KEIKOP 2017 - bppk.kemenkeu.go.id · Mengejar Efisiensi dan Efektivitas Diklat melalui Blended...

35
Melanjutkan Semangat Kartini: "Executive Workshop Woman Leadership" Media Edukasi dan Informasi Keuangan K E U A N G A N EDUKASI Edisi 43/2017 Wajah Baru Pembelajaran Kemenkeu KALEIDOSKOP 2017

Transcript of KEIKOP 2017 - bppk.kemenkeu.go.id · Mengejar Efisiensi dan Efektivitas Diklat melalui Blended...

Melanjutkan Semangat Kartini:"Executive Workshop Woman Leadership"

Media Edukasi dan Informasi Keuangan

K E U A N G A NEDUKASI

Edisi 43/2017

Wajah Baru Pembelajaran

Kemenkeu

KALEIDOSKOP2017

Salam RedaksiWajah Baru Pembelajaran KemenkeuLintas PeristiwaInfografisKapitalisasi Pengetahuan melalui Knowledge CaptureKLC Tempat Belajar Warga KemenkeuSentralisasi Kampus PKN STANSerambi IlmuMengejar Efisiensi dan Efektivitas Diklat melalui Blended LearningOpen Class: Ilmu Keuangan Negara untuk Semua

Jl. Purnawarman No. 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110Telp: +62 21 7394666, 7204131 Fax: +62 21 7261775http://www.bppk.kemenkeu.go.idAlamat Redaksi

Redaksi menerima artikel untuk dimuat dalam majalah ini.Artikel ditulis dalam huruf Arial 11 spasi 1,5, maksimal 2.500 kata. Artikel dapat dikirimkan ke [email protected] majalah ini tidak mencerminkan kebijakan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

2

4612

14

17

2023

56

61

Daftar Isi

Susunan RedaksiPenanggung JawabSekretaris BPPK

Pemimpin RedaksiSugeng Satoto

RedakturBeta Andri A. UliansyahSintawatiRita Dwi LindawatiM. Yusuf ArrizaBambang KismantoSoderiAgus Sunarya SelaemanAgus Hekso PramudijonoHartonoAgung DaronoEduard TambunanPilar WirotamaSudrajat

EditorEdi Basuki RakhmadShera Betania

LayoutMuhammad Fath Kathin Unggul H. Muhammad

Desain Grafis dan FotograferVictorianus M. I. Bimo Adi Eros Lassa Mursalin

SekretariatAlyn Dwi SetyaningrumPutro Utomo

Ilustrasi icon pada cover: www.freepik.com

Sri Mulyani memberikan kuliah umum di tengah-tengah mahasiswa tingkat I PKN STAN dalam acara Menteri Menyapa yang dilaksanakan tanggal 21 Desember 2017

Foto: M. Fath

Salam RedaksiSalam Redaksi

Penghujung tahun kembali di depan mata. Merupakan saat yang tepat untuk kita berhenti sejenak, melihat ke belakang atas apa yang telah kita lakukan sepanjang tahun. Mengingat kembali segala kerja keras yang telah dilakukan. Tentu saja tidak hanya ada keberhasilan, pasti ada kegagalan dan ruang untuk perbaikan di tahun mendatang. Pada edisi kali ini majalah Edukasi Keuangan menghadirkan kembali ulasan-ulasan terkait pengembangan yang telah dilakukan BPPK sepanjang tahun 2017. Diawali dengan pengembangan metode pembelajaran, yaitu metode blended learning dan open class. Penerapan blended learning di beberapa diklat di BPPK mulai dilaksanakan. Selain itu, untuk menjawab keingintahuan masyarakat mengenai isu-isu terbaru terkait keuangan negara, BPPK mulai menyelenggarakan kegiatan open class, dimana setiap orang yang memiliki ketertarikan terkait keuangan negara dapat hadir dan mendiskusikan bersama isu tersebut dengan bimbingan para ahli di bidangnya. Pengembangan berikutnya dapat dirasakan dalam hal manajemen pengetahuan. Simak artikel terkait knowledge capture dan Kemenkeu Learning Center untuk mendapatkan gambaran mengenai proses penyimpanan dan pemanfaatan pengetahuan di lingkungan Kementerian Keuangan. Perubahan juga dilakukan oleh PKN STAN. Sebagai lembaga pendidikan tinggi di lingkungan Kementerian Keuangan, PKN STAN terus mengembangkan dirinya agar dapat memberikan layanan yang paripurna. Simak perubahan yang dilakukan oleh PKN STAN. Selain menyampaikan pengembangan yang telah dilakukan BPPK sepanjang tahun, edisi kali ini juga tetap memberikan ruang bagi penyebaran pengetahuan terkait keuangan negara melalui rubrik Serambi Ilmu.Dengan semangat selalu ingin memberikan yang terbaik, Edukasi Keuangan telah hadir sepanjang tahun ini untuk memberikan informasi terkait BPPK dan keuangan negara. Tentu saja masih banyak perbaikan yang diperlukan untuk menuju kesempurnaan. Marilah bersama-sama kita menutup tahun 2017 ini dengan semangat ingin memberikan yang lebih baik lagi di tahun mendatang.Selamat tahun baru!

Minister Talks - Kuliah Umum Menteri Keuangan17 April 2017Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan kuliah umum kepada mahasiswa PKN-STAN di Gedung G PKN-STAN, yang diikuti oleh mahasiswa yang tidak hanya berkuliah di Jurangmangu, tetapi juga diikuti oleh mahasiswa di Kampus Rawamangun serta seluruh Balai Diklat melalui Video Conference. Kegiatan ini bertujuan agar para mahasiswa yang akan menjadi pengelola APBN dapat memahami perannya sebagai punggawa keuangan negara. Uniknya, acara ini merupakan kuliah umum satu-satunya yang ingin didatangi sendiri oleh Menteri Keuangan.“Banyak kampus yang meminta saya untuk memberi kuliah. Tapi hanya satu kampus yang saya minta untuk saya memberi kuliah, yaitu Kampus STAN,” kata Menteri Keuangan.

KALEIDOSKOP 2017

Beragam video pembelajaran tema keuangan negara

yang dikemas secara singkat namun tetap

kaya konten

V I D E OMICRO LEARNING207 L

aju perkembangan zaman yang sulit dibendung, dimana setiap perkembangan menimbulkan kebutuhan dan tuntutan baru untuk menghadapinya. Perkembangan itu jugalah yang membuat setiap organisasi untuk terus beradaptasi. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) sebagai lembaga pemerintahan yang

bertanggung jawab dalam pengembangan sumber daya manusia yang mencetak ahli keuangan negara menyambut perubahan tersebut dengan menyiapkan strategi adiluhungnya. Mengadaptasi strategi corporate university, BPPK semakin memantapkan keberadaannya sebagai lembaga diklat pemerintahan yang mumpuni melalui beberapa penyempurnaan di beberapa aspek sepanjang tahun 2017 ini. Terobosan-terobosan dilakukan untuk mengimbangi kedinamisan organisasi serta mengakomodasi keingintahuan masyarakat terkait pengelolaan keuangan dan kekayaan negara.

Sebagai lembaga yang mengelola kekayaan dan keuangan negara, Kementerian Keuangan memerlukan dukungan sumber daya manusia yang memadai. Mengingat sebaran wilayah kerja Kemenkeu yang luas, maka diperlukan suatu terobosan yang mampu menjawab kebutuhan tersebut. BPPK menjawab kebutuhan tersebut dengan menghadirkan penyempurnaan layanan kediklatan. Penyempurnaan pertama dapat dirasakan dari sisi metode pembelajaran. Di tahun 2017 ini, BPPK memperkaya program diklatnya dengan menerapkan metode pembelajaran yang dapat menjawab tantangan tersebut. Metode pembelajaran yang sedang dikembangkan adalah blended learning dan open class. Penerapan metode blended learning di beberapa Pusdiklat mendapatkan sambutan yang cukup memuaskan, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya penerapan metode tersebut dalam skala yang lebih luas. Selain bagi seluruh pengawai Kemenkeu, BPPK juga ingin membagikan pengetahuan terkait keuangan dan kekayaan negara kepada masyarakat luas. Melalui kegiatan open class yang mulai diterapkan di tahun 2017 ini, maka

diharapkan pengetahuan terkait keuangan dan kekayaan negara dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat luas. Terobosan lain juga dikembangkan BPPK, yaitu dari sisi manajemen pengetahuan. Budaya untuk menyimpan dan membagikan pengetahuan dan pengalaman yang sudah ada selama ini semakin diperkuat dengan adanya kegiatan knowledge capture dan peluncuran Kemenkeu Learning Center (KLC). Apabila selama ini budaya berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman hanya bisa dilakukan dengan cara manual dan manfaat yang dirasakan hanya untuk segelintir orang, melalui kegiatan knowledge capture dan pemanfaatan KLC maka semua orang dapat berbagi dan mencari pengetahuan yang diinginkan dengan lebih mudah dan terkelola dengan baik.

Sebagai lembaga pendidikan tinggi di lingkungan Kementerian Keuangan, Politeknik Keuangan Negara STAN juga turut berbenah. Agar jalannya pendidikan dan pengembangan mahasiswa dapat lebih terencana dan terkelola dengan baik, maka tahun ini dilakukan pemusatan lokasi pendidikan. Dengan meningkatkan jumlah mahasiswa yang dilayani dalam satu wilayah tentu saja akan memberikan tantangan tersendiri, tetapi hal tersebut dapat diantisipasi sehingga tugas dan tanggung jawab PKN STAN sebagai pencetak ahli keuangan negara dapat terselesaikan dengan baik.

Terobosan-terobosan terus dilakukan oleh BPPK dalam upaya meningkatkan pelayanannya kepada stakeholder. Beberapa penyempurnaan telah dimulai, dan tidak menutup kemungkinan hal-hal baru tersebut akan semakin bertambah seiring dengan kebutuhan organisasi untuk menjawab tantangan perubahan jaman. Sebagai organisasi BPPK terus meng-upgrade dirinya melalui berbagai cara, sehingga dengan demikian BPPK dapat menjadi pilar utama dalam pengembangan sumber daya manusia, khususnya pengelola keuangan dan kekayaan negara.

Wajah Baru

Pembelajaran

Kemenkeu

Oleh: Yohana Tolla

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 54 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

LINTAS PERISTIWA

JANUARI | Pelantikan Kepala BPPK

FEBRUARI | Analisis Kebutuhan Diklat

MARET | Seminar Pengelolaan Aset Desa

APRIL | Ujian Saringan Masuk PKN STAN

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 76 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Lintas Peristiwa

MEI | Tes Kesehatan dan Kebugaran PKN STAN

JUNI | Upacara Hari Lahir Pancasila

JULI | Dies Natalis II PKN STAN

AGUSTUS | Seminar Parenting

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 98 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Lintas Peristiwa Lintas Peristiwa

SEPTEMBER | Forum Komunikasi Badan Diklat

OKTOBER | Wisuda PKN STAN

NOVEMBER | BPPK Awards 2017

DESEMBER | Menteri Menyapa

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 1110 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Lintas Peristiwa Lintas Peristiwa

TRAINING FOR LEADERS

2016 2017*

Nilai Peningkatan Kompetensi**Rata-Rata Selisih Nilai Pretest dan Posttest

2015 2016

28,94 34,16

INFOGRAFIS PEMBELAJARANKEMENKEU CORPU

SUMATERA2016 2017*

12,68% 14,01%

SULAWESI2016 2017*

4,17% 5,9%

KALIMANTAN2016 2017*

4,04% 4,84%

JAWA NON DKI2016 2017*

16,8% 27%

DKI JAKARTA2016 2017*

56,66% 43%

BALI/NTT2016 2017*

3,01% 3,41%

AMBON2016 2017*

1,38% 0,48%

PAPUA2016 2017*

1,26% 1,36%

ASAL PESERTA PELATIHANJUMLAH PESERTA TIAP WILAYAH

*Data per 10 Oktober 2017

DATA PESERTA Pelatihan

BERDASARKAN GOLONGAN BERDASARKAN JABATAN

2016 2017* 2016 2017*

BERDASARKAN USIA BERDASARKAN JENIS KELAMIN

2016 2017* 2016 2017*

*Data per 10 Oktober 2017

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 1312 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Jumlah Program PelatihanJumlah Pelatihan yang diselenggarakan

*Data per 10 Oktober 2017

2016 2017*

KapitalisasiPengetahuan melalui Knowledge CaptureMenurut Kepala BPPK Astera Primanto Bhakti, Corpu adalah bagaimana kita membicarakan isu-isu faktual yang ada di tiap-tiap Eselon I Kemenkeu serta bagaimana kita mengkapitalisasi pengetahuan yang kita miliki. Penguatan proses pembelajaran di Kementerian Keuangan akan dilakukan melalui pengelolaan dan kapitalisasi pengetahuan seluruh SDM Kementerian Keuangan hingga memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi pencapaian dan peningkatan target kinerja di bidang keuangan Negara.

Perlu dipahami bahwa BPPK bukan berubah menjadi corporate university, tetapi BPPK akan menjadi penggerak

untuk mewujudkan Kemenkeu Corporate University. Organisasi yang akan menjadi tempat belajar itu adalah Kementerian Keuangan bukan hanya BPPK. BPPK nantinya akan berperan sebagai pengelola Kemenkeu Corpu dan akan memperkuat proses pembelajaran. Strategi pembelajaran dirancang khusus untuk membantu setiap unit teknis mencapai target/tujuan melalui kegiatan-kegiatan pengembangan kompetensi yang didesain dengan mengedepankan

sistem pembelajaran yang terintegrasi dengan praktek di lapangan, forum ahli, coaching dan mentoring.

Dalam rangka perwujudan BPPK sebagai corpu ini, dibuatlah suatu program yang dinamakan knowledge management. BPPK sebagai pelaksana knowledge management ini harus dapat mengumpulkan pengetahuan yang ada di Kemenkeu, mengelompokkannya sesuai dengan klasifikasi yang dapat dipublikasikan atau tidak, dan menggunakan pengetahuan-pengetahuan tersebut semaksimal mungkin.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keynote speech-nya pada Pembukaan Rakor BPPK di akhir 2016 yang lalu menyatakan bahwa harus ada instansi di lingkungan Kementerian Keuangan yang mampu untuk meng-capture, mengelola dan menggunakan pengetahuan. Dalam 10 tahun terakhir, menurutnya, Kementerian Keuangan telah banyak memproduksi pengetahuan, dan hal itu harus ditangkap oleh BPPK yang kini sedang membangun knowledge management Kemenkeu. Knowledge di Kementerian Keuangan sangat banyak dan beragam. Sayangnya knowledge tersebut masih tersebar dan terkesan hanya menjadi milik pribadi.

Foto: M. Fath Foto

: M. F

ath

Kegiatan pengambilan gambar untuk video APBN 2016; 1. Marwanto Harjowiryono, Dirjen Perbendaharaan, 2. Kunta Wibawa, Direktur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, DJA, dan 3. Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal

1 2

3

Oleh: Shera Betania

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 1514 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

KemenkeuLearning Center

Tempat Belajar Warga Kemenkeu

Menurut dokumen rancangan regulasi terkait Kementerian Keuangan Corporate University yang disusun oleh Bagian Organisasi dan Tata Laksana BPPK, Corporate University didefinisikan sebagai strategi yang digunakan untuk mencapai visi dan misi Kementerian Keuangan, dengan mewujudkan link and match antara pembelajaran, pengelolaan pengetahuan, dan penerapan nilai-nilai dengan target kinerja Kementerian Keuangan dan dilaksanakan oleh seluruh elemen Kementerian Keuangan dengan BPPK sebagai motor penggerak utama bagi SDM Keuangan Negara.

Menurutnya, knowledge tersebut seharusnya dapat dikapitalisasi dan dikompilasi dengan baik untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi para pegawai di seluruh Kementerian Keuangan sehingga proses regenerasi bisa berjalan baik.

Dorongan Menteri Keuangan agar setiap unit Eselon I Kemenkeu meng-capture knowledge yang ada di unitnya sangat baik untuk diterapkan dan bermanfaat bagi masing-masing unit (khususnya) dan Kementerian Keuangan (umumnya). Dengan adanya knowledge capture memungkinkan seluruh informasi yang ada dapat dituangkan dalam suatu bentuk tertentu (tulisan, video, buku, dsb) sehingga dapat dipelajari oleh mereka yang membutuhkan. Beberapa cara yang dapat digunakan dalam meng-capture knowledge antara lain dengan mengumpulkan dan mendiseminasi materi-materi pembelajaran dalam suatu wadah (knowledge learning center), meng-capture knowledge yang dimiliki para narasumber/unit pengguna untuk dituangkan dalam suatu kurikulum/

desain program diklat dan meng-capture tacit knowledge yang dimiliki oleh para pegawai.

Keterlibatan unit pengguna sangatlah penting dalam meng-capture knowledge unit pengguna. Knowledge terletak pada seluruh unit eselon I Kementerian Keuangan, lebih spesifik lagi melekat pada individu-individu yang memiliki peran dalam menjalankan roda keuangan Negara di Kementerian Keuangan. Maka dari itu, sinergi antara BPPK dengan seluruh unit Eselon I menjadi satu pokok penting dalam meng-capture knowledge yang ada di Kementerian Keuangan. Setiap individu di Kementerian Keuangan tentu memiliki pengalaman tersendiri saat bekerja di institusi pengelola keuangan Negara ini. Hal inilah yang membuat pengalaman pribadi tersebut dapat memperkaya knowledge yang ada di Kemenkeu.

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam melakukan knowledge capture antara lain library research sebelum

menyusun storyline, wawancara yang efektif, memadukan berbagai sumber data dari luar Kemenkeu seperti media cetak atau TV nasional, dan penyajian yang ringan namun lengkap.

BPPK sendiri sebenarnya telah memiliki beberapa ‘media’ penyimpanan knowledge yang telah di-capture, salah satunya melalui Learning Media Systems (LMS). Beberapa kegiatan BPPK ataupun di lingkup Kementerian Keuangan direkam dan disimpan dalam media penyimpanan yang masih terbatas untuk pegawai Kemenkeu. Selain itu, artikel-artikel yang dihasilkan banyak widyaiswara dan pegawai BPPK juga sudah banyak dimuat di menu artikel pada web BPPK. Bisa dikatakan, BPPK sendiri sebenarnya telah banyak melakukan knowledge capture, namun masih menggunakan cara yang sederhana dan masih kurang rapi. Maka melalui knowledge capture, diharapkan knowledge yang telah ada di Kementerian Keuangan, dapat lebih dikelola dan dimanfaatkan lebih luas lagi.

Tim Knowledge Management BPPK bersama dengan Direktur Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Purwanto

Oleh: Shera Betania

Foto: Bimo Adi

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 1716 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Untuk mendukung proses pendistribusian berbagai pengetahuan terkait keuangan negara dengan kegiatan formal peningkatan kompetensi melalui diklat yang dilakukan secara online (e-learning) maupun diklat secara blended learning sehingga proses belajar melalui diklat dapat dilakukan tanpa batas: kapan saja, di mana saja, dengan perangkat apa saja (any time, any where, any device).

Untuk menampung, menyimpan dan mendistribusikan berbagai pengetahuan terkait keuangan negara sehingga pengetahuan tersebut bisa diakses tanpa batas: kapan saja, di mana saja, dengan perangkat apa saja (any time, any where, any device).

Untuk menciptakan media komunikasi, diskusi, berbagi informasi dan pengetahuan bagi berbagai praktisi terkait keuangan negara yang ada pada Kementerian Keuangan.

