KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN...
Transcript of KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN...
-
KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN
(STUDI SEMIOTIKA MAKNA ESAI FOTO JURNALISTIK KARYA NG
SWAN TI BERJUDUL FLORES REVISITED PADA PAMERAN
JAKARTA BIENNALE 2015).
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh : Ardiansyah Pratama
NIM : 1110051100107
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
-
i
-
ii
-
iii
-
iv
ABSTRAK
Ardiansyah Pratama
1110051100107
Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi Semiotika Makna Esai
Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores Revisited Pada Pameran
Jakarta Biennale 2015)
Keberagamaan merupakan proses representasi dari setiap individu
masyarakat dalam berkeyakinan terhadap agama yang dianutnya. Baik langsung
dan tidak langsung perilaku individu dalam beragama dibentuk oleh tatanan
masyarakatnya. Yakni tidak saja tatanan masyarakat yang “natural” berlangsung
dari generasi ke generasi, tetapi juga hasil percampuran dengan kebudayaan asing
yang terintergrasi dengan kultur keberagamaan lokal.
Melalui media fotografi, jurnalis foto Ng Swan Ti dari PannaFoto Institute
berhasil mendokumentasikan ritual keagamaan hari raya paskah agama Katolik
yang dilakukan masyarakat Flores tahun 2015. Karya ini berhasil masuk dalam
pameran berskala Internasional yaitu Jakarta Biennale 2015 “Maju Kena Mundur
Kena: bertindak sekarang”.
Representasi keberagamaan masyarakat Flores dalam dokumentasi esai foto
tersebut menurut hemat penulis penting dikaji. Pertama, foto secara detail dan luas
menggambarkan konteks objek yang didokumentasikan Tetapi foto tidak
selamanya objektif dalam menggambarkan realita faktual karena terbatas pada
pose-pose tertentu. Kedua, karena itu, penting mendapatkan keseluruhan objek foto
yang didokumentasikan dalam esai foto agar dapat dinarasikan gambaran
keberagamaan masyarakat Flores sehingga secara faktual merepresentasikan
realitas yang sesungguhnya.
Pada penelitian ini penulis menggunakan paradigma konstruktivis dengan
pendekatan kualitatif. Sementara metode penelitian yang digunakan adalah
semiotika Roland Barthes. Semiotika model Roland Barthes memiliki tiga tahapan
dalam memaknai sebuah foto, yaitu tahapan denotasi, konotasi serta mitos.
Setelah melakukan pengkajian melalui analisis semiotika model Roland
Barthes terhadap foto Flores Revisited karya Ng Swan Ti, Penulis menemukan ciri
keberagamaan masyarakat modern yang terintegrasi dengan budaya lokal modern
karena agama Katolik masuk ke Flores pada abad ke-16. Dalam ritual
keagamaannya agama Katolik menggunakan ornament seperti lilin, patung,
confetti, bunga dan seterusnya. Hal tersebut menjadi kebudayaan baru bagi
masyarakat Flores. Lalu penulis juga melihat adanya evolusi keberagamaan di
Flores dalam waktu yang cukup lama.
Kata Kunci: Fotografi, Semiotika, Keberagamaan, Masyarakat Modern, Flores
-
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru
sekalian alam yang menyeru sekalian hati hamba-Nya untuk selalu turut serta dalam
samudra makrifat hingga tenggelam dalam kecintaan kepada-Nya. Tiada kata yang
tepat untuk mendeskripsikan segalanya selain rasa syukur atas petunjuk dan
pertolongan kepada penulis, sehingga terselesaikannya skripsi ini. Shalawat serta
salam atas Al-Mustafa Sayyidina Muhammad SAW, serta keluarga dan para
sahabatnya yang telah membawa kebaikan kepada umatnya dari jalan kegelapan
menuju jalan yang terang benderang.
Setelah beberapa semester lamanya menimba ilmu di kampus tercinta,
akhirnya penulis dapat dengan sabar mengentaskan karya ini sebagai tongkat estafet
pengejawantahan ilmu. Penulis menyadari, karya ini belum mencapai
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka dengan lebar kritik dan saran
para pembaca. Penulisan karya ini juga tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.
Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Suparto, M,Ed, Ph,D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik,
Dra. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi dan
Keuangan, dan Dr. Suhaimi, M.Si selaki Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan.
-
vi
2. Kholis Ridho. M.Si selaku Ketua Program Studi Jurnalistik sekaligus
menjadi dosen pembimbing dalam penelitian ini yang telah banyak
meluangkan waktu serta memberikan ilmunya dalam selama proses
bimbingan. Sebagai Ketua Program Studi beliau juga telah banyak
memberikan bantuan moril kepada penulis.
3. Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A selaku sekertaris Program Studi Jurnalistik
yang telah meluangkan waktu untuk berkonsultasi dan membantu penulis
dalam hal perkuliahan
4. Terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu-
ilmunya kepada penulis selama penulis menimba ilmu di sana.
5. Terima kasih kepada segenap staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi.
6. Terima kasih kepada fotografer Ng Swan Ti selaku narasumber yang telah
meluangkan waktu untuk wawancara serta berbagi wawasan dan
pengalaman kepada penulis.
7. Kepada orang tua penulis, Bapak Syape’i dan Ibu Nursiah yang telah
menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih
telah bersabar dengan waktu yang lama.
8. Terima kasih kepada adik-adik penulis, Maulana Yusuf dan Mitha Aulia
yang tiada hentinya memberi dukungan baik yang bersifat moril mapun
materiil.
-
vii
9. Terima kasih kepada Nanda Aullia yang telah banyak memberi semangat
dan memantau perkembangan penelitian.
10. Terima kasih kepada sahabat-sahabat Jurnalistik UIN, Rizki Solehudin
(kinoy), Rezha Alfian (Ejhon), Mario (bonte), Hanggi tyo, Diyah Halim,
Aditya (bebeks), Sayid Muarif (atep), Algifari, Nissa, Doci, Denny, Khoirur
Rozi, Singgih, Bisri, Syahrijal dan seluruh sahabat Jurnalistik lainnya.
11. Terima kasih kepada sahabat-sahabat SMAN 32 Jakarta, Kiting, Matius,
Roy, Reza, Yusran, Imam, Ucup, Fadil yang tidak bosan-bosannya
menemani dalam mencari inspirasi serta referensi.
12. Terima kasih kepada keluarga besar LPM Journo Liberta yang telah
mengajarkan penulis tentang betapa pentingnya menjadi manusia yang
bermanfaat bagi manusia lainnya, terlebih dalam memberikan ilmu serta
pengalaman di bidang kejurnalistikan.
13. Terima kasih kepada keluarga besar UKM FORSA UIN, Mas Syaifullah
Nur (Coach), Mas Wahyu (Bosek), Mas Topik (Orixs), Mas Ade Shofari,
Dek Doyok, Dek Khafi, dan para senior juga seluruh anggota tim lainnya.
14. Terimakasih kepada UKM KALA CITRA, Kak Elisha, Kak Rizkikim, Kak
Muhammad Ibnu, Kak Fakhri, Dian, dan segenap teman-teman lainnya
yang telah banyak membantu.
15. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Jakarta, 3 Juli 2017
-
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR .............................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. x
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Batasan Dan Rumusan Masalah ....................................
1. Batasan Masalah .....................................................
2. Rumusan Masalah ..................................................
6
6
7
C. Tujuan Penelitian .......................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ........................................................
1. Manfaat Akademis .................................................
2. Manfaat Praktis .......................................................
8
8
9
E. Metode Penelitian .........................................................
1. Paradigma Penelitian ..............................................
2. Metode Penelitian ...................................................
3. Subjek dan Objek Penelitian ...................................
4. Waktu Penelitian ………….....................................
5. Sumber dan Jenis Data ............................................
6. Teknik Pengumpulan Data ......................................
7. Analisis Data ...........................................................
9
9
10
11
11
11
12
13
F. Tinjauan Pustaka .......................................................... 13
G. Sistematika Penulisan ................................................... 15
-
ix
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Keberagamaan dan
Masyarakat Modern ......................................................
1. Konsep Keberagamaan ...........................................
2. Konsep Masyarakat Modern ...................................
17
17
27
B. Konsep Evolusi Agama ................................................. 33
C. Fotografi Jurnalistik .....................................................
1. Sejarah Foto Jurnalistik ...........................................
2. Jenis Foto Jurnalistik ...............................................
38
40
42
D. Tinjauan Umum Tentang Semiotika .............................
1. Pengertian Semiotika .............................................
2. Semiotika Roland Barthes .......................................
52
52
56
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Tentang Sejarah Flores .................................................
B. Tentang Jakarta Biennale 2015 .....................................
1. Sejarah Jakarta Biennale .........................................
2. Jakarta Biennale ......................................................
C. Profile Ng Swan Ti .......................................................
64
67
67
71
72
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Data Foto 1 .....................................................
1. Makna Denotasi .......................................................
2. Makna Konotasi ......................................................
3. Makna Mitos ............................................................
77
77
78
84
B. Analisis Data Foto 2 .....................................................
1. Makna Denotasi .......................................................
2. Makna Konotasi ......................................................
3. Makna Mitos ...........................................................
86
86
87
93
C. Analisis Data Foto 3 ......................................................
1. Makna Denotasi .......................................................
2. Makna Konotasi ......................................................
3. Makna Mitos ...........................................................
94
94
95
101
-
x
D. Analisis Data Foto 4 .....................................................
1. Makna Denotasi .......................................................
2. Makna Konotasi ......................................................
3. Makna Mitos ............................................................
105
105
106
112
E. Pembahasan ................................................................... 113
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................
