Keloid

22
1 BAB I STATUS PASIEN Pemeriksa : Arizal Robbi Nugraha Tanggal Periksa : 17 Februari 2015 Perceptor : dr. S. Windayati Hapsoro, Sp.KK IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. A Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Kendal Umur : 19 Tahun Pekerjaan : Karyawan Pendidikan terakhir : SMA Agama : Islam Suku : Jawa Status : Belum Menikah RIWAYAT PASIEN Keluhan Utama : Benjolan pada punggung, lengan dan wajah. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT Pasien datang ke RSUD DR. ADHYATMA, MPH diantar oleh keluarganya dengan keluhan terdapat benjolan pada punggung, lengan dan wajah, benjolan disertai dengan rasa gatal namun tidak nyeri. Awal terdapat benjolan sejak 15 tahun yang lalu pertama kali muncul pada bekas jerawat kemudian muncul pada punggung dan lengan yang diakibatkan oleh bekas luka akibat kecelakaan/trauma dan adapun benjolan yang tiba- tiba muncul tanpa diketahui penyebabnya. Benjolan awalnya terasa keras namun setelah beberapa kali kontrol dan mendapat suntikan benjolan menjadi lunak, benjolan awalnya berwarna kemerahan dan kemudian berubah menjadi berwarna coklat, benjolan berukuran sekitar 1x0,5x1 cm namun bervariasi pada setiap area dan terdapat benjolan yang melebar namun ada pula yang bentuknya tidak berubah. Pasien merasa tidak nyaman dengan adanya benjolan tersebut.

description

Stase Kulit

Transcript of Keloid

  • 1

    BAB I

    STATUS PASIEN

    Pemeriksa : Arizal Robbi Nugraha

    Tanggal Periksa : 17 Februari 2015

    Perceptor : dr. S. Windayati Hapsoro, Sp.KK

    IDENTITAS PASIEN

    Nama : Tn. A

    Jenis Kelamin : Laki-laki

    Alamat : Kendal

    Umur : 19 Tahun

    Pekerjaan : Karyawan

    Pendidikan terakhir : SMA

    Agama : Islam

    Suku : Jawa

    Status : Belum Menikah

    RIWAYAT PASIEN

    Keluhan Utama : Benjolan pada punggung, lengan dan wajah.

    RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT

    Pasien datang ke RSUD DR. ADHYATMA, MPH diantar oleh keluarganya dengan

    keluhan terdapat benjolan pada punggung, lengan dan wajah, benjolan disertai dengan

    rasa gatal namun tidak nyeri. Awal terdapat benjolan sejak 15 tahun yang lalu pertama

    kali muncul pada bekas jerawat kemudian muncul pada punggung dan lengan yang

    diakibatkan oleh bekas luka akibat kecelakaan/trauma dan adapun benjolan yang tiba-

    tiba muncul tanpa diketahui penyebabnya. Benjolan awalnya terasa keras namun setelah

    beberapa kali kontrol dan mendapat suntikan benjolan menjadi lunak, benjolan awalnya

    berwarna kemerahan dan kemudian berubah menjadi berwarna coklat, benjolan

    berukuran sekitar 1x0,5x1 cm namun bervariasi pada setiap area dan terdapat benjolan

    yang melebar namun ada pula yang bentuknya tidak berubah. Pasien merasa tidak

    nyaman dengan adanya benjolan tersebut.

  • 2

    RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

    Riwayat Hypertensi : Disangkal

    Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal

    Riwayat Asma : Disangkal

    Riwayat Alergi obat/makanan : Disangkal

    Riwayat sakit kulit lain : Disangkal

    Riwayat sakit kelamin : Disangkal

    RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

    Pada keluarga pasien tidak terdapat anggota keluarga yang mempunyai keluhan

    serupa.

    RIWAYAT SOSIAL-EKONOMI

    Penderita belum menikah dan sekarang bekerja sebagai karyawan disalah satu

    perusahaan swasta. Riwayat merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol

    disangkal. Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh BPJS. Kesan ekonomi pasien baik.

    RIWAYAT PENGOBATAN

    Penderita rutin kontrol di RSUD DR. ADHYATMA, MPH.

    PEMERIKSAAN FISIK

    Keadaan Umum : Tampak sakit ringan.

    Kesadaran : Composmentis

    GCS : E4M5V6

    Vital Sign TD/N/R/S : 110/70/80/24/37

    Status Generalis

    Kepala

    Rambut : Alopesia (-/-)

    Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-)

    Telinga : Sulit dinilai

    Hidung : Secret (-/-)

    Mulut : Mukosa basah, lidah bersih

  • 3

    Leher

    Pembesaran KGB : (-)

    Simetrisitas : Simetris

    Pembesaran Tiroid : (-)

    JVP : Sulit dinilai

    Thoraks

    Cor

    Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat

    Palpasi : Ictus kordis tidak teraba

    Perkusi : Pekak, batas normal tidak terdapat pembesaran jantung

    Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

    Pulmo

    Inspeksi : Simetris

    Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan

    Perkusi : Sonor

    Auskultasi : VBS KA:KI (+/+), ronkhi (-), whezzing (-)

    Abdomen

    Inspeksi : Datar

    Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan

    Perkusi : Timpani, batas normal tidak terdapat pembesaran organ

    Auskultasi : BU (-)

    Ektremitas

    Inspeksi : Batas normal tidak terdapat kelainan.

