kepemimpinan & kinerja

31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian kepemimpinan dan kepala sekolah Pengertian kepemimpinan dan manajemen sering dipandang sebagai hal yang sama, meskipun sebenarnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Pada dasarnya, pengertian manajemen lebih luas daripada kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan salah satu aspek dari manajemen dimana dalam hal manajemen pencapaian tujuan organisasi merupakan hal yang utama, sedangkan pengertin kepemimpinan berlaku untuk setiap orang atau individu. Jadi, kepemimpinan berlaku bagi orang per orang Sedangkan manajemen selalu dihubungkan dengan kelompok atau organisasi. Meskipun demikian dalam pengertian sehari- hari kedua konsep tersebut sering disamakan. Kepemimpinan merupakan upaya untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain agar melakukan kegiatan seperti apa yang diinginkan oleh pemimpin itu. Kepemimpinan merupakan hal yang tidak pernah terlewatkan oleh setiap orang. Kapan saja, dimanapun dan siapapun juga akan selalu berhubungan dengan konsep tersebut. Kata kepemimpinan merupakan bentuk kata dari imbuhan ke-an dari kata dasar pemimpin. Pemimpin dan kepemimpinan memiliki kaitan yang erat namun ada perbedaan yang tegas antara keduanya. Kepemimpinan merupakan inti dan motor penggerak daripada administrasi dan manajemen atau merujuk kepada proses kegiatan, sedangkan pemimpin merupakan unsur yang sangat menentukan 6

Transcript of kepemimpinan & kinerja

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian kepemimpinan dan kepala sekolah

Pengertian kepemimpinan dan manajemen sering dipandang sebagai hal

yang sama, meskipun sebenarnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Pada

dasarnya, pengertian manajemen lebih luas daripada kepemimpinan.

Kepemimpinan merupakan salah satu aspek dari manajemen dimana dalam hal

manajemen pencapaian tujuan organisasi merupakan hal yang utama, sedangkan

pengertin kepemimpinan berlaku untuk setiap orang atau individu. Jadi,

kepemimpinan berlaku bagi orang per orang Sedangkan manajemen selalu

dihubungkan dengan kelompok atau organisasi. Meskipun demikian dalam

pengertian sehari- hari kedua konsep tersebut sering disamakan.

Kepemimpinan merupakan upaya untuk mempengaruhi tingkah laku orang

lain agar melakukan kegiatan seperti apa yang diinginkan oleh pemimpin itu.

Kepemimpinan merupakan hal yang tidak pernah terlewatkan oleh setiap orang.

Kapan saja, dimanapun dan siapapun juga akan selalu berhubungan dengan

konsep tersebut.

Kata kepemimpinan merupakan bentuk kata dari imbuhan ke-an dari kata

dasar pemimpin. Pemimpin dan kepemimpinan memiliki kaitan yang erat namun

ada perbedaan yang tegas antara keduanya. Kepemimpinan merupakan inti dan

motor penggerak daripada administrasi dan manajemen atau merujuk kepada

proses kegiatan, sedangkan pemimpin merupakan unsur yang sangat menentukan

6

7

lancar tidaknya suatu organisasi dalam mewujudkan tujuannya atau merujuk

kepada pribadi seseorang,

Terry dalam Nawawi (2003: 23) mengemukakan bahwa:

Kepemimpinan adalah hubungan dimana seseorang yakni pemimpin

mempengaruhi pihak lain untuk bekerjasama secara suka rela dalam

mengusahakan (mengerjakan) tugas-tugas yang berhubungan, untuk

mencapai hal-hal yang diinginkan pemimpin tersebut”.

Nawawi (2003: 26) mengemukakan bahwa: “kepemimpinan adalah

kegiatan mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku orang lain, agar

melakukan kegiatan/ pekerjaan untuk mencapai tujuan yang akan dicapai seorang

pemimpin”.

Thoha (2010: 9) mengemukakan bahwa: “kepemimpinan adalah kegiatan

untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku

manusia baik perorangan maupun kelompok”.

Pendapat di atas menekankan bahwa kepemimpinan mencakup kegiatan

mempengaruhi orang lain agar tujuan yang di inginkan dapat tercapai. Hal senada

dikemukakan oleh Sutisna dalam Mulyasa (2007: 107) bahwa: “kepemimpinan

adalah proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha ke

arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu”.

Dharma dan Usman (2008: 2) menegemukakan bahwa:

Salah satu defenisi kepemimpinan yang agak memuaskan semua pihak

adalah defenisi kepemimpinan menurut Hughes, et al. (2002) yang

menyatakan kepemimpinan ialah proses mempengaruhi orang atau

kelompok untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien.

Defenisi kepemimpinan menurut Hughes et al. relatif memuaskan karena:

(1) defenisi tersebut relatif komprehensif yang ditandai oleh ada orang

yang memimpin (leader) untuk berproses, ada orang yang dipimpin

(follower) untuk berproses, dan ada tujuan yang efektif dan efisien yang

ingin dicapai (situasional); (2) variabelnya relatif unik yaitu menyangkut

8

manusia dan lingkungannya; (3) variabel terpadu yaitu memadukan ketiga

interaksi leader, follower, dan situasional; (4) variabelnya kompleks yaitu

tidak hanya searah (linear) tetapi juga multiarah; dan (5) defenisinya

relatif baru yaitu tahun 2002 atau masih di bawah delapan tahun. Menurut

jurnal pendidikan, teori relatif lama jika sudah delapan tahun ke atas.

Dari beberapa uraian pendapat ahli di atas, dapat diindentifikasi bahwa

unsur- unsur utama dari kepemimpinan adalah

1) Pemimpin sebagai orang yang mempengaruhi.

2) Bawahan atau anggota sebagai orang yang dipengaruhi.

3) Perilaku atau kegiatan sebagai proses mempengaruhi bawahan.

4) Tujuan yang ingin dicapai yakni efektif dan efisien.

Berdasarkan beberapa pengertian dan unsur kepemimpinan di atas, dapat

dipahami bahwa kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang

pemimpin dalam mempengaruhi bawahannya untuk mencapai tujuan.

Kepala sekolah berasal dari dua kata yaitu kata “kepala” dan “sekolah”.

Kata kepala dapat diartikan sebagai ketua atau pemimpin dalam suatu organisasi

atau sebuah lembaga. Sedangkan sekolah merupakan sebuah lembaga yang

digunakan sebagai tempat menerima dan memberi pelajaran. Apabila kedua istilah

tersebut digabungkan akan lahir istilah baru yakni kepala sekolah yang

mempunyai arti tersendiri.

Wahjosumidjo (2003: 83) menyatakan bahwa:

Kepala sekolah dapat didefenisikan sebagai: “seorang tenaga fungsional

guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana

diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadi

interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima

pelajaran”.

9

Sagala (2010: 88) menyatakan bahwa: “kepala sekolah adalah orang yang

diberi tugas dan tanggung jawab mengelolah sekolah, menghimpun,

memanfaatkan, dan menggerakkan seluruh potensi sekolah secara optimal untuk

mencapai tujuan”.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah

adalah jabatan formal yang diberikan tugas dan tanggung jawab untuk memimpin

sebuah sekolah dengan memanfaatkan segala potensi yang ada di sekolah maupun

di luar sekolah dan bertanggung jawab penuh terhadap kelancaran proses belajar

mengajar di sekolah.

