KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM … QODIR-FSH.pdfTatanan Modernitas yang HAkiki,...

114
KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM Oleh : Abdul Qodir NIM : 103043227980 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M

Transcript of KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM … QODIR-FSH.pdfTatanan Modernitas yang HAkiki,...

KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HAM

Oleh :

Abdul Qodir

NIM : 103043227980

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008 M

KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HAM

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Abdul Qodir

NIM : 103043227980

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag

NIP: 150 275 509

Dedy Nursyamsi, SH M.Hum

NIP: 150 264 001

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H/2008 M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HAM telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada

29 Mei 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum

(PMH).

Jakarta, 29 Mei 2008

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. Drs.H. Muhammad Amin Suma, SH,

MA, MM

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag

(………….)

NIP. 150 275 509

2. Sekretaris : H. Muhammad Taufiqi, M.Ag.

(………….)

NIP. 150 290 159

3. Pembimbing I : Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag

(………….)

NIP. 150 275 509

4. Pembimbing II : Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum

(………….)

NIP. 150 264 001

5. Penguji I : Dr. JM. Muslimin, MA, Ph.D (………..)

NIP. 150 295 489

6. Penguji II : Drs. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc.MA

(………….)

NIP. 150 238 774

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

HIdayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah

Jakarta.

Jakarta: 7 Maret 2008

29 Shafar 1429 H

Abdul Qodir

KATA PENGANTAR

Ungkapan rasa syukur tak terukur, tertutur dalam kata pengantar kepada Allah

swt. Dia telah menuturkan ayat-ayat-Nya untuk dijadikan alat tafakur dan tadabur.

Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sesuai yang diharapkan.

Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah

menuturkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk dijadikan bahan berfikir.

Selesainya penulisan skripsi ini, bagi penulis merupakan suatu kebanggaan dan

kesenangan yang luar biasa, untuk mengungkapkan rasa tersebut, penulis merasa

susah untuk menterjemahkannya dalam bahasa tulisan. Oleh karena itu, dalam skripsi

ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, Yaitu Bapak Prof. Dr. Drs. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM.

2. Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH/PH) Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Yaitu Bapak DR. H. Ahmad Mukri Aji, MA.

3. Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum(PMH/PH)Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Yaitu Bapak H. Muhammad Taufiqi, M.Ag.

4. Pembimbing Skripsi, Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag dan Dedy Nursyamsi,

SH., M.Hum yang telah membimbing penulis dalam penyusunan Skripsi ini.

5. Terkhusus Kepada Bapak Dosen Penasihat Akademik Prodi PMH/PH periode

2003-2008 yaitu Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag yang telah mengarahkan

dan membimbing kami sehingga telah menyelesaikan program studi sampai

selesai.

6. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum serta seluruh civitas akademika, yang

telah memberikan sumbangsih wawasan keilmuan dan bimbingan selama penulis

berada dalam perkuliahan.

7. Pimpinan Perpustakaan UIN “ Syarif Hidayatullah “Jakarta beserta para staff dan

seluruh karyawannya yang telah melayani penulis selama studi dan khususnya

dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Kedua orang tuaku Ayahanda H.MA. Firdaus dan Ibunda Tercinta Hj. Siti

Fatimah yang telah melahirkan, membesarkan, dan mendidik penulis untuk

menggapai cita-cita.

9. Saudaraku yang tercinta, (Kakanda Hayatun Nufus, Suhlia, Agung Wahyudi, dan

M. Rosyid) yang selalu memberikan motivasi bagi penulis.

10. Teman-teman yang berada di LKB-HMI, (Kanda Jalal, Isnur, Ainul Yaqin) dan

semua yang berada di Komfaksya yang tidak saya sebutkan satu persatu terima

kasih atas motivasi dan pinjaman buku-bukunya.

11. Teman-teman yang tergabung dalam IKBAS (Ikatan Keluarga Besar Alumni

Sunanul Huda).

12. Secara Khusus penulis haturkan salam ta’zhim kepada guru-guruku, di pesantren

Sunanul Huda Cikaroya Sukabumi. Terkhusus Al-mukarram al-ustadz Aa Buya

KH. Dadun Sanusi beserta keluarga. Serta guru-guru yang ada dalam lingkungan

IKBAS korwil Cilebut, ( KH. Jaenudin, KH. Dimyati, KH. Firdaus ) yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis.

13. Sdr. Ali, STh.i, dan Sdr. Wildan Hasan Syadzily, STh.i, yang telah memberikan

kontribusinya sebagai tempat konsultasi sekaligus minta pinjaman buku-buku.

Atas nama pribadi penulis memohon, semoga segala partisipasi, dan motivasi,

dari semua pihak, senantiasa mendapatkan ridho Allah swt. Terakhir, penulis

mengharapkan semoga skripsi ini dapat berguna bagi agama, bangsa, dan khususnya

bagi segenap pembaca.

Jakarta: 28 Maret 2008 M

20 Rabiul Awal 1429 H

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………...iv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1

B. Identifikasi Masalah……………………………………..………. 7

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………. 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………... 9

E. Metode Penelitian……………………………………….……….10

F. Sistematika Penulisan…………………………………………....12

BAB II : HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT

A. Pengertian Hak Asasi Manusia…………………………………. 14

B. Sejarah dan lahirnya Konsep Hak Asasi Manusia…………….... 19

C. Realitas HAM di dalam Masyarakat Barat dan Islam…………...22

BAB III : BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN

HAM

A. Konsep Beragama Menurut Islam dan HAM…………………... 29

B. Sumber dan dalil Hukum Islam………………………………….34

C. Nilai Utama HAM dan Sumber-sumber Hukum HAM……….... 45

BAB IV : PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKRIF HUKUM ISLAM

DAN HAM

A. Kebebasan beragama menurut hukum Islam dan HAM…………60

B. Historitas pindah agama dalam Islam dan HAM………………...84

C. Hukum Pindah Agama dalam Islam dan HAM …………………86

D. Analisis Perbandingan Kebebasan Pindah Agama……………....94

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………97

B. Saran-saran………………………………………………………98

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………......100

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Makna keberadaan agama dalam kehidupan manusia sering kali penuh

dilema. Disatu sisi ia adalah sumber penting dari terbentuknya sebuah peradaban.

Tapi disisi lain, agama pun akan menjadi titik api dari konflik sosial yang

berkepanjangan.1 Agama tidak hanya menjadi inspirasi bagi persaudaraan sejati

(sentripetal ), tapi ia pun dapat menjadi penyulut api permusuhan abadi (

Sentrifugal ).2

Wacana di sekitar HAM di Negara kita akhir-akhir ini termasuk tema

yang paling banyak diperbincangkan berbagai kalangan. Seperti disoroti media

massa, baik dalam maupun luar negeri, Indonesia termasuk negara yang banyak

melakukan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Aspirasi dari berbagai

pihak ditegagkan hukum yang setimpal bagi para pelanggar HAM kian menguat

dan menampakkan dirinya dalam berbagai aksi dan tekanan. Tekanan tersebut

terlihat semakin kental sejak runtuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998. Unjuk

rasa atau demonstrasi baik yang dimotori oleh mahasiswa maupun masyarakat

dari berbagai kalangan digelar dimana-mana sejak dari pusat sampai daerah.3

1 Zainudin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa: Konstruksi Tentang Realitas

Agama dan Demokratisas, ( Yogyakarta: Yayasan Galang, 2000 ), h. xxi. 2 Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian Hermeneutik, (

Jakarta: Paramadina, 1996 ), Cet. Pertama, h.15. 3Ahmad Kosasih. HAM Dalam Perspektif Islam Menyingkap Persamaan dan

Perbedaan Antara Islam dan Barat, (Jakarta, Salemba Diniyah, 2003), Cet. I. h. xv.

Dikalangan akademisi (Lembaga Pendidikan) tegasnya, Perguruan

Tinggi masalah HAM sudah menjadi bahan perbincangan dan perdebatan sehari-

hari, dengan diadakannya seminar atau Studium general. Pada tanggal 25 Maret

2007 Studium General dilaksanakan di gedung Auditurium UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dengan Tema “Prospek Pembangunan Hukum, HAM dan

Demokrasi di Indonesia”4 dengan nara sumber (Pemateri) H. Wiranto. S.ip, itu

merupakan sebagian diantara Perguruan Tinggi yang haus akan wacana HAM

demi terciptanya supremasi HAM.

Hingga kini, diskursus HAM dilaksanakan secara seragam dan

menyeluruh diberbagai penjuru dunia (Universal approaches). Sementara yang

lain menghendaki penegakan HAM dari sudut pandang yang lebih spesipik dan

sesuai dengan kondisi budaya dan keyakinan masyarakat setempat (Local

approaches).

Hanya saja, sampai sekarang belum ada solusi yang lebih memadai bagi

kedua kutub tersebut. Bahkan yang terjadi sebaliknya, setiap upaya dari pihak

terakhir di atas selalu dicurigai sebagai pembangkangan atas sesuatu yang

universal. Padahal, demokrasi wacana kembar HAM mengabsahkan perbedaan

pendapat dan meniscayakan penghargaan atas pendapat orang lain.5

4 fakultas Syariah dan Hukum, Studium General, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 25

Maret 2007. 5 Egi Sudjana. HAM dalam Perspektif Islam Mencari Universalitas HAM Bagi

Tatanan Modernitas yang HAkiki, (Jakarta, Nuansa Madani, 2005), Cet. II, h. iii.

HAM dalam Perspektif Islam lebih cenderung bersumber kepada Al-

Qur’an dan As-Sunnah, serta dokumen-dokumen HAM, seperti Piagam Madinah,

Khutbah Wada’ pernyataan kairo tentang HAM Islam hingga Deklarasi HAM

Universal PBB tahun 1948. maka sangat jelas bahwa hak asasi tersebut bukan

berasal dari siapapun, termasuk raja atau Presiden sekalipun, tetapi berasal dari

Causa Prima alam semesta ini, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, atau yang lebih

dikenal dengan istilah Theosentris.

Sedangkan HAM sendiri lebih bersumber kepada HAM barat seperti

HAM yang dideklarasikan oleh badan tertinggi dunia (PBB) pada 10 Desember

1948 yang dikenal dengan piagam PBB tentang hak-hak asasi Manusia atau “The

Universal Deklaration Of Human Right” yang terdiri dari 30 pasal. Magna Charta

yang lahir pada tahun 1215 di Inggris, yang menyatakan bahwa raja yang tadinya

berkekuasaan Absolute (Menciptakan Hukum) menjadi terbatas, dapat dimintai

pertanggung jawabannya dimuka umum. Dari sinilah terlihat raja tidak kebal

hukum lagi.

Lahirnya Magna Charta kemudian diikuti oleh peraturan sejenis yang

lebih dikenal dengan Bill Of Right tahun 1689. Saat itu, timbul adigium Equality

before the law (persamaan kedudukan dimuka hukum). Kemudian, di tahun 1789

lahir he French deklaration. Adapun inti deklarasi itu adalah hak-hak asasi

diperinci lagi sehingga melahirkan dasar the rule of law.

Sedangkan di Indonesia sendiri sebagai Negara demokrasi telah

menjamin HAM, baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini secara formil

dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang terdapat pada

batang tubuh yang mencantumkan 7 pasal di dalamnya: Sebelum amandemen

ketentuan HAM di dalam UUD 1945 relatif sedikit, hanya 7 (tujuh pasal saja

masing-masing pasal 27, 28, 29, 30, 31, 31 dan 34). Namun Sekalipun demikian,

telah diusulkan juga untuk membuka kesempatan memasukkan pasal-pasal HAM

ke dalam UUD 1945 melalui amandemen. Upaya amandemen terhadap UUD

1945 ini telah melalui 2 tahapan usulan. Usulan draft amandemen Undang-

undang Dasar 1945 yang kedua tanggal 18 Agustus 2000 telah menambahkan

satu bab khusus yaitu Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia mulai pasal 28 A

sampai dengan 28 J. Sebagian besar isi perubahan tersebut mengatur mengenai

hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Pencantuman hak-hak asasi tersebut dalam UUD 1945 merupakan bukti

adanya jaminan yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya, bukan dalam

kaitannya dengan hukum positif. Serta Undang-undang HAM tahun 1999 No.39

tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 “Tentang Pengadilan HAM”,

serta undang-undang Dasar pasal 27 dan 29 tentang kehidupan yang layak dan

Kebebasan Beragama. Maka sangat jelas bahwa hak asasi tersebut seolah-olah

merupakan hak pemberian manusia atau ciptaan manusia itu sendiri.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa manusia

dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan

kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan

membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani

kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu maka manusia memiliki

kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu,

untuk mengimbangi kebebasan tesebut manusia memiliki kemampuan untuk

bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.6

Sejalan dengan pandangan di atas, maka kita dapat menemukan adanya

nilai kebebasan yang tertuang dalam undang-undang No. 39 Th. 1999. salah satu

Nilai Kebebasan yang terkandung dalam undang-undang tersebut adalah

Kebebasan beragama, yang mana termuat juga dalam deklarasi PBB pada 10

Desember 1948 yang terdiri dari 30 pasal. Yaitu pasal 18 yang berbunyi :

“Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertobat dan beragama, hak ini

meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk

menyatakan agama dan kepercayaan dalam bentuk beribadat dan menepatinya,

baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat

umum maupun sendiri”.

Begitupun di dalam undang-undang dasar tahun 1945 pasal 29 ayat 1

dan 2 menyatakan adanya kebebasan beragama bahwa Negara menjamin tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut

kepercayaannya itu.

Di dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hak asasi

manusia, termasuk di dalamnya kebebasan menganut agama sesuai dengan

keyakinannya. Oleh karena itu Islam melarang keras adanya pemaksaan

6 Redaksi Sinar Grafika, UU RI No. 30 Th. 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,

(Jakarta, Sinar Grafika, 2000), Cet. I. h. 1.

keyakinan agama kepada orang yang telah menganut agama lain. Hal Ini senada

dengan ayat suci al-qur’an:

�� ������� � � ������� � ��� � ������ ������ �� !"�#

%&⌧(� �� ) "*☺�, (�-.0�1 �2346�7 ��8 9:�#�1=>

?���8 �����, *@AB�☺�CD�� �=>FG� ��8

)��H�IJ3� �� K� �L�AM�.N�� ��OPQ 0 R���=> SST�.⌧U

V XSY�Z )ة���٢٥٦ :٢/ا( Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya

Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu

barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut7 dan beriman kepada Allah,

Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat

Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha

Mengetahui”. (Q.S.Al-Baqarah/2:256).

Kemudian dijelaskan juga di dalam al-qur’an tentang kerukunan antar

umat beragama melalui toleransi, sebagai berikut:

[\� ]����, 4_���, � (2`��aD��=> ��*☺Kb A2(��#cd

� K�=> �S@ef�� (2Gg=4��=3g>d � (hG�=>

-ij�#�=4 ��*☺8 �k�lN>d R��� "�# mY6�Cnb � �2(��#cd=>

�k���Xo 240=jF�8 � R��� �=j[8=p (240[8=p=> � ��=j�

��qGY6*☺�>d (240� => (2-�GY6*☺�>d � K� �rstP

�=j�qF�8 240=jF�8=> � R��� �S*☺�u�v �=j�qF� �

�P�T� �=> x�nM*☺� �� )١٥ :٤٢/ا��رى(

Artinya: ”Maka Karena itu Serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah8

sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa

nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang

diturunkan Allah dan Aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara

kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. bagi kami amal-amal

kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara

7 Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT. 8 Maksudnya:tetaplah dalam agama dan lanjutkanlah berda’wah

kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah

kembali (kita)". (Q.S. Assûra/42: 15).

Berdasarkan uraian di atas, Islam telah memberikan respon positif

terhadap kebebasan beragama yang tercermin dalam bentuk kerukunan dan

toleransi antar pemeluk agama dibatasi pada hal-hal yang bersifat mu’amalah

(Hubungan antar sesama untuk beragama) atau kemasyarakatan.

Sehingga dalam hal ini, (pasal 18 UDHR) sangat tidak sesuai dengan

apa yang telah dilandasi oleh Islam. Karena pasal ini akan berbenturan dengan

prinsip-prinsip akidah Islam. Adanya pertentangan tersebutlah yang melatar

belakangi penulis membuat skripsi ini berjudul “Kebebasan Pindah Agama

Dalam Perspektif Hukum Islam dan HAM”.

B. Identifikasi Masalah

Agar pembahasan masalah ini tidak rancu, maka perlu adanya

identifikasi masalah. Pada dasarnya kebebasan pindah agama itu terletak pada

kebebasan menjalankan agamanya masing-masing, kenyamanan, dan

ketenteraman, karena kebebasan beragama dan menjalankan semua perintah dan

ajarannya adalah bagian dari Hak Asasi Individu.

Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertaubat, dan beragama, hal ini

meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk

menyatakan agama dan kepercayaan dalam bentuk beribadat dan menepatinya,

baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik ditempat

umum maupun sendiri.

Adapun yang dimaksud dengan perspektif Hukum Islam dan HAM

dalam skripsi ini adalah Pertama tentang ma’na atau pengertian HAM dalam

Islam dan Barat, latar belakang serta sejarah HAM yang nantinya akan mengarah

kepada realitas HAM dalam masyarakat Islam dan Barat.kedua, penulis akan

memfokuskan pada kerangka hukum yang nantinya akan mengarah kepada

konsep beragama menurut Islam dan HAM.

Ketiga, pembahasan skripsi ini mengarah pada pandangan Islam dan

HAM dalam kaitannya dengan kebebasan pindah agama dengan terlebih dahulu

mengkaji konsep kebebasan, historis pindah agama, hukum pindah agama dalam

perspektif Islam dan HAM serta berakhir dengan uraian analisis perbandingan

kebebasan pindah agama.

Agar permasalahan skripsi ini lebih terarah dan terfokus, maka penulis

akan mengidentifikasikan ruang lingkup penulisan skripsi ini hanya pada

persoalan Islam dan HAM Barat. Namun apabila ada pembahasan HAM menurut

konvensional, Nasional, Internasional itu hanya sebagai penguat saja.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Sebelum menguraikan batasan dan rumusan masalah dalam skripsi ini

secara makro, penulis akan mengulas kata kunci dalam skripsi ini, yaitu Pindah

Agama. Dalam Islam pindah agama lebih dikenal dengan sebutan murtad, yang

mana orang yang murtad harus dibunuh, merupakan sebuah antitesis

(Pertentangan yang menyolok) dikalangan pemikir Islam sendiri.

Agar pembatasan dan permasalahan ini lebih terarah dan terfokus

berdasarkan latar belakang dari uraian di atas, maka penulis akan memberikan

pembatasan ruang lingkup penulisan skripsi ini hanya pada persoalan pindah

agama perspektif hukum Islam dan HAM, yang berhubungan dengan sanksi atau

hukuman bagi pelaku pindah agama.

Untuk lebih memudahkan dalam skripsi ini penulis mencoba untuk

merumuskan masalah ini sebagai berikut:

1. Bagaimana hukumnya pindah agama dalam Islam dan HAM ?

2. Bagaimana persamaan dan perbedaan tentang pindah agama menurut Islam

dan HAM ?

Dengan pembatasan dan perumusan masalah seperti ini, diharapkan

skripsi ini dapat mengupas konsep kebebasan pindah agama dalam perspektif

Islam dan HAM.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang dimaksudkan penulis adalah:

1. Mengetahui hukum pindah agama dalam Islam dan HAM.

2. Mengetahui persamaan dan perbedaan tentang pindah agama menurut hukum

Islam dan HAM.

Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan diharapkan bermanfaat

bagi pihak yang mempunyai kepentingan dengan penelitian hukum ini sebagai

berikut:

1. Manfaat Praktis

Sebagai bahan informasi pengetahuan dan keilmuan bagi para pembaca

dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat yang hegemonis sehingga dapat

meningkatkan hubungan beragama yang harmonis.

