KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

40
KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA SEKTOR RIIL Oleh Drs. Rum Rosyid, MM KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS TANJUNGPURA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PONTIANAK

description

KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA SEKTOR RIIL

Transcript of KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

Page 1: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

SEKTOR RIIL

Oleh Drs. Rum Rosyid, MM

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PONTIANAK

2010

Page 2: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

Daftar Isi

Kata Pengantar 3

Pendahuluan 4

Perbankan dan stabilitas system keuangan 4

Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Sistem Keuangan 6

Ketidakstabilan ekonomi dan ledakan pengangguran 9

Stabilitas Sistem Keuangan 13

Jaring Pengaman Sistem Keuangan 15

1. Pengaturan dan Pengawasan Bank yang efektif 16

2. Lender of last Resort 16

3. Skim Penjaminan Simpanan (deposit insurance) yang memadai 16

4. Kebijakan Resolusi Krisis yang efektif 17

Target Variables dan Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter  17

Benarkah investasi asing menguntungkan bagi Indonesia 18

Krisis ekonomi AS : pertumbuhan ekonomi Indonesia 21

Pemulihan Ekonomi Asia Terus Berlanjut 22

Kepustakaan

2

Page 3: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

Kata Pengantar

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan

karya ilmiah dalam bidang moneter perbankan. Kebijakan moneter perbankan telah

mendominasi perekonomian. Dengan kata lain moneter lebih dominant dalam mengatur

dunia perekonomian. Paradigma ini merentang semenjak masa Wicksel hingga terjadinya

revolusi Keynesian yang berhasil merumuskan teori preferensi likuiditas. Dari model

inilah kita berhasil memahami bahwa sektor riil merupakan anak tiri dari dunia

perekonomian. Dimana model produksi dalam ekonomi klasik digantikan dengan uang

yang mampu memproduksi dirinya sendiri karena ianya selain alat tukar sekaligus

komoditi layaknya barang dan jasa.

Sebagai hasil paradigma tersebut adalah realitas Bubble economic. Dari sinilah muncul

berbagai macam antinormal realitas, berbagai macam krisis moneter hingga kelangkaan

komoditi. Keseimbangan antara sektor moneter dan sektor riil terus-menerus tarik

menarik dan sektor moneter adalah pemenangnya. Dengan kata lain antara pengusaha dan

kapitalis saling bersaing secara tidak seimbang pada gilirannya kapitalis yang

memenangkannya.

Upaya untuk memahami realitas kebijakan moneter adalah tujuan penulisan karya ilmiah

ini. Pada gilirannya secara jelas akan dapat ditemukan benang merah antara sektor

moneter dan sektor riil. Yaitu memahami keduanya bukan sebagai rival tetapi sebagai

pasangan ‘yin-yang’ yang terus menerus dan seimbang.

Akhirul kalam semoga bermanfaat bagi kita semua, Amiin

Pontianak, 24 Mei 2010

Wassalam

Penulis

3

Page 4: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

Pendahuluan

Saat krisis ekonomi melanda Indonesia, tingkat inflasi meningkat tajam dan pernah

mencapai angka 82,40 persen pada September 1998. Tingkat inflasi yang tinggi pada saat

itu mencerminkan ketidakstabilan harga, hal ini tentu saja mengurangi daya beli

masyarakat. Ketika inflasi terjadi, jumlah uang yang beredar akan meningkat. Hal

tersebut akan berdampak pada terdepresiasinya nilai tukar Rupiah. Nilai tukar Rupiah

selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, pada saat sebelum krisis yaitu dari tahun

1993-1996, nilai tukar Rupiah berada pada kisaran 2.110 - 2.383 Rupiah per US Dollar.

Namun, ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia pada pertengahan

tahun 1997, perekonomian Indonesia terkena dampak negatifnya. Krisis ekonomi yang

terjadi di Asia ini diawali dengan melemahnya Bath Thailand yang melahirkan

contagion-effect (efek menular ke negara lain) dan menyebabkan krisis mata uang yang

merambat ke negara Asia lainnya, termasuk Indonesia.

Krisis mata uang yang melanda Indonesia ditandai dengan melemahnya mata uang

Rupiah terhadap Dollar pada pertengahan tahun 1997. Rupiah yang bernilai Rp 2.540 per

US Dollar pada bulan Juni 1997, mengalami depresiasi secara terus menerus hingga akhir

tahun 1997 mencapai 4.650 Rupiah per US Dollar. Untuk menahan laju nilai tukar

Rupiah ini, maka pada tanggal 14 Agustus 1997 pemerintah melepas sistem kurs

mengambang terkendali (Managed Floating System) dan menerapkan sistem kurs

mengambang bebas (Free Floating System). Namun, memasuki tahun 1998 kondisi nilai

tukar Rupiah semakin parah dan puncaknya mencapai 14.850 Rupiah per US Dollar pada

Juni 1998.

Perbankan dan stabilitas system keuangan

4

Page 5: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

Untuk meredam melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar dan tingkat inflasi yang

tinggi ini, Bank Sentral meningkatkan tingkat suku bunga SBI yang pada bulan

November 1998 menyentuh angka 61 persen per tiga bulan. Langkah yang dilakukan ini,

disatu sisi memang berhasil menurunkan laju inflasi dari 77,63 persen pada tahun 1998

menjadi 2 persen pada akhir tahun 1999. Namun, disisi lain keadaan ini berdampak

kurang baik pada tingkat investasi di Indonesia. Salah satu buktinya yaitu pada tahun

1997, pelarian arus modal keluar mencapai 3,5 milyar Dollar, sementara pada tahun 1998

dan tahun 1999 mengalami penurunan, yakni masing-masing sebesar 19,7 milyar Dollar

dan 11,3 milyar Dollar. Pelarian modal tentu akan mengakibatkan dana untuk investasi

menurun secara tajam, dan berdampak pada penyerapan tenaga kerja.

Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya belum memiliki definisi  baku yang telah

diterima secara internasional. Oleh karena itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK

yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil 

pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Di

bawah ini dikutip beberapa definisi SSK yang diambil dari berbagai sumber:

” Sistem keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap

kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor

riil dan sistem keuangan.” . ” Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang

kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan

fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik.”

” Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam

penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan

mendukung pertumbuhan ekonomi.” Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami

dengan melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas

di sektor keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam

penyebab dan gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar,

baik karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat

bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering

menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas,

risiko pasar dan risiko operasional.

5

Page 6: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

Meningkatnya kecenderungan globalisasi sektor finansial yang didukung oleh

perkembangan teknologi  menyebabkan sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi

tanpa jeda waktu dan batas wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin

dinamis dan beragam dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai perkembangan

tersebut selain dapat mengakibatkan sumber-sumber pemicu ketidakstabilan sistem

keuangan meningkat dan semakin beragam, juga dapat mengakibatkan semakin sulitnya

mengatasi ketidakstabilan tersebut. Identifikasi terhadap sumber ketidakstabilan sistem

keuangan umumnya lebih bersifat forward looking (melihat kedepan). Hal ini

dimaksudkan untuk mengetahui potensi risiko yang akan timbul serta akan

mempengaruhi kondisi sistem keuangan mendatang. Atas dasar hasil identifikasi tersebut

selanjutnya dilakukan analisis sampai seberapa jauh risiko berpotensi menjadi semakin

membahayakan, meluas dan bersifat sistemik sehingga mampu melumpuhkan

perekonomian.  

Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Sistem Keuangan

Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank

Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan

(perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga

stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya

dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan

stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan

moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula

sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan

moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter,

sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter

tidak dapat berjalan secara normal.

Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas

sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi

latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan  tugas dan

6

Page 7: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

tanggung jawab Bank Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank Indonesia

dalam memelihara stabilitas sistem keuangan? Sebagai bank sentral, Bank Indonesia

memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran

utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem

keuangan itu adalah: Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas

moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank

Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan

berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung

terhadap berbagai aspek ekonomi.  Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga

yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula

sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah

menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting framework.

Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga

keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan

seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di

negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem

keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan

keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan

tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan.

Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan

serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada

menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas

sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement)

dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong

kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan

secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia

dan rencana implementasi Basel II.

Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran

sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta

7

Page 8: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius

dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan

risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang

bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk

mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara

lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang  bersifat real time atau dikenal dengan

nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan

keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran,

Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial

dalam sistem pembayaran.

Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat

mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui

pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor

keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada

stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan

instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan.

Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas

terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam

sektor keuangan..

Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan 

melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR

merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis

guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR

mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya

diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu

terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat

diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih

memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai

LoLR,  Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu,

8

Page 9: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam

penyediaan likuiditas tersebut.

Dalam menetapkan anggaran negara untuk mengelola makro ekonomi, ada tiga

kebijakan yang bisa dilakukan, yaitu: kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan

nilai tukar. Namun sejak adanya krisis, nilai tukar sudah diserahkan pada market dan

kebijakan nilai tukar bukan lagi menjadi instrumen yang controllable. Praktis tinggal dua

instrumen besar lagi yang dimiliki pemerintah, yaitu kebijakan moneter dan fiskal.

Manajemen makro ekonomi harus mengacu pada necessary condition agar suatu

perekonomian berjalan normal. Oleh karena itu, kebijakan makro idealnya menghasilkan

pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi rendah, unemployment rendah, balance of payment

seimbang, dan membutuhkan sufficient condition. Kebijakan yang ditempuh harus

mampu menstimulasikan kondisi peningkatan peran ekonomi usaha kecil dan mampu

meredam lonjakan harga-harga barang, di samping memperbaiki undang-undang

lembaga keuangan atau perbankan dengan sebaik-baiknya.

Akibat krisis finansial yang terjadi, banyak para pengusaha yang gulung tikar karena

dililit hutang bank, sehingga banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-PHK

atau dibebastugaskan oleh perusahaan. Hal ini menjadi salah satu pemicu terjadinya

ledakan pengangguran, yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif

singkat.

Ketidakstabilan ekonomi dan ledakan pengangguran

Ledakan pengangguran yang terjadi di tahun 1998 yakni sekitar 1,4 juta pengangguran

terbuka baru. Selain itu, kinerja perekonomian yang lambat juga menyebabkan

pengangguran terbuka, dimana pada tahun 2005 mencapai 10,84 persen (11,6 juta orang),

jauh lebih tinggi dari level sebelum krisis pada tahun 1997 sebesar 4,7 persen. Dengan

kata lain, pertumbuhan ekonomi diperkirakan saat ini tidak cukup menampung angkatan

kerja yang bertambah 1,8 juta orang per tahunnya. Sulitnya mengurangi tingkat

pengangguran atau menciptakan lapangan kerja baru, menjadi cerminan lambatnya gerak

9

Page 10: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

laju ekspansi sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja yang terus bertambah setiap

tahunnya. Berbagai indikator ekonomi makro moneter sepanjang tahun 2005

menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih belum stabil, ini berarti ekonomi

Indonesia masih rawan terhadap berbagai guncangan. Ketidakstabilan indikator makro

ekonomi ini dapat dilihat dari adanya peningkatan inflasi dan suku bunga, volatilitas nilai

tukar dan adanya kecenderungan kenaikan tingkat pengangguran.

