KEBIJAKAN PHK DANEMOTIONAL LABOUR - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/28740/1/1511412124.pdf ·...
Transcript of KEBIJAKAN PHK DANEMOTIONAL LABOUR - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/28740/1/1511412124.pdf ·...
i
HUBUNGANORGANIZATIONAL JUSTICE
KEBIJAKAN PHK DANEMOTIONAL LABOUR
PEKERJA PT. YURO MUSTIKA
SKRIPSI
disajikan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi
oleh
Laurensia Novenia Damar Deputri
1511412124
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
ii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalamskripsi dengan judul
“HubunganOrganizational Justice Kebijakan PHK DanEmotional Labour Pekerja
PT. Yuro” benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang
lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan pada kode etik ilmiah.
Semarang, 31 Mei 2016
Laurensia Novenia Damar Deputri
1511412124
iii
iv
MOTTO DAN PERUNTUKAN
Motto:
1. Jadikan kehadiranmu dinantikan dan berguna bagi sesamamu.
2. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin
tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di
bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang
di dalam rumahh itu. (Matius, 5:14 – 15)
3. Pencapaian bukan hanya materi dan jabatan. Kesederhanaan, berbagi dan
kehadiranku membuat sesamaku bahagia merupakan kebahagiaan yang tak
ternilai.
Peruntukan :
Hasil karya ini penulis peruntukan kepada
Kedua orang tua, Bapak Putranto (alm), Ibu Dewi,
Adik tercinta Valesaka,
Almamater Psikologi UNNES
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
karunia -Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“Hubungan Organizational Justice Kebijakan PHK Dan Emotional Labour
Pekerja PT. Yuro Mustika”. Skripsi ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari
peran berbagai pihak yang telah banyak membantu. Untuk itu, dengan penuh
kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof.Dr.Fakhruddin, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas
Negeri Semarang.
2. Drs. Sugeng Haryadi, S.Psi., M.S., selaku Ketua Jurusan Psikologi FIP
UNNES
3. Drs. Sugiyarta Stanislaus, M.Si selaku Penguji I yang telah memberikan
masukan dan penilaian terhadap skripsi penulis.
4. Sugiariyanti,S.Psi.,M.Aselaku Penguji II yang telah memberikan masukan dan
penilaian terhadap skripsi penulis.
5. Rahmawati Prihastuty, S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu memberikan bimbingan hingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Seluruh Dosen dan Staf di Jurusan Psikologi yang telah berkenan untuk
berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada penulis
7. Pekerja PT Yuro Mustika atas kesediaannya menjadi subjek dalam penelitian
ini.
vi
8. Bapak Putranto (alm), ibu Dewi, adik Valesaka dan seluruh keluarga besar
penulis terimakasih atas doa, dukungan dan kasih sayang yang begitu besar
bagi penulis.
9. Benedectus Emanuel. A atas doa, motivasi, semangat dan waktu yang
diberikan kepada penulis. Tri Asih. K yang senantiasa membantu dan
mendukung penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
10. Teman-teman Psikologi angkatan 2012 yang bersama - samadengan penulis
menempuh studi dalam suka dan duka, serta atas doadan dukungannya.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi siapa saja yang
membacanya dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Semarang, Mei 2016
Penulis
vii
ABSTRAK
Deputri, Laurensia Novenia Damar. 2015. “HubunganOrganizational Justice Kebijakan PHK DanEmotional Labour Pekerja PT. Yuro Mustika”Skripsi.Jurusan
Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Pembimbing
Rahmawati Prihastuty, S.Psi., M.Si.
Kata kunci : organizational justice, emotional labour, pemutusan hubungan
kerja (PHK)
Penelitian ini dilatar belakangi adanya kebijakan PHK yang diberlakukan
oleh PT. Yuro Mustika perusahaan yang bergerak di bidang produksi boneka dan
wig, adanya kebijakan PHK sebagai salah satu upaya untuk menangani krisis
ekonomi yang terjadi. Adanya PHK membuat pekerja harus mengatur emosi yang
keluar agar sesuai dengan tujuan organisasi atau disebut dengan emotional labour.
Terjadinya emotional labour tidak terlepas dari lingkungan organisasi, kebijakan
PHK yang diberlakukan menyebabkan persepsi pekerja apakah mereka
diperlakukan secara adil dengan membandingkan proses yang dilakukan dengan
hasil yang diberikan perusahaan desebut dengan organizational justice. Tujuan
dari penelitian ini untuk menguji hubungan organizational justice kebijakan
PHKdan emotional labour. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain
korelasional. Populasi penelitian ini adalah pekerja PT. Yuro Mustika bagian
produksi dengan jumlah 320 pekerja dengan masa kerja minimal 5 tahun. Jumlah
sampel yang di gunakan dalam penelitian sejumlah 108 pekerja bagian produksi.
Pengambilan sampel menggunakan sampling insidental. Data penelitian dihimpun
menggunakan skala organizational justice yang disusun berdasarkan distributive justice, procedural justice dan interactional justicedan skala emotional labour yang disusun berdasarkan surface acting dan deep acting. Skala emotional labourterdiri dari 22 item (α = 0,647) dan skala organizational justice terdiri dari
31 item (α = 0,748). Teknik analisis data penelitian ini menggunakan teknik
korelasi product moment. Hasil penelitian ini dengan korelasi product moment menunjukan hasil
koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,076 dan nilai signifikansi sebesar 0,434 (α >
0,01). Berdasarkan nilai koefisien tersebut hipotesis “ada hubungan
organizational justice kebijakan PHK dan emotional labour pekerja” ditolak.
Maka tidak ada hubungan yang signifikan antara organizational justice kebijakan
PHK dengan emotional labour.Emotional labour pekerja PT. Yuro Mustika
berada pada kategori tinggi dengan dimensi deep acting deep acting yang paling
berpengaruh. Organizational justice kebijakan PHK PT. Yuro Mustika berada
pada kategori tinggi dengan komponen procedural justice yang paling
berpengaruh.Kedua variabel ini bila disatukan salah satu variabel akan menjadi
variabel moderator dalam penelitian dan memprediksi sikap maupun perilaku
pekerja terhadap organisasi.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
PERNYATAAN ........................................................................................ ii
PENGESAHAN ....................................................................................... iii
MOTTO dan PERUNTUKAN .................................................................. iv
KATA PENGANTAR .............................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................ viii
DAFTAR TABEL .................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xv
BAB
1. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 10
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 10
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 10
1.4.1 Secara Teoritis .............................................................................. 11
1.4.2 Secara Praktis ............................................................................... 11
2. LANDASAN TEORI ................................................................... 12
2.1 Emotional Labour ......................................................................... 12
2.1.1 Definisi Emotional Labour ............................................................ 12
ix
2.1.2 Dimensi Emotional Labour ........................................................... 14
2.1.3 Faktor – Faktor Emotional Labour ................................................ 17
2.1.4 Dampak Emotional Labour ........................................................... 20
2.2 Organizational Justice .................................................................. 23
2.2.1 DefinisiOrganizational Justice .................................................... 23
2.2.2 Tiga Komponen Organizational Justice ....................................... 25
2.2.3 Dampak Organizational Justice .................................................... 29
2.3 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ............................................. 31
2.3.1 Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ........................... 31
2.3.2 Jenis – Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ........................ 32
2.3.3 Hak yang Diterima oleh Pekerja/Buruh yang Terkena PHK ....... 34
2.3.4 Dampak Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) ......................... 35
2.4 Hubungan Organizational Justice Kebijakan PHK dan
Emotional Labour ......................................................................... 37
2.5 Hipotesis ....................................................................................... 40
3. METODE PENELITIAN ............................................................. 41
3.1 Jenis dan Desain Penelitian .......................................................... 41
3.1.1 Jenis Penelitian ............................................................................. 41
3.1.2 Desain Penelitian .......................................................................... 41
3.2 Identifikasi Variabel Penelitian ..................................................... 42
3.2.1 Variabel Tergantung ...................................................................... 42
3.2.2 Variabel Bebas .............................................................................. 42
3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian ...................................... 42
3.3.1 Emotional Labour ......................................................................... 43
x
3.3.2 Organizational Justice .................................................................. 43
3.4 Hubungan Antar VariabelPenelitian ............................................. 43
3.5 Subjek Penelitian .......................................................................... 44
3.5.1 Populasi ......................................................................................... 44
3.5.2 Sampel ........................................................................................... 44
3.5.3 Teknik Pengambilan Sampel ......................................................... 45
3.6 Metode Pengumpulan Data .......................................................... 45
3.6.1 Skala Emotional Labour ................................................................ 46
3.6.2 Skala Organizational Justice ........................................................ 47
3.7 Validitas dan Reliabilitas .............................................................. 49
3.7.1 Validitas ........................................................................................ 49
3.7.2 Reliabilitas .................................................................................... 50
3.8 Metode Analisis Data ................................................................... 51
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................ 52
4.1 Persiapan Penelitian ..................................................................... 52
4.1.1 Orientasi Kancah Penelitian .......................................................... 52
4.1.2 Proses Perijinan ............................................................................ 53
4.1.3 Penentuan Subjek Penelitian ........................................................ 54
4.1.4 Penyusunan Instrumen ................................................................. 54
4.2 Pelaksanaan Penelitian ................................................................. 56
4.2.1 Pengumpulan Data ........................................................................ 56
4.2.2 Pemberian Skoring ....................................................................... 56
4.3 Deskripsi Data Hasil Penelitian .................................................... 57
xi
4.3.1 Validitas Instrumen ...................................................................... 57
4.3.2 Reliabilitas Instrumen .................................................................. 62
4.3.3 Gambaran Subjek Penelitian ........................................................ 63
4.4 Analisis Deskriptif ........................................................................ 64
4.4.1 Gambaran Emotional Labour Pekerja PT. Yuro Mustika ............. 64
4.4.2 Gambaran Organizational Justice Kebijakan PHK Pekerja
PT. Yuro Mustika ......................................................................... 73
4.5 Hasil Penelitian ............................................................................. 83
4.5.1 Hasil Uji Asumsi ........................................................................... 84
4.5.2 Hasil Uji Hipotesis ....................................................................... 85
4.6 Pembahasan .................................................................................. 86
4.6.1 Pembahasan Analisis Statistik Deskriptif Emotional Labour dan
Organizational Justice Kebijakan PHK Pekerja
PT. Yuro Mustika ........................................................................ 86
4.6.2 Pembahasan Analisis Inferensial Hubungan Emotional Labour Dan Organizational Justice Kebijakan PHK Pekerja
PT. Yuro Mustika ......................................................................... 93
4.7 Keterbatasan Penelitian ................................................................ 96
5. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 98
5.1 Simpulan ........................................................................................ 98
