Kelompok 2

download Kelompok 2

of 83

Transcript of Kelompok 2

LAPORAN MODUL 4 BLOK XXMULTIPLE TRAUMA

Disusun oleh : Kelompok 2Bobby Chandra Kusuma0808015019M. Farlyzhar Yusuf0808015016Aris Novianto0808015007Rina Zubaidah0808015020Rahimatul Fadillah0808015051Helsa Eldatarina0808015049Melinda Payung Tasik0808015045Karolind Adriani D.0808015001Tutor: drg. Rochmad Koesbiantoro, M. Kes.Tutor : dr. Riries Choiru, M. Kes.

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MULAWARMAN2011

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah laporan modul 4 Multiple Trauma ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami. Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:1. dr. Leli Hesty, MKK dan dr. Evi Fitriani, M. Kes. selaku tutor kelompok 2 yang telah membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil di modul ini.2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada kami sehingga dapat membantu dalam penyelesaian laporan hasil diskusi kelompok kecil ini.3. Teman-teman kelompok 2 yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya sehingga diskusi kelompok kecil (dkk) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok kecil (dkk) ini.4. Teman-teman Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2008 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.Dan tentunya kami sebagai penyusun mengharapkan agar laporan ini dapat berguna baik bagi penyusun maupun bagi para pembaca di kemudian hari.Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, tentunya laporan ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok kecil (dkk) ini.

Samarinda, 11 November 2011Kelompok 2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTARiiDAFTAR ISIiiiBAB I PENDAHULUAN1BAB II ISI2STEP 12STEP 22STEP 33STEP 44STEP 54STEP 65STEP 75BAB III PENUTUP79DAFTAR PUSTAKA80

iii

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangKecelakaan lalu lintas sering mengakibatkan trauma dan kita harus waspada kemungkinan multiple trauma yang akan mengakibatkan multiple fraktur dan trauma organ lain seperti kepala, thoraks,organ indra dan pembuluh darah besar.Kecelakan dapat terjadi tanpa diketahui oleh seseorang kapan ada dan dimana berada. Pada kasus dengan cidera berat, sering menimbulkan kematian dan kecacatan, baik akibat pertolongan yang kurang cepat atau kurang benar. Penderita cedera berat harus mendapatkan pertolongan yang secara cepat dan benar, secepatnya dibawa kerumah sakit yang mempunyai prasarana dan pasilitas yang memadai.Trauma pada penduduk di Indonesia masih tetap merupakan penyebab kematian pada seluruh kelompok umur terutama pada kelompok umur dibawah umur 45 tahun. Lebih dari seperdua pasien-pasien trauma merupakan akibat kecelakaan lalu lintas, selebihnya akibat terjatuh, luka tembak dan luka tusuk, keracunan, luka bakar, dan tenggelam

B. ManfaatLaporan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai sumber referensi mengenai fraktur. Dengan laporan ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami definisi, etiologi, klasifikasi, cara penegakan diagnosis, pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan, penatalaksanaan, prognosis, serta komplikasi dari fraktur.

BAB IIISI

Kecelakaan Jalan Tol

Sebuah mobilmenabrak pembatas jalan tol dengan kecpatan tinggi. Mobil tersebut berisi 3 penumpang terdiri dari satu pengemudi, 1 orang disisi kiri depan, dan 1 orang dibelakang. Saat ditemukan semua penumpang dalam keadaan cidera. Pengemudi ditemukan dalam keadaan sadar dan luka ringan. Penumpang sisi kiri depan terlempar keluar mobil dan ditemukan tidak bernafas. Penmpang belakang ditemuka tidak sadar, tidak mampu menggerakan anggota badannya namun masih bernafas.Setelah dibawa ke RS, pada saat primary survey terhadap penumpang di belakang, dokter menemukan hal berikut: seorang laki laki, tidak sadar dengan suara nafas mengorok, luka robek dan perdarahan dikepala, jejas pada perut dan fraktur pada kaki kiri. TD 80/50 mmhg, Nadi 100x/menit dan RR 28x/menit dan akral dingin pada ekstremitas. Doker menduga telahterjadi shock hipovolemik karena perdarahan. Untuk itu dokter menyiapkan resusitasi segera untuk menolong korban termasuk persiapan tranfusi darah bila diperlukan.

STEP 11. Primary survey :Penilaian awal untuk mendeteksi cidera yang terdiri dari ABCDE2. Resusitasi : Tindakan yang dilakukan untuk mengembalikan keadan umum pasien seprti semula.3. Fraktur : Teerputusnya kontinuitas jaringan tulang/ tulang rawan

STEP 21. Kenapa pasien tidak sadar, tidak dapat menggerakan anggota badannya dan masih bernafas?2. Apakah yang menyebabkan suara pasien menggorok dan adanya jejas pada perut pasien?3. Apa saja yang dilakukan pada primary survey?4. Interpretasi dari hasil pemeriksaan?5. Bagaimana cara penilaian fraktur?6. Diagnosa pada kasus tersebut?7. Penatalaksanaan yang dilakukan pada kasus tersebut?STEP 31. Penurunan kesadaran :- Perdarahan Masif Trauma KepalaTidak mampu menggerakan anggota badan: - Multiple tarauma, gangguan neurologisMasih bisa bernafas : tidak ada gangguan pada pusat nafas2. Kausa suara mengorok Lidah jatuh kebelakang akibat penurunan kesadaranJejas pada Abdomen : disebabkan katerna adanya trauma fisik -> jejas3. Primary Survey Airway: menilai dan membebaskan jalan nafas dengan metode head tilt & chin lift, jaw trust, trakeostomi, OPA Breathing : menilai dan menangatasi pernafasan Circulation : menilai sirkulasi dengan mengecek nadi Disability : Pemeriksaan untuk menentukan adanya gangguan neurologis Enviroment atau Exposure: pemeriksaan pada semua tubuh pasien supaya tidak terjadi hipotermi4. TD: 80/50 mmHG HipotensiRR: 28 x / menit meningkatNadi : 100 x / menit NormalAkral dingin : kompensasi5. Menilai fraktur: Inspeksi : menentukan lokasi fraktur, terjadi fraktur terbuka / tertutup , adatidaknya deformitasPalpasi: terdapat krepitasi6. Diagnosa: Multiple trauma: fraktur femur sinistra, trauma capitis, abdominal trauma Syok hipovolemik7. Tata laksanaPenatalaksanaan awal Lihat no 3Penanganan Shock hipovolemik: Resusitasi cairan : infus kristaloidTranfusi darah : blood lose >15% Pasang kateter: untuk mengevaluasi cairan Posisi shock : kaki lebih tinggi 30 derajatPenanganan fraktur : pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.

STEP 4

KLL

Fraktur femur sinistraTrauma capitisInternal abdominal bleeding

Multiple trauma

Perdarahan Massif

Syok hipovolemik

Primary survey

Resusitasi cairan, pasang kateter, penatalaksanaan frakturTata laksana Awal UGD

STEP 5Mampu memahami dan menjelaskan1. Definisi, etiologi, patomekanisme, gejala, cara penentuan diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, prognosis, dan komplikasi dari : Fraktur femur Fraktur pelvis Fraktur maxilofacial2. Syok hemoragik3. Tranfusi darah

STEP 6Dalam step 6 ini, masing-masing dari kami melakukan proses belajar mandiri untuk mengetahui lebih lanjut mengenai materi yang sedang kami bahas. Adapun pedoman belajar mandiri kami adalah mencari informasi mengenai jawaban-jawaban terhadap learning objectif atau sasaran pembelajaran yang telah kami rumuskan bersama-sama. Hasil dari belajar mandiri tersebut disampaikan pada diskusi kelompok kecil II (DKK II).

STEP 7

FRAKTUR

Pengertian Fraktur Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur.Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang berupa retakan, pengisutan ataupun patahan yang lengkap dengan fragmen tulang bergeser.

Etiologi Fraktur Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa patologis. 1. Peristiwa Trauma (kekerasan) a) Kekerasan langsung Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah melintang atau miring. b) Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan bawah.c) Kekerasan akibat tarikan otot Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi.

2. Peristiwa Patologis a) Kelelahan atau stres fraktur Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas berulang ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan mengalami perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang sama, atau peningkatan beban secara tiba tiba pada suatu daerah tulang maka akan terjadi retak tulang. b) Kelemahan Tulang Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur.

Klasifikasi Fraktur Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.

1. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar a) Fraktur tertutup (closed),bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. b) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu: Derajat I : i. Luka 1 cm ii. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi iii. Fraktur kominutif sedang iv. Kontaminasi sedang Derajat III : Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat III terbagi atas: i. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka. ii. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi masif. iii. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

Berdasarkan Derajat atau Luas Garis FrakturTerbagi atas complete, dimana tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen) atau lebih, serta incomplete (parsial). Fraktur parsial terbagi lagi menjadi :1. Fissure/Crack/Hairline fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti, fragmen biasanya tetap di tempatnya 2. Greenstick Fracture biasa terjadi pada anak-anak dan pada os radius, ulna, clavicula, dan costae3. Buckle Fracture fraktur di mana korteksnya melipat ke dalam4. Fraktur Impaksi Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya. Fraktur complete terbagi lagi menjadi :a) Transversal - fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan pembidaian gips. b) Spiral - fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak. c) Oblik - fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang. d) Segmental - dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darah. e) Kominuta - fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang. f) Bending Fracture Pattern setengah transversal setengah oblik akibat bengkokan paksa (bending force)g) butterfly fracture pattern fraktur akibat bending force yang dikombinasi dengan axial loadingBerdasarkan hubungan antar fragmen fraktur Undisplace fragmen tulang fraktur masih terdapat pada tempat anatomisnya Displace fragmen tulang fraktur tidak pada tempat anatomisnya, terbagi atas: Shifted Sideways menggeser ke samping tapi dekat Angulated membentuk sudut tertentu Rotated memutar Distracted saling menjauh karena ada interposisi Overriding garis fraktur tumpang tindih Impacted satu fragmen masuk ke fragmen yang lain

Berdasarkan Lokasi pada Tulang Fisis Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng pertumbuhan, bagian ini relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat berakibat pemisahan fisis pada anak anak. Fraktur fisis dapat terjadi akibat jatuh atau cedera traksi. Fraktur fisis juga kebanyakan terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga. Klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur fisis adalah klasifikasi fraktur menurut Salter Harris : a) Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi tertutup. b) Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul melalui tulang metafisis , prognosis juga sangat baik denga reduksi tertutup. c) Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan epifisis dan kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik meskipun hanya dengan reduksi anatomi. d) Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng pertumbuhan dan terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka biasanya penting dan mempunyai resiko gangguan pertumbuhan lanjut yang lebih besar. e) Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari gangguan pertumbuhan lanjut adalah tinggi. Untuk lebih jelasnya tentang pembagian atau klasifikasi fraktur dapat dilihat pada gambar berikut ini :

PATOFISIOLOGIFraktur terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur yaitu ekstrinsik (meliputi kecepatan, sedangkan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan kekuatan), intrinsik (meliputi kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan adanya densitas tulang tulang yang dapat menyebabkan terjadinya patah pada tulang bermacam-macam antara lain trauma (langsung dan tidak langsung), akibat keadaan patologi serta secara spontan. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan berputar, membengkok, kompresi bahkan tarikan. Sementara kondisi patologis disebabkan karena kelemahan tuklang sebelumnya akibat kondisi patologis yang terjadi di dalam tulang.

Gambaran Klinis Fraktur1. Anamnesis Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur), baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidak mampuan untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, atau jatuh di kamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan pada pekerja oleh karena mesin atau karena trauma olah raga. Penderita biasanya datang karena adanya nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau datang dengan gejala lain.2. Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan awal penderita perlu diperhatikan: Syok, anemia atau perdarahan Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga thoraks, panggul dan abdomen Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis3. Pemeriksaan lokala. Inspeksi (look) Bandingkan dengan bagian yang sehat Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan Ekspresi wajah karena nyeri Lidah kering atau basah Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur tertutup atau terbuka Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain Perhatikan kondisi mental penderita Keadaan vaskularisasib. Palpasi (feel)Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya Nmengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan: Temperatur setempat yang meningkat Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma, temperatur kulit Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.c. Pergerakan (move)Periksa pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.d. Pemeriksaan neurologisPemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau neurotmesis.e. Pemeriksaan radiologisPemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Tujuan pemeriksaan radiologis: Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi Untuk konfirmasi adanya fraktur Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya Untuk menentukan teknik pegobatan Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluruPemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua: Dua posisi proyeksi: dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-posterior dan lateral Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di atas dan di bawah sendi yang mengalami fraktur Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada ke dua anggota gerak terutama pada fraktur epifisis Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada dua daerah tulang. Misalnya pada fraktur kalkaneus atau femur, maka perlu dilakukan foto pada panggul dan tulang belakang Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu musalnya fraktur tulang skafoid foto pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14 hari kemudian.f. Pemeriksaan radiologis lainnyaPemeriksaan khusus dengan: Tomografi, misalnya fraktur vertebra atau kondilus tibia CT-scan MRI Radioisotop scanning

Stadium Penyembuhan Fraktur 1. Pembentukan hematom - Fraktur merobek pembuluh darah dalam medulla, korteks dan periosteum sehingga timbul hematom. 2.Organisasi - Dalam 24 jam, kapiler dan fibroblas mulai tumbuh ke dalam hematom disertai dengan infiltrasi sel sel peradangan. Dengan demikian, daerah bekuan darah diubah menjadi jaringan granulasi fibroblastik vaskular. 3. Kalus sementara - Pada sekitar hari ketujuh, timbul pulau pulau kartilago dan jaringan osteoid dalam jaringan granulasi ini. Kartilago mungkin timbul dari metaplasia fibroblas dan jaringan osteoid ditentukan oleh osteoblas yang tumbuh ke dalam dari ujung tulang. Jaringan osteoid, dalam bentuk spikula ireguler dan trabekula, mengalami mineralisasi membentuk kalus sementara. Tulang baru yang tidak teratur ini terbentuk dengan cepat dan kalus sementara sebagian besar lengkap pada sekitar hari kedua puluh lima. 4. Kalus definitif - Kalus sementara yang tak teratur secara bertahap akan diganti oleh tulang yang teratur dengan susunan havers kalus definitif. 5. Remodeling - Kontur normal dari tulang disusun kembali melalui proses remodeling akibat pembentukan tulang osteoblastik maupun resorpsi osteoklastik. Keadaaan terjadi secara relatif lambat dalam periode waktu yang berbeda tetapi akhirnya semua kalus yang berlebihan dipindahkan, dan gambaran serta struktur semula dari tulang tersusun kembali.

Kelainan Penyembuhan Fraktur Tulang memperlihatkan kemudahan penyembuhan yang besar tetapi dapat terjadi sejumlah penyulit atau terdapat kelainan dalam proses penyembuhan. 1. Malunion - Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran. 2. Penyatuan tertunda - Keadaan ini umum terjadi dan disebabkan oleh banyak faktor, pada umumnya banyak diantaranya mempunyai gambaran hiperemia dan dekalsifikasi yang terus menerus. Faktor yang menyebabkan penyatuan tulang tertunda antara lain karena infeksi, terdapat benda asing, fragmen tulang mati, imobilisasi yang tidak adekuat, distraksi, avaskularitas, fraktur patologik, gangguan gizi dan metabolik. 3. Non union (tak menyatu) - Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis. Faktor-faktor yang yang mempengaruhi penyembuhan tulang, antara lain :a. Faktor yang mengganggu penyembuhan fraktur1. Imobilisasi yang tidak cukup Imobilisasi dalam balutan gips umumnya memenuhi syarat imobilisasi, asalkan persendian proksimal dan distal dari patah tulang turut diimobilisasi. Gerakan minimal pada ujung pecahan patah tulang di tengah otot dan didalam lingkaran kulit dalam gips, yang misalnya disebabkan oleh latihan ekstremitas yang patah tulang tidak mengganggu, bahkan dapat merangsang perkembangan kalus. Hal ini berlaku nutuk atah tulang yang ditangani gips maupun traksi.2. Infeksi Infeksi di daerah patah tulang merupakan penyulit berat Hematom merupakan lingkungan subur untuk kuman patologik yang dapat menyebabkan osteomyelitis di kedua ujung patah tulang, sehingga proses penyembuhan sama sekali tidak dapat berlangsung.3. Ruang diantara kedua fragmen serta Interposisi oleh jaringan lunak Interposisi jaringan seperti otot atau tendo antara kedua fragmen patah tulang dapat menjadi halangan perkembangan kalus antara ujung patahan tulang Penyebab yang lain, karena distraksi yang mungkin disebabkan oleh kelebihan traksi atau karena tonus dan tarikan otot.4. Gangguan perdarahan setempat Pendarahan jaringan tulang yang mencukupi untuk membentuk tulang baru merupakan syarat mutlak penyatuan fraktur.5. Trauma lokal ekstensif6. Kehilangan tulang7. Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang8. Keganasan lokal9. Penyakit tulang metabolik (mis; penyakit paget)10. Radiasi (nekrosis radiasi)11. Nekrosis avaskuler - Apabila kedua fragmen mempunyai vaskularisasiyang baik, maka penyembuhan biasanya tanpa komplikasi akan tetapi bila salah astu sisi fraktur vaskularisasinya jelek sehingga mengalami kematian maka akan menghambat penyembuhannya.12. Fraktur intra artikuler (cairan sinovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendalan)13. Usia (lansia sembuh lebih lama) Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat daripada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan karena aktifitas proses osteogenesis pada periosteum dan endosteum dan juga berhubungan dengan proses remodeling tulang pada bayi sangat aktif dan makin berkurang apabila umur bertambah.14. Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan)b. Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur1. Imobilisasi fragmen tulang2. Kontak fragmen tulang maksimal3. Asupan darah yang memadai (dengan syarat imobilisasi yang baik)4. Nutrisi yang baik5. Latihan-pembebanan berat badan untuk tulang panjang6. Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid kalsitonin, vitamain D, steroid anabolic7. Potensial listrik pada patahan tulang - Penyembuhan fraktur berkisar antara 3 minggu sampai 4 bulan. Waktu penyembuhan pada anak secara kasar waktu penyembuhan pada dewasa.PENATALAKSANAAN FRAKTUR 1. Penatalaksanaan secara UmumFraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.2. Penatalaksanaan KedaruratanSegera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk meng-imobilisasi bagian tubuh segara sebelum pasien dipindahkan.Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut.Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang. Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan perifer.Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan di atas.Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.3. Prinsip Penanganan FrakturPrinsip-prinsip tindakan/penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi 4, 6:a. Reduksi, yaitu : restorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang dapat diterima.6 Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan posisi anatomis normal. Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen fraktur pada posisi anatomik normalnya. Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka.4 Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.

