Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga...
Transcript of Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi di ... · Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga...
Kehadiran Gereja di Tengah Keluarga Korban Konversi
di GPIB “Eben Haezer” Gianyar BALI dalam Perspektif Brian Edgar
oleh,
Arien Theorina
712013003
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Ilmu: Teologi Fakultas: Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
( S.Si-Teol)
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
2016
MOTTO
SEORANG SAHABAT MENARUH KASIH
SETIAP WAKTU, DAN MENJADI
SEORANG SAUDARA DALAM
KESUKARAN.
V
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama puji dan syukur Penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang
senantiasa menyertai dan membimbing hingga tahap penulisan ini telah selesai dibuat. Begitu
pula tak lupa kepada campur tangan dari orang-orang yang begitu mengasihi dan mendukung,
baik secara materi maupun dukungan doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Dengan iman, penulis meyakini bahwa hanya atas karuniaNya penulis dapat melewati
setiap proses pembelajaran di Fakultas Teologi UKSW.
Keberhasilan yang penulis peroleh tak lepas dari doa, perhatian, dukungan, bimbingan,
kasih sayang serta ilmu dari berbagai pihak yang sangat penulis cintai dan juga yang mencintai
penulis. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. David Samiyono sebagai pembimbing I dan Handri Yonathan, M. Phil sebagai
pembimbing 2 yang telah membimbing penulis dengan kesabaran selama 2 bulan. Terima
kasih Pak David dan Pak Handri yang tidak pernah lelah untuk membaca serta memberi
masukan untuk penulisan dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih juga untuk
waktu, motivasi serta ilmu yan diberikan kepada penulis selama proses bimbingan.
2. Papa, Mama, Bung Rudy, Sus Sonnya, Sus Virga beserta keluarga yang selalu mendukung
dalam doa, motivasi dan dana, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini dengan
baik. Terima kasih untuk semuanya yang kalian berikan untuk penulis. Kiranya Tuhan selalu
memberkati kalian semua.
3. Pendeta dan Majelis Jemaat GPIB Eben Haezer, Gianyar Bali, yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis sehingga diijinkan untuk dapat meneliti dan mendapatkan
informasi yang lengkap kepada penulis selama meneliti. Terima kasih untuk waktu yang
diberikan sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini.
4. Keluarga atau umat yang membuka diri dan memberikan kesempatan bagi penulis untuk
mewawancarai, sehingga penulis memperoleh data dan dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
Tuhan Yesus memberkati hidup dan kehidupan umat.
5. Para Dosen Fakultas Teologi UKSW. Pak John, Ibu Retno, Pak David (Pembimbing 1) , Pak
Eben, Pak Thobi, Pak Yusak, Kak Ira, Pak Yopi, Pak Toni, Pak Handri (pembimbing 2), Pak
Totok, Ibu Dien, Pak Daniel, Pak Izak, Kak Feri, Kak Irene, Kak Mariska, Pak Agus, Pak
Rama, Kak Astrid, Pak Simon, dan Ibu Ningsih.
vi
Terima kasih untuk ilmu, kedisiplinan, pengalaman, motivasi serta doanya yang diperoleh
penulis hingga meraih keberhasilan. Berkat motivasi, ilmu dan semangat dari para dosen,
penulis bisa menyelesaikan dan meraih keberhasilan ini. Kiranya Tuhan selalu membekati
kalian dan kehidupan selanjutnya.
6. Para Pegawai Tata Usaha Fakultasi Teologi. Ibu Budi, Mas Eko dan Mba Liana. Terimakasih
atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penulis menempuh studi di UKSW.
Kiranya Tuhan memberkatian kalian.
7. Teman-teman angkatan 2013, terimakasih untuk kebersamaan yang telah kita lewati bersama.
Sukses buat kalian semua.
8. Ingkiriwang Berthy Pariangan, terimakasih untuk doa, semangat, waktu serta apapun yang
kamu berikan kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan
tepat pada waktunya. Banyak sekali hal-hal yang kamu berikan sehingga penulis bisa
semangat dan ingin cepat-cepat untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Tuhan memberkati
kamu.
Salatiga, 26 September 2015
Arien Theorina
Penulis
Vii
ABSTRAK
Konversi agama merupakan suatu perubahan paradigma dalam suatu keyakinan yang dialami
atau dilakukan oleh seseorang secara sadar berdasarkan pandangan baru dan alasan tertentu. Atas
dasar gereja harus hadir untuk merespon peristiwa ini dengan cara membangun relasi
persahabatan. Adapun metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif, dengan menggunakan studi kasus. Teori yang digunakan dalam penulisan
ini ialah teori persahabatan dalam perspektif Brian Edgar. Menurut Brian Edgar, gereja harus
menjadi persekutuan persahabatan yang mencerminkan cinta kasih dan kesetaraan. Jalinan
persahabatan di antara anggota gereja yang harus dibangun dengan didasari oleh cinta kasih
Allah yang menjunjung tinggi kesetaraan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis
melihat bahwa gereja belum peka terhadap kebutuhan keluarga yang para pelaku konversi
agama, sehingga model persahabatan ini belum dikembangkan di dalam pelayanan gereja.
KATA KUNCI: Konversi, Gereja, Persahabatan.
Viii
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan……………………………………………………………………………. i
Pernyataan Tidak Plagiat………………………………………………………………….. ii
Pernyataan Persetujuan Akses…………………………………………………………… iii
Pernyataan Persetujuan Publikasi Tugas Akhir Untuk KepentinganAkademis……… iv
Motto…………………………………………………………………………………………… v
Ucapan Terima Kasih………………………………………………………………………….. vi
Abstrak………………………………………………………………………………………….. viii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………. ix
I. PENDAHULUAN………………………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………….. 4
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………………………… 4
1.4 Metode Penelitian……………………………………………………………………. 5
1.5 Sistematika Penulisan ………………………………………………………………… 6
II. Konversi Agama: Pendekatan Teoritis……………………………………………… 7
III. Fenomena Konversi di Gianyar Bali……………………………………………… … 10
IV. Sikap GPIB Ebenhaezer Gianyar Bali dalam Perspektif……………………… 26
V. KESIMPULAN……………………………………………………………………….. 31
SARAN………………………………………………………………………………… 31
VI. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………… 33
ix
BAGIAN I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, banyak persoalan muncul terkait dengan masalah-masalah agama yang
tentunya memiliki hubungan sebab dan akibat. Sebab yang dimaksudkan dapat berupa peristiwa-
peristiwa yang telah terjadi maupun yang sedang dialami tidak terkecuali oleh gereja. Hal ini
sering membawa dampak yang tidak disadari oleh gereja itu sendiri. Salah satu peristiwa yang
menjadi fenomena menarik dan mempunyai hubungan sebab dan akibat adalah peristiwa
konversi agama.
Konversi agama merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang
atau sekelompok untuk merubah suatu pandangannya akan agama.1 Dengan kata lain konversi
adalah perpindahan keyakinan dari agama yang dianut kepada agama lain. Hal ini juga yang
terjadi di GPIB Eben Haezer, Gianyar Bali. Terdapat lebih dari lima orang anggota umat yang
melakukan konversi agama 10 tahun belakangan ini, dan yang lebih mengejutkan adalah
konversi itu terjadi setelah pelaksanaan peneguhan Sidi.2 Ada dua faktor yang menyebabkan
terjadinya konversi. Pertama faktor luar, seperti lingkungan, keluarga, budaya, ekonomi,
pergaulan, dan kurangnya sarana yang disediakan oleh gereja setelah umatnya mengaku dan
percaya (tidak ada pembinaan setelah sidi) serta posisi orang Kristen menjadi minoritas. Kedua,
faktor dari dalam yaitu perubahan psikologis yang terjadi dalam diri pelaku konversi sehingga
muncul persepsi baru yang juga mengakibatkan konflik batin dan perubahan kepribadian atau
bisa saja pelaku konversi ingin menemukan jati diri.3
Moojan Momen mengemukakan tujuh faktor sosial dan psikologi yang memotivasi
seseorang melakukan konversi keagamaan dan komitmen pada sebuah agama baru. Tujuh faktor
tersebut yaitu, marginalitas (merasa terpinggirkan), krisis sosial atau kultural, krisis individual,
latar belakang individu, jaringan kekerabatan dan persahabatan, kekaguman pada kharismatik,
indoktrinasi melalui pengasingan seseorang dari lingkungan sehari-hari atau keluarganya.4
1 Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), 103. 2 “SN”, Wawancara Jemaat, , Gianyar 30 Juni 2016. 3 William James, The varietis of Religious (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), 251. 1 4 Moojan Momen, The Phenomenon of Religion: A Thematic Approach (Oxford: One World
Publications, 1999), 153-156.
Melihat hal ini yang perlu dipertimbangkan adalah adanya dua kemungkinan yang dapat terjadi
dari pihak keluarga. Pertama, perubahan emosional, sosial, pemikiran dan selanjutnya berwujud
pada keputusan untuk menarik diri dari lingkaran pergaulan sosial dan persekutuan gereja.
Kedua, iman keluarga makin bertumbuh. Dengan kata lain dengan terjadinya konversi pada
anggotanya keluarga semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Berdasarkan hal tersebut, gereja
perlu hadir untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh masalah konversi ini.
Salah satu definisi kuno tentang sahabat adalah seorang yang paling dekat, paling
mengenal, dan memahami diri sahabatnya. Definisi tradisional lainnya tentang sahabat diungkap
oleh Charles A. Gallagher dalam buku Makna Persahabatan: Bagaimana Menghayatinya?
