Kekeliruan Dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

13
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ngumpul bersama sekelompok teman untuk tertawa lepas menikmati musik, bakar ayam, ajang mesum bagi pasangan muda mudi, berduaan di tempat gelap laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Inilah yang terjadi saat Tahun Baru Masehi menjelang karena muda mudi subuhnya baru pulang dengan alasan ingin menyaksikan pergantian tahun baru tepatnya pukul 00.00 WIB. Kebiasaan ini seakan telah melekat ke diri kita umat Islam, bahkan kata-kata yang muncul dalam setiap keluarga ketika tanggal terakhir bulan Desember setiap tahun mengatakan, 'malam ini kita bakar ayam'. B. Identifikasi Masalah Perlu diketahui, cara-cara tersebut adalah cara seytan yang menjerumuskan umat Islam ke dalam kemaksiatan dan menyimpang dari ajaran yang disyari'atkan Islam. Muda-mudi memaknai Tahun Baru Masehi sebagai ajang berduaan dengan pasangan untuk melewati pergantian tahun, bagi sekelompok anak muda lainnya sebagai ajang menikmati keindahan dunia, bahkan pada malam pergantian Tahun Masehi ini tak jarang wisma dan hotel terjadi peningkatan pengunjung. Dengan demikian, terjerumuslah generasi Islam ke dalam jurang maksiat dan cara-cara orang kafir dalam merayakan pergantian tahun. C. Pembatasan Masalah Sebenarnya umat Islam juga diperbolehkan merayakan pergantian Tahun Baru Masehi sebagai perhitungan tanggal dalam kalender yang dipakai secara umum selain Tahun Hijrah sebagai perhitungan kalender umat Islam. 1

description

t

Transcript of Kekeliruan Dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

Page 1: Kekeliruan Dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ngumpul bersama sekelompok teman untuk tertawa lepas menikmati musik, bakar ayam, ajang mesum bagi pasangan muda mudi, berduaan di tempat gelap laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Inilah yang terjadi saat Tahun Baru Masehi menjelang karena muda mudi subuhnya baru pulang dengan alasan ingin menyaksikan pergantian tahun baru tepatnya pukul 00.00 WIB. Kebiasaan ini seakan telah melekat ke diri kita umat Islam, bahkan kata-kata yang muncul dalam setiap keluarga ketika tanggal terakhir bulan Desember setiap tahun mengatakan, 'malam ini kita bakar ayam'.

B. Identifikasi Masalah

Perlu diketahui, cara-cara tersebut adalah cara seytan yang menjerumuskan umat Islam ke dalam kemaksiatan dan menyimpang dari ajaran yang disyari'atkan Islam. Muda-mudi memaknai Tahun Baru Masehi sebagai ajang berduaan dengan pasangan untuk melewati pergantian tahun, bagi sekelompok anak muda lainnya sebagai ajang menikmati keindahan dunia, bahkan pada malam pergantian Tahun Masehi ini tak jarang wisma dan hotel terjadi peningkatan pengunjung. Dengan demikian, terjerumuslah generasi Islam ke dalam jurang maksiat dan cara-cara orang kafir dalam merayakan pergantian tahun.

C. Pembatasan Masalah

Sebenarnya umat Islam juga diperbolehkan merayakan pergantian Tahun Baru Masehi sebagai perhitungan tanggal dalam kalender yang dipakai secara umum selain Tahun Hijrah sebagai perhitungan kalender umat Islam.

Akan tetapi, perayaan seperti apa yang seharusnya dilakukan, ini yang harus kita pahami. Selama ini, umat Islam dalam melakukan perayaan menyambut Tahun Baru Masehi sudah ikut-ikutan cara umat agama lain. Dimana, masyarakat yang bukan Islam lebih dominan dalam perayaan tersebut melakukan hura-hura, berfoya-foya, minum minuman keras, dan lainnya. Kondisi ini yang sebagian besar umat Islam mengikutinya tanpa tahu apa maksud dari itu. Tragisnya lagi, generasi muda saat ini bahkan tak terlalu menghiraukan Tahun Baru Hijrah, tapi kalau masuk Tahun Baru Masehi para remaja negeri ini mempersiapkan segala sesuatu untuk perayaannya bersama teman-teman, ada di cafe, tempat hiburan, lapangan yang gelap dan bakar ayam, banyak lagi cara lainnya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.

