Kelemahan Pemilihan Presiden Secara Langsung
-
Upload
fadhly-hafiz -
Category
Documents
-
view
376 -
download
10
Transcript of Kelemahan Pemilihan Presiden Secara Langsung
Hafiz dan Rezky
Kelemahan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
Pemilihan Presiden secara langsung yang diterapkan di Indonesia sekarang
ini tidak dapat dipungkiri memiliki kelemahan-kelemahan. Banyak factor-faktor
yang menjadi kelemahan diterapkannya sistem pemilihan Presiden secara
langsung ini. Sebenarnya hal yang paling utama sebagai kriteria yang dipilih
masayarakat ialah berdasarkan kualitas dari calon presiden yang akan dipilih,
namun pada kenyataan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa faktor penting lain yang
berkembang dimasyarakat dan telah mengakar sebagai alasan untuk memilih salah
satu calon ialah primordialisme, mulai dari kesukuan hingga agama.
Kekurangan pemilihan Presiden secara langsung, antara lain :
1. Adanya kemungkinan Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih tidak
memenuhi kualitas yang dikehendaki, dikarenakan tidak semua masyarakat
mengetahui kualitas dan karakter dari calon Presiden yang mereka pilih1;
Implikasi pemilihan presiden secara langsung juga dapat mengakibatkan
presiden tidak memiliki kualitas secara ideal, seperti kecakapan seorang
presiden dalam memimpin negaranya. Malah dengan pemilihan presiden
secara langsung cenderung kepada memilih presiden yang popular saja di
masyarakat, banyak akses masyarakat yang hanya mengetahui sisi popularitas
saja pada calon presiden bukan sisi dalam yang presiden secara kualitas.2
Selain aksesibilitas yang rendah banyak masyarakat di daerah terutama
wilayah terpencil memiliki tingkat kecerdasan politik yang rendah. Para
pemilih tersebut cenderung hanya berpikir pendek dimana mereka lebih
melihat calon mana yang tampak populer dimatanya. Selain itu suara-suara
masyarakat di daerah sangat gampang goyah dengan hal-hal kecil jangka
pendek, seperti pemberian sumbangan bagi kegiatan ekonomi mereka. Tidak
1 Bustanuddin, “Demokrasitisasi Dalam Pemilihan Presiden Serta Implikasinya Terhadap Sistem Pemilihan Presiden yang Ideal Untuk Diterapkan di Indonesia” http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/15107142157.pdf, diunduh tanggal 2 November 2012.2 ? Ignatius Ismanto, Pemilihan presiden secara langsung 2004: dokumentasi, analisis, dan kritik, (Jakarta : Galangpress Group, 2004), hal 121-122
disadari bahwa hal tersebut hanyalah kenikmatan sesaat yang cenderung tidak
baik bagi pencerdasan demokrasi bagi mereka.
Untuk informasi, bahkan tercatat di daerah Perkotaan yang umumnya
masyarakatnya memiliki pendidikan yang lebih tinggi di bandingkan di
Pedesaan masih ada sekitar 50.225 yang buta huruf dengan kategori umur 20-
24 tahun, 64.370 (25-29 tahun), dan 78.702 (30-39 tahun).3 Jumlah penduduk
miskin Indonesia hingga Maret 2012 tercatat sebanyak 29,13 juta jiwa (11,96
%).4
Sebagian besar pemilih diyakini lebih mendasarkan pilihannya pada
alasan-alasan emosional daripada alasan-alasan rasional. Tanpa
mengesampingkan faktor-faktor objektif kemasyarakatan yang lebih kompleks
untuk menilai secara komprehensif mengenai kekurangan-kekurangan
mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.5
2. Munculnya calon Presiden dari golongan agama dan atau suku tertentu6;
Dalam segi agama, kita ketahui dengan jelas bahwa kristalisasi partai
partai yang memiliki posisi yang kuat pada dewasa ini terletak pada dua kubu
besar, yaitu Partai Nasionalis dan Partai Islam, ketersebaran suara di
berbagai daerah secara tidak merata ditunjukkan pada perolehan suara. Bagi
daerah yang mayoritas adalah non muslim yang dimenangi partai nasionalis,
seperti Bali dimana calon yang diusung PDI Perjuangan pada umumnya
berhasil memenangin Suara.