Metode reduksi :1. Reduksi tertutup, pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan Manipulasi dan Traksi manual. Sebelum reduksi dan imobilisasi, pasien harus dimintakan persetujuan tindakan, analgetik sesuai ketentuan dan bila diperlukan diberi anestesia. Ektremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ektremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.2. Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.3. Reduksi terbuka, pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, palt, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahan kan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.b. Imobilisasi Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di tempatnya sampai terjadi penyembuhan. Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-alat eksternal (bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan alat-alat internal (nail, lempeng, sekrup, kawat, batang, dll).c. Rehabilitasi Sasarannya meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan normal pada bagian yang sakit. Untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi adalah peninggian untuk meminimalkan bengkak, memantau status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri, latihan isometrik dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktifitas hidup sehari-hari, dan melakukan aktifitas kembali secara bertahap dapat memperbaiki kemandirian fungsi. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutik.PENATALAKSANAAN KHUSUS PADA FRAKTUR TERBUKAFraktur terbuka merupakan suaru keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi risiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak.Beberapa prinsip dasar pengelolaan fraktur terbuka adalah:1. Obati fraktur terbuka sebagai suatu kegawatan.2. Adakan evaluasi awal dan diagnosis akan adanya kelainan yang dapat menyebabkan kematian.3. Berikan antibiotik dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah operasi.4. Segera dilakukan debridemen dan dan irigasi yang baik.5. Ulangi debridemen 24-72 jam berikutnya.6. Stabilisasi fraktur.7. Biarkan luka terbuka antara 5-7 hari.8. Rehabilitasi anggota gerak yang terkena.Sedangkan tahap-tahap pengobatan fraktur terbuka adalah sebagai berikut:1. Pembersihan luka.Dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.2. Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridemen). Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot, dan fragmen-fragmen yang lepas.3. Penutupan kulit.4. Pemberian antibakteri. Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan dalam dosis yang besar sebelum, pada saat, dan sesudah tindakan operasi.5. Pencegahan tetanus.6. Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid. Tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin.7. Pengobatan fraktur itu sendiri.KOMPLIKASI FRAKTUR a. Komplikasi segera1. Komplikasi lokal dapat berupa kerusakan kulit, pembuluh darah (hematom, spasme arteri, dan kontusio), kerusakan saraf, kerusakan otot, dan kerusakan organ dalam.2. Komplikasi sistemik syok hemoragikb. Komplikasi awal1. Komplikasi lokal sekuele dari komplikasi segera, berupa nekrosis kulit, gangren, trombosis vena, komplikasi pada persendian (artritis), dan pada tulang (infeksi/osteomielitis).2. Komplikasi sistemik emboli lemak, emboli paru, pneumonia, tetanus, delerium tremens.c. Komplikasi lanjut1. Komplikasi pada persendian dapat terjadi kontraktur dan kekakuan sendi persisten, penyakit sendi degeneratif pasca trauma.2. Komplikasi tulang yakni penyembuhan tulang abnormal (malunion, delayed union dan non union).3. Komplikasi pada otot miositis pasca trauma, ruptur tendo lanjut4. Komplikasi saraf Tardy nerve palsy5. Sindrom Emboli Lemak - Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie. 6. Sindrom Kompartemen - Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna). 7. Nekrosis Avaskular (Nekrosis Aseptik) - Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban. 8. Osteomyelitis - Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar.

DISLOKASI

Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan melindungi beberapa organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Kerangka juga berfungsi sebagai alat ungkit pada gerakan dan menyediakan permukaan untuk kaitan otot-otot kerangka. Oleh karena fungsi tulang yang sangat penting bagi tubuh kita, maka telah semestinya tulang harus di jaga agar terhindar dari trauma atau benturan yang dapat mengakibatkan terjadinya patah tulang dan atau dislokasi tulang. Bentuk kaku (rigid) dan kokoh antar rangka yang membentuk tubuh dihubungkan oleh berbagai jenis sendi. Adanya penghubung tersebut memungkinkan satu pergerakan antar tulang yang demikian fleksibel dan nyaris tanpa gesekan. Tulang dan sendi dipakai untuk melindungi berbagai organ vital di bawahnya disamping fungsi pergerakan (locomotor) / perpindahan makhluk hidup. Sendi merupakan satu organ yang kompleks dan tersusun atas berbagai komponen yang spesifik satu dengan lainnya. Pada umumnya terdiri dari air dan tersusun atas serabut kolagen, proteoglikan, glikorptein lain serta lubrikan asam hialuronat, struktur yang kompleks di atas memungkinkan suatu pergerakan sendi yang luas (fungsi locomotor), frictionless dan tidak mengakibatkan kerusakan besar dalam jangka panjang.Dislokasi terjadi saat ligarnen rnamberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir (kongenital). Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis, atau Keluarnya (bercerainya)kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera.

Klasifikasi :1. Dislokasi congenital - Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.2. Dislokasi patologik - Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.3. Dislokasi traumatic - Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa, beberapa jenis dislokasi pada sendi yang sering terjadi antara lain terdapat dibawah ini.A. Dislokasi sendi bahuKlasifikasi : Dislokasi anterior, posterior, inferior dan dislokasi disertai dengan fraktur1. Dislokasi anterior (preglenoid, subkorakoid, subklavikuler) Mekanisme trauma: Paling sering, Jatuh dalam posisi out strechted atau trauma pada scapula sendiri dan anggota gerak dalam posisi rotasi lateral sehingga kaput humerus menembus kapsul anterior sendi. Pada dislokasi anterior kaput humerus berada dibawah glenoid, subkorakoid dan subklavikuler. Gambaran Klinis : Nyeri hebat, gangguan gerakan sendi bahu, kontur sendi bahu rata karena kaput humerus bergeser kedepan. Pengobatana. Dengan pembiusan umum Metode hipocrates : penderita dibaringkan dilantai, anggota gerak ditarik keatas dan kaput humerus ditekan dengan kaki agar kembali ke tempatnya. Metode kocher : penderita dibaringkan ditempat tidur dan ahli bedah berdir disamping penderita Cara : sendi siku fleksi 900 dan dilakukan traksi sesuai garis humerus, rotasi kearah lateral, lengan diadduksi dan sendi siku dibawa mendekati tubuh kearah garis tengah, lengan dirotasi ke medial sehingga tangan jatuh didaerah dada.b. Tanpa pembiusan umum Teknik menggantung lengan Penderita diberi petidin atau diazepam agar tercapai relaksasi maksimal, biarkan tidur tengkurap dan membiarkan lengan tergantung dipingggir tempat tidur. Setelah beberapa waktu dapat terjadi reduksi secara spontan. Setelah reposisi difiksasi didaerah thoraks selama 3-6 minggu agar tak terjadi dislokasi rekuren Komplikasi - Kerusakan nervus aksilaris, kerusakan pembuluh darah, tidak dapat direposisi, kaku sendi, dislokasi rekuren.2. Dislokasi posteriorBiasanya akibat trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi interna. Ditemukan adanya nyeri tekan serta benjolan dibagian belakang sendi. Pengobatan dilakukan dengan cara menarik lengan kedepan secara hati-hati dan rotasi eksterna serta imobilisasi selam 3-6 minggu.3. Dislokasi inferiorAkibat kaput humerus mengalami jepitan dibawah glenoid dimana lengan mengarah keatas sehingga terjadi dislokasi inferior. Ditangani dengan reposisi tertutup seperti pada dislokasi anterior, bila tidak berhasil dengan reposisi terbuka secara operasi.4. Dislokasi disertai dengan fraktur tuberositas mayor humerusBiasanya tipe dislokasi anterior disertai dengan fraktur. Bila reposisi dilakukan pada daerah dislokasi maka fraktur akan tereposisi dan melekat kembali pada humerus.

B. Dislokasi sendi sikuBiasanya penderita jatuh dengan posisi tangan out strechted dimana bagian distal humerus terdorong kedepan melalui kapsul anterior sedangkan radius dan ulna mengalami dislokasi ke posterior. Dislokasi umumnya posterior atau posterolateral. Terdapat nyeri disertai pembengkakan yang hebat disekitar sendi siku ketika siku dalam posisi semi fleksi, olecranon dapat teraba pada bagian belakang. Pengobatan dengan reposisi, pada jam-jam pertama dapat tanpa pembiusan umum, setelah reposisi lengan difleksikan >900 dan dipertahankan dengan gips selama 3 minggu. Komplikasi : kekakuan sendi, trauma nervus medianus, trauma a.brakhialis.

