Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga...

45
Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar oleh, Arien Theorina 712013003 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Ilmu: Teologi Fakultas: Teologi Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi ( S.Si-Teol) Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana 2016

Transcript of Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga...

Page 1: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi

di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

oleh,

Arien Theorina

712013003

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Ilmu: Teologi Fakultas: Teologi

Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi

( S.Si-Teol)

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana

2016

Page 2: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar
Page 3: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar
Page 4: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar
Page 5: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar
Page 6: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

MOTTO

SEORANG SAHABAT MENARUH KASIH

SETIAP WAKTU, DAN MENJADI

SEORANG SAUDARA DALAM

KESUKARAN.

V

Page 7: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama puji dan syukur Penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang

senantiasa menyertai dan membimbing hingga tahap penulisan ini telah selesai dibuat. Begitu

pula tak lupa kepada campur tangan dari orang-orang yang begitu mengasihi dan mendukung,

baik secara materi maupun dukungan doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Dengan iman, penulis meyakini bahwa hanya atas karuniaNya penulis dapat melewati

setiap proses pembelajaran di Fakultas Teologi UKSW.

Keberhasilan yang penulis peroleh tak lepas dari doa, perhatian, dukungan, bimbingan,

kasih sayang serta ilmu dari berbagai pihak yang sangat penulis cintai dan juga yang mencintai

penulis. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. David Samiyono sebagai pembimbing I dan Handri Yonathan, M. Phil sebagai

pembimbing 2 yang telah membimbing penulis dengan kesabaran selama 2 bulan. Terima

kasih Pak David dan Pak Handri yang tidak pernah lelah untuk membaca serta memberi

masukan untuk penulisan dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih juga untuk

waktu, motivasi serta ilmu yan diberikan kepada penulis selama proses bimbingan.

2. Papa, Mama, Bung Rudy, Sus Sonnya, Sus Virga beserta keluarga yang selalu mendukung

dalam doa, motivasi dan dana, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini dengan

baik. Terima kasih untuk semuanya yang kalian berikan untuk penulis. Kiranya Tuhan selalu

memberkati kalian semua.

3. Pendeta dan Majelis Jemaat GPIB Eben Haezer, Gianyar Bali, yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis sehingga diijinkan untuk dapat meneliti dan mendapatkan

informasi yang lengkap kepada penulis selama meneliti. Terima kasih untuk waktu yang

diberikan sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Keluarga atau umat yang membuka diri dan memberikan kesempatan bagi penulis untuk

mewawancarai, sehingga penulis memperoleh data dan dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Tuhan Yesus memberkati hidup dan kehidupan umat.

5. Para Dosen Fakultas Teologi UKSW. Pak John, Ibu Retno, Pak David (Pembimbing 1) , Pak

Eben, Pak Thobi, Pak Yusak, Kak Ira, Pak Yopi, Pak Toni, Pak Handri (pembimbing 2), Pak

Totok, Ibu Dien, Pak Daniel, Pak Izak, Kak Feri, Kak Irene, Kak Mariska, Pak Agus, Pak

Rama, Kak Astrid, Pak Simon, dan Ibu Ningsih.

vi

Page 8: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

Terima kasih untuk ilmu, kedisiplinan, pengalaman, motivasi serta doanya yang diperoleh

penulis hingga meraih keberhasilan. Berkat motivasi, ilmu dan semangat dari para dosen,

penulis bisa menyelesaikan dan meraih keberhasilan ini. Kiranya Tuhan selalu membekati

kalian dan kehidupan selanjutnya.

6. Para Pegawai Tata Usaha Fakultasi Teologi. Ibu Budi, Mas Eko dan Mba Liana. Terimakasih

atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penulis menempuh studi di UKSW.

Kiranya Tuhan memberkatian kalian.

7. Teman-teman angkatan 2013, terimakasih untuk kebersamaan yang telah kita lewati bersama.

Sukses buat kalian semua.

8. Ingkiriwang Berthy Pariangan, terimakasih untuk doa, semangat, waktu serta apapun yang

kamu berikan kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan

tepat pada waktunya. Banyak sekali hal-hal yang kamu berikan sehingga penulis bisa

semangat dan ingin cepat-cepat untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Tuhan memberkati

kamu.

Salatiga, 26 September 2015

Arien Theorina

Penulis

Vii

Page 9: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

ABSTRAK

Konversi agama merupakan suatu perubahan paradigma dalam suatu keyakinan yang dialami

atau dilakukan oleh seseorang secara sadar berdasarkan pandangan baru dan alasan tertentu. Atas

dasar gereja harus hadir untuk merespon peristiwa ini dengan cara membangun relasi

persahabatan. Adapun metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif, dengan menggunakan studi kasus. Teori yang digunakan dalam penulisan

ini ialah teori persahabatan dalam perspektif Brian Edgar. Menurut Brian Edgar, gereja harus

menjadi persekutuan persahabatan yang mencerminkan cinta kasih dan kesetaraan. Jalinan

persahabatan di antara anggota gereja yang harus dibangun dengan didasari oleh cinta kasih

Allah yang menjunjung tinggi kesetaraan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis

melihat bahwa gereja belum peka terhadap kebutuhan keluarga yang para pelaku konversi

agama, sehingga model persahabatan ini belum dikembangkan di dalam pelayanan gereja.

KATA KUNCI: Konversi, Gereja, Persahabatan.

Viii

Page 10: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan……………………………………………………………………………. i

Pernyataan Tidak Plagiat………………………………………………………………….. ii

Pernyataan Persetujuan Akses…………………………………………………………… iii

Pernyataan Persetujuan Publikasi Tugas Akhir Untuk KepentinganAkademis……… iv

Motto…………………………………………………………………………………………… v

Ucapan Terima Kasih………………………………………………………………………….. vi

Abstrak………………………………………………………………………………………….. viii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………. ix

I. PENDAHULUAN………………………………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………….. 4

1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………………………… 4

1.4 Metode Penelitian……………………………………………………………………. 5

1.5 Sistematika Penulisan ………………………………………………………………… 6

II. Konversi Agama: Pendekatan Teoritis……………………………………………… 7

III. Fenomena Konversi di Gianyar Bali……………………………………………… … 10

IV. Sikap GPIB Ebenhaezer Gianyar Bali dalam Perspektif……………………… 26

V. KESIMPULAN……………………………………………………………………….. 31

SARAN………………………………………………………………………………… 31

VI. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………… 33

ix

Page 11: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

BAGIAN I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, banyak persoalan muncul terkait dengan masalah-masalah agama yang

tentunya memiliki hubungan sebab dan akibat. Sebab yang dimaksudkan dapat berupa peristiwa-

peristiwa yang telah terjadi maupun yang sedang dialami tidak terkecuali oleh gereja. Hal ini

sering membawa dampak yang tidak disadari oleh gereja itu sendiri. Salah satu peristiwa yang

menjadi fenomena menarik dan mempunyai hubungan sebab dan akibat adalah peristiwa

konversi agama.

Konversi agama merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang

atau sekelompok untuk merubah suatu pandangannya akan agama.1 Dengan kata lain konversi

adalah perpindahan keyakinan dari agama yang dianut kepada agama lain. Hal ini juga yang

terjadi di GPIB Eben Haezer, Gianyar Bali. Terdapat lebih dari lima orang anggota umat yang

melakukan konversi agama 10 tahun belakangan ini, dan yang lebih mengejutkan adalah

konversi itu terjadi setelah pelaksanaan peneguhan Sidi.2 Ada dua faktor yang menyebabkan

terjadinya konversi. Pertama faktor luar, seperti lingkungan, keluarga, budaya, ekonomi,

pergaulan, dan kurangnya sarana yang disediakan oleh gereja setelah umatnya mengaku dan

percaya (tidak ada pembinaan setelah sidi) serta posisi orang Kristen menjadi minoritas. Kedua,

faktor dari dalam yaitu perubahan psikologis yang terjadi dalam diri pelaku konversi sehingga

muncul persepsi baru yang juga mengakibatkan konflik batin dan perubahan kepribadian atau

bisa saja pelaku konversi ingin menemukan jati diri.3

Moojan Momen mengemukakan tujuh faktor sosial dan psikologi yang memotivasi

seseorang melakukan konversi keagamaan dan komitmen pada sebuah agama baru. Tujuh faktor

tersebut yaitu, marginalitas (merasa terpinggirkan), krisis sosial atau kultural, krisis individual,

latar belakang individu, jaringan kekerabatan dan persahabatan, kekaguman pada kharismatik,

indoktrinasi melalui pengasingan seseorang dari lingkungan sehari-hari atau keluarganya.4

1 Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), 103. 2 “SN”, Wawancara Jemaat, , Gianyar 30 Juni 2016. 3 William James, The varietis of Religious (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), 251. 1 4 Moojan Momen, The Phenomenon of Religion: A Thematic Approach (Oxford: One World

Publications, 1999), 153-156.

Page 12: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

Melihat hal ini yang perlu dipertimbangkan adalah adanya dua kemungkinan yang dapat terjadi

dari pihak keluarga. Pertama, perubahan emosional, sosial, pemikiran dan selanjutnya berwujud

pada keputusan untuk menarik diri dari lingkaran pergaulan sosial dan persekutuan gereja.

Kedua, iman keluarga makin bertumbuh. Dengan kata lain dengan terjadinya konversi pada

anggotanya keluarga semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Berdasarkan hal tersebut, gereja

perlu hadir untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh masalah konversi ini.

Salah satu definisi kuno tentang sahabat adalah seorang yang paling dekat, paling

mengenal, dan memahami diri sahabatnya. Definisi tradisional lainnya tentang sahabat diungkap

oleh Charles A. Gallagher dalam buku Makna Persahabatan: Bagaimana Menghayatinya?