1. Tahap Denotasi .....................................................
2. Tahap Konotasi .....................................................
3. Tahap Mitos ..........................................................
118
118
118
119
B. Saran ............................................................................ 120
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 123
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................... 129
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Studi Evolusi Agama Wallace ..................................................... 37
Tabel 2 : Peta Tanda Roland Barthes .......................................................... 57
Tabel 3 : Perbandingan antara Konotatif dan Denotatif ............................. 59
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Tatanan Penandaan Barthes ..................................................... 58
-
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman etnis, budaya,
bahasa, dan agama. Menurut sejarah, kaum pendatang yang telah menjadi
pendorong utama keanekaragamaan agama dan kultur di Indonesia, seperti
pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda.1 Hal tersebut
menjadikan Indonesia sebagai negara yang multikultur dan multiagama.
Berdasarkan uraian di atas, Agama2 di Indonesia tampil dalam bentuk yang
berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu
berkembang. Dengan maksud, seiring melalui pemahaman kebudayaan tersebut
seseorang akan dapat mengamalkan atau menjalankan ajaran agama. Misalnya,
kebudayaan dalam berpakaian, kebudayaan dalam pengartian sebuah benda, dan
tata cara bergaul bermasyarakat. Dalam unsur kebudayaan tersebut unsur agama
ikut berintegrasi, seperti model jilbab, kebaya, songket atau tenun ikat dan hal
lainnya yang dapat dijumpai dalam pengalaman agama tertentu pada tiap
masyarakat. Oleh karena itu, agama di Indonesia berbaur harmonis dengan beragam
kebudayaan yang terbentuk dalam sebuah masyarakat.
Agama merupakan salah satu unsur yang utama dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan di Indonesia, sehingga agama mempunyai landasan secara yuridis
1 Laode Monto Bauto, Prespektif Agama dan Kebudayaan Dalam Kehidupan Masyarakat
Indonesia, (Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 23, No. 2, Desember, 2014), hal, 19. 2 Menurut Kamus Bahasa Indonesia, agama merupakan ajaran atau sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia berserta lingkungan. Dikutip dari Tim Redaksi Kamus
Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa 2008), hal. 17.
-
2
yang termaktum dalam Pancasila pada sila pertama yaitu pinsip dasar negara
berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas
berkeyakinan atau memeluk agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.3
Dalam kitab Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Republik Indonesia,
agama diatur dalam Pasal 29 yang berbunyi:
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Sebagai pelaksanaan Pasal 29 (2) UUD 1945 pemerintah mengeluarkan
Ketetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan
atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5 Tahun 1969 tentang
pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-
Undang.4
Secara formal ada enam agama yang diakui di Indonesia, seperti dalam
Peraturan Presiden (Pepres) nomor 1 tahun 1965 (Setelah Keputusan Presiden No.
6 Tahun 2000) disebutkan:5
"Agama-agama yang dapat dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khongucu. lni tidak berarti bahwa
agama agama lain, rnisalnya yahudi, Zaratustrian, Shinto dan Taoisme
dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang
diberikan Pasal 29 ayat (2) UUD 45 dan mereka dibiarkan adanya, asal
tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini
atau peraturan perundangan lain".
3 Budiyono, Hubungan Negara Dan Agama Dalam Negara Pancasila, Fiat Justisia Jurnal
Ilmu Hukum Volume 8 No. 3, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Juli-September 2014, hal.
410. 4 UU No.1/PNPS/1965/ UU No. 5/PERPRES/1969,
https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/posting/read/562-postingreadimplementasi-rekomendasi-
kunci-terkait-penodaan-agama-di-indonesia-antara-tantangan-dan-peluang diakses pada tanggal 3
maret 2017. 5 Tambahan Lembaran Ncgara Nornor 2726, Penjelasan UU (Perpres) nomor 1 tahun 1965.
Dikutip dari https://kemenag.go.id/file/dokumen/UU1PNPS65.pdf diakses pada tanggal 3 maret
2017.
https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/posting/read/562-postingreadimplementasi-rekomendasi-kunci-terkait-penodaan-agama-di-indonesia-antara-tantangan-dan-peluanghttps://balitbangdiklat.kemenag.go.id/posting/read/562-postingreadimplementasi-rekomendasi-kunci-terkait-penodaan-agama-di-indonesia-antara-tantangan-dan-peluanghttps://kemenag.go.id/file/dokumen/UU1PNPS65.pdf
-
3
Pada zaman orde baru yang berlangsung pada Maret 1966 hingga 1998,
masyarakat Indonesia diwajibkan memilih agama yang telah sah tentukan
pemerintah saat itu untuk dicantumkan pada kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP).6
Namun masalah timbul ketika pemerintah mengeluarkan aturan pembatasan
kegiataan salah satu agama yang telah diresmikan sebelumnya. Pemerintah Orde
Baru mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 1967 yang menghendaki agar adat, budaya
dan kepercayaan yang bercirikan Cina dibatasi atau dipersempit ruang geraknya,
sehingga agama Khonghucu hanya dianggap sebagai kepercayaan saja sehingga
tidak diizinkan mencantumkan agama tersebut dalam kolom Kartu Tanda
Penduduk. Selain itu, pemerintah menghapus mata pelajaran agama Khonghucu
dalam kurikulum pendidikan Sekolah Dasar. Sehingga mengakibatkan kaum
pelajar Khonghucu pada tahun 1977 dipaksa mengikuti pelajaran pendidikan agama
lain demi memenuhi tuntunan kurikulum yang berlaku.7
Ng Swan Ti adalah fotografer keturunan Cina Khongucu yang besar pada
era orde baru. Sebagai keturunan Cina Khongucu yang besar pada orde baru, Ng
Swan Ti hidup di luar sekat agama yang disediakan pemerintah dan diamini
masyarakat8. Fotografer kelahiran Malang 1970 ini mencoba menyajikan foto cerita
berjudul Flores Revisited mengenai kegelisahannya dalam beragama di Indonesia.
Sejak kecil, Ng Swan Ti telah dikenalkan dengan berbagai agama. Ibunya beragama
Konguchu -yang dulu masih dilarang pemerintah- di sekolah, ia sempat belajar
islam dan katolik hingga akhirnya ia dibaptis ketika kuliah. Pengalaman pribadi
6 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, (Yayasan
Jakarta Biennale, 2015) hal. 197. 7 Gunawan Saidi, Perkembangan Agama Khongchu di Indonesia (Study Kasus di
Masyarakat Cina Penganut Agama Khonghucu di Tangerang), hal. 6. 8 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 196.
-
4
sejak kecil menjadi bahan bakar yang menggerakan hasratnya untuk menciptakan
karya tersebut.9 Flores Revisited menjadi menarik bagi penulis, pasalnya Ng Swan
Ti mengajak pelihat foto (termasuk penulis) merasakan kegelisahan yang sama
dalam perjalanan atau proses hidupnya dalam beragama.
Flores Revisited hadir di tengah masyarakat dalam acara seni bergengsi dua
tahunan Jakarta Biennale yang bertema “Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak
Sekarang” yang berlangsung di Gudang Sarinah pada 15 November 2015 hingga
17 Januari 2016.10 Pada umumnya 14 foto Ng Swan Ti yang tersaji dalam pameran
tersebut memperlihatkan kehidupan beragama masyarakat Larantuka, Flores saat
menyambut perayaan Hari Paskah atau Kenaikan Isa Almasih. Namun dibalik itu
semua tersirat persepsi dirinya dalam beragama.
Ng Swan Ti yang memang menyukai perjalanan seorang diri (seperti terlihat
dalam karya sebelumnya Ilusion), tetap membawa karakternya tersebut dalam
karya Flores Revisited. Terlihat secara samar-samar foto esai Flores Revisited
merupakan gambaran perjalanannya yang dapat dikatakan bukan perjalanan singkat
untuk memahami identitasnya sebagai katolik dengan mengikuti dan melihat
keberagamaan yang dilakukan masyarakat Larantuka Flores dalam menyambut hari
raya Paskah.11
Foto-foto karya Ng Swan Ti ini merupakan foto jurnalistik dalam bentuk
foto esai yang bertujuan untuk menyampaikan pendapat atau opini secara sekaligus,
fakta dan peristiwa hanyalah pelengkap saja.12 Foto esai bukan hanya melaporkan
9 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 197 10 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 6 11 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 197 12 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, ( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), hal. 70.
-
5
suatu gejala, peristiwa atau isu tertentu, ia juga mampu menganalisa suatu kejadian.
Foto esai adalah rangkaian argumen yang menyatakan sudut pandang tertentu dari
si fotografer.13 Dengan begitu foto esai memiliki sebuah cerita tersendiri, kerap kali
foto esai digunakan untuk bercerita, kritik, serta sarana bantu belajar.
