KEMOTERAPI PARASIT

32
KEMOTERAPI PARASIT (Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah FARMAKOLOGI) Disusun Oleh : HENI ASTARINA RAPAIL ILAITU PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIKES NGUDI WALUYO

Transcript of KEMOTERAPI PARASIT

KEMOTERAPI PARASIT

(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah FARMAKOLOGI)

Disusun Oleh :

HENI ASTARINA

RAPAIL ILAITU

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKES NGUDI WALUYO

UNGARAN

2011

KEMOTERAPI PARASIT

A. ANTELMINTIK

1. PENDAHULUAN

Antelmintik atau obat cacing ialah obat yang digunakan untuk

memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh.

Kebanyakan obat cacing efektif terhadap satu macam cacing, sehingga

diperlukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu. Kebanyakan

obat cacing diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan.

Beberapa obat cacing perlu diberikan bersama pencahar. Obat cacing baru

umumnya lebih aman dan efektif dibanding dengan yang lama, efektif untuk

beberapa macam cacing, rasanya tidak mengganggu, pemberiannya tidak

memerlukan pencahar dan beberapa dapat diberikan secara oral sebagai dosis

tunggal.

2. OBAT-OBAT PENYAKIT CACING

a) MEBENDAZOL

EFEK ANTELMINTIK.

Mebendazol merupakan antelmintik yang luas spektrumnya. Obat ini

sangat efektif untuk mengobati infestasi cacing gelang, cacing kremi,

cacing tambang, dan T. trichiura, maka berguna untuk mengobati infestasi

campuran cacing-cacing tersebut. Mebendazol juga efektif untuk

trichostronglylus, sedangkan untuk taeniasis dan S. stercoralis efeknya

bervariasi.

EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI.

Mebendazol tidak menyebabkan efek toksik sistemik mungkin karena

absorpsinya yang buruk (Pemberian oral < 10%) sehingga aman diberikan

pada pasien dengan anemia maupun malnutrisi. Efek samping yang

kadang-kadang timbul adalah mual, muntah, diare dan sakit perut ringan

yang bersifat sementara. Gejala-gejala ini biasanya terjadi pada infestasi

askaris yang berat yang disertai ekspulsi atau keluarnya cacing lewat mulut

(erratic migration). Sakit kepala ringan, pusing dan reaksi hipersensitivitas

merupakan efek samping yang jarang terjadi.

INDIKASI.

Mebendazol merupakan obat terpilih untuk enterobiasis dan

trichuriasis dengan angka penyembuhan 90-100% untuk enterobiasis pada

dosis tunggal. Untuk trichuriasis angka penyembuhan sampai 94% dengan

dosis ganda, terutama pada anak-anak.

b) PIRANTEL PAMOAT

Pirantel dipasarkan sebagai garam pamoat yang berbentuk Kristal

putih, tidak larut dalam alkohol maupun air, tidak berasa dan bersifat stabil.

Oksantel pamoat merupakan analog m-oksifenol dari pirantel yang efektif

dalam dosis tunggal untuk T. trichiura.

EFEK ANTELMINTIK.

Pirantel pamoat terutama digunakan untuk memberantas cacing

gelang, cacing kremi, dan cacing tambang. Pirantel pamoat dan analognya

menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi

impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastic. Pirantel pamoat jiga

berefek menghambat enzim kolinesterase, terbukti pada askaris

meningkatkan kontraksi ototnya.

FARMAKOKINETIK.

Absorpsinya sedikit melalui usus dan sifat ini memperkuat efeknya

yang selektif pada cacing. Ekskresi pirantl pamoat sebagian besar bersama

tinja, dan kurang dari 50% diekskresi bersama urin dalam bentuk utuh dan

metabolitnya.

EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI.

Efek samping pirantel pamoat jarang, ringan, dan bersifat sementara,

misalnya keluhan saluran cerna, demam dan sakit kepala. Penggunaan obat

ini pada wanita hamil dan anak usia di bawah 2 tahun tidak dianjurkan

karena studi ini belum ada. Karena kerjanya berlawanan dengan piperazin

maka pirantel pamoat tidak boleh digunakan bersama piperazin.

Penggunaannya harus hati-hati pada pasien dengan riwayat peyakit hati,

karena obat ini dapat meningkatkan SGOT pada beberapa pasien.

INDIKASI.