Gallagher menulis dua definisi “sahabat”, yaitu (1) orang yang mengetahui hal yang paling
buruk tentang dirimu namun masih tetap mencintai engkau sebagaimana adanya, dan (2) sahabat
adalah “orang yang mengetahui segala sesuatu tentang dirimu dan menghendaki agar engkau
sendiri pun mau mengenal dia sepenuhnya, dan dia tidak dapat memahami kepenuhan hidup ini
tanpa engkau”.5
Memiliki seorang teman dekat atau sahabat untuk berbagi suka maupun duka mungkin
menjadi impian sebagian besar orang. Tapi yang menyedihkan, ada banyak faktor yang
menyebabkan sepasang sahabat atau lebih, terpaksa berpisah satu dengan yang lain, seperti
pendidikan, pekerjaan, salah paham, iri hati, dan pergaulan. Perkembangan teknologi dan
komunikasi yang mungkin saja dapat membuat terjalinnya kembali sebuah persahabatan yang
telah lama terputus atau bahkan membantu seseorang menemukan sahabat baru ternyata tidak
mampu menciptakan persahabatan yang berkualitas.6 Hal ini pun perlu dilihat oleh gereja dalam
menyikapi kehadirannya dalam kehidupan warganya, sehingga gereja mampu hadir dalam
kesetaraan yang bersahabat.
Melihat dampak yang ditimbulkan dari peristiwa konversi agama terhadap perkembangan
sosial orang tua dan keluarga di GPIB Ebenhaezer Gianyar, Bali seperti rasa malu terhadap umat
yang lain dan adanya rasa kecewa yang dirasakan pihak keluarga. Jika dilihat dari sudut
peristiwa yang terjadi, hal ini bisa saja menimbulkan sikap menarik diri dari lingkungan gereja
yang merupakan masalah baru yang dihadapi oleh gereja itu sendiri, sehingga ia menjadi sebuah
5 Charles Gallagher, Makna Persahabatan. Bagaimana Menghayatinya?, (Jakarta: OBOR, 1995),1.
6 Linna Gunawan, “Spiritualitas Gereja Persahabatan,” http://www.academia.edu/23876926/SPIRITUALITAS_GEREJA_PERSAHABATAN, diakses 14 Juli, 2016.
2
dilema etis bagi orang tua, keluarga dan pihak-pihak yang termasuk di dalamnya. Di satu sisi
mereka memiliki kerinduan untuk beribadah, namun dengan persoalan ini orang tua atau
keluarga mungkin saja dapat dihinggapi rasa malu dan bersalah karena membiarkan anak
berpaling dari imannya.
Menurut Steven Summers, gereja harus memahami suatu bentuk ajaran teologis yang
memiliki hubungan antara masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang yang tentunya harus
dihubungkan dengan pribadi Kristus dan gereja-Nya, sehingga mampu untuk mengungkapkan
secara bersama-sama pentingannya menciptakan suasana persahabatan antara Kristus dan gereja-
Nya.7 Selain itu gereja perlu membuka diri dan hadir bagi mereka yang menjadi korban konversi
agama sebagai sahabat yang menenangkan emosional, membantu mempertimbangkan keputusan
dan menata kembali ruang lingkup sosial dengan umat yang lain. Persahabatan sebagai bentuk
kehadiran gereja di tengah orang tua dan keluarga yang menjadi korban konversi diharapkan
dapat menjadi pola yang mampu menjembatani jarak antara keluarga yang menjadi korban
konversi dengan gereja. Supaya gereja berusaha merangkul umatnya yang telah kehilangan anak
(dalam hal kebersamaan iman) serta ruang lingkup sosial dalam kehidupan bergereja.
Gereja yang bersahabat yang ingin penulis angkat adalah gereja yang menekankan
kesetaraan dalam cinta kasih seorang sahabat yang selalu ada, selalu memperdulikan, selalu
berbagi dan selalu menopang atau menolong (Yohanes 15:9-17). Istilah “sahabat” ternyata
mempunyai arti penting dalam kehidupan suatu agama. Islam misalnya, umat Muslim juga akrab
dengan istilah “sahabat,” misalnya “sahabat nabi” dan “sahabat rasul,” yang ditujukan bagi
mereka yang berjumpa langsung dengan Nabi Muhammad, kemudian beriman kepadanya dan
meninggal dalam keadaan Islam [sebagai seorang Muslim] (Nahimunkar website 2015).
Demikian pula yang terjadi pada agama Kristen. Kata “sahabat” yang terdapat dalam Alkitab
hendak menunjukkan relasi antarsesama manusia maupun antara manusia dengan Allah. Dalam
terang pengertian ini, maka dapat dibayangkan betapa bangganya para murid Yesus ketika
mereka mengetahui guru mereka yang adalah Juruselamat dunia menyebut dan memanggil
mereka sebagai sahabat-Nya (Yoh 15:15). Status para murid naik drastis dalam Injil Yohanes
15:15 sebab mereka tidak lagi disebut hamba, yang dalam masa pemerintahan Yunani-Romawi
identik dengan pekerjaan-pekerjaan rendahan dan kasar, melainkan sebagai orang-orang terdekat
7 Steve Summers, Friendship Exploring its implications for the Church in Postmedernity,(London:
T&T Clark, 2009), 78. 3
Yesus yang melihat dan mengetahui segala sesuatu tentang gurunya. Atau dengan kata lain,
istilah “sahabat” dalam Injil Yohanes, seperti yang tercantum dalam Eerdmans dictionary of
Bible, mengandung arti khusus, yaitu seseorang yang mempunyai relasi dekat dengan Yesus
(Eerdmands dictionary of the Bible, s.v. “Friend”).
Kehadiran gereja layaknya sahabat diharapkan mampu memberikan warna baru dalam
dunia pelayanan di gereja. Oleh sebab itu, penulis memilih GPIB Eben Haezer Gianyar, Bali
sebagai tempat yang akan penulis teliti dengan didasarkan kenyataan yang terjadi di sini.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga jemaat, maka penulis mendapatkan
informasi bahwa lebih dari lima anggota jemaat yang mengingkari janji kesetiaannya di hadapan
Tuhan dan jemaat.8 Merujuk pada kenyataan hal ini penulis berpendapat bahwa gereja harus
merangkul jemaat dengan menjalin hubungan yang bersahabat dengan demikian gereja mampu
masuk dalam pelbagai permasalahan dan katagori usia dalam jemaat. Pandangan ini sejalan
dengan inti dari pandangan Brian Edgar dalam “God Is Frienship”. Brian Edgar ingin mengkritik
model Tuhan-hamba (Lord-servant) dari perspektif pernyataan Yesus kepada para Murid yang
mengatakan “aku tidak menyebut kamu lagi hamba, tetapi aku menyebut kamu sahabat”.
Gagasan tentang persahabatan adalah sebuah gagasan yang mencerminkan kehadiran Allah
dalam karyaNya. Jika Yesus sebagai Allah yang berinkarnasi adalah sahabat, maka kehidupan
gereja baik secara pribadi maupun masyarakat yang lebih luas sudah dengan sendirinya harus
menampilkan kehadiran Allah sebagai sahabat bagi semua orang9. Berdasarkan pandangan Brian
Edgar ini, pertanyaan penelitiaannya adalah, Pertama, Bagaimana kehadiran GPIB Eben Haezer,
Gianyar Bali terhadap keluarga yang anggotanya melakukan konversi agama? Kedua,
Bagaimana konsep gereja sebagai sahabat menurut Brian Edgar? Sehingga tujuan penelitian ini
adalah: Pertama, Mendeskripsikan dan menganalisis pelayanan Majelis Jemaat GPIB Eben
Haezer, Gianyar Bali terhadap keluarga-keluarga yang anggotanya melakukan konversi agama.
Kedua, menawarkan konsep persahabatan dari perspektif Brian Edgar.
8 Wawancara jemaat, “ES,” 30 Juni 2016. 9 Brian Edgar, God is Friendship, A Theology of Spirituality, Community, and Society (Kentucky: Seedbed
Publishing, 2013), 19. 4
1.2 Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode
penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan, mencatat, analisa, dan menginterpretasikan
kondisi yang sekarang terjadi atau ada10
. Peneliti melihat konversi sebagai fenomena yang telah
lama terjadi namun mempunyai dampak yang begitu besar dan belum disadari sepenuhnya oleh
anggota jemaat dan Pendeta. Melalui penelitian ini penulis berupaya menggambarkan dan
menganalisis kondisi yang terjadi secara sistematis. Untuk melakukan penelitian ini, penulis
menggunakan pendekatan studi kasus yang merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk
mempertahankan keutuhan dari objek, yang artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi
kasus dipelajari sebagi susatu keseluruhan yang terintegrasi.11
Dari peristiwa konversi agama
yang dilakukan jemaat GPIB Eben Haezer Gianyar, Bali. Gereja ini memiliki kurang lebih 15
warga jemaat yang anggota keluarganya melakukan konversi baik konversi ke luar dari agama
Kristen maupun konversi antar gereja selama sepuluh tahun belakangan ini.12
Namun, pada
kesempatan ini penulis hanya mewawancarai tujuh warga jemaat yang anggota keluarganya
melakukan konversi agama keluar dari agama Kristen. Penulis melihat hal tersebut sebagai suatu
yang baik untuk dianalisis dan dihubungkan dengan dampak yang dialami oleh keluarga terlebih
orang tua dari pelaku konversi tersebut.
Cara yang digunakan oleh penulis dalam melakukan pengambilan data dengan
mewawancara pendeta, majelis jemaat, orang tua dan keluarga dari pelaku konversi. Cara ini
dipilih agar penulis lebih memahami secara jelas bagaimana situasi, kondisi dan perasaan yang
dialami oleh keluarga ketika ada yang melakukan konversi. Data yang dipakai terbagi atas dua
yaitu data primer dan sekunder. Data primer penulis mendapatkannya dari wawancara mendalam
dengan pihak pendeta, majelis jemaat, orang tua dan keluarga sedangkan untuk data sekunder
penulis mendapatkannya dari wawancara dengan pihak gereja. Lokasi penelitian yang akan
menjadi tempat penelitian adalah GPIB Eben Haezer Gianyar, Bali. Penulis melihat keberadaan
gereja ini cenderung memiliki peluang cukup besar bagi jemaatnya melakukan konversi.
