Kegawatdaruratan Medis Dalam Era BPJS

31
REFERAT PELAYANAN KEGAWATDARURATAN MEDIS DALAM ERA BPJS KESEHATAN Diajukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Disusun oleh: Riko Febrian (2013-061-064) Priscila Stevanni (2013-061-066) Samuel (2013-061-069) Pricilia Nicholas (2013-061-070) Dosen Pembimbing : dr. Arif R. Sadad, SH., Sp.F., Msi. Med., DHM Residen Pembimbing : dr. Suryo Wijoyo, M.H. (Kes) BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ATMAJAYA SEMARANG Periode 12 Januari 24 Januari 2015

description

Kegawatdaruratan Medis Dalam Era BPJS

Transcript of Kegawatdaruratan Medis Dalam Era BPJS

REFERAT

PELAYANAN KEGAWATDARURATAN MEDIS DALAM ERA BPJS

KESEHATAN

Diajukan untuk memenuhi syarat menempuh ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu

Kedokteran Forensik

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:

Riko Febrian (2013-061-064)

Priscila Stevanni (2013-061-066)

Samuel (2013-061-069)

Pricilia Nicholas (2013-061-070)

Dosen Pembimbing : dr. Arif R. Sadad, SH., Sp.F., Msi. Med., DHM

Residen Pembimbing : dr. Suryo Wijoyo, M.H. (Kes)

BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ATMAJAYA

SEMARANG

Periode 12 Januari – 24 Januari 2015

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Kegawatdaruratan Medis

dalam Era BPJS”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas dari bantuan

berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada beberapa pihak yang membantu dalam penulisan referat ini:

1. dr. Arif R. Sadad, SH., Sp.F., Msi. Med., DHM selaku konsulen pembimbing

yang telah meluangkan waktu, memberikan dukungan serta saran selama

penulisan referat ini.

2. dr. Suryo Wijoyo, M.H. (Kes) selaku residen pembimbing yang telah meluangkan

waktu, memberikan dukungan, masukan dan kritik yang bermanfaat selama

penulisan referat ini.

3. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis mohon apabila terdapat beberapa kesalahan dalam referat ini. Penulis juga

mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di kemudian hari.

Akhir kata, penulis berharap referat ini bermanfaat bagi pembaca. Atas perhatian yang

diberikan, penulis mengucapkan terima kasih.

Semarang, 19 Januari 2015

Penulis

DAFTAR ISI

ii

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

1.1. Latar belakang...................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................2

1.3. Tujuan...............................................................................................................2

1.3.1. Tujuan umum.....................................................................................3

1.3.2. Tujuan khusus....................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................4

2.1. Definisi kegawatdaruratan medis dan Unit Gawat Darurat............................. 5

2.2. Masalah-masalah yang ada di UGD.................................................................5

2.3. Pembiayaan dalam Pelayanan Gawat Darurat..................................................6

2.4. Masalah Medikolegal pada penanganan Pasien Gawat Darurat.......................6

2.5. Jaminan Kesehatan Nasional............................................................................7

2.5.2. Peserta Jaminan Kesehatan Nasional.................................................8

2.5.3. Pembiayaan.......................................................................................10

2.5.4. Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan dan Dokter............................11

2.5.5. Sistem Rujukan Berjenjang...............................................................13

2.5.6. Cakupan dan Prosedur Pelayanan Gawat Darurat di Era BPJS.........16

BAB III PENUTUP............................................................................................................27

3.1. Kesimpulan.......................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................28

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kejadian gawat darurat dapat diartikan sebagai keadaan dimana seseorang

membutuhkan pertolongan segera karena apabila tidak mendapatkan pertolongan dengan

segera maka dapat mengancam jiwanya atau menimbulkan kecacatan permanen.1

Keadaan gawat darurat yang sering terjadi di masyarakat antara lain keadaan seseorang

yang mengalami henti napas, henti jantung, tidak sadarkan diri, kecelakaan, cedera,

misalnya patah tulang, kasus stroke, kejang, keracunan, dan korban bencana. Unsur

penyebab kejadian gawat darurat antara lain karena terjadinya kecelakaan lalu lintas,

penyakit, kebakaran maupun bencana alam. Kasus gawat darurat karena kecelakaan lalu

lintas merupakan penyebab kematian utama di daerah perkotaan.2

Menurut American Hospital Association (AHA) dalam Herkutanto1 keadaan gawat

darurat adalah suatu kondisi dimana berdasarkan respon dari pasien, keluarga pasien,

atau siapa pun yang berpendapat pentingnya membawa pasien ke rumah sakit untuk

diberi perhatian/tindakan medis dengan segera. Kondisi yang demikian berlanjut hingga

adanya keputusan yang dibuat oleh pelayanan kesehatan yang profesional bahwa pasien

berada dalam kondisi yang baik dan tidak dalam kondisi mengancam jiwa. Penderita

gawat darurat adalah penderita yang oleh karena suatu penyebab (penyakit, trauma,

kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong akan mengalami cacat,

kehilangan organ tubuh atau meninggal.

