kegawatan thoraks

74
BAB I PENDAHULUAN Thorax dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi di superior oleh thoracic inlet dan inferior oleh thoracic outlet; dengan batas luar adalah dinding thorax yang disusun oleh vertebra torakal, iga-iga, sternum, otot, dan jaringan ikat. Rongga thorax dibatasi dengan rongga abdomen oleh diafragma. Rongga thorax dapat dibagi kedalam dua bagian utama, yaitu : paru-paru (kiri dan kanan) dan mediastinum. Mediastinum dibagi ke dalam 3 bagian: superior, anterior, dan posterior. Mediastinum terletak diantara paru kiri dan kanan dan merupakan daerah tempat organ-organ penting thorax selain paru-paru (yaitu: jantung, aorta, arteri pulmonalis, vena cavae, esofagus, trakhea, dll.). Thoracic inlet merupakan “pintu masuk” rongga thoraks yang disusun oleh: permukaan ventral vertebra torakal I (posterior), bagian medial dari iga I kiri dan kanan (lateral), serta manubrium sterni (anterior). Thoracic inlet 1

description

referat kegawatan thoraks.

Transcript of kegawatan thoraks

BAB I

PENDAHULUAN

Thorax dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi di superior oleh thoracic inlet

dan inferior oleh thoracic outlet; dengan batas luar adalah dinding thorax yang disusun

oleh vertebra torakal, iga-iga, sternum, otot, dan jaringan ikat.

Rongga thorax dibatasi dengan rongga abdomen oleh diafragma. Rongga thorax

dapat dibagi kedalam dua bagian utama, yaitu : paru-paru (kiri dan kanan) dan

mediastinum. Mediastinum dibagi ke dalam 3 bagian: superior, anterior, dan posterior.

Mediastinum terletak diantara paru kiri dan kanan dan merupakan daerah tempat organ-

organ penting thorax selain paru-paru (yaitu: jantung, aorta, arteri pulmonalis, vena

cavae, esofagus, trakhea, dll.).

Thoracic inlet merupakan “pintu masuk” rongga thoraks yang disusun oleh:

permukaan ventral vertebra torakal I (posterior), bagian medial dari iga I kiri dan kanan

(lateral), serta manubrium sterni (anterior). Thoracic inlet memiliki sudut deklinasi

sehingga bagian anterior terletak lebih inferior dibanding bagian posterior. Manubrium

sterni terletak kira-kira setinggi vertebra torakal II. Batas bawah rongga thoraks atau

thoracic outlet (pintu keluar thoraks) adalah area yang dibatasi oleh sisi ventral vertebra

torakal XII, lateral oleh batas bawah iga dan anterior oleh processus xiphoideus.

Diafragma sebagai pembatas rongga thoraks dan rongga abdomen, memiliki bentuk

seperti kubah dengan puncak menjorok ke superior, sehingga sebagian rongga abdomen

sebenarnya terletak di dalam “area” thoraks.

Trauma paru merupakan komponen yang penting dalam trauma thoraks. Cedera

thoraks memberikan impak medis dan social yang besar, dengan kontribusi terhadap

1

trauma yang menyebabkan kematian kira-kira 25% dan menyumbang secara signifikan

sebanyak 25% dari seluruh penyebab kematian.

Trauma thoraks merupakan penyebab utama kematian, cacat, rawat inap,

pertambahan golongan kurang upaya pada masyarakat di amerika dari umur 1 tahun

sehingga umur pertengahan decade 50. Sehingga kini, trauma merupakan masalah besar

kesehatan tingkat nasional.

Kebanyakan trauma thoraks disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Insiden dari

trauma dada di Amerika adalah 12 orang bagi setiap 1000 orang penduduk tiap harinya,

dan 20-25% kematian yang disebabkan oleh trauma adalah disebabkan oleh trauma

thoraks. Trauma thoraks diperkirakan bertanggung jawab atas kematian 16,000 kematian

tiap tahunnya di Amerika. Trauma thoraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu

trauma tembus atau tumpul.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI RONGGA THORAX

Rongga thorax dibatasi oleh iga-iga, yang bersatu di bagian belakang pada

vertebra thoracalis dan di depan pada sternum. Kerangka rongga thorax,

meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra

thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2

pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulatio dari sternum,

kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum

menyambung pada tepi bawah sternum. Perluasan rongga pleura di atas clavicula dan

di atas organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk. Musculus

pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding anterior thorax.

Musculus latissimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan musculus gelang bahu lainnya

membentuk lapisan musculus posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah

musculus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika axillaris posterior. Dada berisi

organ vital yaitu paru dan jantung. Pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak

dinding dada.

Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu musculus interkostalis

dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan

terhisap melalui trakea dan bronkus. Pleura adalah membran aktif yang disertai

dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis

debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan

sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama-sama

dengan pleura parietalis,yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura

3

sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi

paru-paru normal, hanya ruang potensial yang ada. Diafragma bagian muskular

perifer berasal dari bagian bawah iga keenam kartilago kosta, dari vertebra lumbalis,

dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler melengkung membentuk tendo

sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah mempersarafi

sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut berperan dalam ventilasi

paru-paru selama respirasi biasa /tenang sekitar 75%. 1,7

B. FISIOLOGI

Rongga thorax dapat dibandingkan dengan suatu pompa tiup hisap

yangmemakai pegas, artinya bahwa gerakan inspirasi atau tarik napas yang bekerja

aktif karena kontraksi otot intercostals menyebabkan rongga thorax mengembang,

sedangkan tekanan negatif yang meningkat dalam rongga thorax menyebabkan

mengalirnya udara melalui saluran napas atas ke dalam paru. Sebaliknya, mekanisme

ekspirasi atau keluar napas, bekerja pasif karena elastisitas/daya lentur jaringan paru

ditambah relaksasi otot intercostals, menekan rongga thorax hingga mengecilkan

volumenya, mengakibatkan udara keluar melalui jalan napas. Adapun fungsi dari

pernapasan adalah:

1. Ventilasi : memasukkan/mengeluarkan udara melalui jalan napas ke

dalam/dari paru dengan cara inspirasi dan ekspirasi tadi.