Akib (2008: 65)mengemukakan bahwa:

Sebagai seorang pejabat formal, kepala sekolah mempunyai tugas

dan tanggung jawab terhadap atasan, terhadap sesama rekan kepala

sekolah atau lingkungan terkait dan kepada bawahan. .... Mengingat

kedudukannya yang terkait kepada atasan/bawahan, maka seorang kepala

sekolah: (1)wajib loyal dan melaksanakan apa yang digariskan oleh atasan,

(2) wajib berkonsultasi atau memberikan laporan mengenai pelaksanaan

tugas yang menjadi tanggung jawabnya, dan (3) wajib selalu memelihara

hubungan yang bersifat hirarki antara kepala sekolah dan atasan.

Kepada sesama rekan kepala sekolah atau instansi terkait kepala

sekolah: (1) wajib memberikan hubungan kerja sama yang baik dengan

para kepala sekolah yang lain, dan (2) wajib memelihara hubungan kerja

sama dengan sebaik-baiknya dengan lingkungan baik dengan instansi

terkait maupun tokoh-tokoh masyarakat dan BP3. Kepada bawahan, kepala

sekolah berkewajiban menciptakan hubungan yang sebaik-baiknya dengan

para guru, staf dan siswa. Sebab esensi kepemimpinan adalah

kepengikutan orang lain.

Jadi, kepemimpinan kepala sekolah adalah kemampuan seorang kepala

sekolah menggunakan pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang

dimilikinya untuk mempengaruhi bawahannya atau tenaga pendidik untuk

mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan.

10

2. Gaya kepemimpinan situasional

Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda dalam

memimpin para pengikutnya atau mempengaruhi bawahannya. Perilaku para

pemimpin secara singkat disebut sebagai gaya kepemimpinan.

Mulyasa (2007: 108) mengemukakan bahwa:

Gaya kepemimpinan merupakan pola perilaku seorang pemimpin yang

khas pada saat mempengaruhi anak buahnya, apa yang dipilih oleh

pemimpin untuk dikerjakan, cara pemimpin bertindak dalam

mempengaruhi anggota kelompok membentuk gaya kepemimpinannya.

Menurut Usman (2009: 305), “gaya kepemimpinan ialah norma perilaku

yang oleh seseorang pada saat itu memengaruhi perilaku orang lain”.

Menurut Thoha (2010: 49), “gaya kepemimpinan adalah norma perilaku

yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba memengaruhi

perilaku orang lain seperti yang ia lihat”.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa gaya kepemimpinan

adalah perilaku, tindakan dan strategi yang dilakukan oleh seorang pemimpin

dalam mempengaruhi pegawai atau bawahannya.

Adanya perbedaan pengetahuan dan tingkat kematangan yang dimiliki

oleh para bawahan membutuhkan perlakuan dan tindakan yang berbeda dari

pemimpinnya. selain itu, pemimpin harus mampu menyesuaikan diri dengan

situasi yang terus berubah. Dharma dan Usman (2008: 7) mengemukakan bahwa:

Bagaimana pun hebatnya kualitas seorang pemimpin, jika tidak mendapat

dukungan pengikut dan situasinya; maka kepemimpinannya akan jatuh.

Sejarah menunjukkan bahwa banyak pemimpin yang kuat kemudian jatuh

karena pengikutnya dan situasinya sudah tidak mendukung.

11

Hughes, et al. Dalam Dharma (2008: 5) mengemukakan bahwa: “tidak

ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat diterapkan dalam setiap situasi

melainkan tergantung kematangan pengikut dan situasinya”. Hal senada

dikemukakan oleh Fiedler dalam Mulyasa (2007: 112) bahwa “tak ada gaya

kepemimpinan yang cocok untuk semua situasi”.

Teori- teori di atas menjelaskan bahwa didalam sebuah organisasi, tidak

ada satupun gaya atau perilaku kepemimpinan tunggal yang cocok diaplikasikan

untuk segala situasi terutama apabila organisasi tersebut berkembang menjadi

semakin besar sehingga jumlah anggotanya semakin bertambah. Kematangan

anggota organisasi yang tidak sama karena perbedaan latar belakang, pendidikan,

tingkat kecerdasan dan tujuan tidak mungkin dikelolah atau diperlakukan dengan

gaya kepemimpinan tunggal. Untuk mencapai sebuah kepemimpinan yang efektif,

seorang pemimpin harus mempertimbangkan faktor situasi dan bawahan dalam

mengaplikasikan suatu gaya kepemimpinan. Dengan kata lain, pemimpin harus

mampu menerapkan gaya kepemimpinan situasional yaitu gaya kepemimpinan

yang sesuai dengan situasi dan tingkat kematangan anggota atau pegawainya.

Kepemimpinan situasional merupakan pendekatan kepemimpinan yang

menyatakan bahwa gaya kepemimpinan tergantung pada pemimpin, situasi dan

kematangan bawahan. Situasi merupakan arena yang penting bagi pemimpin

untuk bergerak atau bertindak. Situasi ikut menentukan keberhasilan sebahagian

besar pemimpin tapi menjadikan situasi sebagai alasan gagalnya seorang

pemimpin dalam mengelolah organisasi juga tidak dibenarkan.

12

Wahjosumidjo (2003: 32) mengemukakan bahwa:

Pengertian situasi mencakup: waktu, tuntutan pekerjaan, kemampuan

bawahan, para pimpinan, teman sekerja, kemampuan dan harapan

bawahan, tujuan organisasi maupun harapan bawahan.

Sejauh mana seorang pemimpin harus memperhatikan situasi sangat

tergantung apa yang disebut “tingkat kematangan” bawahan.

Kematangan bawahan tidak lain ialah:

1) Bawahan yang mempunyai tujuan termasuk pula kemampuan untuk

menentukan tugas;

2) Bawahan yang mempunyai rasa tanggungjawab, dalam arti bawahan

memiliki kemauan (motivasi) dan kemampuan (kompetensi) untuk

menentukann tujuan, dan sebagainya;

3) Mempunyai pendidikan dan pengalaman; dan

4) Tingkat kematangan yang dimaksud, meliputi:

Kemampuan dan pengetahuan teknis untuk melaksanakan tugas,

dan

Rasa percaya diri sendiri dan harga diri terhadap dirinya.

Dalam kepemimpinan situasional seorang pemimpin harus didasarkan

pada hasil analisis terhadap situasi yang sedang dihadapinya dan mengidentifikasi

keadaan anggota yang dipimpinnya. Keadaan anggota atau bawahan merupakan

faktor penting dalam kepemimpinan situasional. Selain sebagai individu, bawahan

juga bagian dari kelompok yang merupakan kekuatan yang dimiliki pemimpin.