Pirantel pamoat merupakan obat pilihan untuk askariasis,

ankilostomiasis, dan enterobiasis. Denan angka penyembuhan cukup tinggi.

Untuk infestasi campuran dengan T. trichiura perlu dikombinasikan dengan

oksantel pamoat.

c) PIPERAZIN

Pengalaman klinik menunjukkan bahwa piperazin efektif sekali

terhadap A. lumbricoides dan E. vermicularis.

EFEK ANTELMINTIK.

Cacing biasanya keluar 1-3 hari setelah pengobatan dan tidak

diperlukan pencahar untuk itu. Piperazin bekerja sebgai agonis GABA pada

otot cacing. Cara kerja piperazin pada otot cacing askaris dengan

mengganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan

dalam mempertahankan potensial istirahat, sehingga menyebabkan

hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai paralisis.

FARMAKOKINETIK.

Penyerapan piperazin melalui saluran cerna, baik. Kadar puncak

plasma dicapai dalam 2-4 jam. Ekskresi melalui urin, selama 2-6 jam

sebagian besar obat diekskresi dalam bentuk utuh.

EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI.

Piperazin memiliki batas keamanaan yang lebar. Pada dosis terapi

umumya tidak menyebabkan efek samping, kecuali kadang-kadang mual,

muntah, diare, nyeri perut, sakit kepala, pusing dan alergi. Piperazin dapat

memperkuat efek kejang pada pasien epilepsi.

d) Obat-Obat lainnya : LEVAMISOL, ALBENDAZOL, TIABENDAZOL,

IVERMEKTIN, DIETILKARBAMAZIN, PRAZIKUANTEL,

OKSAMNIKUIN, METRIFONAT dan NIKLOSAMID.

B. AMUBISID

Berdasarkan tempat kerjanya, amubisid dibagi atas tiga golongan yaitu :

a) Amubisid Jaringan, yaitu obat yang bekerja terutama pada dinding usus, hati

dan jaringan ekstraintestinal lainnya; yang termasuk golongan ini adalah

dehidroemetin, emetin dan klorokuin.

b) Amubisid Luminal, yaitu yang bekerja dalam rongga usus dan disebut juga

amubisid kontak; yang termasuk golongan ini ialah diyodohidroksikuin,

yodoklorhidroksikuin, kiniofon, glikobiarsol, karbarson, emetin bismuth

yodida, klefamid, diloksanid furoat, teklozan etofamid dan beberapa antibiotik

misalnya tetrasiklin, eritromisin dan paramomisin.

c) Amubisid yang Bekerja Pada Lumen Usus dan Jaringan contohnya antara lain

metronidazol dan tinidazol.

OBAT-OBAT AMUBISID

1. EMETIN

Pada awal abad ke-19 emetin telah digunakan untuk pengobatan

amebiasis yang berat, namun kedudukannya sekarang telah digantikan oleh

metronidazol yang sama efektifnya tapi lebih aman. Emetin atau

dehidroemetin sekarang ini hanya boleh digunakan bila mitronidazol tidak

efektif atau dikontraindikasikan pemberiannya.

2. DERIVAT 8-HIDROKSIKUINOLIN

Beberapa derivatb 8-hidroksikuinolin yang berperan dalam pengobatan

amubiasis ialah diyodohidroksikuin (iodokuinol) dan yodoklorhidroksikuin

(kliokuinol).

FARMAKOLOGI

Golongan obat ini memperlihatkan efek amubisid langsung, tetapi

mekanisme kerjanya belum jelas. Derivate 8-hidroksikuinolin ini hanya

bekerja terhadap amuba dalam lumen usus dan tidak efektif untuk abses

amuba atau amubiasis hati. Golongan obat ini efektif terhadap bentuk motil

maupun kista dan efektivitasnya terhadap kista mungkin berdasarkan atas

efeknya terhadap trofozoit. Obat golongan ini efektif untuk pasien pembawa

kista, tetapi untuk disentri amuba akut, efektivitasnya sangat rendah.

EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI

Efek samping terpenting dari kliokuinol ialah subacute myelo-optic

neuropathy (SMON). Kelainan ini dahulu banyak dijumpai di Jepang tetapi di

daerah lain relative jarang. Gejala utama SMON ialah atrofi optic, penurunan

visus, dan neuropati perifer. Sejak kliokuinol tidak diperbolehkan lagi dijual

sebagai obat bebas terbatas, masalah SMON ini telah mereda. Di Indonesia

sekarang kliokuinol hanya tersedia sebagai obat topikal.