2. Distribusi : menyebarkan/mengalirkan udara tersebut merata ke seluruh sistem

jalan napas sampai alveoli.

3. Difusi : oksigen dan CO2 bertukar melalui membran semi permeabel pada

dinding alveoli (pertukaran gas).

4

4. Perfusi : Darah arterial di kapiler-kapiler meratakan pembagian muatan

oksigennya dan darah venous cukup tersedia untuk digantikan isinya dengan

muatan oksigen yang cukup untuk menghidupi jaringan tubuh.

Setiap kegagalan atau hambatan dari rantai mekanisme tersebut akan

menimbulkan gangguan pada fungsi pernapasan, berarti berakibat kurangnya

oksigenasi jaringan tubuh. Hal ini misalnya terdapat pada suatu trauma pada

thorax. Selain itu maka kelainan-kelainan dari dinding thorax menyebabkan

terganggunya mekanisme inspirasi/ekspirasi, kelainan-kelainan dalam rongga

thorax, terutama kelainan jaringan paru, selain menyebabkan berkurangnya

elastisitas paru, juga dapat menimbulkan gangguan pada salah satu atau semua

fungsi-fungsi pernapasan tersebut. 3

C. DEFINISI

Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang

dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax

yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan

keadaan gawat thorax akut.

Trauma thorax atau cedera dada dapat menyebabkan kerusakan dinding dada,

paru, jantung, pembuluh darah besar serta organ disekitarnya termasuk viscera

(berbagai organ dalam besar di dalam rongga dada). 2

D. Etiologi

1. Trauma Tembus

Trauma tembus, biasanya disebabkan tekanan mekanikal yang dikenakan

secara direk yang berlaku tiba-tiba pada suatu area fokal. Pisau atau projectile,

misalnya, akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan “stretching dan

5

crushing” dan cedera biasanya menyebabkan batas luka yang sama dengan bahan

yang tembus pada jaringan. Berat ringannya cidera internal yang berlaku

tergantung pada organ yang telah terkena dan seberapa vital organ tersebut.

Derajat cidera tergantung pada mekanisme dari penetrasi dan temasuk,

diantara faktor lain, adalah efisiensi dari energy yang dipindahkan dari obyek ke

jaringan tubuh yang terpenetrasi. Faktor –faktor lain yang berpengaruh adalah

karakteristik dari senjata, seperti kecepatan, size dari permukaan impak, serta

densitas dari jaringan tubuh yang terpenetrasi. Pisau biasanya menyebabkan cidera

yang lebih kecil karena ia termasuk proyektil dengan kecepatan rendah. Luka

tusuk yang disebabkan oleh pisau sebatas dengan daerah yang terjadi penetrasi.

Luka disebabkan tusukan pisau biasanya dapat ditoleransi, walaupun tusukan

tersebut pada daerah jantung, biasanya dapat diselamatkan dengan penanganan

medis yang maksimal.

Peluru termasuk proyektil dengan kecepatan tinggi, dengan biasanya bisa

mencapai kecepatan lebih dari 1800-2000 kali per detik. Proyektil dengan

kecepatan yang tinggi dapat menyebabkan dapat menyebabkan berat cidera yang

sama denganseperti penetrasi pisau, namun tidak seperti pisau, cidera yang

disebabkan oleh penetrasi peluru dapat merusakkan struktur yang berdekatan

dengan laluan peluru. Ini karena disebabkan oleh terbentuknya kavitas jaringan

dan dengan menghasilkan gelombang syok jaringan yang bisa bertambah luas.

Tempat keluar peluru mempunya diameter 20-30 kali dari diameter peluru. 6,7

2. Trauma Tumpul

Trauma tumpul lebih sering didapatkan berbanding trauma tembus,kira-kira

lebih dari 90% trauma thoraks. Dua mekanisme yang terjadi pada trauma tumpul:

(1) transfer energi secara direk pada dinding dada dan organ thoraks dan (2)

6

deselerasi deferensial, yang dialami oleh organ thoraks ketika terjadinya impak.

Benturan yang secara direk yang mengenai dinding torak dapat menyebabkan luka

robek dan kerusakan dari jaringan lunak dan tulang seperti tulang iga. Cedera

thoraks dengan tekanan yang kuat dapat menyebabkan peningkatan tekanan

intratorakal sehingga menyebabkan ruptur dari organ – organ yang berisi cairan

atau gas. Contoh penyebab trauma tumpul adalah: 6,7

a. Kecelakaan kendaraan bermotor

b. Jatuh

c. Pukulan pada dada

E. Mekanisme Trauma

1. Akselerasi

Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma.

Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai

dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas

jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut).

Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak;

penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity

(>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan

yang jauh lebih luas dibandingkan besar lubang masuk peluru.

2. Deselerasi

Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan.

Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma.

Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile

(seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya

7

yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding thoraks/rongga tubuh lain

atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.

3. Torsio dan rotasi

Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya

deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan

pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium.

Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau

terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau poros-nya.

4. Blast injury

Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung

dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya merusak diterima oleh

tubuh melalui penghantaran gelombang energi. 5

Faktor lain yang mempengaruhi

1. Sifat jaringan tubuh

Jenis jaringan tubuh bukan merupakan mekanisme dari perlukaan, akan tetapi

sangat menentukan pada akibat yang diterima tubuh akibat trauma. Seperti adanya

fraktur iga pada bayi menunjukkan trauma yang relatif berat dibanding bila

ditemukan fraktur pada orang dewasa. Atau tusukan pisau sedalam 5 cm akan

membawa akibat berbeda pada orang gemuk atau orang kurus, berbeda pada

wanita yang memiliki payudara dibanding pria, dsb.

