KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will...
Transcript of KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will...
375
KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI
KOTA TASIKMALAYA: EVALUASI CAPAIAN KINERJA DAN STRATEGI
PENINGKATAN KINERJA KEBIJAKAN
POLICY FOR PROVIDING AND MANAGING GREEN OPEN SPACE IN
TASIKMALAYA CITY: EVALUATION OF PERFORMANCE ACHIEVEMENTS AND
STRATEGIES FOR IMPROVING POLICY PERFORMANCE
Dewi Gartika
Peneliti Madya pada Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BP2D) Provinsi Jawa Barat
Jalan Maulana Yusuf No 3 Bandung
Email: [email protected]
ABSTRAK
Konsep pembangunan berkelanjutan erat Kaitannya dengan kebijakan pemanfaatan dan penataan
ruang yang menegaskan bahwa dalam perencanaan tata ruang wilayah harus memuat rencana
penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang luas minimalnya sebesar 30% dari
luas wilayah. Namun demikian, banyak kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah antara lain
tingginya alih fungsi lahan dan rendahnya kesadaran masyarakat, serta belum optimalnya pemanfaatan
aset negara. Penelitian dilakukan pada tahun 2016, dengan tujuan untuk menganalisis kinerja
kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di wilayahnya,
faktor-faktor pendukung dan faktor-faktor yang berpotensi menghambat. Penelitian dilakukan secara
kualitatif. Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap perangkat
daerah pengelola RTH, data sekunder diperoleh melalui studi literatur dan dokumen resmi. Data
selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penambahan RTH yang
cukup signifikan (2012-2016). Hal ini karena didukung oleh kebijakan program dan political will
Walikota untuk membeli gunung-gunung yang tidak produktif untuk djadikan hutan kota dan menjalin
kerjasama dengan beberapa pihak swasta untuk mengelola RTH Taman Kota. Namun demikian, hasil
penelitian berhasil mengidentifikasi beberapa faktor yang berpotensi menghambat, yaitu belum adanya
peraturan walikota terkait pengaturan insentif/disinsentif dan sangsi bagi perusakan RTH,
kelembagaan dan tata kelola RTH yang masih tumpang tindih, anggaran yang minim dan belum
optimalnya kerjasama dengan pihak swasta. Strategi penguatan yang perlu dilakukan:1) Penguatan
komitmen Walikota Tasikmalaya melalui peraturan walikota yang mengatur pemberian insentif (imbal
jasa ekosistem)/disinsentif dan sangsi serta penegakan hukum; 2) Penguatan struktur organisasi dan
tata kelola pengelola RTH; 3) Penguatan sumber daya dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan
lahan, meningkatkan alokasi anggaran serta kapasitas SDM; serta 4) Penguatan kemitraan dengan
pihak swasta dan masyarakat.
Kata Kunci: Kinerja Kebijakan, Ruang Terbuka Hijau, Pemerintah Kota Tasikmalaya
ABSTRACT
The concept of sustainable development is closely related to the policy of spatial utilization and
arrangement which confirms that in the regional spatial planning must contain a plan for the
provision and utilization of Green Open Space (RTH) with a minimum area of 30% of the total area.
However, many obstacles faced by local governments include the high transfer of land use and low
public awareness, as well as the lack of optimal use of state assets. The study was conducted in 2016,
with the aim of analyzing the performance of the policy of the Government of Tasikmalaya City in the
provision and management of green open space in the region, supporting factors and potentially
inhibiting factors. The research was conducted qualitatively. Primary data collection was carried out
by in-depth interviews with the RTH management area, secondary data obtained through literature
studies and official documents. The data then analyzed descriptively. The results showed that there
was a significant increase in green open space (2012-2016). This is because it is supported by the
376
Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests
and establish cooperation with several private parties to manage City Park. However, the results of
the study successfully identified several factors that could potentially hamper, namely the absence of a
mayor regulation related to the regulation of incentives/disincentives and sanctions for green open
space destruction, institutional and governance of green open spaces that are still overlapping,
minimal budget and not optimal cooperation with the private sector. Some strengthening strategies
that need to be carried out, namely 1) Strengthening the commitment of the Mayor of Tasikmalaya
through the mayor's regulation that regulates the provision of incentives (reward for ecosystem
services)/disincentives and sanctions and law enforcement.; 2) Strengthening organizational structure
and governance of green open space managers; 3) Strengthening of resources by optimizing land use,
increasing budget allocation and human resource capacity; and 4) Strengthening partnerships with
the private sector and the community.
Keywords: Policy Performance, Green Open Space, Government of Tasikmalaya City
PENDAHULUAN
Konsep Pembangunan Berkelanjutan lahir sebagai jawaban atas dampak yang ditimbulkan
oleh pembangunan ekonomi yang memanfaatkan sumber daya alam secara sporadis dan tidak
memperhatikan kelangsungan kehidupan di masa mendatang. Sesungguhnya pembangunan ekonomi
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dalam pelaksanaannya seringkali
tidak memperhatikan keberlanjutan sumber daya alam yang dieksplorasinya. Sumber daya alam
merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui secara cepat, butuh waktu lama untuk dapat
kembali pada kondisi semula. Penebangan pohon yang sporadis menyebabkan lahan hutan menjadi
gundul dengan sangat cepat. Akibatnya air hujan tidak dapat lagi ditahan oleh akar pohon dan tanah
sehingga kemudian terjadi banjir dan longsor. Upaya reboisasi yang telah dilakukan tidak akan bisa
mengembalikan kondisi hutan dengan cepat. Butuh waktu lama untuk mengembalikan hutan seperti
kondisi semula. Penggundulan hutan tidak saja menyebabkan longsor dan banjir, tetapi juga dapat
mengakibatkan gangguan pada siklus hidup air dan rantai makanan hewan yang hidup di hutan. Hutan
yang gundul menyebabkan tingkat evaporasi/penguapan menjadi tinggi dan ketersediaan air tanah
menjadi berkurang. Suhu udara pun menjadi meningkat. Pertumbuhan dan siklus hidup hewan
pemakan tumbuhan atau herbivora akan terganggu karena ketersediaan sumber makanannya semakin
menipis tau bahkan tidak ada lagi. Hewan pemakan daging atau karnivora pun akan terganggu, karena
keberadaan hewan mangsanya semakin menipis (akibat banyak hewan herbovira yang mati kelaparan
dan kepanasan). Hal diatas merupakan gambaran kecil dampak yang ditimbulkan oleh eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
Konsep pembangunan berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemanfaatan dan
penataan ruang. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan jelas
menegaskan bahwa dalam perencanaan tata ruang wilayah harus memuat rencana penyediaan dan
pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang luas minimalnya mencapai 30% dari luas wilayah
kota. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam dokumen perencanaan tata ruang dan wilayah
bertujuan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi: 1) Kawasan konservasi untuk
kelestarian hidrologis; 2) Kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi; 3)
Area pengembangan keanekaragaman hayati; 4) Area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di
kawasan perkotaan; 5) Tempat rekreasi dan olahraga masyarakat; 6) Tempat Pemakaman Umum
(TPU); 7) Pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan; 8) Pengamanan sumber daya,
baik alam, buatan maupun historis; 9) Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Privat, melalui pembatasan
kepadatan serta kriteria pemanfaatannya; dan 10) Area mitigasi bencana. Untuk pengaturan teknis
lebih lanjut, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 ini kemudian ditindaklanjuti dengan: 1) Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
(RTHKP); 2) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional; 3) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;
377
dan 4) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan (RTHKP).
Keempat peraturan perundang-undangan tersebut diatas menegaskan kembali bahwa
pemerintah daerah harus mengalokasikan Ruang Terbuka Hijau dalam rencana penataan ruang di
wilayahnya masing-masing. Adanya kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menyediakan Ruang
Terbuka Hijau dalam penataan ruang di wilayahnya tersebut membuat sebagian besar pemerintah
daerah mengalami kesulitan untuk mewujudkannya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor-faktor
yang sangat berpengaruh dalam pemanfaatan ruang di wilayahnya. Pertumbuhan penduduk yang
tinggi ditambah dengan arus urbanisasi yang terus meningkat ke perkotaan, menyebabkan alih fungsi
lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat. Ruang hijau/ruang produktif dialihfungsikan menjadi
ruang untuk mendirikan rumah, gedung perkantoran, pasar, mall, dan lain-lain, akibatnya Ruang
Terbuka Hijau semakin menyempit.
