KEBIJAKAN DONALD TRUMP MELARANG MASUKNYA …
Transcript of KEBIJAKAN DONALD TRUMP MELARANG MASUKNYA …
KEBIJAKAN DONALD TRUMP MELARANG MASUKNYA PENGUNGSI
KE AMERIKA SERIKAT DITINJAU DARI KONVENSI 1951 DAN
PROTOKOL 1967 TENTANG STATUS PENGUNGSI
JURNAL
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Budyanto
NIM : 130200291
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
KEBIJAKAN DONALD TRUMP MELARANG MASUKNYA PENGUNGSI
KE AMERIKA SERIKAT DITINJAU DARI KONVENSI 1951 DAN
PROTOKOL 1967 TENTANG STATUS PENGUNGSI
JURNAL
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Budyanto
NIM : 130200291
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Disetujui Oleh :
Penanggung Jawab
Abdul Rahman, SH.,MH
NIP : 195710301984031002
Editor
Dr.Sutiarnoto, SH.,M.Hum
NIP : 195610101986031003
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
ABSTRAK
Budyanto*)
Dr. Sutiarnoto, SH.M.Hum **)
Arif, SH.MH ***)
Pada masa sekarang ini, masalah pengungsi menjadi masalah yang
menjadi perhatian di dunia Internasional. Konflik yang berkepanjangan di negara
asal para pengungsi menjadi pemicu terjadinya pengungsian besar-besaran. Akan
tetapi Amerika Serikat dibawah pemerintahan Donald Trump mengeluarkan
Perintah Eksekutif yang melarang masuknya Imigran dari 7 Negara Mayoritas
Muslim dan semua Pengungsi dari negara manapun yang kemudian menjadi
sebuah kebijakan yang kontroversial tersebut. Adapun permasalahan dalam
skripsi ini adalah bagaimana perlindungan Hukum Internasional bagi para
pengungsi, bagaimana kedaulatan sebuah negara dikaitkan dengan daya ikat
Hukum Internasional serta pandangan Konvensi 1951 dan Protokol 1967 terhadap
kebijakan Donald Trump.
Penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan sifat
deskriptif. Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Metode pengumpulan data
menggunakan studi kepustakaan. Analisa data dilakukan secara kualitatif.
Pengungsi dan pengungsian telah ada sejak lama di dalam peradaban
manusia. Pengungsi merupakan sekelompok manusia yang rentan akan tindak
kekerasan dan penganiayaan baik oleh negara asalnya maupun negara penerima.
Pengaturan tentang perlindungan untuk para pengungsi di dalam dunia
Internasional merupakan sebuah kebiasaan Internasional yang telah ada sejak
lama dan secara khusus diatur di dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang
Status Pengungsi. Kedaulatan Negara dan Hukum Internasional terlihat saling berseberangan satu sama lain, sebab tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi
daripada sebuah negara. Itulah sebabnya, sulit bagi Hukum Internasional untuk
benar-benar mengikat sebuah negara. Amerika Serikat merupakan pihak di dalam
Protokol 1967, namun Donald Trump mengeluarkan Perintah Eksekutif yang
melarang masuknya Pengungsi ke Amerika Serikat. Apa yang dilakukan oleh
Donald Trump tidak etis di dalam kebiasaan Internasional. Sebab, Amerika
merupakan pihak di dalam Protokol 1967 telah sepakat untuk tunduk dibawah
Protokol tersebut. Seharusnya sebagai negara yang meratifikasi Protokol tersebut
maka Amerika Serikat tidak begitu saja mengabaikan ketentuan-ketentuan di
dalam Konvensi dan Protokol ini.
Kata Kunci: Perlindungan Pengungsi, Pengungsi, Konvensi 1951 dan
Protokol 1967, Hak Asasi Manusia
__________________
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Budyanto *)
Dr. Sutiarnoto, SH.M.Hum **)
Arif, SH.MH ***)
Nowadays, the problem of refugees is a problem in our international
world. The prolonged conflict in the refugee country's home has triggered a
massive refugee camp. The United States under the Donald Trump government
issue an executive order prohibit entry of Immigrants from 7 Muslim Majority
Countries and all Refugees from any country which became a controversial
policy. As the question in this paper is how the law of International Law for the
refugees, how the sovereignty of a state with the binding force of International
Law and the views of the 1951 Convention and 1967 Protocol against Donald
Trump policy.
The research used is normative juridical with descriptive nature. The
data used in this study are primary legal materials, secondary legal materials and
tertiary legal materials. Methods of data data using literature study. Data analysis
is done qualitatively.
Refugees have existed long in human civilization. Refugees are groups
of vulnerable people that threatened by violence and ill-treatment by both their
home country and receiving country. The regulatory arrangements for internally
displaced persons are an international custom that has existed within the time of
the 1951 Convention and 1967 Protocol on Refugee Status. The Sovereignty of
the State and International Law are seen opposed from one another, because there
is no higher power than a country. That is why, it is difficult for International Law
to actually eradicate a country. The United States was a party to the 1967
Protocol, but Donald Trump issued an Executive order that prohibiting Refugees
entering the United States. What Donald Trump does is unethical in international
customs. America is a party to the 1967 Protocol which has agreed to under the
Protocol. Should as a country ratify the Protocol, the United States obey directly
on the provisions of the Conventions and this Protocol.