C. Dislokasi sendi lututDislokasi ini sangat jarang terjadi, biasanya terjadi apabila penderita mendapat trauma dari depan dengan lutut dalam keadaan fleksi. Dislokasi dapat bersifat anterior, posterior, lateral, medial atau rotasi. Dislokasi anterior lebih sering ditemukan dimana tibia bergerak kedepan terhadap femur, trauma ini menimbulkan kerusakan pada kapsul, ligamen, yang besar dan endi. Trauma juga dapat menyebabkan dislokasi yang terjadi disertai dengan erusakan pada nervus peroneus dan arteri poplitea. Gambaran klinis ijumpai adanya trauma pada daerah lutut disertai pembengkakan, nyeri dan amartrosis serta deformitas. Pengobatan, tindakan reposisi dengan embiusan harus dilakukan sesegera mungkin dan dilakukan aspirasi hmartrosis dan setelahnya dipasang bidai gips posisi 100-150 selama 1 minggu kmudian dipasang gips sirkuler iatas lutut selama 7-8 minggu, bila ternyata utut tetap tak stabil (varus ataupun valgus) maka harus dilakukan operasi ntuk erbaikan pada ligamen.

D. Dislokasi sendi panggulKlasifikasi meliputi : dislokasi posterior,anterior dan sentral

1. Dislokasi posteriorTrauma biasanya terjadi akibat kecelakaan laulintas dimana lutut dalam eadaan fleksi dan menabrak dengan keras yang berada dibagian depan utut, dapat juga terjadi pada saat mengendarai sepeda motor. lasifikasi, untuk rencana pengobatan (Thompson Epstein) : Tipe I : dislokasi tanpa fraktur atau dengan fragmen tulang yang kcil Tipe II : dislokasi dengan fragmen tunggal yang besar pada bagian poterior acetabulum Tipe III : dislokasi dengan fraktur bibir acetabulum yang komunitif Tipe IV : dislokasi dengan fraktur dasar acetabulum Tipe V : dislokasi dengan fraktur kaput femur.

Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat dengan kluhan nyeri dan deformitas pada daerah sendi panggul. Sendi panggul teraba menonjol kebelakang dlam posisi adduksi, fleksi dan rotasi nterna. Terdapat pemendekan anggota gerak bawah.Pengobatan dengan reposisi secepatnya dengan pembiusan umum disertai relaksasi secukupnya, Penderita dibaringkan dilantai dan embantu menahan panggul. Sendi panggul difleksikan serta lutut difleksi 90 derajat & akukan tarikan pada paha secara vertical. Setelah dreposisi, stabilitas sendi diperiksa apakah sendi panggul dapatdidislokasi dengn cara menggerakkan secara vertical pada sendi panggul.Untuk kasus yang melibatkan penanganan fragmen tulang membutuhkan tindakan operatif. Traksi kulit 4-6 minggu, setelah itu tak menginjakkankaki dan menggunakan tongkat selama 3 bulan. Komplikasi dini berupa kerusakan nervus skiatik, kerusakan kaput femur, dan fraktur diafisis femur. Komplikasi lanjut berupa nekrosis avaskuler, osteoarthritis, dan dislokasi yang tak dapat direduksi.

2. Dislokasi anteriorLebih jarang dibanding anterior dapat akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau trauma dari belakang saat berjongkok dan posisi penderita dalam keadaan abduksi yang dipaksakan, leher femur atau throkanter menabrak acetabulum dan terjungkir keluar melalui robekan kapsul anterior. Gambaran klinis, tungkai bawah dalam keadaan rotasi eksterna, abduksi dan sedikit fleksi, tungkai tak mengalami pemendekan karena perlekatan otot rectus femur mencegah kaput femur bergeser ke proximal, terdapat benjolan didepan daerah inguinal dimana kaput femur dapat diraba dengan mudah, sendi panggul sulit digerakkan. Pengobatan dilakukan dengan reposisi seperti pada dislokasi posterior, dilakukan adduksi pada dislokasi anterior. Komplikasi tersering adalah nekrosis avaskuler.

3. Dislokasi sentralTejadi apabila kaput femur terdorong ke dinding medial acetabulum pada rongga panggul, kapsul tetap utuh. Terdapat perdarahan dan pembengkakan didaerah tungkai proximal tetapi posisi tetap normal, nyeri tekan pada daerah throchanter, dan gerakan sendi panggul terbatas. Pengobatan dengan melakukan reposisi dan traksi selama 4-6 minggu, setelah itu diperbolehkan berjalan dengan penopang berat badan.

FRAKTUR FEMURDefinisi Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis.Fisiologi/anatomiPersendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.Klasifikasi1. Fraktur leher femurFraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah, dibagi dalam : Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur) Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)Fraktur leher femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses penuaan dan osteoporosis pasca menopause. Fraktur dapat berupa fraktur subkapital, transervikal, dan basal, yang kesemuanya terletak di dalam simpai sendi panggul atau interkapsuler, fraktur intertrokanter dan subtrokanter terletak ekstrakapsuler. Fraktur intrakapsuler umumnya sulit untuk mengalami pertautan dan cenderung terjadi nekrosis avaskuler kaput femur. Pendarahan kolum yang terletak intraartikular dan pendarahan kaput femur berasal dari proksimal a. sirkumfleksa femoris lateralis melalui simpai sendi. Sumber perdarahan ini putus pada fraktur intraartikular. Pendarahan oleh arteri di dalam ligamentum teres sangat terbatas dan sering tidak berarti. Pada luksasi arteri ini robek. Epifisis dan daerah trokanter cukup kaya vaskularisasinya, karena mendapat darah dari simpai sendi, periosteum, dan a. nutrisia diafisis femur. Fraktur kolum femur yang terletak intraartikular sangat sukar sembuh karena bagian proksimal perdarahannya sangat terbatas sehingga memerlukan fiksasi kokoh untuk waktu yang cukup lama. Semua fraktur di daerah ini umumnya tidak stabil sehingga tidak ada cara reposisi tertutup terhadap fraktur ini kecuali jenis fraktur yang impaksi, baik yang subservikal maupun yang basal. Penderita umumnya datang dengan keluhan tidak bisa jalan setelah jatuh dan terasa nyeri. Umumnya penderita tidur dengan tungkai bawah dalam keadaan sedikit fleksi dan eksorotasi serta memendek. Sering dapat dilihat pemendekan bila dibandingkan tungkai kiri dengan kanan. Jarak antara trokanter mayor dan spina iliaka anterior superior lebih pendek karena trokanter terletak lebih tinggi akibat pergeseran tungkai ke kranial. Gambaran radiologis menunjukkan fraktur leher femur dengan dislokasi pergeseran ke kranial atau impaksi ke dalam kaput.Kegalian fraktur ini disebabkan kontraksi dan tonus otot besar dan kuat antara tungkai dan tubuh yang menjembatani fraktur, yaitu m. iliopsoas, kelompok otot gluteus, quadriceps femur, flexor femur, dan adductor femur. Inilah yang menggangu keseimbangan pada garis fraktur. Adanya osteoporosis tulang mengakibatkan tidak tercapainya fiksasi kokoh oleh pin pada fiksasi interna. Ditambah lagi, periosteum fragmen intrakapsuler leher femur tipis sehingga kemampuannya terbatas dalam penyembuhan tulang. Oleh karena itu, pertautan fragmen fraktur hanya bergantung pada pembentukan kalus endosteal. Yang penting sekali ialah aliran darah ke kolum dan kaput femur yang robek pada saat terjadinya fraktur.Penanganan fraktur leher femur yang bergeser dan tidak stabil adalah reposisi tertutup dan fiksasi interna secepatnya dengan pin yang dimasukkan dari lateral melalui kolum femur. Bila tak dapat dilakukan operasi ini, cara konservatif terbaik adalah langsung mobilisasi dengan pemberian anestesi dalam sendi dan bantuan tongkat. Mobilisasi dilakukan agar terbentuk pseudoartrosis yang tidak nyeri sehingga penderita diharapkan bisa berjalan dengan sedikit rasa sakit yang dapat ditahan, serta sedikit pemendekan.Terapi operatif dianjurkan pada orang tua berupa penggantian kaput femur dengan prosthesis atau eksisi kaput femur dengan prosthesis atau eksisi kaput femur diikuti dengan mobilisasi dini pasca bedah.

