KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will...

22
375 KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA TASIKMALAYA: EVALUASI CAPAIAN KINERJA DAN STRATEGI PENINGKATAN KINERJA KEBIJAKAN POLICY FOR PROVIDING AND MANAGING GREEN OPEN SPACE IN TASIKMALAYA CITY: EVALUATION OF PERFORMANCE ACHIEVEMENTS AND STRATEGIES FOR IMPROVING POLICY PERFORMANCE Dewi Gartika Peneliti Madya pada Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BP2D) Provinsi Jawa Barat Jalan Maulana Yusuf No 3 Bandung Email: [email protected] ABSTRAK Konsep pembangunan berkelanjutan erat Kaitannya dengan kebijakan pemanfaatan dan penataan ruang yang menegaskan bahwa dalam perencanaan tata ruang wilayah harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah. Namun demikian, banyak kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah antara lain tingginya alih fungsi lahan dan rendahnya kesadaran masyarakat, serta belum optimalnya pemanfaatan aset negara. Penelitian dilakukan pada tahun 2016, dengan tujuan untuk menganalisis kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di wilayahnya, faktor-faktor pendukung dan faktor-faktor yang berpotensi menghambat. Penelitian dilakukan secara kualitatif. Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap perangkat daerah pengelola RTH, data sekunder diperoleh melalui studi literatur dan dokumen resmi. Data selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penambahan RTH yang cukup signifikan (2012-2016). Hal ini karena didukung oleh kebijakan program dan political will Walikota untuk membeli gunung-gunung yang tidak produktif untuk djadikan hutan kota dan menjalin kerjasama dengan beberapa pihak swasta untuk mengelola RTH Taman Kota. Namun demikian, hasil penelitian berhasil mengidentifikasi beberapa faktor yang berpotensi menghambat, yaitu belum adanya peraturan walikota terkait pengaturan insentif/disinsentif dan sangsi bagi perusakan RTH, kelembagaan dan tata kelola RTH yang masih tumpang tindih, anggaran yang minim dan belum optimalnya kerjasama dengan pihak swasta. Strategi penguatan yang perlu dilakukan:1) Penguatan komitmen Walikota Tasikmalaya melalui peraturan walikota yang mengatur pemberian insentif (imbal jasa ekosistem)/disinsentif dan sangsi serta penegakan hukum; 2) Penguatan struktur organisasi dan tata kelola pengelola RTH; 3) Penguatan sumber daya dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan lahan, meningkatkan alokasi anggaran serta kapasitas SDM; serta 4) Penguatan kemitraan dengan pihak swasta dan masyarakat. Kata Kunci: Kinerja Kebijakan, Ruang Terbuka Hijau, Pemerintah Kota Tasikmalaya ABSTRACT The concept of sustainable development is closely related to the policy of spatial utilization and arrangement which confirms that in the regional spatial planning must contain a plan for the provision and utilization of Green Open Space (RTH) with a minimum area of 30% of the total area. However, many obstacles faced by local governments include the high transfer of land use and low public awareness, as well as the lack of optimal use of state assets. The study was conducted in 2016, with the aim of analyzing the performance of the policy of the Government of Tasikmalaya City in the provision and management of green open space in the region, supporting factors and potentially inhibiting factors. The research was conducted qualitatively. Primary data collection was carried out by in-depth interviews with the RTH management area, secondary data obtained through literature studies and official documents. The data then analyzed descriptively. The results showed that there was a significant increase in green open space (2012-2016). This is because it is supported by the

Transcript of KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will...

Page 1: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

375

KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI

KOTA TASIKMALAYA: EVALUASI CAPAIAN KINERJA DAN STRATEGI

PENINGKATAN KINERJA KEBIJAKAN

POLICY FOR PROVIDING AND MANAGING GREEN OPEN SPACE IN

TASIKMALAYA CITY: EVALUATION OF PERFORMANCE ACHIEVEMENTS AND

STRATEGIES FOR IMPROVING POLICY PERFORMANCE

Dewi Gartika

Peneliti Madya pada Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BP2D) Provinsi Jawa Barat

Jalan Maulana Yusuf No 3 Bandung

Email: [email protected]

ABSTRAK

Konsep pembangunan berkelanjutan erat Kaitannya dengan kebijakan pemanfaatan dan penataan

ruang yang menegaskan bahwa dalam perencanaan tata ruang wilayah harus memuat rencana

penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang luas minimalnya sebesar 30% dari

luas wilayah. Namun demikian, banyak kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah antara lain

tingginya alih fungsi lahan dan rendahnya kesadaran masyarakat, serta belum optimalnya pemanfaatan

aset negara. Penelitian dilakukan pada tahun 2016, dengan tujuan untuk menganalisis kinerja

kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di wilayahnya,

faktor-faktor pendukung dan faktor-faktor yang berpotensi menghambat. Penelitian dilakukan secara

kualitatif. Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap perangkat

daerah pengelola RTH, data sekunder diperoleh melalui studi literatur dan dokumen resmi. Data

selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penambahan RTH yang

cukup signifikan (2012-2016). Hal ini karena didukung oleh kebijakan program dan political will

Walikota untuk membeli gunung-gunung yang tidak produktif untuk djadikan hutan kota dan menjalin

kerjasama dengan beberapa pihak swasta untuk mengelola RTH Taman Kota. Namun demikian, hasil

penelitian berhasil mengidentifikasi beberapa faktor yang berpotensi menghambat, yaitu belum adanya

peraturan walikota terkait pengaturan insentif/disinsentif dan sangsi bagi perusakan RTH,

kelembagaan dan tata kelola RTH yang masih tumpang tindih, anggaran yang minim dan belum

optimalnya kerjasama dengan pihak swasta. Strategi penguatan yang perlu dilakukan:1) Penguatan

komitmen Walikota Tasikmalaya melalui peraturan walikota yang mengatur pemberian insentif (imbal

jasa ekosistem)/disinsentif dan sangsi serta penegakan hukum; 2) Penguatan struktur organisasi dan

tata kelola pengelola RTH; 3) Penguatan sumber daya dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan

lahan, meningkatkan alokasi anggaran serta kapasitas SDM; serta 4) Penguatan kemitraan dengan

pihak swasta dan masyarakat.

Kata Kunci: Kinerja Kebijakan, Ruang Terbuka Hijau, Pemerintah Kota Tasikmalaya

ABSTRACT

The concept of sustainable development is closely related to the policy of spatial utilization and

arrangement which confirms that in the regional spatial planning must contain a plan for the

provision and utilization of Green Open Space (RTH) with a minimum area of 30% of the total area.

However, many obstacles faced by local governments include the high transfer of land use and low

public awareness, as well as the lack of optimal use of state assets. The study was conducted in 2016,

with the aim of analyzing the performance of the policy of the Government of Tasikmalaya City in the

provision and management of green open space in the region, supporting factors and potentially

inhibiting factors. The research was conducted qualitatively. Primary data collection was carried out

by in-depth interviews with the RTH management area, secondary data obtained through literature

studies and official documents. The data then analyzed descriptively. The results showed that there

was a significant increase in green open space (2012-2016). This is because it is supported by the

Page 2: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

376

Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests

and establish cooperation with several private parties to manage City Park. However, the results of

the study successfully identified several factors that could potentially hamper, namely the absence of a

mayor regulation related to the regulation of incentives/disincentives and sanctions for green open

space destruction, institutional and governance of green open spaces that are still overlapping,

minimal budget and not optimal cooperation with the private sector. Some strengthening strategies

that need to be carried out, namely 1) Strengthening the commitment of the Mayor of Tasikmalaya

through the mayor's regulation that regulates the provision of incentives (reward for ecosystem

services)/disincentives and sanctions and law enforcement.; 2) Strengthening organizational structure

and governance of green open space managers; 3) Strengthening of resources by optimizing land use,

increasing budget allocation and human resource capacity; and 4) Strengthening partnerships with

the private sector and the community.

Keywords: Policy Performance, Green Open Space, Government of Tasikmalaya City

PENDAHULUAN

Konsep Pembangunan Berkelanjutan lahir sebagai jawaban atas dampak yang ditimbulkan

oleh pembangunan ekonomi yang memanfaatkan sumber daya alam secara sporadis dan tidak

memperhatikan kelangsungan kehidupan di masa mendatang. Sesungguhnya pembangunan ekonomi

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dalam pelaksanaannya seringkali

tidak memperhatikan keberlanjutan sumber daya alam yang dieksplorasinya. Sumber daya alam

merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui secara cepat, butuh waktu lama untuk dapat

kembali pada kondisi semula. Penebangan pohon yang sporadis menyebabkan lahan hutan menjadi

gundul dengan sangat cepat. Akibatnya air hujan tidak dapat lagi ditahan oleh akar pohon dan tanah

sehingga kemudian terjadi banjir dan longsor. Upaya reboisasi yang telah dilakukan tidak akan bisa

mengembalikan kondisi hutan dengan cepat. Butuh waktu lama untuk mengembalikan hutan seperti

kondisi semula. Penggundulan hutan tidak saja menyebabkan longsor dan banjir, tetapi juga dapat

mengakibatkan gangguan pada siklus hidup air dan rantai makanan hewan yang hidup di hutan. Hutan

yang gundul menyebabkan tingkat evaporasi/penguapan menjadi tinggi dan ketersediaan air tanah

menjadi berkurang. Suhu udara pun menjadi meningkat. Pertumbuhan dan siklus hidup hewan

pemakan tumbuhan atau herbivora akan terganggu karena ketersediaan sumber makanannya semakin

menipis tau bahkan tidak ada lagi. Hewan pemakan daging atau karnivora pun akan terganggu, karena

keberadaan hewan mangsanya semakin menipis (akibat banyak hewan herbovira yang mati kelaparan

dan kepanasan). Hal diatas merupakan gambaran kecil dampak yang ditimbulkan oleh eksplorasi dan

eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.

Konsep pembangunan berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemanfaatan dan

penataan ruang. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan jelas

menegaskan bahwa dalam perencanaan tata ruang wilayah harus memuat rencana penyediaan dan

pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang luas minimalnya mencapai 30% dari luas wilayah

kota. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam dokumen perencanaan tata ruang dan wilayah

bertujuan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi: 1) Kawasan konservasi untuk

kelestarian hidrologis; 2) Kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi; 3)

Area pengembangan keanekaragaman hayati; 4) Area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di

kawasan perkotaan; 5) Tempat rekreasi dan olahraga masyarakat; 6) Tempat Pemakaman Umum

(TPU); 7) Pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan; 8) Pengamanan sumber daya,

baik alam, buatan maupun historis; 9) Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Privat, melalui pembatasan

kepadatan serta kriteria pemanfaatannya; dan 10) Area mitigasi bencana. Untuk pengaturan teknis

lebih lanjut, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 ini kemudian ditindaklanjuti dengan: 1) Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan

(RTHKP); 2) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional; 3) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;

Page 3: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

377

dan 4) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan

Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan (RTHKP).