2. Lokasi

Lokasi tubuh tempat trauma sangat menentukan jenis organ yang menderita

kerusakan, terutama pada trauma tembus. Seperti luka tembus pada daerah pre-

kordial.

3. Arah trauma

8

Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat mentukan dalam

memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi. Perlu diingat adanya

efek “ricochet” atau pantulan dari penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti

misalnya : trauma yang terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah

(lintasan peluru) yang berbeda dari sumber peluru sehingga kerusakan atau organ

apa yang terkena sulit diperkirakan.2

F. Jenis-Jenis Trauma Thorak8

TRAUMA TEMBUS TRAUMA TUMPUL

1. Pneumothoraks Terbuka

2. Hemothoraks

3. Trauma Tracheobronkial

4. Contusi Paru

5. Ruptur Diafragma

6. Trauma Mediastinal

1.Tension Pneumothoraks

2.Trauma Tracheobronkhial

3. Flail Chest

4. Ruptur Diafragma

5. Trauma Mediastinal

6. Fraktur Kosta

Trauma Dinding Thoraks :

1. Rib Fracture (Fraktur costae)

Fraktur iga (costae) merupakan kejadian tersering yang diakibatkan oleh

trauma tumpul pada dinding dada. Walaupun fraktur tulang iga sering muncul,

sukar untuk menentukan prevalensi yang sesungguhnya diantara pasien-pasien

dengan cedera serius, karena radiografi anteroposterior sangat kurang sensitive

untuk fraktur tulang iga. Iga 4-10 merupakan daerah yang tersering mengalami

fraktur. Pasien sering melaporkan nyeri pada dada saat inspirasi dan rasa tidak

nyaman. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan dan juga terdapat krepitasi

pada daerah fraktur. Fraktur iga bisa juga menjadi petanda adanya hubungan

9

signifikan antara fraktur intrathorakal dan extrathorakal. Pernah dilaporkan, 50%

pasien mengalami trauma tumpul pada jantung juga terdapat fraktur iga. Fraktur

pada iga 8-12 patut dicurigai adanya trauma pada organ abdomen. Organ abdomen

yang paling sering cedera adalah liver dan splen. Pasien-pasien dengan fraktur

tulang iga sebelah kanan, termasuk iga kedelapan dan dibawahnya, memiliki

kemungkinan 19% sampai 56% mengalami cedera hati, sedangkan fraktur sisi kiri

memiliki kemungkinan 22% sampai 28% mengalami cedera splenn. Trauma tajam

lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang

sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga bagian bawah

juga dapat diserati adanya trauma pada diafragma. Fraktur iga, termasuk iga

pertama dan kedua, secara statistic tidak dihubungkan dengan cedera aorta. Pada

faktanya, bayak ahli bedah trauma merekomendasikan angiografi computed

tomografi (CT) dada sebagai suatu alat skrining untuk cedera intrathoraks

tersembnyi pada pasien dengan trauma tumpul dada yang parah yang tidak diikuti

oleh temuan radiografi thoraks. Delapan persen pasien-pasien yang dibawa ke

trauma center setelah tabrakan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi,

terjatuh sepanjang lebih dari 4,5 meter, atau telah ditabrak oleh sebuah mobil dan

terlempar lebih dari 3 meter memiliki tampilan cedera aorta pada angiografi CT

thoraks.

Adanya fraktur iga terutama kurang baik pada anak-anak dan orang tua.

Tulang anak-anak cepat mengalami kalsifikasi, konsekuensinya, dinding dada

mereka lebih rapuh dari pada orang dewasa. Fraktur tulang iga pada anak-anak

mengindikasikan suatu tingkat absorpsi energi yang tinggi daripada mungkin pada

perkiraan orang dewasa. Dengan suatu kesimpulan, ketiadaan fraktur tulang iga

pada anak tidak akan mengurangi perhatian untuk cedera intrathoraks yang parah.

10

Pada suatu penelitian dari 986 pasien anak dengan trauma tumpul dada, 2%

memiliki cedera thoraks yang parah tanpa bukti adanya trauma dinding dada. Tiga

puluh delapan persen anak dengan kontusio paru tidak memiliki bukti radiografi

adanya fraktur tulang iga. Tiga atau lebih fraktur iga yang terjadi berhubungan

dengan meningkatnya resiko trauma organ dalam dan mortalitas. 8

2. Flail Chest

Flail chest jarang terjadi, tapi merupakan cedera tumpul dinding dada yang

serius. Prevalensi flail chest pada pasien-pasien dengan cedera dinding dada

diperkirakan antara 5% sampai 13%.

Flail chest adalah area thoraks yang “melayang” (flail) oleh sebab adanya

fraktur iga multipel berturutan lebih dari 3 iga , dan memiliki garis fraktur lebih

dari 2 (segmented) pada tiap iganya dapat tanpa atau dengan fraktur sternum.

Akibatnya adalah: terbentuk area “flail” segmen yang mengambang akan bergerak

paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area

tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi,

sehingga udara inspirasi terbanyak memasuki paru kontralateral dan banyak udara

ini akan masuk pada paru ipsilateral selama fase ekspirasi, keadaan ini disebut

dengan respirasi pendelluft. Fraktur pada daerah iga manapun dapat menimbulkan

flail chest. Dinding dada mengambang (flail chest) ini sering disertai dengan

hemothoraks, pneumothoraks, hemoperikardium maupun hematoma paru yang

akan memperberat keadaan penderita. Komplikasi yang dapat ditimbulkan yaitu

insufisiensi respirasi dan jika korban trauma masuk rumah sakit, atelectasis dan

berikut pneumonia dapat berkembang. Diagnosis flail chest ditetapkan dengan

mengobservasi gerakan paradoksal dari tempat yang dicurigai pada keadaan napas

spontan. Pada inspirasi, segmen flail ditarik kedalam oleh tekanan negative

11

intrathoraks. Dengan ekshalasi, kekuatan tekanan positif segmen akan menonjol

kearah luar. 8

Gambar 1. Tampak adanya gerakan nafas paradoksal pada flail chest (dikutip dari

www.doktermedis.com)

Gambar 2: Flail chest physiology. (From Mayberry JC, Trunkey DD. The fractured rib in

chest wall trauma, Chest Surg Clin N Am 1997;7:239– 61; with permission.)

