Kebijakan penerimaan pemerintah

64
KEBIJAKAN PENERIMAAN PEMERINTAH Disusun Oleh: Abdurrozak Zaki Betrika Oktaresa Indayanita Susia Situmeang Pratiwi Parowung Yoga Kus Subandoro

description

 

Transcript of Kebijakan penerimaan pemerintah

Page 1: Kebijakan penerimaan pemerintah

KEBIJAKAN PENERIMAAN PEMERINTAH

Disusun Oleh:

Abdurrozak ZakiBetrika OktaresaIndayanita Susia SitumeangPratiwi ParowungYoga Kus Subandoro

Sekolah Tinggi Akuntansi NegaraDiploma IV – Kelas 8B BPKP

Page 2: Kebijakan penerimaan pemerintah

BAB I

GAMBARAN UMUM PENERIMAAN NEGARA

Untuk mewujudkan tujuan nasional dan membiayai segala pengeluarannya, semua

negara membutuhkan sumber penerimaan. Adapun sumber penerimaan negara dapat berasal

dari penerimaan Pajak dan Non Pajak. Penerimaan bukan pajak misalnya adalah penerimaan

pemerintah yang berasal dari pinjaman pemerintah baik pinjaman dalam negeri maupun

pinjaman luar negeri, penerimaan dari badan usaha milik pemerintah, penerimaan dari lelang,

dan sebagainya.

A. PAJAK

1. Definisi pajak

Banyak definisi atau batasan yang telah dikemukakan oleh pakar yang satu sama lain

pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga

mudah untuk dipahami, perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang

digunakan oleh masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak.

Pengertian pajak secara umum adalah iuran wajib dari penduduk kepada negara

berdasarkan undang-undang yang pelaksanaannya dapat dipaksakan tanpa mendapat

imbalan secara langsung yang hasilnya digunakan untuk menyelenggarakan

pemerintahan dan pembangunan nasional

Menurut Remsky K. Judisseno (1997:5), “Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan

dan pengabdiaan peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk

membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan nasional yang

pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan

kesejahteraan dan negara”. Sedangkan menurut Mardiasmo (2002:1), “Pajak adalah iuran

rakyat kepada negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan

tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang

digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Lebih lanjut, menurut Pajak ialah iuran rakyat kepada negara (peralihan kekayaan

dari sektor swasta ke sektor publik) berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan

dengan tidak mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjukan, yang digunakan

Page 3: Kebijakan penerimaan pemerintah

sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada

dalam bidang keuangan negara”.

Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak mempunyai beberapa

unsur, antara lain:

a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya dapat

dipaksakan,

b. Dalam pembayaran pajak tidak terdapat kontra prestasi secara langsung kepada

pembayar pajak,

c. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun daerah,

d. Pajak diperuntukkan untuk pengeluraan pemerintah.

e. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran

Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan

pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau

melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi

mengatur / regulatif).

2. Asas pemungutan pajak

Asas-asas pemungutan pajak adalah asas untuk dapat mencapai tujuan dari

pemungutan pajak. Ada banyak pendapat dari para ahli mengenai asas-asas dalam

pemungutan pajak. Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations menyebut ada empat

asas pemungutan pajak, yaitu:

a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan):

pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan

dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap

wajib pajak.

b. Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan

UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.

c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas

kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pakak (saat

yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya

atau disaat wajib pajak menerima hadiah.

Page 4: Kebijakan penerimaan pemerintah

d. Asas Effeciency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak

diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak

lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

Lebih lanjut, Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.

a. Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar

kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin

tinggi pajak yang dibebankan.

b. Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-

kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.

c. Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

d. Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan

yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).

e. Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-

kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak.

Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak

Adapun asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan

untuk mengenakan pajak adalah:

a. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence

principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu

penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk

kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident)

atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana

penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara

yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya

akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan

pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan

yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).

b. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan

(nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang menjadi landasan

Page 5: Kebijakan penerimaan pemerintah

pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang

memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari

mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas

domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan

dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak

atas world wide income

c. Asas sumber; negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas

suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya

apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh

orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di

negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status

dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi

landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari

negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari

penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah

Indonesia.

Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan

asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak

lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan

kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan

pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili

(dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di

sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting.

Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya,

yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak.

Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu

penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap

penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas

sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-

penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.

Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi

lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas

nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus. Indonesia

Page 6: Kebijakan penerimaan pemerintah

menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya.

Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam

ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.

Contoh lain penerapan asas pemungutan pajak di negara Jepang, untuk individu

yang merupakan penduduk (resident individual) diterapkan asas domisili, di mana

berdasarkan asas ini seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak

penghasilan atas keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di

Jepang maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-

resident) Jepang, dan badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar

pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di Jepang.

Sementara itu di Australia, untuk semua badan usaha milik negara maupun swasta

yang berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang

diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan usaha luar negeri,

hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di Australia

3. Fungsi pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,

khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber

pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran

pembangunan. Berdasarkan hal tersebut maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

a. Fungsi anggaran (budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara

dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat

diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan

rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.

Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah,

yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan

pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan

pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan

dari sektor pajak.

b. Fungsi mengatur (regulerend)

Page 7: Kebijakan penerimaan pemerintah

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak.

Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai

tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam

negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak.

Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea

masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

c. Fungsi stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan

yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan,

Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di

masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

d. Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua

kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga

dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan

pendapatan masyarakat.

4. Teori Pemungutan pajak

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi hak kepada

negara untuk memungut pajak. Mardiasmo (2003:3) menyatakan bahwa teori

pemungutan pajak adalah:

a. Teori Asuransi

Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh

karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi

asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.

b. Teori Kepentingan

Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya

perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang

terhadap Negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.

c. Teori Daya Pikul

Page 8: Kebijakan penerimaan pemerintah

Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar

sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul

dapat digunakan 2 pendekatan yaitu :

1) Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang

dimiliki oleh seseorang.

2) Unsur Subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang

harus dipenuhi.

d. Teori Bakti

Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan

negaranya. Sebagai warga Negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari

bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.

e. Teori Asas Daya Beli

Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut

pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah

tangga Negara. Selanjutnya Negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat

dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian

kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

5. Pengaruh pajak terhadap perekonomian

Selain sebagai sumber penerimaan suatu negara, pajak juga mempunyai pengaruh

terhadap perekonomian negara, antara lain:

a. Pengaruh terhadap sistem ekonomi secara keseluruhan

Secara umum, struktur perekonomian nasional (tanpa pajak) terdiri dari

Pendapatan Nasional (Y), jumlah Konsumsi (C) dan Tabungan (S). Hubungan

dari ketiga unsur tersebut adalah Pendapatan Nasional sama dengan jumlah

Konsumsi ditambah jumlah Tabungan (Y = C + S). Apabila seluruh Tabungan (S)

digunakan sebagai Investasi (S = I), maka tidak akan pernah terjadi inflasi

atau deflasi. Kadang-kadang yang muncul adalah jumlah Tabungan (S) lebih

besar dari jumlah Investasi (I) atau dengan kata lain, tidak semua tabungan

digunakan untuk investasi (S > I) maka akan terjadi kelesuan ekonomi,

penurunan harga (deflasi), dan pengangguran. Yang sering terjadi justru jumlah

Page 9: Kebijakan penerimaan pemerintah

Tabungan lebih rendah dari jumlah Investasi (S < I). Kondisi ini

menyebabkan kegairahan ekonomi dan kenaikan harga (inflasi).

b. Pengaruh terhadap komposisi produksi

Pajak dapat digunakan sebagai pendorong kepada pelaku ekonomi untuk

melakukan aktivitas tertentu dengan memberikan insentif-insentif. Berkaitan

dengan dimungkinkannya penerapan insentif pajak pada suatu daerah

tertentu, menimbulkan adanya beberapa alternatif pilihan yang dapat diambil

oleh para pelaku ekonomi.

c. Pengaruh terhadap usaha kerja

Sebagian besar penerimaan negara dari pajak di Indonesia adalah pajak

penghasilan yang dikenakan atas pendapatan para pegawai. Secara teoritis,

pegawai-pegawai tersebut mempunyai dua pilihan yaitu bekerja atau tidak

bekerja (memanfaatkan waktu santai) akibat adanya pengenaan pajak

penghasilan.

d. Pengaruh terhadap distribusi pendapatan

Tujuan pembangunan suatu negara pada umumnya adalah peningkatan

pendapatan per kapita nasional, penciptaan lapangan kerja, dan distribusi

pendapatan yang merata dan keseimbangan dalam neraca pembayaran

internasional. Secara teori, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin

tinggi pula persentase pendapatan yang ditabung. Dari kelompok-kelompok kaya

inilah diharapkan sejumlah dana tabungan yang dapat digunakan untuk

investasi. Dengan kata lain, masyarakat kelompok miskin tidak punya

kemampuan tabungan dan investasi. Menurut pengertian ini, pendapatan

nasional yang dikenai pajak akan banyak mempengaruhi turunnya jumlah

Page 10: Kebijakan penerimaan pemerintah

tabungan masyarakat bukan pada porsi pendapatan yang dikonsumsi yang

diasumsikan tetap. Tetapi pada kenyataannya, keadaan di negara-negara

berkembang termasuk Indonesia, pola konsumsi masyarakat cenderung lebih

tinggi dari pola konsumsi masyarakat di negara-negara maju. Sehingga sulit

didapatkan dana tabungan masyarakat. Penarikan dana masyarakat secara

sukarela dengan iming-iming bunga yang tinggi pada akhirnya juga ikut

berpengaruh pada tingkat inflasi nasional.

B. PENERIMAAN NON PAJAK

Disamping pajak, pemerintah dapat menggunakan sumber-sumber nonpajak

yang mampu menggalang dana bagi keperluan pembiayaan pengeluaran publik.

Masalah penerimaan pemerintah dari sektor nonpajak biasanya kurang mendapat

perhatian dbandingkan sengan penerimaan dari sektor pajak karena asal usul dan

pertanggungjawabannya sudah jelas. Jenis-jenis penerimaan non pajak tersebut antara

lain:

1. Retribusi

Retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintahkepada seseorang (dan

atau badan hukum) yang telahmenikmati jasa (dan barang) pemerintah. Kontra

prestasi/balas jasa atas pembayaran retribusi dapat diterima/dinikmati secara

langsung. Berlaku azas pengecualian atau exclution principle bagi yang tidak

menikmati jasa pemerintah tersebut dikecualikan dari pungutan retribusi

2. Keuntungan perusahaan negara

Adalah penerimaan pemerintah dari keuntungan dalam penjualan brang-barang dan

jasa yang dihasilkan oleh perusahaan negara.

