Keloid
-
Upload
arizalrnugraha -
Category
Documents
-
view
52 -
download
9
description
Transcript of Keloid
-
1
BAB I
STATUS PASIEN
Pemeriksa : Arizal Robbi Nugraha
Tanggal Periksa : 17 Februari 2015
Perceptor : dr. S. Windayati Hapsoro, Sp.KK
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kendal
Umur : 19 Tahun
Pekerjaan : Karyawan
Pendidikan terakhir : SMA
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status : Belum Menikah
RIWAYAT PASIEN
Keluhan Utama : Benjolan pada punggung, lengan dan wajah.
RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT
Pasien datang ke RSUD DR. ADHYATMA, MPH diantar oleh keluarganya dengan
keluhan terdapat benjolan pada punggung, lengan dan wajah, benjolan disertai dengan
rasa gatal namun tidak nyeri. Awal terdapat benjolan sejak 15 tahun yang lalu pertama
kali muncul pada bekas jerawat kemudian muncul pada punggung dan lengan yang
diakibatkan oleh bekas luka akibat kecelakaan/trauma dan adapun benjolan yang tiba-
tiba muncul tanpa diketahui penyebabnya. Benjolan awalnya terasa keras namun setelah
beberapa kali kontrol dan mendapat suntikan benjolan menjadi lunak, benjolan awalnya
berwarna kemerahan dan kemudian berubah menjadi berwarna coklat, benjolan
berukuran sekitar 1x0,5x1 cm namun bervariasi pada setiap area dan terdapat benjolan
yang melebar namun ada pula yang bentuknya tidak berubah. Pasien merasa tidak
nyaman dengan adanya benjolan tersebut.
-
2
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat Hypertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Alergi obat/makanan : Disangkal
Riwayat sakit kulit lain : Disangkal
Riwayat sakit kelamin : Disangkal
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Pada keluarga pasien tidak terdapat anggota keluarga yang mempunyai keluhan
serupa.
RIWAYAT SOSIAL-EKONOMI
Penderita belum menikah dan sekarang bekerja sebagai karyawan disalah satu
perusahaan swasta. Riwayat merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol
disangkal. Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh BPJS. Kesan ekonomi pasien baik.
RIWAYAT PENGOBATAN
Penderita rutin kontrol di RSUD DR. ADHYATMA, MPH.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan.
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4M5V6
Vital Sign TD/N/R/S : 110/70/80/24/37
Status Generalis
Kepala
Rambut : Alopesia (-/-)
Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-)
Telinga : Sulit dinilai
Hidung : Secret (-/-)
Mulut : Mukosa basah, lidah bersih
-
3
Leher
Pembesaran KGB : (-)
Simetrisitas : Simetris
Pembesaran Tiroid : (-)
JVP : Sulit dinilai
Thoraks
Cor
Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas normal tidak terdapat pembesaran jantung
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : VBS KA:KI (+/+), ronkhi (-), whezzing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : Timpani, batas normal tidak terdapat pembesaran organ
Auskultasi : BU (-)
Ektremitas
Inspeksi : Batas normal tidak terdapat kelainan.
-
4
Status Dermatologi
Lokasi : Punggung
Efloresensi : Nodular, Sikatrik hipetrofik (keloid), hyperpigmentasi
(Gambar 1. Keloid pada daerah punggung)
-
5
Lokasi : Lengan
Efloresensi : Nodular, Sikatrik hipetrofik (keloid), hyperpigmentasi
(Gambar 2. Keloid pada daerah lengan)
-
6
Lokasi : Wajah
Efloresensi : Nodular, Sikatrik hipetrofik (keloid), hyperpigmentasi
(Gambar 3. Keloid pada daerah wajah)
-
7
Diagnosis Banding :
1. Keloid
2. Parut hypertrofik
3. Fibroma
4. Neuroma
Resume
Pasien laki-laki, berumur 19 tahun datang ke RSUD DR. ADHYATMA, MPH dengan
keluhan terdapat benjolan pada punggung, lengan dan wajah, benjolan disertai dengan
rasa gatal namun tidak nyeri. Awal terdapat benjolan sejak 15 tahun yang lalu pertama
kali muncul pada bekas jerawat kemudian muncul pada punggung dan lengan yang
diakibatkan oleh bekas luka akibat kecelakaan/trauma dan benjolan yang tiba-tiba
muncul tanpa diketahui penyebabnya. Benjolan terasa lunak, berwarna coklat, benjolan
berukuran sekitar 1x0,5x1 cm namun bervariasi pada setiap area. Riwayat penyakit yang
sama dalam keluarga tidak ada. Riwayat pengobatan rutin kontrol di RSUD DR.
ADHYATMA, MPH.
