KATPD Ekotoksik

81
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sedang giat melakukan pembangunan disegala bidang, misalnya pertanian, pertambangan, perindustrian, dan lain-lain. Kegiatan pembangunan tersebut telah menghasilkan nilai ekonomis, sehingga diharapkan mampu memberikan kesejahteraan masyarakat diberbagai sektor kehidupan. Selain berdampak positif pada aspek ekonomis, pembangunan juga dapat menyebabkan dampak negatif, yakni meningkatnya jumlah logam berat yang dapat menggangu keseimbangan lingkungan. Salah satu logam berat yang berbahaya adalah Kadmium (Cd). Cd merupakan logam berat yang lama dimanfaatkan oleh manusia untuk kepentingan berbagai macam bahan industri. Misalnya: senyawa CdS dan CdSeS banyak digunakan sebagai zat warna, CdSO 4 digunakan dalam industri baterai yang berfungsi untuk pembuatan sel Weston, CdBr 2 dan CdI 2 secara terbatas digunakan dalam dunia fotografi, (C 2 H 5 ) 2 Cd digunakan dalam proses pembuatan tetraetil-Pb, dan masih banyak lagi. Selain bermanfaat, buangan industri yang mengandung Cd dapat masuk ke dalam perairan dan akan mengalami transformasi menjadi senyawa Cd yang persisten dan sangat toksik. Cd tersebut selanjutnya mengalami bioakumulasi dalam organisme lalu dibiomagnifikasikan dalam rantai makanan dan akhirnya mengakibatkan berbagai keracunan yang mengancam kesehatan manusia (Kazantzis, 2004). Kasus keracunan Cd pernah terjadi dibeberapa negara di dunia. Pada tahun 1858, di Rusia telah terjadi keracunan Cd pada penggosok barang-barang perak dengan CdCO 3 . Pada tahun 1

description

Ekotoksik

Transcript of KATPD Ekotoksik

Page 1: KATPD Ekotoksik

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang sedang giat melakukan

pembangunan disegala bidang, misalnya pertanian, pertambangan,

perindustrian, dan lain-lain. Kegiatan pembangunan tersebut telah

menghasilkan nilai ekonomis, sehingga diharapkan mampu memberikan

kesejahteraan masyarakat diberbagai sektor kehidupan. Selain berdampak

positif pada aspek ekonomis, pembangunan juga dapat menyebabkan dampak

negatif, yakni meningkatnya jumlah logam berat yang dapat menggangu

keseimbangan lingkungan. Salah satu logam berat yang berbahaya adalah

Kadmium (Cd).

Cd merupakan logam berat yang lama dimanfaatkan oleh manusia untuk

kepentingan berbagai macam bahan industri. Misalnya: senyawa CdS dan

CdSeS banyak digunakan sebagai zat warna, CdSO4 digunakan dalam industri

baterai yang berfungsi untuk pembuatan sel Weston, CdBr2 dan CdI2 secara

terbatas digunakan dalam dunia fotografi, (C2H5)2Cd digunakan dalam proses

pembuatan tetraetil-Pb, dan masih banyak lagi. Selain bermanfaat, buangan

industri yang mengandung Cd dapat masuk ke dalam perairan dan akan

mengalami transformasi menjadi senyawa Cd yang persisten dan sangat toksik.

Cd tersebut selanjutnya mengalami bioakumulasi dalam organisme lalu

dibiomagnifikasikan dalam rantai makanan dan akhirnya mengakibatkan

berbagai keracunan yang mengancam kesehatan manusia (Kazantzis, 2004).

Kasus keracunan Cd pernah terjadi dibeberapa negara di dunia. Pada

tahun 1858, di Rusia telah terjadi keracunan Cd pada penggosok barang-barang

perak dengan CdCO3. Pada tahun 1974, di Jepang terjadi pencemaran Cd di

sungai Jintsu. Pencemaran tersebut disebabkan oleh pembuangan limbah

pertambangan Pb – Zn yang mengandung Cd ke aliran sungai Jintsu. Meluapnya

sungai yang tercemar telah menggenangi daerah pesawahan, yang berakibat

pada terserapnya Cd oleh tanaman padi. Hal ini berdampak pada kandungan Cd

dalam padi mencapai > 3,4 µg Cd/kg. Oleh karena melampaui nilai ambang

batas maka tanaman padi tersebut tercemar unsur Cd (Kazantzis, 2004; Danny,

2006).

Di Jepang telah terjadi keracunan oleh Cd, yang menyebabkan penyakit

lumbago yang berlanjut ke arah kerusakan tulang dengan akibat melunak dan

1

Page 2: KATPD Ekotoksik

retaknya tulang. Organ tubuh yang menjadi sasaran keracunan Cd adalah ginjal

dan hati, apabila kandungan mencapai 200 µg Cd/gram (berat basah) dalam

kortex ginjal yang mengakibatkan kegagalan ginjal dan berakhir pada kematian.

Korban terutama terjadi pada wanita pascamonopause yang kekurangan gizi,

kekurangan vitamin D dan kalsium. Penimbunan Cd dalam tubuh mengalami

peningkatan sesuai usia yaitu paruh-umur dalam tubuh pada kisaran 20–30

tahun (Kazantzis, 2004; Danny, 2006)

Di Kalimantan Selatan, kadar Cd akibat aktivitas penambangan dan

transportasi batubara sudah mulai mencemari lingkungan. Penelitian Aditya

(2006) disebutkan bahwa beberapa jenis udang dan rajungan diperairan pantai

Takisung dan Batakan telah tercemar logam Cd (rerata 0,213 mg/kg). Hasil

penelitian Dini Sofarini dkk (2010) telah ditemukan kadar Hg, Pb, dan Cd pada

badan air di perairan muara DAS Barito melebihi ambang batas. Hal ini diduga

akibat transportasi dan bongkar muat batubara yang melewati sungai ini.

Selain pada biota perairan, logam Cd juga ditemukan pada sayuran. Hasil

penelitian Widowati (2011) terungkap bahwa logam Cd ditemukan pada genjer,

kangkung air, dan selada air masing-masing dengan konsentrasi 4,91 µg/L; 9,28

µg/L; dan 5,91 µg/L. Pada penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa kadar Cd

berkorelasi negatif terhadap vitamin C dan vitamin A. Hal ini berarti peningkatan

kadar Cd menyebabkan penurunan kadar vitamin C dan vitamin A.

Logam Cd juga ditemukan pada berbagai organ hewan ternak. Pada

ayam broiler yang diberi pakan yang dicampur tepung ikan, telah ditemukan Cd

pada karkas, jantung, hati, usus, dan ekskreta. Logam ini masuk ke dalam tubuh

bersama makanan yang dikonsumsi tetapi makanan tersebut telah

terkontaminasi oleh Cd. Selanjutnya, Cd mengalami proses bioakumulasi dalam

organisme hidup (tumbuhan, hewan, dan manusia) dan pada tingkat tertentu

dapat menyebabkan keracunan (Dwiloka dkk, 2012).

Kadmium mudah bereaksi dengan ligan-ligan yang mengandung unsur-

unsur O,S dan N. Di dalam tubuh, Cd bereaksi dengan berbagai ligan, seperti:

OH, - COO-, -OPO3H-, -C=O,-SH, -S-S-, -NH2 dan -NH yang dapat membentuk

ikatan kompleks dengan logam penting di dalam tubuh.  Ikatan kompleks ini

diduga mendasari toksisitas Cd di dalam tubuh. Toksisitas Cd disebabkan oleh

interaksi antara Cd dan ligan-ligan yang terdapat pada asam amino penyusun

penyusun enzim, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja

enzim. Kadar Cd yang tinggi dapat berinteraksi secara kompetitif dengan seng

2

Page 3: KATPD Ekotoksik

yang berperan sebagai aktivator beberapa enzim. Interaksi ini berakibat pada

penghambatan sampai inaktivasi beberapa enzim-enzim, sehingga metabolisme

akan terganggu. (Del Rasso dkk, 2003; Sudarmaji dkk, 2006).

Berdasarkan hasil studi National Health and Nutrition Examinition Survey

Study tahun 1999-2006 di Amerika, ditemukan bahwa stroke dan gangguan

jantung berhubungan dengan kadar Cd di dalam darah dan urine. Peningkatan

50% kadar Cd di dalam darah menyebabkan 35% berisiko terjadinya stroke dan

48% berisiko gangguan jantung (Junenette dkk, 2010). Penelitian Afridi dkk

(2011) juga mengungkapkan bahwa pada penderita gangguan jantung dengan

riwayat perokok di Pakistan ditemukan kadar Cd yang lebih tinggi pada sampel

rambut, darah, dan urine dibandingkan dengan yang bukan perokok.

Pada tingkat seluler Cd yang masuk ke dalam tubuh dimetabolisme

melalui mekanisme biotransformasi yang melibatkan sitokrom P-450 di

mitokondria. Cd mampu berikatan secara kovalen dengan sistin dan atau sistein,

yakni asam amino yang mengandung gugus –SH. Pengikatan ini berakibat pada

terjadinya ketidakseimbangan oksidatif pada sistem glutation, yakni suatu sistem

antioksidan enzimatik yang mengatur keseimbangan antara oksidan dan

antioksidan didalam tubuh. Ketidakseimbangan ini memicu peningkatan radikal

bebas dan oksidan yang selanjutnya akan bereaksi dengan biomolekul penyusun

membran mitokondria. Selanjutnya Cd dapat mempengaruhi fosforilasi oksidatif

Reaksi berkelanjutan dapat berakibat pada kerusakan oksidatif pada tingkat

selulet sampai organ (Prozialeck, 2006; Yue Zhang dkk, 2011).

Selain itu, Cd yang masuk ke dalam sel, dapat juga berperan sebagai

katalisator reaksi Maillard. Reaksi ini merupakan reaksi antara gugus karbonil

pada senyawa ribosa dengan gugus amina pada protein. Reaksi akan

menghasilkan senyawa peroksida yang bersifat sebagai oksidan, yakni molekul

yang dapat menarik elektron molekul lain. Melalui reaksi Fenton atau reaksi

Harber-Weiss, reaksi ini akan menghasilkan radikal hidroksil yang reaktif. Selain

itu reaksi yang berkelanjutan dari reaksi Maillard akan dihasilkan senyawa

metilglioksal yang bersifat toksik.

3

Page 4: KATPD Ekotoksik

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah

dalam karya ilmiah ini:

a. Bagaimana metabolisme dan dampak Cd terhadap kesehatan?

b. Bagaimana ekotoksik Cd di perairan?

c. Bagaimana ekotoksik Cd di tumbuhan?

d. Bagaimana ekotoksik Cd pada fitoplankton?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan karya tulis ini bertujuan memberikan penjelasan tentang sifat

toksik Cd pada ekosistem serta dampaknya pada kesehatan manusia. Dengan

demikian, setelah membaca karya ilmiah ini, diharapakan dapat memberikan

manfaat tentang pengetahuan dinamika Cd di lingkungan perairan maupun

sedimen serta dampaknya terhadap biota perairan dan tumbuhan. Dengan

harapan, dapat diupayakan usaha perbaikan lingkungan yang lebih baik.

4

Page 5: KATPD Ekotoksik

BAB II. METABOLISME KADMIUM DAN DAMPAK KESEHATAN

2.1 Manfaat Kadmium

Cd adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut

dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan Kadmium Oksida bila

dipanaskan. Cd memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4, titik leleh 321oC, titik

didih 767oC dan memiliki masa jenis 8,65 g/cm3 (Widowati dkk, 2008).

Logam Cd mempunyai penyebaran yang sangat luas di alam. Hanya ada

satu jenis mineral Cd di alam, yaitu greennockite (CdS) yang selalu ditemukan

bersamaan dengan mineral spalerite (ZnS). Mineral greennockite ini sangat

jarang ditemukan di alam, sehingga dalam eksploitasi logam Cd, biasanya

merupakan produksi sampingan dari peristiwa peleburan dan refining bijih-bijih

Zn (seng). Biasanya pada konsentrat bijih Zn, didapatkan 0,2 sampai 0,3% logam

Cd. Di samping itu, Cd juga diproduksi dari peleburan bijih-bijih logam Pb (timah

hitam) dan Cu (tembaga). Namun demikian, Zn merupakan sumber utama dari

logam Cd, sehingga produksi dari logam tersebut sangat dipengaruhi oleh Zn.

Cd merupakan logam yang lunak ductile berwarna putih seperti putih

perak Logam ini akan kehilangankilapnya bila berada dalam udara yang basah

atau lembab serta akan cepat mengalami kerusakan bila dikenai oleh uap

amonia (NH3) dan sulfur hidroksida. Sementara itu, berdasarkan sifat-sifat kimia,

logam Cd, didalam persenyawaan yang dibentuk pada umumnya mempunyai

bilangan valensi 1+. Akan tetapi, jika dimasukkan ke dalam larutan yang

mengandung ion hidroksil, ion-ion Cd2+ akan mengalami proses pengendapan.

Endapan yang terbentuk biasanya dalam bentuk senyawa terhidrasi yang

berwarna putih.

Apabila logam Cd digabungkan dengan senyawa karbonat (CO3),

senyawa posfat (PO3+), senyawa arsenat (AsO4), senyawa oksalat-Fe(III), dan

Fe(II)-sianat, maka akan terbentuk suatu senyawa yang berwarna kuning. Semua

senyawa yang terbentuk tersebut dapat larut dalam senyawa NH4OH dan

membentuk kation kompleks Cd dengan NH3.

Cd sangat banyak digunakan dalam kehidupan manusia. Logam ini telah

digunakan semenjak tahun 1950 dan total produksi dunia adalah sekitar 15.000-

18.000 per tahun. Prinsip dasar dalam penggunaan Cd adalah sebagai

stabilisator bahan pewarna dalam industri plastik dan pada elektroplating. Namun

5

Page 6: KATPD Ekotoksik

sebagian dari substansi logam Cd ini juga digunakan untuk solder dan alloy-

alloynya digunakan pula pada baterai. Umumnya logam cadmium (Cd) senyawa

oksida dari cadmium (CdO), hidrat (CdH2), dan kloridanya paling banyak

digunakan dalam industri elektroplating.

Di dalam industri baterai, pesawat terbang sipil maupun militer alloy CdNi

juga sangat banyak digunakan. Di samping itu alloy Cd juga banyak digunakan

dalam industri persenjataan berat, terutama sekali alloy Cd tersebut digunakan

sebagai pemandu peluru-peluru kendali. Alloy Cd yang dibentuk dengan logam-

logam Cu, Pb, Sn dan Ag banyak digunakan sebagai bahan solder. Logam Cd

dan senyawa kadmium nitrat ini berfungsi sebagai bahan untuk mengontrol

kecepatan pemcahan inti atom dalam rantai reaksi (reaksi berantai).

Penggunaan Cd dan persenyawaannya juga ditemukan dalam industri

pencelupan, fotografi, dan lain-lain. Pemanfaatan Cd dan persenyawaannya

antara lain:

Senyawa CdS dan CdSeS banyak digunakan sebagai zat warna.

Senyawa Cd-sulfat (CdSO4) digunakan dalam industri baterai yang berfungsi

untuk pembuatan sel weston karena mempunyai potensial stabil yaitu

sebesar 1,0186 volt.