Aplikasi Kemenkeu Learning Center (KLC) merupakan sebuah aplikasi berbasis web yang dapat menjadi media bagi siapa saja, terutama seluruh pegawai Kementerian Keuangan untuk menyimpan, belajar dan berbagi ilmu pengetahuan terutama di bidang keuangan negara. Dengan KLC maka proses berbagi pengetahuan dapat dilaksanakan, baik secara formal melalui kegiatan diklat yang difasilitasi oleh BPPK maupun secara informal melalui forum-forum komunitas praktisi dan berbagi pengetahuan melalui artikel dan

lain-lain. KLC memiliki fungsi utama sebagai knowledge repository tentang pengelolaan keuangan negara yang dapat digunakan oleh seluruh pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan untuk meningkatkan kompetensi di bidang pengelolaan keuangan negara. Selain itu KLC dapat juga digunakan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan masyarakat umum untuk mendapatkan informasi tentang pengelolaan keuangan negara.

U ntuk mewujudkan Knowledge Management sebagai salah satu pilar Kemenkeu Corporate University, Badan

Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) sebagai instansi yang menjalankan peran membangun lingkungan pembelajaran dalam mewujudkan Kemenkeu Corporate University perlu memiliki serangkaian sistem dan prosedur untuk memastikan seluruh pengetahuan terkait dengan keuangan negara tersedia dan terkelola dengan baik. Tujuannya agar semua pengetahuan yang tertuang dalam berbagai media dan tacit knowledge, seperti dalam bentuk buku, modul-modul diklat, artikel maupun dalam bentuk pengalaman benar-benar telah direkam (di-capture), disimpan dan mudah diakses oleh siapa saja yang membutuhkan pengetahuan tersebut terutama seluruh pegawai Kementerian Keuangan.

Benar bahwa teknologi bukanlah satu-satunya elemen dalam Knowledge Management. Beberapa literatur mengatakan bahwa untuk menerapkan knowledge management, paling tidak sebuah organisasi harus menyediakan 4 elemen, yaitu orang (people), proses (process), teknologi (technology) dan tata kelola (governance). Teknologi sebagai salah satu elemen hanya dianggap sebagai alat bantu bagi orang untuk menjalankan proses knowledge management berdasarkan tata kelola yang mengaturnya. Oleh karena itu wajar pula jika terdapat penyataan bahwa penggunaan teknologi dalam knowledge management bukan merupakan hal utama tapi sebagai alat untuk mempermudah proses untuk menyimpan dan membagi knowledge sehingga mudah diakses dan digunakan. Namun demikian, ketika organisasi berada di era dimana penggunaan teknologi telah begitu merasuki keseharian manusia, maka keberadaan teknologi sebagai alat bantu tentu tidak bisa dianggap remeh. Untuk itu, BPPK sebagai motor penggerak

utama strategi corporate university dan penerapan knowledge management di lingkungan Kementerian Keuangan merasa perlu untuk mengembangkan alat bantu berbasis teknologi informasi untuk membantu penerapan knowledge management dan strategi Kemenkeu Corporate University di Kementerian Keuangan.

Alat bantu berupa aplikasi atau sistem informasi tersebut, dimaksudkan untuk menampung atau menyimpan berbagai pengetahuan di lingkungan Kementerian Keuangan (terutama di bidang Keuangan Negara) serta memudahkan akses terhadap berbagai pengetahuan tersebut. Melalui aplikasi tersebut, diharapkan siapa saja, terutama pegawai Kementerian Keuangan, dapat berbagi pengetahuan dan belajar bahkan mengikuti diklat tentang keuangan negara. Aplikasi ini

juga diharapkan dapat menjadi sarana para ahli dan praktisi di bidang keuangan negara berkumpul, berdiskusi, dan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait keuangan negara. Berbagai hal di atas mendasari Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) untuk mengembangkan aplikasi bagi alat bantu penerapan knowledge management. Di kemudian hari aplikasi tersebut diberi nama Kemenkeu Learning Center (atau biasa disingkat dengan KLC).

Tujuan umum dari pengembangan aplikasi Kemenkeu Learning Center adalah untuk membangun salah satu alat bantu dalam proses Knowledge Management pada Kementerian Keuangan, terutama di BPPK yang memegang peran sentral dalam Kemenkeu Corporate University. Secara lebih detail, tujuan pengembangan aplikasi KLC adalah sebagai berikut:

Situs klc.kemenkeu.go.id

Foto: M.Fath

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 1918 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

SENTRALISASI KAMPUS PKN STAN

Perubahan lokasi pendidikan, khususnya Program Studi Diploma I Pajak dan Bea Cukai PKN STAN yang sebelumnya berada di 11 Balai Diklat Keuangan (BDK) ke kampus utama PKN STAN di Bintaro, sedikit banyak telah memberikan berbagai dampak kepada beberapa pihak. Secara khusus, dampak perubahan ini dapat dirasakan oleh mahasiswa, calon mahasiswa, dosen, pegawai di PKN STAN, dan secara umum perubahan ini memberikan dampak kepada BPPK, unit eselon I Kementerian Keuangan, serta institusi pemerintahan lainnya, bahkan kepada masyarakat luas yang juga bagian dari stakeholder PKN STAN. Keberadaan PKN STAN sebagai pencetak ahli keuangan negara mendapat perhatian dari banyak pihak.

Berdasarkan Peraturan Kemenristekdikti Nomor 1 tahun 2017 tentang Pembukaan, Perubahan, dan Penutupan Program

Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) Perguruan Tinggi, PKN STAN berbenah dan mulai menjalankan peraturan yang berlaku, yaitu dengan menyatukan semua kegiatan pendidikan di Kampus Utama, yaitu Kampus PKN STAN di Bintaro.

PKN STAN adalah kampus rakyat dan kampus yang dekat di hati masyarakat. Untuk penerimaan tahun 2017 ini, jumlah mahasiswa yang lulus adalah 6.900 orang dan yang mendaftar ulang sebanyak 6.500 orang. Banyak alasan yang mungkin menyebabkan calon mahasiswa tidak melakukan daftar ulang, salah satunya sudah diterima di perguruan tinggi lain. Target pendaftar ulang PKN STAN adalah 6.200 mahasiswa, namun yang mendaftar ulang mencapai 6.500 orang. Hal itu menunjukkan bahwa optimisme calon mahasiswa mengalahkan lokasi yang harus ditempuh.

Pemindahan lokasi ini juga dipandang sebagai upaya yang baik dalam membuat standardisasi terhadap mahasiswa PKN STAN, agar kualitas mahasiswa PKN STAN dapat lebih terukur dengan baik. Kepala BDK Cimahi berharap melalui kebijakan ini, MoU (Memorandum of Understanding) yang telah dibuat PKN STAN di tahun 2016 dapat direalisasikan. Hal ini berdasarkan atas peraturan Menristekdikti Nomor 1 tahun 2017 yang menyatakan bahwa pembukaan PSDKU dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan PTN atau PTS di provinsi PSDKU akan dibuka.

Menurut para Kepala Balai tersebut, kebijakan pemusatan Kampus PKN STAN disebabkan oleh adanya kebutuhan dan kebijakan yang dinamis yang mendasarinya. BDK hanya menjalankan kebijakan yang ada. Kepala BDK Pontianak menyampaikan bahwa dengan adanya kebijakan ini sama saja dengan mengembalikan BDK kepada fitrahnya,

yaitu sebagai Badan yang melaksanakan pelatihan di bidang keuangan negara. Karena selama ini, kegiatan perkuliahan PKN STAN tidak tercatat/dihitung dalam kinerja BDK. Oleh karena itu, PKN STAN di Bintaro diharapkan mampu memperbaiki kualitas mahasiswa dan juga kinerja pegawai BDK.

Sekilas tentang Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 1 tahun 2017

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi di awal tahun 2017 melakukan perubahan dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi. Melalui Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 1 tahun 2017 tentang Pembukaan, Perubahan dan Penutupan Program Studi Di Luar Kampus Utama Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti mengatur pembukaan atau perubahan dan penutupan Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) Perguruan Tinggi. Peraturan ini dibuat bertujuan untuk meningkatkan akses, pemerataan, mutu, dan relevansi pendidikan tinggi di seluruh wilayah Indonesia, dan meningkatkan mutu, dan relevansi penelitian ilmiah serta pengabdian kepada masyarakat untuk mendukung Pembangunan Nasional. Penutupan PSDKU bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kerugian akibat memperoleh layanan pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang kurang bermutu.

Lebih lanjut, peraturan ini mengatur tentang Pembukaan Program Studi di Luar Kampus Utama. Beberapa syaratnya antara lain dapat dibuka pada jenis pendidikan akademik dan vokasi, untuk program sarjana, magister dan diploma. PSDKU dapat dibuka di provinsi yang sama dengan provinsi letak Kampus Utama berada, atau provinsi yang berbeda dengan provinsi dimana Kampus Utama berada, dan kesemuanya harus memperoleh izin pembukaan PSDKU terlebih dahulu. Dalam hal pembukaan PSDKU dilakukan lintas

provinsi, pembukaannya harus bekerja sama dengan PTN atau PTS di provinsi letak PSDKU akan dibuka. Kerja sama dengan PTN atau PTS di provinsi letak PSDKU akan dibuka merupakan kerja sama dalam bidang akademik dan/atau bidang nonakademik. Izin pembukaan PSDKU dapat diterbitkan setelah memenuhi syarat syarat minimum akreditasi PSDKU sesuai dengan standar nasional perguruan tinggi. Syarat yang harus dipenuhi antara lain:

1. Rencana pembukaan PSDKU telah dicantumkan dalam Rencana Strategis perguruan tinggi yang akan membuka PSDKU;

2. Perguruan tinggi yang akan membuka PSDKU telah menyelenggarakan program studi yang sama di Kampus Utama perguruan tinggi tersebut dengan peringkat terakreditasi A atau Unggul;

3. Perguruan tinggi yang akan membuka PSDKU lintas provinsi, bekerja sama dengan PTN atau PTS yang berstatus terakreditasi di provinsi letak PSDKU akan dibuka;

4. Pembukaan PSDKU dilakukan untuk memenuhi minat calon mahasiswa pada PSDKU tersebut yang belum dapat dipenuhi oleh perguruan tinggi setempat;

5. Kurikulum PSDKU paling sedikit sama dengan kurikulum program studi yang sama di Kampus Utama yang disusun berdasarkan kompetensi lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan tinggi;

6. Dosen paling sedikit berjumlah 6 (enam) orang untuk setiap PSDKU:

7. PTN yang akan membuka PSDKU memiliki hak pakai atas lahan di tempat penyelenggaraan PSDKU, dengan luas sesuai dengan kebutuhan program studi yang akan dibuka;

8. Badan penyelenggara PTS yang akan membuka PSDKU memiliki hak atas lahan dengan status hak milik, hak

Foto: M.Fath

Oleh: Bimo Adi

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 2120 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Tinjauan atas Kebijakan Perencanaan KebutuhanBarang Milik Negara

Tantangan Pejabat Administrasi NegaraDalam Membuat Keputusan

Menstimulus Knowledge Sharing

Mengukur dan Menilai KemujarabanProgram-program Corporate University

Esensi Melayani, Menyebarkan Energi Positif

Spending Review Dalam KonteksPenganggaran Berbasis Kinerja

Nilai Jual Objek Pajak Untuk Single ValueFor Multipurposes

Serambi Ilmuguna bangunan, atau hak pakai atas lahan di tempat penyelenggaraan PSDKU dengan luas sesuai dengan kebutuhan program studi yang akan dibuka;

9. Perguruan tinggi yang akan membuka PSDKU menyediakan sarana dan prasarana di tempat penyelenggraan PSDKU,

Semua data dan informasi tentang pembukaan, perubahan, atau penutupan PSDKU dilaporkan kepada Pusat Data dan Informasi Iptek dan Dikti untuk disimpan dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi. Perguruan tinggi harus dapat menyesuaikan dengan peraturan ini paling lambat 3 tahun terhitung sejak Peraturan Menteri ini berlaku, yaitu 1 Januari 2017.

Akreditasi Lembaga Diklat

Selain menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) juga memiliki tugas untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi di Kementerian Keuangan. BPPK melakukan pengusulan untuk mendapatkan akreditasi sebagai Instansi Pengakreditasi Diklat di bidang diklat teknis keuangan Negara.

Akreditasi lembaga diklat bertujuan untuk meningkatkan mutu, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, dan diberikan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai instansi Pembina lembaga diklat pemerintah. Akreditasi ini merupakan penilaian kelayakan lembaga diklat untuk menyelenggarakan diklat, baik diklat prajabatan, diklat kepemimpinan, maupun diklat teknis dan diklat fungsional, yang ditetapkan dalam Surat Keputusan dan Sertifikat Akreditasi oleh instansi Pembina.

Akreditasi merupakan bentuk pemberian kepercayaan terhadap kelayakan lembaga diklat, dan terdiri dari 2 model, yaitu:

1. kelayakan Lembaga Diklat menyelenggarakan program diklat prajabatan/kepemimpinan;

2. pemberian delegasi kewenangan kepada Kementerian/ Lembaga Pemerintah memberikan akreditasi diklat teknis atau fungsional tertentu sehubungan dengan fungsi Kementerian/Lembaga tersebut sebagai Instansi Pembina Jabatan Fungsional dan instansi teknis.

Akreditasi yang diusulkan oleh BPPK adalah akreditasi model 2, yaitu pemberian delegasi kewenangan untuk memberikan akreditasi diklat teknis atau fungsional tertentu. Untuk sampai pada kesimpulan mengenai layak tidaknya Lembaga Diklat, proses akreditasi dilaksanakan mengikuti alur yang sudah ditentukan oleh LAN sebagai instansi Pembina. Alur pemberian akreditasi dari awal sampai dengan terbitnya Keputusan.

Untuk akreditasi ini BPPK menunjuk Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan (Pusdiklat KNPK) sebagai unit yang akan dinilai untuk menentukan kelayakan BPPK sebagai Instansi Pengakreditasi Diklat sekaligus penyelenggara diklat untuk bidang teknis Keuangan Negara.

Setelah dilaksanakan sidang hasil penilaian, pada tanggal 2 Agustus 2017 Tim Akreditasi menyatakan bahwa hasil penilaian akreditasi untuk BPPK adalah layak (nilai akhir lebih dari 81,00). Dengan hasil ini maka BPPK dinilai layak menyelenggarakan diklat teknis dan menjadi Instansi Pengakreditasi Diklat di bidang keuangan Negara. Dengan kewenangan tersebut BPPK dapat melaksanakan akreditasi terhadap lembaga diklat pemerintah yang menyelenggarakan diklat teknis bidang keuangan Negara selama masa berlakunya akreditasi, yaitu 5 tahun.

Diperolehnya akreditasi sebagai Instansi Pengakreditasi Diklat di bidang diklat teknis keuangan Negara tentu saja membanggakan BPPK pada khususnya

dan Kementerian Keuangan pada umumnya. Sebagai konsekuensi dari kepercayaan tersebut, BPPK mengemban hak dan kewajiban sebagai berikut :

- Berhak menyelenggarakan diklat teknis/fungsional sesuai mandat;

- Berwenang memberikan dan mencabut akreditasi terhadap lembaga diklat teknis atau fungsional sepanjang akreditasinya sebagai instansi pengakreditasi diklat belum dicabut;

- Wajib melakukan koordinasi dengan Instansi Pembina dalam proses akreditasi;

- Wajib menyampaikan rencana dan laporan penyelenggaraan akreditasi kepada instansi Pembina, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dengan bertambahnya kewenangan dan kewajiban sebagaimana di atas, maka tantangan yang dihadapi BPPK akan semakin besar. Karenanya komitmen untuk terus memperbaiki diri dan belajar harus terus ditumbuhkan untuk menjaga kepercayaan tersebut. Kita bisa!

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 2322 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

perencanaan kebutuhan untuk BMN berupa bangunan gedung negara, tanah yang diperuntukkan bagi bangunan gedung negara, serta alat angkutan darat bermotor dinas operasional jabatan di dalam negeri. Untuk bangunan gedung negara diatur dalam PMK Nomor 7/PMK.06/2016. Peraturan ini merupakan perubahan atas PMK Nomor 248/PMK.06/2011 tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara berupa Tanah dan/atau Bangunan. Untuk alat angkutan darat bermotor dinas operasional jabatan di dalam negeri diatur dalam PMK Nomor 76/PMK.06/2015 serta KMK 311/KM.6/2015.

Meskipun PMK Nomor 7/PMK.06/2016 menyebutkan bangunan gedung negara, tetapi Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara (RKBMN) yang akan disusun hanyalah untuk bangunan gedung kantor (4.01.01.01.01.000), rumah negara golongan I (4.01.02.01.000) dan rumah negara golongan II (4.01.02.02.000). Perhitungan RKBMN ini akan menghasilkan standar luas tanah, luas bangunan yang dibutuhkan satker dengan memperhitungkan komposisi jumlah pegawai, jumlah pejabat dan jumlah pengguna layanan suatu insitusi pemerintah.

Bagaimana cara penghitungan RKBMN dijabarkan dalam KMK Nomor 174/KM.6/2016. Peraturan ini mengubah KMK Nomor 450/KM.6/2014. Perubahan ini disebabkan adanya perubahan peraturan terkait SBSK. Penyusunan RKBMN telah dilakukan secara bertahap untuk Tahun Anggaran 2017. Untuk penyusunan RKBMN Tahun Anggaran 2017 menggunakan pedoman yang diatur dalam PMK Nomor 248/PMK.06/2011 serta KMK Nomor 450/KM.6/2014, dan untuk Tahun Anggaran 2018 menggunakan PMK Nomor 7/PMK.06/2016 serta KMK Nomor 174/KM.6/2016. Untuk penyusunan RKBMN berupa Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan di Dalam Negeri menggunakan PMK Nomor 76/PMK.06/2015 serta KMK Nomor

311/KM.6/2015. Dalam tulisan ini, Penulis hanya melakukan tinjauan atas Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara berupa bangunan gedung kantor.

Penghitungan RKBMN ini untuk bangunan gedung kantor meliputi:

1. standar luas ruang kerja untuk pejabat serta pelaksana

2. standar luas ruang penunjang ruang penunjang meliputi ruang

rapat utama (Kementerian, Eselon I, Eselon II), ruang pertemuan/aula, ruang arsip, ruang fungsional, toilet, ruang server, lobby/fasilitas lain

3. standar luas ruang pelayanan

Mari kita cermati penghitungan luas bangunan gedung kantor. Misalkan, Satker A adalah Kuasa Pengguna Barang Kantor Pusat dengan kepala kantor eselon I. Satker A memerlukan penambahan 1 unit bangunan gedung kantor. Penambahan gedung kantor ini disebabkan adanya pelebaran struktur organisasi tingkat eselon II serta adanya penambahan komposisi/struktur dan jumlah pegawai. Bangunan gedung kantor yang diusulkan pengadaannya adalah bangunan gedung kantor 5 lantai dengan luas lantai keseluruhan 2500 m2. Dalam komposisi luas lantai tersebut termasuk juga luas untuk ruang pelayanan. Setiap hari Satker A melayani rata-rata 10 orang. Tabel 1 merupakan rincian jumlah pegawai/pejabat pada

Satker A.

Dalam penghitungan luas bangunan, kita akan bandingkan antara luas bangunan, luas tanah menurut SBSK sebelum adanya pelebaran struktur organisasi (existing), serta luas bangunan, luas tanah yang dibutuhkan oleh satker tersebut karena adanya penambahan jumlah pegawai.