Pembatasan masalah merupakan usaha penulis untuk menetapkan batasan-batasan dari masalah-
masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis hanya membataskan penelitian pada orang tua
10 Mardalis, Metode Penelitian suatu Pendekatan Proposal (Jakarta:Bumi aksara, 2004) 26. 11 Vredenbregt J, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia , 1984) 38-39. 12
“FN”, Wawancara Jemaat, Gianyar, 18 Agustus 2016.
5
dan keluarga yang merupakan korban dari konversi anak karena melihat orang tua dan keluarga
sangat rentan menjadi pihak yang dipersalahkan dalam peristiwa ini. Bagi penulis, penelitian ini
memberi sumbangsih yang cukup baik bagi gereja, supaya gereja dapat memberikan pelayanan
yang lebih maksimal bukan saja di awal tapi juga akhir setelah jemaat mengaku yakin dan
percaya kepada Yesus Kristus serta gereja belajar untuk memperbaiki kehadirannya ditengah
jemaat, sehingga kehadiran gereja mampu menjadi sahabat dalam kehidupan berjemaat. Melihat
fenomena ini penulis beranggapan GPIB akan terancam ditinggal oleh jemaat karena ada
umatnya yang melakukan konversi ke agama lain (Hindu dan Islam). Perlunya perbaikan model
pendekatan pastoral kepada jemaat yang bermasalah dan gereja harus tanggap terhadap jemaat
yang sedang mengalami persoalan hidup, baik persoalan ekonomi, pekerjaan dan jodoh. Karena
itu penelitian ini harus segera dilakukan agar gereja cepat mengambil tindakan dan
mempertahankan eksistensinya di dalam kehidupan jemaat.
1.3 SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan ini terdiri dari empat bagian, yaitu bagian pertama, pendahuluan
terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode
penelitian dan sistematika penulisan. Bagian kedua teori Brian Edgar. Bagian ketiga analisa
terhadap kehadiran Gereja di tengah keluarga korba konversi. Bagian keempat, tinjauan kritis.
Bagian kelima, penutup dan saran.
6
BAGIAN II
LANDASAN TEORITIS
Dinamika dalam kehiduapan bergereja merupakan sebuah kewajaran jika gereja dan
kehidupan umat mengalami pertumbuhan maupun penurunan dalam hal iman. Peristiwa konversi
agama sendiri merupakan bagian dari dinamika hidupa bergereja. Ada yang melakukan konversi
keluar ada juga yang memilih untuk melakukan konversi ke dalam agama Kristen. Pada kajian
ini penulis akan berfokus pada peran gereja serta pendampingan yang diberikan gereja bagi umat
yang anggota keluarganya memilih melakukan konversi keluar. Oleh sebab itu, pada bagian ini
juga penulis ingin membahas lebih dalam lagi pengertian konversi agama, faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya konversi agama, dimensi dari komitmen agama baru serta bentuk
pelayanan Tuhan sebagai sahabat menurut Brian Edgar dalam bukunya “God is Friendship.”
Kehidupan sebuah masyarakat pada umumnya akan mengalami yang namanya
perubahan, baik hal yang negatif maupun positif. Menurut Soejono Soekanto, perubahan sosial
adalah sebagai bagian dari perubahan kebudayaan, hal demikian merupakan sesuatu yang wajar.
Salah satu perubahan yang terdapat dalam perubahan sosial itu adalah perubahan agama, dari
sistem keagamaan satu beralih atau berpindah ke sistem keagamaan yang lain.13
Dalam istilah
sosiologi hal ini disebut dengan konversi agama.
Menurut O’Dea kondisi kehidupan mempengaruhi kecenderungan agama manusia dan
kondisi kehidupan memiliki korelasi yang cukup berarti dengan fakta stratifikasi sosial di semua
masyarakat. Namun perkembangan ide, nilai dan praktek tertentu di suatu masyarakat dapat
mempengaruhi semua kelas, strata dan kelompok yang ada dalam masyarakat.14
Pendapat ini di
dukung oleh R. Strak dan C.Y. Glock, yang berpendapat bahwa ada lima dimensi dari komitmen
agama baru yaitu Iman, praktik agama menyangkut ritus dan penyembahan, pengalaman masa
lalu yang kelam, pengetahun tentang iman dan konsekuensi.15
Pada dasarnya konversi agama terjadi pada seseorang karena adanya kebutuhan-
kebutuhan hidup sebagai makhluk sosial atau dinamis tidak dapat terpenuhi secara wajar atau
13 Soejono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 341-342. 14 Thomas F. O’Dea, The Sociology of Religion, (Jakarta:CV Rajawali, 1987), 105-119. 15
R.Stark & C.Y.Glock, Dimensions of Religious Commitment dalam Roland Robertson, ( New York:Penguin, 1984), 253-261.
7
tidak terjamin dengan layak. Di dalam suatu teori sosial dikatakan bahwa manusia adalah
makhluk hidup yang dinamis.16
Untuk memenuhi kebutuhannya maka seseorang harus
mengusahakannya dan belajar dari lingkungannya. Ketika kebutuhan tersebut tidak dapat
terpenuhi seseorang atau kelompok mungkin berpindah tempat hingga kebutuhannya dapat
terpenuhi. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, penulis
beranggapan perubahan sosial sangat mempengaruhi kenyamanan setiap individu dalam
menjalani hidup. Tidak kecuali dalam hidup sebuah persekutuan (Gereja). Oleh sebab itu,
penulis beranggapan gereja perlu hadir sebagai sahabat dalam pelayanan kepada para warga
jemaat.
Menurut Joas Adiprasetya, Allah dalam persekutuan memiliki karakter persahabatan
Ilahi. Berdasarkan hal tersebut Adiprasetya menawarkan persahabatan sebagai konsep bergereja
masa kini. Adiprasetya juga menyebutkan persahabatan Kristus melalui kesedian-Nya menjadi
sahabat bagi manusia. Ketika gereja mengakui dirinya segambar dan serupa dengan Allah, maka
gereja harus menjadi gereja yang memiliki persahabatan Ilahi.17
Menurut Jesse Rice dalam The
Church of Facebook, manusia menjadi koneksi (hubungan) sebagai sumber kebahagiaannya.18
Jika koneksi (hubungan) menjadi salah satu sumber kebahagiaan dari kehidupan manusia, maka
gereja perlu mempertimbangkan hal tersebut. Bukankah pada prinsipnya gereja adalah sebuah
persekutuan yang menghubungkan seorang dengan yang lain? Persekutuan ini yang berperan
penting dalam menciptakan atmosfer berjemaat yang menyenangkan dalam jalinan sebuah
persahabatan yang nyata dan berkualitas antar warganya sehingga dapat mempererat cinta kasih
yang ada di dalam relasi warga jemaatnya.
Alkitab menyajikan persahabatan dalam pandangan kekristenan. Ada kisah Rut dan
Naomi, serta Daud dan Yonathan dalam Perjanjian Lama.19
Paulus, dalam 2 Korintus 5:18-20,
menggunakan kata reconcile. Dalam bahasa Inggris, kata reconcile dapat diterjemahkan menjadi
“menggembalikan hubungan persahabatan”. Bagi Paulus reconciliation tidak hanya
melenyapkan penghalang hubungan manusia, tetapi sebagai proses menjadi sahabat. Konteks
ayat diatas, rekonsiliasi manusia dengan Tuhan tidak sekedar menyelesaikan masalah yang sudah
16 Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 224-227. 17 Linna Gunawan, “Spiritualitas Gereja Persahabatan,”
http://www.academia.edu/23876926/SPIRITUALITAS_GEREJA_PERSAHABATAN, diunduh 14 Juli, 2016. 18 Jesse Rice, The Church of Facebook (Colorado: David C. Cook, 2009), 28. 19
Edgar, God is Friendship, 136. 8
ada. Namun, rekonsiliasi memiliki dimensi yang lebih positif daripada pengampunan dosa.
Manusia mendapat kesempatan untuk membangun relasi baru layaknya sahabat dengan Tuhan.20
Penulis menggunakan pemikiran dari Brian Edgar untuk melihat dan menganalisis
kehadiran gereja sebagai sosok yang baru yang dapat hadir dalam kehidupan jemaat. Penulis
beranggapan bahwa pemikiran Brian Edgar tentang pencitraan akan hamba dalam sebuah
pelayanan dan persekutuan dalam gereja sulit untuk dihapuskan begitu saja. Bukanlah sebuah
perkara yang mudah menghapus citra hamba dan menggantinya dengan sebuah model yang baru
dalam dunia pelayanan karena hal ini sudah terjadi sejak zaman murid-murid Yesus melakukan
pelayanan. Oleh sebab itu, Edgar ingin mengkritik model pelayanan yang menekankan model
Tuhan dan hamba yang dikaitkannya dari pernyataan Yesus kepada murid-murid-Nya dalam
Yohanes 15:13-15. Berdasarkan pernyataan tersebut Edgar mencoba menawarkan sebuah bentuk
pendekatan pelayanan yang baru yaitu sebuah pendekatan persahabatan yang menjunjung tinggi
kesetaraan dalam cinta kasih keramahan. Keramahan merupakan bagian tak terpisahkan dari
ekspresi persahabatan. Edgar mengelaborasi lebih lanjut bahwa persahabatan dengan Kristus
merupakan bagian dari proses keselamatan. Gereja yang bersahabat memiliki beberapa nilai
spiritual diantaranya adalah terbuka, menerima, otentik, dan percaya.21
Jadi, siapa yang dapat menerima Firman maka ia juga menerima Tuhan sebagai sahabat
dan mau masuk dalam sebuah komunitas persahabatan di dalam Tuhan. Edgar memberikan
pemahaman bahwa persahabatan yang ditawarkan dalam komunitas Kristen berbeda dengan
persahabatan kontemporer. Pandangan Kristen akan persahabatan, ialah menuntut kesetaraan, hal
itu jauh lebih radikal yang dimana iman kepada Yesus Kristus menyediakan kesetaraan yang
diperlukan untuk sebuah persahabatan sejati.