Senyawa kadmium bromida (CdBr2) dan cadmium iodida (CdI2) secara

terbatas digunakan dalam dunia fotografi.

Senyawa dietil kadmium (C2H5)2Cd digunakan dalam proses pembuatan

tetraetil-Pb.

Senyawa Cd-strearat banyak digunakan dalam perindustrian manufaktur

polyvinilklorida (PVC) sebagai bahan yang berfungsi untuk stabilizer.

2.2 Metabolisme Kadmium (Cd)

Secara umum, Cd dimetabolisme seperti senyawa senobiotik, yakni

senyawa asam atau basa organik yang lebih mudah larut di dalam lemak

sehingga tidak mudah dibuang oleh tubuh. Dalam metabolisme selanjutnya, zat

senobiotik harus ditransformasi menjadi senyawa baru yang bersifat polar,

sehingga mudah larut di dalam air dan mudah diekskresikan melalui urine,

empedu, atau paru. Keseluruhan proses ini disebut dengan biotransformasi.

6

Page 7: KATPD Ekotoksik

hidroksilasi

reduksi

hidrolisis

Skema biotransformasi disajikan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Skema pola biotransformasi

Pada gambar 2.1, terlihat bahwa reaksi kimia yang berlangsung selama

biotransformasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fase I dan fase II. Pada fase

I, reaksi utama yang terlibat adalah hidroksilasi. Selain itu, proses

biotransformasi juga berlangsung secara oksidasi, reduksi, dan hidrolisa. Hal ini

berakibat pada terbentuknya metabolit yang lebih aktif daripada senyawa

semula. Pada fase II, senyawa yang terhidroksilasi atau senyawa lainnya yang

diproduksi dalam fase I diubah oleh enzim-enzim spesifik menjadi berbagai

metabolit polar. Mekanisme ini melalui reaksi konyugasi dengan asam

glukoronat, sulfat, asetat, glutation, atau lewat asetilasi.

2.3.1 Biotransformasi Fase I

Hidroksilasi merupakan reaksi utama yang terlibat pada biotransformasi

fase I. Enzim-enzim yang bertanggung jawab pada fase ini disebut sebagai

enzim monooksigenase atau spesies sitokrom P-450. Sit-P450 merupakan

7

Konyugasi

Biosintesa

Senobiotik Produk primer Produk skunder

Fase I Fase II

Ekskresi

Lipofilik Hidrofilik

Page 8: KATPD Ekotoksik

hemoprotein, yang kadar tertinggi terdapat di dalam membran retikulum

endoplasma hepar. Selain itu, sit-P450 juga ditemukan pada kelenjar adrenal.

Secara umum, mekanisme reaksi hidroksilasi adalah

RH + O2 + NADPH + H+ R-OH + H2O + NADP

atau

Sit-P450 tereduksi Sit-P450 teroksidasi

RH + O2 R-OH + H2O

Pada reaksi hidroksilasi, RH mewakili senyawa obat, zat karsinogenik, polutan,

dan lain-lain. Mekanisme reaksi hidroksilasi sangat rumit, tetapi secara umum

dapat dijelaskan bahwa satu atom oksigen memasuki R-OH dan satu lagi masuk

ke dalam molekul air. Contoh: reaksi hiroksilasi bifenil, yakni polutan yang

bersifat toksik akan mengalami biotransformasi membentuk 4-hirdroksifenil dan

2-hidroksifenil (gambar 2.2).

Gambar 2.2. Reaksi hidroksilasi bifenil

Selain hidroksilasi, proses biotransformasi juga berlangsung secara oksidasi

maupun reduksi. Reaksi reduksi adalah peristiwa hilang/lepasnya oksigen dari

unsur/persenyawaan. Selain itu, juga dapat diartikan sebagai peristiwa

berkurangnya muatan positif dari suatu unsur atau radikal..Untuk reaksi oksidasi

memiliki pengertian yang berkebalikan dengan reaksi reduksi. Contoh dari

mekanisme ini adalah metabolime halotan. Halotan dikenal sebagai senyawa

yang bersifat anestesi, yang metabolismenya mengalami reaksi oksidasi dan

reduksi (gambar 2.3).

8

Page 9: KATPD Ekotoksik

Gambar 2.3. Mekanisme reduksi dan oksidasi halotan

2.3.2 Biotransformasi Fase II

Dalam fase I, zat-zat senobiotik umumnya diubah menjadi derivat

terhidroksilasi yang bersifat lebih polar. Dalam reaksi fase II, derivat ini

terkonyugasi dengan molekul-molekul seperti asam glukoronat, sulfat atau

glutation. Peristiwa ini membuat moelul-molekul tersebut lebih bersifat larut di

dalam air, sehingga diekskresikan ke dalam urin atau getah empedu. Sebagai

penjelasan umum, pada gambar 4 disajikan metabolisme obat jenis diazepam,

yang melibatkan mekanisme reaksi fase I dan fase II.

9

Page 10: KATPD Ekotoksik

Gambar 2.4. Reaksi biotransformasi diazepam pada fase I dan II

Glukoronidasi. Reaksi-reaksi dalam proses glukoronidasi zat-zat

senobiotik pada dasarnya serupa dengan reaksi glukoronidasi bilirubin. Senyawa

UDP-glukoronat merupakan donor glukoronil dengan enzim glukoronil

transferase (terdapat di dalam retikulum endoplasma maupun sitosol) sebagai

katalisator. Glukoronida dapat terikat dengan oksigen, nitrogen, dan gugus sulfur

pada substratnya. Glukoronidasi kemungkinan merupakan reaksi konyugasi yang

paling sering terjadi.

Sulfasi. Sebagaian alkohol, arilamina, dan fenol akan mengalami proses

sulfasi. Donor sulfat dalam reaksi sulfasi ini dan reaksi sulfasi biologis lainnya

(sulfasi senyawa steroid, glikosaminoglikan, glikolipid, dan glikoprotein) adalah

3’-fosfat-5’-fosfosulfat (PAPS). Senyawa ini selanjutnya disebut dengan sulfat

aktif.

Glutation. Sejumlah zat senobiotik elektrofilik yang potensial beracun

akan terkonyugasi dengan glutation. Enzim-enzim yang mengkatalisis reaksi ini

disebut glutation S-transferase, yang terdapat di dalam sitosol sel hepar.

Glutation memiliki fungsi penting lainnya, yakni (a) berperan dalam proses

penguraian hidrogen peroksida yang potensial beracun (b) zat pereduksi intrasel

yang penting mempertahankan gugus sulfihidril (gugus –SH).

Asetilasi. Pada reeaksi asetilasi, asetil ko-A merupakan donor asetil.

Reaksi ini gambarkan dalam persamaan: X + asetil-KoA Asetil-X + KoA.

Pada reaksi asetilasi dikatalisis oleh asetiltransferase.

2.3.3 Metabolisme Kadmium di dalam Tubuh

Cd masuk ke dalam tubuh dapat melalui pernafasan (asap rokok dan

kendaraan) dan oral (makanan dan minuman). Menurut WHO, jumlah Cd yang

dapat diterima oleh tubuh manusia adalah sebanyak 400-500 mg/kg BB/hari.

10

Page 11: KATPD Ekotoksik

Sementara itu, batas toleransi Cd di dalam ginjal manusia adalah 200 ppm.

Waktu paruh Cd diperkirakan 10-30 tahun. Akumulasi pada ginjal dan hati 10-100

kali konsentrasi pada jaringan yang lain. Cd dieleminasi terutama melalui urin.

Hanya sedikit Cd yang diabsorbsi, yaitu sekitar 5 -10%. Absorbsi dipengaruhi

faktor diet seperti intake protein, kalsium, vitamin D, dan trace logam seperti seng

(Zn) (Sudarmaji dkk, 2006).

Penyerapan Cd di dalam paru lebih besar daripada saluran pencernaan,

yakni antara 13-19 % dengan rata-rata 16% dari jumlah Cd yang terserap. Cd

yang dihirup melalui saluran pernafasan biasanya berbentuk aerosol, yang

kecepatannya dipengaruhi oleh diameter partikel Cd.. Cd yang diserap tubuh

akan dibawa oleh darah khususnya di dalam eritrosit. Cd yang terdapat di

dalam plasma dan eritrosit akan berikatan dengan protein yang mempunyai berat

molekul tinggi, misalnya albumin dan metalotionein (Sudarmaji, 2006).

Di dalam pencernaan, penyerapan Cd dipengaruhi oleh (a) adanya villi–

villi yang memperluas daerah penyerapan Cd di dalam usus halus (b). kontak

antara Cd dengan sel epitel dalam usus yang terbawa dalam makanan sehingga

penyerapannya meningkat secara signifikan (c) Adanya cairan empedu di dalam

usus akan mengubah water soluble metabolite menjadi komponen yang memiliki

polaritas yang rendah sehingga mudah diserap oleh usus (d) adanya plasma

metalotionein pada usus, yakni metalotionein yang dapat mengikat Cd yang

terbawa di dalam makanan. Plasma metalotionein pada usus terdapat di bagian

mukosa duodenum (Dwiloka dkk, 2012).

Penyerapan Cd melalui membran dan masuk di dalam sel. Cd yang

terikat dalam protein metalotionein akan masuk ke dalam sel secara endositosis.

Cd dapat terabsorbsi dengan difusi pasif atau dengan special transport dengan

bantuan protein yang akan mengikat Cd. Dengan demikian, Cd akan berpindah

dari satu membran ke membran yang lain. Kemudian Cd akan dilepaskan dalam

suatu tempat kemudian protein tersebut akan mengikat logam lain. Protein yang

mengikat Cd adalah protein yang mempunyai gugus –SH atau S-S (Lasut, 2002;

Dwiloka, 2012).

Kadmium mudah bereaksi dengan ligan-ligan yang mengandung unsur-

unsur O,S dan N. Di dalam tubuh, Cd bereaksi dengan berbagai ligan, seperti:

OH, - COO-, -OPO3H-, -C=O,-SH, -S-S-, -NH2 dan -NH yang dapat membentuk

ikatan kompleks dengan logam penting di dalam tubuh.  Ikatan kompleks ini

diduga mendasari toksisitas Cd di dalam tubuh. Toksisitas Cd disebabkan oleh

11

Page 12: KATPD Ekotoksik

interaksi antara Cd dan ligan-ligan yang terdapat pada asam amino penyusun

penyusun enzim, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja

enzim. Kadar Cd yang tinggi dapat berinteraksi secara kompetitif dengan seng

yang berperan sebagai aktivator beberapa enzim. Interaksi ini berakibat pada

penghambatan sampai inaktivasi beberapa enzim-enzim, sehingga metabolisme

akan terganggu. (Del Rasso dkk, 2003; Sudarmaji dkk, 2006).

Respon Cd terhadap tubuh secara umum memiliki 3 (tiga) tipe efek yang

lazim akibat metabolisme Cd, antara lain:

(a) Cedera sel yang cukup berat sehingga menyebabkan kematian sel. Ada

banyak mekanisme yang digunakan senobiotik untuk mencederai sel. Salah

satunya pengikatan kovalen dengan makromolekul sel pada spesies yang

reaktif terhadap senobiotik yang dihasilkan dari metabolisme. Sasaran

makromolekul ini meliputi karbohidrat, protein, DNA, dan RNA.

(b) Spesies senobiotik yang reaktif dapat terikat dengan suatu protein,

momodifikasinya, dan mengubah sifat antigenitasnya. Zat senobiotik ini

dinamakan dengan hapten. Hapten adalah molekul kecil yang tidak dengan

sendirinya merangsang sintesis antibodi tetapi akan bergabung dengan

antibodi begitu unsur ini terbentuk. Antibodi yang dihasilkan ini selanjutnya

akan merusak sel melalui beberapa mekanisme imunologi yang secara

nyata merusak proses biokimiawi normal.

(c) Reaksi antara spesies karsinogen kimiawi yang aktif dengan DNA diduga

memiliki makna penting dalam karsinogenesis kimiawi.

2.4 Dampak Cd terhadap Kesehatan.

Sifat racun Cd menyebabkan berbagai dampak kesehatan pada manusia,

antara lain (Sudarmaji, 2006):

a. Efek Cd terhadap hepar

Kadmium (Cd) dalam tubuh terakumulasi dalam hati dan terutama terikat

sebagai metalotionein mengandung unsur sistein, dan Cd terikat dalam gugus

sufhidril (-SH) dalam enzim seperti karboksil sisteinil, histidil, hidroksil, dan fosfatil

dari protein purin. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas Cd disebabkan oleh

interaksi antara Cd dan protein tersebut, sehingga menimbulkan hambatan

terhadap aktivitas kerja enzim dalam tubuh.

12

Page 13: KATPD Ekotoksik

b. Efek Cd terhadap tulang

Efek keracunan Cd juga dapat mengakibatkan kerapuhan pada tulang.

Gejala rasa sakit pada tulang sehingga menyulitkan untuk berjalan. Terjadi pada

pekerja yang bekerja pada industri yang menggunakan Cd. Penyakit tersebut

dinamakan “itai-itai”.

(a) (b)

Gambar 2.5 (a) Gambaran sinar x dari tulang pinggul yang mengalami osteoporosis akibat Cd (b) Tulang rusuk yang mengalami osteoporosis dan dekalsifikasi

c. Efek Cd terhadap paru-paru

Beberapa efek Cd terhadap paru-paru antara lain:

Emfisema, yaitu penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan

(obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung

secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.

Edema, yaitu  pembengkakan yang diakibatkan kelebihan cairan di dalam

tubuh.

d. Efek Cd terhadap sistem reproduksi

Daya racun yang dimiliki oleh Cd juga mempengaruhi sistem reproduksi

dan organ-organya. Pada konsentrasi tertentu Cd dapat mematikan sel-sel

sperma pada laki-laki. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa akibat terpapar oleh

uap logam Cd dapat mengakibatkan impotensi.

 

13

Page 14: KATPD Ekotoksik

e. Efek Cd terhadap ginjal

Logam Cd dapat menimbulkan gangguan dan bahkan mampu

menimbulkan kerusakan pada sistem yang bekerja di ginjal. Kerusakan yang

terjadi pada sistem ginjal dapat terjadi pada tubulus ginjal. Petunjuk kerusakan

yang dapat terjadi pada ginjal akibat Cd, yaitu terbentuknya asam amniouria dan

glokosuria, dan ketidaknormalan kandungan asam urat kalsium dan fosfor dalam

urin. Kerusakan ginjal akibat Cd dapat dilihat pada gambar

(a) (b)

Gambar 2.6 (a) Ginjal penderita itai-itai (b) gambaran sel ginjal pada penderita ita-itai

Hasil penelitian Wibowo dkk (2014) disebutkan bahwa kadar Cd di dalam

urin ibu hamil berhubungan dengan besarnya Glomerulus Factor Rate (GFR),

yakni parameter fungsi ginjal. Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.7.

(a) (b)

Gambar 2.7 Korelasi antara kadar Cd urine dengan (a) rasio ure/kratinin (b) Glomerulus Factor Rate

14

Page 15: KATPD Ekotoksik

e. Efek Cd terhadap pankreas

Keracunan Cd dapat menyebabkan penurunan fungsi pancreas. Efek

pemberian Cd pada hewan mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan

menyebabkan terjadinya hiperglikemia, pengurangan toleransi terhadap glukosa

dan menghambat aktivitas sekresi insulin.

 f. Efek Cd terhadap jantung

Hipertrofi ventrikular adalah membesarnya ukuran ventrikel jantung.

