Kelompok 5 (Hadits Shahih, Hasan & Dhaif)

29
HADITS SHAHIH, HASAN DAN DHAIF MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salah satu Mata Kuliah Hadits dan Ilmu Hadits Disusun oleh : Kelompok 5 Ahmad Samsudin (1127030003) Annisa Nur Fitriani (1127030010) Dini Fauziah Gufron (1127030015) Fitri Rahayu (1127030025) Ginanjar (1127030031) FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2013

Transcript of Kelompok 5 (Hadits Shahih, Hasan & Dhaif)

  • HADITS SHAHIH, HASAN DAN DHAIF

    MAKALAH

    Diajukan untuk memenuhi salah satu Mata Kuliah Hadits dan Ilmu Hadits

    Disusun oleh :

    Kelompok 5

    Ahmad Samsudin (1127030003)

    Annisa Nur Fitriani (1127030010)

    Dini Fauziah Gufron (1127030015)

    Fitri Rahayu (1127030025)

    Ginanjar (1127030031)

    FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

    BANDUNG

    2013

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat tuhan Yang Maha Esa karena atas

    kehendak-Nya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

    Dalam penyelesaian makalah ini, saya banyak mengalami kesulitan terutama

    disebabkan akan kurangnya pengetahuan. Namun berkat bimbingan dan dukungan dari

    berbagai pihak akhirnya makalah ini, dapat terselesaikan walaupun masih terdapat

    kekurangan di dalamnya.Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari

    mata kuliah Hadits dan ilmu Hadits.

    Saya menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya

    snagat mengharapkan kritik dan saran yang positif supaya makalah ini menjadi lebih

    baik dan bermanfaat.

    Bandung, April 2013

    Penulis,

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Sejarah periwayatan hadits Nabi berbeda dengan sejarah periwayatan Al-

    Quran. Periwayatan Al-Quran, sejak zaman nabi sampai ke generasi-generasi

    berikutnya tetap terpelihara, baik dalam bentuk tulisan maupun hafalan. Namun

    periwayatan hadits nabi tidaklah sama seperti periwayatan Al-Quran.

    Periwayatan hadits ditinjau dari beberapa segi. Hadits mutawatir

    memberikan faedah yaqinbil-qathi (sepositif-positifnya), bahwa nabi

    Muhammad saw, benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan ikrar

    (persetujuan)-nya di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang

    banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan persepakatan

    untuk berdusta. Oleh karena itu sumber-sumbernya sudah meyakinkan

    kebenarannya, maka tidak perlu diperiksa dan diselidiki dengan mendalam

    identitas para rawi itu. Berlainan dengan hadits ahad, yang memberikan faedah

    dhanny (prasangka yang kuatakan kebenarannya), mengharuskan kepada kita

    mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan yang seksama, mengenai identitas

    (kelakuan dan keadaan) para rawinya, disamping keharusan mengadakan

    penyelidikan mengenai segi-segi lain, agar hadits ahad tersebut dapat diterima

    sebagai hujjah atau ditolak, bila ternyata terdapat cacat-cacat yang menyebabkan

    penolakan.

    Melihat kenyataan, bahwa sanad hadits ada yang bersambung dan ada yang

    tidak bersambung, kemudian perawinya ada yang dapat dipercaya dan ada yang

    tidak, serta kandungannya ada yang janggal dan ada yang wajar, maka ulama

    hadits lalu membagi hadits dari segi kualitas sanad, perawi dan juga matannya,

    pada :

    1. Hadits Shahih

    2. Hadits Hasan, dan

    3. Hadits Dhaif

  • Makalah ini akan membahas sedikitnya lebih lanjut tentang ketiga hadits

    tersebut.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa itu hadits shahih?

    2. Apa saja macam-macam hadits shahih?

    3. Apa itu hadits hasan?

    4. Apa saja macam-macam hadits hasan?

    5. Apa itu hadits dhaif?

    6. Apa saja macam-macam hadits dhaif?

    7. Bagaimana berhujjah dengan hadits Shahih, Hasan dan Dhaif?

    C. Tujuan

    1. Mengetahui tentang hadits shahih.

    2. Mengetahui macam-macam hadits shahih.

    3. Mengetahui tentang hadits hasan.

    4. Mengetahui macam-macam hadits hasan.

    5. Mengetahui tetang hadits dhaif

    6. Mengetahui macam-macam hadits dhaif

    7. Mengetahui hukum berhujjah dengan hadits shahih, hasan dan dhaif

  • BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Hadits Shahih

    1. Pengertian dan syarat-syarat Hadits Shahih

    Menurut bahasa, shahih berarti : sehat, selamat dari aib, benar atau betul.

    Menurut istilah, arti Hadist Shahih adalah Hadist yang bersambung sanadnya,

    diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlabith, serta tidak terdapat di

    dalamnya suatu kejanggalan dan cacat.

    Sedangkan menurut muhadditsin, ialah :

    Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan,

    sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal

    Berdasarkan pengertian ini, maka syarat-syarat Hadits Shahih ada lima

    macam. Yakni :

    1. Sanad Hadits harus bersambung (Ittishalul isnad)

    Maksudnya, sanad Hadits itu sejak dari mukharrijnya sampai kepada Nabi

    tidak ada yang terputus.

