KATPD Ekotoksik
description
Transcript of KATPD Ekotoksik
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang sedang giat melakukan
pembangunan disegala bidang, misalnya pertanian, pertambangan,
perindustrian, dan lain-lain. Kegiatan pembangunan tersebut telah
menghasilkan nilai ekonomis, sehingga diharapkan mampu memberikan
kesejahteraan masyarakat diberbagai sektor kehidupan. Selain berdampak
positif pada aspek ekonomis, pembangunan juga dapat menyebabkan dampak
negatif, yakni meningkatnya jumlah logam berat yang dapat menggangu
keseimbangan lingkungan. Salah satu logam berat yang berbahaya adalah
Kadmium (Cd).
Cd merupakan logam berat yang lama dimanfaatkan oleh manusia untuk
kepentingan berbagai macam bahan industri. Misalnya: senyawa CdS dan
CdSeS banyak digunakan sebagai zat warna, CdSO4 digunakan dalam industri
baterai yang berfungsi untuk pembuatan sel Weston, CdBr2 dan CdI2 secara
terbatas digunakan dalam dunia fotografi, (C2H5)2Cd digunakan dalam proses
pembuatan tetraetil-Pb, dan masih banyak lagi. Selain bermanfaat, buangan
industri yang mengandung Cd dapat masuk ke dalam perairan dan akan
mengalami transformasi menjadi senyawa Cd yang persisten dan sangat toksik.
Cd tersebut selanjutnya mengalami bioakumulasi dalam organisme lalu
dibiomagnifikasikan dalam rantai makanan dan akhirnya mengakibatkan
berbagai keracunan yang mengancam kesehatan manusia (Kazantzis, 2004).
Kasus keracunan Cd pernah terjadi dibeberapa negara di dunia. Pada
tahun 1858, di Rusia telah terjadi keracunan Cd pada penggosok barang-barang
perak dengan CdCO3. Pada tahun 1974, di Jepang terjadi pencemaran Cd di
sungai Jintsu. Pencemaran tersebut disebabkan oleh pembuangan limbah
pertambangan Pb – Zn yang mengandung Cd ke aliran sungai Jintsu. Meluapnya
sungai yang tercemar telah menggenangi daerah pesawahan, yang berakibat
pada terserapnya Cd oleh tanaman padi. Hal ini berdampak pada kandungan Cd
dalam padi mencapai > 3,4 µg Cd/kg. Oleh karena melampaui nilai ambang
batas maka tanaman padi tersebut tercemar unsur Cd (Kazantzis, 2004; Danny,
2006).
Di Jepang telah terjadi keracunan oleh Cd, yang menyebabkan penyakit
lumbago yang berlanjut ke arah kerusakan tulang dengan akibat melunak dan
1
retaknya tulang. Organ tubuh yang menjadi sasaran keracunan Cd adalah ginjal
dan hati, apabila kandungan mencapai 200 µg Cd/gram (berat basah) dalam
kortex ginjal yang mengakibatkan kegagalan ginjal dan berakhir pada kematian.
Korban terutama terjadi pada wanita pascamonopause yang kekurangan gizi,
kekurangan vitamin D dan kalsium. Penimbunan Cd dalam tubuh mengalami
peningkatan sesuai usia yaitu paruh-umur dalam tubuh pada kisaran 20–30
tahun (Kazantzis, 2004; Danny, 2006)
Di Kalimantan Selatan, kadar Cd akibat aktivitas penambangan dan
transportasi batubara sudah mulai mencemari lingkungan. Penelitian Aditya
(2006) disebutkan bahwa beberapa jenis udang dan rajungan diperairan pantai
Takisung dan Batakan telah tercemar logam Cd (rerata 0,213 mg/kg). Hasil
penelitian Dini Sofarini dkk (2010) telah ditemukan kadar Hg, Pb, dan Cd pada
badan air di perairan muara DAS Barito melebihi ambang batas. Hal ini diduga
akibat transportasi dan bongkar muat batubara yang melewati sungai ini.
Selain pada biota perairan, logam Cd juga ditemukan pada sayuran. Hasil
penelitian Widowati (2011) terungkap bahwa logam Cd ditemukan pada genjer,
kangkung air, dan selada air masing-masing dengan konsentrasi 4,91 µg/L; 9,28
µg/L; dan 5,91 µg/L. Pada penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa kadar Cd
berkorelasi negatif terhadap vitamin C dan vitamin A. Hal ini berarti peningkatan
kadar Cd menyebabkan penurunan kadar vitamin C dan vitamin A.
Logam Cd juga ditemukan pada berbagai organ hewan ternak. Pada
ayam broiler yang diberi pakan yang dicampur tepung ikan, telah ditemukan Cd
pada karkas, jantung, hati, usus, dan ekskreta. Logam ini masuk ke dalam tubuh
bersama makanan yang dikonsumsi tetapi makanan tersebut telah
terkontaminasi oleh Cd. Selanjutnya, Cd mengalami proses bioakumulasi dalam
organisme hidup (tumbuhan, hewan, dan manusia) dan pada tingkat tertentu
dapat menyebabkan keracunan (Dwiloka dkk, 2012).
Kadmium mudah bereaksi dengan ligan-ligan yang mengandung unsur-
unsur O,S dan N. Di dalam tubuh, Cd bereaksi dengan berbagai ligan, seperti:
OH, - COO-, -OPO3H-, -C=O,-SH, -S-S-, -NH2 dan -NH yang dapat membentuk
ikatan kompleks dengan logam penting di dalam tubuh. Ikatan kompleks ini
diduga mendasari toksisitas Cd di dalam tubuh. Toksisitas Cd disebabkan oleh
interaksi antara Cd dan ligan-ligan yang terdapat pada asam amino penyusun
penyusun enzim, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja
enzim. Kadar Cd yang tinggi dapat berinteraksi secara kompetitif dengan seng
2
yang berperan sebagai aktivator beberapa enzim. Interaksi ini berakibat pada
penghambatan sampai inaktivasi beberapa enzim-enzim, sehingga metabolisme
akan terganggu. (Del Rasso dkk, 2003; Sudarmaji dkk, 2006).
Berdasarkan hasil studi National Health and Nutrition Examinition Survey
Study tahun 1999-2006 di Amerika, ditemukan bahwa stroke dan gangguan
jantung berhubungan dengan kadar Cd di dalam darah dan urine. Peningkatan
50% kadar Cd di dalam darah menyebabkan 35% berisiko terjadinya stroke dan
48% berisiko gangguan jantung (Junenette dkk, 2010). Penelitian Afridi dkk
(2011) juga mengungkapkan bahwa pada penderita gangguan jantung dengan
riwayat perokok di Pakistan ditemukan kadar Cd yang lebih tinggi pada sampel
rambut, darah, dan urine dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Pada tingkat seluler Cd yang masuk ke dalam tubuh dimetabolisme
melalui mekanisme biotransformasi yang melibatkan sitokrom P-450 di
mitokondria. Cd mampu berikatan secara kovalen dengan sistin dan atau sistein,
yakni asam amino yang mengandung gugus –SH. Pengikatan ini berakibat pada
terjadinya ketidakseimbangan oksidatif pada sistem glutation, yakni suatu sistem
antioksidan enzimatik yang mengatur keseimbangan antara oksidan dan
antioksidan didalam tubuh. Ketidakseimbangan ini memicu peningkatan radikal
bebas dan oksidan yang selanjutnya akan bereaksi dengan biomolekul penyusun
membran mitokondria. Selanjutnya Cd dapat mempengaruhi fosforilasi oksidatif
Reaksi berkelanjutan dapat berakibat pada kerusakan oksidatif pada tingkat
selulet sampai organ (Prozialeck, 2006; Yue Zhang dkk, 2011).
Selain itu, Cd yang masuk ke dalam sel, dapat juga berperan sebagai
katalisator reaksi Maillard. Reaksi ini merupakan reaksi antara gugus karbonil
pada senyawa ribosa dengan gugus amina pada protein. Reaksi akan
menghasilkan senyawa peroksida yang bersifat sebagai oksidan, yakni molekul
yang dapat menarik elektron molekul lain. Melalui reaksi Fenton atau reaksi
Harber-Weiss, reaksi ini akan menghasilkan radikal hidroksil yang reaktif. Selain
itu reaksi yang berkelanjutan dari reaksi Maillard akan dihasilkan senyawa
metilglioksal yang bersifat toksik.
3
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah
dalam karya ilmiah ini:
a. Bagaimana metabolisme dan dampak Cd terhadap kesehatan?
b. Bagaimana ekotoksik Cd di perairan?
c. Bagaimana ekotoksik Cd di tumbuhan?
d. Bagaimana ekotoksik Cd pada fitoplankton?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan karya tulis ini bertujuan memberikan penjelasan tentang sifat
toksik Cd pada ekosistem serta dampaknya pada kesehatan manusia. Dengan
demikian, setelah membaca karya ilmiah ini, diharapakan dapat memberikan
manfaat tentang pengetahuan dinamika Cd di lingkungan perairan maupun
sedimen serta dampaknya terhadap biota perairan dan tumbuhan. Dengan
harapan, dapat diupayakan usaha perbaikan lingkungan yang lebih baik.
4
BAB II. METABOLISME KADMIUM DAN DAMPAK KESEHATAN
2.1 Manfaat Kadmium
Cd adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut
dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan Kadmium Oksida bila
dipanaskan. Cd memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4, titik leleh 321oC, titik
didih 767oC dan memiliki masa jenis 8,65 g/cm3 (Widowati dkk, 2008).
Logam Cd mempunyai penyebaran yang sangat luas di alam. Hanya ada
satu jenis mineral Cd di alam, yaitu greennockite (CdS) yang selalu ditemukan
bersamaan dengan mineral spalerite (ZnS). Mineral greennockite ini sangat
jarang ditemukan di alam, sehingga dalam eksploitasi logam Cd, biasanya
merupakan produksi sampingan dari peristiwa peleburan dan refining bijih-bijih
Zn (seng). Biasanya pada konsentrat bijih Zn, didapatkan 0,2 sampai 0,3% logam
Cd. Di samping itu, Cd juga diproduksi dari peleburan bijih-bijih logam Pb (timah
hitam) dan Cu (tembaga). Namun demikian, Zn merupakan sumber utama dari
logam Cd, sehingga produksi dari logam tersebut sangat dipengaruhi oleh Zn.
Cd merupakan logam yang lunak ductile berwarna putih seperti putih
perak Logam ini akan kehilangankilapnya bila berada dalam udara yang basah
atau lembab serta akan cepat mengalami kerusakan bila dikenai oleh uap
amonia (NH3) dan sulfur hidroksida. Sementara itu, berdasarkan sifat-sifat kimia,
logam Cd, didalam persenyawaan yang dibentuk pada umumnya mempunyai
bilangan valensi 1+. Akan tetapi, jika dimasukkan ke dalam larutan yang
mengandung ion hidroksil, ion-ion Cd2+ akan mengalami proses pengendapan.
Endapan yang terbentuk biasanya dalam bentuk senyawa terhidrasi yang
berwarna putih.
Apabila logam Cd digabungkan dengan senyawa karbonat (CO3),
senyawa posfat (PO3+), senyawa arsenat (AsO4), senyawa oksalat-Fe(III), dan
Fe(II)-sianat, maka akan terbentuk suatu senyawa yang berwarna kuning. Semua
senyawa yang terbentuk tersebut dapat larut dalam senyawa NH4OH dan
membentuk kation kompleks Cd dengan NH3.
Cd sangat banyak digunakan dalam kehidupan manusia. Logam ini telah
digunakan semenjak tahun 1950 dan total produksi dunia adalah sekitar 15.000-
18.000 per tahun. Prinsip dasar dalam penggunaan Cd adalah sebagai
stabilisator bahan pewarna dalam industri plastik dan pada elektroplating. Namun
5
sebagian dari substansi logam Cd ini juga digunakan untuk solder dan alloy-
alloynya digunakan pula pada baterai. Umumnya logam cadmium (Cd) senyawa
oksida dari cadmium (CdO), hidrat (CdH2), dan kloridanya paling banyak
digunakan dalam industri elektroplating.
Di dalam industri baterai, pesawat terbang sipil maupun militer alloy CdNi
juga sangat banyak digunakan. Di samping itu alloy Cd juga banyak digunakan
dalam industri persenjataan berat, terutama sekali alloy Cd tersebut digunakan
sebagai pemandu peluru-peluru kendali. Alloy Cd yang dibentuk dengan logam-
logam Cu, Pb, Sn dan Ag banyak digunakan sebagai bahan solder. Logam Cd
dan senyawa kadmium nitrat ini berfungsi sebagai bahan untuk mengontrol
kecepatan pemcahan inti atom dalam rantai reaksi (reaksi berantai).
Penggunaan Cd dan persenyawaannya juga ditemukan dalam industri
pencelupan, fotografi, dan lain-lain. Pemanfaatan Cd dan persenyawaannya
antara lain:
Senyawa CdS dan CdSeS banyak digunakan sebagai zat warna.
Senyawa Cd-sulfat (CdSO4) digunakan dalam industri baterai yang berfungsi
untuk pembuatan sel weston karena mempunyai potensial stabil yaitu
sebesar 1,0186 volt.
Senyawa kadmium bromida (CdBr2) dan cadmium iodida (CdI2) secara
terbatas digunakan dalam dunia fotografi.
Senyawa dietil kadmium (C2H5)2Cd digunakan dalam proses pembuatan
tetraetil-Pb.
Senyawa Cd-strearat banyak digunakan dalam perindustrian manufaktur
polyvinilklorida (PVC) sebagai bahan yang berfungsi untuk stabilizer.
2.2 Metabolisme Kadmium (Cd)
Secara umum, Cd dimetabolisme seperti senyawa senobiotik, yakni
senyawa asam atau basa organik yang lebih mudah larut di dalam lemak
sehingga tidak mudah dibuang oleh tubuh. Dalam metabolisme selanjutnya, zat
senobiotik harus ditransformasi menjadi senyawa baru yang bersifat polar,
sehingga mudah larut di dalam air dan mudah diekskresikan melalui urine,
empedu, atau paru. Keseluruhan proses ini disebut dengan biotransformasi.
6
hidroksilasi
reduksi
hidrolisis
Skema biotransformasi disajikan pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. Skema pola biotransformasi
Pada gambar 2.1, terlihat bahwa reaksi kimia yang berlangsung selama
biotransformasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fase I dan fase II. Pada fase
I, reaksi utama yang terlibat adalah hidroksilasi. Selain itu, proses
biotransformasi juga berlangsung secara oksidasi, reduksi, dan hidrolisa. Hal ini
berakibat pada terbentuknya metabolit yang lebih aktif daripada senyawa
semula. Pada fase II, senyawa yang terhidroksilasi atau senyawa lainnya yang
diproduksi dalam fase I diubah oleh enzim-enzim spesifik menjadi berbagai
metabolit polar. Mekanisme ini melalui reaksi konyugasi dengan asam
glukoronat, sulfat, asetat, glutation, atau lewat asetilasi.
