KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

123
KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN RUU KUHP SKRIPSI DiajukanUntukMelengkapiTugasdanMemenuhiSyaratUntukMencapaiGelarSarjanaHukum OLEH : ERINSIMAN BENEVOLENCE SINAGA NIM : 140200166 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018 Universitas Sumatera Utara

Transcript of KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

Page 1: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

iv

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA

KORUPSI DAN RUU KUHP

SKRIPSI

DiajukanUntukMelengkapiTugasdanMemenuhiSyaratUntukMencapaiGelarSarjanaHukum

OLEH :

ERINSIMAN BENEVOLENCE SINAGA

NIM : 140200166

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara

Page 2: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

v

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA

KORUPSI DAN RUU KUHP

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

ERINSIMAN BENEVOLENCE SINAGA

NIM : 140200117 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh : Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H.

NIP. 195703261986011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

DOSEN PEMBIMBING I

NIP.195102061980021001 Prof.Dr.Syafruddin Kalo,S.H.,M.Hum

DOSEN PEMBIMBING II

NIP.197404012002121001 Dr.Mahmud Muliyadi S.H,M.Hum

Universitas Sumatera Utara

Page 3: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

vi

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertandatangan di bawahini :

Nama : Erinsiman Benevolence Sinaga

NIM : 140200166

Departemen : Hukum Pidana

Judul Skripsi :Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak

Pidana Korupsi Dilihat Dari UU Tindak Pidana Korupsi Dan RUU KUHP

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan jiplakan

dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat

hukum yang timbul menjadi tanggungjawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari

pihak manapun.

Medan, 2018

ERINSIMAN B. SINAGA

NIM :140200166

Universitas Sumatera Utara

Page 4: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

i

i

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena Atas berkat dan RahmatNya Penulis,

sehingga dapat meyelesaikan penulisan skripsi ini untuk menyelesaikan studinya di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas dan syarat

dalam memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara, yang merupakan

kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang Penulis kemukakan adalah : “KEBIJAKAN FORMULASI

HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN RUU KUHP

Penulis telah bekerja semaksimal mungkin dalam penyelesaian skripsi ini. Namun, Penulis

menyadari masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun dalam penulisannya.

Melalui kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Saidin, SH, M.Hum, Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum, Bapak Dr. Jelly

Leviza, SH, M.Hum, yang masing-masing selaku Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, dan

Wakil Dekan III pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

ii

ii

3. Ibu Dr. Idha Apriliyana Sembiring SH.,M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik dari

penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis.

4. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah

memberikan bimbingan ataupun arahan kepada Penulis.

5. Bapak Prof.Dr. Syafruddin Kalo SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I Penulis, yang

telah memberikan bimbingan ataupun arahan kepada Penulis.

6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis, yang telah

meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini agar

menjadi lebih sempurna.

7. Kepada Orang tua Bapak Hotler Sinaga SP, dan Ibu Prihatin Manullang SE yang dengan

penuh semangat dan kasih sayang telah memberikan dukungan serta Nasihat dan doa kepada

Penulis dalam studi penulis.

8. Kepada Adik saya Ermando Sinaga yang telah memberikan dukungan baik secara motivasi

serta doa dalam penyusunan skripsi ini.

9. Kepada kawan-kawan KCK dan kawan-kawan saya dari semester 1 yakni Sonny, Kristian,

Elia, Hariz dll terima kasih atas kebersamaannya, hiburan, dan dukungannya kepada penulis.

10. Kepada Rekan-rekan yang memberikan semangat kepada penulis pada saat penulisan skripsi

ini.

11. Kepada seluruh Stambuk 2014 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih

atas kebersamaannya dan dukungannya.

12. Kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penulisan

skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

iii

iii

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk kemajuan di

masa mendatang terutama dalam ranah penegakan hukum di Indonesia. Penulis juga berharap

agar skripsi ini dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam upaya pembangunan hukum di

Indonesia terutama dalam perkembangan hukum pidana.

Medan, Januari 2018

Penulis

Universitas Sumatera Utara

Page 7: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

iv

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………….i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...iv

ABSTRAK……………………………………………………………………………..vi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………………………………….1

B. Perumusan Masalah……………………………....……...……..…....11

C. Tujuan Penulisan……………………………………………………..11

D. Manfaat Penulisan……...……………………………………………12

E. Keaslian Penulisan………………………………………………...…12

F. Tinjauan Kepustakaan.........................................................................13

1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana..........................13

2. Korupsi........................................................................................20

3. Pembaharuan Hukum Pidana......................................................22

4. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.......................................25

G. Metode Penelitian..............................................................................27

H. Sistematika Penulisan........................................................................30

BAB II : FORMULASI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-

UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ..................................................32

Universitas Sumatera Utara

Page 8: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

v

v

B. Ketentuan-ketentuan dalam tindak pidana korupsi menurut Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi…………………………………….37

1. Unsur Melawan Hukum…………………………………………38

2. Perbuatan Memperkaya diri……………………………………..41

C. Perumusan klasifikasi Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi…………….42

BAB III : KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA TERHADAP TINDAK

PIDANA KORUPSI DALAM RUU KUHP

A. Tindak Pidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana………….84

B. Pengertian Kebijakan Formulasi Hukum……………………………92

C. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dilihat dari RUU KUHP…….96

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………106

B. Saran………………………………………………………………..107

DAFTAR PUSTAKA

Universitas Sumatera Utara

Page 9: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

iv

ABSTRAK Erinsiman Benevolence Sinaga*1

Formulasi mengenai Undang-Undang tindak pidana korupsi saat ini didasari oleh ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang tindak pidana korupsi tersebut beberapa karakteristik tindak pidana korupsi tersebut mencakup perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, serta merugikan keuangan dan perekonomian negara. Kebijakan formulasi yang akan datang dapat menjadi jawaban bagi perkembangan zaman yang memunculkan berbagai modus operandi yang baru dengan melakukan pembaharuan terhadap hukum pidana yang diterapkan sekarang agar sesuai dengan perkembangan zaman dan mengingat konsep KUHP nasional ini berdasarkan pada ideology bangsa dan konsep pembentukannya adalah dengan kolaborasi antara hukum nasional dan

Prof.Dr. Syafruddin Kalo SH., M.Hum**

Dr. Mahmud Muliyadi SH., M.Hum**

Dewasa ini, tindak pidana korupsi semakin marak terjadi dan semakin mengkhawatirkan dan semakin massif terjadi dengan memunculkan berbagai modus operandi terbaru dalam melakukannya sehingga diperlukan adanya penegakan hukum yang diberlakukan secara intensif berbicara mengenai penegakan hukum pastinya menyangkut peraturan perundang-undangan dan institusi penggeraknya yang selama ini dikatakan belum maksimal dalam meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi tersebut. Adapun berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi, khusus dalam peraturan perundang-undangan pemerintah mulai dari orde lama hingga saat ini telah merumuskan formulasi untuk dapat menanggulangi tindak pidana korupsi yang hingga saat ini memunculkan UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 yang dipakai hingga saat ini dan ke depannya pemerintah juga telah merumuskan aturan baru yakni di dalam RUU KUHP terbaru yang mencantumkan delik korupsi di dalamnya.

Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai formulasi hukum pidana mengenai Undang-Undang tindak pidana korupsi yang dipakai Indonesia saat ini, kemudian juga membahas mengenai kebijakan formulasi hukum pidana Indonesia ke depannya dalam menanggulangi tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam RUU KUHP

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, dimana pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan metode library research (penelitian kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, koran dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU ** Dosen/staf pengajar Fakultas Hukum USU, Pembimbing I ** Dosen/ Staf pengajar Fakultas Hukum USU, Pembimbing II

Universitas Sumatera Utara

Page 10: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

v

internasional. Oleh karena itu RUU KUHP berikutnya diharapkan dapat menjawab tantangan oleh berbagai perkembangan zaman dan juga didukung oleh berbagai pihak dalam hal pencegahannya bias dengan memperkuat lembaga-lembaga-lembaga yang mendukung KPK seperti Ombudsman dan lain-lain agar penanggulangan tindak pidana korupsi dapat berjalan efektif dan mencegah maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penegakan hukum sangat terkait dengan peraturan hukum dan

institusipenegak hukum, kalau yang pertama menyangkut peraturan perundang-

undangannya, sedangkan yang kedua menyangkut institusi penggeraknya, seperti

Kepolisian RI, Kejaksaan RI, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, dalam

hal ini termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penegakan hukum

merupakan bagian tidak terpisahkan dari segi pembangunan hukum, sedangkan

pembagunan hukum itu sendiri adalah komponen integral dari pembangunan

nasional.Penegakan Hukum sebagai landasan tegaknya supremasi hukum, tidak

saja menghendaki komitmen ketaatan seluruh komponen bangsa terhadap hukum

mewajibkan aparat penegak hukum untuk dapat menegakkannya secara konsisten

dan konsekuen,tetapi menghendaki juga suatu pengaturan hukum yang

mencerminkan suatu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum yang

merupakan cita-cita hukum bangsa2

Seperti pada halnya penegakan terhadap hukum pidana, penegakan hukum

pidana merupakan kebijakan yang dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap

.

2 Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance,Timpani

Publishing,Jakarta,2010,hlm. 3,5

1

Universitas Sumatera Utara

Page 12: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

2

formulasi, aplikasi, dan eksekusi. Tahap formulasi adalah tahap penegakan hukum

“in abstracto” oleh badan pembuat undang-undang dan biasanya disebut tahap

legislative.

Sedangkan tahap aplikasi adalah penerapan hukum pidana yang dilakukan

oleh aparat penegak hukum, yaitu aparat kepolisian, kejaksaan, dan hakim. Tahap

ini biasa disebut dengan tahap yudikatif. Tahap eksekusi adalah tahapan

pelaksanaan putusan hakim yang disebut kebijakan eksekutif atau administratif.3

Khusus penegakan terhadap pemberantasan atau penanggulangan tindak

pidana korupsi dalam rangka menegakkan hukum pemberantasan tindak pidana

korupsi, ada beberapa hal yang perlu didiskusikan di antaranya, perlu kesamaan

persepsi dan juga perlunya standard pemidanaan dalam kasus pidana. Keperluan

penyamaan persepsi dimaksud terutama perlunya ditingkatkan usaha-usaha

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana

korupsi pada khususnya.

4

Oleh karena itu, untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik

dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka upaya pemberantasan korupsi

yang selama ini telah dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang

sangat merusak dan merugikan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara.

5

3 Monang Siahaan, Pembaharuan Hukum Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2016, hlm. 3 4Kompilasi Penerapan Hukum Oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi, Biro

Hukum Dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Indonesia,Jakarta, 2015, hlm.69 5Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Universitas Sumatera Utara

Page 13: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

3

Perkembangan tindak pidana korupsi juga cukup marak yakni dengan terus

meningkatnya tindak pidana korupsi dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus

yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas

tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta ruang lingkupnya yang

memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.6

Adapun upaya pemerintah dalam melakukan penanggulangan tindak

pidana korupsi, ada yang dilakukan baik melalui penindakan yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum maupun melalui reformasi birokrasi di berbagai sektor

publik dan administratif yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah masih menemui kendala. Belum tuntasnya program tersebut

karena kelembagaan (institution), ketatalaksanaan (business process) prosedur dan

sumber daya manusia (human resource) terkait dengan masalah pelayanan

publik/masayarakat (public service), prosedur untuk berinvestasi/berbisnis

Sebagaimana arti harfiahnya tindak pidana korupsi yang berarti

kebusukan, kebejatan, keburukan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan

dari yang suci dan yang luhur, korupsi berdampak sangat buruk terhadap

kehidupan bangsa. Dampak korupsi yang paling utama adalah runtuhnya akhlak,

moral, integritas dan religiusitas bangsa. Korupsi yang telah membudaya

mengakibatkan runtuhnya nilai-nilai luhur seperti amanah, kejujuran,

penghormatan pada eksistensi orang lain dan penghargaan akan hak-hak orang

lain.

6 Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

Universitas Sumatera Utara

Page 14: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

4

(investment procedure), proses untuk mendapatkan keadilan (access to justice)

serta dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintahan (government good and

service procurement) belum sesuai dengan harapan masyarakat.7

Oleh karenanya, tidaklah salah dan berlebihan apabila dikatakan bahwa

fenomena maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sudah

menjadi seperti penyakit yang kronis dan sulit untuk disembuhkan.

Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah

satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian di Indonesia yang terjadi secara

sistemik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara

ataupun perekonomian negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan

ekonomi masyarakat secara luas.

8

Tindak pidana korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik, sudah menjadi

suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan

bahkan dapat dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila tindak

pidana korupsi diberantas. Struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar

belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala

korupsi tersebut dihilangkan.

9

Berdasarkan data Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada

tahun 2010, Indonesia merupakan Negara yang paling korup dari 16 negara di

7 Marwan Effendy,Kapita Selekta Hukum Pidana,Referensi,Jakarta,2012,hlm. 1 8 Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi Kajian terhadap harmonisasi

antara hukum nasional dan The united Nations Convention Against Corruption (UNCAC), Refika Aditama, Bandung, 2015, hlm. 2

9 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

5

Asia Pasifik. Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari, tindak pidana korupsi

hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari

izin mendirikan bangunan, proyek pengadaan di instansi pemerintahan sampai

proses penegakan hukum.

Ada beberapa hambatan yang sebenarnya sangat krusial dalam hal

memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia ini seperti:10

1. Tindak pidana korupsi muncul dari kebiasaan yang ada dalam

masyarakat sehingga tindak pidana korupsi sudah dianggap suatu hal

yang lumrah dan wajar untuk dilakukan oleh masyarakat umum. Hal

serupa terlihat pula dalam hal memberikan hadiah kepada pejabat

pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan.

Kebiasaan-kebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian

dari budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif ini lama-lama akan menjadi

bibit-bibit tindak pidana korupsi yang nyata.

2. Dengan makin mahalnya kebutuhan yang ada pada zaman sekarang

maka sering sekali seperti pegawai negeri itu semata-mata karena

keterpaksaan yang dilakukan dengan perbuatan melawan hukum

3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan

efisien biasanya korupsi ini terjadi bila ada niat dan kesempatan.

Apabila manajemen dapat terkontrol dengan baik, maka keluar

masuknya aliran dana dapat terdeteksi.

10 Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN, Sinar Grafika, Jakarta, 2013,

hlm.11,13,15

Universitas Sumatera Utara

Page 16: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

6

Persoalan korupsi yang sekarang terjadi telah menjadi gurita dalam sistem

pemerintahan di Indonesia merupakan gambaran dari bobroknya tata

pemerintahan di negara kita ini. Dampak dari fenomena ini telah menghasilkan

kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, serta buruknya

pelayanan publik. Akibatnya, penderitaan selalu dialami oleh masyarakat,

terutama yang berada di bawah garis kemiskinan.