Status generalis ; Dalam batas normal
Status Dermatologi ;
Lokasi : Punggung
Efloresensi : Nodular, Sikatrik hipetrofik (keloid), hyperpigmentasi
Lokasi : Lengan
Efloresensi : Nodular, Sikatrik hipetrofik (keloid), hyperpigmentasi
Lokasi : Wajah
Efloresensi : Nodular, Sikatrik hipetrofik (keloid), hyperpigmentasi
Diagnosis Kerja :
Keloid
Penatalaksanaan :
1. Medikamentosa
CTM PO 4 mg/hari
Triamsinolone acetonide intralesi 1 mg (0,1 ml) per 1 minggu pada lesi, sampai
lesi terjadi atrofi
2. Non-medikamentosa
Jangan menggaruk lesi
-
8
Jangan melakukan tindakan (body piercing)
Usahakan proteksi tubuh agar tidak terjadi luka
Hindari prosedur-prosedur medis invasif yang bersifat elektif yang dapat
menimbulkan luka
Prognosis :
Quo ad. vitam : Bonam
Quo ad. fungsinal : Bonam
Quo ad. sanationam : Bonam
-
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KELOID
2.1 DEFINISI
Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan proliferatif)
yang muncul di atas kulit yang mengalami trauma atau di atas luka operasi dan tidak
sesuai dengan beratnya trauma, tidak dapat sembuh secara spontan serta dapat berulang
setelah dilakukan eksisi (Thompson, 2001). Keloid juga dapat didefinisikan sebagai
pertumbuhan jinak dari jaringan fibrosa padat, yang berkembang dari respon abnormal
terhadap penyembuhan cedera kulit, yang meluas keluar dari perbatasan asli luka atau
respon inflamasi.
Secara klinis, keloid berbentuk nodul, berwarna ato hypopigmentasi, atau bersifat
eritematosa sekunder untuk telangiectasias. Keloid terjadi paling umum pada bagian
dada, bahu, punggung atas, belakang leher dan telinga (Roblez, 2007).
(Gambar 1. Keloid)
Harus dibedakan antara istilah keloid dan parut hipertropik. Pada parut hipertropik,
besar parut masih sesuai dengan lukanya, tidak pernah melewati batas tepi luka dan pada
suatu saat akan mengalami fase maturasi. Parut hipertropik juga dapat sembuh secara
spontan dalam 12-18 bulan meskipun tidak komplit. Sedangkan pada keloid, parut
melampaui batas tepi luka tetapi jarang meluas sampai ke jaringan subkutan, aktif dan
menunjukkan tanda-tanda radang seperti kemerahan, gatal dan nyeri ringan. Jika keloid
bersifat multipel atau berulang maka disebut keloidosis (Gauglitz, 2011).
-
10
2.2 EPIDEMIOLOGI
Kebanyakan orang tidak pernah memiliki keloid. Untuk alasan yang tidak
diketahui, keloid terjadi lebih sering di antara kulit hitam, Hispanik dan Asia dan jarang
di Kaukasia . Dilaporkan sekitar 16% orang afrika hitam menderita keloid, sedangkan
orang kulit putih dan albino sangat sedikit yang menderita keloid (Cohly, 2002). Keloid
juga dilaporkan lebih banyak pada wanita muda dibandingkan pria muda. Namun, tanpa
menggolongkan umur, prevalensi keloid antara pria dan wanita adalah sama. Menurut
umur, keloid sering terjadi pada kelompok umur 10-30 ahun (dewasa muda) dan jarang
terjadi pada usia tua (Cohly, 2002). Keloid juga sering timbul pada penderita yang
mengalami luka bakar parah dan di lokasi vaksinasi.
2.3 ETIOLOGI
Penyebab pasti tidak diketahui, tidak ada gen khusus yang diidentifikasi sebagai
penyebab berkembangnya suatu keloid, meskipun peningkatan prevalensi keloid
berhubungan dengan peningkatan pigmentasi kulit yang menunjukkan adanya pengaruh
genetik. Keloid dihubungkan secara genetik dengan HLA-B14, HLA-B21, HLA-Bw16,
HLA-Bw35, HLA-DR5, HLA-DQw3, dan golongan darah A. Transmisi dilaporkan
secara autosom dominan dan autosom resesif. Keloid dapat disebabkan oleh insisi bedah,
luka, penyuntikan vaksinasi (BCG), luka bakar, bekas jerawat, setelah cacar, gigitan
serangga, pemakaian anting (Wolfram, 2009).
2.4 ANATOMI DAN FISIOLOGI
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15%
berat bada. Kulit merupakan organ yang paling esensial dan vital serta merupakan cermin
kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangan kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi
pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Gauglitz,
2011).
