KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal...

533

Transcript of KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal...

Page 1: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara
Page 2: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

1

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan

ke hadlirat Allah SWT atas rakhmat, taufik, hidayah dan innayah-Nya,

sehingga penulisan buku dengan judul “RESTORATIVE JUSTICE

SYSTEM DI TINGKAT PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU

LINTAS” telah dapat diselesaikan di sela-sela kepenatan rutinitas dalam

beraktifitas sehari-hari.

Penulisan buku ini, berangkat dari kegelisahan akademik penulis, yang

pada satu dimensi penulis pandang bahwa berdasarkan pengalaman empiris

terdapat cukup banyak kejadian tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang

terjadi karena faktor kealpaan dan atau ketidaksengajaan terpaksa harus

masuk ke dalam suatu sistem hukum formal yang kaku berupa Sistem

Peradilan Pidana (Criminal Justice Sestem), yang tidak menutup

kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara keperdataan dari pihak

yang merasa dirugikan, padahal antara korban dan pelaku yang terlibat dalam

kecelakaan lalu lintas tersebut menghendaki untuk dapat diselesaikan secara

kekeluargaan dengan pertimbangan bahwa penyelesaian tersebut disamping

prosesnya melibatkan secara langsung pihak-pihak yang terlibat,

pelaksanaannya sangat sederhana, tidak memakai beaya dan manfaatnya

langsung dapat dirasakan oleh korban sehingga nilai keadilannya sangat

tinggi.

Pada dimensi lain penulis memaklumi apabila penyidik Polisi Lalu

Lintas tidak mempunyai payung hukum apabila harus menyelesaikan

kecelakaan lalu lintas tersebut secara kekeluargaan/perdamaian, dan apabila

Page 3: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

2

penyidik “terpaksa” harus menyelesaikan secara kekeluargaan/perdamaian

maka mereka harus mengalami “senam jantung” karena dampaknya sewaktu-

waktu bentuk penyelesaian tersebut dapat menjadi “bom waktu” yang

tentunya dapat meledak setiap saat dan dapat berdampak dirinya menjadi

“korban”, karena rekan mereka yang berdinas pada fungsi Itwasda

(Inspektorat Pengawasan Daerah) dan Propam (Profesi dan Penagamanan)

akan segera “menerkam” mereka dengan menggunakan payung hukum

berupa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003

tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri dan atau Peraturan Kapolri Nomor

14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri karena senyatanya bahwa

dalam penyelesaian tindak pidana lalu lintas dalam perspektif legal formal

tidak dikenal bentuk penyelesaian secara

musayawarah/kekeluargaan/perdamaian, meskipun penyelesaian dimaksud

dikehendaki oleh para pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas.

Walaupun di ujung akhir Tahun 2013 kemudian lahir Peraturan Kapolri

Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu

Lintas, akan tetapi peraturan ini secara substansial tidak dapat menjawab

secara tuntas terhadap permasalahan yang muncul setiap saat di tengah

masyarakat.

Pada perkara tindak pidana (kecelakaan) lalu lintas, walaupun para

pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas tersebut telah dapat

menyelesaikan perkaranya secara kekeluargaan, namun penyidik Polisi Lalu

Lintas tetap memproses/melakukan penyidikan dan Berkas Perkaranya

Page 4: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

3

kemudian dikirim ke Penuntut Umum, sehingga keadilan yang demikian ini

memang patut dipertanyakan oleh para pihak dan masyarakat umum.

Sementara itu, pada dimensi yang lain bahwa salah satu fenomena

yang perlu untuk dicermati adalah makin maraknya upaya-upaya damai yang

dilakukan ketika timbul suatu dugaan tindak pidana. Hal ini sering terjadi di

kota-kota besar terutama dalam hubungan dunia bisnis yang mempunyai

intensitas tinggi, sejalan dengan perkembangan arus informasi dan

telekomunikasi yang mempersempit jarak sehingga hubungan antar dan inter

negara dapat berlangsung secara singkat dan cepat yang membuat waktu

menjadi sangat berharga. Manakala terjadi kasus pidana, maka para pihak

cenderung mengambil jalur perdamaian karena dianggap efektif dan efisien,

dibandingkan melalui proses peradilan yang menyita waktu dan tenaga,

pengalaman empiris ini menunjukkan kepada kita telah bahwa pada saat ini

telah marak terjadi quasi hukum privat ke hukum publik.

Penulisan Buku ini berusaha untuk menelusuri penyebab terjadinya

proses penyidikan tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut yang

dirasakan hanya melindungi dan memihak kepada korban dan tidak

mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan pelaku secara berimbang.

Secara sederhana, penulis menemukan bahwa permasalahan tersebut

berpangkal pada konstruksi hukum penyelesaian tindak pidana kecelakaan

lalu lintas yang berorientasi kepada legal-positivistik. Berdasarkan

pembahasan penulis, kemudian penulis merekomendasikan bahwa untuk

jangka waktu ke depan guna lebih memberikan rasa keadilan dan

kemanfaatan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan

Page 5: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

4

juga memberikan “payung pengaman” serta kenyamanan bagi peyidik Lalu

Lintas, dengan berbasis kearifan (wisdom) lokal dan religous sesuai dengan

sila-sila dalam Pancasila terutama sila kedua dan kelima, sesuai dengan Pasal

28 D Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun

1945 serta sejalan dengan wisdom international yaitu Restorative

Board/Youth Panels yang berlaku di negara bagian Vermont maka sistem

hukum yang mengatur tentang penyelesaian tindak pidana kecelakaan lalu

lintas harus direkonstruksi dengan berorientasi pada legal-progresive.

Atas selesainya penulisan Buku ini, sebagai ungkapan rasa syukur dan

rasa puas yang tak terhingga dari diri penulis, pada kesempatan ini penulis

haturkan dalam bentuk ucapan terimakasih yang tak terhingga nilainya kepada

:

1. Rektor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang, H. Anis

Thoha, M.A., Ph.D, beserta seluruh dosen dan staf yang telah

memberikan bantuan berupa kesempatan / waktu, sarana dan prasarana

kepada penulis untuk menimba ilmu Program Doktor (S3) Ilmu Hukum

(PDIH) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)

Semarang, Dr. H. Jawade Hafidz, S.H., M.H, beserta staf pengajar dan

staf administrasi yang telah banyak memberikan bantuan dan kemudahan

kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Doktor (S3) Ilmu

Hukum (PDIH) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)

Semarang.

Page 6: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

5

3. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., Akt, M.Hum, selaku Ketua Program S3

yang sekaligus bertindak sebagai Promotor, yang dengan semangat,

senyum, kedalaman ilmunya, kebesaran jiwanya telah memberikan

kesempatan dan sekaligus membimbing serta mendorong penulis dalam

menempuh pendidikan sekaligus menyusun Buku ini.

4. Dr. Sri Endah Wahyuningish, S.H., M.Hum selaku Co-Promotor, yang

dengan kecerdasan intelektual dan spiritualnya, syarat pengalamannya

dan kesabarannya telah membantu penulis untuk menajamkan pada tiap

analisa pemecahan permasalahan dari hasil penelitian sehingga Buku ini

pada akhirnya selesai disusun.

5. Kapolda Jawa Tengah (lama) Irjen Pol. Drs. Dwi Priyatno dan Kapolda

Jawa Tengah (baru) Irjen Pol. Drs. Nur Ali, Kabidkum Kombes Pol.

Supraptono, S.H., M.M, dan Dirlantas Kombes Pol. Drs. Istu Hari, M.M,

beserta staf dan jajaran Polres terkait (Polres Demak, Semarang, Kendal

dan Banyumas) yang telah memberikan kesempatan dan dorongan

kepada penulis untuk menempuh pendidikan dan sekaligus melakukan

penelitian;

6. Segenap Civitas Akademika Universitas Islam Sultan Agung Semarang

yang dengan semangat kebersamaannya telah membantu penulis dalam

mengikuti perkuliahan dan menyusun Buku ini.

7. Istri tersayang, Sri Wana, S.IP, yang dengan penuh ketulusan kasih,

kesabaran, pengertian dan pengorbanan yang sangat besar baik terhadap

waktu dan segala hal telah mendampingi serta selalu berdo’a kepada

Allah SWT untuk keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi

Page 7: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

6

Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) di Unissula Semarang, ditambah

dengan keberadaan anak-anak penulis yang menjadikan kebanggaan

tersendiri bagi penulis, IPDA Wahyu Joko Nugorho, S.IK (Akpol

Angkatan 44/Detasemen Wiratama Bhayangkara) dan IPDA Agung Joko

Haryono, S.IK (Akpol Angkatan 45/Detasemen Budi Luhur

Bhayangkara) sebagai generasi penerus dari ayah penulis dan sekaligus

diri penulis dalam meneruskan tongkat estafet profesi kepolisian, yang

seakan keduanya telah memberi kobaran api semangat yang luar biasa

besarnya di ujung pengabdian penulis sebagai anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

8. Teman-teman seprofesi di bidang kepolisian, teman-teman seprofesi di

bidang pekerjaan penegakan hukum (para Penasehat Hukum, Jaksa

Penuntut Umum dan Hakim), teman-teman seangkatan belajar di

Program Doktor Ilimu Hukum (PDIH) Unissula Semarang dan teman-

teman lain yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang secara

bergantian atau bersama-sama telah membantu penulis dalam

pengumpulan data, dalam berdiskusi dan dalam penyelesaian Buku ini.

dengan iringan do’a semoga amal baik beliau-beliau mendapatkan rachmat

dan sekaligus balasan yang setimpal dari Allah SWT baik di dunia maupun di

akherat, amin.

Penulis sadar bahwa Buku ini adalah masih jauh dari harapan, oleh

karenanya kritik, saran dan masukan yang membangun dari pembaca yang

budiman, baik dari kalangan dosen, mahasiswa, praktisi hukum terutama dari

rekan sejawat di Kepolisian Negara Republik Indonesia, politisi maupun

Page 8: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

7

pemerhati persoalan hukum serta pihak lain sangat penulis harapkan, semoga

hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum dan

implementasi hukum di tengah kungkungan legal-positivism yang masih

berkembang luas di Indonesia pada saat sekarang ini.

Semarang, Oktober 2014

Penulis,

Dr. Dwi Wahyono, S.H., C.N

Prof. Dr. Gunarto, S.H., M.Hum

Dr. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum

Page 9: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

8

KUPERSEMBAHKAN TULISAN INI UNTUK :

Guru-guruku dan Dosen-Dosenku, yang telah membukakan jendela

pengetahuan

untuk dapat melihat, menatap dan menyongsong masa

depan;

Teman-teman seprofesi, sekantor, se angkatan Caba Mawil Polri

Tahun 1981/1982, Capa Reguler XVIII Tahun 1990/1991, Selapa

Polri Dik Reg XXIX Tahun 2001/2002 dan Spamen LAN XXIX

Tahun 2010.

Page 10: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

9

Biodata Penulis BUKU KE I

Biodata

1 NAMADr. DWI WAHYONO, S.H.,

C.N.

2 TTLSALATIGA, 7 OKTOBER

1959

3 AGAMA ISLAM

4JENIS

KELAMINLAKI-LAKI

5 PENDIDIKANPASKA SARJANA

NOTARIAT UNDIP

6 PEKERJAANANGGOTA POLRI POLDA

JATENG

7 PANGKAT/GOL AKBP / IV B

8 JABATAN KASUBBIDBANKUM

9ALAMAT

RUMAH

JL. BHAYANGKARA NO.

25 DEMAK JATENG

Telp. : 0291 685436, HP. :

0812 2810 821

e mail :

[email protected]

10ALAMAT

KANTOR

JL. PAHLAWAN NO. 1

SEMARANG

Page 11: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

10

Telp. : 024 8450315, Fax. :

024 8413744

e mail :

[email protected]

11 ISTRISRI WANA, S.IP (PNS

PEMKAB DEMAK)

12 ANAK-ANAK

1. IPDA WAHYU JOKO

NUGROHO, S.IK.

2. IPDA AGUNG JOKO

HARYONO, S.IK.

RIWAYAT PENDIDIKAN

PENDIDIKAN UMUM

1 SDN 1 DEMAK 1972

2 SMPN 1 DEMAK 1975

3 STM PEMBANGUNAN SEMARANG (MESIN) 1980

4 SMA BETHESDA SEMARANG (IPA) 1984

5 FAK HUKUM UNTAG SEMARANG (PIDANA) 1988

6PASKA SARJANA UNDIP SEMARANG

(NOTARIAT)1996

7 PDIH (S3) UNISSULA SEMARANG2012/20

14

PENDIDIKAN KEDINASAN / POLRI

Page 12: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

11

1 SECABA POLRI1981/19

82

2 KEJURUAN BINTARA RESERSE 1982

3 KEJURUAN RESMOB 1984

4 SECAPA REGULER POLRI1990/19

91

5 KEJURUAN PERWIRA RESERSE 1991

6SEKOLAH LANJUTAN PERWIRA POLRI

(SEKARANG : SPIMMA POLRI)

2001/20

02

7SPAMEN LAN RI (DIKLAT PIM TK

II/SETINGKAT SPIMMEN POLRI)2010

RIWAYAT PEKERJAAN / JABATAN

1KARYAWAN BENGKEL TOYOTA

NASMOKO SEMARANG1980-1981

2BINTARA RESERSE POLWIL

SEMARANG1983-1990

3 KASAT RESERSE POLRES KENDAL 1991-1995

4PANIT RESERSE TIPITER POLDA

JATENG1995-1996

5 KASAT RESERSE POLRES REMBANG 1996-1997

6 KASAT RESERSE POLRES SALATIGA 1997-1999

7 KANIT RESERSE UMUM POLWIL 1999-1999

Page 13: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

12

SURAKARTA

8 KASAT RESERSE POLRES KUDUS 1999-2001

9 WAKAPRIMKOPPOL POLRES DEMAK 2001-2001

10 PAMA SELAPA MABES POLRI 2001-2002

11PARIK RESERSE ITWASDA POLDA

JATENG2002-2003

12 WAKA POLRES SEMARANG 2003-2006

13 WAKA POLRES PURWOREJO 2006-2007

14 ADVOKAT BIDKUM POLDA JATENG 2007-2007

15KASUBBIDBANKUM BIDKUM POLDA

JATENG2007- .......

RIWAYAT KEPANGKATAN

1 SERSAN DUA 1982

2 SERSAN SATU 1986

3 SERSAN KEPALA 1989

4 CALON PERWIRA POLISI 1991

5LETNAN DUA POLISI (SEKARANG :

IPDA)1992

6LETNAN SATU POLISI (SEKARANG :

IPTU)1995

7 KAPTEN POLISI (SEKARANG : AKP) 1999

8 KOMISARIS POLISI (KOMPOL) 2002

9 AJUN KOMISARIS BESAR POLISI 2007

Page 14: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

13

(AKBP)

11 ISTRISRI WANA, S.IP (PNS

PEMKAB DEMAK)

12 ANAK-ANAK

1. IPDA WAHYU JOKO

NUGROHO, S.IK.

2. IPDA AGUNG JOKO

HARYONO, S.IK.

RIWAYAT PENDIDIKAN

PENDIDIKAN UMUM

1 SDN 1 DEMAK 1972

2 SMPN 1 DEMAK 1975

3 STM PEMBANGUNAN SEMARANG (MESIN) 1980

4 SMA BETHESDA SEMARANG (IPA) 1984

5 FAK HUKUM UNTAG SEMARANG (PIDANA) 1988

6PASKA SARJANA UNDIP SEMARANG

(NOTARIAT)1996

7 PDIH (S3) UNISSULA SEMARANG 2012/2014

PENDIDIKAN KEDINASAN / POLRI

1 SECABA POLRI 1981/1982

2 KEJURUAN BINTARA RESERSE 1982

3 KEJURUAN RESMOB 1984

Page 15: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

14

4 SECAPA REGULER POLRI 1990/1991

5 KEJURUAN PERWIRA RESERSE 1991

6SEKOLAH LANJUTAN PERWIRA POLRI

(SEKARANG : SPIMMA POLRI)2001/2002

7SPAMEN LAN RI (DIKLAT PIM TK

II/SETINGKAT SPIMMEN POLRI)2010

BIODATA PENULIS BUKU KE II

N a m a : Prof. Dr. H. GUNARTO, SH, M.HUM.

Tempat/Tgl. Lahir : Tegal/ 5 Maret 1962

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat kantor : Jl. Raya Kaligawe Km 4 Semarang

Telp (024) 6583584, Fax (024) 6582455

Alamat Rumah : Jl. Dewi Sartika IV No 79 A,

Perumahan UNDIP Semarang,

HP. : 085647233888,

E-mail : [email protected]

Data Keluarga

Nama Istri : Dra. Hj. Ida Rahmawati

Nama Anak : 1. Dean Pratama Nugraeni (alm)

2. Dafa Mumtanza Jabbar

Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri Bogares Lor kabupaten Tegal

Page 16: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

15

2. SMP Negeri Pangkah Tegal

3. SMA Negeri 1 Slawi

4. Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun 1982

5. Strata Dua (S2) Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga tahun

1995

6. Program Ilmu Doktor Universitas Diponegoro tahun 2011

Riwayat Pekerjaan

1987 – sekarang Dosen Fakultas Hukum UNISSULA

Jabatan Sekarang : Ketua Program Magister S3 Ilmu Hukum

UNISSULA Periode 2013-2017

Pangkat Jafa : Guru Besar

Pengalaman menjadi Pejabat Struktural :

1. Ketua PANWASLU Kota Semarang (2004-2008)

2. Pembantu Dekan III Fakultas Hukum UNISSULA (1997-2001)

3. Dekan Fakultas Hukum UNISSULA (2001-2005)

4. Wakil Rektor II UNISSULA (2005 – 2009)

5. Wakil Rektor II UNISSULA (2009 - 2013)

6. Ketua Program S3/Doktor Ilmu Hukum (2014-sekarang)

Buku :

1. Metodologi Penelitian Hukum Normatif dan Sosiologis (tahun 2008)

2. Relasi Politik Demokrasi dan Penegakan Hukum (tahun 2010)

3. Rekonstruksi Paradigma Penegakan Hukum (tahun 2011)

Page 17: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

16

karya Tulis

1. Disertasi dengan judul : Rekonstruksi Konsep Kebebasan Berserikat

Melalui Serikat Pekerja Pada Hubungan Industrial Berbasis Nilai

Keadilan Menuju Kesejahteraan Pekerja, 2011

2. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul Netralitas Birokrasi dalam

Pelaksanaan Perda kota Semarang Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Pajak

Parkir. Dalam majalah jurnal hukum Vol. 12 No. 1 Maret 2002, ISSN

1412-2723, hal 8-17 SK Akreditasi Dirjen Dikti No.02/Dikti/Kep.2002.

3. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul: Hubungan Industrial di

Indonesia menurut UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat

Pekerja/Serikat Buruh. Dalam Majalah Jurnal Hukum Vol. 13 No. 1

Januari 2003, ISSN 1412-2723, hal 68-69, SK Akreditasi Dirjen Dikti

No.02/Dikti/Kep/2002.

4. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul Tinjauan Yuridis Penyesuaian

YayasanLama dengan UU Yayasan Baru (UU No 16 Tahun 2001 No. 13

) Dalam Majalah Jurnal Hukum Vol. 13 No. 2 April 2003, ISSN 1412-

2723, hal. 198-202, SK Akreditasi Dirjen Dikti No. 02/Dikti/Kep. 2002.

5. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul Optimalisasi Kinerja Serikat

Buruh, DPRD dan DISNAKERTRANS menuju Good Govermance

Berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam

Majalah Jurnal Hukum Vol. XIV No. 6 Desember 2004, ISSN 1412-

2723, hal. 849-860, SK Akreditasi Dirjen Dikti No. 02/Dikti/Kep. 2002.

6. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul Nilai-nilai Islam dalam

Ketenagakerjaan Indonesia. Dalam Majalah Jurnal Hukum Vol. XIV No.

Page 18: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

17

6 Desember 2004, ISSN 1412-2723, hal. 962-971, SK Akreditasi Dirjen

Dikti No. 02/Dikti/Kep. 2002.

7. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul Rekonstruksi Konsep

Kebebasan Berserikat Bagi Serikat Pekerja pada Hubungan Industrial

Berbasis Nilai Keadilan. Dalam Majalah Jurnal Hukum Vol. X No. 6

UNSOED Purwokerto, September 2010Terakreditasi Dirjen Dikti No.

51/Dikti/Kep. 2010, hal. 265-276.

8. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul Dampak Hubungan Industrial

yang bersifat Kapitalistik terhadap Harmonisasi Hubungan Industrial

Pengusaha dengan Pekerja. Dalam Majalah Jurnal Dinamika Hukum Vol.

XI No. 7 UNSOED Purwokerto, Pebruari 2010. Terakreditasi Dirjen

Dikti No. 51/Dikti/Kep. 2002, hal 1-15.

Tulisan di media cetak

1. Artikel di Suara Merdeka, “Jangan Memutar Mundur Sejarah”

tanggal 13 Oktober 2011, hal. 6.

2. Artikel di Suara Merdeka, “Mengindustralisasikan Hukum tanggal 21

September 2011 hal. 6.

3. Artikel di Suara Merdeka, “Mewaspadai Korupsi Kekuasaan” tanggal

17 September 2011 hal. 6.

4. Artikel di Suara Merdeka, “Pengadilan Diktator untuk Antasari”

tanggal 9 September 2011 hal. 6.

5. Artikel di Suara Merdeka, “Fantasmogaria Penegakan Hukum di

Indonesia” tanggal 3 September 2011 hal. 6.

Page 19: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

18

6. Artikel di Suara Merdeka, “Kasus Rumit Nazzaruddin tanggal 19

Agustus 2011, hal. 6.

7. Artikel di Suara Merdeka, “Dongeng dari Negeri Illegal” tanggal 16 Juli

2011 hal. 6.

8. Artikel di Suara Merdeka, “Kejahatan elite dan Potensi Negara Gagal”

tanggal 9 Juli 2011 hal. 6.

9. Artikel di Suara Merdeka, “Langit Hukum pun Runtuh” tanggal 3

Agustus 2011 hal. 6.

Kegiatan Ilmiah:

1. Pelatihan penyusunan laporan keuangan berbasis program aplikasi

(sebagai pembicara 3 Pebruari 2000).

2. Internasional Seminar & Workshop enled : “Research and Comercial

Aplication on Multimedia Broadcasting (sebagai peserta, 17-18 Maret

2010).

3. International Seminar on Economy “An Alternative Solution for The

Global Crisis with Islamic Financial system” (sebagai peserta, 1 Juni

2010).

4. Lokakarya “Kontribusi Pemikiran Menuju Penyempurnaan Pedoman

Akademik dan Kurikulum Fakultas Hukum (sebagai peserta, 23-24 Juni

2010)

5. “International Seminar on The Enlightement of Islamic Civilization’

(sebagai peserta Nopember 2010).

6. Seminar Nasional “Rekonstruksi Sistem Hukum Nasional Berbasis Nilai-

Nilai Islam dank e Indonesiaan (sebagai peserta, Desember 2010).

Page 20: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

19

7. Seminar International “The Development of Islamic Civilization between

Indonesia dan Maroko (sebagai peserta, Desember 2010).

8. Seminar Nasional “Format Pendidikan dan Dakwah di Era Digital

(sebagai peserta, Desember 2010).

9. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 1: Stadium

General Membangun Peradaban Islam Bersinergi dan konsisten (sebagai

peserta 3 Maret 2007).

10. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 2: Studi Peradaan

II (sebagai peserta 21 April 2007).

11. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 3: Konsep-Konsep

Kunci Islam I (sebagai peserta 2-3 JUni 2007)

12. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 4: Tantangan

Teologi Islam I (sebagai peserta 30 Juni 2007).

13. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 5: Disiplin Ilmu-

Ilmu Islam I (sebagai peserta 15 Juli 2007)

14. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 6, Disiplin Ilmu-

Ilmu Islam II (sebagai peserta 1 Nopember 2008)

15. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 7: Tantanggan

Epistemologi Islam (sebagai peserta 6 April 2008).

16. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 8: Konsep-konsep

baru dalam Islam (sebagai peserta 19-20 April 2008)

17. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 9: impementasi

World View Islam ke dalam Kurikulum Program Studi (sebagai peserta

30 Agustus 2008)

Page 21: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

20

BIO DATA PENULIS KE III

Nama : Sri Endah Wahyuningsih

TTL : Wonosobo 28 April 1964

S1. Undip Semarang Lulus 1988

S2. Undip Semarang Lulus 2002

S3. Undip Semarang Lulus 2011

Pekerjaan Dosen :

2002-Mengajar Perbandingan Hukum Pidana , Politik Hukum Pidana, Hukum

Pidana Lanjut, Filsafat Hukum, dan Metode Penelitian Hukum.

2007- sebagai staff pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum Unissula.

2012- Mengajar Pada Program Doktor Ilmu Hukum Unissula.

2009- mengikuti Program sandwich Like di Universitas Erasmus Rotterdam

Belanda

2002-2009 Sebagai Ketua Bagian HUkum Pidana di Unissula.

2013- sebagai sekretaris bidang administrasi dan Keauangan pada Program

Magister Kenotariatan Universitas Islam Sultan Agung.

Buku Yang pernah ditulis : Perbandingan Hukum Pidana Dari Perspektif

Religious Law System (2013) Penerbit Unissula Press.

Page 22: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

21

SINOPSIS

Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk menggali danmenganalisis nilai-nilai kearifan lokal/kearifan religious yang terkadungdalam sila kedua, keempat dan kelima dari Pancasila serta melakukanrekonstruksi mengenai eksistensi konstruksi perdamaian dapat dijadikansebagai payung hukum dalam implementasi restorative justice di tingkatpenyidikan tindak pidana lalu lintas; faktor-faktor yang mempengaruhi dankendala-kendala yang dihadapi dalam konstruksi hukum berkaitan denganperdamaian sebagai payung hukum dalam implementasi restorative justice ditingkat penyidikan tindak pidana lalu lintas; dan mengenai model perdamaiandalam melaksanakan restorative justice di tingkat penyidikan tindak pidanalalu lintas berdasarkan hukum progresif.

Proses penyidikan terhadap tindak pidana lalu lintas berdasarkanhukum progresif, penyidik tetap melakukan pemeriksaan terhadap pihak yangterkait dengan kecelakaan tersebut untuk memperjelas posisi kasusnya.Selanjutnya atas kesadaran dan kesepakatan bersama kedua pihak memintakepada Penyidik agar kasus tersebut tidak dilanjutkan ke proses Pengadilandengan alasan sudah saling menerima bahwa kecelakaan lalu lintas adalahmusibah yang bisa menimpa siapa saja dan dimana saja tanpa unsurkesengajaan. Biasanya mereka sudah bermusyawarah sendiri, dan jika dimintaPenyidik membantu mediasi secara independent. Setelah sepakat kedua pihakmembuat kesepakatan bersama dan tidak saling menuntut secara hukum.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam konstruksi hukum berkaitandengan perdamaian sebagai payung hukum dalam implementasi restorativejustice di tingkat penyidikan tindak pidana lalu lintas adalah: faktor internterdiri dari substansi perundang-undangan, instruksi pimpinan, penyidiksebagai penegak hukum dan situasi penyidikan, faktor ekstern adalahdukungan masyarakat. Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi adalah asihlemahnya penegakan hukum di Indonesia, oknum aparat, pengetahuanpenyidik dan partisipasi para pihak;

Perdamaian dalam melaksanakan restorative justice di tingkatpenyidikan tindak pidana lalu lintas berdasarkan hukum progresif adalah tetapmengacu pada Pasal 235 dan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

Page 23: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

22

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tanpa berbicara salah danbenar, namun mengedepankan sisi manusiawi.

Page 24: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

23

BAB ISELAYANG PANDANG RESTORATIVE JUSTICE SYSTEM DI

TINGKAT PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS

Keberadaan teknologi memberikan pengaruh besar bagi perubahan

pola hidup masyarakat, semakin pesat perkembangan teknologi suatu

negara maka semakin maju pula pola hidup masyarakatnya yang salah

satunya ditandai dengan tingginya mobilitas orang dan barang. Guna

menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat akan mobilitas maka sarana

penunjang pergerakan yakni sistem transportasi merupakan bidang

kegiatan yang menjadi prioritas bagi bangsa Indonesia. Transportasi darat

sebagai transportasi dominan baik secara kuantitas maupun kualitas

apabila dibandingkan transportasi udara dan transportasi laut tentunya

memerlukan atensi khusus dari pemerintah dalam penyelenggaraannya.

Accident has been given many definitions, among them an event

which happens completely by chance. However, as it has been

said, “Accidents don’t just happen-accidents are caused”. A more

adequate definition would be: “an accident is an undesired an

unpleasant suddenly occurring event with human and economic

losses caused by uncontrolled disturbances in the interaction of

components in a system.1

1 Vigilijus Sadauskas, Transport: Traffic Safety Strategies, Vilnius GediminasTechnical University, Volume XVIII No. 2, Februari 2003, hlm. 79

Page 25: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

24

Mengingat betapa strategisnya kedudukan lalu lintas dan angkutan

jalan bagi kesejahteraan masyarakat baik yang menggunakan angkutan

pribadi maupun angkutan umum paratransit dan masstransit, maka

pemerintah mengadakan lembaga berikut organ-organ pendukung yang

memadai untuk menjamin keamanaan, ketertiban, kelancaran, dan

efektifitas kegiatan lalu lintas termasuk di dalamnya untuk menanggulangi

terjadinya kecelakaan lalu lintas, disinilah peran penting organ Satuan

Lalu Lintas (selanjutnya disebut Satlantas) yang berada di bawah lembaga

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal ini Kepolisian Resor.

Satlantas merupakan aparat penegak hukum dalam

penyelenggaraan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia

bidang Lalu Lintas dan merupakan penjabaran kemampuan teknis

profesional khas kepolisian, yang menjalankan (1) fungsi penindakan

(politie dwang) yakni penegakan hukum lalu lintas (police traffic law

enforcement), (2) fungsi pencegahan (politie toezicht) yakni pendidikan

masyarakat tentang lalu lintas (police traffic education), (3) fungsi

pengaturan (regeling) yakni keteknikan lalu lintas (police traffic

engineering), dan (4) fungsi pemerintahan (bestuur) yakni registrasi atau

identifikasi pengemudi dan kendaraan (driver and vehicle identification).2

Diantara keempat fungsi Satlantas tersebut diatas fungsi penegakan

hukum lalu lintas seringkali menjadi tolok ukur untuk menilai kinerja

Satlantas.

2 Soerjono Soekanto, Polisi Dan Lalu Lintas Analisis Menurut Sosiologi Hukum,Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 43

Page 26: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

25

Dalam rangka penyelenggaraan fungsi penegakan hukum lalu

lintas maka polisi lalu lintas selaku pelaksana fungsi Satlantas berperan

sebagai aparat penyidik kecelakaan lalu lintas yang dilaksanakan

berdasarkan ketentuan hukum pidana umum yakni Kitab Undang-undang

Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana serta

ketentuan hukum pidana khusus yakni UU No. 22 Tahun 2009 tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berikut peraturan-peraturan pelaksananya.

Kecelakaan lalu lintas sebagai suatu tindak pidana tentunya

mengandung sanksi pidana. Pelaku tindak pidana lalu lintas karena

kealpaannya dapat dijatuhi pidana berupa pidana penjara, kurungan, atau

denda, sebagai berikut:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 359

Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang

lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360

a. Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan

orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana

penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama

satu tahun.

b. Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain luka-

luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan

Page 27: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

26

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu

tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan

bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana

denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah

2. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 310

Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena

kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan:

a. Kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak

Rp.1.000.000,00- (satu juta rupiah)

b. Korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000,00- (dua juta rupiah)

c. Korban luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5

(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000,00-

(sepuluh juta rupiah), dalam hal kecelakaan tersebut

mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp.12.000.000,00- (dua belas juta rupiah).

Pasal 311

Page 28: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

27

a. Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan

Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi

nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1

(satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta

rupiah).

b. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan

Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal

229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2

(dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta

rupiah).

c. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan

dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara

paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak

Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).

d. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda

paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

e. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana

Page 29: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

28

dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda

paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Perlu dikemukakan bahwa selain bertanggungjawab secara pidana

undang-undang memberikan kesempatan bagi korban untuk mengajukan

gugatan perdata atas kerugian yang diderita atas kecelakaan yang

disebabkan perbuatan pelaku sehingga pelaku juga dapat

dipertanggungjawabkan secara perdata.

Mencermati Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 yang lebih

menitikberatkan pada perbuatan dan perlindungan hukum bagi korban

kecelakaan lalu lintas3 berupa diajukannya pelaku di muka persidangan

dengan harapan terhadap pelaku dijatuhkan putusan pidana. Mendasarkan

pada pola pemikiran (mindset) formalistik demikian ini maka penyidik

Satlantas dalam pelaksanaan fungsi penegakan hukum cenderung

melakukan kriminalisasi yakni entah dengan bukti-bukti cukup ataupun

tidak dengan penggunaan pasal-pasal sedemikian rupa tetap melanjutkan

proses formil pidana (criminal justice system) hingga ke tahap penuntutan

oleh Kejaksaan Negara Republik Indonesia dan bermuara pada lembaga

peradilan.

3 Dalam ilmu hukum pidana dikenal studi viktimologi. Secara etimologi, viktimologiberasal dari kata victim yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Secaraterminologi, viktimologi adalah studi yang mempelajari tentang korban dan segala aspeknyakhususnya menyangkut penyebab timbulnya korban dan akibat dari timbulnya korban sebagaisuatu kenyataan sosial. Studi viktimologi bertujuan untuk memahami dan meminimalisirviktimisasi kriminal sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan mengantisipasiperkembangan kriminalitas dalam masyarakat (Viktimologi, www.replaz.blogspot.com),diakses pada 31 Agustus 2013.

Page 30: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

29

Kebijakan hukum pidana yang tidak memandang secara setara

(equal) kedudukan pelaku (offender) dan korban (victim) sungguh tidak

mencerminkan prinsip-prinsip keadilan khususnya apabila dilihat dari segi

pelaku mengingat terjadinya kecelakaan pada hakikatnya dilandasi atas

suatu kealpaan (culpa) bukan kesengajaan (dolus), sedangkan untuk

seseorang dapat dijatuhi pidana maka selain terbukti adanya perbuatan

(actus reus) juga harus terkandung niat batin jahat (mens rea), dan yang

patut diingat bahwa pelaku pun turut menderita kerugian baik secara fisik,

moral, maupun ekonomis. Kecuali untuk pelaku dalam kecelakaan lalu

lintas yang terjadi dengan corak kesengajaan dengan sadar kemungkinan

(dolus evantualis) maka proses hukum terhadap pelaku tersebut perlu

diteruskan sampai ke pengadilan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa “misi suci“ (mission sacree)

lembaga peradilan di Indonesia bukan untuk menegakkan hukum demi

hukum itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell

Holmes, “The Supreme court is not court of justice, it is a court of law“,

melainkan untuk menegakkan hukum demi keadilan, baik bagi individu

maupun bagi masyarakat, bangsa dan Negara; bahkan keadilan yang

dimaksud adalah keadilan Demi Tuhan yang Maha Esa, sehingga

terciptanya suasana kehidupan bermasyarakat yang aman, tenang, tentram,

tertib dan damai.

Pemikiran tentang pemidanaan dalam perkembangannya kemudian

bergerak ke arah orientasi baru di mana penyelesaian perkara pidana

Page 31: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

30

merupakan suatu hal yang menguntungkan bagi semua pihak pun menjadi

wacana yang paling mutakhir dipikirkan orang saat ini.

Keadilan restoratif ditawarkan sebagai suatu pendekatan yang

dianggap dapat memenuhi tuntutan itu. Pengembalian otoritas

penyelesaian pidana dari lembaga peradilan sebagai wakil negara kepada

masyarakat melalui pendekatan keadilan restoratif dimana korban dan

masyarakat merupakan komponen yang harus ada dan menentukan.

Barb Toews melihat bahwa perhatian terhadap korban merupakan

“core values” dari keadilan restoratif.4 Meskipun perhatian terhadap

pelaku juga tidak kurang porsinya dibandingkan dengan teori sebelumnya.

Makna yang terkandung dalam konsep rehabilitasi, resosialisasi, restitusi,

reparasi dan kompensasi tampaknya hanya merupakan bagian dari konsep

yang terkandung dalam restoratif.

Pandangan penulis utamanya didasarkan pada karakteristik dasar

dari filosofi pemidanaan yang mendasari keadilan restoratif yang berbeda

dengan teori-teori yang ada. Bila teori-teori yang ada melihat pemidanaan

sebagai suatu tindakan yang dipaksakan (utamanya oleh lembaga

pengadilan) dan pelaku melaksanakannya sebagai tindakan terpaksa, maka

unsur kesukarelaan menjadikan keadilan restoratif sebagai suatu

pandangan atas pemidanaan yang berbeda.5

4 Barb Toews, Little Book of Restorative Justice for People in Prison: Rebuilding theWeb of Relationships, Intercourse, PA: GoodNooks, 2006, hlm. 37-42. Restorative justice,with its emphasis on indentifying the justice needs of everyone involved in a crime, is helpingrestore prisoners sense of humanity while holding them accountable for their actions.

5 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit Lubuk Agung,Bandung, 2011, hlm. 64

Page 32: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

31

Duff sebagaimana yang dikutip oleh Lode Walgrave menyatakan

bahwa restorative justice are not “alternative to punishment” but

alternative punishment. Sementara Stephen VP Grvey menyatakan

keadilan restoratif sebagai a way of responding to crime. Meskipun

dinyatakan adanya perbedaan mendasar antara konsep keadilan restoratif

dengan teori pemidanaan yang ada saat ini, namun tidak sedikit yang

memandang bahwa teori ini pada dasarnya hanya melengkapi teori lain

dan berhubungan dengan elemen-elemen yang ada dalam paradigma

retributif, rehabilitatif, resosialisasi sebagai paradigma pemidanaan

lainnya yang telah ada terlebih dahulu.6

Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran

paling mutakhir dari berbagai modal dan mekanisme yang bekerja dalam

sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada

saat ini. PBB melalui basic principles yang telah digariskannya menilai

bahwa pendekatan keadilan restoratif adalah pendekatan yang dapat

dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan

dengan pandangan G.P Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik

kriminal harus rasional (a rational total of the responses to crime).7

Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang dapat

dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang

bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan

pidana yang ada saat ini.

6 VP Grevey dalam Eva Achjani Zulfa, Opcit, hal 64.7 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung, 1992, hlm. 15-16

Page 33: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

32

Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran dengan

metode mediasi penal (mediation in criminal cases) yang merespon

pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada

kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan

dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada

pada saat ini. Dipihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu

kerangka berpikir baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu

tindak pidana bagi aparat penegak dan pekerja hukum yang dilakukan

melalui diskresi (discretion) aparat penegak hukum.

Mediasi penal (mediation in criminal cases) atau dikenal yang

dikenal sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam ranah hukum

privat (bijzondere belangen) merupakan suatu upaya penyelesaian hukum

alternatif yang menempuh jalur lain daripada cara-cara penyelesaian

perkara secara yuridis tradisional.8 Salah satu faktor pendorong lahirnya

konsep mediasi penal (mediation in criminal cases) ialah meningkatnya

volume perkara dengan beragam jenisnya yang diajukan ke pengadilan

yang menjadi beban bagi pengadilan untuk melakukan pemeriksaan dan

mengadilinya. Kemampuan organisasi pengadilan yang terbatas baik

secara teknis maupun sumber daya manusia menyebabkan penumpukan

kasus di pengadilan yang tentunya tidak sejalan dengan asas peradilan

sederhana, cepat dan biaya ringan.

8 Adiranus E. Meliala, 2006, “Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisi danPotensinya di Indonesia”, dikutip dari http:/www.adrianusmeliala.com, hlm. 3, diakses pada5 Oktober 2013.

Page 34: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

33

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa mediasi penal

(mediation in criminal cases) terhadap perkara pidana dilaksanakan

melalui diskresi. Diskresi menurut Roescoe Pound sebagaimana dikutip

oleh R. Abdussalam diartikan sebagai “an authority conferred by law to

act in certain condition or situation; in accordance with official’s or an

official agency’s own considered judgement and conscience”,9 artinya

suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk bertindak

pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan

nuraninya. Diskresi dalam lembaga Kepolisian telah diatur dalam Pasal 18

ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, sebagai berikut:

Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilaiannya sendiri.

Sedangkan dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan

bahwa:

Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah

tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika

memenuhi syarat sebagai berikut:

(1) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

9 Roescoe Pound, dikutip dalam R. Abdussalam, Penegakan Hukum di LapanganOleh Polri, Dinas Hukum Polri, Jakarta, 1997, hlm. 25-26

Page 35: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

34

(2) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan

tersebut dilakukan;

(3) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya;

(4) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;

dan

(5) menghormati hak asasi manusia.

Tindakan diskresi yang dilaksanakan oleh pihak penyidik

dilakukan dengan alasan bahwa tindakan ini dapat mengefektifkan

penyelesaian tindak pidana lalu lintas, dimana tersangka melakukan

pelanggaran lalu lintas dan karena kelalaiannya menyebabkan orang lain

meninggal dunia dan luka-luka. Namun tindakan tersebut menulai

permasalahan yang pelik, yang mana di satu sisi tindakan diskresi ini

merupakan aplikasi dari hukum pidana yang dilakukan sesuai dengan

kebijakan sendiri untuk mengefektifkan hukum yang berjalan secara kaku,

sedangkan di sisi lain tindakan ini menjadi batu sandungan bagi pihak

penegak hukum khususnya penyidik yang mana penyidik selalu

disalahkan atas pelaksanaan diskresi yang dilakukan karena tindakan

diskresi tersebut memunculkan diskriminasi dalam penerapan hukumnya.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas sehubungan dengan

pokok bahasan dalam tulisan ini maka penyidik lalu lintas memiliki peran

yang sangat penting bagi terciptanya restorative justice mengingat

penyidikan merupakan tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian

Page 36: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

35

perkara pidana yakni dengan melakukan penyelesaian perkara kecelakaan

lalu lintas melalui mediasi penal (mediation in criminal cases), terlebih

semangat (spirit) telah terkandung dalam Pasal 236 ayat (2) UU No. 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sebagai berikut:

Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi

kesepakatan damai diantara para pihak yang terlibat.

Mediasi penal (mediation in criminal cases) dalam kerangka

diskresi kepolisian (police discretion) adalah merupakan sebuah upaya

progresif yang hanya berkembang dalam praktek dan bukan merupakan

tindakan hukum penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 ayat (1) huruf i jo Pasal 109 ayat (2) Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, fakta

hukum menyatakan bahwa tindakan mediasi penal (mediation in criminal

cases) adalah belum memiliki landasan hukum formil dalam sistem

peradilan pidana Indonesia, oleh karenanya untuk mencegah terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan atau untuk melahirkan

payung hukum bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya maka perlu

diformulasikan suatu parameter obyektif dan mekanisme pelaksanaan

mediasi penal (mediation in criminal cases) dalam penyidikan perkara

kecelakaan lalu lintas demi tercapainya keadilan berbasis restorative

justice sehingga dipandang sangatlah perlu bahwa hukum formal yang

berkaitan dengan hal tersebut dilakukan rekonstruksi.

Page 37: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

36

Pasal 7 ayat (1)

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a

karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan

penghentian penyidikan.

Pasal 109 ayat (2)

Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak

terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan

merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum,

maka penyidik memberitahukan hal, itu kepada penuntut umum,

tersangka atau keluarganya.

Page 38: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

37

BAB IIKONSEP PERDAMAIAN DALAM TINDAK PIDANA LALU LINTAS

1. Konsep Perdamaian

a. Perdamaian Dalam Pandangan Islam

Dalam Islam perdamaian dikenal dengan al- islah yang

berarti memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa

atau kerusakan, berusaha menciptakan perdamaian, membawa

keharmonisan, menganjurkan orang untuk berdamai antara satu

dan lainya melakukan perbuatan baik berperilaku sebagai orang

suci.10

Al-Qur'an menjelaskan Islah merupakan kewajiban umat

Islam baik secara personal maupun sosial penekanan islah ini lebih

terfokus pada hubungan antara sesama umat manusia dalam

rangka pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT.

Damai mempunyai arti tidak bermusuhan, keadaan tidak

bermusuhan, berbaik kembali, tentram, aman, sedang

mendamaikan, memperdamaikan yaitu menyelesaikan permusuhan

(pertengkaran) supaya kedua belah pihak berbaikan kembali,

merundingkan supaya mendapat persetujuan, dan mendamaikan

sendiri mempunyai arti sendiri penghentian permusuhan.11

10 Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Intermansa, Jakarta, 1997, hlm. 74011 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet, Ke-8, P.N. Balai

Pustaka, Jakarta, 1985, hlm. 225

Page 39: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

38

Ruang lingkup perdamaian sangat luas baik pribadi

ataupun sosial. Di antara islah yang diperintahkan Allah SWT

adalah dalam hal masalah rumah tangga. Untuk mengatasi kemelut

dan sengketa dalam rumah tangga (syiqoq dan nusyus) dalam Al-

Qur’an Surat An-nisa' ayat 35, ditegaskan bahwa setiap terjadi

persengketaan diperintahkan untuk mengutus pihak ketiga (hakam)

dari pihak suami atau istri untuk mendamaikan mereka. Dalam hal

ini, ulama' fiqih sepakat untuk menyatakan bahwa kalau hakam

(juru damai dari pihak suami atau istri) berbeda pendapat maka

putusan mereka tidak dapat dijalankan dan kalau hakam sama-

sama memutuskan untuk mendamaikan suami dan istri kembali,

maka putusanya harus dijalankan tanpa minta kuasa mereka.12

Ayat ini juga menjelaskan tentang pengangkatan hakim,

jika kamu tahu ada pertengkaran antara suami istri, sedangkan

kamu tidak mengetahui siapa yang bersalah dan mereka terus

mempersengketakan ayat ini menunjukkan kebolehan mengangkat

hakim.13

Di kalangan umat Islam dulu juga dikenal dengan adanya

tahkim. Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam tahkim adalah

berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang

mereka sepakati dan setujui serta rela menerima keputusannya

12 Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta,1996, hlm. 1750

13 Teungku Muhammad Hasby Ash-shiddieqy, Al Bayan, Tafsir Penjelas Al-Qur'anul Karim, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002, hlm. 193

Page 40: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

39

untuk menyelesaikan persengketaan mereka berlindungnya dua

pihak yang bersengketa kepada orang yang mereka tunjuk (sebagai

penengah) untuk memutuskan atau menyelesaikan perselisihan

yang terjadi di antara mereka yang sedang bersengketa.14

Suatu perdamaian harus ada timbal balik dalam

pengorbanan pada diri pihak-pihak yang berperkara maka tiada

perdamaian apabila salah satu pihak dalam suatu perkara mengalah

seluruhnya dengan cara mengakui tuntutan pihak lawan

seluruhnya, demikian pula tidak ada suatu perdamaian apabila dua

pihak setuju untuk menyerahkan penyelesaian perkara kepada

arbitrase (pemisah) setuju tunduk pada suatu nasehat yang akan

diberikan oleh orang ketiga (binded advies).15

Undang-undang No. 3 Tahun 2006 sudah dijelaskan

dengan adanya asas wajib mendamaikan. Ini sebagai pedoman

untuk para hakim di Pengadilan Agama untuk mengusahakan jalan

damai dalam setiap perkara yang masuk di pengadilan.

Dari pengertian perdamaian di atas, dapat dipahami bahwa

yang dimaksud dengan upaya damai yaitu usaha yang dilakukan

oleh seseorang atau suatu badan hukum untuk mengadakan

pemecahan persoalan dengan cara menghindari persoalan yang

lebih fatal. Di mana dalam hal ini tidak boleh memaksakan

kehendak dari pihak-pihak yang bertikai sifat mendamaikan hanya

14 Aziz Dahlan, Op. Cit., hlm. 175015 Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata,

Bineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 3

Page 41: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

40

memberi nasehat dan anjuran untuk membatalkan gugatan tersebut

dan menyelesaikanya dengan jalan damai.

Pelaksanaan upaya perdamaian ini tidaklah mudah, sebab

orang yang sedang bersengketa hatinya masih tertutup dan

diselimuti rasa tidak suka dan kebencian yang sangat dalam.

Misalkan saja dalam kasus perceraian, yang mana mereka sedang

dilanda krisis rumah tangga yang sedang bermasalah. Dalam hal

ini Allah telah memerintahkan agar setiap keluarga yang

menghadapi krisis rumah tangganya untuk melihat jauh ke depan

dan memikirkan segala akibatnya putusnya perkawinan.

Anjuran damai dari hakim sudah dilakukan sejak sidang

pertama sebelum pembacaan surat gugatan, hal ini seperti kurang

rasional, sebab bagaimana hakim tahu dan bisa menganjurkan

damai, jika hakim sendiri belum tahu duduk perkaranya. Begitu

pula, sebelum penggugat membacakan gugatan apakah tidak

mungkin penggugat mengubah gugatannya.16

Anjuran damai sebenarnya dapat dilakukan kapan saja

sebelum perkara belum diputus, tetapi anjuran damai pada

permulaan sidang pertama adalah mutlak dan wajib dilakukan dan

dicantumkan dalam berita acara persidangan karena ada keharusan

16 Lihat HIR Pasal 130-131

Page 42: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

41

yang menyatakan demikian, walaupun mungkin secara logika,

kecil sekali kemungkinanya.17

Dalam usaha mewujudkan perdamaian melibatkan

beberapa pihak antara lain:

1) Pihak yang berselisih.

2) Pendamai atau hakim yang diangkat dari pihak hakim atau

hakamain.18

Dari kedua keluarga ahli fiqih dalam hal ini menetapkan

bahwa hakim itu hendaknya orang yang mempunyai sifat hakim,

yaitu dapat dijadikan saksi dan benar-benar mempunyai keahlian

untuk bertindak sebagai hakam. Dalam hukum Islam usaha

mendamaikan sengketa merupakan usaha yang harus terus

dilakukan agar jalinan keluarga bertahan untuk selama-lamanya.

Kisas-diat merupakan salah satu aturan dalam syari’at

Islam mengenai hukum pidana dan berlaku bagi tindak pidana-

tindak pidana yang berkaitan dengan pembunuhan dan

penganiayaan. Kisas yang berasal dari bahasa Arab al-qisās

bermakna an yaf’ala bil-fā’il mi£la mā fa’ala1 yang berarti

melakukan seperti apa yang telah dilakukan pelakunya. Sedangkan

diat yang berasal dari bahasa Arab ad-diat (singular) atau diyāt

17 Raikhan Rashyd, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet I, CV. Rajawali, Jakarta,1991, hlm. 95-96

18 Hakamaian berdasarkan pengertian surah an-Nisa' ayat 35 ditafsirkan oleh paraulama' fiqih sebagai juru damai yang terdiri atas wakil dari pihak suami dam wakil dari pihakistri, untuk mencari jalan keluar dari kemelut yang yang dihadapi oleh pasangan suami istri.Lihat dalam kitab Risalatun Nikah, Gema Insani, Press, Jakarta, Cet I, 1999, hlm .158.

Page 43: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

42

(plural) adalah bentuk ma¡dar (bentuk jadian) dari wadā yang

berarti mā yu’ta in al-māl badala an-nafs al-qatīl (harta yang

diberikan sebagai ganti dari jiwa yang terbunuh). Bentuk asli dari

ad-diat adalah al-wad. Huruf ta’ digunakan sebagai ganti dari

huruf wau yang dibuang sebagaimana dalam kata ‘iddat.19

Semua fuqaha sepakat bahwa pembunuhan merupakan hal

yang haram dilakukan dan memiliki implikasi di dunia dan akhirat.

Di akhirat pelaku pembunuhan (sengaja) mendapatkan balasan

sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 93,

yaitu dimasukkan dan disiksa ke dalam neraka Jahanam, dimurkai

serta dikutuk oleh Allah. Bahkan sebagaimana disebutkan oleh Ibn

Katsir, membunuh seseorang dengan sengaja merupakan dosa

besar yang dalam beberapa ayat al-Qur'an disejajarkan dengan

dosa syirik.20 Namun demikian, para ulama berbeda pendapat

mengenai dapat diterima atau tidaknya taubat seseorang yang telah

membunuh dengan sengaja.21

Sedangkan bentuk hukuman pembunuhan di dunia adalah

sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah

ayat 178 dan 179, yaitu:

19 Luis Ma’luf, Al-Munjid fī al-Lugah wa al-I'lām, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986,hlm. 631

20 Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafs³r al-Qur’ān al’Adzīm, ttp.: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth., hlm. 535

21 ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur'ān,(Damaskus: Maktabah al-Ghazali, tth.), hlm. 504-505. Lihat juga Al-Imam al-Jalil al-Hafiz‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al’Adzīm…, hlm. 536

Page 44: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

43

178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu

qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang

merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita

dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu

pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)

mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi

ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara

yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari

Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas

sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih[111].

179. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup

bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.

Page 45: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

44

1) diberikan sanksi pidana kisas yang setara kepada pelaku

pembunuhan tersebut; atau

2) membayar diat (ganti rugi) kepada keluarga korban dengan

syarat keluarga korban memberikan maaf kepada pelaku

pembunuhan.

Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 92 menjelaskan tentang

pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya unsur kesengajaan.

Sanksi pidana bagi pembunuhan tidak sengaja adalah

memerdekakan hamba sahaya (budak) yang beriman sebagai

kaffarah (penebus dosa) serta diwajibkan membayar diat atau ganti

Page 46: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

45

rugi kepada keluarga korban. Terdapat dua kategori sanksi pidana

dalam ayat pembunuhan tidak sengaja ini, yaitu:

1) jika korban adalah dari kaum mukmin, namun bermusuhan

dengan pelakunya, maka pidana hanya berupa kaffarah yaitu

memerdekakan hamba sahaya.

2) jika korban adalah orang kafir yang telah ada perjanjian damai

dengan kaum mukmin, dikenakan pidana ganda, yaitu

membayar diat atau ganti rugi kepada keluarga korban serta

memerdekakan hamba sahaya yang mukmin sebagai kaffarah-

nya.

Ditinjau dari segi ilmu u¡ul al-fiqh, kebanyakan aturan-

aturan pidana dalam al-Qur’an, termasuk di dalamnya aturan

mengenai kisas dan diat, masuk dalam kategori lafdz yang khafi,

dzahir, dan nass. Lafaz khafi adalah lafdz yang maknanya terang

tapi tidak jelas cakupan kategori dan kriterianya, sementara lafdz

dzahir adalah lafaz yang maknanya segera dipahami tetapi

pemahaman itu tidak sesuai dengan konteks kalimat dan lafdz nass

adalah lafaz yang maknanya terang yang sesuai dengan konteks

kalimat.

Ketiga lafaz tersebut masih mungkin untuk ditafsiri,

ditakwil dan dapat menerima naskh.22 Dalam ushul fiqh untuk

22 Ali Hasaballah, Ushūl al-Tasyri’ al-Islāmi, Mesir, Dar al-Ma’arif, 1971, hlm. 263-268

Page 47: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

46

memperjelas dan menemukan makna yang tepat dari tiga jenis

lafaz tersebut masih memerlukan pentakwilan dan ijtihad.

Sebagai gambaran, lafdz “al-qatlā” dalam surat al-Baqarah

ayat 178 merupakan lafdz dalam kategori khafi, dalam arti bahwa

maknanya terang yaitu “pembunuhan” namun belum jelas

mengenai cakupan kategori dan kriterianya. Misalnya kemudian

muncul pertanyaan, siapa yang membunuh? Siapa yang dibunuh?

Bagaimana cara membunuhnya? Contoh lain adalah pembayaran

diat. Al-Qur'an hanya menyebutkan kewajiban membayar diat jika

si pembunuh dimaafkan atau jika terjadi pembunuhan yang tidak

disengaja. Berapa besar jumlah yang harus dibayarkan dan siapa

yang berkewajiban membayar tidak disebutkan secara jelas dalam

al-Qur'an.

Oleh karena itu kemudian para fuqaha’ menetapkan hukum

Islam dengan dasar beberapa hadis Nabi yang menjelaskan lebih

lanjut mengenai ketentuan kisas-diat dalam al-Qur’an, serta

berusaha melakukan ijtihad apabila jawaban dari persoalan yang

ditanyakan tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis. Namun

yang muncul kemudian adalah adanya perbedaan penafsiran

karena masing-masing fuqaha' (baca: mazhab atau aliran dalam

hukum Islam) memiliki pandangan dan dasar sendiri. Apabila

keluarga korban atau wali terbunuh memberikan maaf kepada

pelaku pembunuhan, maka si pelaku diwajibkan membayar diat

Page 48: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

47

dengan jumlah tertentu. Para fuqaha berbeda pendapat mengenai

jumlah diat yang harus dibayarkan kepada keluarga korban.

Sedangkan untuk tindak pidana takzir, dalam Ensiklopedi

Fiqh Umar bin Khattab sebagaimana disadur oleh Sri Endah

Wahyuningsih23 bahwa pengertian takzir adalah hukuman yang

diwajibkan karena adanya kesalahan, dimana pemberi syari’at

tidak menentukan hukumannya secara tertentu.

Menurut Fathi ad-Duraini sebagaimana disadur oleh Sri

Endah Wahyuningsih24 bahwa takzir adalah hukuman yang

diserahkan kepada penguasa untuk menentukan bentuk dan

kadarnya sesuai dengan kemaslahatan yang menghendaki dan

tujuan syarak dalam menetapkan hukum, yang ditetapkan pada

seluruh bentuk maksiat, berupa meninggalkan perbuatan yang

wajib atau mengerjakan perbuatan yang dilarang, yang semuanya

itu tidak termasuk dalam katagori hudud dan kaffarat, baik yang

berhubungan dengan hak Allah SWT berupa gangguan terhadap

masyarakat umum, keamanan mereka serta perundang-undangan

yang berlaku, maupun yang terkait dengan hak pribadi.25

Sedangkan para fukaha mengartikan takzir dengan

hukuman yang tidak ditentukan oleh Al-Qur’an dan Hadist yang

berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah SWT dan

23 Sri Endah Wahyuningsih, Perbandingan Hukum Pidana dari Perspektif ReligiousLaw System, Unissula Press, 2012, hlm. 74.

24 Sri Endah Wahyuningsih, Op Cit, hlm. 75.25 Ibid.

Page 49: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

48

hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada sim

terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan

serupa.26

b. Perdamaian Dalam Pandangan KUH Perdata

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa:

1) Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah

pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu

barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung

ataupun mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 1851);

2) Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih (Pasal 1313):

3) Tentang kepentingan-kepentingan keperdataan yang terbit dari

suatu kejahatan atau pelanggaran, dapat diadakan perdamaian.

Perdamaian ini tidak sekali-kali menghalangi Jawatan

Kejaksaan untuk menuntut perkaranya (Pasal 1853);

4) Segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu

kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang

penghabisan. Tidaklah perdamaian itu dibantah dengan alasan

kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah

satu pihak dirugikan (Pasal 1858).

Ditinjau dari substansi pasal-pasal tersebut, apabila hal

tersebut kemudian diadopsi ke dalam ranah implementasi

26 Ibid.

Page 50: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

49

penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas maka akan

menghasilkan penyelesaian perkara dengan nilai kualitas keadilan

yang tertinggi karena:

1) Sifat kesukarelaan dalam proses

Para pihak percaya bahwa alternatif penyelesaian

sengketa memberikan jalan keluar yang potensial untuk

penyelesaian masalah dengan lebih baik dibandingkan dengan

prosedur litigasi.

2) Prosedur yang cepat

Karena prosedur ini bersifat informal, pihak-pihak yang

terlibat mampu untuk menegosiasikan syarat-syarat

penggunaannya. Hal ini akan mempercepat proses

penyelesaian masalah sehingga mencegah terjadinya

penundaan dan berlarut-larutnya suatu masalah, seperti yang

biasa dialami apabila masalah tersebut diselesaikan melalui

proses litigasi di pengadilan.

3) Keputusan non yudisial.

Wewenang untuk membuat keputusan tetap berada

pada pihak-pihak yang terlibat atau tidak didelegasikan kepada

pembuat keputusan dari pihak ketiga. Hal ini berarti bahwa

pihak-pihak yang terlibat mempunyai lebih banyak kontrol dan

mampu memperkirakan hasil-hasil sengketa yang akan dicapai.

4) Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat

penyelesaian masalah

Page 51: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

50

Prosedur ini dapat menghindari kendala prosedur

litigasi di pengadilan yang sangat terbatas pada pembuatan

keputusan pengadilan yang didasarkan pada titik sempit

hukum.

5) Hemat waktu

Dalam proses penyelesaian masalah melalui proses

litigasi di pengadilan sering mengalami keterlambatan yang

cukup berarti dalam menunggu kepastian tanggal persidangan

hingga putusan.

6) Hemat biaya

Besarnya biaya biasanya ditentukan oleh lamanya

waktu yang dipergunakan. Dalam banyak hal, waktu adalah

uang dan penundaan penyelesaian masalah memerlukan biaya

yang sangat mahal.

7) Pemeliharaan hubungan

Hal ini berbeda dengan keputusan pengadilan yang

menempatkan satu pihak di posisi yang menang serta pihak

lain di posisi yang kalah, sehingga dapat memunculkan

permusuhan di antara mereka.

8) Keputusan yang bertahan sepanjang waktu

Keputusan ini biasanya bertahan sepanjang waktu, jika

kemudian di kemudian hari persengketaan itu menimbulkan

masalah, pihak-pihak yang terlibat lebih memanfaatkan bentuk

Page 52: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

51

pemecahan masalah yang kooperatif dibandingkan dengan

menerapkan pendekatan yang adversarial atau pertentangan.27

Namun demikian, kendala hukum dalam implementasinya

adalah substansi dari Pasal 1853 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata sebagaimana tersebut di atas yang masih membuka

peluang untuk proses penyidikan tindak pidana berdasarkan

hukum acara pidana, sehingga memerlukan creative breakthrough

melalui penelitian disertasi ini.

2. Pengertian, Asas dan Tujuan Lalu Lintas Angkutan Jalan

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang dimaksud

dengan lalu lintas dan angkutan jalan adalah satu kesatuan sistem yang

terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,

Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang dimaksud dengan

lalu lintas itu sendiri adalah gerak kendaraan dan orang di Ruang Lalu

Lintas Jalan. Sedangkan angkutan adalah perpindahan orang dan/atau

barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan

Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.

27 Christopher W. Moore, Mediasi Lingkungan, Jakarta: ICEL dan CDR Associates,1995, hlm. 86

Page 53: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

52

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan:

a. Asas transparan;

Yang dimaksud dengan ”asas transparan” adalah

keterbukaan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan kepada masyarakat luas dalam memperoleh informasi yang

benar, jelas, dan jujur sehingga masyarakat mempunyai

kesempatan berpartisipasi bagi pengembangan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

b. Asas akuntabel;

Yang dimaksud dengan ”asas akuntabel” adalah

penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat

dipertanggungjawabkan.

c. Asas berkelanjutan;

Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan” adalah

penjaminan kualitas fungsi lingkungan melalui pengaturan

persyaratan teknis laik kendaraan dan rencana umum

pembangunan serta pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

d. Asas partisipatif;

Yang dimaksud dengan ”asas partisipatif” adalah

pengaturan peran serta masyarakat dalam proses penyusunan

kebijakan, pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan,

Page 54: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

53

penanganan kecelakaan, dan pelaporan atas peristiwa yang terkait

dengan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

e. Asas bermanfaat;

Yang dimaksud dengan “asas bermanfaat” adalah semua

kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang

dapat memberikan nilai tambah sebesar-besarnya dalam rangka

mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

f. Asas efisien dan efektif;

Yang dimaksud dengan “asas efisien dan efektif” adalah

pelayanan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

yang dilakukan oleh setiap pembina pada jenjang pemerintahan

secara berdaya guna dan berhasil guna.

g. Asas seimbang;

Yang dimaksud dengan ”asas seimbang” adalah

penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang harus

dilaksanakan atas dasar keseimbangan antara sarana dan prasarana

serta pemenuhan hak dan kewajiban Pengguna Jasa dan

penyelenggara.

h. Asas terpadu;

Yang dimaksud dengan “asas terpadu” adalah

penyelenggaraan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang

dilakukan dengan mengutamakan keserasian dan

kesalingbergantungan kewenangan dan tanggung jawab antar

instansi pembina.

Page 55: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

54

i. Asas mandiri

Yang dimaksud dengan ”asas mandiri” adalah upaya

penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan melalui

pengembangan dan pemberdayaan sumber daya nasional.

Sedangkan menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan:

a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang

aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan modal angkutan

lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan

kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan

bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;

b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan

c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi

masyarakat.

3. Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa:

(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang

karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas

dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana

penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak

Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Page 56: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

55

(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang

karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas

dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau

barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana

dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang

karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas

dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229

ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh

juta rupiah).

(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang

mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pada Pasal 310 ayat (4) dijelaskan bahwa setiap orang yang

mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya

mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas yang mengakibatkan orang

lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua

belas juta rupiah). Jadi jelas bahwa pidana yang diberikan terhadap

orang yang melanggar Pasal 310 ayat (4) cukup berat.

Page 57: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

56

Penerapan UU atau peraturan yang menyangkut kebiasaan

masyarakat memang memerlukan waktu dan pendekatan yang lebih

panjang dan berkelanjutan. Dalam UU No. 22 Tahun 2009, aturan

belok kiri jalan terus yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat

diatur dalam Pasal 112 ayat (3) bahwa pengemudi yang melewati

persimpangan yang terdapat lampu lalin tidak boleh langsung belok

kiri, kecuali diatur oleh rambu lain. Peraturan ini perlu disosialisasikan

lebih luas dan berkelanjutan karena menyangkut kebiasaan yang sudah

terbentuk di masyarakat.

Polemik penerapan UU seperti UU Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan seharusnya bisa disikapi dengan program sosialisasi yang lebih

terarah dan terukur. Misal pada kegiatan sosialisasi Pasal 107 tentang

kewajiban menyalakan lampu utama pada siang dapat disosialisasikan

kepada masyarakat tentang hasil riset/penelitian yang mendasari

dibuatnya peraturan tersebut. Sebagaimana tesis mahasiswa ITB

tentang dampak silau penyalaan lampu pada siang hari. Hasil

penelitian tentang turunnya angka kecelakaan setelah di suatu daerah

dimana aturan ini diuji coba. Penelitian lain yang mungkin bisa

dipaparkan kepada masyarakat adalah berapa besar pengaruh

penyalaan lampu pada siang hari mempengaruhi usia pakai lampu.

Hasil-hasil penelitian semacam itu akan menjawab pro-kontra yang

timbul di masyarakat karena masyarakat akan lebih bisa menerima

bukti ilmiah yang masuk akal ketimbang wacana dan himbauan

belaka.

Page 58: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

57

Di samping peraturan yang masih menjadi pro-kontra. Aparat

penegak hukum juga menjadi sorotan, karena berfungsi tidaknya

sebuah peraturan akan sangat tergantung pada kinerja dan sikap para

penegak hukumnya. Jika dalam usaha Kepolisian mensosialisasikan

peraturan baru diwarnai oleh pelanggaran aturan oleh Kepolisian

sendiri maka akan sangat sulit bagi masyarakat untuk menerima

peraturan baru tersebut, walaupun peraturan itu mengatasnamakan

kepentingan masyarakat.

Dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, juga mengatur mengenai kewajiban pemerintah,

seperti yang tercantum dalam Pasal 213 yang berisi: (1) Pemerintah

wajib mengawasi kepatuhan Pengguna Jalan untuk menjaga

kelestarian lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan. (2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib:

a. Merumuskan dan menyiapkan kebijakan, strategi, dan program

pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah

lingkungan;

b. Membangun dan mengembangkan sarana dan Prasarana Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;

c. Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Perusahaan

Angkutan Umum, pemilik, dan/atau Pengemudi Kendaraan

Bermotor yang beroperasi di jalan; dan

Page 59: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

58

d. Menyampaikan informasi yang benar dan akurat tentang

kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Juga Pasal 238 dan 239 tentang kewajiban dan tanggungjawab

pemerintah, yang berbunyi:

(1) Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan,

sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab

kecelakaan.

(2) Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan

penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.

Pasal 239

(1) Pemerintah mengembangkan program asuransi Kecelakaan Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas yang disahkan DPR pada 22 Juni 2009 lalu, terdapat beberapa

sanksi yang dikenakan bagi pelanggaran lalu lintas, sebagai berikut:

a. Setiap pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki SIM

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 bulan atau denda

paling banyak Rp 1 juta (Pasal 281).

b. Setiap pengendara kendaraan bermotor yang memiliki SIM namun

tak dapat menunjukkannya saat razia dipidana dengan pidana

Page 60: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

59

kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250

ribu (Pasal 288 ayat (2)).

c. Setiap pengendara kendaraan bermotor yang tak dipasangi Tanda

Nomor Kendaraan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2

bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 282).

d. Setiap pengendara sepeda motor yang tak dilengkapi kelayakan

kendaraan seperti spion, lampu utama, lampu rem, klakson,

pengukur kecepatan, dan knalpot dipidana dengan pidana

kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250

ribu (Pasal 285 ayat (1)).

e. Setiap pengendara mobil yang tak dilengkapi kelayakan kendaraan

seperti spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu rem,

kaca depan, bumper, penghapus kaca dipidana dengan pidana

kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500

ribu (Pasal 285 ayat (2)).

f. Setiap pengendara mobil yang tidak dilengkapi dengan

perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak,

pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda

paling banyak Rp 250 ribu (Pasal 278).

g. Setiap pengendara yang melanggar rambu lalu lintas dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling

banyak Rp 500 ribu (Pasal 287 ayat (1)).

Page 61: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

60

h. Setiap pengendara yang melanggar aturan batas kecepatan paling

tinggi atau paling rendah dipidana dengan pidana kurungan paling

lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500 ribu (Pasal 287 ayat

(5))

i. Setiap pengendara yang tak memiliki Surat Tanda Nomor

Kendaraan atau STNK dipidana dengan pidana kurungan paling

lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 288

ayat (1))

j. Setiap pengemudi atau penumpang yang duduk di samping

pengemudi mobil tak mengenakan sabuk keselamatan dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling

banyak Rp 250 ribu (Pasal 289).

4. Kesengajaan dan Kealpaan dalam Hukum Pidana

a. Kesengajaan

1) Pengertian Kesengajaan

Pengertian tentang “kesengajaan” tidak terdapat di

dalam KUH Pidana, petunjuk untuk dapat mengetahui arti

tentang “kesengajaan” dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van

Toelichting), yang mengartikan bahwa “kesengajaan” (opzet)

sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en

wetens).28

28 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip,Semarang, 1990, hlm. 102

Page 62: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

61

Ini sama dengan Pasal 18 KUHP Swiss, yang bunyinya

“Whoever commits an act knowingly and willingly commits the

act with imtemt”, menurut Crimineel Wetboek Nederland

Tahun 1809 (Pasal 11) “sengaja” (opzet) itu adalah maksud

untuk membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh

Undang-undang. Definisi seperti itu adalah sesuai dengan

pengertian “sengaja” menurut Hukum Adat Indonesia dan

Hukum Pidana Anglo Saxon, termasuk Amerika Serikat.29

Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti

menghendaki dan mengetahui apa yang dilaksanakan. Orang

yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki

perbuatan itu dan di samping itu mengetahui atau menyadari

tentang apa yang dilakukan itu.

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur

kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena

biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah

orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.

Dalam pergaulan hidup kemasyarakatan sehari-hari,

seseorang dengan suatu pergaulan sering mengakibatkan

sekedar kerusakan, kalau ia akan menghindarkan diri dari suatu

celaan, hampir selalu berkata, “Saya tidak sengaja.” Biasanya,

apabila kerusakan itu tidak begitu berarti, perbuatan yang tidak

29 Zainal Abidin Fareid, HA, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.266

Page 63: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

62

dengan sengaja itu dimaafkan oleh pihak yang menderita

kerugian. Artinya, tidak dikenai hukuman apa pun.

Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari

tindak pidana, yaitu kesatu: perbuatan yang dilarang, kedua:

akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan

ketiga: bahwa perbuatan itu melawan hukum.30

2) Teori-Teori Kesengajaan

a) Teori Kehendak (Wilstheorie)

Teori paling tua ini diajarkan oleh Von Hippel

(1903) seorang guru besar di Gottingen, Jerman, dalam

bukunya berjudul “Die Grenze von Vorsats und

Fahrlassigkeit” yang berpendapat bahwa “kesengajaan”

(vorsatz) adalah kehendak untuk melakukan suatu

perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat karena

perbuatannya itu, seperti yang dirumuskan dalam undang-

undang pidana. Suatu akibat dikehendaki jika akibat itu

lahir dari perbuatan yang betul-betul dikehendaki. Teori ini

diikuti oleh Zevenbergen dan Simons (Belanda).31

Teori kehendak menganggap kesengajaan (opzet)

ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana

dikehendaki oleh si pelaku. Teori kehendak menganggap

kesengajaan dan apabila si pelaku pada waktu mulai

30 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,Bandung, 2003, hlm. 66.

31 Sudarto, Op Cit, hlm. 102.

Page 64: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

63

melakukan perbuatan ada bayangan yang terang bahwa

akibat yang bersangkutan akan tercapai, dan maka dari itu

ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu. Misalnya

seorang yang menembak orang lain yang sebagai akibatnya

kemudian meninggal dunia, menurut teori kehendak

(wilstheorie) melakukan tindak pidana pembunuhan

dengan sengaja oleh karena si pelaku itu menghendaki

matinya orang lain itu.

b) Teori Pengetahuan atau Membayangkan (voorstellings-

theorie)

Frank (1907) seorang guru besar di Tubingen,

Jerman, yang mendapat sokongan kuat dari Von Listz di

Nederland dan penganutnya antara lain adalah Von Hamel

yang berpendapat bahwa “sengaja” berarti membayangkan

akan timbulnya akibat perbuatannya; orang tidak bisa

menghendaki akibat, melainkan hanya dapat

membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa

yang diketahui atau yang dibayangkan oleh si pembuat

ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.32 Dalam

karangannya berjudul “Ueber den Aufbau des Schuldbegriffs”, dalam Festschrift Giezen,

menentang teori Von Hippel. Berdasarkan alasan psikologis, tidaklah mungkin suatu

32 Ibid

Page 65: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

64

akibat dapat dikehendaki. Yang dapat dikehendaki ialah perbuatan sedangkan akibat

hanya dapat diingini, diharapkan dan dibayangkan kemungkinan akan terwujudnya.33

Menurut Van Hattum, dalam praktek hasil yang dicapai

oleh para penganut teori kehendak dan teori bayangan adalah

pada umumnya sama. Perbedaannya hanyalah terletak di

bidang psikologis dan bukan di bidang hukum, perbedaan lain

menurut Mulyatno yaitu pada cara membuktikan kesengajaan,

yaitu lebih mudah membuktikannya kalau digunakan terori

bayangan atau teori pengetahuan.34

Menurut teori bayangan (voorstellingstheorie) si pelaku

ini dapat dikatakan melakukan tindak pidana pembunuhan

dengan sengaja karena ia, pada waktu menembak, mempunyai

bayangan atau gambaran dalam pikirannya bahwa orang yang

ditembak itu akan meninggal dunia sebagai akibat tembakan

itu, dan kemudian si pelaku menyesuaikan perbuatannya

berupa menembak dengan akibat yang dibayangkan itu.35

3) Corak kesengajaan

Di negara-negara yang menganut sistem Eropa

Kontinental, para pengarang membedakan tiga corak sikap

batin (gradatie) “kesengajaan” yang menunjukkan tingkatan

atau bentuk dari “kesengajaan” itu , yaitu:

33 Zainal, Op Cit, hlm. 28434 Ibid, hlm. 28635 Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hlm. 67.

Page 66: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

65

a) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk

mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus directus.

Corak kesengajaan ini merupakan bentuk

kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si

pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang

dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak

akan berbuat demikian. Ia menghendakai perbuatan beserta

akibatnya.36 Menurut Vos, sengaja sebagai maksud terjadi

jikalau pembuat delik menghendaki akibat perbuatannya,

dengan kata lain, anadaikata pembuat sebelumnya sudah

mengetahui akiabat perbuatannya tidak akan terjadi, maka

sudah tentu ia tidak pernah melakukan perbuatannya.

Jonkers menyatakan sengaja sebagai maksud adalah bentuk

sengaja yang paling sederhana.37

Dengan demikian, dalam kesengajaan yang bersifat

tujuan (oogmerk) maka pertanggungjawaban si pelaku

dapat dimengerti dengan mudah oleh khalayak ramai.

Maka, apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu

tindak pidana, tidak ada yang menyangkal bahwa si pelaku

pantas dikenai hukuman pidana. Ini lebih tampak apabila

dikemukakan bahwa dengan adanya kesengajaan yang

bersifat tujuan ini, dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-

36 Sudarto, Op Cit, hlm. 10337 Zaenal, Op Cit, hlm. 286

Page 67: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

66

benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok

alasan diadakan ancaman hukuman pidana (constitutief

gevold).

b) Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met

zekerheidsbewustzijn atau noodzakelijkheidsbewustzijn)

Corak kesengajaan ini adalah merupakan sengaja

sadar atau insyaf akan keharusan atau sadar akan kepastian,

yang oleh Utrecht diuraikan dan diterjemahkan sebagai

sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa agar tujuan

dapat tercapai, sebelumnya harus dilakukan suatu

perbuatan lain yang berupa pelanggaran pula,38 sehingga

dalam hal ini perbuatan mempunyai dua akibat:

(a) Akibat yang memang dituju si pembuat, ini dapat

merupakan delik tersendiri atau tidak;

(b) Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu

keharusan untuk mencapai tujuan tersebut di atas,

akibat ini pasti timbul/terjadi.39

Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku

dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai

akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar

bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Kalau

38 Ibid, hlm. 286-28739 Sudarto, Op Cit, hlm. 103-104

Page 68: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

67

itu terjadi, maka teori kehendak (wilstheori) menganggap

akibat tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini

juga ada kesenjangan. Menurut teori bayangan

(voorstelling-theori), keadaan ini sama dengan kesengajaan

berupa tujuan (oogmerk) karena dalam keduanya tentang

akibat tidak dapat dikatakan ada kehendak si pelaku,

melainkan hanya bayangan atau gambaran dalam gagasan

pelaku, bahwa akibat itu pasti akan terjadi. Maka, juga kini

ada kesengajaan.40

c) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis

atau voorwaar delijk opzet)

Dalam kesengajaan dengan sadar kemungkinan ini,

ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi

kemudian ternyata benar-benar terjadi,41 masalah pokok

yang muncul adalah berapa banyak kemungkinan yang

diperlukan untuk adanya kesengajaan? Apakah

kemungkinannya harus besar atau sedang, ataukah boleh

juga sekalipun kecil? Jadi mengenai kuantitas

kemungkinannya.