Keempat peraturan perundang-undangan tersebut diatas menegaskan kembali bahwa

pemerintah daerah harus mengalokasikan Ruang Terbuka Hijau dalam rencana penataan ruang di

wilayahnya masing-masing. Adanya kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menyediakan Ruang

Terbuka Hijau dalam penataan ruang di wilayahnya tersebut membuat sebagian besar pemerintah

daerah mengalami kesulitan untuk mewujudkannya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya faktor-faktor

yang sangat berpengaruh dalam pemanfaatan ruang di wilayahnya. Pertumbuhan penduduk yang

tinggi ditambah dengan arus urbanisasi yang terus meningkat ke perkotaan, menyebabkan alih fungsi

lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat. Ruang hijau/ruang produktif dialihfungsikan menjadi

ruang untuk mendirikan rumah, gedung perkantoran, pasar, mall, dan lain-lain, akibatnya Ruang

Terbuka Hijau semakin menyempit.

Hasil penelitian Astriani (2014) menunjukkan bahwa jumlah RTH di kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Barat belum memenuhi jumlah 30% sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-

Undang Penataan Ruang. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa permasalahan yaitu: 1)

Perkembangan kota yang pesat, sehingga banyak terjadi peralihan fungsi lahan dari kawasan budidaya

pertanian menjadi kawasan permukiman; 2) Sebagian besar RTH Privat pada pertanian perkotaan

sudah beralih fungsi menjadi lahan terbangun/komersil; 3) Sempadan sungai yang ada di wilayah

perencanaan hampir sebagian besar menjadi daerah terbangun; 4) Jalur hijau masih kurang, baik

secara kuantitas maupun kualitas (jenis vegetasinya); 5) Kesadaran masyarakat sebagai bagian dari

stakeholder kurang paham dan peduli akan pentingnya RTH; 6) RTH di bawah jaringan SUTT dan

SUTET belum sepenuhnya dapat dibebaskan, sehingga masih banyak dipergunakan fungsinya untuk

selain RTH; 7) Penanganan RTH yang belum dilakukan secara maksimal dengan melibatkan swasta

dan masyarakat; 8) Keberadaan lapangan parkir terbuka tidak dibarengi dengan peng-

hijauan/penanaman pohon pelindung, sehingga termasuk kriteria ruang terbuka saja; 9) Keberadaan

pedagang kaki lima di sekitar kawasan taman kota menyebabkan terganggunya tanaman atau vegetasi

yang ada; 10) RTH Privat, khususnya untuk pekarangan perumahan masih kurang, Hal ini terlihat dari

banyaknya rumah yang menghabiskan seluruh luas kavling lahannya untuk dibangun sehingga tidak

memiliki pekarangan; 11) Belum ada tindakan yang tegas dari pihak berwenang/terkait bagi pelanggar

atau perusak RTH yang ada; dan 12) Kurangnya sosialisasi mengenai RTH oleh instansi terkait kepada

masyarakat, sehingga menyebabkan masih banyak RTH Privat yang tidak sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

Namun demikian, peneliti menemukan adanya beberapa daerah di Provinsi Jawa Barat yang

terus berupaya membangun kembali Ruang Terbuka Hijau di wilayahnya dan memberikan hasil yang

cukup signifikan dalam upayanya mengembalikan kualitas lingkungan di wilayahnya. Berikut ini

adalah hasil penelitian yang dilakukan di Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini

bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya

dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di wilayahnya serta faktor-faktor pendukung keberhasilan

kinerja kebijakan tersebut dan menganalisis faktor-faktor yang berpotensi menghambat kinerja

kebijakan tersebut. Selanjutnya akan dirumuskan strategi untuk mengatasi permasalahan yang masih

terjadi agar dapat mempercepat capaian target kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam

penyediaan dan pengelolaan RTH di wilayahnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Keberlanjutan dan Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Haris (2000, dalam Rahadian, 2016) menjelaskan dengan lebih detil konsep keberlanjutan

menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu: 1) Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan

yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan

pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi

pertanian dan industri; 2) Keberlanjutan lingkungan. Sistem keberlanjutan secara lingkungan harus

mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari ekspolitasi sumber daya alam dan fungsi

penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas

Page 4: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

378

ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi, dan

3) Keberlanjutan sosial. Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai

kesetaraan, penyediaan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas

politik. Konsep ini selaras dengan fungsi Ruang Terbuka Hijau yang memiliki fungsi ekonomi, fungsi

ekologi dan fungsi sosial sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan. Fungsi ekologi dari Ruang Terbuka Hijau adalah: 1) Merupakan bagian dari sirkulasi udara

(paru-paru kota); 2) Pengatur iklim mikro agar sistem udara dan air secara alami dapat berlangsung

lancar; 3) Sebagai peneduh; 4) Produsen/penghasil oksigen; 5) Penyerap air hujan; 6) Penyedia habitat

satwa liar; 7) Penyerap polutan di udara, air dan tanah, serta 8) Penahan angin. Sedangkan fungsi

sosial dan budaya dari Ruang Terbuka Hijau yaitu: 1) Sebagai tempat rekreasi; 2) Menjadi media

komunikasi antar warga kota, dan 3) Sarana pendidikan dan penelitian. Sementara itu, fungsi ekonomi

dari keberadaan Ruang Terbuka Hijau yaitu: 1) Menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan,

kehutanan dan lain-lain yang dapat dikomersialisasikan, baik sebagai destinasi wisata khusus maupun

menjual produk-produk yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan usaha tersebut. Di sisi lain, terdapat

satu fungsi lain yaitu fungsi estetika. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau dapat meningkatkan

kenyamanan, memperindah lingkungan, sebagai pembentuk faktor keindahan arsitektual dan

menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dengan area tidak terbangun.

Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan manfaat dari keberadaan Ruang Terbuka Hijau antara

lain hasil penelitian Purnomohadi (1995) yang membuktikan bahwa suhu di sekitar kawasan RTH di

Kota DKI Jakarta lebih rendah 2-4 derajat Celcius dibandingkan dengan suhu udara di luar kawasan

RTH. Artinya, keberadaan RTH telah mampu menurunkan suhu di sekitar kawasan.

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah sebuah upaya manusia untuk memperbaiki kualitas

hidupnya dengan tetap memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup dan

meningkatkan kesejahteraannya, tetapi tidak mengesampingkan akan adanya kebutuhan generasi

mendatang untuk memanfaatkan sumber daya alam sejenis untuk menopang kehidupannya kelak.

Sutamihardja (2004, dalam Rahadian, 2016) menjelaskan bahwa yang menjadi sasaran pembangunan

berkelanjutan yaitu: 1) Pemerataan manfaat hasil-hasil pembangunan antar generasi (intergeneration

equity), yang berarti bahwa pemanfaatan sumber daya alam untuk pembangunan perlu memperhatikan

batas-batas yang wajar dalam kendali ekosistem atau sistem lingkungan serta diarahkan pada sumber

daya alam yang replaceable dan menekankan serendah mungkin eksploitasi sumber daya alam yang

unreplaceable; 2) Safeguarding atau pengamanan terhadap kelestarian sumber daya alam dan

lingkungan hidup yang ada dan pencegahan terjadi gangguan ekosistem dalam rangka menjamin

kualitas kehidupan yang tetap baik bagi generasi yang akan datang; 3) Pemanfaatan dan pengelolaan

sumber daya alam semata untuk kepentingan mengejar pertumbuhan ekonomi demi kepentingan

pemerataan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan antar generasi; 4) Mempertahankan

kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, baik masa kini maupun masa mendatang (inter

temporal); 5) Mempertahankan manfaat pembangunan ataupun pengelolaan sumber daya alam dan

lingkungan yang mempunyai dampak manfaat jangka panjang ataupun lestari antar generasi; dan 6)

Menjaga mutu ataupun kualitas kehidupan manusia antar generasi sesuai dengan habitatnya.

Konsep Jasa Ekosistem

Perubahan ekosistem sekitar perkotaan sebagian besar disebabkan karena tingginya ruang

yang dibutuhkan oleh penduduk untuk mendirikan rumah sebagai tempat tinggal, bekerja, berbelanja,

dan beraktifitas ekonomi lainnya yang menyebabkan ekosistem alami seperti lahan pertanian, pesisir

pantai, dan hutan berubah menjadi lahan terbangun. Perubahan ekosistem tersebut tidak hanya

memberikan dampak bagi penurunan kualitas tetapi juga pada jasa ekosistem didalamnya. Jasa

ekosistem adalah segala keuntungan yang didapatkan dari suatu ekosistem, khususnya yang terkait

dengan kesejahteraan manusia (Woodruff dan Bendor, (2016) dalam Chintantya & Maryono, 2017).

Page 5: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

379

Jasa ekosistem perkotaan sangat berkaitan dengan Infrastruktur Hijau (Green Infrastructures),

sebagai penyedia berbagai manfaat, baik secara langsung dan tidak langsung, bagi penduduk

perkotaan di tengah semakin menurunnya ekosistem alami dan semi alami di perkotaan. Infrastruktur

hijau digunakan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dalam menyediakan barang dan jasa saat

tekanan ekosistem semakin meningkat. Infrastruktur hijau terdiri dari pepohonan di pinggir jalan,

taman umum dan milik pribadi, ruang terbuka, kolam dan sungai, area bermain, hutan kota, dan

berbagai jenis lapangan (Pulighe dkk., (2016) dalam Chintantya & Maryono, 2017).

Millennium Ecosystem Assessment (dalam Chintantya & Maryono, 2017) mengelompokkan

hubungan antara jasa ekosistem dengan kehidupan manusia menjadi 4 kelompok, yaitu 1) Jasa

penyediaan; 2) Jasa pengaturan; 3) Jasa pendukung, dan 4) Jasa budaya. Jasa penyediaan yang

diberikan oleh infrastruktur hijau diantaranya adalah hasil pertanian, buah, sayur, tanaman obat, dan

bahan pangan lainnya. Sedangkan jasa pengatur yang dihasilkan adalah penyerapan karbon, pengatur

cuaca, kualitas udara, pengatur erosi, dan efek dingin. Jasa budaya yang dihasilkan adalah kesehatan,

keindahan, rekreasi, spiritual, interaksi sosial, pendidikan, dan penghargaan terhadap alam. Sementara

itu jasa pendukung lebih menekankan pada keanekaragaman hayati satwa dan kelestarian bagi

mahkluk hidup untuk berkembang biak. Konsep ini selaras dengan fungsi Ruang Terbuka Hijau yang

telah dibahas sebelumnya.

Pada 10 tahun terahir, beberapa perkotaan di dunia telah mengedepankan aspek ekologi dalam

berbagai kebijakan publik tentang perkotaan dalam rangka mewujudkan konsep kota berkelanjutan.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengintegrasikan jasa lingkungan dalam kerangka

kerja pembangunan (Woodruff dan Bendor, (2016) dalam Chintantya & Maryono, 2017). Penilaian

terhadap jasa ekosistem sangat penting sebagai dasar perumusan kebijakan publik mengenai

pengelolaan sumber daya alam (Djajadiningrat, ST dkk., (2011) dalam Chintantya & Maryono, 2017)

dan kebijakan publik yang bersifat sosial (Fisher dkk., (2009) dalam Chintantya & Maryono, 2017).