Setelah melihat dan mengamati karya tersebut, penulis ingin masuk lebih
dalam untuk mengetahui dan menganalisis14 makna yang terkandung dalam foto-
foto yang Ng Swan Ti tampilkan. Karena foto dapat dianalisis, dapat dijabarkan dan
dapat memberikan pandangan baru yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Seperti
yang dikatakan Paul Messaris pada buku Kisah Mata karya Seno Gumira
Adjidarma, bahwa
“Gambar-gambar yang telah dihasilkan manusia termasuk hasil dari
fotogarfi dapat dipandang sebagai suatu keberaksaraan visual. Dengan
kata lain, gambar tersebut bisa dibaca karena merupakan bagian dari suatu
cara berbahasa. Jika dalam berbahasa bisa diandaikan sebagai produk
pikiran, sehingga tercipta wacana pengetahuan, maka demikian pula
halnya dengan penghadiran gambar-gambar.”15
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gambar-gambar atau foto sama
halnya dengan teks atau aksara dapat dibahas melalui makna-makna yang
terkandung dalam foto tersebut, karena semua yang ada dalam kehidupan kita
sebenarnya memiliki makna atau pesan yang ingin disampaikan.16
Untuk menganalisis karya foto yang berjudul Flores Revisited karya Ng
Swan Ti, penulis menggunakan pisau bedah analisis semiotika model Roland
13 Taufan Wijaya. Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 76. 14 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, analisis merupakan penyelidikan terhadap suatu
peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Seperti sebab musabab, duduk perkara dan
sebaginya. Dikutip dari Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indoensia, Kamus Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal 59. 15 Seno Gumira Ajidarma. Kisah Mata, Fotografi Antara Dua Subjek: Perbincangan
Tentang Ada, (Yogyakarta: Galang Press, 2002) hal. 26 16 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotografi Antara Dua Subjek: Perbincangan
Tentang Ada, hal. 29.
-
6
Barthes melalui tiga tahap pemaknaan, yakni tahap denotasi, tahap konotasi, dan
tahap mitos.17 Dalam semiotika Roland Barthes, terdapat teori mengenai matinya
seorang pencipta, atau yang Barthes maksud Author dengan istilah The Death of the
Author. Menurut Barthes, sebuah karya -yang dalam hal ini adalah foto- telah lahir
dan hidup sendiri, menguatkan dirinya sendiri dalam pandangan para pelihat setelah
karya tersebut dilempar atau dipamerkan kepada khalayak, tanpa penjelasan apapun
dari sang pembuat.18 Oleh karena itu penulis hanya akan memfokuskan penelitian
pada karya foto yang telah dipublikasi oleh Ng Swan Ti dengan sudut pandang
pelihat foto atau penulis, sudut pandang fotografer hanya menjadi dasar dari
pemaknaan-pemaknaan yang akan ditampilkan oleh penulis.19 Meski, nantinya
penulis tetap akan melakukan wawancara dengan Ng Swanti mengenai karya
tersebut.
Dari latar belakang yang penulis paparkan di atas, maka penelitian ini diberi
judul: Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi Semiotika Makna
Esai Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores Revisited Pada
Pameran Jakarta Biennale 2015).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Penelitian ini difokuskan pada foto Jurnalistik esai karya Ng Swan Ti
dalam pameran Jakarta Biennale yang berjudul Flores Revisited pada tanggal
15 November 2015 – 17 januari 2016. Foto karya Ng Swan Ti tersebut bercerita
tentang kehidupan beragama masyarakat saat menyambut dan menjalani ritual-
17 Alex sobur. Semiotika Komunikasi,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya), hal 69. 18 Roland Barthes, Imaji Musik Teks, (Yogyakarta: Jalasutra, Anggota IKAPI,2010), hal. 145. 19 Roland Barthes, Imaji Musik Teks, hal. 145.
-
7
ritual keagamaan pada hari raya Paskah di Larantuka, Flores, Nusa Tenggara
Timur(NTT).20 Dalam penelitian ini penulis membatasi kajian sosial dan
beragama yang tergambar dalam foto melalui teori Emile Durkheim perihal
beragama. Penulis menduga masyarakat tersebut telah mengalami evolusi
dalam proses keagaamaan dan kebudayaan sehingga terjadi asimilasi dalam
sistem norma-norma sosial dan proses kegamaan di Larantuka, Flores, NTT.
Selain itu, berdasarkan latar belakang fotografer yang ingin memahami
identitasnya sebagai katolik penulis menduga adanya emosi keagamaan yang
terlibat dalam proses dokumentasi foto Flores Revisited. Sehingga tampaknya
fotografer juga mengalami proses beragama yang evolutive.
Penulis hanya mengambil empat dari 14 foto esai ini, karena menurut
penulis keempat foto tersebut sudah mewakili apa yang ingin disampaikan oleh
fotografer.
2. Rumusan Masalah
Keberagamaan merupakan sikap yang selalu tampak dari semua orang
dalam menjalankan aturan agama. Seperti halnya masyarakat Flores. Maka,
penulis ingin mengkaji representasi keberagamaan yang tertuang dalam foto
Flores Revisited karya Ng Swan Ti tersebut. Berikut pertanyaan umum
mengenai masalah tersebut:
a. Bagaimana makna denotasi dalam foto Flores Revisited, yang dipamerkan
pada ajang Jakarta Biennale 2015?
20 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, (Yayasan
Jakarta Biennale,2015) hal 197.
-
8
b. Bagaimana makna konotasi pada foto Flores Revisited, yang dipamerkan
pada ajang Jakarta Biennale 2015?
c. Bagaimana makna mitos pada foto Flores Revisited, yang juga dipamerkan
pada ajang Jakarta Biennale 2015?
C. Tujuan Penelitian
1. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mendeskripsikan representasi makna foto mengenai
keberagamaan masyarakat modern atau proses perjalanan hidup dalam mencari
sebuah identitas beragama yang direpresentasikan pada keseharian warga di
Flores saat upacara keagamaan Paskah, melalui karya foto jurnalistik esai karya
Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited.
2. Untuk mengetahui dan memahami proses keberagamaan melalui representasi
makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam enam foto karya Ng Swan Ti
berjudul Flores Revisited yang juga dipamerkan dalam ajang Jakarta Biennale
2015.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah:
1. Manfaat Akademis
Memberikan sumbangsih ilmiah dalam kajian Semiotika Roland
Barthes, mengenai makna denotasi, konotasi dan mitos. Serta memberikan
pemahaman ilmiah dalam komunikasi antar agama dan budaya, juga
pemahaman ilmiah dalam kajian antropologi mengenai konsep perjalanan
keberagamaaan dalam setiap individu atau bermasyarakat. Penelitian ini
-
9
diharapkan dapat mempermudah dan membantu penelitian lain yang nantinya
bisa digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sebuah penelitian khusunya
bagi mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat berupa wawasan
dan pengetahuan bagi peminat fotografi, fotografer kebudayaan, antropolog,
agmawan, psikolog, Mahasiswa/I Komunikasi Jurnalistik, dan Mahasiswa/I
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Metodelogi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan salah satu metode atau cara berfikir yang
digunakan penulis untuk melakukan penelitian baik itu pra maupun pasca
penelitian. Paradigma juga diperlukan agar penulis tidak kehilangan atau keluar
dari jalur cara berpikir penelitiannya.21
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma ini
menekankan bahwa realitas merupakan konstruksi sosial. Namun, kebenaran
suatu realitas sosial tersebut bersifat tidak mutlak, sesuai dengan konteks
spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.22 Penggunaan paradigma
konstruktivis dalam penelitian ini, untuk mengetahui konstruksi realitas dalam
menjalankan ritual keagamaan. Konstruksi yang dimaksud di sini bukan dari
21 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKIS, 2009),
hal. 5. 22 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011), hal. 11.
-
10
peneliti, melainkan peneliti melihat konstruksi dari subjek penelitian, yakni
salah satu foto yang menggambarkan ekspresi keberagamaan sesorang dalam
foto jurnalistik esai karya Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited.
2. Metode Penelitian
Sesuai dengan paradigma dan permasalahan yang penulis ambil dalam
penelitian ini, maka penulis menggunakan kualitatif sebagai metode penelitian
yang penemuannya dideskripsikan kemudian ditinjau kembali untuk dianalisis
dari hasil pengamatan dilapangan. Observasi, wawancara, dokumen pribadi dan
resmi, foto, rekaman, gambar, dan percakapan informal semua merupakan
sumber data kualitatif.23
Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang memusatkan perhatian
pada prinsip-prinsip umum yang medasari dalam perwujudan sebuah makna
dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan
kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan
menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk
memperoleh gambaran mengenai kategori tertentu.24
Melalui pendekatan kualitatif ini peneliti bertujuan untuk menjelaskan
sebuah fenomena keberagamaan masyarakat modern atau evolusi agama terjadi
dengan pengumpulan data dan analisis yang mendalam untuk mencoba
memahami masalah berdasarkan pada keseluruhan penelitian. Yakni pada foto
jurnalistik esai karya Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited.
23 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Data. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010), hal. 37. 24 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 23.
-
11
3. Subjek dan Objek Penelitian
Dalam riset ilmu sosial, hal yang penting adalah menentukan sesuatu
yang berkaitan dengan apa dan siapa yang ditelaah.25 Yang menjadi subjek
dalam penelitian ini adalah fotografer yaitu Ng Swan Ti dan objek dalam
penelitian ini adalah esai foto Flores Revisited karya Ng Swan Ti yang
dipamerkan pada ajang Jakarta Biennale 2015. Dari 14 foto yang dipamerkan,
peneliti hanya melakukan penelitian pada lima foto saja yang dapat mewakili
secara keseluruhan dari foto yang ditampilkan.
4. Waktu Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu melakukan Preliminary
research atau pratinjau penelitian. Peninjauan sebelum penelitian dilakukan
pada desember 2016. Dalam kurun waktu tersebut, telah dilakukan untuk
penelusuran sosok Ng Swan Ti, serta fenomena-fenomena keberagamaan yang
dialami olehnya dalam pencarian jati diri agamanya. Memperdalam kajian ilmu
yang berhubungan dengan semiotika untuk memperkuat teori yang digunakan
dalam penelitian pada januari 2017. Sedangkan proses penelitian dengan
melakukan wawancara pada maret 2017 dan pembahasan bersama dosen
pembimbing mulai januari 2017 – april 2017 serta melakukan revisi pada mei
2017.