3. Fraktur Klavikula

Klavikula adalah salah satu tulang pada tubuh yang paling sering

mengalami cedera dan merupakan fraktur yang paling sering berhubungan dengan

proses kelahiran. Klavikula, atau tulang kerah, adalah tulang yang relative lurus

yang menghubungkan sternum dengan tulang scapula. Klavikula dapat mengalami

fraktur melalui pukulan langsung ke daerah tersebut, atau lebih umum, karena

12

terjatuh pada ujung bahu.

Gejala umum termasuk bengkak dan nyeri di dada, yaitu posisi

pertengahan antara leher dan bahu. Tanda-tanda fraktur klavikula meliputi: titik

perlunakan, krepitasi dan bengkak di tempat fraktur (biasanya di pertengahan

klavikula pada anak-anak dan didekat ujung bahu pada orang dewasa). Pasien

biasanya merasakan sakit sementara pada saat istirahat yang diperhebat dengan

adanya gerakan sendi bahu. 8

Kelainan Pada Rongga Pleura:

1. Pneumothoraks

Pneumothoraks merupakan salah satu kelainan pada rongga pleura ditandai

dengan adanya udara yang terperangkap dalam rongga pleura sehingga akan

menyebabkan peningkatan tekanan negatif intrapleura dan akan mengganggu

proses pengembangan paru. Pneumothoraks merupakan salah satu akibat dari

trauma tumpul yang sering terjadi akibat adanya penetrasi fraktur iga pada

parenkim paru dan laserasi paru. Pneumothoraks terbagi atas tiga yaitu:

a. Simple pneumothoraks

Simple pneumothoraks yaitu pneumothoraks yang tidak disertai

peningkatan tekanan intra thoraks yang progresif. Ciri-cirinya adalah paru

pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total), tidak ada

mediastinal shift. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bunyi nafas

melemah, hyperresonance (perkusi), pengembangan dada menurun. 8

b. Tension pneumothoraks

Tension Pneumothoraks adalah pneumothoraks yang disertai

peningkaan tekanan intra thoraks yang semakin lama, semakin bertambah

(progresif). Pada tension pneumothoraks ditemukan mekanisme ventil

13

yaitu udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar. Ciri-

cirinya yaitu terjadi peningkatan intra thoraks yang progresif, sehingga

terjadi kolaps paru total, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke

kontralateral), deviasi trakea. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan sesak

yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi. 8

Gambar 3. Tension Pneumothoraks

c. Open Pneumothorak

Timbul karena trauma

tajam, ada hubungan dengan

rongga pleura sehingga paru

menjadi kuncup. Seringkali

terlihat sebagai luka pada

dinding dada yang menghisap

pada setiap inspirasi ( sucking

chest wound ). Apabila lubang

14

ini lebih besar dari pada 2/3 diameter trachea, maka pada inspirasi udara

lebih mudah melewati lubang dada dibandingkan melewati mulut sehingga

terjadi sesak nafas yang hebat. 8

15

Gambar4. Open Pneumothoraks (dikutip dari www.anatomyaatlasses.org)

2. Hemothoraks (Hematothoraks)

Hemothoraks adalah suatu keadaan yang paling sering dijumpai pada

penderita trauma thoraks yang sering disebabkan oleh trauma pada paru, jantung,

pembuluh darah besar. Pada lebih 80% penderita dengan trauma thoraks dimana

biasanya terdapat darah >1500ml dalam rongga pleura akibat trauma tumpul atau

tembus pada dada. Sumber perdarahan pada umumnya berasal dari adanya cedera

pada paru-paru, arteri interkostalis, robeknya arteri mamaria interna maupun

pembuluh darah lainnya seperti aorta dan vena cava. Dalam rongga pleura dapat

menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematothoraks dapat syok berat

(kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata, distres nafas

juga akan terjadi karena paru di sisi hemothoraks akan kolaps akibat tertekan

volume darah. Pada pemeriksaan dapat ditemukan shock, deviasi trakea, suara

16

pernapasan yang melemah (unilateral), vena dileher menjadi colaps akibat

hipovolemia atau penekanan karena efek mekanik oleh darah di intrathoraks.7

Gambar 5. Tampak gambaran hemothoraks pada sisi kiri foto thoraks

3. Kontusio Paru

Kontusio paru terjadi pada kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi,

jatuh dari tempat yang tinggi dan luka tembak dengan peluru cepat (high velocity)

maupun setelah trauma tumpul thoraks, dapat pula terjadi pada trauma tajam

dengan mekanisme perdarahan dan edema parenkim. Penyulit ini sering terjadi

pada trauma dada dan potensial menyebabkan kematian. Proses, tanda dan gejala

mungkin berjalan pelan dan makin memburuk dalam 24 jam pasca trauma. Tanda

dan gejalanya adalah sesak nafas/dyspnea, hipoksemia, takikardi, suara nafas

berkurang atau tidak terdengar pada sisi kontusio, patah tulang iga, sianosis.2

4. Laserasi Paru

Laserasi paru adalah robekan pada parenkim paru akibat trauma tajam atau

trauma tumpul keras yang disertai fraktur iga sehingga dapat menimbulkan

hemothoraks dan pneumothoraks. Mekanisme terjadinya pneumothoraks oleh

karena meningkatnya tekanan intraalveolar yang disebabkan adanya tubrukan

yang kuat pada thoraks dan robekan pada percabangan trakeobronchial atau

esophagus. Perdarahan dari laserasi paru dapat berhenti, menetap, atau berulang. 8

17

.