1. Penghitungan Luas Ruang Kerja

Total standar luas ruang kerja pegawai dihitung berdasarkan PMK 7/PMK.06/2016. Dari hasil penghitungan, standar luas ruang kerja adalah 3.840m2 (existing) dan 750m2 (usulan penambahan pegawai).

Perbedaan penghitungan luas ruang kerja pada peraturan lama (PMK Nomor 248/PMK.06/2011 dan KMK Nomor 450/KM.6/2014) dan peraturan baru (PMK Nomor 7/PMK.06/2016 dan KMK Nomor 174/KM.6/2016) terdiri dari:

1. peraturan baru tidak membedakan luas ruang kerja untuk eselon II kepala kantor dan bukan kepala kantor;

2. Peraturan baru membedakan luas ruang kerja untuk pejabat fungsional golongan IV dengan eselon IV. Pada aturan yang lama, luas ruang pejabat fungsional golongan IV disamakan dengan eselon IV bukan kepala kantor, yaitu 9m2;

Tabel 1Komposisi Jumlah Pegawai

RuangKomposisi jumlah pegawai

Existing PenambahanIA 1 0IIA 8 2III (Bukan kepala kantor) 32 8IV (Bukan kepala kantor) 128 32V dan pelaksana 768 150

Sebelum adanya peraturan terkait standardisasi kebutuhan barang milik negara terkait gedung kantor, kendaraan dinas, peralatan kantor, terdapat adanya perbedaan luas lantai, jumlah lantai, jumlah kendaraan dinas operasional di institusi pemerintah. Tentu saja hal ini akan berimbas pada besaran belanja modal. Dari Informasi APBN 2017 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Anggaran, porsi belanja modal dalam APBN 2017 adalah 14,8% dari belanja pemerintah pusat. Perencanaan kebutuhan Barang Milik Negara disusun dalam usaha peningkatan efisiensi penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga. Sudah tepatkah kebijakan yang ada terkait Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara? Tulisan ini akan memaparkan tinjauan kritis atas Kebijakan Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara.

Tinjauan atas Kebijakan Perencanaan KebutuhanBarang Milik Negara Oleh: Oktavia Ester Pangaribuan(Widyaiswara BDK Cimahi)

A. Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara

Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara (BMN) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2014 tentang Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara (BMN).

Perencanaan kebutuhan BMN adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan Barang Milik Negara (BMN) untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang. Dalam menyusun Rencana Kebutuhan Barang

Milik Negara (RKBMN), Kementerian/Lembaga harus berpedoman pada Standar Barang dan Standar Kebutuhan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Standar Barang dan Standar Kebutuhan (SBSK) yang ada baru mengatur

Foto: stocksnap.io

2524

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

pada jumlah pegawai, dan bukan dikaitkan dengan kapasitas server yang dibutuhkan terkait tusi satker tersebut. Padahal ruang server seringkali berada pada bangunan gedung kantor, dan bukan pada bangunan terpisah. Pemisahan gedung ini juga akan menyulitkan dalam penatausahaan BMN, karena tidak ada kode bangunan ruang server. Kodifikasi yang dapat digunakan adalah bangunan gedung tempat kerja lainnya (4.01.01.99.000).

d. Ruang arsip

Formula untuk penentuan ruang arsip ini hanya didasarkan pada jumlah pegawai. Beberapa satker

membutuhkan ruang arsip yang cukup besar dalam pelaksanaan tusinya. Contohnya Direktorat Jenderal Pajak membutuhkan ruang arsip untuk menyimpan arsip terkait wajib pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan membutuhkan ruang arsip untuk menyimpan arsip mahasiswa/peserta diklat.

Penghitungan standar luas ruang penunjang dijelaskan pada Tabel 2.

Perbedaan penghitungan luas ruang penunjang peraturan lama (PMK Nomor 248/PMK.06/2011 dan KMK Nomor 450/KM.6/2014) dan peraturan baru (PMK Nomor 7/PMK.06/2016 dan KMK Nomor

174/KM.6/2016) terdiri dari:

1. Adanya penambahan luas ruang untuk ruang rapat utama;

2. Penambahan luas ruang untuk ruang pertemuan/aula;

3. Penghitungan luas toilet;

4. Pada aturan yang baru, luas toilet 5m2 per 25 orang pegawai, bukan lagi dihitung sebagai suatu perbandingan. Artinya, apabila pegawai di satker A adalah 20 orang, luas toilet adalah 5m2. Apabila jumlah pegawai adalah 35 orang, maka luas toilet adalah 10m2. Luas ruang pelayanan dimasukkan dalam formulasi penghitungan luas lobi;

Tabel 3Penghitungan Luas Ruang Penunjang (m2)

Ruang PenunjangExisting Perluasan

Jumlah Luas Jumlah LuasPenunjang Ruang rapat utama kementerian Ruang rapat utama eselon 1 1 90 0 Ruang rapat utama eselon 2 8 320 2 80Ruang pertemuan/aula pada K/L R Pertemuan/Aula pada Pimpinan Eselon I 150 R Pertemuan/Aula pada Pimpinan Eselon II R Pertemuan/Aula pada Pimpinan Eselon III Arsip (0,4m2 * jumlah pegawai) 374,8 76,8Fungsional (0,8m2 * jumlah pegawai) 749,6 153,6Toilet (5 m2 setiap 25 pegawai) 37,48 190 7,68 35Ruang server (0,02m2 * jumlah pegawai) 18,74 3,84Ruang Pelayanan <25 orang : 25 m2 2525 – 100 : 75 m2 101 – 200 : 150 m2 >200 200 Lobi (20 m2 per 1000 m2 luas netto) 173,5028 35,6848

Sumber : Diolah dari KMK 174/KMK.06/2016

3. Peraturan baru membedakan luas ruang untuk pejabat fungsional golongan III dengan pelaksana. Pada aturan yang lama, luas ruang pejabat fungsional golongan III disamakan dengan pelaksana, yaitu 9m2.

Perubahan tersebut mengakibatkan bertambahnya luas ruang kerja yang dibutuhkan di satker yang memiliki pejabat fungsional serta luas ruang untuk pejabat eselon II. Penambahan luas ruang kerja ini tentunya berimbas kepada besarnya belanja modal satker.

Peraturan yang ada hanya mempertimbangkan jumlah pegawai negeri sipil. Suatu satker juga memiliki pegawai tidak tetap seperti Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri (PPNPM), Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pegawai tersebut tidak dimasukkan dalam penghitungan

luas ruang kantor untuk penghitungan luas gedung kantor. Lalu bagaimana nasib para pegawai ini. Sebaiknya jumlah pegawai yang menjadi formula penentuan luas ruang sudah mempertimbangkan aturan terkait Aparatur Sipil Negara (Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara). Peraturan tersebut menyebutkan pegawai Aparatur Sipil Negara terdiri atas Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

2. Penghitungan luas ruang penunjang

Sebelum lahirnya PMK 7/PMK.06/2016 sering timbul pertanyaan dari satker terkait formula penghitungan standar luas bangunan gedung kantor. Pertanyaan yang muncul terkait beberapa hal, yaitu:

a. Ruang rapat dan juga aula

Ruang tersebut tidak dimasukkan

dalam penghitungan standar luas bangunan gedung kantor, padahal ruang rapat dan aula dibutuhkan satker dalam pelaksanaan tusinya.

b. Toilet

Luas ruang toilet adalah 5m2 per 25 orang pegawai. Tidak ada ketentuan minimal 5m2. Rumusan per 25 orang pegawai ini dijabarkan dalam KMK Nomor 450/KM.6/2014 Kalau pegawai di satker tersebut berjumlah kurang dari 25 pegawai, luas toilet yang dibutuhkan menjadi lebih kecil. Selain itu, luas toilet tersebut belum mempertimbangkan jumlah pegawai laki-laki dan jumlah pegawai perempuan.

c. Luas ruang server

Formula penghitungan luas ruang server hanya didasarkan

Tabel 2Penghitungan Luas Ruang Kerja

Ruang Total LuasExisting Penambahan

Jumlah Luas Jumlah LuasMenteri 223 Wamen 102 Eselon IA 102 1 102 0 0Eselon IB 79 0 0 0 0Eselon IIA 70 8 560 2 140Eselon IIB 58 0 0 0Eselon III (kepala kantor) 37 0 0 0Eselon III (Bukan kepala kantor) 21 32 672 8 168Eselon IV (kepala kantor) 31 0 0 0Eselon IV (bukan kepala kantor) 11 128 1408 32 352Pejabat fungsional gol IV 17 0 0Pejabat fungsional gol III 11 0 0Eselon V dan pelaksana 5 768 3840 150 750

Sumber : Diolah dari KMK 174/KMK.06/2016

2726

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Rumusan dalam peraturan ini hanya melihat selisih tanah yang ada dengan kebutuhan tanah sesuai SBSK tanpa memperhatikan bentuk tanah yang ada. Memang hal ini dapat dikomunikasikan satker dengan pengelola barang dalam Forum Penelaahan RKBMN yang dilaksanakan pada bulan Februari. Akan tetapi akan lebih baik apabila luas tanah yang dapat dioptimalisasi sudah mempertimbangkan hal ini.

B. Kesimpulan dan Saran.

Dari kaca mata efisiensi belanja modal, perubahan peraturan tersebut berpotensi pada penambahan belanja modal karena adanya penambahan luas ruang untuk:

1. Aula

2. Ruang pertemuan

3. Lobi

4. Luas ruang pejabat fungsional golongan IV

5. Luas ruang pejabat fungsional golongan III

Dari sisi penerapan, akan timbul permasalahan terkait :

1. Luas ruang arsip yang tidak mencukupi apabila satker tersebut membutuhkan ruang arsip untuk data terkait pengguna jasa

2. Luas ruang server yang kurang memadai apabila server tersebut digunakan untuk tusi satker, dan bukan hanya data kepegawaian

3. Luas toilet yang tidak mencukupi karena tidak adanya pemisahan pegawai laki-laki dan pegawai perempuan

4. Luas ruang untuk pegawai belum memasukkan jumlah Aparatur Sipil Negara yang bukan Pegawai Negeri Sipil dalam formula penghitungan luas ruang.

5. Sejauh mana RKBMN ini mengikat satker dalam pelaksanaan anggaran. Misalnya saja satker A memiliki jumlah pegawai 23, dengan

komposisi 7 pegawai perempuan dan 16 pegawai laki-laki. Satker membangun gedung kantor dengan 2 toilet yang masing-masing luasnya 3m2, akankah hal tersebut menjadi temuan Inspektorat Jendral terkait belanja modal.

6. Optimalisasi tanah dan bangunan yang ada hanya melihat angka tunggal, tanpa memperhatikan bentuk bangunan dan tanah. Misalnya, bangunan lama yang dapat diutilisasi adalah 10m2 dan bangunan baru yang dibutuhkan memiliki luas 670 m2. Apakah logis memanfaatkan sisa ruang di gedung lama untuk unit organisasi yang baru? Begitu juga dengan luas tanah. Apakah tanah yang dapat dioptimalisasi tersebut adalah 1 petak tanah, ataukah terpecah-pecah sehingga sesungguhnya tidak ada tanah yang dapat dioptimalisasi untuk bangunan yang baru.

7. Penghitungan ini memberikan potensi ketidakseragaman luas ruang yang sudah ada sebelum peraturan terkait Perencanaan Kebutuhan BMN ini lahir dengan luas ruang pasca lahirnya peraturan ini.

Saran dari penulis adalah:

1. Memasukkan jumlah pegawai sesuai aturan dalam Undang-undang Aparatur Sipil Negara dalam formulasi penghitungan luas bangunan pada satker.

2. Memasukkan jumlah layanan dalam penentuan luas ruang toilet, server dan arsip.

3. Memisahkan jumlah pegawai laki-laki dan perempuan dalam penentuan luas ruang toilet.

4. Memasukkan luas tanah utuh (merupakan 1 lot tanah utuh) dalam pertimbangan optimalisasi existing tanah.

5. Mempertimbangkan fleksibilitas dalam pencapaian efektivitas

dan efisiensi pelaksanaan tusi. Standardisasi luas bangunan mendukung dalam penentuan luas bangunan dan luas tanah maksimal untuk bangunan gedung kantor, tetapi harus memperhatikan juga struktur organisasi satker.

Mengakhiri tulisan ini, Penulis mengutip quote dari Benjamin Franklin “By failing to prepare, you are preparing to fail.”

REFERENSI

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 450/KM.6/2014 tentang Modul Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara untuk Penyusunan Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara, 2014

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 174/KM.6/2016 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 450/KM.6/2014 tentang Modul Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara untuk Penyusunan Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara, 2016

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248/PMK.06/2011 tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara Berupa Tanah dan/atau Bangunan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2014 tentang Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara, 2014

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.06/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248/PMK.06/2011 tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara Berupa Tanah dan/atau Bangunan

5. Ruang lobi Pada aturan yang baru, luas ruang

pelayanan dimasukkan dalam formula penghitungan luas lobi.

Penambahan luas ruang penunjang ini tentunya mempengaruhi luas bangunan, dan pada akhirnya akan menambah besaran belanja modal pada satker tersebut.

Apakah perubahan tersebut masih berpotensi menimbulkan permasalahan dalam penyusunan RKBMN oleh satker. Penulis melihat masih ada potensi permasalahan terkait:

1. Toilet Formula tersebut masih

menggunakan jumlah pegawai, tanpa memisahkan jumlah pegawai laki-laki dan jumlah pegawai perempuan. Dalam praktiknya, jarang kita temui satker yang tidak memisahkan toilet untuk pegawai laki-laki dan perempuan.

Selain itu, jumlah pegawai yang menjadi acuan belum mengacu pada

peraturan terkait Aparatur Sipil Negara (Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara). Peraturan tersebut menyebutkan pegawai Aparatur Sipil Negara terdiri atas Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

2. Ruang Server dan Ruang Arsip Formula yang digunakan masih

didasarkan pada jumlah pegawai.

3. Penghitungan luas tanah dan luas bangunan yang dapat diutilisasi

Dari hasi penghitungan luas bangunan satker A tadi, dapat dihitung kebutuhan riil tanah dan bangunan. Dalam penghitungan tersebut dilakukan optimalisasi luas tanah dan luas bangunan yang belum terutilisasi.

Dari hasil penghitungan, luas bangunan netto yang dibutuhkan satker A sebelum adanya penambahan unit eselon 2 adalah 8.846,6 m2, sedangkan luas bangunan bruto adalah 12.640,92 m2. Bangunan kantor yang lama adalah

bangunan berlantai 7, sehingga luas dasar bangunan adalah 1.714,2 m2. Dari penghitungan tersebut, maka luas tanah minimum yang dibutuhkan adalah 2.285 m2 dan luas tanah maksimum yang dibutuhkan adalah 11.428,6 m2. Satker memiliki tanah dengan luas 15.000 m2 dan bangunan 12.000 m2. Oleh karena luas tanah maksimum yang dibutuhkan hanya 11.428,6 m2 maka sisa tanah yang dapat dioptimalisasi untuk kebutuhan bangunan yang baru adalah 3.571,4 m2. Tidak ada bangunan yang dapat dioptimalisasi karena menurut SBSK luas bangunan adalah 12.640,92 m2, sedangkan luas bangunan existing adalah 12.000 m2.

Untuk bangunan yang baru, luas dasar bangunan yang dibutuhkan adalah 520m2, luas tanah minimum adalah 693,3m2 dan luas tanah maksimum adalah 3.466,5m2. Satker A dapat memanfaatkan luas tanah yang belum diutilisasi pada bangunan lama seluas 3.571,4m2. Akan tetapi, timbul pertanyaan. Apakah tanah tersebut merupakan 1 lot tanah, ataukah terpecah-pecah?

Tabel 4Penghitungan Utilisasi Tanah dan Bangunan (m2)

Keterangan Existing PerluasanLuas bangunan neto 8848,643 1819,925Luas tidak terutilisasiLuas bangunan bruto 12640,92 2599,893

Luas existing tanah 15000Luas existing bangunan 12000Jumlah lantai 7 5Luas Dasar bangunan 1714,286 519,9785Koefisien dasar bangunan 75% 75%Luas tanah minimum 2285,714 693,3047Luas tanah maksimum 11428,57 3466,523Optimalisasi existing tanah 3571,429Optimalisasi existing bangunan -640,918Kebutuhan riil tanah Kebutuhan riil bangunan 2825,605

Sumber : Diolah dari KMK 174/KMK.06/2016

2928

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Pendahuluan

Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), artinya segala perbuatan yang dilakukan harus berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia dan salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia termasuk perlindungan terhadap warga negaranya dalam arti tidak ada kepentingan warga negara yang dirugikan ketika terjadi benturan kepentingan antara warga negara dengan penguasa. Dalam interaksi antara penguasa/pemerintah/pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya ada kemungkinan terjadi benturan dengan warga negara/ masyarakat. Benturan tersebut bisa berupa adanya keputusan pejabat administrasi negara yang disebut Keputusan Tata Usaha Negara.

Dalam negara hukum keputusan pejabat administrasi negara apabila berbenturan dengan kepentingan atau merugikan warga negara/ masyarakat, meskipun keputusan tersebut dikeluarkan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan dan berdasarkan kewenangan yang diberikan tidak boleh melanggar hak-hak warga negara/ masyarakat, apabila terjadi maka inilah yang disebut dengan sengketa Tata Usaha Negara. Negara memfasilitasi kepada warga negaranya yang merasa dirugikan dan ingin mencari keadilan atas tindakan yang tidak sesuai yang dilakukan oleh Pejabat Administrasi Negara melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan uraian di atas timbul permasalahan yaitu, bagaimana kriteria Keputusan yang disebut dengan Keputusan Tata Usaha Negara?

Pembahasan

A. Pengertian Sengketa Tata Usaha Negara

Pengertian sengketa menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) dan menurut para ahli bahasa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat;

pertengkaran; perbantahan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara , dalam Pasal 1 angka 10 disebutkan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sengketa sering terjadi bahkan disebabkan karena asas kebebasan bertindak yang dipunyai oleh alat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya yang kadang-kadang melampaui wewenang yang telah diberikan kepada pajabat tata usaha negara, atau yang dikenal dengan penyalahgunaan wewenang/ detournement de pouvoir. Bagi orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi. Sedangkan alasan-alasan yang bisa digunakan untuk melakukan gugatan adalah :

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Sedangkan yang menjadi tergugat, adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya (Pasal 1 angka 12 UU No.51 tahun 2009),

badan atau pejabat ini dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 8 UU No.51 tahun 2009). Arti dari urusan pemerintahan di sini adalah kegiatan eksekutif, sehingga kegiatan diluar eksekutif, yaitu legislatif dan yudikatif, tidak termasuk dalam pengertian tersebut. Philipus M. Hadjon dkk (1993), menyatakan bahwa kegiatan yang bersifat eksekutif itu tidak hanya terbatas pada perbuatan untuk melaksanakan Undang-Undang, akan tetapi termasuk juga perbuatan yang dilakukan berdasarkan freies ermessen atau kebijaksanaan. Menurut R. Soegijatno Tjakranegara (1992), ada tiga jenis pertanggungjawaban seorang birokrat selaku Pegawai Negeri Sipil, yaitu: pertama, pertanggung- jawaban disipliner, kedua, pertanggung-jawaban keuangan negara, dan ketiga, pertanggungjawaban melalui Peradilan Administrasi Negara atau Peradilan Tata Usaha Negara apabila terjadi sengketa di bidang kepegawaian.