    2. Para perawi yang meriwayatkan Hadits itu, haruslah orang yang bersifat adil

    (kepercayaan)

    Arti adil disini ialah memiliki sifat-sifat:

    a. Istiqomah dalam agamanya (Islam)

    b. Akhlaknya baik

    c. Tidak Fasiq (antara lain tidak banyak melakukan dosa-dosa kecil apalagi

    dosa besar)

    d. Memelihara muruahnya (memelihara kehormatan dirinya)

    3. Para perawi yang meriwayatkan Hadits itu, haruslah bersifat dlabith.

    Arti dlabith disini ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia

    memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya itu, serta

    mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendakinya.

  • 4. Apa yang berkenaan dengan periwayatan hadits itu, tidak ada kejanggalan

    kejanggalan (Syudzudz)

    Yang dimaksud dengan syudzudz adalah apa yang sebenarnya berlawanan

    dengan peri keadaan yang terkandung dalam sifat tsiqah atau bertentangan

    dengan kaidah-kaidah yang telah berlaku secara umum atau bertentangan

    dengan hadits yang lebih kuat.

    5. Apa yang berkenaan dengan periwayatan Hadits itu, tidak sama sekali cacat.

    2. Pembagian Hadits Shahih

    Hadits Shahih ada dua macam. Yakni :

    1. Hadits Shahih Li-dzatihi

    Yaitu Hadits yang memenuhi sepenuhnya syarat-syarat Hadits Shahih

    sebagaimana telah dikemukakan diatas.

    Contoh :

    ..

    ) ( .

    Artinya :

    Rasulullah Saw bersabda : yang dimaksud dengan orang islam (Muslim)

    ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan

    lidahnya maupun dengan tangannya, dan yang dimaksud dengan orang yang

    berhijrah (Muhajir) adalah orang yang pidah dari apa yang dilarang oleh

    Allah. (Mutafakun Alaih (HR. Bukhari & Muslim)

    Dilihat dari segi jumlah perawinya, hadits ini termasuk Hadits Masyhur.

    Hadits ini, antara lain diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad sebagai berikut :

    a. Adam bin Iyas

    b. Syubah

    c. Ismail & Ibnu Safar

    d. As-Syaby

    e. Abdullah bin Amr bin Ash

    Rawi dan sanad Bukhori ini, semuanya memenuhi lima syarat Hadits Shahih

    sebagaimana telah dikemukakan di atas. Karenanya maka hadits diatas termasuk

    Hadits Shahih Li-dzatihi. Adapun kemasyhuran hadits tersebut tidaklah menjadi

    ukuran akan keshohihannya.

  • 2. Hadits Shahih Li-ghairihi

    Kedlabithan seorang rawi yang kurang sempurna, menjadikan Hadits Shahih

    Li-dzatihi turun nilainya menjadi Hadits Hasan Li-dzatihi. Akan tetapi jika

    kekurang sempurnaan rawi tentang kedlabithannya itu dapat ditutup, misalnya

    Hadits Hasan Li-dzatihi tersebut mempunyai sanad lain yang lebih dlabith,

    naiklah Hadits Hasan Li-dzatihi ini menjadi Hadits Shahih Li-ghairihi. Maka

    demikian secara deifinisi Hadits Shahih Li-ghairihi, ialah:

    Hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidz dan dlabith tetapi mereka

    masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu

    didapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang

    dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.

    Contoh :

    Hadits Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radhiyallahu

    'anhu:

    ..

    Artinya :

    Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:Seandainya tidak memberatkan

    ummatku, niscaya akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali

    hendak shalat. (HR. at-Tirmidzi, Kitab ath-Thaharah)

    Salah seorang rawi dari Hadits ini, ada yang bernama Muhammad bin Amr

    bin Al-qamah. Dia termasuk orang yang terpercaya tetapi hafalannya oleh para

    ulama diperselisihkan kesempurnaannya. Tetapi rawi-rawi dari sanad tersebut

    semuanya tsiqah. Maka karenanya kualitas hadits tersebut Hasan Li-dzatihi.

    Kemudian ada sanad lain yang memuat hadits tersebut, maka hadits tersebut

    meningkat derajatnya menjadi Hadits Shahih Li-dzatihi.

    Ibnu ash-Shalah rahimahullah berkata: Maka Muhammad bin Amr bin

    Alqamah adalah termasuk orang yang terkenal dengan kejujuran dan

  • kehormatan. Akan tetapi ia bukan termasuk orang yang matang (dalam

    hafalannya, ed), sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa ia dhaif (lemah)

    dari sisi buruknya hafalannya. Dan sebagian ulama yang lainnya mengatakan

    bahwa ia tsiqah (kredibel) dikarenakan kejujurannya dan kehormatannya. Maka

    haditsnya dari jalur ini adalah hadits Hasan. Maka ketika digabungkan

    kepadanya riwayat-riwayat dari jalur lain, hilanglah apa yang kita kita

    khawatirkan dari sisi buruknya hafalan, dan tertutupilah dengan hal itu

    kekurangan yang sedikit, sehingga sanad hadits ini menjadi shahih, dan

    disetarakan dengan tingkatan hadits shahih.(Muqaddimah Ibnu ash-Shalah).

    3. Kedudukan Hadits Shahih

    Untuk mengetahui suatu hadits itu apakah shahih atau tidak, kita bisa

    melihat dari beberapa syarat yang telah tercantum.. Apabila dalam syarat-syarat

    yang ada pada hadits shahih tidak terpenuhi, maka secara otomatis tingkat hadits

    itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits, kemudian

    kita temukan salah satu dari perawi hadits tersebut dalam kualitas intelektualnya

    tidak sempurna. Dalam artian tingkat dlabidnya berada pada tingkat kedua,

    maka dengan sendirinya hadits itu masuk dalam kategori hadits shahih li-

    ghoirihi. Dan apabila ada sebuah hadits yang setelah kita teliti kita tidak

    menemukan satu kelemahanpun dan tingkatan para perawi hadits juga

    menempati posisi yang pertama , maka hadits itu dikatakan sebagai hadits

    shahih li-datihi.