Gallagher menulis dua definisi “sahabat”, yaitu (1) orang yang mengetahui hal yang paling

buruk tentang dirimu namun masih tetap mencintai engkau sebagaimana adanya, dan (2) sahabat

adalah “orang yang mengetahui segala sesuatu tentang dirimu dan menghendaki agar engkau

sendiri pun mau mengenal dia sepenuhnya, dan dia tidak dapat memahami kepenuhan hidup ini

tanpa engkau”.5

Memiliki seorang teman dekat atau sahabat untuk berbagi suka maupun duka mungkin

menjadi impian sebagian besar orang. Tapi yang menyedihkan, ada banyak faktor yang

menyebabkan sepasang sahabat atau lebih, terpaksa berpisah satu dengan yang lain, seperti

pendidikan, pekerjaan, salah paham, iri hati, dan pergaulan. Perkembangan teknologi dan

komunikasi yang mungkin saja dapat membuat terjalinnya kembali sebuah persahabatan yang

telah lama terputus atau bahkan membantu seseorang menemukan sahabat baru ternyata tidak

mampu menciptakan persahabatan yang berkualitas.6 Hal ini pun perlu dilihat oleh gereja dalam

menyikapi kehadirannya dalam kehidupan warganya, sehingga gereja mampu hadir dalam

kesetaraan yang bersahabat.

Melihat dampak yang ditimbulkan dari peristiwa konversi agama terhadap perkembangan

sosial orang tua dan keluarga di GPIB Ebenhaezer Gianyar, Bali seperti rasa malu terhadap umat

yang lain dan adanya rasa kecewa yang dirasakan pihak keluarga. Jika dilihat dari sudut

peristiwa yang terjadi, hal ini bisa saja menimbulkan sikap menarik diri dari lingkungan gereja

yang merupakan masalah baru yang dihadapi oleh gereja itu sendiri, sehingga ia menjadi sebuah

5 Charles Gallagher, Makna Persahabatan. Bagaimana Menghayatinya?, (Jakarta: OBOR, 1995),1.

6 Linna Gunawan, “Spiritualitas Gereja Persahabatan,” http://www.academia.edu/23876926/SPIRITUALITAS_GEREJA_PERSAHABATAN, diakses 14 Juli, 2016.

2

Page 13: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

dilema etis bagi orang tua, keluarga dan pihak-pihak yang termasuk di dalamnya. Di satu sisi

mereka memiliki kerinduan untuk beribadah, namun dengan persoalan ini orang tua atau

keluarga mungkin saja dapat dihinggapi rasa malu dan bersalah karena membiarkan anak

berpaling dari imannya.

Menurut Steven Summers, gereja harus memahami suatu bentuk ajaran teologis yang

memiliki hubungan antara masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang yang tentunya harus

dihubungkan dengan pribadi Kristus dan gereja-Nya, sehingga mampu untuk mengungkapkan

secara bersama-sama pentingannya menciptakan suasana persahabatan antara Kristus dan gereja-

Nya.7 Selain itu gereja perlu membuka diri dan hadir bagi mereka yang menjadi korban konversi

agama sebagai sahabat yang menenangkan emosional, membantu mempertimbangkan keputusan

dan menata kembali ruang lingkup sosial dengan umat yang lain. Persahabatan sebagai bentuk

kehadiran gereja di tengah orang tua dan keluarga yang menjadi korban konversi diharapkan

dapat menjadi pola yang mampu menjembatani jarak antara keluarga yang menjadi korban

konversi dengan gereja. Supaya gereja berusaha merangkul umatnya yang telah kehilangan anak

(dalam hal kebersamaan iman) serta ruang lingkup sosial dalam kehidupan bergereja.

Gereja yang bersahabat yang ingin penulis angkat adalah gereja yang menekankan

kesetaraan dalam cinta kasih seorang sahabat yang selalu ada, selalu memperdulikan, selalu

berbagi dan selalu menopang atau menolong (Yohanes 15:9-17). Istilah “sahabat” ternyata

mempunyai arti penting dalam kehidupan suatu agama. Islam misalnya, umat Muslim juga akrab

dengan istilah “sahabat,” misalnya “sahabat nabi” dan “sahabat rasul,” yang ditujukan bagi

mereka yang berjumpa langsung dengan Nabi Muhammad, kemudian beriman kepadanya dan

meninggal dalam keadaan Islam [sebagai seorang Muslim] (Nahimunkar website 2015).

Demikian pula yang terjadi pada agama Kristen. Kata “sahabat” yang terdapat dalam Alkitab

hendak menunjukkan relasi antarsesama manusia maupun antara manusia dengan Allah. Dalam

terang pengertian ini, maka dapat dibayangkan betapa bangganya para murid Yesus ketika

mereka mengetahui guru mereka yang adalah Juruselamat dunia menyebut dan memanggil

mereka sebagai sahabat-Nya (Yoh 15:15). Status para murid naik drastis dalam Injil Yohanes

15:15 sebab mereka tidak lagi disebut hamba, yang dalam masa pemerintahan Yunani-Romawi

identik dengan pekerjaan-pekerjaan rendahan dan kasar, melainkan sebagai orang-orang terdekat

7 Steve Summers, Friendship Exploring its implications for the Church in Postmedernity,(London:

T&T Clark, 2009), 78. 3

Page 14: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

Yesus yang melihat dan mengetahui segala sesuatu tentang gurunya. Atau dengan kata lain,

istilah “sahabat” dalam Injil Yohanes, seperti yang tercantum dalam Eerdmans dictionary of

Bible, mengandung arti khusus, yaitu seseorang yang mempunyai relasi dekat dengan Yesus

(Eerdmands dictionary of the Bible, s.v. “Friend”).

Kehadiran gereja layaknya sahabat diharapkan mampu memberikan warna baru dalam

dunia pelayanan di gereja. Oleh sebab itu, penulis memilih GPIB Eben Haezer Gianyar, Bali

sebagai tempat yang akan penulis teliti dengan didasarkan kenyataan yang terjadi di sini.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga jemaat, maka penulis mendapatkan

informasi bahwa lebih dari lima anggota jemaat yang mengingkari janji kesetiaannya di hadapan

Tuhan dan jemaat.8 Merujuk pada kenyataan hal ini penulis berpendapat bahwa gereja harus

merangkul jemaat dengan menjalin hubungan yang bersahabat dengan demikian gereja mampu

masuk dalam pelbagai permasalahan dan katagori usia dalam jemaat. Pandangan ini sejalan

dengan inti dari pandangan Brian Edgar dalam “God Is Frienship”. Brian Edgar ingin mengkritik

model Tuhan-hamba (Lord-servant) dari perspektif pernyataan Yesus kepada para Murid yang

mengatakan “aku tidak menyebut kamu lagi hamba, tetapi aku menyebut kamu sahabat”.

Gagasan tentang persahabatan adalah sebuah gagasan yang mencerminkan kehadiran Allah

dalam karyaNya. Jika Yesus sebagai Allah yang berinkarnasi adalah sahabat, maka kehidupan

gereja baik secara pribadi maupun masyarakat yang lebih luas sudah dengan sendirinya harus

menampilkan kehadiran Allah sebagai sahabat bagi semua orang9. Berdasarkan pandangan Brian

Edgar ini, pertanyaan penelitiaannya adalah, Pertama, Bagaimana kehadiran GPIB Eben Haezer,

Gianyar Bali terhadap keluarga yang anggotanya melakukan konversi agama? Kedua,

Bagaimana konsep gereja sebagai sahabat menurut Brian Edgar? Sehingga tujuan penelitian ini

adalah: Pertama, Mendeskripsikan dan menganalisis pelayanan Majelis Jemaat GPIB Eben

Haezer, Gianyar Bali terhadap keluarga-keluarga yang anggotanya melakukan konversi agama.

Kedua, menawarkan konsep persahabatan dari perspektif Brian Edgar.

8 Wawancara jemaat, “ES,” 30 Juni 2016. 9 Brian Edgar, God is Friendship, A Theology of Spirituality, Community, and Society (Kentucky: Seedbed

Publishing, 2013), 19. 4

Page 15: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

1.2 Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode

penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan, mencatat, analisa, dan menginterpretasikan

kondisi yang sekarang terjadi atau ada10

. Peneliti melihat konversi sebagai fenomena yang telah

lama terjadi namun mempunyai dampak yang begitu besar dan belum disadari sepenuhnya oleh

anggota jemaat dan Pendeta. Melalui penelitian ini penulis berupaya menggambarkan dan

menganalisis kondisi yang terjadi secara sistematis. Untuk melakukan penelitian ini, penulis

menggunakan pendekatan studi kasus yang merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk

mempertahankan keutuhan dari objek, yang artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi

kasus dipelajari sebagi susatu keseluruhan yang terintegrasi.11

Dari peristiwa konversi agama

yang dilakukan jemaat GPIB Eben Haezer Gianyar, Bali. Gereja ini memiliki kurang lebih 15

warga jemaat yang anggota keluarganya melakukan konversi baik konversi ke luar dari agama

Kristen maupun konversi antar gereja selama sepuluh tahun belakangan ini.12

Namun, pada

kesempatan ini penulis hanya mewawancarai tujuh warga jemaat yang anggota keluarganya

melakukan konversi agama keluar dari agama Kristen. Penulis melihat hal tersebut sebagai suatu

yang baik untuk dianalisis dan dihubungkan dengan dampak yang dialami oleh keluarga terlebih

orang tua dari pelaku konversi tersebut.

Cara yang digunakan oleh penulis dalam melakukan pengambilan data dengan

mewawancara pendeta, majelis jemaat, orang tua dan keluarga dari pelaku konversi. Cara ini

dipilih agar penulis lebih memahami secara jelas bagaimana situasi, kondisi dan perasaan yang

dialami oleh keluarga ketika ada yang melakukan konversi. Data yang dipakai terbagi atas dua

yaitu data primer dan sekunder. Data primer penulis mendapatkannya dari wawancara mendalam

dengan pihak pendeta, majelis jemaat, orang tua dan keluarga sedangkan untuk data sekunder

penulis mendapatkannya dari wawancara dengan pihak gereja. Lokasi penelitian yang akan

menjadi tempat penelitian adalah GPIB Eben Haezer Gianyar, Bali. Penulis melihat keberadaan

gereja ini cenderung memiliki peluang cukup besar bagi jemaatnya melakukan konversi.