B. Keputusan Tata Usaha Negara

Ada dua yang dapat menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu :

1. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)

Yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), yang bisa menjadi objek sengketa Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3 UU No.5 / 1986 jo Pasal 1 angka 9 UU No.51 / 2009). Apabila diuraikan apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara, maka unsur-unsurnya yaitu :a. Bentuk penetapan itu harus tertulis

Sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UU

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), yang bisa menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, sedangkan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tantangan Pejabat Administrasi Negara Dalam Membuat KeputusanOleh: Didik Hery Santosa(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

Foto: stocksnap.io

3130

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

3. Bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final, karena belum dapat menimbulkan suatu hak dan kewajiban pada pihak yang bersangkutan, contoh keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Kepegawaian Negara.

e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata adalah menimbulkan akibat hukum tata usaha Negara, karena adanya penetapan tertulis yang di keluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara.

2. Fiktif Negatif (yang dianggap sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara).

Selain Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara yang disebut Fiktif Negatif. Fiktif Negatif ini tidak ada wujudnya atau abstrak. Abstrak disini maksudnya adalah tidak berbentuk Surat Keputusan Tata Usaha Negara, hal ini terjadi apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan Surat Keputusan yang dimohonkan kepadanya oleh Penggugat, sedang hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut dianggap sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Menurut Koencoro Purbopranoto, keputusan atau ketetapan negatif adalah tiap penolakan atas suatu permohonan untuk mengubah keadaan hukum tertentu seseorang yang sudah ada (SF Marbun, 2001), misalnya suatu pernyataan tidak berwenang, tidak menerima permohonan untuk dikeluarkannya suatu keputusan atau penolakan terhadap permohonan keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat atau pimpinan suatu instansi pemerintah. Fiktif Negatif juga merupakan kompetensi Peradilan Tata

Usaha Negara. Pengaturan mengenai Fiktif Negatif terdapat dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 sebagai berikut :

1. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

2. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Simpulan

Keputusan Tata Usaha Negara yang bisa menimbulkan sengketa tata usaha negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Ada dua obyek yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu Keputusan Tata Usaha Negara dan fiktif negatif (yang dianggap sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara). Tidak semua keputusan atau penetapan badan atau pejabat tata usaha negara masuk kategori Keputusan Tata Usaha Negara) hal ini sesuai dengan Pasal 2 UU No. 5

tahun 1986 jo UU No.9 tahun 2004.

Fiktif Negatif ini tidak ada wujudnya atau abstrak. Abstrak disini maksudnya adalah tidak berbentuk Surat Keputusan Tata Usaha Negara, hal ini terjadi apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan Surat Keputusan yang dimohonkan kepadanya oleh Penggugat, sedang hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut dianggap sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

Referensi

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Jilid 2, Pustaka Sinar Harapan,cet 8, Jakarta, 2003.

Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Adiministrasi Negara, Gajah Mada University Press, cet.2, Yogyakarta, 1993.

S.F. Marbun dan Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, cet.4, Yogyakarta, 2006.

Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, cet 1, Jakarta, 2004.

Wiyono,R, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.

R. Soegijatno Tjakranegara, hukum Tata Usaha Negara dan Birokrasi Negara, Rineka Jakarta, 1992.

No.5 /1986 jo Psl 1 angka 9 UU No.51 Tahun 2009, menyebutkan bahwa istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi, bukan bentuk keputusan yang dikeluarkan atau bukan bentuk formalnya. Memo atau nota dinas bisa merupakan suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara apabila memenuhi kriteria, pertama, badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan, kedua, maksud serta apa isi dari memo atau nota tersebut, ketiga, kepada siapa memo atau nota itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.

b. Penetapan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Berdasarkan pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 jo pasal 1 angka 8 UU No.51 Tahun 2009, yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan atau pejabat tersebut mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diperoleh dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.5 Tahun 1986 jo Pasal 1 angka 7 UU No.51 Tahun 2009, yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat eksekutif dalam arti bukan kegiatan legislatif atau yudikatif. Menurut

S.F. Marbun (2003), menyatakan dengan memperhatikan apa yang dimaksud dengan masing-masing jenis wewenang, terdapat 2 bentuk pertanggung jawaban :

1. Jika wewenang yang diberikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah wewenang atribusi atau wewenang delegasi maka yang menjadi Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang memperoleh wewenang tersebut untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.

2. Jika wewenang yang diberikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah wewenang pemberi kuasa (mandat), maka yang menjadi Tergugatnya adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha yang memberikan wewenang kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.

c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan

Dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No.5 tahun 1986 jo pasal 1 angka 9 UU No.51 tahun 2009, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindakan hukum tata usaha negara adalah perbuatan hukum badan

atau pejabat tata usaha negara yang bersumber pada ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain atau menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan terhadap seseorang atau badan hukum perdata.

d. Bersifat konkret, individual dan final

Berdasar penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986 yaitu :

1. Bersifat konkret, artinya objek yang di putuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu, atau dapat ditentukan, contoh keputusan mengenai pembongkaran rumah si A, izin usaha bagi si B, dan pemberhentian bagi si A sebagai pegawai negeri.

2. Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak di tujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama dari yang terkena keputusan itu disebutkan, contoh keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran menyebutkan nama-nama yang terkena keputusan tersebut.

Sengketa sering terjadi bahkan disebabkan karena asas kebebasan bertindak yang dipunyai oleh alat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya yang kadang-kadang melampaui wewenang yang telah diberikan kepada pajabat tata usaha negara, atau yang dikenal dengan penyalahgunaan wewenang/ detournement de pouvoir

3332

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Informasi yang dibagikan oleh tiap orang tentu sangat banyak variannya. Tiap orang memiliki ketertarikan dan kompetensi di bidang masing-masing.

Organisasi yang terdiri dari banyak individu dengan minat dan kompetensi yang beragam, tentu perlu untuk lebih jeli memandang hal ini. Berbagai informasi dan kompetensi yang ada dalam tiap kepala tak layak jika dibiarkan menguap seiring dengan ineksistensi individu dalam organisasi. Pengetahuan yang ada pada tiap kepala perlu untuk dikapitalisasi, intangible asset tersebut perlu untuk digali lebih lanjut dan selanjutnya dibentuk menjadi pengetahuan organisasi.

Melihat lebih dalam mengenai berbagi, berbagi pengetahuan adalah sebuah aktivitas penting dalam sebuah organisasi. Berbagi pengetahuan (knowledge sharing) adalah proses yang perlu dibiasakan dan dibudayakan agar pengetahuan yang dimiliki oleh individu dapat dikonversi menjadi pengetahuan organisasi. Knowledge sharing pada dasarnya bukan hal yang baru, seringkali hal ini dilakukan tanpa disadari. Hal yang lebih penting dari knowledge sharing adalah membuatnya menjadi kebiasaan dan melembagakannya.

Sejalan dengan kegiatan berbagi, saat ini Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) sebagai sebuah unit/organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang menjalankan tugas dan fungsi dalam bidang pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi sedang melaksanakan strategi corporate university. Salah satu pilar penting dalam Kementerian Keuangan Corporate University adalah knowledge management, sedangkan bahan baku dari knowledge management itu sendiri adalah knowledge sharing. BPPK memiliki sekurangnya dua sarana berbagi informasi online, yaitu melalui Communication Media for Education and Training (COMET) dan Kemenkeu Learning Center (KLC). Kedua sarana ini

harus dimaksimalkan karena cakupan melalui media online pada dasarnya lebih besar dan jangka waktunya lebih lama.

Membiasakan sesuatu yang belum biasa tentu bukan perkara mudah, perlu strategi, perencanaan, dan implementasi yang tidak sembarangan untuk dapat mewujudkannya. Organisasi perlu mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam knowledge sharing agar selanjutnya dapat menekan faktor penghambat dan memberikan leverage untuk faktor pendukung.

Berdasarkan penelitian dari Huysman & De Wit pada tahun 2002, terdapat tiga hal yang menjadi penghambat knowledge sharing adalah:

1. Knowledge is a power

Dalam tiap individu terdapat kecenderungan untuk menimbun pengetahuan (knowledge hoarding). Jika pegawai menyembunyikan pengetahuan mereka, mereka percaya bahwa mereka dapat memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk mencapai

kesuksesan. Terdapat kepercayaan bahwa jika pengetahuan dibagikan kepada orang lain, maka keistimewaan pemilik pengetahuan dapat berkurang.

2. Resiprokal

Dalam mendapatkan pengetahuan, pegawai mengeluarkan waktu, sumber daya, dan energi, sehingga pegawai tidak akan membagikan pengetahuan kecuali mereka yakin informasi itu diberikan pada orang yang tepat dan ada peluang resiprokal. Ada asas timbal balik yang diinginkan oleh manusia. Seseorang akan cenderung mau berbagi pengetahuan dengan asumsi bahwa orang yang menerima pengetahuan akan memberi imbal balik, baik secara langsung maupun tidak langsung.

3. Time consuming

Knowledge sharing mensyaratkan pengorbanan waktu. Ada sebuah trade off, apakah akan menggunakan waktu kerja yang senggang untuk

Gambar 2 Kemenkeu Learning CenterSumber: klc.kemenkeu.go.id

Oleh : Satria Aji SetiawanSekretariat Badan

Menstimulus Knowledge Sharing

Narcissus, dalam mitologi Yunani, adalah seorang pemuda yang terpesona melihat ketampanannya sendiri. Dia menganggap tak seorangpun dapat menandingi keelokannya di dunia ini. Pengagum ketampanannya pun banyak, bahkan bukan hanya kalangan manusia, namun juga para peri. Narcissus senang jika orang lain mengaguminya, namun tak ada rasa kagum melainkan untuk dirinya sendiri. Narcissus bahkan kebal terhadap anak panah Eros, putra kesayangan sang dewi cinta, Aphrodite.

Ilustrasi: Wikipedia

Gambar 1 Narcissus

Narcissus yang di kemudian hari digunakan oleh Sigmund Freud untuk mendasari istilah narsisme adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Narsisme di era kekinian sering disangkutpautkan dengan kebiasaan seseorang dalam berbagi, yang kekinian tentunya berbagi melalui media sosial: kegiatan pribadi, capaian, informasi, dan tak lupa selfie. Seorang aktor, James Franco pernah dikritik karena dianggap terlalu sering mengunggah foto selfie. Franco menulis sebuah artikel ke New York Times “Koleksi selfie yang banyak sepertinya menarik perhatian orang. Dan, perhatian orang sepertinya merupakan hal paling utama dalam membangun jejaring sosial. Inilah yang diinginkan semua orang: perhatian. Perhatian adalah kekuatan.”

Di era milenial ini, berbagi merupakan hal yang lazim dan kerap kali dilakukan oleh siapapun. Indonesia bahkan menduduki peringkat nomor 5 di dunia sebagai Negara yang paling rajin mengeluarkan cuitannya dengan 4.1 juta cuitan pada tahun 2016. Terlepas dari apapun motif yang melatarbelakanginya, dapat diketahui bahwa pada dasarnya warga Indonesia rajin berbagi informasi.

3534

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

33

Oleh: Theresia Vera YuliastantiWidyaiswara Pusdiklat Keuangan Umum

Mengukur dan MenilaiKemujaraban Program-program

Corporate University

Corporate University muncul pertama kali sekitar tahun 1920-an dengan berdirinya General Motors Engineering and Management Institute pada tahun 1919 (Lytovchenko, 2016). Pada tahun 1950-an pertumbuhan corporate university semakin intensif sehingga pada sekitar tahun 2000-an, di Amerika Serikat 80% dari 500 perusahaan industri terbesar di Amerika telah dan sedang membangun corporate university milik masing-masing.

superlative lainnya akan mendapatkan penghargaan yang lebih besar, dengan memberikan short course misalnya.

Di beberapa organisasi privat yang knowledge management savvy, bahkan pelaksanaan knowledge sharing dikonversi ke dalam poin yang menjadi pertimbangan dalam pemberian promosi. Bukan tidak mungkin hal-hal positif di sektor privat diadaptasi ke sektor publik dengan tetap mematuhi regulasi yang ada.

Selain itu penyediaan “wahana bermain” yang beragam juga diperlukan dalam menstimulus pelaksanaan knowledge sharing. Jika membuat sebuah video atau tulisan secara sistematis terkait bidang tertentu dianggap terlalu sulit dan akan cukup sulit untuk melewati filtering, maka bisa dibuat media penyampaian narasi dan elaborasi yang lebih singkat, dengan meniru wikipedia misalnya. Para pegawai dapat terlibat dalam knowledge sharing yang sifatnya less time consuming, dan kolaboratif. Tentunya validitas kontennya akan tergantung pada penulis dan siapapun bisa berkolaborasi dalam menyempurnakan kontennya. Dalam memulai kebiasaan baru, barrier yang ada harus diminimalisasi.

Knowledge sharing yang merupakan bahan baku dari pelaksanaan knowledge management harus diupayakan semaksimal dan dioptimalkan dampaknya untuk kemajuan SDM Kementerian Keuangan dalam rangka mewujudkan Kementerian Keuangan Corporate University. Ke depannya, dengan knowledge sharing yang terstruktur dan sistematis diharapkan pembelajaran yang dibutuhkan dapat segera dipenuhi melalui knowledge repository yang tersedia.

Gambar 3 COMETSumber: intrabppk.depkeu.go.id

menyelesaikan pekerjaan yang ada atau melakukan knowledge sharing. Beberapa pegawai menganggap bahwa membagi pengetahuannya sangat melelahkan dan tidak efisien.

Ketiga faktor penghambat tersebut dapat menjadikan knowledge sharing tidak dapat dilaksanakan, atau kalaupun terlaksana hanya menjadi konsumsi sekelompok golongan tertentu. Hal ini tentunya bukan hal yang diharapkan organisasi, kecuali jika memang organisasi hanya menghendaki untuk membuat pengetahuan organisasi di bidang tertentu saja.

Pada dasarnya tiga faktor diatas meliputi potensi pengorbanan seseorang: atas waktu, harga diri, dan keamanan. Dalam hal ini harus disusun sebuah trade off atas potensi pengorbanan tersebut. Tentu orang enggan untuk

membagikan pengetahuannya jika setelah pengetahuannya dibagi kemudian yang diperolehnya hanya hal yang kurang menguntungkan. Oleh karena itu tidak berlebihan jika diberikan penghargaan atas pelaksanaan knowledge sharing yang dibuat. Penghargaan tidak melulu yang sifatnya finansial, pemberian badge, star, dan atribut virtual lain merupakan sebuah penghargaan juga. Tiap orang yang melakukan knowledge sharing di media virtual, baik di KLC ataupun intranet dapat mendapatkan badge, star, atau like.

Namun selain itu penghargaan yang sifatnya lebih terasa dampaknya juga perlu diberikan, misalnya dengan mengadakan knowledge sharing award dengan berbagai kriteria, misalnya ditentukan pemenang setahun sekali untuk kategori paling aktif, paling banyak likes, atau kriteria

3736

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

adalah informasi tentang kepuasan peserta pelatihan terhadap pelaksanaan pelatihan. Pada level pembelajaran, yang dinilai adalah tingkat perubahan kompetensi sebagai hasil pelatihan. Perubahan perilaku hasil pelatihan diukur dan dinilai pada level perilaku. Ujung dari model evaluasi Kirkpatrick ini adalah pengukuran hasil yang banyak diterjemahkan sebagai korelasi antara kegiatan pelatihan dengan perkembangan positif yang dialami oleh organisasi.

Selain model Kirkpatrick, juga ada model Return on Investment (ROI, dikenal juga dengan Return of Training Investment atau ROTI) yang dikembangkan oleh Jack Phillips. Banyak yang menyebutkan model ROI ini sebagai evaluasi level kelima dari model Kirkpatrick. Model ini dibangun atas pendapat bahwa evaluasi harus didasarkan pada perhitungan finansial agar mampu memberikan informasi yang nyata dan tegas tentang kontribusi pelatihan terhadap kinerja organisasi (Tupamahu & Soetjipto). Evaluasi model ROI menambahkan satu level lagi dari empat level model Kirkpatrick, yaitu level 5 yang merupakan evaluasi terhadap dampak bisnis akibat penyelenggaraan pelatihan, dibandingkan dengan biaya

pelatihannya. Dampak bisnis akibat penyelenggaraan pelatihan dikonversi ke dalam nilai finansial untuk mendapatkan gambaran nilai pelatihan terhadap konteks organisasi secara keseluruhan.

Model evaluasi Empat Level Kirkpatrick dan ROI Phillips menilai program pelatihan secara umum pada level reaksi dan pembelajaran, menilai secara individu per program pada level perilaku, serta menilai dalam level organisasi pada level hasil dan level hasil serta level ROI pada model Philips. Allen menilai kedua model ini kurang holistik sebagai alat ukur untuk menilai corporate university (Allen & McGee, 2004). Model evaluasi Empat Level Kirkpatrick dan ROI Phillips sangat baik digunakan untuk mengukur program-program pelatihan tidak untuk mengukur dampak dari program-program corporate university secara keseluruhan. Kita mengingat bahwa peran corporate university yang bukan hanya sekedar unit penyelenggara pelatihan dan pendidikan tetapi lebih daripada itu juga sebagai alat strategis organisasi.

Terdapat satu alternatif model evaluasi yang dapat digunakan untuk mengukur dan menilai kemanfaatan corporate

university menurut Allen, yaitu Model Produktivitas (Productivity Model) yang dikembangkan oleh McGee (Allen & McGee, 2004).

Model Produktivitas berlandaskan atas tiga elemen yang menjadi dasar dari setiap sistem yang ada, baik sistem mekanik, sistem kelistrikan, sistem biologi, sistem keuangan, sistem sosial, maupun sistem pendidikan. Ketiga elemen dasar tersebut adalah sumber daya, aktivitas, dan hasil. Untuk mencapai hasil harus dilakukan aktivitas atau kegiatan. Untuk dapat melaksanakan aktivitas atau kegiatan, dibutuhkan sumber daya. Sehingga hubungan antara sumber daya, aktivitas, dan hasil dapat digambarkan dalam persamaan sebagai berikut.

sumber daya + aktivitas = hasil

Suatu sistem disebut efektif apabila memiliki tingkat kemungkinan yang tinggi untuk mencapai hasil. Dengan kata lain, efektivitas sesuatu yang menghubungkan antara aktivitas dan hasil. Sedangkan efisiensi adalah hubungan dinamis antara sumber daya dan aktivitas. Semakin rendah jumlah sumber daya yang digunakan untuk aktivitas yang sama, semakin efisien

Gambar 1 Model Produktivitas McGeeSumber: http://www.internetraining.com/Productivity/Productivity.htm

Selain di Amerika Serikat, corporate university ternyata telah menyebar ke seantero dunia dan berkembang dalam jumlahnya. Di benua Eropa, Australia, dan Asia, perusahaan-perusahaan besar seakan berlomba membangun corporate university-nya. Tak ketinggalan di Indonesia. Di Indonesia, corporate university pertama kali muncul sebagai bagian dari PT Telkom, dengan nama Telkom Corporate University (Suryani, 2013). Selanjutnya diikuti oleh Pertamina Corporate University, dan PLN Corporate University.

Tak hanya pada organisasi swasta, corporate university juga turut diadopsi oleh organisasi publik. Beberapa pemerintah kota di Amerika Serikat telah menerapkan konsep corporate university dalam peningkatan kompetensi para pegawainya.