3. METRONIDAZOL DAN TINIDAZOL

Metronidazol ialah 1-(B-hidroksi-etil)-2-metil-5-nitroimidazol yang

berbentuk Kristal kuning muda dan sedikit larut dalam air atau alcohol. Selain

memiliki efek trikomoniasid, mitronidazol juga berefek amubisid dan efektif

terhadap Giardia Lamblia. Obat lain yang memiliki struktur dan aktivitas

mirip dengan metronidazol dan telah digunakan di banyak negara ialah

tinidazol, nimorazol, ornidazol dan secondizol.

FARMAKOLOGI

Mitronidazol memperlihatkan daya amubisid langsung. Pada biakan E.

histolytica dengan kadar metronidazol 1-2 µg/ml, semua parasit musnah

dalam 24 jam. Sampai saat ini belum ditemukan amuba yang resisten terhadap

mitronidazol.

Tinidazol memperlihatkan spectrum antimikroba yang sama dengan

metronidazol. Perbedaannya dengan metronidazol ialah masa paruhnya yang

lebih panjang sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal per hari, dan

efek sampingnya lebih ringan daripada metronidazol.

FARMAKOKINETIK

Absorbs metronidazol berlangsung dengan baik sesudah pemberian oral.

Satu jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral diperoleh kadar

plasma kira-kira 10 µg/ml. umumnya untuk kebanyakan protozoa dan bakteri

yang sensitive, rata-rata diperlukan kadar tidak lebih dari 8 µg/ml.

Waktu paruhnya berkisar antara 8-10 jam. Pada beberapa kasus terjadi

kegagalan karena rendahnya kadar sistemik. Ini mungkin disebabkan oleh

absorpsi yang buruk atau metabolism yang terlalu cepat.

Masa paruh tinidazol 12-24 jam. Kadar plasma setelah 24 jam adalah 10

µg/ml.

EFEK SAMPING dan KONTRAINDIKASI

Efek samping hebat yang memerlukan penghentian pengobatanjarang

ditemukan. Efek samping yang paling sering dikeluhkan ialah sakit kepala,

mual, mulut kering dan rasa kecap logam. Muntah, diare dan spasme usus

jarang dialami.

INDIKASI

Metronidazol dan tinidazol terutama digunakan untuk amubiasis,

trikomoniasis dan infeksi bakteri anaerob. Metronidazol efektif untuk

amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal. Namun efeknya lebih jelas pada

jaringan, sebab sebagian besar metronidazol mengalami penyerapan di usus

halus. Untuk amubiasis intestinal dianjurkan pemberian amubisid intestinal

lain setelah pemberian metronidazol.

4. KLOROKUIN

Klorokuin banyak ditimbun dalam hati dan karena itu digunakan untuk

pengobatan amubiasis hati. Beberapa hari setelah pengobatan dengan

klorokuin keluhan dan gejala amubiasis hati hilang; penyakit tersebut dapat

dikendalikan secara baik bahkan sering dapat disembuhkan.

Klorokuin tidak bermanfaat untuk amubiasis intestinal, karena

penyerapannya hamper sempurna sehingga kadar yang terdapat di kolon

sangat rendah.

Dalam pengobatan amubiasis hati, selain klorokuin, harus pula diberikan

obat amubiasis intestinal untuk mencegah relaps sebab infeksi E. histolytica di

kolon selalu merupakan sumber amubiasis ekstraintestinal.

Dosis klorokuin basa yang biasa untuk orang dewasa dengan amubiasis

ekstraintestinal ialah 2 x 300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan

dengan 2 x 150 mg/hari selama dua atau tiga minggu.

5. AMUBISID LAINNYA

a) DILOKSANID FUROAT

Di dalam lumen atau mukosa usus sebagian besar obat ini dihidrolisis

menjadi diloksanid yang bersifat amubisid, dan asam furoat. Di dalam

sirkulasi sistemik hanya terdapat diloksanid, karena asam furoat akan

mengalami metabolism sebagaimana asam lemak yang lain.

b) ANTIBIOTIKA

Paromomisin mempunyai efektivitas terbaik untuk amubiasis intestinal.

Antibiotic lain yaitu tetrasiklin dan eritromisin mempunyai efek samping

yang lebih mengganggu serta efektivitas yang lemah.