  • 4

    Status Dermatologi

    Lokasi : Punggung

    Efloresensi : Nodular, Sikatrik hipetrofik (keloid), hyperpigmentasi

    (Gambar 1. Keloid pada daerah punggung)

  • 5

    Lokasi : Lengan

    Efloresensi : Nodular, Sikatrik hipetrofik (keloid), hyperpigmentasi

    (Gambar 2. Keloid pada daerah lengan)

  • 6

    Lokasi : Wajah

    Efloresensi : Nodular, Sikatrik hipetrofik (keloid), hyperpigmentasi

    (Gambar 3. Keloid pada daerah wajah)

  • 7

    Diagnosis Banding :

    1. Keloid

    2. Parut hypertrofik

    3. Fibroma

    4. Neuroma

    Resume

    Pasien laki-laki, berumur 19 tahun datang ke RSUD DR. ADHYATMA, MPH dengan

    keluhan terdapat benjolan pada punggung, lengan dan wajah, benjolan disertai dengan

    rasa gatal namun tidak nyeri. Awal terdapat benjolan sejak 15 tahun yang lalu pertama

    kali muncul pada bekas jerawat kemudian muncul pada punggung dan lengan yang

    diakibatkan oleh bekas luka akibat kecelakaan/trauma dan benjolan yang tiba-tiba

    muncul tanpa diketahui penyebabnya. Benjolan terasa lunak, berwarna coklat, benjolan

    berukuran sekitar 1x0,5x1 cm namun bervariasi pada setiap area. Riwayat penyakit yang

    sama dalam keluarga tidak ada. Riwayat pengobatan rutin kontrol di RSUD DR.

    ADHYATMA, MPH.

    Status generalis ; Dalam batas normal

    Status Dermatologi ;

    Lokasi : Punggung

    Efloresensi : Nodular, Sikatrik hipetrofik (keloid), hyperpigmentasi

    Lokasi : Lengan

    Efloresensi : Nodular, Sikatrik hipetrofik (keloid), hyperpigmentasi

    Lokasi : Wajah

    Efloresensi : Nodular, Sikatrik hipetrofik (keloid), hyperpigmentasi

    Diagnosis Kerja :

    Keloid

    Penatalaksanaan :

    1. Medikamentosa

    CTM PO 4 mg/hari

    Triamsinolone acetonide intralesi 1 mg (0,1 ml) per 1 minggu pada lesi, sampai

    lesi terjadi atrofi

    2. Non-medikamentosa

    Jangan menggaruk lesi

  • 8

    Jangan melakukan tindakan (body piercing)

    Usahakan proteksi tubuh agar tidak terjadi luka

    Hindari prosedur-prosedur medis invasif yang bersifat elektif yang dapat

    menimbulkan luka

    Prognosis :

    Quo ad. vitam : Bonam

    Quo ad. fungsinal : Bonam

    Quo ad. sanationam : Bonam

  • 9

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    KELOID

    2.1 DEFINISI

    Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan proliferatif)

    yang muncul di atas kulit yang mengalami trauma atau di atas luka operasi dan tidak

    sesuai dengan beratnya trauma, tidak dapat sembuh secara spontan serta dapat berulang

    setelah dilakukan eksisi (Thompson, 2001). Keloid juga dapat didefinisikan sebagai

    pertumbuhan jinak dari jaringan fibrosa padat, yang berkembang dari respon abnormal

    terhadap penyembuhan cedera kulit, yang meluas keluar dari perbatasan asli luka atau

    respon inflamasi.

    Secara klinis, keloid berbentuk nodul, berwarna ato hypopigmentasi, atau bersifat

    eritematosa sekunder untuk telangiectasias. Keloid terjadi paling umum pada bagian

    dada, bahu, punggung atas, belakang leher dan telinga (Roblez, 2007).

    (Gambar 1. Keloid)

    Harus dibedakan antara istilah keloid dan parut hipertropik. Pada parut hipertropik,

    besar parut masih sesuai dengan lukanya, tidak pernah melewati batas tepi luka dan pada

    suatu saat akan mengalami fase maturasi. Parut hipertropik juga dapat sembuh secara

    spontan dalam 12-18 bulan meskipun tidak komplit. Sedangkan pada keloid, parut

    melampaui batas tepi luka tetapi jarang meluas sampai ke jaringan subkutan, aktif dan

    menunjukkan tanda-tanda radang seperti kemerahan, gatal dan nyeri ringan. Jika keloid

    bersifat multipel atau berulang maka disebut keloidosis (Gauglitz, 2011).