a. Terapi KonservatifPenanganan konservatif dapat dilakukan dengan skin traction, dengan buck extension. Dilakukan apabila fraktur memiliki kemungkinan sebagai berikut : Gangguan peredaran darah pada fragmen proksimal Kesulitan mengamati fragmen proksimal Kurangnya penanganan hematom fraktur karena adanya cairan synovial.b. Terapi OperatifPada umumnya terapi yang dilakukan adalah terapi operasi, fraktur yang bergeser tidak akan menyatu tanpa fiksasi internal, dan bagaimanapun juga manula harus bangun dan aktif tanpa ditunda lagi kalau ingin mencegah komplikasi paru dan ulkus dekubitus. Fraktur terimpaksi dapat dibiarkan menyatu, tetapi selalu ada resiko terjadinya pergeseran pada fraktur-fraktur itu, sekalipun ditempat tidur, jadi fiksasi internal lebih aman. Dua prinsip yang harus diikuti dalam melakukan terapi operasi reduksi anatomi yang sempurna dan fiksasi internal yang kaku. Metode awal yang menstabilkan fraktur adalah fiksasi internal dengan Smith Petersen Tripin Nail. Fraktur dimanipulasi dengan meja khusus orthopedi. Kemudian fraktur difiksasi internal dengan S.P. Nail dibawah pengawasan Radiologi. Metode terbaru fiksasi internal adalah dengan menggunakan multiple compression screws.Pada penderita dengan usia lanjut (60 tahun ke atas) fraktur ditangani dengan acara memindahkan caput femur dan menempatkannya dengan metal prosthesis, seperti prosthesis Austin Moore.Penderita segera di bawa ke rumah sakit. Tungkai yang sakit dilakukan pemasangan skin traction dengan buck extension. Dalam waktu 24-48 jam dilakukan tindakan reposisi, yang di lanjutkan dengan reposisi tertutup dengan salah satu cara menurut Leadbetter.Penderita terlentang di atas meja operasi dalam pengaruh anastesi, asisten memfiksir pelvis, lutut dan coxae dibuat fleksi 90 untuk mengendurkan kapsul dan otot-otot sekitar panggul. Dengan sedikit adduksi paha ditarik ke atas, kemudian pelan-pelan dilakukan gerakan endorotasi panggul 45, kemudian sisi panggul dilakukan gerakan memutar dengan melakukan gerakan abduksi dan extensi. Setelah itu di lakukan Palm Halm Test : tumit kaki yang cedera diletakkan di atas telapak tangan. Bila posisi kaki tetap dalam kedudukan abduksi dan endorotasi berarti reposisi berhasil baik. Setelah reposisi berhasil baik, dilakukan tindakan pemasangan internal fiksasi dengan teknik multi pin percutaneus.Kalau reposisi pertama gagal dapat diulang 3 kali. Kemudian dilakukan open reduksi, dilakukan reposisi terbuka, setelah tereposisi dilakukan internal fiksasi alat internal fiksasi knowless pin, cancellous screw, atau plate. Pengawasan dengan sinar X (sebaiknya digunakan penguat) digunakan untuk memastikan reduksi pada foto anteroposterior dan lateral. Diperlukan reduksi yang tepat pada fraktur stadium III dan IV, fiksasi pada fraktur yang tak tereduksi hanya mengundang kegagalan kalau fraktur stdium III dan IV tidak dapat direduksi secara tertutup dan pasien berumur di bawah 70 tahun, dianjurkan melakukan reduksi terbuka melalui pendekatan anterolateral. Tetapi pada pasien tua (60 tahun keatas) cara ini jarang diperbolehkan, kalau dua usaha yang dilakukan untuk melakukan reduksi tertutup gagal, lebih baik dilakukan penggantian prostetik.Sekali direduksi, fraktur dipertahankan dengan pen atau kadang dengan sekrup kompresi geser yang ditempel pada batang femur. Insisi lateral digunakan untuk membuka femur pada bagian atas kawat pemandu, yang disisipkan dibawah pengendali fluroskopik, digunakan untuk memastikan bahwa penempatan alat pengikat adalah tepat. Dua sekrup berkanula sudah mencukupi, keduanya harus terletak memanjang dan sampai plate tulang subkondral, pada foto lateral keduanya berada ditengah-tengah pada kaput dan leher, tetapi pada foto anteropsterior, sekrup distal terletak pada korteks inferior leher femur.Sejak hari pertama pasien harus duduk ditempat tidur atau kursi. Dia dilatih melakukan pernafasan, dianjurkan berusaha sendiri dan mulai berjalan (dengan penopang atau alat berjalan) secepat mungkin. Beberapa ahli mengusulkan bahwa prognosis untuk fraktur stadium III dan IV tidak dapat diramalkan, sehingga penggantian prostetik selalu lebih baik. Pandangan ini meremehkan morbiditas yang menyertai penggantian. Karena itu kebijaksanaan kita adalah mencoba reduksi dan fiksasi pada semua pasien yang berumur dibawah 60 tahun dan mempersiapkan penggantian untuk penderita yang : Penderita yang sangat tua dan lemah Penderita yang gagal mengalami reduksi tertutup Penggantian yang paling sedikit traumanya adalah prostesis femur atau prostesis bipolar tanpa semen yang dimasukan dengan pendekatan posterior.Penggantian pinggul total mungkin lebih baik : Kalau terapi telah tertunda selama beberapa minggu dan dicurigai ada kerusakan acetebulum. Pada pasien dengan penyakit paget atau penyakit metastatik.Penanganan nekrosis avaskuler kaput femur dengan atau tanpa gagal pertautan juga dengan eksisi kaput dan leher femur dan kemudian diganti dengan prosthesis metal. Pada fraktur leher femur impaksi biasanya penderita dapat berjalan selama beberapa hari setelah jatuh sebelum timbul keluhan. Umumnya gejala yang timbul minimal dan panggul yang terkena dapat secara pasif digerakkan tanpa nyeri. Fraktur ini biasanya sembuh dalam waktu 3 bulan tanpa tindakan operasi, tetapi apabila tidak sembuh atau terjadi disimpaksi yang tidak stabil atau nekrosis avaskuler, penanganannya sama dengan yang di atas.2. Fraktur subtrokanter femurIalah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu : Tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor Tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter minor Tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas trochanterminorFraktur ini terjadi antara trokanter mayor dan minor. Sering terjadi pada orang tua dan umumnya dapat bertaut dengan terapi konservatif maupun operatif karena perdarahan di daerah ini sangat baik. Terapi operatif memperpendek masa imobilisasi di tempat tidur.Penderita biasanya datang dengan keluhan tidak dapat berjalan setelah jatuh disertai nyeri yang hebat. Penderita terlentang di tempat tidur dengan tungkai bawah eksorotasi dan terdapat pemendekan sampai 3 cm disertai nyeri pada setiap pergerakan. Pada bagian luar pangkal paha terlihat kebiruan akibat hematom subkutan. Pada foto Rontgen terlihat fraktur daerah trokanter dengan leher femur dalam posisi varus yang bisa mencapai 900.Fraktur ini ditangani secara konservatif dengan traksi tulang, dengan paha dalam posisi fleksi dan abduksi, selama 6-8 minggu. Terapi operatif dapat dilakukan dengan pemasangan pelat trokanter yang kokoh, kemudian mobilisasi segera pascabedah.3. Fraktur batang femurFraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam syok.Pada fraktur diafisis femur biasanya perdarahan dalam cukup luas dan besar sehingga dapat menimbulkan syok. Secara klinis penderita tidak dapat bangun, bukan saja karena nyeri, tetapi juga karena ketidakstabilan fraktur. Biasanya seluruh tungkai bawah terotasi ke luar, terlihat lebih pendek, dan bengkak pada bagian proksimal sebagai akibat perdarahan ke dalam jaringan lunak. Pertautan biasanya diperoleh dengan penanganan secara tertutup, dan normalnya memerlukan waktu 20 minggu atau lebih.Fraktur yang dapat diatasi dengan traksi adalah fraktur intertrokanter dan subtrokanter, fraktur diafisis oblik, segmental, dan kominutif, serta fraktur suprakondiler tanpa dislokasi berat, dan fraktur kondilus femur. Yang tidak dapat ditangani dengan traksi adalah dislokasi tertentu berat. Pada orang dewasa, fraktur ditangani secara konservatif dengan traksi skelet, baik pada tuberositas tibia maupun suprakondiler. Cara ini biasanya berhasil mempertautkan fraktur femur. Yang penting ialah latihan otot dan gerakan sendi, terutama m. quadriceps otot tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki. Akan tetapi, cara traksi skelet memerlukan waktu istirahat di tempat tidur yang lama sehingga untuk mempercepat mobilisasi dan memperpendek masa istirahat di tempat tidur, dapat dianjurkan untuk melakukan reposisi terbuka dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh. Fiksasi interna biasanya berupa pin Kuntscher intramedular. Untuk fraktur yang tidak stabil, misalnya fraktur batang femur yang kominutif atau fraktur batang femur bagian distal, pin intramedular ini dapat dikombinasi dengan pelat untuk neutralisasi rotasi.Pada fraktur femur tertutup, dilakukan traksi kulit dengan metode ekstensi buck, tujuan traksi kulit untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut di sekitar daerah yang patah.Fraktur batang femur pada anak-anak umumnya dengan terapi non operatif, karena akan menyambung dengan baik, pemendekan kurang dari 2 cm masih dapat diterima karena di kemudian hari akan sama panjangnya dengan tungkai normal. Hal ini kemungkinan karena daya proses remodeling pada anakanak.Pengobatan non-operatif dapat dilakukan dengan metode Perkin, metode balance skeletal traction, traksi kulit Bryant, dan traksi Russel. Sedangkan indikasi operatif karena penanggulangan non-operatif gagal, fraktur multipel, robeknya arteri femoralis, fraktur patologik dan fraktur pada orang-orang tua.4. Fraktur femur suprakondilerFraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.Fraktur ini relatif lebih jarang dibandingkan fraktur batang femur. Seperti halnya fraktur batang femur, fraktur suprakondiler dapat dikelola secara konservatif dengan traksi skeletal dengan lutut dalam posisi fleksi 900. Traksi ini juga memerlukan waktu istirahat di tempat tidur yang lama sehingga lebih disukai reposisi terbuka dan pemasangan fiksasi interna dengan pelat suprakondiler yang kokoh, yang memungkinkan mobilisasi segera dan menggerakkan sendi lutut. Hal yang terakhir ini penting karena gerakan sendi lutut yang segera dapat mencegah sendi kejur akibat perlekatan otot dan atau perlekatan jaringan lunak di sekitar sendi lutut.5. Fraktur femur interkondilerFraktur ini juga relatif jarang dan biasanya terjadi sebagai akibat jatuh dengan lutut dalam keadaaan fleksi dari ketinggian. Permukaan belakang patella yang berbentuk baji , melesak ke dalam sendi lutut dan mengganjal di antara kedua kondilus dan salah satu atau keduanya retak. Pada bagian proksimal kemungkinan terdapat komponen melintang sehingga didapati fraktur dengan garis fraktur berbentuk seperti huruf T atau Y.Secara klinis, sendi lutut bengkak akibat hemartrosis dan biasanya disertai goresan atau memar pada bagian depan lutut yang menunjukkan adanya trauma. Di sini patella juga dapat mengalami fraktur. Untuk fraktur kondilus tunggal lateral atau medial, paling baik dilakukan reposisi terbuka dengan fiksasi interna dengan sekrup tulang spongiosa. Pada patah tulang kondilus ganda, yaitu fraktur kondilus T atau Y juga dilakukan reposisi terbuka dengan fiksasi interna yang kokoh pada kedua kondilus dan pada komponen melintang bila sarananya tersedia.Pada fraktur kominutif berat di interkondiler, tindakan terbaik adalah traksi skelet kontinu yang memungkinkan gerakan sendi lutut begitu nyeri akut menghilang. Gerakan ini kadang dapat menjadi patokan untuk menilai apakah fragmen sendi sudah pada posisi yang diinginkan dan mengurangi resiko kekakuan sendi. Pada orang tua, fraktur femur interkondiler femur umumnya lebih baik ditangani secara konservatif dengan traksi skelet.