Pada foto follow up pasien 72jam

kemudian menunjukkan adanya massa

cavitas (dikutip dari

http://radiology.med.miami.edu)

Kerusakan Pada Mediastinum

18

Foto dada PA menunjukkan massa lobus kanan atas berbatasan dengan

permukaan pleura terkait metalik fragmen peluru.

Gambar 6. Aksial CT menunjukkan citra sebuah lubang "di paru-paru

dengan tingkat udara-cairan (panah), dikelilingi oleh area yang gelap (kepala

panah) pada pasien trauma. Temuan merupakan robekan paru dikelilingi

oleh luka memar. (dikutip dari http://www.ritradiology.com) Pasien laki-laki umur 20 tahun pasca luka

tembak di dada

1. Ruptur Trakeobronkial

Ruptur trakea dan bronkus utama (rupture trakeobronkial) dapat disebabkan

oleh trauma tajam maupun trauma tumpul dimana angka kematian akibat penyulit ini

adalah 50%. Pada trauma tumpul ruptur terjadi pada saat glottis tertutup dan terdapat

peningkatan hebat dan mendadak dari tekanan saluran trakeobronkial yang melewati

batas elastisitas saluran trakeobronkial ini. Kemungkinan kejadian ruptur bronkus

utama meningkat pada trauma tumpul thoraks yang disertai dengan fraktur iga 1

sampai 3, lokasi tersering adalah pada daerah karina dan percabangan bronkus.

Pneumothoraks, pneumomediatinum, emfisema subkutan dan hemoptisis, sesak

nafas,dan sianosis dapat merupakan gejala dari ruptur ini.5

2. Ruptur Esofagus

Ruptur esofagus lebih sering terjadi pada trauma tajam dibanding trauma

tumpul thoraks dan lokasi ruptur oleh karena trauma tumpul paling sering pada 1/3

bagian bawah esofagus. Akibat ruptur esofagus akan terjadi kontaminasi rongga

mediastinum oleh cairan saluran pencernaan bagian atas sehingga terjadi mediastinitis

yang akan memperburuk keadaan penderitanya. Keluhan pasien berupa nyeri tajam

yang mendadak di epigastrium dan dada yang menjalar ke punggung. Sesak nafas,

sianosis dan syok muncul pada fase yang sudah terlambat. 5

3. Tamponade Jantung

Tamponade jantung terdapat pada 20% penderita dengan trauma thoraks yang

berat, trauma tajam yang mengenai jantung akan menyebabkan tamponade jantung

dengan gejala trias Beck yaitu distensi vena leher, hipotensi dan menurunnya suara

jantung. Kontusio miokardium tanpa disertai ruptur dapat menjadi penyebab

tamponade jantung. Patut dicurigai seseorang mengalami trauma jantung bila

terdapat: trauma tumpul di daerah anterior, fraktur pada sternum, trauma

19

tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela iga II kiri, garis mid

klavikula kiri, arkus kosta kiri). Pada otopsi ditemukan sebuah daerah yang terbatas

dan tersering pada ventrikel kanan dan menyerupai suatu infark, perdarahan yang

mencolok. 7,8

4. Kontusio Jantung

Cedera ini mengacu pada luka atau memar pada miokardium (otot jantung).

Kontusio (memar) miokardium adalah hasil dari cedera yang melibatkan kekuatan

tumpul yang mengarah ke dada (misalnya kecelakaan lalu lintas).

Contusio miokard mungkin berhubungan dengan pneumothoraks, fraktur

sternum, fraktur iga, contusio paru atau hemothoraks. Luka memar jantung

menyebabkan detak jantung tidak beraturan (aritmia) yang dapat mengancam nyawa.

Tidak terdapat gejala spesifik yang timbul dari contusio jantung. Kondisi ini

sering hadir bersamaan dengan kontusio paru dan fraktur sternum, yang keduanya

dapat menyebabkan nyeri dada dan sesak napas. Setiap kecelakaan kendaraan

bermotor yang mengakibatkan benturan dada dengan alat kemudi dapat menghasilkan

cedera miokard.

Evaluasi termasuk pemeriksaan EKG, enzim-enzim jantung dan monitoring

jantung berkelanjutan. Foto radiologi dada dilakukan untuk menyingkirkan adanya

cedera serius lainnya. 7,8

5. Ruptur Aorta

Aorta adalah arteri terbesar dalam tubuh. Aorta bertanggung jawab terhadap

pengiriman oksigen darah ke seluruh jaringan tubuh. Saat aorta keluar dari jantung,

aorta turun dari dada menuju perut/ abdomen. Aorta thorakalis sering bermasalah

20

terhadap kekuatan deselerasi cepat, yang sering terjadi pada suatu kecelakaan

kendaraan bermotor (cedera depan), ketika dada terbentur dengan alat kemudi. Ruptur

aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, diperkirakan penyebab kedua

tersering kematian pada pasien dengan cedera dada dan lokasi ruptur tersering adalah

di bagian proksimal arteri subklavia kiri dekat ligamentum arteriosum. Hanya kira-

kira 15% dari penderita trauma dada dengan ruptur aorta ini dapat mencapai rumah

sakit untuk mendapatkan pertolongan. Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto

thoraks bila didapatkan mediastinum yang melebar, fraktur iga 1 dan 2, trakea

terdorong ke kanan, gambaran aorta kabur, dan penekanan bronkus utama kiri.5

6. Ruptur Diafragma

Ruptur diafragma pada trauma thoraks biasanya disebabkan oleh trauma

tumpul pada daerah thoraks inferior atau abdomen atas yang tersering disebabkan

oleh kecelakaan. Trauma tumpul di daerah thoraks inferior akan mengakibatkan

peningkatan tekanan intra abdominal mendadak yang diteruskan ke diafragma. Ruptur

terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan tersebut, herniasi organ

intrathoraks dan strangulasi organ abdomen dapat terjadi. Dapat pula terjadi ruptur

diafragma akibat trauma tembus pada daerah thoraks inferior. Pada keadaan ini

trauma tembus juga akan melukai organ-organ lain (intra thoraks atau intra

abdominal). Ruptur umumnya terjadi di “puncak” kubah diafragma, ataupun kita bisa

curigai bila terdapat luka tusuk dada yang didapatkan pada: dibawah ICS 4 anterior, di

daerah ICS 6 lateral, di daerah ICS 8 posterior. Kejadian ruptur diafragma lebih sering

terjadi di sebelah kiri daripada sebelah kanan. Kematian dapat terjadi dengan cepat

setelah terjadinya trauma oleh karena shock dan perdarahan pada cavum pleura kiri.5

