
pengusaha sawit dapat mengalihkan penjualan minyak sawitnya kepada pihak lain yang setuju
dengan penjualan sesuai mekanisme RSPO. Para pembeli yang setuju dengan mekanisme
penjualan RSPO bertujuan untuk mengimbangi para pengusaha yang tidak setuju dengan
mekanisme penjualan RSPO. Bagi para pengusaha yang setuju dengan mekanisme penjualan
25WWF, CDC & FMO Report, 2012, “Profitability and Sustainability in Palm Oil Production; Analysis of Incremental
Financial Costs and Benefits of RSPO Compliance”, Jakarta: WWF Foundation, hal. 20.
26WWF, CDC & FMO Report, 2012, “Profitability and Sustainability in Palm Oil Production; Analysis of Incremental
Financial Costs and Benefits of RSPO Compliance”, Jakarta: WWF Foundation, hal. 20.
30
RSPO tersebut menganggap biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikasi ini tergolong
murah.27
Adapun perbedaan antara ketiga proses awal sertifikasi RSPO tersebut dapat dilihat dalam
tabel seperti di bawah ini:
Tabel II.A.1. Perbandingan Biaya Relatif dan Manfaat Mekanisme Rantai Pasokan
Sertifikasi Minyak Kelapa Sawit
Sumber: WWF, FMO, CDC Report March, 2012
Berdasarkan tabel di atas bisa terlihat bahwa sertifikasi awal RSPO yaitu segregated process
lebih bisa diandalkan dibandingkan proses sertifikasi lainnya. Meskipun biaya pengujiannya
lebih mahal dibandingkan proses sertifikasi lainnya namun hasil dari pengujian tersebut lebih
mengarah kepada unsur-unsur minyak kelapa sawit.
Kedua, Mass Balance Process menempati urutan kedua karena masih menjadikan
unsur-unsur minyak kelapa sawit sebagai tolak ukur. Hasil pengujian ini juga menjadikan hasil
CSPO sebagai panduan tambahan karena hasil dari pengujian menggunakan CSPO dapat
27WWF, CDC & FMO Report, 2012, “Profitability and Sustainability in Palm Oil Production; Analysis of Incremental
Financial Costs and Benefits of RSPO Compliance”, Jakarta: WWF Foundation, hal. 20.
31
memenuhi unsur-unsur yang masih terdapat dalam rantai pasokan minyak kelapa sawit. Ketiga,
adalah book and claim process yang merupakan cara bagi para pengusaha sawit dalam mengisi
kekosongan antara yang memiliki sertifikat CSPO maupun tidak. Cara ini dilakukan oleh para
pengusaha minyak kelapa sawit sebagai cara untuk memanfaatkan biaya sertifikasi yang
tergolong murah serta tidak akan merugikan berbagai pihak.
Dengan adanya proses sertifikasi awal RSPO ini bisa disimpulkan bahwa RSPO memiliki
sikap diskriminatif yaitu berupa sikap yang menunjukkan lebih mengutamakan kepentingan
ekonomi para pengusaha Eropa yang merasa tersaingi oleh kehadiran kelapa sawit Indonesia di
pasar Eropa, sehingga dikhawatirkan pasar minyak nabati Eropa akan hilang. Oleh karena itu
produk sawit Indonesia sebelum adanya CPOPC mengalami hambatan yang mengakibatkan
tidak bisa menembus pasar Eropa karena ketatnya syarat yang ditentukan oleh RSPO serta
berdampak kepada anjloknya harga sawit lokal.
B. Aksi Individu Perancis sebagai Anggota RSPO Terkait Kelapa Sawit Indonesia
Aksi RSPO yang sudah dijelaskan sebelumnya direspon lebih besar oleh Perancis yang
merupakan anggota RSPO pada tahun 2015. Perancis sempat memiliki wacana untuk menaikkan
pajak impor atas produk kelapa sawit Indonesia, rencana tersebut berupa menaikkan tarif pajak
setiap tahunnya untuk produk kelapa sawit Indonesia yang dimulai pada tahun 2017 sebesar 30
euros, kemudian naik menjadi 20 euros per tahun sampai dengan 90 euros pada tahun 2020.28
Kebijakan pemerintah Perancis yang tertuang dalam Amandemen no. 367 tentang penerapan
pajak tambahan bagi produk kelapa sawit Indonesia disertai dengan beberapa alasan. Beberapa
alasan tersebut antara lain adanya isu lingkungan yang terjadi di Indonesia ketika membuka
lahan untuk kelapa sawit, seperti penggundulan hutan, kerusakan keanekaragaman hayati,
28Diambil dari http://www.reuters.com/article/us-france-palmoil-idUSKCN0WK09T, 29 Maret 2017, pukul 16.55 WIB.
32
pemanasan global dan pembunuhan terhadap orang utan, selain itu isu kesehatan juga menjadi
alasan lain karena adanya kandungan asam lemak yang terdapat dalam kelapa sawit.29
Dari banyaknya isu lingkungan dan kesehatan terkait produk kelapa sawit Indonesia di
Perancis, menurut penelitian Credoc masyarakat Perancis lebih dipengaruhi oleh isu kesehatan
dibandingkan isu lingkungan, kemudian menurut penelitian d‟Astorg sejak tahun 2014
masyarakat Perancis mulai beralih ke isu lingkungan.30
Gambar II.B.1: Isu yang Menjadi Perhatian Masyarakat Perancis terhadap Kelapa Sawit
Pada Tahun 2014
Sumber: Astor, 2015
Dari gambar di atas terlihat pada tahun 2014 isu kesehatan terlihat lebih mondominasi
ketakutan warga Perancis sebesar 43% jika dibandingkan dengan isu lingkungan sebesar 32%
terhadap produk kelapa sawit Indonesia. Kemudian pada tahun 2015 terlihat dari gambar di atas
29Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, “Nutella Tax”; Analisa Perdagangan Minyak Kelapa Sawit: Peluang dan
polemiknya di Perancis; Market Intelligence 2016, dikutip dari
http://www.itpclyon.fr/images/mark_int/20160909095902Market-intellegence-sawit.pdf, 1 April 2017 pukul 15.08 WB, hal. 20
30D‟ASTORG, Laure. Health & Palm Oil in France: how to stop and prevent misleading information?. EPOC, Oktober
2015, dikutip dari http://www.itpclyon.fr/images/mark_int/20160909095902Market-intellegence-saw,it.pdf, tanggal 1 April
2017, pukul 15.41 WIB.
33
isu lingkungan sebesar 71% lebih mendominasi dari pada isu kesehatan sebesar 15%. Sehingga,
kedua alasan diatas bisa disimpulkan menjadi alasan kuat pemerintah Perancis yang sempat akan
menerapkan nilai pajak tambahan kepada produk kelapa sawit Indonesia sebelum adanya
CPOPC.
Alasan masyarakat Perancis yang melihat faktor kesehatan sebagai penghambat produk
kelapa sawit Indonesia terhambat masuk ke pasar Eropa, terlihat dari data pada tabel di bawah
ini, yaitu adanya kandungan yang terdapat pada minyak kelapa sawit tersebut. Jumlah persentase
lemak jenuh (saturated fat) minyak sawit lebih tinggi dibandingkan jumlah persentase minyak
nabati lainnya, sehingga jika semakin tinggi angka persentase tersebut maka dapat memengaruhi
kesehatan manusia. Hal itu dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel II.B.2: Perbandingan Kandungan Lemak pada Minyak Nabati
Sumber: Nutria Strategy, 2016
Maka bisa disimpulkan bahwa pendapat masyarakat Perancis terhadap minyak sawit
Indonesia dari segi kesehatan bisa menjadi faktor utama pemerintah Perancis mengeluarkan
kebijakan berupa penerapan pajak tambahan bagi produk kelapa sawit Indonesia. Sehingga,
kebijakan ini pastinya menguntungkan negara-negara penghasil minyak nabati selain sawit,
antara lain minyak zaitun, bunga matahari, dan rapeseed. Negara-negara tersebut adalah negara
anggota Uni Eropa sekaligus menjadi anggota RSPO.
34
Alasan dibalik kebijakan Perancis yang sempat akan menerapkan pajak tambahan tersebut
adalah produksi minyak nabati negara anggota Uni Eropa tidak dapat mendominasi permintaan
minyak nabati di Eropa dan juga biaya produksi minyak non-sawit tersebut tergolong tinggi,
sehingga Perancis yang merupakan produsen minyak non-sawit tersebut berusaha melindungi
pasar dalam negerinya dan juga ikut melindungi produksi minyak non-sawit di negara anggota
Uni Eropa Selanjutnya tujuan utama dari penerapan kebijakan pemerintah Perancis tersebut
adalah untuk mengurangi dominasi produk sawit Indonesia di Eropa.
