KEBERAGAMAAN PELAKU KONVERSI AGAMA DI KOTA …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/9052/5/5... ·...
Transcript of KEBERAGAMAAN PELAKU KONVERSI AGAMA DI KOTA …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/9052/5/5... ·...
-
KEBERAGAMAAN PELAKU KONVERSI AGAMA DI KOTA SALATIGA
DAN KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2020
Disusun Oleh:
1. Dra. Djami’atul Islamiyah, M.Ag.
NIP. 19570812 198802 2 001
2. Juz’an, M.Hum.
NIP. 19611024 198903 1 002
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASAYARAKAT
(LP2M)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN 2020
Penelitian Interdisipliner
-
ii
KATA PENGANTAR
Konversi agama bukan merupakan subjek baru dalam dunia penelitian. Namun
penelitian dengan subjek konversi yang berbeda dari agama penelitinya masih jarang
dilakukan orang. Butuh pendekatan tersendiri sehingga responden dapat mengurai
pengalamannya secara obyektif. Disamping itu studi ini juga mencakup konversi
agama yang kebetulan sama dengan penulis tanpa bermaksud membandingkannya,
kecuali merupakan upaya analisis deskriptif meski ada aspek preskriptifnya.
Alhamdulillah penelitian ini selesai juga. Walau pada awalnya terasa berat
untuk memulainya. Namun dengan kesungguhan hati akhirnya penelitian ini dapat
berjalan sesuai rencana. Semoga hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi
akademik bagi bangunan teoritik tentang konversi agama, disamping kontribusi
secara kelembagaan.
Terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu proses penelitian ini
sejak awal hingga akhir, semoga Allah berkenan membalasnya dengan kebaikan
yang banyak. Amin
Salatiga, 28 Oktober 2020
Penulis
D. Islamiyah dan Juz’an
-
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 1
B. Fokus Penelitian .......................................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................................... 5
D. Kegunaan Penelitian .................................................................................................... 5
E. Prior Research............................................................................................................. 5
BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................................... 8
A. The Dimensions of Religious Commitment .................................................................. 8
B. Teori Tentang Konversi Agama ................................................................................ 11
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................................ 18
A. Lokasi dan Subyek Penelitian ................................................................................... 18
B. Jenis Data dan Pendekatan Penelitian ....................................................................... 18
C. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................................ 20
D. Uji Keabsahan Data ................................................................................................... 21
E. Teknik Analisis Data ................................................................................................. 22
BAB IV HASIL PENELITIAN ..................................................................................... 25
A. Deskripsi Umum Pelaku Konversi Agama ................................................................ 25
B. Latar Belakang Yang Mempengaruhi Terjadinya Konversi ...................................... 31
C. Proses Terjadinya Koversi dan Implikasinya Bagi Keberagamaan Pelaku ............... 36
BAB V PEMBAHASAN DAN ANALISIS ................................................................. 42
A. Analisis Faktor-Faktor Konversi ............................................................................... 42
B. Sekuensi dan Tipe Konversi ...................................................................................... 49
C. Ekspresi Keberagamaan Paska Konversi ................................................................... 51
BAB VI KESIMPULAN DAN PENUTUP ................................................................... 52
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 52
B. Rekomendasi ............................................................................................................. 54
-
iv
C. Penutup ...................................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 54
INDEKS ..........................................................................................................................57
-
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Ragam Konflik Batin (Faktor Psikoligi)....................................................44
Tabel 5.2 Faktor-faktor Konversi Agama .................................................................49
Tabel 5.3 Diskripsi Tipe Konversi ............................................................................51
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Prinsip kebebasan beragama telah diatur melalui jaminan Konstitusional Negara
sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 dan Tap MPR No: II/1978. Adanya
jaminan konstitusional tersebut menegaskan kembali bahwa agama merupakan hak
pribadi yang bersifat esensial. Jaminan tersebut tidak hanya berkaitan dengan
penghormatan atas harkat dan martabat manusia, melainkan berkaitan juga dengan
nilai agama itu sendiri yang menuntut ketulusan, sebagimana firman Tuhan “Tak ada
paksaan dalam agama” (Q.S. An Nahl: 125).
Lebih jauh lagi jaminan konstitusional tersebut dapat dibaca sebagai implikasi
dari pluralitas penduduk Indonesia dalam hal suku, bahasa, warna kulit maupun
agama. Dalam kondisi sosiologis yang seperti itu konversi agama dapat terjadi
dimana saja dan kapan saja, tak terkecuali di Salatiga dan sekitarnya (Kab.
Semarang).
Lalu apa yang dimaksud dengan konversi agama? Konversi agama dapat
diartikan sebagai perpindahan dari satu agama ke agama lain yang berbeda dari
agama dan keyakinan sebelumnya. Misalnya dari Kristen konversi ke Islam, atau dari
Islam konversi ke Kristen.
Sebagaimana kita ketahui, dalam setiap komunitas agama, kehadiran pemeluk
baru yang berasal dari agama lain seringkali disambut dengan sukarela. Namun
bagaimana dengan komunitas agama yang ditinggalkan? Tentu sikapnya tidak bisa
seragam. Ada yang bersikap datar dan biasa-biasa saja. Namun ada pula yang melihat
dengan sebelah mata. Bahkan bahkan tak jarang orang yang mengalami konversi
agama ini dipandang dengan penuh prejudice. Hal ini dikhawatirkan akan memicu
terjadinya friksi interpersonal maupun komunal yang dapat mengganggu harmoni
sosial. Sikap memandang sebelah mata apalagi disertai dengan prejudice justru akan
-
2
menyebabkan kebenaran wahyu, jauh tak tersentuh oleh aspek kemanusian, padahal
Tuhan telah berfirman:
ػِ ْۡ ٱۡلَو َّ َْ أَۡػلَنُ ٱۡدُع إِلَٰى َسبِيِل َربَِّك بِٲۡلِحۡكَوِت ُُ إِىَّ َربََّك َي أَۡحَسُيُۚ ُِ ن بِٲلَّتِي ُِ ِدۡل َجٰ َّ
َظِت ٱۡلَحَسٌَِتِۖ
تَِديَي ِۡ َْ أَۡػلَُن بِٲۡلُو ُُ َّ بَِوي َضلَّ َػي َسبِيِلَِۦ
Artinya: ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS. Surat An Nahl: 125)
Ayat tersebut mengajarkan bahwa untuk mengajak orang-orang kejalan Tuhan
hendaknya disertai dengan cara yang benar, dengan nasehat, pengajaran yang baik
atau dengan diskusi yang menarik, bukan dengan saling membenci atau prejudice.
Menurut Komarudin Hidayat “hikmah hidup keberagamaan haruslah bermuara
pada komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa harus
dihambat oleh sentimen kelompok keagamaan. Jika memang agama diwahyukan
untuk manusia, dan bukan manusia untuk agama, maka salah satu ukuran baik
buruknya sikap hidup beragama adalah menggunakan standar dan kategori
kemanusiaan bukan idiologi dan sentimen kelompok” (Hidayat, 1998:41).
Di samping itu Al-Quran telah menjelaskan tentang pentingnya sikap sincerity
atau ketulusan dalam beragama. Surat Al-Baqarah ayat 256 adalah salah satu diantara
prinsip yang mengajarkan hal itu.
يُْؤِهي بِاهللِ فَقَِد اْستَوْ َّ ْشدُ ِهَي اْلغَيِّ فََوي يَْكفُْر بِالطَّاُغِْث َسكَ آلَإِْكَراٍَ فِي الِدّيِي قَد تَّبَيََّي الرُّ
هللاُ َسِويٌغ َػِليٌن َّ ا َِ ًِْفَصاَم لَ ثْقَى الَ ا ُْ ةِ اْل َّ بِاْلؼُْر
Artinya: “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia
telah berpegang kepada bahul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Surat Al-Baqarah: 256).
-
3
Firman tersebut menurut Nurcholis Madjid secara langsung berkaitan dengan
larangan untuk mengharapkan semua orang mengikuti jalan hidup yang sama dan
membentuk masyarakat monolitik, disebabkan fitroh pluralitas manusia adalah
prinsip yang mendasari ajaran tentang tidak dibenarkannya memaksakan agama ...
(Madjid, 1998:160).
Pada sisi yang lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan perspektif dalam
melihat peristiwa konversi agama. Perspektif Psikologi Agama (Psychology of
Religion) memandang konversi agama sebagai sesuatu perkembangan biasa, pindah
dari satu agama ke agama yang lain yang melibatkan afeksi maupun emosi. Demikian
juga perspektif sosiologi, konversi dipandang sebagai suatu transformasi diri pada
perubahan sistem makna dasar yang dimiliki seseorang, yang meliputi perubahan
makna diri dan bagaimana diri seseorang terlibat dalam situasi sosial (McGuire,
1988:60).
Hal itu dikarenakan corak kedua studi tersebut tidak bersifat normatif, tidak
membicarakan benar salahnya suatu agama. Stressing point dari kedua studi tersebut
adalah fungsi psikologis dan sosiologis dari agama.
Perspektif kedua studi ini tentu berbeda dengan perspektif theologis yang
bersifat normatif. Dalam agama apapun, pindah agama selalu dipandang sebagai
sesuatu yang negatif, murtad misalnya. Agaknya persoalan ini pula yang menjadi
kendala bagi sebagian peneliti melakukan studi konversi agama pada orang-orang
yang pindah ke agama lain yang berbeda dari agama penelitinya. Namun apapun itu
akumulasi dari kisah orang-orang yang menyebrang ke agama lain ini tetap menarik
dan relevan untuk dikaji. Mengapa? Karena jika agama disebut sebagai pengalaman
yang paling asasi, yang paling dalam intensitasnya, melibatkan hubungan personal
dengan super human/yang ilahi, mengapa seseorang mampu mengalami konversi
agama.
Oleh karena itu, kompleksitas yang melingkupi terjadinya konversi agama,
sebagaimana ditulis oleh McGuire, meliputi faktor sosial, psikologikal dan ideasional
-
4
(1988: 61), tak bisa begitu saja dideskripsikan secara implisit. Dibutuhkan studi yang
lebih komprehensif, objektif, empiris, dan interdisipliner baik secara sosiologis
maupun psikologis.
Pengalaman empirik dari penulis yang pernah suatu ketika belanja di sebuah kios
kecil (di Kota Salatiga), di mana penjualnya sudah lama penulis kenal beragama
Islam. Namun saat penulis melihat berbagai brosur tuntutan agama lain terletak di
mejanya, muncul tanda tanya, mungkinkah orang ini telah pindah agama?
Jawabannya ternyata benar dia telah pindah agama dengan alasan “Susah sekali bagi
saya untuk menghafal doa-doa dalam shalat yang semuanya berbahasa Arab”. Lagi
pula semua agama mengajarkan kebaikan, tuturnya saat itu.