5.2 Saran ............................................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 101
xii
DAFTAR TABEL Tabel Halaman
1.1 Data Kasus PHK dan Pekerja ter – PHK Tahun 2012 – 2014
di Jawa Tengah ....................................................................................... 3
1.2 Hasil StudyAwal Emotional Labour ....................................................... 5
2.1 Komponen Organizational Justice ......................................................... 29
2.2 Uang Pesangom (Pasal 158 ayat 2) .......................................................... 34
2.3 Uang Penghargaan Masa Kerja (Pasal 158 ayat 3) .................................. 34
2.4 Uang Penggantian Hak (Pasal 158 ayat 4) ............................................... 35
3.1 Susunan Penskoran Skala Emotional Labour .......................................... 46
3.2 Blue Print Skala Emotional Labour ......................................................... 47
3.3 Susunan Penskoran Skala Organizational Justice ................................. 48
3.4 Blue Print Skala Organizational Justice ................................................. 48
4.1 Hasil Validitas Item Skala Emotional Labour ......................................... 58
4.2 Sebaran Baru Item Emotional Labour .................................................... 59
4.3 Hasil Validitas Item Skala Organizational Justice .................................. 60
4.4 Sebaran Baru Item Organizational Justice .............................................. 61
4.5 Tabel Interpretasi Nilai Reliabilitas ........................................................ 63
4.6 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ................................. 63
4.7 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Kerja ...................... 63
4.8 Penggolongan Kategorisasi Analisis Berdasarkan Mean Teoritis .......... 64
4.9 Statistik Deskriptif Emotional LabourPekerja ......................................... 65
4.10 Gambaran Umum Emotional Labour Pekerja PT. Yuro Mustika .......... 66
4.11 Statistik Deskriptif Emotional Labour Berdasarkan Surface Acting ...... 67
xiii
4.12 Gambaran Umum Emotional Labour Pekerja PT. Yuro Mustika
Berdasarkan Surface Acting .............................................................. 68
4.13 Statistik Deskriptif Emotional Labour Berdasarkan Deep Acting ........ 69
4.14 Gambaran Spesifik Emotional Labour Pekerja PT. Yuro Mustika
Berdasarkan Deep Acting ..................................................................... 70
4.15 Ringkasan Deskriptif Gambaran Spesifik Emotional Labour Pekerja PT. Yuro Mustika ................................................................... 71
4.16 Perbandingan Mean Empiris Setiap Dimensi Emotional Labour......... 72
4.17 Statistik Deskriptif Organizational Justice Kebijakan PHK ................ 74
4.18 Gambaran Umum Organizational Justice Kebijakan PHK
Pekerja PT. Yuro Mustika ................................................................... 74
4.19 Statistik Deskriptif Organizational Justice Kebijakan PHK
Berdasarkan Distributive Justice .......................................................... 76
4.20 Gambaran Spesifik Organizational Justice Kebijakan PHK
Berdasarkan Distributive Justice .......................................................... 76
4.21 Statistik Deskriptif Organizational Justice Kebijakan PHK
Berdasarkan Procedural Justice ........................................................... 78
4.22 Gambaran Spesifik Organizational Justice Kebijakan PHK
Berdasarkan Procedural Justice ........................................................... 78
4.23 Statistik Deskriptif Organizational Justice Kebijakan PHK
Berdasarkan Interactional Justice ....................................................... 80
4.24 Gambaran Spesifik Organizational Justice Kebijakan PHK
Berdasarkan Interactional Justice ....................................................... 80
4.25 Ringkasan Deskriptif Gambaran Spesifik Organizational Justice Kebijakan PHK ..................................................................................... 82
4.26 Perbandingan Mean Empiris Setiap Komponen Organizational Justice ................................................................................................... 83
4.27 Hasil Uji Normalitas ............................................................................ 84
4.28 Hasil Uji Linieritas .............................................................................. 85
4.29 Hasil Uji Hipotesis ............................................................................... 86
xiv
DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman
2.1 Konseptual Framework regulasi emosi dalam lingkungan kerja ......... 22
2.2 Kerangka Konseptual Pengaruh Organizational justice Perception Terhadap Regulasi Emosi Pekerja Pada Kebijakan PHK ……………… 39
3.1 Hubungan antar variabel ....................................................................... 43
4.1 Diagram Gambaran Umum Emotional Labour Pekerja
PT. Yuro Mustika ................................................................................. 67
4.2 Diagram Gambaran Spesifik Emotional LabourPekerja PT. Yuro
MustikaBerdasarkan Surface Acting ......................................................... 69
4.3 Diagram Gambaran Spesifik Emotional Labour Pekerja
PT. Yuro MustikaBerdasarkan Deep Acting ......................................... 71
4.4 Diagram Gambaran Spesifik Emotional Labour Pekerja
PT. Yuro Mustika ................................................................................ 72
4.5 Diagram Perbandingan Mean Empiris Tiap Dimensi
Emotional Labour ................................................................................. 73
4.6 Diagram Gambaran Umum Organizational Justice Kebijakan PHK
Pekerja PT. Yuro Mustika ................................................................... 75
4.7 Diagram Gambaran Spesifik Organizational Justice Kebijakan PHK
Berdasarkan Distributive Justice ......................................................... 77
4.8 Diagram GambaranSpesifik Organizational Justice Kebijakan
PHKBerdasarkan Procedural Justice .................................................. 79
4.9 Diagram Gambaran Spesifik Organizational Justice Kebijakan PHK
Berdasarkan Interactional Justice ....................................................... 81
4.10 Diagram Gambaran Spesifik Organizational Justice Kebijakan PHK
Pekerja PT. Yuro Mustika .................................................................... 82
4.11 Diagram Perbandingan Mean Empiris Tiap Komponen
Organizational Justice .......................................................................... 83
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Verbatim Study Pendahuluan ........................................................................ 106
2. Kuesioner Study Pendahuluan ....................................................................... 113
3. Skala Penelitian ............................................................................................. 115
4. Tabulasi Data Penelitian ............................................................................... 125
5. Hasil Validitas Skala ..................................................................................... 138
6. Hasil Reliabilitas Skala ................................................................................. 146
7. Uji Asumsi ..................................................................................................... 148
8. Uji Hipotesis ................................................................................................. 150
9. Hasil Uji Statistik Deskriptif ......................................................................... 152
10. Surat Ijin Penelitian ....................................................................................... 155
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Kemajuan jaman yang semakin pesat ini membuat seseorang berlomba –
lomba untuk mendapatkan pekerjaan, mulai dari lulusan SMA hingga sarjana.
Bekerja menjadi penopang kehidupan dan tolak ukur kesuksesan seseorang,
dengan bekerja mereka mendapatkan penghasilan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan sehari – hari serta dapat meningkatkan status sosial
ekonomi. Tidak dipungkiri bahwa mendapatkan pekerjaan dan menerima hasil
kerja merupakan kebahagiaan bagi sebagian orang, mereka rela menjadi buruh
asalkan tetap mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan yang semakin
meningkat setiap saat.
Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan
Provinsi Jawa Tengahpada tahun 2014 terdapat 676.854 penduduk Jawa Tengah
mulai dari jenjang pendidikan SD hingga sarjana yang belum mendapatkan
pekerjaan (Disnakertrans Jateng, jateng.bps.go.id pada 15/12/2015). Hal ini
menunjukan bahwa berkembangnya dunia perindustrian tidak menjamin
berkurangnya tingkat pengangguran, sehingga bagi sebagian orang yang telah
bekerja dan mendapatkan penghasilan bekerja merupakan kepuasan dan
kebanggan bagi setiap orang.
Hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerja tidaklah selalu
berjalan dengan harmonis, terdapat permasalahan – permasalahan seperti
2
perusahaan yang mengalami pailit, terus naiknya dolar yang mengakibatkan
kerugian, berkurangnya produksi perusahaan serta terjadinya sengketa perusahaan
dengan pemerintah akan memberikan dampak pula bagi pekerja maupun buruh
yang ada di perusahaan. Pengurangan jumlah pekerja atau buruh menjadi solusi
dalam mengatasi permasalahan dalam perusahaan agar perusahaan tetap berdiri
dan eksis di dunia perindustrian, pengurangan jumlah pekerja mengakibatkan
bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia yang menjadi pengangguran, para
pekerja atau pun buruh kehilangan mata pencaharian dan membuat permasalahan
bagi mereka dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan. Salah satu cara
pengurangan tenaga kerja dengan diberlakukannya kebijakan pemutusan
hubungan kerja (PHK) pada suatu perusahaan.
Menurut Suwarto (2003: 142) “Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah
pengakhiran hubungan kerja yang seharusnya masih berlangsung terus –
menerus.” Menurut UU No.13 Tahun 2003 pasal 1 ayat 25 pengertian pemutusan
hubungan kerja adalah Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dengan
pengusaha. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi karena salah satu pihak
mengakhiri hubungan kerja, bagi pekerja PHK merupakan awal dari kesulitan
finansial karena PHK dengan adanya PHK pekerja/buruh tidak mendapatkan
penghasilan. Walaupun dalam proses PHK pekerja mendapatkan sejumlah
pesangon namun jumlah yang didapatkan tidak sebanding dengan tuntutan
kebutuhan kehidupan setiap harinya.
3
Di Jawa Tengah kasus PHK selama tahun 2012 – 2014 memiliki jumlah
fluktuatif. Berdasarkan data yang diperolehdariPusat Data
danInformasiKetenagakerjaan (pusdatin.naker.go.id pada 15/12/2015),
sebagaiberikut :
Tabel 1.1 Data Kasus PHK danPekerjater – PHK tahun 2012 - 2014 di Jawa Tengah
Tahun Kasus PHK PekerjaTer – PHK 2012 790 kasus 3.056 orang
2013 158 kasus 1.116 orang
2014 538 kasus 1.757 orang
Salah satu perusahaan yang terletak di Kabupaten Purbalingga PT. Yuro
Mustika yang memproduksi wig dan boneka yang memiliki pekerja sebanyak 320
orang per - Februari 2016. Rentang tahun 2015 PT. Yuro Mustika telah
melakukan PHK sebanyak 2 kali periode pada bulan Januari – Mei sebanyak 63
pekerja, pada bulan Juli – Agustus 20 pekerja, pada awal tahun 2016 bulan
Februari PT. Yuro Mustika melakukan PHK pada 58 pekerjanya. Kebijakan PHK
yang dikeluarkan PT. Yuro dikarenakan mengalami kesulitan finansial setelah
adanya pergantian kepemimpinan di dalam perusahaan.
Hasil wawancara dengan kepala staff PT. Yuro (11/7/2015) menyatakan
bahwa, “PT. Yuro Mustika memang sedang mengalami krisis sehingga harus
mengurangi jumlah pekerjanya agar produktivitas tetap berjalan sehingga
perusahaan tetap berjalan”. Selanjutnya menurut hasil wawancara dengan SN
salah satu pekerja PT. Yuro menyatakan bahwa, “Isu PHK di PT memang sudah
berjalan sejak lama, dan memang baru saja ada PHK. Kemungkinan pengurangan
4
pekerja akan tetap dilakukan kerana pabrik sudah jarang dapat orderan.”
(11/7/2015)
Kebijakan PHK yang dikeluarkan oleh PT memberikan dampak secara
psikologis bagi pekerjannya, terutama emosi para pekerja. Kebijakan PHK yang
telah didengar oleh pekerja akan mempengaruhi keadaan emosi pekerja seperti
senang, cemas, khawatir, pesimis maupun optimis yang dirasakan berbeda – beda
dari masing – masing pekerja. Emosi yang bermacam – macam inilah yang akan
mempengaruhi performance dari mereka, perasaan yang mereka rasakan harus
disesuaikan dengan keadaan di lingkungan kerja yang menuntut mereka sesuai
dengan harapan organisasi.
Pekerja harus mengelola emosi sesuai dengan emosi yang diharapkan oleh
organisasi selama bekerja disebut dengan emotional labour. Menurut Ivancevich,
dkk (2006: 129) “Emotional labour merupakan pegelolaan emosi pekerja untuk
mempertahankan agar emosi tersebut berada di bawah kendali.” Robbins (2008:
328) “Emotional labour adalah situasi dimana seorang karyawan
mengekspresikan emosi – emosi yang diinginkan secara organisasional selama
transaksi antar personal di lingkungann kerja.” Dari beberapa pengertian tersebut
pekerja yang telah mengetahui adanya PHK harus tetap mengesampingkan emosi
yang dirasakan agar sesuai dengan emosi organisasi agar performance pekerja
tetap menguntungkan perusahaan.