Kebijakan ini tentunya mendapat penolakan dari Indonesia selaku produsen sekaligus
pengekspor sawit di pasar minyak global, begitu pun Malaysia yang merupakan produsen sawit
nomor dua di dunia menolak kebijakan Perancis tersebut. Alasan penolakan kedua negara
tersebut dirasa karena diskriminatif serta terdapat perbedaan penafsiran penerapan pajak
tambahan antara WTO dan Uni Eropa terhadap produk kelapa sawit Indonesia dan Malaysia
terutama Indonesia.31
Sebelum adanya pembatalan terhadap kebijakan Perancis terhadap produk kelapa sawit
Indonesia, parlemen Perancis sempat akan menerapkan pajak tambahan terhadap produk kelapa
sawit Indonesia. Langkah parlemen Perancis tersebut adalah dengan menaikkan pajak sebesar
300 euros per ton yang didukung oleh kebijakan Mahkamah Agung Perancis, berupa
undang-undang yang berisi dasar hukum bagi parlemen Perancis yang bertujuan melindungi
hutan dan kehidupan satwa liar dari kehancuran dan kepunahan.32
31D‟ASTORG, Laure. Health & Palm Oil in France: how to stop and prevent misleading information?. EPOC, Oktober
2015, dikutip dari http://www.itpclyon.fr/images/mark_int/20160909095902Market-intellegence-saw,it.pdf, tanggal 1 April
2017, pukul 15.41 WIB.
32 http://positivedaily.com/france-implements-tax-on-palm-oil-to-protect-indonesian-rainforests-and-orangutans, diakses
pada 30 Maret 2017 pukul 15.00 WIB.
35
Langkah parlemen Perancis dengan menaikkan pajak sebesar 300 euros per ton sebagai cara
penyelamatan satwa liar dari kepunahan dan kehancuran didukung oleh fakta bahwa dalam 10
tahun terakhir populasi orangutan telah menurun sebesar 50% sebagai dampak hilangnya habitat
mereka, kemudian sekitar 6,300 orangutan Sumatra tersisa di hutan Sumatera akibat pembukaan
lahan untuk perkebunan kelapa sawit.33
Dampak dari adanya penerapan kebijakan pemerintah Perancis tersebut dapat mengganggu
kegiatan produksi kelapa sawit Indonesia, sehingga produk kelapa sawit Indonesia tidak dapat
bersaing dengan minyak nabati produksi negara anggota Uni Eropa. Dari sisi sosial para petani
sawit akan kehilangan pekerjaan karena perusahaan kelapa sawit tidak bisa membayar upah
petani sawit akibat biaya yang harus ditanggung untuk menutupi biaya ekspor minyak sawit ke
pasar Eropa. Pada akhirnya harga produk kelapa sawit Indonesia di Eropa akan lebih tinggi
dibandingkan harga pasaran sebelum pemerintah Perancis menerapkan kebijakan penambahan
pajak tersebut.
Pemerintah Indonesia ketika mengetahui wacana penerapan kebijakan pemerintah Perancis
tersebut, langsung bergerak cepat untuk menyelesaikan wacana tersebut. Upaya-upaya yang
dilakukan antara lain mengirimkan nota protes melalui Kementerian Perdagangan kepada duta
besar Perancis di Jakarta, kemudian pemerintah Indonesia mengirimkan delegasi ke Eropa
sebagai upaya untuk berunding dengan para petinggi pejabat Eropa. Langkah terakhir dari upaya
Indonesia adalah melakukan diplomasi ekonomi ke beberapa negara sebagai upaya untuk
memperkenalkan produk minyak kelapa sawit yang berkelanjutan, selain itu pemerintah
Indonesia dan Malaysia yang juga pengekspor kelapa sawit melaporkan aksi pemerintah Perancis
tersebut kepada WTO yang merupakan lembaga tertinggi dalam bidang perdagangan di
33http://www.onegreenplanet.org/news/france-imposes-new-tax-on-palm-oil-imports/, diakses pada 30 Maret 2017 pukul
18.05 WIB.
36
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas dugaan perlakuan diskriminatif terhadap produk kelapa
sawit Indonesia dan Malaysia.
Produk kelapa sawit berkelanjutan merupakan program pemerintah Indonesia sejak tahun
2011. Program tersebut dinamakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bertujuan
untuk menjadi pedoman bagi para pengusaha sawit dalam menjalankan kegiatan operasional
mereka di pabrik sawit. Tujuan lain dari adanya ISPO ini bagi pemerintah Indonesia sebagai cara
untuk mempromosikan produk kelapa sawit berkelanjutan ke pasar Eropa, serta sebagai pesaing
CSPO yang merupakan lembaga sertfikasi minyak nabati di pasar Eropa.
C. Aksi Non-State Actor terkait Isu Lingkungan
Dalam hubungan internasional tidak hanya negara yang melakukan kerjasama dengan
negara lain, akan tetapi kerjasama juga dapat dilakukan oleh non-state actor yang merupakan
pihak ketiga. Non-state actor dalam operasional keorganisasian satu diantaranya adalah
non-government organization (NGO). Peran NGO pada harapannya adalah untuk memberikan
masukan dan pengawasan terhadap pelaksanaan suatu kebijakan. Hal ini tentunya akan menjadi
keuntungan besar bagi suatu negara.
Dalam penelitian ini aktor atau NGO yang terlibat antara lain adalah Greenpeace.
Greenpeace merupakan NGO internasional yang memiliki banyak kantor cabang di berbagai
negara yang peduli terhadap isu-isu lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah kondisi
lingkungan yang menjadi objek penelitian.
37
Greenpeace sejak lama telah melakukan penelitian tentang kondisi perkebunan kelapa
sawit Indonesia terutama tentang dugaan penggundulan hutan yang banyak terjadi di hutan
Indonesia.34
Fokus kepedulian NGO ini pada kondisi lingkungan dimana perkebunan tersebut
dikelola. Apakah perkebunan tersebut juga memperhatikan lingkungan sekitarnya atau hanya
melihat pertumbuhan pohon kelapa sawit tanpa memperhatikan lingkungan sekitar perkebunan
sawit seandainya pohon kelapa sawit telah masuk masa usang atau masa tanpa produksi.
Tentunya hasil penelitian tersebut juga akan memberikan dampak pada aspek ekonomis
hasil produksi minyak sawit Indonesia, seandainya dari hasil penelitian tersebut memberikan
bukti tentang banyaknya penggundulan hutan akibat kurangnya kepedulian perusahaan pengelola
kelapa sawit terhadap lingkungan kawasan perkebunan sawit. Data dari hasil penelitian tersebut
juga dapat digunakan untuk negara pesaing produksi minyak untuk menjatuhkan nilai produksi
minyak sawit Indonesia.
Kegiatan Greenpeace lainnya yang berkaitan dengan perlindungan hutan kelapa sawit
adalah para aktivis Greenpeace memantau kegiatan perusahaan kelapa sawit, antara lain Posco
Daewoo and Goodhope yang diduga menyalahi aturan dan prosedur saat melaksanakan kegiatan
operasionalnya dalam hal tata kelola lingkungan. Kedua perusahaan tersebut memainkan peran
penting dalam penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit untuk perusahaan masing-masing di
Indonesia.35
34 http://www.greenpeace.org/international/Global/international/publications/forests/2017/GP_DirtyBankers_Report_LowR
es_BAH.pdf, 3.
35 http://www.greenpeace.org/international/Global/international/publications/forests/2017/GP_DirtyBankers_Report_LowR
es_BAH.pdf, 5.
38
Greenpeace melakukan pemantauan terhadap kegiatan perusahaan tersebut dengan tujuan
untuk melihat apakah kegiatan operasional perusahaan tersebut memerhatikan kelestarian
lingkungan atau tidak.36
Nantinya, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kedua
perusahaan tersebut tidak memerhatikan kelestarian lingkungan di sekitar lahan perkebunan
sawit.37
Banyaknya sorotan masyarakat internasional terhadap pengelolaan kelapa sawit di
Indonesia membuat Indonesia perlu mempertimbangkan suatu kebijakan yang akan menjamin
dan melindungi perluasan pasar minyak kelapa sawit Indonesia ke pasar yang lebih luas lagi.
Kebijakan yang dimaksud bisa merupakan perbaikan kesepakatan hubungan kerjasama di bidang
perekonomian, atau membentuk suatu organisasi yang bersifat sebagai pelindung kebijakan pasar
secara makro serta pembangunan secara berkelanjutan.38
Protes lainnya yang dilakukan Greenpeace adalah meminta para pengusaha sawit untuk
memerhatikan kelestarian lingkungan di dalam proses produksinya. Selain itu, para aktivis
Greenpeace juga meminta pemerintah Indonesia agar dapat menghukum perusahaan pelaku
pembakaran lahan dengan cara mencabut izin usaha perusahaan, mendenda perusahaan tersebut,
serta meminta pertanggungjawaban perusahaan agar dapat melakukan reboisasi, sehingga lahan
yang merupakan hutan hujan tropis dapat berfungsi dengan baik dalam menjaga kelestarian
lingkungan.39
36 http://www.greenpeace.org/international/Global/international/publications/forests/2017/GP_DirtyBankers_Report_LowR
es_BAH.pdf, 7.
37 http://www.greenpeace.org/international/Global/international/publications/forests/2017/GP_DirtyBankers_Report_LowR
es_BAH.pdf, 5.