Menurut Pompe, sebagaimana disadur oleh

Moeljatno,42 dalam rangka mencari kriteria untuk adanya

kesengajaan atas dasar banyaknya kemungkinan dengan

40 Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hlm. 68.41 Ibid42 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Renika Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 167

Page 69: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

68

tidak mengadakan perbedaan antara kesengajaan sebagai

kepastian atau kemungkinan. Pompe mencoba mengadakan

ukuran yang obyektif untuk adanya kesengajaan, yaitu

waarschijnlijkheid (kemungkinan besar), yaitu

pengetahuan yang melebihi adanya kemungkinan belaka,

tetapi kurang dari adanya kepastian, yaitu hal-hal yang

dapat diharapkan (verwachten) atau dapat dimengerti

(begrijpen). Dengan demikian Pompe mencoba untuk

mengadakan ukuran yang tampaknya sama dengan ukuran

yang diperlukan untuk adanya hubungan kausal, di mana

dikatakan bahwa yang menjadi musabab adalah syarat yang

dapat diharapkan, dimengerti akan menimbulkan akibat

yang dimaksud.

Biasanya untuk menentukan kemungkinan yang

mana yang diperlukan guna kesengajaan, tidak dipilih jalan

yang kuantitatif, tetapi yang kualitatif, yaitu bukan

kemungkinan belaka, bahkan kemungkinan yang bersifat

tertentu, yaitu yang disertai dengan tambahan, bahwa juga

kalau diketahui dengan pasti akan adanya akibat atau

keadaan yang menyertai, hal itu merupakan perintang

untuk berbuat.43

Corak kesengajaan ini dengan terang-terangan tidak

disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang

43 Ibid, hlm. 188-189

Page 70: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

69

bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu

kemungkinan belaka akan akibat itu. Kini, ternyata tidak

ada persamaan pendapat di antara para sarjana hukum

Belanda. Menurut Van Hattum dan Hazewinkel-Suringa,

terdapat dua penulis Belanda, yaitu Van Dijck dan Pompe,

yang mengatakan bahwa dengan hanya ada keinsyafan

kemungkinan, tidak ada kesengajaan, tetapi hanya mungkin

ada culpa atau kurang berhati-hati. Kalau masih dapat

dikatakan bahwa kesengajaan secara keinsyafan kepastian

praktis sama atau hampir sama dengan kesengajaan sebagai

tujuan (oogmerk), maka sudah terang kesengajaan secara

keinsyafan kemungkinan tidaklah sama dengan dua macam

kesengajaan yang lain itu, tetapi hanya disamakan atau

dianggap seolah-olah sama. Teorinya adalah sebagai

berikut: Apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada

bayangan kemungkinan belaka, akan terjadi akibat yang

bersangkutan tanpa dituju, maka harus ditinjau seandainya

ada bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan, maka

apakah perbuatan toh akan dilakukan oleh si pelaku. Kalau

hal ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa kalau perlu

akibat yang terang tidak dikehendaki dan hanya mungkin

akan terjadi itu, akan dipikul pertanggungjawabannya oleh

si pelaku jika akibat kemudian toh terjadi.44

44 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hlm. 70.

Page 71: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

70

d) Teori apa boleh buat (in kauf nehmen theorie / op den koop

toe nemen theorie)

Dalam teori ini keadaan batin si pembuat terhadap

perbuatannya adalah sebagai berikut:

(1) Akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia

benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat

itu;

(2) Akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun

apabila toh keadaan/akibat itu timbul, apa boleh buat

hak itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul

risiko.

Dalam perdebatan di Eerste Kamer mengenai

W.v.S. Menteri Modderman mengatakan bahwa,

“voorwaardelijk opzet” (delik eventualis) itu ada, apabila

kehendak kita langsung ditujukan pada kejahatan tersebut,

tetapi meskipun telah mengetahui bahwa keadaan tertentu

masih akan terjadi, namun kita berbuat dengan tiada

tercegah oleh kemungkinan terjadinya hal yang telah kita

ketahui itu. Dengan teori apa boleh buat ini maka

sebenarnya tidak perlu lagi untuk membedakan

kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan

dengan sadar kemungkinan.45

45 Sudarto, Op Cit, hlm. 106-107

Page 72: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

71

Menurut Mexger sebagaimana disadur oleh

Moeljatno,46 dalam teori inkauf nehmen (op den koop toe

nemen) dinyatakan bahwa sesungguhnya akibat atau

keadaan yang diketahui kemungkinan akan adanya, tidak

disetujui. Tetapi meskipun demikian, untuk mencapai apa

yang dimaksud, risiko akan timbulnya atau keadaan di

samping maksudnya itupun diterima. Dengan demikian

teori ini dinamakan inkauf nehmen yang oleh Moeljatno

diterjemahkan dengan “teori apa boleh buat”, sebab kalau

risiko yang telah diketahui kemungkinan akan adanya ito

sungguh-sungguh timbul (di samping yang dimaksud), apa

boleh buat, dia juga berani memikul risikonya. Jadi

menurut teori ini untuk adanya kesengajaan diperlukan dua

syarat:

(1) Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat

keadaan yang merupakan delik;

(2) Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh

timbul, ialah apa boleh buat, dapat disetujui dan berani

pikul risikonya.47

4) Hubungan antara kesengajaan dengan sifat melawan

hukum

46 Moeljatno, 2008, Op. Cit, hlm. 16747 Ibid, hlm. 190

Page 73: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

72

Bahwa dalam kesengajaan juga dapat mengenai “sifat

melawan hukum” atau wederrechtelijkheid. Artinya, bahwa

ada persoalan apakah dalam suatu tindak pidana si pelaku

harus tahu bahwa perbuatannya dilarang oleh hukum pidana.

Memang ada semboyan yang mengatakan bahwa setiap

orang harus dianggap mengetahui isi dari undang-undang, jadi

dianggap tahu apakah suatu perbuatan dikenai hukuman pidana

atau tidak. Kalau semboyan ini diberlakukan, maka harus

diperhatikan adanya kenyataan bahwa ada pasal dalam KUHP,

seperti misalnya Pasal 406 yang melarang seseorang merusak

barang milik orang lain opzettelijk enwederrechtelijk (dengan

sengaja dan dengan melawan hukum). Perumusan ini

menunjukkan bahwa kesengajaan si pelaku tidak mengenai

“sifat melawan hukum”. Maka, orang dapat dihukum meskipun

ia tidak tahu bahwa perbuatannya melawan hukum.48

Di samping pasal semacam ini, ada Pasal 333 KUHP

yang melarang orang merampas kemerdekaan orang opzettelijk

wederrechtelijk, jadi tanpa kata en. Dengan demikian, unsur

“sifat melawan hukum” diliputi oleh unsur kesengajaan; maka

orang itu baru dapat dihukum apabila ia tahu bahwa

perbuatannya melawan hukum.

48 Ibid., hlm. 71.

Page 74: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

73

b. Kealpaan (culpa) dalam arti sempit, schuld, nalatighzid,

recklessness, negligence, fahrlassigkeit, sembrono, teledor.

1) Pengertian kealpaan

Meskipun pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan

diperlukan adanya kesengajaan, tetapi terhadap sebagian dari

padanya ditentukan bahwa di samping kesengajaan itu orang

juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk

kealpaan.

Mengenai kealpaan ini keterangan resmi dari pihak

pembentuk W.v.S. (Smidt 1-825) sebagaimana disadur oleh

Moeljatno adalah sebagai berikut:

“Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet

mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kecuali

itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar

berbahayanya terhadap keamanan umum mengenai orang atau

barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian,

sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak

berhati-hati, yang teledor, yang menimbulkan keadaan itu

karena kealpaannya. Di sini sikap batin orang yang

menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang

larangan-larangan tersebut: dia tidak menghendaki atau

menyetujui timbulnya hal yang terlarang, tetapi kesalahannya,

kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga

Page 75: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

74

menimbulkan hal yang dilarang ialah dia kurang

mengindahkan larangan itu.

Jadi bukanlah semata-mata menentang larangan

tersebut dengan justru melakukan yang dilarang itu. Tetapi dia

tidak begitu mengindahkan larangan. Ini ternyata dari

perbuatannya, dia alpa, lalai, teledor dalam melakukan

perbuatan tersebut, sebab jika dia cukup mengindahkan adanya

larangan waktu melakukan perbuatan yang secara obyektif

kausal menimbulkan hal yang dilarang dia tentu tidak lupa atau

kurang berhati-hati agar jangan sampai mengakibatkan hal

yang dilarang tadi. Oleh karena bentuk kesalahan ini juga

disebut dalam larangan delik, maka harus dibuktikan”49

Lebih lanjut menurut M.v.T sebagaimana disadur oleh

Sudarto, bahwa kealpaan di satu pihak benar-benar berlawanan

dengan kesengajaan dan di pihak lain dengan kebetulan (toevel

atau casus). Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih

ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi bukannya

kesengajaan yang ringan.50

Ada juga yang mengatakan bahwa kesengajaan adalah

kesediaan yang disadari untuk memperkosa suatu obyek yang

dilindungi oleh hukum. Dan kealpaan kekurangan perhatian

terhadap obyek tersebut dengan tidak disadari.

49 Moeljatno, Op Cit, hlm. 214-21550 Soedarto, Op. Cit, hlm. 124

Page 76: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

75

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa kesalahan yang berbentuk kesengajaan dan

yang berbentuk kealpaan itu adalah soal gradasi. Kesengajaan

adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan, dasarnya

adalah sama, yaitu:

a) Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana;

b) Adanya kemampuan bertanggung jawab;

c) Tidak adanya alasan pemaaf.

Tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan sikap batin orang

menentang larangan, dalam kealpaan, kurang mengindahkan

larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan suatu

perbuatan yang obyektif kausal menimbulkan yang dilarang.51

Menurut Satochid Kertanegara, bahwa hubungan antara dolus dan culpa lata

adalah keduanya termasuk arti schuld ditinjau dari sudut pandang hukum

pidana dan dapat diistilahkan dengan schuld dalam arti luas.

Dolus adalah bentuk kesalahan yang berat, sedangkan culpa

yaitu kealpaan atau kelalaian adalah bentuk kesalahan yang

lebih ringan.52

51 Moeljatno, Op Cit, hlm. 215-21652 Satochid Kertanegara, Op. Cit. hlm. 340-341

Page 77: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

76

Perbedaan dolus dengan culpa juga dipergunakan di dalam Undang-undang hukum

pidana, dasar perbedaannya:53

Tabel : 2

Perbedaan Dolus dan Culpa

DOLUS CULPA

1.Perbuatan dilakukan

dengan sengaja1.

Perbuatan yang dilakukan

karena kelalaian/kealpaan

2.Perbuatan itu disebut

doleuze delicten2.

Perbuatan itu disebut

culpose delicten atau

schuld delicten

3.

Diancam dengan

hukuman lebih berat

dari pada culpose

delicten

3.

Ancaman hukumannya

adalah lebih ringan

daripada doleuze delicten

Sumber : Zaenal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta,

Sinar Grafika, 2007, hlm. 328

2) Menetapkan adanya kealpaan pada seseorang

Menurut Sudarto, kealpaan orang harus ditentukan

secara normatif, dan tidak secara fisik atau psychis. Tidaklah

mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang

sesungguh-sungguhnya, maka haruslah ditetapkan dari luar

bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran

53 Zaenal, Op Cit, hlm. 327-328

Page 78: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

77

sikap batin orang pada umumnya apabila ada dalam situasi

yang sama dengan si pembuat.

“Orang pada umumnya” ini berarti tidak boleh orang

yang paling cermat, paling hati-hati, paling ahli dan

sebagainya. Ia harus orang biasa, seorang ahli biasa. Untuk

adanya pemidanaan perlu adanya kekurang hati-hatian yang

cukup besar, jadi harus ada culpa lata dan bukannya culpa

levis (kealpaan yang ringan).54

Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat

peristiwa demi peristiwa. Yang harus menentukan ukuran

normatif dari kealpaan itu adalah hakim. Hakimlah yang harus

menilai sesuatu perbuatan in concreto dengan ukuran norma

penghati-hati atau penduga-duga, seraya memperhitungkan di

dalamnya segala keadaan dan keadaan pribadi si pembuat. Jadi

segala keadaan yang obyektif dan yang menyangkut si

pembuat sendiri diteliti dengan seksama.

Untuk menentukan kekurangan penghati-hati dari si

pembuat dapat digunakan ukuran apakah ia “ada kewajiban

untuk berbuat lain”. Kewajiban ini dapat diambil dari

ketentuan undang-undang atau dari luar undang-undang, ialah

dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang

seharusnya dilakukan olehnya. Kalau ia tidak melakukan apa

54 Sudarto, Op Cit, hlm. 125

Page 79: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

78

yang harusnya ia lakukan, maka hal tesebut menjadi dasar

untuk dapat mengatakan bahwa ia alpa.

Undang-undang mewajibkan seseorang untuk

melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Di luar

undang-undang pun ada aturan-aturan, ialah berupa kebiasaan

atau kepatutan dalam pergaulan hidup masyarakat yang harus

diindahkan oleh seseorang.

Sebaliknya apabila apa yang dilakukan oleh seorang

terdakwa dapat diterima oleh masyarakat, bahkan mungkin

sesuai dengan hukum, maka tidaklah ada persoalan apakah ada

culpa apa tidak. Dalam hal ini perbuatannya tidak bersifat

melawan hukum.

Dalam hubungan ini VOS mengemukakan, bahwa

dalam delik-delik culpa sifat melawan hukum telah tersimpul

di dalam culpa itu sendiri. Ia menyatakan antara lain, bahwa

culpa tidak mesti meliputi dapat dicelanya si pembuat, namun

culpa menunjukkan kepada tidak patutnya perbuatan itu dan

jika perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum, maka

tidaklah mungkin perbuatan itu perbuatan yang abnormal, jadi

tidak mungkin ada culpa.55

3) Kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari

(bewuste schuld dan onbewuste schuld)

55 Soedarto, Op. Cit, hlm. 127

Page 80: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

79

Menurut Sudarto, pada dasarnya orang berpikir dan

berbuat secara sadar. Pada delik culpoos kesadaran si pembuat

tidak berjalan secara tepat, dan apabila akibatnya berupa hal

yang tidak dikehendaki oleh pembentuk Undang-undang, maka

akan terjadi apa yang disebut kealpaan yang disadari dan

kealpaan yang tidak disadari. 56

a) Kealpaan yang disadari

Di sini si pembuat dapat menyadari tentang apa

yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya

dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi.57

Menurut Moeljatno, pada kealpaan yang disadari di sini

terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena

perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian ternyata

tidak benar, kemungkinan itu diinsyafi tetapi tidak berlaku

padanya, dalam hal ini, kekeliruan terletak pada salah pikir

atau pandang, yang seharusnya disingkiri.58

b) Kealpaan yang tidak disadari

Dalam hal ini si pembuat melakukan sesuatu yang

tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat,

padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.59

Menurut Moeljatno, pada kealpaan yang tidak disadari di

56 Soedarto, Op. Cit, hlm. 13157 Ibid, hlm. 13158 Moeljatno, Op Cit, hlm. 21859 Sudarto, Op Cit, hlm. 131

Page 81: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

80

sini terdakwa sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa

akibat yang dilarang mjungkin timbul karena perbuatannya,

dalam hal ini, kekeliruan terletak pada tidak mempunyai

pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul, hal

mana adalah sikap yang berbahaya.60

Menurut Van Hattum sebagaimana disadur oleh

Sudarto, menyatakan bahwa tidak ada arti praktis, perbedaan

itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya

lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari.61 Kerapkali

justru karena tanpa berpikir akan kemungkinan timbulnya

akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. Kealpaan yang

disadari adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian

kesadaran kemungkinan (yang ada pada pembuat), yang tidak

merupakan dolus eventualis.

Menurut Sudarto, perbedaan tersebut tidak banyak

artinya. Kealpaan merupakan pengertian yang normatif dan

bukan merupakan pengertian yang menyatakan keadaan

(bukan fetelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus

dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu,

bagaimana seharusnya si pembuat itu berbuat.62

4) Pertanggungjawaban pidana terhadap akibat yang timbul

tidak dengan sengaja

60 Moeljatno, Loc Cit61 Sudarto, Op Cit, hlm. 28762 Ibid, hlm. 131

Page 82: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

81

Menurut Barda Nawawi Arief, 63 bahwa akibat-akibat

yang timbul tidak dengan sengaja biasanya dirumuskan dalam

delik-delik yang dikualifikasikan atau diperberat oleh

akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte atau crime aggravated

by the result). Delik-delik ini dalam KUHP Indonesia misalnya

dirumuskan dalam pasal-pasal 187 ke-2 dan ke-3, pasal 333

ayat (3) dan pasal 354 ayat (2).

Secara doktriner, pertanggungjawaban terhadap akibat-

akibat (yang timbul) tidak dengan sengaja itu didasarkan pada

ajaran erfolgshaftung. Menurut ajaran ini, seseorang dapat

dipertanggungjawabkan terhadap akibat yang timbul tanpa

diperlukan adanya hubungan sikap batin jahat (dolus/culpa) si

pembuat terhadap akibat itu, asal secara obyektif akibat itu

benar-benar telah terjadi sebagai akibat dari perbuatannya.

Ajaran ini dapat disebut erfolgshaftung yang murni. Menurut

Paul Kichyun Ryu (Guru Besar Hukum Pidana Universitas

Nasional Seoul Korea), ajaran erfolgshaftung murni diilhami

dari doktrin Versari in re illicita dalam hukum kanonik (sama

dengan ajaran dolus indirectus, pen) yang merupakan

perkecualian dari asas mens rea (asas qulpabilitas).

KUHP yang berlaku saat ini tidak mengatur dan

menegaskan dianutnya ajaran erfolgshaftung (yang murni) itu.

63 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2010, hlm. 123-124

Page 83: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

82

Di beberapa KUHP negara lain ada pasal khusus yang

mengatur masalah ini, namun dengan beberapa penghalusan

atau modifikasi tertentu yang diorientasikan atau di-

konsistensi-kan dengan asas qulpabilitas. Jadi tidak menganut

ajaran erfolgshaftung yang murni.

Salah satu contoh dianutnya ajaran erfolgshaftung yang

tidak murni (atau mengalami modifikasi) ini terlihat misalnya

dalam perumusan KUHP Greenland (Pasal 7 ayat (2)):

Setelah pada ayat (1)-nya dirumuskan bahwa “KUHP

ini hanya dikenakan terhadap perbuatan-perbuatan yang

dilakukan dengan kealpaan apabila ditetapkan secara khusus”

(jadi prinsipnya hanya dikenakan pada kesengajaan), kemudian

pada ayat (2)-nya ditegaskan:

“An offender shall be held liable for the unintended

consequences of his offense only on proof his

negligence”

(Jadi pertanggungjawaban terhadap akibat yang tidak

dikehendaki atau tidak disengaja itu hanya dapat

dilakukan apabila dapat dibuktikan adanya kealpaan).

5. Kesalahan Dalam Hukum Pidana

Dalam hukum pidana, kedudukan sifat melawan hukum sangat

khas. Umumnya telah terjadi kesepahaman di kalangan para ahli

dalam melihat sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan

Page 84: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

83

tindak pidana. Bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap tindak

pidana. Roeslan Saleh mengatakan, “memidana sesuatu yang tidak

bersifat melawan hukum tidak ada artinya”.64

Sementara itu, Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa

“salah satu unsur esensial delik ialah sifat melawan hukum

(wederrechtelijkheid) dinyatakan dengan tegas atau tidak di

dalam suatu pasal undang-undang pidana, karena alangkah

janggalnya kalau seseorang dipidana yang melakukan

perbuatan yang tidak melawan hukum”.65

Dengan demikian, untuk dapat dikatakan seseorang melakukan

tindak pidana, perbuatannya tersebut harus bersifat melawan hukum.

Memang dalam KUHP yang berlaku sekarang, perkataan “melawan

hukum” kadang-kadang disebutkan dalam rumusan tindak pidana,

kadang-kadang tidak.

Hal ini juga berpengaruh dalam lapangan hukum acara

(pembuktian) yang menimbulkan perbedaan pandangan mengenai

beban pembuktian. Sementara penulis berpendapat pembuktian sifat

melawan hukum diperlukan jika hal itu menjadi bagian inti rumusan

tindak pidana, sehingga sebaliknya tidak perlu dibuktikan jika menjadi

unsur diam-diam. Pendapat yang lain, jika berpandangan suatu tindak

pidana mutlak harus bersifat melawan hukum, maka apakah

disebutkan atau tidak hal itu harus dibuktikan.

64 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru,Jakarta, 1987, hlm. 1

65 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 42

Page 85: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

84

Dalam Rancangan KUHP, melawan hukum dipandang selalu

ada kecuali ada alasan pembenar. Ketentuan ini cenderung dapat

ditafsirkan bahwa melawan hukum tidak perlu dibuktikan, kecuali

terdakwa atau penasihat hukumnya dapat membuktikan bahwa ada

alasan pembenar dari perbuatannya. Memang hanya apa yang

ditentukan dalam rumusan tindak pidana yang seharusnya dibuktikan.

Rancangan KUHP juga menentukan masalah sifat melawan

hukum tindak pidana. Pasal 11 ayat (2) Rancangan KUHP Tahun

2013, menentukan bahwa, “untuk dinyatakan sebagai tindak pidana,

selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan

perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau

bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Sedangkan menurut Pasal 11 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2013

dinyatakan bahwa “setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat

melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar”.

Perkembangan dalam Rancangan KUHP Tahun 2013, sifat

melawan hukum dirumuskan secara eksplisit, sedangkan dalam KUHP

tidak dirumuskan secara eksplisit. Mengenai sifat melawan hukum ini,

dalam KUHP hanya berorientasi kepada kepastian hukum tertulis,

sedangkan dalam RUU KUHP Tahun 2013 berorientasi pada keadilan.

Rumusan ini apabila dikaji dari teori pemisahan antara tindak

pidana dan pertanggungjawaban pidana, memuat hal yang perlu

mendapat perhatian. Dalam hukum pidana terdapat dua pandangan

Page 86: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

85

mengenai sifat melawan hukum yaitu pandangan monistis dan

pandangan dualistis.

Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat

keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan

sifat dan perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip

pemahaman bahwa di dalam pengertian perbuatan atau tindak pidana

sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act)

dan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal

responsibility). Pada dasarnya pandangan ini tidak memisahkan antara

unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai

orangnya. 66

Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat kesalahan

syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan

dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan dualistis dalam

tindak pidana hanya mencakup perbuatannya saja. Sedangkan

pertanggungjawaban pidana tidak menjadi unsur tindak pidana.

Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya

apabila telah terjadi perbuatan pidana, tetapi dipersyaratkan juga

adanya kesalahan atau pertanggungjawaban pidana.

Suatu perbuatan baru dapat dikatakan tindak pidana, jika

perbuatan itu juga bersifat melawan hukum. Bukan berarti tindak

66Septina Ayu Handayani, Pandangan Monistis dan Dualistis Hukum Pidana, dalamaurockefeller.blogspot.com, diakses pada 10 Desember 2013

Page 87: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

86

pidana yang tidak memuat perkataan ‘melawan hukum’, tidak dapat

bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya akan tersimpul

dari unsur tindak pidana yang lain. Dengan demikian, ‘melawan

hukum’ dibuktikan sepanjang menjadi rumusan tindak pidana. Hal

tersebut juga berdampak pada bunyi putusan. Dalam praktik umumnya

jika tidak terbuktinya ‘melawan hukum’ yang disebutkan dalam

rumusan tindak pidana, menyebabkan putusan bebas (vrijspraak).

Berbeda halnya jika ‘melawan hukum’ tidak dirumuskan. Tidak

terbuktinya hal ini menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan

hukum (ontslaag van alle rechtvevolging).

Beberapa putusan pengadilan yang diteliti dalam disertasi

Komariah Emong Sapardjaja,67 memutuskan “lepas dari segala

tuntutan hukum” terhadap terdakwa yang tidak terbukti sifat

melawan hukum tindak pidana yang didakwakan terhadapnya.

Dengan demikian, melawan hukum dipandang sebagai unsur

tindak pidana, sekalipun tidak dirumuskan.

Praktik peradilan sebagaimana dikemukakan di atas tidak lagi

dapat dipertahankan, terutama dilihat dari teori pemisahan tindak

pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tidak terbukti melakukan

tindak pidana menyebabkan terdakwa diputus bebas. Baik ketika salah

satu unsur tindak pidana yang didakwakan tersebut tidak terbukti

67 Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum PidanaIndonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi,Alumni, Bandung, 2002, hlm. 136

Page 88: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

87

(termasuk perkataan melawan hukum yang disebutkan secara tegas),

maupun ketika tindak pidana yang didakwakan tersebut terbukti tetapi

dipandang tidak bersifat melawan hukum (melawan hukum menjadi

unsur diam-diam).

Dengan demikian, tidaklah perlu dibedakan tidak terbuktinya

tindak pidana karena bagian inti “melawan hukum” tidak terbukti dan

tindak pidana yang dipandang tidak bersifat melawan hukum. Tidak

perlu dibedakan apakah melawan hukum sebagai elementen dan

bestandeel. Suatu perbuatan sekalipun mencocoki rumusan tindak

pidana tetapi tidak bersifat melawan hukum tidak dapat dikatakan

sebagai tindak pidana, sehingga lebih tepat jika terdakwanya

kemudian dibebaskan. Dengan kata lain, termasuk diputus bebas, jika

sifat melawan hukum suatu tindak pidana (yang menjadi unsur diam-

diam) tidak terbukti.68

Pendapat ini juga dapat dikaitkan dengan ketentuan tentang

Surat Dakwaan. Tidak terbukti melakukan tindak pidana berarti tidak

terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Mengingat syarat

materiil Surat Dakwaan menurut Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP,

adalah “uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak

pidana yang didakwakan”. Dengan demikian, pasti yang didakwakan

adalah tindak pidana dan bukan sekedar perbuatan. Dapat dikatakan

tindak pidana itu tidak terbukti, jika suatu tindak pidana yang

dilakukan terdakwa dipandang tidak bersifat melawan hukum.

68 Chairul Huda, Op. Cit., hlm. 52

Page 89: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

88

Konsepsi ini menyebabkan konstruksi Pasal 191 ayat (1)

KUHAP harus diperbaiki. Cukup ditentukan, “apabila tindak pidana

yang didakwakan tidak terbukti, maka putusannya bebas”. Dapat saja

ditambahkan, “termasuk diputus bebas, apabila suatu perbuatan yang

didakwakan mencocoki isi rumusan tindak pidana, tetapi dipandang

tidak bersifat melawan hukum”. Dengan demikian, rumusan Pasal 191

ayat (1) KUHAP tidak lagi diperuntukkan bagi “kesalahan terdakwa

atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah

dan meyakinkan”.

Tinggal kemudian, ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP

diperuntukkan pada perkara dimana tindak pidananya terbukti, tetapi

pembuatnya tidak bersalah atas tindak pidana tersebut. Dengan

demikian, bunyi putusan jika pembuat tidak diliputi kesalahan ketika

melakukan tindak pidana adalah terdakwa dilepaskan dari segala

tuntutan hukum. Ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang

menentukan, “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang

didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu tidaklah merupakan suatu

tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan

hukum”, juga harus diperbaiki. Perumusan ini agak janggal. Dalam hal

ini, yang terbukti bukanlah ‘tindak pidana’ tetapi ‘perbuatan’. Hal

mana tidak termasuk rumusan Surat Dakwaan sesuai Pasal 143 ayat

(2) KUHAP. Dengan demikian, cukup ditentukan, “apabila terdakwa

tidak dapat dipersalahkan atas tindak pidana yang didakwakan maka

diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

Page 90: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

89

Ada pandangan yang memandang kesalahan sebagai bagian

dari sifat melawan hukum tindak pidana. Ajaran feit materiil dapat

dipandang sebagai ajaran yang menempatkan kesalahan sebagai

bagian melawan hukum. Demikian pula halnya dengan finale

handlungslehre,69 yang memasukkan kesalahan (kesengajaan) sebagai

bagian dari perbuatan (tindak pidana yang melawan hukum). Hal ini

juga berhubungan dalam lapangan acara pidana. Hal ini berarti

pembuktian adanya tindak pidana dipandang dengan sendirinya

sebagai pembuktian adanya kesalahan. Kesalahan dalam

pertanggungjawaban pidana semata-mata berhubungan dengan unsur-

unsur tindak pidana.

Berbeda halnya jika mengikuti aliran dualistis pemisahan

tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Untuk dapat dikatakan

seseorang mempunyai kesalahan, maka sebelumnya yang

bersangkutan telah terbukti melakukan tindak pidana yang bersifat

melawan hukum. Pertanggungjawaban pidana tergantung pada apakah

pembuat telah melakukan tindak pidana. Lebih jauh lagi,

pertanggungjawaban pidana itu baru dapat dipikirkan setelah terdakwa

terbukti melakukan tindak pidana yang bersifat melawan hukum.

Dengan demikian, baru dapat dipikirkan tentang adanya kesalahan

terdakwa, jika yang bersangkutan telah terbukti melakukan tindak

pidana yang bersifat melawan hukum. Sebaliknya, tidak perlu

69 Roeslan Saleh, Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan dalamHukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1985, hlm. 13

Page 91: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

90

dipikirkan, apakah ada kesalahan pada diri pembuat, jika tidak dapat

dibuktikan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana

yang bersifat melawan hukum.

Seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, justru

karena ia telah melakukan tindak pidana. Pertanggungjawabannya itu

ditujukan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan. Berhubung

setiap tindak pidana harus bersifat melawan hukum, maka

pertanggungjawaban tadi juga diarahkan kepada sifat melawan hukum

dari perbuatan tersebut. Dengan kata lain, kesalahan pembuat yang

dipertanggungjawabkannya itu, juga ditujukan kepada timbulnya

tindak pidana yang bersifat melawan hukum.

Hal demikian itu sangat tampak pada kesalahan yang

berbentuk kesengajaan. Van Hamel yang merupakan pengikut aliran

monistis mengatakan bahwa pada delik-delik kesengajaan,

kesengajaannya selalu harus diarahkan pada kelakuan dan akibat

konstitutifnya.70 Dengan demikian, kesengajaan ditujukan justru

terhadap terciptanya keadaan yang melawan hukum itu. Dolus

menguasai atau menentukan unsur melawan hukum.71 Sengaja

memengaruhi semua unsur lain yang mengikutinya, termasuk unsur

melawan hukum. Artinya, tindak pidana yang bersifat melawan

70 Roeslan Saleh, Masih Saja Tentang Kesalahan, Karya Dunia Fikir, Jakarta, 1994,hlm. 61

71 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dariKUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, terj. Tristam P. Moeliono,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 164

Page 92: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

91

hukum hanya mempunyai arti dalam hukum pidana jika berlangsung

karena diketahui dan dikehendaki pembuatnya.

Bagaimana suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan

hukum, umumnya juga telah terjadi kesatuan pendapat. Baik dalam

teori maupun dalam praktik hukum melawan hukum materiil telah

diterima. Suatu tindak pidana dikatakan bersifat melawan hukum

bukan saja karena secara formal telah taatbestand dengan isi rumusan

tindak pidana dalam undang-undang, tetapi juga perbuatan tersebut

dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut. Dengan

kata lain, bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat, menurut

versi Rancangan KUHP. Diterimanya ajaran sifat melawan hukum

materiil tidak berarti suatu tindak pidana melawan hukum semata-

mata karena bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.

Melainkan juga sebelumnya bertentangan dengan undang-undang.

Hal yang terakhir ini, berhubungan dengan bagaimana fungsi

dari sifat melawan hukum materiil itu. Memang telah terjadi

perbedaan pendapat mengenai hal ini. Perbedaan pendapat berkisar

apakah melawan hukum materiil ini hanya dapat digunakan dalam

fungsinya yang negatif, atau justru penggunaan dalam fungsinya yang

positif dapat digunakan secara terbatas. Artinya, apakah melawan

hukum materiil digunakan sebagai alasan penghapus pidana di luar

undang-undang atau justru digunakan untuk mengkriminalisasi suatu

perbuatan yang secara formal sebenarnya bukanlah suatu tindak

pidana.

Page 93: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

92

Dalam common law system situasinya agak heterogen. Ajaran

melawan hukum materiil juga berlaku dalam common law system,

khususnya di Inggris dan Australia. Kedua negara tersebut mengenal

unlawfully72, sebagai suatu alasan penghapus pidana di luar undang-

undang. Namun demikian, sebaliknya di Amerika Serikat ajaran

melawan hukum materiil tidak dikenal.73

Penulis mengikuti pandangan yang menerima ajaran sifat

melawan hukum materiil terbatas pada fungsinya yang negatif.

Menjadikan melawan hukum materiil sebagai unsur mutlak setiap

tindak pidana, berarti menggunakan hal itu sebagai alasan penghapus

pidana di luar undang-undang. Dengan demikian, terdapat dua alasan

penghapus pidana, yaitu yang ditentukan dalam undang-undang dan

yang berada di luarnya.

Pertalian antara sifat melawan hukum dan kesalahan juga

tampak dalam hubungannya dengan alasan penghapusnya. Selama ini

undang-undang merumuskan masalah alasan penghapus sifat melawan

hukum bercampur dengan alasan penghapus kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana umumnya dirumuskan dalam bentuk

negatif. Dalam hal ini undang-undang umumnya merumuskan alasan-

alasan penghapus pidana sebagai alasan-alasan penghapus

pertanggungjawaban pidana. Demikian pula dalam tradisi common

72 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara &Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta, 2002, hlm. 94

73 Komariah Emong Sapardjaja, Op. Cit., hlm. 185

Page 94: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

93

law. Alasan-alasan penghapus pidana dikumpulkan begitu saja dalam

general defence atau general exceptions of liability.

Berkenaan dengan aliran dualistis pemisahan tindak pidana dan

pertanggungjawaban pidana, dihubungkan dengan melawan hukum

materiil dalam fungsinya yang negatif, maka hal itu merupakan alasan

tambahan untuk meniadakan pidana. Dalam hal ini merupakan alasan-

alasan yang menyebabkan suatu perbuatan sekalipun telah memenuhi

isi rumusan undang-undang mengenai suatu tindak pidana, tetapi

kemudian karena alasan-alasan tersebut, perbuatan itu menjadi

dibenarkan. Dalam hal ini sifat tidak hukum (unlawfull) yang ada pada

perbuatan tersebut menjadi hilang karena adanya alasan-alasan tadi.

Dalam ilmu hukum hal ini disebut dengan alasan pembenar

(justification of crime), yang dibedakan dengan alasan pemaaf, yaitu

alasan-alasan penghapus kesalahan (excusing of liability).

Pasal 11 ayat (3) Rancangan KUHP Tahun 2013 menentukan

bahwa “setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan

hukum, kecuali ada alasan pembenar”. Berdasarkan ketentuan Pasal

11 ayat (2) Rancangan KUHP Tahun 2013, telah merumuskan

keadaan-keadaan bagaimana yang termasuk alasan pembenar dan

alasan pemaaf juga perkembangan diakuinya sifat melawan hukum

material. Apabila konsisten dengan teori pemisahan tindak pidana dan

pertanggungjawaban pidana, maka alasan pembenar semestinya

dirumuskan di bawa paragraf tindak pidana dan alasan pemaaf

menjadi Bagian Paragraf Pertanggungjawaban Pidana. Sekalipun tidak

Page 95: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

94

dapat disangkal keduanya merupakan alasan-alasan penghapus pidana,

tetapi cara kerjanya berlainan. Alasan pembenar menghapuskan

pidana dengan membenarkan perbuatan yang pada pokoknya tindak

pidana. Dengan adanya alasan pembenar, maka perbuatan yang pada

pokoknya merupakan tindak pidana, menjadi dibenarkan. Alasan

pemaaf menghapuskan pidana dengan memaafkan pembuat dari

kesalahannya. Pembuat dipandang tidak bersalah, karena sesuatu dari

luar yang menyebabkannya tidak dapat dicela.

Dalam hal alasan adanya alasan pembenar, sifat melawan

hukum perbuatan hilang, baik karena alasan yang ditentukan dalam

undang-undang (alasan penghapus melawan hukum formal), maupun

yang berada di luar ketentuan undang-undang (alasan melawan hukum

materiil). Dikatakan ada alasan pembenar jika ada dua kewajiban

hukum yang saling bertentangan, sedang salah satunya telah dipenuhi,

atau jika kewajiban hukum tidak dapat dipenuhi karena terpaksa oleh

keadaan atau apabila perbuatan tersebut dilakukan untuk memenuhi

norma-norma hukum yang lebih penting daripada yang ada dalam

ketentuan pidana.74

Ketentuan Pasal 50 dan 51 ayat (1) KUHP merupakan alasan

pembenar yang timbul karena berbenturannya dua kewajiban hukum,

di mana salah satunya telah dipenuhi. “Sementara yang berada di luar

undang-undang misalnya adalah beroeprecht, seperti hak jabatan

dokter untuk melakukan pembedahan yang taatbestand dengan pasal-

74 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana..., Op. Cit., hlm. 73

Page 96: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

95

pasal penganiayaan”.75 Sedangkan, ketentuan Pasal 49 ayat (1)

merupakan alasan pembenar yang timbul karena tidak dapat

dipenuhinya norma hukum pidana karena terpaksa oleh keadaan.

Namun demikian, dalam hubungannya dengan kesalahan, perlu

diingat kesengajaan tidak juga harus diarahkan kepada ketiadaan

alasan-alasan pembenar.76 Dalam hal ini melawan hukum ditujukan

kepada perkecualian terhadap perbuatan yang secara formal

diperbolehkan. Dengan demikian, kesengajaan tidak diarahkan kepada

perkecualian-perkecualian tersebut.

Uraian di atas menunjukkan bahwa antara sifat melawan

hukum dan kesalahan selalu terdapat hubungan. Kelakuan yang

bersifat culpa merupakan bentuk dasar tiap-tiap sifat melawan hukum

setidaknya jika perbuatan tersebut terjadi karena kealpaan

pembuatnya. Dengan kata lain, untuk dapat disebut bersifat melawan

hukum cukup jika ada kealpaan. Sementara itu, kesengajaan adalah

suatu surplus. “Kesengajaan merupakan sifat pembuat yang memberi

tambahan dasar susila dari sifat melawan hukumnya perbuatan. Dalam

hal ini kesengajaan telah memberi suatu tambahan atas isi

kesalahan”.77 Minimal sebenarnya telah melawan hukum jika suatu

perbuatan dilarang karena dapat ditimbulkan oleh kealpaan

pembuatnya. Apalagi apabila perbuatan tersebut dapat terjadi karena

75 Indriyanto Seno Adji, Op. Cit., hlm. 16476 Roeslan Saleh, Masih Saja..., Op. Cit., hlm. 6777 Ibid., hlm. 103

Page 97: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

96

kesengajaan pembuatnya, maka sudah pada tempatnya jika dikatakan

bersifat melawan hukum.

Kesalahan sebagai ukuran pengenaan pidana, pada hakikatnya

menempatkan kesalahan sebagai batas-batas pengenaan pidana. Dalam

hal ini, kesalahan pembuat merupakan batas yang dengan hal itu dapat

ditakar pemidanaan yang tepat baginya. Kesalahan dengan demikian

ditempatkan sebagai takaran (ukuran) yang paling menentukan dalam

memutuskan bentuk dan lamanya pidana yang tepat bagi seorang

pembuat tindak pidana.

Sekalipun tidak diragukan lagi kesalahan yang menentukan

ukuran pemidanaan, tetapi pemidanaan hanya dapat dilakukan sebatas

yang ditentukan undang-undang. Pemidanaan bukan saja hanya dapat

dijatuhkan berdasarkan hukum, tetapi juga penjatuhannya sebatas apa

yang ditentukan hukum. Dengan demikian, batas pemidanaan yang

pertama ditentukan oleh model perumusan ancaman pidana dalam

peraturan perundang-undangan. Dalam tradisi common law system,

batas yang demikian ini pertama-tama ditentukan oleh precedent,

berdasarkan doktrin stare decises. Baru kemudian berdasarkan

peraturan perundang-undangan (statute law).

Konsepsi di atas berhubungan dengan asas legalitas, tetapi

perlu diingat bukan semata-mata seperti yang dirumuskan dalam Pasal

1 ayat (1) KUHP. Asas legalitas bukan hanya berarti “nullum crima

sine lege”, tetapi juga “nulla poena sine lege”. Artinya, bukan hanya

mengenai pelarangan atas suatu perbuatan tetapi bentuk dan jumlah

Page 98: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

97

pengenaan pidana yang diancamkan terhadap pembuatnya pun harus

ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu, bentuk dan lamanya

pidana yang dapat dikenakan, terbatas hanya yang telah ditentukan

dalam undang-undang.

Asas legalitas ternyata memiliki aspek yang lebih luas daripada

sekadar yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam pasal

tersebut hanya ditentukan keharusan perumusan dengan undang-

undang suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dan

hal-hal yang menentukan keberlakuan undang-undang tersebut dari

segi waktu. Sementara itu, mengenai bentuk dan jumlah pidana yang

dapat dijatuhkan juga terbatas dengan apa yang ditentukan undang-

undang. Sayangnya hal ini tidak secara eksplisit dirumuskan dalam

Pasal 1 ayat (1) KUHP. Berbeda halnya dengan Statuta Roma tentang

International Criminal Court (ICC). Dalam statuta tersebut asas

legalitas dirumuskan baik dalam arti nullum crimen sine lege (Pasal

22) maupun nulla poena sine lege (Pasal 23).

Konsekuensi hal ini adalah penentuan bentuk dan lamanya

pidana di luar dari yang telah ditetapkan undang-undang, melanggar

asas legalitas. Dalam hal ini fungsi kesalahan dalam menentukan

dipidananya pembuat dibatas oleh asas legalitas. Dengan demikian,

bekerjanya asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan

karenanya dibatasi oleh bekerjanya asas legalitas. Hal ini juga sebagai

bagian dari konsekuensi dianutnya teori pemisahan tindak pidana dan

pertanggungjawaban pidana.

Page 99: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

98

Kesalahan yang ditempatkan dalam konteks ketentuan undang-

undang mengenai bentuk dan jumlah pidana, hanya mempunyai arti

jika sistem perumusannya membuka kemungkinan bersifat

“discretionary”. Dapat dicelanya pembuat merupakan pengertian

penilaian berdasar aturan perundang-undangan. Dalam melakukan

penilaian tersebut, hakim pertama-tama dibatasi oleh undang-undang.

Konsekuensi atas dapat dicelanya pembuat juga ditentukan berdasar

undang-undang. Pidana dan pemidanaan merupakan wujud celaan

yang ditentukan undang-undang bagi pembuat tindak pidana.

Sekalipun peraturan perundang-undangan pidana telah

menentukan batas luar pengenaan pidana, tetapi penerapannya masih

menjadikan kesalahan sebagai balas dendam. Sedikitnya terdapat tiga

hal yang berkaitan dengan batas pidana yang ditentukan undang-

undang, yang implementasinya sangat bergantung pada kesalahan

pembuat. Pertama, ketentuan undang-undang yang mengancam

pembuat suatu tindak pidana dengan beberapa bentuk pidana. Dalam

hal ini bentuk pidana yang lebih berat diancamkan secara alternatif

dan/atau kumulatif dengan bentuk pidana yang lebih ringan. Kedua,

undang-undang juga menentukan batas minimum dan/atau batas

maksimum dari pidana-pidana tersebut. Hakim bebas menentukan

putusan pemidanaan dari minimum umum atau khusus (jika

ditentukan secara tersendiri), sampai dengan maksimum khusus dan

umum (jika terjadi pemberatan tindak pidana). Penerapan hal tersebut

terutama bergantung pada kesalahan pembuat.

Page 100: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

99

Selain itu, dianutnya double track system pemidanaan, yang

memungkinkan selain pidana terhadap pembuat dapat pula padanya

hanya dijatuhkan tindakan (maatregel), juga mempunyai pengaruh.

Hal ini menyebabkan undang-undang juga memberi batas pengenaan

pidana yang ketiga, yaitu pidana dialternatifkan dengan tindakan.

Dalam hal ini sebenarnya lebib tepat batas pengenaan tindakan

daripada batas pengedaan pidana. 78

Selanjutnya, inti persoalan dalam melihat hubungan kesalahan

dan pengenaan pidana atau pemidanaan, adalah bahwa hal itu mesti

dilakukan secara proporsional. Bahkan banyak penulis yang

memandang hal ini sebagai asas hukum tersendiri, yaitu sebagai

pasangan asas legalitas (tindak pidana) dan asas tiada

pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan (pertanggungjawaban

pidana). Begitu pentingnya proporsionalitas ini, sehingga dipandang

sebagai asas hukum yang menentukan pengenaan pidana dan

pemidanaan.

Dengan demikian, baik menurut teori pembalasan maupun

teori pencegahan, prinsip proporsionalitas sangat penting sebagai

dasar dan asas pembatas pengenaan pidana. Pengenaan pidana dibatasi

hanya dapat dilakukan terhadap pembuat yang melakukan tindak

pidana dengan kesalahan. Adanya kesalahan pada pembuat menjadi

batas umum pengenaan pidana. Kesalahan pembuat yang menentukan

78 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Disertasi, UniversitasDiponegoro, Semarang, 2003

Page 101: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

100

apakah suatu tidak pidana dapat dipertanggungjawabkan terhadap

pembuatnya, atau justru hanya dipandang sebagai kecelakaan belaka.

Artinya, kesalahanlah yang membedakan antara orang yang patut

dipidana dengan yang tidak patut dipidana. Asas tiada

pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan dalam hal ini berarti

dapat dipidananya pembuat yang terbatas 79pada pembuat yang

melakukan tindak pidana dengan kesalahan.

Disparitas pidana sedikit banyak dapat menghambat

pencapaian tujuan pemidanaan. Menurut Harkristuti Harkrisnowo,

“disparitas pidana ini sebenarnya sah-sah saja, karena hukum sendiri

telah memberikan kewenangan mengambil keputusan yang luar biasa

kepada hakim”.80 Namun demikian, dalam rangka memerhatikan

kepentingan korban sebaiknya hakim dengan sungguh-sungguh

menjadikan kesalahan sebagai batas pengenaan pidana, sehingga

disparitas pidana dapat dihindari.

Batas pengenaan pidana lainnya berkenaan dengan

pemanifestasian cara dan lamanya pengenaan pemidanaan.

Utilitarisnism mendorong agar dalam memanifestasikan pemidanaan,

diorientasikan pada pencegahan dilakukannya tindak pidana, baik oleh

pembuat (pengulangan) ataupun masyarakat. Asas tiada

pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan dalam hal ini berarti

79 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Disertasi, UniversitasDiponegoro, Semarang, 2003

80 Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu GugatanTerhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar,Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 9

Page 102: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

101

pidana dikenakan sebatas kesalahan pembuat. Kesalahan merupakan

batas khusus dalam menentukan bentuk dan lamanya pidana. Hal ini

mengingat penerapan batas ini hanya dapat dilihat secara khusus,

kasus per kasus.

Penentuan bentuk pidana juga merupakan pilihan atas berat

ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Sebagaimana diketahui

bentuk-bentuk pidana disusun secara hierarkis. Berdasarkan Pasal 10

dan Pasal 69 KUHP, pidana disusun menurut urutan berat ringannya.

Pidana yang berbentuk perampasan terhadap nyawa lebih berat apabila

dibandingkan dengan pidana yang berbentuk perampasan

kemerdekaan. Pidana perampasan kemerdekaan lebih berat daripada

pidana denda. Begitu seterusnya. Belum lagi pada pidana perampasan

terhadap kemerdekaan masih dibedakan ke dalam jenis-jenis yang

juga menunjukkan hierarkis. Penjara lebih berat dari kurungan

misalnya. Selain itu, pidana lebih berat daripada tindakan.

Pilihan atas kemungkinan-kemungkinan tersebut ditentukan

oleh bagaimana hakim memandang kesalahan pembuat. Oleh karena

itu, jika suatu tindak pidana diancam dengan model perumusan pidana

yang alternatif-kumulatif, maka batas atasnya adalah kumulasi atas

pidana-pidana tersebut, sedangkan dan batas bawahnya adalah jika

hanya satu bentuk pidana yang dijatuhkan. Artinya, hakim memilih

menggunakan ketentuan undang-undang yang memungkinkan

menggunakan sistem alternatif. Selain itu, dalam hal suatu tindak

pidana diancam dengan pidana secara alternatif, maka bentuk pidana

Page 103: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

102

yang paling berat adalah batas atasnya, sedangkan batas bawahnya

adalah bentuk pidana yang paling ringan.

A. BEBERAPA TEORI TENTANG PERDAMAIAN DALAM HUKUMPIDANA

1.Grand Teori : Teori Keadilan

Menurut Teori Keadilan, bahwa keadilan sesungguhnya

merupakan konsep yang relatif.81 Pada sisi lain, keadilan merupakan

hasil interaksi antara harapan dan kenyataan yang ada, yang

perumusannya dapat menjadi pedoman dalam kehidupan individu

maupun kelompok. Dari aspek etimologis kebahasaan, kata “adil”

berasal dari bahasa Arab “adala” yang mengandung makna tengah

atau pertengahan. Dari makna ini, kata “adala” kemudian

disinonimkan dengan wasth yang menurunkan kata wasith, yang

berarti penengah atau orang yang berdiri di tengah yang

mengisyaratkan sikap yang adil.82

Dari pengertian ini pula, kata adil disinonimkam dengan inshaf

yang berarti sadar, karena orang yang adil adalah orang yang sanggup

berdiri di tengah tanpa a priori memihak. Orang yang demikian adalah

orang yang selalu menyadari persoalan yang dihadapi itu dalam

konteksnya yang menyeluruh, sehingga sikap atau keputusan yang

81 Majjid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, Baltimore and London : TheJohns Hopkins University Press, 1984, hlm. 1, sebagaimana dikutip Mahmutarom,Rekonstruksi Konsep Keadilan, UNDIP Semarang, 2009, hlm. 31

82 Ibid.

Page 104: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

103

diambil berkenaan dengan persoalan itu pun menjadi tepat dan

benar.83

Dengan demikian, sebenarnya adil atau keadilan itu sulit untuk

dilukiskan dengan kata-kata, akan tetapi lebih dekat untuk dirasakan.

Orang lebih mudah merasakan adanya keadilan atau ketidakadilan

ketimbang mengatakan apa dan bagaimana keadilan itu. Memang

terasa sangat abstrak dan relatif, apalagi tujuan adil atau keadilan

itupun beraneka ragam, tergantung mau dibawa kemana.

Keadilan akan terasa manakala sistem yang relevan dalam

struktur-struktur dasar masyarakat tertata dengan baik, lembaga-

lembaga politis, ekonomi dan sosial memuaskan dalam kaitannya

dengan konsep kestabilan dan keseimbangan. Rasa keadilan

masyarakat dapat pula kita temukan dalam pelaksanaan penegakan

hukum melalui putusan hakim.

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau

perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak

memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian

filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak

merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia

apa yang menjadi haknya. Jika kedua ini dapat dipenuhi barulah itu

dikatakan adil. Dalam keadilan harus ada kepastian yang sebanding, di

83 Nurcholis Madjid, Islam Kemanusiaan dan Kemoderenan, Doktrin danPeradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Cetakan kedua, YayasanWakaf Paramadina, Jakarta, 1992, hlm. 512-513, sebagaimana dikutip Mahmutarom,Rekonstruksi Konsep Keadilan, UNDIP, Semarang, 2009, hlm. 31

Page 105: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

104

mana apabila digabung dari hasil gabungan tersebut akan menjadi

keadilan.84

Pada prakteknya, pemaknaan keadilan modern dalam

penanganan permasalahan-permasalahan hukum ternyata masih

menimbulkan perbedaan pendapat. Banyak pihak merasakan dan

menilai bahwa lembaga pengadilan telah bersikap kurang adil karena

terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam

memberikan putusan terhadap suatu perkara. Agaknya faktor tersebut

tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku

dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.

Idealnya hakim harus mampu menjadi living interpretator yang

mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak

terbelenggu oleh kekakuan normatif – prosedural yang ada dalam

suatu peraturan perundang-undangan bukan lagi sekedar sebagai la

bouche de la loi (corong undang-undang).

Lebih lanjut dalam memaknai dan mewujudkan keadilan, Teori

Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny yang tetap

mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum

Alam mengutamakan “the search for justice”.85 Terdapat macam-

macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori

ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan

dan kemakmuran.

84 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cet VIII, Kanisius,Yogyakarta, 1995, hlm. 196

85 Ibid.

Page 106: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

105

a. Teori Keadilan dalam Filsafat Hukum Islam

1) Keadilan dalam perspektif Hukum Islam

Masalah keadilan menurut hukum Islam, tidak terlepas

dari filsafat hukum Islam dan teori mengenai tujuan hukum

Islam, yang pada prinsipnya adalah bagaimana mewujudkan

“kemanfaatan” kepada seluruh umat manusia, yang

mencakupi “kemanfaatan” dalam kehidupan di dunia maupun

di akherat.

Tujuan mewujudkan “kemanfaatan” ini, sesuai dengan

prinsip umum Al-Qur’an:

a) al-Asl fi al-manafi al-hall wa fi al-mudar al man’u (segala

yang bermanfaat dibolehkan, dan segala yang mudarat

dilarang);

b) la darara wa la dirar (jangan menimbulkan kemudaratan

dan jangan menjadi korban kemudaratan);

c) ad-Darar yuzal (bahaya harus dihilangkan).86

Lebih lanjut dalam gagasan Islam tentang keadilan

dimulai dari diskursus tentang keadilan illahiyah, apakah rasio

manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan

keadilan di muka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau

sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk

melalui wahyu (Allah).

86 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Cet IV, Prenada MediaGoup, Jakarta, 2012, hlm. 216 - 217.

Page 107: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

106

Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di

kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan

tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan

mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan

keadilan illahiyah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan

dua mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu: mu`tazilah

dan asy`ariyah.

Tesis dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai

yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil.

Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori

rasional yang dapat diketahui melalui nalar – yaitu, tak

bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia

sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk

secara obyektif.87

Sedangkan menurut asy’ariyah, Tuhan mempunyai

tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka

perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan

dalam arti sebab mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu.

Betul mereka mengakui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan

menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia dan

bahwa Tuhan mengakui kebaikan dan keuntungan itu, tetapi

pengetahuan maupun kebaikan serta keuntungan itu tidaklah

87 http://diqa-butar-butar.blogspot.com/2011/09/teori-teori-keadilan.html, diaksespada 14 Nopember 2013

Page 108: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

107

menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat

semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan

bukan karena kepentingan manusia atau karena tujuan lain.

Dengan demikian mereka mempunyai tendensi untuk meninjau

wujud dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.88

Dalam menjawab suatu pertanyaan tentang makna

sitilah ‘adl oleh Sa’id Ibnu Jubayr, dimana dia telah berkata:

“Keadilan mengambil empat bentuk:

a) Keadilan dalam membuat keputusan-keputusan yang

sesuai dengan firman Allah: “Jika kalian hendak

menetapkan hukum diantara manusia, agar kalian

menetapkannya dengan adil”(Al-Qur’an Surat An-Nisa’

(4) ayat 58).

b) Keadilan dalam perkataan yang sesuai dengan firman

Allah: “Dan jika kalian berkata, maka hendaklah kalian

88 Arief Rahman, Keadilan Tuhan Menurut Mu’tazilah, Asyariah dan Maturidiah,dalam www.aariefr.blogspot.com, diakses pada 4 Maret 2014

Page 109: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

108

berkata adil, andaikata pun terhadap sanak saudara kalian”

(Al-Qur’an Surat Al-An’am (6) ayat 152).

c) Keadilan dalam mencari keselamatan, berdasarkan firman

Allah: “Takutlah kalian pada suatu hari dimana tidak ada

seseorang pun yang mampu menggantikan orang laini

sedikit pun dan tidak akan diterima suatu tebusan darinya

dan juga tidak akan memberi manfaat suatu syafaat

terhadapnya dan tidak juga mereka akan ditolong” (Al-

Qur’an Surat Al-Baqarah (2) ayat 123).

d) Keadilan dalam pengertian mempersekutukan Allah sesuai

firman Allah: “Namun orang-orang yang kafir itu

Page 110: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

109

mempersekutukan sesuatu dengan “tuhan” mereka” (Al-

Qur’an Surat Al-An’am (6) ayat 1).

2) Perspektif hukum Islam tentang Kisas dan Diat

a) Pengertian Kisas dan Diat

Menurut Sri Endah Wahyuningsih89, bahwa tindak

pidana kisas dan diat adalah tindak pidana yang

diancamkan hukuman kisas atau diat. Keduanya

merupakan hak individu yang kadar jumlahnya telah

ditentukan, yakni tidak memilki batasan minimum ataupun

maksimal. Maksud hak individu di sini adalah sang korban

boleh membatalkan hukuman tersebut dengan memafkan si

pelaku jika ia menghendakinya.

Untuk tindak pidana yang diancam dengan

hukuman kisas adalah:

(1) Pembunuhan dengan sengaja;

(2) Penghilangan/pemotongan anggota badan dan

perlukaan (penganiayaan) disengaja.90

89 Wahyuningsih, op cit. hlm. 65-7490 Kisas ialah mengambil pembalasan yang sama. Kisas itu tidak dilakukan, bila

yang membunuh mendapat kema’afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayardiat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya tidak

Page 111: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

110

Adapun tindak pidana yang diancam dengan

hukuman diat adalah:

(1) Semua tindak pidana kisas yang diberi ampunan dari

kisas atau karena ada uzur syar’i yang menghalanginya;

(2) Pembunuhan semi sengaja;

(3) Pembunuhan tersalah (tidak disengaja);

(4) Penghilangan atau pemotongan anggota badan dan

perlukaan (penganiayaan) tidak sengaja91

b) Landasan hukum kisas dan diat

Landasan hukum mengenai larangan untuk:

(1) tindak pidana pembunuhan dan perlukaan

(penganiayaan) dan sanksinya terdapat sebagaimana

firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :

(a) Surat al-Isra’ (17) ayat 33,

mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik,umpamanya tidak menangguh-nangguhkan. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhanmenjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh sipembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil kisas dan di akherat diamendapat siksa yang pedih. Sebagaimana diambil oleh Sri Endah Wahyuningsih dari Al-Qur’an Digital Penjelasan Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 178, 23 Juni 2009.

91 Ibid.

Page 112: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

111

yang artinya :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang

diharankan Allah (membunuhnya), melainkan

dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa

dibunuh secara lazim, maka sesungguhnya kami

telah memberikan kekuasaan kepada ahli warisnya,

tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas

dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang

yang mendapat pertolongan”.

(b) Surat al-Baqarah (2) ayat 178,

Page 113: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

112

yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas

kamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang

dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,

hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.

Maka barang siapa yang mendapat suatu pema’afan

dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan)

mengikuti dengan cara yang baik, dan hendakah

(yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang

memberi ma’af dengan cara yang baik pula. Yang

demikian itu suatu keringanan dari Tuhan kamu dan

suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas

sesudah itu, maka baginya siksa yang amat pedih”.

(c) Surat al-Maidah (5) ayat 45,

Page 114: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

113

yang artinya:

“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di

dalamnya (At Taubat) bahwasannya jiwa (dibalas)

dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan

hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,

dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa

yang melepaskan (hak kisas) nya, maka

melepaskan itu (menjadi) penebus dosa baginya.

Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut

apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu

adalah orang-orang yang zalim”

Mengenai hal tersebut, Rasulullah bersabda

sebagai berikut:

(a) “Barang siapa menganiaya seorang mukmin dengan

membunuhnya maka di kisas karenanya kecuali jika

wali korban merelakannya (memaafkan untuk tidak

di kisas);

Page 115: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

114

(b) Barang siapa dibunuh maka ahli waris korban

(pembunuhan) memiliki dua pilihan; jika mereka

menghendaki hukumannya (kisas); jika mereka

menghendaki (hukumannya) diat”.

(2) Dalam tindak pidana penghilangan anggota badan dan

perlukaan (penganiayaan) disengaja, sanksinya terdapat

sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

(a) Surat al-Baqarah (2) ayat 179,

yang artinya:

“Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan)

hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,

supaya kamu bertaqwa”

(b) Surat al-Maidah (5) ayat 45,

Page 116: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

115

yang artinya:

“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di

dalamnya (At Taubat) bahwasanya jiwa (dibalas)

dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan

hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,

dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa

yang melepaskan (hak kisas)nya, maka melepaskan

itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa

tidak memutuskan perkara menurut apa yang

diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-

orang yang zalim”

(c) Surat an-Nahl (16) ayat 126, yang artinya :

yang artinya :

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka

balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan

Page 117: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

116

yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu

bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi

orang-orang yang sabar”

(3) Dalam tindak pidana pembunuhan semi sengaja,

Rosulullah SAW bersabda:

“Ingatlah, pada pembunuhan semi sengaja, yaitu

pembunuhan dengan cambuk, tongkat dan batu, ialah

seratus unta”

(4) Dalam tindak pidana pembunuhan tersalah (tidak

disengaja),

(a) Allah berfirman dalam QS. An-Nisa ayat (4) ayat

92,

Page 118: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

117

yang artinya :

“Dan layak bagi seorang mukmin membunuh

seorang mukmin (yang lain), kecuali karena

tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa

membunuh seorang mukmin karena tersalah

(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba

sahaya yang beriman serta membayar diat

diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),

kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)

bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir)

yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan

kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar

diat yang diserahkan kepada keluarganya (si

terbunuh) serta memerdekaan hamba sahaya yang

beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya,

maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua

bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari

pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui

lagi Maha Bijaksana.

(b) Rosulullah juga bersabda yang artinya :

Page 119: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

118

“Dalam diat pembunuhan tidak sengaja (tersalah)

dua puluh unta hiqqah (anak unta yang memasuki

umur empat tahu), dua puluh unta jaza’ah (anak

unta ynag sudah sempurna umurnya empat tahun

dan memasuki tahun kelima), dua puluh unta binti

makhad (anak unta betina yang memasuki umur dua

tahun dan induknya mulai bunting), dua puluh unta

binti labun (anak unta umur dua tahun dan

memasuki umur tiga tahun, dan induknya sudah

mempunyai air susu karena telah melahirkan

kandungannya), dan dua puluh unta banu makhad

(anak unta jantan yang memasuki usia dua tahun

dan induknya mulai bunting).

(5) Hukuman untuk tindak pidana penganiayaan tidak

disengaja, Rosulullah SAW menentukan :

“Jika anggota badan itu hanya satu, seperti hidung,

zakar, lidah diatnya adalah diat sempurna, Jika anggota

badannya sepasang, seperti mata, telinga, diatnya

adalah setengah”

Berkaitan dengan hal tersebut, Rosulullah SAW

bersabda:

“Dalam memotong hidung jika pucuknya habis

terdapat diat”. Pada lidah, zakar, tulang sulbi, kedua

tangan, kedua kaki, kedua buah pelir, kedua telinga

Page 120: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

119

terdapat diat. Pada mata diat lima puluh unta, pada gigi

diat lima unta”

Rosulullah SAW mewajibkan diat pada setiap

menghilangkan manfaat anggota badan, seperti

pendengaran, penglihatan dan akal. Adapun pada

pelukaan (penganiayaan) Rosulullah SAW telah

menetapkan hukuman untuk sebagian perkara dan tidak

menetapkan pada sebagian yang lain. Beliau

menjadikan ganti rugi melukai kepala dan muka

(syajjai) yang sampai menampakkan tulangnya (al-

mudihah) dengan lima ekor unta, arsy (ganti rugi)

pelukaan yang memecahkan (mematahkan) tulang

(hasyimah) dengan sepuluh ekor unta, dan pada luka

yang sampai mengenai selaput antara tulang dan otak

(ammah) atau merobek selaput antara tulang dan otak

sehingga otaknya terlihat (damingah) dengan sepertiga

diat (satu diat adalah seratus ekor unta), dan

menjadikan setiap luka yang sampai masuk perut atau

dada dikenai sepertiga diat.

Menurut kaidah (aturan) umum hukum Islam,

pelukaan atau pemotongan yang belum ditentukan diat/arsy

oleh Rosulullah SAW (ganti rugi yang diwajibkan atas

tindakan sewenang-wenang terhadap anggota tubuh

manusia, tetapi tidak menghilangkan seluruh manfaatnya)

Page 121: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

120

maka hal itu diserahkan pada hakim untuk menentukan

diat/arsy berdasarkan asumsi para pakar dan ulama. Aturan

ini sudah menjadi kesepakatan (ijmak).

Pada dasarnya, hukuman kisas dan diat bertujuan

untuk menjaga kemaslahatan masyarakat dengan

mengabaikan keadaan pelaku tindak pidana. Dengan kata

lain, hukum Islam tidak memperhatikan pribadi dan

kondisi pelaku kecuali jika korban atau ahli warisnya

memberikan ampunan.

Bahwa walaupun terhadap tindak pidana

pembunuhan dan pelukaan/penganiayaan telah menyentuh

eksistensi masyarakat, akan tetapi dalam hal ini terlebih

dahulu menyentuh pada sisi korban. Apabila korban atau

walinya telah mengampuni pelaku, maka tidak ada lagi

sebab yang menyerukan pengabaian diri pelaku dan sebab

untuk menyeru bersikap keras dalam menjaga

kemaslahatan masyarakat umum. Ini karena pengaruh

pidana berat itu telah hilang oleh pemaafan sehingga

pidana itu menjadi tidak berbahaya dan tidak

mempengaruhi eksistensi masyarakat.

Pada realitasnya, si korban atau ahli warisnya tidak

akan mengampuni pelaku kecuali telah benar-benar

memaafkan pelaku atau melihat adanya manfaat material

Page 122: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

121

dari diat. Artinya, alasan pengampunan si korban/walinya

dapat berupa dua hal, yaitu:

(1) Permaafan dan

(2) Manfaat material yang berupa diat untuk korban atau

ahli warisnya.

Kedua alasan ini disyariatkan dan dihalalkan oleh

hukum Islam. Alasannya, permaafan bermakna

menghilangkan pertikaian dan kedengkian, sedangkan

sikap mengutamakan pembayaran diat daripada

menjatuhkan hukuman bermakna sikap toleransi,

memaafkan dan melemahkan rasa permusuhan. Tidak

diragukan lagi bahwa hak korban atau walinya adalah agar

mereka menjadi pihak pertama yang mendapat manfaat

atas tindak pidana yang menimpa mereka setelah mereka

menanggung penderitaan yang tidak ditanggung orang lain.

b. Teori Keadilan Pancasila

Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang

berkeadilan sosial, yang berarti bahwa negara sebagai penjelmaan

manusia sebagai Makhluk Tuhan yang Maha Esa, sifat kodrat

individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu

keadilan dalam hidup bersama (Keadilan Sosial). Keadilan sosial

tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan manusia

sebagai makhluk yang beradab (sila kedua). Manusia pada

hakikatnya adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus

Page 123: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

122

adil terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap

orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungan

alamnya.92

Berkaitan dengan Keadilan Sosial dimaksud, pandangan

keadilan dalam hukum secara harfiahnya mempunyai makna yang

sempit yakni apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang

yang melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi

pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk

memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana

atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut “kejahatan” maka

harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan

keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang

melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut.

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber

pada dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah

negara (fiolosofische grondslag) sampai sekarang tetap

dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara

Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan

pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila).

Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang

berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial.

Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang

menghargai, mengakui, serta menerima Pancasila sebagai suatu

92 http://kartikarahmah2406.wordpress.com/2012/12/02/teori-keadilan-sosial.

Page 124: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

123

bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila

sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan

dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau

pengakuan, penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan dalam

sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia

dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah

laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh karenanya Pancasila

sebagai suatu sumber hukum tertinggi secara irasional dan sebagai

rasionalitasnya adalah sebagai sumber hukum nasional bangsa

Indonesia.

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa

Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana

sila kelimanya sebagai berikut: “Keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah

apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional

yang bersumber pada Pancasila.

Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam

perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil

dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan

perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban.

Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua

dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia,

pada hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan

perhubungan yang serasi antar manusia secara individu dengan

Page 125: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

124

kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang

adil dan beradab.

Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “Keadilan

Sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-

hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan

sebagai:93

1) mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.

2) menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan

pengusaha-pengusaha.

3) merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap

individu, pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang

didapatnya dengan tidak wajar”.

Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat

dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus

menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan individu

yang lainnya.

Hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua

pihak, oleh karenanya keadilan di dalam perspektif hukum

nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan

keadilan-keadilan yang bersifat umum di antara sebagian dari

keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih

93 http://kartikarahmah2406.wordpress.com/2012/12/02/teori-keadilan-sosial, diaksespada 14 Oktober 2013

Page 126: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

125

menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu

masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada di dalam

kelompok masyarakat hukum.94

c. Teori Keadilan Ontologis dari Soejono

Jika kita mengkaji kedudukan dan hakekat fungsi hukum

dalam konteksnya bahwa filsafat adalah sebagai hasil ijtihad-

pemikiran yang metodis-sistematis radikal mengenai hukum

(methodis systematis radicale over het recht), dapat diprediksikan

bahwa sebagian besar masyarakat dan termasuk pula praktisi

hukum, akademisi dan para legislator yang setiap hari menjadikan

hukum sebagai komsumsi yang tidak pernah terpisahkan namun

ternyata tidak merasakan dan menghayati akan kebutuhan yang

amat sangat penting/azasi mengenai pemikiran filosofis tentang

hukum, padahal secara umum filosof, eksistentensi dari filsafat

hukum itu mutlak didambakan.

Hukum maupun ilmu hukumnya, adalah sebagai aspek

pengejawantahan cipta, rasa dan karsa manusia. Ini adalah

kebutuhan, hukum tidaklah mesti hanya dipahami atau dihayati

tetapi yang terpenting juga diamalkan atau dilaksanakan tentang

tujuannya yang hakiki yakni nilai keadilan-kebenaran, ketertiban-

kesejahteraan. Numun apabila makna dan fungsi utama pokok dari

hukum ialah sebagai “gemeinscaftsregelung im dienste der gerech

94 http://ugun-guntari.blogspot.com/2011/02/teori- keadilan-perspektif-hukum.html,diakses pada 14 Oktober 2013

Page 127: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

126

tigkeit”, maka tujuan utama dari filsafat hukum ialah “the

clarification of legal values and postulates up to their ultimate

philosofical foundations”.95

Theo Hujbers mengatakan bahwa aturan hukum adalah

aturan Allah. Hukum berfungsi untuk menjamian suatu aturan

hidup sebagaimana dikehendaki Allah.96

Soejono mengatakan apabila ilmu hukum beserta teori

hukum (rechtstheorie) mempelajari sarengat dan tarekat dan

sampai pada batas tertentu juga hakekat,97 maka filsafat hukum

menjelajahi hakikat dan ma’rifat dari hukum.

Kajian dalam studi ilmu hukum dan teory hukum dalam

pandangan ahli tentu berbeda. Perbedaan itu dapat dilihat dalam

kutipan Soejono yaitu ilmu hukum mempelajari recht sistematiek

dan recht dogmatiek yang keduanya disebut sebagai

versamenlaam/gabungan disamping itu juga mempelajari

sosiologi dan perbandingan hukum. Sedangkan recht theori atau

teori hukum menfokuskan perhatiannya pada bidang categoreen-

leer, yakni mengenai kesamaan-kesamaan dalam bentuk lembaga-

lembaga hukum dari berbagai tata hukum (het gelijke in de vorm)

yang pada umumnya adalah pengertian-pengertian dasar

(groonbergippen) yang bersifat logis a priori.

95 Rudbruch dalam doktrinnya dikutip Soejono, hlm. 496 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta,

1982, hlm. 28697 Hakikat, Ma’rifat, Tarikat adalah peristilahan dalam ilmu tasawuf, biasanya dalam

lingkup ajaran agama Islam

Page 128: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

127

Beberapa fungsi filsafat hukum G DelVecchio membagi

fungsi dari filsafat hukum menjadi tiga yaitu:

1) Fungsi transendental logis yaitu menyusun pengertian hukum

yang fundamental.

2) Fungsi fenomenologis yaitu meneliti sejarah universal dari

hukum sebagi bentuk pengejahwantahan dari cita hukum yang

lestari.

3) Fungsi de-ontologis yaitu meneliti cita hukum (rechts idee),

dimana hukum itu keadilan atau hukum kodrat, sebagai ukuran

idiil yang umum bagi keadilan atau kedzoliman hukum positif.

Dalam paham yang luas mengenai makna dan fungsi dari

filsafat hukum, yang merangkum pengertian, cita hukum, tujuan

dan berlakunya hukum (begriff-zweek-dan geltung des rechts)

maka sebagian dari konsekuensinya adalah suatu anggapan bahwa

teori hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari filsafat

hukum.

Seperti dikemukakan di atas terkait tujuannya hukum yang

hakiki yakni nilai keadilan-kebenaran, ketertiban-kesejahteraan

atau yang disebut sebagai nilai-nilai yang mutlak-universal-abadi

pada dasarnya membawa manusia pada garis atau batas ontologis

yang menakjubkan, namun seolah-olah nilai-nilai ini sering kali

membingungkan. Nilai-nilai ini menempatkan manusia dibatas

jalan pada sebuah perjalanan yang memiliki awal tetapi hampa

atau tidak jelas akhirnya hal ini seringkali dirasakan oleh para

Page 129: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

128

ilmuan atau philosof. Maka seorang filosof pernah berkata bahwa

filsafat itu sesungguhnya bukan berobyek pada problema-

problema tetapi pada misteri-misteri. Untuk problema manusia

pada suatu saat akan dapat menemukan jawabannya serta

pemecahannya, tetapi untuk misteri-misteri seolah-olah manusia

hanya mampu mempersoalkan atau menetapkan persoalnnya.

Walaupun kadang-kadang serasa mendapatkan jawaban perkiraan

dan sementara waktu, namun tidak pernah mewujudkan kepastian

dan ketuntasan.98

Mengenai fungsi dan peranan filsafat dalam fungsi

ontologis Soejono menuliskan bahwa hukum adalah pengawal

pembangunan yang memerlukan landasan-landasan teori hukum

itu sendiri dan filsafat hukum. Landasan-landasan teori dan

filsafat hukum yang dimaksud adalah landasan yang berwawasan

ontologis.

Wawasan ontologis oleh Soejono dianggapnya

mengandung metode pendekatan dan gaya penggarapan yang

bercorak logis dan rasional, intelektual, etis-irrasional dan

divinatoris yakni berma’rifat kepada Tuhan seru sekalian alam.

Beliau sangat mengharapkan kepada seluruh praktisi hukum dan

pengawal pembangunan harus memiliki kecerdasan dan

keterampilan tekhnis berkewajiban pula karena kodratnya

98 Doolhof/libirynth dalam terjemahan oleh Soejono Koesoemo Siswoero dalamfungsi dan peranan filsafat dalam pembangunan di Indonesia

Page 130: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

129

memulai dan menekuni meditasi, berkontempelasi, tidak

mementinkan diri sendiri ikhlas, tenang, tidak iri atas rezeki dan

kebahagiaan orang lain dan selalu bersyukur kepada Tuhan (jujur

sabar dan berbudi luhur).

Fungsi hukum dalam bukunya Theo Hujbers ”filsafat,

sejarah para filsuf” bahwa pada zaman romawi kuno, dipandang

sebagai berkaitan dengan alam, alam dikuasai hukum. Pemikiran

juga manusia yang termasuk alam itu. Dalam rangka pandangan

ini hukum berfungsi untuk mengatur alam supaya menurut garis-

garis tertentu, lagi pula mengatur hidup manusia supaya mengikuti

peraturan-peraturan yang sesuai dengan hakekatnya. Dalam

pertengahan abad hal ini berubah, hukum tetap dipertanyakan

dengan fungsinya yang semula, yakni menciptakan aturan.99

Pada tataran filsafat, filsafat sebagai dasar dalam filsafat

ilmu, atau sains dibagi tiga bagian, ialah ontologi, epistemologi,

dan aksiologi. Ontologi berasal dari kata yunani “onto” yang

berarti sesuatu yang sungguh ada, atau kenyataan yang

sesungguhnya. Dan “logos” yang berarti studi tentang atau teori

yang membicarakan atau dapat juga berarti ilmu.

Salah satu pendapat filosofi hukum dapat ditemukan dalam

posisi pembagian filsafat menurut Aristoteles membagi 4 bagian

seperti yang dikemukakan dalam pendahuluan tulisan ini:

1) Logika;

99 Theo Huijbers, Op. Cit, hlm. 285

Page 131: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

130

2) Filsafat teoritis: mencakup fisika, matematika, dan metafisika;

3) Filsafat Praktis: filsafat Etika, filsafat ekonomi dan filsafat politik;

4) Filsafat poetika atau seni budaya;

Namun secara Mutakhir filsafat dibagi:

1) Filsafat teoritis : logika, Metafisika/ontologi,

Kosmologi/Filsafat Alam, dan antropologi.

2) Filsafat Praktis: Etika, Filsafat agama, da filsafat Kebudayaan.

Secara Sederhana menjadi 3 momentum:

1) Pendahuluan filsafat dipelajari logika;

2) Persoalan filsafat dipelajarimetafisika;

3) Tujuan Filsafat di pelajari etika.100

Dalam pandangan di atas sangat jelas tentang teori nilai-

nilai yang dipelopori oleh LOTZE tapi pada pokoknya berusaha

mewujudkan kompromi dan perdamaian. Dari unsur-unsur tata

nilai di atas dapat dibagi menjadi 2 bagian pokok yakni :

1) Nilai-nilai berdasarkan nafsu terdiri atas :

a) Nilai kenikmatan (lust-waarden),- hedonisme,epikurisme.

b) Nilai Vital (vitale waarden)-vitalisme, naturalisme.

c) Nilai kegunaan (nuts-waarden).