Paparan diatas menyiratkan bahwa kesulitan melafalkan doa dalam shalat yang
berbahasa arab menjadi alasan kenapa dia konversi ke agama Kristen. Dengan kata
lain ada faktor ideasional yang ditolak oleh subyek dari agama yang sebelumnya
sehingga dia berpindah ke agama yang baru. Tetapi betulkah hal itu sebgai faktor
tunggal dalam pengalaman konversi agama subyek tersebut? Bagaimana dengan
faktor-faktor yang lain, sosial budaya, atau sosial ekonomi misalnya? Tentu menarik
untuk di kaji lebih intens.
Pada sisi yang lain orang yang mengalami konversi agama dari Kristen ke Islam
juga memiliki penghayatan yag berbeda terhadap ajaran-ajaran yang dipeluk
sebelumnya. Misalnya, pengakuan seorang responden yang kemudian menjadi
muallaf dia menyebut “islam langkung sae bab reresik”.
Mempertimbangkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, penulis ingin
melakukan penelitian dengan pilihan responden yang awalnya beragama Islam tetapi
kemudian menyeberang ke agama lain (Kristen) demikian juga dengan orang-orang
kristen yang pindah ke agama Islam, dengan judul penelitian “Keberagaman Pelaku
Konversi Agama di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang 2020”.
-
5
B. Fokus Penelitian
1. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya konversi agama?
2. Bagaimana proses dan tipe konversi agama tersebut?
3. Apa implikasi konversi agama tersebut dalam konteks keberagamaan mereka?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan kronologis dan berbagai faktor yang mempengaruhi
konversi agama di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang.
2. Untuk menganalisis proses dan tipe terjadinya konversi agama pada mereka.
3. Untuk menjabarkan tentang implikasi konversi agama dalam konteks
keberagamaan mereka.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritik, penelitian ini di harapkan mampu memberi kontribusi bangunan
teoritik tentang konversi agama, yang tidak semata-mata psikologis, sosiologis
saja, namun juga preskriptif.
2. Secara Praktis, penelitian ini di harapkan dapat menjadi input bagi lembaga IAIN
Salatiga khususnya berkaitan dengan dimensi sosial keagamaan beserta
dinamikanya di Salatiga dan Kabupaten Semarang.
E. Prior Research
Studi tentang konversi agama telah bnayak dilakukan orang dengan berbagai
sudut pandang, pendekatan, dan keterkaitannya dengan variabel yang beragam.
Studi-studi tersebut antara lain.
Tulisan Achmad Maimun “Konversi Agama ke Islam: Studi Tentang Proses dan
Pemaknaanya di Kalangan Para Muallaf Kota Salatiga” (disertasi 2018). Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa yang melatari konversi agama ke Islam di
kalangan muallaf yaitu latar belakang sosiologis dan psikologis. Konversi agama ke
-
6
Islam dapat dikategorikan menjadi 3 pola yaitu koersif, kesadaran, dan mix antara
keduanya. Terdapat perbedaan persepsi tentang hidayah antara ulama dan muallaf.
Responden menyebutkan pemaknaan konversi agama secara beragam misalnya dari
ketenangan batin sampai kedekatan diri pada Allah, juga tentang kemurahan rezeki.
Sementara tentang pengaruh konversi agama ke Islam, ada dimensi neurotism,
extravension, agreeableness, dan ada pula yang consciousness. Konversi ke Islam
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan dimensi kepribadian,
meskipun bukan dalam totalitasnya. Dimensi tersebut berbeda-beda antara satu
muallaf dengan lainnya.
Religious Conversion and Its Implication for Religious Harmony: Meaning for
The Practitioners and Religious Elites in Malang, tulisan Umi Sumbulah
(Converence preceeding, AICISS XII, Surabaya 2012). Secara ringkas hasil
penelitian ini menyimpulakan bahwa konversi agama memiliki implikasi baik secara
personal subjektif maupun secara sosio-psikologis. Misalnya pelaku mendapatkan
ketenangan jiwa, ketepatan mencari identitas ketuhananya. Namun juga berimplikasi
pada persoalan adaptasi dengan lingkungan baru, juga seringkali konversi menjadi
potensi destruktif bagi penciptaan kerukuanan beragama.
Penelitian kolektif dari Karunia Ilahi, dkk dengan judul “Konversi Agama pada
Masyarakat Suku Minangkabau” (Jurnal Religion, Volume 8, No. 2, Tahun 2018).
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa konversi agama banyak terjadi di Sumatra
Barat, hal ini ditandai dengan menurunkan jumlah pemeluk agama Islam dan
meningkatnya pertumbuhan agama Kristen. Terjadinya konversi agama banyak
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor penyebab konversi agama pada
masyarakat suku Minangkabau dari pemeluk Islam menjadi pemeluk Kristen di
antaranya: 1) Sumatra Barat dan masyarakat suku Minangkabau menjadi target utama
Kristenisasi Internasional; 2) Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, unit
pelayanan sosial dan kesehatan; 3) Latar belakang pendidikan, pengalaman,
lingkungan sosial dan pergaulan; 4) status perkawinan dan hubungan keluarga.
-
7
Hasil penelitian yang lain dalah tulisan Saftari Ridwan AR dengan judul
“Konversi Agama dan Faktor Ketertarikan pada Islam : Studi Kasus Muallaf yang
Memeluk Islam dalam acara Dakwah DR Zakir Naik di Makasar (Sulesana, Volume
11, No. 1 Tahun 2017). Dalam penelitian ini ditemukan hasil bahwa faktor-faktor
yang dominan menyebabkan non muslim memeluk Islam adalah proses berfikir
ilmiah dan rasional serta perenungan mendalam dalam mencari kebenaran akibat
kebingungan dan kekecewaan terhadapp agama sebelumnya.
Studi keagamaan pada muallaf pasca konversi agama di masjid AL Falah
Surabaya, oleh Urbah (Skripsi 2018). Hasil dari penelitian ini adalah para muallaf di
masjid Al Falah surabaya telah memahami dengan baik pengetahuan dan
pemahamaan tentang Islam, yakni rukun Islam, serta telah melaksanakannya
walaupun masih ada yang belum lengkap. Kemudian mereka juga aktif daalm
aktivitas keagamaan seperti mengikuti kelas pembinaan keislaman di masjid Al Falah
Surabaya, mengikuti kelas belajar baca Alquran dan mengikuti pengajian rutin di
lingkungan tempat tinggal mereka para muallaf juga mendapat dukungan yang baik
dari keluarga, walaupun ada sebagian yang keluarganya belum menerima.
Berdasarkan paparan tersebut diatas maka penelitian tentang konversi agama
dengan subyek orang-orang Islam yang kemudian pindah ke Kristen dan sebaliknya
yang berada di Salatiga dan sekitarnya (Kabupaten Semarang) belum pernah
dilakukan orang.
-
8
BAB II
LANDASAN TEORI
Sebagaimana judul dalam penelitian ini, yaitu tentang keberagamaan pelaku
konversi agama maka dalam bagian ini penulis ingin mendiskripsikan perspektif–
perspektif yang berkaitan dengan keberagamaan di satu sisi dan tentang konversi
agama pada sisi yang lain. Perspektif atau teori dalam konteks penelitian kualitatif ini
amat penting karena sebagaimana ditulis oleh STRAUSS “teori sangat diperlukan
untuk memahami realita dan data.” (Suryanto, 2007:193). Berkaitan dengan hal itu
maka penulis akan menggunakan teori-teori sebagai berikut.
A. The Dimensions of Religious Commitment
Teori ini dikemukakan oleh R. Stark dan C.Y. Glock. Menurut teori ini agama
memiliki beberapa dimensi:
1. The bilief dimension comprises expectation that the religious person will hold a
certain theological outlook, that he will acknowledge the truth of the tenets of the
religion. Every religion maintains some set of beliefs which adherents are
expected to ratify. However, the content and scope of beliefs will vary not only
between religious tradition.
2. Religious practice includes acts of worship and devotion, the things people do to
carry out their religious commitment. Religious practices fall into two important
classes: Ritual refers to the set rites, formal religious acts and sacred practices
which all religious expect their adherents to perform. In Cristianity some of
these formal ritual expectations are attendance at worship services, taking
communion, baptism, weddings and the like. Devotion is somewhat akin to, but
importanly different from ritual. While the ritual aspect of commitment is highly
formalized and typically public, all known religions also value personal acts of
worship and contemplation which are relatively spontaneous, informal, and
-
9
typically private. Devotionalism among Christians is manifested through private
prayer, Bible reading and perhaps even by impromptu hymn singing.
3. The experience dimension takes into account the fact that all religions have
certain expectations, however imprecisely they may be stated, that the properly
religious person will at some time or other achieve some a direct, subjective
knowledge of ultimate reality: that he will achieve some sense of contact,
however fleeting, with a supranatural agency. As we have written elsewhere, this
dimension is concerned with religious experiences, those feelings, perceptions,
and sensations which are experienced by an actor or defined by a religious
group (or a society) as involving some communication, however slight, with a
divine essence, that is, with God, with ultimate reality, with transcendental
autority.
To be sure, there are marked contrassts in the varieties of such experiences
which are deemed proper by different religious traditions and isntitutions, and
religions also very in the degree to which they encourage any type of religious
encounter. Nevertheles, every religion places at least minimal value on some
variety of subjective religious experience as a sign of individual religiousness.
4. The knowledge dimension refers tto the expectation that religious persons will
posses minimum of information about the basic tenets their faith and its rites,
scriptures and traditions. The knowledge and belief dimensions are clearly
ralated since knowledge of a belief is a necessary precindition for its acceptance.
However, belief need not follow from knowledge, nor does all religious
knowledge bear on belief. Furthermore, a man may hold a belief without really
understanding it, taht is, belief can exist on the basis on very little knowledge.
5. The consequenses dimension of religious commitment differs from the other four.
It identifies the effects or religious belief, practice, experience, and knowledge in
persons‟ day-to-day lives. The notion of „works‟, in the theologgical sense, is
connoted here. Although religions prescribe much of how their adherents ought
-
10
to think and act in veryday life, it is not entirely clear the extent to which
religious consequences are a part of religious commitment or simply follow from
it (Robertson, 1972: 256).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa apa yang disebut sebagai komitmen
keberagamaan akan mencakup dimensi keimanan, atau pandangan teologis tertentu,
dimensi praktik agama, seperti ritual dan pengabdian terhadap agama, dimensi
pengalaman, berkaitan dengan pengalaman subyektif tentang Tuhan, dimensi
pengetahuan, seperti pengetahuan tentang ajaran keimanan dan ritual, juga dimensi
konsekuensial, pengaruh dari empat dimensi tersebut diatas dalam kehidupan sehari-
hari.
