KEL.1 TBC.doc

26
TBC Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kimia Medisinal Di susun oleh : Septian Adetama (0810920015) Eka Kumalasari (0810920031) Oktawirandy Rajaki (0810920057) Riskha Oktirisa (0810920063) Agnes Ratna Yustika (0810923031) JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

description

Kimia Medisinal

Transcript of KEL.1 TBC.doc

Page 1: KEL.1 TBC.doc

TBC

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kimia Medisinal

Di susun oleh :

Septian Adetama (0810920015)

Eka Kumalasari (0810920031)

Oktawirandy Rajaki (0810920057)

Riskha Oktirisa (0810920063)

Agnes Ratna Yustika (0810923031)

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2011

Page 2: KEL.1 TBC.doc

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman Micobacterium

tuberculosis. Bakteri ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882.

Micobacterium tuberculosis termasuk bakteri Gram positif sehingga bersifat sulit diwarnai.

Akan tetapi ketika sudah diwarnai, warna tersebut sulit dihilangkan oleh asam atau

alkohol. Oleh karena itu bakteri ini sering disebut ‘bakteri tahan asam’. Sifat mikobakteri

ini disebabkan oleh kandungan lipid yang tinggi pada dinding sel. Hal inilah yang

menyebabkan bakteri tuberkulosis mempunyai ketahanan yang besar terhadap kemoterapi

(Mutschler, 1991). Bakteri tersebut cenderung menginfeksi organ paru-paru dibandingkan

organ lain pada tubuh manusia. Hal ini dikarenakan bakteri Mycobacterium tuberculosis

bersifat aerob sehingga membutuhkan banyak suplai oksigen (Putra, 2009).

Di Indonesia, TBC merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Indonesia

menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah penderita diantara 22

negara dengan masalah TBC terbesar didunia. Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia

(WHO), pada tahun 2007 jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia sekitar 528.000 orang

(Ferdinand, 2011). Penyakit TBC bersifat menular dengan cepat pada orang yang rentan

dan memiliki daya tahan tubuh lemah. Diperkirakan seorang penderita TBC aktif dapat

menularkan basil TBC kepada 10 orang disekitarnya.

Proses diagnosis tuberkulosis paru terkadang sulit dilakukan karena penyakit

tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif sering tidak menimbulkan gejala yang

dapat dilihat/dikenal. Disamping itu penyakit tuberkulosis paru mempunyai diagnosis

hampir sama pada semua penyakit dada dan banyak penyakit lain yang mempunyai gejala

umum berupa kelelahan dan panas (Kusnan dan Suratmi, 1990).

Pengobatan TBC merupakan masalah rumit mencakup waktu penyembuhan yang

lama, kepatuhan disiplin penderita dalam menjalani pengobatan dan daya tahan tubuh.

Penyakit TBC dapat disembuhkan dengan penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Terdapat dua jenis kategori Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yaitu OAT utama dan OAT

sekunder. OAT utama terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan sifatnya yaitu bakterisidal yang

meliputi INH, rifampisin, pirazinamid dan streptomisin serta bakteriostatik yang meliputi

etambutol. Sedangkan OAT sekunder terdiri dari ethionamid, sikloserin, kanamisin dan

Page 3: KEL.1 TBC.doc

kapreomisin (Depkes, 2002). Pengobatan TBC dilakukan dengan beberapa kombinasi obat

karena penggunaan obat tunggal akan cepat dan mudah terjadi resistensi. Disamping itu,

waktu terapi yang cukup lama yaitu antara 6–9 bulan mengakibatkan ketidakteraturan

pasien dalam meminum obat sehingga menyebabkan timbulnya resistensi.

Pada dasarnya penyakit TBC bisa disembuhkan secara tuntas apabila pasien

mengikuti anjuran tenaga kesehatan untuk minum obat secara teratur dan rutin sesuai

dengan dosis yang dianjurkan. Selain itu diperlukan juga kepedulian dan pengawasan dari

tenaga kesehatan untuk mengawal perkembangan terapi pasien. Oleh karena itu dalam

makalah ini akan dibahas lebih jauh mengenai penyakit dan pengobatan TBC serta cara-

cara untuk terhindar dari penyakit TBC.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apa penyebab dari penyakit TBC ?

