KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN...

148
KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN (STUDI SEMIOTIKA MAKNA ESAI FOTO JURNALISTIK KARYA NG SWAN TI BERJUDUL FLORES REVISITED PADA PAMERAN JAKARTA BIENNALE 2015). Skripsi Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Oleh : Ardiansyah Pratama NIM : 1110051100107 KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H / 2017 M

Transcript of KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN...

  • KEBERAGAMAAN MASYARAKAT FLORES MODERN

    (STUDI SEMIOTIKA MAKNA ESAI FOTO JURNALISTIK KARYA NG

    SWAN TI BERJUDUL FLORES REVISITED PADA PAMERAN

    JAKARTA BIENNALE 2015).

    Skripsi

    Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

    Oleh : Ardiansyah Pratama

    NIM : 1110051100107

    KONSENTRASI JURNALISTIK

    JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

    FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1438 H / 2017 M

  • i

  • ii

  • iii

  • iv

    ABSTRAK

    Ardiansyah Pratama

    1110051100107

    Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi Semiotika Makna Esai

    Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores Revisited Pada Pameran

    Jakarta Biennale 2015)

    Keberagamaan merupakan proses representasi dari setiap individu

    masyarakat dalam berkeyakinan terhadap agama yang dianutnya. Baik langsung

    dan tidak langsung perilaku individu dalam beragama dibentuk oleh tatanan

    masyarakatnya. Yakni tidak saja tatanan masyarakat yang “natural” berlangsung

    dari generasi ke generasi, tetapi juga hasil percampuran dengan kebudayaan asing

    yang terintergrasi dengan kultur keberagamaan lokal.

    Melalui media fotografi, jurnalis foto Ng Swan Ti dari PannaFoto Institute

    berhasil mendokumentasikan ritual keagamaan hari raya paskah agama Katolik

    yang dilakukan masyarakat Flores tahun 2015. Karya ini berhasil masuk dalam

    pameran berskala Internasional yaitu Jakarta Biennale 2015 “Maju Kena Mundur

    Kena: bertindak sekarang”.

    Representasi keberagamaan masyarakat Flores dalam dokumentasi esai foto

    tersebut menurut hemat penulis penting dikaji. Pertama, foto secara detail dan luas

    menggambarkan konteks objek yang didokumentasikan Tetapi foto tidak

    selamanya objektif dalam menggambarkan realita faktual karena terbatas pada

    pose-pose tertentu. Kedua, karena itu, penting mendapatkan keseluruhan objek foto

    yang didokumentasikan dalam esai foto agar dapat dinarasikan gambaran

    keberagamaan masyarakat Flores sehingga secara faktual merepresentasikan

    realitas yang sesungguhnya.

    Pada penelitian ini penulis menggunakan paradigma konstruktivis dengan

    pendekatan kualitatif. Sementara metode penelitian yang digunakan adalah

    semiotika Roland Barthes. Semiotika model Roland Barthes memiliki tiga tahapan

    dalam memaknai sebuah foto, yaitu tahapan denotasi, konotasi serta mitos.

    Setelah melakukan pengkajian melalui analisis semiotika model Roland

    Barthes terhadap foto Flores Revisited karya Ng Swan Ti, Penulis menemukan ciri

    keberagamaan masyarakat modern yang terintegrasi dengan budaya lokal modern

    karena agama Katolik masuk ke Flores pada abad ke-16. Dalam ritual

    keagamaannya agama Katolik menggunakan ornament seperti lilin, patung,

    confetti, bunga dan seterusnya. Hal tersebut menjadi kebudayaan baru bagi

    masyarakat Flores. Lalu penulis juga melihat adanya evolusi keberagamaan di

    Flores dalam waktu yang cukup lama.

    Kata Kunci: Fotografi, Semiotika, Keberagamaan, Masyarakat Modern, Flores

  • v

    KATA PENGANTAR

    Bismillahirahmanirrahim

    Assalamu’alaikum Wr. Wb

    Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru

    sekalian alam yang menyeru sekalian hati hamba-Nya untuk selalu turut serta dalam

    samudra makrifat hingga tenggelam dalam kecintaan kepada-Nya. Tiada kata yang

    tepat untuk mendeskripsikan segalanya selain rasa syukur atas petunjuk dan

    pertolongan kepada penulis, sehingga terselesaikannya skripsi ini. Shalawat serta

    salam atas Al-Mustafa Sayyidina Muhammad SAW, serta keluarga dan para

    sahabatnya yang telah membawa kebaikan kepada umatnya dari jalan kegelapan

    menuju jalan yang terang benderang.

    Setelah beberapa semester lamanya menimba ilmu di kampus tercinta,

    akhirnya penulis dapat dengan sabar mengentaskan karya ini sebagai tongkat estafet

    pengejawantahan ilmu. Penulis menyadari, karya ini belum mencapai

    kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka dengan lebar kritik dan saran

    para pembaca. Penulisan karya ini juga tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.

    Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada:

    1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu

    Komunikasi, Suparto, M,Ed, Ph,D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik,

    Dra. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi dan

    Keuangan, dan Dr. Suhaimi, M.Si selaki Wakil Dekan III Bidang

    Kemahasiswaan.

  • vi

    2. Kholis Ridho. M.Si selaku Ketua Program Studi Jurnalistik sekaligus

    menjadi dosen pembimbing dalam penelitian ini yang telah banyak

    meluangkan waktu serta memberikan ilmunya dalam selama proses

    bimbingan. Sebagai Ketua Program Studi beliau juga telah banyak

    memberikan bantuan moril kepada penulis.

    3. Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A selaku sekertaris Program Studi Jurnalistik

    yang telah meluangkan waktu untuk berkonsultasi dan membantu penulis

    dalam hal perkuliahan

    4. Terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

    Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu-

    ilmunya kepada penulis selama penulis menimba ilmu di sana.

    5. Terima kasih kepada segenap staf Perpustakaan Utama UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

    Komunikasi.

    6. Terima kasih kepada fotografer Ng Swan Ti selaku narasumber yang telah

    meluangkan waktu untuk wawancara serta berbagi wawasan dan

    pengalaman kepada penulis.

    7. Kepada orang tua penulis, Bapak Syape’i dan Ibu Nursiah yang telah

    menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih

    telah bersabar dengan waktu yang lama.

    8. Terima kasih kepada adik-adik penulis, Maulana Yusuf dan Mitha Aulia

    yang tiada hentinya memberi dukungan baik yang bersifat moril mapun

    materiil.

  • vii

    9. Terima kasih kepada Nanda Aullia yang telah banyak memberi semangat

    dan memantau perkembangan penelitian.

    10. Terima kasih kepada sahabat-sahabat Jurnalistik UIN, Rizki Solehudin

    (kinoy), Rezha Alfian (Ejhon), Mario (bonte), Hanggi tyo, Diyah Halim,

    Aditya (bebeks), Sayid Muarif (atep), Algifari, Nissa, Doci, Denny, Khoirur

    Rozi, Singgih, Bisri, Syahrijal dan seluruh sahabat Jurnalistik lainnya.

    11. Terima kasih kepada sahabat-sahabat SMAN 32 Jakarta, Kiting, Matius,

    Roy, Reza, Yusran, Imam, Ucup, Fadil yang tidak bosan-bosannya

    menemani dalam mencari inspirasi serta referensi.

    12. Terima kasih kepada keluarga besar LPM Journo Liberta yang telah

    mengajarkan penulis tentang betapa pentingnya menjadi manusia yang

    bermanfaat bagi manusia lainnya, terlebih dalam memberikan ilmu serta

    pengalaman di bidang kejurnalistikan.

    13. Terima kasih kepada keluarga besar UKM FORSA UIN, Mas Syaifullah

    Nur (Coach), Mas Wahyu (Bosek), Mas Topik (Orixs), Mas Ade Shofari,

    Dek Doyok, Dek Khafi, dan para senior juga seluruh anggota tim lainnya.

    14. Terimakasih kepada UKM KALA CITRA, Kak Elisha, Kak Rizkikim, Kak

    Muhammad Ibnu, Kak Fakhri, Dian, dan segenap teman-teman lainnya

    yang telah banyak membantu.

    15. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu

    yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

    Jakarta, 3 Juli 2017

  • viii

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... i

    LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................... ii

    LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii

    ABSTRAK ................................................................................................. iv

    KATA PENGANTAR .............................................................................. v

    DAFTAR ISI ............................................................................................. viii

    DAFTAR TABEL ..................................................................................... x

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................. x

    BAB 1 PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1

    B. Batasan Dan Rumusan Masalah ....................................

    1. Batasan Masalah .....................................................

    2. Rumusan Masalah ..................................................

    6

    6

    7

    C. Tujuan Penelitian .......................................................... 8

    D. Manfaat Penelitian ........................................................

    1. Manfaat Akademis .................................................

    2. Manfaat Praktis .......................................................

    8

    8

    9

    E. Metode Penelitian .........................................................

    1. Paradigma Penelitian ..............................................

    2. Metode Penelitian ...................................................

    3. Subjek dan Objek Penelitian ...................................

    4. Waktu Penelitian ………….....................................

    5. Sumber dan Jenis Data ............................................

    6. Teknik Pengumpulan Data ......................................

    7. Analisis Data ...........................................................

    9

    9

    10

    11

    11

    11

    12

    13

    F. Tinjauan Pustaka .......................................................... 13

    G. Sistematika Penulisan ................................................... 15

  • ix

    BAB II LANDASAN TEORI

    A. Tinjauan Umum Tentang Keberagamaan dan

    Masyarakat Modern ......................................................