38Aridik Bou, Strategi Ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia di Eropa, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume
5, Nomor 1, 2017: 191-206, 192.
39Santi Rosita Devi dan Andrinof F. Chaniago, 2012, Gerakan Anti Sawit Greenpeace Pada Tahun 2008-2010, Ilmu
Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 10.
39
BAB III
KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA DALAM MEMPRAKARSAI
COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC)
A. Proses Berdirinya CPOPC
1. Periode Ide Awal Pembentukan CPOPC
Sebagai produsen utama minyak sawit dunia, Indonesia memiliki kendala-kendala dalam
mengembangkan kemampuan bisnis minyak dalam skala global. Selama ini pasar CPO dunia lebih
banyak ditentukan oleh para importir. Para importir bukan saja mematok harga, tetapi juga
mengatur soal mutu, tata cara budi daya kelapa sawit, dan sebagainya. Hal ini dirasa tidak adil oleh
negara-negara produsen minyak kelapa sawit. Dengan kondisi yang tidak menguntungkan tersebut
maka perlu ada langkah-langkah nyata untuk menjadikan negara-negara produsen minyak kelapa
sawit memiliki daya jual dan saing yang kuat di pasar minyak nabati internasional.40
Oleh karenanya, Indonesia memprakarsai sebuah wadah untuk memperjuangkan kepentingan
minyak sawit nasional bersama beberapa negara penghasil kelapa sawit dengan kepentingan dan
keluhan yang sama, yaitu dengan membentuk Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC).
Melalui proses yang panjang maka terbentuklah CPOPC. Organisasi CPOPC dibentuk oleh dua
negara penggagas, yaitu Indonesia-Malaysia dengan tujuan mengendalikan harga minyak kelapa
sawit global. Lewat Dewan ini, daya saing dan harga CPO Indonesia-Malaysia di pasar
internasional diharapkan akan lebih baik. Dengan demikian, diharapkan kondisi perekonomian di
bidang perkebunan akan semakin maju dan meningkat, dan tidak hanya itu nasib dan kesejahteraan
petani pun akan semakin terjamin.
40http://www.republika.co.id/berita/koran/ekonomi-koran/15/11/23/ny9fo73-rimalaysia-bentuk-dewan-sawit, diakses pada
30 April 2017 pukul 13.00 WIB.
40
Secara umum, organisasi internasional di bidang minyak sawit itu bertujuan untuk
meningkatkan daya saing industri strategis minyak sawit dan praktik pengelolaan yang
memperhatikan kelestarian lingkungan. Konsentrasi terbesar CPOPC adalah meningkatkan
kesejahteraan petani kecil. Dengan menyeimbangkan dan menyelaraskan tiga komponen tersebut,
harapannya akan memaksimalkan potensi minyak kelapa sawit sebagai industri strategis. Semua
itu dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang lebih besar bagi seluruh umat manusia,
khususnya para petani sawit dalam skala kecil.41
Para petani sawit dalam skala kecil tersebut banyak yang bekerja di lahan perkebunan kelapa
sawit milik perusahaan kelapa sawit. Ketergantungan para pengusaha sawit terhadap tenaga para
petani sawit cukup tinggi, karena hingga saat ini proses pembudidayaan kelapa sawit masih
menggunakan cara tradisional, terutama memasuki masa panen. Keterlibatan para petani sawit
kecil dengan para pengusaha kelapa sawit tersebut juga merupakan peraturan pemerintah
Indonesia yang mewajibkan para perusahaan kelapa sawit menyediakan lapangan pekerjaan bagi
penduduk yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit.
Berhasil atau tidaknya hasil panen kelapa sawit oleh para petani sawit juga bisa memengaruhi
penerimaan devisa negara. Devisa Indonesia saat ini di sektor migas mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan penerimaan pajak di sektor non-migas. Pemerintah Indonesia saat ini juga
berusaha meningkatkan devisa negara dari sektor non-migas, sebagai upaya untuk menciptakan
energi terbarukan. Berkat adanya potensi yang terkandung dalam kelapa sawit maka pemerintah
41http://bisnis.liputan6.com/read/2372240/ri-malaysia-dirikan-dewan-negara-penghasil-minyak-sawit, diakses pada 1 Mei
2017, pukul 14.00 WIB.
41
Indonesia giat mengadakan diplomasi ekonomi sebagai cara untuk mempromosikan kelapa sawit
di tingkat internasional.
Dengan cara tersebut maka pemerintah Indonesia bisa menaikkan posisi tawar (bargaining
position) di tingkat internasional. Pemerintah Indonesia juga saat ini berupaya mengedepankan
kerjasama ekonomi dengan berbagai negara sebagai cara untuk mempromosikan produk kelapa
sawit dan juga produk turunannya. Para pengusaha kelapa sawit yang juga merupakan bagian dari
pembentukan CPOPC tergabung ke dalam sebuah organisasi kelapa sawit. Salah satu organisasi
tersebut adalah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang merupakan rekanan
pemerintah Indonesia dalam mengatur tata kelola sawit.
GAPKI yang terdiri dari para pengusaha sawit tersebut memainkan peran penting dalam roda
industri kelapa sawit. Para pengusaha tersebut juga bekerja sama dengan pemerintah dengan
mengadakan penyesuaian peraturan yang dibuat antara GAPKI dengan pemerintah Indonesia.
Maka kehadiran CPOPC sangat menentukan naik atau turunnya kerjasama pemerintah dengan
GAPKI maupun dengan asosiasi pengusaha sawit lain. Kehadiran CPOPC bagi Indonesia juga
menjadi cara agar para petani sawit Indonesia dapat terlindungi haknya baik dari sisi ekonomi,
kemanusiaan, maupun sosial. Kehadiran petani yang diwakili oleh para pengusaha sawit di
CPOPC juga menjadi cara bagi pemerintah Indonesia untuk mengutamakan kepentingan nasional
ketika mengeluarkan suatu kebijakan terkait kelapa sawit.
Malaysia yang juga sebagai produsen kelapa sawit setelah bergabung ke dalam CPOPC juga
menjadi harapan pemerintah Indonesia sebagai upaya untuk menguatkan kerjasama di bidang tata
kelola sawit. Kerjasama yang terjalin antara pemerintah kedua negara tentunya diharapkan oleh
para produsen kelapa sawit, agar dapat mempertahankan posisinya sebagai produsen serta tidak
bergantung dengan aturan para importir kelapa sawit. Negara importir tersebut adalah negara
42
anggota Uni Eropa yang memiliki sertifikasi minyak nabati sendiri, sehingga negara-negara
tersebut dengan leluasa dapat mengeluarkan peraturan sesuai dengan standar mereka.
Seiring dengan meningkatnya pemintaan akan kelapa sawit minyak nabati dunia maka para
pengusaha sawit Indonesia dituntut untuk bisa memenuhi kebutuhan pasar tersebut. Kehadiran
CPOPC bagi pengusaha sawit Indonesia sebagai cara agar daya saing antar pengusaha sawit dapat
meningkat, lalu dari sisi produksi pengusaha sawit Indonesia dapat mencapai target sesuai standar
internasional, sehingga pada akhirnya para pengusaha sawit tetap dapat beroperasi sebagaimana
mestinya.
2. Periode Pertemuan Tingkat Menteri
Diawali dengan instruksi Presiden Joko Widodo kepada Rizal Ramli yang saat itu sedang
menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, Indonesia menemui
Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak untuk membahas CPO di Kuala Lumpur, Malaysia.
Sebelumnya bukannya tidak pernah ada upaya ke arah sana namun di era Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), berkali-kali pertemuan diselenggarakan kedua negara untuk
menjajakinya. Namun sejauh itu, berbagai rapat dan pertemuan tadi boleh disebut tidak
menghasilkan keputusan berarti. Gagasan pembentukan wadah bersama juga terus sebatas wacana
yang belum ada kejelasan akan perwujudannya.
Langkah Pemerintah Indonesia melalui dutanya Menteri Rizal Ramli, Menteri Koordinator
Bidang Maritim dan Sumber Daya mendapat sambutan positif dari pemerintah Malaysia. Bahkan
mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad memuji insiatif pembentukan CPOPC.
Menurut Mahathir, kerjasama itu bagus dan perlu untuk menghadapi tekanan asing terhadap
43
industri minyak sawit Malaysia dan Indonesia. Sambutan positif itu diwujudkan dengan
serangkaian pertemuan teknis hingga senior official meeting (SOM) kedua negara.42
Hasilnya, dibentuklah CPOPC yang merupakan organisasi kerjasama Indonesia-Malaysia
terkait pengelolaan hasil minyak kelapa sawit kedua negara yang bertujuan untuk
mempromosikan, membangun, dan memperkuat kerja sama industri minyak kelapa sawit dengan
negara-negara anggota untuk menjamin kontribusi industri tersebut terhadap pembangunan
ekonomi serta kemakmuran rakyat.