3. Denda dan perampasan

Merupakan pungutan paksaan terhadap seseorang yang melanggar peraturan yang

dibuat pemerintah sebagau badan hukum publik.

4. Sumbangan masyarakat

Biasanya untuk jasa-jasa yang diberikan oleh pemerintah seperti pembayaran biaya

perijinan (lisensi). Perbedaanya dengan retribusi, balas jasa atas pembayaran

sumbangan masyarakat tidak diperoleh secara langsung.

5. Pencetakan uang

Karena sifat dan fungsinya, maka pemerintah memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki

oleh tiap individu dalam masyarakat. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk mencetak

Page 11: Kebijakan penerimaan pemerintah

uang kertas sendiri atau meminta kepada Bank Sentral untuk memberikan pinjaman

kepada pemerintah walaupun tanpa suatu jaminan. Pencetakan uang harus dijalankan

secara hati-hati oleh pemerintah, karena apabila kurang hati-hati pencetakan uang

cenderung menimbulkan inflasi.

6. Hasil undian negara

Seperti Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Untuk Indonesia dampaknya

cenderung negatif: Produktivitasnya rendah karena masyarakat jadi malas, memicu

tindakan kriminalitas, dan silang pendapat tentang kaidah agama (halal vs haram)

7. Pinjaman

Pinjaman bisa berasal dari dalam maupun luar negeri. Pinjaman bisa dilakukan antara:

negara dengan negara; negara dengan masyarakat dalam maupun luar negeri; negara

dengan badan internasional; negara dengan lembaga keuangan; negara dengan

masyarakat.

8. Hadiah

Penerimaan negara jenis ini merupakan pemberian yang sifatnya adalah volunter tanpa

balas jasa baik langsung maupun tidak langsung. Sumber hadiah dapat berasal dari;

Pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; Swasta kepada pemerintah; Pemerintah

suatu negara kepada negara lain

Page 12: Kebijakan penerimaan pemerintah

BAB II

PENERIMAAN PERPAJAKAN DAN PNBP DI INDONESIA

A. Perpajakan di Indonesia

Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan

terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan

adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang

bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara

langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor

privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak

menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu

dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua,

bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang

merupakan kebutuhan masyarakat.

Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu

perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya

kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara,

negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan

untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa

pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian

hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar

Berdasarkan wujudnya pajak di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu pajak langsung

dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang dibebankan secara langsung

kepada wajib pajak seperti pajak penghasilan. Sedangkan pajak tidak langsung adalah

pajak/pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai sumbangan wajib kepada negara yang

secara tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan sebagainya.

Ditinjau dari lembaga pemungutnya pajak dibedakan menjadi dua yaitu pajak pusat dan

pajak daerah. Pajak pusat merupakan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri

dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,

dan Bea Meterai. Sedangkan pajak daerah merupakan pajak yang pungut oleh pemerintah

daerah. Sesuai UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis-jenis pajak

Page 13: Kebijakan penerimaan pemerintah

yang dipungut daerah adalah pajak kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan

bermotor, pajak air permukaan, pajak rokok, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak

reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak

air tanah, pajak sarang burung walet, serta pajak bumi dan bangunan perdesaan dan

perkotaan.

(Rencana masih mau nambahin dikit lagi tentang sistem pemungutan. Tapi belum dapat

copasan.... XD)

B. PNBP di Indonesia

Pengertian Penerimaan Negara Bukan Pajak mencakup semua penerimaan dengan nama

dan bentuk apapun yang dapat dinilai dengan uang, baik yang diterima di dalam negeri,

maupun luar negeri, diluar penerimaan perpajakan (termasuk bea cukai) serta penerimaan

minyak dan gas bumi (migas). Penerimaan ini dalam garis besarnya dikelompokkan menjadi

dua golongan yaitu Penerimaan Umum dan Penerimaan Fungsional. Penerimaan umum

adalah yang secara umum terdapat pada setiap Departemen/Lembaga. Penerimaan Umum

PNBP secara umum terdapat pada setiap departemen/lembaga seperti: (1) penerimaan

penjualan seperti penjualan barang yang dihapuskan, penjualan kenderaan bermotor; (2)

penerimaan sewa seperti sewa rumah dinas, sewa gedung dan sewa barang milik negara

lainnya; (3) penerimaan jasa meliputi penerimaan jasa giro; (4) penerimaan kembali dan

penerimaan lain-lain, contohnya penerimaan kembali kelebihan pembayaran gaji/pensiun

serta penerimaan denda.

Penerimaan fungsional adalah jenis-jenis penerimaan yang diperoleh sebagai hasil

penjualan atau pemberian pelayanan yang diberikan oleh Departemen/ Lembaga sesuai

dengan fungsinya atau yang secara spesifik berada pada Departemen/ Lembaga. Penerimaan

fungsional PNBP bersumber dari hasil penyelenggaraan tugas/fungsi teknis suatu

departemen/lembaga seperti: (1) penerimaan rutin luar negeri seperti penerimaan visa/paspor,

penerimaan pemeriksaan dsb; (2) penerimaan khusus seperti pembagian laba BUMN,

penerimaan kembali pinjaman, dan penerimaan lain-lain Departemen Keuangan; (3)

penerimaan penjualan seperti penjualan hasil pertanian, hasil farmasi, hasil penerbitan dsb;

(4) penerimaan jasa seperti jasa rumah sakit, jasa kantor catatan sipil dsb; (5) penerimaan

pendidikanseperti uang pendidikan, uang ujian masuk, uang ujian praktek dsb; (6)

penerimaan kejaksaan dan pengadilan seperti legalisasi tanda tangan, denda tilang, ongkos

perkara, uang leges dan sebagainya.

Page 14: Kebijakan penerimaan pemerintah

Sedangkan menurut Undang – Undang No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara

Bukan Pajak, PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari

penerimaan perpajakan. Dalam Undang – Undang no. 20 tahun 1997 pasal 2 disebutkan

bahwa kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi:

1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah, antara lain berupa

penerimaan jasa giro, sisa anggaran pembangunan, dan sisa anggaran rutin.

2. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam, antara lain berupa royalti di bidang

perikanan, kehutanan, dan pertambangan.

3. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, antara lain

berupa dividen, bagian laba pemerintah, dana pembangunan semesta, dan hasil penjualan

saham pemerintah.

4. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah, antara lain berupa

pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pelatihan, pemberian hak paten,

merek, hak cipta, pemberian visa dan paspor, serta pengelolaan kekayaan negara yang

tidak dipisahkan.

5. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda

administrasi antara lain berupa lelang barang rampasan negara dan denda.

6. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah, antara lain berupa hibah dan

atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun pemerintah yang menjadi

hak pemerintah.

7. Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.

C.

Page 15: Kebijakan penerimaan pemerintah

BAB III

KEBIJAKAN UMUM PENERIMAAN PAJAK DAN NON PAJAK

A. Kebijakan Penerimaan Perpajakan

1. Kebijakan Umum Optimalisasi Penerimaan Pajak

Sumber pendapatan utama pemerintah yang paling potensional bersumber dari sektor

perpajakan. Oleh karena itu pajak harus dikelola dengan baik dan benar dengan

melakukan langkah-langkah yang tepat dalam melakukan optimalisasi potensi

penerimaan pajak. Optimalisasi Penerimaan Pajak dilaksanakan melalui kebijakan

ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan pajak.

Ekstensifikasi Penerimaan Pajak

Ekstensifikasi  penerimaan pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan

jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam admintrasi Direktorat

Jenderal Pajak (DJP). Ektensifikasi penerimaan pajak dilakukan dalam skala makro

ataupun mikro.

Ekstensifikasi dalam skala makro, ada dalam tataran kebijakan. Fiskus mengenakan

pajak atas subyek ataupun obyek pajak yang semula belum dikenakan pajak. Ini

dilakukan sejalan dengan perkembangan potensi ekonomi, baik melalui perkembangan

teknologi industri, perdagangan, transportasi, maupun informasi. Dengan pengkajian yang

komprehensif, dapatlah ditentukan subyek ataupun obyek pajak baru yang akan

menambah penerimaan pajak.

Ekstensifikasi dalam skala mikro, fiskus menambah wajib pajak terdaftar dari hasil

mencermati adanya wajib pajak yang memiliki obyek pajak untuk dikenakan pajak,

namun belum terdaftar dalam administrasinya. Ekstensifikasi dapat terjadi secara “soft”,

yaitu wajib pajak secara suka rela mendaftarkan diri. Atau dapat juga, berdasarkan data

yang dimilikinya fiskus melakukan pengukuhan secara jabatan.

Intensifikasi Penerimaan Pajak

Intensifikasi penerimaan pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan

pajak terhadap objek serta sumber pajak yeng telah tercatat atau terdaftar dalam

administrasi DJP dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak. Dengan

intensifikasi, fiskus mencermati apakah wajib pajak telah melaporkan seluruh obyek

Page 16: Kebijakan penerimaan pemerintah

pajak yang ada padanya dengan jumlah yang sebenarnya. Titik beratnya adalah masalah

teknis pemungutan pajak. Secara umum dilakukan dengan penyuluhan, dengan beragam

cara dan melalui berbagai media. Secara khusus untuk wajib pajak tertentu, bisa dalam

bentuk himbauan, konseling, penelitian, pemeriksaan dan bahkan penyidikan apabila

terdapat indikasi adanya pelanggaran hukum.

Sunset Policy yang sedang gencar dikampanyekan oleh Direktorat Jenderal Pajak,

adalah kebijakan ekstensifikasi sekaligus intensifikasi. Ekstensifikasi bagi mereka yang

belum terdaftar dan intensifikasi bagi yang sudah terdaftar. Dengan fasilitas tidak

dikenakannya sanksi administrasi, diharapkan wajib pajak akanmemenuhi kewajiban

pajaknya dengan benar. Di masa kini, ekstensifikasi dan intensifikasi akan lebih

mengandalkan pada ketersediaan data. Berbagai data telah dihimpun oleh Direktorat

Jenderal Pajak untuk diolah dan dieksekusi.

Kebijakan pemerintah dalam mendukung pelaksanaan ekstensifikasi dan intensifikasi

pajak salah satunya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 yang

berlaku mulai 27 Pebruari 2012 yang mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi,

dan pihak lain untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan

ke Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi

orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran

usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai

nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan

keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang  disampaikan kepada instansi lain di luar

Direktorat Jenderal Pajak.