Sesungguhnya, corporate university tidak berbeda dalam hal fungsi utamanya sebagai unit yang berurusan dengan pelatihan. Pembeda corporate university dan unit pelatihan tradisional adalah pada fokus objek pelatihannya. Jika unit pelatihan tradisional berfokus pada individu dalam organisasi, maka corporate university berfokus pada individu dan organisasi secara menyeluruh (Allen & McGee, 2004). Sehingga pada saat identifikasi kebutuhan pelatihan, unit pelatihan tradisional kebanyakan menggunakan pola bottom-up, sedangkan corporate university menggunakan pola bottom-up dan top-down.

Corporate university juga disebut sebagai generasi berikutnya dari unit pelatihan suatu perusahaan. Penyebabnya adalah karena selain berfungsi menyelenggarakan pelatihan termasuk melaksanakan kegiatan asesmen kebutuhan pelatihan, desain pelatihan, dan evaluasi pelatihan, corporate university juga memiliki fungsi yang lebih luas seperti: menentukan kebijakan perekrutan, perencanaan, dan suksesi pegawai, mengelola

knowledge management, dan riset dan pengembangan, serta mengelola kebijakan perubahan strategis, dan mengelola perubahan budaya organisasi. Fungsi yang sedemikian luas merupakan peran dari corporate university sebagai alat strategis untuk membantu organisasi induk dalam mencapai misinya, melalui pemberdayaan pembelajaran, pengetahuan, dan kebijakan individu dalam organisasi, maupun organisasi secara keseluruhan. Corporate university dibangun dengan tujuan untuk membantu organisasi induknya mencapai misinya melalui kegiatan-kegiatan yang terkait langsung dengan seluruh strategi dan misi organisasi induknya.

Corporate University Sebagai Vitamin yang Mujarab Bagi Peningkatan Performa Perusahaan

Sebagai suatu alat strategis organisasi, corporate university dianggap sebagai investasi nomor satu yang menyebabkan peningkatan bisnis perusahaan. Hal ini diamini oleh 57% manajer dari perusahaan kecil, menengah, dan besar yang perusahaannya telah memiliki unit corporate university di Eropa menurut survei FT|IE Corporate Learning Alliance tahun 2016 (Wells & Ketchum, 2016). Corporate university dianggap sebagai alat yang mengarahkan organisasi kepada perubahan dan inovasi. Kemudian dari survei yang sama, 59% responden menyatakan bahwa corporate university memiliki andil tinggi (65%) sebagai alat perubahan dan inovasi organisasi jika para eksekutif senior yang penting dalam perusahaan menjadi objek dari corporate university tersebut.

Hasil survei FT|IE Corporate Learning Alliance tahun 2016 juga menyebutkan bahwa corporate university sangat berperan dalam customer engagement (58% responden menyatakan demikian). Selain itu, corporate university dianggap oleh 58% responden sangat berarti bagi penyusunan strategi dan perencanaan perusahaan, 55% reponden menyatakan

bahwa corporate university berperan dalam kesuksesan inovasi, 55% responden menyatakan bahwa corporate university sangat berarti bagi kepemimpinan perusahaan, dan juga sebanyak 54% menyatakan bahwa corporate university sangat berarti bagi eksekusi kebijakan di perusahaan mereka. Dapat disimpulkan bahwa para manajer di Eropa mengakui bahwa unit corporate university memberikan sumbangsih yang berarti bagi perusahaan mereka. Corporate university dianggap sebagai multivitamin yang dapat membantu perusahaan sehingga semakin baik performanya.

Selain memberi gambaran tentang persepsi positif para manajer di Eropa akan corporate university, survei ini juga memberikan informasi lain yang menarik. Kurang dari setengah responden (hanya 47%) yang menyatakan bahwa mereka puas terhadap program corporate learning di perusahaannya, dan hanya 43% responden yang percaya bahwa program-program corporate university di perusahaannya akan membuat mereka lebih terampil dalam melaksanakan tugasnya secara efektif. Hal ini disimpulkan pelaksana survei sebagai gap antara nilai yang diyakini oleh responden tentang corporate university dengan kesulitan untuk mengukur dampak bisnis dari kegiatan corporate university.

Bagaimana Model Pengukuran dan Penilaian Kemujaraban Program-program Corporate University?

Pada dunia evaluasi pelatihan, kita mengenal berbagai macam model evaluasi. Model tradisional yang populer adalah Model Evaluasi Empat Level Kirkpatrick. Model ini muncul pertama kali sebagai disertasi doktoral dari Donald Kirkpatrick pada tahun 1950-an. Model evaluasi Evaluasi Empat Level Kirkpatrick berusaha mengukur dan menilai pelatihan dalam empat level, yaitu level reaksi, level pembelajaran, level perilaku, dan level hasil. Pada level reaksi, informasi yang ingin didapat

3938

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

internal, seperti data pembiayaan dan pemasaran, mereka mengestimasi persentasi kontribusi kinerja pegawai terhadap gap kompetensi yang terjadi. Setelah itu mereka mempersempit gap kinerja pegawai sampai kepada pengetahuan atau keterampilan yang dapat ditingkatkan melalui pelatihan. Pada akhirnya, mereka mengestimasi nilai pelatihan dengan memanfaatkan data yang dikumpulkan pada langkah-langkah sebelumnya.

PLN Corpu

PT PLN (Persero) mendirikan PLN Corpu (PLN Corporate University) sebagai lembaga pendidikan bagi segenap pegawai PLN dalam meningkatkan kapasitas ketenagakerjaannya pada November 2012. PLN Corpu, lahir didorong atas dua hal, yaitu: belum

terpenuhinya kebutuhan bisnis perseroan dengan learning center yang ada, dan masalah performance unit bisnis yang tidak naik sesuai yang diharapkan (SWAOnline, 2013).

Pengukuran dan penilaian program-program yang telah dilaksanakan PLN Corpu dilakukan dalam dua kegiatan, yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Pada evaluasi proses, PLN Corpu mengevaluasi kematangan proses pelaksanaan setiap tahap dari pembelajaran excellence, yaitu kematangan proses pelaksanaan Learning Need Assessment (LNA), desain, delivery, dan evaluasi. Kemudian pada evaluasi hasil PLN Corpu melakukan evaluasi secara hierarki menurut model ROI. Proses evaluasi dilakukan dalam lima level evaluasi yaitu: level reaksi, level pembelajaran, level perilaku, level

hasil, dan penentuan Return On Learning Investment (ROLI).

Pada penentuan ROLI, kemanfaatan program-program Corpu diestimasi melalui perhitungan seperti pada gambar 3 berikut.

Komponen khusus dalam perhitungan ROLI adalah komponen Best Value. Nilai komponen ini didapat dengan mengumpulkan data secara survei terhadap seluruh pegawai PLN yang mengikuti pelatihan pada PLN Corpu. Nilai persepsi pada Best Value ini sampai saat ini masih dihitung secara global untuk seluruh pelatihan yang diselenggarakan. Pada perkembangannya nanti akan diukur nilai Best Value secara spesifik untuk setiap program untuk kemudian direkapitulasi menjadi nilai Best Value keseluruhan program.

sistem tersebut. Tingkat keseimbangan antara efektivitas dan efisiensi adalah produktivitas.

Suatu sistem yang tidak efektif dan tidak efisien tidak dapat disebut sistem yang produktif. Pada sisi lain, sistem yang efektif tetapi tidak efisien, dan sistem yang tidak efektif tetapi efisien juga tidak dapat disebut sebagai sistem yang produktif. Sebaliknya, sistem yang efektif dan efisien dapat dikatakan sebagai sistem yang produktif.

Mengukur produktivitas program-program corporate university menurut model produktivitas berfokus pada dua pengukuran yang terpisah. Pertama yaitu pengukuran kualitas dan yang kedua pengukuran kuantitas.

Pengukuran kualitas terutama berurusan dengan pengembangan kurikulum pelatihan. Yang diukur adalah bagaimana peserta pelatihan dapat diprediksi mencapai tujuan program. Semakin tinggi tingkat kepastian setiap peserta yang mengikuti pelatihan dapat mencapai tujuan program, semakin tinggi kualitas suatu pelatihan atau program corporate university. Beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan kurikulum yaitu: assessment kebutuhan, assessment calon peserta, analisis lingkungan kerja, analisis fungsi, tugas dan konten kerja, pernyataan tujuan kinerja, pengukuran kinerja, dan sekuens tujuan kinerja.

Kuantitas program mengarah kepada penentuan metode yang paling efisien dalam menyelenggarakan program. Standar umum yang dapat digunakan adalah satuan uang, waktu, kebutuhan SDM, dan kebutuhan sarana prasarana. Faktor yang mempengaruhi efisiensi kegiatan adalah teknik instruksional, desain program, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan program.

Setelah mendapatkan ukuran kualitas dan kuantitas program, kita dapat menilai produktivitas program dengan

menghitung rasio efektivitas dengan efisiensi dari program.

Model produktivitas ini dapat digunakan untuk mengevaluasi tahapan aktivitas menurut ADDIE, yaitu pada fase analisis, desain, pengembangan (development), implementasi, dan evaluasi. Skema pada model ini juga dapat digunakan dalam melakukan evaluasi pada setiap level evaluasi model empat level Kirkpatrick maupun model ROI Philips.

Bagaimana Organisasi-organisasi Mengukur dan Menilai Kemujaraban Program-program Corporate University-nya?

Bagaimana praktik evaluasi terhadap program corporate university? Berikut gambaran beberapa corporate university dalam mengukur kemujaraban atau kemanfaatan program-programnya secara keseluruhan.

University of Oz

University of Oz merupakan corporate university dari The MGM Grand Hotel di Las Vegas. The MGM Grand Hotel berdiri pada tahun 1993 dengan 5.005 kamar tersedia pada hari pertama pembukaannya. Sebagai hotel dengan tawaran jumlah kamar yang besar, The MGM Grand Hotel harus menekan biaya turnover pegawai demi efisiensi. Sehingga, tujuan utama dibangunnya University of Oz adalah mendorong tingkat loyalitas pegawai. University of Oz berfungsi menciptakan lingkungan dimana setiap pegawai merasa menjadi menjadi bagian dari suatu budaya yang ada pada organisasi. University of Oz membangun program gelar internal yang bernilai tinggi jika digunakan dalam organisasi dan tidak berarti jika digunakan di luar organisasi.

Pengukuran dan penilaian kemanfaatan University of Oz tidak memerlukan formula yang komplek karena telah memiliki tujuan yang jelas yaitu retensi pegawai. Tujuan ini yang menjadi

patokan untuk mengukur capaian University of Oz. Penilaian kemanfaatan corporate university-nya secara sederhana kemudian didapat dari membandingkan tingkat retensi pegawai dengan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan-kegiatan University of Oz.

Motorola University

Motorola University merupakan corporate university milik perusahaan raksasa komunikasi Motorola Inc. Motorola University merupakan pengembangan dari unit pendidikan dan pelatihan Motorola Inc. Perubahan menjadi corporate universtiy terjadi ketika perusahaan ingin membangun suatu budaya kualitas untuk keseluruhan organisasi dengan menetapkan standar internal yang tinggi sekaligus mengembangkan keterampilan pegawai, untuk mencapai peningkatan profit. Peralihan dari unit pendidikan dan pelatihan menjadi corporate university terjadi pada tahun 1986.

Motorola University mengukur kesuksesannya melalui tiga kategori, yaitu: pelanggan, operasi bisnis, dan talent, dengan menggunakan pendekatan yang mirip dengan balanced-scorecard. Pendekatan pengukurannya disebut dengan Goal, Question, and Metric Approach (GQM). Pertama kali yang dilakukan adalah dengan mendefinisikan sukses pada area spesifik organisasi. Sebagai contoh, untuk mengukur kesuksesan pada faktor pelanggan, ditentukan apa saja yang menjadikan pelanggan sangat puas. Kemudian, mereka mengukur kepuasan pelanggan dengan mempertimbangkan kinerja (menggunakan model Kirkpatrick untuk mendapatkan informasi seberapa baik pencapaian tujuan program), aktualitas, dan biaya. Untuk mengukur ROI, Motorola University menggunakan pendekatan yang konsultatif dan menyeluruh, yang dapat mengukur pengembalian terhadap investasi sebelum terjadi. Selanjutnya, dengan menggunakan data bisnis dan kemitraan

Grand Design Quality Control Program Pembelajaran

ML LNA

EVALUASIPROSES

EVALUASIHASIL

MLDESAIN

MLEVALUASI

MLDELIVERY

EVALUASI LNA

DELIVERY DESAIN

PEMBELAJARAN EXCELLENCE

4140

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Oleh: Nailul Hisan(Widyaiswara Pusdiklat PSDM)

Esensi Melayani,Menyebarkan Energi Positif

Seperti kita ketahui bahwa esensi dari pelayanan adalah memberi bantuan, kemudahan, atau bisa juga memberi keuntungan kepada orang lain. Hal-hal tersebut harus kita lakukan dengan penuh keikhlasan. Dengan demikian yang kita berikan kepada orang lain merupakan sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi sesama.

Foto: stocksnap.io

Bagaimana Kesimpulan Tentang Cara Pengukuran dan Penilaian yang Paling Tepat?

Dari gambaran pengukuran dan penilaian kemujaraban atau kemanfaatan setiap corporate university berbeda-beda bahkan sangat spesifik sesuai dengan tujuan pendirian atau karakteristik organisasi bahkan sesuai dengan interpretasi masing-masing organisasi terkait bagaimana menilai kemanfaatan program. Model-model evaluasi yang ada seperti Model Evaluasi Empat Level Kirkpatrick, Model ROI Philips, dan Model Produktivitas McGee dapat digunakan sebagai bagian dari mekanisme pengukuran, tetapi untuk mengakomodasi kekhususan organisasi dan mendapatkan bottom-line pengukuran, modifikasi dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil pengukuran dan penilaian yang memuaskan kebutuhan pengguna informasi hasil pengukuran dan penilaian tersebut.

Daftar Referensi

Allen, M., & McGee, P. (2004). Measurement and Evaluation in Corporate Universities. New DIrections for Institutional Research, 81-92.

Ayuningtias, H. G., Nurbaiti, A., Anggadwita, G., & Putri, M. K. (2015). The Corporate University Landscape in Indonesia. 3rd International Seminar and Conference on Learning Organization. Yogyakarta: Atlantis Press.

Lytovchenko, I. (2016). Corporate University As A Form Of Employee Training And Development In American Companies. Advanced Education, 35-41.

Suryani, R. (2013). Corporate University: Berinvestasi di Ladang Emas. Jakarta:

Human Capita Journal.

Tupamahu, S., & Soetjipto, B. W. (n.d.). Pengukuran Return on Training Investment. Retrieved from www.lmfeui.com: https://lmfeui.com/data/Artikel%20Usahawan.pdf

Wells, D., & Ketchum, B. S. (2016, May 25). Corporate Learning is a Priority, Say Europian Business Leaders, But Measuring Business Impact is a Challenge. PR Newswire Europe Including UK Disclosure. New York: PR Newswire Association LLC.

4342

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Prioritas Memberikan Pelayanan

Menempatkan prioritas dalam memberikan pelayanan merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan setiap orang punya kecenderungan untuk menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain. Hal ini memang sudah sangat manusiawi. Walaupun orang tersebut punya sikap yang tidak mementingkan diri sendiri, tetapi masih ada kecenderungan untuk mendahulukan kepentingan pribadi.

Apabila kita sebagai makhluk sosial masih memiliki kecenderungan tersebut, bisa saja menyebabkan kepentingan stakeholder menjadi terabaikan. Hal ini akan berbahaya karena manusia tidak dapat hidup sendirian. Antara manusia yang satu dengan manusia yang lain saling membutuhkan. Kita tidak dapat memenuhi kepentingan kita sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Untuk itu kita harus dapat menyelaraskan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan orang lain. Sehingga dalam menempatkan kepentingan tersebut kita harus mengedepankan prinsip menang-menang (saling menjaga kepentingan masing-masing).

Kesuksesan organisasi privat maupun pemerintahan dapat ditentukan bagaimana cara mereka memberikan pelayanan kepada pelanggan. Apalagi pada dunia bisnis kontribusi terbesar adalah memberikan produk atau layanan yang berkualitas kepada konsumen. Begitu juga instansi pemerintah terkadang capaian kinerja dapat bernilai baik atau

bahkan sangat dapat ditentukan baik atau tidaknya organisasi tersebut memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Perlu diingat bahwa perusahaan atau organisasi pemerintah dapat menghasilkan produk maupun pelayanan yang baik jika memiliki karyawan yang berkualitas pula. Untuk itu organisasi harus benar-benar memperhatikan kebutuhan karyawan. Adalah sesuatu yang mustahil jika organisasi menuntut kinerja yang baik dari karyawan, tetapi kebutuhan karyawan tidak diperhatikan.

Tidak dipungkiri lagi, betapa pentingnya pelanggan mendukung kesuksesan bagi perusahaan atau organisasi. Sehingga pelayanan yang diprioritaskan oleh perusahaan/organisasi adalah pelayanan kepada pelanggan. Namun janganlah dilupakan pelayanan kepada karyawan atau pegawai. Untuk dapat menghasilkan karyawan yang mampu memberi pelayanan yang berkualitas organisasi harus memperhatikan kebutuhan karyawan. Jangan sampai organisasi kehilangan pegawai berkualitas gara-gara tidak memperhatikan kebutuhan pegawai. Bahkan ada ungkapan ”Perlakukan karyawan Anda seperti Anda menginginkan mereka memperlakukan pelanggan terbaik Anda”.

Kebutuhan pegawai sering disalahpahami oleh perusahaan atau organisasi hanya semata-mata kebutuhan fisik saja yang berupa pemberian gaji dan tunjangan, bonus, dan mungkin kepemilikan saham. Padahal menurut Pradiansyah (2010), masih ada tiga kebutuhan yang

diharapkan pegawai selain kebutuhan fisik (to live), yaitu kebutuhan sosial emosional (to love), kebutuhan mental/intelektual (to learn), dan kebutuhan spiritual (to leave a legacy). Jika keempat kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh organisasi, maka akan menurunkan motivasi pegawai yang tentunya akan menurunkan kinerjanya.

Kebutuhan fisik merupakan kebutuhan dasar yaitu terpenuhinya gaji pegawai, sehingga pegawai tidak lagi memikirkan gaji dan penghasilan saat bekerja. Kebutuhan sosial emosional adalah kebutuhan untuk bersosialisasi dan adanya kebersamaan dalam organisasi. Suasana kekeluargaan dapat dirasakan dalam pekerjaan. Adapun kebutuhan mental adalah kebutuhan untuk belajar dan berkembang bagi karyawan. Selain memberikan pelatihan secara formal, memberikan pekerjaan yang memiliki tantangan juga merupakan sarana untuk belajar. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan akan pekerjaan yang dilakukan dapat memberikan makna bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.

Kesimpulannya pelayanan terbaik dan berkualitas yang diberikan oleh suatu organisasi kepada pelanggan dapat membawa kesuksesan organisasi tersebut. Memberikan pelayanan terbaik dapat menciptakan energi positif yang dapat menjaga hubungan baik antara organisasi, pegawai dan pelanggan. Untuk itu dalam memberikan pelayanan terbaik organisasi harus mengetahui kebutuhan pegawai dan kebutuhan pelanggan.