20
Edgar, God is Friendship, 166. 21
Linna Gunawan, “Spiritualitas Gereja Persahabatan,” http://www.academia.edu/23876926/SPIRITUALITAS_GEREJA_PERSAHABATAN, diunduh 22 September 2016.
9
BAGIAN III
HASIL PENELITIAN
Rangkaian pada bab ini mendiskripsikan data hasil penelitian, yang didapatkan melalui
penelitian lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan pendeta, majelis dan keluarga
yang anggotanya melakukan konversi. Adapun pada bagian ini berisi tentang gambaran umum
tempat penelitian, gambaran umum tentang kasus yang terjadi di dalam kehidupan keluarga,
tanggapan pendeta, keluarga, majelis dan jemaat akan konversi agama dan yang terakhir tentang
sikap yang dipilih gereja dan keluarga akan masalah konversi ini.
GPIB Eben Haezer Gianyar, Bali berdiri 16 November 1997. Hingga sekarang jemaat
gereja ini memiliki 116 kepala keluarga dengan jumlah anggota umat kira-kira 350 jemaat, 40
pemuda dan 20 remaja dan 40 anak-anak. Di dalam gereja ini banyak terdapat anggota gereja
yang berasal dari berbagai daerah seperti Kupang, Ambon, Manado, Medan, Cina, Poso, Jawa,
Toraja, Palembang, Sumba dan yang menjadi mayoritas adalah orang Bali yang masuk ke agama
Kristen entah karena menikah maupun panggilan untuk menjadi orang Kristen. Terjadinya
konversi di tengah-tengah kehidupan umat dalam gereja ini mungkin saja karena keberadaan
orang Kristen yang menjadi minoritas di Bali, sehingga munculnya permasalahan baru yakni
sulitnya mencari pasangan yang seiman dalam kehidupan para pemuda gereja ini. Hal ini terbukti
dari berkurangnya jumlah pemuda GPIB Eben Haezer Gianyar karena menikah dan melakukan
konversi agama. Dari data yang diperoleh, penulis memfokuskan penelitian hanya pada tujuh
kepala keluarga saja yang anggota keluarganya melakukan konversi.
Berbicara tentang pernikahan maka tidak dapat dipungkiri peluang seseorang melakukan
konversi akan semakin besar. Terlebih hal ini dilihat dalam konteks budaya Bali yang begitu
kental yang dimana juga orang Kristen hadir sebagai kaum minoritas. Oleh sebab itu, pada
bagian ketiga ini penulis ingin mendeskripsikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di
GPIB Eben Haezer Gianyar, Bali yang telah dilakukan oleh beberapa anggotanya berdasarkan
hasil wawancara.
10
Hasil wawancara dengan pendeta jemaat, menurut kacamata ketua majelis jenaat warga
yang melakukan konversi di sini adalah hal biasa karena sudah umum. Gereja tidak dapat
membuat program untuk mengantisipasi berkurangnya konversi yang terjadi karena bagi pendeta
hal ini terlalu luas untuk dijangkau. Kalau pun gereja bisa mengantisipasi peristiwa konversi ini
semua harus sesuai dengan permintaan umat dan menyesuaikan kebutuhan. Pendeta berpendapat
hal ini harus kembali kepada pribadi masing-masing dalam hal memilih pergaulan dan
mengambil sebuah keputusan. Pendeta juga tidak bisa mengambil keputusan sendiri untuk
langsung menghukum jemaat, karena pindah agama bersifat pribadi. Jika alasan mereka konversi
karena faktor hamil, maka gereja tidak dapat berbuat apa-apa kalau pasangannya yang diminta
untuk masuk Kristen menurut pendeta sama-sama menjadi korban.
Bagi pendeta konversi agama terjadi karena cinta dan pergaulan, menurut pendeta
harusnya umat dapat membatasi diri dalam pergaulan jika sudah mengetahui pergaulan yang
dipilih itu salah, terlalu luas dan merugikan sebaiknya membatasi diri. Pendeta setuju bahwa
peristiwa ini terjadi karena cinta dan pergaulan yang bebas, entah karena cinta yang tulus atau
karena nafsu. Selain hal itu, pendeta sendiri enggan untuk mengurus lebih lagi, karena menurut
pendeta umat yang memilih melakukan konversi adalah umat yang sudah dewasa. Ketika
dipertanyakan tentang program apa yang akan dibuat untuk mengantisipasi agar konversi agama
tidak bertambah banyak lagi? Pendeta menjawab “Bisa saja membuat program asal ada uangnya
dan untuk membuat program harus melihat setiap kebutuhan dalam jemaat karena tidak mungkin
muncul dari atas harus dari bawah harus dari usulan jemaat tidak dari atas dan hal ini juga masih
dalam pergumulan GPIB, tapi pendeta tidak bisa memberlakukan hal itu di gereja karena pendeta
ikut pimpinan sadar diri bahwa pendeta bawahan. Pendeta dan gereja tidak akan membuat
pendekatan kalau jemaat tidak datang dan menceritakan apa yang dialami kepada pendeta dan
gereja karena takut dipikir ikut mengurus kehidupan pribadi orang. Seandainya ada umat yang
datang pendeta akan membicarakan dengan majelis dan rekan kerja dalam gereja. Pendeta
meminta saran dari yang lain (relasi).”22
Hasil wawancara dengan majelis “FJ”, majelis ini sudah lama menjadi bagian dari gereja
Eben Haezer, beliau memiliki dua orang anak dan keluarga yang aktif dalam pelayanan dan
kegiatan-kegiatan gereja. Menurut majelis ini ada sekitar sepuluh hingga lima belas umat yang
22 Wawancara Pendeta, “ HS”, 18 Agustus 2016. 11
anggota keluarganya melakukan konversi agama ke agama Hindu dan Islam selama sepuluh
tahun belakangan itu. Bagi majelis jemaat FJ semua dilakukan secara sadar dan setelah mengaku
percaya (sidi). Hal ini dapat terjadi karena faktor persahabatan, ikut acara-acara dari pacar, umur
yang sudah tua, teknologi, peran dan didikan orang tua, pergaulan, cinta, keberadaan sebagai
kaum minoritas, kurangnya melibatkan diri dalam pelayanan gereja dan pengaruh orang-orang
tertentu. FJ menjelaskan bahwa “perasaan masing-masing keluarga tentunya berbeda-beda, ada
yang biasa saja karena menganggap anak sudah besar dan berhak untuk memilih jalan hidupnya
sendiri dan ada juga yang marah hingga tidak mau mengenal anaknya, semua dapat dibedakan
menurut jangka waktu kapan terjadinya peristiwa konversi.” Bagi FJ sendiri belum ada program
yang dibuat untuk menjangkau kehidupan keluarga yang ditinggalkan konversi oleh anggota
keluarganya da nada baiknya jika program itu dapat dibuat seperti memasukan materi pastoral
pernikahan dalam proses pembinaan katekisasi.”23
Hasil wawancara dengan majelis NS merupakan warga jemaat yang aktif dalam
pelayanan di gereja bersama dengan keluarga. Menurut NS, “baik adanya jika gereja membuat
progam untuk mengatasi atau mengantisipasi agar tidak lebih banyak lagi umat yang melakukan
konversi karena sampai sekarang belum ada yang memberikan perhatian bagi mereka yang
ditinggalkan konversi agama. Hal ini disebabkan kurangnya keterbukaan dan takut untuk
mengungkapkan mana yang benar dan mana yang salah. Faktor yang mempengaruhi adalah
cinta, kegantengan, uang, status sosial yang dapat menarik orang pergi atau konversi.”24
Model keluarga yang pertama, ada keluarga yang berasal dari suku campuran, sebut saja
keluarga ini SU. Suaminya merupakan orang jawa dengan agama Islam sedangkan istrinya orang
Kupang yang tentunya beragama Kristen. Sang istri merupakan jemaat yang aktif di gereja, ia
merupakan salah seorang pengajar anak teruna di gereja, mereka memiliki tiga orang anak, dua
laki-laki dan satu perempuan. Di awal pernikahan sang suami mengikuti keyakinan istri dan
masuk Kristen sehingga ketiga anak-anak mereka juga tumbuh menjadi anak-anak Kristen. Tapi,
di tengah perjalanan rumah tangga mereka sang suami kembali dengan imannya yang lama
dengan alasan yang tidak diberitahukan. Hingga pada akhirnya sang suami mau kembali
mengikut Yesus hingga saat ini. Ketika istri sudah merasa bersyukur dengan pilihan suami yang
23 “FN”, wawancara Majelis , Gianyar, 18 Agustus 2016. 24 “ NS”, wawancara umat wawancara Umat, Gianyar, 22 Agustus 2016. 12
ingin kembali, pasangan ini diperhadapkan kepada kenyataan yang cukup mengejutkan yang
dimana anak perempuan satu-satunya memutuskan menikah dan masuk agama Hindu.
Keputusan yang diambil oleh anak ini, tentu dengan banyak pertimbangan. Mungkin saja anak
perempuan dari keluarga ini merasa kehadiran gereja yang kurang menjawab kebutuhannya
sebagai umat yang telah mengaku dan percaya kepada Kristus, tidak ada pendampingan iman
lebih lanjut atau mungkin saja gereja tidak menciptakan keramahtamahan dalam membangun
relasi dengan umat. Keputusan ini tentunya membuat sedih banyak pihak, selain keluarga dan
kerabat tentunya gereja juga menyayangkan keputusan yang diambilnya. Hasil wawancara yang
diperoleh penulis dari keluarga yang pertama ialah bahwa keputusan sang anak melakukan
konversi agama adalah murni kesalahan dari kedua orang tua yang gagal mendidik dan
memupuk iman anak. Namun, di sisi yang lain sang ibu berpikir bahwa yang terjadi pada
anaknya adalah karena hak asasi yang dimiliki sang anak untuk menentukan keyakinan mana
yang akan dianut. Bagi sang ibu, orang tua tidak bisa melarang anaknya untuk melakukan
konversi, karena setelah seorang anak mengaku percaya (sidi) maka hal itu bukanlah tanggung
jawab orang tua lagi. Bagi keluarga ini, faktor yang mempengaruhi anaknya melakukan konversi
adalah faktor cinta, pergaulan, keberadaan sebagai kaum minoritas dalam lingkungan, serta
kurangnya pelayanan gereja yang bersifat merangkul (hal ini tidak membuat keluarga
menyalahkan gereja. Bagi keluarga pelayanan gereja sudah baik hanya saja kurang bersahabat).
