KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA …repository.unissula.ac.id/11690/1/FILE 1 COVER,...
Transcript of KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA …repository.unissula.ac.id/11690/1/FILE 1 COVER,...
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA YANG
MENGHAMBAT PROSES PERADILAN (CONTEMPT OF COURT)
DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Sebagai Persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Hukum
Program kekhususan Hukum Pidana
Diajukan oleh :
Dian Rustam Aji
30301408486
PROGRAM STUDI (S.1) ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA)
SEMARANG
2018
ii
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA YANG
MENGHAMBAT PROSES PERADILAN (CONTEMPT OF COURT)
DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA
Diajukan oleh :
Dian Rustam Aji
30301408486
Pada tanggal, 14 Maret 2018 telah Disetujui oleh :
Dosen Pembimbing :
Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H
NIDN. 06.0205.7803
iii
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Dian Rustam Aji
NIM : 30301408486
Dengan ini saya nyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah yang berjudul:
Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Yang Menghambat Proses
Peradilan (Contempt of Court) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia
Adalah benar hasil karya saya dan penuh kesadaran bahwa saya tidak melakukan
tindakan plagiasi atau mengambil alih seluruh atau sebagian besar karya tulis
orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Jika saya terbukti melakukan tindakan
plagiasi, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.
Semarang, 27 Maret 2018
Dian Rustam Aji
iv
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA YANG
MENGHAMBAT PROSES PERADILAN (CONTEMPT OF COURT) DALAM
SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA
Dipersiapkan dan disusun oleh
Dian Rustam Aji
30301408486
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji
Pada tanggal 23 Maret 2018
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat dan lulus
Tim Penguji
Ketua,
Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum
NIDN : 06-2804-6401
Anggota Anggota
Andri Winjaya Laksana, S.H., M.H Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H NIDN : 06-2005-8302 NIDN : 06-0205-7803
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum UNISSULA
Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E.Akt, M.Hum
NIDN : 06-0503-6205
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO :
“Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah
dilaksanakan/diperbuatnya”(Ali bin Abi Thalib)
“Kemenangan yang seindah-indahnya dan sesukar-sukarnya yang boleh direbut
oleh manusia ialah menundukan diri sendiri.” (Ibu Kartini)
Skripsi ini saya persembahkan kepada :
Bapak dan Ibu saya, Rustam Dermawan dan
Sulistianah, yang selalu memberi semangat dan
senantiasa mendoakan saya agar selalu semangat dalam
meraih yang saya inginkan
Adik saya Kresno Dwi Poyono yang turut mendoakan
dan membantu saya dalam mencari referensi
Keluarga besar saya yang turut mendoakan dan selalu
memberi motivasi
Almamater Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan
Agung Semarang
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr, wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi atau penulisan hukum yang berjudul “KEBIJAKAN
HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA YANG
MENGHAMBAT PROSES PERADILAN (CONTEMPT OF COURT)
DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA”
Tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan
guna mendapatkan gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Islam
Sultan Agung Semarang.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini
tidak akan terwujud seperti sekarang ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada
semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Penulis ucapkan
terima kasih sebanyak-banyaknya kepada yang terhormat yaitu :
1. Bapak Ir. H. Prabowo Setiyawan, MT., Ph.D, selaku Rektor Universitas Islam
Sultan Agung Semarang.
2. Bapak Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E.Akt, M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Islam Sultan Agung.
3. Ibu Dr. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.H, selaku Dosen Wali
ix
4. Ibu Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dengan bijaksana dan
penuh tanggung jawab kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum serta staf dan karyawan Fakultas
Hukum Universitas Islam Sultan Agung.
6. Teman-teman Cabe Gemash (Cica, Dina, Bella, Aji, Ali, Dena, Dedy, Daeng,
Bayu) yang selalu menjadi teman tergokil.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna.Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan
untuk memperbaiki kekurangan.Semoga adanya makalah ini dapat membantu
memberikan wawasan kepada pembaca.Akhir kata penulis ucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu dan semoga Allah SWT melimpahkan
karunia-Nya dalam setiap amal kebaikan kita dan mendapatkan balasan. Amin
Semarang, 14 Maret 2018
Penulis
Dian Rustam Aji
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN.................. Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................. vi
ABSTRACT .......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 9
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 10
E. Metode Penelitian...................................................................................... 11
1. Metode Pendekatan ........................................................................... 11
2. Spesifikasi Penelitian ........................................................................ 11
3. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 11
4. Metode Analisis Data ........................................................................ 12
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 15
xi
A. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Hukum Pidana ............................ 15
1. Pengertian Kebijakan ........................................................................ 15
2. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana .......... 19
B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana dan Tindak Pidana .............. 28
1. Pengertian Hukum Pidana ................................................................ 28
2. Pembagian Hukum Pidana ............................................................... 29
3. Sumber Hukum Pidana ..................................................................... 31
4. Jenis-jenis Sanksi Pidana .................................................................. 34
5. Pengertian Tindak Pidana ................................................................. 35
C. Tinjauan Umum Tentang Contempt of Court ........................................ 38
1. Pengertian Contempt of Court ......................................................... 38
2. Jenis-Jenis Contempt of Court ......................................................... 40
3. Bentuk-Bentuk Contempt of Court.................................................. 47
4. Bentuk-Bentuk Konstitutif Contempt of Court .............................. 48
D. Contempt of Court dalam Perspektif Hukum Islam .............................. 52
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 55
A. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana yang Menghambat
Proses Peradilan (Contempt of Court) dalam Hukum Pidana Positif
saat ini......................................................................................................... 55
B. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana yang Menghambat
Proses Peradilan (Contempt of Court) dalam Kebijakan Hukum
Pidana yang akan datang .......................................................................... 64
BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 73
xii
A. Kesimpulan .................................................................................................. 73
B. Saran .............................................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alinea IV terkandung sejumlah tujuan
negara yang dirumuskan oleh para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia,
diantaranya membentuk pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan dari tujuan negara tersebut dapat
terwujud dengan dibentuknya sejumlah lembaga negara yaitu eksekutif, legislatif,
dan yudikatif baik di pusat maupun di daerah dengan tugas, fungsi, dan
kewenangan masing-masing. Dari ketiga lembaga tersebut, semuanya berdasarkan
pada adanya aturan atau hukum yang menjadi kesepakatan bersama.
Sejalan dengan apa yang telah diuraikan di atas, telah ditegaskan dalam
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sesuai dengan
semangat dan ketegasan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, jelas bahwa negara hukum yang dimaksud berarti negara
bukan hanya sebagai polisi lalu lintas atau penjaga malam saja, yang menjaga
jangan sampai terjadi pelanggaran dan menindak pada pelanggar
hukum.Pengertian negara hukum baik dalam arti formalyang melindungi seluruh
2
warga dan seluruh tumpah darah, juga dalam pengertian negara hukum material
yaitu negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kecerdasan
seluruh warganya.1
Seiring dengan kemajuan budaya dan iptek perilaku mausia di dalam hidup
bermasyarakat justru semakin kompleks. Perilaku demikian apabila ditinjau dari
segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma
(hukum) yang berlaku tidak menjadi masalah. Terhadap perilaku yang tidak sesuai
dengan norma biasanya dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan
merugikan masyarakat.
Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan
terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya
ketertiban dan ketenteraman kehidupan manusia. Penyelewengan yang demikian
biasanya oleh masyarakat di cap sebagai suatu pelanggaran atau bahkan kejahatan.
Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala social yang akan selalu
dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah
membuktikan bahwa kejahatan dapat dicegah atau dikurangi tetapi sulit untuk
diberantas secara tuntas.
Perkembangan dan perubahan sosial suatu masyarakat merupaka suatu hal
yang normal, justru dikatakan tidak normal jika tidak terjadi perubahan.Demikian
juga dengan hukum yang digunakan oleh suatu negara merupakan cerminan dari
kehidupan sosial masyarakatnya. Hukum ada karena masyarakat membutuhkan
alat yang dapat mengatur pergaulan masyarakat dan akan ikut berubah mengikuti
1 Kaelan, 2014, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, hlm 221.
3
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dan akan berubah mengkuti
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Perubahan dan perkembangan sosial yang terjadi dalam masyarakat akan
berubah pula mengenai kejahatan dalam hukum pidana. Hukum pidana sendiri
merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan. Sementara
kejahatan itu sendiri merupakan akibat dari perubahan dan perkembangan sosial.
Dalam perkembanganya perkembangan sosial mempengaruhi pola-pola tindakan
manusia salah satunya adalah perbuatan yang dianggap merendahkan dan
merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan terhadap lembaga
peradilan.Perbuatan tersebut disebut sebagai tindak pidana Contempt of Court.
Reformasi hukum yang menjadi dambaan masyarakat ditujukan pada
tegaknya kewibawaan hukum yang mana kewibawaan hukum tersebut meliputi
adanya legalitas Undang-Undang tersebut serta peningkatan sumber daya manusia
aparat penegak hukum. Kewibawaan hukum itu ada jika kepercayaan masyarakat
tehadap aparat dan lembaga penegak hukum itu ada.
Untuk itu perlu semakin dimantapkan peran dan kedudukan penegakan
hukum supaya terwujud kemampuan dan kewibawaanya. Penegakan hukum
merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib keamanan dan
ketenteraman dalam masyarakat baik itu merupakan pencegahan maupun usaha
pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum.
Peningkatan kemampuan penegak hukum ini penting karena kebanyakan para
penegak hukum Indonesia sudah dibiasakan dididik sebagai calon penerap hukum
bukan sebagai calon ahli hukum yang dapat memperbaharui hukum. Seringkali
4
dijumpai berbagai produk hukum seperti Undang-Undang yang gagal dalam
menjerat pelaku kejahatan karena sifatnya yang memiliki celah dan ini merupakan
tantanngan bagi penegak hukum untuk terus meningkatkan moral dan
kredibilitasnya mengabdi kepada hukum sehingga keadilan dapat terwujud.
Akhir-akhir ini sering terlihat baik secara langsung ataupun melalui media,
suasana ruang sidang yang rusuh tanpa aturan. Para pengunjung sidang terlihat
berteriak-teriak, memakai atau bahkan melempar kursi ke arah majelis hakim. Tak
jarang pula terjadi perselisihan antara penasehat hukum dengan ketua majelis
hakim yang diakhiri pengusiran penasehat hukum tersebut dari ruang
persidangan.Salah satu contoh yang mewakili tindakan anarkhis tersebut adalah
peristiwa yang terjadi pada Senin 16 Oktober lalu, yaitu Ketua Pengadilan Negeri
Jambi dilempar kursi oleh pendemo.2
Seringnya terlihat gejala, baik secara individu maupun bersama-sama yang
kurang menghargai jalannya persidangan adalah contoh akibat dari hilangnya
kepercayaan terhadap aparat dan lembaga penegak hukum di Indonesia sekarang
ini. Fenomena aksi massa baik yang menyerang hakim langsung atau
mengeluarkan kata-kata kasar di ruang sidang terjadi hampir di seluruh wilayah
Negara Indonesia. Sidang-sidang peradilanpun semakin rawan dari aksi brutal.Hal
ini tidak lepas dari masalah integritas penegak hukum. Jika hakim tidak
mempunyai integritas yang baik, maka ia tidak akan dihormati.
Kewibawaan seorang hakim sangat diperlukan pada saat ia mendapatkan
perlakuan tidak pantas dari pengujun sidang. Hakim bisa bertindak menggunakan
2 https://m.detik.com/news/berita/d-3690427/wajah-ketua-pn-jambi-dilempar-kursi-ma-
pertanyakan-peran-ky, diakses pada 28 Oktober 2017 pukul 15.30WIB
5
pasal-pasal Contempt of Court yang ada di dalam KUHP dan KUHAP.Dengan
demikian di Indonesia perlindungan terhadap peradilan baik secara preventif
maupun secara represif sebenarnya telah ada. Walaupun telah ada pengaturan
terhadap setiap usaha untuk mencemarkan pengadilan baik berupa gangguan
hambatan, tantagan maupun ancaman berupa KUHP dan KUHAP, namun
kenyataanya hakim hampir tidak pernah menggunakan ketentuan tersebut ketika
terjadi pelecehan terhadap dirinya maupun terhadap institusi peradilan.
Di Indonesia istilah Contempt of Court baru dikenal pada tahun 1985
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dalam penjelasan umum butir 4, yang disebutkan : “untuk
dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi
penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, maka perlu dibuat suatu Undang-Undang yang mengatur penindakan
terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap, dan atau ucapan yang dapat merendahkan
dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang
dikenal sebagai Contempt of Court”.
Berdasarkan penjelasan umum butir 4 Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung tersebut di atas, maka pengertian Contempt of
Court adalah segala perbuatan, tingkah laku, dan atau ucapan yang dapat
merendahkan, merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan
peradilan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pengertiannya terutama
tertuju pada wibawa, martabat, dan kehormatan badan peradilan. Namun, karena
6
suatu lembaga adalah sesuatu yang abstrak, maka ketiga hal tesebut yaitu wibawa,
martabat, dan kehormatan akan tertuju kepada :
- Manusianya yang menggerakkan lembaga tersebut
- Hasil buatan lembaga tersebut
- Proses kegiatan dari lembaga tersebut3.