    1. Konsep Keberagamaan ...........................................

    2. Konsep Masyarakat Modern ...................................

    17

    17

    27

    B. Konsep Evolusi Agama ................................................. 33

    C. Fotografi Jurnalistik .....................................................

    1. Sejarah Foto Jurnalistik ...........................................

    2. Jenis Foto Jurnalistik ...............................................

    38

    40

    42

    D. Tinjauan Umum Tentang Semiotika .............................

    1. Pengertian Semiotika .............................................

    2. Semiotika Roland Barthes .......................................

    52

    52

    56

    BAB III GAMBARAN UMUM

    A. Tentang Sejarah Flores .................................................

    B. Tentang Jakarta Biennale 2015 .....................................

    1. Sejarah Jakarta Biennale .........................................

    2. Jakarta Biennale ......................................................

    C. Profile Ng Swan Ti .......................................................

    64

    67

    67

    71

    72

    BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA

    A. Analisis Data Foto 1 .....................................................

    1. Makna Denotasi .......................................................

    2. Makna Konotasi ......................................................

    3. Makna Mitos ............................................................

    77

    77

    78

    84

    B. Analisis Data Foto 2 .....................................................

    1. Makna Denotasi .......................................................

    2. Makna Konotasi ......................................................

    3. Makna Mitos ...........................................................

    86

    86

    87

    93

    C. Analisis Data Foto 3 ......................................................

    1. Makna Denotasi .......................................................

    2. Makna Konotasi ......................................................

    3. Makna Mitos ...........................................................

    94

    94

    95

    101

  • x

    D. Analisis Data Foto 4 .....................................................

    1. Makna Denotasi .......................................................

    2. Makna Konotasi ......................................................

    3. Makna Mitos ............................................................

    105

    105

    106

    112

    E. Pembahasan ................................................................... 113

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ..................................................................

    1. Tahap Denotasi .....................................................

    2. Tahap Konotasi .....................................................

    3. Tahap Mitos ..........................................................

    118

    118

    118

    119

    B. Saran ............................................................................ 120

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 123

    LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................... 129

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1 : Studi Evolusi Agama Wallace ..................................................... 37

    Tabel 2 : Peta Tanda Roland Barthes .......................................................... 57

    Tabel 3 : Perbandingan antara Konotatif dan Denotatif ............................. 59

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1 : Tatanan Penandaan Barthes ..................................................... 58

  • 1

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman etnis, budaya,

    bahasa, dan agama. Menurut sejarah, kaum pendatang yang telah menjadi

    pendorong utama keanekaragamaan agama dan kultur di Indonesia, seperti

    pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda.1 Hal tersebut

    menjadikan Indonesia sebagai negara yang multikultur dan multiagama.

    Berdasarkan uraian di atas, Agama2 di Indonesia tampil dalam bentuk yang

    berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu

    berkembang. Dengan maksud, seiring melalui pemahaman kebudayaan tersebut

    seseorang akan dapat mengamalkan atau menjalankan ajaran agama. Misalnya,

    kebudayaan dalam berpakaian, kebudayaan dalam pengartian sebuah benda, dan

    tata cara bergaul bermasyarakat. Dalam unsur kebudayaan tersebut unsur agama

    ikut berintegrasi, seperti model jilbab, kebaya, songket atau tenun ikat dan hal

    lainnya yang dapat dijumpai dalam pengalaman agama tertentu pada tiap

    masyarakat. Oleh karena itu, agama di Indonesia berbaur harmonis dengan beragam

    kebudayaan yang terbentuk dalam sebuah masyarakat.

    Agama merupakan salah satu unsur yang utama dalam kehidupan sosial

    kemasyarakatan di Indonesia, sehingga agama mempunyai landasan secara yuridis

    1 Laode Monto Bauto, Prespektif Agama dan Kebudayaan Dalam Kehidupan Masyarakat

    Indonesia, (Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 23, No. 2, Desember, 2014), hal, 19. 2 Menurut Kamus Bahasa Indonesia, agama merupakan ajaran atau sistem yang mengatur

    tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan

    dengan pergaulan manusia dan manusia berserta lingkungan. Dikutip dari Tim Redaksi Kamus

    Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa 2008), hal. 17.

  • 2

    yang termaktum dalam Pancasila pada sila pertama yaitu pinsip dasar negara

    berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas

    berkeyakinan atau memeluk agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.3

    Dalam kitab Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Republik Indonesia,

    agama diatur dalam Pasal 29 yang berbunyi:

    1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

    agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

    kepercayaannya itu.

    Sebagai pelaksanaan Pasal 29 (2) UUD 1945 pemerintah mengeluarkan

    Ketetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan

    atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5 Tahun 1969 tentang

    pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-

    Undang.4

    Secara formal ada enam agama yang diakui di Indonesia, seperti dalam

    Peraturan Presiden (Pepres) nomor 1 tahun 1965 (Setelah Keputusan Presiden No.

    6 Tahun 2000) disebutkan:5

    "Agama-agama yang dapat dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam,

    Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khongucu. lni tidak berarti bahwa

    agama agama lain, rnisalnya yahudi, Zaratustrian, Shinto dan Taoisme

    dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang

    diberikan Pasal 29 ayat (2) UUD 45 dan mereka dibiarkan adanya, asal

    tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini

    atau peraturan perundangan lain".

    3 Budiyono, Hubungan Negara Dan Agama Dalam Negara Pancasila, Fiat Justisia Jurnal

    Ilmu Hukum Volume 8 No. 3, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Juli-September 2014, hal.

    410. 4 UU No.1/PNPS/1965/ UU No. 5/PERPRES/1969,

    https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/posting/read/562-postingreadimplementasi-rekomendasi-

    kunci-terkait-penodaan-agama-di-indonesia-antara-tantangan-dan-peluang diakses pada tanggal 3

    maret 2017. 5 Tambahan Lembaran Ncgara Nornor 2726, Penjelasan UU (Perpres) nomor 1 tahun 1965.

    Dikutip dari https://kemenag.go.id/file/dokumen/UU1PNPS65.pdf diakses pada tanggal 3 maret

    2017.

    https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/posting/read/562-postingreadimplementasi-rekomendasi-kunci-terkait-penodaan-agama-di-indonesia-antara-tantangan-dan-peluanghttps://balitbangdiklat.kemenag.go.id/posting/read/562-postingreadimplementasi-rekomendasi-kunci-terkait-penodaan-agama-di-indonesia-antara-tantangan-dan-peluanghttps://kemenag.go.id/file/dokumen/UU1PNPS65.pdf

  • 3

    Pada zaman orde baru yang berlangsung pada Maret 1966 hingga 1998,

    masyarakat Indonesia diwajibkan memilih agama yang telah sah tentukan

    pemerintah saat itu untuk dicantumkan pada kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP).6

    Namun masalah timbul ketika pemerintah mengeluarkan aturan pembatasan

    kegiataan salah satu agama yang telah diresmikan sebelumnya. Pemerintah Orde

    Baru mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 1967 yang menghendaki agar adat, budaya

    dan kepercayaan yang bercirikan Cina dibatasi atau dipersempit ruang geraknya,

    sehingga agama Khonghucu hanya dianggap sebagai kepercayaan saja sehingga

    tidak diizinkan mencantumkan agama tersebut dalam kolom Kartu Tanda

    Penduduk. Selain itu, pemerintah menghapus mata pelajaran agama Khonghucu

    dalam kurikulum pendidikan Sekolah Dasar. Sehingga mengakibatkan kaum

    pelajar Khonghucu pada tahun 1977 dipaksa mengikuti pelajaran pendidikan agama

    lain demi memenuhi tuntunan kurikulum yang berlaku.7

    Ng Swan Ti adalah fotografer keturunan Cina Khongucu yang besar pada

    era orde baru. Sebagai keturunan Cina Khongucu yang besar pada orde baru, Ng

    Swan Ti hidup di luar sekat agama yang disediakan pemerintah dan diamini

    masyarakat8. Fotografer kelahiran Malang 1970 ini mencoba menyajikan foto cerita

    berjudul Flores Revisited mengenai kegelisahannya dalam beragama di Indonesia.

    Sejak kecil, Ng Swan Ti telah dikenalkan dengan berbagai agama. Ibunya beragama

    Konguchu -yang dulu masih dilarang pemerintah- di sekolah, ia sempat belajar

    islam dan katolik hingga akhirnya ia dibaptis ketika kuliah. Pengalaman pribadi

    6 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, (Yayasan

    Jakarta Biennale, 2015) hal. 197. 7 Gunawan Saidi, Perkembangan Agama Khongchu di Indonesia (Study Kasus di

    Masyarakat Cina Penganut Agama Khonghucu di Tangerang), hal. 6. 8 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 196.

  • 4

    sejak kecil menjadi bahan bakar yang menggerakan hasratnya untuk menciptakan

    karya tersebut.9 Flores Revisited menjadi menarik bagi penulis, pasalnya Ng Swan

    Ti mengajak pelihat foto (termasuk penulis) merasakan kegelisahan yang sama

    dalam perjalanan atau proses hidupnya dalam beragama.

    Flores Revisited hadir di tengah masyarakat dalam acara seni bergengsi dua

    tahunan Jakarta Biennale yang bertema “Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak

    Sekarang” yang berlangsung di Gudang Sarinah pada 15 November 2015 hingga

    17 Januari 2016.10 Pada umumnya 14 foto Ng Swan Ti yang tersaji dalam pameran

    tersebut memperlihatkan kehidupan beragama masyarakat Larantuka, Flores saat

    menyambut perayaan Hari Paskah atau Kenaikan Isa Almasih. Namun dibalik itu

    semua tersirat persepsi dirinya dalam beragama.

    Ng Swan Ti yang memang menyukai perjalanan seorang diri (seperti terlihat

    dalam karya sebelumnya Ilusion), tetap membawa karakternya tersebut dalam

    karya Flores Revisited. Terlihat secara samar-samar foto esai Flores Revisited

    merupakan gambaran perjalanannya yang dapat dikatakan bukan perjalanan singkat

    untuk memahami identitasnya sebagai katolik dengan mengikuti dan melihat

    keberagamaan yang dilakukan masyarakat Larantuka Flores dalam menyambut hari

    raya Paskah.11

    Foto-foto karya Ng Swan Ti ini merupakan foto jurnalistik dalam bentuk

    foto esai yang bertujuan untuk menyampaikan pendapat atau opini secara sekaligus,

    fakta dan peristiwa hanyalah pelengkap saja.12 Foto esai bukan hanya melaporkan

    9 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 197 10 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 6 11 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, hal 197 12 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media

    Massa, ( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), hal. 70.

  • 5

    suatu gejala, peristiwa atau isu tertentu, ia juga mampu menganalisa suatu kejadian.

    Foto esai adalah rangkaian argumen yang menyatakan sudut pandang tertentu dari

    si fotografer.13 Dengan begitu foto esai memiliki sebuah cerita tersendiri, kerap kali

    foto esai digunakan untuk bercerita, kritik, serta sarana bantu belajar.