2. Manfaat Akademis

Sebagai kesempatan kepada peneliti untuk mengkaji dan membahas

tentang persoalan agama yang terjadi dalam kehidupan beragama khususnya

mengenai kebebasan pindah agama menurut hukum Islam dan HAM.

E. Metode Penelitian

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan penelitian skripsi ini,

penulis menggunakan metode:

1. Jenis dan Sifat Data

Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitan ini adalah

jenis kualitatif yakni berupa uraian kata-kata, yang sesuai dengan kebutuhan

penelitian ini. Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk penelitian yang

bersifat deskriptif analisis yakni penelitian yang menggambarkan data dan

informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam.

Dengan kata lain penelitian ini untuk menjelaskan tentang kebebasan pindah

agama di Indonesia.

Dan metode yang penulis pergunakan adalah metode deskriftif. Metode

deskriftif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi

tertentu secara factual dan cermat. Cara ini bertujuan mendeskripsikan keadaan

kongkrit agama yang ada di Indonesia.

Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian

yang bersifat deskriptif analisis yakni penelitian yang menggambarkan data dan

informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam.

Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis

secara mendalam tentang kebebasan pindah agama yang terkandung dalam

hukum Islam dan HAM Barat serta perkembangannya dalam kehidupan sehari-

hari.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Sumber Data Primer

Pengambilan sumber data primer ini berpijak pada doktrin-doktrin

pemikiran Islam dan Barat. Alur pembahasan dalam skripsi ini akan diawali

dengan konsep agama yang ada dalam hukum Islam dan undang-undang

b. Sumber data skunder

Bahan data skunder ini diambil dari literature Islam (buku-buku Islam),

maupun buku-buku yang bersifat umum, serta seluruh pustaka maupun media

yang berkaitan dengan objek penelitian ini.

3. Tehnik Pengumpulan data

Adapun tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini: Dengan

menggunakan referensi Primer, tentunya cara ini dengan mencari dan mengkaji

buku-buku, serta literature yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas

seperti pemikiran tokoh Islam al-maududi yang berbicara masalah hukum orang

murtad, zakiyuddin baidhawi tentang kredo kebebasan beragama dan studi

perpustakaan lainnya yang berkaitan dengan HAM dalam hal Kebebasan

Beragama.

4. Tehnik Analisis Data

Adapun tehnik analisis data yang penulis gunakan adalah tehnik analisis

semantic relationship analysis (analisis domain) tehnik analisis domain adalah

mencoba menggambarkan objek penelitian pada tingkat permukaan, namun

relative utuh tentang objek penelitian di tingkat permukaan. Jadi dalam penelitian

ini penulis hanya bersifat eksploratif. Artinya, analisis hasil penelitian ini hanya

ditergetkan untuk memperoleh deskripsi objek penelitian secara general.

Alasan penulis menggunakan metode analisis ini adalah karena metode

ini sangat relevan dengan objek yang akan diteliti, yaitu penulis mencoba

menggambarkan secara umum mengenai keberagamaan dalam Hukum Islam

maupun hukum positif yakni undang-undang yang berlaku di Indonesia.

5. Tehnik Penulisan

Adapun metode penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman

penulisan skripsi tesis dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Agar pemahaman dalam naskah skripsi nanti teratur dan berurutan

dengan baik, maka pembahasan proposal ini dibangun secara sistematis, sehingga

diharapkan dapat diperoleh kejelasan yang semaksimal mungkin dari informasi

yang termuat dalam skripsi nanti.

Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I : Merupakan Bab Pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang

Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan

Masalah,Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian serta

Sistematika Penulisan.

BAB II : Membahas tentang HAM dalam perspektif hukum Islam dan Barat

yang meliputi: pengertian Hak Asasi Manusia, sejarah dan lahirnya

Konsep Hak Asasi Manusia yang berhubungan dengan kebebasan

pindah agama, serta penjelasan tentang Realitas HAM dalam

Masyarakat Barat dan Islam.

BAB III : Membahas Beragama dalam Perspektif Hukum Islam dan HAM, yang

meliputi: Konsep Beragama Menurut Islam dan HAM, sumber dan

dalil hukum Islam, serta Nilai Utama HAM dan sumber-sumber

hukum HAM.

BAB IV : Membahas kebebasan pindah agama Perspektif Hukum Islam dan

HAM. Yang dimulai dengan pembahasan mengenai kebebasan

beragama menurut hukum Islam dan HAM, Historis pindah agama

dalam Islam dan HAM, Hukum Pindah Agama dalam Islam dan HAM

dan berakhir dengan uraian analisis perbandingan kebebasan pindah

agama.

BAB V : Merupakan Penutup Yang Berisi Kesimpulan dan Saran-Saran, serta

dilengkapi dengan Daftar Pustaka.

BAB II

HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT

A. Pengertian Hak Asasi Manusia

Pengertian segala sesuatu itu menjadi sangat penting. Begitu juga

dengan pendefinisian Hak Asasi Manusia. Karena jika definisinya telah diketahui

dengan jelas, maka akan memudahkan pembaca untuk mengetahui lebih jauh

permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan kajian penulis tentang

hak-hak asasi manusia.

Hak-hak asasi manusia terdiri dari tiga suku kata, yaitu Hak, Asasi dan

Manusia. Untuk mendapatkan pengertian yang memadai tentang hak asasi

manusia, akan diuraikan terlebih dahulu kata demi kata dibawah ini.Kata hak

merupakan kata tunggal, mufrad atau singular, sedangkan hak-hak adalah jamak

atau plural. Dengan kata lain hak-hak adalah kata jamak dari hak.

Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas

sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Hak Asasi menunjukan bahwa kekuasaan atau

wewenang yang dimiliki seseorang tersebut bersifat mendasar, pemenuhannya

bersifat imperatif (perintah yang harus dilakukan). Artinya hak-hak itu wajib

dipenuhi karena hak-hak ini menunjukkan nilai subjek hak.

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan

tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia.

Haka Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah

diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya, atau kehadirannya di

dalam kehidupan masyarakat.

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak

lahir yang melekat pada esensinya sebagai anugerah Allah SWT (Mustafa Kemal

Pasha).

Hak Asasi Manusia adalah seperangakat hak yang melekat pada hakikat

dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara

hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan

harkat dan martabat manusia ( Undang-undnag Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia).

Kata hak dalam bahasa Indonesia dapat diduga berasal dari atau

merupakan pengaruh dari bahasa Arab, قح. Menurut Ensiklopedi Islam, hak

secara semantik berarti milik, harta atau sesuatu yang ada secara pasti.9

Miriam Budiardjo mengatakan Hak asasi adalah hak yang dimiliki

manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau

kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu

dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, dan

karena itu bersifat azasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa

9 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 2, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1994), h. 67.

manusia memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan

cita-citanya.10

Menurut Mr. L.J. Van Apeldoorn yang dikutip oleh C.S.T Kancil, hak

ialah hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subjek hukum

tertentu dan dengan demikian menjelma suatu kekuasaan dan suatu hak timbul

apabila hukum mulai bergerak. Kata hak dalam bahasa latin digunakan istilah ius,

dalam bahasa Belanda reight ataupun droit dalam bahasa Perancis, adalah izin

atau kekuasaan yang diberikan oleh Hukum.11

Hak adalah keterkaitan yang tidak mungkin dipahami oleh hak individu

tanpa individu lain yang terkait dengannya. Tatkala individu menjadi seorang

yang berdiri sendiri ( mandiri), maka ia memiliki hak yang tidak boleh dilanggar.

Pada umumnya hak adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi

tindak-tanduk atau perilaku orang lain, tidak dengan cara mempergunakan

kekuatannya sendiri, tetapi berdasarkan pendapat umum atau kekuatan umum.

Dengan pengertian lain hak adalah suatu tuntutan ( Claim ) yang berkat adanya

suatu kaedah hukum dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain, supaya orang

lain itu berbuat atau bertindak menurut suatu kaedah tertentu.12

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Hak berarti: a). benar, b). milik

kepunyaan, c). kewenangan, d). kekuasaan untuk berbuat sesuatu, e). kekuasaan

10 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2003), Cet. Ke-24, h.120. 11 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,( Jakarta: Balai

Pustaka, 1989), Cet. Ke-8, h.120. 12 Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum. ( Bandung Citra Aditya

Bakti, 1993), h.36-37.

yang benar atas sesuatu atau menuntut sesuatu, f). derajat atau martabat, g).

hukum wewenang menurut hukum.13

Asasi, asas berarti dasar ( sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau

berpendapat). Asasi berarti bersifat dasar, pokok.14

Manusia, makhluk yang

berakal budi (mampu menguasai makhluk lain: insan, orang).15

Dalam kamus politik, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki

manusia karena kelahirannya, bukan karena diberikan oleh masyarakat atau

negara. Hak Asasi Manusia tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku

oleh negara. Hak Asasi ini antara lain : hak atas hidup, kemerdekaan, hak atas

milik pribadi, hak atas keamanan, hak melakukan perlawanan terhadap

penindasan dan hak untuk mencapai kebahagiaan.16

Menurut Frans Cauvin, hak dan padanannya dalam beberapa bahasa

yang penting memiliki dua pengertian moral dan politik yang penting, yakni

kejujuran dan keberkahan.17

Dalam arti kejujuran, kita berbicara mengenai hal

melakukan sesuatu dengan benar, mengenai sesuatu yang berada dalam keadaan

benar (atau salah). Menyangkut keberkahan dalam arti lebih sempit, kita secara

khusus berbicara tentang seseorang yang memiliki hak.

13 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.292. 14 ibid, h. 52 15 ibid, h. 558 16 BN. Masbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), Cet.1, h.193. 17 Frans Cauvin, Hak Asasi Manusia:Pendasaran Dalam Filsafat Hukum dan Filsafat

Politik, (Flores: Ledorero,2004), Cet.1. h. 5.

Hak Asasi Manusia dengan demikian merupakan hak yang mesti dan

harus diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Sebagai hak,

HAM termasuk kedalam kelompok hak mutlak dan HAM ini merupakan hak

alami setiap individu. Hak asasi ini dianggap mutlak dan alami bagi setiap

individu karena hak dapat dipertahankan terhadap siapapun orangnya, sebaliknya

siapapun harus menghormati hak asasi tersebut. Hak asasi yang disebut juga hak

dasar manusia adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dipisahkan dari badannya

dan tidak dapat diganggu gugat.18

HAM merupakan hak mutlak yang ada pada diri manusia semenjak ia

dilahirkan dan merupakan anugerah terbesar yag Allah SWT berikan kepada

hambanya. Dengan demikian maka, HAM merupakan hak yang kuat dan yang

harus dilindungi dan dipertahankan dengan perlindungan dari sebuah negara. Hal

tersebut dijelaskan dalam UU No. 39 tahun 1999 Tentang hak Asasi Manusia

yang terdapat dalam pasal 2 dan pasal 8 yang berbunyi:

Pasal 2

Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari

manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia

yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena

itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara

hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan

memajukan serta mengambil langkah-langkah konkrit demi tegagnya hak asasi

manusia dan kebebasan dasar manusia.

18 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), Cet. I.

h.56

Pasal 8

Yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi

manusia.

B. Sejarah dan Lahirnya Konsep Hak Asasi Manusia

Dalam sejarah umat manusia telah tercatat banyak kejadian, seseorang

atau segolongan manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau

golongan orang lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap sebagai haknya.

Sering perjuangan ini menuntut pengorbanan jiwa dan raga. Juga didunia barat

telah berulang kali ada usaha untuk merumuskan serta memperjuangkan beberapa

hak yang dianggap suci dan harus dijamin. Keinginan ini timbul setiap kali terjadi

hal-hal yang dianggap menyinggung perasaan dan merendahkan martabat

seseorang sebagai manusia.

Menurut penyelidikan ilmu pengetahuan, sejarah Hak-Hak Asasi

Manusia itu barulah tumbuh dan berkembang pada waktu HAM tersebut oleh

manusia mulai diperhatikan dan diperjuangkan terhadap serangan-serangan atau

bahaya yang timbul dari kekuasaan suatu masyarakat atau negara, pada

hakikatnya persoalan mengenai HAM itu berkisar pada hubungan antara manusia

sebagai individu dan masyarakat.

Ide HAM timbul pada abad ke tujuh belas dan abad ke delapan belas

masehi, hak-hak ini timbul sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan

kaum feodal di zaman itu terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia

yang dipekerjakan sebagai budak. Masyarakat manusia zaman silam terdiri dari

dua lapisan besar. Lapisan atas, minoritas yang mempunyai hak-hak dan lapisan

bawah, mayoritas yang memiliki kewajiban-kewajiban.

Sebenarnya, HAM merupakan sebuah gagasan lama yang telah ada

sebelumnya yaitu ketika Islam datang. Konsep ini berawal dari filsafat stoika di

zaman kuno yang termaktub dalam yurisprudensi hukum kodrati (natural law)

Grotius dan Ius Naturale dari undang-undang Romawi. Kendati gagasan lama,

istilah “hak asasi manusia” menjadi relative baru dan menjadi bahasa sehari-hari

di sela-sela perang dunia II, dan dalam proses pembentukan PBB (perserikatan

bangsa-bangsa) tahun 1945. Hak asasi manusia menggantikan istilah Natural

right yang menjadi suatu kontroversi.19

Ide tentang HAM bersumber dari ide hak alamiah. Para pakar

jurisprudensi Barat menegaskan bahwa ide tentang HAM pada asalnya

merupakan campuran-campuran, dimana abad ke-18, sekolah-sekolah filsafat

menjadi tempat rujukan dan merupakan ibu dari sekolah hak alami, seperti yang

disodorkan dan dipelopori oleh filosuf Jhon Lock pada tahun 1690 M, yang

menjabarkan ide-idenya sebagai ungkapan-ungkapan mengenai HAM dikemudian

hari, yang dijabarkan oleh seorang ahli hukum inggris Philaxton, pada

pertengahan abad ke delapan belas.20

19 Heru Susetyo, Hak Asasi Manusia : Sejarah Doktrin dan Kendala Implementasinya,

dalam Majalah Sabili, edisi. IV, 13 November 2001, h. 1. 20 Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Salih al-Wakil, HAM Menurut Barat, HAM

Menurut Islam,Ter. Yahya Abdurrahman, dari Huquq al-Insan Fi al Fikr as-siyasi al-gharbi wa

asy-syar’I al-Islami, (Dirasah Muqaranah), (Bogor, Pustaka Thariqul Izah, 2005), Cet.1, h. 6.

Karenanya, para pemikir politik Barat kontemporer berpendapat

menurut pandangan kaedah-kaedah serta pemahaman semata mengenai Hak Asasi

Manusia. Pandangan hak asasi ini terfokus pada pembatasan kekuasaan penguasa,

dan pengakuan atas hak-hak individu. Pemikiran tersebut bersandar pada apa

yang disebut dengan hak alami yang dimiliki individu dan juga bersandar pada

pemikiran-pemikiran undang-undang alami buatan manusia, yang merupakan

rujukan tertinggi bagi hak-hak dan kewajiban yang digali dari alam.

Manusia pada tingkat pengetahuan itu dengan akalnya, dan akal

merupakan anugerah yang paling besar yang diberikan Allah SWT kepada

manusia. Dengan akal, manusia melakukan penggalian hukum yang memadai

untuk melindungi hak-hak individu yaitu berupa undang-undang alami yang

bersifat tetap, kekal dan yang tidak berubah. Pemikiran undang-undang alami

telah menghantarkan kepada dibangunnya substansi dan perspektif yang

membatasi pokok-pokok fitriyah bagi sebagian pilar-pilar perundang-undangan,

semisal perspektif tentang kontrak sosial yang menjadi visi bagi pengakuan hak-

hak dasar individu yang lebih diprioritaskan atas pelaksanaan kekuasaan

pemerintah, pandangan itu adalah berbagai perspektif yang berujung pada (ide)

HAM.21

Konsep HAM dalam Islam telah lahir jauh sebelum semua bentuk

deklarasi Barat disahkan, yaitu pada tahun pertama bulan hijriyah atau abad ke-7

21

Ibid h. 7.

masehi, sebagaimana yang telah terjadi pada masa Rasulullah SAW dengan

dibentuknya sebuah deklarasi Piagam Madinah yang merupakan deklarasi yang

pertama kali memuat akan HAM.

Konsep HAM dalam Islam lahir pada tahun pertama bulan hijriyah atau

abad ke-7 masehi, jauh sebelum semua bentuk deklarasi Barat disahkan.

Sebenarnya, agama-agama yang dibawa para Nabi dan Rasul tidak kurang

perhatiannya dan upayanya dalam menegakkan HAM.

Dalam ajaran agama, HAM merupakan karunia Allah SWT yang

diberikan kepada umat manusia begitu manusia itu dilahirkan, dengan kata lain

sudah menjadi kodrat dan bawaan manusia. Sebagaimana yang terjadi pada masa

Rasulullah SAW dengan dibentuknya sebuah deklarasi pertama Piagam Madinah

yang pertama kali memuat segala hak-hak manusia.

C. Realitas HAM di Dalam Masyarakat Barat dan Islam

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sosiologis perlindungan hak

asasi manusia disetiap negara atau masyarakat tidak dapat dinilai dari pernyataan-

pernyataan politis atau diplomatis suatu negara. Dengan demikian kita akan

melihat bahwa negara yang paling vokal sekali pun bisa jadi tidak menerapkan

sepenuhnya perlindungan hak asasi manusia atau tidak bebas sama sekali dari

diskriminasi. Oleh karena itu melihat fakta bahwa pelanggaran hak asasi manusia

tidak hanya terjadi di negara-negara Dunia Ketiga, akan tetapi bisa juga

ditemukan di negara Barat yang paling liberal. Kita mengetahui insiden Los

Angeles di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu atau diskriminasi terhadap

penduduk pribumi (Aborigin) di Australia, atau berbagai kasus pelanggaran hak

asasi manusia lainnya di negara-negara Barat. Dengan adanya politik luar negeri

beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat, yang menerapkan standar ganda

dan jelas-jelas melakukan pelanggaran HAM di Dunia Ketiga.

Namun, kita harus mengakui bahwa berbagai pelanggaran tersebut lebih

sering terjadi di negara-nagara Dunia Ketiga, termasuk di negara-negar Islam,

baik dilakukan oleh negara maupun masyarakat. Cukup disesali bahwa masih

banyak negara Islam dan negara yang berpenduduk mayoritas Muslim yang

belum mengakui dan meratifikasi berbagai konvensi, seperti Universal

Deklaration of Human Right, Konvensi atas hak-hak sipil dan politik atau atas

hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.22

Sehingga dapat diketahui bahwa HAM yang dijunjung tinggi oleh Barat

ternyata bertolak belakang dengan apa yang selama ini diorasikan, pandangan

Barat mengenai HAM yang ingin berusaha menjunjung tinggi nilai-nilai HAM

ternyata dilanggar sendiri oleh Barat dengan melihat adanya Diskriminasi ras,

Ekonomi dengan standar gandanya, dan dengan adanya terorisme yang mengatas

namakan agama. dengan demikian negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Islam,

22 Elza Peldi Taher. Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996,

Cet. I h. 113.

berusaha untuk menolak gagasan HAM yang berakarkan Barat salah satunya

yaitu dengan belum mengakui dan meratifikasi berbagai konvensi.

Gambaran realitas ini menjadi sesuatu yang menakutkan ketika

tindakan-tindakan terorisme mulai muncul, khususnya selama dekade 70-an dan

80-an yang mengklaim bertindak atas nama atau sekurang-kurangnya berkaitan

dengan gerakan Islam tertentu di Timur Tengah, terlepas dari latar belakang atau

sebab apa yang mendasarinya. Sehingga hal itu menciptakan gambaran di mata

Barat bahwa masyarakat Islam bersifat eksklusif dan menakutkan, dan dipandang

sebagai “anti HAM”.