Kejadian ini tidak membuat keluarga menarik diri dari persekutuan dan pergaulan di luar
maupun di dalam gereja karena bagi keluarga mereka tidak menjadi korban dan tidak dirugikan
atas pilihan anaknya, justru membuat sang ibu semakin bertekun dalam iman dan selalu berdoa
agar anaknya bahagia dengan pilihan yang diambil sang anak. Keluarga ini juga mengaku bahwa
sikap gereja maupun lingkungan sekitar tidak berubah, sehingga keluarga tidak mendapatkan
tuduhan atau disudutkan atas konversi yang dilakukan sang anak.25
Model keluarga yang kedua, datang dari keluarga kecil yang memiliki tiga orang anak.
Satu perempuan dan dua laki-laki. Sang suami berasal dari Alor dan istri orang Bali yang
dulunya Hindu tetapi setelah menikah melakukan konversi ke Kristen. Keluarga ini adalah
keluarga yang biasa-biasa saja. Sang suami dulunya bekerja sebagai TNI-AD sedangkan sang
istri adalah ibu rumah tangga. Keputusan sang anak untuk menikah dan melakukan konversi
25 “ SU”, Wawancara Umat, Gianyar, 18 Agustus 2016.
13
agama kurang lebih lima tahun yang lalu. Menurut hasil wawancara dengan ibunya, dulu
sebelum anak ini memutuskan untuk mengikuti katekisasi pernah ditanya apa benar mau ikut
katekisasi dan mengaku percaya dihadapan Tuhan dengan jemaatNya. Pada akhirnya sang anak
pun mengikuti katekisasi kurang lebih satu tahun dan mengaku percaya. Tapi, beberapa waktu
setelah mengaku percaya sang anak memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya yang
merupakan orang Bali dan tentunya beragama Hindu. Hasil wawancara dari keluarga yang
kedua, keluarga terutama sang ibu merasa kehilangan, kecewa dan sedih atas pilihan yang
diambil oleh sang anak karena harus menikah dengan orang yang tidak seiman. Walaupun
dulunya sang ibu adalah orang Bali beragama Hindu tapi baginya ia telah diselamatkan oleh
Tuhan Yesus. Hal yang membuat ibu ini kecewa adalah prilaku sang anak yang memutuskan
untuk konversi setelah mengaku percaya kepada Tuhan dihadapan jemaat, sehingga hal yang
membuat diri ibu ini sedih ialah rasa kehilangan. Beliau merasa kehilangan anaknya dalam hal
kebersamaan iman, sedih karena sang ibu merasa ia telah masuk dalam keselamatan yang
diberikan Tuhan tapi pada akhirnya sang anak harus keluar. Keluarga ini melihat faktor yang
mempengaruhi anaknya hingga melakukan konversi agama ialah cinta dan pergaulan. Ketika
ditanya tentang pelayanan gereja, sang ibu menjawab tidak ada pelayanan yang diberikan gereja.
Keluarga tidak mendapatkan pelayanan khusus, seperti penguatan dan penghiburan ketika sang
anak memilih melakukan konversi agama, hal yang disyukuri oleh keluarga ini sikap jemaat
tidak berubah dan keluarga sendiri tidak menarik diri dari persukutuan karena bagi keluarga
terlebih sang ibu dengan peristiwa ini membuat dirinya dan keluarganya semakin dekat dengan
Tuhan.26
Model keluarga yang ketiga, datang dari keluarga besar yang aktif dalam pelayanan di
gereja. Keluarga ini merupakan salah satu keluarga yang terlibat dalam proses pembangunan
gereja dari hanya sebagai pos pelayanan dan kesaksian hingga menjadi sebuah gereja induk dan
memiliki Pos Pelayanan dan Kesaksian. Keluarga ini memiliki empat orang anak, tiga laki-laki
dan satu perempuan. Dari anak pertama hingga yang ketiga selalu aktif dalam pelayanan di
gereja, dulu anak yang keempat juga aktif dalam pelayanan di gereja. Namun, karena menikah
maka anak laki-laki yang keempat ini melakukan konversi hingga saat ini. Hasil wawancara dari
keluarga ketiga, menurut hasil wawancara dengan ibunya penulis mendapatkan sesuatu yang
26 “ FB”, Wawancara Pendeta, Gianyar, 23 Agustus 2016.
14
berbeda. Anak laki-laki terakhir dari keluarga ini yang melakukan konversi masih tetap terdaftar
sebagai warga gereja. Namun sebelumnya, anak laki-laki dari keluarga ini adalah pribadi yang
aktif dalam kegiatan gereja, tapi karena cinta maka ia memutuskan untuk melakukan konversi
dan mengikuti keyakinan sang istri. Menurut cerita dari ibunya, kasus ini sempat dilaporkan ke
polisi tapi karena umur dari anak ini sudah berhak untuk memilih keyakinannya sendiri maka
pihak keluarga kalah. Keluarga memiliki kecurigaan bahwa keputusan yang diambil sang anak
dipengaruhi oleh kuasa atau kekuatan lain. Ketika ditanyakan tentang perasaan, maka sang ibu
menjawab “ada perasaan jengkel, marah, sakit hati, kasian dengan anak, kecewa dengan anak
terutama dengan gereja.” Kekecewaan yang dirasakan karena tidak ada pelayanan khusus yang
diberikan gereja, hanya suatu tindakan nyata seperti penguatan dalam doa yang dilakukan oleh
seorang pendeta dan beberapa majelis saat itu. Sikap gereja terlebih jemaat saat itu tidak ada
yang menjauhi keluarga ini karena jemaat merasa kasihan dengan keluarga yang ditinggalkan
dan keluarga ini juga tidak memilih sikap menarik diri dari lingkungan gereja karena bagi
keluarga semua yang terjadi sudah rencana Tuhan dan biarkan Tuhan yang atur. Sikap
lingkungan disekitar keluarga maupun lingkungan keluarga yang lebih luas tidak
mempermasalahkan hal ini, bahkan mendukung dengan keputusan yang diambil sang anak
karena melihat sebelumnya sang ibu beragama Hindu kemudian karena menikah melakukan
konversi. Dengan kata lain lingkungan mengatakan hal ini wajar karena membayar atau
menggantikan sang ibu yang dulunya berpindah.27
Model keluarga yang keempat, keluarga ini memiliki empat orang anak, tiga perempuan
dan satu laki-laki. Anggota yang melakukan konversi agama dari keluarga ini adalah anak
perempuan yang pertama, yang dimana anak perempuan dari keluarga ini menikah dan masuk
agama Hindu. Hasil wawancara dengan keluarga yang keempat, keluarga ini membenarkan
bahwa memang benar ada anggota keluarganya melakukan konversi agama. Menurut cerita sang
ibu segala cara telah dilakukan untuk mempertahankan anaknya agar tetap mengikut Kristus.
Awalnya sang ibu beradu pendapat dengan sang anak, sang ibu mengingatkan anaknya jika ia
sudah diteguhkkan sebagai anggota sidi sehingga tidak boleh pindah agama karena hal itu
dianggap dosa tetapi sang anak tetap pada pendiriannya untuk tetap melakukan konversi dengan
pernyataan “biar semua dosa saya yang tanggung, tidak akan saya bagi dosanya dan tidak akan
27 “ PP”, Wawancara Umat, Gianyar, 21 Agustus 2016.
15
ada yang wakilkan. Nanti saya yang berhadapan dengan Tuhan.” Mendengar semua itu sang ibu
sedih dan sempat menyuruh pembantunya untuk membeli racun serangga dengan maksud ingin
bunuh diri tapi hal itu gagal karena diketahuan oleh pembantu yang lain. Akhirnya orang tua
menyetujui keputusan anaknya untuk menikah dan pindah agama mengikuti suaminya. Orang tua
yang diwawancara oleh penulis mengaku pada saat itu tidak ada pelayanan khusus yang
diberikan gereja untuk menghibur atau memberikan penguatan pada keluarga. Namun, hal itu
tidak menjadikan keluarga menyalahkan gereja atas pilihan yang diambil oleh sang anak, karena
orang tua dan keluarga sadar bahwa tidak ada yang salah semua karena faktor cinta, pergaulan
dan keberadaan mereka sebagai kaum minoritas di Bali yang menyebabkan anak mereka
melakukan konversi agama.28
Model keluarga yang kelima, keluarga ini memiliki dua orang anak, satu laki-laki dan
satu perempuan. Anggota keluarga yang melakukan konversi ialah anak perempuan yang dimana
anak kedua dari keluarga ini menikah dengan laki-laki jawa yang beragama Islam yang tentunya
membuat anak perempuan dari keluarga ini melakukan konversi. Hasil wawancara dengan
keluarga yang kelima, ketika ditanya tentang ada atau tidak anggota keluarga yang melakukan
konversi keluarga ini yang diwakili oleh sang ibu sangat terbuka dan mengaku bahwa memang
benar salah seorang dari kedua anaknya melakukan konversi yaitu anak perempuannya yang
melakukan konversi karena menikah. Sang ibu juga menjelaskan kepada penulis bahwa segala
upaya dilakukan untuk menyadarkan anaknya hanya saja sang anak tetap pada pendiriannya
untuk tetap menikah dan melakukan konversi. Saat itulah kekecewaan, marah dan rasa malu
dialami oleh keluarga ini karena sang anak telah mengaku percaya (sidi). Menurut cerita dari
keluarga yang pada saat itu diwakili oleh ibunya, mengaku bahwa pada saat itu gereja tidak
memberikan pelayanan khusus kepada gereja yang ditinggalkan, tidak adanya penguatan yang
diberikan. Keluarga tidak menyalahkan gereja atas semua ini, hanya saja keluarga merasa gereja
kurang memberikan pelayanan yang merangkul seluruh lapisan. Keluarga sendiri menyadari
bahwa faktor yang menyebabkan anaknya memilih melakukan konversi agama karena cinta,
pergaulan dan lingkungan. Menurut keluarga ketika faktor cinta yang membuat anggota
keluarganya pindah agama maka keluarga yang lain tidak bisa memaksakan untuk anggotanya
itu untuk tetap tinggal dan percaya. Bagi keluarga ini, perasaan tidak dapat dibohongi dan
28 “ MM”, Wawancara Umat, Gianyar, 23 Agustus 2016.
