kelompok 4

74
PEMBAHASAN 1. ASETAMINOFEN (PARACETAMOL) Parasetamol (asetaminofen) seringkali dikelompokkan sebagai NSAID, walaupun sebenarnya parasetamol tidak tergolong jenis obat-obatan ini, dan juga tidak pula memiliki khasiat anti nyeri yang nyata.Merupakan penghambat prostaglandin yang lemah.Parasetamol mempunyai efek analgetik dan antipiretik, tetapi kemampuan antiinflamasinya sangat lemah. Intoksikasi akut parasetamol adalah N-asetilsistein, yang harus diberikan dalam 24 jam sejak intake parasetamol. Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen dapat dilihat strukturnya pada gambar 2.1. Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolik fenasetin dengan efek antipireutik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipireutik ditimbulkan oleh gugus amino benzen. Fenazetin tidak digunakan lagi dalam pengobatan karena penggunaannya dikaitkan dengan terjadinya analgesik nefropati, anemia hemolitik dan mungkin kanker kandung kemih. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama Paracetamol dan tersedia sebagai obat bebas. Walaupun demikian laporan 1

Transcript of kelompok 4

Page 1: kelompok 4

PEMBAHASAN

1. ASETAMINOFEN (PARACETAMOL)

Parasetamol (asetaminofen) seringkali dikelompokkan sebagai

NSAID, walaupun sebenarnya parasetamol tidak tergolong jenis obat-

obatan ini, dan juga tidak pula memiliki khasiat anti nyeri yang

nyata.Merupakan penghambat prostaglandin yang lemah.Parasetamol

mempunyai efek analgetik dan antipiretik, tetapi kemampuan

antiinflamasinya sangat lemah. Intoksikasi akut parasetamol adalah N-

asetilsistein, yang harus diberikan dalam 24 jam sejak intake parasetamol.

Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen dapat

dilihat strukturnya pada gambar 2.1. Asetaminofen (parasetamol)

merupakan metabolik fenasetin dengan efek antipireutik yang sama dan

telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipireutik ditimbulkan oleh gugus

amino benzen. Fenazetin tidak digunakan lagi dalam pengobatan karena

penggunaannya dikaitkan dengan terjadinya analgesik nefropati, anemia

hemolitik dan mungkin kanker kandung kemih. Asetaminofen di Indonesia

lebih dikenal dengan nama Paracetamol dan tersedia sebagai obat bebas.

Walaupun demikian laporan kerusakan faal hepar akibat takar lajak akut

perlu diperhatikan. Tetapi perlu dilakukan pemakaian maupun dokter

bahwa efek anti inflamasi parasetamol hampir tidak ada.

1

Page 2: kelompok 4

1.1. Farmakodinamik

Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu

menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.

Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga

juga berdasarkan efek sentral seperi salisilat.

Efek anti inflamasinya sangat lama, oleh karena itu parasetamol

tidak digunakan sebagai anti reumatik. Parasetamol merupakan

penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan

perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga

gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa.

1.2. Farmakokinetik

Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran

cerna. Konsentrasi tinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam

dan masa paruh plasma 1 – 3 jam. Obat ini tersebar keseluruh cairan

tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat

ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen

(80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya

dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat mengalami

hidroksilasi. Metabolik hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan

methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini di ekskresikan

melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian

besar dalam bentuk terkonjugasi.

2

Page 3: kelompok 4

Indikasi

Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai anlagesik dan

antipireutik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai

analgesik lainnya parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama

karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik. Jika dosis

terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak

menolong. Karena hampir tidak mengiritasi lambung, parasetamol

sering dikombinasi dengan AINS untuk efek analgesik.

1.3. Sediaan dan Pasologi

Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500

mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5 mL. Selain itu parasetamol

terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun

cairan. Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-1g per kali, dengan

maksimum 4g perhari ; untuk anak 6-12 tahun : 150 – 300 mg/kali,

dengan maksimum 1,2 g/hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120 mg/kali

3

Page 4: kelompok 4

dan bayi dibawah 1 tahun : 60 mg/kali ; pada keduanya diberikan

maksimum 6 kali sehari.

1.4. Efek Samping

Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi.

Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat

berupa demam dan lesi pada mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan

anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik

dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi enzim

G6PD dan adanya metabolit yang abnormal.

Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng

menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3%

Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan

masalah pada takar lajak. Insidens nefropati analgesik berbanding lurus

dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang

digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar

disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa

gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat Asetosal daripada

Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara

menahun terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati

analgetik.

1.5 Mekanisme Toksisitas

Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat

hepatotoksik, didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam

merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskresikan melalui urin,

tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat

melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga

metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis

sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan keracunan

4

Page 5: kelompok 4

Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation.

Dengan proses yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik.

Dosis Toksik

Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada

orang dewasa berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan

15g pada dewasa dapat menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga

terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20g bersifat fatal.

Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang

menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik

meningkat karena produksi metabolit meningkat.

Gambaran Klinis

Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium :

a. Stadium I (0-24 jam)

Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual,

muntah, pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering terjadi

muntah-muntah tanpa berkeringat.

b. Stadium II (24-48 jam)

Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang

dan muncul ikterus, nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin

dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal ginjal berupa

oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.

c. Stadium III ( 72 - 96 jam )

Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul

kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati

hepatikum.

d. Stadium IV ( 7- 10 hari)

Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan

progresif dapat terjadi sepsis, Disseminated Intravascular

Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono 2002)

5

Page 6: kelompok 4

Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan :

a. Adanya riwayat penggunaan obat.

b. Uji kualitatif: sampel diambil dari urin, isi lambung atau residu di

tempat kejadian. Caranya: 0,5ml sampael + 0,5ml HCL pekat,

didihkan kemudian dinginkan, tambahkan 1ml larutan O-Kresol

pada 0,2ml hidrolisat, tambahkan 2ml larutan ammonium hidroksida

dan aduk 5 menit, hasil positip timbul warna biru dengan cepat. Uji

ini sangat sensitive

c. Kuantitatif:

Kadar dalam plasma diperiksa dalam 4 jam setelah paparan dan

dapat dibuat normogram untuk memperkirakan beratnya paparan.

d. Pemeriksaan laboratorium:

Elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, transaminase hati dan

prothrombin time.

Penanganan

a. Dekontaminasi

Sebelum ke Rumah Sakit:

Dapat diberikan karbon aktif atau sirup ipekak untuk

menginduksi muntah pada anak-anak dengan waktu paparan 30

menit.

Rumah Sakit:

Pemberian karbon aktif, jika terjadi penurunan kesadaran

karbon aktif diberikan melalui pipa nasogastrik. Jika dipilih

pemberian metionin sebagai antidotum untuk menstimulasi

glutation, karbon aktif tidak boleh diberikan karena akan mengikat

dan menghambat metionin.

b. Antidotum

N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk

keracunan Parasetamol. N-asetil-sistein bekerja mensubstitusi

6

Page 7: kelompok 4

glutation, meningkatkan sintesis glutation dan mening-katkan

konjugasi sulfat pada parasetamol. N-asetilsistein sangat efektif

bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi

metabolit.

Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat

aman dan murah tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan

N asetilsistein

Dosis - Cara pemberian N-asetilsistein

a. Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara

perlahan selama 15 menit, dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml

dextrose 5 % selama 4 jam, kemudian 100 mg/KBB dalam 1000

ml dextrose melalui IV perlahan selama 16 jam berikut.

b. Oral atau pipa nasogatrik

Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis

pemeliharaan 70 mg / kg BB setiap 4jam sebanyak 17 dosis.

Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan muntah.

Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid ( 60-70 mg IV

pada dewasa ). Larutan N-asetilsistein dapat dilarutkan dalam

larutan 5% jus atau air dan diberikan sebagai cairan yang dingin.

Keberhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum

metabolit terakumulasi.

2. ANTASIDA

2.1. Pendahuluan

 Antasida (antacid,antiacid ) merupakan salah satu pilihan obat

dalammengatasi sakit maag. Antasida diberikan secara oral (diminum)

untukmengurangi rasa perih akibat suasana lambung yang terlalu asam,

dengan caramenetralkan asam lambung. Asam lambung dilepas untuk

embantu memecahprotein. Lambung, usus, dan esophagus dilindungi

7

Page 8: kelompok 4

dari asam dengan berbagaimekanisme. Ketika kondisi lambung semakin

asam ataupun mekanismeperlindungan kurang memadai, lambung, usus

dan esophagus rusak oleh asammemberikan gejala bervariasi seperti

nyeri lambung, rasa terbakar, dan berbagaikeluhan saluran cerna lainnya.

2.2. Pengertian

Antacid adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga

berguna untuk menghilangkan nyeri tukak peptik. Antacid tidak

mengurangi volume HCl yang dikeluarkan lambung, tetapi peninggian

PH akan menurunkan aktivitas pepsin. Beberapa antacid misalnya,

alumunium hidroksida, diduga menghambat pepsin secara langsung.