Hasil penelitian Astriani (2014) menunjukkan bahwa jumlah RTH di kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat belum memenuhi jumlah 30% sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-
Undang Penataan Ruang. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa permasalahan yaitu: 1)
Perkembangan kota yang pesat, sehingga banyak terjadi peralihan fungsi lahan dari kawasan budidaya
pertanian menjadi kawasan permukiman; 2) Sebagian besar RTH Privat pada pertanian perkotaan
sudah beralih fungsi menjadi lahan terbangun/komersil; 3) Sempadan sungai yang ada di wilayah
perencanaan hampir sebagian besar menjadi daerah terbangun; 4) Jalur hijau masih kurang, baik
secara kuantitas maupun kualitas (jenis vegetasinya); 5) Kesadaran masyarakat sebagai bagian dari
stakeholder kurang paham dan peduli akan pentingnya RTH; 6) RTH di bawah jaringan SUTT dan
SUTET belum sepenuhnya dapat dibebaskan, sehingga masih banyak dipergunakan fungsinya untuk
selain RTH; 7) Penanganan RTH yang belum dilakukan secara maksimal dengan melibatkan swasta
dan masyarakat; 8) Keberadaan lapangan parkir terbuka tidak dibarengi dengan peng-
hijauan/penanaman pohon pelindung, sehingga termasuk kriteria ruang terbuka saja; 9) Keberadaan
pedagang kaki lima di sekitar kawasan taman kota menyebabkan terganggunya tanaman atau vegetasi
yang ada; 10) RTH Privat, khususnya untuk pekarangan perumahan masih kurang, Hal ini terlihat dari
banyaknya rumah yang menghabiskan seluruh luas kavling lahannya untuk dibangun sehingga tidak
memiliki pekarangan; 11) Belum ada tindakan yang tegas dari pihak berwenang/terkait bagi pelanggar
atau perusak RTH yang ada; dan 12) Kurangnya sosialisasi mengenai RTH oleh instansi terkait kepada
masyarakat, sehingga menyebabkan masih banyak RTH Privat yang tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Namun demikian, peneliti menemukan adanya beberapa daerah di Provinsi Jawa Barat yang
terus berupaya membangun kembali Ruang Terbuka Hijau di wilayahnya dan memberikan hasil yang
cukup signifikan dalam upayanya mengembalikan kualitas lingkungan di wilayahnya. Berikut ini
adalah hasil penelitian yang dilakukan di Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya
dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di wilayahnya serta faktor-faktor pendukung keberhasilan
kinerja kebijakan tersebut dan menganalisis faktor-faktor yang berpotensi menghambat kinerja
kebijakan tersebut. Selanjutnya akan dirumuskan strategi untuk mengatasi permasalahan yang masih
terjadi agar dapat mempercepat capaian target kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam
penyediaan dan pengelolaan RTH di wilayahnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Keberlanjutan dan Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Haris (2000, dalam Rahadian, 2016) menjelaskan dengan lebih detil konsep keberlanjutan
menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu: 1) Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan
yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan
pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi
pertanian dan industri; 2) Keberlanjutan lingkungan. Sistem keberlanjutan secara lingkungan harus
mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari ekspolitasi sumber daya alam dan fungsi
penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas
378
ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi, dan
3) Keberlanjutan sosial. Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai
kesetaraan, penyediaan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas
politik. Konsep ini selaras dengan fungsi Ruang Terbuka Hijau yang memiliki fungsi ekonomi, fungsi
ekologi dan fungsi sosial sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan. Fungsi ekologi dari Ruang Terbuka Hijau adalah: 1) Merupakan bagian dari sirkulasi udara
(paru-paru kota); 2) Pengatur iklim mikro agar sistem udara dan air secara alami dapat berlangsung
lancar; 3) Sebagai peneduh; 4) Produsen/penghasil oksigen; 5) Penyerap air hujan; 6) Penyedia habitat
satwa liar; 7) Penyerap polutan di udara, air dan tanah, serta 8) Penahan angin. Sedangkan fungsi
sosial dan budaya dari Ruang Terbuka Hijau yaitu: 1) Sebagai tempat rekreasi; 2) Menjadi media
komunikasi antar warga kota, dan 3) Sarana pendidikan dan penelitian. Sementara itu, fungsi ekonomi
dari keberadaan Ruang Terbuka Hijau yaitu: 1) Menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan,
kehutanan dan lain-lain yang dapat dikomersialisasikan, baik sebagai destinasi wisata khusus maupun
menjual produk-produk yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan usaha tersebut. Di sisi lain, terdapat
satu fungsi lain yaitu fungsi estetika. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau dapat meningkatkan
kenyamanan, memperindah lingkungan, sebagai pembentuk faktor keindahan arsitektual dan
menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dengan area tidak terbangun.
Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan manfaat dari keberadaan Ruang Terbuka Hijau antara
lain hasil penelitian Purnomohadi (1995) yang membuktikan bahwa suhu di sekitar kawasan RTH di
Kota DKI Jakarta lebih rendah 2-4 derajat Celcius dibandingkan dengan suhu udara di luar kawasan
RTH. Artinya, keberadaan RTH telah mampu menurunkan suhu di sekitar kawasan.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah sebuah upaya manusia untuk memperbaiki kualitas
hidupnya dengan tetap memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
meningkatkan kesejahteraannya, tetapi tidak mengesampingkan akan adanya kebutuhan generasi
mendatang untuk memanfaatkan sumber daya alam sejenis untuk menopang kehidupannya kelak.
Sutamihardja (2004, dalam Rahadian, 2016) menjelaskan bahwa yang menjadi sasaran pembangunan
berkelanjutan yaitu: 1) Pemerataan manfaat hasil-hasil pembangunan antar generasi (intergeneration
equity), yang berarti bahwa pemanfaatan sumber daya alam untuk pembangunan perlu memperhatikan
batas-batas yang wajar dalam kendali ekosistem atau sistem lingkungan serta diarahkan pada sumber
daya alam yang replaceable dan menekankan serendah mungkin eksploitasi sumber daya alam yang
unreplaceable; 2) Safeguarding atau pengamanan terhadap kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang ada dan pencegahan terjadi gangguan ekosistem dalam rangka menjamin
kualitas kehidupan yang tetap baik bagi generasi yang akan datang; 3) Pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya alam semata untuk kepentingan mengejar pertumbuhan ekonomi demi kepentingan
pemerataan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan antar generasi; 4) Mempertahankan
kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, baik masa kini maupun masa mendatang (inter
temporal); 5) Mempertahankan manfaat pembangunan ataupun pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan yang mempunyai dampak manfaat jangka panjang ataupun lestari antar generasi; dan 6)
Menjaga mutu ataupun kualitas kehidupan manusia antar generasi sesuai dengan habitatnya.
Konsep Jasa Ekosistem
Perubahan ekosistem sekitar perkotaan sebagian besar disebabkan karena tingginya ruang
yang dibutuhkan oleh penduduk untuk mendirikan rumah sebagai tempat tinggal, bekerja, berbelanja,
dan beraktifitas ekonomi lainnya yang menyebabkan ekosistem alami seperti lahan pertanian, pesisir
pantai, dan hutan berubah menjadi lahan terbangun. Perubahan ekosistem tersebut tidak hanya
memberikan dampak bagi penurunan kualitas tetapi juga pada jasa ekosistem didalamnya. Jasa
ekosistem adalah segala keuntungan yang didapatkan dari suatu ekosistem, khususnya yang terkait
dengan kesejahteraan manusia (Woodruff dan Bendor, (2016) dalam Chintantya & Maryono, 2017).
379
Jasa ekosistem perkotaan sangat berkaitan dengan Infrastruktur Hijau (Green Infrastructures),
sebagai penyedia berbagai manfaat, baik secara langsung dan tidak langsung, bagi penduduk
perkotaan di tengah semakin menurunnya ekosistem alami dan semi alami di perkotaan. Infrastruktur
hijau digunakan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dalam menyediakan barang dan jasa saat
tekanan ekosistem semakin meningkat. Infrastruktur hijau terdiri dari pepohonan di pinggir jalan,
taman umum dan milik pribadi, ruang terbuka, kolam dan sungai, area bermain, hutan kota, dan
berbagai jenis lapangan (Pulighe dkk., (2016) dalam Chintantya & Maryono, 2017).
Millennium Ecosystem Assessment (dalam Chintantya & Maryono, 2017) mengelompokkan
hubungan antara jasa ekosistem dengan kehidupan manusia menjadi 4 kelompok, yaitu 1) Jasa
penyediaan; 2) Jasa pengaturan; 3) Jasa pendukung, dan 4) Jasa budaya. Jasa penyediaan yang
diberikan oleh infrastruktur hijau diantaranya adalah hasil pertanian, buah, sayur, tanaman obat, dan
bahan pangan lainnya. Sedangkan jasa pengatur yang dihasilkan adalah penyerapan karbon, pengatur
cuaca, kualitas udara, pengatur erosi, dan efek dingin. Jasa budaya yang dihasilkan adalah kesehatan,
keindahan, rekreasi, spiritual, interaksi sosial, pendidikan, dan penghargaan terhadap alam. Sementara
itu jasa pendukung lebih menekankan pada keanekaragaman hayati satwa dan kelestarian bagi
mahkluk hidup untuk berkembang biak. Konsep ini selaras dengan fungsi Ruang Terbuka Hijau yang
telah dibahas sebelumnya.
Pada 10 tahun terahir, beberapa perkotaan di dunia telah mengedepankan aspek ekologi dalam
berbagai kebijakan publik tentang perkotaan dalam rangka mewujudkan konsep kota berkelanjutan.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengintegrasikan jasa lingkungan dalam kerangka
kerja pembangunan (Woodruff dan Bendor, (2016) dalam Chintantya & Maryono, 2017). Penilaian
terhadap jasa ekosistem sangat penting sebagai dasar perumusan kebijakan publik mengenai
pengelolaan sumber daya alam (Djajadiningrat, ST dkk., (2011) dalam Chintantya & Maryono, 2017)
dan kebijakan publik yang bersifat sosial (Fisher dkk., (2009) dalam Chintantya & Maryono, 2017).
Laurans dkk (2013, dalam Chintantya & Maryono, 2017) mengklasifikasi bahwa setidaknya
terdapat 8 peranan nilai jasa ekosistem dalam perumusan kebijakan atau pengambilan keputusan yang
terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1). Nilai Jasa Ekosistem sebagai penentu suatu keputusan yang
spesifik. Pada suatu proses perumusan kebijakan, ada kalanya pengambil keputusan dihadapkan pada
beberapa alternatif. Dalam kelompok ini, nilai jasa ekosistem memiliki peranan: a) Sebagai alat untuk
menilai keuntungan dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan; b) Sebagai alat untuk
bernegosiasi dan melihat partisipasi para stakeholder; dan c) Sebagai alat untuk menentukan nilai
investasi untuk pengelolaan lingkungan; 2) Nilai Jasa Ekosistem sebagai instrument suatu desain. Pada
kategori ini nilai jasa ekosistem digunakan saat suatu kebijakan telah ditentukan, misal: a) Sebagai alat
untuk menentukan nilai kompensasi yang harus dibayar akibat suatu dampak kebijakan dan (b)
Sebagai alat untuk menentukan nilai dasar suatu barang/jasa (yang melibatkan ekosistem dalam proses
produksi); dan 3) Nilai Jasa Ekosistem sebagai informasi atas pengambilan keputusan secara umum.
Pada kategori ini, nilai jasa lingkungan juga dipandang sebagai penyedia informasi mengenai hal-hal
yang tidak berpengaruh langsung pada proses maupun hasil suatu kebijakan misalnya nilai jasa
ekosistem dapat menjadi suatu justifikasi dan memberikan informasi mengenai dukungan dan
kesadaran masyarakat.
380
KERANGKA PIKIR PENELITIAN
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan pada tahun 2016 di wilayah Pemerintah Kota Tasikmalaya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya
dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di wilayahnya, faktor-faktor pendukung keberhasilan kinerja
kebijakan tersebut dan faktor-faktor yang berpotensi menghambat kinerja kebijakan tersebut.