2.3.1 Biotransformasi Fase I
Hidroksilasi merupakan reaksi utama yang terlibat pada biotransformasi
fase I. Enzim-enzim yang bertanggung jawab pada fase ini disebut sebagai
enzim monooksigenase atau spesies sitokrom P-450. Sit-P450 merupakan
7
Konyugasi
Biosintesa
Senobiotik Produk primer Produk skunder
Fase I Fase II
Ekskresi
Lipofilik Hidrofilik
hemoprotein, yang kadar tertinggi terdapat di dalam membran retikulum
endoplasma hepar. Selain itu, sit-P450 juga ditemukan pada kelenjar adrenal.
Secara umum, mekanisme reaksi hidroksilasi adalah
RH + O2 + NADPH + H+ R-OH + H2O + NADP
atau
Sit-P450 tereduksi Sit-P450 teroksidasi
RH + O2 R-OH + H2O
Pada reaksi hidroksilasi, RH mewakili senyawa obat, zat karsinogenik, polutan,
dan lain-lain. Mekanisme reaksi hidroksilasi sangat rumit, tetapi secara umum
dapat dijelaskan bahwa satu atom oksigen memasuki R-OH dan satu lagi masuk
ke dalam molekul air. Contoh: reaksi hiroksilasi bifenil, yakni polutan yang
bersifat toksik akan mengalami biotransformasi membentuk 4-hirdroksifenil dan
2-hidroksifenil (gambar 2.2).
Gambar 2.2. Reaksi hidroksilasi bifenil
Selain hidroksilasi, proses biotransformasi juga berlangsung secara oksidasi
maupun reduksi. Reaksi reduksi adalah peristiwa hilang/lepasnya oksigen dari
unsur/persenyawaan. Selain itu, juga dapat diartikan sebagai peristiwa
berkurangnya muatan positif dari suatu unsur atau radikal..Untuk reaksi oksidasi
memiliki pengertian yang berkebalikan dengan reaksi reduksi. Contoh dari
mekanisme ini adalah metabolime halotan. Halotan dikenal sebagai senyawa
yang bersifat anestesi, yang metabolismenya mengalami reaksi oksidasi dan
reduksi (gambar 2.3).
8
Gambar 2.3. Mekanisme reduksi dan oksidasi halotan
2.3.2 Biotransformasi Fase II
Dalam fase I, zat-zat senobiotik umumnya diubah menjadi derivat
terhidroksilasi yang bersifat lebih polar. Dalam reaksi fase II, derivat ini
terkonyugasi dengan molekul-molekul seperti asam glukoronat, sulfat atau
glutation. Peristiwa ini membuat moelul-molekul tersebut lebih bersifat larut di
dalam air, sehingga diekskresikan ke dalam urin atau getah empedu. Sebagai
penjelasan umum, pada gambar 4 disajikan metabolisme obat jenis diazepam,
yang melibatkan mekanisme reaksi fase I dan fase II.
9
Gambar 2.4. Reaksi biotransformasi diazepam pada fase I dan II
Glukoronidasi. Reaksi-reaksi dalam proses glukoronidasi zat-zat
senobiotik pada dasarnya serupa dengan reaksi glukoronidasi bilirubin. Senyawa
UDP-glukoronat merupakan donor glukoronil dengan enzim glukoronil
transferase (terdapat di dalam retikulum endoplasma maupun sitosol) sebagai
katalisator. Glukoronida dapat terikat dengan oksigen, nitrogen, dan gugus sulfur
pada substratnya. Glukoronidasi kemungkinan merupakan reaksi konyugasi yang
paling sering terjadi.
Sulfasi. Sebagaian alkohol, arilamina, dan fenol akan mengalami proses
sulfasi. Donor sulfat dalam reaksi sulfasi ini dan reaksi sulfasi biologis lainnya
(sulfasi senyawa steroid, glikosaminoglikan, glikolipid, dan glikoprotein) adalah
3’-fosfat-5’-fosfosulfat (PAPS). Senyawa ini selanjutnya disebut dengan sulfat
aktif.
Glutation. Sejumlah zat senobiotik elektrofilik yang potensial beracun
akan terkonyugasi dengan glutation. Enzim-enzim yang mengkatalisis reaksi ini
disebut glutation S-transferase, yang terdapat di dalam sitosol sel hepar.
Glutation memiliki fungsi penting lainnya, yakni (a) berperan dalam proses
penguraian hidrogen peroksida yang potensial beracun (b) zat pereduksi intrasel
yang penting mempertahankan gugus sulfihidril (gugus –SH).
Asetilasi. Pada reeaksi asetilasi, asetil ko-A merupakan donor asetil.
Reaksi ini gambarkan dalam persamaan: X + asetil-KoA Asetil-X + KoA.
Pada reaksi asetilasi dikatalisis oleh asetiltransferase.
2.3.3 Metabolisme Kadmium di dalam Tubuh
Cd masuk ke dalam tubuh dapat melalui pernafasan (asap rokok dan
kendaraan) dan oral (makanan dan minuman). Menurut WHO, jumlah Cd yang
dapat diterima oleh tubuh manusia adalah sebanyak 400-500 mg/kg BB/hari.
10
Sementara itu, batas toleransi Cd di dalam ginjal manusia adalah 200 ppm.
Waktu paruh Cd diperkirakan 10-30 tahun. Akumulasi pada ginjal dan hati 10-100
kali konsentrasi pada jaringan yang lain. Cd dieleminasi terutama melalui urin.
Hanya sedikit Cd yang diabsorbsi, yaitu sekitar 5 -10%. Absorbsi dipengaruhi
faktor diet seperti intake protein, kalsium, vitamin D, dan trace logam seperti seng
(Zn) (Sudarmaji dkk, 2006).
Penyerapan Cd di dalam paru lebih besar daripada saluran pencernaan,
yakni antara 13-19 % dengan rata-rata 16% dari jumlah Cd yang terserap. Cd
yang dihirup melalui saluran pernafasan biasanya berbentuk aerosol, yang
kecepatannya dipengaruhi oleh diameter partikel Cd.. Cd yang diserap tubuh
akan dibawa oleh darah khususnya di dalam eritrosit. Cd yang terdapat di
dalam plasma dan eritrosit akan berikatan dengan protein yang mempunyai berat
molekul tinggi, misalnya albumin dan metalotionein (Sudarmaji, 2006).
Di dalam pencernaan, penyerapan Cd dipengaruhi oleh (a) adanya villi–
villi yang memperluas daerah penyerapan Cd di dalam usus halus (b). kontak
antara Cd dengan sel epitel dalam usus yang terbawa dalam makanan sehingga
penyerapannya meningkat secara signifikan (c) Adanya cairan empedu di dalam
usus akan mengubah water soluble metabolite menjadi komponen yang memiliki
polaritas yang rendah sehingga mudah diserap oleh usus (d) adanya plasma
metalotionein pada usus, yakni metalotionein yang dapat mengikat Cd yang
terbawa di dalam makanan. Plasma metalotionein pada usus terdapat di bagian
mukosa duodenum (Dwiloka dkk, 2012).
Penyerapan Cd melalui membran dan masuk di dalam sel. Cd yang
terikat dalam protein metalotionein akan masuk ke dalam sel secara endositosis.
Cd dapat terabsorbsi dengan difusi pasif atau dengan special transport dengan
bantuan protein yang akan mengikat Cd. Dengan demikian, Cd akan berpindah
dari satu membran ke membran yang lain. Kemudian Cd akan dilepaskan dalam
suatu tempat kemudian protein tersebut akan mengikat logam lain. Protein yang
mengikat Cd adalah protein yang mempunyai gugus –SH atau S-S (Lasut, 2002;
Dwiloka, 2012).
Kadmium mudah bereaksi dengan ligan-ligan yang mengandung unsur-
unsur O,S dan N. Di dalam tubuh, Cd bereaksi dengan berbagai ligan, seperti:
OH, - COO-, -OPO3H-, -C=O,-SH, -S-S-, -NH2 dan -NH yang dapat membentuk
ikatan kompleks dengan logam penting di dalam tubuh. Ikatan kompleks ini
diduga mendasari toksisitas Cd di dalam tubuh. Toksisitas Cd disebabkan oleh
11
interaksi antara Cd dan ligan-ligan yang terdapat pada asam amino penyusun
penyusun enzim, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja
enzim. Kadar Cd yang tinggi dapat berinteraksi secara kompetitif dengan seng
yang berperan sebagai aktivator beberapa enzim. Interaksi ini berakibat pada
penghambatan sampai inaktivasi beberapa enzim-enzim, sehingga metabolisme
akan terganggu. (Del Rasso dkk, 2003; Sudarmaji dkk, 2006).
Respon Cd terhadap tubuh secara umum memiliki 3 (tiga) tipe efek yang
lazim akibat metabolisme Cd, antara lain:
(a) Cedera sel yang cukup berat sehingga menyebabkan kematian sel. Ada
banyak mekanisme yang digunakan senobiotik untuk mencederai sel. Salah
satunya pengikatan kovalen dengan makromolekul sel pada spesies yang
reaktif terhadap senobiotik yang dihasilkan dari metabolisme. Sasaran
makromolekul ini meliputi karbohidrat, protein, DNA, dan RNA.
(b) Spesies senobiotik yang reaktif dapat terikat dengan suatu protein,
momodifikasinya, dan mengubah sifat antigenitasnya. Zat senobiotik ini
dinamakan dengan hapten. Hapten adalah molekul kecil yang tidak dengan
sendirinya merangsang sintesis antibodi tetapi akan bergabung dengan
antibodi begitu unsur ini terbentuk. Antibodi yang dihasilkan ini selanjutnya
akan merusak sel melalui beberapa mekanisme imunologi yang secara
nyata merusak proses biokimiawi normal.
(c) Reaksi antara spesies karsinogen kimiawi yang aktif dengan DNA diduga
memiliki makna penting dalam karsinogenesis kimiawi.
2.4 Dampak Cd terhadap Kesehatan.
Sifat racun Cd menyebabkan berbagai dampak kesehatan pada manusia,
antara lain (Sudarmaji, 2006):
a. Efek Cd terhadap hepar
Kadmium (Cd) dalam tubuh terakumulasi dalam hati dan terutama terikat
sebagai metalotionein mengandung unsur sistein, dan Cd terikat dalam gugus
sufhidril (-SH) dalam enzim seperti karboksil sisteinil, histidil, hidroksil, dan fosfatil
dari protein purin. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas Cd disebabkan oleh
interaksi antara Cd dan protein tersebut, sehingga menimbulkan hambatan
terhadap aktivitas kerja enzim dalam tubuh.
12
b. Efek Cd terhadap tulang
Efek keracunan Cd juga dapat mengakibatkan kerapuhan pada tulang.
Gejala rasa sakit pada tulang sehingga menyulitkan untuk berjalan. Terjadi pada
pekerja yang bekerja pada industri yang menggunakan Cd. Penyakit tersebut
dinamakan “itai-itai”.
(a) (b)
Gambar 2.5 (a) Gambaran sinar x dari tulang pinggul yang mengalami osteoporosis akibat Cd (b) Tulang rusuk yang mengalami osteoporosis dan dekalsifikasi
c. Efek Cd terhadap paru-paru
Beberapa efek Cd terhadap paru-paru antara lain:
Emfisema, yaitu penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan
(obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung
secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
Edema, yaitu pembengkakan yang diakibatkan kelebihan cairan di dalam
tubuh.
d. Efek Cd terhadap sistem reproduksi
Daya racun yang dimiliki oleh Cd juga mempengaruhi sistem reproduksi
dan organ-organya. Pada konsentrasi tertentu Cd dapat mematikan sel-sel
sperma pada laki-laki. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa akibat terpapar oleh
uap logam Cd dapat mengakibatkan impotensi.
13
e. Efek Cd terhadap ginjal
Logam Cd dapat menimbulkan gangguan dan bahkan mampu
menimbulkan kerusakan pada sistem yang bekerja di ginjal. Kerusakan yang
terjadi pada sistem ginjal dapat terjadi pada tubulus ginjal. Petunjuk kerusakan
yang dapat terjadi pada ginjal akibat Cd, yaitu terbentuknya asam amniouria dan
glokosuria, dan ketidaknormalan kandungan asam urat kalsium dan fosfor dalam
urin. Kerusakan ginjal akibat Cd dapat dilihat pada gambar
(a) (b)
Gambar 2.6 (a) Ginjal penderita itai-itai (b) gambaran sel ginjal pada penderita ita-itai
Hasil penelitian Wibowo dkk (2014) disebutkan bahwa kadar Cd di dalam
urin ibu hamil berhubungan dengan besarnya Glomerulus Factor Rate (GFR),
yakni parameter fungsi ginjal. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.7.
(a) (b)
Gambar 2.7 Korelasi antara kadar Cd urine dengan (a) rasio ure/kratinin (b) Glomerulus Factor Rate
14
e. Efek Cd terhadap pankreas
Keracunan Cd dapat menyebabkan penurunan fungsi pancreas. Efek
pemberian Cd pada hewan mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan
menyebabkan terjadinya hiperglikemia, pengurangan toleransi terhadap glukosa
dan menghambat aktivitas sekresi insulin.
f. Efek Cd terhadap jantung
Hipertrofi ventrikular adalah membesarnya ukuran ventrikel jantung.
Perubahan ini sangat baik untuk kesehatan jika merupakan respon atas latihan
aerobik, akan tetapi hipertropi ventrikular juga dapat muncul akibat penyakit
seperti tekanan darah tinggi.
15
BAB III. EKOTOKSIK KADMIUM DI PERAIRAN
3.1. Kadmium dalam Perairan
Air merupakan senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan umat
manusia dan makhluk hidup lainnya dengan fungsi yang tidak akan dapat
digantikan oleh senyawa lain. Hampir seluruh kegiatan yang dilakukan manusia
membutuhkan air, mulai dari membersihkan diri, membersihkan tempat
tinggalnya, menyiapkan makanan dan minuman sampai dengan aktivitas-
aktivitas lainnya (Sudarmaji dkk, 2006).