Ini disebabkan karena Sarjana-sarjana politik, seperti Hunington dan

sebagian pengamat lainnya dengan pengetahuan yang dangkal mengenai Islam

dan keaneka-ragaman masyarakat Islam, melihat Islam sebagai “sebuah realitas

yang eksklusif dan menakutkan” dan pada saat bersamaan memandangnya

sebagai suatu potensi “ancaman” bagi Barat.

Dengan demikian perlu kiranya kita melihat realitas HAM yang ada di

Indonesia, ada tiga perbedaan tajam dan kontroversial di dalam Majelis

Konstituante pada tahun 1950-an. Pertama, tentang pemisahan antara negara dan

agama. Kedua, tentang larangan propaganda anti-agama. dan ketiga, Tentang

kebebasan seseorang untuk berganti agama. Harus diakui bahwa pemikiran

tentang hak asasi manusia di Indonesia dalam empat puluh lima tahun terakhir

mengalami kemunduran.23

Di Negara-Negara berkembang, usaha untuk meluaskan penerimaan

akan ide-ide tentang hak asasi manusia sering mengalami hambatan. Salah satu

hambatan itu datang dari argumen bahwa konsep hak asai manusia itu adalah

buatan Barat, dengan konotasi sebagai sumber kejahatan kolonialisme dan

imperialisme. Dalam retorika yang menyangkut masalah pandangan hidup, hak

asai manusia yang merupakan konsep Barat itu adalah sama dengan sekulerisme,

jika bukan ateisme sekalian. Maksudnya ialah adanya usaha untuk menegakkan

hak asasi manusia dalam wacana budaya dan agama. dimana pandangan Barat

mengenai HAM lebih berorientasi kepada Nilai-nilai kemanusian

(Antroposentris), bukan Nilai-nilai Ketuhanan (teosentris).

Mendengar tanggapan semacam itu, biasanya kita langsung menolaknya,

dan mencapnya sebagai keterbelakangan, konservatisme, atau bahkan mungkin

kebiadaban. Kita mungkin akan segera mengasosiasikannya dengan kelompok

tertentu, baik dalam kategori kedaerahan, kebangsaan, atau kesukuan, maupun

dalam kategori keagamaan. Pengasosiasian itu disertai dengan penilaian langsung,

bahwa kelompok tertentu memang pada dasarnya tidak dapat menerima ide

23 Ibid,h.116

tentang hak asasi, karena pandangan hidup mereka yang secara inherent tidak

mendukung.24

Jika kita ingat bahwa kenangan pahit dari kolonialisme dan imperialisme

belum terlewatkan lebih dari dua generasi (sekitar 50 tahun), maka prasangka

yang keras kepada Barat, yang ikut mengaburkan kepada hal-hal yang sebenarnya

tidak murni Barat semata, seperti ide tentang hak asasi manusia, dapat sedikit

banyak kita pahami. Persoalannya mungkin bukanlah bagaimana menghilangkan

kenangan pahit atau negatif kepada Barat akibat pengalaman kolonialisme dan

imperialisme, (yang memang masih banyak tersisa dan belum seluruhnya

terhapus).25

Karena yang menjadi sasaran penjajahan dan imperialisme Barat ialah

negara-negara Islam, maka kenangan yang pahit dan kekalahan oleh Barat itu

menjadi sebab banyaknya kecenderungan pada kaum muslim untuk

mendefinisikan dirinya berhadapan dengan Barat. Serta menegaskan keunikan

mereka dalam sejarah, bahwa orang-orang Islam banyak mempunyai kompleks

membedakan diri dari Barat, dan menolak sesuatu yang datang dari Barat.

Bagaimanapun juga, kedamaian yang ditawarkan oleh Islam adalah pesan yang

24Nurcholish Madjid. Hak Asasi Manusia “dalam perspektif Budaya Indonesia”.

Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1997 Cet. Ke-1. 25 Ibid.h. 43.

paling berkedamaian di antara semua agama. diluar itu Islam datang menentang

kita, kitalah yang lebih dahulu mengundangnya ke Iran.26

Secara lebih khusus lagi berkenaan dengan usaha-usaha pengakuan hak

asasi manusia Chandra Muzaffar menunjuk kepada beberapa ironi dan sikap-sikap

tidak konsisten dari para sponsor hak asasi itu di Barat. Sehingga perlu kiranya

kita mengutif apa yang dikatakannya tentang hal ini ia katakan demikian:

“Sementara kebanyakan kelompok hak asasi manusia menaruh perhatian

kepada otoritarianisme pada peringkat nasional, mereka jarang bereaksi terhadap

penguasaan dan dominasi politik oleh suatu klik dari utara. Padahal

otoritarianisme pada peringkat internasional, sebagaimana telah kita tunjukkan,

memperlihatkan kesamaan yang mencolok dengan otoritarianisme pada peringkat

nasional. Pada kedua peringkat itu misalnya, terdapat manipulasi media dan

penyalahgunaan lembaga-lembaga politik dan proses-proses hukum untuk

melayani kepentingan mereka yang memegang kekuasaan. Pada politik peringkat

nasional dan internasional, penguasaan dan dominasi kaum elite telah

mengakibatkan kemerosotan dan pengingkaran hak-hak asasi manusia. Karena itu

orang pun bertanya-tanya, mengapa otoritarianisme pada peringkat internasional

dapat luput dari sensor kelompok-kelompok hak-hak asasi konvensional di Utara

maupun Selatan”?27

26 Ibid.44. 27 Ibid. h. 45.

dari kutifan diatas dapat kita ketahui bahwa adanya pertentangan yang

terjadi dalam hal Realitas HAM di Barat, salah satunya ialah tidak konsistennya

para Sponsor hak asasi di Barat mengenai sistem yang ada pada tingkat

Internasional dan sistem yang ada pada tingkat Nasional sehingga terjadi

manipulasi dan penyalahgunaan lembaga politik dan proses hukum, yang

merupakan sumber hukum HAM itu sendiri.

BAB III

BERAGAMA

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM

A. Konsep beragama Menurut Islam dan HAM.

1. Definisi Agama

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut agama. selain kata

agama, dikenal juga istilah Religi dan Din. Menurut Sidi Gazalba, agama

bukanlah istilah yang berasal dari Islam. Ia dipinjam dari bahasa Sansekerta untuk

menunjuk sistem kepercayaan dalam Hinduisme/Budhisme.

Istilah lain bagi agama ialah Religi yang berasal dari bahasa latin.

Menurut satu pendapat asalnya ialah Relegere yang mengandung arti

mengumpulkan dan membaca. Sedangkan kata Din dalam bahasa semit

mempunyai arti Undang-undang atau Hukum. Sedangkan dalam bahasa Arab,

kata din mengandung arti Menguasai, menundukan, patuh utang, balasan, dan

kebiasaan.

Sedangkan istilah agama dapat didefinisikan sebagai berikut:

وا���ح ا�0ل ا/.ح -(ا( و,+ ا*( )�'& %وى ا#��ل ب� ���ره� ا���

ا�ل �

Artinya: “Suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang

mempunyai akal untuk mencapai kebaikan hidup dan kebahagiaan kelak

di Akhirat.”1

1 Taib Thahir abd. Muin. Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1986), Cet. VIII, h.121.

Menurut Harun Nasution, Guru Besar Filsafat dan Teologi Islam

berdasarkan analisisnya terhadap berbagai kata yang berkaitan dengan agama

yaitu al-din dan religi dan kata agama itu sendiri sampai pada kesimpulan bahwa

intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah ikatan. Agama

mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan

ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-

hari, ikatan ini berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia.2

2. Konsep Beragama Menurut Islam

Konsep bergama menurut Islam terdiri dari 4 bidang, diantaranya:

a. Bidang Aqidah.

Aqidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga

bertemu dan bersambung secara kokoh. Aqidah dalam Islam meliputi keyakinan

dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah, ucapan dengan

lisan dalam bentuk dua kalimah syahadat, yaitu menyatakan bahwa tidak ada

Tuhan selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan Allah.

b. Bidang Ibadah.

Secara harfiah Ibadah berarti bakti manusia kepada Allah. Karena

didorong dan dibangkitkan oleh aqidah tauhid. Majlis Tarjih Muhammadiyah

mendefinisikan ibadah sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan

2 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Pres, 1979), Cet. I

h.10.

mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan mengamalkan

segala yang diizinkan-Nya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Yang

umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Sedangkan yang khusus ialah

apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-Nya, tingkat dan cara-caranya

yang tertentu.3

c. Bidang Munakahat (Perkawinan).

Perkawinan dalam literatur Fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua

kata, yaitu Nikah dan Zawaj. Kedua kata ini merupakan kata yang terpakai dalam

kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-qur’an dan hadist

Nabi. Kata na-ka-ha terdapat dalam al-qur’an dengan arti kawin, seperti terdapat

dalam surat An-Nisậ ayat 3:

y�=> X4z�.n! {�>d ��347nB��G� �

)p=f6�C=T� �� ��3��n0N���, ��# !|�� 240� !"�~#

�4��AB�~q �� )&����# *�6�YGI=> *S6�8Jp=> � y��, Ia�.n! {�>d ��34 ��G��

��*���]=3�, >>d ��# �i�0�Y�# (240q6*☺1>d ) *@� ]��

����_>d {�>d ��34 3G�� )�34ءا/ ٤:٣(

Artinya;”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka

kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau

empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil4, Maka

3 Nasruddin Razak, Dỉnul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1977), Cet. II, h. 44 & 47. 4 Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat,

giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.

(kawinilah) seorang saja5, atau budak-budak yang kamu miliki. yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S.

An-Nisậ / 4 : 3).

Demikian pula dengan kata zawaj terdapat dalam al-qur’an dalam arti

kawin, seperti pada surat al-Ahzậb ayat 37:

���=> k3-��� �l����� !2*GN>d R��� �P�T�Y�

Ai�☺*GN>d=> �P�T�Y� �@nB�#>d *@�T�Y� *@*�>*�

������=> ���� �n��1c#=> � [\nB�.�N ��# R��� �P1��(@# &*��1>#=> ����j �� R���=> p�*P>d y>d P ���1>#� ��☺�Y�, )&A&�� &�1*� �r���~#

����=> �*u�06�q���>*� (��m� K� �y340�1 ����

� ��j�#��☺� �� O��*P � :O]=>��>d (2u���=T�_>d

���� ��(3K��� �"���# ����=> ) [%�⌧=> ��#>d ?��� j�3G�.�# )٣٣:٣٧/ا9ح7اب(

Artinya; “Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia

6 supaya tidak ada keberatan bagi

orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya

7. dan adalah ketetapan Allah itu

pasti terjadi”. (Q.S. Al-ahzậb / 33:37).

5 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat

ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad saw.

Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. 6 Maksudnya setelah habis idahnya. 7 Yang dimaksud orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid

bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam.

Nabi Muhammad pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan

mengangkatnya menjadi anak. Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh megawini

bekas istri anak angkatnya.

Secara garis besar kata nikah atau zawaj dapat diartikan sebagai

berikut:

ا�طء بBCD ا�A4ح اوا�7وج?�% ��<=> اب�ح;

Artinya “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan

hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz Na-ka-ha atau Za-wa-

ja”.

d. Bidang Mua’amalat

Kata mu’ậmalật (تالماعملا) yang kata tunggalnya mu’ậmalah (ةلماعملا)

yang berakar pada kata لماع mengandung arti saling berbuat atau berbuat secara

timbal balik. Lebih sederhana lagi berarti hubungan antara orang dengan orang.

Bila kata ini dihubungkan kepada lafaz fiqih, maka mengandung arti aturan yang

mengatur hugungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup

didunia. Ini merupakan imbangan dari fiqih ibadah yang mengatur hubungan lahir

antara seseorang dengan Allah. Jadi secara khusus muamalat adalah hubungan

antara sesama manusia yang berkaitan dengan harta.

3. Konsep Beragama Menurut HAM.

Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar

yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak

beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak

dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip

persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi,

eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apapun dan juga tidak

boleh ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar

manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama, termasuk hak untuk

pindah agama.

Konsep beragama yang ditawarkan HAM di atas, dapat kita ketahui

dengan jelas karena tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(DUHAM), ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM,

seperti dokumen Right Of Man France (1789), Bill Of Right Of USA (1791), dan

Internasional Bill Of Right (1966). Selanjutnya dapat kita ketahui beberapa pasal

yang berkaitan dengan kebebasan beragama yang termuat dalam HAM:

Pasal 2

“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum

di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis

kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula

kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan

lain.”

Pasal 18

“Setiap orang mempunyai hak kebebasan untuk berpendapat dan beragama,

termasuk hak untuk pindah agama.”

B. Sumber dan dalil Hukum Islam

Struktur yuridis Islam dalam menentukan ibadah ritual maupun pola

hubungan antara manusia dengan Allah, antar manusia dengan manusia maupun

dengan makhluk lainnya, tidak lepas dari dua sumber hukum, yaitu al-Qur’an, al-

hadist, dan dua dalil hukum ijmak dan qiyas. Pada prinsipnya struktur hukum

tersebut mendasari pemikiran tentang ijtihad di masa sekarang.

Hal ini penting dikemukakan untuk menghindari salah faham terhadap

ideologi Islam. Sementara ini, parameter tentang hak-hak manusia masih berkiblat

ke ideologi Barat, sehingga nilai-nilai Islam yang banyak berbeda dengan ideologi

Barat dipandang tidak berlaku universal.

Untuk memahami sistem nilai yang berlaku dalam Islam perlu kiranya

kita lihat salah satu Firman Allah:

�r�[�>��6�1 � ������� ���3q�#�=4 ��3GT�>d

���� ��3GT�>d=> �k3�D�� �� ���>cd=> �(�ao�� I40j�# y��,

X4z��l6=j�� � d4&⌧? �>_��, ���� ?���

`k3�D�� ��=> y� X4zq4 �y3j�#�G� ?���8

��n!a*���(3=T� ��=>� ) *@� ]�� �x(�*!�"AB�P>d=> �⌧1>,���) �34ء٥٩: ٤/ا(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Taatillah Allah dan Rasul-Nya dan ulil

amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang

sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu

benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (Q.S. An-

Nisa/4:59).

Ayat ini menjelaskan tentang beberapa hal yang menurut Maududi

bersangkutan dengan konstitusi dasar28

. Sehingga undang-undang tertinggi bagi

orang-orang mukmin, menurut al-qur’an adalah patuh dan taat kepada Allah dan

Rasul-Nya, bersumber dari syari’ah bukan hasil ijtihad manusia, bersifat tetap

tidak berubah, berbeda dengan hasil ijtihad Fiqih. Dalam persepsi Maududi, tidak

28 Shalahuddin Hamid. HAM dalm Perspektif Islam, Jakarta, Amisco, 1994, Cet.I h. 73

seorang muslim pun berhak mengeluarkan suatu hukum dalam suatu perkara yang

hukumnya telah dikeluarkan Allah dan Rasul-Nya. Menyimpang dari hukum

Allah dan Rasul-Nya adalah kebalikan dari iman dan lawan baginya.9

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab samawi yang diturunkan paling terakhir oleh

Allah swt, kepada Nabi Muhammad saw (571-632), sebagai penyempurnaan dan

pelengkap dari kitab-kitab yang diturunkan Allah swt. Dengan jumlah ayat-Nya

sebanyak 6236 ayat, ayat-ayat tentang hukum hanya sedikit. Soal-soal kehidupan

kemasyarakatan hanya berjumlah 228 ayat atau 3 ½ persen. Abdul Wahab

Khallaf10

merangkumnya sebagai berikut:

a. ayat-ayat mengenai soal sosial-kemasyarakatan: pembentukan

keluarga,perkawinan, perceraian, hak waris dan sebagainya sebanyak 70

ayat.

b. ayat-ayat menegenai sosial-ekonomi: perdagangan/perekonomian, jual

beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak dan

sebagainya sebanyak 70 ayat.

c. ayat-ayat mengenai masalah yuridis, soal kriminal sebanyak 30 ayat.

9 Ibid. h. 74 10 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (al-Qahirah: Dar al-Qolam, 1978), Cet.

VIII. h. 73.

d. ayat-ayat mengenai masalah yuridis: soal pengadilan, sumpah,

perjanjian, persaksian dalam upaya menegakkan keadilan dan

penegakkan hak-hak asasi manusia sebanyak 13 ayat.

e. ayat-ayat mengenai soal politik dalam negeri, perundang-undangan,

konstitusi, soal kenegaraan sebanyak 10 ayat.

f. ayat-ayat mengenai soal politik luar negeri: mengenai hubungan

kedaulatan Islam dan bukan Islam sebanyak 25 ayat.

g. ayat-ayat mengenai soal ekonomi: hubungan kaya dan miskin sebanyak

10 ayat.

Fazlurrahman menjelaskan : Semangat dari dasar al-qur’an adalah

semangat moral, dari mana ia menekankan monotheisme serta keadilan sosial.

Hukum moral adalah abadi. Manusia tidak dapat membuat atau memusnahkan

hukum moral, tetapi ia harus menyerahkan diri kepadanya. Penyerahan ini

dinamakan Islam dan Implementasinya (pengabdian kepada Allah) atau yang

biasa disebut ibadah. Karena penekanan morallah hingga Al-qur’an tampak bagi

banyak orang terutama sebagai Tuhan Keadilan. Tetapi hukum moral dan nilai-

nilai spritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui.11

Al-qur’an merupakan sumber hukum yang melahirkan hukum-hukum

kemanusiaan, bagi umat Islam fundamental mereka tidak perlu mengambil

ideologi lain untuk mengambil hukum. Tetapi kaum demokrat menurut mereka

11 Fazlurrahman, Islam, alih bahasa ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Bandung,

1984), Cet. I, h. 34.

Islam membolehkan mereka untuk mengambil jalan ijtihad terhadap persoalan-

pesoalan yang tidak menyangkut ibadah mahdah.

Al-Banna dengan teori Syumuliyahnya menyatakan bahwa Islam telah

sempurna tanpa harus mengambil konsep Barat sebagai sandaran. Al-maududi

sependapat dengan Al-Banna bahwa Islam telah lengkap, sebagai agam terakhir

yang melengkapi ajaran Yahudi-Kristen. Rasyid Ridla meskipun dalam beberapa

hal berbeda dengan Al-Banna tetapi ia setuju bahwa Islam mencakup seluruh

aspek kehidupan masyarakat.

Mu’tazilah memandang bahwa Tuhan memberikan daya kepada

manusia untuk berbuat dan mengatur persoalan. Manusia bebas untuk

menentukan masalahnya, dan bukan berarti lari dari wahyu Tuhan. Tuhan

memberikan akal sebagai kekuatan yang harus dipakai untuk digunakan

sepenuhnya bagi kepentingan manusia.

2. As-Sunnah

As-Sunnah adalah sumber kedua konstitusi Islam. “Kata sunnah” secara

literatur (harfiah) bermakna cara dan kebiasaan hidup. Secara teknis sunnah dapat

didefinisikan dengan segala perkataan Nabi Muhammad saw, dan tindakan-

tindakan atau perbuatan pribadi beliau, dan tindakan orang lain yang dengan

bijaksana beliau setujui.

Sunnah merupakan cara Rasulullah saw, menerjemahkan ideologi Islam

yang terdapat dalam cahaya tuntunan Al-Qur’an ke dalam bentuk praktik,

mengembangkan kedalam suatu susunan sosial yang positif dan akhirnya

meningkat menjadi sebuah negara Islam penuh.12

Beberapa hadis mengenai berbagai masalah konstitusi:

a. Ketaatan kepada Allah adalah yang tertinggi dan tidak ada ketaatan kepada

yang lain yang dapat melanggar ketaatan kepada Allah ini.