Dewan tersebut akan berperan mempromosikan pengembangan industri kelapa sawit di
kalangan para pihak di negara produsen, mendorong kesejahteraan petani kecil, dan membangun
serta membentuk kerangka global minyak sawit yang berkelanjutan. CPOPC juga
mempromosikan kerja sama dan investasi dalam membangun kawasan industri minyak kelapa
sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan serta mengatasi hambatan dalam perdagangan
komoditas tersebut.
Hambatan dalam perdagangan komoditas tersebut antara lain adanya pembatasan impor dari
benua Eropa dan Amerika terkait produk kelapa sawit Indonesia, kemudian adanya tuduhan
kampanye hitam (black campaign) terhadap produk kelapa sawit Indonesia dengan beragam
alasan. Tentunya hambatan-hambatan tersebut dapat mempengaruhi penjualan produk kelapa
sawit Indonesia di pasar internasional dan dapat mempengaruhi pasar domestik sawit Indonesia.
42https://www.merdeka.com/uang/operasional-organisasi-cpo-indonesia-malaysia-selangkah-lagi.html, diakses pada 2 Mei
2017, pukul 13.00 WIB.
44
Oleh karena itu, pertemuan tingkat menteri yang telah disebutkan di atas merupakan tanda
keseriusan kedua negara untuk mengadakan kerjasama terkait kelapa sawit. Kehadiran para
menteri kedua negara dapat diartikan bahwa ada komitmen antara Indonesia dan Malaysia untuk
mempromosikan CPOPC dengan berbagai cara agar produk kelapa sawit Indonesia dapat diterima
di pasar minyak sayur lainnya.
Pertemuan para menteri tersebut juga menjadi ajang pembuktian bahwa Indonesia dan
Malaysia berkomitmen untuk menyelenggarakan kegiatan operasional minyak sawit secara
berkelanjutan, khususnya Indonesia karena merupakan produsen terbesar minyak sawit di dunia.
Kemudian dari pertemuan tingkat menteri tersebut menjadi cara agar kedua negara dapat
menyamakan standarisasi sawit sehingga akan tercipta tata kelola sawit yang satu.43
Dampak lain dari adanya pertemuan tingkat menteri tersebut sebagai cara bagi kedua negara
yang merupakan negara berkembang dapat berdiri sejajar dengan negara maju, terutama di bidang
perdagangan karena setiap negara memiliki kepentingan ekonomi untuk memajukan kesejahteraan
negara dan warga negaranya.
Pertemuan tingkat menteri kedua negara juga merupakan bentuk dukungan dari para
pengusaha sawit di kedua negara khususnya Indonesia. Para pengusaha kelapa sawit Indonesia
tersebut menggantungkan harapan kepada menteri yang hadir pada pertemuan tersebut, guna
memastikan kepentingan Indonesia terhadap kelapa sawit dapat disetujui dan dapat direalisasikan.
Tujuan lain dari pertemuan kedua menteri tersebut adalah agar para pengusaha dari Indonesia
43https://www.merdeka.com/uang/operasional-organisasi-cpo-indonesia-malaysia-selangkah-lagi.html, diakses pada 2 Mei
2017, pukul 14.00 WIB.
45
maupun Malaysia dan negara produsen lainnya dapat bersaing secara aman, kompetitif, serta
menguntungkan berbagai pihak.
3. Periode Kesepakatan CPOPC
Penandatanganan piagam pembentukan CPOPC di Kuala Lumpur, Malaysia yang merupakan
tanda pemersatu Indonesia dan Malaysia di bidang minyak kelapa sawit jelas bukan perkara
sederhana, pasalnya, selama puluhan tahun kedua negara bersaing sengit di pasar internasional
dalam hal pemasaran minyak kelapa sawit.
Indonesia dan Malaysia menandatangani piagam pembentukan Dewan Negara-Negara
Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) di Kuala Lumpur, hari Sabtu tanggal 21 November 2015.
Kesepakatan itu ditandatangani oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya
Indonesia Rizal Ramli dan Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Datuk Amar Douglas
Uggah Embas yang disaksikan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo dan Perdana Menteri
Malaysia Najib Tun Razak.
Pasca penandatanganan MoU CPOPC, menurut Rizal Ramli yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, akan nampak optimis dengan adanya
hasil yang sangat positif yaitu harga crude palm oil (CPO) sudah meningkat lebih dari USD 100
per ton. Sementara harga komoditas lainnya belum meningkat namun dampak lain dari adanya
penandatanganan MoU tersebut setelah Indonesia dan Malaysia bergabung dalam kesepakatan
CPOPC akan mampu menguasai pasar CPO dunia hingga 85 persen.44
Oleh karena itu, dampak dari adanya kesepakatan MoU tersebut bisa menjadi peluang bagi
Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia untuk merebut pasar minyak sawit internasional
secara menyeluruh. Ketersediaan lahan perkebunan yang masih luas serta masih murahnya gaji
44https://www.merdeka.com/uang/operasional-organisasi-cpo-indonesia-malaysia-selangkah-lagi.html, diakses pada 2 Mei
2017, pukul 15.00 WIB.
46
para pekerja kebun kelapa sawit sebagai modal tambahan bagi Indonesia untuk dapat menjadi
produsen sawit terbesar di dunia.
4. Periode Pelaksanaan CPOPC
Dalam pelaksanaannya, selain Indonesia dan Malaysia sebagai negara-negara pendiri,
anggota CPOPC terbuka bagi semua negara penghasil kelapa sawit, termasuk Brasil, Kolombia,
Thailand, Ghana, Liberia, Nigeria, Papua Nugini, Filipina, dan Uganda. Untuk kegiatan
operasional awal CPOPC, Indonesia dan Malaysia berkontribusi masing-masing sebesar lima juta
dolar Amerika Serikat (AS) sebagai dana awal. Sekretariat CPOPC ini akan berlokasi di Jakarta.
Pengelolaan sawit ke depan diharapkan dapat berkelanjutan, ramah lingkungan, serta mendukung
para petani dan pengusaha sawit skala kecil.
Airlangga Hartarto yang merupakan Menteri Perindustrian saat ini mengatakan akan dibuat
standarisasi operasional industri sawit mulai dari hulu atau kebun, hingga ke hilir atau proses
pengolahan. Selain itu, lanjut Panggah selaku Direktur Jenderal CPOPC Industri Agro
Kemenperin, juga akan membina petani sawit dari kedua negara untuk meningkatkan kapasitas
keahlian, melatih soal manajemen stok dan membentuk palm oil green economic zone.45
Kedua menteri juga mendeklarasikan Proposed Global Framework of Principles for
Sustainable Palm Oil yang diberi nama e+POP. e+POP terdiri dari 9 prinsip yang disusun dengan
memperhatikan hukum dan ketentuan yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Maksud
pembangunan berkelanjutan tersebut adalah harus mengutamakan kelestarian lingkungan, tidak
hanya membuka lahan untuk kelapa sawit namun juga perlu memerhatikan dampak kedepannya.46
45https://sawitindonesia.com/rubrikasi-majalah/berita-terbaru/empat-negara-produsen-sawit-akan-bergabung-dengan-cpopc,
diakses pada 3 Mei 2017, pukul 17.00 WIB.
46http://bisnis.liputan6.com/read/2372240/ri-malaysia-dirikan-dewan-negara-penghasil-minyak-sawit, diakses pada 3 Mei
2017, pukul 15.00 WIB.
47
B. Kehadiran ISPO sebagai Standar Minyak Sawit Berkelanjutan
Kelapa sawit termasuk salah satu jenis tanaman yang tumbuh di daerah tropis, dimana
tanaman ini juga memiliki tingkat produktivitas yang tinggi dan biaya produksi yang relatif rendah
dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lain seperti minyak kedelai, rapeseed
maupun bunga matahari. Pengembangan perkebunan di Indonesia, termasuk kelapa sawit,
ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan dan devisa
negara, menyediakan lapangan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya
saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku dalam negeri, mendorong pengembangan
wilayah serta mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan47
Pengembangan kelapa sawit di Indonesia dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip
pembangunan perkebunan berkelanjutan sesuai dengan peraturan yang berlaku yang
dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian Indonesia Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015. Hal
demikian digunakan sebagai pengantar untuk melaksanakan dan melakukan penilaian tentang
pembangunan kelapa sawit di Indonesia yang disusun oleh Indonesian Sustainable Palm Oil
(ISPO). Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan suatu konsep kebijakan yang
diambil oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit
di pasar dunia yang dibentuk pada tahun 2011. ISPO merupakan standar nasional bagi negara
Indonesia untuk memastikan semua pihak pengusaha kelapa sawit telah memenuhi standar
pertanian yang diizinkan berdasarkan ketentuan sertifikasi sesuai International Standardization
Organization (ISO).
47 Indonesia Investments. “Palm Oil Commodities”, 2016, [online] dalam
http://www.indonesia-investments.com/business/commodities/palm-oil/item166.