    Setelah melihat dan mengamati karya tersebut, penulis ingin masuk lebih

    dalam untuk mengetahui dan menganalisis14 makna yang terkandung dalam foto-

    foto yang Ng Swan Ti tampilkan. Karena foto dapat dianalisis, dapat dijabarkan dan

    dapat memberikan pandangan baru yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Seperti

    yang dikatakan Paul Messaris pada buku Kisah Mata karya Seno Gumira

    Adjidarma, bahwa

    “Gambar-gambar yang telah dihasilkan manusia termasuk hasil dari

    fotogarfi dapat dipandang sebagai suatu keberaksaraan visual. Dengan

    kata lain, gambar tersebut bisa dibaca karena merupakan bagian dari suatu

    cara berbahasa. Jika dalam berbahasa bisa diandaikan sebagai produk

    pikiran, sehingga tercipta wacana pengetahuan, maka demikian pula

    halnya dengan penghadiran gambar-gambar.”15

    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gambar-gambar atau foto sama

    halnya dengan teks atau aksara dapat dibahas melalui makna-makna yang

    terkandung dalam foto tersebut, karena semua yang ada dalam kehidupan kita

    sebenarnya memiliki makna atau pesan yang ingin disampaikan.16

    Untuk menganalisis karya foto yang berjudul Flores Revisited karya Ng

    Swan Ti, penulis menggunakan pisau bedah analisis semiotika model Roland

    13 Taufan Wijaya. Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 76. 14 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, analisis merupakan penyelidikan terhadap suatu

    peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Seperti sebab musabab, duduk perkara dan

    sebaginya. Dikutip dari Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indoensia, Kamus Bahasa Indonesia,

    (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal 59. 15 Seno Gumira Ajidarma. Kisah Mata, Fotografi Antara Dua Subjek: Perbincangan

    Tentang Ada, (Yogyakarta: Galang Press, 2002) hal. 26 16 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotografi Antara Dua Subjek: Perbincangan

    Tentang Ada, hal. 29.

  • 6

    Barthes melalui tiga tahap pemaknaan, yakni tahap denotasi, tahap konotasi, dan

    tahap mitos.17 Dalam semiotika Roland Barthes, terdapat teori mengenai matinya

    seorang pencipta, atau yang Barthes maksud Author dengan istilah The Death of the

    Author. Menurut Barthes, sebuah karya -yang dalam hal ini adalah foto- telah lahir

    dan hidup sendiri, menguatkan dirinya sendiri dalam pandangan para pelihat setelah

    karya tersebut dilempar atau dipamerkan kepada khalayak, tanpa penjelasan apapun

    dari sang pembuat.18 Oleh karena itu penulis hanya akan memfokuskan penelitian

    pada karya foto yang telah dipublikasi oleh Ng Swan Ti dengan sudut pandang

    pelihat foto atau penulis, sudut pandang fotografer hanya menjadi dasar dari

    pemaknaan-pemaknaan yang akan ditampilkan oleh penulis.19 Meski, nantinya

    penulis tetap akan melakukan wawancara dengan Ng Swanti mengenai karya

    tersebut.

    Dari latar belakang yang penulis paparkan di atas, maka penelitian ini diberi

    judul: Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi Semiotika Makna

    Esai Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores Revisited Pada

    Pameran Jakarta Biennale 2015).

    B. Batasan dan Rumusan Masalah

    1. Batasan Masalah

    Penelitian ini difokuskan pada foto Jurnalistik esai karya Ng Swan Ti

    dalam pameran Jakarta Biennale yang berjudul Flores Revisited pada tanggal

    15 November 2015 – 17 januari 2016. Foto karya Ng Swan Ti tersebut bercerita

    tentang kehidupan beragama masyarakat saat menyambut dan menjalani ritual-

    17 Alex sobur. Semiotika Komunikasi,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya), hal 69. 18 Roland Barthes, Imaji Musik Teks, (Yogyakarta: Jalasutra, Anggota IKAPI,2010), hal. 145. 19 Roland Barthes, Imaji Musik Teks, hal. 145.

  • 7

    ritual keagamaan pada hari raya Paskah di Larantuka, Flores, Nusa Tenggara

    Timur(NTT).20 Dalam penelitian ini penulis membatasi kajian sosial dan

    beragama yang tergambar dalam foto melalui teori Emile Durkheim perihal

    beragama. Penulis menduga masyarakat tersebut telah mengalami evolusi

    dalam proses keagaamaan dan kebudayaan sehingga terjadi asimilasi dalam

    sistem norma-norma sosial dan proses kegamaan di Larantuka, Flores, NTT.

    Selain itu, berdasarkan latar belakang fotografer yang ingin memahami

    identitasnya sebagai katolik penulis menduga adanya emosi keagamaan yang

    terlibat dalam proses dokumentasi foto Flores Revisited. Sehingga tampaknya

    fotografer juga mengalami proses beragama yang evolutive.

    Penulis hanya mengambil empat dari 14 foto esai ini, karena menurut

    penulis keempat foto tersebut sudah mewakili apa yang ingin disampaikan oleh

    fotografer.

    2. Rumusan Masalah

    Keberagamaan merupakan sikap yang selalu tampak dari semua orang

    dalam menjalankan aturan agama. Seperti halnya masyarakat Flores. Maka,

    penulis ingin mengkaji representasi keberagamaan yang tertuang dalam foto

    Flores Revisited karya Ng Swan Ti tersebut. Berikut pertanyaan umum

    mengenai masalah tersebut:

    a. Bagaimana makna denotasi dalam foto Flores Revisited, yang dipamerkan

    pada ajang Jakarta Biennale 2015?

    20 Jakarta Biennale 2015. “Maju Kena Mundur Kena, Bertindak Sekarang”, (Yayasan

    Jakarta Biennale,2015) hal 197.

  • 8

    b. Bagaimana makna konotasi pada foto Flores Revisited, yang dipamerkan

    pada ajang Jakarta Biennale 2015?

    c. Bagaimana makna mitos pada foto Flores Revisited, yang juga dipamerkan

    pada ajang Jakarta Biennale 2015?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas tujuan dari penelitian

    ini adalah untuk mendeskripsikan representasi makna foto mengenai

    keberagamaan masyarakat modern atau proses perjalanan hidup dalam mencari

    sebuah identitas beragama yang direpresentasikan pada keseharian warga di

    Flores saat upacara keagamaan Paskah, melalui karya foto jurnalistik esai karya

    Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited.

    2. Untuk mengetahui dan memahami proses keberagamaan melalui representasi

    makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam enam foto karya Ng Swan Ti

    berjudul Flores Revisited yang juga dipamerkan dalam ajang Jakarta Biennale

    2015.

    D. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah:

    1. Manfaat Akademis

    Memberikan sumbangsih ilmiah dalam kajian Semiotika Roland

    Barthes, mengenai makna denotasi, konotasi dan mitos. Serta memberikan

    pemahaman ilmiah dalam komunikasi antar agama dan budaya, juga

    pemahaman ilmiah dalam kajian antropologi mengenai konsep perjalanan

    keberagamaaan dalam setiap individu atau bermasyarakat. Penelitian ini

  • 9

    diharapkan dapat mempermudah dan membantu penelitian lain yang nantinya

    bisa digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sebuah penelitian khusunya

    bagi mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam

    Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Manfaat Praktis

    Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat berupa wawasan

    dan pengetahuan bagi peminat fotografi, fotografer kebudayaan, antropolog,

    agmawan, psikolog, Mahasiswa/I Komunikasi Jurnalistik, dan Mahasiswa/I

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    E. Metodelogi Penelitian

    1. Paradigma Penelitian

    Paradigma merupakan salah satu metode atau cara berfikir yang

    digunakan penulis untuk melakukan penelitian baik itu pra maupun pasca

    penelitian. Paradigma juga diperlukan agar penulis tidak kehilangan atau keluar

    dari jalur cara berpikir penelitiannya.21

    Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma ini

    menekankan bahwa realitas merupakan konstruksi sosial. Namun, kebenaran

    suatu realitas sosial tersebut bersifat tidak mutlak, sesuai dengan konteks

    spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.22 Penggunaan paradigma

    konstruktivis dalam penelitian ini, untuk mengetahui konstruksi realitas dalam

    menjalankan ritual keagamaan. Konstruksi yang dimaksud di sini bukan dari

    21 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKIS, 2009),

    hal. 5. 22 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

    2011), hal. 11.

  • 10

    peneliti, melainkan peneliti melihat konstruksi dari subjek penelitian, yakni

    salah satu foto yang menggambarkan ekspresi keberagamaan sesorang dalam

    foto jurnalistik esai karya Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited.

    2. Metode Penelitian

    Sesuai dengan paradigma dan permasalahan yang penulis ambil dalam

    penelitian ini, maka penulis menggunakan kualitatif sebagai metode penelitian

    yang penemuannya dideskripsikan kemudian ditinjau kembali untuk dianalisis

    dari hasil pengamatan dilapangan. Observasi, wawancara, dokumen pribadi dan

    resmi, foto, rekaman, gambar, dan percakapan informal semua merupakan

    sumber data kualitatif.23

    Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang memusatkan perhatian

    pada prinsip-prinsip umum yang medasari dalam perwujudan sebuah makna

    dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan

    kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan

    menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk

    memperoleh gambaran mengenai kategori tertentu.24

    Melalui pendekatan kualitatif ini peneliti bertujuan untuk menjelaskan

    sebuah fenomena keberagamaan masyarakat modern atau evolusi agama terjadi

    dengan pengumpulan data dan analisis yang mendalam untuk mencoba

    memahami masalah berdasarkan pada keseluruhan penelitian. Yakni pada foto

    jurnalistik esai karya Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited.

    23 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Data. (Jakarta: PT Raja Grafindo

    Persada, 2010), hal. 37. 24 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 23.

  • 11

    3. Subjek dan Objek Penelitian

    Dalam riset ilmu sosial, hal yang penting adalah menentukan sesuatu

    yang berkaitan dengan apa dan siapa yang ditelaah.25 Yang menjadi subjek

    dalam penelitian ini adalah fotografer yaitu Ng Swan Ti dan objek dalam

    penelitian ini adalah esai foto Flores Revisited karya Ng Swan Ti yang

    dipamerkan pada ajang Jakarta Biennale 2015. Dari 14 foto yang dipamerkan,

    peneliti hanya melakukan penelitian pada lima foto saja yang dapat mewakili

    secara keseluruhan dari foto yang ditampilkan.