  • 10

    2.2 EPIDEMIOLOGI

    Kebanyakan orang tidak pernah memiliki keloid. Untuk alasan yang tidak

    diketahui, keloid terjadi lebih sering di antara kulit hitam, Hispanik dan Asia dan jarang

    di Kaukasia . Dilaporkan sekitar 16% orang afrika hitam menderita keloid, sedangkan

    orang kulit putih dan albino sangat sedikit yang menderita keloid (Cohly, 2002). Keloid

    juga dilaporkan lebih banyak pada wanita muda dibandingkan pria muda. Namun, tanpa

    menggolongkan umur, prevalensi keloid antara pria dan wanita adalah sama. Menurut

    umur, keloid sering terjadi pada kelompok umur 10-30 ahun (dewasa muda) dan jarang

    terjadi pada usia tua (Cohly, 2002). Keloid juga sering timbul pada penderita yang

    mengalami luka bakar parah dan di lokasi vaksinasi.

    2.3 ETIOLOGI

    Penyebab pasti tidak diketahui, tidak ada gen khusus yang diidentifikasi sebagai

    penyebab berkembangnya suatu keloid, meskipun peningkatan prevalensi keloid

    berhubungan dengan peningkatan pigmentasi kulit yang menunjukkan adanya pengaruh

    genetik. Keloid dihubungkan secara genetik dengan HLA-B14, HLA-B21, HLA-Bw16,

    HLA-Bw35, HLA-DR5, HLA-DQw3, dan golongan darah A. Transmisi dilaporkan

    secara autosom dominan dan autosom resesif. Keloid dapat disebabkan oleh insisi bedah,

    luka, penyuntikan vaksinasi (BCG), luka bakar, bekas jerawat, setelah cacar, gigitan

    serangga, pemakaian anting (Wolfram, 2009).

    2.4 ANATOMI DAN FISIOLOGI

    Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari

    lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15%

    berat bada. Kulit merupakan organ yang paling esensial dan vital serta merupakan cermin

    kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangan kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi

    pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Gauglitz,

    2011).

  • 11

    (Gambar 2. Anatomi Kulit)

    Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu:

    a. Lapisan epidermis atau kutikel, terdiri ata: stratum korneum, stratum lusidum, stratu

    m granulosum, stratum spinosum dan stratum basale (terdiri atas dua jenis sel : sel-se

    l kolumner dan sel pembentuk melanin).

    b. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin). Secara garis besar dibagi menjadi dua

    bagian, yakni : pars papillare dan pars retikulare.

    c. Lapisan subkutis (hipodermis) adalah kelanjuta dermis, terdiri atas jaringan ikat long

    gar berisi sel-sel lemak di dalamnya.

    Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di bagian a

    tas dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda). Pleksu

    s yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus yang di s

    ubkutis dan di pars papillare juga mengadakan anastomosis, di bagian ini pembuluh dar

    ah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah

    bening.

    Fungsi utama kulit adalah fungsi proteksi (pelindung terhadap cedera fisik, kekeri

    ngan, zat kimia, kuman penyakit dan radiasi), absorpsi, ekskresi, persepsi (faal perasa d

    an peraba yang dijalankan oleh ujung saraf sensoris Vater paccini, Meisner, Krause, dan

    Ruffini yang terdapat di dermis), pengaturan suhu tubuh (termoregulasi akibat adanya ja

    ringan kapiler yang luas di dermis, adanya lemak subkutan, dan kelenjar keringat), pem

    bentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan keratinisasi.

  • 12

    2.5 GAMBARAN HISTOLOGI KELOID

    Pada pemeriksaan histologis keloid, ditemukan kolagen dengan jumlah yang me

    ningkat dan deposisi glikosaminoglikan, kedua komponen utama matriks ekstraselular. K

    olagen pada keloid terdiri dari penebalan whorls dari bundel kolagen hyalinized dalam a

    rray yang serampangan, yang dikenal sebagai kolagen keloidal (Roblez, 2007). Hal ini b

    erbeda untuk bekas luka normal di mana berkas-berkas kolagen sejajar berorientasi pada

    permukaan kulit.

    2.6 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

    Patogenesis keloid secara jelas masih belum diketahui, tetapi merupakan

    peristiwa yang kompleks dan melibatkan faktor genetik dan lingkungan. Kondisi

    inflamasi kulit seperti akne vulgaris, folikulitis, infeksi varicella, atau vaksinasi (terutama

    vaksinasi BCG) dapat menyebabkan pembentukan keloid. Keloid paling sering terjadi

    dalam pengaturan penyembuhan luka bedah atau non-bedah (misalnya, laserasi dan

    penusukan daun telinga). Keloid berkembang dalam beberapa bulan setelah luka atau

    proses inflamasi, dan dapat berkembang lebih pesat, keluar dari batas luka setahun

    kemudian. Ekspresi menyimpang dari berbagai faktor pertumbuhan dan reseptor

    diperlihatkan melalui fibroblas. Misalnya, fibroblas keloidal ditunjukkan untuk lebih

    mengekspresikan faktor pertumbuhan: VEGF, TGF-1, TGF-2, CTGF, serta PDGF-

    reseptor. Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa TGF-1 berperan sebagai patogenesis

    jaringan parut abnormal dan banyak penelitian difokuskan pada jalur ini. Sebuah studi

    terbaru oleh Capaner dkk. melaporkan bahwa ekspresi lebih dari TGF-1 merupakan

    komponen penting dalam pembentukan keloid. Tetapi bukan merupakan faktor utama

    atau independen, karena keloid juga merupakan adalah proses multifaktorial. Dalam

    sebuah penelitian, fibroblas keloidal ditemukan memiliki tingkat yang lebih rendah dari

    apoptosis, diduga terkait dengan peraturan turun-apoptosis gen terkait. Dibandingkan

    dengan fibroblas dermal yang normal, fibroblas pada keloid menunjukkan peningkatan

    produksi kolagen dan matriks metalloproteinase (Roblez, 2007).