2. Bagaimana gejala penyakit yang ditimbulkan oleh penderita TBC ?

3. Apa jenis obat yang dapat digunakan untuk mengobati penderita TBC ?

4. Bagaimana interaksi obat Isonizoid dalam tubuh sehingga mampu menyembuhkan

penderita TBC ?

5. Bagaimana cara mencegah agar terhindar dari penyakit TBC ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini :

1. Untuk mengetahui penyebab dari penyakit TBC.

2. Untuk mengetahui gejala penyakit yang ditimbulkan oleh penderita TBC.

3. Untuk mengetahui jenis obat yang dapat digunakan dalam mengobati penderita

TBC.

4. Untuk mengetahui interaksi obat Isonizoid dalam tubuh sehingga mampu

menyembuhkan penderita TBC.

5. Untuk mengetahui cara mencegah agar terhindar dari penyakit TBC.

Page 4: KEL.1 TBC.doc

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Penyebab Penyakit TBC

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis. Bakteri tersebut berbentuk batang (basil), berukuran panjang sekitar 1-4

mikron, tebal 0.3-0.6 mikron dan bersifat aerob. Bakteri Mycobacterium tuberculosis

termasuk salah satu basil Gram-Positif sehingga sulit diwarnai. Akan tetapi, sekali berhasil

diwarnai, warna pada bakteri tersebut sulit dihilangkan dengan larutan bersifat asam. Oleh

karenanya bakteri tersebut sering disebut bakteri batang tahan asam (BTA). TBC dapat

menginfeksi banyak organ tetapi lebih sering menyerang organ paru-paru karena

merupakan sumber utama suplai oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis untuk dapat tumbuh dan berkembang biak (Ferdinand, 2011).

Gambar 1 : Bakteri Mycobacterium tuberculosis

Bakteri Mycobacterium tuberculosis memiliki dinding sel yang sebagian besar

tersusun dari asam mikolat dengan cabang molekul berupa rantai asam lemak yang sangat

panjang sehingga memberikan penghalang yang bersifat impermeable di sekitar sel. Rantai

asam lemak inilah yang membuat bakteri Mycobacterium tuberculosis lebih tahan terhadap

asam dan gangguan fisika-kimia. Selain itu pada kondisi dormant (istirahat), bakteri TBC

dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun dalam udara kering maupun dingin. Setelah

bangkit dari keadaan dormant, bakteri ini dapat kembali aktif seperti sebelumnya.

Pertumbuhan bakteri TBC berlangsung secara lambat, yakni setiap sekitar 15 sampai 20

jam. Hal ini berbeda dengan bakteri pada umumnya yang mampu berkembang biak dalam

hitungan menit seperti Escherichia coli yang dapat tumbuh setiap 20 menit (Putra,2009).

Penyakit TBC ditularkan dari orang ke orang terutama melalui saluran pernapasan

dengan menghirup udara yang telah tercemar bakteri Mycobacterium tuberculosis yang

dilepaskan pada saat penderita TBC batuk. Apabila bakteri ini sering masuk ke paru-paru

Page 5: KEL.1 TBC.doc

pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah maka bakteri tersebut akan berkumpul

dan berkembang biak hingga akhirnya menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar

getah bening. Oleh karena itu, hampir semua organ tubuh seperti paru, tulang, otak, ginjal,

kelenjar getah bening dan saluran pencernaan dapat terinfeksi oleh bakteri tersebut (Smith,

2005).

Mekanisme perjalanan bakteri Mycobacterium tuberculosis didalam tubuh dapat

dijelaskan sebagai berikut : Bakteri yang terhirup akan membentuk satu fokus infeksi paru-

paru yang ditandai dengan tumbuhnya koloni bakteri berbentuk globular. Akan tetapi

pertumbuhan bakteri tersebut akan dihambat oleh sel paru melalui serangkaian reaksi

imunologis dengan cara pembentukan dinding disekeliling bakteri. Mekanisme

pembentukan dinding tersebut membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan

bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang

sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen. Pada sebagian orang

dengan sistem kekebalan tubuh yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang

hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang,

bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak.

Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang

akan menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi

sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif

terinfeksi TBC (Smith, 2005).