Kualitas air tersebut dipengaruhi oleh keberadaan berbagai jenis
mikroorganisme patogen dan kandungan bahan kimia berbahaya dalam air
termasuk Cd sebagai logam berat. Cd merupakan logam toksik yang ditemukan
dalam bentuk CdCl2, CdSO4, dan Cd(OH)2. Senyawa ini terlarut di dalam air dan
mencemari air tawar maupun air laut. Sumber pencemaran ini banyak berasal
dari pertambangan, peleburan logam dan jenis industri lainnya, dan juga dapat
berasal dari lahan pertanian yang menggunakan pupuk atau antihama yang
mengandung logam (Darmono, 2001). Pertambangan sebagai sumber
pencemaran telah dibuktikan oleh penelitian Indarwati dkk (2007). Pada
penelitian tersebut diungkapkan bahwa penambangan emas secara liar oleh
masyarakat di Kotawaringan barat mengakibatkan meningkatnya kadar Cd dalam
air genangan penambangan serta sungai-sungai sekitar area tambang.
Cd yang terlarut di dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu akan
berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan perairan. Pencemaran
logam berat dapat merusak lingkungan perairan dalam hal stabilitas,
keanekaragaman dan kedewasaan ekosistem. Dari aspek ekologis, kerusakan
ekosistem perairan akibat pencemaran Cd dapat ditentukan oleh faktor kadar
dan kesinambungan zat pencemar yang masuk dalam perairan, sifat toksisitas,
dan bioakumulasi.
Hasil penelitian Lestari dan Edward (2004) dijelaskan bahwa di perairan
Teluk Jakarta, telah tercemar logam berat sehingga menyebabkan kematian ikan
di perairan teluk Jakarta. Kadar logam berat pada beberapa stasiun disajikan
pada tabel 3.1. Berdasarkan tabel 3.1 dapat dilihat kadar rerata di semua lokasi
penelitian adalah <0,001 ppm atau <1 ppb. Data ini menunjukkan bahwa kondisi
perairan pada saat pengamatan relatif homogen. Kadar Cd ini masih sesuai
dengan kadar Cd yang normal dalam air laut yakni 0.11 ppb, dan dengan Nilai
16
Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan untuk kepentingan biota laut adalah 0.001
ppm atau 1 ppb.
Tabel. 3.1 Kadar logam berat (ppm) di beberapa stasiun di perairan Teluk Jakarta, Mei 2004
Penelitian Ahmad (2009) juga mengungkapkan tingkat pencemaran Cd
dalam air laut dan sedimen di perairan Pulau Muna, Kabaena, dan Buton
Sulawesi Tenggara. Hasil pengukuran kadar Cd di perairan Sulawesi Tenggara
berdasarkan lokasi disajikan pada tabel 3.2. Dari tabel 3.2 tersebut dapat dilihat
bahwa kadar Cd rerata di perairan P. Kabaena, Muna, dan Buton relatif sama
yakni <0,001 ppm. Data ini menunjukkan bahwa pola sebaran Cd relatif
homogen. Kadar Cd ini masih sesuai dengan kadar Cd yang normal dalam air
laut yakni 0,11 ppb, dan Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan untuk biota
laut adalah 0,001 ppm. Berdasarkan kadar Cd ini, kualitas perairan ini masih
aman untuk biota laut.
17
Tabel 3.2. Kadar Cd rerata di perairan P. Kabaena, Muna, dan Buton
Penelitian Rahmalatu (2011) mengungkapkan bahwa kadar Cd di
perairan Maluku juga masih dalam batas aman. Pengukuran di beberapa stasiun
disajikan pada gambar 3.1.
Gambar 3.1 Hasil Analisis Kadar logam berat Cd dalam Sampel Air dan Sedimen. (Keterangan: St.1 = Perairan pantai desa Latta, St.2 = Perairan pantai desa Latuhalat, St.3 = Perairan pantai desa Liang, dan St.4 = Perairan pantai desa Tial).
Sumber-sumber logam berat Cd di perairan, berasal dari sumber yang
bersifat alami dari lapisan kulit bumi seperti masukan dari daerah pantai yang
berasal dari sungai-sungai dan abrasi pantai akibat aktivitas gelombang,
18
masukan dari laut dalam yang berasal dari aktivitas geologi gunung berapi laut
dalam, dan masukan dari udara yang berasal dari atmosfer sebagai partikel-
partikel debu. Logam berat Cd juga dapat berasal dari aktifitas manusia, seperti
limbah pasar dan limbah rumah tangga, aktivitas transportasi laut dan aktivitas
perbaikan kapal laut. Diduga bahwa aktivitas penduduk di dekat perairan pantai
pulau Ambon menyumbangkan mayoritas logam ini dalam sedimen seperti
transportasi laut, perbaikan kapal sampah rumah tangga, aktivitas pertanian,
emisi industri dan peleburan Zn dan Pb. Cd dari berbagai aktivitas pada
lingkungan perairan secara cepat diserap oleh organism perairan dalam bentuk
ion-ion bebas (Cd2+) dan berasosiasi dengan ion klorida (Cl-), pada pH 7,0
dengan presentase CdCl2 (51%), CdCl+ (39%), dan CdCl3+ (6%), dan yang tidak
terkompleksitasnya Cd2+ kira-kira 2,5% dari total (Rahmatullah, 2011)
3.2 Kadmium dalam Sedimen
Sedimen berasal dari kerak bumi yang diangkut melalui proses hidrologi
dari suatu tempat ke tempat lain, baik secara vertikal ataupun horizontal.
Sedimen terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik yang berpengaruh
negatif terhadap kualitas air. Bahan organik berasal dari biota atau tumbuhan
yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur. Bahan
anorganik umumnya berasal dari pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan
batuan terbagi atas kerikil, pasir, lumpur, dan tah liat. Butiran kasar banyak
dijumpai dekat pantai, sedangkan butiran halus banyak di perairan dalam atau
perairan yang relatif tenang. Menurut Parera (2004), ukuran butiran sedimen
berhubungan dengan konsentrasi logam berat. Hal ini dapt dilihat pada tabel 3.3.
Tabel 3.3. Hubungan ukuran butiran sedimen (µm) dengan konsentrasi logam
berat
Ukuran butiran sedimen (µm)
Konsentrasi logam (µg/g)
Cu Pb Zn
1 – 10
11 – 30
21 – 60
61 – 150
39
43
28
23
78
60
41
27
1067
623
479
308
19
Bahan partikel yang tidak terlarut seperti pasir, lumpur, tanah dan bahan
kimia anorganik dan organik menjadi bahan yang tersuspensi di dalam air,
sehingga bahan tersebut menjadi penyebab pencemaran tertinggi di dalam air
Hal ini dapat dibuktikan oleh hasil penelitian Puspitasari (2011) di kawasan
pesisir pelabuhan Cirebon. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa sedimen
pesisir Cirebon di kawasan pelabuhan dapat menyebabkan efek negatif bagi
perkembangan larva kerang, yang ditandai oleh adanya abnormalitas
perkembangan larva yang hamper 100%. Hal ini disebabkan oleh keberadaan
sedimen pada badan air mengakibatkan peningkatan kekeruhan perairan yang
selanjutnya menghambat penetrasi cahaya yang dapat menghambat daya lihat
(visibilitas) organisme air, sehingga mengurangi kemampuan ikan dan organisme
air lainnya untuk memperoleh makanan, pakan ikan menjadi tertutup oleh
lumpur. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya kerja organ
pernapasan seperti insang pada organisme air dan akan mengakumulasi bahan
beracun seperti pestisida dan senyawa logam.
Logam kadmium (Cd) merupakan unsur logam transisi pada periode V
di dalam tabel sistem periodik. Atom ini bernomor 48 dengan massa atom
112,41. Jari-jari kovalen tetrahedral Cd mirip dengan Zn sehingga dapat
memasuki struktur sphaleritr (ZnS). Kelimpahan Cd pada kerak bumi adalah
0,13 µg/g, sedangkan pada serasah (sisa tumbuhan akuatik berupa senyawa
organic dalam fasa partikulat maupun terlarut) dan lempung nilainya relatif lebih
tinggi, yakni 0,30 µg/g (Csuros and Csuros, 2002).
Pada lingkungan akuatik, Cd relatif bersifat mudah berpindah. Sebagian
besar berupa Cd2+, Cd(OH)3-, Cd(OH)4
-2, CdCO3 dan berbagai jenis senyawa
kompleks organik dan anorganik lainnya. Urutan afinitas ligan terhadap
kompleks dengan Cd di perairan darat sebagai berikut asam humat, CO32+,
OH-, Cl-, dan SO42--. Kelarutan kompleks Cd hidroksida berkurang pada saat pH
meningkat, yang ditandai oleh pembentukan padatan Cd(OH)2. Di perairan
darat, umumnya terjadi penyerapan oleh suspended solid state seperti clay.
Kopresitasi dengan Fe dan Mn terlarut juga penting untuk Cd di parairan darat
(Csuros and Csuros, 2002).
Cd memasuki lingkungan akuatik terutama dari deposisi atmosferik dari
efluen pabrik yang menggunakan logam ini dalam proses kerjanya. Di perairan
umumnya Cd hadir dalam bentuk ion-ion yang terhidrasi, garam-garam klorida,
20
terkomplekskan dengan ligan anorganik atau membentuk kompleks dengan ligan
organik (Weiner, 2008).
Cd sebagaimana logam lainnya, juga dapat mengalami perubahan
kontinyu diantara bentuk terlarut, endapan, dan terserap ke sedimen. Laju
adsorpsi, desorpsi, dan presipitasi bergantung pada pH, kimia, dan fisika
perairan serta komposisi sedimen dasar yang tersuspensi. Adsorpsi logam
terlarut ke sedimen menghilangkan logam terlarut dari perairan sehingga
bioavailabilitasnya juga berkurang. Bentuk paling sederhana kation logam
sebenarnya tidak benar-benar ada, yang ada adalah spesies terlarut yang saling
berinteraksi dengan muatan lain karena gaya elektrostatik. Kation logam
berinteraksi menarik multilayer hydration shell pada molekul air pada ujung atom
oksigennya menjadi kation yang bermuatan positif (Weiner, 2008).
H2OReaksi: Mn+ M(H2O)n+
x
dengan M adalah kation logam, n adalah jumlah muatan positif kation, x adalah
jumlah molekul air yang terdapat dalam hydration shell, nilai x biasanya 6 untuk
sebagian besar kation. Cd2+ memiliki muatan cukup besar untuk menarik molekul
air dan bertindak sebagai asam dengan cara melepaskan H+ dari molekul air
dalam hydration sphere. Interaksi kation logam dengan air menyebabkan
kelarutan logam dalam air
Reaksi: M(H2O)n+6 + H2O M(H2O)n+
5OH+(n-1) + H3O+
M(H2O)n+
5OH+(n-1) + H2O M(H2O)4(OH)2+(n-2) + H3O+
Pada setiap tahapan, logam terhidrasi secara progresif terdeprotonasi
membentuk polihidroksida yang semakin menjadi tidak mudah larut. Pada saat
yang bersamaan larutan berubah menjadi bertambah asam karena rerbentuk
H3O+. Akhrirnya, logam menjadi mengendap sebagai hidroksida bersolubilitas
rendah. Derajat keasaman yang diinduksi oleh adanya hidrasi logam adalah lebih
besar untuk katioin yang berelektronegatifitas tinggi, bermuatan besar, dan
beukuran kecil.
Pada permukaan padatan dan air, karakteristik partikel terlarut berperan
penting dalam mengatur konsentrasi unsur-unsur reaktif di dalam sistem
perairan. Partikel memiliki kapasitas pembentuk senyawa kompleks, penetralan
21
asam basa, dan transfer elektron dibandingkan komponen terlarut. Dengan
demikian partikel menjadi buffer untuk ion-ion logam, ligan, proton, dan elektron
dalam fasa terlarut. Partikulat disini material yang tertahan oleh filter berpori 0,45
µm dengan tidak mempertimbangkan koloid organik maupun anorganik yang
berada di perairan (Puspitasari, 2011)
Secara fisik, partikel bertindak sebagai reaktan, yaitu kolektor untuk
partikel-partikel lainnya (agregasi koloid, koagulasi). Akan tetapi, secara kimia
partikel yang berperan dalam banyak hal, antara lain
a. Sebagai pengumpul zat terlarut hidrofobik yang terakumulasi pada permukaan
akibat pengusiran dari air.
b. Sebagai ligan permukaan (basa Lewis) yang kemudian berinteraksi dengan
proton atau ion logam.
c. Sebagai asam Lewis yang mengikat ligan (anion dan asam-asam lemah)
dalam pertukaran ligan.
d. Sebagai permukaan bermuatan umumnya dihasilkan segera sesudah proses
adsorpsi ion logam, H+, dan ligan (terkait dengan permukaan bermuatan dan
polar)
e. Sebagai katalis redoks, yaitu penyerapan oksidan dan reduktan serta
memediasi kedua zat tersebut.
f. Sebagai donor dan akseptor elektron pada oksidasi dan reduksi particle
organik, Fe3+-okisda, FeS, sulfida lainnya.
g. Sebagai penyerap cahaya untuk menginduksi proses redosks heterogen.
Perpindahan ion logam dari badan air ke dalam sedimen dapat melalui fenomena
proses adsorpsi isoterm berdasarkan tiga model adsorpsi yaitu model partisi,
Freundlich, dan Langmuir (Suseno, 2011)
a. Model partisi, model ini berdasarkan penjabaran dari reaksi
kesetimbangan fase cair-padat yaitu
Kd[X]air [X]sedimen
[X]sedimen = Kd [X]air
Hubungan antara [X]sed dan [X]air akan linier, bila koefisien determinasi
(R2) mendekati 1. Notasi X menggambarkan konsentrasi ion logam,
[X]sed merupakan konsentrasi ion logam di dalam sedimen (mg/L), [X]air
22
adalah konsentrasi ion logam di dalam sedimen (mg/kg), dan Kd
merupakan koefisien partisi antara fasa padat dan cair.
b. Model Freundlich, model merupakan modifikasi model Kd, dan hanya
berlaku pada permukaan adsorbat yang heterogen dan proses adsorpsi
yang terjadi lebih dari satu permukaan, maka notasi (1/n) berlaku dengan
n>1.
[X]sedimen = Kf [X]air1/n
Log [X]sed = log Kf + 1/n log [X]air
Akibatnya hubungan antara log [C]sed dan log[X]air pada tersebut akan
linier, dengan 1/n sebagai slope dan log Kf intersep, maka n merupakan
jumlah permukaan adsorpsi dan Kf merupakan konstante Frendlich.
c. Model Langmuir. Model ini biasanya terjadi pada adsorpsi kimia, dan
proses adsorpsi biasanya hanya terjadi di daerah satu permukaan yang
dinyatakan dengan
[C ]air¿¿¿ ¿
Kemudian berdasarkan pada persamaan tersebut, kurva antara [C ]air¿¿¿
dengan [C]air, maka akan liniar, dengan 1/b merupakan slope dan adalah
intersep. Notasi b merupakan kapasitas adsorpsi Kl konstanta
kesetimbangan adsorpsi. Energi adsorpsi (Eads) dapat dihitung dengan
persamaan Eads = RTlnKL dengan R merupakan tetapan gas ideal
(8,314 J/K.mol), T suhu dalam derajat Kelvin. Bila suatu adsorpsi
berlangsung sebagai kimisorpsi, maka energi adsorsinya harus lebih
besar dari 20 kJ/mol.
