KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

101
i KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL SKRIPSI Diajukan sebagai Persyaratan dalam Penyelesaian Program Sarjana (S-1) PendidikanBahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Oleh RATNATUL FAIZAH E1C 010 027 UNIVERSITAS MATARAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA,SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH 2014

Transcript of KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

Page 1: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

i

KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA

INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL

SKRIPSI

Diajukan sebagai Persyaratan dalam Penyelesaian Program Sarjana (S-1)

PendidikanBahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Oleh

RATNATUL FAIZAH

E1C 010 027

UNIVERSITAS MATARAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA,SASTRA INDONESIA, DAN

DAERAH

2014

Page 2: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

ii

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS MATARAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Jl. Majapahit No. 62 Telp.(0370) 623873 Fax. 634918 Mataram NTB. 83125

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul

KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI

STRUKTURAL

Telah disetujui pada tanggal November 2014

Pembimbing I,

Dr.H.Muhammad Sukri,M.Hum NIP.197512312002121001

Pembimbing II,

RatnaYulidaAshary, M.Hum NIP.198108012009122002

Mengetahui,

Ketua Jurusan PBSID

Dra. Siti Rohana Hariana I, M.Pd. NIP. 196603311993032002

Page 3: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

iii

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS MATARAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Jl. Majapahit No. 62 Telp.(0370) 623873 Fax. 634918 Mataram NTB. 83125

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsiberjudul :KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL

AFIKSASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI

STRUKTURAL

Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Mataram Pada tanggal, November 2014

Ketua : Dr.H.Muhammad Sukri,M.Hum

NIP.197512312002121001 (……………………) Anggota : RatnaYulidaAshary, M.Hum NIP.198108012009122002 (……………………) Anggota : Dra. SyamsinasJafar, M.Hum NIP. 195912311986093001 (……………………) Mengetahui, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram Dr. H. Wildan, M.Pd Nip. 19571231 198303 1 037

Page 4: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO : “be my self” and “never give up”. Sesungguhnya Allah SWT lebih

mengerti dari siapapun dengan memberikan apa yang kita butuhkan bukan yang

kita inginkan

PERSEMBAHAN :

Skripsi ini merupakan bentuk apresiasi terhadap pihak-pihak yang telah

banyak memotivasi selama ini. Oleh karena itu dengan segala ketulusan hati

skripsi ini kuperseembahkan untuk :

1. Ibu dan Bapakku tercinta (Ripdah dan Ripa’ah) terimakasih yang tak

terhingga telah menjadi motivasi terbesar dalam hidupku, dan atas segala

pengorbanan serta kasih sayang kalian yang tiada henti,

2. Kakakku Fahrurozy dan adikku Triyatmi terimakasih telah memberikan

dukungan dan bantuan kalian dalam menyelesaikan skripsi ini,

3. Keluraga besarku terima kasih masih menungguku sampai sekarang.

Paman dan bibiku sekeluarga, sepupu-sepupuku dan kelurga-keluargaku

yang lain yang tidak bisa aku sebut satu persatu (Aku bangga bisa lahir

dan besar di tengah-tengah kalian),

4. Sahabat ‘RISU’ ( Ratna, Irni, Santi, Us) yang selalu menemaniku dengan

tingkah aneh kalian,

5. Orang-orang yang pernah menjadi orang sepesial di sampingku yang

memberikan pelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama,

Page 5: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

v

6. Seseorang yang telah menjadi sahabat terbaik yang selalu setia di

sampingku, yang selalu sabar menghadapi ego-egoku, selalu perhatian dan

mau mengalah demi aku,

7. Rekan-rekan UKMF Olahraga FKIP UNRAM yang telah memberikanku

pengetahuan berorganisasi serta makna kebersamaan dalam perbedaan

yang membuat kita selalu bahagia,

8. Teman-teman Bastrindo 2010, PPL SMAN 1 Narmada, dan KKN Toya

Aikmel yang telah mengajariku perbedaan dalam persatuan,

9. Almamaterku FKIP Unram yang membanggakan.

Page 6: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur dipanjatkan kehadirat ALLAH SWT yang

telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga mampu

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kendala-kendala Morfofonemik Level

Afiksasi: Sebuah Kajian Morfologi Struktural”. Skripsi ini diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan perolehan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada

program studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas

Mataram.

Disadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak mendapatkan

hambatan dan kendala. Berkat bantuan, dukungan serta doa dari berbagai pihak,

akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada :

1. Bapak Prof. Ir. H. Sunarpi, Ph.D. selaku Rektor Universitas Mataram;

2. Bapak Dr. H. Wildan, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Mataram;

3. Ibu Dra. Siti Rohana Hariana Intiana, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Seni FKIP Unram;

4. Bapak Drs.I Nyoman Sudika, M.Hum. selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah sekaligus Dosen

Pembimbing Akademik yang selalu membantu dalam pencampaian

ketuntasan akademik selama proses perkuliahan;

Page 7: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

vii

5. Bapak Dr.H.Muhammad Sukri,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I (terima

kasih atas arahan dan telah menjadi orang yang selalu menginspirasi serta

memotivasi saya untuk belajar lebih giat);

6. Ibu Ratna Yulida Ashriany, M.Hum.selaku Dosen pembimbing II (terima

kasih atas kesabarannya dan pengertiannya dalam mengajarkan ilmu dan

memberikan bimbingannya);

7. Bapak dan ibu Dosen Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah yang

telah mengajar, mendidik, dan membimbing kami selama bangku perkuliahan

di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram;

8. Staf dan pegawai FKIP yang telah membantu mahasiswa dalam pengurusan

administrasi dan lainnya;

Disadari bahwa segala keterbatasan dalam penyusunan skripsi ini,

sehingga di dalamnya masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi isi

maupun penulisan. Oleh karena itu, masukan berupa saran dan kritik yang

konstruktif sangat diharapkan demi perbaikan dan penyempurnaan serta sebagai

acuan pada penulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi

kita semua dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya, khususnya sebagai

pengembangan ilmu kebahasaan.

Mataram, November 2014

Penulis

Page 8: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

viii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

BI : Bahasa Indonesia

BD : Bentuk Dasar

MB : Morfem Bebas

KPK : Kaidah Pembentukan Kata

N : Nomina

Adj : Adjektiva

V : Verba

Num : Numeralia

’…’ : Tanda petik dua menunjukkan bahwa bentuk yang diapitnya merupakan

makna dari suatu bentuk.

* : Astris digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk lingual yang tidak

gramatikal dan diletakkan sebelum tuturan itu.

( ) : Kurung Biasa digunakan untuk menyatakan bahwa formatik yang berada

didalamnya memiliki alternasi sejumlah format yang berbeda di

dalamnya.

{} : Kurung Kurawal untuk menyatakan bahwa beberapa satuan lingual yang

ada di dalamnya yang disusun secara terlajur dapat dan perlu dipilih salah

satu apabila digunakan bersama satuan-satuan lain yang ada di depan atau

dibelakangnya. Biasanya digunakan dalam bidang morfologi untuk

menandai satuan yang didalamnya adalah morfem.

[ ] : Menunjukkan satuan di dalamnya adalah satuan fonetis dan biasanya

digunakan dalm bidang fonologi untuk melambangkan bunyi tertentu

yang tidak berstatus fonem.

// : Digunakan untuk menunjukkan satuan di dalamnya adalah fonem.

→ : Digunakan untuk menyatakan hasil dari proses kebahasaan.

Page 9: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………….. i

HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….. iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………………… iv

KATA PENGANTAR ………………………………………………….. vi

DAFTAR SINGKATAN………………………………………………... viii

DAFTAR ISI …………………………………………………………….. ix

ABSTRAK ……………………………………………………………… xi

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang ...................................................................... 1

1. 2 Rumusan Masalah ................................................................. 4

1. 3 Tujuan Penelitian ................................................................... 4

1. 4 Manfaat Penelitian ................................................................. 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 PenelitianRelevan .................................................................. 6

2.2 LandasanTeori ....................................................................... 8

2.2.1 Fonologi ……………………………………………. 8

2.2.2 Morfologi…………………....................................... 12

2.2.3 Afiksasi ……………………………………………. 15

2.2.4 Morfofonemik ………………………………………19

2.2.5 Idiosinkresi Linguistik……………………………… 24

2.2.6 Pengertian Kendala ………………………………… 24

2.2.7 Morfologi Struktural ……………………………….. 25

Page 10: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

x

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Deskripsi Penelitian ................................................................. 27

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................... 28

3.3 Metode Pengumpulan Data ...................................................... 29

3.4 Metode Penganalisisan Data .................................................... 33

3.5 Metode Penyajian Data ............................................................ 34

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Morfofonemik Level Afiksasi Bahasa Indonesia ..................... 36

4.2 Kendala-kendala Morfofonemik Level Afiksasi ...................... 52

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan ................................................................................. 87

5.2 Saran ....................................................................................... 88

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 11: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

xi

KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKASI BAHASA INDONESIA SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL

ABSTRAK

Fenomena kebahasaan yang memunculkan varian baru dalam pembentukan

kata pada bahasa Indonesia menjadi hal yang menarik untuk diteliti karena terdapat pada bahasa yang kita gunakan. Penelitian ini mengkaji permasalahan mengenai kendala-kendala morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia. Teori yang digunakan adalah teori morfologi struktural. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak, cakap, introspeksi, dan studi pustaka. Metode pengananalisisan data menggunakan metode padan intralingual. Penyajian data dari hasil penganalisisan data dalam penelitian ini menggunakan kata-kata, dan lambang-lambang atau tanda-tanda. Berdasarkan analisis data, temuan yang diperoleh berupa : 1) perubahan fonem pada proses prefiksasi terjadi pada morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-}dan {bər-}. Penambahan fonem terjadi pada morfem afiks {məŋ-} dan {pəŋ-} berupa penambahan fonem /e/ sehingga membentuk morf {məŋə-} dan{pəŋə-}. Penghilangan fonem terjadi pada morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-}dan {bər-}. Terdapat juga morfem afiks yang tidak mengalami proses morfofonemik, seperti morfem afiks {bər-}, {tər-}, {di-}, {kə-} dan {sə-}. Infiksasi bahasa Indonesia berupa {-ər-}, {-əl-}, dan {-əm}. Sufiksasi bahasa Indonesia memiliki morfem afiks berupa {-kan}, {-i}, dan {-an}. Konfiks pada bahasa Indonesia berupa {məŋ-kan}, {məŋ-i}, {kə-an}, {pəŋ-an}, {pər-an}, dan {bər-an}. 2) Kendala-kendala morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia berupa perubahan dan penambahan fonem. Perubahan dan penambahan terjadi pada morfem afiks {ŋ-} ’məŋ-’ dengan alomorf {ŋ-}, {m-}, {n-}, {ñ-}, { ŋe-} dalam prefiksasi dan morfem afiks {ŋ- + -in} ‘ məŋ-kan’ dalam konfiksasi. Selain mengalami proses morfofonemik terdapat juga morfem afiks yang tidak mengalami proses morfofonemik, yaitu morfem afiks {məŋ-}, {kə-} ’ter-’ pada afiksasi, sufiksasi terdapat morfem afiks {i-}, {-in} ‘-kan’, {-an} ‘ber-‘ dan {-isir} ‘-isasi’. konfiksasi terdapat morfem afiks berupa {kə- + -an}.

Kata kunci : Kendala morfofonemik, Afiksasi, Idiosinkresi

Page 12: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia disebut makhluk yang sangat kompleks karena memiliki akal

pikiran yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Akal pikiran tersebut digunakan

dalam kehidupan sehari-sehari baik untuk diri sendiri maupun hubungan sosial

dengan manusia yang lainnya. Dalam melakukan hubungan sosial tentunya

manusia membutuhkan alat komunikasi berupa bahasa. Bahasa manusia sangat

berbeda antara satu dengan yang lain, namun disisi lain semua bahasa-bahasa

tersebut memiliki ciri-ciri kesemestaan. Kenyataannya di Indonesia terdapat

berbagai suku bangsa yang memiliki keanekaragaman baik dari adat istiadat

maupun bahasanya, yang biasa disebut sebagai bahasa daerah yang merupakan

ciri khas dari setiap daerah tersebut. Selain memiliki bahasa daerah dengan

beragam bahasa maupun dialek-dialek disetiap daerah, Indonesia juga memiliki

bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) sebagai bahasa

pemersatu dan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan masyarakat

dari daerah lain. Setiap warga negara harus menguasai atau harus mengerti dan

bisa menggunakan bahasa Indonesia agar dapat berkomunikasi dengan lawan

bicara dari daerah lain, karena tidak semua bahasa atau dialek memiliki tingkat

kekerabatan yang sama.

Munculnya ragam bahasa yang menyebabkan penggunaan BI yang kurang

tepat dipengaruhi oleh bahasa asing melalui perkembangan IPTEK yang sangat

pesat dan diterima secara mentah oleh masyarakat akibatnya penggunaan BI baku

Page 13: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

2

sekarang ini hanya untuk berkomunikasi dalam keadaan sangat formal. Pada

dasarnya semua masyarakat Indonesia dituntut harus dapat menguasai BI agar

mampu berkomunikasi dengan lawan bicara yang memiliki varian bahasa yang

berbeda baik dalam kondisi formal maupun nonformal. Tidak hanya sampai

penggunaan bahasa tersebut, namun sebaiknya penutur juga mampu mengetahui

struktur internal bahasa atau kata yang digunakan dalam berkomunikasi agar

memiliki pengetahuan asal-usul kebahasaaan yang digunakannya. Bagi

kebanyakan orang mempelajari struktur internal kata yang dipergunakan dalam

berkomunikasi dianggap tidak perlu, karena mampu berkomunikasi menggunakan

BI dirasakan sudah cukup. Selain itu penutur tidak tertarik mempelajari bahasa

yang mereka gunakan karena ada anggapan terhadap pandangan historis pada

bahasa menjadi berlebihan ketika ia ingin memahami bagaimana bahasa bekerja.

Hal ini sebenarya tidak benar, yakni: perubahan bahasa merupakan ranah empirik

yang releven bagi ahli-ahli bahasa yang ingin mengembangkan pemikiran yang

memadai atas sistem-sistem bahasa dan penggunaannya (Sukri dan Nuriadi,

2010:249).

Penggunaan BI pada masa kini banyak memunculkan varian baru akibat

dari kreativitas penutur tanpa memperhatikan kaidah kebahasaan yang benar

meskipun dapat mempermudah penutur dalam menyampaikan. Varian baru

tersebut akan meyebabkan terjadinya kendala-kendala yang berupa idiosinkresi

(keanehan). Kendala-kendala yang dimaksudkan yaitu hal yang menghambat kata-

kata yang telah dibentuk akan berterima. Varian baru yang dimaksud seperti pada

kata ngalah yang meupakan prefiksasi dengan pelekatan morfem afiks {ŋ-}

Page 14: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

3

dengan bentuk dasar (yang selanjutnya disingkat BD) /kalah/ atau dalam kaidah

pembentukan kata berupa ({ŋ-} + [kalah] → [ŋalah] ngalah ’mengalah’). Morfem

afiks {ŋ-} memiliki padanan dalam pembentukan kata BI baku dengan morem

afiks {məŋ-}. Adapun dalam sufiksasi, misalnya kata ambilin yang terbentuk

gabungan morfem afiks {-in} dengan BD /ambil/ jika dalam proses pembentukan

kata berupa ({-in} + [ambil] → [ambilIn] ambilin ’ambilkan’). Morfem afiks {-

in} memiliki padanan dalam pembentukan kata BI baku dengan morem afiks {-

kan}dan terdapat beberapa data yang lainnya.

Permasalahan di atas yang memotivasi peneliti mengambil wilayah kajian

pada kata-kata yang terdapat dalam BI. Selain karena BI merupakan bahasa yang

memiliki banyak proses kebahasaan yang perlu diketahui, khusunya dalam

afiksasi karena kalimat lebih banyak ditentukan oleh afiksasi. Afiksasi merupakan

proses pembentukan kata yang paling sering digunakan dalam berkomunkasi

sehingga menyebabkan banyak permasalahan yang harus diusahakan

penyelesaianya. Afiksasi tidak lepas kaitannya dengan morfofonemik karena

disetiap proses afiks terdapat proses morfofonemik yang membentuk kata.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti

terdahulu, lebih banyak peneliti yang meneliti bahasa daerah yang mengkaji

tentang afiks dan morfofonemik , namun hal yang biasanya menjadi kajian

peneliti sebelumnya adalah mengenai bentuk dari objek penelitiannya. Selain itu

masalah kebahasaan lainnya dalam BI dianggap telah selesai karena banyak buku

atau banyak para ahli yang menjelaskan mengenai permasalahan dalam BI.

Namun tanpa disadari masalah kebahasaan dalam BI masih banyak yang belum

Page 15: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

4

dianalisis terutama oleh mahasiswa yang menyelesaikan tugas akhirnya karena

anggapan yang telah dijelaskan tersebut. Oleh karena itu peneliti mengambil objek

penelitian mengenai kendala-kendala morfofonemik dalam afiksasi dalam BI

dengan menggunakan kajian morfologi struktural. Morfologi struktural ini

digunakan untuk menentukan kendala-kendala morfofonemik level afiksasi pada

data yang akan dianalisis.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan pada bagian sebelumnya,

terdapat permasalahan pada bagian ini berupa :

1) Bagaimanakah proses morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia?

2) Kendala-kendala apa sajakah yang menyebabkan proses morfofonemik

level afiksasi?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas berikut dipaparkan tujuan

yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :

1) Mendeskripsikan proses morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia.

2) Mendeskripsikan kendala-kendala yang menyebabkan morfofonemik

level afiksasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan peneliti tentu akan memberikan berbagai

manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat-manfaat yang dimaksud

sebagai berikut :

Page 16: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

5

1.4.1 Manfaat Teoritis

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan seoptimal

mungkin oleh masayarakat, pada umumnya masyarakat yang tidak mengetahui

tentang kebahasaan, serta dapat pengetahuan baru mengenai kendala-kendala

morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia. Selain itu penelitian ini dapat

dijadikan sebagai pembanding dalam penelitian kebahasaan bentuk lain.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan

menulis peneliti, dapat dijadikan sebagai referensi/acuan untuk penelitian yang

relevan, serta penelitian ini dapat menarik perhatian para peneliti yang tertarik

pada bidang linguis untuk meneliti permasalahan yang ada pada bahasa Indonesia

maupun bahasa daerah.

Page 17: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Relevan

Dari penelitian sebelumnya telah banyak yang meneliti tantang

morfofonemik bahasa daerah yang bisa dijadikan bahan perbandingan untuk

penelitian yang akan dilakukan peneliti sekarang ini, namun terdapat juga

penlitian tentang bahasa Indonesia yang dilakukan mahasiswa sebagai peneliti

sebelumnya, antara lainnya :

“Morfofonemik Bahasa Sasak Sedau” penelitian yang dilakukan B. Nurul

Husna tentang Morfofonemik Bahasa Sasak Sedau terdapat tiga perubahan fonem

salah satunya yaitu, apabila ada prefiks {N-} melekat pada morfem- morfem yang

memiliki fonem awal {t, p, k, s, dan c} sehingga fonem awal morfem tersebut

berubah menjadi alomorf {N-} yaitu {n, m, ŋ, n}.

Pada penelitian tersebut memiliki persamaan dari segi teori dengan

penelitian yang dilakukan peneliti pada saat ini, tetapi dari bahasa yang dikaji

memiliki perbedaan, pada penelitian yang dilakukan Husna mengkaji bahasa

daerah sedangkan peneliti mengkaji bahasa Indonesia.

“Klitika dalam Bahasa Sasak Dialek Meno-Mene di Desa Beleka

Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat”merupakan sebuah penelitian yang

dilakukan oleh Muammar dengan menggunakan metode simak dan cakap dalam

pengumpulan datanya, selanjutnya dalam metode menganalis data Muammar

menggunakan beberapa tehnik dalam menganalisis data, yaitu tehnik urai pilih

unsur langsung, penggantian substansi, perluasan atau ekspansi, tehnik pelesapan

Page 18: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

7

atau diksi, tehnik penyisipan atau intrupsi, serta pembalikan urutan dan permutasi.

Sedangkan dalam penyajian data Muammar menggunakan metode formal (

metode menggunakan lambang dan tanda) dan informal (menggunakan kata-kata

biasa). Meskipun penelitian tersebut mengkaji klitika, penelitian tersebut relevan

karena menggunakan teori yang sama dengan penelitian peneliti yaitu

menggunakan teori morfofonemik.

Selain itu dua penelitian di atas juga penelitian terhadap bahasa Indonesia

mengenai morfofonemik yaitu, “Proses Morfofonemik Prefiks {Men-} dengan

Bentuk Dasar yang Berfonem Awal (k, t, s, p) dalam Bahasa Indonesia dan

Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia” yang dilakukan oleh

Fitriani mengambil kesimpulan fonem {k, t, s, p} mengalami perubahan dengan

proses peluluhan tetapi ada data yang tidak mengalami peluluhan fonem.

Ketidakluluhan fonem {k, t, s, p} ketika dilekati oleh morfem {meŋ-} disebabkan

oleh :

a. adanya urutan struktur fonem yang tidak dimungkinkan muncul dalam

kaidah fonotaktik bahasa Indonesia ketika bentuk dasar yang berfonem

awal (k, t, s, p) mengalami peluluhan.

b. adanya bentuk perubahan struktur fonologis morfem {meŋ-} dengan

bentuk dasar yang berfonem awal (k, t, s, p) mengalami peluluhan.

c. Adanya kesulitan dalam pelafalan kata jadian yang terdiri atas empat

silabe atau lebih.

d. Akan hilangnya keaslian dan keutuhan bentuk dasar dari kata tersebut

ketika bentuk dasar yang berfonem awal (k, t, s, p) mengalami peluluhan.