Kuatnya cadangan devisa kita sifatnya sementara (kondisional), yang didasarkan pada

kondisi ekonomi global bukan atas dasar kekuatan inti ekonomi Indonesia. Adalah benar

jika dikatakan bahwa kondisi ekonomi makro Indonesia saat ini adalah baik. Namun di

balik kondisi itu tersimpan masalah yang kiranya perlu dipersoalkan. Masalah ini

menyangkut pada kebijakan yang dijalankan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia,

selaku bank sentral. Kedua institusi ini telah gagal atau memang sengaja untuk tidak

menjaga keseimbangan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) dengan maksud

untuk mengejar target inflasi yang rendah. Atau dengan kata lain, berupaya agar nilai

tukar rupiah menguat untuk menekan tingkat inflasi.

Kebijakan ini berdampak pada tingkat pengangguran menjadi tinggi dan tidak bangkitnya

sektor riil. Pengangguran yang tinggi dan tersendatnya sektor riil inilah yang merupakan

masalah dari kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.

Kebijakan ekonomi makro seharusnya dapat menjaga keseimbangan pada perdagangan

luar negeri. Kebijakan ekonomi makro seharusnya dapat menjaga kepentingan kegiatan

ekspor dan impor.

Dalam kebijakan yang berjalan, hal ini tidak dilakukan sehingga terjadi kepincangan

antara kegiatan ekspor dan impor. Kegiatan impor berjalan mulus dengan kuatnya nilai

tukar rupiah. Namun kegiatan ekspor terganggu karena daya saingnya di pasar ekspor

menjadi menurun dan dorongan untuk memperkuat ekspor juga menjadi menurun,

dampak dari menguatnya nilai tukar rupiah tersebut. Harga barang ekspor Indonesia saat

ini relatif mahal sementara harga barang impor menjadi murah karena nilai tukar rupiah

yang semakin kuat. Inilah kepincangan yang dimaksud. Kekuatan dari keduanya (ekspor

10

Page 11: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

dan impor) menjadi tidak seimbang dan ini tidak menyehatkan perekonomian Indonesia

dalam jangka panjang.

Kepincangan ini akan mempengaruhi (mengurangi) penerimaan cadangan devisa dan ini

sangat berbahaya. Hal ini juga memungkinkan bertambahnya tenaga kerja yang

menganggur jika nilai tukar rupiah semakin menguat, sejalan dengan semakin turunnya

kegiatan ekspor. Bank Indonesia selalu mengumumkan bahwa jumlah cadangan devisa

Indonesia terus bertambah sehingga mereka sangat optimis dengan kekuatan ekonomi

makro yang sebenarnya rapuh. Mereka tidak menyatakan bahwa naiknya jumlah

cadangan devisa bukan dari ekspor tapi sebagian besar dari masuknya modal luar negeri

(capital inflow) yang sifatnya sementara, di saat imbal hasil yang diberikan

perekonomian Indonesia relatif tinggi. Tapi bagaimana jika keadaan ekonomi global

membaik. Tentu capital inflow akan berubah menjadi capital outflow dan cadangan

devisa akan turun dan nilai tukar rupiah akan terkoreksi sangat dalam.

Jadi apa yang dikatakan bahwa cadangan devisa Indonesia cukup kuat sifatnya adalah

sementara (kondisional), yang didasarkan pada kondisi ekonomi global bukan atas dasar

kekuatan inti ekonomi Indonesia. Kekuatan inti ekonomi Indonesia saat ini adalah

kegiatan agraria dan ekspor (pertanian dan industri), bukan pada sektor keuangan seperti

yang dibanggakan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Dengan demikian

terjawablah sudah mengapa perekonomian makro yang semakin kuat tidak menyentuh

dan mendorong sektor ekonomi riil. Terjawablah sudah mengapa ditengah ekonomi

makro yang kuat, yang dinyatakan pemerintah, justru tingkat pengangguran semakin

tinggi.

Sehingga sebagian orang mengatakan bahwa ekonomi Indonesia saat ini adalah ekonomi

bayang-bayang, cukup indah tapi tidak mempunyai kekuatan apapun bagi mendorong

pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia hanya

bermain dalam angka keuangan dan persentase serta bermain dalam kondisi ekonomi

dunia yang sedang krisis, tidak pada bagaimana memperkuat perekonomian dalam negeri.

Dalam jangka panjang ini sangat berisiko dan dapat diprediksi akan terjadi kefatalan pada

11

Page 12: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

perekonomian Indonesia dikala ekonomi negara negara dunia sudah pulih dan berkuasa

kembali. Kebijakan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia ini didasarkan pada

keinginan mereka untuk memfokuskan peran mereka pada tingkat inflasi yang rendah

dan ingin mendapatkan suku bunga yang rendah. Memang benar bahwa nilai tukar rupiah

dan suku bunga merupakan faktor pendorong naiknya inflasi dan oleh sebab itu perlu

dikawal. Tapi sekadar inikah yang ingin dicapai dalam kebijakan ekonomi makro.

Seharusnya tidak demikian karena kebijakan ekonomi makro menyangkut pada banyak

hal seperti bagaimana mendorong sektor riil, bagaimana memperbesar kesempatan kerja,

bagaimana menjaga kestabilan nilai tukar rupiah (bukan penguatan nilai tukar) dan

bagaimana menjaga keseimbangan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor). Ianya

mencakup pada kegiatan yang luas dan tidak hanya dengan memperhatikan satu elemen

saja. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia menjadikan pencapaian tingkat inflasi

yang rendah sebagai suatu prestasi. Mereka tidak melihat pada sektor yang lainnya

seperti semakin tingginya jumlah tenaga kerja yang menganggur dan sebagainya. Itu

berarti mereka lebih senang bermain di sektor keuangan dari pada di sektor riil.

Mereka lebih senang bermain dalam hitungan angka angka yang tidak membumi pada

perekonomian Indonesia daripada bagaimana mendorong perekonomian riil,

meningkatkan produksi dan meningkatkan kesempatan kerja.