Menurut Usman (2009: 313), kepemimpinan situasional atau dikenal juga

dengan sebutan kepemimpinan kontingensi terdiri dari beberapa model yaitu:

1) model kontingensi Fiedler,

2) model rangkaian kesatuan kepemimpinan dari Tannenbaum &

Schmidt,

3) model kontingensi lima faktor Farris

4) model kepemimpinan dinamika kelompok Carteight & Zender,

5) model kepemimpinan path goal Evans dan House,

6) model kepemimpinan vertical dyad linkage Graen,

7) model kepemimpinan Bass,

8) model kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard.

13

Sedangkan Nawawi (2003: 93) membagi model kepemimpinan situasional

menjadi empat yaitu:

1. Model Kepemimpinan Situasional dari Fiedler.

2. Model Kepemimpinan Situasional Tiga Dimensi dari Reddin.

3. Model Kepemimpinan Situasional dari Tannenbaum dan Schmidt.

4. Model Kepemimpinan Situasional dari Hersey dan Blanchard.

Adapun penjelasan mengenai beberapa model kepemimpinan situasional

di atas sebagai berikut:

1) Model kontingensi Fiedler

Menurut Fiedler dalam Usman (2009: 314), mengemukakan bahwa:

hubungan perilaku atau gaya kepemimpinan mempengaruhi

kepemimpinan untuk mengefektifkan organisasi. Pemimpin akan

berhasil menjalankan kepemimpinannya jika menerapkan gaya

kepemimpinan yang berbeda di suatu situasi yang berbeda.

Dengan kata lain, gaya kepemimpinan yang digunakan tergantung

situasi. Selanjutnya Fiedler berpendapat bahwa:

Ada tiga sifat situasi yang dapat mempengaruhi keefektifan

kepemimpinan, yaitu 1) hubungan pimpinan-bawahan yang

menguntungkan situasi, 2) derajat susunan tugas yang menguntungkan

situasi, dan 3) kekuasaan formal yang menguntungkan situasi (Usman,

2009: 314).

Thoha (2010:38) mengemukakan bahwa:

Suatu situasi akan dapat menyenangkan pemimpin jika ketiga dimensi

di atas mempunyai derajat yang tinggi. Dengan kata lain, suatu situasi

akan menyenangkan jika:

- Pemimpin diterima oleh para pengikutnya (derajat dimensi

pertama tinggi);

- Tugas-tugas dan semua yang berhubungan dengannya ditentukan

secara jelas (derajat dimensi kedua tinggi); dan

- Penggunaan otoritas dan kekuasaan secara formal diterapkan pada

posisi pemimpin (derajat dimensi ketiga juga tinggi).

14

Hubungan kepala sekolah dengan guru yang menguntungkan situasi

ditandai dengan hubungan yang harmonis antara kepala sekolah dengan guru,

pemimpin diterima oleh bawahannya. Derajat susunan tugas yang

menguntungkan situasi ditandai dengan pembagian tugas yang didasarkan

profesionalisme, kepala sekolah yang mampu memimpin, dan kekuasaan

formal yang menguntungkan situasi, ditandai oleh kekuasaan yang sah dan

semua tugas pegawai serta kepemimpinannya dapat dipertanggungjawabkan.

2) Model rangkaian kesatuan kepemimpinan Tennenbaum & Schmidt

Menurut Tannenbaum dan Schmidt dalam Usman (2009: 315),

Tiga faktor yang dipertimbangkan pemimpin dalam memilih gaya

kepemimpinannya untuk mengefektifkan organisasi, yaitu kekuatan

dirinya sendiri sebagai pemimpin, kekuatan bawahannya, dan

kekuatan situasinya.

Nawawi (2003:98) menjelaskan ketiga faktor tersebut sebagai berikut:

a. Kekuatan pemimpin, yang dimaksud adalah kondisi diri seorang

pemimpin yang mendukung dalam melaksanakan

kepemimpinannya, seperti latar belakang pendidikan, pribadi,

pengalaman dan nilai-nilai dalam pandangan hidup yang dihayati

dan diamalkannya (dipedomani dalam berpikir, merasakan,

bersikap dan berperilaku).

b. Kekuatan anggota organisasi sebagai bawahan, yang dimaksud

adalah kondisi diri pada umumnya yang mendukung pelaksanaan

kepemimpinan seseorang pemimpin sebagai atasan, seperti

pendidikan/pengetahuan, pengalaman, motivasi kerja/berprestasi,

dan tanggung jawab dalam bekerja.

c. Kekuatan situasi, yang dimaksud adalah situasi dalam interaksi

antara pemimpin dengan anggota organisasi sebagai bawahan,

seperti suasana atau iklim kerja, suasana organisasi secara

keseluruhan termasuk budaya organisasi dan tekanan waktu

dalam bekerja.

15

Berdasarkan ketiga faktor di atas, Tannenbaum dan Schmidt

mengembangkan model kontinum perilaku atau gaya kepemimpinan berupa

garis yang diawali dengan titik yang menunjukkan perilaku terpusat pada

pemimpin dan diakhiri dengan titik yang menunjukkan perilaku yang terpusat

pada bawahan. Perilaku atau gaya tersebut berpengaruh pada pengambilan

keputusan dalam kepemimpinan seseorang yang dapat digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 1. Model Kepemimpinan Tannenbaum & Schmidt dalam Usman (2009:

316)

16

3) Model kontingensi lima faktor Farris

Menurut Farris dalam Usman (2009: 319),

Perilaku seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya

tergantung pada lima faktor, yaitu: Wewenang anggota kelompok terhadap

masalah, Pentingnya penerimaan, Pemberian keputusan pada pimpinan,

Pentingnya penerimaan keputusan pada anggota kelompok, dan Tekanan

waktu. Farris menambahkan bahwa perilaku yang merupakan petunjuk

banyaknya pengaruh yang digunakan pemimpin dan bawahan dalam

menghadapi masalah terdiri dari empat dimensi, yaitu kerja sama,

penguasaan, pelimpahan, dan pelepasan.

Berdasarkan lima faktor dan empat dimensi di atas, ada lima

kemungkinan perilaku kepemimpinan situasional yang muncul, yaitu sebagai

berikut:

a) Jika pengawas dan bawahan mempunyai wewenang menggunakan

pengaruh terhadap masalah maka kerja sama, penguasaan, atau

pelimpahan merupakan perilaku kepemimpinan yang tepat.

b) Jika pengawas mempunyai wewenang, bawahan tidak memiliki

wewenang maka perilaku kepemimpinan berupa penguasaan yang paling

tepat.

c) Jika bawahan memiliki wewenang, atasan tidak maka pelimpahan

merupakan perilaku kepemimpinan yang tepat.

d) Jika penerimaan pimpinan dan bawahan penting maka kerja sama

merupakan perilaku kepemimpinan yang tepat.

e) Bila tekanan waktu tinggi maka penguasaan atau pelimpahan merupakan

perilaku kepemimpinan yang tepat.