Oleh karena itu apabila terdapat perbuatan-perbuatan atau tindak pidana
yang ditujukan terhadap tiga hal tersebut di atas, maka perbuatan tersebut dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan (Contempt of
Court).
Adapun beberapa rumusan baru yang dikualifikasikan sebagai tindak
pidana terhadap proses peradilan (Contempt of Court) yang dimasukkan ke dalam
RUU KUHP, antara lain :4
1. Penasehat hukum yang dalam pekerjaanya memberikan bantuan hukum,
mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya,
sedang patut diketahuinya bahwa perbuatan itu dapat merugikan kepentingan
yang dibantunya.
2. Penasehat hukum yang dalam pekerjaanya memberikan bantuan hukum untuk
memenangkan pihak yang dibantunya meminta imbalan dengan maksud
mempengaruhi secara melawan hukum saksi-saksi, saksi ahli, juru bahasa,
penyidik, penuntut umum atau hakim dalam perkara yang bersangkutan.
3 Padmo Wahyono, Contempt of Court Dalam Proses Peradlan di Indonesia, Dalam Era
Hukum No 1 Tahun 1 November 1987, hlm 22. 4 Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 2, Contempt of Court dalam
RancanganKUHP
7
3. Seseorang yang menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau
pembantu tindak pidana, sehingga oleh karena itu dijatuhi pidana dan
menjalani pidana itu untuk orang lain
4. Seseorang yang menghina integritas hakim dalam menjalankan tugas
peradilan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak dari suatu
proses sidang peradilan.
5. Seseorang yang mengadakan publikasi atau memperkenankan dilakukanya
publikasi segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi
sifat tidak memihak suatu proses sidang pengadilan.
6. Setiap saksi dan orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme,
korupsi, hak-hak asasi manusia, atau pencucian uang yang menyebutkan
nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan
dapat diketahuinya identitas pelapor dalam penyidikan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Sedangkan ketentuan lainnya merupakan ketentuan-ketentuan yang sudah ada
dalam KUHP yang saat ini berlaku, seperti ketentuan pasal 210, pasal 216, pasal
217, pasal 221, pasal 222, pasal 223, pasal 224, pasal 225, pasal 231, pasal 232,
pasal 233, pasal 317, pasal 417, pasal 522.5
Peradilan atau pengadilan adalah sebuah institusi yang penting dan terhormat
dalam proses penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Penting karena
bertugas untuk menegakkan hukum yang diharapkan selaras dengan
keadilan.Terhormat karena diisi oleh orang-orang yang dipercaya dapat menjamin
5 Hal ini dapat diketaui dari misalnya, dari Seminar tentang Contempt of Court yang
diselenggarakan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Maret 1987, hukum online, 19 Maret
2005, “Diusulkan UU Contempt of Court untuk Lindungi Hakim”.
8
penegakan hukum.Namun belakangan ini institusi ini menjadi pudar bersamaan
dengan perilaku-perilaku oknum-oknum peradilan yang menyelewengkan hukum
dan rasa keadilan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pada saat diundangkannya Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, terdapat situasi yang
kurang kondusif dalam praktek peradilan di Indonesia yang menuntut perlunya
ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan. Situasi ini
ditanggapi oleh para hakim dengan mengajukan ide atau usulan mengenai
perlunya dibentuk suatu Undang-Undang atau aturan khusus yang dapat
memberikan perlindungan terhadap para hakim dalam menjalankan tugasnya.
Tindakan-tindakan tersebut aturannya sudah ada, tetapi tersebar di berbagai
Undang-undang misalnya keterangan palsu, penyuapan oleh penegak hukum,
kerusuhan dan lain sebagainya. Tindakan Contempt of Court diatur khusus untuk
menghormati martabat pengadilan.Sebagaimana berdasarkan pada firman Allah
SWT dalam QS. an-Nisa’/4 ayat 59 yang berbunyi :
ر منكمأ مأ سىل وأولي ٱلأ وأطيعىا ٱلر ا أطيعىا ٱلل أيها ٱلذين ءامنى ي
سىل إن كنتمأ ت وٱلر وه إلى ٱلل ء فرد تمأ في شيأ زعأ فئن تن منىن بٱلل ؤأ
ويلا سن تأأ ر وأحأ لك خيأ خر ذ م ٱلأ يىأ ٩٥وٱلأ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
9
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Berdasarkan pada ayat tersebut, maka Contempt of Court merupakan
perbuatan yang dilarang oleh Allah karena mentaati perintah Imam adalah lebih
baik akibatnya.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk
mengkajinya dalam skripsi yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap
Tindak Pidana yang Menghambat Proses Peradilan (Contempt of Court) dalam
Sistem Hukum Pidana Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana yang
menghambat proses peradilan (Contempt of Court) dalam hukum pidana
positif saat ini?
2. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana yang
menghambat proses peradilan (Contempt of Court) dalam kebijakan hukum
pidana yang akan datang?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana yang
menghambat proses peradilan (Contempt of Court) dalam hukum pidana
positif pada saat ini.
2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana yang
menghambat proses peradilan (Contempt of Court) dalam kebijakan hukum
pidana yang akan datang.
10
D. Manfaat Penelitian
Bagi peneliti sendiri, penelitian ini dilakukan guna memperoleh data yang
diperlukan dalam penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung
Semarang. Sekaligus penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat
baik dari segi teoritis dan praktis.
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan dunia penegakan hukum pada umumnya, yang
terkait dengan perlindungan hukum terhadap tindakan Contempt of Court,
serta menambah kepustakaan dan bahan-bahan informasi ilmiah, mengingat
seringnya terjadi aksi-aksi Contempt of Court di Indonesia akhir-akhir ini.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk lebih mengembangkan daya pikir dan analisis yang akan
membentuk pola pikir dinamis penulis.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan
masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait
dengan masalah yang diteliti.
c. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan
perlindungan hukum terhadap hakim dari tindakan Contempt of Court..
11
E. Metode Penelitian
Pengumpulan data-data dalam suatu penelitiandiperlukan suatu metode yang
tepat agar obyek yang ingin dijadikan penelitian dapat dipertanggungjawabkan
kebenaranya. Tujuan dari sebuah penelitian adalah dapat menemukan kenyataan
obyek yang sedang diteliti. Pada umunya peneliti mempunyai tujuan untuk
mengkaji atau mencari kebenaran suatu ilmu pengetahuan
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif atau peneitian yuridis normatif adalah metode penelitian
hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder.6
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan
dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang
menyangkut permasalahan.
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian Yuridis Normatif menggunakan data sekunder, terdiri dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan
ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta
yang diketahui maupun mengenai gagasan atau ide. Bahan hukum
primer ini mencakup peraturan perundang-undangan antara lain, Kitab
6 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali pers, Jakarta, hlm: 13-14
12
Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, dan Rancangan Undang-undang KUHP.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi
tentang bahan primer, terdiri atas penjelasan Undang-Undang,
rancangan Undang-Undang KUHP dan literatur-literatur, kajian
akademik, bahan-bahan seminar.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memeberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang
berkaitan dengan penelitian ini diantaranya adalah surat kabar,
internet, kamus hukum.
4. Metode Analisis Data
Penelitian kepustakaan ini akan dianalisis oleh penulis secara kumulatif
yaitu berdasarkan hasil pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari
peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana khususnya tentang
Contempt of Court, buku-buku, dan rancangan KUHP yang berkaitan dengan
penelitian ini, kemudian dikualifikasikan untuk memperoleh gambaran atau
kesimpulan yang utuh.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman dalam membaca dan pencapaian
tujuan ditulisnya skripsi ini maka penulis menyusun sistematika penulisan
sebagai berikut :
13
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan berisi tentang : Latar Belakang
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan
Penelitian, Terminologi, Metode Penelitian dan Sistematika
Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas tentang tinjauan umum tentang
Pengertian Kebijakan Hukum Pidana, Hukum Pidana dan
Tindak Pidana meliputi Pengertian Hukum Pidana, Pembagian
Hukum Pidana, Sumber Hukum Pidana, Jenis-jenis sanksi
pidana, Pengertian Tindak Pidana dan Tinjauan Umum tentang
Contempt of Courtmeliputi Pengertian Contempt of Court,
Jenis-jenis Contempt of Court, Bentuk-bentuk Konstitutif
Contempt of Court, dan Contempt of Courtdalam Perspektif
Islam.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian dan pembahasan berisi kebijakan hukum
pidana terhadap tindak pidana yang menghambat proses
peradilan (Contempt of Court) dalam sistem hukum pidana
Indonesia saat ini dan kebijakan hukum pidana terhadap tindak
pidana yang menghambat proses peradilan (Contempt of
Court) dalam sistem hukum pidana Indonesia yang akan
datang.
14
BAB IV: PENUTUP
Bab penutup berisi kesimpulan dari skripsi dan saran-saran.
Urutan kesimpulan diorientasikan pada permasalahan dan
pembahasan serta dilengkapi dengan daftar pustaka dan
lampiran jika diperlukan.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Hukum Pidana
1. Pengertian Kebijakan
Kata dasar kebijakan adalah “bijak” yang berarti selalu menggunakan akal
budinya; pandai, mahir. Kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan organisasi dan
sebagainya); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis
pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan.7
Kata dasar “bijak” dalam bahasa Inggris berarti; able, smart, experienced,
wise, sedangkan kebijakan berarti wisdom dan policy.8
Kata policy sebagaimana terumuskan di atas, makna aslinya terkait dengan:
1. government or polity, political wisdom or cunning,
2. wise, expedient or prudent conduct or management, conduct or
management,
3. a principle, plan, or couse of action, as pursued by a government,
organization, individual, etc. (foreign policy)9
Dengan demikian dalam pengertian kebijakan terkandung berbagai hal:
7 Ira Alia Maerani, 2017, Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati
Berbasis Nilai-Nilai Pancasila, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum
Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, hlm. 70-83. Dikutip dari Departemen
Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta,
hlm. 115. 8 Ibid. Dikutip dari John M. Echols dan Hassan Shadily, 2006, Kamus Inggris Indonesia,
Cetakan XXVIII, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 79. 9 Ibid. Dikutip dari Eko Soponyono, 2010, Kebijakan Sistem Pemidanaan Yang
Berorientasi Pada Korban, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, hlm. 62-63, dikutip dari Simon and Schuster, 1997,
Webster’s New World College Dictionary, Macmillan, Inc, Cleveland, Ohio, hlm. 1045.
16
1. Rangkaian konsep dan asas sebagai dasar rencana pelaksanaan suatu
pekerjaan;
2. Merupakan cara bertindak di bidang pemerintahan;
3. Sebagai pernyataan cita-cita tujuan atau prinsip;
4. Sebagai pedoman manajemen dalam usaha mencapai sasaran dan juga
merupakan garis haluan.
5. Keempat hal di atas di samping dilandasi penggunaan akal budi, juga
kemampuan atau kepandaian.10
Istilah "kebijakan" diambil dari istilah Inggris "policy” atau istilah Belanda
"politick". Dalam Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila,11
politik
diberi makna:
a. Seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan;
b. Semua kebijakan/tindakan yang bermaksud mengambil bagian dalam
urusan kenegaraan/pemerintahan termasuk yang menyangkut penetapan
bentuk, tugas dan lingkup urusan negara;
c. Politik (politic) mencakup beraneka macam kegiatan dalam suatu sistem
masyarakat yang terorganisasikan (terutama negara; polity), yang
menyangkut pengambilan keputusan (decision making) baik mengenai
tujuan-tujuan sistem itu sendiri maupun mengenai pelaksanaannya.
Pengambilan keputusan mengenai tujuan sistem tersebut menyangkut
pemilihan antara beberapa alternatif dan penentuan prioritas. Keputusan
mengenai pelaksanaan menyangkut beraneka kebijaksanaan (policy)
umum maupun konkret. Untuk pelaksanannya diperlukan kekuasaan
(power) dan wewenang (authority) yang dalam pertentangan
kepentingan-kepentingan (conflict of interests) dapat memakai cara
meyakinkan (persuasion) atau bila perlu, paksaan (coercion). Dengan
demikian bagaimanapun juga, politik berhubungan dengan kekuasaan.
d. Sebagai usaha yang semata-mata membina dan menggunakan kekuasaan.
Walaupun dalam kenyataannya sering demikian, namun kekuasaan atas
manusia lain tidak boleh menjadi tujuan an sich, melainkan hanya sarana.
Pembinaan dan penggunaan kekuatan harus dinilai menurut tujuan dan
maksud yang mau dicapai dengannya dan menurut cara memperoleh serta
menggunakannya dan pula menurut apakah cara pemakaiannya sesuai
dengan kemauan orang yang bersangkutan atau tidak. Sebab seseorang
(dewasa) tidak boleh dipaksa supaya menerima apa yang dianggap orang
lain baik bagi mereka. Jadi, rakyat tidak boleh dianggap tidak tahu
menahu untuk mengetahui dan mengurus kepentingan yang sebenarnya,
10
Ibid, hlm. 63, 11
Ibid. Dikutip dari Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm. 53.
17
sehingga harus ditetapkan. Kebebasan untuk menentukan nasibnya
sendiri merupakan nilai yang lebih tinggi daripada kemajuan materiil.