Selanjutnya, akan dirumuskan strategi untuk mengatasi permasalahan yang masih terjadi agar dapat
mempercepat capaian target kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penyediaan dan
pengelolaan RTH di wilayahnya. Penelitian dilakukan secara kualitatif. Hal ini dimaksudkan untuk
dapat memberikan gambaran atau mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap
obyek yang diteliti. Teknik pengambilan data primer dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan
purposive, dan sebagai informan pada penelitian ini perangkat daerah pengelola RTH di lingkungan
Pemerintah Kota Tasikmalaya. Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam,
PERMASALAHAN :
Ekploitasi SDA secara berlebihan
Tingginya alih fungsi lahan
produktif menjadi lahan
terbangun
Minimnya RTH
Menurunnya kualitas lingkungan
TERBITNYA REGULASI
yang mengatur Penataan Ruang dan
Penyediaan RTH
Konsep Pembangunan
Berkelanjutan
Konsep Jasa Ekosistem
Fungsi RTH
HASIL YANG INGIN DICAPAI :
Menekan alih fungsi lahan
produktif menjadi lahan
terbangun
Penyediaan RTH minimal 30%
dari luas wilayah akan terpenuhi
Meningkatkan kualitas penataan
dan penyelenggaraan ruang di
wilayah kab/kota
Meningkatnya kualitas
lingkungan hidup di wilayah
Kabupaten/Kota
FAKTOR EKSTERNAL
YANG MEMPENGARUHI
Lingkungan
Implementasi Kebijakan
Daerah Kab/Kota
Partisipasi Masyarakat
dan Dunia Usaha
Kebijakan Pemerintah
Pusat dan Provinsi
FAKTOR INTERNAL YANG
MEMPENGARUHI :
Isi Kebijakan Daerah
Kab/Kota
Political Will Kepala Daerah
Organisasi Pelaksana
SDM Pelaksana
Anggaran
381
Pengambilan data sekunder dilakukan dengan studi literatur dan dokumen resmi dari Pemerintah Kota
Tasikmalaya. Data primer dan data sekunder selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga
kemudian dapat dirumuskan strategi untuk mengatasi permasalahan yang masih terjadi agar dapat
mempercepat capaian target kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penyediaan dan
pengelolaan RTH di wilayahnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kompleksitas permasalahan yang terjadi dalam penataan dan pemanfaatan ruang harus
disikapi oleh pemerintah dengan menerbitkan berbagai kebijakan atau peraturan perundang-undangan
yang bertujuan untuk mengatur agar penataan dan pemanfaatan ruang tidak hanya mengakomodir
kebutuhan pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi semata tetapi juga harus
memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan kehidupan generasi mendatang. Sebagai
upaya menciptakan pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan bagi
kehidupan di masa depan, pemerintah harus terus berupaya mendorong perbaikan dan peningkatan
kualitas lingkungan, antara lain melalui penyediaan dan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Beberapa
peraturan perundang-undangan telah diterbitkan sebagai dasar pelaksanaan pembangunan di pusat dan
di daerah dalam menyediakan dan mengelola Ruang Terbuka Hijau sebagai bagian penataan ruang di
wilayahnya. Berikut adalah kinerja kebijakan pemerintah pusat dan Pemerintah Kota Tasikmalaya
dalam penyediaan dan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau:
Evaluasi Kinerja Kebijakan Pusat
Dalam upaya pengembangan Ruang Terbuka Hijau sebagai bagian dari penataan ruang, maka
pemerintah menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum untuk
pemerintah daerah dalam menyediakan dan mengelola RTH di wilayahnya. Berikut adalah peraturan
perundang-undangan yang telah diterbitkan oleh pemerintah pusat:
1. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mendefinisikan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) sebagai area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah, maupun yang sengaja
ditanam. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat dibagi menjadi 5 yaitu: 1). Kawasan hijau
pertamanan kota; 2). Kawasan hijau hutan kota; 3). Kawasan hijau rekreasi kota; 4). Kawasan
hijau kegiatan olahraga; dan 5). Kawasan hijau pemakaman. Ketentuan yang terkait dengan
rencana penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau pada Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang harus diatur di dalam ketentuan muatan penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota (Pasal 28). Di dalam pasal berikutnya disebutkan bahwa proporsi Ruang
Terbuka Hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah, terdiri dari Ruang Terbuka
Hijau Publik sebesar 20%, dan sisanya merupakan Ruang Terbuka Hijau Privat. Proporsi 30%
merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik yang
menyangkut keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis
lainnya, yang selanjutnya diharapkan akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang
diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Adapun proporsi
Ruang Terbuka Hijau Publik seluas minimal 20% yang disediakan oleh pemerintah daerah
dimaksudkan agar proporsi Ruang Terbuka Hijau dengan luasan minimal tersebut dapat lebih
dijamin pencapaiannya, sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan, mendefinisikan bahwa Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) merupakan
bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna
mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika. Luas ideal RTHKP adalah
minimal 20% dari luas kawasan perkotaan yang mencakup RTHKP publik dan RTHKP privat.
RTHKP tidak dapat dialihfungsikan. Pengelolaan RTHKP melibatkan para pemangku
kepentingan. Pemanfaatan RTHKP publik dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga ataupun
382
antar pemerintah daerah. Pemanfaatan RTHKP privat dikelola oleh perseorangan atau
lembaga/badan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melaksanakan pemeliharaan dan
perwujudan kelestarian lingkungan hidup antara lain dengan mewujudkan kawasan berfungsi
lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% dari luas wilayah pulau tersebut
sesuai dengan kondisi ekosistemnya. Untuk mengendalikan perkembangan kegiatan budidaya agar
tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan maka pemerintah harus
mengembangkan RTH dengan luas paling sedikit 30% dari luas kawasan perkotaan. Peraturan
zonasi untuk RTH disusun dengan memperhatikan : a) Pemanfaatan ruang untuk rekreasi; b)
Pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas
umum lainnya; dan c) Pelarangan mendirikan bangunan permanen.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
menjelaskan bahwa rencana penyediaan RTH publik harus dilaksanakan secara terdistribusi sesuai
hirarki tingkat pelayanan kota, peruntukan lahan dan kebutuhan fungsi tertentu. Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dalam mewujudkan rencana
penyediaan RTH publik antara lain melalui : a) Pemanfaatan lahan terlantar, pemulihan kembali
fungsi-fungsi ruang terbuka dan pengadaan tanah; b) Pengalokasian anggaran secara bertahap
untuk melaksanakan penyediaan RTH publik; dan c) Pengembangan kerjasama kemitraan dengan
masyarakat dalam meningkatkan penyediaan RTH publik.
5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan (RTHKP), menguraikan lebih teknis
berbagai jenis RTH yang perlu dikembangkan melalui berbagai klasifikasi dan pendekatan sebagai
berikut:
a) Berdasarkan luas wilayah: 1) Penyediaan luas Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
(RTHKP) menjadi tanggung jawab pemerintahan kabupaten dan kota; 2) RTH di perkotaan
terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat; 3) Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah
sebesar 30%, yang terdiri dari 20% Ruang Terbuka Hijau Publik dan 10% Ruang Terbuka
Hijau Privat; 4) RTHKP publik tidak dapat dialihfungsikan; 5) Apabila luas RTH, baik publik
maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki luas total lebih besar dari peraturan
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap
dipertahankan keberadaannya; 6) Proporsi luas 30% dari luas wilayah kota ini dapat dicapai
secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal;
b) Berdasarkan jumlah penduduk: luas RTH diperoleh dengan mengalikan antara jumlah
penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH perkapita sesuai kategorinya;
c) Berdasarkan kebutuhan fungsi tertentu: 1) Fungsi perlindungan dan/atau pengamanan seperti
pengamanan para pejalan kaki; 2) Fungsi sebagai sarana dan prasarana; dan 3) Fungsi untuk
membatasi penggunaan lahan agar fungsi utama tidak terganggu. RTH kategori ini meliputi: a)
Jalur hijau sempadan rel KA; b) Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi; dan c) RTH
kawasan perlindungan setempat seperti RTH sempadan sungai, sempadan pantai dan RTH
pengamanan sumber air baku/mata air.
Dari uraian diatas, penulis melihat bahwa pemerintah daerah harus terus berupaya
mengalokasikan RTH publik dengan luasan minimal 20% dari luas wilayahnya. Hal ini membutuhkan
pertimbangkan yang matang karena menyangkut alokasi anggaran yang cukup besar yang dibutuhkan
oleh pemerintah daerah untuk dapat menyediakan RTH publik dengan luasan minimal 20% dari
wilayahnya. Aspek lainnya yang harus dipertimbangkan adalah lokasi yang harus dibangun menjadi
RTH publik. Hal ini harus sesuai dengan penyebaran jumlah penduduk dan kapasitas dan fungsi
ruangnya. Wilayah dengan jumlah penduduk yang tinggi harus memiliki RTH yang luas. Keberadaan
RTH di kawasan dengan fungsi tertentu misalnya RTH sempadan sungai, sempadan pantai dan RTH
pengamanan sumber air baku/mata air harus menjadi prioritas utama. Jenis RTH yang akan dibangun
pun harus memperhatikan fungsi ruang dan tujuan pemanfaatannya, apakah sebagai daerah resapan,
383
sebagai tempat rekreasi dan lain-lain. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan karakter
public space, urban space dan open space serta elemen rancang kota lainnya. Secara umum ruang
terbuka publik (open space) di perkotaan terdiri dari Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka
Nonhijau. Ruang Terbuka Hijau sebagai infrastruktur hijau perkotaan adalah bagian dari ruang‐ruang
terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi
(endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial‐budaya dan arsitektural yang
dapat memberikan manfaat ekonomi bagi (kesejahteraan) masyarakatnya. Pemilihan jenis‐jenis
tanaman yang sesuai habitatnya dapat mempengaruhi efektivitas fungsi RTH, misalnya dalam
kemampuannya untuk menekan pencemaran udara, menyerap debu, mengurangi bau, meredam
kebisingan, mengurangi erosi tanah, penahan angin dan hujan secara menyeluruh (Rochim &
Syahbana 2013). Keterbatasan sumber daya anggaran pemerintah dan sumber daya manusia pengelola
RTH, harus disikapi dengan menerbitkan kebijakan yang dapat mendorong tingkat kesadaran
masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan disekitarnya dan berpartisipasi dalam penyediaan
dan pengelolaan RTH publik maupun privatnya. Satu hal terpenting lainnya bahwa RTH privat yang
dimiliki oleh masyarakat telah memberikan jasa ekosistem kepada lingkungan sekitarnya, antara lain
sebagai peneduh, menyerap polutan di udara, mempengaruhi iklim mikro disekitarnya dengan
memberikan kesejukan, membantu dalam penyerapan air hujan ke dalam tanah. Oleh karena itu, dalam
kebijakan penyediaan dan pengelolaan RTH privat, pemilik RTH privat harus diberikan insentif yang
memadai sesuai dengan jasa ekosistem yang dihasilkannya (imbal jasa ekosistem). Hal tersebut telah
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 39 yang menjelaskan bahwa dalam
pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah
dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh pemerintah dan pemerintah daerah kepada
masyarakat. Demikian pula dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008
tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
(RTHKP), dikatakan bahwa apabila luas RTH, baik publik maupun privat, di kota yang bersangkutan
telah memiliki luas total lebih besar dari peraturan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya. Untuk tetap mempertahankan luasan
RTH privat tersebut, maka pemerintah daerah harus dapat memberikan insentif kepada pemilik RTH
privat sebagai bentuk imbal jasa ekosistem dari RTH privat yang dimilikinya.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tasikmalaya, Pemerintah Daerah
Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat ternyata mempunyai komitmen yang cukup tinggi dalam
penataan ruang di wilayahnya, termasuk bagaimana memenuhi kebutuhan Ruang Terbuka Hijau untuk
menjaga kualitas hidup masyarakatnya. Berikut ini adalah gambaran wilayah dan hasil analisis kinerja
kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau di wilayahnya.