Perubahan ini sangat baik untuk kesehatan jika merupakan respon atas latihan

aerobik, akan tetapi hipertropi ventrikular juga dapat muncul akibat penyakit

seperti tekanan darah tinggi.

15

Page 16: KATPD Ekotoksik

BAB III. EKOTOKSIK KADMIUM DI PERAIRAN

3.1. Kadmium dalam Perairan

Air merupakan senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan umat

manusia dan makhluk hidup lainnya dengan fungsi yang tidak akan dapat

digantikan oleh senyawa lain. Hampir seluruh kegiatan yang dilakukan manusia

membutuhkan air, mulai dari membersihkan diri, membersihkan tempat

tinggalnya, menyiapkan makanan dan minuman sampai dengan aktivitas-

aktivitas lainnya (Sudarmaji dkk, 2006).

Kualitas air tersebut dipengaruhi oleh keberadaan berbagai jenis

mikroorganisme patogen dan kandungan bahan kimia berbahaya dalam air

termasuk Cd sebagai logam berat. Cd merupakan logam toksik yang ditemukan

dalam bentuk CdCl2, CdSO4, dan Cd(OH)2. Senyawa ini terlarut di dalam air dan

mencemari air tawar maupun air laut. Sumber pencemaran ini banyak berasal

dari pertambangan, peleburan logam dan jenis industri lainnya, dan juga dapat

berasal dari lahan pertanian yang menggunakan pupuk atau antihama yang

mengandung logam (Darmono, 2001). Pertambangan sebagai sumber

pencemaran telah dibuktikan oleh penelitian Indarwati dkk (2007). Pada

penelitian tersebut diungkapkan bahwa penambangan emas secara liar oleh

masyarakat di Kotawaringan barat mengakibatkan meningkatnya kadar Cd dalam

air genangan penambangan serta sungai-sungai sekitar area tambang.

Cd yang terlarut di dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu akan

berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan perairan. Pencemaran

logam berat dapat merusak lingkungan perairan dalam hal stabilitas,

keanekaragaman dan kedewasaan ekosistem. Dari aspek ekologis, kerusakan

ekosistem perairan akibat pencemaran Cd dapat ditentukan oleh faktor kadar

dan kesinambungan zat pencemar yang masuk dalam perairan, sifat toksisitas,

dan bioakumulasi.

Hasil penelitian Lestari dan Edward (2004) dijelaskan bahwa di perairan

Teluk Jakarta, telah tercemar logam berat sehingga menyebabkan kematian ikan

di perairan teluk Jakarta. Kadar logam berat pada beberapa stasiun disajikan

pada tabel 3.1. Berdasarkan tabel 3.1 dapat dilihat kadar rerata di semua lokasi

penelitian adalah <0,001 ppm atau <1 ppb. Data ini menunjukkan bahwa kondisi

perairan pada saat pengamatan relatif homogen. Kadar Cd ini masih sesuai

dengan kadar Cd yang normal dalam air laut yakni 0.11 ppb, dan dengan Nilai

16

Page 17: KATPD Ekotoksik

Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan untuk kepentingan biota laut adalah 0.001

ppm atau 1 ppb.

Tabel. 3.1 Kadar logam berat (ppm) di beberapa stasiun di perairan Teluk Jakarta, Mei 2004

Penelitian Ahmad (2009) juga mengungkapkan tingkat pencemaran Cd

dalam air laut dan sedimen di perairan Pulau Muna, Kabaena, dan Buton

Sulawesi Tenggara. Hasil pengukuran kadar Cd di perairan Sulawesi Tenggara

berdasarkan lokasi disajikan pada tabel 3.2. Dari tabel 3.2 tersebut dapat dilihat

bahwa kadar Cd rerata di perairan P. Kabaena, Muna, dan Buton relatif sama

yakni <0,001 ppm. Data ini menunjukkan bahwa pola sebaran Cd relatif

homogen. Kadar Cd ini masih sesuai dengan kadar Cd yang normal dalam air

laut yakni 0,11 ppb, dan Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan untuk biota

laut adalah 0,001 ppm. Berdasarkan kadar Cd ini, kualitas perairan ini masih

aman untuk biota laut.

17

Page 18: KATPD Ekotoksik

Tabel 3.2. Kadar Cd rerata di perairan P. Kabaena, Muna, dan Buton

Penelitian Rahmalatu (2011) mengungkapkan bahwa kadar Cd di

perairan Maluku juga masih dalam batas aman. Pengukuran di beberapa stasiun

disajikan pada gambar 3.1.

Gambar 3.1 Hasil Analisis Kadar logam berat Cd dalam Sampel Air dan Sedimen. (Keterangan: St.1 = Perairan pantai desa Latta, St.2 = Perairan pantai desa Latuhalat, St.3 = Perairan pantai desa Liang, dan St.4 = Perairan pantai desa Tial).

Sumber-sumber logam berat Cd di perairan, berasal dari sumber yang

bersifat alami dari lapisan kulit bumi seperti masukan dari daerah pantai yang

berasal dari sungai-sungai dan abrasi pantai akibat aktivitas gelombang,

18

Page 19: KATPD Ekotoksik

masukan dari laut dalam yang berasal dari aktivitas geologi gunung berapi laut

dalam, dan masukan dari udara yang berasal dari atmosfer sebagai partikel-

partikel debu. Logam berat Cd juga dapat berasal dari aktifitas manusia, seperti

limbah pasar dan limbah rumah tangga, aktivitas transportasi laut dan aktivitas

perbaikan kapal laut. Diduga bahwa aktivitas penduduk di dekat perairan pantai

pulau Ambon menyumbangkan mayoritas logam ini dalam sedimen seperti

transportasi laut, perbaikan kapal sampah rumah tangga, aktivitas pertanian,

emisi industri dan peleburan Zn dan Pb. Cd dari berbagai aktivitas pada

lingkungan perairan secara cepat diserap oleh organism perairan dalam bentuk

ion-ion bebas (Cd2+) dan berasosiasi dengan ion klorida (Cl-), pada pH 7,0

dengan presentase CdCl2 (51%), CdCl+ (39%), dan CdCl3+ (6%), dan yang tidak

terkompleksitasnya Cd2+ kira-kira 2,5% dari total (Rahmatullah, 2011)

3.2 Kadmium dalam Sedimen

Sedimen berasal dari kerak bumi yang diangkut melalui proses hidrologi

dari suatu tempat ke tempat lain, baik secara vertikal ataupun horizontal.

Sedimen terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik yang berpengaruh

negatif terhadap kualitas air. Bahan organik berasal dari biota atau tumbuhan

yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur. Bahan

anorganik umumnya berasal dari pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan

batuan terbagi atas kerikil, pasir, lumpur, dan tah liat. Butiran kasar banyak

dijumpai dekat pantai, sedangkan butiran halus banyak di perairan dalam atau

perairan yang relatif tenang. Menurut Parera (2004), ukuran butiran sedimen

berhubungan dengan konsentrasi logam berat. Hal ini dapt dilihat pada tabel 3.3.

Tabel 3.3. Hubungan ukuran butiran sedimen (µm) dengan konsentrasi logam

berat

Ukuran butiran sedimen (µm)

Konsentrasi logam (µg/g)

Cu Pb Zn

1 – 10

11 – 30

21 – 60

61 – 150

39

43

28

23

78

60

41

27

1067

623

479

308

19

Page 20: KATPD Ekotoksik

Bahan partikel yang tidak terlarut seperti pasir, lumpur, tanah dan bahan

kimia anorganik dan organik menjadi bahan yang tersuspensi di dalam air,

sehingga bahan tersebut menjadi penyebab pencemaran tertinggi di dalam air

Hal ini dapat dibuktikan oleh hasil penelitian Puspitasari (2011) di kawasan

pesisir pelabuhan Cirebon. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa sedimen

pesisir Cirebon di kawasan pelabuhan dapat menyebabkan efek negatif bagi

perkembangan larva kerang, yang ditandai oleh adanya abnormalitas

perkembangan larva yang hamper 100%. Hal ini disebabkan oleh keberadaan

sedimen pada badan air mengakibatkan peningkatan kekeruhan perairan yang

selanjutnya menghambat penetrasi cahaya yang dapat menghambat daya lihat

(visibilitas) organisme air, sehingga mengurangi kemampuan ikan dan organisme

air lainnya untuk memperoleh makanan, pakan ikan menjadi tertutup oleh

lumpur. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya kerja organ

pernapasan seperti insang pada organisme air dan akan mengakumulasi bahan

beracun seperti pestisida dan senyawa logam.

Logam kadmium (Cd) merupakan unsur logam transisi pada periode V

di dalam tabel sistem periodik. Atom ini bernomor 48 dengan massa atom

112,41. Jari-jari kovalen tetrahedral Cd mirip dengan Zn sehingga dapat

memasuki struktur sphaleritr (ZnS). Kelimpahan Cd pada kerak bumi adalah

0,13 µg/g, sedangkan pada serasah (sisa tumbuhan akuatik berupa senyawa

organic dalam fasa partikulat maupun terlarut) dan lempung nilainya relatif lebih

tinggi, yakni 0,30 µg/g (Csuros and Csuros, 2002).

Pada lingkungan akuatik, Cd relatif bersifat mudah berpindah. Sebagian

besar berupa Cd2+, Cd(OH)3-, Cd(OH)4

-2, CdCO3 dan berbagai jenis senyawa

kompleks organik dan anorganik lainnya. Urutan afinitas ligan terhadap

kompleks dengan Cd di perairan darat sebagai berikut asam humat, CO32+,

OH-, Cl-, dan SO42--. Kelarutan kompleks Cd hidroksida berkurang pada saat pH

meningkat, yang ditandai oleh pembentukan padatan Cd(OH)2. Di perairan

darat, umumnya terjadi penyerapan oleh suspended solid state seperti clay.

Kopresitasi dengan Fe dan Mn terlarut juga penting untuk Cd di parairan darat

(Csuros and Csuros, 2002).

Cd memasuki lingkungan akuatik terutama dari deposisi atmosferik dari

efluen pabrik yang menggunakan logam ini dalam proses kerjanya. Di perairan

umumnya Cd hadir dalam bentuk ion-ion yang terhidrasi, garam-garam klorida,

20

Page 21: KATPD Ekotoksik

terkomplekskan dengan ligan anorganik atau membentuk kompleks dengan ligan

organik (Weiner, 2008).

Cd sebagaimana logam lainnya, juga dapat mengalami perubahan

kontinyu diantara bentuk terlarut, endapan, dan terserap ke sedimen. Laju

adsorpsi, desorpsi, dan presipitasi bergantung pada pH, kimia, dan fisika

perairan serta komposisi sedimen dasar yang tersuspensi. Adsorpsi logam

terlarut ke sedimen menghilangkan logam terlarut dari perairan sehingga

bioavailabilitasnya juga berkurang. Bentuk paling sederhana kation logam

sebenarnya tidak benar-benar ada, yang ada adalah spesies terlarut yang saling

berinteraksi dengan muatan lain karena gaya elektrostatik. Kation logam

berinteraksi menarik multilayer hydration shell pada molekul air pada ujung atom

oksigennya menjadi kation yang bermuatan positif (Weiner, 2008).

H2OReaksi: Mn+ M(H2O)n+

x

dengan M adalah kation logam, n adalah jumlah muatan positif kation, x adalah

jumlah molekul air yang terdapat dalam hydration shell, nilai x biasanya 6 untuk

sebagian besar kation. Cd2+ memiliki muatan cukup besar untuk menarik molekul

air dan bertindak sebagai asam dengan cara melepaskan H+ dari molekul air

dalam hydration sphere. Interaksi kation logam dengan air menyebabkan

kelarutan logam dalam air

Reaksi: M(H2O)n+6 + H2O M(H2O)n+

5OH+(n-1) + H3O+

M(H2O)n+

5OH+(n-1) + H2O M(H2O)4(OH)2+(n-2) + H3O+

Pada setiap tahapan, logam terhidrasi secara progresif terdeprotonasi

membentuk polihidroksida yang semakin menjadi tidak mudah larut. Pada saat

yang bersamaan larutan berubah menjadi bertambah asam karena rerbentuk

H3O+. Akhrirnya, logam menjadi mengendap sebagai hidroksida bersolubilitas

rendah. Derajat keasaman yang diinduksi oleh adanya hidrasi logam adalah lebih

besar untuk katioin yang berelektronegatifitas tinggi, bermuatan besar, dan

beukuran kecil.

Pada permukaan padatan dan air, karakteristik partikel terlarut berperan

penting dalam mengatur konsentrasi unsur-unsur reaktif di dalam sistem

perairan. Partikel memiliki kapasitas pembentuk senyawa kompleks, penetralan

21

Page 22: KATPD Ekotoksik

asam basa, dan transfer elektron dibandingkan komponen terlarut. Dengan

demikian partikel menjadi buffer untuk ion-ion logam, ligan, proton, dan elektron

dalam fasa terlarut. Partikulat disini material yang tertahan oleh filter berpori 0,45

µm dengan tidak mempertimbangkan koloid organik maupun anorganik yang

berada di perairan (Puspitasari, 2011)

Secara fisik, partikel bertindak sebagai reaktan, yaitu kolektor untuk

partikel-partikel lainnya (agregasi koloid, koagulasi). Akan tetapi, secara kimia

partikel yang berperan dalam banyak hal, antara lain

a. Sebagai pengumpul zat terlarut hidrofobik yang terakumulasi pada permukaan

akibat pengusiran dari air.

b. Sebagai ligan permukaan (basa Lewis) yang kemudian berinteraksi dengan

proton atau ion logam.

c. Sebagai asam Lewis yang mengikat ligan (anion dan asam-asam lemah)

dalam pertukaran ligan.

d. Sebagai permukaan bermuatan umumnya dihasilkan segera sesudah proses

adsorpsi ion logam, H+, dan ligan (terkait dengan permukaan bermuatan dan

polar)

e. Sebagai katalis redoks, yaitu penyerapan oksidan dan reduktan serta

memediasi kedua zat tersebut.

f. Sebagai donor dan akseptor elektron pada oksidasi dan reduksi particle

organik, Fe3+-okisda, FeS, sulfida lainnya.

g. Sebagai penyerap cahaya untuk menginduksi proses redosks heterogen.

Perpindahan ion logam dari badan air ke dalam sedimen dapat melalui fenomena

proses adsorpsi isoterm berdasarkan tiga model adsorpsi yaitu model partisi,

Freundlich, dan Langmuir (Suseno, 2011)

a. Model partisi, model ini berdasarkan penjabaran dari reaksi

kesetimbangan fase cair-padat yaitu

Kd[X]air [X]sedimen

[X]sedimen = Kd [X]air

Hubungan antara [X]sed dan [X]air akan linier, bila koefisien determinasi

(R2) mendekati 1. Notasi X menggambarkan konsentrasi ion logam,

[X]sed merupakan konsentrasi ion logam di dalam sedimen (mg/L), [X]air

22

Page 23: KATPD Ekotoksik

adalah konsentrasi ion logam di dalam sedimen (mg/kg), dan Kd

merupakan koefisien partisi antara fasa padat dan cair.

b. Model Freundlich, model merupakan modifikasi model Kd, dan hanya

berlaku pada permukaan adsorbat yang heterogen dan proses adsorpsi

yang terjadi lebih dari satu permukaan, maka notasi (1/n) berlaku dengan

n>1.

