KEBEBASAN PENGUMUMAN HASIL HITUNG CEPAT (QUICK...
Transcript of KEBEBASAN PENGUMUMAN HASIL HITUNG CEPAT (QUICK...
KEBEBASAN PENGUMUMAN HASIL HITUNG CEPAT (QUICK COUNT)
SEBAGAI BENTUK PENGAWASAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Ahmad Ilham Adha
1110048000069
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438H/2017M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti hasil saya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juli 2017
Ahmad Ilham Adha
iv
ABSTRAK
Ahmad Ilham Adha. 1110048000069. KEBEBASAN PENGUMUMAN
HASIL HITUNG CEPAT (QUICK COUNT) SEBAGAI BENTUK
PENGAWASAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PENYELENGGGARAAN PEMILU (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 24/PUU-XII/2014). Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum
Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438H/2017 M. xi + 70 halaman.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui hasil hitung cepat (quick count)
ditinjau dari prinsip partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum serta untuk
mengetahui apakah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014
berkontribusi memperbaiki partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemilihan umum.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan
pendekatan konsep (conceptual approach), sedangkan sumber data yang
digunakan adalah sumber data primer (Undang-Undang dan Putusan MK) dan
sumber data sekunder (buku-buku referensi) yang dikumpulkan melalui studi
kepustakaan (library research).
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengumuman hasil hitung cepat
(quick count) pemilu sejalan dengan prinsip Hak Asasi Manusia yang mendukung
jaminan kebebasan hak sipil dan politik serta kebolehan hitung cepat (quick
count) sejalan dengan prinsip partisipasi politik warga Negara dalam bentuk
keterlibatan sipil (civil engagement).
Kata Kunci: Pemilihan Umum, Partisipasi Masyarakat, Quick Count
Pembimbing: 1. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, SH, MH.
2. Ismail Hasani, SH, MH.
Daftar pustaka: 1986 sampai 2016
v
KATA PENGANTAR
بسم ميحرلا نمحرلا هللا
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Penyayang dengan limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam tidak lupa penulis haturkan pula kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari
zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana
Hukum (SH) pada Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini penulis masih
merasa jauh dari kesempurnaan, mengingat keterbatasan ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang penulis miliki dan dengan bantuan dan bimbingan dari semua
pihak yang dengan sabar berusaha meluangkan waktu untuk memberikan
pengarahan dan bimbingan yang akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Sebagai ungkapan rasa syukur, penulis tidak lupa menyampaikan terima
kasih yang sebesar – besarnya kepada yang terhormat :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para wadek.
vi
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, SH, MH., Dosen Pembimbing I dan
Ismail Hasani SH, MH., Dosen Pembimbing II yang telah bersedia
memberikan saran, kritik, bantuan, dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum, Dosen Penguji I dan Irfan Khairul Umam,
S.H.I, L.L.M. Dosen Penguji II yang telah bersedia menguji dan membantu
saya dalam pelaksanaan sidang skripsi ini.
5. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama proses perkuliahan
berlangsung.
6. Ayahanda tercinta Drs. Sulaiman Angkotasan, M.Si dan Ibunda tersayang
Emmy Paparang yang telah membesarkan, mendidik, memotivasi dan selalu
mengirimkan doa serta mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan ridho-Nya kepada
keduanya.
7. Tanteku tercinta Anisa Paparang yang telah membesarkan, mendidik,
memotivasi dan selalu mengirimkan doa serta mencurahkan kasih
sayangnya kepada penulis.
8. Adik-adik tersayang Muhammad Maulana, Namira Sabillah dan Anisa
Fadilah yang selalu senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan serta
semangat kepada penulis.
vii
9. Kekasih ku tercinta, Lintang Surya Lestari yang selalu memberikanku
semangat, dukungan, dan tak pernah lupa mengingatkanku untuk terus
belajar, menjaga kesehatan dan tidak lupa shalat.
10. Sahabat-sahabat seperjuangan semasa kuliah Mustafa, Yulita , Caesal,
Syamsul, Iqrom, dan Tanti terima kasih untuk kebersamaannya dalam suka
maupun duka selama menyelesaikan skripsi dan studi Ilmu Hukum.
11. Sahabat-sahabat terbaik sedari Sd, Imam, Lintang, Fahmi, Fikri, Andri,
Novan, Ichsan, Yossi, dan Pandu yang telah turut menghibur penulis dalam
masa-masa sulit dan penulisan skripsi ini.
12. Sahabat-sahabat terbaik sedari SMA, Reza, Jili, Tri, Tyrsa, Intan, Ario, dan
Sitta yang telah turut menghibur penulis dalam masa-masa sulit dalam
penulisan skripsi ini.
13. Teman Seperjuangan Ilmu Hukum B dan Kelembagaan Negara, Jentel,
Mona, Faisal, Ilham, Galuh, Dian, Sarah, Masyhud terima kasih dalam
kebersamaannya dalam studi Ilmu Hukum.
14. Junior Ilmu Hukum Terbaik, Waldan, Fanny, Juli, Lisan , Sri, Iqbal, Musa,
Rhomi, Falah, Ryan, Kandiaz, Raden, Nasrullah, Wulida, Hafizd, Eddy,
terima kasih kebersamaannya dalam Ilmu Hukum.
15. Teman-teman Ilmu Hukum B, Kelembagaan Negara, HMI Komfaksy,
Serigala, Chikamplonk, Badminton 275, Futsal IH Legend, Remi Gaplek,
Julan 79 dan We are Family Terima kasih banyak atas segala kebersamaan
dan waktu yang telah kalian berikan kepada penulis selama ini
viii
16. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
penelitian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga
Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas
kebaikannya (Amin).
Penulis mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf apabila terdapat
kata-kata di dalam penulisan ini yang kurang berkenan bagi pihak-pihak tertentu.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan
penyusunan skripsi selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Juli 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. vi
DAFTAR ISI............................................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah........................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................................. 8
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu .......................................................................... 10
E. Metode Penelitian ...................................................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ................................................................................................ 14
BAB II SISTEM PENYELENGGARAAN PEMILU DI INDONESIA
A. Pemilu di Indonesia ................................................................................................... 16
B. Asas Penyelenggaraan Pemilu ................................................................................... 22
C. Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu ........................................................................ 25
1. Partisipasi Warga Negara dalam Pelaksanaan Hak Politik ................................... 27
2. Partisipasi Warga Negara dalam Pemantauan Pemilu .......................................... 29
3. Partisipasi Warga Negara dalam Sosialisasi, Penelitian, Survey, dan Penghitungan
Cepat Pemilu ......................................................................................................... 33
xi
BAB III IMPLEMENTASI HITUNG CEPAT ( QUICK COUNT ) DALAM PEMILU DI
INDONESIA
A. Pengertian Hitung Cepat (Quick Count) ..................................................................36
B. Implementasi Pelaksanaan Hitung Cepat (Quick Count) dalam Pemilu ..................41
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
24/PUU-XII/2014
A. Pihak Terkait dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014
.................................................................................................................................47
B. Legal Standing Pemohon Pengujian Undang-Undang (Judicial Review) ..........48
C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014 .......................51
D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2104 ...................52
1. Hitung Cepat Hasil Pemilu Sebagai Hak Asasi dan Partisipasi Masyarakat
dalam Pemilu ..................................................................................................52
2. Kontribusi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014 Terhadap
Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu ............................................................58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................................................64
B. Saran ....................................................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................66
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengawali suatu pembahasan, perlu kita ketahui aspek dalam sistem
pemilihan umum yaitu seperangkat unsur yang teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas.1 Oleh karena itu pemilihan umum diartikan sebagai
proses, cara yang dilakukan memilih yang dilakukan serentak oleh seluruh rakyat
suatu negara2. Selanjutnya pemilihan umum atau pemilu menurut Ali Soetopo,
pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya
dan merupakan lembaga demokrasi.3
Pemilihan Umum tahun 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia
setelah kemerdekaan tahun 1945. Dalam hal ini pemilu sebagai sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dapat ditelusuri dari sejarah NKRI, yaitu
zaman orde lama, orde baru dan era reformasi. Inilah tonggak pertama masyarakat
Indonesia mengenal tentang demokrasi dalam haknya memilih wakilnya di
parlemen.4
Keterlambatan penyelenggaraan Pemilu pertama kali di Indonesia
disebabkan situasi keamanan yang belum kondusif, kabinet yang penuh friksi, dan
1Khairul Fahmi, Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
h.51
2Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ketiga), (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2005), h.874.
3Ali Soetopo, Strategi Pembangunan Nasional, CSIS, 1981, h. 179-190.
4Bintan R. Saragih, Lembaga-Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di
Indonesia,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1988), h.167.
2
gagalnya pemerintahan baru menyiapkan perangkat Undang-Undang Pemilu
membuat pemungutan suara baru bisa dilaksanakan 10 tahun setelah
kemerdekaan.5Yang memang terlaksana melalui Undang-Undang Sementara
1950, sebenarnya keinginan melaksanakan pemilihan umum bisa dilihat pada ayat
(1) Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebelum amandemen yang menyatakan : “dalam enam bulan sesudah
berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan
menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan Undang-undang Dasar ini” yang
dimaksud adalah pemilihan umum.6
Pada proses perjalanannya demokrasi di Indonesia mencapai ketitik
puncaknya pada Pemilu tahun 1999 pasca tumbangnya rezim orde baru yang
mulai memasuki sistem pemilihan umum yang berkedaulatan rakyat dalam
Negara Hukum Indonesia yang memang pergantian presiden ke-2 yaitu Soeharto
yang digantikan B.J Habibie sebagai presiden ke-3 sebagai tolak ukur menandai
peran rakyat sebagai bagian dari demokrasi di indonesia .7
Pada penyelenggaraan Pemilu Tahun 2004 adalah bukti dimana rakyat ikut
andil di dalamnya, yang dimana Indonesia menciptakan sebuah sejarah baru
dalam sistem demokrasi di Indonesia dan dalam upaya mewujudkan partisispasi
masyarakat dalam penyelenggaraan, bahwa orang sipil berhak mengemukakan
suara baik dalam pandangan, sistem usulan atau partisipasinya dalam Pemilu yang
5Bintan R. Saragih, Lembaga-Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia,
h.48.
6Sodikin, Hukum Pemilu : Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan,(Bekasi: Gramata
Publishing,2014), h.46.
7 Abdul Rozak Ubaidillah, Civic Education: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani ,(Jakarta: Kencana, 2010), h.50.
3
ditandai oleh Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung untuk
pertama kali sejak kemerdekaan Indonesia.8
Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dijelaskan bahwa pemilihan
umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di Indonesia, Pemilu secara
umum diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dalam Pasal 22E yang kemudian menjadi pedoman dalam penyelenggaraan
Pemilu di Indonesia, sebagai berikut :
1. Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali.
2. Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden.
3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
8Khairul Fahmi,Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat, h.157-162
4
5. Pemilihan umum diselengggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri.
6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-
undang.
Asas pengawasan dan asas kebebasan berpendapat sangatlah penting
sebagai dasar penyelenggaraan pemilihan umum yang menyertakan demokrasi,
dimana menurut M. Manullang pengawasan adalah suatu proses untuk
menetapkan suatu pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan
mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai
dengan rencana semula.9Dengan kata lain, hasil pengawasan harus dapat
menunjukkan sampai dimana terdapat kecocokan atau ketidakcocokan serta
mengevaluasi sebab-sebabnya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam
mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan
hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 serta mewujudkan iklim yang kondusif bagi
perkembangan partisipasi dan kualitas setiap warga negara sebagai perwujudan
hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi sebagai suatu asas yang
timbul dalam diri masyarakat dalam upaya pengawasan. Maka dari itu guna
tercipta dan terwujudnya Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil setiap lima tahun sekali sesuai Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
9 M. Manullang,Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), h.18.
5
Quick count telah diterapkan di Indonesia sejak 1997 oleh LP3ES (Lembaga
Pelatihan, Penelitian, Penerangan, Ekonomi dan Sosial) pada Pemilu terakhir
rezim Soeharto yang dilakukan secara diam-diam bekerjasama dengan salah satu
kekuatan politik. Quick count ini cukup berhasil, dengan satu hari setelah
pelaksanaan pemilu LP3ES mampu memprediksi hasil Pemilu di DKI Jakarta
persis sebagaimana hasil perhitungan suara oleh LPU (Lembaga Pemilihan
Umum), tetapi karena pertimbangan keamanan dan politik, hasil tersebut tidak
diumumkan pada masyarakat pada Pemilu 1999, LP3ES melalui quick count
berhasil dalam memprediksi secara tepat urutan partai dan persentase suaranya di
Propinsi NTB dan Pulau Jawa.10
Selanjutnya pada Pemilu 2004, LP3ES kembali membuat quick count
bekerjasama dengan National Democratic Institute for International Affairs,
lembaga internasional dari Amerika yang sudah terbiasa dengan penghitungan
cepat. LP3ES-NDI secara akurat berhasil memprediksi pemenang Pemilu dan
komposisi pemenang Pemilu dari urutan 1 sampai 24.11
Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2014 setidaknya terdapat beberapa lembaga
survei yang melakukan hitung cepat hasil Pemilu, yaitu Litbang Kompas, Radio
Republik Indonesia (RRI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC),
CSIS-Cyrus, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia (IPI),
Poltracking Institute dan Populi Center.12
10
Khairul Fahmi, Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat, h.139.