Gambaran Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat
Kota Tasikmalaya merupakan sebuah kota yang terletak di bagian tenggara dari wilayah
Provinsi Jawa Barat. Kota Tasikmalaya memiliki luas wilayah seluas 183,85 km2
yang meliputi 10
kecamatan yaitu Kecamatan Cipedes, Kecamatan Cihideung, Kecamatan Tawang, Kecamatan
Tamansari, Kecamatan Mangkubumi, Kecamatan Kawalu, Kecamatan Indihiang, Kecamatan
Cibeureum, Kecamatan Bungursari dan Kecamatan Purbaratu, serta mencakup 69 kelurahan. Adapun
kondisi luas Ruang Terbuka Hijau Publik di Kota Tasikmalaya pada tahun 2012 hanya sebesar 793,03
Ha atau 4,421% dari luas wilayahnya, yang terdiri dari Hutan Kota, Taman Kota, Tempat Pemakamam
Umum, Ruang Terbuka Hijau Jalur Hijau dan Ruang Terbuka Hijau yang memiliki fungsi tertentu,
serta Ruang Terbuka Hijau Privat seluas 2.030,17 ha atau 11,04% dari luas wilayah (Dinas Cipta
Karya, Tata Ruang dan Kebersihan Kota Tasikmalaya, 2012). Berikut adalah tabel luas dan proporsi
RTH publik dan RTH privat di Kota Tasikmalaya pada tahun 2012:
384
Tabel 1. Luas dan Proporsi RTH Publik Tahun 2012 Terhadap Luas Wilayah Kota
No Jenis RTH Luas (ha) Proporsi Terhadap Luas Wilayah
Kota (%)
1 Sempadan irigasi 123 0,685
2 Lahan milik kekayaan desa 180 1,004
3 RTH lainnya 490,03 2,732
Jumlah Total 793,03 4,421
Sumber: Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan Kota Tasikmalaya Tahun 2012
Tabel 2. Luas dan Proporsi RTH Privat Tahun 2012 Terhadap Luas Wilayah Kota
No Jenis RTH Luas (ha) Proporsi Terhadap Luas
Wilayah Kota (%)
1 RTH pekarangan rumah tinggal 1.799,00 9,79
2 RTH peruntukkan perdagangan dan jasa 86,74 0,47
3 RTH peruntukkan industri 19,93 0,11
4 RTH peruntukan pertahanan dan
keamanan
75,46 0,41
5 RTH peruntukan perkantoran 8,89 0,05
6 RTH peruntukan lainnya (pendidikan,
kesehatan, peribadatan, terminal, TPA)
40,15 0,22
Jumlah Total 2.030,17 11,04
Sumber : Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan Kota Tasikmalaya Tahun 2012
Evaluasi Kinerja Kebijakan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Pemerintah Kota Tasikmalaya
Pemerintah Kota Tasikmalaya menyadari betul bahwa dalam menyediakan Ruang Terbuka
Hijau di wilayahnya bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Adanya kebutuhan ruang terbangun
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat harus berbenturan dengan kebutuhan akan kualitas lingkungan
yang lebih baik yang menyangkut aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Sutamihardja (2004, dalam
Rahadian, 2016) menyatakan bahwa dalam konsep pembangunan berkelanjutan, tabrakan kebijakan
yang mungkin terjadi antara kebutuhan menggali sumber daya alam untuk memerangi kemiskinan dan
kebutuhan mencegah terjadinya degradasi lingkungan perlu dihindari serta sejauh mungkin dapat
berjalan seimbang. Pembangunan berkelanjutan juga mengharuskan pemenuhan kebutuhan dasar bagi
masyarakat dan adanya kesempatan yang luas kepada warga masyarakat untuk mengejar cita-cita akan
kehidupan yang lebih baik dengan tanpa mengorbankan generasi yang akan datang. Oleh karena itu,
Pemerintah Kota Tasikmalaya terus menggali potensi dan strategi kebijakan yang mampu
mewujudkan keseimbangan diantara kedua kebutuhan tersebut.
Pada dasarnya, kebijakan pemerintah daerah tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak
didukung oleh faktor-faktor terkait lainnya. Grindle (yang dikutip oleh Subarsono dalam Peramesti,
2016) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan,
yang meliputi: 1). Isi kebijakan (content of policy) yang mencakup: a) Interest affected/kepentingan
yang mempengaruhi, sejauh mana kepentingan kelompok sasaran yaitu masyarakat terhadap sebuah
kebijakan; b) Type of benefits/tipe manfaat, bagian ini lebih menekankan pada jenis manfaat yang
diterima oleh kelompok sasaran baik pemerintah daerah maupun masyarakat; c) Extent of change
envision/derajat perubahan yang ingin dicapai dari sebuah kebijakan; d) Site of decision making/letak
pengambilan keputusan, apakah program yang dicanangkan sudah tepat; e) Program implementors/pe-
laksana program, apakah program telah menyebutkan implementornya dengan rinci; f) Resources
committed/sumber-sumber daya yang digunakan untuk mendukung kebijakan. Faktor kedua adalah
Lingkungan implementasi (context of implementation) yang mencakup: a) Power, interest, and
strategy of actor involved/kekuasaan, kepentingan-kepentingan, dan strategi dari aktor yang lerlibat; b)
Institution and regime characteristic/ karakteristik lembaga dan rezim yang sedang berkuasa; dan c)
Compliance and responsiveness/ tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana. Selain itu,
385
proses perumusan kebijakan pun akan sangat menentukan keberhasilan dari kebijakan itu sendiri. Oleh
karena itu, maka dalam proses perumusan kebijakan penyediaan dan pengelolaan RTH harus
mempertimbangkan 6 aspek, yaitu: 1) Berapa nilai keuntungan dan konsekuensi yang ditimbulkan
oleh suatu kebijakan; 2) Berapa nilai investasi untuk pengelolaan lingkungan; 3) Seberapa besar
tingkat partisipasi para stakeholder dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di wilayahnya; 4) Berapa
nilai kompensasi yang harus dibayar akibat suatu dampak kebijakan; 5) Sebagai alat untuk
menentukan nilai dasar suatu barang/jasa (yang melibatkan ekosistem dalam proses produksi) dan 6)
Sebagai alat ukur untuk menilai tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian
lingkungannya (Laurans dkk (2013 dalam Chintantya & Maryono, 2017).
Berikut ini adalah hasil analisis kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam
penyediaan dan pengelolaan RTH diwilayahnya:
1. Ditinjau dari Aspek Isi Kebijakan :
a) Interest affected/kepentingan yang mempengaruhi Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah
dalam Penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Minimnya ketersediaan RTH di Kota Tasikmalaya
telah mendorong Pemerintah Kota Tasikmalaya untuk menerbitkan berbagai per-
aturan/kebijakan terkait penyediaan dan pengelolaan RTH, yang nantinya akan menjadi
payung hukum dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya, baik secara
swakelola maupun bekerjasama dengan pihak lainnya (swasta maupun masyarakat).
Kebijakan ini tentunya harus sejalan dengan kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat.
Salah satu kebijakan yang diterbitkan yaitu Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya Tahun 2011-2013, Peraturan
Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013 tentang Ruang Terbuka Hijau dan Peraturan
Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2013 tentang Hutan Kota.
b) Type of benefits/jenis manfaat yang dihasilkan dari kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah
dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Penyusunan sistem perencanaan dan perancangan
RTH di Kota Tasikmalaya didasarkan pada pertimbangan berbagai aspek, sesuai dengan
tujuan dan karakter lanskap lokal, yaitu: 1) Pengelolaan kualitas udara yang amat dipengaruhi
oleh jaringan transportasi pola lalu lintas kota dan RTH yang optimal dengan penanaman
pohon besar-besaran, sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi udara segar di antara setiap
kelompok bangunan dan ketersediaan udara bersih; 2) Pengelolaan dan konservasi kuantitas
dan kualitas sumber daya air sungai, kanal, waduk, rawa atau kolam buatan, diatur dalam
suatu sistem pengelolaan sumber air bersih, serta disediakan penampungan khusus air limbah
yang dapat diproses melalui sistem pemurnian; 3) Kawasan penyangga di tempat
penampungan sampah akhir, sebagai upaya konsevasi RTH dan peredam pencemaran udara,
bau, dan limbah cair; 4) Meredam kebisikan serendah mungkin, melalui kawasan penyangga
[buffer zone], dan membangun taman kota dan jalur hijau, sehingga tersedia ruang optimal
untuk meredam suara dan pencemaran udara; 5) Dengan ketersediaan RTH yang optimal,
maka kehidupan yang selalu mengikuti siklus alami masih tetap dapat berlangsung dan krisis
lingkungan pun dapat diminimalkan; dan 6) Pengembangan dan konservasi RTH sebagai
fasilitas umum, menjamin peningkatan keselamatan umum jalur pedestrian dan sepeda,
penataan lokasi pedagang kaki lima disertai upaya penegakkan hukum yang konsisten.