    4. Waktu Penelitian

    Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu melakukan Preliminary

    research atau pratinjau penelitian. Peninjauan sebelum penelitian dilakukan

    pada desember 2016. Dalam kurun waktu tersebut, telah dilakukan untuk

    penelusuran sosok Ng Swan Ti, serta fenomena-fenomena keberagamaan yang

    dialami olehnya dalam pencarian jati diri agamanya. Memperdalam kajian ilmu

    yang berhubungan dengan semiotika untuk memperkuat teori yang digunakan

    dalam penelitian pada januari 2017. Sedangkan proses penelitian dengan

    melakukan wawancara pada maret 2017 dan pembahasan bersama dosen

    pembimbing mulai januari 2017 – april 2017 serta melakukan revisi pada mei

    2017.

    5. Sumber dan Jenis Data

    Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, digunakan data

    primer dan data sekunder.

    25 Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal. 66.

  • 12

    a. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil foto yang dipilih

    penulis sesuai dengan penelitian. Penulis lebih memfokuskan pada lima foto

    karya Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited karena menurut penulis

    foto-foto tersebut mewakili apa yang ingin disampaikan oleh fotografer

    secara menyeluruh.

    b. Data sekunder diperoleh dari observasi dengan mengunjungi pameran

    Jakarta Biennale 2015 di gedung Sarinah, Jakarta Pusat pada tanggal 13

    januari 2016 untuk mengamati foto jurnalistik esai karya Ng Swan Ti secara

    konseptual Pamaren. juga wawancara mendalam dengan mengunjungi

    kediaman fotografer yang karyanya akan diteliti, yaitu Ng Swan Ti.

    6. Teknik Pengumpulan Data

    a. Dokumentasi

    Penggunaan data dokumentasi dalam penelitian ini adalah untuk

    mendapatkan informasi yang berhubungan dengan data-data berupa foto,

    dokumen, arsip, atau catatan-catatan tentang berbagai hal yang

    berhubungan dengan esai foto Flores Revisited.

    b. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)

    Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan

    untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya.26 Wawancara yang

    digunakan adalah wawancara secara mendalam, agar data yang dihasilkan

    benar-benar utuh dan bisa dipertanggung jawabkan. Dalam penelitian ini

    penulis melakukan wawancara secara tatap muka dengan narasumber.

    26 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media

    Grup, 2012), hal 100.

  • 13

    Peneliti telah membuat atau merumuskan kerangka dan garis besar

    pokok-pokok yang akan ditanyakan. Pokok-pokok wawancara berisi

    landasan ekspresi keberagamaan Ng Swan Ti yang kerap silang-sengkarut

    dengan tradisi lokal bahkan kepentingan politik, proses kebudayaan yang

    terjadi, juga pemahaman sedikit mengenai foto secara teknis.

    7. Analisis Data

    Penelitian ini menggunakan analisis semiotik Roland Barthes pada

    karya foto Ng Swan Ti yang berjudul Flores Revisited dalam pameran Jakarta

    Biennale mengenai proses hidupnya dalam keberagamaan.

    Dalam semiotika Roland Barthes terdapat beberapa tahapan, yang

    pertama adalah tahap denotasi yang mana pertandaan yang menjelaskan

    hubungan penanda dan petanda pada realitas, tahap berikutnya yaitu konotasi

    yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi

    makna yang tidak langsung dan tidak pasti. Dari dua tahapan tersebut Barthes

    mengembangkannya pada tahapan mitos ketika suatu tanda yang memiliki

    makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna

    denotasi tersebut akan menjadi mitos.27

    F. Tinjauan Pustaka

    Dalam penyusunan skripsi ini, sebelum peneliti memulai penelitian lebih

    jauh dan kemudian menyusun menjadi skripsi. Maka langkah awal yang peneliti

    tempuh adalah mengkaji terlebih dahulu skripsi yang memiliki kajian yang sama

    dengan kajian yang akan peneliti teliti. Adapun maksud dari penelitian ini untuk

    27 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Fakultas Ilmu

    Pengetahuan Budaya UI Depok, 2008), h. 153.

  • 14

    mengetahui permasalahan yang peneliti teliti berbeda dengan yang di teliti

    sebelumnya.

    Setelah peneliti melakukan kajian terhadapat penelitian atau tinjauan

    pustaka. Maka peneliti menemukan, beberapa karya ilmiah yang akan peneliti

    dijadikan tinjauan pustaka:

    1. “Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya

    Zarqoni Maksum Pada Galeri Foto Antara.co.id),” oleh Fatimah Thamrin

    tahun 2008, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Konsentrasi Jurnalistik,

    Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidatullah Jakarta.

    2. “Analisis Semiotika Foto pada Buku Foto Jakarta Estetika Banal karya Erik

    Prasetya”, oleh Marifka Wahyu Hidayat 2014, Jurusan Komunikasi Penyiaran

    Islam, Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,

    UIN Syarif Hidatullah Jakarta.

    3. “Denotasi dan Konotasi dalam Karya Foto Jurnalistik Bencana Alam Tanah

    Longsor di Banjarmasin pada Harian Kompas edisi 13-18 Desember 2014”

    oleh Yudho Priambodo, Jurusan Fotografi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut

    Seni Indonesia, Yogyakarta.

    Dalam ketiga skripsi yang di teliti tersebut, mempunyai kesamaan dari

    Subjek penelitian yang akan peneliti teliti yaitu foto, akan tetapi berbeda dalam

    membahas objek penelitian yang mana peneliti akan membahas tentang perjalanan

    atau proses keberagamaan Ng Swan Ti dalam mencari identitas agama yang terjadi

    pada perayaan Hari Paskah atau Kenaikan Isa Almasih di Larantuka, Flores Timur,

    Nusa Tenggara Timur(NTT).

  • 15

    G. Sistematika Penulisan

    Teknik dari penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan pedoman

    penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang telah di susun oleh tim UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta press, 2007.

    BAB 1 : Pendahuluan, merupakan penjelasan dari latar belakang

    permasalahan penelitian skripsi ini. Didalamnya juga dijelaskan

    fokus dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,

    metodologi penelitian (paradigma penelitian, pendekatan penelitian,

    metode penelitian, tempat dan waktu penelitian, subjek dan objek

    penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data),

    tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan yang mendasari

    penelitian :

    Keberagamaan Masyarakat Flores Modern (Studi Semiotika

    Makna Esai Foto Jurnalistik Karya Ng Swan Ti Berjudul Flores

    Revisited Pada Pameran Jakarta Biennale 2015).

    BAB 2 : Membahas tentang keberagamaan masyarakat modern, Evolusi

    agama, foto jurnalistik serta teori semiotika Roland Barthes.

    BAB 3 : Pemaparan mengenai gambaran umum tentang Sejarah Flores,

    tentang Pameran Jakarta Biennale 2015 dan Profil Ng Swan Ti

    mengenai karya-karya yang telah di buat termasuk Flores Revisited.

    BAB 4 : Pemaparan data analisis tentang foto Flores Revisited karya Ng

    Swan Ti yang dipamerkan di Jakarta Biennale 2015 melalui

    semiotika Roland Barthes serta pembahasannya.

  • 16

    BAB 5 : Merupakan tahap akhir dari skripsi yang berisi terkait dengan

    kesimpulan dan saran.

  • 17

    17

    BAB 2

    LANDASAN TEORI

    A. Tinjauan Umum Tentang Keberagamaan dan Masyarakat Modern

    1. Konsep Keberagamaan

    Agama merupakan suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan

    dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, sehingga sebagai umat

    beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan

    kita melalui rutinitas beribadah serta mencapai rohani yang menyempurnakan

    kesuciannya. Dengan kata lain agama adalah usaha yang dilakukan manusia

    untuk mengenal dan menyembah tuhannya yang diyakini, dapat memberikan

    kesejahterahan dan keselamatan hidup manusia. Hal tersebut akan didapat

    dengan cara taat kepadanya dan melakukan berbagai ritual penyembahan

    sebagai bukti bakti manusia kepada tuhannya.1

    Dalam bukunya The Elementary From of Religious Life, Emile

    Durkheim membagi unsur-unsur yang sangat penting yang menjadi syarat

    sesuatu dapat disebut sebagai agama, yaitu praktek-praktek(upacara/ritual),

    sistem kepercayaan, emosi keagamaan, umat penganut religi.

    a. Upacara keagamaan/ritual yaitu Fenomena religi terbagi menjadi dua

    kategori meliputi kepercayaan dan ritual. Kepercayaan merupakan sebuah

    opini yang terdiri dari representasi. Sementara ritual merupakan sebuah

    tindakan-tindakan tertentu. Diantara dua fenomena tersebut terdapat hal

    yang membedakan antara pemikiran dan aksi.2 Dengan maksud

    1 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, (The Free Press,1995), hal 35. 2 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 36.

  • 18

    kepercayaan hanya merupakan sebuah bentuk pemikiran untuk percaya

    terhadap sesuatu yang diyakini, sedangkan ritual merupakan bentuk dari

    tindakan yang merepresentasikan kepercayaan terhadap apa yang diyakini

    yaitu agama.

    Sebuah ritual dapat dibedakan dari praktik-praktik kemanusiaan

    lainnya, sebagai contoh: Praktik moral hanya dari sifat murni objek-

    objeknya. Layaknya ritual, aturan moral menetapkan cara kita berperilaku,

    namun cara kita berperilaku merupakan objek dari hal-hal yang lain. Objek

    dari ritual lah yang harus dicirikan jika kita ingin mencirikan ritual itu

    sendiri. Sifat-sifat khusus dari objek tersebut diperlihatkan didalam

    kepercayaan.3 Oleh sebab itu, hanya jika kita telah berhasil mendefinisikan

    kepercayaan barulah kita dapat mendefinisikan ritual. Dengan kata lain

    sebuah ritual akan terjadi atau terlaksana ketika manusia telah meyakini

    satu hal atau percaya terhadap apa yang diyakini.

    b. Sistem Kepercayaan adalah hal-hal yang mempresentasikan sifat-sifat dari

    hal yang sakral berhubungan dengan hal sakral lainnya yang dianggap

    tidak suci. Hal-hal sakral tersebut merupakan sesuatu yang terlindungi dan

    terisolasi oleh batasan-batasan tertentu. Sedangkan hal yang tidak suci

    merupakan hal-hal yang dilarang dan harus dipisahkan dari segala yang

    dianggap sakral. Sesuatu yang dianggap sakral atau dapat dikatakan

    sebagai aturan sebuah agama dalam menjalaninya harus dipisahkan dari

    sesuatu yang dianggap tidak suci.4 Dengan kata lain seseorang yang

    percaya terhadap agama yang ia yakini akan mendorong untuk melakukan

    3 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 36. 4 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 38.