11Kismiantini, disampaikan dalam makalah “Pengumpulan Data Dengan Quick Count Dan
Exit Poll”, (Yogyakarta : FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2007), h.2.
12Buku Data dan Infografik Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014,(Jakarta:Komisi
Pemilihan Umum,2014), h.143.
6
Pasal 247 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
anggota DPR, DPRD, dan DPD dijelaskan bahwa pengumuman prakiraan hasil
penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam
setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. Hal tersebut
berarti pengumuman hasil hitung cepat tidak boleh diumumkan pada saat
pemungutan suara masih berlangsung. Hal ini menjadi dasar diajukannya
permohonan Judicial Review terhadap pasal 247 ayat (2), ayat (5), ayat (6), pasal
291 dan pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Burhanuddin Muhtadi berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan tersebut
membatasi dan melanggar hak konstitusional warga Negara Indonesia, khususnya
hak berpendapat dan hak mendapatkan informasi.13
Permohonan tersebut merupakan bentuk perjuangan masyarakat dalam
memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya dalam mengawasi Pemilu. Akan
tetapi hitung cepat sebagai bentuk pengawasan Pemilu dianggap dapat
mempengaruhi pemilih. Sehingga hitung cepat sebagai bentuk pengawasan
terhadap Pemilu oleh masyarakat dianggap memiliki muatan politis.14
Sebagai contoh, perbedaan hasil hitung cepat Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden diantara lembaga-lembaga yang disebutkan di atas. Ada 8 lembaga yang
memenangkan pasangan nomor urut 2 (Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla)
dan 4 lembaga yang memenangkan pasangan nomor urut 1 (Prabowo Subianto-
13
Burhanudin Muhtadi, Civil Society dan Demokrasi :Survei Tentang Partisipasi Sosial-
Politik, (Jakarta: INCIS,2003), h.23
14Burhanudin Muhtadi, Civil Society dan Demokrasi , h.24.
7
Hatta Rajasa). Hal tersebut sangat mengherankan, karena menurut ketua dewan
etik Persepsi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia) hasil perhitungan
cepat (quick count) seharusnya memiliki hasil yang tidak jauh berbeda (asas
koherensi) karena menerapkan standar penelitian yang diakui dalam kaidah
keilmuan.15
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka timbul pertanyaan dikalangan
masyarakat terkait independensi lembaga hitung cepat (quick count) yang
seharusnya menjadi wakil dari masyarakat dalam mengawasi penyelenggaraan
pemilu.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti
tentang Kebebasan Pengumuman Hasil Hitung Cepat (Quick Count) Sebagai
Bentuk Pengawasan dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pemilu (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014).
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti uraikan, maka peneliti
membatasi permasalahan yang akan dianalisis dalam skripsi ini yaitu
penerapan hitung cepat (quick count) sebagai bagian dari partisipasi warga
negara dalam praktek pemilihan umum di Indonesia. Batasan tersebut
kemudian akan dikaji terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
24/PUU-XII/2014.
15
Data dan Infografik Pemilu Presiden, h.143.
8
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan
yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Apakah pengumuman hasil hitung cepat (quick count) sudah sesuai
dengan pengakuan hak asasi manusia dan prinsip partisipasi masyarakat
dalam pemilu?
b. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014
berkontribusi memperbaiki partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemilu ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan, maka tujuan
penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui hasil hitung cepat (quick count) ditinjau dari prinsip
partisipasi masyarakat dalam pemilu
b. Untuk mengetahui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-
XII/2014 berkontribusi memperbaiki partisipasi masyarakat dalam
pemilu.
2. Manfaat Penelitian
Berawal dari rumusan masalah penelitian yang telah dijelaskan di atas,
ada beberapa manfaat yang ingin penulis peroleh, yaitu :
9
a. Manfaat Teoritis
1) Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi perkembangan
keilmuan hukum, khususnya pada ranah Hukum Kelembagaan Negara
(Hukum Tata Negara).
2) Untuk lebih memperkaya pemikiran ilmu pengetahuan penulis baik di
bidang hukum maupun di bidang ketatanegaraan.
3) Menjadi sumber referensi baik bagi mahasiswa, akademisi dan
peneliti yang berniat melakukan penelitian hukum pada ranah hukum
kelembagaan Negara, khususnya terkait partisipasi masyarakat dalam
pengawasan penyelenggaraan Pemilu.
4) Melatih penulis dalam membuat karya ilmiah dan menuangkan hasil
pemikirannya kedalam bentuk tulisan.
b. Manfaat Praktis
1) Memberi masukan kepada seluruh stakeholder Pemilu, yakni Partai
Politik, Badan Pengawas Pemilihan Umum, lembaga hitung cepat
(quick count), masyarakat dan akademisi yang terkait dengan
hitung cepat Pemilu (quick count).
2) Menjadi referensi bagi mahasiswa dan masyarakat untuk
mendalami hitung cepat sebagai partisipasi masyarakat dalam
pemilu.
3) Agar penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan bagi
semua pihak khususnya yang hidup di lingkungan Hukum Tata
Negara.
10
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Setidaknya terdapat tiga penelitian terdahulu yang menjadi pijakan dan
acuan dalam penelusuran dan tinjauan bagi penulis dalam melakukan penelitian
ini. Pertama, skripsi dengan judul “Peran Komisi Pemilihan Umum Daerah
Kabupaten Bantul dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu
Legislatif Tahun 2009” yang disusun oleh Herwin Winardo pada tahun 2011 di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi tersebut menjelaskan terkait
peran yang dilakukan oleh KPUD, dalam hal ini KPUD Kabupaten Bantul, dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya guna meningkatkan angka partisipasi
pemilih dalam pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2009. Berbeda dengan
penelitian yang peneliti susun, dimana dalam penelitian ini maksud dari
partisipasi masyarakat ialah terkait pengawasan terhadap pelaksanaan
penyelenggaraan pemilu dengan cara pengumuman hasil hitung cepat dan
dilakukan berdasarkan studi kasus terhadap permohonan judicial review Undang-
Undang Nomor. 8 Tahun 2012 yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi
(MK).
Kedua, jurnal ilmiah yang dimuat dalam jurnal konstitusi yang diterbitkan
oleh Mahkamah Konstitusi (MK) volume 6 nomor 3 yang disusun oleh Abdul
Wahid dengan judul “Quick Count: Hak Atas Informasi atau Pembohongan
Publik?”. Jurnal tersebut merupakan bagian dari analisis putusan yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait permohonan yang diajukan oleh
Denny JA dan asosiasi riset opini publik (AROPI) terkait pengumuman hasil
survey (jajak pendapat) pada hari tenang dan hasil quick count (hitung cepat) pada
11
hari pemilu. Berbeda dengan skripsi yang penulis susun, dimana dalam skripsi ini
penulis berpatokan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-
XII/2014 yang terdapat beberapa permohonan pengujian konstitusionalitas pada
pasal 247 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 291 dan Pasal 291 dan pasal
317 ayat (1) dan ayat (2) dalam putusan ini yang dimohon untuk dilakukan
judicial review oleh MK adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012.
Ketiga, skripsi dengan judul “Peran Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat” (Studi di
Kabupaten Bolaang Monggondow Utara) yang disusun oleh Gito Talibo pada
tahun 2014 di Universitas Sam Ratulangi Manado. Skripsi tersebut menjelaskan
tentang tahapan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah, Komisi Pemilihan
Umum Bolaang Mongondow Utara dalam melakukan berbagai hal untuk
mengarahkan partisipasi politik masyarakat. Berbeda dengan penelitian yang
penulis susun, dimana dalam penelitian ini maksud dari partisipasi masyarakat
ialah terkait pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pemilu dengan
cara pengumuman hasil hitung cepat dan dilakukan berdasarkan studi kasus
terhadap permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang
diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang
12
didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.16
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
normatif. Penelitian hukum normatif mencakup, penelitian terhadap azas-azas
hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf
sinkronisasi hukum, penelitian terhadap sejarah hukum, dan perbandingan
hukum.17
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan adalah socio-legal,
yaitu penelitian yang menggunakan studi hukum (normatif). Dalam studi
hukum, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).18
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan
yang membahas mengenai penyelenggaraan pemilu di Indonesia, khususnya
terkait dengan hasil hitung cepat Pemilu (quick count) sebagai bentuk
partisipasi masyarakat.
Pendekatan konsep dilakukan untuk memahami prinsip-prinsip
kedaulatan rakyat dan hak politik warga negara dalam kaitannya dengan
partisipasi masyarakat dalam pemilu.
16Muhammad Farkhan, Proposal Penelitian Bahasa dan Sastra (Edisi Revisi), (Jakarta:
Adabia Press, UIN Syarif Hidayatullah,2011), h. 2-3.
17Muhammad Farkhan, Proposal Penelitian Bahasa dan Sastra (Edisi Revisi), h.41.
18Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), h.132.
13
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data
primerdan data sekunder. Data primer dapat diperoleh langsung dari sumber
pertama, yakni peraturan perundang-undangan, dan buku referensi yang
relevan dengan penelitian penulis dan sesuai dengan bahan hukum yang dapat
dibagi menjadi:19
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif
atau yang berarti memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Dalam penelitian ini,
bahan hukum primer yang digunakan adalah yang berhubungan dengan
penyelenggaraan pemilu dan bentuk pasrtisipasi masyarakat dalam
pemilu serta peraturan lain yang terkait.
b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang terdiri dari buku-
buku hukum, termasuk didalamnya skripsi, tesis, dan disertasi hukum
serta jurnal hukum. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah
berupa buku referensi yang terkait dengan hukum tata Negara dan hukum
pemilu
c. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang
sumber hukum primer dan sekunder seperti ensiklopedia, kamus bahasa
dan artikel dalam internet
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 141
14
4. Prosedur Pengumpulan Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen atau kepustakaan (library research) yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku
yang berkaitan dengan Pemilihan Umum, hasil hitung cepat, Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 24/PUU-XII/2014, pendapat sarjana, surat kabar,
artikel, jurnal, kamus, dan juga berita dari internet20
.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang telah diperoleh melalui studi pustaka akan
dikorelasikan dan dianalisis dengan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan judul penelitian penulis guna disajikan dalam penulisan yang
telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012,
yang terbagi dalam lima Bab. Pada setiap bab terdiri dari sub bab yang digunakan
untuk memperjelas ruang lingkup dan inti permasalahan yang diteliti.
Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta inti permasalahan adalah
sebagai berikut :
BAB I: Merupakan pendahuluan yang bermuatkan : Latar belakang Masalah,
Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
20
Sri Mamuji, et.al.,Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h.4.
15
Tinjauan (Review) Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika
Penulisan
BAB II: Berisi tentang sistem penyelenggaraan Pemilu di Indonesia yang
bermuatkan : Pemilu di Indonesia, Asas Penyelenggaraan Pemilu,
Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu
BAB III: Menjelaskan tentang hasil hitung cepat perihal : Pengertian Hitung
Cepat (Quick Count), Implementasi Pelaksanaan Hitung Cepat (Quick
Count) .
BAB IV: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014.
BAB V: Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
16
BAB II
SISTEM PENYELENGGARAAN PEMILU DI INDONESIA
A. PEMILU DI INDONESIA
Pasca merebut kemerdekaan dari tangan Jepang pada 17 Agustus 1945,
Rakyat Indonesia secara bersepakat, melalui sidang PPKI, mengangkat Ir.
Soekarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Sebagai
sebuah bangsa dan Negara yang baru terbentuk, Indonesia mengalami berbagai
macam kendala, mulai dari organisasi kenegaraan (tata Negara) hingga bagaimana
organisasi Negara tersebut bergerak dan menjalankan fungsinya (administrasi
negara).
Secara eksternal, Negara Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan,
khususnya dari Belanda dan sekutunya yang masih berusaha menanamkan
pengaruhnya di Indonesia. Akibatnya, Negara Indonesia pada awal
kemerdekaannya terfokus untuk melakukan konsolidasi dalam upaya menjaga
kedaulatan Indonesia sebagai Negara maupun sebagai bangsa.1
Pada awalnya, pemerintah berencana melakukan pemilihan umum pertama
kali, untuk memilih anggota legislatif, pada Bulan Januari 1946.2 Hal ini
diputuskan melalui Maklumat Wakil Presiden Moh. Hatta tertanggal 3 November
1945. Menurut pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, Pemilihan
umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
1Sodikin, Hukum Pemilu : Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan.,Bekasi: Gramata
Publishing,2014 h.22
2Sodikin, Hukum Pemilu, h.22
17
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945.