Keywords: Refugee Protection, Refugees, 1951 Convention and 1967
Protocol, Human Rights
__________________________
* Student of Faculty of Law University of North Sumatra
** Advisor Lecturer I, Lecturer Faculty of Law University of North Sumatra
*** Advisor Lecturer II, Lecturer Faculty of Law University of North
Sumatra
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah pengungsi belakangan ini bagaikan sebuah fenomena yang
lumrah kita dengar dan kita lihat pada saat ini. Media-media pemberitaan baik
radio, televisi hingga portal berita berbasis online pun seakan berlomba-lomba
membahas tentang masalah pengungsi ini. Pengungsi adalah orang yang terpaksa
meninggalkan negara asalnya karena rasa takut mendasar dan mengalami
penindasan (persecution). Rasa takut yang mendasar inilah yang membedakan
pengungsi dengan jenis migran lainnya, seberat apapun situasinya.
Mereka tidak memiliki pilihan lagi selain harus mengungsi keluar dari
negara asal mereka yang terdampak perang saudara, genosida, bencana alam,
kemiskinan dan kelaparan. Mereka kemudian melakukan perantauan ke negara-
negara yang dirasa akan memberikan mereka perlindungan serta rasa aman dan
nyaman.
Belakangan ini, dunia dikejutkan dengan kebijakan Presiden Amerika
Serikat, Donald Trump yang mengeluarkan sebuah perintah eksekutif yang intinya
melarang penerimaan imigran dari 7 Negara mayoritas Muslim serta pengungsi
untuk masuk ke Amerika Serikat. Hal ini sudah ia utarakan sejak masa kampanye-
nya. Trump seolah ingin menunjukkan bahwa apa yang dia kampanyekan selama
masa kampanye bukan hanya bualan belaka, dan benar saja, ia wujudkan ketika
menjadi Presiden Amerika Serikat sekarang. Berikut adalah isi dari perintah
eksekutif tersebut dikutip dari NBC News:
“Protecting the Nation From Foreign Terrorist Entry Into the United States”
Signed: Jan. 27, 2017
The order suspends the entry of immigrants from seven Muslim-majority countries
— Syria, Iran, Iraq, Libya, Sudan, Yemen and Somalia — for 90 days and stops
all refugees from entering the country for 120 days. Syrian refugees are banned
indefinitely. During the time of the ban, the secretary of homeland security and
the secretary of state will review and revise the refugee admission process.
Also in the order is the suspension of Obama's 2012 Visa Interview Waiver
Program, which allowed frequent U.S. tourists to bypass the visa interview
process.
White House officials have made a number of contradictory statements, at
times calling the order a "ban" and at other times referring to it as a "travel
restriction." After the order was signed, thousands of protesters popped up at
airports across the country to denounce it.1
Setelah Trump mengeluarkan kebijakan kontroversialnya, gelombang protes
berdatangan, baik di dalam negeri hingga luar negeri Amerika Serikat. Dalam
perintah eksekutif itu, Donald Trump akan melarang masuknya imigran-imigran
yang berasal dari 7 Negara mayoritas Muslim ( Suriah, Iran, Irak, Libya, Sudan,
Yaman dan Somalia ) selama 90 hari sejak perintah eksekutif itu ditandatangani
dan Trump juga menghentikan sementara program penerimaan pengungsi untuk
masuk ke Amerika Serikat selama 120 hari sejak perintah eksekutif itu
1http://www.nbcnews.com/politics/white-house/here-s-full-list-donald-trump-s-executive-
orders-n720796 diakses tanggal 29 Maret 2017.
dikeluarkan. Terkhusus untuk pengungsi Suriah, belum ditentukan jangka waktu
yang pasti kapan larangan itu akan dicabut.
Para pengungsi Suriah, mereka adalah orang-orang yang tidak lagi
mendapatkan rasa aman dan nyaman di negara asal mereka. Kekacauan sungguh
melanda Suriah. Di saat yang bersamaan, Amerika memberlakukan pelarangan
masuknya pengungsi Suriah ke Amerika Serikat.
Kebijakan eksekutif pertama Donald Trump yang ia keluarkan pada
tanggal 27 Januari 2017 telah ditolak oleh Hakim Pengadilan Federal Amerika
Serikat. Pemerintahan Donald Trump melakukan banding terhadap Pengadilan
Federal Amerika Serikat , namun perintah eksekutif milik Donald Trump tetap
ditangguhkan. Dikutip dari Kompas2,Pengadilan banding federal Amerika Serikat,
Jumat pagi WIB (10/2/2017), memutuskan, kebijakan "anti-imigran" yang diambil
Presiden Donald Trump tetap ditangguhkan. Putusan bulat dari panel tiga hakim
ini sekaligus mengartikan, warga dari tujuh negara mayoritas Muslim akan terus
dapat melakukan perjalanan ke AS. Hal itu mengabaikan perintah eksekutif
Trump bulan lalu.
