Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

13
Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana dalam Buku Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta Arip Purwanto 1 , Widhyasmaramurti 2 1,2 Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Email: [email protected], [email protected] Abstrak Penelitian ini membahas aspek-aspek keindahan geguritan karya Triman Laksana yang terdiri atas lima judul, yaitu Kaca Pengilon, Babahan Sanga, Laut, Kayon, dan Asbak , yang diambil dari antologi Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Teori yang digunakan adalah kajian stilistika menurut Ali Imron Al-Ma‟ruf. Stilistika merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk mengkaji suatu karya sastra dengan cara menganalisis bahasa yang digunakan. Kajian Stilistika yang digunakan meliputi lima aspek, yaitu gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat, bahasa figuratif dan citraan.. Pada akhir penelitian, dapat diketahui bahwa keindahan kebahasaan geguritan karya Triman Laksana muncul melalui pemilihan kata-kata yang khas. Hal ini terlihat dari penggunaan judul yang bermakna denotatif, akan tetapi makna geguritan yang mendalam muncul setelah dikaitkan dengan isi geguritan yang menggunakan kata-kata konotatif. The Language Aesthetics of Triman Laksana’s Poetries in Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Abstract The topic of this research discusses about the aesthetics aspects of Triman Laksana‟s poetries. Five poetries which were analyzed by stylistic theory in this research were taken from antology book with a title Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. The aanalysis is based on Ali Imron Al-Ma‟ruf stylistic theory which analyzes literature from five aspects: the style of sounds, words, sentences, figurative language used and imageries that occur in each of the poetry. The result of this research shows significant characteristics of the unique words that were chosen All of the words that were used dan written for the title are having denotative meaning while, the words that are used in the poetries‟ contents are mostly having connotative meaning. Keyword: The language aesthetics of poetry, Triman Laksana. Pendahuluan Geguritan merupakan jenis puisi Jawa modern yang muncul pada “akhir dasawarsa duapuluhan abad ke-20” (Karsono, 2001: 42). Berbeda dengan puisi-puisi Jawa tradisional yang masih terikat kuat dengan aturan-aturan metrum, geguritan merupakan puisi Jawa yang lebih bebas dan sudah tidak terikat oleh aturan-aturan metrum seperti pada puisi-puisi Jawa tradisional sebelumnya. Hal tersebut merupakan bagian dari aspek keindahan yang ingin dimunculkan oleh pengarang geguritan. Penjelasan di atas senada dengan pernyataan bahwa sebagai bentuk karya sastra, dalam hal ini puisi Jawa, geguritan tentu mempunyai keindahan yang muncul, misalnya melalui pemilihan kata yang digunakan. Geguritan banyak dimuat di dalam majalah-majalah berbahasa Jawa, seperti Kejawen, Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Transcript of Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

Page 1: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

dalam Buku Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta

Arip Purwanto

1, Widhyasmaramurti

2

1,2 Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok,

Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas aspek-aspek keindahan geguritan karya Triman Laksana yang terdiri atas lima judul,

yaitu Kaca Pengilon, Babahan Sanga, Laut, Kayon, dan Asbak , yang diambil dari antologi Pesta Emas Sastra

Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Teori yang digunakan adalah kajian stilistika menurut Ali Imron Al-Ma‟ruf.

Stilistika merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk mengkaji suatu karya sastra dengan cara menganalisis

bahasa yang digunakan. Kajian Stilistika yang digunakan meliputi lima aspek, yaitu gaya bunyi, gaya kata, gaya

kalimat, bahasa figuratif dan citraan.. Pada akhir penelitian, dapat diketahui bahwa keindahan kebahasaan

geguritan karya Triman Laksana muncul melalui pemilihan kata-kata yang khas. Hal ini terlihat dari penggunaan

judul yang bermakna denotatif, akan tetapi makna geguritan yang mendalam muncul setelah dikaitkan dengan isi

geguritan yang menggunakan kata-kata konotatif.

The Language Aesthetics of Triman Laksana’s Poetries in Pesta Emas Sastra Jawa

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Abstract

The topic of this research discusses about the aesthetics aspects of Triman Laksana‟s poetries. Five poetries

which were analyzed by stylistic theory in this research were taken from antology book with a title Pesta Emas

Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. The aanalysis is based on Ali Imron Al-Ma‟ruf stylistic theory which

analyzes literature from five aspects: the style of sounds, words, sentences, figurative language used and

imageries that occur in each of the poetry. The result of this research shows significant characteristics of the

unique words that were chosen All of the words that were used dan written for the title are having denotative

meaning while, the words that are used in the poetries‟ contents are mostly having connotative meaning.

Keyword: The language aesthetics of poetry, Triman Laksana.

Pendahuluan

Geguritan merupakan jenis puisi Jawa

modern yang muncul pada “akhir dasawarsa

duapuluhan abad ke-20” (Karsono, 2001: 42).

Berbeda dengan puisi-puisi Jawa tradisional yang

masih terikat kuat dengan aturan-aturan metrum,

geguritan merupakan puisi Jawa yang lebih bebas

dan sudah tidak terikat oleh aturan-aturan metrum

seperti pada puisi-puisi Jawa tradisional

sebelumnya. Hal tersebut merupakan bagian dari

aspek keindahan yang ingin dimunculkan oleh

pengarang geguritan. Penjelasan di atas senada

dengan pernyataan bahwa sebagai bentuk karya

sastra, dalam hal ini puisi Jawa, geguritan tentu

mempunyai keindahan yang muncul, misalnya

melalui pemilihan kata yang digunakan.

Geguritan banyak dimuat di dalam

majalah-majalah berbahasa Jawa, seperti Kejawen,

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Page 2: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

Djoko Lodhang, Jaya Baya, Pagagan, dan

Panjebar Semangat. Majalah-majalah tersebut

menyediakan ruang khusus bagi penulis-penulis

puisi, khususnya geguritan, untuk dapat menulis

dan menyebarkan karya-karyanya yang pada

akhirnya karya-karya yang dihasilkan dapat

dikenal dan dinikmati oleh masyarakat luas. Seiring

dengan perkembangan puisi, khususnya geguritan,

banyak buku yang menjadi ruang ekspresi bagi

penulis geguritan yang telah diterbitkan, sebagai

contoh, buku antologi1 puisi yang berjudul

Pisungsung: Antologi Geguritan lan Cerkak

disusun oleh Danu Priyo Prabowo dan diterbitkan

pada tahun 1997 oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Dalam Pisungsung: Antologi Geguritan lan Cerkak

terdapat sepuluh penulis geguritan dan sepuluh

pengarang cerkak2 dengan gaya penulisan yang

berbeda-beda, tetapi hanya memuat dua jenis karya

sastra, yaitu geguritan dan cerkak. Selain itu,

penulis juga menemukan buku antologi lain yang

diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Buku

ini berjudul Pesta Emas Sastra Jawa Daerah

Istimewa Yogyakarta disusun oleh Linus Suryadi

AG serta Danu Priyo Prabowo, dan diterbitkan pada

tahun 1995 atau dua tahun sebelum buku antologi

Pisungsung: Antologi Geguritan lan Cerkak

diterbitkan.