Pertolongan pertama merupakan pertolongan secara cepat dan bersifat sementara

waktu yang diberikan pada seseorang yang menderita luka atau terserang penyakit

mendadak.Pertolongan ini menggunakan fasilitas dan peralatan yang tersedia pada saat

itu dan tempat yang dibutuhkan. Tujuan yang penting dari pertolongan pertama adalah

memberikan perawatan yang akan menguntungkan pada orang-orang tersebut sebagai

persiapan terhadap penanganan lebih lanjut.3

Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), pasal 2 setiap dokter

harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang

tertinggi yaitu sesuai dengan perkembangan IPTEK kedokteran, etika umum, etika

kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan dan situasi

setempat. Selanjutynya berdasarkan KODEKI pasal 13, setiap dokter wajib melakukan

pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang

2

lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan. Rumah sakit di Indonesia memiliki

kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari dimana

Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai

persyaratan pemberian layanan. Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam

keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang praktik

kedokteran, dimana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar

kemanusiaan.

Setiap orang yang jatuh sakit, membutuhkan biaya cukup besar ketika berobat ke

rumah sakit. Untuk meringakan biaya, pemerintah memberikan keringanan biaya melalui

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), program pelayanan kesehatan yang merata dan tidak

diskriminatif, diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kemudian diimplementasikan ke dalam Undang-

Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial. Kedua

aturan itu, dimaksudkan untuk menjamin pemerataan dan keadilan serta kemandirian

masyarakat dengan dilakukan transformasi dari PT Askes (Persero) menjadi BPJS

Kesehatan. Sebagai satu-satunya Badan Publik yang mengelola dana masyarakat dan

Pemerintah untuk memberikan jaminan sosial di bidang kesehatan dituntut pengelolaan

organisasi yang profesional dan akuntabel. Sejak per 1 Januari 2014 pelaksanaan JKN

yang dioperatori BPJS kesehatan, sudah berjalan relatif baik namun upaya reformasi

program jaminan sosial yang memberikan perlindungan sosial bagi seluruh rakyat.4

Pentingnya kita sebagai calon tenaga medis untuk mengetahui alur pelayanan BPJS

dalam kegawat daruratan. Sehingga dapat mengantisipasi kendala-kendala yang dihadapi

di tingkat pelayanan primer terutama dalam kasus kegawat daruratan.

1.2 Rumusan Masalah

Apa cakupan dan prosedur pelayanan medik pada era BPJS?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui peranan pelayanan BPJS Kesehatan dalam kegawatdaruratan medis.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam referat ini adalah :

1. Prosedur pelayanan gawat darurat di pelayanan primer

2. Peran dokter dalam pelayanan primer

3

3. Mengetahui proses pelayanan BPJS, beserta cakupannya dalam

kegawatdaruratan

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kegawatdaruratan medis dan Unit Gawat Darurat

Pelayanan Kesehatan Darurat Medis adalah pelayanan kesehatan yang harus

diberikan secepatnya untuk mencegah kematian, keparahan dan/atau kecacatan sesuai

dengan kemampuan Fasilitas kesehatan. Di setiap rumah sakit tentunya memiliki suatu

bagian yang dikhususkan untuk mengurus setiap kejadian yang tergolong dalam

kegawatdaruratan medis, yang dikenal orang banyak sebagai Unit Gawat Darurat. Dari

definisinya, Unit Gawat Darurat, atau lebih sering disebut sebagai UGD, merupakan

unit/bagian yang memberikan pelayanan gawat darurat kepada masyarakat yang

menderita penyakit akut atau mengalami kecelakaan. Pasien gawat darurat adalah

seseorang atau banyak orang yang mengalami suatu keadaan yang mengancam jiwanya

yang memerlukan pertolongan secara cepat, tepat dan cermat yang mana bila tidak

ditolong maka seseorang atau banyak orang tersebut dapat mati atau mengalami

kecacatan.2

Kriteria pasien gawat darurat adalah mengalami kegawatan yang menyangkut:

Terganggunya jalan nafas, antara lain sumbatan jalan nafas oleh benda asing, asma

berat, spasme laryngeal, trauma muka yang mengganggu jalan nafas dan lain-lain.

Terganggunya fungsi pernafasan, antara lain trauma thorak (tension pneumotorak,

masif hematotorak, emfisema, fraktur flail chest, fraktur iga), paralisis otot

pernafasan karena obat atau penyakit dan lain-lain.

Terganggunya fungsi sirkulasi antara lain syok (hipovolemik, kardiogenik,

anafilaksis, sepsis, neurogenik, tamponade jantung dan lain-lain).

Terganggunya fungsi otak dan kesadaran antara lain stroke dengan penurunan

kesadaran, trauma capitis dengan penurunan kesadaran, koma diabetika, koma

uremikum, koma hepatikum, infeksi otak, kejang dan lain-lain.

Perlu dibedakan antara pasien gawat dan pasien darurat. Pasien gawat darurat adalah

pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan

terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat

pertolongan secepatnya. Pasien gawat tidak darurat adalah pasien yang berada dalam

keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat, misalnya kanker

stadium lanjut. Pasien darurat tidak gawat adalah pasien akibat musibah yang datang

5

tiba-tiba tetapi tidak mengancam nyawa dan anggota badannya misalnya luka sayat

dangkal. Pasien tidak gawat tidak darurat misalnya pasien dengan ulcus tropium,

TBC kulit dan sebagainya.3

Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan

kelangsungan hidup seseorang.Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum

kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa. Menurut

segi pendanaan, nampaknya hal itu menjadi masalah, karena dispensasi di bidang ini sulit

dilakukan.1

2.2 Masalah-masalah yang ada di UGD

Sama halnya dengan berbagai unit pelayanan kedokteran lainnya, mengelola

UGD tidak semudah yang diperkirakan. Akan banyak masalah yang ditemukan

yang jika disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua macam, yaitu: 5

1. Masalah pembiayaan

Masalah pertama yang ditemukan adalah kesulitan pembiayaan dalam megelola UGD.