Namun , Donald Trump tidak menyerah. Dia masih tetap bersikeras
mempertahankan perintah eksekutifnya dan melakukan revisi terhadap perintah
eksekutifnya yang telah ditolak oleh Pengadilan Federal Amerika Serikat. Di
2
http://internasional.kompas.com/read/2017/02/10/06594231/banding.trump.gagal.hakim.
tolak.pemberlakuan.kebijakan.anti-imigran. diakses tanggal 19 April 2017.
dalam perintah eksekutifnya yang baru, Trump mengeluarkan Irak dari daftar
negara yang dilarang masuk ke Amerika Serikat.3
Akan tetapi, seorang Hakim di distrik Hawaii, Derrick Watson kembali
menolak revisi perintah eksekutif milik Donald Trump tersebut. Sebab,
menurutnya revisi dari perintah eksekutif tersebut masih identik dengan perintah
eksekutifnya yang pertama dan ini dianggap melanggar konstitusi Amerika
Serikat.4
PBB ( Perserikatan Bangsa-Bangsa) sendiri sebenarnya telah memiliki
badan khusus untuk menangani segala sesuatu yang berkaitan dengan pengungsi
yaitu UNHCR / United Nations High Comissioner for Refugees. Tujuan utamanya
adalah untuk melindungi hak – hak dan keamanan pengungsi. UNHCR bekerja
untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencari suaka dan
mendapatkan suaka yang aman di negara lain, dengan pilihan selanjutnya untuk
kembali ke negara asalnya secara sukarela, diintegrasi secara lokal atau
ditempatkan di negara ketiga. UNHCR juga dimandatkan oleh Majelis Umum
PBB untuk membantu dan mencari solusi bagi orang – orang tanpa
kewarganegaraan5.
UNHCR sendiri telah mengecam apa yang dilakukan oleh Donald Trump,
"Tentu saja UNHCR percaya bahwa pengungsi harus ditawarkan bantuan,
3
https://news.detik.com/internasional/3440074/trump-teken-revisi-kebijakan-imigrasi-
warga-irak-kini-bisa-ke-as diakses tanggal 19 April 2017 4
https://news.detik.com/internasional/d-3448167/hakim-hawaii-bekukan-revisi-kebijakan-
imigrasi-trump diakses tanggal 19 April 2017.
5www.unhcr.or.id/id/tentang-unhcr diakses tanggal 29 Maret 2017.
perlindungan, peluang untuk mendapatkan pemukiman kembali, tanpa
memandang ras, agama atau etnis," kata juru bicara UNHCR, Vannina
Maestracci.6 Akan tetapi, Trump seolah-olah menutup matanya dari keberadaan
PBB, UNHCR dan gelombang pendemo yang menentang serta mengecam keras
kebijakannya yang sangat kontroversial tersebut.
Dalam Konvensi PBB tahun 1951 dan Protokol 1967 tentang Status
Pengungsi pun telah diatur tentang hal tersebut, seperti perlindungan terhadap
hak-hak pengungsi dan bagaimana seharusnya perlakuan negara penerima
terhadap para pengungsi. Terlebih lagi, Amerika Serikat merupakan salah satu
pihak yang turut serta menandatangani Protokol 1967 tentang Status Pengungsi.
Setiap negara mempunyai tugas umum untuk memberikan perlindungan
internasional sebagai kewajiban yang dilandasi hukum internasional, termasuk
hukum hak asasi internasional dan hukum kebiasaan internasional. Prinsip non-
refoulement sebagaimana tercantum dalam pasal 33 Konvensi mengenai Status
Pengungsi 1951 merupakan aspek dasar hukum pengungsi yang melarang negara
untuk mengusir atau mengembalikan seseorang ke negara asalnya dimana
kehidupan dan kebebasannya akan terancam, dan oleh karenanya mengikat semua
negara yang menjadi peserta Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi.7
Berdasarkan fakta-fakta dan opini-opini yang ada diatas, penulis tertarik
untuk membahas dan melakukan penelitian terkait masalah ini dengan judul
6https://international.sindonews.com/read/1174913/41/pbb-kecam-keputusan-trump-soal-
penyiksaan-dan-pengungsi-1485531914 diakses tanggal 29 Maret 2017.
7Wagiman. 2012. Hukum Pengungsi Internasional. (Sinar Grafika, Jakarta Timur). Hlm.
120.
“Kebijakan Donald Trump Melarang Masuknya Pengungsi ke Amerika Serikat
Ditinjau Dari Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi”
B. Perumusan Masalah
Adapun yang merupakan permasalahan yang timbul dalam penulisan ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan Hukum Internasional bagi para pengungsi?