Berdasarkan pengamatan, Bank Indonesia sendiri selalu terlambat melakukan intervensi

dikala nilai tukar rupiah menguat. Tidak demikian yang dilakukan oleh Bank of Japan,

bank sentral Jepang. Mereka sangat sensitif dengan menguatnya mata uang Yen karena

akan mengganggu kinerja ekspor mereka. Kekuatan ekonomi Jepang ada pada ekspor

barang barang industri. Jepang sangat kuat menjaga kestabilan nilai tukar mata uang Yen.

Berbeda dengan Jepang, justru Bank Indonesia segera melakukan intervensi dikala nilai

tukar rupiah melemah. Bank Indonesia sangat berkepentingan dengan penguatan nilai

tukar rupiah dalam upaya mengejar target inflasi. Kebijakan Bank Indonesia tidak

memihak pada pengembangan sektor riil, khususnya kegiatan ekspor.

12

Page 13: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

Kita juga melihat bagaimana kebijakan Kementerian Perdagangan tidak diperhatikan

dikala Kementerian Keuangan menetapkan sebuah kebijakan. Kebijakan ekonomi makro

yang dijalankan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia betul betul hanya bermain di

sektor keuangan dengan mengabaikan sektor riil. Dalam jangka panjang ini sangat

berisiko. Diharapkan agar kebijakan ini dapat ditinjau kembali sebelum terjadi hal yang

tidak diinginkan. Kebijakan ekonomi makro adalah suatu kebijakan yang bersifat

menyeluruh (komprehensif). Seharusnya, itulah yang perlu dilakukan oleh Kementerian

Keuangan dan Bank Indonesia.

Stabilitas Sistem Keuangan

Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya belum memiliki definisi  baku yang telah

diterima secara internasional. Oleh karena itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK

yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil 

pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Di

bawah ini dikutip beberapa definisi SSK yang diambil dari berbagai sumber:

” Sistem keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap

kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor

riil dan sistem keuangan.”

” Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap

berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi,

melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik.”.

” Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam

penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan

mendukung pertumbuhan ekonomi.” Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami

dengan melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas

di sektor keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam

penyebab dan gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar,

baik karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat

bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering

menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas,

risiko pasar dan risiko operasional.

13

Page 14: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

Meningkatnya kecenderungan globalisasi sektor finansial yang didukung oleh

perkembangan teknologi  menyebabkan sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi

tanpa jeda waktu dan batas wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin

dinamis dan beragam dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai perkembangan

tersebut selain dapat mengakibatkan sumber-sumber pemicu ketidakstabilan sistem

keuangan meningkat dan semakin beragam, juga dapat mengakibatkan semakin sulitnya

mengatasi ketidakstabilan tersebut. Identifikasi terhadap sumber ketidakstabilan sistem

keuangan umumnya lebih bersifat forward looking (melihat kedepan). Hal ini

dimaksudkan untuk mengetahui potensi risiko yang akan timbul serta akan

mempengaruhi kondisi sistem keuangan mendatang. Atas dasar hasil identifikasi tersebut

selanjutnya dilakukan analisis sampai seberapa jauh risiko berpotensi menjadi semakin

membahayakan, meluas dan bersifat sistemik sehingga mampu melumpuhkan

perekonomian.  

Perekonomian yang stabil akan lebih disukai dibandingkan dengan perekonomian yang

mengalami gejolak dan guncangan. Kestabilan menjadi sangat penting karena kondisi

yang stabil akan menciptakan suasana yang kondusif untuk perkembangan dunia usaha

dan bisnis. Salah satu parameter yang dapat mengukur kestabilan perekonomian yakni

dengan melihat kinerja dari stabilitas makroekonomi. Stabilitas makroekonomi dapat

ditelusuri dari dampak guncangan suatu variabel makroekonomi terhadap variabel

makroekonomi lainnya. Apabila dampak dari suatu guncangan menimbulkan fluktuasi

yang besar pada variabel makroekonomi dan diperlukan waktu yang relatif lama untuk

mencapai keseimbangan jangka panjang, maka dapat dikatakan bahwa stabilitas

makroekonomi sangat rentan terhadap perubahan.

Namun, apabila dampak guncangan indikator itu menunjukkan fluktuasi yang kecil dan

waktu mencapai keseimbangan jangka panjang relatif tidak lama, maka dapat dikatakan

kondisi makroekonomi relatif stabil. Pernyataan ini juga dijelaskan dan didiskusikan

bersama oleh Siregar dan kawan-kawan yang tergabung dalam International Center for

Applied Finance and Economics (InterCAFE)-Institut Pertanian Bogor. Upaya untuk

14

Page 15: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

menstabilkan perekonomian dapat dicapai baik melalui kebijakan fiskal ataupun

kebijakan moneter. Kebijakan fiskal yang berkesinambungan berusaha menekan defisit

anggaran serendah mungkin, baik melalui peningkatan pajak maupun pengurangan

subsidi.

Jaring Pengaman Sistem Keuangan

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) merupakan kerangka kerja yang melandasi

pengaturan mengenai skim asuransi simpanan, mekanisme pemberian fasilitas

pembiayaan darurat oleh bank sentral (lender of last  resort), serta kebijakan penyelesaian

krisis. JPSK pada dasarnya lebih ditujukan untuk pencegahan krisis, namun demikian

kerangka kerja ini juga meliputi mekanisme penyelesaian krisis sehingga tidak

menimbulkan biaya yang besar kepada perekonomian.  Dengan demikian, sasaran JPSK

adalah menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga sektor keuangan dapat berfungsi

secara normal dan memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi yang

berkesinambungan.

Pada tahun 2005, Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyusun kerangka Jaring

Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang kelak akan dituangkan dalam sebuah

Rancangan Undang Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Dalam kerangka

JPSK dimaksud dimuat secara jelas mengenai tugas dan tanggung-jawab lembaga terkait

yakni Departemen Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai

pemain dalam jaring pengaman keuangan. Pada prinsipnya Departemen Keuangan

bertanggung jawab untuk menyusun perundang-undangan untuk sektor keuangan dan

menyediakan dana untuk penanganan krisis. BI sebagai bank sentral bertanggung-jawab

untuk menjaga stabilitas moneter dan kesehatan perbankan serta keamanan dan

kelancaran sistem pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab

untuk menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah.