-
11
(Gambar 2. Anatomi Kulit)
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu:
a. Lapisan epidermis atau kutikel, terdiri ata: stratum korneum, stratum lusidum, stratu
m granulosum, stratum spinosum dan stratum basale (terdiri atas dua jenis sel : sel-se
l kolumner dan sel pembentuk melanin).
b. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin). Secara garis besar dibagi menjadi dua
bagian, yakni : pars papillare dan pars retikulare.
c. Lapisan subkutis (hipodermis) adalah kelanjuta dermis, terdiri atas jaringan ikat long
gar berisi sel-sel lemak di dalamnya.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di bagian a
tas dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda). Pleksu
s yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus yang di s
ubkutis dan di pars papillare juga mengadakan anastomosis, di bagian ini pembuluh dar
ah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah
bening.
Fungsi utama kulit adalah fungsi proteksi (pelindung terhadap cedera fisik, kekeri
ngan, zat kimia, kuman penyakit dan radiasi), absorpsi, ekskresi, persepsi (faal perasa d
an peraba yang dijalankan oleh ujung saraf sensoris Vater paccini, Meisner, Krause, dan
Ruffini yang terdapat di dermis), pengaturan suhu tubuh (termoregulasi akibat adanya ja
ringan kapiler yang luas di dermis, adanya lemak subkutan, dan kelenjar keringat), pem
bentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan keratinisasi.
-
12
2.5 GAMBARAN HISTOLOGI KELOID
Pada pemeriksaan histologis keloid, ditemukan kolagen dengan jumlah yang me
ningkat dan deposisi glikosaminoglikan, kedua komponen utama matriks ekstraselular. K
olagen pada keloid terdiri dari penebalan whorls dari bundel kolagen hyalinized dalam a
rray yang serampangan, yang dikenal sebagai kolagen keloidal (Roblez, 2007). Hal ini b
erbeda untuk bekas luka normal di mana berkas-berkas kolagen sejajar berorientasi pada
permukaan kulit.
2.6 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Patogenesis keloid secara jelas masih belum diketahui, tetapi merupakan
peristiwa yang kompleks dan melibatkan faktor genetik dan lingkungan. Kondisi
inflamasi kulit seperti akne vulgaris, folikulitis, infeksi varicella, atau vaksinasi (terutama
vaksinasi BCG) dapat menyebabkan pembentukan keloid. Keloid paling sering terjadi
dalam pengaturan penyembuhan luka bedah atau non-bedah (misalnya, laserasi dan
penusukan daun telinga). Keloid berkembang dalam beberapa bulan setelah luka atau
proses inflamasi, dan dapat berkembang lebih pesat, keluar dari batas luka setahun
kemudian. Ekspresi menyimpang dari berbagai faktor pertumbuhan dan reseptor
diperlihatkan melalui fibroblas. Misalnya, fibroblas keloidal ditunjukkan untuk lebih
mengekspresikan faktor pertumbuhan: VEGF, TGF-1, TGF-2, CTGF, serta PDGF-
reseptor. Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa TGF-1 berperan sebagai patogenesis
jaringan parut abnormal dan banyak penelitian difokuskan pada jalur ini. Sebuah studi
terbaru oleh Capaner dkk. melaporkan bahwa ekspresi lebih dari TGF-1 merupakan
komponen penting dalam pembentukan keloid. Tetapi bukan merupakan faktor utama
atau independen, karena keloid juga merupakan adalah proses multifaktorial. Dalam
sebuah penelitian, fibroblas keloidal ditemukan memiliki tingkat yang lebih rendah dari
apoptosis, diduga terkait dengan peraturan turun-apoptosis gen terkait. Dibandingkan
dengan fibroblas dermal yang normal, fibroblas pada keloid menunjukkan peningkatan
produksi kolagen dan matriks metalloproteinase (Roblez, 2007).
Saat proses penyembuhan luka harus ada keseimbangan antara produksi kolagen
yang meningkat dan kerusakan jaringan yang difasilitasi oleh metaloproteinase matriks.
Bekas luka yang normal memiliki mekanisme umpan balik negatif, dimana fibroblas
berfungsi untuk memperbaiki cacat kulit tetapi aktivitas mereka juga dihambat untuk
mencegah perbaikan yang berlebihan. Dalam hal ini, fibroblas berasal dari bekas luka
matang mampu menekan proliferasi in-vitro yang dapat menyebabkan jaringan parut
-
13
patologis. Hal ini menunjukkan mekanisme umpan balik negatif fibroblas keloidal yang
pada akhirnya mengakibatkan pembentukan parut yang mempunyai kecenderungan untuk
kambuh.