Sejarah menorehkan catatan panjang perjuangan bangsa Indonesia

melawan tindak pidana korupsi. Namun demikian, hingga saat ini tindak pidana

korupsi masih merajalela bahkan semakin canggih dan semakin tersistematis.

Sebagai bangsa pejuang, bangsa Indonesia tidak pernah dan tidak boleh

menyerah. Perlawanan terhadap tindak pidana korupsi ini tentunya harus

dilakukan dengan lebih masif, sistematis, konsisten, dan berkomitmen.11

Pemerintah Indonesia berusaha memberantas tindak pidana korupsi yang

terus menjamur di Indonesia dengan berbagai daya dan upaya. Pemerintah telah

berkali-kali membentuk komisi Independen atau lembaga yang mempunyai tugas

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah dilakukan

selama lebih dari 60 tahun, baik pada era orde Lama, orde Baru, maupun pada era

Reformasi, serta era baru pemerintahan saat ini. Namun demikian, segala dan

upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat

dalam menanggulangi tindak pidana korupsi ternyata belum menunjukkan hasil

seperti yang diharapkan.

11 Ibid.hlm 3

Universitas Sumatera Utara

Page 17: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

7

untuk menangani kasus atau perkara tindak pidana korupsi secara khusus, namun

komisi atau lembaga yang dibentuk tidak mampu menyelesaikan tugasnya dengan

baik.

Dimulai pada tahun 1967, pemerintah telah membentuk Tim

Pemberantasan Korupsi yang berada di bawah Kejaksaan Agung (pada saat itu

dipimpin oleh Agung Sugih Arto dan sebagai penasihatnya ada Menteri

Kehakiman, Panglima ABRI dan Kapolri). Kemudian pada tahun 1970 dibentuk

Komisi Empat dengan anggota Mohammad Hatta (merangkap sebagai ketua),

Anwar Tjokroaminoto, Herman Johannes dan Soetopo Yoewono.12

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan

atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai ketentuan

khusus diantaranya adalah sanksi pidana dan ketentuan hukum acara pidana.

Sanksi (hukuman/ganjaran) yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya,

dalam proses penerapan hukum diharapkan dapat memberikan pengaruh positif

untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

13

12 Ibid.hlm 4 13Biro Hukum Dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Mahkamah Agung

Op.cit.,hlm.69

Semangat dan upaya memberantas korupsi mulai dari era reformasi

sebelumnya ditandai terutama dengan keluarnya berbagai produk perundang-

undangan. Dimulai dengan keluarnya :

Universitas Sumatera Utara

Page 18: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

8

a. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang “Penyelenggara Negara yang

bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)”; lalu kemudian

dikeluarkan pula.

b. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang “Penyelenggara Negara

yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)” yang

di dalamnya memuat ketentuan kriminalisasi delik “kolusi” (Pasal 21) dan

delik “nepotisme” (Pasal 22): dan

c. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang “Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi”, yang mengubah dan mengganti undang-undang lama

(Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971).

Upaya melakukan pembaharuan undang-undang memang merupakan

langkah yang sepatutnya dilakukan. Namun, masalah korupsi ini sering mendapati

kendala-kendala yang dimana dalam menyelesaikan permasalahan korupsi ini

sarat dengan masalah maka seyogyanya dapat ditempuh dengan “pendekatan

integral”.

Tidak cukup hanya melakukan “law reform”atau biasa disebut dengan

pembaharuan hukum khususnya hukum pidana tetapi juga disertai dengan “social,

economic, political, cultural, moral, and administrative reform”. Jangkauan

hukum pidana adalah terbatas.Usaha pemberantasan secara tidak langsung dapat

dilakukan dengan tindakan-tindakan di lapangan politik, ekonomi, pendidikan dan

sebagainya.14

14 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2003 hlm 65-67

Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas

Universitas Sumatera Utara

Page 19: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

9

sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak-hak

social dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu

dilakukan dengan cara luar biasa.15

Bahwa saat ini korupsi dan tindak pidana terorganisir lainnya tidak lagi

menjadi masalah lokal melainkan merupakan fenomena transnasional yang

mempengaruhi seluruh masyarakat ekonomi regional maupun global yang

mendorong kerja sama masyarakat dan negara-negara di dunia menjadi sangat

relevan dan strategis dalam konteks pencegahan dan penegakan hukumnya

perkara-perkara tersebut. Mengingat bahwa pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana korupsi dan tindak pidana teroganisasi lainnya merupakan tanggung

jawab semua negara oleh karena itu mereka harus bekerja sama satu sama lain

dengan dorongan dan keterlibatan “individu - individu dan kelompok - kelompok”

di luar sektor publik seperti masyarakat madani, lembaga swadaya masyarakat dan

organisasi kemasyarakatan supaya dapat lebih optimal dan efektif.

16

15Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

16 Biro Hukum Dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Mahkamah Agung Op.cit.,hlm.121

Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi

masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya

semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah

menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat

berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

10

Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin

ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia

dan kepentingan masyarakat.17

17Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

Dalam tugas akhir yang berjudul “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana

Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi dilihat dari UU Tindak

Pidana Korupsi dan RUU KUHP” ini berusaha mencoba mencari tahu

kebijakan formulasi hukum pidana apa yang ingin dipakai Indonesia kedepannya

agar dapat menanggulangi tindak pidana korupsi dan sekaligus ingin melihat

kemajuan yang terdapat di dalam pembentukan RUU KUHP yang akan menjadi

tonggak hukum nasional dalam hal hukum pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

11

B. Perumusan Masalah

Setelah mengetahui latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis

selanjutnya membentuk rumusan masalah yakni:

1. Bagaimana formulasi hukum pidana dilihat dari segi Undang-undang

Tindak Pidana Korupsi?

2. Bagaimana kebijakan formulasi pidana terhadap tindak pidana korupsi

dilihat dari RUU KUHP?

C. Tujuan dan Manfaat penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini :

1. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik dari tindak pidana korupsi itu

sendiri dan bagaimana pengaturannya di dalam perundang-undangannya

sendiri.

2. Untuk mengetahui bagaimana cara-cara dalam penanggulangan korupsi

yang diberlakukan sekarang.

3. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana di kemudian hari

yang seharusnya bisa diterapkan karena melihat fenomena yang

belakangan ini terjadi dengan banyaknya OTT KPK diberlakukan.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

12

Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan

dari tujuan penulisan yang telah diuraikan di atas, yaitu :

1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan akan menjadi bahan

pertimbangan lebih lanjut terhadap penanggulangan tindak pidana korupsi

di kemudian hari dan penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi

masukkan untuk ilmu pengetahuan mengenai hukum khususnya tindak

pidana korupsi sebagai suatu sub sistem dari kejahatan kerah putih (white

collar crime).

2. Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi referensi

bagi para aparat penegak hukum yang terkait khusus dalam skripsi ini

yang berada di bidang legislatif dan yudikatif untuk dapat menindak para

pelaku tindak pidana korupsi dan dapat membentuk atau merumuskan

kebijakan formulasi yang tepat dalam hukum pidana agar bisa

menanggulangi tindak pidana korupsi itu sendiri.

D. Keaslian Penulisan

“KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DILIHAT DARI RUU

KUHP DAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI”, yang diangkat

menjadi judu l skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil

pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku

maupun doktrin-doktrin yang ada melalui referensi buku-buku, media elektronik

Universitas Sumatera Utara

Page 23: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

13

dan bantuan dari berbagai pihak. Skripsi ini dibuat dalam rangka melengkapi

tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sebelumnya penulis menelusuri ke

perpustakaan Universitas Sumatera Utara belum ada yang mengangkat judul

tersebut dalam penulisan skripsi dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat

judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab

sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana

Sebelum masuk ke istilah tindak pidana maka terlebih dahulu kita harus

menjabarkan arti dari hukum pidana itu sendiri dalam merumuskan hukum

pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan sebuah pengertian

yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah

sangat sukar. Dari beberapa para ahli hukum pidana banyak yang memberi

pengertian dari hukum pidana beberapa diantarannya adalah:

Simons

Menurut simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam

arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti

subjektif atau strafrecht in subjectieve zin.18

18Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum pidana, Medan,USU press, 2010 hlm.1

Universitas Sumatera Utara

Page 24: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

14

Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau

juga yang disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.

Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:

a. Keseluruhan larangan dan pemerintah yang oleh negara diancam dengan

nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;

b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan

pidana, dan;

c. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan

penerapan pidana.

Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas

dan sempit, yaitu sebagai berikut:

a. Dalam arti luas:

Hak dari Negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau

mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;

b. Dalam arti sempit:

Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan

pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini

dilakukan oleh badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak

mengenakan pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

15

Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan

yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam,

menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar

larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh

negara dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam

arti objektif (ius poenale).

Pompe

Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap

perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana

itu.19

Tindak Pidanaistilah ini adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam

hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan

istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit.

20

19Mohammad Ekaputra, Op.Cit, hlm. 1,3 20Ibid hlm. 73

Tidak ditemukan penjelasan yang konkrit tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli

hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat

ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami

untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalalamnya. Unsur-unsur

tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah

perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

16

Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan

tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda. Sudarto

mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah

tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titk penghubung

dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan

tidak berbuat. Van Hattum dalam Sudarto, tidak menyetujui untuk memberi

defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus dapat meliputi pengertian berbuat

dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu tetap akan kurang lengkap atau berbelit-

belit dan tidak jelas.21

Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

perbuatan jahat atau kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau

kriminologis. Menurut Sudarto, perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat

perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah

perbuatan jahat dalam arti hukum pidana yang terwujud in abstracto dalam

peraturan-peraturan pidana. Sedangkan perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat

yang dipandang secara concrete sebagaimana terwujud dalam masyarakat adalah

perbuatan manusia yang memperkosa/menyalahi norma-norma dasar dari

masyarakat dalam konkrito.

22

21 Ibid hlm.75 22 Ibid hlm.77

Universitas Sumatera Utara

Page 27: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

17

Unsur-unsur Tindak Pidana

Pengertian unsur-unsur tindak pidana hendaklah dibedakan dari pengertian

unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut di dalam rumusan undang-

undang (rumusan pasal). Pengertian unsur-unsur tindak pidana lebih luas daripada

pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan

undang-undang, misalnya: unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana

pencurian ialah unsur-unsur yang tercantum dalam pasal 362 KUHP23

A. Unsur Tindak Pidana Menurut beberapa Teoritisi

. Berbagai

rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum, jika diperhatikan

terdiri dari beberapa unsur/elemen. Ada beberapa unsur-unsur tindak pidana yang

dibagi ke beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli hukum yakni :

Dari beberapa rumusan tindak pidana yang disusun oleh para ahli hukum,

baik penganut paham dualisme maupun paham monism. Unsur-unsur yang ada

dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya.

Beberapa contoh diambilkan dari batasan tindak pidana oleh beberapa teoritisi

yakni: R.Tresna, Vos, Jonkers, dan Schravendijk.

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

23 Mohammad Ekaputra, Op.cit, hlm. 103

Universitas Sumatera Utara

Page 28: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

18

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum.

Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada

perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya.

Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti

perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam

pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi

pidana.24

a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);

Rumusan R.Tresna mengenai tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yakni:

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang undangan;

c. Diadakan tindakan penghukuman.

Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat

pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti

dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat

diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian

dijatuhi pidana.

Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan

dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur

24 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, Rajawali Grafindo Persada,

2002, hlm. 67

Universitas Sumatera Utara

Page 29: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

19

itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada

orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana.25

a. Kelakuan manusia;

Menurut Vos, unsur-unsur tindak pidana adalah:

b. Diancam dengan pidana;

c. Dalam peraturan perundang-undangan.

Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga batasan penganut paham

dualisme tersebut, tidak ada terdapat perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana itu

adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undang-undang, dan

diancam dipidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur yang ada jelas

terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau

dipidananya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya.26

a. Perbuatan (yang);

Akan tetapi, jika dibandingkan dengan pendapat penganut paham

monisme, memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan yakni yang

dikemukakan oleh Jonkers dan Schravendijk. Dari apa yang dianut Jonkers dapat

dirinci bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah:

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);

c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);

d. Dipertanggungjawabkan.

25 Ibid, hlm. 73 26 Ibid, hlm. 75

Universitas Sumatera Utara

Page 30: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

20

Sementara itu, Schravendijk merumuskan unsur-unsur sebagai berikut:27

a. Kelakuan (orang yang);

b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;

c. Diancam dengan hukuman;

d. Dilakukan oleh orang (yang dapat)

e. Dipersalahkan/kesalahan.

2. Korupsi

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut ‘korupsi’ (dari bahasa latin : Curruptio

= penyuapan; Curruptore = merusak) yang berarti gejala dimana para pejabat,

badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya

penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.

Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa :

a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan

ketidakjujuran.

b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang

sogok dan sebagainya.28

c. Korup (busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan

untuk kepentingan diri sendiri). Korupsi (penyelewengan atau

penyalahgunaan uang Negara (perusahaan dsb) untuk kepentingan

pribadi atau orang lain. Koruptor (orang yang korupsi atau orang yang

27 Ibid, hlm.77 28 Poerwadinata W.J.S, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta,

1976, hlm. 12

Universitas Sumatera Utara

Page 31: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

21

menyelewengkan (menggelapkan) uang Negara (perusahaan) tempat

dimana ia bekerja).29

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus Hukum yang dimaksud dengan

Curruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan

keuangan Negara.

30

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang

Korupsi diartikan sebagai perbuatan yang merugikan kepentingan public atau

masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan

demikian ada tiga fenomena yang mencakup dalam istilah korupsi yakni

pemerasan, penyuapan, dan nepotisme.

Selanjutnya bisa diidentifikasikan anatomi kejahatan korupsi antara lain :

b. Korupsi pada umumnya melibatkan kerahasiaan

c. Korupsi biasanya melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal

balik yang tidak selalu berupa uang

d. Perbuatan terselubung di balik pembenaran hukum

e. Pelaku pada umumnya punya pengaruh kuat yang baik dari status

ekonominya maupun status politiknya yang tinggi

f. Mengandung unsur tipu muslihat

g. Mengandung unsur pengkhianatan kepercayaan

29 Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta,

2001, hlm.597 30Subekti dan Tjitrosodibio, Kamus Hukum, Penerbit Pradnya Paraminta, Jakarta, 1973,

hlm. 10

Universitas Sumatera Utara

Page 32: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

22

h. Perbuatan tersebut melanggar norma, tugas dan pertanggungjawaban

dalam tatanan masyarakat.

3. Pembaharuan Hukum Pidana

Sebagaimana diketahui bahwa KUHPidana Negara kita yang berlaku

sekarang ini adalah berasal dari negara Belanda. Di negara Belanda sendiri pada

mulanya kodefikasi hukum pidananya disebut “Het Criminele Wetboek voor het

koninklijk Holland”, yang berlaku sampai tahun 1811. Kemudian pada tahun 1811

Belanda dijajah Perancis, maka berlakulah Code Penal Perancis terhadap Belanda.