[X]sedimen = Kf [X]air1/n

Log [X]sed = log Kf + 1/n log [X]air

Akibatnya hubungan antara log [C]sed dan log[X]air pada tersebut akan

linier, dengan 1/n sebagai slope dan log Kf intersep, maka n merupakan

jumlah permukaan adsorpsi dan Kf merupakan konstante Frendlich.

c. Model Langmuir. Model ini biasanya terjadi pada adsorpsi kimia, dan

proses adsorpsi biasanya hanya terjadi di daerah satu permukaan yang

dinyatakan dengan

[C ]air¿¿¿ ¿

Kemudian berdasarkan pada persamaan tersebut, kurva antara [C ]air¿¿¿

dengan [C]air, maka akan liniar, dengan 1/b merupakan slope dan adalah

intersep. Notasi b merupakan kapasitas adsorpsi Kl konstanta

kesetimbangan adsorpsi. Energi adsorpsi (Eads) dapat dihitung dengan

persamaan Eads = RTlnKL dengan R merupakan tetapan gas ideal

(8,314 J/K.mol), T suhu dalam derajat Kelvin. Bila suatu adsorpsi

berlangsung sebagai kimisorpsi, maka energi adsorsinya harus lebih

besar dari 20 kJ/mol.

Hasil penelitian Suseno (2011) dinyatakan bahwa perpindahan ion logam

Cd+2 ke dalam system air-sedimen di sepanjang sungai Code Yogyakarta akan

mengikuti model adsorpsi Langmuir dengan nilai energi adsorsinya adalah 16,85

kJ/mol. Berdasarkan energy adsorsi tersebut, ikatan untuk ion logam Cd+2 lebih

cenderung berupa fisisorpsi,

Logam runut yang berada dalam sedimen di sistem akuatik dapat

dilepaskan kembali ke overlying water column bergantung pada faktor kimia dan

fisika perairan, serta proses aktivitas biologi. Selain itu, gelombang dan arus

yang disebabkan oleh tiupan angin karena dapat menginduksi pengadukan

secara fisik pada permukaan sedimen. Pertukaran zat terlarut terjadi pada

23

Page 24: KATPD Ekotoksik

permukaan antara sedimen dan overlying water column merupakan aspek

penting dalam siklus geokimia termasuk Cd.

3.3 Dampak Cd terhadap Biota Air

Dampak Cd terhadap biota air, diawali dengan pencemaran Cd yang

dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur komunitas perairan, jaringan

makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik, dan resistensi. Selanjutnya, akan

terjadi bioakumulasi, yakni pengambilan Cd dari badan air atau sedimen oleh

organisme air dan memekatkannya ke dalam tubuh hingga 100-1000 kali lebih

besar dari lingkungan. Kemampuan organisme air dalam menyerap (absorpsi)

dan mengakumulasi logam berat dapat melalui beberapa cara, yaitu melalui

saluran pernapasan (insang), saluran pencernaan dan difusi permukaan kulit

(Darmono dkk, 2000).

Penelitian Lestari dan Edward (2004) juga mengungkapkan bahwa logam

berat dapat mematikan beberapa biota air pada pemaparan 96 jam. Hal ini

disajikan pada tabel 3.4.

Tabel 3.4 Konsentrasi ion logam (ppm) yang mematikan beberapa biota laut pada pemaparan 96 jam

Selain itu, hasil penelitian Samsundari dan Perwira (2011) telah

menyebutkan bahwa beberapa logam berat ditemukan pada daerah budidaya

perikanan sekitar luapan lumpur lapindo Sidoarjo. Kandungan berbagai logam

berat tersebut disajikan pada tabel 3.5.

24

Page 25: KATPD Ekotoksik

Tabel 3.5 Kandungan logam berat pada insang dan daging ikan berdasarkan jarak jenis sampel

Hasil penelitian Komari dkk (2013) juga mengungkapkan bahwa

kandungan kadmium pada ikan baung di perairan Pelabuhan Trisakti berkisar

0,100-0,171 ppm. Nilai ini masih di bawah baku mutu berdasarkan SK Dirjend

POM No. 03725/B/SK/VII/89 untuk biota konsumsi, yaitu sebesar 1,0 ppm.

Kandungan seng pada ikan baung di perairan Pelabuhan Trisakti berkisar 0,640-

1,428 ppm. Nilai ini masih dibawah baku mutu cemaran logam berat berdasarkan

SK Dirjend POM No. 03725/B/SK/VII/89, yaitu sebesar 100 ppm. Hasil penelitian

ini dapat dilihat pada gambar 3.2.

(a) (b)

Gambar 3.2 Grafik rata-rata kandungan kadmium (ppm) di air, sedimen dan ikan baung pada 3 titik lokasi pengambilan sampel, I=Trisakti, II=Basirih, dan III=Banjar Raya pada bulan (a) April dan (b) Mei 2012

25

Page 26: KATPD Ekotoksik

Gambar 3.2 (a) menunjukkan rata-rata kandungan kadmium pada ikan

baung pengambilan sampel di bulan April di setiap lokasi pengambilan sampel.

Kandungan kadmium tertinggi terdapat pada lokasi I, yaitu Basirih sebesar 0,115

ppm. Tingginya kadar kadmium di sebabkan adanya berbagai aktivitas industri,

transportasi maupun bongkar muat di perairan sekitar pelabuhan Trisakti. Salah

satu aktivitas yang menyumbang cukup banyak limbah logam Cd di perairan

sekitar pelabuhan Trisakti adalah banyaknya galangan-galangan kapal yang

bergerak di bidang perawatan kapal dan perbaikan, dengan bahan baku yang

digunakan salah satunya adalah cat. Sementara itu, bahan baku yang terdapat

dalam cat adalah logam berat Cd, Cu dan Zn yang berguna sebagai zat

pewarnaan (pigmen) dan pelapis agar mudah kering.

Gambar 3.2 (b) menunjukkan kandungan kadmium pada ikan baung pada

pengambilan sampel di bulan Mei. Kandungan kadmium tertinggi ditemukan

pada lokasi II, yaitu di Basirih sebesar 0,171 ppm. Jika dibandingkan

pengambilan sampel bulan April dan Mei, kadar kadmium pada bulan Mei

mengalami kenaikan pada setiap titik lokasi. Hal ini diduga karena sifat dari

logam yang bioakumulatif, juga bisa dikarenakan adanya peningkatan berbagai

aktivitas disekitar lokasi yang mengakibatkan bahan pencemar lebih banyak

terdapat pada bulan Mei.

Penelitian Soegianto dkk (2004) telah membuktikan bahwa medium Cd

pada kadar sublethal (10,20,dan 30 ppb) terbukti secara signifikan menyebabkan

perubahan struktur insang (Gambar 3.3) dan hepatopankreas (Gambar 3.4) serta

menurunkan tingkat kelangsungan hidup udang regang.

26

Page 27: KATPD Ekotoksik

Gambar 3.3. Lamella insang udang regang [Macrobrachium sintangense (de Man)] yang terpapar kadmium. (A) Insang udang kontrol warna terang (10 x 10). (B) Insang udang dengan konsentrasi kadmium 10 ppb terdapat hiperplasi, warna gelap (10 x 20). (C) Insang udang yang terpapar kadmium 20 ppb terdapat hiperplasi dan nekrosis, warna gelap (10 x 20). (D) Insang yang terpapar kadmium 30 ppb terdapat hiperplasi dan nekrosis, warna hitam (10 x 40). ( mc: marginal canal: lamella, Hi: hiperplasi, ne: nekrosis)

Gambar 3.4 Tubulus hepatopakreas udang regang [Macrobrachium sintangense (de Man)] yang terpapar kadmium. (A)Tubulus hepatopankreas kontrol (10 x 40). (B) Tubulus hepatopankreas yang terpapar kadmium 10 ppb (10 x 40). (C) Tubulus hepatopankreas yang terpapar kadmium 20 ppb (10 x 20) (D) Tubulus hepatopankreas yang terpapar cadmium 30 ppb(10 x 40). (tub: tubulus, vak: vakuolisasi)

27

Page 28: KATPD Ekotoksik

Selain pada udang regang, Cd juga dapat menyebabkan kerusakan insang

Anodonta woodiana Lea, yakni salah satu jenis kerang air tawar (Sunarto, 2012).

Kerusakan insang Cd dengan konsentrasi 1,135 – 1,542 ppm disajikan pada

gambar 3.5

Gambar 3.5 Struktur mikroanatomi insang (perbesaran 400 kali) dengan rentang konsentrasi Cd dalam insang: 1,135 – 1,542 ppm (a) Struktur mikroanatomi insang (kontrol) (b) Struktur mikroanatomi insang dengan rentang konsentrasi Cd dalam insang sebesar 1,135 – 1,542 ppm.

Pada gambar 3.5. tampak jelas adanya kematian sel dan beberapa

lamella mengalami hyperplasia dan menyatu akibat terpapar logam berat Cd

yang menyebabkan terjadinya hypertrophy. Kematian sel dimungkinkan cairan

sel banyak yang keluar sehingga sel mengkerut dan akhirnya mati. Kematian sel

dapat berupa nekrosis atau apoptosis, hal ini dapat diakibatkan bagian fungsi

mitokondria terganggu oleh adanya pencemar logam berat Cd. Kerusakan

mitokondria yang dapat terjadi oleh berbagai sebab, akan menyebabkan

kegagalan sintesis ATP, kerusakan membran mitokondria, yang diikuti nekrosis

dan kematian se. Di samping itu, mitokondria sendiri juga memiliki peran penting

dalam suatu sistem untuk mengatur kematian sel sering dinamakan apoptosis,

yaitu program sel untuk menghilangkan beberapa sel yang tak berguna, sel tua

atau sel rusak.

28

Page 29: KATPD Ekotoksik

BAB IV. EKOTOKSIK KADMIUM PADA TUMBUHAN

A. Kadar Kadmium (Cd) dalam Tanah

Secara alami berbagai logam berat terkandung di dalam tanah, terutama

tanah yang berasal dari batuan induk. Namun kegiatan manusia dapat

meningkatkan kadar logam berat di dalam tanah dan perairan. Pencemaran

logam berat di lahan sekitar penambangan dan peleburan logam tercatat sangat

tinggi. Hasil kajian di kawasan bekas peleburan seng di Palmerton, Pennsylvania

(AS) yang telah beroperasi selama 82 tahun dan daerah pertambangan logam

timbal dan seng di Kansas (AS) yang telah beroperasi selama 150 tahun

menunjukkan bahwa tingkat pencemaran logam berat di tanah dan air masih

tetap tinggi walaupun kegiatan industri di situ telah dihentikan beberapa tahun

sebelumnya (Turkdogan dkk, 2003).

Konsentrasi logam berat yang tinggi di dalam tanah dapat masuk ke dalam

rantai makanan dan berpengaruh buruk pada organisme. Tindakan pemulihan

(remediasi) perlu dilakukan agar lahan yang tercemar dapat digunakan kembali

untuk berbagai kegiatan secara aman. Di samping metode remediasi yang biasa

digunakan yang berbasis pada rekayasa fisik dan kimia, pada satu atau dua

dasawarsa terakhir ini perhatian peneliti dan perusahaan komersial serta industri

terhadap penggunaan tumbuhan sebagai agensia pembersih lingkungan

tercemar telah meningkat (Turkdogan dkk, 2003; Widaningrum dkk, 2007)

Salah satu jenis zat pencemar yang dapat membahayakan kesehatan

adalah logam berat, terutama yang bersifat racun dan sering mencemari

lingkungan, seperti raksa (Hg), timbal (Pb) dan kadmium (Cd). Keberadaan

logam berat sebagai polutan bagi lingkungan hidup diawali dengan evolusi umat

manusia dan meningkat seiring dengan berkembangnya populasi dan

industrialisasi dari proses modernisasi manusia itu sendiri. Logam berat adalah

senyawa kimia yang berupa logam dengan berat molekul yang tinggi dan

memiliki sifat beracun. Keberadaannya di air atau air limbah dengan konsentrasi

melebihi ambang batas dapat memberikan dampak negatif bagi siklus biologi

yang normal di lingkungan. Tingkat kontaminasi oleh logam berat di tanah

pertanian dapat mengakibatkan stress pada tumbuhan tiga kali lebih besar

dibandingkan oleh pestisida.

Kadmium adalah salah satu logam toksik, tersebar dalam lingkungan

melalui berbagai aktivitas manusia seperti pembuangan limbah, pupuk fosfat,

29

Page 30: KATPD Ekotoksik

aktivitas industri dan pemukiman penduduk karena selektivitasnya yang rendah

tumbuhan dapat menyerap sekaligus mengakumulasi Cd yang jika berlebih dapat

mengakibatkan reduksi pertumbuhan dan kematian tumbuhan Logam berat

kadmium (Cd) dapat masuk dalam lingkungan, antara lain dapat disebabkan oleh

(a) Pelapukan batuan yang mengandung logam berat (b) Penggunaan bahan

alami untuk pupuk (c) Pembuangan sisa limbah pabrik dan sampah (Susana dkk,

2013).

Kandungan Cd dalam tanah bergantung pada batuan induk, cara

terbentuknya tanah dan translokasi logam berat di tanah. Hal ini dapat dilihat

pada tabel 4.1 (Mulyadi dkk, 2009).

Tabel 4.1. Jenis-jenis batuan induk pembentuk tanah yang mengandung logam

berat Pb dan Cd

Jumlah Cd normal di tanah kurang dari 1 μg kg-1 dan tertinggi 1700 μg kg-1

yaitu pada tanah yang diambil dari pertambangan seng. Kegiatan pemupukan

fosfat alam dan pupuk kandang juga merupakan sumber pencemar Cd di lahan

pertanian. Kadmium yang terakumulasi di dalam tanah merupakan sumber

utama Cd yang diserap tumbuhan. Pemupukan fosfat dan pupuk kandang

memiliki kontribusi terhadap peningkatan Cd pada lahan pertanian. Batuan fosfat

mengandung Cd 10-980 mg kg-1 sehingga Cd di dalam pupuk fosfat bervariasi.

Pupuk fosfat mengandung Cd 30-60 mg. Penggunaan pupuk fosfat secara terus-

menerus akan menyumbang Cd ke dalam tanah sebesar 2,0-7,2 g ha/tahun

(Widaningrum dkk, 2007; Susana dkk, 2007). Hal ini diperkuat oleh hasil

penelitian Mulyadi dkk (2009) yang mengungkapkap bahwa beberapa tanah

sawah pada sub-DAS-Juwana terdeteksi adanya logam Cd yang belum

mencemari tanah, tetapi kandungan Cd pada gabah dan beras sudah melebihi

ambang batas yang ditetapkan WHO. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.2.