Gambar 2 : Penyebaran Bakteri TBC (Smith, 2005)

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang

dikeluarkan dari paru-parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan sputum

Page 6: KEL.1 TBC.doc

(dahak), maka penderita tersebut bersifat menular. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif

(tidak terlihat adanya kuman), maka penderita tersebut bersifat tidak menular.

2.2 Gejala Penyakit TBC

Gejala klinis tuberkulosis kurang spesifik. Hal ini merupakan hambatan dalam

deteksi dini penyakit sehingga diperlukan pemeriksaan pembantu seperti uji tuberkulin,

darah rutin dan rontgen dada. Gejala penyakit TBC dapat dibedakan menjadi 2 yaitu yaitu

gejala umum dan gejala khusus. Gejala-gejala umum penyakit TBC yaitu demam tidak

terlalu tinggi tetapi berlangsung lama dan umumnya demam dirasakan pada malam hari

disertai keringat dingin, terjadi penurunan nafsu makan sehingga berat badan akan terus

menurun, badan menjadi lemah dan batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu disertai dahak

yang bercampur dengan darah karena terdapat pembuluh darah pada paru-paru yang pecah.

Sedangkan gejala khusus penyakit TBC tergantung dari organ yang diinfeksi. Gejala

khusus penyakit TBC paru ditandai dengan sesak nafas sehingga timbul bunyi ketika

bernafas ‘bengek’ dan suara nafas melemah. Hal ini disebabkan karena terjadi

penyumbatan sebagian pada bronkus sebagai akibat penekanan kelenjar getah bening yang

membesar. Disamping itu terjadi sakit dada dikarenakan terdapatnya cairan di rongga

pleura (pembungkus paru-paru). Untuk gejala khusus penyakit TBC tulang maka akan

terjadi infeksi tulang yang lama-kelamaan dapat membentuk saluran dan keluar cairan

nanah yang bermuara diatas permukaan kulit. Penyakit TBC dapat menyerang lapisan

penbungkus otak atau sering disebut meningitis. Penyakit tersebut sering terjadi pada anak-

anak dan gejalanya ditandai dengan demam tinggi, penurunan kesadaran dan kejang-

kejang (Depkes, 2002).

2.3 Obat Anti Tuberkulosis

Prinsip dasar pengobatan TBC adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam

waktu 6 bulan. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa semua bakteri TBC dalam

tubuh baik yang aktif maupun tidur telah mati. Bakteri Mycobacterium tuberculosis yang

sedang dalam keadaan dormant (istirahat) dapat membelah jika diberi antibiotik, itu

sebabnya obat TBC diberikan selama enam bulan terus menerus. Disamping itu, bakteri

TBC dapat menghasilkan enzim beta-laktamase yang berfungsi memberi kekebalan

terhadap antibiotik yang memiliki struktur khas berupa cincin beta laktam seperti penisilin

dan sefalosporin. Namun mekanisme kekebalan ini dapat diatasi dengan menambahkan

penghambat enzim-beta laktamase pada obat TBC. Pada umumnya kekebalan disebabkan

Page 7: KEL.1 TBC.doc

oleh penguraian obat anti-bakteri oleh enzim atau protein tertentu yang dihasilkan bakteri

TBC. Oleh sebab itu pengobatan TBC dilakukan dengan menggunakan terapi kombinasi

obat agar mengurangi kekebalan bakteri (Putra,2009).

Pengobatan TBC terbagi menjadi 2 tahap yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan.

Tahap intensif dilakukan dengan memberikan 4-5 macam obat antituberkulosis per hari

yang bertujuan mendapatkan konversi sputum (Perubahan dari BTA positif menjadi

negative) dengan cepat, menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut

serta mencegah timbulnya resistensi obat. Sedangkan tahap lanjutan dilakukan dengan

hanya memberikan 2 macam obat per hari dengan tujuan menghilangkan bakteri yang

tersisa dan mencegah kekambuhan (Depkes, 2002).