Penelitian ini menggunakan buku Pesta

Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta

sebagai sumber geguritan yang akan diteliti. Ada

dua pertimbangan mengapa antologi Pesta Emas

Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih

sebagai acuan data utama. Pertama, antologi Pesta

Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta

merupakan antologi yang cukup lengkap, dengan

berisi setidaknya empat genre karya sastra, yaitu

geguritan, cerita cekak, macapat dan siteran.

Kedua, pengarang geguritan dalam buku ini lebih

banyak dari buku Pisungsung: Antologi Geguritan

lan Cerkak. Dibandingkan buku Pisungsung:

Antologi Geguritan lan Cerkak yang hanya memuat

sepuluh pengarang geguritan, dalam buku antologi

Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa

Yogyakarta, tercatat ada sebelas pengarang

geguritan, sepuluh penulis cerita cekak, sepuluh

penulis macapat dan lima grup penulis siteran.

Jumlah pengarang geguritan yang lebih banyak

dalam buku antologi Pesta Emas Sastra Jawa

Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi

pertimbangan penulis untuk memilih antologi ini

1 Antologi adalah kumpulan karya sastra pilihan

(baik puisi maupun prosa) dari seorang atau

beberapa pengarang (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 1990: 43). 2Cerkak merupakan singkatan dari cerita cekak.

Cerkak adalah cerita pendek (cerpen) yang

mengisahkan sebuah cerita atau suatu peristiwa

tertentu.

karena lebih leluasa untuk menentukan salah satu

penyair yang akan digunakan sebagai sumber data.

Dari sekian banyak penyair dan pengarang yang

ada di dalam buku antologi Pesta Emas Sastra

Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta, penulis akan

mengambil karya dari salah satu penyairnya, yaitu

Triman Laksana.

Triman Laksana merupakan seorang

penyair dengan latar belakang budaya Jawa dan

merupakan lulusan SMA. Triman Laksana secara

aktif menulis dan menghasilkan karya sastra berupa

geguritan dan banyak menghasilkan puisi

berbahasa Indonesia. Banyak karya Triman

Laksana yang berbahasa Jawa dan Indonesia dimuat

dalam antologi Momentum (kumpulan puisi 30

penyair Yogyakarta), Langit Biru Langit Merah,

Satu, Alif Lam Mim, Rembulan Padhang ing

Ngayogyakarta (FKY IV, 1992), Pangilon (FKY

VI, 1994). Dari berbagai antologi yang disebutkan,

dapat dikatakan bahwa Triman Laksana merupakan

penyair yang secara produktif menghasilkan karya

sastra, baik berbentuk puisi berbahasa Indonesia

maupun geguritan. Hal inilah yang menjadi

pertimbangan penulis untuk meneliti dan

menganalisis karya-karya yang dihasilkan oleh

Triman Laksana.

Akan tetapi, dalam menganalisis karya

sastra --seperti menganalisis geguritan Triman

Laksana-- hal utama yang perlu diperhatikan

adalah unsur-unsur pembangun sastra. Kata,

kalimat, bait, dan sebagainya merupakan struktur

yang membangun sastra. Untuk dapat menemukan

struktur-struktur yang membangun sastra, perlu

digunakan kajian yang tepat sebagai acuan untuk

analisis. Kajian stilistika merupakan acuan yang

dipilih untuk menganalisis geguritan-geguritan

karya Triman Laksana karena stilistika meneliti ciri

khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, yang

membedakan atau mempertentangkannya dengan

wacana nonsastra, meneliti deviasi terhadap tata

bahasa (Sudjiman, 1993: 3).

Dapat ditarik kesimpulan bahwa stilistika

merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk

mengkaji suatu karya sastra dengan cara

menganalisis bahasa yang digunakan, mengingat

bahasa merupakan medium utama dalam karya

sastra. Hal ini senada dengan yang dikemukakan

oleh Al-Ma‟ruf (2009: 12), bahwa stilistika

merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian

bahasa dalam karya sastra yang meliputi seluruh

pemberdayaan potensi dan keunikan bahasa.

Pendapat Al-Ma‟ruf inilah yang akan digunakan

penulis sebagai acuan teori dalam menganalisis

geguritan karya Triman Laksana. Hal ini karena

Triman Laksana memiliki kekhasan dalam

keindahan kebahasaan yang muncul dalam

geguritan-geguritannya. Oleh sebab itu, penelitian

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Page 3: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

ini mengkaji keindahan kebahasaan pada geguritan-

geguritan karya Triman Laksana.

Permasalahan

Permasalahan penelitian ini adalah

bagaimana keindahan kebahasaan membangun

geguritan Triman Laksana dalam buku Pesta Emas

Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta?

Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang tercermin dalam

permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk

menemukan keindahan kebahasaan yang

membangun geguritan Triman Laksana dalam buku

Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa

Yogyakarta. Melalui keindahan kebahasaan

diharapkan dapat dilihat ciri khas dari geguritan-

geguritan karya Triman Laksana.

Sumber Data

Penulis menggunakan geguritan karya

Triman Laksana yang berasal dari buku Pesta Emas

Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Buku

Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa

Yogyakarta disunting oleh Linus Suryadi AG dan

Danu Priyo Prabowo, kemudian diterbitkan oleh

Pustaka Pelajar pada tahun 1995. Buku antologi ini

berisi beberapa bentuk karya sastra beserta

beberapa penyair dan pengarang. Penulis memilih

geguritan sebagai bahan penelitiannya, khususnya

geguritan karya Triman Laksana. Geguritan karya

Triman Laksana dalam buku antologi tersebut

terdapat sepuluh judul yaitu: (1) kaca pengilon; (2)

mutiara putih; (3) babahan sanga; (4) laut; (5)

kayon; (6) kamar isolasi; (7) kidunge Arjuna ing

Bharatayuda kanggo Adipati Karna; (8) merapi

November 22; (9) ana ngisor gendera; dan (10)

asbak. Akan tetapi, penulis akan mempersempit

penelitian menjadi lima judul saja yang akan

dijadikan sebagai objek penelitian, yaitu (1) kaca

pengilon; (2) babahan sanga; (3) laut; (4) kayon;

dan (5) asbak. Pemilihan lima judul tersebut

didasarkan atas asumsi penulis bahwa kelima judul

geguritan karya Triman Laksana yang dipilih,

menggunakan ragam kata denotatif dan konotatif

yang kental antara judul dengan isi geguritan,

sehingga menimbulkan multiinterpretasi mengenai

makna geguritan. Kemudian, untuk lima judul lain

yang tidak diteliti atau tidak digunakan sebagai

objek penelitian, karena kata-kata yang

dimunculkan lebih dominan menggunakan kata-

kata yang secara leksikal sudah diketahui

maknanya, sehingga makna puisi secara

keseluruhan dapat diketahui dengan jelas.

Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode deskriptif-analitik, yaitu

menganalisis data melalui teori yang digunakan

dalam penelitian ini. Langkah kerja yang dilakukan

diawali dengan pengumpulan data yaitu penentuan

geguritan yang akan diteliti yang berasal dari buku

Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa

Yogyakarta. Langkah kedua yaitu melakukan

pengklasifikasian data, dan langkah ketiga

melakukan analisis terhadap data yang

dikumpulkan menggunakan teori yang telah

ditentukan, yaitu teori stilistika. Langkah kerja yang

terakhir adalah kesimpulan yang menjawab

pertanyaan yang telah diajukan pada permasalahan

yaitu untuk menemukan aspek keindahan bahasa

pada geguritan Triman Laksana.

Kerangka Teoritis

Aspek keindahan karya sastra dapat

ditinjau melalui dua segi, yaitu segi bahasa dan segi

keindahan itu sendiri (Ratna, 2007: 112). Pada

karya sastra, khususnya puisi atau geguritan, segi

bahasa menjadi perhatian khusus yang dibahas.

Melalui analisis terhadap kebahasan inilah akan

tampak aspek keindahan pada puisi atau geguritan

yang difokuskan sebagai objek kajian dalam skripsi

ini. Bahasa merupakan medium utama karya sastra

yang bersifat diskursif, artinya tidak bersambungan

(Ratna, 2007: 144). Dengan kata lain, bahasa harus

dibaca huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat

demi kalimat, demikian seterusnya, sehingga akan

ditemukan makna secara keseluruhan. Pada sisi

lain, pada huruf, kata, dan kalimat sudah

terkandung aspek keindahan, akan tetapi keindahan

tersebut tentu belum mewakili makna keseluruhan

yang dimaksudkan. Oleh karena itu, makna secara

keseluruhan dari sebuah puisi atau geguritan dapat

diketahui setelah dilakukan analisis yang tepat dan

jelas pula.

Penelitian ini membahas analisis

keindahan kebahasaan yang dilakukan terhadap

geguritan karya Triman Laksana dalam buku

antologi Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa

Yogyakarta. Untuk menemukan aspek keindahan

kebahasaan dan makna secara keseluruhan dari

geguritan karya Triman Laksana tersebut, maka

akan dilakukan analisis dengan menggunakan teori

stilistika menurut Ali Imron Al-Ma‟ruf yang

meliputi lima aspek yaitu (1) Gaya Bunyi (Fonem);

(2) Gaya Kata (Diksi); (3) Gaya Kalimat

(Sintaksis); (4) Bahasa Figuratif (Figurative

Language); dan (5) Citraan.

Gaya Bunyi dapat berkait erat dengan rima

atau guru lagu yang muncul dalam puisi. Peran

bunyi dalam suatu puisi sangat penting karena

menimbulkan efek dan kesan tertentu. Gaya Kata

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Page 4: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

dalam suatu puisi dapat dilihat dari penggunaan

kata-kata dalam puisi. Penggunaan kata-kata

konotatif dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda

dari makna yang seharusnya dari penggunaan kata

konotatif tersebut, sehingga dapat ditemukan aspek

keindahan yang muncul. Gaya Kalimat berkaitan

dengan penggunaan kalimat dalam puisi. Kalimat-

kalimat dalam baris puisi umumnya menggunakan

kalimat yang singkat dan padat, tetapi masih dapat

menggambarkan apa yang dimaksudkan oleh

penyair. Bahasa Figuratif (Figurative Language)

berkaitan dengan bahasa kias yang dimunculkan

dalam puisi. Bahasa figuratif digunakan oleh

penyair untuk menyampaikan gagasan secara tidak

langsung atau melalui kata-kata yang sebenarnya

berbeda makna secara leksikalnya. Dengan kata

lain, dengan pemunculan bahasa kias pembaca

diajak menginterpretasikan puisi secara lebih

mendalam, tidak terbatas pada makna leksikal dari

kata-kata yang dimunculkan. Citraan atau imaji

dalam karya sastra khususnya puisi berperan

penting untuk menimbulkan pembayangan

imajinatif. Citraan merupakan penggambaran yang

dilakukan oleh penyair untuk mempengaruhi

pembaca agar terbawa dan ikut merasakan serta

menghayati maksud dari apa yang ingin

disampaikan penyair melalui puisi yang

diciptakannya. Oleh sebab itu, fungsi citraan dalam

puisi lebih untuk menghidupkan imaji-imaji yang

ada dalam pikiran pembaca. Kelima aspek inilah

yang juga merupakan unsur pembangun keindahan

kebahasaan pada geguritan karya Triman Laksana

seperti yang dapat dilihat pada bagian analisis

penelitian.

Analisis Penelitian

1. Judul geguritan: Kaca Pengilon

Pada geguritan ini, gaya bunyi tampak

pada penggunaan guru lagu yang dominan,

misalnya penggunaan akhiran bunyi /u/ dan /a/.

Akan tetapi, keindahan kebahasaan pada geguritan

Kaca Pengilon yang tampak signifikan, muncul

melalui gaya kata yang dimunculkan. Pada gaya

kata, terlihat bahwa judul Kaca Pengilon yang

memiliki makna leksikal „cermin‟ merupakan kata

dengan makna denotatif yang mengacu kepada

benda berupa kaca satu arah yang umumnya

dipergunakan untuk melihat diri sendiri. Akan

tetapi, jika dikaitkan dengan isi geguritan, judul

tersebut bermakna konotatif karena penggunaan

kosakata tokoh-tokoh pewayangan yang sebenarnya

bukan mengacu pada nama tokoh pewayangan,

melainkan sifat tokoh-tokoh pewayangan yang

dimunculkan. Hal inilah yang dapat dilihat bahwa

aspek keindahan muncul melalui penggunaan gaya

kata.

Kemudian, melalui gaya kalimatnya,

geguritan Kaca Pengilon menggunakan kalimat

singkat dan pendek, tetapi dapat menyampaikan

pesan yang diinginkan oleh penyair. Walaupun

gaya kalimat geguritan ini sama seperti gaya

kalimat puisi pada umumnya, tetapi unsur

keindahan bahasa juga muncul melalui bahasa

figuratif yang dominan dalam bentuk pemunculan

majas metonimia. Majas metonimia, majas yang

menggunakan sebuah objek yang berdekatan

dengan objek yang dimaksudkan. Majas ini

digunakan oleh Triman Laksana, melalui

penggunaan kosakata tokoh pewayangan yaitu

tokoh Bethara Kala, Dasamuka, Dursasana, dan

Bisma. Kosakata Bethara Kala, Dasamuka dan

Dursasana dalam geguritan ini memiliki makna

konotatif karena mengacu kepada sifat dari tokoh

pewayangan tersebut yang menggambarkan sifat

buruk manusia, sedangkan kosakata Bisma

digunakan untuk menggambarkan sifat yang baik.