Jalaluddin Rahmad (1989: 93-94) memberi penjelasan lebih luas lagi tentang
dimensi-dimensi tersebut. Dimensi ideologis berkenaan dengan seperangkat
kepercayaan (beliefs) yag memberikan “premis eksistensial” untuk menjelaskan
Tuhan, alam, manusia dan hubungan diantara mereka. Dimensi intelektual mengacu
pada pengetahuan agama apa yang tengah atau harus diketahui orang tentang ajaran-
ajaran agamanya. Dimensi eksperiensial adalah bagian keagamaan yang bersifat
afektif yakni keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama.
Inilah perasaan keagamaan yang dapat bergerak dalam empat tingkat : konfirmatif
(merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang damainya), responsif (merasa bahwa
Tuhan menjawab kehendaknya atau keluhannya), eskatik (merasakan hubungan yang
akrab dan penuh cinta dengan Tuhan), dan partisipatif (merasa menjadi kawan setia
atau wali Tuhan dan menyertai Tuhan dalam melakukan kalam illahiyah).
Dimensi ritualistik merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh
agama dan atau dilaksanakan oleh para pengikutnya. Dimensi ini meliputi pedoman-
pedoan pokok pelaksanaan ritus dalam kehidupan sehai-hari. Dimensi konsekuensial
meliputi segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Dimesi inilah yang
menjelaskan apakah efek ajaran Islam terhadap etos kerja, hubungan interpesonal,
kepedulian terhadap penderitaan orang lain dan sebagainya.
-
11
Jika salah satu fokus dalam penelitian ini adalah implikasi konversi dalam
konteks keberagaman pelaku konversi agama, maka melalui teori di atas penulis
ingin memperoleh data berkaitan dengan dimensi-dimensi mana yang mengalami
perubahan, apakah pada seluruh dimensi-dimensi berikut ataukah pada beberapa
dimensi saja setelah subjek mengalami konversi.
B. Teori Tentang Konversi Agama
Pada bagian ini penulis ingin memaparkan dengan segala perak-perniknya baik
dalam perspektif pskologis maupun sosiologis, yang meliputi bahsan-bahasan sebagai
berikut.
1. Pengertian Konversi Agama
Ada beberapa pengertian konversi agama dilihat dari cakupannya, misalnya
Spellman, dkk mengartikan konversi agama sebagai “...Changing from one religion
to another or from a non religious state to religious one...” (Malony(ed), 1977: 249).
Berbeda dari definisi tersebut, menurut Tippett, “Conversion is not an initial
experience, of faith, but a change from that-faith to this-faith”. Lebih lanjut Tippett
menulis bahwa “moving from not-having to having is quite a different thing having-
this to having-that” (Travis (ed), 1973: 98). Dari kutipan itu dapat disimpulkan
bahwa Tippett tidak memasukkan pengalaman pindah dari tidak beragama kepada
beragama sebagai bagian dari pengertian konversi agama.
Stressing point pada perpindahan dari satu agama ke agama lain tentang konversi
agama juga ditulis oleh R. H. Thouless sebagai berikut “Religious conversion is the
name commonly given to the process which leads to the adaption of a religious
attitude: process may be grandual or sudden” (Thouless, 1971: 104).
2. Bagaimana Konversi Agama Itu Terjadi?
Pada bagian ini akan dibahas proses, tipe-tipe dan tahapan terjadinya konversi
agama. Jika merujuk pada tulisan Thouless di atas dapat disimpulkan bahwa konversi
agama dilihat dari proses terjadinya bisa bersifat gradual dan sudden. Menurut
-
12
Spelman, dkk “The gradual conversion represents naturation in the individual‟s
personality development, tend to be integrative, and represents an internalization of
new values and goals considered by the convert to be on a higher level that the
previous ones. The sudden conversion is described as “pseudosolution for dealing
with extreme disintegrating conflicts” (Malony (ed), 1977:249).
Sementara menurut Ali Kose yang mengutip pendapat Lofland dan Skonovd,
menyebutkan beberapa tipe konversi, yaitu intelektual, mistikal, eksperimental,
afeksional, revivalistik dan koersif (Kose 1996: 95-96). Pertama tipe intelectual,
konversi agama yang melalui referensi-referensi teologis sehingga subjek
menemukan alasan yang kuat mengapa dia harus pindah ke agama yang baru. Yang
kedua tipe mistical, konversi ini biasanya terjadi tiba-tiba dan lebih banyak bercorak
pengalaman batin yang bersifat subjekif menekankan intensitas perasaan
keberagamaannya. Ketiga eksperimental, subjek melakukan konversi atas dasar pada
percobaan untuk menekuni ajaran tertentu biasanya konversi teradi melaui sugesti
dari orang-orang yang memiliki kemampuan verbal dengan kata lain subjek akan
melakukan eksperimen teradap ritual-ritual kelompok agama tertentu juga
organisasinya ngga akhirnya dia memperoleh kemantapan untuk melakukan konversi
yang sesungguhnya. Keempat tipe afeksional, tipe ini kurang peduli apakah agama
baru yang dijalaninya itu nalar atau tidak karena menekankan pada afeksinya yakni
keinginan yang kuat pada pengalaman agama. Kelima tipe revivalis, yakni konversi
agama yang terjadi abat dari kecintaan terhadap kelompok tertentu yang di manage
sedemikan rupa sehingga mampu menarik individu tertentu. Keenam tipe koersif,
konversi yang terjadi karena adanya paksaan yang tidak dapat dihindari.
McGuire membagi tipe konversi berdasarkan tingkat transformasi perbedaan
sistem makna yang baru dan dirinya dari sistem yang lama. Berdasarkan hal tersebut
ia membedakan lima tipe konversi. Yang pertama radical transformation, konversi
yang terjadi melalui suatu transformasi radikal dari subjek terhadap sistem makna
yang baru. Yang kedua consolidation, adalah mencakup konversi yang di dalamnya
-
13
sistem makna yang baru dan dirinya menggambarkan sebuah konsolidasi identitas
sebelumnya. Yang ketiga tipe reaffirmation, adalah tipe konversi yang berupa
perubahan diri dan sistem makna itu menggambarkan suatu reafirmasi penguatan
kembali elemen-elemen baru dari sistem lama yang sebelumnya. Subjek dalam jenis
konversi ini memandang keberagamaannya yang lama sebagai suatu pencarian
kebenaran yang masih samar, yang kemudian dia temukan dalam agamanya yang
baru. Tipe konversi ini tidak menolak secara total sistem makna terdahalu. Yang
keempat quasi-conversions, yaitu konsolidasi identitas pengalaman konversi yang
hanya melibatkan sedikit perubahan dalam hal sistem makna dan kesadaran diri.
Beberapa kelompok keagamaan berharap sejumlah remaja membuat keputusan
keyakinan agama secara personal untuk meyakini dan menjalani konversi karena
mereka mendekati dewasa. Pengalaman-pengalaman ini meskipun real dan berarti
bagi partisipan tetapi tidak seperti konversi yang ditentukan lebih merupakan
reafirmasi ritual dari identitas eksistensi dan sistem makna personal (1977: 59-60).
Selanjutnya menurut W.H. Clark konversi agama terjadi dalam tiga tahapan. The
first stage a period of unrest, the causes of which may or may not have definition in
consciousness of the subject. The second stage is the conversion crisis itself. With or
without what would appear to be an adequate stimulus, there is a sense of sudden
and great illumination, a feeling taht one‟s problems have been solved. The third
stage of conversion grows logically out of the second. As the emotion of climax dies
way, it leaves the convert with a sense of peace, release, and inner harmony (193-
195).
Clark menjelaskan jika dalam tahap pertama proses konversi ditandai oleh
konflik dan pergulatan mental yang aktif. Tahap kedua ditandai dengan terjadinya
krisis konversi itu sendiri, subjek merasa adanya perasaan pencerahan yang besar
dengan tiba-tiba yaitu perasaan bahwa problem yang dimilikinya telah terselesaikan.
Sementara tahapan ketiga implikasi dari konversi seperti perasaan damai, bebas dari
konflik dan ketentraman batin.
-
14
Pendapat Zakiyah Daradjat sebagaimana di kutip dalam buku psikologi agama
(Islamiyah, 2013: 90-91) bahwa setiap konversi agama akan mengalami proses-
proses jiwa sebagai berikut:
a. Masa tenang pertama, artinya masa tenang sebelum mengalami konversi, dimana
segala sikap, tingkah laku, dan sifat-sifatnya acuh tak acuh atau menentang
agama.
b. Masa ketidaktenangan, terjadinya konflik dan pertentangan batin baik
disebabkan oleh moralnya kekecewaan atau yang lainnya. Ini sesuai dengan apa
yang dikatakan oleh Starbuck “bahwa ada dua hal dalam jiwa seseorang yag
akan mengalami konversi, yang pertama adanya rasa ketidaksempurnaan atau
rasa bersalah dalam hal ini adalah “dosa” yang ingin dilepaskan dan yang kedua
adalah ide positif yang ingin dicapai.
c. Masa terjadinya konversi, setelah masa goncang mencapai puncaknya terjadilah
peristiwa konversi, orang tiba-tiba merasa mendapat petunjuk Tuhan, mendapat
kekuatan dan semangat.
d. Keadaan tenang dan tentram, setelah krisis konversi lewat maka timbullah
perasaan damai dan penuh ampunan, seperti yang ditulis oleh Sturbuck dalam
penelitiannya bahwa emosi-emosi yang terjadi setelah peristiwa konversi adalah
perasaan damai, merasa bersatu dengan Tuhan, bahagia, kesehatan jasmani dan
lain-lain.
e. Ekspresi konversi dalam hidup, pengungkapan konversi agama terwujud dalam
seluruh jalan hidupnya, tindak tanduk, sikap dan perhatian, mengikuti aturan-
aturan agama.
3. Mengapa Konversi Agama Bisa Terjadi?
Banyak faktor yang memepengaruhi seseorang mengalami konversi agama.
Menurut Clark faktor-faktor berikut dapat memepengaruhi terjadinya konversi agama
pada diri seseorang.
-
15
a. Conflict, faktor ini secara psikologis berupa ketidaknyamanan batin yang
membuat ketegangan atau terkadang secara teologis disebut sebagai “conviction
of sin” meskipun harus diakui bahwa konflik semacam ini tidak selamanya
melibatkan konversi.
b. Contact with religious tradition, mencakup tradisi keagamaan keluarga,
misalnya yang kurang religius, tetapi keluarga bukan satu-satunya sebagai agen
tradisi, ada agen yang lain yaitu lembaga keagamaan seperti masjid, gereja, dan
lain-lain yang merupakan bagian penting yang dapat mempengaruhi terjadinya
konversi agama yang lebih sering melalui representasi kemaunusiaan (yet
moslem often through its human representative).
c. Suggestion and imitation, kedua aspek ini menjadi bagian penting dalam
konversi agama. Sugesti dan imitasi bukan hanya bagian dari perekatan yang
merekatkan kelompok-kelompok sosial tetapi juga memberi dorongan pada
pengalaman baru.
d. Emotion, hasil menunjukkan bahwa orang-orang yang mengalami konversi
agama tend toward the catagory where sensibility or emotion is predominant.
e. Adolescence, usia remaja dikenal sebagai usia yang masih emosional dan belum
stabil. Beberapa studi menyimpulkan konversi agama banyak terjadi pada
remaja.
f. Theology, dalam beberapa studi tentang konversi agama ditemukan bahwa ada
hubungan antara pengalamam dan ide-ide teologis ynag dianut secara individual.
g. The will, kehendak adalah suatu realitas, maka sesungguhnya konversi agama
hanya akan terjadi jika subyek memang ingin melakukan konversi agama.