16
masalah kepercayaan bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan. Sikap yang dipilih oleh keluarga
ini ketika anggota keluarganya ada yang melakukan konversi, keluarga ini tetap bertekun dalam
doa dan semakin dekat dengan Tuhan. Mereka tetap pergi ke gereja, beribadah tanpa
memperdulikan tanggapan orang atas diri mereka.29
Model keluarga yang keenam, keluarga ini memiliki dua orang anak perempuan dan
kedua anak dari keluarga ini melakukan konversi agama karena menikah. Anak yang pertama
melakukan konversi agama ke agama Islam dan anak yang kedua konversi ke agama Hindu.
Hasil wawancara dengan keluarga yang keenam, keluarga sendiri mengakui bahwa terjadinya
konversi agama yang dilakukan oleh anggota keluarganya terjadi karena kesalahan orang tua
dalam hal mendidik anak-anak mereka, seperti kurangnya ketegasan dalam mendidik anak.
Faktor yang lain ialah karena cinta dan pergaulan. Pada saat itu perasaan keluarga marah, malu,
sedih, kecewa dan pada saat itu juga keluarga tidak mendapatkan pelayanan khusus dari gereja.
Walaupun demikian keluarga ini mengambil sikap untuk tetap aktif dalam gereja, selalu meminta
maaf kepada Tuhan dan semakin bertekun dalam doa agar anaknya disadarkan dan bisa kembali
mengikut Kristus.30
Model keluarga yang ketujuh, keluarga ini memiliki lima orang anak, dua perempuan dan
tiga laki-laki. Anggota keluarga yang melakukan konversi adalah kedua anak perempuan dari
keluarga ini. Kedua anak perempuan ini melakukan konversi ke agama Hindu dikarenakan
menikah. Menurut hasil wawancara dengan yang ketujuh, keluarga dan orang tua mengakui
bahwa emang benar ada dua anggota keluarganya melakukan konversi. Orang tuanya
mengatakan hal ini disebabkan karena cinta, pergaulan dan sekolah yang jauh dari orang tua.
Ketika dipertanyakan perihal perasaan orang tua dari kedua anak yang melakukan konversi ini
mengaku awalnya sempat marah, kesal, malu dn kecewa. Namun, seiring berjalannya waktu
semua bisa diterima dan sekarang keluarga merasa biasa saja. Keluarga mengakui bahwa pada
saat anggota keluarganya melakukan konversi, keluarga tidak mendapatkan pelayanan khusus
dari gereja. Keluarga mengaku bahwa hal itu dapat dimaklumi karena pada saat itu keadaan
gereja belum baik, gereja masih kecil dan masih sedikit jemaatnya. Walaupun demikian,
29 “ LK”, Wawancara Umat, Gianyar, 23 Agustus 2016. 30 “ YH”, Wawancara Umat, Gianyar, 18 Agustus 2016.
17
keluarga ini memilih untuk tetap aktif pelayanan hingga kini walaupun anggota keluarga mereka
melakukan konversi agama.31
31 Wawancara Umat, “ KG”, 23 Agustus 2016. 18
Berikut adalah tabel persamaan dan perbedaan:
NO KELUARGA PERSAMAAN PERBEDAAN SIKAP MASYARAKAT SIKAP GEREJA
1. “SU” - Memiliki anak
yang melakukan
konversi agama.
- Memiliki
perasaan
kecewa.
- Tidak menarik
diri dari
persukutuan dan
pelayanan di
gereja.
- Faktor yang
mempengaruhi :
cinta, pergaulan,
dan keberadaan
sebagai kaum
minoritas.
- Tidak
mendapatkan
pelayanan
- Menganggap
konversi menjadi
suatu yang biasa.
- Menganggap
anak sudah besar
dan bisa
menentukan
pilihan hidupnya
sendiri.
- Menganggap
setelah anak
mengaku percaya
(sidi) bukan
tanggung jawab
orang tua lagi.
- Sikap
masyarakat
biasa saja
karena
lingkungan
tempat dimana
keluarga ini
tinggal tetangga
atau
masyarakatnya
sedikit dan
memiliki
kesibukan
masing-masing.
- Biasa saja, namun
dalam proses
pertemuan antar
keluarga ada
majelis jemaat
yang diminta
untuk menjadi
pembicara untuk
mewakili orang
tua dan keluarga.
khusus setelah
ditinggalkan
konversi oleh
sang anak.
2. “FB” - Memiliki anak
yang melakukan
konversi agama.
- Memiliki
perasaan
kecewa.
- Tidak menarik
diri dari
persukutuan dan
pelayanan di
gereja.
- Faktor yang
mempengaruhi :
cinta, pergaulan,
dan keberadaan
sebagai kaum
minoritas.
- Tidak
- Merasa
kehilangan anak
dalam
kebersamaan
iman.
- Menganggap
semua ini karena
sudah waktunya
dan sudah jodoh
sang anak.
- Kurang begitu
aktif dalam
pelayanan
khusus, seperti
menjadi majelis
atau tim pengajar.
- Untuk sikap
masyarakat
dalam konteks
kehidupan
keluarga ini sulit
untuk
digambarkan
karena keluarga
ini berpindah-
pindah.
- Gereja melakukan
perkunjungan
kepada keluarga.
mendapatkan
pelayanan
khusus setelah
ditinggalkan
konversi oleh
sang anak.
3. “PP” - Memiliki anak
yang melakukan
konversi agama.
- Memiliki
perasaan
kecewa.
- Tidak menarik
diri dari
persukutuan dan
pelayanan di
gereja.
- Faktor yang
mempengaruhi :
cinta, pergaulan,
dan keberadaan
- Mendapatkan
pelayanan dari
pendeta dan
majelis.
- Pendeta dan
majelis
membantu
mengurus
permasalahan.
- Aktif terlibat
dalam pelayanan
maupun
organisasi gereja.
- Yang melakukan
konversi adalah
- Sikap
masyarakat
sekitar
menunjukan
sikap
mendukung
akan keputusan
yang dipilih
sang anak,
karena
masyarakat
menganggap hal
itu wajar-wajar
saja sebagai
bentuk
- Pada waktu itu
gereja membantu
pihak keluarga
untuk menarik
anaknya agar
tetap mengikut
Kristen. Bahkan
ketika
permasalahan ini
dilaporkan pada
kantor polisi
gereja tetap
membantu.
- Gereja
memberikan
sebagai kaum
minoritas.
anak laki-laki.
- Sang anak masih
terdaftar sebagai
warga gereja.
- Berjuang untuk
mempertahankan
iman anak agar
tetap mengikut
Kristus.
“pembayaran”
karena sang ibu
dulunya juga
melakukan
konversi agama.
pelayanan dalam
bentuk
perkunjungan.
4. “MM” - Memiliki anak
yang melakukan
konversi agama.
- Memiliki
perasaan
kecewa.
- Tidak menarik
diri dari
persukutuan dan
pelayanan di
gereja.
- Faktor yang
mempengaruhi :
- Sang ibu sempat
memiliki
keinginan untuk
bunuh diri.
- Sang anak yang
melakukan
konversi dulunya
adalah ketua
pengurus gerakan
pemuda di gereja.
- Sikap
masyarakat
biasa saja
- Gereja pada saat
itu tidak
melakukan
pelayanan khusus
hanya saja
beberapa umat
yang lain
menasehatkan
sang anak untuk
meyakini apa
yang menjadi
pilihannya saat
itu.
cinta, pergaulan,
dan keberadaan
sebagai kaum
minoritas.
- Tidak
mendapatkan
pelayanan
khusus setelah
ditinggalkan
konversi oleh
sang anak.
5. “LK” - Memiliki anak
yang melakukan
konversi agama.
- Memiliki
perasaan
kecewa.
- Tidak menarik
diri dari
persukutuan dan
pelayanan di
gereja.
- Sang anak
konversi ke
agama Islam.
- Dalam peristiwa
yang dialami
oleh keluarga ini
masyarakat
memilih untuk
bersikap biasa
saja.
- Gereja tidak
melakukan
pelayanan khusus
pada pihak
keluarga dan
dapat
disimpulkan
gereja bersikap
menutup diri.
- Faktor yang
mempengaruhi :
cinta, pergaulan,
dan keberadaan
sebagai kaum
minoritas.
- Tidak
mendapatkan
pelayanan
khusus setelah
ditinggalkan
konversi oleh
sang anak.
6. “YH” - Memiliki anak
yang melakukan
konversi agama.
- Memiliki
perasaan
kecewa.
- Tidak menarik
diri dari
persukutuan dan
- Dua orang anak
yang melakukan
konversi.
- Sang anak
memaksakan
hingga pernah
bunuh diri.
- Sikap
masyarakat
yang diterima
keluarga ini, ada
yang biasa saja.
Namun, ada
pula yang
mendukung
pilihan sang
- Gereja tidak
memberikan
penguatan dalam
bentuk pelayanan
dalam keluarga
ini.
pelayanan di
gereja.
- Faktor yang
mempengaruhi :
cinta, pergaulan,
dan keberadaan
sebagai kaum
minoritas.
- Tidak
mendapatkan
pelayanan
khusus setelah
ditinggalkan
konversi oleh
sang anak.
anak.