Maka dapat dilihat bahwa latar belakang penyair

dengan pengetahuan budaya Jawanya tidak bisa

lepas dari dimunculkan melalui penggunaan majas

metonimia, aspek keindahan muncul secara

asosiatif yang karena tidak secara langsung

disampaikan, melainkan melalui gambaran karakter

tokoh pewayangan Jawa. Pada bagian citraan,

Dalam geguritan Kaca Pengilon ini, muncul pada

penggunaan majas-majas metonimia. Penyair

memanfaatkan citraan visual pada pada pertama

hingga keempat melalui penggunaan majas

metonimia. Penggambaran diri penyair dilukiskan

dengan menghidupkan imaji visual dalam diri

pembaca melalui pemilihan kata-kata maupun

kalimat yang dimunculkan dalam geguritan,

misalnya pemunculan kata kaca pengilon,

penggambaran melalui sosok Bethara Kala,

Dursasana, Dasamuka, dan Bisma yang semuanya

mengacu pada makna konotatif, tidak hanya

terbatas pada makna leksikal semata.

2. Judul geguritan: Babahan Sanga

Geguritan ini tidak memiliki unsur pembangun

yang dominan dari segi gaya bunyi, dan gaya

kalimat. Hal ini karena gaya bunyi hanya

menampilkan purwakanthi seperti pada marang

tlatah kasoran jangkah (gatra 4 pada 3),

sedangkan untuk gaya kalimat, kekhasan hanya

dimunculkan melalui penggunaan tanda baca titik

(.) sebagai pemotong kalimat. Keindahan

kebahasaan geguritan Babahan Sanga muncul

melalui gaya kata, bahasa figuratif dan citraan.

Pada gaya kata, keindahan kembali muncul melalui

hubungan antara judul Babahan Sanga yang

bermakna denotatif, dan hubungannya dengan

pilihan kata-kata bermakna konotatif yang memiliki

makna tambahan yang muncul secara tersirat

sebagai „sembilan lubang‟ yang merepresentasikan

sembilan nafsu dalam hidup manusia. Keindahan

pilihan kata yang muncul dalam isi geguritan dapat

lebih dipahami melalui unsur bahasa figuratif, di

mana aspek keindahan tampak melalui penggunaan

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Page 5: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

majas majas metonimia seperti pada contoh (a)

berikut.

(a) kumandhang swara-swara angin

(gatra 1 pada 1)

tansah milut kabeh ukara

(gatra 2 pada 1)

kanggo ganda-ganda bacin

(gatra 3 pada 1)

marani endi titisane kebak lelimengan

(gatra 5 pada 1)

reresik sakabehing rereged

(gatra 3 pada 4)

Lima gatra geguritan di atas merupakan majas

metonimia karena sebenarnya yang ingin

digambarkan melalui kalimat tersebut adalah indera

yang ada pada manusia. Kata yang dicetak tebal

menjadi tanda yang dapat digunakan sebagai kata

kunci bahwa kalimat-kalimat tersebut merupakan

majas metonimia. Kata kumandhang swara-swara

„gaung suara-suara‟ berkaitan dengan indera

telinga, kata milut kabeh ukara „merangkai semua

kata‟ berkaitan dengan indera mulut, ganda-ganda

bacin „bau-bau yang tidak sedap‟ berkaitan dengan

indera penciuman atau hidung, lelimengan „sangat

gelap‟ berhubungan dengan indera penglihatan atau

mata, dan rereged „kotoran‟ berkaitan dengan

lubang pembuangan atau dubur. Hal tersebut

menunjukkan karakter Triman Laksana sebagai tipe

seorang penyair yang ingin menyampaikan pesan

melalui sesuatu perumpamaan. Melalui geguritan

ini, Triman Laksana berusaha bermain kata-kata

untuk menarik perhatian dan kekritisan pembaca

dalam memahami karyanya.

Kemudian untuk citraan, sesuai dengan

arti Babahan Sanga, yaitu „sembilan lubang‟,

Triman Laksana berusaha untuk menggambarkan

sembilan lubang nafsu dalam diri manusia yang

harus dijaga dan dimanfaatkan sesuai dengan yang

seharusnya. Kesembilan lubang tersebut adalah

mata (2 buah), telinga (2 buah), lubang hidung (2

buah), mulut, kemaluan, dan dubur atau anus.

Geguritan Babahan Sanga juga merupakan bentuk

realisasi Triman Laksana untuk menyampaikan

konsep budaya Jawa yang dia mengerti dan pahami

dalam bentuk puisi modern. Konsep budaya Jawa

tersebut mengacu pada pesan bahwa masyarakat

Jawa mempercayai bahwa dalam tubuh manusia

terdapat sembilan lubang. Sembilan lubang tersebut

mempunyai peranan masing-masing bagi manusia

sehingga manusia tidak boleh menyalahgunakan

peranan sembilan lubang tersebut bagi

kehidupannya, agar manusia terhindar dari segala

macam musibah. Sembilan lubang pada tubuh

manusia tersebut oleh masyarakat Jawa kemudian

dikenal dengan istilah Babahan Sanga yang dapat

diartikan sembilan jalan atau sembilan lubang.

3. Judul Geguritan: Laut

Pada geguritan Laut, keindahan

kebahasaan yang membangun geguritan secara

umum sama dengan 2 geguritan sebelumnya.

Dalam hal ini, gaya bunyi, dan gaya kalimat

bukanlah unsur yang dominan karena dalam gaya

bunyi tidak tampak adanya pemanfaatan guru lagu

dan purwakanthi yang dominan, sedangkan pada

gaya kalimat terlihat bahwa kalimat dalam

geguritan Laut hanya menampilkan bentuk satu

kalimat dalam beberapa baris. Akan tetapi gaya

kata, bahasa figuratif dan citraan merupakan unsur

pembangun yang dominan menunjukkan keindahan

kebahasaan.

Pada gaya kata, geguritan Laut

menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan

keadaan di laut, namun makna geguritan secara

keseluruhan tidak sekedar menceritakan kehidupan

laut, melainkan menggambarkan mengenai

kehidupan manusia di dari hidup hingga wafatnya,

yaitu kehidupan manusia selama hidup di dunia

maupun nanti setelah manusia tersebut meninggal

dunia. Pada dasarnya pemilihan kata yang

dilakukan oleh Triman Laksana berhubungan

dengan laut, sesuai dengan judulnya. Akan tetapi

makna secara keseluruhan dari geguritan tersebut

tentu berbeda dengan yang sekedar diketahui dari

makna kata satu persatu. Hal ini menunjukkan

bahwa kata-kata yang digunakan dalam geguritan

Laut bersifat konotatif secara makna, yang tentu

saja kembali menunjukkan aspek keindahan

geguritan melalui kekuatan permainan kata-kata

konotatif yang membuat pembaca harus memiliki

kekritisan dan pemahaman yang dalam agar dapat

memahami geguritan ini.