Page 19: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

8

Penelitian tersebut sangat relevan dengan peneletian yang akan dilakukan

karena sama-sama membahas morfofonemik, sebenarnya penelitian yang

dilakukan oleh Fitriani salah satu kendala morfofonemik namun hanya saja

Fitriani hanya mengkaji prefiks {meŋ-}.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Fonologi

Istilah fonologi berasal dari bahasa Yunani yaitu phone = ‘bunyi’, logos =

‘ilmu’. Secara harfiah, fonologi adalah ilmu bunyi. Fonologi merupakan bagian

dari ilmu bahasa yang mengkaji bunyi. Objek kajian fonologi yang pertama bunyi

bahasa (fon) yang disebut tata bunyi (fonetik) dan yang kedua mengkaji fonem

yang disebut tata fonem (fonemik). Bahasa terdiri atas beberapa perangkat, mulai

dari perangkat yang terkecil hingga yang lebih besar. Perangkat bahasa yang

terkecil disebut bunyi. Bunyi inilah yang menjadi bahan kajian dari fonologi.

Para ahli berpendapat mengenai pengertian fonologi antara lain; menurut Verhaar

(2008) fonologi merupakan cabang linguistik yang mengidentifikasikan satuan-

satuan dasar bahasa sebagai bunyi. Bidang linguistik yang mempelajari,

menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa ini disebut

fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu

ilmu (Chaer, 2012:102).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

fonologi merupakan salah satu cabang ilmu linguistik mikro yang

mempelajari dasar bahasa, yaitu bunyi. Secara hierarki fonologi memili dua

objek kajian yaitu fonetik dan fonemik.

Page 20: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

9

1) Fonetik

Fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa

memperhatikan bunyi tersebut berfungsi membedakan makna atau tidak (Chaer,

2012). Sedangkan menurut Verhaar Fonetik adalah cabang ilmu lingistik yang

meneliti dasar “fisik” bunyi-bunyi bahasa. Ada dua segi “ fisik” tersebut, yaitu:

segi alat-alat bicara serta penggunaannya dalam menghasilkan bunyi-bunyi

bahasa; dan sifat-sifat akustik bunyi yang telah dihasilkan. Dasar yang pertama

disebut “fonetik artikulatoris” karena menyangkut alat-alat bicara. Menurut dasar

yang kedua, fonetik disebut “fonetik akustik” karena karena menyangkut bunyi

bahasa dari sudut bunyi sebagai getaran udara.

Sedangkan menurut Chaer terdapat satu lagi jenis fonetik selain dua jenis

fonetik yang dikemukakan Verhaar yaitu fonetik auditoris.

a. Fonetik Artikulatoris

Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis yang

mempelajari atau meneliti mekanisme alat-alat bicara manusia

bekerja dalam menghasilakn bunyi bahasa serta bagaimana bunyi,

bunyi itu diklasifikasikan.

b. Fonetik Akustik

Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai

peristiwa fisis atau fenomena alam yang berupa getaran udara.

Udara yang bergetar adalah udara dibuat bergerak dalam

gelombang-gelombang. Artinya, partikel-partikel udara dibuat

bergerak, dan gerakan itu mendesak partikel-partikel yang lain, dan

Page 21: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

10

partikel yang lain itu mendesak partikel udara yang lain lagi, dan

begitu terus sampai membentuk gelombang yang akan diselidiki

frekuensi getarannya, amplitudonya, intensitasnya dan timbrenya.

c. Fonetik Auditoris

Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme

penerimaan bunyi bahasa itu oleh alat pendengaran kita.

Jenis-jenis fonetik yang telah dijelaskan tersebut tidak semuanya

menjadi kajian dari ilmu linguistik. Yang menjadi kajian dari ilmu

linguistik yaitu fonetik artikulatoris karena berkaitan dengan

penghasilan bunyi. Fonetik akustik dikaji oleh ilmu fisika atau ilmu

alam, dan fonetik auditoris lebih berkenaan dengan bidang

kedokteran atau neorologi.

2) Fonemik

Berbeda dengan fonetik, fonemik memiliki objek kajian fonem yang

berfungsi membedakan makna kata. Misalnya pada dua kata yang berbeda seperti

kata iba dan ibu. Dari dua kata tersebut hampir sama, masing-masing terdiri dari

tiga buah bunyi.

iba → [i], [b], [a]

ibu→ [i], [b], [u]

Perbedaan dari dua kata tersebut terdapat pada bunyi [a] dan bunyi [u].

Oleh karena itu bunyi [a] dan bunyi [u] merupakan fonem karena kedua bunyi

tersebut membedakan makna dari kata iba dan ibu.

Page 22: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

11

Ucapan sebuah fonem dapat berbea-beda sebab sangat tergantung pada

lingkungannya, atau fonem-fonem lain yang ada disekitarnya.mDalam bahasa-

bahasa tertentu dijumpai perubahan fonem yang mengubah identitas fonem itu

menjadi fonem yang lain. Terdapat beberapa jenis perubahan fonem menurut

Chaer , antara lain :

a. Asimilasi dan Disimilasi

b. Netralisasi dan Arkifonem

c. Umlaut, Ablaut, dan Harmoni Vokal

d. Kontraksi

e. Metatesis dan Epentesis

f. Fonem dan Grafem

Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga jenis fonem yaitu fonem vokal,

fonem konsonan dan fonem semi konsonan (Nazir, 1987:105) :

1) Fonem Vokal

Pada Bahasa Indonesia ditemukan sebelas bunyi vokal, yaitu [i],

[I], [e], [ɛ], [a], [i], [ə], [u], [U], [o], dan [ɔ]. Diantara sebelas bunyi vokal

ini, hanya lima buah yang terbukti menjadi fonem. Prinsip yang digunakan

dalam menentukan fonem vokal ini ialah prinsip distribusi komplementer,

prinsip variasi bebas dan prinsip pasangan minimal. Bunyi vokal yang

dimaksud adalah : bunyi vokal [i]-[I], bunyi vokal [u]-[U], bunyi vokal [e,

ɛ, ə], bunyi vokal [o-ɔ], dan bunyi vokal [a-i].

Page 23: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

12

2) Fonem Konsonan

Dalam bahasa Indonesia terdapat 16 fonem konsonan yaitu : /p/,

/b/, /t/, /d/, /c/, /j/, /m/, / ñ /, /ŋ/, /n/, /s/, /r/, /l/, /k/, /g/, dan /h/.

3) Fonem Semi Konsonan

Bunyi maupun fonem semi konsonan sama-sama memiliki

distribusi yang tidak lengkap. Hal ini disebabkan karena baik bunyi

maupun fonem semi konsonan hanya ditemukan diawal dan tengah kata.

Fonem semi konsonan terdiri dari fonem /w/ dan /y/ saja.

2.2.2 Morfologi

Istilah ‘morfologi’ telah diambil alih oleh biologi yang digunakan untuk

merujuk pada studi terhadap bentuk-bentuk tanaman dan binatang. Penggunaan

pertama yang terekam adalah dalam tulisan dari penyair-penyair dan penulis

Jerman Goethe pada tahun 1796. Lantas pertama kali digunakan untuk tujuan

linguistik pada tahun 1859 oleh seorang ahli bahasa berkebangsaan Jerman

bernama August Schleicher (lihat Sukri, 2010) guna mengacu pada studi terhadap

bentuk kata-kata. Dalam ilmu bahasa dewasa ini, istilah ‘morfologi’ mengacu

pada kajian atau studi tentang struktur internal kata-kata, dan tentang

korespodensi bentuk arti sistematis antar kata (Sukri, 2010:5).

Ada beberapa pendapat ahli tentang pengertian morfologi antara lain

Verhaar (2008) mengemukakan morfologi mengidentifikasikan satuan-satuan

dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Sukri (2008: 3-4) mengungkapkan

morfologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang berhubungan dengan

struktur internal kata serta korespondensi antar bentuk makna kata-kata secara

Page 24: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

13

sistematis. Sedangkan menurut Kridalaksana (dalam Rohmadi,dkk. 2010)

morfologi adalah bidang ilmu linguistik yang mempelajari morfem dan

kombinasi-kombinasinya.

Berdasarkan beberapa pengertian para ahli mengenai morfologi di atas

pada prinsipnya memang sama meskipun cara penyampaiannya berbeda.

Semuanya sependapat bahwa morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang

membicarakan masalah bentuk-bentuk dan pembentukan kata baik itu morfem

terikat maupun morfem bebas dan segala bentuk dan jenisnya. Jadi, morfologi

menjadi sangat erat hubungannya dengan afiksasi.

Morfologi merupakan studi tentang bentuk bahasa. Bentuk terkecil dalam

morfologi adalah morfem, yaitu bentuk terkecil yang mempunyai makna. Satuan-

satuan beli, buku, pasar, toko, meng-, ber- dsb merupakan contoh dari morfem.

Morfem terdiri dari morfem terikat dan morfem bebas. Morfem terikat merupakan

morfem yang harus didampingi oleh morfem lain agar jelas fungsi dan maknanya.

Contohnya morfem ber-, morfem tersebut tidak akan jelas maknanya jika berdiri

sendiri. Jadi morfem ber- harus dilekatkan dengan morfem yang lain (morfem

bebas) agar makna dan fungsinya jelas seperti [[ber- + [jalan]V→[berjalan].

Selain berupa afiks morfem terikat juga dapat berupa klitik. Klitik menurut Sukri

(2008) merupakan satuan terikat yang memilik arti leksikal. Contoh morfem yang

berupa klitika yaitu –ku dalam sepedaku, -nya dalam rumahnya. Sedangkan

morfem bebas merupakan morfem yang dapat berdiri sendiri dalam kalimat tanpa

harus didampingi morfem lain. Seperti jual, beli, rumah dsb.

Page 25: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

14

Bentukan kata-kata yang terjadi pada morfem bebas dan morfem terikat

dibentuk dari proses morfologis. Proses morfologis adalah proses pembentukan

kata-kata melalui mekanisme penggabungan satuan/bentuk dengan bentuk lain

yang menjadi dasarnya (Sukri, 2008: 53).

Terdapat beberapa pendapat mengenai pembagian dari proses morfologis,

menurut Chaer (2012) proses morfologis terdiri dari:

1. Afiksasi

2. Reduplikasi

3. Komposisi

4. Konversi, Modifikasi Internal, dan Suplesi

5. Pemendekan.

Menurut Muslich proses morfologis dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Pembentukan kata dengan menambahkan morfem afiks pada bentuk dasar,

2. Pembentukan kata dengan mengulang bentuk dasar, dan

3. Pembentukan kata dengan menggabungkan dua atau lebih bentuk dasar.

Selain itu pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Sukri tentang

pembagian proses morfologis hanya perebedaan istilah saja yaitu :

1.Proses Afiksasi

2.Proses Reduplikasi

3.Proses Pemajemukkan

Berdasarkan ketiga pendapat di atas sebenarnya memiliki maksud yang

sama, namun peneliti menggunakan pendapat yang dikemukan oleh Sukri karena

lebih sederhana dan pemakaiannya sudah umum. Jadi dapat disimpulkan proses

Page 26: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

15

morfologis dibagi menjadi tiga yaitu afiksasi, reduplikasi dan pemajemukkan.

Reduplikasi atau pengulangan adalah pengulangan satuan gramatik, baik unsur

yang diduplikasi itu sebagian baik disertai variasi fonem/segmen maupun tanpa

disertaivariasi fonem atau segmen. Contoh dari reduplikasi rumah-rumah, rumah-

rumahan. Sedangkan pemajemukkan adalah hasil proses penggabungan morfem

dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun terikat, sehingga terbentuk

sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda atau baru.

Misalnya meja hijau, rumah sakit.

2.2.3 Afiksasi

Berdasarkan tiga proses morfologis yang berupa afiksasi, reduplikasi, dan

pemajemukan peneliti memfokuskan kajian terhadap Afiksasi. Afiks menurut

Verhaar (2008) adalah morfem terikat yang dapat ditambahkan di awal kata

(prefiks) di dalam proses yang disebut prefiksasi, di akhir kata (sufiks) yang

disebut sufiksasi, sebagian di awal kata sebagian di akhir kata (konfiks) di dalam

proses yang disebut konfiksasi, atau di dalam kata itu sendiri sebagai suatu sisipan

(infiks) di dalam proses yang disebut infiksasi.

Afiksasi tidak lain adalah proses pembubuhan atau pelekatan afiks pada

bentuk/morfem dasar; baik morfem dasar itu berwujud bentuk tunggal maupun

bentuk kompleks sehingga menghasilkan kata bentukan. Dapat dicontohkan di

sisni ialah pembubuhan morfem afiks {ber-} dengan morfem/bentuk dasar sepeda

sehingga menghasilkan kata bersepeda, {ber-} dengan morfem atau bentuk dasar

tiga sehingga menghasilkan kata bertiga dan seterusnya. Perlu kiranya diketahui

di sini bahwa dalam bahasa Indonesia, tidak semua afiks yang dilekatkan pada

Page 27: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

16

morfem dasar dapat menghasilkan kata meski dilekatkan dengan bentuk/ morfem

dasar tertentu. Dalam bahasa Indonesia misalnya, morfem afiks {per-}, {-kan},

dan {-i} yang dilekatkan dengan bentuk dasar yang menghasilkan pokok kata:

perbesar, perkecil, perhias, perindah, perkaya, perdua, perempat. Perjelas,

persempit, ambilkan, bacakan, bangunkan, tuliskan, duduki, tanami, pukuli, tiduri,

dan seterusnya (Sukri, 2008:54-55).

Selain itu pengertian yang diungkapkan oleh Putrayasa (2008:5) yang

menerangkan bahwa afiksasi atau pengimbuhan adalah proses pembentukan kata

dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar tunggal maupun

kompleks. Misalnya, pembubuhan afiks meN- pada bentuk dasar jual menjadi

menjual, benci menjadi membenci, tari menjadi menari, peluk menjadi memeluk,

masak menjadi memasak, baca menjadi membaca, bolak-balik menjadi

membolak-balik, pertanggungjawabkan menjadi mempertanggungjawabkan.

Pembubuhan afiks ber- pada dasar main menjadi bermain, sekolah menjadi

bersekolah, sepeda motor menjadi bersepeda motor, main peran menjadi bermain

peran. Berdasarkan contoh-contoh tersebut dapat dilihat bahwa pembubuhan afiks

dapat terjadi pada bentuk linguistik berupa bentuk tunggal seperti jual, benci,

masak, tari, baca, main, dan sekolah serta bentuk kompleks seperti bolak-balik,

pertanggungjawabkan, sepeda motor, dan main peran.

Afiksasi merupakan proses pengimbuhan yang terdiri dari beberapa

proses, antara lain:

Page 28: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

17

a) Prefiksasi

Prefiks ialah imbuhan yang melekat di depan bentuk dasar (kata

dasar). Prefiks juga disebut awalan atau yang lebih lazim disebut awalan

(Rohmadi,dkk. 2010).

Contoh :

{məŋ} [[məŋ- + [gendoŋ]V→[meŋgendoŋ] ‘menggendong’

{məŋ} [[məŋ- + roko?]N→ [məroko?]V ‘merokok’

Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa morfem {məŋ-}

bergabung dengan morfem dasar gendong [gendoŋ] ‘gendong’ sehingga

berbentuk kata /menggendong/ [meŋgendoŋ] ‘menggendong’. Demikian pula

hanya dengan morfem dasar rokok [roko?] ‘rokok’ setelah bergabung dengan

morfem afiks {məŋ-} menjadi /merokok/ [məroko?] ‘merokok’.Dari kedua

contoh diatas mengalami penghilagan fonem. Namun bagaimana dengan

contoh berikut ini :

{məŋ-} + [ukUr] → [məŋukUr] ‘mengukur’

{məŋ-} + [aku] → [məŋaku] ‘ mengaku’

{pəŋ-}+ [ukUr] → [pəŋukUr] ‘pengukur’

{pəŋ-} + [aku] → [pəŋaku] ‘pengaku’

Berdasarkan contoh pembentukan kata di atas dengan pelekatan

morfem afiks {məŋ-}, dan {pəŋ-} pada BD yang berawal vokal tidak

mengalami proses morfofonemk, baik berupa perubahan, penambahan,

ataupun penghilangan fonem.

Page 29: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

18

b) Infiksasi

Infiks ialah imbuhan yang melekat di tengah bentuk dasar. Karena

melekatnya menyisip ditengah kata dasar maka disebut sisipan saja

(Rohmadi,dkk. 2010).

{-ər-} + [ kudUŋ] ‘tutup’ → [kərudUŋ] ‘penutup kepala’

{-əm-} + [kunIŋ] ‘kuning’ → [kəmunIŋ] ‘pohon kemuning’

{-əl-} + [unjU?] ‘tunjuk’ → [təlUnjU?] ‘telunjuk’

Dalam kajian morfofonemik/morfofonologi, pembentukan kata

melalui mekanisme penyisipan infiks berada di tengah morfem dasar.Artinya,

infiks yang disisispkan pada morfem dasar hanya diperoleh menyela segmen

konsonan (K) pertama dari morfem dasar yang disisipinya.

c) Sufiksasi

Sufiks ialah imbuhan yang melekat dibelakang bentuk dasar (kata

dasar). Sufiks disebut juga imbuhan akhir atau lebih lazim disebut akhiran

saja (Rohmadi,dkk. 2010).

{-kan}+ /ambil/ ‘ambil’ [[ambIl]V + -[-kan]V ‘ambilkan’

{-i} + /tidur/ ‘tidur’ [[tidUr + -[-i]V ‘tiduri’

{-an} + /jemur/ ‘jemur’ [[jəmUr + -[-an]]N ‘tempat menjemur’

{-an} + /duduk/ ‘duduk’ [[dudU? + -[-an]]N ‘tempat duduk’

Kata bentukan /ambilkan/ [ambilkan] ’ambilkan’ dengan mudah dapat

dikenali unsur-unsur pembentukannya, yakni morfem dasar /ambil/ ‘ambil’

dan sufiks /-kan/, /tiduri/ [tiduri] terdiri atas morfem dasar /tidUr/ ‘tidur’ dan

sufiks /-i/, dan kata bentukan /jemuran/ [jəmUran] ‘ tempat menjemur

Page 30: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

19

pakaian’ terdiri atas morfem dasar /jemur/ ‘jemur’ dan sufiks /-an/ begitu pula

halnya dengan /dudukan/ [dudU?an] ‘tempat duduk’ (Sukri.2008).

d) Konfiksasi

Konfiks ialah imbuhan gabungan antara prefiks dan sufiks. Kedua

macama afiks tersebut melekat secara bersamaan pada suatu bentuk dasar

pada bagian depan dan belakangnya

[pəŋ-/-an/ + mandi/ [[pəŋ + [mandi]V + -[-an]]N ‘tempat mandi’

[kə-/-an/ + tahu/ [[kə + [tahu] + -[-an]]N ‘ketahuan’

Kata bentukan /pemandian/ [pəmandiyan] ‘tempat mandi’ terbentuk

dari morfem dasar /mandi/ ‘mandi’ dan konfiks [pəŋ-/-an]. Dalam bahasa

indonesia, bentukan /pemandi/ tidak berterima serta tidak memiliki makna,

ataupun /mandian/juga tidak berterima. Dengan demikian, morfem afiks [pəŋ-

] dan sufiks /-an/ haruslah dilekatkan secara bersamaan. Demikian pula

halnya dengan bentukan /ketahuan/ [kətahuwan] ‘ketahuan’ terdiri atas

morfem dasar /tahu/ ‘tahu’ dan konfiks [kə-/-an/] (Sukri. 2008) .

2.2.4 Morfofonemik

Morfofonemik digunakan menggambarkan interaksi antara fonologi dan

morfologi. Morfologi merupakan salah satu cabang linguistik yang mempelajari

tentang struktur internal kata. Sedangkan fonologi adalah cabang ilmu bahasa

(linguistik) yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya dan

perubahannya. Namun beberapa ahli linguis menggabungkan dua cabang

linguistik tersebut menjadi satu kajian, yaitu morfofonemik atau morfofonologi.

Page 31: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

20

Morfofonemik adalah proses berubahnya suatu fonem menjadi fonem

yang lain sesuai fonem awal atau fonem yang mendahuluinya (Alwi,2003). Hal

serupa juga dikemukakan oleh Zainal Arifin (2007:8) Proses morfofonemik

adalah proses berubahnya suatu fonem menjadi fonem lain sesuai dengan fonem

awal kata yang bersangkutan. Sukri (2008) dalam buku Morfologi Sebuah Kajian

Antara Bentuk dan Makna, morfofonemik mengkaji fenomena-fenomena yang

melibatkan kajian antara morfologi dan fonologi. Hampir sama dengan Sukri,

Chaer (2012) mengemukakan morfofonemik, disebut juga morfonemik,

morfofonologi, atau morfonologi, atau peristiwa berubahnya wujud morfemis

dalam suatu proses morfologis, baik afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi.

Morfofonemik adalah subsistem yang menghubungkan morfologi dan fonologi.

Di dalamnya dipelajari bagaimana morfem direalisasikan dalam tingkat fonologi

(Kridalaksana, 2007:183). Selain itu Mahsun (2007:90) menyebutkan proses

morfofonemik merupakan peristiwa fonologi yang terjadi karena pertemuan

morfem dengan morfem dalam rangka membentuk kata.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan

morfofonemik adalah proses perubahan wujud fonem karena pertemuan morfem-

morfem yang menyebabkan terjadinya proses morfologis. Selain memberikan

penjelasan mengenai pengertian dari morfofonemik para ahli juga membagi

proses morfofonemik menurut pendapat mereka masing-masing.