PEMILIHAN OBAT AMUBIASIS

Pilihan obat untuk berbagai jenis infeksi amuba dapat dilihat pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 PENGOBATAN AMUBIASIS

Jenis Infeksi Obat Terpilih Obat Pilihan Kedua

1. Pembawa Kista

(asimtomatis)Lodokuinol Paromomisin atau diloksanid furoat

2. Infeksi Usus ringan s/d

sedang

Metronidazol dilanjutkan

dengan iodokuinol

Amubisid luminal dilanjutkan dengan

eritromisin atau tetrasiklin

3. Infeksi usus beratMetronidazol dilanjutkan

dengan iodokuinol

Amubisid Luminal dilanjutkan dengan

tetrasiklin atau dehidroemetin atau emetin

4. Abses Jaringan

(biasanya hati)

Metronidazol dilanjutkan

dengan iodokuinol

Dehidroemetin atau emetin dilanjutkan

dengan klorokiun dan amubisid luminal

C. OBAT MALARIA

1. PENDAHULUAN

Untuk dapat mengerti kerja dan penggunaan obat malaria, perlu

dimengerti dasar-dasar biologi plasmodium, diagnosis penyakit malaria,

tujuan pengobatannya dan masalah resistensi dalam pengobatan malaria.

Secara klinis dikenal 3 macam penyakit malaria, yakni :

a) Malaria tropika, yang disebabkan oleh P. Falciparum.

b) Malaria tersiana yang disebabkan oleh P. Vivax dan P. Ovale.

c) Malaria kuartana yang disebabkan oleh P. malariae.

SIKLUS HIDUP PLASMODIUM

Manusia merupakan hospes antara tempat plasmodium mengadakan

skizogoni (siklus aseksual), sedangkan nyamuk Anopheles merupakan vector

dan hospes definitif tempat terjadinya siklus seksual dan reproduksi yang

dilengkapi dengan sporogoni. Pada manusia, parasit ini hidup dalam sel tubuh

(fixed tissue cells) dan sel darah merah.

SIKLUS ASEKSUAL

Infeksi malaria alami terjadi dengan masuknya sporozoit melalui gigitan

nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi parasit. Selain itu, infeksi dapat

terjadi melalui transfuse darah yang tercemar parasit. Dengan masuknya

sporozoit ini dimulailah siklus aseksual plasmodium.

Sporozoit ini segera hilang dari sikllus darah dan menetap di sel parenkim

hati untuk bermultiplikasi dan berkembang menjadi skizon jaringan.

Bagian siklus ini dikenal sebagai fase praeritrosit atau eksoeritrosit, dan

berlangsung selama 5-16 hari tergantung dari jenis plasmodium. Pada fase ini

pasien belum memperlihatkan gejala.

Skizon jaringan ini selanjutnya akan pecah, dan akan melepaskan beribu-

ribu merozoit yang akan masuk ke dalam sirkulasi darah, dan akan

mennginvasi eritrosit. Saat ini dimulailah fase erisrosit atau siklus infeksi.

KLASIFIKASI ANTIMALARIA

Berdasarkan kerjanya pada tahapan perkembangan plasmodium,

antimalaria dibedakan atas skizontosid jaringan dan darah, gametosid, dan

sporontosid. Dengan klasifikasi ini antimalaria dipilih sesuai dengan tujuan

pengobatan.

2. OBAT-OBAT ANTIMALARIA

1. KLOROKUIN dan TURUNANNYA

Klorokuin kuinolin ialah turunan 4-aminokuinolin. Pada mamalia

bentuk d-isomernya kurang toksik disbanding dengan l-isomernya.

Amodiakuin dan hidrosiklorokuin merupakan turunan klorokuin yang

sifatnya mirip klorokuin. Walaupun in vitro dan in vivo amodiakuin lebih

aktif terhadap P. falciparum yang mulai resisten terhadap klorokuin, obat

ini tidak digunakan rutin karena efek samping agranulositosis yang fatal

dan toksik pada hati.

FARMAKODINAMIK

Klorokuin hanya efektif terhadap parasit dalam fase eritrosit, sama

sekali tidak efektif terhadap parasit di jaringan. Efektifitasnya sangat tinggi

terhadap P. vivax, P. malariae, P. ovale dan terhadap strain P. falciparum

yang sensitive klorokuin.