    Untuk hadits shahih lighoirihi kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan

    yang termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits hasan li-datihi.

    Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka hadist itu akan naik derajatnya

    menjadi hadits shahih lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat menyimpulkan

    apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh beberapa rawi

    dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakan hadits tersebut adalah hadits

    shahih lighoirihi.

    Para ahli hadits sepakat bahwa hadits shahih wajib untuk diterima. Para

    ulama ushul fiqh dan fiqh juga sepakat bahwa hadits shahih bisa dijadikan

    landasan hukum Islam, dan tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk

    meninggalkannya.

  • 4. Tingkatan Hadits Shahih

    Banyak ulama telah menyebutkan dan menjelaskan silsilah sanad yang

    paling shahih. Kekuatan hadits shahih itu, bagaimana kedlabithan dan keadilah

    rawinya. Hadits Shahih yang paling tinggi derajatnya, ialah hadits yang bersanad

    ashahhul-asanid. Yaitu :

    1. Hadits yang muttafaq-alaihi atau muttafaq-ala shihhatihi

    Yaitu hadits shahih yang telah disepakati oleh dua imam hadits

    Bukhary dan Muslim tentang sanadnya.

    2. Hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhary sendiri.

    Yaitu hadits shahih yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhary saja,

    sedangkan Imam Muslim tidak meriwayatkannya. Para Muhadditsin

    menamai dengan ifarada bihil-bukhary.

    3. Hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri.

    Yaitu hadits shahih yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,

    sedangkan Imam Bukhori tidak meriwayatkannya. Para Muhadditsin

    menamai dengan ifarada bihil-muslim.

    4. Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhary dan

    Muslim (shahihum alasyarathail-Bukhary wa Muslim), sedang kedua

    imam tersebut tidak mentakhrijkannya.

    Yang dimaksud dengan istilah menurut syarat-syarat Bukhary dan

    Muslim ialah, bahwa rawi-rawi hadits yang dikemukakan itu, terdapat di

    dalam kedua kitab shahih Bukhary dan Muslim.

    5. Hadits shahih yang menurut syarat Bukhary, sedang beliau sendiri tidak

    mentakhrijkannya.

    Yang dimaksud dengan istilah menurut syarat Bukhary ialah, bahwa

    rawi-rawi hadits yang dikemukakan itu, terdapat di dalam kitab shahih

    Bukhary. Hadits demikian ini, disebut dengan shahihunala syarthil-

    Bukhary.

    6. Hadits shahih yang menurut syarat Muslim, sedang beliau sendiri tidak

    mentakhrijkannya.

  • Yang dimaksud dengan istilah menurut syarat Muslim ialah, bahwa

    rawi-rawi hadits yang dikemukakan itu, terdapat di dalam kitab shahih

    Muslim. Hadits demikian ini, disebut dengan shahihunala syarthil-

    Muslim.

    7. Hadits shahih yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam

    Bukhary dan Muslim.

    Yaitu bahwa pentakhrij tidak mengambil hadits dari rawi-rawi atau

    guru-guru Bukhary dan Muslim, yang beliau sepakati bersama atau yang

    masih diperselisihkan. Tetapi hadits tersebut dishahihkan oleh imam-imam

    hadits yang ternama. Misalnya yang terdapat pada Shahih Ibnu Khuzaimah,

    Shahih Ibnu hibban, dan Shahih Al-hakim.

    B. Hadits Hasan

    1. Pengertian dan syarat-syarat Hadits Hasan

    Yang dimaksud dengan Hadits Hasan ialah Hadits yang sanadnya

    bersambung, yang diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit

    dlabith, tidak terdapat didalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat

    cacat.

    Sedangkan menurut muhadditsin, ialah :

    ialah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta,

    tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak

    dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya

    Melihat pengertian ini, maka sesungguhnya Hadits hasan itu tidak ada

    perbedaannya denga hadits shohih, terkecuali dalam bidang hafalannya saja.

    Untuk hadits Hasan, hafalan rawi ada yang kurang dibandingkan hadits shahih.

    Adapun untuk syarat-syaratnya anatara hadits shahih dan hadits hasan, sama.

    2. Pembagian Hadits Hasan

    Hadits Hasan ada dua macam. Yakni :

    1. Hadits Hasan Li-dzatihi

  • Yaitu Hadits yang memenuhi sepenuhnya syarat-syarat Hadits Hasan

    sebagaimana telah dikemukakan diatas. Jadi kehasannya bukan karena adanya

    petunjuk atau penguat lainnya tetapi karena sebab dirinya sediri.

    Contoh :

    Dikeluarkan oleh Tirmidzi, yang berkata:

    Telah bercerita kepada kami Qutaibah, telah bercerita kepada kami Jafar bin

    Sulaiman ad-Dlubai, dari Abi Imran al-Juauni, dari Abu Bakar bin Abi Musa

    al-Asyari, yang berkata: Aku mendengar bapakku berkata di hadapan musuh:

    Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di

    bawah kilatan pedang(al-Hadits).

    Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali

    Jafar bin Sulaiman ad-Dlubai. jadilah haditsnya hasan.