4) Model kepemimpinan dinamika kelompok Cartwight & Zander

Cartwight dan Zander dalam Usman (2009: 319) menggunakan

pendekatan tujuan dan hubungan baik untuk mendinamiskan kelompok

bawahannya. Dalam pendekatan tujuan, pemimpin cenderung lebih

memerhatikan penyelesaian tugas pekerjaan bawahannya daripada hubungan

baik dengan bawahannya. Sedangkan dalam pendekatan baik dengan

bawahannya, perhatian pemimpin terpusat pada hubungan antar pribadi yang

menyenangkan, memutuskan perselisihan, memberikan semangat, dan saling

meningkatkan kebersamaan.

17

5) Model kepemimpinan Path Goal Theory

Model Kepemimpinan Path Goal Theory dikembangkan oleh Evan

dan House dalam Usman (2009: 319). Berdasarkan model ini, peranan

pemimpin adalah menjelaskan kepada bawahan cara mendapatkann imbalan

(mencapai tujuan individu). Keefektifan kepemimpinan tergantung dari

kemampuan pemimpin memuasakan kebutuhan bawahan dan kemampuan

pemimpin memberi petunjuk kepada bawahan.

6) Model kepemimpinan Vertical Dyad Linkage Graen

Model ini dikembangkan oleh Gannon (1982) dalam Usman (2009:

320) yaitu menitip beratkan pada hubungan antara pemimpin dengan tiap-tiap

bawahan secara bebas. Setiap pemimpin harus memerhatikan perbedaan

setiap bawahannya. Pendekatan ini berusaha memanfaatkan kelebihan dan

kelemahan yang ada pada bawahannya. Bagaimana mengubah kelemahan

menjadi kekuatan, ancaman menjadi peluang. Keadaan bawahan dapat

diketahui dengan baik oleh atasan jika hubungan baik dan mendalam dengan

bawahan secara individual.

7) Model kepemimpinan Bass

Bass mengembangkan pendekatan kepemimpinan sistem yang terdiri

atas input, proses (hubungan, perilaku pemimpin), dan output. Input yang

meliputi: organisasi, meliputi batasan, kejelasan, kehangatan, entropi, dan

lingkungan luar; kelompok kerja, meliputi perselisihan, saling

ketergantungan, dan tanggung jawab pada kelompok; tugas, meliputi umpan

18

balik, rutin, memilih kesempatan, kekomplesan, dan ciri-ciri manajerial;

kepribadian bawahan meliputi kerjasama, kekuasaan, otoriter, dan egoisme.

Hubungan meliputi pembagian kekuasaan, penyebaran informasi,

struktur ketat atau longgar, tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang.

Perilaku pemimpin adalah direktif, manipulatif, konsultatif, partisipatif, dan

delegatif. Output meliputi kinerja bawahan dan kepuasan semua pihak.

8) Model kepemimpinan situasional Hersey & Blanchard

Menurut Hersey dan Blanchard kepemimpinan didasarkan pada saling

pengaruh antara perilaku kepemimpinan yang ia terapkan, sejumlah

pendukung emosional yang ia berikan, dan tingkat kematangan bawahannya.`

Empat gaya kepemimpinan yang diterapkan menurut Nawawi (2003:

101) adalah “telling, selling, participating, dan delegating”. Perilaku

kepemimpinan kepala sekolah sebagai pemimpin yang tepat sesuai dengan

tingkat kematangan para tenaga pendidik dengan empat gaya di atas

dijelaskan oleh Akib (2008: 61) sebagai berikut:

Gaya mendikte digunakan ketika para tenaga kependidikan berada

dalam tingkat kematangan rendah, sehingga perlu petunjuk serta pengawasan

yang jelas. Gaya ini disebut mendikte karena pemimpin dituntut untuk

mengatakan apa, bagaimana, kapan dan dimana tugas dilakukan. Gaya ini

ditekankan pada tugas sedangkan hubungan hanya sekedarnya saja.

Gaya menjual dapat digunakan ketika kondisi tenaga kependidikan

berada dalam taraf rendah sampai moderat sehingga mereka telah memiliki

kemauan untuk meningkatkan profesionalismenya tetapi belum disukung oleh

kemampuan yang memadai. Gaya ini disebut menjual karena pemimpin

banyak memberikan petunjuk. Dalam tingkat kematangan tenaga

kependidikan seperti ini diperlukan tugas dan hubungan yang tinggi agar dapa

memelihara dan meningkatkan kemauan dan kamampuan yang dimiliki.

Gaya melibatkan digunakan ketika tingkat kematangan tenaga

kependidikan di sekolah berada pada taraf kematangan moderat sampai

tinggi, yaitu ketikan mereka mempunyai kemampuan tetapi kurang memiliki

kemajuan kerja dan kepercayaan diri dalam meningkatkan

19

profesionalismenya. Gaya ini disebut melibatkan, karena kepala sekolah

dengan tenaga kependidikan lain bersama-sama berperan di dalam proses

pengambilan keputusan. Dalam kematangan seperti ini upaya tugas tidak

digunakan, namun upaya hubungan senantiasa ditingkatkan dengan membuka

komunikasi dua arah.

Gaya mendelegasikan digunakan oleh kepala sekolah jika tenaga

kependidikan telah memiliki kemapuan yang tinggi dalam menghadapi suatu

persoalan, demikian pula ada kemauan untuk meningkatkan

profesionalismenya. Gaya ini disebut mendelegasikan sehingga pata tenaga

kependidikan dibiarkan melaksanakan kegiatan sendiri melalui pengawasan

umum. Para pendidik tersebut berada pada tingkat kedewasaan yang tinggi.

Dalam tingkat kematangan yang tinggi, upaya tugas hanya diperlukan

sekedarnya saja, demikian pula upaya hubungan.

9) Model kepemimpinan situasional tiga dimensi dari Reddin

Menurut Reddin, tiga pola dasar yang dipergunakan dalam

menetapkan pola perilaku kepemimpinan dikemukakan oleh Wahjosumidjo

dalam Nawawi (2003: 97) terdiri dari:

a. Beriorentasi pada tugas (task oriented).

b. Beriorentasi pada hubungan (relationship oriented)

c. Beriorentasi pada efektivitas (effectiveness oriented)

Pola perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang beriorentasi pada

tugas merupakan gaya kepemimpinan yang pada penerapannya selaras

dengan gaya kepemimpinan otoriter yaitu kepala sekolah menuntut ketepatan

dalam melaksanakan tugas dan menutup peluang bagi tenaga pendidik untuk

menyampaikan inisiatif, kreativitas, pendapat, saran, inovasi dan sebagainya.

Pada gaya kepemimpinan yang beriorentasi pada tugas, Nawawi (2003: 153)

mengemukakan bahwa:

Pemimpin berasumsi bahwa tugas-tugas dan cara melaksanakannya

sudah diatur dan ditetapkan, tidak memerlukan partisipasi anggota

organisasi untuk memperbaiki atau mengubahnya meskipun dengan

20

maksud untuk meningkatkna efisiensi dan efektivitasnya dalam

mencapai tujuan organisas.

Thoha (2010: 77) mengemukakan bahwa:

Perilaku tugas ialah suatu perilaku seorang pemimpin untuk mengatur

dan merumuskan peranan-peranan dari anggota organisasi-anggota

kelompok atau para pengikut; menerangkan kegiatan yang harus

dikerjakan oleh masing-masing anggota, kapan dilakukan, dimana

melaksanakan, dan bagaimana tugas-tugas harus dicapai.