2) Nilai-nilai rokhania terdiri atas :

a) Nilai logis (akal, rasional dan sebagainya).

b) Nilai estetis.

100 Soejono Koesoemo Siswoero, Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum,UNDIP, Semarang, 1979, hlm. 9

Page 132: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

131

c) Nilai etis.

d) Nilai keagamaan/religius.

Fungsi Ontologis yaitu mencari dan menciptakan landasan-

landasan hakiki yang mempersatukan secara struktural dan ideal

keseluruhan bangunan dan sistem hukum yang berdiri diatasnya.

Fungsi filsafat, salah satu filosof yang mengemukakan

fungsi filsafat adalah G Del Vecchio dalam bukunya “lezioni di

filosofia dell diretto bagi beliau bahwasanya hakikat pengertian

hukum (ressbeggriff) walaupun tidak formal tapi normatif dan

netral, tidak dapat diukur/ditentukan dari sejarah, etika agama

maupun ketentuan umum, tidak dapat membedakan antara baik

dan buruk, antara yang adil dan tidak adil. Yang mampu

mengadakan ukuran pembedaan itu adalah cita hukum (rechts

idee). Karena itu beliau membagi fungsi dari filsafat hukum

menjadi tiga namun ditambahkan satu oleh Soejono yaitu:

1) Fungsi transendental logis yaitu menyusun pengertian hukum

yang fundamental.

2) Fungsi fenomenologis yaitu meneliti sejarah universal dari

hukum sebagi bentuk pengejahwantahan dari cita hukum yang

lestari.

3) Fungsi de-ontologis yaitu meneliti cita hukum (rechts idee),

dimana hukum itu keadilan atau hukum kodrat, sebagai ukuran

idiil yang umum bagi keadilan atau kedzoliman hukum positif.

Page 133: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

132

4) Fungsi Ontologis yaitu mencari dan menciptakan landasan-

landasan hakiki yang mempersatukan secara struktural dan

ideal keseluruhan bangunan dan sistem hukum yang berdiri di

atasnya.101

Keadilan bagi Del-Vecchioo adalah cita idiil yang

dilepaskan dari segala macam masalah tekhnis dan merupakan

nilai kepribadian mutlak atau kebebasan yang sama bagi semua

manusia yang didamba dan disangga oleh hati nurani manusia.102

Penemuan hukum dengan hasil keputusan hati nurani

terhadap perkara yang ada oleh para praktisi hukum menurut

Soejono. Sepanjang masih menggunakan sebuah metode dan

aproach yang bersifat intelektual, logis, rasional, intuitif, etis dan

divinatoris dinamakan sebagai metode ontologis.

Rasional logis maksudnya sebagai sarana objektif, intuitif

sebagai sarana batiniah untuk melakukan pengamatan langsung

terhadap objek yang dipikirkan atau diteliti. Sedangkan aspek

divinatoris sebagai sentral fundamentalis karena bersangkutan

dengan suatu rasa di dalam diri manusia yang bersifat immateriil-

metafisis yang mampu untuk menangkap dan menerima inspirasi

yang tidak terbatas pada intelektual dan budi akan tetapi jauh

menjulang lagi yakni kepada Tuhan Seru Sekalian Alam.

101 Ibid, hlm. 21102 Soejono Koesomo Sisworo, Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran

Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya DenganPembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar, UNDIPSemarang, 30 Maret 1989, hlm. 13

Page 134: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

133

Metode ontologis tersebut secarah struktural dan

fungsional akan mewujudkan dan atau menjamin hasil yang

memenuhi persyaratan fundamental dari suatu putusan yang ideal

yakni adil dan konsisten. Gambarannya adalah dengan

memperhatikan hakekat dan makna dari hukum yakni sebagai

peraturan yang mengatur hidup bersama manusia menuju

ketentraman dan keadilan (L.J van Apeldoorn) atau yang mengatur

masyarakat untuk mengabdi kepada keadilan (Gustav Rudbruch)

atau sebagai keadilan dan kebenaran itu sendiri (Victor Hugo)

untuk mengatur penghidupan menuju/mencapai kemakmuran.103

Pembiasaan diri tekun melakukan meditasi dan

kontemplasi serta tidak mementingkan diri sendiri dan senantiasa

percaya, ingat dan taat kepada Tuhan yang Maha Esa, serta rela-

ikhlas serta jujur sabar dan budi luhur oleh Soejono dinamakan

metode pendekatan yang stadium tinggi dan terkhir senantiasa

mendambakan hidayah dan inayah dari Tuhan beliau menamakan

hal ini sebagai wawasan ontologis.

Dalam sistem sosial yang didalamnya terdapat berbagai

macam pengaruh kehidupan yang oleh Plautus menamakannya

homo-homini-lupus yang artinya manusia yang satu adalah serigala

bagi manusia yang lain. Sistem ini akan mampu merubah pola

tingkah laku dan pola pikir terhadap sesuatu. Wawasan ontologis

mutlak diperlukan dalam kondisi ini.

103 Ibid, hlm. 30

Page 135: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

134

Dalam kondisi tersebut wawasan ontologis dijadikan

pengendalian keseimbangan diri manusia maupun masyarakat

dalam konteks sosial, termasuk pula sistem maupun sub-sistem

sarana dan wahana yang harus diterapkan dan digunakan untuk

mencapai tujuan hidup.

d. Teori Keadilan Aristoteles

Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan

dalam karya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih

khusus, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya

ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum

Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukum,

“karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan

keadilan”.104

Pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian

kesamaan, namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara

kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan

numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit, yang

sekarang biasa dipahami tentang kesamaan bahwa semua warga

adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi

tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan,

prestasi, dan sebagainya.

104 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa danNusamedia, Bandung, 2004, hlm. 24

Page 136: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

135

Pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak

kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia

membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan

keadilan korektif. Keadilan yang pertama berlaku dalam hukum

publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadailan

distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema

kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam

kerangka konsepsi di wilayah keadilan distributif, bahwa imbalan

yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada

keadilan yang kedua, bahwa yang menjadi persoalan bahwa

ketidaksetaraan disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran

kesepakatan.

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada

distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-

sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan

mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelas bahwa apa yang

ada di benak Aristoteles bahwa distribusi kekayaan dan barang

berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di kalangan warga.

Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai

dengan nilai kebaikan, yakni nilai bagi masyarakat.105

Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan

sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau

kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan

105 Ibid,

Page 137: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

136

kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu

kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang pantas perlu

diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan

mengakibatkan terganggu tentang “kesetaraan” yang sudah mapan

atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun

kembali kesetaraan tersebut. Uraian tersebut nampak bahwa

keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan

keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.106

Dalam membangun argumentasi, Aristoteles menekankan

perlu dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan

keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia

yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan

pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini

jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif

yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat.

Berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir

itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada

komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati

diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan

hukum alamjika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.107

e. Keadilan Sosial Ala John Rawls

106 Ibid,107 Ibid,

Page 138: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

137

John Rawls dalam buku a theory of justice menjelaskan

teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the

principle of fair equality of opportunity. Inti the difference

principle, bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar

memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling

kurang beruntung.

Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan

menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk

mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan

otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of

opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang

mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan,

pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi

perlindungan khusus.108

Rawls mengarjakan teori mengenai prinsip-prinsip

keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme

sebagaimana dikemukakan Home, Bentham dan Mill. Rawls

berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut

prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga

diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama

akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa teori ini lebih keras

dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh

jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak

108 Ibid,

Page 139: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

138

dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta

dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.

Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan

aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan

golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua

syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin

maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah.

Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga

dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan

bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat

pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang, supaya

kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam

hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang

berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat

primordial, harus ditolak.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka

program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan

haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama,

memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar

yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.

Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi

yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat

timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka

Page 140: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

139

yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak

beruntung.109

John Rawls menyatakan dua prinsip keadilan yang

dipercaya akan dipilih dalam posisi awal. Di bagian ini John

Rawls hanya akan membuat komentar paling umum, dan karena

itu formula pertama dari prinsip-prinsip ini bersifat tentative.

Kemudian John Rawls mengulas sejumlah rumusan dan

merancang langkah demi langkah pernyataan final yang akan

diberikan nanti. John Rawls yakin bahwa tindakan ini membuat

penjelasan berlangsung dengan alamiah.

Pernyataan pertama dari dua prinsip tersebut sebagai

berikut:110

Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama atas

kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama

bagi semua orang.

Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur

sedemikian rupa, sehingga (a) dapat diharapkan memberi

keuntungan semua orang, dan (b) semua posisi dan jabatan

terbuka bagi semua orang. Ada dua frasa ambigu pada prinsip

kedua, yakni “keuntungan semua orang” dan “sama-sama terbuka

bagi semua orang”. Pengertian frasa-frasa itu secara lebih tepat

109 John Rawls, A Theory of Justice, London : Oxford University Press, 1973, yangsudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, TeoriKeadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 69

117 Ibid, hlm. 72

Page 141: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

140

yang akan mengarah pada rumusan kedua. Versi akhir dari dua

prinsip tersebut diungkapkan dalam mempertimbangkan prinsip

pertama.

Melalui jalan komentar umum, prinsip-prinsip tersebut

terutama menerapkan struktur dasar masyarakat, mereka akan

mengatur penerapan hak dan kewajiban dan mengatur distribusi

keuntungan sosial dan ekonomi. Sebagaimana diungkapkan

rumusan mereka, prinsip-prinsip tersebut menganggap bahwa

struktur sosial dapat dibagi menjadi dua bagian utama, prinsip

pertama diterapkan yang satu, yang kedua pada yang lain. Mereka

membagi antara aspek-aspek sistem sosial yang mendefinisikan

dan menjamin kebebasan warganegara dan aspek-aspek yang

menunjukkan dan mengukuhkan ketimpangan sosial ekonomi.

Kebebasan dasar warga Negara adalah kebebasan politik (hak

untuk memilih dan dipilih menduduki jabatan publik) bersama

dengan kebebasan berbicara dan berserikat, kebebasan

berkeyakinan dan kebebasan berpikir, kebebasan seseorang

seiring dengan kebebasan untuk mempertahankan hak milik

(personal), dan kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang

sebagaimana didefinisikan oleh konsep rule of law. Kebebasan-

kebebasan ini oleh prinsip pertama diharuskan setara, karena

warga suatu masyarakat yang adil mempunyai hak-hak dasar

yang sama.

Page 142: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

141

Prinsip kedua berkenaan dengan distribusi pendapatan dan

kekayaan serta dengan desain organisasi yang menggunakan

perbedaan dalam otoritas dan tanggung jawab, atau rantai

komando. Sementara distribusi kekayaan dan pendapatan tidak

perlu sama, harus demi keuntungan semua orang, dan pada saat

yang sama, posisi-posisi otoritas dan jabatan komando harus bisa

diakses oleh semua orang. Masyarakat yang menerapkan prinsip

kedua dengan membuat posisi-posisinya terbuka bagi semua

orang, sehingga tunduk dengan batasan ini, akan mengatur

ketimpangan sosial ekonomi sedemikian hingga semua orang

diuntungkan.

Prinsip-prinsip ini ditata dalam tata urutan dengan prinsip

pertama mendahului prinsip kedua. Urutan ini mengandung arti

bahwa pemisahan dari lembaga-lembaga kebebasan setara yang

diperlukan prinsip pertama tidak bisa dijustifikasi, atau digantikan

dengan keutungan sosial dan ekonomi yang lebih besar. Distribusi

kekayaan dan pendapatan, serta hierarki otoritas, harus sejalan

dengan kebebasan warga negara dan kesamaan kesempatan.

Jelas bahwa prinsip-prinsip tersebut agak spesifik isinya,

dan penerimaan mereka terletak pada asumsi-asumsi tertentu

yang pada akhirnya harus dijelaskan. Teori keadilan tergantung

pada teori masyarakat dalam hal-hal yang akan tampak nyata

nanti. Sekarang, harus dicermati bahwa dua prinsip tersebut (dan

hal ini berlaku pada semua rumusan) adalah kasus khusus tentang

Page 143: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

142

konsepsi keadilan yang lebih umum yang bisa dijelaskan sebagai

berikut:111

Semua nilai sosial – kebebasan dan kesempatan,

pendapatan dan kekayaan dan basis-basis harga diri –

didistribusikan secara sama kecuali jika distribusi yang

tidak sama dari sebagian, atau semua, nilai tersebut demi

keuntungan semua orang.

Ketidakadilan adalah ketimpangan yang tidak menguntungkan

semua orang. Tentu, konsepsi ini sangat kabur dan membutuhkan

penafsiran.

Sebagai langkah pertama, anggaplah bahwa struktur dasar

masyarakat mendistribusikan sejumlah nilai-nilai primer, yakni

segala sesuatu yang diinginkan semua orang yang berakal. Nilai-

nilai ini biasanya punya kegunaan apa pun rencana hidup

seseorang. Sederhananya, anggaplah bahwa nilai-nilai primer

utama pada disposisi masyarakat adalah hak dan kebebasan,

kekuasaan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan. Hal-hal

tersebut merupakan nilai-nilai sosial primer. Nilai-nilai primer

lain seperti kesehatan dan kekuatan, kecerdasan dan imajinasi,

hal-hal natural, kendati kepemilikan mereka dipengaruhi oleh

struktur dasar, namun tidak langsung berada di bawah kontrolnya.

Bayangkan tatanan hipotesis awal di mana semua nilai primer di

111 Ibid,

Page 144: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

143

distribusikan secara sama, semua orang punya hak dan kewajiban

yang sama, pendapatan dan kekayaan dibagi sama rata. Kondisi

ini memberikan standar untuk menilai perbaikan. Jika

ketimpangan kekayaan dan kekuasaan organisasional akan

membuat semua orang menjadi lebih baik daripada situasi asal

hipotesis ini, maka mereka sejalan dengan konsepsi umum.

Mustahil secara teoritis, bahwa dengan memberikan

sejumlah kebebasan fundamental, mereka secara memadai

dikompensasi capaian-capaian ekonomi dan sosialnya. Konsepsi

keadilan umum tidak menerapkan batasan pada jenis ketimpangan

apa yang diperbolehkan, hanya mengharuskan agar posisi semua

orang bisa diperbaiki. Tidak perlu mengandaikan sesuatu yang

amat drastis seperti persetujuan pada perbudakan. Bayangkan

bahwa orang-orang justru menanggalkan hak-hak politik tertentu

manakala keuntungan ekonomi signifikan dan kemampuan

mereka untuk memengaruhi arus kebijaksanaan melalui penerapan

hak-hak tersebut pada semua kasus akan terpinggir. Pertukaran

jenis ini yang akan diungkapkan dua prinsip tersebut, setelah

diurutkan secara serial mereka tidak mengijinkan pertukaran

antara kebebasan dasar dengan capaian-capaian sosial dan

ekonomi. Urutan secara serial atas prinsip-prinsip tersebut

mengekspresikan pilihan dasar di antara nilai-nilai sosial primer.

Ketika pilihan ini rasional, begitu pula pilihan prinsip-prinsip

tersebut dalam urutan ini.

Page 145: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

144

Dalam mengembangkan keadilan sebagai fairness, dalam

banyak hal akan mengabaikan konsepsi umum tentang keadilan

dan justru mengulas kasus khusus dua prinsip dalam urutan.

Keuntungan dari prosedur ini, bahwa sejak awal persoalan

prioritas diakui, kemudian diciptakan upaya untuk menemukan

prinsip-prinsip untuk mengatasinya. Orang digiring untuk

memperhatikan seluruh kondisi di mana pengetahuan tentang

yang absolute memberi penekanan pada kebebasan dengan

menghargai keuntungan sosial dan ekonomi, sebagaimana

didefinisikan oleh leksikal order dua prinsip tadi, akan jadi masuk

akal. Urutan ini tampak ekstrim dan terlampau spesial untuk

menjadi hal yang sangat menarik, namun ada lebih banyak

justifikasi daripada yang akan terlihat pada pandangan pertama.

Atau setidaknya seperti yang akan disebutkan. Selain itu,

pembedaan antara hak-hak dan kebebasan fundamental dengan

keuntungan sosial dan ekonomi menandai perbedaan di antara

nilai sosial primer yang seharusnya dimanfaatkan. Pembedaan

yang ada dan urutan yang diajukan hanya bersandar pada

perkiraan. Namun penting untuk menunjukkan kalimat utama dari

konsepsi keadilan yang masuk akal, dan dalam kondisi, dua

prinsip dalam tata urutan serial tersebut bisa cukup berguna.

Kenyataan bahwa dua prinsip tersebut bisa diterapkan pada

berbagai lembaga punya konsekuensi tertentu. Berbagai hal

menggambarkan hal ini. Pertama, hak-hak dan kebebasan yang

Page 146: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

145

diacu oleh prinsip-prinsip ini adalah hak-hak dan kebebasan yang

didefinisikan oleh aturan publik dari struktur dasar. Kebebasan

orang ditentukan oleh hak dan kewajiban yang dibentuk lembaga-

lembaga utama masyarakat. Kebebasan merupakan pola yang

pasti dari bentuk-bentuk sosial. Prinsip pertama menyatakan

bahwa seperangkat aturan tertentu, aturan-aturan yang

mendefinisikan kebebasan dasar, diterapkan pada semua orang

secara sama dan membiarkan kebebasan ekstensif yang sesuai

dengan kebebasan bagi semua. Satu alasan untuk membatasi hak-

hak yang menentukan kebebasan dan mengurangi kebebasan

bahwa hak-hak setara sebagaimana didefinisikan secara

institusional tersebut saling mencampuri.

Hal lain yang harus diingat bahwa ketika prinsip-prinsip

menyebutkan person, atau menyatakan bahwa semua orang

memperoleh sesuatu dari ketidaksetaraan, acuannya person yang

memegang berbagai posisi sosial, atau jabatan atau apapun yang

dikukuhkan oleh struktur dasar. Dalam menerapkan prinsip kedua

diasumsikan bahwa dimungkinkan untuk memberi harapan akan

kesejahteraan pada individu-individu yang memegang posisi-

posisi tersebut. Harapan ini menunjukkan masa depan hidup

mereka sebagaimana dilihat dari status sosial mereka. Secara

umum, harapan orang-orang representative bergantung pada

distribusi hak dan kewajiban di seluruh struktur dasar. Ketika hal

ini berubah, harapan berubah. Dapat diasumsikan bahwa harapan-

Page 147: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

146

harapan tersebut terhubung dengan menaikkan masa depan orang

yang representative pada satu posisi, berarti kita meningkatkan

atau menurunkan masa depan orang-orang representative di

posisi-posisi lain. Hal ini bisa diterapkan pada bentuk-bentuk

institusional, prinsip kedua (atau bagian pertamanya) mengacu

pada harapan akan individu-individu representative. Kedua prinsip

tersebut tidak bisa diterapkan pada distribusi nilai-nilai tertentu

pada individu-individu tertentu yang bisa diidentifiasi oleh nama-

nama pas mereka. Situasi di mana seseorang mempertimbangkan

bagaimana mengalokasikan komoditas-komoditas tertentu pada

orang-orang yang membutuhkan yang diketahui tidak berada

dalam cakupan prinsip tersebut. Mereka bermaksud mengatur

tatanan institusional dasar, dan tidak boleh mengasumsikan bahwa

terdapat banyak kesamaan dari sudut pandang keadilan antara

porsi administratif berbagai nilai pada person-person spesifik

dengan desain yang layak tentang masyarakat. Intuisi common

sense mengenai porsi administratif mungkin merupakan panduan

yang buruk bagi desain tata masyarakat.

Sekarang prinsip kedua menuntut agar setiap orang

mendapat keuntungan dari ketimpangan dalam struktur dasar.

Berarti pasti masuk akal bagi setiap orang representative yang

didefinisikan oleh struktur ini, ketika ia memandangnya sebagai

sebuah titik perhatian, untuk memilih masa depannya dengan

ketimpangan daripada masa depannya tanpa ketimpangan. Orang

Page 148: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

147

tidak boleh menjustifikasi perbedaan pendapatan atau kekuatan

organisasional karena orang-orang lemah lebih diuntungkan oleh

lebih banyaknya keuntungan orang lain. Lebih sedikit

penghapusan kebebasan yang dapat diseimbangkan dengan cara

ini. Dengan diterapkan pada struktur dasar, prinsip utilitas akan

memaksimalkan jumlah harapan orang-orang representative

(ditekankan oleh sejumlah orang yang mereka wakili, dalam

pandangan klasik), dan hal ini akan membuat kita mengganti

sejumlah kerugian dengan pencapaian hal lain. Dua prinsip

tersebut menyatakan bahwa semua orang mendapat keuntungan

dari ketimpangan sosial dan ekonomi. Namun jelas bahwa ada

banyak cara yang membuat semua orang bisa diuntungkan ketika

penataan awal atas kesetaraan dianggap sebagai standar.

Bagaimana memilih di antara berbagai kemungkinan ini? Pada

prinsipnya harus jelas sehingga dapat memberikan kesimpulan

yang pasti.

1) Teori Penegakan Hukum

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan

manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus

dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara

normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran

hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus

ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi

kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu

Page 149: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

148

harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit),

kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).112

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang

mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi

peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus

berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang : fiat

justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus

ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum.

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap

tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan

dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan

tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum,

karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih

tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena

bertujuan ketertiban masyarakat.

Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam

pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk

manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus

memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai

justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul

keresahan di dalam masyarakat.

Unsur yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat

berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum

112 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm. 134

Page 150: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

149

keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum

harus adil. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,

bersifat menyamaratakan. Barangsiapa mencuri harus dihukum :

setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-

bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat

subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan : adil bagi Si

Suto belum tentu dirasakan adil bagi Si Noyo.

Kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan

kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan.

Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan,

maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan dan begitu

selanjutnya.

Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara

ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian

secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu

mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang

antara ketiga unsur tersebut.

Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus

diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu

menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati

peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa

tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan

harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-Undang itu sering terasa

kejam apabila dilaksanakan secara ketat: lex dura, sed tamen

Page 151: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

150

scripta (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah

bunyinya).

Kalau kita bicara tentang hukum pada umumnya kita

hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaedah atau

peraturan perundang-undangan, terutama bagi praktisi.

Undang-Undang itu tidak sempurna. Memang tidak

mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan

manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak

lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas. Meskipun

tidak lengkap atau tidak jelas undang-undang harus dilaksanakan.

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum

terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan

mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran

nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang

mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih

lanjut, sehingga akan tampak lebih konkrit.113

b. Teori Utilitarian

Aliran etis dapat dianggap sebagai ajaran moral ideal atau

ajaran moral teroritis, sebaliknya ada aliran yang dapat

dimasukkan dalam ajaran moral praktis, yaitu aliran utilisits.

113 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 3

Page 152: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

151

Pakar-pakar penganut aliran utilistis terutama adalah

Jeremy Bentham, menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata

untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-

besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat.

Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial bahwa setiap warga

masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah

satu alatnya.114

Terdapat banyak bentuk utilitarianisme dan perkembangan

teorinya terus berlanjut di tahun-tahun belakangan ini. John Rawls

tidak mengulas bentuk-bentuk tersebut di sini, juga tidak akan

mempertimbangkan berbagai modifikasi yang ditemukan dalam

diskusi kontemporer. Tujuan John Rawls adalah menyusun teori

keadilan yang menjadi alternative dari pemikiran utilitarian secara

umum dan dari semua versi pemikiran alternatifnya. John Rawls

yakin, kontras antara pandangan kontrak dengan utilitarianisme

tetap sama di semua kasus tersebut. Karena itu, akan

dibandingkan keadilan sebagai fairness dengan berbagai varian

terkemuka dari institusionalisme, perfeksionalisme dan

utilitarianisme dalam rangka mengungkapkan perbedaan

mendasar dengan cara yang paling mudah. Dengan tujuan seperti

ini, jenis utilitarianisme yang akan dijelaskan di sini adalah

doktrin klasik yang barangkali paling jelas dan paling lengkap

terdapat dalam rumusan Sidgwick. Gagasan utamanya,

114 Achmad Ali, 2012, Op. Cit, hlm. 246

Page 153: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

152

masyarakat disebut tertata dengan tepat dan karenanya adil, ketika

lembaga-lembaga utamanya diatur sedemikian demi mencapai

keseimbangan kepusasan netto yang merupakan hasil rata-rata

dari kepuasan seluruh individu anggota masyarakat yang

bersangkutan.115

Kita tentu bisa menyatakan bahwa ada cara berpikir

tentang masyarakat yang bisa dengan mudah menganggap bahwa

konsepsi keadilan yang paling rasional adalah utilitarian. Sebagai

pertimbangan: setiap orang dalam menyadari kepentingannya

tentu bebas menyeimbangkan kerugian dengan keuntungannya.

Kita bisa melakukan pengorbanan demi keuntungan di kemudian

hari. Seseorang bisa bertindak, setidaknya ketika orang lain tidak

terpengaruh, untuk meraih keuntungan terbesarnya, untuk

mengajukan tujuan rasionalnya sebisa mungkin. Sekarang kenapa

masyarakat tidak bertindak persis sama dengan prinsip yang

diterapkan dan karena itu menganggap bahwa apa yang rasional

bagi satu orang adalah tepat bagi sekumpulan orang? Ketika

kesejahteraan seseorang dibangun dari serangkaian kepuasan yang

dialami di berbagai momen yang berbeda dan yang membentuk

kehidupan seseorang, maka kesejahteraan masyarakat dibangun

dari pemenuhan sistem hasrat dari berbagai individu di dalamnya.

115 Helmut Schoeck, Envy: A Theory of Social Behavior, terj. Michael Glenny danBetty Ross, London : Secker and Warburg, 1969, hlm. 153. The alternative, is tosystematically restore the diminishing economic productiveness of the many by enabling themto acquire, by legitimate means private ownership of the productive capital which isreplacing or diminishing the value of their labor power in industrial production.

Page 154: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

153

Sebab prinsip bagi individu adalah sejauh mungkin meningkatkan

kesejahteraannya, sistem hasratnya, prinsip bagi masyarakat

adalah meningkatkan sejauh mungkin kesejahteraan kelompok,

menyadari bahwa pada tingkatan yang paling luas sistem hasrat

yang paling komprehensif datang dari hasrat para anggotanya.

Ketika individu menyeimbangkan capaian masa kini dan masa

depan dengan kerugian masa kini dan masa mendatang, maka

masyarakat bisa menyeimbangkan kepuasan dan ketidakpuasan

antara berbagai individu. Dan melalui pemikiran-pemikiran ini

kita bisa mencapai prinsip utilitas secara alamiah, sebuah

masyarakat tertata dengan baik ketika lembaga-lembaganya

memaksimalkan keseimbangan kepuasan. Prinsip pilihan asosiasi

ditafsirkan sebagai perluasan prinsip pilihan bagi satu orang.

Keadilan sosial merupakan prinsip kebijaksanaan rasional yang

diterapkan pada konsep kesejahteraan agregatif dari kelompok.116

Gagasan ini menjadi semakin atraktif dengan pemikiran

lebih lanjut. Dua konsep etika utama adalah tentang hak dan

manfaat; konsep mengenai orang yang hebat kita yakin turun dari

konsep-konsep tersebut. Maka struktur teori etika sangat

ditentukan oleh bagaimana ia menentukan dan mengaitkan dua

pandangan dasar ini. Sekarang tampak bahwa cara termudah

untuk menghubungkannya dilakukan oleh teori-teori teleologis:

manfaat didefinisikan secara terpisah dari hak dan hak

116 John Rawls, 1973¸ Op. Cit, hlm. 136

Page 155: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

154

didefinisikan bagaimana ia memaksimalkan manfaat. Lebih

tepatnya, berbagai lembaga dan tindakan adalah hak yang

alternatif-alternatifnya menghasilkan paling banyak hak, atau

setidaknya sebanyak lembaga-lembaga lain dan bertindak terbuka

sebagai kemungkinan yang riil (sebuah keharusan dibutuhkan

ketika kelas maksimal tidak tunggal). Teori-teori teleologis

mempunyai intuisi yang kuat karena mereka menampilkan

gagasan tentang rasionalitas. Lazim untuk berpikir bahwa

rasionalitas memaksimalkan sesuatu dan bahwa dalam moral ia

harus memaksimalkan manfaat. Tentu, agak menggoda untuk

berpikir bahwa sesuatu harus ditata sedemikian rupa demi manfaat

yang paling banyak.

Adalah penting untuk tetap berpikir bahwa dalam teori

teleologis manfaat didefinisikan secara terpisah dari hak. Ini

mengandung arti. Pertama, teori tersebut mempertimbangkan

penilaian kita mengenai mana yang baik (penilaian kita tentang

nilai) sebagai kelas yang terpisah dari penilaian yang secara

intuitif bisa dibedakan dengan akal sehat, kemudian mengajukan

hipotesis bahwa hak memaksimalkan manfaat sebagaimana

ditunjukkan sebelumnya. Kedua, teori tersebut membuat orang

bisa menilai manfaat sesuatu tanpa mengacu pada hak. Misalnya,

jika kesenangan dikatakan sebagai satu-satunya manfaat, maka

bisa dianggap bahwa kesenangan dapat diakui dan ditempatkan

dalam nilai dengan kriteria yang tidak mengandaikan standar

Page 156: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

155

apapun tentang hak, atau apa yang akan dianggap demikian.

Ketika distribusi manfaat juga dianggap sebagai manfaat,

barangkali suatu tatanan yang lebih tinggi dan teorinya

mengarahkan kita unutk menghasilkan manfaat terbanyak

(termasuk manfaat pemerataan), kita tidak lagi memiliki

pandangan teleologis dalam pengertian klasik. Persoalan distribusi

tunduk di bawah konsep hak sebagaimana orang memahaminya

secara intuitif, dan teori ini tidak punya definisi independen

tentang manfaat. Kejelasan dan kesederhanaan teori-teori

teleologis klasik sebagian besar lahir dari fakta bahwa mereka

memilah penilaian moral kita ke dalam dua kelas, yang satu

dicirikan secara terpisah sedangkan yang lain diaitkan dengan

memaksimalkan prinsip.

Doktrin-doktrin teleologis berbeda, dengan cukup jelas,

menurut bagaimana konsepsi mengenai manfaat. Jika ia dianggap

sebagai perwujudan kehormatan manusia dalam berbagai bentuk

kebudayaan, kita mempunyai apa yang disebut perfeksionisme.

Pandangan ini di antaranya ditemukan dalam pandangan

Aristoteles dan Nietzsche. Jika manfaat didefinisikan sebagai

kesenangan, kita mendapatlan hedonisme; jika sebagai

kebahagiaan, eudaimonisme dan lain-lain. Kita akan memahami

prinsip utilitas dalam bentuk klasiknya yang mendefinisikan

manfaat sebagai pemuasan hasrat, atau barangkali sebagai

pemuasan hasrat rasional. Hal ini sesuai dengan pandangan dalam

Page 157: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

156

semua hal-hal esensial dan memberikan penafsiran yang fair

atasnya. Istilah yang tepat dari kerjasama sosial yang diciptakan

oleh situasi apapun akan meraih kepuasan terbesar dari hasrat

rasional para individu. Mustahil untuk menyangkal

kemasukakalan dan daya tarik konsepsi ini.

Bentuk yang paling jelas dari pandangan utilitarian

mengenai keadilan adalah bahwa pandangan ini tidak

mempersoalkan bagaimana pemuasan tersebut didistribusikan

pada individu-individu lebih daripada mempersoalkan bagaimana

orang mendistribusikan kepuasannya sepanjang waktu. Distribusi

yang tepat adalah yang memberikan pemenuhan maksimum.

Masyarakat mesti mengalokasikan apapun cara-cara pemuasan itu,

hak dan kewajiban, peluang dan privileged dan berbagai bentuk

kekayaan, demi meraih maksimum tersebut. Namun tidak ada

distribusi kepuasan yang lebih baik dari yang lain kecuali

distribusi yang lebih setara dipilih untuk memutus ikatan.117

Benar bahwa dalil-dalil keadilan tertentu, khususnya yang

mengenai perlindungan kebebasan dan hak atau yang

mengungkapkan klaim-klaim penyangkalan, tampak

berkontradiksi dengan argument ini. Namun, dari sudut pandang

utilitarian, penjelasan tentang dalil-dalil dan karakter tegas mereka

adalah bahwa mereka seharusnya dihargai dan dicampakkan dari

situasi khusus jika jumlah keuntungan ingin dimaksimalkan.

117 Ibid, hlm. 138

Page 158: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

157

Namun, seperti semua dalil lain, dalil-dalil mengenai keadilan

adalah turunan dari salah satu tujuan pencapaian keseimbangan

terbesar dalam pemuasan. Maka tidak ada alasan mengapa capaian

yang lebih besar tidak mengompensasi kerugian yang lebih sedikit

dari pihak lain; atau lebih penting lagi, mengapa pelanggaran

kebebasan segelintir orang tidak bisa dibenarkan oleh manfaat

yang lebih banyak yang didapat oleh banyak orang. Bisa saja

terjadi dalam banyak kondisi, setidaknya dalam tahap peradaban

yang maju, jumlah keuntungan terbesar tidak diperoleh dengan

cara ini. Tak ayal, kekukuhan dalil-dalil common sense tentang

keadilan punya manfaat tertentu dalam membatasi kecenderungan

orang pada ketidakadilan dan pada tindakan-tindakan yang secara

sosial merusak. Namun penganut utilitarian percaya bahwa

menegaskan keketatan ini sebagai prinsip moral pertama adalah

sebuah kesalahan. Sebab beralasan bagi satu orang untuk

memaksimalkan pemenuhan sistem hasratnya. Adalah hak

masyarakat untuk memaksimalkan keseimbangan kepuasan netto

yang diambil alih dari para anggotanya.

Maka cara yang paling alamiah dalam utilitarianisme

(kendati bukan satu-satunya) adalah mengadopsi prinsip pilihan

rasional satu orang bagi masyarakat secara keseluruhan. Sekali

lagi ini diakui, ruang pengamat netral dan penekanan pada simpati

dalam sejarah pemikiran utilitarian telah dipahami. Sebab melalui

konsepsi tentang pengamat netral dan penggunaan identifikasi

Page 159: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

158

simpatik dalam membimbing imajinasi kita inilah prinsip bagi

satu orang bisa diterapkan pada masyarakat. Si pengamat inilah

yang diandaikan membawa tatanan hasrat semua orang ke dalam

satu sistem hasrat yang koheren, melalui konstruksi inilah banyak

orang bergabung mejadi satu. Dengan memiliki kekuatan-

kekuatan ideal simpati dan imajinasi, pengamat yang tak berpihak

ini merupakan individu yang sangat rasional yang

mengidentifikasi serta mengalami hasrat orang lain seolah

hasratnya sendiri. Dengan demikian, ia mengukuhkan intensitas

hasrat-hasrat tersebut dan menekankannya pada satu sistem hasrat

kepuasan yang oleh legislator dimaksimalkan dengan

menyesuaikan aturan-aturan sistem sosial. Pada konsepsi

mengenai masyarakat ini, para individu dianggap mempunyai

banyak perbedaan di mana hak dan kewajibannya diberikan dan

alat-alat pemuasan diletakkan sesuai dengan aturan sehingga

memberikan pemenuhan keinginan. Karena itu, sifat keputusan

yang dibuat oleh legislator ideal tidak berbeda secara material

dengan keputusan pengusaha untuk memaksimalkan

keuntungannya melalui produksi komoditas, atau dari keputusan

konsumen untuk memaksimalkan kepuasannya dengan membeli

beragam barang. Pada setiap kasus, terdapat satu orang yang

sistem hasratnya menentukan alokasi terbaik dari peralatan yang

terbatas. Keputusan yang tepat secara esensial merupakan

pertanyaan tentang administrasi yang efisien. Pandangan

Page 160: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

159

mengenai kerjasama sosial ini merupakan konsekuensi dari

perluasan prinsip pilihan bagi satu orang pada masyarakat dan

kemudian agar perluasan ini berhasil menggabungkan semua

orang menjadi satu melalui tindakan-tindakan imajinatif dari

pengamat simpatik yang tak berpihak. Utilitarianisme tidak

menganggap serius perbedaan antar individu.118

Penganut utilitarian mungkin memberikan tanggapan

bahwa semua persoalan ini sudah diperhitungkan dalam usahanya

memaksimalkan kegunaan rata-rata. Jika, misalnya kesetaraan

kebebasan diperlukan untuk menjamin harga diri manusia dan

kegunaan rata-rata bisa tercapai asalkan ada penegasan atas

kesetaraan kebebasan itu, maka pasti kesetaraan itu akan

diwujudkan. Sejauh ini pendapat utilitarian ini terdengar bagus.

Tetapi, persoalan utamanya adalah bahwa kita tidak boleh

melalaikan syarat publisitas. Syarat ini menyatakan bahwa usaha

kita dalam memaksimalkan kegunaan rata-rata menghadapi

hambatan diakui secara terang oleh prinsip kegunaan rata-rata dan

diterima sebagai dasar masyarakat yang fundamental. Hal yang

tidak bisa kita lakukan adalah meningkatkan kegunaan rata-rata

dengan mendorong manusia untuk mengadopsi dan menerapkan

prinsip keadilan non utilitarian. Jika, dengan alasan apapun,

pengakuan publik atas utilitarianisme menciptakan hilangnya

harga diri, maka tidak ada cara untuk menariknya kembali. Dari

118 Ibid, hlm. 140

Page 161: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

160

sudut persyaratan yang telah dibahas inilah ongkos yang harus

dibayar dari skema utilitarian. Sehingga, jika kegunaan

seharusnya ditegaskan dan direalisasikan secara jelas sebagai

dasar dari strutur sosial. Karena alasan-alasan yang sudah

disebutkan, kemungkinan besar hal inilah yang akan terjadi.

Sehingga prinsip-prinsip ini akan merepresentasikan prospek yang

menarik dan akan diterima dalam kedua cara berpikir yang telah

diulas di atas. Penganut utilitarian tidak bisa mengatakan bahwa ia

sekarang benar-benar memaksimalkan kegunaaan rata-rata.

Semua pihak justru akan memilih dua prinsip keadilan tersebut.119

Dengan demikian, seperti yang sudah dijelaskan, kita

harus mencermati bahwa utilitarianisme merupakan pandangan

yang menyatakan bahwa prinsip kegunaan merupakan prinsip

yang paling benar untuk dijadikan sebagai konsepsi umum

masyarakat tentang keadilan. Dan untuk menunjukkan hal ini, kita

harus menyatakan bahwa kriteria ini akan dipilih dalam posisi

asal. Jika kita suka, kita bisa mendefinisikan variasi lain dari

situasi awal yang memiliki asumsi motivasi bahwa semua pihak

ingin mengadopsi prinsip-prinsip yang memaksimalkan kegunaan

rata-rata. Pernyataan-pernyataan sebelumnya menunjukkan bahwa

kedua prinsip keadilan masih bisa dipilih (dalam situasai ini).

Tetapi jika demikian kita keliru menyebut prinsip-prinsip ini – dan

teori yang memunculkan teori-teori tersebut – sebagai utilitarian.

119 Ibid

Page 162: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

161

Asumsi motivasi itu sendiri tidak menentukan karakter

keseluruhan teori. Sebenarnya, dukungan terhadap prinsip

keadilan justru diperkuat jika prinsip ini dipilih dalam berbagai

asumsi motivasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa teori

keadilan sangat kuat berakar dan tidak terpengaruh oleh

perubahan kecil dalam kondisi ini. Hal yang ingin kita ketahui

adalah konsep keadilan macam apakah yang mencirikan perhatian

kita dalam reflective equilibrium dan paling unggul untuk

dijadikan basis moral umum dalam masyarakat kecuali seseorang

bersikeras bahwa konsepsi unggul itu diberikan oleh prinsip

kegunaan, jawaban pertanyaan itu bukanlah prinsip utilitarian.

Namun, pembela (prinsip) kegunaan bisa bersikeras

mengatakan bahwa prinsip ini juga menyerupai gagasan Kantian,

yaitu gagasan yang diformulasikan oleh Bentham sebagai

“everybody to cpunt for one, nobody for more than one”. Seperti

yang dijelaskan Mill, formula itu berarti bahwa kebahagiaan

seseorang yang dianggap setara derajatnya dengan kebahagiaan

orang lain harus dihitung persis sama. Bobot dalam fungsi

tambahan yang merepresentasikan prinsip kegunaan sama untuk

semua orang, dan wajar jika menganggapnya satu. Bisa jadi

muncul pernyataan bahwa prinsip kegunaan memperlakukan

person sebagai tujuan sekaligus alat. Prinsip ini memperlakukan

mereka sebagai tujuan dengan menetapkan bobot (positif) yang

sama pada kesejahteraan setiap orang; prinsip ini memperlakukan

Page 163: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

162

mereka sebagai alat dengan memberi celah pada meningkatnya

prospek hidup sebagian orang untuk mengimbangi menurunnya

prospek hidup sebagian orang lainnya yang sebelumnya telah

berada pada situasi yang tidak berutung. Dua prinsip keadilan

memberikan tafsiran yang lebih kuat dan berkarakter atas gagasan

Kant. Prinsip ini bahkan mengenyahkan kecenderungan untuk

memandang manusia sebagai alat kesejahteraan manusia lainnya.

Dalam kerangka sistem sosial, kita harus memperlakukan person

hanya sebagai tujuan dan sama sekali tidak boleh

memperlakukannya sebagai alat. Argumentasi sebelumnya

menerangkan tafsiran yang lebih tegas ini.120

c. Teori Legislasi

Peter Noll yang menulis buku Gezetzgebungslehre sebagai

gagasan awal,121 telah memberikan perhatian dan pengaruh yang

sangat besar terhadap studi keilmuwan tentang fenomena legislasi.

Sampai saat itu, Noll melihat bahwa teori hukum telah secara

eksklusif terfokus pada ajudikasi, sementara legislasi tidak

menjadi perhatian.122 Ilmu hukum (legal science) secara terbatas

120 Achmad Ali, 2012, Op. Cit, hlm. 250121 Peter Noll, Gesetsgebungslehre, Reinbek: Rohwohlt, 1973, hlm. 314122 Fakta yang menjelaskan bahwa teori hukum dalam legislasi tidak terlalu penting,

terlihat sebagaimana pandangan J. Landis, “Statutes and the Sourches of Law”, dalam“Harvard Legal Essays Written in Honor and Presented to Joseph Hendri Beale and SamuelWilliston”, Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1934, hlm. 230. Disebutkan dalambuku tersebut: “the interplay between legislation and adjudication has been generally

Page 164: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

163

hanya menerangkan apa yang disebut Noll sebagai “a science of

the application of rules” (Rechtsprechung wissenschaft), yang

lebih banyak memfokuskan penerapan hukum oleh hakim.

Padahal, menurutnya, kreasi para hakim dan para legislator atau

judicial process dan legislative process, sesungguhnya melakukan

hal yang sama.123

Sebelum Peter Noll, tokoh yang memiliki perhatian

terhadap legislasi adalah Jeremy Bentham (1748-1832), lahir di

London Inggris. Salah satu karya terbesar Bentham adalah

Introduction to the Principles of Morals and Legislation, Out Line

of New System of Logic, Deontology, and Theory of Legislation.124

Senada dengan teori legislasi tersebut, ada pula teori

legisprudence kritis, teori yang menempatkan posisi negara dan

masyarakat dalam dinamika politik yang tidak saling berbenturan,

kompromistik dan bisa saling berbagi peran dalam memproses

pembentukan hukum. Rubin (ahli hukum Amerika Serikat), ketika

menganalisis proses legislasi dalam pembentukan “Truth in

Lending Act” (Undang-Undang Keenaran dalam Pemberian

Pinjaman) di Amerika Serikat, menggunakan bahasa teori

pluralisme dan/atau teori pilihan masyarakat. Teori yang

explored from the standpoint of interpretation. The function of legislature…has been largelyignored”

123 Peter Noll, Op. Cit, hlm. 48124 Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan Prinsip-Prinsip Legislasi Hukum

Perdata dan Hukum Pidana, terj. Nurhadi, Bandung: Nuansa Media dan Nuansa, 2006, hlm.2-3. Buku aslinya berjudul Introduction to the Principles of Morals and Legislation, Out Lineof New System of Logic, Deontology, dan Theory of Legislation.

Page 165: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

164

menyatakan adanya tawar menawar dari kekuatan relative dari

kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekelompok

legislator yang memiliki jumlah suara besar di parlemen.125

Teori legisprudence kritik ini mengkritisi tafsir dan proses

pembentukan hukum melalui kelembagaan negara dan

mengabsahkannya sebagai satu-satunya proses politik perundang-

undangan. Teori ini meyakini bahwa proses “via negara” dalam

legislasi tidak semata-mata dibawa dan dikawal oleh pemegang

kekuasaan dalam badan legislatif, tetapi banyak dipengaruhi oleh

pengetahuan, peran, kepentingan, dan tafsir-tafsir yang

mengerubuti badan legislatif ataupun aktor-aktornya, untuk

dipilah-pilah mana yang didorong “via negara” dan mana yang

tidak. Artinya, pembentukan hukum tidak lagi bergantung di

bawah doktrin pemisahan kekuasaan, sebagaimana digambarkan

Montesqieu, serta tidak lagi bisa mengklaim politik perundang-

undangan sebagai satu proses prosedural mekanistik.

Tokoh selanjutnya, Fuller, berpendapat bahwa sistem

hukum uang genuine selalu terikat dengan prinsip-prinsip moral

tertentu. Ia menyebutnya prinsip moral dengan istilah “the inner

morality of law”, yang seharusnya menjadi prima facie peletakan

kewajiban kepada warga negara utnuk mematuhi hukum. Fuller

mengakui bahwa dalam praktiknya, produk hukum penguasa

125 Edward L. Rubin, Legislative Methodology: Some Lessons from the Truth inLending Act, 80GEI.L/233, 1991

Page 166: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

165

(legislasi) semuanya konsisten dengan prinsip moral tersebut.126

Sementara Dworkin berpendapat berbeda. Ia yang terkenal dengan

“interpretative theory” berkeyakinan bahwa setiap produk hukum

(legislasi) harus dapat diinterpretasikan dan diterapkan dengan

pendekatan moral. Baginya, hukum positif harus memiliki

integritas moral. Integritas mungkin tidak menjamin pencapaian

keadilan, tetapi integritas tersebut menjamin adanya derajat

moralitas tertentu dalam setiap produk hukum, sehingga terhindar

dari legislasi yang sekadar menjadi produk kekuasaan politik.127

Prinsip legalitas sebagai dasar putusan-putusan pengadilan

dan keterbatasan hakim dalam mengaplikasikan hukum, jelas

terkait dengan otoritas atau kedaulatan pada legislator untuk

membentuk aturan-aturan hukum. Perdebatan tentang hukum

tidak cukup menggambarkan cara negara dapat menjalankan

mandat hukum.

Kajian legislasi yang digagas oleh Bentham dan Petre

Noll, mendapatkan ruang dan tempat secara intelektual dari

pemikir hukum dan ahli hukum zaman modern ini. Pada satu sisi,

hukum modern lahir di dunia bersamaan dengan lahirnya negara

modern, yang ditandai pula oleh konstitusi-konstitusi modern,

sekitar abad ke-18. Konstitusi modern ini memiliki pemahaman

bahwa negara modern yang rasional harus membagi-bagi dan

126 Andrew Altman, Arguing about Law: an Introduction to Legal Philosophy, ed. 2,Belmont: Wadsworth, 2001, hlm. 54-58

127 Ibid, hlm. 59

Page 167: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

166

memilah-milah tugasnya secara rasional. Dengan demikian, kalau

tidak sepenuhnya bertipe pemisahan, akan ada pembagian kerja

yang rasional. Rasionalisasi inilah yang menghasilkan pembagian

ke dalam berbagai tugas dan peran khusus, yaitu legislatif,

eksekutif dan yudisial.128 Rasionalisasi kerja ini mewarnai

perdebatan soal teori kekuasaan dalam wacana konstitusional

modern ala Montesqieu.

Negara dengan konstitusional modern yang dimaksud di

sini adalah negara yang telah menghasilkan undang-undang dan

konvensi yang telah diakui untuk melaksanakan fungsi-fungsi

ketiga kekuasaan pemerintah, yaitu eksekutif, legislatif dan

yudisial.129

Pemilahan jenis-jenis kekuasaan dalam politik

pemerintahan secara langsung telah memberikan pengaruh besar

bagi proses demokratisasi politik. Pada masa lalu, kekuasaan

senantiasa terpusat pada raja atau kelompok oligarki kekuasaan

tertentu, tetapi sejak lahir teori pemisahan kekuasaan Montesqieu,

kekuasaan tersebut telah terpisahkan dan terbagi dalam kekuasaan

pembentukan hukum, kekuasaan untuk melaksanakan hukum dan

kekuasaan untuk memberikan penghukuman terhadap berbagai

128 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,Muhammadiyah University Press, 2004, hlm. 37

129 CF Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah danBentuk-bentuk Konstitusi Dunia, diterjemahkan dari Modern Political Constitution: anIntroduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa danNusamedia, Bandung, 2004, hlm. 15

Page 168: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

167

bentuk pelanggaran. Pemikiran ini tentu mengguncang model

kekuasaan yang selama ini paternal terhadap kekuasaan raja atau

ratu (sistem kerajaan) saat itu.

Guncangan tersebut tidak hanya dirasakan pada masa

peralihan tersebut, tetapi hingga kini juga sering mengundang

perdebatan yang tak kunjung usai, yaitu menyangkut kekuasaan

legislatif sebagai kekuasaan untuk pembentukan hukum. Pada saat

itulah, lahir teori legislasi dan muncul pemikiran bahwa

kekuasaan legislasi di tangan kekuasaan legislatif atau badan

khusus pembuat hukum. Secara ekstrem, bisa dikatakan bahwa

sejak saat itu, hukum hanya dibuat oleh badan legislatif. Hukum

semata-mata dilihat sebagai hukum negara, terbentuk melalui

proses kelembagaan negara yang sah dan diakui secara konstitusi.

Tafsir keabsahan kelembagaan negara yang demikian,

dalam ilmu hukum, pada babak berikutnya, memperhatikan

wacana ketertiban politik dalam perkembangan ketatanegaraan

yang dibentukdan difasilitasi melalui hukum perundang-

undangan, sebagai produk hukum negara (state law). Akan tetapi,

dibalik proses demokratisasi dalam praktik ketatanegaraan,

muncul hegemoni-hegemoni kekuasaan atas tafsir hukum negara

tersebut. Misalnya, hukum melalui perundang-undangan

dipergunakan untuk mengubah perilaku masyarakat (law as a tool

of social engineering), adalah respons sebgaai tafsir hegemonic

negara atas realitas sosial. Para legislator berupaya mencari akar

Page 169: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

168

masalah dan menemukan solusinya, serta menuangkannya dalam

bentuk tulisan yang disahkan menjadi peraturan perundang-

undangan. Pada sisi lain, para ilmuwan hukum terjebak dalam

merumuskan definisi, mendeskripsikan konsep, serta menjelaskan

fenomena hukum baru tersebut. Hal ini akan berbagaya bila

terjadi generalisasi terhadap penafsiran bahwa dalam masyarakat

tidak ada hukum atau tatanan sosial, sehingga generalisasi tersebut

justru memperkuat ketegangan hubungan negara dengan

masyarakat.130

Padahal, hukum diciptakan tidak senantiasa berbanding

lurus dengan keinginan sebagian besar rakyatnya, tetapi justru

sebaliknya, kerap hanya melindungi kepentingan segelintir

pemegang kekuasaan (baik kekuasaan politik maupun kekuasaan

ekonomi). Hukum merupakan produk politik, yang bisa digunakan

untuk mendefinisikan kekuasaan, siapa yang paling banyak suara

(atau pengaruh uang siapa yang paling banyak) dalam proses

legislasi, dialah yang akan menjadi hukum, alias sebagai hal yang

paling benar. Berpijak pada pernyataan tersebut, dengan mudah

dapat dijelaskan jawaban formal tentang badan legislatif, tetapi

lebih dari itu, jelas pula legislator yang berpihak pada tirani

kekuasaan dan konglomerasi ekonomi dan siapa yang sebaliknya.

130 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, CV Pustaka Setia, Bandung,2011, hlm. 146

Page 170: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

169

Pada fase berikutnya, dalam suatu konstitusional modern

adalah hukum menjadi alat kontrol kekuasaan, sehingga

pembentukan hukum melalui badan hukum negara yang

berwenang merupakan bentuk yang harus dipenuhi. Dengan

konteks demikian, tidak heran jika lahir legal centralism

(sentralisme hukum), yaitu hukum yang hanya dimaknai sebagai

hukum negara (state law), dan sumber keadilan hanyalah negara.

Di luar hukum negara bukanlah hukum. Karena dalam praktik

ketatanegaraan, kelembagaan kontrol kekuasaan belum tentu kuat

sebagaimana dibayangkan pemikir-pemikir politik, hukum dengan

pemahaman legal centralism telah menjadi alat yang efektif untuk

melegitimasi segala tindakan penguasa, sehingga ia cenderung

melanggengkan kekuasaan, sekalipun dengan kekerasan. Kita bisa

melihat dengan mudah pengalaman praktik ketatanegaraan Orde

Lama dan Orde Baru di Indonesia, bahwa hukum dipergunakan

untuk melanggengkan kekuasaan dari rezim Soekarno (dengan

demokrasi terpimpinnya) dengan rezim Soeharto (presiden

seumur hidup).

Di sinilah letak kegagalan teori-teori legislasi yang

mengasumsikan negara sebagai negara budiman, yang selalu

mampu memberikan pengayoman kepada rakyatnya. Padahal,

negara dengan konstitusional modern, justru cenderung memiliki

potensi utnuk mereproduksi pemahaman sentralisme hukum di

dalam perangkat struktur ketatanegaraan dan instrument represif

Page 171: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

170

negara. Para hakim, jaksa, polisi, birokrasi pemerintahan dan yang

paling berbahaya dalam konteks ini, para legislator, terus menerus

mendigdayakan hukum negara sebagia hukum yang berlaku bagi

rakyatnya. Kegagalan teori-teori legislasi yang berbasis kerangka

berpikir legalisme, telah menambah ketegangan hubungan hukum

dalam praktik ketatanegaraan, yaitu hukum negara dengan hukum

rakyat (state law vs folk law), dari hubungan hukum negara-rakyat

sebagai superior-inferior, hingga pada level pengesampingan

hukum rakyat yang dianggap bukan hukum hanya karena

atributnya berbeda. Negara dengan konstitusional modern secara

tidak langsung sampai kapan pun akan terus menyuburkan tarik-

menarik kepentingan atau dinamika antara sentralisme hukum

yang dibawanya, versus pluralisme hukum sebagai tatanan yang

telah ada di tengah masyarakat.131

Apabila posisi rakyat dengan eksistensi hukum yang

dimilikinya kuat, lahir dalam perkembangan teori legislasi dalam

bentuk decentralized power (kekuasaan yang telah

terdesentralisasi) dalam organ-organ sosial. Rakyat akan

mengambil alih peran-peran negara dalam pengambilan

keputusan. Akan tetapi, jika sebaliknya, posisi negara terlampau

kuat sehingga terlampau susah untuk dikontrol oleh publik,

hubungan negara dengan rakyat dalam teori legislasinya adalah

penundukan. Hubungan dalam model penundukan ini berpotensi

131 Ibid, hlm. 147

Page 172: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

171

mengancam keberadaan hukum-hukum local, adat dan/atau

kebiasaan tertentu di masyarakat.

Dalam kajian legispridence kritis, pengembangan teori-

teori legislasi diarahkan pada pergulatan pemikiran soal penguatan

peran masyarakat sebagai bagian dari upaya decentralized power,

melalui kritik terhadap negara dengan konstritusional modern

yang selalu eksklusif memperbincangkan diskursus pembentukan

hukum di level negara, bukan sebaliknya, memperkuat peran

publik yang non negara yang terlibat dalam proses legislasi.

Penggalian secara lebih nyata teori-teori legislasi dalam

legisprudence kritis inilah mejadi pekerjaan serius soal

demokratisasi ketatanegaraan ke depan melalui pengembangan

model-model decentralized power.

Implementasi teori legislasi dalam tataran ketatanegaraan

Indonesia secara historis sudah diawali sejak adanya pemikiran

mengenai perencanaan peraturan perundang-undangan dan

kaitannya dengan prolegnas. Pemikiran mengenai perencanaan

peraturan perundang-undangan dan kaitannya dengan prolegnas

telah dimulai sejak tahun 1976 dalam Simposium mengenai Pola

Perencanaan Hukum dan perundang-Undangan di Provinsi Daerah

Istimewa Aceh.132 Symposium ini ditindaklanjuti oleh pemerintah

dengan mengadakan Lokakarya penyusunan Program Legislasi

132 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Pola Umum PerencanaanHukum dan Perundang-undangan, Bina Cipta, Bandung, 1997

Page 173: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

172

Nasional di Manado pada tanggal 3-5 Februari 1997.133 Lebih

lanjut untuk lebih memantapkan Program Legislasi Nasional, pada

tanggal 17-19 Oktober 1983 di Jakarta diadakan “Rapat Kerja

Konsultasi Prolegnas Pelita IV” yang menghasilkan rekomendasi

agar Menteri Kehakiman segera membentuk Panitia Kerja Tetap

Program Legislasi Nasional (Panjatap Prolegnas). Periode ini

dikatakan oleh BPHN disebut Periode Pelembagaan dan

Pembentukan Pola (1983-1998).134

Pada era Reformasi (tahun 1999 sampai sekarang),

Prolegnas tidak hanya menjadi kerja pemerintah, yang dalam hal

ini Menteri Kehakiman dan BPHN, tetapi sudah menjadi program

kerja dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Fungsi Prolegnas

ditekankan sebagai instrument utama pengintegrasi dalam

perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang

mengikat pemerintah dan DPR. Era ini, dengan keluarnya

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan yang telah diperbarui dengan

133 Pada lokakarya inilah, untuk pertama kalinya disusun konsep Program LegislasiNasional yang mencerminkan keseluruhan rencana pembangunan hukum nasional di bidanghukum tertulis secara berencana dan koordinatif oleh BPHN yang dilaksanakan dalam setiapRepelita. Dapat dilihat dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Hak Asasi Manusia RI,Tiga Dekade Prolegnas dan Peran BPHN, Jakarta, 2008, hlm. 10

134 Tahun 1998 adalah akhir drai Pemerintahan Orde Baru, maka pada era ReformasiProgram Legislasi Nasional secara yuridis telah diatur dengan terbitnya Keppres No. 188Tahun 1988 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang yang dilengkapidengan Keppres 44 Tahun 1999 tentang Teknis Penyusunan Perundang-undangan dan bentukRUU, RPP dan Keppres. Sebelum keluar Keppres tersebut, Program Legislasi Nasional diaturberdasarkan Inpres No. 15 Tahun 1970 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(berlaku selama seperempat abad)

Page 174: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

173

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah babak baru

perkembangan prolegnas.

a. Teori Hukum Progresif

Teori Hukum Progresif dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo

dimana dinyatakan bahwa pemikiran hukum perlu kembali pada

filosofis dasarnya yaitu hukum untuk manusia, bukan sebaliknya

sehingga manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hal

ini mengingat di samping kepastian dan keadilan hukum juga

berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia atau memberikan

kemanfaatan kepada masyarakat. Sehingga boleh dikatakan bahwa

berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam

konteks mencari kebahagiaan hidup.135 Satjipto Rahardjo

menyatakan “…., baik faktor; peranan manusia, maupun

masyarakat, ditampilkan kedepan, sehingga hukum lebih tampil

sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan

bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu

sendiri. Hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri,

melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia.136

Menurut Satjipto Rahardjo penegakan hukum progresif

adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-

putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut

135 Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta,2009, hlm.1

136 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir Catatan Kritis Tentang PergulatanManusia dan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. ix

Page 175: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

174

semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-

undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan

intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata

lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi,

empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan

disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa

dilakukan.137

Bagi hukum progresif proses perubahan tidak lagi berpusat

pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum

mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.

Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan

melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada,

tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law).

Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku

hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan

pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi

secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan, pada titik inilah

menurut Satjipto Rahardjo hukum harus dibiarkan mengalir begitu

saja menggeser paradigma hukum positivisme untuk menemukan

tujuannya sendiri. Agar hukum dirasakan manfaatnya, maka

dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan

137 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, GentaPublishing, Yogyakarta, 2009, hlm. xiii

Page 176: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

175

hukum itu dalam kepentingan-kepentingan sosial yang memang

harus dilayaninya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dipahami bahwa secara

substantif gagasan pemikiran hukum progresif tidak semata-mata

memahami sistem hukum pada sifat yang dogmatik melainkan

juga aspek perilaku sosial pada sifat yang empirik di mana hukum

dipandang sebagai suatu:

a. Institusi Yang Dinamis

Pemikiran hukum progresif menolak segala anggapan

bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan

mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi

hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law

as a process, law in the making). Hukum progresif tidak

memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final,

melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk

mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang

demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus

menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus

membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat

kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan di sini

bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan,

kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah

Page 177: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

176

hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a

process, law in the making).138

Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan

tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika

kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi

pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak

dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum

sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum

yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan

undang-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat

kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka

hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan

kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk

memenuhi kepentingan kepastian hukum.

b. Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan

Dasar filosofi dari pemikiran hukum progresif adalah

suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada

kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia

bahagia.139 Hukum adalah untuk manusia, dalam artian

hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan

yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena

138 Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010,hlm. 72

139 Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi ParadigmatikAtas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta,2009, hlm. 31

Page 178: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

177

itu menurut pemikiran hukum progresif, hukum bukanlah

tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat.

Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih didahulukan

ketimbang keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar

dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-

problem kemanusiaan.

c. Aspek Peraturan dan Perilaku

Orientasi pemikiran hukum progresif bertumpu pada

aspek peraturan dan perilaku (rules and behavior). Peraturan

akan membangun sistem hukum positif yang logis dan

rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan

menggerakkan peraturan dan sistem yang telah terbangun itu.

Karena asumsi yang dibangun disini, bahwa hukum bisa

dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan

masyarakatnya. Dengan menempatkan aspek perilaku berada

di atas aspek peraturan, faktor manusia dan kemanusiaan

mempunyai unsur compassion (perasaan baru), sincerely

(ketulusan), commitment (tanggung jawab), dare

(keberanian), dan determination (kebulatan tekad).

Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan

kemanusiaan di atas faktor peraturan, berarti melakukan

pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari aras legalistik-

positivistik ke aras kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu

manusia sebagai pribadi (individu) dan makhluk sosial.

Page 179: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

178

Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai

tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk

memberikan keadilan kepada siapapun. Mengutamakan

perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-undangan

sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan

memberikan pemahaman hukum sebagai proses

kemanusiaan.140

d. Ajaran Pembebasan

Pemikiran hukum progresif menempatkan diri sebagai

kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe,

cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-

positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum

progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”.

Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum,

maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila

perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule

breaking”.

Paradigma “pembebasan” yang dimaksud di sini

bukan berarti menjurus kepada tindakan anarkisme, sebab

apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada logika

kepatutan sosial dan logika keadilan serta tidak semata-mata

berdasarkan logika peraturan semata. Di sinilah pemikiran

hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati

140 Ibid,

Page 180: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

179

nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus

pengendali “paradigma pembebasan” itu.

Dengan demikian paradigma pemikiran hukum

progresif bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan

sebaliknya” akan membuat konsep pemikiran hukum

progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan

format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk

mewujudkannya.

b. Diskresi Kepolisian

Diskresi erat kaitannya dengan Teori Hukum Progresif

mengingat hukum progresif lebih mengutamakan tujuan dan

konteks daripada teks aturan semata di sini diskresi satu nafas

dengan tujuan hakiki dari hukum progresif yakni ketertiban,

kesejahteraan, dan kebahagiaan serta dilatarbelakangi oleh

ketertiban hukum tertulis. Menurut Van Apeldoorn, tujuan yang

dirumuskan dalam ketentuan hukum sering kabur sehingga

memberi kesempatan pelaksananya untuk menambahkan atau

menafsirkan sendiri sesuai konteks situasi yang ia hadapi, inilah

konsep diskresi. Dalam pelaksanaan diskresi penyelenggara

hukum dituntut memilih dengan bijaksana bagaimana harus

bertindak. Diskresi yang dilakukan penyelenggara hukum semata-

mata atas dasar pertimbangan kegunaan dan kefungsian tindakan

dalam mencapai tujuan yang lebih besar demi menjaga

kewibawaan hukum itu sendiri.

Page 181: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

180

Diskresi (discretion, discretionary power, freies ermessen)

secara harfiah diartikan sebagai pertimbangan kemerdekaan

bertindak atau kebijaksanaan. Menurut Marcus Lukman diskresi

adalah “… sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat

atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan

tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang”.141

Sehubungan dengan hal ini Philipus Mandiri Hadjon menyatakan

sebagai berikut:142

“Kekuasaan pemerintahan semula adalah “legis

execution” yakni melaksanakan undang-undang.

Kekuasaan yang demikian tidak pernah dapat

dilaksanakan, baik dilihat dari sifat tugas pemerintahan

maupun keterbatasan undang-undang. Tugas pemerintahan

tidaklah pasif (hanya melaksanakan undang-undang) tetapi

aktif menyelenggarakan ketertiban dan kesejahteraan

masyarakat. Demikian juga, tidak ada undang-undang

yang dapat menjangkau seluruh aspek kehidupan

masyarakat. Undang-undang sifatnya umum dan ditandai

dengan ciri-ciri “impersonal” dan “abstrak”. Untuk

selanjutnya tugas pemerintah menerapkan undang-undang

dalam situasi konkrit sehingga dengan latar belakang

141 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo, Jakarta, 2006, hlm. 177142 Philipus Mandiri Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina

Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 185-186

Page 182: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

181

undang-undang yang demikian melahirkan asas freies

ermessen.”

Pada hakikatnya diskresi adalah ranah hukum administrasi.

Diskresi merupakan kelengkapan yang secara inheren melekat

pada setiap administrasi negara atau setiap pengelola organisasi

sebagai instrumen untuk memecahkan masalah yang tidak dapat

dijangkau oleh hukum (legality, rechtmatigheid). Dilukiskan

hubungan antara hukum dengan diskresi bagaikan hubungan

antara susunan tulang dengan otot, diskresi sebagai otot akan

memungkinkan hukum sebagai susunan tulang bergerak atau

digerakkan secara teratur.

Lembaga kepolisian sebagai bagian dari administrasi

negara berwenang melakukan diskresi. Menurut putusan Hoge

Raad (Mahkamah Agung) di Belanda tanggal 9 Maret 1917, suatu

tindakan dapat dianggap rechtmatigheid (sah sesuai dengan hukum)

sekalipun tanpa pemberian kuasa secara khusus oleh Undang-

undang, asalkan dilaksanakan berdasarkan batas-batas kewajiban

menurut Undang-undang yang disebut asas plictmatigheid. Asas

plichmatigheid merupakan asas fundamental dalam pelaksanaan

diskresi yang bertujuan untuk menghindari terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Asas plichmatigheid

sendiri terdiri dari empat sub asas, yaitu:143

143 Ibid, hlm. 187

Page 183: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

182

a. Notwendig noodzakelijk (keperluan), yaitu tindakan diskresi

kepolisian dilakukan untuk meniadakan suatu gangguan atau

untuk mencegah terjadinya suatu gangguan. Apabila tindakan

diskresi kepolisian tersebut tidak diambil maka sesuatu yang

perlu dicegahkan terjadi. Yang terpenting dalam melakukan

tindakan tersebut adalah tidak dilakukan secara berlebihan

yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia

b. Sachlik atau zakelyk (objektif), yaitu tindakan diskresi

kepolisian yang diambil adalah untuk kepentingan tugas

kepolisian dikaitkan dengan masalah yang perlu ditangani.

Tindakan diskresi kepolisian tersebut harus menggunakan

pertimbangan-pertimbangan yang objektif dan tidak boleh

berdasarkan kepentingan subjektif atau pribadi.

c. Zweckmassig atau doelmatigheid (tujuan), yaitu tindakan

diskresi kepolisian yang diambil adalah untuk mencapai

tujuan hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu

yang dikhawatirkan. Dalam hal ini yang dipakai sebagai

ukuran yaitu tercapainya tujuan dengan menggunakan sarana

yang tepat agar tujuan dapat tercapai.

d. Evenredig (keseimbangan), yaitu tindakan diskresi kepolisian

yang diambil harus senantiasa menjaga keseimbangan antara

sifat (keras lunaknya) tindakan atau sarana yang

dipergunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan atau

berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.

Page 184: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

183

Ide-ide pokok diskresi kepolisian menurut putusan Hoge

Raad tersebut di atas telah diadopsi dalam ketentuan hukum

nasional Indonesia yakni dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya Pasal 18 ayat

(1) dengan batasan-batasan sebagaimana tercantum dalam Pasal

16 ayat (1) huruf l dan ayat (2), sebagai berikut:

a. Pasal 18

Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

b. Pasal 16

a) ayat (1)

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana,

Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

(1) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

b) ayat (2)

Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan

yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:

Page 185: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

184

(6) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

(7) selaras dengan kewajiban hukum yang

mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

(8) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam

lingkungan jabatannya;

(9) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang

memaksa; dan

(10)menghormati hak asasi manusia.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dapat ditarik

kesimpulan bahwa asas yurisdiktas dan asas legalitas dalam

diskresi sama sekali tidak boleh diabaikan, diskresi harus

berpegang pada tiga prinsip, yaitu:144

a. Wetmatigheid, yaitu diskresi tidak boleh bertentangan

ketentuan hukum yang berlaku (asas legalitas);

b. Rechtmatigheid, yaitu pembuat diskresi harus mempunyai

wewenang atau masih dalam lingkup kewenangan menurut

hukum (asas yurisdiksi). Tanpa wewenang, suatu diskresi

adalah tindakan sewenang-wenang (willekeur);

c. Doelmatigheid, yaitu tindakan diskresi dalam rangka

melindungi kepentingan umum (asas kemanfaatan) dalam

kerangka prinsip pertama dan kedua.

144 Ibid, hlm. 188

Page 186: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

185

c. Teori Restorative Justice

Dalam proses pengadilan perkara pidana yang berupaya

maksimal untuk menemukan dan mewujudkan kebenaran

material, sering muncul keluhan ketidakadilan dari pihak yang

berkepentingan (stakeholder) dalam perkara tersebut. Karena

dalam perkara pidana stakeholdernya tidak seperti dalam perkara

perdata yaitu penggugat dan tergugat, tetapi lebih luas yaitu

korban, pelaku dan masyarakat banyak terutama komunitas sekitar

di mana kejahatan itu terjadi. Bahkan dalam perkara kejahatan

luar biasa yang menyangkut kejahatan kemanusiaan, genosida,

kejahatan perang dan agresi, stakeholdernya adalah masyarakat

internasional dan/atau bangsa-bangsa beradab. Dalam skala lokal,

pelaku kejahatan kesusilaan di Indonesia bida dikucilkan, ditolak

atau dikeluarkan dari komunitasnya. Jika menyangkut kejahatan

tertentu, suatu masyarakat dapat melakukan upacara atau kegiatan

ritual sebagai upaya pemulihan keseimbangan agar jiwa komunal

kemasyarakatan pulih kembali. Fenomena praktek hukum ini

menunjukkan bahwa perbuatan pidana berada dalam kawasan

publik dan tidak berada dalam ranah privat seperti hubungan

keperdataan.145

Proses mengadili dalam perkara pidana merupakan proses

interaksi nalar hukum dan batin untuk mencapai puncak kearifan

145 M. Sholehuddin, Sistim Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide dasar Double TrackSystem dan Implementasinya, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 26

Page 187: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

186

dalam memutus suatu perkara. Putusan pengadilan dalam perkara

pidana harus didasarkan atas fakta-fakta yang muncul di

persidangan dan dapat meyakinkan bagi hakim yang memutus

perkara. Bukti-bukti yang sah mengandung arti authentic, reliable

dan valid. Meyakinkan berarti tidak ada keraguan bagi hakim

bahwa ada hubungan kausal antara perbuatan terdakwa dengan

akibat yang timbul. Putusan pengadilan dalam perkara pidana

harus dapat menjelaskan bahwa terdakwa telah terbukti

melakukan perbuatan yang didakwakan (ada dalam ranah lahiriah)

dan bersalah (ada dalam ranah batiniah). Terbuktinya perbuatan

terdakwa tersebut harus dalam kualitas perbuatan pidana dan

bukan terbukti dalam lingkup perdata.

Akan tetapi diperlukan penghayatan terhadap prinsip-

prinsip yang dipegang teguh baik dalam peraturan maupun dalam

pelaksanaan pidana perampasan kemerdekan yang antara lain

mendapatkan preferensi pada alternatif pidana perempasan

kemerdekaan seperti denda, pidana bersyarat, jangan

menggunakan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek,

sejauh mungkin menerapkan The Standard Minimum Rules for

The Treatment of Prisoner (SMR). Selalu berusaha

mengembangkan alternatif pidana perampasan kemerdekaan dan

program-program pembinaan narapidana di luar lembaga. Pidana

penjara sebagai perampasan kemerdekaan di samping itu

berakibat pula kehilangan otonomi untuk menentukan ruang gerak

Page 188: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

187

sesuai dengan keinginannya yang dibatasi oleh aturan ketat dalam

lingkungan tembok penjara, kehilangan sekuriti karena terpaksa

berkumpul dengan aneka ragam orang yang bukan pilihannya,

kehilangan hubungan kodrat keanekaragaman seks karena

dipisahkan dengan terpaksa (sexual relationships) dan kehilangan

pekerjaan / penghasilan yang seharusnya diperoleh serta pilihan

pelayanan pribadi. Kelima unsur kehidupan kodrat manusian

tersebut, mengakibatkan dengan mudah keberingasan untuk

berkelahi, homosexual, tekanan penyakit jiwa, dorongan untuk

melakukan pelarian pada setiap kesempatan dan lain-lain keadaan

tidak normal yang membawa akibat buruk lebih banyak daripada

kefaeahannya. 146

Sementara itu, keterlibatan masyarakat sebagai komponen

stakeholder dalam perkara pidana berbanding lurus dengan

jangkauan tingkat berbahayanya kejahatan yang dilakukan.

Komunitas masyarakat banyak sebagai stakeholder juga

merupakan konsekuensi etis dari akibat yang ditimbulkan oleh

kejahatan, sehingga menuntut rasa pertanggungjawaban kolektif

dari masyarakat, karena berbahayanya kejahatan berada dalam

ranah publik. Jika masyarakat beradab tidak melakukan reaksi

terhadap perbudakan, pembunuhan masal atau kejahatan

kemanusiaan lainnya, maka martabat kemanusiaan dapat berubah

146 Sri Sumarwani, Pidana dan Hak-hak Manusia, Undip Press, Jakarta, 2012, hlm.30-31

Page 189: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

188

dan merosot menjadi setingkat dengan kebinatangan. Jika bangsa

manusia tidak merespon terhadap penistaan martabat

kemanusiaan, berarti tidak merasa bertanggung jawab dan mati

rasa terhadap harkat kemanusiaan dirinya sendiri. Atensi, empati

dan tanggung jawab stakeholder atas adanya kejahatan manusia

terhadap manusia lainnya merupakan bagian dari sikap moral.

Entitas tanggung jawab, niat, kesalahan dan rasa bersalah

merupakan fokus acuan hukum pidana dan proses pengadilan

perkara pidana.147

Restorative justice bertujuan untuk mewujudkan

pemulihan kondisi korban kejahatan, pelaku dan masyarakat

berkepentingan (stakeholder) melalui proses penyelesaian perkara

yang tidak hanya berfokus pada mengadili dan menghukum

pelaku. Dalam proses pengadilan pidana konvensional,

kepentingan korban seolah-olah telah terwakili atau

direpresentasikan oleh negara cq pemerintah cq kejaksaan dan

kepolisian. Pertanyaannya, seberapa efektif dan representative

pemerintah dapat mewakili kepentingan korban kejahatan secara

utuh. Perlu cermin besar untuk dapat melihat kepentingan korban

kejahatan, karena menyangkut hak, martabat dan kemampuan

insani dari korban selaku manusia yang berdaulat. Begitu pula hak

dan kepentingan masa depannya. Apalagi kalau korban yang

147 M. Sholehuddin, Op Cit, hal. 26.

Page 190: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

189

berstatus kepala keluarga yang mempunyai tanggungan anggota

keluarga.148

Proses peradilan pidana konvensional, terlalu

menyederhanakan masalah hak, martabat dan kepentingan korban

serta masyarakat terkait (stakeholder). Seolah-olah kasus dan

penderitaan yang menimpa diri korban kalau telah ditangani oleh

kepolisian dan/atau kejaksaan, maka korban, keluarga korban dan

masyarakat (stakeholder) tidak perlu ikut campur tangan lagi serta

menyerahkan nasibnya kepada penegak hukum. Padahal, kalau

pelaku kejahatan dihukum penjara atau denda, kepentingan moril

dan materiil dari korban dan stakeholder tidak terpenuhi. Denda

yang dikenakan kepada pelaku masuk ke kas negara dan nasib

korban terabaikan. Dalam hubungan ini restorative justice

mengajukan cermin besar untuk dapat melihat needs and roles

secara utuh dan jelas. Dalam arti membuat peta tentang

kepentingan dan peran masing-masing, baik korban, pelaku

kejahatan dan masyarakat yang terkait, sehingga ada dasar untuk

mendistribusikan tanggung jawab akibat kejahatan sesuai dengan

posisi peran masing-masing agar tercapai keadilan yang

berkualitas memulihkan. Jadi restorative justice memperluas

lingkaran pihak berkepentingan, sehingga dapat menjangkau

pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam proses

penyelesaian perkara pidana, karena dalam proses peradilan

148 Ibid

Page 191: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

190

pidana konvensional ada sisi gelap yang tidak terlibat dan ada

pihak yang kepentingannya tidak tersantuni.

Proses peradilan pidana yang bersifat restoratif

berpandangan bahwa mewujudkan keadilan bukan hanya urusan

pemerintah dan pelaku kejahatan, tetapi lebih dari itu harus

memberikan keadilan secara totalitas yang tidak bisa mengabaikan

kepentingan dan hak-hak dari korban dan masyarakatnya. Jadi

peradilan pidana yang restoratif adalah metode pemulihan yang

melibatkan pelaku kejahatan, korban dan komunitasnya di dalam

proses pemidanaan dengan memberi kesempatan kepada pelaku

untuk menyadari kesalahannya dan bertobat sehingga pelaku

dapat kembali ke dalam kehidupan komunitasnya kembali.