Sampai saat ini, tidak ada gen tertentu telah dikaitkan dengan perkembangan
keloid. Sebagian besar kasus terjadi secara sporadis, meskipun temuan dari sejarah
keluarga yang positif adalah hal yang biasa. Marneros dan rekannya mempelajari empat
belas keluarga dengan anggota yang terkena dampak ganda dan berasal sebuah autosomal
dominan dengan pola warisan penetrasi tidak lengkap berdasarkan analisis mereka.
Berbagai polimorfisme gen encoding TGF-1, 2 3 serta reseptor TGF telah dievaluasi,
tetapi tidak ada asosiasi signifikan secara statistik dengan keloid telah diidentifikasi.
Kemungkinan bahwa beberapa gen memberikan kerentanan terhadap perkembangan
keloid, dengan gen yang berbeda memberikan kontribusi bagi pembentukan keloid dalam
keluarga yang berbeda. Hal ini akan membuat identifikasi gen tertentu bermasalah. Satish
dkk. melaporkan data yang membandingkan profil ekspresi gen dari sejumlah kecil sampel
jaringan keloid dan kulit normal. Didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan ekspresi
kedua fibronektin dan rantai -1 tipe 1 protein kolagen yang umumnya terkait dengan
penyembuhan luka yang abnormal. Selain itu, isoform aktin beberapa orang atas disajikan
dalam fibroblast keloid. Menariknya, ada beberapa gen terkait apoptosis yang
menunjukkan ekspresi yang meningkat pada fibroblast keloid. Hal ini mendukung gagasan
bahwa disregulasi apoptosis dapat menyebabkan pembentukan keloid. Dari data yang ada
juga diketahui bahwa beberapa tumor yang berhubungan dengan gen yang ditemukan
dalam fibroblast keloid, terdapat peningkatan jumlah pada Protein Ribosomal 18 (RPS18)
yang merupakan protein penting untuk pertumbuhan sel Stat-3, lain onkogen yang terlibat
dalam proliferasi sel, juga telah dihubungkan dengan patogenesis keloid.
Keloid dapat dijelaskan sebagai suatu variasi dari penyembuhan luka. Pada suatu
luka, proses anabolik dan katabolik mencapai keseimbangan selama kurang lebih 6-8
minggu setelah suatu trauma. Pada stadium ini, kekuatan luka kurang lebih 30-40%
dibandingkan kulit sehat. Seiring dengan maturnya jaringan parut (skar), kekuatan
meregang dari skar juga bertambah sebagai akibat pertautan yang progresif dari serat
kolagen. Pada saat itu, skar akan nampak hiperemis dan mungkin menebal, tepi penebalan
ini akan berkurang secara bertahap selama beberapa bulan sampai menjadi datar, putih,
lemas, dapat diregangkan sebagai suatu skar yang matur. Jika terjadi ketidakseimbangan
antara fase anabolik dan katabolik dari proses penyembuhan, lebih banyak kolagen yang
diproduksi dari yang dikeluarkan, dan skar bertumbuh dari segala arah. Skar sampai
-
14
diatas permukaan kulit dan menjadi hiperemis. Skar yang meluas ini akan timbul sebagai
keloid dengan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: semua rangsang fibroplasia
yang berkelanjutan (infeksi kronik, benda asing dalam luka, tidak ada regangan setempat
waktu penyembuhan, regangan berlebihan pada pertautan luka), usia pertumbuhan, bakat,
ras dan lokasi (Gauglitz, 2011).
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis keloid dibuat berdasarkan gambaran klinis (penampakan kulit atau
jaringan parut):
a. Konsistensi keloid yang bervariasi dari lunak, seperti karet sampai keras.
b. Lesi awal biasanya kemerahan.
c. Lesi menjadi merah kecoklatan atau seperti warna daging.
d. Lesi biasanya tidak mengandung folikel rambut ataupun kelenjar adneksa lainnya)
Keloid memberikan gambaran klinik yang bervariasi. Kebanyakan lesi tumbuh
selama beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi ada pula yang tumbuh dalam
beberapa tahun. Pertumbuhan biasanya lambat, tetapi kadang-kadang melebar secara
cepat, menjadi 3 kali lebih lebar dalam beberapa bulan. Ada pula keloid yang berhenti
tumbuh, keloid tidak selalu memberikan gejala dan menjadi stabil. Keloid tumbuh
berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung
kambuh bila dilakukan intervensi bedah.
Keloid pada telinga, leher, dan abdomen biasanya bertangkai. Keloid pada daerah
tengah dada dan ekstremitas biasanya datar, dimana dasarnya lebih luas dari puncaknya.
Kebanyakan keloid berbentuk bulat, oval, atau persegi panjang dengan tepi reguler,
tetapi ada pula yang berbentuk seperti bekas cakaran dengan tepi yang irreguler.