Selanjutnya, pada bagian bahasa figuratif,

Triman Laksana kembali memunculkan majas

untuk membangun geguritannya. Majas yang

dimunculkan adalah majas personifikasi, yaitu

majas yang menyamakan benda mati seolah-olah

dapat hidup layaknya manusia. Penulis

menggunakan majas personifikasi untuk

menghubungkan antara konsep budaya Jawa

dengan pemahaman religi. Terlebih karena

geguritan ini memiliki pengaruh religi yang kuat

yang tergambar dalam bagian citraan. Pada citraan,

Triman Laksana menggunakan tema religi sangat

kuat di mana Triman Laksana mempercayai bahwa

kehidupan setelah di dunia pasti ada, yaitu

kehidupan akhirat dan Triman juga mempercayai

bahwa segala hal yang dilakukan manusia di dalam

dunia baik maupun buruk pasti akan

dipertanggungjawabkan oleh manusia tersebut dan

akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang

telah diperbuat. Akan tetapi, kesempatan untuk

memperbaiki kesalahan pasti masih tetap ada bagi

yang ingin mengubah kehidupan yang lebih baik

lagi. Makna yang muncul pada citraan

menunjukkan bahwa geguritan Laut membutuhkan

pemahaman dari para pembaca sehingga mereka

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Page 6: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

dapat memahami makna dari kata-kata konotatif

maupun majas yang dimunculkan pada setiap pada-

pada geguritan ini.

4. Judul Geguritan: Kayon

Pada geguritan Kayon, gaya bunyi,

dikatakan tidak mendominasi keindahan

kebahasaan karena tidak tampak pemanfaatan guru

lagu yang dominan. Keindahan kebahasaan

geguritan Kayon muncul melalui gaya kata, gaya

kalimat, bahasa figuratif dan citraan. Pada gaya

kata, keindahan kebahasaan dimunculkan melalui

hubungan antara judul, Kayon yang bermakna

denotatif dengan arti leksikal „pepohonan‟; dengan

kata-kata pada bagian isi yang memiliki makna

yang lebih luas. Geguritan ini menunjukkan bahwa

kata-kata yang digunakan bukan mengacu kepada

pepohonan, melainkan memiliki makna yang lebih

luas sebagai ajaran/noma yan patut dilaksanakan di

tengah kehidupan manusia. Oleh sebab itu,

geguritan ini kental dengan kata-kata bemakna

konotatif. Pada gaya kalimat, geguritan Kayon

menggunakan tanda baca untuk memenggal sebuah

kalimat, baik berupa titik (.), maupun koma (,),

seperti pada contoh (b).

(b) dadi winih suci. nyuburake tetanduran

yekti

(gatra 4 pada 1)

budi kang nggantung ana angkasa. dudu

ngayawara

(gatra 5 pada 1)

ilang tanpa enggok. diedohake laku tama

(gatra 6 pada 2)

kandheg patrem, ing telenging bumi

(gatra 1 pada 2)

wektu terus lumaku, ngebaki lemah-lemah

(gatra 2 pada 1)

ringkih, ana tetese waspa tanpa krana

(gatra 4 pada 2)

Melalui penggunaan kalimat manasuka yang

memanfaatkan tanda baca titik dan koma sebagai

pemenggal kalimat. Dapat dikatakan bahwa

keindahan kebahasaan muncul karena kalimat yang

digunakan bersifat manasuka, yaitu tanda baca titik

(.) yang biasanya diletakkan pada akhir kalimat,

tetapi pada geguritan Kayon, penggunaan tanda

baca titik atau koma (,) diletakkan sebagai

pemenggal kalimat. Selain aspek gaya kalimat,

keindahan dalam geguritan Kayon juga tampak

pada aspek bahasa figuratif. Seperti halnya pada 3

geguritan sebelumnya Triman Laksana

menggunakan penggunaan majas, kali ini Triman

Laksana juga menggunakan majas metafora, yaitu

majas yang menyatakan suatu hal dengan

menggunakan suatu perumpamaan tertentu (Becker

dalam Pradopo, 2009: 61). Majas metafora tampak

pada kalimat wong wadon gampang udhar tapihe,

yang menggambarkan bahwa perempuan zaman

sekarang sangat susah atau tidak mau untuk

menjaga kehormatannya sendiri.

Terakhir, unsur pembangun geguritan

Kayon yang menunjukkan keindahan kebahasaan

muncul melalui citraan. Pada geguritan Kayon,

citraan digunakan oleh Triman Laksana untuk

memperkenalkan dan menanamkan konsep berpikir

orang Jawa mengenai ajaran tingkah laku. Manusia

pada dasarnya telah ditanamkan norma-norma

kepatutan, kesopanan dan tingkah laku yang baik

melalui pengajaran-pengajaran orang tua maupun

pengalaman pribadi. Akan tetapi, norma-norma

yang baik tersebut akan berkurang atau hilang jika

manusia tidak dapat menjaga dengan baik.

Meskipun pengaruh-pengaruh zaman sangat besar,

manusia perlu menjaga norma-norma yang ada di

dalam hatinya dengan baik agar tidak ada

penyimpangan-penyimpangan yang dapat

merugikan diri sendiri maupun orang lain. Kata-

kata konotatif yang muncul dalam geguritan Kayon

menimbulkan pembayangan imajinatif (citraan)

terhadap makna geguritan. Kayon, jika dikaitkan

dengan budaya Jawa, merupakan gunungan yang

digunakan pada pementasan wayang. Pada akhir

pementasan wayang selalu ditandai dengan istilah

tancep kayon „menancapkan gunungan‟, yang

mempunyai arti bahwa pertunjukan telah selesai.

Hal ini juga berhubungan dengan kehidupan

manusia bahwa pada akhirnya kehidupan manusia

di dunia akan ada batas akhirnya, yaitu manusia

pasti akan meninggal. Keadaan seperti itulah yang

ingin disampaikan oleh Triman Laksana dalam

geguritan Kayon ini.

Seperti halnya geguritan-geguritan yang

lain, geguritan Kayon juga memiliki kedalaman

makna yang membutuhkan kekritisan dan

pemahaman dari pembaca. Melalui geguritan ini,

Triman Laksana ingin menyampaikan bahwa

zaman sangat berpengaruh terhadap perubahan budi

pekerti manusia. Akan tetapi, manusia sudah

selayaknya untuk menjaga budi pekerti dengan

baik.