30

Page 31: KATPD Ekotoksik

Tabel 4.2. Kandungan logam berat Cd dalam gabah pada lahan sawah sub-DASJuwana, Pati Jawa Tengah, tahun 2008

*WHO (pada beras); tt (tidak terdeteksi)

Selain tanah, lumpur juga mengandung logam berat, Meski demikian,

masyarakat banyak memanfaatkan lumpur sebagai bahan organic sebagai media

tanam. Penggunaan lumpur dalam jumlah yang berlebih dan jangka panjang

dapat berpengaruh buruk terhadap kualitas tanah dan mengkontaminasi bagian

tanaman yang dkonsumsi akibat logam berat yang terkandung di dalamnya.

Penelitian Hindersah dkk (2014), diperoleh fakta bahwa penambahan lumpur

sampai 50% di dalam media tanam menyebabkan peningkatan akumulasi Cd di

tomat (gambar 4.1)

Pemberian 25% lumpur ke dalam tanah meningkatkan berat buah dan

jumlah buah per tanaman dibandingkan dengan tanaman tanpa lumpur (Gambar

4.1 (a) dan (b)). Aplikasi lumpur dengan dosis yang lebih tinggi tidak dapat

meningkatkan panen, bahkan pemberian 75% lumpur menghasilkan berat dan

jumlah buah yang dengan nyata lebih rendah daripada yang dihasilkan tanaman

control yang diberi 50 dan 75% lumpur (59,86 gram dan 51,52 gram) lebih besar

daripada buah dari tanaman yang tumbuh di tanah yang mengandung 25%

lumpur (51,69 gr)

31

Page 32: KATPD Ekotoksik

(a) (b)

(c)

Gambar 4.1. Pengaruh berbagai dosis lumpur terhadap (a) berat buah (b) jumlah buah (c) akumulasi Cd per tanaman

Buah dari tanaman yang diberi 25 dan 50% lumpur menyerap Pb masing-

masing 1.94 mg/kg dan 2.65 mg/kg yang masih lebih rendah daripada ambang

batas dari Departemen Kesehatan RI yaitu 4 mg/kg. Namun, akumulasi Pb sudah

melebihi batas jika lumpur diberikan pada dosis 75 %. Tidak terdapat akumulasi

Cd di atas ambang batas, 2 mg/kg, pada buah tomat dari seluruh dosis lumpur

yang diberikan. Akumulasi Pb dan Cd di buah dari tanaman kontrol menjelaskan

adanya mobilitas Pb dan Cd yang secara alami telah berada di dalam tanah dan

juga yang berasal dari pupuk kandang. Selain itu pupuk fosfat menyumbang Cd

tanah mengingat batuan fosfat secara alami mengandung logam Cd. Pada

percobaan pot ini buah tomat mengakumulasi Pb dan Cd dalam jumlah yang

relatif besar. Di dalam pot tidak terjadi mobilisasi logam berat ke bagian bawah

profil tanah dan perkembangan akar dibatasi oleh ruang. Dengan demikian akar

berpotensi menyerap logam dalam jumlah yang relatif besar.

Selain pada buah tomat, logam Cd ditemukan pada tanaman sawi yang

ditanam dengan menggunajan lumpur hasil pengolahan limbah karet (Hikmah

dkk, 2013). Hal ini didasari oleh banyaknya petani di Kalimantan Selatan yang

menggunakan lumpur hasil pengolahan limbah pabrik karet sebagai pupuk.

32

Page 33: KATPD Ekotoksik

Adanya logam Mn dan cd yang terdapat pada lumpur tersebut jika dimanfaatkan

sebagai pupuk alternative dikhawatirkan terakumulasi pada bagian-bagian

tanaman sawi, misalnya pada akar, batang, dan daunnya. Jika sawi tersebut

dikonsumsi oleh manusia dan hewan dapat menimbulkan gangguan kesehatan

atau keracunan. Hal ini telah dibuktikan oleh penelitian Hikmah dkk (2013) yang

hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Hasil uji kandungan Cd pada daun tanaman sawi

Keterangan:

a) Kontrol dengan perbandingan 2 kg tanah podsolik: 0 g lumpurb) Perlakuan 1 dengan perbandingan 2 kg tanah podsolik: 600 g lumpurc) Perlakuan 2 dengan perbandingan 2 kg tanah podsolik : 700 g lumpurd) Perlakuan 3 dengan perbandingan 2 kg tanah podsolik : 800 g lumpure) Perlakuan 4 dengan perbandingan 2 kg tanah podsolik: 900 g lumpurf) Perlakuan 5 dengan perbandingan 2 kg tanah podsolik: 1000 g lumpur

4.2 Mekanisme Penyerapan Logam Kadmium pada Tumbuhan

Penyerapan logam berat oleh tumbuhan dipengaruhi oleh kompetitor,

logam, ligan alam, dan buatan, karakteristik dan jenis lingkungan, tumbuhan, dan

pH larutan. Penelitian Widowati, dkk., (2011) terungkap bahwa logam Cd

ditemukan pada genjer, kangkung air, dan selada air masing-masing dengan

konsentrasi 49,1 µg/L; 9,28 µg/L; dan 5,91 µg/L Proses penyerapan tersebut

dikarenakan adanya suatu protein fitokelatin, sejenis metallothionein dalam

tumbuhan yang dapat mengikat logam, misalnya pada tumbuhan bayam..

Masing-masing tumbuhan mengembangkan mekanisme akumulasi logam

yang berbeda-beda. Tumbuhan yang hidup pada lahan dengan akumulasi logam

33

Page 34: KATPD Ekotoksik

tinggi memiliki protein pengikat logam atau peptida yang diberi nama fitokelatin

(PCs) yang mirip dengan metalothionin pada mamalia. Sifat toleran ditentukan

oleh kandungan glutation (GSH), sistein (Cys) dan O-acetyl-L-serine (OAS)

sedangkan kemampuan mengakumulasikan logam berat pada jaringan

dipengaruhi oleh kandungan serine acetyltransferase (SAT) dan aktivitas

glutation reduktase. Agar dapat masuk ke dalam jaringan tanpa meracuni

tumbuhan, logam berat harus diubah menjadi bentuk yang kurang toksik melalui

reaksi kimiawi atau pembentukan kompleks dengan metabolit sekunder yang

dihasilkan oleh tumbuhan. Tumbuhan umumnya mengeluarkan kelompok thiol

sebagai pengkelat (ligand), tetapi banyak juga metabolit yang dikeluarkan

sebagai ligand tergantung jenis logam yang akan dikelat, seperti yang

ditunjukkan oleh tabel 4.4.

:

Tabel 4.4. Logam-logam Berat dan Ligan Organik yang Diperlukan untuk

Membentuk Kompleks dalam Jaringan Tumbuhan

Logam Ligan Organik

Arsen (As) Fitokelatin, thiol, glutathione, asam askorbat.

Kadmium (Cd) Fitokelatin, glutathione, γ-glitamylcystein, thiols.

Krom (Cr) Thiols

Tembaga (Cu) Sitrat, metalotionin, fitokelatin 2, fitokelatin 3.

Merkuri (Hg) Thiols

Nikel (Ni) Nicotianamine, histidin, thiols, sitrat.

Timbal (Pb) Fe Glutathione

Selenium (Se) sistein, metionin.

Seng (Zn) Fitokelatin, glutathione, γ-glitamylcystein, thiols, sitrat,

malat.

4.3 Mekanisme Pengikatan Logam Berat Oleh Ligan

Di dalam tubuh tumbuhan logam berat akan diikat oleh ligan (fitokhelatin)

dengan mekanisme sebagai berikut:

Akumulasi logam → organ tumbuhan → vakuola → akseptor kompleks

logam → transport ligan (fitokhelatin) → ekskresi.

Logam berat jika sudah terserap ke dalam tubuh tidak dapat dihancurkan, tetapi

akan tetap tinggal di dalamnya hingga nanti dibuang melalui proses ekskresi.

34

Page 35: KATPD Ekotoksik

Penyerapan dan akumulasi logam berat pada tumbuhan dibagi menjadi tiga

proses, antara lain:

1. Penyerapan logam oleh akar.

Penyerapan logam oleh akar berbeda antara tumbuhan satu dengan lainnya

tergantung pada jenis tumbuhannya, misalnya dengan perubahan ph, atau

ekskresi zat khelat. Ekskresi zat khelat untuk penyerapan besi disebut

fitosiderofor pada rumput-rumputan. Tumbuhan membentuk reduktase

spesifik logam untuk meningkatkan penyerapan logam, tumbuhan membentuk

suatu molekul reduktase di membran akarnya yang berfungsi mereduksi

logam yang selanjutnya diangkut melalui kanal khusus di dalam membran

akar.

2. Translokasi logam dari akar ke bagian tumbuhan lain.

Mekanisme ini yang berlangsung pada penyerapan logam cadmium (Cd).

Setelah cadmium (Cd) dibawa masuk dalam sel akar kemudian diangkut

melalui xylem, untuk meningkatkan efisiensi kadmium diikat oleh molekul

khelat (dihasilkan oleh tumbuhan) seprti fitokelatin dan glutation (yang dapat

terikat pada Cd). Molekul khelat lain seperti histidin mengikat logam Ni.

3. Lokalisasi logam pada bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak

menghambat metabolisme tumbuhan.

Untuk mencegah keracunan logam, tumbuhan memilikii mekanisme

detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam di dalam organ tertentu seperti

akar dan daun. Penimbunan Cd dapat terjadi pada akar tumbuhan Slene dioica,

daun pada tumbuhan selada air.

Tumbuhan dapat menyerap logam, peristiwa ini sebagaian besar

merupakan proses pasif, meskipun ada beberapa yang terlibat di

dalam ,metabolisme sel. Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menyerap ion-

ion dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel. Dua sifat

penyerapan ion oleh tumbuhan adalah sebagai berikut :

a. Faktor konsentrasi, yaitu kemampuan tumbuhan dalam mencapai beberapa

tingkat lebih besar dari konsentrasi ion dalam mediumnya.

b. Faktor kuantitatif akan kebutuhan hara yang berbeda pada tiap jenis

tumbuhan.

Strategi tumbuhan merespon logam berat tanah meliputi :

35

Page 36: KATPD Ekotoksik

a) Metal excluders (mencegah logam berat), tumbuhan mencegah logam berat

dari media tanah dengan menjaga konsentrasi logam nerat tersebut tetap

rendah dalam tanah dengan cara mengeksudat bahan kelat tumbuhan

melalui akar.

b) Metal Indicators (indikator logam berat), spesies tumbuhan secara aktif

mengakumulai logam dalam akar, akumulasi logam dalam akar

menyebabkan perubahan struktur normalnya menjadikan tanamna sebagai

indikator logam berat.

c) Metal accumulator plant species (mengakumulasi logam berat dalam

tumbuhan), tumbuhan yang dapat menyerap kontaminan logam yang tinggi

dan dapat diendapkan dalam akar, tunas, dan atau daun disebut dngan

tumbuhan hiperakumulator. Batas kadar logam yang terdapat di dalam

biomassa agar suatu tumbuhan dapat disebut hiperakumulator berbeda-

beda tergantung pada jenis logam.

Logam umumnya akan berikatan dengan senyawa lain menjadi molekul bila

dalam perairan. Ikatan ini dapat berupa garam organik maupun anorganik, garam

yang diserap oleh akar dalam bentuk ion dapat bergerak melewati korteks sacara

simplas dan apoplas bahkan kedua-duanya.

Melalui apoplas, ion berdifusi melalui dinding sel korteks tanpa memasuki

protoplasma. Bila melalui lintasan simplas pada endodermis terjadi pemutusan

kesinambungan dengan adanya pita-pita suberin yang bersifat kedap air,

sehingga air dan bahan terlarut tidak dapat lewat satu sisi endodermis ke sisi lain

kecuali dengan difusi melalui protoplas sel endosermis dan melalui pergerakan

plasma melalui plasmodesmata. Sel-sel yang dianggap buruk pada bagian stele

mempunyai kemampuan yang rendah untuk menahan ion, sehingga cenderung

membocorkannya pada xylem.

Konsentrasi ion dalam cairan xilem yang lebih besar dibandingkan

konsentrasi larutan di luarnya menimbulkan adanya potensial osmotik, sehingga

menyebabkan penarikan air dari jaringan-jaringan sekitarnya serta menghasilkan

tekanan akar. Tekanan akar akan menaikan cairan xilem, akropetal membawa

larutan cairan xilem bersama aliran transpirasi, sehingga dengan jalan demikian

proses perpindahan ion dari akar menuju bagian tanaman yang lebih tinggi.

Komponen penting sebagai penyimpanan ion-ion logam adalah vakuola, dimana

ion-ion logam tersebut diikat oleh fitokelatin.

36

Page 37: KATPD Ekotoksik

Pada tumbuhan, logam berat dapat menghambat proses metabolisme sel

dan dapat menurunkan pertumbuhannya. Hal ini terjasi karena mekanisme kerja

reaksi dari logam berat terhadap protein yang pada umumnya menyerang ikatan

sulfida. Ikatan sulfida yang diserang selalu pada molekul proteinnya yang kan

menimbulkan kerusakan struktur yang terkait. Ion-ion logam berat efektif

berikatan dengan gugus sulfuhidril seperti sistein dengan histidin dan lisin. Posisi

ion-ion logam pada metaloenzim (enzim logam) dapat digantikan oleh ion-ion

logam berat sehingga fungsi enzim sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia

di dalam sel mengalami gangguan. Cd dengan konsentrasi yang melebihi

ambang batas akan berakibat dalam proses transpirasi, fotosintesis, respirasi,

menghambat kerja enzim, mengubah permeabilitas membran dan berikatan

dengan sulfuhidril.

37

Page 38: KATPD Ekotoksik

BAB V. EKOTOKSIK KADMIUM PADA FITOPLANKTON

5.1 Bioakumulasi Kadmium oleh Fitoplankton

Fitoplankton adalah produsen dan sebagai tropik level pertama dalam

rantai makanan. Kemudian fitoplankton dimakan zooplankton. Konsentrasi

polutan dalam tubuh zooplankton lebih tinggi dibanding dalam tubuh fitoplankton

karena zooplankton memangsa fitoplankton sebanyak-banyaknya. Fitoplankton

dan zooplankton dimakan oleh ikan-ikan planktivores (pemakan plankton)

sebagai tropik level kedua. Ikan planktivores dimangsa oleh ikan karnivores

(pemakan ikan atau hewan) sebagai tropik level ketiga, selanjutnya dimangsa

oleh ikan predator sebagai tropik level tertinggi. Mekanisme ini digambarkan

pada gambar 5.1.

Gambar 5.1 Rantai makanan bioakumulasi kadmium

Ikan predator dan ikan yang berumur panjang mengandung konsentrasi

kadar Cd dalam tubuhnya paling tinggi di antara seluruh organisme laut. Kerang

juga mengandung Cd yang tinggi karena cara makannya dengan menyaring air

masuk ke dalam insangnya setiap saat dan fitoplankton ikut tertelan. Cd ikut

masuk ke dalam tubuhnya dan terakumulasi terus-menerus dan bahkan bisa

melebihi konsentrasi yang di air. Cd tersebut mengikuti rantai makanan mulai dari

fitoplankton sampai ikan predator dan pada akhirnya sampai ke manusia. Bila Cd

ini berada dalam jaringan tubuh organisme laut tersebut dalam konsentrasi yang

38

Page 39: KATPD Ekotoksik

tinggi, kemudian dijadikan sebagai bahan makanan maka akan berbahaya bagi

kesehatan manusia.