7. “KG” - Memiliki anak
yang melakukan
konversi agama.
- Memiliki
perasaan
kecewa.
- Tidak menarik
- Kedua anak
perempuan
keluarga ini
melakukan
konversi.
- Keluarga yang
aktif dan terlibat
- Tidak ada sikap
masyarakat
yang khusu,
melainkan
menganggap hal
ini sebagai hal
yang biasa saja.
- Sikap gereja biasa
saja, tidak adanya
pelayanan pada
saat itu. Hal ini
dilihat oleh
keluarga karena
keadaan gereja
diri dari
persukutuan dan
pelayanan di
gereja.
- Faktor yang
mempengaruhi :
cinta, pergaulan,
dan keberadaan
sebagai kaum
minoritas.
- Tidak
mendapatkan
pelayanan
khusus setelah
ditinggalkan
konversi oleh
sang anak.
dalam organisasi
gereja.
yang masih kecil
dan belum
berkembang.
25
BAGIAN IV
ANALISIS
Pada bagian ini penulis mencoba menganalisis dinamika kehidupan umat dalam
bergereja berdasarkan hasil penelitian yang di dapat dan melihat peristiwa yang terjadi dengan
menggunakan beberapa teori yang dipaparkan dalam Bab II terlebih melihat kehadiran gereja
sebagai sahabat dengan menggunakan perspektif dari Brian Edgar. Ketika membicarakan tentang
dinamika kehidupan bergereja maka kita akan berhadapan dengan perihal melayani dan dilayani
yang sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan gereja. Ajaran dan
teladan Tuhan Yesus yang ditemukan dalam Injil, disebut menjadi akar pelayanan gereja. Injil
Markus 10:35-45 dan Yohanes 13:1-20 menjadi dua contoh perikop yang memberi pengajaran
tentang sebuah pelayanan bagi setiap orang yang ingin menjadi lebih besar dari yang lainnya,
termasuk mereka yang ingin menjadi pemimpin yang bersedia memberi dirinya menjadi pelayan
bagi orang lain (pemimpin yang melayani).
Berbeda dengan ajaran dan teladan yang diberikan oleh Tuhan Yesus dalam Injil Markus
dan Yohanes yang menekankan tentang pemberian diri dalam wujud pelayanan bagi orang lain,
Brian Edgar berpendapat bahwa kehidupan gereja mula-mula yang memberi diri untuk sesama
dilihatnya dari konteks Injil Lukas. Bagi penulis sendiri, bukan perkara yang mudah bagi
seseorang yang memberikan dirinya untuk melayani orang lain. Hal ini dapat saja terjadi ketika
seseorang yang ingin melayani orang lain sudah memiliki kerendahan hati, kasih dan memiliki
jiwa persahabatan yang senantiasa menggambarkan cinta kasih. Hal ini juga sesuai dengan
pendapat dari Brian Edgar. Menurut Edgar siapa yang dapat menerima Firman maka ia juga
menerima Tuhan sebagai sahabat dan mau masuk dalam sebuah komunitas persahabatan di
dalam Tuhan. Persahabatan yang dibahas oleh Edgar dilihat dari konteks Injil Lukas yang
menggambarkan tentang kehidupan gereja mula-mula yang memahami bahwa persahabatan
kekristenan membentuk masyarakat.
26
Menurut Edgar hanya sebuah relasi persahabatan dapat dipandang sebagai dasar
terbentuknya komunitas Kristen. Gagasan tentang persahabatan yang ditawarkan Brian Edgar
adalah sebuah gagasan yang mencerminkan kehadiran Allah dalam karyaNya yang
menyetarakan semua orang yang mau menerima Firman dan masuk dalam komunitas
persahabatan Kristiani.32
Ketika Allah yang telah berinkarnasi dalam diri Yesus mampu menjadi
sahabat, maka gereja harus mampu ramah terhadap umatnya. Edgar menawarkan bagaimana
gereja memposisikan diri di tengah kehidupan umat yaitu dengan menjadi gereja yang ramah
untuk semua umat dan membangun suasana terbuka dan hangat sehingga umat mampu
merasakan pentingnya gereja dalam kehidupannya. Penulis melihat hal ini bukan saja harus
dilakukan oleh Pendeta dan majelis jemaat melainkan semua yang mengambil bagian menjadi
anggota jemaat GPIB Eben Haezer, Gianyar Bali. Membahas tentang komunitas persahabatan
jangan hanya puas dengan keramahan, tetapi harus melibatkan dan mengenali pentingnya
persahabatan dan membuka kesempatan untuk orang lain bersama-sama bertumbuh dalam
persahabatan yang lebih dalam.
Berdasarkan hal ini dan melihat hasil penelitian yang di dapat dari Pendeta, anggota
jemaat dan tujuh keluarga yang diwawancarai di GPIB Eben Haezer, Gianyar Bali. Penulis
melihat bahwa gereja belum menyadari dan melihat kebutuhan umat yang ditinggalkan konversi
oleh anggota keluarganya. Hal ini terbukti dari pendapat pendeta bahwa gereja tidak bisa begitu
saja membuat program jika tidak ada dana dan permintaan dari umat. Gereja harus menunggu
laporan dan melihat apa yang dibutuhkan jemaat dalam mendukung pertumbuhan imannya,
dengan kata lain menurut penulis dalam membuat program gereja selalu terpaku kepada dana
dan permintaan umat atau dengan kata lain gereja selalu melihat konteks kehidupan umat. Hal ini
baik adanya, namun pelayanan dapat berjalan jika ada kemauan yang dupupuk dari pendeta
sekaligus pemimpin yang dapat mengarahkan majelis dan umat. Berdasarkan pendapat itu
penulis mencoba menerka mungkin saja setiap program di masing-masing gereja GPIB berbeda
karena model kepemimpinan dan pelayanan Pendeta dan majelis di tiap-tiap gereja berbeda.
Menurut “NS” yang merupakan majelis, ia berpendapat bahwa peristiwa konversi agama
di gereja ini harus dilihat secara serius. Gereja tidak perlu menunggu permintaan jemaat, tapi
bagaimana gereja hadir untuk mensosialisasikan secara bersama program apa yang diperlukan
32
Brian Edgar, God is Friendship, A Theology of Spirituality, Community, and Society (Kentucky: Seedbed Publishing, 2013), 143.
27
umat, dalam hal ini “NS” melihat bukan karena umat tidak mau melaporkan apa yang menjadi
kebutuhannya melainkan belum memiliki ide untuk membuat program yang mengantisipasi agar
berkurangnya peristiwa konversi dalam kehidupan umat. Penulis melihat bahwa gereja harus
melibatkan umat dalam proses pembentukan suatu program dengan begitu umat juga merasakan
bahwa gereja terbuka dan menerima usulan umat. Hal lain yang ditemukan ialah perbedaan sikap
gereja, seperti sikap dan penanganan yang gereja berikan bagi keluarga “PP” berbeda dengan
yang diterima keenam keluarga yang lainnya. Hal ini menurut penulis dipengaruhi oleh sistem
pergantian pemimpin gereja. Penulis melihat ketika pemimpin diganti maka setiap program dan
bentuk pelayanan pun berubah. Perbedaan ini terjadi dikarenakan peristiwa konversi yang
dilakukan oleh ketujuh anggota keluarga yang telah diwawancarai terjadi dalam kurun waktu
yang berbeda yang juga terjadi pada masa kepemimpinan Pendeta yang berbeda. Selain itu
penulis menemukan pendapat dari beberapa keluarga maupun jemaat bahwa adanya umat yang
melakukan konversi merupakan suatu hal yang biasa karena menganggap anak sudah besar dan
bukan tanggung jawab orang tua lagi untuk memelihara iman anak. Hal ini berbanding terbaling
dengan apa yang penulis dapatkan waktu pembelajaran katekisasi, yang dimana waktu itu “FN”
mengatakan bahwa “tugas orang tua Kristen ialah mengantarkan dan ikut memelihara iman
anaknya dari bayi hingga ia mampu menemukan pasangan hidupnya.” Mendengar pendapat dari
beberapa anggota keluarga tersebut, penulis beranggapan bahwa adanya kebebasan yang
diberikan. Hal ini juga yang membuat penulis berpendapat memang benar bahwa pola asuh
orang tua juga menjadi faktor terpenting untuk pertumbuhan anak terlebih dalam hal iman.
Berbeda dengan pendapat beberapa keluarga yang dikemukakan diatas dalam wawancara
penulis menemukan pendapat dan sikap keluarga yang lain. Ada keluarga yang merasa malu,
kehilangan anak dalam hal kebersamaan iman, menyalahkan diri sendiri hingga memilih untuk
melakukan bunuh diri. Melihat dan mendengar kenyataan ini penulis berpendapat hal ini dapat
terjadi karena anggota keluarga yang ditinggalkan konversi sudah putus asa, tidak mendapatkan
jalan keluar, tidak menemukan wadah yang tepat untuk menceritakan pergumulannya baik di
dalam keluarga maupun di luar keluarga seperti masyarakat sekitar dan lingkungan gereja.
Berdasarkan kenyataan ini, penulis berpendapat bahwa gereja harus melihat kebutuhan jemaat
dalam hal pelayanan.
28
Gereja harus mampu hadir sebagai sosok sahabat yang menggambarkan komunitas
Kristen seperti yang dijelaskan oleh Edgar. Gereja harus dapat menjadi wadah untuk
menampung pergumulan jemaat dan mencari atau membuat program untuk mengantisipasi agar
peristiwa konversi agama tidak bertambah banyak.
Tentu hal ini bukanlah hal yang mudah, jika gereja terlalu mengawasi pergaulan dan terlalu ikut
campur dalam kehidupan jemaat. Cara yang dapat dilakukan oleh gereja bisa saja dengan
melakukan perkunjungan rutin kepada seluruh umat (melalui cara ini penulis melihat akan ada
peluang umat yang dikunjungi akan menceritakan seluruh pergumulannya dan pada saat itulah
gereja bisa menempatkan diri sebagai sahabat yang menolong, yang mengasihi dan merangkul
para umat dalam kesetaraan cinta kasih). Selain itu gereja dapat membentuk tim doa yang datang
secara rutin ke rumah-rumah jemaat, membuat program-program yang menarik dan kreatif
sehingga umat merasa nyaman dan betah untuk tetap hadir dalam persekutuan.