5. Sumber dan Jenis Data
Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, digunakan data
primer dan data sekunder.
25 Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal. 66.
-
12
a. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil foto yang dipilih
penulis sesuai dengan penelitian. Penulis lebih memfokuskan pada lima foto
karya Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited karena menurut penulis
foto-foto tersebut mewakili apa yang ingin disampaikan oleh fotografer
secara menyeluruh.
b. Data sekunder diperoleh dari observasi dengan mengunjungi pameran
Jakarta Biennale 2015 di gedung Sarinah, Jakarta Pusat pada tanggal 13
januari 2016 untuk mengamati foto jurnalistik esai karya Ng Swan Ti secara
konseptual Pamaren. juga wawancara mendalam dengan mengunjungi
kediaman fotografer yang karyanya akan diteliti, yaitu Ng Swan Ti.
6. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Penggunaan data dokumentasi dalam penelitian ini adalah untuk
mendapatkan informasi yang berhubungan dengan data-data berupa foto,
dokumen, arsip, atau catatan-catatan tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan esai foto Flores Revisited.
b. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan
untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya.26 Wawancara yang
digunakan adalah wawancara secara mendalam, agar data yang dihasilkan
benar-benar utuh dan bisa dipertanggung jawabkan. Dalam penelitian ini
penulis melakukan wawancara secara tatap muka dengan narasumber.
26 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2012), hal 100.
-
13
Peneliti telah membuat atau merumuskan kerangka dan garis besar
pokok-pokok yang akan ditanyakan. Pokok-pokok wawancara berisi
landasan ekspresi keberagamaan Ng Swan Ti yang kerap silang-sengkarut
dengan tradisi lokal bahkan kepentingan politik, proses kebudayaan yang
terjadi, juga pemahaman sedikit mengenai foto secara teknis.
7. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis semiotik Roland Barthes pada
karya foto Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited dalam pameran Jakarta
Biennale mengenai proses hidupnya dalam keberagamaan.
Dalam semiotika Roland Barthes terdapat beberapa tahapan, yang
pertama adalah tahap denotasi yang mana pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda pada realitas, tahap berikutnya yaitu konotasi
yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi
makna yang tidak langsung dan tidak pasti. Dari dua tahapan tersebut Barthes
mengembangkannya pada tahapan mitos ketika suatu tanda yang memiliki
makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna
denotasi tersebut akan menjadi mitos.27
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini, sebelum peneliti memulai penelitian lebih
jauh dan kemudian menyusun menjadi skripsi. Maka langkah awal yang peneliti
tempuh adalah mengkaji terlebih dahulu skripsi yang memiliki kajian yang sama
dengan kajian yang akan peneliti teliti. Adapun maksud dari penelitian ini untuk
27 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI Depok, 2008), h. 153.
-
14
mengetahui permasalahan yang peneliti teliti berbeda dengan yang di teliti
sebelumnya.
Setelah peneliti melakukan kajian terhadapat penelitian atau tinjauan
pustaka. Maka peneliti menemukan, beberapa karya ilmiah yang akan peneliti
dijadikan tinjauan pustaka:
1. “Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya
Zarqoni Maksum Pada Galeri Foto Antara.co.id),” oleh Fatimah Thamrin
tahun 2008, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Konsentrasi Jurnalistik,
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidatullah Jakarta.
2. “Analisis Semiotika Foto pada Buku Foto Jakarta Estetika Banal karya Erik
Prasetya”, oleh Marifka Wahyu Hidayat 2014, Jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam, Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
UIN Syarif Hidatullah Jakarta.
3. “Denotasi dan Konotasi dalam Karya Foto Jurnalistik Bencana Alam Tanah
Longsor di Banjarmasin pada Harian Kompas edisi 13-18 Desember 2014”
oleh Yudho Priambodo, Jurusan Fotografi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut
Seni Indonesia, Yogyakarta.
Dalam ketiga skripsi yang di teliti tersebut, mempunyai kesamaan dari
Subjek penelitian yang akan peneliti teliti yaitu foto, akan tetapi berbeda dalam
membahas objek penelitian yang mana peneliti akan membahas tentang perjalanan
atau proses keberagamaan Ng Swan Ti dalam mencari identitas agama yang terjadi
pada perayaan Hari Paskah atau Kenaikan Isa Almasih di Larantuka, Flores Timur,
Nusa Tenggara Timur(NTT).
-
15
G. Sistematika Penulisan
Teknik dari penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan pedoman
penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang telah di susun oleh tim UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta press, 2007.
BAB 1 : Pendahuluan, merupakan penjelasan dari latar belakang
permasalahan penelitian skripsi ini. Didalamnya juga dijelaskan
fokus dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
metodologi penelitian (paradigma penelitian, pendekatan penelitian,
metode penelitian, tempat dan waktu penelitian, subjek dan objek
penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data),
tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan yang mendasari
penelitian :
Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi Semiotika
Makna Esai Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores
Revisited Pada Pameran Jakarta Biennale 2015).
BAB 2 : Membahas tentang keberagamaan masyarakat modern, Evolusi
agama, foto jurnalistik serta teori semiotika Roland Barthes.
BAB 3 : Pemaparan mengenai gambaran umum tentang Sejarah Flores,
tentang Pameran Jakarta Biennale 2015 dan Profil Ng Swan Ti
mengenai karya-karya yang telah di buat termasuk Flores Revisited.
BAB 4 : Pemaparan data analisis tentang foto Flores Revisited karya Ng
Swan Ti yang dipamerkan di Jakarta Biennale 2015 melalui
semiotika Roland Barthes serta pembahasannya.
-
16
BAB 5 : Merupakan tahap akhir dari skripsi yang berisi terkait dengan
kesimpulan dan saran.
-
17
17
BAB 2
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Keberagamaan dan Masyarakat Modern
1. Konsep Keberagamaan
Agama merupakan suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan
dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, sehingga sebagai umat
beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan
kita melalui rutinitas beribadah serta mencapai rohani yang menyempurnakan
kesuciannya. Dengan kata lain agama adalah usaha yang dilakukan manusia
untuk mengenal dan menyembah tuhannya yang diyakini, dapat memberikan
kesejahterahan dan keselamatan hidup manusia. Hal tersebut akan didapat
dengan cara taat kepadanya dan melakukan berbagai ritual penyembahan
sebagai bukti bakti manusia kepada tuhannya.1
Dalam bukunya The Elementary From of Religious Life, Emile
Durkheim membagi unsur-unsur yang sangat penting yang menjadi syarat
sesuatu dapat disebut sebagai agama, yaitu praktek-praktek(upacara/ritual),
sistem kepercayaan, emosi keagamaan, umat penganut religi.
a. Upacara keagamaan/ritual yaitu Fenomena religi terbagi menjadi dua
kategori meliputi kepercayaan dan ritual. Kepercayaan merupakan sebuah
opini yang terdiri dari representasi. Sementara ritual merupakan sebuah
tindakan-tindakan tertentu. Diantara dua fenomena tersebut terdapat hal
yang membedakan antara pemikiran dan aksi.2 Dengan maksud
1 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, (The Free Press,1995), hal 35. 2 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 36.
-
18
kepercayaan hanya merupakan sebuah bentuk pemikiran untuk percaya
terhadap sesuatu yang diyakini, sedangkan ritual merupakan bentuk dari
tindakan yang merepresentasikan kepercayaan terhadap apa yang diyakini
yaitu agama.
Sebuah ritual dapat dibedakan dari praktik-praktik kemanusiaan
lainnya, sebagai contoh: Praktik moral hanya dari sifat murni objek-
objeknya. Layaknya ritual, aturan moral menetapkan cara kita berperilaku,
namun cara kita berperilaku merupakan objek dari hal-hal yang lain. Objek
dari ritual lah yang harus dicirikan jika kita ingin mencirikan ritual itu
sendiri. Sifat-sifat khusus dari objek tersebut diperlihatkan didalam
kepercayaan.3 Oleh sebab itu, hanya jika kita telah berhasil mendefinisikan
kepercayaan barulah kita dapat mendefinisikan ritual. Dengan kata lain
sebuah ritual akan terjadi atau terlaksana ketika manusia telah meyakini
satu hal atau percaya terhadap apa yang diyakini.
b. Sistem Kepercayaan adalah hal-hal yang mempresentasikan sifat-sifat dari
hal yang sakral berhubungan dengan hal sakral lainnya yang dianggap
tidak suci. Hal-hal sakral tersebut merupakan sesuatu yang terlindungi dan
terisolasi oleh batasan-batasan tertentu. Sedangkan hal yang tidak suci
merupakan hal-hal yang dilarang dan harus dipisahkan dari segala yang
dianggap sakral. Sesuatu yang dianggap sakral atau dapat dikatakan
sebagai aturan sebuah agama dalam menjalaninya harus dipisahkan dari
sesuatu yang dianggap tidak suci.4 Dengan kata lain seseorang yang
percaya terhadap agama yang ia yakini akan mendorong untuk melakukan
3 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 36. 4 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 38.
-
19
hal-hal yang dianggap sakral. Sebagai contoh, pada pandangan umat
muslim, beribadah merupakan suatu hal yang dianggap sakral namun
setelah melakukan ibadah tersebut ia berbuat sesuatu hal yang dianggap
tidak suci yaitu mengumbar kepada orang lain atas ibadah yang ia lakukan.