    2. Hadits Hasan Li-ghairihi

    Yakni, hadits yang sanadnya ada rawi yang tidak diakui keahlianya, tetapi

    dia bukanlah yang terlalu banyak kesalahan dalam meriwayatkan hadits,

    kemudian ada riwayat lain dengan sanad lain yang bersesuaian dengan

    maknanya. Atau dengan kata lain Hasan Li-ghairihi ialah:

    .

    ,

    Hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya),

    bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yag

    menjadikannya fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan

    yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.

    Contoh :

    Hadits ke-1 :

    .

    adalah hak bagi orang-orang Muslim mandi di hari Jumat. Hendaklah

    mengusap salah seorang mereka dari wangi-wangian keluarganya. Jika ia

    tidak memperoleh, airpun cukup menjadi wangi-wangian.

  • : 2-ek stidaH

    nad hgilab gnay gnaro paites igab bijaw uti tamuJ irah idnaM

    .ada akij naignaw-ignaw iakamem nad tannus-tannus nakajregnem

  • Jika kita ambil hadits At-Tirmidzi (Nomor 1) yang bersanad Abu Yahya

    Ismail bin ibrahim At-Taimy, Yazid bin Abi Ziyad Abdurahman bin Abi Laila

    dan Al-Barra bin 'Azib, maka hadits tersebut adalah hadits dhaif . Karena Ismail

    bin Ibrahim At-Taimi itu didhaifkan oleh para ahli hadits.

    Disamping sanad sebagai mana tertera diatas, At-Tirmidzi juga

    mengemukakan sanad yang lain, yakni Ahmad bin Mani Husyaim bin Yazid bin

    abi Ziyad dan seterusnya seperti sanad hadits nomor 1. Imam Ahmad juga

    meriwayatkan hadits tersebut dengan melalui sanad 'Abdu'sh-Shamad, Abdul

    Aziz bin Muslim, Yazin bin Abi Ziyad dan seterusnya seperti sanad At-

    Turmudzy. (Periksa hadits nomor III).

    Hadits At-Tirmidzi yang bersanadkan Ahmad bin Mani', Husyaim dan

    Yazid bin Ziyad dan hadits Ahmad yang bersanadkan Abdu'sh-Shamad, 'Abdul

    Aziz dan Yazid bin Ziyad (nomor III) adalah menjadi mutabi' bagi hadits at-

    Tuirmidzi yang sanad Abu Yahya Ismail bin Ibrahim At-Taimi (nomor 1).

    Imam-imam hadits yang lain, seperti Imam Bukhori, Imam Muslim dan

    Imam Abu Daud juga meriwayatkan hadits yang semakna dengan hadits at-

    Tirmidzi, tentang kesunatan memakai wangi-wangian di hari Jum'at. Misalnya

    hadits Bukhori yang bersanad Ali Haramy bin Amarah, Syu'bah, Abu Bakar bin

    Al-Munhadir, Amr bin Sulaim Al-Anshory, dan Abu Sa'id r.a. (nomor IV).

    Dengan demikian, maka hadits At-Tirmuidzi yang bersanad Abu Yahya

    Ismail bin Ibrahim yang dhaif itu naiklah nilainya menjadi hasan li-ghairihi.

    Karena kedhaifannya telah di angkat muttabi' yaitu hadits yang diriwayatkan

    sendiri yang melalui sanad Ahmad bin Mani (nomor II) dan hadits Ahmad yang

    bersanad Abdus'sh Shamad (nomor III) dan diangkat pula oleh Syahid, yakni

    hadits Bukhari atas bersanad dari sahabat Abu Sa'id r.a (nomor IV) dan hadits

    imam-imam lainnya yang semakna

    3. Kedudukan Hadits Hasan

    Dalam konteks dalil hukum Islam, kedudukan hadits hasan seperti hadits

    shahih meskipun kekuatannya di bawah hadits shahih. Oleh karena itu, para ahli

  • fiqh memakainya sebagai landasan hukum sebagaimana para ulama hadits dan

    ushul, kecuali golongan yang sangat ketat dalam memakai hadits sebagai

    landasan hukum Islam. Sebaliknya, golongan yang sangat berkompromi

    terhadap istinbath hukm, memasukkan hadits hasan bagian dari hadits shahih. Di

    antaranya adalah Hakim ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Alasan para ulama

    adalah perawi hadits hasan kebanyakan telah diketahui kejujurannya. Rendahnya

    tingkat kedhabitan tidak mengeluarkan mereka dari golongan perawi yang

    mampu menyampaikan hadits sama ketika mereka mendapatkannya. Hal ini juga

    berlaku untuk hadits hasan li-ghairihi. Menurut jumhur ulama dari kalangan ahli

    hadits, hadits hasan li-ghairihi juga dapat dijadikan hujjah dan dapat diamalkan.

    Karena, meskipun awalnya dhaif, namun menjadi sempurna dan lebih kuat

    dengan diriwayatkannya hadits tersebut dari jalan yang lain. Di samping itu,

    hadits tersebut tidak bertentangan dengan hadits lain. Dengan demikian,

    kerendahan tingkat kedhabithan seorang rawi menjadi meaningless di sini. Dan

    jika dipadukan dengan sanad yang lain, maka terlihat potensi bahwa perawi yang

    kedhabithannya rendah mampu merekam dan menyampaikan hadits dengan

    benar.

    5. Tingkatan Hadits Hasan

    Sebagaimana hadits shahih, dalam hadits hasan juga terdapat tingkatan-

    tingkatan. Menurut Dzahabi, terdapat dua tingkatan dalam hadits hasan.