Maka setelah itu berkembangnya Belanda setelah penjajahan itu mengembangkan

juga apa yang dilakukan oleh Perancis dengan menerapkan hukum mereka

terhadap Indonesia dengan menerapkan azas konkordansi tertanggal 1 Januari

1918 memberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan ini berlaku bagi

semua golongan penduduk yang ada di Indonesia sebagai daerah jajahan

Belanda.31

Makna yang terkandung dalam pembaharuan hukum, setidaknya

mempunyai makna Legal Reform dan Law Reform. Secara sederhana, dalam legal

reform adalah undang-undangnya yang mendapatkan perubahan, dan lebih

mengedepankan arus dari kaum intelektual yang telah menguasai ilmu Undang-

undang. Sementara dalam Law Reform adalah lebih mengetengahkan nilai-nilai

extra legal masuk ke dalamnya. Perlu kita ketahui bahwa penyusunan KUHP

31 H.M. Hamdan, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapus Pidana, USU Press,

Medan, 2008, hlm.71-72

Universitas Sumatera Utara

Page 33: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

23

(baru) dilatarbelakangi oleh kebutuhan tuntutan nasional untuk melakukan

pembaharuan dan sekaligus perubahan-perubahan atau penggantian KUHP.32

Usaha untuk melakukan pembaharuan Hukum Pidana merupakan bidang

dari Politik Hukum Pidana. Sebagaimana dinyatakan bahwa secara politis dan

kultural, pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di

Indonesia sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun terhadap

KUHP telah dilakukan berbagai perubahan dan penyesuaian, tidaklah menjadikan

usaha tersebut disebut sebagai upaya pembaharuan Hukum Pidana dalam arti

sesungguhnya serta memiliki karakter Nasional. Penegasan ini disebabkan karena

perubahan terhadap KUHP bukan hanya untuk pengganti Wetboek van Strafrecht

(WvS) menjadi KUHP sebagai produk bangsa sendiri.

33

Pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari upaya pembaharuan atau

pembangunan sistem hukum nasional, adalah merupakan masalah yang sangat

besar, yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Masalah yang tengah dihadapi

adalah masalah memperbaharui dan mengganti produk-produk kolonial di bidang

hukum pidana, khususnya pembaharuan KUHP (WvS) warisan zaman Hindia

Belanda yang merupakan induk dari keseluruhan sistem hukum pidana saat ini.

34

Dewasa ini pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan

hukum pidana (Penal policy) tengah diupayakan yang sampai sekarang masih

32 Yesmil Anwar, Pembaharuan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana, Gramedia

Widiawarsana Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 1 33 M. Ali Zaidan, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm.59 34 Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 20

Universitas Sumatera Utara

Page 34: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

24

terus diolah. 35 Pembaharuan hukum pidana (penal reform) harus dilakukan

dengan pendekatan kebijakan. Oleh karena itu, pada hakikatnya pembaharuan

hukum pidana itu adalah merupakan bagian dari suatu kebijakan.36

Pada saat hukum dikonsepkan sebagai suatu sistem, hukum akan menuju

pada suatu proses demi tegaknya hukum itu sendiri.Proses untuk mencapai

terwujudnya Indonesia baru adalah merupakan suatu proses politik yang disadari.

Proses pembaharuan ini kita kenal dengan istilah Legal Reform. Proses ini adalah

bagian dari proses politik yang progresif dan reformatif.

37

Pembaharuan Hukum Pidana harus menyentuh segi-segi filosofis, yakni

perubahan atau orientasi terhadap asas-asas hingga ke tahap nilai-nilai yang

melandasinya.

Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya mengandung makna :

“suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang

sesuai dengan nilai-nilai sentral sosial politik, sosial filosofis, dan sosio-

kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan social, kebijakan

criminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia”.

38

35 Ibid, hlm. 2 36 Ibid. hlm. 21 37 Ibid, hlm.2-3 38 M.Ali Zaidan, Op.cit,

Hukum Pidana dituntut untuk memberikan keadilan di tengah-

tengah situasi yang tengah berkembang dan terus berubah.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

25

Dengan kata lain bahwa KUHP nasional harus dapat menyesuaikan diri

dengan perkembangan-perkembangan baru khususnya perkembangan

internasional dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan kesepakatan-

kesepakatan Internasional yang digariskan oleh PBB maupun seminar-seminar

Internasional.39

4. Kebijakan Penaggulangan Kejahatan

Prof. Sudarto, SH., pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan

kriminal, yaitu :

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi ; dan

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah

keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan

badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma

sentral dari masyarakat.

Prof. Sudarto, SH., juga mengemukakan defenisi singkat, bahwa politik

criminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam

menanggulangi kejahatan”.40

39 Ibid, hlm. 60 40 Barda Nawawie Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 1

Universitas Sumatera Utara

Page 36: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

26

Kebijakan penanggulangan kejahatan itu sebenarnya dibagi dan memiliki

dua cara dalam menyelesaikannya yakni yang kita ketahui adalah

Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan

“criminal law application”.

Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari

“prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and

punishment (mass media)”.

Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk

menanggulangi kejahatan (Criminal policy is a science of crime prevention)

kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang

rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Sebagai

bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus mampu

menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan

aplikatif untuk menanggung kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum

masyarakat sehingga mau partisipasi yang aktif dalam penanggulangan

kejahatan.41

Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan

melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap

kejahatan (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk

bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai

kejahatan ( criminal policy of designating human behavior as crime).

41 Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana Dr.Mahmud Muliyadi

Universitas Sumatera Utara

Page 37: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

27

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis

normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui

pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu terhadap norma-norma

hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder42

1. Bahan hukum primer, antara lain :

. Data sekunder

yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut :

a. Norma atau kaedah dasar

b. Peraturan dasar

c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak

pidana korupsi yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 dan

perubahannya yang ada di dalam Undang-Undang 20 Tahun 2001,

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 serta perundang-

undangan lain yang mengatur mengenai korupsi RUU KUHP,

KUHP, KUHAP.

2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak

pidana korupsi dengan disertai oleh artikel-artikel yang membahas

42 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2015, hlm.15

Universitas Sumatera Utara

Page 38: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

28

mengenai korupsi, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan

sebagainya.

3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup

bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus

hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan diluar bidang hukum

yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang

diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam

mengumpulkan data adalah metode library research (penelitian kepustakaan),

yakni dengan melakukan penelitian menggunakan data dari berbagai sumber

bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet

yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam

skripsi ini.

Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergnakan dalam

penelitian hukum normatif. Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada

dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Secara

singkat studi kepustakaan membantu peneliti dalam berbagai keperluan,

misalnya:43

43 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,

hlm. 112-113.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

29

a. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan

berkaitan dengan permasalahan.

b. Mendapat metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan

yang digunakan.

c. Sebagai sumber data sekunder.

d. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya.

e. Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat

digunakan;

f. Memperkaya ide-ide baru;

g. Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa

pemakai hasilnya.

Penelitian studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan landasan

dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang

validitasnya terjamin. Sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang relevan

dari pokok bahasan. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penulisan ini

adalah studi dokumen terkait dengan topik penulisan.

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang

lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.44

44 Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, Pustaka LP3ES

Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 263

Analisis data dalam penelitian hukum

mempergunakan metode pendekatan kualitatif bukan kuantitatif, karena tanpa

menggunakan rumusan statistik, sedangkan penggunaan angka hanya sebatas

Universitas Sumatera Utara

Page 40: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

30

angka presentase sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh

mengenai masalah yang diteliti.45

G. Sistematika Penulisan

Analisis data kualitatif yaitu dengan menganalisis melalui data lalu

diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang

diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat

menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan dibahas

dalam bentuk sistematika, yaitu sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN :

Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar

belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pusataka, metodologi

penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG

TINDAK PIDANA KORUPSI

Dalam bab ini membahas mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri

dilihat dari pengertiannya, karakteristik, ketentuan-ketentuan

mengenai tindak pidana korupsi dan dalam bab ini juga membahas

mengenai unsur-unsur yang ada di dalam tiap bentuk tindak pidana

korupsi.

45 Ediwarman, Monograf metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan Skripsi, Tesis,

dan Disertasi, Sofmedia, Medan, 2015, hlm. 99-100

Universitas Sumatera Utara

Page 41: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

31

BAB III KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA TERHADAP TINDAK

PIDANA KORUPSI DALAM RUU KUHP

Dalam bab ini menjelaskan mengenai pembaharuan hukum pidana

khususnya dalam tindak pidana korupsi lalu juga membahas mengenai

pengertian dari kebijakan formulasi dalam hukum pidana dan

beberapa kebijakan-kebijakan hukum pidana ke depannya dalam

menanggulangi tindak pidana korupsi ke depannya di dalam

pengaturan RUU KUHP.

Universitas Sumatera Utara

Page 42: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

32

BAB II

FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK

PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari perkataan corruption yang berarti kerusakan. Menurut

kamus istilah hukum Latin-Indonesia, corruptio berarti penyogokan. Menurut

Sudarto, perkataan korupsi semula hanyalah bersifat umum dan baru menjadi

istilah hukum untuk pertama kalinya adalah di dalam Peraturan Penguasa Militer

Nomor Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam konsiderans

peraturan tersebut dikatakan antara lain bahwa berhubung tidak adanya kelancaran

dalam usaha-usaha memberantas dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan

keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan

korupsi perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos

kemacetan usaha memberantas korupsi.46

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) yang dimaksud dengan tindak

pidana korupsi adalah:

47

46 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 115 sebagaimana

dikutip dari Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut studi Kasus, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 hlm. 33

47 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,sebagaimana dikutip dari Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut studi Kasus, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 hlm. 36

32

Universitas Sumatera Utara

Page 43: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

33

a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2).

b. Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau suatu badan

atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuanagan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).

c. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417,

Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, atau Pasal 435 KUHP; serta

Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

d. Setiap orang yang member hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan

mengingat kekuasaannya atau wewenang yang melekat pada jabatannya

atau kedudukan tersebut (Pasal 13).

e. Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas

menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang

tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14).

f. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15).

g. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan

bantuan, kesempatan sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana

korupsi (Pasal 16).

Universitas Sumatera Utara

Page 44: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

34

Tindak pidana korupsi sangat bersinggungan dengan masalah-masalah

ekonomi (basic economic and economic life of the nation) dan transnational crime

di samping itu korupsi bisa juga terjadi dalam lapangan jabatan, kekuasaan politik,

korupsi moral dan korupsi demokrasi.

M.Mc Mullari meyatakan, bahwa seorang pejabat Pemerintahan dikatakan

korup apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk

melakukan sesuatu yang bisa ia lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama

menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat

berarti menjalankan kebijaksanaanya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan

dapat merugikan kepentingan umum yang menyalahgunakan kewenangan dan

kekuasaan.48

Secara umum pengertian korupsi adalah sebagai perbuatan yang berkaitan

dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan

atau kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang

tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction),

dan nepotisme (nepotism). Pada hakekatnya kejahatan korupsi juga termasuk ke

dalam kejahatn ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan

ekonomi sebagai berikut:

49

1. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan

(disguise of purpose or intent).

48Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta, 2008, hlm. 54 49 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,

1992, hlm. 5-6

Universitas Sumatera Utara

Page 45: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

35

2. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban

(reliance upon the ingenuity or carelesne of victim)

3. Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation).

Dalam halnya formulasi tindak pidana korupsi yang berlaku pada saat ini,

yakni yang dikemukakan oleh Adami Chazawi (2005: 19-22) yang

mengemukakan dari 44 rumusan Tindak Pidana Korupsi yakni dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dapat dibedakan menjadi lima (5)

kelompok, yakni:50

a. Atas dasar substansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi

dua jenis, yaitu:

1. Tindak Pidana Korupsi Murni

Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi yang

substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan

perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut

keuangan negara, perekonomian negara, dan kelancaran pelaksanaan

tugas pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik.

Tindak pidana yang masuk dalam kelompok ini dirumuskan dalam

Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,

Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12b, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal

23.

50 A. Rahmah dan Amiruddin Pabbu, Kapita Selekta Hukum Pidana, Mitra Wacana

Media, Jakarta, 2015, hlm 90,91

Universitas Sumatera Utara

Page 46: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

36

2. Tindak pidana Korupsi Tidak Murni

Tindak Pidana Korupsi tidak murni adalah tindak pidana korupsi yang

substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap

kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas penegak hukum

dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana

yang dimaksudkan di sini diatur dalam tiga pasal, yakni Pasal 21, Pasal

22 dan Pasal 24.

b. Atas dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi

Atas dasar subjek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi

dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni:

1. Tindak pidana korupsi umum

Tindak pidana korupsi umum adalah bentuk tindak pidana korupsi

yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas

sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan pada setiap orang

termasuk korporasi.

2. Tindak pidana korupsi pegawai negeri dan atau penyelenggara negara

Tindak pidana korupsi pegawai negeri dan atau penyelenggara negara

adalah tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh orang yang

berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.

c. Atas Dasar tingkah laku/Perbuatan dalam rumusan Tindak Pidana

Dilihat dari sudut unsur tingkah laku dalam rumusan tindak pidana, maka

tindak pidana korupsi dapat dibedakan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 47: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

37

1. Tindak Pidana Korupsi Aktif

Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi positif adalah

tindak pidana korupsi yang dalam rumusannya mencantumkan unsur

perbuatan aktif.

2. Tindak Pidana Korupsi Pasif

Tindak pidana korupsi pasif adalah tindak pidana yang unsur tingkah

lakunya dirumuskan secara pasif.

Dalam doktrin hukum pidana, tindak pidana pasif dibedakan menjadi:

- Tindak Pidana Pasif Murni

Tindak pidana pasif murni adalah tindak pidana pasif yang

dirumuskan secara formil atau yang pada dasarnya semata-mata

unsure perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif.

- Tindak pidana pasif tidak murni

Tindak pidana pasif yang tidak murni adalah berupa tindak pidana

yang pada dasarnya berupa tindak pidana aktif, tetapi dapat

dilakukan dengan cara tidak berbuat atau tidak melakukan

perbuatan aktif.

B. Ketentuan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya

mengacu kepada ketentuan yang terdapat di dalam KUHPidana, sehingga

kerangka hukum yang dijadikan sebagai dasar penindakan pelaku kejahatan

korupsi sebagai tindak pidana menggunakan norma hukum KUHPidana (lex

Universitas Sumatera Utara

Page 48: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

38

generalis). 51 Dalam hal ini ketentuan yang dimaksud adalah ketentuan pidana

yang di mana di dalamnya berisi aturan yang berisi larangan, atau keharusan

disertai sanksi pidana.52

1. Unsur Melawan Hukum

Berikut beberapa unsur-unsur yang dijumpai dalam pasal

2 ayat (1) yang sesuai dengan karakteristik tindak pidana korupsi.