  • 19

    hal-hal yang dianggap sakral. Sebagai contoh, pada pandangan umat

    muslim, beribadah merupakan suatu hal yang dianggap sakral namun

    setelah melakukan ibadah tersebut ia berbuat sesuatu hal yang dianggap

    tidak suci yaitu mengumbar kepada orang lain atas ibadah yang ia lakukan.

    Hal tersebut tidak bisa beriringan dilakukan. Oleh karena itu pada sistem

    kepercayaan yang disebutkan Emile Durkheim, bahwa keyakinan

    seseorang dalam beragama merupakan hal yang teramat penting dalam

    menjalankan sistem kepercayaan tersebut. Keyakinan beragama menurut

    Emile Durkheim ialah sesuatu yang diakui dan dipercaya oleh sekumpulan

    orang yang menjalani ritual yang sama. Tidak hanya diakui satu sama lain

    tapi mereka juga memiliki rasa memiliki dan memersatukan hal (ritual,

    kepercayaan) tersebut. Dan setiap orang merasa semakin menyatu dengan

    yang lain karena mereka memiliki kepercayaan (iman) yang sama.5

    c. Emosi keagamaan yaitu hal yang membuat seseorang melakukan tindakan-

    tindakan bersifat religi. Dengan kata lain, masyarakat pada umumnya

    memiliki pengaruh dalam pikiran seseorang, yang secara tak terelakan

    memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk membangkitkan rasa

    ketuhanan mereka. Tuhan utamanya merupakan dzat yang manusia

    hormati serta percayai memiliki kekuasaan atas diri mereka sebagai tempat

    bergantung.6 Masyarakat mengharuskan kita menjadi pengikutnya,

    melupakan segala kepentingan individual. Hal-hal tersebut menjadikan

    kita subjek dari segala bentuk pengekangan, cobaan dan pengorbanan yang

    mana tanpa hal tersebut segala kehidupan sosial akan mustahil tercipta.

    5 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 38. 6 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 40.

  • 20

    Sebab itu, secara langsung kita tunduk pada aturan-aturan dalam bertindak

    dan berfikir yang mana hal tersebut belum tentu merupakan hal kita buat

    atau inginkan. Hal-hal ini kemudian terkadang bertolak belakang dengan

    keinginan dan naluri dasar kita.7 Dalam hal ini seseorang yang memiliki

    keyakinan-keyakinan dan percaya akan suatu agama dengan melakukan

    praktek-praktek keagamaan seperti ritual akan memiliki perasaan-perasaan

    mendalam akan dirinya sendiri yang akan membentuk sebuah pandangan

    terhadap apa yang diyakininya.

    d. Umat penganut religi yaitu sebuah masyarakat yang anggotanya bersatu

    karena mereka melihat dunia yang sakral dan hubungannya dengan dunia

    yang fana dengan cara yang sama, dan karena mereka menerjemahkan

    representasi umum ini kedalam praktik yang sama (menjalankan ritual

    yang sama). Dengan kata lain sekelompok atau seseorang yang menganut

    sistem religi atau suatu sistem keyakinan.8

    Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pengetian agama dan unsur-

    unsur yang dianggap penting dan menjadi syarat sesuatu dikatakan sebagai

    agama oleh Emile Durkheim, dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah agama

    perlu sikap atau tindakan dalam melakukannya. Dalam hal ini keberagamaan

    seseorang dalam menjalankan sebuah agama perlu dipraktekan secara benar

    dengan berbagai bentuk.

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Keberagamaan berasal dari

    kata agama, yang berartikan suatu sistem yang mengatur tata keimanan

    (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah

    7 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 40. 8 Karen E. Fields, The Elementary From Of Religious Life, hal 43.

  • 21

    yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan

    lingkungannya.9 Kata “agama” berasal dari Bahasa sansekerta agama yang

    berarti “tradisi”. Terdapat juga dalam Bahasa latin religio yang berakar pada

    kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat erat”.10 Dengan demikian individu

    yang beragama mengikat dirinya kepada yang diyakininya.

    Berdasarkan pengertian di atas keberagamaan dari kata dasar Agama

    yang berarti segenap kepercayaan kepada Tuhan, Beragama berarti memeluk

    atau menjalankan agama. Dan keberagamaan adalah adanya kesadaran diri

    individu dalam menjalankan suatu ajaran dari suatu agama yang dianut.11 Meski

    berasal dari kata dasar yang sama dengan agama, namun dalam penggunaannya

    istilah keberagamaan mempunyai makna yang berbeda dengan agama. Jika

    agama menunjukan pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan

    kewajiban –kewajiban keberagamaan menunjuk pada aspek agama yang telah

    dihayati oleh individu di dalam hati dengan kata lain seberapa jauh

    pengetahuan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama yang diyakininya.12

    Oleh karena itu “agama”(religi) dan keberagamaan(religiousity) sedikit

    berbeda.

    Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam sisi kehidupan

    manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan

    ritual(beribadah), tetapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh

    9 Dewi S. Baharta. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Bintang Terang 1995)

    diakses pada 3 maret 2017 10 https://id.wikipedia.org/wiki/Agama (diakses pada tanggal 3 maret 2017). 11 Abdullah, Taufiq, dan Rusli Kasim. Penelitian Agama Suatu Pengantar, (Yogyakarta:

    Tiara Wacana, 1989), hal 93. 12 Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan kreativitas dalam

    perspektif psikologi islam, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), hal 70-71.

    https://id.wikipedia.org/wiki/Agama

  • 22

    kekuatan akhir. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat

    dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati

    seseorang.13

    Menurut Jalaluddin Rakhmat Religiusitas (keberagamaan) adalah

    perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada Nash.14 Dari

    definisi keberagamaan tersebut, maksudnya adalah pola sikap seseorang yang

    berusaha menuju kepada pola kehidupan yang sesuai. Keberagamaan juga

    diartikan sebagai kondisi pemeluk agama dalam mencapai dan mengamalkan

    ajaran agamanya dalam kehidupan atau segenap kerukunan, kepercayaan

    kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan ajaran dan kewajiban melakukan sesuatu

    ibadah menurut agama.15

    Dalam pandangan Abu Hamid dalam perilaku keberagamaan seseorang

    terdapat beberapa sebab yakni Adapun orang yang mempunyai perilaku

    keberagamaan sebgai berikut:16

    a. Perilaku seseorang bukanlah pembawaan atau tidak dibawa sejak lahir

    adalah perilaku seseorang memang tidak dibawa sejak dilahirkan, tetapi

    harus dipelajari sejak perkembangan hidupnya. Oleh karena itu orang tua

    hendaknya selalu memberikan arahan yang baik dan benar sehingga anak-

    anaknya dalam mengalami pengalaman dapat berjalan baik dan lancar.

    Seperti memberikan endidikan agama bagi seorang anak harus ditanamkan

    13 Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan kreativitas dalam

    perspektif psikologi islam, hal 71. 14 Abdullah, Taufiq, dan Rusli Kasim. Penelitian Agama Suatu Pengantar, (Yogyakarta,

    Tiara Wacana, 1989), hal. 93. 15 Ahmad Syaefudin Janu Arbain, Pengaruh Intensitas Mengikuti Bimbingan Agama Islam

    Jumat Pagi Terhadap Tingkat Keberagamaan Penghuni Lokalisasi Karaoke, (Universitas Islam

    Negeri Walisongo, Semarang 2014), hal 30. 16 Abu Hamid, Psikologi Sosial, (Semarang: PT Bina Ilmu, 1979), hal. 53.

  • 23

    orang tuanya sejak dini, sehingga tidak ada kata terlambat untuk dipelajari

    dan mengembangkan perilaku keberagamaan tetapi harus dipelajari selama

    perkembangan hidupnya.

    b. Perilaku keberagamaan tidak berdiri sendiri artinya ada faktor-faktor yang

    mempengaruhi, oleh sebab itu faktor-faktor yang mempengaruhi

    diusahakan faktor-faktor yang berakibat baik dalam pembentukan sikap

    keberagamaan.

    c. Perilaku pada umumnya memiliki segi-segi motivasi dan emosi, artinya

    seorang dalam membentuk sikap keberagamaan selalu mempunyai perasaan

    dan semangat maupun dorongan untuk mencapai tujuan yang hendak

    dicapai.

    Menurut Jalaluddin, ada dua faktor yang mempengaruhi religiusitas

    diantaranya adalah faktor intern dan ekstern. Faktor intern meliputi hereditas

    (keturunan), usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan. Sedangkan faktor ekstern

    meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.17 Karena sering kali

    diwarnai perubahan-perubahan yang disebabkan beberapa faktor-faktor

    tertentu, maka perilaku keberagamaan seseorang dalam perjalanan hidupnya

    tidak berlangsung secara baik. namun perubahan tersebut dapat dilihat dari segi

    kualitas maupun kuantitas perilaku keberagamaannya.

    Selain Jalaludin yang mengungkapkan beberapa faktor yang

    mempengaruhi keberagamaan seesorang, ada pula faktor-faktor yang bisa

    menghasilkan perilaku keberagamaan, yakni dalam buku ilmu jiwa agama

    17 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers. 2010), hal. 305.

  • 24

    karangan Sururin, Robert H. Thouless mengemukakan faktor-faktor yang

    menghasilkan perilaku keberagamaan antara lain.18

    a. Pengaruh-pengaruh sosial yaitu Faktor sosial mencakup semua pengaruh

    sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: seperti pendidikan

    orang tua, tradisi-tradisi dan tekanan-tekanan lingkungan sosial untuk

    menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh

    lingkungan.

    b. Berbagai Pengalaman yakni Pada umumnya anggapan bahwa adanya suatu

    keindahan, keselarasan, dan kebaikan yang dirasakan dalam dunia nyata

    memainkan peranan dalam pembentukan sifat keberagamaan

    c. Kebutuhan yakni Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan

    agama adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara

    sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan

    agama. Kebutuhan tersebut dikategorikan menjadi empat bagian yaitu:

    kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk

    memperoleh harga diri dan kebutuhan akan adanya kehidupan dan

    kematian.

    d. Proses pemikiran yakni manusia adalah makhluk berfikir, salah satu akibat

    dari pemikiran manusia bahwa ia membantu dirinya untuk menentukan

    keyakinan-keyakinan mana yang harus diterima dan keyakinan yang harus

    ditolak. Faktor tersebut merupakan faktor yang relevan untuk masa remaja,

    karena bahwa pada masa remaja mulai kritis dalam menyikapi soal-soal

    18 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 79.