    1. Tingkatan yang paling tinggi adalah hadits yang sanadnya dari:

    Bahzu ibnu Hakim dari ayahnya dari kakeknya.

    Umar ibnu Syuaib dari ayahnya dari kakeknya.

    Ibnu Ishak dari Attaimi.

    2. Tingkatan yang kedua adalah hadits yang di dalamnya terdapat perselisihan

    pendapat para ulama apakah ia termasuk hadits shahih atau hadits hasan.

    Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Harits ibnu Abdillah, dan Ashim

    ibnu Dhomroh, dan Hajaj ibnu Arthoah, dan lain sebagainya.

    Di kalangan ulama hadits sendiri terdapat beberapa istilah yang harus

    diperhatikan. Seperti; hadits shahih al-isnad yang tentu saja berbeda dengan

    hadits shahih. Yang dimaksud dengan hadits shahih al-isnad adalah hadits yang

  • memenuhi tiga persyaratan shahih (sanadnya bersambung, perawinya adil dan

    dhabith), tetapi hadits tersebut belum bebas dari illah atau syadz.

    C. Hadits Dhaif

    1. Pengertian Hadits Dhaif

    Yang dimaksud dengan hadits dhaif adalah hadits yang tidak memiliki salah

    satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadits Shahih dan Hadits Hasan.

    Menurut muhadditsin yaitu :

    "Ialah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits

    hadits shahih atau hadits hasan."

    Hadits dhaif itu banyak macam ragamnya, dan mempunyai perbedaan

    derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits

    shahih atau hasan yang tidak dipenuhinya. Hadits dhaif yang karena tidak

    bersambung sanadnya dan tidak adil rawinya, adalah lebih dhaif dari pada hadits

    dhaif yang hanya keguguran satu syarat makbul (syarat-syarat yang diterima

    untuk hadits shahih dan hasan) saja, baik pada sanadnya, maupun pada rawinya.

    Hadits dhaif yang keguguran tiga syarat makbul, adalah lebih dhaif dari hadits

    yang keguguran dua syarat.

    Al-Iraqy membagi hadits dhaif menjadi 42 bagian dan sebagian ulama lain,

    membaginya menjadi 129 bagian.

    2. Pembagian Hadits Dhaif

    A. Macam-macam hadits dhaif berdasarkan kecacatan rawinya.

    1. Hadits Maudlu

    Yaitu hadits yang dibuat oleh seorang (pendusta), yang ciptaan itu

    dimaksudkan pada Rasulullah SAW. Secara palsu dan dusta, baik hal itu

    sengaja ataupun tidak. Contoh hadits maudlu yang maknanya bertentangan

    dengan Al-quran yaitu :

    Anak zina itu, tidak dapat masuk surga, sampai tujuh turunan.

    Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan surat Al-Anam 164 :

  • Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

    Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat

    dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalipun tidak dapat

    dibebankan dosa orang tuanya.

    2. Hadits Matruk

    Yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh

    orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan. Contoh hadits matruk yang

    diriwayatkan oleh Ibnu Adyy :

    , , ,

    : ,

    ( : )

    Telah bercerita kepadaku Yakub bin Sufyan bin Ashim, katanya : Telah

    bercerita kepadaku Muhammad bin Imran, ujarnyya : Telah bercerita

    kepadaku Isa bin Ziyad, katanya : Telah bercerita kepadaku Abdur-Rahim

    bin Zaid dari ayahnya, dari Said Ibnul-Musayyab, dari Umar Ibnul-

    Khathab r.a. katanya : Rasulullah saw bersabda : Andai kata (di dunia ini)

    tak ada wanita, tentulah Allah itu disembah dengan sungguh-sungguh.

    Ibnu Adyy menjelaskan bahwa 2 orang rawi, yakni Abdur-Rahim dan

    ayahnya (Zaid) adalah orang yang matrukul Hadits ( orang yang ditinggalkan

    Haditsnya). Karena hadits yang diriwayatkan melalu sanad mereka disebut

    hadits matruk.

    3. Hadits Munkar dan Ma'ruf

    Yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh

    orang yang banyak keslahannya, banyak kelengahannya atau jelas

    kefasikannya yang bukan karena dusta. Imbangan hadits munkar itu ialah

    hadits maruf. Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah disebut

    hadits munkar, sedangkan riwayat orang yang tsiqah melawan riwayat orang

    yang lemah disebut hadits maruf, Contohnya :

  • Menurut Abu Hatim, Hadits Ibnu Abi Hatim yang bersanad Hubayyid bin

    Habib, Abu Ishaq, Al-Izar bin Harits, Ibnu Abbas r.a. dari Nabi Muhammad

    saw. (nomor 1) adalah munkar. Sebab Hubayyib bin habib salah seorang

    sanadnya adalah rawi yang waham (kata Abu Zurah) lagi matruk (kata Ibnul-

    Mubarak), tambahan pula hadits tersebut secara marfu. Padahal rawi-rawi

    yang tsiqah meriwayatkan secara mauquf (nomor 2). Hadits nomor 2 inilah

    yang maruf.

    4. Hadits Mu'allal

    Yaitu hadits yang setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, tampak

    adanya salah sangka dari rawinya, dengan mewashalkan (menganggap

    bersambung suatu sanad). Hadits yang Munqothi (terputus) atau memasukan

    sebuah hadits pada hadits yang lain atau yang sama dengan itu. Contohnya

    Hadits Yalal bin Ubaid :

    Siapa yang mengerjakan sembahyang, membayar zakat, menunaikan

    haji, berpuasa dan menghormati tamu, masuk surga.