Kebanyakan pasien datang dengan 1-2 keloid, tetapi ada juga dengan banyak keloid
seperti pada pasien yang keloid muncul akibat jerawat atau bekas cacar.
Keloid pada sendi dapat mengganggu pergerakan akibat kontraktur. Keloid tidak
pernah berubah menjadi keganasan dan hanya menimbulkan masalah kosmetik saja.
Frekuensi lokasi keloid pada orang Asia biasanya pada cuping telinga, ekstremitas atas,
leher, payudara, bahu, sternum, pinggang, dan wajah.
-
15
Perbedaan antara keloid dan parut hipertrofik :
Keloid Parut hipertrofik
Permulaan Mungkin timbul setelah
beberapa bulan, atau
satu-dua tahun
Timbul dalam waktu beberapa
minggu
Invasi Meluas ke daerah
kerusakan epitel
Terbatas pada kerusakan
Penyembuhan Tak ada regresi Hilang sendiri
Predileksi Strenum, bahu, pipi,
telinga, pinggang
Dapat timbul dimana pun
Ras/bangsa Terutama ras kulit gelap
atau hitam
Lebih banyak dari bangsa kulit
putih
Luka bakar Mungkin Sering
Gatal Jarang hebat Biasanya mengganggu
2.8 PENATALAKSANAAN
Berbagai macam terapi yang ada untuk keloid, dengan modalitas yang paling
umum digunakan ini, injeksi steroid intralesi, eksisi bedah, cryotherapy, terapi laser,
terapi radiasi dan penerapan lembaran gel silikon. Pengobatan lain yang telah digunakan
dengan tingkat keberhasilan variabel meliputi, Imiquimod, 5-FU, bleomycin, retinoid,
calcium channel blockers, mitomycin C dan interferon- 2b (Roblez, 2007).
a. Konservatif
Injeksi steroid
Keloid ditangani secara konservatif dengan penyuntikan sediaan
kortikosteroid intrakeloid yang diulang 2-3 minggu sekali sampai efek yang
diinginkan tercapai (Espana, 2011). Secara keseluruhan, modalitas ini memiliki
tingkat tinggi toleransi serta efektivitas dalam mengurangi gejala.
Triamcinolone acetonide (Kenalog, Bristol-Myers Squibb, Princeton, NJ)
biasanya digunakan pada konsentrasi 10 sampai 40 mg/ml, tergantung pada
ukuran dan lokasi lesi. Untuk lesi pada batang atau ekstremitas terapi biasanya
dimulai di 40 mg/ml dan kemudian dititrasi sesuai pada kunjungan berikutnya.
Beberapa suntikan pada interval bulanan umumnya dibutuhkan untuk keloid
-
16
yang lebih besar. Suntikan steroid intralesi membantu melembutkan dan
mengurangi gejala pruritus dan nyeri tekan.
Komplikasi dari penggunaan steroid intralesi meliputi, atrofi kulit, hipo-
atau hiperpigmentasi, dan pengembangan telangiectasias. Karena pasien
biasanya membutuhkan beberapa jarum suntik, terutama untuk lesi yang lebih
besar, beberapa penulis menganjurkan pra-perawatan dengan lidokain topikal
atau penambahan lidokain di suntik untuk membantu mengurangi rasa sakit pada
daerah yang akan disuntik. Triamcinolone acetonide telah ditunjukkan untuk
menghambat sintesis kolagen dan pertumbuhan fibroblast in vitro. Telah
dilaporkan bahwa perlakuan fibroblas dengan hasil asetonid triamsinolon dalam
pengurangan TGF- ekspresi dan peningkatan produksi bFGF. Injeksi steroid
intralesi mungkin tidak praktis untuk keloid yang sangat besar atau beberapa,
karena rasa sakit injeksi mungkin cukup besar dan ada kekhawatiran tambahan
karena dosis besar kortikosteroid.
Pengobatan Imiquimod
Imiquimod adalah imunomodulator topikal yang disetujui FDA untuk
pengobatan kutil genital dan perianal eksternal dan yang terbaru, untuk
pengobatan actinic keratosis. Obat ini bekerja melalui reseptor sitokin pro-
inflamasi, termasuk TNF- yang diketahui mengurangi produksi kolagen dalam
fibroblast. Setelah eksisi bedah, topikal krim Imiquimod 5 persen diterapkan
setiap malam ke garis jahitan dan sekitarnya dengan total 8 minggu. Gatal,
terbakar, sakit dan lecet adalah efek samping yang dilaporkan. Meskipun tidak
ada rekurensi yang dicatat, tindak lanjut dibatasi sampai 24 minggu. Dalam studi
lain kecil dan tidak terkontrol, terapi imiquimod setelah eksisi keloid delapan
daun telinga mengakibatkan kekambuhan 25 persen. Mengingat jumlah kecil
diobati dan kurangnya tindak lanjut jangka panjang, manfaat klinis Imiquimod
masih belum jelas.