1

Page 2: Kekeliruan Dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

D. Rumusan Masalah

Umat Islam seharusnya menyambut masuknya Tahun Baru Masehi ini dengan mengintropeksi diri, melakukan peringatan dengan mendengarkan ceramah agama, kegiatan Islam seperti perlombaan baca Al Qur'an sehingga dapat diketahui setiap tahunnya bagaimana perkembangan remaja kampung, desa, kelurahan kita. Apakah yang fasih baca Al Qur'an setiap tahun bertambah atau berkurang.

Lalu bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram? Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum muslimin yang salah kaprah dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun. Silakan simak pembahasan berikut.

E. Tujuan Penulisan

Selain itu, memperbanyak bergaul dengan pendakwa dan selalu menigkatkan rasa takwa kepada Allah Subhannahu Wa Ta'ala sehingga kita terhindar dari perbuatan yang mubazir. Karena dalam kitab suci Al Quran sudah jelas disampaikan kepada kita bahwa Allah membenci orang yang berlebihan dan mubazir. Boleh kita ungkapkan rasa syukur kita terhadap pergantian tahun ini dengan membakar ayam dan berkumpul bersama teman-teman, tapi lakukan dengan lebih yang dilegalkan ajaran Islam, jangan sampai terjebak ke cara sesat yang berujung ke maksiat. Lakukan dengan penuh rasa syukur misalnya dengan bakar ayam bersama anak yatim, pengajian remaja/remaji di masjid, ini jauh lebih baik dari pada menonton aksi-aksi syrik yang dilakukan kaum bukan Islam dalam menyambut tahun baru ini.

F. Manfaat Penulisan

Dengan tulisan ini, setidaknya muda-mudi Islam bisa paham bagaimana memaknai Tahun Baru Masehi ini. Memang perhitungan tanggal Masehi milik semua umat, baik Kristen, Hindu, Budha, maupun Islam. Jadi, berbeda agama berbeda pula cara pandangnya dalam menyambut datangnya Tahun Baru Masehi ini. Ada yang mengungkapkan dengan meniup terompet, kembang api, pasang tanduk seperti syetan di kepalanya yang berkerlap kerlip, bakar ayam, pesta dengan minum minuman khomar, dan lainnya. Dalam perbedaan inilah muda mudi Islam dituntut selektif. Untuk menjadi generasi yang selektif tak terlepas dari tingkat penguasaan ilmu agama yang dimilikinya. Maka dari itu, kepada generasi muda Islam, mari terus gali ilmu agama sehingga kita dapat membentengi diri untuk tidak terlena dengan cara-cara umat lain dalam menyambut pergantian Tahun Baru Masehi ini ataupun dalam segala tindakan sehari-hari.

2

Page 3: Kekeliruan Dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PEMBAHASAN

A. Hikmah Dibalik Tahun Baru

Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.

م� ح�ر� �ع�ة� ب ر� أ ه�ا م�ن رض�

� و�األ م�او�ات� الس� ل�ق� خ� �وم� ي �ه� الل �اب� �ت ك ف�ي ا هر& ش� ر� ع�ش� �ا ن اث �ه� الل د� ن ع� ه�ور� الش, ع�د�ة� �ن� إ �م ك ف�س� �ن أ ف�يه�ن� �م�وا �ظل ت ف�ال� 9م� ق�ي ال الد9ين� �ك� ذ�ل

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

، م� ح�ر� �ع�ة� ب ر� أ ه�ا م�ن ، ا هر& ش� ر� ع�ش� �ا ن اث �ة� ن الس� ، رض�

� و�األ م�و�ات� الس� ل�ق� خ� �وم� ي �ه� �ت ئ �ه�ي ك �د�ار� ت اس ق�د� م�ان� الز��ان� عب و�ش� ج�م�اد�ى ن� �ي ب �ذ�ى ال م�ض�ر� ج�ب� و�ر� ، م� م�ح�ر� و�ال ح�ج�ة� ال و�ذ�و ق�عد�ة� ال ذ�و �ات� �ي �و�ال م�ت �ة� �ث �ال ث

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[2]

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.  Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram.