Chaer dalam buku Linguistik Umum (2012) membagi proses

morfofonemik menjadi lima, yaitu :

1) Pemunculan fonem

Page 32: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

21

2) Pelesapan fonem

3) Peluluhan fonem

4) Perubahan fonem

5) Pergeseran fonem

Mahsun dalam buku Morfologi (2007) proses morfologis terdiri dari :

1) Proses pemunculan fonem

2) Proses perubahan fonem

3) Proses pelepasan fonem

4) Proses perubahan dan pelepasan fonem.

Jos Daniel Parera dalam bukunya yang berjudul Morfologi tahun 1988

membagi proses morfofonemik menjadi beberapa proses yaitu:

1. Asimilasi

Asimilasi adalah perubahan morfofonemik tempat sebuah fonem

yang cenderung lebih banyak menyerupai fonem lingkungannya. Contoh

dalam bahasa Indonesia, misalnya pada kata imperfek terdapat dua morfem

yakni /im/ dan /perfek/. Morfem im- adalah alomorf dari prefiks in- yang

mengalami perubahan bentuk untuk mempermudah pengucapan.

Perubahan /n/, sebuah bunyi sengau dental yang bersuara, menjadi /m/,

sebuah bunyi sengau bilabial yang bersuara, menyebabkan ia lebih

mendekati dan menyerupai /p/, sebuah bunyi hambatan yang juga bilabial.

2. Disimilasi

Kalau dalam disimilasi fonem tersebut seakan-akan menjauhi

persamaan dengan fonem sekitarnya. Contoh dalam bahasa Indonesia,

Page 33: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

22

misalnya proses ber + ajar – belajar. Bunyi /r/ yang berdekatan

cenderung untuk menjadi tidak sama.

3. Elipsis

Proses morfofonemik elipsis terjadi bila dua bunyi yang sama

dalam proses pembentukan kata salah satu bunyi itu tanggal atau hilang.

Contoh dalam bahasa indonesia, misalnya ber- + kerja > bekerja. Disini

terjadi penghilangan bunyi /r/.

4. Metatesis

Perubahan morfofonemik metatesis adalah perubahan dalam

urutan fonem-fonem. Metatesis secara sinkronis jarang terdapat pada

suatu bahasa. Dalam bahasa Indonesia kita jumpai /lemari/ yang berasal

dari bahasa Portugis > /almari/.

5. Sandi

Proses morfofonemik sandi merupakan proses peleburan atau

sintesis dua fonem vokal atau lebih menjadi satu fonem vokal. Contoh

dalam bahasa Indonesia, misalnya bentuk Bhineka diturunkan dari

bhina + ika. Disini bunyi vokal /a/ bertemu /i/ dan kemudian lebur

menjadi /e/.

Berbeda dengan Chaer dan Mahsun, dalam buku lain Sukri

dan Muslich dalam buku yang berbeda memiliki pendapat yang sama

mengenai pembagian proses morfologis yang akan dijadikan dasar

oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu :

Page 34: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

23

1) Proses perubahan fonem

Contoh peruban fonem dalam bahasa Indonesia yaitu ketika

morfem {meŋ-} atau morfem yang lainnya dilekatkan pada bentuk

dasar.

{meŋ-} + /pilih/ → memilih

Dari contoh tersebut terjadi perubahan fonem {ŋ} menjadi

{m}, yang tadinya terbentuk dari morfem {meŋ-}namun setelah

dilekatkan dengan kata dasar, morfemnya berubah menjadi {mem-}.

Begitu pula dengan contoh {peŋ-} + / bantu/ → pembantu, perubahan

fonem juga terjadi pada contoh tersebut sehingga membentuk kata

pembantu.

2) Proses penambahan fonem

Proses morfofonemik berupa penambahan fonem akibat

morfem satu dilekatkan dengan morfem yang lain .

Contohnya dalam bahasa Indonesia yaitu :

{meŋ-} + /cat/ → mengecat

{peŋ-} + / bom/ → pengebom

Berdasarkan contoh di atas terdapat penambahan fonem berupa

fonem [e], setelah dilekatkan dengan bentuk dasar morfem {meŋ-}

mengalami penambahan fonem menjadi {meŋe-}, begitupula dengan

morfem {peŋ-} setelah diekatkan dengan bentuk dasar morfem

tersebut berubah menjadi {peŋe-} karena mengalami penambahan

fonem.

Page 35: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

24

3) Proses penghilangan fonem

Contoh dalam bahasa Indonesia :

{meŋ-} + / lemah/ → melemah

{peŋ-} + /lari/ → pelari

Berdasarkan contoh di atas terjadi penghilangan fonem pada

morfem {meŋ-}, karena dilekatkan dengan bentuk dasar sehingga terjadi

penghilangan fonem menjadi {me-} pada kata melemah. Sama halnya

dengan morfem {peŋ-}menjadi {pe-} pada kata pelari karena terjadi

penghilangan fonem.

2.2.5 Idiosinkresi Linguistik

Idiosinkresi merupakan sifat, keadaan, atau hal yang menyebabkan sesuatu

menjadi berlainan. Adapun Linguistik merupakan ilmu yang mempelajari tentang

tata bahasa. Jadi idiosinkresi linguistik adalah penyimpangan kaidah gramatika

pada ragam bahasa seseorang atau sekelompok orang sebagaimana terjadi (KBBI.

2012).

Menurut Darjowidjojo (1988) (dalam Indrini. 2005) Idiosinkresi linguistik

terbagi menjadi 3 bagian yaitu idiosinkresi fonologi, leksikal, dan semantik. Pada

penggunaan istilah idiosinkresi leksikal pada penelitian ini akan digunakan istilah

idiosinkresi morfologi. Idiosinkresi fonologi yaitu penyimpangan kaidah

gramatika pada tataran fonologi. Idiosinkresi morfologi merupakan penyimpangan

kaidah gramatika pada tataran morfologi. Demikian pula dengan semantik yaitu

penyimpangan kaidah gramatika pada tataran makna.

Page 36: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

25

2.2.6 Definisi Kendala

Kendala merupakan halangan, rintangan, hambatan, atau factor yang

membatasi untuk mencapai sasaran (KBBI.2012) kendala yang dimaksudkan

dalam penelitian ini yaitu, keanehan yang berupa idiosinkresi linguistik yang

membatasi kata yang terbentuk dari pelekatan morfem afiks dengan bentuk dasar

sehingga kata tersebut terhenti pada komponen penyaring setelah mengalami

proses pembentukan kata pada Kaidah Pembentukan Kata (KPK).

2.2.7 Morfologi Struktural

Menurut Halle, (1973) (lihat Sukri. 2008) terdapat empat komponen

tersebut yaitu :

1) List of Morfhemes (Daftar Morfem, selanjutnya disingkat DM)

2) Word Formation Rules (Kaidah Pembentukan Kata, selanjutnya

disingkat KPK)

3) Filter (Saringan)

4) Dictionary (kamus)

Adapun penggunaan empat komponen tersebut sebagai berikut.

Daftar Morfem

(DM) KPK Penyaring Kamus

Morfem Terikat dan Morfem Bebas (MB)

Kaidah Pembentukan

Kata

Idiosinkresi Linguistik

Kebakuan kata

Page 37: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

26

Daftar morfem terdiri atas morfem terikat dan morfem bebas, morfem

bebas (selanjutnya disingkat MB) ini akan dilekatkan dengan morfem terikat yang

berfungsi sebagai afiks. KPK merupakan komponen yang mencakup semua

kaidah tentang pembentukan kata dari morfem terikat dan morfem bebas yang ada

pada DM. selanjutnya DM dan KPK akan membentuk kata-kata yang potensial

dalam bahasa, khususnya BI yang menjadi objek kajian peneliti. Penyaring

berfungsi sebagai penyaring bentuk-bentuk yang dihasilkan oleh KPK dengan

memberikan tanda idiosinkresi linguistik berupa idiosinkresi fonologi, morfologi,

dan semantik. Memberikan tanda idiosinkresi linguistik dimaksudkan agar

bentuk-bentuk potensial yang terbentuk dalam KPK dapat dianalisis berdasarkan

kamus. Jika setelah mengalami pembentukan kata pada KPK , apabila kata

bentukan tersebut tidak ada idiosinkresi maka kata tersebut akan disimpan di

dalam kamus, tetapi jika pada kata tersebut mengalami idiosinkresi akan tetap

dimunculkan pada komponen kamus dengan diberikan tanda tanya (?).

Page 38: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

27

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Deskripsi Penelitian

Penelitian tidak lain adalah ikhtiar manusia yang dilakukan dalam upaya

pemecahan masalah yang dihadapi. Namun tidak semua kegiatan yang dilakukan

untuk memecahkan masalah disebut penelitian.Hal ini tergantung pada jenis

masalah yang ingn dicari jawabannya serta prosedur yang digunakan dalam

penelitian tersebut (Mahsun, 2012). Penelitian yang dimaksudkan dalam hal ini

yaitu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah menurut Kerlinger (1993, dalam

Mahsun, 2012) adalah penelitian yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis

terhadap proposisi-proposisi hipotesis tentang hubungan yang diperkirakan

terdapat antargejala alam.

Berdasarkan pengertian di atas Mahsun (2012) menyimpulkan bahwa

penelitian bahasa adalah penelitian yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis

terhadap terhadap objek sasaran yan berupa bunyi tutur (bahasa). Terdapat dua

bidang ilmu linguistik yang menjadi kajian para peneliti bahasa, yaitu linguistik

sinkronis dan linguistik diakronis. Linguistik sinkronis adalah bidang ilmu bahasa

atau linguistik yang mengkaji sistem bahasa pada waktu tertentu, sedangkan

linguistik diakronis adalah bidang linguistik yang menyelidiki perkembangan

bahasa dari satu masa ke masa yang lain, serta menyelidiki perbandingan bahasa

dengan bahasa yang lain (Mahsun, 2012). Pada penelitian ini, peneliti meneliti

bahasa sinkronis terhadap bahasa Indonesia dalam kurun waktu tertentu yang

bersifat deskriptif.

Page 39: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

28

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian

3.2.1 Populasi Penelitian

Dalam penelitian linguistik, populasi pada umumnya ialah keseluruhan

individu dari segi-segi tertentu bahasa (Edi Subroto, 2007:36). Misalnya, dalam

penelitian ini, peneliti akan meneliti bahasa Indonesia. Maka yang menjadi

populasinya adalah bahasa Indonesia yang dihasilkan/dipakai oleh penutur-

penutur asli bahasa Indonesia baik yang diungkapkan secara tertulis maupun lisan.

Sementara itu, Mahsun berpendapat bahwa dalam hubungannya dengan

penelitian bahasa, populasi terkait dengan dua hal, yaitu satuan penutur dan satuan

teritorial. Dalam kaitannya dengan satuan penutur, populasi dapat dipahami

sebagai keseluruhan individu yang menjadi anggota masyarakat tutur bahasa yang

akan diteliti dan menjadi sasaran penarikan generalisasi tentang seluk beluk

bahasa tersebut. Sedangkan bila terkait dengan satuan teritorial, populasi

merupakan keseluruhan wilayah yang menjadi tempat pemukiman keseluruhan

individu anggota masyarakat tutur bahasa yang menjadi sasaran generalisasi

(Mahsun, 2012).

3.2.2 Sampel Penelitian

Sampel dapat diartikan sebagian dari keseluruhan penutur atau wilayah

pakai bahasa yang menjadi objek penelitian sebagai wakil yang memungkinkan

untuk membuat generalisasi terhadap populasi (Mahsun, 2010). Sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penutur asli bahasa Indonesia yang

mengucapkan bahasa secara lisan dalam percakapan langsung, maupun tidak

langsung (televise dan radio). Selain itu peneliti juga mengambil sampel data dari

Page 40: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

29

bahasa secara tulisan yaitu kesusastraan (cerpen dan novel modern) dan media

cetak (majalah dan Koran).

3.3 Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data terdapat faktor penentu wujud metode dan

teknik yang dapat digunakan pada tahapan penyediaan data sebagai berikut:

(a) Pandangan peneliti terhadap dirinya dalam berhadapan

dengan objek ilmiahnya (bahasa);

(b) Jenis bahasa (objek ilmiah) yang diteliti; dan

(c) Watak objek dan tujuan penelitian (Sudaryanto,1933:153

dalam Mahsun, 2012)

Faktor yang pertama lebih brsifat subjektif dan implisit, artinya

keberadaannya dalam diri si peneliti cenderung tidak disadari, namun ikut

memengaruhi keseluruhan tingkah laku, cara memandang, aktivitas peneliti dan

sejenisnya. Setidak-tidaknya terdapat dua macam pandangan yang dapat muncul

berhubungan dengan faktor yang pertama,yaitu (1) peneliti dapat memandang

dirinya hanya sebagai pengamat,dalam arti ia tidak perlu terlibat dalam peristiwa

penggunaan bahasa yang diteliti dan (2) peneliti dapat memandang dirinya

disamping sebagai pengamat juga terlibat dalam penggunaan bahasa yang diteliti

karena ia sendiri memang menguasai dan dapat menggunakan bahasa yang diteliti

(Sudaryanto,1933: 153 dalam Mahsun, 2010). Dalam penelitian kali ini peneliti

peneliti memiliki pandangan pada poin 2 yaitu peneliti memandang dirinya juga

terlibat dalam penggunan bahasa yang ditelitinya.

Page 41: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

30

Berbeda dengan faktor pertama, faktor kedua yang menentukan wujud

metode dan teknik penyediaan data adalah jenis bahasa (objek ilmiah) yang diteliti

lebih bersifat objektif. Dalam faktor ini setidak-tidaknya terdapat tiga jenis bahasa

yang diteliti ditinjau dari aspek kadar distansi tersebut,yaitu (a)bahasa yang kadar

distansinya dengan peneliti cukup dekat,artinya bahasa yang bersangkutan sudah

dikuasai secara aktif oleh si peneliti; (b)bahasa yang kadar distansinya cukup

jauh,artinya bahasa itu belum dikuasai oleh peneliti,tetapi kemungkinan untuk

dikuasainya; dan (c)bahasa yang kadar distansinya sangat jauh,dalam arti bahasa

itu tidak mungkin untuk dikuasai secara aktif oleh si peneliti.

Dari ketiga faktor tersebut peneliti meneliti bahasa yang kadar distansinya

cukup dekat sengan menguasai bahasa secara aktif, sehingga dalam penelitian ini

peneliti menggunakan metode introspeksi disamping menggunakan metode cakap

dalam proses pengumpulan atau penyediaan data.

3.3.1 Metode Simak

Metode simak yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh data

dengan menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2011:92). Metode ini memiliki

teknik dasar berupa tehnik sadap. Tehnik sadap pada hakikatnya penyimakan

dilakukan dengan cara menyadap bahasa seseorang baik berupa bahasa lisan

maupun bahasa tertulis. Teknik sadap memiliki beberapa teknik lanjutan berupa

teknik simak libat cakap, simak bebas libat cakap, catat, dan tehnik rekam.

Dari empat teknik lanjutan tersebut peneliti menggunakan dua teknik

lanjutan yaitu teknik simak bebas libat cakap, dan teknik catat. Teknik lanjutan

simak bebas libat cakap digunakan karena peneliti hanya berperan sebagai

Page 42: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

31

pengamat penggunaan bahasa, seperti mendengarkan percakapan dari media

elektronik (tv dan radio) jika datanya berupa lisan dan membaca sumber data

berupa data tulisan. Selanjutnya untuk mendampingi teknik lanjutan tersebut

digunakan teknik catat untuk mencatat kata yang menjadi data si peneliti.

3.3.2 Metode Cakap

Penamaan metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan cara

yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara

peneliti dengan informan. Adanya percakapan antara peneliti dngan informan

mngandung arti terdapat kontak antar mereka. Metode cakap memiliki teknik

dasar berupa teknik pancing, karena percakapan yang diharapkan sebagai

pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul jika peneliti memberi

stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang

diharapkan oleh peneliti (Mahsun,2012).

Oleh karena itu peneliti menggunakan metode Cakap karena dalam

penelitian kali ini peneliti langsung bertatap semuka dengan pengguna bahasa

sebagai informan untuk menanyakan data yang ingin diperoleh peneliti dengan

pancingan atau stimulasi yang berkaitann dengan data penelitian.

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam memancing data yang

diharapkan dari informan oleh seorang peneliti dengan menggunakan teknik cakap

semuka sebagai teknik bawahan.

a. Teknik Lanjutan Bawahan: Lesap

b. Teknik Lanjutan Bawahan: Ganti

c. Teknik Lanjutan Bawahan: Perluas

Page 43: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

32

d. Teknik Lanjutan Bawahan: Sisip

e. Teknik Lanjutan Bawahan: Balik

Dari kelima tehnik di atas, pada penelitian ini, peneliti mengunakan salah

satu tehnik tersebut, yaitu tehnik lanjut bawahan; ganti. Teknik bawahan ganti

juga dimaksudkan sebagai salah satu teknik penyediaan data yang dilakukan

dengan cara memancingkan kreativitas informan dalam memunculkan data baru

berdasarkan data yang telah ada sebelumnya. Keberadaan data baru dimaksud

baik sebagai hasil penciptaan informan secara tidak sadar maupun karena

pancingan peneliti. Data baru sebagai data sandingan itu benar-benar bentuk

transformasi dari data sebelumnya dengan cara penggantian unsur yang menjadi

objek penelitian itu dalam deretan struktur dengan unsur lain. Hasilnya berupa

menjadi dasar aktivitas pada tahapan selanjutnya (tahapan analis data).

Dalam data yang akan dianalisis peneliti menyediakan data berupa data

yang berterima, kemudian diganti unsurnya. Apakah setelah data tersebut diganti

salah satu unsurnya tetap berterima atau menjadi data yang tidak berterima. Hal

inilah yang menyebabkan peneliti memilih tehnik tersebut. Sedangkan untuk

penyediaan data, peneliti juga memperoleh data dari informan yang mengerti

tentang kebahasaan.

3.2.3 Metode Introspeksi

Metode Introspeksi adalah metode penyediaan data dengan memanfaatkan

intuisi kebahasaan peneliti yang meneliti bahasa yang dikuasainya untuk

menyediakan data yang diperlukan bagi analisis sesuai dengan tujuan

penelitiannya. Terdapat dua kategori data yang dikemukakan oleh Botha(1981)

Page 44: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

33

dan Kibric (1977) yaitu data introspektif dan data informan. Data introspektif

adalah data yang berupa putusan linguistik yang berasal dari penutur asli yang

sudah terlatih secara linguistis. Penutur asli yang dimaksud tidak lain adalah

peneiti itu sendiri yang memiliki kompetensi linguistik bahasa sasaran sedangkan

data informan merupakan data yang berupa putusan linguistik dan diperoleh dari

penutur asli tidak terlatih (Mahsun, 2012).

Selain menngunakan metode simak dan cakap peneliti juga

menggunakan metode introspektif dalam penelitian ini karena bahasa yang diteliti

merupakan bahasa peneliti sendiri, yaitu bahasa Indonesia.

3.2.4 Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan metode yang digunakan untuk menemukan data-

data atau referensi yang relevan dan efekif. Studi pustaka dilakukan di

perpustakaan yang ada di sekitar daerah Mataram, baik yang berupa buku-buku

teori mapun hasil-hasil penelitian terdahulu yang berupa skripsi maupun tesis.

3.4 Metode Penganalisisan Data

Metode analisis data dalam penelitian bahasa secara sinkronis terdapat dua

metode utama yang digunakan dalam menganalisis data,yaitu metode padan

intralingual dan metode padan ekstralingual. Peneliti dalam menganalisis data

tidak menggunakan semua metode tersebut, tetapi hanya menggunakan metode

padan intralingual saja.Karena metode ini sesuai data yang ada serta sesuai

dengan tujuan dari penelitian ini.

Page 45: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

34

3.4.1 Metode Padan Intra Lingual

Padan merupakan kata yang bersinonim denga kata banding dan sesuatu

yang dibandingkan mengandung makna adanya keterhubungan sehingga padan

disini diartikan sebagai hal menghubungbandingkan. Sedangkan Intralingual

mengacu pada makna unsur-unsur yang berada dalam bahasa yang dibedakan

dengan unsur yang berada diluar bahasa(extra lingual). Jadi metode Padan Intra

Lingual adalah metode analisi data dengan cara menghubungbandingkan unsur-

unsur yang bersifat lingual,baik terdapat dalam satu bahasa maupun dalam

beberapa bahasa yang berbeda.Dalam metode ini,analisis data hanya

dimungkinkan jika data akan dihubungbandingkan telah tersedia.

3.5 Metode Penyajian Data

Menurut Sudaryanto,1993b (dalam Mahsun,2012) mengemukakan hasil

analisis yang berupa kaidah-kaidah dapat disajikan dengan dua cara,yaitu

perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa termasuk penggunaan

terminologi yang bersifat teknis, dan perumusan menggunakan tanda-tanda atau

lambang-lambang.

Dalam penelitian ini, penyajian data menggunakan kedua cara tersebut

yang tergabung dalam tehnik hasil penjabaran metode penyajian (sudaryanto.

1993 dalam Muhammad.2011). Tehnik tersebut merupakan tehnik penyajian

menggunakan kata-kata serta menggunakan tanda-tanda atau lambing-lambang.

Adapun beberapa tanda atau lambang yang digunakan antara lain:

1. Tanda petik dua (’…’) menunjukkan bahwa bentuk yang diapitnya

merupakan makna dari suatu bentuk.

Page 46: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

35

2. Tanda asteris (*) digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk

lingual yang tidak gramatikal dan diletakkan sebelum tuturan itu.

3. Kurung Biasa (( )) digunakan untuk menyatakan bahwa formatik

yang berada didalamnya memiliki alternasi sejumlah format yang

berbeda didalamnya.

4. Kurung Kurawal ({}) untuk menyatakan bahwa beberapa satuan

lingual yang ada didalamnya yang disusun secara terlajur dapat dan

perlu dipilih salah satu apabila digunakan bersama satuan-satuan

lain yang ada didepan atau dibelakangnya.Biasanya digunakan

dalam bidang morfologi untuk menandai satuan yang didalamnya

adalah morfem.