2. Bagaimana hubungan kedaulatan negara dengan kewajiban tidak
mengembalikan pengungsi ke wilayah dimana kehidupannya terancam?
3. Bagaimana pandangan Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status
Pengungsi terhadap kebijakan Donald Trump?
C. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis
normatif adalah pendekatan yang melakukan analisa hukum atas peraturan
perundang-undaangan dan keputusan hakim dalam penulisan ini pendekatan
yuridis normatif ini dilakukan untuk menelti norma-norma hukum yang
berlaku yang mengatur tentang perlindungan pengungsi sebagaimana yang
terdapat di dalam perangkat hukum nasional maupun perangkat hukum
Internasional.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian bersifat deskriptif yaitu metode
penelitian yang menggambarkan semua data kemudian dianalisis dan
dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berlangsung dan
selanjutnya mencoba untuk diberikan pemecahan masalahnya.
3. Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Bahan hukum primer,yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang
merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini. Bahan
hukum Primer yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Konvensi 1951
dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi serta konvensi- konvensi
internasional yang berkaitan dengan masalah pengungsi, kemanusiaan serta
perjanjian internasional.
b. Bahan hukum sekunder,yaitu bahan hukum yang menunjang dan member
penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, jurnal ilmiah
dan pendapat para ahli hukum internasional yang terkait dengan masalah
pengungsi.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum dan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis melalui Penelitian Pustaka
(Library Research). Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mempelajari
dan menganalisis berbagai macam bahan bacaan yang berkaitan dengan objek
kajian dalam skripsi ini antara lain berupa buku, jurnal, dokumen-dokumen,
artikel dan karya-karya tulis dalam bentuk media cetak dan media internet.
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisa data-data
yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya maupun tidak
langsung (internet). Dengan demikian akan diperoleh kesimpulan yang lebih
terarah dari pokok bahasan.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan, dianalisis dengan
deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara
menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Kualitatif yaitu
metode yang diperoleh menurut kualitas kebenarannya kemudian
dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.
13
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Tentang Pengungsi
1. Pengertian Pengungsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , Pengungsi berasal dari kata
dasar ungsi ( ung·si ) yang artinya pergi menghindarkan (menyingkirkan) diri dari
bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang dirasa aman). Jadi, kata
pengungsi berarti seseorang yang mengungsi dari negara asalnya pergi ke negara
lain untuk menyelamatkan diri dan mencari rasa aman.
Dalam Konvensi 1951 terdapat pengertian Pengungsi di dalam Pasal 1 .
Menurut pasal tersebut maka “pengungsi” berlaku bagi setiap orang yang :
a. Telah dianggap sebagai pengungsi menurut Perjanjian 12 Mei 1926 dan
Perjanjian 30 Juni 1928, atau Konvensi 28 Oktober 1933, Protokol 14
September 1939 atau Konstitusi Organisasi Pengungsi Internasional ;
b. Sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 serta
disebabkan rasa takut yang benar-benar berdasarkan akan persekusi karena
alasan-alasan ras, agama , kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial
tertentu atau pendapat politik , berada di luar negara asal kewarganegaraannya
dan tidak dapat, atau disebabkan rasa takut yang dialami yang bersangkutan
tidak mau memanfaatkan perlindungan negara tersebut , atau mereka yang
tidak berkewarganegaraan dan sebagai akibat dari peristiwa tersebut berada di
luar negara bekas tempat tinggalnya, semula tidak dapat akan disebabkan rasa
ketakutan, tidak bersedia kembali ke negara itu;
14
c. Dalam hal seseorang yang memiliki lebih dari satu kewarganegaraan, istilah
“negara kewarganegaraan-nya” akan berarti masing-masing negara, dimana
dia menjadi warga negara, dan seseorang tidak akan dianggap tidak
mendapatkan perlindungan negara kewarganegaraannya bila, tanpa adanya
alasan yang dapat diterima, didasarkan rasa takut yang benar-benar ia alami
tidak memanfaatkan perlindungan salah satu dari negara dimana dia adalah
warga negaranya.8
2. Macam-macam Pengungsi
Haryo Mataram dalam Prasetyo Hadi membagi dua macam Refugees (
Pengungsi ) , yaitu Human Rights Refugees dan Humanitarian Refugees :9
a. Human Rights Refugees adalah pengungsi yang (terpaksa) meninggalkan
negara atau kampung halamannya karena adanya “fear of being persecuted”,
disebabkan masalah ras, agama, kebangsaan, atau keyakinan politik.
b. Humanitarian Refugees adalah pengungsi yang terpaksa meninggalkan
negara atau kampung halamannya karena merasa tidak aman disebabkan
adanya konflik bersenjata yang berkecamuk dalam negaranya. Pada
umumnya, di negara tempat mengungsi.