Jika ditarik ke dalam kehidupan gereja sebagai komunitas umat Kristen pada masa kini,
maka perubahan status dari “hamba” ke “sahabat” mengajarkan gereja untuk menjadi komunitas
yang anggotanya dikenal karena perbuatan kasih yang dibagikan kepada sesama tanpa membeda-
bedakan antara satu dengan yang lain. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnnya, bahwa relasi
(hubungan) adalah sumber kebahagiaan manusia. Akan tetapi, faktanya tidak semua relasi
membawa kebahagiaan. Relasi “tuan” dan “hamba” telah membuktikan adanya relasi yang tidak
membawa kebahagiaan sebab di dalam relasi itu terdapat jenjang perbedaan yang menyebabkan
terbukanya potensi penindasan. Sayangnya, gereja, masih hidup dalam relasi yang demikian. Di
dalam gereja, masih terdapat pembedaan terhadap “kaum klerus”, yaitu pendeta dan presbiter,
dan “kaum awam”, yaitu anggota jemaat biasa. Hal ini terpelihara sebab warga gereja sudah
hidup dengan doktrin turun-temurun tentang gereja sebagai tempat pelayanan yang berisikan
orang-orang yang rindu untuk melayani juga orang-orang yang memerlukan pelayanan. Brian
Edgar dalam bukunya “God Is Friendship” menjelaskan:
Friendship with God is a truly awesome, almost scandalous concept, one the church often resists.
Of course Jesus always remains as our “Lord” and “King” and “Master,” but this only serves to
stress the magnitude of the grace offered- that every believer can be treated as a friend of the King!
The essential themes and priciples bound up in servanhood are not, however, to be rejected and the
idea of “friendship with God” embrace many of them, although the motivation for action is
different. Consider the similarities and the contrasts in the following table.33
33
Brian Edgar, God is Friendship, A Theology of Spirituality, Community, and Society (Kentucky: Seedbed Publishing, 2013), 29. 29
Servant-master relationship Friend-friend relationship
- Does what the master wants.
- Acts out of duty
- Obedience is the central virtue
- Does not really know the master
- A relationship defined by doing
- Servanthood is a requirement
- Work orientated
- Hierarchical in from
- Does what the friend wants
- Acts out of friendship
- Friendship and love are central virtues
- Knows the friend intimately
- A relationship defined by being
- Friendship is a gift of grace
- Relationship orientated
- Egalitarian in from
Sumber: God Is Friendship: Theology of Spirituality, Community, and Society. 29.
Jadi, berdasarkan pandangan Brian Edgar di atas bahwa model persahabatan dengan
Allah merupakan suatu relasi yang mengagumkan. Namun, hal ini terkadang ditolak oleh gereja-
gereja. Hadirnya model persahabatn tidak membuat atau menghilangkan gambar Allah sebagai
Tuhan dan Raja. Konsep ini digunakan sebagai bentuk penawaran yang berfungsi untuk
mmenyatakan kasih karunia yang ditawarkan bagi mereka yang percaya yang dianggap sahabat
Raja (Allah). Perbedaan yang dituliskan dalam tabel di atas ingin menjelaskan bahwa model
hamba membuat atau menimbulkan rasa tidak berharga di dalam diri mereka yang disebut
dengan pannggilan hamba. Berbeda dengan model persahabatan yang memanggil para umat
dengan panggilan sahabat yang dimana dapat menggambarkan kesetaraan dalam pelayanan. Pada
model hamba yang dijelaskan dalam tabel di atas menunjukan sebuah relasi yang kurang akrab,
sedangkan model persahabatn digunakan untuk memotivasi yang lain dalam hal pelayanan.
Model persahabatan menekankan kasih sebagai kunci untuk menghargai sebuah ikatan
persahabatan dalam pelayanan.
30
BAGIAN V
PENUTUP
KESIMPULAN
Melihat model pelayanan yang dilakukan di GPIB Eben Haezer, Gianyar Bali serta
wawancara yang telah dilakukan. Menurut penulis pelayanan gereja belum bisa menjawab
kebutuhan umat yang ditinggalkan konversi agama oleh anggota keluarganya. Karena gereja
tidak dapat membuat pelayanan begitu saja jika umat tidak meminta pelayanan tersebut.
sehingga dalam hal ini gereja hanya akan membuat program pelayanan dengan melihat konteks
kehidupan dan permintaan dari umat.
Peristiwa konversi agama ini membuat begitu banyak umat yang ditinggalkan anggota
keluarga merasa kehilangan bahkan ada yang nekat ingin bunuh diri. Selain anggota keluarga
yang merasakan kesedihan hal ini juga dirasakan oleh majelis yang dimana ia merasakan
dilemma etis ketika harus mengetahui umat yang ia didik dalam pengajaran katekisasi, sebagai
bapak nasrani, dan menasehatkan setiap bertemu melakukan konversi dan ia sendiri yang
menjadi pembicara sebagai perwakilan keluarga dan gereja dalam acara pernikahan. Berdasarkan
kenyataan tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa gereja belum memiliki pelayanan khusu
bagi mereka yang ditingglakn konversi oleh anggota keluarganya.
Melihat hal ini penulis, beranggapan gereja harus menciptakan komunitas persahabatan
dalam menjalankan pelayanannya. Model persahabatan dapat menjadi pendekatan yang efektif
yang digunakan oleh gereja untuk merangkul umatnya. Penulis melihat gereja mampu
menjalankan model persahabatan ini dalam pelayanan karena mereka yang menjadi korban
konversi agama sangat terbuka dan mendambakan pelayanan gereja yang bersahabat. Jika hal ini
belum bisa dijalankan oleh gereja, itu karena umat sendiri belum memiliki ide yang bisa mereka
berikan kepada gereja.
SARAN
Kepada GPIB Eben Haezer, Gianyar Bali.
Bukanlah hal yang mudah untuk mengantisispasi agar tidak terjadinya konversi
agama, karena hal ini berhubungan dengan masalah pribadi masing-masing umat dalam
menjalin suatu hubungan pertemanan atau pun hubungan yang lain dalam masyarakat yang
lebih luas.
31
Gereja tidak bisa begitu saja melarang umatnya untuk bergaul ataupun membatasi pergaulan
umat.
Namun, dalam hal ini yang bisa gereja lakukan ialah membuat suatu bentuk pelayanan
yang dapat menjawab kebutuhan umat baik yang aktif maupun yang pasif. Gereja harus mampu
berdiri sebagai sahabat yang menolong dengan memberikan solusi yang kontekstual dalam
menjawab kebutuhan para umat. Menurut penulis, karena setiap kategori usia mempunyai pola
pikir yang berbeda, supaya materi cocok dengan tingkat perkembangan intelektual. Oleh sebab
itu, gereja harus hadir sebagai sahabat dalam berbagai katagori usia dan senantiasa melihat
kebutuhan umat serta memperbaharui bentuk pelayanan yang ada.
Gereja harus menyediakan pengajar yang berkualitas dan kreatif dalam mengaplikasikan
bahan ajar bagi anak-anak, taruna dan pemuda. Gereja juga harus mampu memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada untuk memberikkan pelayanan yang
kontekstual. Selain hal yang telah dijelaskan diatas, penulis berpendapat ada baiknya jika gereja
melihat kembali apa yang menjadi kebutuhan setiap umat, meningkatkan perkunjungannya,
membentuk tim doa baik yang umum maupun dalam katagorial, membangun kembali program
pendalaman Alkitab yang dilakukan di dalam ibadah keluarga, dan yang terpenting menciptakan
suasana persahabatan di dalam proses kepemimpinan dan pelayanan baik pendeta, majelis,
pengurus katagorial dan para umat.
32
DAFTAR PUSTAKA
Edgar, Brian. 2013. God is Friendship. United State of America: SEEDBED PUBLISHING.
Gallagher, Charles A. 1995. Makna persahabatan: Bagaimana Menghayatinya? Jakarta: Penerbit OBOR.
Gibbs, Eddie. 2010. Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang. Terjemahan Tonggor M. Siahaan. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Hendropuspito, Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
J. Vredenbregt. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1984.
James, William. The varietis of Religious. Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.
Lexi, Moleong J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Mardalis. Metode Penelitian suatu Pendekatan Proposal. Jakarta:Bumi Aksara, 2004.
Maryknoll: Orbits Book. Friends In Christ: Paths to a new understanding of Church.
O’Dea, Thomas F. The Sociology of Religion. Jakarta: CV Rajawali, 1987.
Rice, Jesse. The Church of Facebook. Colorado: David C. Cook, 2009.
Soekanto, Soejono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press, 1990.
Stambaugh, John dan David Balch. 1997. Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitaif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2012.
Sulaiman, Muhandar. Ilmu Sosiologi Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: ERESCO, 1989.
Summers, Steve. Friendship Exploring its implications for the Church in Postmedernity. London: T&T
Clark, 2009.
Sururin, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004.
Momen, Moojan. The Phenomenon of Religion: A Thematic Approach. Oxford: One World Publications,
1999.
33
SUMBER INTERNET:
Gereja Kristen Indonesia Pondok Indah. Artikel “Bergereja: Antara Pelayanan dan Persahabatan” oleh
Joas Adiprasetya. http://gkipi.org/bergereja-antara-pelayanan-dan-persahabatan/ (diunduh 25 Juni
2016).
Gunawan, Linna. Spiritualitas Gereja Persahabatan.
http://www.academia.edu/23876926/SPIRITUALITAS_GEREJA_PERSAHABATAN, diunduh 14 Juli,
2016.
SUMBER WAWANCARA:
Pendeta dan Jemaat GPIB Eben Haezer Gianyar, Bali
34