Terdapat dua faktor utama yang berperan, pertama, karena biaya pengelolaan UGD

memang besar. Kedua, karena pendapatan UGD tidak pernah bisa dijamin.

2. Masalah beban kerja

Perbedaan pengertian keadaan gawat darurat antara pasien dengan petugas

kesehatan, menyebabkan pelayanan UGD sering dimanfaatkan oleh mereka

yang sebenarnya kurang membutuhkan.

Faktor yang berperan sebagai penyebab makin meningkatnya angka kunjungan penderita

ke UGD :

Tidak tersedianya berbagai sarana kesehatan lain yang setiap saat dapat

dimanfaatkan untuk memperoleh pelayanan rawat jalan, terutama pada hari-

hari libur.

Makin banyak dokter yang lebih senang merujuk penderita ke UGD dari

pada melakukan tindakan medis di tempat praktek pribadi.

Makin banyak penderita yang menghemat, tidak berkunjung dulu ke dokter

atau ke klinik, karena menurut penilaian mereka dokter atau klinik juga

nantinya akan merujuk mereka.

Pengaruh kebijakan asuransi kesehatan, yang hanya menanggung biaya

perawatan rawat jalan apabila diselenggarakan oleh UGD.

6

Selain itu, periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat karena hilangnya

waktu selama di perjalanan ke RS dan dapat terjadi Perubahan klinis yang mendadak

juga menjadi masalah dalam pelayanan gawat darurat.5

2.3 Pembiayaan dalam Pelayanan Gawat Darurat

Dalam pelayanan kesehatan prestasi yang diberikan tenaga kesehatan sewajarnyalah

diberikan kontra – prestasi, paling tidak segala biaya yang diperlukan untuk menolong

seseorang. Hal itu diatur dalam hukum perdata. Kondisi tersebut umumnya berlaku pada

fase pelayanan gawat darurat di rumah sakit.Pembiayaan pada fase ini diatasi pasien

tetapi dapat pula diatasi oleh perusahaan asuransi kesehatan, baik pemerintah maupun

swasta. Di sini nampak bahwa jasa pelayanan kesehatan tersebut merupakan private

goods sehingga masyarakat (pihak swasta) dapat diharapkan ikut membiayainya. 2

Kondisi tersebut berbeda dengan pelayanan gawat darurat fase pra – rumah sakit yang

juga berupa jasa, namun lebih .merupakan public goods Jasa itu dapat disejajarkan

dengan prasarana umum (misalnya jalan raya) yang harus diselenggarakan dan dibiayai

oleh pemerintah. Pihak swasta sulit diharapkan untuk membiayai sesuatu yang bersifat

prasarana umum.Dengan demikian pelayanan gawat darurat fase pra – rumah sakit

sewajarnya dibiayai oleh pajak yang dibayarkan oleh rakyat.Realisasi pembiayaan

melalui pengaturan secara hukum yang mewajibkan anggaran untuk pelayanan yang

bersifat public goods tersebut. Bentuk peraturan perundang – undangan tersebut dapat

berupa peraturan pemerintah yang merupakan jabaran dari UU No. 36/2009 dan atau

peraturan tingkat daerah I (Perda Tk.I).2

2.4 Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat

Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan

hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat, karena

secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi

tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut The

American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah: An emergency is

any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever assumes the

responsibility of bringing the patient to the hospital-requires immediate medical

attention. This condition continues until a determination has been made by a health care

professional that the patient’s life or well-being is not threatened.11

7

Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat

walaupun sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara

false emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah:

A true emergency is any condition clinically determined to require immediate medical

care. Such conditions range from those requiring extensive immediate care and

admission to the hospital to those that are diagnostic prob- lems and may or may not

require admission after work-up and observation.”11

Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi

pasien diselenggarakanlah triage. Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal

adalah dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh perawat

melalui standing order yang disusun rumah sakit.Selain itu perlu pula dibedakan antara

penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah sakit dengan fase di rumah sakit. Pihak

yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda, di mana pada fase pra-rumah sakit

selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang awam, sedangkan pada fase rumah sakit

umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan, khususnya tenaga medis dan perawat.

Kewenangan dan tanggungjawab tenaga kesehatan dan orang awam tersebut telah

dibicarakan di atas. Kecepatan dan ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangat

menentukan survivabilitas pasien.11

2.5 Jaminan Kesehatan Nasional

Di Indonesia telah ditetapkan suatu program yang ditetapkan untuk menjamin seluruh

rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Program ini dikenal

sebagai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berdasarkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 pasal 1, badan penyelenggara jaminan sosial yang

selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan

program jaminan sosial.

BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang disebutkan

pada pasal 6 ayat 2 UU No. 24 Tahun 2011. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang

dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.13,14

Jaminan kesehatan

adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat

pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar

oleh pemerintah. BPJS Kesehatan ini mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014.13,15

8

Sedangkan BPJS ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja,

jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

Sistem Jaminan Sosial Nasional atau SJSN adalah tata cara penyelenggaraan

program jaminan sosial oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial atau BPJS. Dengan

demikian, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia

merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial

Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang

bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang

Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia

terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar

kesehatan masyarakat yang layak.15

2.5.1 Peserta Jaminan Kesehatan Nasional

Peserta Jaminan Kesehatan Nasional adalah setiap orang, termasuk orang

asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah

membayar iuran. Yang dimaksud pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan

menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain, sedangkan pemberi kerja

adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang

mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan

pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.

Peserta jaminan kesehatan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu13,15,16

1. Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan adalah jaminan kesehatan

bagi fakir miskin dan orang tidak mampu yang iurannya dibayari oleh

pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan Nasional. Selain fakir

miskin dan orang tidak mampu, orang dengan cacat total tetap juga berhak

menjadi peserta PBI Jaminan Kesehatan. Yang dimaksud dengan cacat total

tetap adalah kecacatan fisik dan atau mental yang mengakibatkan

ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan, dimana penetapan

cacat total tetap ini dilakukan oleh dokter yang berwenang.

2. Bukan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan terdiri dari:

1) Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu:

a) Pegawai Negeri Sipil

b) Anggota TNI

9

c) Anggota Polri

d) Pejabat Negara;

e) Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri;

f) Pegawai Swasta; dan

g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang

menerima upah.

2) Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu:

a) Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri

b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima upah.

c) Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga

negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.

3) Bukan pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:

a) Investor

b) Pemberi kerja

c) Penerima pensiun, terdiri dari pegawai negeri sipil yang berhenti dengan

hak pensiun, anggota TNI dan anggota Polri yang berhenti dengan hak

pensiun, pejabat negara yang berhenti dengan hak pensiun, janda, duda

atau anak yatim piatu dari penerima pensiun yang dapat hak pensiun,

penerima pensiun lain dan janda, duda, atau anak yatim piatu dari

penerima pensiun lain yang mendapat hak pensiun.

d) Veteran

e) Perintis kemerdekaan

f) Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang

mampu membayar iuran.

2.5.2 Pembiayaan

1. Iuran

Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur

oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan

Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).

2. Pembayar Iuran

Pembayar iuran:

10

a) bagi peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah

b) bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, iuran dibayar oleh Pemberi Kerja dan

Pekerja

c) bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran

dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.

Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui Peraturan

Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial,

ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.

3. Pembayaran Iuran

Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan

persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal

tertentu (bukan penerima upah dan PBI).

Setiap Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan

iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran

tersebut setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat

tanggal 10 setiap bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur,

maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran

iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari

total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja.

Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib

membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling lambat tanggal

10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat

dilakukan diawal.

BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai

dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan

pembayaran iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada

Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak

diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan

dengan pembayaran Iuran bulan berikutnya.

11

2.5.3. Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan dan Dokter

BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama

dengan kapitasi dan non kapitasi. Untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat

lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBG’s.16

Tarif kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan yang dibayar dimuka oleh

BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jumlah

peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan

kesehatan yang diberikan. Pembayaran Kapitasi oleh BPJS Kesehatan didasarkan

pada jumlah peserta yang terdaftar di FKTP sesuai dengan data BPJS Kesehatan

dan dibayar setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berjalan. Sejak

diundangkannya Perpres 32/2014 dan Permenkes 19/2014 dana kapitasi langsung

dibayarkan oleh BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan tingkat primer milik

Pemerintah Daerah. Tarif non kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh

BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan

jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.19

Tarif kapitasi diberlakukan pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat primer yang

melakukan pelayanan:

a. administrasi pelayanan;

b. pelayanan promotif dan preventif;

c. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;

d. tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif;

e. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai, termasuk pil dan kondom untuk

pelayanan Keluarga Berencana;

f. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama.

Tarif non kapitasi diberlakukan pada fasilitas kesehatan tingkat primer yang

melakukan pelayanan kesehatan di luar lingkup pembayaran kapitasi yang meliputi:

a. pelayanan ambulans;

b. pelayanan obat rujuk balik;

c. pemeriksaan penunjang pelayanan rujuk balik

d. pelayanan skrining kesehatan tertentu termasuk pelayanan terapi krio untuk

kanker leher rahim;

e. rawat inap tingkat pertama;

12

f. jasa pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh bidan atau dokter,

sesuai kompetensi dan kewenangannya;

g. pelayanan Keluarga Berencana berupa MOP/vasektomi;

h. kompensasi pada daerah yang tidak terdapat fasilitas kesehatan yang memenuhi

syarat;

i. pelayanan darah; dan/atau

j. pelayanan gawat darurat di fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan

BPJS Kesehatan.

Standar tarif kapitasi di fasilitas kesehatan tingkat primer ditetapkan sebagai

berikut:

a. puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp3.000,00 (tiga ribu

rupiah) sampai dengan Rp6.000,00 (enam ribu rupiah);

b. rumah sakit Kelas D Pratama, klinik pratama, praktik dokter, atau fasilitas

kesehatan yang setara sebesar Rp8.000,00 (delapan ribu rupiah) sampai dengan

Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah); dan

c. praktik perorangan dokter gigi sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah).