Perbudakan pada kemakmuran materiil kalah nilainya dibandingkan
dengan kemerdekaan biarpun dalam keterbatasan barang yang tersedia.
Maka tindakan politis harus dipertanggungjawabkan terhadap yang
mempunyai negara yaitu rakyat dan akhirnya kepada Sang Pencipta
rakyat itu. Jadi politik harus dinilai secara etis juga. Bahwa pada akhirnya
tinjauan politik sebagai kegiatan yang berhubungan dengan negara tidak
bisa lain kecuali kesejahteraan bersama seluruh rakyat.
e. Dalam arti yang lebih luas, politik diartikan sebagai cara atau
kebijaksanaan (policy) untuk mencapai tujuan tertentu.
f. Dengan demikian dalam pelaksanaannya politik melibatkan kekuasaan,
penguasa dan kekuatan. Kenyataan ini tidak boleh semata-mata menjadi
tujuan tetapi sebagai sarana yang pada akhirnya harus mendatangkan
kesejahteraan bersama seluruh rakyat. Sudarto bahkan lebih tegas
mengatakan, bahwa politik mau tidak mau adalah subjektif, tergantung
dari pandangan seseorang yang ber "politik" itu.12
Implikasi terhadap konsep kebijakan publik yang secara rinci akan
dijelaskan di bawah ini:13
Pertama, kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang sengaja
dilakukan dan mengarah pada tujuan tertentu daripada sekedar sebagai bentuk
perilaku atau tindakan menyimpang yang serba acak (at random), asal-asalan, dan
serba kebetulan melainkan tindakan yang direncanakan (by planed).
Kedua, kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang
saling berkait dan berpola, mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat pemerintah, dan bukan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri.
Misalnya, kebijakan tidak hanya mencakup keputusan untuk membuat undang-
undang dalam bidang tertentu, melainkan diikuti dengan keputusan-keputusan /
12
Ibid. Dikutip dari Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar
Baru, Bandung. hlm. 93. 13
Ibid. Dikutip dari Solichin Abdul Wahab, 2016, Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke
Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik, Cetakan Kelima, PT. Bumi Aksara,
Jakarta, hlm. 20 -22.
18
petunjuk-petunjuk teknis pelaksanaan yang lebih detail, bersangkut paut dengan
proses implementasi dan mekanisme pemaksanaan pemberlakuannya.
Ketiga, kebijakan itu ialah apa yang nyatanya dilakukan pemeritah dalam
bidang-bidang tertentu. Sebuah kebijakan idealnya disertai dengan tindakan-
tindakan tegas dan konkret untuk mengimplementasikannya.
Keempat, kebijakan publik mungkin berbentuk positif, mungkin pula
negatif. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik mungkin akan mencakup
beberapa bentuk tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk memengaruhi
penyelesaian atas masalah tertentu. Sementara dalam bentuknya yang negatif, ia
kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat-pejabat pemerintah untuk
tidak bertindah, atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah
dimana campur tangan pemerintah itu sebenarnya amat diperlukan.
Hasil akhir kebijakan adalah akibat-akibat atau dampak (langsung) yang
benar-benar dirasakan oleh masyarakat, baik yang diharapkan yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat, baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak
diharapkan (unintended), sebagai konsekuensi logis dari adanya tindakan atau
tidak adanya tindakan pemerintah dalam bidang-bidang atau masalah-masalah
tertentu yang ada di masyarakat. Seorang analis kebijakan publik akan berusaha
untuk meneliti apakan kebijakan publik tertentu telah berhasil mencapai apa yang
seharusnya dicapaiya dengan cara, membandingan antara tujuan formal (normatif)
dari program dengan realita, prestasi, atau kinerja yang dicapai.14
14
Solicihin Abdul Wahab, Ibid, hlm. 32-33.
19
2. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana, Sudarto, mengemukakan
definisinya:
1. Kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan;
2. Untuk bidang hukum pidana melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.15
Sudarto lebih lanjut mengemukakan bahwa pembentukan undang-undang
merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan
mempunyai pengaruh luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau
mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk
mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa undang-undang mempunyai dua fungsi:
1) Fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai, dan
2) Fungsi instrumental.16
Berpangkal tolak dari kedua fungsi inilah sebaiknya politik hukum pidana
dijalankan tanpa mengingkari adanya fungsi lain, misalnya sifat atau pengaruh
simbolik dari undang-undang tertentu.
15
Sudarto, Loc.Cit. 16
Ibid.
20
Terhadap makna politik hukum pidana sebagaimana dirumuskan Sudarto
dalam poin dua (2) di atas, Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa dilihat
sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-
undangan pidana yang baik. Bagi Marc Ancel istilah "Penal Policy" dikatakan
sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif dalam definisi Marc
Ancel adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian
istilah "penal policy" menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah kebijakan
atau politik hukum pidana.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.17
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
untuk mencapai apa yang dicita-citakan.18
Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto, selanjutnya menyatakan
bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan
17
Ibid. Dikutip dari Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Cetakan Ketiga, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm. 26 dikutip dari Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
hlm. 159. 18
Ibid, dikutip dari Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar
Baru, Bandung, hlm. 20.
21
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna.19
Dalam kesempatan lain beliau
menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadilan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.”20
Sementara A. Mulder mengemukakan istilah "Strafrechtspolitiek" yang
merupakan garis kebijakan untuk menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau
diperbaharui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilakukan.21
Definisi Mulder di atas bertolak dari pengertian sistem hukum pidana dan
menurut Marc Ancel, setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum
pidana yang terdiri:
a. Peraturan-peraturan hukum dan sanksinya;
b. Suatu prosedur hukum pidana; dan
c. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).22
19
Ibid, dikutip dari Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm.161. 20
Ibid, dikutip dari Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar
Baru, Bandung, hlm. 93 dan 109. 21
Ibid. Dikutip dari Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm. 29-30. Lihat juga Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Cetakan Ketiga,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 27. 22
Ibid.
22
Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya masuk dalam kategori
hukum pidana substantif, suatu prosedur hukum pidana masuk dalam kategori
hukum pidana formil dan suatu mekanisme pelaksanaan (pidana) masuk dalam
kategori hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian kebijakan hukum pidana
dalam arti luas mencakup ketiga kategori hukum pidana tersebut. L.H.C. Hulsman
mengatakan bahwa the sentencing sistem is the statutory rules relating to the
penal sanction and punishment.23
Dua hal yang terkait dalam definisi sistem
pemidanaan yaitu sanksi pidana dan pemidanaan.
Pemidanaan dalam arti luas merupakan proses pemberian atau penjatuhan
pidana oleh hakim. Sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana,
maka pemidanaan pada dasarnya adalah suatu sistem. Sebagai suatu sistem, maka
sistem pemidanaan mencakup keseluruhan sistem perundang-undangan yang
mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan secara konkret sehingga seseorang
dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Ini berarti bahwa semua aturan perundang-
undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan
Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem
pemidanaan.24
Dengan demikian eksistensi ketiga peraturan perundang-undangan tersebut
merupakan sub sistem dari sistem pemidanaan. Sistem pemidanaan
dioperasionalisasikan melalui suatu mekanisme Sistem Peradilan Pidana. Muladi
mengatakan bahwa di dalam Sistem Peradilan Pidana terkandung gerak sistemik
dari sub-sub sistem pendukungnya yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
23
Ibid., hlm. 144. 24
Ibid.
23
Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan) yang secara keseluruhan
merupakan satu kesatuan (totalitas) yang berusaha mentransformasikan masukan
(input) menjadi keluaran (out put) yang menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana
berupa resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan
(jangka menengah) dan kesejahteraan sosial (jangka panjang).25
Secara sistematis jalinan antara sistem pemidanaan dan sistem peradilan
pidana dapat dibuat bagan sebagai berikut:
25
Ibid. Dikutip dari Muladi, 1995, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 1
24
Gambar 2.1. Jalinan Keterkaitan Antara Sistem Pemidanaan dan Sistem
Peradilan Pidana26
Hukum Pidana Substantif memuat aturan-aturan yang menetapkan dan
merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang
memuat syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana dan ketentuan mengenai
26
Ibid. Dikutip dari Eko Soponyono, 2010, Kebijakan Sistem Pemidanaan Yang
Berorientasi Pada Korban, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro (Undip), Semarang.
SISTEM PEMIDANAAN
HUK. PID. FORMAL HUK. PELKS. PID. HUK. PID. SUBST.
SIS. PERD. PID (SPP)
PENGADILAN LEMB. PEMASY KEPOL. & KEJKS
RESOS PEL. TP.
PENCEGAHAN KEJAHATAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL
25
pidana.27
Hukum pidana formal mengatur kekuasaan negara dengan perantaraan
alat-alat perlengkapannya melaksanakan untuk mengenakan pidana.28
Hukum Pelaksanaan Pidana memuat ketentuan-ketentuan yang
memungkinkan penjatuhan sanksi pidana itu dilakukan. Peraturan perundang-
undangan pidana tidak dapat beroperasi dengan sendirinya, karena dia hanya
dapat beroperasi melalui orang. Untuk itu dibutuhkan peraturan-peraturan yang
memungkinkan undang-undang pidana itu dilaksanakan. Mengenai hal ini Sudarto
mengatakan bahwa kita belum punya undang-undang pelaksanaan pidana (Straf-
vollzuggesetz) yang ada ialah Gestichtenreglement (Staatsblad 1917-708) yang
telah mendapat perubahan dan Dwang opvoeding-regeling (staatsblad 1917-741)
dan voorzievingen betreffende Landswerkinrichtingen (Staatsblad 1936-160).
Aturan-aturan tersebut merumuskan mengenai pelaksanaan pidana penjara,
kurungan, tindakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana di bawah umur
16 tahun dan tindakan terhadap tuna karya yang malas bekerja dan tanpa
penghasilan mengganggu ketertiban umum dengan meminta-minta dan
bergelandangan atau tindak laku yang asosial. Sudarto berasumsi, bila jenis-jenis
pidana dalam konsep KUHP baru disetujui dan ditetapkan menjadi undang-
undang dan apabila saat itu tidak sekaligus ada undang-undang pelaksanaan
pidana, maka akan timbul kekisruhan dalam pelaksanaannya dan efek yang
27
Ibid. Dikutip dari Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, hlm. 10. 28
Ibid.
26
dikehendaki dengan terbentuknya Undang-Undang Nasional tersebut akan sama
sekali tidak ada, bahkan mungkin akan berefek buruk.29
Kebijakan sistem pemidanaan merupakan bagian dari kebijakan hukum
pidana oleh karenanya dia juga merupakan usaha mewujudkan perundang-
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan
untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian kebijakan sistem
pemidanaan juga merupakan bagian dari pembaharuan hukum pidana.
Barda Nawawi Arief mengemukakan, bahwa hakikat pembaharuan
hukum pidana mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan
reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-
filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan
sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan hukum di Indonesia. Secara singkat
dapatlah dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana dan hakikatnya harus
ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ("policy-oriented
approach") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (''value-
oriented approach") kebijakan pemidanaan. Barda Nawawi Arief tegaskan bahwa
pembaharuan Hukum Pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan,
karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah
kebijakan atau "policy" (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum,
politik hukum pidana, politik kriminal dan politik sosial). Di dalam setiap
kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu
29
Ibid, hlm. 59-60.
27
pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.30
Sudah barang tentu terhadap kebijakan sistem pemidanaan pun harus perlu
berorientasi pada pendekatan nilai. Meskipun Sudarto tidak memberikan definisi
pembaharuan hukum pidana, namun dalam salah satu tulisan beliau yang
membahas "Makna Pembaharuan Hukum Pidana" diuraikan, apabila hukum
pidana dipandang secara fungsional, dalam arti bagaimana perwujudan dan
bekerjanya hukum pidana itu dalam masyarakat, maka dapat dilihat adanya tiga
fase, ialah:
a) pengancaman pidana terhadap perbuatan (yang tidak disukai) oleh
pembentukan undang-undang;
b) penjatuhan pidana kepada seseorang (korporasi) oleh hakim atas
perbuatan yang dilakukan oleh orang (korporasi) tersebut;
c) pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana (misalnya lembaga
pemasyarakatan) atas orang yang telah dijatuhi pidana tersebut.31
Tentang pembaharuan hukum pidana, Sudarto katakan, bahwa tidak hanya
meliputi hukum pidana materiil (substantif) saja, meskipun harus diakui, bahwa
bagian hukum pidana yang memuat pengancaman dengan pidana terhadap suatu
perbuatan orang (korporasi) merupakan bagian yang penting. Kriminalisasi
perbuatan-perbuatan yang tidak disukai masyarakat dan penentuan syarat-syarat
apa yang harus dipenuhi sebelum seseorang dapat dipidana beserta pengancaman
pidananya merupakan masalah yang sangat penting dan tidak mudah, yang
kadang-kadang tidak disadari benar oleh kebanyakan orang. Dengan demikian,
30
Ibid. Dikutip dari Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 32. 31
Ibid. Dikutip dari Sudarto, Op.Cit., hlm. 62.