Kerangka JPK tersebut telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang JPSK yang

pada saat ini masih dalam tahap pembahasan Dengan demikian, UU JPSK kelak akan

berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh

otoritas terkait dalam rangka memelihara stabiltas sistem keuangan. Dalam RUU JPSK

semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci yakni meliputi: (1) pengaturan dan

15

Page 16: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim asuransi simpanan

yang memadai dan (4) mekanisme penyelesaian krisis yang efektif.

1. Pengaturan dan Pengawasan Bank yang efektif

Pengaturan dan pengawasan bank yang efektif merupakan jarring pengaman pertama

dalam JPSK (first line of defense). MEngingat pentingnya fungsi pengawasan dan

pengaturan yang efektif, dalam kerangka JPSK telah digariskan guiding principles bahwa

pengawasan dan pengaturan terhadap lembaga dan pasar keuangan oleh otoritas terkait

harus senantiasa ditujukan untuk menjaga stabilitas system keuangan, serta harus

berpedoman kepada best practices dan standard yang berlaku. 

2. Lender of last Resort

Kebijakan lender of last resort (LLR) yang baik terbukti sebagai salah satu alat efektif

dalam pencegahan dan penanganan krisis. Sejalan dengan itu, BI telah merumuskan

secara lebih jelas kebijakan the lender of last resort (LLR) dalam kerangka JPSK untuk

dalam kondisi normal dan darurat (krisis) mengacu pada best practices. Pada prinsipnya,

LLR untuk dalam kondisi normal hanya diberikan kepada bank yang illikuid tetapi solven

yang memiliki agunan likuid dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam pemberian LLR untuk

kondisi krisis, potensi dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan utama, dengan tetap

mensyaratkan solvensi dan agunan.

Untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik, Bank Indonesia sebagai

lender of last resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank Umum

yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah berdasarkan Undang-undang No 23

Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

No 3 Tahun 2004 yang telah disetujui DPR tanggal 15 Januari 2004. Sebagai peraturan

pelaksanaan fungsi lender of the last resort, telah diberlakukan Peraturan Menteri

Keuangan (PMK) Nomor 136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005 dan Peraturan

Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006. Pendanaan FPD

bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

3. Skim Penjaminan Simpanan (deposit insurance) yang memadai

16

Page 17: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

Pengalaman menunjukkan bahwa LPS merupakan salah satu elemen penting dalam

menjaga stabilitas sistem keuangan. Program penjaminan pemerintah (blanket guarantee)

yang diberlakukan akibat krisis sejak tahun 1998 memang telah berhasil memulihkan

kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan. Namun penelitian menunjukkan

bahwa blanket guarantee tersebut dapat mendorong moral hazard yang berpotensi

menimbulkan krisis dalam jangka panjang.

Sejalan dengan itu, telah diberlakukan Undang-Undang  Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS) Nomor 24 Tahun 2004. Dalam undang-undang tersebut tersebut, LPS nantinya

memiliki dua tanggung jawab pokok yakni: (i) untuk menjamin simpanan nasabah bank;

dan (ii) untuk menangani (resolusi) bank bermasalah. Untuk menghindari dampak negatif

terhadap stabilitas keuangan, penerapan skim LPS tersebut akan dilakukan secara

bertahap. Selanjutnya, jaminan simpanan nasabah bank akan dibatasi sampai dengan

Rp100 juta per rekening mulai Maret 2007.

4. Kebijakan Resolusi Krisis yang efektif

Kebijakan penyelesaian krisis yang efektif dituangkan dalam kerangka kebijakan JPSK

agar krisis dapat ditangani secara cepat tanpa menimbulkan beban yang berat bagi

perekonomian. Dalam JPSK ditetapkan peran dan kewenangan masing-masing otoritas

dalam penanganan dan penyelesaian krisis, sehingga setiap lembaga memiliki tanggung

jawab dan akuntabilitas yang jelas. Dengan demikian, krisis dapat ditangani secara

efektif, cepat, dan tidak menimbulkan biaya sosial dan biaya ekonomi yang tinggi.

Dalam pelaksanaannya, JPSK memerlukan koordinasi yang efektif antar otoritas terkait.

Untuk itu dibentuk Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur

Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Sebagai bagian dari kebijakan JPSK tersebut, telah dikeluarkan Keputusan Bersama

Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner LPS tentang

Forum Stabilitas Sistem Keuangan sebagai wadah koordinasi bagi BI, Depkeu dan LPS

dalam memelihara stabilitas sistem keuangan.

Target Variables dan Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter 

17

Page 18: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

Mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dilakukan oleh

otoritas moneter dalam upaya mempengaruhi kegiatan ekonomi melalui beberapa saluran

(channels) (Thomas, 1997:602). Saluran-saluran tersebut yaitu : (1) saluran uang beredar

(money channel), (2) saluran kredit, (3) saluran suku bunga, (4) saluran nilai tukar, (5)

saluran harga aset, dan (6) saluran ekspektasi inflasi.

Benarkah investasi asing menguntungkan bagi Indonesia

Krisis mata uang yang melanda Indonesia ditandai dengan melemahnya mata uang

Rupiah terhadap Dollar pada pertengahan tahun 1997. Rupiah yang bernilai Rp 2.540 per

US Dollar pada bulan Juni 1997, mengalami depresiasi secara terus menerus hingga akhir

tahun 1997 mencapai 4.650 Rupiah per US Dollar. Untuk menahan laju nilai tukar

Rupiah ini, maka pada tanggal 14 Agustus 1997 pemerintah melepas sistem kurs

mengambang terkendali (Managed Floating System) dan menerapkan sistem kurs

mengambang bebas (Free Floating System). Namun, memasuki tahun 1998 kondisi nilai

tukar Rupiah semakin parah dan puncaknya mencapai 14.850 Rupiah per US Dollar pada

Juni 1998.