Kapasitas menetralkan asam dari berbagai antacid pada dosis terapi

bervariasi, tetapi umumnya PH lambung tidak sampai diatas 4, yaitu

keadaan yang jelas menurunkan aktivitas pepsin ; kecuali bila

pemberiannya sering dan terus menerus. Mula kerja antacid sangat

bergabtung pada kelarutan dan kecepatan netralisasi asam ; sedangkan

kecepatan pengosongan lambung sangat menentukan masa kerjanya.

Umumnya antacid merupakan basa lemah. Senyawa oksi-

alumunium (basa lemah) sukar untuk meninggikan PH lambung lebih

dari 4, sedangkan basa yang lebih kuat seperti magnesium hidroksida

secara teoritis dapat meninggikan PH sampai 9, tapi kenyataannya tidak

terjadi. Semua antasid meningkatkan produksi HCl berdasarkan

kenaikan PH yang meningkatkan aktivitas gastrin.

Antasid di bagi dalam dua golongan yaitu antacid sistemik dan

antacid nonsitemik. Antasid sistemik, misalnya natrium bikarbonat,

diabsorpsi dalam usus halus sehingga menyebabkan urin bersifat alkalis.

Pada pasien dengan kelainan ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolis.

Penggunaan kronik natrium bikarbonat memudahkan nefrolitiasis fospat.

Antasid nonsistemik hampir tidak di arbsorpsi dalam usus sehingga tidak

menimbulkan alkalosis metabolic. Contoh antasid nonsistemik adalah

sediaan magnesium, alumunium dan kalsium.

8

Page 9: kelompok 4

Antasid sistemik

Natrium bikarbonat

Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena

daya larutnya tinggi; reaksi kimianya ialah sebagai berikut :

NaHCO3 + HCl NaCl + H2O + CO2

Karbon dioksida (CO2) yang terbentuk dalam lambung akan

menimbulkan efek carminative yang menyebebkan sendawa. Distensi

lambung dapat terjadi, dan dapat menimbulkan perforasi. Selain

menimbulkan alkalosis metabolik obat ini dapat menyebabkan

resistensi natrium dan udem.

Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai antasid.

Obat ini digunakan untuk mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi

urin dan pengobatan lokal pruritus.

Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000 mg.

Satu gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis

yang dianjurkan 1-4 gr. Pemberian dosis besar NaHCO3 atau CaCO3

bersama – sama susu atau krim pada pengobatan tukak peptic

menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali syndrome).

Antacid non sistemik

Alumunium hidroksida (Al (OH)3)

Reaksi yang terjadi di dalam lambung ialah sebagai berikut :

Al (OH)3 + 3 HCl AlCl3 + 3H2O

Daya menetralkan asam lambungnya lambat tetapi masa

kerjanya lebih panjang. Al (OH)3 bukan merupakan obat yang unggul

dibandingkan dengan obat yang tidak larut lainnya. Al (OH)3 dan

sediaan Al lainnya bereaksi dengan fospat dapat membentuk

9

Page 10: kelompok 4

alumunium fospat yang sukar diasorpsi di usus kecil, sehingga ekskresi

fospat melaui urin berkurang, sedangkan melaui tinja bertambah. Ion

alumunium dapat bereaksi dengan protein bersifat astringen. Antasid

ini mengadsorpsi pepsin dan menginaktivasinya. Absorpsi makanan

setelah pemberian AL tidak banyak di pengaruhi dan komposisi tinja

tidak berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben.

Efek samping AL (OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini dapat

diatasi dengan memberikan antsid garam Mg. Mual dan muntah dapat

terjadi. Gangguan absorpsi fospat dapat terjadi sehingga menimbulkan

sindrom deplesi fospat disertai osteomalasia. Al (OH)3 dapat

mengurangi absorpsi bermacam – macam vitamin dan tetrasiklin. Al

(OH)3 lebih sering menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.

Alumunium hidroksida digunakan untuk mengobati tukak

peptic, nefrolitiasis fospat dan sebagai adsorben pada keracunan.

Antacid AL tersedia dalam bentuk suspense. AL (OH)3 yang

mengandung 3,6-4,4% AL2O3. Dosis yang dianjurkan 8 ml. tersedia

pula dalam bentuk tablet Al (OH)3 yang mengandung 50% Al2O3. Satu

gram Al (OH)3 dapat menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal yang

dianjurkan 0,6 gram.

Kalsium karbonat

Kalsium karbonat merupakan antacid yang efektif, karena mula

kerjanya cepat, masa kerjanya lama dan daya menetralkan asamnya

cukup tinggi.

Kalsium karbonat dapat menyebabkan konstipasi, mual,

muntah, perdarahan saluran cerna dan disfungsi ginjal dan fenomen

acid rebound. Fenomena tersebut bukan berdasar daya netralisasi asam,

tetapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang mensekresi

gastrin yang merangsang sel parietal yang mengeluarkan HCl (H+).

Sebagai akibatnya, sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi

yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini. Efek serius yang dapat

10

Page 11: kelompok 4

terjadi ialah hiperkalsemia, kalsifikasi metastasik, alkalosis, azotemia,

terutama terjadi pada penggunaan kronik kalsium karbonat bersama

susu dan antacid lain (milk alkali syndrome). Pemberian 4 gram

kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan, sedangkan

pemberian 8 gram dapat menyebabkan hiperkalsemia sedang.

Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 dan 100 mg.

1 gram kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang

dianjurkan 1-2 gram.

Magnesium hidroksida (Mg(OH)2).

Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antacid.

Obat ini praktis tidak larut dan tidak efektik sebelum obat ini bereaksi

dengan HCl membentuk MgCl2. Magnesium hidroksida yang tidak

bereaksi akan tetap berada dalam lambung dan akan menetralkan HCl

yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama. Antacid ini

dan natrium bikarbonat sama efektif dalam hal menetralkan HCl.

Ion magnesium dalam usus akan diarbsorpsi dan cepat

diekskresikan melalui ginjal, hal ini akan membahayakan pasien yang

fungsi ginjalnya kurang baik. Ion magnesium yang diabsorpsi akan

bersifat sebagai antacid sistemik sehingga menimbulkan alakaliuria,

tetapi jarang terjadi alkalisis.

Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan

diare akibat efek katartiknya,sebeb magnesium yang larut tidak

diabsorbsi, tetap berada dalam usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-

10% magnesium diarbsorbsi dan dapat menimbulkan kelainan

neurologik, neuro muscular, dan kardiovaskular.

Sediaan susu magnesium (milk of magnesia) berupa suspensi

yang berisi 7-8,5% Mg (OH)2. Satu ml susu magnesium dapat

menetralkan 2,7 mEq asam. Dosis yang di anjurkan 5-30ml. bentuk

lain ialah tablet susu magnesium berisi 325 mg Mg(OH)2 yang dapat

menetralkan 11,1 mEq asam.

11

Page 12: kelompok 4

Magnesium trisilikat

Magnesium trisilikat (Mg2Si3O8nH2O) sebagai antacid non

sistemik bereaksi dalam lambung sebagai beriukut :

Mg2Si3O8(n)H2O + 4H+ Mg++ + 3SiO2 + (n+2) H2O

Silicon dioksid berupa gel yang berbentuk dalam lambung

diduga berfungsi menutup tukak. Sebanyak 7% silica dari magnesium

trisilikat akan diarbsorbsi melalu usus dan di ekskresi dalam urin.

Silica gel dan magnesium trisilikat mrupakan adsorben yang baik;

tidak hanya mengarbsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam

makanan. Mula kerja magnesium trisilikat lambat , untuk menetralkan

30% HCl 0,1 N diperlikan waktu 15 menit sedangkan untuk

menetralkan 60% HCl 0,1 N diperlukan waktu 1 jam. Dosis tinggi

magnesium trisilikat menyebabkan diare. Banyak di laporkan

terjadinya batu silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisilikat.

Di tinjau dari efektivitasnya yang rendah dan potensinya untuk

menimbulkan toksisitas yang khas, kurang beralasan untuk

menggunakan obat ini sebagai antacid.

Magnesium trisilikat tersedia dalam bentuk tablet 500 mg ;

ddosis yang di anjurkan 1-4 gram. Tersedia pula sebagai bubuk

magnesium trisilikat yang mengandung sekurang-kurangnya 20%

MgO dan 45% silicon dioksida. 1 gram magnesium trisilikat dapat

menetralkan 13-17 mEq asam.

Sediaan antacid lain dan pasologinya dapat dilihat pada tabel 34-1

Tabel 34-1 : Sediaan Antasid Lain

12

Page 13: kelompok 4

13

Nama Obat Bentuk sediaan

dan dosis

Toksisitas Keterangan

Natrium

bikarbonat

Tablet : 500 mg

Dosis : 1-4

g/hari

Alkalosis sistemik, udem,

perforasi lambung

Digunakan untuk

mengobati asidosis

sistemik.

Untuk menbuat urin

alkali.

Untuk mengatasi

pruritus pada

penggunaan lokal.

Aluminium

hidroksida

Tablet

Suspensi 4%

Dosis tunggal

0,6 g

Ekskresi Al-fosfat melalui

tinja

meningkat,menimbulkan

sindroma deplesi fosfat.