Hal tersebut tidak bisa beriringan dilakukan. Oleh karena itu pada sistem
kepercayaan yang disebutkan Emile Durkheim, bahwa keyakinan
seseorang dalam beragama merupakan hal yang teramat penting dalam
menjalankan sistem kepercayaan tersebut. Keyakinan beragama menurut
Emile Durkheim ialah sesuatu yang diakui dan dipercaya oleh sekumpulan
orang yang menjalani ritual yang sama. Tidak hanya diakui satu sama lain
tapi mereka juga memiliki rasa memiliki dan memersatukan hal (ritual,
kepercayaan) tersebut. Dan setiap orang merasa semakin menyatu dengan
yang lain karena mereka memiliki kepercayaan (iman) yang sama.5
c. Emosi keagamaan yaitu hal yang membuat seseorang melakukan tindakan-
tindakan bersifat religi. Dengan kata lain, masyarakat pada umumnya
memiliki pengaruh dalam pikiran seseorang, yang secara tak terelakan
memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk membangkitkan rasa
ketuhanan mereka. Tuhan utamanya merupakan dzat yang manusia
hormati serta percayai memiliki kekuasaan atas diri mereka sebagai tempat
bergantung.6 Masyarakat mengharuskan kita menjadi pengikutnya,
melupakan segala kepentingan individual. Hal-hal tersebut menjadikan
kita subjek dari segala bentuk pengekangan, cobaan dan pengorbanan yang
mana tanpa hal tersebut segala kehidupan sosial akan mustahil tercipta.
5 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 38. 6 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 40.
-
20
Sebab itu, secara langsung kita tunduk pada aturan-aturan dalam bertindak
dan berfikir yang mana hal tersebut belum tentu merupakan hal kita buat
atau inginkan. Hal-hal ini kemudian terkadang bertolak belakang dengan
keinginan dan naluri dasar kita.7 Dalam hal ini seseorang yang memiliki
keyakinan-keyakinan dan percaya akan suatu agama dengan melakukan
praktek-praktek keagamaan seperti ritual akan memiliki perasaan-perasaan
mendalam akan dirinya sendiri yang akan membentuk sebuah pandangan
terhadap apa yang diyakininya.
d. Umat penganut religi yaitu sebuah masyarakat yang anggotanya bersatu
karena mereka melihat dunia yang sakral dan hubungannya dengan dunia
yang fana dengan cara yang sama, dan karena mereka menerjemahkan
representasi umum ini kedalam praktik yang sama (menjalankan ritual
yang sama). Dengan kata lain sekelompok atau seseorang yang menganut
sistem religi atau suatu sistem keyakinan.8
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pengetian agama dan unsur-
unsur yang dianggap penting dan menjadi syarat sesuatu dikatakan sebagai
agama oleh Emile Durkheim, dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah agama
perlu sikap atau tindakan dalam melakukannya. Dalam hal ini keberagamaan
seseorang dalam menjalankan sebuah agama perlu dipraktekan secara benar
dengan berbagai bentuk.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Keberagamaan berasal dari
kata agama, yang berartikan suatu sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
7 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 40. 8 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 43.
-
21
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan
lingkungannya.9 Kata “agama” berasal dari Bahasa sansekerta agama yang
berarti “tradisi”. Terdapat juga dalam Bahasa latin religio yang berakar pada
kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat erat”.10 Dengan demikian individu
yang beragama mengikat dirinya kepada yang diyakininya.
Berdasarkan pengertian di atas keberagamaan dari kata dasar Agama
yang berarti segenap kepercayaan kepada Tuhan, Beragama berarti memeluk
atau menjalankan agama. Dan keberagamaan adalah adanya kesadaran diri
individu dalam menjalankan suatu ajaran dari suatu agama yang dianut.11 Meski
berasal dari kata dasar yang sama dengan agama, namun dalam penggunaannya
istilah keberagamaan mempunyai makna yang berbeda dengan agama. Jika
agama menunjukan pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan
kewajiban –kewajiban keberagamaan menunjuk pada aspek agama yang telah
dihayati oleh individu di dalam hati dengan kata lain seberapa jauh
pengetahuan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama yang diyakininya.12
Oleh karena itu “agama”(religi) dan keberagamaan(religiousity) sedikit
berbeda.
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam sisi kehidupan
manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
ritual(beribadah), tetapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh
9 Dewi S. Baharta. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Bintang Terang 1995)
diakses pada 3 maret 2017 10 https://id.wikipedia.org/wiki/Agama (diakses pada tanggal 3 maret 2017). 11 Abdullah, Taufiq, dan Rusli Kasim. Penelitian Agama Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1989), hal 93. 12 Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan kreativitas dalam
perspektif psikologi islam, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), hal 70-71.
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama
-
22
kekuatan akhir. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat
dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati
seseorang.13
Menurut Jalaluddin Rakhmat Religiusitas (keberagamaan) adalah
perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada Nash.14 Dari
definisi keberagamaan tersebut, maksudnya adalah pola sikap seseorang yang
berusaha menuju kepada pola kehidupan yang sesuai. Keberagamaan juga
diartikan sebagai kondisi pemeluk agama dalam mencapai dan mengamalkan
ajaran agamanya dalam kehidupan atau segenap kerukunan, kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan ajaran dan kewajiban melakukan sesuatu
ibadah menurut agama.15
Dalam pandangan Abu Hamid dalam perilaku keberagamaan seseorang
terdapat beberapa sebab yakni Adapun orang yang mempunyai perilaku
keberagamaan sebgai berikut:16
a. Perilaku seseorang bukanlah pembawaan atau tidak dibawa sejak lahir
adalah perilaku seseorang memang tidak dibawa sejak dilahirkan, tetapi
harus dipelajari sejak perkembangan hidupnya. Oleh karena itu orang tua
hendaknya selalu memberikan arahan yang baik dan benar sehingga anak-
anaknya dalam mengalami pengalaman dapat berjalan baik dan lancar.
Seperti memberikan endidikan agama bagi seorang anak harus ditanamkan
13 Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan kreativitas dalam
perspektif psikologi islam, hal 71. 14 Abdullah, Taufiq, dan Rusli Kasim. Penelitian Agama Suatu Pengantar, (Yogyakarta,
Tiara Wacana, 1989), hal. 93. 15 Ahmad Syaefudin Janu Arbain, Pengaruh Intensitas Mengikuti Bimbingan Agama Islam
Jumat Pagi Terhadap Tingkat Keberagamaan Penghuni Lokalisasi Karaoke, (Universitas Islam
Negeri Walisongo, Semarang 2014), hal 30. 16 Abu Hamid, Psikologi Sosial, (Semarang: PT Bina Ilmu, 1979), hal. 53.
-
23
orang tuanya sejak dini, sehingga tidak ada kata terlambat untuk dipelajari
dan mengembangkan perilaku keberagamaan tetapi harus dipelajari selama
perkembangan hidupnya.
b. Perilaku keberagamaan tidak berdiri sendiri artinya ada faktor-faktor yang
mempengaruhi, oleh sebab itu faktor-faktor yang mempengaruhi
diusahakan faktor-faktor yang berakibat baik dalam pembentukan sikap
keberagamaan.
c. Perilaku pada umumnya memiliki segi-segi motivasi dan emosi, artinya
seorang dalam membentuk sikap keberagamaan selalu mempunyai perasaan
dan semangat maupun dorongan untuk mencapai tujuan yang hendak
dicapai.
Menurut Jalaluddin, ada dua faktor yang mempengaruhi religiusitas
diantaranya adalah faktor intern dan ekstern. Faktor intern meliputi hereditas
(keturunan), usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan. Sedangkan faktor ekstern
meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.17 Karena sering kali
diwarnai perubahan-perubahan yang disebabkan beberapa faktor-faktor
tertentu, maka perilaku keberagamaan seseorang dalam perjalanan hidupnya
tidak berlangsung secara baik. namun perubahan tersebut dapat dilihat dari segi
kualitas maupun kuantitas perilaku keberagamaannya.
Selain Jalaludin yang mengungkapkan beberapa faktor yang
mempengaruhi keberagamaan seesorang, ada pula faktor-faktor yang bisa
menghasilkan perilaku keberagamaan, yakni dalam buku ilmu jiwa agama
17 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers. 2010), hal. 305.
-
24
karangan Sururin, Robert H. Thouless mengemukakan faktor-faktor yang
menghasilkan perilaku keberagamaan antara lain.18
a. Pengaruh-pengaruh sosial yaitu Faktor sosial mencakup semua pengaruh
sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: seperti pendidikan
orang tua, tradisi-tradisi dan tekanan-tekanan lingkungan sosial untuk
menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh
lingkungan.
b. Berbagai Pengalaman yakni Pada umumnya anggapan bahwa adanya suatu
keindahan, keselarasan, dan kebaikan yang dirasakan dalam dunia nyata
memainkan peranan dalam pembentukan sifat keberagamaan
c. Kebutuhan yakni Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan
agama adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara
sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan
agama. Kebutuhan tersebut dikategorikan menjadi empat bagian yaitu:
kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk
memperoleh harga diri dan kebutuhan akan adanya kehidupan dan
kematian.
d. Proses pemikiran yakni manusia adalah makhluk berfikir, salah satu akibat
dari pemikiran manusia bahwa ia membantu dirinya untuk menentukan
keyakinan-keyakinan mana yang harus diterima dan keyakinan yang harus
ditolak. Faktor tersebut merupakan faktor yang relevan untuk masa remaja,
karena bahwa pada masa remaja mulai kritis dalam menyikapi soal-soal
18 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 79.
