KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

35
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KEBIJAKAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Hj. Muhaiminah A. PENDAHULUAN KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KEBIJAKAN N DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM Oleh: HJ. Muhaiminah Dalam Sistem Pendidikan Nasional yang tertera pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tercantum bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu upaya untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan adalah melalui pendidikan Agama Islam. Peran strategis lembaga pendidikan Islam sejak awal kemerdekaan telah menjadi perhatian. Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui Kementerian Agama untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam. Di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, pengembangan lembaga pendidikan Islam diarahkan pada kontribusi lembaga tersebut terhadap pembangunan nasional,

description

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Transcript of KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Page 1: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KEBIJAKAN

DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Hj. Muhaiminah

A. PENDAHULUAN

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KEBIJAKAN N DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: HJ. Muhaiminah

Dalam Sistem Pendidikan Nasional yang tertera pada Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tercantum bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah

meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu

upaya untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan adalah melalui pendidikan Agama

Islam.

Peran strategis lembaga pendidikan Islam sejak awal kemerdekaan telah menjadi

perhatian. Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui Kementerian Agama untuk

meningkatkan kualitas pendidikan Islam. Di bawah pengawasan Direktorat Jenderal

Kelembagaan Agama Islam, pengembangan lembaga pendidikan Islam diarahkan pada

kontribusi lembaga tersebut terhadap pembangunan nasional, salah satunya dengan

mengintegrasikan pendidikan agama dalam pendidikan umum kedalam satu system

pendidikan nasional.

Madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam memiliki peran besar pula

dalam perubahan social. Misi pendidikan pada Madrasah yang mengacu pada norma

keislaman dan ketentuan nilai harus mampu menjadi sebuah rekonstruksi social yang

mengacu pada kaidah al muhafadzah alal qadim as shahih, wal akhdu bil jaded al

ashla.

Page 2: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

A.PENDAHULUAN

Pendidikan di Indonesia dikenal dengan dua sistem, yaitu pendidikan umum dan

pendidikan Islam, dimana masing dibawah naungan Mendiknas dan Kemenag. Dua jenis

lembaga pendidikan ini mendapat perlakuan yang tidak sama dari pemerintah. Pendidikan

umum lebih mendapat perhatian daripada pendidikan yang berlabel Islam.

Lembaga pendidikan Islam yang notabene di bawah naungan Kementrian agama kebanyakan

tidak didirikan oleh pemerintah sendiri,melainkan didirikan pondok pesantren maupun

perorangan yang kebanyakan berupa yayasan. Model pendidikan seperti ini kemudian dalam

segala urusan biasanya dikuasai oleh pemegang yayasan bukan terpusat secara nasional oleh

pemerintah. Sehingga setiap madrasah berbeda satu sama lain.Sebagai sebuah lembaga

pendidikan, madrasah atau universitas pendidikan Islam tentunya mempunyai berbagai

kelebihan dan kekurangan, maupun permasalahan yang dihadapi olehnya. Permasalahan yang

dihadapi lembaga pendidikan Islam biasanya sangat kompleks. Terlebih-lebih dalam hal

manajemen dan kelembagaannya. Maka dari itu dalam Makalah ini penulis akan menganalsis

tentang berbagai kelebihan dan kekurangan kebijakan dalam Lembaga pendidikan

Islam.Kami akan mengidentifikasi permasalahan manajemen dan kelembagaan yang muncul

dalam lembaga pendidikan Islam dan berusaha memberikan solusi untuk kebaikan lembaga

pendidikan Islam.

A. PendahuluanPendidikan pada dasarnya merupakan upaya merancang masa depan umat manusia yang dalam konsep dan implementasinya harus memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan sebuah pakaian yang tidak dapat diimpor dan diekspor. Ia harus diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran dan model dari orang yang memakainya, sehingga tampak pas dan serasi.Demikian pula dengan konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Ia amat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan politik pemerintahan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan dan perubahan masyarakat, adat istiadat, kebudayaan dan lain sebagainya.Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial, awal dan pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng “anak tirikan”, mengisolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”. Namun berkat semangat juang yang tinggi dari

Page 3: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk sebuah tujuan ideal yang tertuang dalam UU Republik Indonesia No 20 Tahun 2003, yaitu “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.Hingga saat ini kita menyadari bahwa secara umum kondisi lembaga pendidikan Islam di Indonesia masih ditandai oleh berbagai kelemahan, antara lain :Pertama, kelemahan sumber daya manusia (SDM), manajemen maupun dana. Sementara itu kita mengetahui bahwa jika suatu lembaga pendidikan ingin tetap eksis secara fungsional di tengah-tengah arus kehidupan yang semakin kompetitif seperti sekarang ini harus didukung oleh ketiga hal tersebut, yaitu sumber daya manusia, manajemen dan dana.Kedua, kita menyadari bahwa saat ini lembaga pendidikan tinggi Islam masih belum mampu mengupayakan secara optimal mewujudkan Islam sesuai dengan cita-cita idealnya. Di sisi lain masyarakat masih memposisikan lembaga pendidikan Islam sebagai pilar utama yang menyangga kelangsungan Islam dalam mewujudkan cita-citanya, yaitu memberi rahmat bagi seluruh alam.Ketiga, kita masih melihat lembaga pendidikan tinggi Islam belum mampu mewujudkan Islam secara transformatif. Kita masih melihat bahwa masyarakat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya telah berhenti pada dataran simbol dan formalistik.Keempat, pada saat ini kita hidup dalam era reformasi. Pada era ini kecenderungan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat madani demikian kuat, yaitu masyarakat yang menunjang tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti nilai-nilai keadilan, kebersamaan, kesederajatan, kemitraan, kejujuran dan sebagainya.Kelima, hingga saat ini posisi lembaga pendidikan tinggi Islam, bahkan juga pada lembaga pendidikan Islam yang ada di bawahnya masih kurang diminati oleh masyarakat. Masyarakat pada umumnya lebih memilih sekolah pada lembaga pendidikan yang tidak menggunakan label Islam.Berbagai kelemahan di atas paling tidak merupakan persoalan yang harus dijawab oleh sistem dan kebijakan pendidikan di Indonesia saat ini. Hal ini disebabkan karena pendidikan memegang amanat tertinggi bangsa ini sebagai  sarana untuk membina dan membangun manusia seutuhnya, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.