Menyebabkan konstipasi,

mual, muntah, dan

obstruksi usus

Masa kerja sebagai

antasid lama.

Mempunyai sifat

astringen dan

demulsen.

Dapat digunakan untuk

mengobati nefrolitiasis

fosfat.

Aluminium fospat Suspensi 4-5%

Dosis : 15-45

ml

konstipasi

Al-karbonat basa Suspensi berisi

5%

Al2O3 dan 2-4%

CO2

Dosis : 8 ml

Konstipasi Sifat farmakologi sama

seperti aluminium

hidroksida.

Satu ml suspensi dapat

menetralkan 1,2-1,5

mEq asam.

Al-natrium

dihidroksikarbonat

Tablet : 300 mg

Dosis : 300-600

mg

Konstipasi Kombinasi antara

NaHCO3 dan

aluminium hidroksida

Kalsium karbonat Dosis : 2-3

g/hari

Tablet : 0,5-0,6

g

Fenomen acid rebound;

tinja menjadi keras,

konstipasi, kerusakan

ginjal,

hiperkalsemia, alkalosis,

milk alkali syndrome

Mula kerja cepat, masa

kerja panjang.

Magnesium

karbonat

Dosis : 0,6-2

g/hari

Diare Efeknya lebih lambat

daripada kalsium

karbonat.

Kebutuhannya lebih

besar daripada kalsium

Page 14: kelompok 4

2.3. Jenis - jenis Antasida dan Karakteristiknya

Umumnya antasida merupakan basa lemah. Biasanya terdiri dari zat

aktif yang mengandung alumunium hidroksida, madnesium hidroksida, dan

kalsium.Terkadang antasida dikombinasikan juga dengan simetikon yang

dapatmengurangi kelebihan gas.

Aluminium

karbonat

Dapat digunakan dalam terapi hiperfosfatemia

(abnormalitaskadar fosfat dalam darah) dengan cara

mengikat senyawaanfosfat di saluran cerna sehingga

menghambat prosesabsorbsinya. Karena kemampuan ini

juga aluminium karbonatdapat digunakan untuk mencegah

pembentukan batu ginjal (batuginjal terbentuk dari

berbagai macam senyawaan salah satunyaadalah fosfat)

Calcium karbonat Dapat digunakan pada kondisi kekurangan kalsium

contohnya osteoporosis posmenopause

Magnesium

karbonat

Dapat digunakan pada kasus defisiensi magnesium

2.4. Nama dan Struktur Kimia

- Aluminium Hydroxide (Al(OH)),

- Magnesia magma, milk of magnesia (MOM), magnesium hydroxide

(Mg(OH)2.),

- Magnesii trisilicas,

- Magnesii subcarbonas.

- Aluminum magnesium hydroxide sulfate ((Al5Mg10(OH)31(SO4)2,xH2O.),

- Calcii carbonas((CaCO3 ))

14

Page 15: kelompok 4

2.5. Macam ± macam Merek Dagang

- Aludonna

- Aludonna D

- Asidrat

- Biogastron

- Corsamag

- Dexanta

- Di-Gel

- Flatucid

- Gastran

- Gastrinal

- Gastrucid

- Gelusil MPS

- Gestabil

- Gestamax

- Lagesil

- Lambucid

- Lexacrol

- Lexacrol Forte

- Madrox

- Magalat

- Magasida

- Magnidicon

- Magtacid

- Magtral

- Magtral Forte

- Mepromaag

- Mylanta

- MylantaForte

- Neosanmag

- Neusilin

- Nudramag

- Promag - Simeco

2.6. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian

Antasida:dewasa:oral:600-1200 mg antara waktu makan dan sebelum

tidur malam.

Hiperfosfatemia:anak:50-150 mg/kg/24 jam dalam dosis terbagi tiap 4-

6 jam, titrasi dosis sampai tercapai kadar fosfat dalam rentang

normal.Dewasa:dosis awal:300-600 mg 3 kali/hari bersama makanan.

Magnesium hidroksida sebagai antasida diberikan dalam dosis

sampaidengan 1 g per oral. Sebagai laksatif osmotik magnesium

hidroksidadiberikan dengan dosis sekitar 2-5 g per oral.

Diberikan dengan dosis sampai dengan 2 g per oral.1 Magaldrate

diberikandi antara waktu makan dan malam sebelum tidur .

Dosis sebagai antasida biasanya sampai dengan 1,5 g per oral.

Kalsiumkarbonat mengikat posfat dalam saluran cerna untuk membentuk

komplekyang tidak larut dan absobsi mengurangi posfat.

15

Page 16: kelompok 4

2.7. Indikasi

1. Pengobatan hiperasiditas, hiperfosfatemia.

2. Pengobatan jangka pendek konstipasi dan gejala-gejala hiperasiditas,terapi

penggantian magnesium. Magnesium hidroksida juga digunakansebagai bahan

tambahan makanan dan suplemen magnesium padakondisi defisiensi magnesium.

2.8. Kontraindikasi

1. Hipersensitivitas terhadap garam aluminum atau bahan-bahan lain dalamformulasi.

2. Hipersensitivitas terhadap bahan-bahan dalam formulasi, pasien dengankolostomi

atau ileostomi, obstruksi usus, fecal impaction, gagal ginjal,apendisitis.

3. Pada pasien yang harus mengontrol asupan sodium (seperti:gagal jantung,

hipertensi, gagal ginjal, sirosis, atau kehamilan)

2.9. Efek samping

Tidak ada antacid yang bebas efek samping, terutama pada

penggunaan dosis besar jangka lama. Efek samping yang timbul antara

lain;

a. Sindroma susu alkali

Sindroma ini hanya timbul pada pasien yang memakai atau

menggunakan antasida sistemik atau kalsium karbonat dan minum

susu dalam jumlah besar untuk jangka lama. Gejalanya antara lain ;

sakit kepala, iritabel, lemah, mual, dan muntah. Sindroma ini

ditandai dengan hiperkalsemia, alkalosis ringan, kalsifikasi dan

terbentuknya batu ginjal serta gagal ginjal kronik. Keadaan ini

diduga di sebabkan protein dalam susu yang meningkatkan

absorbsi kalsium. Hiperkalsemia yang timbul mungkin menekan

sekresi hormone paratiroid yang selanjutnya meningkatkan

ekskresi kalsium urin, dan dapat membentuk batu kalsium kerena

pengendapan di saluran kemih.

16

Page 17: kelompok 4

b. Batu ginjal,osteomlasia dan osteoporosis

Aluminium hidroksida dan fospat dapat menbentuk senyawa yang

sukar larut dalam usus halus, sehingga mengurangi absorpsi fospat

dan diikuti penurunan ekskresi fospat urin. Penurunan absorpsi ini

berakibar resorpsi tulang yang selanjutnya menyebabkan

hiperkalsiuria dan meningkatnya absorpsi kalsium dari usus halus.

Perubahan metabolisme kalsium ini dapat berakibat batu kalsium

saluran kemih, osteomalasia, dan osteoporosis.

c. Neurotoksisitas

Aluminium yang di absorpsi dalam jumlah kecil dapat tertimbun

dalam otak, dan di duga mendasari sindroma ensefalopati yang

terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dan pasien penyakit

alzheimer.

d. Saluran cerna

Penggunaan antacid yang mengadung magnesium dapat

menyebabkan diare dan yang mengandung aluminium

menimbulkan obstruksi terutama berbahaya pada orang tua dengan

perdarahan usus

e. Asupan natrium

Hampir semua antacid mengandung natrium, sehingga perlu

diperhatikan penggunaanya pada pasien yang harus diet rendah

natrium, misalnya pada penyakit kardiovaskuler

f. Interaksi dengan obat lain

Antacid dapat mengurangi absorpsi berbagai obat misalnya INH,

penisilin, tetrasiklin, nitrofurantoin, asam nalidiksat, sulfonamide,

fenilbutazon, digoksin dan klorpromazin. Antacid sistemik dapat

meningkatkan PH urin, sehingga menurunkan ekskresi amin

misalnya kina dan afetamin serta meningkatkan ekskresi salisil.

17

Page 18: kelompok 4

3. FUROSEMID

Loop Diuretik (Diuretik Kuat/High-ceiling diuretics)

Termasuk dalam kelompok ini adalah asam etakrinat,

furosemid dan bumetanid. Asam etakrinat termasuk diuretik yang

dapat diberikan secara oral maupun parenteral dengan hasil yang

memuaskan. Furosemid atau asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfomail

antranilat masih tergolong derivat sulfonamid. Diuretik loop bekerja

dengan mencegah reabsorpsi natrium, klorida, dan kalium pada

segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi

pembawa klorida. Obat ini termasuk asam etakrinat, furosemid da

bumetanid, dan digunakan untuk pengobatan hipertensi, edema, serta

oliguria yang disebabkan oleh gagal ginjal. Pengobatan bersamaan

dengan kalium diperlukan selama menggunakan obat ini.