28
pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan
hukum pidana materiil (substantif), hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan
pidana.32
B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana dan Tindak Pidana
1. Pengertian Hukum Pidana
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa hukum pidana merupakan
hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku.33
Seorang
ahli hukum lain memberikan pengertian luas terhadap hukum pidana, misalnya
Moeljatno dapat dikemukakan bahwa hukum pidana adalah sebagai berikut :
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana
yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Hukum pidana dapat didefinisikan sebagai aturan hukum, yang
mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu
akibat yang berupa pidana. Jadi pada dasarnya Hukum Pidana berpokok pada 2
(dua) hal :
32
Ibid. Dikutip dari Sudarto, Ibid, hlm. 63 dan 107. 33
BambangWaluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6.
29
a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dengan “perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu” itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan
oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan
semacam itu dapat disebut “perbuatan yang dapat dipidana” atau disingkat
“perbuatan jahat” (Verbrechen atau crime). Oleh karena dalam “perbuatan
jahat” ini harus ada orang yang melakukanya maka persoalan tentang
“perbuatan tertentu” itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang
dan orang yang melanggar larangan itu.
b. Pidana
Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu itu. Di dalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa
yang disebut “tindakan tata tertib” (tuchtmaatregel, masznahme). Di dalam
ilmu pengetahuan hukum adat, Ter Haar memakai istilah (adat) reaksi. Di
dalamKUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan
tercantum dalam pasal 10 KUHP dst.34
2. Pembagian Hukum Pidana
Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut :35
a. Hukum Pidana Materiil
34
Sudarto, 2009, HukumPidana I, YayasanSudarto d/a FakultasHukumUndip, Semarang,
hlm 14. 35
SitiSoetami, 2007, Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT RefikaAditama, Bandung,
hlm 63.
30
Hukum Pidana Materiil mengatur apa, siapa, dan bagaimana orang dapat
dihukum. Dapat dikatakan Hukum Pidana Materiil mengatur rumusan dari
kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
Hukum Pidana Materiil memuat aturan-aturan yang menetapkan dan
merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang
memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan
mengenai pidana. KUH Pidana memuat aturan-aturan hukum Pidana
Materiil.36
b. Hukum Pidana Formil
Hukum Pidana Formil atau disebut juga Hukum Acara Pidana, memuat
peraturan-peraturan tentang bagaimana memelihara dan mempertahankan
Hukum Pidana Materiil.
c. Hukum Pelaksanaan Pidana
Hukum pelaksanaan pidana atau hukum penitensier adalah keseluruhan
ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang berisi tentang cara
bagaimana melaksanakan putusan hakim terhadap seseorang yang memiliki
status sebagai terhukum. Hukum penitensier adalah hukum yang berkenaan
dengan tujuan daya kerja dan organisasi dari lembaga-lembaga pemidanaan.
Secara harfiah hukum penitensier itu dapat diartikan sebagai suatu
keseluruhan dari norma-norma yang mengatur masalah pidana dan
pemidanaan. Tujuanya adalah apa yang ingin dicapai orang dengan
36
Sudarto, 2009, HukumPidana I, YayasanSudarto d/a FakultasHukumUndip, Semarang,
hlm 15.
31
pemidanaanya itu yaitu melalui suatu organisasi.37
Sumber hukum penitensier
(pasal 10 KUHP) yang berbunyi pidana terdiri atas :38
- Pidana pokok (pidana mati, penjara, kurungan, denda)
- Pidana tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang
tertentu, pengumuman putusan hakim)
3. Sumber Hukum Pidana
Sumber hukum pidana di Indonesia terdiri dari :
a. Tertulis
1) KUHP (beserta Undang-Undang yang merubah dan menambahya)
2) Undang-Undang Pidana di luar KUHP
3) Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan non-pidana
b. Tidak Tertulis
1) Hukum Pidana Adat. Untuk beberapa daerah masih diperhitungkan juga
2) MvT (Memorie van Toelicting) = Memori Penjelasan KUHP.
Sumber hukum yang merupakan asal atau tempat untuk mencari dan
menemukan hukum. Menurut Soedarto sumber hukum pidana Indonesia adalah
sebagai berikut:39
37 http://bukupidana.blogspot.co.id/2013/11/hukum-penitensier.html diakses pada 26
Februari 2018 pukul 20:14 WIB 38 https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-penitensier/ diakses pada
26 Februari 2018 pukul 20:14 WIB 39
Ibid, hlm.23 – 27.
32
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis
Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama aslinya
adalah Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch indie (W.v.S), sebuah Titah
Raja (Koninklijk Besluit) tanggal 15 Oktober 1915 No. 33 dan mulai berlaku
sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP atau W.v.S.v.N.I. KUHP ini merupakan
turunan dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda, yang selesai dibuat
tahun 1881 dan mulai berlaku pada tahun 1886 tidak seratus persen sama,
melainkan diadakan penyimpangan-penyimpangan menurut kebutuhan dan
keadaan tanah jajahan Hindia Belanda dulu, akan tetapi asas-asas dan dasar
filsafatnya tetap sama. KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia setelah
Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17-8-1945 mendapat perubahan-perubahan
yang penting berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1942, Pasal 1
berbunyi:
“Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden RI
tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2 menetapkan, bahwa peraturan hukum
pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana
yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”.
Berarti bahwa teks resmi (yang sah) untuk KUHP kita adalah Bahasa
Belanda. Sementara itu Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1945
kembali lagi ke Indonesia, setelah mengungsi selama zaman pendudukan
Jepang (1942-1945) juga mengadakan perubahan - perubahan terhadap W.v.S.
v.N.I. (KUHP), misalnya dengan Staat-blad 1945 No. 135 tentang ketentuan-
ketentuan sementara yang luar biasa mengenai hukum pidana Pasal 570.
Sudah tentu perubahan-perubahan yang dilakukan oleh kedua pemerintahan
33
yang saling bermusuhan itu tidak sama, sehingga hal ini seolah-olah atau pada
hakekatnya telah menimbulkan dua buah KUHP yang masing-masing
mempunyai ruang berlakunya sendiri-sendiri. Jadi boleh dikatakan ada
dualisme dalam KUHP (peraturan hukum pidana). Guna melenyapkan
keadaan yang ganjil ini, maka dikeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 yang antara
lain menyatakan bahwa UU RI No. 1 Tahun 1946 itu berlaku untuk seluruh
wilayah Indonesia. Dengan demikian perubahan-perubahan yang diadakan
oleh Pemerintah Belanda sesudah tanggal 8 Maret 1942 dianggap tidak
ada.KUHP itu merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku untuk
semua golongan penduduk, dengan demikian di dalam lapangan hukum
pidana telah ada unifikasi. Sumber hukum pidana yang tertulis lainnya adalah
peraturan-peraturan pidana yang diatur di luar KUHP, yaitu peraturan-
peraturan pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar dalam peraturan
perundang-undangan hukum pidana lainnya.
2. Hukum pidana adat
Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana
yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber hukum pidana. Hukum adat
yang masih hidup sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu
sumber hukum pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-Undang Darurat No.
1 Tahun 1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat (3) sub b. Dengan masih berlakunya
hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja) maka
sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada dualisme, namun harus
disadari bahwa hukum pidana tertulis tetap mempunyai peranan yang utama
34
sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang tercantum
dalam Pasal 1 KUHP.
3. Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan KUHP)
MvT adalah penjelasan atas rencana undang-undang pidana, yang
diserahkan oleh Menteri Kehakiman Belanda bersama dengan Rencana
Undang-Undang itu kepada Parlemen Belanda. RUU ini pada tahun 1881
disahkan menjadi UU dan pada tanggal 1 September 1886 mulai berlaku. MvT
masih disebut-sebut dalam pembicaraan KUHP karena KUHP ini adalah
sebutan lain dari WvS untuk Hindia Belanda. WvS Hindia Belanda
(W.v.S.N.I.) ini yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918 itu adalah copy
dari Wvs Belanda tahun 1886. Oleh karena itu MvT dari WvS Belanda tahun
1886 dapat digunakan pula untuk memperoleh penjelasan dari pasal-pasal
yang tersebut di dalam KUHP yang sekarang berlaku.
4. Jenis-jenis Sanksi Pidana
Hukum pidana Indonesia mengenal 2 (dua) jenis sanksi pidana yang diatur
dalam Pasal 10 KUHP yakni :
a. Pidana Pokok;
1) Pidana mati
2) Pidana penjara
3) Pidana kurungan
4) Pidana denda
b. Pidana Tambahan;
1) Pencabutan hak-hak tertentu
35
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman putusan hakim
Menurut Tolib Setiady perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah
sebagai berikut:40
1. Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali
dalam hal perampasan barang-barang tertentu terhadap anak-anak yang
diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan bukan
kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
2. Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pidana
pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya
bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan
sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250, 261 dan Pasal
275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).
5. Pengertian Tindak Pidana
Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata,
yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan
sebagian dari kenyataan, sedang strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga
secara harfiah perkataan strafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang
dapat dihukum.41
40
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung,
hlm. 77. 41
EviHartanti, 2012, TindakPidanaKorupsiEdisiKedua, SinarGrafika, Jakarta, hlm 5.
36
Pengertian dari perkataan strafbaarfeit:
1. Simons
Dalam rumusanya strafbaarfeit itu adalah “Tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan
yang dapat dihukum.”42
Menurut Sudarto unsur-unsur straafbarfeit
adalah :43
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat
atau membiarkan),
b. Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld)
c. Melawan hukum (onrechtmatig)
d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
e. Oleh orang yang mampu bertanggug jawab (toerekeningsvatbaar
person).
2. E. Utrecht
Menerjemahkan strafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang
sering ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau
doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif maupun akibatnya
(keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).44
42
Ibid, hlm 5 43
Sudarto, 2009, HukumPidana I, YayasanSudarto d/a FakultasHukumUndip, Semarang,
hlm 68. 44
EviHartanti, 2012, TindakPidanaKorupsiEdisiKedua, SinarGrafika, Jakarta, hlm 6
37
Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam Hukum
Pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan
istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” yang bisa diartikan secara yuridis
hukum atau secara kriminologis.
Pengertian dari tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara
para sarjana. Di Indonesia, sesudah Perang Dunia II persoalan ini di angkat
oleh Muljatno, guru besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada dalam
pidato beliau pada dies natalis universitas tersebut pada tahun 1955 yang
berjudul “perbuatan pidana dan pertanggungan jawab dalam hukum pidana”.
Beliau membedakan dengan tegas “ dapat dipidananya perbuatan” ( de
straafbarheid van heit feit atau het verboden zijr van het feit). Dan “dapat
dipidananya orangnya” ( straffbarheid van den persoon), dan sejalan dengan
ini beliau memisahkan antara pengertian “perbuatan pidana” ( criminal act )
dan “pertanggunganjawab pidana” ( criminal responsibility atau criminal
liability). Dalam pidato dies natalis tersebut di atas beliau memberi arti
kepada “perbuatan pidana” sebagai “perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut”. Untuk adanya
perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :
1. Perbuatan (manusia)
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat
formil), dan
38
3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).45
Syarat formil harus ada karena adanya asas legalitas dalam Pasal 1
KUHP. Syarat materiil harus pula ada, karena perbuatan harus pula betul-
betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau
tidak patut dilakukan, karena bertentangan dengan atau menghambat akan
tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh
masyarakat itu.
Soedarto berpendapat untuk memungkinkan adanya pemidanaan
secara wajar, apabila diikuti pendirian Moeljatno, maka tidak cukup apabila
seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka, di samping itu pada
orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.46
C. Tinjauan Umum Tentang Contempt of Court
1. Pengertian Contempt of Court
Berdasarkan penjelasan umum butir 4 Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung tersebut di atas, maka pengertian Contempt of
Court adalah segala perbuatan, tingkah laku, dan atau ucapan yang dapat
merendahkan, merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan
peradilan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pengertiannya terutama
tertuju pada wibawa, martabat, dan kehormatan badan peradilan. Namun, karena
suatu lembaga adalah sesuatu yang abstrak, maka ketiga hal tesebut yaitu wibawa,
martabat, dan kehormatan akan tertuju kepada :
45
Sudarto, 2009, HukumPidana I, YayasanSudarto d/a FakultasHukumUndip, Semarang,
hlm 72 46
Ibid, hlm 73
39
- Manusianya yang menggerakkan lembaga tersebut
- Hasil buatan lembaga tersebut
- Proses kegiatan dari lembaga tersebut47
.
Oleh karena itu apabila terdapat perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang
ditujukan terhadap tiga hal tersebut di atas, maka perbuatan tersebut dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan (Contempt of
Court).