5. Tanda kurung siku ([]) menunjukkan satuan didalamnya adalah

satuan fonetis dan biasanya digunakan dalm bidang fonologi untuk

melambangkan bunyi tertentu yang tidak berstatus fonem.

6. Tanda garis miring (//) digunakan untuk menunjukkan satuan

didalamnya adalah fonem.

7. Tanda panah (→) digunakan untuk menyatakan hasil dari proses

kebahasaan.

Page 47: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dimaksudkan dalam bab ini adalah sejumlah temuan

penelitian yang berwujud kendala-kendala morfofonemik dalam level afiksasi.

Hasil penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : 1) Proses

Morfofonemik dalam Level Afiksasi Bahasa Indonesia, dan 2) Kendala-Kendala

Morfofonemik dalam Level Afiksasi Bahasa Indonesia.

4.1. Morfofonemik Level Afiksasi Bahasa Indonesia

Morfofonemik adalah proses perubahan wujud fonem karena pertemuan

morfem-morfem yang menyebabkan terjadinya proses morfologis berupa

perubahan, penambahan, dan penghilangan fonem. Adapun afiksasi merupakan

proses pengimbuhan yang terdiri atas beberapa proses yang berupa proses prefiks

(pelekatan morfem afiks di depan BD), infiksasi (pelekatan morfem afiks di

tengah BD), sufiksasi (pelekatan morfem afiks di akhir BD), dan konfiks

(pelekatan morfem afiks di awal dan di akhir BD).

4.1.1 Morfofonemik Level Prefiksasi

1. Perubahan Fonem pada Prefiksasi

1) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {Məŋ-}

Morfem {məŋ-} memiliki morf-morfberupa {məŋ-}, {mə-}, {mən-},

{məm-}, {məñ-}, dan {məŋə-} yang secara keseluruhan morf-morf tersebut

disebut alomorf. Pada setiap pembentukan kata yang terjadi dari afiksasi akan

terjadi proses morfofonemik. Namun dari ke enam morf tersebut yang

Page 48: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

37

mengalami perubahan fonem terjadi pada morf {mən-}, {məm-}, {məñ-}.

Berikut akan dipaparkan data mengenai perubahan fonem.

(1) {məŋ-} + [tari] → [mənari] ‘menari’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tari] ‘tari’ {məŋ-} ‘mən-‘

(2) {məŋ-} + [pilIh] → [məmilIh] ‘memilih’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [pilIh] ‘pilih’ {məŋ-} ‘məm-‘

(3) {məŋ-} + [səntUh] → [məñəntUh] ‘menyentuh’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [səntUh] ‘sentuh’ {məŋ-} ‘məñ-‘

Proses morfofonemik berupa perubahan fonem terjadi pada data (1), (2),

(3). Pada data (1), ketika morfem {məŋ-} dilekatkan dengan BD /tari/ yang

mengakibatkan fonem {ŋ} pada morfem {məŋ-} berubah menjadi fonem /n/

sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi *mengtari tetapi menjadi kata

menari. Pada data (2), morfem {məŋ-} dilekatkan dengan BD /pilih/ yang

mengakibatkan fonem {ŋ} pada morfem {məŋ-} berubah menjadi fonem /m/

sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi *mengpilih tetapi menjadi kata

memilih. Demikian juga dengan data (3), ketika morfem {məŋ-} dilekatkan

dengan BD /sentuh/ yang mengakibatkan fonem {ŋ} pada morfem {məŋ-}

berubah menjadi fonem /ñ/ sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi

*mengsentuh tetapi membentuk kata menyentuh.

Selain tiga data di atas pada masyarakat muncul varian baru karena

kreativitas penutur yang menyebabkan penggunaan morfem afiks {məŋ-} tidak

begitu diperhatikn penggunaannya. Berikut akan dipaparkan data yang

Page 49: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

38

merupakan varian baru yang digunakan masyarakat dalam pembentukan kata

yang mengalami perubahan fonem.

(4) {ŋ-} + [tanam] → [nanam] *nanam Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tanam] ‘tanam’ {n-} ‘mən’

(5) {ŋ-} + [pakai] → [makai] *makai

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [pakai] ‘pakai’ {m-} ‘məm’

(6) {ŋ-} + [sapu] → [ñapu] *nyapu

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [sapu] ‘sapu’ { ñ-} ‘məñ-’

2) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-}

Sama halnya dengan morfem afiks {məŋ-}, morfem {pəŋ-} juga

memiliki morf-morf berupa morf {pəŋ-}, {pən-}, {pə-}, {pəm}, {pəñ-}, dan

{pəŋə-}. Berdasarkan alomorf tersebut, morf yang mengalami perubahan

fonem yaitu morfem {pən-},{pəm}, {pəñ-}. Berikut akan dipaparkan data

dengan kaidah pembentukan kata yang mengalami perubahan fonem

(7) {pəŋ-} + [tari] → [pənari] ‘penari’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tari] ‘tari’ {pəŋ-} ‘pən-‘

(8) {pəŋ-} + [bunUh] → [pəmbunUh] ‘pembunuh’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [bunUh] ‘bunuh’ {pəŋ-} ‘pəm-‘

(9) {pəŋ-} + [sakIt] → [pəñakit] ‘penyakit’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [sakIt] ‘sakit’ {pəŋ-} ‘pəñ-‘

Page 50: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

39

Perubahan fonem terjadi pada data (7) ketika morfem {pəŋ-} dilekatkan

dengan BD /tari/ menghasilkan kata penari bukan *pengtari karena fonem /ŋ/

dari morfem {pəŋ-} berubah menjadi fonem /n/. sementara itu pada data (8)

perubahan fonem pada morfem {pəŋ-} berupa perubahan fonem /ŋ/ sehingga

kata yang terbentuk dari pelekatan morfem prefiks {pəŋ-} pada BD /bunuh/

adalah pembunuh. Perubahan fonem lainnya ditunjukkan pada data (9) ketika

morfem {pəŋ-} dilekatkan dengan BD /sakit/ yang menghasilkan kata

bentukan penyakit..

3) Perubahan fonem pada morfem Afiks {bər-}

Morfem afiks {bər-} memiliki morf-morf berupa morf {bəl-}, {bə-), dan

{bər-}. Morf-morf tersebut akan muncul ketika morfem {bər-} dilekatkan

dengan BD dalam proses pembentukan kata. Pada proses pembentukan kata

morfem afiks {bər-} akan berubah menjadi {bəl-} ketika dilekatkan dengan

BD. Berikut data morfem afiks {bər-}yang mengalami perubahan fonem.

(10) {bər-} +[ajar]→ [bəlajar] ‘belajar’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [ajar] ‘ajar’ {bər-} ‘bel-‘ Pada proses pembentukan kata dengan pelekatan morfem prefiks {bər-}

berupa perubahan dan penghilangan fonem. Perubahan fonem ditunjukkan

pada data (10) ketika morfem {bər-} dilekatkan dengan BD /ajar/. Pada proses

tersebut fonem /r/ pada morfem {bər-} berubah bentuk menjadi fonem /l/

sehingga pelakatan morfem {bər-} pada BD /ajar/ menghasilkan kata belajar

bukan kata *berajar.

Page 51: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

40

2. Penambahan Fonem Pada Prefiksasi

1) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-}

Pada pembentukan kata dengan pelekatan morfem afiks {məŋ-} dengan

BD akan mengalami penambahan fonem /ŋ/ menjadi fonem /ŋə/ ketika BD

tersebut memiliki satu suku kata.

(11) {məŋ-} + [tes] → [məŋətes] ‘mengetes’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa: [tes] ‘tes’ {məŋ-} ‘menge-’ (12) {məŋ-} + [pel] → [məŋəpel] ‘mengepel’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa: [tes] ‘tes’ {məŋ-} ‘menge-‘

Pada data (11) fonem {ŋ} pada morfem {məŋ-} bertambah menjadi fonem

/ŋə/ sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi *mengtes tetapi membentuk

kata mengetes.Sama halnya dengan data (11), data (12) juga mengalami

peambahan fonem pada proses pembentukan kata dengan fonem /ŋ/ pada

morfem {məŋ-} bertambah menjadi fonem /ŋə/ sehingga kata yang terbentuk

bukan menjadi *mengpel tetapi membentuk kata mengepel.

2) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-}

Penambahan fonem pada morfem afiks {pəŋ-}terjadi ketika morfem afiks

{pəŋ-} dilekatkan dengan BD yang memiliki satu suku kata.

(13) {pəŋ-} + [cat] → [pəŋəcat] ‘pengecat’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [cat] ‘cat’ {pəŋ-} ‘penge-‘

Page 52: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

41

(14) {pəŋ-} + [tIk] → [pəŋətIk] ‘pengetik’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tIk] ‘tik’ {pəŋ-} ‘penge-‘

Sementara itu, penambahan fonem terjadi pada data (13) ketika morfem

afiks {pəŋ-} menghasilkan kata pengecat bukan *pengcat setelah dilekatkan

dengan BD /cat/. Pada data (14), morfem afiks {pəŋ-} dilekatkan dengan BD

/tik/ membentuk kata pengetiki. Kedua data tersebut mengalami penambahan

fonem berupa penambahan fonem /ŋ/ pada morfem prefiks {pəŋ-} menjadi

fonem /ŋe/.

3. Penghilangan Fonem Pada Prefiksasi

1) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-}

(15) {məŋ-} + [rayu] → [mərayu] ‘merayu’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [rayu] ‘rayu’ {məŋ-} ‘me-‘

Adapun proses morfofonemik berupa penghilangan fonem ditunjukkan

pada data (15). Proses morfofonemik pada data (b) dengan morfem {məŋ-}

dilekatkan dengan BD /rayu/. Pada pembentukan kata tersebut fonem {ŋ} dari

morfem afiks {məŋ-} akan mengalami penghilangan fonem sehing morfem afiks

{məŋ-} menjadi morf {mə-} sehingga kata yang dibentuk bukan kata

*mengrayu tetapi kata merayu.

2) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-}

(16) {pəŋ-} + [lari] → [pəlari] ‘pelari’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [lari] ‘lari’ {pəŋ-} ‘pe-‘

Page 53: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

42

Penghilangan fonem pada morfem afiks {pəŋ-} berupa penghilangan

fonem /ŋ/ setelah morfem afiks {pəŋ-} dilekatkan BD /lari/ sehingga

membentuk kata pelarisesuai dengan data (16). Morfem afiks {pəŋ-} setelah

dilekatkan dengan BD sehingga mengalami penghilangan fonem akan

membentuk kata yang berkategori nomina.

3) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {bər-}

(17) {bər-} + [renaŋ] → [bərənaŋ] ‘berenang’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [renaŋ] ‘renang’ {bər-} ‘ber-‘

Penghilangan fonem pada morfem afiks {bər-} berupa penghilangan

fonem /r/ sehingga menjadi morf {bə-}. Penghilangan fonem terjadi pada data

(17) berupa penghilangan fonem /r/ pada morfem {ber-} setelah dilekatkan

dengan BD /renang/ sehingga membentuk kata berenang bukan *berrenang.

Selain mengalami perubahan, penambahan dan penghilangan fonem

morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-}, dan {bər-} tidak mengalami proses

morfofonemik tersebut ketika dilekati dengan BD tertentu, seperti BD yang

berawalan vokal dilekatkan dengan morfem afiks {məŋ-},. Pada morfem afiks

{məŋ-}, morfem afiks tersebut akan menjadi morf {məŋ-}ketika dilekatkan

dengan BD yang berawalan vokal. Berikut akan dipaparkan data mengenai

pelekatan morfem afiks {məŋ-}dengan BD yang berawalan vokal.

(18) {məŋ-} + [antar] → [məŋantar] ‘mengantar’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [antar] ‘antar’ {məŋ-} ‘meng-‘

Page 54: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

43

(19) {məŋ-} + [elak] → [məŋelak] ‘mengelak’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [elak] ‘antar’ {məŋ-} ‘meng-‘ (20) {məŋ-} + [obrɔl] → [məŋɔbrɔl] ‘mengobrol’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [obrɔl] ‘obrol’ {məŋ-} ‘meng-‘ (21) {məŋ-} + [intIp] → [məŋintIp] ‘mengintip’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [intIp] ‘intip’ {məŋ-} ‘meng-‘ (22) {məŋ-} + [ukUr] → [məŋukUrr] ‘mengukur’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [ukUr] ‘ukur’ {məŋ-} ‘meng-‘

Demikian pula dengan morfem afiks {pəŋ-} tidak akan mengalami

perubahan, penambahan, ataupun penghilangan fonem ketika dilekatkan

dengan BD tertentu. Berikut dipaparkan data dengan proses pembentukan

kata.

(23) {pəŋ-} + [gaŋgu] → [pəŋgaŋgu] ‘penggangu’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [gaŋgu] ‘ganggu’ {pəŋ-} ‘peng-‘ (24) {pəŋ-} + [garUk ]→ [pəŋgarUk] ‘penggaruk’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [garUk] ‘garuk’ {pəŋ-} ‘peng-‘

Adapun morfem afiks {bər-} tidak mengalami proses morfofonemik

ketika dilekatkan dengan BD tertentu baik yang berawalan vokal maupun

konsonan, seperti data berikut ini.

Page 55: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

44

(25) {bər-} + [ayUn] → [bərayUn] ‘berayun’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [ayUn] ‘ayun’ {bər-} ‘ber-‘ (26) {bər-} + [ibu] → [bəribu] ‘beribu’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [ibu] ‘ibu’ {bər-} ‘ber-‘ (27) {bər-} + [sahabat] → [bərsahabat] ‘bersahabat’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [sahabat] ‘sahabat’ {bər-} ‘ber-‘ (28) {bər-} + [təman] → [bərtəman] ‘berteman’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [təman] ‘teman’ {bər-} ‘ber-‘

Selain morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-}, dan {bər-} terdapat morfem afiks

dalam prefiksasi BI berupa Morfem Afiks {tər-}, {di-}, {kə-} dan {sə-}.

Morfem {tər-}, {di-}, {kə-} dan {sə-} tidaklah sama dengan tiga morfem

sebelumnya karena tidak memiliki morf-morf sehingga tidak terjadinya proses

morfofonemik. Namun dalam pembentukan kata keempat morfem-morfem ini

memiliki ciri-ciri tersendiri.

Morfem {tər-} dalam pembentukan kata pada BI meskipun tidak

mengalami proses morfofonemik, morfem {tər-} memiliki makna tersendiri

dalam pembentukan kata setelah dilekatkan dengan BD. Adapun makna yang

dimaksudkan ialah morfem {tər-} memiliki makna ketidaksengajaan, makna

perfektif, dan makna yang menyakatakan paling. Morfem {tər-} ketika memilki

makna ketidaksengajaa dapat dilihat pada kata terbawa, terdorong. Makna

perfektif (menggambarkan perbuatan yang selesai) yang berarti telah terjadi,

Page 56: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

45

kata bentukan yang menyatakan makna perfektif seperti terbagi, tergolong.

Sedangkan morfem {ter-} yang menyatakan makna paling yaitu pada kata

tertinggi, terendah.

(29) {tər-} + [bawa] → [tərbawa] ‘terbawa’ (ketidaksegajaan) Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [bawa] ‘bawa’ {tər-} ‘ter-‘ (30) {tər-} + [bagi]→ [tərbagi] ‘terbagi’ (telah terjadi) Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [bagi] ‘bagi’ {tər-} ‘ter-‘ (31) {tər-} + [tIŋgi] → [tər tIŋgi] ‘tertinggi’ (menyatakan paling) Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tIŋgi] ‘tinggi’ {tər-} ‘ter-‘ 4.1.2 Morfofonemik Level Infiksasi

Dalam penggunaan BI untuk berkomunikasi infiks tidak produktif karena

hanya kata-kata tertentu yang mampu dilekatkan dengan infiks. Selain tidak

produktif infiks juga tidak mengalami perubahan bentuk atau tidak mengalami

proses morfofonemik. Infiks dalam bahasa Indonesia berupa {-ər-}, {-əl-}, dan {-

əm} yang berada di tengah bentuk dasar. Infiks hanya bisa disisipkan setelah

konsonan pertama pada BD, seperti :

(32) {-ər-} + [gigi] → [gərigi] ‘gerigi’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[gigi] ‘gigi’ {-ər-} ‘-er-’

(33) {-əl-} + [tUnjU?] → [təlUnjU?] ‘telunjuk’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tUnjU?] ‘telunjuk’

{-əl-} ‘-el-’

Page 57: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

46

(34) {-əm} + [gurUh] → [gəmurUh] ‘gemuruh’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[gurUh] ‘guruh’ {-əm-} ‘-em-’

Bandingkan data di atas dengan data berikut :

(35) {-ər-} + [gigi] → [giərgi] *giergi (36) {-əl-} + [tUnjU?] → [tUəlnjU?] *tuelnjuk

(37) {-əm} + [gurUh] → [guəmrUh] *guemruh

Berdasarkan perbandingan kata di atas yang terbentuk melalui proses

pembentukan kata berupa penyisipan morfem afiks pada BD hanya diperbolehkan

menyela konsonan pertama dari bentuk dasar, seperti BD /gigi/ disisipi oleh

morfem afiks {-ər-} yang menyela konsonan /g/ yang merupakan konsonan

pertama pada BD sehinnga membentuk kata gerigi. Namun jika morfem afiks {-

ər-}, {-əl-}, {-əm} menyela rangkaian konsonan-vokal yang pertama akan

meghasilkan kata bentukan yang tidak berterima, seprti pada data (35), (36), (37).

4.1.3 Morfofonemik Level Sufiksasi

Sufiksasi yaitu pelekatan morfem afiks pada akhir BD. Sufiks dalam

Proses pembentukan kata BI memiliki morfem afiks berupa {-kan}, {-i}, dan {-

an}. Dari ketiga morfem tersebut tidak ada yang mengalami perubahan,

penambahan dan penghilangan bentuk atau terjadi morfofonemik ketika

dilekatkan dengan BD pada proses pembentukan kata.

(38) {-kan} + [lulUh] → [lulUhkan] ‘luluhkan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[lulUh] ‘luluh’ {-kan} ‘-kan’

(39) {-i} + [jalan] → [jalani] ‘jalani’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [jalan] ‘jalan’

{-i} ‘-i’

Page 58: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

47

(40) {-an} + [awal] → [awalan] ‘awalan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[awal] ‘awal’ {-an} ‘-an’

4.1.4 Morfofonemik Level Konfiksasi

Konfiks merupakan pembubuhan pada kata dasar yang dilakukan dengan

bersamaan pada awal dan akhir kata dasar. Terdapat beberapa konfiks dalam BI

yang mampu membentuk kategori baru pada kata dasar yang telah dibubuhi oleh

konfiks tersebut. Adapun konfiks-konfiks tersebut adalah {məŋ-kan}, {məŋ-i},

{kə-an}, {pəŋ-an}, {pər-an}, dan {bər-an}. Pada pembubuhan konfiks ini terjadi

terjadinya proses morfofonemik.

1. Perubahan Fonem pada Konfiksasi

1) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-kan}

Pada morfem afiks {məŋ-kan} mengalami perubahan fonem ketika

dilekatkan dengan bentuk dasar pada proses pembentukan kata menjadi {mən-

kan}, {məm-kan}, {məñ-kan}.

(41) {məŋ-kan} + [taña] → [mənañakan]‘menanyakan’ Morf-morfnya diidentifikasikan berupa : [taña] ‘tanya’ {məŋ-kan} ‘men-kan’

(42) {məŋ-kan} + [bayaŋ] → [məmbayaŋkan]‘membayangkan’ Morf-morfnya diidentifikasikan berupa : [bayaŋ] ‘bayang’ {məŋ-kan} ‘mem-kan’

(43) {məŋ-kan} + [salah] → [məñalahkan]‘menyalahkan’ Morf-morfnya diidentifikasikan berupa : [salah] ‘salah’ {məŋ-kan} ‘meny-kan’

Page 59: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

48

2) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-i}

Pada morfem afiks {məŋ-i} mengalami perubahan fonem ketika

dilekatkan dengan bentuk dasar pada proses pembentukan kata menjadi {mən-

i}, {məm-i}, {məñ-i}.

(44) {məŋ-i} + [təman] → [mənəmani]‘menemani’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [təman] ‘teman’ {məŋ-i} ‘men-i’

(45) {məŋ-i} + [paham] → [məmahami]‘memahami’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [paham] ‘paham’ {məŋ-i} ‘mem-i’

(46) {məŋ-i} + [sakIt] → [məñakiti]‘menyakiti’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [sakIt] ‘sakit’ {məŋ-i} ‘meny-i’

3) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-an}

Pada morfem afiks {pəŋ-an} mengalami perubahan fonem ketika

dilekatkan dengan bentuk dasar pada proses pembentukan kata menjadi {pən-

an}, {pəm-an}, {pəñ-an}.

(47) {pəŋ-an} + [taŋkap] → [mənaŋkapan] ‘penangkapan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa [taŋkap] ‘tangkap’ {pəŋ-an} ‘pen-an’

(48) {pəŋ-an} + [bunUh] → [pəmbunuhan] ‘pembunuhan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa [bunUh] ‘bunuh’ {pəŋ-an} ‘pem-an’

(49) {pəŋ-an} + [satu] → [pəñatuan]‘penyatuan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa [satu] ‘satu’ {pəŋ-an} ‘peny-an’

Page 60: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

49

2. Penambahan Fonem pada Konfiksasi

1) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-kan}

Penambahan fonem pada morfem afiks {məŋ-kan} terjadi pada proses

pembentukan kata ketika dilekatkan dengan BD akan terjadi penambahan fonem

berupa fonem /e/ sehingga morfem afiks tersebut membentuk morf menjadi

{məŋə-kan}.