Dari pemaparan yang dikemukakan oleh Nawawi dan Thoha di atas,

dapat dipahami bahwa gaya kepemimpinan yang beriorentasi pada tugas

dilakukan oleh kepala sekolah dengan lebih memperhatikan struktur tugas

dan pelaksanaannya dibanding dengan menjaga hubungan baik dengan para

tenaga pendidik. Akib (2008: 61) mengemukakan bahwa gaya ini tepat

diterapkan “ketika para tenaga kependidikan berada dalam tingkat

kematangan rendah, sehingga perlu petunjuk serta pengawasan yang jelas”.

Pola perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang beriorentasi pada

hubungan melaksanakan pekerjaan dengan mengutamakan interaksi timbal

balik antara kepala sekolah dengan tenaga pendidik dengan berdasarkan pada

rasa hormat menghormati sehingga terjalin hubungan harmonis antara kepala

sekolah dengan guru. Nawawi (2003: 154) mengemukakan bahwa:

Pemimpin dengan orientasi ini sangat terbuka pada partisipasi anggota

organisasi, yang selaras dengan tipe kepemimpinan demokratis.

Partisipasi anggota dilakukan dengan memberikan kesempatan yang

luas pada anggota organisasi dalam menyampaikan kreativitas,

inisiatif, pendapat, saran dan kritik. Di samping itu pemimpin dalam

menjalankan kepemimpinannya mementingkan hubungan kerja sama

antar sesama anggota organisasi dan antar anggota dengan pimpinan.

21

Thoha (2010: 77) mengemukakan bahwa:

Perilaku hubungan ialah suatu perilaku seorang pemimpin yang ingin

memelihara hubunga-hubungan antarpribadi di antara dirinya dengan

anggota-anggota kelompok atau para pengikut dengan cara membuka

lebar-lebar jalur komunikasi, mendelegasikan tanggung jawab, dan

memberikan kesempatan pada para bawahan untuk menggunakan

potensinya.

Berdasarkan pemaparan dan pendapat Nawawi dan Thoha di atas,

dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan yang beriorentasi pada

hubungan merupakan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh kepala

sekolah dengan menjaga hubungan yang harmonis antar dirinya dengan

tenaga pendidik, mendelegasikan tugas dan menjalin komunikasi yang baik.

Pola perilaku kepemimpinan yang beriorentasi pada efektivitas

merupakan interaksi antara kepala sekolah, tenaga pendidik dan situasi.

Hughes dalam Usman (2008: 6) mengemukakan bahwa:

Kepemimpinan kepala sekolah/madrasah akan efektif jika ia

menggunakan gaya kepemimpinan yang tepat dengan atasannya,

membina komunikasi yang efektif dengan sesama kepala

sekolah/madrasah, dan membina komunikasi yang efektif dengan

pengikutnya, memberdayakan pengikutnya, mendayagunakan

pengikutnya, meningkatkan kinerja dirinya, meningkatkan kinerja

pengikutnya, memberikan kepuasan kepada semua pihak, dan

memberikan penghargaan dan sanksi yang seimbang kepada

pengikutnya.

Reddin mengembangkan ketiga orientasi kepemimpinan di atas

menjadi delapan perilaku atau gaya kepemimpinan berdasarkan tolak ukur

kepemimpinan yang efektif dan tidak efektif. Hal ini dijelaskan Nawawi,

2003: 98) sebagai berikut:

Gaya atau perilaku kepemimpinan yang tidak efektif terdiri dari

deserter, missionary, autocrat, dan compromiser. Sedangkan perilaku

atau gaya kepemimpinan yang efektif terdiri dari: a) bureaucrat

22

(birokrat) yaitu perilaku kepemimpinan patuh dan taat pada peraturan,

memiliki kemampuan berorganisasi (manusia organisasi), cenderung

lugu; b) developer adalah pembangunan dalam memajukan dan

mengembangkan organisasi, yang menunjukkan perilaku

kepemimpinan kreatif, melimpahkan wewenang, dan menaruh

kepercayaan yang tinggi pada anggota organisasi/karyawan sebagai

bawahan; c) benevolet autocrat (otokrasi yang lunak/disempurnakan)

yang menunjukkan perilaku kepemimpinan dalam bekerja lancar dan

tertib, ahli dalam pengorganisasian, dan memiliki rasa keterlibatan diri

dalam menggunakan kewenangan atau kekuasaan pemimpin; d)

executif (eksekutif) biasanya dalam peran sebagai manager yang

menunjukkan perilaku kepemimpinan bermutu tinggi memiliki

kemampuan memberikan motivasi pada anggota organisasi sebagai

bawahan dan berpandangan luas.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pemimpin yang

menerapkan gaya kepemimpinan situasional adalah pemimpin yang

memperlakukan pegawainya sesuai dengan kematangannya/situasi, yaitu

pemimpin yang memberikan arahan dan penjelasan mengenai tugas dan tanggung

jawab kepada pegawai yang tingkat kematangannya rendah, memotivasi pegawai

yang malas dan memberikan kesempatan kepada pegawai yang sudah terampil

dan berpengalaman. Dengan demikian akan tercipta hubungan yang harmonis

antara pemimpin dengan pegawainya dan produktivitas kerja yang meningkat

serta tujuan organisasi yang tercapai.

3. Kinerja guru

Ramayulis dalam Rochman (2011: 24) mengemukakan bahwa

Guru sering diartikan sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap

perkembangan siswa dengan mengupayakan perkembangan seluruh

potensi (fitrah) siswa, baik potensi kognitif, potensi afektif, maupun

potensi psikomotorik.

23

Rochman (2011: 25) mengemukakan bahwa:

Secara normatif, guru adalah mereka yang bekerja di sekolah atau

madrasa, mengajar, membimbing, melatih para siswa agar memiliki

kemampuan dan keterampilan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan

yang lebih tinggi, juga dapat menjalani kehidupannya dengan baik.

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru

dan Dosen, Bab 1 Pasal 1 ayat, menjelaskan bahwa:

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta

didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan

dasar, dan pendidikan menengah.

Uno (2010: 15) berpendapat bahwa “guru merupakan suatu profesi, yang

berarti jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat

dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa guru adalah

orang yang memiliki keahlian khusus dalam mengajar, membimbing,

mengarahkan, melatih dan menilai peserta didik, baik di lembaga pendidikan

formal maupun lembaga pendidikan non formal.

Pada dasarnya terdapat seperangkat tugas yang harus dilaksanakan oleh

guru berhubungan dengan profesinya sebagai pengajar. Uzer dalam Uno (2010:

20) mengemukakan bahwa “terdapat tiga jenis tugas guru, yakni tugas dalam

bidang profesi, tugas kemanusian, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan”.