3.1. Farmakodinamik

Loop dieuretik terutama bekerja dengan menghambat

reabsorbsi elektrolit Na+/K+/2Cl- di ansa henle ascenden bagian epitel

tebal; tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal (yang

menghadap ke lumen tubuli). Pada pemberian IV obat ini cenderung

menigkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi

glomerulus. Peningkatan aliran darah ginjal ini relative hanya

berlangsung sebentar. Dengan berkurangnya cairan ekstra sel akibat

dieresis, maka aliran darah ginjal menurun dan hal ini akan

mengakibatkan meningkatnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli

proksimal. Hal terakhir ini merupakan suatu mekanisme kompensasi

yang membatasi jumlah zat terlarut yang mencapai bagian epitel tebal

Henle ascendens sehingga mengurangi dieresis.

18

Page 19: kelompok 4

Masih dipertentangkan apakah diuretik kuat juga bekerja di

tubuli proksimal. Furosemid dan juga bumetanid mempunyai daya

hambat enzim karbonik anhidrase karena keduanya merupakan

derivat sulfonamid, seperti tiazid dan asetazolamid, tetapi aktivitasnya

terlalu lemah untuk menyebabkan diuresis di tubuli proksimal. Asam

etakrinat tidak menghambat enzim karbonik anhidrase.

Gambar 1. Tempat kerja dan mekanisme kerja diuretik

kuat (furosemide) di ansa Henle.

Diuretik kuat juga menyebabkan meningkatnya eksresi K+ dan

kadar asam urat plasma, mekanismenya kemungkinan besar sama

dengan tiazid. Eksresi Ca++ dan Mg++ juga ditingkatkan sebanding

dengan peningkatan ekskresi Na+. Berbeda dengan tiazid, golongan ini

tidak meningkatkan re-absorbsi Ca++ di tubuli distal. Berdasarkan atas

19

Page 20: kelompok 4

efek kalsiuria ini, golongan diuretik kuat digunakan untuk pengobatan

simptomatik hiperkalsemia.

Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat dititrasi

(titrable acid) dan ammonia. Fenomena yang terjadi karena efeknya di

nefron distal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya alkalosis

metabolik. Bila mobilisasi cairan edema terlalu cepat, alkalosis

metabolik oleh diuretik kuat ini terutama terjadi akibat penyusutan

volume cairan ekstrasel.

Gambar 2. Struktur Kimia Furosemide, azomide, Bumetanide,

dan Piretanide

3.2. Farmakokinetik

Absorbsi

Loop diuretic mudah diserap melelui saluran cerna, dengan

derajat yang berbeda-beda. Bioavalabilitas furosemid 65% sedangkan

bumetenid hampir 100%.

Distribusi

20

Page 21: kelompok 4

Obat golongan ini terikat pada protein plasma secara ekstensif,

sehingga tidak difiltrasi glomerulus tetapi cepat sekali disekresi

melalui system transport asam organic di tubulus proksimal.

Metabolisme

Obat terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali di

tempat kerja didaerah yang lebih distal lagi.

Eksresi

Kira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan IV diekskresi

melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa

sulfhidil terutama sistein dan N-asetil sistein.

3.3. Indikasi atau Penggunaan klinik

Gagal jantung

Furosemid merupakan obat standar untuk gagal jantung yang

disertai edem dan tanda-tanda bendungan sirkulasi seperti peninggian

tekanan vena jugular, edema paru, edema tungkai, dan asites.

Furosemid lebih banyak digunakan dari pada asam etakrinat, karena

gangguan saluran cerna lebih ringan dan kurva dosis respons kurang

curam. Untuk edema paru akut diperlukan pemberian secara intravena.

Pada keadaan ini perbaikan klinik dicapai karena terjadi perubahan

hemodinamik dan penurunan volume cairan ekstrasel dengan cepat,

sehingga alir balik vena dan curah ventrikel kanan berkurang.

Edema refrakter

Untuk mengatasi edema refrakter diuretic loop biasanya

diberikan bersama diuretic lain, misalnya thiazid atau diuretic hemat

kalium. Pemakaian dua macam obat diuretic loop secara bersamaan

merupakan tindakan tidak rasional.

21

Page 22: kelompok 4

Asites dan edema akibat gagal ginjal

Diuretic loop merupakan obat efektif untuk asites akibat

penyakit sirosis hepatis. Dan edema akibat gagal ginjal.

Gagal ginjal akut

Loop diuretic diberikan pada pasien gagal ginjal akut yang

masih awal baru terjadi namun hasilnya tidak konsisiten.

Menurunkan kadar kalsium plasma

Diuretic loop dapat menurunkan kadar kalsium plasma pada

pasien hiperkalsemia simptomatis dengan cara meningkatkan ekskresi

kalsium melalui urin. Bila digunakan untuk tujuan ini, maka perlu pula

diberika suplemen Na+ dan Cl- untuk menggantikan kehilangan Na+

dan Cl- melalui urin.

3.4. Cara pemberian dan dosis

Sebaiknya diberikan secara oral, kecuali bila diperlukan untuk

dieresis segera, maka dapat diberikan IM satu IV. Bila ada nefrosis

atau gagal ginjal kronik maka diperlukan dosis furosemid jauh lebih

besar daripada dosis biasa. Hal ini disebabkan oleh banyaknya protein

dalam cairan tubuli yang akan mengikat furosemid sehingga

menghambat dieresis. Selain itu pada pasien dengan uremia, sekresi

furosemid melalui tubuli menurun.

Furosemide ada yang dalam bentuk oral (tablet) dan injeksi

(IV/IM). Untuk yang penggunaan oral mungkin pasien sudah familiar ,

tetapi untuk yang injeksi biasanya pasien diberikan injeksi oleh dokter.

Untuk penggunaan injeksi dirumah, maka pasien akan diberikan

latihan tentang cara penggunaan injeksi oleh petugas kesehatan. Dalam

hal ini pasien harus benar-benar mengerti apa yang telah diajarkan baik

tentang pengaturan dosis sampai teknik aseptic sebelum melalukan

22

Page 23: kelompok 4

Obat Sediaan Dosis Efek

Furosemid Tab.20&40 mg ;

Injeksi

20mg/ampl 2 ml

10-40 mg oral

2x sehari (HT)

20-80 mg iv, 2-

3 x sehari

(CHF)

Sampai 250-

2000 mg

oral/iv

Diuresis

dalam 10-

20 menit

Efek

maksimal

1,5 jam

Lama kerja

4-5 jam

Torsemid 5-10 mg oral,

1 x sehari

(HT),

10-20 mg

(CHF), oral

atau iv, dapat

naik sampai

200 mg

Onset 10

menit

Efek

maksimal

60 menit

Lama kerja

6-8 jam

Butenamid Tab.0,5&1mg ;

Inj. 5 mg

0,5-2 mg, oral

1-2x sehari

Maksimum 10

mg/hari

Onset 75-90

menit

Lama kerja

4-5 jam

Asam

etakrinat

Tab 25& 50 mg ;

Injeksi 50mg/amp

50-200mg/hari

0,5-1 mg/kg

BB

injeksi.

23

Page 24: kelompok 4

Pasien tidak diijinkan untuk meningkatkan dosis sendiri lebih

dari yang telah diresepkan atau berhenti menggunakan obat tanpa

konsultasi terlebih dahulu kepada dokter. Dosis yang diberikan

tergantung pada keadaan klinis pasien dan respon terhadap terapi.

Pada anak-anak penggunaan dosis lebih dari 6 mg/kgBB tidak

dianjurkan. Pemakaian dosis pertama mungkin akan meningkatkan

jumlah urin atau pasien akan sering BAK, oleh karena itu supaya tidak

mengganggu kenyamanan tidur pasien, maka dianjurkan untuk

mengkonsumsi obat sebelum jam 6 sore.

Untuk pemberian injeksi dosis Minimal/Maximal untuk dewasa

adalah 10 mg/600mg. untuk anakanak dosis Minimal/Maximal adalah

0.5mg/kg / 6 mg/kg. Sedangkan untuk pemberian secara oral untuk

dewasa dosis Minimal/Maximal adalah 20mg / 600mg, dan untuk

anak-anak dosis Minimal/ Maximal adalah 0.5mg/kg / 6mg/kg.

Untuk pengobatan edema, pada dewasa bisa digunakan

Furosemide tablet 20-80 mg sigle dose. Jika dibutuhkan, pada dosis

yang sama dapat diberikan 6-8 jam berikutnya atau dosis bisa

ditingkatkan. Dosis bisa ditingkatkan 20 atau 40 mg dan tidak

diberikan kurang dari 6-8 jam berikutnya. Pasien dengan sigle dose

harus diberikan satu atau dua kali sehari (misal : pada jam 8 pagi dan 2

siang). Untuk anak-anak dapat juga diberikan per oral tablet dengan

dosis 2 mg/kg BB diberikan single dose. Jika respon diuretik tidak juga

hilang maka dosis dinaikkan 1-2 mg/kg BB diberikan 6-8 jam setelah

pemberian sebelumnya, asalkan pemberian dosis tidak mencapai kadar

minimal yaitu lebih dari 6 mg/kgBB.