Adapun beberapa rumusan baru yang dikualifikasikn sebagai tindak
pidana terhadap proses peradilan (Contempt of Court) yang dimasukkan ke dalam
RUU KUHP, antara lain :48
a. Penasehat hukum yang dalam pekerjaanya memberikan bantuan hukum,
mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya,
sedang patut diketahuinya bahwa perbuatan itu dapat merugikan kepentingan
yang dibantunya.
b. Penasehat hukum yang dalam pekerjaanya memberikan bantuan hukum untuk
memenangkan pihak yang dibantunya meminta imbalan dengan maksud
mempengaruhi secara melawan hukum saksi-saksi, saksi ahli, juru bahasa,
penyidik, penuntut umum atau hakim dalam perkara yang bersangkutan.
c. Seseorang yang menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau
pembantu tindak pidana, sehingga oleh karena itu dijatuhi pidana dan
menjalani pidana itu untuk orang lain
47
Padmo Wahyono, Contempt of Court Dalam Proses Peradlan di Indonesia, Dalam Era
Hukum No 1 Tahun 1 November 1987, hlm 22. 48
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 2, Contempt of Court dalam
RancanganKUHP
40
d. Seseorang yang menghina integritas hakim dalam menjalankan tugas
peradilan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak dari suatu
proses sidang peradilan.
e. Seseorang yang mengadakan publikasi atau memperkenankan dilakukanya
publikasi segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi
sifat tidak memihak suatu proses sidang pengadilan.
f. Setiap saksi dan orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme,
korupsi, hak-hak asasi manusia, atau pencucian uang yang menyebutkan
nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan
dapat diketahuinya identitas pelapor dalam penyidikan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
2. Jenis-Jenis Contempt of Court
c. Civil Contempt
Yaitu ketidakptuhan terhadap putusan atau perintah pengadilan, jadi
merupakan perlawanan terhadap pelaksanaan hukum (an offence against the
enforcement of justice), misal : menolak untuk mematuhi perintah pengadilan
(dalam perkara perdata) untuk menghentikan gangguan, untuk membayar
kerugian dan sebagainya. Civil contempt digunakan untuk menggamarkan
contempt yang disebabkan ketidakpatuhan terhadap perintah yang diberikan
oleh pengadilan dalam masalah perdata. Pelanggaran dalam civil contempt ini
disebabkan oleh kegagalan dari salah satu pihak yang berperkara untuk
melakukan atau melaksanakan perintah pengadilan agar mendapatkan
manfaat atau keuntungan dari pihak lainnya. Jadi maksud dari uraian di atas
41
adalah tindakannya bukan melawan martabat pengadilan, tetapi juga
merugikan pihak yang lain, yang karena atas permintaan oleh pihak yang
dirugikan, maka pengadilan mengeluarkan perintah atau penetapan agar
supaya pihak yang menolak tersebut melaksanakan perintah pengadilan
tersebut dapat melakukan kewajibannya. Sanksi terhadap civil contempt ini
bersifat paksaan (coercive nature).49
d. Criminal Contempt
Yaitu perbuatan-perbuatan yang bertujuan mengganggu atau merintangi
penyelenggaraan peradilan pidana, jadi merupakan bentuk perlawanan
terhadap penyelenggaraan peradilan (an offence against the administration of
justice). Sanksi terhadap criminal contempt ini bersifat pidana (punitive
nature).50
Blacks Law Dictionary mendefinisikan criminal contempt sebagai
perbuatan atau tingkah laku yang tidak menghormati pengadilan dan proses
peradilannya yang bertujuan untuk merintangi, menghalangi, mengganggu
jalannya peradilan atau cenderung menyebabkan pengadilan tidak
dihormati.51
Dalam hal ini criminal contempt merupakan pelanggaran yang
terjadi atau tertuju pada pengadilan dan proses peradilannya. Berkaitan
dengan hal ini, Muladi menyebutkan bahwa criminal contempt merupakan
segala perbuatan yang cenderung untuk menghalangi proses administrasi
49
Barda Nawawi Arief, 2011,Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 92. 50
Ibid, hlm. 92. 51
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #2, Contempt of Court dalam Rancangan
KUHP.
42
peradilan atau proses peradilan. Perbuatan tersebut dianggap menentang
lembaga yang sangat penting dalam memperjuangkan kepentingan umum.
Sanksi yang dapat djatuhkan terhadap pelaku criminal contempt adalah
sanksi yang bersifat menghukum (punitive). Di negara-negara common law,
pelaku yang melakukan contempt of court dapat dijatuhi pidana denda atau
pidana penjara. Tujuan dari pemidanaan pelaku criminal contempt adalah
untuk membuat dan memberi efek jera kepada pelaku dan agar orang lain
tidak melakukan pebuatan yang sama. Pentingya pemidanaan terhadap pelaku
criminal contempt adalah untuk melindungi kekuasan peradilan, martabat,
dan wibawa pengadilan yang dalam hal ini, negara, pemerintah, pengadilan,
dan masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap terselenggaranya
peradilan yang seharusnya (the due administration of justice).
Dalam literatur-literatur common law, criminal contempt secara singkat
sering disebut sebagai “offence against the administration of justice”. Barda
Nawawi Arief mengklasifikasikan bentuk-bentuk atau ruang lingkup criminal
contempt sebagai berikut:52
1) Gangguan di muka atau di dalam ruang sidang pengadilan
Contempt jenis ini biasa disebut sebagai contempt in the face of
court, direct contempt atau contempt in facie. Contempt jenis ini terjadi
secara langsung dalam ruang sidang pengadilan pada saat proses
peradilan sedang berlangsung. Dalam hal ini perbuatan yang terjadi di
muka atau di dalam ruang pengadilan saat persidangan sedang
52
Ibid
43
berlangsung dapat terjadi pada setiap jenis peradilan, baik yang
dilakukan oleh para pihak, pengunjung atau penonton sidang, media atau
pers, atau bahkan aparat penegak hukumnya sendiri. Dalam criminal
contempt jenis ini, yang dilindungi adalah proses peradilannya karena
proses peradilan yang lancar diperlukan untuk melindungi hak-hak
masyarakat umum dengan diberikannya jaminan bahwa penyelenggaraan
peradilan tidak akan terganggu.
Perbuatan-perbuatan yang dapat digolongkan sebagai gangguan di
muka atau di dalam ruang sidang pengadilan, antara lain:
a. Menghina atau mengucapkan kata-kata yang menghina hakim saat
proses peradilan sedang berlangsung.
b. Setiap orang yang melakukan penyerangan langsung kepada saksi
yang sedang memberikan kesaksian dalam proses persidangan.
c. Saksi yang menolak menjawab pertanyaan saat proses peradilan.
2) Perbuatan-perbuatan untuk mempengaruhi proses peradilan yang tidak
memihak
Perbuatan-perbuatan yang termasuk criminal contempt jenis ini
terjadi di luar pengadilan, dan sering disebut sebagai contempt out of
court atau indirect contempt atau contempt ex facie. Perbuatan yang
tergolong dalam contempt jenis ini dantaranya melakukan ancaman,
intimidasi, penyuapan atau mencoba mempenaruhi dengan cara lain
tehadap hakim, juri, dan saksi, seperti:
44
a) Melakukan komunikasi pribadi dengan hakim untuk mempengaruhi
putusannya.
b) Mengomentari di surat kabar, majalah, televisi mengenai suatu kasus
yang sedang berlangsung atau dalam proses persidangan.
c) Mempublikasikan sesuatu yang sifatnya memihak atau untuk
mempengaruhi proses peradilan yang sedang berlangsung atau yang
akan datang.
3) Perbuatan yang memalukan atau menimbulkan skandal bagi pengadilan
Scandalizing the court sebenarnya termasuk contempt out of court,
tetapi lebih khusus ditujukan untuk menurunkan wibawa, martabat hakim
atau pengadilan. Dalam scandalizing the court, terdapat prinsip mengenai
masalah pencemaran nama baik pengadilan dan untuk memelihara
suasana kehormatan pengadilan serta untuk melindungi masyarakat dari
percobaan yang berusaha untuk mengubah pengadilan menjadi hina atau
mempunyai citra yang buruk di mata masyarakat. Contempt by
scandalizing dinyatakan sebagai pemberitaan yang menugurangi
kekuasaan dan mempengaruhi tujuan peradilan.
Pemberitaan yang dipandang untuk mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap keputusan pengadilan karena materi yang
dipublikasikan bertujuan untuk mrendahkan kekuasaan pengadilan secara
keseluruhan atau hakim dengan menimbulkan perasaan was-was atas
integritas hakim dan kesusilaan, kehormatan, dan ketidakberpihakan
yang dilaksanakan oleh pengadilan. Contoh perbuatan yang termasuk
45
scandalizing the court, misalnya menuduh hakim telah menyalahgunakan
jabatannya, telah berpihak atau telah mendapat tekanan-tekanan dari
pihak lain. Dalam hukum pidana positif Indonesia, tidak ada ketentuan-
ketentuan yang mengatur mengenai scandalizing the court kecuali kalau
menjurus ke masalah penghinaan atau fitnah.
4) Mengganggu pejabat pengadilan
Ketertiban hukum dapat tercapai dengan bebas dan mandirinya
kekuasaan peradilan termasuk para pejabat pengadilan. Masyarakat yang
berkepentingan terhadap keseimbangan dalam tatanan sosialnya,
mengharapkan pengadilan sebagai salah satu sarana untuk menjaga
keseimbangan dan ketertiban hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu,
para pejabat pengadilan harus mendapat perlindungan dari hal-hal yang
dapat mengganggu tugas-tugasnya. Gangguan tersebut bisa berasal dari
para pihak yang terlibat di pengadilan atau dari pihak yang tidak terlibat
secara langsung.
5) Pembalasan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan selama proses
peradilan berjalan
Contempt jenis ini biasanya ditujukan terhadap saksi-saksi.
Pembalasan dendam ini dilakukan oleh pihak-pihak yang dijatuhi
hukuman oleh pengadilan atau oleh pihak yang tidak puas dengan
putusan pengadilan. Hal ini terjadi disebabkan pihak-pihak tersebut
mengira bahwa mereka dijatuhi hukuman karena laporan dan atau
pernyataan saksi-saksi yang mereka berikan memberatkan selama proses
46
persidangan berlangsung. Perbuatanya biasanya berupa penyerangan
terhadap sakisi, mengancam, atau mengintimidasi saksi-saksi agar tidak
memberikan keterangan yang memberatkan sehingga membuat dijatuhi
hukuman lebih berat.
6) Pelanggaran kewajiban oleh pejabat pengadilan
Kekuasaan hukum berkenaan dengan kegiatan pemberian keadilan,
yang dalam hal ini dilaksanakan oleh pengadilan. Dalam setiap negara
hukum, setiap orang berhak mendapatkan keadilan apabila terjadi
penuntutan terhadapnya. Oleh karena itu, setiap pejabat peradilan harus
bersikap sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pelangaran kewajiban
oleh “king officer” merupakan “the oldest form of contempt”. Perbuatan-
perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran jenis ini
misalnya, petugas lembaga pemasyarakatan yang menahan dokumen atau
surat dari narapidana yang dikirimkan kepada pengacaranya. Secara
teoritis, pelanggaran ini dapat dilakukan oleh hakim, tapi sampai
sekarang belum pernah ada hakim yang disalahkan karena contempt of
court.
7) Pelanggaran oleh pengacara
Dalam melaksanakan tugasnya, pengacara tersebut terikat oleh
peraturan-peraturan dan etika profesi. Oleh karena itu, seorang pengacara
sebagai seorang professional harus selalu bertanggung jawab agar selalu
menhormati dan bersikap benar serta bersikap baik terhadap pejabat
47
pengadilan, klien. Maupun lembaga peradilan itu sendiri. Contoh
contempt of court yang dilakukan oleh pegacara (advokat) adalah :
a) Mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang
dibantunya, sedangkan patut mengetahui bahwa perbuatan tersebut
dapat merugikan kepentingan dari pihak yang dibantunya; atau
b) Berusaha memenangkan pihak yang dibantunya, meminta imbalan
dengan maksud untuk mempengaruhi saksi, juru bahasa, penyidik,
penuntut umum, atau hakim dalam perkara yang bersangkutan.
3. Bentuk-Bentuk Contempt of Court
Selain pembagian criminal contempt dan civil contempt, contempt of court dalam
praktek sehari-hari dapat dibedakan menjadi :
a. Direct Contempt
Contempt of court jenis ini dilakukan para pihak yang hadir di pengadilan
dan terjadi di muka pengadilan dan pada saat sidang pengadilan sedang
berlangsung. Direct contempt adalah perbuatan yang dilakukan secara langsung
di hadapan atau di sekitar lingkungan pengadilan untuk mengganggu jalannya
proses peradilan yang berlangsung tertib.
b. Indirect Contempt
Indirect Contempt merupakan contempt of court yang terjadi di luar
pengadilan. Perbuatanya biasanya adalah ditujukan untuk menentang
administrasi peradilan dengan jalan melakukan perbuatan atau tidak berbuat
suatu tindakan. Indirect contempt dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang
dilakukan tidak di depan pengadilan atau di sekitar pengadilan, tetapi
48
bermaksud untuk merintangi atau menggagalkan administrasi peradilan dan
biasanya para pihak berkenaan dengan melalaikan atau penolakan para pihak
untuk mematuhi perintah yang sah, keputusan atau surat keputusan pengadilan
yang di berikan kepada para pihak untuk melaksanakan kewajibannya atau
tidak melakukan sesuatu sesuai dengan keputusan atau surat keputusan dari
pengadilan.