Referensi:

Poniman, Farid, Indrawan Nugroho, dan Jamil Azzaini. 2009. Kubik Leadership. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Padiansyah, Arvan. 2010. You Are Leader. Jakarta: Integritas Lestari Manajemen.

http://djajendra-motivator.com/

Jika pikiran positif secara terus-menerus tertanam dalam memberikan pelayanan dengan penuh empati, maka karakter pelayanan yang baik akan menjadi kebiasaan yang mudah untuk dilaksanakan.

Memberikan pelayanan, bantuan, atau pertolongan dengan penuh keikhlasan kepada setiap orang sangat bermanfaat. Tidak hanya bagi orang yang kita bantu, tetapi membawa kebahagiaan bagi kehidupan kita sendiri. Ketika kita memberikan kebaikan kepada orang lain, sejatinya kita telah mengumpulkan energi positif dari orang yang kita bantu.

Biasanya orang yang memperoleh bantuan atau manfaat, akan timbul dari dalam dirinya perasaan senang. Ia akan merasakan kebahagiaan, dari dalam tubuhnya memancarkan energi positif ke sekelilingnya, termasuk kepada yang membantunya. Dengan demikian apabila kita memberi bantuan kepada orang lain, kita menyebarkan kebaikan kepada orang lain, maka sejatinya kita telah mengumpulkan energi positif. Bisa jadi suatu saat energi positif yang terkumpul akan membawa keberuntungan kepada kita.

Jadi sebenarnya yang disebut keberuntungan adalah sesuatu yang ilmiah dan dapat diciptakan, sehingga kita pun dapat meraihnya. Bagaimana cara mendapatkan keberuntungan tersebut? Kita dapat meraih keberuntungan dengan cara banyak melakukan kebaikan. Dengan banyak menularkan kebaikan, memberikan manfaat kepada orang lain, secara alamiah akan mempermudah pekerjaan kita. Kebaikan yang kita sebarkan dapat memberikan sesuatu yang kita sendiri mungkin tidak pernah menyangkanya.

Lebih mantap lagi jika kebaikan yang kita berikan kepada orang lain, kemudian orang tersebut menularkan kembali kebaikannya kepada seseorang lagi. Jika terjadi demikian maka kita akan memperoleh pahala kebaikan dari orang pertama yang kita bantu. Seperti sebuah hadits yang berbunyi “Barang siapa yang menunjukkan satu kebaikan, kemudian kebaikan itu dilakukan oleh orang tersebut maka orang yang menunjukkan kebaikan akan mendapat pahala dari orang yang ditunjukinya

tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya”.

Dalam memberikan pertolongan kepada orang lain dapat kita mulai dari orang-orang yang terdekat dengan kita. Kita dapat memberikan bantuan kepada keluarga, tetangga, teman kerja (rekan sejawat, atasan, atau bawahan), relasi maupun orang-orang di lingkungan sekitar kita dan masyarakat yang membutuhkan pelayanan dari unit kerja kita. Janganlah kita menjadikan sebagai beban jika ada orang lain minta bantuan. Anggaplah itu sebagai ladang kebaikan buat kita untuk mengumpulkan energi positif. Jika masih ada orang yang mau meminta tolong kepada kita, itu berarti keberadaan kita masih dibutuhkan, kita pun punya kesempatan untuk mengumpulkan energi positif. Secara perlahan, kita akan menjadi gardu kebaikan yang menolong kepada banyak orang.

Menjadikan Energi Positif untuk Melayani

Memberikan pelayanan dengan kualitas terbaik pada setiap proses penyelesaian pekerjaan, serta melakukan pekerjaan dengan ikhlas yang berpedoman pada standar dan proses kerja, merupakan kontribusi seorang pegawai dalam memberikan pelayanan. Kita dapat memberikan pelayanan dengan baik dihasilkan dari pikiran positif para pegawai yang bertugas. Jika pikiran positif secara terus-menerus tertanam dalam memberikan pelayanan dengan penuh empati, maka karakter pelayanan yang baik akan menjadi kebiasaan yang mudah untuk dilaksanakan.

Di antara energi positif dalam pelayanan yang dapat ditunjukkan adalah memberikan pelayanan dengan bahasa dan komunikasi yang cerdas. Petugas dalam pelayanan perlu menggunakan bahasa yang sopan dan santun, menjunjung tinggi kejujuran, dan memberikan informasi dengan transparan. Mereka harus mampu

memberi penjelasan dan menjawab pertanyaan pada setiap langkah proses pelayanan. Apabila tidak dapat memberikan pelayanan secara tepat waktu, jangan segan untuk meminta maaf dan berikan alasan yang tepat, jujur, dan transparan.

Memberikan pelayanan dengan rendah hati dan mau menerima umpan balik apapun dari pelanggan dengan rasa syukur dan terima kasih merupakan penggunaan energi positif berikutnya. Sebagai pegawai yang memberikan pelayanan, suatu saat pasti akan menerima umpan balik dari orang yang kita layani. Terkadang umpan balik yang diterima tidak mengenakkan bagi yang menerimanya. Dengan tetap berpikir positif umpan balik tersebut dapat dijadikan sebagai masukan atau bahkan pengetahuan yang tidak pernah didapatkan di bangku sekolah atau buku. Mau merespon dan mengelola umpan balik untuk menjadi pelajaran, inspirasi, dialog, motivasi, atau sebagai jalan menuju perbaikan adalah cara yang bijak dalam menghadapi umpan balik.

Pancaran energi yang baik akan terhubung ke dalam jiwa pelanggan kita, sehingga kita dapat dengan mudah menyampaikan pelayanan yang berkualitas. Energi positif berikutnya adalah memberikan respon yang cepat untuk setiap kebutuhan dan harapan pelanggan, memfungsikan tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan kualitas layanan terbaik, bersikap konsisten, serta tidak melanggar aturan dan norma-norma kebaikan yang umum.

Dengan memberikan pancaran energi yang baik pelayanan yang diberikan tidak kaku, tetapi dapat memberikan pelayanan yang cocok untuk kepribadian siapapun. Fleksibilitas yang diberikan tidak dengan mengabaikan prosedur dan tata kelola pelayanan, tetapi kemampuan kita memahami harapan dan kebutuhan dari sisi batin, emosi, dan pikiran. Dengan demikian kita dapat mempengaruhi pelanggan menuruti tata cara pelayanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4544

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

fokus pada identifikasi pemborosan dan tingkat inefisiensi serta pada akhirnya tingkat inefektivitas anggaran. Berbeda dengan reviu anggaran, spending review memiliki tujuan yang lebih luas yaitu mencari ruang penghematan yang dapat meningkatkan ruang fiskal.

Permasalahan

Kajian mengenai kaitan spending review dengan PBK belum banyak dilakukan. Hal inilah yang mengakibatkan kesimpangsiuran pemahaman antara spending review dan reviu anggaran lainnya. Di samping itu, spending review kerap tidak menjadi bagian dari PBK itu sendiri, jika hasil spending review tidak langsung digunakan dalam proses pengambilan keputusan anggaran tahun berikutnya. Demikian juga dalam konteks pelebaran defisit fiskal yang memerlukan penghematan anggaran, pemotongan anggaran kerap dilakukan tanpa didahului oleh spending review. Akibatnya, pemotongan anggaran tidak bisa memastikan bahwa hasil dapat dicapai secara optimal.

Tulisan ini mencoba mengisi kekosongan literatur mengenai kaitan antara spending review dan PBK, dalam hal sejauh mana spending review telah digunakan dalam pengambilan keputusan anggaran. Disamping itu, diharapkan hasil kajian atas literatur ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pengambil keputusan anggaran dan para pelaku anggaran.

Tujuan

Spending review dapat disebut sebagai salah satu bentuk PBK jika informasi kinerja anggaran yang diberikannya digunakan dalam proses anggaran. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentfikasi sejauh mana spending review di Indonesia benar-benar digunakan dalam proses penganggaran di Indonesia dan memberikan masukan dalam perbaikan implementasi spending

review yang sudah dilaksanakan 5 (lima) tahun terakhir.

Kebijakan Efisiensi dan Efektivitas dalam Pengelolaan Anggaran

Penganggaran berbasis kinerja berdasarkan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah diimplementasikan selama lebih dari satu dekade. Penganggaran berbasis kinerja dilakukan dalam rangka menerapkan value for money atas anggaran yang dikelola pemerintah. Hal tersebut sesuai dengan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan: “Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan meperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.”

Dalam menerapkan prinsip tersebut, Kementerian Keuangan telah menginisiasi penyusunan spending review sejak tahun 2003 (Majalah Treasury Indonesia, 2013). Ditjen Perbendaharaan (2013) menyatakan bahwa hasil spending review digunakan sebagai rekomendasi perumusan kebijakan penganggaran dan pelaksanaan anggaran dalam rangka meningkatkan kualitas belanja pemerintah, disamping digunakan sebagai bahan masukan bagi penyusunan rencana kerja K/L pada pertemuan tiga pihak (trilateral meeting) antara Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasioal/Bappenas, dan K/L.

Definisi dan Jenis Spending Review

Spending review adalah salah satu instrumen reformasi fiskal yang bermanfaat untuk menciptakan ruang fiskal dengan mengurangi dan/atau merealokasi belanja yang disebabkan adanya perubahan prioritas atau permintaan atas peningkatan kinerja pelayanan Pemerintah (OECD, 2012). Definisi tersebut, dikonfirmasi oleh

European Commission (2016) yang menyebutkan bahwa spending review adalah instrumen pengendalian pengeluaran yang selektif dan berkesinambungan, dengan memberikan alokasi pengeluaran yang lebih sesuai dengan prioritas kebijakan nasional. Robinson (2013) mendefinisikan spending review sebagai proses pengembangan dan pengadopsian ukuran-ukuran penghematan (savings measure) berdasarkan penelitian sistematis atas belanja baseline atau belanja yang ada (existing expenditures). Benang merah dari berbagai definisi dimaksud adalah bahwa spending review merupakan informasi atas kinerja anggaran dalam rangka penyusunan anggaran di tahun fiskal selanjutnya.

OECD (2012) mengidentifikasi bahwa latar belakang implementasi spending review di berbagai negara adalah adanya tantangan fiskal pada krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2007. Sejak saat itu, spending review semakin mengemuka dan dipraktikkan di negara-negara maju dengan tujuan utama untuk mencari savings (penghematan) dengan memperbaiki kualitas anggaran.

Spending review terdiri dari 2 jenis, strategic review dan efficiency review (OECD, 2012; Robinson, 2013). Perbedaan kedua jenis spending review tersebut adalah pada fokus review itu sendiri; jika strategic spending review fokus untuk menjawab pertanyaan apakah anggaran diarahkan pada program dan kegiatan prioritas pemerintah, efficiency spending review lebih menekankan pada identifikasi opsi penghematan melalui perbaikan efisiensi operasional, yang antara lain dilakukan dengan mengubah cara agar pelayanan dihasilkan dengan kualitas yang sama dengan biaya yang lebih kecil. Kajian OECD (2012) dan Robinson (2013) telah dibuktikan pada tahun 2007 oleh OECD (2007) yang menyebutkan bahwa spending review yang dilakukan di negara-negara maju pada hakikatnya terdiri dari strategic dan efficiency review. Beberapa contoh

Oleh: Bilmar Parhusip(Widyaiswara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan)

Spending Review Dalam Konteks Penganggaran Berbasis Kinerja

Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) merupakan tren dalam pengelolaan keuangan publik di berbagai negara. PBK adalah inisiatif untuk mengaitkan input (sumber daya) dengan hasil (baik output maupun outcome) untuk memastikan bahwa anggaran dikelola secara efisien dan efektif. PBK dipraktikkan dengan berbagai cara atau mekanisme maupun metodologi. Spending review adalah salah satu mekanisme dimaksud untuk mengidentifikasi tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran; bahkan jika hasil spending review digunakan untuk pengambilan keputusan anggaran, spending review dianggap sebagai salah satu bentuk dari penerapan PBK.

Pendahuluan

Spending review yang pertama kali diperkenalkan di negara-negara OECD pada saat mengalami tekanan fiskal akibat krisis keuangan global tahun 2007, juga diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 2013 (OECD, 2012; Majalah Treasury Indonesia, 2013). Spending review di Indonesia disusun dan dimotori oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, sedangkan

konsepsi PBK digagas oleh Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan. Hasil spending review berupa identifikasi atas inefisiensi anggaran dijadikan masukan dalam proses penganggaran yang dikoordinasikan oleh Direktorat Jenderal Anggaran.

Dalam konteks perencanaan dan penganggaran, satker selaku pengguna anggaran juga melakukan berbagai reviu atas anggaran yang digunakan/

dikelolanya. Persepsi yang berkembang adalah bahwa satker K/L melakukan reviu yang serupa dengan spending review yang dimotori oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan; padahal, spending review pada hakikatnya berbeda dengan reviu anggaran lainnya. Jika reviu anggaran secara umum fokus untuk melihat aspek kepatuhan anggaran (budget compliance) atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penganggaran, spending review

Foto: stocksnap.io

4746

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

dapat dikatakan sebagai performance-based budgeting atau PBK, karena spending review dapat dikatakan PBK jika hasilnya benar-benar digunakan dalam pengambilan keputusan anggaran tahun berikutnya. Disamping itu, kebijakan pemotongan/penyesuaian anggaran yang dilakukan oleh Pemerintah belum secara optimal menggunakan hasil spending review untuk memastikan bahwa anggaran yang dipotong adalah anggaran yang tidak efisien (Parhusip, 2016).

Kondisi tersebut diatas merefleksikan bahwa utilisasi spending review di Indonesia masih terbatas. Jika spending review tidak dioptimalkan penggunaannya, maka sulit bagi Pemerintah untuk meningkatkan kualitas belanja karena spending review pada hakikatnya memfasilitasi hal tersebut. Utilisasi spending review pada akhirnya juga diperlukan untuk memastikan kebijakan pengelolaan keuangan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dapat tercapai.

Kesimpulan

Spending review adalah informasi kinerja anggaran yang digunakan dalam proses penganggaran sebagai dasar alokasi anggaran. Dengan demikian, spending review adalah salah satu bentuk dari PBK. Berdasarkan kategorisasi PBK yang dibuat oleh OECD, maka jika spending review tidak digunakan secara ketat dalam proses penganggaran, maka spending review termasuk dalam kategori performance-informed budgeting; na- mun jika spending review benar-benar dilakukan sebagai dasar dalam pengalokasian anggaran, maka spending review dimaksud termasuk dalam PBK kategori direct/formula performance-budgeting.

Rekomendasi

Agar manfaat spending review dapat digunakan secara optimal

dan memastikan bahwa spending review adalah bagian dari PBK, maka spending review perlu digunakan dalam pengambilan keputusan anggaran (budget decision making).

Untuk itu, maka penulis merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

Peningkatan koordinasi pada Kementerian Keuangan khususnya antara Direktorat Jenderal Perbendaharaan (selaku koordinator penyusun spending review) dan Direktorat Jenderal Anggaran. Koordinasi dilakukan antara lain untuk memastikan bahwa spending review merupakan proses yang terinstitusionalisasi dalam proses penganggaran, sehingga hasil spending review dapat diperoleh tepat waktu sebelum proses penganggaran tahun berikutnya dimulai.

Peningkatan koordinasi juga perlu dilakukan antara Kementerian Keuangan dengan kementerian negara/lembaga, baik pada saat proses penyusunan spending review untuk digunakan dalam penganggaran tahun anggaran berikutnya, atau pada saat menerapkan kebijakan pemotongan anggaran dalam tahun anggaran berjalan. Spending review perlu diutilisasi dalam berbagai kebijakan penganggaran sehingga apapun kebijakan yang diambil dilakukan dengan memperhatikan perbaikan kualitas anggaran itu sendiri.

Daftar Pusaka

Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB). (2013). Spending Review 20 Kementerian Lembaga: Bahan Masukan Pertemuan Tiga Pihak (Trilateral Meeting) Penyusunan Rencana Kerja Kementerian Lembaga Tahun Anggaran 2014. Jakarta: DJPB.

Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 2014. Spending Review 2013: Bahan Masukan Pertemuan Tiga Pihak (Trilateral Meeting) Penyusunan

Rencana Kerja Kementerian Lembaga Tahun Anggaran 2015. Jakarta: DJPB.

Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB). (2015). Spending Review 2015, Jakarta: DJPB.

Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB). 2016. Spending Review 2016: Preliminary Report. Jakarta: DJPB.

European Commission. (2016). Quality of Public Finance: Spending Reviews for Smarter Spending Allocation in the Euro Area. Directorate General Economic and Financial Affairs.

Majalah Treasury Indonesia. (2013). Spending Review akan Membuat Kita Selalu Ada. 2013. Edisi I/2013: Maret. Jakarta: Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

OECD. (2012). Budgeting Levers, Strategic Agility and The Use Of Performance Budgeting In 2011/12. Paris: OECD.

OECD. (2007). Performane Budgeting in OECD Countries. Paris: OECD.

Parhusip, Bilmar. (2016). Analisis Implementasi Spending Review pada Kementerian/Lembaga tahun 2013-2015. Kajian Ekonomi dan Keuangan, vol. 20 no. 3. 191-211.

Robinson, Marc and Last, Duncan. (2014) . A Basic Model of Performance-Based Budgeting. New York: IMF.

Robinson, M. (2013). Spending Review, Working Party of Senior Budget Officials, Paper dipresentasi pada 3th Annual Meeting of OECD Senior Budget Officials. 1-40.

Schick, Allen .(2013). The Metamorphoses of Performance Budgeting. Paper dipresentasi pada Annual OECD Meeting of senior budget Officials. Paris 3-4 Juni 2013.

Vandirendonck, Caroline. (2014). Public Spending Reviews: Design, Conduct and Implementation. Economic Papers 525.

spending review adalah Comprehensive Spending Review dan 2013 Spending Round di Inggris, Comprehensive Review of Expenditure di Irlandia, 2010 Comprehensive Spending Review dan 1990s Interdepartmental Policy Reviews di Belanda (Vandierendonck, 2014).

Informasi Kinerja dan PBK

Spending review menyajikan informasi kinerja dari belanja Pemerintah. Istilah informasi kinerja mulai dikenal sejak tahun 1990-an, dimana negara-negara maju mulai memperkenalkan informasi kinerja dalam proses penganggaran (OECD, 2007). Informasi kinerja yang diperkenalkan dan dikembangkan dimaksud bukan sekedar menyajikan informasi kinerja semata, namun juga menggunakan informasi kinerja tersebut dalam proses penganggaran. Dengan demikian, informasi kinerja dan anggaran berbasis kinerja (PBK) memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan mendasar tersebut, menurut OECD (2007) adalah bahwa PBK mengaitkan anggaran yang dialokasikan dengan hasil yang dapat diukur, sedangkan informasi kinerja memberikan informasi mengenai hasil (kinerja) anggaran tersebut. Hal tersebut dikonfirmasi lebih lanjut oleh Robinson (2013) yang menyatakan bahwa spending review memiliki kaitan dengan sistem penganggaran berbasis kinerja, dikarenakan spending review merupakan elemen standar dalam proses penganggaran saat ini.