-
25
keagamaan, terutama bagi remaja yang mempunyai keyakinan secara sadar
dan bersikap terbuka.19
Manusia memiliki pola sikap terhadap bermacam-macam hal,
sedangkan pola sikap yang termasuk dalam keberagamaan misalnya:
“Bagi orang muslim yang benar-benar taat ia akan mengatakan
daging babi adalah haram, tidak disukai dan kotor, Mungkin sekali
seseorang yang betul-betul bersikap demikian dikatakan bahwa ia
sedang makan daging babi maka ia akan memuntahkan keluar apa yang
sedang ia makan, inilah salah satu contoh mengenai sikap
keberagamaan seseorang terhadap makanan tersebut yang dalam
pandangan agamanya bahwa itu haram”.20
Dengan demikian bahwa keberagamaan dalam setiap individu
mempunyai sikap-sikap tersendiri yang akan menguatkan jiwa seseorang dalam
keyakinannya terhadap agama yang dianut.
Sarwono menyebutkan, bahwa sikap (attitude) adalah istilah yang
mencerminkan rasa senang, tidak senang, atau perasaan biasa-biasa saja (netral)
dalam diri seseorang terhadap sesuatu. “Sesuatu” itu bisa benda, kejadian,
situasi, orang-orang atau kelompok. Sikap tersebut dinyatakan dalam tiga
dominan yaitu, Affect adalah perasaan yang timbul (senang atau tidak senang),
Behaviour adalah perilaku yang mengikuti perasaan itu (mendekat atau
menghindar), cognition adalah penilaian terhadap objek sikap (bagus atau tidak
bagus).21
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap
keberagamaan adalah sebagai berikut:
19 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, hal. 81. 20 Ahmad Syaefudin Janu Arbain , Pengaruh Intensitas Mengikuti Bimbingan Agama Islam
Jumat Pagi Terhadap Tingkat Keberagamaan Penghuni Lokalisasi Karaoke. hal 36 21 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Rajawali Press,
2010), hal. 20.
-
26
a. Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang terdapat dalam diri
pribadi manusia itu yakni aktifitasnya sendiri, daya pilihnya sendiri, atau
minat perhatiannya untuk menerima atau mengolah pengaruh-pengaruh
yang datang dari luar dirinya.22
b. Faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor yang datang dari luar individu
Dimana faktor ini biasa timbul melalui interaksi sosial maupun non sosial.23
Faktor eksternal tersebut dipengaruhi oleh:
1) Interaksi sosial interaksi sosial adalah hasil kebudayaan manusia yang
sampai melalui keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Thouless
menambahkan bahwa:
“Tidak ada seorang pun yang dapat mengembangkan sikap-
sikap keagamaan kita dalam keadaan terisolasi dalam
masyarakat. Sejak masa kanak-kanak hingga masa tua kita
menerima perilaku dari apa yang mereka katakan pengaruh
terhadap sikap-sikap keagamaan kita”.24
Sedemikian penting faktor lingkungan sosial dalam pembentukan
sikap, maka selektifitas pergaulan sangat penting untuk diperhatikan,
karena kesalahan dalam pemilihan lingkungan sosial akan dapat
berakibat negatif bagi pembentukan sikap seseorang.
2) Interaksi non sosial adalah hasil kebudayaan manusia yang sampai
kepadanya melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio,
televisi, buku, risalah dan lain-lain. Dengan demikian interaksi sosial
22 Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 1991), hal. 155. 23 Gerungan, Psikologi Sosial, hal.156. 24 Robert H Thouless, , Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers 1992 edisi
terjemah), hal. 37.
-
27
dan non sosial mempunyai peranan dalam rangka pembentukan sikap
dalam keberagamaan.25
Satu-satunya fungsi akal dalam pembentukan keyakinan-keyakinan
keagamaan tampaknya hanya rasionalisasi. Manusia adalah mahluk yang
berfikir dan salah satu akibat dari pemikiranya adalah bahwa ia membantu
dirinya untuk menentukan keyakinan-keyakinan yang mana yang harus
diterimanya dan yang mana pula yang harus ditolaknya. Dalam hal ini perilaku,
sikap, pengetahuannya terhadap agama akan sangat menentukan sikap
keberagamaan.26
Dengan demikian, beberapa konsep serta pandangan yang telah
dipaparkan, menurut penulis hakikat keberagamaan seseorang terletak pada
ikhtiar atau usahanya dalam mencari Tuhan dalam ragam keyakinan dan
peribadatannya. Dikarenakan seseorang pemeluk agama akan selalu memasuki
fase kesalehan baru dalam setiap rentang kehidupannya, sehingga dengan
berbagai fenomena yang akan terjadi setiap individu bertanggung jawab dengan
apa yang ia lakukan terhadap keyakinannya.27
2. Konsep Masyarakat Modern
Secara terminologi istilah masyarakat berasal dari kata bahasa arab yaitu
syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. Sedangkan kata musyaraka
berarti “saling bergaul”. Adapun bahasa Arab untuk masyarakat adalah
mujtama, Sedangkan dalam bahsa Inggris istilah yang digunakan pada
25 Gerungan. 1991. Psikologi Sosial, hal. 156 26 Ahmad Syaefudin Janu Arbain, Pengaruh Intensitas Mengikuti Bimbingan Agama Islam
Jumat Pagi Terhadap Tingkat Keberagamaan Penghuni Lokalisasi Karaoke, hal 39. 27 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UINPress, 2014),
hal 32
-
28
masyarakat adalah society yang berasal dari kata latin yaitu socius, yang berarti
“kawan”.28
Koentjaraningrat mengartikan masyarakat sebagai istilah yang lazim
untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah
maupun dalam bahasa sehari-hari, dengan maksud secara etimologi masyarakat
adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat
istiadat tertentu yang bersifat continue yang terikat oleh suatu rasa identitas
bersama.29 Menurut definisi lain, masyarakat adalah sekumpulan manusia yang
saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan
manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling
berinteraksi.30
Sejarah kehidupan masyarakat sekarang ini telah memasuki apa yang
disebut dengan era modern. Istilah modern yang berarti “baru” dapat digunakan
sebagai istilah yang menyebut sesuatu terhadap perkembangan kehidupan
manusia yang sedang berlangsung saat ini, yaitu “zaman modern”. Secara
bahasa kata “modern” berasal dari bahasa Latin “modo” yang berarti “just
now” atau “yang kini”. Istilah ini seringkali dikaitkan dengan kehidupan yang
ditemukan dalam masyarakat Barat yang sudah mengalami industrialisasi dan
tingkat teknologi yang maju.31
28 https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat (diakses pada tanggal 20 maret 2017) 29 Koentjaraningrat, Pengantar ilmu antroplogi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) hal, 147-
148. 30 Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa
2008) 31 Arfan Gaffar, Modern dan Islam; Dua Kutub yang Bertentangan dalam Al-Qur’an dan
Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: SIPRESS, 1993), hal. 106.
https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat
-
29
Konsep modernisasi dalam arti khusus yang disepakati teoritisi
modernisasi di tahun 1950-an dan tahun 1960-an, didefinisikan dalam tiga cara:
historis, relatif, dan analisis. Menurut definisi historis, modernisasi sama
dengan westernisasi atau Amerikanisasi. Modernisasi dilihat sebagai gerakan
menuju cita-cita masyarakat yang dijadikan model. Menurut pengertian relatif,
modernisasi berarti upaya yang bertujuan untuk menyamai standar yang
dianggap modern baik oleh masyarakat banyak maupun oleh penguasa. Definisi
analisis berciri lebih khusus dari pada kedua definisi sebelumnya yakni
melukiskan dimensi masyarakat modern dengan maksud untuk ditanamkan
dalam masyarakat tradisional atau masyarakat pra modern.32
Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu arah perubahan
ke arah yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek dalam kehidupan
masyarakat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah
proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju,
di mana dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.33 Seiring
dengan pendapat Wilbert E. Moore yang mengemukakan bahwa modernisasi
adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra
moderen dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola ekonomis dan
politis yang menjadi ciri-ciri negara barat yang stabil.34
32 Piort Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2004), hal. 152-153. 33 Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994),
hal. 176-177. 34 Wilbert E. Moore, "Social Verandering" dalam Social Change, diterjemahkan oleh A.
Basoski, Prisma Boeken, Utrech, Antwepen, 196, hal. 129.
-
30
Amin Rais menyatakan bahwa suatu abad dapat dikatakan modern
apabila memiliki ciri-ciri:35
a. Ledakan informasi tanpa batas – berkat teknologi komunikasi yang semakin
maju, produktif, dan efektif – sehingga dapat menjangkau seluruh penjuru
dunia.
b. Nilai moral semakin longgar, yang ditunjukkan dengan semakin kaburnya
batas antara halal dan haram maupun baik dan buruk.
c. Semakin tumpulnya peri kemanusiaan.
d. Sangat mengagungkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
e. Kehidupan masyarakat yang semakin materialistik.
Sementara itu Ali Yafie yang juga menyebutkan bahwa peradaban
modern ditandai dengan:36
a. Kemajuan di bidang teknologi.
b. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat.
c. Kehidupan lebih individualis dan materialis.
d. Kekuasaan jaringan informasi.
e. Terjadi pelecehan dan pendangkalan nilai-nilai agama.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kehidupan
modern diidentikan dengan manusia yang rasional dengan ditandai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan, semakin derasnya arus informasi. Kehidupan
modern juga mempunyai sisi negatif seperti masyarakat yang cenderung
individual, materialis dan menurunnya minat terhadap agama. Modernisasi
35 Amin Rais, Tauhid Sosial : Formula Menggempur Kesenjangan, (Bandung: Mizan,
1998), hal. 151-153. 36 Ali Yafie, Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan Keagamaan Kemanusiaan,
(Yogyakarta: LKPSM, 1997), hal. 65.