Kebijakan ini sangat mendukung pelaksanaan sistem self assessmentsecara murni dan

konsisten. Karena dengan data dan informasi yang dihimpun, Direktorat Jenderal Pajak

akan memiliki infrastruktur yang dapat digunakan untuk mendeteksi secara cepat dan

akurat terhadap adanya kemungkinan ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi

kewajiban perpajakannya. Pengalaman empirik negara-negara maju yang berhasil

menerapkan sistem ini, kepatuhan sukarela (voluntary compliance) adalah kunci

utamanya. Dalam self assessment, wajib pajak dipercaya untuk menghitung pajaknya

sendiri. Karena wajib pajak sendirilah yang tahu berapa penghasilan yang diterimanya

dan hitungan pajak terutang, demikian juga dengan harta dan hutangnya. Kewajiban

tersebut dituangkan dan dilaporkan dalam SPT. Apa yang dilaporkan melalui SPT

tersebut pada dasarnya adalah penetapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak.

Page 17: Kebijakan penerimaan pemerintah

Administrasi pajak hanya menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan kepatuhan

wajib pajak. Dengan sistem ini, sepanjang tidak ditemukan data yang menyimpang, maka

otoritas penentuan besarnya jumlah pajak terutang sudah bergeser ke wajib pajak. Kondisi

ideal tersebut dibayang-bayangi dengan kondisi sebaliknya. Membayar pajak bukanlah

merupakan tindakan yang semudah dan sesederhana membayar untuk mendapatkan

sesuatu (konsumsi), tetapi dalam pelaksanaannya penuh dengan hal yang bersifat

emosional. Potensi bertahan untuk tidak membayar pajak sudah menjadi taxpayers

behavior.

2. Pengendalian Penerimaan Pajak

Adapun cara-cara mencegah terjadinya kebocoran perpajakan antara lain dapat

berupa:

a. Pemeriksaan pajak (tax audit)

Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,

keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional

berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan

kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

b. Sistem Informasi dan Teknologi

Pengendalian kebocoran melalui perbaikan sitem informasi dan teknologi ini bisa

dilakukan dengan:

- Dialog dan saling tukar pandangan antara Wajib Pajak dan fiskus

Dengan adanya dialog antara wajib pajak dan fiskus ini diharapkan akan

ditemukan titik temu dalam mengatasi permasalahan yang sering dihadapi oleh

para wajib pajak yang kurang mempahami regulasi perpajakan. Dengan dialog

diharapkan para wajib pajak lebih memiliki kesadaran dalam membayar pajak.

- Penerapan Teknologi Informasi

Teknologi informasi ini merupakan faktor utama yang menopang bangunan

sistem administrasi perpajakan yang dikelola DJP, karena mampu menyajikan

informasi secara akurat. Namun seandainya informasi yang tersaji tidak akurat,

dapat dibayangkan keputusan yang diambil pun akan menjadi tidak tepat.

Page 18: Kebijakan penerimaan pemerintah

c. Perbaikan Administrasi Pajak

Administrasi perpajakan memiliki peranan yang krusial di dalam menentukan

seberapa efektif sistem perpajakan suatu negara. Untuk mengoptimalkan administrasi

perpajakan ini dilakukan dengan perbaikan dibeberapa sector antara lain :

- Sumber Daya Manusia (SDM)

Sumber Daya Manusia selama ini merupakan sumber keluhan masyarakat

Wajib Pajak dan menjadi sumber yang menimbulkan citra negatif. Kondisi ini

harus direspon dengan melakukan perubahan dari sisi manusia. Sasaran perubahan

ini adalah dengan melaukan perbaikan pada remunerasi, perbaikan jenjang karir,

kompetensi dan pendidikan, perbaikan pada sisi job grading, serta internalisasi

nilai-nilai baru organisasi melalui penerapan kode etik.

- Struktur Organisasi

Struktur organisasi tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan

masyarakat yang dinamis dan cepat berubah. Struktur organisasi ini

mempengaruhi efektivitas pelayanan kepada masyarakat dan bahkan dapat

dimanfaatkan oleh pihak internal dan eksternal akibat adanya celah kelemahan

dari sisi struktur yang tidak terintegrasi.

Di sisi lain, strategi segmentasi Wajib Pajak hanya dapat dijalankan dengan

lebih efisien, terarah dan fokus apabila struktur organisasi dirombak dengan tidak

lagi berdasar jenis pajak tapi berdasar fungsi. Perubahan struktur organisasi ini

juga memberi pengaruh pada perbaikan proses bisnis, mekanisme sistem dan

prosedur, dan jalur koordinasi dan informasi.

- Prosedur Perpajakan

Prosedur pengurusan pajak diseluruh level dikeluhkan masyarakat sebagai

berbelit-belit dan tidak efisien, serta menjadi salah satu sumber ekonomi biaya

tinggi. Perbaikan pada proses bisnis merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan

dengan perbaikan pada struktur organisasi. Mekanisme dan sistem prosedur akan

menjadi lebih efisien jika proses bisnis tidak dipahami secara parsial, tetapi

merupakan suatu jaringan besar yang saling terkait dan terintegrasi. Oleh karena

itu, perbaikan prosedur harus diimbangi dengan memanfaatkan kelebihan dari

teknologi informasi.

Page 19: Kebijakan penerimaan pemerintah

d. Penegakan Hukum

- Penegakan Hukum Kepada Wajib Pajak

Sistem perpajakan di Indonesia adalah self assessment, di mana Wajib Pajak

diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri pajak

yang terutang. Wajib pajak juga harus melaporkan kewajiban tersebut sesuai

dengan jenis Pajak dan batas waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang

perpajakan. Agar pelaksanaan kewajiban perpajakan terwujud dengan baik, tidak

hanya dilakukan penyuluhan dan pelayanan perpajakan kepada Wajib pajak.

Tetapi juga dilksanakan tindakan penegakan hukum melalui verifikasi data,

pemeriksaan pajak, penyidikan, dan penagihan pajak.

- Penegakan Hukum kepada Fiskus

Dalam rangka penerapan Good Governance (GG) yang didukukng oleh tiga

pilar yang saling berhubungan. Dalam hal ini negara dan perangkatnya sebagai

regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna

produk dan jasa dunia usaha, maka terhadap aparat perpajakan (fiskus) perlu

dilakukan pengawasan. Penegakan hukum kepada fiskus meliputi penegakan

disiplin sebagai PNS serta penegakan hukum terhadap korupsi, kolusi, dan

nepotisme (KKN).

B. Kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak

1. Kebijakan dalam Optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak

Pendapatan Negara Bukan Pajak yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam

baik dari sektor Minyak bumi dan gas( Migas) maupun pertambangan lain ( Non Migas)

merupakan sumber pendapatan Negara yang sangat potensial karena begitu besarnya jenis

obyek yang bisa dikenakan dan tingkat cadangan yang terkandung dalam bumi Indonesia.

Adanya upaya untuk melakukan optimalisasi PNBP yang berasal dari pemanfaatan

sumber daya alam tentunya akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan

negara dari PNBP secara keseluruhan. Langkah langkah optimalisasi PNBP yang berasal

dari pemanfaatan sumber daya alam bisa dibagi menjadi dua yaitu melalui kegiatan

intensifikasi maupun ekstensifikasi.

Langkah langkah intensifikasi berarti kegiatan optimalisasi difokuskan kepada

pelaksanaan peningkatan penerimaan yang berasal dari obyek obyek maupun subyek

Page 20: Kebijakan penerimaan pemerintah

wajib bayar PNBP yang telah ditetapkan. Beberapa contoh kebijakan yang termasuk

langkah intensifikasi penerimaan PNBP yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam

yaitu :

a. Efisiensi cost recovery dan penurunan rasio cost recovery terhadap gross revenue;

Cost recovery adalah penggantian biaya operasi yang telah dikeluarkan kontraktor

terlebih dahulu oleh pemerintah yang terdiri atas biaya eksplorasi, biaya produksi, dan

biaya administrasi. Gross revenue adalah hasil penjualan produksi minyak dan gas

bumi sebelum dikurangi dengan biaya pokok atau biaya produksinya

b. Optimalisasi produksi pada lapangan yang saat ini ada melalui pencapaian target

lifting migas; Lifting merupakan hasil penjualan produksi minyak dan gas bumi

c. Pengawasan produksi dan pengaturan atas ekspor komoditas mineral dan batubara

tertentu

d. Penagihan atas penjualan hasil migas bagian pemerintah secara intensif

e. Revisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terkait dibubarkannya

Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) oleh Mahkamah Konstitusi

f. Reviu besaran royalti batubara untuk pengusaha penambangan pemegang Izin Usaha

Pertambangan (IUP) dalam PP No.9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang semula 3-7% menjadi 10-13,5%

g. Negosiasi ulang Kontrak Kerjasama dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan

Batubara (PKP2B)

h. Penyempurnaan peraturan tentang tata cara pemungutan, penagihan, pembayaran, dan

penyetoran PNBP sektor pertambangan mineral dan batubara, dan

i. Kerjasama dengan tim Optimalisasi Penerimaan Negara yang dibentuk oleh

Kementerian Koordinator Bidan Perekonomian dalam hal pengawasan kepatuhan

pelaksanaan kewajiban pembayaran PNBP yang dilakukan oleh pihak wajib bayar

Langkah langkah ekstensifikasi berarti kegiatan optimalisasi difokuskan kepada

peningkatan jumlah obyek maupun subyek wajib bayar PNBP. Adapun langkah langkah

ekstentifikasi yang ditempuh untuk meningkatkan penerimaan PNBP yang berasal dari

pemanfaatan Sumber Daya alam yaitu :

a. Penyederhanaan dalam proses perizinan

b. Term and Condition yang lebih menarik untuk wilayah kerja eksplorasi minyak bumi

dan gas yang berada di remote area

c. Percepatan pengembangan lapangan baru

Page 21: Kebijakan penerimaan pemerintah

d. Penelaahan terhadap ijin ijin tambang yang illegal dan menerbitkan ijin baru sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

2. Pengendalian PNBP

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan penerimaan yang tidak berasal

dari pajak, namun penerimaan ini merupakan penerimaan yang bersumber dari

masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan suatu instansi pemerintah pada

masyarakat. Saat ini pemerintah sedang berupaya mengoptimalkan PNBP untuk

menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembagunan nasional, oleh karena itu

dibutuhkan pengendalian internal yang baik untuk mencapai target PNBP sehingga

tujuan pemerintah dapat tercapai. Pengendalian internal terhadap prosedur PNBP yang

baik terlihat dari keakuratan pencatatan, kepatuhan, dan tingkat keefektifannya. Salah

satu contohnya adalah penerapan PP nomor 46 Tahun 2002 yang menjadi alat pengendali

internal terhadap PNBP di lingkungan Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sumatera

Utara, dimana peran PP nomor 46 Tahun 2002 sebatas controller dalam PNBP bukan

sebagai pendongkrak atau penambah jumlah PNBP.