Untuk meredam melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar dan tingkat inflasi yang

tinggi ini, Bank Sentral meningkatkan tingkat suku bunga SBI yang pada bulan

November 1998 menyentuh angka 61 persen per tiga bulan. Langkah yang dilakukan ini,

disatu sisi memang berhasil menurunkan laju inflasi dari 77,63 persen pada tahun 1998

menjadi 2 persen pada akhir tahun 1999. Namun, disisi lain keadaan ini berdampak

kurang baik pada tingkat investasi di Indonesia. Salah satu buktinya yaitu pada tahun

1997, pelarian arus modal keluar mencapai 3,5 milyar Dollar, sementara pada tahun 1998

dan tahun 1999 mengalami penurunan, yakni masing-masing sebesar 19,7 milyar Dollar

dan 11,3 milyar Dollar.

Pelarian modal tentu akan mengakibatkan dana untuk investasi menurun secara tajam,

akibatnya terjadi perputaran dana di sektor riil, dan berdampak pada penyerapan tenaga

kerja. Akibat krisis finansial yang terjadi, banyak para pengusaha yang gulung tikar

karena dililit hutang bank, sehingga banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-

18

Page 19: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

PHK atau dibebastugaskan oleh perusahaan. Hal ini menjadi salah satu pemicu terjadinya

ledakan pengangguran, yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif

singkat. Ledakan pengangguran yang terjadi di tahun 1998 yakni sekitar 1,4 juta

pengangguran terbuka baru. Selain itu, kinerja perekonomian yang lambat juga

menyebabkan pengangguran terbuka, dimana pada tahun 2005 mencapai 10,84 persen

(11,6 juta orang), jauh lebih tinggi dari level sebelum krisis pada tahun 1997 sebesar 4,7

persen. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi diperkirakan saat ini tidak cukup

menampung angkatan kerja yang bertambah 1,8 juta orang per tahunnya. Sulitnya

mengurangi tingkat pengangguran atau menciptakan lapangan kerja baru, menjadi

cerminan lambatnya gerak laju ekspansi sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja

yang terus bertambah setiap tahunnya.

Besarnya arus modal asing yang masuk ke Indonesia, selain menggerakkan roda usaha

sektor riil juga diharapkan dapat memperbesar arus perputaran uang di pasar uang,

menambah kapitalisasi pasar modal/bursa saham Indonesia, serta menutup defisit neraca

transaksi berjalan yang selama ini selalu dialami Indonesia. Jika pertumbuhan ekonomi,

pendapatan per kapita, serta arus masuk modal asing ke Indonesia tinggi, apakah hal itu

menggambarkan majunya perekonomian Indonesia. Belum tentu, pertumbuhan ekonomi

yang tinggi di Indonesia sebelum era krisis, tidak menggambarkan bahwa yang

mengalami pertumbuhan adalah unit-unit usaha yang dimiliki oleh sebagian besar

masyarakat Indonesia. Justru sebaliknya, yang mendorong pertumbuhan adalah unit-unit

usaha yang dimiliki orang asing dan para konglomerat.

Jadi selama ini malah usaha milik orang asing yang ditumbuhkan pemerintah. Begitu

pula dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita Indonesia tidak menunjukkan

bahwa penghasilan setiap warga negara Indonesia bertambah baik. Di dalam PDB

terdapat milik orang asing yang kontribusinya cukup besar. Jadi bagaimana mungkin

PDB digunakan sebagai basis menghitung pendapatan per kapita bagi warga negara

Indonesia. Jumlah yang besar dan terus bertambah dari investasi asing di Indonesia

membuktikan ketergantungan yang besar perekonomian dalam negeri terhadap luar

negeri. Ini bukanlah hal yang menggembirakan apalagi bila dihubungkan dengan

kepercayaan luar negeri. Benarkah investasi asing menguntungkan bagi Indonesia.

19

Page 20: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

Investasi asing bagi perekonomian riil, baik terhadap negara maupun masyarakat sangat

merugikan. Sekarang banyak investasi asing yang memasuki wilayah publik serta sumber

daya alam. Tentu dengan dikuasainya aset-aset pelayan publik ataupun industri yang

menguasai hajat hidup orang banyak tersebut, maka pihak asing sangat dominan dalam

mengatur supply dan menentukan harga. Adalah sangat lucu kebijakan pemerintah

sekarang dengan mengupayakan 'sekuat-kuatnya' untuk meningkatkan kepercayaan para

investor luar negeri terhadap perekonomian Indonesia agar mereka menanamkan

modalnya di Indonesia. Hal ini sama saja dengan pemerintah mempersilakan pihak asing

untuk menggorok usaha-usaha ekonomi masyarakat serta mencekik hak masyarakat

terhadap pelayanan publik dan hak akan manfaat dari sumber daya alam Indonesia.

Investasi asing bagi perekonomian riil, baik terhadap negara maupun masyarakat sangat

merugikan. Sekarang banyak investasi asing yang memasuki wilayah publik serta sumber

daya alam. Tentu dengan dikuasainya aset-aset pelayan publik ataupun industri yang

menguasai hajat hidup orang banyak tersebut, maka pihak asing sangat dominan dalam

mengatur supply dan menentukan harga. Adalah sangat lucu kebijakan pemerintah

sekarang dengan mengupayakan ’sekuat-kuatnya’ untuk meningkatkan kepercayaan para

investor luar negeri terhadap perekonomian Indonesia agar mereka menanamkan

modalnya di Indonesia. Hal ini sama saja dengan pemerintah mempersilakan pihak asing

untuk menggorok usaha-usaha ekonomi masyarakat serta mencekik hak masyarakat

terhadap pelayanan publik dan hak akan manfaat dari sumber daya alam Indonesia.