Meskipun diakui oleh Clark “Both among psychologists and theologians there
are different of opinion” (Clark: 202-211).
Bila faktor-faktor tersebut dicermati lebih lanjut, maka dapat kita simpulkan
bahwa dalam studi psikologi agama tidak memasukkan faktor relevasi (wahyu atau
hidayah) sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi agama
-
16
pada seseorang. Agaknya hal ini terkait pada sifat studi tersebut yang tidak bersifat
normatif. Artinya bahwa studi psikologi agama tidak membicarakan hal-hal yang
tidak bersifat empiris sebagai contoh wahyu atau hidayah.
Hal ini berbeda dengan pendapat Spink sebagaimana dia menulis “it is important
to emphasize the part played by revelation in all form of religion. Psychology by
itself can, of course, say nothing whatever about the validity of such revelationary
experiences, but it can not ignore their reputed occurence” (Spink, 1971: 186-187).
Artinya menurut Spink adalah penting untuk menekankan peran yang dimainkan oleh
wahyu dalam semua bentuk oleh agama. Psikologi agama tentu bisa saja tidak
membahas apapun tentang validitas pengalaman-pengalaman kewahyuan yang
demikian itu. Tetapi psikologi agama tidak dapat mengabaikan kejadian yang
diungkapkan mereka.
Dalam realitasnya seseorang yang mengalami konversi agama dalam agama
apapun akan ditemui pengakuan mereka sebagai hidayah, wahyu, atau revelasi dari
Tuhan. Agaknya karena itu pula Clark dalam tulisannya yang lain (The phenomena of
religious experience), menulis “the psychologist of religion must beware of fallacy of
thinking he can reduce religious experience to the factors he can uncover and
understand and therefore of missing its ultimate mystery” (Travis (ed), 1973: 39).
Artinya psikolog agama harus menyadari kesalahan berpikir yang dapat mereduksi
pengalaman keagamaan ke dalam beberapa faktor yang dia tidak dapat mengcover
dan memahaminya, dan oleh karena itu kehilangan misteri esensinya (Tuhan).
Sementara itu Rambo dalam tulisannya ”Under Religious Conversion”
menyebutkan bahwa ada dua konteks sosial yang mempengaruhi konversi agama
pada seseorang, yaitu konteks mikro dan konteks makro (Rambo, 1993: 21-22).
Konteks mikro adalah segala sesuatu yang terjadi lebih dulu berinteraksi dengan diri
seseorang, keluarga, etnisitas, pertemanan, dan lain-lain. Sementara konteks makro
mencangkup pada keseluruhan lingkungan dimana seseorang tinggal, misalnya
sistem politik, organisasi keagamaan, sistem ekonomi, dan lain-lain.
-
17
Berbeda dari Rambo, McGuire menyebut konversi agama mencakup suatu
perubahan sistem nilai yang dimiliki individu melibatkan komponen-komponen
social, psychological, dan ideational. Komponen social terdiri dari interaksi antara
subyek dengan asosiasi lingkungannya seperti orang tua, teman-teman dan partner
kerja. Komponen psychological mencakup aspek emosi dan afeksi dari konversi
seperti perubahan-perubahan dalam nilai dan sikap. Sementara komponen ideational
meliputi ide-ide aktual yang dianut atau ditolak selama proses konversi , lebih lanjut
McGuire menambahkan ide-ide ini jarang sekali berifat filosofis dan teologis mereka
menyetting secara sederhana keyakinan yang berupa justifikasi sistem makna yang
baru maupun penolakan yang lama. Ketiga komponen ini harus ada secara memadai
tanpa melebihkan tekanan pada satu komponen (1988: 61).
Uraian tersebut di atas menyimpulkan bahwa tidak ada faktor tunggal, atau yang
disebut Thouless sebagai a single psychological root of religious belief and
behaviour. Menurut Thouless .. none can plausible be reggarded as its sole relligion
(1971:15). Dengan kata lain tidak ada seorangpun dapat percaya tentang adanya
sumber agama yang bersifat tunggal. Hal itu dikarenakan “Relligion as a complex
structure which may have many roots” (1971:16).
Oleh karena itu pertanyaannya bukanlah what is the psychological root of
relligion? Tetapi what might be psychological roots of relligion?. Thouless menulis
“we try to classify the factor which have been or may be claimed to produce the
relligious attitude, they seem to fall into four main groups, social influences,
experiences, needs and proccess of thought” (1971:16).
Dengan kata lain menurut Thouless terdapat setidak-tidaknya empat faktor yang
mempengaruhi perilaku agama, yaitu faktor sosial, pengalaman, kebutuhan dan
proses berfikir. Meskipun tidak secara khusus teori ini merujuk pada konversi agama,
namun bagaimanapun konversi agama adalah bagian dari sikap keagamaan.
-
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Subyek Penelitian
Penelitian ini di lakukan di Salatiga dan daerah sekitarnya yang termasuk
wilayah Kabupaten semarang. Subyek penelitian ini adalah orang-orang yang tadinya
beragama Islam kemudian konversi ke agama Kristen. Peneliti sadar dengan
sepenuhnya bahwa penelitian dengan subyek orang-orang yang pengalaman
konversinya sejenis itu (Islam ke Kristen) akan lebih rumit di banding dengan
penelitian yang konversi agama dari Kristen ke Islam. Hal itu dikarenakan subyek
penelitian yang dihadapi aadalah orang-orang yang sudah tidak lagi seagama dengan
peneliti meskipun mereka pernah juga beragama Islam. Namun disitulah daya tarik
dan tantangannya. Disamping itu untuk memperkaya materi analisis dalam penelitian
ini penulis juga meneliti orang-orang yang tadinya beragama kristen kemudian
pindah ke agama Islam. Sempel diambil secara acak 7 orang (4 orang konversi dari
Islam ke Kristen dan 3 orang dari Kristen ke Islam) dengan menggunakan sempel
“purposive” yaitu mengambil sempel yang sesuai dengan tujuan penelitian (Nasution,
2003: 32).
B. Jenis Data dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif yaitu mengamati orang dalam lingkungan
hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran
mereka (Moleong, 2011: 8). Jenis penelitian ini menurut penulis sesuai jika
diterapkan dalam penelitian tentang konversi agama yang meliputi proses, faktor-
faktor dan implikasinya yang disimpulkan setelah mereka mengalami konversi agama
dalam konteks keberagamaan mereka. Dengan pendekatan kualitatif tersebut penulis
ingin memperoleh data tentang mengapa seseorang bisa mengalami konversi,
mendengarkan apa pandangan mereka tentang agama itu sendiri dan apa yang
dilakukan setelah konversi.
-
19
Terlebih menurut Ambert, yang di kutip oleh Solichin Abdul Wahab “The Aim of
Qualitative Research is to learn how and why people be have, think and make
meaning as they do, rather than focusing on what people do or believe on large
scale“ (1997: 7). Artinya “Tujuan dan penelitian kualitatif adalah untuk mempelajari
bagaimana dan mengapa seseorang berbuat, berfikir, dan mengartikan apa yang
mereka kerjakan. Lebih dari itu adalah fokus pada apa yang seseorang percaya dalam
skala yang luas”.
Melengkapi pengertian penelitian kualitatif tersebut di atas, Taylor dan Bogdan
mengemukakan beberapa karakteristik penelitian tersebut:
1. Bersifat induktif, yaitu mendasarkan pada prosedur logik yang berawal dan
proposisi khusus sebagai hasil pengamatan dan berakhir pada suatu kesimpulan
hipotesis yang bersifat umum. Dalam hal ini konsep-konsep, pengertian dan
pemahaman didasarkan pada pola-pola yang dtemui dalam data.
2. Melihat pada setting dan manusia sebagi satu kesatuan, yaitu memepelajari
manusia dalam konteks dan situasi dimana mereka berada. Oleh karena itu,
manusia dan setting tidak disederhanakan ke dalam variabel, tetapi sebagai satu
kesatuan yang saling berhubungan.
3. Memahami perilaku manusia dan sudut pandang mereka sendiri (sudut pandang
yang diteliti). Hal itu dilakukan dengan cara melakukan empati pada orang-orang
yang diteliti dalam upaya memahami bagaimana mereka melihat sebagai hal
dalam kehidupannya.
4. Lebih mementingkan proses penelitian dari pada hasil penelitian. Oleh karena
itu, bukan pemahaman mutlak yang dicari, tetapi pemahaman yang mendalam
tentang kehidupan sosial.
5. Menekankan pada validitas data sehingga ditekankan pada dunia empiris.
Penelitian dirancang sedemikian rupa agar data yang diperoleh benar-benar
mencerminkan apa yang dilakukan dan dikatakan yang diteliti.
-
20
6. Bersifat humanis, yaitu memahami secara pribadi orang yang diteliti dan ikut
mengalami apa yang dialami orang yang diteliti dalam kehidupan sehari-hari.
7. Semua aspek kehidupan sosial dan manusia dianggap berharga dan penting
untuk dipahami karena dianggap sebagai spesifik dan unik (Suryanto ed, 2007;
169-170.
Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologis, khususnya psikologi agama,
yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau
mekanisme yang bekerja pada diri seseorang, karena keyakinan itu masuk dalam
konstruksi kepribadiannya (Darodjat, 1976:12). Hal itu dikarenakan bagaimanapun
konversi agama melibatkan emosi dan afeksi bagi pelakunya, dan dengan keyakinan
yang baru itu akan melahirkan implikasi yang berbeda dalam konteks keberagamaan
mereka. Di samping itu penulis juga menggunakan pendekatan sosiologis (sosiologis
agama). Secara khusus pendekatan ini meneliti tentang hubungan timabal balik antara
agama dan masyarakat atau komunitas tertentu (Jongenel, 1978: 68). Hal itu
didasarkan pada asumsi bahwa konversi agama terjadi tidak lepas dari proses dinamis
yang terjadi di masyarakat, sebuah dinamika timbal balik antara agama dan
masyarakat atau lingkungan tertentu dimana pelaku konversi agama tinggal.