Hasil penelitian Suseno (2011) dinyatakan bahwa perpindahan ion logam
Cd+2 ke dalam system air-sedimen di sepanjang sungai Code Yogyakarta akan
mengikuti model adsorpsi Langmuir dengan nilai energi adsorsinya adalah 16,85
kJ/mol. Berdasarkan energy adsorsi tersebut, ikatan untuk ion logam Cd+2 lebih
cenderung berupa fisisorpsi,
Logam runut yang berada dalam sedimen di sistem akuatik dapat
dilepaskan kembali ke overlying water column bergantung pada faktor kimia dan
fisika perairan, serta proses aktivitas biologi. Selain itu, gelombang dan arus
yang disebabkan oleh tiupan angin karena dapat menginduksi pengadukan
secara fisik pada permukaan sedimen. Pertukaran zat terlarut terjadi pada
23
permukaan antara sedimen dan overlying water column merupakan aspek
penting dalam siklus geokimia termasuk Cd.
3.3 Dampak Cd terhadap Biota Air
Dampak Cd terhadap biota air, diawali dengan pencemaran Cd yang
dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur komunitas perairan, jaringan
makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik, dan resistensi. Selanjutnya, akan
terjadi bioakumulasi, yakni pengambilan Cd dari badan air atau sedimen oleh
organisme air dan memekatkannya ke dalam tubuh hingga 100-1000 kali lebih
besar dari lingkungan. Kemampuan organisme air dalam menyerap (absorpsi)
dan mengakumulasi logam berat dapat melalui beberapa cara, yaitu melalui
saluran pernapasan (insang), saluran pencernaan dan difusi permukaan kulit
(Darmono dkk, 2000).
Penelitian Lestari dan Edward (2004) juga mengungkapkan bahwa logam
berat dapat mematikan beberapa biota air pada pemaparan 96 jam. Hal ini
disajikan pada tabel 3.4.
Tabel 3.4 Konsentrasi ion logam (ppm) yang mematikan beberapa biota laut pada pemaparan 96 jam
Selain itu, hasil penelitian Samsundari dan Perwira (2011) telah
menyebutkan bahwa beberapa logam berat ditemukan pada daerah budidaya
perikanan sekitar luapan lumpur lapindo Sidoarjo. Kandungan berbagai logam
berat tersebut disajikan pada tabel 3.5.
24
Tabel 3.5 Kandungan logam berat pada insang dan daging ikan berdasarkan jarak jenis sampel
Hasil penelitian Komari dkk (2013) juga mengungkapkan bahwa
kandungan kadmium pada ikan baung di perairan Pelabuhan Trisakti berkisar
0,100-0,171 ppm. Nilai ini masih di bawah baku mutu berdasarkan SK Dirjend
POM No. 03725/B/SK/VII/89 untuk biota konsumsi, yaitu sebesar 1,0 ppm.
Kandungan seng pada ikan baung di perairan Pelabuhan Trisakti berkisar 0,640-
1,428 ppm. Nilai ini masih dibawah baku mutu cemaran logam berat berdasarkan
SK Dirjend POM No. 03725/B/SK/VII/89, yaitu sebesar 100 ppm. Hasil penelitian
ini dapat dilihat pada gambar 3.2.
(a) (b)
Gambar 3.2 Grafik rata-rata kandungan kadmium (ppm) di air, sedimen dan ikan baung pada 3 titik lokasi pengambilan sampel, I=Trisakti, II=Basirih, dan III=Banjar Raya pada bulan (a) April dan (b) Mei 2012
25
Gambar 3.2 (a) menunjukkan rata-rata kandungan kadmium pada ikan
baung pengambilan sampel di bulan April di setiap lokasi pengambilan sampel.
Kandungan kadmium tertinggi terdapat pada lokasi I, yaitu Basirih sebesar 0,115
ppm. Tingginya kadar kadmium di sebabkan adanya berbagai aktivitas industri,
transportasi maupun bongkar muat di perairan sekitar pelabuhan Trisakti. Salah
satu aktivitas yang menyumbang cukup banyak limbah logam Cd di perairan
sekitar pelabuhan Trisakti adalah banyaknya galangan-galangan kapal yang
bergerak di bidang perawatan kapal dan perbaikan, dengan bahan baku yang
digunakan salah satunya adalah cat. Sementara itu, bahan baku yang terdapat
dalam cat adalah logam berat Cd, Cu dan Zn yang berguna sebagai zat
pewarnaan (pigmen) dan pelapis agar mudah kering.
Gambar 3.2 (b) menunjukkan kandungan kadmium pada ikan baung pada
pengambilan sampel di bulan Mei. Kandungan kadmium tertinggi ditemukan
pada lokasi II, yaitu di Basirih sebesar 0,171 ppm. Jika dibandingkan
pengambilan sampel bulan April dan Mei, kadar kadmium pada bulan Mei
mengalami kenaikan pada setiap titik lokasi. Hal ini diduga karena sifat dari
logam yang bioakumulatif, juga bisa dikarenakan adanya peningkatan berbagai
aktivitas disekitar lokasi yang mengakibatkan bahan pencemar lebih banyak
terdapat pada bulan Mei.
Penelitian Soegianto dkk (2004) telah membuktikan bahwa medium Cd
pada kadar sublethal (10,20,dan 30 ppb) terbukti secara signifikan menyebabkan
perubahan struktur insang (Gambar 3.3) dan hepatopankreas (Gambar 3.4) serta
menurunkan tingkat kelangsungan hidup udang regang.
26
Gambar 3.3. Lamella insang udang regang [Macrobrachium sintangense (de Man)] yang terpapar kadmium. (A) Insang udang kontrol warna terang (10 x 10). (B) Insang udang dengan konsentrasi kadmium 10 ppb terdapat hiperplasi, warna gelap (10 x 20). (C) Insang udang yang terpapar kadmium 20 ppb terdapat hiperplasi dan nekrosis, warna gelap (10 x 20). (D) Insang yang terpapar kadmium 30 ppb terdapat hiperplasi dan nekrosis, warna hitam (10 x 40). ( mc: marginal canal: lamella, Hi: hiperplasi, ne: nekrosis)
Gambar 3.4 Tubulus hepatopakreas udang regang [Macrobrachium sintangense (de Man)] yang terpapar kadmium. (A)Tubulus hepatopankreas kontrol (10 x 40). (B) Tubulus hepatopankreas yang terpapar kadmium 10 ppb (10 x 40). (C) Tubulus hepatopankreas yang terpapar kadmium 20 ppb (10 x 20) (D) Tubulus hepatopankreas yang terpapar cadmium 30 ppb(10 x 40). (tub: tubulus, vak: vakuolisasi)
27
Selain pada udang regang, Cd juga dapat menyebabkan kerusakan insang
Anodonta woodiana Lea, yakni salah satu jenis kerang air tawar (Sunarto, 2012).
Kerusakan insang Cd dengan konsentrasi 1,135 – 1,542 ppm disajikan pada
gambar 3.5
Gambar 3.5 Struktur mikroanatomi insang (perbesaran 400 kali) dengan rentang konsentrasi Cd dalam insang: 1,135 – 1,542 ppm (a) Struktur mikroanatomi insang (kontrol) (b) Struktur mikroanatomi insang dengan rentang konsentrasi Cd dalam insang sebesar 1,135 – 1,542 ppm.
Pada gambar 3.5. tampak jelas adanya kematian sel dan beberapa
lamella mengalami hyperplasia dan menyatu akibat terpapar logam berat Cd
yang menyebabkan terjadinya hypertrophy. Kematian sel dimungkinkan cairan
sel banyak yang keluar sehingga sel mengkerut dan akhirnya mati. Kematian sel
dapat berupa nekrosis atau apoptosis, hal ini dapat diakibatkan bagian fungsi
mitokondria terganggu oleh adanya pencemar logam berat Cd. Kerusakan
mitokondria yang dapat terjadi oleh berbagai sebab, akan menyebabkan
kegagalan sintesis ATP, kerusakan membran mitokondria, yang diikuti nekrosis
dan kematian se. Di samping itu, mitokondria sendiri juga memiliki peran penting
dalam suatu sistem untuk mengatur kematian sel sering dinamakan apoptosis,
yaitu program sel untuk menghilangkan beberapa sel yang tak berguna, sel tua
atau sel rusak.
28
BAB IV. EKOTOKSIK KADMIUM PADA TUMBUHAN
A. Kadar Kadmium (Cd) dalam Tanah
Secara alami berbagai logam berat terkandung di dalam tanah, terutama
tanah yang berasal dari batuan induk. Namun kegiatan manusia dapat
meningkatkan kadar logam berat di dalam tanah dan perairan. Pencemaran
logam berat di lahan sekitar penambangan dan peleburan logam tercatat sangat
tinggi. Hasil kajian di kawasan bekas peleburan seng di Palmerton, Pennsylvania
(AS) yang telah beroperasi selama 82 tahun dan daerah pertambangan logam
timbal dan seng di Kansas (AS) yang telah beroperasi selama 150 tahun
menunjukkan bahwa tingkat pencemaran logam berat di tanah dan air masih
tetap tinggi walaupun kegiatan industri di situ telah dihentikan beberapa tahun
sebelumnya (Turkdogan dkk, 2003).
Konsentrasi logam berat yang tinggi di dalam tanah dapat masuk ke dalam
rantai makanan dan berpengaruh buruk pada organisme. Tindakan pemulihan
(remediasi) perlu dilakukan agar lahan yang tercemar dapat digunakan kembali
untuk berbagai kegiatan secara aman. Di samping metode remediasi yang biasa
digunakan yang berbasis pada rekayasa fisik dan kimia, pada satu atau dua
dasawarsa terakhir ini perhatian peneliti dan perusahaan komersial serta industri
terhadap penggunaan tumbuhan sebagai agensia pembersih lingkungan
tercemar telah meningkat (Turkdogan dkk, 2003; Widaningrum dkk, 2007)
Salah satu jenis zat pencemar yang dapat membahayakan kesehatan
adalah logam berat, terutama yang bersifat racun dan sering mencemari
lingkungan, seperti raksa (Hg), timbal (Pb) dan kadmium (Cd). Keberadaan
logam berat sebagai polutan bagi lingkungan hidup diawali dengan evolusi umat
manusia dan meningkat seiring dengan berkembangnya populasi dan
industrialisasi dari proses modernisasi manusia itu sendiri. Logam berat adalah
senyawa kimia yang berupa logam dengan berat molekul yang tinggi dan
memiliki sifat beracun. Keberadaannya di air atau air limbah dengan konsentrasi
melebihi ambang batas dapat memberikan dampak negatif bagi siklus biologi
yang normal di lingkungan. Tingkat kontaminasi oleh logam berat di tanah
pertanian dapat mengakibatkan stress pada tumbuhan tiga kali lebih besar
dibandingkan oleh pestisida.
Kadmium adalah salah satu logam toksik, tersebar dalam lingkungan
melalui berbagai aktivitas manusia seperti pembuangan limbah, pupuk fosfat,
29
aktivitas industri dan pemukiman penduduk karena selektivitasnya yang rendah
tumbuhan dapat menyerap sekaligus mengakumulasi Cd yang jika berlebih dapat
mengakibatkan reduksi pertumbuhan dan kematian tumbuhan Logam berat
kadmium (Cd) dapat masuk dalam lingkungan, antara lain dapat disebabkan oleh
(a) Pelapukan batuan yang mengandung logam berat (b) Penggunaan bahan
alami untuk pupuk (c) Pembuangan sisa limbah pabrik dan sampah (Susana dkk,
2013).
Kandungan Cd dalam tanah bergantung pada batuan induk, cara
terbentuknya tanah dan translokasi logam berat di tanah. Hal ini dapat dilihat
pada tabel 4.1 (Mulyadi dkk, 2009).
Tabel 4.1. Jenis-jenis batuan induk pembentuk tanah yang mengandung logam
berat Pb dan Cd
Jumlah Cd normal di tanah kurang dari 1 μg kg-1 dan tertinggi 1700 μg kg-1
yaitu pada tanah yang diambil dari pertambangan seng. Kegiatan pemupukan
fosfat alam dan pupuk kandang juga merupakan sumber pencemar Cd di lahan
pertanian. Kadmium yang terakumulasi di dalam tanah merupakan sumber
utama Cd yang diserap tumbuhan. Pemupukan fosfat dan pupuk kandang
memiliki kontribusi terhadap peningkatan Cd pada lahan pertanian. Batuan fosfat
mengandung Cd 10-980 mg kg-1 sehingga Cd di dalam pupuk fosfat bervariasi.
Pupuk fosfat mengandung Cd 30-60 mg. Penggunaan pupuk fosfat secara terus-
menerus akan menyumbang Cd ke dalam tanah sebesar 2,0-7,2 g ha/tahun
(Widaningrum dkk, 2007; Susana dkk, 2007). Hal ini diperkuat oleh hasil
penelitian Mulyadi dkk (2009) yang mengungkapkap bahwa beberapa tanah
sawah pada sub-DAS-Juwana terdeteksi adanya logam Cd yang belum
mencemari tanah, tetapi kandungan Cd pada gabah dan beras sudah melebihi
ambang batas yang ditetapkan WHO. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.2.
30
Tabel 4.2. Kandungan logam berat Cd dalam gabah pada lahan sawah sub-DASJuwana, Pati Jawa Tengah, tahun 2008
*WHO (pada beras); tt (tidak terdeteksi)
Selain tanah, lumpur juga mengandung logam berat, Meski demikian,
masyarakat banyak memanfaatkan lumpur sebagai bahan organic sebagai media
tanam. Penggunaan lumpur dalam jumlah yang berlebih dan jangka panjang
dapat berpengaruh buruk terhadap kualitas tanah dan mengkontaminasi bagian
tanaman yang dkonsumsi akibat logam berat yang terkandung di dalamnya.