Gerakan untuk meningkatkan porsi empati dan derajat

keadilan lebih total kepada korban dan stakeholder juga

dipraktekkan dalam kasus-kasus kejahatan HAM (Hak Asasi

Manusia) di Amerika Latin. Sebagaimana digagas dan

diaplikasikan oleh Dinah Shelton tentang remedy atau proses

penyelesaian perkara pidana yang berkualifikasi mengobati moral

dan fisik, memperbaiki dan menolong pihak-pihak yang dirugikan

secara moril dan materiil. Memulihkan moral yang luka, phisik

yang cacat dan harta yang hilang menjadi acuan dengan

memperlakukan korban dan pelaku secara pantas dan adil, begitu

pula masyarakat yang berkepentingan.

Page 192: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

191

Cedera moral kemanusiaan yang dalam, hilangnya harta

dan hak-hak strategis korban serta stakeholder dalam kejahatan

HAM atau kejahatan yang berkualifikasi the most serious crime

lainnya, secara moral yuridis menuntut keterlibatan dan tanggung

jawab negara untuk menerapkan peradilan yang restoratif. Karena

kejahatan demikian menghancurkan peradaban bangsa dan

merupakan musuh bersama umat manusia sehingga menjadi

kewajiban masyarakat internasional dan menuntut

pertanggungjawaban negara untuk mengadilinya. Jadi tanggung

jawab kolektif masyarakat merupakan bagian dari upaya

pengobatan luka batin atau harta yang hilang dan pemulihan

ketertiban hukum serta mencegah timbulnya korban potensial.

Restorative justice bertujuan untuk merestorasi

(membangun kembali) ekuilibrium metafisik kehidupan korban,

masyarakat dan juga pelaku kejahatan. Keseimbangan spiritual

komunitas stakeholder dan korban perlu dipulihkan agar gairah

kehidupan bersinar kembali dalam upaya membangun

peradabannya. Begitu pula pelaku kejahatan perlu diberi ruang

kontemplasi untuk menyadari dan bertobat demi pemulihan jiwa

dan kesadaran sosialnya.149

Dalam mengelola konflik yang timbul dalam kejahatan

HAM Negara Afrika Selatan, Argentina, Chili, El Salvador dan

Guatemala berpengalaman menerapkan konsep remedy yang

149 Ibid

Page 193: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

192

dilakukan sebagai complement (pelengkap) dari pelaksanaan

pengadilan HAM. Dalam kacamata teori international human

rights law pengadilan HAM tidak digantikan (substitute) oleh

peran rekonsiliasi dan kebenaran. Ide dasar dan pemberdayaan

lembaga kebenaran dan rekonsiliasi tidak bertentangan dengan

nilai-nilai masyarakat Indonesia. Semua agama di Indonesia

memiliki semangat keadilan dan pengampunan. Dalam perspektif

Islam sebagai contoh, terdapat konsep islah yang mengandung

makna penyelesaian damai suatu perselisihan. Dalam kasus

pelanggaran HAM yang berat pada kasus Tanjung Priok, Jenderal

Try Sutrisno pernah mencoba menggunakan cara islah dengan

para korban pelanggaran HAM Tanjung Priok. Tetapi karena

prosedur pembentukan lembaga islah tidak memiliki dasar

legitimasi, maka hasilnya pun kurang memuaskan. Dalam hukum

tradisional atau hukum adat di Indonesia dikenal adanya tradisi

rekonsiliasi setelah terjadinya pembunuhan sebagai contoh

rekonsiliasi setelah terjadi pembunuhan di Bengkulu tahun 1914

dan rekonsiliasi setelah pembunuhan atau pembunuhan tidak

berencana di Lampung tahun 1913-1914. Merajut kembali

suasana jiwa yang tercabik-cabik akibat adanya perbuatan pidana,

memang menuntut adanya jiwa besar dari pelaku kejahatan,

korban dan masyarakat yang terkena imbas (stakeholder).150

150 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia, Teori, Praktik danPermasalahannya, Bandung: Mandar Maju, 2005, hlm. 54

Page 194: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

193

Perkembangan sistem peradilan pidana yang menekankan

kepada pembaruan pemidanaan yang berhubungan dengan

kejahatan perusahaan serta memberi perhatian yang layak bagi

perlindungan masyarakat dan keadilan bagi korban, juga terjadi di

Amerika Serikat. Pada tahun 1991, Kongres Amerika Serikat

memberlakukan penjatuhan sanksi bagi organisasi, khususnya

lembaga bisnis. Karena sebelumnya ada anggapan umum bahwa

sanksi pidana terhadap kejahatan korporat dirasakan terlalu lunak

dan tidak konsisten, sehingga diberlakukan pendekatan pengenaan

pidana yang optimal. Pengenaan pidana yang optimal ini

berkorelasi dengan kerugian akibat dari perbuatan ilegal dalam

upaya mencegah, menemukan dan menghukum kejahatan.

Dengan demikian, penggunaan sanksi ekonomis merupakan

konsekuensi logis bagi kejahatan korporat yang menimbulkan

kerugian ekonomis yang besar serta pembebanan kewajiban

retribusi. Jadi, pembenaran terhadap pemidanaan (sebagaimana

dipaparkan di atas) didasarkan atas tujuan pemidanaan yang

menginginkan pencegahan, kesepadanan, perlindungan publik dan

restitusi bagi korban.

Kejahatan HAM, kejahatan korporat, kejahatan sadis dan

kejahatan lain yang melibatkan penderitaan korban dan/atau

keluarganya serta masyarakat stakeholder, banyak terjadi di

Indonesia. Hal ini menuntut penggalian pendalaman ilmu,

mengasah kecerdasan moral serta memperpeka naluri keadilan.

Page 195: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

194

Dalam arti, penegak hukum bertanggung jawab untuk

menegakkan restorative justice agar korban dan/atau keluarganya

terayomi oleh hukum, masyarakat stakeholder terpulihkan dari

luka (bathin) akibat kejahatan dan pelaku kejahatan disadarkan

atas perbuatannya agar tidak melakukan kembali dan meminta

maaf kepada korban dan/atau keluarganya sehingga dapat

meredakan rasa bersalah. Dengan restorative justice, kehidupan

dan penghidupan korban dan/atau keluarganya, masyarakat

stakeholder dan pelaku menjadi pulih kembali melakukan tugas

dan kewajibannya sesuai dengan porsi hak dan posisi sosial

masing-masing. Sejatinya menegakkan hukum mengemban misi

luhur menjaga dan menegakkan martabat kemanusiaan.151

B. PELAKSANAAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS

1. Restorative Justice/Mediasi Penal dan Penerapannya (Secara

Umum) di Indonesia

Upaya penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute

Resolution) tidak hanya dikenal dalam kaedah-kaedah hukum perdata,

tetapi juga mulai dikenal dan berkembang dalam kaedah hukum

pidana. Salah satu jenis ADR yang mulai dikembangkan dalam hukum

151 Ibid

Page 196: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

195

pidana adalah dalam bentuk mediasi atau dikenal dengan istilah

‘mediasi penal’ (penal mediation).152

Mediasi penal atau mediasi pidana (penal mediation) sering

juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain “mediation in

criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah

Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut ”Der

Außergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat ATA), dan dalam istilah

Perancis disebut ”de mediation pénale”.

Semua pengertian atas istilah mediasi yang telah dikemukakan

tersebut merujuk pada satu pengertian dalam hukum pidana, yakni

mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban untuk

menyelesaikan perkara yang tengah dihadapi dengan jalan

musyawarah untuk mufakat. Karena sifatnya yang demikian itu, istilah

mediasi penal juga dikenal dengan sebutan ”Victim Offender

Mediation” (VOM), Täter Opfer Ausgleich (TOA), atau Offender-

victim Arrangement (OVA). Kemudian karena sifatnya yang mencari

jalan tengah (alternatif) atas suatu penyelesaian perkara pidana,

dikenal pula istilah ”the third way” atau ”the third path” dalam upaya

”crime control and the criminal justice system” untuk menyebut

mediasi penal ini.

Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif

penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan

152 CSA Teddy Lesmana, Mediasi Penal, Sebuah Transplantasi Hukum dalamSistem Peradilan Pidana, dalam www.jambilawclub.com, diakses pada 1 Nopember 2013.

Page 197: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

196

istilah ADR “Alternative Dispute Resolution”, ada pula yang

menyebutnya “Appropriate Dispute Resolution”).153 ADR pada

umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk

kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak

dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal

tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar

pengadilan. Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar

pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek

sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui

berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme

musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam

masyarakat (musyawarah keluarga, musyawarah desa, musyawarah

adat dan sebagainya). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga

sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian

damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja

di proses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Dalam

perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan

hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk

menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternatif

penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Prof. Detlev

153 New York State Dispute Resolution Association Inc, Alternative DisputeResolution in New York State, An Overview, dalam http://www.nysdra.org/, diakses tanggal 9Agustus 2012.

Page 198: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

197

Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana

menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata

tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.

Konsep pendekatan Restorative Justice merupakan suatu

pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya

keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban.

Restorative Justice menghendaki adanya partisipasi langsung pelaku,

korban, dan masyarakat secara aktif dalam penyelesaian suatu tindak

pidana, di sini kepentingan korban sama pentingnya dengan upaya

membuat pelaku menjadi jera sehingga diharapkan kehidupan sosial

masyarakat dapat pulih kembali. Perwujudan konsep penegakan

hukum pidana berbasis Restorative Justice ialah metode mediasi penal

(mediation in criminal cases) yang dilakukan melalui diskresi

(discretion) aparat penegak hukum.

Dikaji dari perspektif terminologinya mediasi penal dikenal

dengan istilah mediation in criminal cases, mediation in penal matters,

victim offenders mediation, offender victim arrangement (Inggris),

strafbemiddeling (Belanda), der Au Bergerichtliche Tatausgleich

(Jerman), de mediation penale (Perancis). Pada dasarnya, mediasi

penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di

luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution/ADR) yang lazim

diterapkan terhadap perkara perdata.

Latar belakang pemikiran diadakannya penyelesaian melaui

Restorative Justice ini ialah ide-ide pembaharuan hukum pidana

Page 199: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

198

(penal reform) menyangkut ide perlindungan korban, ide harmonisasi,

ide Restorative Justice, ide mengatasi kekakuan (formalitas) dalam

sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem

peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini

(pragmatisme), khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana

penjara (alternative to imprisonment/alter-native to custody) untuk

mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara dengan segala bentuk

dan variasinya di pengadilan (court case overload), Restorative Justice

dipandang sejalan dengan asas “peradilan sederhana, cepat dan biaya

ringan” tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu

kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Konsep Restorative

Justice berkembang berlandaskan prinsip kerja (working principles)

sebagai berikut:

a. Penanganan konflik (Conflict Handling, Konflikt

bearbeitung).

Tugas mediator adalah membuat para pihak

mengenyampingkan kerangka hukum dan mendorong mereka

terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide

bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik

itulah yang dituju oleh proses Restorative Justice.

b. Berorientasi pada proses (Process Orientation,

Prozessorientierung).

Restorative Justice lebih berorientasi pada kualitas proses

daripada hasil yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan

Page 200: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

199

kesalahannya, kebuntuan-kebuntuan konflik terpecahkan,

ketenangan korban dari rasa takut.

c. Proses informal (Informal Proceeding, Informalität).

Restorative Justice merupakan suatu proses yang informal,

tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.

d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and

Autonomous Partici-pation, Parteiautonomie/Subjektivie-rung).

Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek

dari prosedur hukum pidana melainkan lebih sebagai subjek yang

mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk

berbuat, mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.

Restorative Justice/Mediasi Penal yang juga biasa dikenal

dengan istilah ADR atau ”Alternative Dispute Resolution”, ide atau

wacana dimasukkannya ADR dalam penyelesaian perkara pidana di

Indonesia, antara lain terlihat dari perkembangan sebagai berikut :154

a. Dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995 yang

berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen

A/CONF.169/6) diungkapkan perlunya semua negara

mempertimbangkan ”privatizing some law enforcement and justice

functions” dan ”alternative dispute resolution/ADR” (berupa

mediasi, konsiliasi, restitusi dan kompensasi) dalam sistem

154 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di LuarPengadilan, Pustaka Magister, Semarang, 2008, hlm. 10-16

Page 201: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

200

peradilan pidana. Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam

dokumen itu sebagai berikut:

”The techniques of mediation, conciliation and arbitration,

which have been developed in the civil law enforcement,

may well be more widely applicable in criminal law. For

example, it is possible that some of the serious problems

that complex and lengthy cases involving fraud and white

collar crime pose for courts could by reduced, if not

entirely eliminated, by applying principles developed in

conciliation and arbitration hearings. In particular, if the

accused is a corporation or business entity rather than an

individual person, the fundamental aim of the court

hearing must be not 21 to impose punishment but to

achieve an outcome that is in the interest of society as a

whole and to reduce the probability of recidivism”.

Menurut kutipan di atas, ADR yang telah dikembangkan

dalam lingkungan hukum perdata, seyogyanya juga dapat

diterapkan secara luas di bidang hukum pidana. Dicontohkan

misalnya, untuk perkara-perkara pidana yang mengandung unsur

”fraud” dan ”white collar crime” atau apabila terdakwanya adalah

korporasi/badan usaha. Ditegaskan pula bahwa apabila

terdakwanya adalah korporasi atau badan usaha, maka tujuan

utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya tidaklah

Page 202: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

201

menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang bermanfaat

bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi

kemungkinan terjadinya pengulangan (recidive).

b. Dalam laporan Kongres PBB ke-9/1995 tentang ”The

Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” (dokumen

A/CONF.169/16), antara lain dikemukakan:

1) Untuk mengatasi problem kelebihan muatan (penumpukan

perkara) di pengadilan, maka peserta kongres menekankan

pada upaya pelepasan bersyarat, mediasi, restitusi dan

kompensasi, khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda

(dalam laporan No. 112).

2) Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis)

mengemukakan ”mediasi penal” (penal mediation) sebagai

suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan

penyelesaian negosiasi pelaku tindak pidana dengan korban

(dalam laporan No. 319)

c. Dalam ”International Penal Reform Conference” yang

diselenggarakan di Royal Holloway College, University of

London, pada tanggal 13-17 April 1999 dikemukakan, bahwa

salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum

pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) ialah

perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau

mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai

dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the

Page 203: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

202

formal judicial system with informal, locally based, dispute

resolution mechanisms which meet human rights standards).

Konferensi ini juga mengidentifikasikan sembilan strategi

pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana,

yaitu mengembangkan/membangun:

1) Restorative justice

2) Alternative dispute resolution

3) Informal justice

4) Alternatives to Custody

5) Alternative ways of dealing with juveniles

6) Dealing with Violent Crime

7) Reducing the prison population

8) The Proper Management of Prisons

9) The role of civil society in penal reform.

d. Pada 15 September 1999, Komisi Para Menteri Dewan

Eropa (he Committee of Ministers of the Council of Europe) telah

menerima Recommendation No. R (99) 19 tentang ”Mediation in

Penal Matters”

e. Dalam Deklarasi Wina, Kongres PBB ke-10/2000 (dokumen

A/CONF.187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk

memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya

diintrodusir mekanisme mediasi dan peradilan restoratif

(restorative justice).

Page 204: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

203

f. Pada 15 Maret 2001, Uni Eropa membuat The EU Council

Framework Decision tentang ”kedudukan korban di dalam proses

pidana” (the Standing of Victims in Criminal Proceedings)- EU

(2001/220/JBZ) yang di dalamnya termasuk juga masalah mediasi.

Pasal 1 (e) dari Framework Decision ini mendefinisikan

”mediation in criminal cases” sebagai : ”the search prior to or

during criminal proceedings, for a negotiated solutionbetween the

victim and the author of the offence, mediated by a competent

person”. Pasal 10-nya menyatakan, setiap negara anggota akan

berusaha ”to promote mediation in criminal cases for offences

which it considers appropriate for this sort of measure”.

Walaupun Pasal 10 ini terkesan hanya memberi dorongan

(encouragement), namun menurut Annemieke Wolthuis155,

berdasarkan penjelasan di dalam website Uni Eropa, negara

anggota wajib mengubah UU dan hukum acara pidananya, antara

lain mengenai ”the right to mediation”.

g. Pada tanggal 24 Juli 2002, Ecosoc (PBB) telah menerima Resolusi

2002/12 mengenai ”Basic Principles on the Use of Restorative

Justice Programmes in Criminal Matters” yang di dalamnya juga

mencakup masalah mediasi.156

Dengan demikian, sejak tahun 1995 melalui Kongres PBB ke-9

sampai dengan tahun 2002 (Resolusi 2002/12 yang telah diterima

155 Ibid, hlm. 15156 Ibid

Page 205: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

204

Ecosoc (PBB) tentang Basic Principles on the Use of Restorative

Justice Programmes in Criminal Matters), masalah mediasi dalam

perkara pidana sudah masuk dalam agenda pembahasan di tingkat

internasional. Tentunya, yang melatarbelakangi pemikiran tersebut

adalah adanya ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform),

antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative

justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku,

ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem

pemidanaan yang ada saat ini khususnya dalam mencari alternatif lain

dari pidana penjara dan sebagainya.

Mediasi penal pertama kali dikenal di Kitchener Ontario

Kanada pada tahun 1974. Program ini kemudian menyebar ke

Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara lain di Eropa. Di Amerika

Serikat, mediasi penal pertama kali dipraktikkan di Elkhart, Indiana

dan di Inggris oleh The Exeter Youth Support Team pada tahun 1979.

Setelah itu, program mediasi penal tersebar ke banyak negara di dunia,

yang perkembangannya paling subur adalah di negara-negara Eropa.

Semakin maraknya penggunaan mediasi penal sebagai

alternatif sistem peradilan pidana untuk menangani ABH adalah

karena keunggulan-keunggulan yang ditawarkan oleh mediasi sebagai

pilihan penyelesaian sengketa seperti fleksibilitas, kecepatan,

rendahnya biaya dan kekuasaan yang dimiliki oleh para pihak untuk

menentukan proses dan kesepakatan yang diinginkan. Umbreit,

Page 206: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

205

seorang profesor pionir dan pakar mediasi penal dari Amerika Serikat

menawarkan definisi mediasi penal, yaitu:157

“Proses yang memberikan kesempatan kepada korban

pencurian dan tindak pidana ringan untuk bertemu pelaku

dalam suasana yang aman yang terstruktur, dengan tujuan

meminta pelaku langsung bertanggung jawab sambil

menyediakan bantuan dan kompensasi untuk korban. Dengan

dibantu seorang mediator yang ahli, korban mampu

memberitahu pelaku bagaimana kejahatan yang dilakukan

mempengaruhi hidupnya, mendapatkan jawaban dan secara

langsung terlibat dalam membuat rencana restitusi sebagai

bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap kerugian atau

kerusakan yang ditimbulkan”.

Mediasi penal bisa digunakan untuk menangani perkara yang

dilakukan orang dewasa maupun anak-anak. Barda Nawawi Arief158

menjelaskan bahwa metode ini melibatkan berbagai pihak yang

bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Mediator dapat

berasal dari pejabat formal, mediator independen atau kombinasi.

Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada

tahap kebijakan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan, atau

157 Mark Umbreit, “Introduction : Restorative Justice Through Victim OffenderMediation”, dalam The Handbook of Victim Offender Mediation : An Essential Guide toPractice and Research, ed. UMbreit, San Fransisco : M., Jossey Bass, 2001b, hlm. xxxviii

158 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal...Op. Cit, hlm. 8

Page 207: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

206

setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe

pelaku tindak pidana, atau khusus untuk anak-anak atau untuk tipe

tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak

kekerasan). Selain itu, bisa ditujukan kepada pelaku anak, pelaku

pemula, juga delik-delik berat atau bahkan residivis.

Penggunaan mediasi penal sebagai alternatif peradilan pidana

anak dalam penanganan ABH terbilang baru karena biasanya mediasi

penal digunakan untuk menangani tindak pidana pencurian dan tindak

pidana ringan lainnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman

dan kebutuhan korban, mediasi penal juga dipakai untuk

menyelesaikan tindak pidana berat seperti pemerkosaan dan

pembunuhan.159 Banyak program mediasi penal dibuat untuk

menghindarkan (diversi) ABH dari penjara untuk mendapatkan pilihan

mekanisme yang lebih murah, cepat dan lebih ringan hukumannya.160

Mediasi penal sebagai alternatif sistem peradilan saat ini

sangat diperlukan, karena:

a. Diharapkan dapat mengurangi penumpukan perkara

b. Merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap

lebih cepat, murah dan sederhana

159 Rodney A. Ellis dan Karen M. Sowers, Juvenile Justice Practice: AcrossDisciplinary Approach to Intervention, Wadsworth, Belmont, 2001, hlm. 205

160 Mark Umbreit dan Robert B. Coates, “The Impact of Victim Offender Mediation: Two Decades of Research”, dalam The Handbook of Victim Offender Mediation: AnEssential Guide to Practice and Research, ed. UMbreit, M., Jossey Bass, San Fransisco,2001, hlm. 169

Page 208: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

207

c. Dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak yang

bersengketa untuk memperoleh keadilan

d. Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan

dalam penyelesaian sengketa di samping proses menjatuhkan

pemidanaan.

Walaupun mediasi penal belum memiliki payung hukum dalam

sistem peradilan pidana di Indonesia, sebenarnya sudah ada beberapa

peraturan yang berupaya secara tersirat memungkinkan metode ini.

Barda Nawawi Arief memaparkan perkembangan pengaturan mediasi

penal di Indonesia:161

a. Walaupun perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan

di luar pengadilan, namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan

adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan, antara lain :

1) Dalam hal delik yang dilakukan berupa “pelanggaran yang

hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82

KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu

hapus, apabila terdakwa telah membayar denda maksimum

untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah

dikeluarkan jika penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam

Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah “afkoop” atau

“pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan

penghapus penuntutan.

161 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal...Op. Cit, hlm. 34-39

Page 209: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

208

2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8

tahun. Menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak, batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan

sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun.

Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan

kembali anak tersebut kepada orang tua, wali atau orang tua

asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina atau diserahkan

kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi

dibina oleh orang tua/wali/orang tua asuh (Pasal 5 UU No. 3

Tahun 1997)

b. Ketentuan di atas hanya memberi kemungkinan adanya

penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namun belum

merupakan “mediasi penal” sepertu yang diuraikan di atas.

Penyelesaian di luar pengadilan berdasarkan Pasal 82 KUHP di

atas belum menggambarkan secara tegas adanya kemungkinan

penyelesaian damai atau mediasi antara pelaku dan korban

(terutama dalam masalah pemberian ganti rugi atau kompensasi)

yang merupakan sarana pengalihan/diversi (means of dicersion)

untuk dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana.

c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM juga membuka

kemungkinan lain dalam memberi kewenangan kepada Komnas

HAM untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM.

Namun tidak ada ketentuan yang secara tegas menyatakan bahwa

semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh

Page 210: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

209

Komnas HAM, karena menurut Pasal 89 (4) Komnas HAM juga

dapat hanya memberi saran kepada para pihak untuk

menyelesaikan sengketa melalui pengadilan (sub-c) atau hanya

memberi rekomendasi kepada Pemerintah atau DPR untuk

ditindaklanjuti penyelesaiannya (sub d dan sub e). Demikian pula

tidak ada ketentuan yang secara tegas menyatakan, bahwa akibat

adanya mediasi oleh Komnas HAM itu dapat menghapuskan

penuntutan atau pemidanaan. Di dalam Pasal 96 (3) hanya

ditentukan, bahwa “keputusan mediasi mengikat secara hukum dan

berlaku sebagai alat bukti yang sah”.

d. Di beberapa negara lain, mediasi penal dimungkinkan untuk tindak

pidana yang dilakukan oleh anak dan kasus KDRT (kekerasan

dalam rumah tangga). Namun ketentuan mediasi penal itu tidak

terdapat dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

maupun dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT.

e. Gugurnya kewenangan penuntutan seperti yang ada dalam KUHP

dan di dalam Konsep Rancangan KUHP digabung dalam satu

pasal dan diperluas dengan ketentuan sebagai berikut:

Kewenangan penuntutan gugur, jika:

1) Telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap

2) Terdakwa meninggal dunia

3) Daluwarsa

4) Penyelesaian di luar proses

Page 211: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

210

5) Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak

pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda

paling banyak kategori II

6) Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1

(satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III

7) Presiden memberi amnesti atau abolisi

8) Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada

negara lain berdasarkan perjanjian

9) Tindak pidana aduan yang tidak ada pengadilan atau

pengaduannya ditarik kembali

10) Pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.

Bisa disimpulkan berdasarkan ketentuan tersebut bahwa

Rancangan KUHP memungkinkan penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan. Walaupun pengaturan rincinya belum ada, namun akan

diatur lebih lanjut di dalam Rancangan KUHP. Pengintegrasian

mediasi dalam sistem peradilan Indonesia sebenarnya sudah

dilakukan, walaupun baru dalam kasus perdata. Itupun baru dalam

bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang secara hierarkis

berkedudukan lebih rendah dibandingkan dengan sebuah Undang-

Undang. Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan ini untuk

menerjemahkan undang-undang yang belum jelas peraturanya. Namun

kewenangan ini sebatas prosedural dan bukan substantif. Dalam

PERMA mediasi perkara perdata tersebut dinyatakan:

Page 212: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

211

“Bahwa sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan

memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur

acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan

perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban dan

kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk

menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu

menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung”.

Mediasi penal bisa saja diintegrasikan dalam sistem peradilan

pidana melalui penerbitan PERMA karena akan menyingkat waktu

dibandingkan menerbitkan sebuah Undang-undang yang memakan

waktu lama. Namun, walaupun hal ini sudah merupakan terobosan

hukum yang konstruktif, akan lebih baik kalau mediasi mempunyai

dasar hukum dalam bentuk undang-undang karena akan berlaku secara

nasional, tidak hanya berlaku dalam lingkup internal pengadilan yang

menjadi yurisdiksi sebuah PERMA. Hal ini pula yang menjadi salah

satu hambatan mendasar dalam implementasi mediasi perkara perdata

di pengadilan selama ini.162

Akan lebih baik lagi bila mediasi dimasukkan dalam

Rancangan KUHP karena akan mempunyai kekuatan hukum yang

mengikat para pihak dan aparat penegak hukum dengan kuat.

Walaupun RUU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menurut

162 Fatahillah A. Syukur, Contrains Hampering The Implementation of IndonesianCourt Annexed Mediation and Some Proposed Solution, Paper presented at the 4th AsiaPacific Mediation Forum Conference, 2008, hlm. 11

Page 213: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

212

rencana memuat mediasi sebagai metode penyelesaian perkara ABH

segera disahkan, dikhawatirkan nasibnya juga akan sama dengan

undang-undang lain seperti UU Pengadilan Anak dan UU

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Walaupun UU

tersebut mempunyai substansi lebih reformatif dan ancaman pidana

lebih berat bagi pelanggar hukum, tetapi tidak dipakai oleh aparat

penegak hukum karena pandangan legalistik an sich aparat penegak

hukum yang hanya berpedoman pada hukum acara yang berlaku.

Dalam “Explanatory Memorandum” dari Rekomendasi Dewan

Eropa No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”,

dikemukakan beberapa model mediasi penal sebagai berikut:

a. Model “Informal Mediation”

Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana

(criminal justice personel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat

dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang

para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan

tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan, dapat

dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation

officer) oleh pejabat polisi atau oleh hakim. Jenis intervensi

informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.

b. Model “Traditional Village or Tribal Moots”

Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk

memecahkan konflik kejahatan di antara warganya.

Page 214: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

213

1) Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di

wilayah pedesaan/pedalaman

2) Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas

3) Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi

inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern.

Program mediasi modern sering mencoba memperkenalkan

berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam

bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan

hak-hak individu yang diakui menurut hukum.

c. Model “Victim Offender Mediation”

1) Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang

paling sering ada dalam pikiran orang

2) Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan

dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari

model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal,

mediator independen atau kombinasi

3) Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik

pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap

pemidanaan atau setelah pemidanaan

4) Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak

pidana; ada yang khusus untuk anak; ada yang untuk tipe

tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan

tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku

Page 215: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

214

anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat

dan bahkan untuk residivis.

d. Model “Reparation Negotiation Programmes”

1) Model ini semata-mata untuk menaksir/menilai kompensasi

atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana

kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan

2) Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para

pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan

materiel

3) Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan

program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar

ganti rugi/kompensasi.

e. Model “Community Panels or Courts”

Model ini merupakan program membelokkan kasus pidana

dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang

lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi

atau negosiasi.

f. Model “Family and Community Group Conferences”

1) Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand,

yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam SPP (Sistem

Peradilan Pidana). Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku

tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga

masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim

anak) dan para pendukung korban

Page 216: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

215

2) Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan

yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat

membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari

kesusahan/persoalan berikutnya.

2. Penyelesaian Tindak Pidana Lalu Lintas dalam Kerangka

Restorative Justice

Walaupun dalam asas hukum positif Indonesia (perspektif

yuridis) tidak mengenal istilah tindak pidana (termasuk tindak pidana

lalulintas) dapat diselesaikan di luar pengadilan akan tetapi dalam hal-

hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus di luar

pengadilan, namun demikian dalam praktik penegakan hukum tidak

sedikit tindak pidana (termasuk tindak pidana lalulintas) diselesaikan

di luar pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum (diskresi

kepolisian), mekanisme perdamaian, dan lembaga adat. Mengingat

praktik penyelesaian perkara di luar pengadilan selama ini tidak ada

landasan hukum formalnya dan hanya berkembang dalam dimensi

praktik maka lazim terjadi suatu kasus secara informal telah dilakukan

penyelesaian damai namun tetap diproses ke pengadilan sesuai hukum

positif yang berlaku, sehingga sungguh sangat menciderai rasa

keadilan bagi para pihak. Restorative Justice sebagai salah satu

alternatif penyelesaian perkara di bidang hukum pidana menunjukkan

bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar.

Page 217: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

216

Dalam penyelesaian tindak pidana di bidang lalu lintas dengan

kerangka Restorative Justice, eksistensi nilai keadilannya dapat dikaji

dari berbagai perspektif, yaitu filosofis, sosiologis dan juga diskresi

kepolisian, sebagai berikut :

a. Perspektif filosofis

Eksistensi Restorative Justice mengandung asas

diterapkannya solusi “menang-menang” (win-win) dan bukan

berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-

kalah” (win-lost) sebagaimana ingin dicapai peradilan dengan

pencapaian keadilan formal melalui proses hukum litigatif (law

enforcement process). Melalui proses Restorative Justice maka

diperoleh puncak keadilan tertinggi karena terjadinya kesepakatan

para pihak yang terlibat dalam tindak pidana (termasuk tindak

pidana lalu lintas) tersebut yaitu antara pihak pelaku dan korban.

Pihak korban maupun pelaku diharapkan dapat mencari dan

mencapai solusi serta alternatif terbaik untuk menyelesaikan

perkara tersebut. Implikasi dari pencapaian ini maka pihak pelaku

dan korban dapat mengajukan kompensasi yang ditawarkan,

disepakati dan dirundingkan antar mereka bersama sehingga solusi

yang dicapai bersifat “menang-menang” (win-win).

Restorative Justice mempunyai implikasi bersifat positif

dimana secara filosofis dicapainya peradilan dilakukan secara

cepat, sederhana dan biaya ringan karena pihak yang terlibat relatif

Page 218: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

217

lebih sedikit dibandingkan melalui proses peradilan dengan

komponen sistem peradilan pidana.

b. Perspektif sosiologis

Perspektif sosiologis berorientasi pada masyarakat

Indonesia yang akar budaya masyarakatnya berorientasi pada nilai

kekeluargaan dan mengedepankan asas musyawarah mufakat

menurut kearifan lokal hukum adat untuk menyelesaikan suatu

sengketa dalam suatu sistem sosial.

Kearifan lokal hukum adat, menurut pandangan Soepomo

diartikan sebagai “suatu hukum yang hidup, karena ia

menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, serta hukum

adat bersifat dinamis dan akan tumbuh serta berkembang sejalan

dengan perkembangan masyarakatnya”. Dimensi kearifan lokal

hukum adat yang berlandaskan alam pikiran kosmis, magis dan

religius ini berkorelasi dengan aspek sosiologis dari cara pandang

dan budaya masyarakat Indonesia. Dalam praktik sosial

masyarakat Indonesia, lembaga Restorative Justice sudah lama

dikenal dan telah menjadi tradisi, masyarakat Papua misalnya

dikenal “budaya bakar batu”, sebagai simbol budaya lokal, yang

digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau perkara, termasuk

perkara pidana melalui upaya damai demi terpeliharanya harmoni

sosial.

c. Perspektif diskresi kepolisian

Page 219: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

218

Restorative Justice dalam dimensi hukum negara (ius

constitutum) sejatinya belum banyak dikenal, khususnya di tingkat

proses penyidikan tindak pidana, hanya ada beberapa aturan yang

dapat dipakai menjadi dasar hukum pemberlakuan Restorative

Justice pada tahapan proses penyidikan di Indonesia dan satu

diantaranya adalah Surat Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia No. Pol. : B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14

Desember 2009 perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative

Dispute Resolution (ADR).

Surat ini menjadi rujukan bagi Kepolisian untuk

menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana ringan, seperti Pasal

205, 302, 315, 352, 373, 379, 384, 407, 482. Surat ini efektif

berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan

dan penyelidikan. Beberapa point penekanan dalam Surat

Kepolisian tersebut antara lain:

1) Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai

kerugian materi kecil, penyelesaian dapat diarahkan melalui

ADR;

2) Penyelesaian kasus melalui ADR harus disepakati oleh pihak-

pihak yang berkasus, namun apabila tidak tercapai

kesepakatan, harus diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum

yang berlaku sacara profesional dan proporsional;

Page 220: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

219

3) Penyelesaian perkara melalui ADR harus berprinsip pada

musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat

sekitar;

4) Penyelesaian perkara melalui ADR harus menghormati norma

hukum sosial serta memenuhi asas keadilan;

5) Untuk kasus yang telah diselesaikan melalui ADR agar tidak

lagi disentuh oleh tindakan hukum lain.

dan untuk jenis tindak pidana di bidang lalu lintas adalah tidak

termasuk di dalamnya, sehingga penyelesaian tindak pidana di

bidang lalu lintas dengan kerangka Restorative Justice sampai

dengan saat ini adalah belum ada payung hukumnya.

Dalam konsepsi diskresi kepolisian yang erat kaitannya

dengan Teori Hukum Progresif, dimana dinyatakan bahwa

pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya yaitu

hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya, sehingga manusia

menjadi penentu dan titik orientasi hukum, hukum progresif lebih

mengutamakan tujuan dan konteks dari pada teks aturan semata,

sehingga ketika proses penyelesaian tindak pidana lalu lintas

dalam kerangka restorative justice pada faktanya belum ada

payung hukumnya, maka dalam hal ini, dengan mendasari tujuan

dari proses penegakanan hukum yaitu untuk kepentingan keadilan,

kepastian hukum dan kemanfaatan, dengan dilandasi nilai filosofi

yang sangat tinggi yang didalamnya terkandung makna dari

persepektif kisas dan diat dalam hukum Islam, maka menjadi

Page 221: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

220

sangat jelas lagi tegas bahwa secara konsepsional inti dan arti

penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan

nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap

dan mengejawantahkan serta sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup, maka oleh

karenanya proses perubahan tidak lagi berpusat dan bergantung

pada peraturan, tetapi pada kreativitas penyidik lalu lintas dalam

mengaktualisasikan hukum pada ruang dan waktu yang tepat. Oleh

karenanya, dengan mendasari Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka penyidik

dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri guna melakukan

perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap

peraturan yang ada berupa UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

dan UU No. 22 Tahun 2009 tentang UULAJ, tanpa harus

menunggu perubahan peraturan (changing the law) karena

senayatanya bahwa hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan”

daripada “prosedur”.

Dalam hal ini, diskresi kepolisian diproyeksikan secara

hukum dapat memayungi kegiatan penyidik kepolisian dalam

melakukan penyelesian tindak pidana lalu lintas dalam kerangka

Restorative Justice yang didasari atas adanya kesepakatan hasil

musyawarah untuk mufakat secara kekeluargaan dari para pihak

yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas (pelaku dan korban atau

Page 222: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

221

keluarga), dimana sebelumnya antara kedua pihak telah saling

memaafkan, saling menyadari bahwa tindak pidana kecelakaan

lalu lintas tersebut terjadi terjadi karena suatu kealpaan dan bukan

karena kesengajaan, kemudian diakhiri dengan memberi dan

menerima ganti rugi sesuai dengan yang dikehendaki di antara

para pihak yang telibat di dalamnya.

d. Perspektif kebijakan Islam/Wisdom Islam, Teori Ta’wil al-Ilmu

Dalam teori Ta’wil al-Ilmu, yaitu menggabungkan tiga

aspek : aspek bayani (tekstual), aspek burhani (rasional) teori dan

aspek Kasyfi (spiritual).

Ide pendekatan Bayani, Burhani dan Kasyfi awalnya

dikemukakan oleh Muhammad ‘Abid al Jibiri dalam buku-

bukunya:

1) Takwin al Aql al Araby,

2) Bunyah al Aql al Araby, Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li

Nudzumi al Ma’rifah fi al Tsa qafah al Arabiyah.

Kedua buku ini berisi kajian yang mendalam tentang keislaman

dalam tataran humanties (kemanusiaan) secara umum. Sedang

kitabnya yang ketiga yakni :

3) Al Aql al Siyasi al Araby, merupakan aplikasi dalam sosial

politik masyarakat muslim.

Dari pemikiran Dr. al Jabiri ini oleh Prof. Amin Abdullah

diteorikan dengan epistimologi Ta’wilul Ilmiy. Buku-buku al

Jabiri di atas, khususnya buku kedua berisi pendekatan pemikiran

Page 223: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

222

berupa analisa kritis dan pencerahan dalam pemikiran terhadap

syari’ah dalam arti luas (Akidah, Ahkam dan Akhlak) melalui

sumbernya. Syari’ah yang sumber pokoknya al Qur’an, dijadikan

subyek dan obyek kajian akal.163

Selama ini nash (teks) al Qur’an sebagai subyek

ditafsirkan dengan istilah bayani yang pengertiannya adalah teks

sesuatu yang sudah matang untuk diterapkan. Tidak juga

didudukkan sebagai obyek kajian, pemahaman, pemaknaan, dan

interpretasi. Padahal mendudukkan nash, pemahaman,

pemaknaan, dan interpretasi sebagai obyek di samping subyek

kajian inilah yang merupakan pengembangan pemikiran dalam

studi ke-Islaman yang oleh Prof. Amin Abdullah dimaksudkan

dengan At Ta’wil Al ‘Ilmi yang diungkapkan sebagai wacana

pengembangan pemikiran penafsiran terhadap al Qur’an.

Maksudnya al Qur’an dijadikan sebagai subyek dan obyek telaah

ilmu keislaman yang baru.

Dr. Al Jabiri sendiri dalam kitabnya Bunyatul ‘aqli al

‘Araby dalam mengemukakan pendekatan bayani itu mulai

dengan memaknakan al Bayan dari segi bahasa dan pemakaian

para pakar terhadap kata istilah al Bayan itu. Dalam paparannya,

dikemukakan bahwa al Qur’an menyebut kata dengan

menggunakan akar kata ba, ya, dan nun, sampai 250 kali. Sedang

163 Abdullah, Amin, “al-Ta’wil al-‘Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma PenafsiranKitab Suci”, Jurnal Al-jami’ah IAIN Sunan Kalijaga, Volume 39, No. 2, Juli – Desember2001

Page 224: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

223

Ibnu Mundhur (ahli bahasa) dalam bukunya lisanul a’rab

menyimpulkan ada lima arti pokok al Bayan, yaitu:164

1) Menghubungkan satu dengan yang lain.

2) Memutuskan satu dengan yang lain.

3) Mengungkap satu pengertian dengan jelas.

4) Mengemukakan pengertian tentang kemampuan

menyampaikan sesuatu dengan jelas.

5) Kemampuan manusia menyampaikan penjelasan.

Asy Syafi’iy disamping keahliannya bidang fiqih dan

ushul fiqh, juga terkenal alih bahasa, mengemukakan tentang

fungsi bayani ini pada dataran teori ilmiyyah yang kemudian oleh

Al Jahidh diletakkan dalam datara praktis.

Adapun al Jahidh, seorang mufassir yang banyak

menyoroti ayat dari segi bahasa, seperti pemikiran al Jabiri,

mengemukakan bahwa sehubungan dengan al Bayan ini perlu

diberi batasan, sehingga kalau diterapkan dalam pemaknaan al

Qur’an dapat sesuai. Untuk itu al Jahidh menulis dua kitab:165

1) Nudhumul Qur’an (susunan kata al Qur’an).

2) Ayul Qur’an (ayat-ayat al Qur’an).

Di samping itu al Jahidah yang juga dikualifikasikan ahli

ilmu kalam itu menulis buku yang bernama “al Bayan wat

164 Ibid165 Ibid

Page 225: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

224

Tabyin”. Dalam kitab itu memberikan syarat efektivitas ketentuan

bayani itu pada:166

1) Kelancaran pengucapnya.

2) Baik pilihan kata-kata.

3) Dapat mengungkapkan maksud pembicaraan yang lengkap

dengan:

a) Kata-kata yang baik dan jelas.

b) Isyarat-isyarat yang tepat.

c) Tulisan yang terang.

d) Dengan janji dan persetujuan.

e) Dengan kenyataan yang ada yang berupa fakta.

4) Bayan dari segi balaqhah (seni sastra) adalah ungkapan

kata-kata dalam susunan yang dapat memberikan makna yang

jelas.

5) Dari segi kekuasaan bayan juga dimaksudkan untuk dapat

mempengaruhi orang lain.

Kalau mau dirumuskan dalam satu ungkapan, bahwa

menurut al Jahidh kata al Bayan itu adalah kata yang umum yang

meliputi bermacam-macam pengertian. Rincian pengertian bayan

itu antara lain dapat difahami oleh akal manusia, sehingga bayan

dan akal manusia itu dua hal yang saling melengkapi. Demikian

166 Ibid

Page 226: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

225

dikemukakan Ibnu Wahab. Oleh al jabiri dikatakan bahwa Ibnu

Wahab membagi bentuk bayan dalam empat macam:167

1) Bayan al I’tibar (ialah sesuatu yang dapat membawakan pada

pengertian, yang dibagi dua :

a) Yang nampak didapati dengan panca indera seperti

panasnya api dapat diketahui dengan meraba benda yang

panas.

b) Yang tidak nampak, tetapi dapat dicapai dengan

menyamakan (qiyas) dan dengan memahami berita.

2) Bayan al I’tiqad, (ialah yang dapat membawa pengertian

dalam fikiran dan membawa keyakinan dalam hati).

3) Bayan al ibarah (ialah pernyataan yang dapat menunjukkan

pada usatu pengertian, baik yang dhahir yang tidak

memerlukan pada tafsir (penjelasan) lebih lanjut maupun yang

bathin yang memerlukan pada penjelasan (tafsir). Yang bathin

lebih lanjut dapat dicapai dengan menggunakan sistem qiyas

dan pemikiran dan menggunakan dalil dan khabar. Adapun

yang dimasukkan dalam qiyas dan pemikiran setelah istidlal

adalah ijtihad dalam memahami arti yang dimaksudkan oleh

bayan tersebut. Sedang khabar adalah sunnah yang

menjelaskan terhadap syari’at.

4) Bayan al kitab, (tulisan) yang akan memberi penjelasan orang

sesudahnya dan orang yang tidak hadir pada waktu itu.

167 Ibid

Page 227: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

226

Kesimpulan yang diberikan oleh Dr. M.A. Al Jabiri ialah

bahwa al Bayan itu dapat dibagi dua, yakni:168

1) Sesuatu yang diterima (mauhuban) dan

2) Sesuatu yang diusahakan dan ditanggapi (maksuban).

Jadi prinsip pendekatan al Bayan ialah gambaran akal

yang merupakan gharizah (insting) yang tidak akan sampai pada

perwujudan yang dimaksud kecuali dengan usaha pencarian

manusia dengan perantaraan khabar (nash) maupun dengan

perantaraan nadzar (pemikiran). Pemikiran ini adalah kemampuan

dan usaha akal dalam menanggapi dan menangkap petunjuk atau

dalil yang disebut amarat. Dalam pengamatannya Al Jabiri setelah

mengemukakan bahwa asy Syafi’i sebagai ahli bahasa dan ahli

fiqih/ushul fiqih telah membuat qaidah-qaidah tentang tafsirul

khithap (qaidah tentang penafsiran terhadap nash). Juga al Jabiri

mengemukakan pendapat al Jahidh yang telah menelurkan qaidah-

qaidah menuju kepada hasil-hasil khitap. Dan Ibnu Wahab yang

telah menelurkan jalah dalam rangka mendapatkan pengertian

yang dapat mendatangkan keyakinan. Akhirnya ia menyimpulkan

bahwa sebenarnya pemikiran ahli bahasa, ahli kalam, dan ahli

ushul dan fiqih keseluruhan menggunakan al Bayan dalam

memahami nash-nash baik sebagai subyek maupun obyek.

168 Ibid

Page 228: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

227

Lebih lanjut oleh al Jabiri dikemukakan bahwa dalam

lapangan bahasa seperti ilmu nahwu ada cara yang penerapannya

menggunakan ilmu mantiq seperti dalam penggunaan bentuk kata

benda yang menggunakan bentuk isim alat, isim makan (tempat),

dan sebagainya. Juga dalam menghubungkan lafadl (kata) dengan

maknanya. Demikian pula pada ilmu ushul fiqih, dalam

memahami nash sebagai sumber yang harus difahami sebagai

subyek juga menggunakan qaidah yang dibentuk atas dasar:169

1) Qaidah lughawiyyah, dan

2) Qaidah syar’iyyah.

Keduanya mendudukkan adanya epistimologi ijtihad yang

termasuk di dalamnya menjadikan rumusan maqashidusy syari’ah

(tujuan penetapan hukum) adalah kemashlahatan. Dalam ilmu

kalam adanya perbedaan pendangan apakah al Qur’an qadiem

atau hadits (sesuatu yang baru) dan selesailah perdebatan itu

dengan penyelesaian bahwa al Qur’an itu Qadiem makna-

maknanya sedang lafadl serta hurufnya adalah hadits (baru,

maksudnya makluq) maka lafadl dan huruf al Qur’an itu lafadlnya

dapat ditanggapi oleh akal (fikiran) manusia maksudnya, tidaklah

tabu fikiran manusia itu mengembangkannya sebagai mana dalam

bahasa ada qiyas dan dalam fiqih ada ijtihad.

Pengembangan pemikiran ini merupakan wacana yang

terus menerus perlu dikaji dalam rangka menatap kemajuan

169 Ibid

Page 229: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

228

dimasa kini dan mendatang. Metode memahami nash dengan

tafsir dan ta’wil ala mufassirin, dikembangkan menjadi dengan

tafsir dan ta’wil ilmiy, penta’wilan nash dengan menjadikan nash,

dijadikan pula obyek di samping subyek. Tentu metodenya pun

harus difikirkan untuk tidak keluar dari jalur kebenaran.

Kebenaran yang berdasarkan pada wahyu yang diterima untuk

difahami dan diamalkan sebagai sumber agama juga kebenaran

yang dapat difahami dan diamalkan agama sebagai rahmatan lil

‘alamien. Untuk itu diperlukan pendekatan lain yakni irfani dan

burhani yang akan dibicarakan pada rubrik manhaj ini yang akan

datang. Insya Allah.

e. Perspektif kebijakan lokal/wisdom local masyarakat

Indonesia (perspektif Pancasila / sila-sila dalam Pancasila)

Dalam Kamus Inggris Indonesia, local berarti setempat,

sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara

umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami

sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana,

penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh

anggota masyarakatnya.170 Kearifan lokal atau sering disebut local

wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan

menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap

terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang

170 Sartini. “Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati”, JurnalFilsafat Jilid 37, Nomor 2, 2004, hlm. 111

Page 230: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

229

tertentu.171 Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana

wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam

menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap

sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa

yang terjadi.

Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai

‘kearifan/kebijaksanaan’. Kearifan lokal merupakan pengetahuan

yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi

bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal

yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu

panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan

lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan

kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan

harmonis. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar

sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu

mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh

keadaban. Pada akhirnya kearifan lokal dijadikan pandangan hidup

dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang

berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam

menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka

yang meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan,

ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi,

171 N. A. Ridwan, “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, Ibda P3M STAINPurwokerto, Vol 5 No. 1, 2007, hlm. 27-38.

Page 231: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

230

serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program,

kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan,

memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka, dengan

memperhatikan lingkungan dan sumber daya manusia yang

terdapat pada warga mereka.

Masyarakat harmonis jika dipahami secara sepintas

merupakan format kehidupan sosial yang mengedepankan

semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi

manusia sebagaimana diamanatkan dalam sila kedua dan sila

keempat dari Pancasila. Dalam masyarakat yang harmonis, warga

bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan

solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk

mencapai kebaikan bersama. Beberapa indikator yang dapat

digunakan sebagai ukuran dalam mewujudkan tercapainya

masyarakat harmonis, yaitu: 1) terpeliharanya eksistensi agama

atau ajaran-ajaran yang ada dalam masyarakat; 2) terpelihara dan

terjaminnya keamanan, ketertiban, dan keselamatan; 3) tegaknya

kebebasan berpikir yang jernih dan sehat; 4) terbangunnya

eksistensi kekeluargaan yang tenang dan tenteram dengan penuh

toleransi dan tenggang rasa; 5) terbangunnya kondisi daerah yang

demokratis, santun, beradab serta bermoral tinggi; dan 6)

terbangunnya profesionalisme aparatur yang tinggi untuk

mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih berwibawa dan

bertanggung jawab.

Page 232: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

231

BAB IIIEKSISTENSI KONSTRUKSI PERDAMAIAN SEBAGAI PAYUNG

HUKUM DALAM IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICEDI TINGKAT PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS

A. PEJABAT PENYIDIK DALAM KUHAP

Salah satu alasan dibentuknya Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana untuk menggantikan Herziene Inlands Reglement adalah

karena masalah Hak Asasi Manusia (human rights). HIR, yang

merupakan kodifikasi peninggalan penjajahan Belanda, dipandang kurang

memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.

Karenanya dapat diduga bahwa selayaknya jika KUHAP (Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) berisi

ketentuan-ketentuan beracara pidana yang memberikan perlindungan

yang lebih baik terhadap Hak Asasi Manusia dibandingkan dengan

ketentuan-ketentuan acara pidana dalam HIR.

Dengan membaca pasal-pasal yang terdapat dalam KUHAP dapat

ditemukan sejumlah ketentuan dimana kepada Penyidik dibebani

sejumlah kewajiban dalam melakukan pemeriksaan tersangka. Kewajiban

itu antara lain kewajiban memberitahukan kepada tersangka tentang

haknya didampingi penasihat hukum.

Dalam tahap penyidikan di bawah berlakunya KUHAP terdapat

beberapa pajabat, yaitu:

Penyelidik;

Penyidik; dan

Page 233: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

232

Penyidik pembantu

Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia

(Pasal 4 KUHAP). Fungsi penyelidik adalah melakukan penyelidikan,

yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan

suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat

atau tidaknya dilakukan penyidikan (Pasal 1 butir 5 KUHAP).

Penyidik, menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP, adalah pejabat polisi

negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang

diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan

penyidikan. Dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP dikemukakan lagi bahwa

penyidik adalah:

Pejabat polisi negara Republik Indonesia;

Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang.

Sedangkan menurut Pasal 1 butir 3 KUHAP, bahwa Penyidik

Pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang

karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang

diatur dalam undang-undang ini.

Menurut Pasal 7 ayat (1) KUHAP, penyidik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, yaitu pejabat polisi negara

Republik Indonesia, karena kewajibannya mempunyai wewenang:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana;

2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

Page 234: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

233

3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda mengenal

diri tersangka;

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

9. Mengadakan penghentian penyidikan;

10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Menurut Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP, Penyelidik karena

kewajibannya mempunyai wewenang:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana;

2. Mencari keterangan dan barang bukti;

3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri;

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Sedangkan atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP, penyelidik dapat melakukan tindakan

berupa:

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan

penyitaan;

Page 235: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

234

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

B. KEWAJIBAN-KEWAJIBAN PENYIDIK

1. Kewajiban-Kewajiban Penyidik Dalam Pemeriksaan terhadap

Tersangka

Dalam KUHAP, khususnya Bab XIV Bagian Kedua tentang

Penyidikan, yang mencakup Pasal 106 sampai dengan Pasal 136,

diatur sejumlah kewajiban Penyidik dalam memeriksa tersangka.

Selain itu dalam KUHAP terdapat Bab VI yang berjudul "Tersangka

dan Terdakwa", yang mencakup Pasal 50 sampai dengan Pasal 68,

dimana ditentukan sejumlah hak tersangka. Apa yang di satu pihak

merupakan hak tersangka dengan sendirinya di lain pihak menjadi

kewajiban dari Penyidik.

Dengan meneliti pasal-pasal dalam kedua Bab tersebut, maka

di antaranya ada pasal-pasal yang menentukan kewajiban-kewajiban

Penyidik terhadap tersangka dalam melakukan pemeriksaan.

a. Kewajiban Penyidik terhadap tersangka sebelum

dimulainya pemeriksaan

Kewajiban-kewajiban Penyidik terhadap tersangka

sebelum dimulainya pemeriksaan yang diatur dalam Bab XIV

Bagian Kedua adalah sebagai berikut :

Page 236: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

235

1) Kewajiban memanggil tersangka dengan surat panggilan yang

sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar.

Pada Pasal 112 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa

Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan

alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil

tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa

dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan

tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan

hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.

Pemanggilan memang memiliki tenggang waktu

dengan saat dilakukannya pemeriksaan. Tetapi, dilakukannya

pemeriksaan, kebanyakan dimulai dengan pemanggilan

terlebih dahulu, sehingga antara keduanya terdapat kaitan

yang amat erat. Karenanya, penulis memandang perlu untuk

dilakukannya pembahasan terhadap hal ini.

Pemanggilan harus dilakukan : (1) dengan surat

panggilan yang sah, dan (2) dengan memperhatikan tenggang

waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari

seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Jadi,

pemanggilan harus dilakukan dengan surat panggilan. Surat

panggilan yang sah berarti surat panggilan itu harus

memenuhi standar sebagaimana layaknya suatu surat resmi,

yaitu setidak-tidaknya memiliki kepala surat yang

menyebutkan identitas dari kantor/instansi dan ditandatangani

Page 237: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

236

oleh pejabat yang berwenang untuk itu dari kantor/instansi

yang bersangkutan.

Surat panggilan juga harus menyebutkan "alasan

pemanggilan secara jelas". Mengenai hal ini dikatakan oleh

M. Yahya Harahap bahwa,

Dengan menyebut alasan pemanggilan, orang yang

dipanggil sudah tahu dari semula untuk apa dia

dipanggil, apakah sebagai tersangka, saksi atau

sebagai ahli. Sering dijumpai surat panggilan yang

kabur. Artinya tidak dicantumkan secara tegas apakah

yang dipanggil itu sebagai saksi atau tersangka.

Misalnya hanya menyebut: dipanggil menghadap

tanggal sekian sehubungan dengan pemeriksaan

perkara pidana yang dituduhkan berdasarkan pasal

338 KUHP. Bentuk panggilan seperti ini nampaknya

tidak fair. Seolah-olah sengaja untuk menakuti orang

yang dipanggil. Padahal nyatanya orang yang

dipanggil tadi hanya akan diperiksa sebagai saksi.

Pemanggilan seperti ini, di samping bentuknya kabur,

sekaligus juga telah melanggar landasan penegakan

kepastian hukum bagi orang yang dipanggil. Oleh

karena itu dengan berlakunya KUHAP yang dalam

salah satu tujuannya adalah menegakkan kepastian

Page 238: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

237

hukum, haruslah tegas dijelaskan status orang yang

dipanggil apakah sebagai tersangka atau saksi.172

Sebagaimana dikatakan oleh M. Yahya Harahap, surat

panggilan yang tidak menyebutkan status terpanggil apakah

sebagai tersangka atau saksi, merupakan surat yang kabur dan

melanggar kepastian hukum.

2) Kewajiban memberitahukan kepada tersangka dengan jelas

dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang

disangkakan kepadanya.

Menurut Pasal 51 huruf a KUHAP, untuk

mempersiapkan pembelaan tersangka berhak untuk

diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti

olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu

pemeriksaan dimulai.

Hak tersangka ini di lain pihak merupakan kewajiban

dari Penyidik. Dengan demikian, Penyidik berkewajiban

memberitahukan kepada tersangka dengan jelas dan dalam

bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang

disangkakan kepadanya.

3) Kewajiban memberitahukan kepada tersangka haknya

mendapat bantuan hukum.

172 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sarana

Bakti Semesta, Jakarta, 1985, hlm. 125

Page 239: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

238

Pada Pasal 114 KUHAP ditentukan bahwa dalam hal

seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum

dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib

memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk

mendapatkan bantuan hukum atau bahwa di dalam

perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 KUHAP.

Didampingi oleh seorang atau lebih penasihat hukum

adalah merupakan hak dari tersangka. Hak ini berlaku untuk

semua tindak pidana, terutama apabila tindak pidana yang

disangkakan itu tidak diancamkan pidana mati, tidak

diancamkan pidana 15 tahun atau lebih, atau bagi yang tidak

mampu tidak diancamkan dengan pidana 5 tahun atau lebih.

Jika tindak pidana itu diancamkan pidana mati, dan

seterusnya itu, maka didampingi oleh penasihat hukum,

bukan lagi hanya sekedar hak melainkan sudah merupakan

suatu kewajiban.

Penyidik wajib memberitahukan adanya hak ini

kepada tersangka. Apakah tersangka akan menggunakan

haknya ini atau tidak, diserahkan kepada tersangka sendiri.

Dalam hal tersangka berkehendak untuk didampingi

penasihat hukum, maka penyidik wajib memberikan

kesempatan kepada tersangka untuk mendapatkan penasihat

hukum. Ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 54

Page 240: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

239

dan 55 KUHAP. Menurut Pasal 54, guna kepentingan

pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan

bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum

selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan.

Selanjutnya menurut Pasal 55 KUHAP, untuk mendapatkan

penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau

terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.

Kewajiban memberitahukan tentang wajib didampingi

penasihat hukum dalam tindak pidana tertentu dan menunjuk

penasihat hukum bagi mereka.

Kewajiban untuk memberitahukan kepada tersangka

bahwa ia wajib didampingi penasihat hukum, disebutkan

dalam Pasal 114 KUHAP. Kewajiban pemberitahuan ini

berkaitan dengan ketentuan Pasal 56 KUHAP, kewajiban

didampingi penasihat hukum ini dalam hal seseorang

disangka melakukan tindak pidana yang:

Diancam dengan pidana mati; atau

Diancam dengan pidana 15 tahun atau lebih; atau,

Diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih bagi yang

tidak mempunyai penasihat hukum sendiri.

Kewajiban penyidik bukan hanya sebatas

memberitahu saja, melainkan menurut Pasal 56 KUHAP,

Penyidik wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

Pada Pasal 56 ayat (2) ditentukan bahwa setiap penasihat

Page 241: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

240

hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma

b. Kewajiban Penyidik Terhadap Tersangka Pada Saat

Pemeriksaan Berlangsung

Kewajiban Penyidik terhadap tersangka pada saat

pemeriksaan berlangsung adalah;

1) Kewajiban menanyakan kepada tersangka apa ia menghendaki

didengarnya saksi a de charge

Pada Pasal 116 ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa

dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki

didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan

bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.

Dengan demikian kepada Penyidik dibebankan oleh

undang-undang suatu kewajiban untuk menanyakan kepada

tersangka apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang

dapat menguntungkan baginya, yaitu saksi a de charge.

Menurut Pasal 116 ayat (3) ini, "bilamana ada maka hal itu

dicatat dalam berita acara". Adanya saksi a de charge yang

disebutkan dalam berita acara. Ini terlepas dari apakah

tersangka menghendaki didengamya saksi a de charge atau

tidak. Sekalipun tersangka tidak menghendaki didengarnya

saksi a de charge, tetapi apabila tersangka mengatakan

sebenarnya ada saksi a de charge, maka adanya saksi ini

harus dicatat dalam berita acara.

Page 242: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

241

Kewajiban memanggil dan memeriksa saksi a de

charge apabila tersangka menghendaki didengarnya saksi a

de charge

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 116 ayat (3), maka

selanjutnya dalam Pasal 116 ayat (4) ditentukan bahwa dalam

hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Penyidik wajib

memanggil dan memeriksa saksi a de charge.

Kewajiban Penyidik memanggil dan memeriksa saksi

a de charge hanya berlaku dalam hal tersangka menghendaki

didengarnya saksi a de charge itu. Jika tersangka tidak

menghendaki didengarnya saksi a de charge, maka Penyidik

juga tidak berkewajiban untuk memanggil dan memeriksa

saksi.

Mengenai kewajiban memanggil dan memeriksa saksi

a de charge ini diberikan komentar oleh M. Yahya Harahap

sebagai berikut,

Tentang masalah kewajiban hukum bagi penyidik

untuk memanggil dan memeriksa saksi a de charge kiranya

perlu sedikit dipersoalkan. Yakni sampai dimanakah

kewajiban itu harus dipenuhi oleh penyidik? Apakah beban

kewajiban hukum tersebut tanpa batas? Kalau memang tanpa

batas, berarti berapa sajapun yang dikemukakan tersangka,

dengan sendirinya harus dipanggil dan diperiksa oleh

penyidik. Bukankah hal ini bisa menimbulkan hambatan

Page 243: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

242

terhadap kelancaran pemeriksaan, dan sekaligus telah

melanggar prinsip pemeriksaan yang cepat, tepat dan biaya

ringan? Bahkan sekaligus melanggar tujuan penegakan

kepastian hukum.173

Oleh karena itu, M. Yahya Harahap mengemukakan

pendapatnya tentang hal ini sebagai berikut,

Bertitik tolak dari prinsip dan tujuan hukum yang

hendak dicapai oleh KUHAP sendiri, barangkali ada

tepatnya agar kewajiban hukum yang dibebankan

Pasal 118 ayat (3) tersebut, dibatasi sepanjang

kebutuhan yang pantas bagi kepentingan keuntungan

tersangka. Apabila sudah nampak ada gejala buruk

dalam mengajukan saksi a de charge ke arah

mempermainkan jalannya pemeriksaan, hilanglah atau

hapuslah kewajiban penyidik untuk memanggil dan

memeriksa saksi-saksi a de charge yang diajukan

tersangka.174

Sebagaimana pendapat dari M. Yahya Harahap,

diajukannya saksi a de charge dalam pelaksanaannya perlu

dibatasi sepanjang kebutuhan yang pantas bagi kepentingan

keuntungan tersangka. Batas yang pantas ini berarti tidak

173 Ibid, hlm. 142174 Ibid

Page 244: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

243

perlu terlalu berlebih-lebihan dalam mengajukan orang-orang

yang menurut tersangka merupakan saksi a de charge.

M. Yahya Harahap memberikan contoh bahwa

memang tidak ada pembatasan yang tegas tentang jumlah

saksi a de charge sampai 5 atau 10 orang. Mungkin lebih dari

10 masih benar relevan bagi kepentingan keuntungan

tersangka. Yang pokok, apabila secara nyata sudah tidak

dibutuhkan, dan ada gejala pengajuan saksi-saksi untuk

memperlambat jalannya penyidikan, maka penyidik tidak lagi

berkewajiban untuk memeriksa saksi selebihnya.175

Kewajiban mendapatkan keterangan tersangka tanpa

tekanan dari siapapun dan atau bentuk apapun terhadap

tersangka.

Pada Pasal 117 ayat (1) ditentukan bahwa keterangan

tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa

tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.

M. Yahya Harahap memberikan komentar terhadap

pasal Pasal 117 ini, bahwa:

Tersangka dalam memberikan keterangan harus bebas

berdasar "kehendak" dan "kesadaran" nuraninya.

Tidak boleh dipaksa dengan cara apapun baik

penekanan fisik dengan tindakan kekerasan dan

penganiayaan. Maupun dengan tekanan dan paksaan

175 Ibid

Page 245: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

244

batin berupa ancaman, intimidasi ataupun intrik baik

yang datang dari pihak penyidik maupun dari pihak

luar. Begitulah bunyi dan pengertian Pasal 117 secara

harfiah dan secara teoritis. Bagaimana nanti dalam

praktek, kenyataanlah yang akan bicara.176

Sebagaimana dikatakan oleh M. Yahya Harahap, tidak

dibenarkan ada tekanan fisik maupun batin terhadap

tersangka.

2. Akibat Hukum Bagi Penyidik Dalam Melakukan Pemeriksaan

Terhadap Tersangka

Pertama-tama dapat dikutipkan pandangan M. Yahya

Harahap mengenai apa konsekuensi pelanggar kewajiban penyidik

berkenaan dengan ketetuan Pasal 117 KUHAP. M. Yahya Harahap

menulis sebagai berikut,

Mengenai pelaksanaan Pasal 117 tersebut, tidak ada kita

jumpai sanksinya. Menurut pendapat kita, satu-satunya

jaminan untuk tegaknya ketentuan Pasal 117 ialah melalui

praperadian, dengan memajukan gugatan ganti rugi atas dasar

alasan bahwa pemeriksaan telah dilakukan tanpa alasan yang

berdasarkan undang-undang. Akan tetapi hal ini kurang

efektif. Karena betapa sulitnya bagi seorang tersangka untuk

176 Ibid, hlm. 136

Page 246: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

245

membuktikan bahwa keterangan yang diberikannya dalam

pemeriksaan adalah hasil paksaan dan tekanan. Atau

bagaimana seorang tersangka mampu membuktikan paksaan,

tekanan atau penganiayaan dan ancaman intimidasi yang

dilakukan terhadap dirinya dalam pemeriksaan penyidikan?

Kontrol yang tepat untuk menghindari terjadinya penekanan

atau ancaman dalam pemeriksaan penyidikan ialah kehadiran

penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan. Tapi oleh

karena Pasal 115 yang mengatur kehadiran penasihat hukum

dalam mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan bersifat

fakultatip, peran pengawasan yang diharapkan dari para

penasihat hukum dalam pemeriksaan penyidikan, benar-benar

sangat terbatas dan semata-mata sangat tergantung dari belas

kasihan pejabat penyidik untuk memperbolehkan atau

mengizinkannya. Bagaimana halnya jika ternyata keterangan

yang diberikan tersangka dan yang telah dituangkan dalam

berita acara pemeriksaan adalah hasil dari pemerasan,

tekanan, ancaman atau paksaan? Keterangan yang diperoleh

dengan jalan seperti ini dianggap tidak sah. Cara yang dapat

ditempuh untuk menganggap keterangan itu tidak sah, dengan

jalan mengajukannya ke praperadilan atas alasan bahwa

penyidik telah melakukan cara-cara pemeriksaan tanpa alasan

yang berdasarkan undang-undang. Dalam arti pemeriksaan

telah dilakukan dengan ancaman kekerasan atau

Page 247: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

246

penganiayaan dan sebagainya. Sehingga apabila praperadilan

mengabulkannya, berarti dia telah membenarkan adanya cara-

cara pemaksaan dalam pemeriksaan. Bila demikian halnya

tentu sudah terkandung suatu penetapan praperadilan yang

menyatakan hasil pemeriksaan tidak sah.177

Dalam tulisan di atas M. Yahya Harahap mengemukakan

berbagai cara untuk menjamin tegaknya Pasal 117 KUHAP. Cara-

cara itu adalah menjamin agar tersangka didampingi penasihat

hukum dan juga keberatan melalui jalan praperadilan. Tetapi fungsi

penasihat hukum terbatas sedangkan pemeriksaan praperadilan gugur

jika perkara pokok telah mulai diperiksa di pengadilan. Dengan

demikian cara-cara tersebut kurang dapat menjamin perlindungan

terhadap tersangka.

Kalimat penting dalam kutipan di atas adalah kata-kata

"mengenai jaminan pelaksanaan Pasal 117 tersebut, tidak ada kita

jumpai sanksinya". Kata-kata M. Yahya Harahap menunjukkan

kelemahan KUHAP. Sekalipun KUHAP memberikan banyak hak

kepada tersangka, tetapi dalam KUHAP tidak ada sanksi yang tegas

terhadap pelanggaran kewajiban oleh penyidik.

KUHAP cenderung lebih menekankan pada tujuan dicapainya

kebenaran material daripada aspek tatacara (prosedural). Dalam

doktrin ini dinamakan substantive law model (model yang

177 Ibid

Page 248: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

247

menekankan hukum pidana material), yaitu yang terutama

diperhatikan adalah tercapainya penegakan hukum pidana material.

Model yang lain adalah due process model, yaitu model yang

menekankan pada proses yang layak. Model ini terutama dianut di

negara seperti Amerika Serikat. Due Process Model (cara beracara

yang layak) merupakan cara penegakan hukum pidana dengan

memberikan perhatian yang lebih besar terhadap tatacara untuk

menemukan dan menggunakan alat bukti.

Salah satu asas dari model ini yaitu: bukti yang diperoleh

secara tidak sah adalah juga tidak sah. Jadi, sekalipun suatu alat bukti

atau barang bukti kelihatannya secara material adalah benar, tetapi

apabila alat bukti atau barang bukti itu diperoleh tidak melalui tata

cara yang sah, maka alat bukti atau barang bukti itu akan dipandang

sebagai tidak sah (illegal) dan tidak dapat digunakan di depan

pengadilan untuk memberatkan terdakwa.

Sehubungan dengan hal ini dapat dikemukakan kasus Rochin

V. California, 1951, yang duduk pekaranya dimulai dari tiga deputi

sheriff secara tidak sah memasuki rumah Rochin dan memaksa

masuk ke kamar tidur, dimana mereka menemukan dua kapsul di atas

tempat tidur. Ketika para petugas itu menanyakan kapsul itu milik

siapa, Rochin meraih kapsul itu dan memasukkan ke dalam

mulutnya. Mereka menyerang dan menendang Rochin untuk

berusaha mengeluarkan kapsul itu. Gagal untuk mendapatkannya

mereka memborgol tangannya dan membawanya ke rumah sakit di

Page 249: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

248

mana dokter memberi petunjuk untuk menggunakan sejenis alat

penghisap yang dimasukkan ke dalam perut Rochin. Pompa perut ini

mengeluarkan kapsul yang mengandung morfin. Kapsul tersebut

digunakan sebagai bukti utama mendakwa Rochin. Keputusan

dikuatkan di Pengadilan banding tetapi ditolak oleh Supreme Court

of the United States dengan dasar bahwa itu melanggar Due Process

Clause dari Amandement ke empat belas.178

William M. Evan memberikan komentar terhadap kasus

tersebut sebagai berikut,

In this case the California narcotics law, designed presumably

to protect the health and morals of the public, was

subordinated to the Due Process Clause, which safeguards the

citizen against the abusive and arbitrary exercise if authority

by the state. The conviction was reserved not because of any

doubt about the validity of the evidence of violation of the

narcotics law, but because of the methods by which it was

obtained.179

Terjemahannya:

Dalam kasus ini, undang-undang narkotik California yang

dibuat dengan dasar pandangan untuk melindungi kesehatan

178 William M. Evan, “Value Conflict in the law of Evidence”, dalam Social Structure

and Law, Sage Publications, London, 1990, hlm. 58179 Ibid

Page 250: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

249

dan moral masyarakat umum, telah diletakkan di bawah Due

Process Clause (Syarat Beracara yang Layak), yang

merupakan penjaga warga negara dalam melawan

penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan pelaksanaan

kekuasaan negara. Dakwaan ditolak bukan karena adanya

keraguan tentang keabsahan bukti dilanggarnya undang-

undang narkotika, melainkan karena metode memperoleh

barang bukti itu.

Sekalipun Indonesia tidak perlu seketat seperti di Amerika

Serikat dalam memberikan penekanan terhadap aspek tatacara

(prosedural), tetapi perhatian yang lebih besar sudah perlu diberikan.

Jika tidak, maka kesewenang-wenangan dapat saja terjadi. Oleh

sebab itu, dalam KUHAP sudah perlu ditentukan apa sanksinya jika

terjadi pelanggaran kewajiban oleh Penyidik dalam memeriksa

seorang tersangka.

Dilihat dari kaca mata tugas pokok Polri, maka kinerja Polri

juga masih belum memenuhi harapan masyarakat. Menurut UU No.

2 Tahun 2002 dalam Pasal 13 dinyatakan tugas pokok Kepolisian

Negara R.I adalah:

a. Memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat

b. Menegakkan hukum, dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Page 251: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

250

Berangkat dari tugas pokok tersebut dapat dilihat secara garis

besar seberapa jauh kinerja Polri dapat dicapai:

Pertama, dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat. Secara umum tugas ini masih jauh dari harapan. Dapat

dimengerti adanya kekurangan personil, anggaran, dan peralatan.

Namun, nampaknya perlu dicari pola-pola yang inovatif dalam

pelaksanaannya, agar tidak monoton dan bersifat tradisional belaka.

Sangat dirasakan oleh masyarakat kurangnya rasa aman dan tertib di

semua tempat karena kejahatan semakin brutal sementara aparat

kemanan tidak mengimbanginya dengan sistem keamanan secara

menyeluruh. Yang dapat dilihat dan dirasakan antara lain kurang

tegasnya polisi, kurang konsisten dan konsekwennya dalam

pencegahan dan penindakan. Operasi Kepolisian sering dilaksanakan

bersifat hanya sporadis. Akibatnya pelanggar hanya mereda beberapa

saat dan di wilayah tertentu saja, sementara jika pelanggaran dan

kejahatan sudah meningkat lagi maka baru diadakan operasi lagi dan

terbatas pula. Di bidang lalu lintas juga sangat tidak tertib, misalnya

di Jakarta sendiri. Mungkin lalu lintas di kota ini yang paling

semrawut di dunia. Untuk mengatasi hal ini perlu adanya

keterpaduan dari semua instansi yang terkait.

Kedua, dalam penegakan hukum. Secara umum mengalami

kemajuan, namun masih perlu peningkatan kinerja secara sungguh-

sungguh, utamanya perkara yang menjadi sorotan masyarakat adalah

tentang penanganan koruptor dan hal-hal lain yang menyangkut

Page 252: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

251

banyak merugikan negara. Di tubuh Polri sendiri harus ada

konsistensi dan transparansi dalam pemberantasan korupsi jika Polri

ingin mendapat dukungan masyarakat dan memiliki citra yang baik.

Pemberantasan korupsi di tubuh Polri dan pemberantasan perjudian

adalah merupakan point of no return, apabila Polri konsisten dengan

reformasi internalnya. Masyarakat sangat berharap akan

keberlanjutan penanganan masalah tersebut walaupun sudah pasti

banyak korban dan resistensi baik dari dalam tubuh Polri sendiri

maupun orang luar yang mempunyai kepentingan tertentu.

Terkadang juga ada kasus berat namun hanya dapat terungkap kalau

ada pejabat penting yang turun tangan. Faktanya memang

menunjukkan adanya fenomena seperti itu.

Ketiga, dalam perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat. Dalam bidang inipun masih jauh dari harapan

masyarakat.

Masyarakat pada umumnya belum merasa terlindungi secara

baik, belum merasa diayomi, dan belum merasa dilayani dengan baik

oleh Polri. Oleh karena itu, perlu peningkatan sikap, perilaku, dan

tindakan yang lebih baik, lebih proaktif dengan benar-benar setiap

anggota Polri menempatkan diri sebagai pelindung, pengayom, dan

pelayan masyarakat. Merubah kultur ke arah demikian memang tidak

mudah dan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Namun, perlu

kesungguhan, konsistensi, dan keberlanjutan dari semua lapisan

organisasi Polri. Untuk masalah ini, yang sangat diperlukan adalah

Page 253: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

252

tindakan nyata berupa sikap teladan dari setiap atasan. Pengawasan

yang ketat dan berlanjut dari setiap atasan akan lebih memacu

keberhasilan Polri. Harapan masyarakat terhadap kinerja Polri sudah

banyak disebutkan pada perbincangan sebelumnya, yang pada

intinya masyarakat ingin agar Polri dapat mewujudkan tugas

pokoknya dengan baik, yang dilandasi oleh moralitas,

profesionalisme sebagai polisi sipil, dan memiliki kedekatan dengan

rakyat yang positif. Harapan itu sebenarnya tidak berlebihan. Untuk

itu, setiap anggota Polri juga harus memperhatikan beberapa hal,

yaitu:

a. Mengenal diri, artinya tahu dan paham, dan menghayati benar

siapa dirinya (sebagai anggota polisi sipil), paham dan

menghayati tugasnya dan bagaimana melakukan tugas dengan

baik, serta memahami apa yang menjadi keharusan dan

larangannya.

b. Integritas pribadi, artinya bersikap jujur, adil, dan amanah dalam

melakukan tugas.

c. Pengendalian diri, yang berarti dapat menolak gratifikasi dan

bertindak secara proporsional serta tidak emosional.

d. Komitmen dan konsistensi, artinya memiliki tekad yang kuat

untuk menjadi polisi yang baik sebagai pelindung, pengayom,

dan pelayan masyarakat.

Page 254: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

253

e. Kepercayaan diri, artinya dalam melaksanakan tugas tidak

bersikap ragu-ragu, tegas tetapi tetap terukur dan tetap sopan

santun.

f. Fleksibel, berarti tidak bersifat kaku dalam bertindak.

Perlu diperhatikan bahwa masyarakat berharap Polri bersikap

netral dalam kehidupan politik dan tidak berpolitik praktis seperti

ditegaskan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jangan lagi karena

kepentingan sesaat Polri terlibat dalam politik praktis seperti dalam

kampanye dengan memobilisasi para purnawirawannya, karena jika

hal itu terjadi akan merugikan Polri dan menjauhkan Polri dari

masyarakat yang sangat majemuk dan bermacam paham politik.

Secara umum, fungsi hukum acara pidana adalah untuk

membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta melaksanakan

hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam hukum acara

pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa

dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum dan

pengadilan.180

Pada sisi lain, hukum juga memberikan kewenangan tertentu

kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan

tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya. Hukum acara

180 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, hlm.