48
Sertifikat yang diberikan melalui ISPO kepada pengusaha kelapa sawit diharapkan dapat
memudahkan penyesuaian produk minyak sawit Indonesia dengan produk yang sama dari
negara lain untuk dapat bersaing di pasar global. Diharapkan pula, pengusaha tersebut dapat
mengelola perkebunan kelapa sawitnya secara berkelanjutan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip yang ramah lingkungan, maksud dari prinsip-prinsip yang ramah lingkungan
tersebut yaitu para pengusaha sawit Indonesia selalu mengutamakan AMDAL ketika akan
membuka lahan perkebunan untuk sawit, kemudian melakukan kegiatan reboisasi bagi lahan
yang telah digunakan untuk penanaman kelepa sawit. Tujuan ditetapkannya ISPO ialah 1)
untuk meningkatkan kepedulian terhadap pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup;
2) untuk meningkatkan tingkat daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia; 3)
untuk memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral ekonomi Indonesia;
dan 4) mendukung komitmen Indonesia untuk mengurangi kontribusi gas rumah kaca. Karena
ISPO didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, maka ketentuan ini
merupakan mandatory atau kewajiban yang harus dilaksanakan bagi pelaku usaha perkebunan
di Indonesia. Sehingga ISPO memiliki sistem hukum yang kuat dan merupakan bukti kepatuhan
dan komitmen bagi pelaku usaha perkebunan untuk menerapkan pembangunan kelapa sawit
berkelanjutan.48
C. Harmonisasi Standar Global Baru Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan
Dengan dibentuknya Dewan Sawit, Indonesia akan melakukan harmonisasi standar untuk
minyak sawit berkelanjutan. Sebelumnya, Indonesia telah memiliki standar sendiri bagi
perusahaan kelapa sawit di Indonesia yakni ISPO. Standar kelapa sawit ISPO akan
diseragamkan dengan mengadopsi prinsip E+Pop atau yang lebih dikenal dengan Familiar
48 ISPO. “Konsultasi Publik ISPO”,2013, [online] dalam
http://www.ispo-org.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=77&Itemid=228&lang=ina
49
Ecology Welfare Palm Oil Producing Country. Standar tersebut merupakan standar baru pro
lingkungan hidup, sustainability dan pro petani kecil baik di Indonesia maupun di
negara-negara produsen sawit lainnya.49
Standar tersebut dibuat dengan tujuan untuk
mempertegas dan memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia karena
selama ini kedua negara seolah-olah tidak memiliki taring dalam memengaruhi pasar meski
mereka memiliki posisi yang sangat dominan sebagai produsen.
Munculnya standar baru E+Pop bagi para pengusaha kelapa sawit juga akan bersaing
dengan standar yang telah ditetapkan oleh Uni Eropa yakni RSPO. Standar E+Pop tersebut
nantinya akan menjadi standar baru yang berlaku pada industri minyak sawit di seluruh dunia.
Standar RSPO dinilai menyulitkan para petani kecil karena membutuhkan biaya yang tidak
sedikit jika ingin mendapatkan sertifikasi RSPO tersebut. Padahal, untuk melakukan ekspor
CPO ke berbagai negara, setidaknya para pengusaha kelapa sawit dan petani harus memiliki
standar RSPO yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Oleh karenanya, Indonesia berencana akan
membuat standar baru yang lebih pro kepada para petani kecil agar dapat meningkatkan daya
saing. Setidaknya terdapat 4 juta petani sawit di Indonesia, sehingga manfaat dari standar baru
yang dibentuk ini dapat dirasakan oleh para petani kecil yang terdapat di dua negara tersebut.
49 BUMN. “Indonesia-Malaysia bahas teknis Dewan Negara Penghasil Sawit”, 2015,[online] dalam
http://bumn.go.id/ptpn5/berita/0-Indonesia-Malaysia-bahas-teknis-Dewan-Negara-Penghasil-Sawit
50
BAB IV
ANALISIS KEPENTINGAN EKONOMI INDONESIA DALAM
MEMPRAKARSAI COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES
(CPOPC) 2015
Bab ini akan menganalisis kepentingan Indonesia memprakasai Council of Palm Oil
Producing Countries (CPOPC) pada tahun 2015. Aspek-aspek yang menjadi pembahasan dalam
bab ini adalah kepentingan ekonomi dan tata internasional terkait pembentukan CPOPC pada
tahun 2015. Kedua poin utama tersebut akan dijelaskan secara mendalam dengan menggunakan
konsep yang sesuai dengan penjelasan pada kerangka teori. Adapun konsep yang digunakan
untuk menjelaskan bab ini adalah kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional.
Donald E. Nuechterlein menyebutkan perlunya prioritas dalam kepentingan suatu negara
dalam memajukan kepentingan nasionalnya, sehingga suatu negara dapat memfokuskan diri
terhadap kepentingan nasionalnya dan kemakmuran suatu negara tersebut dapat tercapai dengan
baik. Dalam skema gambar di bawah ini terlihat dengan jelas bagaimana perlunya pemetaan agar
kepentingan nasional suatu negara dapat tercapai dengan baik.
51
Tabel IV.A.1 Cara Menentukan Intensitas Suatu Negara terkait Penentuan Kepentingan
Nasional
Sumber: Donald E. Nuehterlein, 1976
A. Kepentingan Nasional Indonesia di Bidang Ekonomi Terkait Pembentukan Council of
Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Pada Tahun 2015
Dari gambar IV.A.1 di atas, terlihat Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit dunia
mengategorikan minyak kelapa sawit sebagai major karena sebagai pengekspor CPO terbesar.
Kategorisasi ini bisa dipahami sebagai sebuah kepentingan ekonomi nasional yang sifatnya
diutamakan dalam kancah komoditas skala global, sehingga komoditas minyak kelapa sawit
sifatnya sangat perlu diperjuangkan oleh pemerintah Indonesia mengingat sumber devisa
Indonesia dari CPO termasuk terbesar dari sektor perkebunan.
Sebagai perbandingan saja misalnya, Indonesia sejak tahun 2006 sudah mengalahkan
Malaysia dalam komoditas ekspor minyak kelapa sawit. Dalam hal ini, Indonesia sangat
berkepentingan mempertahankan statusnya sebagai produsen utama dan terbesar. Berikut adalah
perbandingan status ekspor minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia:
Country: X Issue: Y
Basic Interest
I n v o l v e d
Intensity of Interest
Survival Vital Major Peripheral
Defence
Economic
World Order
Ideological
52
Tabel IV.A.2 Peta Kekuatan Industri Sawit Indonesia dan Malaysia
No. Uraian Indonesia Malaysia
1. Luas Lahan (Ha) 10,9 juta 5,39 juta
2. Produksi CPO (Ton) 29 juta 19,6 juta
3. Ekspor Produksi Sawit (Ton) 21,76 juta 25,07 juta
4. Impor Minyak Sawit (Ton) - 485,567
5. Kapasitas Biodiesel (KL) 6,8 juta 2,7 juta
6. Kapasitas Oleokimia (Ton) 2,2 juta 2,8 juta
7. Potensi Perluasan Lahan (Ha) 4-5 juta Tidak ada
Sumber: Majalah Sawit Indonesia, 2014
Terlihat dari tabel di atas Indonesia lebih unggul dari Malaysia di industri CPO yang dimulai
dari luas lahan yang mencapai 10,9 juta Ha, jika dibandingkan dengan Malaysia yang hanya
memproduksi 5,39 juta Ha. Industri Indonesia juga didukung oleh jumlah produksi CPO yang
mencapai 29 juta Ha dibandingkan dengan Malaysia yang hanya mencapai 19,6 juta Ha. Faktor
lain yang menjadi unggulan Indonesia dari tabel diatas terlihat dari besarnya kapasitas biodiesel
mencapai 6,8 juta KL disusul oleh kapasitas olekimia sebesar 2,2 juta ton dan terakhir adalah
potensi perluasan lahan sebesar 4-5 juta Ha.
Dari tabel diatas juga Malaysia tidak dapat mengembangkan industri kelapa sawitnya secara
maksimal terlebih dalam perluasan lahan untuk penanaman kelapa sawit, namun Malaysia
memiliki keunggulan dalam hal ekspor produksi sawit sebesar 25,07 juta ton, maka dapat
disimpulkan bahwa Indonesia perlu mengejar ketertinggalan potensi ekspor minyak sawit
Malaysia di kancah pasar minyak nabati global, khususnya melalui pembentukan CPOPC yang
tentunya bisa menjadi tolak ukur agar produksi kelapa sawit Indonesia dapat diterima di pasar
nabati global.
53
Jika dari penjelasan di awal sub bab diatas yang menyatakan bahwa kelapa sawit Indonesia
bersifat major, maka pemerintah perlu mendukung para pengusaha kelapa sawit yang merupakan
pelaku utama dalam kegiatan produksi kelapa sawit (CPO). Adanya CPOPC bisa menjadi wadah
bagi para pengusaha kelapa sawit dapat mengembangkan jumlah produksinya, terlebih lahan
perkebunan kelapa sawit Indonesia dikuasai oleh para pengusaha swasta yang tertera di bawah
ini.