  • 25

    keagamaan, terutama bagi remaja yang mempunyai keyakinan secara sadar

    dan bersikap terbuka.19

    Manusia memiliki pola sikap terhadap bermacam-macam hal,

    sedangkan pola sikap yang termasuk dalam keberagamaan misalnya:

    “Bagi orang muslim yang benar-benar taat ia akan mengatakan

    daging babi adalah haram, tidak disukai dan kotor, Mungkin sekali

    seseorang yang betul-betul bersikap demikian dikatakan bahwa ia

    sedang makan daging babi maka ia akan memuntahkan keluar apa yang

    sedang ia makan, inilah salah satu contoh mengenai sikap

    keberagamaan seseorang terhadap makanan tersebut yang dalam

    pandangan agamanya bahwa itu haram”.20

    Dengan demikian bahwa keberagamaan dalam setiap individu

    mempunyai sikap-sikap tersendiri yang akan menguatkan jiwa seseorang dalam

    keyakinannya terhadap agama yang dianut.

    Sarwono menyebutkan, bahwa sikap (attitude) adalah istilah yang

    mencerminkan rasa senang, tidak senang, atau perasaan biasa-biasa saja (netral)

    dalam diri seseorang terhadap sesuatu. “Sesuatu” itu bisa benda, kejadian,

    situasi, orang-orang atau kelompok. Sikap tersebut dinyatakan dalam tiga

    dominan yaitu, Affect adalah perasaan yang timbul (senang atau tidak senang),

    Behaviour adalah perilaku yang mengikuti perasaan itu (mendekat atau

    menghindar), cognition adalah penilaian terhadap objek sikap (bagus atau tidak

    bagus).21

    Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap

    keberagamaan adalah sebagai berikut:

    19 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, hal. 81. 20 Ahmad Syaefudin Janu Arbain , Pengaruh Intensitas Mengikuti Bimbingan Agama Islam

    Jumat Pagi Terhadap Tingkat Keberagamaan Penghuni Lokalisasi Karaoke. hal 36 21 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Rajawali Press,

    2010), hal. 20.

  • 26

    a. Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang terdapat dalam diri

    pribadi manusia itu yakni aktifitasnya sendiri, daya pilihnya sendiri, atau

    minat perhatiannya untuk menerima atau mengolah pengaruh-pengaruh

    yang datang dari luar dirinya.22

    b. Faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor yang datang dari luar individu

    Dimana faktor ini biasa timbul melalui interaksi sosial maupun non sosial.23

    Faktor eksternal tersebut dipengaruhi oleh:

    1) Interaksi sosial interaksi sosial adalah hasil kebudayaan manusia yang

    sampai melalui keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Thouless

    menambahkan bahwa:

    “Tidak ada seorang pun yang dapat mengembangkan sikap-

    sikap keagamaan kita dalam keadaan terisolasi dalam

    masyarakat. Sejak masa kanak-kanak hingga masa tua kita

    menerima perilaku dari apa yang mereka katakan pengaruh

    terhadap sikap-sikap keagamaan kita”.24

    Sedemikian penting faktor lingkungan sosial dalam pembentukan

    sikap, maka selektifitas pergaulan sangat penting untuk diperhatikan,

    karena kesalahan dalam pemilihan lingkungan sosial akan dapat

    berakibat negatif bagi pembentukan sikap seseorang.

    2) Interaksi non sosial adalah hasil kebudayaan manusia yang sampai

    kepadanya melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio,

    televisi, buku, risalah dan lain-lain. Dengan demikian interaksi sosial

    22 Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 1991), hal. 155. 23 Gerungan, Psikologi Sosial, hal.156. 24 Robert H Thouless, , Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta: Rajawali Pers 1992 edisi

    terjemah), hal. 37.

  • 27

    dan non sosial mempunyai peranan dalam rangka pembentukan sikap

    dalam keberagamaan.25

    Satu-satunya fungsi akal dalam pembentukan keyakinan-keyakinan

    keagamaan tampaknya hanya rasionalisasi. Manusia adalah mahluk yang

    berfikir dan salah satu akibat dari pemikiranya adalah bahwa ia membantu

    dirinya untuk menentukan keyakinan-keyakinan yang mana yang harus

    diterimanya dan yang mana pula yang harus ditolaknya. Dalam hal ini perilaku,

    sikap, pengetahuannya terhadap agama akan sangat menentukan sikap

    keberagamaan.26

    Dengan demikian, beberapa konsep serta pandangan yang telah

    dipaparkan, menurut penulis hakikat keberagamaan seseorang terletak pada

    ikhtiar atau usahanya dalam mencari Tuhan dalam ragam keyakinan dan

    peribadatannya. Dikarenakan seseorang pemeluk agama akan selalu memasuki

    fase kesalehan baru dalam setiap rentang kehidupannya, sehingga dengan

    berbagai fenomena yang akan terjadi setiap individu bertanggung jawab dengan

    apa yang ia lakukan terhadap keyakinannya.27

    2. Konsep Masyarakat Modern

    Secara terminologi istilah masyarakat berasal dari kata bahasa arab yaitu

    syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. Sedangkan kata musyaraka

    berarti “saling bergaul”. Adapun bahasa Arab untuk masyarakat adalah

    mujtama, Sedangkan dalam bahsa Inggris istilah yang digunakan pada

    25 Gerungan. 1991. Psikologi Sosial, hal. 156 26 Ahmad Syaefudin Janu Arbain, Pengaruh Intensitas Mengikuti Bimbingan Agama Islam

    Jumat Pagi Terhadap Tingkat Keberagamaan Penghuni Lokalisasi Karaoke, hal 39. 27 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UINPress, 2014),

    hal 32

  • 28

    masyarakat adalah society yang berasal dari kata latin yaitu socius, yang berarti

    “kawan”.28

    Koentjaraningrat mengartikan masyarakat sebagai istilah yang lazim

    untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah

    maupun dalam bahasa sehari-hari, dengan maksud secara etimologi masyarakat

    adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat

    istiadat tertentu yang bersifat continue yang terikat oleh suatu rasa identitas

    bersama.29 Menurut definisi lain, masyarakat adalah sekumpulan manusia yang

    saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan

    manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling

    berinteraksi.30

    Sejarah kehidupan masyarakat sekarang ini telah memasuki apa yang

    disebut dengan era modern. Istilah modern yang berarti “baru” dapat digunakan

    sebagai istilah yang menyebut sesuatu terhadap perkembangan kehidupan

    manusia yang sedang berlangsung saat ini, yaitu “zaman modern”. Secara

    bahasa kata “modern” berasal dari bahasa Latin “modo” yang berarti “just

    now” atau “yang kini”. Istilah ini seringkali dikaitkan dengan kehidupan yang

    ditemukan dalam masyarakat Barat yang sudah mengalami industrialisasi dan

    tingkat teknologi yang maju.31

    28 https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat (diakses pada tanggal 20 maret 2017) 29 Koentjaraningrat, Pengantar ilmu antroplogi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) hal, 147-

    148. 30 Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa

    2008) 31 Arfan Gaffar, Modern dan Islam; Dua Kutub yang Bertentangan dalam Al-Qur’an dan

    Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: SIPRESS, 1993), hal. 106.

    https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat

  • 29

    Konsep modernisasi dalam arti khusus yang disepakati teoritisi

    modernisasi di tahun 1950-an dan tahun 1960-an, didefinisikan dalam tiga cara:

    historis, relatif, dan analisis. Menurut definisi historis, modernisasi sama

    dengan westernisasi atau Amerikanisasi. Modernisasi dilihat sebagai gerakan

    menuju cita-cita masyarakat yang dijadikan model. Menurut pengertian relatif,

    modernisasi berarti upaya yang bertujuan untuk menyamai standar yang

    dianggap modern baik oleh masyarakat banyak maupun oleh penguasa. Definisi

    analisis berciri lebih khusus dari pada kedua definisi sebelumnya yakni

    melukiskan dimensi masyarakat modern dengan maksud untuk ditanamkan

    dalam masyarakat tradisional atau masyarakat pra modern.32

    Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu arah perubahan

    ke arah yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek dalam kehidupan

    masyarakat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah

    proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju,

    di mana dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.33 Seiring

    dengan pendapat Wilbert E. Moore yang mengemukakan bahwa modernisasi

    adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra

    moderen dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola ekonomis dan

    politis yang menjadi ciri-ciri negara barat yang stabil.34

    32 Piort Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2004), hal. 152-153. 33 Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994),

    hal. 176-177. 34 Wilbert E. Moore, "Social Verandering" dalam Social Change, diterjemahkan oleh A.

    Basoski, Prisma Boeken, Utrech, Antwepen, 196, hal. 129.

  • 30

    Amin Rais menyatakan bahwa suatu abad dapat dikatakan modern

    apabila memiliki ciri-ciri:35

    a. Ledakan informasi tanpa batas – berkat teknologi komunikasi yang semakin

    maju, produktif, dan efektif – sehingga dapat menjangkau seluruh penjuru

    dunia.

    b. Nilai moral semakin longgar, yang ditunjukkan dengan semakin kaburnya

    batas antara halal dan haram maupun baik dan buruk.

    c. Semakin tumpulnya peri kemanusiaan.

    d. Sangat mengagungkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).

    e. Kehidupan masyarakat yang semakin materialistik.

    Sementara itu Ali Yafie yang juga menyebutkan bahwa peradaban

    modern ditandai dengan:36

    a. Kemajuan di bidang teknologi.

    b. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat.

    c. Kehidupan lebih individualis dan materialis.

    d. Kekuasaan jaringan informasi.

    e. Terjadi pelecehan dan pendangkalan nilai-nilai agama.

    Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kehidupan

    modern diidentikan dengan manusia yang rasional dengan ditandai dengan

    kemajuan ilmu pengetahuan, semakin derasnya arus informasi. Kehidupan

    modern juga mempunyai sisi negatif seperti masyarakat yang cenderung

    individual, materialis dan menurunnya minat terhadap agama. Modernisasi

    35 Amin Rais, Tauhid Sosial : Formula Menggempur Kesenjangan, (Bandung: Mizan,

    1998), hal. 151-153. 36 Ali Yafie, Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan Keagamaan Kemanusiaan,

    (Yogyakarta: LKPSM, 1997), hal. 65.

  • 31

    yang ada di masyarakat saat ini tentu tidak bisa dihindari oleh masing-masing

    individu yang ada.

    Modernisasi juga menimbulkan perubahan di berbagai bidang nilai,

    sikap dan kepribadian. Sebagian besar perkara ini terhimpun dalam konsep

    "manusia moderen".37 Menurut Lerner, manusia moderen adalah orang yang

    gemar mencari mencari sesuatu sendiri yang mempunyai kebutuhan untuk

    berprestasi dan gemar mencari sesuatu yang berbeda dari orang lain.38

    Manusia modern mempunyai berbagai macam ciri. Alex Inkeles dan

    David Smith menjabarkan ciri-ciri manusia modern ada 5 ciri sebagaimana

    dikutip oleh Arfan Gaffar, yaitu:39

    a. Opens to new experience (Keterbukaan untuk menerima hal-hal baru).

    b. The realism of growth of opinion (Memiliki kemampuan untuk membentuk

    dan menyatakan pendapat menyangkut permasalahan di sekitarnya).

    c. The readiness for social change (Siap menerima perubahan sosial).

    d. The need of information (Membutuhkan dan selalu mengikuti informasi

    perkembangan).

    e. Oriented to world future and punctuality (Berorientasi ke depan).

    Modernisasi sebagai sebuah gejala perubahan sosial tentunya sangat

    penting bagi sebuah masyarakat, terutama pada masyarakat yang mempunyai

    sifat terbuka terhadap suatu perubahan. Modernisasi erat hubungannya dengan

    globalisasi di mana pembaharuan yang terjadi dalam masyarakat lebih besar

    37 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

    2001), hal. 384. 38 Ellya Rosana,“ Moderenisasi dan Perubahan Sosial” Jurnal Tapis Volume 7 Nomor 12,

    2011, hal. 40. 39 Arfan Gaffar, Modern dan Islam; Dua Kutub yang Bertentangan dalam Al-Qur’an dan

    Tantangan Modernitas, (Jakarta: SIPRESS, 1993), hal. 106.

  • 32

    terjadi karena masuknya teknologi. Melalui teknologi tersebut akan sedikit

    banyak membawa dampak yang progres bagi masyarakat, misalnya saja dengan

    adanya modernisasi maka secara tidak langsung teknologi akan mudah diserap

    oleh masyarakat, dan lebih cepat merubah pola pikir masyarakat.40 Dengan

    deimikian modernisasi dirasa penting karena menyangkut dampak yang akan

    terjadi dalam suatu masyarakat, baik positif maupun negatif.

    Dari beberapa pernyataan yang telah dipaparkan, konsep masyarakat

    modern telah mengubah perilaku masyarakat secara luas. Mulai dari berpikir

    logis dan rasional hingga lebih peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan

    dan tekhnologi. Di sisi lain konsep masyarakat modern juga telah mengubah

    sikap masyarakat terhadap proses keagamaan.41 Masyarakat modern dipandang

    sebagai masyarakat yang seakan-akan lupa terhadap nilai-nilai sakral agama.42

    Manusia modern idealnya adalah manusia yang berfikir logis dan mampu

    menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.

    Dengan kecerdasan dan bantuan teknologi, manusia modern mestinya lebih

    bijak dan arif, tetapi dalam kenyataannya banyak manusia moderen yang

    kualitas kemanusiaannya lebih rendah dibandingkan dengan kemajuan ilmu

    pengetahuan dan teknologi yang dicapainya, sehingga melahirkan berbagai

    macam problema dalam kehidupannya.

    40 Yeni Ristiana, Pola Interaksi Masyarakat di Kampung Cyber RT. 36 RW. 09 Taman,

    Kelurahan Patehan,Kecamatan Kraton, Yogyakarta, (Universitas Negeri Yogyakarta 2012), hal. 1. 41 Amin Rais, Tauhid Sosial : Formula Menggempur Kesenjangan, hal. 151-153 42 Ali Yafie, Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan Keagamaan Kemanusiaan, hal. 65.

  • 33

    B. Konsep Evolusi Agama

    Dalam buku Sosiologi Agama yang ditulis Dadang Kahmad disebutkan

    "tingkat perkembangan agama dan kepercayaan di suatu masyarakat dipengaruhi

    oleh tingkat perkembangan peradaban masyarakat tersebut”.43 Pernyataan ini

    secara eksplisit menunjukkan bahwa agama tumbuh dan berkembang sesuai dengan

    pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan manusia yang secara langsung

    mempengaruhi proses evolusi agama. Oleh karenanya, proses evolusi agama

    sesungguhnya dimulai ketika manusia mengenal agama.44

    Dadang mengatakan, tingkat paling dasar dari evolusi agama adalah ketika

    manusia percaya bahwa makhluk-makhluk halus menempati alam sekeliling tempat

    tinggal manusia. Pandangan ini dikemukakan oleh E. B Taylor sebagai tokoh yang

    memperkenalkan "teori jiwa" sebagai salah satu teori asal mula manusia

    beragama.45 Dalam teori ini disebutkan, agama yang paling awal datang bersamaan

    dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa dunia ini tidak hanya dihuni oleh

    makhluk materi, tetapi juga makhluk immateri yang disebut jiwa (anima). E. B.

    Taylor berpendapat, agama muncul dari kesadaran manusia akan adanya roh atau

    jiwa, keyakinan ini disebutnya animisme.46

    Masih menurut pandangan E. B. Taylor, evolusi agama pada tingkat

    selanjutnya ditunjukkan dengan keyakinan bahwa gerak alam disebabkan oleh jiwa

    yang ada di belakang pristiwa dan gejala alam tersebut. Tingkat kedua dari evolusi

    agama ini disebut Taylor ialah polytheisme yang merupakan perkembangan dari

    43 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2006), hal. 24. 44 Dadang Kahmad – mengutip Koentjoroningrat, menyebutkan enam teori asal mula

    agama, yaitu: teori jiwa, teori batas akal, teori krisis dalam hidup individu, teori kekuatan luar biasa,

    teori sentiment masyarakat, dan teori wahyu Tuhan. 45 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 24-25. 46 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal 24-25.

  • 34

    pemujaan terhadap roh nenek moyang (manisme). Sementara tingkat terakhir dari

    evolusi agama dalam pandangan Taylor lahir bersamaan dengan timbulnya susunan

    kenegaraan di dalam masyarakat manusia.47 Taylor memandang, ketika muncul

    susunan kenegaraan di masyarakat, muncul pula kepercayaan bahwa di alam

    dewadewa juga terdapat susunan kenegaraan yang serupa dengan susunan

    kenegaraan manusia. Susunan kenegaraan dewa semacam ini lambat laun

    menimbulkan kesadaran baru dari keyakinan bahwa pada hakikatnya semua dewa-

    dewa tersebut merupakan penjelmaan dari satu dewa yang tertinggi.48

    Stephen K. Sanderson dalam buku Macrosociology mengatakan bahwa

    kajian ilmiah tentang evolusi agama telah tertinggal jauh di belakang kajian

    mengenai evolusi berbagai ciri kehidupan sosial-budaya lainnya.49 Namun

    demikian, pada buku tersebut Sanderson tetap menyebutkan tokoh-tokoh seperti

    Robert N. Bellah dan Wallace yang dipandangnya memiliki skema evolusi agama

    dan cukup berharga untuk dikemukakan mengingat penelitian tentang masalah ini

    kurang menjadi perhatian dan sangat sedikit dilakukan.

    Robert N. Bellah (1927-2013) mengkonsepsi tentang evolusi agama yaitu

    dalam upaya menjelaskan berbagai perubahan agama manusia akibat meningkatnya

    perbedaan dan kompleksitas kelembagaan, sistem sosial atau satuan apapun yang

    ada dalam masyarakat yang mampu mendorong kemampuan manusia melakukan

    adaptasi dengan lingkungannya.50

    47 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 24. 48 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 25. 49 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,

    (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 521. 50 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UINPress, 2014),

    hal 41.

  • 35

    Skema evolusi agama yang diperkenalkan Bellah dibagi ke dalam lima

    tahap, yaitu: primitif, purbakala, historis, modern awal, dan modern. Bellah

    memandang agama primitif terisi dengan mitos dan makhluk spiritual, sementara

    agama purbakala dikarakteristikan oleh munculnya dewa-dewa, padri-padri, ibadah

    kurban, dan konsepsi tentang kerajaan Tuhan. Agama historis dipandang Bellah

    sebagai agama-agama besar dunia yang timbul satu saat selama atau sesudah masa

    seribu tahun (millenium) pertama sebelum Kristus. Agama modern awal dalam

    pandangan Bellah timbul dengan adanya Reformasi Protestan yang meneruskan

    pembedaan yang dilakukan agama-agama historis antara dunia sekular dan dunia

    yang lain (spiritual, pen).51 Sedangkan pada tahap agama modern, Bellah meyakini

    bahwa abada keduapuluh sedang mengalami timbulnya agama modern secara

    gradual, ia memaknai agama modern sebagai suatu bentuk kehidupan keagamaan

    di mana konsep-konsep dan ritual-ritual agama tradisional digantikan dengan

    kekhawatiran etik humanistik dari berbagai hal yang sekuler. Pada tahap ini,

    persoalan-persoalan tentang penderitaan akhir manusia semakin banyak dijawab

    dalam arti yang nonteistik.52

    Manusia modern tampaknya mulai tergoda dengan ungkapan “my mind is

    my church”, atau “I am is a sect myself” atau ungkapan “ its my life” persetan

    dengan kata masyarakat karena itu sistem sosial mengalami kelenturan mengikuti

    kekauan doktrin (ortodoksi) dan kekakuan karaktorologi (kepribadian uritan). Dan

    tentunya dikhawatrirkan kemungkinan kemungkinan lainnya konsekuensi dari

    distorsi patologis dalam situasi masyarakat modern. Pertanyaan lanjutnya apakah

    kepribadian dalam jati diri suatu bangsa dapat bertahan pada era masyarakat

    51 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 41-47. 52 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal 46.