Adanya kebijakan PHK yang dikeluarkan oleh perusahaan mempengaruhi
keadaan emosi dari pekerjanya seperti halnya yang disampaikan oleh SN pekerja
PT. Yuro, “Ya, saya tahu ada desas – desus PHK di perusahaan. Kalau saya mau
5
ada PHK atau tidak saya santai tetap bekerja seperti biasanya. Lagi pula saya dan
teman – teman sudah lama bekerja, kalau berhenti ya sudah di rumah saja, mau
nyari kerja lagi ya sudah nggak laku sudah tua.” (11/7/2015). Hasil wawancara ini
menunjukan pekerja mengikuti emosi organisasi dengan tetap bekerja dan tidak
menunjukan adanya kecemasan sehingga perusahaan tetap memproduksi barang.
Namun beberapa saat sesudahnya peneliti memberikan pertanyaan apabila
terkena PHK dan tidak bekerja lagi, terdapat jawaban yang berbeda dari SN
“Kalo nggak kerja itu nggak ada yang bantu untuk nyekolahin anak, apa – apa
sekarang mahal. Kemarin saja baru ada pemberhentian serentak satu minggu oleh
perusahaan dari tanggal 5 Juli 2015, ya ndak dapet uang mbak. Mulesnya disitu
mbak apalagi mendekati anak masuk sekolah dapat uang darimana. Kalo disuruh
milih kerja apa nggak ya lebih milih kerja bisa bantu – bantu suami to mbak.”
(11/7/2015)
Dari hasil wawancara ini menunjukan adanya perasaan yang berbeda dari
pekerja, terdapat kecemasan dalam diri mereka namun tidak diperlihatkan. Hasil
studi awal terhadap 20 pekerja dengan lama bekerja 10 tahun – 25 tahun dan usia
35 tahun – 51 tahun, sebagai berikut :
Tabel 1.2 Hasil Study Awal Emotional Labour Pekerja
PERNYATAAN YA TIDAKSaya mengetahui PT sedang ada pengurangan
pekerja
60% 40%
Saya khawatir apabila terkena PHK 45% 55%
Saya memiliki kepuasaan bisa mendapat
penghasilan
80% 20%
Saya merasa gelisah bila tidak mendapat
penghasilan
85% 15%
Saya merasa bosan hanya berdiam diri di
rumah
100% -
6
Tabel 1.2 menunjukan 60% pekerja mengetahui adanya pengurangan
pekerja dan 40% pekerja tidak mengetahui adanya pengurangan pekerja, 45%
pekerja memiliki rasa khawatir bila terkena PHK dan 55% pekerja tidak merasa
khawatir terkena PHK, 80% memiliki kepuasaan mendapat penghasilan dan 20%
tidak merasa puas mendapat penghasilan, 85% pekerja merasa gelisah tidak
mendapat penghasilan dan 15% tidak merasa gelisah tidak mendapat penghasilan,
dan 100% pekerja merasa bosan hanya berdiam diri di rumah. Hasil tersebut
menggambarkan adanya emotional labour yang dilakukan oleh pekerja terhadap
lingkungan organisasi yang memberlakukan kebijakan PHK di PT. Yuro Mustika.
Faktor lingkungan dan organisasi tidak terlepas dari terbentuknya
emotional labour pada pekerja. Seperti yang disampaikan oleh Ashforth dan
Humphrey (dalam Grandey, 2000: 107) “The environment is a very important
factor in understanding emotion management. It is very possible that the situation
in wich employees work may affect the level and type of emotional labour in wich
they engage.” Lingkungan merupakan faktor terpenting dalam memahami emosi
manejerial. Situasi dimana lingkungan kerja sangat mungkin mempengaruhi
tingkat dan jenis dari emotional labour yang dimiliki pekerja.
Seperti yang disampaikan oleh kepala staff PT. Yuro Mustika mengenai
kebijakan PHK yang dikeluarkan (11/7/2015) “Jadi dari manajerial sudah
mendata pekerja – pekerja yang telah bekerja kurang lebih 10 tahun dan
produktivitas kurang.”. Spesifikasi tersebut sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi keadaan emosional para pekerja karena adanya kebijakan PHK
7
dalam lingkungan organisasi dan membuat pertanyaan bagi setiap pekerja kapan
waktu mereka selesai bekerja di PT. Yuro Mustika.
Kebijakan PHK yang berjalan di PT. Yuro Mustika tidaklah berjalan
dengan lancar, dengan adanya berbagai macam permasalahan seperti pemalsuan
dokumen, pembayaran tunjangan yang tidak sesuai dengan perhitungan UU
menjadi hambatan dalam melanjutkan kebijakan PHK. Menurut berita yang
dipaparkan dalam Radar Banyumas (www.radarbanyumas.co.id, 6/05/2015)
“... Dalam mediasi, mereka tetap meminta pesangon layaknya PHK, bukan bekas
karyawan yang mengundurkan diri. Mereka mengaku, surat pernyataan
pengunduran diri itu berbeda dengan yang mereka tandatangani ketika itu.
Dengan kata lain, ada dugaan pemalsuan surat.”
Hal serupa juga disampaikan oleh JM mantan pekerja PT. Yuro Mustika
yang mengalami PHK pada saat peneliti melakukan wawancara (11/7/2015),
“...Pada saat itu kami dipanggil bedasarkan nama yang sudah di data, kami
disuruh menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa kami
mengudurkan diri, padahal kami tidak pernah mengajukannya, suratnya dibuat
oleh perusahaan.”
Tidak hanya permasalahan pemalsuan dokumen terdapat pula pemberian
pesangon yang tidak sesuai dengan seharusnya. Dipaparkan pula dalam Radar
Banyumas (www.radarbanyumas.co.id, 6/05/2015)
“...Namun yang terjadi, mereka hanya dianggap mengundurkan diri dari
perusahaan. Pesangon senilai Rp 6 juta hingga Rp 10 juta yang sudah diterima
sekitar 20 karyawan itu dinilai belum layak. Perwakilan eks karyawan, Suwarti
mengatakan, ada karyawan yang sudah bekerja hingga 22 tahun, namun hanya
8
mendapatkan tali asih Rp 9,4 juta. Padahal sesuai undang-undang jika masa kerja
lebih dari 20 tahun mendapatkan pesangon Rp 19 juta.”
Keadaan perusahaan yang mengalami permasalahan dalam melakukan
kebijakan PHK membuat manajemen menunda untuk melakukan pengurangan
jumlah pekerja yang disampaikan oleh kepala staff PT. Yuro Mustika (11/7/2015)
“Bulan Mei 2015 kemarin baru saja ada kasus, pekerja yang melakukan tali kasih
dengan perusahaan dan dipnaker karena pesangon dikit. Mereka juga menuntut
agar THR dibayarkan tapi kami tahan. Karena kasus itu jadinya belum ada tali
kasih lagi, walaupun datanya sudah ada.”. Penundaan pelaksaan PHK ini
berpengaruh pada keadaan emosional pekerja, walaupun PHK terjadi pada pekerja
yang bekerja lebih dari 10 tahun namun tidak menutup kemungkinan bagi pekerja
yang bekerja kurang dari 10 tahun karena mereka tidak pernah mengetahui siapa
yang akan mengalami PHK terlebih dahulu.
Lingkungan organisasi merupakan salah satu faktor penentu dalam
emotional labour pekerja, keadaan lingkungan yang dialami pekerja terutama
adanya kebijakan PHK, membentuk persepsi pekerja mengenai keadilan yang
diberikan oleh perusahaan terhadap kinerja mereka.
Persepsi pekerja terhadap keadilan oraganisasi disebut dengan
organizational justice. Menurut James (dalam Fatimah’O, dkk, 2011: 115)
“Organizational justice describes the individual’s perception of fairness of
treatment received from an organization and his behavioral reaction to such
perceptions.” Organizational justice merupakan persepsi individu terhadap
keadilan yang diberikan perusahan kepada pekerja. Menurut Gilliland (dalam
Herman, 2013: 2) Keadilan organisasi adalah “persepsi karyawan tentang
9
keseimbangan antara masukan (kerajinan, keterampilan, dan kerja keras) yang
mereka berikan dengan hasil yang mereka terima (gaji, perlakuan atau
pengakuan).”
Organizational Justice memiliki pengaruh pada emosi pekerja. Penelitian
yang dilakukan oleh Fatimah’O, dkk (2011: 115) bahwa keadilan organisasi akan
berdampak pada organisasi ketika pekerja tidak mendapat perlakuan yang adil,
dampak yang diberikan seperti emosi dan perilaku negatif dari pekerja. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Herman (2013: 2) apabila terdapat
ketidakseimbangan antara perlakuan perusahaan terhadap pekerja dapat
menghasilkan emosi negatif yang mengubah perilaku, sikap dan kepuasan
mereka.
Hasil wawancara yang dilakukan pada SN pekerja PT. Yuro mengenai
persepsi keadilan perusahaan (11/7/2015).
“...Saya tidak ngerti sama manajerial pabrik, jadi adil atau enggaknya ya saya
ngikut sajalah mbak, kalo dirasa itu yang terbaik yasudah, tapi berharapnya masih
bisa terus bekerja, ya ada sedikit ketakutan kalo nanti di berhentikan terus nggak
dikasih pesangon, kan susah anak – anak juga masih sekolah, kaya kasusnya yang
kemarin mbak, ...”
Pernyataan di atas terlihat bahwa pekerja tidak menginginkan adanya PHK,
terlebih pada kasus yang dirasa merugikan para pekerja.
Berdasarkan pemaparan di atas peneliti akan menguji keterkaitan antara
organizational justice kebijakan PHK dan emotional labour pekerja PT. Yuro
Mustika. Terjadi suatu permasalahan apabila pekerja atau buruh merasa tidak ada
keadilan dalam organisasi terkait kebijakan PHK di lingkungan perusahaan yang
10
berpengaruh pada keadaan emosional pekerja, sehingga pekerja harus
mengendalikan antara emosi yang dirasakan dengan tuntutan perusahaan.
Latarbelakang permasalahan yang disampaikan oleh peneliti, memberikan
ketertarikan bagi peneliti untuk meneliti dengan judul “Hubungan Organizational
Justice Kebijakan PHK Dan Emotional Labour Pekerja PT. Yuro Mustika”.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini akan menjawab permasalahan dari fenomena yang diangkat
oleh peneliti yang telah dituangkan dalam latar belakang masalah di atas.
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran organizational justice kebijakan PHK menurut para pekerja
PT. Yuro Mustika?
2. Bagaimana gambaran emotional labour pekerja PT. Yuro Mustika?
3. Bagaimana hubungan organizational justicekebijakan PHKdan emotional labour?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran organizational justice kebijakan PHK menurut
pekerja PT. Yuro Mustika.
2. Untuk mengetahui gambaran emotional labour pekerja PT. Yuro Mustika.
3. Untuk menguji hubungan organizational justice kebijakan PHKdan emotional
labour.
1.4Manfaat Penelitian
11
Suatu penelitian dilakukan disamping untuk memperoleh hasil yang akurat
dan sesuai dengan apa yang diteliti juga diharapkan penelitian akan mempunyai
manfaat bagi banyak pihak. Dalam hal ini peneliti memaparkan manfaat teoritis
dan manfaat praktis.
1.4.1 Secara Teoritis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan ilmu psikologi serta dapat memperkaya informasi dan
pengetahuan secara teoritis bagi pembaca khususnya dibidang psikologi industri
dan organisasi berkaitan dengan organizational justice dan emotional labour
pekerja, selain itu juga sebagai dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
sebagai dasar penelitian lebih lanjut serta sebagai bahan perbandingan bila
ternyata ada penelitian yang serupa.