B. Tinjauan Umum tentang Kedaulatan Negara
1. Pengertian Umum Kedaulatan Negara
Kata daulat dalam pemerintahan berasal dari kata supremus (bahasa
Latin), daulah (bahasa Arab), sovereignity (bahasa Inggris), souvereiniteit (bahasa
8Sulaiman Hamid, Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional ,(PT Rajagrapindo
Persada: Jakarta, 2002) hlm. 138.
9Arfan Effendi, Konsep Dasar Hukum Pengungsi Internasional
http://www.duniahukum.info/2017/01/hukum-pengungsi-internasional.html?m=0 diakses tanggal
9 Mei 2017.
15
Prancis), dan sovranita (bahasa Italia) yang berarti “kekuasaan tertinggi”.
Kedaulatan, “sovereignity” merupakan salah satu syarat berdirinya suatu negara.
Seperti diketahui bahwa salah satu syarat berdirinya negara adalah adanya
pemeritahan yang berdaulat. Dengan demikian, pemerintah dalam suatu negara
harus memiliki kewibawaan (authority) yang tertinggi (supreme) dan tak terbatas
(unlimited).10
2. Daya Ikat Hukum Internasional dikaitkan dengan Kedaulatan Negara
Setelah kita membahas tentang pengertian kedaulatan sebuah negara
diatas, maka dalam poin ini, kita akan membahas tentang seberapa mengikatnya
Hukum Internasional jika kita kaitkan dengan Kedaulatan Negara.
Menurut S.M. Noor, Hukum Internasional merupakan Hukum yang
lemah. Meskipun eksistensi hukum internasional sudah tidak perlu diragukan lagi,
namun pandangan umum yang masih menghinggapi orang yang awam hukum,
bahkan juga kalangan Para ahli hukum pada umumnya, bahwa hukum
internasional merupakan hukum yang lemah (weak law).11
Lemah karena Hukum
Internasional tidak seperti layaknya Hukum Nasional yang memiliki sanksi tegas
dan nyata terhadap yang melanggarnya. Sebenarnya hal semacam ini dapat kita
temui di dalam fakta dunia Internasional yang semakin membuktikan bahwa
Hukum Internasional sebenarnya memang merupakan hukum yang lemah seperti
yang dikemukakan oleh S.M. Noor ,peristiwa-peristiwa yang pada dasarnya jelas-
jelas merupakan pelanggaran atas kaidah ataupun kebiasaan hukum internasional,
tetapi pelakunya (negara-negara yang melanggar) tetap saja tidak dikenai sanksi
10https://kiftiyaningsih.wordpress.com/pertemuan-3/materi-bab-iii/d-kedaulatan-negara-
republik-indonesia/ diakses tanggal 22 Mei 2017.
11
http://www.negarahukum.com/hukum/hukum-internasional-merupakan-hukum-yang-
lemah.html diakses tanggal 31 Mei 2017.
16
ataupun tidak mendapatkan tindakan tegas. Apalagi jika negara tersebut
merupakan negara besar dan kuat secara dunia Internasional, Hukum Internasional
seperti tidak ada apa-apanya. Terlihat bahwa adanya diskriminasi bahkan di dunia
Internasional.
3. Daya Ikat Perjanjian Internasional Bagi Negara Pihak
Negara adalah salah satu subyek hukum Internasional yang memiliki
kemampuan penuh untuk mengadakan atau untuk duduk sebagai pihak dalam
suatu perjanjian internasional. Hak suatu negara untuk mengadakan perjanjian
internasional adalah merupakan atribut dari kedaulatan yang dimiliki oleh suatu
negara. Negara dapat mengadakan perjanjian apapun tanpa ada hak dari pihak lain
untuk membatasi maupun melarangnya.12
Induk dari Perjanjian Internasional adalah Konvensi Wina 1969 tentang
Hukum Perjanjian. Sebelum adanya Konvensi Wina 1969, perjanjian antar negara,
baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan
asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut
terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya.13
C. Kebijakan Donald Trump dikaitkan dengan Konvensi 1951 tentang
Status Pengungsi dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi
Kebijakan Donald Trump bukan hanya menyakiti hati para pengungsi
yang terdampak untuk masuk ke Amerika, namun kebijakannya sungguh melukai
semangat dunia Internasional yang selalu menggaungkan semangat Hak Asasi
Manusia. Namun, kali ini Donald Trump telah jelas-jelas mengabaikan semangat
12Parthiana,I Wayan. 2002. Perjanjian Internasional Bagian 1. (PT. Mandar Maju :
Bandung). Hlm. 19.
13
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4268/konvensi-wina-1969-induk-
pengaturan-perjanjian-internasional diakses tanggal 23 Juni 2017.
17
tersebut dan seolah tidak memperdulikan nasib tidak beruntung yang menimpa
para pengungsi.
Trump di dalam mengeluarkan perintah eksekutifnya ini menyatakan
bahwa perintah eksekutifnya adalah karena alasan keamanan di Amerika Serikat.