FRAKTUR PELVIS

DEFINISIFraktur pelvis termasuk fraktur tulang proksimal femur dan acetabulum. Frakturpelvisdapatmengenaiorangmudadantua. Biasanya,pasienyanglebihmudadapat mengalami fraktur pelvis sebagai akibat dari trauma yang signifikan, sedangkan pasien lansiadapat mengalami fraktur pelvis akibat trauma ringan.

KLASIFIKASI TRAUMA PELVISKlasifikasi Young dan BurgessBeberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan untuk memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan masalah kesulitan manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe fraktur. Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini, salah satu yang dijelaskan oleh Young dan Burgess, paling erat hubungannya dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada seri standar gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk. Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan mekanisme kombinasi (CM) (gambar 5). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera open book yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior. Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan menunjukkan korelasi yang baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210 pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC, dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama, pasien dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6 %. Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20 %) dan pola CM (18 %) dibandingkan pada pola LC (0 %) dan pola VS (0 %). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya. Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi jarang terjadi sebagai cedera tersendiri. Daya yang sama yang menyebabkan disrupsi cincin pelvis sering dihubungkan dengan cedera abdomen, kepala, dan toraks. Sebagai tambahan terhadap cedera-cedera ini, 60-80 % pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera muskuloskeletal, 12 % berhubungan dengan cedera urogenital dan 8 % berhubungan dengan cedera pleksus lumbosacralis.

PEMERIKSAAN FISIKPatah tulang panggul dapat didiagnosis secara akurat melalui pemeriksaan fisik, tetapi indeks kecurigaan yang tinggi untuk patah tulang berdasarkan mekanisme cedera sangat penting. Pemeriksaan dimulai dengan pemeriksaan untuk lecet dan memar, simetri, terisolasi rotasi dari tungkai bawah, dan perbedaan dalam panjang ekstremitas. Perbedaan panjang tungkai mungkin karena cedera pinggul, cedera femoral, atau cedera panggul vertikal tidak stabil. Krista iliaka yang terputar menunjukkan fraktur serius. Stabilitas putaran dievaluasi dengan meraba untuk perlunakan dan krepitasi dengan kompresi ke dalam dan posterior pada puncak dan dengan kompresi ke belakang pada simfisis pubis. Menggoyangkan panggul adalah tidak tepat, dan perawatan harus diambil untuk menghindari bergesernya patah tulang atau mengganggu suatu hematoma panggul selama pemeriksaan. Jika tidak ada patah tulang dari tungkai bawah, stabilitas vertikal dinilai oleh traksi manual memanjang pada bagian bawah kaki. Perlunakan atas trokanter menunjukkan cedera kaput femoralis cedera atau acetabulum. Setiap cacat kulit di balik panggul harus diselidiki sebagai dugaan fraktur terbuka. Komplikasi untuk cedera pada saluran kemih terjadi sampai seperempat fraktur pelvis, terutama patah tulang dengan cedera genitourinari pada atau dekat simfisis pubis. Sampai dengan 6 % dari perempuan dan 11 % dari pria yang memiliki patah tulang panggul mengalami cedera uretra, frekuensi yang lebih rendah pada bayi dan anak-anak. Darah di lubang kemih atau "naik tinggi" ke prostat menunjukkan cedera uretra dan merupakan kontraindikasi relatif untuk penempatan Foley kateter. Jika cedera uretra dicurigai, sebuah retrograde urethrogram harus diperoleh sebelum penempatan kateter di kandung kemih. Untuk urethrograms retrograd, sebuah radiograf polos abdomen diperoleh, dan kemudian 60 mL bahan kontras disuntikkan langsung ke dalam uretra melalui jarum suntik ditempatkan. Radiograf lain adalah diperoleh injeksi 10 mL bahan kontras. Ekstravasasi bahan kontras menunjukkan cedera uretra. Cedera genitourinari lain juga mungkin, sehingga sampel urin harus dikumpulkan. Hematuria mikroskopis jarang berhubungan dengan cedera yang signifikan, namun hematuria kotor harus segera evaluasi lebih lanjut. Jika tidak terjadi cedera uretra, gross hematuria menunjukkan kerusakan kandung kemih atau kerusakan ginjal. Tekanan yang dipancarkan bisa memecahkan kandung kemih. Kandung kemih dapat dievaluasi dengan menggunakan cystography, sebuah kateter Foley dimasukkan, dan radiografi diperoleh ketika kandung kemih penuh dengan sampai 400 mL bahan kontras dan lagi setelah bahan kontras dikeringkan. Pada pasien dengan status hemodinamik stabil, baik kandung kemih dan ginjal dapat dievaluasi dengan menggunakan computed tomography (CT). Disfungsi seksual pada pria berhubungan dengan trauma pelvis, dan frekuensi impotensi baik dengan dan tanpa pecahnya uretra adalah signifikan. Cedera gynecologic dan vagina adalah jarang pada fraktur panggul, dan cedera ginekologis paling banyak terjadi pada wanita yang sedang hamil. Cedera gastrointestinal yang berhubungan dengan fraktur panggul dapat terjadi baik sebagai cedera traumatik yang terpisah atau sebagai laserasi oleh ujung tajam tulang yang retak. Kedua pemeriksaan dubur dan vagina diperlukan untuk menyingkirkan suatu sambungan melalui laserasi. Kedekatan struktur neurologis ke sakrum dan acetabulum menciptakan kemungkinan untuk cedera saraf. Cedera saraf tulang belakang yang paling sering dikaitkan dengan fraktur panggul ketika pasien memiliki patah tulang sakral vertikal pada atau di atas tingkat L5 atau fraktur melintang tulang sakral. Luka-luka di tingkat tertentu menyebabkan pola defisit spesifik, sehingga dermatom pada dan di bawah L5 harus dinilai dengan hati-hati. Perhatian khusus harus diberikan kepada plantar fleksi dan dorsifleksi kaki besar, sensasi di kaki, dan dalam tendon reflex achilles Identifikasi dan Pengelolaan Fraktur PelvisA. Identifikasi mekanisme trauma yang menyebabkan kemungkinan fraktur pelvis misalnya terlempar dari sepeda motor, crush injury, pejalan kaki ditabrak kendaraan, tabrakan sepeda motor.B. Periksa daerah pelvis adanya ekhimosis, perianal atau hematoma skrotal, darah di meatus uretra.C. Periksa tungkai akan adanya perbedaan panjang atau asimetri rotasi panggul.D. Lakukan pemeriksaan rektum, posisi dan mobilitas kelenjar prostat, teraba fraktur, atau adanya darah pada kotoran.E. Lakukan pemeriksaan vagina, raba fraktur, ukuran dan konsistensi uterus, adanya darah. Perlu diingat bahwa penderita mungkin hamil.F. Jika dijumpai kelainan pada B sampai E, jika mekanisme trauma menunjang terjadinya fraktur pelvis, lakukan pemeriksaan ronsen pelvis AP (mekanisme trauma dapat menjelaskan tipe fraktur).G. Jika B sampai E normal, lakukan palpasi tulang pelvis untuk menemukan tempat nyeri.H. Tentukan stabilitas pelvis dengan hati-hati melakukan tekanan anterior- posterior dan lateral- medial pada SIAS.Pemeriksaan mobilitas aksial dengan melakukan dorongan dan tarikan tungkai secara hati-hati, tentukan stabilitas kranial - kaudal.I. Perhatian pemasangan kateter urine, jika tidak ada kontraindikasi, atau lakukan pemeriksaan retrograd uretrogram jika terdapat kecurigaan trauma uretra.J. Penilaian foto ronsen pelvis, perhatian kusus pada fraktur yang sering disertai kehilangan darah banyak, misalnya fraktur yang meningkatkan volume pelvis.1. Cocokan identitas penderita pada film. 2. Periksa foto secara sistematik;a. Lebar simfisis pubis - pemisahan lebih dari 1 cm menunjukan ada trauma pelvis posterior.b. Integritas ramus superior dan inferior pubis bilateral.c. Integritas asetabulum, kaput dan kolum femur.d. Simetri ileum dan lebarnya sendi sakroiliaka.e. Simetri foramen sakrum dengan evaluasi linea arkuata. Ff. Fraktur prosesus transversus L5.3. Ingat, karena tulang pelvis berbentuk lingkaran jarang kerusakan hanya pada satu tempat saja.4. Ingat fraktur yang meningkatkan volume pelvis, misalnya vertical shear dan fraktur open-book, sering disertai perdarahan banyak.K. Teknik mengurangi perdarahan dari fraktur pelvis. 1. Cegah manipulasi berlebihan atau berulang-ulang.2. Tungkai bawah di rotasi kedalam untuk menutup fraktur open-book. Pasang bantalan pada tonjolan tulang dan ikat kedua tungkai yang dilakukan rotasi. Tindakan ini akan mengurangi pergeseran simpisis, mengurangi volume pelvis, bermanfaat untuk tindakan sementara menunggu pegobatan definitif.3. Pasang dan kembangkan PASG. Alat ini bermanfaat untuk membawa/ transpor penderita.4. Pasang external fixator pelvis (konsultasi orthopedi segera). 5. Pasang traksi skeletal (konsultasi orthopedi segera)6. Embolisasi pembuluh darah pelvis melalui angiografi.7. Lakukan segera konsultasi bedah / orthopedi untuk menentukan prioritas.8. Letakkan bantal pasir dibawah bokong kiri-kanan jika tidak terdapat trauma tulang belakang atau cara menutup pelvis yang lain tidak tersedia.9. Pasang pelvic binder.10. Mengatur untuk transfer ke fasilitas terapi definitif jika tidak mampu melakukannya.