Pembatasan masalah merupakan usaha penulis untuk menetapkan batasan-batasan dari masalah-

masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis hanya membataskan penelitian pada orang tua

10 Mardalis, Metode Penelitian suatu Pendekatan Proposal (Jakarta:Bumi aksara, 2004) 26. 11 Vredenbregt J, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia , 1984) 38-39. 12

“FN”, Wawancara Jemaat, Gianyar, 18 Agustus 2016.

5

Page 16: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

dan keluarga yang merupakan korban dari konversi anak karena melihat orang tua dan keluarga

sangat rentan menjadi pihak yang dipersalahkan dalam peristiwa ini. Bagi penulis, penelitian ini

memberi sumbangsih yang cukup baik bagi gereja, supaya gereja dapat memberikan pelayanan

yang lebih maksimal bukan saja di awal tapi juga akhir setelah jemaat mengaku yakin dan

percaya kepada Yesus Kristus serta gereja belajar untuk memperbaiki kehadirannya ditengah

jemaat, sehingga kehadiran gereja mampu menjadi sahabat dalam kehidupan berjemaat. Melihat

fenomena ini penulis beranggapan GPIB akan terancam ditinggal oleh jemaat karena ada

umatnya yang melakukan konversi ke agama lain (Hindu dan Islam). Perlunya perbaikan model

pendekatan pastoral kepada jemaat yang bermasalah dan gereja harus tanggap terhadap jemaat

yang sedang mengalami persoalan hidup, baik persoalan ekonomi, pekerjaan dan jodoh. Karena

itu penelitian ini harus segera dilakukan agar gereja cepat mengambil tindakan dan

mempertahankan eksistensinya di dalam kehidupan jemaat.

1.3 SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan ini terdiri dari empat bagian, yaitu bagian pertama, pendahuluan

terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode

penelitian dan sistematika penulisan. Bagian kedua teori Brian Edgar. Bagian ketiga analisa

terhadap kehadiran Gereja di tengah keluarga korba konversi. Bagian keempat, tinjauan kritis.

Bagian kelima, penutup dan saran.

6

Page 17: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

BAGIAN II

LANDASAN TEORITIS

Dinamika dalam kehiduapan bergereja merupakan sebuah kewajaran jika gereja dan

kehidupan umat mengalami pertumbuhan maupun penurunan dalam hal iman. Peristiwa konversi

agama sendiri merupakan bagian dari dinamika hidupa bergereja. Ada yang melakukan konversi

keluar ada juga yang memilih untuk melakukan konversi ke dalam agama Kristen. Pada kajian

ini penulis akan berfokus pada peran gereja serta pendampingan yang diberikan gereja bagi umat

yang anggota keluarganya memilih melakukan konversi keluar. Oleh sebab itu, pada bagian ini

juga penulis ingin membahas lebih dalam lagi pengertian konversi agama, faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya konversi agama, dimensi dari komitmen agama baru serta bentuk

pelayanan Tuhan sebagai sahabat menurut Brian Edgar dalam bukunya “God is Friendship.”

Kehidupan sebuah masyarakat pada umumnya akan mengalami yang namanya

perubahan, baik hal yang negatif maupun positif. Menurut Soejono Soekanto, perubahan sosial

adalah sebagai bagian dari perubahan kebudayaan, hal demikian merupakan sesuatu yang wajar.

Salah satu perubahan yang terdapat dalam perubahan sosial itu adalah perubahan agama, dari

sistem keagamaan satu beralih atau berpindah ke sistem keagamaan yang lain.13

Dalam istilah

sosiologi hal ini disebut dengan konversi agama.

Menurut O’Dea kondisi kehidupan mempengaruhi kecenderungan agama manusia dan

kondisi kehidupan memiliki korelasi yang cukup berarti dengan fakta stratifikasi sosial di semua

masyarakat. Namun perkembangan ide, nilai dan praktek tertentu di suatu masyarakat dapat

mempengaruhi semua kelas, strata dan kelompok yang ada dalam masyarakat.14

Pendapat ini di

dukung oleh R. Strak dan C.Y. Glock, yang berpendapat bahwa ada lima dimensi dari komitmen

agama baru yaitu Iman, praktik agama menyangkut ritus dan penyembahan, pengalaman masa

lalu yang kelam, pengetahun tentang iman dan konsekuensi.15

Pada dasarnya konversi agama terjadi pada seseorang karena adanya kebutuhan-

kebutuhan hidup sebagai makhluk sosial atau dinamis tidak dapat terpenuhi secara wajar atau

13 Soejono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 341-342. 14 Thomas F. O’Dea, The Sociology of Religion, (Jakarta:CV Rajawali, 1987), 105-119. 15

R.Stark & C.Y.Glock, Dimensions of Religious Commitment dalam Roland Robertson, ( New York:Penguin, 1984), 253-261.

7

Page 18: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

tidak terjamin dengan layak. Di dalam suatu teori sosial dikatakan bahwa manusia adalah

makhluk hidup yang dinamis.16

Untuk memenuhi kebutuhannya maka seseorang harus

mengusahakannya dan belajar dari lingkungannya. Ketika kebutuhan tersebut tidak dapat

terpenuhi seseorang atau kelompok mungkin berpindah tempat hingga kebutuhannya dapat

terpenuhi. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, penulis

beranggapan perubahan sosial sangat mempengaruhi kenyamanan setiap individu dalam

menjalani hidup. Tidak kecuali dalam hidup sebuah persekutuan (Gereja). Oleh sebab itu,

penulis beranggapan gereja perlu hadir sebagai sahabat dalam pelayanan kepada para warga

jemaat.

Menurut Joas Adiprasetya, Allah dalam persekutuan memiliki karakter persahabatan

Ilahi. Berdasarkan hal tersebut Adiprasetya menawarkan persahabatan sebagai konsep bergereja

masa kini. Adiprasetya juga menyebutkan persahabatan Kristus melalui kesedian-Nya menjadi

sahabat bagi manusia. Ketika gereja mengakui dirinya segambar dan serupa dengan Allah, maka

gereja harus menjadi gereja yang memiliki persahabatan Ilahi.17

Menurut Jesse Rice dalam The

Church of Facebook, manusia menjadi koneksi (hubungan) sebagai sumber kebahagiaannya.18

Jika koneksi (hubungan) menjadi salah satu sumber kebahagiaan dari kehidupan manusia, maka

gereja perlu mempertimbangkan hal tersebut. Bukankah pada prinsipnya gereja adalah sebuah

persekutuan yang menghubungkan seorang dengan yang lain? Persekutuan ini yang berperan

penting dalam menciptakan atmosfer berjemaat yang menyenangkan dalam jalinan sebuah

persahabatan yang nyata dan berkualitas antar warganya sehingga dapat mempererat cinta kasih

yang ada di dalam relasi warga jemaatnya.

Alkitab menyajikan persahabatan dalam pandangan kekristenan. Ada kisah Rut dan

Naomi, serta Daud dan Yonathan dalam Perjanjian Lama.19

Paulus, dalam 2 Korintus 5:18-20,

menggunakan kata reconcile. Dalam bahasa Inggris, kata reconcile dapat diterjemahkan menjadi

“menggembalikan hubungan persahabatan”. Bagi Paulus reconciliation tidak hanya

melenyapkan penghalang hubungan manusia, tetapi sebagai proses menjadi sahabat. Konteks

ayat diatas, rekonsiliasi manusia dengan Tuhan tidak sekedar menyelesaikan masalah yang sudah

16 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 224-227. 17 Linna Gunawan, “Spiritualitas Gereja Persahabatan,”

http://www.academia.edu/23876926/SPIRITUALITAS_GEREJA_PERSAHABATAN, diunduh 14 Juli, 2016. 18 Jesse Rice, The Church of Facebook (Colorado: David C. Cook, 2009), 28. 19

Edgar, God is Friendship, 136. 8

Page 19: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

ada. Namun, rekonsiliasi memiliki dimensi yang lebih positif daripada pengampunan dosa.

Manusia mendapat kesempatan untuk membangun relasi baru layaknya sahabat dengan Tuhan.20

Penulis menggunakan pemikiran dari Brian Edgar untuk melihat dan menganalisis

kehadiran gereja sebagai sosok yang baru yang dapat hadir dalam kehidupan jemaat. Penulis

beranggapan bahwa pemikiran Brian Edgar tentang pencitraan akan hamba dalam sebuah

pelayanan dan persekutuan dalam gereja sulit untuk dihapuskan begitu saja. Bukanlah sebuah

perkara yang mudah menghapus citra hamba dan menggantinya dengan sebuah model yang baru

dalam dunia pelayanan karena hal ini sudah terjadi sejak zaman murid-murid Yesus melakukan

pelayanan. Oleh sebab itu, Edgar ingin mengkritik model pelayanan yang menekankan model

Tuhan dan hamba yang dikaitkannya dari pernyataan Yesus kepada murid-murid-Nya dalam

Yohanes 15:13-15. Berdasarkan pernyataan tersebut Edgar mencoba menawarkan sebuah bentuk

pendekatan pelayanan yang baru yaitu sebuah pendekatan persahabatan yang menjunjung tinggi

kesetaraan dalam cinta kasih keramahan. Keramahan merupakan bagian tak terpisahkan dari

ekspresi persahabatan. Edgar mengelaborasi lebih lanjut bahwa persahabatan dengan Kristus

merupakan bagian dari proses keselamatan. Gereja yang bersahabat memiliki beberapa nilai

spiritual diantaranya adalah terbuka, menerima, otentik, dan percaya.21

Jadi, siapa yang dapat menerima Firman maka ia juga menerima Tuhan sebagai sahabat

dan mau masuk dalam sebuah komunitas persahabatan di dalam Tuhan. Edgar memberikan

pemahaman bahwa persahabatan yang ditawarkan dalam komunitas Kristen berbeda dengan

persahabatan kontemporer. Pandangan Kristen akan persahabatan, ialah menuntut kesetaraan, hal

itu jauh lebih radikal yang dimana iman kepada Yesus Kristus menyediakan kesetaraan yang

diperlukan untuk sebuah persahabatan sejati.