Laurans dkk (2013, dalam Chintantya & Maryono, 2017) mengklasifikasi bahwa setidaknya

terdapat 8 peranan nilai jasa ekosistem dalam perumusan kebijakan atau pengambilan keputusan yang

terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1). Nilai Jasa Ekosistem sebagai penentu suatu keputusan yang

spesifik. Pada suatu proses perumusan kebijakan, ada kalanya pengambil keputusan dihadapkan pada

beberapa alternatif. Dalam kelompok ini, nilai jasa ekosistem memiliki peranan: a) Sebagai alat untuk

menilai keuntungan dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan; b) Sebagai alat untuk

bernegosiasi dan melihat partisipasi para stakeholder; dan c) Sebagai alat untuk menentukan nilai

investasi untuk pengelolaan lingkungan; 2) Nilai Jasa Ekosistem sebagai instrument suatu desain. Pada

kategori ini nilai jasa ekosistem digunakan saat suatu kebijakan telah ditentukan, misal: a) Sebagai alat

untuk menentukan nilai kompensasi yang harus dibayar akibat suatu dampak kebijakan dan (b)

Sebagai alat untuk menentukan nilai dasar suatu barang/jasa (yang melibatkan ekosistem dalam proses

produksi); dan 3) Nilai Jasa Ekosistem sebagai informasi atas pengambilan keputusan secara umum.

Pada kategori ini, nilai jasa lingkungan juga dipandang sebagai penyedia informasi mengenai hal-hal

yang tidak berpengaruh langsung pada proses maupun hasil suatu kebijakan misalnya nilai jasa

ekosistem dapat menjadi suatu justifikasi dan memberikan informasi mengenai dukungan dan

kesadaran masyarakat.

Page 6: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

380

KERANGKA PIKIR PENELITIAN

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan pada tahun 2016 di wilayah Pemerintah Kota Tasikmalaya. Penelitian ini

bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya

dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di wilayahnya, faktor-faktor pendukung keberhasilan kinerja

kebijakan tersebut dan faktor-faktor yang berpotensi menghambat kinerja kebijakan tersebut.

Selanjutnya, akan dirumuskan strategi untuk mengatasi permasalahan yang masih terjadi agar dapat

mempercepat capaian target kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penyediaan dan

pengelolaan RTH di wilayahnya. Penelitian dilakukan secara kualitatif. Hal ini dimaksudkan untuk

dapat memberikan gambaran atau mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap

obyek yang diteliti. Teknik pengambilan data primer dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan

purposive, dan sebagai informan pada penelitian ini perangkat daerah pengelola RTH di lingkungan

Pemerintah Kota Tasikmalaya. Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam,

PERMASALAHAN :

Ekploitasi SDA secara berlebihan

Tingginya alih fungsi lahan

produktif menjadi lahan

terbangun

Minimnya RTH

Menurunnya kualitas lingkungan

TERBITNYA REGULASI

yang mengatur Penataan Ruang dan

Penyediaan RTH

Konsep Pembangunan

Berkelanjutan

Konsep Jasa Ekosistem

Fungsi RTH

HASIL YANG INGIN DICAPAI :

Menekan alih fungsi lahan

produktif menjadi lahan

terbangun

Penyediaan RTH minimal 30%

dari luas wilayah akan terpenuhi

Meningkatkan kualitas penataan

dan penyelenggaraan ruang di

wilayah kab/kota

Meningkatnya kualitas

lingkungan hidup di wilayah

Kabupaten/Kota

FAKTOR EKSTERNAL

YANG MEMPENGARUHI

Lingkungan

Implementasi Kebijakan

Daerah Kab/Kota

Partisipasi Masyarakat

dan Dunia Usaha

Kebijakan Pemerintah

Pusat dan Provinsi

FAKTOR INTERNAL YANG

MEMPENGARUHI :

Isi Kebijakan Daerah

Kab/Kota

Political Will Kepala Daerah

Organisasi Pelaksana

SDM Pelaksana

Anggaran

Page 7: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

381

Pengambilan data sekunder dilakukan dengan studi literatur dan dokumen resmi dari Pemerintah Kota

Tasikmalaya. Data primer dan data sekunder selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga

kemudian dapat dirumuskan strategi untuk mengatasi permasalahan yang masih terjadi agar dapat

mempercepat capaian target kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penyediaan dan

pengelolaan RTH di wilayahnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kompleksitas permasalahan yang terjadi dalam penataan dan pemanfaatan ruang harus

disikapi oleh pemerintah dengan menerbitkan berbagai kebijakan atau peraturan perundang-undangan

yang bertujuan untuk mengatur agar penataan dan pemanfaatan ruang tidak hanya mengakomodir

kebutuhan pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi semata tetapi juga harus

memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan kehidupan generasi mendatang. Sebagai

upaya menciptakan pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan bagi

kehidupan di masa depan, pemerintah harus terus berupaya mendorong perbaikan dan peningkatan

kualitas lingkungan, antara lain melalui penyediaan dan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Beberapa

peraturan perundang-undangan telah diterbitkan sebagai dasar pelaksanaan pembangunan di pusat dan

di daerah dalam menyediakan dan mengelola Ruang Terbuka Hijau sebagai bagian penataan ruang di

wilayahnya. Berikut adalah kinerja kebijakan pemerintah pusat dan Pemerintah Kota Tasikmalaya

dalam penyediaan dan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau:

Evaluasi Kinerja Kebijakan Pusat

Dalam upaya pengembangan Ruang Terbuka Hijau sebagai bagian dari penataan ruang, maka

pemerintah menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum untuk

pemerintah daerah dalam menyediakan dan mengelola RTH di wilayahnya. Berikut adalah peraturan

perundang-undangan yang telah diterbitkan oleh pemerintah pusat:

1. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mendefinisikan Ruang Terbuka

Hijau (RTH) sebagai area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih

bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah, maupun yang sengaja

ditanam. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat dibagi menjadi 5 yaitu: 1). Kawasan hijau

pertamanan kota; 2). Kawasan hijau hutan kota; 3). Kawasan hijau rekreasi kota; 4). Kawasan

hijau kegiatan olahraga; dan 5). Kawasan hijau pemakaman. Ketentuan yang terkait dengan

rencana penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau pada Undang-Undang No. 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang harus diatur di dalam ketentuan muatan penyusunan Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota (Pasal 28). Di dalam pasal berikutnya disebutkan bahwa proporsi Ruang

Terbuka Hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah, terdiri dari Ruang Terbuka

Hijau Publik sebesar 20%, dan sisanya merupakan Ruang Terbuka Hijau Privat. Proporsi 30%

merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik yang

menyangkut keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis

lainnya, yang selanjutnya diharapkan akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang

diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Adapun proporsi

Ruang Terbuka Hijau Publik seluas minimal 20% yang disediakan oleh pemerintah daerah

dimaksudkan agar proporsi Ruang Terbuka Hijau dengan luasan minimal tersebut dapat lebih

dijamin pencapaiannya, sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan

Perkotaan, mendefinisikan bahwa Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) merupakan

bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna

mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika. Luas ideal RTHKP adalah

minimal 20% dari luas kawasan perkotaan yang mencakup RTHKP publik dan RTHKP privat.

RTHKP tidak dapat dialihfungsikan. Pengelolaan RTHKP melibatkan para pemangku

kepentingan. Pemanfaatan RTHKP publik dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga ataupun

Page 8: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

382

antar pemerintah daerah. Pemanfaatan RTHKP privat dikelola oleh perseorangan atau

lembaga/badan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,

menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melaksanakan pemeliharaan dan

perwujudan kelestarian lingkungan hidup antara lain dengan mewujudkan kawasan berfungsi

lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% dari luas wilayah pulau tersebut

sesuai dengan kondisi ekosistemnya. Untuk mengendalikan perkembangan kegiatan budidaya agar

tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan maka pemerintah harus

mengembangkan RTH dengan luas paling sedikit 30% dari luas kawasan perkotaan. Peraturan

zonasi untuk RTH disusun dengan memperhatikan : a) Pemanfaatan ruang untuk rekreasi; b)

Pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas

umum lainnya; dan c) Pelarangan mendirikan bangunan permanen.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

menjelaskan bahwa rencana penyediaan RTH publik harus dilaksanakan secara terdistribusi sesuai

hirarki tingkat pelayanan kota, peruntukan lahan dan kebutuhan fungsi tertentu. Pemerintah

dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dalam mewujudkan rencana

penyediaan RTH publik antara lain melalui : a) Pemanfaatan lahan terlantar, pemulihan kembali

fungsi-fungsi ruang terbuka dan pengadaan tanah; b) Pengalokasian anggaran secara bertahap

untuk melaksanakan penyediaan RTH publik; dan c) Pengembangan kerjasama kemitraan dengan

masyarakat dalam meningkatkan penyediaan RTH publik.

5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan

Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan (RTHKP), menguraikan lebih teknis

berbagai jenis RTH yang perlu dikembangkan melalui berbagai klasifikasi dan pendekatan sebagai

berikut:

a) Berdasarkan luas wilayah: 1) Penyediaan luas Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan

(RTHKP) menjadi tanggung jawab pemerintahan kabupaten dan kota; 2) RTH di perkotaan

terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat; 3) Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah

sebesar 30%, yang terdiri dari 20% Ruang Terbuka Hijau Publik dan 10% Ruang Terbuka

Hijau Privat; 4) RTHKP publik tidak dapat dialihfungsikan; 5) Apabila luas RTH, baik publik

maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki luas total lebih besar dari peraturan

atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap

dipertahankan keberadaannya; 6) Proporsi luas 30% dari luas wilayah kota ini dapat dicapai

secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal;

b) Berdasarkan jumlah penduduk: luas RTH diperoleh dengan mengalikan antara jumlah

penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH perkapita sesuai kategorinya;

c) Berdasarkan kebutuhan fungsi tertentu: 1) Fungsi perlindungan dan/atau pengamanan seperti

pengamanan para pejalan kaki; 2) Fungsi sebagai sarana dan prasarana; dan 3) Fungsi untuk

membatasi penggunaan lahan agar fungsi utama tidak terganggu. RTH kategori ini meliputi: a)

Jalur hijau sempadan rel KA; b) Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi; dan c) RTH

kawasan perlindungan setempat seperti RTH sempadan sungai, sempadan pantai dan RTH

pengamanan sumber air baku/mata air.