Tabel IV.A.2 Data Delapan Perusahaan Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia
No. Nama Perusahaan Luas Lahan Letak
Perkebunan
Kepemilikan
Saham
Terbesar
1. Golden Agri Resources
(Singapura)
0,46 juta Ha Kalimantan,
Sumatera
Indonesia
2. Astra Agro Group
(Indonesia)
0,27 juta Ha Sumatera,
Kalimantan,
Sulawesi
Indonesia
3. SIMP Group (Indonesia) 0,23 juta Ha Sumatera,
Kalimantan
Indonesia
4. Wilmar International
Group (Singapura)
0,23 juta Ha Sabah,
Sumatera,
Kalimantan,
Uganda
Indonesia dan
Malaysia
5. Minamas Plantation Group
(Malaysia)
0,2 juta Ha Sumatera,
Kalimantan,
Sabah
Indonesia
6. Sime Darby Group
(Malaysia)
849,486 Ha Serawak,
Kalimantan,
Sumatera,
Sulawesi,
Liberia
Malaysia
7. Sinar Mas Group
(Indonesia)
472,800 Ha Sumatera,
Kalimantan,
Sulawesi
Indonesia
8. Incasi Raya Group 350,000 Ha Sumatera,
Kalimantan
Indonesia
Sumber: Diolah oleh penulis dari berbagai sumber
54
Dari tabel di atas terlihat dari banyaknya perusahaan sawit yang beroperasi di Indonesia
memerlukan perhatian pemerintah Indonesia, sebagai cara agar industri yang sudah berjalan
dapat memasarkan produknya ke pasar minyak nabati global. Perusahan yang tertera diatas juga
terlihat menanam pohon sawitnya di hutan Kalimantan dan Sumatera yang merupakan sumber
lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia. Malaysia yang juga memiliki lahan kelapa sawit
seperti yang tertera dalam tabel di atas bisa dibilang memiliki keunggulan dari jumlah investor,
maka pemerintah Indonesia perlu mencontoh Malaysia agar perusahaan lokal Indonesia dapat
juga mengundang investor, sehingga berkontribusi bagi industri kelapa sawit Indonesia, terutama
untuk PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang bergerak dalam pengelolaan tanaman kelapa sawit
Indonesia dan memiliki lahan perkebunan yang sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan
Kalimantan.50
PTPN yang merupakan perusahaan pertanian utama Indonesia harus dapat mengikuti
langkah perusahaan swasta yang telah berinvetasi di Indonesia agar dapat menguasai pasar sawit
global, terutama pasar sawit lokal. Hal demikian haruslah disadari oleh PTPN selaku perwakilan
pemerintah agar CPO Indonesia dapat segera bergerak menguasai pasar minyak nabati global
yang mana perkembangan sawit Indonesia dalam beberapa dekade terakhir mengalami kenaikan
yang signifikan, seperti yang tertera dalam grafik di bawah ini:51
50 Anon. “TOP Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia”, 2014, [online] dalam
http://www.agricoputra.com/2014/10/top-perusahaan-perkebunan-kelapa-sawit.html (diakses pada 14 Januari 2017).
51 Kementerian Pertanian tahun 2015, dalam
http://gapki.id/news/3971/perkembangan-mutakhir-industri-minyak-sawit-indonesia, diakses pada 14 Januari 2017.
55
Gambar IV.A.3 Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa
Sawit Indonesia (1980-2016)
Sumber: Kementerian Pertanian, 2015
Dari tabel diatas dengan jelas tergambar bahwa luas perkebunan kelapa sawit Indonesia
dikuasai oleh pihak swasta, dimana dimulai pada tahun 1980 sebesar satu juta hektar yang
kemudian berkembang menjadi 12 juta hekatar pada tahun 2016. Diikuti oleh luas perkebunan
kelapa sawit yang dikuasai oleh negara yang sejak tahun 1980 sebesar 300 ribu hektar menjadi
11,6 juta hektar pada tahun 2016, serta perkebunan sawit rakyat yang sampai pada tahun 2016
sebesar empat juta hektar. Maka sawit Indonesia yang sifatnya major harus segera diutamakan
dalam setiap forum perdagangan pasar minyak nabati global, terutama untuk memasuki pasar
Uni Eropa yang hingga kini dirasa sulit oleh para pengusaha sawit Indonesia.
B.Kepentingan Nasional Indonesia di bidang Tata Internasional terkait
Pembentukan CPOPC Pada Tahun 2015
1. Pencegahan Kampanye Negatif dari Pihak Luar
Kampanye negatif biasanya dilakukan oleh negara yang merasa terancam dengan negara
kompetitornya dengan melakukan penyebaran isu yang tidak benar kepada negara-negara
lainnya. Tujuannya adalah agar negara lain yang menjadi mitra dagang negara kompetitor
tersebut dapat terpengaruh dan kemudian membatalkan kerjasama. Dampak yang lebih besar lagi
56
adalah, isu yang disebarkan tersebut dapat menurunkan aktivitas produksi komoditas yang
diisukan melalui kampanye negatif sehingga negara tersebut mengalami kerugian yang cukup
besar. Dr. Tungkot Sipayung dari lembaga Riset Perkebunan Nusantara mengatakan upaya
kampanye negatif yang diarahkan ke Indonesia lebih mengarah pada permasalahan sosial
dibandingkan dengan masalah tata kelola sawit, karena itu dia memaparkan bahwa perlu upaya
diplomasi pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, agar dapat berupata
untuk mengusahakan upaya diplomasi ke negara-negara yang menolak kehadiran kelapa sawit
Indonesia.52
CPO yang dinilai sebagai produk alternatif yang ramah lingkungan nyatanya masih
dihadapkan oleh berbagai tantangan berupa hambatan dalam bentuk non-tariff barriers dan
kampanye negatif terkait dengan isu-isu lingkungan.53
Selain itu, adanya tuduhan dumping yang
dilayangkan oleh Uni Eropa, dinilai cukup memengaruhi nilai produktivitas dari CPO itu
sendiri.54
Bea masuk anti-dumping yang dikenakan pada tahun 2013 sebesar 2,8%-9,6%.55
Belum lagi, isu bahwa Amerika Serikat beserta beberapa negara di Amerika Latin sedang gencar
untuk meningkatkan produksi kedelai sebagai salah satu pesaing produk ramah lingkungan
minyak sawit, diindikasikan menjadi salah satu penyebab mengapa minyak sawit menghadapi
banyak tantangan dan hambatan untuk masuk ke negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika.
52Pernyataan oleh Dr. Tungkot Sipayung yang disampaikan pada seminar dengan judul “Tata Cara Pencegahan Sawit”,
yang diselenggarakan di Universitas Indonesia, 13 September 2017.
53Seperti halnya perusakan lingkungan, gangguan kesehatan, dan distorsi perdagangan
54Dumping adalah bentuk diskriminasi harga internasional yang diberlakukan oleh sebuah perusahaan yang menjual barang
dengan harga yang lebih rendah di pasar luar negeri dibanding di pasar dalam negeri sendiri.
55Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) merupakan bea masuk tambahan yang dikenakan terhadap barang impor sebesar
selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut. Handoyo. “Eropa Terapkan Bea Anti-Dumping “, 2013,
[online] dalam http://industri.kontan.co.id/news/eropa-terapkan-bea-antidumping (diakses pada 16 Januari 2017)
57
Dengan begitu, produk CPO makin sulit bersaing di pasar internasional. Ditjen Perdagangan
Luar Negeri Kementerian Perdagangan mengungkapkan bahwa terdapat juga kampanye negatif
yang mendiskriminasikan CPO di Perancis. Menanggapi hal demikian, Indonesia berencana akan
melawan kampanye tersebut karena merugikan produk CPO dari Indonesia.
Kampanye negatif terhadap produk CPO yang masuk ke wilayah Uni Eropa dilakukan
karena adanya kekhawatiran kekuatan Indonesia sebagai salah satu produsen minyak sawit
terbesar di dunia akan menyaingi industri energi alternatif yang sedang dikembangkan oleh Uni
Eropa. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh European Biodiesel Board (EBB) yang
menjelaskan bahwa dominasi impor biodiesel dari Indonesia telah memaksa
perusahaan-perusahaan Uni Eropa bangkrut dan ribuan orang kehilangan pekerjaannya. Secara
khusus, kampanye negatif yang dilakukan oleh Uni Eropa dibagi ke dalam empat aspek utama,
yaitu tuduhan adanya pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, gangguan kesehatan dan
distorsi perdagangan. Kampanye ini diprakarsai oleh consumer products maupun biofuels dan
dilakukan oleh LSM yang bergerak ditingkat lokal, regional ataupun global, para politisi UE,
industri UE, dan bahkan elemen kelembagaan UE.