  • : ..

    Dari Sufyan Ats-Tsaury dari Amr bin Dinar dari Ibnu Umar, Dari Nabi

    saw, Ujarnya : Si penjual dan si pembeli boleh memilih, selama belum

    berpisahan.

    Illat hadits ini terletak pada Amr bin Dinar, sebab mestinya bukan dia

    yang meriwayatkan, melainkan Abdullah bin Dinar. Hal itu diketahui

    berdasarkan riwayat-riwayat lain, yang juga melalui sanad tersebut.

    Walaupun hadits tersebut berillat pada sanadnya, tapi oleh karena kedua rawi

    tersebut sama-sama tsiqah, tetap shahih matannya (pada Ilmu Ilail-Hadits)

    5. Hadits Mud'raj

    Yaitu hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas

    perkiraan, bahwa saduran itu termasuk hadits. Contohnya hadits Ibnu Masud

    yang berisikan bahwa Rasulullah saw bersabda :

    .

    Siapa yang mati tidak menyertakan Allah dengan sesuatu, masuk surga, dan

    siapa yang mati dengan mnyertakan Allah dengan sesuatu, masuk neraka.

    Ternyata selidiki dengan membandingkannya dengan riwayat lain,

    kalimat yang terakhir (Manmaata yusyriku bihi syaian, dakhalan-naar)

    adalah kalimat Ibnu Masud sendiri.

    6. Hadits Maqlub

    Yaitu hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan

    mendahulukan atau mengakhirkan. Tukar menukar ada kalanya pada matan

    hadits atau sanad hadits. Contoh tukar menukar yang terjadi pada matan, ialah

    hadits Muslim dari Abu Hurairah r.a. :

    ... dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah yang

    disembunyikannya. Hingga tangan kanannya tidak megetahui apa-apa yang

    telah dibelanjakan oleh tangan kirinya

    Hadits ini memutarbalikan dengan hadits riwayat Bukhari atau riwayat

    Muslim, pada tempat lain, yang berbunyi :

  • (Hingga tangan kirinya tak mengetahui apa-apa yang dibelanjakan tangan

    kanannya)

    Tukar menukar pada sanad, misalnya rawi Kaab bin Murrah tertukar

    dengan Murrah bin Kaab. Hukum memutarbalikan rawi ini boleh, jika

    dengan maksud untuk menguji kehafadhan seseorang muhaddits.

    7. Hadits Mudltharrib

    Yaitu hadits yang mukhalafahnya (menyalahi hadits lain), terjadi dengan

    pergantian pada suatu segi, yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang

    dapat tarjihkan. Contoh mudltharrib pada matan :

    .. :

    Dar Anas r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar

    r.a. konon sama memulai bacaan shalat dengan bacaan Al-

    hamdulillahirabbilaalamiin.

    Menurut Al-Hafidz Ibnu Abdil-Barr, bahwa hadits basmalah tersebut banyak,

    dengan lahfadz yang berbeda-beda dan saling dapat bertahan, yakni tidak

    dapat ditarjihkan maupun dikompromikan. Antara lain hadits yang

    diriwayatkan dengan Ahmad, An-Nasaiy, Ibnu Khuzaimah yang juga

    bersumber kepada Anas r.a. yaitu :

    Mereka sama tidak mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahim.

    Disamping itu juga beberapa rawi meriwayatkan, bahwa para sahabat sama

    membaca basmalah dengan keras.

    Mereka sama mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahim.

    Dengan demikian hadits tersebut adalah hadits Mudltharrib, tidak dapat

    dibuat hujjah oleh siapa pun.

    8. Hadits Muharraf

    Yaitu hadits yang mukhalafahnya (menyalahi hadits riwayat orang lain),

    terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata, dengan masih tetapnya

    bentuk tulisannya. Contohnya :

    ..

  • Ubay (bin Kaab) telah dihujani panah pada perang Ahzab mengenai

    lengannya, lantar Rasulullah mengobatinya dengan besi hangat.

    Ghandar mentahrifkan hadits tersebut dengan Aby (ayahku), padahal

    sesungguhnya Ubay, yakni Ubay bin Kaab. Kalau mentahrifkan Ghandar ini

    diterima, berarti orang yang dihujani panah itu adalah ayah Jabir. Padahal

    ayah Jabir telah meninggal pada perang Uhud, yang terjadi sebelum perang

    Ahzab.

    9. Hadits Mushahhaf

    Yaitu hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang

    bentuk tulisannya tidak berubah. Contohnya (fil matan) ialah hadits Abu

    Ayyub Al-Anshary:

    : ..

    Nabi saw, bersabda : Siapa yanng berpuasa Ramadhan kemudian diikuti

    dengan puasa 6 hari pada bulan Syawal, maka ia seperti puasa sepajang

    masa

    Perkataan Sittan yang artinya enam, oleh Abu As-Shauly diubah mejadi

    syai-an yang berarti sedikit. Dengan demikian rusaklah maknanya (terjadi

    pada matan). Adapun yang terjadi pada sanad, misalnya nama Sanad yang

    sesungguhnya Ibnul-Badzar diubah mejadi Ibnu na-Nadar atau nama

    sesungguhnya murajin diubah menjadi Muzahim, maka disebut Mushahhaf

    fis-sanad.

    10. Hadits Mubham, majhul dan Mastur

    Yaitu hadits yang di dalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi

    yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan. Contoh hadits

    Mubham pada matan hadits Abdullah bin Amr bin Ash r.a. :

    : : ..