5-Fluorourasil
5-Fluorourasil (5-FU) adalah analog pirimidin yang diubah secara
intraseluler pada substrat yang menyebabkan penghambatan sintesis DNA
dengan bersaing dengan penggabungan urasil. Tingkat peningkatan proliferasi
fibroblas terlihat pada keloidal menunjukkan bahwa 5-FU mungkin efektif dalam
membatasi pertumbuhan keloid. Namun, beberapa penelitian dalam literatur
menunjukkan bahwa keberhasilan secara keseluruhan tidak lebih baik dari
-
17
modalitas lain dan efek samping yang signifikan seperti ulserasi dan
hiperpigmentasi membuat topikal 5-FU kurang menarik. Penghambat utama
sistemik 5-FU adalah hubungannya dengan anemia, leukopenia dan
trombositopenia. Jadi, bahkan intralesi 5-FU harus dihindari pada wanita hamil
dan menyusui dan pasien dengan infeksi bersamaan atau penekanan sumsum
tulang.
Bleomycin
Bleomycin, sebuah agen kemoterapi digunakan pada kanker banyak, juga
telah menggunakan beberapa dermatologi. Bleomycin memiliki efek luas pada
tingkat sel, termasuk menghalangi siklus sel, DNA dan RNA merendahkan, dan
menghasilkan spesies oksigen reaktif. Hipopigmentasi dan telangiectasia adalah
komplikasi yang paling umum dari cryotherapy kombinasi dan triamcinolone.
Dalam tiga bulan masa tindak lanjut dilaporkan, tidak ada rekurensi [78].
Namun, seperti yang dinyatakan sebelumnya, tindak lanjut ini pendek mengingat
bahwa keloid bisa kambuh tahun setelah pengobatan. Studi-studi kecil
menunjukkan bleomycin mungkin memiliki potensi terapi dalam mengobati
keloid, namun ada kebutuhan untuk percobaan yang lebih besar yang
mempekerjakan lebih metodologi ketat.
b. Pembedahan
Eksisi bedah
Eksisi bedah dari keloid harus dilakukan dengan perhatian khusus karena tingkat
kekambuhan tinggi. Eksisi bedah mungkin memuaskan, memberikan koreksi
kosmetik segera. Namun, eksisi yang sering menyebabkan bekas luka lama dan
potensi untuk keloid lebih besar pada saat terjadi kekambuhan. Terapi adjuvant
seperti pasca-Excisional injeksi steroid harus dipertimbangkan. Beberapa laporan
awal menunjukkan Imiquimod topikal sebagai berikut eksisi tambahan, tetapi jangka
panjang data tindak lanjut masih kurang. Ada juga data yang menunjukkan manfaat
dari C Mitomycin topikal sebagai tambahan untuk eksisi bedah, namun ini juga
penelitian kecil dengan jangka pendek tindak lanjut. Serangkaian kasus kecil dari
empat pasien melaporkan hasil yang lebih unggul ketika kolagen glikosaminoglikan
kopolimer neodermis (Integra) ditempatkan pada saat eksisi dan cangkok kulit
ditunda selama beberapa minggu.
Hasil bedah terbaik dilihat dengan penutupan tepi luka yang sangat baik,
menggabungkan ketegangan minimal dengan eversi maksimal dan memastikan
-
18
sayatan dibuat sepanjang garis ketegangan kulit santai. Pasien dengan riwayat
pembentukan parut keloid atau hipertropik sebaiknya menghindari prosedur elektif
operasi atau kosmetik untuk menghindari risiko keloid masa depan.
Cryotherapy
Cryotherapy telah digunakan untuk lesi yang lebih kecil, namun penggunaannya
dibatasi oleh rasa sakit dan kadang-kadang lama pengobatan penyembuhan berikut .