    Saat proses penyembuhan luka harus ada keseimbangan antara produksi kolagen

    yang meningkat dan kerusakan jaringan yang difasilitasi oleh metaloproteinase matriks.

    Bekas luka yang normal memiliki mekanisme umpan balik negatif, dimana fibroblas

    berfungsi untuk memperbaiki cacat kulit tetapi aktivitas mereka juga dihambat untuk

    mencegah perbaikan yang berlebihan. Dalam hal ini, fibroblas berasal dari bekas luka

    matang mampu menekan proliferasi in-vitro yang dapat menyebabkan jaringan parut

  • 13

    patologis. Hal ini menunjukkan mekanisme umpan balik negatif fibroblas keloidal yang

    pada akhirnya mengakibatkan pembentukan parut yang mempunyai kecenderungan untuk

    kambuh.

    Sampai saat ini, tidak ada gen tertentu telah dikaitkan dengan perkembangan

    keloid. Sebagian besar kasus terjadi secara sporadis, meskipun temuan dari sejarah

    keluarga yang positif adalah hal yang biasa. Marneros dan rekannya mempelajari empat

    belas keluarga dengan anggota yang terkena dampak ganda dan berasal sebuah autosomal

    dominan dengan pola warisan penetrasi tidak lengkap berdasarkan analisis mereka.

    Berbagai polimorfisme gen encoding TGF-1, 2 3 serta reseptor TGF telah dievaluasi,

    tetapi tidak ada asosiasi signifikan secara statistik dengan keloid telah diidentifikasi.

    Kemungkinan bahwa beberapa gen memberikan kerentanan terhadap perkembangan

    keloid, dengan gen yang berbeda memberikan kontribusi bagi pembentukan keloid dalam

    keluarga yang berbeda. Hal ini akan membuat identifikasi gen tertentu bermasalah. Satish

    dkk. melaporkan data yang membandingkan profil ekspresi gen dari sejumlah kecil sampel

    jaringan keloid dan kulit normal. Didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan ekspresi

    kedua fibronektin dan rantai -1 tipe 1 protein kolagen yang umumnya terkait dengan

    penyembuhan luka yang abnormal. Selain itu, isoform aktin beberapa orang atas disajikan

    dalam fibroblast keloid. Menariknya, ada beberapa gen terkait apoptosis yang

    menunjukkan ekspresi yang meningkat pada fibroblast keloid. Hal ini mendukung gagasan

    bahwa disregulasi apoptosis dapat menyebabkan pembentukan keloid. Dari data yang ada

    juga diketahui bahwa beberapa tumor yang berhubungan dengan gen yang ditemukan

    dalam fibroblast keloid, terdapat peningkatan jumlah pada Protein Ribosomal 18 (RPS18)

    yang merupakan protein penting untuk pertumbuhan sel Stat-3, lain onkogen yang terlibat

    dalam proliferasi sel, juga telah dihubungkan dengan patogenesis keloid.

    Keloid dapat dijelaskan sebagai suatu variasi dari penyembuhan luka. Pada suatu

    luka, proses anabolik dan katabolik mencapai keseimbangan selama kurang lebih 6-8

    minggu setelah suatu trauma. Pada stadium ini, kekuatan luka kurang lebih 30-40%

    dibandingkan kulit sehat. Seiring dengan maturnya jaringan parut (skar), kekuatan

    meregang dari skar juga bertambah sebagai akibat pertautan yang progresif dari serat

    kolagen. Pada saat itu, skar akan nampak hiperemis dan mungkin menebal, tepi penebalan

    ini akan berkurang secara bertahap selama beberapa bulan sampai menjadi datar, putih,

    lemas, dapat diregangkan sebagai suatu skar yang matur. Jika terjadi ketidakseimbangan

    antara fase anabolik dan katabolik dari proses penyembuhan, lebih banyak kolagen yang

    diproduksi dari yang dikeluarkan, dan skar bertumbuh dari segala arah. Skar sampai

  • 14

    diatas permukaan kulit dan menjadi hiperemis. Skar yang meluas ini akan timbul sebagai

    keloid dengan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: semua rangsang fibroplasia

    yang berkelanjutan (infeksi kronik, benda asing dalam luka, tidak ada regangan setempat

    waktu penyembuhan, regangan berlebihan pada pertautan luka), usia pertumbuhan, bakat,

    ras dan lokasi (Gauglitz, 2011).