J�D? Kا )Dص M�4ا <? MD? <? M=D3ح=> ا�ا %�? Mب> ?�%� ?> اب %#( <?

NO7 و? Kا ;�� �Sل ;?�R 9�DQ=ق -( م#/D١٣)روا� اح=%(و)

Artinya; “Dari Sa’ad binUbaidah dari Abi Abdul Rahman as-Sulami dari Ali dari

Nabi saw, bersabda Tidaklah ada ketaatan kepada makhluk, jika di

dalamnya melibatkan ketidaktaatan kepada Allah Ajja Wajala.” (HR.

Ahmad).

b. ketaatan kepada Allah hanya dapat dilakukan melalui ketaatan kepada

Rasulullah saw.

� �Sل م> D(و J�D? Kا )Dص Kل ا�(ان ر J4? Kا ),اب( ه���ة ر <?

١٤)روا� ا��Qرى( KاM4?�R -�% ا�Rع

Artinya; “Barang siapa mengikuti aku maka telah mengikuti Allah dan

Rasulullah saw”. (HR. al-Bukhori,).

c. Orang yang memegang kekuasaan harus ditaati.

J�D? Kا )Dص Kل ر)�ل ا�S �=? <ن�-+ ?> اب <? �C#O Mب> اب Kا%�? <?

� ?D( ا=D(اذا و ;��=� احY وآ�� ا9 ان �Wم� ب=#/- ;?�Z3=+ واا �D3=ء ا�

;�١٥)روا� ا�34ئ(ام� ب=#/�; -. )=+ و�R9?; ب=#/

12 Shalahuddin Hamid. HAM dalm Perspektif Islam, Jakarta, Amisco, 1994, Cet.I h. 80. ١٣ Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (al-Maktabah al-

Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. III. H. 47. ١٤ Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, (al-Maktabah Al-Syamilah:

Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. x. h. 114.

Artinya; “seorang muslim harus mendengarkan dan mematuhi penguasa baik dia

menyetujui maupun membenci apa yang telah diperintahkan, asal dia

tidak diperintah untuk melakukan dosa. Jika diperintahkan melakukan

dosa, maka dia harus tidak mendengarkan atau mentaatinya”. HR. an-

Nasaî).

d. Urusan-urusan pemerintahan tidak boleh diserahkan kepada mereka yang

menginginkannya.

�J ان� واK 9: ?> ابM م�)( �SلD? اواح%ا ح�ص J اح%ا )� N=#( ه[ان�

)�D3١٦)روا� م Artinya; “Dari Abi Musa berkata: Demi Allah kami tidak menugaskan urusan-

urusan pemerintahan kepada siapapun yang mendambakannya atau

yang serakah terhadapnya”. (HR.Muslimi).

e. Dewan permusyawaratan

�> وا)���روه� ون7�ا?4% ا/�اب أ�Oءه� ام�O=#�ا اهN ا�اذا=D3=ي م> ا

��4%ب�ن* ��J إم> ارا'*� بN ان*D? ��(( ذb و��a0ن*D3١٧)روا� م

Artinya; “jika datang kepada mereka suatu masalah, mereka mengumpulkan para

ahli dari kaum muslim. Kemudian mereka saling bermusyawarah dan

mengambil yang benar dari rangkaian pendapat mereka. Bahkan, para

ahli tadi mengajak dan menganjurkan kaum muslimin untuk berpegang

kepada pendapat yang benar tadi”. (HR. Muslim).

f. Tanggung jawab kolektif.

� ?> ?�% اK ب> ?=� ر,( اJ4? K ان ر)ADل آ�S �D(و J�D? Kا )Dص Kل ا�

J��� مW3ول ?> ر?ADرى(راع وآ�Q�١٨)روا� ا

١٥ Ahmad bin Suaib bin Ali bin Baher bin Sinan, Sunan an-Nasaî, (al-Maktabah al-

Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. xiii. h. 115. ١٦ Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an Naisaburi, Shoheh Muslim, (al-

Maktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. IX. h. 344. ١٧ ibid, h. 345. ١٨ Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, (al-Maktabah al-Syamilah:

Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. xvi. h. 187.

Artinya;“Dari Sayidina Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah telah

bersabda, Tiap-tiap dari kalian adalah pemimpin dan semuanya

bertanggung jawab terhadap yang dipimpin”. (HR. al-Bukhori).

g. Pengadilan yang independen dan tidak memihak

Berikan hukuman yang adil baik kepada keluarga yang jauh maupun

yang dekat, dan janganlah takut akan cemooh orang demi pelaksanaan batas-

batas yang telah digariskan oleh Allah.

� �Sل �� ?MD اذا dDO ا�b و?> ?D( ان ر)�لD(و J�D? Kا )Dص Kا

bم> ا9ول -�ن e#=( �=ت3=+ م> ا9 � آ )�4*=� ح�اQ/=�ن -. ت�g ب

١٩)روا� اح=% واب�داود وا��م[ى(اذا-#eD ذb ت��> b ا�<�ء

Artinya; “Dari Ali, Rasulullah saw bersabda,” Jika ada dua orang membawa

perselisihan mereka kehadapanmu untuk kamu putuskan, janganlah

dulu kamu mengadakan pengadilan itu kecuali telah kamu adakan

pemeriksaan secara seksama terhadap keduanya”. ( HR. Ahmad, Abu

Dauwud, dan Tirmidzi).

h. Tidak ada kewarganegaraan ekstra-teritorial.

� ب�> اi*� ا=��آ�> و?��� �D3م Nان� ب�ئ م> آ Kل ر)�ل ا�S Kب> ?�%ا�O <

٢٠)روا� اب� داود وا��م[ى(

Artinya; “Dari Zarib bin Abdillah telah bersabda Rasulullah Aku (Nabi sebagai

kepala negara) tidak bertanggung jawab terhadap seorang muslim yang

hidup diantara orang-orang musyrik.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

١٩ Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal, Musnad Ahmad, (al-

Maktabah al-Syamilah; Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. II. h. 436. ٢٠ Muhammad bin Ali bin Muhammad ash-Syaukan, Nailul athor, (Mesir: Syirkah

Iqomah al-Dîn, 2000), Juz. V. h. 265.

Masih banyak hadits lain yang berhubungan dengan berbagai masalah

konstitusi, dimana lebih lanjut Rasulullah sendiri telah mendirikan sebuah negara

Islam. Aparat negara dan berbagai organnya yang berada di bawah

kepemimpinan Rasulullah saw, merupakan As-Sunnah.

3. Ijma’

Ijmak adalah kesepakatan para mujtahid disetiap masa setelah wafatnya

Rasulullah, mengambil istimbath (Kesimpulan) terhadap hukum syar’i (al-qur’an

dan al-hadist). Hal ini terjadi karena al-qur’an dan hadist interpretable. Islam

memberikan ruang bagi manusia untuk mempergunakan kebebasannya

melakukan interpretasi. Ijma merupakan kumpulan legislasi yang mengambil

sumber dari al-qur’an dan hadist. Karena ada ruang bagi kebebasan berinterpretasi

maka kedudukannya merupakan dalil hukum, ia boleh disanggah, dikritik atau

dirubah.

Ijmak merupakan sumber hukum dan konstitusi Islam yang ketiga.

Menurut kata-kata Iqbal, ijmak adalah “merupakan gagasan hukum yang paling

penting dalam Islam” secara literal, makna ijmak adalah “Konsensus”.

Menurut Imam Syafi’i, ada beberapa perbedaan mengenai definisi yang

tepat bagi ijmak sebagai sebuah konsensus yang komplet dari ulama mengenai

suatu poin hukum tertentu. Menurut beliau, haruslah terdapat sesuatu pendapat

yang tunggal dalam konsensus. Sedangkan menurut Ibnu jabir dan Abu Bakar ar-

Razi menganggap bahkan keputusan kesepakatan mayoritas itu adalah sebagai

ijmak. Sementara menurut Ahmad Ibnu Hambal “Kami mengetahui bahwa tidak

ada posisi terhadap pandangan itu,’” dalam hal ini berarti bahwa beliau

menganggap keputusan konsensus itu adalah ijmak.

Fazlurrahman menyatakan “Sesungguhnyalah, praktek-praktek yang

bersesuain dan para sahabat juga dinamakan ijma’ para sahabat, dan istilah ijma’

bermula pada mereka juga. Tetapi tidak ada lagi generasi baru an sich yang

dianggap mampu menghasilkan sunnah yang baru, namun titik hubungan antara

para sahabat dan generasi selanjutnya, yakni generasi Tabi’in, menghasilkan

timbunan materi yang aktual, dengan cara dedukasi langsung dan penerapan oleh

pemikir-pemikir perseorangan, yang terkena aplikasi istilah Sunnah dan Ijma’.

Pada sisi lain, terdapat beberapa aturan tertentu yang disetujui oleh para

ulama dari daerah tertentu, tetapi mereka tidak melaksanakan kekuatan konsensus

masyarakat yang dikenal dengan ijmak para ulama. Ijmak ulama pada masa-masa

awal keberadaan Islam merupakan sebuah mekanisme untuk membuat suatu

bentuk integrasi ijtihad yang berlainan dari para ahli hukum.

Keputusan Khulafa ar-Rasyidin mengenai berbagai permasalahan

konstitusi yang diambil melalui konsensus para sahabat bersifat mengikat bagi

kaum muslim untuk segala zaman. Hal ini dikenal secara teknis dengan ijmak

para sahabat.

Dalam perkembangannya ijmak berperan penting dalam penetapan-

penetapan hukum sosial kemasyarakatan, ketatanegaraan dan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Banyak sekali persoalan-persoalan sosial budaya

yang menuntut ijtihad para ulama untuk memberikan hukum atas soal-soal

tersebut. Maka ijmak menjadi alternatif bagi soal-soal yang belum dikemukakan.

Fazlurrahman menyebutnya sebagai bagaian yang tak terpisahkan dari fiqih

moderen. Kedudukannya dalam konstitusi Islam berada dibawah al-qur’an dan

hadist.

4. Qiyas (Analogi)

Secara etimologis berarti analogi. Qiyas dan Ra’yu dapat disebut

sinonim karena kedudukannya yang sama. Namun secara tradisionil qiyas dipakai

dengan arti penalaran analogy29

atau Mitsal dalam bahasa arab. Secara

terminologis qiyas berarti suatu pengambilan kesimpulan analogis dimana hukum

sebuah teks diterapkan pada kasus-kasus yang meskipun tidak tercakup oleh

bahasa yang dipakai, namun tetap diatur oleh alasan dalam teks (Al-Qur’an dan

Sunnah). Hanafi mendefinisikannya sebagai “sebuah perluasan hukum dari teks

asli kedalam prosesnya yang diterapkan di dalam kasus tertentu dengan perantara

sebuah sebab efektif (Ilahi) umum bahasa teks”.

Semakin meluas negara Islam pada era sahabat Nabi, masalah baru

yang tidak termasuk dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah pun semakin bermunculan,

sehingga terdorong oleh para ahli hukum untuk mencari pemecahan masalah

hukum dengan bantuan sikap para sahabat ini berdasarkan sabda Rasulullah saw,

“Berilah keputusan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah jika terdapat hal itu di

29 Shalahudin Hamid. HAM dalam Perspektif Islam, Jakarta, Amisco, 1994, Cet. I h.

94.

dalamnya. Jika kamu tidak menemukan ketentuannya, maka carilah jalan lain

dengan pendapat dan penafsiranmu”.

Fazlurrahman menjelaskan ketika menggunakan skema analisa

Aristoteles tentang sumber hukum ini, “Menurut analogi ini, al-qur’an dan sunnah

adalah prinsip-prinsip materil (sumber-sumber), kegiatan penalaran analogis

(Qiyas) adalah prinsip yang dihasilkan dari prinsip yang pertama (efficient cause),

dan ijma adalah prinsip formalnya (kekuatan Fungsional). Sehingga manusia

dapat hidup dibawah kedaulatan Tuhan dan sesuai dengan kehendaknya.

C. Nilai utama HAM dan Sumber-sumber Hukum HAM

Dengan lahirnya Deklarasi HAM Sedunia pada 10 Desember 1948

diharapkan keadilan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di dunia

ini dapat ditegakkan. Deklarasi tersebut mempunyai arti penting yang besar

karena menjadi dasar untuk mengubah dan membebaskan peradaban manusia

yang telah berabad-abad didominasi ketidak-adilan, di mana hak asasi manusia

tidak mendapat perlindungan.30

Sebagai bahan diskusi, berikut ini disajikan Nilai-

nilai kemanusiaan yang ada dalam HAM.

1. Nilai Utama HAM

a. Kebebasan /Kemerdekaan

30 Siti Musdah Mulia. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.Artikel diakses

pada 10 April 2008, dari http://www.Geogle. Kebebasan beragama. Com/

Manusia dilahirkan dalam keadaan Merdeka. Karena itu menjadi

harapan setiap manusia menjalani kehidupannya dalam keadaan merdeka.

Misalnya merdeka memilih Negara, Tempat Tinggal, Berkeluarga, Bergerak,

Memilih Pekerjaan, Berserikat Berkumpul, Berekspresi, Mengemukakan

pendapat, Memperoleh dan mendayagunakan informasi dan lain-lain.

b. Kemanusiaan/Perdamaian

Manusia dalam menjalani kehidupannya sangat mendambakan

ketenteraman, bebas dari rasa takut, terjamin keamanannya dan senantiasa dalam

suasana yang damai.

c. Keadilan/kesederajatan/persamaan

Diperlakukan secara wajar dan adil, mendapatkan kesempatan yang sama

dalam memperoleh hak, tidak dibeda-bedakan antara manusia yang satu dengan

yang lain dengan alasan apapun merupakan keinginan setiap manusia.

Sesungguhnya masih banyak nilai dasar HAM yang lain, tapi jika dicermati nilai-

nilai yang lain merupakan pengembangan dari ketiga nilai dasar tersebut.

Misalnya, tanpa diskriminasi dalah merupakan pengembangan dari nilai

keadilan/kesederajatan/persamaan. Demokrasi oleh beberapa kalangan dianggap

sebagai nilai HAM yang mendasar tapi bila ditelusuri demokrasi merupakan

pengembangan dari nilai kebebasan atau kemerdekaan.31

31 Nieke Masruchiyah. Prosiding Seminar KMKG: Peranan Pemuda

Dalam Penegakan HAM, 17 Juli 2007. Cisarua.

2. Sumber-sumber Hukum HAM

Dalam bahasa Indonesia, kata sumber berarti asal, asal-usul, asal

mula32

. Kalau direnungkan dengan lebih mendalam, kata atau istilah asal, asal-

usul, dan asal mula tersebut mengandung pengertian yang luas dam umum.

Pertama, dapat berarti sebagai materi atau bahan yang akan menjadikannya

sebagai hukum. Kedua, dapat pula diartikan sebagai suatu proses yang

berkesinambungan berupa rangkaian peristiwa ataupun fakta. Ketiga, sumber

dapat pula berarti sebagai bentuk atau wujud yang tampak.

Jadi sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-

aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu apabila dilanggar

akan mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas.33

Kalau kata atau istilah

sumber itu dipasangkan dengan kata atau istilah hukum HAM , maka akan

menjadi istilah Sumber Hukum HAM. Sumber hukum HAM terdiri dari dua

bagian:34

a. Internasional

Hukum HAM Internasional merupakan sumber hukum bagi lahirnya

Hukum HAM Nasional, Hukum HAM Internasional mengikat bila memuat

32 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia,(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1998),

Cet. I, h. 867. 33 Yulie Tiena Mariani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004),

Cet. I h. 13. 34Yayan Sopian. “Peran Masyarakat Dalam Penegakan HAM”. Prosiding Seminar:

Sosialisasi HAM Bagi Masyarakat di Propinsi Jakarta, 17 Juli 2007. Cisarua. Hotel Ever Green,

Puncak Jawa Barat

kewajiban-kewajiban Internasional bagi para pihak yang meratifikasi dan telah

memenuhi jumlah peserta yang ditetapkan dalam perjanjian. Yang mana

perjanjian tersebut dapat kita ketahui baik berupa deklarasi, kovenan dan

konvensi sebagai berikut;

1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB (1948).

DUHAM telah disepakati oleh negara-negara anggota PBB pada tanggal

10 Desember 1948 dengan sebuah resolusi nomor 217A (III). Sebagai sebuah

“deklarasi” maka sifat dan daya ikatnya juga berbeda dengan konvensi. Sebagai

deklarasi ia bersifat “deklaratur”: artinya bahwa deklarasi ini hanya merupakan

seruan moral kepada negara-negara peserta untuk memajukan dan menghormati

secara universal dan mentaati hak-hak asasi kebebasan manusia. Dengan

demikian maka daya ikat dari deklarasi ini bersifat “morality binding” artinya

hanya mengikat secara moral kepada negara-negara peserta.

Namun demikian sekalipun merupakan “morality binding”, maksudnya

ialah suatu bentuk penghormatan secara moral dari negara-negara peserta

DUHAM dengan cara meratifikasi Deklarasi tersebut. Jadi apa yang dinyatakan

dalam dokumen DUHAM ini benar-benar dimaksudkan sebagai standar umum,

tolok ukur, atau fundamental norm yang dimaksudkan agar dapat dipergunakan

sebagai pedoman yang diakui dunia internasional guna menentukan lebih lanjut

berbagai hak dan berbagai bentuk kebebasan yang harus diakui oleh rezim-rezim

kekuasaan manapun di dunia yang beradap. Sebab perwujudan dari “fundamental

human rights – hak-hak asasi manusia” dan “fundamental freedom- kebebasan

asasi manusia” menyaratkan adanya “rule of law” yaitu jaminan perlindungan

yang diatur oleh hukum dalam negeri negara-negara serta “supreme of law’ yaitu

kehidupan bernegara yang harus berdasarkan atas hukum.

Muktie Fadjar, dalam bukunya “tipe-Tipe negara Hukum, disebutkan

bahwa salah satu ciri negara hukum adalah “adanya penghormatan dan

perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negaranya”. Tentunya menjadi

syarat mutlak bagi Indonesia untuk membuat regeulasi dibidang tersebut yang

secara eksplisit menganut “kedaulatan hukum” dalam konstitusinya. Oleh karena

itu sebagai sebuah pedoman umum tentang HAM tentunya DUHAM

membutuhkan konvensi khusus yang dibuat oleh negara-negara yang bersifat

mengikat sebagai aturan-aturan yang menindak lanjuti dan melaksanakan

kententuan dari DUHAM tersebut yaitu berupa The International Covenant on

Civil and Political Rights (CCPR) dan The Internastional on Social, Economical

and Cultural Rights (ICSECR) serta protocol tambahannya.

2. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966).

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang kita kenal

sekarang, sebagai salah satu kovenan mengenai hak asasi manusia (HAM)

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), memiliki sejarah yang panjang. Konflik

kepentingan antara negara-negara Blok Timur melawan Blok Barat sangat terasa

dalam proses perdebatan di sidang-sidang PBB.

Proses legislasi kovenan ini dimulai pada 1947 dan baru disahkan pada

1966. Dibutuhkan waktu hampir 20 tahun untuk menjadikannya sebagai

instrumen hukum internasional. “Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan

Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights merupakan

produk Perang Dingin: ia merupakan hasil kompromi Politik yang keras antara

kekuatan blok Sosialis melawan kekuatan blok Kapitalis,”.

Perdebatan yang terjadi sangat sengit dan masing-masing blok

membawa kepentingannya masing-masing. Perdebatan yang paling peting adalah

apakah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya disatukan dengan hak-hak sipil dan

politik atau tidak. Blok Timur, yang didukung negara-negara berkembang

menghendaki hak-hak ekonomi, sosial dan politik disatukan dalam kovenan ini.