Pada 2013, pemerintah menargetkan PNBP dari sektor pertambangan sebesar Rp 31

triliun atau meningkat dari target tahun ini yang ditetapkan sekitar Rp 29 triliun.  Untuk

target pendapatan negara dari pajak dan PNBP pertambangan pada 2013 adalah sebesar

Rp 110 triliun.

Sebelum tahun 1997, ketentuan perundang-undangan sebagai landasan

penyelenggaraan dan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku,

meliputi berbagai ragam dan tingkatan peraturan sehingga belum sepenuhnya

mencerminkan kepastian hukum. Banyak dan beragamnya bentuk pengaturan juga

mengakibatkan kekurangtertiban dan kerumitan dalam pengelolaan Penerimaan Negara

Bukan Pajak. Oleh karena itu, dibentuknya Undang – Undang Nomor 20 Tahun 1997

merupakan salah satu bentuk pengendalian Penerimaan Negara Bukan Pajak agar

optimal.

Adapun salah satu bentuk pengendalian yang dilakukan adalah seperti tertulis dalam

Pasal 6 Undang - Undang Nomor 20 Tahun 1997 di mana Menteri dapat menunjuk

Instansi Pemerintah untuk menagih dan atau memungut. Di sini adalah salah satu upaya

pemerintah agar PNBP yang tersebar dan banyak ini dapat dipungut oleh pihak yang

berwenang dalam bidang masing – masing, contohnya pada bidang pertambangan. Oleh

Page 22: Kebijakan penerimaan pemerintah

karena itu kewajiban Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berkaitan dengan

pemungutan pendapatan negara bukan pajak antara lain:

a. Mengadakan intensifikasi pemungutan pendapatan negara yang menjadi wewenang

dan tanggung jawabnya.

b. Mengintensifkan penagihan dan pemungutan piutang negara.

c. Melakukan penuntutan dan pemungutan ganti rugi atas kerugian negara.

d. Mengintensifkan pemungutan sewa penggunaan barang-barang milik Negara.

e. Melakukan penuntutan dan pemungutan denda yang telah diperjanjikan.

f. Mengenakan sanksi atas kelalaian pembayaran piutang negara tersebut di atas.

Menurut Menteri PAN-RB, peningkatan efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi

supervisi dan pengendalian PNBP pada Kementerian/Lembaga dapat dilakukan dengan

cara mengefektifkan seluruh fungsi pengawasan fungsional yang dilakukan oleh

Unit Pengawasan Internal, serta pengawasan atasan langsung terhadap keseluruhan

proses pengelolaan PNBP pada Kementerian/Lembaga.

Untuk pengendalian PNBP ini, BPKP juga ikut berpartisipasi untuk menertibkan

PNBP. Salah satunya yang dilakukan oleh Deputi perekonomian Bidang Instansi

Pemerintah Pusat yang membentuk tim Optimalisasi Penerimaan Negara. Sebagai

catatan, tim Teknis OPN pada 2004 dilaksanakan 236 auditor dari BPKP dan instansi

mitra yang tergabung dalam 63 tim audit pada lima satuan tugas. Kelima satuan itu

ialah pajak, bea dan cukai, PNBP sektor pertambangan, PNBP sektor kehutanan, PNBP

sektor kelautan dan perikanan, serta PNBP sektor perhubungan. Kemudian BPKP juga

melakukan asistensi penyusunan standard operating procedure (SOP) penerimaan

pajak, bea cukai, dan bukan pajak.

C. Optimalisasi Penerimaan Negara (APBN 2013)

Pendapatan negara pada periode 2007 – 2011 mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4

persen per tahun. Pertumbuhan tersebut berasal dari kontribusi penerimaan PNBP yang

tumbuh rata-rata sebesar 11,4 persen per tahun, kontribusi penerimaan perpajakan yang

tumbuh rata-rata sebesar 15,5 persen per tahun, dan penerimaan hibah yang tumbuh rata-rata

sebesar 32,6 persen per tahun.

Sementara itu, dalam APBN 2013 yang telah disahkan beberapa waktu yang lalu,

pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp1.529,7 triliun, yang terdiri atas penerimaan

perpajakan sebesar 78,01 persen, PNBP 21,7 persen, dan penerimaan hibah 0,29 persen.

Page 23: Kebijakan penerimaan pemerintah

Penetapan target tersebut telah memperhitungkan asumsi ekonomi makro seperti

pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, lifting migas, dan harga

minyak, juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang akan ditempuh di tahun 2013.

Target Perpajakan

Dalam APBN 2013, penerimaan perpajakan direncanakan mencapai sebesar Rp1.192.9

triliun, atau meningkat 17,38 persen dari target APBNP 2012. Rencana tersebut terdiri dari

penerimaan pajak dalam negeri sebesar Rp1.134,3 triliun dan penerimaan pajak perdagangan

internasional sebesar Rp58,7 triliun. Peneriman pajak dalam negeri terdiri dari penerimaan

pajak penghasilan sebesar Rp584,9 triliun, pajak pertambahan nilai sebesar Rp423,7 triliun,

pajak bumi dan bangunan sebesar Rp27,3 triliun, cukai sebesar Rp92 triliun, dan pajak

lainnya sebesar Rp6,3 triliun.

Sementara itu, penerimaan pajak perdagangan internasional terdiri atas penerimaan bea

masuk sebesar Rp27 triliun dan bea keluar sebesar Rp31,7 triliun. Dalam arti yang lebih

sempit (penerimaan perpajakan dibagi dengan PDB), tax ratio tahun 2013 mencapai 12,9

persen. Sementara itu, dalam arti luas di mana tax ratio mencakup penerimaan perpajakan

ditambah dengan penerimaan SDA migas dan pajak daerah dibagi dengan PDB, tax ratio

2013 mencapai 15,8 persen.

Tentu pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan perpajakan dengan tidak

mengganggu pertumbuhan ekonomi dan iklim investasi serta dunia usaha. Upaya tersebut

ditempuh antara lain dengan: 1) meningkatkan perbaikan penggalian potensi perpajakan; 2)

melakukan perbaikan kualitas pemeriksaan dan penyidikan pajak; 3) menyempurnakan

sistem informasi teknologi; 4) melakukan perbaikan kebijakan perpajakan nasional yang

diarahkan bagi perluasan basis pajak; 5) meningkatkan kegiatan sensus pajak nasional; 6)

meningkatkan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; 7) meningkatkan

pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; 8) ekstensifikasi cukai; 9)

menyesuaikan tarif PPnBM atas kelompok Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah

selain kendaraan bermotor; dan 10) pemberian insentif fiskal bagi kegiatan ekonomi strategis.

Perlu kita ketahui bahwa kebijakan di bidang perpajakan tidak hanya bertujuan

meningkatkan penerimaan perpajakan. Kebijakan di bidang perpajakan pada hakikatnya juga

untuk mendorong perekonomian nasional melalui pemberian insentif fiskal. Insentif fiskal

tersebut dapat berupa pembebasan atau pengurangan PPnBM dalam rangka mendorong

program Pemerintah untuk mengembangkan industri kendaraan bermotor. Dengan adanya

Page 24: Kebijakan penerimaan pemerintah

pembebasan atau pengurangan PPnBM tersebut diharapkan dapat mendorong industri untuk

menyediakan kendaraan dengan harga yang terjangkau masyarakat dan kendaraan bermotor

yang ramah lingkungan (hybrid dan low carbon emission). Selain itu, perlu kita ketahui pula

bahwa Pemerintah tetap berkomitmen untuk memberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk

pajak ditanggung Pemerintah, yang terdiri atas: 1) PPh DTP untuk komoditas panas bumi, 2)

PPh DTP atas bunga, imbal hasil dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan

kepada pemerintah dalam penerbitan SBN di pasar internasional, dan 3) bea masuk DTP.

PNBP Migas

Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013, diketahui bahwa PNBP

masih didominasi oleh penerimaan SDA migas yang ditargetkan sebear Rp174,86 triliun.

Penerimaan SDA non migas sebesar Rp22,33 triliun. Sementara itu, bagian Pemerintah atas

laba BUMN ditargetkan sebesar Rp33,5 triliun. Namun demikian, jika kita perhatikan lebih

lanjut, tentu bukan hal yang mudah untuk mencapai target penerimaan negara dari PNBP

migas. Hal ini mengingat penerimaan PNBP dari migas sangat dipengaruhi oleh beberapa hal

seperti harga minyak, lifting minyak dan gas bumi yang dijadikan sebagai dasar perhitungan

penerimaan SDA migas, dan kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh dalam tahun 2013.

Namun demikian, untuk mencapai target lifting migas, Pemerintah di antaranya akan

melakukan upaya-upaya sebagai berikut: 1) mendorong optimalisasi pada lapangan eksisting

dengan penerapan Enchaced Oil Recovery/EOR, 2) mempercepat pengembangan lapangan

baru dan struktur idle, 3) term and condition yang lebih menarik untuk wilayah kerja yang

berada di remote area dan/atau laut dalam, 4) meningkatkan kordinasi dengan instansi terkait

untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan regulasi perijinan, dan tumpang

tindih lahan dalam rangka peningkatan produksi minyak bumi nasional, serta 5)

melaksanakan Inpres Nomor 2 tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi

Nasional.

Page 25: Kebijakan penerimaan pemerintah

BAB IV

TAX POLICY FOR EMERGING MARKET : DEVELOPING COUNTRIES

Di negara berkembang, dalam menciptakan sistem perpajakan yang efektif dan efisien sering

kali menghadapi beberapa tantangan yang berat. Pertama adalah masalah struktur ekonomi

yang membuatnya sulit untuk membebankan dan menagih pajak-pajak tertentu. Kedua adalah

terbatasnya kapasitas administrasi perpajakan. Ketiga adalah minimnya dan buruknya

kualitas dari database yang dimiliki. Sehingga pada akhirnya kondisi politik negara

berkembang kurang dapat menerima sistem perpajakan yang rasional.