C. Teknik Pengumpulan Data
Terdapat 3 macam pengumpulan data secara kualitatif. Pertama, adalah
wawancara yang mendalam dan terbuka. Data yang diperoleh terdiri dari kutipan
langsung, respon dan tentang pengalaman atau pendapat perasaan dan
pengetahuannya. Dalam koteks penelitian ini wawancara diarahkan pada sebab-sebab
subyek penelitian melakukan konversi agama, proses dan juga polanya, serta
implikasinya pada religious behavior-nya.
Metode wawancara ini menjadi sangat penting karena meskipun ada metode
observasi, namun observasi saja belum cukup karena belum dapat mengungkapkan
apa yang ada dalam pikiran seseorang. Pada tahap awal, wawancara dilakukan tanpa
-
21
struktur, responden diberi kebebasan dan kesempatan untuk menyampaikan pikiran,
pandangan dan perasaan tanpa terikat oleh peneliti. Setelah penulis memperoleh data,
penulis memakai wawancara yang terstruktur yang disusun berdasarkan hasil
observasi dan apa yang telah di sampaikan oleh responden. Kedua, adalah observasi
langsung. Data yang didapat melalui observasi langsung terdiri dari pemetaan rinci
tentang kegiatan, perilaku, tindakan orang-orang (responden) serta keseluruhan
kemungkinan interaksi interpersonal. Observasi ini dapat penulis gunakan berkaitan
dengan implikasi dalam keberagamaan mereka. Dua hal penting yang harus dikaitan
dalam proses observasi adalah informasi dan konteks. Informasi adalah apa ynag
terjadi, sementara konteks adalah yang berkaitan dengan sekitarnya. Segala sesuatu
terjadi dalam dimensi ruang dan waktu tertentu, dimana informasi yang ada tidak bisa
dilepaskan dan konteksnya untuk menangkap makna ynag tepat (Nasution, 2003: 55).
Ketiga, penelaahan terhadap dokumen-dokumen tertulis yang berhubungan dengan
obyek dan subyek penelitian. Misalnya dokumen yang berkaitan dengan peristiwa
konversi agaman, catatan dari gereja, foto-foto waktu menjadi muallaf dan lain-lain.
D. Uji Keabsahan Data
Menurut Moleong ada beberapa kriteria dari keabsahan data (trust worthiness),
yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan
(dependability), dan kepastian (confirmabillity) (Moleong, 2011: 324). Sementara itu,
untuk menguji keabsahan data, sebagaimana ditulis oleh Nasution (2003: 114-118),
dapat dengan 1) memperpanjang masa observasi; 2) pengamatan yang terus menerus;
3) Trianggulasi; 4) membicarakan dengan orang lain; 5) menganalisis kasus negatif;
6) menggunakan bahan referensi; 7) menggunakan member check. Terkait penelitian
ini digunakan jenis uji keabsahan data dengan memeberi check, yakni membuat
laporan tertulis mengenai wawancara secara garis besar yang telah dilakukan untuk
dibaca oleh responden atau ditambah yang kurang. Di samping itu, penulis juga akan
mnggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang
-
22
memanfaatkan sesuatu yang lain. Dalam hal ini Lexy Moleong membedakan empat
macam triangulasi sebagi teknik pemeriksaan yang memanfaatkan sumber, metode,
penyidik, dan teori (Moleong, 2011: 330-331).
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang di peroleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam penelitian kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan (1) membandingkan
data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; (2) membandingkan apa yang
dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; (3)
membandingkan apa yang dikatakan orang-oarang tentang situasi penelitian dengan
apa yang dikatakan sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan dengan perspektif
seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang
pemerintah; (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
Sementara triangulasi dengan metode, terdapat dua strategi, yaitu: (1)
pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik
pengumpulan data dan (2) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data
dengan metode yang sama. Teknik trianggulasi yang ketiga yaitu dengan
memanfaatkan penyidik (peneliti) antar pengamat yang lainnya untuk keperluan
pengecekan kembali derajat kepercayaan data. Triangulasi dengan teori, hal itu dapat
dilaksanakan sebagai penjelas banding (rival explanation).
Oleh karena itu, di samping uji keabsahan data dengan member check, penulis
juga menggunakan teknik triangulasi dengan pemanfaatan sumber. Yakni dengan
membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, dan sebaliknya
menggunakan data hasil wawancar dengan pengamatan kembali.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data diperlukan agar data yang telah terkumpul tidak semata-mata
deskriptif belaka dan dapat ditemukan naknanya. Dalam hal ini ada beberapa langkah
-
23
analisis data, yaitu: reduksi data, display data, mengambil kesimpulan dan verifikasi
(Nasution, 2003: 129).
Reduksi data dapat dilakukan dengan menerangkan laporan data yang ada,
kemudian dipilih hal-hal yang penting dan ditentukan polanya, misalnya tentang
deskripsi masing-masing responden yang mengalami konversi Agama tentu tidak
semua data yang dihasilkan dari wawancara dilaporkan keseluruhannya namun perlu
dipilih-pilih mana data yang memiliki keterkaitan dan kontribusi dengan judul
penelitian. Dengan demikian reduksi data dapat pula membantu dalam memberikan
kode kepada aspek-aspek tertentu, sehingga hasil wawancara lebih terfokus seperti
yang diinginkan dalam penelitian.
Display data, kegiatan display data di lakukan misalnya dengan membuat grafik
atau matrikk dan tabel data penelitian. Dengan display data ini penulis akan
menemukan gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dan penelitian.
Misalnya membuat tabel tentang data yang berkaitan tentang faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya konversi , pola-pola dan proses konversi juga implikasinya.
Mengambil kesimpulan dan verifikasi. Dalam penelitian kualitatif peneliti sejak
awal dapat merumuskan kesimpulan tentang makna data yang terkumpul melalui
observasi dan wawancara. Tetapi sifatnya yang masih tentatif maka agar kesimpulan
dapat menjadi lebih grounded diperlukan data yang lebih banyak dan bertambah.
Sementara verifikasi tetap dilakukan secara singkat dengan mencari data baru
(Nasution, 2003: 130).
Kesimpulan memang dibuat dalam setiap observasi maupun wawancara oleh
penulis. Namun kesimpulan itu tentu masih sementara sifatnya. Oleh karena itu,
kesimpulan yang final baru diambil melalui proses evaluasi kembali dari kesimpulan
yang sementara, pada saat penelitian telah selesai. Dengan kata lain, kesimpulan yang
bersifat final adalah out put penelitian itu sendiri, melalui proses panjang dan data
mentah kemudian data ersebut di reduksi (dipilih-pilih) yang sesuai dengan data yang
diinginkan (tematik) penelitian ini. Selanjutnya data tersebut dideskripsikan melalui
-
24
display data dengan kemungkinan pola-polanya dan kemudian dianalisis
menggunakan konstruks teori yang ada sehingga dengan cara itu diharapkan data
tidak semata-mata bersifat deskriptif belaka, namun juga bersifat akademis.
Dalam konteks penelitian ini adalah pola-pola juga faktor-faktor dari masing-
masing jenis konversi dan tentang implikasi konversi pada praktek keberagamaan.
-
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Umum Pelaku Konversi Agama
“Kata pelaku” dalam judul penelitian ini sengaja penulis gunakan dengan
pertimbangan bahwa kata tersebut menunjukkan keputusan yang diambil seseorang
untuk konversi agama pasti melibatkan kesadaran penuh, artinya tidak mungkin
konversi agama dilakukan tanpa sadar. Dalam suatu tindakan sadar akan mudah
diketemukan faktor-faktor yang mendorong dia untuk melakukan suatu tindakan atau
dalam konteks ini adalah konversi agama yang dalam bahasa psikologi disebut
sebagai motif.
Motivasi sebagaimana ditulis JP. Chaplin adalah the concious reason which the
individual gives for his behavior artinya motivasi adalah alasan secara sadar yang
diberikan oleh individu dalam perilakunya (Islamiyah, 2013: 15). Maka untuk
menjawab pertanyaan pertama dalam penelitian ini akan penulis paparkan berbagai
motif yang mungkin menyertai saat terjadinya konversi agama. Motif-motif tersebut
kemudian dijeniskan dalam bentuk berbagai faktor, selanjutnya dari deskripsi faktor-
faktor tersebut penulis juga akan menentukan pola-pola konversi agama dilihat dari
rentang waktu terjadinya konversi. Apakah konversi yang mereka alami terjadi dalam
waktu sekejap atau melalui perenungan panjang hingga akhirnya subjek memutuskan
untuk konversi.
Dari bahasan inilah kemudian penulis akan memaparkan tentang esensi (makna)
serta implikasi konversi agama dalam konteks keberagamaan mereka. Hal itu
dikarenakan dalam satu peristiwa konversi agama pasti akan disertai implikasi
perubahan keberagamaan mereka. Hanya saja apakah dalam seluruh dimensi
keberagamaan mereka mengalami perubahan ataukah menyisakan ritual tertentu dari
agama yang dipeluk sebelum konversi agama terjadi.
-
26
Berikut adalah gambaran ringkas biografi pelaku konversi baik yang pindah dari
Islam ke Kristen maupun dari Kristen ke Islam masing-masing 4 dan 3 orang:
Responden 1 (K-1)
Responden ini tinggal di kecamatan Pabelan kabupaten Semarang. Dia menikah
dengan laki-laki yang beragama Islam pada tahun 1995, dari pernikahan itu K-1
dikaruniai seorang anak laki-laki yang kini berusia 20 tahun. K-1 yang semula
serumah dengan mertuanya akhirnya kembali kerumah orang tuanya. Pada saat itu
dia masih beragama Islam.
Karena tekanan ekonomi yang semakin berat K-1 akhirnya pergi bekerja keluar
negeri tepatnya di Macau China. Akibat pergaulan dengan teman-temannya sewaktu
di China, K-1 ingin pindah agama ke Kristen sejak tahun 1997. Desember 2019 saat
pulang ke Indonesia niat itupun dilaksanakan, dia melakukan konversi agama ke
Kristen melalui baptis di gereja S dan membangun rumah sebagai hasil jerih
payahnya. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perceraian antara dia dan suaminya.
(Wawancara tanggal 1 & 3 Mei 2020)
Responden 2 (K-2)
Responden ini dilahirkan pada tahun 1974. Saat ia berusia 13 tahun, K-2
menikah dengan laki-laki yang beragama Islam. Maka perkawinanpun dilakukan
secara Islam. Ketika itu K-2 bersama suaminya memutuskan merantau ke Bogor dan
tinggal disebuah rumah kontrakan. Suami K-2 bekerja apa saja asal dapat
menghasilkan uang dari menjadi tukang batu hingga pekerjaan yang lainnya. Namun,
entah mengapa selama menikah dengan suaminya K-2 merasa hidupnya begitu susah,
“raose abot” meskipun dari perkawinannya ini dia dikaruniai seorang putri. Namun
akhirnya K-2 bercerai dengan suaminya.