Bentuk-bentuk kampanye negatif terhadap produk CPO umumnya berasal dari NGO
(Non-Government Organization) yang berada di wilayah Uni Eropa seperti Perancis, Belgia, dan
Roma. Di Perancis, kampanye negatif terhadap CPO dilakukan dengan pelarangan penggunaan
CPO dengan menggunakan label. Bahkan, kampanye tersebut juga tersebar hingga wilayah Italia
dan Roma. Diskriminasi terhadap produk CPO di Belgia juga terjadi dengan ditemukannya
produk-produk yang menggunakan label anti sawit seperti No Oil Palm, Zero Percent Oil Palm,
dan Palm Oil Free. Tidak hanya itu, tekanan terhadap kampanye mengenai dampak negatif
58
kesehatan, lingkungan hidup, deforestasi hingga kesejahteraan para petani negara penghasil sawit
juga turut dilayangkan oleh negara-negara maju tersebut. Indonesia sendiri setiap tahun rata-rata
melakukan ekspor CPO ke Eropa sebesar 3,5 juta ton, jika dibandingkan dengan Malaysia yang
hanya mencapai 1,5 juta ton, angka ini cukup besar untuk memenuhi kebutuhan CPO di Eropa
yang mencapai 6,3 juta ton.56
Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia tentu melakukan perlawanan
terhadap isu-isu kampanye negatif yang dilayangkan oleh negara-negara besar bahkan sebelum
CPOPC terbentuk. Salah satu tindakan yang dilakukan oleh Indonesia adalah dengan mundur
dari forum RSPO pada tahun 2010 saat diadakannya pertemuan di Singapura oleh 420 anggota
RSPO lainnya. Kemudian terdapat penandatanganan nota kesepahaman (MoU) para produsen
CPO yang beroperasi di Indonesia sebagai bentuk kerjasama untuk menghalau isu-isu negatif
kelapa sawit yaitu Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Asosiasi Petani
Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO). Bentuk kerjasama ini mengupayakan langkah strategis
dengan melakukan kajian hukum, perdagangan termasuk kajian ilmiah soal industri kelapa sawit
yang dituding sebagai industri perusak lingkungan.57
Upaya-upaya tersebut yang pada akhirnya membuat inisiasi pembentukan lembaga sawit
oleh kedua negara ditetapkan pada tahun 2015. Dengan begitu akan lebih mudah bagi Indonesia
untuk melaksanakan program-progam yang akan dilaksanakan ketika CPOPC berjalan nantinya,
serta kemudian bisa diharapkan dapat melawan kebijakan RSPO.
56 Wiji Nurhayat. “Ini Bentuk Kampanye Hitam Uni Eropa atas Sawit RI”, 2014, [online] dalam
http://finance.detik.com/read/2014/03/26/095809/2536881/1036/ini-bentuk-kampanye-hitam-uni-eropa-atas-sawit-ri (diakses
pada 16 Januari 2017)
57KPB Nusantara. “Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia dan Malaysia yang Selama Ini Bersaing Kini Bersatu”, 2010,
[online] dalam http://kpbn.co.id/news-5099-0-ri-malaysia-kerjasama-hadapi-isu-negatif-cpo.html (diakses pada 18 Januari 2017).
59
2. Mempromosikan ISPO sebagai Standar Penentu Harga Minyak Sawit
Global
Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman yang tumbuh di daerah tropis dimana tanaman
ini juga mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi dan biaya produksi yang relatif rendah
dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lain seperti minyak kedelai, rapeseed
maupun bunga matahari. Pengembangan perkebunan di Indonesia, termasuk kelapa sawit,
ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan dan devisa
negara, menyediakan lapangan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya
saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku dalam negeri, mendorong pengembangan
wilayah serta mengoptimalkan pengeloaan sumber daya alam secara berkelanjutan.58
Pengembangan kelapa sawit di Indonesia dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip
pembangunan perkebunan berkelanjutan sesuai dengan peraturan yang berlaku yang dikeluarkan
oleh Kementerian Pertanian Indonesia nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015. Hal demikian
digunakan sebagai pengantar untuk melaksanakan dan melakukan penelitian tentang
pembangunan kelapa sawit di Indonesia yang disusun oleh Indonesian Sustainable Palm Oil
(ISPO). ISPO merupakan suatu konsep kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia
dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit di pasar dunia yang dibentuk pada
tahun 2011. ISPO merupakan standar nasional bagi negara Indonesia untuk memastikan semua
pihak pengusaha kelapa sawit telah memenuhi standar pertanian yang diizinkan berdasarkan
ketentuan sertifikasi sesuai International Standard Organization (ISO).
58 Indonesia Investment. “Palm Oil Commodities”, 2016, [online] dalam
http://www.indonesia-investment.com/business/commodities/palm-oil/item166 (diakses pada 20 Januari 2017).
60
Sertifikat yang diberikan melaui ISPO kepada pengusaha kelapa sawit diharapkan dapat
memudahkan penyesuaian produk minyak sawit Indonesia dengan produk yang sama dari negara
lain untuk dapat bersaing di pasar global. Diharapkan juga, pengusaha tersebut dapat mengelola
perkebunan kelapa sawitnya secara berkelanjutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang
ramah lingkungan. Tujuan ditetapkannya ISPO adalah 1). untuk meningkatkan kepedulian
terhadap pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup; 2). untuk meningkatkan tingkat
daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia; 3). untuk memposisikan pembangunan
kelapa sawit sebagai bagian integral ekonomi Indonesia; dan 4). mendukung komitmen
Indonesia untuk mengurangi kontribusi gas rumah kaca. Karena ISPO didasarkan pada peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia, maka ketentuan ini merupakan mandatory atau
kewajiban yang harus dilaksanakan bagi pelaku usaha perkebunan di Indonesia. Sehingga ISPO
memiliki sistem hukum yang kuat dan merupakan bukti kepatuhan dan komitmen bagi pelaku
usaha perkebunan untuk menerapkan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan.59
59 Indonesia Investment. “Palm Oil Commodities”, 2016, [online] dalam
http://www.indonesia-investment.com/business/commodities/palm-oil/item166 (diakses pada 20 Januari 2017).
61
BAB V
KESIMPULAN
Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar kelapa sawit atau CPO tentu berhak
mengembangkan produk sawitnya ke pasar minyak nabati global. Namun karena adanya
hambatan yang datang dari pihak luar terhadap produk sawit Indonesia, terutama dari negara
Eropa yang menganggap CPO Indonesia tidak ramah lingkungan ketika masa proses produksi.
Tuduhan tersebut antara lain adalah isu terjadinya deforestation yang termasuk bagian dari isu
kerusakan lingkungan, terutama kawasan hutan yang tergolong hutan lindung maupun tidak.
Pada prakteknya produksi sawit Indonesia dilaksanakan oleh para pengusaha kelapa sawit
yang telah lama berinvestasi di perkebunan kelapa sawit Indonesia. Namun dalam beberapa
tahun terakhir para pengusaha sawit tersebut terkendala oleh adanya aturan dari negara Eropa
tentang perlunya sertifikat yang dikeluarkan oleh RSPO, lembaga sertifikasi minyak nabati
Eropa yaitu certified sustainable of palm oil (CSPO) yang dianggap oleh para pengusaha kelapa
sawit Indonesia memberatkan karena tidak dianggap oleh para pengusaha kelapa sawit Indonesia
memberatkan karena tidak dianggap terlalu mengutamakan konsumen negara Eropa, jika
dibandingkan dengan kepentingan para pengusaha tersebut.
Pemerintah pun akhirnya hadir dengan membentuk CPOPC agar para kepentigan para
pengusaha kelapa sawit dapat terealisasikan dan tidak lagi membawa dampak buruk bagi kinerja
para pengusaha sawit tersebut. Maka dari itu, adanya CPOPC diharapkan dapat menggantikan
peran RSPO yang selama ini mengatur tata kelola minyak nabati, terutama kelapa sawit dengan
memiliki standar baru yang tidak hanya berlaku bagi para pengusaha sawit lokal Indonesia, tetapi
juga bagi para pengusaha sawit di negara lain yang tentunya merasakan hambatan yang
62
dikeluarkan oleh RSPO yang anggotanya adalah para konsumen produk sawit Indonesia dan juga
para pengusaha minyak nabati.
Penelitian ini menggunakan konsep kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional yang
ditemukan kesimpulan bahwa kepentingan ekonomi Indonesia dalam bidang sawit sifatnya
sangat penting bagi devisa negara dari sektor perkebunan, kemudian dapat mempengaruhi
pendapatan masyarakat yang bekerja pada sektor perkebunan sawit, serta lebih terpenting dari
kesimpulan skripsi ini adalah kehadiran CPOPC bisa membantu Indonesia agar berani
mengangkat posisi negara di minyak sawit, sehingga nama Indonesia dalam perdagangan minyak
nabati global dapat dijadikan acuan oleh negara lain.
63
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Axelrod, Robert. 1984. The Evolution of Cooperation.New York: Basic Book Inc Publishers.
Gerungan, W. A. 2010. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama
Hennida, Citra. 2015. Rezim dan Organisasi Internasiona Interaksi Negara,
Kedaulatan, dan Institusi Multilateral.Malang: Intrans Publishing
Holsti, K. J. 1988. Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis. Jilid II, terjemahan M. Tahrir
Azhari. Jakarta: Erlangga.
Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.NC, Raleigh. 2005. Negotiation and Collaborative Problem Solving: Wake County
Stormwater Ordinance Committee. NC State University.