1.4.2 Secara Praktis
Penelitian ini memberikan manfaat secara praktis bagi perusahaan, penulis
maupun pekerja atau buruh yang berada di dalamnya. Manfaat praktis yang
diberikan sebagai berikut :
1. Penelitian ini memberikan masukan kepada bagian manajerial atau pengelola PT.
Yuro Mustika pentingnya organizational justice.
2. Penelitian memberikan masukan kepada pekerja pentingnya emotional labour
dalam menghadapi situasi yang terjadi di lingkungan kerja.
12
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Emotional Labour
2.1.1 Definisi Emotional Labour
Emotional labour diperkenalkan pertama kali oleh Arlie Hochschild pada
penelitiannya tahun 1979. Hochschild (1983: 136). mendeskripsikan emotional
labour adalah bagaimana cara individu mengatur emosi yang keluar agar
menampilkan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Hochschild menjelaskan
terdapat dua cara bagi pekerja untuk mengelola emosi mereka, yaitu surface
acting memodifikasi ekspresi emosional dan deep acting mengubah perasaan
berdasarkan aturan yang ada.
Menurut Ashforth dan Humphrey (1993: 88)emotional labour
didefinisikan sebagai salah satu tindakan untuk menampilkan emosi yang tepat
dengan tujuan terlibat dalam bentuk pengelolaan kesan bagi organisasi, emotional
labour berfokus pada perilaku yang dapat diamati bukan pada perasaan, termasuk
menampilkan emosi yang sebenarnya
Morris dan Feldman (1996: 987) mendefinisikan emotional labour sebagai
salah satu upaya, perencanaan maupun kontrol yang diperlukan untuk
mengekspresikan emosi sesuai dengan organisasi selama melakukan interaksi
antar personal, emosi dapat dimodifikasi dan dikontrol oleh individu, serta aturan
– aturan dalam organisasi menentukan kapan digunakan.
13
Gosserand and Diefendorff (2005: 1257) mendefinisikan emotional labour
sebagai proses dari salah satu bentuk regulasi emosi yang ditunjukkan dalam
respon untuk menunjukkan aturan aturan sehingga tujuan kerja dapat tercapai.
Menurut Modekurti-Mahato (2014: 113) emotional labour suatu proses juga
melibatkan perbandingan antara emosional yang ditunjukan oleh individu dengan
aturan emosional yang harus ditampilkan.
Austin, Dore dan O’Donovan (2008: 680) menyatakan,
“...define emotional labour as the process where employee displays appropriate emotional behaviour that might or might not correspond to the employee true emotions. Others define it as enhancing, faking or suppressing emotions to manage certain emotional expression according to the rules of certain job or workplace...”
Proses dimana pekerja terbiasa menunjukan emosional yang diprioritaskan, sesuai
atau tidaknya dengan emosi asli pada pekerja. Definisi lain menjelaskan sebagai
bentuk merubah, memanipulasi atau menekan emosi untuk mengatur dengan
cermat emosi yang diekspresikan berdasarkan aturan – aturan dalam pekerjaan
atau tempat kerja.
Grandey (2000: 95) mendefinisikan emotional labour termasuk dalam
merubah, atau memanipulasi emosi untuk memodifikasi ekspresi emosional.
Secara umum emotional labour adalah mengatur emosi dalam merespon agar
sesuai dengan emosi dalam organisasi atau pekerjaan.
“Emotional labour merupakan pengelolaan emosi pekerja untuk
mempertahankan agar emosi tersebut berada di bawah kendali.” (Ivancevich, dkk,
2006: 129). Menurut Robbins (2008: 328) “Emotion labour adalah situasi di
14
mana seorang karyawan mengekspresikan emosi – emosi yang diinginkan secara
organisasional selama transaksi antarpersonal di tempat kerja.”
Berdasarkan beberpa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
emotional labour merupakan cara individu mengatur emosi yang keluar agar
menampilkan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, terdapat dua cara dalam
mengelola emosi yaitu surface acting mengubah ekspresi emosional dan deep
acting mengubah perasaan berdasarkan aturan yang ada.
2.1.2 Dimensi Emotional Labour
Menurut Hochschild (1979: 562) terdapat tiga elemen yang terbentuk
dalam emotional labour yaitu kognitif, gerak tubuh, dan ekspresi. Menurut Choi
dan Kim (2014: 78)mengkategorikan penampilan emotional labour berdasarkan
pada “acting” yang ditampilkan pekerja, yang dideskripsikannya pada dua tipe
peran emosional, yaitu :
2.1.2.1 Surface Acting
Menurut Richard (2006: 9) surface acting merupakan keadaan pekerja
meregulasi ekspresi emosinya dengan cara menyembunyikan maupun
memalsukan emosinya sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Grandey (2000: 101)
menjelaskan bahwa surface acting disebut pula dengan modifikasi ekspresi,
keadaan yang menekan emosi menyebabkan menurunnya pengamatan yang
sebenarnya mengenai emosi, seperti gerakan tubuh maupun ekspresi wajah
dibandingkan dengan keadaan yang tidak ada tekanan. Dalam kata lain setiap
orang yang menekan emosinya dengan begitu orang lain tidak dapat melihat
emosi yang sebenarnya dalam diri mereka.
15
Strategi yang digunakan dalam melakukan surface acting, yaitu response
modulation diarahkan pada upaya untuk mempengaruhi respon emosi yang telah
muncul berupa aspek fisiologis, eksperensial, dan perilaku yang terlihat nyata.
Bentuk dari response modulation meliputi peregulasian perilaku ekspresi emosi,
contoh menyembunyikan rasa cemas ketika menghadapi pengurangan pekerja
pada perusahaan.
Menurut penelitian yang ditulis Green (2009: 20) beberapa hasil
penelitian dari ahli menyebutkan surface acting berkorelasi dengan hasil yang
negatif, hasil yang disebabkan oleh surface acting antara lain, meningkatnya stres
kerja (Grandey, 2003), rendahnya self – esteem dan meningkatkan depresi
(Hochschild, 1983), burnout (Austin, Dore dan O’Donovan, 2008), emotional
exhaustion dan rendahnya rasa ingin berprestasi (Brotheridge dan Grandey, 2002).
2.1.2.2 Deep Acting
Grandey (2003: 87) menjelaskan deep acting yaitu keadaan dimana
pekerja secara sadar mengatur emosinya untuk dapat mengekspresikan suatu
emosi tertentu sehingga ia benar-benar merasakan emosi tersebut. Deep acting
merupakan regulasi emosi yang dapat diamati, hasil persepsi dari emosi pribadi
individu. Deep acting disebut dengan modifikasi perasaan keadaan dimana
pekerja mengubah perasaan yang dirasakan berdasarkan aturan – aturan yang
diberikan organisasi (Grandey, 2000: 100).
16
Strategi yang digunakan dalam melakukan deep acting, yaitu :
a. Attention deployment
Attentional deployment merupakan cara bagaimana individu mengarahkan
perhatiannya di dalam sebuah situasi untuk mengatur emosinya. Dua
strategi perhatian yang utama dalam tipe ini adalah pengalihan perhatian
(distraksi) dan konsentrasi. Distraksi memfokuskan perhatian pada aspek
berbeda dari sebuah situasi, contoh seorang pekerja lebih memilih
membicarakan keluarga dibandingkan pekerjaan. Konsentrasi
memfokuskan pada aspek – aspek emosi yang menarik pada situasi
tertentu, Apabila perhatian secara berulang diarahkan kepada perasaan kita
dan konsekuensinya, maka hal ini dikenal dengan istilah perenungan
(rumination).
b. Cognitive change
Cognitive change adalah perubahan cara seseorang dalam menilai
situasi ketika berada pada situasi untuk mengubah emosinya, baik dengan
cara mengubah cara berpikir mengenai situasi tersebut atau mengenai
kemampuan untuk mengatur tuntutan-tuntannya. Satu bentuk perubahan
kognitif yang mendapatkan perhatian khusus adalah penilaian ulang
(reappraisal). Contohnya seorang pekerja menilai adanya pengurangan
pekerja sebagai salah satu penyelamatan perusahaan.
Menurut penelitian yang ditulis Green (2009: 19) beberapa hasil penelitian
dari ahli memberikan suatu kesan meskipun deep acting membutuhkan usaha
penuh, jika usaha emosional tersalurkan dan pekerja dengan sukses menunjukan
17
dan merasakan emosional yang diutamakan, maka deep acting dapat membentuk
rasa ingin berprestasi pada diri pekerja. Hasil yang disebabkan deep acting antara
lain, deep acting meningkatkan job satisfaction dan job performance (Grandey,
2000). Deep acting berhubungan dengan meningkatnya efektivitas pekerjaan dan
keaslian self – expression (Ashforth dan Humphrey, 1993). Deep acting juga
menghubungkan dengan rasa ingin berprestasi (Brotheridge dan Grandey, 2002).
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keistimewaan dari emotional
labour adalah surface acting dengan meregulasi ekspresi emosi agar sesuai
dengan aturan dan deep acting dengan mengubah perasaan sesuai dengan aturan –
aturan yang diberikan organisasi. Kedua dimensi tersebut menurut Hochschild
(dalam Choi dan Kim, 2014: 78) merupakan cara bagi pekerja untuk mengatur
emosi agar sesuai dengan keinginan organisasi, atau tampilan yang harus
ditunjukan pada saat bekerja.
2.1.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Emotional Labour
2.1.3.1 Faktor Individu
1. Emotional Intelligence
Emotional intelligence atau kecerdasan emosi yang dimiliki individu
sangat berpengaruh dalam proses emotional labour, individu dapat mengerti
bagaimana cara mengontrol emosi dan kapan mengekspresikannya, selain itu
kemampuan untuk merekognisi dan menggunakan informasi emosi dalam
hubungan sosial. Emotional intelligence berperan untuk mengidentifikasi,
menerima, dan mengatur emosi dengan baik dan stabil.
18
2. Affectivity
Terdapat dua afeksi yaitu positive affectivity seperti antusias dan
optimisme, dannegative affectivity seperti cemas, pesimis, serta mood yang labil,
keduanya memiliki pengaruh pada proses emotional labour. Apabila individu
memiliki negative affectivity tinggimaka akan mudah mengalami stres, sedangkan
individu yang memiliki positive affectivity tinggi akan menampilkan performance
terbaik dan tidak mudah mengalami stres.
3. Gender
Menurut penelitian dari Kruml dan Geddes (2000: 24) terdapat hubungan
antara gender dengan disonansi emosi, pada penelitian ini wanita lebih suka
menyampaikan perasaan yang berbeda dari apa yang sebenarnya dirasakan.
Namun tidak berarti bahwa pria menunjukan emosi yang tidak tepat untuk
pekerjaan, atau lebih singkatnya tidak merasakan yang bertolak belakang dengan
perasaan. Pernyataan tersebut berarti wanita dan pria memiliki perbedaan motif
dalam meregulasi emosi, wanita lebih memberikan perhatian pada waktu yang
lama, sedangkan pria lebih termotivasi untuk tetap dalam kontrol dan
mengekspresikan emosi dengan lantang seperti kemarahan.
4. Age
Perubahan demografi pada tenaga kerja yang mengakibatkan
meningkatnya usia, memberikan dampak pada emotional labour. Fakta
berdasarkan teori sosio-emosional regulasi emosi dapat berkembang ketika usia
matang atau dewasa. Menurut Kogovsek dan Kogosvsek (2014: 124) para peneliti
menyampaikan bahwa pekerja yang memiliki jam kerja lebih lama menggunakan
19
strategi emotional labour dengan deep acting yang lebih dekat dengan ekspresi
natural dari emosi.