Penelitian Hindersah dkk (2014), diperoleh fakta bahwa penambahan lumpur
sampai 50% di dalam media tanam menyebabkan peningkatan akumulasi Cd di
tomat (gambar 4.1)
Pemberian 25% lumpur ke dalam tanah meningkatkan berat buah dan
jumlah buah per tanaman dibandingkan dengan tanaman tanpa lumpur (Gambar
4.1 (a) dan (b)). Aplikasi lumpur dengan dosis yang lebih tinggi tidak dapat
meningkatkan panen, bahkan pemberian 75% lumpur menghasilkan berat dan
jumlah buah yang dengan nyata lebih rendah daripada yang dihasilkan tanaman
control yang diberi 50 dan 75% lumpur (59,86 gram dan 51,52 gram) lebih besar
daripada buah dari tanaman yang tumbuh di tanah yang mengandung 25%
lumpur (51,69 gr)
31
(a) (b)
(c)
Gambar 4.1. Pengaruh berbagai dosis lumpur terhadap (a) berat buah (b) jumlah buah (c) akumulasi Cd per tanaman
Buah dari tanaman yang diberi 25 dan 50% lumpur menyerap Pb masing-
masing 1.94 mg/kg dan 2.65 mg/kg yang masih lebih rendah daripada ambang
batas dari Departemen Kesehatan RI yaitu 4 mg/kg. Namun, akumulasi Pb sudah
melebihi batas jika lumpur diberikan pada dosis 75 %. Tidak terdapat akumulasi
Cd di atas ambang batas, 2 mg/kg, pada buah tomat dari seluruh dosis lumpur
yang diberikan. Akumulasi Pb dan Cd di buah dari tanaman kontrol menjelaskan
adanya mobilitas Pb dan Cd yang secara alami telah berada di dalam tanah dan
juga yang berasal dari pupuk kandang. Selain itu pupuk fosfat menyumbang Cd
tanah mengingat batuan fosfat secara alami mengandung logam Cd. Pada
percobaan pot ini buah tomat mengakumulasi Pb dan Cd dalam jumlah yang
relatif besar. Di dalam pot tidak terjadi mobilisasi logam berat ke bagian bawah
profil tanah dan perkembangan akar dibatasi oleh ruang. Dengan demikian akar
berpotensi menyerap logam dalam jumlah yang relatif besar.
Selain pada buah tomat, logam Cd ditemukan pada tanaman sawi yang
ditanam dengan menggunajan lumpur hasil pengolahan limbah karet (Hikmah
dkk, 2013). Hal ini didasari oleh banyaknya petani di Kalimantan Selatan yang
menggunakan lumpur hasil pengolahan limbah pabrik karet sebagai pupuk.
32
Adanya logam Mn dan cd yang terdapat pada lumpur tersebut jika dimanfaatkan
sebagai pupuk alternative dikhawatirkan terakumulasi pada bagian-bagian
tanaman sawi, misalnya pada akar, batang, dan daunnya. Jika sawi tersebut
dikonsumsi oleh manusia dan hewan dapat menimbulkan gangguan kesehatan
atau keracunan. Hal ini telah dibuktikan oleh penelitian Hikmah dkk (2013) yang
hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Hasil uji kandungan Cd pada daun tanaman sawi
Keterangan:
a) Kontrol dengan perbandingan 2 kg tanah podsolik: 0 g lumpurb) Perlakuan 1 dengan perbandingan 2 kg tanah podsolik: 600 g lumpurc) Perlakuan 2 dengan perbandingan 2 kg tanah podsolik : 700 g lumpurd) Perlakuan 3 dengan perbandingan 2 kg tanah podsolik : 800 g lumpure) Perlakuan 4 dengan perbandingan 2 kg tanah podsolik: 900 g lumpurf) Perlakuan 5 dengan perbandingan 2 kg tanah podsolik: 1000 g lumpur
4.2 Mekanisme Penyerapan Logam Kadmium pada Tumbuhan
Penyerapan logam berat oleh tumbuhan dipengaruhi oleh kompetitor,
logam, ligan alam, dan buatan, karakteristik dan jenis lingkungan, tumbuhan, dan
pH larutan. Penelitian Widowati, dkk., (2011) terungkap bahwa logam Cd
ditemukan pada genjer, kangkung air, dan selada air masing-masing dengan
konsentrasi 49,1 µg/L; 9,28 µg/L; dan 5,91 µg/L Proses penyerapan tersebut
dikarenakan adanya suatu protein fitokelatin, sejenis metallothionein dalam
tumbuhan yang dapat mengikat logam, misalnya pada tumbuhan bayam..
Masing-masing tumbuhan mengembangkan mekanisme akumulasi logam
yang berbeda-beda. Tumbuhan yang hidup pada lahan dengan akumulasi logam
33
tinggi memiliki protein pengikat logam atau peptida yang diberi nama fitokelatin
(PCs) yang mirip dengan metalothionin pada mamalia. Sifat toleran ditentukan
oleh kandungan glutation (GSH), sistein (Cys) dan O-acetyl-L-serine (OAS)
sedangkan kemampuan mengakumulasikan logam berat pada jaringan
dipengaruhi oleh kandungan serine acetyltransferase (SAT) dan aktivitas
glutation reduktase. Agar dapat masuk ke dalam jaringan tanpa meracuni
tumbuhan, logam berat harus diubah menjadi bentuk yang kurang toksik melalui
reaksi kimiawi atau pembentukan kompleks dengan metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh tumbuhan. Tumbuhan umumnya mengeluarkan kelompok thiol
sebagai pengkelat (ligand), tetapi banyak juga metabolit yang dikeluarkan
sebagai ligand tergantung jenis logam yang akan dikelat, seperti yang
ditunjukkan oleh tabel 4.4.
:
Tabel 4.4. Logam-logam Berat dan Ligan Organik yang Diperlukan untuk
Membentuk Kompleks dalam Jaringan Tumbuhan
Logam Ligan Organik
Arsen (As) Fitokelatin, thiol, glutathione, asam askorbat.
Kadmium (Cd) Fitokelatin, glutathione, γ-glitamylcystein, thiols.
Krom (Cr) Thiols
Tembaga (Cu) Sitrat, metalotionin, fitokelatin 2, fitokelatin 3.
Merkuri (Hg) Thiols
Nikel (Ni) Nicotianamine, histidin, thiols, sitrat.
Timbal (Pb) Fe Glutathione
Selenium (Se) sistein, metionin.
Seng (Zn) Fitokelatin, glutathione, γ-glitamylcystein, thiols, sitrat,
malat.
4.3 Mekanisme Pengikatan Logam Berat Oleh Ligan
Di dalam tubuh tumbuhan logam berat akan diikat oleh ligan (fitokhelatin)
dengan mekanisme sebagai berikut:
Akumulasi logam → organ tumbuhan → vakuola → akseptor kompleks
logam → transport ligan (fitokhelatin) → ekskresi.
Logam berat jika sudah terserap ke dalam tubuh tidak dapat dihancurkan, tetapi
akan tetap tinggal di dalamnya hingga nanti dibuang melalui proses ekskresi.
34
Penyerapan dan akumulasi logam berat pada tumbuhan dibagi menjadi tiga
proses, antara lain:
1. Penyerapan logam oleh akar.
Penyerapan logam oleh akar berbeda antara tumbuhan satu dengan lainnya
tergantung pada jenis tumbuhannya, misalnya dengan perubahan ph, atau
ekskresi zat khelat. Ekskresi zat khelat untuk penyerapan besi disebut
fitosiderofor pada rumput-rumputan. Tumbuhan membentuk reduktase
spesifik logam untuk meningkatkan penyerapan logam, tumbuhan membentuk
suatu molekul reduktase di membran akarnya yang berfungsi mereduksi
logam yang selanjutnya diangkut melalui kanal khusus di dalam membran
akar.
2. Translokasi logam dari akar ke bagian tumbuhan lain.
Mekanisme ini yang berlangsung pada penyerapan logam cadmium (Cd).
Setelah cadmium (Cd) dibawa masuk dalam sel akar kemudian diangkut
melalui xylem, untuk meningkatkan efisiensi kadmium diikat oleh molekul
khelat (dihasilkan oleh tumbuhan) seprti fitokelatin dan glutation (yang dapat
terikat pada Cd). Molekul khelat lain seperti histidin mengikat logam Ni.
3. Lokalisasi logam pada bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak
menghambat metabolisme tumbuhan.
Untuk mencegah keracunan logam, tumbuhan memilikii mekanisme
detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam di dalam organ tertentu seperti
akar dan daun. Penimbunan Cd dapat terjadi pada akar tumbuhan Slene dioica,
daun pada tumbuhan selada air.
Tumbuhan dapat menyerap logam, peristiwa ini sebagaian besar
merupakan proses pasif, meskipun ada beberapa yang terlibat di
dalam ,metabolisme sel. Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menyerap ion-
ion dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel. Dua sifat
penyerapan ion oleh tumbuhan adalah sebagai berikut :
a. Faktor konsentrasi, yaitu kemampuan tumbuhan dalam mencapai beberapa
tingkat lebih besar dari konsentrasi ion dalam mediumnya.
b. Faktor kuantitatif akan kebutuhan hara yang berbeda pada tiap jenis
tumbuhan.
Strategi tumbuhan merespon logam berat tanah meliputi :
35
a) Metal excluders (mencegah logam berat), tumbuhan mencegah logam berat
dari media tanah dengan menjaga konsentrasi logam nerat tersebut tetap
rendah dalam tanah dengan cara mengeksudat bahan kelat tumbuhan
melalui akar.
b) Metal Indicators (indikator logam berat), spesies tumbuhan secara aktif
mengakumulai logam dalam akar, akumulasi logam dalam akar
menyebabkan perubahan struktur normalnya menjadikan tanamna sebagai
indikator logam berat.
c) Metal accumulator plant species (mengakumulasi logam berat dalam
tumbuhan), tumbuhan yang dapat menyerap kontaminan logam yang tinggi
dan dapat diendapkan dalam akar, tunas, dan atau daun disebut dngan
tumbuhan hiperakumulator. Batas kadar logam yang terdapat di dalam
biomassa agar suatu tumbuhan dapat disebut hiperakumulator berbeda-
beda tergantung pada jenis logam.
Logam umumnya akan berikatan dengan senyawa lain menjadi molekul bila
dalam perairan. Ikatan ini dapat berupa garam organik maupun anorganik, garam
yang diserap oleh akar dalam bentuk ion dapat bergerak melewati korteks sacara
simplas dan apoplas bahkan kedua-duanya.
Melalui apoplas, ion berdifusi melalui dinding sel korteks tanpa memasuki
protoplasma. Bila melalui lintasan simplas pada endodermis terjadi pemutusan
kesinambungan dengan adanya pita-pita suberin yang bersifat kedap air,
sehingga air dan bahan terlarut tidak dapat lewat satu sisi endodermis ke sisi lain
kecuali dengan difusi melalui protoplas sel endosermis dan melalui pergerakan
plasma melalui plasmodesmata. Sel-sel yang dianggap buruk pada bagian stele
mempunyai kemampuan yang rendah untuk menahan ion, sehingga cenderung
membocorkannya pada xylem.
Konsentrasi ion dalam cairan xilem yang lebih besar dibandingkan
konsentrasi larutan di luarnya menimbulkan adanya potensial osmotik, sehingga
menyebabkan penarikan air dari jaringan-jaringan sekitarnya serta menghasilkan
tekanan akar. Tekanan akar akan menaikan cairan xilem, akropetal membawa
larutan cairan xilem bersama aliran transpirasi, sehingga dengan jalan demikian
proses perpindahan ion dari akar menuju bagian tanaman yang lebih tinggi.
Komponen penting sebagai penyimpanan ion-ion logam adalah vakuola, dimana
ion-ion logam tersebut diikat oleh fitokelatin.
36
Pada tumbuhan, logam berat dapat menghambat proses metabolisme sel
dan dapat menurunkan pertumbuhannya. Hal ini terjasi karena mekanisme kerja
reaksi dari logam berat terhadap protein yang pada umumnya menyerang ikatan
sulfida. Ikatan sulfida yang diserang selalu pada molekul proteinnya yang kan
menimbulkan kerusakan struktur yang terkait. Ion-ion logam berat efektif
berikatan dengan gugus sulfuhidril seperti sistein dengan histidin dan lisin. Posisi
ion-ion logam pada metaloenzim (enzim logam) dapat digantikan oleh ion-ion
logam berat sehingga fungsi enzim sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia
di dalam sel mengalami gangguan. Cd dengan konsentrasi yang melebihi
ambang batas akan berakibat dalam proses transpirasi, fotosintesis, respirasi,
menghambat kerja enzim, mengubah permeabilitas membran dan berikatan
dengan sulfuhidril.
37
BAB V. EKOTOKSIK KADMIUM PADA FITOPLANKTON
5.1 Bioakumulasi Kadmium oleh Fitoplankton
Fitoplankton adalah produsen dan sebagai tropik level pertama dalam
rantai makanan. Kemudian fitoplankton dimakan zooplankton. Konsentrasi
polutan dalam tubuh zooplankton lebih tinggi dibanding dalam tubuh fitoplankton
karena zooplankton memangsa fitoplankton sebanyak-banyaknya. Fitoplankton
dan zooplankton dimakan oleh ikan-ikan planktivores (pemakan plankton)
sebagai tropik level kedua. Ikan planktivores dimangsa oleh ikan karnivores
(pemakan ikan atau hewan) sebagai tropik level ketiga, selanjutnya dimangsa
oleh ikan predator sebagai tropik level tertinggi. Mekanisme ini digambarkan
pada gambar 5.1.
Gambar 5.1 Rantai makanan bioakumulasi kadmium
Ikan predator dan ikan yang berumur panjang mengandung konsentrasi
kadar Cd dalam tubuhnya paling tinggi di antara seluruh organisme laut. Kerang
juga mengandung Cd yang tinggi karena cara makannya dengan menyaring air
masuk ke dalam insangnya setiap saat dan fitoplankton ikut tertelan. Cd ikut
masuk ke dalam tubuhnya dan terakumulasi terus-menerus dan bahkan bisa
melebihi konsentrasi yang di air. Cd tersebut mengikuti rantai makanan mulai dari
fitoplankton sampai ikan predator dan pada akhirnya sampai ke manusia. Bila Cd
ini berada dalam jaringan tubuh organisme laut tersebut dalam konsentrasi yang
38
tinggi, kemudian dijadikan sebagai bahan makanan maka akan berbahaya bagi
kesehatan manusia.
Bioakumulasi Cd di dalam fitoplankton terjadi melalui mekanisme
pengikatan logam pada bagian luar permukaan yang secara biologis melepaskan
ligan atau dengan gugus ligan fungsional yang terletak pada permukaan sel.
Setelah pembentukan kompleks Cd pada permukaan ini, kemudian senyawa itu
dibawa oleh molekul pembawa untuk menembus membran sel menuju bagian
dalam sel. Pada sisi bagian sel yang kontak dengan air terdapat kesetimbangan
beberapa kompleks terlarut dan ligan-ligan pada permukaan dan ion logam yang
bebas.Kompetisi diatara ligan-ligan yang berbeda terhadap H+ dan ion logam
yang bermacam-macam untuk membentuk kesetimbangan multidimensional.