Pemilihan umum, pertama kali, dilakukan oleh Negara Indonesia pada
Tahun 1955. Pemilihan umum tersebut dibagi kedalam 2 (dua) tahapan, yakni
Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR yang dilakukan pada tanggal 29
September 1955 dan Pemilihan Umum untuk memilih anggota konstituante yang
dilakukan pada tanggal 15 Desember 1955 dengan jumlah peserta mencapai 29
partai politik dan individu.
Pasca pemilihan umum tahun 1955, seharusnya pemilihan umum berikutnya
dilakukan pada tahun 1960. Hal tersebut juga sudah dipersiapkan oleh Presiden
Soekarno dengan pembentukan Panitia Pemilihan Indonesia II pada tahun 1958
untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu, akan tetapi iklim politik yang
semakin memanas dan ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959, mendorong perubahan system demokrasi di Indonesia saat itu yang
mengarah pada sistem demokrasi terpimpin dimana demokrasi tidak lagi mengacu
pada hukum, akan tetapi lebih mengacu kepada kekuasaan.3
Pemilihan umum berikutnya baru dilakukan pada tahun 1971, atau 4
(empat) tahun pasca pemberhentian Soekarno melalui ketetapan MPRS No.
XXXIV/MPRS/1967 akibat tragedy G30S/PKI.
Penyelenggaraan pemilihan umum tahun 1971 dilakukan berdasarkan UU
Nomor 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 16
Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Hasil pemilihan umum
3Tim Penyusun, Buku Data dan Infografik Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.,
Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2014
18
tahun 1971, kemudian mengangkat Soeharto menjadi Presiden secara definitive
dan menandai dimulainya rezim orde baru.
Pemilihan umum berikutnya dibawah rezim pemerintahan orde baru
dilakukan pada tahun 1977. Hal menarik yang terjadi pada Pemilihan Umum
Tahun 1977 ditandai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975
Tentang Partai Politik dan Golkar. Akibatnya, terjadi penyederhanaan jumlah
partai yang dilakukan oleh pemerintah menjadi 2 (dua) partai ditambah 1 (satu)
Golongan Karya. 2 (dua) partai tersebut antara lain, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan partai-partai dengan ideologi
islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari
partai berhaluan nasionalisme dan partai dengan ideologi agama selain islam.
Kebijakan penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilihan umum
yang dilakukan oleh pemerintah menandai adanya upaya mempertahankan
kekuasaan melalui manipulasi pemilihan umum di Indonesia. Secara kasat mata,
memang penyelenggaraan pemilihan umum selama rezim orde baru berjalan
dengan baik sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dan didukung pula dengan
besarnya tingkat partisipasi pemilih, akan tetapi dibalik fakta-fakta tersebut
diketahui bahwa pemenang pemilihan umum sudah ditentukan sebelumnya, yakni
Golongan Karya (Golkar).
Hal ini berlangsung secara terus menerus hingga pemilihan umum tahun
1997, yang bermuara pada kemarahan masyarakat luas melalui aksi unjuk rasa
besar-besaran yang berujung pada lengsernya Soeharto sebagai presiden Republik
Indonesia.
19
Akibatnya, wakil presiden saat itu B.J Habibie diangkat menjadi Presiden
menggantikan Presiden Soeharto. Pemerintahan B.J Habibie terhitung singkat
karena adanya percepatan penyelenggaraan pemilihan umum, yang harusnya
dilakukan pada tahun 2002, menjadi tahun 1999.
Pemilihan umum Tahun 1999 dilakukan pada 7 Juni 1999 atau 13 (tiga
belas) bulan masa pemerintahan Presiden B.J Habibie. Pemilihan umum Tahun
1999 diikuti oleh 48 (empat puluh delapan) partai dan masih menjadi pemilihan
umum di Indonesia dengan partai peserta terbanyak hingga saat ini, 5 (lima) tahun
berselang, pemilihan umum tahun 2004 juga mencatatkan sejarah sebagai
pemilihan umum pertama yang tidak hanya memilih anggota badan legislative,
akan tetapi juga memilih presiden dan wakil presiden secara langsung berdasarkan
Undang-Undang .
Selain memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, pasca
pemilihan umum tahun 2004 juga menandai pemilihan kepala daerah secara
langsung, baik kepala daerah tingkat provinsi, maupun kepala daerah tingkat
kabupaten/kota. Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, daerah pertama yang melakukan pemilihan kepala daerah
secara langsung adalah Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni 2015.
Kemudian di tahun 2014, juga menjadi sejarah, dimana Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD digugat ke
Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan pembatasan waktu pengumuman hasil
survey dan hasil hitung cepat pemilihan umum.
20
Jika ditelusuri lebih lanjut, dalam memilih anggota badan legislatif, terdapat
2 (dua) sistem pemilihan umum yang dikenal, diantaranya sistem distrik (single-
member constituency) dan sistem proporsional/perwakilan berimbang (multi-
member constituency).4
Suatu sistem pemilihan umum memiliki tugas utama, meliputi:5
1. Menerjemahkan suara yang dipungut menjadi kursi yang dimenangkan dalam
badan legislative
2. Bertindak sebagai saluran yang memungkinkan rakyat meminta
pertanggungjawaban wakil mereka
3. Memberikan insentif kepada mereka yang memperebutkan kekuasaan untuk
menyusun imbauan kepada pemilih dengan cara yang berbeda-beda
Sistem distrik adalah sistem pemilihan umum yang diselenggarakan
berdasarkan lokasi pemilihan, yang dalam hal ini tidak membedakan jumlah
penduduk satu daerah dengan daerah lain. Sedangkan sistem proporsional adalah
sistem pemilihan umum yang diselenggarakan berdasarkan proporsi jumlah
pemilih yang ada di masyarakat.6
Pemilihan umum yang menggunakan sistem distrik akan menghasilkan
jumlah perwakilan yang sama antara daerah yang memiliki banyak penduduk
dengan daerah yang memiliki sedikit penduduk. Sedangkan pemilihan umum
melalui sistem proporsional/perwakilan berimbang akan menghasilkan jumlah
4 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2008,
h.461
5 Standar-Standar Internasional Untuk Pemiihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali
Kerangka Hukum Pemilu, Sweden: IDEA, 2002, h.24
6 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung: PT. Refika Aditama,
2005 h.136-137
21
perwakilan tiap daerah pemilihan berbeda bergantung pada jumlah masyarakatnya
dan tidak akan menyebabkan terbuangnya suara pemilih. Akan tetapi, masing-
masing sistem memiliki kelemahan satu sama lain. Adapun kelebihan dan
kekurangannya adalah sebagai berikut:
1. Sistem Distrik7
a. Kelebihan
1) Wakil yang terpilih lebih dikenal oleh pemilih
2) Mendorong terjadinya integrasi partai politik
3) Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai
4) Sederhana dan mudah dilaksanakan
b. Kekurangan
1) Kurang menguntungkan partai kecil dan golongan minoritas
2) Kurang representative
3) Terjadi kesenjangan antara suara yang diperoleh dari masyarakat dan
jumlah kursi yang diperoleh di parlemen
2. Sistem Proporsional8
a. Kelebihan
1) Menjamin eksistensi partai-partai kecil
2) Lebih demokratis dan representative
3) Menjamin suara rakyat tidak terbuang sia-sia
7 Tim Penyusun, Naskah Akademis Perubahan UU No. 10 Tahun 2008, Jakarta:BPHN,
h.22-23
8 Tim Penyusun, Naskah Akademis Perubahan UU No. 10 Tahun 2008, Jakarta:BPHN,
h.13-14
22
b. Kekurangan
1) Hubungan antara rakyat dan wakilnya kurang akrab
2) Cenderung menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai
politik
3) Memberikan peluang radikalisasi partai politik
4) Kualitas calon sukar dikontrol oleh pemilih
B. ASAS PENYELENGGARAAN PEMILU
Sejak zaman orde baru, pemilihan umum di Indonesia menganut asas
“LUBER” yang merupakan akronim dari langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Kemudian memasuki era reformasi, berkembang tambahan asas pemilu meliputi
“JURDIL” yang merupakan akronim dari jujur dan adil. Asas “Luber” dan
“Jurdil” kemudian diterjemahkan kedalam konstitusi hasil amandemen Pasal 22 E
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, dimana “pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima
tahun sekali”. Penjabaran atas asas-asas pemilu, meliputi:
1. Langsung, berarti rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan
suaranya secara langsung sesuai hati nuraninya tanpa perantara9;
2. Umum, berarti seluruh warga negara yang berusia diatas 17 (tujuh belas)
tahun berhak untuk ikut memilih dan dipilih tanpa ada diskriminasi;
9 Tim Penyusun, Policy Brief: Kodifikasi Undang-Undang Pemilu oleh Sekertariat
Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, Jakarta: Sekertariat Bersama Kodifikasi Undang-
Undang Pemilu, h.2
23
3. Bebas, berarti seluruh warga negara berhak memilih siapapun menurut hati
nuraninya tanpa ada pengaruh, tekanan, atau paksaan dari siapapun/dengan
cara apapun;
4. Rahasia, berarti seluruh pemilih dijamin secara hukum bahwasanya suara
yang diberikan akan terjaga kerahasiaannya (secret ballot);
5. Jujur, berarti dalam penyelenggaraan pemilu, seluruh stakeholder, baik
penyelenggara, peserta, pemilih, pengawas dan pemantau harus bersikap jujur
berdasarkan ketentuan yang berlaku;
6. Adil; berarti dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan partai politik
peserta pemilu berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan bebas dari
kecurangan pihak manapun.
Prinsip “Luber” dan “Jurdil” di atas juga kemudian dipertahankan dalam
rezim pemilihan umum pada tahun 2014, yang dituangkan dalam pasal 2 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD. Selain asas pemilihan umum, penyelenggara pemilihan umum juga wajib
tunduk terhadap beberapa asas lain. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, menjelaskan bahwa
penyelenggara pemilihan umum berpedoman pada asas mandiri; jujur; adil;
kepastian hukum; tertib; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas;
akuntabilitas; efisiensi; dan efektifitas.
Setidaknya terdapat perubahan kecil terhadap asas penyelenggara pemilu
dibanding dengan rezim Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum. Perubahan kecil tersebut terletak pada
24
penambahan asas kepentingan umum. Hal ini berarti, dalam menyelenggarakan
pemilihan umum, penyelenggara pemilihan umum wajib mengutamakan dan
mengedepankan kepentingan umum dibanding kepentingan golongan melalui
cara-cara yang aspiratif, akomodatif dan kolektif.10
Selain dengan asas-asas pemilihan umum dan penyelenggara pemilihan
umum, ada pula beberapa prinsip-prinsip pemilihan umum yang perlu dijamin
juga, diantaranya:11
1. Keadilan
Prinsip keadilan sangat penting posisi dan peranannya karena seluruh
rakyat memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih sebagaimana
dijamin dalam konstitusi. Sehingga, prinsip ini perlu menjamin tidak adanya
perbedaan perlakuan antara peserta pemilihan umum, baik partai politik,
perorangan, maupun calon independen.
2. Kejujuran
Kejujuran tidak hanya ditujukan bagi penyelenggara dalam
melaksanakan tahapan pemilihan umum sehingga hasil pemilihan umum yang
didapatkan menjadi sah (legitimate), tetapi juga perlu didorong kejujuran
sebagai bentuk kepatutan terhadap seluruh peserta pemilu dan pemilih.
3. Umum
Prinsip ini menjamin bahwa seluruh rakyat memiliki hak untuk memilih
dan berpartisipasi dalam pemilihan umum tanpa terkecuali. Prinsip ini
10
https://hiudiary.wordpress.com/2010/11/12/asas-asas-umum-penyelenggaraan-negara/
11 Ari darmastuti dan Tabah Maryana, Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia,
Lampung: Universitas Lampung, 2004, h.48
25
ditujukan untuk menjamin hilangnya berbagai faktor yang seringkali
mempengaruhi dan menjadi dasar atas diskriminasi dalam pemilihan umum,
baik faktor status sosial, warna kulit dan ras, jenis kelamin, agama serta
perbedaan pandangan politik.
4. Bebas
Prinsip ini sangat penting dalam menjamin netralitas pelaksanaan
pemilihan umum bahwa pemilihan umum berjalan tanpa adanya intimidasi.