-
31
yang ada di masyarakat saat ini tentu tidak bisa dihindari oleh masing-masing
individu yang ada.
Modernisasi juga menimbulkan perubahan di berbagai bidang nilai,
sikap dan kepribadian. Sebagian besar perkara ini terhimpun dalam konsep
"manusia moderen".37 Menurut Lerner, manusia moderen adalah orang yang
gemar mencari mencari sesuatu sendiri yang mempunyai kebutuhan untuk
berprestasi dan gemar mencari sesuatu yang berbeda dari orang lain.38
Manusia modern mempunyai berbagai macam ciri. Alex Inkeles dan
David Smith menjabarkan ciri-ciri manusia modern ada 5 ciri sebagaimana
dikutip oleh Arfan Gaffar, yaitu:39
a. Opens to new experience (Keterbukaan untuk menerima hal-hal baru).
b. The realism of growth of opinion (Memiliki kemampuan untuk membentuk
dan menyatakan pendapat menyangkut permasalahan di sekitarnya).
c. The readiness for social change (Siap menerima perubahan sosial).
d. The need of information (Membutuhkan dan selalu mengikuti informasi
perkembangan).
e. Oriented to world future and punctuality (Berorientasi ke depan).
Modernisasi sebagai sebuah gejala perubahan sosial tentunya sangat
penting bagi sebuah masyarakat, terutama pada masyarakat yang mempunyai
sifat terbuka terhadap suatu perubahan. Modernisasi erat hubungannya dengan
globalisasi di mana pembaharuan yang terjadi dalam masyarakat lebih besar
37 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), hal. 384. 38 Ellya Rosana,“ Moderenisasi dan Perubahan Sosial” Jurnal Tapis Volume 7 Nomor 12,
2011, hal. 40. 39 Arfan Gaffar, Modern dan Islam; Dua Kutub yang Bertentangan dalam Al-Qur’an dan
Tantangan Modernitas, (Jakarta: SIPRESS, 1993), hal. 106.
-
32
terjadi karena masuknya teknologi. Melalui teknologi tersebut akan sedikit
banyak membawa dampak yang progres bagi masyarakat, misalnya saja dengan
adanya modernisasi maka secara tidak langsung teknologi akan mudah diserap
oleh masyarakat, dan lebih cepat merubah pola pikir masyarakat.40 Dengan
deimikian modernisasi dirasa penting karena menyangkut dampak yang akan
terjadi dalam suatu masyarakat, baik positif maupun negatif.
Dari beberapa pernyataan yang telah dipaparkan, konsep masyarakat
modern telah mengubah perilaku masyarakat secara luas. Mulai dari berpikir
logis dan rasional hingga lebih peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi. Di sisi lain konsep masyarakat modern juga telah mengubah
sikap masyarakat terhadap proses keagamaan.41 Masyarakat modern dipandang
sebagai masyarakat yang seakan-akan lupa terhadap nilai-nilai sakral agama.42
Manusia modern idealnya adalah manusia yang berfikir logis dan mampu
menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
Dengan kecerdasan dan bantuan teknologi, manusia modern mestinya lebih
bijak dan arif, tetapi dalam kenyataannya banyak manusia moderen yang
kualitas kemanusiaannya lebih rendah dibandingkan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dicapainya, sehingga melahirkan berbagai
macam problema dalam kehidupannya.
40 Yeni Ristiana, Pola Interaksi Masyarakat di Kampung Cyber RT. 36 RW. 09 Taman,
Kelurahan Patehan,Kecamatan Kraton, Yogyakarta, (Universitas Negeri Yogyakarta 2012), hal. 1. 41 Amin Rais, Tauhid Sosial : Formula Menggempur Kesenjangan, hal. 151-153 42 Ali Yafie, Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan Keagamaan Kemanusiaan, hal. 65.
-
33
B. Konsep Evolusi Agama
Dalam buku Sosiologi Agama yang ditulis Dadang Kahmad disebutkan
"tingkat perkembangan agama dan kepercayaan di suatu masyarakat dipengaruhi
oleh tingkat perkembangan peradaban masyarakat tersebut”.43 Pernyataan ini
secara eksplisit menunjukkan bahwa agama tumbuh dan berkembang sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan manusia yang secara langsung
mempengaruhi proses evolusi agama. Oleh karenanya, proses evolusi agama
sesungguhnya dimulai ketika manusia mengenal agama.44
Dadang mengatakan, tingkat paling dasar dari evolusi agama adalah ketika
manusia percaya bahwa makhluk-makhluk halus menempati alam sekeliling tempat
tinggal manusia. Pandangan ini dikemukakan oleh E. B Taylor sebagai tokoh yang
memperkenalkan "teori jiwa" sebagai salah satu teori asal mula manusia
beragama.45 Dalam teori ini disebutkan, agama yang paling awal datang bersamaan
dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa dunia ini tidak hanya dihuni oleh
makhluk materi, tetapi juga makhluk immateri yang disebut jiwa (anima). E. B.
Taylor berpendapat, agama muncul dari kesadaran manusia akan adanya roh atau
jiwa, keyakinan ini disebutnya animisme.46
Masih menurut pandangan E. B. Taylor, evolusi agama pada tingkat
selanjutnya ditunjukkan dengan keyakinan bahwa gerak alam disebabkan oleh jiwa
yang ada di belakang pristiwa dan gejala alam tersebut. Tingkat kedua dari evolusi
agama ini disebut Taylor ialah polytheisme yang merupakan perkembangan dari
43 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2006), hal. 24. 44 Dadang Kahmad – mengutip Koentjoroningrat, menyebutkan enam teori asal mula
agama, yaitu: teori jiwa, teori batas akal, teori krisis dalam hidup individu, teori kekuatan luar biasa,
teori sentiment masyarakat, dan teori wahyu Tuhan. 45 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 24-25. 46 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal 24-25.
-
34
pemujaan terhadap roh nenek moyang (manisme). Sementara tingkat terakhir dari
evolusi agama dalam pandangan Taylor lahir bersamaan dengan timbulnya susunan
kenegaraan di dalam masyarakat manusia.47 Taylor memandang, ketika muncul
susunan kenegaraan di masyarakat, muncul pula kepercayaan bahwa di alam
dewadewa juga terdapat susunan kenegaraan yang serupa dengan susunan
kenegaraan manusia. Susunan kenegaraan dewa semacam ini lambat laun
menimbulkan kesadaran baru dari keyakinan bahwa pada hakikatnya semua dewa-
dewa tersebut merupakan penjelmaan dari satu dewa yang tertinggi.48
Stephen K. Sanderson dalam buku Macrosociology mengatakan bahwa
kajian ilmiah tentang evolusi agama telah tertinggal jauh di belakang kajian
mengenai evolusi berbagai ciri kehidupan sosial-budaya lainnya.49 Namun
demikian, pada buku tersebut Sanderson tetap menyebutkan tokoh-tokoh seperti
Robert N. Bellah dan Wallace yang dipandangnya memiliki skema evolusi agama
dan cukup berharga untuk dikemukakan mengingat penelitian tentang masalah ini
kurang menjadi perhatian dan sangat sedikit dilakukan.
Robert N. Bellah (1927-2013) mengkonsepsi tentang evolusi agama yaitu
dalam upaya menjelaskan berbagai perubahan agama manusia akibat meningkatnya
perbedaan dan kompleksitas kelembagaan, sistem sosial atau satuan apapun yang
ada dalam masyarakat yang mampu mendorong kemampuan manusia melakukan
adaptasi dengan lingkungannya.50
47 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 24. 48 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 25. 49 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 521. 50 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UINPress, 2014),
hal 41.
-
35
Skema evolusi agama yang diperkenalkan Bellah dibagi ke dalam lima
tahap, yaitu: primitif, purbakala, historis, modern awal, dan modern. Bellah
memandang agama primitif terisi dengan mitos dan makhluk spiritual, sementara
agama purbakala dikarakteristikan oleh munculnya dewa-dewa, padri-padri, ibadah
kurban, dan konsepsi tentang kerajaan Tuhan. Agama historis dipandang Bellah
sebagai agama-agama besar dunia yang timbul satu saat selama atau sesudah masa
seribu tahun (millenium) pertama sebelum Kristus. Agama modern awal dalam
pandangan Bellah timbul dengan adanya Reformasi Protestan yang meneruskan
pembedaan yang dilakukan agama-agama historis antara dunia sekular dan dunia
yang lain (spiritual, pen).51 Sedangkan pada tahap agama modern, Bellah meyakini
bahwa abada keduapuluh sedang mengalami timbulnya agama modern secara
gradual, ia memaknai agama modern sebagai suatu bentuk kehidupan keagamaan
di mana konsep-konsep dan ritual-ritual agama tradisional digantikan dengan
kekhawatiran etik humanistik dari berbagai hal yang sekuler. Pada tahap ini,
persoalan-persoalan tentang penderitaan akhir manusia semakin banyak dijawab
dalam arti yang nonteistik.52
Manusia modern tampaknya mulai tergoda dengan ungkapan “my mind is
my church”, atau “I am is a sect myself” atau ungkapan “ its my life” persetan
dengan kata masyarakat karena itu sistem sosial mengalami kelenturan mengikuti
kekauan doktrin (ortodoksi) dan kekakuan karaktorologi (kepribadian uritan). Dan
tentunya dikhawatrirkan kemungkinan kemungkinan lainnya konsekuensi dari
distorsi patologis dalam situasi masyarakat modern. Pertanyaan lanjutnya apakah
kepribadian dalam jati diri suatu bangsa dapat bertahan pada era masyarakat
51 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 41-47. 52 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 46.