Gejala klinik dan parasitemia serangan akut malaria akan cepat

dikendalikan oleh klorokuin. Demamnya akan hilang dalam 24 jam dan

sediaan apus darah, umumnya negatif dalam waktu 48-72 jam.

Mekanisme kerja klorokuin masih kontroversial. Salah satu

mekanisme yang penting adalah penghambatan aktivitas polimerase heme

plasmodia oleh klorokuin.

FARMAKOKINETIK

Absorpsi klorokuin setelah pemberian oral terjadi lengkap dan cepat,

dan makanan mempercepat absorpsi ini. Sedangkan kaolin dan antacid

yang mengandung kalsium atau magnesium dapat mengganggu absorpsi

klorokuin.

Metabolisme klorokuin dalam tubuh berlangsung lambat sekali dan

metabolitnya, monodesetilklorokuin dan bisdesetilklorokuin, diekskresi

melalui urin.

Dosis harian 300 mg menyebabkan kadar mantap kira-kira 125 µg/L,

sedangkan dengan dosis oral 0,5 gram tiap minggu dicapai kadar plasma

antara 150-250 µg/L dengan kadar lemah antara 20-40 µg/L. jumlah ini

berada dalam batas kadar terapi untuk P. falciparum yang sensitive dan P.

vivax, yitu masing-masing 30 dan 15 µg/L.

EFEK SAMPING dan KONTRAINDIKASI

Dengan dosis yang tepat, klorokuin merupakan obat yang sangat aman.

Efek samping yang mungkin ditemukan pada pemberian klorokuin adalah

sakit kepala rigan, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan, dan gatal-

gatal.

Pemberian klorokuin lebih dari 250 mg/hari untuk jangka lama dapat

menimbulkan ototoksisitas dan retinopati yang menetap.

SEDIAAN

Untuk pemakaian oral tersedia garam klorokuin fosfat dalam bentuk

tablet 250 mg dan 500 mg yang masing-masing setara dengan 150 mg dan

300 mg bentuk basanya; juga tersedia bentuk sirup klorokuin fosfat 50

mg/5 mL.

2. KINA dan ALKALOID SINKONA

Kina (kuinin) ialah alkaloid penting yang diperoleh dari kulit pohon

sinkona. Alkaloid ini telah berabad-abad digunakan oleh penduduk asli di

Amerika Selatan sebagai obat tradisional. Pohon sinkona mengandung

lebih dari 20 alkaloid, tetapi yang bermanfaat di klinik hanya 2 pasang

isomer, kina dan kuinidin serta sinkonin dan sinkonidin. Potensi masing-

masing alkaloid ialah sebagai berikut : kuinidin 2 kali lebih kuat dari kina,

sedangkan kekuatan dua alkaloid lainnya hanya setengah dari kina.

EFEK ANTIMALARIA

Kina bersama pirimetamin dan sulfadoksin masih merupakan regimen

terpilih untuk P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin. Mekanisme

kerja antimalarianya berkaitan dengan gugus kuinolin yang dimilikinya,

dan sebagian disebabkan karena kina merupakan basa lemah, sehingga

akan memiliki kepekatan yang tinggi di dalam vakuola makanan P.

falciparum.

EFEK TERHADAP OTOT RANGKA

Kina dan alkaloid sinkona lain meningkatkan respons terhadap

rangsang tunggal maksimal yang diberikan langsung atau melalui saraf,

tetapi juga menyebabkan perpanjangan masa refrakter sehingga mencegah

terjadinya tetani. Kina menurunkan kepekaan lempeng saraf sehingga

respons terhadap rangsang berulang berkurang.

FARMAKOKINETIK

Kina dan turunannya diserap baik terutama melalui usus halus bagian

atas. Kadar puncaknya dalam plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah suatu

dosis tunggal. Distribusinya luas, terutama ke hati, tetapi kurang ke paru,

ginjal, dan limpa.

Sebagian besar alkaloid sinkona dimetabolisme dalam hati, sehingga

hanya kira-kira 20% yang diekskresi dalam bentuk utuh di urin. Karena

perombakan dan ekskresi yang cepat, tidak terjadi kumulasi dalam badan.

EFEK SAMPING

Dosis terapi kina sering menyebabkan sinkronisme yang tidak selalu

memerlukan penghentian pengobatan. Gejalanya mirip salisilismus yaitu

tinnitus, sakit kepala, gangguan pendengaran, pandangan kabur, diare dan

mual.