2.1.3.2 Faktor Organisasi
1. Job Autonomy
Job Autonomi mengacu pada kebebasan yang dimiliki pekerja dalam
menentukan bagaimana cara melaksanakan tugas mereka. Kurangnya mengontrol
setiap perasaan yang muncul dapat menjadi identifikasi terjadinya stres yang
dapat menjadi stres kerja. Hochschild menerangkan keadaan yang tidak
menyenangkan dalam organisasi menciptakan perasaan pribadi pada pekerja.
Salah satu penelitian menyatakan pekerja yang memiliki kebebasan akan memiliki
kelelahan emosi yang rendah, baik tinggi rendahnya emotional labour yang
diperlukan dalam pekerjaan.
2. Dukungan atasan dan rekan kerja
Teori yang disampaikan oleh Gross lingkungan merupakan kunci utama
dari adanya respon emosi. Dukungan dari atasan dan rekan kerja dapat
menjadikan lingkungan yang positif. Pekerja mempersepsikan lingkungan kerja
dengan iklim yang mendukung berkaitan dengan kepuasan kerja dan
meningkatknya penampilan kerja serta terhindar dari stres maupun intensitas
turnover.
Terjadinya emotional labour tidak terlepas dari faktor internal maupun
faktor eksternal. Faktor internal atau faktor individu seperti gender, usia, dan
emotional intellegence serta faktor eksternal atau faktor organisasi seperti job
autonomy dan dukungan atasan maupun rekan kerja.
20
2.1.4 Dampak Emotional Labour
Emotional labour memberikan dampak positif maupun negatif bagi
individu maupun organisasi, berikut dampak – dampak yang disebabkan oleh
emotional labour :
2.1.4.1 Dampak bagi Individu
1. Burnout
Beberapa penelitian menyatakan adanya pengaruh emotional labour
terhadap burnout atau kelelahan. Tuntutan dari organisasi untuk mengekspresikan
emosi sesuai dengan organisasi menyebabkan keletihan emosi pada pekerja, serta
menekan emosi secara terus – menerus dapat menyebabkan stres, stres yang
berlebihan inilah yang dapat menyebabkan burnout.
2. Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan ukuran dari kesejahteraan dari pekerja.
Beberapa penelitian terdapat hubungan yang kontradiksi antara pengaturan emosi
dalam pekerjaan dengan kepuasan kerja. Menurut penelitian Rutter dan Fielding
menekan emosi yang sebenarnya menjadi penyebab utama terjadinya stres, dan
menekan emosi menjadikan rendahnya kepuasan kerja.
3. Emotional dissonance
Surface acting merupakan salah satu faktor terjadinya emotional
dissonance karena adanya ketidakcocokan ketika emosi yang diutamakan
ditampilkan tetapi tidak sesuai dengan kenyataan, kemungkinan hal ini terjadi
ketika individu memalsukan emosi positif atau menekan emosi negatif agar
mengikuti tampilan yang diutamakan.
21
2.1.4.2 Dampak bagi Organisasi
1. Performansi Kerja
Adanya emotional labour membuat pekerja menyamakan emosi mereka
dengan emosi organisasi. Hal seperti ini membuat organisasi memiliki
performansi kinerja yang baik, walaupun para pekerja memberikan usaha yang
lebih dalam menjalankannya. Dengan performansi kerja yang baik dari pekerja
dapat memberikan hasil yang maksimal pula bagi organisasi sehingga mendapat
keuntungan yang tinggi pula.
2. Withdrawal Behaviors
Perilaku penarikan adalah tindakan yang diambil seseorang ketika mereka
secara fisik dan atau psikologis sudah mulai merasakan terlepas dari organisasi.
Perilaku menarik diri ini dapat disebabkan karena tuntutan pekerjaan yang terlalu
tinggi, bentuk dari perilaku menarik diri ini seperti turnover, absensi,
keterlambatan, kepatuhan yang hanya bersifat pasif (passive compliance), usaha
minimal saat melakukan pekerjaan (minimal effort on the job), dan kurangnya
kreativitas dalam diri seseorang (lack of creativity).
Dampak – dampak yang dihasilkan dari emotional labour baik dampak
positif maupun negatif berkenaan dengan individu maupun organisasi. Dampak
bagi individu antara lain kepuasaan kerja maupun burnout, dampak bagi
organisisai anta lain performansi kinerja maupun withdrawal behavior.
22
Gambar 2.1 Konseptual Framework Emotional Labour (Grandey, 2000: 101)
Gambar 2.1 merupakan rangkaian dari teori konseptual emotional labour,
terdapat dua faktor bagi pekerja untuk melakukan emotional labour baik dari
faktor internal yang disebut dengan faktor individu seperti age, emotional
intellegence, gender, dan afeksi sedangkan faktor eksternal yang disebut dengan
faktor organisasi seperti job autonomy dan dukungan dari atasan maupun rekan
kerja. Dalam melakukan emotional labour pekerja dapat memilih cara yang sesuai
dengan keadaan organisasi baik surface acting dengan meregulasi ekspresi emosi
agar sesuai dengan aturan atau deep acting dengan mengubah perasaan sesuai
dengan aturan – aturan yang diberikan organisasi. Kedua cara ini bertujuan agar
emosi yang ditampilkan sesuai dengan tujuan organisasi. Setiap pekerja yang
melakukan emotional labour akan memberikan dampak bagi organisasi maupun
individu, dampak positif maupun negatif yang muncul bagi individu antara lain
burnout, emotional dissonance, kepuasan dan ketidakpuasan kerja sedangkan
Individual Factors :
- Gender- Affectivity- Age- Emotional
intelligence
Organizational Factors:
- Job Autonomy
- Coworker Support
Deep Acting : Modify Feelings
- Attentional deployment
- Cognitive change-
Surface Acting : Modify Expression
- Response modulation
Individual Well -being:
- Burnout- Job
Statisfication- Emotional
dissonance
Organizational Well – being :
- Performance- Withdrawl
behavior
23
dampak positif maupun negatif bagi organisasi antara lain performansi kerja
pekerja serta withdrawl behaviors.
2.2 Organizational Justice
2.2.1 DefinisiOrganizational Justice
Keadilan adalah sebuah konsep abstrak yang sering diartikan berbeda-beda
oleh setiap orang. Terlebih mereka-mereka yang pernah mengalami suatu
ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Keadilan terdapat pula dalam
suatu organisasi, yang dikenal dengan keadilan organisasi. Colquitt dan Colon
(2012: 1) menyatakan awal mula definisi keadilan pada organisasi disampaikan
oleh Adams bahwa konsep keadilan berasal dari pendapat pekerja yang
menjelaskan mereka mendapat perlakuan secara adil di lingkungan pekerjaan
dengan membandingkan hasil yang mereka terima (seperti pendapatan atau status)
terhadap proses yang dilakukan (seperti usaha dan waktu) dengan hasil yang
didapat rekan kerja dalam satu organisasi.
Menurut Moorman keadilan organisasi mengarah pada cara pekerja
menjelaskan bahwa mereka mendapat perlakuan yang adil dalam pekerjaan
mereka dan keadilan antara pekerjaan lainnya.(dalam Al – Zu’bi, 2010: 102)
Cropanzano,dkk (2007: 34)
“...Organizational justice members’ sense of the moral propriety of how they are treated is the “glue” that allows people to work together effectively. Justice defines the very essence of individuals’ relationship to employers. In contrast, injustice is like a corrosive solvent that can dissolve bonds within the community. Injustice is hurtful to individuals and harmful to organizations.”
Keadilan organisasi merupakan pengertian dari kepatutan moral setiap
anggota bagaimana mereka diperlakukan, seperti lem yang memungkinkan orang
24
bekerja sama secara efektif. Keadilan mendefinisikan hubungan antara pekerja
dengan pengusaha. Sebaliknya, ketidakadilan seperti faktor yang dapat merusak
hubungan dalam organisasi. Ketidakadilan tidak menyenangkan bagi individu
maupun organisasi.
Menurut Moria dan Sunjoyo (2010: 11) organizational justice menunjukan
persepsi yang dimiliki para pekerja terhadap perlakuan adil yang mereka terima
dalam organisasi, yang dibedakan ke dalam empat bentuk yaitu distributive
justice, procedural justice, interpersonal justice dan informational justice.
Organizational justice adalah istilah untuk mendeskripsikan kesamarataan
atau keadilan di tempat kerja yang berfokus bagaimana para pekerja
menyimpulkan apakah mereka diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya dan
bagaimana kesimpulan tersebut kemudian mempengaruhi variabel-variabel lain
yang berhubungan dengan pekerjaan. (Herman, 2013: 8)
Greenberg dan Colquitt (2005: 4) mendiskripsikan organizational justice
merupakan refleksi dari beberapa sudut pandang pekerja selama masa kerjanya,
sebagai contoh: pertama, beberapa pekerja memfokuskan keadilan dari sumber
distributif seperti gaji, hadiah, promosi atau yang lebih dikenal sebagai keadilan
distributif. Kedua, beberapa pekerja memilih mengenai keadilan dalam
pengambilan keputusan yang menentukan keluaran, kesempatan untuk memahami
dan bagaiamana dapat muncul atau yang lebih dikenal sebagai keadilan
prosedural. Terakhir, beberapa dari mereka juga menyangkutkan keadilan
berdasarkan bagaimana seseorang mendapatkan perlakuan dari oranglain terutama
25
oleh para pemimpin utama organisasi atau yang dapat disebut juga sebagai
keadilan interaksional.
Secara umum, para peneliti memfokuskan keadilan organisasional pada
tiga isu utama untuk menilai istilah keadilan dalam organisasi. Ketiga isu yang
dimaksud yaitu : hasil (outcomes), proses (process) dan interaksi antar personal
(interpersonal interactions) (Daromes, 2006: 9).
Beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa organizational
justice merupakan persepsi pekerja apakah mereka diperlakukan secara adil
dengan membandingkan proses atau usaha yang telah dilakukan dengan hasil
yang diberikan organisasi dan keadilan antara pekerja lainnya.
2.2.2 Tiga Komponen Organizational Justice
Hasil penelitian dari penilaian pekerja terdapat tiga kelompok dalam suatu
organisasi. Keadilan akan hasil (distributive justice), keadilan akan proses
pendistribusian secara formal (procedural justice), dan keadilan akan transaksi
interpersonal (interactional justice) (Cropanzano,dkk, 2007: 36)
2.2.2.1 Distributive Justice
Distributive justice berkaitan dengan realita bahwa tidak semua pekerja
diperlakukan sama, terdapat perbedaan dalam pembagian hasil dalam lingkungan
kerja (Cropanzano,dkk, 2007: 37). Robbins dan Judge mendefinisikan keadilan
distributif sebagai keadilan jumlah dan penghargaan yang dirasakan diantara
individu-individu. Noe menyebutnya sebagai keadilan imbalan yang didefinisikan
sebagai penilaian yang dibuat orang terkait imbalan yang diterimanya dibanding
imbalan yang diterima orang lain yang menjadi acuannya (Kristanto, 2013: 21).
26
Scott, dkk (2001: 750) mengidentifikasikan terdapat empat prinsip norma
utama yang dapat digunakan guna mendukung studi lebih lanjut dalam memelajari
keadilan distributif antara lain yaitu :
1. Equility (kesetaraan), memberikan kompensasi bagi setiap pekerja yang
secara garis besar sama.
2. Merit (jasa), menghargai pekerja bedasarkan kontribusinya.
3. Needs (kebutuhan), memberikan penghargaan berdasarkan pada
kebutuhan personal pekerja
4. Efficiency (efisiensi), prinsip alokasi lain yang digunakan untuk
menunjukan ketidaksetaraan keadilan distributif.