c) Extent of change envision/derajat perubahan yang ingin dicapai dari kebijakan Rencana Tata
Ruang Wilayah dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Pada tahun 2012, kondisi eksisting
luas Ruang Terbuka Hijau Publik di Kota Tasikmalaya hanya sebesar 793,03 Ha atau 4,421%
dari luas wilayahnya, yang terdiri dari Hutan Kota, Taman Kota, Tempat Pemakamam Umum,
Ruang Terbuka Hijau Jalur Hijau dan Ruang Terbuka Hijau yang memiliki fungsi tertentu
(Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan Kota Tasikmalaya, 2012). Sementara itu,
Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No. 4 Tahun 2012 menetapkan bahwa RTH publik di
Kota Tasikmalaya merupakan kawasan seluas kurang lebih 3.694 Ha atau sekitar 20,09% dari
luas wilayah kota, yang meliputi: a) Hutan Kota, seluas kurang lebih 1.443 Ha; b) Taman kota,
taman kecamatan, dan taman-taman lingkungan, seluas kurang lebih 479 Ha yang tersebar di
seluruh kecamatan; c) Tempat pemakaman umum/kuburan, seluas kurang lebih 200 Ha; d)
386
Sempadan jalan seluas kurang lebih 447 Ha; e) Sempadan sungai, situ, dan Saluran Udara
Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET)/Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) seluas kurang
lebih 1.092 Ha; dan g) Resapan air, seluas kurang lebih 33 Ha. Selanjutnya dalam pengelolaan
Ruang Terbuka Hijau, Pemerintah Kota Tasikmalaya menetapkan : 1) Penetapan kawasan
Dadaha, alun-alun, dan ex Kantor Bupati Tasikmalaya sebagai taman kota; 2) Pengembangan
taman-taman di setiap kecamatan, kelurahan, dan lingkungan permukiman; penetapan hutan-
hutan kota; 3) Pengembangan dan rehabilitasi pulau-pulau jalan, jalur pejalan kaki, sempadan
jalan kereta api, dan sempadan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET)/Saluran
Udara Tegangan Tinggi (SUTT); 4) Pengembangan Tempat Pemakaman Umum Aisyah
Rasyida di Kecamatan Tamansari; 5) Pemeliharaan tempat-tempat pemakaman umum yang
telah ada, termasuk Tempat Pemakaman Umum Cieunteung di Kecamatan Cihideung dan
tempat Pemakaman Umum Cinehel di Kecamatan Indihiang; 6) Penetapan bukit-bukit yang
tidak layak tambang sebagai resapan air; 7) Penetapan beberapa bidang tanah yang berasal
dari kekayaan desa sebagai RTH; dan 8) Pengembangan RTH privat melalui implementasi
peraturan zonasi.
d) Site of decision making/letak pengambilan keputusan (Apakah letak sebuah program untuk
mendukung kebijakan penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Tasikmalaya sudah
tepat). Pemerintah Kota Tasikmalaya telah menetapkan pengaturan zonasi terkait dengan
penyediaan RTH dalam pemanfaatan ruang. Dalam peraturan zonasi tersebut diatur mengenai:
a) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air wajib menyediakan RTH paling
sedikit 90% dari seluruh luasan kawasan resapan air dengan dominasi pohon tahunan yang
diizinkan; b) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan perdagangan dan jasa,
RTH yang dibangun diperbolehkan dalam bentuk sistem ruang terbuka umum, sistem ruang
terbuka pribadi, sistem ruang terbuka privat yang dapat diakses oleh umum, sistem pepohonan
dan tata hijau serta bentang alam; c) Kawasan kantor di lingkungan pemerintah daerah wajib
memiliki RTH publik; dan d) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan industri
dan pergudangan wajib menyediakan ruang untuk zona penyangga berupa sabuk hijau (green
belt) dan RTH paling sedikit 20% dari luas kawasan.
e) Program implementors/pelaksana program. Keberhasilan sebuah kebijakan sangat bergantung
pada pelaksana dari kebijakan tersebut. Pada saat ini program pengelolaan RTH di Kota
Tasikmalaya dilaksanakan oleh 3 SKPD yaitu Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan,
Dinas Pekerjaan Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan, dan Kantor Pengendalian
Lingkungan Hidup. Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan lebih fokus pada penyediaan
dan pengelolaan RTH yang berbentuk lahan petanian dan hutan kota. Dinas Pekerjaan Cipta
Karya, Tata Ruang dan Kebersihan, lebih fokus pada pengelolaan fasilitas umum dan fasilitas
sosial, termasuk diantaranya RTH, yang harus diserahkan oleh pihak pengembang perumahan
kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya. Sedangkan Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup
mengelola seluruh jenis RTH, termasuk juga diantaranya adalah hutan kota yang juga menjadi
kewenangan Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Selain perangkat daerah, pelaksana
program penyediaan dan pengelolaan RTH ini juga diharapkan dari masyarakat dan para
stakeholder lainnya.
f) Resources committed/sumber-sumber daya yang digunakan untuk mendukung kebijakan
penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Tasikmalaya. Untuk meningkatkan
penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya maka dilakukan strategi-strategi
sebagai berikut: 1) Melaksanakan fungsi dan menata RTH yang telah ada; 2) Menetapkan
persyaratan penyediaan RTH pada setiap fungsi kegiatan; 3) Mengembalikan RTH yang
beralih fungsi; dan 4) Mengembangkan pola-pola kemitraan dengan pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan masyarakat atau swasta dalam penyediaan dan pengelolaan RTH.
2. Ditinjau dari Aspek Lingkungan Implementasi (context of implementation):
a) Power, interest, and strategy of actor involved/kekuasaan, kepentingan-kepentingan, dan
strategi dari aktor yang terlibat. Keberhasilan kebijakan penyediaan dan pengelolaan RTH di
Kota Tasikmalaya sangat dominan dipengaruhi oleh political will Walikotanya. Hal ini
387
ditunjukkan dengan dibelinya sejumlah bukit/gunung di wilayah Kota Tasikmalaya untuk
dijadikan Hutan Kota. Salah satu strategi penyediaan RTH di Kota Tasikmalaya adalah
melalui penetapan bukit-bukit yang tidak layak tambang menjadi daerah resapan air atau
Ruang Terbuka Hijau. Bukit-bukit ini selanjutnya akan dijadikan Hutan Kota. Adapun target
luasan RTH yang berupa Hutan Kota adalah mencapai kurang lebih 1.443 Ha. Untuk
mencapai target tersebut, selama tahun 2013-2016 Pemerintah Kota Tasikmalaya secara
berkesinambungan membeli bukit-bukit yang tidak layak tambang dan menjadikannya Hutan
Kota, yaitu: 1) Gunung Kokosan (seluas 31.571 Ha); 2) Gunung Kiara (10.162 Ha), 3)
Gunung Tengah (4.555 Ha); 4) Gunung Pondok (5.410 Ha); 5) Gunung Hanjuang (6.707 Ha);
6) Gunung Bondan (1.027 Ha) dan 7) Gunung Jambore (3.965 Ha), sehingga luas gunung
yang dibeli untuk dijadikan Ruang Terbuka Hijau sebesar 63.397 Ha. Dengan demikian, pada
tahun 2016 luas RTH publik di Kota Tasikmalaya telah mencapai 64.190,03 Ha atau 34,9%
dari luas wilayah (semula luas RTH publik di Kota Tasikmalaya hanya seluas 793,03 Ha atau
4,421% dari luas wilayah pada tahun 2012) (Kantor LH Kota Tasikmalaya, 2016). Sementara
itu, untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan dalam pengelolaannya, Dinas
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Cipta Karya, Tata Ruang dan
Kebersihan, dan Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup selalu saling berkoordinasi satu
dengan yang lainnya.
b) Institution and regime characteristic/ karakteristik lembaga dan rezim yang sedang berkuasa.
Pada saat ini program pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya dilaksanakan oleh 3 SKPD yaitu
Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Cipta Karya, Tata Ruang dan
Kebersihan, dan Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup. Dinas Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan lebih fokus pada penyediaan dan pengelolaan RTH yang berbentuk lahan petanian
dan hutan kota. Dinas Pekerjaan Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan, lebih fokus pada
pengelolaan fasilitas umum dan fasilitas sosial, termasuk diantaranya RTH, yang harus
diserahkan oleh pihak pengembang perumahan kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya.
Sedangkan Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup mengelola seluruh jenis RTH, termasuk
juga diantaranya adalah hutan kota yang juga menjadi kewenangan Dinas Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan.
c) Compliance and responsiveness/tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana. Untuk
meningkatkan tingkat kepatuhan dalam penyediaan dan pengelolaan RTH, Pemerintah Kota
Tasikmalaya juga menerbitkan kebijakan pemberian insentif dan disinsetif. Dalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 dijelaskan bahwa pemerintah harus
menyediakan proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar 30%, yang terdiri dari
20% Ruang Terbuka Hijau Publik dan 10% Ruang Terbuka Hijau Privat. Apabila luas RTH,
baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki luas total lebih besar dari
peraturan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus
tetap dipertahankan keberadaannya. Oleh karena itu agar tidak terjadi alih fungsi lahan,
terutama untuk RTH privat yang dimiliki masyarakat, maka pemerintah harus menerbitkan
sebuah kebijakan pemberian insentif bagi masyarakat yang bersedia menjadikan lahan
privatnya yang luas tersebut sebagai RTH privat. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 39 yang menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan
pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dapat
diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Insentif
tersebut merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan
kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, berupa: a). Keringanan pajak, pemberian
kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham; b) Pembangunan serta
pengadaan infrastruktur; c) Kemudahan prosedur perijinan; dan/atau d) Pemberian
penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah. Insentif ini merupakan
bentuk dari imbal jasa ekosistem yang dikemukakan oleh Fisher dkk., (2009, dalam
Chintantya & Maryono, 2017). Sementara itu, pemberian disinsentif merupakan perangkat
untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan
388
dengan rencana tata ruang, berupa: a) Pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan
besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
pemanfaatan ruang; dan/atau b) Pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi,
dan penalti. Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh: a) Pemerintah kepada pemerintah
daerah; b) Pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya; dan c) Pemerintah kepada
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya
Nomor 4 Tahun 2012 diatur pula mengenai bentuk pemberian intensif dan disinsentif.
Pemberian insensif dimaksudkan untuk mendorong pengembangan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). Insentif yang diberikan dapat berupa: a)
Kemudahan perijinan; b) Pemberian pelayanan utilitas; dan/atau c) Bentuk intensif lain yang
tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pemberian
disinsentif dimaksudkan untuk membatasi pembangunan di kawasan resapan air. Pemberian
disinsentif dapat berupa: a) Pengenaan biaya perijinan yang lebih besar; b) Persyaratan KDB
yang kecil dan KDH yang besar; c) Persyaratan spesifikasi pembangunan; dan d) Kompensasi
untuk mengganti resapan air yang berkurang. Adanya program ini memperlihatkan bahwa
Pemerintah Kota Tasikmalaya terus menerus melakukan upaya penyediaan RTH publik dan
RTH privat. Hal ini diharapkan juga akan mampu mendorong penyediaan dan pemeliharaan
RTH di Kota Tasikmalaya yang berbasis masyarakat. Hasil yang dapat dilihat dari kebijakan
ini adalah tumbuhnya kerjasama antara Pemerintah Kota Tasikmalaya dengan pihak swasta
dalam pengelolaan RTH, terutama yang berbentuk Taman-taman Kota, seperti pada gambar
berikut ini:
Gambar 2. Penataan Taman Asia dilakukan
bekerjasama dengan PT.Asia Supermarket
Gambar 3. Penataan Alun-alun Kota
Tasikmalaya dilakukan bekerjasama dengan
PT. Pertamina
Upaya lainnya yang telah dilakukan yaitu menerbitkan:
1) Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2013 tentang Hutan Kota, yang
didalamnya dimuat: a) Kompensansi untuk tanah hak yang ditunjuk menjadi hutan kota
oleh Walikota berupa ganti rugi/tanah pengganti. Untuk kasus tanpa pelepasan hak maka
diberikan insentif. Ada dua bentuk insentif yang akan diberikan yaitu insentif langsung
dan insentif tidak langsung. Insentif langsung berupa subsidi finansial, infrastruktur,
binbingan teknis, sedangkan insentif tidak langsung berupa kebijakan fiskal; dan b)
Adanya ketentuan pidana bagi yang merusak hutan kota yaitu 3 bulan kurungan atau
denda maksimal 50 juta rupiah;
2) Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 7 Tahun 2005 tentang Ketenteraman dan
Ketertiban Umum, yang antara lain mengimbau agar masyarakat menanam pohon
pelindung/produktif tanaman hias di perkarangan rumahnya. Sanksi yang diberikan
apabila melanggar adalah dikenakan denda sebesar Rp. 250.000,-; dan
389
3) Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 29 Tahun 2003 tentang Kebersihan,
Keindahan, dan Kelestarian Lingkungan yang melarang pengrusakan pohon-pohon.