Negara berkembang sering dicirikan dengan :

1. Pertanian memiliki jumlah yang besar dalam total output dan penyediaan lapangan kerja,

2. Banyaknya aktivitas dan pekerjaan dalam sektor informal,

3. Terdapat banyak perusahaan kecil,

4. Jumlah yang kecil dari upah pada total pendapatan nasional, perusahaan modern, dan

sebagainya.

Karakteristik ini mengurangi kemungkinan ketergantungan pada pajak modern tertentu

seperti pajak pendapatan orang pribadi dan pada pajak pertambahan nilai. Dan juga

mengurangi kemungkinan pencapaian perpajakan tingkat tinggi.

Dalam peranannya sebagai konsekuensi struktur ekonomi sebagai hasil dari literasi yang

rendah dan human capital yang rendah, ini sangat sulit untuk mengkombinasikan semua

bahan untuk membangun sebuah administrasi perpajakan yang baik. Sebagai akibatnya

Negara sering mengembangkan sisem perpajakan mereka untuk mengambil apapun pilihan

yang mereka punya daripada mengembangkan sistem perpajakan modern dan efisien. Satu

konsekuensi pada situasi ini adalah bahwa banyak negara berkembang sering berujung

dengan terlalu banyaknya sumber pajak yang kecil, terlalu besar sebuah kepercayaan

terhadap pajak perdagangan luar negeri, dan pendayagunaan pajak pendapatan orang pribadi

yang kurang maksimal.

Kantor perpajakan dan statistik mempunyai kesulitan dalam hal menghasilkan statistic yang

dapat diandalkan dan detail. Hal ini dikarenakan peran yang luas dimainkan oleh kegiatan

informal, persyaratan pelaporan/pemberitaan yang dibatasi, banyak kegiatan yang tidak

Page 26: Kebijakan penerimaan pemerintah

dilaksanakan oleh perusahaan modern, dan karena adanya keterbatasan pembiayaan.

Kekuarangan data yang dapat diandalkan ini, memberikan kesulitan bagi pembuat kebijakan

untuk menilai dampak potensial dari perubahan sistem perundang-undangan perpajakan.

Akhirnya ini baik untuk diketahui bahwa negara berkembang cenderung memiliki distribusi

pendapatan yang lebih buruk dibanding dengan negara industry. Distribusi pendapatan yang

sangat tidak merata ini mempunyai 2 implikasi, pertama bahwa untuk menghasilkan

penerimaan pajak yang tinggi, deciles yang tinggi harus dipajaki secara signifikan dan

proporsional dari pada deciles yang rendah. Kedua, kekuatan ekonomi dan politik sering di

konsentrasikan pada deciles yang tinggi sehingga wajib pajak yang lebih kaya mampu untuk

menghindar dari reformasi perpajakan yang akan berpengaruh buruk terhadap mereka.

TINGKAT DAN SUSUNAN PENERIMAAN PAJAK

Dalam perspektif makroekonomi, aspek dari sistem perpajakan yang menjadi perhatian dari

para pembuat kebijakan di Negara berkembang adalah :

1. Apakah tingkat perpajakan keseluruhan yang ada, yang ditunjukan sebagai rasio

pendapatan perpajakan terhadap pendapatan domestic bruto telah sesuai,

2. Level khusus yang diberikan, apakah komposisi penerimaan pajak yang ada telah

sesuai (biasanya dalam urusan penerimaan relative terhadap pajak konsumsi).

Sesuai yang diharapkan disini sebagian berasal dari keyakinan publik bahwa biaya

kesejahteraan meningkat dengan adanya peningkatan perpajakan, dan bahwa, dalam pilihan

antara penerimaan pajak dan konsumsi, yang terakhir adalah lebih buruk dalam

mempengaruhi pertumbuhan jangka panjang. Literatur yang luas tentang teori pajak optimal

memberikan sedikit panduan praktis dalam pilihan tingkat perpajakan secara keseluruhan.

Literature yang ada sedikit lebih membantu dalam pilihan antara pajak pendapatan dan pajak

konsumsi, tapi bahkan di sini nilainya terbatas.

Tingkat Pendapatan Pajak Pertimbangan Teoritis

Alasan utama mengapa teori pajak optimal hanya sedikit membahas tentang memilih

keseluruhan beban pajak bagi perekonomian yakni bahwa banyak dari teori ini telah

dikembangkan untuk menyarankan struktur pajak yang optimal dalam konteks statis untuk

menaikkan beban pajak yang diberikan. Dengan demikian, teori tradisional belum

mengintegrasikan sisi pengeluaran dari anggaran dalam analisisnya. Untuk itu perlu, tujuan

pola kebijakan normatif, adanya model yang memiliki manfaat yang jelas pada pengeluaran

Page 27: Kebijakan penerimaan pemerintah

publik yang akan dibiayai oleh penerimaan pajak. Dengan kata lain, menentukan tingkat

pajak optimal secara konseptual setara untuk menentukan tingkat pengeluaran pemerintah

yang optimal.

Perbandingan-perbandingan internasional

Kurang jelasnya pendekatan alternatif untuk menilai apakah tingkat pajak secara keseluruhan

di negara berkembang sudah "tepat" , telah diperbandingkannya rata-rata beban pajak antara

negara berkembang dan maju, dengan memperhitungkan karakteristik beberapa negara. Hal

ini jelas bahwa pendekatan berdasarkan statistic yang meskipun populer dan berguna, tidak

memiliki dasar teoritis yang kuat.

Pendekatan ini menjadi cukup modis, terutama di tahun 1960-an dan 1970-an. Rasio

penerimaan pajak ini berkorelasi terhadap PDB (variabel dependen) untuk kelompok negara

besar terhadap beberapa variabel independen, untuk negara-negara yang sama, yang dapat

diharapkan mempengaruhi rasio pajak. Variabel yang sering digunakan dalam studi

pendapatan per kapita adalah pangsa output pertanian dalam PDB, pangsa ekspor mineral

dalam PDB, keterbukaan ekonomi (diukur dengan pangsa impor dan ekspor dalam GDP),

rasio uang untuk PDB, dan variabel lainnya. Ketika diselesaikan dengan data untuk negara

tertentu, persamaan regresi diperkirakan menyediakan rasio pajak hipotetis untuk negara itu.

Hal ini, rasio pajak kemudian dibandingkan dengan ratio pajak negara yang sebenarnya.

Perbandingan antara rasio pajak yang diperkirakan dari persamaan dan tingkat actual

perpajakan bagi negara menunjukkan apakah, dalam perbandingan dengan Negara lain, dan

dengan mempertimbangkan karakteristik sendiri, tingkat pajak negara di atas atau di bawah

yang diharapkan. Pajak yang berasal dari rasio ini telah ditafsirkan untuk mencerminkan

upaya tingkat pajak yang negara itu. Seperti dikatakan sebelumnya, seperti pendekatan

statistic yang tidak memiliki dasar teoritis dan tidak boleh ditafsirkan untuk menunjukkan

beban pajak "Optimal" bagi Negara manapun. Seperti Pendekatan yang telah sesuai baik

dalam pembentukan benchmark dimana suatu tingkat pajak negara bisa dinilai terhadap

norma dari Negara-negara yang sejenis dan dalam mengantisipasi kemungkinan

perkembangan masa depan dimana perekonominya menjadi lebih maju. Bahkan, regresi

biasanya menunjukkan bahwa, Ceteris Paribus pendapatan per kapita yang lebih tinggi

diimbangi dengan rasio dari pendapatan pajak terhadap PDB yang lebih tinggi.

Seperti telah disebutkan, banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi faktor

penentu tingkat pajak. Salah satu faktor penentu yang paling umum digunakan yakni

Page 28: Kebijakan penerimaan pemerintah

pendapatan per kapita, biasanya dengan alasan bahwa pembangunan ekonomi akan

membawa dampak pada peningkatan permintaan dalam pengeluaran publik (Tanzi, 1987)

serta pasokan/penawaran yang lebih besar dari kapasitas/potensi perpajakan untuk memenuhi

tuntutan tersebut (Musgrave, 1969).

Pertimbangan ini menyarankan dengan dukungan empiris umum yang kuat bahwa ada

korelasi positif antara tingkat pajak dan ekonomi pembangunan. Mereka juga menyarankan,

dalam teori, bahwa arah sebab-akibat cenderung bergeser dari pembangunan pada tingkat

pajak, dan bukan sebaliknya. Hal ini penting karena umumnya gagasan bahwa tingkat pajak

yang lebih tinggi akan menghasilkan distorsi yang lebih besar dan dengan demikian akan

merugikan/menghambat pertumbuhan, ini tidak selalu bertentangan dengan korelasi yang

diamati antara tingkat pajak dan pembangunan. Implikasi kebijakan utama dari diskusi di

atas untuk negara-negara berkembang adalah bahwa pembangunan ekonomi akan lebih sering

tidak menghasilkan tambahan kebutuhan atas penerimaan pajak untuk membiayai kenaikan

pengeluaran publik sementara pada saat yang sama meningkatkan kemampuan negara untuk

meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut

Isu penting dalam diskusi ini melibatkan komposisi pendapatan, pertama,

penghasilan relatif perpajakan atas konsumsi, dan kedua, di bawah konsumsi perpajakan,

pengenaan pajak pada impor konsumsi domestik. Pertimbangan pertama masalah konsumsi

pendapatan pajak campuran yang optimal. Dalam mengevaluasi manfaat dari kedua basis

pajak, baik efisiensi dan ekuitas terutama dalam Negara berkembang diberikan Gini koefisien

yang tinggi. Namun, literatur teoritis cenderung berfokus pada terdahulu.

Kepercayaan bahwa pajak pendapatan memerlukan biaya kesejahteraan yang lebih tinggi

(efisiensi) daripada pajak konsumsi terutama berdasarkan pengamatan bahwa pajak

pendapatan terdiri dari dua komponen besar: pajak tenaga kerja dan pajak modal. Karena

pajak tenaga kerja adalah setara dengan pajak atas konsumsi dalam kerangka antarwaktu,

pendapatan pajak menimbulkan tambahan distorsi dalam tabungan-yang hilang dari pajak

konsumsi. keputusan yang didasarkan pada pertimbangan siklus hidup, campuran/kombinasi

optimal pajak pendapatan dan pajak konsumsi akan tergantung sepenuhnya pada elastisitas

yang relevan, yaitu persediaan tenaga kerja dan saving.