4. Bentuk-Bentuk Konstitutif Contempt of Court
Selain pembedaan seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat juga bentuk-
bentuk konstitutif dari perbuatan pidana Contempt of Court, yaitu :53
a. Misbehaving in court
Ketentuan ini berkaitan dengan perbuatan atau tingkah laku yang secara
tidak tertib, memalukan, merugikan, menggaggu jalannya proses peradilan
yang seharusnya dari pengadilan. Pelanggaran jenis ini termasuk pelanggaran
terhadap hakim, terdakwa yang melakukan pemukulan kepada saksi, tidak
menghormati majelis hakim saat memasuki ruang sidang dengan cara berdiri
saat majelis hakim memasuki ruangan, ataupun penasehat hukum yang tidak
menunjukkan sikap hormat terhadap pengadilan. Dengan demikian,
misbehaving in court merupakan suatu pelanggaran ataupun gangguan terhadap
pelaksanaan dari proses peradilan.
Berkenaan dengan misbehaving in court, hakim ketua yang mempunyai
kewenangan untuk menjaga ketertiban persidangan memiliki kekuasaan untuk
memperingatkan orang yang melakukan perbuatan yang tidak sopan
53
Oemar Seno Adjie, Contempt of Court(Suatu pemikiran), Bahan Prasarana dalam
seminar tentang Contempt of Court, IKAHI 24 Maret 1987 hlm 125, BPHN, Naskah Akademis
Peraturan Perundang-Undangan Tentang Contempt of Court, tahun 1989/1990, hlm 31-33.
49
(misbehaving in court). Di samping itu, apabila perbuatan tidak sopan itu
merupakan perbuatan pidana, maka terhadap pelakunya dapat dianggap
melakukan perbuatan pidana contempt of court.
b. Disobeying a Court Order
Ketentuan ini mengatu mengenai pemidanaan terhadap setiap orang yang
tidak mentaati perintah pengadilan. Disobeying a court order (tidak mematuhi
perintah pengadilan) dirumuskan sebagai suatu perbuatan atau tingkah laku
yang tidak mentaati perintah yang dapat merendahkan kekuasaan, kewibawaan,
dan kehormatan pengadilan. Perbuatan yang dikualifikasi sebagai disobeying a
court order terjadi apabila perbuatan yang seharusnya dilakukan atau tidak
dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang yang diperintahkan atau diminta
oleh pengadilan dalam menjalankan fungsinya tidak dapat dipenuhi oleh
seseorang yang diperintahkan itu.
c. The Sub Judice Rule
The sub judice rule ialah salah suatu aturan umum (general rule) yang
menyatakan bahwa tidak diperbolehkan pubikasi untuk mencampuri peradilan
yang bebas dan tidak memihak untuk suatu kasus yang sedang atau akan
diperiksa di pengadilan. The sub judice rule dilaksanakan berdasarkan the
prejudgement prnciple, yaitu prinsip untuk melindungi kekuasaan mandiri dari
pengadilan dalam memutuskan masalah-masalah atau perkara yang diperiksa
di pengadilan dan the pressure principle, yaitu prinsip untuk melindungi
warga masyarakat untuk memasuki sistem hukum tanpa rintangan.
50
Di negara-negara yang menganut sistem common law yang peradilannya
menggunakan sistem juri, the sub judice rule dilaksanakan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan bahwa :
1) Juri mudah terpengaruh dengan pemberitaan-pemberitaan mengenai
jalannya peradilan dimana mereka menjadi anggota panel.
2) Beberapa pemberitaan harus dibatasi untuk memaksimalkan resiko bahwa
mereka (juri) mungkin akan dibelokkan (dialihkan) dari tugas mereka
untuk menentukan semata-mata menurut hukum dan bukti-bukti yang
dihadapkan di ruang pengadilan.
Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa pemberitaan-pemberitaan akan
mempengaruhi putusan akhir dari juri, yang pada akhirnya akan menurunkan
kualitas keputusan yang diambil dan mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga peradilan.
Pelanggaran the sub judice rule ini dapat dihindari apabila dalam
mengadakan pemberitaan atau komentar itu dilakukan secara wajar dan tidak
memihak yang merupakan hasil investigasi yang akurat (fair and accurate
reporting). Oleh karena itu, untuk menghindari adanya trial by the press
dalam pemberitaan dan komentarnya, media massa tidak seharusnya
membuat berita yang sifatnya mendahului (prejudicial) atau memberikan
ilustrasi yang menggambarkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak
mempunyai kesalahan sama sekali sebelum adanya keputusan yang pasti. The
sub judice rule ialah suatu aturan umum (general rule) yang menyatakan
bahwa tidak diperbolehkan publikasi untuk mencampuri peradilan yang
51
bebas dan tidak memihak untuk uatu kasus yang sedang atau akan di periksa
di pengadilan.
d. Obstructing Justice
Jenis perbuatan pidana contempt of court ini merupakan suatu perbuatan
yang ditujukan ataupun yang mempunyai efek memutarbalikkan,
mengacaukan fungsi yang seharusnya dalam suatu proses peradilan.
Obstructing justice (megganggu proses peradilan) merupakan gangguan
terhadap proses peradilan dimana terdapat usaha untuk mengurangi kebaikan
(fairness) ataupun efisiensi dari proses peradian maupun terhadap lembaga
peradilan. Perbutan pidana contempt of court ini dapat berbentuk
penentangan terhadap perintah pengadilan secara terbuka maupun penyuapan
terhadap saksi atau mengancam saksi agar tidak memberikan keterangan
ataupun memberikan keterangan palsu saat dimintai keterangannya dalam
proses peradilan.
e. Scandalizing the Court
Contempt by scandalizing the court dinyatakan sebagai pemberitaan yang
cenderung untuk mengurangi kekuasaan dan mempunyai tujuan untuk
mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan keputusan
pengadilan karena masalah publikasi yang bertujuan untuk merendahkan atau
menurunkan kekuasaan pengadilan secara keseluruhan atau menyatakan
keraguan atas integritas, kehormatan dan imparsialitas hakim dalam
menjalankan tugasnya.
52
D. Contempt of Court dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam ajaran Islam diyakini bahwa hukum bersumber pada Al-qur’an dan
Hadist. Segala persoalan hukum yang timbul hendaknya dapat diselesaikan
dengan dengan merujuk pada kedua sumber tersebut. Untuk menyampaikan
aturan-Nya itu Allah mengutus Rasul.Setelah Rasul wafat, urusan hukum dan
peradilan diserahkan pada penguasa (ula-al-amri). Peranan para mujtahid ini
begitu besar karena telah menjadi pembuat hukum atau pemberi keputusan dalam
masalah-masalah hukum yang baru dan tidak pernah dijelaskan ketentunnya
dalam Al-qur’an dan Hadist. Hakim sebagai orang yang melakukan ijtihad
disyaratkan harus memiliki pengetahuan yang luas untuk memahami apa yang
dinyatakan Allah dalam Al-qur’an dan yang dijelaskan Rasul-Nya.
Dalam ajaran islam diyakini Allah SWT, adalah satu-satunya yang berhak
menetapkan hukum. Sedangkan kedudukan manusia sebagai hakim hanyalah
sebagai pelaksana dari sebagian tugas yang ditetapkan Allah dalam bidang hukum
dan peradilan. Dengan demikian, jika Islam menempatkan kedudukan hakim
sebagai jabatan terhormat. Ia bukan saja sebagai orang yang dipercaya oleh
pemguasa di dunia, tetapi ia juga dipercaya oleh Allah untuk bertindak sebagai
wakil-Nya di muka bumi dalam bidang hukum dan peradilan.
Dengan kedudukanya yang demikian, seorang hakim harus memiliki
wibawa dan kharisma di mata orang lain terutama para pencari keadilan.
Sebaliknya, setiap pencari keadilan juga harus menghormati lembaga pengadilan (
sebagai tempat dilaksanakannya hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya) dan hakim.
Sikap tidak menghormati hakim dan merendahkannya berati juga tidak
53
menghormati kepala negara dan sekaligus tidak menghormati Allah sebagai
pembuat aturan hukum.54
Sebagaimana berdasarkan firman Allah SWT dalam QS.
An-Nisa’/4 Ayat 59 yang berbunyi :
ر منكمأ مأ سىل وأولي ٱلأ وأطيعىا ٱلر ا أطيعىا ٱلل أيها ٱلذين ءامنى ي
منىن بٱلل سىل إن كنتمأ تؤأ وٱلر وه إلى ٱلل ء فرد تمأ في شيأ زعأ فئن تن
ويلا سن تأأ ر وأحأ لك خيأ خر ذ م ٱلأ يىأ ٩٥وٱلأ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jikakamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”55
Berdasarkan pada ayat tersebut, maka contempt of court merupakan
perbuatan yang dilarang oleh Allah karena mentaati perintah Imam adalah lebih
baik akibatnya.
Dalam Islam dikenal adanya prinsip peradilan bebas, prinsip ini berkaitan
erat dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam nomokrasi Islam, seorang
hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam makna setiap putusan yang dia
ambil tidak terpengaruh oleh siapapun. Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan
dan persamaan terhadap siapapun. Seorang yuris Islam terkenal Abu Hanifah
berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman harus memiliki kebebasan dari segala
54
Faturrahman Djamil, “Tinjuan Hukum Islam terhadap Masalah Contempt of Court”
Mimbar Hukum, No. 151994 hlm 54-55. 55
QS. An-Nisa’ /4 Ayat 59, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang.
54
macam bentuk tekanan dan campur tangan kekuatan eksekutif, bahkan kebebasan
tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan putusannya pada
seorang penguasa apabila ia melanggar hak-hak rakyat. Prinsip peradilan bebas
dalam Nomokrasi Islam bukan hanya sekedar ciri bagi suatu negara hukum tetapi
dia juga merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap hakim.
Peradilan bebas merupakan syarat bagi tegaknya prinsip keadilan dan persamaan
hukum. Dalam Nomkrasi Islam, hakim memiliki kedudukan yang bebas dari
pengaruh siapapun. Hakim bebas pula menentukan da menetapkan putusannya
bahkan dia memiiki suatu kewenangan untuk melakukan ijtihad dalam
menegakkan hukum.
Prinsip peradilan bebas dalam Nomokrasi Islam tidak boleh bertentangan
dengan tujuan Hukum Islam, jiwa Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam melaksanakan
prinsip peradilan bebas, hakim wajib memperhatikan juga prinsip amanah, karena
kekuasaan kehakiman yang berada di tangannya adalah pula suatu amanah dari
rakyat kepada hakim yang wajib di jaga dan dipelihara sebaik- baikya. Sebelum
hakim membuat dan menetapkan putusannya wajib bermusyawarah dengan
koleganya agar dapat dicapai putusan yang seadil-adilnya. Putusan yang adil
merupakan tujuan utama dari kekuasan kehakiman yang bebas.
55
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana yang Menghambat
Proses Peradilan (Contempt of Court) dalam Hukum Pidana Positif saat
ini
Apabila dilihat keberadaan Contempt of Court di Indonesia terdapat dalam
penjelasan umum butir 4 UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
menyebutkan: “Untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-
baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna penegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur
penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat
merendahkan kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang
dikenal sebagai Contempt of Court.
Dalam hukum pidana Indonesia dikenal adanya kitab undang - undang
hukum pidana (KUHP) yang berfugsi sebagai ketentuan materil. Sedangkan
dalam pelaksanaanya didasarkan pada ketentuan yang terkandung dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) merupakan induk dari kitab hukum pidana yang hingga kini tetap
berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Dari bentuk aslinya, Wetboek Van
Strafrechts mulai berlaku di Belanda pada tahun 1886, kemudian tanggal 15
Oktober 1915 lewat titah raja Belanda diusulkan diberlakukan di Indonesia. Di
56
Indonesia dikenal dengan namaWetboek Van Strafrechts Voor Netherlandesch
Indie.
Kaitannya dengan tindakan Contempt of Court, maka harus melihat
sejarah dari Contempt of Court.Dalam sejarahnya, Contempt of Court muncul dari
negara common law yang kebanyakan menganut adversary system. Adversary
system adalah modus untuk menemukan kebenaran adalah melalui argumentasi
dari pihak-pihak yang berperkara di pengadilan dengan bukti-bukti yang mereka
ajukan untuk mendukung argumentasi tersebut. Kata adversary berarti pihak-
pihak tidak dalam satu persekutuan (ally) tapi dalam posisi yang berlawanan
(opponent).56
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa penyelesaian suatu
perkara sampai pada putusan harus melalui proses terlebih dahulu. Jadi
tekanannya adalah pada proses bukan hasil atau putusan yang dalam prosesnya
kedua belah pihak yang berperkara mempesentasikan semaksimal mungkin “best
case-nya”. Artinya pihak-pihak mengajukan bukti-bukti dan argumentasi hukum
tanpa ada pembatasan. Selanjutnya para pihak tersebut menyerahkan pada
sesorang yang tidak memihak manapun atau seorang yang netral yang dalam
sistem ini adalah hakim atau juri untuk memeriksa fakta-fakta dan hukumnya dari
yang disampaikan oleh pihak pihak yang berperkara. Selama proses persidangan
yang aktif adalah kedua belah pihak, hakim hanya bersifat pasif dan hanya akan
memfokuskan pada tata tertib persidangan utamanya apabila ada keberatan dari
salah satu pihak. Ciri-ciri dari pengadilan yang menganut adversary model ini
adalah :
56
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #2, Contempt of Court dalam Rancangan
KUHP hlm 21 – 22.