24

Page 25: kelompok 4

Pada pengobatan hipertensi dapat juga diberikan furosemide

tablet 80 mg, biasanya dibagi menjadi 40 mg dan diberikan dua kali

sehari. Jika respon tidak begitu memuaskan, dapat ditambahkan agen

antihipertensi yang lain. Tetapi perubahan tekanan darah harus selalu

dimonitor ketika furosemide diberikan dengan agen antihipertensi yang

lain. Untuk mencegah tekanan darah yang turun secara mendadak,

dosis agen-agen yang lain harus dikurangi minimal 50% ketika

furosemide tablet ditambahkan ke dalam regimen.

Durasi furosemide adalah 6-8 hari dimana waktu paruhnya

adalah 2 hari, sehingga pemberian ulang dosis setiap dua hari jika

perlu. Obat diekskresikan lewat urin.

3.5. Efek samping

Efek samping asam etakrinat dan furosemid dapat dibedakan

atas :

1. Reaksi toksik berupa gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit yang sering terjadi

2. Efek samping yang tidak berhubungan dengan kerja utamanya

jarang terjadi.

Gangguan saluran cerna lebih sering terjadi dengan asam

etakrinat daripada furosemid. Tidak dianjurkan pada wanita hamil

kecuali bila mutlak diperlukan. Sebagian efek samping ini berkaitan

dengan gangguan keeimbangan cairan dan elektrolit, antara lain

hipotensi, hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia dan

hipomagnesemia.

Gangguan cairan elektrolit

25

Page 26: kelompok 4

Sebagian efek berkaitan dengan gangguan keseimbangan

elektrolit dan cairan antara lain: hipotensi, hiponatremia, hipokalemia,

hipokloremia, hipokalsemia, dan hipomagnesia

Ototoksisitas

Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun

menetap, dan ini merupakan efek samping serius. Ketulian sementara

juga dapat terjadi pada furosemid dan jarang pada butenamid. Ketulian

disebabkan oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfa.

Efek metabolik

Hiperuresemia, hiperglikemia, penigkatan kolesterol LDL dan

trigliserida serta penurunan HDL.

Reaksi alergi

Berkaitan dengan struktur model yang menyerupai

sulfonamide, sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat

alergi sulfonamide.

Nefritis intersisialis alergik

Furosemid dapt menyebabkan nefritis intersisialis alergik yang

menyebabkan gagal ginjal reversible.

3.6. Kontraindikasi dan perhatian

Gagal ginjal yang disertai anuria, Hati-hati pada pasien yang

dicurigai hipokalemia, gout, hiperkalsemia, pengguna digitalis dan

sirosis hepatik Tidak dianjurkan pada wanita hamil.

3.7. Interaksi obat

26

Page 27: kelompok 4

Pemberian diuretic loop dapat meningkatkan risiko aritmia

pada pasien yang juga mendapat digitalis atau obat antiaritmia.

Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotoksik seperti

amininoglikosida dan anti kanker sispaltin akan meningkatkan

risiko nefrositotoksisitas.

Probenesid mengurangi sekresi diuretic ke lumen tubulus

sehingga efek diuresisnya berkurang.

Berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui penggeseran

ikatannya dengan protein.

Pada penggunaan jangka lama diuretic loop dapat menurunkan

klirens litium.

Penggunaan bersama sefalosporin dapat menigkatkan

nefrotoksisitas sefalosporin

Anti inflamasi non steroid terutama indometasin dan

kortikosteroid melawan kerja furosemid.

4. DIGOXIN

4.1. Pendahuluan

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa

kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa

darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau

kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolic

secara abnormal. Gagal jantung merupakan komplikasi yang paling

sering dijumpai dari segala jenis penyakit jantung congenital (bawaan)

maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal

jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal,

beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-

keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan

27

Page 28: kelompok 4

cacat septum ventrikel; dan beban akhir meningkat pada keadaan

dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas

miokardium dapat menurun pada infark miokardium dam

kardiomiopati.

Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk

mengurangi beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap

ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik secara sendiri-

sendiri maupun secara gabungan dari : 1) beban awal, 2) kontraktilitas,

dan 3) beban akhir.

Prinsip penatalaksanaan gagal jantung :

1. Menigkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan

menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas.

2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung

Obat inotropik positif Obat inotropik positif bekerja dengan

meningkatkan kontraksi otot jantung (miokardium) dan digunakan

untuk gagal jantung, yakni keadaan dimana jantung gagal untuk

memompa darah dalam volume yang dibutuhkan tubuh. Keadaan

tersebut terjadi karena jantung bekerja terlalu berat atau karena suatu

hal otot jantung menjadi lemah. Beban yang berat dapat disebabkan

oleh kebocoran katup jantung, kekakuan katub, atau kelainan sejak

lahir dimana sekat jantung tidak terbentuk dengan sempurna.

Ada 2 jenis obat inotropik positif, yaitu

a. Glikosida jantung

Glkosida jantung adalah alkaloid yang berasal dari tanaman

Digitalis purpurea yang kemudian diketahui berisi digoksin dan

digitoksin. Keduanya bekerja sebagai inotropik positif pada gagal

jantung.

b. Penghambat fosfodiesterase

Obat-obat dalam golongan ini merupakan penghambat enzim

fosfodiesterase yang selektif bekerja pada jantung. Hambatan enzim ini

28

Page 29: kelompok 4

menyebabkan peningkatan kadar siklik AMP (cAMP) dalam sel

miokard yang akan meningkatkan kadar kalsium intrasel. Diantaranya

adalah Milrinon dan Aminiron.

Dalam case study obat yang diberikan adalah digoksin, berikut

akan menjelaskan mengenai digoksin.

4.2. Pembahasan

Digoksin adalah suatu obat yang diperoleh dari tumbuhan

Digitalis lanata, diekstraksi dari tanaman foxglove. Digoksin

digunakan terutama untuk meningkatkan kemampuan memompa

(kemampuan kontraksi) jantung dalam keadaan kegagalan

jantung/congestive heart failure (CHF). Obat ini juga digunakan untuk

membantu menormalkan beberapa dysrhythmias ( jenis abnormal

denyut jantung). Obat ini termasuk obat dengan Therapeutic Window

sempit (jarak antara MTC [Minimum Toxic Concentration] dan MEC

[Minimum Effectiv Concentration] mempunyai jarak yang sempit.

Artinya rentang antara kadar dalam darah yang dapat menimbulkan

efek terapi dan yang dapat menimbulkan efek toksik sempit. Sehingga

kadar obat dalam plasma harus tepat agar tidak melebihi batas MTC

yang dapat menimbulkan efek toksik. Digoksin memiliki rumus

molekul  C41H64O14 dengan bobot molekul 780,938 g/mol. Rumus

struktur digoksin adalah sebagai berikut:

Gbr. Struktur kimia digoksin

29

Page 30: kelompok 4

4.3.Farmakokinetik

Absorpsi

Setelah pemberian dosis oral baik dalam bentuk tablet maupun

eliksir, sekitar 60-85% digoksin akan diabsorpsi. Digoksin dalam

sediaan kapsul cair akan diabsorpsi sekitar 90-100%. Absorpsi

terutama terjadi pada usus kecil yang kemungkinan melalui proses

nonsaturable. Penundaan pengosongan lambung atau adanya makanan

mungkin akan memperlambat penyerapan digoksin, tetapi tidak

mengurangi tingkat penyerapannya. Penyerapan digoksin dari saluran

cerna akan mengalami penurunan hanya jika digoksin diberikan

bersama makanan tinggi serat. pH lambung tidak menghalangi

penyerapan digoksin. Penyerapan digoksin dapat terganggu akibat

keadaan malabsorpsi.

Konsentrasi plasma digoksin bervariasi pada tiap-tiap individu

dengan dosis tertentu dapat mengakibatkan efek terapeutik pada

seseorang, namun dapat juga menghasilkan efek toksik pada orang

lain. Ambilan digoksin dari otot jantung pada bayi hampir 2 kali lebih

besar dibandingkan pada orag dewasa. Untuk mengetahui konsentrasi

plasma digoksin pada pasien maka sampel darah harus diambil pada 6-

8 jam setelah pemberian digoksin. Konsentrasi plasma yang

menghasilkan efek terapeutik pada orang dewasa umumnya sekitar 0,5-

2 ng/mL, sedangkan pada pasien dengan fibrilasi atrial memerlukan

konsentrasi yang lebih tinggi yaitu sekitar 2-4 ng/mL akibat adanya

pelambatan laju ventrikel. Pada orang dewasa kecuali dengan fibrilasi

atrial toksisitas dapat terjadi pada kondisi plasma yang stabil lebih dari

2 ng/mL. Neonatus umumnya mampu mentolerir konsentrasi plasma

yang lebih tingg dibanding orang dewasa. Pada pemberian IV 400-600

mcg dalam dosis tunggal menghasilkan onset pada 5-30 menit dan efek

30

Page 31: kelompok 4

maksimum terjadi pada 1-4 jam. Efek digoksin dapat bertahan selama

3-4 hari.

Distribusi

Pada konsentrasi plasma terapeutik, sekitar 20-30% digoksin

terikat pada protein plasma. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal

berat memiliki volume distribusi yang lebih kecil dibandingkan pada

pasien dengan fungsi ginjal normal. Saat berada dalam darah, seluruh

glikosida jantung secara luas didistribusikan ke jaringan, termasuk

sistem saraf pusat.