Di negara berkembang, dampak perpajakan pada akumulasi modal fisik secara tradisional

menerima perhatian yang besar yang pada gilirannya telah menyebabkan penggunaan insentif

pajak untuk promosi yang berlebihan. Keprihatinan lain dalam pilihan antara pajak

Page 29: Kebijakan penerimaan pemerintah

pendapatan dan pajak konsumsi melibatkan dampak relatif (vertikal) ekuitas. Kekhawatiran

ini sangat penting mengingat distribusi pendapatan tidak merata di negara berkembang.

Secara tradisional, telah terpikirkan bahwa pajak konsumsi inheren lebih regresif dari pajak

pendapatan, karena secara administrative tidak layak untuk menerapkan secara efektif, dalam

skala yang luas, ukuran tarif pajak pada consumption.

Dari penilitian didapat beberapa hasil yang meragukan yaitu bahwa

Pertama, bentuk pajak konsumsi tradisional, yaitu pajak konsumsi terjadi (seperti pajak

pertambahan nilai (PPN) atau pajak penjualan ritel), telah ditemukan menjadi jauh lebih

regresif dari umumnya ketika dilihat dari siklus hidup- dari pada perspective statis, Kedua,

setidaknya dalam teori, konsumsi dapat dikenakan pajak atas dasar ukuran yang sama

sebagai pendapatan, dengan memungkinkan pemotongan tak terbatas dari pendapatan dari

tabungan.

Beralih ke isu pajak impor, ketergantungan tradisional bea masuk impor sebagai pemegang

pajak yang potensial dalam Negara berkembang menyiratkan bahwa menurunkan tarif harga

bisa menyebabkan konsekuensi ekonomi dan pendapatan yang signifikan dalam negara ini.

Pertama dan terpenting, pengurangan tarif, ketika terstruktur dengan wajar dan tidak disertai

dengan kenaikan lain secara eksplisit atau hambatan perdagangan implisit, akan mengarah

turunya nominal dan perlindungan efektif. Kedua, pengurangan tarif juga bisa mengakibatkan

kerugian yang signifikan pada pendapatan anggaran, setidaknya dijalankan dalam jangka

pendek sebelum volume impor masuk direspon. Sementara mengurangi perlindungan industri

domestic dari persaingan asing adalah konsekuensi yang tak terelakkan atau bahkan tujuan

dari setiap program liberalisasi perdagangan, mengurangi pendapatan anggaran bisa menjadi

tidak diinginkan oleh-produk dari program yang perlu ditujukan. Pendapatan kompensasi

yang layak di dalam situasi yang hampir selalu melibatkan penambahan pajak konsumsi

dalam negeri; hal ini jarang akan meningkatkan pajak pendapatan yang akan dianggap

sebagai pilihan yang layak atas dasar kebijakan baik (karena dianggap mereka berdampak

negatif terhadap investasi) dan perbandingan-perbandingan internasional.

Meskipun sulit untuk menarik kejelasan pola kebijakan normatif dari

atas perbandingan internasional mengenai campuran pendapatan pajak konsumsi,

menarik implikasi kebijakan positif diungkapkan oleh perbandingan ini adalah bahwa

ekonomi pembangunan cenderung menyebabkan pergeseran relative atas komposisi

pendapatan dari pajak konsumsi ke pajak pendapatan pribadi. Pada setiap titik waktu tertentu,

Page 30: Kebijakan penerimaan pemerintah

bagaimanapun kebijakan perpajakan negara-negara berkembang tidak begitu banyak

menentukan campuran pajak optimal seperti pada

a. memahami dengan jelas tujuannya yang akan dicapai oleh setiap pergeseran dalam

campuran,

b. menilai konsekuensi/dampak ekonomi dari pergeseran-dalam efisiensi dan masalah

ekuitas-dalam maksud tujuan yang memungkinkan, dan

c. menerapkan tindakan kompensasi-kemungkinan non-pajak (misalnya, pengeluaran),

jika mereka yang dibuat lebih buruk oleh pergeseran ini adalah dari desil yang

miskin.

ISU KEBIJAKAN DALAM PAJAK UTAMA YANG DIPILIH

Di negara-negara berkembang di mana pasar mengambil peranan penting dalam

mengalokasikan sumber daya, yang paling penting dari tujuan kebijakan pajak adalah untuk

meminimalkan campur tangan sistem pajak dalam proses alokasi, subjek, pendapatan dan

redistribusi kebutuhan. Ini berarti bahwa sistem perpajakan harus netral dalam desain yang

memungkinkan, itu juga harus memiliki prosedur dan aturan yang sederhana, dan

administrasi yang transparan. Berikut ini adalah subbagian kebijakan perpajakan yang

penting yang terjadi di Negara berkembang.

Pajak Pendapatan Orang Pribadi

Umum konseptual masalah yang berhubungan dengan Personal Income Tax (PIT) telah

dibahas secara komprehensif di Cnossen dan Bird (1990), meskipun fokus studi yang ada di

OECD

negara. Di negara berkembang isu mengenai bunga biasanya dalam lingkup yang lebih

sempit, tetapi umumnya membutuhkan perhatian yang lebih yang dibayar untuk implikasi

administrasi mereka, mengingat bahwa kemampuan administrasi jauh lebih mengikat dalam

negara-negara ini dibandingkan di negara maju. Juga, fakta bahwa pendapatan upah sering

kali merupakan bagian kecil dari pendapatan nasional yang memberikan kontribusi terhadap

kesulitan dalam menyelenggarakan PIT tersebut sebagai sumber pendapatan yang signifikan.

Struktur tariff

Setiap pembahasan tentang PIT di negara-negara berkembang harus mulai dengan

pengamatan bahwa pajak ini telah menghasilkan pendapatan yang sangat sedikit di sebagian

Page 31: Kebijakan penerimaan pemerintah

besar negara dan bahwa jumlah individu yang dikenakan pajak ini dan, terutama, yang wajib

pada tarif pajak tertinggi marjinal, sangat kecil. Tingkat struktur PIT sering menjadi

instrumen kebijakan yang paling nyaman dan terlihat bagi kebanyakan pemerintah dalam

mengembangkan negara untuk menekankan komitmen mereka dengan keadilan sosial, dan

karenanya untuk mendapatkan dukungan politik untuk kebijakan mereka. Oleh karena itu,

tidak mengherankan untuk menemukan bahwa banyak negara-negara berkembang sangat

mementingkan untuk mempertahankan beberapa tingkat tariff progresivitas nominal PIT

dengan menerapkan banyak golongan tarif pajak, dan enggan untuk melakukan reformasi PIT

yang akan menyarankan untuk mengurangi komitmen tersebut. Dan dengan kebanyakan

pengurangan dan pemotongan khusus yang umumnya ditemukan dalam mengembangkan

negara-negara berkembang dengan keuntungan pendapatannya tinggi. (misalnya, potongan

keuntungan modal dari pajak, potongan sumbangan untuk biaya medis dan pendidikan,

randahnya pajak atas pendapatan finansial).

Keringanan pajak diberikan dalam bentuk pemotongan ini sangat mengkhawatirkan di bawah

tarif progresif nominal PIT yang tinggi (dalam hal penghematan pajak tersirat) karena

nilainya bertambah dengan golongan tarif dimana wajib pajak berada. Pengalaman dengan

reformasi PIT di Negara berkembang (maupun di negara maju negara, dalam hal ini)

cenderung untuk menyarankan, bahwa tarif progresif efektif dapat ditingkatkan dengan

mengurangi tingkat tarif progresivitas nominal dan jumlah golongan tarif, dan mengurangi

pengecualian dan pemotongan. Jika kendala batasan politik mencegah arti dari restrukturisasi

tarif, peningkatan ekuitas substansial masih dapat dicapai dengan mengganti pemotongan PIT

dengan kredit pajak, yang akan memberikan keuntungan yang sama bagi pembayar pajak

pada semua golongan tarif. Penggunaan kredit pajak yang signifikan sejauh ini,

bagaimanapun, masih sangat jarang di negara berkembang.

Basis pajak

Sebagai tambahan terhadap masalah tingginya tingkat pemotongan dan pengurangan yang

cenderung mempersempit dasar pajak dan menghilangkan banyak progresivitas efektif dari

struktur tariff progresif nominal, seperti disebutkan di atas, adalah umum untuk menemukan

bahwa PIT (serta CITS, dalam hal ini) di negara berkembang yang penuh dengan pelanggaran

berat terhadap dua prinsip dasar kebijakan pajak yang baik pada tingkat praktis : simetri dan

inclusiveness.

Page 32: Kebijakan penerimaan pemerintah

Prinsip simetri ini mengacu pada pemulihan untuk tujuan perpajakan dari keuntungan dan

kerugian dari setiap sumber pendapatan, misalnya, jika keuntungan dikenakan pajak, maka

kerugian harus menjadi pengurang pajak. Prinsip inklusif berhubungan dengan menangkapan

dari aliran pendapatan dalam pajak bersih(kecuali eksplisit dikecualikan) di beberapa titik

sepanjang bagian aliran, misalnya, jika pembayaran adalah dikecualikan di pihak penerima,

kemudian seharusnya tidak menjadi pengurang pada pihak pembayar. Pelanggaran atas

prinsip ini secara umum, menyebabkan distorsi dan ketidakadilan.

Sangat mudah untuk melihat bagaimana ketentuan-ketentuan perpajakan dapat dimanfaatkan

untuk derajat yang bervariasi oleh para pembayar pajak untuk menghindari pajak. Untuk

mengatasi mereka, perbaikan adalah dengan penghapusan baik pengurangan atau

pembebasan (Tapi tidak keduanya), dan pilihan antara keduanya tergantung sebagian besar

pada pertimbangan administrasi.

Penjagaan Pajak Atas pendapatan Finansial

Perlakuan pajak atas penghasilan Finansial khususnya dalam Negara berkembang dengan

kemampuan administrasi pajak yang terbatas, sebagai bentuk penghasilan alternatif tersebut

dapat dengan mudah disamarkan, ditukarkan, dan sebaliknya jika ketentuan-ketentuan pajak

tidak ditulis dengan cermat untuk berurusan dengan mereka. Di sini, dibahas dua isu penting

berhubungan dengan perpajakan bunga dan dividen.