Adapun yang dimaksud dengan tugas guru dalam bidang profesi meliputi

mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai hidup, mengajar yang

berarti meneruskan dan mengembangkan iptek, sedangkan melatih berarti

mengembangkan keterampilan pada peserta didik. Tugas guru dalam bidang

24

kemanusian meliputi peran guru di sekolah sebagai orang tua kedua yang dapat

memahami peserta didik dan perkembangannya mulai dari sebagai makhluk

bermain, berkarya, dan sebagai makhluk yang berpikir atau dewasa. Selain itu

guru membantu siswa mentransformasikan dirinya sebagai upaya pembentukan

sikap dan membantu peserta dalam mengidentifikasi diri peserta itu sendiri. Tugas

guru dalam kemasyarakatan adalah sebagai panutan.

Darmawang dkk (2008: 12) mengemukakan bahwa Tugas atau peran guru

dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu : “(1) peran guru sebagai perencanan, (2)

peran guru sebagai pengelolah, (3) peran guru sebagai fasilitator, (4) peran guru

sebagai evaluator”.

Adapun penjelasan mengenai keempat aspek yang ada di atas yaitu:

1) Peran guru sebagai perencana pembelajaran

Sebagai perencana pembelajaran seorang guru dituntut agar

memahami kebutuhan, karakteristik peserta didik dan kondisi daerah

setempat dimana peserta didik berada. Dengan pemahaman itu guru akan

mendesain pembelajaran sesuai dengan kondisi lapangan dan kebutuhan.

Adapun berbagai komponen dalam sistem pembelajaran sebagaimana yang

dikemukakan oleh Uno (2010: 22) meliputi:

a. Membuat dan merumuskan TIK

b. Menyiapkan materi yang relevan dengan tujuan, waktu, fasiltas,

perkembangan ilmu, kebutuhan dan kemampuan siswa, komprehensif,

sistematis, dan fungsional efektif.

c. Merancang metode yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa

d. Menyediakan sumber belajar, dalam hal ini guru berperan sebagai

fasilitator dalam pengajaran.

e. Media, dalam hal ini guru berperan sebagai mediator dengan

memperhatikan relevansi (seperti juga materi), efektif dan efisien,

kesesuaian dengan metode, serta pertimbangan praktis.

25

2) Guru sebagai pengelola pembelajaran

Tujuan dari pengeloaan pembelajaran adalah terciptanya kondisi

lingkungan belajar yang menyenangkan bagi peserta didik, sehingga proses

pembelajaran berjalan dengan lancar dan menyenangkan bagi guru dan

peserta didik. Guru diharapkan mampu menggunakan berbagai macam

fasilitas pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu, guru

diharapkan mampu berperan dalam mengembangkan kemampuan peserta

didik dalam menggunakan alat- alat belajar, menyediakan kondisi- kondisi

yang memungkinkan peserta didik bekerja dan belajar serta membantu

peserta didik untuk memperoleh hasil yang diharapkan.

Hal senada dikemukakan oleh Darmawang dkk (2008: 12) bahwa

peran dan tanggung jawab guru sebagai pengelolah pembelajaran

(manager of learning) menciptakan iklim pembelajaran yang

kondusif, baik iklim sosial maupun iklim psikologis. Iklim sosial yang

baik ditunjukkan dengan terciptanya hubungan yang harmonis antara

guru dan peserta didik, antara peserta didik dan peserta didik, serta

antara guru dan pengelola sekolah. Sedangkan iklim psikologis

ditunjukkan dengan adanya saling kepercayaan dan menghormati

antara sesama unsur sekolah. Melalui iklim yang demikian,

memungkinkan peserta didik untuk berkembang secara optimal,

terbuka, dan demokratis.

3) Guru sebagai fasilitator

Sebagai fasilitator, guru berperan dalam membantu untuk

mempermudah peserta didik belajar. Karena itu, guru perlu memahami

karakteristik peserta didik, termasuk gaya belajar, kebutuhan kemampuan

dasar yang dimiliki peserta didik. Dengan pemahaman tersebut, guru dapat

memfasilitasi setiap peserta didik. Darmawang dkk (2008: 13)

mengemukakan bahwa “sebagai fasilitator, guru harus menempatkan diri

26

sebagai orang yang memberi pengarahan dan petunjuk agar peserta didik

dapat belajar secara optimal”.

4) Peran guru sebagai evaluator

Tujuan utama penilaian adalah untuk melihat tingkat keberhasilan

seseorang, efektivitas, dan efisiensi dalam proses pembelajaran. Sebagai

penilai hasil belajar peserta didik, guru hendaknya secara terus- menerus

mengikuti hasil belajar peserta didik yang dicapai dari waktu ke waktu karena

informasi ini akan memberikan umpan balik dalam proses pembelajaran.

Umpan balik ini akan dijadikan tolak ukur untuk memperbaiki dan

meningkatkan pembelajaran selanjutnya.

Darmawan dkk (2008: 13) mengemukakan bahwa

dilihat dari fungsinya, evaluasi bisa berfungsi sebagai formatif dan

sumatif. Evaluasi formatif berfungsi untuk melihat berbagai

kelemahan guru dalam mengajar. Artinya, hasil dari evaluasi itu

digunakan sebagai bahan masukan untuk memperbaiki kinerja guru.

Evaluasi sumatif digunakan sebagai bahan untuk menentukan

keberhasilan peserta didik dalam melakukan pembelajaran.

Mangkunegara (2007: 67) mengemukakan bahwa:

Istilah kinerja berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance

(prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang).

Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan

kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan

tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Payaman (2011: 108) mengemukakan bahwa “kinerja individu adalah

tingkat pencapaian atau hasil kerja seseorang dari sasaran yang harus dicapai atau

tugas yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu”. Sedangkan Robbins

dalam Usman (2009: 488) mengemukakan bahwa “kinerja adalah produk dari

fungsi dari kemampuan dan motivasi”.

27

Lan dalam Mulyasa (2005: 137) mengemukakan bahwa “kinerja atau

performance dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pencapaian kerja, hasil kerja

atau unjuk kerja”.

Hal senada dikemukakan oleh Moeheriono (2010: 61) bahwa:

kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau

sekelompok orang dalam suatu organisasi baik secara kuantitatif maupun

kualitatif, sesuai dengan kewenangan dan tugas tanggung jawab masing-

masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara

legal, tidak melanggar hukum sesuai dengan moral dan etika.

Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk

menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya memiliki derajat

kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu.

Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk

mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan

dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kinerja merupakan perilaku nyata

yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh

karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa kinerja atau

performance dapat berupa hasil kerja, prestasi kerja, dan tingkat keberhasilan

seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan

kepadanya.

Peraturan bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan

Kepegawaian Negara tahun 2010 pasal 1 ayat 14, dikatakan bahwa “Penilaian

kinerja guru adalah penilaian dari tiap butir kegiatan utama guru dalam rangka

pembinaan karier kepangkatan dan jabatannya”.

28

Usman (2009: 489) mengemukakan bahwa:

Lima faktor dalam penilaian kinerja yang populer, yaitu 1) kualitas

pekerjaan, meliputi: akurasi, ketelitian, penampilan dan penerimaan

keluaran; 2) kuantitas pekerjaan, meliputi: volume keluaran dan

kontribusi; 3) supervisi yang diperlukan, meliputi: saran, arahan, dan

perbaikan; 4) kehadiran meliputi, regulasi, dapat dipercaya/ diandalkan

dan ketepatan waktu; 5) konservasi, meliputi: pencegahan pemborosan,

kerusakan dan pemeliharaan peralatan.