.

Page 4: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab”1.

Dalam upaya merekonstruksi pendidikan dalam rangka untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa, maka dibutuhkan gagasan keilmuan teoritis, dan aplikasi bagi para

peminat kajian manajemen pendidikan dan praktisi pendidikan. Dan manajemen

pendidikan nasional penuh dengan berbagai kebijakan sebagai konsekwensi

organisasional. Setiap kebijakan dimaksudkann sebagai pedoman, aturan dan prosedur

penyelenggaraan pendidikan. Memasuki dasawarsa pertama abad ke 21 yang penuh

tantangan eksternal dan tuntutan keperluan internal kebijakan pendidikan yang berbasis

pada pencerdasan bangsa, tentu saja harus secara konsisten tetap menjadi komitmen

kebangsaan. Karena itu, kebijakan pendidikan perlu dipahami secara radikal dan

konprehensif sehingga kebijakan tidak salah. Diawali dari proses formulasi,

implementasi, lalu sampai pada evaluasi, kebijakan harus memenuhi keperluan

kebangsaan baik dalam keperluan lokal, nasional, maupun daya saing global.

Bangsa kita semakin memerlukan pimpinan yang menjadi teladan dan membela

kepentingan rakyat. Maka pendidikan yang benar dan berkeadilan sajalah yang dapat

melahirkan pemimpin bangsa yang mampu menjaga harkat dan martabat bangsa

melalui pembangunan yang makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Kita

sudah mempunyai UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang

didikuti pula dengan kelahiran UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lalu

kebijakan lanjutan apa yang menjabarkan UU tersebut untuk kepentingan

mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memeperjuangkan pendidikan di atas perjuangan

lainnya dalam mempercepat kemajuan bangsa.

Sejatinya, berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan pemerintahan

berpangkal pada pendidikan yang salah, mulai dari kebijakan pusat sampai aktivitas

pembelajaran di dalam kelas. Jika praktik pendidikan kurang memberdayakan maka

memungkinkan menyebabkan banyak penyimpangan sistem penyelenggaraan

pemerintahan. Ditambah lagi, hasil pembinaan sumber daya manusia (SDM) melalui

pendidikan nasional selain relatif memperlemah mental dan moral bangsa. Pendidikan

nasional adalah proses pemberdayaan , karena idealisme yang diusungnya adalah

mencerdaskan Bangsa.

1 UUSPN No. 20 Tahun 2003.

Page 5: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Maka sudah seharusnya, orientasi kebijakan diubah. Semula, hanya bertumpu

pada yang diinginkan dari atas perlu diubah titik tolaknya dari keperluan masyarakat

dan anak-anak didik terhadap pendidikan. Tujuannya adalah agar sesuai dengan potensi

diri dan budaya yang mengakar pada jati diri bangsa yang pancasilais. Jangan sampai

kebijakan pendididkan nasional memperlemah dan membodohi rakyat. Tetapi

pikirkanlah kualitas, masa depan, dan kelangsungan hidup bangsa ini untuk menjadi

bangsa yang mandiri dan berbudaya tinggi. Insya Allah.

.

B.KEBIJAKAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN

Keberadaan Sekolah/Madrasah sebagai lembaga formal penyelenggaraan

pendidikan memainkan peran strategis dalam keberhasilan sistem pendidikan Nasional.

Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin adalah bertanggung jawab dalam

menerjemahkan dan melaksanakan kebijakan pendidikan Nasional yang ditetapkan

pemerintah. Berawal dari UUD1945, Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan

presiden, instruksi presiden, keputusan menteri, sampai kepada peraturan daerah

provinsi, peraturan daerah kabupaten dan kota, kemudian diterjemahkan dan

dilaksanakan oleh kepala sekolah untuk menyentuh langsung keperluan stakeholder

kependidikan , khususnya anak didik. Jadi setiap kebijakan harus selalu berhubungan

dengan kesejahteraan dan pencerdasan masyarakat.

Untuk mencapai peningkatan mutu sekolah, maka kepala sekolah sebagai

petugas profesional dituntut untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan

mengevaluasi kebijakan pendidikan . Kebijakan sekolah/ Madrasah termasuk dalam

spektrum kebijakan pendidikan. Kebijakan sekolah/madrasah merupakan turunan dari

kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Dalam Beare dan Boyd dijelaskan

bahwa ada lima jenis kebijakan pendidikan, mencakup:

1. Penataan atau penyusunan tujuan dan sasaran lembaga pendidikan,

2. Mengalokasikan sumber daya untuk dan pelayanan pendidikan,

3. Mentukan tujuan pemberian pelayanan pendidikan,

4. Menentukan pelayanan pendidikan yang hendak diberikan,

5. Menentukan tingkat investasi dalam mutu pendidikan untuk memajukan

pertumbuhan ekonomi.2

2 Beare, H and W. Lowe Boyd, Restructuring School, (London: The Falmers Press, 1993),221.

Page 6: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Suatu kebijakan sekolah tentu saja dibuat untuk memajukan sekolah /madrasah

sesuai tuntutan keperluan warga sekolah atau masyarakat luas.Ditegaskan oleh Duke

dan Canady,3 bahwa:

Kebijakan sangat pending bagi kehidupan siswa dan para guru karena berkaitan

dengan pengajaran dan pembelajaran dalam rangka peningkatan efektivitas sekolah dan

prestasi pelajar.Tidak terkecuali peran administrator dan anggota komite sekolah

adalah sangat menentukan , terkait dengan suatu kebijakan

Kebijakan sekolah/madrasah adalah kerja sama dan keputusan oleh individu atau

keinginan kelompok dengan kewenangan yang sah dari dewan sekolah, pengawas,

administrator sekolah atau komite sekolah/madrasah dan tanggung jawab bagi kontrak

negosiasi. Biasanya kebijakan sekolah dituliskan dan dibagi kepada personil

sekolah/madrasah untuk memeperjuangkannya melalui berbagai kegiatan

sekolah/madrasah.

Suatu kebijakan sekolah/madrasah dibuat oleh orang yang terpilih bertanggung

jawab untuk memebuat kebijakan pendidikan, dewan sekolah dan unsur lain yang diberi

kewenangan memebuat kebijakan , baik kepala sekolah/madrasah, pengawas, atau

administrator yang memiliki kewenangan mengelola kebijakan dari dewan

sekolah/madrasah4.