57
1. Adanya kesetaraan antara pihak-pihak yan berperkara
2. Adanya aturan-aturan yang melindungi terdakwa selama proses dari
kesewenang-wenangan kekuasaan
3. Adanya proses yang mengendalikan penyalahgunaan kekuasaan
4. Adanya praduga tak bersalah
Sedangkan negara civil law termasuk Indonesia menganut non adversary
system. Secara harfiah non adversary system adalah tidak berlawanan atau
sebaliknya dari adversary, jadi para pihak di pengadilan itu adalah sekutu. Non
adversary system adalah satu modus untuk menemukan kebenaran materiil dari
suatu perkara pidana melalui proses penyidikan yang dilakukan agak tertutup
yang kemudian pembuktian kasusnya dilakukan agak tertutup yang kemudian
pembuktian kasusnya dilakukan di pengadilan dengan cara terpimpin. 57
Dengan
demikian pengadilan akan menentukan fakta-fakta hukum yang dianggap terbukti
dan menentukan hukum yang dianggap terbukti dan menentukan hukum yang
dapat diterapkan terhadap fakta itu. Oleh karena proses terpimpin, maka dalam
sistem ini dengan sendirinya tidak dikenal pihak yang netral dalam mengambil
keputusan seperti dalam non adversary system. Dalam non adversary system,
semua aspek dari pengadilan itu menjadi tanggung jawab hakim. Kedua belah
pihak, dalam hal ini jaksa dan penasehat hukum, dapat saja mengajukan bukti-
bukti tapi semua bukti-bukti itu tidak dengan sendirinya mengikat hakim. Dalam
persidangan, kedua belah pihak mengajukan pertanyaan hanya melalui
perantaraan hakim. Bahkan hakim dapat menolak pertanyaan yang di ajukan
57
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri#2, Contempt of Court dalam Rancangan
KUHP hlm 22-23.
58
dengan alasan pertanyaan itu tidak relevan atau memerintahkan mengganti dengan
pertanyaan yang lain.
Dalam sistem ini, untuk sampai pada putusan pengadilan tidak
memperkenalkan adu argumetasi dari kedua belah pihak tapi hakim cukup
mencari ada dua alat bukti saja ditambah keyakinan dari hakim. Dengan begitu
seseorang sudah dapat dinyatakan bersalah dan kemudian dihukum. Dibandingkan
dengan adversary system yang menekankan pada due process, maka non
adversary system menekankan pada crime control, proses pengadilannya adalah :
1. Mengabaikan pengawasan hukum (disregard legal control)
2. Secara diam-diam berpraduga bersalah
3. Dengan hukuman tinggi
4. Dukungan pada polisi
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan yang dianut
Indonesia adalah mengikuti non adversary system.
Upaya perlindungan terhadap pengadilan sehingga dapat mencegah
(preventif) atau menghukum (represif) setiap usaha untuk merendahkan
kewibawaan pengadilan sudah ada pengaturanya yaitu dalam KUHP. Adapun
ketentuan dari pasal-pasal yang sudah ada dalam KUHP yang saat ini berlaku,
seperti dalam ketentuan :
1. Pasal 210 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menyuap hakim
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
59
1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili;
2. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang yang
menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat atau
adviseur untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diherikan
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili.
(2) Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud supaya dalam perkara
pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(3) Pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan.
2. Pasal 216 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menghalang-halangi penyidikan.
(1) Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi
sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi
kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula
barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang- undang
yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda
puling banyak sembilan ribu rupiah.
(2) Disamakan dengan pejahat tersebut di atas, setiap orang yang menurut
ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu
diserahi tugas menjalankan jabatan umum.
(3) Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat dua tahun sejak adanya
pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka
pidananya dapat ditambah sepertiga.
3. Pasal 217 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menimbulkan kegaduhan dalam
sidang.
Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat
di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka
umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang
berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau
pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.
60
4. Pasal 221 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menyembunyikan tersangka.
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat rihu lima ratus rupiah:
1. barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan
kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi
pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan
oleh penjahat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang
menurut ketentuan undang - undang terus - menerus atau untuk sementara
waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;
2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk
menutupinya, atau untuk menghalang - halangi atau mempersukar
penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan,
menyembunyikan benda - benda terhadap mana atau dengan mana
kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya
dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian
maupun olsh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus -
menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan
kepolisian.
(2) Aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut
dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan
terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis
menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau
bekas suami/istrinya.
5. Pasal 222 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menghalangi otopsi.
Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara
paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
6. Pasal 223 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu meloloskan atau membantu
meloloskan terpidana.
Barang siapa dengan sengaja melepaskan atau memberi pertolongan ketika
meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas perintah penguasa umum, atas
putusan atau ketetapan hakim, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan.
61
7. Pasal 224 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu tidak memenuhi panggilan.
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang -
undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang - undang
yang harus dipenuhinya, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
8. Pasal 225 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu tidak memenuhi surat perintah untuk
menyerahkan surat-surat yang dianggap palsu atau dipalsukan.
Barang siapa dengan sengaja tidak memenuhi perintah undang-undang untuk
menyerahkan surat-surat yang dianggap palsu atau dipalsukan, atau yang harus
dipakai untuk dibandingkan dengan surat lain yang dianggap palsu atau
dipalsukan atau yang kebenarannya disangkal atau tidak diakui, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan;
9. Pasal 231 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menarik suatu barang yang disita serta
menghancurkan dan merusak barang yang disita sehingga tidak dapat dipakai.
(1) Barang siapa dengan sengaja menarik suatu barang yang disita berdasarkan
ketentuanundang-undang atau yang dititipkan atas perintah hakim, atau
dengan mengetahui bahwa barang ditarik dari situ, menyembunyikannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Dengan pidana yang sama, diancam barang siapa dengan sengaja
menghancurkan, merusak atau membikin tak dapat dipakai barang yang disita
berdasarkan ketentua undang - undang.
(3) Penyimpan barang yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan
dilakukan salah satu kejahatan itu, atau sebagai pembantu menolong
perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(4) Jika salah satu perbuatan dilakukan karena kealpaan penyimpan barang,
diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda
paling banyak seribu delapan ratus rupiah.
10. Pasal 232 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu merusak penyegelan suatu benda.
(1) Barang siapa dengan sengaja memutus, membuang atau merusak penyegelan
suatu benda oleh atau atas nama penguasa umum yang berwenang, atau
dengan cara lain menggagalkan penutupan dengan segel, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
62
(2) Penyimpan barang yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan
perbuatan tersebut, atau sebagai pembantu menolong perbuatan itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(3) Jika perbuatan dilakukan karena kealpaan penyimpan barang, diancam dengan
pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak
seribu delapan ratus rupiah.
11. Pasal 233 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menghancurkan atau menghilangkan
barang–barang yang digunakan.
Barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat
dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta - akta, surat-surat
atau daftar - daftar yang atas perintah penguasa umum, terus-menerus atau untuk
sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun
kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
12. Pasal 317 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu melakukan pengaduan atau
pemberitahuan palsu tentang seseorang.
(1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan
palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang
seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena
melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat
tahun,
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No, 1 - 3 dapat dijatuhkan.
13. Pasal 417 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu menggelapkan, menghancurkan barang
sehingga tidak dapat dipakai lagi.
Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum terus - menerus atau untuk sementara waktu yang sengaja menggelapkan,
menghancurkan. merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang
yang diperuntukkan guna meyakinkan atau membuktikan di muka penguasa yang
berwenang, akta - akta, surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasai nya karena
jabatannya, atau memhiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan atau memhikin tak dapat di pakai barang- barang itu, atau menolong
sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam bulan.
63
14. Pasal 522 KUHP :
Contempt of Court dalam pasal ini, yaitu tidak memenuhi panggilan sebagai
saksi, ahli atau juru bahasa.
Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru
bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah.
Saya akan memberikan contoh kasus tentang Contempt of Court dan
penerapan pasalnya dalam kasus tersebut. Kasus Frederich Yunadi (Pengacara
Setya Novanto) dan dokter Bimanesh Sutarjo. Keduanya diduga telah melanggar
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal
216 KUHP. Ketika Setnov mengalami kecelakaan, Fredrich masih menjadi kuasa
hukum mantan Ketua Umum Partai Golkar itu. Fredrich dan Bimanesh diduga
memanipulasi data medis agar Setnov bisa dirawat untuk menghindari
pemeriksaan KPK pada pertengahan November 2017 lalu. Berarti dapat diduga
bahwa mereka berniat untuk menghalang-halangi penyidikan yang akan dilakukan
oleh KPK terhadap Setya Novanto dalam kasus KTP elektonik. Kuasa hukum
Fredrich Yunadi, Sapriyanto Refa mengatakan, surat panggilan untuk kliennya
telah dikirim KPK pada Selasa (9/1) sore. Selain itu, pihaknya juga telah
menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari KPK.
"Setelah kami terima SPDP dan surat panggilan, untuk menghadap pada hari
Jumat tanggal 12 Januari, (diperiksa) sebagai tersangka," kata Refa.58
Fredrich
dan dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo telah resmi
ditetapkan sebagai tersangka kasus menghalangi penyidikan perkara korupsi e-
58
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180111080115-12-268051/fredrich-yunadi-
jadi-tersangka-kpk-siapkan-pemeriksaan
64
KTP yang telah menjerat Setnov. Hingga saat ini kasus tersebut sedang diperiksa
oleh pengadilan.
B. Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana yang Menghambat
Proses Peradilan (Contempt of Court) dalam Kebijakan Hukum Pidana
yang akan datang
Pada masa yang akan datang pemerintah sedang merumuskan KUHP
nasional milik Indonesia sendiri yang didasarkan pada upaya pembangunan dalam
bidang hukum terkait dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, Bab
IV.1.3 tentang Arah Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025 yang antara
lain menyebutkan : “....pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya
Sistem Hukum Nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan UUD 1945,
yang mencakup pembangunan materi hukum, struktur hukum, termasuk aparat
hukum, sarana dan prasarana hukum”.59
Dalam RUU KUHP ketentuan mengenai contempt of court ini terdapat
dalam Bab VI Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan. Dari ketentuan yang
terdapat dalam bab tindak pidana terhadap proses peradilan tersebut diketahui
bahwa pengaturan secara khusus Contempt of Court. Dalam uraian mengenai
tindak pidananya, RUU KUHP tersebut menggabungkan pasal-pasal yang
dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan menjadi satu
59
Ira Alia Maerani, “Implementasi Ide Keseimbangan Dalam Pembangunan Hukum
Pidana Indonesia Berbasis Nilai-Nilai Pancasila” , Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol II No 2 Mei
– Agustus 2015, hlm 332. Dikutip dari Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPENAS), UU RI No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025, hlm. 59
65
bab khusus, pasal-pasal yang sebelumnya tersebar menjadi satu dan terdapat pula
ketentuan-ketentuan baru.
Adapun beberapa rumusan baru yang dikualifikasikan sebagai tindak
pidana terhadap proses peradilan (Contempt of Court) yang dimasukkan ke dalam
RUU KUHP, antara lain :60
1. Penasehat hukum yang dalam pekerjaanya memberikan bantuan hukum,
mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya,
sedang patut diketahuinya bahwa perbuatan itu dapat merugikan kepentingan
yang dibantunya.
2. Penasehat hukum yang dalam pekerjaanya memberikan bantuan hukum untuk
memenangkan pihak yang dibantunya meminta imbalan dengan maksud
mempengaruhi secara melawan hukum saksi-saksi, saksi ahli, juru bahasa,
penyidik, penuntut umum atau hakim dalam perkara yang bersangkutan.
3. Seseorang yang menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau
pembantu tindak pidana, sehingga oleh karena itu dijatuhi pidana dan
menjalani pidana itu untuk orang lain
4. Seseorang yang menghina integritas hakim dalam menjalankan tugas
peradilan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak dari suatu
proses sidang peradilan.
5. Seseorang yang mengadakan publikasi atau memperkenankan dilakukanya
publikasi segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi
sifat tidak memihak suatu proses sidang pengadilan.
60
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 2, Contempt of Court dalam
RancanganKUHP
66
6. Setiap saksi dan orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme,
korupsi, hak-hak asasi manusia, atau pencucian uang yang menyebutkan
nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan
dapat diketahuinya identitas pelapor dalam penyidikan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Sebagian kalangan mendukung usulan para hakim ini dengan alas an bahwa
dalam menjalankan tugasnya para hakim ini perlu mendapat perlindungan yang
layak sehingga dapat menghasilkan kualitas yang baik. Sedangkan yang lain
menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai contempt of court ini sudah
ada dalam peaturan perundang-undangan Indonesia, walaupun tidak disebut
sebagai contempt of court.61
Pendapat lain lagi menyatakan bahwa keinginan megenai perlunya ketentuan
khusus mengenai tindak pidana terhadap peradilan (contempt of court) ini dilatar
belakangi oleh adanya kepentingan untuk melindugi hakim semata sebagai salah
satu pihak yang paling berperan dalam proses peradilan.62
Kalangan ini
berpendapat bahwa keinginan mengenai perlunya ketentuan khusus mengenai
perlunya ketentuan khusus mengenai tindak pidana terhadap peradilan ini
merupakan reaksi atas kritik yang mengemuka terhadap peradilan dan pejabat
peradilan yang ditanggapi dengan kemarahan oleh pejabat pejabat
peradilan.Padahal kritikan dari kalangan ini didasari oleh buruknya sistem
61
Seperti Oemar Seno Adjie yang menyatakan bahwa delik-delik Contempt of Court yang
berhubungan dengan “rechspleging” (jalannya peradilan) meliputi beberapa ketentuan pidana
dalam KUHP.www.pemantauperadilan.com di akses pada 11 Februari 2018 pukul 10.00WIB 62
Luhut MP Pangaribuan, “Contempt of Court atau Contempt of Power : Satu Catatan
Kritis dari Perspektif Konsep Peradilan. www.pemantauperadilan.com diakses pada 11 Februari
2018.