Dari uraian diatas, penulis melihat bahwa pemerintah daerah harus terus berupaya

mengalokasikan RTH publik dengan luasan minimal 20% dari luas wilayahnya. Hal ini membutuhkan

pertimbangkan yang matang karena menyangkut alokasi anggaran yang cukup besar yang dibutuhkan

oleh pemerintah daerah untuk dapat menyediakan RTH publik dengan luasan minimal 20% dari

wilayahnya. Aspek lainnya yang harus dipertimbangkan adalah lokasi yang harus dibangun menjadi

RTH publik. Hal ini harus sesuai dengan penyebaran jumlah penduduk dan kapasitas dan fungsi

ruangnya. Wilayah dengan jumlah penduduk yang tinggi harus memiliki RTH yang luas. Keberadaan

RTH di kawasan dengan fungsi tertentu misalnya RTH sempadan sungai, sempadan pantai dan RTH

pengamanan sumber air baku/mata air harus menjadi prioritas utama. Jenis RTH yang akan dibangun

pun harus memperhatikan fungsi ruang dan tujuan pemanfaatannya, apakah sebagai daerah resapan,

Page 9: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

383

sebagai tempat rekreasi dan lain-lain. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan karakter

public space, urban space dan open space serta elemen rancang kota lainnya. Secara umum ruang

terbuka publik (open space) di perkotaan terdiri dari Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka

Nonhijau. Ruang Terbuka Hijau sebagai infrastruktur hijau perkotaan adalah bagian dari ruang‐ruang

terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi

(endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial‐budaya dan arsitektural yang

dapat memberikan manfaat ekonomi bagi (kesejahteraan) masyarakatnya. Pemilihan jenis‐jenis

tanaman yang sesuai habitatnya dapat mempengaruhi efektivitas fungsi RTH, misalnya dalam

kemampuannya untuk menekan pencemaran udara, menyerap debu, mengurangi bau, meredam

kebisingan, mengurangi erosi tanah, penahan angin dan hujan secara menyeluruh (Rochim &

Syahbana 2013). Keterbatasan sumber daya anggaran pemerintah dan sumber daya manusia pengelola

RTH, harus disikapi dengan menerbitkan kebijakan yang dapat mendorong tingkat kesadaran

masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan disekitarnya dan berpartisipasi dalam penyediaan

dan pengelolaan RTH publik maupun privatnya. Satu hal terpenting lainnya bahwa RTH privat yang

dimiliki oleh masyarakat telah memberikan jasa ekosistem kepada lingkungan sekitarnya, antara lain

sebagai peneduh, menyerap polutan di udara, mempengaruhi iklim mikro disekitarnya dengan

memberikan kesejukan, membantu dalam penyerapan air hujan ke dalam tanah. Oleh karena itu, dalam

kebijakan penyediaan dan pengelolaan RTH privat, pemilik RTH privat harus diberikan insentif yang

memadai sesuai dengan jasa ekosistem yang dihasilkannya (imbal jasa ekosistem). Hal tersebut telah

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 39 yang menjelaskan bahwa dalam

pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah

dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh pemerintah dan pemerintah daerah kepada

masyarakat. Demikian pula dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008

tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

(RTHKP), dikatakan bahwa apabila luas RTH, baik publik maupun privat, di kota yang bersangkutan

telah memiliki luas total lebih besar dari peraturan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku,

maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya. Untuk tetap mempertahankan luasan

RTH privat tersebut, maka pemerintah daerah harus dapat memberikan insentif kepada pemilik RTH

privat sebagai bentuk imbal jasa ekosistem dari RTH privat yang dimilikinya.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Tasikmalaya, Pemerintah Daerah

Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat ternyata mempunyai komitmen yang cukup tinggi dalam

penataan ruang di wilayahnya, termasuk bagaimana memenuhi kebutuhan Ruang Terbuka Hijau untuk

menjaga kualitas hidup masyarakatnya. Berikut ini adalah gambaran wilayah dan hasil analisis kinerja

kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau di wilayahnya.

Gambaran Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Kota Tasikmalaya merupakan sebuah kota yang terletak di bagian tenggara dari wilayah

Provinsi Jawa Barat. Kota Tasikmalaya memiliki luas wilayah seluas 183,85 km2

yang meliputi 10

kecamatan yaitu Kecamatan Cipedes, Kecamatan Cihideung, Kecamatan Tawang, Kecamatan

Tamansari, Kecamatan Mangkubumi, Kecamatan Kawalu, Kecamatan Indihiang, Kecamatan

Cibeureum, Kecamatan Bungursari dan Kecamatan Purbaratu, serta mencakup 69 kelurahan. Adapun

kondisi luas Ruang Terbuka Hijau Publik di Kota Tasikmalaya pada tahun 2012 hanya sebesar 793,03

Ha atau 4,421% dari luas wilayahnya, yang terdiri dari Hutan Kota, Taman Kota, Tempat Pemakamam

Umum, Ruang Terbuka Hijau Jalur Hijau dan Ruang Terbuka Hijau yang memiliki fungsi tertentu,

serta Ruang Terbuka Hijau Privat seluas 2.030,17 ha atau 11,04% dari luas wilayah (Dinas Cipta

Karya, Tata Ruang dan Kebersihan Kota Tasikmalaya, 2012). Berikut adalah tabel luas dan proporsi

RTH publik dan RTH privat di Kota Tasikmalaya pada tahun 2012:

Page 10: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

384

Tabel 1. Luas dan Proporsi RTH Publik Tahun 2012 Terhadap Luas Wilayah Kota

No Jenis RTH Luas (ha) Proporsi Terhadap Luas Wilayah

Kota (%)

1 Sempadan irigasi 123 0,685

2 Lahan milik kekayaan desa 180 1,004

3 RTH lainnya 490,03 2,732

Jumlah Total 793,03 4,421

Sumber: Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan Kota Tasikmalaya Tahun 2012

Tabel 2. Luas dan Proporsi RTH Privat Tahun 2012 Terhadap Luas Wilayah Kota

No Jenis RTH Luas (ha) Proporsi Terhadap Luas

Wilayah Kota (%)

1 RTH pekarangan rumah tinggal 1.799,00 9,79

2 RTH peruntukkan perdagangan dan jasa 86,74 0,47

3 RTH peruntukkan industri 19,93 0,11

4 RTH peruntukan pertahanan dan

keamanan

75,46 0,41

5 RTH peruntukan perkantoran 8,89 0,05

6 RTH peruntukan lainnya (pendidikan,

kesehatan, peribadatan, terminal, TPA)

40,15 0,22

Jumlah Total 2.030,17 11,04

Sumber : Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan Kota Tasikmalaya Tahun 2012

Evaluasi Kinerja Kebijakan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Pemerintah Kota Tasikmalaya

Pemerintah Kota Tasikmalaya menyadari betul bahwa dalam menyediakan Ruang Terbuka

Hijau di wilayahnya bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Adanya kebutuhan ruang terbangun

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat harus berbenturan dengan kebutuhan akan kualitas lingkungan

yang lebih baik yang menyangkut aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Sutamihardja (2004, dalam

Rahadian, 2016) menyatakan bahwa dalam konsep pembangunan berkelanjutan, tabrakan kebijakan

yang mungkin terjadi antara kebutuhan menggali sumber daya alam untuk memerangi kemiskinan dan

kebutuhan mencegah terjadinya degradasi lingkungan perlu dihindari serta sejauh mungkin dapat

berjalan seimbang. Pembangunan berkelanjutan juga mengharuskan pemenuhan kebutuhan dasar bagi

masyarakat dan adanya kesempatan yang luas kepada warga masyarakat untuk mengejar cita-cita akan

kehidupan yang lebih baik dengan tanpa mengorbankan generasi yang akan datang. Oleh karena itu,

Pemerintah Kota Tasikmalaya terus menggali potensi dan strategi kebijakan yang mampu

mewujudkan keseimbangan diantara kedua kebutuhan tersebut.

Pada dasarnya, kebijakan pemerintah daerah tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak

didukung oleh faktor-faktor terkait lainnya. Grindle (yang dikutip oleh Subarsono dalam Peramesti,

2016) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan,

yang meliputi: 1). Isi kebijakan (content of policy) yang mencakup: a) Interest affected/kepentingan

yang mempengaruhi, sejauh mana kepentingan kelompok sasaran yaitu masyarakat terhadap sebuah

kebijakan; b) Type of benefits/tipe manfaat, bagian ini lebih menekankan pada jenis manfaat yang

diterima oleh kelompok sasaran baik pemerintah daerah maupun masyarakat; c) Extent of change

envision/derajat perubahan yang ingin dicapai dari sebuah kebijakan; d) Site of decision making/letak

pengambilan keputusan, apakah program yang dicanangkan sudah tepat; e) Program implementors/pe-

laksana program, apakah program telah menyebutkan implementornya dengan rinci; f) Resources

committed/sumber-sumber daya yang digunakan untuk mendukung kebijakan. Faktor kedua adalah

Lingkungan implementasi (context of implementation) yang mencakup: a) Power, interest, and

strategy of actor involved/kekuasaan, kepentingan-kepentingan, dan strategi dari aktor yang lerlibat; b)

Institution and regime characteristic/ karakteristik lembaga dan rezim yang sedang berkuasa; dan c)

Compliance and responsiveness/ tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana. Selain itu,

Page 11: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

385

proses perumusan kebijakan pun akan sangat menentukan keberhasilan dari kebijakan itu sendiri. Oleh

karena itu, maka dalam proses perumusan kebijakan penyediaan dan pengelolaan RTH harus

mempertimbangkan 6 aspek, yaitu: 1) Berapa nilai keuntungan dan konsekuensi yang ditimbulkan

oleh suatu kebijakan; 2) Berapa nilai investasi untuk pengelolaan lingkungan; 3) Seberapa besar

tingkat partisipasi para stakeholder dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di wilayahnya; 4) Berapa

nilai kompensasi yang harus dibayar akibat suatu dampak kebijakan; 5) Sebagai alat untuk

menentukan nilai dasar suatu barang/jasa (yang melibatkan ekosistem dalam proses produksi) dan 6)

Sebagai alat ukur untuk menilai tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian

lingkungannya (Laurans dkk (2013 dalam Chintantya & Maryono, 2017).

Berikut ini adalah hasil analisis kinerja kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam

penyediaan dan pengelolaan RTH diwilayahnya:

1. Ditinjau dari Aspek Isi Kebijakan :

a) Interest affected/kepentingan yang mempengaruhi Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah

dalam Penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Minimnya ketersediaan RTH di Kota Tasikmalaya

telah mendorong Pemerintah Kota Tasikmalaya untuk menerbitkan berbagai per-

aturan/kebijakan terkait penyediaan dan pengelolaan RTH, yang nantinya akan menjadi

payung hukum dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya, baik secara

swakelola maupun bekerjasama dengan pihak lainnya (swasta maupun masyarakat).

Kebijakan ini tentunya harus sejalan dengan kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat.