3

Page 4: Kekeliruan Dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[3]

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”

Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”[4]

Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

ل� �ي الل �ة� ص�ال ف�ر�يض�ة� ال �عد� ب �ة� الص�ال �فض�ل� و�أ م� م�ح�ر� ال �ه� الل هر� ش� م�ض�ان� ر� �عد� ب � �ام الص9ي �فض�ل� أ

”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[5]

Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.[6]

Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan, ”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan,

4

Page 5: Kekeliruan Dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Muharram. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”[7]

Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?”

Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram).[8]

Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.

B. Menyambut Tahun Baru Hijriyah

Dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan perayaan atau pun amalan?

Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,

ه� �ي �ل إ �ا �ق�ون ب ل�س� & ا خ�ير �ان� ك �و ل

“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”[9] Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.[10]

Sejauh yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada tuntunannya karena sama sekali tidak berdasarkan dalil atau jika ada dalil, dalilnya pun lemah.

5

Page 6: Kekeliruan Dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

C. Amalan Keliru dalam Menyambut Awal Tahun Hijriyah

Amalan Pertama: Do’a awal dan akhir tahun

Amalan seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya. Amalan ini juga tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan do’a ini hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak mengerti hadits.

Yang lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak berasal dari wahyu sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits tersebut telah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.Jadi mana mungkin amalan seperti ini diamalkan.[11]

Amalan kedua: Puasa awal dan akhir tahun

Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut ini.

�ح� �ت و�افت ، O �ص�وم ب �ة� الم�اض�ي �ة� ن الس� �م� ت خ� ف�ق�د � م الم�ح�ر� م�ن� O �وم ي و�ل�� و�أ ، الح�ج�ة� ذ�ي م�ن O �وم ي آخ�ر� ص�ام� م�ن

�ة& ن س� ن� ي خ�مس� ة� �ف�ار� ك �ه� ل الله� ج�ع�ل� ، O �ص�وم ب �ة� �ل �قب ت الم�س �ة� ن الس�

“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”

Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:

1. Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181)  mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.

2. Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.

3. Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.[12]

Kesimpulannya hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan puasa pada awal dan akhir tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.

6

Page 7: Kekeliruan Dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

Amalan Ketiga: Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah

Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau  membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya. Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ه�م م�ن ف�ه�و� O �ق�وم ب �ه� ب �ش� ت م�ن

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[13]

7

Page 8: Kekeliruan Dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

Menyambut tahun baru hijriyah bukanlah dengan memperingatinya dan memeriahkannya. Namun yang harus kita ingat adalah dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula kematian.

Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun semakin dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

�ه�ا ك �ر� و�ت اح� ر� �م� ث Oة ج�ر� ش� �حت� ت �ظ�ل� ت اس Oاك�ب �ر� ك � �ال إ �ا ي الد,ن ف�ى �ا �ن أ م�ا �ا ي �لد,ن ل و�م�ا ل�ى م�ا

“Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu meninggalkannya.”[14]

Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.”[15]

Semoga Allah memberi kekuatan di tengah keterasingan. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di wisma MTI (secretariat YPIA), 30 Dzulhijah 1430 H.

 

8

Page 9: Kekeliruan Dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

DAFTAR PUSTAKA

[1] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 217, Tahqiq: Yasin Muhammad As  Sawas, Dar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H.

[2] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679

[3] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir.

[4] Kedua perkataan ini dinukil dari Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali.

[5] HR. Muslim no. 2812

[6] Lihat Tuhfatul  Ahwadzi, Al Mubarakfuri, 3/368, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.

[7] Lihat Faidul Qodir, Al Munawi, 2/53, Mawqi’ Ya’sub.

[8] Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H.

[9] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tafsir surat Al Ahqof: 11, 7/278-279, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.

[10] Idem

[11] Lihat Majalah Qiblati edisi 4/III.

[12] Hasil penelusuran di http://dorar.net

[13] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269

[14] HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi

[15] Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi.

9