Tarif pelayanan kesehatan tingkat pertama pada daerah terpencil dan

kepulauan yang diberikan oleh dokter atau bidan/perawat, ditetapkan berdasarkan

Tarif Kapitasi. Tarif Kapitasi bagi dokter yang bekerja pada daerah tersebut

ditetapkan sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per jiwa per bulan. Dalam

hal jumlah peserta terdaftar pada daerah tersebut kurang dari 1000 jiwa, pemberi

pelayanan kesehatan tingkat pertama dibayar sejumlah kapitasi untuk 1000 jiwa.19

Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut tarif INA-

CBG’s adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas

Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada

pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur.19

Dasar pengelompokan dalam

INA-CBGs menggunakan sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan

tindakan/prosedur yang menjadi output pelayanan, dengan acuan ICD-10 untuk

diagnosis dan ICD-9-CM untuk tindakan/prosedur.7

BPJS Kesehatan dapat

memberikan pembayaran kepada FKRTL yang tidak bekerjasama yang melakukan

pelayanan gawat darurat kepada peserta Jaminan Kesehatan Nasional. Pelayanan

gawat darurat tersebut dibayar sesuai tarif INA-CBG’s berdasarkan penetapan

13

kelas.19

Tarif INA-CBG’s dibayarkan per episode pelayanan kesehatan, yaitu suatu

rangkaian perawatan pasien sampai selesai. Dengan pola INA-CBG’s, paket

pembayaran sudah termasuk: 1) konsultasi dokter, 2) pemeriksaan penunjang,

seperti laboratorium, radiologi (rontgen), dll, 3) obat Formularium Nasional

(Fornas) maupun obat bukan Fornas, 4) bahan dan alat medis habis pakai, 5)

akomodasi atau kamar perawatan, 6) biaya lainnya yang berhubungan dengan

pelayanan kesehatan pasien. Komponen biaya yang sudah termasuk ke dalam

paket INA-CBG’s, tidak dibebankan kepada pasien.

2.5.4. Sistem Rujukan Berjenjang21

Sistem rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan

kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan

kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib

dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial, dan

seluruh fasilitas kesehatan. Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari tiga

tingkatan yaitu:

a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama

b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua

c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga

Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar

yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama, terdiri dari puskesmas atau

setara, praktik dokter, praktik dokter gigi, klinik pratama atau setara, rumah sakit

kelas D pratama atau yang setara. Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan

pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter

gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan

teknologi kesehatan spesialistik. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan

pelayanan kesehatan sub-spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub-spesialis atau

dokter gigi sub-spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan

sub-spesialistik.

Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan

tingkat pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan

mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peserta yang ingin

mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem rujukan dapat

14

dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak sesuai

dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS Kesehatan. Fasilitas

Kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka BPJS Kesehatan akan

melakukan recredentialing terhadap kinerja fasilitas kesehatan tersebut dan dapat

berdampak pada kelanjutan kerjasama. Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara

horizontal maupun vertikal. Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan

antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat

memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan

pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya

sementara atau menetap. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar

pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat

pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.

Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan

pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila

pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik. Selain

itu juga apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai

dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau

ketenagaan. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke

tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila permasalahan kesehatan

pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih

rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya; kompetensi dan

kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam menangani

pasien tersebut; pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh

tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan,

efisiensi, dan pelayanan jangka panjang; dan/atau perujuk tidak

dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena

keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.

Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai

kebutuhan medis, yaitu:

a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan

tingkat pertama

b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke

fasilitas kesehatan tingkat kedua.

15

c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di fasilitas kesehatan sekunder hanya dapat

diberikan atas rujukan dari fasilitas kesehatan primer.

d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di fasilitas kesehatan tersier hanya dapat

diberikan atas rujukan dari fasilitas kesehatan sekunder dan fasilitas kesehatan

primer.

Pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan primer yang dapat dirujuk langsung

ke fasilitas kesehatan tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis

dan rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di

fasilitas kesehatan tersier. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat

dikecualikan dalam kondisi:

a. Terjadi keadaan gawat darurat. Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan

yang berlaku

b. Bencana. Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau

Pemerintah Daerah

c. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien. Untuk kasus yang sudah ditegakkan

rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas

kesehatan lanjutan

d. pertimbangan geografis; dan

e. pertimbangan ketersediaan fasilitas

2.5.5. Cakupan dan Prosedur Pelayanan Gawat Darurat di Era BPJS

Pelayanan gawat darurat yang dapat dijamin adalah sesuai dengan kriteria

gawat darurat yang berlaku. Cakupan pelayanan gawat darurat diberikan sesuai

dengan kewenangan dan kompetensi fasilitas kesehatan sesuai tingkatannya, yaitu:

a. Administrasi pelayanan

b. Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis

c. Tindakan medis baik non operatif maupun operatif

d. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai

e. Pelayanan alat kesehatan

f. Pelayanan penunjang diagnostik sesuai dengan indikasi medis

g. Pelayanan darah

h. Akomodasi sesuai indikasi medis jika diperlukan

16

i. Pelayanan ambulan antar fasilitas kesehatan untuk rujukan

j. Pasien dengan kondisi yang telah teratasi kegawatdaruratannya dan dapat

dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Dalam keadaan gawat darurat, maka:

a. Peserta dapat dilayani di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas

kesehatan tingkat lanjutan yang bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama

dengan BPJS Kesehatan.