(50) {məŋ-kan} + [dəpan] → [məŋədəpankan] ‘mengedepankan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [dəpan] ‘depan’ {məŋ-kan} ‘menge-kan’

2) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-i}

Proses morfofonemik juga terjadi pada morfem afiks {məŋ-i} berupa

penambahan fonem. Penambahan fonem ini terjadi pada proses pembentukan

kata ketika morfem afiks {məŋ-i} dilekatkan dengan BD. Penambahan fonem

tersebut yaitu berupa penambahan fonem /e/ pada morfem afiks {məŋ-i}

sehingga menjadi morf {məŋə-i}.

(51) {məŋ-i} + [tahu] → [məŋətahui]‘mengetahui’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [dəpan] ‘depan’ {məŋ-kan} ‘menge-kan’

3) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-an}

Proses morfofonemik dapat terjadi pada konfiksasi seperti pada morfem

afiks {pəŋ-an} yang mengalami penambahan fonem dalam proses pembentukan

kata berupa penambahan fonem /e/ sehingga membentuk morf {pəŋə-an}.

(52) {pəŋ-an} + [tes] → [məŋətesan] ‘pengetesan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tes] ‘tes’ {pəŋ-an} ‘penge-kan’

Page 61: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

50

3. Penghilangan Fonem pada Konfiksasi

1) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-kan}

Selain mengalami perubahan dan penambahan fonem morfem afiks

{məŋ-kan} juga mengalami penghiilangan fonem pada proses pembentukan

kata. Penghilangan fonem tersebut berupa penghilangan fonem /ŋ/ sehingga

morfem afiks {məŋ-kan} akan menjadi morf {mə-kan}.

(53) {məŋ-kan} +[rəbUt] →[mərəbUtkan]‘merebutkan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [rəbUt] ‘rebut’ {məŋ-kan} ‘me-kan’

2) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-i}

Demikian pula morfem afiks {məŋ-i} yang mengalami penghilangan

fonem /ŋ/ setelah dilekatkan dengan BD pada proses pembentukan kata.

Penghilangan fonem tersebut menyebabkan morfem afiks {məŋ-i} mempunyai

morf {mə-i}.

(54) {məŋ-i} + [lewat] → [məlewati] ‘melewati’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [lewat] ‘lewat’ {məŋ-i} ‘me-i’

3) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-an}

Morfem afiks {pəŋ-an} selain mengalami proses morfofonemik berupa

perubahan dan penambahan fonem, morfem tersebbut mengalami proses

morfofonemik lainnya berupa penghilangan fonem. Penghilangan fonem ini

terjadi pada proses pembentukan kata ketika morfem afiks {pəŋ-an} dilekatkan

dengan BD tertentu, seperti BD /lari/. Penghilangan fonem tersebut berupa

penghilangan fonem /ŋ/ sehingga membentuk morf {pə-an}

Page 62: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

51

(55) {pəŋ-an} + [lari] → [pəlarian] ‘pelarian’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [lari] ‘lari’ {pəŋ-an} ‘me-an’

Seperti yang telah dijelaskan di atas proses morfofonemik level afiksasi,

khususnya pada konfiksasi mengalami proses morfofonemik berupa perubahan,

penambahan, dan penghilangan fonem. Proses morfofonemik tersebut terjadi

pada morfem afiks yang dilekatkan dengan BD. Meskipun demikian terdapat

beberapa morfem afiks BIyang tidak mengalami proses morfofonemik ketika

dilekatkan dengan BD, seperti morfem afiks {məŋ-kan} (khusus morf {məŋ-

kan} ), {kə-an}, {pər-an}, dan {bər-an}. Morfem-morfem tersebut tidak

mengalami proses morfofonemik jika dilekatkan dengan BD pada proses

pembentukan kata. Berikut dipaparkan data morfem afiks yang tidak mengalami

proses morfofonemik.

(57) {məŋ-kan} + [gabUŋ]→ [məŋgabUŋkan] ‘menggabungkan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa: [gabUŋ] ‘gabung’ {məŋ-kan} ‘meng-kan’

(56) {kə-an} + [cantIk → [kəcantikan] ‘kecantikan’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa: [cantIk] ‘cantik’ {kə-an} ‘ke-an’

(57) {pər-an} + [atUr] → [pəraturan] ‘peraturan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa: [atUr] ‘atur’ {pər-an} ‘per-an’

(58) {bər-an} + [jatUh] → [bərjatuhan] ‘berjatuhan’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa: [jatUh] ‘jatuh’ {bər-an} ‘ber-an’

Page 63: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

52

4.2 Kendala-Kendala Morfofonemik Level Afiksasi Bahasa Indonesia 4.2.1 Kendala-Kendala Morfofonemik Level Prefiksasi

1. Perubahan Fonem pada Prefiksasi

1) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {ŋ-}

Morfem afiks {ŋ-} salah satu prefiks yang paling produktif dalam

pembentukan kata ketika berkomunikasi menggunakan BI pada saat ini, ketika

kebakuan BI sudah tidak diperhatikan lagi. Hal ini terlihat dari banyaknya data

yang mewakili hal tersebut. Kata-kata yang menjadi data ini tidak hanya

ditemukan dalam bahasa lisan saja, tetapi banyak dijumpai juga dalam bahasa

tulisan. Berdasarkan data yang ditemukan morfem {ŋ-} memiliki alomorf

berupa morf {ŋ-}, {m-}, {n-}, {ñ-}, { ŋe-}. Perubahan fonem pada morfem

afiks {ŋ-} setelah dilekatkan dengan BD tertentu akan menjadi morf {m-}, {n-

}, dan {ñ-}. Berikut akan dipaparkan data mengenai perubahan fonem pada

morfem afiks {ŋ-}.

Tabel 1. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morf {n-} )

No.

Daftar Morfem KPK Penyaring Kamus

Morfem terikat {ŋ-} Morfem Bebas

59 /tagih/ [ŋ- + [tagIh] [nagIh] ‘nagih’ nagih? 60 /tahan/ [ŋ- + [tahan] [nahan] ‘nahan’ nahan? 61 /tanam/ [ŋ- + [tanam] [nanem] ‘nanem’ nanam? 62 /tari/ [ŋ- + [tari] [nari] ‘nari’ nari? 63 /tarik/ [ŋ- + [tarIk] [narIk] ‘narik’ narik? 64 /taruh/ [ŋ- + [tarUh] [narUh] ‘naruh’ naruh? 65 /tebar/ [ŋ- + [təbar] [nəbar] ‘nebar’ nebar? 66 /tebus/ [ŋ- + [təbUs] [nəbUs] ‘nebus’ nebus? 67 /telan/ [ŋ- + [təlan] [nəlan] ‘nelan’ nelan?

Page 64: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

53

68 /teliti/ [ŋ- + [təliti] [nəliti] ‘neliti’ neliti? 69 /tembak/ [ŋ- + [tembak] [nembak] ‘nembak’ nembak? 70 /tembok/ [ŋ- + [tembɔ?] [nembɔ?] ‘nembok’ nembok? 71 /tempel/ [ŋ- + [tempel] [nempel] ‘nempel’ nempel? 72 /temu/ [ŋ- + [təmu] [nəmu] ‘nemu’ nemu? 73 /tepuk/ [ŋ- + [təpUk] [nəpUk] ‘nepuk’ nepuk? 74 /tikam/ [ŋ- + [tikam] [nikam] ‘nikam’ nikam? 75 /tipu/ [ŋ- + [tipu] [nipu] ‘nipu’ nipu? 76 /tiru/ [ŋ- + [tiru] [niru] ‘niru’ niru? 77 /tiup/ [ŋ- + [tiup] [niup] ‘niup’ niup? 78 /tolak/ [ŋ- + [tola?] [nola?] ‘nolak’ nolak? 79 /tolong/ [ŋ- + [tolɔŋ] [nolɔŋ] ‘nolong’ nolong?

80 /tongkrong/ [ŋ- + [tɔŋkrɔŋ] [nɔŋkrɔŋ] ‘nongkrong’ nongkrong?

81 /tukar/ [ŋ- + [tukar] [nukar] ‘nukar’ nukar? 82 /tulis/ [ŋ- + [tulIs] [nulIs] ‘nulis’ nulis? 83 /tumbuh/ [ŋ- + [tUmbUh] [nUmbUh] ‘numbuh’ numbuh? 84 /tunggu/ [ŋ- + [tUŋgu] [nUŋgu] ‘nunggu’ nunggu? 85 /turun/ [ŋ- + [turUn] [nurUn] ‘nurun’ nurun? 86 /tusuk/ [ŋ- + [tusUk] [nusUk] ‘nuduk’ nuduk? 87 /tutup/ [ŋ- + [tutUp] [nutUp] ‘nutup’ nutup?

Tabel 2. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morf {m-} )

No.

Daftar Morfem KPK Penyaring Kamus

Morfem Terikat {ŋ-} Morfem Bebas

88 /pahat/ [ŋ- + [pahat] [mahat] ‘mahat' mahat? 89 /pakai/ [ŋ- + [pakai] [makai] ‘makai’ makai? 90 /paksa/ [ŋ- + [paksa] [maksa] ‘maksa’ malak? 91 /palak/ [ŋ- + [palak] [malak] ‘malak’ maksa? 92 /palu/ [ŋ- + [palu] [malu] ‘malu’ malu? 93 /pancing/ [ŋ- + [panciŋ] [mancIŋ] ‘mancing’ mincing? 94 /pandang/ [ŋ- + [pandaŋ] [mandaŋ] ‘mandang’ mandang? 95 /panjat/ [ŋ- + [panjat] [manjat] ‘manjat’ manjat? 96 /panggil/ [ŋ- + [paŋgIl] [maŋgIl] ‘manggil’ manggil? 97 /pangkas/ [ŋ- + [paŋkas] [maŋkas] ‘mangkas’ mangkas?

Page 65: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

54

98 /pantau/ [ŋ- + [pantau] [mantau] ‘mantau’ mantau? 99 /pasang/ [ŋ- + [pasaŋ] [masaŋ] ‘masang’ masang?

100 /pecat/ [ŋ- + [pəcat] [məcat] ‘mecat’ mecat? 101 /peluk/ [ŋ- + [pəlUk] [məlUk] ‘meluk’ meluk? 102 /pendam/ [ŋ-+ [pəndam] [məndam] ‘mendam’ mendam? 103 /peras/ [ŋ- + [pəras] [məras] ‘meras’ meras? 104 /periksa/ [ŋ- + [pərIksa] [mərIksa] ‘meriksa’ meriksa?

105 /perintah/ [ŋ-+ [pərIntah] [mərIntah] ‘merintah’ merintah?

106 /pesan/ [ŋ- + [pəsan] [məsan] ‘mesan’ mesan? 107 /pijat/ [ŋ- + [pijat] [mijat] ‘mijat’ mijat? 108 /pikat/ [ŋ- + [pikat] [mikat] ‘mikat’ mikat? 109 /pikir/ [ŋ- + [pikIr] [mikIr] ‘mikir’ mikir? 110 /pikul/ [ŋ- + [pikUl] [mikUl] ‘mikul’ mikul? 111 /pilih/ [ŋ- + [pilIh] [milIh] ‘milih milih? 112 /pindah/ [ŋ- + [pIndah] [mIndah ] ‘mindah’ mindah? 113 /pinggir/ [ŋ- + [pIŋgIr] [mIŋgIr] ‘minggir’ minggir? 114 /pingit/ [ŋ- + [piŋgIt] [miŋgIt] ‘mingit’ mingit? 115 /pinta/ [ŋ- + [pInta] [mInta] ‘minta minta? 116 /pisah/ [ŋ- + [pisah] [misah] ‘misah’ misah? 117 /pojok/ [ŋ- + [pojɔk] [mojɔk] ‘mojok’ mojok? 118 /pompa/ [ŋ- + [pɔmpa] [mɔmpa] ‘mompa’ mompa? 119 /potong/ [ŋ- + [potɔŋ] [motɔŋ] ‘motong’ motong? 120 /potret/ [ŋ- + [pɔtret] [mɔtret] ‘motret’ motret? 121 /pudar/ [ŋ- + [pudar] [mudar] ‘mudar’ mudar? 122 /pukul/ [ŋ- + [pukUl] [mukUl] ‘mukul’ mukul? 123 /puji/ [ŋ- + [puji] [muji] ‘muji’ muji? 124 /putar/ [ŋ- + [putar] [mutar] ‘mutar’ mutar?

Tabel 3. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morf {m-} )

No.

Daftar Morfem KPK Penyaring Kamus

Morfem Terikat {ŋ-}

Morfem Bebas

125 /cukur/ [ŋ- + [cukUr] [ñukUr] ‘nyukur’ nyukur? 126 /cabut/ [ŋ- + [cabUt] [ñabUt] ‘nyabut’ nyabut? 127 /campur/ [ŋ- + [campUr] [ñampUr] ‘nyampur’ nyampur?

Page 66: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

55

128 /cangkul/ [ŋ- + [caŋkUl] [ñaŋkUl] ‘nyangkul’ nyangkul? 129 /cangkok/ [ŋ- + [caŋkɔ?] [ñaŋkɔ?] ‘nyangkok’ nyangkok? 130 /cari/ [ŋ- + [cari] [ñari] ‘nyari’ nyari? 131 /cetak/ [ŋ- + [cətak] [ñətak] ‘nyetak’ nyetak? 132 /cicil/ [ŋ- + [caicIl] [ñicIl] ‘nyicil’ nyicil? 133 /cicip/ [ŋ- + [cicIp] [ñicIp] ‘nyipip’ nyipip? 134 /cium/ [ŋ- + [cium] [ñium] ‘nyium’ nyium? 135 /coba/ [ŋ- + [coba] [ñoba] ‘nyoba’ nyoba? 136 /congkel/ [ŋ- + [cɔŋkel] [ñɔŋkel] nyongkel’ nyongkel? 137 /copet/ [ŋ- + [copet] [ñopet] ‘nyopet’ nyopet? 138 /cubit/ [ŋ- + [cubIt] [ñubIt] ‘nyubit’ nyubit? 139 /cuci/ [ŋ- + [cuci] [ñuci] ‘nyuci’ nyuci? 140 /cukur/ [ŋ- + [cukUr] [ñukUr] ‘nyukur’ nyukur? 141 /curi/ [ŋ- + [curi] [ñuri] ‘nyuri’ nyuri? 142 /sabit/ [ŋ- + [sabIt] [ñabIt] ‘nyabit’ nyabit? 143 /sakit/ [ŋ- + [sakIt] [ñakIt] ‘nyakit’ nyakit?

144 /sambung/ [ŋ- + [sambUŋ] [ñambUŋ] ‘nyambung’ nyambung?

145 /sanggah/ [ŋ- + [saŋgah] [ñaŋgah] ‘nyanggah’ nyanggah? 146 /sanjung/ [ŋ- + [sanjUŋ] [ñanjUŋ] ‘nyanjung’ nyanjung? 147 /santai/ [ŋ- + [santai] [ñantai] ‘nyantai’ nyantai? 148 /sapu/ [ŋ- + [sapu] [ñapu] ‘nyapu’ nyapu? 149 /satu/ [ŋ- + [satu] [ñatu] ‘nyatu’ nyatu? 150 /selam/ [ŋ- + [səlam] [ñəlam] ‘nyelam’ nyelam? 151 /semprot/ [ŋ- + [semprɔt] [ñemprɔt] ‘nyemprot’ nyemprot? 152 /senggol/ [ŋ- + [seŋgɔl] [ñeŋgɔl] ‘nyenggol’ nyenggol? 153 /sentuh/ [ŋ- + [səntUh] [ñəntUh] ‘nyentuh’ nyentuh? 154 /serang/ [ŋ- + [səraŋ] [ñəraŋ] ‘nyerang’ nyerang? 155 /serbu/ [ŋ- + [sərbu] [ñərbu] ‘nyerbu’ nyerbu? 156 /setrika/ [ŋ- + [sətrika] [ñətrika] ‘nyetrika’ nyetrika? 157 /sewa/ [ŋ- + [sewa] [ñewa] ‘nyewa’ nyewa? 158 /sihir/ [ŋ- + [sihIr] [ñihIr] ‘nyihir’ nyihir? 159 /sikat/ [ŋ- + [sikat] [ñikat] ‘nyikat’ nyikat? 160 /simak/ [ŋ- + [simak] [ñimak] ‘nyimak’ nyimak? 161 /simpan/ [ŋ- + [sImpan] [ñImpan] ‘nyimpan’ nyimpan? 162 /singkat/ [ŋ- + [sIŋkat] [ñIŋkat] ‘nyikat’ nyikat? 163 /sita/ [ŋ- + [sita] [ñita] ‘nyita’ nyita? 164 /sisir/ [ŋ- + [sisIr] [ñisIr] ‘nyisir’ nyisir? 165 /sogok/ [ŋ- + [sogɔ?] [ñogɔ?] ‘nyogok’ nyogok?

Page 67: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

56

166 /sopir/ [ŋ- + [sopIr] [ñopIr] ‘nyopir’ nyopir? 167 /suap/ [ŋ- + [sUap] [ñUap] ‘nyuap’ nyuap?

168 /sumbang/ [ŋ- + [sUmbaŋ] [ñUmbaŋ] ‘nyumbang’ nyumbang?

169 /sunting/ [ŋ- + [sUntIŋ] [ñUntIŋ] ‘nyunting’ nyunting? 170 /suruh/ [ŋ- + [surUh] [ñurUh] ‘nyuruh’ nyuruh? 171 /susul/ [ŋ- + [susUl] [ñusUl] ‘nyusul’ nyusul? 172 /susun/ [ŋ- + [susUn] [ñusUn] ‘nyusun’ nyusun?

(1) {məŋ-} + [tari] → [mənari] ‘menari’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tari] ‘tari’ {məŋ-} ‘mən-‘

(2) {məŋ-} + [pilIh] → [məmilIh] ‘memilih’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [pilIh] ‘pilih’ {məŋ-} ‘məm-‘

(3) {məŋ-} + [səntUh] → [məñəntUh] ‘menyentuh’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [səntUh] ‘sentuh’ {məŋ-} ‘məñ-‘ Bandingkan data di atas dengan data berikut ini :

(72) {ŋ-} + [təmu] → [nəmu] ‘nemu’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[təmu] ‘temu’ [n-] ‘mən-’

(111) {ŋ-} + [pilIh] → [milIh] ‘milih’

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [pilIh] ‘pilih’ [m-] ‘məm-’

(128) {ŋ-} + [caŋkUl] → [ñaŋkUl] ‘nyangkul’

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [caŋkUl] ‘cangkul’ [ñ-] ‘mən-’

Morf {n-} sama halnya dengan morf {m-} yang berfungsi sebagai morf

yang menggantikan penggunaan morf {me-} dari morfem {meŋ-}. Morfem {ŋ-

} akan menjadi morf {n-} bila dilekatkan dengan bentuk dasar yang berawal

Page 68: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

57

konsonan /t/. Pada proses pembentukan kata pada data (72) menunjukkan

terjadinya pembentukan kata dan terjadi proses morfofonemik yang

menyebabkan fonem /ŋ/ berubah menjadi fonem /n/. pada data (72), morfem

{ŋ-} dilekatkan dengan bentuk dasar temu menyebabkan fonem / ŋ/ berubah

menjadi fonem /n/, selain itu meluluhkan fonem/t/ pada bentuk dasar temu

sehingga membentuk kata *?nemu ‘menemu’.

Morf {m-} merupakan salah satu morf dari morfem {ŋ-}, morfem{ŋ-}

akan mengalami perubahan fonem menjadi /m/ jika dilekatkan dengan bentuk

dasar yang berawalan konsonan /p/. Pada data (111) terjadi perubahan fonem

setelah pelekatan morfem {ŋ-} dengan bentuk dasar. Morfem {ŋ-} dilekatkan

dengan bentuk dasar pilih menyebabkan konsonan awal /p/ menjadi luluh, dan

fonem /ŋ/ berubah menjadi fonem /m/ sehingga membentuk kata menjadi

*?milih ‘memilih’

Fonem /ŋ/ dari morfem { ŋ-} berubah menjadi fonem /ñ/ ketika

dilekatkan dengan BD yang berawal konsonan /c, s/. BD yang berawal

konsonan /c/ dapat di lihat pada data (128). Merujuk pada data (128), morfem

{ŋ-} bertemu dengan BD cangkul membentuk kata menjadi *?ñangkul

‘mencangkul’. Pada pembentukan kata tersebut terjadi perubahan fonem /ŋ/

menjadi fonem /ñ/ serta meluluhkan fonem /c/ sehingga membentuk kata

*?ñangkul.

Berdasarkan data yang terdapat pada KPK pada data (72), (111) dan

(128) serta data dalam tabel menyatakan kata hasil dari KPK tersebut tertahan

pada kolom penyaring karena kata-kata tersebut potensial mengalami

Page 69: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

58

idiosinkresi. Idiosinkresi yang terjadi yaitu idiosinkresi morfologi karena

penggantian penggunaan morf {mən-} menjadi morf {n-}, penggunaan morf

{məm-} menjadi morf {m-} dan morf {məñ-} menjadi morf {ñ-} ketika

dilekatkan dengan BD yang tidak dapat dijelaskan dengan morfologis.

2. Penambahan Fonem pada Prefiksasi

1) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {ŋ-}

Pada pembentukan kata BI baku dengan pelekatan morfem afiks {məŋ-}

dengan BD akan mengalami penambahan fonem /ŋ/ menjadi fonem /ŋə/ ketika

BD tersebut memiliki satu suku kata.

Tabel 4. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morf {ŋə-} )

No.

Daftar Morfem KPK Penyaring Kamus

Morfem Terikat {ŋ-} Morfem Bebas

173 /bayar/ [ŋ- + [bayar] [ŋəbayar] ‘ngebayar’ ngebayar? 174 /belah/ [ŋ- + [bəlah] [ŋəbəlah] ‘ngebelah’ ngebelah?