2.2.2.2Procedural Justice
Procedural justice yaitu keadilan yang dirasakan melalui kebijakan dan
prosedur yang digunakan dalam membuat keputusan dalam lingkungan kerja
(Greenberg, 1990: 402).Procedural justice menerapkan prinsip-prinsip tertentu
guna menentukan dan mengatur peran peserta dalam proses pengambilan
keputusan.
Ada dua model yang menjelaskan keadilan prosedural, yaitu :
1. Self – Interest Model
Dikenalkan oleh Thibaut dan Walker pada tahun 1975, model ini berdasarkan
prinsip egosentris terkait dengan situasi yang dihasilkan dengan keinginan untuk
mengontrol maupun mempengaruhi prosedur yang diberlakukan dalam organisasi
kerjanya. Tujuan tindakan tersebut adalah memaksimalkan hasil – hasil yang
diinginkan sehingga kepentingan – kepentingan pribadi terpenuhi. Persepsi
27
tercipta ketika pekerja dilibatkan secara aktif dalam proses maupun aktivitas
pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan ini berkaitan dengan berbagai
macam kebijakan perusahaan misalnya, system penggajian, pengembangan
organisasi serta penilaian performansi karyawan (Faturochman, 2012: 26).
2. Group – Value Model
Dikenalkan oleh Lind dan Tyler pada tahun 1998, model kedua ini
menganggap bahwa pekerja merupakan satu kesatuan dalam organisasi dan tidak
dapat terlepas dari kelompoknya. Pada model ini lebih mementingkan organisasi
daripada diri individu. Prinsip – prinsipnya antara lain partisipasi, kooperasi, dan
altruisme (Faturochman, 2012: 29).
Leventhal (dalam Cropanzano, dkk, 2007: 36) mengidentifikasi enam
aturan pokok dalam keadilan prosedural, yaitu :
1. Konsistensi. Prosedur yang baik harus konsisten baik pada satu orang
dengan orang lainnya sama dari waktu ke waktu, setiap orang memiliki
hak untuk diperlakukan dengan sama.
2. Lack of Bias.Ada dua sumber bias yang sering muncul yaitu kepentingan
individu dan doktrin yang memihak oleh karena itu kepentingan individu
haruslah di hilangkan.
3. Keakuratan.Berdasarkan fakta bukan hanya opini publik dan informasi
yang disampaikan haruslah lengkap.
4. Pertimbangan wakil pekerja. Suatu prosedur dikatakan adil apabila sejak
awal ada upaya untuk melibatkan semua pihak yang bersangkutan.
28
5. Koreksi. Upaya memperbaiki kesalahan merupakan salah satu tujuan
penting perlu ditegakan keadilan, dimana prosedur yang adil haruslah
mengandung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki masalah ataupun
pencegahan masalah yang akan muncul.
6. Etika.Prosedur yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan moral.
2.2.2.3Interactional Justice
Bies dan Moag memperkenalkan pembahasan terbaru dalam teori keadilan
yaitu berfokus pada perhatian yang merupakan hal terpenting dari kualitas
perlakuan hubungan interpersonal setiap orang ketika menerima prosedur yang
diberlakukan (Colquitt dan Colon, 2001: 427).
Aspek terakhir dari keadilan organisasional adalah keadilan interaksional,
aspek paling sederhana diantara ketiga aspek ini, yang menjelaskan bagaimana
cara seorang memperlakukan orang lain. Pekerja berinteraksi hanya ketika mereka
menyampaikan informasi dan mengihdari pendapat yang mengejutkan atau
mengecam (Cropanzano, dkk, 2007: 38). Terdapat dua aspek dalam keadilan
interaksional, yaitu informasional dan interpersonal. Keadilan informasional
adalah persepsi individu tentang keadilan informasi yang digunakan sebagai dasar
pembuatan keputusan, sedangkan keadilan interpersonal didefinisikan sebagai
persepsi individu tentang tingkat sampai dimana seorang pekerja diperlakukan.
Distributive justice, procedural justice dan interactional justice ketiganya
memiliki komponen masing – masing dalam menjelaskan keadilan yang
dipersepsi oleh pekerja. Komponen – komponen dari ketiganya dirinci dalam
tabel 2.1
29
Tabel 2.1Komponen Organizational Justice
1. Keadilan distributif : kelayakan imbalan
a. Keadilan : Menghargai pekerja berdasarkan kontribusinya
b. Persamaan : Menyediakan kompensasi bagi setiap pekerja yang secara
garis besar sama
c. Kebutuhan : Menyediakan benefit berdasarkan pada kebutuhan personal
seseorang
2. Keadilan prosedural : kelayakan proses alokasi
a. Konsistensi : Semua pekerja diperlakukan sama.
b. Lack of Bias : Tidak ada orang atau kelompok yang diistimewakan atau
diperlakukan tidak sama.
c. Keakuratan : Keputusan dibuat berdasarkan informasi yang akurat
d. Pertimbangan wakil pekerja : Pihak-pihak terkait dapat memberikan
masukan untuk pengambilan keputusan
e. Koreksi : Mempunyai proses banding atau mekanisme lain untuk
memperbaiki kesalahan
f. Etika : norma pedoman profesional tidak dilanggar
3. Keadilan interaksional
a. Keadilan interpersonal : Memperlakukan seorang pekerja dengan
martabat, perhatian, dan rasa hormat
b. b. Keadilan informasional : Berbagi informasi yang relevan dengan
pekerja
Sumber : Cropanzano, dkk (2007: 36)
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa organizational justice terdapat
tiga komponen, yaitu distributive justice yang berkaitan dengan hasil yang
diperoleh, procedural justice yang berkaitan dengan proses organisasi, dan
interctional justice yang berkaitan dengan hubungan antar pekerja. Ketiganya
dapat bermakna ketika diberlakukan sebagai tiga komponen keadilan secara
keseluruhan dan ketiganya dapat berkerja sama.
2.2.3 Dampak Organizational Justice
Menurut Cropanzano,dkk (2007: 39) terdapat beberapa dampak yang
diperoleh dari pengelolaam organizational justice, yaitu:
30
1. Keadilan membangun kepercayaan dan komitmen
Kepercayaan adalah kerelaan dalam menghargai pihak lain, menurut
Colquitt dan Colon (2001: 428) tiga komponen keadilan memperediksi
kepercayaan, dan hubungannya cukup erat, seperti yang tercantum dalam
temuannya hubungan antara prosedur dan kepercayaan. Dalam penelitiannya
menyatakan bahwa keadilan prosedural mempunyai hubungan yang lebih kuat
dengan kepercayaan dibandingkan keadilan distribituf. Pekerja yang diperlakukan
secara adil akan lebih berkomitmen terhadap perusahaan, komitmen yang afektif
dimana pekerja mengidentifikasi diri dengan perusahaan dan membuat tujuan
perusahaan menjadi tujuan bersama.
2. Keadilan meningkatkan kinerja
Keadilan distribitif dengan kinerja menunjukan adanya hubungan yang
erat, individu akan semakin meningkatkan kinerja agar memperoleh hasil yang
lebih dan mendapatkan imbalan yang sesuai dengan kinerja. Menurut teori Adam,
individu lebih berupaya memaksimalkan keadilan daripada memaksimalkan
imbalan, pernyataan ini menjadi dasar prediksi bahwa individu yang memiliki
kompensasi lebih akan berusaha mengembalikan keadilan dengan meningkatkan
kualitas kerja output yang dihasilkan (Kristanto, 2013: 27).
3. Keadilan memelihara Organizational Citizenship Behavior
Menurut Organ (dalam Cropanzano, dkk, 2007:40) OCB sebagai perilaku
yang bijaksana dann tidak secara ekplisit dihargai tetapi dapat membantu
meningkatkan fungsi organisasi. Karyawan yang diperlakukan adil lebih taat
31
kepada kebijakan di tempat kerja, memperlihatkan kesadaran yang lebih dan
berperilaku lebih mementingkan organisasi. Meurut Colquitt dan Colon (2001:
429) memprediksi keadilan interpersonal dan informasional akan menjadi
prediktor yang lebih kuat.
4. Keadilan membangun loyalitas dan kepuasan pelanggan
Sikap mementingkan orang lain sama dengan perilaku karyawan
mengutamakan pelanggan. Perlakuan yang adil akan membawa OCB berdampak
kepada pelanggan. Keadilan menghasilkan perasaan positif bagi pelanggan karena
diperlakukan secara memadai, dengan demikian menyebabkan loyalitas dan
kepuasan pelanggan.
Persepsi pekerja berkenaan dengan diperlakukan secara adil oleh
organisasi memberikan dampak baik bagi organisasi maupun individu antara lain
keadilan membangun kepercayaan dan komitmen, keadilan meningkatkan kinerja,
keadilan memelihara organizational citizenship behavior (OCB), keadilan
membangun loyalitas dan kepuasaan pelanggan.
2.3 Pemutusan Hubungan Kerja
2.3.1 Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha dalam
kehidupan sehari-hari dikenal dengan istilah PHK atau pengakhiran hubungan
kerja. Menurut Pasal 1 ayat 25 UU No. 13 Tahun 2003 yang dimaksud dengan
pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
pengusaha.
32
Menurut Suwarto (2003: 142) pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah
pengakhiran hubungan kerja yang seharusnya masih berlangsung terus – menerus.
PHK hanya dapat terjadi antara pengusaha dan pekerja yang berstatus tetap yang
telah melewati masa percobaan. Pengunduran diri, pensiun dan pekerja kontrak
bukan termasuk dalam PHK karena dalam pensiun pekerja sudah mengetahui
sedari awal waktu habis masa kerja mereka, pengunduran diri atas kemauan
pekerja bukanlah PHK karena perusahaan masih bersedia memperkerjakan
pekerja, sebagai pekerja kontrak bukanlah PHK karena pekerja telah menyepakati
perjanjian kerja yang berlaku.
Kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemutusan hubungan
kerja (PHK) merupakan berakhirnya hubungan kerja yang seharusnya masih
berlangsung terus menerus antara pekerja dengan dengan perusahaan yang
dilakukan oleh perusahaan.
2.3.2 Jenis – Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Dalam UU No.13 Tahun 2003 dikenal beberapa jenis pemutusan
hubungan kerja (PHK), yaitu :
1. Pemutusan Hubungan Kerja demi Hukum
Pemutusan hubungan kerja demi hukum adalah pemutusan hubungan kerja
yang terjadi dengan sendirinya menurut hukum. Pasal 1603e KUHPerdata
menyebutkan bahwa hubungan kerja berakhir demi hukum, jika habis waktunya
yang ditetapkan dalam perjanjian dan dalam peraturan perundang-undangan atau
jika semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan.
33
2. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan adalah tindakan pemutusan
hubungan kerja karena adanya putusan hakim pengadilan.PHK ini sebenarnya
merupakan akibat dari adanya sengketa antara pekerja dan pengusaha yang
berlanjut sampai pengadilan. Pengadilan meluluskan permintaan itu hanya setelah
mendengar atau memanggil secara sah pihak lainnya. Jika pengadilan meluluskan
permintaan itu pengadilan menetapkan saat hubungan kerja itu akan berakhir
3. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja
Dalam teori hukum perjanjian salah satu pihak dibolehkan untuk
memutuskanperjanjian dengan persetujuan pihak lainnya. Demikian hubungan
kerja, menurut ImanSoepomo (dalam Yulianto, 2012: 106) pihak pekerja dapat
saja memutuskan hubungan kerjanya denganpihak pengusaha pada setiap saat
yang dikehendakinya, bahkan pekerja juga berhak memutuskan hubungan kerja
secara sepihak tanpa persetujuanpengusaha, tetapi tindakan pekerja yang berbuat
demikian tersebut telah bertindakberlawanan dengan hukum.
4. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha
Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha ini adalah yang paling sering
terjadi.Pemutusan hubungan kerja ini terjadi atas kehendak atau prakarsa dari
pengusahakarena adanya pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh pekerja
ataumungkin karena faktor-faktor lain, seperti pengurangan tenaga kerja,
perusahaan tutupkarena merugi, perubahan status dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas terdapat empat jenis PHK, PHK karena
hukum berdasarkan waktu kerja dalam perjanjian telah habis, PHK oleh
34
pengadilan yang diputuskan oleh hakim pengadilan, PHK oleh pekerja atau yang
dikenal dengan pengunduran diri pekerja serta PHK oleh pengusaha PHK ini
dilakukan karena perusahaan mengalami kerugian, adanya pengurangan pekerja,
perubahan status dan sebagainya.
2.3.3Hak yang Diterima oleh Pekerja yang Terkena PHK
Pekerja yang terkena PHK berhak mendapatkan uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, maupun uang penggantian hak. Berdasarkan UU No. 13
Tahun 2003 ditentukan sebagai berikut :
Tabel 2.2Uang Pesangon (Pasal 158 ayat 2)
No. Masa Kerja Uang Pesangon1. Masa kerja kurang dari 1 tahun 1 (satu) bulan upah
2. Masa kerja 1 – 2 tahun 2 (dua) bulan upah
3. Masa kerja 2 – 3 tahun 3 (tiga) bulan upah
4. Masa kerja 3 – 4 tahun 4 (empat) bulan upah
5. Masa kerja 4 – 5 tahun 5 (lima) bulan upah
6. Masa kerja 5 – 6 tahun 6 (enam) bulan upah
7. Masa kerja 6 – 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah
8. Masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah
9. Masa kerja 8 tahun atau lebih 9 (sembilan) bulan upah
Tabel 2.3Uang Penghargaan Masa Kerja (Pasal 158 ayat 3)
No. Masa Kerja Uang Penghargaan1. Masa kerja 3 – 6 tahun 2 (dua) bulan upah
2. Masa kerja 6 – 9 tahun 3 (tiga) bulan upah
3. Masa kerja 9 – 12 tahun 4 (empat) bulan upah
4. Masa kerja 12 – 15 tahun 5 (lima) bulan upah
5. Masa kerja 15 – 18 tahun 6 (enam) bulan upah
6. Masa kerja 18 – 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah
7. Masa kerja 21 – 24 tahun 8 (delapan) bulan upah
8. Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 (sepuluh) bulan upah
35
Tabel 2.4Uang Penggantian Hak (Pasal 158 ayat 4)
No. Komponen Uang Penggantian Hak1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur
2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ketempat dimana
pekerja diterima kerja.
3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
dari uang pesangon dan/atau penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat.
4. Hal – hal yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
Hak yang diberikan pengusaha kepada pekerja karena PHK dihitung
berdasarkan masa kerja dan uang pesangon dihitung berdasarkan gaji pokok yang
diterima pada setiap bulannya.
2.3.4 Dampak Pemberhentian Hubungan Kerja
Pemberhentian hubungan kerja (PHK) memberikan beberapa dampak bagi
para pekerja, baik dampak sosial, ekonomi maupun psikologis. Beberapa dampak
psikologis yang disebabkan PHK antara lain:
1. Menurunnya kesejahteraan psikologi. Pekerja yang di PHK merasakan
dampak psikologis seperti marah, kecewa, berkurangnya hubungan positif
dengan orang lain, serta tidak memiliki penghasilan. Dampak tersebut
menyebabkan menurunnya kesejahteraan psikologi, kesejahteraan
psikologi merupakan pencapaian utuh dari potensi psikologis seseorang
serta memiliki tujuan hidup yang bermakna (Atikasari, 2015: 2).
2. Stres. Respon yang adaptif antara individu dengan proses psikologis yang
merupakan konsekuensi dari situasi dan kejadian eksternal yang menuntut
psikologis dan fisik seseorang bekerja secara berlebihan (Luthans, 2005:
441). Pekerja yang mengalami PHK dapat merasakan stres karena
36
kebutuhan kehidupan terus berlangsung namun tidak memiliki pekerjaan
dan tidak berpenghasilan, sehingga harus menentukan bagaimana cara
individu tetap bertahan hidup. Keadaan ini menuntut psikologis dan fisik
untuk bekerja lebih keras.
3. Tidak terpenuhinya hierarki kebutuhan Maslow. Menurut hierarki
kebutuhan Maslow terdapat lima kebutuhan, kebutuhan fisiologis,
kebutuhan, keamanaan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan,
kebutuhan aktualisasi, kelimanya terpenuhi secara bertingkat (Luthans,
2005: 281). Pekerja yang mengalami PHK akan sulit memenuhi kebutuhan
fisiologis sebagai kebutuhan dasar maka kebutuhan di atasnya akan susah
terpenuhi. Hal tersebut mengakibatkan pekerja tidak dapat memenuhi
kebutuhan Maslow yang lainnya.
4. Hilangnya rasa percaya diri . Pekerjaan dapat meningkatkan rasa percaya
diri seseorang. Pekerja yang mengalami PHK secara otomatis tidak
memiliki pekerjaan dan menimbulkan penilaian diri yang negatif, kondisi
ini sebagai penyebab timbulnya kepercayaan diri yang rendah terutama di
lingkungan sosial (Afiatin dan Andayani, 1998: 36).
Beberapa dampak yang dijelaskan di atas merupakan dampak keadaan
psikologis para pekerja, pekerja yang mengalami PHK bukan hanya mengalami
kesulitan ekonomi nampun menurunnya kesejahteraan psikologis, tidak
terpenuhinya kebutuhan, stres hingga hilangnya rasa percaya diri terutama di
lingkungan sosial.
37
2.4Hubungan Organizational Justice Kebijakan PHKdan
Emotional Labour Pekerja
Setiap perusahaan atau organisasi memiliki kebijakan masing – masing,
salah satunya adalah kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sebagian
pekerjanya. Adanya kebijakan PHK dan terdapat beberapa pekerja yang di PHK
menyebabkan pekerja menyebabkan keadaan organisasi yang berbeda terlebih
adanya berita yang tersebar mengenai kebijakan PHK yang telah dilaksanakan.
Keadaan lingkungan organisasi ini membuat para pekerja memiliki persepsi
terhadap keadilan dalam organisasi.
Organizational justice merupakan bagaimana cara pekerja mempersepsi
keadilan yang diterima dalam sebuah organisasi, meliputi keadilan distribusi,
keadilan prosedural maupun keadilan interaksional. Pekerja yang dapat menerima
kebijakan PHK sebagai suatu keadilan akan tetap mempertahankan cara
bekerjanya denagn hasil produksi yang meningkat serta semangat bekerja,
perusahaan juga akan memperoleh pekerja yang memiliki loyalitas. Namun
apabila pekerja belum menerima kebijakan sebagai keadilan akan mempengaruhi
proses produksi serta keadaan perusahaan.
Adanya permasalahan dalam melakukan kebijakan PHK pada periode
sebelumnya membuat keadaan organisasi tidak menentu, sehingga persepsi akan
keadilan organisasi ini mengakibatkan muculnya emosi bagi pekerja yang masih
aktif bekerja, seperti perasaan cemas, bimbang ataupun takut dengan adanya PHK.
Untuk mengatasi hal tersebut para pekerja melakukan emotional labour.
38
Emotional labour adalahcara individu mengatur emosi yang keluar agar
menampilkan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.
Metode yang digunakan antara lain surface acting merupakan keadaan
pekerja meregulasi ekspresi emosinya dengan cara menyembunyikan maupun
memalsukan emosinya sesuai dengan tuntutan pekerjaan, strategi yang digunakan
dengan response modulation merupakan upaya untuk mempengaruhi respons
emosi yang telah muncul berupa aspek fisiologis, eksperensial dan perilaku nyata.
Deep acting keadaan dimana pekerja secara sadar mengatur emosinya untuk dapat
mengekspresikan suatu emosi tertentu sehingga benar – benar merasakan emosi
tersebut. Strategi yang digunakan attentional deployment mengarahkan perhatian
dalam sebuah situasi untuk mengatur emosinya serta cognitive change perubahan
cara seseorang dalam menilai situasi untuk mengubah emosinya.
Pekerja yang melakukan emotional labour sebagai cara mengatur emosi
yang dikeluarkan dapat mengubah cara pekerja menilai kebijakan PHK adil atau
tidak adil diberlakukan. Pekerja yang menilai PHK sebagai keadilan akan
memberikan dampak pada kinerja pekerja seperti meningkatnya performance
kerja, adanya loyalitas pekerja bagi perusahaan, tetap semangat dalam bekerja,
serta produktivitas perusahaan tetap terjaga. Meskipun sudah melakukan
emotional labour pekerja juga bisa menilai kebijakan PHK bukanlah suatu
keadilan bagi mereka, hal ini akan berdampak pula bagi pekerja maupun
perusahaan seperti performance pekerja yang menurun dan produktivitas
perusahaan ikut menurun pula. Berikut kerangka berpikir penelitian
39
Gambar 2.2Kerangka Konseptual HubunganOrganizational Justice Kebijakan PHKdan Emotional Labour Pekerja
Ada Kebijakan PHK
yang dikeluarkan
perusahaan
Pekerja di PHK
menyebabkan
Organizational Justice
- Distributive Justice- Procedural Justice- Interactional Justice
Emotional Labourpada Pekerja
mengakibatkan
Mekanisme
- Surface Acting- Deep Acting
Berdampak pada Perilaku
Pekerja dan Keadaan
Perusahaan
Menerima kebijakan PHK sebagai
keadilan
Pekerja :
- Semangat kerja
- Performance meningkat
Perusahaan :
- Produktvitas meningkat
- Loyalitas pekerja
Tidak menerima kebijakan PHK
sebagai keadilan
Pekerja :
- Stres kerja
- Performance menurun
Perusahaan :
- Produktvitas menurun
40
2.5 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari suatu permasalahan
penelitian. Hipotesis juga merupakan suatu pernyataan yang penting
kedudukannya dalam penelitian. Berdasarkan konsep teori di atas maka hipotesis
yang diajukan “ada hubungan antara organizational justice kebijakan PHKdengan
emotional labour pekerja”.
98
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian, maka diperoleh simpulan
sebagai berikut:
1. Emotional labour pekerja PT. Yuro Mustika berada pada kategori tinggi.
Dimensi deep acting merupakan dimensi yang berpengaruh dalam
emotional labour pekerja. Artinya pekerja PT. Yuro Mustika
menggunakan dimensi deep acting untuk mengelola emosi yang
dikeluarkan agar sesuai dengan tujuan pada saat organisasi melakukan
adanya kebijakan PHK.
2. Organizational justice kebijakan PHK pekerja PT. Yuro Mustika berada
pada kategori tinggi. Komponen procedural justice merupakan komponen
yang berpengaruh dalam organizational justice kebijakan PHK pekerja.
Artinya keadilan berupa proses menentukan keputusan dalam lingkungan
kerja yang mempengaruhi organizational justice kebijakan PHK pekerja
PT. Yuro Mustika.
3. Tidak ada hubungan organizational justice dan emotional labour. Artinya
tingginya organizational justice tidak berkaitan dengan emotional labour.
Kedua variabel ini merupakan variabel kuat yang akan berpengaruh pada
outcome emosional pekerja seperti job satisfication, job performance,
work engagment.