Yang dimaksud dengan unsur melawan hukum dapat diartikan bahwa

tersangka/terdakwa tidak mempunyai hak untuk menikmati atau menguasai

sesuatu benda, dalam hal ini berupa uang. Dalam melawan hukum ini merupakan

suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, di mana sifat tercela

tersebut dapat bersumber pada undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat

bersumber dari pada masyarakat (melawan hukum materiil). 53

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dapat dikonstruksikan bahwa melawan hukum diartikan seperti dalam

hukum perdata, yang pengertiannya meliputi: perbuatan-perbuatan yang

bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau bertentangan

dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang

lain, barangnya maupun haknya. Ini dimaksudkan agar mudah memperoleh

Yurisprudensi

Indonesia menafsirkan unsur melawan hukum secara sosiologis, yang meliputi

baik melawan hukum yang formal (tertulis) maupun yang materiil (tertulis dan

tidak tertulis).

51 Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Pustaka, Bandung,

2004, hlm.84 52 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 122 53 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta, 2008, hlm. 86

Universitas Sumatera Utara

Page 49: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

39

pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri

sendiri, orang lain atau suatu badan.

Penjelasan dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 2 ayat (1) menentukan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan

hukum” adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal maupun

dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap

tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan

social dalam bermasyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Dalam unsur melawan hukum ini terdapat juga masukan dari perbuatan

melawan hukum menjadi salah satu pendukung dari unsur melawan hukum

tersebut dalam Arrest Lindenbaum Cohen pada tahun 1919 terdapat 4 (empat)

kriteria perbuatan melawan hukum, yaitu:54

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

2. Melanggar hak subjektif orang lain;

3. Melanggar kaidah tata susila; dan

4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati

yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesame

warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.

Unsur melawan hukum itu sendiri juga tidak hanya menjadikan perbuatan

melawan hukum itu saja sebagai syarat dalam melawan hukum melainkan

54 Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 45

Universitas Sumatera Utara

Page 50: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

40

melawan hukum adalah perbuatan yang dapat dihukum, dalam hal ini dengan

“memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan atau korporasi” dan dapat

pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan

masyarakat harus dituntut dan tetap dipidana. Dalam penjelasan umum Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga

menjabarkan mengenai melawan hukum yang menyatakan bahwa:

“Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana”.55

Secara formal atau secara perumusan undang-undang, suatu tindakan

adalah bersifat melawan hukum apabila seseorang melanggar suatu ketentuan

undang-undang, karena bertentangan dengan undang-undang. Dengan perkataan

Dalam sistem perundang-undangan hukum pidana yang berlaku sekarang

ternyata bersifat melawan hukum (dari suatu tindakan) tidak selalu dicantumkan

sebagai salah satu unsur delik. Akibatnya timbul persoalan apakah sifat melawan

hukum harus selalu dianggap sebagai salah satu unsur delik, walaupun tidak

dirumuskan secara tegas, ataukah baru dipandang sebagai unsur dari suatu delik

jika dengan tegas dirumuskan dalam delik di dalam pasal-pasal sebuah

perundang-undangan.

55 Penjelasan Umum Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Universitas Sumatera Utara

Page 51: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

41

lain, semua tindakan yang bertentangan dengan undang-undang atau suatu

tindakan yang telah memenuhi perumusan delik dalam undang-undang, baik sifat

melawan hukum itu dirumuskan atau tidak, adalah tindakan-tindakan yang

bersifat melawan hukum.56

Dari perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi inilah yang menjadi dasar

bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan melawan

hukum formil saja melainkan juga perbuatan melawan hukum secara materiil

karena dalam pasal 2 ini sebenarnya menjelaskan meskipun perbuatan tersebut

tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan

tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-

norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat

dipidana” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

57

2. Perbuatan Memperkaya Diri

Unsur memperkaya diri sendiri ini tidak terdapat keterangan dalam

Undang-Undang termasuk dalam penjelasannya tentang apa yang dimaksud

perbuatan memperkaya diri sendiri. Unsur menguntungkan diri menurut beberapa

pasal yang terdapat di dalam KUHP, pengertiannya telah disepakati oleh para ahli

sebagai “memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada”.

56 Edy Yunara, Op.cit, hlm.48 57 Guse Prayudi, Tindak Pidana Korupsi Dipandang Dalam Berbagai Aspek, Pustaka

Pena, Yogyakarta, 2010, hlm. 45

Universitas Sumatera Utara

Page 52: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

42

Dengan mengikuti pendapat Hoge Raad yang tercermin dalam

pertimbangan hukum salah satu putusannya yang mengatakan bahwa “si pelaku

haruslah mempunyai maksud untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri

atau orang lain”. Memperoleh keuntungan sama artinya dengan memperoleh

kekayaan. Perbuatan memperkaya harus terdapat unsur:

1. Adanya memperoleh kekayaan;

2. Ada peroleh kekayaan melampaui dari perolehan sumber kekayaannya

yang sah;

3. Ada kekayaan yang sah bersumber dari sumber kekayaannya yang sah,

dan ada kekayaan selebihnya yang tidak sah yang bersumber dari

sumber yang tidak sah. Kekayaan yang tidak sah inilah yang diperoleh

dari perbuatan memperkaya secara melawan hukum

C. Perumusan klasifikasi Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

Dalam pengklasifikasian unsur-unsur dalam Undang-Undang Tindak

Pidana korupsi dijelaskan mengenai bentuk-bentuk tindak pidana korupsi jika

dilihat dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bunti pasal-pasalnya tidak

dirinci akan tetapi hanya menunjuk pada pasal-pasal yang terkait. Tetapi dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yakni Undang-Undang yang merubah

dan menambah maka pasal-pasal yang ditunjuk atau yang terkait itu dirinci dan

kemudian dimasukkan dalam pasal-pasal tindak pidana korupsi yang baru.

Universitas Sumatera Utara

Page 53: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

43

Maka perumusan tindak pidana korupsi yang termasuk dalam klasifikasi

dalam hukum nasional atau berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

adalah berikut:

1. Tindak Pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara

atau perekonomian Negara;

2. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap;

3. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam

jabatan;

4. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemerasan;

5. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang;

6. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kepentingan dalam

pengadaan barang dan jasa;

7. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan gratifikasi.

Ad.a. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian Keuangan

Negara atau Perekonomian Negara

Mengenai tindak pidana korupsi yang termasuk dalam kelompok tindak

pidana korupsi yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara diatur secara

eksplisit dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan :

Pasal 2:

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

Universitas Sumatera Utara

Page 54: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

44

dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Berdasarkan rumusan Pasal 2 di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa

suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi yang merugikan

keuangan atau perekonomian negara dan dijerat serta diancam dengan pidana

menggunakan ketentuan ini apabila memenuhi beberapa unsur sebagai berikut :58

a. Dilakukan oleh setiap orang;

b. Perbuatan tersebut berupa memperkaya diri sendir atau orang lain atau

suatu korporasi;

c. Dilakukan dengan cara melawan hukum;

d. Dapat;

e. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Unsur yang pertama dari ketentuan ini adalah unsur “setiap orang”. 59

Dalam unsur ini merupakan pelaku atau subjek delik dalam Pasal 2 ayat (1) ini,

dan unsur ini bukanlah delik inti melainkan elemen delik.60

Dengan demikian, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi dapat dimaknai sebagai suatu proses membuat bertambah kayanya

seseorang atau orang lain atau suatu korporasi tanpa dapat dibuktikan bahwa

bertambah kayanya pihak-pihak tersebut diperoleh dari hasil usahanya secara

58 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi Mengetahui Untuk

Mencegah, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 17 59 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.149 60 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm. 83

Universitas Sumatera Utara

Page 55: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

45

legal. 61Mengenai makna memperkaya yakni bahwa tidak ada keharusan pelaku

saja yang bertambah kekayaannya akibat melakukan tindak pidana korupsi, tapi

juga orang lain atau bahkan korporasi. 62 Menurut Andi Hamzah unsur

memperkaya diri sebagai “menjadi orang yang belum kaya jadi kaya atau orang

yang sudah kaya bertambah kaya.63 Adapun perbuatan memperkaya diri sendiri

maupun orang lain di sini dapat dijabarkan menjadi 3 kategori, yaitu :64

a. Memperkaya diri sendiri

Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan si pelaku membuat

bertambahnya harta kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.

b. Memperkaya orang lain

Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan si pelaku membuat

bertambahnya harta kekayaan atau harta benda milik orang lain. Dalam hal ini,

pelaku tidak memperoleh keuntungan secara langsung dari perbuatan melawan

hukum yang dilakukannya melainkan orang lain (keluarga pelaku, kerabat

pelaku, sanak saudara pelaku dan pihak-pihak lainnya) yang memperoleh

keuntungan secara langsung.

c. Memperkaya korporasi

61 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.149 62 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 85 63Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, PT Gramedia,

Jakarta, 1991, hlm. 240 sebagaimana dikutip dari Adami Chazawi,Hukum Pidana Korupsidi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2017, hlm. 29

64Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.150

Universitas Sumatera Utara

Page 56: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

46

Pihak yang memperoleh keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh si pelaku adalah sebuah korporasi. Korporasi di sini dapat

diartikan sebagai kumpulan orang atau kumpulan harta kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum

(Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi).

Pada bagian ini, perlu dikemukakan kembali bahwa yang dimaksud

dengan “melawan hukum” dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencakup perbuatan melawan hukum

dalam arti formil maupun materiil. 65 Sifat melawan hukum formal diartikan

sebagai bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan sifat melawan hukum

materiil diartikan sebagai bertentangan dengan norma dan nilai-nilai

masyarakat.66

Selanjutnya, berkaitan dengan unsur “dapat” merugikan keuangan atau

perekonomian negara dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan

keuangan negara atau perekonomian keuangan negara” menunjukan bahwa tindak

pidana korupsi adalah delik formil, yaitu untuk menentukan ada atau tidaknya

tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang

sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan demikian, suatu

perbuatan yang berpotensi akan menimbulkan kerugian negara atau perekonomian

65 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.150 66 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 85

Universitas Sumatera Utara

Page 57: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

47

negara dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi bentuk ini. 67

Kerugian keuangan negara haruslah berupa kerugian yang diakibatkan langsung

oleh wujud perbuatan memperkaya diri yang mengandung sifat melawan hukum

dalam berarti pidana (perbuatan menyalahgunakan kewenangan).68

Unsur terakhir sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No.

20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah unsur

“merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dalam penjelasan

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-

Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dinyatakan dengan tegas bahwa yang dimaksud dengan keuangan negara adalah

seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak

dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak

dan kewajiban yang timbul karena:

69

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat

lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan

Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,

dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang

menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

67 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.150-151 68Adami Chazawi,Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2017,

hlm. 54 69Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.151

Universitas Sumatera Utara

Page 58: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

48

Adapun yang dimaksud dengan “Perekonomian Negara” dalam undang-

undang ini adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama

berdasarkan asas kekeluaragaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang

disasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

bertujuan untuk memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada

seluruh kehidupan rakyat. Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

perumusan defenisi keuangan negara dan perekonomian negara dirumuskan

secara seluas-luasnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi atas

penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih

dan rumit.70

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dengan jelas suatu

Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi yang

merugikan keuangan atau perekonomian negara juga termuat dalam Pasal 3

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang menyatakan:

Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

70 Ibid

Universitas Sumatera Utara

Page 59: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

49

perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi ini manakala

memenuhi beberapa unsur berikut ini:71

a. Dilakukan oleh setiap orang;

b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana (secara melawan

hukum);

c. Kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut karena jabatan atau

kedudukannya;

d. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

e. Dapat;

f. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Ad.b. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Suap-Menyuap

Suap-menyuap termasuk dalam salah satu bentuk tindak pidana korupsi

menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi dalam bentuk suap-menyuap

dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi diatur dalam beberapa ketentuan, yakni Pasal 5 ayat (1) huruf a

dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11,

Pasal 12 huruf a dan b, Pasal 12 huruf c dan d serta Pasal 13. Adapun bunyi dari

masing-masing ketentuan adalah sebagai berikut:

71 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi Mengetahui Untuk Mencegah, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 18

Universitas Sumatera Utara

Page 60: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

50

1. Menyuap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara

Tindak pidana korupsi terkait dengan suap-menyuap, bentuk yang pertama

adalah menyuap pegawai negeri atau penyelenggara negara.72

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

Hal tersebut diatur

secara tegas dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:

Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan dapat dikatakan atau

digolongkan sebagai tindak pidana korupsi menurut Pasal 5 ayat (1) huruf a ini

maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:73

1) Setiap orang;

2) Memberikan atau menjanjikan sesuatu;

3) Ditujukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;

4) Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam

jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya.

72Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 153 73 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, op.cit, hlm. 18

Universitas Sumatera Utara

Page 61: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

51

Adapun suatu perbuatan dapat dikatakan atau digolongkan sebagai tindak

pidana korupsi menurut Pasal 5 ayat (1) huruf b apabila memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut:74

1) Setiap orang;

2) Memberikan atau menjajikan sesuatu;

3) Ditujukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;

4) Karena berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,

dilakukan atau tidak dalam jabatannya.

2. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang Menerima Suap

Tindak pidana korupsi terkait dengan suap menyuap bentuknya yang

kedua, yakni pegawai negeri atau penyelanggara negara yang menerima suap.75

Pasal ini mengatur bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

menerima suap dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi.

Hal ini diatur secara tegas dalam pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:

Pasal 5 ayat (2): Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1).

76

74Ibid 75 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.155 76Ibid

Perbuatan menerima pemberian bermakna, bahwa selesainya perbuatan menerima

adalah apabila suatu pemberian, misalnya sejumlah uang, telah berpindah

Universitas Sumatera Utara

Page 62: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

52

kekuasaan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima. 77 Untuk

mengetahui apakah suatu perbuatan itu termasuk tindak pidana korupsi menurut

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:78

1) Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Menerima pemberian atau janji;

3) Pemberian atau janji tersebut harus termuat dalam Pasal 5 ayat (1)

huruf a dan b di atas.

Dalam pasal ini adalah penyelenggara negara adalah sebagaimana

dimaksud oleh Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme. Penyelenggara negara yang dimaksud meliputi:

1. Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara;

2. Pejabat negara pada lembaga tinggi negara;

3. Menteri;

4. Gubernur;

5. Hakim;

6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; dan

77 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 118 78 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, op.cit, hlm. 19

Universitas Sumatera Utara

Page 63: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

53

7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan

penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3. Menyuap Hakim dan Menyuap Advokat

Tindakan menyuap hakim dan meyuap advokat dapat dikategorikan

sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang tegas dalam

Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b berikut ini:

Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan

menggunakan Pasal 6 ayat (1) huruf a, maka perbuatan tersebut harus memenuhi

unsur-unsur sebagai berikut:79

1) Setiap orang;

2) Memberi atau menjanjikan sesuatu;

3) Ditujukan kepada hakim;

79 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 19

Universitas Sumatera Utara

Page 64: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

54

4) Dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan

kepadanya untuk diadili.