Apabila kebijakan direncanakan, interaksi sedemikian menjadi rumit dengan

banyak tipe perilaku manusia yang secara bermacam-macam latar belakang dan

diperlukan kemampuan untuk memeberikan kontribusi. Secara khusus, pembuatan

kebijaksanaan adalah suatu elemen penting dalam hubungan sekolah dengan

masyarakat yang dilayaninya5

Setidaknya dari hasil penelitian terhadap sekolah di British, ada beberapa fokus

kebijakan sekolah, yaitu:

1. Melibatkan staf dalam pengambilan keputusan,

2. Kurikulum,

3. Imbalan dan hukuman,

4. Keterlibatan orang tua,

5. Peluang bagi pelajar, dan

6. Iklim sekolah6

3 Duke, Daniel L. And Robert Lynn Canady, Scool Policy, (New york: Mc Graw Hill, Inc, 1991),1.4 Thomson, Jhon Thomas, Policy Making in American Education, (New Jerse: Englewood Cliffs, 1976),17.

5 Newton, Colin dan Tony Tarrant, Managing Change in School,( London: Routledge 1992), 12.6 Duke dan Canady,...5.

Page 7: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Disatu sisi, peran kepala sekolah sebagai pemimpin ditampilkan dengan

menyusun visi, membuat strategi maka perilaku yang muncul adalah meliputi; perilaku

mengambil keputusan, perilaku interpesonal, perilaku keteladanan, pemberian reward

dan hukuman, serta pembinaan iklim sekolah diperkirakan berkaitan dengan kelancaran

dan keberhasilan suatu implementasi kebijakan bidang pendidikan dalam semua

aspeknya.

Suatu kebijakan dapat juga dipahami sebagai perangkat panduan yang

memberikan kerangka kerja bagi tindakan dalam hubungan dengan persoalan

substsntif.7 Garis panduan ini mencakup dalam: Istilah umum (general terms), tindakan

(yang akan dilaksanakan dalam pertimbangan persoalan yang ada). Pelaksanaan suatu

maksud dan pola bagi pengambil tindakan . Dalam sekolah diperlukan garis panduan

yang memeberikan kerangka kerja, seringkali dengan beberapa dasar bagi keleluasaan.

Dalam konteks ini, kepala sekolah, staf, dan personel lainnya sebagai warga sekolah

dapat melaksanakan tanggungn jawabnya dengan arahnyang jelas.Analisis kebijakan

pendidikan harus berkenaan dengan latar belakang dan pelaksanaan prinsip yang

memepengaruhi pengembangan kebijaksanaan tersebut, proses implementasi kebijakan,

antara pengamalan dan proses. Bahkan pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan kebijakan

pendidikan (identifikasi kesenjangan antara perencanaan dan implementasi) serta

pengaruh kebijakan.

C.Format dan Implementasi Kebijakan Sekolah

Desentralisasi pendidikan memeberikan peluang bagi kebijakan sekolah di

daerah. Pembuatan kebijakan sekolah adalah inheren dengan otonomi kepala sekolah.

Kebijakan Pendidikan di daerah adalah pekerjaan utama Dinas Pendidikan, yang dapat

menerima masukan dari Dewan Pendidikan Kabupaten dan Kota8. Selanjutnya kepala

sekolah/madrasah dapat pula memebuat kebijakan sekolah bersama dengan setaf,

pengawas, dan komite sekolah.

Implementasi kebijakan merupakan tahap kedua setelah pembuatan atau

pengembangan kebijakan. Kebijakan memiliki suatu sumber utama dari kekuasaan dan

kewenangan9. Keduanya berhubungan dengan formulasi dan pelaksanaan kebijakan.

7 Gemage dan Pang, Leadership and manajemen in Education, (Honkong: TheChinese Universitsy Press, 2003),171

8 Duke dan Canady, School Policy,( New York: McGraw Hill, Inc, 1991), 130.9 Monahan dan Hangst, Contemporarary Educational Administrasion,( New York: Macmillan Publishing

Co, Inc.1982), 224.

Page 8: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Kepala sekolah memiliki kewenangan dalam menerjemahkan kebijakan dari

pimpinan lebih tinggi sesuai dengan visi, misi, dan sasaran sekolah yang mengacu

kepada sumber daya di dalam dan diluar sekolah.

Kebijakan sekolah sangat penting bagi kehidupan siswa dan para guru karena

berkaitan dengan pembelajaran dalam rangka peningkatan efektivitas

sekolah/madrasah.10

Kebijakan di sekolah diarahkan kepada semua orang tua dan pelajar sebagai

suatu ungkapan nilai sekolah dan usaha memebngun komitmen terhadap kebijakan

serta usaha membawa kertampilan orang dalam nilaisekolah.11

Kebijakan adalah suatu elemen penting dalam hubungan sekolah dengan

masyarakat yang dilayaninya12.

Kebijakan perlu dituliskan secara baik dan secara berkelanjutan diperbarui13.

Ada beberapa kelebihan-kelebihan, yaitu:

1. Kebijakan menyatakan bahwa sekolah bekerja dalam keadaan efisien dan

terururs.

2. Kebijakan memepercepat stabilitas, sasaran, dan administrasi

3. Kebijakan menjamin pengembangan yang matang serta konsisitensi dalam

keputusan dan prosedur pelaksanaan

4. Kebijakan lokal harus konsisiten dengan sistem kebijakan dan peraturan yang

memepengaruhi sekolah.

5. Kebijakan membantu menjamin bahwa pertemuan menjadi teratur.

6. Kebijakan mempercepat stabilitas dan kelanjutan.

7. Kebijakan memberikan kerangka kerja bagi operasional sekolah.

8. Kebijakan membantu sekolah dalam penilaian pengajaran.

9. Pertanyaan kebijakan yang tertulis dan disebarkan kepada masyarakat membuat

kebijakan akuntabel.

10. Kebijakan menjelaskan fungsi dan tanggung jawab kelompok, kepala sekolah

dan staf lainnya.

Kebijakan yang dibuat sekolah/madrasah tidak hanya sekedar menjadi arah

bagi tindakan operasional sekolah yang bernilai strategis, tetapi juga memeperkuat

10 Duke dan Canady,...111 Beare,H.and w.Lowe Boyd, Restructuring School, London: The Falrmers Press.12 Newton dan Tarrant, ...120.13 Gamage dan Pang,....172.