b. Pelayanan harus segera diberikan tanpa diperlukan surat rujukan

c. Peserta yang mendapat pelayanan di fasilitas kesehatan yang tidak

bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus segera dirujuk ke fasilitas

kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat

daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan

d. Pengecekan validitas peserta maupun diagnosa penyakit yang termasuk dalam

kriteria gawat darurat dilakukan oleh fasilitas kesehatan

e. Biaya atas pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan

yang tidak menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan ditagihkan langsung

oleh fasilitas kesehatan kepada BPJS Kesehatan. Fasilitas kesehatan tidak

diperkenankan menarik biaya pelayanan kesehatan kepada peserta

Prosedur pelayanan gawat darurat di fasilitas kesehatan yang bekerjasama

dengan BPJS Kesehatan

a. Pada keadaan gawat darurat (emergency), seluruh fasilitas kesehatan baik yang

bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan dengan BPJS Kesehatan,

wajib memberikan pelayanan kegawatdaruratan sesuai indikasi medis

b. Pelayanan kegawatdaruratan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dapat

diberikan pada fasilitas kesehatan tempat peserta terdaftar maupun bukan

tempat peserta terdaftar

c. Pelayanan kegawatdaruratan di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun

lanjutan mengikuti prosedur pelayanan yang berlaku

Prosedur pelayanan gawat darurat di fasilitas kesehatan Tingkat pertama dan

fasilitas kesehatan rujukan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan

17

a. Pada kasus gawat darurat peserta BPJS dapat langsung mendapatkan pelayanan di

fasilitas kesehatan terdekat meskipun fasilitas kesehatan tersebut tidak bekerja

sama dengan BPJS Kesehatan.

b. Pelayanan gawat darurat di fasilitas kesehatan rujukan dapat langsung diberikan

tanpa surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama.

c. Peserta melaporkan status kepesertaan BPJS Kesehatan-nya kepada fasilitas

kesehatan dalam jangka waktu:

1) Pelayanan rawat jalan: pada saat diberikan pelayan gawat darurat

2) Pelayanan rawat inap: pada saat diberikan pelayan gawat darurat atau sebelum

pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS

Kesehatan

d. fasilitas kesehatan memastikan status kepesertaan BPJS Kesehatan dengan cara:

1) fasilitas kesehatan mengakses master file kepesertaan melalui:

(a) website BPJS Kesehatan yaitu www.bpjs-kesehatan.go.id;

(b) sms gateway; dan

(c) media elektronik lainnya.

2) Apabila poin (1) tidak dapat dilakukan maka fasilitas kesehatan menghubungi

petugas BPJS Kesehatan melalui telepon atau mendatangi kantor BPJS

Kesehatan

e. Jika kondisi kegawatdaruratan peserta telah teratasi dan dapat dipindahkan, maka

harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS

Kesehatan

f. Apabila kondisi kegawatdaruratan pasien sudah teratasi dan pasien dalam kondisi

dapat dipindahkan, tetapi pasien tidak bersedia untuk dirujuk ke fasilitas

kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka biaya pelayanan

selanjutnya tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan. fasilitas kesehatan harus

menjelaskan hal ini kepada peserta dan peserta harus menandatangani surat

pernyataan bersedia menanggung biaya pelayanan selanjutnya

g. Penanganan kondisi kegawatdaruratan di fasilitas kesehatan yang tidak

bekerjasama ditanggung sebagai pelayanan rawat jalan kecuali kondisi tertentu

yang mengharuskan pasien dirawat inap.

h. Kondisi tertentu yang dimaksud diatas adalah sebagai berikut:

1) Tidak ada sarana transportasi untuk evakuasi pasien.

18

2) Sarana transportasi yang tersedia tidak memenuhi syarat medis untuk

evakuasi

3) Kondisi pasien yang tidak memungkinkan secara medis untuk dievakuasi,

yang dibuktikan dengan surat keterangan medis dari dokter yang merawat.

Bagi pasien dengan kondisi kegawatdaruratan sudah teratasi serta dapat

dipindahkan akan tetapi masih memerlukan perawatan lanjutan, maka pasien dapat

dirujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan

menggunakan ambulans yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Gambar 2.1 Alur Pelayanan Kedaruratan Medik Pada Fasilitas Kesehatan yang Tidak

Bekerjasama dengan BPJS Kesehatan

Kriteria Gawat Darurat menurut BPJS

No. Bagian Diagnosa

I Anak 1 Anemia sedang / berat

19

2 Apnea / gasping

3 Bayi ikterus, anak ikterus

4 Bayi kecil/ premature

5 Cardiac arrest / payah jantung

6 Cyanotic Spell (penyakit jantung)

7 Diare profis (> 10/hari) disertai dehidrasi

ataupun tidak

8 Difteri

9 Ditemukan bising jantung, aritmia

10 Edema / bengkak seluruh badan

11 Epitaksis, tanda pendarahan lain disertai febris

12 Gagal ginjal akut

13 Gangguan kesadaran, fungsi vital masih baik

14 Hematuri

15 Hipertensi Berat

16 Hipotensi / syok ringan s/d sedang

17 Intoksikasi (minyak tanah, baygon) keadaan

umum masih baik

18 Intoksikasi disertai gangguan fungsi vital

(minyak tanah, baygon)