Adapun suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang

melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b apabila memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut:80

1) Setiap orang;

2) Memberi atau menjanjikan sesuatu;

3) Ditujukan kepada advokat yang menghadiri sidang pengadilan;

4) Dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan

diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada

pengadilan untuk diadili.

4. Hakim atau Advokat yang Menerima Suap

Tindak pidana korupsi bentuk ke empat yang berkaitan dengan suap-

meyuap yakni hakim dan advokat yang menerima suap.81

80 Ibid 81 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 121

Mengenai hal ini, dalam

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam

Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6 ayat (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Universitas Sumatera Utara

Page 65: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

55

Ketentuan pasal ini mengatur secara tegas bahwa hakim atau advokat yang

menerima suap dapat dikategorikan sebagai salah satu tindak pidana korupsi.

Untuk menilai bahwa suatu perbuatan melanggar rumusan Pasal 6 ayat (2) harus

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:82

1) Hakim atau advokat;

2) Menerima pemberian atau janji;

3) Pemberian atau janji itu diberikan oleh setiap orang;

4) Dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan

kepadanya untuk diadili (bagi hakim) atau dengan maksud untuk

memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung

dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (bagi

advokat).

5. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang Menerima Hadiah yang

Berkaitan dengan Jabatannya

Bentuk ke lima tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap-

menyuap adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima

hadiah yang berkaitan dengan jabatannya. Hal ini diatur secara tegas dan jelas

dalam pasal 11 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang menyatakan:

82 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, op.cit, hlm. 20

Universitas Sumatera Utara

Page 66: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

56

Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Untuk mengkalisifikasikan suatu perbuatan melanggar dan dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 11 ini maka harus

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:83

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Menerima hadiah atau janji;

3) Diketahuinya atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan

dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan

hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.

6. Pegawai Negeri yang Menerima Suap

Bentuk ke enam tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap

menyuap adalah pegawai negeri yang menerima suap. Hal ini diatur secara tegas

dalam Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa:

83Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.161

Universitas Sumatera Utara

Page 67: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

57

Pasal 12 huruf a dan b: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Untuk menilai apakah suatu perbuatan dapat dikatakan sabagai tindak

pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a maka harus memenuhi

unsur-unsur sebagai berikut:84

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Menerima hadiah atau janji;

3) Diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

4) Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

84Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 26

Universitas Sumatera Utara

Page 68: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

58

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 12 huruf b

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi adalah sebagai berikut:85

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Menerima hadiah atau janji;

3) Diketahuinya bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau

karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

4) Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau

karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

7. Hakim dan Advokat yang Menerima Suap

Hal ini diatur limitatif dalam ketentuan Pasal 12 huruf c dan huruf d

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berikut ini:

Pasal 12 huruf c dan d Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa

85Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 131

Universitas Sumatera Utara

Page 69: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

59

hadiah atau janji tersebut untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan suatu

perbuatan masuk dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam

Pasal 12 huruf c yaitu sebagai berikut:86

1) Hakim;

2) Menerima hadiah atau janji;

3) Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan

untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk

diadili.

Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan suatu

perbuatan telah melanggar ketentuan Pasal 12 huruf d sebagai berikut:87

1) Advokat;

2) Menerima hadiah atau janji;

3) Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk

memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung

dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

8. Memberikan Hadiah kepada Pegawai Negeri karena Jabatannya

Bentuk tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap-menyuap yang

ke delapan adalah memberikan hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya.

Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

86Ibidhlm. 133 87Ibid hlm. 134

Universitas Sumatera Utara

Page 70: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

60

Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berikut ini:

Pasal 13: Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Pasal ini pada dasarnya menyatakan bahwa memberikan hadiah kepada

pegawai negeri karena jabatannya adalah salah satu tindak pidana korupsi dalam

bentuk suap menyuap. 88 Suatu perbuatan dapat dikualifikasikan atau

dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dalam bentuk suap menyuap

sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi manakala memenuhi unsur-unsur sebagai

berikut:89

1) Dilakukan oleh setiap orang;

2) Memberi hadiah atau janji;

3) Ditujukan kepada pegawai negeri;

4) Karena kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau

kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat

pada jabatan atau kedudukannya tersebut.

88 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.165 89 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 30

Universitas Sumatera Utara

Page 71: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

61

Subjek delik dalam Pasal 13 adalah setiap orang. Makna setiap orang bisa

siapa saja meliputi pegawai negeri, penyelenggara negara, hakim, jaksa penuntut

umum, advokat, pegawai swasta, atau pihak-pihak yang lain.

Ad.c. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Penggelapan dalam

Jabatan

Tindak pidana korupsi yang termasuk dalam kelompok penggelapan

jabatan ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tepatnya dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10

huruf a dan huruf b dan Pasal 10 huruf c. Berikut akan dijelaskan secara rinci

mengenai ketentuan-ketentuan yang dimaksud beserta dengan unsur-unsur yang

membentuknya:

1. Pegawai Negeri atau Orang Lain selain Pegawai Negeri yang

Menggelapkan Uang atau Membiarkan Dilakukannya Penggelapan

Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang menggelapkan

uang atau membiarkan penggelapan dapat dikualifikasikan sebagai salah satu

bentuk tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan.90

90Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.166

Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:

Universitas Sumatera Utara

Page 72: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

62

Pasal 8 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Pasal 8 tersebut mengatur bahwa pegawai negeri atau orang lain selain

pegawai negeri yang menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan dapat

dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Untuk menentukan

suatu perbuatan tergolong pada tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam

rumusan pasal ini, maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagai

berikut:91

1) Pegawai negeri atau orang lain;

2) Ditugaskan untuk menjalankan suatu jabatan umum secara terus

menerus atau sementara waktu;

3) Dilakukan dengan sengaja;

4) Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau

membiarkan orang lain menggelapkan uang atau surat berharga;

5) Uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya;

6) Membantu dalam melakukan perbuatan itu.

91 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 118

Universitas Sumatera Utara

Page 73: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

63

2. Pegawai Negeri atau Orang Selain Pegawai Negeri yang Memalsukan

Buku Untuk Pemeriksaan Administrasi

Bentuk ke dua dari tindak pidana korupsi yang termasuk dalam kelompok

tindak pidana penggelapan dalam jabatan adalah pegawai negeri atau orang selain

pegawai negeri yang memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi.92

Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi mengatur dengan tegas mengenai pegawai negeri atau

orang selain pegawai negeri yang memalsukan buku untuk pemeriksaan

administrasi sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi, khususnya tindak

pidana korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan. Untuk

menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam tindak pidana korupsi

sebagaimana diatur dalam Pasal 9 harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

Hal ini

diatur secara tegas dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

93

92 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.168 93Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 153

Universitas Sumatera Utara

Page 74: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

64

1) Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri;

2) Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus

atau untuk sementara waktu;

3) Dengan;

4) Sengaja;

5) Buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan

administrasi.

3. Pegawai Negeri atau Orang Lain Selain Pegawai Negeri Yang Merusak

Bukti

Tindak pidana korupsi bentuknya yang ketiga berkaitan dengan

penggelapan dalam jabatan adalah pegawai negeri atau orang lain selain pegawai

negeri yang merusak bukti. 94

94Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.169

Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 10 huruf a

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

menyatakan bahwa:

Pasal 10 huruf a Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.

Universitas Sumatera Utara

Page 75: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

65

Pasal ini mengatur bahwa pegawai negeri atau orang lain selain pegawai

negeri yang merusak bukti dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak

pidana korupsi yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi khususnya tindak

pidana korupsi yang berhubungan dengan penggelapan jabatan. 95 Untuk

menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan melanggar Pasal

melanggar Pasal 10 huruf a di atas maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai

berikut:96

1) Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri;

2) Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus

atau untuk sementara waktu;

3) Dengan sengaja;

4) Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak

dapat dipakai;

5) Barang, akta, surat atau daftar;

6) Yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat

yang berwenang;

7) Barang tersebut dikuasainya karena jabatan.

4. Pegawai Negeri Atau Orang Lain Selain Pegawai Negeri yang

Membiarkan Orang Lain Merusak Bukti

95 Ibid, hlm.170 96Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 24

Universitas Sumatera Utara

Page 76: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

66

Dalam Pasal 10 huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:

Pasal 10 huruf b Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. Pasal ini mengatur bahwa pegawai negeri atau orang lain selain pegawai

negeri yang membiarkan orang lain merusakkan bukti sebagai salah satu bentuk

tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.97 Untuk menentukan

suatu perbuatan sesuai dengan rumusan pasal ini, maka harus memenuhi unsur-

unsur sebagai berikut:98

1) Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri;

2) Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus

atau untuk sementara waktu;

3) Dengan sengaja;

4) Membiarkan orang lain;

5) Menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak

dapat dipakai;

6) Barang, akta, surat, atau daftar;

97 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.171 98 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 143

Universitas Sumatera Utara

Page 77: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

67

7) Yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat

yang berwenang;

8) Barang tersebut dikuasainya karena jabatan.

5. Pegawai Negeri atau Orang Lain Selain Pegawai Negeri yang Membantu

Orang Lain Merusak Bukti

Dalam ketentuan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:

Pasal 10 huruf c Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. Pasal ini mengatur bahwa pegawai negeri atau orang lain selain pegawai

negeri yang membantu orang lain merusak bukti sebagai salah satu bentuk tindak

pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. 99 Suatu perbuatan dapat

dikatakan melanggar ketentuan Pasal 10 huruf c Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi apabila memenuhi unsur-unsur sebagai

berikut:100

1) Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri;

99 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 172 100 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 157

Universitas Sumatera Utara

Page 78: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

68

2) Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus

atau untuk sementara waktu;

3) Dengan sengaja;

4) Membantu orang lain;

5) Menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak

dapat dipakai;

6) Barang, akta, surat, atau daftar;

7) Yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat

yang berwenang;

8) Barang-barang tersebut dikuasainya karena jabatan.

Ad.d. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Pemerasan

Bentuk atau tipologi tindak pidana korupsi yang ke empat sebagaimana

diatur dalam hukum positif di Indonesia adalah tindak pidana korupsi yang

berkaitan dengan pemerasan. 101

1. Pemerasan oleh Pegawai negeri

Namun demikian, perlu dikemukakan bahwa

tidak semua pemerasan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, tindak pidana korupsi yang

berkaitan dengan pemerasan dapat dikelompokkan atau digolongkan kembali

menjadi beberapa bentuk, yaitu:

Tindak pidana korupsi bentuknya yang pertama berkaitan dengan tindak

pidana korupsi yang berkaitan dengan pemerasan adalah pemerasan yang

101 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 173

Universitas Sumatera Utara

Page 79: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

69

dilakukan oleh pegawai negeri.102Rumusan pasal 12 huruf e diadopsi dari Pasal

423 KUHP yang dalam praktik hukum disebut dengan knevlarij atau pemerasan

dari sebab adanya perbuatan memaksa. 103

Selanjutnya, untuk menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam

tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam Pasal 12 huruf e harus memenuhi

unsur-unsur berikut ini:

Hal ini diatur secara tegas dan jelas

dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang menyatakan:

Pasal 12 huruf e Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

104

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;

3) Secara melawan hukum;

4) Memaksa seseorang;

5) Memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan

potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya;

102Ibid 103 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 201 104 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 27

Universitas Sumatera Utara

Page 80: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

70

6) Dengan menyalahgunakan kekuasaan.

2. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang Memeras Pegawai

Negeri atau Penyelenggara Negara Lainnya

Bentuk tindak pidana korupsi yang kedua berkaitan dengan tindak pidana

korupsi yang berhubungan dengan pemerasan adalah perbuatan pegawai negeri

atau penyelenggara negara yang memeras pegawai negeri atau penyelenggara

negara lainnya. 105

Pasal 12 huruf f Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi mengatur bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

memeras pegawai negeri atau penyelenggara negara lainnya dapat dikategorikan

Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 12 huruf f Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan

sebagai berikut:

Pasal 12 huruf f Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

105 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 175

Universitas Sumatera Utara

Page 81: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

71

sebagai tindak pidana korupsi. Untuk menentukan suatu perbuatan termasuk

dalam rumusan pasal ini maka harus memenuhi unsur-unsur berikut ini:106

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Pada waktu menjalankan tugas;

3) Meminta, menerima, atau memotong pembayaran;

4) Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain kepada

kas umum;

5) Seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau

kas umum mempunyai utang kepadanya;

6) Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

3. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang Dalam Tugasnya

Melakukan Pemerasan

Bentuk ketiga dari tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan

pemerasan adalah perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

dalam menjalankan tugasnya melakukan pemerasan. 107

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau

Hal ini diatur eksplisit

dalam Pasal 12 huruf g Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang menyatakan:

Pasal 12 huruf g

106 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 107 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm.176

Universitas Sumatera Utara

Page 82: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

72

penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam tindak pidana

korupsi sebagaimana termuat dalam rumusan pasal ini, maka perbuatan tersebut

harus memenuhi unsur-unsur berikut ini:108

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Pada waktu menjalankan tugas;

3) Meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang;

4) Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya;

5) Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

Subjek delik dalam Pasal 12 huruf g adalah pegawai negeri atau

penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas. Perbuatan yang

dilarang adalah meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang.

Adapun unsur objektifnya adalah berupa “meminta, menerima, memotong”.

Pengertian penyerahan barang hakikatnya sama dengan pengertian memotong,

yakni untuk menyelesaikan tindak pidana penyerahan barang, barang tersebut

telah benar-benar dan nyata ada barang yang diserahkan seseorang dan diterima

pegawai negeri atau penyelenggara Negara selaku pelaku delik ini.109

108 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 28 109 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 163

Ad.e. Tindak pidana Korupsi Berkaitan Dengan Perbuatan Curang

Universitas Sumatera Utara

Page 83: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

73

Pengaturan tentang tindak pidana korupsi yang terkait dengan perbuatan

curang diatur secara tegas dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat

(1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf

d, Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 12 huruf h. Berdasarkan ketentuan-ketentuan

tersebut, tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang dapat

dikelompokkan kembali ke dalam beberapa bentuk yakni sebagai berikut:

1. Perbuatan Curang yang Dilakukan oleh Pemborong

Tindak pidana korupsi berkaitan dengan perbuatan curang bentuk pertama

adalah perbuatan curang yang dilakukan oleh pemborong. Hal ini dapat

dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur secara tegas

dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.