Meskipun alasan ini masih belum ada bukti kuat untuk mendukungnya dan
mengingat yang telah kita bahas pada bahasan diatas bahwa Amerika merupakan
pihak di dalam Protokol 1967 dan bahkan telah meratifikasi Protokol tersebut,
maka sudah seharusnya Donald Trump sadar betul akan hal tersebut.
Amerika tidak meratifikasi Konvensi 1969, maka mereka tidak terikat
dengan Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian yang artinya juga
secara otomatis Asas Hukum Pacta Sunt Servanda yang tercantum di dalam pasal
26 Konvensi tersebut secara Hukum Internasional tidak mengikat mereka, namun
Pacta Sunt Servanda merupakan sebuah asas yang sudah diakui sejak lama di
dalam dunia Internasional dan Amerika juga menganggap Konvensi Wina
tersebut merupakan kebiasaan Internasional.
Amerika Serikat merupakan pihak di dalam Protokol tahun 1967 tentang
Status Pengungsi dan faktanya juga adalah Amerika telah meratifikasi Protokol
1967 tentang Status Pengungsi tersebut. Artinya, menjadi negara yang
meratifikasi Protokol tersebut maka menjadikan Amerika telah setuju untuk
menjalankan segala isi Protokol tahun 1967 tentang Status Pengungsi tersebut
sesuai dengan kebiasaan Internasional.
Menurut Konvensi Wina, ratifikasi adalah salah satu cara untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian25 dan lazimnya selalu didahului dengan
penandatanganan. Perjanjian yang berlaku tanpa melalui persyaratan ratifikasi
18
biasanya mulai berlaku pada saat penandatanganan dan dalam berbagai perjanjian
selalu dirumuskan sebagai berikut: “The present agreement shall come into force
on the date of its signing”.14
Kita telah sampai pada fakta bahwa Amerika merupakan negara yang
meratifikasi Protokol tahun 1967 tentang Status Pengungsi. Selanjutnya juga kita
akan mendapati fakta bahwa di dalam Pasal 1 ayat ( 1 ) Protokol 1967 tentang
Status Pengungsi tersebut juga telah jelas termaktub bahwa “ Negara-negara Pihak
pada Protokol ini berjanji untuk menerapkan Pasal 2 sampai dengan Pasal 34
Konvensi pada para pengungsi sebagaimana didefinisikan sebagai berikut.”
Pasal tersebut kembali menegaskan fakta bahwa meskipun Amerika bukan
merupakan pihak di dalam Konvensi tahun 1951, akan tetapi Amerika menjadi
pihak di dalam Protokol 1967 tentang Status Pengungsi yang menjadikan mereka
harus menjalankan Pasal 2 sampai dengan Pasal 34 di dalam Konvensi tahun 1951
tentang Status Pengungsi.
Mari kita kembali lagi kepada Konvensi tahun 1951 tentang Status
Pengungsi. Jika kita kaitkan dengan kebijakan Donald Trump yang ia tuangkan di
dalam Perintah Eksekutifnya, maka jelas Trump telah mengabaikan ketentuan-
ketentuan yang ada di dalam Konvensi tahun 1951 tentang Status Pengungsi. Di
dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi , Donald Trump telah
mengabaikan prinsip Non-Refoulement yang tercantum di dalam pasal 3315
:
A. Tidak ada Negara Pihak yang akan mengusir atau mengembalikan (“refouler”)
pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana hidup
14
Damos Dumoli Agusman, 2010 , Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan
Praktek, (PT. Refika Aditama, Bandung). 15 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi.
19
atau kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan,
keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya.
B. Namun, keuntungan ketentuan ini tidak boleh diklaim oleh pengungsi dimana
terdapat alasan-alasan yang layak untuk menganggapnya sebagai bahaya
terhadap keamanan negara dimana ia berada atau, karena telah dijatuhi
hukuman oleh putusan hakim yang bersifat final atas tindak pidana sangat
berat ia merupakan bahaya bagi masyarakat negara itu.
Donald Trump melanggar prinsip Non-Refoulement. Amerika Serikat
merupakan negara yang meratifikasi Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. Apa
yang dilakukan oleh Donald Trump jelas-jelas telah menolak kedatangan
pengungsi ke Amerika Serikat, apalagi bagi Pengungsi Suriah, mereka awalnya
tidak diperbolehkan masuk ke Amerika Serikat hingga waktu yang belum
ditentukan pasca Trump mengeluarkan perintah eksekutifnya.
20
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Perlindungan untuk para pengungsi di dunia Internasional sebenarnya
merupakan sebuah kebiasaan Internasional yang juga diatur di dalam
Hukum Pengungsi Internasional yang khusus mengatur tentang masalah
pengungsi, serta ada juga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
Konvensi tahun 1954 tentang Orang-Orang tanpa Kewarganegaraan,
Konvensi tahun 1961 tentang Pengurangan Keadaan Orang Tanpa
Kewarganegaraan , Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan
Warga Sipil dalam Waktu Perang serta Deklarasi PBB tahun 1967 tentang
Suaka Teritorial dan sebagainya.