Roselle, Laura dan Sharon Spray. T.t. Scholarly Literature and the Literature Review, dalam
Research and Writing in International Relations. New York: Pearson Longman.
Silalahi, Ulber. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press.
Voge, Ann-Kathrin & Friedel Hutz-Adams. 2014. Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan –
Tuntutan atau Realitas? Berlin: Protestant Agency for Diaconia and Development.
Jurnal PDF/Artikel Online
Abdulsyani. 1994. “Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan”. Jakarta: Bumi Aksara.
Anggraini, Yensi. 2014. “Daya Saing Minyak Kelapa Sawit dengan Analisis Total Factor
Productivity pada Perusahaan Plantation dalam Menghadapi AFTA”. Jakarta.
Arianto, M. Efendi et. al. 2010. “Analisis Harga Minyak Sawit, Tinjauan Kointegrasi Harga
Minyak Nabati dan Minyak Bumi”, dalam Jurnal Manajemen dan Agribisnis Vol. 7 No.1
Axelrod, Robert. 2001. “Tit-for-tat Strategies” London: Routledge.
Helbling, Thomas et. al. 2008. “Commodities Boom: Riding a Wave, Finance
&Development” dalam http://www.imf.org/external/pubs/ft/ fandd/2008/03/pdf/helbling [diakses
pada 25 April 2016].
Herianto, Denny D. 2008. “Analisis Daya Saing Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional”.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Iyung, Pahan. 2006. “Panduan Lengkap Kelapa Sawit” Medan. Kementerian Keuangan. 2012.
“Kajian Nilai Tambah Produk Pertanian”, Jakarta: Pusat Kebijakan Ekonomi Makro.
Kementerian Perdagangan. 2011. “Kampanye Negatif Kelapa Sawit Indonesia”. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional.
64
Kementerian Pertanian. 2014. “Outlook Komoditi Kelapa Saw Jakarta: Kementerian
Pertanian. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2013. “Membentuk Harga Referensi CPO Dunia di
Indonesia”, dalam http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/wr 326109.pdf [diakses pada 17
Juli 2016]
Pratiwi, Elysa. 2011. “Analisis Determinan Ekspor Crude Palm Oil”. Sumatera:
Universitas Sumatera Utara Library.
Susila, Wayan R. 2005. “Membandingkan Industri CPO Malaysia dengan Indonesia”. Bogor:
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.
Website
Anon. 2014. “Indonesia-Malaysia Perang Harga dan Insentif Ekspor CPO” [online] dalamhttp://duniaindustri.com/indonesia-malaysia-perang-harga-dan-insentif-ekspor-cpo/ [diakses pada 21 Maret 2016].
Anon. 2015. “Indonesia dan Malaysia Bentuk Dewan Produsen Minyak Sawit Dunia” [online]
dalam http://m.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/10/03/
nvnfbn361-indonesiamalaysia-bentuk-dewan-produsen-minyak-sawit-dunia [diakses pada 6
Oktober 2015].
BUMN. 2013. “Persaingan Indonesia-Malaysia Jadi Raja Sawit Dunia” [online] dalam
http://www.bumn.go.id/ptpn6/berita/399/Persaingan. IndonesiaMalaysia.jadi.raja.sawit.du nia
[diakses pada 23 September 2015].
BUMN. 2015. “Indonesia-Malaysia bahas teknis Dewan Negara Penghasil Sawit” [online] dalam
http://bumn.go.id/ptpn5/berita/0-Indonesia-Malaysia-bahas-teknis-Dewan-Negara-Penghasil-Sa
wit [diakses pada 17 Maret 2016].
Deil, Siska A. F. 2014. “Rebutan Pasar Minyak Sawit: Indonesia Malaysia Perang Pajak” [online]
dalam
http://bisnis.liputan6.com/read/2108479/rebutan-pasar-minyak-sawit-indonesia-malaysia-perang-
pajak [diakses pada 12 Oktober 2015].
Economics Help. T.t. “Definition of Monopsony”, [online] dalam
http://www.economicshelp.org/labour-markets/monopsony/ [diakses pada 27 Mei 2016].
Hamdany, Irawati. 2015. “Mengetahui Sejarah Pokok Kelapa Sawit di Malaysia”.[online]
dalamhttp://www.kelapasawitnews.com/2016/02/mengetahui-sejarah-pokok-kelapa-sawit.html
[diakses pada 21 Maret 2016].
Handoyo. 2013. “Eropa Terapkan Bea Anti-Dumping” [online] dalam
http://industri.kontan.co.id/news/eropa-terapkan-bea-antidumping [diakses pada 14 Oktober
2015].
Idrees, Amin. 2014. “Malaysian Palm Oil Industry: One of the World‟s Largest Palm Oil
Exporter”. [online] dalam http://www.mpoc.org.my/Malaysian_Palm_Oil_Industry.aspx [diakses
pada 6 April 2016].
65
Indonesia Investments. 2015. “Indonesia and Malaysia Set up the Council of Palm Oil Producer
Countries”, [online] dalam
http://www.indonesia-investments.com/id/news/news-columns/indonesia-malaysia-set-up-the-co
uncil-of-palm-oil-producer-countries/item6204 [diakses pada 21 Maret 2016].
Indonesia Investments. 2016. “Palm Oil Commodities”, [online] dalam http://www.indonesia- investments.com/business/commodities/palm-oil/item166 [diakses pada 26 Juli 2016].
Irawan, A. Yulianto. 2014. “Kluster Industri Sawit, Indonesia vs Malaysi[online]dalamhttp://www.infosawit.com/mobile/index.php/news/detail/kluster-industri-sawit--indonesia-vs-malaysia [diakses pada 11 Mei 2016].
ISPO. 2013 “Konsultasi Publik ISPO” [online] dalam
http://www.ispoorg.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=7
7&Itemid=228&lang=ina [diakses pada 3 Mei 2016].
Kementerian Perindustrian. T.t. “Hilirisasi Industri Sawit Butuh Investasi US$ 800 Juta”[online]
dalam
http://www.kemenperin.go.id/artikel/4638/Hilirisasi-Industri-Sawit-Butuh-Investasi-US$-800-Ju
ta [diakses pada 11 Mei 2016].
Kementerian Perindustrian. T.t. “Lamban, Hilirisasi CPO di Indonesia“ [online] dalamhttp://www.kemenperin.go.id/artikel/3701/Lamban,-Hilirisasi-CPO-di-Indonesia [diakses pada 11 Mei 2016].
Kompas. 2009. “Indonesia dan Malaysia Kerjasama Pertanian”[online] dalam
http://internasional.kompas.com/read/2009/02/26/17482678/indonesia.dan.ma laysia.kerja.sama.pertanian [diakses pada 20 April 2016].
KPB Nusantara. 2010. “Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia dan Malaysia yang Selama Ini Bersaing Kini Bersatu”[online] dalam http://kpbn.co.id/news-5099-0-ri-malaysia-kerjasama-hadapi-isu-negatif-cpo.html [diakses pada 14 April 2016].
Malaysian Palm Oil Board. 2015. “Monthly Palm Oil Trade Statistics” [online] dalam http://www.mpoc.org.my/monthly_sub_page.aspx?id=38689f24-6069-4058-b196-784b1ee72c80 [diakses pada 4 Mei 2016].
Nurhayat, Wiji. 2014 “Ini Bentuk Kampanye Hitam Uni Eropa atas Sawit RI” [online] dalam http://finance.detik.com/read/2014/03 /26/095809/2536881/1036/ini-bentuk-kampanye-hitam-uni-eropa-atas-sawit-ri [diakses pada 14 April 2016].
PTPN5. 2015. “Indonesia-Malaysia Promosikan Green Economic Zone Kelapa Sawit” [online] dalam http://bumn.go.id/ptpn5/berita/14579/ Indonesia.Malaysia.Promosikan.Green.Economic.Z one.Kelapa.Sawit [diakses pada 11 Mei 2016].
66
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2011. “RI-Malaysia Atur Suplai CPO Dunia”
[online] dalam http://perkebunan.litbang. pertanian.go.id/?p=3378 [diakses pada 13 November 2015]
Sime Darby. 2014. “Palm Oil Facts and Figures” [pdf] dalam http://www.simedarby.com/upload/Palm_Oil_Facts_and_Figures.pdf [diakses pada 2 Oktober 2015].
Sukmana, Yoga. 2015. “Harga CPO Anjlok Sepanjang 2015”. [online] dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/26/125305726/Harga.CPO.A njlok.Sepanjang.2015.Ini.Penyebabnya [diakses pada 4 Mei 2016].
Supriyono, Joko. 2014. “Tantangan Industri Sawit untuk Presiden Baru”. [online] tersedia dalam http://www.gapki.or.id (diakses pada 11 Maret 2015).
Syahrul, Yura. 2015. “Andalkan Dewan Sawit, Pemerintah Ingin Buat Standar Baru Harga Sawit Dunia”[online] dalam http://katadata.co.id/berita/2015/10/30/ andalkan-dewan-sawit-pemerintah-ingin-buat-standar-baru- harga-sawit-dunia [diakses pada 4 Mei 2016].
67