Terlalu percayanya pemerintah dan para analis terhadap indikator makro ekonomi

tersebut, harus digugat. Pertama, karena hal itu menyebabkan negara menjadi lalai dan

tidak waspada terhadap bahaya besar yang menimpa negara dan masyarakat Indonesia.

Kedua, kebijakan tersebut secara riil mencerminkan pembangunan dilakukan untuk pihak

asing dan konglomerat, bukan untuk masyarakat. Ketiga, supaya pemerintah menjalankan

kebijakan pembangunan yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.

Untuk mengetahui perkembangan pembangunan dan perekonomian, seharusnya yang

diutamakan dan menjadi target adalah indikator-indikator yang lebih menyentuh

20

Page 21: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

bagaimana gambaran tingkat kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Indikator

tersebut misalnya terpenuhi tidaknya kebutuhan-kebutuhan primer setiap warga negara.

Krisis ekonomi AS : pertumbuhan ekonomi Indonesia

Menurut IMF, sekitar 1% penurunan pertumbuhan ekonomi di AS akan menurunkan

pertumbuhan ekonomi di Asia sebesar 0,5%-1%. Dampak dari resesi global yang berasal

dari resesi di AS akan mempengaruhi proyeksi perekonomian negara-negara di Asia,

termasuk Indonesia. Perekonomian global, diperkirakan akan mengalami penurunan

pertumbuhan sebesar 0,4%, yang sebelumnya sebesar 5,2% pada tahun 2007 menjadi

4,8% pada tahun 2008. Negara-negara di Asia Tenggara diperkirakan akan mengalami

tekanan yang paling parah akibat perlambatan ekonomi yang terjadi di AS.

Bank Pembangunan Asia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2010

akan mencapai 5,5 persen atau meningkat dibanding 2009 sebesar 4,5 persen. Asian

Development Outlook (ADO 2010) yang disampaikan dalam siaran persnya di Jakarta,

Selasa [13/04/010] ] menyebutkan, penguatan konsumsi publik dan investasi akan

membawa pertumbuhan Indonesia mencapai 5,5 persen. Resesi ekonomi global hanya

menimbulkan dampak ringan terhadap ekonomi Indonesia, sehingga pada 2010 dan 2011

aktivitas ekonomi akan bergerak lebih cepat dengan landasan tingginya permintaan

domestik dan dukungan dari kebijakan makro ekonomi. Selain itu, pertumbuhan investasi

di infrastruktur dan meningkatnya lapangan kerja masih menyisakan beberapa tantangan.

Sementara di Asia Tenggara, ADB menilai pertumbuhan agregat kemungkinan akan

pulih menjadi 5,1 persen pada 2010 dari 1,2 persen pada 2009, ketika lima dari 10

ekonomi di kawasan ini mengalami kontraksi (Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia,

Singapura dan Thailand). Pemulihan ini sebagian besar dikarenakan pulihnya kembali

perdagangan global dan meningkatnya investasi. Pertumbuhan ekonomi kemungkinan

akan sedikit lebih cepat pada 2011. Untuk Asia Timur, pemulihan ekonomi berlangsung

paling kuat, ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan naik menjadi 8,3 persen

pada  2010 dari 5,3 persen pada 2009, dengan pemulihan ekonomi yang mantap di tiga

ekonomi yang mengalami penurunan tahun lalu (Hong Kong, Cina; Mongolia dan Taipei,

21

Page 22: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

China). Produk Domestik Bruto akan tetap tinggi di RRC, dimana stimulus fiskal yang

besar yang dilakukan pemerintah akan terus berdampak. Republik Korea diperkirakan

akan pulih dan tumbuh sebesar 5,2 persen didorong oleh pulihnya investasi swasta dan

konsumsi rumah tangga dan meningkatnya perdagangan global.

Pertumbuhan di Asia Selatan juga akan meningkat pada 2010, dipimpin oleh India yang

kemungkinan akan tumbuh sebesar 8,2 persen, begitu juga Srilanka (6,0 persen), di saat

negara itu terus mendapat manfaat dari perdamaian yang terjadi baru-baru ini setelah

perang saudara yang berlangsung lama. Pertumbuhan ekonomi di Pakistan kemungkinan

akan meningkat sebesar 3,0 persen mencerminkan membaiknya fundamental ekonomi

domestik, sementara pertumbuhan ekonomi di Bangladesh dan Nepal diperkirakan akan

sedikit turun. Pertumbuhan ekonomi juga diperkirakan akan meningkat di Asia Tengah

pada 2010, dari 2,7 persen pada 2009 sejalan dengan meningkatnya harga minyak dan

pulihnya Federasi Rusia yang mendorong aktivitas ekonomi. Namun melemahnya

perekonomian non-minyak di Kazakhstan akan menahan pertumbuhan ekonomi negara

tersebut menjadi 2,5 persen sementara Armenia dan Georgia akan mengalami

pertumbuhan yang kecil sekitar 2 persen.

Di kawasan Pasifik, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan diperkirakan akan

meningkat menjadi 3,7 persen pada 2010 dari 2,3 persen pada 2009, diuntungkan

terutama oleh pertumbuhan ekonomi yang menguat di Papua Nugini dan Timor-Leste,

yang keduanya mendapatkan manfaat dari meningkatnya permintaan ekspor dan harga

sumber daya alam. Namun PDB di Fiji diperkirakan akan kembali mengalami kontraksi,

dan sebagian besar perekonomian yang lebih kecil di kawasan ini akan tumbuh kurang

dari satu persen.