Terdapat dua jenis kategori Obat Anti Tuberkulosis (OAT) berdasarkan khasiat dan

efek sampingnya yaitu OAT utama dan OAT sekunder. OAT utama terbagi menjadi 2 jenis

berdasarkan sifatnya yaitu bakterisidal yang meliputi INH, rifampisin, pirazinamid dan

streptomisin serta bakteriostatik yang meliputi etambutol. Obat jenis bakterisidal bekerja

secara aktif membasmi kuman sedangkan bakteriostatik bekerja dengan mencegah

pertumbuhan kuman tetapi tidak membunuhnya sehingga pembasmian kuman sangat

tergantung oleh daya tubuh. Sedangkan OAT sekunder terdiri dari protionamid, sikloserin,

PAS dan kapreomisin. OAT utama lebih baik khasiat dan keamanannya dibandingkan

OAT sekunder (Muchtar, 2006). Interaksi obat OAT terhadap penyakit lebih lanjut akan

lebih dispesifikkan untuk isoniazid.

Isoniazid

Isoniazid atau INH merupakan salah satu obat yang efektif dalam pengobatan TBC.

Isoniazid atau isonikotinil hidrazid dikenal dengan nama INH. Isoniazid secara in vitro

bersifat tuberkulostatik (menahan perkembangan bakteri) dan tuberkulosid (membunuh

bakteri). Isoniazid bersifat bakterisidal yang dapat membunuh 90% populasi bakteri dalam

beberapa hari pengobatan. INH dapat bekerja baik intra maupun ekstraseluler (Ferdinand,

2011). Obat ini sangat efektif digunakan terhadap bakteri yang sedang dalam keadaan

metabolik aktif yaitu bakteri yang sedang berkembang biak.

Farmokinetik obat ini adalah mudah diabsorpsi oleh sistem pencernaan. Setelah

INH terabsorpsi maka akan terdistribusi ke seluruh bagian organ tubuh. Metabolisme INH

berlangsung dihati dan usus kecil. Pertama, INH akan bereaksi dengan N-asetiltransferase

asetilat menghasilkan asetilisoniazid kemudian akan terhidrolisis menjadi asam

isonikotinoat dan monoasetilhidrazin setelah itu terasetilasi menjadi senyawa

diasetilhidrazin. Kecepatan metabolisme tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik

Page 8: KEL.1 TBC.doc

(asetilator cepat atau lambat) yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam

plasma dan waktu paruhnya. Waktu paruh obat isoniazid dalam tubuh berkisar 1-3 jam.

INH dan hasil metabolitnya akan diekskresikan didalam urin melalui filtrasi glomerulus

sekitar 75-95% (Singh,2008).

Dosis harian rata-rata adalah 5-10 mg/kg. Efek samping yang terjadi pada sekitar 10

% pasien adalah gangguan sistem saraf pusat dan perifer (misalnya pusing, sakit kepala,

bingung, hiperfleksia, neuritis) dan sekitar 5 % pasien mengalami gangguan saluran

pencernaan. Reaksi alergi, leucopenia dan kerusakan hati sering terjadi. Gejala neuritis

dapat dicegah dengan baik jika obat diberikan bersama piridoksin (100 mg per hari)

sedangkan gangguan sistem saraf pusat dapat dikurangi dengan pemberian asam glutamat.

Selain itu, efek samping lain yaitu dapat menimbulkan anemia sehingga dianjurkan juga

untuk mengkonsumsi vitamin penambah darah seperti piridoksin (vitamin B6) (Mutschler,

1991).

Gambar 4 : Struktur Molekul Isoniazid

Rifampisin

Rifampisin merupakan produk sintesis parsial dari rifampisin SV yang diisolasi dari

Streptomyces mediterranei. Rifampisin bersifat bakterisidal. Senyawa ini mempunyai

spektrum kerja yang luas yaitu disamping bekerja terhadap mikobakteri juga bekerja

terhadap sejumlah bakteri gram positif dan negatif lainnya. Pemberian rifampisin dengan

antituberkulotika lain tidak menyebabkan resistensi silang. Target Obat rifampisin adalah

subunit RNA polymerase β. Mekanisme kerja rifampisin yaitu menghambat sintesis RNA

(Mutschler, 1991).