Page 9: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

komitmen tugas, kerjasama, akuntabilitas, bahkan pemberdayaan staf, Manfaat

kebijakan diarahkan untuk meraih kepuasan harapan masyarakat sebagai bagian

penting stakeholders pendidikan.Kebijakan sekolah/madrasah adalah kerjasama dan

keputusan oleh individu atau keinginan kelompok dengan kewenangan yang sah oleh

dewan sekolah, pengawas, admonistrator sekolah atau komite sekolah dan tanggung

jawab bagi kontrak negosiasi. Bila kebijakan dipaham dengan baik, semua orang dapat

bekerja dengan efisien, memiliki kepuasan dan penuh komitmen.

Sebagai pemimpin, keberadaan kepala sekolah menduduki peran yang sangat

penting dalam melaksanakan kebijakan pimpinan puncak( top leader) untuk mengelola

seluruh sumber daya yang dapat mendukung pencapaian keunggulan sekolah/madrasah

D. Kebijakan tentang Penyelenggaraan Pendidikan Islam14

Terminologi pendidikan Islam bagi penulis akan merujuk pada konteks makna

institusi, proses dan subject matter (kurikulum). Institusi akan berkonotasi pada

lembaga-lembaga pendidikan Islam formal (mulai dari MI, M.Ts., MA PT Islam)

maupun non-formal (pondok pesantren, sekolah diniyah, TPA). Untuk pendidikan

berbentuk perguruan tinggi Islam. Meski untuk pendidikan tinggi, Zamroni (1995)

pernah mengajukan sinyalemen bahwa model pendidikan tinggi Islam pada dasarnya

merupakan implementasi dari sistem pendidikan tinggi sekuler barat yang ditambah

dengan mata kuliah agama Islam.

Sementara itu, proses merujuk pada situasi interaktif antara pendidik dengan

peserta didik beserta lingkungan pendidikan yang menyertainya. Dengan begitu, proses

yang berlangsung di dalamnya seharusnya diarahkan untuk menimbulkan pertumbuhan

kepribadian manusia yang seimbang dalam pelbagai aspek, dan mampu mengantarkan

manusia untuk menyerahkan diri kepada Allah SWT baik secara individual ataupun

kolektif. Adapun subject matter dapat dipahami sebagai kurikulum atau dalam makna

yang lebih sempit adalah mata pelajaran/mata kuliah yang diberikan kepada peserta

didik.

Di lihat dari sisi manapun, pendidikan Islam memiliki peran dalam konteks

pendidikan nasional. Hanya saja harus pula dimaklumi dan dipahami jika hingga hari

ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap menempati posisi kedua dalam banyak

situasi. Sebagai misal, jurusan yang menawarkan pendidikan Islam kurang banyak

peminatnya, jika dibandingkan dengan jurusan lain yang dianggap memiliki orientasi

14 http://zinkser.blogspot.com/2011/01/makalah-kebijakan-pemerintah-dalam.html

Page 10: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

masa depan yang lebih baik. Dalam hal pengembangan kelembagaan akan pula terlihat

betapa program studi/sekolah yang berada di bawah pengelolaan dan pengawasan

Departemen Agama tidak selalu yang terjadi di bawah pembinaan Departemen

Pendidikan Nasional (Depdiknas), bahkan harus dengan tertatih untuk menyesuaikan

dengan yang terjadi di sekolah-sekolah umum tersebut.

Meski disadari betapa pentingnya posisi pendidikan Islam dalam konteks

pendidikan nasional. Namun, harus pula diakui hingga saat ini posisi pendidikan Islam

belum beranjak dari sekadar sebuah subsistem dari sistem besar pendidikan nasional.

Barangkali itulah yang menjadikan Ahmadi dalam pidato pengukuhan guru besarnya

menyatakan posisi pendidikan Islam hanya sekadar suplemen15.

Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007 tentang

pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan

pada sisi menagerial dan proses pendidikan Islam. PP tersebut secara eksplisit mengatur

bagaimana seharusnya pendidikan keagamaan Islam (bahasa yang digunakan PP untuk

menyebut pendidikan Islam) dan keagamaan lainnya diselenggarakan.

Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan, ”Pendidikan keagamaan meliputi

pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu”. Pasal

ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan ruang lingkup pendidikan keagamaan.

Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi

pengelola pendidikan keagamaan baik yang formal, non-formal dan informal tersebut,

yaitu Menteri Agama.

Dari sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan dan

pengembangan pendidikan Islam/dan atau keagamaan Islam menjadi tanggungjawab

menteri agama. Tentunya mengingat posisi menteri agama bukan hanya untuk kalangan

Islam saja, maka beban menteri agama juga melebar pada penyelenggaraan pendidikan

agama lain non Islam, di samping beban administratif lain terkait dengan ruang lingkup

penyelenggaraan agama dan prosesi keagamaan untuk seluruh agama-agama yang

diakui di Indonesia.

Mencermati betapa beratnya beban yang diemban oleh menteri agama,

tampaknya memang perlu dipikir ulang untuk kembali mengajukan ide

penyelenggaraan pendidikan dalam satu atap di bawah departemen pendidikan saja, dan

tidak terpecah sebagaimana sekarang ini.

15 Dalam Rozihan.http:/ /www.suaramerdeka. com/ harian/0501/07/opi3.htm)

Page 11: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Salah satu alasan terkuat mengapa perlu penyatuan pendidikan di bawah satu

atap adalah, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang

berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan yang

dibuat oleh Depdiknas. Inovasi-inovasi pembelajaran lebih banyak muncul kali pertama

dari Depdiknas bukan dari Depag. Dengan sendirinya, Depag kerap selalu menunggu

adanya inovasi ataupun kebijakan pengelolaan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas.

Dalam catatan sejarah pendidikan nasional, hampir tidak banyak inovasi yang

dilakukan Depag yang benar-benar berbeda dengan yang dikembangkan oleh

Depdiknas.