Hukum Pengungsi Internasional merupakan turunan dari Hukum
Internasional itu sendiri, dimana tujuannya adalah untuk menjamin
keamanan dan keselamatan pengungsi Internasional di negara tujuan
mengungsi, termasuk pada saat pengungsi melewati negara-negara ketika
menuju ke negara tujuan.
Hukum Pengungsi Internasional sendiri masih berkaitan dengan Hukum
Hak Asasi Manusia, yang artinya hak-hak asasi manusia masih melekat di
dalam diri para pengungsi. Sebab para pengungsi merupakan kelompok
yang sangat rentan , baik di negara asalnya maupun di negara penerima.
2. Kedaulatan Negara merupakan hal mutlak yang tidak boleh diganggu
gugat oleh negara manapun dan ini telah menjadi sebuah kebiasaan
Internasional. Setiap negara yang berdaulat memiliki hak untuk
21
mendapatkan pengakuan dari negara lainnya. Penerimaan pengungsi
sebenarnya bukan tentang kedaulatan negara. Akan tetapi, penerimaan
pengungsi itu merupakan sebuah dorongan rasa kemanusiaan yang sudah
seharusnya dijalankan oleh negara-negara berdaulat di dunia Internasional.
Apalagi jika kita mengingat bahwa para pengungsi tersebut merupakan
golongan yang sangat rentan dan membutuhkan bantuan dari negara-
negara tujuan pengungsian mereka. Lagipula, prinsip Non-Refoulement
telah menjadi sebuah kebiasaan internasional tanpa melihat apakah negara
tersebut merupakan negara yang meratifikasi ataupun tidak. Faktanya
adalah Amerika Serikat merupakan negara yang meratifikasi Protokol
1967 tentang Status Pengungsi, maka sudah menjadi kewajibannya sesuai
dengan kebiasaan Internasional untuk mematuhi dan menjalankan
perjanjian yang telah dibuat atas dasar kesepakatan bersama. Dalam
hal ini maka Amerika Serikat seharusnya menerapkan seluruh isi dari
Protokol 1967 tersebut yang termasuk prinsip Non-Refoulment pada
pasal 33 Konvensi 1951.
3. Amerika Serikat telah meratifikasi Protokol 1967 tentang Status
Pengungsi, artinya mereka telah setuju untuk menjalankan dan
menyatakan berlaku Protokol tersebut. Ini berarti juga mereka menyatakan
diri tunduk kepada Protokol 1967 beserta isinya. Di dalam Pasal 1 ayat (1)
Protokol 1967 telah jelas tercantum bahwa negara pihak setuju untuk
menerapkan Pasal 2 sampai dengan Pasal 34 Konvensi untuk para
pengungsi. Negara pihak memiliki hak untuk membatalkan Protokol ini,
22
akan tetapi Amerika tidak membatalkan Protokol ini. Ini berarti mereka
masih terikat dengan Protokol 1967 ini.
B. Saran
1. Mungkin sudah saatnya negara-negara Internasional melalui PBB
misalnya, bisa menambah peraturan-peraturan yang lebih tegas mengenai
Hukum Pengungsi Internasional. Hal ini diperlukan untuk memperkuat
perlindungan bagi para pengungsi yang terpaksa harus meninggalkan
negara asal mereka yang tidak lagi aman. Meskipun sekarang telah ada
peraturan-peraturan Internasional berkaitan dengan pengungsi, akan tetapi
masih saja ada negara-negara yang menolak kedatangan pengungsi di
negara mereka.
2. Masalah mengikatnya Hukum Internasional dan kedaulatan sebuah negara
memang masih menjadi sebuah dilema hingga saat ini di dunia
Internasional. Sebab, meskipun telah ada hukum Internasional, tetap saja
masih ada beberapa kasus pelanggaran di dunia Internasional. Memang
tidak ada lembaga yang ada di atas sebuah negara lagi yang memiliki
kekuatan yang mengatur secara nyata atau bahkan memberikan sanksi
secara nyata. Akan tetapi, sebagai sebuah negara yang berdaulat,
seharusnya setiap negara-negara Internasional yang telah setuju untuk
mengikatkan diri kepada sebuah perjanjian, harusnya secara etis tunduk
kepada perjanjian itu. Kebiasaan Internasional di dalam memberikan
perlindungan terhadap pengungsi juga seharusnya lebih diperhatikan
kembali agar tidak adanya saling lempar antar negara. Sebab, pengungsi
merupakan kelompok manusia yang sangat rentan terhadap kekerasan dan
23
penganiayaan. Penerimaan pengungsi memang menimbulkan masalah bagi
negara penerima karena lonjakan pengungsi yang terus berdatangan dan
masuk. Mungkin saja, jika dirasa bahwa sebagai negara pihak, negara-
negara pihak tidak mampu lagi untuk menerima pengungsi, maka mungkin
harus kembali dibuat sebuah ketentuan baru dan dirundingkan kembali,
sehingga ada sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan. Sebab,
yang kasihan itu adalah para pengungsi yang kebingungan untuk mencari
tempat mengungsi dan hidup aman dan nyaman.