Gambar 5 : Struktur Molekul Rifampisin

Page 9: KEL.1 TBC.doc

Pada pemakaian oral, rifampisisn diabsorpsi pada protein plasma dengan baik sekitar

75-80 % dan ekskresi dikeluarkan melalui ginjal. Waktu paruh obat adalah 3-5 jam. Dosis

harian yang diberikan sekitar 450-600 mg. Pada umumnya rifampisin dapat diterima tubuh

dengan baik. Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan fungsi hati, gangguan

saluran pencernaan serta reaksi alergi (Mutschler, 1991).

Etambutol

Etambutol merupakan isomer turunan etilendiamina sederhana dengan spektrum

kerja hanya terbatas pada mikobakteri saja. Etambutol bersifat bakteriostatik. Target obat

berupa arabinosil transferase. Mekanisme kerja yaitu menghambat sintesis dinding sel

arabinogalaktan. Setelah pemberian oral, sekitar 80 % etambutol akan diabsorpsi dengan

cepat dan relatif cepat diekskresikan melalui urin (waktu paruh plasma 4 jam) (Mutschler,

1991).

Gambar 6 : Struktur Molekul Etambutol

Pengaturan dosis pada awal terapi adalah 25 mg/kg dan setelah beberapa minggu menjadi

15 mg/kg. Senyawa ini dapat ditoleransi dengan baik akan tetapi sebagai efek samping

dapat terjadi gangguan mata [pengurangan visus, kegagalan penglihatan sekilas (benda-

benda yang dapat dilihat dalam suatu ruangan pada mata istirahat)] (Mutschler, 1991).

Streptomisin

Streptomisin merupakan obat yang bersifat bakterisidal. Target obat streptomisin

berupa protein ribosom 12 S dan 16 S. Mekanisme obat ini adalah menghambat sintesis

protein.

Gambar 7 : Struktur Molekul Streptomisin

Page 10: KEL.1 TBC.doc

Pirazinamid

Pirazinamid menunjukkan kemiripan struktur dengan isoniazid dan bekerja pada

metabolisme nikotinamid. Obat ini dapat bersifat bakterisidal. Target dari obat ini terletak

pada proses metabolisme energi membran. Mekanisme kerja obat ini yaitu menganggu

proses transport membran. Kerjanya lebih kuat pada pH asam daripada basa. Obat ini

sangat efektif terhadap nekrosis TBC yang lunak, kering dan berwarna kuning. Obat

tersebut mudah diabsorbsi dan cepat mencapai kadar maksimum. Waktu paruh obat hanya

sekitar beberapa jam. Ekskresi dikeluarkani melalui ginjal. Obat ini cepat terjadi

pembentukan resistensi sehingga kombinasi dengan obat anti tuberkulotika lain harus

dilakukan (Mutschler, 1991).

Gambar 8 : Struktur Molekul Pirazinamid

Dosis per hari yaitu 1,5-2 g. Efek samping yang terjadi berupa gangguan saluran

pencernaan, gangguan hematopoesis, kerusakan hati serta peningkatan asam urat.

Pirazinamid akan memperlemah kerja urikosurika dan memperkuat penurunan gula darah

oleh antidiabetika oral (Mutschler, 1991).

Protionamid

Protionamid adalah suatu senyawa yang secara kimia mirip dengan isoniazid dan

merupakan turunan piridin. Metabolime protionamid sama seperti isoniazid yaitu

menghambat sintesis asam mikolat. Metabolisme mirip dengan isoniazid yaitu akan

mengalami biotransformasi menjadi turunan asam isonikotinat. Waktu paruh obat adalah

2-3 jam dengan dosis harian 0,5 g. Efek samping yang terjadi adalah gangguan saluran

pencernaan, kerusakan hati sebagai akibat meningkatnya kadar transaminase dan gejala

neurotoksik. Kadang-kadang terlihat juga gejala alergi (Mutschler, 1991).