Di banyak negara berkembang, pendapatan bunga, jika dikenakan pajak secara keseluruhan,

dikenakan pajak untuk alasan administrasi melalui pemotongan pajak final dengan tarif yang

umumnya di bawah batas atas PIT rate dan tarif CIT. Rendahnya tarif pajak atas pendapatan

bunga ditambah dengan pemotongan penuh pengeluaran bunga yang menyiratkan bahwa

yang signifikan penghematan pajak dapat direalisasikan cukup jelas melalui transaksi

tersebar. Oleh karena itu, penting bahwa aplikasi pemotongan final atas pendapatan bunga

ditargetkan secara hati-hati, misalnya, pemotongan pajak final tidak diterapkan jika wajib

pajak memiliki pendapatan usaha. Perlakuan pajak atas dividen menimbulkan masalah

perpajakan ganda yang terkenal. Dalam kebanyakan negara-negara berkembang, pengenaan

pajak ganda dividen dihilangkan, atau setidaknya sebagian diatasi melalui berbagai langkah-

langkah bantuan baik di perusahaan atau level pemegang saham. Untuk sebagian besar

negara berkembang, pilihan yang wajar adalah lebih baik dividen dibebaskan dari PIT sama

sekali, atau pajak mereka dikenakan tarif rendah, mungkin melalui suatu pemotongan pajak

final pada tingkat yang sama seperti yang dikenakan pada pendapatan bunga (jika ada).

Page 33: Kebijakan penerimaan pemerintah

Pajak Penghasilan Perusahaan

Tarif CIT ganda

Negara berkembang (misalnya, Mesir, Paraguay, Vietnam, Zambia) lebih rentan memiliki

tariff ganda yang dibedakan di sepanjang garis sektoral (termasuk pembebasan lengkap dari

sektor pajak tertentu, terutama sektor parastatal) dibandingkan di negara-negara maju,

mungkin sebagai peninggalan rezim ekonomi masa lalu yang menekankan peran negara

dalam alokasi sumber daya. Bagaimanapun, Praktek semacam ini, jelas merugikan

berfungsinya kekuatan pasar (yakni, alokasi sektoral sumber daya akan terdistorsi oleh

perbedaan dalam tarif pajak) dan, karenanya, tidak dapat dipertahankan jika pemerintah

berkomitmen nyata untuk ekonomi pasar. Penyatuan tariff ganda lintas sektor dimana mereka

berada adalah isu kebijakan pajak penting yang beredar di negara-negara berkembang.

Penyusutan

Depresiasi diperbolehkan atas aset fisik untuk tujuan pajak adalah salah satu elemen yang

paling penting dalam struktur CIT dalam menentukan biaya modal, dan profitabilitas

investasi. Merancang sistem depresiasi yang tepat, sangat penting untuk mendorong iklim

investasi yang menguntungkan. Namun, meskipun kelemahan yang paling umum ditemukan

dalam sistem depresiasi dalam Negara berkembang meliputi: (1) jumlah kategori aset dan

tingkat depresiasi berlebihan; (2) rendahnya tariff penyusutan yang berlebihan, dan (3)

struktur tarif depresiasi yang tidak sesuai dengan tingkat keusangan relatif aset pada

kategori asset yang berbeda. Perbaikan kekurangan ini harus mendapatkan prioritas tinggi

dalam musyawarah kebijakan pajak di negara-negara.

Dalam sistem penyusutan restrukturisasi, negara-negara berkembang dapat berpedoman pada

beberapa hal berikut: (1), mengklasifikasikan asset, katakanlah kedalam tiga atau empat

kategori yang seharusnya lebih dari cukup; (2) hanya satu tarif penyusutan yang harus

melekat pada setiap kategori aset; (3) tariff penyusutan umumnya harus ditetapkan lebih

tinggi dari umur ekonomis yang sebenarnya sebagai kompensasi atas inflasi mekanisme dan

(4) dengan alasan administratif, metode saldo menurun masih belum umum digunakan di

negara-negara berkembang, mereka lebih suka metode garis lurus. Metode saldo menurun

memungkinkan penyatuan dari semua aset pada kategori aset yang sama dan akun untuk

untuk capital gain dan kerugian dari pelepasan aset, sehingga secara substansial

menyederhanakan persyaratan pembukuan.

Pajak Pertambahan Nilai, Cukai, dan Tarif Impor

Page 34: Kebijakan penerimaan pemerintah

Pajak Pertambahan Nilai

Salah satu reformasi pajak yang paling terlihat dilakukan oleh negara-negara berkembang

selama tiga dekade terakhir telah dikenalkan sebagai PPN. Karena PPN sekarang dapat

ditemukan dimayoritas besar negara berkembang, 34 isu kebijakan pajak yang beredar di

bidang pajak konsumsi dalam negeri di negara-negara tidak lagi menggantikan omset pajak

mengalir, kecuali desain PPN yang tepat dan ruang lingkup pajak cukai. Sementara PPN yang

telah diadopsi di negara-negara berkembang, hampir tanpa pengecualian, diterapkan melalui

kredit-faktur mekanisme negara-negara di Eropa Barat, sering menderita dari keterbatasan

ketidak lengkapan dalam aplikasi dalam satu bentuk atau lainnya. Hal ini terlalu umum untuk

ditemukan, misalnya, bahwa sektor penting, terutama jasa dan sektor grosir dan eceran, telah

keluar meninggalkan jaring PPN, atau bahwa mekanisme kredit yang terbatas (yakni,

penolakan atau penundaan dalam memberikan kredit yang tepat untuk pemasukan PPN),

terutama ketika datangnya capital goods. Fitur ini memungkinkan tingkat aliran yang pokok

untuk tetap dalam sistem, dan dengan demikian sangat mengurangi manfaat dari

memperkenalkan PPN di tempat pertama. Keterbatasan Perbaikan seperti dalam desain PPN

dan administrasi oleh karena itu harus diberikan prioritas yang tinggi di negara berkembang.

Aspek lain yang layak perhatian adalah adopsi pada bagian dari banyak Negara berkembang

dari dua atau tingkat lebih (termasuk tariff nol penawaran nonexport tertentu).

Sementara tariff ganda cenderung mempersulit administrasi PPN, mereka secara politik

pura-pura menarik melayani-meskipun tidak selalu efektif untuk sebuah tujuan ekuitas. Pada

kenyataannya, sebagian besar Negara-negara OECD juga memiliki beberapa tariff ganda.

Namun, tarif administratif untuk menangani ekuitas memiliki tarif ganda PPN yang

cenderung lebih tinggi dalam negara berkembang dibandingkan di negara maju.

Cukai

Kelemahan yang paling menonjol dari sistem cukai yang ditemukan di banyak negara

berkembang adalah tidak tepatnya luasan cakupan mereka terhadap produk- yang sering

dijadikan untuk alasan pendapatan, tapi kadang-kadang untuk alasan yang sulit untuk

dibedakan sebagai penerimaan marjinal yang dibangkitkan dari beberapa barang dibebani

cukai (yang seharusnya tidak excisable) dapat juga tidak signifikan.

Seperti diketahui, alasan ekonomi dari cukai yang mengesankan ini sangat berbeda dari

pembebanan pajak konsumsi secara umum, seperti PPN. Sementara yang terakhir harus

Page 35: Kebijakan penerimaan pemerintah

berbasis luas sehingga untuk memaksimalkan pendapatan dengan distorsi minimal, yang

terdahulu harus sangat selektif, menargetkan beberapa barang sebagian besar dengan alasan

bahwa konsumsi mereka menyebabkan eksternalitas negatif pada masyarakat. Kebetulan

bahwa daftar barang biasanya dianggap excisable atas dasar seperti (Misalnya, tembakau,

alkohol, dan minyak produk; serta kendaraan bermotor) yang biasanya sangat sedikit dan

permintaan inelastis. Jadi, sistem cukai yang baik adalah selalu tanpa terkecuali dicirikan oleh

kemampuan untuk menghasilkan pendapatan dari dasar sempit dan dengan biaya relatif

administrasi rendah.

Tarif impor

Seperti dicatat sebelumnya, mengurangi tarif impor sebagai bagian dari keseluruhan program

perdagangan bebas merupakan tantangan kebijakan utama saat ini yang dihadapi sejumlah

besar negara berkembang. Dari perspektif kebijakan pajak, tantangan ini melibatkan dua

keprihatinan yang memerlukan kehati-hatian. Pertama, adalah penting untuk memastikan

bahwa tarif nominal yang dikurangi tidak menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan

dalam tingkat yang relatif terhadap perlindungan efektif di sektor yang mungkin terjadi dari

kecerobohan atau perbedaan yang membingungkan sejauh yang pengurangan tarif nominal

dipengaruhi pada input dan output. Sementara perlindungan yang efektif adalah konsep yang

dibangun dengan baik dalam ilmu ekonomi, dalam praktek perhatian program pengurangan

tariff program adalah semua terlalu sering terfokus pada tingkat tariff nominal. Salah satu

cara sederhana memastikan bahwa konsekuensi yang tidak diharapkan akan mengurangi

semua tarif harga nominal dengan proporsi yang sama kapan tarif tersebut perlu diubah.

Perhatian kedua pengurangan tarif nominal adalah kemungkinan hilangnya pendapatan

jangka pendek mereka mungkin perlukan. di sini, strategi harus relatif jelas, dan harus

melibatkan tiga langkah kompensasi yang dipertimbangkan dalam urutan: (1) mengurangi

lingkup pengecualian tarif di sistem yang ada; (2) kompensasi untuk pengurangan tarif pada

impor yang dikenakan cukai dengan peningkatan yang sepadan dalam tariff cukai mereka

tingkat, dan akhirnya (3) menyesuaikan tingkat pajak konsumsi umum (seperti sebagai PPN)

untuk memenuhi sisa penerimaan yang dibutuhkan.

Insentif Pajak

Pemberian insentif perpajakan sering ditujukan untuk menarik investasi baru missal seperti

dorongan investasi dalam area yang kurang berkembang, atau mengecilkan investasi di area

yang ramai. Namun hal ini juga memberikan kekhawatira akan adanya tambahan biaya yang

Page 36: Kebijakan penerimaan pemerintah

harus dikeluarkan negara (misalnya, insentif pajak dapat disalahgunakan oleh perusahaan

yang sudah ada menyamar sebagai kontrak baru melalui reorganisasi nominal). Untuk

investor asing, target utama dari insentif pajak dalam Negara berkembang adalah keputusan

untuk memasuki sebuah negara yang biasanya akan tergantung pada seluruh faktor, antara

lain yang ketersediaan insentif pajak, namun ini tidak menjadi hal yang penting bagi mereka.