20

Edgar, God is Friendship, 166. 21

Linna Gunawan, “Spiritualitas Gereja Persahabatan,” http://www.academia.edu/23876926/SPIRITUALITAS_GEREJA_PERSAHABATAN, diunduh 22 September 2016.

9

Page 20: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

BAGIAN III

HASIL PENELITIAN

Rangkaian pada bab ini mendiskripsikan data hasil penelitian, yang didapatkan melalui

penelitian lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan pendeta, majelis dan keluarga

yang anggotanya melakukan konversi. Adapun pada bagian ini berisi tentang gambaran umum

tempat penelitian, gambaran umum tentang kasus yang terjadi di dalam kehidupan keluarga,

tanggapan pendeta, keluarga, majelis dan jemaat akan konversi agama dan yang terakhir tentang

sikap yang dipilih gereja dan keluarga akan masalah konversi ini.

GPIB Eben Haezer Gianyar, Bali berdiri 16 November 1997. Hingga sekarang jemaat

gereja ini memiliki 116 kepala keluarga dengan jumlah anggota umat kira-kira 350 jemaat, 40

pemuda dan 20 remaja dan 40 anak-anak. Di dalam gereja ini banyak terdapat anggota gereja

yang berasal dari berbagai daerah seperti Kupang, Ambon, Manado, Medan, Cina, Poso, Jawa,

Toraja, Palembang, Sumba dan yang menjadi mayoritas adalah orang Bali yang masuk ke agama

Kristen entah karena menikah maupun panggilan untuk menjadi orang Kristen. Terjadinya

konversi di tengah-tengah kehidupan umat dalam gereja ini mungkin saja karena keberadaan

orang Kristen yang menjadi minoritas di Bali, sehingga munculnya permasalahan baru yakni

sulitnya mencari pasangan yang seiman dalam kehidupan para pemuda gereja ini. Hal ini terbukti

dari berkurangnya jumlah pemuda GPIB Eben Haezer Gianyar karena menikah dan melakukan

konversi agama. Dari data yang diperoleh, penulis memfokuskan penelitian hanya pada tujuh

kepala keluarga saja yang anggota keluarganya melakukan konversi.

Berbicara tentang pernikahan maka tidak dapat dipungkiri peluang seseorang melakukan

konversi akan semakin besar. Terlebih hal ini dilihat dalam konteks budaya Bali yang begitu

kental yang dimana juga orang Kristen hadir sebagai kaum minoritas. Oleh sebab itu, pada

bagian ketiga ini penulis ingin mendeskripsikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di

GPIB Eben Haezer Gianyar, Bali yang telah dilakukan oleh beberapa anggotanya berdasarkan

hasil wawancara.

10

Page 21: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

Hasil wawancara dengan pendeta jemaat, menurut kacamata ketua majelis jenaat warga

yang melakukan konversi di sini adalah hal biasa karena sudah umum. Gereja tidak dapat

membuat program untuk mengantisipasi berkurangnya konversi yang terjadi karena bagi pendeta

hal ini terlalu luas untuk dijangkau. Kalau pun gereja bisa mengantisipasi peristiwa konversi ini

semua harus sesuai dengan permintaan umat dan menyesuaikan kebutuhan. Pendeta berpendapat

hal ini harus kembali kepada pribadi masing-masing dalam hal memilih pergaulan dan

mengambil sebuah keputusan. Pendeta juga tidak bisa mengambil keputusan sendiri untuk

langsung menghukum jemaat, karena pindah agama bersifat pribadi. Jika alasan mereka konversi

karena faktor hamil, maka gereja tidak dapat berbuat apa-apa kalau pasangannya yang diminta

untuk masuk Kristen menurut pendeta sama-sama menjadi korban.

Bagi pendeta konversi agama terjadi karena cinta dan pergaulan, menurut pendeta

harusnya umat dapat membatasi diri dalam pergaulan jika sudah mengetahui pergaulan yang

dipilih itu salah, terlalu luas dan merugikan sebaiknya membatasi diri. Pendeta setuju bahwa

peristiwa ini terjadi karena cinta dan pergaulan yang bebas, entah karena cinta yang tulus atau

karena nafsu. Selain hal itu, pendeta sendiri enggan untuk mengurus lebih lagi, karena menurut

pendeta umat yang memilih melakukan konversi adalah umat yang sudah dewasa. Ketika

dipertanyakan tentang program apa yang akan dibuat untuk mengantisipasi agar konversi agama

tidak bertambah banyak lagi? Pendeta menjawab “Bisa saja membuat program asal ada uangnya

dan untuk membuat program harus melihat setiap kebutuhan dalam jemaat karena tidak mungkin

muncul dari atas harus dari bawah harus dari usulan jemaat tidak dari atas dan hal ini juga masih

dalam pergumulan GPIB, tapi pendeta tidak bisa memberlakukan hal itu di gereja karena pendeta

ikut pimpinan sadar diri bahwa pendeta bawahan. Pendeta dan gereja tidak akan membuat

pendekatan kalau jemaat tidak datang dan menceritakan apa yang dialami kepada pendeta dan

gereja karena takut dipikir ikut mengurus kehidupan pribadi orang. Seandainya ada umat yang

datang pendeta akan membicarakan dengan majelis dan rekan kerja dalam gereja. Pendeta

meminta saran dari yang lain (relasi).”22

Hasil wawancara dengan majelis “FJ”, majelis ini sudah lama menjadi bagian dari gereja

Eben Haezer, beliau memiliki dua orang anak dan keluarga yang aktif dalam pelayanan dan

kegiatan-kegiatan gereja. Menurut majelis ini ada sekitar sepuluh hingga lima belas umat yang

22 Wawancara Pendeta, “ HS”, 18 Agustus 2016. 11

Page 22: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

anggota keluarganya melakukan konversi agama ke agama Hindu dan Islam selama sepuluh

tahun belakangan itu. Bagi majelis jemaat FJ semua dilakukan secara sadar dan setelah mengaku

percaya (sidi). Hal ini dapat terjadi karena faktor persahabatan, ikut acara-acara dari pacar, umur

yang sudah tua, teknologi, peran dan didikan orang tua, pergaulan, cinta, keberadaan sebagai

kaum minoritas, kurangnya melibatkan diri dalam pelayanan gereja dan pengaruh orang-orang

tertentu. FJ menjelaskan bahwa “perasaan masing-masing keluarga tentunya berbeda-beda, ada

yang biasa saja karena menganggap anak sudah besar dan berhak untuk memilih jalan hidupnya

sendiri dan ada juga yang marah hingga tidak mau mengenal anaknya, semua dapat dibedakan

menurut jangka waktu kapan terjadinya peristiwa konversi.” Bagi FJ sendiri belum ada program

yang dibuat untuk menjangkau kehidupan keluarga yang ditinggalkan konversi oleh anggota

keluarganya da nada baiknya jika program itu dapat dibuat seperti memasukan materi pastoral

pernikahan dalam proses pembinaan katekisasi.”23

Hasil wawancara dengan majelis NS merupakan warga jemaat yang aktif dalam

pelayanan di gereja bersama dengan keluarga. Menurut NS, “baik adanya jika gereja membuat

progam untuk mengatasi atau mengantisipasi agar tidak lebih banyak lagi umat yang melakukan

konversi karena sampai sekarang belum ada yang memberikan perhatian bagi mereka yang

ditinggalkan konversi agama. Hal ini disebabkan kurangnya keterbukaan dan takut untuk

mengungkapkan mana yang benar dan mana yang salah. Faktor yang mempengaruhi adalah

cinta, kegantengan, uang, status sosial yang dapat menarik orang pergi atau konversi.”24

Model keluarga yang pertama, ada keluarga yang berasal dari suku campuran, sebut saja

keluarga ini SU. Suaminya merupakan orang jawa dengan agama Islam sedangkan istrinya orang

Kupang yang tentunya beragama Kristen. Sang istri merupakan jemaat yang aktif di gereja, ia

merupakan salah seorang pengajar anak teruna di gereja, mereka memiliki tiga orang anak, dua

laki-laki dan satu perempuan. Di awal pernikahan sang suami mengikuti keyakinan istri dan

masuk Kristen sehingga ketiga anak-anak mereka juga tumbuh menjadi anak-anak Kristen. Tapi,

di tengah perjalanan rumah tangga mereka sang suami kembali dengan imannya yang lama

dengan alasan yang tidak diberitahukan. Hingga pada akhirnya sang suami mau kembali

mengikut Yesus hingga saat ini. Ketika istri sudah merasa bersyukur dengan pilihan suami yang

23 “FN”, wawancara Majelis , Gianyar, 18 Agustus 2016. 24 “ NS”, wawancara umat wawancara Umat, Gianyar, 22 Agustus 2016. 12

Page 23: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

ingin kembali, pasangan ini diperhadapkan kepada kenyataan yang cukup mengejutkan yang

dimana anak perempuan satu-satunya memutuskan menikah dan masuk agama Hindu.

Keputusan yang diambil oleh anak ini, tentu dengan banyak pertimbangan. Mungkin saja anak

perempuan dari keluarga ini merasa kehadiran gereja yang kurang menjawab kebutuhannya

sebagai umat yang telah mengaku dan percaya kepada Kristus, tidak ada pendampingan iman

lebih lanjut atau mungkin saja gereja tidak menciptakan keramahtamahan dalam membangun

relasi dengan umat. Keputusan ini tentunya membuat sedih banyak pihak, selain keluarga dan

kerabat tentunya gereja juga menyayangkan keputusan yang diambilnya. Hasil wawancara yang

diperoleh penulis dari keluarga yang pertama ialah bahwa keputusan sang anak melakukan

konversi agama adalah murni kesalahan dari kedua orang tua yang gagal mendidik dan

memupuk iman anak. Namun, di sisi yang lain sang ibu berpikir bahwa yang terjadi pada

anaknya adalah karena hak asasi yang dimiliki sang anak untuk menentukan keyakinan mana

yang akan dianut. Bagi sang ibu, orang tua tidak bisa melarang anaknya untuk melakukan

konversi, karena setelah seorang anak mengaku percaya (sidi) maka hal itu bukanlah tanggung

jawab orang tua lagi. Bagi keluarga ini, faktor yang mempengaruhi anaknya melakukan konversi

adalah faktor cinta, pergaulan, keberadaan sebagai kaum minoritas dalam lingkungan, serta

kurangnya pelayanan gereja yang bersifat merangkul (hal ini tidak membuat keluarga

menyalahkan gereja. Bagi keluarga pelayanan gereja sudah baik hanya saja kurang bersahabat).