5. Judul Geguritan: Asbak

Keindahan kebahasaan geguritan Asbak

tampak pada hampir semua aspek kajian stilistika

yang digunakan sebagai acuan analisis, khususnya

pada aspek gaya kata, gaya kalimat, bahasa

figuratif, dan citraan, kecuali gaya bunyi yang

hanya memanfaatkan beberapa purwakanthi dan

guru lagu yang beragam. Pada gaya kata, terlihat

bahwa judul merupakan kata yang bermakna

denotatif atau sebenarnya yaitu berkaitan dengan

asbak atau tempat pembuangan abu dan puntung

rokok. Akan tetapi, setelah dikaitkan dengan isi

geguritan, maka judul kemudian beralih makna

menjadi konotatif karena kosakata asbak digunakan

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Page 7: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

Triman Laksana untuk menggambarkan kehidupan

manusia di dunia yang hanya sementara, akan ada

akhirnya dan akan kembali kepada Sang Pencipta,

seperti keadaan rokok yang pada akhirnya akan

habis dan menjadi abu. Penggunaan kata yang erat

antara makna denotatif dan konotatif ini merupakan

unsur pembangun geguritan yang khas yang

menunjukkan keindahan geguritan karya Triman

Laksana.

Pada bagian gaya kalimat, aspek

keindahan muncul melalui penggunaan struktur

kalimat yang tidak wajar, yaitu lebih bersifat

manasuka karena menggunakan tanda baca koma

sebagai pemotong kalimat, yang tampak pada

contoh (c) di bawah ini.

(c) tetep madhep mantep, tanpa swala

mbuktekake sasawangan kang nuspra,

anak pandelengan

(gatra 3 dan 7 pada 1)

ngebaki bunderane Gusti, meneri badan

sapata

kepara isih tekan jumedhule, kebak

sanepa.

(gatra 2 dan 6 pada 2)

Hal ini menunjukkan bahwa Triman

Laksana sebagai seorang penyair memanfaatkan

licentia peotica3 dalam menciptakan karya

geguritan.

Aspek keindahan berikutnya muncul

melalui bahasa figuratif. Keindahan muncul melalui

penggunaan kata majemuk yang dominan, yaitu

terdapat tiga kata majemuk:

madhep mantep

(gatra 3 pada 1)

Kata madhep mantep berasal dari kata madhep

yang berarti menghadap dan mantep yang berarti

serius. Akan tetapi, kata tersebut tidak bisa

diartikan satu persatu karena merupakan satu

kesatuan makna yang berarti tegar.

badan sapata

(gatra 2 pada 2)

kata badan sapata tersebut berasal dari kata badan

yang berarti tubuh dan kata sapata yang berarti

sumpah. Kata badan sapata juga merupakan satu

kesatuan makna yang berarti garis hidup manusia.

3 Licentia poetica merupakan kebebasan seorang

sastrawan untuk menyimpang dari bentuk atau

aturan konvensional, tidak mengikuti aturan

ketatabahasaan baku, untuk mencapai efek yang

dikehendaki oleh sastrawan (Sudjiman, 1993: 18).

jantra baya

(gatra 4 pada 2)

kata jantra baya berasal dari kata jantra yang

berarti roda dan kata baya yang berarti bahaya.

Seperti dua kata sebelumnya, kata jantra baya juga

tidak dapat diartikan satu persatu melainkan

merupakan satu kesatuan arti yaitu cobaan atau

halangan. Kesimpulan dari pembahasan bahasa

figuratif di atas adalah bahwa beberapa kata

majemuk yang muncul pada geguritan Asbak selain

digunakan sebagai pilihan kata konotatif juga

digunakan untuk menambah efek estetis geguritan

karena kata-kata madhep mantep, badan sapata,

dan jantra baya tidak harus diartikan satu persatu

makna kata leksikalnya.

Aspek keindahan yang terakhir muncul

melalui citraan. Pada bagian citraan, geguritan

Asbak menggambarkan tentang manusia yang pada

nantinya akan berakhir dan akan ada kehidupan

akhirat. Pada kehidupan akhirat inilah nantinya

manusia akan menanggung segala perbuatan yang

baik dan buruk yang telah dilakukan di dalam

kehidupan sebelumnya, yaitu kehidupan dunia.

Pada dasarnya kehidupan di dalam dunia penuh

dengan rahasia dan manusia harus mencari jawaban

atas rahasia-rahasia tersebut. Hal itu dilakukan agar

manusia tidak tersesat ke dalam keburukan. Selain

itu, dapat mempertanggungjawabkan segala

perbuatan yang telah dilakukan di dunia nanti di

dalam kehidupan akhirat.

Geguritan Asbak karya Triman Laksana

ini mempunyai tema religi tentang kehidupan

manusia di dunia dan akhirat, serta hubungannya

dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Pembayangan

imajinatif tersebut muncul setelah pembaca dapat

menganalisis dan memahami pemilihan kata

maupun makna konotatif kata yang ada secara

keseluruhan di dalam geguritan.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat

dilihat bahwa Triman Laksana memiliki keindahan

kebahasaan yang khas, yang dominan pada unsur

gaya kata, bahasa figuratif, dan citraan. Untuk gaya

kalimat, tidak terlalu dominan, dan pada unsur gaya

bunyi, sangat tidak dominan. Secara ringkas, hasil

analisis ini akan ditampilkan dalam Tabel 1 berikut

ini.

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Page 8: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

Tabel 1. Analisis Lima Geguritan karya Triman Laksana.

Kaca Pengilon

Babahan Sanga Laut Kayon Asbak

Gaya

Bunyi

Pemanfaatan

guru lagu

Pemanfaatan

purwakanthi

Pemanfaatan

purwakanthi

Pemanfaatan

purwakanthi

Pemanfaatan

purwakanthi

Gaya Kata Menggunakan

kosakata

tokoh wayang

Muncul

reduplikasi

yang

merupakan

bentuk jamak

Menggunakan

kosakata

bermakna

denotatif dan

konotatif yang

kuat

Muncul

reduplikasi

yang

merupakan

bentuk jamak

Menggunakan

kosakata

bermakna

denotatif dan

konotatif yang

kuat

Muncul

reduplikasi

yang

merupakan

bentuk jamak

Menggunakan

kosakata

bermakna

denotatif dan

konotatif yang

kuat

Muncul

reduplikasi yang

merupakan

bentuk jamak

Menggunakan

kosakata

bermakna

denotatif dan

konotatif yang

kuat

Muncul

reduplikasi

yang

merupakan

bentuk jamak

Gaya

Kalimat

Satu kalimat

terdiri atas lebih

dari satu baris

Satu kalimat

terdiri atas

lebih dari

satu baris.

Menggunakan

tanda baca

titik (.)

sebagai

pemotong

kalimat

Satu kalimat

terdiri atas lebih

dari satu baris

Satu kalimat

terdiri atas lebih

dari satu

baris.Mengguna

kan tanda baca

titik (.) dan

koma (,) sebagai

pemotong

kalimat

Satu kalimat

terdiri atas

lebih dari

satu baris.