3. Jika kita melihat pada Pasal 1 ayat (1) Protokol 1967 tentang Status
Pengungsi yang intinya bahwa negara-negara pihak di dalam Protokol
tersebut berjanji untuk menjalankan pasal 2 sampai dengan pasal 34
Konvensi 1951 dimana di dalam Pasal 33 Konvensi tersebut terdapat
prinsip Non-Refoulement. Amerika juga telah meratifikasi Protokol
tersebut, dan sebagai perwujudannya, seharusnya Amerika secara
kebiasaan Internasional tunduk terhadap Protokol 1967 tersebut dengan
itikad baik. Donald Trump berdalih bahwa untuk alasan keamanan dalam
negeri, ia mengeluarkan Perintah Eksekutif tersebut. Sebuah alasan yang
tentu tidak bisa kita terima dengan akal sehat, sebab Trump bisa
menggunakan pasal 33 ayat (2) dalam Konvensi 1951 di atas untuk
mengusir orang-orang yang telah terbukti mengacau di dalam negara dan
mengancam keamanan dimana ia ditempatkan. Bukannya mengeluarkan
Perintah Eksekutif seperti ini.
Amerika Serikat sebagai sebuah negara yang besar seharusnya bisa lebih
bijak lagi dalam bertindak, apalagi jika kita mengingat bahwa Amerika
24
merupakan negara yang selalu menggaungkan semangat Hak Asasi
Manusia yang kini mereka langgar sendiri.
Donald Trump juga seharusnya tidak begitu saja mengabaikan ketentuan
di dalam Konvensi dan Protokol tersebut, sebab Konvensi maupun
Protokol merupakan salah satu bentuk perjanjian Internasional yang telah
disepakati bersama-sama antar negara pihak.
Dengan Donald Trump mengeluarkan kebijakan nya tersebut, maka para
pengungsi yang mencari tempat aman akan mengalami kebingungan sebab
bukan tidak mungkin akan ada negara-negara yang melakukan hal serupa
seperti yang telah dilakukan oleh Donald Trump ke depannya.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU
Dumoli Agusman, Damos, Hukum Perjanjian Internasional; Kajian Teori dan
Praktek, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010.
Effendi, H.A Mahsyur. 1993. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional. Malang : PT. Ghalia Indonesia hlm. 112.
Hamid, Sulaiman, 2002, Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional,PT
Rajagrapindo Persada: Jakarta.
Parthiana,I Wayan. 2005. Perjanjian Internasional Bagian I. PT. Mandar Maju :
Bandung
________ , Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi, 2010,
UNHCR, Jenewa
Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika : Jakarta
2. INTERNET
www.unhcr.or.id/id/tentang-unhcr diakses tanggal 29 Maret 2017.
http://www.duniahukum.info/2017/01/hukum-pengungsi-internasional.html?m=0
diakses tanggal 9 Mei 2017
https://kiftiyaningsih.wordpress.com/pertemuan-3/materi-bab-iii/d-kedaulatan-
negara-republik-indonesia/ diakses tanggal 22 Mei 2017.
http://www.negarahukum.com/hukum/hukum-internasional-merupakan-hukum-
yang-lemah.html diakses tanggal 31 Mei 2017
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4268/konvensi-wina-1969-induk-
pengaturan-perjanjian-internasional diakses tanggal 23 Juni 2017
26
http://www.nbcnews.com/politics/white-house/here-s-full-list-donald-trump-s-
executive-orders-n720796 diakses tanggal 29 Maret 2017.
http://internasional.kompas.com/read/2017/02/10/06594231/banding.trump.gagal.
hakim.tolak.pemberlakuan.kebijakan.anti-imigran. diakses tanggal 19 April 2017
https://news.detik.com/internasional/3440074/trump-teken-revisi-kebijakan-
imigrasi-warga-irak-kini-bisa-ke-as diakses tanggal 19 April 2017
https://news.detik.com/internasional/d-3448167/hakim-hawaii-bekukan-revisi-
kebijakan-imigrasi-trump diakses tanggal 19 April 2017
https://international.sindonews.com/read/1174913/41/pbb-kecam-keputusan-
trump-soal-penyiksaan-dan-pengungsi-1485531914 diakses tanggal 29 Maret
2017.
27
BUDYANTO, S.H , dilahirkan di Kota Medan pada tanggal 18
Maret 1995. Peneliti menyelesaikan pendidikan Sekolah
Menengah Pertama di SMP Swasta Methodist-3 Medan pada
tahun 2007. Pada tahun itu juga peneliti melanjutkan
pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Swasta
Methodist-3 Medan pada tahun 2013. Pada tahun 2013
peneliti melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri,
tepatnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(USU) dengan Program Kekhususan Hukum Internasional.
Peneliti menyelesaikan kuliah Strata Satu (S1) pada tahun
2017
Email : [email protected]