Kejadian ini tidak membuat keluarga menarik diri dari persekutuan dan pergaulan di luar

maupun di dalam gereja karena bagi keluarga mereka tidak menjadi korban dan tidak dirugikan

atas pilihan anaknya, justru membuat sang ibu semakin bertekun dalam iman dan selalu berdoa

agar anaknya bahagia dengan pilihan yang diambil sang anak. Keluarga ini juga mengaku bahwa

sikap gereja maupun lingkungan sekitar tidak berubah, sehingga keluarga tidak mendapatkan

tuduhan atau disudutkan atas konversi yang dilakukan sang anak.25

Model keluarga yang kedua, datang dari keluarga kecil yang memiliki tiga orang anak.

Satu perempuan dan dua laki-laki. Sang suami berasal dari Alor dan istri orang Bali yang

dulunya Hindu tetapi setelah menikah melakukan konversi ke Kristen. Keluarga ini adalah

keluarga yang biasa-biasa saja. Sang suami dulunya bekerja sebagai TNI-AD sedangkan sang

istri adalah ibu rumah tangga. Keputusan sang anak untuk menikah dan melakukan konversi

25 “ SU”, Wawancara Umat, Gianyar, 18 Agustus 2016.

13

Page 24: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

agama kurang lebih lima tahun yang lalu. Menurut hasil wawancara dengan ibunya, dulu

sebelum anak ini memutuskan untuk mengikuti katekisasi pernah ditanya apa benar mau ikut

katekisasi dan mengaku percaya dihadapan Tuhan dengan jemaatNya. Pada akhirnya sang anak

pun mengikuti katekisasi kurang lebih satu tahun dan mengaku percaya. Tapi, beberapa waktu

setelah mengaku percaya sang anak memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya yang

merupakan orang Bali dan tentunya beragama Hindu. Hasil wawancara dari keluarga yang

kedua, keluarga terutama sang ibu merasa kehilangan, kecewa dan sedih atas pilihan yang

diambil oleh sang anak karena harus menikah dengan orang yang tidak seiman. Walaupun

dulunya sang ibu adalah orang Bali beragama Hindu tapi baginya ia telah diselamatkan oleh

Tuhan Yesus. Hal yang membuat ibu ini kecewa adalah prilaku sang anak yang memutuskan

untuk konversi setelah mengaku percaya kepada Tuhan dihadapan jemaat, sehingga hal yang

membuat diri ibu ini sedih ialah rasa kehilangan. Beliau merasa kehilangan anaknya dalam hal

kebersamaan iman, sedih karena sang ibu merasa ia telah masuk dalam keselamatan yang

diberikan Tuhan tapi pada akhirnya sang anak harus keluar. Keluarga ini melihat faktor yang

mempengaruhi anaknya hingga melakukan konversi agama ialah cinta dan pergaulan. Ketika

ditanya tentang pelayanan gereja, sang ibu menjawab tidak ada pelayanan yang diberikan gereja.

Keluarga tidak mendapatkan pelayanan khusus, seperti penguatan dan penghiburan ketika sang

anak memilih melakukan konversi agama, hal yang disyukuri oleh keluarga ini sikap jemaat

tidak berubah dan keluarga sendiri tidak menarik diri dari persukutuan karena bagi keluarga

terlebih sang ibu dengan peristiwa ini membuat dirinya dan keluarganya semakin dekat dengan

Tuhan.26

Model keluarga yang ketiga, datang dari keluarga besar yang aktif dalam pelayanan di

gereja. Keluarga ini merupakan salah satu keluarga yang terlibat dalam proses pembangunan

gereja dari hanya sebagai pos pelayanan dan kesaksian hingga menjadi sebuah gereja induk dan

memiliki Pos Pelayanan dan Kesaksian. Keluarga ini memiliki empat orang anak, tiga laki-laki

dan satu perempuan. Dari anak pertama hingga yang ketiga selalu aktif dalam pelayanan di

gereja, dulu anak yang keempat juga aktif dalam pelayanan di gereja. Namun, karena menikah

maka anak laki-laki yang keempat ini melakukan konversi hingga saat ini. Hasil wawancara dari

keluarga ketiga, menurut hasil wawancara dengan ibunya penulis mendapatkan sesuatu yang

26 “ FB”, Wawancara Pendeta, Gianyar, 23 Agustus 2016.

14

Page 25: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

berbeda. Anak laki-laki terakhir dari keluarga ini yang melakukan konversi masih tetap terdaftar

sebagai warga gereja. Namun sebelumnya, anak laki-laki dari keluarga ini adalah pribadi yang

aktif dalam kegiatan gereja, tapi karena cinta maka ia memutuskan untuk melakukan konversi

dan mengikuti keyakinan sang istri. Menurut cerita dari ibunya, kasus ini sempat dilaporkan ke

polisi tapi karena umur dari anak ini sudah berhak untuk memilih keyakinannya sendiri maka

pihak keluarga kalah. Keluarga memiliki kecurigaan bahwa keputusan yang diambil sang anak

dipengaruhi oleh kuasa atau kekuatan lain. Ketika ditanyakan tentang perasaan, maka sang ibu

menjawab “ada perasaan jengkel, marah, sakit hati, kasian dengan anak, kecewa dengan anak

terutama dengan gereja.” Kekecewaan yang dirasakan karena tidak ada pelayanan khusus yang

diberikan gereja, hanya suatu tindakan nyata seperti penguatan dalam doa yang dilakukan oleh

seorang pendeta dan beberapa majelis saat itu. Sikap gereja terlebih jemaat saat itu tidak ada

yang menjauhi keluarga ini karena jemaat merasa kasihan dengan keluarga yang ditinggalkan

dan keluarga ini juga tidak memilih sikap menarik diri dari lingkungan gereja karena bagi

keluarga semua yang terjadi sudah rencana Tuhan dan biarkan Tuhan yang atur. Sikap

lingkungan disekitar keluarga maupun lingkungan keluarga yang lebih luas tidak

mempermasalahkan hal ini, bahkan mendukung dengan keputusan yang diambil sang anak

karena melihat sebelumnya sang ibu beragama Hindu kemudian karena menikah melakukan

konversi. Dengan kata lain lingkungan mengatakan hal ini wajar karena membayar atau

menggantikan sang ibu yang dulunya berpindah.27

Model keluarga yang keempat, keluarga ini memiliki empat orang anak, tiga perempuan

dan satu laki-laki. Anggota yang melakukan konversi agama dari keluarga ini adalah anak

perempuan yang pertama, yang dimana anak perempuan dari keluarga ini menikah dan masuk

agama Hindu. Hasil wawancara dengan keluarga yang keempat, keluarga ini membenarkan

bahwa memang benar ada anggota keluarganya melakukan konversi agama. Menurut cerita sang

ibu segala cara telah dilakukan untuk mempertahankan anaknya agar tetap mengikut Kristus.

Awalnya sang ibu beradu pendapat dengan sang anak, sang ibu mengingatkan anaknya jika ia

sudah diteguhkkan sebagai anggota sidi sehingga tidak boleh pindah agama karena hal itu

dianggap dosa tetapi sang anak tetap pada pendiriannya untuk tetap melakukan konversi dengan

pernyataan “biar semua dosa saya yang tanggung, tidak akan saya bagi dosanya dan tidak akan

27 “ PP”, Wawancara Umat, Gianyar, 21 Agustus 2016.

15

Page 26: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

ada yang wakilkan. Nanti saya yang berhadapan dengan Tuhan.” Mendengar semua itu sang ibu

sedih dan sempat menyuruh pembantunya untuk membeli racun serangga dengan maksud ingin

bunuh diri tapi hal itu gagal karena diketahuan oleh pembantu yang lain. Akhirnya orang tua

menyetujui keputusan anaknya untuk menikah dan pindah agama mengikuti suaminya. Orang tua

yang diwawancara oleh penulis mengaku pada saat itu tidak ada pelayanan khusus yang

diberikan gereja untuk menghibur atau memberikan penguatan pada keluarga. Namun, hal itu

tidak menjadikan keluarga menyalahkan gereja atas pilihan yang diambil oleh sang anak, karena

orang tua dan keluarga sadar bahwa tidak ada yang salah semua karena faktor cinta, pergaulan

dan keberadaan mereka sebagai kaum minoritas di Bali yang menyebabkan anak mereka

melakukan konversi agama.28

Model keluarga yang kelima, keluarga ini memiliki dua orang anak, satu laki-laki dan

satu perempuan. Anggota keluarga yang melakukan konversi ialah anak perempuan yang dimana

anak kedua dari keluarga ini menikah dengan laki-laki jawa yang beragama Islam yang tentunya

membuat anak perempuan dari keluarga ini melakukan konversi. Hasil wawancara dengan

keluarga yang kelima, ketika ditanya tentang ada atau tidak anggota keluarga yang melakukan

konversi keluarga ini yang diwakili oleh sang ibu sangat terbuka dan mengaku bahwa memang

benar salah seorang dari kedua anaknya melakukan konversi yaitu anak perempuannya yang

melakukan konversi karena menikah. Sang ibu juga menjelaskan kepada penulis bahwa segala

upaya dilakukan untuk menyadarkan anaknya hanya saja sang anak tetap pada pendiriannya

untuk tetap menikah dan melakukan konversi. Saat itulah kekecewaan, marah dan rasa malu

dialami oleh keluarga ini karena sang anak telah mengaku percaya (sidi). Menurut cerita dari

keluarga yang pada saat itu diwakili oleh ibunya, mengaku bahwa pada saat itu gereja tidak

memberikan pelayanan khusus kepada gereja yang ditinggalkan, tidak adanya penguatan yang

diberikan. Keluarga tidak menyalahkan gereja atas semua ini, hanya saja keluarga merasa gereja

kurang memberikan pelayanan yang merangkul seluruh lapisan. Keluarga sendiri menyadari

bahwa faktor yang menyebabkan anaknya memilih melakukan konversi agama karena cinta,

pergaulan dan lingkungan. Menurut keluarga ketika faktor cinta yang membuat anggota

keluarganya pindah agama maka keluarga yang lain tidak bisa memaksakan untuk anggotanya

itu untuk tetap tinggal dan percaya. Bagi keluarga ini, perasaan tidak dapat dibohongi dan

28 “ MM”, Wawancara Umat, Gianyar, 23 Agustus 2016.