INDIKASI

Kina digunakan untuk terapi malaria P. falciparum yang resisten

terhadap klorokuin. Untuk terapi malaria ini, tanpa komplikasi, kina

diberikan secara oral, dan biasanya dikombinasi dengan doksisiklin, atau

klindamisin atau sulfadoksin-pirimetamin. Kombinasi ini untuk

memperpendek masa pemakaian kina dan mengurangi toksisitasnya. Jika

pasien gagal memperlihatkan perbaikan klinik setelah 48 jam pengobatan,

dosis kina perlu diturunkan 30-50% untuk mencegah akumulasi dan

toksisitas dari obat.

SEDIAAN

Kina sulfat diberikan 3 kali 650 mg/hari selama 3-7 hari dikombinasi

dengan doksisiklin 2 kali 100 mg/hari selama 7 hari atau dengan

klindamisin 2 kali 600 mg/hari atau dengan sulfadoksin-pirimetamin 3

tablet sekali pemberian per oral. Untuk anak, dosis kina sulfat 10 mg/kgBB

per oral diberikan setiap 8 jam.

3. PIRIMETAMIN

Pirimetamin ialah turunan pirimidin yang berbentuk bubuk putih, tidak

berasa, tidak larut dalam air dan hanya sedikit larut dalam asam klorida.

Dalam bentuk kombinasi, pirimetamin dan sufadoksin digunakan secara

luas untuk profilaksis dan supresi malaria, terutama yang disebabkan oleh

strain P. falciparum yang resisten klorokuin. Pirimetamin tersedia sebagai

tablet 25 mg, selain itu terdapat juga sediaan kombinasi tetap dengan

sulfadoksin 500 mg.

4. PRIMAKUIN

Manfaat kliniknya yang utama ialah dalam penyembuhan radikal

malaria vivaks dan ovale, karena bentuk laten jaringan ini dapat

dihancurkan oleh primakuin. Primakuin disediakan terutama untuk

profilaksis terminal dan penyembuhan radikal dari malaria vivax dan ovale

yang relaps, primakuin harus diberikan bersama-sama dengan skizontosid

darah, biasanya klorokuin, untuk memusnahkan fase eritrosit plasmodia

dan mengurangi perkembangan resistensi obat. Primakuin fosfat tersedia

sebagai tablet yang setara dengan 15 mg basa.

5. OBAT MALARIA LAIN

a) Proguanil

b) Meflokuin

c) Halofantrin

d) Tetrasikllin

e) Kombinasi Sulfadoksin-Pirimetamin

f) Artemisinin dan Derivatnya

g) Atovakuon

D. OBAT JAMUR

Dari segi terapeutik infeksi jamur pada manusia dapat dibedakan atas

infeksi sistemik, dermatofit, dan mukokutan. Infeksi sistemik dapat dibagi lagi

atas : (1) infeksi dalam (intestinal), seperti aspergilosis, blastomikosis,

koksidiodomikosis, dll. Dan (2) infeksi subkutan misalnya kromomikosis,

misetoma dan sporotrikosis. Infeksi dermatofit disebabkan oleh Trichophyton,

Epidermophyton dan Microsporum; yang menyerang kulit, rambut dan kuku.

Infeksi mukokutan disebabkan oleh kandida, menyerang mukosa dan daerah

lipatan kulit yang lembab. Kandidiasis mukokutan dalam keadaan kronis

umumnya mengenai mukosa kulit dan kuku.

Secara umum, infeksi jamur dibedakan atas infeksi jamur sistemik dan

infeksi jamur topical (dermatofit dan mukokutan). Dalam pengobatan beberapa

antijamur (imidazol, triazol dan antibiotic polien) dapat digunakan untuk kedua

bentuk infeksi tersebut.

1. ANTIJAMUR UNTUK INFEKSI SISTEMIK

a) AMFOTERISIN B

Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel matang.

Aktivitas antikamur nyata pada pH 6,0-7,5 dan berkurang pada pH yang

lebih rendah. Antibiotik ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung

pada dosis dan sensitivitas jamur yang dipengaruhi.