Bioakumulasi Cd di dalam fitoplankton terjadi melalui mekanisme

pengikatan logam pada bagian luar permukaan yang secara biologis melepaskan

ligan atau dengan gugus ligan fungsional yang terletak pada permukaan sel.

Setelah pembentukan kompleks Cd pada permukaan ini, kemudian senyawa itu

dibawa oleh molekul pembawa untuk menembus membran sel menuju bagian

dalam sel. Pada sisi bagian sel yang kontak dengan air terdapat kesetimbangan

beberapa kompleks terlarut dan ligan-ligan pada permukaan dan ion logam yang

bebas.Kompetisi diatara ligan-ligan yang berbeda terhadap H+ dan ion logam

yang bermacam-macam untuk membentuk kesetimbangan multidimensional.

Oleh karena kesetimbangan ini bersifat independent, maka tidak ada unsur yang

terbebas dari label toksik pada level dosis tertentu. Aspek kinetika yang

berlagsung meliputi laju reaksi pertukaran ligan, laju reaksi pertukaran ligan, laju

reaksi pelepepasan carrier ligand dan laju transport ML1 melewati membran

(biasanya dengan transport aktif). Jika transport menuju ke bagian dalam sel

berlangsung lambat dibandingkan proses pra penyeimbang pada sisi lain, maka

masukan ion logam oleh sel bergantung pada sisi larutan, maka uptake ion

logam oleh sel bergantung pada konsentrasi ion logam bebas.Produksi dan

pelepasan L1, L2, dan seterusnya terkait dengan laju pertumbuhan alga.

Selektifitas ion logam tertentu bergantung pada selektifitas ligan L1 (Smiri dkk,

2010).

Pada penelitian Haryoto (2004) telah membuktikan laju pengikatan dan

pelepasan Cd oleh fitoplankton telah mengikuti kinetika orde 1 dengan tetapan

laju pengikatan (k1) dan laju pelepasan (k2) masing-masing 0,3146/menit dan

0,0033/menit. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel 5.1.

39

Page 40: KATPD Ekotoksik

Tabel 5.1 Hasil Akumulasi 12 mg Fitoplankton Chlorella sp pada Berbagai Waktu,

Interaksi dalam 25 mL Medium yang Mengandung 0,25 mg/L Kadmium (Cd2+).

Waktu

(menit)

[Cd2+] sisa

(ppm)

[Cd2+] (ppm)

terakumulasi

Persentase

terakumulasi

mg Cd2+ terakumulasi per

gram Chlorella sp

0

5

10

15

30

45

60

120

0.0000

0.0387

0.0129

0.0026

0.0038

0.0030

0.0057

0.0040

0.0000

0.2113

0.2371

0.2474

0.2462

0.2470

0.2443

0.2460

0.000

84.52

94.83

98.96

98.49

98.80

97.71

98.40

0.0000

0.4402

0.4939

0.5154

0.5129

0.5149

0.5089

0.5125

Data pada tabel 5.1 dapat terjadi karena telah tercapai suatu keadaan

kesetimbangan antara konsentrasi Cd di dalam fitoplankton Chlorella sp dan

konsentrasi logam kadmium di dalam medium air laut, sehingga jumlah logam

kadmium yang terikat sudah mencapai maksimum. Hal ini berarti waktu yang

diperlukan oleh fitoplankton Chlorella sp untuk mencapai jumlah pengikatan

maksimum terhadap logam kadmium adalah 15 menit.

Untuk mempelajari proses akumulasi logam kadmium oleh fitoplankton

Chlorella sp dapat dilakukan dengan cara menganggap proses akumulasi

sebagai proses kesetimbangan pengambilan dan pelepasan seperti diperlihatkan

pada tabel 5.1. Pada tabel tersebut proses masuknya logam kadmium ke dalam

sel fitoplankton Chlorella sp dianggap berlangsung karena proses difusi pasif

dengan logam kadmium diangkut ke dalam sel berdasarkan gradien konsentrasi

yaitu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang rendah, dan sistem berada

dalam kompartemen tunggal dengan sel fitoplankton Chlorella sp dianggap

sebagai satu kompartemen.

Hasil penelitian Haryoto (2004) tersebut juga menunjukkan bahwa proses

akumulasi dipengaruh oleh pH medium. Proses penyerapan logam oleh

fitoplankton Chlorlla sp merupakan gabungan proses aktif yang melibatkan

40

Page 41: KATPD Ekotoksik

metabolisme dan proses pasif tidak melibatkan metabolisme. Sel fitoplankton

Chlorella sp melalui proses aktif dapat mensintesis protein pengkhelat logam

fitokhelatin untuk merespon pengaruh negatif dari logam berat. Fitokhelatin

disintesis dari suatu turunan tripeptida (glutation) yang tersusun dari glutamat,

cystidin, dan glisin. Glutation ada dalam seluruh sel, sering dalam tingkat yang

tinggi. Jika dalam lingkungannya termediasi oleh logam kadmium, maka glutation

membentuk fitockhelatin. Fitokhelatin ini selanjutnya akan membentuk

fitokhelatin-Cd yang selanjutnya akan diteruskan ke vakuola (Smiri dkk, 2010).

Selain melalui proses metabolisme, proses penyerapan logam cadmium

juga dapat terjadi melalui proses pertukaran ion antara logam kadmium dengan

kation dinding sel, atau melalui pembentukan ikatan kovalen antara logam

dengan gugus aktif pada dinding sel. Dinding sel fitoplankton terdiri atas berbagai

senyawa organik seperti Protein, Polisakarida, asam alginat dan asam uronat

yang dapat berikatan dengan logam (Haryoto, 2004).

Proses penyerapan logam kadmium oleh fitoplankton Chlorella sp

melibatkan reaksi kimia baik pertukaran ion maupun pembentukan ikatan

kompleks. Reaksi penyerapan logam kadmium yang berkaitan dengan pH

medium adalah:

Gambar 5.2 Pengikatan secara kovalen Cd oleh GSH

dengan S adalah permukaan absorben. Pada gambar 5.2 tampak bahwa

akumulasi logam kadmium akan meningkatkan konsentrasi ion H+, karena reaksi

tersebut merupakan reaksi kesetimbangan. Dengan demikian, kenaikan pH

medium menyebabkan reaksi bergeser ke produksi ion H+ , yang berarti semakin

banyak jumlah logam kadmium yang terkomplekskan. Pernyataan tersebut

sesuai dengan hasil penelitian Haryoto (2004), yang menyatakan bahwa

kenaikan pH medium dari pH = 4 ke pH = 8 pada medium yang digunakan

menyebabkan kemampuan akumulasi logam kadmium oleh fitoplankton Chlorella

41

Page 42: KATPD Ekotoksik

sp semakin meningkat., Kemampuan akumulasi logam kadmium oleh

fitoplankton Chlorella sp pada pH yang lebih tinggi dari pH = 8 yaitu pada pH = 9

tidak mengalami kenaikan yang berarti atau cenderung konstan. Hal ini

disebabkan karena pada pH = 8 penyerapan telah mencapai harga maksimum,

dengan situs aktif pada dinding sel fitoplankton Chlorella sp telah jenuh oleh

logam kadmium, dan pada pH = 9 tersebut kondisinya lingkungan kurang

menguntungkan bagi kelangsungan hidupnya, dengan pH optimum yang

dibutuhkan oleh fitoplankton Chlorella sp berkisar antara pH = 7 – 8,5 oleh

karena itu kenaikan pH tidak dapat menaikkan kemampuan akumulasi.

5.2 Kadmium dan Metabolisme Fitoplankton

Sebelum logam berat memberikan dampak negatif terhadap organisme

tertentu, logam berat tersebut terlebih dahulu mengalami mekanisme

penyerapan ke dalam tubuh organisme. Logam berat kadmium (Cd) mengalami

mekanisme penyerapan ke dalam sel. Unsur-unsur tersebut kemudian terlibat

dalam aktivitas metabolisme sel dan memberikan pengaruh terhadap

pertumbuhan diatom laut (Patrick, 2003).

Penyerapan logam berat oleh mikroorganisme pada sistem kultur terjadi

dalam dua tahap. Tahap awal berupa penyerapan pasif yang berlangsung cepat,

diikuti oleh penyerapan aktif yang berlangsung lambat. Pada tingkat selular,

penyerapan pasif berawal ketika logam berat berinteraksi dengan dinding sel.

Dinding sel mengandung enzim ekstraselular yang berfungsi dalam penyerapan

unsur-unsur yang dibutuhkan sel. Pada penyerapan aktif, logam berat tersebut

ditransportasikan melalui membran sel menuju sitoplasma (Purbonegoro, 2008).

Proses masuknya logam berat melintasi membran sel dapat terjadi kalau

logam berat tersebut bersifat lipofilik mudah larut dalam lipid atau lemak) Lapisan

membran sel terbentuk dari lapisan lipid (lipid bilayer). Logam berat yang bersifat

lipofilik tersebut akan larut dalam lipid dan berikatan dengan protein sel.

Membran bersifat sukar dilalui (impermeabel) oleh ion-ion yaitu natrium (Na+)

dan kalium (K+), serta ion-ion logam berat seperti tembaga (Cu), seng (Zn), dan

kadmium (Cd). Untuk dapat melintasi membran sel, ion logam berat tersebut

mengalami proses difusi terfasilitasi (facilitated diffusion). Dalam proses tersebut,

ion logam berat mendapat bantuan suatu enzim di dalam membran sel yang

disebut permease. Enzim Permease adalah suatu protein membran sel yang

42

Page 43: KATPD Ekotoksik

berikatan dengan ion logam berat sehingga ion logam berat tersebut dapat

melintasi lapisan lipid bilayer membran sel (Purbonegoro, 2008).

Dalam proses difusi terfasilitasi, ion logam berat bergerak searah dengan

gradien konsentrasi (perbedaan konsentrasi), artinya konsentrasi lingkungan di

luar sel hams lebih tinggi daripada di dalam sel. Membran sel juga mampu

'memompa' ion logam berat berlawanan dengan gradien konsentrasi. Proses ini

disebut transport aktif dengan menggunakan energi berupa ATP yang berasal

dari hasil metabolisme sel. Setelah ion logam berat melewati membran sel,

enzim-enzim dan organel sel dalam sitoplasma menjadi tujuan ion logam berat

tersebut. Kloroplas merupakan organel paling sensitif terhadap logam berat dan

logam berat tersebut berpengaruh pada proses fotosintesis (Lasut, 2002)).

Logam biasanya bertindak sebagai kofaktor yang membantu kerja enzim

pada reaksi-reaksi tertentu dalam sel. Sel perlu menyimpan cadangan logam

tersebut, tetapi tidak sampai berlebihan atau pada konsentrasi yang bersifat

racun. Logam tersebut selanjutnya dibebaskan secara perlahan. Ketika

konsentrasi logam mencapai tingkat tertentu atau berlebihan akan berdampak

buruk pada proses metabolisme sel. Dalam proses fotosintesis, konsentrasi

logam berat kadmium (Cd) yang berlebihan akan berpengaruh terhadap

kloroplas. Pengaruh tersebut terjadi pada struktur kloroplas dan proses

metabolisme yang terjadi di dalamnya (Purbonegoro, 2008).

Di samping itu, struktur membran kloroplas dan membran tilakoid yang

terdapat dalam sel juga terbentuk oleh lapisan atau lapisan lipid berlapis dua

(lipid bilayer). Meningkatnya aktivitas enzim galaktolipase oleh pengaruh logam

berat kadmium yang berlebihan memicu hidrolisis molekul monogalaktolipid yang

menyusun membran tilakoid, sehingga menyebabkan degradasi membran

tilakoid tersebut (Lasut, 2002; Purbonegoro, 2008).

Proses metabolisme yang terjadi dalam fotosintesis melibatkan reaksi-

reaksi kimia dengan bantuan bermacam enzim yang berfungsi sebagai

katalisator. Reaksi-reaksi kimia tersebut melibatkan aktivitas elektronelektron

yang berperan dalam membentuk suatu gradien elektrolit. Gradien elektrolit ini

antara lain berfungsi untuk menghasilkan tenaga yang berguna bagi reaksi-

reaksi selanjutnya dalam proses fotosintesis. Logam berat kadmium dapat

berpengaruh terhadap gradien elektrolit tersebut dengan cara mengganggu

aktivitas moleku-molekul yang bertugas sebagai pembawa elektron (electron

carriers).Konsentrasi kadmium yang berlebihan berpengaruh terhadap molekul

43

Page 44: KATPD Ekotoksik

plastoquinone yang terkandung dalam membran tilakoid. Molekul ini merupakan

protein periperal (protein pembantu) yang terikat bebas pada permukaan luminal

(berhadapan dengan lumen) membran tilakoid. Molekul ini berfungsi sebagai

pembawa elektron dalam reaksi kimia pada proses fotosintesis. Logam berat

kadmium menyebabkan terganggunya kerja molekul plastoquinone sebagai

pembawa elektron yang berperan penting dalam reaksi kimia fotosintesis. Hal

tersebut pada akhirnya dapat mengganggu gradien elektrolit yang memiliki peran

dalam proses fotosintesis, antara lain dalam menyediakan tenaga untuk

pembentukan ATP dan NADPH. Proses ini terjadi pada reaksi terang yang

berperan dalam menyediakan molekul ATP dan NADPH. Logam berat tersebut

menyebabkan terganggunya pembentukan ATP dan NADPH, sehingga akhirnya

mempengaruhi ketersediaan ATP dan NAPDH bagi aktivitas fotosintesis (Lasut,

2002; Purbonegoro, 2008).

Cd juga dapat menghambat kerja enzim yang berperan dalam proses

fotosintesis. Efek ini biasanya timbul akibat interaksi antara kadmium dengan

gugus-SH (sulfhidril) metalotionein pada enzim tersebut. Metalotionein

merupakan jenis protein yang dapat berikatan dengan logam berat. Metalotionein

dapat ditemukan di semua golongan makhluk hidup, yaitu mamalia, ikan,

moluska, zooplankton dan fitoplankton (Lasut, 2002; Smiri dkk, 2010). Protein ini

memiliki berat molekul yang ringan dan sifat utamanya adalah mengandung 26-

33 % sistein serta tidak mempunyai asam amino aromatik atau histidin. Sebagai

konsekuensi dari banyaknya kandungan asam amino sistein, maka protein ini

mengandung kelompok thiol (sulfhidril, - SH) dalam jumlah besar. Kelompok ini

memiliki afinitas yang tinggi terhadap kation bivalen sehingga mengikat logam-

logam berat dengan sangat kuat, khususnya merkuri (Hg), kadmium (Cd), perak

(Ag), seng (Zn), dan stanum (Sn) (Lasut, 2002; Purbonegoro, 2008).

Pengaruh logam berat kadmium pada aktivitas enzim antara lain terjadi

pada enzim ribulosa bifosfat karboksilase dan Carbonic Anhydrase (CA) yang

berperan dalam penyerapan dan fiksasi karbon dioksida (CO2). Pada awal siklus

Calvin, logam berat kadmium berpengaruh pada enzim ribulosa bifosfat

karboksilase. Substitusi logam magnesium (Mg) yang dibutuhkan enzim tersebut

oleh logam berat kadmium (Cd) dapat menghambat proses fiksasi karbon

dioksida. Selain enzim ribulosa bifosfat karboksilase, salah satu enzim yang

penting bagi proses fotosintesis diatom laut adalah enzim Carbonic Anhydrase

(CA). Enzim ini mengandung logam seng (Zn) dan berperan dalam merubah

44

Page 45: KATPD Ekotoksik

asam karbonat (HCO3-) menjadi CO2. Logam seng (Zn) yang terikat enzim ini

dapat digantikan oleh logam lain, sehingga aktivitas enzim menjadi terganggu.