    2.7 DIAGNOSIS

    Diagnosis keloid dibuat berdasarkan gambaran klinis (penampakan kulit atau

    jaringan parut):

    a. Konsistensi keloid yang bervariasi dari lunak, seperti karet sampai keras.

    b. Lesi awal biasanya kemerahan.

    c. Lesi menjadi merah kecoklatan atau seperti warna daging.

    d. Lesi biasanya tidak mengandung folikel rambut ataupun kelenjar adneksa lainnya)

    Keloid memberikan gambaran klinik yang bervariasi. Kebanyakan lesi tumbuh

    selama beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi ada pula yang tumbuh dalam

    beberapa tahun. Pertumbuhan biasanya lambat, tetapi kadang-kadang melebar secara

    cepat, menjadi 3 kali lebih lebar dalam beberapa bulan. Ada pula keloid yang berhenti

    tumbuh, keloid tidak selalu memberikan gejala dan menjadi stabil. Keloid tumbuh

    berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung

    kambuh bila dilakukan intervensi bedah.

    Keloid pada telinga, leher, dan abdomen biasanya bertangkai. Keloid pada daerah

    tengah dada dan ekstremitas biasanya datar, dimana dasarnya lebih luas dari puncaknya.

    Kebanyakan keloid berbentuk bulat, oval, atau persegi panjang dengan tepi reguler,

    tetapi ada pula yang berbentuk seperti bekas cakaran dengan tepi yang irreguler.

    Kebanyakan pasien datang dengan 1-2 keloid, tetapi ada juga dengan banyak keloid

    seperti pada pasien yang keloid muncul akibat jerawat atau bekas cacar.

    Keloid pada sendi dapat mengganggu pergerakan akibat kontraktur. Keloid tidak

    pernah berubah menjadi keganasan dan hanya menimbulkan masalah kosmetik saja.

    Frekuensi lokasi keloid pada orang Asia biasanya pada cuping telinga, ekstremitas atas,

    leher, payudara, bahu, sternum, pinggang, dan wajah.

  • 15

    Perbedaan antara keloid dan parut hipertrofik :

    Keloid Parut hipertrofik

    Permulaan Mungkin timbul setelah

    beberapa bulan, atau

    satu-dua tahun

    Timbul dalam waktu beberapa

    minggu

    Invasi Meluas ke daerah

    kerusakan epitel

    Terbatas pada kerusakan

    Penyembuhan Tak ada regresi Hilang sendiri

    Predileksi Strenum, bahu, pipi,

    telinga, pinggang

    Dapat timbul dimana pun

    Ras/bangsa Terutama ras kulit gelap

    atau hitam

    Lebih banyak dari bangsa kulit

    putih

    Luka bakar Mungkin Sering

    Gatal Jarang hebat Biasanya mengganggu

    2.8 PENATALAKSANAAN

    Berbagai macam terapi yang ada untuk keloid, dengan modalitas yang paling

    umum digunakan ini, injeksi steroid intralesi, eksisi bedah, cryotherapy, terapi laser,

    terapi radiasi dan penerapan lembaran gel silikon. Pengobatan lain yang telah digunakan

    dengan tingkat keberhasilan variabel meliputi, Imiquimod, 5-FU, bleomycin, retinoid,

    calcium channel blockers, mitomycin C dan interferon- 2b (Roblez, 2007).

    a. Konservatif

    Injeksi steroid

    Keloid ditangani secara konservatif dengan penyuntikan sediaan

    kortikosteroid intrakeloid yang diulang 2-3 minggu sekali sampai efek yang

    diinginkan tercapai (Espana, 2011). Secara keseluruhan, modalitas ini memiliki

    tingkat tinggi toleransi serta efektivitas dalam mengurangi gejala.

    Triamcinolone acetonide (Kenalog, Bristol-Myers Squibb, Princeton, NJ)

    biasanya digunakan pada konsentrasi 10 sampai 40 mg/ml, tergantung pada

    ukuran dan lokasi lesi. Untuk lesi pada batang atau ekstremitas terapi biasanya

    dimulai di 40 mg/ml dan kemudian dititrasi sesuai pada kunjungan berikutnya.

    Beberapa suntikan pada interval bulanan umumnya dibutuhkan untuk keloid

  • 16

    yang lebih besar. Suntikan steroid intralesi membantu melembutkan dan

    mengurangi gejala pruritus dan nyeri tekan.

    Komplikasi dari penggunaan steroid intralesi meliputi, atrofi kulit, hipo-

    atau hiperpigmentasi, dan pengembangan telangiectasias. Karena pasien

    biasanya membutuhkan beberapa jarum suntik, terutama untuk lesi yang lebih

    besar, beberapa penulis menganjurkan pra-perawatan dengan lidokain topikal

    atau penambahan lidokain di suntik untuk membantu mengurangi rasa sakit pada

    daerah yang akan disuntik. Triamcinolone acetonide telah ditunjukkan untuk

    menghambat sintesis kolagen dan pertumbuhan fibroblast in vitro. Telah

    dilaporkan bahwa perlakuan fibroblas dengan hasil asetonid triamsinolon dalam

    pengurangan TGF- ekspresi dan peningkatan produksi bFGF. Injeksi steroid

    intralesi mungkin tidak praktis untuk keloid yang sangat besar atau beberapa,

    karena rasa sakit injeksi mungkin cukup besar dan ada kekhawatiran tambahan

    karena dosis besar kortikosteroid.