Menggunaka

n tanda baca

koma (,)

sebagai

pemotong

kalimat

Bahasa

Figuratif

Muncul majas

metonimia

Muncul majas

metonimia

Muncul majas

personifikasi

Muncul majas

metafora

Muncul

penggunaan kata

majemuk

Citraan Pengaruh budaya

Jawa melalui

pemunculan

kosakata tokoh-

tokoh wayang

Pengaruh

budaya Jawa

melalui

penggambaran

konsep sembilan

lubang pada

tubuh manusia

Pengaruh religi

dalam

hubungannya

dengan

kehidupan

manusia dari

hidup hingga

meninggal

Pengaruh ajaran

budaya Jawa

dalam

hubungannya

dengan norma-

norma kehidupan

(kesopanan dan

kepatutan) yang

harus dijaga

Pengaruh religi

dalam

hubungannya

antara manusia

dengan Tuhan

Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa geguritan

karya Triman Laksana:

1. Dalam gaya bunyi, tidak dominan karena

gaya bunyi hanya muncul melalui

penggunaan purwakanthi-purwakanthi.

Hal ini disebabkan Triman Laksana tidak

menyukai penggunaan permainan bunyi

dalam rangka menciptakan keindahan

geguritan.

2. Dalam gaya kata (diksi), walaupun tidak

disebutkan dalam analisis, namun tampak

dalam geguritan bahwa Triman Laksana

kerap menggunakan gaya kata yang

bersifat reduplikasi, dengan memunculkan

beberapa kata yang mengalami

pengulangan dalam bentuk jamak. Hal

tersebut disebabkan Triman Laksana ingin

menampilkan efek estetis melalui

penekanan kata-kata tersebut. Selain itu,

geguritan karya Triman Laksana dominan

menggunakan kata denotatif untuk judul

geguritan, tetapi akan memunculkan kata-

kata konotatif yang kental bila dikaitkan

dengan isi geguritan.

3. Dalam gaya kalimat, geguritan Triman

Laksana cenderung memiliki gaya kalimat

seperti geguritan pada umumnya, yaitu

satu kalimat terdiri atas beberapa baris

atau gatra. Penggunaan gaya kalimat yang

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Page 9: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

lain adalah dengan memanfaatkan tanda

baca titik (.) dan koma (,) sebagai

pemotong kalimat. Hal ini tentu

mempunyai tujuan untuk menampilkan

kesan keindahan pada geguritan tersebut.

4. Dalam bahasa figuratif, geguritan Triman

Laksana dominan menggunakan majas-

majas yang dapat menunjukkan pemakaian

bahasa kias dalam geguritan. Majas-majas

tersebut digunakan Triman Laksana untuk

menambah efek keindahan dalam

geguritan, karena melalui penggunaan

majas, Triman Laksana bebas

mengungkapkan pesan yang ingin

disampaikan.

5. Dalam citraan, geguritan Triman Laksana

banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa.

Selain itu, religi dan hubungan manusia

dengan Tuhan juga sangat kental dalam

geguritan-geguritan karya Triman

Laksana. Hal tersebut dimanfaatkan oleh

Triman Laksana untuk menampilkan aspek

keindahan melalui pesan makna yang

mendalam dari setiap geguritan karya

Triman Laksana.

Kesimpulan

Keindahan kebahasaan yang membangun

geguritan karya Triman Laksana dapat ditemukan

melalui analisis stilistika yang telah dilakukan.

Keindahan kebahasaan dapat diketahui melalui

analisis terhadap 5 aspek yaitu (1) bunyi yang

dimunculkan, (2) pemilihan kata-kata yang

digunakan, (3) kalimat yang muncul, (4) bahasa

figuratif/kias yang muncul, serta (5) citraan; di

mana kelima aspek tersebut merupakan unsur-unsur

stilistika yang dianalisis dalam penelitian skripsi

ini. Pada lima geguritan karya Triman Laksana

yang telah dianalisis, dapat disimpulkan bahwa

keindahan kebahasaan yang membangun geguritan-

geguritan tersebut sangat kuat pada penggunaan

kata-kata yang khas dan berkarakter, bahasa

figuratif dan citraan yang memancing kekritisan

dan pemahaman pembaca. Penggunaan kata-kata

yang khas dan berkarakter, misalnya pada

geguritan karya Triman Laksana terlihat bahwa

secara umum judul geguritan merupakan kata yang

bersifat leksikal dan mempunyai makna denotatif,

akan tetapi setelah dikaitkan dengan isi dari

geguritan, maka akan muncul kata-kata bermakna

konotatif. Kemudian, pada bagian bahasa figuratif,

Triman Laksana merupakan penyair yang menyukai

penggunaan majas-majas karena Triman Laksana

merupakan tipe penyair yang senang bermain kata-

kata, sehingga bisa lebih bebas mengekspresikan

apa yang ingin disampaikan. Selain itu, pada

citraan, keindahan geguritan muncul karena

menggunakan kata-kata bermakna konotatif yang

tidak dapat secara langsung ditemukan maknanya

oleh pembaca, sehingga menuntut imajinatif

pembaca geguritan tersebut.

Aspek keindahan pada geguritan Triman

Laksana juga dipengaruhi budaya Jawa yang kuat

karena Triman Laksana sebagai penyair ternyata

menggunakan pengaruh konsep-konsep berpikir

orang Jawa dalam menciptakan geguritannya.

Selain pengaruh budaya Jawa tersebut beberapa

geguritan juga menggunakan tema religi sebagai

pendukung atas pengaruh konsep budaya Jawa

tersebut. Dengan mengetahui keindahan

kebahasaan geguritan yang telah disebutkan,

diharapkan penelitian ini dapat menambah

khasanah pengetahuan mengenai geguritan,

khususnya geguritan karya Triman Laksana.

Daftar Referensi

Al-Ma‟ruf, Ali Imron. (2009). Stilistika Teori,

Metode, dan Aplikasi Pengkajian

Estetika Bahasa. Solo: Cakra Books

Solo.

Aminuddin. (1995). Stilistika: Pengantar

Memahami Bahasa dalam Karya

Sastra. Semarang: IKIP Semarang

Press.

Darnawi, Soesatyo. (1964). Pengantar Puisi Jawa.

Jakarta: Balai Pustaka.

Keraf, Gorys. (1985). Diksi dan Gaya Bahasa.

Jakarta: PT. Gramedia.

Kushartanti, dkk. (2005). Pesona Bahasa: Langkah

Awal Memahami Linguistik. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama.

Luxemburg, Jan Van, dkk. (1989). Pengantar Ilmu

Sastra. Jakarta: Gramedia.

Pradopo, Rachmat Djoko. (2009). Pengkajian

Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Prabowo, Danu Priyo. (1995). Pesta Emas Sastra

Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. (2007). Estetika Sastra dan

Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Saputra, Karsono H. (2001). Puisi Jawa: Struktur

dan Estetika. Jakarta: Wedatama

Widya Sastra.

Sudaryanto. (1992). Tata Bahasa Baku Bahasa

Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana

University Press.

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Page 10: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

Sudjiman, Panuti. (1993). Bunga Rampai Stilistika.

Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Teeuw, A. (1991). Membaca dan Menilai Sastra.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Tim Senawangi. (1999). Ensiklopedi Wayang

Indonesia. Jakarta: Senawangi.