Selanjutnya, OECD (2007) menekankan perbedaan dalam penerapan PBK itu sendiri dengan mengkategorikan PBK dalam 3 (tiga) jenis yaitu : (1) presentational performance budgeting; (2) performance-informed budgeting; dan (3) direct/formula performance budgeting. Presentational performance budgeting adalah bentuk penerapan PBK dimana tidak ada kaitan yang jelas antara informasi kinerja dan alokasi anggaran. Terdapat informasi kinerja, namun informasi kinerja tersebut tidak memiliki peran dalam keputusan penganggaran. Sedangkan dalam Performance-informed budgeting sudah terdapat kaitan-walaupun kaitannya lemah-antara informasi kinerja dan alokasi anggaran. Informasi kinerja bersama dengan informasi lainnya digunakan dalam pengambilan keputusan anggaran, namun tidak ketat. Direct/formula performance budgeting adalah bentuk PBB yang ideal dimana terdapat kaitan yang kuat antara informasi kinerja dan alokasi anggaran. Alokasi anggaran benar-benar dilakukan berdasarkan kinerja (hasil) yang dicapai di tahun anggaran sebelumnya.

Namun demikian, berbeda dengan OECD (2007), Robinson & Last (2009) menyatakan bahwa bentuk dasar dari PBK adalah performance-informed budgeting, dimana pembuat keputusan mempertimbangkan target hasil yang akan diperoleh melalui belanja. Argumen yang diberikan mengapa Performance-informed budgeting merupakan bentuk dasar dari PBK dikarenakan memiliki

2 (dua) prasyarat yang harus dipenuhi dalam PBB, yaitu : (1) informasi tentang tujuan dan hasil dari pengeluaran pemerintah, biasanya dituangkan dalam bentuk indikator kinerja dan formulir evaluasi program; dan (2) proses penyiapan anggaran yang didesain untuk memfasilitasi penggunaan informasi kinerja dimaksud (Robinson & Last, 2009). Dengan demikian, informasi kinerja yang dihasilkan tanpa digunakan dalam proses penganggaran bukan merupakan bentuk dari PBK. Schick (2013) menyatakan bahwa spending review adalah salah satu bentuk metamorfosa dari PBK dimana evaluasi digunakan untuk merealokasi antar program dan memotong belanja. Berdasarkan penjelasan diatas, jelas bahwa spending review bukan saja bermanfaat dalam penerapan PBK, namun dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari PBK.

Spending Review di Indonesia: PBK atau Bukan?

Spending review di Indonesia mulai dilaksanakan sejak tahun 2013. Sampai dengan beberapa tahun terakhir sejak dimulainya penyusunan spending review pada kementerian negara/lembaga, Pemerintah Indonesia telah mampu mempresentasikan informasi kinerja operasional anggaran (Ditjen Perbendaharaan, 2016, 2015, 2014, 2013). Dengan demikian, sejak tahun 2013, Pemerintah Indonesia telah berhasil menyajikan informasi kinerja, walaupun informasi kinerja dimaksud masih dalam tataran efisiensi operasional anggaran atau efficiency review.

Parhusip (2016) dalam penelitiannya menyatakan bahwa hasil spending review yang benar-benar digunakan dalam pengambilan keputusan penganggaran adalah hasil spending review tahun 2015, sedangkan hasil spending review 2014 dan 2016 digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan penganggaran. Hal ini menunjukkan, bahwa spending review di Indonesia belum secara konsisten

Sampai dengan beberapa tahun terakhir sejak dimulainya penyusunan spending review pada kementerian negara/lembaga, Pemerintah Indonesia telah mampu mempresentasikan informasi kinerja operasional anggaran

4948

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Pendahuluan

Rumah atau tempat tinggal termasuk sebagai salah satu kebutuhan primer manusia, memiliki banyak fungsi, tidak hanya sebagai bangunan untuk tempat berteduh dan berlindung dari pengaruh alam, namun juga tempat berinteraksi dengan sesama manusia lainnya, baik dalam keluarga ataupun dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya kebutuhan tersebut mendorong hasrat manusia untuk memilikinya melalui transaksi jual beli tanah ataupun tanah beserta bangunan di atasnya (selanjutnya disebut properti).

Transaksi jual beli properti, tidak hanya melibatkan penjual dan pembeli, dalam arti ketika pembeli membayar harga properti maka selesailah transaksi tersebut, namun transaksi tersebut banyak menyangkut pihak lain, seperti PPAT, institusi perpajakan (baik pusat maupun daerah), institusi pertanahan, perbankan dan sebagainya. Ada kewajiban lain yang mesti diselesaikan dalam transaksi jual beli properti ini.

Kejujuran terhadap nilai transaksi jual beli yang sebenarnya, mutlak diperlukan. Namun karena efek dari transaksi jual beli ini menimbulkan tambahan biaya lain bagi kedua belah pihak (yaitu penjual dan pembeli), misalnya pajak, pungutan atas layanan, biaya PPAT, dan sebagainya, maka nilai transaksi sebenarnya, cenderung hanya diketahui oleh dua pihak tersebut, dan keduanya cenderung bersepakat untuk mengecilkan nilai transaksi sebenarnya agar biaya tambahan yang timbul atas transaksi jual beli tersebut tidak terlalu besar.

Sebagai gambaran bahwa transaksi jual beli sebenarnya sulit diperoleh, berikut ini adalah contoh yang dikutip dari Rahman (2014): terdapat fakta bahwa sebuah ruko 3 lantai di Jalan Imam Munandar Pekanbaru dijual. Dari beberapa harga penawaran objek tersebut didapatkan nilai pasar wajar Rp. 900.000.000,00. Sedangkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

nya sebagaimana tercantum dalam SPPT PBB hanya Rp. 240.000.000,00. Dengan berpatokan pada NJOP, para pelaku transaksi cenderung mencantumkan nilai transaksi (nilai pengalihan) sedikit di atas NJOP atau sekitar Rp. 250.000.000,00 sampai dengan Rp. 300.000.000,00.

Dari fakta di atas, pada prakteknya nilai transaksi sebenarnya sulit diperoleh, hanya pembeli dan penjual yang tahu. Oleh karenanya, diperlukan suatu nilai tertentu atau nilai acuan tunggal yang dapat menjadi rujukan untuk berbagai kepentingan seperti penentuan dasar pengenaan pajak, dasar pengenaan bea, dasar pungutan atas layanan, dasar penghitungan biaya PPAT, dan sebagainya.

Tinjauan Literatur

Suharno (2003) menyebutkan hal-hal yang melatarberlakangi dibutuhkannya nilai acuan tunggal untuk berbagai kepentingan di atas adalah:

- Sering terjadi praktek mark up nilai properti yang ditujukan memberikan keuntungan pada pihak tertentu sementara dipihak lain dirugikan, maka diperlukan pengawasan nilai properti dalam bentuk satu nilai acuan.

- Masalah klasik penilaian di Indonesia yaitu rendahnya transparansi, keterbatasan data pasar, akses data dan tingkat kepercayaan yang menyebabkan pernilaian menjadi sesuatu yang tidak mudah dilakukan. Ini berakibat pada kepercayaan akan hasil penilaian yang rendah, sehingga perlu suatu nilai acuan.

Berikut adalah gambaran kebutuhan akan suatu nilai acuan sesuai kepentingannya masing-masing :

1. Sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (PBB Sektor P3) dan dasar pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Final

Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

2. Sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkotaan dan Perdesaan (PBB Sektor P2) dan dasar pengenaan Bea Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (BPHTB) yang digunakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

3. Sebagai dasar pungutan layanan pertanahan yang digunakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

4. Sebagai bahan penyusunan neraca daerah yang digunakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.

5. Sebagai dasar penentuan kompensasi ganti rugi lahan oleh Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah.

6. Sebagai bahan pengelolaan barang milik negara (BMN) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

7. Lembaga Keuangan Perbankan dan Non Bank sebagai bahan penentuan agunan pinjaman dan bahan penilaian aset properti.

Permasalahan

Banyak pihak yang membutuhkan suatu nilai tertentu dalam transaksi properti, yang menjadi kesepakatan bersama antara pihak-pihak terkait, untuk menentukan besarnya pungutan pajak/bea dan layanan lainnya, nilai ganti rugi, nilai aset, nilai agunan dan nilai pertanggungan.

Dengan begitu banyaknya kepentingan disertai dengan banyaknya nilai suatu objek properti, membuat nilai objek properti tersebut menjadi tidak standar, dan menimbulkan banyak sengketa antara beberapa pihak yang berkepentingan. Untuk itu, dalam tulisan ini dibahas apakah yang cocok dijadikan nilai acuan tunggal dalam transaksi

Oleh: M. Djufri(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

Nilai Jual Objek Pajak UntukSingle Value For Multipurposes

Banyak pihak yang membutuhkan informasi nilai pasar properti untuk kepentingannya masing-masing. Hingga saat ini, belum tersedia nilai acuan tunggal, yang dapat dijadikan sebagai rujukan/referensi untuk kebutuhan tersebut, sehingga beberapa pihak mengambil inisiatif untuk membuat nilai acuan masing-masing. Dari beberapa informasi nilai pasar properti, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dapat digunakan sebagai nilai acuan tunggal, karena memiliki dasar hukum yang kuat dan penentuannya melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan persetujuan masyarakat sehingga kualitas data yang dihasilkan akan kredibel. Tulisan ini menggunakan metodologi deskriptif yang menjelaskan bagaimana proses penentuan NJOP sehingga menghasilkan suatu nilai yang memiliki kekuatan hukum yang kuat dan kredibel.

Foto: stocksnap.io

5150

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

objek Penilaian yang akan dimanfaatkan atau dipindahtangankan. NJOP dimaksud merupakan NJOP atas tanah objek Penilaian pada tahun permohonan sesuai dengan Surat Keterangan NJOP yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam memberikan kompensasi atas pembebasan lahan yang digunakan untuk Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 38 Tahun 2013 menggunakan formula perhitungan kompensasi untuk tanah sebagai berikut :

dimana Lt adalah Luas tanah di bawah ruang bebas dan NP adalah Nilai Pasar tanah dari Lembaga Penilai.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur.

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/ 31 /PBI/2008 Tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum menyebutkan bahwa dalam hal Bank tidak dapat memperoleh dana untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas, Bank

Kompensasi = 15% x Lt x NP

dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh FPD dari Bank Indonesia. Permohonan FPD harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan, diantaranya adalah Daftar aset Bank Pemohon FPD yang akan dijadikan agunan FPD disertai dengan harga taksiran sementara. Harga taksiran sementara tersebut antara lain dapat diperoleh dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) untuk aset berupa tanah, nilai pasar terkini untuk aset berupa surat berharga.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 71 /POJK.05/2016 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi Penempatan atas Aset Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan, besarnya setiap pinjaman paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai jaminan yang terkecil diantara nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Dari gambaran di atas, beberapa pihak seperti Direktorat Jenderal Pajak, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah termasuk Pemerintah Kabupaten/Kota, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, lembaga keuangan perbankan maupun non bank sudah menggunakan NJOP sebagai nilai acuan untuk kepentingan masing-masing. Sementara, pihak lain seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) menggunakan nilai tanah atau nilai pasar tanah sebagai nilai acuan.

Bagaimana Penentuan NJOP?

Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan menyebutkan bahwa Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain

yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti.

Suharno (2003) menyebutkan, NJOP ditentukan melalui 3 (tiga) pendekatan penilaian, yaitu 1) pendekatan data pasar (market data approach) atau perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis; 2) pendekatan biaya (cost approach) atau nilai perolehan baru; dan 3) pendekatan kapitalisasi pendapatan (income capitalization approach) atau nilai jual objek pajak pengganti.

Penilaian melalui pendekatan data pasar (market data approach) dilakukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya dengan penyesuaian yang dianggap perlu dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang dijadikan acuan untuk menentukan NJOP bumi/tanah yaitu letak tanah, peruntukan, pemanfaatan dan kondisi lingkungannya. Pendekatan data pasar terutama diterapkan untuk menentukan NJOP bumi dan untuk objek tertentu dapat pula dipakai untuk menentukan NJOP bangunan.

Pendekatan biaya (cost approach) yang diterapkan untuk menentukan NJOP bangunan, dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut meliputi biaya komponen utama bangunan, material dan fasilitas dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut dan mempertimbangkan bahan bangunan yang digunakan, rekayasa, letak, dan kondisi lingkungannya.

Pendekatan kapitalisasi pendapatan (income capitalization approach) dilakukan dengan menghitung seluruh pendapatan dikurangi dengan biaya operasi, selanjutnya dikapitalisasi dengan suatu angka tertentu. Pendekatan ini umumnya digunakan untuk objek komersial yang menghasilkan pendapatan, seperti hotel, perkantoran, pelabuhan udara dan laut, tempat

properti yang memiliki kekuatan hukum dan dapat menjadi rujukan bagi semua pihak dengan berbagai kepentingan masing-masing.

Metodologi

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian deskriptif (Descriptive Research). Sumanto (1990) berpendapat bahwa penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau penegasan dari suatu konsep atau gejala termasuk menjawab pertanyaan sehubungan objek penelitian.

Pembahasan

Mengingat banyaknya tuntutan akan kebutuhan informasi nilai pasar properti yang mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, tetapi hingga ini saat belum tersedia sumber informasi nilai pasar properti yang mudah diakses dan valid, juga belum ada institusi yang berwenang untuk mengelola data dan informasi pasar properti secara rutin dan berskala nasional. Beberapa pihak mengambil inisiatif untuk membuat nilai acuan masing-masing atau mengadopsi nilai acuan yang telah ditetapkan pihak lain dengan tambahan penyesuaian/modifikasi.

Nilai acuan saat ini

Berikut ini adalah gambaran nilai acuan yang telah ditetapkan berbagai pihak sesuai dengan ketentuan peraturannya masing-masing :

Direktorat Jenderal Pajak (DJP), menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai nilai acuan untuk menghitung pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (PBB Sektor P3). Sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 dan perubahannya, yang menyebutkan “dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak”.

Dalam pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016, DJP menggunakan jumlah bruto nilai pengalihan hak sebagai nilai acuan. Nilai pengalihan hak ini berupa nilai yang ditentukan pemerintah, nilai menurut risalah lelang, nilai yang seharusnya/sesungguhnya diterima, atau harga pasar.

Mengingat nilai yang seharusnya/sesungguhnya diterima, atau harga pasar dapat menjadi perdebatan antara DJP dengan Wajib Pajak sebagai penjual, atau dengan kata lain nilai tersebut menjadi tidak kredibel, maka secara best practice digunakanlah NJOP.

Pemerintah Kabupaten/ Kota, meng-gunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai nilai acuan untuk menghitung pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkotaan dan Perdesaan (PBB Sektor P2), sebagaimana termaktub dalam Pasal 79 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 yang menyebutkan “Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah NJOP”.

Terkait Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pemerintah Kabupaten/Kota merujuk kepada ketentuan Pasal 87 ayat (1) dan (3) Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa “Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang dimaksud adalah dapat berupa nilai transaksi, nilai pasar atau nilai transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. Jika NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP, maka yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan”.

Badan Pertanahan Nasional (BPN),

dalam melakukan pungutan atas layanan (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang diberikan pada beberapa jenis layanan tertentu menggunakan nilai tanah sebagai acuan. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2010, bahwa dalam menghitung Tarif Pelayanan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali (berupa Pelayanan Pendaftaran Keputusan Perpanjangan Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai Berjangka Waktu; dan Keputusan Pembaruan Hak Atas Tanah untuk Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai Berjangka Waktu) dan tarif Tarif Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (berupa Pelayanan Pendaftaran Pemindahan Peralihan Hak Atas Tanah untuk Perorangan dan Badan Hukum), dihitung berdasarkan suatu rumusan yang mengandung unsur Nilai Tanah.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pemberian ganti kerugian pembebasan tanah dan/atau bangunan mengacu kepada Pasal 15 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dasar dan cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual obyek Pajak (NJOP) Bumi dan Bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), dalam melakukan penilaian Barang Milik Negara menggunakan NJOP sesuai Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 166 /PMK.06/2015 tentang Penilaian Barang Milik Negara yang menyebutkan bahwa dalam hal objek Penilaian berupa tanah atau tanah berikut bangunan yang belum tercatat dalam daftar barang Pengguna/Kuasa Pengguna, indikasi nilai dihitung dengan cara mengalikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) per meter persegi atas tanah objek Penilaian dengan luas tanah

5352

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Karena sulitnya informasi nilai pasar properti yang kredibel, NJOP dapat digunakan sebagai nilai acuan, karena memiliki dasar hukum yang kuat dan melalui penentuannya proses yang cukup panjang dan melibatkan persetujuan masyarakat sehingga kualitas data yang dihasilkan akan kredibel, sehingga nantinya dapat digunakan untuk berbagai tujuan/kepentingan, seperti perpajakan, penentuan nilai awal/dasar lelang, dasar pungutan layanan, dasar penghitungan aset, dasar penentuan nilai agunan dan pertanggungan, dan dasar penghitungan kompensasi ganti rugi.

Referensi

Peraturan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor <COMP NAME=nomor>55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 24/PJ/2016 tentang Tata Cara Penilaian Untuk Penentuan Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2013 tentang Kompensasi atas Tanah, Bangunan dan Tanaman Yang Berada di Bawah Ruang Bebas Saluran

Udara Tegangan Tinggi dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 166 /PMK.06/2015 Tentang Penilaian Barang Milik Negara

Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya

Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

Undang Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Buku

Sidik, Machfud, 2000, Model Penilaian Properti Bebagai Penggunaan Tanah di Indonesia, Yayasan Bina Umat Sejahtera, Jakarta.

Sumanto, 1990, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Cetakan Pertama, Yogyakarta, Andi Offset.

Suharno, 2013, Potret Perjalanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Direktorat PBB dan BPHTB, Jakarta.

Halaman Web

Rahman, Aidin Fathur, 2014, Harga Pasar Wajar atau NJOP, laman http://www.pajak.go.id/content/article/harga-pasar-wajar-atau-njop diakses tanggal 8 Desember 2017

rekreasi, objek PBB sektor perhutanan alam, PBB sektor Pertambangan dan objek PBB sektor lainnya.

Penentuan NJOP untuk bangunan sebagaimana telah disebutkan di atas dilakukan dengan menghitung seluruh biaya pembuatan bangunan (tertuang dalam Daftar Biaya Komponen Bangunan – DBKB) dengan memperhitungkan nilai penyusutan. Sementara penentuan NJOP bumi melalui beberapa tahapan yang cukup panjang, sebagai berikut:

Pengumpulan dan menganalisis data dari berbagai sumber, seperti PPAT, agen properti, media cetak maupun elektronik dan informasi masyarakat. Pada kegiatan ini dilakukan juga penyesuaian agar data benar-benar reliable, karena data yang tersedia di pasar cenderung terdistorsi.

Pembentukan bank data nilai pasar properti dan melakukan dan penilaian

untuk menghasilkan peta Zona Nilai Tanah (ZNT) beserta Nilai Indikasi Rata-Rata (NIR).

Klasifikasi NIR menjadi NJOP.

Persetujuan elemen masyarakat, agar dihasilkan NJOP yang kredibel.

Sebagai bahan pertimbangan dan penyesuaian (adjustment) tahun berikutnya, dilakukan analisis Assessment Sales Ratio (ASR) untuk menguji apakah NJOP yang ditetapkan lebih tinggi atau lebih rendah dari pasar.

Dari gambar di atas tampak bahwa NJOP memiliki dasar hukum yang kuat dan untuk menentukan besarnya NJOP dilakukan melalui beberapa tahapan tertentu dan telah mempertimbangkan persetujuan elemen masyarakat, sehingga dengan tahapan ini dihasilkan NJOP yang kredibel. Oleh karenanya,

NJOP ini dapat dijadikan nilai acuan untuk berbagai kepentingan para pihak di atas.