Pemulihan Ekonomi Asia Terus Berlanjut

Bank Pembangunan Asia (ADB) menyatakan bahwa pemulihan ekonomi yang kuat oleh

negara-negara berkembang di kawasan Asia akibat krisis ekonomi global diperkirakan

akan terus berlanjut hingga dua tahun ke depan. Asian Development Outlook (ADO

22

Page 23: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

2010) yang disampaikan dalam siaran pers di Jakarta, Selasa memperkirakan

pertumbuhan ekonomi Asia akan tumbuh kuat sebesar 7,5 persen pada 2010, jauh di atas

5,2 persen pada  2009, karena didukung pemulihan moderat perdagangan global dan

dampak stimulus fiskal dan moneter yang terus berlangsung. Namun, pertumbuhan akan

sedikit melambat menjadi 7,3 persen pada  2011 karena menghilangnya dampak dari

kebijakan-kebijakan stimulus tersebut. “Pemulihan ekonomi di negara-negara

berkembang di Asia terus bertahan dan sekarang sudah kelihatan bahwa ekonomi akan

kembali bisa tumbuh lebih tinggi dan berkelanjutan jika kawasan ini bisa menghadapi

tantangan meningkatnya permintaan domestik,” kata Ekonom Utama ADB Jong-Wha

Lee.

Prospek ekonomi Asia menurut ADB, membaik setelah ekonomi tumbuh melebihi

harapan pada paruh kedua tahun 2009, terutama dibantu oleh kinerja ekonomi yang kuat

dari Republik Rakyat Cina (RRC) dan India. Upaya-upaya stimulus yang dilancarkan

tahun lalu akan terus mendorong investasi di kawasan ini, sementara konsumsi rumah

tangga kemungkinan akan meningkat karena prospek pendapatan naik dan pengangguran

turun. Karena pemulihan ekonomi mendongkrak permintaan domestik, maka

kemungkinan juga akan meningkatkan inflasi harga konsumsi sekitar 4 persen setiap

tahun dalam dua tahun ke depan. Surplus transaksi berjalan secara keseluruhan

diperkirakan akan terus turun tahun ini dan tahun depan karena permintaan eksternal

hanya naik secara perlahan dan permintaan domestik menguat.

Namun menurut laporan ini di saat pemulihan ekonomi berlangsung, kawasan tersebut

menghadapi sejumlah risiko termasuk pemulihan ekonomi global yang lebih lambat dan

perkiraan pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri yang masih tidak menentu.

Ada kekhawatiran pada saat upaya-upaya stimulus tidak dilakukan lagi, terutama di

negara-negara besar, kekuatan permintaan rumah tangga tidak cukup sehat untuk

mengambil alih. Sementara, potensi masalah-masalah lain yang mengganggu yang harus

diwaspadai di antaranya adalah melonjaknya harga komoditas internasional, posisi fiskal

yang memburuk dan terus terjadinya ketidakseimbangan global. Negara-negara

berkembang di Asia menghadapi masalah lain, yakni ekonomi yang pulih dengan kuat

23

Page 24: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

dan lebih awal serta bunga yang lumayan tinggi, telah menarik masuknya aliran modal

yang memiliki volatilitas tinggi, akan memperumit pengelolaan makro-ekonomi.

Melonjaknya harga pangan, yang lebih berdampak besar pada kelompok miskin juga

menimbulkan risiko.

Kepustakaan

Achjar Iljas, Inflasi dan Akuntabilitas BI, Media Indonesia - Ekonomi (24/07/2001)

Admin, Menakar Inflasi di tengah Pengkhianatan FPI, 19 Maret 2009, 17:06

Mudrajad Kuncoro,Ph.D, Prof(2007), Miranda dan Koordinasi Kebijakan , Sumber:

http://www.investorindonesia.com , 26/12/2007 21:20:15 WIB

SUNNY BOY BATUBARA, Gejolak Ekonomi Global dan Implikasinya bagi Kebijakan

Ekonomi Makro di Indonesia, Posted on February 1st, 2009

Ascarya, (2002). Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Pusat Pendidikan dan

Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.

Dernburg, T.F., and McDougall, D.M., (1983). Macroeconomics : The Measurement,

Analysis, and Control of Aggregate Economic Activity. Sixth Edition, Asian

Student Edition, McGraw-Hill International Book Company,  London,

Ferry Warjiyo, (2004). Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Pusat

Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.

Froyen, R.T., (1993). Macroeconomics : Theories and Policies. Fourth Edition,

University of North Carolina at Chapel Hill, Macmillan Publishing

Company, New York, USA.

F.X. Sugiyono, (2004). Instrumen Pengendalian Moneter : Operasi Pasar Terbuka. Pusat

Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.

Gordon, R.J., (1993). Macroeconomics. Sixth Edition, Harper-Collins Publishers, New

York, USA.

McKenzie, R.B., and Tullock G., (1985). Modern Political Economy : An Introduction to

Economics. International Student Edition, McGraw-Hill International Book

Company,  London, UK.

Samuelson, P.A. and Nordhaus, W. D. (2002). Economics. 17th Edition, McGraw-Hill

Irwin, International Edition, USA.

24

Page 25: KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA

Sutyastie soemitro, dkk. (2007). Kinerja dan Prospek Ekonomi Indonesia. Jurusan

Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas

Padjadjaran Bandung.

Thomas, Lloyd B., (1997). Money, Banking and Financial Markets. McGraw-Hill Irwin,

International Edition, Kansas University, USA.

Mankiw, N. Gregory, and David Romer, eds. New Keynesian Economics. 2 vols.

Cambridge: MIT Press, 1991.

N. Gregory Mankiw is a professor of economics at Harvard University.

(http://gregmankiw.blogspot.com/).

Clarida, Richard, Jordi Gali, and Mark Gertler. “The Science of Monetary Policy: A New

Keynesian Perspective.” Journal of Economic Literature 37 (1999): 1661–

1707.

Goodfriend, Marvin, and Robert King. “The New Neoclassical Synthesis and the Role of

Monetary Policy.” In Ben S. Bernanke and Julio Rotemberg, eds., NBER

Macroeconomics Annual 1997. Cambridge: MIT Press, 1997. Pp. 231–283.

25