Amfoterisin B sedikit sekali diserap melalui saluran cerna. Suntikan

yang dimulai dengan dosis 1,5 mg/hari lalu ditingkatkan secara bertahap

sampai dosis 0,4-0,6 mg/kgBB/hari akan memberikan kadar puncak antara

0,5 µg/mL pada kadar mantap. Waktu paruh obat ini kira-kira 24-48 jam

pada dosis awal yang didikuti oleh eliminasi fase kedua dengan waktu

paruh kira-kira 15 hari sehingga kadar mantapnya baru akan tercapai

setelah beberapa bulan pemakaian.

Infus amfoterisin B seringkali menimbulkan kulit panas, keringatan,

sakit kepala, demam, menggigil, lesu, anoreksia, nyeri otot, flebitis, kejang

dan penurunan fungsi ginjal. 50% pasien yang mendapat dosis awal secara

IV akan mengalami demam dan menggigil. Reaksi ini dapat ditekan

dengan memberikan hidrokortison 25-50 mg dan dengan antipiretik serta

antihistamin sebelumnya. Flebitis dapat dikurangi dengan menambahkan

heparin 1000 unit ke dalam infus.

Amfoterisin B sebagai antibiotika berspektrum lebar yang bersifat

fungisidal dapat digunakan sebagai obat pilihan untuk hampir semua

infeksi jamur yang mengancam kehidupan. Obat ini digunakan untuk

pengobatan infeksi jamur seperti koksidioidomikosis,

parakoksidioidomikosis, aspergilosis, kromoblastomikosis dan kandidiosis.

Amfoterisin B untuk injeksi tersedia dalam vial berisi 50 mg bubuk

liofilik, dilarutkan dengan 10 mL akuades steril untuk kemudian

diencerkan dengan larutan dekstrosa 5% dalam air sehingga didapatkan

kadar 0,1 mg/mL larutan. Sediaan ini dikenal dengan amfoterisin B

konvensional atau amfoterisin B deoksikolat.

Kini telah dikembangkan amfoterisin B formulasi baru, yaitu

amfoterasin B liposomal amfoterisin B formulasi lipid. Ada 3 jenis sediaan

amfoterisin B liposomal yakni : amfoterisin B dengan formulasi dispersi

koloid (ABCD), amfoterisin B dengan formulasi vesikel unilamelar

(Ambisome) dan amfoterisin B kompleks lipid (ABLC).

b) FLUSITOSIN

Spectrum antijamur flusitosin agak sempit. Obat ini efektif untuk

pengobatan kriptokokosis, kandidiasis, kromomikosis, torulopsis dan

aspergilosis.

Flusitosin diserap dengan cepat dan baik melalui saluran cerna.

Pemberian bersama makanan memperlambat penyerapan tapi tidak

mengurangi jumlah yang diserap. Kadar puncak dalam darah setelah

pemberian per oral berkisar antara 70-80 µg/mL, akan dicapai 1-2 jam

setelah pemberian dosis sebesar 37,5 mg/kgBB.

Flusitosin kurang toksik dibandingkan dengan amfoterisin B, namun

dapat menimbulkan anemia, lekopenia, dan trombositopenia terutama pada

pasien dengan kelainan hematologic yang sedang mendapat pengobatan

radiasi atau obat yang menekan fungsi sumsum tulang dan pasien dengan

riwayat pemakaian obat tersebut.

Untuk infeksi sistemik flusitosin kurang toksik daripada amfoterisin B

dan obat ini dapat diberikan per oral, tapi cepat menjadi resisten. Oleh

sebab itu pemakaian tunggal flusitosin hanya untuk infeksi Cryptococcus

neoformans, beberapa spesies Candida dan infeksi oleh

kromoblastomikosis.

c) IMIDAZOL dan TRIAZOL

Antijamur golongan imidazol dan triazol mempunyai spectrum yang

luas. Kelompok imidazol terdiri atas ketokonazol, mikonazol, dan

klotrimazol. Sedangkan kelompok triazol meliputi itrakonazol, flukunazol,

dan vorikonazol.

d) KASPOFUNGIN

Kaspofungin adalah antijamur sistemik dari suatu kelas baru yang

disebut ekinokandin. Kaspofungin diindikasikan untuk infeksi jamur

sebagai berikut :

1) Kandidiasis invasive, termasuk kandidemia pada pasien neutropenia

atau non-neutropenia.

2) Kandidiasis esophagus.

3) Kandidiasis orofarings.