Gambar 9 : Struktur Molekul Protionamid

Page 11: KEL.1 TBC.doc

Asam p-Aminosalisilat (PAS)

PAS mempunyai kerja antituberkulotika yang relatif lebih lemah dibandingkan kerja

isoniazid atau streptomisin. Mekanisme kerjanya mirip dengan sulfonamid yaitu

menghambat secara kompetitif pembentukan asam folat dari asam p-aminobenzoat. Asam

p-Aminosalisilat diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral. Kadar obat dalam darah

maksimum dapat tercapai dalam waktu 1-2 jam. Waktu paruh obat adalah 3-5 jam. Sekitar

75-85%, zat akan diubah dalam tubuh menjadi metabolit tak aktif (asetil-PAS dan glikokol

PAS). Ekskresi terjadi melalui ginjal. Bentuk PAS yang tidak berubah sebagian akan

mengalami proses filtrasi sedangkan asetil-PAS dan glikokol-PAS mengalami sekresi

tubulus. Dosis yang digunakan sangat tinggi. Rata-rata 10-15 g per hari dibagi dalam 4

dosis tunggal. Efek sampingnya adalah gangguan saluran pencernaan dan alergi.

Penurunan kadar protrombin dapat diantisipasi dengan pemberian vitamin K (Mutschler,

1991).

Gambar 10 : Struktur Molekul Asam p-Aminosalisilat

Sikloserin

Mulanya, sikloserin diisolasi dari berbagai jenis Streptomyces, akan tetapi saat ini

telah dibuat secara sintesis. Senyawa ini mempunyai kerja antituberkulotika sekitar 100

kali isozianida. Resistensi terjadi sangat lambat sedangkan resistensi silang terhadap obat

antituberkulotika lain tidak ada. Sikloserin diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna,

sehingga pemberian secara parental tidak memberikan keuntungan apapun. Waktu paruh

obat sekitar 10 jam. Sebagian besar zat akan diekskresi melalui filtrasi glomerulus. Target

obat sikloserin adalah D-alanin rasemase. Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat

sintesis peptidoglikan. Efek samping yang paling sering terjadi adalah reaksi neurotoksik

berupa pusing, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, psikosis atau serangan mirip epilepsi

(Mutschler, 1991).

Page 12: KEL.1 TBC.doc

Gambar 11 : Struktur Molekul Sikloserin

Kapreomisin

Senyawa ini diisolasi dari kultur Streptomyces capreolus. Kapreomisin merupakan

campuran dari 4 polipeptida yang kerja antibakterinya terbatas hanya pada mikobakteri

saja. Ekskresi terjadi melalui ginjal dalam bentuk senyawa semula. Kapreomisin digunakan

sebagai pengganti streptomisin dan digunakan jika hanya terjadi resistansi terhadap

senyawa streptomisin. Dosis harian adalah 1 g. Efek samping dan kontra indikasinya

kurang lebih seperti streptomisin (Mutschler, 1991).

Gambar 12 : Struktur Molekul Kapreomisin

2.4 Interaksi Obat Isoniazid Terhadap Bakteri Mycobacterium tuberculosis

Bakteri Mycobacterium tuberculosis memiliki dinding sel yang sebagian besar

tersusun dari asam mikolat. Asam mikolat berperan sebagai pembungkus dinding sel

mikobakteri dan bersifat sebagai penghalang untuk zat terlarut yang dapat larut dalam air

(bersifat polar). Asam mikolat adalah molekul asam lemak β-hidroksi dengan karakteristik

khas yaitu rantai samping α alkil terdiri dari rantai asam lemak dengan panjang 20-24 atom

karbon dan asam meromilat (50-60 atom karbon). Asam mikolat terletak pada lapisan

terluar sel mikobakteria. Mekanisme biosintesis asam mikolat terjadi dalam 4 tahap yang

meliputi sintesis rantai lurus asam lemak yang akan terikat pada rantai α-alkil (C-1 dan C-

2), sintesis asam meromilat dengan atom karbon 40-60, modifikasi asam meromilat dengan

gugus fungsional berupa β- hidroksi dan tahap terakhir berupa reaksi kondensasi

keseluruhan hingga menghasilkan asam mikolat. Banyaknya enzim yang terlibat dalam

tiap tahapan guna mengkatalisis reaksi pembentukan asam mikolat dapat dijadikan suatu

target obat anti-TB (Tripathi, 2004).

Page 13: KEL.1 TBC.doc

Gambar 13 : Beberapa asam mikolat pada Mycobacterium tuberculosis

X : α-mikolat ; XI : ketomikolat ; XII : metoksimikolat (Blanchard, 2006)

Isoniazid merupakan pro-obat yang dapat aktif melalui proses aktivasi melalui proses

reaksi yang dikatalisis oleh enzim multifungsi katalase peroksidase. Enzim mikobakterial

katalase peroksidase dikode oleh gen katG yang berasal dari Mycobacterium tuberculosis.