Payaman (2011: 119) mengemukakan bahwa dimensi tolak ukur kinerja

yaitu:

1. Kuantitas

2. Kualitas

3. Waktu dan kecepatan

4. Nilai dan biaya

5. Dinyatakan dalam persentasi atau indeks

Hal senada juga dikemukakan oleh Mitchell dalam Mulyasa (2005: 139)

bahwa kinerja meliputi beberapa aspek, yaitu: “quality of work, Promptness,

initiative, capability, and communication”.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja guru

adalah hasil dan prestasi kerja atau tingkat keberhasilan yang diperoleh seorang

guru dalam bentuk kualitas dan kuantitas dalam menjalankan tugasnya.

4. Penilaian kinerja dan tujuannya

Perkembangan sebuah organisasi tidak bisa lepas dari peran kinerja

karyawannya. Cara untuk melihat perkembangan organisasi adalah dengan cara

melihat hasil penilaian kinerja. Sasaran yang menjadi objek penilaian kinerja guru

adalah kecakapan dan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan

pekerjaannya dengan menggunakan tolak ukur secara obyektif dan dilakukan

secara berkala. Hasil dari penilaian kinerja merupakan gambaran seorang guru

29

dalam melakukan pekerjaannya atau dengan kata lain kinerja merupakan hasil

kerja yang dapat diukur dan diamati.

Mangkunegara (2007: 69) mengemukakan bahwa “penilaian kinerja

pegawai dikenal dengan istilah “performance rating, performance appraisal,

personnel assessment, employee evaluation, merit rating, efficiency rating, service

rating.”

Menurut Leon C. Megginson dalam Mangkunegara (2007: 69),

“performance appraisal adalah suatu proses yang digunakan majikan untuk

menentukan apakah seorang pegawai melakukan pekerjaannya sesuai dengan

yang dimaksudkan”.

Andrew E. Sikula dalam Mangkunegara, 2007: 69) mengemukakan

bahwa:

Penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan

pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian adalah proses

penaksiran atau penentuan nilai, kualitas, atau status dari beberapa objek,

orang ataupun sesuatu”.

Menurut Hasibuan (2006: 87), “penilaian prestasi kerja adalah menilai

rasio hasil kerja nyata dengan standar kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan

setiap karyawan”.

Menurut Usman (2009: 489), “penilaian kinerja merupakan alat yang

berfaedah tidak hanya untuk mengevalusi kerja karyawan, tetapi juga untuk

mengembangkan dan memotivasi kerja karyawan”.

Berdasarkan pemaparan di atas, penilaian kinerja sangat penting bagi

kepemimpinan kepala sekolah untuk mengefektifkan sekolah dalam mencapai

tujuan. Dengan mengetahui potensi/keunggulan dan kelemahan/kekurangan yang

30

dimiliki pegawai/guru, pemimpin dapat lebih mudah memperbaiki dan

mengoptimalkan kegiatan pegawai/guru. Oleh karena itu, penilaian kinerja harus

dilakukan secara jujur dan objektif, dengan menggunakan teknik penilaian yang

paling tepat untuk setiap jenis pekerjaan, agar hasilnya tidak mengalami bias atau

kekeliruan yang merugikan pekerja atau anggota organisasi, unit kerja atau

organisasi secara keseluruhan.

Dharma (2008: 13) mengemukakan bahwa manfaat diadakan penilaian

kinerja sebagai berikut:

Manfaat penilaian kinerja adalah untuk (1) meningkatkan objektivitas

penilaian kinerja pegawai, (2) meningkatkan keefektifan penilaian kinerja

pegawai, (3) menigkatkan kinerja pegawai, dan (4) mendapatkan bahan-

bahan pertimbangan yang objektif dalam pembinaan pegawai tersebut baik

berdasarkan sistem karir maupun prestasi.

Selanjutnya Usman (2009: 490) mengemukakan bahwa:

Tujuan penilaian kinerja adalah untuk: 1) lebih menjamin obyektivitas

dalam pembinaan calon pegawai dan pegawai berdasarkan sistem karier

dan sistem prestasi kerja; 2) memperoleh bahan-bahan pertimbangan

objektif (masukan) dalam pembinaan capeg dan PNS dalam membuat

kebijakan seperti promosi, demosi, transfer (mutasi), hukuman,

pemecatan, bonus, job design seperti job enlargment, job encrichment, and

job rotation; 3) memberi masukan untuk mengatasi masalah yang ada,

misalnya kurang terampil atau perlu keterampilan baru (untuk menentukan

jenis pelatihan dan pengembangan karier calon pegawai dan pegawai); 4)

mengukur validitasi metode penilaian kinerja yang digunakan. Apakah

skor penilaian berkorelasi dengan kinerja?; 5) mendiagnosis masalah-

masalah organisasi; 6) umpan balik bagi calon pegawai dan pegawai, serta

pimpinan.

31

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

Pada dasarnya banyak hal yang mempengaruhi kinerja seperti yang

dikemukakan oleh Payaman (2011: 11) bahwa:

Kinerja setiap orang dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat

digolongkan pada 3 kelompok, yaitu kompetensi individu orang yang

bersangkutan, dukungan organisasi dan dukungan manajemen. Ketiga

faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Bagan Kinerja Individu

Karena keterbatasan waktu, dari sekian banyak faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja seperti yang dipaparkan di atas, penulis hanya membahas

tentang gaya kepemimpinan dalam mempengaruhi kinerja guru.

Kepemimpinan merupakan inti dari kegiatan manajemen dalam sebuah

organisasi. Setiap pemimpin dituntut untuk mampu mengarahkan dan

mengoordinasikan pekerjaan serta menciptakan iklim yang kondusif, pemimpin

juga harus mampu berkomunikasi secara efektif terhadap bawahannya untuk

menumbuhkan motivasi mereka, serta berkomunikasi dengan semua unsur terkait

untuk memperoleh dukungan mereka.

KINERJA INDIVIDU

KOMPETENSI INDIVIDU

Kemampuan dan keterampilan

Motivasi, sikap, dan etos kerja

DUKUNGAN MANAJEMEN

Hubungan industrial

Kepemimpinan

DUKUNGAN ORGANISASI

Struktur organisasi

Teknologi dan peralatan

Kondisi kerja

32

Perbedaan kepribadian, latar belakang, tingkat kecerdasan pegawai dan

situasi yang berubah-ubah dalam sebuah organisasi tidak mungkin dikelolah

dengan perilaku atau gaya kepemimpinan tunggal. Oleh karena itu, seorang

pemimpin harus mampu menerapkan perilaku atau gaya kepemimpinan yang

berbeda dalam setiap situasi yang berbeda. Perilaku atau gaya kepemimpinan

yang disesuaikan dengan situasi dan tingkat kematangan bawahan disebut dengan

gaya kepemimpinan situasional.