19 Kejang disertai penurunan kesadaran

20 Muntah profis (> 6 hari) disertai dehidrasi atau

tidak

21 Panas tinggi >400 C

22 Sangat sesak, gelisah, kesadaran menurun,

sianosis ada retraksi hebat (penggunaan otot

pernafasan sekunder)

23 Sesak tapi kesadaran dan keadaan umum masih

baik

24 Shock berat (profound) : nadi tidak teraba

tekanan darah terukur termasuk DSS.

20

25 Tetanus

26 Tidak kencing > 8 jam

27 Tifus abdominalis dengan komplikasi

II Bedah 1 Abses cerebri

2 Abses sub mandibula

3 Amputasi penis

4 Anuria

5 Apendicitis acute

6 Atresia ani (tidak bisa BAB sama sekali)

7 BPH dengan retensio urin

8 Cedera kepala berat

9 Cedera kepala sedang

10 Cedera tulang belakang (vertebral)

11 Cedera wajah dengan gangguan jalan nafas

12 Cedera wajah tanpa gangguan jalan nafas,

antara lain :

a. Patah tulang hidung/nasal terbuka dan

tertutup

b. Patah tulang pipi (zygoma) terbuka dan

tertutup

c. Patah tulang rahang (maxilla dan

mandibula) terbuka dan tertutup

d. Luka terbuka daerah wajah

13 Cellulitis

14 Cholesistitis akut

15 Corpus alienum pada :

a. Intra cranial b. Leher

b. Thorax

c. Abdomen

d. Anggota gerak

e. Genetalia

21

16 CVA bleeding

17 Dislokasi persendian

18 Drowning

19 Flail chest

20 Fraktur tulang kepala

21 Gastrokikis

22 Gigitan binatang / manusia

23 Hanging

24 Hematothorax dan pneumothorax

25 Hematuria

26 Hemoroid grade IV (dengan tanda strangulasi)

27 Hernia incarcerate

28 Hidrochepalus dengan TIK meningkat

29 Hirschprung disease

30 Ileus Obstruksi

31 Internal Bleeding

32 Luka Bakar

33 Luka terbuka daerah abdomen

34 Luka terbuka daerah kepala

35 Luka terbuka daerah thorax

36 Meningokel / myelokel pecah

37 Multiple trauma

38 Omfalokel pecah

39 Pankreatitis akut

40 Patah tulang dengan dugaan cedera pembuluh

darah

41 Patah tulang iga multiple

42 Patah tulang leher

43 Patah tulang terbuka

44 Patah tulang tertutup

45 Periappendicullata infiltrate

22

46 Peritonitis generalisata

47 Phlegmon dasar mulut

48 Priapismus

49 Prolaps rekti

50 Rectal bleeding

51 Ruptur otot dan tendon

52 Strangulasi penis

53 Tension pneumothoraks

54 Tetanus generalisata

55 Torsio testis

56 Tracheo esophagus fistel

57 Trauma tajam dan tumpul daerah leher

58 Trauma tumpul abdomen

59 Traumatik amputasi

60 Tumor otak dengan penurunan kesadaran

61 Unstable pelvis

62 Urosepsi

III Kardio-

vaskular

1 Aritmia

2 Aritmia dan shock

3 Cor Pulmonale decompensata yang akut

4 Edema paru akut

5 Henti jantung

6 Hipertensi berat dengan komplikasi (hipertensi

enchephalopati, CVA)

7 Infark Miokard dengan komplikasi (shock)

8 Kelainan jantung bawaan dengan gangguan

ABC (Airway Breathing Circulation)

9 Kelainan katup jantung dengan gangguan ABC

(airway Breathing Circulation)

10 Krisis hipertensi

23

11 Miokarditis dengan shock

12 Nyeri dada

13 Sesak nafas karena payah jantung

14 Syncope karena penyakit jantung

IV Kebidanan 1 Abortus

2 Distosia

3 Eklampsia

4 Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)