31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut

menyatakan:

Pasal 7 ayat (1) huruf a Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): pemborong ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

Universitas Sumatera Utara

Page 84: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

74

Untuk menentukan suatu perbuatan termasuk ke dalam tindak pidana

korupsi sebagaimana dirumuskan dalam pasal ini jika memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut:110

1) Pemborong, ahli bangunan atau penjual bahan bangunan;

2) Melakukan perbuatan curang;

3) Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan;

4) Yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau

keselamatan negara dalam keadaan perang.

Pemborong dalam hal ini adalah seorang yang mengikatkan dirinya dalam

suatu perjanjian (perjanjian pemborongan) pada pihak/orang lain untuk

melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan harga tertentu yang disepakati.

Sedangkan perbuatan curang dalam hal ini adalah berupa perbuatan abstrak yang

wujud konkretnya dapat bermacam-macam dan tidak terhingga.111

2. Pengawas Proyek yang Membiarkan Perbuatan Curang

Bentuk tindak pidana korupsi kedua yang berkaitan dengan perbuatan

curang, yaitu perbuatan pengawas proyek yang membiarkan perbuatan curang

dilakukan. Hal ini dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak dari

pidana korupsi sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

menyatakan:

110 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 178 111 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 106, 107

Universitas Sumatera Utara

Page 85: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

75

Pasal 7 ayat (1) huruf b Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pasal ini mengatur bahwa pengawas proyek yang dengan sengaja

membiarkan perbuatan curang sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi

khususnya tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang. 112

Untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana

diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, harus memenuhi unsur-unsur berikut

ini:113

1) Pengawas bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan;

2) Dengan sengaja;

3) Membiarkan dilakukannya perbuatan curang;

4) Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan;

5) Yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau

keselamatan negara dalam keadaan perang.

3. Rekanan Tentara Nasional Indonesia (TNI)/ Kepolisian Negara Republik

Indonesia (POLRI) yang Berbuat Curang

112 Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 179 113 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 166

Universitas Sumatera Utara

Page 86: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

76

Tindak pidana korupsi bentuk ketiga berkaitan dengan perbuatan curang

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi adalah perbuatan curang yang dilakukan oleh rekanan Tentara

Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Hal

ini diatur dengan tegas dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 114

Berikut adalah unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan suatu

perbuatan termasuk dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal

ini:

Adapun pasal 7 ayat (1) huruf c

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:

Pasal 7 ayat (1) huruf c Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

115

1) Setiap orang;

2) Melakukan perbuatan curang;

114Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 180 115Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 21

Universitas Sumatera Utara

Page 87: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

77

3) Dilakukan pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia (TNI) dan atau Kepolisian Negara Republik

Indonesia;

4) Dapat membahayakan keselamatan negara dan dalam keadaan perang.

4. Pengawas Rekanan Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Negara

Republik Indonesia (POLRI) yang Berbuat Curang

Tindak pidana korupsi bentuk keempat yang berkaitan dengan perbuatan

curang adalah perbuatan curang yang dilakukan oleh pengawas rekanan Tentara

Nasiona l Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Hal

ini diatur secara tegas dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun Pasal 7 ayat (1) huruf d

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi:

Pasal 7 ayat (1) huruf d Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. Untuk menyatakan suatu perbuatan melanggar ketentuan ini harus

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:116

1) Setiap orang;

116 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 169

Universitas Sumatera Utara

Page 88: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

78

2) Yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Negara Republik Indonesia

(POLRI);

3) Dengan sengaja;

4) Membiarkan perbuatan curang;

5) Dapat membahayakan keselamatan negara dan dalam keadaan perang.

5. Penerima Barang Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Negara

Republik Indonesia (POLRI) yang Membiarkan Perbuatan Curang

Hal ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 7 ayat (2). Adapun ketentuan

Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, berbunyi:

Pasal 7 ayat (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Universitas Sumatera Utara

Page 89: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

79

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas harus memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut:117

1) Dilakukan oleh setiap orang;

2) Orang tersebut bertugas mengawasi penyerahan bahan bangunan atau

orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional

Indonesia (TNI) dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia

(POLRI);

3) Membiarkan perbuatan curang;

4) Dilakukan pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia (TNI) dan atau Kepolisian Negara Republik

Indonesia (POLRI);

5) Dapat membahayakan keselamatan negara dan dalam keadaan perang.

6. Pegawai Negeri Atau Penyelenggara Negara yang Menyerobot Tanah

Negara Sehingga Merugikan Orang Lain

Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 12 huruf h Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:

Pasal 12 huruf h Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang

117Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 109

Universitas Sumatera Utara

Page 90: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

80

yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Untuk menentukan suatu perbuatan masuk ke dalam rumusan pasal ini

maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:118

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Pada waktu menjalankan tugas;

3) Menggunakan tanah negara yang di atasnya ada hak pakai;

4) Seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

5) Telah merugikan yang berhak;

6) Diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Subjek delik pasal 12 huruf h adalah seseorang yang memiliki kapasitas

sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. Perbuatan yang dilarang

berupa menggunakan tanah negara. Unsur ini harus terjadi dalam kaitannya

dengan menjalankan tugas jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Sedangkan objeknya adalah tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai.119

Tindak pidana korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam

pengadaan diatur secara tegas dalam Pasal 12 huruf I Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Ad.f. Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Benturan Kepentingan

dalam Pengadaan

118Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 28 119Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 170

Universitas Sumatera Utara

Page 91: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

81

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 huruf i Undang-Undang

No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:

Pasal 12 huruf i Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak

pidana korupsi sebagaimana dirumuskan menurut ketentuan ini maka harus

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:120

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Dengan sengaja;

3) Turut serta;

4) Baik secara langsung atau tidak langsung;

5) Dalam hal pemborongan, pengadaan atau persewaan;

6) Pada saat dilakukan perbuatan pemborongan, pengadaan atau

persewaan;

7) Untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau

mengawasinya.

Ad.g. Gratifikasi sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi

120Mahrus Ali, Op.Cit, hlm.170

Universitas Sumatera Utara

Page 92: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

82

Secara sederhana, gratifikasi dapat diartikan sebagai pemberian dalam arti

luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman

tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan

cuma-cuma dan berbagai fasilitas lainnya baik yang diterima di dalam negeri

maupun di luar negeri serta digunakan baik dengan sarana elektronik atau tanpa

sarana elektronik. 121

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

Dalam hukum positif yakni Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi diatur secara tegas dalam Pasal 12 B dan Pasal

12 C berikut ini:

Pasal 12 B

a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 C

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

121Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit, hlm. 187

Universitas Sumatera Utara

Page 93: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

83

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 12 B dan Pasal 12 C Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi mengatur apabila pegawai negeri atau penyelenggara

negara yang menerima gratifikasi dan tidak melaporkan hal tersebut kepada

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dapat dikategorikan telah

melakukan tindak pidana korupsi.122 Untuk menentukan apakah suatu perbuatan

dapat dikategorikan sebagai gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B dan

Pasal 12 C ini maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:123

1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) Menerima gratifikasi;

3) Yang berhubungan dengan jabatan atau bertentangan dengan

kewajiban atau tugasnya;

4) Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam jangka waktu 30

hari sejak diterimanya gratifikasi.

122 Ibid, hlm. 189 123 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 239

Universitas Sumatera Utara

Page 94: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

84

BAB III

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK

PIDANA KORUPSI DALAM RUU KUHP

A. Tindak Pidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana

Banyak cara yang telah dikerahkan dalam upaya pemberantasan korupsi

tapi malah kebayakan tidak banyak berarti dalam penurunan statistik dalam tindak

pidana korupsi mungkin barangkali karena upaya pemberantasan korupsi tersebut

belum menyentuh akar persoalan. Budaya feodalisme disebut sebagai akar

korupsi. Bila budaya yang berarti telah melalui proses pembiasaan, habituasi,

sebagai penyebab, harus dicari jalan memberantas korupsi dengan cepat sebab

mengubah kebiasaan butuh waktu panjang.124 Dari pendapat yang dikatakan oleh

Evi Hartanti yakni beberapa akibat dari korupsi yakni:125

a. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah

b. Berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat

c. Menyusutnya pendapatan negara

d. Rapuhnya keamanan dan ketahanan negara

Hal di atas diakibatkan biasanya oleh lemahnya penegakan hukum

terhadap pelaku tindak pidana korupsi maka dari itu perlu dilakukan pembaharuan

hukum pidana terhadap formulasi hukum pidana saat ini. Maka dari itu

sebenarnya usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak

124 Ninuk Marniana Pambudy, Reformasi Saja Tak Cukup Butuh Transformasi Tata

Kelola, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2011 hlm. 57 125 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Op.cit, hlm. 105

42

84

Universitas Sumatera Utara

Page 95: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

85

lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan dan sekaligus tujuan

yang ingin dicapai seperti telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945.126

Dalam rangka merespons amanat pembukaan UUD 1945 yakni pada alinea

keempat, maka pembaharuan sebagai produk perundang-undangan yang sudah

tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia menjadi agenda yang patut

diprioritaskan.

127

Ada beberapa alasan sebenarnya maka pembaharuan hukum pidana harus

dilakukan, alasan-alasan tersebut adalah:

128

a. KUHP dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan

hukum pidana nasional Indonesia;

b. Perkembangan hukum pidana di luar KUHP, baik berupa hukum

pidana khusus maupun hukum pidana administrasi telah menggeser

keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP. Keadaan ini telah

mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu sistem hukum pidana yang

berlaku dalam sistem hukum pidana nasional;

c. Dalam beberapa hal telah terjadi duplikasi norma hukum pidana yakni

antara norma hukum pidana yang terdapat di dalam KUHP dengan

norma hukum pidana yang ada di luar KUHP.

126 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan

Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2000, hlm.1 127 Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, Mitra Wacana Media,

Jakarta, 2015, hlm.18 128https://antikorupsi.org/sites/default/files/doc/Regulasi/NARASI%20Power%20Point-

Agustinus%20Pohan.pdf

Universitas Sumatera Utara

Page 96: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

86

Produk dalam hukum pidana yang memang kita pakai sekarang ini tidak

sesuai dengan perkembangan bangsa atau dapat dikatakan ketinggalan zaman

karena produk hukum yang kita pakai adalah produk dari kolonial yang dimana

produk tersebut sudah diganti berkali-kali oleh negara yang menjajah Indonesia

pada saat itu. Hukum pidana Indonesia yang sekarang tidak sesuai dengan situasi

politik, filosofis dan sosiologis Indonesia sekarang ini.129

Pembaharuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari ide atau kebijakan

pembangunan sistem hukum nasional yang berlandaskan Pancasila sebagai nilai-

nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini mengandung arti bahwa

pembaharuan hukum pidana nasional seyogyanya juga harus dilatarbelakangi oleh

sumber-sumber yang berorientasi kepada ide dasar Pancasila.

130

Dalam rangka pembaharuan hukum pidana dalam hal ini ruang lingkup

pembaharuan hukum pidana ada 3 yakni meliputi:

131

1. Pembaharuan substansi hukum pidana;

2. Pembaharuan struktur hukum pidana; dan

3. Pembaharuan budaya hukum pidana

Konsepsi pembaharuan hukum pidana sebagai suatu kebijakan untuk

menanggulangi masalah korupsi harus dilakukan sebagai suatu pembaharuan yang

bersifat komprehensif terhadap “legal system” yang meliputi baik pembaharuan

129 Monang Siahaan, Op.cit, hlm. 1 130Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 25 131 Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit, hlm.18

Universitas Sumatera Utara

Page 97: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

87

substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan

pembaharuan budaya hukum (legal culture).

Secara substantif, pembaharuan itu sendiri harus meliputi tiga masalah

pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah tindak pidana, masalah

pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana. 132 Untuk itu, pembentukan

RUU KUHP dibentuk dan juga Undang-Undang Tindak pidana korupsi dan

dilihat sebagai gambaran pembaharuan hukum pidana itu sendiri tinggal

bagaimana pengimplementasiannya sehingga misi yang diembannya dapat

diwujudkan. Secara struktural, undang-undang korupsi telah mengamanatkan

kepada pembuat undang-undang untuk membentuk sebuah komisi independen

untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan dalam

mengembangkan budaya hukum kita perlu secara kritis memeriksa plus minus

tradisi budaya tradisional yang kita miliki. 133

Budaya hukum merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang

menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau bahkan

disalahgunakan. Budaya hukum mempunyai peranan yang besar dalam sistem

hukum, sehingga tanpa budaya hukum, maka sistem hukum akan kehilangan

kekuatannya.

134

132 M.Ali Zaidan, Op.cit, hlm. 364 133 Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 26 134 Mahmud Muliyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal

Policy dalam Penanggulangan kejahatan kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hlm.16

Latar belakang kebudayaan Indonesia sebagai faktor yang cukup

menentukan tumbuh suburnya korupsi di negeri ini, seperti sejak zaman dahulu

Universitas Sumatera Utara

Page 98: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

88

kebiasaan dalam memberikan upeti kepada rajaraja. 135 Bahkan Barda Nawawie

mengatakan jika ingin terjadinya penegakan hukum yang kompeten atau

tujuannya adalah penegakan terhadap keadilan justru yang dibangun adalah pada

aspek immaterielnya yakni dengan membangun budaya dan nilai-nilai kejiwaan

dari hukum itu sendiri. 136

Jadi ketiga ruang lingkup ataupun sistem hukum tersebut mempunyai

hubungan dan peranan yang tidak terpisahkan. Ketiganya adalah satu kesatuan

yang menggerakkan sistem hukum tersebut sehingga dapat berjalan dengan

lancar. Struktur hukum dapat diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan

sesuatu.

137 Maka dari itu diperlukan adanya perbaikan terhadap ketiga elemen

tersebut yang dilakukan secara simultan dan terintegrasi. Jadi tidak cukup hanya

substansi hukumnya saja yang diperbaharui, mengingat masyarakat menginginkan

agar institusi-instistusi penegak hukum dapat berfungsi secara optimal di dalam

penegakan supremasi hukum di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.138

Dalam hal kali ini yang akan dibahas dalam hal pembaharuan hukum yang

dibahas dalam pembaharuan hukum pidana/KUHP Nasional yang dimana dalam

hal ini dikategorikan sebagai bagian ‘Criminal Policy’ yakni pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya penanggulangan kejahatan,

dan juga sebagai bagian dari Law enforcement dari Policyyang dimana berarti

135 Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT Rajagrafindo

Persada, Jakarta, 2011, hlm.50 136 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum &Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.4 137 Mahmud Muliyadi, Op.cit, hlm.16 138 Chaerudin, Syaiful Ahmad dinar dan Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan dan

Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm.52

Universitas Sumatera Utara

Page 99: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

89

pembaharuan hukum pidana yang pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya

menunjang kelancaran/efektivitas dalam hal penegakan hukum.139

Dalam hal penegakan hukum pidana merupakan kebijakan yang dilakukan

melalui beberapa tahap yakni tahap formulasi, aplikasi, dan eksekusi. Tahap

formulasi adalah tahap penegakan hukum “in abstracto” oleh badan pembuat

undang-undang dan biasanya disebut sebagai tahap legislatif. Lalu pada tahap

aplikasi adalah penerapan hukum pidana yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum tahap ini biasa disebut tahap yudikatif. Lalu pada tahap eksekusi adalah

tahapan pelaksanaan putusan hakim yang disebut kebijakan eksekutif atau

administratif.