Gaya kepemimpinan Situasional adalah perilaku atau gaya yang diterapkan

seorang pemimpin dengan mempertimbangkan situasi dan kematangan bawahan

untuk mencapai tujuan, sehingga perilaku atau tindakan pemimpin tersebut

berbeda setiap saat tergantung situasi dan keadaan bawahannya. Dengan kata lain,

pemimpin tidak menggunakan perilaku atau gaya yang itu-itu saja (tunggal) di

dalam setiap kesempatan.

Mulyasa (2005:144) mengemukakan bahwa:

Setiap tenaga kependidikan memiliki karakteristik khusus, yang satu sama

lainnya berbeda. hal tersebut memerlukan perhatian dan pelayanan khusus

pula dari pemimpinnya, agar mereka dapat memanfaatkan waktu untuk

meningkatkan kinerjanya.

Kenyataan menunjukkan bahwa banyak pemimpin/kepala sekolah

terkadang memperlakukan semua bawahannya sama, baik dalam pemberian tugas

maupun dalam memberikan perhatian dan pelayanan. Dengan kata lain,

pemimpin tersebut tidak menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan

keadaan bawahannya.

33

Menurut Dharma dan Usman (2008:19),

Kepala sekolah/madrasah yang efektif menggunakan gaya

kepemimpinannya sesuai dengan tingkat kematangan followernya. Kepala

sekolah/madrasah yang efektif juga memperhatikan situasi yang dihadapi

sekolah/madrasahnya agar selalu tercipta iklim dan budaya

sekolah/madrasah yang kondusif.

Penerapan gaya kepemimpinan yang tepat sesuai dengan situasi akan

menigkatkan kinerja pegawai sehingga menguntungkan organisasi dan

mempermudah pencapaian tujuan. Sebagai contoh pemimpin yang mampu

mengenali kelemahan dan potensi yang dimiliki oleh bawahan, dapat lebih mudah

memberikan intruksi, mendelegasikan tugas, dan bimbingan kepada bawahannya

tersebut. Pemimpin dapat memberikan tugas sesuai dengan bidang atau

kompetensi yang dimiliki bawahan secara profesional. Pegawai yang memiliki

kemampuan dan pengetahuan yang rendah, diberikan pengarahan atau bimbingan

dalam mengerjakan tugas dan diberikan tugas yang sesuai dengan

kemampuannya. Apabila kejelasan tugas sudah jelas dan sesuai dengan

kemampuan dan pengetahuan, tidak ada alasan bagi bawahan lalai atau tidak

mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya sehingga hasil kerja atau

kinerja bawahan tersebut dapat lebih optimal. Hal ini didukung oleh pendapat

Larnsen dan Mitchel (Mulyasa, 2005:141) yang mengemukakan bahwa “kinerja

akan bergantung pada perpaduan yang tepat antara individu dan pekerjaannya”.

Selanjutnya Mulyasa (2007:118) mengemukakan bahwa “gaya kepemimpinan

berpengaruh terhadap kinerja pegawai untuk meningkatkan produktivitas kerja

demi mencapai tujuan”.

34

B. Kerangka pikir

Pendidikan merupakan suatu jalan untuk meningkatkan dan

mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sekolah

yang merupakan wadah atau tempat dilaksanakannya proses pendidikan

diharapkan mampu menghasilkan lulusan/output yang bermutu dan berkualitas.

Untuk mewujudkan hal tersebut, sekolah akan menghadapi berbagai

permasalahan bukan hanya terdapat pada alat-alat pendukung sekolah, finansial

dan lingkungan kerja saja, tetapi juga menyangkut gaya kepemimpinan seorang

kepala sekolah serta tenaga pendidik/guru yang mengelolah sekolah.

Sekolah sebagai wadah seperti dengan organisasi lainnya membutuhkan

seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan situasionalnya, karena di dalam

sekolah terdapat pembagian tugas dan pembidangan pekerjaan dengan

menghimpun tugas ke dalam satu kelompok atau unit kerja. Pengelompokan itu

menghasilkan struktur organisasi yang terdiri dari berbagai unit kerja yang

masing-masing membutuhkan kegiatan bersama dan kerjasama secara terencana

sesuai dengan tujuan sekolah.

Adanya perbedaan tingkat kematangan diantara tenaga pendidik dan

situasi serta lingkungan yang terus berubah membutuhkan perlakuan atau

tindakan yang berbeda dari kepala sekolah untuk mencapai tujuan organisasi.

Kepala sekolah dituntut untuk mengaplikasikan gaya yang berbeda sesuai dengan

situasi dan keadaan yang terjadi pada saat itu. Oleh karena itu, kepala sekolah

harus mampu membaca dan menganalisa situasi dan bawahannya agar

menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai. Dengan demikian, kepala sekolah

35

akan mengetahui kapan harus menerapkan gaya atau perilaku yang beriorentasi

pada tugas dan kapan harus beriorentasi pada bawahan sehingga tujuan organisasi

tercapai dan kepemimpinan kepala sekolah berjalan dengan efektif.

Gaya kepemimpimpinan situasional kepala sekolah merupakan salah satu

faktor penting dalam meningkatkan kinerja tenaga pendidik. Semakin tinggi

pengetahuan dan keterampilan kepala sekolah menganalisa situasi dan keadaan

tenaga pendidik, pengaplikasian gaya kepemimpinan akan semakin tepat sehingga

berpengaruh terhadap kinerja tenaga pendidik.

Berdasarkan hukum sebab akibat yang menyatakan bahwa setiap sebab

pasti memiliki akibat. Karena hal tersebut, kepala sekolah yang menerapkan gaya

kepemimpinan situasional menjadi sebab atau variabel pengaruh (independen)

terhadap kinerja tenaga pendidik sebagai akibat atau disebut dengan variabel yang

dipengaruhi (dependen). Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan mampunya

seorang kepala sekolah memilih perilaku atau gaya yang tepat dalam menjalankan

kepemimpinannya akan meningkatkan kinerja tenaga pendidik di SMK N 2

Bungoro Kab. Pangkep.

Kepala sekolah yang efektif harus memiliki perilaku atau gaya

kepemimpinan yang fleksibel, sesuai dengan situasi dan keadaan bawahan yakni

dengan menggunakan gaya kepemimpinan situasional. Kombinasi antara situasi

dan kematangan bawahan yang dihadapi oleh pemimpin dengan gaya

kepemimpinan yang tepat akan mengefektifkan kepemimpinan kepala sekolah.

36

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema kerangka pikir dibawah ini:

Gambar 3. Skema Kerangka Pikir

C. Hipotesis

Berdasarkan pembahasan yang di uraikan di atas, maka dikemukakan

hipotesis sebagai berikut: ada pengaruh gaya kepemimpinan situasional kepala

sekolah terhadap kinerja guru di SMK Negeri 2 Bungoro Kabupaten Pangkep.

Gaya Kepemimpinan

Situasional Kepala

Sekolah

1. Orientasi pada tugas

2. Orientasi pada

bawahan

3. Wewenang dan

tanggung jawab.

Kinerja Guru

1. Kualitas kerja

2. Kuantitas kerja

3. Motivasi kerja

4. Displin kerja

5. Kerja sama

SMK NEGERI 2 BUNGORO