TRAUMA ABDOMEN

DefinisiTrauma abdomen adalah cedera pada abdomen. Dapat terjadi akibat trauma tumpul (blunt trauma) atau trauma tajam (penetrating trauma). Gejala dan tanda meliputi nyeri abdomen, kekakuan dan memar pada abdomen eksterna. Trauma abdomen rentan menyebabkan syok hemoragik atay infeksi yang kemudian menyebabkan sepsis. Diagnosis dapat ditegakkan menggunakan ultrasonografi, CT-scan dan peritoneal lavage. Tatalaksana sering memerlukan intervensi bedah.Pada pasien trauma, bagaimana menilai abdomen adalah salah satu bagian yang menarik. Penilaian sirkulasi sewaktu primary survey harus mencakup deteksi dini dari kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi pada abdomen dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma tajam pada dada diantara nipple dan perineum harus dianggap potensial menyebabkan cedera intraabdominal. Pada penilaian abdomen, prioritas maupun metode apa yang terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma, berat dan lokasi trauma maupun status hemodinamik penderita.Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap menjadi salah satu penyebab kematian yang sebenarnya dapat dicegah, selain trauma spinal. Sebaiknya jangan menganggap bahwa ruptur organ berongga maupun perdarahan dari organ padat merupakan hal yang padat untuk dikenali. Seringkali pemeriksaan kita dipengaruhi oleh adanya intoksikasi alkohol, penggunaan obat-obat tertentu, adanya trauma otak maupun medula spinalis yang menyertai, ataupun adanya trauma yang mengenai organ yang berdekatan seperti kosta, tulang belakang atau pelvis. Setiap pasien yang mengalami trauma tumpul pada dada baik karena langsung maupun deselerasi, ataupun trauma tajam, harus dianggap mungkin mengalami trauma viscera ataupun trauma vaskuler abdomen.

AnatomiAnatomi luar abdomen1. Abdomen depanWalaupun abdomen sebagian dibatasi oleh thoraks bagian bawah, definisi abdomen depan ialah bidang yang superior dibatasi oleh garis intermammaria, di inferior dibatasi oleh ligamentum inguinale dan simfisis pubis serta oleh keda linea axillaris anterior.2. PinggangIni merupakan di daerah terletak diantara linea axillaris anterior dan posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah hingga krista iliaka. Di lokasi ini adanya dinding otot abdomen yang tebal, berlainan dengan dinding otot lebih tipis dibagian depan menjadi pelindung terutama pada luka tusuk.3. PunggungDaerah ini berada di belakang dari linea axilaris posterior, dari ujung bawah skapula smapai krista iliaka. Seperti halnya daerah flank, disini otot-otot punggung dan otot paraspinal menjadi pelindung terhadap trauma tajam.

Anatomi dalam dari abdomenAda 3 regio yang berlainan disini, yaitu rongga peritoneal, ruang retroperitoneal, dan rongga pelvis. Rongga pelvis ini mengandung bagian-bagian dari bagian peritoneal dan retroperitoneal.1. Rongga peritonealUntuk simpelnya, kita bisa membagi rongga peritoneal menjadi 2 bagian, yaitu atas dan bawah. Rongga peritoneal atas dilindungi oleh bagian bawah dari dinding diafragma, hepar, lien, gaster, dan kolon transversum. Bagian ini juga disebut thorakoabdominal. Pada saat diafragma naik hingga sela iga ke-4 pada waktu ekspirasi penuh, setiap terjadi fraktur iga maupun luka tusuk tembus di bawah garis intermammaria bisa mencederai organ dalam abdomen. Rongga peritoneal bawah berisikan usus halus , bagian kolon ascendens dan kolon descendens, kolon sigmoid dan pada wanita, organ reproduksi internal.2. Rongga pelvisRongga pelvis, yang dilindungi oleh tulang-tulang pelvis, sebenarnya merupakan bagian bawah dari rongga intraperitoneal, sekaligus bagian bawah dari rongga retroperitoneal. Terdapat di dalamnya rektum, vesika urinaria, pembuluh darah oliaka, dan pada wanita, organ reproduksi interna. Sebagaimana halnya bagian thoracoabdominal, pemeriksaan organ-organ pelvis terhalang oleh bagian-bagian tulang diatasnya.3. Rongga retroperitonealRongga yang potensial ini adalah rongga yang berda di belakang dinding peritonium yang melapisi abdomen, dan di dalamnya terdapat aorta abdominalis, vena kava inferior, sebagian besar dari dinding deodenum, pankreas, ginjal dan ureter sebagian posterior dari kolon ascendens dan kolon descendens, dan juga bagian dari rongga pelvis yang retroperitoneal. Cedera pada organ dalam retroperitoneal sulit dikenali karena area ini jauh dari jangkauan pemeriksaan fisis yang biasa, dan juga karena cedera disini sering tidak menimbulkan gejala peritonitis. Di samping itu, organ ini tidak termasuk dalam bagian yang diperiksa sampelnya pada diagnostic peritoneal lavage (DPL).