140 Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui substansi hukum

dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.141

Pembaharuan hukum pidana itu sendiri pada hakikatnya berhubungan erat

dengan latar belakang dan urgensi dilakukannya pembaharuan hukum pidana

tersebut.

142

139 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum &Kebijakan Penanggulangan

KejahatanOp.cit, hlm. 5 140 Monang Siahaan, Op.cit, hlm. 3 141 Elwi Danil, Op.cit, hlm.20 142 Ibid, hlm. 19

Karena berbagai perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang

mendesak maka dibuatlah beberapa Undang-Undang Pidana di luar Kitab

Undang-undang hukum Pidana (KUHP). Sekalipun demikian, tuntutan terhadap

perubahan-perubahan materi yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana semakin hari semakin nyata. Dalam penjelasan seorang ahli menegaskan

bahwa konsep pembaharuan hukum pidana harus bersedia untuk meninggalkan

Universitas Sumatera Utara

Page 100: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

90

cara-cara positivistik yang kaku dan penuh dengan sistem kapitalisme dan

liberal.143

Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari

kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Makna pembaharuan hukum

pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya

pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya

pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis,

sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial,

kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Dapat dikatakan, bahwa

pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan

yang berorientasi pada kebijakan dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada

nilai.

144

Dalam rangka pembaharuan hukum pidana nilai-nilai telah

diakomodasikan oleh penyusun RUU KUHP. Hal ini dapat dilihat dari beberapa

prinsip yang terkandung dalam penyusunan rancangan KUHP Nasional yang

antara lain menyebutkan :

145

a. Bahwa hukum pidana dipergunakan untuk menegaskan atau

menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar perilaku hidup

masyarakat, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai

oleh falasafah dan ideologi Negara Pancasila;

143 Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 21 144 Barda Nawawi Loc.cit, hlm. 29 145 Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit, hlm. 20

Universitas Sumatera Utara

Page 101: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

91

b. Bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam

keadaan di mana cara lain melakukan pengendalian sosial tidak mau

atau belum dapat diharapkan keefektifannya;

Dalam tindak pidana korupsi juga dilihat memang perlu ada pembaharuan

atau reformasi dalam hukum pidana yakni dengan membentuk Undang-undang

yakni dengan membentuk RUU KUHP. Pembentukan RUU KUHP yang diajukan

ke DPR tahun 2006, telah memiliki sejarah yang cukup lama sejak tahun

1981. 146 Kini pembahasan RKUHP berlanjut di tahun 2018. Tentu, sejumlah

permasalahan rumusan pasal tersebut seyogyanya segera diatasi. Terlebih,

RKUHP ini masuk sebagai salah satu RUU Prolegnas Prioritas 2018. Hal ini agar

tidak menimbulkan polemik dan menuai “gugatan” setelah nantinya disahkan

dalam rapat paripurna DPR. Karena itu, pembentuk UU perlu lebih terbuka untuk

mensosialisasikan hasil pembahasan terutama pasal-pasal yang masih menjadi

polemik di masyarakat.147

Karena problematika pembaharuan hukum pidana ini merupakan suatu

upaya dalam pembangunan sistem hukum nasional, yakni dengan mengganti

produk-produk hukum dari kolonial yang juga merupakan tuntutan dan amanat

dari proklamasi. Akan tetapi, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh

hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah besar, dan masih berlangsung

sebagai bagian dari pembangunan hukum.

148

146 Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 31

Dalam penegakan hukum terhadap

147http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a42131b82c60/sekilas-sejarah-dan-problematika-pembahasan-rkuhp

148 Elwi Danil Op.cit, hlm. 20

Universitas Sumatera Utara

Page 102: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

92

tindak pidana korupsi memperlihatkan bahwa penegak hukum sebenarnya telah

berani dan bersungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. 149 Namun hingga

kini korupsi justru semakin akut atau semakin massif sehingga penegak hukum

tidak mampu memberantas secara tuntas bahkan hingga sekarang sampai setengah

tuntas pun tidak dapat tercapai.150

B. Pengertian Kebijakan Formulasi Hukum

Kebijakan kriminal (hukum pidana) dengan perkembangan kejahatan,

yaitu bahwa dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan

sistem, Romli Atmasasmita menyatakan terdapat hubungan pengaruh timbal balik

yang signifikan antara perkembangan kejahatan dan kebijakan kriminal yang telah

dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum. 151 Kebijakan Kriminal (Criminal

Policy) merupakan bagian dari Politik Hukum Pidana (Criminal Law Policy).

Kebijakan Kriminal merupakan cabang ilmu baru yang berobjekkan kejahatan di

mana hukum pidana dan Kriminologi telah lebih dahulu muncul sebelum

kebijakan kriminal ini. 152 Tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal

ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.”153

149 Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 272 150 Monang Siahaan, Loc.cit 151 Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit, hlm. 27 152 M.Ali Zaidan, Op.cit, hlm.99 153 Barda Nawawie Arief, Op.cit hlm.4

Universitas Sumatera Utara

Page 103: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

93

Dari yang telah dibahas sebelumnya mengenai kebijakan kriminal atau

(criminal policy) dapat disederhanakan menjadi 2 kebijakan yakni:154

1. Kebijakan Penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal

law application.” Dalam hal ini yang menjadi fokus adalah di bidang

hukum pidananya jadi dapat dikatakan ini adalah kebijakan hukum

pidana.

2. Lalu yang kedua adalah kebijakan non-penal (non-penal policy) yang

terdiri dari “prevention without punishment” dan “influencing views of

society on crime and punishment (mass media).”

Dikarenakan dalam hal kebijakan formulasi hukum pidana ini merupakan

bagian dari (penal policy) maka ada baiknya dengan menjabarkan terlebih dahulu

apa arti dari kebijakan atau politik hukum pidana.

Sudarto menyatakan:

Politik hukum merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. Politik hukum juga diartikan sebagai kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.155

Dari pengertian di atas Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa

melaksanakan “politik hukum pidana“ berarti mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti

154 Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana Mahmud Muliyadi 155 Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, Mitra Wacana Media,

Jakarta, 2015, hlm.27

Universitas Sumatera Utara

Page 104: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

94

memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau

menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan

dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan

demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana

mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan

suatu perundang-undangan pidana yang baik. 156 Sedangkan Marc Ancel

mengemukakan bahwa penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada

akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan tidak hanya kepada pembuat

undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang

dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.157

Melaksanakan politik hukum pidana berarti berusaha mewujudkan

peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada

waktu dan untuk masa-masa yang akan dating.

158

156 Barda Nawawie Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru) Op.cit hlm. 23 157 Barda Nawawie Arief, Masalah Penegakan Hukum &Kebijakan Penanggulangan

KejahatanOp.cit hlm. 23 158 M.Ali Zaidan, Op.cit hlm. 63

Usaha dan kebijakan untuk

membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat

dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik

hukum pidana juga merupakan bagian dari politik criminal (criminal policy),

politik hukum pidana ini identik dengan penanggulangan kejahatan.

Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi

Universitas Sumatera Utara

Page 105: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

95

kejahatan.159 Politik hukum pidana juga merupakan penentu dari garis kebijakan

yakni yang ditentukannya adalah :160

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu

dilakukan perubahan atau diperbaharui;

b. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan

pidana harus dilaksanakan;

c. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan.

Berdasarkan defenisi-defenisi mengenai politik hukum pidana maka dapat

disimpulkan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan arah dari

pemberlakuan hukum pidana akan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana

Indonesia di masa yang akan datang dengan melihat penegakannya pada saat ini.

Hal ini juga sangat berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling

tepat untuk diterapkan.161

Kebijakan formulasi hukum pidana yang berupaya untuk mencapai

tujuannya melalui kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum

pidana), yang digunakan sebagai pendekatan dalam penanggulangan kejahatan

tersebut. Hal ini merupakan pembentukan hukum baru yang mengkriminalisasikan

atau mendekriminalisasikan (kriminalisasi atau dekriminalisasi) suatu perbuatan

yang dapat dijadikan sebagai tindak pidana (kriminalisasi) sebagaimana yang

dirumuskan dalam undang-undang pidana dan dapat diancam dengan pidana; dan

159 Yesmil Anwar, Op.cit, hlm. 58 160Ibid, hlm. 59 161 Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana Mahmud Muliyadi

Universitas Sumatera Utara

Page 106: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

96

sebaliknya, yaitu dihilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu

perbuatan.162

Seperti yang dikatakan kebijakan formulasi dalam hukum pidana yang

menggunakan sarana penal atau melalui hukum pidana, dengan adanya tahap

formulasi maka upaya pencegahan atau penanggulangan kejahatan bukan hanya

tugas aparat penegak hukum akan tetapi juga menjadi tugas aparat pembuat

hukum. Bahkan kebijakan formulasi adalah tahap paling strategis dalam hal

penanggulangan kejahatan dari segi “penal policy”.

163

C. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi

dilihat dari RUU KUHP

Seperti yang sudah dibahas dalam pembahasan di atas kebijakan formulasi

ini tujuannya adalah agar ke depannya dapat mencapai hasil perundang-undangan

yang paling baik. Fungsi kebijakan formulasi hukum pidana dalam suatu

masyarakat ada beberapa yakni:164

1. Membentuk hukum baru;

2. Memperkuat hukum yang sudah ada;

3. Memperjelas batasan ruang lingkup fungsi hukum yang sudah ada.

Dari beberapa fungsi dari kebijakan formulasi di atas kita dapat melihat

dalam hal penanggulangan tindak pidana korupsi yang ada sekarang dan yang

162 Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit hlm. 27 163 Barda Nawawie Arief, Op.cit hlm. 75 164Muliyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Op.cit hlm. 30

Universitas Sumatera Utara

Page 107: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

97

akan atau sedang dibentuk yakni dengan adanya melaksanakan fungsi dari

membentuk hukum baru. Jika kita melihat dari segi membentuk hukum baru hal

tersebut sudah terlaksana dengan pembentukan RUU KUHP yakni memang dalam

RUU KUHP melakukan perubahan terhadap beberapa pasal yang diadopsi dalam

pasal-pasal yang terdapat di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

perubahan dalam pasal 2 ayat 1 dan juga perubahannya dalam RUU KUHP dan

beberapa pasal lain yang diubah berikut adalah beberapa pasal dalam RUU KUHP

yang diubah dari pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana

korupsi:

Pasal 688 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 3 Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:

Pasal 688 RUU KUHP:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Pasal 689 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 3 Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:

Pasal 689 RUU KUHP: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV.

Universitas Sumatera Utara

Page 108: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

98

Pasal 690 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 5 Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV setiap orang yang: c. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

d. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 691 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 12 B

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV setiap orang yang: c. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud

untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

d. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 699 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 12 B

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 109: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

99

(3) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: c. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,

pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

d. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh penuntut umum.

(4) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori V.

Pasal 700 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 12 C

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 699 tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(6) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(7) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(8) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 702 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 14 Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:

Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Bab ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Universitas Sumatera Utara

Page 110: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

100

Pasal 703 RUU KUHP yang rumusan ketentuannya berasal dari pasal 15 Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi isinya adalah berikut:

Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan dipidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 687, Pasal 688, Pasal 689 sampai dengan Pasal 702

Dan ada satu pasal yang baru di dalam RUU KUHP yakni adalah pasal 698. Pasal

ini adalah pasal yang mengkhususkan kepada orang-orang yang melakukan tindak

pidana atau pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.

5.000.000,00 berikut adalah isinya:

(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 690, Pasal 691, Pasal 692, Pasal 693, Pasal 694, Pasal 695, Pasal 696 dan Pasal 697 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak kategori II.

Dari beberapa pasal di atas telah dikemukakan pasal-pasal yang telah

diperbaharui dan yang menjadi perbedaan adalah:

a. Beberapa penggolongan kategori pidana denda terhadap tindak

pidana termasuk tindak pidana korupsi digolongkan di dalam

pasal 82 RUU KUHP;

b. Dalam naskah RUU KUHP mengenai tindak pidana korupsi

terbaru akan adanya penghilangan kata dapat di dalam pasal 687

dan pasal 688 RUU KUHP karena mengikuti putusan MK

25/PUU-XIV/2016 yang menitikberatkan adanya akibat delik

materiil. Dikarenakan dalam unsur merugikan negara harus

Universitas Sumatera Utara

Page 111: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

101

adanya ketegasan dan jikalau memakai kata dapat seperti halnya

perkiraan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

c. Dalam beberapa pasal juga ada yang ancaman pidana dendanya

di bagian minimal menjadi menurun dan bagian maksimal

ancaman pidananya tinggi

Jadi dari beberapa pasal-pasal yang sudah disebutkan di atas adalah bentuk

dari bagaimana akan berlakunya Undang-Undang kita ke depannya khususnya

dalam pengaturan tindak pidana korupsi. Dari segi semangat dan fungsi dari

kebijakan formulasi hukum pidana kita ketahui memang adalah hal yang memang

sudah mencakup dalam pembentukan hukum baru, namun pembentukan RUU

KUHP ini juga memunculkan kontroversial di kalangan para ahli hukum pidana

dan penegak hukum pidana khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal itu

terjadi karena disebabkan oleh banyak yang berpendapat pasal-pasal yang ada di

dalamnya memunculkan dampak bahwa akan berdampak kurang baik apalagi

dengan eksisnya tindakan represif KPK belakangan ini yaitu dengan tindakan

OTT yang dinilai cukup memperlihatkan bahwa kinerja pemberantasan korupsi

yang cukup efektif yang diperlihatkan oleh KPK seperti tidak ada yang dapat lolos

dari KPK.

Banyak yang salah sangka dan khawatir mengenai nasib KPK setelah

terbentuknya RUU KUHP ini akan langsung meniadakan Undang-Undang Tindak

Pidana Korupsi yang menjadi dasar dari bertindaknya KPK. Seperti yang

dikemukakan oleh Prof J.E. Sahetapy yang mengatakan

Universitas Sumatera Utara

Page 112: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

102

“bahwa kodifikasi tidak boleh diartikan seluruh tindak pidana, harus disusun dalam satu buku. Artinya, RUU KUHP harus dilakukan melalui proses pengkajian yang kritis. Dengan demikian, delik korupsi tidak layak dimasukan dalam RUU KUHP. Supaya tidak salah paham, kodifikasi adalah menghimpun semua peraturan yang ada dalam satu buku. Tapi itu tidak berarti tidak boleh ada peraturan di luar buku itu. Itu yang saya kira ada kesalahpahaman. Kodifikasi bisa saja dilakukan, tapi itu tidak berarti tidak boleh ada peraturan lain di luar kodifikasi.”165

Dalam bahan kuliah Dr Shinta Agustina dosen Universitas Andalas

mengatakan bahwasanya jikalau tindak pidana korupsi dimasukkan ke dalam

KUHP nasional nantinya akan menghilangkan sifatnya sebagai extraordinary

crime maka diharuskan untuk ditangani secara khusus. Instrument yang

seharusnya dapat bekerja secara optimal, cepat dan efektif maka tidak lagi ada

jikalau dimasukkan ke dalam RUU KUHP.