16

Page 27: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

masalah kepercayaan bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan. Sikap yang dipilih oleh keluarga

ini ketika anggota keluarganya ada yang melakukan konversi, keluarga ini tetap bertekun dalam

doa dan semakin dekat dengan Tuhan. Mereka tetap pergi ke gereja, beribadah tanpa

memperdulikan tanggapan orang atas diri mereka.29

Model keluarga yang keenam, keluarga ini memiliki dua orang anak perempuan dan

kedua anak dari keluarga ini melakukan konversi agama karena menikah. Anak yang pertama

melakukan konversi agama ke agama Islam dan anak yang kedua konversi ke agama Hindu.

Hasil wawancara dengan keluarga yang keenam, keluarga sendiri mengakui bahwa terjadinya

konversi agama yang dilakukan oleh anggota keluarganya terjadi karena kesalahan orang tua

dalam hal mendidik anak-anak mereka, seperti kurangnya ketegasan dalam mendidik anak.

Faktor yang lain ialah karena cinta dan pergaulan. Pada saat itu perasaan keluarga marah, malu,

sedih, kecewa dan pada saat itu juga keluarga tidak mendapatkan pelayanan khusus dari gereja.

Walaupun demikian keluarga ini mengambil sikap untuk tetap aktif dalam gereja, selalu meminta

maaf kepada Tuhan dan semakin bertekun dalam doa agar anaknya disadarkan dan bisa kembali

mengikut Kristus.30

Model keluarga yang ketujuh, keluarga ini memiliki lima orang anak, dua perempuan dan

tiga laki-laki. Anggota keluarga yang melakukan konversi adalah kedua anak perempuan dari

keluarga ini. Kedua anak perempuan ini melakukan konversi ke agama Hindu dikarenakan

menikah. Menurut hasil wawancara dengan yang ketujuh, keluarga dan orang tua mengakui

bahwa emang benar ada dua anggota keluarganya melakukan konversi. Orang tuanya

mengatakan hal ini disebabkan karena cinta, pergaulan dan sekolah yang jauh dari orang tua.

Ketika dipertanyakan perihal perasaan orang tua dari kedua anak yang melakukan konversi ini

mengaku awalnya sempat marah, kesal, malu dn kecewa. Namun, seiring berjalannya waktu

semua bisa diterima dan sekarang keluarga merasa biasa saja. Keluarga mengakui bahwa pada

saat anggota keluarganya melakukan konversi, keluarga tidak mendapatkan pelayanan khusus

dari gereja. Keluarga mengaku bahwa hal itu dapat dimaklumi karena pada saat itu keadaan

gereja belum baik, gereja masih kecil dan masih sedikit jemaatnya. Walaupun demikian,

29 “ LK”, Wawancara Umat, Gianyar, 23 Agustus 2016. 30 “ YH”, Wawancara Umat, Gianyar, 18 Agustus 2016.

17

Page 28: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

keluarga ini memilih untuk tetap aktif pelayanan hingga kini walaupun anggota keluarga mereka

melakukan konversi agama.31

31 Wawancara Umat, “ KG”, 23 Agustus 2016. 18

Page 29: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

Berikut adalah tabel persamaan dan perbedaan:

NO KELUARGA PERSAMAAN PERBEDAAN SIKAP MASYARAKAT SIKAP GEREJA

1. “SU” - Memiliki anak

yang melakukan

konversi agama.

- Memiliki

perasaan

kecewa.

- Tidak menarik

diri dari

persukutuan dan

pelayanan di

gereja.

- Faktor yang

mempengaruhi :

cinta, pergaulan,

dan keberadaan

sebagai kaum

minoritas.

- Tidak

mendapatkan

pelayanan

- Menganggap

konversi menjadi

suatu yang biasa.

- Menganggap

anak sudah besar

dan bisa

menentukan

pilihan hidupnya

sendiri.

- Menganggap

setelah anak

mengaku percaya

(sidi) bukan

tanggung jawab

orang tua lagi.

- Sikap

masyarakat

biasa saja

karena

lingkungan

tempat dimana

keluarga ini

tinggal tetangga

atau

masyarakatnya

sedikit dan

memiliki

kesibukan

masing-masing.

- Biasa saja, namun

dalam proses

pertemuan antar

keluarga ada

majelis jemaat

yang diminta

untuk menjadi

pembicara untuk

mewakili orang

tua dan keluarga.

Page 30: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

khusus setelah

ditinggalkan

konversi oleh

sang anak.

2. “FB” - Memiliki anak

yang melakukan

konversi agama.

- Memiliki

perasaan

kecewa.

- Tidak menarik

diri dari

persukutuan dan

pelayanan di

gereja.

- Faktor yang

mempengaruhi :

cinta, pergaulan,

dan keberadaan

sebagai kaum

minoritas.

- Tidak

- Merasa

kehilangan anak

dalam

kebersamaan

iman.

- Menganggap

semua ini karena

sudah waktunya

dan sudah jodoh

sang anak.

- Kurang begitu

aktif dalam

pelayanan

khusus, seperti

menjadi majelis

atau tim pengajar.

- Untuk sikap

masyarakat

dalam konteks

kehidupan

keluarga ini sulit

untuk

digambarkan

karena keluarga

ini berpindah-

pindah.

- Gereja melakukan

perkunjungan

kepada keluarga.

Page 31: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

mendapatkan

pelayanan

khusus setelah

ditinggalkan

konversi oleh

sang anak.

3. “PP” - Memiliki anak

yang melakukan

konversi agama.

- Memiliki

perasaan

kecewa.

- Tidak menarik

diri dari

persukutuan dan

pelayanan di

gereja.

- Faktor yang

mempengaruhi :

cinta, pergaulan,

dan keberadaan

- Mendapatkan

pelayanan dari

pendeta dan

majelis.

- Pendeta dan

majelis

membantu

mengurus

permasalahan.

- Aktif terlibat

dalam pelayanan

maupun

organisasi gereja.

- Yang melakukan

konversi adalah

- Sikap

masyarakat

sekitar

menunjukan

sikap

mendukung

akan keputusan

yang dipilih

sang anak,

karena

masyarakat

menganggap hal

itu wajar-wajar

saja sebagai

bentuk

- Pada waktu itu

gereja membantu

pihak keluarga

untuk menarik

anaknya agar

tetap mengikut

Kristen. Bahkan

ketika

permasalahan ini

dilaporkan pada

kantor polisi

gereja tetap

membantu.

- Gereja

memberikan

Page 32: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

sebagai kaum

minoritas.

anak laki-laki.

- Sang anak masih

terdaftar sebagai

warga gereja.

- Berjuang untuk

mempertahankan

iman anak agar

tetap mengikut

Kristus.

“pembayaran”

karena sang ibu

dulunya juga

melakukan

konversi agama.

pelayanan dalam

bentuk

perkunjungan.

4. “MM” - Memiliki anak

yang melakukan

konversi agama.

- Memiliki

perasaan

kecewa.

- Tidak menarik

diri dari

persukutuan dan

pelayanan di

gereja.

- Faktor yang

mempengaruhi :

- Sang ibu sempat

memiliki

keinginan untuk

bunuh diri.

- Sang anak yang

melakukan

konversi dulunya

adalah ketua

pengurus gerakan

pemuda di gereja.

- Sikap

masyarakat

biasa saja

- Gereja pada saat

itu tidak

melakukan

pelayanan khusus

hanya saja

beberapa umat

yang lain

menasehatkan

sang anak untuk

meyakini apa

yang menjadi

pilihannya saat

itu.

Page 33: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

cinta, pergaulan,

dan keberadaan

sebagai kaum

minoritas.

- Tidak

mendapatkan

pelayanan

khusus setelah

ditinggalkan

konversi oleh

sang anak.

5. “LK” - Memiliki anak

yang melakukan

konversi agama.

- Memiliki

perasaan

kecewa.

- Tidak menarik

diri dari

persukutuan dan

pelayanan di

gereja.

- Sang anak

konversi ke

agama Islam.

- Dalam peristiwa

yang dialami

oleh keluarga ini

masyarakat

memilih untuk

bersikap biasa

saja.

- Gereja tidak

melakukan

pelayanan khusus

pada pihak

keluarga dan

dapat

disimpulkan

gereja bersikap

menutup diri.

Page 34: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

- Faktor yang

mempengaruhi :

cinta, pergaulan,

dan keberadaan

sebagai kaum

minoritas.

- Tidak

mendapatkan

pelayanan

khusus setelah

ditinggalkan

konversi oleh

sang anak.

6. “YH” - Memiliki anak

yang melakukan

konversi agama.

- Memiliki

perasaan

kecewa.

- Tidak menarik

diri dari

persukutuan dan

- Dua orang anak

yang melakukan

konversi.

- Sang anak

memaksakan

hingga pernah

bunuh diri.

- Sikap

masyarakat

yang diterima

keluarga ini, ada

yang biasa saja.

Namun, ada

pula yang

mendukung

pilihan sang

- Gereja tidak

memberikan

penguatan dalam

bentuk pelayanan

dalam keluarga

ini.

Page 35: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

pelayanan di

gereja.

- Faktor yang

mempengaruhi :

cinta, pergaulan,

dan keberadaan

sebagai kaum

minoritas.

- Tidak

mendapatkan

pelayanan

khusus setelah

ditinggalkan

konversi oleh

sang anak.

anak.

7. “KG” - Memiliki anak

yang melakukan

konversi agama.