Melalui prinsip ini, seluruh pemilih memiliki kebebasan untuk menyuarakan
pendapat dan pilihannya dalam pemilihan umum.
5. Kerahasiaan
Prinsip kerahasiaan menjamin seluruh pemilih yang menggunakan hak
pilihnya akan tetap terjaga rahasianya sehingga akan terhindar dari intervensi
dan pengaruh penguasan yang rentan menyalahgunakan kewenangannya
dalam mengintervensi pemilihan umum.
6. Langsung
Prinsip ini menjamin bahwa seluruh warga negara memiliki akses
langsung untuk menyuarakan pendapat dan pilihannya melalui pemilihan
umum apapun kendalanya, baik akibat keterbatasan fisik (penyandang
disabilitas) ataupun kendala geografis.
C. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILU
Berbeda dari Negara otoriter yang menjadikan rakyat sebagai objek,
Indonesia, sebagai salah satu Negara demokratis, memposisikan rakyat sebagai
26
subjek dari suatu kebijakan negara.12
Salah satu bentuk keterlibatan dan peranan
masyarakat dalam negara yang demokratis adalah terbukanya peluang partisipasi
masyarakat dalam politik.
Salah satu karakter dari partisipasi politik menurut Herbert Mc Cloksy
adalah kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui saluran mana mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan baik secara langsung
atau tidak langsung dalam proses kebijakan-kebijakan umum.13
Menurut Davis, terdapat 3 (tiga) unsur partisipasi masyarakat dalam politik,
diantaranya:14
1. Ada penyertaan pikiran dan perasaan;
2. Adanya motivasi untuk berkontribusi; dan
3. Adanya tanggung jawab bersama
Sejauh ini partisipasi dimaknai sebagai keterlibatan masyarakat pemilih
secara langsung, melalui penggunaan hak pilih dan dipilih, maupun keterlibatan
secara tidak langsung dalam bentuk pemantauan pemilu. Padahal diluar itu,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 mengatur partisipasi masyarakat dalam
pemilu dalam Bab ke-19 yang terdiri dari 3 rumusan pasal.
Partisipasi masyarakat menurut Bab XIX Undang-Undang No. 8 Tahun
2012 terbagi atas sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survey dan
jajak pendapat, serta penghitungan cepat hasil pemilu yang diatur dalam pasal 246
ayat 2.
12 Sinaga Rudi Salam, Pengantar Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013, h. 51
13 Sinaga Rudi Salam, Pengantar Ilmu Politik, h. 52.
14 Yulianto,dkk, Memperkuat Kemandirian Penyelenggaraan Pemilu : Rekomendasi
Revisi Undang-undang Penyelenggara Pemilu , Jakarta: KRHN, 2010, h. 50
27
Tabel. 1
Bagan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu
1. Partisipasi Warga Negara Dalam Pelaksanaan Hak Politik
Indonesia, sebagai salah satu negara yang paling demokratis, telah
mengakui dan menjamin partisipasi masyarakat dalam politik. Pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjelaskan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat...”. Ketentuan
tersebut kemudian diatur secara khusus dalam Pasal 28 D ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana “Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan”.
Berlakunya Pasal 28 D ayat (3) di atas sekurang-kurangnya telah
menjamin hak politik warga negara, baik hak untuk memilih maupun
dipilih; ataupun hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan (termasuk
pemilu) secara aktif maupun pasif.
Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu
Partisipasi dalam Pelaksanaan Hak
Politik WN
Ps. 7, 11, 19 UU No. 8/2012 Jo. Ps. 28 D ayat 3 UUD 1945
Pemantauan Pemilu
Ps. 233-245 Bab XVIII UU 8/2012
Sosialisasi, Penelitian, Survey,
Penghitungan Cepat
Ps. 246-248 Bab XIX UU 8/2012
28
Partisipasi politik, khususnya dalam penyelenggaraan pemilu,
memiliki makna yang penting bagi berjalannya roda dan sistem demokrasi
di Indonesia. Apabila masyarakat memiliki tingkat partisipasi pemilu yang
tinggi, maka pembangunan politik akan berjalan dengan baik.15
Sehingga
tinggi atau rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu menjadi sinyal
dan indikator utama dari implementasi kedaulatan rakyat berdasarkan pasal
1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Partisipasi secara aktif dalam kaitannya dengan pemenuhan hak
politik warga Negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28D Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya terkait
hak untuk dipilih kemudian dibagi kedalam hak dipilih untuk duduk di kursi
legislatif ataupun kursi eksekutif.
Tata cara penyaluran hak warga Negara untuk dipilih dalam kursi
eksekutif diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Undang-
Undang Pilkada. Sedangkan untuk duduk di kursi legislatif, partisipasi aktif
warga Negara dapat ditempuh dengan atau tanpa keterliban partai politik
sebagai bagian dari system politik dan kenegaraan Indonesia.
Keterlibatan partai politik sebagai peserta pemilihan umum
dimaksudkan dalam memilih warga Negara yang duduk di DPR/DPRD
(pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012). Sedangkan keterlibatan
warga Negara perseorangan sebagai peserta pemilihan umum dimaksudkan
15
Yulianto,dkk, Memperkuat Kemandirian Penyelenggaraan Pemilu : Rekomendasi
Revisi Undang-Undang Penyelenggara Pemilu , Jakarta: KRHN, 2010
29
untuk duduk di kursi DPD (pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012).
Disisi lain, hak untuk memilih bagi warga Negara dalam suatu
pemilihan umum, juga dijamin dalam pasal 19 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012. Pada intinya, seorang warga Negara yang telah
memiliki hak politik untuk memilih dalam pemilihan umum wajib
memenuhi persyaratan usia (diatas 17 tahun) dan/atau status perkawinan
(sudah/pernah kawin). Persyaratan tersebut semata-mata ditujukan untuk
menjamin bahwa partisipasi warga Negara dapat dipertanggung jawabkan
dalam konteks pertanggungjawaban hukum.
2. Partisipasi Warga Negara Dalam Pemantauan Pemilu
Pemantauan pemilu merupakan salah satu bagian dari upaya control
terhadap proses penyelenggaraan pemilu. Bersama dengan pengawasan
pemilu, pemantauan pemilu memiliki fungsi yang sama sebagai upaya
mengawal penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil dan sesuai dengan asas-
asas pemilu.16
Pada dasarnya, pemantauan pemilu berarti pengumpulan informasi
tentang proses pemilu, dan pemberian penilaian-penilaian yang beralasan
tentang pelaksanaan proses tersebut berdasarkan informasi yang telah
dikumpulkan, oleh orang-orang yang sebenarnya tidak berwenang untuk
mencampuri proses tersebut. Keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan
16
Veri Junaidi, Pelibatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu, Jakata:
Perludem, 2013 h. 1
30
mediasi atau bantuan teknis tidak boleh merusak tugas utama mereka untuk
melakukan pemantauan.17
Menurut Topo Santoso, perbedaan antara pemantau dan pengawas
pemilu terletak pada keterlibatan masing-masing pihak dalam tahapan
pemilu. Pemantau pemilu bekerja sebatas memantau penyelenggara,
sedangkan pengawas memiliki tugas dan wewenang lebih luas dalam
menyelesaikan pelanggaran dan sengketa pemilu.18
Sejak terjadinya berbagai kecurangan dalam pemilu 1971,
kelembagaan pengawasan pemilu diatur khusus dalam peraturan perundang-
undangan yang sekarang dikenal dengan nama Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu). Disisi lain, kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat
untuk memantau penyelenggaraan pemilu semakin tumbuh.
Puncak pemantauan pemilu terjadi pada pemilu tahun 1999 yang
notabene merupakan pemilu pertama pasca tumbangnya orde baru. Sebagai
contoh, pada tahun 1999, Jaringan Pendidikan Pemilih untung Rakyat
(JPPR) memiliki relawan hingga mencapai 220.000 pemantau sedangkan
ditahun 2009 hanya memiliki 10.500 pemantau.19
Saat ini, pemantauan pemilu diatur dalam Bab XVIII Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012. Secara umum, Undang-Undang tidak membatasi
pemantau pemilu harus berasal atau warga Negara Indonesia. Pasal 233 ayat
17
Standar-Standar Internasional Untuk Pemiihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali
Kerangka Hukum Pemilu, Sweden: IDEA, 2002, h.97-98
18 Topo Santoso dan Didik Supriyanto, Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, 2004,
Jakarta: Murai Kencana-PT. RajaGrafindo Persada, h. 46
19 Veri Junaidi, Pelibatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu, Jakata:
Perludem, 2013, h. 6
31
2 memberikan peluang bagi lembaga pemantau pemilihan dari luar
Indonesia, lembaga pemilihan luar negeri, dan perwakilan Negara sahabat
untuk melakukan pemantauan, tetapi untuk dapat memantau
penyelenggaraan pemilu di Indonesia, menurut pasal 234 ayat (1) setiap
pemantau pemilu wajib memenuhi syarat umum antara lain:
a. Bersifat independen;
b. Mempunyai sumber dana yang jelas;
c. Terdaftar dan mendapatkan akreditasi dari KPU sesuai dengan cakupan
wilayah pemantauannya.
Khusus untuk pemantau yang berasal dari luar Indonesia, pasal 234
ayat 2 mewajibkan untuk memenuhi persyaratan khusus sebagai berikut:
a. Memiliki kompetensi dan pengalaman sebagai pemantau pemilu di
Negara lain;
b. Memperoleh visa untuk menjadi pemantau pemilu dari perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri;
c. Memenuhi tata cara pemantauan di Indonesia.
Dalam menjalankan tugasnya, pemantau pemilu memiliki hak,
kewajiban dan larangan, sebagai berikut:
a. Hak Pemantau Pemilu
1) Mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan
2) Mengamati dan mengumpulkan informasi proses penyelenggaraan
pemilu
3) Memantau proses pemungutan suara dari luar TPS
32
4) Mendapatkan akses informasi yang tersedia dari KPU
5) Menggunakan perlengkapan untuk mendokumentasikan kegiatan
pemantauan pemilu
6) Untuk pemantau dari luar Indonesia yang berstatus perwakilan Negara
asing (diplomat) berhak atas kekebalan diplomatik
b. Kewajiban Pemantau Pemilu
1) Mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan
menghormati kedaulatan NKRI
2) Mematuhi kode etik pemantau pemilu yang ditetapkan oleh KPU
3) Melaporkan diri dan mengurus akreditasi kepada KPU
4) Menggunakan tanda pengenal selama pemantauan
5) Menanggung semua biaya pemantauan
6) Melaporkan jumlah pemantau pemilu di lapangan kepada KPU
7) Menghormati kedudukan, tugas dan wewenang penyelenggara
pemilu
8) Menghormati adat istiadat setempat
9) Bersikap netral dan objektif dalam melaksanakan pemantauan
10) Menjamin akurasi data dan informasi hasil pemantauan dengan
mengklarifikasi kepada KPU
11) Melaporkan hasil pemantauan pemilu kepada KPU
c. Larangan Pemantau Pemilu
1) Melakukan kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan pemilu
2) Mempengaruhi pemilih dalam menggunakan haknya untuk memilih
33
3) Mencampuri tugas dan wewenang penyelenggara pemilu
4) Memihak kepada peserta pemilu tertentu
5) Menggunakan seragam, warna atau atribut lain yang memberi kesan
mendukung peserta pemilu
6) Menerima atau memberikan hadiah, imbalan atau fasilitas apapun
dari/atau peserta pemilu
7) Mencampuri dengan cara apapun urusan politik dan pemerintahan
dalam negeri Indonesia
8) Membawa senjata, bahan peledak dan/atau bahan berbahaya lainnya
9) Masuk kedalam TPS
10) Melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan pemantauan pemilu
3. Partisipasi Warga Negara Dalam Sosialisasi, Penelitian, Survey, dan
Penghitungan Cepat Pemilu
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kesadaran warga negara
dalam berpartisipasi dan mengawasi penyelenggaraan pemilu agar berjalan
secara jujur dan adil selain meningkat. Pasca reformasi, tepatnya pada
pemilihan umum tahun 1999, pengawasan masyarakat khususnya
pemantauan penyelenggaraan pemilu seakan menjadi primadona.
Pada hal, selain dalam bentuk pemantauan pemilu, pengawasan dan
partisipasi warga Negara dalam penyelenggaraan pemilu tahun 1999 juga
dilakukan dalam bentuk penelitian, survey, dan hitung cepat (quick count).
Tiga kegiatan tersebut ditujukan untuk mengetahui perkiraan hasil pemilu
berdasarkan opini masyarakat, sehingga apabila ada kecurangan yang
34
dilakukan KPU dalam penghitungan hasil pemilu akan segera diketahui oleh
publik.
Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, hak masyarakat
dalam penyelenggaraan survey dan hitung cepat sangat dibatasi sehingga
oleh sebagian warga Negara dianggap membatasi dan tidak sejalan dengan
nilai-nilai yang dikandung dalam konstitusi Indonesia.20
Mahkamah konstitusi dalam putusannya Nomor 9/PUU-VII/2009
menilai bahwa pembatasan pengumuman hitung cepat dalam pasal 245 ayat
(2) dan ayat (3) tidak sejalan dengan semangat reformasi dan jiwa Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.21
Hal tersebut
kemudian menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam perumusan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang notabene mencabut Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menjelaskan partisipasi
masyarakat dalam Bab XIX yang diatur dalam 3 pasal, yakni pasal 246-248.
Pasal 246 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 telah membatasi
bahwa partisipasi masyarakat diselenggarakan dengan ketentuan:
a. Tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan
peserta pemilu;
b. Tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan pemilu;
c. Bertujuan meningkatkan pasrtisipasi politik masyarakat secara luas;
20
Tim Penyusun, Naskah Akademis Perubahan UU No. 10 Tahun 2008, Jakarta:BPHN,
h.55
21 Tim Penyusun, Naskah Akademis Perubahan UU No. 10 Tahun 2008, Jakarta:BPHN,
h. 76
35
d. Mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan
pemilu yang aman, damai, tertib dan lancar.
Pengaturan perihal sosialisasi, survey, jajak pendapat sejatinya tidak
banyak berubah ketimbang Undang-Undang Pemilu edisi sebelumnya.
Dimana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, pengumuman hasil
survey dan jajak pendapat tidak boleh dilakukan dalam masa tenang pemilu
karena dikhawatirkan akan mempengaruhi kondisi psikologis dan sosiologi
masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya.
Perubahan dilakukan terkait pengumuman hasil hitung cepat pemilu,
dimana menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 9/PUU-
VII/2009 yang melarang adanya pembatasan pengumuman hasil hitung
cepat pada hari pemilihan. Pasal 247 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 kemudian menyatakan bahwa pengumuman hasil hitung cepat
hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam pasca selesainya
pemungutan suara diwilayah Indonesia paling barat.
36
BAB III
IMPLEMENTASI HITUNG CEPAT (QUICK COUNT) DALAM PEMILU
DI INDONESIA
A. PENGERTIAN HITUNG CEPAT (QUICK COUNT)
Hitung cepat atau jajak cepat (bahasa Inggris: quick count) adalah sebuah
metode verifikasi hasil pemilihan umum yang dilakukan dengan menghitung
persentase hasil pemilu di tempat pemungutan suara (TPS) yang dijadikan sampel.
Menurut Pasal 1 Butir 10 Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2013, Penghitungan
Cepat (Quick Count) hasil pemilu adalah kegiatan penghitungan suara secara
cepat dengan menggunakan teknologi informasi, atau berdasarkan metodologi
tertentu. Berbeda dengan survei perilaku pemilih, survei pra-pilkada atau survei
exit poll, hitung cepat memberikan gambaran dan akurasi yang lebih tinggi,
karena hitung cepat menghitung hasil pemilu langsung dari TPS target, bukan
berdasarkan persepsi atau pengakuan responden. Selain itu, hitung cepat bisa
menerapkan teknik sampling probabilitas sehingga hasilnya jauh lebih akurat dan
dapat mencerminkan populasi secara tepat.1
Awal munculnya perhitungan cepat (quick count) dilakukan pertama kali
pada pemilu presiden Filipina yang dilakukan oleh NAMFREL (National Citizens
Movements for Free Election) yang secara luar biasa mampu menemukan
kecurangan yang dilakukan oleh Ferdinand Marcos sebagai calon petahana.2 Di
1 Kismiantini, disampaikan dalam makalah “Pengumpulan Data Dengan Quick Count dan
Exit Poll”, Yogyakarta : FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2007. h.10. 2 Kismiantini, disampaikan dalam makalah “Pengumpulan Data Dengan Quick Count dan
Exit Poll”, Yogyakarta : FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2007. h.1
37
Indonesia, hitung cepat (Quick Count) pertama kali dilakukan oleh Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) untuk
mengetahui hasil pemilu tahun 1997.3 Hasil hitung cepat yang dilakukan cukup
sukses untuk memperkirakan hasil pemilu di DKI Jakarta yang sayangnya tidak
dipublikasikan akibat kondisi keamanan.
Pada pemilu tahun 1999, LP3ES kembali melakukan hitung cepat dan
dengan spektakuler mampu memprediksi hasil pemilu di pulau Jawa dan provinsi
NTB. Kemudian memasuki tahun 2004, LP3ES melakukan kerjasama dengan
National Democratic Institute for International Affairs (NDI) melakukan hitung
cepat pemilu dan secara luar biasa mampu memprediksi pemenang pemilu
termasuk urutan pemenang pemilu.
Keberhasilan suatu pelaksanaan hitung cepat pemilu, menurut Sumargo
ditentukan beberapa faktor, yakni:4
1. Syarat yang harus dimiliki lembaga penyelenggara hitung cepat, mulai dari
akses TPS; kredibilitas dan independensi; jaringan relawan; dan dukungan
perangkat komunikasi data;
2. Pelatihan yang diterima oleh seluruh elemen baik dalam mekanisme
pengumpulan data, metode pengumpulan data, hingga pengolahan data;
3. Quality Control meliputi validasi hasil perolehan data, baik validitas data
yang diterima maupun validitas tata cara pengumpulan data.
3 Handrini Ardiyanti, “Quick Count dan Permasalahannya” disampaikan pada Majalah Info
Singkat Vol. V Nomor 02/II/P3DI/Januari/2013, Jakarta: P3DI DPR RI, h. 17
4 Sumargo, “Quick Count”, diakses melalui http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-
2006-07-12-Quick-Count.shtml pada tanggal 10 Agustus 2015
38
Quick count dilakukan dengan menggunakan metode-metode penelitian
yang benar, sahih, beretika, terbuka untuk diperiksa akuntabilitasnya, netral dalam
pengertian mengedepankan kebenaran nilai-nilai ilmiah.
Quick count ini merupakan kegiatan pengambilan sampling biasa, sama
seperti survey yang sering dilakukan untuk mengkaji objek studi tertentu,
perbedaan hanya pada unit terkecil yang diambil dalam sampel. Jika survey unit
terkecil adalah desa/kelurahan sedangkan quick count ini adalah TPS. Alasan
waktu dan biaya menjadikan proses pengambilan sampling sering dilakukan baik
dalam survey maupun quick count.5
Secara teknis, pelaksanaan hitung cepat yang dilakukan oleh lembaga
survey, dalam hal ini LSI, dilakukan dengan:6
1. Penentuan jumlah TPS yang akan diamati
2. Pemilihan TPS yang akan diamati
3. Manajemen data (pengamatan, pencatatan, dan analisa data)
4. Publikasi hasil hitung cepat
Jika dicermati dari tahapan di atas, maka pemilihan TPS yang akan diamati
dan manajemen data menjadi hal yang sangat krusial dalam pelaksanaan hitung
cepat hasil pemilu sebagai suatu wujud penelitian lapangan
Quick count dilakukan dengan menggunakan metode-metode penelitian
yang benar, sahih, beretika, terbuka untuk diperiksa akuntabilitasnya, netral dalam
5 Sirait, Hasudungan. Politik Pemilu Pilkada. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
2006 h. 60.
6 Lingkaran Survei Indonesia (LSI) & Jaringan Isu Publik (JIP), “Perkiraan Hasil Akhir
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta” diakses melalui
http://www.lsi.co.id/media/HASIL _QC_DKI_8_AGUSTUS_2007-FINAL2.ppt pada tanggal 10
Agustus 2015
39
pengertian mengedepankan kebenaran nilai-nilai ilmiah. Quick count ini
merupakan kegiatan pengambilan sampling biasa, sama seperti survey yang sering
dilakukan untuk mengkaji objek studi tertentu, perbedaan hanya pada unit terkecil
yang diambil dalam sampel. Jika survey unit terkecil adalah desa/kelurahan
sedangkan quick count ini adalah TPS. Alasan waktu dan biaya menjadikan proses
pengambilan sampling sering dilakukan baik dalam survey maupun quick count.7
Besaran populasi yang dijadikan sampel memang semakin baik untuk
menjamin data yang diperoleh akan sesuai dengan cerminan kondisi yang terjadi
di masyarakat. Namun, metode pemilihan sampel, dalam hal ini TPS, memiliki
pengaruh yang jauh lebih besar dari jumlah populasi yang dipilih dalam sebuah
penyelenggaraan hitung cepat. Metode pemilihan TPS yang dijadikan sampel
dalam pelaksanaan hitung cepat hasil pemilu sejatinya harus mampu memetakan
dan mencerminkan kondisi real masyarakat dari berbagai faktor, baik faktor
kependudukan, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.
Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis pengambilan sampel yang dikenal
dalam ilmu statistika, yakni:8
1. Sampel Stratifikasi (Stratified Random Sampling)9
Sampel stratifikasi merupakan teknik penarikan sampel dengan sampling unit
yang dikelompokkan menjadi beberapa strata (kelompok). Kelebihan
penggunaan metode sampel stratifikasi adalah kemudahan analisis yang dapat
7 Sirait, Hasudungan. Politik Pemilu Pilkada. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
2006 h. 60.
8 Kismiantini, disampaikan dalam makalah “Pengumpulan Data Dengan Quick Count dan
Exit Poll”, Yogyakarta : FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2007. h. 5. 9 Scheaffer RL, Mendenhall W & Ott L, Elementary Survey Sampling, Boston: PW S-Kent,
1990, h. 22
40
disajikan baik secara keseluruhan, per strata, ataupun perbandingan antar
strata.
2. Sampel Klaster (Cluster Sampling)10
Sedangkan sampel klaster adalah sampel peluang dengan masing-masing unit
sampel (Sampling Unit) adalah kumpulan atau klaster dari elemen. Elemen
diartikan sebagai objek dimana pengukuran dilakukan. Cara pengambilan
sampel pada sampel klaster dilakukan dengan pembagian populasi kedalam
beberapa klaster yang kemudian dari klaster tersebut akan dipilih secara acak
sub-klaster yang akan diambil seluruh elemennya.
Berdasarkan data hitung cepat pemilu tahun 2004, sebagian besar lembaga
melakukan hitung cepat melalui metode Multistage Random Sampling. Pada
dasarnya Multistage Random Sampling merupakan gabungan dari metode sampel
stratifikasi dan sampel klaster. Stratifikasi diperlukan sebagai upaya heterogenitas
dari populasi dapat tercermin didalam sampel, sedangkan metode klaster
diperlukan untuk menekan biaya akibat sebaran sampel yang terlalu sulit
dijangkau.11
Dewasa ini, pelaksanaan hitung cepat hasil pemilu dilakukan bersama
dengan jajak pendapat terhadap pemilih yang baru saja memilih dalam pemilihan
umum yang biasa disebut dengan exit poll. Exit Poll dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui lebih dalam distribusi suara pemilih termasuk
karakteristiknya.12
10
Scheaffer RL, Mendenhall W & Ott L, 1990, h. 24
11 Kismiantini, disampaikan dalam makalah “Pengumpulan Data Dengan Quick Count Dan
Exit Poll”, Yogyakarta : FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2007. h. 9
12 Kristiato TA, “Jaga Kredibilitas Dengan Penghitungan Lebih Dini, Harian Kompas
tanggal 10 Agustus 2007, h. 53
41
B. IMPLEMENTASI PELAKSANAAN HITUNG CEPAT (QUICK COUNT)
DALAM PEMILU
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, partisipasi masyarakat
dalam pemilu diatur dalam Bab XIX pasal 246-248 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pengaturan hanya sebanyak 3 (tiga) pasal tentunya tidak cukup untuk mengatur
partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum.
Mengenai pengaturan teknis perihal partisipasi masyarakat diatur lebih
lanjut oleh KPU sebagai mandatory institution pelaksanaan pemilihan umum di
Indonesia. Pada tahun 2013, KPU mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 23 Tahun
2013 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum
yang diubah melalui Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2014.
Pelaksanaan hitung cepat (quick count) hasil pemilu, sebagai bagian dari
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu dilakukan dengan beberapa
prinsip sebagai acuan (pasal 2 PKPU Nomor 23 Tahun 2013), diantaranya:
1. Kesukarelaan 2. Transparan
3. Akuntabel 4. Kredibel
5. Kepastian Hukum 6. Kepentingan Umum
7. Proprsionalitas 8. Profesionalitas
9. Anti Kekerasan 10. Efisien
11. Tidak Memihak 12. Efektif
Keduabelas prinsip di atas tidak boleh bertentengan dengan asas
penyelenggaraan pemilu yang LUBER JURDIL (Langsung, Umum, Bebas,
42
Rahasia, Jujur dan Adil) dan dilakukan secara efektif dan efisien. Maksud tidak
boleh bertentangan di sini berarti bahwa pelaksanaan survey, sosialisasi,
pemantauan, dan hitung cepat (Quick Count) tidak boleh mengganggu hak warga
Negara dalam menyalurkan suaranya dalam pemilihan umum, baik mengganggu
proses, akses, kerahasiaan, hingga hal-hal lain yang terindikasi mengarahkan
kepada salah satu peserta pemilu tertentu.