Dari beberapa ahli banyak yang kurang setuju dengan adanya RUU KUHP

memuat mengenai tindak pidana korupsi di dalamnya dikarenakan akan adanya

pemotongan terhadap wewenang yang dipegang oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi secara perlahan. Karena KPK tidak bisa berkerja jika tidak dengan

Undang-Undang Tindak pidana korupsi dan juga beberapa ahli takut mengenai

status tindak pidana korupsi akan menjadi ketentuan umum yang dimana

berakibat pada bagian dari cara-cara menyidik, menuntut atau mengadili akan

bersifat umum padahal ada bab khusus dalam RUU KUHP yang mengatur

mengenai tindak pidana khusus.

166

165

Dari pendapat yang dikatakan oleh

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5354e9ac8dcd0/pro-kontra-delik-tindak-pidana-korupsi-dalam-ruu-kuhp

166https://antikorupsi.org/sites/default/files/doc/Regulasi/TPK%20dalam%20RUU-KUHP-Shinta%20Agustina.pdf

Universitas Sumatera Utara

Page 113: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

103

beliau cukup beralasan dikarenakan selama ini KUHP hanya berisi tindak pidana

biasa dan belum ada bab khusus yang mengatur mengenai tindak pidana khusus.

Pada sudut pandang lain juga melihat bahwa memasukkan tindak pidana

korupsi ke dalam RUU KUHP juga dianggap blunder oleh penegak hukum seperti

halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikarenakan batasan ruang lingkup

hukumnya menjadi tidak jelas dikarenakan bias saja terjadinya antara Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi berseberangan dengan RUU KUHP. Dalam hal

lain juga KPK menyoroti bahwa jikalau suatu tindak pidana dikodifikasi maka

akan sulit dalam hal amandemennya dan hal yang ditakutkan adalah RUU KUHP

tidak dapat secara cepat mengikuti perkembangan zaman yang bisa saja

memunculkan berbagai modus operandi yang baru dalam melakukan tindak

pidana khususnya tindak pidana korupsi dan dianggap oleh pihak KPK adalah

tidak sesuai dengan semangat dari kebijakan hukum pidana itu sendiri.167

Beberapa pendapat di atas adalah dari pihak-pihak yang tidak setuju

mengenai masuknya delik korupsi di dalam RUU KUHP dan jika dilihat dari

sudut pandang pihak yang berbeda khususnya adalah tim dari penyusun RUU

KUHP itu sendiri yakni dari Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN). Mereka

berpandangan bahwasanya konsep dari RUU KUHP itu sendiri tidak ingin

melemahkan KPK tapi ingin mencapai dari atau mengekspresikan dari nilai-nilai

apa yang terkandung di masyarakat Indonesia saat ini dan juga

mengkonsolidasikan nilai-nilai budaya bangsa yang ada dalam Negara kita ini.

167https://nasional.tempo.co/read/1094959/10-alasan-kpk-tolak-masuknya-delik-

korupsi-dalam-rkuhp

Universitas Sumatera Utara

Page 114: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

104

Tim perumus RUU KUHP juga ingin menyeimbangkan antara nilai nasional dan

Internasional mereka juga mengadopsi kaidah-kaidah hukum internasional

terhadap pembentukan RUU KUHP.

Untuk itulah tiap tindak pidana akan dimasukkan ke dalam KUHP

nasional nantinya sebenarnya juga ini adalah cita-cita dari beberapa pakar hukum

pidana yang menginginkan bahwa adanya pembaharuan hukum khususnya

terhadap KUHP yang sudah lama dipakai dan dinilai tidak relevan lagi terhadap

perkembangan zaman. Hal ini lah yang membuat dimasukkannya tindak pidana

korupsi dan yang lain ke dalam RUU KUHP hal ini juga dalam rangka

rekodifikasi dan konsolidasi dan memang menurut pandangan salah satu tim ahli

penyusun RUU KUHP yakni Prof Eddy OS Hiariej memasukkan hukum pidana

khusus internal ke dalam RUU KUHP tidak akan menghilangkan sifat kekhususan

dari tindak pidana tersebut dan juga tidak menghilangkan sifat kewenangan

lembaga-lembaga khusus seperti KPK. Hal ini didasarkan pada argumentasi

teoretik yakni sebagai berikut:168

1. Delik korupsi, pelanggaran HAM berat, terorisme, dan narkotika berada

pada bab tindak pidana khusus;

2. Substansi delik-delik a quo hanyalah bersifat pidana pokok atau core

crime dan tidak menghapus Undang-Undang yang masih berlaku

sekarang;

3. Mengenai delik korupsi yang direformulasi hanyalah dalam Pasal 2 ayat

(1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13. Padahal, berdasarkan

168 Harian Kompas, Lex Specialis dalam Hukum Pidana hlm.7 terbit pada 12 Juni 2018

Universitas Sumatera Utara

Page 115: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

105

Undang-Undang tindak pidana korupsi ada 30 perbuatan yang

dikualifikasikan sebagai korupsi sementara yang direformulasi ada 5 yang

artinya 25 ketentuan yang lain yang berada dalam Undang-Undang Tindak

Pidana Korupsi masih tetap berlaku;

4. Berdasarkan pasal 729 RUU KUHP kewenangan KPK dan lembaga lain

masih tetap berlaku.

Melihat dari konsep atau rancangan yang sedang dirumuskan oleh Tim

penyusun RUU KUHP khususnya delik mengenai tindak pidana korupsi cukup

relevan sebagai kebijakan hukum pidana untuk pemberantasan atau

penanggulangan tindak pidana korupsi yang akan datang. Karena banyak dari

konsep-konsep yang sudah dirancang menyesuaikan dengan kebutuhan hukum di

zaman yang akan datang dan memang RUU KUHP yang dibentuk ini juga berasal

dari nilai-nilai budaya bangsa dan memang mewujudkan cita-cita mengenai

Indonesia harus mempunyai KUHP yang dibentuk oleh Negara sendiri.Namun

tidak dipungkiri memang dalam beberapa pasal masih terdapat beberapa yang

harus dan perlu lebih diperjelas lagi seperti halnya bentuk-bentuk gratifikasi yang

sekarang makin meluas dan beberapa ukuran minimum dan maksimum tindak

pidana juga belum sesuai dengan kesadaran dan budaya hukum masyarakat

Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Page 116: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

106

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Formulasi mengenai Undang-Undang Tindak Pidana korupsi atau

mengenai ketentuan Tindak Pidana Korupsi harus didasari oleh Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi yakni mencakup mengenai perbuatan

melawan hukum (formil dan materiil) dan dengan maksud memperkaya diri

sendiri, dan ditambah dengan beberapa unsur lain seperti merugikan

keuangan atau perekonomian Negara. Undang-Undang Tindak Pidana

Korupsi juga memberikan pengelompokan terhadap setiap tindak pidana

korupsi yang berbeda-beda jenis yakni kelompok tindak pidana penyuapan,

kelompok tindak pidana perbuatan curang, kelompok tindak pidana

memalsukan buku atau daftar pemerikasaan, kelompok tindak pidana dan

kelompok tindak pidana yang menerima hadiah atau janji.

2. Kebijakan formulasi hukum pidana khususnya terhadap tindak pidana

korupsi ini merupakan 2 hal yang sekaligus dilakukan yakni dalam rangka

membangun sistem hukum pidana nasional yang kuat yakni dengan

memperbaharui KUHP juga dalam rangka memperbaharui aturan yang

mengatur tentang tindak pidana korupsi dikarenakan sudah banyak yang

menjadi perdebatan seperti kata-kata dapat merugikan Negara yang menjadi

celah bagi para pelaku untuk dapat melakukan pembelaan karena sifat

dalam kata dapat seperti hanya berkira-kira. Dalam kebijakan formulasi

106

Universitas Sumatera Utara

Page 117: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

107

mendatang juga khususnya mengenai korupsi yang ada di dalam RUU

KUHP merupakan gambaran dari semangat pembaharuan hukum pidana

yakni dengan pendekatan yang berorientasi pada nilai dan diaplikasikan

dalam bentuk kebijakan hukum pidana. Karena kali ini KUHP yang

dibangun adalah berasal dari nilai-nilai bangsa dan budaya Indonesia

Sendiri dan yang dimasukkan ke dalam KUHP sebagai corong hukum

pidana hanya memasukkan core crime dan masih memberi jalan bagi

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi untuk tetap diberlakukan.

B. Saran

1. Perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang Tindak pidana korupsi

sehingga sesuai dengan perkembangan zaman yang memunculkan

berbagai modus operandi baru. Perubahan yang dimaksudkan adalah

dengan setidaknya memperbaharui undang-undang tindak pidana korupsi

yang sekarang ini secara intensif. Dalam formulasi hukum pidana yang

saat ini dipakai yakni Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memang

sudah cukup efektif dalam penegakan hukumnya dan kalau dilihat jejak

penggunaannya cukup efektif dengan adanya OTT yang diberlakukan

KPK. Akan tetapi tetap harus adanya pembaharuan di bagian Undang-

Undangnya.

2. Diharapkan dalam RUU KUHP yang sekarang memang perlu harus benar-

benar dirumuskan secara jelas karena dalam rangka mengamandemen atau

merevisinya kembali akan sangat sulit berbeda dengan KUHP yang ada di

Universitas Sumatera Utara

Page 118: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

108

Belanda yang memang secara intensif dilakukan pembaharuan. Jikalau ada

rencana memang ingin memperkuat bagian pencegahan oleh DPR sebagai

masukan adalah dengan memberikan kewenangan lebih terhadap lembaga

pendukung dari KPK seperti Ombudsman, PPATK dan barbagai lembaga

lain. Yakni ada beberapa yang masih dikategorikan belum sempurna oleh

Panja DPR mengenai RUU KUHP seperti perluasan arti gratifikasi,

maksud dari siapa saja pegawai negeri sipil dan banyak lagi. Terlepas dari

hal itu RUU KUHP ini juga harus dirancang agar terhadap kebutuhan

sosial khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di masa

yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

Page 119: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Ali, Mahrus, 2016, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta.

Anwar,Yesmil,2008, Pembaharuan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana

Gramedia Widiawarsana Indonesia, Jakarta.

Biro Hukum Dan Humas Badan Urusan Administrasi Republik Indonesia, 2015,

Kompilasi Penerapan Hukum Oleh Hakim dan Strategi

Pemberantasan Korupsi, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Rajawali Grafindo

Persada, Jakarta.

______________, 2008, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta.

______________, 2017, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Rajawali Pers,

Jakarta.

Danil, Elwi, 2011, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT

Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Departemen pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa, Balai

Pustaka, Jakarta.

Dinar, Ahmad, Syaiful, Chairuddin dan Syarif Fadillah, 2008, Strategi

Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,

Refika Aditama, Bandung.

Ediwarman, 2015, Monograf metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan

Skripsi, Tesis, dan Disertasi, Sofmedia, Medan.

Effendy, Marwan, 2010, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance,Timpani

Publishing, Jakarta.

Universitas Sumatera Utara

Page 120: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

______________, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Referensi, Jakarta.

Ekaputra, Muhammad, 2010, Dasar-dasar Hukum pidana, Medan,USU press, Medan.

Hamdan, H.M, 2008, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapus Pidana,

USU Press, Medan.

Hamzah, Andi, 2013, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Kristian dan Yopi Gunawan, 2015, Tindak Pidana Korupsi Kajian terhadap

harmonisasi antara hukum nasional dan The united Nations

Convention Against Corruption (UNCAC), Refika Aditama,

Bandung.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,

Bandung.

Muliyadi, Mahmud, 2008, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan

Non-Penal Policy dalam Penanggulangan kejahatan kekerasan,

Pustaka Bangsa Press, Medan.

_______________, Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana

Nawawie Arief, Barda, 2000, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan

Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang.

____________________, 2001, Masalah Penegakan Hukum &Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan , PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

____________________, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung.

___________________, 2008, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana

(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana,

Jakarta.

Universitas Sumatera Utara

Page 121: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

Pambudi, Ninuk Marniana, 2011, Reformasi Saja Tak Cukup Butuh Transformasi

Tata Kelola, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Pawenei, Muliyati dan Rahmanuddin Tomalili, 2015, Hukum Pidana, Mitra

Wacana Media, Jakarta.

Prayudi, Guse, 2010, Tindak Pidana Korupsi Dipandang Dalam Berbagai Aspek,

Pustaka Pena, Yogyakarta.

Rahmah, A dan Amiruddin Pabbu, 2015 Kapita Selekta Hukum Pidana, Mitra

Wacana Media, Jakarta.

Salam, Faisal, 2004, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Pustaka,

Bandung.

Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi, 2008, Metode Penelitian Survei, Pustaka

LP3ES Indonesia, Jakarta.

Siahaan, Monang, 2016, Pembaharuan Hukum Indonesia, Grasindo, Jakarta.

Subekti dan Tjitrosodibio, 1973, Kamus Hukum, Penerbit Pradnya Paraminta,

Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2003, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Surachmin dan Dr. Suhandi, 2011, Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi

Mengetahui Untuk Mencegah, Sinar Grafika, Jakarta.

W.J.S, Poerwadinata, 1976, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai

Pustaka, Jakarta.

Yunara, Edi, 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Universitas Sumatera Utara

Page 122: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

Zaidan, M. Ali, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Grafika,

Jakarta.

Undang-Undang:

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Internet:

https://antikorupsi.org/sites/default/files/doc/Regulasi/NARASI%20Power%20Point-Agustinus%20Pohan.pdf, 9 Mei 2018 Jam 9:50 WIB.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a42131b82c60/sekilas-sejarah-dan-problematika-pembahasan-rkuhp 1 Juni 2018 Jam 22:15 WIB.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5354e9ac8dcd0/pro-kontra-delik-tindak-pidana-korupsi-dalam-ruu-kuhp 5 Juni 2018 Jam 21:00 WIB.

https://antikorupsi.org/sites/default/files/doc/Regulasi/TPK%20dalam%20RUU-KUHP-Shinta%20Agustina.pdf 7 Juni 2018 Jam 18:30 WIB. https://nasional.tempo.co/read/1094959/10-alasan-kpk-tolak-masuknya-delik-korupsi-dalam-rkuhp 10 Juni 2018 Jam 16:45 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Page 123: KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM …

Sumber Lainnya:

Harian Kompas, Lex Specialis dalam Hukum Pidana hlm.7 terbit pada 12 Juni

2018

Universitas Sumatera Utara