Metabolisme

Umumnya hanya sedikit digoksin yang akan mengalami

metabolisme, namun tingkat metabolisme ini dapat bervariasi dan

berakibat fatal pada beberapa pasien. Sebagian kecil metabolisme

terjadi dihati, dan metabolisme juga dapat terjadi oleh bakteri dilumen

usus setelah pemberian oral atau setelah eliminasi empedu pada

pemberian IV. Digoksin mengalami reaksi pembelahan bertahap dari

gugus gula untuk membentuk digoksigenin-bisdigitoxosida,

digoksigenin-monodigitoxosida, dan digoksigenin, metabolit tersebut

bersifat menurunkan kardioaktivitas digoksin. Digoksin juga

mengalami pengurangan cincin lakton membentuk dihidrodigoksin

yang kemudian juga mengalami pembelahan bertahap pada gugus

gulanya.

Eliminasi

Waktu paruh distribusi (t1/2) digoksin setelah pemberian IV

adalah sekitar 30 menit baik pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal maupun normal. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal waktu

31

Page 32: kelompok 4

paruh eliminasinya sekitar 34-44 jam. Waktu paruh eliminasi

berkepanjangan akan terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal. Pada pasien anephrik waktu paruh eliminasi dapat mencapai 4,5

hari atau lebih. Waktu paruh eliminasi digoksin akan menurun pada

pasien dengan overdosis akut. Waktu paruh eliminasi meningkat pada

pasien hipotiroid dan menurun pada pasien hipertiroid. Pada pasien tak

terdigitalisasi, yang menerima dosis pemeliharaan tanpa loading dose

yang telah mencapai konsentrasi steady-state akan mengalami

peningkatan waktu paruh eliminasi yaitu sekitar 4-5 kali waktu paruh

eliminasi atau sekitar 7 hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal.

Eliminasi harian pada pasien dengan fungsi ginjal normal adalah

sekitar 30%, dan 14% pada pasien anurik. Presentase eliminasi harian

digoksin dapat dihitung dengan persamaan:  %Eliminasi = 14+

(bersihan kreatinin (ml/menit)/5). Penggunaan persamaan diatas harus

ekstra hati-hati karena bersihan kreatinin tidak akurat menggambarkan

fungsi ginjal dan bersihan digoksin total dari dalam tubuh pasien.

4.4. Farmakodinamik

32

Page 33: kelompok 4

Mekanisme kerja digoksin yaitu dengan menghambat pompa

Na+- K+ATPase yang menghasilkan peningkatan natrium intracellular

yang menyebabkan lemahnya pertukaran natrium/kalium dan

meningkatkan  kalsium intracellular. Hal tersebut dapat meningkatkan

penyimpanan kalsium intrasellular di sarcoplasmic reticulum pada otot

jantung, dan dapat meningkatkan cadangan kalsium untuk memperkuat

/meningkatkan kontraksi otot. Ion Na+ dan Ca2+ memasuki sel otot

jantung selama/setiap kali depolarisasi. Ca2+ yang memasuki sel

melalui kanal Ca2+ jenis L selama depolarisasi memicu pelepasan Ca2+

intraseluler ke dalam sitosol dari retikulum sarkoplasma melalui

reseptor ryanodine (RyR). Ion ini menginduksi pelepasan Ca2+

sehingga meningkatkan kadar Ca2+ sitosol yang tersedia untuk

berinteraksi dengan protein kontraktil, sehingga kekuatan kontraksi

dapat ditingkatkan. Selama repolarisasi myocyte dan relaksasi, Ca2+

dalam selular kembali terpisahkan oleh Ca2+ sarkoplasma retikuler –

ATPase. dan juga akan dikeluarkan dari sel oleh penukar Na+- Ca2+

(NCX) dan oleh Ca2+ sarcolemmal -ATPase. Kapasitas dari penukar

untuk mengeluarkan  Ca2+ dari sel tergantung pada konsentrasi Na+

intrasel. Pengikatan glikosida jantung ke sarcolemmal Na+,K+-ATPase

dan penghambatan aktivitas pompa Na+ seluler  menghasikan

pengurangan tingkat aktifitas  ekstrusi Na+ dan peningkatan sitosol

Na+. Peningkatan Na+ intraseluler mengurangi gradien transmembran

Na+ yang mendorong ekstrusi Ca2+ intraseluler selama repolarisasi

myocyte. Dengan mengurangi pengeluaran Ca2+ dan masuknya

kembali Ca2+ pada setiap kali potensial aksi, maka Ca2+ terakumulasi

dalam myocyte: serapan Ca2+ ke dalam SR meningkat; ini juga

meningkatkan Ca2+ sehingga dapat dilepaskan dari SR ke troponin C

dan protein Ca2+-sensitif dari aparatus kontraktil lainnya selama siklus

berikutnya dari gabungan eksitasi-kontraksi, sehingga menambah

kontraktilitas myocyte (Gambar 33-8). Peningkatan dalam pelepasan

33

Page 34: kelompok 4

Ca2+ dari retikulum sarkoplasma adalah merupakan substrat biologis di

mana  glikosida jantung meningkatkan kontraktilitas miokard. 

Glikosida jantung berikatan secara khusus ke bentuk terfosforilasi dari 

a subunit dari Na+, K+-ATPase. Ekstraselular K+ mendorong

defosforilasii enzim sebagai langkah awal dalam translokasi aktif

kation ke dalam sitosol, dan juga dengan demikian menurunkan

afinitas enzim dari glikosida jantung. Hal ini menjelaskan sebagian

pengamatan bahwa dengan meningkatnya  ekstraselular K+ dapat

membalikkan beberapa efek toksik dari glikosida jantung.

Selain itu, digoksin juga bekerja secara aksi langsung pada otot

lunak vascular dan efek tidak langsung yang umumnya dimediasi oleh

system saraf otonom dan peningkatan aktivitas vagal (refleks dari

system saraf otonom yang menyebabkan penurunan kerja jantung).

4.5. Indikasi

Digoksin sebagai glikosida jantung digunakan untuk digitalisasi

dan terapi pemeliharaan. Digoksin juga digunakan secara intravena

(IV) untuk digitalisasi cepat pada kondisi darurat.

4.6. Dosis dan Cara Pemberian

Cara Pemberian

Digoksin umumnya diberikan secara oral sebagai dosis harian

tunggal. Sedangkan untuk bayi dan anak kurang dari 10 tahun, dosis

harian sebaiknya diberikan dalam dosis terbagi. Guna tercapainya

konsentrasi serum puncak yang lebih tinggi yang belum terbentuk,

maka dosis harian terbagi direkomendasikan bagi pasien dengan

kriteria berikut:

1. Bayi dan anak dengan umur kurang dari 10 tahun

2. Pasien yang memerlukan dosis harian 300 mcg atau lebih

34

Page 35: kelompok 4

3. Pasien dengan riwayat atau beresiko terhadap toksisitas dalam

penggunaan glikosida jantung

4. Pasien tanpa masalah kepatuhan terapi, jika pasien cenderung

melanggar kepatuhan maka dosis harian tunggal lebih

direkomendasikan

Jika terapi oral kurang efektif atau karena diperlukannya efek

terapi yang cepat, maka digoksin dapat diberikan melalui injeksi IV.

Namun terapi oral harus segera menggantikan injeksi IV bila telah

memungkinkan. Untuk injeksi IV, digoksin harus dilarutkan terlebih

dahulu setidaknya 5 menit atau dilarutkan dengan 4 kali lipat atau lebih

besar dari volume dengan menggunakan air untuk injeksi, dekstrosa

5%, atau NaCl 0,9% dengan lama pemberian sekurang-kurangnya 5

menit. Penyuntikan digoksin dengan volume pengenceran kurang dari

4 kali volume awal dapat menyebabkan presipitasi digoksin. Pelarutan

digoksin harus dilakukan secara perlahan. Infus intravena lambat lebih

direkomendasikan daripada pemberian secara cepat. Infus IV cepat

digoksin dapat menyebabkan penyempitan arteriolar sistemik dan

koroner, yang dapat berakibat fatal, pemberian digoksin ini harus

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah terlatih. Jika pengukuran

dosis digoksin yang sangat kecil dengan menggunakan jarum suntik

tuberkulin, maka ini akan berpotensi overdosis. Pencampuran digoksin

dengan obat lain dalam satu jarum suntik, atau dengan pemberian

simultan sangat tidak direkomendasikan.

Meskipun digoksin dapat juga diberikan melalui injeksi

intramuskular (IM), namun cara pemberian ini kurang

direkomendasikan karena sering menyebabkan iritasi lokal yang parah

disamping timbulnya rasa nyeri, disamping itu pemberian secara IV

dapat menghasilkan efek yang lebih cepat dan dapat diprediksi.