Hal tersebut telah disarikan secara jelas dalam pasal 246 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012, dimana partisipasi masyarakat dalam pemilu tidak
melakukan keberpihakan, tidak mengganggu proses penyelenggaraan pemilu,
meningkatkan partisipasi masyarakat dan mendorong suasana yang kondusif bagi
pemilihan umum yang aman, damai, tertib dan lancar.
Pemberian hak oleh Negara kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pemilihan umum, melalui bentuk-bentuk yang telah dijelaskan
sebelumnya, tentunya memiliki maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tersebut
dimaksudkan agar dalam prakteknya partisipasi yang dilakukan memiliki arah dan
orientasi yang jelas, sehingga diharapkan dengan adanya partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pemilu dapat mendorong peningkatan kualitas
penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Menurut Pasal 3 ayat (1) PKPU Nomor 23 Tahun 2013, partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu memiliki tujuan untuk:
1. Memberikan informasi kepemiluan;
2. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pemilu dan hak politik rakyat dengan benar dalam pemilu;
43
3. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pemilu.
Sebuah hubungan hukum antara 2 (dua) pihak atau lebih tentunya akan
melahirkan sebuah hubungan timbal balik antara para pihaknya. Hubungan timbal
balik tersebut pada akhirnya akan membuat salah satu pihak mendapatkan hak
yang sepatutnya diterima dan disisi lain melakukan kewajiban yang sepatutnya
dilakukan.
Dalam hal keperdataan, hak tersebut berupa hak untuk menerima
pembayaran, penyerahan barang, mendapat perlakuan tertentu, dan hak lainnya.
Sedangkan kewajiban berupa kewajiban untuk melakukan sesuatu, larangan
berbuat sesuatu atau kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu.
Hak dan kewajiban juga berlaku dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya
terkait partisipasi masyarakat, dimana terjadi sebuah hubungan hukum antara
penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU/Bawaslu, dan masyarakat. Hak dan
kewajiban masyarakat tersebut kemudian diatur dalam pasal 6 dan pasal 7 PKPU
Nomor 23 Tahun 2013, di mana hak dan kewajiban masyarakat dalam partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu meliputi:
1. Hak Masyarakat
a. Memperoleh informasi publik terkait dengan pemilu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
b. Menyampaikan dan menyebarluaskan informasi public terkait pemilu;
c. Berpendapat menyampaikan pikiran baik lisan maupun tulisan;
d. Ikut serta dalam proses penyusunan kebijakan dan peraturan pemilu;
e. Ikut serta dalam setiap tahapan pemilu;
44
f. Ikut serta dalam evaluasi dan pengawasan penyelenggaraan pemilu;
g. Melakukan konfirmasi berdasarkan hasil pengawasan atau pemantauan
penyelenggaraan pemilu;
h. Memberi usulan tindak lanjut atas hasil pengawasan atau pemantauan
penyelenggaraan pemilu.
2. Kewajiban Masyarakat
a. Menghormati hak orang lain;
b. Bertanggungjawab atas pendapat dan tindakannya dalam berpartisipasi;
c. Menjaga prinsip-prinsip dalam partisipasi;
d. Menjaga etika dan sopan santun berdasarkan budaya masyarakat.
Partisipasi yang dilakukan masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu,
khususnya terkait survey dan penghitungan cepat (quick count) wajib dilakukan
oleh lembaga yang telah terdaftar di KPU (pasal 21) tergantung dari ruang lingkup
kegiatannya, dimana apabila survey atau penghitungan cepat (quick count)
dilakukan di lebih dari 1 (satu) provinsi, maka wajib mendaftar di KPU pusat,
sedangkan apabila dilakukan didalam 1 (satu) provinsi wajib mendaftar di KPU
Provinsi, dan apabila dilakukan didalam 1 (satu) kabupaten/kota wajib mendaftar
di KPU Kabupaten/Kota.
Adapun persayaratan pendaftaran lembaga penyelenggara survey dan
penghitungan cepat (quick count) diatur dalam pasal 22 PKPU Nomor 23 Tahun
2013, meliputi:
1. Akte pendirian/badan hukum lembaga;
2. Susunan kepengurusan lembaga;
45
3. Surat keterangan domisili dari kelurahan/desa atau instansi pemerintahan
setempat;
4. Pas foto berwarna pimpinan lembaga 4 x 6 = 4 lembar;
5. Surat pernyataan lembaga.
Surat pernyataan lembaga sebagaimana persyaratan yang disampaikan
diatas meliputi:
1. Pernyataan tidak melakukan keberpihakan kepada peserta pemilu tertentu;
2. Tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan pemilu;
3. Bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat secara luas;
4. Mendorong terwujudnya suasana kondusif bagi penyelenggaraan pemilu yang
aman, damai, tertib dan lancer;
5. Benar-benar melakukan wawancara dalam pelaksanaan survey dan jajak
pendapat;
6. Tidak mengubah data lapangan maupun dalam pemrosesan data;
7. Menggunakan metode penelitian ilmiah;
8. Melaporkan metodologi pencuplikan data (sampling), sumber dana,
jumlah responden, tanggal dan tempat pelaksanaan survey atau jajak
pendapat hitung cepat.
Setiap lembaga yang melakukan kegiatan penghitungan cepat (quick count)
pemilihan umum, menurut pasal 23 ayat (3) PKPU Nomor 23 Tahun 2013 wajib
mendaftarkan kepada KPU paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum
pemungutan suara dan melaporkan hasilnya kepada KPU paling lambat 15 (lima
belas) hari setelah pengumuman hasilnya (pasal 24).
46
Setiap pelaksanaan survey/penghitungan cepat (quick count) yang dilakukan
oleh lembaga wajib disebarluaskan hasilnya kepada publik, dimana publikasi yang
dilakukan dengan memberitahukan sumber dana, metodologi yang digunakan,
jumlah responden, tanggal pelaksanaan survey, cakupan pelaksanaan survey dan
pernyataan bahwa hasil tersebut bukan hasil resmi KPU.
Di sisi lain menurut pasal 23 ayat (4) PKPU Nomor 23 Tahun 2013,
pengumuman hasil penghitungan cepat (quick count) pemilihan umum baru boleh
dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah, selesai pemungutan suara diwilayah
Indonesia bagian barat.
Apabila dalam praktiknya, masyarakat keberatan atas pelaksanaan hitung
cepat (quick count) penghitungan pemilu yang diduga melanggar ketentuan dapat
melaporkan kepada KPU dengan menyertakan identitas diri pelapor. Apabila
kemudian diduga ada pelanggaran etika yang dilakukan lembaga penyelenggara
penghitungan cepat (quick count) pemilihan umum, maka KPU, KPU Provinsi,
dan KPU Kabupaten/Kota dapat membentuk dewan etik atau asosiasi lembaga
survey untuk menilai dugaan tersebut. Apabila lembaga terbukti melanggar kode
etik maka sanksi yang dapat diberikan adalah berupa teguran atau larangan
melakukan kegiatannya. Sedangkan pelanggaran ketentuan pidana maka akan
diproses sebagaimana penanganan tindak pidana pemilu yang diatur dalam UU
Nomor 8 Tahun 2012.
47
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 24/PUU-XII/2014
A. Pihak Terkait Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-
XII/2014
Dalam Judicial Review yang dimohon kepada Mahkamah Konstitusi atas
pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) serta pasal 291 dan pasal 317 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dengan nomor register perkara
24/PUU-XII/2014 melibatkan beberapa pemohon, yakni:
1. PT. Indikator Politik Indonesia, badan hukum yang dibentuk berdasarkan
akta pendirian persero Nomor 17 Tanggal 22 Februari 2013 dihadapan notaris
Herawati, S.H yang dalam hal ini diwakili oleh Burhanuddin selaku direktur
utama;
2. PT. Saiful Mujani, badan hukum yang dibentuk berdasarkan akta pendirian
persero Nomor 02 Tanggal 3 Agustus 2012 dihadapan notaris Lilly Fitriyani,
S.H yang dalam hal ini diwakili oleh Grace Natalie Louisa selaku direktur;
3. PT. Pedoman Global Utama, badan hukum yang dibentuk berdasarkan akta
pendirian persero Nomor 19 Tanggal 1 Juni 2011 dihadapan notaris Dradjat
Darmadji, S.H yang dalam hal ini diwakili oleh Mochamad Fadjroel
Rachman selaku direktur utama;
4. PT. Indonesian Consultant Mandiri, badan hukum yang dalam hal ini
diwakili oleh Yunarto Wijaya selaku Direktur Eksekutif;
48
5. Yayasan Populi Indonesia, badan hukum yang dibentuk berdasarkan akta
pendirian yayasan Nomor 34 Tanggal 6 Juni 2012 dihadapan notaris Emmy
Halim, S.H, M.Kn yang dalam hal ini diwakili oleh Usep Saepul Ahyar
selaku direktur
B. Legal Standing Pemohon Pengujian Undang-Undang (Judicial Review)
Proses beracara dalam Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya, dijelaskan bahwa
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh Undang-Undang, yaitu: perorangan warga
Negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat (sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI); badan hukum
public atau privat; dan lembaga Negara”.
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, ditafsirkan oleh
Mahkamah Konstitusi melalui yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-
V/2007.
Ke 2 (dua) putusan tersebut di atas, setidaknya mengatur 5 (lima) syarat
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yakni:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
49
2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, oleh pemohon dianggap
telah dirugikan oleh berlakunya Undang-undang yang dimohonkan pengujian;
3. Adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
4. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Jika dilihat berdasarkan subjek hukumnya, berdasarkan apa yang telah
diutarakan pada poin (A) di atas, pemohon seluruhnya adalah badan hukum privat
yang telah memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam bentuk
organizational standing yang sudah dikenal dalam kehidupan bernegara dan
diakui dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan didirikan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.
Bila, berdasarkan hubungan kausalitas (sebab-akibat) atas pasal yang diuji,
para pemohon memiliki keterkaitan erat atas diundangkannya pasal 247 ayat (2),
ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) juncto Pasal 291 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012.
Hubungan sebab-akibat ini terjadi karena seluruh oganisasi/badan hukum
privat yang mengajukan permohonan Judicial Review ini memiliki maksud dan
tujuan yang diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
masing-masing organisasi untuk melakukan riset/survey opini publik yang terkait
50
dengan politik dan pemerintahan, termasuk didalamnya survey pemilu dan hitung
cepat hasil pemilu.
Menurut pemohon, atas pemberlakuan pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat
(6) serta pasal 291 dan pasal 317 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 telah melanggar hak konstitusionalnya yang dijamin setidaknya
didalam 8 (delapan) pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, diantaranya:
1. Pasal 28 C ayat (2) berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan Negara”;
2. Pasal 28 D ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum”;
3. Pasal 28 E ayat (3) berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”;
4. Pasal 28 F berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpa,
mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia”;
5. Pasal 28 G ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
51
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi”;
6. Pasal 31 ayat (1) berbunyi “Setiap warga Negara berhak mendapatkan
pendidikan”;
7. Pasal 31 ayat (3) berbunyi “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”;
8. Pasal 31 ayat (5) berbunyi “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014
Berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemohon, jawab-menjawab
pemohon dan termohon serta pemeriksaan alat bukti, maka Majelis Hakim
Konstitusi menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI:
Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) pasal 291 serta
pasal 317 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
52
Menyatakan pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) pasal 291 serta
pasal 317 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia;
D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014
1. Hitung Cepat Hasil Pemilu Sebagai Hak Asasi dan Partisipasi
Masyarakat Dalam Pemilu
Partisipasi masyarakat dalam pemerintahan merupakan salah satu
wujud pengakuan HAM oleh Negara kepada warga Negara. Pasal 43 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 telah menjelaskan bahwa “Setiap
warga Negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung….”.