Oleh karena kesetimbangan ini bersifat independent, maka tidak ada unsur yang
terbebas dari label toksik pada level dosis tertentu. Aspek kinetika yang
berlagsung meliputi laju reaksi pertukaran ligan, laju reaksi pertukaran ligan, laju
reaksi pelepepasan carrier ligand dan laju transport ML1 melewati membran
(biasanya dengan transport aktif). Jika transport menuju ke bagian dalam sel
berlangsung lambat dibandingkan proses pra penyeimbang pada sisi lain, maka
masukan ion logam oleh sel bergantung pada sisi larutan, maka uptake ion
logam oleh sel bergantung pada konsentrasi ion logam bebas.Produksi dan
pelepasan L1, L2, dan seterusnya terkait dengan laju pertumbuhan alga.
Selektifitas ion logam tertentu bergantung pada selektifitas ligan L1 (Smiri dkk,
2010).
Pada penelitian Haryoto (2004) telah membuktikan laju pengikatan dan
pelepasan Cd oleh fitoplankton telah mengikuti kinetika orde 1 dengan tetapan
laju pengikatan (k1) dan laju pelepasan (k2) masing-masing 0,3146/menit dan
0,0033/menit. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel 5.1.
39
Tabel 5.1 Hasil Akumulasi 12 mg Fitoplankton Chlorella sp pada Berbagai Waktu,
Interaksi dalam 25 mL Medium yang Mengandung 0,25 mg/L Kadmium (Cd2+).
Waktu
(menit)
[Cd2+] sisa
(ppm)
[Cd2+] (ppm)
terakumulasi
Persentase
terakumulasi
mg Cd2+ terakumulasi per
gram Chlorella sp
0
5
10
15
30
45
60
120
0.0000
0.0387
0.0129
0.0026
0.0038
0.0030
0.0057
0.0040
0.0000
0.2113
0.2371
0.2474
0.2462
0.2470
0.2443
0.2460
0.000
84.52
94.83
98.96
98.49
98.80
97.71
98.40
0.0000
0.4402
0.4939
0.5154
0.5129
0.5149
0.5089
0.5125
Data pada tabel 5.1 dapat terjadi karena telah tercapai suatu keadaan
kesetimbangan antara konsentrasi Cd di dalam fitoplankton Chlorella sp dan
konsentrasi logam kadmium di dalam medium air laut, sehingga jumlah logam
kadmium yang terikat sudah mencapai maksimum. Hal ini berarti waktu yang
diperlukan oleh fitoplankton Chlorella sp untuk mencapai jumlah pengikatan
maksimum terhadap logam kadmium adalah 15 menit.
Untuk mempelajari proses akumulasi logam kadmium oleh fitoplankton
Chlorella sp dapat dilakukan dengan cara menganggap proses akumulasi
sebagai proses kesetimbangan pengambilan dan pelepasan seperti diperlihatkan
pada tabel 5.1. Pada tabel tersebut proses masuknya logam kadmium ke dalam
sel fitoplankton Chlorella sp dianggap berlangsung karena proses difusi pasif
dengan logam kadmium diangkut ke dalam sel berdasarkan gradien konsentrasi
yaitu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang rendah, dan sistem berada
dalam kompartemen tunggal dengan sel fitoplankton Chlorella sp dianggap
sebagai satu kompartemen.
Hasil penelitian Haryoto (2004) tersebut juga menunjukkan bahwa proses
akumulasi dipengaruh oleh pH medium. Proses penyerapan logam oleh
fitoplankton Chlorlla sp merupakan gabungan proses aktif yang melibatkan
40
metabolisme dan proses pasif tidak melibatkan metabolisme. Sel fitoplankton
Chlorella sp melalui proses aktif dapat mensintesis protein pengkhelat logam
fitokhelatin untuk merespon pengaruh negatif dari logam berat. Fitokhelatin
disintesis dari suatu turunan tripeptida (glutation) yang tersusun dari glutamat,
cystidin, dan glisin. Glutation ada dalam seluruh sel, sering dalam tingkat yang
tinggi. Jika dalam lingkungannya termediasi oleh logam kadmium, maka glutation
membentuk fitockhelatin. Fitokhelatin ini selanjutnya akan membentuk
fitokhelatin-Cd yang selanjutnya akan diteruskan ke vakuola (Smiri dkk, 2010).
Selain melalui proses metabolisme, proses penyerapan logam cadmium
juga dapat terjadi melalui proses pertukaran ion antara logam kadmium dengan
kation dinding sel, atau melalui pembentukan ikatan kovalen antara logam
dengan gugus aktif pada dinding sel. Dinding sel fitoplankton terdiri atas berbagai
senyawa organik seperti Protein, Polisakarida, asam alginat dan asam uronat
yang dapat berikatan dengan logam (Haryoto, 2004).
Proses penyerapan logam kadmium oleh fitoplankton Chlorella sp
melibatkan reaksi kimia baik pertukaran ion maupun pembentukan ikatan
kompleks. Reaksi penyerapan logam kadmium yang berkaitan dengan pH
medium adalah:
Gambar 5.2 Pengikatan secara kovalen Cd oleh GSH
dengan S adalah permukaan absorben. Pada gambar 5.2 tampak bahwa
akumulasi logam kadmium akan meningkatkan konsentrasi ion H+, karena reaksi
tersebut merupakan reaksi kesetimbangan. Dengan demikian, kenaikan pH
medium menyebabkan reaksi bergeser ke produksi ion H+ , yang berarti semakin
banyak jumlah logam kadmium yang terkomplekskan. Pernyataan tersebut
sesuai dengan hasil penelitian Haryoto (2004), yang menyatakan bahwa
kenaikan pH medium dari pH = 4 ke pH = 8 pada medium yang digunakan
menyebabkan kemampuan akumulasi logam kadmium oleh fitoplankton Chlorella
41
sp semakin meningkat., Kemampuan akumulasi logam kadmium oleh
fitoplankton Chlorella sp pada pH yang lebih tinggi dari pH = 8 yaitu pada pH = 9
tidak mengalami kenaikan yang berarti atau cenderung konstan. Hal ini
disebabkan karena pada pH = 8 penyerapan telah mencapai harga maksimum,
dengan situs aktif pada dinding sel fitoplankton Chlorella sp telah jenuh oleh
logam kadmium, dan pada pH = 9 tersebut kondisinya lingkungan kurang
menguntungkan bagi kelangsungan hidupnya, dengan pH optimum yang
dibutuhkan oleh fitoplankton Chlorella sp berkisar antara pH = 7 – 8,5 oleh
karena itu kenaikan pH tidak dapat menaikkan kemampuan akumulasi.
5.2 Kadmium dan Metabolisme Fitoplankton
Sebelum logam berat memberikan dampak negatif terhadap organisme
tertentu, logam berat tersebut terlebih dahulu mengalami mekanisme
penyerapan ke dalam tubuh organisme. Logam berat kadmium (Cd) mengalami
mekanisme penyerapan ke dalam sel. Unsur-unsur tersebut kemudian terlibat
dalam aktivitas metabolisme sel dan memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan diatom laut (Patrick, 2003).
Penyerapan logam berat oleh mikroorganisme pada sistem kultur terjadi
dalam dua tahap. Tahap awal berupa penyerapan pasif yang berlangsung cepat,
diikuti oleh penyerapan aktif yang berlangsung lambat. Pada tingkat selular,
penyerapan pasif berawal ketika logam berat berinteraksi dengan dinding sel.
Dinding sel mengandung enzim ekstraselular yang berfungsi dalam penyerapan
unsur-unsur yang dibutuhkan sel. Pada penyerapan aktif, logam berat tersebut
ditransportasikan melalui membran sel menuju sitoplasma (Purbonegoro, 2008).
Proses masuknya logam berat melintasi membran sel dapat terjadi kalau
logam berat tersebut bersifat lipofilik mudah larut dalam lipid atau lemak) Lapisan
membran sel terbentuk dari lapisan lipid (lipid bilayer). Logam berat yang bersifat
lipofilik tersebut akan larut dalam lipid dan berikatan dengan protein sel.
Membran bersifat sukar dilalui (impermeabel) oleh ion-ion yaitu natrium (Na+)
dan kalium (K+), serta ion-ion logam berat seperti tembaga (Cu), seng (Zn), dan
kadmium (Cd). Untuk dapat melintasi membran sel, ion logam berat tersebut
mengalami proses difusi terfasilitasi (facilitated diffusion). Dalam proses tersebut,
ion logam berat mendapat bantuan suatu enzim di dalam membran sel yang
disebut permease. Enzim Permease adalah suatu protein membran sel yang
42
berikatan dengan ion logam berat sehingga ion logam berat tersebut dapat
melintasi lapisan lipid bilayer membran sel (Purbonegoro, 2008).
Dalam proses difusi terfasilitasi, ion logam berat bergerak searah dengan
gradien konsentrasi (perbedaan konsentrasi), artinya konsentrasi lingkungan di
luar sel hams lebih tinggi daripada di dalam sel. Membran sel juga mampu
'memompa' ion logam berat berlawanan dengan gradien konsentrasi. Proses ini
disebut transport aktif dengan menggunakan energi berupa ATP yang berasal
dari hasil metabolisme sel. Setelah ion logam berat melewati membran sel,
enzim-enzim dan organel sel dalam sitoplasma menjadi tujuan ion logam berat
tersebut. Kloroplas merupakan organel paling sensitif terhadap logam berat dan
logam berat tersebut berpengaruh pada proses fotosintesis (Lasut, 2002)).
Logam biasanya bertindak sebagai kofaktor yang membantu kerja enzim
pada reaksi-reaksi tertentu dalam sel. Sel perlu menyimpan cadangan logam
tersebut, tetapi tidak sampai berlebihan atau pada konsentrasi yang bersifat
racun. Logam tersebut selanjutnya dibebaskan secara perlahan. Ketika
konsentrasi logam mencapai tingkat tertentu atau berlebihan akan berdampak
buruk pada proses metabolisme sel. Dalam proses fotosintesis, konsentrasi
logam berat kadmium (Cd) yang berlebihan akan berpengaruh terhadap
kloroplas. Pengaruh tersebut terjadi pada struktur kloroplas dan proses
metabolisme yang terjadi di dalamnya (Purbonegoro, 2008).
Di samping itu, struktur membran kloroplas dan membran tilakoid yang
terdapat dalam sel juga terbentuk oleh lapisan atau lapisan lipid berlapis dua
(lipid bilayer). Meningkatnya aktivitas enzim galaktolipase oleh pengaruh logam
berat kadmium yang berlebihan memicu hidrolisis molekul monogalaktolipid yang
menyusun membran tilakoid, sehingga menyebabkan degradasi membran
tilakoid tersebut (Lasut, 2002; Purbonegoro, 2008).
Proses metabolisme yang terjadi dalam fotosintesis melibatkan reaksi-
reaksi kimia dengan bantuan bermacam enzim yang berfungsi sebagai
katalisator. Reaksi-reaksi kimia tersebut melibatkan aktivitas elektronelektron
yang berperan dalam membentuk suatu gradien elektrolit. Gradien elektrolit ini
antara lain berfungsi untuk menghasilkan tenaga yang berguna bagi reaksi-
reaksi selanjutnya dalam proses fotosintesis. Logam berat kadmium dapat
berpengaruh terhadap gradien elektrolit tersebut dengan cara mengganggu
aktivitas moleku-molekul yang bertugas sebagai pembawa elektron (electron
carriers).Konsentrasi kadmium yang berlebihan berpengaruh terhadap molekul
43
plastoquinone yang terkandung dalam membran tilakoid. Molekul ini merupakan
protein periperal (protein pembantu) yang terikat bebas pada permukaan luminal
(berhadapan dengan lumen) membran tilakoid. Molekul ini berfungsi sebagai
pembawa elektron dalam reaksi kimia pada proses fotosintesis. Logam berat
kadmium menyebabkan terganggunya kerja molekul plastoquinone sebagai
pembawa elektron yang berperan penting dalam reaksi kimia fotosintesis. Hal
tersebut pada akhirnya dapat mengganggu gradien elektrolit yang memiliki peran
dalam proses fotosintesis, antara lain dalam menyediakan tenaga untuk
pembentukan ATP dan NADPH. Proses ini terjadi pada reaksi terang yang
berperan dalam menyediakan molekul ATP dan NADPH. Logam berat tersebut
menyebabkan terganggunya pembentukan ATP dan NADPH, sehingga akhirnya
mempengaruhi ketersediaan ATP dan NAPDH bagi aktivitas fotosintesis (Lasut,
2002; Purbonegoro, 2008).
Cd juga dapat menghambat kerja enzim yang berperan dalam proses
fotosintesis. Efek ini biasanya timbul akibat interaksi antara kadmium dengan
gugus-SH (sulfhidril) metalotionein pada enzim tersebut. Metalotionein
merupakan jenis protein yang dapat berikatan dengan logam berat. Metalotionein
dapat ditemukan di semua golongan makhluk hidup, yaitu mamalia, ikan,
moluska, zooplankton dan fitoplankton (Lasut, 2002; Smiri dkk, 2010). Protein ini
memiliki berat molekul yang ringan dan sifat utamanya adalah mengandung 26-
33 % sistein serta tidak mempunyai asam amino aromatik atau histidin. Sebagai
konsekuensi dari banyaknya kandungan asam amino sistein, maka protein ini
mengandung kelompok thiol (sulfhidril, - SH) dalam jumlah besar. Kelompok ini
memiliki afinitas yang tinggi terhadap kation bivalen sehingga mengikat logam-
logam berat dengan sangat kuat, khususnya merkuri (Hg), kadmium (Cd), perak
(Ag), seng (Zn), dan stanum (Sn) (Lasut, 2002; Purbonegoro, 2008).
Pengaruh logam berat kadmium pada aktivitas enzim antara lain terjadi
pada enzim ribulosa bifosfat karboksilase dan Carbonic Anhydrase (CA) yang
berperan dalam penyerapan dan fiksasi karbon dioksida (CO2). Pada awal siklus
Calvin, logam berat kadmium berpengaruh pada enzim ribulosa bifosfat
karboksilase. Substitusi logam magnesium (Mg) yang dibutuhkan enzim tersebut
oleh logam berat kadmium (Cd) dapat menghambat proses fiksasi karbon
dioksida. Selain enzim ribulosa bifosfat karboksilase, salah satu enzim yang
penting bagi proses fotosintesis diatom laut adalah enzim Carbonic Anhydrase
(CA). Enzim ini mengandung logam seng (Zn) dan berperan dalam merubah
44
asam karbonat (HCO3-) menjadi CO2. Logam seng (Zn) yang terikat enzim ini
dapat digantikan oleh logam lain, sehingga aktivitas enzim menjadi terganggu.