Kamus

Poerwadarminta, W. J. S. (1939). Baoesastra

Djawa. Batavia: J. B. Wolters‟

Uitgevers-Maatschappij N.V.

Prawiroatmodjo, S. (1994). Bausastra Jawa

Indonesia. Jakarta: CV. Masagung.

Lampiran

1. Geguritan Kaca Pengilon

KACA PENGILON CERMIN

Kuwi dudu ragaku Itu bukan ragaku

nanging iku, ragane bethara kala tapi itu, raga Bethara kala

kuwi dudu raiku itu bukan wajahku

nanging iku, raine dasamuka tapi itu, wajah Dasamuka

kuwi dudu jiwaku itu bukan jiwaku

nanging jiwane dursasana tapi jiwa Dursasana

kuwi dudu aku, dudu aku itu bukan aku, bukan aku

kang kepengin dadi bisma yang ingin menjadi Bisma

2. Geguritan Babahan Sanga

BABAHAN SANGA “BABAHAN SANGA”4

kumandhang swara-swara angin gaung suara-suara angin

tansah milut kabeh ukara merangkai semua ucapan

kanggo ganda-ganda bacin. marang kahanan untuk semerbak bau tak sedap. kepada keadaan

diemplok ana pinggiring jagad dimangsa di ujung dunia

marani endi kang didama. iki tandha menuju kepada yang dikehendaki. ini simbol

lingga, yoni padha tetembangan ana m,buri lingga, yoni bersahutan di belakang

4Babahan sanga berasal dari kata babahan yang berarti lubang dan sanga yang berarti sembilan. Dalam konsep

budaya Jawa, babahan sanga mengacu pada sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia (Poerwadarminta,

1939: 23 dan 544).

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Page 11: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

wus ora maclu kudu ditata ana tatanan sudah tak pelak harus ditata pada tatanan

mung mbujung nepsu-nepsu angkasa hanya memburu nafsu-nafsu angkasa

marang tlatah kasoran jangkah kepada tempat jalan yang salah

apa iki kang arane donyaning kuwalik ? apa ini yang dinamakan dunia terbalik ?

3. Geguritan Laut

LAUT LAUT

obahing warna-warna biru gerakan warna-warna biru

padha nyawiji ana jagad netra menyatu dalam satu pandangan

ngebaki rancage tatanan wektu memenuhi akhir tatanan waktu

diluru kanthi nlesih-nlesih laku dicari dengan mencermati perjalanan hidup

kang saya suwe nyedhaki paturon yang semakin lama mendekati peristirahatan

bakal dietungi mbaka siji akan dihitung satu demi satu

endi kang perlu dicathet mana yang perlu dicatat

lembaran-lembaran, ing plataran amba lembaran-lembaran, di tempat luas

bareng ambruke napas-napas pungkasan bersama rubuhnya nafas-nafas terakhir

ombak-ombak wis obah ombak-ombak telah bergerak

nututi playune angin-angin gisik mengikuti lari angin-angin pesisir

menehi pratandha, menawa dalan isih ana memberi tanda, akan jalan masih ada

pangkonan iki tansah dawa pangkuan ini sangat panjang

mapagage laku-laku kang kebak salah menjemput langkah-langkah yang salah

diaras kanthi setiti bareng wengi dijamah dengan cermat bersama malam

banyu-banyu panguripan isih dipepetri air-air penghidupan masih terawat

kari dina-dina kang kebak wewadi menyisakan hari-hari yang penuh misteri

laut-laut manungsa lautan manusia

mbujung raga kang ilang memburu raga yang hilang

ana anggane dhewe-dhewe pada tubuh masing-masing

ing sajroning nepsu kadonyan dalam nafsu duniawi

dina iki, dina isih padha hari ini, hari masih sama

mlayoni dina-dina kang kalah lari dari hari-hari yang kalah

padha karo laku-laku kebak gegambaran janji tak ubahnya langkah-langkah yang penuh janji-janji

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Page 12: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

ngrungkebi dalan siji: ana laut pangapura merangkul satu jalan: pada laut pengampunan

4. Geguritan Kayon

KAYON PEPOHONAN

landhep banget gunting iku nugel sungguh tajam gunting itu memotong

wektu terus lumaku, ngebaki lemah-lemah waktu terus berlalu, memenuhi tanah-tanah

kang kudu dijangkah ana tengah-tengahe yang harus dilalui di tengah-tengah

dadi winih suci. nyuburake tetanduran yekti menjadi benih suci. menyuburkan tanaman kebenaran

budi kang nggantung ana angkasa. dudu ngayawara akal yang menggantung di angkasa. bukan kebohongan

bakal tuwuh ukara-ukara pungkasan, ditanem kenceng akan tumbuh ucapan-ucapan terakhir, ditanam kuat

bareng lakune jaman. isih tetep kudu ana seiring berlalunya zaman. masih tetap ada

kandheg patrem, ing telenging bumi terhenti sejenak, pada dasar bumi

bareng pekerti kang wis lingsir bersama perangai yang telah menepi

wong wadon gampang udhar tapihe wanita mudah terlepas busananya

ringkih, ana tetese waspa tanpa krana rapuh, ada tetes air mata tanpa sebab

ditulisi anane kagliwang jaman diukir adanya perubahan zaman

ilang tanpa enggok. diedohake laku tama musnah tanpa jejak. dijauhkan dari langkah utama

yaitu kayon-kayon ing ati. apa kudu mangkono? yaitu pepohonan dalam hati. apa harus demikian?

5. Geguritan Asbak

ASBAK ASBAK

ana pojok-pojok dalan kekarepan pada sudut-sudut jalan keinginan

pasrah marang pepethene Gusti pasrah kepada takdir Illahi

tetep madhep mantep, tanpa swala tetap tegar, tanpa kesombongan

njaga raga kanggo tetenger iki menjaga raga untuk pertanda ini

manawa urip bakal ana pungkasane bahwa hidup akan ada akhir

jagad kang amba disangga ana bunderan siji dunia luas disangga dalam satu lubang

mbuktekake sasawangan kang nuspra, anak pandelengan membuktikan pemandangan tanpa guna, anak

penglihatan

sunar-sunar bakal bali antarane wektu cahaya terang akan kembali seiring waktu

awu wus jumedhul bareng enteking mawa abu telah muncul seiring habisnya bara

ngebaki bunderane Gusti, meneri badan sapata memenuhi lingkaran Tuhan, seperti garis hidup

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013

Page 13: Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana

dikanthi-kanthi kenceng ana epek-epek urip nasib ditemani kuat pada telapak kehidupan nasib

ngenteni tekane jantra baya dadi barang tetenger menanti datangnya cobaan menjadi barang

penanda

disangga ijenan marang pundhak loro disangga sendirian dengan dua pundak

kepara isih tekan jumedhule, kebak sanepa terbagi masih sampai munculnya, penuh perumpamaan

apa arep entek? akankah habis?

Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013