Hal tersebut kemudian menjadi awal dari rezim dalam pelaksanaan
demokrasi dalam administrasi Negara di Indonesia, dimana terdapat
pengakuan terhadap partisipasi masyarakat dalam kegiatan bernegara di
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 sendiri mengatur partisipasi
masyarakat kedalam 3 (tiga) pasal yakni pasal 246-248. Pasal 247 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menjelaskan bahwa “Pengumuman
prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling
cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia
bagian barat” Frasa “hanya boleh” sebagaimana yang dijelaskan dalam
rumusan pasal di atas dengan jelas memberikan makna limitatif atas kegiatan
53
pengumuman hasil hitung cepat pemilihan umum. Padahal, dalam konteks
quick count, sistem ini bekerja berdasarkan quick (kecepatan) dan count
(perhitungan).1 Pengumuman hasil hitung cepat pemilihan umum, atau yang
biasa disebut Quick Count, merupakan metode verifikasi hasil pemilihan
umum yang menggunakan metodologi tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Hasil hitung cepat pemilihan umum adalah sebuah produk ilmiah yang
berguna bagi kehidupan masyarakat secara empiris. Pembatasan
pengumuman hasil hitung cepat (sebuah produk ilmiah) tentunya akan
bertentangan dengan konstitusi kita, dimana pasal 31 ayat (5) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa
“Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia”.
Selain itu pembatasan pengumuman hasil hitung cepat pemilihan
umum, juga dinilai melanggar hak konstitusional pemohon atas mengeluarkan
pendapat (pasal 28 E ayat 3) dan hak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan segala jenis
saluran yang ada (pasal 28 F).
Pasal 19 UDHR (Universal Declaration Of Human Rights),
menyebutkan, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut
1 Nur Rosihin Ana, MK Kembali Batalkan Larangan “Quick Count” di Masa Tenang,
Majalah Konstitusi Nomor 87 Mei 2014, Jakarta: Mahkamah Konstitusi, h. 22
54
pendapat tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan keterangan (informasi) dan pendapat dengan cara apapun dan
dengan tidak memandang batas-batas.2Dalam hal ini, majelis hakim
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa segala jajak pendapat, survey atau
penghitungan cepat hasil pemilu dengan menggunakan metodologi ilmiah
adalah sebuah bentuk pendidikan, pengawasan dan penyeimbang dalam
proses penyelenggaraan Negara. Sumbangan yang dihasilkan dari proses
tersebut, dalam sebuah informasi, dapat disebarkan dan diperoleh masyarakat
dan penyelenggara Negara sebagai bentuk pencerahan.
Menurut majelis hakim Mahkamah Konstitusi, tidak ada data yang
akurat bahwa pengumuman hasil hitung cepat pemilu telah menganggu
ketertiban umum sehingga perlu dibatasi. Bahkan sejak awal, menurut majelis
hakim Mahkamah Konstitusi, masyarakat telah diinformasikan bahwa hasil
quick count bukanlah hasil resmi pemilihan umum. Namun, masyarakat
berhak untuk mengetahui informasi, mengingat hak untuk tahu (rights to
know) merupakan bagian dari HAM yang memberikan preferensi dan
mencerdaskan masyarakat untuk senantiasa mengawasi hasil penghitungan
resmi oleh KPU. Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 secara tegas telah mengakui dan menjamin atas hak
tersebut.
Berdasarkan argumentasi di atas, kegiatan hitung cepat (quick count)
hasil pemilu, termasuk pengumumannya, merupakan salah satu instrumen
2 Abdul Wahid, Quick Count: Hak Atas Informasi atau Pembohongan Publik?, Jurnal
Konstitusi Volume 6 Nomor 3 September 2016, Jakarta: Mahkamah Konstitusi, h. 7
55
Hak Asasi Manusia (HAM) yang menurut Jimly Asshidiqie masuk kedalam
kelompok kedua dalam pengakuan HAM di Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, terkait dengan hak politik, ekonomi, sosial
dan budaya (Poleksosbud).3 Kegiatan hitung cepat (quick count), sebagai
HAM yang termasuk derogable rights, tentunya harus dibatasi hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Hal ini kemudian dijelaskan oleh majelis hakim Mahkamah
Kontitusi, bahwa sebagai derogable rights, pengumuman hasil hitung cepat
(quick count) wajib dilakukan dengan syarat:
a. Dilakukan dengan metodologi ilmiah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan;
b. Tidak bertendensi untuk mempengaruhi psikologis pemilih/memihak
peserta pemilu tertentu.
Partisipasi pada dasarnya adalah wujud dari demokrasi, dimana
kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Implementasinya
dalam kegiatan politiknya jelas bahwa rakyat berhak untuk mengetahui,
berpendapat, berperan serta, bereaksi dalam setiap kebijakan pemerintah.4
Jika kita mendalami konsep partisipasi masyarakat, secara umum ada 4
(empat) konsep partisipasi, yakni partisipasi sebagai kebijakan, partisipasi
3 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006
4 Jazim Hamidy, Pembentukan Perda Partisipatif, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008, h. 46
56
sebagai strategi, partisipasi sebagai alat komunikasi, partisipasi sebagai alat
penyelesaikan sengketa.5
Jika dikaitkan dengan praktek pengumuman hitung cepat (quick count)
pemilu, konsep partisipasi yang mendekati adalah partisipasi sebagai alat
komunikasi. Hal tersebut sejalan dengan hak asasi yang menjadi dasar
absahnya praktek hitung cepat (Quick Count), yakni pasal 28 E ayat (3) dan
28 F.
Kehadiran pelaksanaan hitung cepat (quick count) pemilu, maka
pemerintah akan terbantu dalam hal edukasi dan sosialisasi terhadap
masyarakat. Disisi lain, masyarakat juga akan semakin mudah untuk
mengawasi rekapitulasi perhitungan suara pemilu dengan adanya acuan suara
hasil hitung cepat (quick count) yang dilakukan oleh lembaga survey.
Menurut Pasal 246 ayat 2 huruf (c) dan (d) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012, partisipasi masyarakat dalam pemilu, termasuk quick count,
bertujuan untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat pemilih; dan
mendorong terwujudnya suasana kondusif bagi penyelenggaraan pemilu yang
aman, damai, tertib dan lancar. Hal tersebut dijelaskan lebih lanjut melalui
Pasal 3 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2013, Partisipasi
masyarakat dalam pemilu bertujuan untuk:
a. Memberikan informasi kepemiluan;
5 Habib Syafingi, Urgensi Pendidikan Politik Dalam Upaya Peningkatan Partisipasi
Masyarakat Dalam Pemilu ̧Jurnal Konstitusi Volume II Nomor 1 Juni 2009, Jakarta: Mahkamah
Konstitusi & PKHK-FH Universitas Janabadra, h. 45
57
b. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran masyarakat
akan pentingnya pemilu dan hak politik rakyat dengan benar dalam
pemilu;
c. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pemilu.
Kehadiran hitung cepat (quick count) dalam pemilu khususnya yang
bekerja sama dengan berbagai media mainstream (televisi, dkk) secara terang
telah memberikan informasi kepada masyarakat, berupa distribusi suara
melalui exit poll dan perkiraan hasil pemilu melalui quick count, serta
mendorong keterlibatan masyarakat dalam mengawasi penyelenggaraan
pemilu, khususnya rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU
selaku penyelenggara pemilu. Dengan demikian diharapkan hasil pemilu
dapat diprediksi dan mempersempit kecurangan yang dilakukan pada tahapan
rekapitulasi perhitungan suara diberbagai tingkatan penyelenggaraan pemilu.
Pada akhirnya sebagai sebuah pengakuan dan penghormatan terhadap
hak asasi warga Negara dibidang sosial politik, pelaksanaan hitung cepat
(quick count) pemilu merupakan sebuah upaya melestarikan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk membawa lebih banyak
kemashlahatan bagi masyarakat dengan penyebaran informasinya secara
bebas dan tak terbatas.
Diharapkan hal ini membawa dampak positif dan peningkatan kualitas
pelaksanaan pemilu, khususnya terhadap pertumbuhan partisipasi masyarakat
dan pembatasan peluang manipulasi hasil pemilu, baik yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu, status quo, maupun peserta pemilu.
58
Disisi lain, perlu juga dicermati bahwa ada pelaksanaan survey/quick
count yang dilakukan tidak independen dan memihak salah satu peserta
pemilu. Karena disisi lain, lembaga penyelenggara survey/hitung cepat (quick
count) pemilu juga merangkap sebagai konsultan politik para peserta pemilu.
Dengan demikian, menurut Siti Chamidah, lembaga/organisasi survey, dalam
melakukan hitung cepat (quick count) harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:6
a. Aspek legalitas, mulai dari izin operasional dari KPU, juga pengesahan
badan hukum dari Kemenkumham;
b. Menjaga kredibilitas dan netralitas dalam menjalankan fungsinya;
c. Memiliki kompetensi, khususnya dalam hal sistematika dan metodologi
jajak pendapat dan penghitungan suara.
2. Kontribusi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014
Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu
Setiap produk hukum, baik putusan pengadilan, perjanjian (kontrak),
maupun peraturan perundang-undangan, tentunya akan membawa akibat dan
konsekuensi hukum kepada setiap orang yang terkait.
Berlakunya pasal 247 ayat (2), ayat (5), ayat (6) serta pasal 291 dan
pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentunya memberikan dampak kepada masyarakat yang melakukan partisipasi
6 Siti Chamidah, Pemilu 2009, Pemasaran Politik Dan Lembaga Survey, Jurnal Ekonomi
Pembangunan, Manajemen dan Akutansi, Banjarmasin: FE Universitas Lambung Mangkurat,
2010
59
dalam pelaksanaan pemilu, khususnya dalam kegiatan survey dan hitung
cepat (quick count) pemilu.
Khusus untuk pelaksanaan hitung cepat (quick count) pemilu,
berlakunya ketentuan di atas akan membawa dampak kepada
lembaga/organisasi sehingga tidak dapat mengumumkan hasil hitung cepat
(quick count) pemilu secara langsung, melainkan harus menunggu hingga 2
(dua) jam setelah pemilihan di wilayah Indonesia paling barat. Hal tersebut di
atas mendorong lembaga/organisasi mengajukan permohonan pengujian
undang-undang (Judicial Review) kepada Mahkamah Konstitusi kemudian
diputus melalui putusan Nomor 24/PUU-XII/2014 yang pada intinya
mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya sehingga menyatakan
ketentuan pasal 247 ayat (2), ayat (5), ayat (6) serta pasal 291 dan pasal 317
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tidak berlaku lagi
dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Berdasarkan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi mengemban fungsi
sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) yang
menafsirkan konstitusi dan menjamin konstitusi sebagai dokumen hidup (a
living document). Salah satu hal yang dijamin dalam konstitusi adalah
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM).7 Maka
sebagai upaya melindungi pengakuan dan penegakan HAM di Indonesia,
khususnya terkait masalah yang dihadapi oleh lembaga/organisasi yang
7 Janedjri M. Gaffar, Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi
Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu, Jurnal Konstitusi volume 10 Nomor 1 Maret 2013,
Jakarta: Mahkamah Konstitusi, h. 13
60
melakukan hitung cepat (quick count) Mahkamah Konstitusi memutuskan
perkara tersebut sebagaimana disebutkan diatas.
Akibat secara langsung atas pembatalan ketentuan tersebut tentunya
akan menjadi legitimasi bagi organisasi/lembaga yang menyelenggarakan
hitung cepat (quick count) pemilu untuk mengumumkan hasil hitung cepat
(quick count) sesegera setelah berakhirnya waktu pemilihan.
Dampak lain yang terjadi setelah adanya putusan ini adalah semakin
mudahnya setiap orang dalam melakukan hitung cepat (quick count), dimana
setiap orang/lembaga hanya perlu mendaftarkan dirinya dan melaporkan hasil
kegiatan hitung cepat (quick count) kepada KPU.
Disisi lain tidak ada pengawasan baik secara administrative maupun
secara etik terhadap orang/lembaga yang melakukan hitung cepat (quick
count). Hal ini tentu akan memberikan potensi adanya pembohongan publik
yang dilakukan oleh organisasi/lembaga yang menyelenggarakan hitung cepat
(quick count) pemilu. Dalam momentum pemilu tahun 2014, pertama sejak
putusan MK ini, terjadi beberapa fenomena menarik dalam hal pengumuman
hitung cepat (quick count) pemilu dimana terdapat 4 (empat) lembaga survey
yang melakukan hitung cepat (quick count) diantaranya Puskaptis, Lembaga
Survey Nasional (LSN), Jaringan Suara Indonesia (JSI), dan Indonesia
Research Center (IRC) yang hasil penghitungan cepat (quick count) pemilu
presiden bertolak belakang dengan hasil rekapitulasi penghitungan resmi oleh
KPU.
61
Bahkan menurut Nico Harjanto, Ketua Umum Perhimpunan Survei
Opini Publik Indonesia (Persepi), dimana banyak lembaga survey yang tiba-
tiba berdiri tanpa memiliki pengalaman survey, tidak diperkuat oleh peneliti
yang bagus dibelakangnya, tidak tahu pengalaman dari penelitinya, stafnya,
muncul hanya sekedar menciptakan angka-angka untuk mempengaruhi opini
publik.8 Hal ini tentu akan menjadikan subjek yang menyelenggarakan hitung
cepat (quick count) pemilu menjadi kabur, karena fungsi partisipasi dalam
pemilu yang seharusnya digunakan sebagaimana tujuan yang diamanahkan
Pasal 3 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2013, justru dijadikan alat
soft campaign untuk menggiring opini publik terhadap salah satu peserta
pemilu.