    Pengobatan Imiquimod

    Imiquimod adalah imunomodulator topikal yang disetujui FDA untuk

    pengobatan kutil genital dan perianal eksternal dan yang terbaru, untuk

    pengobatan actinic keratosis. Obat ini bekerja melalui reseptor sitokin pro-

    inflamasi, termasuk TNF- yang diketahui mengurangi produksi kolagen dalam

    fibroblast. Setelah eksisi bedah, topikal krim Imiquimod 5 persen diterapkan

    setiap malam ke garis jahitan dan sekitarnya dengan total 8 minggu. Gatal,

    terbakar, sakit dan lecet adalah efek samping yang dilaporkan. Meskipun tidak

    ada rekurensi yang dicatat, tindak lanjut dibatasi sampai 24 minggu. Dalam studi

    lain kecil dan tidak terkontrol, terapi imiquimod setelah eksisi keloid delapan

    daun telinga mengakibatkan kekambuhan 25 persen. Mengingat jumlah kecil

    diobati dan kurangnya tindak lanjut jangka panjang, manfaat klinis Imiquimod

    masih belum jelas.

    5-Fluorourasil

    5-Fluorourasil (5-FU) adalah analog pirimidin yang diubah secara

    intraseluler pada substrat yang menyebabkan penghambatan sintesis DNA

    dengan bersaing dengan penggabungan urasil. Tingkat peningkatan proliferasi

    fibroblas terlihat pada keloidal menunjukkan bahwa 5-FU mungkin efektif dalam

    membatasi pertumbuhan keloid. Namun, beberapa penelitian dalam literatur

    menunjukkan bahwa keberhasilan secara keseluruhan tidak lebih baik dari

  • 17

    modalitas lain dan efek samping yang signifikan seperti ulserasi dan

    hiperpigmentasi membuat topikal 5-FU kurang menarik. Penghambat utama

    sistemik 5-FU adalah hubungannya dengan anemia, leukopenia dan

    trombositopenia. Jadi, bahkan intralesi 5-FU harus dihindari pada wanita hamil

    dan menyusui dan pasien dengan infeksi bersamaan atau penekanan sumsum

    tulang.

    Bleomycin

    Bleomycin, sebuah agen kemoterapi digunakan pada kanker banyak, juga

    telah menggunakan beberapa dermatologi. Bleomycin memiliki efek luas pada

    tingkat sel, termasuk menghalangi siklus sel, DNA dan RNA merendahkan, dan

    menghasilkan spesies oksigen reaktif. Hipopigmentasi dan telangiectasia adalah

    komplikasi yang paling umum dari cryotherapy kombinasi dan triamcinolone.

    Dalam tiga bulan masa tindak lanjut dilaporkan, tidak ada rekurensi [78].

    Namun, seperti yang dinyatakan sebelumnya, tindak lanjut ini pendek mengingat

    bahwa keloid bisa kambuh tahun setelah pengobatan. Studi-studi kecil

    menunjukkan bleomycin mungkin memiliki potensi terapi dalam mengobati

    keloid, namun ada kebutuhan untuk percobaan yang lebih besar yang

    mempekerjakan lebih metodologi ketat.

    b. Pembedahan

    Eksisi bedah

    Eksisi bedah dari keloid harus dilakukan dengan perhatian khusus karena tingkat

    kekambuhan tinggi. Eksisi bedah mungkin memuaskan, memberikan koreksi

    kosmetik segera. Namun, eksisi yang sering menyebabkan bekas luka lama dan

    potensi untuk keloid lebih besar pada saat terjadi kekambuhan. Terapi adjuvant

    seperti pasca-Excisional injeksi steroid harus dipertimbangkan. Beberapa laporan

    awal menunjukkan Imiquimod topikal sebagai berikut eksisi tambahan, tetapi jangka

    panjang data tindak lanjut masih kurang. Ada juga data yang menunjukkan manfaat

    dari C Mitomycin topikal sebagai tambahan untuk eksisi bedah, namun ini juga

    penelitian kecil dengan jangka pendek tindak lanjut. Serangkaian kasus kecil dari

    empat pasien melaporkan hasil yang lebih unggul ketika kolagen glikosaminoglikan

    kopolimer neodermis (Integra) ditempatkan pada saat eksisi dan cangkok kulit

    ditunda selama beberapa minggu.

    Hasil bedah terbaik dilihat dengan penutupan tepi luka yang sangat baik,

    menggabungkan ketegangan minimal dengan eversi maksimal dan memastikan

  • 18

    sayatan dibuat sepanjang garis ketegangan kulit santai. Pasien dengan riwayat

    pembentukan parut keloid atau hipertropik sebaiknya menghindari prosedur elektif

    operasi atau kosmetik untuk menghindari risiko keloid masa depan.

    Cryotherapy

    Cryotherapy telah digunakan untuk lesi yang lebih kecil, namun penggunaannya

    dibatasi oleh rasa sakit dan kadang-kadang lama pengobatan penyembuhan berikut .