Aktivitas enzim ini akan berkurang hingga sampai 56% jika logam seng (Zn)

diganti oleh logam kobalt (Co), dan akan berkurang sampai hanya 5% jika logam

seng (Zn) diganti oleh logam kadmium (Cd) (Darmono, 2000; Purbonegoro,

2010).

Selain berpengaruh pada proses fotosintesis itu sendiri, logam berat

kadmium juga dapat menyebabkan klorosis. Klorosis merupakan proses

degradasi klorofil oleh pengaruh dari iuar sel yang bersifat ekstrim. Klorosis yang

disebabkan oleh logam berat kadmium dapat melalui dua jalur, yaitu

penghambatan langsung terhadap enzim 5-asam aminolevulinat dehidratase

yang berperan dalam sintesis klorofil, dan melalui penggantian logam besi (Fe)

dan magnesium (Mg) yang terlibat dalam sintesis klorofil. Terganggunya aktivitas

fotosintesis tersebut menyebabkan kemampuan sel untuk memperbanyak diri

menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan pertumbuhan jumlah sel menjadi

terhambat (Purbonegoro, 2008).

45

Page 46: KATPD Ekotoksik

BAB VI. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Cd merupakan logam berat yang lama dimanfaatkan oleh manusia untuk

kepentingan berbagai macam bahan industri. Misalnya: senyawa CdS dan

CdSeS banyak digunakan sebagai zat warna, CdSO4 digunakan dalam

industri baterai yang berfungsi untuk pembuatan sel Weston, CdBr2 dan CdI2

secara terbatas digunakan dalam dunia fotografi, (C2H5)2Cd digunakan dalam

proses pembuatan tetraetil-Pb, dan masih banyak lagi. Selain bermanfaat,

buangan industri yang mengandung Cd dapat masuk ke dalam perairan dan

akan mengalami transformasi menjadi senyawa Cd yang persisten dan sangat

toksik. Cd tersebut selanjutnya mengalami bioakumulasi dalam organisme lalu

dibiomagnifikasikan dalam rantai makanan dan akhirnya mengakibatkan

berbagai keracunan yang mengancam kesehatan manusia.

2. Sumber-sumber logam berat Cd di perairan, berasal dari sumber yang bersifat

alami dari lapisan kulit bumi seperti masukan dari daerah pantai yang berasal

dari sungai-sungai dan abrasi pantai akibat aktivitas gelombang, masukan dari

laut dalam yang berasal dari aktivitas geologi gunung berapi laut dalam, dan

masukan dari udara yang berasal dari atmosfer sebagai partikel-partikel debu.

Pada lingkungan akuatik, Cd relatif bersifat mudah berpindah. Sebagian besar

berupa Cd2+, Cd(OH)3-, Cd(OH)4

-2, CdCO3 dan berbagai jenis senyawa

kompleks organik dan anorganik lainnya. Urutan afinitas ligan terhadap

kompleks dengan Cd di perairan darat sebagai berikut asam humat, CO32+,

OH-, Cl-, dan SO42--. Kelarutan kompleks Cd hidroksida berkurang pada saat

pH meningkat, yang ditandai oleh pembentukan padatan Cd(OH)2. Di perairan

darat, umumnya terjadi penyerapan oleh suspended solid state seperti clay.

Kopresitasi dengan Fe dan Mn terlarut, juga penting untuk Cd di parairan

darat

3. Pada tumbuhan, logam berat dapat menghambat proses metabolisme sel dan

dapat menurunkan pertumbuhannya. Hal ini terjasi karena mekanisme kerja

reaksi dari logam berat terhadap protein yang pada umumnya menyerang

ikatan sulfida. Ikatan sulfida yang diserang selalu pada molekul proteinnya

yang kan menimbulkan kerusakan struktur yang terkait. Ion-ion logam berat

efektif berikatan dengan gugus sulfuhidril seperti sistein dengan histidin dan

46

Page 47: KATPD Ekotoksik

lisin. Posisi ion-ion logam pada metaloenzim (enzim logam) dapat digantikan

oleh ion-ion logam berat sehingga fungsi enzim sebagai katalisator untuk

reaksi-reaksi kimia di dalam sel mengalami gangguan. Cd dengan konsentrasi

yang melebihi ambang batas akan berakibat dalam proses transpirasi,

fotosintesis, respirasi, menghambat kerja enzim, mengubah permeabilitas

membran dan berikatan dengan sulfuhidril.

4. Bioakumulasi Cd di dalam fitoplankton terjadi melalui mekanisme pengikatan

logam pada bagian luar permukaan yang secara biologis melepaskan ligan

atau dengan gugus ligan fungsional yang terletak pada permukaan sel.

Setelah pembentukan kompleks Cd pada permukaan ini, kemudian senyawa

itu dibawa oleh molekul pembawa untuk menembus membran sel menuju

bagian dalam sel. Pada sisi bagian sel yang kontak dengan air terdapat

kesetimbangan beberapa kompleks terlarut dan ligan-ligan pada permukaan

dan ion logam yang bebas. Kompetisi diatara ligan-ligan yang berbeda

terhadap H+ dan ion logam yang bermacam-macam untuk membentuk

kesetimbangan multidimensional. Oleh karena kesetimbangan ini bersifat

independent, maka tidak ada unsur yang terbebas dari label toksik pada level

dosis tertentu.

47

Page 48: KATPD Ekotoksik

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Moneim WM and Ghafeer H. 2007. The Potential Protective Effect of Natural Honey Against Cadmium-Induced Hepatotoxicity and Nephrotoxicity, Mansoura J. Forensic Med. Clin. Toxicol, XV(2): 75-98

Aditya Rahman. 2006. Kandungan Cd Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Beberapa Jenis Krustasea di Pantai Batakan dan Takisung Kabupaten Tanah laut Kalimantan Selatan. Bioscientiae, 3(2): 93-101

Afridi HI., Kazi TG., Kazi N., Kandhro GA., Baig JA., Jamali MK., Arain MB., Shah AQ. 2011. Biol Trace Elem Res, 139:257-268

Agustina T, 2010. Kontaminasi Logam Berat pada Makanan dan Dampaknya pada Kesehatan, Teknobuka, 2(2):53-65

Alissa EM and Ferns GA, 2011. Heavy Metal Poisoning and Cardiovascular Disease, Volume 2011: 1-21

Annasari M, Aris Widodo M, Kristianto Y. 2012. Albumin and Zinc Content of Snakehead Fish (Channa striata) Extract and Its Role in Health, International Journal of Science and Technology,1(2): 1-8

Astuti. 2009. The analyisis of Albumin content in snake-head fish (Ophiocephalus striatus) filtrate by the variety condition of fish pre and rigor mortis at different NaCl concentration. Malang : Bagian Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang,.

Czeczot H., Majewska M., Podsiad M., Karlik W., Grono D., Wiechetek M, 2010, Enzymatic Antioxidant Defense in Isolated Rat Hepatocytes Exposed to Cadmium, Polish Journal of Veterinary Sciences, 13(4): 673-679

Danny Zulkifli Herman. 2006. Tinjauan terhadap Tailling mengandung Unsur Pencemar Arsen, Merkuri, Timbal, dan Kadmium dari Sisa Pengolahan Bijih Logam, Jurnal Geologi Indonesia, 1(1): 31-36

Darmono Z. Arifin MB, Purwadikarta A. Safuan and U. Waznah. 2000. Concentration of metallothionein in the liver of chicken which were given cadmium (Cd) into their feed. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5 (4): 250-254.

Del Rasso NJ., Foy BD., Gearhart JM., and Frazier. 2003. Cadmium Uptake in Rat Hepatocytes: Correction for Albumin Binding, Toxicological Science, 72: 19-30

Dini S., Abdurrahman, Ichsan R,. 2010. Studi Analisis Pengujian Cd pada badan Air, Biota, dan Sedimen di Perairan Muara DAS Barito, Jurnal Bumi Lestari, 10(1): 28-37

Durasevic SF, Durdevic J, Jasnic J, Dordevic IVA, Cvijic G. 2010. The influence of vitamin E supplementation on the oxidative stress status of rat liver. Arch.Biol.Sci. 62(3): 679-683

48

Page 49: KATPD Ekotoksik

Dwiloka B., Atmomarsono U., Bintoro VP., Widianarko B., 2012. Pengaruh Pakan Mengandung Tepung Ikan dan Tidak mengandung Tepung Ikan terhadap Kandungan Pb dan Cd pada Ayam Broiler, Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 1(3): 12-18

Gong P, Chen F, Liu X, Gong X, Wang J, and Ma Y. 2012. Protective effect of caffeic acid phenethyl ester against cadmium-induced renal damage in mice. J. Toxicol Sci, 37(2): 415-425

Guyton, AC. 1985. Anatomy and Physiology. New York; CBS College Publishing.

Guyton, AC. & Hall, JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Rachman, L.Y., dkk. (Ed). Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Haryoto dan Agustono Wibowo, 2004, Kinetika Bioakumulasi Logam Berat Kadmium oleh Fitoplankton Chlorella Sp. Lingkungan Perairan Laut, Jurnal Penelitian sains & Teknologi, 5(2):89-103

Hikmah N, Bundahalang, Muchyar, 2013, Kandungan Cd (Cadmium) dan Mn (Mangan) pada Daun Tanaman Sawi (Brassica Juncea L.) yang Ditanam dengan Penambahan Lumpur Hasil Pengolahan Limbah Karet. Jurnal Wahana-Bio, 10:1-20

Hindersah R, Marthin Kallay, Muntalif BS, 2004, Akumulasi Pb dan Cd pada Buah Tomat yang Ditanam di Tanah Mengandung Lumpur kering dari Instalasi Pengolahan Limbah Domestik, Proceeding Seminar Nasional dan Kongres Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Jakarta 17-18 Desember 2004

Junnette LP., Todd SP., Mellisa JP., Eleen MN and Jennifer W. 2010. Cadmium Exposure in Association with History of Stroke and Heart Failure, Environ Res, 110(2): 199-206

Jurczuk M., Moniuszko-Jakoniuk J., Rogalska J. 2006. Evaluation of Oxidative Stress in Hepatic Mitochondria of Rats Exposed to Cadmium and Ethanol, Polish J. of Environ. Stud, 15(6): 853-860

Kant V., Mehta M., Varshneya C., Chauhan S. 2011. Induction of Oxidative Stress by Subacute Oral Exposure of Cadmium Sulphate in Adult Poultry, Braz J Vet Pathol, 4(2), 117-121

Karthikeyan J and Bavan G. 2010. Effect of cadmium on lactate dehyrogenase isoenzyme, succinate dehydrogenase and Na-K-ATP ase in iiver tissue of rat, J. Environ. Bioil, 30(5): 895-898

Kazantzis G. 2004. Cadmium, Osteoporosis and Calcium Metabolism, BioMetals, 17:493-498

49

Page 50: KATPD Ekotoksik

Khansakorn N., Wongwit W., Tharnpoophasiam P., Hengprasith B., Suwannathon L., et al. 2012. Genetic Variations of Glutathione S-Transferase Influence on Blood Cadmium Concentration, Journal of Toxicology, Volume 2012: 1-6

Klaassen CD, Liu J, and Choudhuri S. 2009. METALLOTHIONEIN: An Intracellular Protein to Protect Against Cadmium Toxicity, Annu. Rev. Pharmacol. Toxicol. 39:267–94

Komari N, Irawati N, Novita E, 2013, Kandungan Kadmium dan Seng pada Ikan Baung (Hemibragus nemurus) di Perairan Trisakti Banjarmasin Kalimantan Selatan, Sains dan Terapan Kimia, 7(1):42-49

Lasut TM. 2002. Metallothionein: Suatu Parameter Kunci yang Penting dalam Penetapan Baku Mutu Air laut (BMAL) Indonesia, Ekoton, 2(1): 61-68

Layachi N and Zine Kechrid Z. 2012. Combined protective effect of vitamins C and E on cadmium induced oxidative liver injury in rats, African Journal of Biotechnology. 11(93),: 16013-16020,

Lestari dan Edward, 2004, Dampak Pencemaran Logam Berat terhadap Kualitas Air Laut dan Sumberdaya Perikanan (Studi Kasus Kematian Masal Ikan-ikan di Teluk Jakarta,), Makara Sains, 8(2):52-58

Lushchak VI. 2012. Glutathione Homeostasis and Functions: Potential Targets for Medical Interventions, Journal of Amino Acids, Vol. 2012:1-26

Messner B, Knoflach N, Seubert A, Ritsch A, Pfaller K, Henderson B, dkk. 2009. Cadmium Is a Novel and Independent Risk Factor for Early Atherosclerosis Mechanisms and In Vivo Relevance, Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:1392-1398

Moulis, Jean-Marc. 2010. Cellular mechanisms of cadmium toxicity related to the homeostasis of essential metals. BioMetals, 23:877–896

Mulyadi, Hendarwati Y, dan Artant R, 2009, Logam Berat Kadmium (Cd) dalam Tanah dan Gabah pada Lahan Sawah Sub-Das Juwana Pati Jawa Tengah, Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian, 2:11-20

Ozturk IM., Buyukakilli B., Balli E., Cimen B., Gunes S., and Erdogan S., 2009. Determination of acute and chronic efects of cadmium on the cardiovascular system of rats, Toxicology Mechanisms and Methods, 19(4): 308-317

Prabu SM, Muthumani M, Shagirta K. 2013. Quercetin potentially attenuates cadmium induced oxidative stress mediated cardiotoxicity and dyslipidemia in rats, European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 17: 582-595

Prabu SM, Shagirta K. Ranugavi J. 2010. Quercetin in combination with vitamins (C and E) improves oxidative stress and renal injury in cadmium intoxicated rats, European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 14: 903-914

50

Page 51: KATPD Ekotoksik

Prozialeck WC, Edwards JR, Woods JM., 2006. The vascular endothelium as a target of cadmium toxicity, Life Sciences: 79:1493 – 1506

Ramesh B and Satakopan VN. 2010. Antioxidant Activities of Hydroalcoholic Extract of Ocimum sanctum Against Cadmium Induced Toxicity in Rats, Ind J Clin Biochem, 25(3):307–310

Ratnaningsih A. 2004. Pengaruh Kadmium terhadap Gangguan Patologik pada Ginjal Tikus Percobaan, Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi 5(1): 53-63

Rumahlatu D, 2011, Konsentrasi Logam Berat Kadmium pada Air, Sedimen, dan Deadema setosum (Echinodermata, Echinodea) di Perairan Pulau Ambon, Ilmu Kelautan, 16(2):23-30

Sandstead, HH. 2000. Causes of iron and zinc deficiencies and their effects on brain. 1. Nutr. 130: 347s-349s

Sandstead HH., CJ. Frederickson, dan J.G, Penlad. 2000. History of zinc as related to brain function. 1. Nutr. 130: 496s-502s.