Sanksi yang diberikan adalah pidana kurungan maksimal 6 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 3.000.000,-.
Namun demikian, upaya-upaya ini belum memberikan hasil yang signifikan. Hal ini
disebabkan karena lemahnya penyuluhan dan sosialisasi dari perangkat daerah. Masyarakat Kota
Tasikmalaya belum sepenuhnya mengetahui adanya kebijakan-kebijakan tersebut, sehingga lebih
memilih untuk menjual RTH privatnya untuk dijadikan ruang terbangun.
Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan penyediaan dan
pengelolaan RTH sudah diwadahi dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya Tahun 2011-2013 dan Peraturan Daerah Kota
Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013 tentang Ruang Terbuka Hijau dengan target kinerja luasan RTH
publik sebesar 3.694 Ha atau sekitar 20,09% dari luas wilayah kota dan 10% lainnya merupakan RTH
privat. Penyusunan sistem perencanaan dan perancangan RTH-nya didasarkan pada pertimbangan
berbagai aspek, sesuai dengan tujuan dan karakter lanskap lokal, yaitu untuk konservasi sumber daya
air, sebagai upaya konservasi RTH, peredam pencemaran udara, bau, dan limbah cair dan fasilitas
umum yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai ruang publik. Hasil yang dicapai pada tahun
2016 Pemerintah Kota Tasikmalaya telah memiliki luas RTH mencapai 64.190,03 Ha atau 34,9% dari
luas wilayah Kota Tasikmalaya, dimana pada tahun 2012 luas RTH di Kota Tasikmalaya hanya seluas
793,03 Ha atau 4,3% dari luas wilayah.
Namun demikian, keberhasilan penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya
ternyata masih menyisakan beberapa kendala yang segera harus diselesaikan agar tidak menghambat
kinerja kebijakan lebih lanjut. Dari target kinerja yang ingin dicapai, baru beberapa saja yang dapat
dilaksanakan, yaitu 1) Pembangunan kawasan Dadaha, alun-alun, dan ex Kantor Bupati Tasikmalaya
sebagai taman kota; 2) Pengembangan taman-taman di beberapa kecamatan, kelurahan, dan
lingkungan permukiman; 3) Penetapan hutan-hutan kota; 4) Pengembangan Tempat Pemakaman
Umum Aisyah Rasyida di Kecamatan Tamansari; 5) Pemeliharaan tempat-tempat pemakaman umum
yang telah ada, termasuk Tempat Pemakaman Umum Cieunteung di Kecamatan Cihideung dan tempat
Pemakaman Umum Cinehel di Kecamatan Indihiang, 6) Pembelian bukit-bukit yang tidak layak
tambang sebagai resapan air untuk dijadikan RTH hutan kota dan 7) Penetapan beberapa bidang tanah
yang berasal dari kekayaan desa sebagai RTH. Sementara itu ada beberapa target yang belum tercapai
antara lain: 1) Belum optimalnya pengembangan taman-taman di setiap kecamatan, kelurahan, dan
lingkungan permukiman; 2) Belum dilaksanakannya pengembangan dan rehabilitasi pulau-pulau jalan,
jalur pejalan kaki, sempadan jalan kereta api, dan sempadan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi
(SUTET)/Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT); 3) Belum optimalnya pemanfaatan bidang tanah
yang berasal dari kekayaan desa sebagai RTH; dan 4) Belum optimalnya pengembangan RTH privat.
Berikut ini beberapa faktor kendala yang berhasil diidentifikasi dan dianalisis yaitu:
1. Aspek regulasi
a. Pemerintah Kota Tasikmalaya telah memiliki Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 6
Tahun 2016 Tentang Hutan Kota yang didalamnya mengatur kompensasi untuk tanah hak
yang ditujukan menjadi Hutan Kota dan sanksi bagi perusakan hutan kota. Namun demikian,
peraturan daerah ini belum ditindaklanjuti dalam peraturan walikota yang mengatur
mekanisme pemberian kompensasi tersebut dan sanksi bagi perusakan hutan kota. Dengan
demikian, peraturan daerah ini belum dapat diimpementasikan. Hal ini tentu saja menghambat
Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam pengembangan hutan kota milik masyarakat yang akan
di klaim sebagai RTHKP di Kota Tasikmalaya;
b. Pemerintah Kota Tasikmalaya sudah memiliki Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2
Tahun 2013 tentang Ruang Terbuka Hijau. Namun di dalam peraturan daerah tersebut tidak
diatur mengenai insentif dan disinsentif serta sanksi bagi perusakan RTH. Hal ini akan
menghambat Pemerintah Kota Tasikmalaya di dalam pengembangan RTH-nya;
390
c. Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki peraturan walikota terkait pengajuan
penebangan pohon oleh masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penebangan pohon
secara liar dan pada akhirnya merusak RTH.
2. Aspek Kebijakan Teknis
a. Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki Masterplan RTH. Pemerintah Kota
Tasikmalaya baru sebatas melakukan identifikasi potensi RTH tetapi kepemilikan RTH
tersebut belum diketahui secara jelas. Hal ini tentu akan menghambat dalam pemanfaatan
lahan dan pembebasan lahan untuk penyediaan RTH publik.
b. Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki Masterplan Pemakaman. Kebijakan
pengembangan pemakaman saat ini hanya mengembangkan lahan TPU yang sudah ada.
Kebijakan penyerahan fasilitas umum dari pengembangan perumahan yang diperuntukkan
sebagai lahan pemakaman diarahkan pada pemakaman umum milik warga. Akibatnya luas
makam yang tersedia tidak sebanding dengan kepadatan dan penyebaran penduduk. Selain itu,
tidak adanya masterplan pemakaman, menyebabkan makam-makam yang dibangun
merupakan bangunan permanen, akibatnya luasan RTH di lokasi pemakaman semakin
berkurang.
3. Aspek Sumber Daya
a. Pemerintah Kota Tasikmalaya tidak memiliki Kebun Bibit. Hal ini mengakibatkan proses
penyulaman tanaman yang mati tidak dapat dilakukan karena sangat bergantung pada proses
pengadaan tanaman/pohon dari pihak ketiga.
b. SKPD pengelola RTH belum memiliki konsep pengembangan RTH sesuai fungsi-fungsi yang
diharapkan.
c. SKPD pengelola RTH belum mampu melakukan koordinasi dengan lembaga lain yang
asetnya dihitung sebagai RTHKP, yaitu sempadan SUTET milik PLN, sempadan rel kereta api
milik PT KAI dan sempadan sungai milik badan pengelola sungai. Lokasi-Lokasi tersebut
dibiarkan begitu saja tanpa penghijauan.
d. Keterbatasan APBD dalam pengembangan dan pengelolaan RTH, sehingga pengembangan
taman-taman di setiap kecamatan, kelurahan, dan lingkungan permukiman dan pemanfaatan
beberapa bidang tanah yang berasal dari kekayaan desa sebagai RTH belum dapat
dilaksanakan secara optimal.
e. Keterbatasan kompetensi SDM pengelola RTH. Pengembangan dan pengelolaan RTH baru
dilaksanakan secara manual belum sepenuhnya berbasis teknologi infomasi. Akibatnya
pemerintah kota tidak memiliki data yang valid mengenai lokasi dan sebaran RTH.
Permohonan ijin penebangan pohon dan pemanfaatan RTH untuk media aktifitas masyarakat
tidak terpantau dengan baik.
f. SKPD Pengelola RTH belum mampu memanfaatkan potensi CSR. Keterlibatan Pertamina,
Bank Jabar-Banten dan PT ASIA dalam revitalisasi taman baru sebatas pada penyediaan
aksesoris taman, seperti lampu, tempat duduk, dll
g. Rendahnya peran serta masyarakat dalam menyediakan RTH privat.
Berdasarkan uraian di atas, untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan langkah-langkah
penguatan yang harus dilakukan untuk mendukung kinerja kebijakan agar dapat diimplementasikan
dengan baik. Kinerja kebijakan dapat ditingkatkan melalui pengembangan kapasitas organisasi. UNDP
yang dikutip Milen (2006, dalam Samsu et al. 2015) memberikan pengertian pengembangan kapasitas
adalah proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi, dan masyarakat meningkatkan
kemampuan mereka untuk: (a) Menghasilkan kinerja pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (core
functions), memecahkan permasalahan, merumuskan dan mewujudkan pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan, dan (b) Memahami dan memenuhi kebutuhan pembangunan dalam konteks yang lebih luas
dalam cara yang berkelanjutan. Pengembangan kapasitas ini akan mengarah pada upaya mewujudkan
pemerintahan yang memenuhi kriteria Good Governance (Sedarmayanti, (2005) dalam Sari et al.,
2014). Selanjutnya Riyadi (2003 dalam Ratnasari et al. 1999) menjelaskan beberapa faktor yang secara
signifikan mempengaruhi pembangunan kapasitas organisasi yaitu: 1) Komitmen Bersama; 2)
Kepemimpinan yang kondusif; 3) Reformasi kelembagaan: 4) Reformasi Peraturan; dan 5)
391
Peningkatan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan pernyataan Israel (1992
dalam Hamidi & Zulkarnaini, 2005) yang menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan kelembagaan adalah kepemimpinan yang kuat, manajemen yang baik
serta komitmen. Berikut ini adalah upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mendukung kinerja
kebijakan penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya agar dapat diimplementasikan
dengan baik.