Alasannya, hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak yang tidak bisa

dipisahkan dari hak asasi manusia dan merupakan kondisi yang esensial bagi

kebebasan. Namun, blok Barat menolaknya. Inilah hal yang menyebabkan

kovenan hak asasi manusia ini terpisah menjadi dua, yakni kovenan tentanag hak

sipil dan politik dan Kovenan Internasional hak-hak Ekonomi, politik dan Budaya

atau International Convenan on Economic, Social and Cultural.

Dua kovenan ini, kendati tidak sempurna betul, karena merupakan hasil

tarik-menarik antara dua kepentingan besar ketika itu, bagaimanapun merupakan

produk yang baik untuk memajukan kondisi hak asasi manusia di muka bumi.

Namun, para anggota PBB tidak serta-merta menerima kovenan hak-hak sipil dan

politik ini.

Selama tiga tahun (1971-1973), PBB melakukan imbauan dan

kunjungan ke berbagai negara mendesak untuk segera meratifikasi. Namun,

hasilnya tidak menggembirakan. Negara-negara anggota PBB rupanya khawatir

kebebasan mereka untuk bertindak akan dibatasi jika meratifikasi kovenan ini. Ini

karena Pasal 2 ayat 2 kovenan itu mengharuskan setiap negara harus segera

menyesuaikan perundang-undangannya dengan isi kovenan. Namun, kini sudah

141 dari 159 negara anggota PBB yang meratifikasi. Sebanyak 18 negara belum

meratifikasi, termasuk Indonesia.

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik merupakan dokumen

yang amat penting bagi penyelenggaraan dan penegakan hukum dan hak asasi

manusia di muka bumi. Kovenan ini antara lain menyepakati hak sebuah bangsa

untuk menentukan nasibnya sendiri, bebas menentukan status politik dan bebas

melaksanakan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka. Di sisi lain,

penyelenggara negara penandatangan kovenan harus menghormati dan menjamin

semua individu yang berada dalam wilayahnya tanpa membedakan suku, warna

kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan lain-lainnya.

Kovenan ini juga melarang adanya penyiksaan, atau perlakuan atas

hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau penghinaan. Kovenan ini juga

menghapus semua jenis perbudakan, penghambaan dan menjamin hak-hak orang-

orang yang karena perbuatan pidana harus dibatasi kebebasannya. Jadi kovenan

ini tidak ubahnya seperti “kitab suci” penyelenggaraan HAM di muka bumi.

Sayang, Indonesia belum mengakuinya sebagai “kitab suci”, kendati rezim militer

pimpinan Jendral Soeharto, yang anti kovenan ini, sudah jatuh.

3. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966).

Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16

Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi

mukadimah Negara-Negara Pihak dalam Kovenan ini, Menimbang bahwa sesuai

dengan asas-asas yang diproklamasikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-

Bangsa, pengakuan terhadap martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan

tidak terpisahkan dari semua anggota keluarga manusia merupakan landasan dari

kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia, Mengakui bahwa hak-hak ini

berasal dari martabat yang melekat pada manusia, Mengakui bahwa sesuai dengan

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Keadaan ideal dari manusia yang bebas

dari penikmatan kebebasan dari ketakutan dan kemelaratan, hanya dapatdicapai

apabila diciptakan kondisi di mana semua orang dapat menikmati hak-hak

ekonomi, sosial dan budayanya, juga hak-hak sipil dan politiknya. Menimbang

kewajiban Negara-Negara dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk

memajukanpenghormatan dan pentaatan secara universal pada hak-hak asasi

manusia dan kebebasan. Menyadari bahwa individu, yang mempunyai kewajiban

terhadap individu lainnya dan pada masyarakat di mana ia berada, berkewajiban

untuk mengupayakan kemajuan dan pentaatan dari hak-hak yang diakui dalam

Kovenan ini, Menyetujui pasal-pasal berikut :

Pasal 1

Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak

tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan secara

bebas mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

Pasal 2

Semua bangsa, uuntuk tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat secara bebas

mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi

kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional

berdasarkan asas saling menguntungkan dan hukum internasional. Dalam hal

apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-

sumber penghidupannya sendiri.

Pasal 3

Negara Pihak dalam Kovenan ini, termasuk mereka yang bertanggung jawab

atas penyelenggaraan Wilayah Tanpa Pemerintahan dan Wilayah Perwalian,

harus memajukan perwujudan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan harus

menghormati hak tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Piagam

Perserikatan Bangsa-Bangsa.

4. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1965).

Dalam konvensi ini, pengertian "diskriminasi rasial" berarti suatu pembedaan,

pengucilan, pembatasan atau pilihan berdasarkan ras, warna kulit, keurunan atau asal usul

etnik atau kebangsaan, yang bertujuan atau berakibat mencabut atau mengurangi

pengakuan, perolehan tau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar,

dalam suatu kesederajatan, di bidak pilitik, ekonomi, sosial, budaya tau bidang-bidang

kehidupan kemasyarakatan lainnya.

Konvensi ini tidak berlaku terhadap pembedaan-pembedaan, pengucilan-

pengucilan, pembatasan-pembatasan atau pilihan-pilihan yang dilakukan oleh suatu Negara

Pihak Konvensi dalam hubungannya dengan masalah warga negara dan bukan warga.

Tidak ada ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini yang dapat ditafsirkan sebagai

mempengaruhi, dengan cara apapun juga, ketentuan-ketentuan hukum Negara Negara

Pihak tentang kebangsaan, kewarganegaraan atau naturalisasi sepanjang ketentuan-

ketentuan tersebut tidak mendiskriminasi kebangsaan tertentu.

Langkah-langkah khusus yang semata-mata diambil untuk menjamin pemajuan

kelompok ras atau etnik atau perorangan atau kelompok perorangan yang memerlukan

perlindungan agar mereka dapat menikmati atau melaksanakan hak-hak asasi manusia dan

kebebasan-kebebasan mendasar secara sederajat tidak dapat dianggap suatu diskriminasi

rasial, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak mempunyai konsukuensi yang mengarah

kepada berlanjutnya hak-hak terpisah bagi kelompok rasial yang berbeda dan bahwa

langkah-langkah tersebut tidak dilanjutkan setelah tujuannya tercapai.

Pasal 2

1. Negara-negara pihak mengutuk diskriminasi rasial dan mengambil semua langkah-

langkah yang sesuai guna menyusun segera mungkin kebijakan penghapusan segala

bentuk diskriminasi rasial dan memajukan pengertian antar ras untuk mencapai tujuan

tersebut akan melaksanakan :

a. Setiap negara pihak tidak akan melakukan kegiatan-kegiatan atau praktek-praktek

diskriminasi rasial terhadap perorangan atau kelompok perorangan atau lembaga-

lembaga dan menjamin bahwa semua kekuasaan umum dan lembaga-lembaga baik

pada tingkat lokal maupun nasional bertindak sesuai dengan kewajiban ini;

b. Setiap Negara Pihak tidak akan menyokong, mempertahankan atau membantu

diskriminasi rasial yang dilakukan perorangan atau organisasi-organisasi.

c. Setiap Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah efektif guna mengkaji ulang

berbagai kebijakan pemerintah, nasional dan lokal, serta mengubah, mencabut atau

membatalkan perundang-undangan dan peraturan yang berakibat menciptakan atau

meneruskan diskriminasi rasial dimanapun berada;

d. Setiap Negara Pihak akan melarang dan menghentikan, melalui berbagai langkah-

langkah yang sesuai termasuk penciptaan peraturan-peraturan apabila diharuskan,

diskriminasi rasial yang dilakukan perorangan, kelompok atau organisasi;

e. Setiap Negara Pihak, apabila dirasakan perlu, berupaya untuk mendorong gerakan-

gerakan dan organisasi-organisasi integrasionis multirasial serta berbagai cara

penghapusan hambatan-hambatan antar ras, dan tidak mendorong segala sesuatunya

yang menjurus kepada penguatan suatu pembedaan rasial.

2. Negara-negara Pihak, apabila situasi mengharuskan akan mengambil langkah-langkah

nyata dan khusus di bidang sosial, ekonomi, budaya dan bidang-bidang lain guna

menjamin pengembangan dan perlindungan yang memadai terhadap kelompok-

kelompok rasial tertentu atau perorangan dari kelompok tersebut guna menjamin

perolehan secara penuh dan sederajat hak-hak asasi manusia dan kebebasan-

kebebasan mendasar. Langkah-langkah ini tidak boleh membawa konsukuensi

berlanjutnya adanya suatu hak-hak yang terpisah dan tidak sederajat bagi kelompok-

kelompok rasial lainnya apabila tujuan-tujuan langkah tersebut telah tercapai.

e). Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita

(1979)

Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan

Deklarasi mengenai Penghapusan terhadap diskriminasi wanita. Deklarasi

tersebut memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan

pria dan menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin

pelaksanaan Deklarasi tersebut.

Oleh karena Deklarasi itu sifatnya tidak mengikat maka Komisi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan wanita berdasarkan Deklarasi

tersebut menyusun rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi terhadap Wanita. Pada tanggal 18 Desember Tahun 1979 Majelis

Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyetujui Konvensi tersebut. Karena

ketentuan Konvensi pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945, maka Pemerintah Republik Indonesia dalam

Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di

Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah menandatangani Konvensi tersebut.

Penandatanganan itu merupakan penegasan sikap Indonesia yang dinyatakan pada

tanggal 18 Desember 1979 pada waktu Majelis Umum Perserikatan Bangsa-

Bangsa melakukan pemungutan suara atas resolusi yang kemudian menyetujui

Konvensi tersebut.

5. Konvensi tentang Hak Anak (1989).

Negara-negara Peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang

ditetapkan dalam Konvensi ini dan setiap anak dalam wilayah hukum mereka

tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis

kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa,

asal-usul etnik atau sosial, kekayaan, ketidakmampuan, kelahiran atau status lain

dan anak atau dan orangtua anak atau walinya yang sah menurut hukum hak

Setiap Anak adalah:

• Untuk dilahirkan, untuk memiliki nama dan kewarganegaraan;

• Untuk memilik keluarga yang menyayangi dan mengasihi ;

• Untuk hidup dalam komunitas yang aman, damai dan lingkungan yang sehat;

• Untuk mendapatkan makanan yang cukup dan tubuh yang sehat dan aktif;

• Untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan mengembangkan potensinya;

• Untuk diberikan kesempatan bermain waktu santai;

• Untuk dilindungi dari penyiksaan, eksplotasi, penyia-siaan, kekerasan dan

dari mara bahaya;

• Untuk dipertahankan dan diberikan bantuan oleh pemerintah;

• Agar bisa mengekspresikan pendapat sendiri

b. Nasional

1. UUD 1945

Undang-undang Dasar 1945 merupakan perwujudan dari tujuan

Proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 agustus 1945 yang terdiri atas pembukaan

dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945.

Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 mengandung pokok-

pokok pikiran sebagai berikut; Negara melindungi segenap bangsa Indonesia

dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia, Negara berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan

permusyawaratan perwakilan, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

menurut dasar kemansiaan yang adil dan beradab.

Dalam batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 berisi materi yang

pada dasarnya dapat dibedakan sebagai berikut; pertama berisi materi tentang

kedudukan, tugas wewenang dan hubungan antar lembaga-lembaga Negara.

Kedua berisi materi yang berkaitan dengan konsepsi negara dibidang politik,

ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, agama, sesuai dengan arah atau

tujuan negara Indonesia yang di cita-citakan.35

2. UU. No. 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan

nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik

dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku

dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu maka

manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau

perbuatannya.

3. UU. No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus

35 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2004), Cet.I, h.

9.

dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau

dirampas oleh siapa pun. Dan untuk ikut serta memelihara perdamain dunia dan

menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian,

keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, maka perlu

segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan

pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan pasal 104 ayat

(1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.yang

mana bunyi pasal tersebut adalah :

Pasal 104

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah

pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan,

penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang

dilakukan secara sistematis.

BAB IV

PINDAH AGAMA DALAM

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM

A. Kebebasan Beragama Menurut Hukum Islam dan HAM

Arti kebebasan sebagaimana yang tercantum dalam item nomor 4 dari

advertensi hak-hak asasi manusia di Prancis yang terbit tahun 1879 M, adalah

kemampuan manusia dalam melakukan setiap kegiatan maupun aktivitasnya

yang tidak merugikan pihak lain. Maksudnya bahwa kebebasan itu tidak bersifat

mutlak dari segi waktu dan tempat. Kebebasan sebagaimana memiliki sifat

relatif dalam undang-undang sipil dan demokrasi modern negara Barat, juga

relatif dalam demokrasi Islam.36

Menurut istilah hukum, kebebasan berarti sesuatu hal yang dapat

membedakan manusia dengan lainnya, sehingga dengan kebebasan yang

dimilikinya, manusia dapat berbuat, berkata, dan bertindak dengan kehendak

sendiri serta bebas tanpa ada paksaan, tetapi dalam batasan-batasan tertentu.

Untuk mengetahui batasan-batasan kebebasan tersebut maka dapat dilihat

melalui dua konsep, yaitu konsep kebebasan menurut Islam dan Konsep

Kebebasan menurut HAM.

36 Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan dalam Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005,

Cet. Pertama. h. 31.

1. Konsep Kebebasan dalam Islam

Setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan.

Konsekwensinya tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan

mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau

kepercayaan pilihannya sendiri.

Hak untuk beragama dan berkepercayaan merupakan persoalan krusial

dalam agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan. Masalah ini terus

mengundang perdebatan dikalangan kaum agamawan, tak terkecuali di

kalangan ulama muslim bahkan kaum awam. Sehingga hubungan antara Islam

dan kultur Islam dengan pandangan Barat mengenai organisasi masyarakat dan

hak-hak asasi manusia telah banyak ditulis. Salah satunya dapat kita ketahui

bahwa Islam dan Barat merupakan dua prinsip yang bertentangan dalam soal-

soal penting seperti kebebasan beragama.

Dari uraian di atas ada baiknya kita mengutif pendapat yang diajukan

oleh Adda Bozeman sebagai berikut “bahwa kultur Islam tidak dibimbing oleh

ide-ide kebenaran atau prinsip, namun sebaliknya Barat memahami kultur Islam

ditandai dengan penguasaan personalisme dan pragmatisme, di mana otoritas

keputusan “keharaman dan pemaksaan merupakan sesuatu hampir pasti”.37

Maksudnya ialah mengenai kebebasan beragama Islam dan Barat keduanya

37 David Litle, dkk, Kebebasan Agama dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1997), Cet. I h. 37.

mempunyai masing-masing prinsip yang bertentangan, baik dalam hal

kebebasan beragama maupun kebudayaannya masing-masing.

Selain Adda Bozemen ada baiknya kita mengutif pendapat James

Piscatory walaupun pendapatnya bertentangan, beliau mengatakan, “bahwa

penghormatan terhadap kehidupan dan harta benda dan praktik toleransi serta

persaudaraan yang diajarkan oleh Islam, menunjukkan bahwa Islam “tidak

dapat disangsikan banyak titik temu dengan gerakan hak-hak asasi manusia

belakangan ini”, dapat juga dikatakan bahwa Islam “ tidak mengajukan gagasan

dasar tentang hak-hak yang tidak dapat dicabut, Islam juga tidak menghindari

pembedaan menurut jenis kelamin dan agama”. Singkatnya, “teori Islam tidak

menawarkan gagasan tentang hak-hak individu, hak-hak yang tidak melekat

manusia, Islam lebih banyak menunjuk keistimewaan-keistimewaan manusia”.38

Dari kutifan diatas dapat kita arahkan bahwa gagasan yang dikeluarkan

oleh James Piscatory Mengenai kehidupan, harta benda, toleransi, persaudaraan,

dan pembedaan jenis kelamin dan agama tidak dapat melahirkan gerakan hak-

hak asasi manusia terutama dalam hal kebebasan bergama, karena Islam lebih

mengajarkan ketaqwaan kepada Tuhan yang mengarah kepada keistimewaan

dan kemuliaan manusia.

Islam merupakan ajaran yang menempatkan manusia pada posisi yang

tinggi bahkan al-qur’an menjamin adanya hak pemuliaan dan pengutamaan

manusia. Sebagaimana dalam al-qur’an disebutkan:

38 Ibid. h. 38.

����� => ��q�#��⌧ &��8 �L*_�=4 (2�u6�q,Y=�⌧3=> �

�x* � �� ����@� ��=> 2�u6�q��*�=p=> [:�~# �i6�@�_�7 �� I�u6=j,Y{��,=> )���� x���Kb

�"�☺�~# ��q���Y*! �⌧_n��.�� )١٧:٧٠/ا9)�اء(

Artinya:“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami

angkut mereka di daratan dan di lautan39

, kami beri mereka rezki dari

yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang

Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”. (Q.S.

Al-Isrậ/17:70).

Dengan demikian manusia memiliki hak al-karamah dan hak al-fadhilah.

Apalagi misi Rasulullah adalah Rahmatan lil-‘alamin. Dimana

kemaslahatan/kesejahteraan merupakan tawaran untuk seluruh manusia dan

alam semesta.

Persoalan krusial ini bukan semata monopoli para teolog atau

mutakallimin, namun juga menjadi perhatian para fuqaha, utamanya Imam al-

Syatibi. Ia dalam karya besarnya al-Muwậfaqật fỉ Ushûl al-Ahkam merumuskan

lima tujuan pokok syariah diturunkan kepada umat manusia. Melalui

pendekatan induksi-tematik (al-istiqra’ al-ma’nawi), al-Syatibi menyimpulkan

maksud-maksud penetapan syariah itu ke dalam lima macam, yakni menjaga

agama (hifzh al-dîn), menjaga jiwa (hifz al-nafs),40

menjaga akal (hifzh al-

39 Maksudnya, Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan

didaratan dan dilautan untuk memperoleh penghidupan. 40 Hifzh al-nafs adalah hak asasi manusia untuk hidup dan bertumbuh kembang dalam

kehidupan ini. Ini merupakan hak paling dasar bagi setiap manusia yang terlahir ke alam dunia.

Jaminan atas hak hidup menjadi taken for granted dan tanpa syarat. Sebagaimana Allah

menjamin dalam sebuah ayat: “Barang siapa membunuh jiwa melalui jalan yang batil atau

‘aql),41

menjaga keturunan (hifzh al-nasl),42

dan menjaga harta (hifzh al-mậl),43

lima maksud syariah ini kemudian dikenal dengan sebutan maqậshid al-

sharî’ah.

Teori maqậshid dari al-Syatibi ini tentu saja dikembangkan menurut

tuntutan zamannya, perubahan sosial yang terjadi pada saat itu. Lebih dari itu,

nampaknya al-Syatibi pada masanya belum menghadapi problem lingkungan

sehingga dapat diterima jika dalam teori maqậshid-nya belum memasukkan

unsur pelestarian lingkungan (hifzh al-bî’ah),44

Imam al-Syatibi memasukan kelima tujuan pokok syariah itu dalam

kategori “kepentingan yang mendesak atau urgen” atau lebih dikenal dengan

istilah lima hal dharûriyat. Sedangkan istilah hifzh (menjaga) dalam ungkapan

maqậshid itu lebih menggambarkan pada suatu tindakan “memelihara” sesuatu

membuat kerusakan dimuka bumi, maka ia seperti membunh semua jiwa manusia. Dan barang

siapa memberi hidup bagi jiwa maka ia seperti memberi kehidupan bagi semua jiwa manusia”

(QS) Al-Ma’idah 5;32). 41 Hifzh al-‘aql adalah hak dan kebebasan untuk berfikir, mengeluarkan pendapat

secara lisan maupun tertulis. 42 Hifzh al-nasl adalah hak-hak reproduksi. Setiap orang memiliki hak untuk

bereproduksi secara sehat yang dengannya jaminan atas kelangsunagan keturunannya

dikemudian hari memperoleh kepastian. 43 Hifzh al-mậl adalah hak seseorang untuk memiliki, membelanjakan, dan

memprgunakan kekayaan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, serta

menginvestasikannya demi jaminan hidup kelak, mentransfer dan mewariskannya kepada anak-anak keturunannya.