25

Page 255: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

254

pidana juga merupakan sumber kewenangan bagi aparat penegak

hukum dan hakim serta pihak lain yang terlibat (penasihat hukum).

Permasalahan yang muncul adalah "penggunaan kewenangan yang

tidak benar atau terlalu jauh oleh aparat penegak hukum.181

Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana yang

berdampak pada terampasnya hak-hak asasi warga negara merupakan

bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan negara hukum.

Ciri-ciri negara hukum antara lain (1) Pemerintah dalam

melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum

atau peraturan perundang-undangan; (2) Adanya jaminan terhadap

hak-hak asasi manusia (warga negara); (3) Adanya pembagian

kekuasaan dalam negara; dan (4) Adanya pengawasan dari badan-

badan peradilan.182 Di Indonesia, jaminan perlindungan HAM

dituangkan dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan

termasuk dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP). Pada hakikatnya, upaya

mengimplementasikan HAM ke dalam undang-undang tersebut

adalah berusaha menempatkan keadilan dan kemanusiaan sebagai

181 Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Atas

Persamaan Kedudukan dalam Hukum, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 6182 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,

1992, hlm. 29

Page 256: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

255

nilai tertinggi sesuai dengan martabat bangsa yang merdeka, untuk

itu harus dijamin pelaksanaannya.183

Dalam kaitan dengan itu, Bagir Manan mengatakan bahwa

keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan bergantung pada

penerapan dan penegakannya. Apabila penegakan hukum tidak

berjalan dengan baik, peraturan perundang-undangan bagaimanapun

sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan

tujuannya. Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan

perundang-undangan.184 Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum

di Indonesia masih jauh dari sempurna. Kelemahan utama bukan

pada sistem hukum dan produk hukum, tetapi pada penegakan

hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan dan

kepastian hukum masih sangat terbatas. Penegakan dan pelaksanaan

hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan

kebenaran.185

Sebagai karya agung bangsa Indonesia, KUHAP telah

meletakkan hak-hak asasi manusia terutama hak-hak

tersangka/terdakwa secara memadai. Akan tetapi dalam

perjalanannya, apa yang terangkai secara indah dalam baris-baris

183 Mardjono Reksodiputro, Op. Cit, hlm. 39184 Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, disampaikan untuk Kuliah Umum di

Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 18 Agustus 1997, hlm. 8185 Erman Rajagukguk, Perlu Pembaharuan Hukum dan Profesi Hukum, Pidato

Pengukuhan Sebagai Guru Besar Hukum, Suara Pembaharuan, hlm. 11

Page 257: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

256

kata dan kalimat dalam pasal-pasal KUHAP tersebut dalam

implementasinya terbukti tidak mampu menghadirkan

"penghormatan" terhadap harkat dan martabat manusia akibat

penggunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum secara tidak

bertanggungjawab dan terkontrol. Kewenangan yang hakekatnya

dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak

asasi warga negara berubah fungsi menjadi alat penindas dan

penyiksa warga negara yang disangka menjadi pelaku tindak pidana

(tersangka/terdakwa), meski KUHAP telah memberi batasan dengan

asas-asas yang harus dipegang teguh oleh aparat penegak hukum,

antara lain : 1) the legality principle, 2) the presumption of

innocence, 3) the rule for errest and accusation, 4) the rule on

detection pending trial, 5) the minimum rights accorded to accused

to prepare his defers, 6) the rule examination during preliminary

investigation and during the trial, 7) the independence of court of

justice and examination in a public trial, 8) the rules on appeal and

review against a court decision.186

Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana

terutama banyak terjadi di tingkat penyidikan dan penuntutan karena

pada tingkat ini tersangka/terdakwa rentan diperlakukan sebagai

obyek, penyidikan misalnya seringkali dilakukan secara kekerasan

(violence) dan penyiksaan (torture), bahkan dianggap sebagai

186 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP, Pustaka

Sinar Harapan, Jakarta, 1998, hlm. 4

Page 258: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

257

pemeriksaan dengan metode yang telah "mumbudaya", meskipun

telah adanya perubahan sistem KUHAP, yaitu tidak dikehendakinya

suatu pengakuan terdakwa sebagai alat bukti. Tentang hal ini

sebenarnya KUHAP secara implisit telah mencoba memberikan

perlindungan untuk menghindari perlakukan kasar, kekerasan dan

penyiksaan, misalnya melalui Pasal 52 KUHAP menyatakan bahwa

dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka

atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada

penyidik atau hakim.

Memori Penjelasan atas Pasal 52 KUHAP ini menyatakan

agar supaya pemeriksaan dapat dicapai hasil yang tidak menyimpang

daripada yang sebenarnya, maka tersangka atau terdakwa harus

dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya

paksaan atau tekanan-tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.

Sedangkan Pasal 117 KUHAP menyatakan bahwa keterangan

tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan

dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun. Pasal 52 dan Pasal 117

ini ada baiknya dikaitkan dengan prinsip universal tentang non self

incremintion dari tersangka/terdakwa (hak tersangka/terdakwa untuk

tidak mempersalahkan dirinya sendiri), sebagaimana tercermin

secara tidak langsung dan implisit sifatnya Pasal 66 KUHAP

(tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian) dan Pasal

189 ayat (3) KUHAP (keterangan terdakwa hanya dapat

dipergunakan bagi dirinya sendiri).

Page 259: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

258

Sementara jaminan KUHAP terhadap hak-hak

tersangka/terdakwa yang juga bermaksud melindungi

tersangka/terdakwa dari perlakukan yang melanggar hak asasi

manusia, keberadaannya tidak dijunjung tinggi bahkan diabaikan,

antara lain hak untuk segera mendapat pemeriksaan penyidik (Pasal

50 ayat (1) KUHAP), hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam

bahasa yang dapat dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan

kepadanya (Pasal 51 ayat (1) KUHAP), hak untuk memberikan

keterangan secara bebas kepada penyidik (Pasal 52 KUHAP), hak

untuk mendapatkan bantuan juru bahasa (Pasal 53 ayat (1) jo Pasal

177 ayat (1), hak atas bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP), hak

memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55 KUHAP), hak untuk

mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya (Pasal 58 KUHAP),

hak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang

serumah mengenai penanahanan terhadap dirinya (Pasal 59

KUHAP), hak mendapatkan kunjungan keluarga (Pasal 60 KUHAP),

hak untuk berkomunikasi setiap kali ia memerlukan (Pasal 61

KUHAP), hak untuk tidak disensor dalam hal ia berkirim atau

menerima surat (Pasal 62 ayat (1) KUHAP), hak untuk tidak

dibebani kewajiban untuk membuktikan (Pasal 66 KUHAP) dan hak

untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68 KUHAP).

C. EKSISTENSI KONSTRUKSI PERDAMAIAN SEBAGAI PAYUNG

HUKUM DALAM IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DI

TINGKAT PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS

Page 260: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

259

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber

(Dirlantas Polda Jawa Tengah, Kasatlantas Polres Semarang, Kasatlantas

Polres Demak, Kasatlantas Polres Kendal dan Kasatlantas Polres

Banyumas)187 diperoleh rangkuman keterangan bahwa dalam hal proses

penyidikan terhadap tindak pidana lalu lintas berdasarkan hukum

progresif, penyidik tetap melakukan pemeriksaan secara BAP terhadap

saksi-saksi dan pihak yang terkait dengan kecelakaan tersebut untuk

memperjelas posisi kasus yang sebenarnya. Selanjutnya atas kesadaran

sendiri dan kesepakatan bersama kedua pihak meminta kepada Penyidik

agar kasus tersebut tidak dilanjutkan sampai ke Pengadilan dengan alasan

sudah saling menerima bahwa kecelakaan lalu lintas adalah musibah yang

bisa menimpa siapa saja dan dimana saja tanpa unsur kesengajaan.

Biasanya mereka sudah bermusyawarah sendiri, dan jika diminta

187 Hasil wawancara dengan :

1. Dirlantas Polda Jawa Tengah, pada tanggal 13 Desember 2013 yang merupakan pusat

kebijakan berkaitan dengan proses penyidikan terhadap tindak pidana lalu lintas di

wilayah Polda Jawa Tengah,

2. Kasatlantas Polres Semarang pada tanggal 5 Desember 2013 (jalur tengah antara kota

Semarang-Surakarta/Yogjakarta-Surabaya);

3. Kasatlantas Polres Demak, pada tanggal 2 Desember 2013 (jalur pantai utara antara kota

Semarang-Surabaya);

4. Kasatlantas Polres Kendal, pada tanggal 6 Desember 2013 (jalur pantai utara antara kota

Jakarta/Bandung-Semarang-Surakarta/Yogjakarta-Surabaya); dan

5. Kasatlantas Polres Banyumas, pada tanggal 4 Desember 2013 (jalur pantai selatan

antara kota Jakarta/Bandung- Surakarta/Yogjakarta-Surabaya).

Page 261: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

260

Penyidik membantu mediasi secara independen. Setelah sepakat kedua

pihak membuat kesepakatan bersama dan tidak saling menuntut secara

hukum.

Model perdamaian antara korban dan pelaku pada kecelakaan lalu

lintas, penyidik berpegang pada Pasal 235 ayat (1) dan (2) serta Pasal 236

ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalulintas tesebut

dipertemukan untuk melakukan musyawarah guna menentukan berapa

besar biaya pengobatan dan atau perbaikan kendaraan. Proses

kesepakatan bersama dimaksud kalau dikehendaki oleh para pihak dapat

disaksikan oleh tokoh masyarakat atau aparat desa setempat tanpa campur

tangan dari penyidik, setelah terjadi kesepakatan perdamaian dan

dilanjutkan dengan melaksanakan apa yang disepakati barulah dibuatkan

Surat Pernyataan Bersama antara pihak-pihak yang terlibat dalam

pelaksanaan perdamaian pada kecelakaan lalu lintas yaitu pelaku, korban

kecelakaan atau pihak keluarga yang mewakili, pihak pemilik/pengurus

perusahaan kendaraan.

Masih menurut Kasatlantas Polres Demak,188 secara legal praktis

“perdamaian” dapat dijadikan payung hukum dalam implementasi

restorative justice di tingkat penyidikan tindak pidana lalu lintas karena

bisa diterima oleh para pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalulintas,

tetapi secara legal formal belum bisa, karena belum ada peraturan atau

keputusan yang jelas tentang restorative justice. Saat sekarang Penyidik

188 Wawancara dengan Kasatlantas Polres Demak, pada tanggal 2 Desember 2013

Page 262: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

261

masih berpegang kepada diskresi kepolisian, kemanfaatan hukum,

keadilan dan kemanusiaan yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesai.

Menurut Kasatlantas Polres Banyumas,189 bahwa konsep keadilan

restoratif dalam penanganan terhadap tindak pidana lalu lintas adalah

hukum untuk manusia, hukum yang berperikemanusiaan, dengan

mengedepankan hati nurani, kemanfaatan hukum dan keadilan. Dengan

Restorative Justice keadilan dan kemanfaatan hukum lebih dirasakan oleh

masyarakat dan menimbulkan kesan bahwa Polri atau Penyidik bekerja

dengan mengedepankan hati nurani.

Penerapan konsep keadilan restoratif bagi pelaku tindak pidana

lalu lintas adalah bahwa pada prinsipnya kecelakaan lalu lintas terjadi

bukan akibat dari unsur kesengajaan tetapi merupakan kelalaian, bahkan

akibat dari kecelakaan lalu lintas pelaku bisa juga sebagai korban. Sangat

tidak manusiawi apabila orang yang sudah menderita dibuat lebih

menderita lagi, maka akan lebih efektif apabila dalam penyelesaianannya

menggunakan pendekatan kekeluargaaan.

Berikut disajikan data kejadian dan penyelesaian kecelakaan lalu

lintas di wilayah Polda Jawa Tengah dan Polres tertentu dalam periode 5

(lima) tahun terakhir dari tahun 2009 – akhir bulan Nopember 2013,

yakni:

189 Wawancara dengan Kasatlantas Polres Banyumas, pada tanggal 4 Desember

2013

Page 263: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

262

Tabel : 3

Data Kejadian dan Penyelesaian Laka Lantas

di Wilayah Polda Jawa Tengah Tahun 2009 - akhir Nopember 2013

N

OKESATUAN

JUMLAH

KEJADIA

N

PENYELESAIA

N

Prosentase

Penyelesaian

RJSPP RJ

1POLRES

BANYUMAS3.746 632 3.114 83,19

2 POLRES KENDAL 2.358 2.040 743 31,51

3POLRES

SEMARANG1.691 126 1.565 92,55

4 POLRES DEMAK 2.539 89 2.450 96,50

5 POLDA JATENG 68.492 9.697 58.795 85,84

Sumber: Diolah dari berbagai data di Polda Jateng, Polres Banyumas,

Polres Kendal, Polres Semarang, Polres Demak, akhir Nopember Tahun

2013190

190 Data Kejadian Kecelakaan lulintas dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2009-Nopember 2013) dengan penjelasan :1. Jumlah Kejadian, adalah menerangkan jumlah kejadian kecelakaan lalulintas di masing-

masing wilayah hukum Polres;2. Penyelesaian SPP, merupakan penyelesaian kecelakaan lalulintas berdasarkan ketentuan

hukum (Sistem Peradilan Pidana/KUHAP) dalam bentuk disidik dan Berkas Perkara

diserahkan ke Penuntut Umum (P-21) dan atau dihentikan proses penyidikannya/SP3

Page 264: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

263

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penyelesaian

kasus kecelakaan lalu lintas di Polres Banyumas, Polres Kendal, Polres

Semarang dan Polres Demak, sebagian besar lebih mengarah kepada

bentuk penyelesaian Restorative Justice yaitu penyelesaian berdasarkan

atas dasar permintaan para pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu

(tidak cukup bukti/tidak memenuhi unsur/demi hukum) dan atau dilimpahkan ke Instansi

samping;

3. Penyelesaian RJ (Restorative Justice), merupakan penyelesaian kecelakaan lalulintas

berdasarkan permohonan dari pihak yang telah melakukan perdamaian karena telah

dicapai keadilan dan kemanfaatan, bentuk penyelesaian berdasarkan Restorative Justice

di tingkat penyidikan tidak dikenal secara yuridis formal tetapi secara yuridis praktis telah

dilakukan karena permintaan para pihak yang terlibat dalam kecelakaan, sehingga untuk

kepastian hukum maka bentuk administrasi penyelesaiannya adalah penyelesaian

terhadap pelanggaran yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas berupa

proses Tilang (tindak pelanggaan), proses Berita Acara Cepat (BAC) atau Berita Acara

Singkat (BAS), akan tetapi pada pelaksanaannya mengalami hambatan teknis,

sebagaimana dialami oleh Polres Banyumas dimana pihak Pengadilan dan Kejaksaan

Negeri Purwokerto dan Banyumas menolak pelimpahan bentuk penyelesaian ini dengan

alasan bahwa penyelesaian tersebut bertentangan dengan azas nebis in idem, walaupun

terjadinya kecelakaan lalu lintas selalu diawali dengan pelanggaran lalulintas namun

kejadian tersebut adalah merupakan suatu rangkaian peristiwa sehingga tidak dapat

diproses secara sendiri-sendiri dan harus diproses secara bersamaan sebagai suatu

rangkaian peristiwa yang utuh.

4. Prosentase, merupakan jumlah prosentase penyelesaian kecelakaan lalu lintas secaraRestorative Justice.

Page 265: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

264

lintas yang sudah menyelesaikan secara kekeluargaan (berdamai) karena

masing-masing telah menemukan keadilannya. Hal tersebut dapat dilihat

dari kejadian kecelakaan lantas yang terjadi di Polres Banyumas

sebanyak 3.746 kejadian, 3.114 kejadian atau 83,19% diselesaikan secara

Restorative Justice, Polres Semarang dari 1.691 kejadian, 1.565 kejadian

atau 92,55% diselesaikan secara Restorative Justice, untuk Polres Demak

dari 2.539 kejadian, 2.450 kejadian atau 96,50% diselesaikan secara

Restorative Justice dan untuk Polres Kendal dari 2.358 kejadian, 743

kejadian atau 31,51% diselesaikan Restorative Justice. Sedangkan untuk

data penyelesaian kecelakaan lalu lintas di seluruh jajaran Polda Jateng

(35 Polres) dari 68.492 kejadian, 58.795 kejadian atau 85,84%

diselesaikan secara Restorative Justice.

Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas secara Restorative

Justice ini disamping dikehendaki oleh para pihak yang terlibat dalam

dalam kecelakaan lalu lintas sebagaimana hasil wawancara dengan warga

masyarakat sebagai pihak yang pernah terlibat dalam kecelakaan lalu

lintas di wilayah hukum Polres Demak, dimana mereka lebih memilih

perkaranya diselesaikan melalui Restorative Justice daripada menjalani

sidang di pengadilan, alasannya bahwa perkara tersebut cepat selesai dan

lebih dirasakan keadilannya.191

191 Hasil wawancara dengan sdr. Khoerul Taufik, umur 21 tahun, pekerjaan swasta,alamat desa Mulyorejo RT 04 / RW IV Kecamatan Demak Kota Kabupaten Demak dan sdr.Didi Suhardi, umur 40 tahun, pekerjaan swasta, alamat Panggung Selatan Gang KembarNomor 53 RT 05 / RW VII Kelurahan Kalijaga Kota Cirebon, dimana keduanya pernah menjadipelaku dan korban dalam kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Desa Bakung KecamatanMijen Kabupaten Demak.

Page 266: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

265

Pendapat warga masyarakat tersebut adalah senada dan didukung

oleh ulama/tokoh agama an. KH. Murodhi yang menyatakan bahwa kalau

antara pelaku dan korban dalam kecelakaan lalu lintas sudah saling

memafkan maka telah dicapai kebaikan antara kedua pihak, maka untuk

perkaranya tidak perlu lagi disidangkan di pengadilan192, demikian pula

pendapat Wakil Ketua DPRD Kabupaten Semarang Dra. Hj.

Sulistyowati, S.H., C.N. menyatakan bahwa apabila kejadian kecelakaan

lalu lintas telah diselesaikan diantara para pihak maka kesimbangan sosial

di tengah masyarakat telah pulih kembali, oleh karenanya tidak

diperlukan lagi perkaranya diteruskan ke pengadilan193, demikian pula

pernyataan Ketua GNPK Jateng yang sekaligus sebagai Ketua Dewan

Penasehat Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia an. H. Mastur Darori,

S.H., M.Si menyatakan bahwa perdamaian diantara para pihak yang

terlibat dalam kecelakaan lalu lintas mempunyai nilai filosofi keadilan

yang sangat tinggi, bahkan melebihi nilai keadilan yang dilahirkan oleh

hakim dalam putusannya, maka tidak perlu lagi perkara tersebut dibawa

ke ranah sidang pengadilan194, senada dengan hal tersebut dinyatakan

oleh praktisi hukum yang sekaligus Ketua DPD Peradi Jateng an. H. Doni

192 Hasil wawancara dengan tokoh agama an. K.H. Murodhi, pengasuh PondokPesantren “Darrusalam” Desa Gebugan Kecamatan Klepu Kabupaten Semarang, tanggal 24Agustus 2014

193 Hasil wawancara dengan wakil rakyat di DPRD an. Dra. Hj. Sulistyowati, S.H.,C.N., Wakil Ketua DPRD Kabupaten Semarang, tanggal 24 Agustus 2014

194 Hasil wawancara dengan Ketua GNPK Jateng yang sekaligus sebagai KetuaDewan Penasehat Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia an. H. Mastur Darori, S.H., M.Si,tanggal 25 Agustus 2014

Page 267: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

266

Djunaedi, S.H., Sp.N., C.D., proses penegakan hukum itu bertumpu pada

tiga pilar, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, apabila

terjadi benturan antara kepastian hukum dengan keadilan dan

kemanfaatan maka yang lebih diutamakan adalah aspek keadilan dan

kemanfaatan, oleh karenanya dengan adanya perdamaian diantara para

pihak dalam perkara kecelakaan lalu lintas maka dalam hal ini keadilan

dan kemanfaatan telah dicapai, sehingga kepastian hukum dapat

dikesampingkan195, dan menurut Dr. M. Haryanto, S.H., M.H., Dekan

Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga

menyatakan sependapat bahwa apabila dalam perkara kecelakaan lalu

lintas telah dicapai penyelesaian secara kekeluargaan (perdamaian) maka

tidak perlu lagi perkaranya diteruskan ke sidang pengadilan, hal tersebut

didasarkan atas pertimbangan proses pemidanaan itu adalah ultimum

remedium yang merupakan senjata pamungkas dalam penyelesaian

perkara pidana, apabila mekanisme lain masih dimungkinkan (misalnya

musyawarah mufakat) maka mekanisme dimaksud dapat dilaksanakan

untuk menyelesaikan terlebih dahulu karena penyelesaian tersebut

memberikan manfaat baik bagi kedua pihak, mengacu pendapat Gustaf

Radbruch bahwa proses penegakan hukum itu bertumpu pada tiga pilar,

yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, apabila aspek

kepastian hukum yang diutamakan maka akan mengorbankan aspek

keadilan, demikian pula sebaliknya, akan tetapi kalau dipilih aspek

195 Hasil wawancara dengan Ketua DPD Peradi Jateng an. H. Doni Djunaedi, S.H.,Sp.N., C.D., tanggal 24 Agustus 2014

Page 268: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

267

manfaat maka aspek kepastian hukum dan aspek keadilan secara serta

merta sudah tercakup di dalamnya, hal tersebut sejalan dengan Teori

Hukum Progresif Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum itu

untuk manusia bukan untuk dirinya sendiri, kalau terjadi permasalahan

dengan hukum maka yang dikalahkan adalah hukum, bukan manusianya,

hal ini senafas dengan diskresi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia196.

Permasalahan hukum pidana di Indonesia semakin berkembang

seiring dengan makin pesatnya pertumbuhan masyarakat. Berbagai

permasalahan tersebut membutuhkan penyelesaian yang tepat untuk

mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Akan

tetapi pemahaman masyarakat di Indonesia mengidentikkan penyelesaian

permasalahan hukum dengan aparat penegak hukumnya antara lain,

polisi, jaksa dan hakim. Ketiganya merupakan bagian dari sistem

peradilan pidana. Penyelesaian perkara pidana ditempuh melalui sistem

peradilan yang diatur dalam KUHAP, yaitu hal yang pertama dilakukan

adalah membuat laporan polisi. Melalui laporan polisi ini korban

berharap ada keadilan dimana pelaku akan dijatuhi pidana. Namun, akhir

dari sistem peradilan tersebut seringkali belum tentu menjamin rasa

keadilan dalam masyarakat. Berat ringannya vonis yang dijatuhkan hakim

196 Hasil wawancara dengan akademisi an. Dr. M. Haryanto, S.H., M.H. DekanFakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, tanggal 27 Agustus 2014

Page 269: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

268

terhadap terdakwa belum mewujudkan keseimbangan dan

mengembalikan situasi sosial dalam masyarakat.

Penegakan hukum sangatlah erat dengan masyarakat,

sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Carl von Savigny, dimana

menurutnya “Das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem

volke” (hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang

bersama masyarakat).197 Namun, ternyata hukum modern yang dipakai

oleh bangsa Indonesia dikembangkan tidak dari dalam masyarakat

Indonesia, melainkan ditanamkan dari luar (immposed from outside).

Hukum modern adalah produk sosial, ekonomi dan kultural barat,

khususnya Eropa. Maka sebetulnya cerita tentang sejarah kelahiran

hukum modern adalah cerita tentang sejarah sosial Eropa.198 Hukum

modern memiliki tipe liberal. Dalam tipe liberal, tidak hanya hukum

substantif yang penting, melainkan juga prosedur. Prosedur menjadi

penting dan memiliki arti tersendiri, oleh karena dibutuhkan untuk

menjaga dan mengamankan kebebasan individu. Pemikiran tentang

hukum yang kemudian melahirkan positivisme, tak dapat dipisahkan dari

197 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 124198 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta

Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 138

Page 270: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

269

kehadiran negara modern.199 Positivisme inilah yang selama ini tertanam

di benak kebanyakan para sarjana hukum di Indonesia. Akibatnya sangat

mempengaruhi pola berpikir penegak hukum dalam penanganan perkara

pidana termasuk perkara pidana di bidang lalu lintas yaitu harus sesuai

pada hukum positif yang ada.

Menurut Satjipto Rahardjo, penyelesaian perkara melalui sistem

peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu

penegakan hukum ke arah jalur lambat. Hal ini karena penegakan hukum

itu melalui jarak tempuh yang panjang, melalui berbagai tingkatan mulai

dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri, pengadilan tinggi bahkan

sampai ke Mahkamah Agung. Pada akhirnya berdampak pada

penumpukan perkara yang jumlahnya tidak sedikit di pengadilan.200

Hukum pidana adalah ultimum remidium yang berarti suatu upaya

terakhir yang ditempuh bilamana tidak ada upaya lain untuk

menyelesaikan perkara. Namun, pada perkembangannya hukum pidana

justru digunakan sebagai upaya pertama dalam menyelesaikan suatu

masalah antara orang yang satu dengan yang lain. Bahkan ada suatu

perkara yang sebenarnya termasuk dalam ranah perdata dipaksanakan

menjadi perkara pidana. Pergeseran fungsi hukum pidana ini

199 Satjipto Rahardjo, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi”, makalah

disampaikan dalam Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Positivisme di Era Reformasi,

PDIH, UNDIP, Semarang, 22 Juli 2000, hlm. 4200 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003,

hlm. 170

Page 271: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

270

menunjukkan bahwa masyarakat telah meninggalkan sedikit demi sedikit

budaya berhukum. Padahal dalam suatu masyarakat masih mempunyai

hukum adat yang berfungsi lebih efektif dalam menyelesaikan suatu

masalah.

Sejauh mana hukum pidana adat tercakup atau berperan

mempengaruhi hukum pidana yang telah diatur dalam perundang-

undangan, banyak tergantung kepada penghargaan nilai-nilai luhur yang

merupakan kesadaran hukum masyarakat setempat, masih tidaknya

hukum adat diakui oleh undang-undang negara, maupun kepada sejauh

mana hukum pidana adat masih dianggap sejalan atau ditolerir oleh

falsafah Pancasila dan undang-undang yang berlaku. Ketergantungan

yang disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak terhadap

penerapan hukum pidana adat. Dengan demikian sebenarnya asas

legalitas masih tetap dianut atau dipertahankan, hanya dalam beberapa

hal ada pengecualian. Dalam hal terdapat pertentangan antara hukum

pidana adat dengan undang-undang yang berlaku, maka hakim sebagai

figur utama untuk menyelesaikan suatu perkara banyak memegang

peranan. Hakim dianggap mengenal hukum. Hakim wajib mencari dan

menemukan hukum. Hakim mempunyai kedudukan yang tinggi dalam

masyarakat, karena itu hakim sebagai manusia yang arif dan bijaksana,

yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh

menolak memberi keadilan.201 Sebagaimana yang disampaikan oleh van

201 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Alumni AHM- PTHM, Jakarta, 1982, hlm. 16

Page 272: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

271

Apeldoorn, maka hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang-

undang dengan hal-hal yang konkrit yang terjadi di masyarakat dan

hakim dapat menambah (aanvullen) undang-undang apabila perlu. Hakim

harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkrit, karena

undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam

masyarakat.202

Penyelesaian perkara pidana hendaknya lebih mengutamakan

keseimbangan sosial dalam masyarakat. Keseimbangan yang dimaksud di

sini adalah antara pelaku dan korban tindak pidana, sehingga tercipta

kembali harmonisasi sosial dalam masyarakat. Bentuk penyelesaian ini

dilakukan secara seimbang dengan jalan musyawarah antara pihak pelaku

dan korban. Prinsip win-win solution harus diutamakan demi tercapainya

kesepakatan dalam menyesaikan perkara. Pada akhirnya diharapkan

pelaku meminta maaf kepada korban dan berjanji tidak akan

mengulanginya lagi, apabila perlu mengganti segala kerugian yang

diderita oleh korban. Sebaliknya korban memaafkan pelaku dan tidak

meneruskan perkara sampai ke pengadilan. Konsep penyelesaian seperti

ini disebut dengan restorative justice. Konsep restorative justice,

menempatkan kejahatan sebagai bagian dari gejala yang menjadi bagian

tindakan sosial, sehingga penyelesaiannya tentu harus mengutamakan

kearifan lokal yang sesuai dengan kaidah di masyarakat setempat dan

mengutamakan musyawarah untuk mufakat yang sesuai dengan sila ke-4

202 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1962,

hlm. 230

Page 273: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

272

Pancasila. Sebenarnya bentuk penyelesaian seperti ini sudah ada sejak

lama. Namun, seringkali masyarakat dan penegak hukum enggan

melakukannya dengan alasan hukum harus tetap ditegakkan walaupun

lama waktunya.

Dalam Handbook on Restorative Justice Programmes yang

diterbitksan oleh PBB disebutkan bahwa : “Restorative justice is an

approach to problem solving that, in its various forms, involves the

victim, the offender, their social networks, justice agencies and the

community.”203 Hubungan dengan penegakan hukum pidana, maka

restorative justice merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan

masalah pidana yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen

masyarakat demi terciptanya suatu keadilan.

Menurut Bagir Manan, substansi restorative justice mengandung

prinsip yang dapat membangun partisipasi bersama antara pelaku,

korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau

tindak pidana. Selain itu juga menempatkan pelaku, korban, dan

masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung

berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua

pihak (win-win solutions).204 Prinsip restorative justice menurut Bagir

203 United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, United Nations

Publication, New York, 2006, hlm. 6204 Bagir Manan, Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Refleksi Dinamika

Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta,

2008, hlm. 7

Page 274: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

273

Manan ini sangat memungkinkan peran serta masyarakat dalam

menentukan hukum yang seimbang dan adil.

Konsep restorative justice pada dasarnya sejalan dengan teori

hukum progresif yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo. Menurut

Satjipto Rahardjo inti dari hukum progresif terletak pada berpikir dan

bertindak progresif yang membebaskannya dari belenggu teks dokumen

hukum, karena pada akhirnya hukum itu bukan untuk teks hukum,

melainkan untuk kebahagiaan manusia.205 Oleh karena itu cara

penyelesaian perkara pidana hendaknya tidak terpaku pada teks undang-

undang. Tujuan yang hendak dicapai dalam penyelesaian tersebut ialah

kembalinya harmonisasi sosial yang seimbang antara pelaku, korban dan

masyarakat. Keadilan dalam restorative justice mengharuskan untuk

adanya upaya memulihkan/mengembalikan kerugian atau akibat yang

ditimbulkan oleh tindak pidana, dan pelaku dalam hal ini diberi

kesempatan untuk dilibatkan dalam upaya pemulihan tersebut, semua itu

dalam rangka memelihara ketertiban masyarakat dan memelihara

perdamaian yang adil. Dengan kata lain ketiga prinsip tersebut

mengandung unsur-unsur sebagai berikut: pertama, justice requires that

205 Satjipto Rahardjo. “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”, Makalah dalam

Seminar Nasional Hukum Progresif I. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro bekerja sama dengan Program Doktor Ilmu Hukum dan Fakultas Hukum

Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007

Page 275: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

274

we work to restore those who have been injured; kedua, those most

directly involved and affecttted by crime should have the.206

Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam

keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk

mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk

memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki

kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun

sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat

komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk

menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan

pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses

peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha

yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan

sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan

konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.207 Selain itu

restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang

206 Kuat Puji Prayitno,”Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif

Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No.

3 September 2012. hlm. 411207 Setyo Utomo,”Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana yang Berbasis

Restorative Justie” makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD)

tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG DILUAR

KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan

Pembinaan Hukum Nasional /BPHN Departement Hukum dan HAM, di Jakarta, tanggal 21

Oktober 2010

Page 276: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

275

paling terkena pengaruh korban, pelaku dan “kepentingan komunitas”

mereka dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan

mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan

kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam

cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara

sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban

tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga

mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan

pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.208

Melalui restorative justice tidak semua perkara pidana harus

selesai di meja hijau, namun dapat diakhiri sendiri antara pelaku dan

korban. Cara penyelesaian yang ditempuh melalui restorative justice

sesuai dengan budaya dan ideologi bangsa Indonesia sebagaimana

diamanatkan dalam Pancasila. Hasil penyelesaian dapat

dipertanggungjawabkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penyelesaian

memperhatikan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta

mengandung nilai keadilan sosial bagi kedua belah pihak, dan tentunya

dapat tercipta kembali kondisi sosial sebagaimana sebelum terjadi tindak

pidana.

D. IMPLEMENTASI PERDAMAIAN TINDAK PIDANA (LALU

LINTAS) DI BERBAGAI NEGARA

208 Ibid

Page 277: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

276

Bentuk pendekatan yang digunakan dalam penerapan keadilan

restorative di beberapa negara sangat bervariasi, bentuk-bentuk praktik

restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa, Amerika

Serikat, Kanada, Australia dan New Zealand dapat dikelompokkan dalam

empat praktek yang menjadi dasar pioneer penerapan restorative justice

di beberapa negara, yaitu

1. Victim Offender Mediation (Mediasi antara Pelaku dan Korban)

Bentuk ini pertama kali dilaksanakan sejak tahun 1970 di

Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Finlandia.

Bentuk ini merupakan bentuk pendekatan restorative dimana dibuat

suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan

korban yang dibantu oleh mediator sebagai koordinator dan

fasilitator dalam pertemuan tersebut. Bentuk ini dirancang untuk

mencari kebutuhan yang menjadi prioritas korban khususnya

kebutuhan untuk didengar keinginan-keinginan mengenai:209

a. Bentuk tanggung jawab pelaku;

b. Kebutuhan akan pengobatan atau pendampingan bagi korban;

c. Keinginan korban untuk didengarkan oleh pelaku terhadap

dampak tindak pidana bagi kedua pihak dan berdiskusi tentang

penanganan, usaha perbaikan dari dampak yang diderita oleh

keduanya.

209 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit Lubuk Agung,

Bandung, 2011, hlm. 90

Page 278: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

277

Persiapan penyelenggaraan, sistem monitoring dan evaluasi

dari proses dilaksanakan oleh pihak ketiga yang ditunjuk (dalam hal

ini adalah mediator). Dalam beberapa kegiatan yang dilaksanakan

pada periode purna ajudikasi, petugas pengadilan atau

pemasyarakatan dapat menjalankan fungsi tersebut. Berdasarkan

pengalaman di beberapa negara Eropa,210 mediasi yang dilakukan

tidak mensyaratkan adanya pertemuan langsung antara pelaku

dengan korban. Dimungkinkan mediator memainkan peranan yang

lebih dimana ia bertemu secara satu persatu dengan masing-masing

pihak, hingga terjalin suatu kesepakatan atas suatu restitusi yang

akan dilakukan. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga perasaan

dan kenyamanan masing-masing pihak selama proses terjadi.

2. Conferencing

Ini merupakan bentuk penerapan pendekatan keadilan

restorative yang dikembangkan di New Zealand dan merupakan

refleksi dari proses penyelesaian perkara pidana secara tradisional

yang ada di suku Maori, penduduk asli bangsa New Zealand. Meski

demikian, banyak negara yang telah mengadopsi pendekatan ini

antara lain Australia, Afrika Selatan, Amerika Serikat dan beberapa

negara Eropa. Dalam bentuk conferencing ini penyelesaian bukan

hanya melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim),

210 Daniel van Ness, Allison Morris dan Gabriel Maxwell, Introducting Restorative

Justice, dalam Allison Morris dan Gabrielle Maxwell (editor), Restorative Justice for Juveniles:

Conferencing, Mediation and Circles, Hart Publishing, Oxford, 2001, hlm. 7

Page 279: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

278

tetapi juga korban tidak langsung (secondary victim), seperti

keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat

pelaku. Adapun alasan pelibatan para pihak tersebut adalah karena:

a. Mereka mungkin terkena dampak baik langsung ataupun tidak

langsung atas tindak pidana yang terjadi atau

b. Mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan akan

hasil dari conferencing

c. Mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengupayakan

keberhasilan proses dan tujuan akhirnya.

3. Circles

Pelaksanaan circles pertama kali sekitar tahun 1992 di

Yukon, Kanada. Sama dengan conferencing, dalam penerapan

pendekatan keadilan restorative dengan model ini, maka para pihak

yang terlibat meliputi pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang

terlibat termasuk di dalamnya aparat penegak hukum. Tetapi berbeda

dengan model sebelumnya, setiap anggota masyarakat yang merasa

berkepentingan dengan perkara tersebut dapat datang dan ikut

berpartisipasi. Circles dalam hal ini didefinisikan sebagai pihak-

pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana secara meluas.

4. Restorative Board/Youth Panels

Program ini mulai dilaksanakan di negara bagian Vermont

pada tahun 1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice

Assistance setelah melihat respon yang baik dari warga terhadap

studi yang dilakukan oleh Spring tahun 1994 yang memaparkan

Page 280: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

279

keikutsertaan masyarakat dalam program rapartaive tersebut dan

sifat perbaikan yang menjadi dasarnya. Tujuan menyelesaikan

perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan

pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim jaksa dan

pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi

pelaku dang anti rugi bagi korban atau masyarakat. Sasarannya

adalah peran aktif anggota masyarakat secara langsung dalam proses

peradilan tindak pidana, kemudian memberikan kesempatan kepada

korban dan anggota masyarakat untuk melakukan dialog secara

langsung dengan pelaku.

Bangsa Indonesia mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental

(civil law), biasanya cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian

pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang

memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan

penegakan hukum (law enforcing). Bahkan, masyarakat pun dengan

begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim dalam

sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa

begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang

dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat

membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran

pula oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu persamaan di hadapan

Page 281: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

280

hukum (equality before the law).211 Seharusnya memahami hukum secara

komprehensif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat

penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun

pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum

(Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya

berorientasi membuat hukum saja.212

Salah satu dari pengaruh tradisi hukum Eropa Continental

tersebut di antaranya penegakan hukum di Indonesia cenderung normatif,

atau sesuai dengan peraturan tertulis. Kecenderungan seperti ini sering

disebut sebagai positivisme213 dimana penegakan hukum harus

berdasarkan pada hukum positif. Penegakan hukum berdasarkan hukum

positif ini berhubungan erat asas legalitas. Artinya tiada suatu perbuatan

dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut

undang-undang yang telah diadakan lebih dulu. Lalu bagaimana jika

suatu perbuatan itu belum ada peraturan yang melarangnya, padahal

jelas-jelas itu mendatangkan kerugian bagi orang lain, atau perbuatan itu

211 Jimly Asshiddiqie. ”Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia”

makalah Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka

Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 17 Februari 2006212 Ibid213 Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang

beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja.

Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula

membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat. Lihat Achmad Roestandi, Responsi

Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1992, hlm. 80

Page 282: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

281

dalam etika bermasyarakat tidak bisa diterima, tentu orang yang

melakukannya bisa mengatakan bahwa tidak ada undang-undang yang

melarang perbuatan saya ini. Penegakan hukum tentunya tidak bisa lepas

dari para penegak hukum, seperti polisi, jaksa, hakim, advokat. Lalu

bisakah dibayangkan bila semua penegak hukum itu berpedoman pada

hukum positif. Menjadi pertanyaan memang, tentang bagaimana

seharusnya cara berhukum itu, menegakkan keadilannya atau hukumnya,

dicari peraturannya dulu atau diutamakan hati nurani. Selama ini memang

para penegak hukum di Indonesia masih terikat pada paham positivistik,

baik dalam hukum formil maupun materiilnya. Dari sini tugas yang

terberat adalah di pundak seorang hakim, karena apapun perkara di

hadapannya harus diputus, baik itu ada aturannya atau tidak. Dalam

kondisi seperti ini menjadi pertanyaan bolehkah aparat penegak hukum

membuat hukum sendiri demi mencapai keadilan.

Sebagai contoh penerapan restorative justice dalam sistem

peradilan pidana di Indonesia pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung

sebagaimana dalam putusan perkara pidana Nomor : 1600 K/Pid/2009

tertanggal 24 November 2009. Perkara ini bermula dari pengaduan

korban bernama Erniwati tentang tindak pidana penipuan dan

penggelapan yang dilakukan oleh Ismayawati. Pada persidangan di

Pengadilan Negeri Yogyakarta pengadu mengajukan permohonan

Page 283: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

282

pencabutan pengaduan kepada Majelis Hakim. Adapun alasan

pencabutan tersebut dikarenakan sebagai berikut:214

1. terdakwa merupakan menantu dari pengadu;

2. terdakwa mempunyai dua orang anak yang masih kecil;

3. pengadu telah memaafkan terdakwa;

4. pengadu telah mengikhlaskan kerugian yang ia derita.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta akhirnya

membacakan putusan yang amarnya menyatakan tuntutan dalam perkara

ini tidak dapat diterima. Namun, putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan

Tinggi Yogyakarta dengan pertimbangan pencabutan tersebut sudah

melewati batas waktu yang ditentukan dalam KUHP. Di tingkat kasasi,

Mahkamah Agung memberikan pertimbangan yang sangat

memperhatikan prinsip keadilan restoratif. Mahkamah Agung dengan

tegas menilai bahwa Pengadilan Tinggi Yogyakarta bersifat kaku dan

terlalu formalistik oleh karena itu harus dibatalkan.

Di Indonesia sangatlah jarang ditemui pertimbangan hukum

seperti ini. Pertimbangan hukum biasanya hanya dilihat dari aspek

normatifnya saja. Dalam perkara ini Mahkamah Agung menegaskan

bahwa tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang

terjadi karena adanya tindak pidana. Walaupun ini adalah perkara pidana,

namun perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor

mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui, karena bagaimanapun

214 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 1600 K/Pid/2009 tertanggal 24

November 2009

Page 284: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

283

juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila

dilanjutkan. Ajaran keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yang

disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran

terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflik juga

merepresentasikan terganggunya, bahkan mungkin terputusnya hubungan

antara dua atau lebih individu di dalam hubungan kemasyarakatan dan

Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang

memuaskan untuk para pihak yang berselisih.

Mahkamah Agung sebelumnya juga pernah mengeluarkan

putusan yang mempertimbangkan restorative justice dalam perkara

tindak pidana pembunuhan Nomor : 107 PK/Pid/2006 tanggal 21

November 2007 atas nama Terdakwa Adiguna Sutowo. Orang tua korban

telah membuat surat pernyataan yang intinya telah memaafkan terdakwa

namun oleh judex factie tidak dipertimbangkan. Perdamaian ini menurut

Mahkamah Agung seharusnya dapat dijadikan alasan untuk pertimbangan

yang lebih meringankan pidana yang dijatuhkan khususnya yang

berkaitan dengan dakwaan primair, apabila judex facti /judex juris telah

mengetahui adanya putusan yang bersifat memenuhi keadilan sosiologis

(restorative justice) tersebut pada waktu persidangan berlangsung.215

Dalam putusan Nomor : 107 PK/Pid/2006 ini Mahkamah Agung

mendefinisikan bahwa restoratif justice adalah suatu proses melalui mana

para pelaku kejahatan yang menyesal menerima tanggung jawab atas

215 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 107 PK/Pid/2006 tertanggal 21

November 2007

Page 285: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

284

kesalahan mereka kepada mereka yang dirugikan dan kepada masyarakat

yang sebagai balasannya, mengizinkan bergabungnya kembali pelaku

kejahatan yang bersangkutan ke dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan

di sini lebih bersifat edukatif dan korektif dengan tetap memperhatikan

tujuan pemidanaan yang bersifat preventif. Atas dasar itulah Mahkamah

Agung meringankan vonis terhadap terdakwa dari tujuh tahun menjadi

empat tahun penjara.

Pada dasarnya setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang

mendatangkan kerugian bagi orang lain maka mewajibkan orang tersebut

bertanggung jawab atas perbuatannya. Begitu pula dalam hukum pidana,

seseorang yang melakukan suatu tindak pidana memang harus dihukum

untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam rangka penegakan

hukum. Namun, harus dipahami pula aspek sosiologis dari penegakan

hukum pidana itu. Jangan sampai penegakan hukum justru malah

memperburuk harmonisasi sosial dalam masyarakat. Tujuan dari

penegakan hukum itu sendiri tidak terlepas dari terciptanya kembali

disharmonisasi sosial dalam masyarakat yang sempat hilang akibat suatu

perbuatan. Apabila penyelesaian masalah sudah terdapat jalan keluar

terbaik, maka tidak perlu penegakan hukum yang pelaksanaannya

memperburuk kehidupan masyarakat. Penegakan hukum yang seperti ini

memang tidak tersurat dalam hukum positif. Tetapi merupakan

improvisasi hati nurani manusia dalam menegakkan keadilan.

Restorative justice merupakan sebuah konsep pemikiran yang

merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan

Page 286: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

285

menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang

dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan

pidana yang ada pada saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif juga

merupakan suatu kerangka berfikir baru yang dapat digunakan dalam

merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum. Penyelesaian seperti

di atas sama halnya dengan konsep yang dicantumkan PBB dalam

Handbook on Restorative Justice Programmes. Adanya peran masyarakat

dalam penyelesaian perkara menunjukkan bahwa hukum pidana ini

bersifat publik, oleh karenanya publik pun harus terlibat dan memantau

pelaksanaannya. Selama ini penyelesaian perkara pidana hanya dilakukan

aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim. Masyarakat tidak

dimungkinkan untuk ikut berpartisipasi karena setelah perkara diambil

alih aparat penegak hukum di situ kewenangan diberikan oleh negara

tanpa ada yang boleh ikut campur sedikitpun.

Dimungkinkannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan

diperkuat dengan munculnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Peradilan Anak yang telah diperbarui dengan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012. Undang-Undang ini menurut penulis merupakan

reformasi dalam sistem peradilan pidana. Hal ini karena terdapat

penyelesaian yang lebih fleksibel dibandingkan dengan sistem peradilan

formal yang selama ini diterapkan. Dalam Pasal 5 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 ditentukan bahwa sistem peradilan anak wajib

Page 287: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

286

mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.216 Undang-Undang ini

juga memberikan kepastian hukum atas penyelesaian perkara pidana di

luar pengadilan melalui diversi. Diversi merupakan pengalihan

penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di luar peradilan

pidana. Diversi ini bertujuan sebagai berikut:217

1. mencapai perdamaian antara korban dan anak

2. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan

3. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan

4. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi

5. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak

Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa penerapan restorative

justice dalam penanganan perkara pidana di Indonesia telah

dimungkinkan pelaksanaannya. Dalam berhukum memang seharusnya

para pihak mempunyai hak dan kewenangan untuk ikut serta

penyelesaian, sehingga tidak hanya menjadi monopoli aparat penegak

hukum. Namun, hambatan yang muncul seringkali terbentur dengan tidak

adanya pengaturan dalam hukum tertulis. Dasar hukum penyelesaian

perkara pidana dengan diversi saat ini hanya terbatas pada sistem

216 Keadilan restoratif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Anak diartikan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan

pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari

penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan

bukan pembalasan. Lihat Pasal 1 huruf 6.217 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Page 288: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

287

peradilan anak, sedangkan untuk orang dewasa masih berpedoman pada

KUHAP.

Pada setiap masyarakat terdapat sebuah hukum universal bahwa

keadilan merupakan sifat yang harus selalu melekat pada setiap

pemerintahan jika ingin kelangsungan kekuasaan terus berlanjut. Setiap

pemerintahan akan selalu mendapatkan tuntutan untuk mampu menjadi

representasi kepentingan segenap rakyatnya. Oleh karena itu setiap

pemerintahan harus mampu menerapkan system pengaturan masyarakat

yang menganut prinsip keadilan. Jika suatu pemerintahan justru

menjalankan suatu orde yang membuat mayoritas rakyatnya merasa

diposisikan secara tidak adil, maka bisa dipastikan orde pemerintahan

tersebut tidak akan berlangsung lama. Tanpa keadilan maka kemakmuran

yang dicita-citakan suatu bangsa juga bisa dipastikan akan semakin jauh

dari pencapaian. Bahkan kemakmuran yang sudah mulai terbina akan

segera hancur berantakan. Atau kalaupun tercipta kemakmuran itu hanya

terpusat pada segelintir orang saja.218

Hasil penyelesaian perkara pidana harus dapat mencapai keadilan

bagi masing-masing pihak pada khususnya dan masyarakat pada

umumnya. Hukuman yang dijatuhkan hendaknya pula berkemanusiaan

yang adil dan beradab. Keadilan ini dapat diwujudkan dalam

keseimbangan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Keseimbangan

yang adil akan mampu mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum

218 A. Malik Madaniy, Politik Berpayung Fiqh, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2010,

hlm. 33-34

Page 289: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

288

tindak pidana terjadi. Pelaku akan lebih bertanggungjawab pada

perbuatan yang ia lakukan, sehingga timbul hati nurani untuk meminta

maaf dan berusaha tidak mengulangi tindak pidana lagi. Korban pun juga

dapat merasakan keseimbangan yang adil bilamana kerugian yang ia

derita akibat tindak pidana dapat tergantikan. Dalam hukum pidana yang

diatur di KUHP, memang tidak dikenal kewajiban ganti kerugian yang

dibebankan terhadap pelaku. Hal inilah yang kemudian menimbulkan

rasa ketidakpuasan bagi korban dimana setelah perkara ditangani oleh

aparat penegak hukum, maka tertutuplah bagi korban untuk menuntut

kerugiannya. KUHAP mengatur kewenangan menuntut di muka

persidangan hanya ada pada jaksa yang bertindak mewakili Negara.

Memang masalah ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dapat

ditempuh secara perdata dengan mengajukan gugatan di pengadilan,

namun itu memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar. Oleh

karena itu diperlukan penyelesaian perkara pidana secara cepat tepat

sesuai keinginan korban dan kemampuan pelaku. Di sinilah

keseimbangan yang adil dapat diwujudkan.

Gustav Radbruch menyatakan bahwa cita hukum tidak lain dari

pada keadilan. Persoalan keadilan bukan merupakan persolan matematis

klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban

mesyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah

tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan hidup

bermasyarakat.219 Oleh karena itu dalam berhukum tentunya harus selalu

219 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 23

Page 290: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

289

dikedepankan aspek keadilan. Keadilan itu sendiri tidak lepas dari aspek

sosiologis dalam kehidupan masyarakat karena keadilan itu tumbuh dan

berkembang dalam lingkungan masyarakat entah bagaimana bentuknya.

Tidak seharusnya keadilan bergantung pada hukum tertulis. Keadilan itu

terlalu sempit bila dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Untuk

mencapai suatu keadilan dibutuhkan hati nurani yang mampu melihat dan

menggali keadilan itu. Maka dari itu sungguh disayangkan apabila

penegakan keadilan terhambat oleh peraturan tertulis yang merupakan

produk politik manusia. Suatu peraturan tertulis saja bisa ditafsirkan

bermacam-macam. Tentunya hati nurani yang adil lah yang mampu

menafsirkan hukum yang berkeadilan.

Pendapat Mahfud MD menyatakan bahwa hakim di pengadilan

boleh melepaskan diri dari belenggu undang-undang untuk membuat

putusan berdasar keyakinannya guna menegakkan keadilan subtantif. Hal

ini bukan hanya ada dalam teori atau tradisi hukum negara tertentu, tetapi

juga dalam sistem hukum Indonesia.220 Sebenarnya perdebatan tentang

tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada bunyi undang-

undang dan tugasnya sebagai penegak keadilan meski harus keluar dari

ketentuan undang-undang, merupakan isu klasik. Kini, sudah tidak ada

lagi garis antara tradisi civil law yang menjadikan hakim hanya sebagai

corong undang-undang dan tradisi common law yang menjadikan hakim

220 Mahfud MD. “Penegakan Keadilan di Pengadilan”

http://www.mahfudmd.com/index. php?page=web.OpiniLengkap&id=26,diakses pada 20

Mei 2013

Page 291: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

290

sebagai pembuat keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang.

Keduanya dianggap sebagai kebutuhan yang saling melengkapi. Pada

irah-irah tiap putusan juga selalu ditegaskan, putusan dibuat “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” dan bukan “Demi

Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang.” Ini semua menjadi

dasar yang membolehkan hakim membuat putusan untuk menegakkan

keadilan meski jika terpaksa melanggar ketentuan formal undang-undang

yang menghambat tegaknya keadilan.

Ada yang mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan karena tiadanya

kriteria pasti untuk menentukan keadilan itu. Berbeda dengan bunyi

undang-undang yang isinya pasti. Atas masalah itu perlu ditegaskan,

keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih dulu karena dalam banyak

kasus justru harus disikapi sesuai karakter masing-masing. Keadilan akan

terasa dan terlihat dari konstruksi hukum yang dibangun hakim dengan

menilai satu per satu bukti yang diajukan di persidangan untuk akhirnya

sampai pada keyakinan dalam membuat vonis. Meski demikian, tidaklah

dapat diartikan, hakim boleh seenaknya melanggar atau menerobos

ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur

secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada

undang-undang. Dalam sistem hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim

diperbolehkan membuat putusan yang keluar dari undang-undang jika

undang-undang itu membelenggunya dari keyakinan untuk menegakkan

Page 292: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

291

keadilan.221 Pendapat Mahfud MD ini menurut penulis sejalan dengan

pertimbangan hakim agung yang mengadili perkara nomor Nomor: 107

PK/Pid/2006 tertanggal 21 November 2007 dan Nomor : 1600

K/Pid/2009 tertanggal 24 November 2009. Pada kedua putusan ini Hakim

Agung lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan restoratif dari pada

kepastian hukum.

Berdasarkan contoh kasus yang penulis kaji di atas, maka

penerapan restorative justice dalam perkara pidana mempunyai

persyaratan sebagai berikut: Pertama, harus terdapat niat baik atau itikad

dari para pihak termasuk masyarakat. Itikad ini muncul dari hati nurani

untuk memaafkan pelaku tindak pidana. Tanpa ada niatan dari semua

pihak maka restorative justice mustahil untuk diwujudkan. Kedua, pelaku

tindak pidana benar-benar menyesal dan berjanji tidak mengulangi

perbuatannya. Pelaku dalam hal ini harus meminta maaf kepada korban

dan keluarganya dimana korban serta keluarganya bersedia memaafkan

pelaku. Ketiga, bentuk perdamaian berjalan secara seimbang yang

membuat korban atau keluarganya tidak akan menuntut lagi terhadap

pelaku. Keempat, bentuk penyelesaian antara pelaku dan korban atau

keluarganya dapat diterima oleh masyarakat. Walaupun masyarakat tidak

terkena secara langsung tindak pidana, namun pada dasarnya suatu tindak

pidana merupakan peristiwa yang meresahkan masyarakat. Hal ini

221 Mahfud MD. “Penegakan Keadilan di Pengadilan”

http://www.mahfudmd.com/index. php?page=web.OpiniLengkap&id=26, diakses 20 Mei

2013

Page 293: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

292

berkaitan pula dengan tujuan restorative justice. Jika masyarakat

menerimanya maka pelaku pun dapat diterima kembali. Apabila

keempatnya telah terpenuhi maka tidak seharusnya aparat penegak

hukum yang menangani membuat keputusan yang bersifat kaku.

Misalnya saja apabila perkara sudah terlanjur dilimpahkan ke pengadilan,

tidak harus menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku, vonis

hendaknya mempertimbangkan perdamaian yang telah dibuat antara

pelaku dan korban atau keluarganya.

Penulis berpendapat bahwa pihak yang dirugikan atas suatu tindak

pidana harus diberikan kewenangan untuk menyelesaikan tindak pidana

yang menimpanya. Kewenangan di sini terbatas pada niatan untuk

menyelesaikan perkara secara cepat melalui jalan damai. Jadi, di sini ada

dua pilihan bagi korban. Pertama, apabila pihak korban mempunyai

niatan untuk berdamai dan memaafkan pelaku, maka restorative justice

diterapkan serta korban dapat berperan secara aktif. Kedua, apabila tidak

ada niatan damai dari korban atau keluarganya, maka perkara pidana

tersebut menjadi wewenang penuh aparat penegak hukum dengan tetap

memperhatikan kerugian yang diderita korban. Dengan demikian

keseimbangan antara pelaku dan korban dapat terwujud di tengah-tengah

masyarakat. Penegakan hukum tidak harus kaku, tujuan hukum tidak

terlepas dari keadilan sehingga bila keadilan telah terwujud tidak perlu

diperpanjang lagi dengan proses peradilan pidana. Pemberian maaf dan

atau ganti kerugian terbukti telah dapat mewujudkan keseimbangan,

walaupun dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur.

Page 294: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

293

Dalam hukum Islam, pemberian maaf justru berada dalam

rangkaian penyelesaian perkara pidana berupa kejahatan terhadap jiwa

manusia dan perlukaan/penganiayaan (qisas/diat). Hal tersebut

dikarenakan menurut hukum Islam tindak pidana kisas-diat adalah

merupakan hak adami bukan hak Allah. Di dalam hukum Islam juga tidak

mengenal perbedaan antara perdata dan pidana, pemisahan tersebut ada

pada hukum yang bersumber pada hukum barat. Dengan demikian

terhadap kejahatan terhadap jiwa manusia, keluarga korban dapat

memilih bentuk hukuman apakah dengan qisas ataukah diat, yakni

mengganti kerugian kepada keluarga korban, atau famili memaafkan

dengan tidak menuntut balas terhadap pelaku tindak pidana.222 Bentuk

penanganan seperti inilah yang menjadikan penyelesaian perkara pidana

menjadi fleksibel. Keterlibatan pihak korban dan keluarganya/ahli

warisnya diperlukan karena dari sinilah dapat diketahui bentuk

keseimbangan. Cara penyelesaian seperti ini sangat baik untuk

dikembangkan agar penanganan perkara pidana tidak berjalan kaku.

Integrated Criminal Justice System (ICJS) atau dikenal dengan

nama Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) merupakan suatu sistem

peradilan pidana yang merupakan pemutakhiran atas Sistem Peradilan

Pidana (SPP). Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi law enforcement, yaitu terdiri dari:

1. Hukum itu sendiri;

222 Ismail Muhammad Syah, et al, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara & Departemen

Agama RI, Jakarta, 1998, hlm. 227

Page 295: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

294

2. Sarana dan Prasarana;

3. Institusi Penegak Hukum;

4. Masyarakat; dan

5. Budaya.223

Pada pendapat beliau, sudah jelas terlihat adanya susupan dari

teori restorative justice, dimana perlu dibangun kerjasama antara institusi

penegak hukum dengan masyarakat disertai dengan alasan sosiologis

(unsur budaya) yang mempengaruhi proses law enforcement.224

Restorative justice menuntut proses peradilan pidana dengan memberikan

pemenuhan kepentingan-kepentingan korban sebagai pihak yang

dirugikan akibat perbuatan pelaku. Sehingga diperlukan pergeseran

paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal sebagai

bagian dari sistem peradilan pidana.225

Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dijelaskan

bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana

dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak

223 Rocky Marbun, “Membangun Restorative Justice dan Penal Mediation dalam

Sistem Peradilan Pidana”, http: www.wordpres.com, diakses pada 2 Oktober 2012224 Ibid225 Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, “Hukum Pidana dalam

Perspektif”. Pdf, Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas

Leiden, Universitas Groningen, 2012, hlm. 311

Page 296: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

295

lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil

dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan

pembalasan”.

Ciri utama dalam konsep restorative justice adalah dalam melihat

suatu kejahatan menempatkan gejala kejahatan dan berbagai konflik

sosial sebagai tindakan sosial daripada sebagai pelanggaran hukum

pidana.226 Konsep restorative justice dalam menegakkan keadilan ketika

terjadi kejahatan, konflik sosial dan pelanggaran hak asasi manusia

adalah memandang keadilan sebagai suatu sistem sosial yang

menempatkan berbagai bentuk konflik sebagai tindakan yang merugikan

orang dan merusak hubungan-hubungan dalam masyarakat. Salah satu

wujud dari Restorative Justice adalah dimunculkannya mekanisme penal

mediation, yaitu penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui

instrument mediasi, arbitrase atau konsiliasi.

Keadilan Restoratif merupakan salah satu proses diversi, yaitu

semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-

sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk

membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan

korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki,

rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan

pembalasan. Restorative justice atau keadilan restorasi dinilai sebagai

226 Muhammad Mustofa, ”Hak Asasi Manusia: Diskresi Kepolisian dan Restorative

Justice di Indonesia dalam Rangka Penegakan Hukum dan Ketertiban Sosial”, Jurnal Hukum

dan Pembangunan, Vol. II, ed. 35, Tahun 2005, hlm. 208

Page 297: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

296

paradigma baru dalam menyikapi tindak kejahatan yang dapat direstorasi

kembali, pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah

ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat.

Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan

restorative menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam

memahami dan menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar

dari definisi yang dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut: Restorative

justice is a new framework for responding to wrong doing and conflict

that is rapidly gaining acceptance and support by edsucational, legal,

social work, and counceling professionals and community groups.

Restorative justice is a valued-based approach to responding to

wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed,

the person causing the harm, and the affected community.

Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang

menempatkan keadilan restorative sebagai nilai dasar yang dipakai

dalam merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya

keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban

serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana

tersebut dalam masyarakat.

Karena kelemahan dari peradilan pidana yang ada saat ini adalah

pada posisi korban dan masyarakat yang belum mendapatkan posisinya

sehingga kepentingan keduanya menjadi terabaikan. Sementara dalam

model penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan

Page 298: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

297

keadilan restorative peran aktif kedua pihak ini menjadi penting

disamping peran pelaku.

Berkaitan dengan posisi pelaku dan korban maka dari berbagai

model penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana terdapat

sejumlah kelemahan, yaitu:

1. Korban, bahwa korban yang semestinya hadir sebagai pihak yang

menjadi pusat dari mekanisme yang berjalan di luar pelaku terlihat

belum menjadi bagian dari berbagai mekanisme yang ada.

a. Keberadaan korban menyebabkan pertimbangan penerapan

pendekatan keadilan restorative tidak dapat diterapkan untuk

semua jenis tindak pidana.

b. Keinginan korban untuk ikut berpartisipasi secara sukarela

merupakan tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan

penanganan perkara pidana dengan menggunakan pendekatan

keadilan restorative.

Contoh kasus, kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan

kematian korban terlihat bahwa pertemuan antara pelaku dan

keluarga korban dapat dilakukan sepanjang hal ini dapat difasilitasi

oleh mediator. Demikian juga pada kasus perkosaan, meskipun

bukan gambaran utuh dari penerapan pendekatan restorative baik

pelaku dan keluarga korban, tetapi keluarga pelaku dan keluarga

korban dapat bertemu muka untuk sama-sama mencapai suatu

kesepakatan yaitu menikahkan putra putrinya.

Page 299: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

298

Melihat contoh kasus tersebut, pernyataan yang

dikemukakan oleh korban atau keluarga korban seperti:

a. Keinginan untuk secepatnya menyelesaikan masalah;

b. Tak ingin berurusan dengan petugas penegak hukum (kalau

sudah di tangan penegak hukum terlalu lama);

c. Menginginkan hasil yang nyata dan memuaskan, misalnya:

1) Pengembalian uang atau barang;

2) Pemulihan nama baik;

3) Perkawinan yang terselenggara;

4) Memperoleh biaya pengobatan dan lain sebagainya;

2. Pelaku, dalam memenuhi salah satu unsur dari penyelenggaraan

penanganan perkara pidana dengan menggunakan pendekatan

keadilan restorative, maka syarat bahwa pelaku yang mau melakukan

evaluasi diri untuk menyadari kesalahan dan bertanggung jawab

yang harus dipenuhi.

Dalam penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan

pendekatan keadilan restorative, terutama yang dilakukan di luar sistem

peradilan pidana maka hal ini amat rentan untuk tidak dipenuhi dan tak

jarang diabaikan. Posisi yang mendudukkan seseorang sebagai pelaku

bisa jadi sangat instan dan subjektif, tak jarang korban yang sebenarnya

justru didudukkan sebagai pelaku dan dimintai pula

pertanggungjawabannya. Dalam memposisikan salah satu pihak sebagai

korban perlu kehati-hatian. Oleh karenanya perlu diperhatikan bilamana

penyelesaian perkara di luar sistem ingin dilakukan. Mekanisme

Page 300: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

299

pembuktian tetap harus ditempuh untuk menjamin bahwa yang

bertanggungjawab adalah korban yang sesungguhnya dapat dilihat dalam

kacamata yang obyektif.

Lembaga Kepolisian mempunyai kewenangan untuk menentukan

apakah suatu perbuatan diteruskan atau tidak diteruskan dalam proses

peradilan pidana dengan alasan-alasan tertentu. Dalam perkara lalu lintas

misalnya dalam kecelakaan lalu lintas, apabila hanya menimbulkan

kerugian yang kecil atau luka yang kecil biasanya diselesaikan dengan

mediasi di antara pelaku dan korban, dan pihak kepolisian sebagai saksi

atas kesepakatan yang dicapai, perkara tidak diteruskan atas dasar

kesepakatan bersama antara pelaku dan korban. Namun demikian jika

kecelakaan akibat kelalaian tersebut menimbulkan kerugian yang besar

seperti, nyawa maka mediasi tidak dapat dilakukan, adapun pembayaran

ganti kerugian berupa biaya rumah sakit dan penguburan jenazah korban

hanya sebagai salah satu pertimbangan yang nantinya digunakan oleh

hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa.227

Dengan demikian kesepakatan mengganti kerugian tidak

menghapuskan tindak pidananya, karena pelaku tetap saja disidik dan

diproses dalam sistem peradilan pidana. Selanjutnya bahwa proses

mediasi penal yang dilakukan oleh lembaga kepolisian dalam tindak

pidana tertentu, bukanlah bentuk diskresi kepolisian, karena dalam

diskresi kepolisian keputusan yang diambil justru bertentangan dengan

227 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,

2002, hlm. 43

Page 301: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

300

peraturan sehingga melalui pertimbangan yang sangat banyak dan

strategis untuk kepentingan orang banyak.

Di sini pun peran polisi bukan sebagai mediator, melainkan hanya

sebagai saksi yang menyaksikan diselesaikannya perkara pidana tersebut

melalui kesepakatan perdamaian.228 Di samping delik aduan biasanya

masyarakat menyelesaikan sendiri perkara pidana dengan mediasi yaitu

misalnya dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),

sekali pun tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku bukan merupakan

delik aduan, akan tetapi berdasarkan alasan untuk kepentingan semua

pihak dan keutuhan rumah tangga maka penyelesaian secara mediasi

seringkali menjadi pilihan. Dalam mediasi ini pihak korban dapat

meminta ganti kerugian kepada pelaku, namun demikian apabila terjadi

kesepakatan dari pihak korban dan pelaku untuk mengganti kerugian,

kesepakatannya tidak menghilangkan penuntutan, sehingga proses

peradilan tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan kesepakatan ganti

kerugian hanya bersifat sebagai pertimbangan jaksa dalam mengadakan

penuntutan, keputusan tetap di tangan hakim.

Mediasi penal di sini hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh

karena belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan mediasi

beserta kekuatan hukum dari akte kesepakatan hasil mediasi penal. Jadi

228 Romli Atmasasmita, 2008, ”Sinergi Kerja Polri Dan Kejaksaan Agung Dalam

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,” Makalah disampaikan pada Seminar Hubungan Polisi

– Jaksa: Menuju Integrasi, di Auditorium Bumi Putera –Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Univ. Indonesia, Depok, 17 April 2008

Page 302: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

301

pelaku tetap dipidana akan tetapi pidananya diperingan. Sementara itu

dalam menangani kasus tindak pidana yang masuk ke dalam katagori

'delik biasa', seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian

seperti dalam Pasal 359 KUHP (karena kelalaiannya menyebabkan

matinya orang lain), serta dalam tindak pidana terhadap harta benda

seperti Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan Pasal 378 tentang

penipuan yang biasanya antara korban dan pelaku sudah saling mengenal,

maka dapat dilakukan mediasi dimana korban dapat meminta ganti

kerugian kepada pelaku dengan sebuah akta kesepakatan bahwa telah

dilakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban. Namun demikian

meskipun telah dilakukan kesepakatan mengganti kerugian kepada

korban, proses penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tetap dilakukan,

dengan alasan kejaksaan bekerja berdasarkan aturan normatifnya, selama

belum ada aturan yang mengatur kedudukan mediasi penal dalam

penuntutan berarti kasus tetap diproses, namun karena telah dilakukan

pembayaran ganti kerugian, alasan tersebut hanya menjadi salah satu

alasan pertimbangan Jaksa Penuntut untuk memperingan maksimum

tuntutannya.229

Dalam hukum pidana tidak dikenal mediasi penal, namun

demikian ada kesempatan bagi korban untuk menggugat ganti kerugian

kepada pelaku melalui gugatan perdata dan proses peradilan pidana tetap

dijalankan. Namun sebenarnya apabila kita mempermasalahkan mediasi

229 www/http Monang Pardede, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, akses

tanggal 25 Desember 2012

Page 303: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

302

penal dalam hal penentuan pengganti kerugian dari pelaku kepada korban

hal ini dimungkinkan, yang dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan pidana bersyarat. Ganti kerugian terhadap korban

dalam pidana bersyarat merupakan salah satu syarat khusus yang telah

dilakukan oleh terpidana, di samping ketentuan pidana yang akan

dijatuhkan oleh hakim tidak lebih dari 1 (satu) tahun untuk pidana

penjara.

Masyarakat sebenarnya membutuhkan lembaga mediasi penal,

khususnya untuk delik-delik aduan, seperti penghinaan, tindak pidana

pencurian yang melibatkan anggota keluarga, kasus-kasus yang unsur

pidananya tidak jelas, dan kasus-kasus dengan nilai kerugian yang ringan

atau sedikit. Dalam kasus-kasus seperti ini apabila tetap diproses dalam

peradilan pidana justru akan lebih banyak nilai kerugiannya. Pengalaman

praktik mediasi penal oleh hakim tidak pernah dilakukan, oleh karena

tidak ada peraturan normatif yang mengaturnya, biasanya hal-hal yang

menyangkut kesepakatan para pelaku dan korban ada pada tingkat

penyidikan dan penuntutan, hakim hanya memberikan keputusan dengan

mempertimbangkan hal-hal yang dikemukakan dalam surat dakwaan

yang salah satunya kesepakatan yang dicapai melalui mediasi sebelum

perkara dilimpahkan ke pengadilan.

Temuan praktik mediasi di tingkat Mahkamah Agung RI, bahwa

mediasi penal di lingkungan Mahkamah Agung telah dipraktikan dalam

kasus tindak pidana yang pelakunya anak di bawah umur. Pelaksanaan

mediasi penal untuk pelaku anak di bawah umur ini didasarkan pada

Page 304: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

303

Kesepakatan Antara Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah

Agung, dan Para Ketua Muda Mahkamah Agung dalam Rapat Pimpinan

Mahkamah Agung RI di Novotel Hotel Bagor, 17 Mei 2009 yang

membahas tentang temuan hukum serta permasalahan-permasalahan yang

timbul di Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya. Praktik

mediasi penal untuk pelaku anak di bawah umur telah diujicobakan di

lingkungan Pengadilan Negeri Jawa Barat.230

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebenarnya telah banyak

dilakukan praktik mediasi penal dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana

meskipun tidak mengemuka, sehingga kasus tersebut tidak sampai pada

proses peradilan pidana. Praktik mediasi penal yang dilakukan oleh

masyarakat biasanya menggunakan tokoh masyarakat atau tokoh agama

sebagai mediatornya. Namun demikian meskipun telah diselesaikan

secara mediasi penal, tidak menghapuskan kewenangan penyidik untuk

melakukan penyidikan jika suatu saat diketahui oleh penyidik telah

terjadi tindak pidana yang termasuk katagori delik biasa yang telah

didamaikan. Dengan demikian kedudukan akta kesepakatan damai tetap

lemah, karena masih dapat dilakukan penuntutan, namun demikian

keberadaan akta kesepakatan damai tersebut dapat dijadikan sebagai

salah satu pertimbangan untuk memperingan tuntutan Jaksa Penuntut

Umum. Jadi apabila diketahui oleh aparat penegak hukum proses

230 www//http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article, di akses 27

Desember 2012

Page 305: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

304

peradilan pidana terhadap pelaku tetap diadakan, sehingga tidak

menghapuskan penuntutan.

Kebijakan-kebijakan untuk menetapkan mediasi penal sebagai

alternatif penyelesaian perkara pidana yang merupakan bagian dari proses

peradilan pidana sangat dibutuhkan, sehingga mediasi penal dapat

menjadi sarana penyelesaian perkara pidana yang sah dan hasil

kesepakatannya bersifat mengikat terhadap para pihak, aparat penegak

hukum, dan masyarakat sehingga tindak pidana yang diselesaikan melalui

mediasi penal menghapuskan kewenangan untuk menuntut. Berlakunya

mediasi penal sebagai alasan hapusnya kewenangan melakukan

penuntutan di masa mendatang adalah sejalan dengan kebijakan konsep

KUHP 2008 tentang gugur atau hapusnya kewenangan menuntut tindak

pidana, sebagaimana tertuang dalam Pasal 145 huruf d, e, dan f yang

menentukan bahwa kewenangan penuntutan gugur jika : (d).

Penyelesaian di luar proses. (e). maksimum pidana denda dibayar dengan

suka rela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan

pidana denda paling banyak katagori II. (f). maksimum pidana denda

dibayar dengan suka rela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana

penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak

kategori III.

Sementara itu sebagai alasan menghapus kewenangan

menjalankan pidana bagi pelaku yang telah dijatuhi putusan hakim

berupa pidana penjara, mediasi penal dalam tahapan eksekusi ini sejalan

dengan Pasal 57 RUU KUHP tentang perubahan atau penyesuaian

Page 306: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

305

pidana, yang dapat berupa pencabutan atau penghentian sisa pidana atau

tindakan dan penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.

Adapun penentuan kebijakan-kebijakan dalam konstruksi politik

hukum mediasi penal yang harus diperhatikan oleh pembuat undang-

undang meliputi:

1. Penentuan Kebijakan Formulasi Pengertian Yuridis Mediasi Penal

Pengertian yuridis mediasi penal hendaknya dirumuskan

dengan tidak meninggalkan arti sebenarnya dari mediasi penal

sebagaimana pertama kali dicetuskan pada tanggal 15 September

1999, oleh Council Of Europe Committee Of Ministers dalam

Recommendation No. R (99) 19 Of The Committee Of Ministers To

Member States Concerning Mediation In Penal Matters sebagai

dasar hukum penegakan mediasi penal di negara-negara Eropa,

sebagai berikut: “Penal mediation is any process whereby the victim

and the offender are enabled, if they freely consent, to participate

actively in the resolution of matters arising from the crime through

the help of an impartial third party (mediator)”.231

2. Kebijakan Penentuan Asas-Asas Mediasi Penal

Dalam penyusunan politik hukum tentang mediasi penal,

diperlukan formulasi tentang asas-asas dan tujuan-tujuan yang akan

dicapai dalam proses mediasi penal. Asas-asas dalam mediasi penal

yang perlu dirumuskan meliputi:

231 Barda Nawawi Arief, Makalah Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalam

Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Materi Perkuliahan Program Doktoral

Page 307: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

306

a. Asas Bebas dan Sukarela

Bahwa pelaksanaan mediasi penal didasarkan pada

kehendak bebas dan suka rela dari korban dan pelaku tindak

pidana, sehingga dalam memutuskan apakah perkara pidananya

akan dimediasikan atau pun tidak harus berdasarkan persetujuan

bebas (freely consent) dari para pihak.

b. Kebebasan Para Pihak Untuk Menarik Diri Selama Proses

Mediasi

Selama proses mediasi penal berlangsung, para pihak

baik korban maupun pelaku dibebaskan untuk menarik dirinya

dari proses mediasi kapan saja.

c. Asas Kerahasiaan (Confidential)

Proses mediasi penal bersifat rahasia, dalam arti para

pihak baik korban, pelaku tindak pidana maupun mediator harus

memegang kerahasiaan yang terjadi selama proses mediasi,

termasuk kerahasiaan pernyataan-pernyataan yang dinyatakan

para pihak, alasan-alasan jika tidak tercapai kesepakatan maupun

hal-hal lain yang timbul saat proses mediasi penal berlangsung.

Kecuali jika timbul hal-hal yang membahayakan para pihak,

seperti ancaman dan penyerangan fisik dari satu pihak kepada

pihak lain, maka hal tersebut dapat dilaporkan kepada penyidik,

namun jika proses mediasi tidak mencapai kesepakatan,

mediator hanya boleh menyampaikan kepada hakim bahwa

mediasi tidak mencapai kesepakatan tanpa menguraikan alasan-

Page 308: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

307

alasannya, begitu pula mediator tidak dapat bertindak sebagai

saksi terhadap pernyataan-pernyataan para pihak dalam proses

peradilan.

Sementara itu tujuan mediasi penal dapat dirumuskan sebagai

berikut:

a. Menyelesaikan konflik pidana dengan mengadakan rekonsiliasi

antar pelaku tindak pidana dan korban.

b. Mengadakan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban

berupa restitusi dan ganti kerugian dari pelaku kepada korban.

c. Merekatkan kembali hubungan yang terganggu antara pelaku

dan korban karena adanya tindak pidana.

d. Memperlancar proses rehabilitasi pelaku dan pemulihan

martabat korban.

3. Kebijakan Penentuan Tindak Pidana Yang Dapat Dimediasi

Kebijakan penentuan tindak-tindak pidana yang dapat

dimediasikan yaitu berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut:

a. Ancaman pidana yang rendah, tindak pidana yang dapat

dimediasikan hendaknya tindak pidana yang hanya diancam

dengan ancaman pidana denda atau ancaman pidana penjara

paling lama satu (1) tahun dan atau tindak pidana dengan

ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 359 KUHP (kelalaian berakibat matinya

orang lain) dan Pasal 360 KUHP (kelalaian mengakibatkan

Page 309: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

308

orang lain luka berat), Pasal 310 Undang-undang Nomor 22

Tahunn 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.

b. Tingkat kerugian yang ditimbulkan tindak pidana yang dapat

dimediasikan haruslah tindak pidana yang menimbulkan

kerugian yang kecil saja, seperti dalam pelanggaran-pelanggaran

dan kejahatan ringan. Contohnya: tindak pidana pencurian

ringan, penganiayaan ringan, penipuan ringan dan penggelapan

ringan.

c. Tindak pidana yang dilakukan karena kelalaian dapat

dimediasikan, hal ini menyangkut sikap batin pelaku tindak

pidana. Dalam kelalaian tindak pidana dan akibat yang terjadi

bukan karena kehendak pelaku, melainkan karena kekurangan

penghati-hatian.

d. Tindak pidana yang merupakan delik aduan baik absolut

maupun relatif. Tindak pidana aduan dapat dimediasikan karena

penuntutannya didasarkan pada ada atau tidak adanya

pengaduan, dan adanya kesempatan bagi korban atau pengadu

untuk mencabut pengaduannya sehingga proses tidak sampai

berlanjut pada peradilan pidana. Contoh : delik zina, penghinaan

dan lain-lain.

e. Tindak pidana yang melibatkan anggota keluarga sebagai

pelaku/korban, hal ini sejalan dengan salah satu tujuan mediasi

penal yaitu mengintegrasikan dan menyatukan atau memperkuat

kembali hubungan antara pelaku tindak pidana dan korban.