Kenyataan ini jelas tidak dapat dipungkiri, cermati saja bagaimana kebijakan

tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) terasa betapa dominasi Depdiknas dalam pengembangan dan

penerapannya begitu kentara. Sementara itu, Depag tetap setia mengikutinya. Untuk

kasus yang lebih baru, Depag juga tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan mata

uji apa saja yang harus ditempuh oleh peserta didik yangmengikuti pendidikan di M.Ts

dan MA/MAK saat penentuan kelulusan (simak kasus ujian nasional dan ujian sekolah)

Selain itu dari sisi managerial madrasah dikelola Departemen Agama yang tidak

memiliki dana yang cukup untuk membiaya madrasah yang jumlahnya sangat banyak,

di samping Depag tidak memiliki sumber tenaga kependidikan yang memadai untuk

mengelola madrasah, jika dibandingkan dengan Diknas.

Sebagai misal anggaran Dirjen Pendidikan Islam tahun 2007 adalah senilai Rp

7 triliun. Angka sebesar itu diperuntukkan bagi banyak komponen pendidikan seperti

gaji guru dan tenaga kependidikan (57,1% ), dana BOS BKM, BOS buku (25,7%),

sisanya sebagai anggaran tupoksi 4 direktorat Depag pusat dan bidang Mapenda serta

Pontren di 32 Kanwil Depag Provinsi (17,1%) atau sekitar Rp 1,2 triliun. Saat ini

anggaran pendidikan Islam di Depag diprediksi 20% dari anggaran pendidikan di

Depdiknas (bukan dari APBN) (Mulyana. 2008).

Untuk tingkat pendidikan tinggi, ketergantungan Depag terhadap Depdiknas

juga terasa. Sebut saja permasalahan tentang pengakuan kepangkatan (jabatan

akademik) dosen perguruan tinggi Islam yang masih tetap harus sepengtahuan dari

Depdiknas, bahkan Depdiknaslah yang menentukan kepangkatan dosen PT Islam untuk

jabatan Lektor Kepala dan Guru Besar.

Jalur yang harus ditempuh seorang dosen PT Islam untuk mendapatkan jabatan

guru besar pertama yang bersangkutan harus mengajukan pada institusinya, kemudian

Page 12: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

mengajukan ke Depag di jakarta, setelah ke Depdiknas. Surat Keputusannya

pengangkatan guru besarpun ditandatangani oleh Mendiknas, bukan oleh Menag. Jalur

ini akan semakin panjang jika dosen tersebut adalah dosen PT Islam Swasta, yang harus

pula melewati Kopertais dan Kopertis. Hal ini jelas suatu ironi, betapa penyelenggara

pendidikan tidak dapat berbuat banyak untuk menentukan langkah-langkah inovasi

yang dibutuhkan dalam proses penyelengaraan institusi pendidikan.

Selain itu seandainya terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan

pendidikan keaagamaan, maka jika untuk pendidikan tinggi maka posisi menteri agama

sebagaimana pasal 7 ayat (1) a hanya sebagai pemberi pertimbangan dan bukan

pengambil keputusan. Adapun pengambil keputusan untuk jenjang pendidikan dasar

dan menengah dilakukan oleh bupati/walikota, dan masukan pertimbangan diberikan

oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Sekali lagi hal ini

menunjukkan betapa Depag beserta jajarannya hingga yang paling bawah, tidak

memiliki kekuasaan dalam proses penyelenggaraan pendidikan keagamaan sekalipun.

Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah lembaga penyelenggara pendidikan

keagamaan Islam adalah MI, M.Ts dan MA/MAK. Meski sebenarnya penyebutan

lembaga-lembaga tersebut tidak secara ekplisit, namun sebagai penjelasan tentang

kemungkinan perpindahan peserta didik dalam jenjang pendidikan yang setara (Pasal

11). Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pasal 17 ayat (2) juga memang

disebutkan untuk jenjang pendidikan dasar, yaitu MI, M.Ts., dan Pasal 18 ayat (3)

jenjang pendidikan menengah bagi pendidikan Islam adalah MA dan MAK. Hanya saja

khusus untuk pendidikan keagamaan baik dalam UU Sisdiknas Pasal 30 ayat (4)

ataupun PP No. 55 pasal 14 ayat (1) berbentuk pendidikan diniyah, dan pesantren. Ayat

(2) dan ayat (3) menjelaskan bahwa kedua model pendidikan tersebut dapat

diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal.

Lantas pertanyaannya adalah bagaimana posisi MI, M.Ts., MA/MAK dan PT

Islam penyelenggara pendidikan keagamaan Islam? Apakah juga berposisi sama dengan

diniyah dan pesantren? Sebab pada akhirnya pada pasal 16 UU Sisdiknas disebutkan

bentuk kelembagaan dari proses pendidikan diniyah juga menggunakan nama MI,

M.Ts. MA/MAK untuk menyebut pendidikan diniyah dasar, dan pendidikan diniyah

menengah.

Tema menarik lain dalam PP 55 tahun 2007 ini adalah kemandirian dan

kekhasan pendidikan keagamaan sebagaimana tercantum dalam pasal 12 ayat (2) yaitu

”Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama

Page 13: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional? Sejak dahulu kekhasan

pendidikan diniyah dan pesantren adalah hanya mengajarkan materi agama Islam saja,

dan tidak materi lain. Namun dalam pasal 18 PP No. 55 tahun 2007 disebutkan untuk

pendidikan diniyah formal pada ayat (1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal

wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia,

matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib

belajar. Begitu juga untuk pendidikan diniyah menengah formal Kurikulum pendidikan

diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan,

bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.

Jika memang ada keinginan pemerintah untuk memberi pilihan kemandirian dan

kekhasan pada ”sekolah?di lingkup pendidikan Islam, tentunya tidak akan ada lagi

narasi sebagaimana pada pasal 18 ayat (1) disinilah terjadi benturan yang perlu disikapi

secara lebih bijak. Sebab, sejak awal hadirnya pendidikan Islam tampaknya lebih kuat

ke arah pendidikan non-formal, dan bukan formal sebagaimana pada pasal-pasal di atas.

Selain itu, materi yang banyak diajarkan adalah berkisar tema-tema agama, dan tidak

membicarakan mata pelajaran sebagaimana yang dimaksud.