99
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan yang telah disimpulkan dari hasil penemuan
penelitian maka peneliti memberikan saran untuk beberapa pihak sebagai berikut:
1. Bagi Organisasi (Perusahaan)
Organisasi atau perusahaan diharapkan untuk lebih meningkatkan
interactional justice dengan memberikan informasi yang tepat kepada pekerja
tentang keadaan organisasi sebenarnya, sehingga pekerja mengetahui yang terjadi
di dalam organisasi. Serta diharapkan untuk lebih meningkatkan procedural
justice terutama berkaitan dengan kebijakan – kebijakan yang mempertaruhkan
nasib atau status pekerja, sehingga pekerja dapat ikut serta memberikan pendapat
serta saran untuk organisasi.
2. Bagi Pekerja
Emotional labour pekerja menjadi penting bagi pekerja yang berada dalam
lingkungan organisasi yang tidak menentu agar mereka dapat mengelola emosi
yang dikeluarkan sehingga sesuai dengan tujuan organisasi. Untuk itu disarankan
pekerja menggunakan dimensi deep acting dengan mengubah perasaan
berdasarkan aturan organisasi, dengan itu pekerja dapat meningkatkan
permormansi dalam bekerja dan menekan dampak negatif seperti burnout.
3. Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan seperti pengambilan sampel yang
dilakukan dengan cara sampling insidental, diharapkan peneliti selanjutnya dapat
menggunakan teknik random sampling sehingga dapt memberikan kesempatan
100
yang sama serta sesuai dengan karakteristik populasi. Peneliti selanjutnya
diharapkan dapat lebih dekat dengan subjek penelitian sehingga dapat
memberikan rasa aman bagi subjek dalam memberikan jawaban. Peneliti
diharapkan pula untuk lebih mengamati subjek dalam memberikan jawaban
sehingga mengurangi subjek memberikan jawaban faking good.Peneliti
selanjutkan juga harus lebih mencermati fenomena awal yang terjadi, serta
diharapkan peneliti selanjutnya lebih kaya akan referensi yang bisa digunakan
untuk membantu pembahasan, serta peneliti selanjutnya dapat melakukan
penelitian serupa di tempat yang berbeda hal ini dilakukan guna memperoleh
generalisasi penelitian yang lebih komprehensif. Melengkapi kekurangan
penelitian ini memberikan peluang bagi peneliti selanjutnya yang berniat
mengembangkan penelitian serupa, mampu mencapai hasil yang lebih sempurna.
101
DAFTAR PUSTAKA
Afiatin, Tina, Andayani, Budi. 1998. Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja
Penganggur Melalui Kelompok Dukungan Sosial. Jurnal Psikologi. 2, 35 –
46
Al – Zu’bi, Hasan Ali. 2010. A Study of Relationship between Organizational
Justice and Job Satisfaction. International Journal of Business and Management. 5,(12), 102 – 109
Atikasari, Nurindah. 2015. Psychological Well-Being Pada Kepala Keluarga
Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Perusahaan Batu Bara
Di Desa Bukit Pariaman. eJournal Psikologi. 4,(1), 1 – 12
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta : Rineka Cipta
Ashforth, Blake, E, Humphrey, Ronald. H. 1993. Emotional Labour in Service
Roles: The Influence of Identity. Academy of Management The Academy of Management Review. 18 (1), 88 – 115
Austin, Elizabeth J., Dore, Timothy C.P., and O’Donovan Katharine M. 2008.
Associations of Personality and Emotional Intelligence with Display rule
Perceptions and Emotional Labour.Personality and Individual Differences. 44, 679-688
Azwar, Saifuddin. 2011 . Metode Peneltian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
. 2012. Reliabilitas dan Validitas Edisi 4. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
. 2012. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Brotheridge, C.M, Grandey, A.A. 2002. Emotional Labour and Burnout:
Comparing Two Perspectives of “people work”. Journal of Vocational Behavior. 60, 17 – 39
Charash-Cohen, Yochi, Byrne, Zinta.S. 2008. Research Companion to Emotion in Organization: Affect and Justice: current knowledge and future direction.
Edward Elgar Publishing Limited : Massachusetts USA
Choi, Yeong-Gyeong, Kim, Kyoung-Seok, Kim, So-Jung. 2014. A Study on the
Concept, Dimensions, and Consequence of Emotional Labour. The SIJ Transaction on Industrial, Financial&Business Management. 2,(3), 77 –
81
102
Colquitt, A. J, Colon, Donald. E. 2001. Justice at the Millennium: A Meta-
Analytic Review of 25 Years of Organizational Justice Research. Journal of Applied Psychology. 86 (3), 425 – 445
Colquitt, A. J. 2012. The Oxford Handbook of Organizational Psychology, Volume 1. Oxford: Oxford University Press
Cropanzano, R, Bowen, D, Gilliland, Stephen. W. 2007. The Management of
Organizational Justice. Academy of Management Perspectives. 21 (4), 34-
38
Dahling Jason J., and Perez Luis A.2010.Older Worker, Different Actor? Linking
Age and Emotional Labor Strategies.Personality and Individual Differences.48, 574-578.
Daromes, F. E. 2006. Pengaruh Keadilan Organisasional Terhadap Intensitas
Turnover Auditor Pada Kantor Akuntan Publik Di Indonesia. Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro
Disnakertrans Jateng. Diunduh di jateng.bps.go.id Pada 15 Desember 2015
Djazari, M. Rahmawati, Diana, Mahendra Adhi.N. 2013. Pengaruh Sikap
Menghindari Risiko Sharing dan Knowledge Self-Efficacy Terhadap
Informal Knowledge Sharing Pada Mahasiswa FISE UNY. Jurnal Nominal. 2 (2), 181 – 209
Duke, Allinson.B, Goodman, Joseph, Treadway, Darren, Jacob W. Breland. 2009.
Perceived Organizational Support as Moderator of Emotional
Labour/Outcome Relationship. Journal of Applied Social Psychology. 39
(5), 1013 – 1034.
Fatimah’,O, Amiraa, A. M, Halim, F. W. 2011. The Relationship between
Organizational Justice, Organizational Citizenship Behavior and Job
Satisfaction. Pertanika J. Soc. Sci. & Hum. 19, (S), 115 – 121
Fathurochman. 2012. Keadilan Perspektif Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Gosserand H. Robin & Diefendorff M. James.2005.Emotional Display Rules and
Emotional Labour: The Moderating Role of Commitment. Journal of Applied Psychology, 90(6), 1256–1264.
Grandey, Alicia A. 2000. Emotion Regulation in the Workplace : A New Way to
Conceptualize Emotion Labor. Journal of Occupational Health Psychology,5,(1), 95 – 110
103
Grandey, Alicia A. 2003. When “The Show Must Go On”: Surface Acting And
Deep Acting As Determinants of Emotional Exhaustion And Peer-Rated
Service Delivery. Academy of Management Journal, 46, (1), 86 – 96
Green, Mike. 2009. The Days of Our Lives: Deep Acting, Surface Acting and
Actor’s Health. Thesis. Master of Art in Psychology at Massey University,
Albany, New Zealand
Greenberg, J. 1990. Organizational Justice: Yesterday, Today, And Tommorow.
Journal Of Management, 16, (2), 399 – 432.
Greenberg, J, Colquitt, J.A. 2005. Handbook of Organizational Justice. London:
Lawrence Erlbaum Associates Publisher
Hadi, Sutrisno. 2004. Statistik. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Herman, Lisa Amelia. 2013. Pengaruh Keadilan Organisasi Dan Sistem
Pengendalian Intern Terhadap Kecurangan (Studi Empiris pada Kantor
Cabang Utama Bank Pemerintah di Kota Padang). Artikel. Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Padang
Hochschild, A.1979. Emotion Work, Feeling Rules, and Social Structure.
American Journal of Sociology, 85, 551-575.
Hochschild, A.1983. The managed heart: Commercialization of human feeling.
Berkeley: University of California Press.
Ivancevich, John, M. Konopaske, Robbert, Matteson, Michael. T. 2006. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jakarta : Penerbit Erlangga
Kogovsek, Metka, Kogovsek,Wojca. 2014. Emotional Labour in Hospitality
Industry: Literature Review. Quaestus Mulidisciplinary Research Journal. 1 (1), 115 – 130
Kristanto, Sentot. 2013. Pengaruh Keadilan Organisasional Terhadap Kepuasan
Kerja Dan Dampaknya Terhadap Komitmen Dan Intensi Keluar di PT.
Indonesia Power UBP Bali. Thesis. Program Pascasarjana Universitas
Udayana
Kruml, Susan. M, Geddes, Deanna. 2000. Exploring The Dimension of Emotional
Labour: The Heart of Hochschild’s Work. Management Communication Quarterly. 14 (1), 8 – 49
Luthans, Fred. 2005. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: ANDI
104
Medler-Liraz, Hana.2014.Negative affectivity and tipping: The moderating role of
emotional labour strategies and leader-member exchange.International Journal of Hospitality Management .36, 63-72.
Modekurti-Mahato, M., Kumar, P., Raju, P.G. 2014. Impact of Emotional Labor
on Organizational Role Stress – A Study in the Services Sector in India.
Procedia Economics and Finance. 11, 110 – 121
Moria, Ruth & Sunjoyo. 2010. Pengaruh Organizational Justice Terhadap
Outcome Measures. Jurnal Management. 10,(1), 11 – 29
Morris, J.A.,& Feldman, D. C. 1996. The Dimensions, Antecedents, and
Consequence of Emotional Labour. Academy of Management Review.
21,(4), 986 – 1010
Purwanto, Edy. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Semarang : UnnesPress
Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan, Badan Penelitian, Pengembangan dan
Informasi, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. 2014. Data dan Informasi Hubungan Industrial. diunduh 15/12/2015.
Radar Banyumas.2015. Puluhan Karyawan PT. Yuro Geruduk Dinsosnakertrans.
Diunduh di http://radarbanyumas.co.id/puluhan-eks-karyawan-pt-yuro-
geruduk-dinsosnakertrans. Pada 6 Mei 2015
Richard, Erin. M. 2006. Applying Appraisal Theories of Emotional to the Concept
of Emotional Labour. Dissertation. Departement of Psychology, Louisiana
State University
Robbins, Stephen P. 2008. Perilaku Organisasi, Edisi 12. Jakarta : Penerbit
Salemba Empat
Scott, John. T, Matland, Richard. E, Bornstein, Brian. H. 2001. Just Deserts: An
Experimental Study of Distributive Justice Norms. American Journal of Political Science. 45 (4), 749 – 767
Septiyani, Rahayu. 2012. Hubungan Antara Emotional Labour dan Work
Engegament Dengan Dimoderatori Oleh Dukungan Organisasi. Tesis.
Fakultas Psikologi, Universtas Gajah Mada
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D.Bandung :
Alfabeta
Suwarto. 2003. Hubungan Industrial Dalam Praktek. Jakarta : Asosiasi Hubungan
Industrial Indonesia (AHII)
105
Tjahjono. Heru Kurnianto. 2010. Studi Literatur Keadilan Distributif dan
Keadilan Prosedural Pada Konsekuensinya Dengan Teknik Mata Analisis.
Jurnal Psikologi. 35,(1), 21 – 40
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Wakhyuni, Dwi Sri. 2016. Hubungan Work Engagement dan Organizational
Efficacy (Studi Korelasi di PT. Yuro Mustika). Skripsi. Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Wharton, Amy.S, Erickson, Rebecca. J. 1993. Managing Emotions on The Job
and At Home: Understanding The Consequences Of Multiple Emotional
Roles. Academy of Management Review.18 (3) 457 – 486
Yulianto, Taufik. 2012. Perlindungan terhadap Pekerja/Buruh yang Terkena
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora.12,(2), 105 – 109
Zulhartati, S. 2010. Pengaruh Hubungan Kerja Terhadap Karyawan Perusahaan.
Journal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora. 1, (1), 77 – 87