Aktivitas enzim ini akan berkurang hingga sampai 56% jika logam seng (Zn)
diganti oleh logam kobalt (Co), dan akan berkurang sampai hanya 5% jika logam
seng (Zn) diganti oleh logam kadmium (Cd) (Darmono, 2000; Purbonegoro,
2010).
Selain berpengaruh pada proses fotosintesis itu sendiri, logam berat
kadmium juga dapat menyebabkan klorosis. Klorosis merupakan proses
degradasi klorofil oleh pengaruh dari iuar sel yang bersifat ekstrim. Klorosis yang
disebabkan oleh logam berat kadmium dapat melalui dua jalur, yaitu
penghambatan langsung terhadap enzim 5-asam aminolevulinat dehidratase
yang berperan dalam sintesis klorofil, dan melalui penggantian logam besi (Fe)
dan magnesium (Mg) yang terlibat dalam sintesis klorofil. Terganggunya aktivitas
fotosintesis tersebut menyebabkan kemampuan sel untuk memperbanyak diri
menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan pertumbuhan jumlah sel menjadi
terhambat (Purbonegoro, 2008).
45
BAB VI. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Cd merupakan logam berat yang lama dimanfaatkan oleh manusia untuk
kepentingan berbagai macam bahan industri. Misalnya: senyawa CdS dan
CdSeS banyak digunakan sebagai zat warna, CdSO4 digunakan dalam
industri baterai yang berfungsi untuk pembuatan sel Weston, CdBr2 dan CdI2
secara terbatas digunakan dalam dunia fotografi, (C2H5)2Cd digunakan dalam
proses pembuatan tetraetil-Pb, dan masih banyak lagi. Selain bermanfaat,
buangan industri yang mengandung Cd dapat masuk ke dalam perairan dan
akan mengalami transformasi menjadi senyawa Cd yang persisten dan sangat
toksik. Cd tersebut selanjutnya mengalami bioakumulasi dalam organisme lalu
dibiomagnifikasikan dalam rantai makanan dan akhirnya mengakibatkan
berbagai keracunan yang mengancam kesehatan manusia.
2. Sumber-sumber logam berat Cd di perairan, berasal dari sumber yang bersifat
alami dari lapisan kulit bumi seperti masukan dari daerah pantai yang berasal
dari sungai-sungai dan abrasi pantai akibat aktivitas gelombang, masukan dari
laut dalam yang berasal dari aktivitas geologi gunung berapi laut dalam, dan
masukan dari udara yang berasal dari atmosfer sebagai partikel-partikel debu.
Pada lingkungan akuatik, Cd relatif bersifat mudah berpindah. Sebagian besar
berupa Cd2+, Cd(OH)3-, Cd(OH)4
-2, CdCO3 dan berbagai jenis senyawa
kompleks organik dan anorganik lainnya. Urutan afinitas ligan terhadap
kompleks dengan Cd di perairan darat sebagai berikut asam humat, CO32+,
OH-, Cl-, dan SO42--. Kelarutan kompleks Cd hidroksida berkurang pada saat
pH meningkat, yang ditandai oleh pembentukan padatan Cd(OH)2. Di perairan
darat, umumnya terjadi penyerapan oleh suspended solid state seperti clay.
Kopresitasi dengan Fe dan Mn terlarut, juga penting untuk Cd di parairan
darat
3. Pada tumbuhan, logam berat dapat menghambat proses metabolisme sel dan
dapat menurunkan pertumbuhannya. Hal ini terjasi karena mekanisme kerja
reaksi dari logam berat terhadap protein yang pada umumnya menyerang
ikatan sulfida. Ikatan sulfida yang diserang selalu pada molekul proteinnya
yang kan menimbulkan kerusakan struktur yang terkait. Ion-ion logam berat
efektif berikatan dengan gugus sulfuhidril seperti sistein dengan histidin dan
46
lisin. Posisi ion-ion logam pada metaloenzim (enzim logam) dapat digantikan
oleh ion-ion logam berat sehingga fungsi enzim sebagai katalisator untuk
reaksi-reaksi kimia di dalam sel mengalami gangguan. Cd dengan konsentrasi
yang melebihi ambang batas akan berakibat dalam proses transpirasi,
fotosintesis, respirasi, menghambat kerja enzim, mengubah permeabilitas
membran dan berikatan dengan sulfuhidril.
4. Bioakumulasi Cd di dalam fitoplankton terjadi melalui mekanisme pengikatan
logam pada bagian luar permukaan yang secara biologis melepaskan ligan
atau dengan gugus ligan fungsional yang terletak pada permukaan sel.
Setelah pembentukan kompleks Cd pada permukaan ini, kemudian senyawa
itu dibawa oleh molekul pembawa untuk menembus membran sel menuju
bagian dalam sel. Pada sisi bagian sel yang kontak dengan air terdapat
kesetimbangan beberapa kompleks terlarut dan ligan-ligan pada permukaan
dan ion logam yang bebas. Kompetisi diatara ligan-ligan yang berbeda
terhadap H+ dan ion logam yang bermacam-macam untuk membentuk
kesetimbangan multidimensional. Oleh karena kesetimbangan ini bersifat
independent, maka tidak ada unsur yang terbebas dari label toksik pada level
dosis tertentu.
47
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Moneim WM and Ghafeer H. 2007. The Potential Protective Effect of Natural Honey Against Cadmium-Induced Hepatotoxicity and Nephrotoxicity, Mansoura J. Forensic Med. Clin. Toxicol, XV(2): 75-98
Aditya Rahman. 2006. Kandungan Cd Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Beberapa Jenis Krustasea di Pantai Batakan dan Takisung Kabupaten Tanah laut Kalimantan Selatan. Bioscientiae, 3(2): 93-101
Afridi HI., Kazi TG., Kazi N., Kandhro GA., Baig JA., Jamali MK., Arain MB., Shah AQ. 2011. Biol Trace Elem Res, 139:257-268
Agustina T, 2010. Kontaminasi Logam Berat pada Makanan dan Dampaknya pada Kesehatan, Teknobuka, 2(2):53-65
Alissa EM and Ferns GA, 2011. Heavy Metal Poisoning and Cardiovascular Disease, Volume 2011: 1-21
Annasari M, Aris Widodo M, Kristianto Y. 2012. Albumin and Zinc Content of Snakehead Fish (Channa striata) Extract and Its Role in Health, International Journal of Science and Technology,1(2): 1-8
Astuti. 2009. The analyisis of Albumin content in snake-head fish (Ophiocephalus striatus) filtrate by the variety condition of fish pre and rigor mortis at different NaCl concentration. Malang : Bagian Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang,.
Czeczot H., Majewska M., Podsiad M., Karlik W., Grono D., Wiechetek M, 2010, Enzymatic Antioxidant Defense in Isolated Rat Hepatocytes Exposed to Cadmium, Polish Journal of Veterinary Sciences, 13(4): 673-679
Danny Zulkifli Herman. 2006. Tinjauan terhadap Tailling mengandung Unsur Pencemar Arsen, Merkuri, Timbal, dan Kadmium dari Sisa Pengolahan Bijih Logam, Jurnal Geologi Indonesia, 1(1): 31-36
Darmono Z. Arifin MB, Purwadikarta A. Safuan and U. Waznah. 2000. Concentration of metallothionein in the liver of chicken which were given cadmium (Cd) into their feed. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5 (4): 250-254.
Del Rasso NJ., Foy BD., Gearhart JM., and Frazier. 2003. Cadmium Uptake in Rat Hepatocytes: Correction for Albumin Binding, Toxicological Science, 72: 19-30
Dini S., Abdurrahman, Ichsan R,. 2010. Studi Analisis Pengujian Cd pada badan Air, Biota, dan Sedimen di Perairan Muara DAS Barito, Jurnal Bumi Lestari, 10(1): 28-37
Durasevic SF, Durdevic J, Jasnic J, Dordevic IVA, Cvijic G. 2010. The influence of vitamin E supplementation on the oxidative stress status of rat liver. Arch.Biol.Sci. 62(3): 679-683
48
Dwiloka B., Atmomarsono U., Bintoro VP., Widianarko B., 2012. Pengaruh Pakan Mengandung Tepung Ikan dan Tidak mengandung Tepung Ikan terhadap Kandungan Pb dan Cd pada Ayam Broiler, Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 1(3): 12-18
Gong P, Chen F, Liu X, Gong X, Wang J, and Ma Y. 2012. Protective effect of caffeic acid phenethyl ester against cadmium-induced renal damage in mice. J. Toxicol Sci, 37(2): 415-425
Guyton, AC. 1985. Anatomy and Physiology. New York; CBS College Publishing.
Guyton, AC. & Hall, JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Rachman, L.Y., dkk. (Ed). Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Haryoto dan Agustono Wibowo, 2004, Kinetika Bioakumulasi Logam Berat Kadmium oleh Fitoplankton Chlorella Sp. Lingkungan Perairan Laut, Jurnal Penelitian sains & Teknologi, 5(2):89-103
Hikmah N, Bundahalang, Muchyar, 2013, Kandungan Cd (Cadmium) dan Mn (Mangan) pada Daun Tanaman Sawi (Brassica Juncea L.) yang Ditanam dengan Penambahan Lumpur Hasil Pengolahan Limbah Karet. Jurnal Wahana-Bio, 10:1-20
Hindersah R, Marthin Kallay, Muntalif BS, 2004, Akumulasi Pb dan Cd pada Buah Tomat yang Ditanam di Tanah Mengandung Lumpur kering dari Instalasi Pengolahan Limbah Domestik, Proceeding Seminar Nasional dan Kongres Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Jakarta 17-18 Desember 2004
Junnette LP., Todd SP., Mellisa JP., Eleen MN and Jennifer W. 2010. Cadmium Exposure in Association with History of Stroke and Heart Failure, Environ Res, 110(2): 199-206
Jurczuk M., Moniuszko-Jakoniuk J., Rogalska J. 2006. Evaluation of Oxidative Stress in Hepatic Mitochondria of Rats Exposed to Cadmium and Ethanol, Polish J. of Environ. Stud, 15(6): 853-860
Kant V., Mehta M., Varshneya C., Chauhan S. 2011. Induction of Oxidative Stress by Subacute Oral Exposure of Cadmium Sulphate in Adult Poultry, Braz J Vet Pathol, 4(2), 117-121
Karthikeyan J and Bavan G. 2010. Effect of cadmium on lactate dehyrogenase isoenzyme, succinate dehydrogenase and Na-K-ATP ase in iiver tissue of rat, J. Environ. Bioil, 30(5): 895-898
Kazantzis G. 2004. Cadmium, Osteoporosis and Calcium Metabolism, BioMetals, 17:493-498
49
Khansakorn N., Wongwit W., Tharnpoophasiam P., Hengprasith B., Suwannathon L., et al. 2012. Genetic Variations of Glutathione S-Transferase Influence on Blood Cadmium Concentration, Journal of Toxicology, Volume 2012: 1-6
Klaassen CD, Liu J, and Choudhuri S. 2009. METALLOTHIONEIN: An Intracellular Protein to Protect Against Cadmium Toxicity, Annu. Rev. Pharmacol. Toxicol. 39:267–94
Komari N, Irawati N, Novita E, 2013, Kandungan Kadmium dan Seng pada Ikan Baung (Hemibragus nemurus) di Perairan Trisakti Banjarmasin Kalimantan Selatan, Sains dan Terapan Kimia, 7(1):42-49
Lasut TM. 2002. Metallothionein: Suatu Parameter Kunci yang Penting dalam Penetapan Baku Mutu Air laut (BMAL) Indonesia, Ekoton, 2(1): 61-68
Layachi N and Zine Kechrid Z. 2012. Combined protective effect of vitamins C and E on cadmium induced oxidative liver injury in rats, African Journal of Biotechnology. 11(93),: 16013-16020,
Lestari dan Edward, 2004, Dampak Pencemaran Logam Berat terhadap Kualitas Air Laut dan Sumberdaya Perikanan (Studi Kasus Kematian Masal Ikan-ikan di Teluk Jakarta,), Makara Sains, 8(2):52-58
Lushchak VI. 2012. Glutathione Homeostasis and Functions: Potential Targets for Medical Interventions, Journal of Amino Acids, Vol. 2012:1-26
Messner B, Knoflach N, Seubert A, Ritsch A, Pfaller K, Henderson B, dkk. 2009. Cadmium Is a Novel and Independent Risk Factor for Early Atherosclerosis Mechanisms and In Vivo Relevance, Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:1392-1398
Moulis, Jean-Marc. 2010. Cellular mechanisms of cadmium toxicity related to the homeostasis of essential metals. BioMetals, 23:877–896
Mulyadi, Hendarwati Y, dan Artant R, 2009, Logam Berat Kadmium (Cd) dalam Tanah dan Gabah pada Lahan Sawah Sub-Das Juwana Pati Jawa Tengah, Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian, 2:11-20
Ozturk IM., Buyukakilli B., Balli E., Cimen B., Gunes S., and Erdogan S., 2009. Determination of acute and chronic efects of cadmium on the cardiovascular system of rats, Toxicology Mechanisms and Methods, 19(4): 308-317
Prabu SM, Muthumani M, Shagirta K. 2013. Quercetin potentially attenuates cadmium induced oxidative stress mediated cardiotoxicity and dyslipidemia in rats, European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 17: 582-595
Prabu SM, Shagirta K. Ranugavi J. 2010. Quercetin in combination with vitamins (C and E) improves oxidative stress and renal injury in cadmium intoxicated rats, European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 14: 903-914
50
Prozialeck WC, Edwards JR, Woods JM., 2006. The vascular endothelium as a target of cadmium toxicity, Life Sciences: 79:1493 – 1506
Ramesh B and Satakopan VN. 2010. Antioxidant Activities of Hydroalcoholic Extract of Ocimum sanctum Against Cadmium Induced Toxicity in Rats, Ind J Clin Biochem, 25(3):307–310
Ratnaningsih A. 2004. Pengaruh Kadmium terhadap Gangguan Patologik pada Ginjal Tikus Percobaan, Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi 5(1): 53-63
Rumahlatu D, 2011, Konsentrasi Logam Berat Kadmium pada Air, Sedimen, dan Deadema setosum (Echinodermata, Echinodea) di Perairan Pulau Ambon, Ilmu Kelautan, 16(2):23-30
Sandstead, HH. 2000. Causes of iron and zinc deficiencies and their effects on brain. 1. Nutr. 130: 347s-349s
Sandstead HH., CJ. Frederickson, dan J.G, Penlad. 2000. History of zinc as related to brain function. 1. Nutr. 130: 496s-502s.