Enzim tersebut memiliki aktivitas ganda yaitu sebagai peroksinitritase dan NADH

oksidase. Enzim tersebut memiliki kemampuan untuk mengoksidasi isoniazid menjadi

suatu spesies elektrofilik berupa radikal hidrazil isonikotinoat (Timmins,2006).

Gambar 14 : Aktivasi Isoniazid menjadi Radikal hidrazil isonikotinoat

(Timmins, 2006)

Mekanisme aksi obat ini adalah INH (Isonicotinic Acid Hydrozide) memasuki sel

mikobakteri melalui proses difusi pasif karena INH berada dalam bentuk molekul. INH

tidak beracun pada bakteri namun berfungsi sebagai pro-drug yang harus diaktivasi

terlebih dahulu oleh enzim Katalase-Peroksidase. Katalase-Peroksidase dapat

mengoksidasi isoniazid menjadi spesi yang elektrofilik yaitu radikal hidrazil isonikotinat

yang dapat merusak komponen-komponen dalam sel bakteri seperti lipid, protein dan asam

amino dari bakteri. Namun fokus kerja INH adalah menghambat sintesis asam mikolat.

Oleh karena itu, target obat isoniazid berupa protein fungsional (enzim) yaitu InhA (enoil-

ACP reductase). Perlu diketahui, enzim InhA berperan dalam mengkatalisis reaksi

perpanjangan rantai asam lemak jenuh yang terjadi pada biosintesis asam mikolat.

Page 14: KEL.1 TBC.doc

Keberadaan asam mikolat sangat berperan dalam sifat permeabilitas dari membran sel

mikobakteri.

Pada reaksi perpanjangan rantai asam lemak, asam lemak rantai tak jenuh akan

mengalami reaksi adisi menjadi asam lemak jenuh dengan adanya penambahan NADH dan

bantuan dari enzim InhA dengan melepas NAD+ seperti ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 15 : Mekanisme Aksi Obat Isoniazid

Namun dengan adanya radikal hidrazil isonikotinat, proses reaksi perpanjangan rantai

asam lemak akan terhambat karena radikal hidrasil isonikotinat bersifat kurang stabil

sehingga akan berikatan secara kovalen dengan NADH membentuk INH-NADH

(Timmins, 2006). INH-NADH berfungsi sebagai inhibitor sehingga menonaktifkan jalur

biosintesis asam mikolat dengan cara menghambat aktivitas enzim InhA (enoil-ACP

reductase) dalam melakukan proses perpanjangan rantai asam lemak untuk membentuk

asam mikolat. Dengan berkurangnya jumlah asam mikolat maka akan berakibat pada

menurunnya permeabilitas membran sel bakteri dan kematian sel bakteri (Blanchard,

1996).

2.5 Cara Mencegah Agar Terhindar Penyakit TBC

Pencegahan penyakit tuberculosis (TBC) dapat berjalan dengan baik jika tiap

individu baik penderita TBC maupun non-penderita TBC memiliki kesadaran untuk

menjaga kesehatan bersama. Beberapa cara yang dapat dilakukan bagi si penderita TBC

untuk mengurangi resiko penularan adalah menutup mulut pada waktu batuk dan bersin,

selalu menggunakan masker pelindung, meludah pada tempat tertentu seperti lubang WC,

Page 15: KEL.1 TBC.doc

memisahkan dan memuci sendiri barang-barang yang digunakan oleh penderita agar tidak

digunakan oleh orang lain dan menjaga kebersihan lingkungan. Kebersihan lingkungan

wajib dilakukan bagi si penderita TBC guna mengurangi penyebaran bakteri TBC sehingga

kesehatan orang-orang disekitarnya dapat terjaga. Kebersihan lingkungan dapat dilakukan

dengan cara selalu mengusahakan sinar matahari dan udara segar agar dapat masuk ke

dalam tempat tidur dan selalu menjemur kasur, bantal serta tempat tidur. Sedangkan cara-

cara yang dilakukan bagi non-penderita TBC untuk mengurangi resiko terkena penyakit

TBC adalah menjaga kebersihan lingkungan dan memelihara kekebalan tubuh.