1. Strategi Penguatan Komitmen Kepala Daerah dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di
wilayahnya harus diwujudkan dengan:
a. Menerbitkan Peraturan Walikota yang mengatur mengenai mekanisme pemberian kompensasi
untuk tanah hak yang ditujukan menjadi Hutan Kota dan mekanisme pemberian sanksi dan
mekanisme penyetoran denda yang dibayarkan oleh pelanggar. Peraturan Walikota ini
merupakan tindak lanjut dari Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2016
Tentang Hutan Kota yang didalamnya mengatur kompensasi untuk tanah hak yang ditujukan
menjadi Hutan Kota;
b. Merevisi Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013 tentang Ruang Terbuka
Hijau, karena di dalamnya belum mengatur mengenai pemberian insentif dan disinsentif serta
sanksi bagi perusakan RTH. Revisi Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013
tentang Ruang Terbuka Hijau ini selanjutnya harus ditindaklanjuti oleh Peraturan Walikota
yang mengatur mengenai mekanisme pemberian insentif dan disinsentif bagi masyarakat yang
menyediakan RTH privat serta sanksi bagi perusakan RTH publik. Dasar hukum pemberian
insentif dan disinsentif ini adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 39 yang
menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh
pemerintah dan pemerintah daerah. Insentif yang diberikan dapat berupa: a). Keringanan
pajak; b) Pembangunan serta pengadaan infrastruktur; c) Kemudahan prosedur perijinan;
dan/atau d) Pemberian penghargaan kepada masyarakat dan swasta. Sementara itu, pemberian
disinsentif dapat berupa: a) Pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya
biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang;
dan/atau b) Pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.
c. Menyusun besaran kompensasi/insentif/ imbal jasa ekosistem yang akan diberikan pemerintah
daerah dengan memperhatikan peraturan pernudang-undangan yang berlaku, kemampuan
anggaran daerah dan jasa ekosistem/jasa lingkungan yang dihasilkan dari RTH privat tersebut.
Hal ini untuk menjamin keberlanjutan lahan RTH privat tersebut sebagai Hutan Kota. Hal ini
sesuai dengan pendapat Landell-Mills and Porras (2002) dan Gómez-Baggethun et al., (2010)
dalam (Pasha, R., dkk, 2010) bahwa kebijakan ekonomi lingkungan berbasis pasar mendasari
konsep pembayaran jasa lingkungan. Pendekatan ini berprinsip bahwa siapa yang
menyediakan jasa lingkungan harus diberi insentif atau imbalan terhadap usaha mereka
tersebut dan siapa yang memanfaatkan jasa lingkungan harus berkontribusi terhadap
pemberian insentif tersebut. Pascual et al., (2010 dalam (Pasha, R., dkk, 2010) menjelaskan
bahwa skema pembayaran jasa lingkungan sebagai instrumen berbasis pasar pada mulanya
didesain sebagai instrumen untuk meningkatkan efisiensi konservasi. Skema dengan efisiensi
tinggi mengharuskan tingkat kondisionalitas yang ketat mengenai stok dan suplai jasa
lingkungan dengan mengutamakan kepentingan konservasi.
d. Pemerintah Kota Tasikmalaya harus segera menerbitkan Peraturan Walikota yang mengatur
mengenai pengajuan penebangan pohon oleh masyarakat. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi
penebangan liar dan perusakan RTH public dan RTH privat.
e. Pemerintah Kota Tasikmalaya harus segera menyusun Masterplan RTH dan Masterplan
Pemakaman yang bertujuan agar penyediaan RTH dan pemakaman dapat didata dan dikelola
dengan optimal. Keberadaan Masterplan RTH dan Masterplan Pemakaman akan mem-
permudah pemerintah daerah untuk mengarahkan para developer dalam menunaikan
kewajibannya untuk menyerahkan fasos/fasum yang diperuntukkan untuk pembangunan RTH
392
dan pemakaman umum. Kedua Masterplan tersebut harus ditetapkan oleh Walikota sebagai
dokumen resmi pemerintah Kota Tasikmalaya.
f. Penguatan dalam penegakan hukum terkait Pemanfaatan dan pengelolaan tata ruang termasuk
didalamnya RTH
2. Strategi Penguatan Kelembagaan Perangkat Daerah Pengelola RTH. Reformasi kelembagaan
pada intinya menunjuk kepada bagian struktural dan kultural. Maksudnya adalah adanya budaya
kerja yang mendukung pengembangan kapasitas. Kedua aspek ini harus dikelola sedemikian rupa
dan menjadi aspek penting dan kondusif dalam menopang program pengembangan kapasitas
(Ratnasari et al. 1999). Telah dibahas sebelumnya bahwa pada saat ini program pengelolaan RTH
di Kota Tasikmalaya dilaksanakan oleh 3 SKPD yaitu Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan,
Dinas Pekerjaan Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan, dan Kantor Pengendalian Lingkungan
Hidup. Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan lebih fokus pada penyediaan dan pengelolaan
RTH yang berbentuk lahan petanian dan hutan kota. Dinas Pekerjaan Cipta Karya, Tata Ruang dan
Kebersihan, lebih fokus pada pengelolaan fasilitas umum dan fasilitas sosial, termasuk diantaranya
RTH, yang harus diserahkan oleh pihak pengembang perumahan kepada Pemerintah Kota
Tasikmalaya. Sedangkan Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup mengelola seluruh jenis RTH,
termasuk juga diantaranya adalah hutan kota yang menjadi kewenangan Dinas Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan. Adanya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi diantara ketiga SKPD
tersebut harus disikapi dengan dilaksanakannya restrukturisasi lembaga. Struktur organisasi yang
dibentuk harus memiliki spesialisasi kerja tertentu dan harus ditindaklanjuti oleh mekanisme kerja
yang solid serta SOP yang jelas, sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan efektifitas dan
efisiensi kinerja kebijakan penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya. Dengan akan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, dimana urusan kehutanan
yang semula berada di pemerintah kabupaten/kota dan selanjutnya akan diserahkan menjadi
kewenangan pemerintah provinsi, maka urusan kehutanan yang berada di Dinas Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan harus dicabut. Dan sebagai konsekuensi akhirnya adalah restrukturisasi
lembaga.
3. Strategi Penguatan Sumber Daya. Dengan ditemukannya berbagai permasalahan yang
menyangkut sumber daya, maka Pemerintah Kota Tasikmalaya harus mampu mengoptimalkan
lahan milik Pemerintah Kota Tasikmalaya dan lahan privat untuk dijadikan RTH. Untuk
mendukung hal tersebut, maka alokasi anggaran untuk penyediaan dan pengelolaan RTH harus
memadai sesuai kebutuhan. Keterbatasan kompetensi SDM pengelola RTH harus disikapi dengan
memberikan bimbingan teknis dan diklat teknis agar kompetensinya meningkat. Pengembangan
dan pengelolaan RTH harus sepenuhnya berbasis teknologi infomasi, hal ini bertujuan agar
pemerintah kota dapat memiliki data yang valid mengenai lokasi dan sebaran RTH serta dapat
memantau proses pengajuan ijin penebangan pohon dari masyarakat serta proses pengajuan
peminjaman/pemanfaatan RTH oleh masyarakat untuk media aktifitas masyarakat. SKPD
pengelola RTH harus mampu melakukan koordinasi dengan lembaga lain yang asetnya dihitung
sebagai RTH, yaitu sempadan SUTET milik PLN, sempadan rel kereta api milik PT KAI dan
sempadan sungai milik badan pengelola sungai untuk dibangun dan dikelola sebagai RTH.
Pemerintah Kota Tasikmalaya harus memiliki Kebun Bibit agar proses penyulaman tanaman yang
mati dapat dilakukan dengan segera tanpa harus bergantung pada proses pengadaan
tanaman/pohon dari pihak ketiga.
4. Strategi Penguatan Kemitraan. Minimnya kemampuan anggaran Pemerintah Kota Tasikmalaya
untuk pembangunan dan pengelolaan RTH harus disikapi dengan mengoptimalkan kerjasama
dengan pihak swasta dan atau masyarakat melalui pemanfaatan dana CSR dan pemberdayaan
masyarakat. Kerjasama dengan pihak ketiga harus dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama untuk
menjamin keberlanjutan kerjasama tersebut. Kerjasama antara pihak swasta dengan pemerintah
telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka
Hijau Kawasan Perkotaan, yang menjelaskan bahwa pemanfaatan RTHKP publik dapat
dikerjasamakan dengan pihak ketiga ataupun antar pemerintah daerah serta Peraturan Pemerintah
393
Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang menjelaskan bahwa dalam
mewujudkan rencana penyediaan RTH publik pemerintah dapat mengembangkan kerjasama
kemitraan dengan masyarakat dalam meningkatkan penyediaan RTH publik. Widyastuti (2010)
menjelaskan yang dimaksud dengan jaringan kerja atau kemitraan adalah proses saling untuk
kebersamaan mendengarkan satu sama lain. Terdapat dua jenis jaringan, yaitu: 1) Jaringan
fungsional, yang mementingkan partisipasi, relevansi dan pragmatisme; dan 2) Jaringan
institusional, yang mementingkan keanggotaan, koordinasi, dan formalitas. Sementara itu Sari et
al. (2016) menjelaskan bahwa peran serta masyarakat dalam pengelolaan RTH dipengaruhi oleh
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi a) Pengetahuan; b) Persepsi, dan c)
Sikap. Sementara faktor eksternal meliputi a) Kondisi sosial, ekonomi dan budaya; b) Luas tanah
c) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW); d) Peran pemerintah dalam mendorong pelaksanaan
RTH; dan e) Penegakan hukum yang berkaitan dengan penataan ruang dan RTH. Berdasarkan hal
tersebut, maka dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyediaan dan
pengelolaan RTH, pemerintah harus berperan aktif dalam melaksanakan : a) Sosialisasi yang
intensif dan berkelanjutan terkait pentingnya RTH bagi keberlanjutan kehidupan di masa
mendatang dan manfaat yang dapat dirasakan oleh generasi sekarang dan generasi mendatang,
baik manfaat ekonomi, ekologi maupun sosial budaya; b) Memberikan bimbingan teknis bagi
masyarakat dalam penyediaan dan pengelolaan RTH sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku; c) Membuka ruang komunikasi yang luas agar masyarakat dapat turut berpartisipasi
dalam proses perencanaan penyediaan RTH Publik, hal ini bertujuan agar pemerintah dapat
mengetahui secara jelas apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakat terkait
bentuk/jenis RTH Publik yang akan dibangun di wilayahnya: d) Melakukan sosialisasi terkait
perijinan (IMB) dan penataan ruang serta melakukan penegakan hukum bagi pelanggar IMB dan
merusak RTH.