Setelah bercerai K-2 pulang kembali ke desanya di wilayah kecamatan Pabelan
kabupaten Semarang. Pada saat dia pulang ke desanya ini ia memutuskan untuk
pindah agama ke Kristen. Tidak lama setelah menjanda, K-2 menikah lagi dengan
laki-laki dari tetangga desa yang kebetulan dia beragama Islam namun K-2 beragama
-
27
Kristen. Perkawinanpun dilakukan secara Islam mengikuti agama suaminya. “Bojone
kulo mboten masalahke bab status agami kulo, asal upacara perkawinan manut
agama Islam” katanya. Hari-hari berikutnya K-2 merasa sangat berbahagia meski
dari perkawinan ini tidak diberi keturunan. K-2 bersama suaminya membesarkan
putri satu-satunya dari pernikahan K-2 yang pertama “senauso benten seagami,
nanging kulo ngraos remen lan seneng urip kaleh bojone kulo”.
Suami K-2 memiliki keahlian membuat kursi, baik kursi kayu atau kursi dengan
jok busa demikian juga perabot-perabot yang lain seperti lemari, meja dan lain-lain.
“kulo bagian jahit jok-jok kursi menawi pesenan nembe rame” ucapnya ketika
diwawancarai. Disamping itu K-2 juga berjualan gereh pindang di sebuah pasar
dihari-hari tertentu. Kini putrinya yang kebetulan beragama Kristen menikah dengan
seorang laki-laki yang beragama Kristen dan tinggal di Rembang. (Wawancara
tanggal 1 & 4 Mei 2020)
Responden 3 (K-3)
Responden 3 ini, saat penulis melakukan wawancara berusia 44 tahun tinggal di
wilayah kecamatan Pabelan kabupaten Semarang. K-3 menikah dengan suaminya
secara Islam dan hidup bersama-sama di rumah mertuanya. Dari perkawinannya K-3
dianugerahi 2 orang anak yang berusia 10 dan 13 tahun. Meski pada awalnya dia
tidak begitu intens menjalankan ajaran Islam namun sejak K-3 tinggal bersama
mertuanya yang kebetulan sangat religius jadilah dia mulai mengamalkan ajaran-
ajaran Islam. Dia diharuskan menutup aurat, mengikuti pengajian dan menjalankan
sholat. Sungguhpun itu semua belum pernah ditekuni pada saat sebelumnya. Semua
tradisi dan ajaran Islam itu dia lakukan tanpa beban apa pun dan berjalan begitu saja
hingga anak pertamanya berusia 3 tahun.
Namun cerita kehidupan yang indah bersama anak, suami dan ibu mertuanya
mulai tergerus sejak K-3 memutuskan pindah ke rumahnya sendiri yang ala
kadarnya. K-3 dan suaminya mulai belajar mandiri tanpa bantuan lagi dari
mertuanya. Keduanyapun bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Tetapi
-
28
karena ekonami keluarga yang tidak tentu menyebabkan keduanya sering bertengkar.
Maka tradisi keislaman yang biasa dia jalankan sewaktu dia masih serumah dengan
mertuanya mulai K-3 abaikan. K-3 tak lagi menutup aurat, tak lagi solat ataupun
mengikuti pengajian. Waktu penulis tanya “mengapa begitu?” dia menjawab “karena
saya terlalu sibuk mencari nafkah”, “lalu bagimana dengan suami mbak?” “dia juga
tidak tentu solatnya bu” jawabnya. “suami saya bekerja buruh apa saja bu yang
penting dapat uang, dia sering kelelahan” cerita dia.
Ditengah kegalauan carut-marut ekonomi keluarganya, dia kemudian
memutuskan untuk pindah agama ke Kristen. K-3 sendiri hanya tamat SD dan
bekerja di sebuah salon di kota Salatiga. Namun sejak pandemi covid-19 dia tidak
lagi dipekerjakan. (Wawancara 5 & 6 Mei 2020)
Responden 4 (K-4)
Responden ini telah berusia 63 tahun tinggal di kecamatan Pabelan kabupaten
Semarang. Sejak kecil responden ini dididik dalam tradisi Islam sebagaimana yang
dianut keluarganya “kulo nglakoni syariat islam amargi keluargo kulo emang islam
sedoyo” cerita K-4, “kulo sering ngangge kudung, sholat, lan nderek pengajian”
tambahnya. Singkatnya K-4 Islam sejak kecil, seperti yang diutarakan kepada penulis
“mbah buyut kulo sedanten agamine Islam, tunggal-tunggal kulo sedoyo nggih
Islam”.
Tetapi sejak tahun 1974 K-4 menikah dengan suaminya yang kebetulan
beragama Kristen, K-4 akhirnya pindah menjadi Kristen. Suami K-4 bekerja sebagai
petani dan menurut ceritanya beliau juga pernah beragama Islam, Budha dan
akhirnya beragama Kristen hingga sekarang.
K-4 bekerja secara serabutan, “nopo mawon ingkang saget kulo tumbas kulo
kulak, trus kulo sadhe maleh wonten Solotigo, arupi sayur-sayuran lan woh-wohan”.
K-4 memiliki 3 orang anak yang dua beragama Kristen dan satu beragama Islam
yang bernama DW. DW menikah dengan wanita Islam namun kini ia telah bercerai
dengan istrinya “piyambake di usir garwane bu” ucap responden K-4 dengan sedih.
-
29
Meskipun DW telah berpisah dengan istrinya namun tetap beragama Islam dan
tinggal bersama orang tuanya. (Wawancara 5 & 9 Mei 2020)
Responden 5 (I-1)
Responden kelahiran 1976 ini tinggal di kota Salatiga bersama ayah, istri dan
dua anaknya. Saat dilakukan wawancara (8 & 10 Mei 2020) I-1 sudah berusia 43
tahun. Dia merupakan anak pertama dari 5 bersaudara dalam keluarga Kristen yang
sangat sederhana, sehingga I-1 hanya mengenyam pendidikan sampai SMP.
I-1 menikah dengan wanita yang enam tahun lebih tua dan beragama Islam, saat
penulis tanya “mau nenikah dengan orang yang lebih tua dan beda agama, kenapa?”
dia menjawab “ memang mungkin sudah jodohnya bu, ceritanya sangat panjang
kenapa saya menikah dengan dia”. Saat I-1 remaja dia pernah jatuh cinta pada
seorang perempuan, kemudian pacarnya itu bekerja di Hongkong. Namun sepulang
dari Hongkong ternyata perempuan itu menghianatinya dan menikah dengan orang
lain. Jadilah responden I-1depresi berat dan lari ke hal-hal negatif seperti mabuk-
mabukan. Sebagai anak pertama I-1 diharapkan dapat menjadi pengganti tulang
punggung keluarganya, namun I-1 malah frustasi dan pengangguran. Saat itulah dia
ketemu dengan istrinya yang dilihatnya sangat baik dan bisa menentramkan hatinya.
Karena istri beragama Islam maka dia mengajukan syarat mau menikah dengan
I-1 asalkan dengan tatacara Islam. Jadilah I-1 masuk Islam dengan upacara
pensyahadatan sebelumnya. Saat ini I-1 sudah dikaruniai dua orang putri berusia 13
dan 15 tahun.
Responden 6 (I-2)
Responden ini kelahiran tahun 1949 dengan demikian saat diwawancarai telah
berusia 74 tahun. Dia tinggal dirumahnya di kecamatan Pabelan kabupaten
Semarang. Waktu penulis datang kerumahnya nampak bersih dan pintu depan juga
jendela sudah terbuka. Meski belum kenal dengan penulis tapi ibu yang satu ini
lazimnya orang-orang desa lainnya, nampak ramah dan menyenangkan. Belum
sempat penulis bertanya apa-apa pada responden, I-2 bercerita “ kulo awit enjeng
-
30
sampun resik-resik grio nyiapke acaro pudungan, kulo kedah blonjo ten pasar
kangge malem selawe mbenjeng”. Pada awalnya I-2 dan suaminya beragama Islam
meski tanpa menjalankan syariat. Pada tahun 1970 dia memutuskan untuk pindah ke
desa yang lain dengan alasan “golek lemah sing jembar” kata I-2 saat menceritakan
masa lalunya.
Selama dia tinggal di desa barunya dia pernah pindah ke agama Kristen tepatnya
pada tahun 1987-1990. Kebaktian demi kebaktian dia ikuti meski perasaannya tidak
sepenuh hati bisa melupakan Islam. Bahkan katanya “kulo taseh wongsal wangsul
monga innalillahi wa innalillahi rojiun menawi kulo kesandung”. Sehari-hari I-2
berjualan sate sapi secara keliling dari desa ke desa dibantu suaminya terutama kalau
ada tontonan atau acara-acara seperti wayangan, dangdutan atau kemah anak sekolah.
“Lalu mengapa menjadi Islam lagi?” tanya penulis “lahir Islam pejah nggih kedah
Islam” jawab I-2. (Wawancara 11 & 12 Mei 2020)
Responden 7 (I-3)
Responden ini adalah seorang ibu muda yang beusia 46 tahun yang semula
tinggal dipinggiran kota salatiga bersama suami dan dua anak laki-akinya. Mereka
hidup bersama sebagai sebuah keluarga, karena mereka semua beragama katolik
maka kebaktianpun meraka lakukan bersama-sama tak jauh dari rumahnya.
Anaknya yang pertama sedang kuliah di China sementara yang kecil masih
sekolah di Salatiga. Ketika suaminya mendadak mengalami serangan jantung yang
kemudian merenggut nyawanya tepatnya bulan Februari 2019. Responden ini
mengalami kesedihan demi kesedihan yang membuatnya keluar masuk rumah sakit.
Dia mulai merasakan hidup yang sepi jauh dari anaknya dia merasa hidup
sebatangkara karena dia adalah anak tunggal dari bapak ibu yang sudah meninggal
juga. Oleh karena itu dia merasakan amat kesepian juga saat suaminya meninggal,
dalam perasaan sedih dan sepi itu dia merasa kebingungan tidak tau apa yang harus
dilakukan. Kebetulan para tetangganya yang beragama muslim banyak memberi
nasihat untuk mengurangi kesepian itu agar berjualan di pasar maka responden ini
-
31
untuk mengontrak kios kecil yang dijadikan sebagai warung sembako. Meski dia
menerima nasihat para tetangganya itu dia belum menjadi mualaf sehingga
kesehariannya masih pakai rok. Hingga akhirnya setelah tujuh bulan lamanya dia
memikirkan untuk masuk islam. (Wawancara 14 & 16 Mei 2020)
B. Latar Belakang Yang Mempengaruhi Terjadinya Konversi
Responden 1 (K-1)
Menelusuri apa kiranya yang mendorong responden ini menjadi Kristen butuh
waktu panjang untuk menemukan jawabannya. Namun K-1 yang bermula beragama
Islam dan menikah secara Islam ini akhirnya menceritakan bahwa selama berumah
tangga dia merasakan himpitan ekonomi begitu kuat “kerjo rekoyoso dan sering tidak
tenang” hingga kemudian dia mendapatkan pencerahan melalui doa-doanya dan
kemudian dia merasa dapat panggilan (petunjuk) untuk pindah agama. Panggilan itu
dia rasakan saat kerja di China, mungkin juga karena pengaruh pergaulan dari teman-
teman sepekerjanya di China. Maka pada waktu ia pulang ke desanya niat itu
diwujudkan menjadi Kristen melalui baptis di gereja. Perpindahan agama inilah yang
menyebabkan responden ini bercerai dari suaminya.