Keberadaan sumber daya alam , stabilitas politik dan ekonomi, transparansi hukum dan

peraturan sistem, serta tersedianya institusi pendukung (misalnya, perbankan, transportasi,

komunikasi, dan infrastruktur lainnya fasilitas), kemudahan repatriasi/pengembalian

keuntungan, dan ekonomi dan tenaga kerja yang terampil, biasanya jauh lebih menentukan

daripada pertimbangan pajak dalam menentukan lokasi investasi yang cocok. Jika faktor-

faktor yang menguntungkan, dan sistem pajak negara sejalan dengan norma-norma

internasional, maka insentif pajak akan memainkan peran pada margin dalam mempengaruhi

keputusan investor . Insentif pajak juga bisa menjadi nilai yang dapat dipertanyakan kepada

investor asing karena manfaat yang sebenarnya dari insentif dapat tidak menjadi perhatian

investor yang bersangkutan, melainkan perbendaharaan negara asalnya. Hal ini muncul

karena penghasilan apapun yang terhindar dari pajak oleh negara tuan rumah dapat dikenakan

pajak oleh Negara asal investor jika sistem pajak yang terakhir ini didasarkan pada prinsip

asal (yakni, insentif bisa mengurangi jumlah kredit pajak yang tersedia untuk investor),

kecuali klausa penghindaran pajak termasuk dalam perjanjian bilateral pajak berganda. Saat

ini, banyak negara maju semakin enggan untuk memberikan treaties/pengecualian.

Tax Holiday dan pengurangan Tarif Pajak

Dari semua berbagai bentuk insentif pajak, tax holiday adalah yang paling populer di negara-

negara berkembang. Sementara diakui sederhana untuk mengelola, mereka memiliki banyak

kekurangan , bahkan meskipun bersama untuk beberapa derajat jenis insentif lainnya,

terutama: (1) dengan membebaskan keuntungan terlepas jumlah mereka, tax holiday

cenderung memberikan manfaat kepada investor yang mengharapkan keuntungan yang tinggi

dan akan dilakukan yang investasi bahkan jika tidak ada insentif yang diberikan; (2) liburan

pajak memberikan insentif yang kuat untuk menghindari pajak, sebagai perusahaan yang

dipajaki bisa masuk ke dalam hubungan ekonomi dengan perusahaan yang dikecualikan

untuk menggeser keuntungan kepada perusahaan tersebut melalui transfer pricing; (3) durasi

liburan pajak, bahkan jika secara resmi terikat waktu, rawan terhadap penyalahgunaan dan

pengembangan oleh investor melalui pendesainan kembali investasi yang ada sebagai

investasi baru (misalnya, menutup dan restart proyek yang sama dengan nama yang berbeda

Page 37: Kebijakan penerimaan pemerintah

tetapi dengan kepemilikan yang sama); (4) tax holiday yang terikat waktu cenderung menarik

proyek jangka pendek, yang biasanya tidak bermanfaat bagi ekonomi. Yang terakhir ini

mungkin menjadi menguntungkan hanya menjelang akhir liburan dan, karenanya, dapat

menggunakan sedikit seperti liburan bahkan jika kerugian dapat dilakukan ke depan

melampaui masa liburan (jika kerugian tidak diperbolehkan untuk dibawa maju ke periode

pasca-liburan, liburan pajak bisa, dalam kondisi tertentu, menjadi disinsentif untuk

investment, dan (5) biaya pendapatan untuk anggaran jarang transparan, kecuali perusahaan

yang menikmati taxholiday masih diperlukan untuk file tepat penembalian pajak, dalam hal

administrasi sumber daya harus ditujukan untuk kegiatan yang menghasilkan pendapatan

yang kecil/nirlaba, dan sering kali manfaat dari liburan pajak akan ditiadakan:

memungkinkan investor untuk tidak berurusan dengan otoritas pajak.

Tunjangan Investasi dan kredit pajak

Dibandingkan dengan tax holiday , insenive pajak ini memiliki sejumlah keunggulan.

Mereka, misalnya, instrument penargetan jauh lebih baik dari tax holiday untuk

mempromosikan jenis investasi tertentu, dan biaya pendapatan mereka jauh lebih transparan

dan lebih mudah untuk dikontrol. Sebuah cara khusus yang sederhana dan efektif mengelola

sistem kredit pajak adalah sebagai berikut. Setelah jumlah kredit pajak untuk diberikan pada

sebuah perusahaan yang berkualitas ditentukan, maka akan "disetor" ke akun pajak khusus

(disimpan hanya di perusahaan wajib pajak) dalam bentuk entri pembukuan.

Perusahaan kualifikasi untuk insentif ini akan sama dalam segala hal diperlakukan seperti

wajib pajak biasa, oleh karena itu, tunduk pada semua ketentuan pajak yang berlaku dan,

termasuk perhitunga keuntungan kena pajak dan persyaratan dalam pengembalian pajak.

Perbedaan hanya bahwa pendapatan kewajiban pajak akan dibayar dari kredit "ditarik" dari

akun pajak perusahaan sampai saldo berkurang ke nol. Jika diinginkan, seperti rekening pajak

dapat ditutup setelah jangka waktu tertentu. (misalnya, ketentuan matahari terbenam

terpasang ke account), sehingga semua kredit pajak yang dapat dikompensasi hanya diizinkan

untuk berakhir. Dengan cara ini, informasi tentang total pendapatan periode terdahulu atas

setiap insentif yang diberikan tersedia setiap saat. Selanjutnya, sebagai jumlah kredit pajak

diberikan kepada perusahaan yang memenuhi syarat dikenal dengan kepastian di muka, ini

dapat dengan mudah termasuk dalam anggaran sebagai pengeluaran pajak dan tunduk pada

pengawasan yang sama seperti jenis pengeluaran lainnya dalam proses anggaran , sehingga

mencapai tingkat tinggi transparansi. Pengakuan secara eksplisit atas pengeluaran pajak

adalah praktek yang dapat ditemukan dalam peningkatan jumlah Negara berkembang dan

Page 38: Kebijakan penerimaan pemerintah

Negara maju, dan sangat dapat memfasilitasi dalam peninjauan oleh pembuat kebijakan dari

efektivitas-biaya dari insentif pajak. Ada dua kelemahan menonjol terkait dengan tunjangan

investasi atau kredit pajak. Pertama, insentif ini cenderung mendistorsi pilihan aset modal

berumur pendek yang, sejak penyisihan lanjut atau kredit menjadi tersedia setiap waktu untuk

mengganti aset. Kedua, perusahaan berkualitas dapat mencoba untuk penyalahgunaan sistem

dengan menjual dan membeli aset yang sama untuk mengklaim tunjangan atau kredit pajak

ganda, atau dengan bertindak sebagai agen pembeli untuk perusahaan tidak memenuhi syarat

untuk menerima insentif. Oleh karena itu, perlindungan harus dibangun seperti sistem insentif

untuk meminimalkan bahaya ini, misalnya, dengan menetapkan holding period minimum

untuk aset yang memiliki yang telah diberikan insentif.

Percepatan penyusutan

Menyediakan insentif pajak dalam bentuk penyusutan yang dipercepat memiliki sedikit

kekurangan terkait dengan liburan pajak dan semua kebaikan yang terkait dengan investasi

tunjangan / kredit pajak- dan mengatasi kelemahan yang terakhir untuk menghilangkan.

Karena hanya mempercepat depresiasi aset tidak akan meningkatkan total nominal depresiasi

aset yang diijinkan melampaui biaya aslinya, sedikit distorsi mendukung dihasilkannya asset

jangka pendek dan juga tidak ada banyak insentif bagi perusahaan yang terlibat dalam

penyalahgunaan pajak yang berhubungan dengan investasi tunjangan / kredit pajak semacam

itu.

Dibandingkan dengan jenis lain dari insentif pajak, penyusutan yang dipercepat memiliki dua

tambahan manfaat. Pertama, umumnya paling mahal, karena pendapatan yang hilang (relatif

terhadap tidak ada percepatan) di tahun-tahun awal di setidaknya sebagian ditemukan di

tahun berikutnya dalam umur ekonomis suatu aset. Kedua, jika percepatan diberikan hanya

sementara,maka bisa (semua hal lainnya sama) mendorong lonjakan d jangka pendek

signifikan dalam investasi, karena investor cenderung untuk membawa rencana investasi

maju untuk masa depan untuk mengambil keuntungan dari insentif.

Investasi subsidi

Sementara subsidi investasi membagi beberapa dari manfaat tunjangan investasi / kredit

pajak, seperti kemudahan penargetan, mereka biasanya cukup bermasalah, dengan ini bahkan

mereka melakukan resiko pendapatan yang lebih serius dalam anggarannya daripada liburan

pajak. Mereka melibatkan pengeluaran diluar anggaran oleh pemerintah di depan, dan mereka

Page 39: Kebijakan penerimaan pemerintah

mendapat manfaat yang tidak berkesinambungan atas investasi sebanyak mungkin

keuntungan. Sebaliknya, jenis-jenis insentif pajak pendapatan hanya bernilai untuk yang

terakhir. Oleh karena itu, penggunaan investasi subsidi jarang dianjurkan.

Insentif pajak tidak langsung

Insentif pajak tidak langsung sangat rentan terhadap penyalahgunaan, seperti pembelian yang

berkualitas dapat dengan mudah dialihkan ke pembeli yang tidak diinginkan untuk menerima

insentif. Mereka juga sulit untuk membenarkan atas dasar kebijakan, kecuali dalam keadaan

yang sangat terbatas. Membebaskan bahan baku dan barang modal dari PPN, misalnya, akan

membuat sedikit perbedaan dengan beban pajak ultimat/keseluruhan perusahaan yang

bersangkutan, karena PPN pembelian seperti biasanya dapat dikreditkan. Jika tujuan insentif

tersebut hanya untuk meringankan perusahaan dari arus kas beban PPN perusahaan, maka

lebih baik solusi pasti akan berada di tempat lain, terutama dalam memberikan dengan

meminta pengembalian uang PPN. Membebaskan barang modal dan bahan baku digunakan

untuk menghasilkan ekspor dari tarif impor agak lebih dibenarkan, seperti menghapus bea

masuk yang melekat dalam isi barang ekspor melalui mekanisme pengurangan bea masuk

standar tanpa terkecuali adalah kompleks dan tidak tepat. kesulitan dengan pembebasan ini

Tentu saja terletak, dalam memastikan bahwa pembelian yang dikecualikan sebenarnya akan

digunakan sebagai yang dimaksudkan dari pemberian insentif. Banyak Negara telah berusaha

untuk memecahkan masalah ini dengan membangun zona produksi ekspor khusus

/pengolahan yang batas-batas yang dijamin dengan kontrol bea cukai. Impor barang modal

dan bahan baku ke dalam zona ini bebas dari tarif impor, namun tariff dikenakan pada semua

ekspor dari zona ini keseluruh negara tujuan.