Akan menjadi sangat berbahaya jika organisasi/lembaga yang
berpartisipasi dalam pemilu, khususnya dalam kegiatan survey dan hitung
cepat (quick count) pemilu “nyambi” menjadi konsultan politik salah satu
peserta pemilu secara bersamaan. Nyambi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia itu berarti melakukan pekerjaan lain disamping pekerjaaan pokok
pada waktu senggang.
Contoh terdahulu yang amat terang adalah pada saat pemilihan gubernur
Jawa Timur, dimana hasil quick count salah satu lembaga memenangkan
8 Nico Harjanto,Hasil Wawancara yang dimuat di Harian Bisnis Indonesia tanggal 9 Juli
2014
62
pasangan Khofifah – Mujiono (Ka-Ji). Namun, hasil rekapitulasi perhitungan
KPU justru berbalik memenangkan pasangan Sukarwo – Saifullah (Kar-Sa).9
Desakan kepada pemerintah, dalam hal ini KPU, untuk segera
mendisiplinkan lembaga survey yang mengalami evolusi fungsi menjadi alat
politik peserta pemilu tertentu, semakin besar. Beragam desakan mulai dari
larangan kerja rangkap sebagai konsultan dan akreditasi sering kali
mengemuka ke daratan.10
Di sisi lain, angka partisipasi masyarakat dalam pemilu pasca putusan
MK Nomor 24/PUU-XII/2014 juga dinilai tidak signifikan. Hal ini dapat
dilihat dari rilis yang dikeluarkan KPU pasca pemilu tahun 2014 yang
menyebutkan tingkat kehadiran pemilih ke TPS untuk memilih sebesar 72%
(tujuh puluh dua persen) tidak jauh berbeda dengan pemilu tahun 2009 yang
notabene bermasalah dengan DPT.11
Lebih mencengangkan, menurut Pusat Penelitian Politik LIPI, DKI
Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat partisipasi terendah pada pemilu
legislatif Tahun 2014 (60%).12
Padahal provinsi DKI Jakarta merupakan
provinsi dengan indeks pembangunan manusia (IPM) tertinggi dibanding
9 Siti Chamidah, Pemilu 2009, Pemasaran Politik Dan Lembaga Survey, Jurnal Ekonomi
Pembangunan, Manajemen dan Akutansi, Banjarmasin: FE Universitas Lambung Mangkurat,
2010
10 Siti Chamidah, Pemilu 2009, Pemasaran Politik Dan Lembaga Survey, Jurnal Ekonomi
Pembangunan, Manajemen dan Akutansi, Banjarmasin: FE Universitas Lambung Mangkurat,
2010
11 “KPU: Partisipasi Pemilih di Pemilu 2014 Turun 2 persen”, diakses melalui
www.vivanews.com pada tanggal 23 Juli 2014
12 Mochamad Nurhasim dkk, Partisipasi Pemilih Pada Pemilu 2014: Studi Penjajakan,
Jakarta: LIPI, 2014, h. 4
63
provinsi lain, yang memiliki kemudahan akses terhadap pemerintahan,
informasi, pendidikan, dll.
Hal tersebut menunjukkan bahwa lembaga/organisasi yang selama ini
telah berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya pelaksanaan
hitung cepat (quick count), bisa dikatakan gagal dalam mengedukasi dan
menjalankan tujuan partisipasi dalam pemilu yang diatur dalam Pasal 3 ayat
(1) Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2013.
Lembaga/organisasi survey tentunya harus sadar dan kembali kepada
khittahnya untuk melakukan partisipasi sehat yang berdampak positif bagi
pencerdasan politik masyarakat, bukannya justru menjadi marketing bagi
peserta pemilu tertentu. Pemerintah juga setidaknya harus sadar dan
membangun political will untuk bersepakat dalam menentukan aturan main
yang jelas dan tegas dalam pelaksanaan kegiatan survey/hitung cepat (quick
count) pemilu. Aturan main yang dimaksud bukan berarti memberangus dan
memberantas hak asasi manusia (HAM) lembaga/organisasi dan masyarakat
terhadap akses informasi ataupun pengembangan ilmu pengetahuan,
melainkan untuk menciptakan iklim pertukaran informasi dan edukasi yang
sehat.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan pembahasan yang telah dibahas pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengumuman hasil hitung cepat (quick count) pemilu sejalan dengan prinsip
Hak Asasi Manusia yang mendukung jaminan kebebasan hak sipil dan
politik. Kegiatan hitung cepat (quick count), sebagai HAM yang termasuk
derogable rights, harus dibatasi hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu kebolehan
hitung cepat (quick count) sejalan dengan prinsip partisipasi politik warga
Negara dalam bentuk keterlibatan sipil (civil engagement). Keterlibatan
warga melalui hitung cepat (quick count) pemilu mampu dan mempersempit
kemungkinan kecurangan yang dilakukan pada tahapan rekapitulasi
perhitungan suara di berbagai tingkatan penyelenggaraan pemilu.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi berkontribusi langsung atas pembatalan
ketentuan tersebut yang tentunya akan menjadi legitimasi sebagai bentuk
partisipasi pengawasan masyarakat yang direpresentasikan melalui
organisasi/lembaga survey dan pengawas pemilu yang menyelenggarakan
hitung cepat (quick count) pemilu untuk mengumumkan hasil hitung cepat
(quick count) sesegera setelah berakhirnya waktu pemilihan. Putusan ini juga
menyebabkan dampak lain yakni, semakin mudahnya setiap orang melakukan
hitung cepat (quick count), karena setiap orang/lembaga hanya perlu
65
mendaftarkan dirinya dan melaporkan hasil kegiatan hitung cepat (quick
count) kepada KPU. Selain itu, tidak ada pengawasan baik secara
administratif maupun secara etik terhadap orang/lembaga yang melakukan
hitung cepat (quick count).
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diutarakan, maka penulis dapat
mengajukan saran yang sekiranya dapat bagi seluruh stakeholder sebagai berikut:
1. Memberikan edukasi kepada masyarakat atas pentingnya partisipasi dan
pengawasan sosial (social control) terhadap kinerja lembaga/organisasi
survey. Mendorong kepada pemerintah, khususnya KPU untuk segera
membuat regulasi teknis terkait pelaksanaan hitung cepat (quick count)
pemilu, tidak hanya perizinan, tetapi juga standarisasi ilmiah, sumber
pendanaan, dan mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi administratif
kepada pelaksana yang terbukti melanggar ketentuan administratif;
2. Merevisi UU penyelenggaraan pemilu dengan menambahkan ketentuan
perihal ancaman pidana atas penyampaian hasil survey dan quick count yang
terbukti memberikan informasi palsu kepada masyarakat dan memasukan
perbuatan ini menjadi tindak pidana pemilu. Mendorong kepada
lembaga/organisasi pelaksana untuk segera membuat self regulation atas
pelanggaran etik yang dilakukan serta menerapkan standarisasi asosiasi;
66
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Ana, Nur Rosihin, Mahkamah Konstitusi Kembali Batalkan Larangan “Quick
Count” di Masa Tenang, Majalah Konstitusi No.87 Mei 2014, Jakarta:
Mahkamah Konstitusi, 2014.
Ardiyanti, Handrini,”Quick Count dan Permasalahannya” disampaikan pada
Majalah Info Singkat Vol. V No.02/II/P3DI/Januari/2013, Jakarta: P3DI DPR
RI, 2013.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jilid II. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006.
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2008.
Chamidah, Siti, Pemilu 2009, Pemasaran Politik dan Lembaga Survey, Jurnal
Ekonomi Pembangunan, Manajemen dan Akutansi, Banjarmasin: FE
Universitas Lambung Mangkurat, 2010.
Darmastuti, Ari dan Tabah Maryana, Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia,
Lampung: Universitas Lampung, 2004.
Fahmi, Khairul , Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat., Jakarta: Rajawali Pers,
2012.
Farkhan, Muhammad, Proposal Penelitian Bahasa dan Sastra (Edisi Revisi) ,
Jakarta: Adabia Press, UIN Syarif Hidayatullah, 2011.
Gaffar, Janedjri M., Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak
Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu, Jurnal Konstitusi Volume 10
No. 1 Maret 2013, Jakarta: Mahkamah Konstitusi
Hamidy, Jazim, Pembentukan Perda Partisipatif, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008.
Harjanto, Nico, Hasil Wawancara yang dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 9 Juli
2014.
Hasudungan, Sirait, Politik Pemilu Pilkada. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen,
2006.
Junaidi, Veri, Pelibatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu,
Jakarta: Perludem, 2013.
67
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2005.
Kismiantini, disampaikan dalam makalah “Pengumpulan Data Dengan Quick Count
Dan Exit Poll”, Yogyakarta: FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2007.
Kristiato, TA, “Jaga Kredibilitas Dengan Penghitungan Lebih Dini”, Harian
Kompas, 10 Agustus 2007.
Mamuji, Sri, et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Manullang, M, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995.
Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.
Muhtadi, Burhanudin, Civil Society dan Demokrasi : Survei Tentang Partisipasi
Sosial-Politik, Jakarta, INCIS, 2003.
Nurhasim Mochamad,dkk, Partisipasi Pemilih Pada Pemilu 2014: Studi Penjajakan,
Jakarta: LIPI, 2014.
Santoso, Topo dan Didik Supriyanto, Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi,
Jakarta: Murai Kencana-PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Saragih Bintan R, Lembaga-Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di
Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1988
Scheaffer RL, Mendenhall W dan Ott L, Elementary Survey Sampling, Boston: PW
S-Kent, 1990.
Sodikin, Hukum Pemilu : Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan., Bekasi: Gramata
Publishing, 2014
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Soetopo, Ali, Strategi Pembangunan Nasional, CSIS, 1981.
Standar-Standar Internasional Untuk Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan
Kembali Kerangka Hukum Pemilu, Sweden: IDEA, 2002.
Syafiie, Inu Kencana, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung: PT. Refika Aditama,
2005.
Tim Penyusun, Buku Data dan Infografik Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.,
Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2014.
68
Tim Penyusun, Naskah Akademis Perubahan UU No. 10 Tahun 2008, Jakarta:
BPHN.
Tim Penyusun, Policy Brief: Kodifikasi Undang-Undang Pemilu oleh Sekertariat
Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, Jakarta: Sekertariat Bersama
Kodifikasi Undang-Undang Pemilu.
Tim Penyusun, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
(Cetakan Ketigabelas), Jakarta: Sekertariat Jendral MPR RI, 2014.
Ubaedillah, A Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Edisi Ketiga:
Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana.
ICCE UIN Jakarta. 2008.
Wahid, Abdul, Quick Count: Hak Atas Informasi atau Pembohongan Publik?, Jurnal
Konstitusi Volume 6 No. 3 September 2016, Jakarta: Mahkamah Konstitusi,
2016.
Yulianto, dkk, Memperkuat Kemandirian Penyelenggaraan Pemilu: Rekomendasi
Revisi Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, Jakarta: KRHN, 2010.
B. Internet
KPU, “Partisipasi Pemilih di Pemilu 2104 Turun 2 Persen”, diakses pada tanggal 23
Juli 2014 dari www.vivanews.com
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Jaringan Isu Publik (JIP), “Perkiraan Hasil
Akhir Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta”
diakses pada tanggal 10 Agustus 2015 dari http://www.isi.co.id/media/Hasil-
QC-DKI-8agustus-2007-Final2.ppt
https://hiudiary.wordpress.com/2010/11/12/asas-asas-umum-penyelenggaraan-
negara/
Sumargo, “Quick Count”, diakses pada tanggal 10 Agustus 2015 dari
http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2006-07-12-Quick-
Count.shtml
C. Jurnal
Syafingi, Habib, Urgensi Pendidikan Politik Dalam Upaya Peningkatan Partisipasi
Masyarakat Dalam Pemilu, Jurnal Konstitusi Volume II No. 1 Juni 2009,
Mahkamah Konstitusi & PKHK-FH Universitas Janabadra, Jakarta.
69
D. Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2013 tentang Penghitungan Cepat
Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005
Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007
Putusan MK Nomor 24/PUU-XII/2014
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1975.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota-anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 117
Tahun 2012.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR,
DPD, dan DPRD. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 51 Tahun
2008.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum anggota-anggota
Badan Permusyawaratan/Perwakilan rakyat. Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 58 Tahun 1969.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2011.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun
1969.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2007.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2003.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 115 Tahun 2002.
70
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 1999.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2007.