“Saya melihat kebaikan orang-orang yang sudah beragama Kristen juga
mempengaruhi niat saya untuk pindah juga. Disamping itu di gereja ada bantuan
semacam SPP, peningkatan pengembangan anak baik dari segi pendidikan maupun
kesehatan, dalam hal ini yang memberi adalah pihak gereja yang dananya dari luar
negeri” cerita K-1. Lebih lanjut responden ini juga menambahkan bahwa progam ini
bukan hanya untuk orang-orang Kristen namun diberikan kepada siapa saja yang
membutuhkan “anak-anak juga boleh tinggal di yayasan dan gratis hingga kuliah
jika keluarganya mengijinkan” inilah faktor-faktor yang menginspirasi K-1 untuk
melakukan pindah agama ke Kristen.
Responden 2 (K-2)
-
32
Responden ini berasal dari keluarga Muslim dan sejak kecil beragama Islam
meski tidak menjalankan syariat. Dia akui keluarganya tidak begitu giat dalam
beragama “islam KTP ngoten bu”. K-2 juga menceritakan bahwa pada waktu kecil
dia sering ikut “Sekolah Minggu” (yang diselenggarakan oleh gereja) didekat
rumahnya meskipun status dia sebagai anak orang Islam.
Saat dia berusia 13 tahun dia menikah dengan orang Islam dan hidup di Bogor
namun kondisi perkawinannya tidak bahagia, usia belum cukup ditambah ekonomi
yang morat-marit membuat dia tidak ada ketentraman batin sehingga menyebabkan
terjadinya perceraian. Setelah itu dia kembali ke desanya dan teringat kembali ajaran
yang diperoleh saat mengikuti “Sekolah Minggu” dulu. Diapun akhirnya pindah
menjadi Kristen meskipun di kemudian hari dia menikah lagi dengan orang lain yang
beragama Islam, namun dia tetap Kristen.
Hal lain yang menyebabkan responden K-2 ini lebih nyaman dengan agama
Kristen karena dia sebetulnya sangat takut dengan orang yang sudah meninggal dan
dipocong. Namun sejak dia beragama Kristen dia tidak takut lagi dengan orang mati
karena dalam tradisi Kristen jenazah tidak dipocong tapi di pakaikan pakaian
layaknya orang hidup.
Responden 3 (K-3)
Responden K-3 menikah secara Islam walaupun ia berasal dari keluarga yang
tidak begitu islami. Namun kala itu mertuanya selalu mengajari dan memerintahkan
untuk mulai mengamalkan ajaran Islam seperti sholat, mengikuti pengajian, dan
menutup aurot. Semua itu dia jalani tanpa beban karena dia merasa amat bahagia
menjalaninya.
Cerita hidupnya berubah saat dia pindah ke rumah sendiri dan hidup secara
mandiri tanpa bantuan dari ibu mertuanya. Problem ekonomi mulai menjalari
hidupnya dan pertengkaran-pertengkaranpun terjadi. K-3 yang tidak tamat SD
mencoba bekerja sebagai buruh di salon sementara suaminya menjadi buruh
bangunan yang tidak tentu penghasilannya “sejak saya pindah ke rumah sendiri saya
-
33
tidak lagi menjalankan syariat Islam, kesibukan keprihatinan membuat saya
melepaskan semuanya” cerita K-1. “ Lalu mengapa mbak kemudian masuk Kristen
padahal suami mbak kan Islam?” K-3 pun menjawab “saya juga nggak tahu, tapi hati
nurani saya ingin saja pindah ke Kristen saya melihat ada keluarga saya yang
beragama Kristen begitu mudah berhubungan dengan Tuhan tidak begitu ribet harus
berwudhu dan lain-lain walaupun saya sudah pernah mencoba namun tetap sulit
bagi saya. Mungkin inilah cara Tuhan memberi pencerahan kepada saya. Dalam
Kristen juga mudah dalam mengungkapkan penderitaan saya, saya jadi mudah
mencari rizki lewat keluarga saya yang sudah menjadi Kristen sebelumnya
disamping itu suami juga tidak mempersalahkan saya menjadi Kristen”.
Responden 4 (K-4)
Dibesarkan dalam keluarga yang beragama Islam, K-4 terbiasa dengan ajaran-
ajaran Islam yang secara umum dijalankan seperti sholat meski terkadang masih
bolong-bolong (tidak lengkap), “kulo nggih ngangge krudung menawi nderek
pengajian, kulo nggih poso” cerita K-4. Namun, karena mengikuti suaminya yang
beragama Kristen K-4 pindah ke Kristen mengikuti agama suaminya. “Mengapa bu?”
tanya penulis “sementara keluarga ibu masih beragama Islam semua” K-4 pun
menjawab “bapak kulo mboten nglarang kulo menikah kaleh tiang ingkang Kristen
malah piyambake mongal “ora popo malah ben rukun” kangge kulo sedanten agama
sami ngajari ingkang sae-sae. Kulo nggih tentrem bu uripe amargi sampun
ngrumangsani saget bekti marang pasangan kulo” ungkap K-4 mengakhiri ceritanya.
Itulah faktor-faktor atau latar belakang mengapa 4 responden diatas pindah
agama dari Islam ke Kristen. Lalu apa yang menyebabkan ke-3 responden berikutnya
yang melakukan konversi agama dari Kristen ke Islam? Berikut adalah
pemaparannya.
Responden 5 (I-1)
Responden ini mempunyai latar belakang keluarga beragama Kristen. Dia hidup
dalam kesederhaan ekonomi bersama ayah dan 4 orang adiknya. Saat masih remaja I-
-
34
1 pernah frustasi dan depresi karena ditinggal menikah oleh kekasihnya. Cukup lama
dia mabuk-mabukkan dan menjadi penggangguran yang sangat membebani ekonomi
keluarganya hingga akhirnya dia kenal dengan perempuan yang usianya 6 tahun lebih
tua dan beragama Islam. Kemudian keduanya menikah secara Islam dan jadilah I-1
ini memeluk agama Islam. “Mengapa I-1 mau pindah ke agama Islam?” tanya penulis
“awalnya mungkin karena syarat perkawinan dari istri saya bu. Namun lama
kelamaan saya melihat kebaikan istri saya terhadap saya maupun keluarga saya
(kebetulan istri I-1 tinggal serumah dengan keluarga I-1 hingga sekarang). Saya
mulai melihat perbedaan Kristen dan Islam” “kenapa begutu?” tanya penulis.
“Dalam Islam ada ajaran untuk menutup aurat, istri saya meskipun menjajakan
dagangannya secara keliling namun dia tetap memakai baju muslim. Pada awalnya
meskipun saya sudah masuk Islam saya belum terbiasa melakukan sholat hingga
beberapa lama. Namun akhirnya saya mulai belajar sholat, puasa dan lain-lain” kata
I-1 mengakhiri ceritanya.
Responden 6 (I-2)
Awalnya I-2 dan suaminya beragama Islam dan menikah secara Islam. Namun
setelah memilih pindah ke desa yang lain dan bekerja secara serabutan (jual sate
keliling dengan suaminya) hingga tidak banyak waktu untuk memperhatikan anak.
Sewaktu anak pertama mau melanjutkan ke SMP, I-2 mengalami kesulitan karena
NEM-nya dibawah standart “kulo sewau sedih bu amargi lare niku anak mbarep la
pie nek ora sekolah lak yo ora iso kerja” tutur responden I-2.
Saat konflik seperti itu ada seorang tetangganya yang datang menawarkan solusi
menjamin anaknya bisa melanjutkan ke SMP Kristen dan gratis, rupanya dia adalah
utusan dari gereja setempat. Maka jadilah dia sekeluarga pindah ke agama Kristen
“kulo akhire dibaptis kaleh keluarga kulo” cerita I-2. “kenapa mau pindah ke
Kristen” “ kulo namung mikir pie carane lare kulo saget sekolah lan gratis, kulo
namung pasrah ora ono agomo sing elek”. Tetapi kebaktian demi kebaktian yang
responden lakukan tidak membuat dia lupa sama sekali dengan Islam seperti
-
35
penuturannya kepada penulis “Kulo taseh terbiasa mongal innalillahi menawi kulo
kesandung lan inger lelayu. Meniko kulo alami langkung tigang tahun”.
Sejak awal para tetangga responden ini mengira bahwa agama responden ini
adalah agama Kristen “amargi kulo mboten nate nglakoni syariat, dados ngertine
kulo niku nggih Kristen mawon padahal KTP kulo sewau Islam” cerita I-2.
“bagaimana ceritanya ibu masuk Islam lagi?” responden ini menjawab “lair Islam
pejah kedah Islam”, itu terjadi setelah anaknya beberapa tahun setelah anaknya lulus
dari SMP Kristen “kulo akhire diparingi sadar ingkang Moho Kuwoas, mbalik maleh
ten Islam kulo nyuwun disyahadatke modin asli deso kulo. Kulo nggih matur modin
dusun mriki””menurut ibu apa sisi baiknya dari ajaran Kristen yang semppat ibu
rasakan?””sosiale sae bu, katah maringi bantuan sekolah gratis, modal kerja lan
sanesipun” “kalau yang membedakan dengan Islam apa?” tanya peulis “bab reresik
langkung sae Islam bu” “maksudnya apa?” tanya penulis “menawi ten Kristen kirang
resik ipun, dongo, kebaktian mboten ngangge reresik (wudhu) menawi ten Islam kan
kedah wudhu riyen. Kulo piyambak langkung terampil ngucap Gusti Allah langkung
Gusti Yesus”
Responden 7 (I-3)
Berasal dari keluarga yang berkecukupan dengan kultur agama katolik yang kuat
I-3 akhirnya memilih menjadi muallaf. Ketika penulis tanya “mengapa mbak”
responden ini menjawab “ febrari 2019 suami saya meninggal saat itu bisa dikatakan
mengalami depresi berat hingga mempengaruhi kesehatan pisik saya. Saya menjadi
terpuruk dan sakit berkali-kali, entah mengapa bu saya sedih sekali kehilangan suami
saya yang meninggal. Saya merasa tidak memiliki apa pun karna suami adalah
segalanya bagi saya maka ketika dia tiada perasaan sepi membuat tubuh saya tidak
berdaya. Disaat begitu teman-teman saya yang satu gereja tidak ada yang
mengunjungi saya hingga membuat saya semakin terpuruk. Untunglah tetangga-
tetangga yang beragama Islam justru pada menghibur saya setiap hari bahkan ada
yang mengajari saya tentang bagaimana meneruskan hidup selanjutnya. Tetangga
-
36
saya itu bilang kalau kita mau berusaha misalnya berjualan di pasar pasti Allah akan
memberikan riski apada kita. Perlahan-lahan ucapan tetangga saya yang muslim ini
saya resapi meski tidak begitu saja membuat hati dan tubuh saya bugar kembali.