44 Hifzh al-bî’ah adalah salah satu maksud syariah yang selama ini belum disentuh

dalam khasanah pemikiran fiqih Islam, meskipun alusi-alusi al-qur’an tentang pentingnya

memakmurkan kehidupan bumi (isti’mậrfi al-ardh) termaktub dengan tegas dan lugas,

bersamaan dengan larangan-larangan atas tindak kejahatan atau perusakan atas kehidupan alam

beserta ekosistem di dalamnya. Biasanya dalam hal terakhir, al-qur’an mengemukakan dengan

ungkapan larangan fasậd fi al-ardh dan ‘ayth fi al-ardh. Prinsip yang satu ini eksklusif menjadi

hak alam dan lingkungan, dan karenanya menjadi kewajiban bagi manusia untuk memenuhi hak

tersebut.

yang sudah dipilih atau diambil. Dengan demikian, “menjaga” lebih melukiskan

suatu tindakan lanjutan atau akibat yang harus diterima oleh manusia karena

pilihan-pilihannya. Pada saat yang sama, kata “menjaga” belum mewakili

tindakan yang menunjukkan “sebab”, “asal-usul” sesuatu mengapa mesti dijaga

dan dipelihara. Oleh karena itu, perluasan makna “menjaga” merupakan

kebutuhan. Kata “hifzh” lebih tepat jika dipahami mencakup tindakan

“menjamin”, “melindungi” hak dan kebebasan. Jadi, hifzh al-dîn berbicara

tentang jaminan atas hak asasi dan kebebasan manusia dalam hal beragama atau

berkepercayaan sekaligus perlindungan terhadap hak dan kebebasan tersebut.

Dalam hal ini, Islam mengakui kebebasan menjalankan agama45

dan

melarang keras setiap orang merusak aqidahnya secara bebas, meskipun

berlandaskan akalogika dan teori yang benar. Hal itu karena Islam menjadikan

dasar teologi dan keimanan untuk dibahas dan dikaji, tidak ada unsur paksaan

dan taqlid. Dan banyak sekali ayat al-qur’an yang mendorong manusia untuk

melihat ruang angkasa dan isi bumi serta semua ciptaan Allah swt, agar supaya

dengan begitu bisa mendapat petunjuk yang benar bagi iman, serta agama yang

benar

Sebagaimana Firman Allah.

45Arti ini perlu penjelasan dan batasan bahwa maksud penulis adalah tidak boleh

memaksa seseorang masuk agama islam, tetapi itu di nisbatkan kepada mereka yang beragama

Islam. Hukum Islam (Syara’) mengatakan bahwa hukum orang yang pindah agama (Riddah)

adalah dibunuh, bila ia masih terus melakukan setelah disuruh bertaubat, karena pindah agama (

Riddah ) menghianati agama dan menghina masyarakat Islam. Pandangan Empat Mazhab,

(Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Mazhab Hanbali).

I� =>>d ��>� -j�1 � �2340�Y�# �2]=36*☺BB ��

¡¢(pao��=> ��#=> ���Y*o R��� "�# d4&⌧? y>d=> �&As� y>d �y340�1 ����

!|=x������ (2�uGY*�>d � gl>�@�, s�1���� £�*�G�8

�y3j�#�1 )٧:١٨٥/ا9?�اف( Artinya:“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi

dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan Telah

dekatnya kebinasaan mereka, Maka kepada berita manakah lagi mereka

akan beriman sesudah Al Quran itu”. ( Q.S. Al-A’Rậf/7:185).

�2GI IC�_� =3�� 9:�~# ��G�8 *@� ]�� � K�(3�Y�, h���, ?���

(240�T�Y� Pa*☺�P=p=> ICq40� !"�~# � �xn�6�1�¤��

)٢:٦٤/ا���ة(Artinya:“Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, Maka

kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu

tergolong orang yang rugi”.(Q.S. Al-Baqarah/2: 64).

Diantara ayat al-qur’an yang mencela orang yang taqlid, tidak mengikuti jalan

pemikiran dan teori, sebagaimana firman Allah:

(h�8 ���34 ��� ��N� ���N��*"=> ��N=4���8�=4

����� @r�#cd ��N�=> ����� 2�g��6>I�=4 �y>���C�u¥#

)٣٣:٢٢/ا7 �ف(Artinya:“Bahkan mereka berkata: Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak

kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya kami orang-orang

yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak merek”.(Q.S.

Azkhruf/33:22).

Dan banyak ayat yang menerangkan dan meniadakan iman dengan jalan

paksaan, sebagaimana firman Allah swt:

�� ������� � � ������� � ��� � ������ ������ �� !"�#

%&⌧(� �� ) "*☺�, (�-.0�1 �2346�7 ��8 9:�#�1=>

?���8 �����, *@AB�☺�CD�� �=>FG� ��8

)��H�IJ3� �� K� �L�AM�.N�� ��OPQ 0 R���=> SST�.⌧U

VXSY�Z )ة���٢:٢٥٦/ا( Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya

Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu

barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,

Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat

Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha

Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqorah/2:256).

Fiman Allah dalam surat Yunus:

(3� => =4��⌧� *@¥8=p !"�#¦* "�# � ¡¢(pao�� (2�u§Y-b

�G_���g ) AiN>��,>d ���0G� ����j �� )&eX*P ��3N340�1 [©��j�#�# )d١٠:٩٩/��ن(

Artinya:“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang

yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa

manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuany”.

(Q.S.Yunus/10:99).

(840� (840q1�_ =��=> � ��_ )١٠٩:٦/ا�A-�ون(

Artinya: "Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (Q.S. Al-

Kafirûn/109; 6).

Apabila dasar keyakinan dalam Islam berdasarkan akalogika, dan

membahas ayat-ayat al-qur’an dengan jalan taqlid dan paksaan, maka kebebasan

pindah agama tidak akan terjamin. Hal itu dikuatkan oleh keterangan di dalam

al-qur’an bahwasannya tidak ada kekuasaan bagi da’i selain orang yang

memberi nasihat baik sebagimana firman Allah swt:

(��ª⌧T�, ��*☺�N� AiN>d ⌦�n�b⌧T# AiB� Iu�T�Y�Z

h��7�_AM�☺8 )�lا;� )٢٢-٨٨:٢١/شArtinya:“Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah

orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa

atas mereka”. (Q.S. Al-Ghosyiyah/88:21-22).

Ayat di atas termasuk dalil yang menguatkan kebebasan tegaknya syiar

Islam karena Islam menjadikan dan menghormati non muslim dalam

menegakakn syiar agama mereka di tempat ibadah dan menjadikan mereka

mengikuti hukum agama, perdata dan sifat kepribadian. Hal itu berdasarkan

hadist Rasulullah ketika bersabda kepada kafir zimmi, “Bagi mereka sama

dengan kita, dan mereka itu seperti kita” sedangkan perdamaian yang

diberlakukan untuk orang-orang yang mengadakan perjanjian yaitu harus ada

perlindungan jiwa, harta, agidah dan menegakkan syiar agama.

Dalam masa pemerintahan umar beliau pernah berpesan kepada

penduduk “Berikan keamanan bagi mereka, jangan kamu tempati gereja-gereja

mereka dan jangan kamu kurangi kebaikannya serta salibnya, jangan membenci

agama mereka serta tidak boleh menyakiti mereka.

Di dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hak asasi

manusia, termasuk di dalmnya kebebasan menganut agama sesuai dengan

keyakinannya. Kita temukan bahwa Islam adalah syariat produk Allah, Dzat

yang pertama kali mengumandangkan adanya dasar-dasar kebebasan dan hak-

hak asasi manusia secara teori maupun praktis sebelum dunia modern

mengetahui hak-hak tersebut kecuali setelah akhir abad XVII M.46

Secara alami bahwa hasil dari adanya pengakuan terhadap hak-hak asasi

manusia adalah saling tolong menolong di antara semua individu manusia,

kelompok-kelompok individu, lembaga-lembaga individu untuk tetap menjaga

hak tersebut. Inilah kebebasan pengalihan dan pengakuan dasar persatuan

manusiawi yang dalam Al-Qur’an disebutkan:

�r�[�>��6�1 J���j �� ��3-�e��� 240¬8=p l������

840���Y�o "�~# ���.�N Q�*���]=> ) )٤:١/أ�34ء

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menc ip takan kamu dari yang satu” . (Q. S. A n- Ni sậ / 4: 1) .

Orang-orang Islam dalam realitanya, mereka bercermin dan

mempraktikan dasar ini, serta mengakui kebebasan rakyat, umat, dan individu

pada tataran pemerintahan (pada masa kenabian, khulafaurrasyidin, dan orang-

orang setelahnya). Pada tataran berinteraksi dalam hubungan luar dan dalam

dengan non muslim. Yang hal itu tidak dapat terpenuhi kecuali setelah

mengakui dasar kebebasan dan persamaan pada semua manusia di bumi. Hal ini

senada dengan ayat al-qur’an :

�h40� => Vr*u��> =3Gg �r�x�ª =3# �

��3-�@�aD���,

46 Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan dalam Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005,

Cet. Pertama, h. 12.

�2]=x(�*­� �� ) � ��>d ��# ��3N340�� �2,��1 2408 R��� �G_�☺*� ) �y� ���� )����

��h4 d4&⌧? ⌦�1���� )����٢:١٤٨/ا(

Artinya:“untuk tiap-tiapnya ada arah tujuan yang dia hadapi, karena itu

berlomba-lombalah dalam kebajikan. Di mana pun kamu berada, Allah

himpunkan kamu kesemuanya. Allah maha kuasa atas segala”.(Q.S. Al-

Baqarah/2:148).

Ayat di atas mengundangkan ajaran kebebasan beragama. Untuk

Indonesia, berdasarkan perundangan yang diberlakukan, itu berarti kebebasan

bagi pemeluk agama-agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan

Konghucu.47

Agama Islam memberikan hak kebebasan suara hati nurani dan

keyakinan kepada seluruh umat manusia. Kaum muslim diperbolehkan

mengajak orang-orang non muslim untuk menuju jalan Islam, tetapi mereka

tidak dapat memaksakan kehendak. Umat Islam tidak boleh mempengaruhi

siapapun untuk menerima agama Islam dengan cara melakukan tekanan-

tekanan sosial dan politik.

Islam tidak hanya melarang penggunaan paksaan dan kekerasan dalam

masalah keyakinan beragama, tetapi juga melarang penggunaan bahasa yang

kasar terhadap agama-agama yang berlainan, “Dan janganlah kamu memaki

sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah”.

47 Syu’bah Asa, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama,

2000, Cet. Pertama, h. 9.

K�=> ��3D@ B�h [©������� �y3���1 "�# �y>�_ ?���

��3D@ B=_�, ���� �☺>��� x(��8 mI,Y�Z 0 *@� ]⌧T⌧ ��q¬1*� ��h40� |r�#cd

I�u�Y=�⌧ �2GI )���� 2��m=p I�uGn����

I�u®P@�¯T�, �*☺8 ��3N�⌧ �y3GY*☺G�1 )٦/ا9ن#�م

:١٠٨( Artinya:“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka

sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah

dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami

jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian

kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan

kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (Q.S. Al-

an’am/6:108).

Astiq adalah seorang budak Nasrani milik Sayidina Umar. Umar sering

mempengaruhinya untuk menerima ajaran Islam. Ketika astiq menolak,

Sayidina Umar hanya dapat berucap, “Tidak ada paksaan dalam beragama.”48

Dari uraian ayat-ayat di atas maka dapat kita tafsirkan sebagai berikut:

perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut

agama adalah menganut aqidahnya. Ini berarti apabila seseorang telah memilih

satu aqidahnya, katakan saja aqidah Islmiyah, maka dia terikat dengan

tuntunan-tuntunannya dan berkewajiban melaksanakan perintah-perintahnya.

Dia terancam sanksi bila melanggar ketetapannya. Dia tidak boleh berkata

“Allah telah memberi saya kebebasan untuk shalat atau tidak, berzina atau

48 Syech Syaukat, Hussain. Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta, Gema Insani

Press, 1996), Cet. I. h. 73.

nikah”. Karena bila dia telah menerima aqidahnya, maka dia harus melaksankan

tuntutannya.49

Kembali kepada penegasan ayat ini, tidak ada paksaan dalam menganut

keyakinan agama, Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian.

Agamanya dinamai Islam, yakni damai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau

jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada

paksaaan dalam menganut keyakinan agama Islam. Mengapa ada paksaan,

padahal telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Jika demikian,

sangatlah wajar setiap pejalan memilih jalan yang benar, dan tidak terbawa

kejalan yang sesat. Sangatlah wajar semua masuk agama ini. Pasti ada sesuatu

yang keliru dalam jiwa seseorang yang enggan menelusuri jalan yang lurus

setelah jelas jalan itu terbentang dihadapannya.

Ayat ini menggunakan kata (%رش) rusyd yang mengandung makna “jalan

lurus”. Kata ini pada akhirnya bermakna “ketepatan mengelola sesuatu serta

kemantapan dan kesinambungan dalam ketepatan itu”.

Ini bertolak belakang dengan (Mlا) al –gayy, yang terjemahannya

adalah jalan sesat. Jika demikian, yang menelusuri jalan lurus itu pada akhirnya

melakukan segala sesuatu dengan tepat, mantap, dan berkesinambungan.

Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah jelas jalan yang

lurus. Itu sebabnya, orang gila dan yang belum dewasa, atau yang tidak

49 Shihab Quraish, Tafsir Al-Misbah “Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an” surat

Ali-Imran. Jakarta:Lentera Hati Ct. Ke-I.

mengetahui tuntunan agama, tidak berdosa jika melanggar atau tidak

menganutnya, karena bagi dia jalan jelas itu belum diketahuinya. Tetapi anda

jangan berkata bahwa anda tidak tahu jika anda mempunyai potensi untuk

mengetahui, tetapi potensi itu tidak anda gunakan.disini anda pun dituntut

karena menyia-nyiakan potensi yang anda miliki.

Ada juga yang memahami ayat di atas dalam arti: jalan yang benar, jelas

juga perbedaanya dengan jalan yang sesat, telah jelas bahwa yang ini membawa

manfaat dan itu mengakibatkan mudarat. Jika demikian tidak perlu ada paksaan,

karena yang dipaksa adalah enggan tunduk akibat ketidak tahuan. Disini telah

jelas jalan itu, sehingga tidak perlu paksaan. Anda memaksa anak untuk minum

obat yang pahit, karena anda tahu bahwa obat itu adalah mutlak untuk

kesembuhan penyakit yang dideritanya.

Yang enggan memeluk agama ini pada hakekatnya terbawa oleh rayuan

thagut, sedangkan yang memeluknya adalah yang ingkar dan menolak ajakan

thagut, dan mereka itulah orang-orang yang memiliki pegangan yang kukuh,

karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah,

maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat

yang tidak akan putus.

)�n�Rت( Thagut, terambil dari akar kata yang berarti “melampaui batas”

biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam keburukan. Setan,

dajjal, penyihir, yang menetapkan hukum bertentangan dengan ketentuan ilahi,

semuanya digelar dengan thagut. Yang memeluk agama Islam harus menolak

ajakan mereka semua.

Berpegang teguh pada buhul tali yang amat kuat adalah berpegang

teguh, disertai dengan upaya sungguh-sungguh, bukan sekedar berpegang,

sebagaimana dipahami dari kata (b3=�(ا) istamsaka, yang menggunakan huruf

sin dan ta bukan (b3م) masaka. Tali yang dipegangnya pun amat kuat,

dilanjutkan dengan pernyataan tidak akan putus, sehingga pegangan yang

berpegang itu amat kuat, materi tali yang dipegangnya kuat, dan hasil jalinan

materi tali itu disebabkan karena ayunan thagut cukup kuat, sehingga diperlukan

kesungguhan dan kekuatan.

Kata ( وة�?) urwah yang di atas diterjemahkan dengan gantungan tali

adalah tempat tangan memegang tali, seperti yang digunakan pada timba guna

mengambil air dari sumur. Ini memberi kesan bahwa yang berpegang dengan

gantungan itu bagaikan menurunkan timba untuk mendapatkan air kehidupan.

Manusia membutuhkan air( H2O , yang merupakan gabungan dua

molekul hidrogen dan satu molekul oksigen) untuk kelangsungan hidup

jasmaninya. Manusia juga membutuhkan air kehidupan yang merupakan

syahadatain, yakni gabungan dari kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa

dan kepada kerasulan Nabi Muhammad saw.

Ayat ini merupakan perumpamaan keadaan seseorang yang beriman

betapapun sulitnya keadaan, walau ibarat menghadap ke suatu jurang yang amat

curam, dia tidak akan jatuh binasa, karena dia berpegang dengan kukuh pada

seutas tali yang juga amat kukuh. Bahkan seandainya ia terjerumus masuk

kedalam jurang itu, ia masih dapat naik atau ditolong. Karena ia tetap berpegang

pada tali yang menghubungkannya dengan sesuatu yang di atas, bagaikan

timba yang dipegang ujungnya. Timba yang diturunkan mendapatkan air dan

ditarik ke atas. Demikian juga seorang mukmin yang terjerumus kedalam

kesulitan. Memang dia turun atau terjatuh, tetapi sebentar lagi dia akan ke atas

membawa air kehidupan yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.

Dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan Allah ta’ala berfirman, “TIdak ada

paksaan dalam agama.” maksudnya, janganlah kamu memaksa seseorang pun

untuk memasuki agama Islam, karena agama Islam itu sudah jelas dan terang.

Dalil-dalil dan argumentasinya sudah nyata sehingga seseorang tidak perlu

dipaksa supaya masuk agama Islam, dilapangkan hatinya, dan disinari mata

hatinya oleh Allah, maka ia akan masuk ke dalamnya secara terang benderang.

Adapun orang yang hatinya dibutakan Allah, pendengaran, dan penglihatannya

dikunci mati oleh Allah, maka tidaklah berguna memaksanya untuk memasuki

Islam.50

Diceritakan bahwa ayat ini turun karena ada seorang wanita anshar

berjanji kepada dirinya bahwa apabila putranya hidup, maka dia akan

menjadikannya Yahudi. Tatkala Bani Nadhir diusir dan diantar mereka ada

anak-anak kaum Anshar, maka kaum Anshar berkata, “Kami tidak akan

50 Arrifa’I, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani

Press, 1999, Cet. Ke-1.

membiarkan anak kami menjadi Yahudi.” Maka Allah menurunkan ayat, Tidak

ada paksaan dalam agama.” Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu

Abbas.

Dalam tafsir qur’an karim, Mahmud Yunus, dijelaskan bahwa dalam

ayat 256 terang benar, bahwa dalam agama Islam tidak boleh memaksa orang

supaya memeluk agama Islam. Melainkan orang itu diberi kemerdekaan tentang

agama apa yang akan dianutnya, karena sudah terang mana yang baik dan mana

yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, yaitu jika kita mau

memikirkannya dengan pikiran yang waras. Kewajiban kita orang Islam, ialah

memeberi keterangan yang cukup kepada umum atas kebenaran agama Islam.