Mekanisme Trauma1. Trauma tumpulSuatu pukulan langsung, misalnya terbentur pinggiran setir maupun bagian pintu mobil yang melesak ke dalam karena tebrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi terhadap organ viscera. Kekuatan seperti ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang mengalami distensi (misalnya ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritonitis. Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera terjadi saat suatu alat pengaman (misalnya seat belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma deselerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian yang terfiksir dengan bagian yang tidak bergerak, seperti suatu ruptur lien maupun ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamennya (organ yang terfiksir). Pemakaian air bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%) dan usus halus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal.2. Trauma tajamLuka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan tarnsfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitations, dan bisa pecah menjadi kerusakan lainnya.Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%) dan kolon (15%). Luka tembak memiliki kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, besar energi kinetik maupun kemungkinan pantulan peluru oleh tulang organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), kolon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).PenilaianPada pasien yang mengalami hipotensi, sasaran dokter mula-mula adalah menentukan ada tidaknya trauma abdomen, apakah ini yang menyebabkan hipotensi. Pasien dengan hemodinamik stabil tanpa gejala peritonitis bisa diperiksa lebih detail untuk menentukan apakah ada trauma yang spesifik, atau selama observasi timbul tanda peritonitis atau perdarahan.1. AnamnesisAnamnesi harus mencakup kecepata kendaraan tabrakan, jenis tabrakan (depan dengan depan, tabrakan samping, terserempet, tabrakan dari belakang ataupun terguling), jenis pengaman yang digunakan, ada tidaknya air bag, posisi pasien dalam kendaraan. Keterangan ini dapat diperoleh langsung dari pasien, penumpang lain, polisi atau petugas emergensi. Informasi lain mencakup informasi tanda-tanda vital, luka-luka atau respons terhadap penangana pra rumah sakit.Bila pasien dengan trauma tajam, penting untuk ditanyakan waktu terjadinya trauma, jjenis senjata yang digunakan (pisau, pistol, senapan), jarak dari pelaku, jumlah tikaman atau tembakan, dan jumlah perdarahan eksternal ditempat kejjadian. Bila mungkin, informasi tambahan harus didapat dari pasien sendiri, tentang hebatnya maupun lokasi dari setiap nyeri abdominalnya, dan apakah ada nyeri alih ke bahu.2. Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisis abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistematis : inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi.2.1. InspeksiPasien diperiksa tanpa pakaian. Abdomen bagian depan dan belakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti apakah mengalami ekskoriasi atau memar. Diperiksa apakah ada laserasi, isi usus atau omentum yang keluar, dan status kehamilan.2.2. AuskultasiDi ruang UGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus, yang penting adalah menentukan ada tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di retroperitoneal dapat menyebabkan ileus, yang mengakibatkan hilangnya bising usus. Cedera struktur lain yang berdekatan seperti iga, vertebra maupun pelvis juga dapat mengakibatkan ruptur meski tidak ada cedera intraabdomen. Oleh karena itu, hilangnya bising usus bukan merupakan diagnostik untuk trauma intraabdominal.

2.3. PerkusiManuver ini dapat mengetahui nada timpani akibat dilatasi lambung di kuadran kiri atas atau suara redup pada keadaaan hemoperitonium.2.4. PalpasiTujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang terkadang-kadang dalam. Nyeri lepas tekan adalah sugestif untuk peritonitis, yang disebabkan oleh kontaminasi isi usus, maupun juga hematoperitonium pada tahap awal.2.5. Evaluasi luka tusukSebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi eksplorarif karena insidensi cedera retroperitoneal dapat mencapai 95%. Luka tusukan pisau biasanya ditangani secara lebih selektif, akan tetapi 30% kasus mengalami cedera intraperitoneal. Semua kasus luka tembak tau luka tusuk dengan hemodinamik yang tidak stabil harus dilaparotomi segera.Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi siffatnya superficial dan tidak menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya dilakukan eksplorasi terlebih dulu untuk menilai kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan jika trauma yang sama terjadi di atas kosta karena kemungkinan pneumothoraks dan hematothoraks.2.6. Menilai stabilitas pelvisPenekanan manual pada SIAS ataupu krista iliaka akan menimbulkan rasa nyeri maupun krepitasi yang menyebabkan dugaan pada adanya fraktur pelvis. Harus hati-hati karena manuver ini dapat menambah perdarahan yang terjadi.2.7. Pemeriksaan penis, peritonium dan rektumAdanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan kuat robeknya kulit uretra. Inspeksi pada skrotum dan perineum dilakukan untuk melihat adanya ekimosis ataupun hematoma. Tujuan pemeriksaan rektum pada pasien dengan trauma tumpul adalah untuk menentukan tonus sfingter, posisi prostat (prostat yang meninggi menyebabkan dugaan cedera uretra) dan menentukan ada tidaknya fraktur pelvis. Pada pasien dengan luka tusuk, pemeriksaan rektum bertujuan untuk melihat tons sfingter dan perdrahan akibat perforasi usus.2.8. Pemeriksaan vaginaBisa terjadi robekan pada vagina karena fragmen tulang dan fraktur pelvis ataupun luka tususk.2.9. Pemeriksaan gluteaRegio glutealis memanjang dari krista iliaka sampai lipatan glutea. Luka tusuk di daerah ini biasanya berhubungan dengan cedera in traabdominal.3. IntubasiJika ABC telah teratasi, sering dilakukan pemeriksaan kateter gaster dan urin sebagai bagian dari resusitasi.3.1. Gatrik tubeTujuan terapeutiknya adalah untuk mengatasi dilatasi lambung akut, dekompresi gaster, sebelum melakukan DPL, dan mengeluarkan isi lambung yang berarti mencegah aspirasi. Adanya darah pada NGT menunjukkan adanya cedera esofagus ataupun saluran GIT bagian atas bila nasofaring atau orofaringnya aman.3.2. Kateter urinBertujuan untuk mengatasi retensi urin, dekomprasi buli sebelum melakukan DPL dan untuk monitor urinary output sebagai salah satu indeks perfusi jaringan. Hematuria merupakan tanda cedera traktus urogenitalis. Perhatian : ketidakmampuan untuk kencing, fraktur pelvis yang tidak stabil, darah pada meatus uretra, hematoma skrotum dan ekimosis perineum maupun prostat dengan letak tinggi menjadi petunjuk agar dilakukan USG retrograd agar dapat dipastikan tidak ada ruptur uretra sebelum pemasangan kareter. Bilamana pada primary survey maupun secondery survey kta ketahui adanya robek uretra, mungkin harus dilakukan pem asagan kateter suprapubik.4. Pengambilan sampel darah dan urinDarah yang diambil sewaktu pemasangan jarum infus bergina untuk menentukan tipe darah atau crossmatch untuk hemodinamik yang tidak stabil. Bersamaan dengan itu, dilakukan pemeriksaan darah rutin, kalium, glukosa dan amilase (pada trauma tumpul) dan juga kadar alkohol darah. Urin dikirim untuk urinalisa. Pada wanita usia kehamilan, juga dilakuka tes kehamilan.5. Pemeriksaan radiologi5.1 X-Ray untuk screening trauma tumpulRontgen untuk foto adalah foto servikal lateral, thoraks AP dan pelvik AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto 3 posisi (telentang, setengah tegak, dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.5.2 X-Ray untuk screening trauma tajamPasien luka tusuk dengan hemodinamik abnormal tidak memerlukan skreening X-Ray. Pada pasien luka tusuk dengan hemodinamik stabil, foto thoraks tegak berguna untuk menyingkirkan pneumothoraks atau hematothoraks, ataupun adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun luka keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan adanya udara retroperitoneal pada foto rontgen abdomen tidur.5.3 Pemeriksaan dengan kontras khusus UretrografiDilakukan sebelum pemasangan kateter untuk mendeteksi adanya ruptur uretra. Digunakan kateter no.#8-F dengan balon pompa 1,5-2 cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20cc kontras yang diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik dengan sedikit tarikan pada penis. SistografiRuptur buli intra maupun ekstraperitoneal dapat diobservasi dengan baik dengan pemeriksaan sistografi. Dipasang kateter uretra dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm di atas pasien dan kontras dibiarkan mengalir dalam buli atau sampai (1) aliran terhenti, (2) pasien secara spontan mengedan, (3) pasien merasa sakit. Diambil fot rontgen AP, oblik dan foto post-voiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT scan yang terutama bermanfaat untuk mendapat informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya.5.4 CT Scan/ IVPBilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami cedera system urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adaah pemeriksaan IVP.Disini dipakai dosis 200mg J/ kgbb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus 100 cc larutan Iodine 60% (standard 1.5 cc/ kg, kalau dipakai 30% 3.00 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50cc yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi kita akan memperoleh visualisasi calyx pada x-ray. Bilamana 1 sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis maupun tertarik putusnya a. renalis, ataupun parenchyma yang mengalami kerusakan massif. Nonvisualisasi keduanya memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan + kontras, ataupun arteriografi renal atau ekplorasi ginjal, yang mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki.6. GastrointestinalCedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens) tidakakan menyebabkan peritoratis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL. Bila ada kecurigaan pemeriksaan dengan CT Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan roentgen untuk upper GI Tract atauapun GI Tract bagian bawah dengan kontras harus dilakukan.

Pemeriksaan Diagnostik pada Trauma TumpulBilamana ada bukti awal ataupun bukti yang jelas menunjukkan pasien harus segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan banyak waktu tidak perlu dilakukan. Test seperti ini antar lain pemeriksaan roentgen foto dengan kontras untuk gastrointestinal maupun urologi; DPL maupun CT Scan.1. Diagnostik Peritoneal LavageDPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya, dan dianggap 98% sensitive untuk perdarahan peritoneal. Harus dilaksanakan oleh team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan hemodinamik abnormal, terutama bila dijumpai:a. Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan obat-obatanb. Perubahan sensasi-trauma spinalc. Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalisd. Pemeriksaan fisik diagnostic tidak jelase. Dipe