Karena banyak perawatan sering diperlukan, risiko untuk hipopigmentasi dalam
berkulit gelap pasien adalah kelemahan signifikan. Cryotherapy telah dilaporkan untuk
mengubah sintesis kolagen dan menginduksi diferensiasi fibroblas keloidal menuju
fenotip yang lebih normal. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan cryotherapy
hanya sebelum injeksi steroid untuk menginduksi edema dan dengan demikian
memfasilitasi injeksi streroid. Digunakan nitroge liquid yang mempengaruhi
mikrovaskularisasi dan menyebabkan kerusakan sel melalui kristal intrasel yang
mengakibatkan anoksia sel. Penggunaan krioterapi tanpa modalitas tanpa modalitas
terapi yang lain menghasilkan resolusi tanpa rekurensi pada 51-74% pasien setelah 30
bulan observasi (Kelly, 2004).
c. Radioterapi
Beberapa studi menggunakan terapi radiasi sebagai tambahan untuk eksisi
bedah telah dilaporkan, tetapi kurangnya rejimen standar membuat perbandingan
antara studi sulit. Berbagai teknik dapat ditemukan dalam literatur, termasuk dangkal
x-ray, berkas elektron, dan tingkat rendah atau dosis tinggi brachytherapy. Pasca
Excisional radioterapi biasanya digunakan segera setelah eksisi bedah. Ketika
dikombinasikan dengan eksisi, tingkat keberhasilan lebih tinggi, antara 65 sampai 99
persen. Efek samping dari terapi radiasi termasuk eritema sementara dan
hiperpigmentasi. Risiko karsinogenesis dari terapi radiasi keloid kemungkinan
menjadi sangat rendah, terutama dengan teknik modern.
d. Laser
Penggunaan laser untuk ablasi keloid dianggap kurang bermanfaat.
Penggunaan karbon dioksida dan argon laser mempunyai tingkat kekambuhan 90
persen. Flashlamp pulsed-dye laser dikaitkan dengan penurunan TGF-1 dan up-
regulasi dari metaloproteinase MMP-13, penekanan proliferasi fibroblast keloidal serta
induksi apoptosis. Penggunaan Nd: YAG laser sebagai monoterapi atau dalam
hubungannya dengan injeksi triamcinolone intralesi telah menunjukkan beberapa hasil
menjanjikan dengan persentase yang besar dari pasien keloid.
-
19
e. Silicone Gel Dressing
Silicone gel dressing adalah modalitas pengobatan non-invasif dan relatif murah
tambahan untuk keloid. Baru-baru ini, sebuah panel ahli internasional
direkomendasikan silikon terapi gel sheet sebagai profilaksis baris pertama setelah
eksisi bedah. Ketika digunakan setelah eksisi bedah, 70-80 persen dari keloid dan bekas
luka hipertrofik tidak muncul kembali. Lembaran gel memberikan penghalang oklusif
dan tampaknya melunakkan bekas luka dengan meningkatkan hidrasi dan memiliki
pengaruh yang signifikan dalam mengurangi eritema, nyeri dan gatal-gatal . Setelah
eksisi bedah lembaran silikon gel diterapkan segera setelah kembali epitelisasi dicapai
dan dipakai paling sedikit 12 jam per hari. Lembar digunakan sekitar 10-12 hari dan
dapat dicuci dan digunakan kembali.
2.9 KOMPLIKASI
a. Trauma pada keloid dapat menyebabkan erosi lesi dan menjadi sarang infeksi
bakteri.
b. Rekurensi
c. Stress psikologik jika keloid sangat luas dan menimbulkan cacat.
2.10 PENCEGAHAN
Pasien dengan keloid sebelumnya atau riwayat keluarga keloid mempunyai
peningkatan risiko untuk mengembangkan bekas luka yang abnormal. Pasien-pasien ini
harus diberi konseling terhadap tindakan menindik tubuh dan harus menghindari prosedur
kosmetik elektif dengan risiko untuk jaringan parut. Sebagaimana dibahas di atas, luka
harus ditutup dengan ketegangan minimal dan penggunaan tindakan-tindakan adjunctive
setelah eksisi bedah termasuk penggunaan lembaran gel silikon dapat mengurangi
kekambuhan.
-
20
PEMBAHASAN
Dari anamnesis didapatkan bahwa dengan keluhan terdapat benjolan pada
punggung, lengan dan wajah, benjolan disertai dengan rasa gatal namun tidak nyeri. Awal
terdapat benjolan sejak 15 tahun yang lalu pertama kali muncul pada bekas jerawat
kemudian muncul pada punggung dan lengan yang diakibatkan oleh bekas luka akibat
kecelakaan/trauma dan adapun benjolan yang tiba-tiba muncul tanpa diketahui
penyebabnya. Benjolan awalnya terasa keras namun setelah beberapa kali kontrol dan
mendapat suntikan benjolan menjadi lunak, benjolan awalnya berwarna kemerahan dan
kemudian berubah menjadi berwarna coklat, benjolan berukuran sekitar 1x0,5x1 cm
namun bervariasi pada setiap area dan terdapat benjolan yang melebar namun ada pula
yang bentuknya tidak berubah. Pasien merasa tidak nyaman dengan adanya benjolan
tersebut. Pasien rutin kontrol berobat untuk melakukan injeksi pada lesinya pada
keluarga pasien tidak ada anggota keluarga pasien yang mempunyai keluhan serupa.