Kemudian itu mereka diberi kesempatan untuk memikirkannya, karena agama

itu ialah kepercayaan hati, sedang kepercayaan itu tidak bisa dimasukkan

kedalam hati seseorang dengan jalan paksaan.51

Dalam tafsir Fizhilalil Qur’an, masalah aqidah adalah masalah kerelaan

hati setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan, bukan pemaksaan dan

tekanan. Agama Islam datang dan berbicara kepada daya pemahaman manusia

dengan segala kekuatan dan kemampuannya. Ia berbicara kepada akal yang

berpikir, intuisi yang dapat berbicara, dan perasaan yang sensitif, sebagaimana

ia berbicara kepada fitrah yang tenang. Ia berbicara kepada wujud manusia

secara keseluruhan serta kepada pikiran dan daya pemahaman manusia dengan

51 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim.Jakarta: Sa’adijah Putra. 1971, Cet.Ke-I

segala seginya. Ia tidak memaksanya dengan hal-hal luar biasa yang bersifat

kebendaan yang kadang-kadang dengan menyaksikannya seseorang menjadi

tunduk. Akan tetapi, akalnya tak dapat merenungkannya dan pikirannya tak

dapat memikirkannya, karena memang hal itu diluar jangkauan akal pikiran52

.

Dalam prinsip ini tampaklah dengan jelas betapa Allah memuliakan

manusia, menghormati kehendak, pikiran, dan perasaannya. Juga menyerahkan

urusan mereka kepada dirinya sendiri mengenai masalah yang khusus berkaitan

dengan petunjuk dan kesesatan dalam itikad, dan memikulkan tanggung jawab

atas dirinya sebagai konsekwensi amal perbuatannya. Ini merupakan kebebasan

manusia yang amat khusus.

Kebebasan yang ditentang untuk diberlakukan kepada manusia dalam

abad kedua puluh ini oleh ideologi-ideologi penindas dan peraturan-peraturan

atau sistem yang merendahkan manusia, yang tidak menolerir makhluk yang

dimuliakan Allah. Untuk memilih aqidahnya ini agar mengkonsentrasikan

pikirannya untuk memikirkan kehidupan dan tata aturannya yang tidak

dikehendaki oleh pemerintah dengan segenap perangkat dan perundang-

undangannya. Maka kemungkinan yang dialami oleh yang bersangkutan adalah

mengikuti mazhab pemerintah yang melarangnya beriman kepada Tuhan yang

mengatur alam semesta ini dan kemungkinan lain adalah menghadiri hukuman

mati (kalau tidak mengikutinya) dengan berbagai macam cara dan alasan.

52Sayyid, Quthb. Tafsir fizhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Cet. Ke-1

Kebebasan beritikad (beragama) adalah hak asasi manusia yang karena

itikadnya itulah dia layak disebut manusia. Maka, orang yang melucuti manusia

dari kebebasan kemerdekaan beraqidah berarti dia telah melucuti

kemanusiaannya. Disamping kebebasan beritikad, dijamin pula kebebasan

menda’wahkan aqidah ini dan dijamin keamanannya dari gangguan dan fitnah.

Kalau tidak demikian, kebebasan atau kemerdekaan itu hanyalah slogan kosong

yang tidak ada realisasinya dalam kehidupan.

Hamka berpendapat bahwa keyakinan suatu agama tidak boleh

dipaksa53

, sebab telah nyata kebenaran dan kesesatan. Orang boleh

menggunakan akalnya buat menimbang dan memilih kebenaran itu, dan orang

pun mempunyai pikiran waras untuk menjauhi kesesatan. “maka barang siapa

yang menolak segala pelanggaran batas dan beriman kepada Allah, maka

sesunguhnya telah berpeganglah dia dengan tali yang amat teguh, yang tidak

akan putus selama-lamanya”. Agama Islam memberi orang kesempatan untuk

mempergunakan fikirannya yang murni, guna mencari kebenaran. Asal orang

sudi membebaskan diri dari pada hanya turut-turutan dan pengaruh dari hawa

nafsunya, niscaya dia akan bertemu dengan kebenaran itu. Apabila inti

kebenaran sudah didapat, niscaya iman kepada Tuhan Allah mesti timbul, dan

kalau iman kepada Tuhan Allah telah tumbuh, segala pengaruh dari yang lain,

dari sekalian pelanggaran batas mesti hilang. Tetapi suasana yang seperti ini

53 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ III. Jakarta: Pustaka Panjinar, 1983.

tidak bisa dengan paksa, meski timbul dari keinsafan sendiri. Dan Allah adala

maha mendengar dan mengetahui (ujung ayat 256 ). Didengarnya permohonan

hambanya minta petunjuk. Diketahuinya hambanya kesusahan mencari

kebenaran.

Kemudian di dalam al-quran pula, terdapat ayat yang menjadi landasan

atas kebenaran agama Islam. Sehingga menjadi dalil atas larangan tentang

kebebasan pindah agama di dalam Islam itu sendiri, sebagaimana disebutkan di

dalam surat Ali- Imran ayat 19:

�y� [©������� *�q� ?��� °I6�YDi��� 0 ��#=> *��Y�a!�� [©������� ��3G�>cd AY6�Cn0� �� {��

"�# ��G�8 ��# 2Gg=4��*" °I,Y�G� �� �☺T��8 I�u�qF�8 0 "�#=> (�-.0�1 �i6�1��?8 ?��� ±%��,

���� �S1xA± `|�AB���¤�� )٣:١٩/ا#=�ان(

Artinya:“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.

tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab54

kecuali

sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian

(yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-

ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (Q.S.

Ali-Imran/3:19).

Kata (نيد) dîn mempunyai banyak arti, antara lain “ketundukan”,

ketaatan, perhitungan, balasan”. Kata ini juga berarti “agama”, karena dengan

agama seseorang bersikap tunduk dan taat, serta akan diperhitungkan seluruh

amalnya yang atas dasar itu ia memperoleh balasan dan ganjaran.

54 maksudnya ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum al-qur’an.

Sesungguhnya agama yang disyariatkan di sisi Allah adalah Islam.

Demikian terjemahan populer. Terjemahan atau makna itu, walau tidak keliru,

belum sepenuhnya jelas, bahkan dapat menimbulkan kerancuan. Untuk

memahaminya dengan lebih jelas, maka kita lihat hubungan ayat ini dengan

ayat sebelumnya.

Ayat yang lalu menegaskan bahwa tiada Tuhan, yakni tiada Penguasa

yang memiliki dan mengatur seluruh alam, kecuali Dia, Yang Maha Perkasa

lagi Bijaksana. Jika demikian, ketundukan dan ketaatan kepada-Nya adalah

keniscayaan yang tidak terbantah, sehingga jika demikian, hanya keislaman,

yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah yang diakui dan diterima di

sisi-Nya.

Agama atau ketaatan kepada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara

mutlak kepada Allah swt. Islam dalam arti “Penyerahan diri” adalah hakikat

yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam as. Hingga

Nabi Muhammad saw.

Banyak yang berselisih tentang agama dan ajaran yang benar, bahkan

yang berselisih adalah pengikut para nabi yang diutus Allah membawa ajaran

itu. Benar, mereka berselisih karena kedengkian yang ada di antara mereka.

Kedengkian yang merupakan terjemahan dari kata (��lب ) bagyan yang digunakan

ayat di atas, adalah ucapan atau perbuatan yang dilakukan untuk tujuan

mencabut nikmat yang dianugerahkan Allah kepada pihak lain disebabkan rasa

iri hati terhadap pemilik nikmat itu.

Ayat di atas menegaskan bahwa mereka telah mengetahui

kebenaran, namun demikian mereka tetap dikecam bahkan diancam. Ini karena

keberagamaan bukan sekedar pengetahuan, tetapi ketundukan dan ketaatan, atau

dengan kata lain, pengetahuan yang membuahkan ketaatan.

Kemudian di dalam ayat 85 surat Ali-Imran disebutkan:

"�#=> :�C(Q�1 =x(�⌧V 26�YDi��� �qq1�_ "�Y�,

Kh����1 Pq�# =3Gg=> � ���n!a*�� !"�#

!"1��nB6*­� �� )#=�ان٣:٨٥/ا( Artinya:”Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali

tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat

termasuk orang-orang yang rugi”. (Q.S. Ali Imran/3:85).

Inilah hakikat yang diperingatkan kepada semua pihak yang enggan

patuh seperti kepatuhan yang dijelaskan ayat di atas. Barang siapa mencari

agama selain agama Islam, yakni ketaatan kepada Allah mencakup ketaatan

kepada syariat yang ditetapkan-Nya, yang intinya adalah keimanan akan

keesaan-Nya, mempercayai para rasul, mengikuti dan mendukung mereka,

tunduk serta patuh pula akan ketentuan-ketentuan-Nya yang berkaitan dengan

alam raya, yang intinya adalah penyerasian diri dengan seluruh makhluk dalam

sistem yang ditetapkan-Nya

Pada ayat di atas pakar-pakar bahasa menyatakan bahwa patron (pola)

kata yang dibubuhi penambahan huruf ta’ , mengandung makna keterpaksaan

dan rasa berat (hati, pikiran, atau tenaga) untuk melakukanya. Di sini kata (Ml���)

yabtagi dibubuhi huruf ta’, karena asalnya adalah (غبي) yabgi. Jika demikian,

mencari agama selain agama Islam merupakan sesuatu yang bertentangan

dengan fitrah atau naluri normal manusia.

Ayat di atas juga menegaskan bahwa adanya dua macam sanksi, yaitu

sanksi duniawi dan ukhrawi yang penyebutannya dipisahkan dengan sanksi

duniawi yaitu, sekali-kali tidak akan diterima, yang merupakan akibat pencarian

agama selain Islam serta kepatuhan kepada selain Allah, sedang dari sanksi

ukhrawi adalah dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi,akibat patuh

kepada selain Allah.

Pemisahan ini memberi isyarat bahwa penyebab sanksi duniawi itu

masih mungkin dapat dielakkan bila yang bersangkutan mau berpikir dengan

tenang dan sungguh-sungguh. Itu mengisyaratkan juga bahwa kerugian ukhrawi

lebih besar dan tidak dapat dielakkan. Memang seseorang yang murtad

kemudian mati dalam kemurtadannya, maka semua amalnya terhapus.

Sedangkan mereka yang murtad kemudian menginsafi kesalahannya dan

kembali memeluk Islam, maka amal-amalnya yang lalu tidak terhapus.

2. Konsep Kebebasan dalam HAM

HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia

sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap

manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan

pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk di dalamnya

hak kebebasan pindah agama. Secara normatif dalam perspektif Hak Asasi

Manusia (HAM), hak kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat disarikan

ke dalam 8 (delapan) komponen55

yaitu; kebebasan internal, kebebasan

eksternal, tidak ada paksaan, tidak diskriminatif, hak dari orang tua dan wali,

kebebasan lembaga dan status legal, pembatasan yang diijinkan pada kebebasan

eksternal, non-derogability. Yang akan diuraikan sebagai berikut:

1. Kebebasan Internal

Setiap orang mempunyai kebebasan berfikir, berkeyakinan dan

beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan

agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah

agama dan keyakinannya.

2. Kebebasan Eksternal

Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam

masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau

keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya.

3. Tidak ada paksaan

Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan

mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau

keyakinan yang menjadi pilihannya.

4. Tidak diskriminatif

55Chandra Setiawan. “Kebebasan Beragama dan Melaksanakan Agama /Kepercayaan

Perspektif HAM”. Artikel diakses pada 2 Februari 2008 dari http://www. Geogle. Kebebasan

beragama. Com/

Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan

beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya

tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan

keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang, serta asal

usulnya.

5. Hak dari orang tua dan wali

Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali

yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi

anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.

6. Kebebasan lembaga dan status legal

Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi

komunitas keagamaan adalah untuk berorganisasi atau berserikat sebagai

komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam

beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam

pengaturan organisasinya.

7. Pembatasan yang diijinkan pada kebebasan eksternal

Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya

dapat dibatasi oleh undang-undang dan demi kepentingan melindungi

keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-

hak asasi dan kebebasan orang lain.

8. Non-Derogability

Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan

dalam keadaan apapun.

B. Historitas Pindah Agama dalam Islam dan HAM

Kutipan sejarah keberagamaan manusia dalam al-qur’an banyak

menunjukan sesuatu yang diwarnai dengan penggunaan kekuatan fisik dan

kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh golongan orang yang tidak

sedikit pun memiliki pengetahuan tentang Allah. Nabi Nuh a.s. yang mengajak

umatnya ke jalan taqwa dan wara’ tidak pernah melakukan penindasan atau

memaksa kaumnya. Meski demikian, kaumnya telah berbuat tidak fair karena

mereka menyembunyikan suara Nuh a.s ketika mendengar kerasulan Nuh a.s.

Sejarah kekerasan dan kezaliman atas nama agama sebagaimana yang

disinyalir al-qur’an dengan jelas menyatakan bahwa para pengikut agama

sendirilah yang justru menjadi korban. Al-qur’an menyebutkan Nabi ibrahim

a.s. sebagai contoh diantara nabi-nabi yang mengajak kaum kejalan Allah

dengan penuh kecintaan, kasih sayang, dan kerendahan hati. Beliau tidak pernah

menggunakan pedang, bahkan satupun alat perang. Namun, para pemuka

kaumnya melakukan hal yang serupa sebagaimana yang dilakukan para musuh

agama Nabi Nuh a.s. Azar, bapak nabi ibrahim, berkata kepada Ibrahim:

�k��� Y�V�=p>d AiN>d �"� &`X*u� �=4

XS�g]��(8��6�1 � �� I� �P�C¯�� *@�j=�4g(p�o

��(�-tg��=> �ATY�# )� �)١٩:٤٦/م��

Artinya:“Berkata bapaknya:Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai

Ibrahim? jika kamu tidak berhenti, Maka niscaya kamu akan

kurajam, dan tinggalkanlah Aku buat waktu yang lama". (Q.S.

Mariam/19: 46).

Di Eropa, pada abad-abad pertengahan dapat kita jumpai bahwa orang-

orang yang menamakan dirinya para pengikut Yesus-Paus, para Uskup, para

penentu undang-undang gereja, serta tokoh-tokoh gereja, telah menulis satu

pasal yang amat mengerikan dalam sejarah penulisan kitab-kitab. Paus Agustin

menganggap pasal yang mengerikan tersebut sebagai “Penindasan Saleh” gereja

terhadap orang-orang fasik, dan pada hari ini, para sejarawan Kristen telah

mengakui bahwa “penindasan saleh” yang dilakukan dengan mengatas namakan

Yesus tersebut, merupakan aib bagi gereja.

Dalam Musium Lilin di Londen, para pengunjung dapat melihat

kerudung-kerudung kematian para biarawan dan penggalan-penggalan kepala

koleksi Antonit dan lois XIV. Juga dapat disaksikan alat tiang gantung yang

sebenarnya. Di samping alat-alat penyiksa lain, seperti yang digunakan untuk

menyiksa dan membunuh orang-orang kristen yang mengatas namakan

Penindasan Saleh.

Alat-alat penyiksaan yang berada di Musium Lilin itu memberikan

gambaran mengenai peristiwa-peristiwa tragis yang pernah terjadi dalam

lembaga-lembaga peradilan di Spanyol dan Perancis. Telah banyak orang-orang

kristen yang tak berdosa mengalami penindasan dan penyiksaan karena tuduhan

Pindah agama dari agamanya.

C. Hukum Pindah Agama dalam Islam dan HAM

1. Hukum Pindah Agama dalam Islam

Di era sekarang ini, kita tidak bisa mentolerir muslim manapun untuk

keluar dari Islam. Demikian halnya terhadap pemeluk agama lain, apapun

agamanya, untuk menyebarkan ajaran dan keyakinannya (Abu al-A’la al-

Maududi).56

Kaum muslimin adalah umat yang terbentuk dari berbagai

ketidakeksisan. Seluruh kepribadian yang ada dalam orang-orang kafir juga ada

dalam umat ini. Mereka dalam tubuh kaum Muslimin merupakan muka kedua

dari orang-orang kafir. (Abu al-A’la al-Maududi).57

Maksud dari kutipan ini

adalah karakter orang-orang kafir yang menyekutukan Allah ada dalam setiap

orang Islam yang keluar dari ajaran dan keyakinannya dalam arti lain orang

yang keluar dari Islam adalah sama dengan orang kafir.

Abu al-A’la al-Maududi adalah seorang ulama yang sangat terkenal dan

memiliki reputasi besar didunia Islam. Sebagaimana beliau adalah penerima

56 Muhammad Munir Adlabi, Membunuh Orang Murtad,(Jakarta: Niqos 2002), Cet. I

h. 49. 57 Ibid,h.50.

nobel raja Faisal di bidang riset dan pengetahuan Islam, dan beliau dianggap

sebagai ulama yang paling besar dan penting di masanya. Karena berbagai

karya tulis dan pemikiran beliau tersebar dengan luas di dunia Islam, maka

pendapat dan Fatwa beliau juga tersebar luas di kalangan generasi Islam. Oleh

karena itu, mengetahui pemahaman-pemahaman beliau dapat membantu dalam

menjelaskan gambaran yang tercermin tentang ajaran dan arah pemikiran Abu

al-A’la al-Maududi dan sesamanya, serta pengaruhnya yang berbahaya bagi

anak-anak dan remaja kita.

Mengenai Tafsir ayat yang menjelaskan tentang kebebasan pindah

agama ( kebebasan beragama)maka dapat diketahui sebagai berikut:

�� ������� � � ������� � ��� � ������ ������ �� !"�#

%&⌧(� �� ) "*☺�, (�-.0�1 �2346�7 ��8 9:�#�1=>

?���8 �����, *@AB�☺�CD�� �=>FG� ��8

)��H�IJ3� �� K� �L�AM�.N�� ��OPQ 0 R���=> SST�.⌧U

VXSY�Z) ة���٢:٢٥٦/ا(

Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya

Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu

barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,

Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat

Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha

Mengetahui.” (Q.S.. Al-Baqarah/2;256).

Menurut keterangan sebab turunnya (asbậb al-nuzûl), ayat ini

diturunkan kepada penduduk Anshar di Madinah. Pada saat itu, banyak

dijumpai di kalangan penduduk Anshar yang memiliki anak-anak, baik laki-laki

maupun perempuan, dan mereka telah menjadikan anak-anak mereka penganut

agama Yahudi atau Nasrani, dua agama yang telah mendahului Islam. Ketika

Allah menyampaikan risalah Islam kepada Nabi Muhammad saw. Umatnya,

penduduk Anshar ini mempunyai keinginan untuk memaksa anak-anak mereka

yang sudah beragama Yahudi dan Nasrani itu agar masuk dan memeluk agama

baru, Islam. Sebagai jawaban dan penjelasan atas keinginan mereka untuk

mengonversi putra-putri kepada Islam, maka turunlah ayat ini. Yang initinya,

Allah melarang mereka melakukan pemurtadan secara paksa terhadap anak-

anak tersebut agar pindah ke agama Islam. Siapa berkehendak ia akan

menegakkan tauhid Islam, dan siapa berkehendak ia dapat meninggalkan

Islam.58

Al-Maududi mengemukakan : “Memang benar, ayat ini memberi

pengertian, bahwa kita tidak boleh memaksa siapapun untuk untuk mengikuti

agama kita. Namun, kita berkewajiban untuk mengingatkan kepada siapa pun

yang hendak keluar dari Islam, bahwa orang yang telah memilih masuk Islam,

maka ia sudah tidak lagi memiliki keleluasaan untuk keluar. Oleh karenanya,

jika anda ingin masuk Islam, silahkan masuk, sementara anda menyadari bahwa

jika anda keluar, berarti anda akan binasa.