Ketika Pemilu Presiden 2009 ada beberapa catatan kejadian terkait isu
agama yang sangat mencolok. Hal ini antara lain7
3 Badan Pusat Statistik (a), “Penduduk Berumur 5 Tahun Keatas Menurut Kelompok Umur dan Kemampuan Baca Tulis” http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?wid=0000000000&tid=287&fi1=56&fi2=3, diunduh tanggal 4 November 2012.
4 Badan Pusat Statistik (b), “Maret 2012, Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Mencapai 29,13 Juta Orang” http://www.bps.go.id/?news=940 , diunduh tanggal 4 November 2012.5 ? Firmanzah, Marketing Politik, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal 101
6 ? Bustanuddin, log.cit7 Suhadi Cholil, et.al., “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia 2009”
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fcrcs.ugm.ac.id%2Fget%2FGntt&ei=AV6VUKuPK8vwrQek9oC4BA&usg=AFQjCNFKq34nFiVaB0DEDbDA3OQSD
(a) Ketua PBNU, Hasyim Muzadi, secara eksplisit menyatakan PBNU mendukung pasangan JK-Wiranto pada 22 Juni 2009. Bahtsul masail sebagian kyai NU di Jawa Timur tanggal 22 Mei 2009 juga menyatakan para kyai NU mendukung JK-Wiranto;
(b) Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengungkapkan bahwa JK-Wiranto adalah pilihan wajib bagi warga Muhammadiyah pada 3 Juli 2009. Sebelumnya Muhammadiyah juga mengeluarkan panduan untuk memilih JK-Wiranto;
(c) FUI secara resmi mengeluarkan Piagam Umat Islam pada 25 Juni 2009 yang berisi menitipkan amanat umat Islam kepada JK-Wiranto;
(d) FPI mengeluarkan maklumat seruan kepada seluruh umat Islam pada 23 Juni 2009 untuk mendukung, memilih, dan memenangkan JK Wiranto;
(e) PGI mengeluarkan pernyataan tentang tiga kriteria presiden dan calon presiden yang patut dipilih pada 8 Juni 2009 yang mengarah pada pasangan JK-Wiranto;
(f) Walubi membagi-bagikan bingkisan sembako gratis dengan menggunakan tas bergambar SBY dan nomor partai Demokrat 31;
Hal tersebut dikhawatirkan alasan para pemilih hanya pada keterwakilan sikap
politik calon presiden bagi kaum minoritas sehingga track record serta kualitas
sedikit diabaikan. Selain itu, isu agama lebih kurang secara tidak langsung
menutup kesempatan pada para calon yang berkualitas berasal dari agama
minoritas untuk terpilih karena Indonesia sendiri memiliki mayoritas penduduk
yang beragama Islam.
Mengenai masalah kesukuan sudah menjadi hal yang sangat mengakar
dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak zaman primordialisme. Pada
pemilu secara langsung ini kecenderungan primordialisme tersebut tersulut
kembali. Para pemilih cenderung memilih atas dasar kedekatan kesukuan
dibanding kualitasnya dan isu terbaru mengenai primordialisme ini ialah
bagaimana komitmen seorang calon presiden membangun wilayah timur yang
masih tertinggal8
YdKOg&sig2=fQteP2ESmKaeHe3FYnB7-A, diunduh tanggal 4 November 2012.8 ? Ignatius Ismanto, Pemilihan presiden secara langsung 2004: dokumentasi,
analisis, dan kritik, Jakarta : (Galangpress Group, 2004), hal 196
3. Berimplikasi kepada kekuatan lembaga Kepresiden, dimana lembaga Presiden
akan menjadi lebih kuat dari lembaga Legislatif9;
4. Pemilih terkonsentrasi pada pulau tertentu;
Tidak dapat dipungkiri adanya kenyataan bahwa suara pemilih terbesar
ada dipulau Jawa, yang sebagian besar tentunya dihuni oleh suku bangsa Jawa.