21

G. Pemeriksaan Primary Survey

Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan

manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam

kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan

memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang

dilakukan pada primary survey antara lain:

1. Airway maintenance dengan cervical spine protection

2. Breathing dan oxygenation

3. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal

4. Disability-pemeriksaan neurologis singkat

5. Exposure dengan kontrol lingkungan

Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey

bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah

berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan

berhasil. Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan

awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang

terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta

pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).

Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain : 7

1. General Impressions

a. Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.

b. Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera

c. Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)

2. Airway

22

Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas

pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya

sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan

nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin

memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi

selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau

dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada

kondisi pasien tidak sadar.

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :

a. Kaji jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan

bebas?

b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:

1) Adanya snoring atau gurgling

2) Stridor atau suara napas tidak normal

3) Agitasi (hipoksia)

4) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements

5) Sianosis

c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan

potensial penyebab obstruksi :

1) Muntahan

2) Perdarahan

3) Gigi lepas atau hilang

4) Gigi palsu

5) Trauma wajah

d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.

23

e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang

berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.

f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai

indikasi :

1) Chin lift/jaw thrust

2) Lakukan suction (jika tersedia)

3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask

Airway

4) Lakukan intubasi

3. Breathing (Pernafasan)

Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan

keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,

maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan

drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan

ventilasi buatan. Yang perlu diperhatikan pada pasien antara lain : 7

a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi

pasien.

1) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-

tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking

chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.

2) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,

subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis

haemothorax dan pneumotoraks.

3) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.

24

b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.

c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut

mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.

d. Penilaian kembali status mental pasien.

e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan

f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau

oksigenasi:

1) Pemberian terapi oksigen

2) Bag-Valve Masker

3) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang

benar), jika diindikasikan

4) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway

procedures

5) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan

berikan terapi sesuai kebutuhan.

4. Circulation

Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi

jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis

shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,

pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin.

Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan

yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung

mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab

lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax,

cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan

25

eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara

memadai dan dikelola dengan baik.

Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain : 7

a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.

b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.

c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian

penekanan secara langsung.

d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:

1) Menentukan ada atau tidaknya

2) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)

3) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)

4) Regularity

e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia

(capillary refill).

f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

5. Level of Consciousness dan Disabilities

Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :

a. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah

yang

diberikan

b. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa

dimengerti

c. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika

ekstremitas

awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)

26

d. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri

maupun stimulus verbal. 7

6. Expose, Examine dan Evaluate

Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien

diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk

dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.

Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah

mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua

pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga

privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang.

Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam

jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:

a. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien

b. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa

pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang

berpotensi tidak stabil atau kritis.8

27

Pemeriksaan Primary Survey Pada Kasus Trauma Thorak

1. Open Pnemothorak

Apabila lubang ini lebih besar daripada 2/3 diameter trachea, maka pada

inspirasi udara mungkin lebih mudah melewati lubang pada dinding dada

disbanding melewati mulut, sehingga terjadi sesak yang hebat. Dengan demikian

maka pada open pneumothorak, usaha pertama adalah menutup lubang pada

dinding dada ini sehinggaopen pneumothorak menjadi close pneumothorak

(tertutup). Harus segara ditambahkan bahwa apabila selain lubangpada dinding

dada, juga ada lubang pada paru, maka usaha menutup lbang ini secara total

(occlusive dressing) dapat mengakibatkan terjadinya tension pneumothorak.

Dengan demikian maka yang harus dilakukan adalah:

a. Menutup dengan kasa 3 sisi. Kasa ditutup dengan plester pada 3

sisinya, sedangkan pada sisi atas dibiarkan terbuka (kasa harus dilapisi

zalf/soffratule pada sisi dalamnya supaya kedap udara

b. Menutup dengan kasa kedap udara. Apabila diakukan cara ini maka

harus sering dilakukan evaluasi paru. Apabila ternyata timbu tanda

tension pnneumothorak maka kasa harus dibuka

c. Pada luka yang sangat besar maka dapat dipakai plastik infus yang

digunting sesuai ukuran. 7

2. Tension Pnemothorak

Tension pneumothorak dapat timbul dari komplikasi pneumothorak

sederhana akibat trauma tembus atau tajam. Penggunaan yang salah dari pembalut

occlusive yang akan menimbulkan mekanisme flap-valve, penggunaan ventilator

mekanik yang tidak tepat dan pada fraktur tulang belakang thorak yang mengalami

28

pergeseran. Apabila ada mekanisme ventil karena kebocoran pada paru, maka

udara akan semakin banyak pada sisi rongga pleura, akibatnya adalah:

a. Paru menjadi kolap

b. Paru sebelahnya akan tertekan dengan akibat sesak berat

c. Mediastinum akan terdorong ke sisi yang berlawanan dengan akibat timbul

syok akibat penekanan pada vena sehingga menghambat pengembalian

darah ke jantung.

Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya hipersonor dan hilangnya suara

napas pada sisi paru yang terkena. Diagnosis tension pneumothorak harus segera

ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan terapi tidak boleh terlambat oleh

karena menunggu konfirmasi radiologis.