Seorang ahli Tafsir, Ghulam Ahmad Barfiz mengomentari penafsiran al-

Maududi ini. Menurutnya, “Islam al-Maududi tak ubahnya sebagai perangkap

58 Zakiyuddin Baidhawi Kredo Kebebasan Beragama, (Jakarta, Pusat Studi Agama dan

Peradaban, 2005), Cet. I. h. 27.

tikus. Ketika seekor tikus telah terjerat dalam perangkap itu, maka ia tidak akan

dapat lepas darinya.” Begitupun dengan Calvin seorang pemikir Barat,

menghendaki ajaran Kristen disebarluasakan dengan cara kekerasan dan

menjadikan hukuman mati sebagai sanksi bagi orang murtad.59

Dalam sejarah klasik dan pertengahan, Islam memandang mereka yang

konversi (perubahan/penukaran keyakinan) dari kesetiaan terhadap Islam adalah

perbuatan dosa tak terampunkan. Mereka ini patut dihukum, dipaksa untuk

kembali ke Islam dan bertobat. Jika diperlukan proses kembali ke Islam

dilakukan dengan kekerasan dan siksaan. Merka yang tidak memeluk Islam lagi

diakhiri hidupnya dengan hukuman mati. Hal ini sesuai dengan hadits nabi:

��D�S �- J4ل م> ب% ل د��S �D(و J�D? Kا )Dص Kاب> ?��س ان ر)�ل ا <?

)�D3ري وم�Q�٢٠)روا� ا

Artinya:“Barang siapa yang mengganti agamanya hendaklah dia

dibunuh”.(HR. al-.Bukharî dan Muslim).

Selain hadits diatas ada juga hadits yang menghalalkan untuk membunuh orang

yang keluar dari Islam, hadits tersebut ialah:

�D3دم ام�ئ م N0� 9 ل�S �D(و J�D? Kا )Dص Kاب> م3#�د ان ر)�ل ا <?

�� نdCا9 بlب dCن N�Sب#% ا�=�ن وزن� ب#% اح/�ن و �C�٢١ح%ى ث.ث آ

59 Muhammad Munir Adlabi, Membunuh Orang Murtad,(Jakarta: Niqos 2002), Cet. I

h. 53 ٢٠ Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT Alma’arif, 1984), Cet. I h. 175. ٢١ Ibid, h.175-176.

Artinya : diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Tidaklah halal darah seorang Islam kecuali ia menjalankan salah satu

dari tiga perkara, yaitu:Kafir setelah beriman, Berbuat Zina setelah

menjadi orang muhsahan, dan Membunuh orang yang dijaga darahnya.

Dari kutipan hadits di atas empat imam mazhab sepakat bahwa orang

yang pindah dari Islam secara meyakinkan harus dibunuh dan darahnya harus

ditumpahkan tanpa syarat. Namun demikian, sebelum hukuman mati

dijatuhkan, para imam mazhab memberikan kesempatan kepada Muslim yang

pindah agama untuk bertobat.

Abu Hanifah berpendapat agar kali pertama ia diminta untuk kembali ke

Islam. Jika ia ragu, ia dipersilahkan untuk mengungkapkan keraguannya

sehingga jelas apa keraguannya dan mungkin dapat dijelaskan mengenai

keraguan tersebut. Melalui cara ini dia diberi dua kemungkinan; kematian atau

menerima kembali Islam. Dengan mempertimbangkannya selama tiga hari.

Namun bagi wanita yang murtad tidak boleh dibunuh, tetapi dipenjara saja

sampai ia mau bertaubat atau mati. Sedangkan menurut Jumhur ulama fiqih

mengatakan bahwa hukuman bagi seorang wanita yang keluar dari Islam sama

dengan hukuman bagi laki-laki yang keluar dari Islam (Murtad).

Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat perlunya memberikan

waktu tiga hari bagi orang yang pindah agama. kesempatan ini diberikan dengan

alasan agar ia punya waktu untuk meluruskan kebingungannya, dan menemukan

kebenaran kembali. Bila batas waktu itu terlampaui, maka ia harus dibunuh.

Syafiiyah menetapkan perlunya memberi peluang tiga hari, baik dipinta ataupun

tidak oleh orang yang pindah agama.

Imam Malik memegangi pendapat agar orang yang pindah agama diberi

kesempatan selama tiga hari dan tiga malam, mulai dari hari ketika ia

menyatakan keluar dari Islam, bukan hari ketika ia tidak beriman, atau hari

ketika ia dituduh sebagai orang yang pindah agama.

Dalam mazhab Hanbali, ada dua pendapat dalam masalah ini, sebagian

percaya bahwa orang yang pindah agama harus diberi masa tenggang untuk

menyesali diri selamatiga hari, sementara sebagain lainnya berpendapat tidak

perlu memberi kesempatan untuk bertobat, bahkan hanya diberi kesempatan

untuk memeluk Islam. Jika ia menerima tawaran memeluk Islam kembali, ia

bebas, jika tidak , ia dihukum mati.

Dengan pengenalan yang berkembang menjadi pengetahuan dan ilmu

pengetahuan, manusia dapat memanfaatkan semua yang ada di semesta ini

untuk kesejahteraan dan kemakmuran.

Akal pikiran juga memosisikan anak Adam ini sebagai makhluk

otonom. Otonom dari segi kedudukan, fungsi, dan perannya adalah khalifah di

muka bumi. Berkaitan dengan masalah agama dan beragama, setiap individu

mencerminkan diri sebagai makhluk otonom. Beragama sebagai masalah

pilihan jalan hidup, baik menentukan berada di atas rel kebaikan maupun

keburukan, bukan secara otomatis dan taken for granted terjadi. Hal ini

merupkan dimensi etika rasional, untuk apa sebuah keputusan dipilih.

Mempertimbangkan otonomi dan kebebasan manusia dalam membawa

arah kehidupannya secara individual, Allah menyatakan jaminan atas kebebasan

memilih beragama. Dalam sebuah ayat dinyatakan:

��N� P6=j1*�*g KhT�BB �� ��#� �☯���⌧� ��#�=>

�p3-.⌧ ) 9/٧٦:٣ن�3نا( Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada

yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Q.S. Al-Insân/76:3).

.

Tafsiran ayatnya sebagai berikut: ungkapan inna hadaynậ al-sabîl

menunjukan bahwa Allah telah memberikan kepada manusia dua instrumen

yang disebut indra dan akal. Dua instrumen ini menjadi pelengkap bagi hidayah

lain yang disebut insting atau gharizah, yang salah satunya adalah fitrah

bertuhan. Namun fitrah itu setelah kelahiran manusia sama sekali dalam

keadaan kosong, tidak mengetahui apapun. Maka indra baik yang zahir maupun

batin, mengawali untuk mengamati (observasi), kemudian akal manusia yang

menyusunnya menjadi ilmu pengetahuan. Jadi akallah yang kemudian memiliki

wewenang untuk memilih apa yang wajib, boleh, dilarang, dan seterusnya.

Sementara ungkapan al-sabîl dalam ayat ini meliputi jalan kebaikan, keburukan,

kebahagiaan, dan kehancuran. Jadi, al-sabîl adalah ism li al-jinsi, meski mufrad

bentuknya namun mencakup semua jalan, yang macamnya ada dua

sebagaimana ditunjukkan oleh ungkapan shậkiran au kafûran. Majas dari

ungkapan ayat di atas dapat dipahami bahwa Tuhan telah memberi nasihat

kepada manusia, dan jika tidak berkehendak ia dapat menolaknya.60

2. Hukum Pindah Agama dalam HAM

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pembahasan sekitar

Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa

memberikan titik pangkal yang unik terhadap penelitian mengenai Islam dan

Kebebasan Pindah Agama. Hal ini terjadi karena pasal-pasal tertentu dari

Deklarasi itu mengarah pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan

kebebasan pindah agama secara langsung, khususnya pasal 18, yang

memberikan hak terhadap kebebasan nurani dalam memilih dan mempraktikan

keyakinan agama, termasuk hak untuk berpindah agama. hal tersebut termuat

dalam UUD 1945 pasal 28E, pasal 28I, dan pasal 29 ayat 2 yang mana bunyi

pasal tersebut adalah:

UUD 1945

Pasal 28 E

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,

memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih

kewarganegaraan,memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali.

2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan

pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

UUD 1945

Pasal 28I

60 Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-kabỉr, (Beirut:Dâr al-kutub al-‘ilmiyah, 1990),

vol.30, hal.210-211.

1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui

sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apa pun.

UUD 1945

Pasal 29 ayat (2)

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya

itu.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa HAM mengabsahkan dan menyatakan

bahwa Kebebasan pindah agam itu boleh-boleh saja.

D. Analisis Perbandingan Kebebasan Pindah Agama

1. Persaman dari kedua perspektif (Hukum Islam dan HAM)

- Isalam Mengakui adanya Hak asasi manusia tentang kehidupan beragama

dalam hal ini kebebasan untuk melaksanakan agamanya dan keyakinannya

dan Islam tidak memaksakan suatu agama kepada orang lain. Dan Islam

secara terbuka dan jujur mengakui adanya kebebasan pindah agama dan siap

untuk menerima kehadiran agama-agama lain untuk hidup berdampingan

secara layak

- Dalam HAM Kebebasan Pindah agama merupakan hak yang paling

Fundamental, sehingga pembahasan mengenai kebebasan pindah agama

menjadi titik yang unik terhadap penelitian menegani Islam dan Kebebasan

agama.

- Adanya penghargaan atas kebebasan pindah agama diantara hukum Islam

dan HAM

2. Perbedaan dari kedua perspektif (Hukum Islam dan HAM)

- Perbedaan dari keduanya dilihat dari segi sumber hukum yang dijadikan

sebagai dalil. HAM lebih cenderung Mengangkat Nilai-nilai kemanusian

daripada Nilai Ilahiyah, yang mengarah kepada konsep kebebasan dengan

mengunakan akal logika manusia, begitupun sebaliknya Islam

memperhatikan Nilai-nilai kemanusian tanpa mengesampingkan nilai

Ilahiyah.

- Produk pemikiran HAM tentang kebebasan Pindah agama tidak sama

dengan produk pemikiran Islam.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian data dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebgai berikut:

1. Menurut Islam dan HAM dapat dipandang sebagai berikut: Dalam sejarah

Klasik dan pertengahan, Islam memandang bahwa pindah agama atau

keyakinan merupakan suatu perbuatan yang sangat dilarang bahkan bagi

mereka yang melakukan perbuatan ini patut dihukum, dipaksa untuk kembali

ke Islam dan bertobat. Jika diperlukan proses kembali ke Islam dilakukan

dengan kekerasan dan siksaan. Hal ini senada dengan pandangan Empat Imam

mazhab bahwa orang yang pindah agama dari Islam harus diberi sanksi

hukuman mati atau dibunuh. Sedangkan untuk konteks sekarang, berdasarkan

referensi kontemporer, Islam memandang bahwa sanksi hukuman mati bagi

mereka yang pindah agama sudah tidak relevan lagi. Karena Islam

memandang Negara mana pun di dunia Islam, kini memiliki keragaman dari

sisi keyakinan keagamaan dan kepercayaan.

Pandangan menurut HAM atas dasar hak asasi manusia paling fundamental

untuk beragama/berkepercayaan dan memilih, atau merevisi pilihannya dan

pindah kelain agama, hukuman mati atas orang yang pindah agama

bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM itu sendiri, salah satunya prinsip

tentang hak kebebasan pindah agama dan hak hidup.

2. Persamaan dan perbedaan tentang Kebebasan Pindah Agama dapat dilihat

sebagai berikut; adanya pengakuan atas perbedaan dan keragaman dalam

agama dan kepercayaan menjadi titik awal atas perlindungan hak kebebasan

pindah agama dalam hukum Islam dan HAM. Perbedaan kebebasan pindah

agama yang terjadi antara satu individu dengan individu lain terjadi bukan

karena haknya sebagai manusia, melainkan didasarkan keimanan dan

ketakwaannya. Sedangkan kebebasan pindah agama yang ditawarkan HAM

terjadi karena adanya hak dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir yang

bukan berdasarkan keimanan dan ketakwaan melainkan berdasarkan hak dan

kebebasan. kebebasan pindah agama yang ditawarkan Islam merupakan

kebebasan yang berasal dari Tuhan (teosenrtis), sedangkan kebebasan yang

ada dalam HAM merupakan kebebasan yang datang dari diri manusia

(antroposentris).

B. Saran-saran

Dari kesimpulan di atas, peneliti dapat memberikan saran yang mungkin

dapat menjadi sumber inspirasi bagi para pencari kebenaran tentang kebebasan

pindah agama, baik bagi Para Tokoh atau pemikir Islam maupun Orientalis,

terkhusus bagi para pembaca skripsi ini:

1. Masalah kebebasan pindah agama bukanlah masalah persaingan antaridiologi

pemikiran melainkan keberadaan manusia itu sendiri, dan tidak ada jalan

untuk mengetahui Tuhan kecuali dengan Tuhan. Bertanyalah pada

Muhammad saw, darinya akan anda peroleh jawaban tentang ini.

2. Kebebasan pindah agama adalah perwujudan nyata dari suatu kehendak yang

luhur dari suatu yang maha semesta.

3. Kebenaran tentang kebebasan pindah agama adalah hakikat yang muncul dari

kesadaran dan bahwa alam indrawi muncul secara hakiki dari kekuatan luar

biasa yang maha tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an- al-Karim.

Ali bin Muhammad bin Muhammad ash-Syaukan, Nailul athor, (Mesir: Syirkah

Iqomah al-Dîn, 2000), Juz. V. h. 265.

Ahmad Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (al-Maktabah al-

Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. III. H. 47.

Ahmad bin Suaib bin Ali bin Baher bin Sinan, Sunan an-Nasaî, (al-Maktabah al-

Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. xiii. h. 115.

Al-Din, Fakhr al-Razi, al-Tafsîr al-kabỉr, (Beirut:Dâr al-kutub al-‘ilmiyah, 1990),

vol.30, hal.210-211.

Ahmad, Muhammad Mufti dan Sami Salih al-Wakil, HAM Menurut Barat, HAM

Menurut Islam,Ter. Yahya Abdurrahman, dari Huquq al-Insan Fi al Fikr as-siyasi al-

gharbi wa asy-syar’I al-Islami, (Dirasah Muqaranah), (Bogor, Pustaka Thariqul Izah,

2005), Cet.1, h. 6.

Adlabi,Muhammad Munir. Membunuh Orang Murtad. Jakarta: Niqos, 2002, Cet. Ke-

1.

Asa, Syub’ah. Dalam Cahaya Al-qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Az-Zuhaili, Wahbah, Kebebasan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Al-Katsar, 2005, Cet. Ke-

I.

Arrifa’I, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani

Press, 1999, Cet. Ke-1.

Baidhawi, Zakiyuddin. Kredo Kebebasan Beragama. Jakarta: Pusat Studi Agama dan

Peradaban (PSAP), 2005, Cet. Ke-1.

Bisri, Ilhami. Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2004), Cet.I, h.

9.

Budiardjo, Mariam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2003, Cet. Ke-24, h.120.

BN. Masbun, Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. Cet. Ke-I.

CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka, 1989.

Culla, Adi Suryadi. Masyarakat Madani. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Cet. Ke-III.

Cauvin, Frans Hak Asasi Manusia:Pendasaran Dalam Filsafat Hukum dan Filsafat

Politik, (Flores: Ledorero,2004), Cet.1. h. 5.

Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra,

1995, Cet. Ke-II.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 2, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1994), h. 67.

Fazlurrahman, Islam, alih bahasa ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Bandung,

1984), Cet. I, h. 34.

Hamid, Shalahuddin. HAM Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Amisco.

Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermanitik. Jakarta:

Paramadina, 1996 Cet. Ke-I.

Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ III. Jakarta: Pustaka Panjinar, 1983.

Hartono, Sunaryati, Kapita selekta Perbandingan Hukum.Bandung:Citra Aditya

Bakti, 1993.

Kosasih, Ahmad. HAM dalam Perspektif Islam “Menyikap Persamaan dan

Perbedaan Antara Islam dan Barat. Jakarta: Salemba Diniyah, 2003, Cet. Ke-I.

K. Lubis, Suhrawardi. Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), Cet. Ke-I.

Litle, David. Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, 1997, Cet. Ke-I.

Madjid, Nurcholish. Hak Asasi Manusia “dalam perspektif Budaya Indonesia”.

Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1997 Cet. Ke-1.

Masbun,BN. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. Cet. Ke-I.

Muladi, Hak Asasi Manusia “Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif

Hukum dan Masyarakat”. Bandung: PT. Refika Aditama, 2005, Cet. Ke-1.

Mahfudh, Sahal. Solusi Problematika Aktual. Surabaya: Lagnah Ta’lif Wan Nasyr

cet. Ke-III. 2007.

Maliki, Zaenudin. Agama Rakyat Agama Penguasa “Kontruksi Tentang Realitas

Agama dan Demokratis”. Yogyakarta: Yayasan Galang, 2000.

Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, (al-Maktabah Al-Syamilah:

Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. x. h. 114.

Muhammad bin Ali bin Muhammad ash-Syaukan, Nailul athor, (Mesir: Syirkah

Iqomah al-Dîn, 2000), Juz. V. h. 265.

Muslim Abu al-Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairi an Naisaburi, Shoheh Muslim, (al-

Maktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. IX. h. 344.

Muzaffar, Chandra. Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru. Bandung: Mizan,

Cet. Ke-1.

Masruchiyah, Nieke. Prosiding Seminar KMKG: Peranan Pemuda Dalam

Penegakan HAM, 17 Juli 2007. Cisarua.

Musdah Mulia, Siti. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.Artikel diakses

pada 10 April 2008, dari http://www.Geogle. Kebebasan beragama. Com/

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Pres, 1979), Cet.

I h.10.

Putra Dalizar, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra,

1995, Cet. Ke-II.

Peldi Taher, Elza. Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996,

Cet. I h. 113.

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an” surat

Ali-Imran. Jakarta:Lentera Hati Ct. Ke-I.

Quthb, Sayyid. Tafsir fizhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Cet. Ke-1.

Razak, Nasrudin. Dỉnul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1977), Cet. II, h. 44 & 47.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Bandung: PT Alma’arif, 1984, Cet. I h. 175.

Sopyan Yayan. “Peran Masyarakat Dalam Penegakan HAM”. Prosiding Seminar:

Sosialisasi HAM Bagi Masyarakat di Propinsi Jakarta, 17 Juli 2007. Cisarua.

Hotel Ever Green, Puncak Jawa Barat

Sudjana, Eggi. HAM dalam Perspektif Islam “Mencari Universalitas HAM bagi

Tatanan Modernitas yang Hakiki”, Jakarta: Nuansa Madani, 2005, Cet. Ke-II.

Susetyo, Heru. Hak Asasi Manusia : Sejarah Doktrin dan Kendala Implementasinya,

dalam Majalah Sabili, edisi. IV, 13 November 2001, h. 1.

Syaukat Hussain, Syekh. Hak Asasi Manusia dalam Islam.Jakarta: Gema Insani

Press, 1996.

Sihab, Qurais. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, Cet. Ke-1.

Setiawan, Chandra. “Kebebasan Beragama dan Melaksanakan Agama /Kepercayaan

Perspektif HAM”. Artikel diakses pada 2 Februari 2008 dari http://www. Geogle.

Kebebasan beragama. Com/

Thahir, Taib abd. Muin. Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1986), Cet. VIII, h.121.

Teungku Hasbi al-Shidd, Islam dan HAM. Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,1999,

Cet. Ke-1.

Taher, Elza Peldi. Agama dan Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Paramadina, Cet.

Ke-1 1996.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.292.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia, 1988), Cet. I, h. 867.

Tiena, Yulies Mariani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004),

Cet. I h. 13.

Undang-undang HAM 1999, “Tentang Hak Asasi Manusia”, Jakarta: Sinar

Grafika,2000, Cet. Ke-I.

Wahab, Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (al-Qahirah: Dar al-Qolam, 1978), Cet.

VIII. h. 73.

Yunus Mahfud, Tafsir Qur’an Karim.Jakarta: Sa’adijah Putra. 1971, Cet.Ke-I

Zainudin, A.Rahman. “Hak Asasi Manusia” Sebuah Bunga Rampai” . Jakarta:

Yayasan obor Indonesia, 1994.