Pasien tidak punyak riwayat alergi demikian juga pada keluarganya. Lesi pada kulit
bersifat kronik dimana faktor yang menjadi pencetusnya adalah luka akibat trauma dan
bisa pula bakat/genetik.
Dari status generalis tidak terdapat kelainan. Dari status dermatologis terdapat lesi
pada punggung, lengan dan wajah dengan efloresensi nodular, sikatrik hipertrofik dan
hyperpigmentasi. Dari gambaran klinis diatas dapat menunjang diagnosis kearah keloid.
Pengobatan medikamentosa pada pasien diberikan adalah untuk obat oral
diberikan CTM 4 mg/hari untuk mengurangi rasa gatal dan untuk benjolan diberikan
triamsinolone acetonide intralesi 1 mg (0,1 ml) per 1 minggu pada lesi, sampai lesi terjadi
atrofi untuk pengobatan non-medikamentosa pasien dianjurkan untuk jangan
menggaruk lesi, jangan melakukan tindakan (body piercing), usahakan proteksi tubuh
agar tidak terjadi luka dan hindari prosedur-prosedur medis invasif yang bersifat elektif
yang dapat menimbulkan luka. Prognosis keloid baik karena benjolan berukuran kecil
dan tidak semua benjolan berubah melebar, hanya menyerang sedikit bagian tubuh dan
terdapat perubahan setelah diberikan injeksi intralesi.
-
21
DAFTAR PUSTAKA
Alphonso, Marline. 2010. Hypertrophic scarring. Diakses dari
www.buzzle.com/articles/hypertrophic-scarring.html
Arinudh. 2011. Hypertrophyc Scar-Causes, Treatment and Removal. Diakses dari
www.primehealthchannel.com
Berman, Brian. 2010. Keloid and Hypertrophic Scar. Diakses dari www.medscape-
medline.com
Chiu,HY., Tsai TF., 2011. Keloidal Morphea. The New England Journal of
Medicine 364;14 edisi 28
Espana. A,. et al. 2001. Bleomycin in the Treatment of Keloid an Hypertrophic
Scars by Multiple needle Punctures. Dermatol Surg. pp. 23 27
Gauglitz, Gerd, et al. 2011. Hypertrophic Scarring and Keloids: Pathomechanisms
and Current and Emerging Treatment Strategies. Mol Med. Pp. 113 126
Ishihara,H., Yoshimoto H., Fujiko M., Murakami, R., Hirano A., Fujii T., Ohtsuru
A. Namba H., Yamashita S. 2000. Keloid Fibroblasts Resist Ceramide-
Induced Apoptosis by Overexpression of Insulin-Like Growth Factor I
Receptor. Department of Plastic and Reconstructive Surgery Medicine,
Japan. Pp: 1065-1070
Kokoska, Mimi. 2010. Keloid and Hypertrophic Scar. Diakses dari
www.medscape-medline.com
Kelly. A,. 2004. Medical and surgical therapies for keloids. Dermatologic Therapy.
Pp. 212 218
-
22
Patel R., Papaspyros SC., Javangula kC., Nair U., 2010. Presentation and
management of keloid scarring following median sternotomy: a case study.
Journal of Cardiothoracic Surgery 2010, 5:122
Robles, DT., Moore, E., Draznin M., Berg D. 2007. Keloids : Pathopysiology and
Management. Dermatology Online Journal 13 (3):9
Studdiford J., Stonehouse A., Altshuler A., Rinzler E. 2008. The Management of
Keloids: Hands-On Versus Hands-Off. Journal American Board Family
Medicine 21:149 152
Thielitz A., Vetter RW., Schultze B., Wrenger S, Simeoni L, Ansorge L,Neubert
K, Faust J, Lindenlaub P, Gollnick HPM., Reinhold D. 2008. Inhibitors of
Dipeptidyl Peptidase IV-Like Activity Mediate Antifibrotic Effects in
Normal and Keloid-Derived Skin Fibroblasts. Journal of Investigative
Dermatology 128, 855866
Thompson. Lester,. 2001. Skin Keloid. ENT Journal.
Vincent AS., Phan TT.,,Mukhopadhyay A., Lim HY., Halliwell B., Wong KP.
2008. Human Skin Keloid Fibroblasts Display Bioenergetics of Cancer
Cells Jurnal of Investigative Dermatology.Volume 128
Wolfram. Dolores, 2009. Hypertrophic Scars and Keloids - A Review of Their
Pathophysiology, Risk Factors, and Therapeutic Management. American
Society for Dermatologic Surgery. pp. 171 181