175 /bendung/ [ŋ- + [bəndUŋ] [ŋəbəndUŋ] ‘ngebendung’ ngebendung?

176 /bujuk/ [ŋ- + [bujUk] [ŋəbujUk] ‘ngebujuk’ ngebujuk?

177 /bungkus/ [ŋ- + [bUŋkUs] [ŋəbUŋkUs] ‘ngebungkus’ ngebungkus?

178 /bunuh/ [ŋ- + [bunUh] [ŋəbunUh] ‘ngebunuh’ ngebunuh? 179 /daki/ [ŋ- + [daki] [ŋədaki] ‘ngedaki’ ngedaki? 180 /didik/ [ŋ- + [didIk] [ŋədidIk] ‘ngedidik’ ngedidik? 181 /dorong/ [ŋ- + [dorɔŋ] [ŋədorɔŋ] ‘ngedorong’ ngedorong? 182 /dukung/ [ŋ- + [dukUŋ] [ŋədukUŋ] ‘ngedukung’ ngedukung? 183 /hasut/ [ŋ- + [hasUt] [ŋəhasUt] ‘ngehasut’ ngehasut? 184 /jaga/ [ŋ- + [jaga] [ŋəjaga] ‘ngejaga’ ngejaga? 185 /jahit/ [ŋ- + [jahIt] [ŋəjahIt] ‘ngejahit’ ngejahit? 186 /jepit/ [ŋ- + [jəpIt] [ŋəjəpIt] ‘ngejepit’ ngejepit? 187 /jilid/ [ŋ- + [jilId] [ŋəjilId] ‘ngejilid’ ngejilid?

Page 70: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

59

188 /jual/ [ŋ- + [jual] [ŋəjual] ‘ngejual’ ngejual? 189 /lamar/ [ŋ- + [lamar] [ŋəlamar] ‘ngelamar’ ngelamar? 190 /lamun/ [ŋ- + [lamun] [ŋəlamUn] ‘ngelamar’ ngelamun? 191 /lap/ [ŋ- + [lap] [ŋəlap] ‘ngelap’ ngelap? 192 /larang/ [ŋ- + [larang] [ŋəlaraŋ] ‘ngelarang’ ngelarang? 193 /lawan/ [ŋ- + [lawan] [ŋəlawan] ‘ngelawan’ ngelawan? 194 /lepas/ [ŋ- + [ləpas] [ŋələpas] ‘ngelepas’ ngelepas? 195 /lipat/ [ŋ- + [lipat] [ŋəlipat] ‘ngelipat’ ngelipat? 196 /lirik/ [ŋ- + [lirIk] [ŋəlirIk] ‘ngelirik’ ngelirik? 197 /rasa/ [ŋ- + [rasa] [ŋərasa] ‘ngerasa’ ngerasa? 198 /rebut/ [ŋ- + [rəbUt] [ŋərəbUt] ‘ngrebut’ ngrebut? 199 /rokok/ [ŋ- + [rokɔ?] [ŋərokɔ?] ‘ngerokok’ ngerokok?

200 /rumpi/ [ŋ- + [rumpi] [ŋəŋərUmpi] ‘ngerumpi’ ngerumpi?

201 /pel/ [ŋ- + [pel] [ŋəpel] ‘ngepel’ ngepel? 202 /band/ [ŋ- + [band] [ŋəband] ‘ngeband’ ngeband? 203 /block/ [ŋ- + [block] [ŋeblock] ‘ngeblock’ ngeblock? 204 /coment/ [ŋ- + [coment] [ŋoment] ‘ngoment’ ngoment? 205 /dance/ [ŋ- + [dance] [ŋedance] ‘ngedance’ ngedance? 206 /date/ [ŋ- + [date] [ŋedate] ‘ngedate’ ngedate?

207 /download/ [ŋ-+ [download] [ŋedownload] ‘ngedownload’

ngedownload?

208 /drible/ [ŋ- + [drible] [ŋedrible] ‘ngedrible’ ngedrible? 209 /expose/ [ŋ- + [expose] [ŋexpose] ‘ngexpose’ ngexpose? 210 /hack/ [ŋ- + [hack] [ŋehack] ‘ngehack’ ngehack? 211 /like/ [ŋ- + [like] [ŋelike] ‘ngelike’ ngelike? 212 /loading/ [ŋ- + [loading] [ŋeloading] ‘ngeloading’ ngeloading? 213 /print/ [ŋ- + [print] [ŋeprint] ‘ngeprint’ ngeprint? 214 /save/ [ŋ- + [save] [ŋesave] ‘ngesave’ ngesave? 215 /share/ [ŋ- + [share] [ŋeshare] ‘ngeshare’ ngeshare?

(11) {məŋ-} + [tes] → [məŋətes] ‘mengetes’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa: [tes] ‘tes’ {məŋ-} ‘menge-’ Bandingkan dengan data berikut ini

(189) { ŋ-} + [lamar] → [ŋəlamar] ‘ngelamar’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [lamar] ‘lamar’ [ŋə-] ‘mə-’

Page 71: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

60

Morfem afiks {ŋ-} berbeda dengan morfem afiks {məŋ-} ketika

mengalami proses morfofonemik berupa penambahan fonem. Morfem afiks

{məŋ-} akan mengalami penambahan fonem jika dilekatkan dengan BD yang

bersuku satu, sedangkan morfem afiks {ŋ-} mengalami penambahan fonem

tidak hanya pada saat dilekatkan dengan BD yang bersuku satu, tetapi dapat

dilekatkan dengan kata yang bersuku dua atau lebih seperti data (189).

Berdasarkan data di atas, dalam proses pembentukan kata tersebut terjadi

proses morfofonemik berupa penambahan fonem. Fonem /ŋ/ pada morfem {ŋ-}

mengalami penambahan fonem menjadi fonem /ŋe-/ ketika dilekatkan dengan

BD lamar membentuk kata *?ngelamar ‘melamar’.

Fenomena kebahasaan yang terjadi pada data (189) dan data pada tabel,

morfem afiks {ŋ-} menggantikan penggunaan morfem afiks {məŋ-}pada

penggunaan BI pada saat ini. Meskipun demikian kata yang terbentuk karena

pelekatan morfem afiks {ŋ-} dengan bentuk dasar akan terhenti pada penyaring

karena mengalami idiosinkresi morfologi.

Selain data yang mengalami idiosinkresi morfologi, terdapat juga data

dengan pengabungan morfem afiks yang digunakan pada BI dengan BD pada

bahasa Inggris mengalami penambahan fonem dengan penambahan fonem /e/.

berikut akan dipaparkan data dalam kaidah pembentukan kata.

(205) {ŋ-} + [dance] → [ŋedance] ‘menari’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[dance] ‘tari ’ [ŋə-] ‘mə-’

Page 72: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

61

(208) {ŋ-} + [drible] → [ŋedrible] ‘memantulkan‘ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[drible] ‘pantul’ [ŋə-] ‘mə-’

(213) {ŋ-} + [prInt] → [ŋeprInt] ‘mencetak’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[print] ‘cetak’ [ŋə-] ‘mən-’

Meskipun pembentukan kata dengan pelekatan morfem {ŋ-} BI dengan

bahasa asing bisa terjadi pada kata-kata tertentu, namun pada dasarnya kata

tersebut tetap beridentitaskan bahasa asing atau bahasa Inggris karena bentuk

dasar tersebut merupakan kata dari bahasa asing dan belum menjadi kata pada

BI. Kata-kata tersebut belum menjadi kata pada BI, namun pemakaiannya

sudah lazim digunakan untuk melakukan interaksi pada saat ini. Pembentukan

kata pada KPK dengan bahasa asing menyebabkan hasil bentukan tersebut

tertahan oleh penyaring karena mengalami idiosinkresi semantik.

Pada kendala-kendala morfofonemik level prefiksasi hanya terjadi pada

proses morfofonemik berupa perubahan dan penambahan fonem saja.

Sedangkan pada penghilangan fonem tidak terjadi pada prefiksasi. Selain itu

terdapat beberapa morfem afiks pada prefiksasi yang mengalami kendala-

kendala berupa idiosinkresi. Adapun morfem afiks tersebut sebagai berikut.

a. Morfem afiks {məŋ-}

Morfem afiks {meŋ-} adalah salah satu morfem yang terdapat

dalam BI, yang memiliki beberapa alomorf seperti {mə-}, {məŋə-}, dan

{məm-}. Selain itu morf {meŋ-} juga merupakan morfem terikat yang

paling produktif sehingga banyak membentuk kata setelah dilekatkan

Page 73: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

62

dengan BD. Morf {məŋ-} dapat dilekatkan dengan BD yang berawal

dengan segmen konsonan maupun segmen vokal. Namun yang menjadi

penelitian yaitu ketika morfem afiks tersebut dilekatkan dengan BD yang

berawalan vokal. Pembentukan dalam BI meggunakan morfem {məŋ-

}dilekatkan dengan BD sehingga membentuk kata memukul, mengetes, dan

merayu (sesuai subbab 4.1) pada saat dilekatkan dengan BD yang berawalan

konsonan. Selain itu morfem {məŋ-} tersebut juga mampu dilekatkan

dengan BD yang berawalan vokal seperti ukur, ingat, intip sehingga

membentuk kata mengukur, mengingat, dan mengintip. Kata bentukan yang

diawali dengan vokal tersebut berterima secara kaidah dalam pembentukan

kata serta dari segi makna. Namun dalam BI terdapat beberapa kata yang

diawali dengan segmen vokal yang dapat dibubuhi atau dilekatkan oleh

morf {meŋ-} namun akan menjadi asing atau tidak berterima dikalangan

masyarakat seperti pada data berikut.

Tabel 5.Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morf {məŋ-} )

No.

Daftar Morfem KPK Penyaring Kamus

Morfem Terikat {məŋ-}

Morfem Bebas

216 /abad/ [ məŋ- + [abad] [məŋabad] ‘mengabad’ mengabad? 217 /adat/ [məŋ - + [adat] [məŋadat] ‘mengadat’ mengadat? 218 /ahli/ [məŋ - + [ahli] [məŋahli]‘mengahli’ mengahli? 219 /air/ [məŋ - + [air] [məŋair] ‘mengair’ mengair? 220 /akal/ [məŋ - + [akal] [məŋakal] ‘mengakal’ mengakal? 221 /alat/ [məŋ - + [alat] [məŋalat] ‘mengalat’ mengalat? 222 /aman/ [məŋ - + [aman] [məŋaman] ‘mengaman’ mengaman?

Page 74: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

63

223 /anak/ [məŋ - + [anak] [məŋana?] ‘menganak’ menganak? 224 /ayah/ [məŋ - + [ayah] [məŋayah] ‘mengayah’ mengayah? 225 /enak/ [məŋ - + [enak] [məŋena?] ‘mengenak’ mengenak? 226 /elok/ [məŋ - + [elok] [məŋelo?] ‘mengelok’ mengelok? 227 /ibu/ [məŋ - + [ibu] [məŋibu] ‘mengibu’ mengibu? 228 /idola/ [məŋ - + [idola] [məŋidola] ‘mengidola’ mengidola? 229 /ingin/ [məŋ - + [ingin] [məŋingIn] ‘mengingin’ mengingin? 230 /ipar/ [məŋ - + [ipar] [məŋipar] ‘mengipar’ mengipar? 231 /istri/ [məŋ - + [istri] [məŋistri] ‘mengistri’ mengistri? 232 /isu/ [məŋ - + [isu] [məŋisu] ‘mengisu’ mengisu? 233 /izin/ [məŋ - + [izin] [məŋizIn] ‘mengijin’ meŋizin? 234 /obat/ [məŋ - + [obat] [məŋobat] ‘mengobat’ mengobat?

235 /ongkos/ [məŋ- + [ongkɔs] [məŋɔŋkɔs] ‘mengongkos’ mengongkos?

236 /umur/ [məŋ - + [umur] [məŋumUr] ‘mengumur’ mengumur?

237 /unik/ [məŋ - + [unik] [məŋunIk] ‘mengunik’ mengunik? 238 / utuh/ [məŋ - + [utuh] [məŋutUh] ‘mengutuh’ mengutuh?

(216) {məŋ-} + [abad] → [məŋabad] ‘mengabad’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[abad] ‘abad’ [məŋ-] ‘meng-’

(225) {məŋ-} + [ena?] → [ məŋena?] ‘mengenak’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[ena?] ‘enak’ [məŋ-] ‘meng-’

(228) {meŋ-} + [idola] → [ məŋidola] ‘mengidola’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[idola] ‘idola’ [məŋ-] ‘meng-’

(235) {meŋ-} + [oŋkɔs] → [məŋɔŋkɔs] ‘mengongkos’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[ɔŋkɔs] ‘ongkos’ [məŋ-] ‘meng-’

(237) {meŋ-} + [unik] → [məŋunIk] ‘mengunik’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[unIk] ‘unik’ [məŋ-] ‘meng-’

Page 75: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

64

Merujuk pada data (216), (225), (228), (235) dan (237) morfem {

məŋ-} yang dilekatkan dengan segmen vokal /a, e, i, o, u/ dapat membentuk

kata secara gramatikal pada proses pembentukan kata pada KPK. Merujuk

pada data di atas ketika morfem afiks {məŋ-} dilekatkan dengan BD/abad/

pada KPK sehingga membetuk kata *?mengabad, morfem afiks {məŋ-}

dilekatkan dengan BD /enak/ pada KPK sehingga membetuk kata

*?mengenak, morfem afiks {məŋ-} dilekatkan dengan BD /idola/ pada

KPK sehingga membetuk kata *?mengidola, morfem afiks {məŋ-}

dilekatkan dengan BD /ongkos/ pada KPK sehingga membetuk kata

*?mengongkos, serta morfem afiks {məŋ-} dilekatkan dengan BD /unik/

pada KPK sehingga membetuk kata *?mengunik berterima secara

gramatikal. Namun hasil kata bentukan tersebut akan mengalami keanehan

ditelinga masyarakat yang mendengarkannya.

Berdasarkan kelima data di atas setelah mengalami proses

pembentukan kata, kata bentukan tersebut akan disaring untuk membuktikan

terjadinya idiosinkresi atau tidak pada pembentukan kata tersebut. Merujuk

pada morfologi struktural kata bentukan tersebut mengalami penyaringan

sehingga tertahan pada komponen penyaring karena idiosinkresi fonologi.

Keanehan yang disebabkan karena pelekatan morfem afiks {məŋ-}dengan

bentuk dasar yang berawalan vocal yang berupa fonem /a, e, i, o, u/ tidak

dapat dijelaskan secara fonologis.

b. Morfem afiks {ŋ-}

Page 76: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

65

Morfem {ŋ-} akan menjadi morf {ŋ-} lebih produktif bila morf

tersebut dilekatkan dengan MB yang berawalan fonem konsonan /k/.

Morfem {ŋ-} tidak hanya mampu dilekatkan dengan BD yang berawalan

konsonan /k/, tetapi morfem tersebut mampu dilekatkan dengan BD yang

berawalan vokal sehingga morfem {ŋ-} menjadi morf {ŋ-}. Morfem {ŋ-}

pada umumnya membentuk kata yang berkategori verba setelah mengalami

proses afiks.

Tabel 6. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morf {ŋ-} )

No.

Daftar Morfem KPK Penyaring Kamus

Morfem Terikat {ŋ-

} Morfem Bebas

239 /adu/ [ŋ- + [adu] [ŋadu] ‘ngadu’ ngadu?

240 /ajar/ [ŋ- + [ajar] [ŋajar] ‘ngajar’ ngajar? 241 /ambil/ [ŋ- + [ambIl] [ŋambIl] ‘ngambil’ ngambil? 242 /angkat/ [ŋ- + [angkat] [ŋaŋkat] ‘ngangkat’ ngangkat? 243 /eja/ [ŋ- + [eja] [ŋeja] ‘ngeja’ ngeja? 244 /ejek/ [ŋ- + [ejek] [ŋeje?] ‘ngejek’ ngejek? 245 /idam/ [ŋ- + [idam] [ŋIdam] ‘ngidam’ ngidam? 246 /ikat/ [ŋ- + [ikat] [ŋikat] ‘ngikat’ ngikat? 247 /ikut/ [ŋ- + [ikut] [ŋikUt] ‘ngikut’ ngikut?

248 /ingat/ [ŋ- + [iŋat] [ŋiŋat] ‘ngingat’ ngingat?

249 /intip/ [ŋ- + [intIp] [ŋIntIp]’ngintip’ ngintip? 250 /iris/ [ŋ- + [irIs] [ŋirIs] ‘ingris’ ngiris? 251 /kalah/ [ŋ- + [kalah] [ŋalah] ‘ngalah’ ngalah? 252 /kampus/ [ŋ- + [kampUs] [ŋampUs] ‘ngampus’ ngampus? 253 /kantor/ [ŋ- + [kantɔr] [ŋantɔr] ‘ngantor’ ngantor? 254 /kantuk/ [ŋ- + [kantUk] [ŋantU?] ‘ngantuk ngantuk? 255 /karang/ [ŋ- + [karaŋ] [ŋaraŋ] ‘ngarang’ ngarang? 256 /kasi/ [ŋ- + [kasi] [ŋasi] ‘ngasi’ ngasi?

Page 77: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

66

257 /keluh/ [ŋ- + [kelUh] [ŋəlUh] ‘ngeluh’ ngeluh? 258 /kepung/ [ŋ- + [kəpUŋ] [ŋəpUŋ] ‘ngepung’ ngepung? 259 /kipas/ [ŋ- + [kipas] [ŋipas] ‘ngipas’ ngipas? 260 /kirim/ [ŋ- + [kirim] [ŋirim] ‘ngirim’ ngirim? 261 /kopi/ [ŋ- + [kopi] [ŋopi] ‘ngopi’ ngopi? 262 /koreksi/ [ŋ- + [koreksi] [ŋoreksi] ‘ngoreksi’ ngoreksi? 263 /kritik/ [ŋ- + [kritIk] [ŋəritIk] ‘ngeritik’ ngoreksi? 264 /kumpul/ [ŋ- + [kUmpUl] [ŋUmpUl] ‘ngumpul’ ngumpul? 265 /kunci/ [ŋ- + [kUnci] [ŋUnci] ‘ngunci’ ngunci? 266 /kupas/ [ŋ- + [kupas] [ŋupas] ‘ngupas’ ngupas? 267 /kunyah/ [ŋ- + [kUñah] [ŋUñah] ‘ngunyah’ ngunyah?

268 /kuras/ [ŋ- + [kuras] [ŋUras] ‘nguras’ nguras? 269 /oper/ [ŋ- + [opər] [ŋopər] ‘ngoper’ ngoper? 270 /pengaruh/ [ŋ- + [karUh] [ŋarUh] ‘ngaruh’ ngaruh? 271 /ubah/ [ŋ- + [ubah] [ŋubah] ‘ngubah’ ngubah?

272 /ukur/ [ŋ- + [ukUr] [ŋukUr] ‘ngukur’ ngukur? 273 /ulang/ [ŋ- + [ulaŋ] [ŋulaŋ] ‘ngulang’ ngulang? 274 /urus/ [ŋ- + [urUs] [ŋurUs] ‘ngurus’ ngurus?

(241) {ŋ-} + [ambIl] → [ŋambIl] ‘ngambil’

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [ambIl] ‘ambil’ [ŋ-] ‘məŋ-’ (246) {ŋ-} + [ikat] → [ŋikat] ‘ngikat’

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [ikat] ‘ikat’ [ŋ-] ‘məŋ-’ (255) {ŋ-} + [karang] → [ŋaraŋ] ‘ngarang’

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [karaŋ] ‘karang’ [ŋ-] ‘məŋ-’ (257) {ŋ-} + [keluh] → [ŋəlUh] ‘ngeluh’

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [kəlUh] ‘keluh’ [ŋ-] ‘məŋə-’

Berdasarkan proses pembentukan kata dari data (241), (246), (255) dan

(257) morfem {ŋ-} menjadi morf {ŋ-} menyebabkan morfem tetap utuh atau

Page 78: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

67

tidak terjadi proses morfofonemik ketika dilekatkan pada BD yang

berawalan vokal, hal itu terlihat pada data (241) dan (246). Sedangkan pada

data (13) dan (14) terjadi peluluhan pada konsonan awal bentuk dasar

tersebut. Bentuk dasar karang ketika dilekatkan dengan morfem {ŋ-}

konsonan awal /k/ akan luluh sehingga membentuk kata *?ŋarang yang

berarti mengarang. Hal yang sama terjadi pada bentuk dasar keluh setelah

dilekatkan dengan morfem {ŋ-} konsonan awal /k/ akan luluh sehingga

membentuk kata *?ŋeluh yang berarti mengeluh.

Berdasarkan hasil kata yang dibentuk akibat pelekatan morfem {ŋ-}

pada bentuk dasar sehingga membentuk kata baru. Hasil kata bentukan

seperti *?ŋambil, *?ŋikat, *?ŋarang, dan *?ŋeluh ditemukan dalam

komunikasi lisan maupun tulisan menggunakan BI mengalami idiosinkresi

sehingga kata bentukan tersebut tertahan pada penyaringan. Tanpa disadari

morfem {ŋ-} menggantikan peran morfem {meŋ-} meskipun mempermudah

penutur dalam pengucapannya tetapi dalam KPK tersebut mengalami

kendala berupa idisenkresi morfologis.

c. Morfem afiks {kə-}

Dalam berkomunikasi sehari-sehari menggunakan BI sering

ditemukan kata-kata, khususnya kata bentukan yang tidak sesuai dengan tata

BI tetapi sering digunakan dalam kondisi formal maupun non-formal. Salah

satunya kata bentukan yang berawalan atau berprefiks {kə-}. Berikut akan

dipaparkan data morfem afiks {kə-}.

Page 79: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

68

Tabel 7. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morf {ŋ-} )

No.