-
36
modern, tetap terlembaga secara mantap dalam sistem sosial yang lebih luas.
Ataukah semua ini adalah bagian dari upaya menawarkan inovasi kreatif dari
tindakan manusia untuk menuguhkan kembali ukuran nilai nilai moral dan sistem
dalam bermasyarakat.53
Sementara itu, Wallace memandang agama suatu masyarakat sebagai
pranata pemujaan (cult institutions), yaitu seperangkat "spiritual yang semuanya
mempunyai tujuan umum yang sama, semuanya secara eksplisit dirasionalkan oleh
seperangkat kepercayaan yang serupa atau yang berkaitan, dan semuanya didukung
oleh kelompok sosial yang sama." Wallace mengidentifikasikan empat tipe agama
evolusioner yang didasarkan pada gabungan pranata-pranata pemujaan tersebut,
yaitu pertama, agama-agama shaman yang hanya terdiri dari pranata pemujaan
individual dan shamanik. Kedua, agama-agama komunal, yang mengandung
pranata pemujaan komunal, shamanik dan individualistik. Ketiga, gama-agama
Olympian, yang mengandung pranata pemujaan individual, shamanik dan komunal,
maupun pranata pemujaan eklesiastikal yang terorganisasi sekeliling rumah-rumah
pemujaan dewa-dea tinggi yang politeistik. Dan keempat, agama-agama
monoteistik, yang menganndung pranata pemujaan individualistik, shamanik, dan
komunal, sejalan dengan pranata pemujaan eklesiastikal yang terorganisasi sekitar
konsep suatu dewa tinggi tunggal.54
Studi mengenai evolusi agama (sebagaimana skema Wallace) selanjutnya
dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini:55
53 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal. 46. 54 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
hal. 524. 55 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,
hal. 526.
-
37
Tabel 1: Studi Evolusi Agama Wallace
Tipe Agama (Skema
Wallace)
Tingkat Teknologi
Khusus Masyarakat
Contoh
Shamanik: hanya ada
pranata pemujaan
individualistik dan
shamanik
Pemburu dan peramu Eskimo, Kung, Mbuti
dari Afrika Tengah
Komunal: terdapat
pranata pemujaan
individualistik,
shamanik, dan
kommunal
Hortikultur sederhana Masyarakat kepulauan
Trobriand, banyak
suku Indian Amerika
Utara
Olympian: terdapat
pranata pemujaan
individualistik,
shamanik, komunal,
daneklesiastik
politeistik
Hortikultur intensif
dan pertanian awal
Maya, Aztek, Inca,
Yunani dan Romawi
kuno, Kerajaan-
kerajaan Afrika
Monoteistik: terdapat
pranata pemujaan
individualistik,
shamanik, komunal,
dan eklesiastik
monoteistik
Agraris yang
kompleks dan industri
kontemporer
China dan India kuno,
Erop abad
pertengahan,
Kapitalisme Barat,
Jepang Kontemporer
Sumber: Buku Sosiologi Makro, Stephen K. Sanderson, 1995, hal 526
Pada evolusi agama yang akan dibahas dalam penelitian ini, penulis
memaparkan bagaimana terjadinya evolusi agama pada masrayakat Larantuka
Flores dalam melakukan ritual-ritual peribadatan. Evolusi agama yang terjadi pada
-
38
Masyarakat Larantuka Flores yang direpresentasikan melalui karya foto jurnalistik
berbentuk esai berjudul Flores Revisited. Penulis merasa konsep yang dipaparkan
Robert N Bellah pada tahapan kelima, yaitu zaman modern sangat tepat dengan apa
yang terjadi dalam kehidupan beragama masyarakat Flores saat itu.56 Percampuran
budaya dan agama yang dialami masyarakat Flores saat itu menjadi landasan
penting terhadap pola kehidupan beragama dan norma-norma sosial yang terjadi
hingga saat ini.
C. Fotografi Jurnalistik
Fotografi Jurnalistik adalah salah satu aliran fotografi yang lebih
mengutamakan realita dibandingkan dengan aliran lainnya. Dalam dunia
jurnalistik, foto menjadi hal yang paling penting untuk mewakili sebuah
pemberitaan atau informasi yang tidak dapat disampaikan hanya dengan sebuah
tulisan.57 Taufan menambahkan bahwa foto jurnalstik Sebagai produk jurnalistik
memang tak setua jurnalistik tulis. Ia berakar dari fotografi dokumenter setelah
teknik perekaman gambar secara realis ditemukan.58 Foto dikategorikan sebagai
foto jurnalistik saat foto itu terdapat nilai-nilai berita yang terkandung di dalamnya,
foto jurnalistik tidak harus bersifat kekerasan dan hal-hal berat lainnya, jika sebuah
foto sudah memiliki nilai berita bagi umum sesederhana apa pun foto tersebut sudah
bisa dikategorikan sebagai foto jurnalistik.59
Menurut Wilson Hicks foto jurnalistik adalah kombinasi dari kata dan
gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara
56 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal. 46. 57 Drs. Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), hal. 100. 58 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 130. 59 Ferry Darmawan, Dunia Dalam Bingkai, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 165.
-
39
latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya. Jika dilihat dari fungsi foto
jurnalistik menurut Edwin Emery, antara lain adalah untuk menginformasikan (to
inform), meyakinkan (to persuade) dan menghibur (to intertaint).60
Salah satu pendiri Magnum Photo, Henri Cartier-Bresson yang terkenal
dengan teori decesive moment menjelaskan bahwa foto jurnalistik berkisah dengan
gambar, melaporkannya dengan kamera, merekamnya dalam waktu, yang
seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersebut mengungkapkan sebuah
cerita.61 Seorang fotografer terutama fotografer jurnalistik, menginginkan foto yang
dihasilkan adalah moment puncak(decesive moment) dari sebuah peristiwa. Karena
moment tersebut sulit untuk diulang kembali.62
Fotografi jurnalistik bukan cuma sebagai pelengkap berita, penarik
pembaca ataupun hanya sekadar mengisi bagian kosong dari rubrik di kolom sebuah
media, ini alat terbaik yang saat ini dimiliki berita sebagai penyampainya karena
ringkas dan efektif, hal ini dinyatakan oleh tokoh fotografi dunia Kenneth Kobre
yang juga sebagai pengajar di salah satu universitas luar negeri.63 Di dalam negeri
sosok yang sudah tidak asing lagi dengan foto jurnalistik, Oscar Motuloh
mengatakan bahwa foto jurnalistik itu terdapat dua elemen, yaitu elemen verbal dan
elemen visual. Caption adalah keterangan pelengkap foto yang menjelaskan foto,
caption yang dibuat harus singkat dan menjelaskan secara sekilas.64 Visual yang
dimaksud Oscar Motuloh adalah penampilan mengenai foto itu sendiri.
60 Drs. Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktek, hal. 102.
61 Ferry Darmawan, Dunia Dalam Bingkai, hal. 166. 62 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 130. 63 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 17. 64 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 17.
-
40
Dari beberapa pengertian yang tertera, secara menyeluruh taufan dalam
bukunya Foto Jurnalistik mendefinisikan bahwa foto jurnalistik seperti
menghentikan waktu, dan memberi kita gambaran nyata bagaimana waktu
membentuk sejarah. Karena sifat dasarnya yang dokumentatif, foto jurnalistik
mampu membuat masyarakat melihat kembali rekaman imaji atas apa yang telah
mereka lakukan pada masa lalu, sekaligus memuat pertanyaan tentang apa yang
terjadi di masa datang, juga mampu membantu masyarakat memahami
lingkungannya dan diri mereka sendiri termasuk mengedentifikasi segala sesuatu
yang harus diwaspadai.65
1. Sejarah Foto Jurnalistik
Sejarah mencatat surat kabar harian Daily Graphic, pada Senin 16 April
1877 memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada
halaman satu seperti yang disebutkan Taufan Wijaya dalam bukunya Foto
Jurnalistik, merupakan embrio dari foto jurnalistik.66
Perkembangan foto jurnalistik sampai pada era foto jurnalistik modern
dikenal sebagai “golden age” (1930-1950). Saat itu terbitan seperti Sports
Illustrated, The Daily Mirror, The New York Daily News, Vu, dan LIFE
menunjukan eksistensinya dengan tampilan foto-foto yang menawan. Pada era
itu muncul nama nama jurnalis foto, seperti Robert capa, Alfred Eisenstaedt,
Margaret Bourke-White, David Seymour, dan W.Eugene Smith. Lalu ada Henri
Cartier-Bresson dengan gaya candid dan dokumenternya.67 Cartie-Bresson,
bersama Robert Capa, David Seymour, dan George Rodger kemudian
65 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal, 16.
66 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik hal, 1. 67 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal,4-5.
-
41
mendirikan Magnum photos pada 1947, menjadikan agensi foto berita pertama
yang menyediakan foto jurnalistik dari berbagai isu dan belahan dunia. Para
pendirinya yang alumni LIFE kemudian membagi area kerja, Afrika dan Timur
Tengah, India dan Cina, Eropa, serta Amerika.68
Terbitan National Geographic Magazine (NG) juga mendorong
kemajuan foto jurnalistik, terutama edisi yang mengangkat isu-isu kultural
dengan terbitan pertamanya pada januari 1950. NG dikenal sebagai media yang
menerapkan standart teknis tinggi untuk menjaga kualitas foto terbitannya.69
Di Indonesia sendiri awal mulanya muncul fotografi jurnalistik pada
1841, orang tersebut adalah Juriaan Munich, seorang utusan kementerian
kolonial lewat jalan laut di Batavia. Seorang anak Indonesia yang diangkat