Pemberian injeksi IM tidak memberikan keuntungan dibanding injeksi

35

Page 36: kelompok 4

IV, kecuali jika injeksi IV dikontraindikasikan. Jika terpaksa obat

harus diberikan melalui injeksi IM, maka obat harus diberikan jauh ke

dalam otot dengan disertai pijatan dari tempat suntikan, dengan volume

penyuntikan tidak boleh lebih dari 2 mL pada satu sisi tempat

penyuntikan. Terapi digoksin oral seyogyanya segera menggantikan

terapi injeksi tersebut.

Dosis

Pertimbangan Umum

Pedoman dosis yang diberikan didasarkan pada respon rata-rata

pasien dan berbagai variabel substansial yang dapat diamati pada

pasien. Penentuan dosis harus didasarkan pada kondisi klinis masing-

masing pasien.  Dokter umumnya mendasarkan pemilihan dosis

berdasarkan konsentrasi serum digoksin. Radioimmunoassay dapat

digunakan untuk memantau efek khasiat dan toksisitas dari digoksin. 

Digoksin memiliki indeks terapi sempit, sehingga penentuan dosis

harus sangat berhati-hati. Dosis biasa adalah dosis rata-rata yang pada

beberapa pasien memerlukan modifikasi dengan memperhatikan

kebutuhan dan respon tiap individu, kondisi umum, status

kardiovaskular, fungsi ginjal, berat badan dan usia pasien, kondisi

penyakit penyerta, obat-obatan lain, dan faktor-faktor lain yang

mungkin mengubah farmakodinamika dan farmakokinetika digoksin,

dan konsentrasi plasma digoksin. Perbedaan ketersediaan hayati

digoksin pada pemberian oral, IV atau IM harus diperhatikan saat

pasien beralih dari satu rute pemberian ke rute pemberian lainnya.

Tidak ada perbedaan yang berarti pada ketersediaan hayati sediaan oral

digoksin baik yang berbentuk tablet maupun eliksir, kedua bentuk

sediaan tersebut dapat digunakan secara bergantian. Namun saat rute

pemberian digoksin diubah dari oral atau IM ke IV, maka dosis

digoksin harus dikurangi sekitar 20-25%. 

36

Page 37: kelompok 4

Pertimbangan Pengurangan Dosis pada Pasien dengan Pemantauan

EKG

Pemantauan fungsi jantung dengan EKG harus dilakukan

selama terapi digoksin pada kondisi:

1. Terapi digoksin diberikan secara intravena

2. Terapi digoksin diberikan secara oral dalam waktu lama

3. Bila terapi digoksin diberikan pada pasien dengan resiko reaksi

negatif terhadap digoksin seperti pada pasien dengan penyakit

jantung atau ginjal yang berat

Dosis glikosida jantung, termasuk digoksin harus dikurangi

pada kelompok pasien-pasien berikut:

1. Pasien dengan hipokalemia

2. Pasien dengan hipotiroid

3. Pasien dengan kerusakan miokard yang luas

4. Pasien dengan gangguan konduksi

5. Pasien geriatri, terutama bila disertai penyakit arteri koroner

6. Dosis digoksin individual harus diberikan pada pasien yang juga

menerima terapi quinidin, karena eliminasi dan volume distribusi

digoksin kemungkinan akan menurun

Dosis bagi Pasien Gagal Jantung Kongestif  

Pada kondisi ini digoksin dapat diberikan baik secara

digitalisasi cepat ataupun digitalisasi lambat yang berfrekuensi pada

dosis maupun frekuensi pemberiannya. 

1. Digitalisasi cepat (hanya jika diperlukan secara medis), loading

dose digoksin harus diberikan dengan memperhatikan proyeksi

penyimpanan digoksin dalam tubuh. Dosis pemeliharaan harian

harus mengikuti loading dose, dan dihitung sebagai prosentase

37

Page 38: kelompok 4

dari loading dose. Puncak penyimpanan digoksin dalam tubuh

umumnya sebesar 8-12 mcg/Kg BB yang akan memberikan efek

terapi dengan resiko toksisitas mimimum pada pasien dengan

gagal jantung kongestif, irama sinus normal, dan fungsi ginjal

yang normal.

2. Digitalisasi lambat, terapi ini harus dimulai dengan dosis

pemeliharaan harian yang tepat yang memungkinkan penyimpanan

digoksin dalam tubuh secara perlahan. Konsentrasi steady-state

umumnya akan dicapai dalam waktu 5 kali waktu paruh obat pada

setiap pasien tergantung pada kondisi ginjal pasien. Umumnya

memerlukan waktu 1-3 minggu. 

Loading Dose (Untuk Digitalisasi Cepat)

Loading dose adalah pemberian obat dalam dosis terbagi

dengan pemberian awal sekitar 50% dari total dosis, dan diikuti dengan

fase pemberian berikutnya sebesar 25% pada interval 6-8 jam setelah

pemberian pertama baik pada pemberian secara oral, IM maupun IV.

Loading dose ini harus disertai dengan pemantauan klinis pasien

terlebih bila dilakukan penambahan dosis. Jika berdasarkan respon

klinisnya pasien memerlukan perubahan dosis, maka dosis

pemeliharaannya dihitung berdasarkan jumlah loading dose yang

sebenarnya, yaitu dosis totalnya. Biasanya dosis inisiasi oral sebesar

500-750 mcg (0,5-0,75 mg) digoksin tablet, atau 400-600 mcg (0,4-0,6

mg) digoksin kapsul cair menghasilkan efek terdeteksi setelah 0,5-2

jam dan terjadi efek maksimal pada waktu 2-6 jam. Dosis tambahan

sekitar 125-375 mcg tablet digoksin atau 100-300 mcg digoksin kapsul

cair bila perlu dapat diberikan secara hati-hati pada 6-8 jam setelah

pemberian dosis inisiasi hingga diperoleh respon klinis yang memadai.

Pasien dengan berat badan 70 Kg umumnya mendapatkan respon klinis

38

Page 39: kelompok 4

yang memadai pada dosis 750-1250 mcg digoksin tablet atau setara

dengan 600-1000 mcg digoksin kapsul cair.

Dosis inisiasi IV umumnya adalah 400-600 mcg (0,4-0,6 mg)

yang segera akan menghasilkan efek terdeteksi setelah 5-30 menit

pemberian dan mencapai efek maksimum setelah 1-4 jam setelah

pemberian pada pasien dewasa. Dosis tambahan 100-300 mcg digoksin

dapat diberikan secara hati-hati setelah 6-8 jam setelah pemberian

dosis inisiasi hingga diperoleh respon klinis yang memadai. Dosis IV

digoksin pada pasien dewasa dengan berat badan 70 Kg adalah sekitar

600-1000 mcg.

Dosis Pemeliharaan

Dosis pemeliharaan harian berfungsi untuk menggantikan

digoksin yang tereliminasi dari tubuh pasien, maka dosis tersebut dapat

diperkirakan dengan mengalikan prosentase eliminasi dengan

penyimpanan tubuh (loading dose) yang menghasilkan respon klinis

memadai. Pasien dengan fungsi ginjal normal umumnya

mengeliminasikan sekitar 30% dosis harian total, sedangkan pasien

anurik umumnya mengeliminasikan sekitar 14% dari total dosis harian

digoksin. Dosis pemeliharaan digoksin pada pasien dewasa umumnya

adalah 125-500 mcg sekali sehari, dosis harus dititrasi sesuai umur,

berat badan, dan fungsi ginjal. Dosis pemeliharaan umumnya dimulai

dengan dosis 250 mcg sekali perhari pada pasien dewasa dengan usia

kurang dari 70 tahun dengan fungsi ginjal normal, dosis dapat

ditingkatkan setiap 2 minggu sesuai dengan respon klinis. Sedangkan

dosis pemeliharaan oral dengan kapsul cair umumnya sebesar 150-350

mcg setiap hari pada pasien dengan bersihan kreatinin lebih dari 50

ml/menit. Dosis pemeliharan digoksin IV biasanya 125-350 mcg sekali

perhari pada pasien dengan bersihan kreatinin 50 ml/menit atau lebih.

39

Page 40: kelompok 4

Dosis pada Pasien Dewasa dengan Fibrilasi Atrial

Penyimpanan digoksin tubuh lebih dari 8-12 mcg/Kg

diperlukan untuk sebagian besar pasien gagal jantung koroner dan

irama sinus normal untuk mengendalikan laju ventrikel pada pasien

dengan fibrilasi atrial. Dalam pengobatan pasien dengan fibrilasi atrial

kronis, dosis digoksin harus dititrasi ke dosis minimum untuk

menghasilkan efek yang diinginkan pada ventrikel.

Dosis Pediatrik

Dosis pada neonatus terutama bayi prematur harus dititrasi

secara sangat berhati-hati karena kemungkinan klirensnya menurun.

Bayi dan anak umur dibawah 10 tahun umumnya secara proporsional

memerlukan dosis yang lebih besar dari anak umur lebih dari 10 tahun

dan orang dewasa yang dihitung berdasarkan berat badan atau luas

permukaan tubuh. Anak usia lebih dari 10 tahun memerlukan dosis

dewasa dengan perhitungan berat badan anak-anak. Kapsul cair tidak

direkomendasikan penggunaannya pada neonatus dan anak-anak.