Jika yang dimaksud adalah MI, M.Ts., MA/MAK sebagai wujud dari sekolah

formal pendidikan Islam, maka sejarah telah mencatat saat ini proporsi kurikulum

bidang agama dengan kurikulum bidang kajian umum di madrasah dapat dinyatakan

telah meninggalkan ciri madrasah sebagai pendidikan keagamaan Islam. Proporsi 70%

bidang umum dan 30% bidang agama, lebih dimaksudkan untuk penyetaraan

pendidikan di madrasah dengan sekolah pada jenjang yang sama.

Lantas apakah dengan penambahan proporsi kurikulum bidang umum lebih

tinggi dibanding kurikulum bidang agama dapat serta merta meningkatkan mutu

pendidikan di madrasah? Pada kenyataannya malah terjadi dampak yang tidak

selamanya positif. Sebut saja masalah jati diri madrasah.

Sejak mula hadir sebenarnya madrasah lebih berfokus pada pendidikan

keagamaan dan keislaman. Dengan perubahan orientasi tersebut justru madrasah saat

ini kehilangan jati dirinya, dan lebih parah lagi kesulitan pula untuk merebut peran

dalam konteks pendidikan nasional, jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum

di bawah pembinaan Depdiknas.

Pada masa-masa yang akan datang, dalam hal pengembangan kurikulum,

tampaknya madrasah masih akan terus dihadapkan pada dilema dikotomi keilmuan.

Setia dengan tujuan awal hadirnya sebagai pengembang ilmu-ilmu keislaman, atau

Page 14: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar melakukan perubahan kurikulum yang

ukurannya adalah pragmatism sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup peserta

didik. Tentu saja , pilihan atas itu semua akan memiliki resiko yang tidak sama dalam

pengembangan materi pembelajaran, orientasi serta proses pembelajarannya.

Sementara itu untuk pendidikan diniyah non-formal disebutkan dalam pasal 21 ayat (1)

yaitu, Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab,

Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur'an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang

sejenis. Adapun untuk proses penyelenggaraannya tertuang dalam pasal yang sama ayat

(5) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan

SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi.

Jika untuk lembaga pendidikan keagamaan Islam yang diformalkan saja

memiliki banyak hambatan, maka persoalan yang senada juga pasti dialami oleh

pendidikan diniyah non-formal. Tentunya bentuk-bentuk pendidikan diniyah nonformal

di atas lebih dimaksudkan sebagai upaya menyiasati ketidakmungkinan peserta didik

mengikuti proses pendidikan secara formal. Hanya saja jika itu terjadi, maka

persoalannya pada bagaimana upaya kesetaraannya? Lembaga mana yang akan

dijadikan sebagai model ideal bagi penyetaraan pendidikan diniyah non-formal ini?

Sementara persoalan pendidikan kesetaraan di lingkup Depdiknas sendiri belum

seluruhnya tuntas, setidaknya untuk masalah home scooling yang hingga hari ini masih

tarik ulur tentang penyelenggaraannya. Tentunya Depag juga harus mulai antisipasi

untuk membuat desain model penyetaraan bagi pendidikan diniyah non-formal ini.

Sebab rasanya tidak adil, tidak menghargai mereka yang telah menempuh pendidikan

selama kurun waktu tertentu, namun tidak memberi atribut kelulusannya

D.Analisis Kebijakan Di Lembaga Pendidikan

Pembangunan pendidikan Nasional adalah suatu usaha yang bertujuan untuk

mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri dan modern.16

Pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya menyeluruh dan

sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa.Keberhasilan dalam

memebangun pendidikan akan memberikan kontribusi besar pada pencapaian tujuan

pembangunan nasional secara keseluruhan . Dalam konteks demikian pembangunan

pendidikan itu mencakup berbagai dimensi yang sangat luas; yang meliputi dimensi

sosial, budaya, ekonomi dan politik.

16 Depdiknas: 2003, 5a.

Page 15: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Dalam pespektif sosial, pendidikan akan melahirkan insan-insan terpelajar

yang memepunyai peranan penting dalam proses perubahan sosial di dalam masyarakat.

Pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas

masyarakat, yang mengarah pada pembentukan formasi sosial baru. Formasi sosial baru

ini terdiri dari lapissn masyarakat kelas menengah terdidik yang menjadi elemen

penting dalam memeperkuat daya rekat sosial. Pendidikan yang melahirkan lapisan

masyarakat terdidik itu menjadi kekuatsan perekat yang menautkan unit-unit sosial di

dalam masyarakat, keluarga, komunitas, perkumpulan masyarakat, dan organisasi sosial

yang kemudian menjelma dalam bentuk organisasi besar berupa lembaga negara.

Dengan demikian, pendidikan dapat memeberikan sumbangan penting dalam upaya

memantapkan integrasi sosial.

Dalam perspektif budaya, pendidikan merupakan wahana penting dan medium

yang efektif untuk mengajarkan norma, menyosialisasikan nilai, dan menanamkan etos

di kalangan warga masyarakat. Pendidikan juga dapat menjadi instrumen untuk

memupuk kepribadian bangsa, memeperkuat identitas nasional, dan memantapkan jati

diri bangsa. Bahkan peran pendidikan lebih penting lagi ketika arus globalisai demikian

kuat, yang membawa pengaruh nilai-nilai dan budaya yang acap kali bertentangan

dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa indonesia. Kesadaran kolektif sebagai warga

bangsa dan mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman

budaya, ras, suku bangsa dan agama sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional.

Dalam perspektif ekonomi, pendidikan akan menghasilkan manusi-manusia

yang andal untuk menjadi subyek penngerak pembangunan ekonomi nasional. Oleh

karena itu pendidikan hrus mamapu melahirkan lulusan-luluan bermutu yan memiliki

pengetahuan , menguasi teknologi dan memepunyai ketrampilan teknis, dan kecakapan

hidup yang memadai. Pendidikan juga harusdapat menghasilkan tenaga-tenaga

profesional yang memiliki kemampuan kewirausahaan, yang mejadi pilar utama

aktivitas perekonomian nasional. Bahkan peran pendidikan menjadi sangat penting dan

strategis untuk meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian bangsa,

yang mejadi prasyarat mutlak dalam memasuki persaingan antara bangsa di era global.