Pemeliharaan kekebalan tubuh dapat dilakukan dengan cara memperbaiki tingkat gizi

dengan pola makan yang sehat seperti memakan makanan yang tinggi karbohidrat dan

tinggi protein kemudian cukup tidur dan latihan olahraga secara teratur sebab bakteri

penyebab TBC hanya mampu menginfeksi orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah.

Disamping itu, jika bekerja pada suatu area dimana terdapat penderita TBC maka

digunakan masker sebagai alat pelindung dari ancaman bakteri penyebab TBC yang

dikeluarkan pasien melalui batuknya. Sedangkan pencegahan penularan penyakit TBC

pada bayi yang berumur 3-14 bulan dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG.

Disamping itu non penderita TBC wajib mengingatkan temannya yang menderita TBC

untuk mengkonsumsi obat secara teratur agar penyembuhannya dapat berlangsung cepat

dan tidak terjadi resistansi (Smith, 2005).

Page 16: KEL.1 TBC.doc

BAB 3

KESIMPULAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis. TBC dapat menginfeksi banyak organ tetapi lebih sering menyerang organ

paru-paru. Gejala penyakit TBC dapat dibedakan menjadi 2 yaitu yaitu gejala umum dan

gejala khusus yang tergantung dari organ yang diinfeksi. Terdapat dua jenis kategori Obat

Anti Tuberkulosis (OAT) berdasarkan khasiat dan efek sampingnya yaitu OAT utama dan

OAT sekunder. OAT utama terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan sifatnya yaitu bakterisidal

yang meliputi INH, rifampisin, pirazinamid dan streptomisin serta bakteriostatik yang

meliputi etambutol. Sedangkan OAT sekunder terdiri dari protionamid, sikloserin, PAS

dan kapreomisin. Mekanisme aksi obat isoniazid adalah menghambat sintesis asam mikolat

sehingga proses perpanjangan rantai asam lemak untuk membentuk asam mikolat tidak

dapat berlangsung. Berkurangnya jumlah asam mikolat akan berakibat pada menurunnya

permeabilitas membran sel bakteri dan kematian sel bakteri. Pencegahan penyakit

tuberculosis (TBC) dapat berjalan dengan baik jika tiap individu baik penderita TBC

maupun non-penderita TBC memiliki kesadaran untuk menjaga kesehatan bersama.

Page 17: KEL.1 TBC.doc

DAFTAR PUSTAKA

Blanchard, J.S., 1996, Molecular Mechanism of Drug Resistane in Mycobacterium

Tuberculosis, Annual Reviews Biochem, 65 : 215-239

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Ferdinand, S., 2011, TBC, http://b57ev.wordpress.com/info-kesehatan/, Tanggal Akses 22

Oktober 2011

Kusnan, B. dan Suratmi, S., 1990, Diagnosis dan Pengobatan TBC Baru, Unpad,

Semarang

Muchtar, A., 2006, Farmakologi Obat Antituberkulosis (OAT) Sekunder, Jurnal

Tuberkulosis Indonesia 3 (2) : 23-29

Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, penerjemah : Widianto,M.B., Ranti,A.S, ITB,

Bandung

Putera, F.R., 2009, TBC, Bukan Bakteri Biasa, http://netsains.com/2009/04/tbc-bukan-

bakteri-biasa/, Tanggal Akses 22 Oktober 2011

Singh, S.K., Ahmad, Z., Pandey, D.K., Gupta, V. and Naaz, S., 2008, Isoniazid Causing

Pleural Effusion, Indian J Pharmacol, 40 (2) : 87-88

Smith, K., 2005, Tuberkulosis (TBC), Flores : Yayasan Tananua

Timmins, G. and Deretic V., 2006 Mechanism of action of isoniazid, Molecular

Microbiology, 62 (5) : 1220-1227

Tripathi, R.P., Tewari, N., Dwivedi, N. and Tiwari V.K., 2004, Fighting Tuberculosis : An

Old Disease with New Challenges, Medicinal Research Reviews, 10 : 1-39