Dosis pemeliharaan pada anak usia 2-5 tahun dengan fungsi ginjal

normal adalah 10-15 mcg/Kg BB, anak usia 5-10 tahun dengan fungsi

ginjal normal adalah 7-10 mcg/Kg BB, sedangkan anak usia lebih dari

10 tahun dengan fungsi ginjal normal adalah 3-5 mcg/Kg BB. Dosis

digitalisasi IV umumnya adalah 80% dari dosis tablet atau eliksir.

Dosis Geriatrik

Pada pasien geriatrik dosis harus dikurangi terlebih bila pasien

menderita penyakit jantung koroner. Usia lanjut dapat menjadi

indikator adanya penurunan fungsi ginjal. Dosis pemeliharaan pada

pasien dengan usia lebih dari 70 tahun umumnya dimulai dengan dosis

125 mcg sekali sehari peroral (daam bnetuk tablet).

Dosis pada Pasien dengan Penurunan Fungsi Hati

40

Page 41: kelompok 4

Tak ada penyesuaian dosis untuk pasiendengan penurunan

fungsi hati.

Dosis pada Pasien dengan Penurunan Fungsi Ginjal

Dosis digoksin pada pasien dengan insufisiensi ginjal (bersihan

kreatinin kurang dari 10 ml/menit, maka penyesuaian dosis ditentukan

berdasarkan konsentrasi puncak penyimpanan digoksin dalam tubuh

(6-10 mcg/Kg BB) karena penurunan fungsi ginjal ini akan

mempengaruhi pola distribusi dan eliminasi digoksin.

Dosis pemeliharaan digoksin pada pasien dewasa dengan

gangguan fungsi ginjal dapat dimulai dengan 125 mcg sekali sehari

(tablet) atau 62,5 mcg pada pasien yang ditandai mengalami kerusakan

ginjal, dosis dapat ditingkatkan setiap 2 minggu sesuai dengan respon

klinis.

4.7. Kontraindikasi

Intermittent complete heart block ; Blok AV derajat II ;

supraventricular arrhytmias yang disebabkan oleh Wolff-Parkinson-

White Syndrome ; takikardia ventricular atau fibrilasi ; hypertropic

obstructive cardiomyopathy.

4.8. Efek Samping

Biasanya berhubungan dengan dosis yang berlebih, termasuk :

anoreksia, mual , muntah, diare, nyeri abdomen, gangguan penglihatan,

sakit kepala, rasa capek, mengantuk , bingung, delirium, halusinasi,

depresi ; aritmia, heart block ; jarang terjadi rash, isckemia intestinal ;

gynecomastia pada penggunaan jangka panjang , trombositopenia.

4.9. Interaksi dengan Obat lain

41

Page 42: kelompok 4

Efek Cytochrome P450: substrat  CYP3A4 (minor):

Meningkatkan efek/toksisitas : senyawa beta-blocking (propanolol),

verapamil dan diltiazem  mempunyai efek aditif pada denyut jantung.

Karvedilol mempunyai efek tambahan pada denyut jantung dan

menghambat metabolisme digoksin. Kadar digoksin ditingkatkan oleh

amiodaron (dosis digoksin diturunkan 50 %), bepridil, siklosporin,

diltiazem, indometasin, itrakonazol, beberapa makrolida (eritromisin,

klaritromisin), metimazol, nitrendipin, propafenon, propiltiourasil,

kuinidin  dosis digoksin diturunkan 33 % hingga 50 % pada 

pengobatan awal), tetrasiklin dan verapamil. Moricizine dapat

meningkatkan toksisitas digoksin . Spironolakton dapat mempengaruhi

pemeriksaan digoksin, namun juga dapat meningkatkan kadar digoksin

secara langsung. Pemberian suksinilkolin pada pasien bersamaan

dengan digoksin dihubungkan dengan peningkatan risiko aritmia.

Jarang terjadi kasus toksisitas akut digoksin yang berhubungan dengan

pemberian kalsium secara parenteral (bolus). Obat-obat berikut

dihubungkan dengan peningkatan kadar darah digoksin yang 

menunjukkan signifikansi klinik : famciclovir, flecainid, ibuprofen,

fluoxetin, nefazodone, simetidein, famotidin, ranitidin, omeprazoe,

trimethoprim.

 Menurunkan efek :  Amilorid dan spironolakton dapat

menurunkan respon inotropik digoksin. Kolestiramin, kolestipol,

kaolin-pektin, dan metoklopramid dapat menurunkan absorpsi

digoksin. Levothyroxine (dan suplemen tiroid yang lain) dapat

menurunkan kadar digoksin dalam darah. Penicillamine dihubungkan

dengan penurunan kadar digoksin dalam darah.

4.10. Sediaan Digoksin

42

Page 43: kelompok 4

Digoksin tersedia dalam bentuk tablet, eliksir, kapsul cair, dan injeksi.

Contoh sediaan injeksi digoksin

Contoh sediaan tablet digoksin

Contoh sediaan eliksir drop digoksin untuk anak-anak dan bayi

43

Page 44: kelompok 4

Contoh sediaan eliksir digoksin

Contoh sediaan kapsul lunak digoksin

ANALISA OBAT

1. Furosemide mg 40 setiap hari di pagi hari

Sangat mungkin bahwa furosemid sedang diberikan kepada Mrs A

sebagai terapi diuretik untuk mengobati retensi cairan yang biasanya terkait

dengan Gagal Jantung kongestif. Dosis Mrs A dari 40 mg setiap hari di pagi

hari adalah dosis awal standar namun harus disesuaikan dengan respon. Dosis

pagi sudah benar diimplementasikan untuk mengurangi sulit tidur dan

44

Page 45: kelompok 4

mengurangi gangguan lambung.Furosemide bisa meningkatkan sensitivitas

Mrs A ke digoxin. Selain itu, diet kalium tinggi dapat membantu mengurangi

kerugian kalium dan risiko hipokalemia sementara menghilangkan kebutuhan

untuk suplemen kalium.

2. Digoxin 250 mikrogram sehari

Digoxin digunakan untuk mengobati CHF. Dosis 250 mikrogram

setiap hari jauh melebihi dosis pemeliharaan rutin untuk pasien usia seperti

kasus tersebut. Dengan demikian Mrs A menderita toksisitas digoxin yang

dapat diperparah dengan pemberian furosemid. Gejala Mrs A kebingungan,

lekas marah kelelahan, dan gangguan visual merupakan gejala keracunan

digoxin. Mylanta (yang juga digunakan) dapat menekan efektivitas digoxin

namun dalam kasus ini dosis digoxin begitu tinggi sehingga Mylanta akan

memiliki dampak minimal.

Dosis digoxin Mrs A harus disesuaikan dengan kondisi klinis dan

kadar serum nya dipantau. Digoxin harus diambil dengan makanan untuk

mengurangi efek iritasi lambung yang dapat menyertai pengobatan

3. Parasetamol 500 mg, 1-2 tablet 4-jam jika nyeri sendi

Parasetamol diberikan kepada Mrs A untuk mengobati rasa sakit yang

terkait dengan osteoarthritis.Dosis yang diambil relatif tinggi. Parasetamol

tidak bereaksi negatif dengan obat lain yang diambil oleh Mrs A, namun dosis

nya harus dipantau dan disesuaikan menurut kebutuhan.

4. Mylanta suspension, 20 ml prn

Mylanta yang mungkin digunakan untuk meningkatkan sensitivitas

furosemide dan penurunan penyerapan pada digoxin.

45

Page 46: kelompok 4

KESIMPULAN ANALISA KASUS

Berdasarkan analisa obat yang telah dijabarkan, terjadi masalah

penggunaan dosis yang tidak pantas. Mrs A menerima dosis berlebihan dalam

penggunaan digoxin. Hal ini menyebabkan gejala keracunan digoxin yang

terjadi pada Mrs. A. Dengan demikian Mrs A menderita toksisitas digoxin

yang dapat diperparah dengan pemberian furosemid. Gejala Mrs A

kebingungan, lekas marah kelelahan, dan gangguan visual merupakan gejala

keracunan digoxin. Mylanta (yang juga digunakan) dapat menekan efektivitas

46

Page 47: kelompok 4

digoxin namun dalam kasus ini dosis digoxin begitu tinggi sehingga Mylanta

akan memiliki dampak minimal

DAFTAR PUSTAKA

1. Gailbraith, A, Bullock, S & Manias, E, Ed 2001, Fundamentals of

Pharmacology. A textbook for nurses and allied health professionals.

Australia: Addison-Wesley.

2. Estuningtyas, Ari dan Azalia Arif.2009. “Obat Lokal” dalam

Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 518-522.

3. Setiawati, Arini dan Nafrialdi. 2009. “Obat Gagal Jantung” dalam

Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 309-310.

47

Page 48: kelompok 4

4. Wilmana, P. Freddy dan Sulistia Gan.2009. “Analgesik-Antipireutik,

Analgesi-Anti inflamasi non steroid, dan Obat Gangguan Sendi

Lainnya” dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal :

237-239.

5. Setiawati, Arini dan Nafrialdi. 2009. “Obat Gagal Jantung” dalam

Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 305-306.

48