Santosa S. 2003. Peran Metallothionein Pada Autisme, Jurnal Kedokteran Maranatha, 2(2): 23-30

Samsundari S dan Perwira IY, 2011, Kajian Dampak Pencemaran Logam Berat di Daerah Sekitar Luapan Lumpur Sidoarjo terhadap Kualitas Air dan Budidaya Perikanan, GAMMA, 6(2); 129-136

Sherwood, L., 2001. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.

Snell, RS., 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC

Sudarmaji, Mukono J., dan Corie IO. 2006. Toksikologi Cd B3 dan Dampaknya Terhadap Kesehatan, Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2(2): 129-142

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid 1 edisi IV. Jakarta: FK UI, 2006.

Sugianto A, Primarastri NA, Winarni D, 2004, Pengaruh Pemberian Kadmium terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup dan Kerusakan Struktur Insang dan Histopankreas pada udang Regang [Macrobrachium sintagense (de Man)], Berkala Penelitian Hayati, 10:56-66

Suhartono E, Hasyim F, dan Setiawan B. 2007. Kapita selekta biokimia : Radikal bebas, antioksidan dan penyakit Banjarmasin: Pustaka Banua,.

Suhartono E., Bakhriansyah M., Fujiati. 2012. Efek Kardioprotektif Ekstrak Ikan Haruan (Channa striata/Ophiochephalus striatus) pada Tikus Putih (Rattus Novergicus) yang Terpajan Kadmium sebagai Upaya Penemuan Obat Baru dalam Mencegah Kerusakan Oksidatif Jantung, Laporan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

51

Page 52: KATPD Ekotoksik

Suhartono E. 2012. Mekanisme oksidatif ekstrak ikan haruan (Channa Stiata)sebagai hepatoprotektor tikus putih (Rattus Novergicus) yang diinduksi Kadmium, Laporan Penelitian Unggulan Fakultas, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

Suhartono E., Triawanti, Ari Yunanto, Rizky Taufan Firdaus, Iskandar. 2013. Chronic Cadmium Hepatooxidative in Rats: Treatment with Haruan Fish (Channa striata) Extract, APCBEE Procedia, 5: 441 – 445

Sunarto, 2012, Kadmium (Cd) Heavy Metal Pollutant Bioindicator with Microanatomy Structure Gill Analyses of Anodonta Woodiana, Lea, Jurnal Ekosains, 4(1):25-40

Susana R dan Suswati D, 2013, Bioakumulasi dan Distrubusi Cd pada Akar dan Pucuk 3 Jenis Tanaman Famili Brassicaceae: Implementasinya untuk Fitoremediasi, Jurnal Manusia dan Lingkungan, 20(2): 221-228

Turkdogan MK, Kilicel F, Kara K, Tuncer I, and Uygan I, 2003, Heavy Metals in Soil, Vegetables, and Friuts in the Endemic Upper Gartrointestinal Cancer Region of Turkey, Journal of Environmental Toxicology and Pharmacology, 13(3); 175-179

Widowati W, Sastiono A, Jusuf R. 2008.  Efek Toksik Logam Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Widowati H. 2011. Pengaruh Logam Berat Cd, Pb Terhadap Vitamin Sayuran, Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 7F: 35–40

Weaver VM,, Nam-Soo Kim,, Bernard G. Jaar, Brian S. Schwartz, Patrick J. Parsons, Amy J. Steuerwald, dkk. 2011. Associations of low-level urine cadmium with kidney function in lead workers, Occup Environ Med, 68(4): 250–256

Valko M, Morris H, and Cronin MTD, 2005. Metals, Toxicity and Oxidative Stress, Current Medicinal Chemistry, 12: 1161-1208

Valko M, Rhodes MJ, Moncol J, Izakovic M, Mazur M, 2006. Free radicals, metals and antioxidants in oxidative stress-induced cancer, Chemico-Biological Interactions, 160: 1–40

Wibowo A, Rahaju FA, Firdaus Rt, and Suhartono E, 2014, The Role Urinary Cadmium and Lead Level on Pregnant Women Renal Function, Journal of Medical and Bioengineering, 3(1); 55-58

Widaningrum, Miskiyah, dan Suksmono, 2007, Bahaya Kontaminasi Logam Berat dalam Sayuran dan Alternatif Pencegahan Cemarannya, Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian, 3: 16-27

Yu Zhang, Jia-Han Li, Xiao-Rong Lin, Feng-Lei Jiang, Yi Liu, 2011. Spectroscopic Studies on the Mechanisms of Mitochondrial Toxicity Induced by Different Concentration Cadmium, J Membrane Biol, 241: 39-49

52

Page 53: KATPD Ekotoksik

Yazıhan N, Koçak MK, Erdem EAO, Sayal A , Güven G, Akyürek B. 2011. Involvement of galectin-3 in cadmium-induced cardiac toxicity, Anadolu Kardiyol Derg, 11: 479-84

53

Page 54: KATPD Ekotoksik

KULIAH AKADEMIK TERSTRUKTUR PENUNJANG DISERTASI

EKOTOKSIKOLOGI KADMIUM

Oleh

Eko Suhartono, Drs, M.Si.

NIM. 127150100111008

PROGRAM DOKTOR KAJIAN LINGKUNGAN DAN PEMBANGUNAN

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS BRAWIJAYA

M A L A N G2 0 1 4

54

Page 55: KATPD Ekotoksik

RINGKASAN

Cd merupakan logam berat yang lama dimanfaatkan oleh manusia untuk

kepentingan berbagai macam bahan industri. Misalnya: senyawa CdS dan

CdSeS banyak digunakan sebagai zat warna, CdSO4 digunakan dalam industri

baterai yang berfungsi untuk pembuatan sel Weston, CdBr2 dan CdI2 secara

terbatas digunakan dalam dunia fotografi, (C2H5)2Cd digunakan dalam proses

pembuatan tetraetil-Pb, dan masih banyak lagi. Selain bermanfaat, buangan

industri yang mengandung Cd dapat masuk ke dalam perairan dan akan

mengalami transformasi menjadi senyawa Cd yang persisten dan sangat toksik.

Cd tersebut selanjutnya mengalami bioakumulasi dalam organisme lalu

dibiomagnifikasikan dalam rantai makanan dan akhirnya mengakibatkan

berbagai keracunan yang mengancam kesehatan manusia.

Sumber-sumber logam berat Cd di perairan, berasal dari sumber yang

bersifat alami dari lapisan kulit bumi seperti masukan dari daerah pantai yang

berasal dari sungai-sungai dan abrasi pantai akibat aktivitas gelombang,

masukan dari laut dalam yang berasal dari aktivitas geologi gunung berapi laut

dalam, dan masukan dari udara yang berasal dari atmosfer sebagai partikel-

partikel debu. Pada lingkungan akuatik, Cd relatif bersifat mudah berpindah.

Sebagian besar berupa Cd2+, Cd(OH)3-, Cd(OH)4

-2, CdCO3 dan berbagai jenis

senyawa kompleks organik dan anorganik lainnya. Urutan afinitas ligan terhadap

kompleks dengan Cd di perairan darat sebagai berikut asam humat, CO32+, OH-,

Cl-, dan SO42--. Kelarutan kompleks Cd hidroksida berkurang pada saat pH

meningkat, yang ditandai oleh pembentukan padatan Cd(OH)2. Di perairan darat,

umumnya terjadi penyerapan oleh suspended solid state seperti clay. Kopresitasi

dengan Fe dan Mn terlarut, juga penting untuk Cd di parairan darat.

Pada tumbuhan, logam berat dapat menghambat proses metabolisme sel

dan dapat menurunkan pertumbuhannya. Hal ini terjasi karena mekanisme kerja

reaksi dari logam berat terhadap protein yang pada umumnya menyerang ikatan

sulfida. Ikatan sulfida yang diserang selalu pada molekul proteinnya yang kan

menimbulkan kerusakan struktur yang terkait. Ion-ion logam berat efektif

berikatan dengan gugus sulfuhidril seperti sistein dengan histidin dan lisin. Posisi

ion-ion logam pada metaloenzim (enzim logam) dapat digantikan oleh ion-ion

logam berat sehingga fungsi enzim sebagai katalisator untuk reaksi-reaksi kimia

di dalam sel mengalami gangguan. Cd dengan konsentrasi yang melebihi

ambang batas akan berakibat dalam proses transpirasi, fotosintesis, respirasi,

55

Page 56: KATPD Ekotoksik

menghambat kerja enzim, mengubah permeabilitas membran dan berikatan

dengan sulfuhidril.

Bioakumulasi Cd di dalam fitoplankton terjadi melalui mekanisme

pengikatan logam pada bagian luar permukaan yang secara biologis melepaskan

ligan atau dengan gugus ligan fungsional yang terletak pada permukaan sel.

Setelah pembentukan kompleks Cd pada permukaan ini, kemudian senyawa itu

dibawa oleh molekul pembawa untuk menembus membran sel menuju bagian

dalam sel. Pada sisi bagian sel yang kontak dengan air terdapat kesetimbangan

beberapa kompleks terlarut dan ligan-ligan pada permukaan dan ion logam yang

bebas. Kompetisi diatara ligan-ligan yang berbeda terhadap H+ dan ion logam

yang bermacam-macam untuk membentuk kesetimbangan multidimensional.

Oleh karena kesetimbangan ini bersifat independent, maka tidak ada unsur yang

terbebas dari label toksik pada level dosis tertentu.

56

Page 57: KATPD Ekotoksik

DAFTAR ISI

HalamanLembar Pengesahan ……………… iDaftar Isi ……………… iiDaftar Gambar ……………… iiiDaftar Tabel ……………… ivRingkasan ……………… v

BAB I. Pendahuluan ……………… 11.1 Latar Belakang ……………… 11.2 Identifikasi Masalah ……………… 41.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ……………… 4

BAB II. Metabolisme Kadmium dan Dampak Kesehatan ……………… 52.1 Manfaat Kadmium ……………… 52.2 Metabolisme Kadmium ……………… 62.3 Dampak Kadmium terhadap Kesehatan ……………… 12

BAB III. Ekotoksik Kadmium di Perairan ……………… 163.1 Kadmium dalam Perairan ……………… 163.2 Kadmium dalam Sedimen ……………… 193.3 Dampak Kadmium terhadap Biota Air ……………… 24

BAB IV. Ekotoksik Kadmium pada Tumbuhan 294.1 Kadmium di Dalam Tanah ……………… 294.2 Mekanisme Penyerapan Kadmium pada Tumbuhan ……………… 334.3 Mekanisme Pengikatan Logam Berat oleh Ligan ……………… 34

BAB V. Bioakumulasi Kadmium pada Fitoplankton ……………… 385.1 Bioakumulasi Kadmium pada Fitoplankton ……………… 385.2 Kadmium dan Metabolisme Fitoplankton ……………… 42

BAB VI. Kesimpulan ……………… 46

DAFTAR PUSTAKA ……………… 48

57

Page 58: KATPD Ekotoksik

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Skema pola biotransformasi ………...... 72.2 Reaksi hidroksilasi bifenil ………...... 82.3 Mekanisme oksidasi reduksi halotan ………...... 92.4 Reaksi biotransformasi diazepam pada fase I dan II ………...... 102.5 (a) Gambaran sinar x dari tulang pinggul yang

mengalami osteoporosis akibat Cd (b) Tulang rusuk yang mengalami osteoporosis dan dekalsifikasi

………...... 13

2.6 (a) Ginjal penderita itai-itai (b) gambaran sel ginjal pada penderita ita-itai

………...... 14

2.7 Korelasi antara kadar Cd urine dengan (a) rasio ure/kratinin (b) Glomerulus Factor Rate

………...... 14

3.1 Hasil Analisis Kadar Logam Berat Cd dalam Sampel Air dan Sedimen

………...... 18

3.2 Grafik rata-rata kandungan kadmium (ppm) di air, sedimen dan ikan baung pada 3 titik lokasi pengambilan sampel, I=Trisakti, II=Basirih, dan III=Banjar Raya pada bulan (a) April dan (b) Mei 2012

………...... 25

3.3 Lamella insang udang regang [Macrobrachium sintangense (de Man)] yang terpapar kadmium. (A) Insang udang kontrol warna terang (10 x 10). (B) Insang udang dengan konsentrasi kadmium 10 ppb terdapat hiperplasi, warna gelap (10 x 20). (C) Insang udang yang terpapar kadmium 20 ppb terdapat hiperplasi dan nekrosis, warna gelap (10 x 20). (D) Insang yang terpapar kadmium 30 ppb terdapat hiperplasi dan nekrosis, warna hitam (10 x 40). (mc: marginal canal: lamella, Hi: hiperplasi, ne: nekrosis)

………...... 27

3.4 Tubulus hepatopakreas udang regang [Macrobrachium sintangense (de Man)] yang terpapar kadmium. (A)Tubulus hepatopankreas kontrol (10 x 40). (B) Tubulus hepatopankreas yang terpapar kadmium 10 ppb (10 x 40). (C) Tubulus hepatopankreas yang terpapar kadmium 20 ppb (10 x 20) (D) Tubulus hepatopankreas yang terpapar cadmium 30 ppb(10 x 40). (tub: tubulus, vak: vakuolisasi)

………...... 27

3.5 Struktur mikroanatomi insang (perbesaran 400 kali) dengan rentang konsentrasi Cd dalam insang: 1,135 – 1,542 ppm (a) Struktur mikroanatomi insang (kontrol) (b) Struktur mikroanatomi insang dengan rentang konsentrasi Cd dalam insang sebesar 1,135 – 1,542 ppm.

………...... 28

4.1 Pengaruh berbagai dosis lumpur terhadap (a) berat buah (b) jumlah buah (c) akumulasi Cd per tanaman

………...... 32

5.1 Rantai makanan bioakumulasi Kadmium ………...... 385.2 Pengikatan secara kovalen Cd oleh GSH ………...... 41

58

Page 59: KATPD Ekotoksik

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Kadar logam berat (ppm) di beberapa stasiun di perairan Teluk Jakarta, Mei 2004

………...... 17

3.2 Kadar Cd rerata di perairan P. Kabaena, Muna, dan Buton

………...... 18

3.3 Hubungan ukuran butiran sedimen (µm) dengan konsentrasi logam berat

………...... 19

3.4 Konsentrasi ion logam (ppm) yang mematikan beberapa biota laut pada pemaparan 96 jam

………...... 24

3.5 Kandungan logam berat pada insang dan daging ikan berdasarkan jarak jenis sampel

………...... 25

4.1 Jenis-jenis batuan induk pembentuk tanah yang mengandung logam berat Pb dan Cd

………...... 30

4.2 Kandungan logam berat Cd dalam gabah pada lahan sawah sub-DAS Juwana, Pati Jawa Tengah, tahun 2008

………...... 31

4.3 Hasil uji kandungan Cd pada daun tanaman sawi ………...... 33

4.4 Logam-logam Berat dan Ligan Organik yang Diperlukan untuk Membentuk Kompleks dalam Jaringan Tumbuhan

………...... 34

5.1 Hasil Akumulasi 12 mg Fitoplankton Chlorella sp pada Berbagai Waktu, Interaksi dalam 25 mL Medium yang Mengandung 0,25 mg/L Kadmium (Cd2+)

………...... 40

59