Penutup

Banyak pihak yang memerlukan Informasi nilai pasar properti yang mempunyai kekuatan hukum dan kredibel untuk penentuan besaran kewajiban yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli yang melakukan transaksi jual beli properti tanah dan bangunan. Saat ini, beberapa pihak mengambil inisiatif untuk membuat nilai acuan masing-masing atau mengadopsi nilai acuan yang telah ditetapkan pihak lain dengan tambahan penyesuaian/ modifikasi. Idealnya, ada suatu nilai acuan tunggal, agar pengenaan kewajiban yang dibebankan kepada pembeli maupun penjual ada standar yang baku, transparan dan adil.

5554

Serambi Ilmu Serambi Ilmu

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

S alah satu metode pembelajaran yang saat ini tengah dikembangkan di BPPK adalah blended learning. Blended learning

system didefinisikan sebagai metode pembelajaran yang mengkombinasikan instruksi tatap muka (face-to-face instruction) dengan instruksi yang dimediasi oleh komputer (computer mediated instruction). Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, blended learning berkembang dan dilakukan dengan memadukan metode pertemuan tatap muka dan metode pembelajaran online. Pembelajaran tatap muka dilakukan di kelas dimana fasilitator dan peserta hadir di ruangan yang sama. Sedangkan pembelajaran online dilakukan melalui media berbasis

teknologi informasi yang memungkinan peserta belajar tanpa harus berada di kelas. Pemaduan kedua metode ini bisa dilakukan dengan berbagai variasi, misalnya rangkaian pembelajaran diawali secara online kemudian dilanjutkan dengan tatap muka, atau sebaliknya. Dapat pula pembelajaran online diselipkan di tengah-tengah pembelajaran tatap muka. Dalam blended learning, pertemuan tatap muka biasanya digunakan untuk diskusi mendalam, praktek, atau kegiatan lain yang tidak dapat dilakukan lewat pembelajaran online. Intinya, pemaduan dilakukan berdasarkan kebutuhan peserta dan penyelenggara demi mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Pembelajaran tatap muka dan online saling melengkapi.

Mengejar Efisiensi dan Efektivitas Diklat melalui Blended Learning

Sebagai lembaga negara yang mengelola keuangan negara, Kementerian Keuangan memegang posisi yang strategis. Dukungan sumber daya, baik materi maupun personal merupakan hal yang mutlak. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan merupakan unit eselon I di Kemenkeu yang bertanggung jawab pada pengembangan sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya manusia dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan. Mengingat besarnya jumlah pegawai yang harus dilayani yang tersebar di seluruh wilayah indonesia, maka diperlukan metode pembelajaran yang dapat menjembatani hal tersebut.

Foto

: ww

w.p

exel

s.comOleh: Yohana Tolla

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 5756 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

diusung oleh Kemenkeu Corporate University diharapkan dapat mengikuti perkembangan jaman di bidang teknologi informasi serta mampu meningkatkan layanan bagi stakeholder yang tersebar di pelosok nusantara. Metode ini menjadi inisiatif Kemenkeu Corporate University dalam memenuhi kompetensi yang dibutuhkan seorang pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya, di tengah keterbatasan kesempatan pegawai untuk dalam mengikuti diklat tatap muka.

Mekanisme blended learning yang dikembangkan oleh Kemenkeu Corporate University akan menggunakan berbagai macam tools, di antaranya berupa bahan ajar multimedia audio dan visual, animasi, video tutorial dan ilustrasi, dan modul elektronik. Tools tersebut akan dimuat dalam satu repository pengetahuan yang menjadi knowledge management system milik Kemenkeu Corporate University. Dengan memiliki tools tersebut, ke depannya Kemenkeu Corporate University akan mengusung diklat yang menggabungkan pembelajaran klasikal/tatap muka dengan e-learning.

Blended learning memberi kesempatan yang luas kepada semua orang yang membutuhkan pembelajaran terkait keuangan negara untuk mengakses pengetahuan kapanpun dan dimanapun, tanpa terlalu banyak mengorbankan waktu kerja. Blended learning juga memungkinkan Kemenkeu Corporate University menyasar lebih banyak orang, tidak hanya pegawai Kementerian Keuangan, tetapi juga seluruh SDM di Kementerian/Lembaga yang membutuhkan pengetahuan terkait pengelolaan keuangan negara.

Sejauh ini, penerapan blended learning telah dilakukan oleh tiga pusdiklat, yaitu Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan, Pusdiklat Keuangan Umum, dan Pusdiklat Bea dan Cukai. Penerapan blended learning di Pusdiklat Keuangan Umum dilaksanakan pada beberapa diklat, di antaranya Diklat Aksi UKI, Diklat Pembuatan Karya Tulis Ilmiah, dan

beberapa diklat lainnya. Penentuan jenis diklat yang akan dilaksanakan dalam bentuk blended learning dilakukan berdasarkan hasil analisis Bidang Penyusunan Kurikulum bersama dengan unit pengguna. Alasan utama penggabungan metode pembelajaran tradisional dengan pembelajaran online umumnya akibat calon peserta tidak memiliki banyak waktu untuk menghadiri diklat tatap muka di kelas.

Dalam diklat blended learning yang dilaksanakan, peserta diberikan waktu terlebih dahulu untuk belajar mandiri. Materi diklat didistribusikan ke peserta sebelum diklat sehingga peserta diharapkan dapat memahami materi terlebih dahulu, tanpa menggangu aktivitas kerja dari peserta. Untuk memperdalam pemahaman peserta, mereka juga diberikan tugas online seperti studi kasus, kuis, dan lain-

lain. Setelah belajar mandiri, peserta kemudian mengikuti kegiatan tatap muka di kelas selama kurang lebih 3 hari dimana peserta lebih banyak melakukan praktik dan membahas studi kasus yang telah diberikan sewaktu belajar mandiri maupun studi kasus baru yang diberikan di kelas.

Dari delapan diklat yang pernah diselenggarakan dengan metode Blended Learning di Pusdiklat Keuangan Umum, masing-masing memiliki dinamika yang berbeda sesuai dengan karakteristik materi yang diberikan, jumlah jam praktik yang tersedia, serta keaktifan peserta. Adapun hasil evaluasi dari delapan diklat yang diselenggarakan tersebut rata-rata memiliki indeks nilai 4,56 (sangat baik) dengan batas nilai tertinggi 5.

Sambutan yang baik juga diterima oleh program blended learning yang

Ada beberapa elemen dari blended learning, yaitu time, path, pace, dan space. Chriestensen, Horn and Staker (2013) berpendapat bahwa sebuah Blended learning memiliki elemen waktu (time) yang berarti peserta dapat belajar sesuai waktu yang mereka punya dan tidak dibatasi oleh jadwal semester atau tahun ajaran. Selain itu ada juga elemen kecepatan (pace), artinya peserta dapat belajar dan mengerjakan penugasan sesuai dengan kecepatan masing-masing. Mereka dapat memperpanjang atau mempersingkat waktu belajar sesuai dengan keperluan mereka masing-masing. Elemen tempat (place) memiliki arti peserta dapat belajar di dalam kelas, tetapi juga memiliki kesempatan untuk belajar di luar kelas, misalnya di rumah atau di perpustakaan. Sedangkan elemen jalur (path) berarti peserta dapat menggunakan berbagai variasi cara atau pendekatan instruksional

untuk mencapai tujuan pembelajaran. Misalnya belajar dalam kelompok belajar secara kolaboratif, atau cukup dengan belajar sendiri. Elemen yang terakhir adalah Teacher-of-Record, peserta jika membutuhkan bantuan dari menghubungi pengajar yang bertugas atau meminta bantuan support center.

Untuk semakin memperkuat peranannya dalam pengembangan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan Kementerian Keuangan, saat ini BPPK tengah menerapkan strategi Kemenkeu Corporate University. Kemenkeu Corporate University mendefinisikan blended learning sebagai gabungan dari class learning dengan e-learning. Peserta diklat dapat mengakses Knowledge Management System (KMS) sebagai pengantar tatap muka di dalam kelas. Dengan terlebih dahulu mengakses KMS, diharapkan peserta diklat telah memiliki

pengetahuan dasar yang dibutuhkan untuk dapat melakukan diskusi dan knowledge sharing di dalam kelas.

Kehadiran blended learning merupakan jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi BPPK, seperti perkembangan ilmu keuangan negara yang sangat cepat dan besarnya jumlah SDM pengelola keuangan negara dengan kondisi demografi yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Di sisi lain, jumlah Widyaiswara BPPK juga kurang ideal dengan rasio widyaiswara terhadap jumlah SDM di Kementerian Keuangan adalah 1 berbanding 509. Rasio tersebut tentunya akan semakin timpang jika ditambah SDM pengelola keuangan negara di Kementerian Lembaga lainnya yang juga merupakan stakeholders yang harus dilayani oleh BPPK.

Metode Blended Learning yang

Gambar Elemen dari Model Pembelajaran Blended Learning

Blended learning memberi kesempatan yang luas kepada semua orang yang membutuhkan pembelajaran terkait keuangan negara untuk mengakses pengetahuan kapanpun dan dimanapun, tanpa terlalu banyak mengorbankan waktu kerja. Blended learning juga memungkinkan Kemenkeu Corporate University menyasar lebih banyak orang, tidak hanya pegawai Kementerian Keuangan, tetapi juga seluruh SDM di Kementerian/Lembaga yang membutuhkan pengetahuan terkait pengelolaan keuangan negara.

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 5958 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

diselenggarakan oleh Pusdiklat Bea dan Cukai. Penyelenggaraan blended learning di Pusdiklat Bea dan Cukai dilakukan di tiga diklat yang dijadikan sebagai pilot project, yaitu DTSS Pengawasan dan Penanganan Barang Berbahaya, DTSS Layanan Informasi – Contact Center, dan DTSS Penyidik Kepabeanan dan Cukai. Adapun dasar pemilihan ketiga diklat tersebut karena ketiganya memiliki dinamika yang berbeda sesuai dengan karakteristik materi dan keaktifan pengampu mata diklat serta peserta. Beberapa manfaat yang didapat dari penerapan blended learning, diantaranya peningkatan pemenuhan kebutuhan diklat pegawai DJBC yang sesuai dengan identifikasi kebutuhan diklat, efisiensi waktu, tempat, dan biaya, dan

peningkatan produktivitas kerja individu calon peserta diklat karena waktu untuk meninggalkan kantor menjadi lebih singkat.

Blended learning juga telah diterapkan di Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Adapun diklat yang dipilih adalah Diklat Pengadaan Barang/Jasa. Latar belakang pemilihan diklat ini adalah efisiensi waktu dan anggaran serta peningkatan evektivitas diklat. Secara umum, proses diklat PBJ blended learning terbagi ke dalam dua bagian, yaitu belajar mandiri dan kelas klasikal. Selama proses belajar mandiri, diharapkan peserta diklat dapat mempelajari materi-materi yang telah di-upload melalui Kemenkeu Learning Center (KLC) sebagai portal

KMS dan mengerjakan penugasan guna mengetahui tingkat kemajuan proses belajar yang dilaksanakan, sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Sedangkan materi yang diberikan pada saat di kelas lebih banyak mengarah ke studi kasus dan simulasi/mengerjakan worksheet. Berdasarkan hasil evaluasi, konsep blended learning sangat bagus untuk era saat ini, namun tantangan utamanya adalah mendorong peserta agar membaca modul/materi yang telah diberikan sebelum waktu diklat klasikal. Sehingga pada saat pembelajaran klasikal, studi kasus dan worksheet dapat dibahas dengan efektif.

Open Class:Ilmu Keuangan Negara

untuk Semua

Tabel Jadwal Aktivitas Belajar dengan Metode Blended Learning

Hari Ke- Aktivitas Keterangan1 Peserta mengerjakan soal Pretest Panitia penyelenggara memberitahukan

kepada peserta untuk mengerjakan dan segera mengumpulkan pre test

1-2 Peserta mempelajari modul Pengantar Umum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Peserta mengerjakan penugasan yang diberikan

Panitia penyelenggara memberitahukan kepada peserta untuk mempelajari modul dan mengerjakan serta mengumpulkan penugasan

3-6 Persiapan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Peserta mengerjakan penugasan yang diberikan

Panitia penyelenggara memberitahukan kepada peserta untuk mempelajari modul dan mengerjakan serta mengumpulkan penugasan

7-9 Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia

Peserta mengerjakan penugasan yang diberikan

Panitia penyelenggara memberitahukan kepada peserta untuk mempelajari modul dan mengerjakan serta mengumpulkan penugasan

Sumber: Renbang Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan

Oleh: Yohana Tolla

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 6160 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

untuk siapapun yang tertarik dengan suatu hal atau materi yang diangkat dalam open class.

BPPK dengan Kemenkeu Corporate University-nya membutuhkan pengajar dan tim yang selalu up to date. Kemenkeu memiliki stakeholder yang sangat luas, termasuk di dalamnya masyarakat luas. Salah satu tugas Kemenkeu adalah memberikan sosialisasi dan informasi seluas-luasnya terkait kebijakan yang ada di Kemenkeu. Forum seperti open class adalah forum yang harus dimiliki sebuah Corpu. Kebijakan Menteri Keuangan disampaikan melalui open class dan melalui kegiatan ini pula Kemenkeu menjawab pertanyaan dan menjaring masukan yang ada di masyarakat. Untuk pegawai Kemenkeu sendiri, open class menjadi salah satu saluran dalam mensosialisasikan kebijakan Menkeu yang berkaitan dengan tugas fungsi Kemenkeu.

Open class bisa jadi sebuah metode ‘diklat’ baru. Tidak hanya dari segi peserta, namun juga tema-tema yang diangkat. Berbeda dengan seminar, lokakarya atau diklat yang temanya sudah ditentukan jauh-jauh hari sebelumnya, open class lebih bersifat update karena umumnya mengangkat tema atau isu yang sedang hangat. Kalau diklat membahas mengenai kompetensi umum yang harus dimiliki pegawai Kemenkeu (atau pengelola keuangan negara), open class lebih spesifik mengangkat tema-tema yang ‘seksi’, ‘hot’ dan terkini.

Seperti istilahnya yang open atau terbuka, peserta open class BPPK tidak terbatas pada pegawai Kemenkeu, namun juga pegawai lembaga/institusi lain, baik dari pemerintahan mapun swasta, bahkan juga masyarakat umum. Open class merupakan suatu metode pembelajaran yang bersifat dua arah, kolaboratif, antara narasumber/pengajar dengan peserta. Narasumber tidak hanya menyampaikan

materi, namun juga mendapatkan masukan atas materi yang disampaikan, dan peserta tidak hanya memperoleh ilmu namun juga dapat memberikan pendapatnya. Melalui open class, narasumber dan peserta dapat saling belajar tentang materi yang diangkat dan selanjutnya dijadikan masukan atas isu yang diangkat, bahkan masukan bagi para pengambil keputusan.

Open class di BPPK pada awalnya dilaksanakan setelah jam kerja berakhir (malam hari). Namun berdasarkan masukan dari peserta, beberapa pusdiklat menyelenggarakan open class di siang hari. Open Class BPPK dimulai pada bulan April 2017, diawali dengan Open Class Pusdiklat KNPK. Tema yang diangkat adalah “Pengelolaan Daerah yang Kredibel untuk Menekan Kemiskinan, Mengatasi Kesenjangan, Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Penguatan Desa Membangun” dan “Analisis dan Evaluasi Laporan

Untuk memfasilitasi hal tersebut, BPPK m e n g e m b a n g k a n suatu program yang disebut Open Class.

Open class merupakan forum yang digagas untuk mengkomunikasikan dan mendiskusikan program dan kebijakan

pemerintah. Terlebih dengan tranformasi kelembagaan yang tengah bergulir di BPPK, dimana BPPK akan menerapkan strategi corporate university.

Dalam dunia kependidikan, istilah open class biasanya dipakai untuk untuk meningkatkan kompetensi pengajar/

guru. Open class menjelaskan kegiatan yang terbuka untuk umum, tidak spesifik untuk golongan (atau anggota) tertentu dan tidak dikenakan biaya atau gratis. Waktu pelaksanaan open class juga tidak regular atau secara rutin diadakan, namun hanya pada saat-saat tertentu saja. Oleh karena itu, kegiatan ini terbuka

Keuangan negara merupakan topik yang saat ini tengah marak diperbincangkan. Sebagai lembaga yang bergerak dalam pendidikan dan pelatihan di bidang keuangan negara, BPPK tergerak untuk menyampaikan informasi terkait keuangan negara, tidak hanya kepada para pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan, atau aparatur negara saja, tetapi kepada masyarakat yang memiliki ketertarikan dalam pengelolaan keuangan negara.

Edukasi Keuangan Edisi 43/2017 6362 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017

Keuangan Daerah, pada 12 April 2017”. Pada kesempatan perdana ini, open class KNPK diikuti sekitar 20 peserta. Antusias yang cukup tinggi untuk pelaksanaan pertama open class di malam hari atau open night class.

Dalam penyelenggaraannya, open class menghadapi beberapa tantangan, yaitu penentuan tema yang sesuai dengan kebutuhan stakeholder, waktu penyelenggaraan, ketersediaan narasumber yang sesuai dengan tema yang diangkat, metode pembelajaran yang harus lebih interaktif dan efektif yang disesuaikan dengan karakteristik peserta, dan belum adanya payung hukum terkait penyelenggaraan kegiatan open class. Untuk menghadai tantangan tersebut, pusdiklat-pusdiklat kembali mematangkan tahapan perencanaan dalam setiap program open class yang akan diadakan. Pematangan diawali dengan penggalian tema yang sesuai dengan kebutuhan stakeholder serta memodifikasi waktu penyelenggaraan yang disesuaikan dengan karakteristik peserta dan narasumber.

Respon peserta terhadap pelaksanaan open class sangatlah baik. Dari seluruh pelaksanaan open class, peserta sangat antusias menyambutnya. Salah satu alasannya adalah karena tema yang diangkat sangat menarik dan memang dibutuhkan oleh stakeholders. Bahkan banyak dari peserta yang menginginkan acara ini dapat diselenggarakan secara rutin. Terkait waktu, banyak yang menyarankan agar kegiatan open class tidak diselenggarakan pada malam hari, karena tidak sesuai dengan konsep work-life-balance dan gerakan efisiensi sebagai penguatan budaya Kementerian Keuangan.

Konsep open class sangatlah bermanfaat tidak hanya bagi BPPK, namun juga bagi stakeholders BPPK dan Kementerian Keuangan. Bervariasinya tema yang up to date dan sesuai dengan kebutuhan organisasi, mampu memberikan tidak hanya pengetahuan bagi peserta open class, namun juga bagi organisasi

Kementerian Keuangan. Fokus pada isu strategis yang berdampak luas yang sekaligus dapat menjadi wadah sosialisasi kepada masyarakat.

Menteri Keuangan sendiri sangat menyambut baik diselenggarakannya open class ini. Kepala Badan menambahkan bahwa Menkeu memerintahkan kepada para Pejabat Eselon I untuk menjadi narasumber dalam kegiatan seperti open class BPPK.

Beberapa kali diadakan, open class mampu menjaring lebih dari 40 peserta dalam penyelenggaraannya. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat haus akan informasi seputar kebijakan Kemenkeu dan keuangan negara. Kepala Badan berharap agar melalui penyelenggaraan open class, Kemenkeu akan menjadi lebih kuat. Baik dari segi pemahaman tugas dan fungsi, dari segi substansi dan segi komunikasi.

64 Edukasi Keuangan Edisi 43/2017