Salah satu kebijakan yang diterbitkan yaitu Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya Tahun 2011-2013, Peraturan

Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013 tentang Ruang Terbuka Hijau dan Peraturan

Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2013 tentang Hutan Kota.

b) Type of benefits/jenis manfaat yang dihasilkan dari kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah

dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Penyusunan sistem perencanaan dan perancangan

RTH di Kota Tasikmalaya didasarkan pada pertimbangan berbagai aspek, sesuai dengan

tujuan dan karakter lanskap lokal, yaitu: 1) Pengelolaan kualitas udara yang amat dipengaruhi

oleh jaringan transportasi pola lalu lintas kota dan RTH yang optimal dengan penanaman

pohon besar-besaran, sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi udara segar di antara setiap

kelompok bangunan dan ketersediaan udara bersih; 2) Pengelolaan dan konservasi kuantitas

dan kualitas sumber daya air sungai, kanal, waduk, rawa atau kolam buatan, diatur dalam

suatu sistem pengelolaan sumber air bersih, serta disediakan penampungan khusus air limbah

yang dapat diproses melalui sistem pemurnian; 3) Kawasan penyangga di tempat

penampungan sampah akhir, sebagai upaya konsevasi RTH dan peredam pencemaran udara,

bau, dan limbah cair; 4) Meredam kebisikan serendah mungkin, melalui kawasan penyangga

[buffer zone], dan membangun taman kota dan jalur hijau, sehingga tersedia ruang optimal

untuk meredam suara dan pencemaran udara; 5) Dengan ketersediaan RTH yang optimal,

maka kehidupan yang selalu mengikuti siklus alami masih tetap dapat berlangsung dan krisis

lingkungan pun dapat diminimalkan; dan 6) Pengembangan dan konservasi RTH sebagai

fasilitas umum, menjamin peningkatan keselamatan umum jalur pedestrian dan sepeda,

penataan lokasi pedagang kaki lima disertai upaya penegakkan hukum yang konsisten.

c) Extent of change envision/derajat perubahan yang ingin dicapai dari kebijakan Rencana Tata

Ruang Wilayah dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Pada tahun 2012, kondisi eksisting

luas Ruang Terbuka Hijau Publik di Kota Tasikmalaya hanya sebesar 793,03 Ha atau 4,421%

dari luas wilayahnya, yang terdiri dari Hutan Kota, Taman Kota, Tempat Pemakamam Umum,

Ruang Terbuka Hijau Jalur Hijau dan Ruang Terbuka Hijau yang memiliki fungsi tertentu

(Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan Kota Tasikmalaya, 2012). Sementara itu,

Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No. 4 Tahun 2012 menetapkan bahwa RTH publik di

Kota Tasikmalaya merupakan kawasan seluas kurang lebih 3.694 Ha atau sekitar 20,09% dari

luas wilayah kota, yang meliputi: a) Hutan Kota, seluas kurang lebih 1.443 Ha; b) Taman kota,

taman kecamatan, dan taman-taman lingkungan, seluas kurang lebih 479 Ha yang tersebar di

seluruh kecamatan; c) Tempat pemakaman umum/kuburan, seluas kurang lebih 200 Ha; d)

Page 12: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

386

Sempadan jalan seluas kurang lebih 447 Ha; e) Sempadan sungai, situ, dan Saluran Udara

Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET)/Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) seluas kurang

lebih 1.092 Ha; dan g) Resapan air, seluas kurang lebih 33 Ha. Selanjutnya dalam pengelolaan

Ruang Terbuka Hijau, Pemerintah Kota Tasikmalaya menetapkan : 1) Penetapan kawasan

Dadaha, alun-alun, dan ex Kantor Bupati Tasikmalaya sebagai taman kota; 2) Pengembangan

taman-taman di setiap kecamatan, kelurahan, dan lingkungan permukiman; penetapan hutan-

hutan kota; 3) Pengembangan dan rehabilitasi pulau-pulau jalan, jalur pejalan kaki, sempadan

jalan kereta api, dan sempadan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET)/Saluran

Udara Tegangan Tinggi (SUTT); 4) Pengembangan Tempat Pemakaman Umum Aisyah

Rasyida di Kecamatan Tamansari; 5) Pemeliharaan tempat-tempat pemakaman umum yang

telah ada, termasuk Tempat Pemakaman Umum Cieunteung di Kecamatan Cihideung dan

tempat Pemakaman Umum Cinehel di Kecamatan Indihiang; 6) Penetapan bukit-bukit yang

tidak layak tambang sebagai resapan air; 7) Penetapan beberapa bidang tanah yang berasal

dari kekayaan desa sebagai RTH; dan 8) Pengembangan RTH privat melalui implementasi

peraturan zonasi.

d) Site of decision making/letak pengambilan keputusan (Apakah letak sebuah program untuk

mendukung kebijakan penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Tasikmalaya sudah

tepat). Pemerintah Kota Tasikmalaya telah menetapkan pengaturan zonasi terkait dengan

penyediaan RTH dalam pemanfaatan ruang. Dalam peraturan zonasi tersebut diatur mengenai:

a) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air wajib menyediakan RTH paling

sedikit 90% dari seluruh luasan kawasan resapan air dengan dominasi pohon tahunan yang

diizinkan; b) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan perdagangan dan jasa,

RTH yang dibangun diperbolehkan dalam bentuk sistem ruang terbuka umum, sistem ruang

terbuka pribadi, sistem ruang terbuka privat yang dapat diakses oleh umum, sistem pepohonan

dan tata hijau serta bentang alam; c) Kawasan kantor di lingkungan pemerintah daerah wajib

memiliki RTH publik; dan d) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan industri

dan pergudangan wajib menyediakan ruang untuk zona penyangga berupa sabuk hijau (green

belt) dan RTH paling sedikit 20% dari luas kawasan.

e) Program implementors/pelaksana program. Keberhasilan sebuah kebijakan sangat bergantung

pada pelaksana dari kebijakan tersebut. Pada saat ini program pengelolaan RTH di Kota

Tasikmalaya dilaksanakan oleh 3 SKPD yaitu Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan,

Dinas Pekerjaan Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan, dan Kantor Pengendalian

Lingkungan Hidup. Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan lebih fokus pada penyediaan

dan pengelolaan RTH yang berbentuk lahan petanian dan hutan kota. Dinas Pekerjaan Cipta

Karya, Tata Ruang dan Kebersihan, lebih fokus pada pengelolaan fasilitas umum dan fasilitas

sosial, termasuk diantaranya RTH, yang harus diserahkan oleh pihak pengembang perumahan

kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya. Sedangkan Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup

mengelola seluruh jenis RTH, termasuk juga diantaranya adalah hutan kota yang juga menjadi

kewenangan Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Selain perangkat daerah, pelaksana

program penyediaan dan pengelolaan RTH ini juga diharapkan dari masyarakat dan para

stakeholder lainnya.

f) Resources committed/sumber-sumber daya yang digunakan untuk mendukung kebijakan

penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Tasikmalaya. Untuk meningkatkan

penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya maka dilakukan strategi-strategi

sebagai berikut: 1) Melaksanakan fungsi dan menata RTH yang telah ada; 2) Menetapkan

persyaratan penyediaan RTH pada setiap fungsi kegiatan; 3) Mengembalikan RTH yang

beralih fungsi; dan 4) Mengembangkan pola-pola kemitraan dengan pemerintah pusat,

pemerintah provinsi, dan masyarakat atau swasta dalam penyediaan dan pengelolaan RTH.

2. Ditinjau dari Aspek Lingkungan Implementasi (context of implementation):

a) Power, interest, and strategy of actor involved/kekuasaan, kepentingan-kepentingan, dan

strategi dari aktor yang terlibat. Keberhasilan kebijakan penyediaan dan pengelolaan RTH di

Kota Tasikmalaya sangat dominan dipengaruhi oleh political will Walikotanya. Hal ini

Page 13: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

387

ditunjukkan dengan dibelinya sejumlah bukit/gunung di wilayah Kota Tasikmalaya untuk

dijadikan Hutan Kota. Salah satu strategi penyediaan RTH di Kota Tasikmalaya adalah

melalui penetapan bukit-bukit yang tidak layak tambang menjadi daerah resapan air atau

Ruang Terbuka Hijau. Bukit-bukit ini selanjutnya akan dijadikan Hutan Kota. Adapun target

luasan RTH yang berupa Hutan Kota adalah mencapai kurang lebih 1.443 Ha. Untuk

mencapai target tersebut, selama tahun 2013-2016 Pemerintah Kota Tasikmalaya secara

berkesinambungan membeli bukit-bukit yang tidak layak tambang dan menjadikannya Hutan

Kota, yaitu: 1) Gunung Kokosan (seluas 31.571 Ha); 2) Gunung Kiara (10.162 Ha), 3)

Gunung Tengah (4.555 Ha); 4) Gunung Pondok (5.410 Ha); 5) Gunung Hanjuang (6.707 Ha);

6) Gunung Bondan (1.027 Ha) dan 7) Gunung Jambore (3.965 Ha), sehingga luas gunung

yang dibeli untuk dijadikan Ruang Terbuka Hijau sebesar 63.397 Ha. Dengan demikian, pada

tahun 2016 luas RTH publik di Kota Tasikmalaya telah mencapai 64.190,03 Ha atau 34,9%

dari luas wilayah (semula luas RTH publik di Kota Tasikmalaya hanya seluas 793,03 Ha atau

4,421% dari luas wilayah pada tahun 2012) (Kantor LH Kota Tasikmalaya, 2016). Sementara

itu, untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan dalam pengelolaannya, Dinas

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Cipta Karya, Tata Ruang dan

Kebersihan, dan Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup selalu saling berkoordinasi satu

dengan yang lainnya.

b) Institution and regime characteristic/ karakteristik lembaga dan rezim yang sedang berkuasa.

Pada saat ini program pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya dilaksanakan oleh 3 SKPD yaitu

Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Cipta Karya, Tata Ruang dan

Kebersihan, dan Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup. Dinas Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan lebih fokus pada penyediaan dan pengelolaan RTH yang berbentuk lahan petanian

dan hutan kota. Dinas Pekerjaan Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan, lebih fokus pada

pengelolaan fasilitas umum dan fasilitas sosial, termasuk diantaranya RTH, yang harus

diserahkan oleh pihak pengembang perumahan kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya.

Sedangkan Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup mengelola seluruh jenis RTH, termasuk

juga diantaranya adalah hutan kota yang juga menjadi kewenangan Dinas Pertanian, Perikanan

dan Kehutanan.

c) Compliance and responsiveness/tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana. Untuk

meningkatkan tingkat kepatuhan dalam penyediaan dan pengelolaan RTH, Pemerintah Kota

Tasikmalaya juga menerbitkan kebijakan pemberian insentif dan disinsetif. Dalam Peraturan

Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 dijelaskan bahwa pemerintah harus

menyediakan proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar 30%, yang terdiri dari

20% Ruang Terbuka Hijau Publik dan 10% Ruang Terbuka Hijau Privat. Apabila luas RTH,

baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki luas total lebih besar dari

peraturan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus

tetap dipertahankan keberadaannya. Oleh karena itu agar tidak terjadi alih fungsi lahan,

terutama untuk RTH privat yang dimiliki masyarakat, maka pemerintah harus menerbitkan

sebuah kebijakan pemberian insentif bagi masyarakat yang bersedia menjadikan lahan

privatnya yang luas tersebut sebagai RTH privat. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 39 yang menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan

pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dapat

diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Insentif

tersebut merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan

kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, berupa: a). Keringanan pajak, pemberian

kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham; b) Pembangunan serta

pengadaan infrastruktur; c) Kemudahan prosedur perijinan; dan/atau d) Pemberian

penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah. Insentif ini merupakan

bentuk dari imbal jasa ekosistem yang dikemukakan oleh Fisher dkk., (2009, dalam

Chintantya & Maryono, 2017). Sementara itu, pemberian disinsentif merupakan perangkat

untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan

Page 14: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

388

dengan rencana tata ruang, berupa: a) Pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan

besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat

pemanfaatan ruang; dan/atau b) Pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi,

dan penalti. Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh: a) Pemerintah kepada pemerintah

daerah; b) Pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya; dan c) Pemerintah kepada

masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya

Nomor 4 Tahun 2012 diatur pula mengenai bentuk pemberian intensif dan disinsentif.