Santosa S. 2003. Peran Metallothionein Pada Autisme, Jurnal Kedokteran Maranatha, 2(2): 23-30
Samsundari S dan Perwira IY, 2011, Kajian Dampak Pencemaran Logam Berat di Daerah Sekitar Luapan Lumpur Sidoarjo terhadap Kualitas Air dan Budidaya Perikanan, GAMMA, 6(2); 129-136
Sherwood, L., 2001. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Snell, RS., 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC
Sudarmaji, Mukono J., dan Corie IO. 2006. Toksikologi Cd B3 dan Dampaknya Terhadap Kesehatan, Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2(2): 129-142
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid 1 edisi IV. Jakarta: FK UI, 2006.
Sugianto A, Primarastri NA, Winarni D, 2004, Pengaruh Pemberian Kadmium terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup dan Kerusakan Struktur Insang dan Histopankreas pada udang Regang [Macrobrachium sintagense (de Man)], Berkala Penelitian Hayati, 10:56-66
Suhartono E, Hasyim F, dan Setiawan B. 2007. Kapita selekta biokimia : Radikal bebas, antioksidan dan penyakit Banjarmasin: Pustaka Banua,.
Suhartono E., Bakhriansyah M., Fujiati. 2012. Efek Kardioprotektif Ekstrak Ikan Haruan (Channa striata/Ophiochephalus striatus) pada Tikus Putih (Rattus Novergicus) yang Terpajan Kadmium sebagai Upaya Penemuan Obat Baru dalam Mencegah Kerusakan Oksidatif Jantung, Laporan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
51
Suhartono E. 2012. Mekanisme oksidatif ekstrak ikan haruan (Channa Stiata)sebagai hepatoprotektor tikus putih (Rattus Novergicus) yang diinduksi Kadmium, Laporan Penelitian Unggulan Fakultas, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
Suhartono E., Triawanti, Ari Yunanto, Rizky Taufan Firdaus, Iskandar. 2013. Chronic Cadmium Hepatooxidative in Rats: Treatment with Haruan Fish (Channa striata) Extract, APCBEE Procedia, 5: 441 – 445
Sunarto, 2012, Kadmium (Cd) Heavy Metal Pollutant Bioindicator with Microanatomy Structure Gill Analyses of Anodonta Woodiana, Lea, Jurnal Ekosains, 4(1):25-40
Susana R dan Suswati D, 2013, Bioakumulasi dan Distrubusi Cd pada Akar dan Pucuk 3 Jenis Tanaman Famili Brassicaceae: Implementasinya untuk Fitoremediasi, Jurnal Manusia dan Lingkungan, 20(2): 221-228
Turkdogan MK, Kilicel F, Kara K, Tuncer I, and Uygan I, 2003, Heavy Metals in Soil, Vegetables, and Friuts in the Endemic Upper Gartrointestinal Cancer Region of Turkey, Journal of Environmental Toxicology and Pharmacology, 13(3); 175-179
Widowati W, Sastiono A, Jusuf R. 2008. Efek Toksik Logam Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Widowati H. 2011. Pengaruh Logam Berat Cd, Pb Terhadap Vitamin Sayuran, Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 7F: 35–40
Weaver VM,, Nam-Soo Kim,, Bernard G. Jaar, Brian S. Schwartz, Patrick J. Parsons, Amy J. Steuerwald, dkk. 2011. Associations of low-level urine cadmium with kidney function in lead workers, Occup Environ Med, 68(4): 250–256
Valko M, Morris H, and Cronin MTD, 2005. Metals, Toxicity and Oxidative Stress, Current Medicinal Chemistry, 12: 1161-1208
Valko M, Rhodes MJ, Moncol J, Izakovic M, Mazur M, 2006. Free radicals, metals and antioxidants in oxidative stress-induced cancer, Chemico-Biological Interactions, 160: 1–40
Wibowo A, Rahaju FA, Firdaus Rt, and Suhartono E, 2014, The Role Urinary Cadmium and Lead Level on Pregnant Women Renal Function, Journal of Medical and Bioengineering, 3(1); 55-58
Widaningrum, Miskiyah, dan Suksmono, 2007, Bahaya Kontaminasi Logam Berat dalam Sayuran dan Alternatif Pencegahan Cemarannya, Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian, 3: 16-27
Yu Zhang, Jia-Han Li, Xiao-Rong Lin, Feng-Lei Jiang, Yi Liu, 2011. Spectroscopic Studies on the Mechanisms of Mitochondrial Toxicity Induced by Different Concentration Cadmium, J Membrane Biol, 241: 39-49
52
Yazıhan N, Koçak MK, Erdem EAO, Sayal A , Güven G, Akyürek B. 2011. Involvement of galectin-3 in cadmium-induced cardiac toxicity, Anadolu Kardiyol Derg, 11: 479-84
53
KULIAH AKADEMIK TERSTRUKTUR PENUNJANG DISERTASI
EKOTOKSIKOLOGI KADMIUM
Oleh
Eko Suhartono, Drs, M.Si.
NIM. 127150100111008
PROGRAM DOKTOR KAJIAN LINGKUNGAN DAN PEMBANGUNAN
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS BRAWIJAYA
M A L A N G2 0 1 4
54
RINGKASAN
Cd merupakan logam berat yang lama dimanfaatkan oleh manusia untuk
kepentingan berbagai macam bahan industri. Misalnya: senyawa CdS dan
CdSeS banyak digunakan sebagai zat warna, CdSO4 digunakan dalam industri
baterai yang berfungsi untuk pembuatan sel Weston, CdBr2 dan CdI2 secara
terbatas digunakan dalam dunia fotografi, (C2H5)2Cd digunakan dalam proses
pembuatan tetraetil-Pb, dan masih banyak lagi. Selain bermanfaat, buangan
industri yang mengandung Cd dapat masuk ke dalam perairan dan akan
mengalami transformasi menjadi senyawa Cd yang persisten dan sangat toksik.
Cd tersebut selanjutnya mengalami bioakumulasi dalam organisme lalu
dibiomagnifikasikan dalam rantai makanan dan akhirnya mengakibatkan
berbagai keracunan yang mengancam kesehatan manusia.
Sumber-sumber logam berat Cd di perairan, berasal dari sumber yang
bersifat alami dari lapisan kulit bumi seperti masukan dari daerah pantai yang
berasal dari sungai-sungai dan abrasi pantai akibat aktivitas gelombang,
masukan dari laut dalam yang berasal dari aktivitas geologi gunung berapi laut
dalam, dan masukan dari udara yang berasal dari atmosfer sebagai partikel-
partikel debu. Pada lingkungan akuatik, Cd relatif bersifat mudah berpindah.
Sebagian besar berupa Cd2+, Cd(OH)3-, Cd(OH)4
-2, CdCO3 dan berbagai jenis
senyawa kompleks organik dan anorganik lainnya. Urutan afinitas ligan terhadap
kompleks dengan Cd di perairan darat sebagai berikut asam humat, CO32+, OH-,
Cl-, dan SO42--. Kelarutan kompleks Cd hidroksida berkurang pada saat pH
meningkat, yang ditandai oleh pembentukan padatan Cd(OH)2. Di perairan darat,
umumnya terjadi penyerapan oleh suspended solid state seperti clay. Kopresitasi
dengan Fe dan Mn terlarut, juga penting untuk Cd di parairan darat.
Pada tumbuhan, logam berat dapat menghambat proses metabolisme sel
dan dapat menurunkan pertumbuhannya. Hal ini terjasi karena mekanisme kerja
reaksi dari logam berat terhadap protein yang pada umumnya menyerang ikatan
sulfida. Ikatan sulfida yang diserang selalu pada molekul proteinnya yang kan
menimbulkan kerusakan struktur yang terkait. Ion-ion logam berat efektif
berikatan dengan gugus sulfuhidril seperti sistein dengan histidin dan lisin. Posisi
ion-ion logam pada metaloenzim (enzim logam) dapat digantikan oleh ion-ion
logam berat sehingga fungsi enzim sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia
di dalam sel mengalami gangguan. Cd dengan konsentrasi yang melebihi
ambang batas akan berakibat dalam proses transpirasi, fotosintesis, respirasi,
55
menghambat kerja enzim, mengubah permeabilitas membran dan berikatan
dengan sulfuhidril.
Bioakumulasi Cd di dalam fitoplankton terjadi melalui mekanisme
pengikatan logam pada bagian luar permukaan yang secara biologis melepaskan
ligan atau dengan gugus ligan fungsional yang terletak pada permukaan sel.
Setelah pembentukan kompleks Cd pada permukaan ini, kemudian senyawa itu
dibawa oleh molekul pembawa untuk menembus membran sel menuju bagian
dalam sel. Pada sisi bagian sel yang kontak dengan air terdapat kesetimbangan
beberapa kompleks terlarut dan ligan-ligan pada permukaan dan ion logam yang
bebas. Kompetisi diatara ligan-ligan yang berbeda terhadap H+ dan ion logam
yang bermacam-macam untuk membentuk kesetimbangan multidimensional.
Oleh karena kesetimbangan ini bersifat independent, maka tidak ada unsur yang
terbebas dari label toksik pada level dosis tertentu.
56
DAFTAR ISI
HalamanLembar Pengesahan ……………… iDaftar Isi ……………… iiDaftar Gambar ……………… iiiDaftar Tabel ……………… ivRingkasan ……………… v
BAB I. Pendahuluan ……………… 11.1 Latar Belakang ……………… 11.2 Identifikasi Masalah ……………… 41.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ……………… 4
BAB II. Metabolisme Kadmium dan Dampak Kesehatan ……………… 52.1 Manfaat Kadmium ……………… 52.2 Metabolisme Kadmium ……………… 62.3 Dampak Kadmium terhadap Kesehatan ……………… 12
BAB III. Ekotoksik Kadmium di Perairan ……………… 163.1 Kadmium dalam Perairan ……………… 163.2 Kadmium dalam Sedimen ……………… 193.3 Dampak Kadmium terhadap Biota Air ……………… 24
BAB IV. Ekotoksik Kadmium pada Tumbuhan 294.1 Kadmium di Dalam Tanah ……………… 294.2 Mekanisme Penyerapan Kadmium pada Tumbuhan ……………… 334.3 Mekanisme Pengikatan Logam Berat oleh Ligan ……………… 34
BAB V. Bioakumulasi Kadmium pada Fitoplankton ……………… 385.1 Bioakumulasi Kadmium pada Fitoplankton ……………… 385.2 Kadmium dan Metabolisme Fitoplankton ……………… 42
BAB VI. Kesimpulan ……………… 46
DAFTAR PUSTAKA ……………… 48
57
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Skema pola biotransformasi ………...... 72.2 Reaksi hidroksilasi bifenil ………...... 82.3 Mekanisme oksidasi reduksi halotan ………...... 92.4 Reaksi biotransformasi diazepam pada fase I dan II ………...... 102.5 (a) Gambaran sinar x dari tulang pinggul yang
mengalami osteoporosis akibat Cd (b) Tulang rusuk yang mengalami osteoporosis dan dekalsifikasi
………...... 13
2.6 (a) Ginjal penderita itai-itai (b) gambaran sel ginjal pada penderita ita-itai
………...... 14
2.7 Korelasi antara kadar Cd urine dengan (a) rasio ure/kratinin (b) Glomerulus Factor Rate
………...... 14
3.1 Hasil Analisis Kadar Logam Berat Cd dalam Sampel Air dan Sedimen
………...... 18
3.2 Grafik rata-rata kandungan kadmium (ppm) di air, sedimen dan ikan baung pada 3 titik lokasi pengambilan sampel, I=Trisakti, II=Basirih, dan III=Banjar Raya pada bulan (a) April dan (b) Mei 2012
………...... 25
3.3 Lamella insang udang regang [Macrobrachium sintangense (de Man)] yang terpapar kadmium. (A) Insang udang kontrol warna terang (10 x 10). (B) Insang udang dengan konsentrasi kadmium 10 ppb terdapat hiperplasi, warna gelap (10 x 20). (C) Insang udang yang terpapar kadmium 20 ppb terdapat hiperplasi dan nekrosis, warna gelap (10 x 20). (D) Insang yang terpapar kadmium 30 ppb terdapat hiperplasi dan nekrosis, warna hitam (10 x 40). (mc: marginal canal: lamella, Hi: hiperplasi, ne: nekrosis)
………...... 27
3.4 Tubulus hepatopakreas udang regang [Macrobrachium sintangense (de Man)] yang terpapar kadmium. (A)Tubulus hepatopankreas kontrol (10 x 40). (B) Tubulus hepatopankreas yang terpapar kadmium 10 ppb (10 x 40). (C) Tubulus hepatopankreas yang terpapar kadmium 20 ppb (10 x 20) (D) Tubulus hepatopankreas yang terpapar cadmium 30 ppb(10 x 40). (tub: tubulus, vak: vakuolisasi)
………...... 27
3.5 Struktur mikroanatomi insang (perbesaran 400 kali) dengan rentang konsentrasi Cd dalam insang: 1,135 – 1,542 ppm (a) Struktur mikroanatomi insang (kontrol) (b) Struktur mikroanatomi insang dengan rentang konsentrasi Cd dalam insang sebesar 1,135 – 1,542 ppm.
………...... 28
4.1 Pengaruh berbagai dosis lumpur terhadap (a) berat buah (b) jumlah buah (c) akumulasi Cd per tanaman
………...... 32
5.1 Rantai makanan bioakumulasi Kadmium ………...... 385.2 Pengikatan secara kovalen Cd oleh GSH ………...... 41
58
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Kadar logam berat (ppm) di beberapa stasiun di perairan Teluk Jakarta, Mei 2004
………...... 17
3.2 Kadar Cd rerata di perairan P. Kabaena, Muna, dan Buton
………...... 18
3.3 Hubungan ukuran butiran sedimen (µm) dengan konsentrasi logam berat
………...... 19
3.4 Konsentrasi ion logam (ppm) yang mematikan beberapa biota laut pada pemaparan 96 jam
………...... 24
3.5 Kandungan logam berat pada insang dan daging ikan berdasarkan jarak jenis sampel
………...... 25
4.1 Jenis-jenis batuan induk pembentuk tanah yang mengandung logam berat Pb dan Cd
………...... 30
4.2 Kandungan logam berat Cd dalam gabah pada lahan sawah sub-DAS Juwana, Pati Jawa Tengah, tahun 2008
………...... 31
4.3 Hasil uji kandungan Cd pada daun tanaman sawi ………...... 33
4.4 Logam-logam Berat dan Ligan Organik yang Diperlukan untuk Membentuk Kompleks dalam Jaringan Tumbuhan
………...... 34
5.1 Hasil Akumulasi 12 mg Fitoplankton Chlorella sp pada Berbagai Waktu, Interaksi dalam 25 mL Medium yang Mengandung 0,25 mg/L Kadmium (Cd2+)
………...... 40
59