Dalam perspektif politik, pendidkkan harus mampu mengembangkan kapasitas

individu untuk menjadi warga negara yang baik, yang memiliki kesadaran akan hak dan

tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Oleh karena

itu, pendidikan harus dapat melahirkan individu yang memiliki visi,dan idealisme itu

Page 16: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

haruslah merujuk dan bersumber pada paham ideologi nasional, yang dianut oleh

seluruh komponen bangsa. Dalam jangka panjang, pendidikanniscaya akan melahirkan

lapisan masyarakat terpelajar yang kemudian membentuk critical mass, yang menjadi

elemen pokok dalam upaya memebangun masyarakat madani.Dengan demikian

pendidikan merupakan usaha besar untuk meletakkan landasan sosial yang kukuh bagi

terciptanya masyarakat demokratis, yang bertumpu pada golongan masyarakat

demokratis, yang bertumpu pada golongan masyarakat kelas menengah tedidik yang

menjadi pilar utama civil society yang menjadi salah satu tiang penyangga bagi upaya

perwujudan pembangunan masyarakat demokratis17

Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya me

warisi nilai yang menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam

menjalani kehidupan dan untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia, tanpa

pendidikan manusia sekarang tanpa berbeda dengan manusia masa lampau, yang

dibandingkan dengan manusia sekarang telah sangat tertinggal baik kwalitas maupun

proses pembedayaanya.Untuk itu pemerintah banyak membantu dalam dunia

pendidikan diantaranya banyak peraturan-peraturan yang telah di buat seperti :

Keputusan mentri No 44 Tahun 2005 tentang Komite Sekolah

Peraturan pemerintah No 19 Tahun 2007 Penilaian Standar Isi.

Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2007 Standar Sarana dan Prasarana

Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2007 Sertifikasi guru

Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2007 tentang buku teks Pelajaran

Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2008 Standar Adminitrasi Sekolah

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Pembagian Wewenang

Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan

Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2008 wajib Belajar

Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2008 Guru

Undang-Undang No.14 Guru dan Dosen

Undang-Undang No.20 Sekdiknas

17 Nanang Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012),43-45.

Page 17: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Lahirnya Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 1999 yang memberikan

kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pendidikan,

merupakan tonggak baru penyelenggaraan pendidikan. Dengan undang-undang ini

kebijakan pendidikan berubah, yang tadinya otoritas penyelenggaraan pendidikan

berada di tangan pemerintah pusat, sekarang otoritas tersebut berada di tangan

pemerintah daerah.

Permasalahan pendidikan yang dihadapi Pemerintah Indonesia memang sangat

kompleks. Selain menyediakan pendidikan bagi penduduk usia belajar yang jumlahnya

begitu besar, kita menghadapi perubahan dan perkembangan teknologi dan informasi

yang begitu deras, yang tidak diimbangi peningkatan mutu sumber daya pembelajaran,

termasuk dalam hal peningkatan mutu guru, kurikulum, alat pembelajaran, dan lainnya.

Ketertinggalan dalam hal mutu sumber daya pembelajaran ini tidak lepas dari

kebijakan pemerintah. Melihat kompleksnya isu pendidikan yang dihadapi pada Abad-

21 ini dan yang sedang dihadapi Indonesia saat ini, diperlukan kajian terhadap sistem

pendidikan di Indonesia beserta kebijakan yang mendukungnya.

Kebijakan pemerintah yang perlu dikaji adalah kebijakan dalam bentuk

undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, serta keputusan direktur

jenderal. Banyak permasalahan pendidikan yang dapat diidentifikasi dari masalah yang

disebabkan oleh kebijakan pendidikan yang ada, termasuk isu-isu pendidikan yang

berkembang.

Kelemahan peningkatan pendidikan terletak dari sudut pandang pengelolaan

pendidikan. Pendidikan membutuhkan proses yang panjang, bukan hanya target-target

instan yang tak akan bertahan dalam jangka panjang. Tujuan pendidikan yang terdapat

dalam undang-undang tidak dapat dilaksanakan dengan sudut pandang pragmatis atau

realistis.

Mutu pendidikan di Indonesia tidak akan dapat melampaui mutu pendidikan

negara lain, atau tujuan pendidikan nasional tidak akan dapat dicapai tanpa perencanaan

jangka panjang dan jangka menengah yang berkesinambungan.

Page 18: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Tujuan pendidikan yang demikian ideal selama ini tidak pernah dengan

sungguh-sungguh diterjemahkan secara operasional. Kurikulum yang dirancang dan

dilaksanakan secara relevan, efisien, dan efektif akan mampu mendukung terlaksananya

fungsi pendidikan nasional untuk mencerdaskan bangsa dan memajukan budaya

nasional. Peningkatan mutu pendidikan dari segi pelayanan pembelajaran belum

disentuh.

Pergantian era kepemimpinan menteri pendidikan tidak mampu membawa

peningkatan pelayanan pendidikan yang bermuara pada peningkatan mutu. Rasio siswa

dalam satu kelas tidak pernah menurun. Rasio siswa dari jenjang SD hingga SMA

masih di atas 25 orang, bahkan di tingkat SMP dan SMA berada pada kisaran 40 orang.

Angka ini masih jauh dari tuntutan penyediaan pendidikan yang berkualitas.

Sekalipun pemerintah telah lama melakukan perluasan pendidikan, ternyata

tidak berhasil menaikkan rasio siswa dalam satu kelas. Peningkatan mutu pendidikan

dari segi input siswa. Tanpa kesehatan, nutrisi yang cukup, ketekunan, kehadiran yang

tetap, dan dukungan rumah, kegiatan pembelajaran di kelas tidak akan efektif. Siswa

harus mampu bertahan mengikuti pembelajaran selama jam pelajaran, sehingga harus

didukung oleh nutrisi yang cukup.

Dari segi proses, peningkatan mutu pendidikan belum berjalan baik karena

para guru dan tenaga pengajar lain masih lebih banyak berpendidikan di bawah S-1.

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan selama ini masih dalam taraf

meningkatkan kompetensi guru hingga D-2. Hal ini terjadi khususnya di jenjang

pendidikan dasar dan menengah.

Dari segi mutu output pendidikan didapati bahwa selama ini tidak ada kriteria

kelulusan berdasarkan hasil ujian, sehingga hampir semua peserta ujian memperoleh

predikat tamat dan dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan selanjutnya. Dengan

mengambil batas nilai 5,5 (asumsi) sebagai kriteria minimal kelulusan, berarti hanya

36,79% siswa SLTP yang lulus, sisanya memperoleh predikat tamat belajar. Dari

paparan akademis, tingkat penguasaan materi pada umumnya sangat memprihatinkan.