Keempat strategi diatas dapat diwujudkan dengan maksimal apabila didukung penuh oleh
pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tasikmalaya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat,
ASN Pemerintah Kota Tasikmalaya dan masyarakat serta dunia usaha. Peran DPRD Kota Tasikmalaya
sangat penting dalam upaya merevisi Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013
tentang Ruang Terbuka Hijau karena di dalam Peraturan Daerah tesebut belum mengatur mengenai
pemberian insentif dan disinsentif serta sanksi bagi perusakan RTH. DPRD pun sangat berperan di
dalam menetapkan alokasi anggaran untuk penyediaan dan pemeliharaan RTH dan restrukturisasi
perangkat daerah pengelola RTH yang akan ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Peran Pemerintah
Provinsi Jawa Barat pun sangat penting karena kebijakan pembangunan jalan provinsi di wilayah Kota
Tasikmalaya serta kebijakan pembangunan lainnya di wilayah Kota Tasikmalaya akan secara tidak
langsung mempengaruhi penataan ruang di wilayah Kota Tasikmalaya, akan banyak lahan produktif
yang akan berubah menjadi lahan terbangun. Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat pun dapat
memberikan jasa ekosistem kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya sebagai reward atas upayanya
membangun RTH di wilayahnya. Implementasi Kebijakan Penyediaan RTH, Masterplan RTH dan
Masterplan Pemakaman sangat dipengaruhi oleh anggaran dan kapasitas ASN Pengelola RTH. Oleh
karena itu ASN Pengelola RTH harus memiliki kompetensi, kapasitas dan jumlah yang memadai
sesuai dengan kebutuhan. Demikian pula partisipasi dari masyarakat, peran serta masyarakat dan dunia
usaha akan sangat membantu Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penyediaan dan pengelolaan RTH
di wilayah Kota Tasikmalaya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan penyediaan
dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya sudah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun
2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya Tahun 2011-2013 dan
Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013 tentang Ruang Terbuka Hijau dengan target
kinerja luasan RTH publik sebesar 3.694 Ha atau sekitar 20,09% dari luas wilayah kota dan 10%
394
lainnya merupakan RTH privat. Hasil yang dicapai pada tahun 2016, Pemerintah Kota Tasikmalaya
telah memiliki luas RTH mencapai 64.190,03 Ha atau 34,9% dari luas wilayah Kota Tasikmalaya, di
mana pada tahun 2012 luas RTH di Kota Tasikmalaya hanya seluas 793,03 Ha atau 4,421% dari luas
wilayah. Keberhasilan ini didukung oleh: 1) Adanya kebijakan teknis berupa Peraturan Daerah:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Tasikmalaya Tahun 2011-2013, Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Ruang Terbuka Hijau dan Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2013 tentang Hutan
Kota; 2) Political will Walikota untuk membeli gunung-gunung di wilayah Kota Tasikmalaya yang
tidak produktif untuk pertambangan untuk dijadikan Hutan Kota; 3) Memiliki perangkat daerah yang
mengelola RTH; 4) Adanya alokasi anggaran untuk penyediaan dan pengelolaan RTH, walaupun
belum sesuai kebutuhan; dan 5) Adanya kemitraan dengan pihak swasta, walaupun lingkupnya belum
optimal. Namun demikian, keberhasilan penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya
ternyata masih menyisakan beberapa kendala yang segera harus diselesaikan agar tidak menghambat
kinerja kebijakan lebih lanjut, yaitu: 1) Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki peraturan
walikota yang mengatur kompensasi untuk tanah hak yang ditujukan menjadi Hutan Kota; 2)
Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki peraturan walikota yang mengatur sangsi bagi perusak
hutan kota dan mekanisme penyetoran denda yang dibayarkan oleh pelanggar peraturan daerah
maupun peraturan walikota; 3) Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki peraturan walikota yang
mengatur pemberian insentif dan disinsentif serta sanksi bagi perusakan RTH; 4) Pemerintah Kota
Tasikmalaya belum memiliki peraturan walikota terkait pengajuan penebangan pohon oleh
masyarakat; 5) Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki Masterplan RTH; 6) Pemerintah Kota
Tasikmalaya belum memiliki Masterplan Pemakaman; 7) Pemerintah Kota Tasikmalaya tidak
memiliki Kebun Bibit; 8) SKPD pengelola RTH belum memiliki konsep pengembangan RTH sesuai
fungsi-fungsi yang diharapkan; 9) SKPD pengelola RTH belum mampu melakukan koordinasi dengan
lembaga lain yang asetnya dihitung sebagai RTHKP, yaitu sempadan SUTET milik PLN, sempadan
rel kereta api milik PT KAI dan sempadan sungai milik badan pengelola sungai; 10) Keterbatasan
APBD dalam pengembangan dan pengelolaan RTH; 11) Keterbatasan kompetensi SDM pengelola
RTH; 12) SKPD Pengelola RTH belum mampu memanfaatkan potensi CSR dan 13) Rendahnya peran
serta masyarakat dalam menyediakan RTH privat.
Saran
Melihat masih adanya faktor penghambat dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota
Tasikmalaya, maka perlu dilakukan beberapa strategi penguatan, yaitu 1) Penguatan komitmen
Walikota Tasikmalaya untuk segera menerbitkan peraturan walikota yang mengatur pemberian
insentif/ imbal jasa ekosistem, disinsentif dan sangsi bagi perusakan RTH termasuk Hutan Kota dan
merevisi Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013 tentang Ruang Terbuka Hijau
serta penguatan dalam penegakan hukum terkait tata ruang termasuk didalamnya RTH; 2) Penguatan
struktur organisasi dan tata kelola lembaga perangkat daerah yang berwenang dalam penyediaan dan
pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya, agar dapat bekerja lebih efektif dan efisien melalui
restrukturisasi lembaga, tugas pokok dan fungsi serta SOP yang jelas; 3) Penguatan sumber daya
diperlukan untuk mengoptimalkan lahan milik Pemerintah Kota Tasikmalaya dan lahan privat untuk
dijadikan RTH sehingga perlu alokasi anggaran yang memadai sesuai kebutuhan, peningkatan
kompetensi SDM pengelola RTH melalui bimbingan teknis dan diklat teknis, pengembangan dan
pengelolaan RTH berbasis teknologi infomasi serta pembangunan kebun bibit; dan 4) Penguatan
Kemitraan. Minimnya kemampuan anggaran Pemerintah Kota Tasikmalaya untuk pembangunan harus
disikapi dengan mengoptimalisasikan kerjasama dengan pihak swasta dan atau masyarakat melalui
pemanfaatan dana CSR. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyediaan dan
pengelolaan RTH, pemerintah harus berperan aktif dalam melaksanakan : a) Sosialisasi yang intensif
dan berkelanjutan; b) Memberikan bimbingan teknis bagi masyarakat dalam penyediaan dan
395
pengelolaan RTH sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) Membuka ruang komunikasi
yang luas agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam proses perencanaan penyediaan RTH
Publik; d) Melakukan sosialisasi terkait perijinan (IMB) dan penataan ruang serta melakukan
penegakan hukum bagi pelanggar IMB dan merusak RTH.
DAFTAR PUSTAKA
Astriani, N., 2014. Implikasi Kebijakan Ruang Terbuka Hijau Dalam Penataan Ruang Di Jawa Barat.
Fiat Justicia Jurnal Ilmu Hukum, 8(2), pp. 242–254.
Chintantya, D. dan M., 2017. Peranan Jasa Ekosistem dalam Perencanaan Kebijakan Publik di
Perkotaan The Role of Ecosystem Services in Urban Public Policy Planning. Proceeding Biology
Education Conference. pp. 144–147.
Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan Kota Tasikmalaya Tahun, 2012. Laporan Ruang
Terbuka Hijau di Kota Tasikmalaya.
Hamidi, R. & Zulkarnaini, 2005. Kapasitas Lembaga Usaha Ekonomi Desa. Jurnal Demokrasi dan
Otonomi Daerah, 11(2), pp.135–143.
Kantor Lingkungan Hidup Kota Tasikmalaya, 2016. Laporan Ruang Terbuka Hijau di Kota
Tasikmalaya.
Pasha R, Asmawan T, Leimona B, Setiawan E, W.C., 2010. Komoditisasi atau koinvestasi jasa
lingkungan ? Skema Imbal Jasa Lingkungan Program Peduli Sungai di DAS Way Besai,
Lampung, Indonesia. Bogor, Indonesia.
Peramesti, N.P.D.Y., 2016. Implementasi Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Dalam Penyediaan
Ruang Terbuka Hijau Di Kota Administrasi Jakarta Selatan Provinsi DKI Jakarta. Jurnal
Politikologi, 3(1), pp.1–10.
Purnomohadi, S., 1995. Peran Ruang Terbuka Hijau Dalam Pengendalian Kualitas Udara di DKI
Jakarta. Disertasi Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Rahadian, A.H., 2016. Strategi Pembangunan Berkelanjutan. Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-
2883. pp. 46–56.
Ratnasari, J.D., Makmur, M. & Ribawanto, H., 1999. Pengembangan Kapasitas (Capacity Buliding)
Kelembagaan Pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jombang. Jurnal Administrasi
Publik, 1(3), pp.103–110.
Rochim, F.N.R. & Syahbana, J.A., 2013. Penetapan Fungsi Dan Kesesuaian Vegetasi Pada Taman
Publik Sebagai Ruang Terbuka Hijau Di Kota Pekalongan (Studi Kasus : Taman Monumen 45
Kota Pekalongan). Jurnal Teknik PWK, 2(3), pp.314–327.
Samsu, A. et al., 2015. Pengembangan Kapasitas Organisasi dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan
Publik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone. Government Jurnal Ilmu
Pemerintahan, 8(2), pp.93–104.
Sari, N., Noor, I. & Prasetyo, W.Y., 2014. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah
Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu (Studi pada Kantor Pelayanan dan
Perizinan Terpadu Kabupaten Kediri). Jurnal Administrasi Publik, 2(4), pp.634–640.
396
Sari, S.R., Iswanto, D. & Indrosaptono, D., 2016. Peningkatan Peran Serta Masyarakat Dalam
Pengelolaan Ruang Terbuka Kota Yang Sehat (Studi Kasus : Kawasan Kota Lama Semarang).
Jurnal Modul, 16(2), pp.81–85.
Widyastuti, M., 2010. Peningkatan Kapasitas Lembaga DPRD Kabupaten/Kota. Jurnal Madani, 1.
Peraturan Perundang-undangan
……Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
……Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan.
……Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
……Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
……Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.
……Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Tasikmalaya Tahun 2011-2031.