    Karena banyak perawatan sering diperlukan, risiko untuk hipopigmentasi dalam

    berkulit gelap pasien adalah kelemahan signifikan. Cryotherapy telah dilaporkan untuk

    mengubah sintesis kolagen dan menginduksi diferensiasi fibroblas keloidal menuju

    fenotip yang lebih normal. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan cryotherapy

    hanya sebelum injeksi steroid untuk menginduksi edema dan dengan demikian

    memfasilitasi injeksi streroid. Digunakan nitroge liquid yang mempengaruhi

    mikrovaskularisasi dan menyebabkan kerusakan sel melalui kristal intrasel yang

    mengakibatkan anoksia sel. Penggunaan krioterapi tanpa modalitas tanpa modalitas

    terapi yang lain menghasilkan resolusi tanpa rekurensi pada 51-74% pasien setelah 30

    bulan observasi (Kelly, 2004).

    c. Radioterapi

    Beberapa studi menggunakan terapi radiasi sebagai tambahan untuk eksisi

    bedah telah dilaporkan, tetapi kurangnya rejimen standar membuat perbandingan

    antara studi sulit. Berbagai teknik dapat ditemukan dalam literatur, termasuk dangkal

    x-ray, berkas elektron, dan tingkat rendah atau dosis tinggi brachytherapy. Pasca

    Excisional radioterapi biasanya digunakan segera setelah eksisi bedah. Ketika

    dikombinasikan dengan eksisi, tingkat keberhasilan lebih tinggi, antara 65 sampai 99

    persen. Efek samping dari terapi radiasi termasuk eritema sementara dan

    hiperpigmentasi. Risiko karsinogenesis dari terapi radiasi keloid kemungkinan

    menjadi sangat rendah, terutama dengan teknik modern.

    d. Laser

    Penggunaan laser untuk ablasi keloid dianggap kurang bermanfaat.

    Penggunaan karbon dioksida dan argon laser mempunyai tingkat kekambuhan 90

    persen. Flashlamp pulsed-dye laser dikaitkan dengan penurunan TGF-1 dan up-

    regulasi dari metaloproteinase MMP-13, penekanan proliferasi fibroblast keloidal serta

    induksi apoptosis. Penggunaan Nd: YAG laser sebagai monoterapi atau dalam

    hubungannya dengan injeksi triamcinolone intralesi telah menunjukkan beberapa hasil

    menjanjikan dengan persentase yang besar dari pasien keloid.

  • 19

    e. Silicone Gel Dressing

    Silicone gel dressing adalah modalitas pengobatan non-invasif dan relatif murah

    tambahan untuk keloid. Baru-baru ini, sebuah panel ahli internasional

    direkomendasikan silikon terapi gel sheet sebagai profilaksis baris pertama setelah

    eksisi bedah. Ketika digunakan setelah eksisi bedah, 70-80 persen dari keloid dan bekas

    luka hipertrofik tidak muncul kembali. Lembaran gel memberikan penghalang oklusif

    dan tampaknya melunakkan bekas luka dengan meningkatkan hidrasi dan memiliki

    pengaruh yang signifikan dalam mengurangi eritema, nyeri dan gatal-gatal . Setelah

    eksisi bedah lembaran silikon gel diterapkan segera setelah kembali epitelisasi dicapai

    dan dipakai paling sedikit 12 jam per hari. Lembar digunakan sekitar 10-12 hari dan

    dapat dicuci dan digunakan kembali.

    2.9 KOMPLIKASI

    a. Trauma pada keloid dapat menyebabkan erosi lesi dan menjadi sarang infeksi

    bakteri.

    b. Rekurensi

    c. Stress psikologik jika keloid sangat luas dan menimbulkan cacat.

    2.10 PENCEGAHAN

    Pasien dengan keloid sebelumnya atau riwayat keluarga keloid mempunyai

    peningkatan risiko untuk mengembangkan bekas luka yang abnormal. Pasien-pasien ini

    harus diberi konseling terhadap tindakan menindik tubuh dan harus menghindari prosedur

    kosmetik elektif dengan risiko untuk jaringan parut. Sebagaimana dibahas di atas, luka

    harus ditutup dengan ketegangan minimal dan penggunaan tindakan-tindakan adjunctive

    setelah eksisi bedah termasuk penggunaan lembaran gel silikon dapat mengurangi

    kekambuhan.

  • 20

    PEMBAHASAN

    Dari anamnesis didapatkan bahwa dengan keluhan terdapat benjolan pada

    punggung, lengan dan wajah, benjolan disertai dengan rasa gatal namun tidak nyeri. Awal

    terdapat benjolan sejak 15 tahun yang lalu pertama kali muncul pada bekas jerawat

    kemudian muncul pada punggung dan lengan yang diakibatkan oleh bekas luka akibat

    kecelakaan/trauma dan adapun benjolan yang tiba-tiba muncul tanpa diketahui

    penyebabnya. Benjolan awalnya terasa keras namun setelah beberapa kali kontrol dan

    mendapat suntikan benjolan menjadi lunak, benjolan awalnya berwarna kemerahan dan

    kemudian berubah menjadi berwarna coklat, benjolan berukuran sekitar 1x0,5x1 cm

    namun bervariasi pada setiap area dan terdapat benjolan yang melebar namun ada pula

    yang bentuknya tidak berubah. Pasien merasa tidak nyaman dengan adanya benjolan

    tersebut. Pasien rutin kontrol berobat untuk melakukan injeksi pada lesinya pada

    keluarga pasien tidak ada anggota keluarga pasien yang mempunyai keluhan serupa.