Page 310: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

309

Dengan demikian apabila terjadi tindak pidana yang melibatkan

anggota keluarga maka dimungkinkan untuk dilakukan proses

mediasi penal.

f. Tindak pidana di mana pelakunya anak di bawah umur, terhadap

anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana terdapat

ketentuan khusus, sehingga proses peradilan pidana yang

dijalaninya tidak menimbulkan trauma berkepanjangan yang

akan mengganggu perkembangan psikisnya, sehingga dibuka

kemungkinan besar untuk penyelesaian dengan jalan proses

mediasi penal.

4. Penentuan kebijakan pelaksanaan mediasi penal sebagai bagian dari

proses peradilan pidana

Mediasi penal dapat dilakukan dengan dua cara atau bentuk

yaitu:232

a. Mediasi penal di luar proses peradilan pidana (out of criminal

justice process), di sini diperlukan landasan hukum berupa

kebijakan atau aturan hukum yang menetapkan tentang:

1) Tindak pidana yang dapat dimediasikan di luar proses

peradilan pidana.

232 www.lppm.undip.ac.id Umi Rozah Dosen Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro Semarang, Membangun Mediasi Penal, Pembaharuan Hukum, Hukum Pidana

,Tahun 2009.

Page 311: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

310

2) Mediasi penal yang dilakukan oleh pihak pelaku dan korban

di luar pengadilan untuk tindak-tindak pidana tertentu diakui

keabsahannya jika dilakukan secara suka rela.

3) Mediasi penal difasilitasi oleh mediator yang telah

bersertifikasi.

4) Kekuatan hukum hasil kesepakatan yang dicapai oleh pihak

pelaku dan korban, sebagai keputusan yang sah dan final

sehingga tidak dapat diganggu gugat dan tidak perlu

dikuatkan melalui penetapan pengadilan cukup apabila

disahkan dengan materai dan tanda tangan semua pihak. Hal

ini mengingat bahwa pelaksanaan mediasi penal adalah

bersifat suka rela.

5) Hasil kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal sebagai

alasan hapusnya penuntutan tindak pidana yang telah

dimediasikan.

b. Penal sebagai bagian proses peradilan

Pidana (Within Criminal Justice Process) Mediasi, pada

tahap penyidikan ini merupakan kombinasi model mediasi

informal mediation, victim-offender mediation dan reparation

negotiation programmes. Pada tahap ini dapat ditetapkan cara

kerja mediasi penal sebagai berikut:233

233 www.lppm.undip.ac.id Umi Rozah Dosen Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro Semarang, Membangun Mediasi Penal, Pembaharuan Hukum, Hukum Pidana

,Tahun 2009

Page 312: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

311

1) Setelah melihat dan mempelajari kasus atau tindak pidana

yang dilakukan oleh pelaku dengan kriteria-kriteria tertentu

(diuraikan dalam bahasa tindak pidana yang dapat

dimediasikan), maka pihak penyidik memanggil pelaku dan

korban untuk menawarkan alternative penyelesaian perkara

pidananya di luar proses peradilan.

2) Mediasi penal harus dilakukan secara suka rela dari semua

pihak yang terlibat, oleh karena itu jika ada pernyataan baik

dari pelaku maupun korban untuk melakukan mediasi penal,

selanjutnya pihak penyidik menyerahkan perkara tersebut

kepada korban dengan menginformasikan jasa mediator

penal yang akan membantu menyelesaikan perkaranya.

3) Mediasi dilakukan secara rahasia sesuai dengan prinsip

confidentiality. Segala yang terjadi dan pernyataan-

pernyataan yang muncul selama proses mediasi termasuk

mediator. Mediator tidak dapat menjadi saksi dalam proses

peradilan pidana atas segala sesuatu yang terjadi selama

proses mediasi dan sebab-sebab mediasi tidak mencapai

kesepakatan, jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan.

4) Pada kesempatan mediasi inilah pelaku dan korban

dipertemukan untuk mencari solusi yang saling

menguntungkan. Pihak korban dapat mengajukan tuntutan

ganti kerugian kepada pelaku sebesar kerugian yang

Page 313: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

312

dideritanya dan menuntut pemulihan martabatnya, dengan

difasilitasi oleh mediator.

5) Mediator harus mempunyai sertifikasi dan terlatih serta

diakui oleh Menteri Kehakiman sebagai mediator, oleh

karena itu mediator tidak bersifat perorangan melainkan

suatu badan atau lembaga yang secara khusus menjalankan

tugas mediasi.

6) Apabila dalam mediasi dicapai kesepakatan, maka mediator

memberitahukan kepada penyidik bahwa telah dicapai

kesepakatan melalui mediasi dengan pembayaran ganti

kerugian dari pelaku kepada korban.

7) Hasil kesepakatan mediasi penal merupakan putusan final,

sehingga merupakan alasan penghapus penuntutan.

8) Dengan adanya hasil kesepakatan maka penyidik

menyatakan bahwa kasus tidak dilanjutkan kepada

pelimpahan BAP kepada Penuntut Umum. Dalam

pelaksanaan mediasi penal di tahap penuntutan ini dilakukan

sekaligus negosiasi ganti kerugian antara pelaku dan korban.

Mediasi penal pada tahap penuntutan ini merupakan

kombinasi antara bentuk Victim Offender Mediation dan

Reparation Negotiation Programme.

Adapun pelaksanaan mediasi penal pada tahap penuntutan

dapat digambarkan sebagai berikut:

Page 314: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

313

a. Jaksa penuntut umum dengan mempelajari tindak pidana yang

dilakukan oleh pelaku berdasarkan kriteria-kriteria tertentu,

dapat menawarkan mediasi kepada korban dan pelaku tindak

pidana.

b. Mediasi dilakukan berdasarkan persetujuan secara suka rela dari

pelaku dan korban tindak pidana. Jika kedua pihak menyetujui

untuk dilakukan mediasi, maka persetujuan untuk mediasi

diberikan kepada jaksa penuntut umum.

c. Jaksa penuntut umum dapat berposisi sebagai mediator maupun

dapat melakukan penunjukan mediator dari luar yang

bersertifikasi.

d. Mediator mempertemukan pihak pelaku dan korban tindak

pidana.

e. Pelaksanaan proses mediasi dilakukan secara rahasia, dalam arti

semua peristiwa yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang

muncul selama mediasi tidak dapat dipublikasikan oleh semua

pihak yang terlibat.

f. Dalam mediasi penal ini diadakan rekonsiliasi dan pembayaran

ganti kerugian kepada korban.

g. Jika mediasi penal tidak mencapai kesepakatan, maka perkara

pidana akan dilanjutkan dengan proses pemeriksaan di sidang

pengadilan dengan dilakukan penuntutan terhadap tindak

pidanannya. Dalam hal ini mediator tidak dapat bersaksi atas

Page 315: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

314

tidak tercapainya kesepakatan mediasi maupun atas segala

sesuatu yang terjadi selama proses mediasi.

h. Jika mediasi mencapai kesepakatan damai yang diterima oleh

semua pihak, maka akta kesepakatan berlaku sebagai putusan

yang final dan tidak dapat diadakan penuntutan, sehingga dapat

berfungsi sebagai alasan penghapus penuntutan.

Mediasi ini jika mencapai kesepakatan maka hasilnya dapat

digunakan sebagai alasan untuk menghapuskan menjalankan pidana

bagi pelaku tindak pidana. Mediator pada tahap ini bisa dilakukan

oleh hakim ataupun mediator dari luar pengadilan yang telah

mendapatkan sertifikasi dan pelatihan. Mediasi ini adalah gabungan

dari model Victim Offender Mediation dan Reparation Negotiation

Programmes. Adapun pelaksanaan mediasi ini adalah sebagai

berikut:

a. Hakim setelah mempelajari kasus dan tindak pidana yang

dilakukan oleh terdakwa, dapat menawarkan mediasi penal

sebagai alternatif penyelesaian perkara dengan perdamaian para

pihak.

b. Jika para pihak menyetujui, maka diadakan persetujuan secara

suka rela untuk mengikuti penyelesaian perkara dengan cara

mediasi baik oleh pelaku maupun oleh korban.

c. Hakim dapat bertindak sebagai mediator ataupun dengan

mediator di luar pengadilan yang telah memenuhi syarat dan

bersertifikasi.

Page 316: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

315

d. Mediasi mempertemukan pihak pelaku dan korban, pada

kesempatan ini diadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku,

serta dilakukan pembayaran ganti kerugian yang diderita korban.

e. Mediasi penal dilakukan berdasarkan prinsip rahasia, sehingga

segala peristiwa yang terjadi dan segala pernyataan yang muncul

dalam proses mediasi harus dirahasiakan oleh para pihak

termasuk mediator.

f. Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan maka proses

pemeriksaan di muka pengadilan akan dilanjutkan sebagaimana

mestinya.

g. Jika tercapai kesepakatan di mana para pihak saling menerima

hasil kesepakatan (rekonsiliasi) dan disepakati pembayaran ganti

kerugian oleh pelaku kepada korban, maka hasil kesepakatan

yang dituangkan dalam akta kesepakatan menjadi berkekuatan

tetap sebagaimana putusan pengadilan dan bersifat final,

sehingga pelaku tidak dapat dituntut dan diadili kembali dalam

proses peradilan pidana.

Mediasi yang dilakukan pada tahap pelaku sedang menjalani

pidananya khususnya pidana penjara, berfungsi sebagai alasan untuk

menghapuskan kewenangan menjalankan sebagian pidana jika

pelaku telah menjalankan sebagian pidananya. Adapun pelaksanaan

pada tahapan eksekusi adalah sebagai berikut:

Page 317: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

316

a. Untuk tindak-tindak pidana tertentu, pelaku dapat menawarkan

kepada korban untuk mengadakan mediasi penal guna

meringankan pidananya.

b. Jika korban menyetujui permintaan mediasi dari pelaku tindak

pidana, maka diajukan persetujuan mediasi kepada Jaksa

penuntut umum sebagai eksekutor.

c. Jaksa sebagai eksekutor akan mempelajari kemungkinan

disetujuinya mediasi penal.

d. Jika telah disepakati persetujuan mediasi maka mediasi dapat

dilakukan dengan bantuan mediator yang ditunjuk maupun

mediator luar yang telah diakui dan disertifikasi.

e. Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasiaan (confindentiality)

sehingga segala peristiwa dan pernyataan yang muncul dalam

mediasi bersifat rahasia.

f. Jika mediasi mencapai kesepakatan untuk berdamai dan

kesepakatan pembayaran ganti kerugian, maka hasil kesepakatan

tersebut berfungsi sebagai alasan utuk menghapuskan

kewenangan menjalankan pidana, sehingga terpidana dapat

dibebaskan.

g. Hasil kesepakatan perdamaian dan pembayaran ganti kerugian

kepada korban dituangkan ke dalam akta kesepakatan yang

bersifat final dan digunakan sebagai alasan untuk membebaskan

terpidana dari pidana yang belum dijalaninya.

Page 318: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

317

Page 319: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

318

BAB IV

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM KONSTRUKSI HUKUM

BERKAITAN DENGAN PERDAMAIAN SEBAGAI PAYUNG HUKUMDALAM IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS

A. DISKRESI DALAM TUGAS DAN WEWENANG KEPOLISIAN

Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda

“Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan

sesuatu tindakan tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan,

Undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan,

pertimbangan atau keadilan.234 Diskresi sering dirumuskan sebagai “Freis

Ermessen” Menurut kamus hukum yang disusun oleh J.C.T Simorangkir,

diskresi diartikan sebagai “kebebasan mengambil keputusan dalam setiap

situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri”.235

Didalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia dijelaskan bahwa:

1. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilaiannya sendiri.

2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya

dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan

234 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang 1977, hlm. 91235 JCT Simorangkir, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 2007, hlm. 38

Page 320: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

319

memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik

Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kalimat dalam Pasal 18 tersebut yang berbunyi “bertindak

menurut penilaian sendiri” merujuk kepada konsep diskresi atau “Freies

Ermessen”. Dalam bahasa Inggris, diskresi (Discretion) mengandung

arti, “the quality of being discreet, or careful about what one does and

says”, dari kalimat tersebut mempunyai makna yakni kualitas yang

bijaksana, atau berhati-hati tentang apa yang dilakukan dan dikatakan.

Jadi, inti dari makna kata diskresi yang telah dijelaskan di atas yakni

harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian.

Dalam bahasa UU No. 2 Tahun 2002 tersebut diskresi dirumuskan

sebagai “dalam keadaan yang sangat perlu”. Penjelasan resmi dari UU

tersebut berbunyi, “yang dimaksud dengan `bertindak menurut

penilaiannya sendiri` adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh

anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak

harus mempertimbangkan manfaat serta risiko dari tindakannya dan

betul-betul untuk kepentingan umum”.236

Diskresi adalah kebebasan untuk memilih berbagai langkah

tindakan (Caurses of action or inaction). Diskresi membutuhkan tingkat

kecerdasan yang memadai dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini

peningkatan sumber daya manusia (SDM) penegak hukum memegang

peranan penting dari pada keputusan yang diambil, atau dalam hal ini

adalah Peraturan Perundang-undangan (to improve the human resources

236 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Genta Publising, Yogyakarta, 2010, hlm. 103

Page 321: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

320

is more important than it`s product), mengingat pentingnya penegak

hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman ataupun Advokad) harus

berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang hanya didasarkan

pada peraturan perundang-undangan semata, sebab hukum bukanlah

hanya ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum. Ia harus

dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang senyatanya yang dapat

diterima oleh manusia yang ada didalamnya.

Kualitas sumberdaya manusia penegak hukum adalah faktor

penentu jalannya suatu Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

System), oleh karena itu peningkatan profesionalisme, integritas dan

disiplin merupakan upaya penting yang harus dilakukan tiada henti.

Selain itu perlu setiap penegak hukum bertindak proporsional serta

memiliki kemandirian, kearifan dan perilaku hukum yang baik, agar

kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum sebagai tata hukum

atau nilai dasar dari cita hukum dapat diwujudkan dinegeri tercinta ini. 237

Kewenangan diskresi adalah suatu kekuasaan atau wewenang

yang dilakukan berdasarkan hukum atas dasar pertimbangan dan

keyakinan serta lebih menekankan pada pertimbangan moral ketimbang

pertimbangan hukum. Diskresi itu dilakukan bukan lepas dari ketentuan

hukum tetapi diskresi itu tetap dilakukan dalam kerangka hukum. Oleh

karena itu praktik Kepolisian demi kepentingan umum dapat dipandang

sebagai upaya pengayoman sehingga dapat berlangsung. Secara tegas

237 Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi dan Tax Amnesty Dalam

Penegakan Hukum, Referensi, Jakarta, 2012, hlm. 21

Page 322: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

321

dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa:

“…tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan

asas preventif dan asas kewajiban umum Kepolisian yaitu

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini

setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki

kewenangan diskresi yaitu kewenangan untuk bertindak demi

kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.

…Undang-undang ini mengatur pula pembinaan profesi dan Kode

Etik Profesi agar tindakan pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum, moral

maupun secara teknik profesi dan terutama hak asasi manusia”.

Meskipun Polisi itu bertindak seolah-olah justru tidak berdasarkan

atas hukum positif yang berlaku, namun apabila dikaji lebih mendalam

justru tindakan tersebut adalah merupakan suatu tindakan yang dapat

menjunjung tinggi tujuan hukum itu sendiri yaitu perlindungan terhadap

setiap warga negara yang berdasarkan atas keadilan, kemaslahatan dan

kemanfaatan hukum itu sendiri untuk membahagiakan rakyatnya.

Pemberian kewenangan diskresi kepada Polisi pada hakikatnya

bertentangan dengan asas negara yang didasarkan pada hukum

(Rechtstaats). “Diskresi ini menghilangkan kepastian terhadap apa yang

terjadi, tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali

dilandaskan pada hukum juga merupakan suatu ideal yang tidak akan

Page 323: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

322

dicapai”.238 Di sini dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur

oleh peraturan yang jelas dan tegas, suatu keadaan yang tidak dapat

dicapai.

Berdasarkan pandangan Chamblis dan Saidman, maka dapat

diartikan bahwa hukum merupakan suatu bentuk ide-ide yang mengatur

secara terperinci dan mendetail dengan memberikan suatu bentuk arah

pada kehidupan bersama dan bersifat umum, maka pada saat itu pula

kehidupan akan mengalami kemacetan. “Sekalipun Polisi dalam

melakukan diskresi terkesan melawan hukum, namun hal itu merupakan

jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada Polisi guna

memberikan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih luas”.239

Dengan dimilikinya kekuasaan diskresi oleh Polisi maka Polisi

mempunyai kewenangan dalam menerobos suatu bentuk kekakuan

hukum yang lebih menonjolkan sisi legisme semata, tanpa

memperhatikan stelsel-stelsel kemasyarakatan yang hidup di masyarakat

dalam mencapai suatu bentuk kemaslahatan dan keadilan yang nyata.

Dari hal tersebut, maka bentuk diskresi yang diberikan kepada Polisi

merupakan suatu bentuk terobosan terhadap penegakan hukum secara

nyata dengan tetap memberikan suatu bentuk keadilan yang nyata dengan

238 Fitriana K. Ratnaningsih, Pelaksanaan Diskresi Oleh Polisi Dalam Penyidikan di

Polwiltabes Semarang, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2006, hlm.

13239 Ibid

Page 324: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

323

memperhatikan sisi risiko dan kemanfaatan dari suatu tindakan yang

dilaksanakan.

B. DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM

Setelah kita ketahui bahwa tugas Polisi secara konsepsional

adalah tugas-tugas Kepolisian preventif dan represif atau tugas-tugas

penjaga ketertiban (order maintenance) dan penegakan hukum (law

enforcement), letak diskresi Kepolisian dapat diberikan di seluruh bidang

tugas Kepolisian baik dalam lingkup tugas-tugas preventif seperti Polisi

Lalu Lintas, Sabhara dan sebagainya maupun tugas-tugas represif seperti

Polisi Reserse, baik di dalam tugas-tugas penjagaan ketertiban (order

maintenance) maupun di dalam tugas-tugas penegakan hukum (law

enforcement). Hanya kadarnya mungkin yang agak berbeda antara satu

dengan yang lainnya.240

Menurut Satjipto Rahardjo, hukum sesungguhnya adalah “hukum

yang mati” (black letter law). Sebuah peraturan boleh saja mengatur,

menyuruh, dan melarang segala macam perbuatan, tetapi sesungguhnya

ia hanya kata-kata, janji-janji, dan ancaman-ancaman di atas kertas. Janji-

janji dan sebagainya itu baru menjadi kenyataan melalui tangan-tangan

dan pekerjaan manusia, antara lain oleh Polisi. Oleh karena itu Polisi

adalah hukum yang hidup.241

240 M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya

Paramita, Jakarta, 1991, hlm. 65241 Satjipto Rahardjo, 2010, Op. Cit, hlm. 107

Page 325: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

324

Selanjutnya oleh Donald Black dikatakan, “in a number of ways

the police determine the quantity of law as well, since they have the

capacity to exercise more or less social control from one setting to

another” yang mempunyai arti dalam sejumlah cara Polisi menentukan

kuantitas hukum juga, karena mereka memiliki kemampuan untuk

menjalankan lebih atau kurang kontrol sosial dari suatu pengaturan yang

lain.242 Lebih lanjut oleh Black dikatakan “whenever the police act in an

official capacity, every kind of social control they exercise, including

forms of punishment considered brutal by some, is understandable as

law” dari kalimat tersebut mempunyai makna kata setiap kali tindakan

Polisi dalam kapasitas formal, setiap jenis kontrol sosial mereka

melaksanakan, termasuk bentuk hukuman yang dianggap cela oleh

beberapa orang, dimengerti sebagai hukum. Memang dari kalimat

tersebut dijelaskan bahwa hukum itu menjadi hidup di tangan Polisi, oleh

karena Polisi melakukan mobilisasi hukum. Hal tersebut adalah bahasa

sosiologis untuk penegakan hukum.243

Peran Polisi di dalam penegakan hukum seolah-olah diibaratkan

bahwa Polisi adalah hukum yang hidup, karena di tangan Polisi inilah

tujuan-tujuan hukum untuk melindungi dan menciptakan keadaan yang

aman di dalam masyarakat dapat diwujudkan. Melalui tangan Polisi

inilah hal-hal yang bersifat falsafati dalam hukum bisa untuk diwujudkan

menjadi nyata, tetapi justru oleh karena sifat pekerjaannya yang demikian

242 Ibid243 Ibid

Page 326: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

325

itulah, Polisi banyak berhubungan dengan masyarakat dan menanggung

risiko mendapatkan sorotan yang tajam pula dari masyarakat yang

dilayaninya.

Di banyak literatur dan perundang-undangan pidana belum ada

yang mengatur dan menjelaskan secara rinci tentang kualifikasi serta

jenis tindak pidana dan pasal-pasal yang patut untuk di-diskresikan,

karena hal tersebut menyangkut tugas dan kewenangan Polisi menurut

keyakinannya sendiri demi kepentingan umum sebagai amanat dari Pasal

18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, dalam melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut,

Polisi selaku aparat penegak hukum harus bertindak juga sesuai

profesionalisme selaku Institusi Negara dalam menegakkan hukum yang

menjunjung tinggi nilai keadilan dan berdasarkan atas tanggung jawab

serta Kode Etik Profesi Kepolisian.

Perincian tugas-tugas Polisi seperti yang tercantum dalam

Undang-undang di atas membuktikan bahwa untuk mencapai dan

memelihara ketertiban merupakan tugas pokok yang harus dilakukan oleh

Polisi, tentunya pekerjaan tersebut hanya boleh dilaksanakan dengan

mematuhi berbagai pembatasan tertentu, salah satu dari pembatasan itu

adalah hukum. Dalam hal ini Polisi oleh hukum ditugasi untuk

menciptakan dan memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang

berlaku di masyarakat. “Diskresi dibutuhkan dan dilakukan oleh Polisi

karena ia bukan hanya aparat penegak hukum, tetapi juga penjaga

Page 327: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

326

ketertiban yang bertugas mengusahakan kedamaian (peacekeeping) dan

ketertiban (order maintance)”.244

Menurut Soerjono Soekanto245 “di satu fihak memang benar

bahwa hukum merupakan sarana pengendalian sosial, akan tetapi di lain

pihak hukum mungkin juga berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar

proses interaksi sosial (law as a facilitation of human interaction)”. Maka

dari itu, hukum itu di samping fungsinya sebagai sarana pengendalian

sosial, hukum juga dapat mengatur dan menuntun kehidupan bersama

secara umum, sebab apabila hukum mengatur secara sangat terperinci,

dengan memberikan langkah-langkah secara lengkap dan terperinci,

maka pada waktu itu pula kehidupan akan macet. Oleh karena itu diskresi

sesungguhnya merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh

hukum itu sendiri.

Pemberian diskresi kepolisian pada perkara-perkara yang masuk

di dalam bidang tugas preventif memang lebih besar daripada perkara-

perkara di bidang penegakan hukum. Hal ini dikarenakan tugas-tugas

Polisi itu umumnya adalah tugas-tugas preventif, tugas-tugas di lapangan

atau tugas-tugas umum Polisi, yang ruang lingkupnya sangat luas dan

tidak seluruhnya tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Maka diserahkan tindakan berikutnya kepada Polisi itu sendiri sebagai

244 Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayumedia Publishing,

Malang, 2009, hlm. 104245 Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1991, hlm. 48

Page 328: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

327

jalan keluarnya oleh anggota Polisi itu. Dan disinilah terdapat ruangan-

ruangan diskresi.

Dalam melaksanakan tugas preventif, Polisi sebagai aparat

penegak hukum, dalam perspektif sosiologis, selalu memiliki apa yang

disebut status dan role. Status melahirkan role, artinya kedudukan yang

ia miliki menyebabkan adanya hak-hak dan kewajiban-kebajiban tertentu.

Inilah yang disebut wewenang. Kalau hak, merupakan wewenang untuk

berbuat, maka kewajiban, merupakan beban atau tugas.246

Dalam melaksanakan kewajiban tersebut sebagai aparat penegak

hukum, Polisi disamping masuk dalam sub sistem peradilan yang erat

dengan kepastian hukum atau corong dari undang-undang, juga harus

mengedepankan aspek keadilan didalam tugasnya sebagai aparat penegak

hukum. Gustav Radbruch mengemukakan keadilan adalah terpenting

dalam penegakan hukum, selain nilai kepastian, dan nilai kemanfaatan

oleh karena itu Kepolisian di dalam menjalankan tugasnya secara

preventif dan represif harus mencerminkan nilai-nilai keadilan secara

proporsional. Hal tersebut menurut Muhtarom bahwa “nilai keadilan itu

246 Indah Sri Utari, Persepsi Polisi Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Konteks

Penegakan Hukum di Poltabes Semarang (Suatu Studi Sosiologi), Tesis Magister Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm. 99

Page 329: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

328

merupakan suatu yang abstrak, maka dalam pelaksanaannya harus

diperhatikan aspek kepastian hukum maupun kemanfaatannya”.247

Kepastian hukum diantaranya harus mengandung jaminan

pelaksanaan keadilan secara kongkrit, jika aspek kepastian hukum

berbenturan dengan keadilan, maka rasa keadilan yang harus diutamakan.

Sedangkan aspek kemanfaatan tidak hanya dilihat dari sudut orang-

perorang, melainkan harus dilihat secara luas yang berorientasi pada

masalah kemaslahatan dan kebahagiaan manusia, dan itu menjadi

keharusan dalam penegakan hukum termasuk hukum agama dan hukum

adat.248

Menurut Satjipto Rahardjo,249 “penegak hukum adalah pekerjaan

yang berhubungan dengan hukum, sedang menjaga ketertiban adalah

sosiologi. Keduanya sangat berbeda dalam sifat dan substansinya”.

Masyarakat sendiri membutuhkan diskresi, hal tersebut menitikberatkan

pada jaminan pelaksanaan keadilan secara kongkrit. Asumsi tersebut

sangatlah dibutuhkan karena dalam pelaksanaannya secara normatif,

seorang penegak hukum disamping menjalankan aturan-aturan

perundang-undangan, harus melihat aspek-aspek sosiologis, yakni tujuan

Polisi sebagai pelaksana ketertiban adalah mencegah atau

247 Suparmin, Model Polisi Pendamai Dari Perspektif Alternative Dispute Resolution

(ADR) (Studi Penyelesaian Konflik Antar Partai Politik). Undip Press dengan Wahid Hasyim

University Press, Semarang, 2012, hlm. 36248 Ibid249 Satjipto Rahardjo, 2010, Op. Cit, hlm. 105

Page 330: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

329

penanggulangan terjadinya suatu kejahatan di masyarakat, dalam hal ini

menitikberatkan terhadap terjadinya suatu kejahatan di masyarakat,

karena hal tersebut jaminan pelaksanaan secara kongkrit. Maka dari itu,

“diskresi adalah untuk membuat hukum lebih siap dan efektif

menghadapi kejadian-kejadian yang muncul dalam masyarakat”.250

Diskresi yang ada pada tugas Polisi dikarenakan pada saat Polisi

menindak, lalu dihadapkan pada dua macam pilihan apakah

memprosesnya secara formal sesuai dengan tugas dan kewajibannya

sebagai penegak hukum pidana ataukah mengenyampingkan perkara itu

dalam arti mengambil tindakan diskresi Kepolisian. Tindakan diskresi ini

mempunyai arti tidak melaksanakan tugas kewajibannya selaku penegak

hukum pidana berdasarkan alasan-alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan oleh hukum dan demi kepentingan umum.

Alasan-alasan itu bisa berupa membina pelaku, demi ketertiban atau

karena alasan-alasan hukum yang lainnya. Secara keseluruhan alasan-

alasan ini pun erat kaitannya atau masuk dalam kerangka tugas preventif

Polisi. Oleh Faal dijelaskan dua macam tindakan diskresi oleh Polisi,

yakni;

Tindakan Kepolisian yang berupa menindak (represif) yang

kemudian dilanjutkan dengan tindakan diskresi ini, disebut

dengan tindakan diskresi Kepolisian aktif. Sedangkan keputusan

Kepolisian yang berupa sikap Kepolisian yang umumnya

250 Ibid

Page 331: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

330

mentolelir (mendiamkan) suatu tindak pidana atau pelanggaran

hukum disebut diskresi Kepolisian pasif.251

Dari dua jenis tindakan diskresi tersebut hakikatnya sama-sama

bertolak dari pemikiran akan hukum yang dapat mengakomodir

kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Selain itu tindakan

diskresi yang dilakukan oleh Polisi tidak serta merta akan suatu

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) melainkan lebih

mengutamakan pencapaian tujuan sasarannya (doelmatigheid) daripada

legalitas hukum positif yang berlaku (rechtsmatigheid) dengan

mengedepankan Kode Etik Profesi Kepolisian yang bertujuan tercapainya

profesionalisme dalam menjaga kamtibmas serta penegakan hukum.

Di dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System),

diskresi bukanlah hal yang dianggap asing lagi. Tindakan diskresi dari

dahulu sudah banyak dilakukan oleh aparat Kepolisian dalam

menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum, akan tetapi dari

tindakan diskresi tersebut porsi serta bentuk dari tindakannya yang

berbeda-beda.

Dengan demikian, menurut Faal,252 “apabila kata diskresi itu

digabungkan dengan kata Kepolisian, maka istilah menjadi Diskresi

penyidik”. Yang dapat diartikan suatu kebijaksanaan berdasarkan

kekuasaan (power) untuk melakukan suatu tindakan atas dasar

251 M. Faal, 1991, Op. Cit, hlm. 68252 M. Faal, 1991, Op. Cit, hlm. 15-16

Page 332: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

331

pertimbangan demi kepentingan umum dan keyakinan dirinya. Jadi,

diskresi dikaitkan dengan Kepolisian dan penyidik adalah suatu

kebijaksanaan penyidik berdasarkan kekuasaan (power) untuk melakukan

suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan penilaiannya sendiri.

Perannya sebagai aparat penegak hukum menunjukkan bahwa

seorang polisi tidak terlepas dari apa yang merupakan dasar peraturan-

peraturan berlakunya tugas dan fungsi mereka sebagai pengemban fungsi

negara dalam memelihara keamanan, ketertiban masyarakat dan

menegakkan hukum serta norma-norma di masyarakat.

Dalam pelaksanaan diskresi oleh penyidik tidak dapat dilepaskan

dari peraturan dasar yang dijadikan landasan oleh penyidik dalam

melaksanakan tugas di tengah masyarakat. Bahwa dari dasar peraturan

tersebut, terdapat dua bidang hukum yang berisikan suatu larangam,

anjuran dan sanksi bagi pembuatannya yang disebut dengan legal materiil

dan peraturan yang menjadikan dasar bekerjanya seorang aparat penegak

hukum dalam menegakkan hukum materiil di tengah masyarakat yang

disebut dengan legal formil. Akan tetapi dalam dua bidang hukum

tersebut sering kali terdapat suatu ketidakefektifan dalam penegakan

hukum pidana di tengah masyarakat, karena aturan hukum tersebut

bersifat kaku serta tanpa memperhatikan tujuan dari pemidaanan tersebut.

Maka dari itu kedudukan dari Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana dan Pasal 16 ayat (1) huruf l serta Pasal 18 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Page 333: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

332

Indonesia adalah merupakan dasar hukum (legal formil) bagi anggota

Polri untuk melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab demi kepentingan masyarakat yang lebih luas atau kepentingan

umum dalam menjembatani suatu bentuk penanganan perkara pidana

yang dinilai ringan bobotnya dan tidak efektif apabila prosesnya

dilanjutkan ke peradilan

Dalam pelaksanaan penegakan hukum apabila hanya berdasarkan

atas peraturan perundang-undangan saja tanpa melihat aspek sosiologis

maka penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak

akan berjalan dengan baik serta efektif, karena dalam penegakan hukum

tidak hanya terpatok pada aspek kepastian hukum yang tercantum dalam

undang-undang semata, akan tetapi juga aspek keadilan serta

kemaslahatan untuk terciptanya situasi berhukum yang baik,

mementingkan aspek-aspek nilai positif dalam masyarakat serta

mengedepankan hak asasi manuasia secara umumnya.

Di sisi lain, Polisi dalam menegakkan hukum juga harus dituntut

untuk mengambil langkah tegas, kuat dan keras dalam fungsinya secara

preventif dan represif. Akan tetapi dalam fungsinya tersebut Kepolisian

dituntut lebih mengedepankan dan bertumpu pada upaya-upaya preventif

sebelum melaksanakan upaya-upaya yang bersifat represif.

Dalam penegakan hukum yang dilaksanakan kepolisian sebagai

law enforcement banyak mengalami suatu kendala-kendala dalam

melaksanakan kewenangan dalam bidang penyidikan, maka dari itu

langkah diskresi merupakan alternatif utama bagi penyelesaian perkara

Page 334: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

333

dalam menyaring suatu bentuk perkara pidana. Karena di sini, Kepolisian

dalam wewenangnya sebagai aparat penegak hukum juga mempunyai

fungsi sebagai juru damai (peace keeping official) dan pelayan publik

(public servant).

Dalam penyaringan-penyaringan suatu perkara pidana, langkah

diskresi tidak dapat diterapkan untuk seluruh jenis tindak pidana dan

hanya untuk kategori-kategori tertentu saja, diantanya adalah 1) kategori

delik aduan (yang bersifat absolut atupun relatif), 2) pidananya hanya

pidana denda dan pelanggar telah membayar denda, 3) kategori

pelanggaran (diancam dengan pidana denda), 4) tindak pidana

administrasi, 5) kategori ringan, 6) kategori pelanggaran hukum adat.

Dari klausul tersebut, pokok diskresi penyidik terhadap perkara pidana

terdapat pada perkara kejahatan ringan, diantaranya adalah; Pasal 302

tentang penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 tentang

penganiayaan ringan terhadap manusia, Pasal 364 tentang pencurian

ringan, Pasal 373 tentang penggelapan ringan, Pasal 379 tentang

penipuan ringan, Pasal 482 tentang penadahan ringan, Pasal 315 tentang

penghinaan ringan.

Adanya penyaringan-penyaringan perkara yang masuk di dalam

Proses Peradilan Pidana (Criminal Justice Process) merupakan realisasi

dari kebutuhan-kebutuhan praktis Sistem Peradilan Pidana, asas dan

tujuan Sistem Peradilan Pidana. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa

dalam kenyataanya hukum tidak secara kaku diberlakukan kepada

Page 335: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

334

siapapun dalam kondisi apapun seperti yang tercantum dalam undang-

undang.253

Pelaksanaan diskresi oleh seorang penyidik Kepolisian tentunya

mempunyai pola dan bentuknya sendiri-sendiri yang dipengaruhi oleh

keadaan dan situasi kasus, keadaan sosial dan ekonomi serta budaya

setempat serta kondisi dan situasi hukum yang dialami oleh seorang

aparat penyidik Kepolisian tersebut. Seperti halnya penyelesaian perkara

pidana yang diselesaikan secara adat kebiasaan yang status hukum

adatnya sangat kuat pada saat proses penyidikan berjalan. Seperti halnya,

kasus pemerkosaan, membawa lari perempuan, pencurian, penganiayaan,

pengeroyokan dan perzinaan. Langkah yang dilakukan oleh penyidik

Kepolisian dalam hal ini adalah mengawasi dan berkoordinasi serta

memonitor jalannya penyelesaian suatu perkara pidana yang bertujuan

untuk mencapai aspek keadilan dan kemanfaatan disamping aspek

kepastian hukum yang menghindari dari sanksi-sanksi yang dapat

melampaui batas-batas hak asasi manusia serta pencideraan dari hukum

itu sendiri terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Selain dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

merupakan landasan dasar yuridis formal (hukum tertulis) dari penyidik

Kepolisian untuk melaksanakan kewenangan diskresi, menurut Faal

terdapat ketentuan-ketentuan hukum lainnya di luar dari landasan yuridis

253 Fitriana K. Ratnaningsih, 2006, Op. Cit, hlm. 66

Page 336: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

335

formal (hukum tertulis) yang dapat dibuat pedoman dalam tindakan

diskresi yang dilakukan oleh penyidik. Dari ketentuan-ketentuan hukum

di luar hukum positif tersebut yang dapat digunakan oleh penyidik

Kepolisian sebagai dasar dalam melakukan tindakan diskresi tersebut

adalah;

1. Hukum tidak tertulis yang berlaku di dalam masyarakat.

Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang

Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara

Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara

Pengadilan-Pengadilan Sipil, dinyatakan bahwa:

Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum

materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-

kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili

oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula

dan orang itu, dengan pengertian: bahwa suatu perbuatan

yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan

pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum

Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang

tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus

rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman

adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan

penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim

dengan besar kesalahan yang terhukum, bahwa, bilamana

hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim

Page 337: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

336

melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda

yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat

dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara,

dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham

hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti

diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan

yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan

pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana

Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama

dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada

perbuatan pidana itu.

Hukum tidak tertulis yang menjadi dasar diskresi ini seperti

adat kebiasaan serta kebudayaan yang berlaku di masyarakat dan

tidak betentangan dengan hukum positif. Kebiasaan merupakan

aturan-aturan tidak tertulis, tetapi hidup subur, dituruti dan ditaati

oleh masyarakat. Kebudayaan masyarakat sudah ada sejak dahulu

semenjak masyarakat ada dan menduduki suatu wilayah. Interaksi

antara orang satu dengan yang lainnya membuat adanya suatu

konflik sosial, dari hal tersebut lahir suatu ketentuan-ketentuan yang

tidak tertulis dan mereka yakini serta mematuhinya, termasuk dalam

penyelesaian suatu sengketa pidana.

Pada zaman Kolonial Belanda, sumber pengetahuan tentang

hukum adat adalah pada Pasal 131 IS, Indische Regeling yang

Page 338: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

337

menggambarkan adanya sistem hukum yang dualistis pluralistik,

Pada ayat (1) dari Pasal 131 IS tersebut menetapkan suatu asas

bahwa hukum perdata dan hukum pidana materiil dan formil

ditetapkan dalam ordonansi-ordonansi, yaitu Undang-Undang yang

ditetapkan oleh Gubernur Jenderal dengan persetujuan Volksraat.

Ketentuan dalam Indische Regeling tersebut merupakan embrio bagi

keberlakuan hukum adat di Indonesia pada era zaman penjajahan

pemerintahan Hinda Belanda. Pada ayat 2 sub (b) Pasal 131 IS

menetapkan suatu pedoman kepada pemberi ordonansi untuk hukum

yang bersifat materiil yang harus diatur bagi orang Indonesia, untuk

itu berlaku azas bahwa hukum adat mereka akan dihormati dengan

kemungkinan penyimpangan-penyimpangan di dalam hal:

a. Kebutuhan masyarakat mereka menghendakinya, maka mereka

akan taklukkan perundang-undangan yang berlaku bagi orang

Eropa, sekedar atau perlu diubah atau mereka akan bersama-

sama dengan orang-orang Eropa ditaklukkan ada keistimewaan

yang sama.

b. Kebutuhan masyarakat; mereka menghendaki atau berdasarkan

kepentingan umum, maka pembentuk ordonansi dapat

mengadakan hukum yang berlaku bagi orang Indonesia dan

orang Timur asing.

Di samping dalam Pasal 131 IS, masih terdapat Pasal di

dalam IS lainnya yang memungkinkan berlakunya hukum adat, Pasal

tersebut adalah Pasal 130 IS yang menegaskan bahwa terdapat

Page 339: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

338

daerah-daerah di mana kepada bangsa Indonesia diberikan kebebasan

untuk menganut hukumnya sendiri. Hal tersebut memberikan

pandangan bahwa hukum adat di Indonesia pada era pemerintahan

Hindia Belanda keberlakuannya diakui karena banyaknya kebiasaan-

kebiasaan pada masyarakat di Indonesia yang memiliki banyak

ragam suku, kebudayaan, ras, bahasa dan berbagai bentuk

permasalahan hukum juga. Dari ketentuan hukum adat tersebut

dirasa lebih efektif dalam menyelesaikan problem-problem di

masyarakat karena dipandang tidak semua permasalahan hukum di

Indonesia pada masa itu tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan

hukum materiil yang dibuat oleh pemerintah saja, akan tetapi asalkan

hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang

diakui umum.

Sesungguhnya hukum yang tidak tertulis sebagai landasan

hukum adalah suatu hal yang konstitusional sifatnya. Karena hal itu

diakui oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 “hukum dasar yang tidak tetulis ialah aturan-aturan

dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan

negara”.254 Bunyi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 tersebut secara harfiah mempunyai suatu

perlindungan dan penjaminan keberlakuan hukum adat pada masa

sekarang yang sudah ada sejak dahulu pada era pemerintahan

Kolonial Hindia Belanda.

254 M. Faal, 1991, Op. Cit, hlm. 117

Page 340: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

339

Dihubungkan dengan pelaksanaan tugas-tugas kepolisian, di

dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum di masyarakat

sering dapat diselesaikan berdasar hukum tidak tertulis yang berupa

hukum adat, dan dalam kaitannya dengan hukum adat tersebut yang

dapat dijadikan pedoman adalah adat kebiasaan yang ada dan hidup

di tengah masyarakat yang sesuai atau tidak bertentangan dengan

hukum positif yang ada, mempunyai tujuan mempertahankan

keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat serta tidak merugikan

hak-hak orang lain.

Begitu juga penyelesaian terhadap perkara-perkara pidana

yang serba ringan sifatnya akan menjadi lebih efektif apabila

diproses berdasarkan kebiasaan praktek atau hukum tidak tertulis itu,

akan tetapi apabila dipaksakan penyelesaiannya melalui lembaga

peradilan yang ada maka justru akan menimbulkan permasalahan

baru dan dampak negatif bagi tersangka dan masyarakat secara

umumnya, sehingga dengan demikian maka adat kebiasaanlah yang

dipakai dalam menyelesaikan suatu perkara, karena bagaimanapun

juga hal itu dirasa lebih praktis, efektif dan efisien dari segi estimasi

biaya dan tenaga daripada diselesaikan lewat Sistem Peradilan

Pidana (Criminal Justice System). Misalnya saja suatu penyelesaian

perkara ditempuh dengan upaya kekeluargaan dengan cara duduk

bersama guna mencari solusi dari permasalahan yang ada, maka hal

tersebut dirasa bisa menyelesaikan masalah tanpa menjadikan

Page 341: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

340

hubungan yang ada antara kedua belah pihak yang berperkara

menjadi renggang atau pecah dalam pergaulan di tengah masyarakat.

Sebagai hukum yang tidak tertulis, hukum adat juga

mempunyai tujuan untuk mengatur pergaulan hidup secara damai

dan tidak dapat melepaskan diri dari unsur-unsur keadilan,

kemanfaatan dan seberapa dapat diperlukan unsur kepastian hukum.

Unsur keadilan dalam hukum adat menuntut jaminan hukum agar

kepentingan-kepentingan masyarakat tetap dilindungi, akan tetapi

tidak boleh mengorbankan kepentingan umum yang menjadikan

hukum tidak seimbang, sedangkan unsur kemanfaatan dalam hukum

adat mengajarkan bahwa dalam hal pemenuhan terhadap semua

kepentingan dan semua hak, bagi pendukung hak harus dapat

mengambil kemanfaatan dari pemenuhan hak dan kepentingan

tersebut. Secara formal, dalam perlindungan kepentingan

memerlukan kepastian hukum, dan seiring dengan hal tersebut

perlunya unsur kepatutan dalam pemenuhan hak.

Bagi aparat penegak hukum, maka ia harus berusaha untuk

menggali dan mengikuti serta memahami nilai hukum yang sifatnya

tidak tertulis dalam rangka melengkapi hukum formal itu, agar sesuai

dengan perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam

masyarakat. “Menggali berarti mengakui adanya nilai hukum yang

terpendam dan tersimpan sebagai nilai budaya bangsa, mengikuti

berarti ia harus terjun ke tengah gejolak kehidupan masyarakat”.255

255 Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm. 21

Page 342: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

341

Dengan demikian, aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum

idealnya tidak hanya berdasarkan atas aturan tertulis yang di atas

kertas saja, melainkan seorang aparat hukum dalam menegakkan

hukum juga berdasarkan atas hukum yang tidak tertulis dan berlaku

di tengah masyarakat, karena sifat dari hukum itu sendiri adalah

dinamis serta tidak statis, dan di tangan Polisi yang langsung

berhadapan dengan masyarakat sebagai geet keeper in the process

atau penjaga pintu gerbang di dalam proses haruslah mengakui

kedudukan hukum tidak tertulis di tengah masyarakat serta

menegakkannya dengan rasa adil.

Perlu diketahui juga bahwa keberadaan hukum tidak tertulis

juga didasari Konstitusi Negara Republik Indonesia setelah

amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia, tepatnya pada Pasal 18 B ayat (2), yang dijelaskan bahwa:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diatur dalam Undang-Undang”.

Pada pasal tersebut diungkapkan bahwa Negara mengakui

keberadaan hukum adat yang masih diakui sebagai hukum tidak

tertulis sepanjang masih diakui dan hidup sesuai dengan

perkembangan di tengah masyarakat serta tidak bertolak pada prinsip

Page 343: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

342

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari landasan konstitusi

tersebut tidak ada alasan bagi seorang aparat penegak hukum untuk

menegakkan hukum secara tertulis dan kaku saja, karena dalam

masyarakat terdapat hukum tidak tertulis yang dipakai juga untuk

menyelesaikan suatu perkara-perkara tertentu di dalam masyarakat

tersebut.

Dalam hal ini, posisi anggota Kepolisian selaku aparat

penegak hukum juga mempunyai pengaruh yang besar dalam

menggali nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat berkaitan

dengan pelaksanaan tugas di bidang pemolisian masyarakat sehingga

mereka mempunyai kekuasaan penuh atas tindakan diskresi

dimaksud. Oleh karenanya, aparat Kepolisian dalam melihat serta

memaknai hukum haruslah tidak sebatas secara parsial dan tidak

hanya berdasarkan segi formal atas aturan tertulis yang bersifat kaku

di atas kertas belaka yang hanya mengakomodir kepentingan

penguasa. Dari sosok Polisi dituntut dan berkewajiban langsung

dalam mengamati perkembangan serta perubahan nilai-nilai yang

hidup di tengah masyarakat, agar dalam pelaksanaan diskresi oleh

Penyidik Kepolisian dapat sejalan, setujuan, efektif serta tepat pada

sasaran sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan diskresi,

profesionalisme Kepolisian dan peranannya sebagai aparat penegak

hukum.

Berkaitan dengan fungsi peranan, menurut Soerjono Soekanto

“ada empat tipe peranan, yaitu: 1. peranan yang ideal, 2. peranan

Page 344: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

343

yang seharusnya, 3. peranan yang dianggap oleh diri sendiri, 4.

peranan yang sebenarnya dilakukan diri sendiri”.256 Dalam peranan

tersebut, pertama kaitannya dengan diskresi yang dilakukan oleh

seorang penyidik dalam pelaksanaan tugas penyidikan terhadap suatu

bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yakni dimana

seorang penyidik secara ideal mempunyai wewenang atau peranan

dalam hal penyidikan, karena hal tersebut diatur dalam Pasal 6 ayat

(1) huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP

serta Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aturan dalam Undang-

Undang diterapkan di masyarakat tanpa melihat segala bentuk

masyarakatnya seperti apa, dari itulah kadang aturan dari Negara

yang berbentuk hukum tertulis atau hukum positif tersebut terkadang

terbentur dengan adat istiadat serta kebudayaan yang ada di dalam

masyarakat yang berbentuk hukum tidak tertulis.

Kedua, kejelian sikap aparat penegak hukum dalam

menanggapi suatu permasalahan di tengah masyarakat sangatlah

dibutuhkan, demikian pula bahwa keberanian seorang Polisi dalam

menerjang arus positivisme hukum serta kekakuan dari suatu

peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan suatu perkara

yang ada di tengah masyarakat adalah sangat diidam-idamkan dan

didambakan oleh masyarakat, oleh karena itu kedua aspek kinerja

Polisi tersebut mempunyai makna tersendiri yang mendudukkan

256 Ibid

Page 345: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

344

aspek kewenangan menjadi aspek penting yang seharusnya

dilaksanakan oleh Polisi selaku seorang penegak hukum, penjaga

keamanan dan ketertiban serta pembimbing masyarakat. Dari kata

harus tersebut, kemudian timbul suatu kewenangan terhadap

penegakan hukum yang tidak kaku sesuai apa yang diatur dalam

Undang-Undang saja, akan tetapi harus pula melihat nilai-nilai serta

kebudayaan yang terkandung dalam masyarakat yang merupakan

perwujudan dari diskresi pasif oleh penyidik Kepolisian.

Yang ketiga, dari perwujudan peranan penyidik Kepolisian

dari peranan yang dianggap oleh diri sendiri tersebut merupakan

suatu sikap oleh Polisi yang dalam hal ini adalah penyidik

mempunyai peranan mengamati suatu kasus perkara pidana yang

sedang ditanganinya untuk disaring guna menemukan suatu perkara

yang kurang efektif dan perkara pidananya dianggap ringan, hal

tersebut merupakan perwujudan dari aspek peranan yang dianggap

diri sendiri dan merupakan suatu bentuk diskresi aktif dari seorang

penyidik Kepolisian.

Yang keempat dari aspek peranan kepolisian adalah peranan

yang sebenarnya dilakukan diri sendiri, dari peranan tersebut

merupakan peranan yang timbul dalam sisi seorang penyidik

kepolisian, maka dari itu sikap dan tindakan yang dilakukan oleh

seorang penyidik dalam menentukan kualitas serta profesionalisme

penegakan hukum yang dilakukan oleh Polisi dalam melakukan

penyidikan serta melakukan tindakan diskresi kepolisian untuk

Page 346: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

345

menyaring suatu bentuk tindak pidana yang dianggap ringan serta

kurang efektif dilihat dari segi sosiologis dan budaya serta adat

istiadat yang berlaku dan berkembang di tengah masyarakat.

Hal inilah yang menjadi alasan mengapa hukum adat yang

berlaku di tengah masyarakat juga mempunyai peranan di dalam

pelaksanaan diskresi oleh polisi dalam penegakan hukum di

masyarakat.

2. Pendapat para ahli hukum yang sesuai dan yurisprudensi

Menurut Faal,257 pendapat para ahli hukum ini dijadikan

sebagai dasar pemikiran atau untuk menambah wawasan yang lebih

luas mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan diskresi

penyidik, sehingga kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil oleh

penyidik nantinya mempunyai landasan atau alasan yang kuat.

Dalam sebuah peraturan perundang-undangan, bahasa yang

digunakan biasanya sangat kaku, sehingga para aparat penegak

hukum kesulitan dalam melakukan penegakan terhadap aturan

perundang-undangan tersebut. Seperti contohnya dalam Pasal 1 ayat

(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dimana mengandung

arti dari asas nullum delictum nulla poena sine previa lege ponali, isi

dari asas tersebut adalah merupakan suatu ketentuan yang sangat

kaku dalam penerapannya dan tidak mengakomodir secara

keseluruhan dari aspek-aspek keadilan di dalam masyarakat karena

lebih mementingkan kepastian hukum saja. Hal tersebut bagi praktisi

257 M. Faal, 1991, Op. Cit, hlm. 119

Page 347: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

346

hukum sangat membuat kesulitan untuk memahaminya, karena apa

yang ada di dalam peraturan tersebut tidak seperti apa yang ada

dalam penerapannya di tengah masyarakat, maka dari itu penjelasan

dari seorang ahli hukum sangat dibutuhkan dalam memahami dan

memperjelas hukum yang kurang jelas tersebut, sehingga

kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil oleh para aparat penegak

hukum yang sedang bertugas akan mendapat landasan yang relatif

lebih kuat.

Di samping itu, bahwa pendapat dari para ahli hukum ini

kemudian dijadikan sebagai dasar pemikiran atau untuk menambah

wawasan yang lebih luas mengenai segala sesuatu yang berkaitan

dengan diskresi penyidik, dari dasar pemikiran tersebut membuat

terang bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan suatu

tindakan-tindakan diskresi yang berdasarkan pada kepentingan-

kepentingan umum yang ada di masyarakat dan bukan kepentingan

atas suatu legitimasi dari aturan perundang-undangan saja yang

bersifat kaku tersebut. Dalam doktrin-doktrin hukum tersebut

memuat berbagai definisi, kajian dan analisis-analisis yang dikemas

dalam suatu ilmu pengetahuan dari para ahli hukum, yang mana hal

tersebut dapat dijadikan landasan untuk mempermudah bagi aparat

penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya serta melakukan

suatu tindakan diskresi, supaya tidak bertentangan dengan aspek-

aspek pemerintahan yang baik dan penyalahgunaan kekuasaan.

Page 348: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

347

Dengan pejelasan para ahli hukum yang relevan tersebut akan

melengkapi substansi hukum yang kurang jelas, sehingga

kebijaksanan-kebijaksanaan yang diambil oleh aparat penegak

hukum dalam hal ini adalah aparat Kepolisian akan mempunyai dasar

yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi hukum, sekalipun hal

tersebut belum secara rinci diatur oleh aturan perundang-undangan.

Menurut Suteki258 dalam makalah yang disampaikan pada

Seminar dan Lokakarya “Alternative Dispute Resolution (ADR)”

dalam Sistem Peradilan Pidana khususnya tindak pidana ringan

(TIPIRING) di Polda Jawa Tengah tanggal 1 Desember 2010.

Diskresi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khususnya

aparat Kepolisian adalah sangat berkaitan dengan aliran Sosioloigical

Jurisprudence, karena dalam aliran tersebut berusaha menyatukan

ilmu hukum dengan lingkungan, yaitu masyarakat. Konsekuensi

logis dari aliran tersebut yakni:

a. Terdapat penghargaan terhadap The Living law

b. Memberikan kebebasan kepada Polisi dalam hal ini sebagai

aparat penegak hukum untuk bertindak dan memutus dengan

bijaksana untuk menyelesaikan suatu perkara pidana berdasarkan

the living law, atas dasar faham hukum non-positivistik.

258 Suteki, Alternative Dispute Resolution (ADR) Dalam Sistem Peradilan Pidana

Khususnya Tindak Pidana Ringan (TIPIRING). Paper disampaikan di Polda Jawa Tengah,

Semarang, 1 Desember 2010

Page 349: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

348

c. Mengembangkan public control terhadap produk undang-

undang, karena implementasi pertama keberadaannya adalah

Polisi sebagai penegak hukum dari produk undang-undang

tersebut kepada masyarakat.

Pengaruh Sosiological Jurisprudence dalam proses

penegakan hukum, khususnya polisi belum begitu nyata, padahal

pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa untuk

kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak

menurut penilaiannya sendiri. Dari hal tersebut letak tugas dan

wewenangnya termasuk dalam ruang lingkup penyidikan, namun

belum banyak dari penyidik dan aparat Kepolisian yang

memperhatikan aspek sosiologis dari hukum tersebut, disebabkan

oleh kuatnya dominasi faham positivistik di mindset mereka selaku

alat dari Negara yang mengemban tugas kepenegakan hukum.

Selanjutnya Suteki menjelaskan dasar teoritik dalam aspek

sosiologis oleh aparat penegak hukum, yakni dasar teoritik

Responsive Law Theory dan dasar teoritik Progressive law Theory.259

Oleh Suteki dalam makalahnya mengutip dari Philippe Nonet &

Philip Selznick, pertama, dasar teoritik “Responsive Law Theory

mengidentifikasi hukum ke dalam tiga tipe yaitu Represive Law,

259 Ibid

Page 350: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

349

Outonomous Law dan Responsive Law”.260 Hukum responsif

menonjolkan adanya pergeseran penekanan dari yang semula

menekankan pada aturan-aturan menuju ke pada tujuan, dan

pentingnya memperhatikan aspek kerakyatan baik sebagai tujuan

maupun cara pencapaian tujuan. Hukum responsif sangat concern

dengan faktor-faktor sosial untuk menjadi dasar, pelaksanaan dan

pencapaian tujuan hukum.

Dalam konsepsi hukum sebagai upaya politik, partisipasi

warga negara memperoleh makna khusus di dalam hukum. Model

hukum responsif yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick

didasarkan pada pandangan tersebut. Yang terpenting adalah

partisipasi aktif dari warga negara dalam hukum yang merupakan

dasar pokok dari keseluruhan hukum dan arti pengembangan hukum,

misalnya seorang individu menundukkan diri secara yuridis dan

mengklaim suatu hal, membenarkan diri menurut undang-undang

yang berlaku, mengusulkan suatu asas, mengajukan eksepsi,

menuntut kejelasan dan pertanggungjawaban, menuntut

kepentingannya diakui sebagai hak, menuntut pemulihan dan

penegasan kedudukan dirinya sebagai seorang warga negara serta

menampilkan diri sebagai subjek hukum.

Karakteristik hukum responsif tersebut dapat menjadi trigger

sebuah upaya aparat penegak hukum untuk menghadirkan keadilan

260 Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, 2011,

hlm. 29

Page 351: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

350

sosial substantif yang oleh Nonet dan Selznick disebut subordinative

justice sehingga melampaui dua jenis keadilan lainnya yaitu

procedural justice dan materiil justice.261

Kedua, yakni dasar teoritik progressive law theory. Teori

hukum progresif merupakan bagian dari proses searching for the

truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti. Satjipto

Rahardjo sebagai penggagas hukum progresif mengatakan bahwa

rule breaking sangat penting dalam sistem penegakan hukum. Dalam

penegakan hukum Kepolisian dan juga penegak hukum lainnya,

harus berani membebaskan diri dari penggunaan pola baku, dan cara

yang demikian sebenarnya sudah banyak terjadi. Teori tersebut

merupakan sebuah refleksi akan suatu penegakan hukum untuk untuk

terbebas dari pola baku yang klasik. Cara baru inilah yang tadi

disebut rule breaking. Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga cara untuk

melakukan rule breaking, yaitu:

a. Mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari

keterpurukan hukum dan tidak membiarkan diri terkekang cara

lama;

b. Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru

dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum;

c. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja,

tetapi dengan perasaan, kepedulian dan keterlibatan

(compassion) kepada kelompok yang lemah.262

261 Suteki, 2010, Op. Cit, hlm. 5-6

Page 352: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

351

Dalam perspektif hukum progresif seharusnya kita tidak

boleh terus terjebak pada formalisme hukum yang dalam praktik

menunjukkan banyak kontradiksi dan kebuntuan dalam pencarian

kebenaran dan keadilan substansial. Dalam formalisme, hukum dan

penegakannya dengan mata tertutup pun, akan berjalan sistematis

ibarat rumusan matematika yang jelas, tegas dan pasti. Tidak ada

kekeliruan di dalamnya. Seolah hukum itu seperti mesin automat,

tinggal pencet tombol maka keadilan begitu saja akan diciptakan

pula. ”Formalisme telah melahirkan gejala spiral pelanggaran hukum

yang tak berujung pangkal dan memasukkan hal tersebut ke dalam

jerat kerangkeng penegakan hukum yang kaku”.263

Yurisprudensi mengenai diskresi Kepolisian pada masa

penjajahan yang terkenal adalah berdasarkan Arrest Hoge Raad

tanggal 25 Januari 1892 dan tanggal 11 Maret 1914 yang antara lain

mengatakan;

(…..) untuk sahnya segala tindakan-tindakan Kepolisian

(Rechtmating) tidak selalu harus berdasarkan peraturan

Undang-Undang (Wettelijk Voor Schrift) akan tetapi harus

memenuhi persyaratan sebagai berikut;

a. Tindakan-tindakan Polisi itu tidak bertentangan dengan

ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan.

262 Satjipto Rahardjo, 2005, Op. Cit, hlm. 5263 Suteki, 2010, Op. Cit, hlm. 5-6

Page 353: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

352

b. Bahwa tindakan ini adalah untuk mempertahankan (…),

ketertiban, ketentraman dan keamanan umum.

c. Bahwa tindakan itu untuk melindungi hak-hak seseorang

(ieders recht).264

Dasar yurisprudensi tersebut merupakan suatu perwujudan

dari tindakan nyata Polisi dalam pengakuan adanya bentuk eksistensi

dari pelaksanaan diskresi oleh Polisi dalam praktek Kepolisian di

tengah masyarakat. Hal tersebut dapat menjadi suatu landasan

diskresi oleh Polisi dalam menegakkan aturan perundang-undangan

tidak usah terlalu kaku dan alot dalam menjalankan serta

menegakkan peraturan perundang-undangan di tengah masyarakat.

Dengan demikian tugas polisi tersebut merupakan bagian dalam

menegakkan hukum disamping dari menegakkan undang-undang di

tengah masyarakat.

Dalam penentuan diskresi Kepolisian dalam hal pelaksanaan

kebijaksanaan untuk menghentikan, mengenyampingkan maupun

menyelesaikan perkara di tingkat penyidikan, terkadang terjadi

ketidaksamaan kepentingan kebijaksanaan, yaitu untuk mengabulkan

atau menolak permohonan perkara para pihak yang berkaitan dengan

perkara (pelaku dan korban). Dalam arti bahwa antara pelaku dan

korban berkeinginan agar perkara yang sedang diproses di tingkat

264 M. Faal, 1991, Op. Cit, hlm. 118

Page 354: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

353

penyidikan dapat diselesaikan dengan cara damai dan tidak

diteruskan ke proses peradilan.

Status serta dampak hukum yang diterima oleh pelaku

kejahatan apabila kasusnya dilakukan diskresi oleh penyidik tetap

menjadi tersangka, hal itu sangat membebankan tersangka,

disamping akibat yang ditimbulkan telah dikembalikan seperti

semula kepada korban kejahatan, juga penyidik telah sepakat jika

kasusnya akan dihentikan untuk tidak diproses. Akan tetapi status

tersangka tersebut juga menimbulkan dampak baru di kemudian hari

apabila seorang penyidik mempunyai keinginan untuk melanjutkan

kasus tersangka yang dahulunya pernah dilakukan tindakan diskresi

oleh penyidik demi alasan kepastian hukum serta mengacuhkan

kepentingan tersangka dan korban yang sebelumnya telah sepakat

untuk berdamai, hal tersebut membuat ketidaksamaan kepentingan

antara seorang penyidik dengan korban ataupun pelaku kejahatan.

Pelaksanaan diskresi pada tingkat penyidikan tentunya

mempunyai pola dan bentuk tersendiri yang dipengaruhi oleh kasus,

keadaan sosial, ekonomi dan budaya setempat, situasi dan kondisi

maupun oleh perasaan hukum petugas penyidik itu sendiri. Seperti

penyelesaian perkara pidana pada saat penyidikan yang diselesaikan

secara adat kebiasaan yang hukum adatnya sangat kuat, seperti kasus

pencurian, pengeroyokan, perzinahan. Dalam hal ini polisi hanya

mengawasi dan mengkoordonasi serta memonitor untuk menghindari

Page 355: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

354

sanksi-sanksi yang mungkin melampaui batasan hak asasi manusia

dan kemanusiaan serta hukum.

Dari banyak pandangan tersebut yang menunjukkan fungsi

pelaksanaan diskresi oleh polisi terletak pada suatu keadaan tertentu

dimana peran dari polisi dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu

yang tidak diatur dalam undang-undang akan tetapi demi

kepentingan umum hukum memperbolehkan tindakan tersebut

dilakukan berlandaskan atas aspek keadilan dan kemanfaatan serta

tidak terlalu mengedepankan aspek kepastian hukum yang kaku.

Permasalahan-permasalahan yang dihadapi polisi sebagai aparat

penegak hukum dalam pemegang tugas penyidikan terhadap suatu

bentuk tindak pidana sangatlah bervariasi dan berkembang,

terkadang dalam pelaksanaan proses penyidikan yang dilakukan

polisi tersebut terkesan hanya sekedar ajang untuk balas dendam

semata dengan dalih sebagai bentuk kepastian hukum daripada

keadilan serta kemanfaatan hukum, dalam hal ini maka diskresi

Kepolisian merupakan sarana yang dapat dipergunakan oleh penyidik

dalam memberikan suatu bentuk rasa adil serta kemanfaatan akan

hukum yang didambakan oleh masyarakat terhadap kebuntuan yang

dihadapi oleh penyidik dalam menanggulangi suatu kejahatan

ataupun menangani suatu bentuk tindak pidana, karena tidak

selamanya dengan dilakukannya penyidikan, penuntutan sampai pada

tahap pengadilan tersebut dapat menjamin bahwa suatu permasalahan

Page 356: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

355

tersebut dapat selesai dengan tanpa timbulnya permasalahan-

permasalahan lain di belakangnya.

C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM KONSTRUKSI HUKUMBERKAITAN DENGAN PERDAMAIAN SEBAGAI PAYUNGHUKUM DALAM IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DITINGKAT PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan nara sumber

(Dirlantas Polda Jawa Tengah, Kasatlantas Polres Semarang, Kasatlantas

Polres Demak, Kasatlantas Polres Kendal dan Kasatlantas Polres

Banyumas,265 diperoleh rangkuman kesimpulan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi dalam konstruksi hukum berkaitan dengan perdamaian

265 Hasil wawancara dengan :

1.Dirlantas Polda Jawa Tengah, pada tanggal 13 Desember 2013 yang merupakan pusat

kebijakan berkaitan dengan proses penyidikan terhadap tindak pidana lalu lintas di

wilayah Polda Jawa Tengah,

2.Kasatlantas Polres Semarang pada tanggal 5 Desember 2013 (jalur tengah antara kota

Semarang-Surakarta/Yogjakarta-Surabaya);

3.Kasatlantas Polres Demak, pada tanggal 2 Desember 2013 (jalur pantai utara antara kota

Semarang-Surabaya);

4.Kasatlantas Polres Kendal, pada tanggal 6 Desember 2013 (jalur pantai utara antara kota

Jakarta/Bandung-Semarang-Surakarta/Yogjakarta-Surabaya); dan

5. Kasatlantas Polres Banyumas, pada tanggal 4 Desember 2013 (jalur pantai selatan antara

kota Jakarta/Bandung- Surakarta/Yogjakarta-Surabaya).

Page 357: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

356

sebagai payung hukum dalam implementasi restorative justice di tingkat

penyidikan tindak pidana lalu lintas adalah:

1. Indonesia bukan negara Liberal dengan penerapan hukum yang kaku;

Bangsa Indonesia dari jaman dahulu telah menerapkan asas

musyawarah untuk mufakat dalam setiap hal atau permasalahan. Jadi

penyelesaian permasalahan apapun dengan jalan musyawarah atau

perdamaian dirasa menjadi jalan yang terbaik.

2. Dirasa lebih efektif/murah dan tidak bertele-tele;

Pelaksanaan penyelesaian sengketa dengan jalan perdamaian

dirasakan lebih efektif dan efisien, karena prosesnya tidak bertele-

tele dan beayanya murah.

3. Berdasarkan kesepakatan kedua pihak;

Pelaksanaan penyelesaian sengketa dengan jalan perdamaian

ini harus mendapatkan kesepakatan dari kedua belah pihak. Apabila

salah satu pihak tidak bersedia melakukan perdamaian, maka

sengketa tersebut akan dibawa ke pengadilan.

4. Tanpa pengaruh dari pihak manapun;

Kesepakatan yang diambil oleh kedua belah pihak dalam

proses perdamaian tidak boleh ada pengaruh dari pihak manapun.

Apabila ada campur tangan dari pihak luar, maka hasil yang

diharapkan dari penyelesaian sengketa melalui perdamaian tersebut

tidak akan tercapai.

5. Mengedepankan sisi manusiawi dan hati nurani;

Page 358: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

357

Pelaksanaan perdamaian dalam penyelesaian sengketa ini

juga mengedepankan sisi manusiawi dan hati nurani dari pelaku

maupun korban.

6. Keadilan lebih dirasakan oleh masyarakat.

Dengan dilaksanakannya perdamaian dalam penyelesaian

sengketa ini, keadilan akan lebih dirasakan oleh masyarakat daripada

sengketa tersebut di bawa ke pengadilan.

7. Pemidanaan tidak menimbulkan efek jera;

Pemidanaan yang diberikan kepada tersangka melalui putusan

yang diberikan oleh pengadilan dengan hukuman penjara ternyata

tidak menimbulkan efek jera kepada pelaku dikarenakan hukuman

yang diberikan kepada pelaku tidak terlalu berat, sehingga pelaku

setelah keluar dari penjara biasanya akan mengulangi lagi

perbuatannya.

Berdasarkan uraian di atas, ketujuh hal tersebut menjadi faktor

yang mempengaruhi implementasi restorative justice atau alternative

dispute resolution (ADR) atau penyelesaian sengketa melalui perdamaian

di Polda Jawa Tengah dan jajarannya. Pelaksanaan ADR atau perdamaian

dalam penyelesaian sengketa memang lebih sering digunakan oleh pihak

Kepolisian dalam menyelesaian sengketa, dikarenakan pelaksanaan ADR

atau perdamaian dirasakan lebih efektif, murah dan tidak memerlukan

waktu yang lama.

Page 359: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

358

Sedangkan menurut Dirlantas Polda Jawa Tengah,266 penerapan

restorative justice cukup efektif dalam mempercepat penyelesaian

perkara kecelakaan lalu lintas. Dan hal itu secara mayoritas dikehendaki

oleh mereka yang berperkara, tanpa pengaruh dari pihak manapun dan

keadilan lebih dapat dirasakan oleh masyarakat.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kasatlantas Polres

Demak,267 diperoleh keterangan bahwa kendala-kendala yang dihadapi

dalam konstruksi hukum berkaitan dengan perdamaian sebagai payung

hukum dalam implementasi restorative justice di tingkat penyidikan

tindak pidana lalu lintas adalah karena restorative justice belum

ditetapkan sebagai aturan atau ketetapan yang baku secara legal formal

sebagai salah satu bentuk penyelesaian perkara tindak pidana kecelakaan

lalu lintas.

Masih menurut Kasatlantas Polres Demak,268 upaya yang

dilakukan oleh penyidik dalam mengatasi kendala yang terjadi terhadap

penerapan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana lalu lintas

adalah dengan mengakomodir suara masyarakat yang terlibat kecelakaan

lalu lintas, dan memberikan masukan kepada pimpinan atau yang

berkompeten dalam pembuatan undang-undang/peraturan/ketetapan

untuk mengesahkan restorative justice sebagai salah satu cara dalam

266 Wawancara dengan Dirlantas Polda Jawa Tengah, pada tanggal 13 Desember

2013267 Wawancara dengan Kasatlantas Polres Demak, pada tanggal 2 Desember 2013268 Ibid

Page 360: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

359

penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas dengan alasan lebih

manusiawi dan mengedepankan rasa keadilan dan hati nurani, sehingga

akan didapat payung hukum yang legal dan formal, sebagai wujud

penerapan hukum modern.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kasatlantas Polres

Banyumas,269 diperoleh keterangan bahwa penerapan konsep perdamaian

sebagai payung hukum dalam implementasi restorative justice di tingkat

penyidikan tindak pidana lalu lintas mendapat respon yang sangat positif

dan diterima sebagai suatu keadilan dan sangat dikehendaki oleh

masyarakat khususnya dalam penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas.

Masih menurut Kasatlantas Polres Banyumas,270 solusi apabila

konsep keadilan restoratif tidak dapat diterima oleh pihak korban adalah

bila diminta, Penyidik dapat menempatkan diri sebagai mediator atau

konsultan dalam pemecahan masalah yang dilaksanakan secara

profesional dan tidak memihak/netral, namun apabila hal tersebut tetap

tidak bisa diterima, maka secara prosedural Penyidik berwenang untuk

mengajukan/ memproses kasus tersebut sampai ke Pengadilan.

Pada dasarnya hukum itu tidak terlepas dari apa yang dilakukan

manusia maupun masyarakat terhadapnya. Hal tersebut membuat

kebiasaan-kebiasaan yang pada akhirnya dihormati dan ditaati oleh

manusia dan masyarakat itu sendiri pada khususnya. Disamping itu,

269 Wawancara dengan Kasatlantas Polres Banyumas, pada tanggal 4 Desember

2013270 Ibid

Page 361: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

360

dalam hukum sarat dengan sentuhan-sentuhan serta curahan nilai-nilai

atau konstruksi ide para pembuat maupun oleh para penggunanya.

Hukum mengandung ide-ide sebagai hasil dari pikiran pembuat undang-

undang, ide-ide tersebut mengandung beberapa aspek tentang kepastian,

keadilan, dan kemanfaatan sosial. Oleh karena ide-ide tersebut masih

abstrak, maka harus diwujudkan menjadi kenyataan. Proses mewujudkan

ide-ide yang abstrak menjadi kenyataan tersebut itulah yang merupakan

arti dari kepenegakan hukum.

Hal tersebut memang sangat relevan sekali akan suatu sistem

pranata hukum di Indonesia yang hanya mengedepankan aspek secara

kepastian hukumnya dan tidak terlalu memprioritaskan aspek-aspek yang

lain, maka dari itu di dalam suatu institusi-institusi hukum yang

diamanahkan oleh Undang-undang dalam menegakan hukum di

Indonesia kurang begitu maksimal, dan terkadang timbul permasalahan

lain di luar dari jalur hukum yang hanya terpaku pada undang-undang

karena dalam menegakkan hukum hanya bersifat kaku tanpa melihat

nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat dan aspek-aspek

sosiologisnya.

Dalam penyampaian suatu ide tersebut juga tidak terlepas dari apa

yang diharapkan dan dicita-citakan masyarakat seutuhnya, ide tersebut

dalam membuat suatu kerangka hukum juga tidak dapat bertentangan

dengan dasar Negara Indonesia yang termaktub dalam kerangka ideologi

Negara Indonesia atau konstitusi Negara Indonesia yang berdasarkan atas

hukum (Rechstaats), dan bukan pada kekuasaan belaka (Machtstaats).

Page 362: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

361

Hal tersebut juga berlaku pada kepenegakan hukum di Indonesia yang

harus berlandaskan pada nilai-nilai kepastian hukum, keadilan dan

kemaslahatan.

Penerapan peraturan perundangan-undangan yang dijadikan dasar

diskresi oleh penyidik adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa antara tugas dan

wewenang Kepolisian adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh

aparat Kepolisian sebagai pengayom, pelindung dan pelayan

masyarakat tidak dapat dilepaskan mengingat sifat penugasan yang

diberikan sangat memerlukan wewenang-wewenang. Setiap produk

Undang-Undang mempunyai hirarki sendiri dalam susunan tata

peraturan di Indonesia, fungsi dari Undang-Undang Dasar 1945

mempunyai keterkaitan satu sama lain dengan Undang-Undang

lainnya sebagai aturan dasar (groundnorm) bagi Undang-Undang

yang ada dibawahnya.

Bila diperhatikan, setiap produk Undang-Undang yang

mengatur kewenangan Polisi sebagaimana yang telah diuraikan di

atas, selalu mencantumkan kewenangan blanko yang isi kewenangan

itu diserahkan kepada Polisi sendiri untuk menentukannya.

Kewenangan itu tidak lain kewenangan diskresi penyidik.271 Dalam

kewenangan tersebut, seorang aparat penegak hukum yang dalam hal

ini adalah Polisi mempunyai kewenangan yang sangat penuh dalam

271 M. Faal, 1991, Op. Cit, hlm. 115

Page 363: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

362

mengambil sikap serta tindakan untuk melakukan wewenang diskresi

dalam menyaring perkara pidana yang dianggap ringan serta tidak

efektif bila diselesaikan melalui Proses Peradilan Pidana (Criminal

Justice Process), maka dari itu diskresi penyidik sangat berkaitan

erat dengan keefektifan suatu perkara yang diselesaikan melalui jalur

non litigasi menggunakan asas kekeluargaan.

Apabila diamati ketentuan-ketentuan pada Undang-Undang

Dasar 1945, yang langsung atau tidak langsung mengatur eksistensi,

tugas dan kewenangan Kepolisian dapat dilihat dalam pokok-pokok

Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 terlihat:

a. … melindungi segenap bangsa Indonesia

b. … ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berarti harus menertibkan diri sendiri dalam rangka ikut

melaksanakan ketertiban dunia.

Dan selanjutnya isi pokok dari Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 tersebut adalah

melindungi segenap bangsa Indonesia; mempunyai kesamaan

kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27), terlihat di

sini bahwa kedudukan Polisi adalah sebagai penegak hukum, yang

melindungi setiap warga Negara atau masyarakat dan menciptakan

Page 364: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

363

keamanan warga Negara. Sedangkan menertibkan diri atau

masyarakat, pada isi pokok kedua itu dalam arti agar warga

masyarakat mematuhi segala norma-norma dalam tata kehidupan

yang telah disepakati (sosial order) sehingga terwujud adanya tertib

masyarakat. Dengan demikian tugas polisi yang menegakkan

keamanan dan ketertiban masyarakat adalah pancaran dan sesuai

dengan Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun

1945. Konsekuensinya adanya tugas ini memerlukan wewenang,

termasuk wewenang diskresi penyidik.272

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

Dasar pelaksanaan diskresi dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf i dimana

dijelaskan bahwa penyidik sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6

ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang

mengadakan penghentian penyidikan, akan tetapi hal tersebut tidak

boleh sembarangan dilakukan karena di Pasal 7 ayat (1) huruf j juga

menjelaskan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

Pasal tersebut dapat digunakan oleh penyidik sebagai

landasan untuk melakukan tindakan diskresi Kepolisian dalam

menangani suatu perkara pidana, sehingga pelaksanaan diskresi

Kepolisian adalah sah menurut hukum, karena Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

272 Ibid, hlm. 116

Page 365: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

364

Pidana merupakan pedoman pokok yang menjadikan dasar hukum

setiap aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dimana

substansi aturannya adalah bersifat umum di atas ketentuan khusus

dari hukum formil.

Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

mengatur pengertian seorang penyelidik dan penyidik yang menurut

Undang-Undang berwenang untuk melakukan suatu tindakan

penyidikan pada suatu perkara pidana. Ketentuan tersebut merupakan

bentuk pemberian kewenangan kepada aparat Kepolisian dari Negara

dalam menerima tanggung jawab sebagai penyidik. Bunyi ketentuan

tersebut adalah:

Pasal 6

(1) Penyidik adalah:

a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;

b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Penjelasan dalam pasal tersebut merupakan pemberian

wewenang kepada setiap petugas atau pejabat Kepolisian sesuai

dengan ruang lingkup kewenangan jabatan selaku aparat Kepolisian

yang berkualifikasi sebagai penyidik perkara pidana dalam proses

peradilan. Di samping itu seorang aparat Kepolisian dalam

melaksanakan tugasnya selaku pemilik dari kekuasaan penyidikan

Page 366: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

365

juga terdapat suatu bentuk kewajiban-kewajiban yang mesti

diketahui serta dilaksanakan. Kewajiban-kewajiban tersebut

termaktub dalam Pasal 7 KUHAP yang dijadikan dasar atau

pedoman dalam melakukan suatu tindakan penyelidikan atau

penyidikan dengan berpedoman juga pada Peraturan Kapolri Nomor

14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Diantara bunyi Pasal tersebut adalah:

Pasal 7

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a

karena kewajibannya mempunyai wewenang:

a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang

adanya tindak pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka;

d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f.mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

Page 367: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

366

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b

mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang

menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan

tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik

tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.

(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang

berlaku.

Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 7 tersebut tentang

kewenangan yang timbul karena suatu kewajiban dalam penyidikan

suatu perkara Pidana. Mengingat wewenang Kepolisian untuk

melakukan tindakan-tindakan Kepolisian tidak mungkin diatur secara

limitatif (bersifat membatasi), maka di dalam ketentuan Pasal 7 ayat

(1) huruf i dinyatakan bahwa “penyidik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 ayat (1) karena kewajibannya mempunyai wewenang

mengadakan penghentian penyidikan”, serta Pasal 7 ayat (1) huruf j

dinyatakan juga bahwa “penyidik sebagaiman dimaksud dalam Pasal

6 ayat (1) karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan

tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”, dari kedua

penjelasan tersebut merupakan suatu bentuk landasan diskresi

Page 368: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

367

penyidik dalam penegakan hukum pidana sub penyidikan Sistem

Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

Dalam hubungannya dengan wewenang untuk menghentikan

penyidikan, kewenangan ini dilakukan hanya dalam hal penyidik

menganggap perlu. Selanjutnya ketentuan tersebut merupakan

rumusan kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

ayat (1) huruf I pada pelaksanaanya diatur dalam Pasal 109 ayat (2)

dan ayat (3) Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kriteria untuk

melakukan penghentian penyidikan tersebut yakni; (a) karena tidak

terdapat cukup bukti; atau (b) peristiwa tersebut ternyata bukan

merupakan tindak pidana, dan (c) penyidikan dihentikan demi

hukum. Penghentian penyidikan diberitahukan kepada penuntut

umum, tersangka atau keluarganya. Akan tetapi dalam

pelaksanaannya dalam penghentian penyidikan juga dapat dilakukan

melalui langkah perdamaian secara kekeluargaan dari pelaku dan

korban serta tindakan lain dari penyidik yang bertanggung jawab

dalam rangka menyaring suatu tindak pidana yang dianggap ringan

serta tidak efektif bila dilakukannya langkah pro justicia.

Menurut M. Faal yang dimaksud dengan tindakan lain, adalah

tindakan dari penyidik untuk kepentingan penyidikan dengan syarat:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan

dilakukannya tindakan jabatan.

Page 369: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

368

c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam

lingkungan jabatannya.

d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang

memaksa.

e. Menghormati hak asasi manusia.273

Dari syarat tersebut, seorang aparat penyidik dilarang

melakukan suatu tindakan diskresi ataupun tindakan lain yang

bertentangan dengan aturan hukum, melanggar suatu asas kepatutan

dan menciderai nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) di dalam

kewenangan jabatannya atau penyalahgunaan kekuasaan selaku

penyidik pada proses penegakan hukum pidana, karena tindakan lain

tersebut menitikberatkan pada hal yang bersifat subyektif. Dengan

demikian penyidik selaku aparat Kepolisian berwenang untuk

melakukan tindakan apa saja sepanjang memenuhi ketentuan angka 1

sampai dengan 5 tersebut.

Selain itu dasar pengaturan pelaksanaan diskresi oleh Polisi

pada saat penyidikan diatur di dalam Pasal 31 ayat (1) juncto Pasal

21 ayat (1) dan ayat (4) KUHP Juncto Pasal 35 dan 36 PPRI Nomor

27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP”.274 Adanya hal

subyektif memang memberikan diskresi atau keleluasaan pada pihak

273 Ibid, hlm. 115274 YM Immanuel Patrio, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi, Keni

Media, Bandung, 2012, hlm. 123

Page 370: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

369

penyidik, penuntut umum atau hakim untuk mengabulkan atau tidak

mengabulkan permohonan keberatan atas dilakukan penahanan

terhadap diri tersangka atau terdakwa, atau menyangkut adanya

permohonan penangguhan atau pengalihan jenis penahanan terhadap

diri tersangka/terdakwa.

Pasal 21 ayat (1) KUHAP menyebutkan:

“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan

terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras

melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup,

dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran

bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak

atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak

pidana”.

Karena kegunaan penahanan dalam tingkat penyidikan di

Kepolisian telah diatur dalam Pasal 20 ayat (1) KUHAP yang

berbunyi:

Pasal 20 ayat (1)

“Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik

pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan”

Page 371: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

370

Serta dengan memperhatikan Pasal 31 ayat (1) KUHAP yang

berbunyi:

“Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau

penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan

masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan

dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang,

berdasarkan syarat yang ditentukan”

Pejabat tersebut yang dalam hal ini adalah seorang penyidik

dapat melakukan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan

uang atau orang dengan syarat yang ditentukan. Namun, dalam

prakteknya walaupun secara hukum telah memenuhi syarat untuk

melaksanakan penangguhan penahanan belum tentu permohonan dari

advokad/penasihat hukum ataupun keluarga tersangka tentang

permohonan penangguhan atau pengalihan jenis penahanan

tersangka yang disertai atau tidak disertai adanya jaminan uang atau

orang dapat dikabulkan begitu saja oleh penyidik atau aparat penegak

hukum yang bersangkutan. Karena penyidik atau aparat penegak

hukum yang bersangkutan tersebut mempunyai kewenangan atau hak

diskresi dalam menafsirkan sendiri baik untuk menolak atau

mengabulkan permohonan penangguhan atau pengalihan jenis

penahanan tersebut.

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia

Page 372: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

371

Dasar yang membolehkan pelaksanaan diskresi dalam

menyaring suatu perkara pidana oleh Polisi menurut Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 ini terdapat di dalam Pasal 16 dan Pasal 18.

Dalam bunyi Pasal 16 secara spesifik masuk dalam ayat (1) huruf h

yang berbunyi bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses

pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk

mengadakan penghentian penyidikan. Akan tetapi hal tersebut juga

tidak boleh asal-asalan karena dalam huruf l juga menjelaskan dalam

rangka menyelenggarakan tugas, petugas Polri di bidang proses

pidana mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab. Maka dari itu penghentian penyidikan yang dilakukan oleh

penyidik Polri tidak boleh asal-asalan dan lebih mengedepankan rasa

tanggung jawab dan alasan serta pertimbangan-pertimbangan yang

kuat.

Membicarakan wewenang diskresi tidak dapat dilepaskan

dengan fungsi Kepolisian dalam pelaksanaan tugas Kepolisian,

karena fungsi tersebut merupakan landasan adanya tugas Kepolisian.

Mengingat tugas Kepolisian tersebut maka diperlukan kewenangan-

kewenangan yang cukup luas untuk dimiliki oleh Polisi selaku

pengemban tugas sebagai aparatur negara. Apabila dicermati secara

teliti, ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan

bahwa fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan

Page 373: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

372

negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat. Dari penjelasan dimaksud dapat diartikan bahwa

hal tersebut adalah merupakan suatu bentuk perwujudan dari tugas

yang diemban oleh Kepolisian. Dari luasnya tugas yang diemban

Kepolisian tersebut tentunya lahir kewenangan-kewenangan tertentu

yang berupa suatu bentuk tindakan-tindakan tertentu, suatu

kebijakan-kebijakan tertentu yang dirangkum dalam suatu kata

wewenang Kepolisian.

Berkaitan dengan pelaksanaan tugas Polri sebagaimana telah

disebutkan dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khusus di

bidang proses penegakan hukum pidana, Polri mempunyai

kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 yang berbunyi:

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan;

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat

kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam

rangka penyidikan;

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

Page 374: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

373

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi;

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi

yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan

mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal

orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik

pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik

pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;

l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

Pada penjelasan Pasal 16 ayat (1) tersebut merupakan bentuk-

bentuk kewenangan yang diberikan oleh Polisi selaku aparat penegak

hukum pidana. Dari dasar yuridis formal tersebut tersirat

kewenangan utama untuk menghentikan suatu proses penyidikan

perkara pidana serta diadakannya tindakan lain menurut hukum yang

bertanggungjawab berupa penyaringan suatu perkara pidana

diberikan kepada penyidik ada pada huruf h dan l Pasal 16 ayat (1)

Page 375: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

374

Undang-Undang Nomor 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Dalam makna kata peristiwa dihentikan demi hukum tersebut

terdapat banyak makna yang dimana bisa juga dikarenakan suatu

keadaan yang mendesak ataupun perkara yang ditangani terlalu

ringan, hal tersebut merupakan implementasi dari penyaringan suatu

tindak pidana oleh penyidik. Akan tetapi dalam menyaring suatu

perkara pidana serta melakukan tindakan lain oleh penyidik tersebut

terdapat syarat-syarat tertentu yang dijadikan suatu dasar

diperbolehkannya tindakan penyidik, ketentuan tersebut diatur dalam

ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni:

(2) Tindakan lain sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) huruf l

adalah tindakan melakukan penyelidikan dan penyidikan yang

dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut;

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan

tindakan tersebut dilakukan;

c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya;

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang

memaksa; dan

e. Menghormati hak asasi manusia (HAM).

Page 376: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

375

Bunyi dari Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut

merupakan suatu syarat yang bersifat batasan di dalam suatu

ketentuan hukum secara yuridis formal. Dari syarat tersebut, seorang

aparat penyidik dilarang melakukan suatu tindakan diskresi ataupun

tindakan lain yang bertentangan dengan aturan hukum, melanggar

suatu asas kepatutan dan menciderai nilai-nilai hak asasi manusia

(HAM) di dalam kewenangan jabatannya atau penyalahgunaan

kekuasaan selaku penyidik pada proses penegakan hukum pidana.

Dalam rangka pemeriksaan perkara pidana di samping

kewenangan yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia Polri juga mempunyai suatu kewenangan berupa tindakan

lain menurut penilaiannya sendiri yaitu dapat melakukan suatu

tindakan lain demi kepentingan umum, kepentingan umum di sini

merupakan suatu bentuk penerapan dari asas diskresi oleh penyidik

selaku pejabat publik dalam menegakkan hukum pidana di wilayah

yurisdiksinya. Penjelasan dari Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

adalah sebagai berikut:

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilaiannya sendiri.

Page 377: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

376

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia

dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini

merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum

Kepolisian yaitu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat

Kepolisian untuk bertindak ataupun tidak bertindak menurut

penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya guna

memelihara ketertiban, menjaga dan menjamin keamanan umum.

Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 disebutkan bahwa yang dimaksud bertindak menurut

penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh

anggota Polri, juga dalam hal ini adalah penyidik Kepolisian dalam

hal bertindak serta mempertimbangkan manfaat serta risiko dari

tindakannya dan benar-benar untuk kepentingan umum.

Pembahasan mengenai substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia merupakan kewenangan aparat Kepolisian yang telah lama

diperkenalkan, akan tetapi pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-

hari sudah banyak diguanakan. Seorang penyidik Kepolisian yang

bertugas ditengah-tengah masyarakat dalam melakukan penyidikan

Page 378: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

377

terhadap suatu perkara pidana harus mampu mengambil keputusan

berdasarkan penilaiannya sendiri apabila dalam melaksanakan

tugasnya didapatkan suatu perkara yang dianggap ringan atau kurang

efektif bila diproses serta timbul suatu dampak negatif, diantara

dampak tersebut yakni stigmatisasi negatif dari masyarakat yang

berakibat sulitnya seorang pelaku membaur kembali dengan

masyarakat, karena adanya penahanan dalam Proses Peradilan

Pidana (Criminal Justice Process), maka tidak bisanya seseorang

pelaku kejahatan untuk memberikan nafkah bagi keluarganya

(terebutnya hak kesejahteraan), terebutnya hak untuk mendapatkan

suatu pendidikan bagi seorang anak apabila pelakunya anak, dan lain

sebagainya. Dalam keadaan seperti itu, maka seyogyanya seorang

penyidik dapat menggunakan kewenangan diskresi pada suatu

perkara pidana tertentu yang bersifat ringan dan berupa delik aduan.

Terdapat kekhawatiran bahwa si petugas atau penyidik

tersebut akan bertindak sewenang-wenang dan sangat tergantung

pada kemampuan subyektif. Untuk itu, dalam hukum Kepolisian

dikenal beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang

petugas atau penyidik akan melakukan diskresi, yaitu:

a. Tindakan harus “benar-benar diperlukan atau asas keperluan;

b. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas

Kepolisian;

c. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu

hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang

Page 379: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

378

dikhawatirkan. Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu

tercapainya tujuan;

d. Asas keseimbangan dalam mengambil tindakan, yakni harus

senantiasa dijaga keseimbangan antara sifat (keras lunaknya)

tindakan atau sarana yang dipergunakan dengan besar kecilnya

atau berat ringannya suatu perkara pidana yang harus ditindak.275

Dari penjelasan tersebut telah jelas disebutkan apabila

seorang pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai

wewenang untuk menghentikan suatu penyidikan dalam proses

peradilan yang dimana harus berdasarkan atas kepentingan umum

dan rasa bertanggung jawab menurut penilaiannya sendiri dalam

keadaan yang sangat perlu memperhatikan peraturan perundang-

undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian melalui Peraturan

Kapolri No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian

Negara Republik Indonesia. Disamping itu lahirnya Undang-Undang

No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

didasarkan pada paradigma baru, yaitu semangat demokrasi dan

reformasi di Indonesia pada saat itu, sehingga diharapkan dapat lebih

memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Polri

sebagai bagian integral dari agenda reformasi secara menyeluruh

yang meliputi segenap tatanan kehidupan bangsa dan Negara dalam

275 Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi POLRI),

Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007, hlm. 99.

Page 380: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

379

mewujudkan masyarakat madani yang adil dan makmur serta

beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.276

Batasan diskresi bagi suatu penyidikan terhadap tindak

pidana sampai saat ini masih kurang jelas dan bahkan kewenangan

diskresi hanya dimuat secara tersamar dalam peraturan perundang-

undangan. Oleh karena belum ada hukum positif yang mengatur

secara tegas, sehingga terkadang berpotensi menimbulkan terjadinya

suatu bentuk penyalahgunaan wewenang dan atau suatu tindak

pidana korupsi. Disamping itu suatu peraturan perundang-undangan

harus mengatur secara rinci dan detail dalam diskresi yang dilakukan

oleh penyidik, karena ruang lingkup suatu penyidikan terhadap

tindak pidana sangat luas dengan bermacam-macam kasus kejahatan

yang terjadi di tengah masyarakat. Di dalam masyarakat, kejahatan

yang dilakukan oleh seorang pelaku kejahatan juga mengalami suatu

perkembangan seiring semakin majunya perkembangan masyarakat

dalam kehidupan sehari-hari dimana diperlukan suatu tindakan

khusus yang bersifat subjektif oleh penyidik dalam menyelesaikan

suatu bentuk perkara pidana demi kepentingan umum.

Fungsi Kepolisian dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun

2002 adalah salah satu fungsi pemerintah Negara di bidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam rangka

penegakan hukum (Law Enforcement), Kepolisian mempunyai tugas

276 Ibid, hlm. 37

Page 381: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

380

penyidikan terhadap suatu perkara pidana yang merupakan implementasi

dari fungsi Kepolisian tersebut dan amanat dari Pasal 6 ayat 1 Undang-

Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana. Pelaksanaan penyidikan oleh penyidik tidak selalu mulus dalam

mengungkap suatu perkara pidana pada sub sistem penyidikan dari

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

Dalam hal penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian,

kewenangan diskresi yang dimiliki Polisi selaku institusi Negara selaku

pejabat publik dalam hal penegakan hukum (Law Enforcement) sudah tak

asing lagi dewasa ini, akan tetapi pada saat seorang penyidik menangani

suatu proses perkara pidana, malah seorang Penyidik Kepolisian kadang

dihadapkan kepada suatu masalah-masalah yang dirasa ringan, kurang

efektif dan efisien untuk dilakukannya penyidikan sampai dilimpahkan

(P21) ke Penuntut Umum Kejaksaan, selanjutnya ke tahap Pengadilan

untuk diputus oleh Hakim. Mengingat hal tersebut, maka manfaat diskresi

dari Kepolisian ini adalah menjadikan pelaksanaan kebijakan yang

didasari oleh profesionalisme dalam bekerja dari Kepolisian yang dituntut

untuk bekerja secara maksimal dalam memberikan suatu pelayan,

pembinaan serta pengayoman kepada masyarakat luas secara umumnya

dan menegakkan hukum secara khususnya dari Polisi lebih efektif dan

efisien.

Sekalipun hanya merupakan kewenangan diskresi yang dipunyai

Polisi sebagai pemegang kekuasaan penyidikan terhadap suatu perkara

pidana, akan tetapi pengaruhnya sangat besar sekali di dalam komponen

Page 382: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

381

Sistem Peradilan Pidana lainnya (Criminal Justice System Others).

Diskresi oleh penyidik kepolisian terdapat faktor-faktor yang

melatarbelakangi untuk dasar dilakukannya tindakan diskresi penyidik

tersebut. Dalam melakukan penyidikan, seorang penyidik juga terdapat

faktor-faktor tertentu, akan tetapi seorang penyidik seringkali juga

menemukan kendala-kendala yang menghambat pelaksanaan proses

penyidikan. Dukungan dan kendala tersebut berasal dari faktor internal

kepolisian dan faktor eksternal kepolisian. Demikian juga dalam

pelaksanaan dan kewenangan diskresi penyidik Kepolisian, para penyidik

di kepolisian juga mempunyai faktor dorongan dan hambatan pada saat

penyidikan perkara pidana.

Beberapa faktor yang mendorong dan hambatan/kendala bagi

penyidik dalam menggunakan wewenang diskresinya pada saat

penyidikan terhadap suatu tindak pidana adalah:

1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

a. Faktor Internal Yang Mendorong Diskresi Penyidik

Dalam pelaksanaan tugas Kepolisian, diskresi penyidik

sudah tidak asing lagi. Hal tersebut dilakukan dalam rangka

optimalisasi dan keefektifan dalam pelaksanaan tugas dan

kewenangan Kepolisian sebagai pengayom serta pelayan

masyarakat pada umumnya dan aparat penegak hukum secara

khususnya. Faktor internal dalam diskresi penyidik yang dimiliki

oleh penegak hukum selaku pejabat publik yang oleh Negara

mendapatkan tugas dan fungsi pelaksanaan penyidikan adalah

Page 383: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

382

faktor yang terdapat serta mempengaruhi di dalam kubu seorang

penyidik Kepolisian itu sendiri dalam mengambil tindakan

diskresi penyidik. Diantara Faktor Internal tersebut adalah;

1) Substansi Peraturan Perundang-Undangan

Dalam hal diskresi yang dilakukan oleh penyidik

Kepolisian tersebut terdapat substansi perundang-undangan

yang ada sekarang ini cukup mendasari sebuah tindakan

Diskresi yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian, seperti

ihwal yang tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h dan i

dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h tersebut tersebut

dijelaskan bahwa seorang penyidik Kepolisian berhak untuk

mengadakan penghentian penyidikan dan Pasal 16 ayat (1)

huruf i, serta dalam Pasal 18 ayat (1) dijelaskan juga bahwa

untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

Hal tersebut dapat diartikan dalam hal diskresi ini, seorang

aparat penyidik Kepolisian berhak mengadakan penghentian

penyidikan suatu perkara pidana dalam fungsi dan

wewenangnya bertindak menurut penilaiannya sendiri

dengan syarat demi kepentingan umum serta rasa

Page 384: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

383

bertanggung jawab demi profesionalisme seorang penyidik

dalam setiap tugasnya.

Aparat Kepolisian sebagai pranata Negara dalam

mengemban fungsinya sebagai penyidik dalam Sistem

Peradilan Pidana sangat berkaitan erat dengan sebuah

peraturan yang mendasarinya untuk melakukan suatu

tindakan, termasuk dalam hal ini adalah sebuah tindakan

diskresi yang dilakukan oleh seorang penyidik. Peraturan

tersebut merupakan bentuk mandat dari Negara kepada

Kepolisian selaku instansi serta alat Negara dalam

menjalankan fungsinya untuk menegakkan hukum serta

pemeliharaan ketertiban serta penjaga keamanan di

masyarakat. Dari peraturan tersebut terdapat pasal yang

menjadikan jembatan dari Aparat Kepolisian terhadap

kebuntuan dalam penyelesaian perkara pidana yang terjadi

di masyarakat. Subtansi peraturan tersebut merupakan suatu

implementasi akan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab menurut penilaiannya sendiri demi

kepentingan umum. Dari tindakan lain tersebut harus

berdasarkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,

harus patut, masuk akal, pertimbangan yang layak

berdasarkan keadaan yang memaksa dan harus menjunjung

tinggi hak asasi manusia.

Page 385: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

384

Dalam meningkatkan kualitas penegakan hukum in

abstracto (proses pembuatan perundang-undangan) sangat

mendasari kualitas penegakan hukum oleh aparatur Negara.

“Legislatif yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan

dalam menyusun dan membuat aturan perundang-undangan

sangat mempunyai peran besar dalam hal ini, proses

legeslasi/formulasi ini merupakan tahap awal yang sangat

strategis dari proses penegakan hukum ”in concreto”.277

Oleh karena itu, apabila terdapat kesalahan atau kelemahan

dalam pembuatan/penyusunan peraturan perundang-

undangan pada tahap legislatif ini merupakan kesalahan

strategis yang dapat menghambat penegakan hukum secara

in concreto, akan tetapi pada tahap pembuatan/penyusunan

peraturan perundang-undangan oleh legislatif berdasarkan

atas nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan lebih

mementingkan aspek nilai yang tumbuh pada masyarakat

dapat menyebabkan penegakan hukum di masyarakat

berjalan dengan baik, sinergis dan efektif yang berdasarkan

atas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai

tujuan dari hukum tersebut.

Dari amanat peraturan perundang-undangan yang

ada sudah cukup relevan dengan tugas aparat Kepolisian,

277 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 25

Page 386: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

385

akan tetapi dalam rangka pengambilan suatu kewenangan

untuk melakukan tindakan diskresi penyidik di tengah-

tengah penanganan terhadap suatu perkara pidana supaya

bisa efektif dan efisien belum bisa mengakomodir secara

keseluruhan bentuk perkara pidana apa saja yang dapat

dilakukan tindakan diskresi oleh penyidik, karena dalam hal

melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penyidik, kadang

aparat Kepolisian terbentur terhadap suatu perkara pidana

yang ringan dan tidak efektif serta efisien untuk

dilakukannya suatu tindakan penyidikan dalam Proses

Peradilan Pidana (Criminal Justice Process), maka dari itu

seharusnya tindakan diskresi penyidik harus diatur secara

jelas, dan rigid dalam penerapannya bentuk kasus yang

diperbolehkan untuk dilakukan langkah diskresi oleh

penyidik.

2) Instruksi Dari Pimpinan

Instruksi dari pimpinan secara struktural juga

mempunyai faktor penting dalam pengambilan suatu

tindakan diskresi oleh penyidik Kepolisian. Sebuah instruksi

dari seorang pimpinan sangatlah membantu pada

pengambilan suatu diskresi yang dilakukan penyidik dalam

proses penyidikan tindak pidana.

Seorang pimpinan dirasa cukup berpengalaman dan

mahir dalam sebuah tugasnya sebagai aparat penegak

Page 387: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

386

hukum, hal tersebut sebagai sebuah pertimbangan dan

instruksi yang sangat penting terhadap seorang bawahannya

dalam membantu untuk pemecahan sebuah masalah hukum

supaya lebih efekif dalam penyelesaian suatu permasalahan

hukum yang dihadapi oleh seorang penyidik.

Instruksi dari pimpinan untuk memproses atau

melanjutkan penyidikan ataupun diambil jalan diskresi yang

terkadang berupa memaafkan, menasehati, ataupun

menghentikan penyidikan akan dipatuhi dan dilaksanakan

oleh penyidik yang bersangkutan. Dengan demikian intruksi

dari pimpinan merupakan pendorong yang sangat kuat,

karena dari instruksi tersebut dapat berupa suatu perintah

terhadap bawahannya untuk melakukan diskresi pada suatu

tingkat penyidikan terhadap perkara pidana, karena

bagaimana pun juga sebuah instruksi merupakan perintah

bagi bawahannya untuk melaksanakannya serta

menerapkannya dalam tugas dan wewenangnya sebagai

aparat penyidik tindak pidana.

3) Penyidik Sebagai Penegak Hukum

Dalam melaksanakan penyidikan terhadap suatu

perkara pidana kadang seorang penyidik terdapat

permasalahan-permasalahan hukum yang dihadapi oleh

pelaku kejahatan dalam penyelesaian perkaranya, karena

Page 388: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

387

permasalahan hukum tersebut dirasa sangat ringan serta

kurang efektif bila diproses melalui hukum pidana formal.

Seorang aparat petugas Kepolisian mempunyai tugas

dan fungsi yang berbeda-beda, hal tersebut sesuai dengan

porsi-porsi jabatannya yang diemban dalam rangka tugas

Kepolisian. Tugas penyidikan pada Kepolisian diatur dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 6

ayat (1), jadi porsi jabatan secara khusus anggota Kepolisian

yang diemban untuk melaksanakan kewenangan penyidikan

terhadap suatu tindak pidana umum di masyarakat yakni

bernotabene dalam Satuan Reserse Kriminal dan atau dalam

Unit Laka Lantas pada Satuan Lalu Lintas. Dari kekuasaan

penyidikan yang dimiliki tersebut berimbas porsi

kewenangan dalam mengambil suatu tindakan diskresi yang

dimliki penyidik terhadap suatu perkara pidana (termasuk

pidana lalu lintas) yang sedang ditanganinya.

Peran dan kedudukan polisi sebagai seorang

penyidik telah memberikan wewenang pada polisi tersebut

untuk melakukan diskresi sesuai yang telah diatur oleh

undang-undang sehingga petugas penyidik tersebut dapat

mempergunakan diskresi dalam melaksanakan tugasnya.

Dari hal tersebutlah sangat berpengaruh dan mendasari

sebagai faktor pendorong bagi seorang penyidik Kepolisian

Page 389: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

388

dalam menerapkan serta menggunakan kewenangan diskresi

penyidik.

4) Situasi Dalam Penyidikan

Seorang penyidik Kepolisian dalam melaksanakan

tugas penyidikan sangat mendasarkan pada situasi dan

kondisi suatu perkara pidana terhadap pelakunya, sedangkan

penghambat dari tindakan diskresi oleh penyidik adalah dari

pihak korban tidak mau kasusnya dihentikan dan memaksa

pada penyidik agar penyidikan proses ini dilanjutkan. Hal

tersebut adalah penting karena setiap permasalahan hukum

yang dihadapkan kepada setiap penyidik Kepolisian

beranekaragam dan sangatlah variatif.

Penilaian terhadap suatu perkara apakah perlu atau

tidaknya dilakukan suatu tindakan diskresi oleh seorang

penyidik sangatlah penting sekali, karena dalam hal situasi

dan kondisi yang memungkinkan bagi seorang aparat

penyidik untuk melaksanakan kewenangan diskresinya

terhadap suatu perkara pidana yang ditanganinya, karena

menurut penilaian penyidik perkara tersebut merupakan

delik aduan dan sangat ringan serta tidak efektif untuk

dilakukannya suatu tindakan penyidikan, maka dari itu

menurut situasi dan kondisi yang demikian kewenangan

diskresi yang dimiliki aparat penyidik Kepolisian sangatlah

berfungsi dengan baik serta efektif.

Page 390: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

389

b. Faktor Eksternal Yang Mendorong Diskresi Penyidik

Faktor Eksternal yang menjadi pendorong bagi penyidik

dalam menggunakan wewenang diskresinya pada saat

penyidikan tindak pidana khususnya di bidang tindak pidana lalu

lintas adalah dukungan dari masyarakat.

Dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam

pelaksanaan diskresi, karena aspek kepentingan umum sangat

berkaitan dengan masyarakat. Masyarakat sebagai objek

pandangan penyidik atas tindakan diskresi boleh atau tidaknya

tindakan tersebut dilaksanakan. Sehingga pandangan masyarakat

atas suatu kasus sangat diperlukan dalam keefektifan suatu

proses penyidikan. Jangan sampai tindakan diskresi yang

dilakukan oleh penyidik malah menimbulkan dampak negatif di

masyarakat.

Dalam pelaksanaan diskresi oleh aparat Kepolisian,

dukungan dari masyarakat sangatlah dibutuhkan untuk

menunjang kinerja serta profesionalisme dari aparat Kepolisian

dalam memberantas kejahatan yang selalu menghantui rasa

aman serta tentram di tengah masyarakat dalam kehidupan

sehari-hari serta peran dari masyarakat terhadap aparat

Kepolisian adalah sebagai kontrol sosial terhadap suatu

penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian sebagai

penjaga pintu gerbang di dalam proses (gate keeper in the

process), proses yang dilakukan oleh aparat Kepolisian masuk

Page 391: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

390

ke dalam satu Sistem Peradilan Pidana, yakni Sub Sistem

Penyidikan.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, tindakan diskresi

sangat dibutuhkan sebagai faktor pendorong karena dalam

terjadinya suatu kasus pidana, jika kasus tersebut kalau

diteruskan dikhawatirkan justru akan menimbulkan konflik dan

masalah baru, atau bisa juga pelakunya anak yang masih punya

masa depan panjang.

Dalam upaya melakukan suatu penyidikan terhadap

tindak pidana, seorang penyidik yang berhadapan langsung

dengan seorang pelaku kejahatan kadang terhambat oleh hak-hak

dari pelaku kejahatan untuk terpenuhinya haknya. Diantaranya

adalah mendapatkan bantuan hukum dari seorang advokad dan

bantuan sosial dari kalangan masyarakat luas sebagai pengawas

atau kontrol dari kewenangan aparat penyidik dalam penegakan

hukum dalam upaya peningkatan kualitas penegakan hukum

selama ini dan untuk yang akan datang.

Di samping itu masalah dalam pelaksanaan diskresi oleh

penyidik tersebut sangat berkaitan dengan masyarakat sebagai

objek dari tugas dan fungsi polisi sebagai alat Negara untuk

melindungi, mengayomi serta menegakkan hukum demi rakyat.

Namun yang menjadi hambatan dalam permasalahan tersebut

adalah mindset atau anggapan polisi terhadap masyarakat

sebagai letak dari tugas dan fungsinya, anggapan seorang polisi

Page 392: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

391

terhadap masyarakat dalam menilai atau memandang masyarakat

tersebut adalah subyek yang harus dilindungi, dilayani serta

dibina maka anggapan tersebut menitik beratkan pada

kewenangan diskresi yang lebih besar dan optimal. Dari hal

tersebut dapat dipandang bahwa tugas serta fungsinya tidak

semata-mata untuk melakukan suatu tindakan represif di dalam

suatu Proses Peradilan Pidana (Criminal Justice Process) akan

tetapi mentolerir serta membina untuk tidak melakukan

kesalahan kembali merupakan jalan alternatif yang sangat efektif

dan sangat diperlukan.

Anggapan polisi selaku pemilik dari kekuasaan

penyidikan apabila masyarakat yang seharusnya dilindungi,

diayomi serta dilayani dianggap musuh atau sesuatu yang harus

diberantas serta dijatuhkan, maka hal tersebut juga

mempengaruhi korelasi atau hubungan antar keduanya menjadi

kurang harmonis atau tidak baik, maka pemberian atau

pelaksanakan kebijakan diskresi oleh penyidik Kepolisian sangat

kecil atau sukar ditemui. Dari hal tersebut juga sangat

mempengaruhi suatu struktur masyarakat terhadap Polisi di

kehidupan sehari-hari. Dalam praktek hukum yang dilaksanakan

oleh Polisi apabila anggapan dari Polisi seperti itu, maka respek

dari masyarakat pun juga negatif terhadap Polisi, terkadang rasa

segan, tidak hormat atau tidak percaya lagi terhadap penegakan

hukum yang dilakukan oleh Polisi apabila terhadap seseorang

Page 393: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

392

yang ada di dalam suatu lapisan masyarakat yang melakukan

suatu perkara ringan atau tidak efektif bila diproses justru

terhadap penyidik untuk diproses dalam Sistem Peradilan

Pidana. Tindakan tersebut menjadikan suatu reaksi dari

masyarakat untuk acuh terhadap penegakan hukum oleh Polisi

dan kenyataannya justru lebih banyak mempengaruhi

pelaksanaan hukum, termasuk tindakan diskresi oleh penyidik

selaku aparat penegak hukum.

2. Faktor-faktor Penghambat/Kendala Diskresi Penyidik

Beberapa faktor yang menjadi penghambat/kendala bagi

penyidik dalam menggunakan wewenang diskresinya pada saat

melakukan penyidikan tindak pidana adalah:

a. Masih Lemahnya Penegakan Hukum di Indonesia

Penegakan hukum di Indonesia dirasa masyarakat sangat

lemah sekali. Hal tersebut benar, karena dalam pranata serta

sistem hukum di Indonesia masih banyak kekurangan dan

mudah diterobos oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang

menjadi celah bagi aparat penegak hukum dalam menegakkan

hukum di masyarakat, hal tersebut sangat menyulitkan seorang

penyidik dalam melakukan tindakan diskresi. Selain itu, Peran

dari advokad sebagai pemberi bantuan hukum pada

kenyataannya tidak berjalan dengan baik serta efektif, karena

pada dasarnya advokad sebagai pemberi bantuan hukum bagi

tersangka kejahatan justru menjadi pendorong pemberi bantuan

Page 394: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

393

sosial. Hal tersebut tidak menguntungkan namun dapat menjadi

beban bagi seorang tersangka yang dimana dalam mengalami

proses hukum yang seharusnya dibutuhkan seorang tersangka

adalah mendapatkan bantuan hukum tetapi justru mendapatkan

beban sosial atau moral bagi tersangka.

Masalah penegakan hukum, baik secara “in abstracto”

maupun secara ”in concreto”, yang merupakan masalah aktual

yang yang akhir-akhir ini mendapatkan sorotan tajam dari

masyarakat. Diantara masalah tersebut adalah:

1) Masalah kualitas sumber daya manusia (SDM) calon

ataupun penegak hukum tersebut

2) Masalah penegak hukum “in abstracto” (proses pembuatan

produk perundang-undangan)

3) Masalah kualitas penegakan hukum “in concreto”; dan

4) Masalah kualitas budaya hukum (pengetahuan dan

kesadaran hukum) masyarakat.

Masalah penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum sejak dahulu dirasa sangat memberatkan bagi

kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, maka dari

itu perlunya suatu sikap yang bermoral, beretika dan menjunjung

tinggi profesionalisme berdasarkan kode etik yang diemban oleh

setiap personal aparat yang diberikan kewenangan atau

legitimasinya oleh Negara.

Page 395: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

394

Pandangan Leon Duguit mengenai tatanan hukum yang

baik yakni “terjaganya tatanan hukum yang alamiah dan bebas

dari kesewenang-wenangan dan nafsu kekuasaan”. “Tatanan

hukum yang “alamiah” dimaksud adalah hukum yang timbul

dari kebutuhan dan dinamika interaksi masyarakat itu sendiri”.278

Dari hal tersebut masalah kesewenang-wenangan dari aparat

kepada masyarakat mempunyai dampak yang negatif dalam

penegakan hukum, akan tetapi kewenangan dari aparat yang

dalam hal ini adalah penyidik untuk menentukan tindakan

diskresinya juga harus timbul dari kebutuhan dan dinamika

interaksi masyarakat itu sendiri. Disamping itu letak kualitas

penegakan hukum terletak kepada aparat penegak hukum

sebagai fungsi penerapan dan penegakan suatu ide-ide yang

tercantum dalam aturan perundang-undangan, hal tersebut

diilhami dari suatu persepsi hukum yang menyatakan bahwa

apabila peraturan perundang-undangannya jelek akan tetapi

penegak hukumnya baik maka kualitas penegakan hukum yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut berjalan dengan

baik dan efektif, sedangkan meskipun peraturan perundang-

undangannya bagus, akan tetapi penegak hukumnya tidak baik

maka kualitas penegakan hukum tersebut tidak bagus.

b. Oknum Aparat

278 Bernard L. Tanya, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Genta

Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm. 68

Page 396: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

395

Dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum, penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh

seorang oknum sangat dimungkinkan karena alasan

kesejahteraan yang masih belum tercukupi serta kesalahan yang

dilakukan dengan sengaja ataupun tidak disengaja (human error)

dari oknum tersebut. Sehingga hal tersebut juga berimbas kepada

diskresi yang dilakukan oleh seorang oknum tersebut, dengan

dalil kesejahteraan tersebut menimbulkan suatu sikap kong

kalikong antara seorang tersangka dengan penyidik sangat

dimungkinkan yang berujung pada suap yang diterima oknum

dari seorang tersangka.

Tindakan yang dilakukan oleh oknum tersebut

menjadikan rusaknya tatanan pranata hukum di Indonesia dan

mencoreng citra dari instansi yang menjadi payung dimana

oknum tersebut bekerja dan melaksanakan tugas dinasnya

sebagai aparat penegak hukum. Hal itu sangat disayangkan,

karena ulah dari salah satu oknum menjadikan jaminan atas

hukum di Indonesia ini tidak dipercaya lagi oleh masyarakat

termasuk tindakan diskresi, karena kualitas diskresi itu juga

ditentukan oleh oknum yang mempunyai kewenangan menurut

pertimbangan secara pribadi atas berdasarkan peraturan

perundang-undang untuk melakukan tindakan diskresi tersebut

dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Page 397: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

396

Di samping itu penentuan tindakan diskresi juga

ditentukan pada basis moral penyidik selaku aparat penegak

hukum. Basis moral diperlukan karena kebijakan atau tindakan

yang mutu dan berorientasi pada perubahan bagi kepentingan

orang banyak atau kepentingan umum, hanya bisa lahir dari

lembaga/pengambil keputusan yang memiliki tingkat kesadaran

moral yang mumpuni.279

c. Pengetahuan Penyidik

Penyidik sebagai aparat penegak hukum dalam

melaksanakan tugasnya haruslah mempunyai pengetahuan yang

luas tentang hukum. Pengetahuan para penyidik selaku aparat

Kepolisian sangat berbeda-beda. Hal tersebut dirasa sangat

mempengaruhi tentang suatu tindakan yang dilakukan oleh

penyidik dalam menangani suatu perkara pidana. Dari

pengetahuan yang berbeda-beda tersebut dirasa dalam

melakukan tugasnya sebagai penegakan hukum, pelaksanaan

tugas tersebut kurang optimal.

Pengetahuan akan suatu tindakan diskresi oleh Polisi

sangatlah minim dan tidak merata di seluruh sumberdaya

manusia yang ada, hal tersebut membuat hambatan yang besar

dalam pelaksanaan diskresi di dalam kekuasaan penyidikan oleh

penyidik Polisi, karena dalam penanganan suatu perkara pidana

oleh penyidik, penyidik dituntut untuk menjadi seorang

279 Ibid, hlm. 35

Page 398: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

397

pimpinan (leader) yang mengakomodir kepentingan umum serta

kepentingan tersangka ataupun korban dari kejahatan sehingga

keadilan yang dicita-citakan masyarakat tidak hanya berupa hal

yang utopis belaka, akan tetapi nyata dalam bentuk realisasinya

oleh aparat penegak hukum.

Dari permasalahan tersebut timbul dikarenakan suatu

keterbatasan sarana perpustakaan yang dapat dijadikan akses

oleh penyidik selaku aparat penegak hukum dalam

mengembangkan pengetahuan tentang diskresi serta hukum

secara teoritis ataupun praktis untuk direalisasikan, disamping

itu minimnya suatu pelatihan ataupun seminar-seminar tentang

diskresi atapun penyelesaian perkara pidana di luar pidana

(alternative dispute resolution) yang seharusnya diikuti oleh

para penyidik sangat minim, adapun pelatihan ataupun seminar

tersebut hanya diikuti oleh pimpinan, hal itu di luar dari

pengetahuan dari penyidik yang hampir seluruhnya berpangkat

Brigadir Polisi, karena dalam proses penyidikan terhadap

perkara pidana lalu lintas dalam pelaksanaannya dilakukan oleh

penyidik yang berpangkat Brigadir Polisi tersebut. Sehingga hal

tersebut membuat tidak optimalnya pelaksanaan diskresi oleh

penyidik.

Tanpa adanya sarana atau fasilitas perpustakaan tersebut

serta pelatihan ataupun bentuk seminar tentang diskresi ataupun

penyelesaian perkara di luar Pengadilan (alternative dispute

Page 399: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

398

resolution), maka penegakan hukum yang baik mencakup

sumber daya manusia (SDM) dengan pengetahuan yang baik dan

terampil, organisasi yang baik dalam mengakomodir

kepentingan penyidik dalam menangani perkara pidana serta

mengutamakan tujuan hukum hanya sebatas cita-cita belaka

tanpa adanya bentuk realisasi nyata dari aparat penegak hukum,

karena aparat penegak hukum dalam menjalankan hukum

tersebut serta kekuasaan dalam penyidikan perkara pidana hanya

berpatok pada peraturan perundang-undangan yang bersifat kaku

tanpa mementingkan faktor-faktor sosial serta dampak yang

akan terjadi di dalam di masyarakat.

Diskresi pada dasarnya berpangkal dari pengetahuan

penyidik yang bertujuan untuk pengambilan suatu keputusan

ataupun kebijakan untuk menyaring suatu bentuk tindak pidana

yang dianggap ringan dan atau tidak efektif bila dilanjutkan ke

dalam proses penuntutan serta pengadilan. Selain itu

pengambilan kebijakan ataupun keputusan tersebut berdasarkan

pada pengetahuan penyidik yang dikuatkan dalam Pasal 7 huruf j

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana serta Pasal 16 ayat (1) huruf h

serta Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Peraturan

Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga tindakan dalam

Page 400: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

399

pengambilan kebijakan diskresi tersebut tidak keluar dalam jalur

hukum serta dalam pengambilan kebijakan diskresi penyidik

tersebut harus berlandaskan atas pemerintahan yang baik serta

bebas dari korupsi. Dari pemikiran tersebut berimbas pada

tindakan diskresi yang tidak asal-asalan serta berdasarkan atas

uang akan tetapi tindakan diskresi tersebut sangat

mengefektifkan serta mengoptimalkan penyelesaian perkara

pidana pada sub sistem penyidikan dalam Sistem Peradilan

Pidana.

d. Partisipasi Para Pihak

Kurangnya pemahaman dari tersangka yang berasal dari

masyarakat juga berimbas kepada diskresi yang dilakukan oleh

penyidik. Karena ketidaktahuan akan diskresi dari tersangka

menjadikan kurangnya partisipasi dan keaktifan dari tersangka

tersebut dalam memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh

penyidik dalam melakukan diskresi yang menjadi kewenangan

penyidik. Hal tersebut sangat menghambat penyidik untuk

melakukan tindakan diskresi.

Tersangka mempunyai peran penting dalam memberikan

keterangan yang dibutuhkan oleh seorang penyidik dalam proses

pemeriksaan perkara tindak pidana. Dari keterangan tersangka

tersebut menjadi pedoman bagi seorang penyidik untuk

melakukan tindakan diskresi menurut penilaian penyidik sendiri.

Apabila keterangan yang dibutuhkan oleh penyidik kepada

Page 401: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

400

tersangka kurang lengkap, maka tindakan diskresi yang

dilakukan oleh penyidik pun akan lama untuk dilakukan bahkan

semisal keterangan yang diberikan oleh tersangka tidak kuat

maka bisa saja diskresi dari penyidik tidak akan dilakukan.

Aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum tidak

terlepas akan suatu faktor-faktor yang mempengaruhinya, hal

tersebut penting karena dalam menegakkan hukum, seorang

Polisi langsung berhadapan dengan masyarakat, sehingga dalam

menegakkan hukum kadang Polisi selaku aparat penegak hukum

mempunyai masalah ataupun dampak positif serta negatif dalam

menegakkan suatu norma positif di masyarakat. “Menurut

Soerjono Soekanto, masalah pokok penegakan hukum

sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang

mempengaruhinya”.280 Faktor-faktor tersebut mempunyai arti

netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi

faktor-faktor tersebut. Diantara faktor-faktor tersebut adalah:

1) Faktor hukumnya sendiri (misalnya Undang-Undang).

2) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan

hukum.

3) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum

tersebut berlaku atau diterapkan.

280 Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif; Sistem Peradilan

Terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi) Kapita Selekta. Galangpress, Yogyakarta, 2008,

hlm. 52

Page 402: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

401

4) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa

yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan

hidup.281

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa dalam penegakan

hukum terdapat suatu faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-

faktor yang ada merupakan suatu indikator-indikator dalam kualitas

penegakan hukum serta faktor tersebut hadir secara sendirinya karena

perkembangan masyarakat. Dari hal tersebut bahwa faktor penegak

hukum merupakan salah satu faktor yang penting serta tidak bisa

diabaikan begitu saja, sebab pengabaian terhadap faktor-faktor yang ada

menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan

sesuai tujuan hukum tersebut.

Menurut Barda Nawawi Arief,282 kualitas penegakan yang

dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi

terutama kualitas penegakan hukum secara materiil/substansi seperti

terungkap dalam beberapa isu sentral yang dituntut masyarakat, antara

lain: (1) adanya perlindungan HAM (hak asasi manusia), (2) tegaknya

nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan antar sesama, (3)

tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan, (4) bersih dari

praktek “favoritisme” (pilih kasih), (5) terwujudnya kekuasaan

kehakiman/penegakan hukum yang merdeka, dan tegaknya kode

281 Ibid, hlm. 52-53282 Barda Nawawi Arief, 2010, Op. Cit, hlm. 19

Page 403: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

402

etik/kode profesi, (6) adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih

dan berwibawa.

Selain itu yang perlu ditekankan adalah justru pada peran diskresi

yang dimiliknya. Faktor penegak hukum dalam suatu penegakan hukum

tidak dapat semata-mata peran tugas, atau kewajibannya yang tertuang

dalam peraturan perundang-undangan.283 Secara umum pelaksanaan

diskresi merupakan tindakan yang lumrah dan dilaksanakan sejak dulu

oleh para pengambil keputusan karena diskresi tidak dapat dihindari

dalam penegakan hukum disebabkan dua alasan, yaitu:

1. Penerapan aturan dalam kasus yang sebenarnya dalam kenyataan pasti

membutuhkan sifat bijaksana dari seorang petugas. Suatu perbuatan

pidana dapat diterapkan aturan yang sama namun di lain kondisi

tidak bisa karena alasan yang ada pada saat itu. Aturan pada

prinsipnya diterapkan secara subjektif oleh penegaknya, kemampuan

subjektif pelaksana bervariasi tergantung tenggapannya terhadap

kejahatan ataupun pelanggaran yang terjadi. Sebagai contoh

misalnya dalam kasus perbuatan yang dianggap melanggar akan

dianggap pemaksaan kehendak oleh seorang petugas tapi pada

petugas lain akan mempertimbangkan. Faktor apakah pelaku

membela haknya atau karena terpaksa atau kelalaian atau sengaja

karena kesembronoan dan lain-lain yang tidak sama dengan petugas

pertama dalam memberikan pertimbangan.

283 Moh. Hatta, 2008, Op. Cit, hlm. 53

Page 404: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

403

2. Eksistensi, kepentingan dan penerapan diskresi memberi kesan bahwa

penegak hukum tidak memberikan batasan untuk menyelidiki dan

meneliti kesalahan bila memang ditemukan. Penegakan hukum

tetaplah dijamin bagi masyarakat luas dan bukan ditentukan oleh satu

orang ataupun individu saja.284

Diskresi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum mempunyai

kaitan dengan tugas dan peranan mereka dalam menegakkan suatu

peraturan serta pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi dalam

pelaksanaannya, masalah peranan dianggap penting karena pembahasan

mengenai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi.

Diskresi dalam hal ini mengandung arti luas bila dilaksanakan oleh

pejabat publik, akan tetapi dalam arti sempit yang tercantum dalam Pasal

18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia mempunyai sifat khusus pelaksanaan diskresi

menjadi kewenangan aparat Kepolisian, maka hal tersebut mengandung

suatu arti sempit dan khusus bagi aparat Kepolisian yang dalam hal ini

penyidik mempunyai kewenangan penuh dalam melakukan suatu

tindakan diskresi.

Diskresi dalam pelaksanaannya dianggap penting sekali, karena

tindakan tersebut menyangkut pengambilan keputusan yang sifatnya

sangat terikat oleh hukum dimana penilaian pribadi memegang peranan

dalam pelaksanaan diskresi. Hal tersebut menimbulkan suatu persepsi

dasar yang dimana diskresi merupakan suatu legitimasi dari aparat

284 Marlina, 2010, Op. Cit, hlm. 5

Page 405: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

404

penegak hukum dalam memberikan suatu kebijakan atau keputusan.

Dalam konteks legitimasi tersebut melatarbelakangi hubungan antara

seorang aparat penegak hukum atau penyidik yang dalam hal ini

mempunyai kewenangan untuk mengambil suatu tindakan atau keputusan

yang ditujukan langsung kepada seorang pelaku kejahatan yang

notabanenya adalah bagian dari masyarakat. Dari hal tersebut kefektifan

dari fungsi penegakan hukum dapat diketahui dalam peranannya untuk

menegakkan hukum di tengah masyarakat, karena fungsi diskresi tersebut

merupakan aspek penting dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal

Justice System)

Page 406: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

405

BAB V

REKONSTRUKSI PERDAMAIAN DALAM MELAKSANAKAN

RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN TINDAK

PIDANA LALU LINTAS BERDASARKAN HUKUM PROGRESIF

A. PENERAPAN MEDIASI OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN

REPUBLIK INDONESIA DALAM PENANGANAN TINDAK

PIDANA SEBAGAI PERWUJUDAN RESTORATIVE JUSTICE

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut

Polri adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan yang

dalam kaitannya dengan Pemerintahan adalah salah satu fungsi

pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat, yang bertujuan untuk mewujudkan

keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan

ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta

terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi

manusia. Sehingga dengan demikian, fungsi sosial lembaga kepolisian

dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat di sisi

satu dan fungsi penegakan hukum di sisi lain adalah merupakan dua mata

sisi yang berbeda akan tetapi tidak dapat dipisahkan.

Dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara Polri meruapakan

alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban

Page 407: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

406

masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

terpeliharanya keamanan dalam negeri. Agar dalam melaksanakan fungsi

dan perannya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia atau yang

dianggap sebagai wilayah negara Republik Indonesia tersebut dapat

berjalan dengan efektif dan effisien, maka wilayah negara Republik

Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan

tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana yang

ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang

Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa wilayah

kepolisian dibagi secara berjenjang mulai tingkat pusat yang biasa disebut

dengan Markas Besar Polri yang wilayah kerjanya meliputi seluruh

wilayah negara Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Kapolri

yang bertanggung jawab kepada Presiden, kemudian wilayah di tingkat

Provinsi disebut dengan Kepolisian Daerah yang lazim disebut dengan

Polda yang dipimpin oleh seorang Kapolda yang bertanggung jawab

kepada Kapolri, di tingkat Kabupaten disebut dengan Kepolisian Resot

atau disebut juga Polres yang dipimpin oleh seorang Kapolres yang

bertanggungjawab kepada Kapolda, dan di tingkat Kecamatan ada

Kepolisian Sektor yang biasa disebut dengan Polsek dengan pimpinan

seorang Kapolsek yang bertanggungjawab kepada Kapolres, dan di

tingkat Desa atau Kelurahan ada Pos Polisi yang dipimpin oleh seorang

Page 408: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

407

Brigadir Polisi atau sesuai kebutuhan menurut situasi dan kondisi

daerahnya.285

Susunan organisasi dan tata kerja Polri disesuaikan dengan

kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenang yang di atur lebih lanjut

dengan Peraturan Kapolri, dalam organisasi Negara dan Pemerintahan

Polri yang dipimpin oleh Kapolri merupakan Lembaga Negara non

Departemen yang berkedudukan langsung di bawah Presiden, yang dalam

pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan

peraturan perundang-undangan, antara lain UU No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan

tanggung jawab fungsi kepolisian Kapolri menetapkan,

menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis kepolisian,

antara lain menentukan dan menetapkan:

1. penyelengaraan kegiatan operasional kepolisian dalam rangka

pelaksanaan tugas kepolisian negara Republik Indonesia; dan

2. penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negera Republik

Indonesia.

Pelaksanaan kegiatan operasional dan pembinaan kemampuan

kepolisian dilaksanakan oleh seluruh fungsi kepolisian secara berjenjang

mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah yang terendah yaitu Pos

Polisi, dan tanggungjawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang

kepolisian secara hierarkhi dari tingkat paling bawah ke tingkat pusat

285 Pandji Susilo, Tugas dan Wewenang Polri, dalam www.wordpress.com, diakses

pada 19 Mei 2014

Page 409: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

408

yaitu Kapolri, selanjutnya Kapolri mempertangungjawabkannya kepada

Presiden Republik Indonesia. Hal ini mengingat karena Kapolri diangkat

dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR-RI.

Tugas pokok Kepolisin Negara Republik Indonesia adalah:286

1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. menegakan hukum, dan

3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut Polri melakukan:287

1. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli

terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

2. menyelenggaran segala kegiatan dalam menjamin keamanan

ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;

3. membina masyarakat untuk meningkatkan parsipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat

terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

5. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

6. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentukbentuk

pengamanan swakarsa;

286 Ibid287 Ibid

Page 410: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

409

7. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak

pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-

undangan lainnya;

8. menyelenggarakan indentifiksi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingn

tugas kepolisian;

9. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana

termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung

tinggi hak asasi manusia;

10. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

11. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan

kepentingan dalam lingkungan tugas kepolisian; serta

12. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan, yang dalam pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah.

Agar dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian sebagaimana

tersebut di atas dapat berjalan dengan baik, pelaksanaan tugasnya itu

dapat dipatuhi, ditaati, dan dihormati oleh masyarakat dipatuhi dalam

rangka penegakan hukum, maka oleh Undang-undang Polri diberi

kewenangan secara umum yang cukup besar antara lain:288

288 Ibid

Page 411: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

410

1. menerima laporan dan/atau pengaduan;

2. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat

menggangu ketertiban umum;

3. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyekit msyarakat;

4. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

5. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan

administratif kepolisian;

6. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan

kepolisian dalam rangka pencegahan;

7. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

8. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

9. mencari keterangan dan barang bukti;

10. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

11. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan

dalam rangka pelayanan masyarakat;

12. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan

putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan msyarakat;

13. menerima dan menyimpa barang temuan untuk sementara waktu.

Selain kewenangan umum yang diberikan oleh Undang-Undang

sebagaimana terebut di atas, maka diberbagai Undang-Undang yang telah

mengatur kehidupan masyarakat, bangsa dan negara ini dalam Undang-

Undang itu juga telah memberikan kewenangan kepada Polri untuk

Page 412: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

411

melaksanakan tugas sesuai dengan perundangan yang mengaturnya

tersebut antara lain;

1. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan

kegiatan masyarakat lainnya;

2. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;

3. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

4. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

5. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap

badan usaha di bidang jasa pengamanan;

6. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan

peledak, dan senjata tajam;

7. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian

khusus dan petugas pengaman swakarsa dalam bidang teknis

kepolisian;

8. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik

dan memberantas kejahatan internasional;

9. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing

yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

10. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi

kepolisian internasional;

11. melaksanakan kewenangan laian yang termasuk dalam lingkup tugas

kepolisian.

Page 413: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

412

Dalam bidang penegakan hukum publik khususnya yang berkaitan

dengan penanganan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam

KUHAP, Polri sebagai penyidik utama yang menangani setiap kejahatan

secara umum dalam rangka menciptakan keamanan dalam negeri, maka

dalam proses penannganan perkara pidana Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun

2002 tentang Polri, telah menetapkan kewenangan sebagai berikut:

1. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

2. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

3. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan;

4. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri;

5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. memanggil orang untuk didengan dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi;

7. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

8. mengadakan penghentian penyidikan;

9. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

10. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi

yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan

mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang

yng disangka melakukan tindak pidana;

Page 414: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

413

11. memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik

pegawai neri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai

negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

12. mengadakan tindakan lain menurut hukum yng bertanggung jawab,

yaitu tindakan penyelidik dan penyidik yang dilaksankan dengan

syarat sebagai berikut;

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan

tersebut dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya;

d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa,

dan

e. menghormati hak azasi manusia.

Pesatnya globalisasi di berbagai bidang di kehidupan masyarakat

dunia secara umum dan masyarakat Indonesia secara khusus dalam

beberapa tahun terakhir ini, memberikan peluang bagi masyarakat dalam

menyampaikan ide-ide dan gagasannya antara lain dalam bidang hukum

sebagai salah satu sub sistem sosial dalam masyarakat. Hukum dalam

realitasnya memiliki 3 (tiga) tujuan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan

dan keadilan. Pencapaian ketiga tujuan ini membutuhkan proses yang

berlangsung pada sub-sub sistem hukum yang antara lain disebutkan oleh

Page 415: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

414

L.M. Friedman289 yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya

hukum. Substansi hukum yang menjadi acuan dalam sistem hukum

Indonesia antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya

disebut KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(selanjutnya disebut KUHAP) serta Peraturan PerUndang-Undangan lain

yang merupakan lex specialis dari KUHP misalnya Undang-Undang

Lalulintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Kekerasan dalam

Rumah Tangga, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan lain-lain.

Sistem hukum pidana di Indonesia mengisyaratkan bahwa

pelaksanaan pidana pada hakikatnya terlepas dari kemauan orang-orang,

sehingga pada umumnya ketentuan hukum pidana tetap terlanggar

meskipun ada persetujuan dari pihak yang dirugikan, hal ini tentu saja

berbeda dengan sistem dalam hukum perdata. Dunia ilmu pengetahuan

hukum mengenal ada pemisahan antara hukum publik dan hukum privat

namun demikian dalam banyak hubungan hukum, ternyata banyak yang

mengandung bersama-sama unsur-unsur publik dan privat sekaligus. Hal

ini sudah selayaknya, pada pokoknya semua hukum mengatur tingkah

laku manusia dalam masyarakat untuk keselamatan masyarakat,

sedangkan masyarakat itu terdiri atas manusia, maka kepentingan

masyarakat yang selalu menjadi faktor dalam segala peraturan hukum

namun dalam suatu hubungan hukum tertentu, keadaannya adalah

289 Dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, 1996, hlm.

128

Page 416: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

415

sedemikian rupa bahwa titik berat berada pada kepentingan satu orang

manusia, sedangkan pada hubungan lainnya ternyata titik berat ada pada

kepentingan umum.290

Dengan keadaan dititikberatkan pada satu orang manusia maka

kemudian diserahkan kepada individu tersebut untuk menetapkan apakah

hubungan hukum akan dilaksanakan atau tidak, sedangkan untuk keadaan

yang titik beratnya pada kumpulan manusia, maka harus ditetapkan oleh

kumpulan manusia tadi. Inilah yang kemudian membedakan antara

hukum publik dan privat. Hukum Pidana menjadi salah satu bagian dari

hukum publik dan hukum perdata menjadi bagian dari hukum privat.291

Hubungan bisnis yang berkembang saat ini, secara sepintas dapat

dikatakan bahwa hubungan bisnis tersebut tampak sebagai hubungan

privat, namun jika ditelaah lebih jauh ternyata di dalamnya bukan hanya

masalah privat tapi tersangkut pula masalah pidana. Sebagai contoh, jika

seseorang yang membuat perjanjian dalam bisnis adakalanya terdapat

penipuan dalam perjanjian itu maka penipuan inilah yang akan berkaitan

dengan masalah pidana sedangkan hubungan berupa perjanjian antara

para pelaku bisnis tersebut adalah masalah perdata.

Hukum publik dalam hal ini pidana sangat berbeda dengan

masalah perdata. Dalam masalah pidana, segala masalah yang timbul

akan diserahkan kepada negara untuk penyelesaiannya meskipun dalam

290 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,

Jakarta, 2003, hlm. 2291 Ibid

Page 417: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

416

teori hukum acara pidana penyerahan penyelesaian kepada negara

tersebut berbeda-beda. Ada yang harus dilaporkan, ada pula yang harus

diadukan.292 Salah satu fenomena yang perlu untuk dicermati adalah

makin maraknya upaya-upaya damai yang dilakukan ketika timbul suatu

dugaan tindak pidana. Hal ini sering terjadi di kota-kota besar terutama

dalam hubungan dunia bisnis yang mempunyai intensitas tinggi, sejalan

dengan perkembangan arus informasi dan telekomunikasi yang

mempersempit jarak sehingga hubungan antar dan inter negara dapat

berlangsung secara singkat dan cepat yang membuat waktu menjadi

sangat berharga. Manakala terjadi kasus pidana, maka para pihak

cenderung mengambil jalur perdamaian karena dianggap efektif dan

efisien, dibandingkan melalui proses peradilan yang menyita waktu dan

tenaga.

Dalam perkara perdata, upaya damai merupakan suatu hal yang

sudah terlegitimasi dengan asas dan peraturan-peraturan yang terkait

dengan keperdataan. Namun dalam perkara pidana, upaya perdamaian ini

masih merupakan suatu hal yang patut dipertanyakan, mengingat

berlakunya suatu ketentuan bahwa ”tak ada perdamaian dalam pidana”

dan “tercapainya perdamaian, tidak menghilangkan unsur-unsur pidana

yang ada”.

Filsuf moral dan politik menyepakati bahwa ada suatu hak yang

disebut hak asasi manusia. Namun demikian, belum ada kesepakatan

292 S.R. Sianturi dan Mompang Panggabean, Hukum Penitensia di Indonesia, Alumni,Bandung, 1996, hlm. 81

Page 418: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

417

tentang apakah hak-hak asasi manusia itu, apa alasan pembenarannya,

dan apa yang menjadi prioritas di antara hak-hak tersebut. Sebagai

contoh, beberapa teoritisi hak asasi berpendapat bahwa hak asasi terbatas

pada hak sipil dan politik, dan tidak mencakup hak ekonomi atau

kesejahteraan. Sebaliknya, teoritisi lain berpendapat bahwa hak untuk

sejahtera sebagai manusia merupakan hak asasi, dimana kesejahteraan

tersebut mencakup pertimbangan ekonomi atau kesejahteraan.293 Hak

ekonomi dan sosial mempunyai kedudukan yang sama dengan hak sipil

dan politik, yang mana keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Jika salah satu dari hak tersebut tidak dijamin, maka hal tersebut akan

meniadakan hak yang lain. Masalah penting lain dalam hal hak asasi

adalah apakah perlu ada konflik antara nilai kebebasan dan kesamaan,

sehingga hak-hak yang didasarkan pada tiap-tiap nilai tersebut saling

terpisah.

Persamaan hak dalam hal ini dipandang mengganggu hak untuk

bebas, dimana hak terakhir ini sebagai hak menentang campur tangan.

Konflik antara kebebasan dan kesamaan dikemukakan oleh Charvet yang

mengatakan bahwa konsep tradisional tentang hak asasi tidak koheren,

karena konsep ini memunculkan persyaratan yang kontradiktif. Di satu

pihak, konsep ini menunjuk kebebasan sebagai penentuan tujuan individu

oleh individu sendiri dan di lain pihak menunjuk kesamaan sebagai syarat

moral untuk memandang kebutuhan dan tujuan orang lain sekalipun

293 Carol C. Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali (terj.), Tiara Wacana, Yogyakarta,

1993, hlm. 564

Page 419: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

418

keduanya saling bertentangan. Dalam penyebutan konflik antara

kebebasan dan kesamaan ini, kebebasan dipahami sebagai hak individual,

sementara kesamaan dipandang sebagai hak atau tuntutan sosial. Jadi, hak

individu dipandang bertentangan dengan hak atau tuntutan masyarakat.294

Dalam penanganan kasus pidana, sekilas mediasi penal hampir

sama dengan yang kita kenal dengan istilah diskresi (discretion) yang

dimiliki oleh lembaga dalam sistem peradilan pidana kita, seperti

kepolisian dan kejaksaan untuk menyaring kasus-kasus yang masuk

untuk kemudian tidak meneruskan sebagian kasus tertentu melalui proses

peradilan pidana. Namun demikian terdapat esensi yang berbeda dengan

sistem diskresi tersebut. Mediasi penal lebih mengedepankan kepentingan

pelaku tindak pidana dan sekaligus kepentingan korban, sehingga tercapai

win-win solution yang menguntungkan pelaku tindak pidana dan

korbannya. Dalam mediasi penal korban dipertemukan secara langsung

dengan pelaku tindak pidana dan dapat mengemukakan tuntutannya

sehingga dihasilkan perdamaian diantara para pihak. Mediasi penal

dilakukan dengan transparan sehingga dapat mengurangi permainan kotor

yang seringkali terjadi dalam proses peradilan pidana tradisional.

Mengingat banyaknya keuntungan yang ada pada mediasi penal,

sebagaimana telah dipraktikan di beberapa negara, maka diperlukan

upaya berupa kajian untuk menerapkan mediasi penal dalam proses

peradilan pidana Indonesia sebagai bagian dari sistem peradilan pidana di

Indonesia. Sistem peradilan pidana merupakan sistem yang terdiri atas

294 Ibid, hlm. 433

Page 420: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

419

sub-sub sistem seperti lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan, lembaga

pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, bahkan termasuk penasihat

hukum. Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana Indonesia

berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai hukum formil

untuk melaksanakan hukum pidana materiil. Dalam proses peradilan

pidana, bekerjanya sistem peradilan pidana terdapat saling

kebergantungan (interdepency) antara sub sistem satu dengan sub sistem

lainnya. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan

restorative justice, yaitu konsep yang memandang kejahatan secara lebih

luas. Konsep ini memandang bahwa kejahatan atau tindak pidana

bukanlah hanya sekedar urusan pelaku tindak pidana dengan negara yang

mewakili korban, dan meninggalkan proses penyelesaiannya hanya

kepada pelaku dan negara (Jaksa Penuntut Umum).

Lembaga Kepolisian mempunyai kewenangan untuk menentukan

apakah suatu perbuatan akan diteruskan atau tidak diteruskan prosesnya

ke dalam sistem peradilan pidana dengan alasan-alasan tertentu. Dalam

perkara lalu lintas misalnya dalam kecelakaan lalu lintas, apabila hanya

menimbulkan kerugian yang kecil atau luka yang kecil biasanya

diselesaikan dengan mediasi di antara pelaku dan korban, dan pihak

kepolisian sebagai saksi atas kesepakatan yang dicapai, perkara tidak

diteruskan atas dasar kesepakatan bersama antara pelaku dan korban.

Namun demikian jika kecelakaan akibat kelalaian tersebut menimbulkan

kerugian yang besar seperti nyawa misalnya, maka mediasi tidak dapat

Page 421: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

420

dilakukan, adapun pembayaran ganti kerugian berupa biaya rumah sakit

dan penguburan jenazah korban hanya sebagai salah satu pertimbangan

yang nantinya digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan kepada

terdakwa.295

Kesepakatan mengganti kerugian tidak menghapuskan tindak

pidananya, karena pelaku tetap saja disidik dan diproses dalam sistem

peradilan pidana. Selanjutnya bahwa proses mediasi penal yang

dilakukan oleh lembaga kepolisian dalam tindak pidana tertentu,

bukanlah bentuk diskresi kepolisian, karena dalam diskresi kepolisian

keputusan yang diambil justru bertentangan dengan peraturan sehingga

melalui pertimbangan yang sangat banyak dan strategis untuk

kepentingan orang banyak. Di sini pun peran polisi bukan sebagai

mediator, melainkan hanya sebagai saksi yang menyaksikan

diselesaikannya perkara pidana tersebut melalui kesepakatan

perdamaian.296 Di samping delik aduan biasanya masyarakat

menyelesaikan sendiri perkara pidana dengan mediasi yaitu misalnya

dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sekali pun

tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku bukan merupakan delik aduan,

295 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,

2002, hlm. 43296 Romli Atmasasmita,”Sinergi Kerja Polri Dan Kejaksaan Agung Dalam Sistem

Peradilan Pidana di Indonesia,” Makalah disampaikan pada Seminar Hubungan Polisi – Jaksa:

Menuju Integrasi, di Auditorium Bumi Putera –Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ.

Indonesia, Depok, 17 April 2008

Page 422: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

421

akan tetapi berdasarkan alasan untuk kepentingan semua pihak dan

keutuhan rumah tangga maka penyelesaian secara mediasi seringkali

menjadi pilihan. Dalam mediasi pihak korban dapat meminta ganti

kerugian kepada pelaku, namun demikian apabila terjadi kesepakatan dari

pihak korban dan pelaku untuk mengganti kerugian, kesepakatannya

tidak menghilangkan penuntutan, sehingga proses peradilan tetap berjalan

sebagaimana mestinya, dan kesepakatan ganti kerugian hanya bersifat

sebagai pertimbangan jaksa dalam mengadakan penuntutan, keputusan

tetap di tangan hakim.

Mediasi penal di sini hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh

karena belum ada Undang-Undang yang mengatur pelaksanaan mediasi

beserta kekuatan hukum dari akte kesepakatan hasil mediasi penal. Jadi

pelaku tetap dipidana akan tetapi pidananya diperingan. Sementara itu

dalam menangani kasus tindak pidana yang masuk ke dalam katagori

'delik biasa', seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian

seperti dalam Pasal 359 KUHP (karena kelalaiannya menyebabkan

matinya orang lain), serta dalam tindak pidana terhadap harta benda

seperti Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan Pasal 378 tentang

penipuan yang biasanya antara korban dan pelaku sudah saling mengenal,

maka dapat dilakukan mediasi di mana korban dapat meminta ganti

kerugian kepada pelaku dengan sebuah akta kesepakatan bahwa telah

dilakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban. Namun demikian

meskipun telah dilakukan kesepakatan mengganti kerugian kepada

korban, proses penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tetap dilakukan,

Page 423: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

422

dengan alasan bahwa kejaksaan bekerja berdasarkan aturan normatif,

selama belum ada aturan yang mengatur kedudukan mediasi penal dalam

penuntutan berarti kasus tetap diproses, namun karena telah dilakukan

pembayaran ganti kerugian, alasan tersebut hanya menjadi salah satu

alasan pertimbangan Jaksa Penuntut Umum untuk memperingan

maksimum tuntutannya.297

Dalam hukum pidana tidak dikenal istilah mediasi penal, namun

demikian ada kesempatan bagi korban pidana untuk menggugat ganti

kerugian kepada pelaku melalui gugatan perdata dan proses peradilan

pidana tetap dijalankan. Namun sebenarnya apabila kita

mempermasalahkan mediasi penal dalam hal penentuan pengganti

kerugian dari pelaku kepada korban hal ini dimungkinkan, dan dapat

dijadikan dasar bagi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

bersyarat. Ganti kerugian terhadap korban dalam pidana bersyarat

merupakan salah satu syarat khusus yang telah dilakukan oleh terpidana,

di samping ketentuan pidana yang akan dijatuhkan oleh hakim tidak lebih

dari 1 (satu) tahun untuk pidana penjara. Apabila dalam mediasi dicapai

kesepakatan, maka mediator memberitahukan kepada penyidik bahwa

telah dicapai kesepakatan melalui mediasi dengan pembayaran ganti

kerugian dari pelaku kepada korban. Hasil kesepakatan mediasi penal

merupakan putusan final, sehingga merupakan alasan penghapus

penuntutan. Dengan adanya hasil kesepakatan maka penyidik

297 www/http Monang Pardede, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, akses

tanggal 25 Desember 2012

Page 424: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

423

menyatakan bahwa kasus tidak dilanjutkan kepada pelimpahan BAP

kepada penuntut. Dalam pelaksanaan mediasi penal di tahap penuntutan

ini dilakukan sekaligus negosiasi ganti kerugian antara pelaku dan

korban. Mediasi penal pada tahap penuntutan ini merupakan kombinasi

antara bentuk Victim- Offender Mediation dan Reparation Negotiation

Programme. Adapun pelaksanaan mediasi penal pada tahap penuntutan

dapat digambarkan sebagai berikut:298

1. Jaksa penuntut umum dengan mempelajari tindak pidana yang

dilakukan oleh pelaku berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, dapat

menawarkan mediasi kepada korban dan pelaku tindak pidana.

2. Mediasi dilakukan berdasarkan persetujuan secara sukarela dari pelaku

dan korban tindak pidana. Jika kedua pihak menyetujui untuk

dilakukan mediasi, maka persetujuan untuk mediasi diberikan kepada

Jaksa Penuntut Umum.

3. Jaksa penuntut umum dapat berposisi sebagai mediator maupun dapat

melakukan penunjukan mediator dari luar yang bersertifikasi.

4. Mediator mempertemukan pihak pelaku dan korban tindak pidana.

5. Pelaksanaan proses mediasi dilakukan secara rahasia, dalam arti

semua peristiwa yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang

muncul selama mediasi tidak dapat dipublikasikan oleh semua pihak

yang terlibat.

298 www.lppm.undip.ac.id Umi Rozah Dosen Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro Semarang, Membangun Mediasi Penal, Pembaharuan Hukum, Hukum Pidana

,Tahun 2009

Page 425: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

424

Dalam mediasi penal ini diadakan rekonsiliasi dan pembayaran

ganti kerugian kepada korban. Jika mediasi penal tidak mencapai

kesepakatan, maka perkara pidana akan dilanjutkan dengan proses

pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dilakukan penuntutan terhadap

tindak pidanannya. Dalam hal ini mediator tidak dapat bersaksi atas tidak

tercapainya kesepakatan mediasi maupun atas segala sesuatu yang terjadi

selama proses mediasi. Jika mediasi mencapai kesepakatan damai yang

diterima oleh semua pihak, maka akta kesepakatan berlaku sebagai

putusan yang final dan tidak dapat diadakan penuntutan, sehingga dapat

berfungsi sebagai alasan penghapus penuntutan. Mediasi ini jika

mencapai kesepakatan maka hasilnya dapat digunakan sebagai alasan

untuk menghapuskan menjalankan pidana bagi pelaku tindak pidana.

Mediator pada tahap ini bisa dilakukan oleh hakim ataupun mediator dari

luar pengadilan yang telah mendapatkan sertifikasi dan pelatihan.

Mediasi ini adalah gabungan dari model Victim-Offender Mediation dan

Reparation Negotiation Programmes. Hakim setelah mempelajari kasus

dan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, dapat menawarkan

mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara dengan perdamaian

para pihak. Jika para pihak menyetujui, maka diadakan persetujuan secara

suka rela untuk mengikuti penyelesaian perkara dengan cara mediasi baik

oleh pelaku maupun oleh korban.

Hakim dapat bertindak sebagai mediator ataupun dengan mediator

di luar pengadilan yang telah memenuhi syarat dan bersertifikasi. Mediasi

mempertemukan pihak pelaku dan korban, pada kesempatan ini diadakan

Page 426: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

425

rekonsiliasi antara korban dan pelaku, serta dilakukan pembayaran ganti

kerugian yang diderita korban. Mediasi penal dilakukan berdasarkan

prinsip rahasia, sehingga segala peristiwa yang terjadi dan segala

pernyataan yang muncul dalam proses mediasi harus dirahasiakan oleh

para pihak termasuk mediator. Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan

maka proses pemeriksaan di muka pengadilan akan dilanjutkan

sebagaimana mestinya. Jika tercapai kesepakatan di mana para pihak

saling menerima hasil kesepakatan (rekonsiliasi) dan disepakati

pembayaran ganti kerugian oleh pelaku kepada korban, maka hasil

kesepakatan yang dituangkan dalam akta kesepakatan menjadi

berkekuatan tetap sebagaimana putusan pengadilan dan bersifat final,

sehingga pelaku tidak dapat dituntut dan diadili kembali dalam proses

peradilan pidana. Mediasi yang dilakukan pada tahap pelaku sedang

menjalani pidananya khususnya pidana penjara, berfungsi sebagai alasan

untuk menghapuskan kewenangan menjalankan sebagian pidana jika

pelaku telah menjalankan sebagian pidananya.

Untuk tindak pidana-tindak pidana tertentu, pelaku dapat

menawarkan kepada korban untuk mengadakan mediasi penal guna

meringankan pidananya. Jika korban menyetujui permintaan mediasi dari

pelaku tindak pidana, maka diajukan persetujuan mediasi kepada Jaksa

Penuntut Umum sebagai eksekutor. Jaksa sebagai eksekutor akan

mempelajari kemungkinan disetujuinya mediasi penal. Jika telah

disepakati persetujuan mediasi maka mediasi dapat dilakukan dengan

bantuan mediator yang ditunjuk maupun mediator luar yang telah diakui

Page 427: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

426

dan disertifikasi. Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasiaan

(confindentiality) sehingga segala peristiwa dan pernyataan yang muncul

dalam mediasi bersifat rahasia. Jika mediasi mencapai kesepakatan untuk

berdamai dan kesepakatan pembayaran ganti kerugian, maka hasil

kesepakatan tersebut berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan

kewenangan menjalankan pidana, sehingga terpidana dapat dibebaskan.