Dengan begitu bisa diterima pula asumsi bahwa peluang kandidat yang berasal
dari Jawa untuk memenangkan pemilihan akan lebih besar dibandingkan
kandidat dari suku bangsa diluar suku bangsa Jawa. Ditambah lagi tentunya
ini akan menimbulkan dampak turunan terhadap semakin mencuatnya
sentimen anti Jawa dari suku–suku bangsa lainya yang terutama ada diluar
Jawa.10
Pemilihan Presiden Secara Langsung Memakan Biaya Yang Sangat Besar
Sistem pemilihan presiden langsung yang ideal memang akan
mengeluarkan biaya yang relatif lebih besar dibandingan dengan pemilihan
presiden tidak langsung. Hal itu dikarenakan dalam pemilihan presiden
langsung yang ideal, waktu pelaksanaan pemilu presiden berbeda dengan
waktu pelaksanaan pemilu anggota legislatif. Namun, dengan keterbatasan
dana yang dimiliki negara saat ini, kiranya waktu pemilihan presiden dan
waktu pemilihan anggota legislatif untuk sementara dapat dilakukan secara
bersamaan. Sehingga penambahan biaya yang harus dikeluarkan dapat ditekan
seminimal mungkin.
Berdasarkan data yang didapat, Komisi Pemilihan Umum tahun
2009 mendapat dana sekitar Rp 22,3 triliun untuk menyelenggarakan pemilu
9 ? Bustanuddin, log.cit10 ? Ignatius Ismanto, Pemilihan presiden secara langsung 2004: dokumentasi,
analisis, dan kritik, Jakarta : (Galangpress Group, 2004), hal 263-267
sebanyak tiga kali.11 Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden
menghabiskan dana sebanyak kurang lebih Rp 4 triliun.12
Selain itu, kondisi pendanaan yang terbatas ini juga harus menjadi bahan
pertimbangan pokok untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih sederhana
hanya satu putaran, namun menghasilkan tingkat legitimasi yang memadai
bagi kandidat yang memenangkan pemilihan. Apabila pemilu presiden
berlangsung dua putaran semakin menambah berat beban biaya pelaksanaan
pemilu.
Kelemahan dari Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini, akan
semakin baik bila warga negara yang memilih sudah dapat menilai secara kritis
visi kenegarawanan dan kebangsaan, Integritas dan kemam-puan setiap calon.
Namun bila belum dapat menilai secara kritis, maka bukan tidak mungkin kualitas
Presiden terpilih tidak sesuai dengan yang dikehendaki.
Ismanto Ignatius, Pemilihan presiden secara langsung 2004: dokumentasi,
analisis, dan kritik, (Jakarta : Galangpress Group, 2004).
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Semua Harus Terwakili. Studi
Mengenai Reposisi MRP, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, (Jakarta
: PSHK, 2000).
Firmanzah, Marketing Politik, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007)
11 SAM, “KPU: Pemahaman Minim, Pemilu 2009 Tak Berjalan Mulus “ http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22749/kpu-pemahaman-minim-pemilu-2009-tak-berjalan-mulus, diunduh tanggal 4 November 2012.
12 ANT, “Setiap Satu Putaran Pilpres Sedot Dana Rp 4 Triliun” http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2009/06/30/31718/Setiap-Satu-Putaran-Pilpres-Sedot-Dana-Rp-4-Triliun, diunduh tanggal 4 November 2012.