    Pasien tidak punyak riwayat alergi demikian juga pada keluarganya. Lesi pada kulit

    bersifat kronik dimana faktor yang menjadi pencetusnya adalah luka akibat trauma dan

    bisa pula bakat/genetik.

    Dari status generalis tidak terdapat kelainan. Dari status dermatologis terdapat lesi

    pada punggung, lengan dan wajah dengan efloresensi nodular, sikatrik hipertrofik dan

    hyperpigmentasi. Dari gambaran klinis diatas dapat menunjang diagnosis kearah keloid.

    Pengobatan medikamentosa pada pasien diberikan adalah untuk obat oral

    diberikan CTM 4 mg/hari untuk mengurangi rasa gatal dan untuk benjolan diberikan

    triamsinolone acetonide intralesi 1 mg (0,1 ml) per 1 minggu pada lesi, sampai lesi terjadi

    atrofi untuk pengobatan non-medikamentosa pasien dianjurkan untuk jangan

    menggaruk lesi, jangan melakukan tindakan (body piercing), usahakan proteksi tubuh

    agar tidak terjadi luka dan hindari prosedur-prosedur medis invasif yang bersifat elektif

    yang dapat menimbulkan luka. Prognosis keloid baik karena benjolan berukuran kecil

    dan tidak semua benjolan berubah melebar, hanya menyerang sedikit bagian tubuh dan

    terdapat perubahan setelah diberikan injeksi intralesi.

  • 21

    DAFTAR PUSTAKA

    Alphonso, Marline. 2010. Hypertrophic scarring. Diakses dari

    www.buzzle.com/articles/hypertrophic-scarring.html

    Arinudh. 2011. Hypertrophyc Scar-Causes, Treatment and Removal. Diakses dari

    www.primehealthchannel.com

    Berman, Brian. 2010. Keloid and Hypertrophic Scar. Diakses dari www.medscape-

    medline.com

    Chiu,HY., Tsai TF., 2011. Keloidal Morphea. The New England Journal of

    Medicine 364;14 edisi 28

    Espana. A,. et al. 2001. Bleomycin in the Treatment of Keloid an Hypertrophic

    Scars by Multiple needle Punctures. Dermatol Surg. pp. 23 27

    Gauglitz, Gerd, et al. 2011. Hypertrophic Scarring and Keloids: Pathomechanisms

    and Current and Emerging Treatment Strategies. Mol Med. Pp. 113 126

    Ishihara,H., Yoshimoto H., Fujiko M., Murakami, R., Hirano A., Fujii T., Ohtsuru

    A. Namba H., Yamashita S. 2000. Keloid Fibroblasts Resist Ceramide-

    Induced Apoptosis by Overexpression of Insulin-Like Growth Factor I

    Receptor. Department of Plastic and Reconstructive Surgery Medicine,

    Japan. Pp: 1065-1070

    Kokoska, Mimi. 2010. Keloid and Hypertrophic Scar. Diakses dari

    www.medscape-medline.com

    Kelly. A,. 2004. Medical and surgical therapies for keloids. Dermatologic Therapy.

    Pp. 212 218

  • 22

    Patel R., Papaspyros SC., Javangula kC., Nair U., 2010. Presentation and

    management of keloid scarring following median sternotomy: a case study.

    Journal of Cardiothoracic Surgery 2010, 5:122

    Robles, DT., Moore, E., Draznin M., Berg D. 2007. Keloids : Pathopysiology and

    Management. Dermatology Online Journal 13 (3):9

    Studdiford J., Stonehouse A., Altshuler A., Rinzler E. 2008. The Management of

    Keloids: Hands-On Versus Hands-Off. Journal American Board Family

    Medicine 21:149 152

    Thielitz A., Vetter RW., Schultze B., Wrenger S, Simeoni L, Ansorge L,Neubert

    K, Faust J, Lindenlaub P, Gollnick HPM., Reinhold D. 2008. Inhibitors of

    Dipeptidyl Peptidase IV-Like Activity Mediate Antifibrotic Effects in

    Normal and Keloid-Derived Skin Fibroblasts. Journal of Investigative

    Dermatology 128, 855866

    Thompson. Lester,. 2001. Skin Keloid. ENT Journal.

    Vincent AS., Phan TT.,,Mukhopadhyay A., Lim HY., Halliwell B., Wong KP.

    2008. Human Skin Keloid Fibroblasts Display Bioenergetics of Cancer

    Cells Jurnal of Investigative Dermatology.Volume 128

    Wolfram. Dolores, 2009. Hypertrophic Scars and Keloids - A Review of Their

    Pathophysiology, Risk Factors, and Therapeutic Management. American

    Society for Dermatologic Surgery. pp. 171 181