  • 36

    modern, tetap terlembaga secara mantap dalam sistem sosial yang lebih luas.

    Ataukah semua ini adalah bagian dari upaya menawarkan inovasi kreatif dari

    tindakan manusia untuk menuguhkan kembali ukuran nilai nilai moral dan sistem

    dalam bermasyarakat.53

    Sementara itu, Wallace memandang agama suatu masyarakat sebagai

    pranata pemujaan (cult institutions), yaitu seperangkat "spiritual yang semuanya

    mempunyai tujuan umum yang sama, semuanya secara eksplisit dirasionalkan oleh

    seperangkat kepercayaan yang serupa atau yang berkaitan, dan semuanya didukung

    oleh kelompok sosial yang sama." Wallace mengidentifikasikan empat tipe agama

    evolusioner yang didasarkan pada gabungan pranata-pranata pemujaan tersebut,

    yaitu pertama, agama-agama shaman yang hanya terdiri dari pranata pemujaan

    individual dan shamanik. Kedua, agama-agama komunal, yang mengandung

    pranata pemujaan komunal, shamanik dan individualistik. Ketiga, gama-agama

    Olympian, yang mengandung pranata pemujaan individual, shamanik dan komunal,

    maupun pranata pemujaan eklesiastikal yang terorganisasi sekeliling rumah-rumah

    pemujaan dewa-dea tinggi yang politeistik. Dan keempat, agama-agama

    monoteistik, yang menganndung pranata pemujaan individualistik, shamanik, dan

    komunal, sejalan dengan pranata pemujaan eklesiastikal yang terorganisasi sekitar

    konsep suatu dewa tinggi tunggal.54

    Studi mengenai evolusi agama (sebagaimana skema Wallace) selanjutnya

    dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini:55

    53 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal. 46. 54 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,

    hal. 524. 55 Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,

    hal. 526.

  • 37

    Tabel 1: Studi Evolusi Agama Wallace

    Tipe Agama (Skema

    Wallace)

    Tingkat Teknologi

    Khusus Masyarakat

    Contoh

    Shamanik: hanya ada

    pranata pemujaan

    individualistik dan

    shamanik

    Pemburu dan peramu Eskimo, Kung, Mbuti

    dari Afrika Tengah

    Komunal: terdapat

    pranata pemujaan

    individualistik,

    shamanik, dan

    kommunal

    Hortikultur sederhana Masyarakat kepulauan

    Trobriand, banyak

    suku Indian Amerika

    Utara

    Olympian: terdapat

    pranata pemujaan

    individualistik,

    shamanik, komunal,

    daneklesiastik

    politeistik

    Hortikultur intensif

    dan pertanian awal

    Maya, Aztek, Inca,

    Yunani dan Romawi

    kuno, Kerajaan-

    kerajaan Afrika

    Monoteistik: terdapat

    pranata pemujaan

    individualistik,

    shamanik, komunal,

    dan eklesiastik

    monoteistik

    Agraris yang

    kompleks dan industri

    kontemporer

    China dan India kuno,

    Erop abad

    pertengahan,

    Kapitalisme Barat,

    Jepang Kontemporer

    Sumber: Buku Sosiologi Makro, Stephen K. Sanderson, 1995, hal 526

    Pada evolusi agama yang akan dibahas dalam penelitian ini, penulis

    memaparkan bagaimana terjadinya evolusi agama pada masrayakat Larantuka

    Flores dalam melakukan ritual-ritual peribadatan. Evolusi agama yang terjadi pada

  • 38

    Masyarakat Larantuka Flores yang direpresentasikan melalui karya foto jurnalistik

    berbentuk esai berjudul Flores Revisited. Penulis merasa konsep yang dipaparkan

    Robert N Bellah pada tahapan kelima, yaitu zaman modern sangat tepat dengan apa

    yang terjadi dalam kehidupan beragama masyarakat Flores saat itu.56 Percampuran

    budaya dan agama yang dialami masyarakat Flores saat itu menjadi landasan

    penting terhadap pola kehidupan beragama dan norma-norma sosial yang terjadi

    hingga saat ini.

    C. Fotografi Jurnalistik

    Fotografi Jurnalistik adalah salah satu aliran fotografi yang lebih

    mengutamakan realita dibandingkan dengan aliran lainnya. Dalam dunia

    jurnalistik, foto menjadi hal yang paling penting untuk mewakili sebuah

    pemberitaan atau informasi yang tidak dapat disampaikan hanya dengan sebuah

    tulisan.57 Taufan menambahkan bahwa foto jurnalstik Sebagai produk jurnalistik

    memang tak setua jurnalistik tulis. Ia berakar dari fotografi dokumenter setelah

    teknik perekaman gambar secara realis ditemukan.58 Foto dikategorikan sebagai

    foto jurnalistik saat foto itu terdapat nilai-nilai berita yang terkandung di dalamnya,

    foto jurnalistik tidak harus bersifat kekerasan dan hal-hal berat lainnya, jika sebuah

    foto sudah memiliki nilai berita bagi umum sesederhana apa pun foto tersebut sudah

    bisa dikategorikan sebagai foto jurnalistik.59

    Menurut Wilson Hicks foto jurnalistik adalah kombinasi dari kata dan

    gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara

    56 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, hal. 46. 57 Drs. Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: Logos

    Wacana Ilmu, 1999), hal. 100. 58 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 130. 59 Ferry Darmawan, Dunia Dalam Bingkai, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 165.

  • 39

    latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya. Jika dilihat dari fungsi foto

    jurnalistik menurut Edwin Emery, antara lain adalah untuk menginformasikan (to

    inform), meyakinkan (to persuade) dan menghibur (to intertaint).60

    Salah satu pendiri Magnum Photo, Henri Cartier-Bresson yang terkenal

    dengan teori decesive moment menjelaskan bahwa foto jurnalistik berkisah dengan

    gambar, melaporkannya dengan kamera, merekamnya dalam waktu, yang

    seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersebut mengungkapkan sebuah

    cerita.61 Seorang fotografer terutama fotografer jurnalistik, menginginkan foto yang

    dihasilkan adalah moment puncak(decesive moment) dari sebuah peristiwa. Karena

    moment tersebut sulit untuk diulang kembali.62

    Fotografi jurnalistik bukan cuma sebagai pelengkap berita, penarik

    pembaca ataupun hanya sekadar mengisi bagian kosong dari rubrik di kolom sebuah

    media, ini alat terbaik yang saat ini dimiliki berita sebagai penyampainya karena

    ringkas dan efektif, hal ini dinyatakan oleh tokoh fotografi dunia Kenneth Kobre

    yang juga sebagai pengajar di salah satu universitas luar negeri.63 Di dalam negeri

    sosok yang sudah tidak asing lagi dengan foto jurnalistik, Oscar Motuloh

    mengatakan bahwa foto jurnalistik itu terdapat dua elemen, yaitu elemen verbal dan

    elemen visual. Caption adalah keterangan pelengkap foto yang menjelaskan foto,

    caption yang dibuat harus singkat dan menjelaskan secara sekilas.64 Visual yang

    dimaksud Oscar Motuloh adalah penampilan mengenai foto itu sendiri.

    60 Drs. Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktek, hal. 102.

    61 Ferry Darmawan, Dunia Dalam Bingkai, hal. 166. 62 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 130. 63 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 17. 64 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal. 17.

  • 40

    Dari beberapa pengertian yang tertera, secara menyeluruh taufan dalam

    bukunya Foto Jurnalistik mendefinisikan bahwa foto jurnalistik seperti

    menghentikan waktu, dan memberi kita gambaran nyata bagaimana waktu

    membentuk sejarah. Karena sifat dasarnya yang dokumentatif, foto jurnalistik

    mampu membuat masyarakat melihat kembali rekaman imaji atas apa yang telah

    mereka lakukan pada masa lalu, sekaligus memuat pertanyaan tentang apa yang

    terjadi di masa datang, juga mampu membantu masyarakat memahami

    lingkungannya dan diri mereka sendiri termasuk mengedentifikasi segala sesuatu

    yang harus diwaspadai.65

    1. Sejarah Foto Jurnalistik

    Sejarah mencatat surat kabar harian Daily Graphic, pada Senin 16 April

    1877 memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada

    halaman satu seperti yang disebutkan Taufan Wijaya dalam bukunya Foto

    Jurnalistik, merupakan embrio dari foto jurnalistik.66

    Perkembangan foto jurnalistik sampai pada era foto jurnalistik modern

    dikenal sebagai “golden age” (1930-1950). Saat itu terbitan seperti Sports

    Illustrated, The Daily Mirror, The New York Daily News, Vu, dan LIFE

    menunjukan eksistensinya dengan tampilan foto-foto yang menawan. Pada era

    itu muncul nama nama jurnalis foto, seperti Robert capa, Alfred Eisenstaedt,

    Margaret Bourke-White, David Seymour, dan W.Eugene Smith. Lalu ada Henri

    Cartier-Bresson dengan gaya candid dan dokumenternya.67 Cartie-Bresson,

    bersama Robert Capa, David Seymour, dan George Rodger kemudian

    65 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal, 16.

    66 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik hal, 1. 67 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, hal,4-5.

  • 41

    mendirikan Magnum photos pada 1947, menjadikan agensi foto berita pertama

    yang menyediakan foto jurnalistik dari berbagai isu dan belahan dunia. Para

    pendirinya yang alumni LIFE kemudian membagi area kerja, Afrika dan Timur

    Tengah, India dan Cina, Eropa, serta Amerika.68

    Terbitan National Geographic Magazine (NG) juga mendorong

    kemajuan foto jurnalistik, terutama edisi yang mengangkat isu-isu kultural

    dengan terbitan pertamanya pada januari 1950. NG dikenal sebagai media yang

    menerapkan standart teknis tinggi untuk menjaga kualitas foto terbitannya.69

    Di Indonesia sendiri awal mulanya muncul fotografi jurnalistik pada

    1841, orang tersebut adalah Juriaan Munich, seorang utusan kementerian

    kolonial lewat jalan laut di Batavia. Seorang anak Indonesia yang diangkat