Pemberian insensif dimaksudkan untuk mendorong pengembangan Ruang Terbuka Hijau

(RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). Insentif yang diberikan dapat berupa: a)

Kemudahan perijinan; b) Pemberian pelayanan utilitas; dan/atau c) Bentuk intensif lain yang

tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pemberian

disinsentif dimaksudkan untuk membatasi pembangunan di kawasan resapan air. Pemberian

disinsentif dapat berupa: a) Pengenaan biaya perijinan yang lebih besar; b) Persyaratan KDB

yang kecil dan KDH yang besar; c) Persyaratan spesifikasi pembangunan; dan d) Kompensasi

untuk mengganti resapan air yang berkurang. Adanya program ini memperlihatkan bahwa

Pemerintah Kota Tasikmalaya terus menerus melakukan upaya penyediaan RTH publik dan

RTH privat. Hal ini diharapkan juga akan mampu mendorong penyediaan dan pemeliharaan

RTH di Kota Tasikmalaya yang berbasis masyarakat. Hasil yang dapat dilihat dari kebijakan

ini adalah tumbuhnya kerjasama antara Pemerintah Kota Tasikmalaya dengan pihak swasta

dalam pengelolaan RTH, terutama yang berbentuk Taman-taman Kota, seperti pada gambar

berikut ini:

Gambar 2. Penataan Taman Asia dilakukan

bekerjasama dengan PT.Asia Supermarket

Gambar 3. Penataan Alun-alun Kota

Tasikmalaya dilakukan bekerjasama dengan

PT. Pertamina

Upaya lainnya yang telah dilakukan yaitu menerbitkan:

1) Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2013 tentang Hutan Kota, yang

didalamnya dimuat: a) Kompensansi untuk tanah hak yang ditunjuk menjadi hutan kota

oleh Walikota berupa ganti rugi/tanah pengganti. Untuk kasus tanpa pelepasan hak maka

diberikan insentif. Ada dua bentuk insentif yang akan diberikan yaitu insentif langsung

dan insentif tidak langsung. Insentif langsung berupa subsidi finansial, infrastruktur,

binbingan teknis, sedangkan insentif tidak langsung berupa kebijakan fiskal; dan b)

Adanya ketentuan pidana bagi yang merusak hutan kota yaitu 3 bulan kurungan atau

denda maksimal 50 juta rupiah;

2) Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 7 Tahun 2005 tentang Ketenteraman dan

Ketertiban Umum, yang antara lain mengimbau agar masyarakat menanam pohon

pelindung/produktif tanaman hias di perkarangan rumahnya. Sanksi yang diberikan

apabila melanggar adalah dikenakan denda sebesar Rp. 250.000,-; dan

Page 15: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

389

3) Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 29 Tahun 2003 tentang Kebersihan,

Keindahan, dan Kelestarian Lingkungan yang melarang pengrusakan pohon-pohon.

Sanksi yang diberikan adalah pidana kurungan maksimal 6 bulan atau denda sebanyak-

banyaknya Rp. 3.000.000,-.

Namun demikian, upaya-upaya ini belum memberikan hasil yang signifikan. Hal ini

disebabkan karena lemahnya penyuluhan dan sosialisasi dari perangkat daerah. Masyarakat Kota

Tasikmalaya belum sepenuhnya mengetahui adanya kebijakan-kebijakan tersebut, sehingga lebih

memilih untuk menjual RTH privatnya untuk dijadikan ruang terbangun.

Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan penyediaan dan

pengelolaan RTH sudah diwadahi dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya Tahun 2011-2013 dan Peraturan Daerah Kota

Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013 tentang Ruang Terbuka Hijau dengan target kinerja luasan RTH

publik sebesar 3.694 Ha atau sekitar 20,09% dari luas wilayah kota dan 10% lainnya merupakan RTH

privat. Penyusunan sistem perencanaan dan perancangan RTH-nya didasarkan pada pertimbangan

berbagai aspek, sesuai dengan tujuan dan karakter lanskap lokal, yaitu untuk konservasi sumber daya

air, sebagai upaya konservasi RTH, peredam pencemaran udara, bau, dan limbah cair dan fasilitas

umum yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai ruang publik. Hasil yang dicapai pada tahun

2016 Pemerintah Kota Tasikmalaya telah memiliki luas RTH mencapai 64.190,03 Ha atau 34,9% dari

luas wilayah Kota Tasikmalaya, dimana pada tahun 2012 luas RTH di Kota Tasikmalaya hanya seluas

793,03 Ha atau 4,3% dari luas wilayah.

Namun demikian, keberhasilan penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya

ternyata masih menyisakan beberapa kendala yang segera harus diselesaikan agar tidak menghambat

kinerja kebijakan lebih lanjut. Dari target kinerja yang ingin dicapai, baru beberapa saja yang dapat

dilaksanakan, yaitu 1) Pembangunan kawasan Dadaha, alun-alun, dan ex Kantor Bupati Tasikmalaya

sebagai taman kota; 2) Pengembangan taman-taman di beberapa kecamatan, kelurahan, dan

lingkungan permukiman; 3) Penetapan hutan-hutan kota; 4) Pengembangan Tempat Pemakaman

Umum Aisyah Rasyida di Kecamatan Tamansari; 5) Pemeliharaan tempat-tempat pemakaman umum

yang telah ada, termasuk Tempat Pemakaman Umum Cieunteung di Kecamatan Cihideung dan tempat

Pemakaman Umum Cinehel di Kecamatan Indihiang, 6) Pembelian bukit-bukit yang tidak layak

tambang sebagai resapan air untuk dijadikan RTH hutan kota dan 7) Penetapan beberapa bidang tanah

yang berasal dari kekayaan desa sebagai RTH. Sementara itu ada beberapa target yang belum tercapai

antara lain: 1) Belum optimalnya pengembangan taman-taman di setiap kecamatan, kelurahan, dan

lingkungan permukiman; 2) Belum dilaksanakannya pengembangan dan rehabilitasi pulau-pulau jalan,

jalur pejalan kaki, sempadan jalan kereta api, dan sempadan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi

(SUTET)/Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT); 3) Belum optimalnya pemanfaatan bidang tanah

yang berasal dari kekayaan desa sebagai RTH; dan 4) Belum optimalnya pengembangan RTH privat.

Berikut ini beberapa faktor kendala yang berhasil diidentifikasi dan dianalisis yaitu:

1. Aspek regulasi

a. Pemerintah Kota Tasikmalaya telah memiliki Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 6

Tahun 2016 Tentang Hutan Kota yang didalamnya mengatur kompensasi untuk tanah hak

yang ditujukan menjadi Hutan Kota dan sanksi bagi perusakan hutan kota. Namun demikian,

peraturan daerah ini belum ditindaklanjuti dalam peraturan walikota yang mengatur

mekanisme pemberian kompensasi tersebut dan sanksi bagi perusakan hutan kota. Dengan

demikian, peraturan daerah ini belum dapat diimpementasikan. Hal ini tentu saja menghambat

Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam pengembangan hutan kota milik masyarakat yang akan

di klaim sebagai RTHKP di Kota Tasikmalaya;

b. Pemerintah Kota Tasikmalaya sudah memiliki Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2

Tahun 2013 tentang Ruang Terbuka Hijau. Namun di dalam peraturan daerah tersebut tidak

diatur mengenai insentif dan disinsentif serta sanksi bagi perusakan RTH. Hal ini akan

menghambat Pemerintah Kota Tasikmalaya di dalam pengembangan RTH-nya;

Page 16: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

390

c. Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki peraturan walikota terkait pengajuan

penebangan pohon oleh masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penebangan pohon

secara liar dan pada akhirnya merusak RTH.

2. Aspek Kebijakan Teknis

a. Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki Masterplan RTH. Pemerintah Kota

Tasikmalaya baru sebatas melakukan identifikasi potensi RTH tetapi kepemilikan RTH

tersebut belum diketahui secara jelas. Hal ini tentu akan menghambat dalam pemanfaatan

lahan dan pembebasan lahan untuk penyediaan RTH publik.

b. Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki Masterplan Pemakaman. Kebijakan

pengembangan pemakaman saat ini hanya mengembangkan lahan TPU yang sudah ada.

Kebijakan penyerahan fasilitas umum dari pengembangan perumahan yang diperuntukkan

sebagai lahan pemakaman diarahkan pada pemakaman umum milik warga. Akibatnya luas

makam yang tersedia tidak sebanding dengan kepadatan dan penyebaran penduduk. Selain itu,

tidak adanya masterplan pemakaman, menyebabkan makam-makam yang dibangun

merupakan bangunan permanen, akibatnya luasan RTH di lokasi pemakaman semakin

berkurang.

3. Aspek Sumber Daya

a. Pemerintah Kota Tasikmalaya tidak memiliki Kebun Bibit. Hal ini mengakibatkan proses

penyulaman tanaman yang mati tidak dapat dilakukan karena sangat bergantung pada proses

pengadaan tanaman/pohon dari pihak ketiga.

b. SKPD pengelola RTH belum memiliki konsep pengembangan RTH sesuai fungsi-fungsi yang

diharapkan.

c. SKPD pengelola RTH belum mampu melakukan koordinasi dengan lembaga lain yang

asetnya dihitung sebagai RTHKP, yaitu sempadan SUTET milik PLN, sempadan rel kereta api

milik PT KAI dan sempadan sungai milik badan pengelola sungai. Lokasi-Lokasi tersebut

dibiarkan begitu saja tanpa penghijauan.

d. Keterbatasan APBD dalam pengembangan dan pengelolaan RTH, sehingga pengembangan

taman-taman di setiap kecamatan, kelurahan, dan lingkungan permukiman dan pemanfaatan

beberapa bidang tanah yang berasal dari kekayaan desa sebagai RTH belum dapat

dilaksanakan secara optimal.

e. Keterbatasan kompetensi SDM pengelola RTH. Pengembangan dan pengelolaan RTH baru

dilaksanakan secara manual belum sepenuhnya berbasis teknologi infomasi. Akibatnya

pemerintah kota tidak memiliki data yang valid mengenai lokasi dan sebaran RTH.

Permohonan ijin penebangan pohon dan pemanfaatan RTH untuk media aktifitas masyarakat

tidak terpantau dengan baik.

f. SKPD Pengelola RTH belum mampu memanfaatkan potensi CSR. Keterlibatan Pertamina,

Bank Jabar-Banten dan PT ASIA dalam revitalisasi taman baru sebatas pada penyediaan

aksesoris taman, seperti lampu, tempat duduk, dll

g. Rendahnya peran serta masyarakat dalam menyediakan RTH privat.

Berdasarkan uraian di atas, untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan langkah-langkah

penguatan yang harus dilakukan untuk mendukung kinerja kebijakan agar dapat diimplementasikan

dengan baik. Kinerja kebijakan dapat ditingkatkan melalui pengembangan kapasitas organisasi. UNDP

yang dikutip Milen (2006, dalam Samsu et al. 2015) memberikan pengertian pengembangan kapasitas

adalah proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi, dan masyarakat meningkatkan

kemampuan mereka untuk: (a) Menghasilkan kinerja pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (core

functions), memecahkan permasalahan, merumuskan dan mewujudkan pencapaian tujuan yang telah

ditetapkan, dan (b) Memahami dan memenuhi kebutuhan pembangunan dalam konteks yang lebih luas

dalam cara yang berkelanjutan. Pengembangan kapasitas ini akan mengarah pada upaya mewujudkan

pemerintahan yang memenuhi kriteria Good Governance (Sedarmayanti, (2005) dalam Sari et al.,

2014). Selanjutnya Riyadi (2003 dalam Ratnasari et al. 1999) menjelaskan beberapa faktor yang secara

signifikan mempengaruhi pembangunan kapasitas organisasi yaitu: 1) Komitmen Bersama; 2)

Kepemimpinan yang kondusif; 3) Reformasi kelembagaan: 4) Reformasi Peraturan; dan 5)

Page 17: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

391

Peningkatan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan pernyataan Israel (1992

dalam Hamidi & Zulkarnaini, 2005) yang menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan atau kegagalan kelembagaan adalah kepemimpinan yang kuat, manajemen yang baik

serta komitmen. Berikut ini adalah upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mendukung kinerja

kebijakan penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya agar dapat diimplementasikan

dengan baik.