5 Perdarahan Antepartum

6 Perdarahan Postpartum

7 Inversio Uteri

8 Febris Puerperalis

9 Hyperemesis gravidarum dengan dehidrasi

10 Persalinan kehamilan risiko tinggi dan atau

persalinan dengan penyulit

V Mata 1 Benda asing di kornea mata / kelopak mata

2 Blenorrhoe/ Gonoblenorrhoe

3 Dakriosistisis akut

4 Endoftalmitis/panoftalmitis

5 Glaukoma :

a. Akut

b. Sekunder

6 Penurunan tajam penglihatan mendadak :

a. Ablasio retina

b. CRAO

c. Vitreous bleeding

7 Selulitis Orbita

8 Semua kelainan kornea mata :

a. Erosi

b. Ulkus / abses

c. Descematolis

24

9 Semua trauma mata :

a. Trauma tumpul

b. Trauma fotoelektrik/ radiasi

c. Trauma tajam/tajam tembus

10 Trombosis sinus kavernosis

11 Tumororbita dengan perdarahan

12 Uveitis/ skleritis/iritasi

VI Paru-paru 1 Asma bronchitis moderate severe

2 Aspirasi pneumonia

3 Emboli paru

4 Gagal nafas

5 Injury paru

6 Massive hemoptisis

7 Massive pleural effusion

8 Oedema paru non cardiogenic

9 Open/closed pneumathorax

10 P.P.O.M Exacerbasi akut

11 Pneumonia sepsis

12 Pneumathorax ventil

13 Reccurent Haemoptoe

14 Status Asmaticus

15 Tenggelam

VII Penyakit

Dalam

1 Demam berdarah dengue (DBD)

2 Demam tifoid

3 Difteri

4 Disequilebrium pasca HD

5 Gagal ginjal akut

6 GEA dan dehidrasi

7 Hematemesis melena

8 Hematochezia

25

9 Hipertensi maligna

10 Keracunan makanan

11 Keracunan obat

12 Koma metabolic

13 Leptospirosis

14 Malaria

15 Observasi shock

VIII THT 1 Abses di bidang THT & kepala leher

2 Benda asing laring/trachea/bronkus, dan benda

asing tenggorokan

3 Benda asing telinga dan hidung

4 Disfagia

5 Obstruksi jalan nafas atas grade II/ III Jackson

6 Obstruksi jalan nafas atas grade IV Jackson

7 Otalgia akut (apapun penyebabnya)

8 Parese fasialis akut

9 Perdarahan di bidang THT

10 Syok karena kelainan di bidang THT

11 Trauma (akut) di bidang THT ,Kepala dan

Leher

12 Tuli mendadak

13 Vertigo (berat)

IX Syaraf 1 Kejang

2 Stroke

3 Meningo enchepalitis

26

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pelayanan Kesehatan Darurat Medis adalah pelayanan kesehatan yang harus

diberikan secepatnya untuk mencegah kematian, keparahan dan/atau kecacatan sesuai

dengan kemampuan Fasilitas kesehatan.Pelayanan yang diperlukan di Instalasi Gawat

Darurat (IGD) merupakan pelayanan yang cepat dan tepat karena berbagai kasus yang

datang merupakan kasus yang gawat. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya,

sering ditemukan masalah-masalah di IGD, terutama dalam aspek medikolegal.

Dalam era BPJS, terdapat kriteria-kriteria kegawatdaruratan medik tertentu yang

telah dicantumkan sebelumnya. Apabila rumah sakit, terutama di bagian IGD menemui

kriteria-kriteria tersebut, maka rumah sakit yang bekerjasama ataupun tidak bekerjasama

dengan BPJS harus menangani kasus tersebut secara langsung.

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Purbacaraka P, Soekanto S. Perihal kaedah hukum. Bandung:Alumni; 1979

2. Soekanto S, Herkutanto. Pengantar hukum kesehatan. Jakarta : CV Remadja

Karya; 1987

3. Mancini MR, Gale AT. Emergency care and the law. Maryland: Aspen

Publication; 1981

4. Pusponegoro AD. Perbedaan pengelolaan kasus gawat darurat pra-rumah sakit dan

di rumah sakit. Bandung: PKGDI; 1992

5. Holder AR. Emergency room liability. JAMA 1972;220:5

6. Undang-undang No 36/2009 tentang Kesehatan

7. Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/2008 tentang Persetujuan Tindakan

Kedokteran

8. Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/3/2008 tentang Rekam

Medis

9. Peraturan Menteri Kesehatan no. 159b/1988 tentang Rumah Sakit

10. Undang-undang No.29/tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

11. Herkutanto. Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat. Maj Kedokt Indon,

Volum: 57, Nomor: 2, Februari 2007

12. Available from: http://widiawan.wordpress.com/2010/01/20/kasus-pelayanan-ugd-

sebuah-rumah-sakit-umum-daerah-di-ibukota-sebuah-kabupaten/.

13. Kementerian Kesehatan RI. Buku Saku FAQ (Frequently Asked Questions).

Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013.

14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial. Available from:

http://www.jkn.kemkes.go.id/attachment/unduhan/UU%20No%2024%20Tahun%2

02011%20tentang%20BPJS.pdf

15. Kementrian Kesehatan RI. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional

dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2011.

16. BPJS Kesehatan. Buku Panduan Layanan bagi Peserta BPJS Kesehatan. Jakarta.

17. Tarif Kapitasi dan INA-CBGs dalam BPJS. Available from:

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52ca983cd2456/tarif-kapitasi-dan-ina-

cbgs-dalam-bpjs

28

18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014.

Available from:

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Permenkes%20No.%2027%

20thn%202014%20ttg%20Juknis%20Sistem%20INA%20CBGs%20(1).pdf

19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang

Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan

Kesehatan. Available from:

http://www.depkes.go.id/resources/download/peraturan/pmk-59-thn-2014-ttg-

standar-tarif-jkn.pdf

20. Badan Pelayanan Jaminan Sosial Kesehatan. Panduan Praktis Penjaminan

Pelayanan Kesehatan Darurat Medis di Faskes yang Tidak Bekerjasama Dengan

BPJS Kesehatan. 2013. Jakarta.

21. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Panduan Praktis Sistem Rujukan

Berjenjang. 2012. Jakarta.