Daftar Morfem KPK Penyaring Kamus

Morfem Terikat {kə-

} Morfem Bebas

275 /ambil/ [kə- + [ambIl] [kəambIl] ‘keambil’ keambil? 276 /angkat/ [kə- + [aŋkat] [kəaŋkat] ‘keangkat’ keangkat? 277 /bawa/ [kə- + [bawa] [kəbawa] ‘kebawa’ kebawa? 278 /buang/ [kə- + [bUaŋ] [kəbUaŋ] ‘kebuang’ kebuang? 279 /buka/ [kə- + [buka] [kəbuka] ‘kebuka’ kebuka? 280 /cabut/ [kə- + [cabUt] [kəcabUt] ‘kecabut’ kecabut? 281 /campur/ [kə- + [campUr] [kəcampUr] ‘kecampur’ kecampur? 282 /cuci/ [kə- + [cuci] [kəcuci] ‘kecuci’ kecuci? 283 /dorong/ [kə- + [dorɔŋ] [kədorɔŋ] ‘kedorong’ kedorong? 284 /hapus/ [kə- + [hapUs] [kəhapUs] ‘kehapus’ kehapus? 285 /hirup/ [kə- + [hirup] [kəhirUp] ‘kehirup’ kehirup? 286 /ikat/ [kə- + [ikat] [kəikat] ‘keikat’ keikat? 287 /injak/ [kə- + [inja?] [kəinja?] ‘keinjak’ keinjak? 288 /ingat/ [kə- + [ingat] [kəiŋat] ‘keingat’ keingat? 289 /isi/ [kə- + [isi] [kəisi] ‘keisi’ keisi? 290 /jebak/ [kə- + [jəbak] [kəjəbak] ‘kejebak’ kejebak? 291 /kunci/ [kə- + [kunci] [kəkUnci] ‘kekunci’ kekunci? 292 /minum/ [kə- + [minUm] [kəminUm] ‘keminum’ keminum? 293 /peleset/ [kə- + [peleset] [kəpəleset] ‘kepeleset’ kepeleset? 294 /pencet/ [kə- + [pəncet] [kəpəncet] ‘kepencet’ kepencet? 295 /pilih/ [kə- + [pilih] [kəpilIh] ‘kepilih’ kepilih? 296 /sandung/ [kə- + [sandUŋ] [kəsandUŋ] ‘kesandung’ kesandung? 297 /senggol/ [kə- + [seŋgɔl] [kəseŋgɔl] ‘kesenggol’ kesenggol?

298 /serempet/ [kə- + [sərempet] [kəsərempet] ‘keserempet’ keserempet?

299 /siram/ [kə- + [siram] [kəsiram] ‘kesiram’ kesiram? 300 /sundul/ [kə- + [sUndUl] [kəsUndUl] ‘kesundul’ kesundul? 301 /tabrak/ [kə- + [tabrak] [kətabrak] ‘ketabrak’ ketabrak? 302 /tarik/ [kə- + [tarIk] [kətarIk] ‘ketarik’ ketarik? 303 /tawa/ [kə- + [tawa] [kətawa] ‘ketawa’ ketawa? 304 /telan/ [kə- + [telan] [kətəlan] ‘ketelan’ ketelan? 305 /tembak [kə- + [tembak] [kətembak] ‘ketembak’ ketembak?

Page 80: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

69

306 /temu/ [kə- + [temu] [kətəmu] ‘ketemu’ ketemu? 307 /tipu/ [kə- + [tipu] [kətipu] ‘ketipu’ ketipu? 308 /tutup/ [kə- + [tutup] [kətutUp] ‘ketutup’ ketutup?

(279) {kə-} + [buka] → [kəbuka] ‘kebuka’

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [buka] ‘buka’ [kə-] ‘tər-’

(285) {kə-} + [hirUp] → [kəhirUp] ‘kehirup’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[hirUp] ‘hirup’ [kə-] ‘tər-’

(287) {kə-} + [injak] → [kəinja?] ‘keinjak’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[inja?] ‘injak’ [kə-] ‘tər-’

Berdasarkan beberapa data di atas morfem {kə-} dapat dilekatkan

dengan BD baik yang berawal vokal maupun konsonan. Namun tidak semua

BD dapat dibubuhi dengan morfem {kə-} tersebut karena morfem ini akan

potensial membentuk sebuah kata ketika dilekatkan dengan BD yang

berkategori verba seperti data yang telah dilampirkan pada tabel 4.2. Ketika

dilekatkan dengan kategori lain seperti nomina, morfem {kə-} tidak akan

berperan lagi sebagai morfem afiks pada prefiksasi tetapi akan menjadi kata

depan. ke taman misalnya salah satu contoh {kə-} yang berperan sebagai

kata depan yang mendampingi taman berkategori nomina.

Pada data (279) pada saat morfem {kə-} dilekatkan dengan BD

/buka/ pada KPK sehingga membentuk kata *?kebuka. Hasil bentukan kata

tersebut akan disaring untuk menentukan kata tersebut mengalami

idiosinkresi linguistik atau tidak. Jika mengalami idiosinkresi linguitik data

tersebut akan tertahan pada komponen penyaringan seperti data di atas.

Page 81: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

70

Pelekatan morfem afiks {kə-} pada BD yang telah dipaparkan diatas

menyebabkan terjadinya idiosinkresi morfologi. Idiosinkresi morfologi ini

terjadi karena penggunaan morfem afiks {tər-} lebih dominan diganti oleh

morfem afiks {kə-} dalam proses pembentukan kata, tetapi hal itu tidak

dapat dijelaskan secara morfologis.

4.2.2 Kendala-kendala Morfofonemik Level sufiksasi

Morfofonemik yaitu proses perubahan wujud fonem akibat dari pertemuan

morfem-morfem, proses perubahan wujud tersebut berupa perubahan,

penambahan, dan penghilangan fonem. Dari tiga proses morfofonemik tersebut,

tidak muncul pada sufiksasi. Meskipun demikian dalam sufiksasi ini terjadi

kendala-kendala yang berupa idiosinkresi setelah mengalami proses pembentukan

kata. Adapun morfem afiks yang mengalami idiosinkresi pada saat proses

pembentukan kata sebagai berikut.

1. Morem afiks {-i}

Sufiks {-i} salah satu afiksasi yang berada di akhir bentuk dasar yang

memiliki makna tertentu berupa tindakan setelah dilekati dengan bentuk dasar

karena sufiks {-i} merupakan morfem terikat. Misalnya pukuli, jalani dua kata

tersebut memiliki makna yang berterima, seperti pukuli ‘menghajar’ dan jalani

‘menempuh’. Namun lain halnya dengan data yang akan dipaparkan dibawah ini :

Tabel 8. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morfem afiks { -i} )

No.

Daftar Morfem KPK Penyaring Kamus Morfem terikat

{-i}

Morfem bebas 309 /ambil/ [-i + [ambil] [ambili] ‘ambili’ ambili?

Page 82: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

71

310 /antar/ [-i + [antar] [antari] ‘antari’ antari? 311 /patah/ [-i + [patah] [patahi] ‘patahi’ patahi? 312 /aman/ [-i + [aman] [amani] ‘amani’ amani? 313 /akal/ [-i + [akal] [akali] ‘akali’ akali? 314 /bangun/ [-i + [banguni] [baŋuni] ‘banguni’ banguni? 315 /awet/ [-i + [awet] [aweti] ‘aweti’ aweti? 316 /sangkar/ [-i + [saŋkar] [saŋkari] ‘sangkari’ sangkari? 317 /bawah/ [-i + [bawah] [bawahi] ‘bawahi’ bawahi? 318 /lapor/ [-i + [lapɔr] [lapori] ‘lapori’ lapori?

(312) {-i} + [aman] → [amani] ‘amani’

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [aman] ‘aman’ [-i] ‘-kan’ (318) {-i} + [lapɔr] → [lapori] ‘lapori’

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [lapɔr] ‘lapor’ [-i] ‘-kan’ (314) {-i} + [baŋUn] → [baŋuni] ‘banguni

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [baŋUn] ‘bangun’ [-i] ‘-kan’

Morfem afiks {-i} pada BI dapat dilekatkan dengan MB yang berakhiran

konsonan maupun vokal. Selain itu sufiks tersebut dapat dilekatkan dengan kata

yang berkategori verba maupun nomina, dan hasil dari kata bentukan tersebut

akan berkategori verba. Berdasarkan data (312), (318), dan (314), proses

pembentukan kata dari tiga data tersebut dapat berterima. Meskipun pembentukan

kata seperti tiga data tersebut bisa terjadi, namun akan muncul

ketidakberterimaan makna akibat pelekatan morfem afiks {-i} pada BDaman,

lapor, dan bangun. Hasil bentukan kata pada KPK tabel 8 khususnya yang telah

dibentuk pada data (312), (318), dan (314) yang berupa kata *?amani, *?lapori,

dan *?banguni mengalami ketidakberterimaan makna setelah dilekatkan morfem

Page 83: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

72

afiks {-i} dengan BD pada proses pembentukan kata tersebut karena terjadi

idiosinkresi linguistik, khususnya idiosinkresi semantik sehingga kata bentukan

tersebut terhenti di penyaring dan akan di tuliskan di kolom kamus dengan

pemberian tanda tanya (?). Idiosinkresi semantik ini merupakan kelainan atau hal

yang tidak mengikuti aturan dari segi makna.

b. Morfem afiks {-in} Tabel 9.Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morfem afiks { -in} )

No.

Daftar Morfem

KPK Penyaring Kamus

Morfem terikat {-in}

Morfem bebas

319 /acuh/ [-in + [acUh] [acuhIn] ‘acuhin’ acuhin? 320 /adem/ [-in + [adəm] [ademIn ] ‘ademin’ ademin? 321 /akal/ [-in + [akal] [akalIn] ‘akal’ akal? 322 /aktif/ [-in + [aktIf] [aktifIn] ‘aktifin’ aktifin? 323 /alam/ [-in + [alam] [alamIn] ‘alamin’ alamin? 324 /aman/ [-in + [aman] [amanIn] ‘amanin’ amanin? 325 /ambil/ [-in + [ambIl] [ambilIn] ‘ambilin’ ambilin? 326 /angkat/ [-in + [aŋkat] [aŋkatIn] ‘angkatin angkatin? 327 /arah/ [-in + [arah] [arahIn] ‘arahin’ arahin? 328 /arti/ [-in + [arti] [artiin] ‘artiin’ artiin? 329 /atas/ [-in + [atas] [atasIn] ‘atasin’ atasin? 330 /baik/ [-in + [baik] [baikIn] ‘baikin’ baikin? 331 /bangun/ [-in + [baŋUn] [baŋunIn] ‘bangunin’ bangunin? 332 /bantu/ [-in + [bantu] [bantuIn] ‘bantuin’ bantuin? 333 /bawa/ [-in + [bawa] [bawain] ‘bawain’ bawain? 334 /bayar/ [-in + [bayar] [bayarIn] ‘bayarin’ bayarin? 335 /bebas/ [-in + [bebas] [bebasIn] ‘bebasin’ bebasin? 336 /bersih/ [-in + [bərsIh] [bərsIhIn] ‘bersihin’ bersihin? 337 /besar/ [-in + [bəsar] [bəsarIn] ‘besarin’ besarin? 338 /betul/ [-in + [bətUl] [bətulIn] ‘betulin’ betulin? 339 /buat/ [-in + [buat] [buatIn] ‘buatin’ buatin? 340 /bujuk/ [-in + [bujUk] [bujUkIn] ‘bujukin’ bujukin?

Page 84: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

73

341 /bungkus/ [-in + [bUŋkUs] [bUŋkUsIn] ‘bungkusin’ bungkusin?

342 /campur/ [-in + [campUr] [campUrIn] ‘campurin’ campurin?

343 /cuek/ [-in + [cuek] [cuekIn] ‘cuekin’ cuekin? 344 /dekat/ [-in + [dəkat] [dəkatIn] ‘dekatin’ dekatin? 345 /doa/ [-in + [doa] [doain] ‘doain’ doain? 346 /gigit/ [-in + [gigIt] [gigitIn] ‘gigitin’ gigitin? 347 /habis/ [-in + [habIs] [habisIn] ‘habisin’ habisin? 348 /hidang/ [-in + [hidaŋ] [hidaŋIn] ‘hidingin’ hidangin? 349 /ikut/ [-in + [ikut] [ikutIn] ‘ikutin’ ikutin? 350 /jatuh/ [-in + [jatUh] [jatuhIn] ‘jatuhin’ jatuhin? 351 /kabul/ [-in + [KabUl] [KabulIn] ‘Kabulin’ kabulin? 352 /kecil/ [-in + [kəcIl] [kəcIlIn] ‘kecilin’ kecilin? 353 /kering/ [-in + [kərIŋ] [kərIŋIn] ‘keringin’ keringin? 354 /kirim/ [-in + [kirIm] [kirimIn] ‘kirimin’ kirimin?

355 /kumpul/ [-in + [kUmpuUl] [kUmpulIn] ‘kumpulin’ kumpulin?

356 /lahir/ [-in + [lahIr] [lahirIn] ‘lahirin’ lahirin? 357 /niat/ [-in + [niat] [niatIn] ‘niatin’ niatin? 358 paksa [-in + [paksa] [paksaIn] ‘paksain’ paksain? 359 /panas/ [-in + [panas] [panasIn] ‘panasin’ panasin? 360 /panjang/ [-in + [panjaŋ] [panjaŋIn] ‘panjangin’ panjangin?

361 /pangkas/ [-in + [paŋkas] [paŋkasIn] ‘pangkasin’ pangkasin?

362 /pendek/ [-in + [pende?] [pende?In] ‘pendekin’ pendekin? 363 /petik/ [-in + [petIk] [pətikIn] ‘petikin’ petikin? 364 /pikir/ [-in + [pikIr] [pikIrIn] ‘pikirin’ pikirin? 365 /pinjam/ [-in + [pInjam] [pInjamIn] ‘pinjamin’ pinjamin? 366 /rasa/ [-in + [rasa] [rasain] ‘rasain’ rasain? 367 /rata/ [-in + [rata] [ratain] ‘ratain’ ratain? 368 /sampai/ [-in + [sampai] [sampaiin] ‘sampaiin’ sampaiin? 369 /siap/ [-in + [sIap] [sIapIn] ‘siapin’ siapin? 370 /simpen/ [-in + [simpen] [simpənIn] ‘simpenin’ simpenin? 371 /tambah/ [-in + [tambah] [tambahIn] ‘tambahin’ tambahin? 372 /telepon/ [-in + [telepOn] [teleponIn] ‘teleponin’ teleponin? 373 /teman/ [-in + [teman] [temanIn] ‘temanin’ temanin? 374 /tidur/ [-in + [tidUr] [tidurIn] ‘tidurin’ tidurin? 375 /tuang/ [-in + [tUaŋ] [tUaŋIn] ‘tuangin’ tuangin?

Page 85: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

74

376 /turun/ [-in + [turUn] [turunIn] ‘turunin’ turunin?

Pada saat ini akibat dari sisi kreativitas penutur yang mampu

menambahkan variasi bahasa dapat memunculkan fenomena kebahasaan yang

diluar bahasa Indonesia formal, salah satunya penggunaan morfem afiks {-in}

pada pembentukan kata. Morfem afiks {-in} merupakan morfem afiks yang tidak

baku dalam BI, meskipun demikian morfem afiks tersebut sering digunakan

dalam pembentukan kata bahasa Indonesia.

(333) {-in} + [bawa] → [bawain] ‘bawain’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[bawa] ‘bawa’ [-in] ‘-kan’

(376) {-in} + [turun] → [turunIn] ‘turunin’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[turUn] ‘turun’ [-in] ‘-kan’

Morfem afiks {-in} dapat bergabung dengan BD yang berakhiran

konsonan maupun vokal dalam proses pembentukan kata. Kata yang dihasilkan

dari pembentukan kata sufiks {-in}berupa kata kerja yang mengarah terhadap kata

perintah. Data (333), sufiks {-in} bergabung dengan MB bawa yang berakhiran

vokal /a/ sehingga membentuk kata *?bawain ‘bawakan’. Kata *?bawain hasil

dari pembentukan kata pada KPK mengalami penyaringan karena terdapat

idiosinkresi. Data (376) yang menghasilkan kata bentukan *?turunin ‘turunkan’

akibat dari pelekatan sufiks {-in} dengan BDturun yang berakhiran konsonan /n/.

Kata-kata bentukan tersebut mengalami idiosinkresi linguistik sehingga dalam

proses pembentukan kata, kata tersebut disaring dalam komponen penyaring.

Berdasarkan data di atas proses pembentukan kata dalam BI dengan pelekatan

Page 86: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

75

morfem afiks {-in} dengan BD menghasilkan kata bentukan yang tidak

mengalami proses morfofonemik. Selain itu dari data yang dijumpai di lapangan

dalam proses pembentukan kata dalam BI, sufiks {-in} lebih dominan mengganti

penggunaan morfem afiks {-kan}. Meskipun sufiks {-i} dan {-an} memiliki peran

yang sama, tetapi morfem afiks {-i} mengalami idiosinkresi semantik karena

makna dari kata yang terbentuk tidak dapat dijelaskan secara semantik. Sementara

itu morfem afiks {-an} memiliki makna yang berterima dalam penggunaannya.

Merujuk pada penjelasan di atas, data (333) dan (376), serta data yang terdapat

pada tabel 4.9 mengalami idiosinkresi morfologi.

c. Morfem afiks {-an}

Morfem afiks {-an} merupakan salah satu sufiks yang digunakan pada

pembentukan kata dalam BI formal. Namun pada saat ini morfem afiks {-an}

telah digunakan pada pembentukan kata dalam BI tidak formal dengan makna

yang tetap berterima.

Tabel 10. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morfem afiks { -an} )

No.

Daftar Morfem KPK Penyaring Kamus

Morfem terikat {-an} Morfem bebas

377 /baik/ [-an + [baIk] [baikan] ‘baikan’ baikan? 378 /lahir/ [-an + [lahIr] [lahiran] ‘lahiran’ lahiran? 379 /niat/ [-an + [niat] [niatan] ‘ niatan’ niatan? 380 /pamit/ [an + [pamIt] [pamitan] ‘pamitan’ pamitan?

381 /sahabat/ [-an + [sahabat] [sahabatan] ‘sahabatan’ sahabatan?

382 /sama/ [-an +[sama] [samaan] ‘samaan’ samaan? 383 /telepon/ [-an + [telepɔn] [teleponan]‘telponan’ teleponan?

Page 87: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

76

384 /teman/ [-an + [teman] [temanan] ‘temanan’ temanan?

(377) {-an} + [baIk] → [baikan] ‘baikan’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[baIk] ‘baik’ [-an] ‘məm’

(378) {-an} + [lahir] → [lahiran] ‘lahiran’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[lahIr] ‘lahir’ [-an] ‘mə- + -kan’

(380) {-an} + [pamit] → [pamitan] ‘pamitan’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[pamIt] ‘pamit’ [-an] ‘bər- + -an’

(382) {-an} + [sama] → [samaan] ‘samaan’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[sama] ‘sama’ [-an] ‘bər-‘

Berdasarkan data diatas morfem afiks {-an} dapat bergabung dengan

bentuk dasar yang berakhiran konsonan, hal itu terbukti pada data (377), (378),

dan (380). Merujuk pada data (377), ketika morfem afiks {-an} diekatkan dengan

bentuk dasar /baik/ membentuk kata baikan yang memiliki makna lebih baik.

Adapun dalam bahasa Indonesia baku, makna lebih dapat diungkapkan dengan

kata membaik bukan dengan kata *?baikan. Pada data (377) ini, menjelaskan

bahwa morfem afiks {-in} yang berperan sebagai akhiran dalam pembentukan

kata tersebut telah menggantikan penggunaan morfem {meŋ-}, khususnya morf

{mem-}. Sama halnya dengan data (377), pada data (378) morfem afiks{-an} juga

menggantikan penggunaan konfiks {meŋ- + -kan} pada saat konfiks {-an}

bergabung dengan bentuk dasar /lahir/ sehingga membentuk kata *?lahiran yang

berarti ‘mengeluarkan anak dari kandungan’. Dalam bahasa Indonesia baku kata

Page 88: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

77

yang digunakan untuk mengungkapkan ‘mengeluarkan anak dari kandungan’

diungkapkan dengan kata melahirkan bukan *?lahiran. Adapun pada data (377)

dan (378) morfem afiks {-an} yang berfungsi sebagai akhiran, namun pada pada

proses pembentukan kata sufiks tersebut berperan menggantikan penggunaan

prefiks (awalan) {ber-}. Pada data (377) sufiks {-an} bergabung dengan bentuk

dasar /pamit/ sehingga membentuk kata *?pamitan yang dalam bahasa Indonesia

baku berarti berpamitan. Adapun pada data (382), ketika sufiks {-an} bergabung

dengan bentuk dasar yang berakhiran vokal /a/ yaitu kata /sama/ membentuk kata

*?samaan yang dalam bahasa indonesia berarti ’bersama’. Berdasarkan data di

atas dapat dikatakan bahwa sufiks {-an} yang merupakan akhiran yang digunakan

dalam pembentukan kata pada bahasa Indonesia tidak formal, tetapi berpotensi

mengantikan penggunaan prefiks {ber-} yang berfungsi sebagai awalan dalam BI

formal. Berdasarkan penjelasan data sebelumnya dapat disimpulkan morfem afiks

{-an} dilekatkan dengan BD pada proses pembentukan kata menghasilkan kata

bentukan yang mengalami idiosinkresi morfologi.

d. Sufiks {-isir}

Tabel 11. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morfem afiks { -isasi} )

No.

Daftar Morfem

KPK Penyaring Kamus

Morfem terikat {-isir}

Morfem bebas 385 /general/ [-isir +genəral] [genəralisIr] ‘generalisir generalisir? 386 /legal/ [-isir + [legal] [legalisIr] ‘legalisir’ legalisir?