Pada 2003 telah lahir UU No 20/2003 tentang Pendidikan Nasional. Undang-

undang ini memang telah lebih komprehensif dan jelas menyatakan tentang

Page 19: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

standardisasi pendidikan dan peningkatan mutu. Namun karena operasionalisasi

undang-undang ini memerlukan peraturan pemerintah, dan peraturan itu hingga 2004

belum selesai dibuat, maka keputusan menteri pendidikan nasional belum mengacu

kepada undang-undang tersebut.

Dalam hal ini kebijakan pendidikan yang ada belum mampu meningkatkan

mutu pendidikan menembus pencapaian jangka pendek (output pendidikan) dan

pencapaian jangka panjang (outcome pendidikan), apalagi mengungguli pencapaian

mutu pendidikan negara tetangga.

Peningkatan mutu pendidikan selama ini masih belum menunjukkan hasil yang

memuaskan. Rendahnya mutu pendidikan ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain

mutu dan distribusi guru yang masih belum memadai, kurangnya sarana dan prasarana

pendidikan, kurikulum yang kurang sesuai, lingkungan belajar di sekolah maupun

dalam keluarga dan masyarakat belum mendukung.18

E. KESIMPULAN

Landasan teori kebijakan berfungsi untuk memahami, menjelaskan,

memprediksi dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan sehingga sesuai dengan

kaidah-kaidah (keilmuan) dan tujuan pendidikan. Karena kebijakan sebagai ilmu

terapan yang multidisiplin. Pendidikan sebagai salah satu sektor penting dalam

pembangunan yang menghasilkan sumber daya manusia yang dibutuhkan sesuai arah

tujuan pendidikan: Pengembangan Manusia sebagai Mahluk Individu, Pengembangan

Manusia sebagai Mahluk sosial, Pengembangan Manusia sebagai Mahluk susila

(Ahklak Mulia), Pengembangan Manusia sebagai Mahluk Beragama (Imtaq), dan

Pengembangan Manusia sebagai Mahkluk Profesi, atau menjadi warga negara yang

baik (good Citizens) dan mewujudkan civil society dalam era reformasi. Bila dilihat dari

18 http://mpiuika.wordpress.com/2009/11/08/makalah-diskusi-analisis-kebijakan-pendidikan-islam-kelompok-1/

Page 20: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

tujuan idealnya dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan nasional.

Dalam upaya meningkatkan kinerja pendidikan nasional, diperlukan suatu reformasi

menyeluruh yang telah dimulai dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi

pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik pemerintahan. Sebelum diberlakukan

UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka pengelolaan pendidikan dasar

menganut sentralisasi dan terjadi dualisme pemerintahan, yaitu oleh dinas dikbud yang

menginduk ke departemen dalam negeri dan departemen pendidikan. Namun setelah

reformasi politik pemerintahan ini tertuang di dalam UU No.22/1999 yang kemudian

disempurnakan menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut

menandai perubahan radikal tata kepemerintahan dari sentralistik ke sistem

desentralistik, dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Pendidikan yang

semula menjadi kewenangan pemerintahan pusat kemudian dialihkan menjadi

kewenangan pemerintah daerah. Pengelolaan pendidikan yang menjadi wewenang

pemerintah daerah ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas

manajemen pendidikan sehingga diharapkan dapat memeperbaiki kinerja pendidikan

nasional, dan kelebihan-kelebihan kebijakan dalam lembaga pendidikan lainnya yaitu:

1. Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota mengambil inisiatif sendiri dalam

melaksanakan perubahan organisasi untuk merespons peran dan fungsi yang

berubah maka hal inilah yang merupakan bagian dari kelebihan-kelebihan

kebijakan dalam lembaga pendidikan, khususnya pendidikan Islam yang

merupakan bagian pendidikan Nasional.

2. Tumbuhnya inisiatif dalam mengelola perubahan yang didorong oleh kekuatan

internal pada tingkat satuan pendidikan dan masyarakat.

3. Pada tingkat pusat reformasi struktur organisasi Departemen lebih diarahkan pada

semakin besarnya fungsi manajemen mutu sebagai respons positif terhadap

tuntutan perkembangan global dan kebijakan desentralisasi.

4. Mulai tampak adanya kebutuhan legilasi dan regulasi dalam pengelolaan

pendidikan di daerah.

Adapun yang menjadi kekurangan-kekurangan kebijakan dalam hal

desentralisasi adalah bahwa perencanaan dan pelaksanaan program belum didukung

oleh data dan informasi yang akurat pada berbagai tingkatan pemerintah. Salah satu

fungsi manajemen yang penting yaitu pengawasan terhadap berbagai program dan

kegiatan yang berkaitan dengan upaya pemerataan dan perluasan akses serta

Page 21: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan. Pengawasan yang dapat dilakukan

dengan cara monitoring dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas

pendayagunaan sumber daya dalam pembangunan pendidikan,agar dapat mencegah

sekecil mungkin terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme(KKN). Pemberantasan KKN

menjadi isu pemerintahan sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Beare, H and W. Lowe Boyd, Restructuring School, (London: The Falmers Press, 1993)

Duke, Daniel L. And Robert Lynn Canady, Scool Policy, (New york: Mc Graw Hill,

Inc, 1991)

Gemage daon Pang, Leadership and manajemen in Education, (Hongkong: The

Chinese University Press, 2003)

http://zinkser.blogspot. Com/2012/01/ makalah-kebijakan-pemerintah-dalam.html.

Diakses 12 Desember 2012

Page 22: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

http://mpiuika.wordpress.com/2009/11/08/makalah-diskusi-analisis-kebijakan-

pendidikan-islam-kelompok-1/ UUSPN No. 20 Tahun 2003 . Diakses 12

Desember 2012

Monahan dan Hangst, Contemporarary Educational Administrasion,( New York:

Macmillan Publishing Co, Inc.1982)

Nanang Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya 2012.

Newton, Colin dan Tony Tarrant, Managing Change in School,( London: Routledge

1992)

Rozihan.http:/ /www.suaramerdeka. com/ harian/0501/07/opi3.htm)

Syafaruddin. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2008.

Thomson, Jhon Thomas. Policy Making in American Education, (New Jerse:

Englewood Cliffs, 1976)