Apabila diagnosis ditegakkan maka harus diambil tindakan dengan

melakukan dekompresi ”needle thorakosintesis”, yakni menusuk dengan jarum

besar pada ruang intercostal 2 pada garis midclavicularis. Terapi definif dengan

pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 di antara garis axillaris

anterior dan midaxillaris. 7

3. Hematothorak Masif

Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada (lebih 1500

cc). Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus/tumpul yang merusak pembuluh

darah sistemik atau pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.

Diagnosis hematothorak ditegakkan dengan adanya syok yang disertai

dengan suara napas yang menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang

mengalami trauma. Perdarahan yang banyak dan cepat akan lebih mempercepat

timbulnya hipotensi dan syok. Terkumpulnya darah dan cairan di slah satu

29

henithorak dapat menyebabkan gangguan usaha bernafas akibat penekanan paru-

paru dan menghambat ventilasi yang adekuat.

Tidak banyak yang dapat dilakukan pra rumah sakit pada keadaan ini.

Satu-satunya cara adalah membawa penderita secepat mungkin ke rumah sakit

dengan harapan masih dapat terselamatkan dengan tindakan operatif. Terapi awal

adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersama dengan

dekompresi rongga pleura dan keputusan torakotomi diambil bila didapatkan

kehilangan darah awal lebih dari 1500 ml atau kehilangan terus-menerus 200

cc/jam dalam waktu 2-4 jam. 7

4. Flail Chest

Tulang iga patah pada 2 tempat, pada lebih dari 2 iga, sehingga ada satu

segmen dinding dada yang tidak ikut pada pernapasan. Pada ekspirasi, segmen

akan menonjol keluar, pada inspirasi justru akan masuk ke dalam. Ini dikenal

sebagai pernapasan paradoksal. Kelainan ini akan mengganggu ventilasi, namun

lebih diwaspadai adalah adanya kontusio paru. Sesak berat yang mungkin terjadi

harus dibantu dengan oksigenasi dan mungkin diperluka ventilasi tambahan. Di

rumah sakit penderita akan dipasang pada respirator, apabila analisis gas darah

menunjukkan pO2 yang rendah atau pCO2 yang tinggi, 7

5. Tamponade Jantung

Diagnosis temponade jantung cukup sulit dan terkadang sulit dibedakan

dengan tension pneumothorak, yaitu adanya Trias Beck yang terdiri dari

peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung yang

menjauh. Pemasangan CVP dan USG abdomen dapat membantu diagnosis tetapai

tidak boleh menghambat untuk dilakukannya resusitasi. Pada infuse guyur, tidak

ada atau hanya sedikit respon. Metode yang cepat untuk menyelamatkan penderita

30

yaitu dilakukan pericardiosintesis (penusukan rongga pericardium) dengan jarum

besar untuk mengeluarkan darah tersebut. Tindakan definitive ialah dengan

perikardiotomi yang dilakukan oleh ahli bedah.8

31

32

33

H. Pemeriksaan Secondary Survey

Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara

head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah

kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok

telah mulai membaik.

1. Anamnesis

Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang

merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi

keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat

keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian

riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan

dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,

konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama

kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan

memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:

a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera

wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.

b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau

vertebra lain, fraktur ekstremitas.

c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari

pasien dan keluarga.

A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)

M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani

34

pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan

obat

P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang

pernah

diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi

berapa

jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam

komponen ini)

E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang

menyebabkan adanya keluhan utama)

Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan

dengan kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol,

dapat digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing

Association, 2007):

C. have you ever felt should Cut down your drinking?

A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?

G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?

E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver

or get rid of a hangover (Eye-opener)

Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah

konsumsi alkohol.

Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan

dalam proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam

35

setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing

Association, 2007):

Hurt you physically?

Insulted or talked down to you?

Threathened you with physical harm?

Screamed or cursed you?

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien

yang meliputi :

Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat

nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang

anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat

tidur?

Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,

tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan

pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.

Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri

terlokalisasi di satu titik atau bergerak?

Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak

ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat

Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa

lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah

pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri

sebelumnya atau berbeda?

36

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan

tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi

oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.5

2. Pemeriksaan Fisik

a. Kulit kepala

Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang

dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian

belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan

wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka

termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala. 7

b. Wajah

Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.

Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena

pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi

sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.

1) Mata : Periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah

isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya,

apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya

ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus),

apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan,

rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos,

subconjunctival perdarahan, serta diplopia

2) Hidung :Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan

37

penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan)

lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu

fraktur.

3) Telinga :Periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan

atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter

mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya

hemotimpanum

4) Rahang atas : Periksa stabilitas rahang atas

5) Rahang bawah : Periksa akan adanya fraktur

6) Mulut dan faring : Inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,

kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,

kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan

tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,

pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil

meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya

respon nyeri. 7

c. Vertebra servikalis dan leher

Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau

krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan

menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi

trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas,

pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan

simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway,

pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..

38

d. Toraks

Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang

untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,

ekimosis, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,

kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan

tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace

maker, frekuensi dan irama denyut jantung.

Palpasi : Seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,

emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.

Perkusi : Mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan

Auskultasi :Suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan

bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub). 7

e. Abdomen

Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada

keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan

kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan

nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk

adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi

abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk,

ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen,

untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui

adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,,

nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan

39

intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage,

ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus

halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan

re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang

operasi bila diperlukan. 8

f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)

Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis

menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam

keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita

untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis.

Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,

edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus

dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan

adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh

tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok

vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat

perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan

(pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus

dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada

adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi

pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika

pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler

ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk

frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang

40

rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing

berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis. 7

g. Ekstremitas

Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan

lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat

pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat

menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen

(tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan

aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan

kesadaran atau kelumpuhan. Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi,

gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot,

kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat

adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia

lambat s/d 5-15 detik.

Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan

berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat

menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu

pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot

dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal

dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain

mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini

hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak

lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan

yang muncul adalah

41

1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi

syok yang dpat berakibat fatal

2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam

keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah

kelainan ini dikenali.

3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah

penderita mulai sadar kembali. 5

h. Bagian punggung

Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan

penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan

pemeriksaan punggung. Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma,

ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra

periksa adanya deformitas.8

i. Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat

kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik. Peubahan

dalam status neurologis dapat dikenal dengan pemeriksaan GCS. Adanya paralisis

dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer.

Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat

imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang

sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasi terbatas kepada kepala dan leher

saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu.

Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma

42

kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran

penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi

penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi

oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan

epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf

Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,

hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam

mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan

respon sensori. 7

Pemeriksaan Secondary Survey Pada Kasus Trauma Thorak

1. Fraktur Iga

Fraktur iga dicurigai apabila terdapat deformitas, nyeri, tekan pada palpasi

dan krepitas. Plester iga, pengikat iga, dan bidai eksternal merupakan

kontraindikasi, yang terpenting adalah menghilangkan rasa sakit agar penderita

dapat bernapas dengan baik. Terkadang hal ini memerlukan blok anastesi

interkostal, ataupun menggunakan analgesia sistemik. Patah tulang iga sendiri

tidak berbahaya dan pada pra rumah sakit tidak memerlukan tindakan apa-apa.

Yang harus lebih diwaspadai adalah timbulnya pneumothorak atau hematothorak.5

2. Kontusio Paru

Pemadatan paru karena trauma timbulnya agak lambat sehingga fase pra

rumah sakit tidak menimbulkan masalah. Kegagalan bernafas dapat timbul

perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian,

sehingga penanganan definitive dapat berubah berdasarkan perubahan waktu.

Monitoring harus dilakukan ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi

penderita yang berulang-ulang. 5

43

3. Ruptur Aorta

Rupture aorta traumatic sering menyebabkan kematian segera setelah

kecelakaan mobil, tabrakan frontal, atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita

yang selamat, sesampai di rumah sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan

bila rupture aorta dapat diidentifikasi dan secepatnyadioperasi.

Banyak penderita yang sempat sampai di rumah sakit dalam keadaan

hidup, tapi meninggal di rumah sakit bila tidak segera di terapi. Seringkali gejala

ataupun tanda spesifik tidak ada, namun adanya kecurigaan yang besar atas

riwayat trauma, adanya gaya deselerasi dan temuan radiologis yang khas dan

arteriografi merupakan dasar dalam penetapan diagnosis. 5

4. Ruptur Diafragma

Ruptur diafragma traumatic sering terdiagnosis pada sisi kiri, karena

obliterasihepar pada sisi kiri, karea obliterasi hepar pada sisi kanan atau adanya

hepar pada sisi kanan sehingga mengurangi kemungkinan terdiagnosis ataupun

terjadinya rupture diafragma kanan. Trauma tumpul dapat menghasilkan robekan

besar yang menyebabkan timbulnya herniasi organ abdomen. Sedangkan trauma

tajam dapat menghasilkan perforasi kecil yang memerlukan waktu untuk

berkembang menjadi hernia diafragmatik. 5

5. Perforasi Eosofagus

Trauma esophagus lebih sering disebabkan oleh trauma tembus. Trauma

tumpul esophagus walaupun jarang tetapi mematikan bila tidak teridentifikasi.

Trauma tumpul esophagus disebabkan oleh gaya kompresi dari isi gaster yang

masuk ke dalam esofagus akibat trauma berat pada abdomen bagian atas. 5

44

I. Penatalaksanaan Trauma Thorak

1. Bullow Drainage / WSD

Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :

a. Diagnostik : Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil,

sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum

penderita jatuh dalam shock.

b. Terapi : Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.

Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing"

dapat kembali seperti yang seharusnya.

c. Preventive : Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura

sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.7

2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :

a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.

Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari

sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya

slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.

b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat

akan diberi analgetik oleh dokter.

c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :

1) Penetapan slang: Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang

dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa

sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.

2) Pergantian posisi badan: Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan

memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang,

45

melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat

badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera. 7

d. Mendorong berkembangnya paru-paru.

1) Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.

2) Latihan napas dalam.

3) Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk

waktu slang diklem.

4) Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.

e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.

Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika

perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi.

Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara

bersamaan keadaan pernapasan. 7

f. Suction harus berjalan efektif :

1) Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan

setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.

2) Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna

muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.

3) Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika

suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2

terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah

atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah,

46

slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena

perlekatanan di dinding paru-paru

g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.

1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan

yang keluar kalau ada dicatat.

2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya

gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.

3) Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu

meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.

4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol

dan slang harus tetap steril.

5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri,

dengan memakai sarung tangan.

6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada,

misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll

h. Dinyatakan berhasil, bila :

1) Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.

2) Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.

3) Tidak ada pus dari selang WSD.3

47

DAFTAR PUSTAKA

1. Agus Purwadianto,Budi Samputrna. Kedaruratan Medik. Edisi Revisi. Bina

Rupa Aksara. Jakarta : 2000.

2. Arief Mansjoer, Kuspuji Triyanti dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid

2. Jakarta : FKUI.

3. Brunicardi FC et al. Schwartz’s principles of surgery. 8th edition. United States

America : McGraw Hill, 2005.826-42.

4. Dorlan W.A. 2000. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. 29th ed.

5. Gerard M Doherty. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Edisi 12.

McGraw-Hill Companies. New York. p 245-259.

6. James M Becker. Essentials of Surgery. Edisi 1. Saunders Elsevier.

Philadelphia. p 118-129.

7. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI Oleh Staf Pengajar Bagian Ilmu Bedah

FKUI.

8. Sjamsuhidayat , R dan Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta :

2005.

48