387 /minimal/ [-isir +[minimal] [minimalisIr]

‘minimalisir’ minimalisir?

388 /netral/ [-isir + [netral] [netralisIr] ‘ netralisir netralisir?

Page 89: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

78

(385) {-isir} + [genəral] → [genəralisIr] ‘generalisIr’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[genəral] ‘general’ [-isir] ‘-isasi’ (386) {-isir} + [legal] → [legalisIr] ‘legalisIr’

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [legal] ‘legal’ [-isir] ‘-isasi’

Sufiks {-isir} salah satu akhiran yang digunakan dalam pembentukan kata-

kata tertentu, karena sufiks ini digunakan untuk membentuk kata berkategori

nomina yang menyatakan proses atau cara. Sufiks {-isir} ini digunakan dalam

pembentukan kata dalam BI tidak formal, namun penggunaan kata bentukannya

digunakan dalam pembicaraan formal. Merujuk pada data di atas, sufiks {-isir}

bergabung dengan bentuk dasar general sehingga membentuk kata *?generalisir

yang dalam BI baku yakni ‘generalisasi’. Demikian pula dengan sufiks {-sir}

yang bergabung dengan BDlegal sehingga membentuk kata *?legalisir yang

dalam bahasa Indonesia baku berarti ‘legalisasi’. Berdasarkan data mengenai

sufiks {-isir} dapat dikatakan bahwa sufiks {-isir} tersebut menggantikan

penggunaan sufiks {-isasi} dalam pembentukan kata bahasa Indonesia dengan

kata lain *?generalisir dan *?legalisir menggantikan penggunaan kata

generalisasi dan legalisasi.

Berdasarkan penjelasan di atas pada (39) dan (40) kata bentukan yang

dihasilkan pada KPK tidak langsung terdapat pada komponen kamus, tetapi

terlebih dahulu tertahan pada komponen penyaring karena kata *?legalisir dan

*?generalisir serta data yang terdapat dalam tabel 4.11 mengalami idiosinkresi

linguistik berupa idiosinkresi morfologi. Idiosinkresi itu terjadi karena munculnya

Page 90: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

79

morfem {-isir} yang dalam penerapanya menggantikan penggunaan morfem {-

isasi} yang penyebabnya tidak bisa dijelaskan secara morfologis.

4.2.3 Kendala-kendala Morfofonemik Level Konfiksasi

Konfiks merupakan afiksasi yang berada di awal dan di akhir bentuk dasar

yang selalu bersama-sama melekat pada bentuk dasar. Pada penelitian kali ini

ditemukan dua konfiks yang menjadi bahan kajian yaitu konfiks {ŋ- + -in} yang

mengalami proses morfofonemik, dan konfiks {ke- + -an} tidak mengalami

proses morfofonemik. Kedua konfiks tersebut dapat dilekatkan dengan bentuk

dasar yang berawalan konsonan maupun vokal, selain itu dapat dilekatkan dengan

bentuk dasar yang berkategori verba, nomina, adjektiva, dan numeralia.

Berikut akan dipaparkan data pembentukan kata dengan konfiks {ŋ-+ -in}.

Tabel 12. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( konfiks{ŋ-+ -in})

No.

Daftar Morfem

KPK Penyaring Kamus

Morfem Terikat {ŋ- +

-in}

Morfem bebas

389 /ajar/ [ŋ- + -in [ajar] [ŋajarIn] ‘ngajarin’ ŋajarin?

390 /akal/ [ŋ - + -in [akal]

[ŋakalIn] ‘ngakalin’ ŋakalin?

391 /antar/ [ŋ - + -in [antar]

[ŋantərIn] ‘nganterin’ ŋanterin?

392 /baca/ [ŋ - + -in [baca]

[ŋəbacain] ‘ngebacain’ ŋebacain?

393 /bangun/ [ŋ - + -in [baŋUn]

[ŋəbaŋunIn]‘ngebangunin’

ŋebangunin?

394 /batas/ [ŋ - + -in [batas]

[ŋəbatasIn] ‘ngebatasin’ ŋebatasin?

395 /bayar/ [ŋ - + -in [bayar]

[ŋəbayarIn] ‘ngebayarin’ ŋebayarin?

396 /bersih/ [ŋ - + -in [ŋəbərsihIn] ŋebersihin?

Page 91: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

80

[bərsIh] ‘ngebersihin’

397 /bocor/ [ŋ - + -in [bocɔr]

[ŋəbocorIn] ‘ngebocorin’ ŋebocorin?

398 /bosan/ [ŋ - + -in [bosan]

[ŋəbosenIn] ‘ngebosenin’

ŋebosenin?

399 /damping/ [ŋ - + -in [dampIŋ]

[ŋədampiŋIn] ‘ngedampingin’

ŋedampingin?

400 /datang/ [ŋ - + -in [dataŋ]

[ŋədataŋIn] ‘ngedatangin’

ŋedatangin?

401 /erti/ [ŋ - + -in [erti]

[ŋərtiin] ‘ngertiin’ ŋertiin?

402 /guru/ [ŋ - + -in [guru]

[ŋəguruin] ‘ngeguruin’ ŋeguruin?

403 /hancur/ [ŋ - + -in [hancUr]

[ŋəhancurIn] ‘ngehancurin’

ŋehancurin?

404 /hilang/ [ŋ - + -in [hilang]

[ŋəhilaŋIn] ‘ngehilangin’ ŋehilangin?

405 /jaga/ [ŋ - + -in [jaga]

[ŋəjagain] ‘ngejagain’ ŋejagain?

406 /jalan/ [ŋ - + -in [jalan]

[ŋəjalanIn] ‘ngejalanin’ ŋejalanin?

407 /jatuh/ [ŋ - + -in [jatUh]

[ŋejatuhin] ‘ngajatuhin’ ŋejatuhin?

408 /kagum/ [ŋ - + -in [kagUm]

[ŋagumIn] ‘ngagumin’ ŋagumin?

409 /kecewa/ [ŋ - + -in [kəcewa]

[ŋəcewain] ‘ngecewain’ ŋecewain?

410 /kembali/ [ŋ - + -in [kəmbali]

[ŋəmbaliin] ‘ngembaliin’ ŋembaliin?

411 /korban/ [ŋ - + -in [kɔrban]

[ŋɔrbanIn] ‘ngorbanin’ ŋorbanin?

412 /lahir/ [ŋ - + -in [lahIr]

[ŋəlahirIn] ‘ngelahirin’ ŋelahirin?

413 /laku/ [ŋ - + -in [laku]

[ŋəlakuin] ‘ngelakuin’ ŋelakuin?

414 /lewat/ [ŋ - + -in [lewat]

[ŋəlewatIn] ‘ngelewatin’ ŋelewatin?

415 /luar/ [ŋ - + -in [luar]

[ŋəluarIn] ‘ngeluarin’ ŋeluarin?

416 /main/ [ŋ - + -in [main]

[ŋəmainIn] ‘ngemainin’ ŋemainin?

417 /obat/ [ŋ - + -in [obat]

[ŋobatIn] ‘ngobatin’ ŋengobatin?

418 /potong/ [ŋ - + -in [potɔŋ]

[motɔŋIn] 'motongin' motongin?

Page 92: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

81

419 /rasuk/ [ŋ - + -in [rasUk]

[ŋərusakIn] ‘ngerusakin’ ŋerusakin?

420 /siap/ [ŋ-+ -in [siap] [ñiapIn] 'nyiapin' nyiapin?

421 /tangkap/ [ŋ - + -in [taŋkap]

[taŋkapIn] 'tangkapin' tangkapin?

422 /tawa/ [ŋ - + -in [tawa]

[ŋətawain] ‘ngetawain’ ŋetawain?

423 /urus/ [ŋ - + -in [urUs]

[ŋurusIn] ‘ngurusin’ ŋurusin?

1. Perubahan Fonem pada Konfiksasi

1) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {ŋ-+-in}

Morfem afiks {ŋ-+-in}mengalami proses morfofonemik pada saat

proses pembentukan kata berupa perubahan fonem. Perubahan fonem yang

terjadi karena pelekatan morfem afiks {ŋ-+-in} pada BD yang berawalan

konsonan /p, s, t/. Berikut akan dipaparkan data mengenai perubahan fonem

pada morfem afiks {ŋ-+-in}.

(418) {ŋ - + -in } + [potɔŋ] → [motɔŋIn] ‘motongin’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[potɔŋ] ‘potong’ {ŋ - + -in } ‘meng-kan’

(420) {ŋ - + -in } + [siap] → [ñiapIn] ‘nyiapin’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [siap] ‘siap’ {ŋ - + -in } ‘meng-kan’

(421) {ŋ - + -in } + [taŋkap] → [naŋkapIn] ‘nangkepin’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [taŋkap] ‘tangkap’ {ŋ - + -in } ‘meng-kan’

Berdasarkan data di atas morfem afiks {ŋ- + -in }berpotensi

menggantikan penggunaan morfem afiks {meng-kan} dalam proses

pembentukan kata. Meskipun demikian morfem afiks {ŋ- + -in } ketika

Page 93: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

82

dilekatkan dengan BD sehingga membentuk kata baru, namun kata bentukan

tersebut mengalami idiosinkresi berupa idiosinkresi morfologi.

2) Penambahan fonem pada Morfem Afiks {ŋ-+-in}

Selain mengalami perubahan fonem, morfem afiks {ŋ-+-in} juga

mengalami penambahan fonem ketika bergabung dengan BD dalam proses

pembentukan kata. Penambahan fonem tersebut berupa penambahan fonem /e/

pada morfem afiks {ŋ-+-in} sehingga menjadi morf {ŋe-+-in}

(393) {ŋ- + -in} + [baŋUn] → [ŋəbaŋunIn] ‘ngebangunin’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[baŋUn] ‘bangun’ [ŋ- + -in] ‘məŋ- + kan’ (396) {ŋ- + -in} + [bərsIh] → [ŋəbərsihIn] ‘ngebersihan’

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [bərsIh] ‘bangun’ [ŋ- + -in] ‘məŋ- + kan’

Adapun pada data (393), terbentuk kata ŋebangunin yang berkategori

verba hasil dari pembentukan kata dengan pelekatan konfiks {ŋ- + -in} dengan

bentuk dasar bangun yang berkategori verba. Dalam proses pembentukan kata

terjadi proses morfofonemik yaitu penambahan fonem. Fonem /ŋ/ pada

morfem {ŋ-} mengalami penambahan fonem menjadi /ŋe/ pada saat

digabungkan dengan bentuk dasar bangun. Kata *?ŋebangunin dalam BI

formal berarti ‘membangunkan’. Pada data (396), hasil dari proses

pembentukan kata mengubah kategori adjektiva menjadi kategori verba dengan

pelekatan konfiks {ŋ- + -in} dengan bentuk dasar bersih yang berkategori

adjektiva sehingga membentuk kata *?ŋebersihin yang dipadankan dengan

kata‘membersihkan’ pada BI formalyang berkategori verba

Page 94: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

83

Selain mengalami proses morfofonemik morfem afiks {ŋ-+-in} juga

tidak mengalami proses morfofonemik dalam proses pembentukan kata. Hal

ini biasanya terjadi ketika morfem afiks {ŋ-+-in} dilekatkan dengan Bd yang

berawal vokal, seperti data berikut ini.

(389) {ŋ- + -in} + [ajar] → [ŋajarIn] ‘ngajarin’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[ajar] ‘ajar’ [ŋ- + -in] ‘məŋ- + kan’ Merujuk pada data di atas, data (389) konfiks {ŋ- + -in} bergabung

dengan BDajar yang berkategori nomina sehingga membentuk kata *?ŋajarin

yang berubah kategori menjadi verba. Kata bentukan *?ŋajarin dalam BI

formal dipadankan dengan ‘mengajarkan’. Berdasarkan proses pembentukan

kata tersebut, kata bentukan yang dihasilkan karena pelekatan morfem afiks

{ŋ- + -in} pada KPK hingga terhenti pada penyaringan karena mengalami

idiosinkresi morfologi.

Adapun morfem afiks {kə- + -an} yang merupakan morfem afiks dalam

konfiksasi ketika dilekatkan dalam proses pembentukan kata, morfem afiks

tersebut tidak mengalami proses morfofonemik. Meskipun demikian morfem

afiks {kə- + -an} bergabung dengan BD membentuk kata, kata bentukan

tersebut tertahan pada penyaringan karena mengalami idiosinkresi. Berikut

dipaparkan data pelekatan morfem afiks {kə- + -an}.

Page 95: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

84

Tabel 12. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morfem afiks {kə- + -an}

No.

Daftar Morfem KPK Penyaring Kamus

Morfem terikat {kə-

+ -an}

Morfem Bebas

424 /atas/ [ [kə- + -an] + atas] [kəatasan]’keatasan’ keatasan?

425 /bawah/ [ [kə- + -an] + bawah] [kəbukaan]’kebukaan’ kebukaan?

426 /buka/ [ [kə- + -an] + buka] [kəbukaan]’kebukaan’ kebukaan?

427 /cabut/ [ [kə- + -an] + cabUt] [kəcabutan]’kecabutan’ kecabutan?

428 /hapus/ [ [kə- + -an] + hapUs] [kəhapusan]’kehapusan’ kehapusan?

429 /ingat/ [ [kə- + -an] + iŋat] [kəingatan]’keingatan’ keingatan?

430 /temu/ [ [kə- + -an] + təmu] [kətəmuan]’ketemuan’ ketemuan?

431 /timpa/ [ [kə- + -an] + tImpa] [kətImpaan]’ketimpaan ketimpaan?

432 /tutup/ [ [kə- + -an] + tuTup] [kətutupan]’ketutupan’ ketutupan?

433 /sunda/ [ [kə- + -an] + sUnda] [kəsUndaan]’kesundaan’ kesundaan?

434 /jawa/ [ [kə- + -an] + jawa] [kəjawaan] ‘kejawaan’ kejawaan?

(430) {kə- + -an} + [təmu] → [kətəmuan] ‘ketemuwan’

Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa: [təmu] ‘temu’ [kə- + -an] ‘ber-‘

(432) {kə- + -an} + [tutUp] → [kətutupan] ‘ketutupan’ Morf-morfnya dapat diidentifikasi berupa:

[tutUp] ‘tutup’ [kə- + -an] ‘ ter-‘

Konfiks {kə- + -an} merupakan salah satu konfiks dalam BI yang

berfungsi mengubah kategori kata menjadi nomina. Namun konfiks tersebut

Page 96: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

85

memiliki potensi untuk membentuk kata-kata baru yang kata bentukan tersebut

berkategori verba. Pada data (430) konfiks {kə- + -an} bergabung dengan MB

/temu/ sehingga membentuk kata *?ketemuan yang berkategori verba. Kata

*?ketemuan ini dipadankan dengan kata bertemu dalam BI baku. Sementara

pada (432) konfiks {kə- + -an} bergabung dengan MB /tutup/ sehingga

menghasilkan bentukan*?ketutupan yangberkategori verba. Dalam BI baku

kata *?ketutupan dipadankan dengan kata tertutup.

Kata bentukan *?ketemuan dan *?ketutupan setelah terbentuk melalui

KPK tetap memiliki makna yang berterima pada saat penggunaannya. Namun

kata tersebut tertahan pada komponen saringan (filter) karena tidak sesuai

dengan bahasa baku yang terdapat dalam kamusatau mengandung keanehan

morfologi. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan karena terdapat idiosinkresi

yang terjadi pada kata hasil dari KPK. Meskipun kata tersebut mengalami

idiosinkresi dan tertahan pada komponen saringan, namun akan tetap

dicantumkan di dalam komponen kamus dengan memberikan tanda tanya (?).

Bentukan *?ketemuan dan *?ketutupan tidak sesuai dengan KPK namun ada

dalam realitas kebahasaan atau dituturkan oleh penutur bahasa Indonesia.

Page 97: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

86

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai kendala-kendala

morfofonemik level afiksasi pada bahasa Indoneiadapat disimpulkan bahwa

penelitian ini menghasilkan bentuk-bentuk kendala morfofonemik tersebut. Hal

tersebut diuraikan sebagai berikut.

1) Perubahan fonem pada proses prefiksasi terjadi pada morfem afiks

{məŋ-}, {pəŋ-} dan {bər-}, pada morfem afiks {məŋ-} perubahan

fonem terjadi berupa perubahan fonem /ŋ/ menjadi fonem /n/, fonem

/ŋ/ menjadi fonem /m/, dan fonem /ŋ/ menjadi fonem/ñ/ sehingga

membentuk morf {mən-}, {məm-}, {məñ-}. Adapun morfem afiks

{pəŋ-} perubahan fonem terjadi berupa perubahan fonem /ŋ/ menjadi

fonem /n/, fonem /ŋ/ menjadi fonem /m/, dan fonem /ŋ/ menjadi fonem

/ñ/ sehingga membentuk morf {pən-},{pəm}, dan {pəñ-}. Demikian

juga dengan morfem afiks {bər-} yang menjadi morf {bəl-} dengan

perubahan fonem /r/ menjadi fonem /l/. Penambahan fonem terjadi

pada morfem afiks {məŋ-} dan {pəŋ-} berupa penambahan fonem /e/

sehingga membentuk morf {məŋə-} dan {pəŋə-}. Penghilangan fonem

morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-} dan {bər-}, pada morfem afiks {məŋ-}

penghilangan fonem /ŋ/ sehingga membentuk morf {mə-}. Adapun

morfem afiks {pəŋ-} penghilangan fonem terjadi berupa penghilangan

fonem /ŋ/ sehingga membentuk morf {pə-}. Demikian juga dengan

Page 98: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

87

morfem afiks {bər-} yang menjadi morf {bə-} dengan penghilangan

fonem /r/. Terdapat juga morfem afiks yang tidak mengalami proses

morfofonemik, seperti morfem afiks {tər-}, {di-}, {kə-} dan {sə-}.

Infiks dalam bahasa Indonesia berupa {-ər-}, {-əl-}, dan {-əm}. Sufiks

dalam Proses pembentukan kata bahasa Indonesia memiliki morfem

afiks berupa {-kan}, {-i}, dan {-an}. Demikian pula dengan konfiks

pada bahasa Indonesia berupa {məŋ-kan}, {məŋ-i}, {kə-an}, {pəŋ-an},

{pər-an}, dan {bər-an}.

2) Kendala-kendala morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia berupa

perubahan dan penambahan fonem. Perubahan dan penambahan terjadi

pada morfem afiks {ŋ-} ’məŋ-’ dengan alomorf {ŋ-}, {m-}, {n-}, {ñ-}, {

ŋe-} dalam prefiksas dan morfem afiks {ŋ- + -in} ‘ məŋ-kan’ dalam

konfiksasi. Selain mengalami proses morfofonemik terdapat juga

morem afiks yang tidak mengalami proses morfofonemik, yaitu

morfem afiks {məŋ-}, {kə-} ’ter-’ pada afiksasi, sufiksasi terdapat

morfem afiks berupa {i-}, {-in} ‘-kan’, {-an} ‘ber-‘ dan {-isir} ‘-isasi’.

Demikian pula dengan konfiks, terdapat morfem afiks berupa {kə- + -

an}.

5.2 Saran

Penelitian pada bahasa Indonesia dianggap sudah cukup untuk diteliti

karena banyaknya buku yang membahas tentang bahasa tersebut. Namun pada

kenyataannya masih banyak fenomena kebahasaan dalam bahasa Indonesia yang

belum dianalisis terutama karena pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan

Page 99: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

88

teknologi yang sangat cepat membuat munculnya varian-varian baru, khususnya

Bahasa Indonesia. Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan penelitian-penelitian

lain tentang bahasa Indonesia agar fenomena kebahasaan yang muncul dapat

diketahui permasalahan serta penyelesaiannya. Selain itu, penelitian ini pula dapat

dijadikan sebagai acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya serta penelitian ini

juga dapat disempurnakan dengan menggunakan objek penelitian yang sama

sehingga menghasilkan hasil yang sempurna.

Page 100: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

89

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta

Fitriani. 2011. Proses Morfofonemik Prefiks {Men-} dengan Bentuk Dasar yang Berfonem Awal (k, t, s, p) dalam Bahasa Indonesia dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia. Skripsi . Mataram : Unram

Kridalaksana, Harimurti. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mahsun. 2007. Morfologi. Yogyakarta : Gama Media

Mahsun. 2012. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Rajawali Pers

Muammar. 2004. Klitika dalam Bahasa Sasak Dialek Meno-Mene di Desa Beleka Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat. Skripsi . Mataram : Unram

Muhammad.2011. Metode Penelitian Bahasa. Jogjakarta. Ar-Ruzz Media.

Nurul, B. Husna. 2004. Morfofonemik Bahasa Sasak Sedau. Skripsi. Mataram:

Unram

Phoenix, Tim Pustaka.Kamus Besar Bahasa Indonesia.2012. Jakarta. PT Media Pustika

Putrayasa, Ida Bagus. 2008. Kajian Morfologi (Bentuk Derivasional dan

Infleksional).Singaraja : PT Refika Aditama

Rohmadi, Muhammad, dkk.2010. Morfologi Telaah dan Kata.Surakarta : Yuma Pustaka

Indriani, Made Sri. 2005. Afiksasi Infleksional dalam Bahasa Bali:Sebuah Kajian

Morfologi Generatif. Singaraja : IKIP Negeri Singaraja

Subroto, Edi. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: UNS Press

Sukri, Muhammad.2008.Morfologi (Kajian Bentuk dan Makna). Mataram:

Lembaga Cerdas Press

Sukri, Muhammad. Nuriadi. 2010. Gramatika Kata. Mataram: Cerdas Press

Page 101: KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA ...

90

Thoir, Nazir. I Wayan Simpen. Fonologi Sebuah Kajian Deskriptif. Denpasar: Kayumas

Verhaar. 2008. Asas-asas Linguistik Umum.Yogyakarta : Gadjah Mada

University Prees