1. Strategi Penguatan Komitmen Kepala Daerah dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di

wilayahnya harus diwujudkan dengan:

a. Menerbitkan Peraturan Walikota yang mengatur mengenai mekanisme pemberian kompensasi

untuk tanah hak yang ditujukan menjadi Hutan Kota dan mekanisme pemberian sanksi dan

mekanisme penyetoran denda yang dibayarkan oleh pelanggar. Peraturan Walikota ini

merupakan tindak lanjut dari Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2016

Tentang Hutan Kota yang didalamnya mengatur kompensasi untuk tanah hak yang ditujukan

menjadi Hutan Kota;

b. Merevisi Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013 tentang Ruang Terbuka

Hijau, karena di dalamnya belum mengatur mengenai pemberian insentif dan disinsentif serta

sanksi bagi perusakan RTH. Revisi Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013

tentang Ruang Terbuka Hijau ini selanjutnya harus ditindaklanjuti oleh Peraturan Walikota

yang mengatur mengenai mekanisme pemberian insentif dan disinsentif bagi masyarakat yang

menyediakan RTH privat serta sanksi bagi perusakan RTH publik. Dasar hukum pemberian

insentif dan disinsentif ini adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 39 yang

menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai

dengan rencana tata ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh

pemerintah dan pemerintah daerah. Insentif yang diberikan dapat berupa: a). Keringanan

pajak; b) Pembangunan serta pengadaan infrastruktur; c) Kemudahan prosedur perijinan;

dan/atau d) Pemberian penghargaan kepada masyarakat dan swasta. Sementara itu, pemberian

disinsentif dapat berupa: a) Pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya

biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang;

dan/atau b) Pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.

c. Menyusun besaran kompensasi/insentif/ imbal jasa ekosistem yang akan diberikan pemerintah

daerah dengan memperhatikan peraturan pernudang-undangan yang berlaku, kemampuan

anggaran daerah dan jasa ekosistem/jasa lingkungan yang dihasilkan dari RTH privat tersebut.

Hal ini untuk menjamin keberlanjutan lahan RTH privat tersebut sebagai Hutan Kota. Hal ini

sesuai dengan pendapat Landell-Mills and Porras (2002) dan Gómez-Baggethun et al., (2010)

dalam (Pasha, R., dkk, 2010) bahwa kebijakan ekonomi lingkungan berbasis pasar mendasari

konsep pembayaran jasa lingkungan. Pendekatan ini berprinsip bahwa siapa yang

menyediakan jasa lingkungan harus diberi insentif atau imbalan terhadap usaha mereka

tersebut dan siapa yang memanfaatkan jasa lingkungan harus berkontribusi terhadap

pemberian insentif tersebut. Pascual et al., (2010 dalam (Pasha, R., dkk, 2010) menjelaskan

bahwa skema pembayaran jasa lingkungan sebagai instrumen berbasis pasar pada mulanya

didesain sebagai instrumen untuk meningkatkan efisiensi konservasi. Skema dengan efisiensi

tinggi mengharuskan tingkat kondisionalitas yang ketat mengenai stok dan suplai jasa

lingkungan dengan mengutamakan kepentingan konservasi.

d. Pemerintah Kota Tasikmalaya harus segera menerbitkan Peraturan Walikota yang mengatur

mengenai pengajuan penebangan pohon oleh masyarakat. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi

penebangan liar dan perusakan RTH public dan RTH privat.

e. Pemerintah Kota Tasikmalaya harus segera menyusun Masterplan RTH dan Masterplan

Pemakaman yang bertujuan agar penyediaan RTH dan pemakaman dapat didata dan dikelola

dengan optimal. Keberadaan Masterplan RTH dan Masterplan Pemakaman akan mem-

permudah pemerintah daerah untuk mengarahkan para developer dalam menunaikan

kewajibannya untuk menyerahkan fasos/fasum yang diperuntukkan untuk pembangunan RTH

Page 18: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

392

dan pemakaman umum. Kedua Masterplan tersebut harus ditetapkan oleh Walikota sebagai

dokumen resmi pemerintah Kota Tasikmalaya.

f. Penguatan dalam penegakan hukum terkait Pemanfaatan dan pengelolaan tata ruang termasuk

didalamnya RTH

2. Strategi Penguatan Kelembagaan Perangkat Daerah Pengelola RTH. Reformasi kelembagaan

pada intinya menunjuk kepada bagian struktural dan kultural. Maksudnya adalah adanya budaya

kerja yang mendukung pengembangan kapasitas. Kedua aspek ini harus dikelola sedemikian rupa

dan menjadi aspek penting dan kondusif dalam menopang program pengembangan kapasitas

(Ratnasari et al. 1999). Telah dibahas sebelumnya bahwa pada saat ini program pengelolaan RTH

di Kota Tasikmalaya dilaksanakan oleh 3 SKPD yaitu Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan,

Dinas Pekerjaan Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan, dan Kantor Pengendalian Lingkungan

Hidup. Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan lebih fokus pada penyediaan dan pengelolaan

RTH yang berbentuk lahan petanian dan hutan kota. Dinas Pekerjaan Cipta Karya, Tata Ruang dan

Kebersihan, lebih fokus pada pengelolaan fasilitas umum dan fasilitas sosial, termasuk diantaranya

RTH, yang harus diserahkan oleh pihak pengembang perumahan kepada Pemerintah Kota

Tasikmalaya. Sedangkan Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup mengelola seluruh jenis RTH,

termasuk juga diantaranya adalah hutan kota yang menjadi kewenangan Dinas Pertanian,

Perikanan dan Kehutanan. Adanya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi diantara ketiga SKPD

tersebut harus disikapi dengan dilaksanakannya restrukturisasi lembaga. Struktur organisasi yang

dibentuk harus memiliki spesialisasi kerja tertentu dan harus ditindaklanjuti oleh mekanisme kerja

yang solid serta SOP yang jelas, sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan efektifitas dan

efisiensi kinerja kebijakan penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya. Dengan akan

diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, dimana urusan kehutanan

yang semula berada di pemerintah kabupaten/kota dan selanjutnya akan diserahkan menjadi

kewenangan pemerintah provinsi, maka urusan kehutanan yang berada di Dinas Pertanian,

Perikanan dan Kehutanan harus dicabut. Dan sebagai konsekuensi akhirnya adalah restrukturisasi

lembaga.

3. Strategi Penguatan Sumber Daya. Dengan ditemukannya berbagai permasalahan yang

menyangkut sumber daya, maka Pemerintah Kota Tasikmalaya harus mampu mengoptimalkan

lahan milik Pemerintah Kota Tasikmalaya dan lahan privat untuk dijadikan RTH. Untuk

mendukung hal tersebut, maka alokasi anggaran untuk penyediaan dan pengelolaan RTH harus

memadai sesuai kebutuhan. Keterbatasan kompetensi SDM pengelola RTH harus disikapi dengan

memberikan bimbingan teknis dan diklat teknis agar kompetensinya meningkat. Pengembangan

dan pengelolaan RTH harus sepenuhnya berbasis teknologi infomasi, hal ini bertujuan agar

pemerintah kota dapat memiliki data yang valid mengenai lokasi dan sebaran RTH serta dapat

memantau proses pengajuan ijin penebangan pohon dari masyarakat serta proses pengajuan

peminjaman/pemanfaatan RTH oleh masyarakat untuk media aktifitas masyarakat. SKPD

pengelola RTH harus mampu melakukan koordinasi dengan lembaga lain yang asetnya dihitung

sebagai RTH, yaitu sempadan SUTET milik PLN, sempadan rel kereta api milik PT KAI dan

sempadan sungai milik badan pengelola sungai untuk dibangun dan dikelola sebagai RTH.

Pemerintah Kota Tasikmalaya harus memiliki Kebun Bibit agar proses penyulaman tanaman yang

mati dapat dilakukan dengan segera tanpa harus bergantung pada proses pengadaan

tanaman/pohon dari pihak ketiga.

4. Strategi Penguatan Kemitraan. Minimnya kemampuan anggaran Pemerintah Kota Tasikmalaya

untuk pembangunan dan pengelolaan RTH harus disikapi dengan mengoptimalkan kerjasama

dengan pihak swasta dan atau masyarakat melalui pemanfaatan dana CSR dan pemberdayaan

masyarakat. Kerjasama dengan pihak ketiga harus dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama untuk

menjamin keberlanjutan kerjasama tersebut. Kerjasama antara pihak swasta dengan pemerintah

telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka

Hijau Kawasan Perkotaan, yang menjelaskan bahwa pemanfaatan RTHKP publik dapat

dikerjasamakan dengan pihak ketiga ataupun antar pemerintah daerah serta Peraturan Pemerintah

Page 19: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

393

Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang menjelaskan bahwa dalam

mewujudkan rencana penyediaan RTH publik pemerintah dapat mengembangkan kerjasama

kemitraan dengan masyarakat dalam meningkatkan penyediaan RTH publik. Widyastuti (2010)

menjelaskan yang dimaksud dengan jaringan kerja atau kemitraan adalah proses saling untuk

kebersamaan mendengarkan satu sama lain. Terdapat dua jenis jaringan, yaitu: 1) Jaringan

fungsional, yang mementingkan partisipasi, relevansi dan pragmatisme; dan 2) Jaringan

institusional, yang mementingkan keanggotaan, koordinasi, dan formalitas. Sementara itu Sari et

al. (2016) menjelaskan bahwa peran serta masyarakat dalam pengelolaan RTH dipengaruhi oleh

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi a) Pengetahuan; b) Persepsi, dan c)

Sikap. Sementara faktor eksternal meliputi a) Kondisi sosial, ekonomi dan budaya; b) Luas tanah

c) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW); d) Peran pemerintah dalam mendorong pelaksanaan

RTH; dan e) Penegakan hukum yang berkaitan dengan penataan ruang dan RTH. Berdasarkan hal

tersebut, maka dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyediaan dan

pengelolaan RTH, pemerintah harus berperan aktif dalam melaksanakan : a) Sosialisasi yang

intensif dan berkelanjutan terkait pentingnya RTH bagi keberlanjutan kehidupan di masa

mendatang dan manfaat yang dapat dirasakan oleh generasi sekarang dan generasi mendatang,

baik manfaat ekonomi, ekologi maupun sosial budaya; b) Memberikan bimbingan teknis bagi

masyarakat dalam penyediaan dan pengelolaan RTH sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku; c) Membuka ruang komunikasi yang luas agar masyarakat dapat turut berpartisipasi

dalam proses perencanaan penyediaan RTH Publik, hal ini bertujuan agar pemerintah dapat

mengetahui secara jelas apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakat terkait

bentuk/jenis RTH Publik yang akan dibangun di wilayahnya: d) Melakukan sosialisasi terkait

perijinan (IMB) dan penataan ruang serta melakukan penegakan hukum bagi pelanggar IMB dan

merusak RTH.