    ) (

    Bahwa Seorang laki-laki telah bertanya kepada Rasullah saw. Katanya :

    (perbuatan) Islam manakah yang paling baik? Jawab Nabi: Ialah kamu

    memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang telah kamu

    kenal dan yang belum yang kamu kenal.

  • Menurut penyelidikan As-Syuyuth bahwa orang laki-laki yag bertanya

    kepada Rasulullah itu ialah Abu Dzarr r.a.

    11. Hadits syadz dan Mahfudh

    Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqoh)

    manyalahi riwayat orang yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan

    kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya dari segi-segi

    pentarjihan. Contoh pada sanad :

    Hadits At-Tirmidzi (nomor 1) yang bersanad Ibnu Uyainah, Amr bin

    Dinar, Ausajah dan Ibnu Abbas r.a. adalah Hadits Mahfudh. Sebab hadits

    tersebut, disamping mempunyai rawi-rawi yang terdiri dari orang-orang

    tsiqah, juga mempunyai Mutabi yaitu Ibnu Juraij dll. Hadits Ash-habus-

    Sunan (nomor 2), yang bersanad Hammad bin Zaid, Amr bin Dinar dan

    Ausajah, adalah Hadits Mursal. Sebab Ausajah meriwayatkan Hadits tersebut

    tanpa melalui sahabat Ibnu Abbas r.a. padahal ia seorang tabiiy. Hammad

    bin Zaid termasuk rawi yang tsiqah, karena ia tergolong rawi yang diterima

    (makbul) periwayatannya. Akan tetapi karena periwayatan Hammad bin Zaid

    itu berlawanan dengan periwayatan Ibnu Uyainah yang lebih rajin, karena

    . ..

    .. . . : :..

  • sanadnya mustahil dan ada Mutabinya. Maka hadits At-Tirmidzi yang

    melalui sanad Ibnu Uyaini lah yang rajih dan sunan (2) yang bersanad

    Hammad bin Zaid adalah marjuh dan disebut dengan Hadits Syadz.

    12. Hadits mukhtalith

    Yaitu hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut

    usia, tertimpa musibah, terbakar atau hilang kitab-kitabnya. Contohnya :

    Said bin Abin Arubah. Beliau berikhtilath lebih kurang 10 tahun lamanya.

    Ada yang mengataka 5 tahun, Abis-Sa-ib Atha bin Sa-ib Ats-tsaqafy. Beliau

    berikhtilat di akhir umurnya.

    B. Macam-macam hadits dhaif berdasarkan gugurnya rawi.

    1. Hadits Mu'allaq

    Yaitu hadits-hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal

    sanad.

    Contoh yang gugur sanad pertama saja:

    : ..

    Nabi Muhammad saw bersabda: Allah itu lebih berhak untuk

    dijadikan tempat mengadu malu daripada manusia

  • 2. Hadits Mursal

    Yaitu hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy.

    Maksudnya ialah perkataan tabiiy, baik tabiiy besar atau kecil atau

    perkataan sahabat kecil yang meegaskan tentang apa yang telah dikatakan

    atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. Tanpa menerangkan dari sahabat

    mana berita itu diperoleh. Misalnya seorang tabiiy atau sahabat kecil berkata:

    .......... ..

    3. Hadits Munqathi

    Yaitu hadits yang gugur seorang perawinya sebelum sahabat, di satu

    tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-

    turut. Contoh yang gugur rawinya (sanadnya) seorang sebelum sahabat,

    seperti hadits yang ditakhrijkan oleh Ibnu Majah dan At-Trmidzi dengan

    matan dan sanad sebagai berikut :

    : ..

    ,

    Konon Rasulullah saw. Apabila masuk mesjid memanjatkan doa:

    dengan nama Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah. Ya Allah

    ampunilah dosa-dosaku dan bukalah pintu rahmat untukku.

    (

  • 4. Hadits Mudlal

    Yaitu hadits yang rawi-rawinya dua orang atau lebih, berturutturut, baik

    sahabat bersama tabiiy, tabiiy bersama tabiit-tabiin, maupun dua orang

    sebelum sahabat dan tabiiy. Contoh :

    C. Macam-macam hadits dhaif berdasarkan sifat matannya.

    1. Hadits Mauquf

    Yaitu Berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik

    yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambug

    maupun terputus. Contohnya :

    : .

    Konon Ibnu Umar r.a. berkata : bila kau berada di waktu sore, jangan

    menunggu datangnya pagi hari, dan bila kau berada di waktu pagi jangan

    menunggu datangnya sore hari. Ambilah dari waktu sehatmu persediaan

    untuk waktu sakitmu dan dari hidupmu untuk persediaan matimu

    Bagi si budak mempunyai hak makan dan pakaian.

  • 2. Hadits Maqthu

    Yaitu perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabiiy serta

    dimauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung maupun tidak. Contohnya

    ialah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabiiy besar :

    ,

    Orang mukmin itu bila telah mengenal Tuhannya Azza wa Jalla, niscaya ia

    mencintai-Nya dan bila mencintai-Nya Allah menerimanya.

    D. Berhujjah dengan Hadits Shohih, Hasan dan Dhoif

    Untuk Hadits yang berkualitas shahih, para ulama sepakat dapat

    dijadikan hujjah untuk masalah hukum dan lain-lainnya. Terkecuali untuk

    bidang aqidah. Dalam masalah aqidah, terjadi perbedaan pendapat. Pertama,

    Diantara mereka mengatakan dapat digunakan sebagai dalil untuk masalah

    aqidah. Alasannya karena hadits shahih memfaedahkan ilmu, dan wajib

    diamalkan, maka karena wajib diamakan antara soal aqidah dengan yang buka

    aqidah tdaklah dapat dibedakan. Kedua, diantara mereka berpendapat,

    walaupun memenuhi syarat, tetap tidak dapat dijadikan landasan (dalil)

    penetapan aqidah. Alasannya, hadits shahih berstatus menfaidahkan dhanny.