4) Aspergilosis invasive yang sudah refrakter terhadap antijamur lainnya.

e) TERBINAFIN

Obat ini digunakan untuk terapi dermatofitosis, terutama

onikomikosis. Namun, pada pengobatan kandidiasis kutaneus dan tinea

versikolor, terbinafin biasanya dikombinasikan dengan golongan imidazol

atau triazol karena penggunaannya sebagai monoterapi kurang efektif.

2. PENGOBATAN INFEKSI JAMUR SISTEMIK

Infeksi oleh jamur pathogen yang terinhalasi dapat sembuh spontan.

Histoplasmosis, koksidioidomikosis, blastomikosis dan kriptokokosis pada

paru yang sehat tidak membutuhkan pengobatan. Kemoterapi baru dibutuhkan

bila ditemukan pneumonia yang berat, infeksi cenderung menjadi kronis, atau

bila disangsikan terjadi penyebaran atau adanya resiko penyakit akan menjadi

lebih parah.

3. ANTIJAMUR UNTUK INFEKSI DERMATOFIT dan MUKOKUTAN

a) Griseofulvin

Griseofulvin in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit

seperti Trichophyton, Epidermophyton, dan microsporum. Terhadap sel

muda yang sedang berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. Obat ini

tidak efektif terhadap bakteri, jamur lain dan ragi, Actinomyces dan

Nocardia.

Dosis oral 0,5 g hanya akan menghasilkan kadar plasma tertinggi kira-

kira 1 µg/mL setelah 4 jam. Preparat dalam bentuk yang lebih kecil

(microsized) diserap lebih baik. Obat ini dimetabolisme di hati dan

metabolit utamanya adalah 6-metilgriseofulvin.

b) IMIDAZOL dan TRIAZOL

Antijamur golongan imidazol mempunyai spectrum yang luas.

Resistensi terhadap imidazol dan triazol sangat jarang terjadi dari jamur

penyebab dermatofitosis, tetapi dari jamur kandida peling sering terjadi.

c) TOLNAFTAT dan TOLSIKLAT

Tolnaftat adalah suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan

sebagian besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Tolnaftat

tersedia dalam bentuk krim, gel, bubuk, cairan aerosol atau larutan topical

dengan kadar 1%. Digunakan local 2/3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang

dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat sembuh

antara 7-2 hari.

Tolsiklat merupakan antijamur topical yang diturunkan dari

tiokarbamat. Namun karena spektrumnya yang sempit, antijamur tidak

banyak digunakan lagi.

d) NISTATIN

Obat yang berupa bubuk warna kuning kemerahan ini bersifat

higroskopis, berbau khas, sukar larut dalam kloroform dan eter. Nistatin

menghambat pertumbuhan berbagai jamur dan ragi tetapi tidak aktif

terhadap bakteri, protozoa dan virus.

Nistatin hanya akan diikat oleh jamur atau ragi yang sensitive. Aktivitas

antijamur tergantung dari adanya ikatan dengan sterol pada membrane sel

jamur atau ragi terutama sekali ergosterol.

Nistatin terutama digunakan untuk infeksi kandida di kulit, selaput

lendir dan saluran cerna. Paronikia, vaginitis dan kandidiasis oral dan

saluran cerna cukup diobati secara topical. Kondidiasis di mulut, esophagus

dan lambung biasanya merupakan komplikasi dari penyakit darah yang

ganas terutama pada pasien yang mendapat pengobatan imunosupresif.

Jarang ditemukan efek samping pada pemakaian nistatin. Mual, muntah,

dan diare ringan mungkin didapatkan setelah pemakaian per oral. Iritasi

kulit maupun selaput lendir pada pemakaian topical belum pernah

dilaporkan. Nistatin tidak mempengaruhi bakteri, protozoa dan virus maka

pemberian nistatin dengan dosis tinggi tidak akan menimbulkan

superinfeksi.

Dosis nistatin dinyatakan dalam unit, tiap 1 mg obat ini mengandung

tidak kurang dari 200 unit nistatin. Untuk pemakaian klinik tersedia dalam

bentuk krim, bubuk, salep, suspense dan obat tetes yang mengandung

100.000 unit nistatin per gram atau per mL.

e) ANTIJAMUR TOPIKAL LAINNYA

1) Asam Benzoat dan Asam Salisilat

2) Asam Undesilenat

3) Haloprogin

4) Siklopiroks Olamin

5) Terbinafin

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas kedokteran-Universitas Indonesia,

2007. Gaya Baru : Jakarta.