Keempat strategi diatas dapat diwujudkan dengan maksimal apabila didukung penuh oleh

pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tasikmalaya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat,

ASN Pemerintah Kota Tasikmalaya dan masyarakat serta dunia usaha. Peran DPRD Kota Tasikmalaya

sangat penting dalam upaya merevisi Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013

tentang Ruang Terbuka Hijau karena di dalam Peraturan Daerah tesebut belum mengatur mengenai

pemberian insentif dan disinsentif serta sanksi bagi perusakan RTH. DPRD pun sangat berperan di

dalam menetapkan alokasi anggaran untuk penyediaan dan pemeliharaan RTH dan restrukturisasi

perangkat daerah pengelola RTH yang akan ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Peran Pemerintah

Provinsi Jawa Barat pun sangat penting karena kebijakan pembangunan jalan provinsi di wilayah Kota

Tasikmalaya serta kebijakan pembangunan lainnya di wilayah Kota Tasikmalaya akan secara tidak

langsung mempengaruhi penataan ruang di wilayah Kota Tasikmalaya, akan banyak lahan produktif

yang akan berubah menjadi lahan terbangun. Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat pun dapat

memberikan jasa ekosistem kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya sebagai reward atas upayanya

membangun RTH di wilayahnya. Implementasi Kebijakan Penyediaan RTH, Masterplan RTH dan

Masterplan Pemakaman sangat dipengaruhi oleh anggaran dan kapasitas ASN Pengelola RTH. Oleh

karena itu ASN Pengelola RTH harus memiliki kompetensi, kapasitas dan jumlah yang memadai

sesuai dengan kebutuhan. Demikian pula partisipasi dari masyarakat, peran serta masyarakat dan dunia

usaha akan sangat membantu Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam penyediaan dan pengelolaan RTH

di wilayah Kota Tasikmalaya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan penyediaan

dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya sudah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun

2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya Tahun 2011-2013 dan

Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013 tentang Ruang Terbuka Hijau dengan target

kinerja luasan RTH publik sebesar 3.694 Ha atau sekitar 20,09% dari luas wilayah kota dan 10%

Page 20: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

394

lainnya merupakan RTH privat. Hasil yang dicapai pada tahun 2016, Pemerintah Kota Tasikmalaya

telah memiliki luas RTH mencapai 64.190,03 Ha atau 34,9% dari luas wilayah Kota Tasikmalaya, di

mana pada tahun 2012 luas RTH di Kota Tasikmalaya hanya seluas 793,03 Ha atau 4,421% dari luas

wilayah. Keberhasilan ini didukung oleh: 1) Adanya kebijakan teknis berupa Peraturan Daerah:

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota

Tasikmalaya Tahun 2011-2013, Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013 tentang

Ruang Terbuka Hijau dan Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2013 tentang Hutan

Kota; 2) Political will Walikota untuk membeli gunung-gunung di wilayah Kota Tasikmalaya yang

tidak produktif untuk pertambangan untuk dijadikan Hutan Kota; 3) Memiliki perangkat daerah yang

mengelola RTH; 4) Adanya alokasi anggaran untuk penyediaan dan pengelolaan RTH, walaupun

belum sesuai kebutuhan; dan 5) Adanya kemitraan dengan pihak swasta, walaupun lingkupnya belum

optimal. Namun demikian, keberhasilan penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya

ternyata masih menyisakan beberapa kendala yang segera harus diselesaikan agar tidak menghambat

kinerja kebijakan lebih lanjut, yaitu: 1) Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki peraturan

walikota yang mengatur kompensasi untuk tanah hak yang ditujukan menjadi Hutan Kota; 2)

Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki peraturan walikota yang mengatur sangsi bagi perusak

hutan kota dan mekanisme penyetoran denda yang dibayarkan oleh pelanggar peraturan daerah

maupun peraturan walikota; 3) Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki peraturan walikota yang

mengatur pemberian insentif dan disinsentif serta sanksi bagi perusakan RTH; 4) Pemerintah Kota

Tasikmalaya belum memiliki peraturan walikota terkait pengajuan penebangan pohon oleh

masyarakat; 5) Pemerintah Kota Tasikmalaya belum memiliki Masterplan RTH; 6) Pemerintah Kota

Tasikmalaya belum memiliki Masterplan Pemakaman; 7) Pemerintah Kota Tasikmalaya tidak

memiliki Kebun Bibit; 8) SKPD pengelola RTH belum memiliki konsep pengembangan RTH sesuai

fungsi-fungsi yang diharapkan; 9) SKPD pengelola RTH belum mampu melakukan koordinasi dengan

lembaga lain yang asetnya dihitung sebagai RTHKP, yaitu sempadan SUTET milik PLN, sempadan

rel kereta api milik PT KAI dan sempadan sungai milik badan pengelola sungai; 10) Keterbatasan

APBD dalam pengembangan dan pengelolaan RTH; 11) Keterbatasan kompetensi SDM pengelola

RTH; 12) SKPD Pengelola RTH belum mampu memanfaatkan potensi CSR dan 13) Rendahnya peran

serta masyarakat dalam menyediakan RTH privat.

Saran

Melihat masih adanya faktor penghambat dalam penyediaan dan pengelolaan RTH di Kota

Tasikmalaya, maka perlu dilakukan beberapa strategi penguatan, yaitu 1) Penguatan komitmen

Walikota Tasikmalaya untuk segera menerbitkan peraturan walikota yang mengatur pemberian

insentif/ imbal jasa ekosistem, disinsentif dan sangsi bagi perusakan RTH termasuk Hutan Kota dan

merevisi Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 Tahun 2013 tentang Ruang Terbuka Hijau

serta penguatan dalam penegakan hukum terkait tata ruang termasuk didalamnya RTH; 2) Penguatan

struktur organisasi dan tata kelola lembaga perangkat daerah yang berwenang dalam penyediaan dan

pengelolaan RTH di Kota Tasikmalaya, agar dapat bekerja lebih efektif dan efisien melalui

restrukturisasi lembaga, tugas pokok dan fungsi serta SOP yang jelas; 3) Penguatan sumber daya

diperlukan untuk mengoptimalkan lahan milik Pemerintah Kota Tasikmalaya dan lahan privat untuk

dijadikan RTH sehingga perlu alokasi anggaran yang memadai sesuai kebutuhan, peningkatan

kompetensi SDM pengelola RTH melalui bimbingan teknis dan diklat teknis, pengembangan dan

pengelolaan RTH berbasis teknologi infomasi serta pembangunan kebun bibit; dan 4) Penguatan

Kemitraan. Minimnya kemampuan anggaran Pemerintah Kota Tasikmalaya untuk pembangunan harus

disikapi dengan mengoptimalisasikan kerjasama dengan pihak swasta dan atau masyarakat melalui

pemanfaatan dana CSR. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyediaan dan

pengelolaan RTH, pemerintah harus berperan aktif dalam melaksanakan : a) Sosialisasi yang intensif

dan berkelanjutan; b) Memberikan bimbingan teknis bagi masyarakat dalam penyediaan dan

Page 21: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

395

pengelolaan RTH sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) Membuka ruang komunikasi

yang luas agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam proses perencanaan penyediaan RTH

Publik; d) Melakukan sosialisasi terkait perijinan (IMB) dan penataan ruang serta melakukan

penegakan hukum bagi pelanggar IMB dan merusak RTH.

DAFTAR PUSTAKA

Astriani, N., 2014. Implikasi Kebijakan Ruang Terbuka Hijau Dalam Penataan Ruang Di Jawa Barat.

Fiat Justicia Jurnal Ilmu Hukum, 8(2), pp. 242–254.

Chintantya, D. dan M., 2017. Peranan Jasa Ekosistem dalam Perencanaan Kebijakan Publik di

Perkotaan The Role of Ecosystem Services in Urban Public Policy Planning. Proceeding Biology

Education Conference. pp. 144–147.

Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Kebersihan Kota Tasikmalaya Tahun, 2012. Laporan Ruang

Terbuka Hijau di Kota Tasikmalaya.

Hamidi, R. & Zulkarnaini, 2005. Kapasitas Lembaga Usaha Ekonomi Desa. Jurnal Demokrasi dan

Otonomi Daerah, 11(2), pp.135–143.

Kantor Lingkungan Hidup Kota Tasikmalaya, 2016. Laporan Ruang Terbuka Hijau di Kota

Tasikmalaya.

Pasha R, Asmawan T, Leimona B, Setiawan E, W.C., 2010. Komoditisasi atau koinvestasi jasa

lingkungan ? Skema Imbal Jasa Lingkungan Program Peduli Sungai di DAS Way Besai,

Lampung, Indonesia. Bogor, Indonesia.

Peramesti, N.P.D.Y., 2016. Implementasi Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Dalam Penyediaan

Ruang Terbuka Hijau Di Kota Administrasi Jakarta Selatan Provinsi DKI Jakarta. Jurnal

Politikologi, 3(1), pp.1–10.

Purnomohadi, S., 1995. Peran Ruang Terbuka Hijau Dalam Pengendalian Kualitas Udara di DKI

Jakarta. Disertasi Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Rahadian, A.H., 2016. Strategi Pembangunan Berkelanjutan. Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-

2883. pp. 46–56.

Ratnasari, J.D., Makmur, M. & Ribawanto, H., 1999. Pengembangan Kapasitas (Capacity Buliding)

Kelembagaan Pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jombang. Jurnal Administrasi

Publik, 1(3), pp.103–110.

Rochim, F.N.R. & Syahbana, J.A., 2013. Penetapan Fungsi Dan Kesesuaian Vegetasi Pada Taman

Publik Sebagai Ruang Terbuka Hijau Di Kota Pekalongan (Studi Kasus : Taman Monumen 45

Kota Pekalongan). Jurnal Teknik PWK, 2(3), pp.314–327.

Samsu, A. et al., 2015. Pengembangan Kapasitas Organisasi dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan

Publik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone. Government Jurnal Ilmu

Pemerintahan, 8(2), pp.93–104.

Sari, N., Noor, I. & Prasetyo, W.Y., 2014. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah

Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu (Studi pada Kantor Pelayanan dan

Perizinan Terpadu Kabupaten Kediri). Jurnal Administrasi Publik, 2(4), pp.634–640.

Page 22: KEBIJAKAN PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN RUANG … file376 Mayor's program policies and political will to buy unproductive mountains to become urban forests and establish cooperation with

396

Sari, S.R., Iswanto, D. & Indrosaptono, D., 2016. Peningkatan Peran Serta Masyarakat Dalam

Pengelolaan Ruang Terbuka Kota Yang Sehat (Studi Kasus : Kawasan Kota Lama Semarang).

Jurnal Modul, 16(2), pp.81–85.

Widyastuti, M., 2010. Peningkatan Kapasitas Lembaga DPRD Kabupaten/Kota. Jurnal Madani, 1.

Peraturan Perundang-undangan

……Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

……Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan

Perkotaan.

……Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

……Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

……Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan

Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.

……Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Kota Tasikmalaya Tahun 2011-2031.