    Sedang aqidah adalah soal keyakinan maka yang yakin tak dapat disadarkan

    dengan petunjuk yang masih dhanny atau dugaan. Tetapi ada pula yang

    berpendapat dapat saja dijadikan hujjah untuk masalah aqidah, sepanjang

    hadits tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadits-hadits lain

    yang lebih kuat, serta tidak bertentangan dengan akal.

    Untuk Hadits Hasan, Imam Bukhari dan ibnul Araby, menolaknya

    sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Tetapi Al-Hakim, Ibnu Hibban dan

    Ibnu Khuzaimah, dapat menerimanya sebagai hujjah, dengan syarat apabila

    hadits hasan tersebut ternyata bertentangan dengan Hadits yang berkualitas

    shahih, maka yang diambil haruslah yang berkualitas shahih.

    Adapun untuk Hadits Dhaif, ada dua pendapat tentang boleh atau

    tidaknya diamalkan, atau dijadikan hujjaj. Yakni :

    1. Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, dan Abu Bakar Ibnul Araby

    menyatakan, Hadits Dhaif sama sekali tidak boleh diamalkan atau

  • dijadikan hujjah baik masalah yang berhubungan dengan hukum maupun

    untuk keutamaan amal.

    2. Imam Ahmad Bin Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar Al-

    Asqalany menyatakan, bahwa Hadits Dhaif dapat dijadikan hujjah

    (diamalkan) hanya untuk dasar keutamaan amal (fadlail amal), dengan

    syarat :

    a. Para rawi yang meriwayatkan itu tidak terlalu lemah

    b. Masalah yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar pokok

    yang ditetapkan oleh Al-Quran dan Hadits Shahih

    c. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat

    Yang dimaksud dengan Fadlail amal atau keutamaan amal dalam hal

    ni bukanlah dalam arti untuk menetapkan suatu hukum, tetapi untuk

    menjelaskan tentang faedah atau kegunaan dari suatu amal. Adapun yang

    berhubungan dengan hukum para ulama Hadits telah sepakat tidak

    membolehkan menggunakan Hadits Dhaif sebagai hujjah atau dalil.

  • BAB III

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    1. Menurut bahasa, shahih berarti : sehat, selamat dari aib, benar atau betul.

    Menurut istilah, arti Hadist Shahih adalah Hadist yang bersambung

    sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlabith, serta tidak

    terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan cacat.

    2. Macam-macam hadits shahih ada dua : shahih li-dzatihi dan shahih li-

    ghairihi

    3. Yang dimaksud dengan Hadits Hasan ialah Hadits yang sanadnya

    bersambung, yang diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit

    dlabith, tidak terdapat didalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat

    cacat.

    4. Macam-macam hadits hasan ada dua : hasan li-dzatihi dan hasan li-ghairihi

    5. Yang dimaksud dengan hadits dhaif adalah hadits yang tidak memiliki salah

    satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadits Shahih dan Hadits Hasan.

    6. Macam-macam hadits dhaif terbagi tiga bagian :

    Hadits dhaif berdasarkan kecacatan rawinya : Hadits Maudlu,

    Matruk, Munkar & Maruf, Muallal, Mudraj, Maqlub, Mudtharrib,

    Muharraf, Mushahhah, Mubham, majhul & Mastur, Syadz &

    Mahfudh dan Mukhtalif

    Hadits dhaif berdasarkan gugurnya rawi : Hadits Muallaq, Mursal,

    Mudalas, Munqathi, dan Mudlal

    Hadits dhaif berdasarkan sifat matannya : Hadits Mauquf dan

    Maqthu.

    7. Berhujjah terhadap hadits :

    Shahih : para ulama hadits bersepakat dapat dijadikan hujjah untuk

    masalah hukum dan lain-lain, terkecuali masalah aqidah (ikhtilaful

    ulama)

    Hasan : sebagian ada yang tidak memperbolehkan dalam menetapkan

    hukum, ada pula yanng memperbolehkan dengan syarat isinya tidak

    bertentangan dengan hadits berkualitas shahih

  • Dhaif : terdapat dua pendapat. Yang tidak boleh diamalkan atau

    dijadikan hujjah dalam asalah hukum dll. Ada juga yag

    membolehkan tetapi dengan syarat rawi tidak terlalu lemah,

    mempunyai dasar pokok dalam Al-quran dan tidak bertentangan

    dengan dalil yang lebih kuat

    B. Saran

    Berdasarkan isi makalah dan kesimpulan diharapkan kita mampu

    membedakan anatara hadits Shahih, Hasan dan Dhaif, juga mampu untuk

    megambil hujjah darinya secara teliti dan benar.

  • Daftar Pustaka

    1. Rahman, Drs. Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Yokjakarta: PT Al-

    Marif.

    2. Ismail, Drs.M.Syuhudi. 1987. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Angkasa

    3. . . . .

    4. http://fundonesia.com/makalah/hadits-shahih-dan-hadits-hasan-sebuah-telaah-

    epistemologis/

    5. http://hpakalbar.wordpress.com/kumpulan-makalah-hadist-shohih-dan-hasan/