- Memiliki

perasaan

kecewa.

- Tidak menarik

- Kedua anak

perempuan

keluarga ini

melakukan

konversi.

- Keluarga yang

aktif dan terlibat

- Tidak ada sikap

masyarakat

yang khusu,

melainkan

menganggap hal

ini sebagai hal

yang biasa saja.

- Sikap gereja biasa

saja, tidak adanya

pelayanan pada

saat itu. Hal ini

dilihat oleh

keluarga karena

keadaan gereja

Page 36: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

diri dari

persukutuan dan

pelayanan di

gereja.

- Faktor yang

mempengaruhi :

cinta, pergaulan,

dan keberadaan

sebagai kaum

minoritas.

- Tidak

mendapatkan

pelayanan

khusus setelah

ditinggalkan

konversi oleh

sang anak.

dalam organisasi

gereja.

yang masih kecil

dan belum

berkembang.

25

Page 37: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

BAGIAN IV

ANALISIS

Pada bagian ini penulis mencoba menganalisis dinamika kehidupan umat dalam

bergereja berdasarkan hasil penelitian yang di dapat dan melihat peristiwa yang terjadi dengan

menggunakan beberapa teori yang dipaparkan dalam Bab II terlebih melihat kehadiran gereja

sebagai sahabat dengan menggunakan perspektif dari Brian Edgar. Ketika membicarakan tentang

dinamika kehidupan bergereja maka kita akan berhadapan dengan perihal melayani dan dilayani

yang sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan gereja. Ajaran dan

teladan Tuhan Yesus yang ditemukan dalam Injil, disebut menjadi akar pelayanan gereja. Injil

Markus 10:35-45 dan Yohanes 13:1-20 menjadi dua contoh perikop yang memberi pengajaran

tentang sebuah pelayanan bagi setiap orang yang ingin menjadi lebih besar dari yang lainnya,

termasuk mereka yang ingin menjadi pemimpin yang bersedia memberi dirinya menjadi pelayan

bagi orang lain (pemimpin yang melayani).

Berbeda dengan ajaran dan teladan yang diberikan oleh Tuhan Yesus dalam Injil Markus

dan Yohanes yang menekankan tentang pemberian diri dalam wujud pelayanan bagi orang lain,

Brian Edgar berpendapat bahwa kehidupan gereja mula-mula yang memberi diri untuk sesama

dilihatnya dari konteks Injil Lukas. Bagi penulis sendiri, bukan perkara yang mudah bagi

seseorang yang memberikan dirinya untuk melayani orang lain. Hal ini dapat saja terjadi ketika

seseorang yang ingin melayani orang lain sudah memiliki kerendahan hati, kasih dan memiliki

jiwa persahabatan yang senantiasa menggambarkan cinta kasih. Hal ini juga sesuai dengan

pendapat dari Brian Edgar. Menurut Edgar siapa yang dapat menerima Firman maka ia juga

menerima Tuhan sebagai sahabat dan mau masuk dalam sebuah komunitas persahabatan di

dalam Tuhan. Persahabatan yang dibahas oleh Edgar dilihat dari konteks Injil Lukas yang

menggambarkan tentang kehidupan gereja mula-mula yang memahami bahwa persahabatan

kekristenan membentuk masyarakat.

26

Page 38: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

Menurut Edgar hanya sebuah relasi persahabatan dapat dipandang sebagai dasar

terbentuknya komunitas Kristen. Gagasan tentang persahabatan yang ditawarkan Brian Edgar

adalah sebuah gagasan yang mencerminkan kehadiran Allah dalam karyaNya yang

menyetarakan semua orang yang mau menerima Firman dan masuk dalam komunitas

persahabatan Kristiani.32

Ketika Allah yang telah berinkarnasi dalam diri Yesus mampu menjadi

sahabat, maka gereja harus mampu ramah terhadap umatnya. Edgar menawarkan bagaimana

gereja memposisikan diri di tengah kehidupan umat yaitu dengan menjadi gereja yang ramah

untuk semua umat dan membangun suasana terbuka dan hangat sehingga umat mampu

merasakan pentingnya gereja dalam kehidupannya. Penulis melihat hal ini bukan saja harus

dilakukan oleh Pendeta dan majelis jemaat melainkan semua yang mengambil bagian menjadi

anggota jemaat GPIB Eben Haezer, Gianyar Bali. Membahas tentang komunitas persahabatan

jangan hanya puas dengan keramahan, tetapi harus melibatkan dan mengenali pentingnya

persahabatan dan membuka kesempatan untuk orang lain bersama-sama bertumbuh dalam

persahabatan yang lebih dalam.

Berdasarkan hal ini dan melihat hasil penelitian yang di dapat dari Pendeta, anggota

jemaat dan tujuh keluarga yang diwawancarai di GPIB Eben Haezer, Gianyar Bali. Penulis

melihat bahwa gereja belum menyadari dan melihat kebutuhan umat yang ditinggalkan konversi

oleh anggota keluarganya. Hal ini terbukti dari pendapat pendeta bahwa gereja tidak bisa begitu

saja membuat program jika tidak ada dana dan permintaan dari umat. Gereja harus menunggu

laporan dan melihat apa yang dibutuhkan jemaat dalam mendukung pertumbuhan imannya,

dengan kata lain menurut penulis dalam membuat program gereja selalu terpaku kepada dana

dan permintaan umat atau dengan kata lain gereja selalu melihat konteks kehidupan umat. Hal ini

baik adanya, namun pelayanan dapat berjalan jika ada kemauan yang dupupuk dari pendeta

sekaligus pemimpin yang dapat mengarahkan majelis dan umat. Berdasarkan pendapat itu

penulis mencoba menerka mungkin saja setiap program di masing-masing gereja GPIB berbeda

karena model kepemimpinan dan pelayanan Pendeta dan majelis di tiap-tiap gereja berbeda.

Menurut “NS” yang merupakan majelis, ia berpendapat bahwa peristiwa konversi agama

di gereja ini harus dilihat secara serius. Gereja tidak perlu menunggu permintaan jemaat, tapi

bagaimana gereja hadir untuk mensosialisasikan secara bersama program apa yang diperlukan

32

Brian Edgar, God is Friendship, A Theology of Spirituality, Community, and Society (Kentucky: Seedbed Publishing, 2013), 143.

27

Page 39: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

umat, dalam hal ini “NS” melihat bukan karena umat tidak mau melaporkan apa yang menjadi

kebutuhannya melainkan belum memiliki ide untuk membuat program yang mengantisipasi agar

berkurangnya peristiwa konversi dalam kehidupan umat. Penulis melihat bahwa gereja harus

melibatkan umat dalam proses pembentukan suatu program dengan begitu umat juga merasakan

bahwa gereja terbuka dan menerima usulan umat. Hal lain yang ditemukan ialah perbedaan sikap

gereja, seperti sikap dan penanganan yang gereja berikan bagi keluarga “PP” berbeda dengan

yang diterima keenam keluarga yang lainnya. Hal ini menurut penulis dipengaruhi oleh sistem

pergantian pemimpin gereja. Penulis melihat ketika pemimpin diganti maka setiap program dan

bentuk pelayanan pun berubah. Perbedaan ini terjadi dikarenakan peristiwa konversi yang

dilakukan oleh ketujuh anggota keluarga yang telah diwawancarai terjadi dalam kurun waktu

yang berbeda yang juga terjadi pada masa kepemimpinan Pendeta yang berbeda. Selain itu

penulis menemukan pendapat dari beberapa keluarga maupun jemaat bahwa adanya umat yang

melakukan konversi merupakan suatu hal yang biasa karena menganggap anak sudah besar dan

bukan tanggung jawab orang tua lagi untuk memelihara iman anak. Hal ini berbanding terbaling

dengan apa yang penulis dapatkan waktu pembelajaran katekisasi, yang dimana waktu itu “FN”

mengatakan bahwa “tugas orang tua Kristen ialah mengantarkan dan ikut memelihara iman

anaknya dari bayi hingga ia mampu menemukan pasangan hidupnya.” Mendengar pendapat dari

beberapa anggota keluarga tersebut, penulis beranggapan bahwa adanya kebebasan yang

diberikan. Hal ini juga yang membuat penulis berpendapat memang benar bahwa pola asuh

orang tua juga menjadi faktor terpenting untuk pertumbuhan anak terlebih dalam hal iman.

Berbeda dengan pendapat beberapa keluarga yang dikemukakan diatas dalam wawancara

penulis menemukan pendapat dan sikap keluarga yang lain. Ada keluarga yang merasa malu,

kehilangan anak dalam hal kebersamaan iman, menyalahkan diri sendiri hingga memilih untuk

melakukan bunuh diri. Melihat dan mendengar kenyataan ini penulis berpendapat hal ini dapat

terjadi karena anggota keluarga yang ditinggalkan konversi sudah putus asa, tidak mendapatkan

jalan keluar, tidak menemukan wadah yang tepat untuk menceritakan pergumulannya baik di

dalam keluarga maupun di luar keluarga seperti masyarakat sekitar dan lingkungan gereja.

Berdasarkan kenyataan ini, penulis berpendapat bahwa gereja harus melihat kebutuhan jemaat

dalam hal pelayanan.

28

Page 40: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

Gereja harus mampu hadir sebagai sosok sahabat yang menggambarkan komunitas

Kristen seperti yang dijelaskan oleh Edgar. Gereja harus dapat menjadi wadah untuk

menampung pergumulan jemaat dan mencari atau membuat program untuk mengantisipasi agar

peristiwa konversi agama tidak bertambah banyak.

Tentu hal ini bukanlah hal yang mudah, jika gereja terlalu mengawasi pergaulan dan terlalu ikut

campur dalam kehidupan jemaat. Cara yang dapat dilakukan oleh gereja bisa saja dengan

melakukan perkunjungan rutin kepada seluruh umat (melalui cara ini penulis melihat akan ada

peluang umat yang dikunjungi akan menceritakan seluruh pergumulannya dan pada saat itulah

gereja bisa menempatkan diri sebagai sahabat yang menolong, yang mengasihi dan merangkul

para umat dalam kesetaraan cinta kasih). Selain itu gereja dapat membentuk tim doa yang datang

secara rutin ke rumah-rumah jemaat, membuat program-program yang menarik dan kreatif

sehingga umat merasa nyaman dan betah untuk tetap hadir dalam persekutuan.