67
peradilan dan pejabat peradilan di Indonesia, menurut kalangan ini sampai saat ini
tidak ada perbaikan yang mendasar yang dilakukan untuk memperbaiki buruknya
peradilan dan pejabat peradilan ini.63
Adapun ketentuan yang ada di dalam Rancangan KUHP 2015 sebagai
berikut :
Bagian Kesatu
Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan
Pasal 329
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang
mengakibatkan terganggunya proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 330
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV bagi setiap orang yang secara melawan hukum:
a. menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau sebagai pembantu
tindak pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut
untuk orang lain;
b. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan
proses peradilan;
c. menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim
dalam sidang pengadilan; atau
d. mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu
yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak
hakim dalam sidang pengadilan.
63
Luhut MP Pangaribuan dalam Focus Group Discussion “Tindak Pidana terhadap
Proses Peradilan (contempt of court) yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM) 6 September 2005
68
Pasal 331
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV bagi advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya
secara melawan hukum:
a. mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya,
sedangkan patut mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan
kepentingan pihak yang dibantunya; atau
b. berusaha memenangkan pihak yang dibantunya, meminta imbalan dengan
maksud mempengaruhi terhadap saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut
umum, atau hakim dalam perkara yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Menghalang-halangi Proses Peradilan
Pasal 332
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling banyak Kategori IV setiap orang yang secara melawan hukum:
a. dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan
mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum advokat, atau hakim
sehingga proses peradilan terganggu;
b. menyampaikan alat bukti palsu atau mempengaruhi saksi dalam
memberikan keterangan di sidang pengadilan;
c. mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak
langsung proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan;
d. melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan kepada pejabat yang sedang
bertugas dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan; atau
e. merusak alat bukti atau barang bukti.
Pasal 333
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Kategori IV, setiap orang yang :
a. menyembunyikan orang yang telah melakukan tindak pidana atau orang
yang dituntut karena melakukan tindak pidana;
b. memberikan pertolongan kepada orang sebagaimana dimaksud dalam
huruf a untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat yang
berwenang melakukan penyidikan atau penahanan; atau
c. setelah terjadi suatu tindak pidana, dengan maksud untuk menutupi atau
menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan atau penuntutan,
menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda yang
menjadi sasaran atau sarana melakukan tindak pidana atau bekas - bekas
69
tindak pidana lainnya atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan
pejabat yang berwenang melakukan penyidikan atau penuntutan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan
tersebut dilakukan dengan maksud untuk menghindarkan dari penuntutan
terhadap keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus derajat kedua atau
dalam garis menyamping derajat ketiga atau terhadap istri atau suami atau
bekas istri atau suaminya.
Pasal 334
(1) Setiap orang yang mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan
pemeriksaan jenazah untuk kepentingan peradilan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori II.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi setiap
orang yang karena alasan tertentu dilarang oleh kepercayaan dan
keyakinannya.
Pasal 335
Setiap orang yang melepaskan atau memberi pertolongan ketika seseorang
meloloskan diri dari penahanan yang dilakukan atas perintah pejabat yang
berwenang melakukan penahanan atau meloloskan diri dari pidana perampasan
kemerdekaan berdasarkan putusan hakim, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 336
Setiap orang yang secara melawan hukum tidak datang pada saat dipanggil
sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa, atau tidak memenuhi suatu kewajiban yang
harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan, dipidana
dengan:
a. pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori II, bagi perkara pidana; atau
b. pidana denda paling banyak Kategori II, bagi perkara lain.
Pasal 337
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana
denda paling banyak Kategori IV, setiap orang yang:
a. melepaskan barang dari sitaan berdasarkan peraturan perundang-undangan
atau melepaskan barang dari simpanan atas perintah hakim atau
menyembunyikan barang tersebut, padahal diketahui bahwa barang
tersebut berada dalam sitaan atau simpanan; atau
b. menghancurkan, merusak, atau membuat tidak dapat dipakai suatu barang
yang disita berdasarkan ketentuan peraturan perundang - undangan.
70
(2) Penyimpan barang yang melakukan, membiarkan dilakukan, atau membantu
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori IV.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi karena kealpaan
penyimpan maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal 338
Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang - undangan harus
memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan
akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan
maupun tulisan, olehnya sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk
itu yang diberikan dalam pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dan
merugikan pihak lawan, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori
V.
Pasal 339
Setiap orang yang menjadi saksi atau orang lain yang berkaitan dengan tindak
pidana terorisme, korupsi, hak asasi manusia, atau pencucian uang yang
menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal lain yang memberikan
kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor dalam penyidikan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Bagian Ketiga
Perusakan Gedung, Ruang Sidang dan Alat Perlengkapan
Sidang Pengadilan
Pasal 340
(1) Setiap orang yang merusak gedung, ruang sidang pengadilan, atau alat - alat
perlengkapan sidang pengadilan yang mengakibatkan hakim tidak dapat
menyelenggarakan sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat
sidang pengadilan sedang berlangsung yang menyebabkan sidang
pengadilan tidak dapat dilanjutkan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun.
71
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugasnya mengalami luka-
luka, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugasnya atau
saksi saat memberikan kesaksiannya, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 341
Setiap orang yang melakukan penyerangan langsung kepada saksi saat
memberikan kesaksiannya, atau aparat penegak hukum dan petugas pengadilan
yang sedang menjalankan tugasnya yang mengakibatkan saksi tidak dapat
memberikan kesaksiannya, atau aparat penegak hukum dan petugas pengadilan
tidak dapat menjalankan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun.
Pasal 342
(1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya dengan menggunakan
kekerasan atau cara tertentu, yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak
memperoleh perlindungan hukum sehingga saksi dan/atau korban tidak
memberikan kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Kategori II.
(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada saksi dan/atau korban,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling banyak Kategori III.
(3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya saksi dan/atau korban,
dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda
paling banyak Kategori III.
Pasal 343
Setiap orang yang menghalang-halangi saksi dan/atau korban secara melawan
hukum sehingga saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan atau
hak-hak lain berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai Perlindungan
Saksi dan Korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan pidana denda paling banyak Kategori III.
72
Pasal 344
Setiap orang yang menyebabkan saksi dan/atau korban atau Keluarganya
kehilangan pekerjaan karena saksi dan/atau korban tersebut memberikan
kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Kategori III.
Pasal 345
Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak saksi
dan/atau korban berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai
Perlindungan Saksi dan Korban padahal saksi dan/atau korban memberikan
kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Kategori III.
Pasal 346
Setiap orang yang secara melawan hukum memberitahukan keberadaan Saksi
dan/atau korban yang sedang dilindungi dalam suatu tempat kediaman sementara
atau tempat kediaman baru berdasarkan Undang-Undang yang mengatur
mengenai Perlindungan Saksi dan Korban, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Kategori III.
73
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dari uraian yang telah di paparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pranata
Contempt of Court merupakan pranata yang tumbuh dan berkembang di
negara-negara yang menganut sistem common law dan sistem peradilan yang
dianutnya adalah adversary system. Sedangkan Indonesia adalah negara yang
menganut sistem Civil Law dan sistem peradilan yang di anutnya adalah non
adversary system. Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana yang
menghambat proses peradilan (Contempt of Court) dalam sistem hukum
pidana Indonesia saat ini sudah diatur dalam pasal-pasal yang ada di dalam
KUHP. Pasal-pasal yang mengatur perbuatan tersebut keberadaanya terpisah.,
yaitu dalam pasal 210, 216, 217, 221, 222, 223, 224, 225, 231, 232, 233, 317,
417, 522.
2. Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana yang menghambat proses
peradilan (Contempt of Court) dalam sistem hukum pidana Indonesia yang
akan datang yaitu akan diatur dalam RUU KUHP. Dalam RUU KUHP 2015
Contempt of Court di atur dalam satu bab khusus yaitu Bab IV Tindak Pidana
Terhadap Proses Peradilan. Adapula ketentuan-ketentuan baru yang di atur
dalam RUU KUHP, antara lain :
a. Penasehat hukum yang dalam pekerjaanya memberikan bantuan hukum,
mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya,
74
sedang patut diketahuinya bahwa perbuatan itu dapat merugikan
kepentingan yang dibantunya.
b. Penasehat hukum yang dalam pekerjaanya memberikan bantuan hukum
untuk memenangkan pihak yang dibantunya meminta imbalan dengan
maksud mempengaruhi secara melawan hukum saksi-saksi, saksi ahli, juru
bahasa, penyidik, penuntut umum atau hakim dalam perkara yang
bersangkutan.
c. Seseorang yang menampilkan diri untuk orang lain sebagai peserta atau
pembantu tindak pidana, sehingga oleh karena itu dijatuhi pidana dan
menjalani pidana itu untuk orang lain
d. Seseorang yang menghina integritas hakim dalam menjalankan tugas
peradilan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak dari suatu
proses sidang peradilan.
e. Seseorang yang mengadakan publikasi atau memperkenankan dilakukanya
publikasi segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat
mempengaruhi sifat tidak memihak suatu proses sidang pengadilan.
f. Setiap saksi dan orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme,
korupsi, hak-hak asasi manusia, atau pencucian uang yang menyebutkan
nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan
dapat diketahuinya identitas pelapor dalam penyidikan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.
75
B. Saran
1. Saran yang dapat penulis berikan yaitu, permasalahan Contempt of Court
saat ini di Indonesia masih menjadi sekedar wacana saja karena selama ini
belum ada tindakan yang tegas dari para hakim terhadap para pelaku yang
perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan Contempt of Court,
padahal pasal-pasal yang tersebar di dalam KUHP dapat dipergunakan dan
untuk menjaga agar lembaga peradilan tetap terhormat dan berwibawa.
Hakim hendaknya menindak tegas bagi pelaku yang hendak mencemarkan
harkat martabat dan wibawa lembaga peradilan bukan hanya sekedar
peringatan.
2. Tim perumus RUU KUHP harus memperhatikan hal-hal, perbuatan yang
sekiranya dapat merendahkan badan peradilan untuk dimasukkan
rumusannya ke dalam RUU KUHP agar martabat dan kewibawaan
pengadilan dapat terjaga
76
DAFTAR PUSTAKA
A. Al Qur’an
Al – Quran dan Terjemahannya, PT. Karya Toha Putra, Semarang.
B. Buku-buku:
Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan PemidanaaN, Sinar Grafika, Jakarta.
Barda Nawawi Arief, 2011, Perbandingan Hukum Pidana, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Evi Hartanti, 2012, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta.
Kaelan, 2014, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta.
Siti Soetami, 2007, Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT Refika Aditama,
Bandung.
Sudarto, 2009, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum
Undip, Semarang
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta.
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta,
Bandung
C. Peraturan Perundang–undangan ;
Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
77
Konsep (RUU) KUHP Tahun 2015
D. Jurnal :
Faturrahman Djamil, “Tinjuan Hukum Islam terhadap Masalah Contempt of
Court” Mimbar Hukum, No. 151994
Ira Alia Maerani, “Implementasi Ide Keseimbangan Dalam Pembangunan
Hukum Pidana Indonesia Berbasis Nilai-Nilai Pancasila” , Jurnal
Pembaharuan Hukum, Vol II No 2 Mei – Agustus 2015
Oemar Seno Adjie, Contempt of Court (Suatu pemikiran), Bahan Prasarana
dalam seminar tentang Contempt of Court, IKAHI 24 Maret 1987
hlm 125, BPHN, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan
Tentang Contempt of Court, tahun 1989/1990
Padmo Wahyono, Contempt of Court Dalam Proses Peradlan di Indonesia,
Dalam Era Hukum No 1 Tahun 1 November 1987
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #2, Contempt of Court dalam
Rancangan KUHP
E. Disertasi :
Ira Alia Maerani, 2017, Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati
Berbasis Nilai-Nilai Pancasila, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum
(PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula)
Semarang
F. Internet :
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180111080115-12-268051/fredrich-
yunadi-jadi-tersangka-kpk-siapkan-pemeriksaan
https://m.detik.com/news/berita/d-3690427/wajah-ketua-pn-jambi-dilempar-kursi-
ma-pertanyakan-peran-ky
www.hukumonline.com
78
http://bukupidana.blogspot.co.id/2013/11/hukum-penitensier.html
https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-penitensier/