Namun demikian tetangga muslim itu tetap menyemangati hidup saya hingga saya
mulai mampu bersosialisasi dengan tetangga-tentangga dan teman disekitar rumah
saya. Tak jarang saya mulai tertarik dengan baju muslim yang dipesan oleh teman
saya melalui online kemudian saya mencobanya meskipun saat itu saya belum pindah
agama. Mereka juga mengajarkan saya mengambil air wudhu jika saya sedang sedih
dan itupun saya praktekkan yang membuat hati saya merasakan ketenangan yang luar
biasa hingga akhirnya saya memutuskan untuk pindah agama Islam tepatnya bulan 9
tahun 2019. Saya disyahadatkan oleh seorang kiyai di desa saya meskipun tidak
mendapakan persetujuan dari kedua anak saya.
Pada bulan Februari 2020 responden ini menikah lagi dengan seorang laki-laki
muallaf juga bahkan sudah menjalankan ibadah umroh. Ia kemudian pindah rumah
bersama suaminya di kota Salatiga.
C. Proses Terjadinya Koversi dan Implikasinya Bagi Keberagamaan Pelaku
Jika penulis mencermati proses terjadinya konversi dari setiap responden dalam
penelitian ini maka hampir semua responden melakukan konversi melalui proses
panjang yang diawali oleh berbagai ragam konflik batin dengan kerisauan yang
menjadi pemicu sentral bagi terjadinya konversi. Mereka tidak secara mendadak
begitu saja pindah agama namun melalui tahapan waktu tertentu.
Responden 1 (K-1) misalnya, melalui perasaan ketidaknyamanan himpitan
ekonomi dan percekcokan dengan suaminya menyebabkan dia ingin pindah ke
Kristen. Dia kemudian pergi kerja ke luar negeri dan perasaan ingin masuk Kristen
semakin kuat. Niat itupun dia wujudkan saat dia pulang ke desanya dan akhirnya dia
bercerai karena konversi tersebut. Setelah menjadi Kristen dan dibaptis responden ini
giat melakukan kebaktian di gereja. Namun sejak ada pandemi corona ia tidak lagi ke
gereja namun tetap melakukan kebaktian di rumah secara bergantian dan maksimal
-
37
tiga keluarga. Sementara materi kebaktian dikirim dari gereja, cerita responden 1.
Disamping itu saya juga aktif mengikuti persekutuan brayat (semacam jamaah
yasinan di Islam) yang disebut sebagai PPA (Persekutuan Pendalaman Alkitab) satu
minggu sekali dan diadakan satu minggu sekali dari rumah ke rumah secara
bergantian (door to door). Saya juga menyisihkan 10% penghasilan saya untuk
disetor ke gereja. “saya merasa setelah menjadi Kristen riski saya menjadi lancar
dan lebih tenang “ cerita responden “Bagaimana pandangan masyarakat setempat?”
tanya penulis. “masyarakat disini semua toleran bu, yang penting kewajiban sosial
saya lakukan. Yang penting saya tidak “deweni””. Dia juga menambahkan “rata-rata
orang yang masuk Kristen disini karena kebaikan orang Kristen juga. Didalam agama
Kristen ada juga kewajiban puasa selama 40 hari dan bisa memilih jenis puasa yang
mau dijalani misalnya puasa mutih, ngrowot dan lain-lain. Sehari hanya makan
sekali, seperti puasa kemarin yang saya lakukan di bulan april bertepatan dengan hari
Paskah”.
Responden 2 (K-2) ini mengalami proses konversi yang agak unik, dilahirkan
dari keluarga muslim meski sekedar keyakinannya saja. Namun masa kecilnya yang
sering dan ke sekolah minggu akhirnya pada saat ehidupan rumah tangganya
terombang ambing konflik yang berakhir dengan perceraian. Dia memutuskan untuk
pindah ke agama Kristen. Dia ingin memutuskan segala penderitaanya dengan
keyakinan yang baru meskipun dia akhirnya juga menikah lagi dengan orang Islam
namun dia tetap Kristen. Keputusan untuk pindah ke Kristen juga bukan keputusan
yang mendadak namun dipirkan setelah lama mengalama penderitaannya. “Lalu apa
yang dikerjakan setelah pindah ke Kristen?”, “ awale kulo taseh asreng kebaktian ten
grejotempat kulo dibaptis, sareng-sareng tetanggi. Sakniki sampun jarang amargi
abot olehe golek upo. Ten griyo kathah pesenan kursi dados kulo nderek jait jok
kursi, idep-idep ngewangi bojone kulo” papar K-2. “nanging ngantos sakmeniko kulo
taseh asring moco-moco alkitab woten nggriyo. Kulo nggih taseh nderek kempalan
persekutuan brayat.” “mengapa tertarik dengan agama Kristen?” tanya penulis.
-
38
“lebih tentrem mawon bu, raose ten manah kulo. Kulo riyen ajrih sanget menawi
enten tiang pejah amargi di pocong nanging sak meniko mboten ajreh maleh, amargi
wonten Kristen tiang pejah mboten di pocong.”
Responden 3 , jika menilik kembali latar belakang hidupnya. Responden K-3
juga menjadi Kristen tidak begitu saja namun melalui proses waktu yang agak lama.
Awalnya dia ragu mau cerita tentang mengapa dia pindah ke Kristen, ada semacam
ketakutan untuk menceritakannya. Awal kehidupan yang bahagia bersama suami,
anak, dan ibu mertua masih dalam keadaan Islam. Saat itu kebutuhan ekonomi K-3
tiidak begitu masalah karena masih dibantu ibu mertuanya. Namun setelah pindah ke
rumah sendiri kesulitan hidup mulai ia rasakan K-3 tidak lagi menjalankan ajaran
Islam dengan beberapa alasan misalnya karena sibuk kerja, ribet dan lain-lain.
Kebetulan K-3 yang hanya tamat SD ini menjadi buruh di salon di Salatiga. Pada
akhirnya K3 pindah ke agama Kristen dengan harapan bisa mengubah nasibnya
disamping itu kebetulan suaminya juga tidak mempermasalahkan. “entah mengapa
bu saya seneng pindah ke Kristen, saya dibaptis. Bagi saya Kristen lebih mudah cara
berdoanya dan juga lebih mudah mengungkap seluruh penderitaan saya. Sejak
menjadi Kristen itulah saya jadi rajin ke gereja” Kata responden 3. “namun sejak
kasus corona ibadah mingguan di gereja dihentikan, saya melakukannya di rumah
saja sambil mengikuti persekutuan btrayat atau PPA. Saya juga puasa sama dengan
penduduk sini yang sudah beragama Kristen meskipun berbeda dengan agama
Islam”.
Responden 4 (K-4), berbeda dengan 3 responden sebelumnya. Responden ini
pindah ke agama Kristen tidak didahului oleh konflik berat sebelumnya. Dia pindah
ke agama Kristen sejak menikah dengan suaminya yang beragama Kristen. Restu
orang tua dan rasa ingin berbakti denga suami menjadikan responden ini dengan
mudah melepaskan ajaran yang dipeluk sebelumnya. Responden berdalih “sedoyo
agami sami mawon ngajarke ingkang sae, ibadah, poso, lan sanesipun” bagaimana
pandangan tetangga ibu yang kebetulan masih ada hubungan keluarga dan beragama
-
39
Islam?”. K-4 menjawab “sae-sae mawon bu, mboten nate res-resan (bertengkar)”.
“apa yang membedakan dulu waktu beragama Islam dengan kondisi yang sekarang”
“kulo agamine Islam ngantos umur 13 tahun, sakbare niku kulo dados Kristen. kulo
ggih ngroso remen saget bekti marang semah kulo” tutur K-4. “sak meniko kulo
ngibadah wonten gerejo sak wise dipun baptis setiap minggu sepindah, nderek PPA
terkadang kulo nggih angsal giliran PPA ten griyo kulo. Kulo nggi poso nopo
nanging benten kaleh poso ten Islam”.
Responden 5, responden ini pindah dari Kristen ke Islam juga tidakbutuh waktu
yang lama yaitu sejak ia kenal dengan wanita yang berusia 6 tahun lebih tua darinya
dan kebetulan beragama Islam. Wanita ini sangat perhatian terhadap I-1 yang saat itu
sedang depresi berat akibat patah hati karena kebaikannya itu jadilah dia menikahi
wanita itu secara Islam melalui pengucapan syahadatain dan secara tidak langsung I-
1 ini juga telah menjadi Islam. Hari-hari awal menjadi Islam dia tidak bisa langsung
menjalankan syariat Islam, yang membedakannya adalah I-1 tidak lagi ke gereja atau
ikut kegiatan lainnya yang diadakan di gereja. “Tapi lama-kelamaan saya belajar
banyak pada istri saya dan saya semakin tertarik dengan Islam, maka jadilah saya
ikut puasa, sholat meski kadang terasa masih belum lengkap akibat kelelahan
bekerja. Tapi saya cukup bahagia dengna agama baru ini bersama istri, ayah dan
kedua putri saya”.
Responden 6, responden ini kehidupan agamanya tergolong rumit. Pernah Islam
meski hanya KTP karena suatu konflik kemudian masuk Kristen. Namun setelah
konflik berlalu timbul kesadarannya kembali lagi ke Islam dan menjadi lebih religius,
terlebih setalah dia ditinggal mati oleh suaminya. Keputusan pernah menjadi Kristen
dia tempuh karena mengalami problem berat berkaitan dengan pendidikan anak
pertamanya. Maka apapun dia lakukan yang penting anaknya bisa melanjutkan
sekolah agar nanti bisa cari kerja apalagi saat itu ditawari gratis sekolah. Namun
setelah proses konflik berlalu ia mulai menyadari kesalahannya dengan berpindah
agama. Keyakinannya “lahir Islam pejah nggih kedah Islam” maka responden 6
-
40
minta disyahadatkan kembali oleh moden setempat jadilah dia muslim kembali. “niki
kulo nggih nembe nyiapke acaro pudunan (acara yang diadakan setelah puasa dapat
20 hari dengan membawa sedekah yang berupa makanan dibawa kemasjid kemudian
dimakan bersama setelah jamaah maghrib untuk mena