Jika ditarik ke dalam kehidupan gereja sebagai komunitas umat Kristen pada masa kini,

maka perubahan status dari “hamba” ke “sahabat” mengajarkan gereja untuk menjadi komunitas

yang anggotanya dikenal karena perbuatan kasih yang dibagikan kepada sesama tanpa membeda-

bedakan antara satu dengan yang lain. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnnya, bahwa relasi

(hubungan) adalah sumber kebahagiaan manusia. Akan tetapi, faktanya tidak semua relasi

membawa kebahagiaan. Relasi “tuan” dan “hamba” telah membuktikan adanya relasi yang tidak

membawa kebahagiaan sebab di dalam relasi itu terdapat jenjang perbedaan yang menyebabkan

terbukanya potensi penindasan. Sayangnya, gereja, masih hidup dalam relasi yang demikian. Di

dalam gereja, masih terdapat pembedaan terhadap “kaum klerus”, yaitu pendeta dan presbiter,

dan “kaum awam”, yaitu anggota jemaat biasa. Hal ini terpelihara sebab warga gereja sudah

hidup dengan doktrin turun-temurun tentang gereja sebagai tempat pelayanan yang berisikan

orang-orang yang rindu untuk melayani juga orang-orang yang memerlukan pelayanan. Brian

Edgar dalam bukunya “God Is Friendship” menjelaskan:

Friendship with God is a truly awesome, almost scandalous concept, one the church often resists.

Of course Jesus always remains as our “Lord” and “King” and “Master,” but this only serves to

stress the magnitude of the grace offered- that every believer can be treated as a friend of the King!

The essential themes and priciples bound up in servanhood are not, however, to be rejected and the

idea of “friendship with God” embrace many of them, although the motivation for action is

different. Consider the similarities and the contrasts in the following table.33

33

Brian Edgar, God is Friendship, A Theology of Spirituality, Community, and Society (Kentucky: Seedbed Publishing, 2013), 29. 29

Page 41: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

Servant-master relationship Friend-friend relationship

- Does what the master wants.

- Acts out of duty

- Obedience is the central virtue

- Does not really know the master

- A relationship defined by doing

- Servanthood is a requirement

- Work orientated

- Hierarchical in from

- Does what the friend wants

- Acts out of friendship

- Friendship and love are central virtues

- Knows the friend intimately

- A relationship defined by being

- Friendship is a gift of grace

- Relationship orientated

- Egalitarian in from

Sumber: God Is Friendship: Theology of Spirituality, Community, and Society. 29.

Jadi, berdasarkan pandangan Brian Edgar di atas bahwa model persahabatan dengan

Allah merupakan suatu relasi yang mengagumkan. Namun, hal ini terkadang ditolak oleh gereja-

gereja. Hadirnya model persahabatn tidak membuat atau menghilangkan gambar Allah sebagai

Tuhan dan Raja. Konsep ini digunakan sebagai bentuk penawaran yang berfungsi untuk

mmenyatakan kasih karunia yang ditawarkan bagi mereka yang percaya yang dianggap sahabat

Raja (Allah). Perbedaan yang dituliskan dalam tabel di atas ingin menjelaskan bahwa model

hamba membuat atau menimbulkan rasa tidak berharga di dalam diri mereka yang disebut

dengan pannggilan hamba. Berbeda dengan model persahabatan yang memanggil para umat

dengan panggilan sahabat yang dimana dapat menggambarkan kesetaraan dalam pelayanan. Pada

model hamba yang dijelaskan dalam tabel di atas menunjukan sebuah relasi yang kurang akrab,

sedangkan model persahabatn digunakan untuk memotivasi yang lain dalam hal pelayanan.

Model persahabatan menekankan kasih sebagai kunci untuk menghargai sebuah ikatan

persahabatan dalam pelayanan.

30

Page 42: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

BAGIAN V

PENUTUP

KESIMPULAN

Melihat model pelayanan yang dilakukan di GPIB Eben Haezer, Gianyar Bali serta

wawancara yang telah dilakukan. Menurut penulis pelayanan gereja belum bisa menjawab

kebutuhan umat yang ditinggalkan konversi agama oleh anggota keluarganya. Karena gereja

tidak dapat membuat pelayanan begitu saja jika umat tidak meminta pelayanan tersebut.

sehingga dalam hal ini gereja hanya akan membuat program pelayanan dengan melihat konteks

kehidupan dan permintaan dari umat.

Peristiwa konversi agama ini membuat begitu banyak umat yang ditinggalkan anggota

keluarga merasa kehilangan bahkan ada yang nekat ingin bunuh diri. Selain anggota keluarga

yang merasakan kesedihan hal ini juga dirasakan oleh majelis yang dimana ia merasakan

dilemma etis ketika harus mengetahui umat yang ia didik dalam pengajaran katekisasi, sebagai

bapak nasrani, dan menasehatkan setiap bertemu melakukan konversi dan ia sendiri yang

menjadi pembicara sebagai perwakilan keluarga dan gereja dalam acara pernikahan. Berdasarkan

kenyataan tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa gereja belum memiliki pelayanan khusu

bagi mereka yang ditingglakn konversi oleh anggota keluarganya.

Melihat hal ini penulis, beranggapan gereja harus menciptakan komunitas persahabatan

dalam menjalankan pelayanannya. Model persahabatan dapat menjadi pendekatan yang efektif

yang digunakan oleh gereja untuk merangkul umatnya. Penulis melihat gereja mampu

menjalankan model persahabatan ini dalam pelayanan karena mereka yang menjadi korban

konversi agama sangat terbuka dan mendambakan pelayanan gereja yang bersahabat. Jika hal ini

belum bisa dijalankan oleh gereja, itu karena umat sendiri belum memiliki ide yang bisa mereka

berikan kepada gereja.

SARAN

Kepada GPIB Eben Haezer, Gianyar Bali.

Bukanlah hal yang mudah untuk mengantisispasi agar tidak terjadinya konversi

agama, karena hal ini berhubungan dengan masalah pribadi masing-masing umat dalam

menjalin suatu hubungan pertemanan atau pun hubungan yang lain dalam masyarakat yang

lebih luas.

31

Page 43: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

Gereja tidak bisa begitu saja melarang umatnya untuk bergaul ataupun membatasi pergaulan

umat.

Namun, dalam hal ini yang bisa gereja lakukan ialah membuat suatu bentuk pelayanan

yang dapat menjawab kebutuhan umat baik yang aktif maupun yang pasif. Gereja harus mampu

berdiri sebagai sahabat yang menolong dengan memberikan solusi yang kontekstual dalam

menjawab kebutuhan para umat. Menurut penulis, karena setiap kategori usia mempunyai pola

pikir yang berbeda, supaya materi cocok dengan tingkat perkembangan intelektual. Oleh sebab

itu, gereja harus hadir sebagai sahabat dalam berbagai katagori usia dan senantiasa melihat

kebutuhan umat serta memperbaharui bentuk pelayanan yang ada.

Gereja harus menyediakan pengajar yang berkualitas dan kreatif dalam mengaplikasikan

bahan ajar bagi anak-anak, taruna dan pemuda. Gereja juga harus mampu memanfaatkan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada untuk memberikkan pelayanan yang

kontekstual. Selain hal yang telah dijelaskan diatas, penulis berpendapat ada baiknya jika gereja

melihat kembali apa yang menjadi kebutuhan setiap umat, meningkatkan perkunjungannya,

membentuk tim doa baik yang umum maupun dalam katagorial, membangun kembali program

pendalaman Alkitab yang dilakukan di dalam ibadah keluarga, dan yang terpenting menciptakan

suasana persahabatan di dalam proses kepemimpinan dan pelayanan baik pendeta, majelis,

pengurus katagorial dan para umat.

32

Page 44: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

DAFTAR PUSTAKA

Edgar, Brian. 2013. God is Friendship. United State of America: SEEDBED PUBLISHING.

Gallagher, Charles A. 1995. Makna persahabatan: Bagaimana Menghayatinya? Jakarta: Penerbit OBOR.

Gibbs, Eddie. 2010. Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang. Terjemahan Tonggor M. Siahaan. Jakarta:

BPK Gunung Mulia.

Hendropuspito, Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: Kanisius, 1989.

J. Vredenbregt. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1984.

James, William. The varietis of Religious. Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.

Lexi, Moleong J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.

Mardalis. Metode Penelitian suatu Pendekatan Proposal. Jakarta:Bumi Aksara, 2004.

Maryknoll: Orbits Book. Friends In Christ: Paths to a new understanding of Church.

O’Dea, Thomas F. The Sociology of Religion. Jakarta: CV Rajawali, 1987.

Rice, Jesse. The Church of Facebook. Colorado: David C. Cook, 2009.

Soekanto, Soejono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press, 1990.

Stambaugh, John dan David Balch. 1997. Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula. Jakarta: BPK Gunung

Mulia.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitaif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2012.

Sulaiman, Muhandar. Ilmu Sosiologi Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: ERESCO, 1989.

Summers, Steve. Friendship Exploring its implications for the Church in Postmedernity. London: T&T

Clark, 2009.

Sururin, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004.

Momen, Moojan. The Phenomenon of Religion: A Thematic Approach. Oxford: One World Publications,

1999.

33

Page 45: Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar

SUMBER INTERNET:

Gereja Kristen Indonesia Pondok Indah. Artikel “Bergereja: Antara Pelayanan dan Persahabatan” oleh

Joas Adiprasetya. http://gkipi.org/bergereja-antara-pelayanan-dan-persahabatan/ (diunduh 25 Juni

2016).

Gunawan, Linna. Spiritualitas Gereja Persahabatan.

http://www.academia.edu/23876926/SPIRITUALITAS_GEREJA_PERSAHABATAN, diunduh 14 Juli,

2016.

SUMBER WAWANCARA:

Pendeta dan Jemaat GPIB Eben Haezer Gianyar, Bali

34