Hasil kesepakatan perdamaian dan pembayaran ganti kerugian kepada

korban dituangkan ke dalam akta kesepakatan yang bersifat final dan

digunakan sebagai alasan untuk membebaskan terpidana dari pidana yang

belum dijalaninya. Dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995

yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen

A/CONF.169/6) diungkapkan perlunya semua negara

mempertimbangkan “privatizing some law enforcement and justice

functions” dan “alternative dispute resolution/ADR” (berupa mediasi,

konsiliasi, restitusi, dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana.

Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sebagai

berikut:299

“The techniques of mediation, conciliation and arbitration, which

have been developed in the civil law environment, may well be

more widely applicable in criminal law. For example, it is

possible that some of the serious problems that complex and

299 www.lppm.undip.ac.id Umi Rozah Dosen Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro Semarang, Membangun Mediasi Penal, Pembaharuan Hukum, Hukum Pidana

,Tahun 2009

Page 428: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

427

lengthy cases involving fraud and white-collar crime pose for

courts could by reduced, if not entirely eliminated, by applying

principles developed in conciliation and arbitration hearings. In

particular, if the accused is a corporation or business entity

rather than an individual person, the fundamental aim of the court

hearing must be not 21to impose punishment but to achieve an

outcome that is in the interest of society as a whole and to reduce

the probability of recidivism”.

Bentuk penerapan keadilan restorative di beberapa negara seperti

di negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan New Zealand

sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu, yaitu:

5. Di Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Finlandia

dikenal dengan istilah Victim Offender Mediation (Mediasi antara

Pelaku dan Korban) yang merupakan bentuk pendekatan restorative

dimana dibuat suatu forum yang mendorong adanya pertemuan

antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai

koordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut dalam untuk

mencari kebutuhan yang menjadi prioritas korban khususnya

kebutuhan untuk didengar keinginan-keinginan mengenai:

d. Bentuk tanggung jawab pelaku;

e. Kebutuhan akan pengobatan atau pendampingan bagi korban;

f. Keinginan korban untuk didengarkan oleh pelaku terhadap

dampak tindak pidana bagi kedua pihak dan berdiskusi tentang

Page 429: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

428

penanganan, usaha perbaikan dari dampak yang diderita oleh

keduanya.

Persiapan penyelenggaraan, sistem monitoring dan evaluasi

dari proses dilaksanakan oleh pihak ketiga yang ditunjuk (dalam hal

ini adalah mediator). Dalam beberapa kegiatan yang dilaksanakan

pada periode purna ajudikasi, petugas pengadilan atau

pemasyarakatan dapat menjalankan fungsi tersebut. Berdasarkan

pengalaman di beberapa negara Eropa,300 mediasi yang dilakukan

tidak mensyaratkan adanya pertemuan langsung antara pelaku

dengan korban. Dimungkinkan mediator memainkan peranan yang

lebih dimana ia bertemu secara satu persatu dengan masing-masing

pihak, hingga terjalin suatu kesepakatan atas suatu restitusi yang

akan dilakukan. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga perasaan

dan kenyamanan masing-masing pihak selama proses terjadi.

6. Di New Zealand dikenal dengan istilah Conferencing yang merupakan

refleksi dari proses penyelesaian perkara pidana secara tradisional

yang ada di suku Maori, penduduk asli bangsa New Zealand. Dalam

bentuk conferencing ini penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku

dan korban langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak

langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan dekat

korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku.

7. Di Yukon, Kanada dikenal dengan istilah Circle, dalam bentuk ini

para pihak yang terlibat meliputi pelaku, korban, keluarga dan pihak

300 Daniel van Ness, Allison Morris dan Gabriel Maxwell, 201, Op Cit, hlm. 7

Page 430: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

429

lain yang terlibat termasuk di dalamnya aparat penegak hukum dan

setiap anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan

perkara tersebut dapat datang dan ikut berpartisipasi.

8. Di negara bagian Vermont dikenal dengan istilah Restorative

Board/Youth Panels dengan lembaga pendamping yang disebut

Bureau of Justice Assistance yang bertujuan untuk menyelesaikan

perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan

pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim jaksa dan

pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi

pelaku dang anti rugi bagi korban atau masyarakat. Sasarannya

adalah peran aktif anggota masyarakat secara langsung dalam proses

peradilan tindak pidana, kemudian memberikan kesempatan kepada

korban dan anggota masyarakat untuk melakukan dialog secara

langsung dengan pelaku.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa di beberapa

negara lain, mediasi penal dimungkinkan untuk tindak pidana yang

dilakukan oleh anak dan untuk kasus KDRT (kekerasan dalam rumah

tangga – domestic violence). Namun di Indonesia, ketentuan mediasi

penal itu tidak terdapat dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak

maupun dalam UU No. 23/2004 tentang KDRT. Akhirnya patut dicatat,

bahwa gugurnya kewenangan penuntutan seperti yang ada dalam KUHP

(yang tersebar dalam beberapa pasal, antara lain Pasal 82 di atas), di

dalam Konsep RKUHP digabung dalam satu pasal dan diperluas dengan

ketentuan sebagai berikut:

Page 431: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

430

Dari ketentuan RKUHP di atas terlihat, dimungkinkannya

penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Mediasi penal sering

dinyatakan merupakan ”the third way” atau ”the third path” dalam upaya

”crime control and the criminal justice system” dan telah digunakan di

beberapa negara. Seberapa jauh kemungkinan itu dapat juga diterapkan di

Indonesia, apa keterbatasan dan keunggulannya, serta bagaimana

pengaturannya, tentunya memerlukan kajian yang mendalam dan

komprehensif. Namun yang jelas, penyelesaian damai dan mediasi di

bidang hukum pidana inipun sebenarnya sudah dikenal dalam hukum adat

dan dalam kenyataan sehari-hari.

Sistem Peradilan Pidana Indonesia menunjukkan kecenderungan

polarisasi bahwa “mediasi penal” dalam Sistem Peradilan Pidana

Indonesia telah dikenal oleh hakim Indonesia. Dikaji dari perspektif Asas,

Norma dan Teori eksistensi mediasi penal disebutkan antara “ada” dan

“tiada”. Dikatakan “ada” oleh karena ternyata praktik mediasi penal telah

dilakukan oleh penegak hukum, masyarakat Indonesia dan penyelesaian

tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui mekanisme lembaga

adat. Dikatakan “tiada” dikarenakan mediasi penal dalam ketentuan

Undang-Undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi

dalam tataran di bawah Undang-Undang dikenal secara terbatas melalui

diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya parsial. Pada tataran di

bawah Undang-Undang, penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui

mediasi penal misalnya diatur dalam:

Page 432: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

431

1. Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14

Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif

Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar

Strategi dan Implementasi Perpolisian Masyarakat Dalam

Penyelenggaraan Tugas Polri. Surat ini sifatnya parsial dan prinsip-

prinsip mediasi penal yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini

menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan

ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun

apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan

prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.

2. Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian Jaminan Kepastian

Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya

atau Tindakan Hukum kepada kepada Debitur yang Tidak

Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban

Pemegang Saham.

Saat ini mediasi penal belum diatur dalam KUHAP, KUHP dan

Undang-Undang tersendiri. Oleh karena itu, untuk waktu ke depan (ius

contituendum) hendaknya perlu dipikirkan secara lebih jauh dalam

ketentuan apa sebaiknya mediasi penal tersebut akan diatur, apakah diatur

dalam KUHP, KUHAP, Undang-Undang tersendiri, Peraturan di bawah

Undang-Undang atau Peraturan Mahkamah Agung RI. Dalam praktik,

dengan diterapkan mediasi penal walau perUndang-Undang belum

mengaturnya maka telah terjadi pergeseran paradigma adanya quasi

Page 433: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

432

hukum privat ke dalam hukum publik dan dari hasil penelitian

mendeskripsikan bahwa sependapat apabila mediasi penal tersebut

dilakukan.

Peraturan mediasi penal hendaknya mengatur secara limitatif

dalam hal perkara apa saja yang dapat dilakukan penyelesaian melalui

mediasi penal. Diskripsi hasil penelitian menyebutkan bahwa beberapa

perkara yang diatur secara limitaitf dapat diselesaikan secara mediasi

penal yaitu berupa perkara pencurian ringan, perkara yang bersifat

pribadi, perkara pencurian ringan, dan perkara yang dilakukan oleh anak

serta perkara kekerasan dalam rumah tangga. Peradilan Umum dianggap

relatif lebih tepat untuk mengadili perkara pencurian ringan, perkara yang

bersifat pribadi, dan perkara yang dilakukan oleh anak serta perkara

kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan dengan peradilan adat dan

dibentuk badan peradilan tersendiri. Peneliti dalam hal ini berpendapat

bahwa pada dasarnya tidak meniadakan unsur pidana bagi pelaku namun

untuk tindak pidana tertentu misalnya yang melibatkan anak-anak

seharusnya perdamaian menyebabkan pelaku yang masih anak-anak tidak

dijerat dengan hukum atau tidak berurusan dengan pengadilan yang akan

menyebabkan anak tersebut dicap sebagai pelaku tindak pidana.

Hal ini dapat mendukung berkurangnya jumlah anak-anak yang

ditangkap, ditahan dan divonis penjara, menghapuskan stigma dan

mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat

berguna kelak di kemudian hari. Mediator dalam musyawarah pada

perkara dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan jika

Page 434: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

433

kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala sekolah atau guru.

Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah adalah adanya

pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta

keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara melalui

muyawarah pemulihan, setelah itu proses peradilan baru berjalan. Dalam

proses peradilan harus berjalan sesuai dengan yang diharapkan yaitu

proses yang dapat memulihkan, artinya perkara tersebut benar-benar

ditangani oleh aparat penegak hukum yang mempunyai niat, minat,

dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan

restorative justice serta apabila tindakan penahanan harus dilakukan

sebagai pilihan terakhir maka pelaksanaannya harus dengan

mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan konvensi tentang Hak-Hak Anak

yang telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

Ketentuan di atas hanya memberi kemungkinan adanya penyelesaian

perkara pidana di luar pengadilan, namun belum merupakan ”mediasi

penal” seperti yang diuraikan di atas.

Penyelesaian di luar pengadilan berdasar Pasal 82 KUHP di atas

belum menggambarkan secara tegas adanya kemungkinan penyelesaian

damai atau mediasi antara pelaku dan korban (terutama dalam masalah

pemberian ganti rugi atau kompensasi) yang merupakan ”sarana

pengalihan/diversi” (means of diversion)” untuk dihentikannya

penuntutan maupun penjatuhan pidana. Pasal 82 KUHP merupakan

alasan penghapus penuntutan, namun bukan karena telah adanya ganti

rugi/kompensasi terhadap korban, tetapi hanya karena telah membayar

Page 435: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

434

denda maksimum yang diancamkan. Penyelesaian kasus pidana dengan

memberi ganti rugi kepada korban, dimungkinkan dalam hal hakim akan

menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14c KUHP). Patut dicatat, ketentuan

pidana bersyarat dalam KUHP inipun masih tetap berorientasi pada

kepentingan pelaku (offender oriented), tidak ”victim oriented”.

Kemungkinan lain terlihat dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang

Pengadilan HAM yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM

(yang dibentuk berdasar Kepres No. 50/ 1993) untuk melakukan mediasi

dalam kasus pelanggaran HAM (dalam Pasal 1 ke-7, Pasal 76 ayat (1),

Pasal 89 ayat (4), dan Pasal 96). Namun tidak ada ketentuan yang secara

tegas menyatakan, bahwa semua kasus pelanggaran HAM dapat

dilakukan mediasi oleh Komnas HAM, karena menurut Pasal 89 (4)

Komnas HAM dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk

menyelesaikan sengketa melalui pengadilan (sub-c), atau hanya memberi

rekomendasi kepada Pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti

penyelesaiannya (sub-d dan sub-e). Demikian pula tidak ada ketentuan

yang secara tegas menyatakan, bahwa akibat adanya mediasi oleh

Komnas HAM itu dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan.

Di dalam Pasal 96 ayat (3) hanya ditentukan, bahwa ”keputusan

mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah”.

Peneliti dalam hal ini memandang bahwa dari setiap tahapan penanganan

tindak pidana tahapan di kepolisian merupakan tahap awal dan masih

merupakan tahapan penyidikan sehingga dalam hal ini belum ada

kepastian mengenai pihak yang melakukan suatu tindak pidana dan

Page 436: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

435

belum dapat dipastikan siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan

penggantian kerugian. Jika dilihat dari hal ini maka pada dasarnya

pengadilan merupakan tempat paling efektif untuk melakukan

perdamaian dan ganti kerugian digabungkan dalam putusan pidana yang

dijatuhkan oleh hakim. Namun, apabila dalam tahap penyidikan, pelaku

sudah mengakui kesalahannya dan aparat kepolisian meyakini bahwa

pengakuan tersebut adalah benar adanya, bukan rekayasa, maka tempat

paling efektif adalah di kepolisian. Berdasarkan apa yang telah

diterangkan sebagaimana konteks di atas dapatlah disebutkan tentang

aspek-aspek perlindungan Hak Asas Manusia dalam pelaksanaan mediasi

penal sebagai berikut:

1. Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dari

perspektif pengkajian Asas, Norma dan Praktik eksistensi hasil

penelitian di tingkat penyidikan tindak pidana lalulintas di daerah

hukum Polda Jateng sebesar 85,84% menyebutkan antara “ada” dan

“tiada”. Dikatakan “ada” oleh karena ternyata praktik mediasi penal

telah dilakukan oleh penegak hukum (penyidik tindak pidana

lalulintas di jajaran Polda Jateng) atas permintaan para pihak yang

terlibat dalam kecelakaan lalu lintas karena mereka telah melakukan

musyawarah untuk mufakat dan kemudian membuat perdamaian,

masyarakat Indonesia (khususnya Jawa Tengah) dan penyelesaian

tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui mekanisme

lembaga adat (perdamaian). Dikatakan “tiada” dikarenakan mediasi

penal dalam ketentuan Undang-Undang tidak dikenal dalam Sistem

Page 437: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

436

Peradilan Pidana akan tetapi dalam tataran di bawah Undang-Undang

dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum, terbatas dan

sifatnya parsial. Pada tataran di bawah Undang-Undang penyelesaian

perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal diatur dalam Surat

Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember

2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute

Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar

Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam

Penyelenggaraan Tugas Polri. Kemudian dalam Inpres No. 8 Tahun

2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur

yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum

kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya

Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

2. Pengkajian terhadap dimensi praktik penyelesaian perkara di luar

pengadilan melalui dimensi mediasi penal (penal mediation) dari

perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia dilakukan melalui

diskresi oleh penegak hukum, dilakukan masyarakat Indonesia dan

penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui

mekanisme lembaga adat (perdamaian). Dimensi kearifan lokal

hukum adat yang berlandaskan alam pikiran kosmis, magis dan

religius serta sesuai dengan sila kedua dan kelima dari Pancasila

dalam praktik sosial pada masyarakat Indonesia, lembaga mediasi

penal sudah lama dikenal dan telah menjadi tradisi antara lain pada

Page 438: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

437

masyarakat melalui upaya damai demi terpeliharanya harmoni sosial.

Dengan demikian proses pidana terhadap pelaku tindak pidana oleh

aparatur negara dipandang tidak diperlukan lagi, karena justru dinilai

akan merusak kembali harmoni sosial yang sudah tercapai.

3. Eksistensi mediasi penal saat ini dilakukan melalui diskresi penegak

hukum sehingga untuk masa mendatang diperlukan adanya

pengaturan secara limitatif terhadap perkara-perkara yang dapat

dilakukan melalui mediasi penal khususnya terhadap perkara yang

sifatnya ringan, kecil, bersifat pribadi dan dilakukan oleh pelaku

anak serta perkara kecelakaan lalu lintas sehingga kedepan di satu

sisi diharapkan dapat menekan penumpukan perkara ke badan

peradilan sedangkan di sisi lainnya diharapkan tidak terjadi adanya

penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dari para pihak yang

terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana.

4. Akibat dikenal dan diterapkannya mediasi penal maka telah terjadi

pergeseran paradigma yaitu ada sifat hukum privat ke dalam ranah

hukum publik. Oleh karena itu, hendaknya diperlukan alternatif yang

relatif paling baik terhadap tahap dan proses mediasi penal tersebut

dilakukan apakah di tingkat Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan

ataukah di setiap tingkat atau proses dari Sistem Peradilan Pidana.

B. MODEL REKONSTRUKSI PERDAMAIAN DALAM

MELAKSANAKAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT

Page 439: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

438

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS

BERDASARKAN HUKUM PROGRESIF

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Dirlantas Polda

Jawa Tengah,301 diperoleh keterangan bahwa rekonstruksi perdamaian

dalam melaksanakan restorative justice di tingkat penyidikan tindak

pidana lalu lintas berdasarkan hukum progresif adalah tetap mengacu

pada Pasal 235 dan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tanpa berbicara salah dan benar,

namun mengedepankan sisi manusiawi.

Menurut Dirlantas Polda Jawa Tengah,302 rekonstruksi

perdamaian dalam tingkat penyidikan tindak pidana lalu lintas sudah

didasarkan pada hukum progresif dan harus tetap berpegang pada hukum

progresif secara acuannya.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kasatlantas Polres

Demak,303 diperoleh keterangan bahwa pola ideal dalam penyidikan

tindak pidana lalu lintas untuk masa yang akan datang sehingga dapat

diterima oleh semua pihak adalah menggunakan pola restorative justice

sebagai wujud perkembangan hukum modern, tidak memerlukan waktu

lama, praktis dan dapat memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi

pihak-pihak yang mengalami kecelakaan lalu lintas dan atau keluarganya.

301 Wawancara dengan Dirlantas Polda Jawa Tengah, pada tanggal 26 November

2013302 ibid303 Wawancara dengan Kasatlantas Polres Demak, pada tanggal 3 Desember 2013

Page 440: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

439

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kasatlantas Polres

Banyumas,304 diperoleh keterangan bahwa pola ideal penyelesaian tindak

pidana lalu lintas untuk masa yang akan datang yang didasarkan pada

konsep perdamaian sebagai perwujudan restorative justice berdasarkan

hukum progresif adalah:

1. Tetap menggunakan Pola Restorative Justice dimana tidak semua

Kasus Pidana diproses sampai ke Pengadilan (Disversi) sebagai

wujud perkembangan hukum Modern. Namun demikian bila tidak

bisa ada alternatif lain yakni menggunakan Hukum Progresif. Dalam

kasus kecelakaan lalu lintas Hukum Progresif dan Restorative Justice

bisa digunakan bersama-sama dan atau sendiri-sendiri tergantung

kepada kesepakatan mereka yang berperkara;

2. Perlu disarankan kepada pakar hukum agar dapat mewujudkan aturan

hukum yang simpel/praktis namun tetap mengedepankan nilai-nilai

keadilan dan kemanfaatan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana dinyatakan bahwa:

Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak

terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan

merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi

hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut

umum, tersangka atau keluarganya

304 Wawancara dengan Kasatlantas Polres Banyumas, pada tanggal 9 Desember

2013

Page 441: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

440

Sedangkan alasan dicabut laporannya karena perkara sudah dapat

diselesaikan secara musayawarah mufakat/kekeluargaan/perdamaian

belum termasuk dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP tersebut, sehingga

pasal tersebut perlu direkonstruksi, yang dimasukkan dalam pasal

tersebut yang berbunyi “Dalam hal telah terjadi perdamaian antara

pelaku/pembuat dan korban tindak pidana, maka dapat dijadikan

pertimbangan bagi penyidik untuk menghentikan penyidikan dengan

mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 260 ayat (1) hurug g Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

dinyatakan bahwa:

Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana,

Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur

di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan

Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,

di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang:

g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti

Untuk kepentingan menghentikan proses penyidikan, tidak ada

lagi alasan lain selain alasan tidak terdapat cukup bukti sebagaimana

tersebut di atas, alasan telah dicabut laporannya karena perkaranya sudah

dapat diselesaikan secara musayawarah

mufakat/kekeluargaan/perdamaian belum masuk dalam substansi Pasal

Page 442: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

441

260 ayat (1) hurug g Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tersebut,

sehingga dalam hal ini pasal tersebut perlu untuk direkonstruksi. Adapun

ketentuan yang harus direkonstruksi tersebut adalah adanya penambahan

yang dimasukkan dalam Pasal 260 ayat (1) huruf g yang selengkapnya

nanti berbunyi “menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti

dan/atau dalam hal telah terjadi perdamaian antara pelaku/pembuat dan

korban tindak pidana, maka dapat dijadikan pertimbangan bagi penyidik

untuk menghentikan penyidikan dengan mempertimbangkan segi

keadilan dan kemanusiaan”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP dan Pasal 260

ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, pelaksanaan

perdamaian belum termuat dalam kedua pasal tersebut, maka perlu

diadakan rekonstruksi terhadap kedua pasal tersebut dengan

menambahkan keterangan “dalam hal telah terjadi perdamaian antara

pelaku/pembuat dan korban tindak pidana, maka dapat dijadikan

pertimbangan bagi penyidik untuk menghentikan penyidikan dengan

mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.

Diskresi memberikan kesempatan serta sebuah kebebasan bagi

penegak hukum dalam membuat keputusan sesuai dengan rasa keadilan

oleh pribadi seseorang yang mempunyai wewenang kekuasaan, konteks

pembahasannya lebih memperhatikan bagaimana seseorang petugas

secara individu atau kelompok yang punya wewenang dalam menangani

suatu kasus untuk menggunakan kebijakan sendiri dalam suatu situasi

yang terjadi untuk melakukan atau tidak melakukan. Secara sederhana,

Page 443: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

442

diskresi menunjukan kebebasan kekuasaan untuk membuat keputusan

dengan mempertimbangkan pribadi yang memperhatikan kebaikan dan

keadilan semua pihak, guna mencari alternatif lain yang bukan pidana,

dalam hal ini pidana merupakan ultimum remidium atau sebagai sarana

terakhir. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu tragik (sesuatu yang

menyedihkan), sehingga hukum pidana dikatakan “sebagai mengiris

dagingnya sendiri atau pedang bermata dua”, artinya bahwa hukum

pidana yang melindungi benda hukum (nyawa, harta, benda,

kemerdekaan, kehormatan) dalam pelaksanaannya, ialah apabila ada

pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya justru mengadakan

perlukaan terhadap benda hukum si pelanggar sendiri. Sehingga dalam

menanggapi hal tersebut bahwa sebagai alat “social control” fungsi

hukum pidana adalah subsider, artinya hukum pidana hendaknya baru

diadakan, apabila usaha-usaha lain kurang memadai.

Prakteknya pertimbangan atau pilihan diskresi banyak dipaksakan

tidak hanya oleh aturan formal yang ada tapi juga oleh desakan ekonomi,

sosial dan politik yang terjadi atas pilihan yang ada. Desakan-desakan

tersebut menjadi alasan penyidik menetapkan kebijakan akan tetapi

kebijakan yang ditetapkan tidak membuat pelanggaran atas norma-norma

hukum lain atau hak-hak yang semestinya dipenuhi. Alasan tersebutlah

yang menjadi salah satu hal penting yang sesuai dengan point-point dan

pembuat kebijakan diskresi untuk membuat prosedur dan metode

kerjanya juga. Oleh karena itu diskresi berjalan pada semua bagian dari

Page 444: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

443

pembuat Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) dan

berhubungan dengan pengontrolan aparat.305

Satjipto Rahardjo dalam perkembangan di dunia pendidikan tinggi

hukum mempunyai suatu sumbangsih akan kepenegakan hukum di

Indonesia ini sangat memprihatinkan, hal tersebut menimbulkan suatu

gagasan yang cukup bagus dalam kepenegakan hukum oleh aparat

penegak hukum melalui hukum progresifnya, menurutnya, “hukum tidak

mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum peraturan perUndang-

Undangan, tetapi hukum juga bergerak pada aras (landasan) non-

fornal”.306

Dari teori tersebut memposisikan hukum progresif pada suatu

tataran refleksi akan kepenegakan hukum di Indonesia yang sangat kental

dengan sebuah peraturan yang bersifat kaku serta belum bisa menjamin

akan suatu keadilan yang merupakan dasar dari tujuan hukum. Dalam

hukum progresif, mendahulukan kepentingan manusia lebih diutamakan

daripada menafsir serta mencermati hukum dari sudut “logika dan

peraturan”. “Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan

sistem hukum modern yang sarat dengan prosedur, sehingga sangat

berpotensi meminggirkan kebenaran dan keadilan”.307

305 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana,

USU Press, Medan, 2010, hlm. 6306 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta

Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 10-11307 Ibid, hlm. 12

Page 445: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

444

Selain dalam hukum progresif, dalam mengefektifkan kinerja dari

aparat penegak hukum dalam rangka menegakkan hukum, hukum

responsif juga merupakan suatu terobosan yang baik dan sangat relevan

jika diterapkan oleh aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum

terhadap masyarakat. Peraturan perUndang-Undangan sebagai acuan

dasar bagi penegak hukum tidak selamanya benar dan dapat

mengakomodir berbagai kepentingan yang ada dimasyarakat dalam

mencita-citakan rasa adil dari hukum itu sendiri. Selama ini masyarakat

merasa belum mendapatkan pelayanan dari rasa aman serta keadilan

sosial yang sangat didamba-dambakan Polisi selaku aparat penegak

hukum yang selalu berbaur dengan masyarakat.

Hal itu terjadi karena penyidik merasa terbatasi langkahnya

dengan suatu sistem yang formal serta sangat prosedural dari suatu

peraturan, kebijakan dan prosedur dari penguasa yang lebih

mengedepankan proses hukum serta kepastian hukum yang membabi

buta, akan tetapi proses hukum tersebut kerapkali ditumpangi dengan

suatu kepentingan dari penguasa serta ajang untuk balas dendam. Dari

permasalahan tersebut diketahui bahwa kebanyakan peraturan, kebijakan

dan prosedur dari penguasa kerapkali dibuat sebagai alat atau tunggangan

untuk mewujudkan kepentingan penguasa yang mengatasnamakan

Negara tanpa melihat kepentingan rakyat di dalamnya untuk

mendapatkan wujud keadilan sosial.

Sejumlah peraturan, kebijakan, dan prosedur memang dianggap

penting dan dapat digunakan, di samping itu peraturan-peraturan tersebut

Page 446: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

445

mungkin tetap dijunjung tinggi serta dihormati keberlakuannya di

masyarakat, namun hal tersebut hanya berjalan sampai pada tataran

penghayatan serta penafsiran beberapa peraturan yang berisikan suatu

ide-ide serta kaidah-kaidah tertentu yang bersifat kaku, akan tetapi tidak

mendefinisikan akan suatu tatanan hukum yang baik dalam memberikan

rasa adil dalam masyarakat sebagai pencari keadilan, dari hal tersebut

fungsi yang menjadi ciri dari hukum responsif Philippe Nonet dan Philip

Selznick adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam

peraturan dan kebijakan. “Ketika nilai-nilai ini diartikulasi, nilai-nilai

tersebut menawarkan kriteria-kriteria otoritatif untuk mengkritisi

peraturan-peraturan yang ada dan bersifat kaku tersebut”.308 Hal tersebut

berimbas penegakan hukum yang salah satu kewenengannya dimiliki

pada instansi Kepolisian, dari peraturan yang bersifat kaku tersebut

menjadikan mindset aparat penegak hukum juga menjadi hanya terpatok

pada peraturan yang menjadi suatu tertib hukum bagi masyarakat.

Fungsi dari peraturan tersebut bagi aparat penegak hukum

sangatlah mengekang dalam pelaksanaan kewenangan serta tugas yang

dimilikinya. Dari peraturan tersebut merupakan rangkuman dari suatu

tertib hukum yang bersifat dogmatis. Hal tersebut apabila sebuah

peraturan yang wajib dijalankan oleh aparat penegak hukum malah

menimbulkan suatu pertentangan dalam penggunaan diskresi penyidik,

karena dalam penggunaan diskresi penyidik tersebut kewenangannya

308 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung,

2011, hlm. 90

Page 447: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

446

tidak dapat dibatasi meskipun dengan penilaiannya sendiri, akan tetapi

penggunaannya harus didasari oleh rasa bertanggung jawab dan tidak

bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik demi tercapainya

tujuan hukum bagi masyarakat.

Dalam suatu tertib hukum yang terpusat pada peraturan (rule

centered legal order), pertimbangan sering beralih dari peraturan ke

tujuan, hal tersebut dirasa penting karena dapat mengurangi interpretasi

tekstual yang sewenang-wenang, untuk mengekang aparat supaya tidak

bertindak ultra viresi, melampaui batas-batas kewenangan yang

dimiliki.309

Kepolisian selaku aparat penegak hukum mempunyai pengaruh

yang sangat besar dalam menegakan hukum di masyarakat. Dalam hal

ini, hukum progresif dan reponsif merupakan suatu bentuk landasan,

doktrin dari para ahli hukum bagi aparat penegak hukum dalam

melakukan suatu tindakan diskresi penyidik sebagai pejabat publik dan

menentukan keefektifan serta pemberi rasa keadilan di masyarakat yang

berdasarkan atas suatu kearifan (wisdom) guna melaksanakan tugas

pemolisian sehari-hari disamping tugasnya dalam menanggulangi

kejahatan di masyarakat. Seperti dijelaskan di atas, gagasan hukum

progresif serta hukum responsive dari para ahli hukum tersebut muncul

dikarenakan kepercayaan masyarakat akan buruknya kinerja aparat

penegak hukum. Kaitannya dengan itu, posisi hukum progresif dan

hukum responsif bukan merupakan suatu peraturan yang wajib ditaati

309 Ibid, hlm. 91

Page 448: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

447

oleh aparat penegak hukum, akan tetapi sebuh doktrin atau sumbangsih

pemikiran dari para ahli hukum yang dapat menjadikan pedoman dalam

melaksanakan tugas dan kewenangan untuk memberikan rasa nyaman,

keadilan serta kemanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara.

Bagi Kepolisian selaku instansi dari Negara yang mempunyai

fungsi penegakan hukum, pelayanan, pengayoman serta pembimbingan

kepada masyarakat, sorotan dan kecaman masyarakat sudah termasuk

makanan sehari-hari bagi mereka. Itu disebabkan Polisi adalah birokrasi

penegak hukum yang berada langsung di tengah-tengah masyarakat,

ibarat bekerja ”tanpa sarung tangan” dan “tidak belakang loket”. Ia

adalah penegak hukum jalanan yang harus membereskan sekalian kotoran

dalam masyarakat.310

Dari tugas yang dilakukan polisi tersebut merupakan tugas yang

sangat berat diemban oleh polisi sebagai penjaga pintu gerbang dalam

proses gate keeper in the process di luar tugas aparat penegak hukum

lainnya, yang diantaranya adalah jaksa sebagai penuntut umum dan

hakim sebagai pengadil dari suatu perkara pidana. Dari tugas Kepolisian

tersebut banyak terjadi suatu keadaan yang menurut Undang-Undang

harus diproses, akan tetapi karena kekakuan Undang-Undang tersebut

malah menimbulkan efek dan dampak baru yang negatif apabila polisi

310 Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayumedia Publishing,

Malang, 2009, hlm. 96

Page 449: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

448

melaksanakan peraturan perUndang-Undang secara kaku tersebut di

tengah masyarakat.

Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, polisi selalu

bercengkrama dan kontak langsung dengan masyarakat sebagai obyek

dari tugas pemolisian, sesuai penjelasan di atas dinyatakan bahwa dimana

ada masyarakat di situ ada polisi yang bertugas untuk menjaga ketertiban

dan keamanan di trngah masyarakat dari segala bentuk kejahatan mulai

dari antisipasi atau pencegahan sampai kepada penindakan terhadap suatu

kejahatan. Dalam tugasnya sehari-hari tersebut polisi dirasa sangat

dibutuhkan masyarakat di segala aspek kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara akan tetapi kadang ditemukan suatu bentuk

penyimpangan dari seorang oknum polisi dari mulai penyuapan sampai

makelar kasus pidana yang terjadi. Dari hal tersebut, diskresi kadang

dianggap tidak melindungi kepentingan umum atau kepentingan

masyarakat, akan tetapi melindungi kepentingan orang-orang yang

berpenghasilan tinggi dalam melancarkan tujuannya untuk mendapatkan

kekebalan hukum yang dimana hal tersebut sangat tidak sepaham dengan

asas equality before the law, yang dimana mempunyai pengertian setiap

orang atau warga Negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan

hukum.

Asas equality before the law tersebut merupakan penerapan dari

Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV

secara eksplisit menyebutkan: setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan

Page 450: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

449

yang sama di hadapan hukum. Disamping dalam Pasal 28 D ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV, perlakuan yang sama di

depan hukum juga terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana yang dimana dijelaskan bahwa perlakuan yang sama atas diri

setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan

perlakuan. Dari penjelasan KUHAP tersebut tersirat sebuah asas yaitu

equality before the law (persamaan di depan hukum bagi semua manusia)

yang diwajibkan untuk didasarkan pada falsafah atau pandangan hidup

bangsa dan dasar Negara, di samping itu asas tersebut juga mengatur

perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia.

Penegasan dari Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-IV serta penjelasan

umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana tersebut tersirat bahwa setiap orang tidak

ada yang kebal terhadap hukum, maka dari itu perlu kesadaran serta

profesionalisme aparat penegak hukum (law enforcement) dalam

menegakkan hukum dengan moralitas serta integritas yang baik dan

bernurani, bukan semata-mata kendali dari masalah financial

menyebabkan keadilan tergadaikan dan tak ada artinya lagi di mata

masyarakat. Disamping itu asas equality before the law secara filosofis

merupakan perwujudan dari sosok Dewi Themis dalam mitologi Yunani

Kuno dalam peradaban Romawi sebagai dewi justitia (dewi keadilan)

yang tergambar dalam seorang sosok dewi dengan mata tertutup serta di

Page 451: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

450

tangan kanannya membawa pedang dan di tangan kiri membawa

timbangan, yang bermakna dalam menegakkan hukum tidak boleh

membeda-bedakan setiap orang dalam penegakannya.

Perlakuan yang sama di depan hukum tanpa adanya diskriminasi,

tidak saja tertera dalam penjelasan umum KUHAP, tetapi juga tercantum

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bagian

menimbang. Perlakuan yang sama ini tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai

diskriminasi tersangka berdasarkan status sosial atau kekayaan an sich,

tetapi juga berhubungan dengan diskriminasi berdasarkan ras, warna

kulit, seks, bahasa, agama, haluan politik, kebangsaan, kelahiran dan lain-

lain. Sebagai menifestasi dari asas equality before the law serta Dewi

Themis tersebut, seorang aparat kepolisian khususnya Penyidik dalam

fungsinya pada Sub Penyidikan Sistem Peradilan Pidana tidak boleh

membeda-bedakan setiap orang dalam menegakkan hukum yang berlaku

di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan tindakan diskresi

oleh penyidik terhadap semua orang yang berada dalam wilayah

yurisdiksi Negara Kesatuan Indonesia dengan memperhatikan aspek

kebaikan, kemaslahatan, keadilan di dalamnya serta memperhatikan jenis

delik serta kategori jenis pidana yang dilakukan, dengan demikian maka

tidak terdegradasi pula fungsi pemidanaan sebagai pencegahan terjadinya

suatu kejahatan dan pemberian nestapa bagi pelaku kejahatan dengan

memandang hak asasi manusianya.

Page 452: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

451

Menurut Marlina,311 diskresi dapat diaplikasikan dalam bentuk

yang positif, banyak alasan dan pertimbangan petugas merupakan salah

satu point diskresi yang dibutuhkan untuk mempertahankan

keseimbangan antara ketidakseragaman dan individualisasi dari

hukuman. Sedangkan belajar dalam aspek negatif, dari diskresi adalah

adanya keinginan untuk memikirkan aspek positif dan negatif ketika

melihat konsep dari kemurahan hati (mercy) yaitu perasaan kasihan atau

ketabahan dalam menentukan kebijakan.

Dari pandangan tersebut terhadap aspek positif dan negatif

merupakan suatu dampak yang timbul dalam melakukan suatu tindakan

diskresi dalam proses penegakan hukum, di satu sisi seorang aparat

penegak hukum menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum

bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara ketidakseragaman dan

individualisasi hukuman, karena hal tersebut dikarenakan suatu perkara

yang dilakukan sangat variatif dan harus dilakukan suatu penanganan

yang beda pula serta bersifat individualisasi dalam hukumannya. Akan

tetapi hal tersebut beda dan bisa menimbulkan suatu dampak negatif

apabila penanganannya serta dalam pelaksanaan diskresi tersebut hanya

terpaku pada aspek rasa belas kasih atau perasaan kasihan, hal tersebut

dapat menimbulkan kesenjangan sosial bagi sesama pelaku kejahatan

yang dimana dari aspek ketidakseragaman tersebut menyebabkan

kecemburuan dalam penanganan suatu perkara untuk dilakukannya

langkah diskresi oleh penyidik.

311 Marlina, 2010, Op. Cit, hlm. 6

Page 453: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

452

Niger Walker memberikan pendapat bahwa kemurahan hati

merupakan sesuatu yang berbeda pengertiannya dengan kelonggaran.

Niger beranggapan kelonggaran dalam penghukuman seperti alasan

retributif memberi kesan bahwa kesalahan pelaku tidaklah sebesar

keburukan akibat pelanggaran itu. Ketika pelaku dinyatakan bersalah

secara penuh tetap harus dipikirkan kemungkinan penderitaan baginya

lebih jauh disamping kesalahan yang diperbuatnya. Selanjutnya Niger

Walker mengemukakan pertimbangan untuk diskresi dalam aturan

Undang-Undang di Inggris telah dikemukakan dalam:

1. Permohonan ampun dan pengakuan atas kesalahan dan jangka waktu

pelaku dalam menyampaikan permohonan tersebut (plea of guilty

and the timeliness of the plea) (terdapat dalam powers of the criminal

courts (sentencing) Act 2000 (PCC (S) A s.152);

2. The totality principle (PCC (S) A 2000 s. 158(2)b) yaitu memastikan

bahwa hukuman yang diberikan tidak melebihi kesanggupan

terhukum dengan berbagai pengecualian melihat sebab khusus

lingkungan seperti kondisi fisik atau mental pelaku. PCC (S) A

2000s. 118) berisi pertimbangan lain yang tidak tertulis seperti

motivasi, godaan, kata hati, ketidaktahuan, ketidak cakapan,

tekanan/paksaan, rasa sesal, sifat yang baik sebelumnya atau jasa

yang diperbuat sebelumnya.312

Dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, menurut

Gustav Radbruch hukum dituntut untuk memenuhi tiga ranah

312 Ibid, hlm. 7

Page 454: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

453

keberlakuan yang disebut dengan triadism.313 Radbruch mengatakan

bahwa “The idea of law is defined through a triad of justice, utility and

certainty.314 Dari ketiga nilai dasar tersebut yang dimana telah dijelaskan

oleh Radbruch memiliki hubungan atau keterikatan satu sama lain. Dari

nilai-nilai yang di katakan Radbruch dimensi tujuan hukum terletak

kehendaknya menjadikan keadilan sebagai inti (core) dari tata hukum,

tujuan Radbruch dengan proposal keadilannya itu adalah untuk menjamin

agar tata hukum benar-benar berfungsi sebagai penjamin kehidupan dan

martabat manusia.315 Menurut Radbruch dijelaskan bahwa:

”....where statutory law is incompatible with the requirements of

justice "to an intolerable degree", or where statutory law was

obviously designed in a way that deliberately negates "the

equality that is the core of all justice", statutory law must be

disregarded by a judge in favour of the justice principle”.316

Berdasarkan pendapat Radbruch tersebut, dapat dikatakan bahwa

seorang penegak hukum dalam hal ini adalah polisi, jaksa dan hakim,

313 Suteki, Alternative Dispute Resolution (ADR) Dalam Sistem Peradilan Pidana

Khususnya Tindak Pidana Ringan (TIPIRING). Paper disampaikan di Polda Jawa Tengah,

Semarang, 1 Desember 2010, hlm. 7314 Ibid315 Bernard L.Tanya, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Genta

Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm. 65316 http://en.wikipedia.org/wiki/Gustav_Radbruch

Page 455: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

454

dapat mengabaikan hukum tertulis (statutory law/state law) apabila

hukum tertulis tersebut ternyata dalam praktiknya tidak memenuhi rasa

keadilan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan.317

Dari makna kata tersebut dapat diartikan bahwa apabila peraturan

perUndang-Undangan tidak sesuai dengan persyaratan keadilan "untuk

tingkatannya yang amat berat, atau dimana peraturan perUndang-

Undangan jelas dirancang dengan cara yang sengaja meniadakan

kesetaraan yang merupakan inti dari semua keadilan, peraturan

perUndang-Undangan harus dikesampingkan oleh penegak hukum guna

mendukung prinsip keadilan. Wajah buruk pranata hukum di Indonesia

sebagaimana yang terjadi pada saat ini mengindikasikan bahwa polisi

selaku aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas serta

wewenangnya untuk menegakkan hukum dan menyelesaikan suatu

perkara pidana lebih menitikberatkan pada aspek dogmatika atau

statutory law bahkan seringkali Polisi hanya bertugas untuk menjadi

penegak Undang-Undang yang berakibat pada penciptaan keadilan

formal belaka di dalam proses penegakan hukum, hal tersebut

menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada penegakan hukum

yang dilakukan oleh polisi di masyarakat sehingga menurunkan kualitas

penegakan hukum.

Maka dari itu, dalam penegakan hukum oleh Polisi di samping

aparat penegak hukum juga pejabat publik mempunyai kewenangan

dalam pelaksanaan diskresi dengan menyaring suatu perkara pidana yang

317 Suteki, 2010, Op. Cit, hlm. 7

Page 456: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

455

sifatnya ringan sebagai upaya meningkatkan kualitas dalam penegakan

hukum di dalam sistem peradilan pidana serta menciptakan kepercayaan

dari masyarakat kepada Kepolisian selaku institusi penegakan hukum.

Diskresi dapat dilakukan oleh pejabat publik dan dalam praktek apabila

berupa keputusan pemerintah lebih mengutamakan pencapaian tujuan

sasarannya (doelmatigheid) daripada legalitas hukum yang berlaku

(rechtsmatigheid).

Diskresi memiliki tiga syarat antara lain: 1. Demi kepentingan

umum, 2. Masih dalam lingkup kewenangannya, dan 3. Tidak melanggar

asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dengan demikian diskresi

muncul karena terdapat tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai

yang antara lain untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dan

menegakkan hukum yang berorientasi pada kebijakan kebijakan hukum

yang berkeadilan dan kemanfaatan hukum.318

Diskresi merupakan suatu bentuk asas yang baik dan dapat

mengakomodir kepentingan masyarakat atau kepentingan umum dalam

hal untuk mencari suatu bentuk rasa keadilan sosial dari seorang aparat

penegak hukum. Fenomena yang berkembang pada saat ini adalah

dirasakan telah melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap suatu

pranata hukum serta adanya justifikasi terhadap pranata hukum yang

tidak baik atau gagal dalam menjalankan tugasnya. Maka dari itu diskresi

ini merupakan suatu bentuk langkah kongkrit dalam pencerahan

318 Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty dalam

Penegakan Hukum, Referensi, Jakarta, 2012, hlm. 8

Page 457: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

456

penegakan hukum di Indonesia, karena dalam kaitan dengan tugas dan

kewajibannya selaku penyidik mempunyai kebebasan dalam menyaring

suatu perkara pidana berdasarkan penilaiannya sendiri untuk kepentingan

umum, akan tetapi kebebasan tersebut juga dilandaskan akan asas

pemerintahan yang baik serta bebas korupsi, kolosi dn nepotisme, tidak

bertentangan dengan Kode Etik Profesi Kepolisian yang tercantum dalam

Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011, serta mengedepankan aspek

keadilan sosial bagi masyarakat.

Pengungkapan fakta hukum dalam suatu tindak pidana merupakan

bagian dari proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat dianggap

mudah dan sederhana. Begitu pula dalam mewujudkan masyarakat

madani, tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, ketika

penegak hukum dihadapkan pada suatu tindak pidana yang tingkat

pembuktiannya sangat sulit dan kompleks, tidak mustahil produk putusan

pengadilan yang dihasilkan pun dapat berakibat keliru atau tidak tepat.

Apabila hal tersebut terjadi, maka akan membawa dampak terhadap

proses penegakan hukum yang dapat mencederai rasa keadilan bagi pihak

yang terkait atau masyarakat tertentu. Akibatnya muncul gelombang

perasaan ketidakpuasan masyarakat yang berpuncak pada reformasi

hukum. Sejalan dengan asas yang dianut dalam hukum acara pidana,

yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum asas ini

lebih dikenal dengan istilah isonamia atau equality before the law. Secara

universal prinsip atau asas tersebut diakui sebagai perwujudan dari suatu

negara hukum (rechstaat), dan Indonesia sebagai negara hukum

Page 458: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

457

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar

1945, pengakuan prinsip tersebut menggambarkan bahwa Indonesia

menjunjung tinggi akan hak-hak asasi manusia.

Dalam situasi hukum perUndang-Undangan yang elitis demikian,

maka apabila penerapan hukum perUndang-Undangan dilakukan dengan

menggunakan konsep hukum sebagaimana yang dipahami dalam tradisi

berpikir legal-positivism yang memandang hukum hanya sebatas pada

lingkaran peraturan perUndang-Undangan dan yang melakukan

pemaknaan perUndang-Undangan secara formal-tekstual; dengan

mengabaikan nilai-nilai sosial dalam masyarakat, maka yang akan terjadi

adalah hukum yang mengabdi kepada kepentingan elit, bukan kepada

kepentingan masyarakat luas, sehingga tujuan hukum untuk mewujudkan

keadilan akan semakin jauh dari apa yang diharapkan. Apabila negara

hukum (rechstaat) itu sudah dibaca oleh pelaku dan penegak hukum

sebagai negara Undang-Undang dan negara prosedur, maka negeri ini

sedang mengalami kemerosotan serius.319 Untuk itu, penerapan hukum

memerlukan adanya konsep hukum lain, yang lebih memungkinkan

pencapaian tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan

rakyat Indonesia.

Konsep hukum progresif, yang memaknai hukum untuk manusia

dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, merupakan

319 Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif “Terapi Paradikmatik

Bagi Lemahnya Hukum di Indonesia, Antonylib, Yogyakarta, 2009, hlm. vi

Page 459: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

458

alternatif yang dapat dipergunakan dalam penerapan hukum, yang lebih

memungkinkan untuk mewujudkan tujuan hukum yang di cita-citakan

Pemahaman terhadap konsep hukum progresif tidak terlepas dari

kondisi pemikiran hukum yang melatarbelakangi lahirnya hukum

progresif. Pemahaman hukum menurut hukum progresif menegaskan

bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan

manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia

bahagia.320 Dalam konsep hukum progresif, posisi manusia menjadi

sentral utama dalam menilai hukum apakah baik atau buruk, benar atau

sebaliknya.

Kebutuhan masyarakat terhadap peran hukum dalam memberikan

kemanfaatan, kepastian hukum dan keadilan semakin jauh dari

kenyataan, mengingat banyaknya persoalan hukum yang tidak

terselesaikan dengan baik. Banyaknya kasus korupsi yang terkuak di

khalayak ramai namun tidak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan

menjadi pemicu utama lahirnya pemikiran hukum yang progresif.

Kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin pudar sehingga

hukum tidak lagi dianggap sebagai panglima dalam setiap persoalan yang

menimpa bangsa ini. Sungguh sangat ironis bagi negara yang

mendasarkan dirinya pada hukum tetapi tidak dapat menegakkan hukum

karena kepercayaan dari masyarakat tidak ada.

320 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta

Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 2

Page 460: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

459

Seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat

yang terus berubah, pada kenyataannya paradigma tersebut memunculkan

sebuah stagnasi di abad 20 saat tidak mampu memberikan solusi dalam

zaman postmodernisme.321 Implikasinya ketika manusia dalam setiap

proses perkembangannya selalu berubah sesuai dengan kebutuhan

kehidupannya maka hukum pun harus mengikuti perubahan tersebut

(hukum harus responsif). Hal inilah yang menjadi perbedaan mendasar

antara hukum progresif dengan hukum positivis yang selama ini

diterapkan di Indonesia. Jika selama ini hukum selalu tertinggal jauh

terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat, maka hukum progresif

lebih membuka diri dan respon terhadap perubahan dan tidak terikat pada

hukum tertulis. Dalam hal ini hukum harus diletakkan dalam keseluruhan

persoalan kemanusiaan.322 Dengan demikian peran hukum lebih

menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap keadilan dan

kesejahteraan. Artinya keberadaan hukum sudah seharusnya

mencerminkan standar baku dari apa yang baik dan tidak baik, adil dan

yang tidak adil. Perihal tersebut dalam konteks ke Indonesiaan tidak

boleh terlepas dari jati diri bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Nilai-

nilai Pancasila merupakan nilai bangsa yang diterima semua lapisan

masyarakat, semua generasi bahkan semua budaya sehingga sangat layak

321 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan

Manusia & Hukum, Buku Kompas, Jakarta, 2008, hlm. 137322 A.M. Mujahidin, “Hukum Progresif: Jalan Keluar dari Keterpurukan Hukum di

Indonesia”, Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 257, April, 2007, hlm. 52

Page 461: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

460

dijadikan standar utama dalam kehidupan hukum berbangsa dan

bernegara.

Mengingat ketentuan hukum yang selalu tertinggal dengan

kebutuhan dan perkembangan masyarakat maka menjadi kaharusan bagi

hakim untuk melakukan kajian hukum secara komprehensif yang disebut

penafsiran hukum. Konsepsi hakim dalam melakukan penafsiran hukum

dapat dibagi menjadi 2 (dua) teori yaitu teori penemuan hukum yang

heteronom dan teori penemuan hukum yang otonom.323 Teori penemuan

hukum heteronom menempatkan hakim sebagai corong Undang-Undang

(la bouche de la loi) sedangkan teori penemuan hukum otonom

menempatkan hakim pada satu kebebasan untuk memahami dan

mengaitkan hukum sesuai perkembangan masyarakat. Perbedaan yang

mendasar dari kedua teori tersebut terletak pada sejauh mana hakim

terikat pada ketentuan hukum tertulis.

Dalam bahasa yang hampir sama Van Apeldoorn menjelaskan

bahwa hakekat dari kegiatan penafsiran itu sebagai suatu usaha mencari

kehendak pembuat Undang-Undang yang pernyataannya kurang jelas.

Fungsi dari penafsiran hukum pada dasarnya ada 4 (empat) yaitu sebagai

berikut:324

1. Untuk memahami makna asas atau kaidah hukum,

323 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,

Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.19324 Bagir Manan, “Beberapa Catatan tentang Penafsiran”Varia Peradilan, Tahun

XXIV, No. 285 Agustus, 2009, hlm. 5

Page 462: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

461

2. Menghubungkan suatu fakta hukum dengan kaidah hukum,

3. Menjamin penerapan atau penegakan hukum yang dapat dilakukan

secara tepat, benar dan adil

4. Mempertemukan antara kaidah hukum dengan perubahan-perubahan

sosial agar kaidah hukum tetap aktual mampu memenuhi kebutuhan

sesuai dengan perubahan masyarakat.325

Penggunaan penafsiran sebagai pengaruh perkembangan

masyarakat pada dasarnya membuka peluang bagi hakim untuk

melakukan penemuan hukum secara progresif. Hakim tidak hanya

menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tetapi juga mengikuti

perkembangan penghayatan nilai-nilai tersebut di masyarakat. Di sinilah

titik temu antara penemuan hukum dengan hukum progresif yang

memberikan kemudahan serta kemungkinan bagi hakim untuk

menghasilkan berbagai terobosan baru dalam memutus perkara.

Pandangan tersebut juga ditegaskan oleh Harifin A. Tumpa dengan

mengatakan hukum itu sangat luas dan kompleks, karena mengikuti

seluruh segi kehidupan manusia dalam masyarakat. Hukum itu tidak

pernah berhenti berkembang sejalan berkembangnya kehidupan

bermasyarakat. Oleh karena itu, seorang hakim tidak boleh ketinggalan

dan selalu harus mengikuti perkembangan hukum itu …. dst, tetapi hakim

325 Ibid

Page 463: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

462

harus mampu menggali nilai-nilai hukum yang hidup di tengah-tengah

masyarakat tersebut.326

Dalam hal inilah hakim menjalankan perannya sebagai lembaga

yudisial dengan melakukan penafsiran hukum terhadap aturan yang ada

untuk menghasilkan aturan hukum sebagai dasar untuk mengadili.

Dengan adanya kebebasan untuk melakukan penafsiran, maka hakim

dapat juga melakukan penemuan hukum di dalam setiap penafsirannya.

Dari kata “penemuan hukum” secara implisit menunjukkan adanya

hukum yang telah berlaku dalam masyarakat, tetapi belum diketahui

secara jelas sehingga dibutuhkan usaha untuk mendapatkannya.

Dalam tradisi pemikiran legal-positivism, yang banyak dianut oleh

negara demokrasi sekarang ini, hukum dikonsepsikan sebagai produk

legislasi. Hukum adalah peraturan perUndang-Undangan yang dihasilkan

melalui proses legislasi nasional. Hukum berlaku, semata-mata karena

telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perUndang-Undangan, tanpa

melihat apakah isinya memuat nilai-nilai keadilan atau tidak. Dalam

sistem ini, pelaku hukum (hakim dan birokrasi), sebagaimana doktrin

dalam analytical jurisprudence, hanya bertugas sebagai terompet atau

corong Undang-Undang.

Penggunaan pemikiran legal-positivism, dalam situasi hukum

perUndang-Undangan yang elitis, akan menyebabkan kesenjangan

(ketidakadilan ekonomi) dan kemiskinan semakin meluas, sebab

326 Harifin A. Tumpa,” Apa yang Diharapkan Masyarakat dari Seorang Hakim”, Varia

Peradilan, Tahun XXV, No. 298, September, 2010, hlm. 6

Page 464: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

463

kemacetan demokrasi yang terjadi dibawah tekanan neoliberalisme, akan

menyebabkan hukum yang dihasilkan dari proses legislasi akan

cenderung berpihak pada kepentingan elit dan mengabaikan keadilan dan

kesejahteraan rakyat banyak.

Menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya bertugas melayani

manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya

untuk mengabdi pada masyarakat. Inilah hukum progresif, yang

menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat.

Hukum progresif ini, ditawarkan untuk mengatasi krisis di era global

sekarang ini. Dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama

untuk melakukan perbaikan. Para pelaku hukum, harus memiliki empati

dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini.

Kepentingan rakyat harus menjadi orientasi utama dan tujuan akhir

penyelenggaraan hukum. Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak

mengabdi pada dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di

luar dirinya. Ini berbeda dengan tradisi analytical jurisprudence yang

cenderung menepis dunia luar dirinya; seperti manusia, masyarakat dan

kesejahteraannya.327

Dalam pandangan hukum progresif, pelaku hukum harus memiliki

kepekaan pada persoalan-persoalan krusial dalam hal hubungan manusia,

termasuk keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang

327 Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakter Hukum Progresif”, Makalah Seminar

Nasional I Hukum Progresif, Kerjasama Fakultas Hukum Undip, Program Doktor Ilmu Hukum

Undip dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Semarang, Desember, 2007

Page 465: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

464

menindas; baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks

ini, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris

(membebaskan). Hukum progresif yang menghendaki pembebasan dari

tradisi keterbelengguan, memiliki kemiripan dengan pemikiran Roscoe

Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).

Usaha social engineering, dianggap sebagai kewajiban untuk menemukan

cara-cara yang paling baik untuk memajukan atau mengarahkan

masyarakat.328

Bukti monumental tentang penggunaan hukum sebagai alat

perubahan sosial, terjadi di Amerika Serikat pada 1954. Keputusan

Mahkamah Agung Amerika untuk mengubah perilaku orang kulit putih

Amerika, yang sebelumnya menaruh sikap prasangka pada orang-orang

Negro. Untuk menghilangkan sikap tersebut, Mahkamah Agung melalui

putusannya, bahwa pemisahan ras di sekolah-sekolah negeri,

bertentangan dengan konstitusi Amerika.329

Edwin M. Schur, melihat putusan tersebut sebagai upaya

pengangkatan suatu moralitas ke dalam bentuk perUndang-Undangan

Amerika. Hukum progresif lebih mengutamakan tujuan dan konteks dari

pada teks aturan, maka diskresi mempunyai tempat yang penting dalam

penyelenggaraan hukum. Dalam konteks diskresi, para penyelenggara

hukum dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus

328 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: suatu Tinjauan Teoritis Serta

Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 16329 244 Jurnal Hukum No. 2 VOL. 17 APRIL 2010: 233 – 248

Page 466: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

465

bertindak. Otoritas yang ada pada mereka berdasarkan aturan-aturan

resmi, dipakai sebagai dasar untuk menempuh cara yang bijaksana dalam

menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral dari

pada ketentuan-ketentuan formal selain itu diskresi merupakan faktor

wewenang hukum yang dijalankan secara bertanggungjawab dengan

mengutamakan pertimbangan moral dari pada peraturan abstrak. Diskresi

dilakukan karena dirasakan sarana hukum kurang efektif dan terbatas

sifatnya dalam mencapai tujuan hukum dan sosial.330

Oleh karena itu kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan

kreatif, sangat diperlukan untuk memandu pemaknaan yang kreatif

terhadap aturan-aturan yang demikian itu. Penerapan hukum progresif,

yang pada dasarnya terarah kepada para pelaku hukum ini, diharapkan

akan dapat mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh proses legislasi,

yang cenderung elitis, untuk mengarah pada kepentingan keadilan dan

kesejahteraan rakyat banyak. Pintu masuk bagi penerapan hukum

progresif dalam praktik pengadilan di Indoensia, secara formal telah

diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa

kekuasaan kehakiman bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam rangka itu, hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai hukum

dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.331 Ini berarti bahwa hakim

tidak sekedar bertugas menerapkan peraturan dengan apa adanya, tetapi

330 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm.

79331 Pasal 28 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Page 467: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

466

bagaimana penerapan itu dapat mewujudkan keadilan. Di sini kreativitas

hakim menjadi sangat menentukan.

Dalam pelaksanaan kontrak, menunjukkan bahwa pengadilan di

Indonesia pada awalnya sangat mengedepankan asas pacta sunt servanda

dari pada asas iktikad baik. Mengedepankan asas pacta sunt servanda,

berarti mengedepankan isi perjanjian sesuai dengan apa yang secara

formal sudah disepakati oleh para pihak secara sah, dan itulah yang oleh

pengadilan diberlakukan sebagai Undang-Undang bagi para pihak. Ini

merupakan gambaran dari cara berpikir yang legal-positivism, yang

hanya memaknai aturan (dalam hal ini perjanjian) secara formal tekstual,

yang mengabaikan keadilan. Namun belakangan, sikap pengadilan

Indonesia ternyata bergeser ke arah yang lebih mengedepankan iktikad

baik.

Mengedepankan iktikad baik, berarti pengadilan tidak lagi

terbelenggu untuk mengikuti teks perjanjian, melainkan lebih melihat

pada nilai-nilai kepatutan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini

merupakan gambaran bahwa dalam memutus sengketa pelaksanaan

kontrak, pengadilan Indonesia, telah bergeser menjadi progresif.

Dengan demikian tradisi berpikir yang progresif ini perlu terus

didorong, agar benar-benar menjadi budaya hukum di kalangan para

penegak hukum terutama para hakim. Apabila para hakim, sudah tidak

lagi terbelenggu dengan tradisi berpikir legal-positivism, maka tujuan

hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, akan

Page 468: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

467

menjadi lebih memungkinkan, sekalipun hukum perUndang-Undangan

yang dihasilkan dalam proses legislasi cenderung elitis.

Hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya. Bila rakyat adalah

untuk hukum, apapun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis

karena yang dibaca adalah kata-kata Undang-Undang. Seorang hakim

bukan hanya teknisi Undang-Undang tetapi juga makhluk sosial.

Pekerjaan hakim sungguh mulia, karena ia bukan hanya memeras otak

tapi juga nuraninya. Sehingga eksistensi hukum progresif bertolak dari

dua komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan prilaku (rules and

behavior). Hukum ditempatkan sebagai aspek prilaku namun juga

sekaligus sebagai peraturan. Peraturan akan membangun suatu sistem

hukum positif, sedangkan prilaku atau manusia akan menggerakkan

peraturan dan sistem yang telah (akan) terbangun.332

Hukum progresif sebagaimana telah diungkap di atas,

menghendaki kembalinya pemikiran hukum pada falsafah dasarnya yaitu

hukum untuk manusia. Manusia menjadi penentu dan titik orientasi dari

keberadaan hukum. Karena itu, hukum tidak boleh menjadi institusi yang

lepas dari kepentingan pengabdian untuk mensejahterakan manusia. Para

pelaku hukum dituntut untuk mengedepankan kejujuran dan ketulusan

dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepudian

pada penderitaan yang dialami oleh rakyat dan bangsanya. Kepentingan

rakyat baik kesejahteran dan kebahagiannya harus menjadi titik orientasi

332 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,

2006, hlm. 265

Page 469: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

468

dan tujuan akhir dari penyelenggaraan hukum. Dalam konteks ini, term

hukum progresif nyata menganut ideologi hukum yang pro keadilan dan

hukum yang pro rakyat.333

Paradigma hukum progresif Satjitpto Rahardjo menginginkan

adanya pertalian hukum dengan manusia. Hukum merupakan bagian

integral yang tidak mungkin dilepaskan dari manusia. Hukum harus

berorientasi pada manusia dan tidak sebatas tunduk pada norma-norma

hukum. Kredo yang biasa diucapkan Satjipto ialah “Kita tidak boleh

menjadi tawanan Undang-Undang” dan “Hukum itu untuk manusia dan

tidak sebaliknya”. Supremasi hukum tidak sama dengan supremasi

Undang-Undang yang sekedar memencet tombol, tetapi yang harus

terbangun dalam pikiran kita ialah keunggulan dari keadilan dan

kejujuran.334

Konteks paradigma pemikiran Satjipto Rahardjo di atas jelas

berseberangan dengan paradigma positivisme hukum yang berpandangan

bahwa, pertama, hukum hanyalah perintah penguasa dan atau dibuat oleh

instansi berwenang. Kedua, tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan

moral dan etika. Ketiga, analisa tentang konsepsi-konsepsi hukum

dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologi. Keempat, sistem

hukum haruslah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang

333 Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 212334 Satjipto Rahardjo, Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas,

Jakarta, 2003, hlm. 119-120

Page 470: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

469

diperoleh atas dasar logika, tanpa mempertimbangkan aspek sosial,

politik, moral maupun etik. Kelima, hukum harus dipandang semata-mata

dalam bentuk formalnya, dengan demikian harus dipisahkan dengan

bentuk-bentuk materialnya. Keenam, isi hukum atau materi hukum diakui

ada, tetapi bukan menjadi bahan ilmu hukum karena hal tersebut dapat

merusak kebenaran ilmiah hukum.335

Paradigma positivisme hukum di atas jelas terlihat bahwa hukum

tidak berbasis pada dunia empiris dan sosiologis, tetapi lebih pada norma-

norma formal yang berlaku dan telah dipositivisasi oleh pemangku

kebijakan. Bahkan, cukup tegas dalam pandangan tersebut bahwa hukum

bukanlah sesuatu yang empiris sebagaimana para ilmuan sosial gunakan

dalam mengkaji kebenaran hukum (order of fact), tetapi kebenaran

hukum bagi kaum positivis ialah kebenaran yang logis dalam nalar

hukum (order of logic). Paradigma positivisme hukum berakar dari aliran

rasionalisme dan logika modern yang memandang bahwa kebenaran itu

ada dua, pertama, kebenaran eternal (abadi)/kebenaran logis. Kedua,

kebenaran fakta yang ditentukan oleh self evident, tetapi kebenaranya

ditentukan oleh proposisi yang satu dengan proposisi yang lain.336 Aliran

rasionalisme berbeda secara ekstrim dengan aliran empirisme. Aliran

335 Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Sistem, Remaja Rosdakarya,

Bandung, 2003, hlm. 81336 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan

Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, 2005, hlm. 49-51

Page 471: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

470

kritisisme dan intuisisme berupaya mendamaikan aliran rasionalisme dan

empirisme.337

Idealita hukum sebagaimana Satjipto katakan bahwa seorang

hakim yang semestinya juga sosiolog dan keluar dari gedung pengadilan

demi mendengar suara hiruk pikuk masyarakat, tidak terpenjara teks-teks

hukum, penegakan hukum yang bukan suatu tindakan yang pasti, hukum

adalah pantulan masyarakatnya, hukum untuk rakyat bukan untuk hukum

sendiri, hukum untuk manusia dan tidak sebaliknya dan beberapa lainnya

merupakan nalar hukum empiris dan faktual. Bagi kaum positivis

pemikiran Satjipto Rahardjo jelas bukan pemikiran hukum yang bisa

diterapkan dalam sistem hukum tapi pemikiran hukum yang sekedar

memberi masukan secara sosiologis dan antropologis saja. Kebenaran

teorinya bukan kebenaran teori hukum tapi kebenaran teori sosial.

Mudzakkir mengatakan setiap ilmu mempunyai tiga ciri pokoknya

masing-masing, yaitu ciri ontologis yang menjelaskan satu obyek ilmu,

epistimologis yang menjelaskan metodologi dan metode pengkajian satu

ilmu dan aksiologisnya yang menjelaskan tujuan satu ilmu. Dari pokok

ciri-ciri ilmu tersebut maka setiap obyek ilmu akan menghasilkan

kesimpulannya yang berbeda-beda tergantung obyek ilmu yang diteliti.

Maka kajian terhadap permasalahan hukum bisa diterapkan dengan dua

pendekatan yaitu memakai yuridis (teori hukum) dan pendekatan non

yuridis (teori non hukum). Pendekatan yuridis akan menghasilkan

337 Ibid, hlm. 49

Page 472: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

471

pemikiran yang yuridis, sedangkan pendekatan ilmu non yuridis akan

menghasilkan kesimpulan non yuridis pula.338

Mudzakkir juga menambahkan, ilmu hukum merupakan bagian

dari ilmu yang non empirik yang mempunyai ciri-ciri, pertama, order of

logic. Kedua, landasan kebenarannya teori koherensi yang berarti adanya

kesesuaian dan saling topang antara satu idea dengan idea yang lain.

Ketiga, kebenarannya ditentukan secara internal. Keempat, tujuannya

memahami obyek sedalam-dalamnya. Kelima, memakai nalar deduksi

(induksi) atas dasar aksioma, nilai/asas, atau kebenaran yang abstrak

untuk memberi penilaian kepada obyek tertentu yang kongkrit dan

empirik. Keenam, memakai metode interpretasi, konstruksi dan

sistematisasi. Ketujuh, melakukan preskripsi. Kedelapan, demi

kepentingan pengambilan keputusan (problem solving). Kesembilan,

tidak bebas nilai karena berdasarkan aksioma.339

Pandangan Mudzakkir menolak anasir-anasir pemikiran sosial

yang basis kebenarannya memakai standar korespondensi, yaitu adanya

kemiripan antara idelita dengan realita, antara gagasan dengan fakta-fakta

sosial yang empirik. Letak problematik pemikiran hukum progresif

Satjipto Rahardjo kalau mengacu pada pemikiran Mudzakkir karena

Satjipto terlampau menggunakan ukuran fakta-fakta sosial sebagai basis

pengukuran kebenaran. Hukum dalam pikiran Satjipto Rahardjo

sangatlah empiris dan hidup dalam masyarakat (living law). Padahal

338 Makalah kuliah Magister Hukum UII pada 8 Januari 2011339 Makalah kuliah Magister Hukum UII pada 22 April 2011

Page 473: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

472

hukum sebagaimana Mudzakkir katakan merupakan bangunan yang

sistemik dan berbentuk piramida, mulai dari nilai-nilai, asas-asas hukum,

peraturan hukum formal dan kemudian masyarakat hukum Indonesia.340

Kritik serupa juga diungkap oleh Hans Kalsen. Menurutnya, tata

hukum merupakan satu sistem norma. Landasan validitas dari suatu

norma seperti uji kebenaran dari pernyataan tentang “kenyataan”,

konfirmasinya bukanlah dengan realita. Dasar validitas dari sebuah

norma ialah selalu berupa norma, bukan pada fakta. Pencarian landasan

validitas dari norma menuntun kita bukan kepada realita melainkan

kepada norma lain yang menjadi sumber lahir norma tersebut yaitu norma

yang lebih tinggi yang disebut sebagai norma dasar. Semua norma yang

validitasnya dapat ditelusuri kepada satu norma dasar yang sama

membentuk suatu sistem norma atau suatu tata normatif. Bahwa suatu

norma termasuk ke dalam sistem norma tertentu, ke dalam suatu tata

normatif tertentu dapat diuji hanya dengan mengkonfirmasikan bahwa

norma dasar tersebut mendapatkan validitasnya dari norma dasar.341

Menurut Kalsen, validitas suatu norma hukum tidak dapat

dipertanyakan atas dasar bahwa bahwa isi-isinya tidak sesuai dengan

suatu nilai moral atau politik. Suatu norma ialah norma hukum yang valid

atas dasar fakta bahwa norma tersebut telah dibuat menurut suatu aturan

340 Ibid341 Hans Kalsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai

Ilmu Empirik-Deskriptif, Tanpa Tempat: Rimdi Press, 1995, hlm. 112-113

Page 474: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

473

tertentu dan hanya atas dasar peraturan itu saja.342 Terdapat perbedaan

antara pernyataan ilmu hukum normatif dengan ilmu hukum sosiologis.

Ilmu hukum normatif menjelaskan tentang keharusan dan menegaskan

validitas suatu norma yang wajib ditaati dan diterapkan. Sedangkan ilmu

hukum sosiologis sekedar mendeskripsikan hukum yaitu pernyataan

tentang kenyataan dan berbeda makna keharusan.343 Kalsen juga

menegaskan bahwa hukum merupakan kesatuan sistem344 yang

diciptakan oleh satu negara dan merupakan personifikasi dari tata hukum

nasionalnya.345

Sesuai kerangka pemikiran Hans Kalsen, kita juga akan mengenal

di dunia akademik tentang sumber-sumber, asas-asas hukum dan

hierarkhi perUndang-Undangan. Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum

disebutkan bahwa sumber hukum formil ialah sumber hukum dengan

bentuk tertentu yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formal.

Sumber hukum formal merupakan dasar kekuatan mengikatnya

peraturan-peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh para

penegak hukum. Hukum formal merupakan causa efficent daripada

hukum yang meliputi, pertama, Undang-Undang. Kedua, kebiasaan.

Ketiga, Yurisprudensi. Keempat, traktat (perjanjian antar negara).

342 Ibid, hlm. 115343 Ibid, hlm. 173-174344 Ibid, hlm. 1345 Ibid, hlm. 183-184

Page 475: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

474

Kelima, perjanjian. Keenam, Doktrin. Dari sumber hukum formal tersebut

akan berlaku asas-asas hukum, yaitu:346

1. “Lex Superiory Derogat Legi Imferiory” yang berarti Undang-Undang

yang dibuat oleh penguasa yang tinggi mempunya derajat yang lebih

tinggi, sehingga apabila ada dua Undang-Undang yang tidak

sederajat bertentangan maka hakim harus menerapkan Undang-

Undang yang lebih tinggi dan menyatakan bahwa Undang-Undang

yang lebih rendah tidak mengikat.

2. “Lex Specialis Derogat Legi Generali” yang berarti bahwa Undang-

Undang yang khusus mengesampingkan Undang-Undang yang

bersifat umum. Jika ada dua macam ketentuan dari peraturan

perUndang-Undangan yang setingkat dan berlaku bersamaan serta

saling bertentangan, hakim harus menerapkan yang khusus dan

mengesampingkan yang umum.

3. “Lex Pasterior Derogat Legi Priori” yang berarti bahwa Undang-

Undang yang berlaku kemudian membatalkan Undang-Undang yang

terdahulu, sejauh Undang-Undang itu mengatur obyek yang sama.

4. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat. Undang-Undang tidak

berlaku apabila, pertama, jangka waktu berlakunya Undang-Undang

telah habis. Kedua, obyek yang diatur oleh Undang-Undang telah

tidak ada. Ketiga, Undang-undnag itu telah dicabut oleh

pembentuknya atau oleh instansi yang lebih tinggi. Keempat, telah

346 J. B. Daliyo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum : Buku Panduang Mahasiswa, Gramedia

Pustaka Utma, Jakarta, 1996, hlm. 53-56

Page 476: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

475

dikeluarkan Undang-Undang yang baru yang isinya bertentangan

dengan isi Undang-Undang terdahulu.

Untuk mempertegas landasan hukum hierarkis dan sistemik di

atas, pada Pasal 7 (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan PerUndang-Undangan juga dinyatakan tentang hirarkhi dan

materi Peraturan PerUndang-Undangan yang meliputi, pertama, UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat. Ketiga, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang. Keempat, Peraturan Pemerintah. Kelima,

Peraturan Presiden. Keenam, Peraturan Daerah Provinsi. Ketuju,

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam kajian ilmu perUndang-Undangan keberadaan hierarkhi

perundangan-undangan tersebut menjadi norma-norma yang harus

dipatuhi dan saling mengalahkan antara satu dengan lainnya. Norma-

norma tersebut menjadi ukuran atau pedoman bagi seseorang dalam

bertindak dalam kehidupan masyarakat. Norma-norma tertulis itu harus

dipatuhi.347

Keberadaan hierarkhi merupakan basis teoritik yang mendasar

dari penganut positivisme dan mazhab hukum murni karena hukum

merupakan satu sistem yang logis dan tidak emprikal. Untuk menjaga

kesatuan hukum yang berlaku di masyarakat maka positivisasi hieraki

347 Budiman N.P.D Sinaga, Ilmu Pengetahuan PerUndang-Undangan, UII Press,

Yogyakarta, 2004, hlm. 7-8

Page 477: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

476

dan sentralisme hukum (legal centralism) merupakan satu keharusan.

Maka, ukuran kebenaran suatu hukum dalam konteks ini bukan lagi

sejauhmana mana hukum sesuai dengan kepentingan sosial empiric,

tetapi sejauhmana hukum tersebut bersesuaian dengan norma-norma di

atasnya. Hukum yang hidup di masyarakat (living law) dalam konteks

hukum yang hierarkis, sistemis dan sentralistik mengalami kematiannya,

terutama bagi hukum adat dan masyarakat adat.

Rikardo Simarmata mengungkapkan bahwa dampak dari ambisi

penyatuan hukum dan pengakuan yang tidak jelas terhadap masyarakat

adat menjadi kondisi yang mendorong terhadap penggusuran hak-hak

masyarakat adat. Praktek di lapangan yang ditonjolkan ialah pembatasan

bukan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Dampak yang paling tragis

ialah cepatnya segelintir pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan

Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) menguasai dan

memanfaatkan kawasan-kawasan hutan. Sementara kawasan-kawasan

deposit tambang diserahkan kepada pemegang kuasa pertambangan dan

kontrak karya. Proses penggusuran terhadap hak-hak masyarakat adat

dibantu oleh satu ketentuan yang mengatakan bahwa penguasaan

masyarakat hukum adat atas kawasan hutan (hak ulayat) dapat dibekukan.

Ketentuan lain menyebutkan bahwa setiap orang menyerahkan tanahnya

bila ada kandungan bahan tambang di dalamnya.348

348 Ricardo Simartana, Pluralisme Hukum, Mengapa Perlu? dalam Donny Donardono

(Ed), Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, HuMa, Jakarta, 2007, hlm. 72-73

Page 478: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

477

Ricardo menambahkan, jika masyarakat adat menolaknya maka

yang biasa yang terjadi pada mereka ialah penyiksaan (torture),

pemerkosaan (rape), pembunuhan tanpa proses pengadilan (extra judicial

killing), militerisasi dan perampasan tanah (extensive land alienation),

bahkan diantara mereka harus diusir dan menjadi pengungsi di negaranya

sendiri. Dalam suasana masyarakat adat yang dizalimi tersebut, mereka

kemudian dibuatkan program oleh Departemen Sosial berupa Program

pemukiman kembali (resettlement) yang kemudian dikenal dengan

program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing

(PKSMT). Lewat program ini masyarakat adat dianggap terasing dan

berdiam di berbagai kawasan hutan yang merupakan tempat-tempat

baru.349

Marginalisasi lainnya terkait ketentuan mengenai KTP, SIM dan

Paspor yang ketiga telah diatur oleh hukum pemerintah yang terpusat.

Kantor-kantor swasta dan pemerintah sama sekali menutup terhadap

tanda pengenal diri selain ketiganya. Hal tersebut juga berlaku untuk

dokumen-dokumen pengangkutan hasil hutan. Masyarakat adat sudah

biasa disita kayunya serta ditangkap pengangkutnya dan pemilik kayunya

oleh Polisi Kehutanan/Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau

Polisi karena tidak memiliki identitas dan dokumen formal.350 Demikian

juga hukum perkawinan adat yang sudah tidak diakui oleh Kantor Urusan

Agama dan Kantor Catatan Sipil, matinya peradilan adat dan beberapa

349 Ibid350 Ibid

Page 479: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

478

kasus hukum masyarakat lainnya yang tertutup atas hegemoni hukum

nasional yang menyengsarakan rakyatnya.

Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan hukum negara yang

tertulis di kitab-kitab dan dokumen-dokumen yang dulu disebut sebagai

hukum kolonial dan yang kini disebut hukum nasional, itu tidak

selamanya mencerminkan hukum rakyat yang hidup dan dianut oleh

rakyat setempat dalam kehidupan sehari-harinya. Tidak dipahaminya

hukum negara oleh rakyat yang berbagai-bagai itu terkadang bukan pula

disebabkan oleh ketidaksadarannya melainkan juga sering karena

ketidaksediannya. Kenyataan ini mencerminkan terjadinya cultural gaps

bahkan juga cultural conflict. Isi kaidah yang terkandung dalam hukum

negara dan yang terkandung dalam hukum yang dianut rakyat tidak hanya

bersesuaian satu sama lain melainkan juga acap bertentangan.351

Soetando menambahkan, sesungguhnya insitusi negara nasional

berikut hukum nasionalnya itu merupakan invensi dan sekaligus bagian

dari pengalaman sejarah bangsa-bangsa Eropa. Pengalaman itu terpelajari

dan kemudian tertiru tatkala bangsa-bangsa Eropa itu tidak bertindak

sebagai penjajah melainkan juga menampilkan diri sebagai guru-guru

berbagai bangsa di tanah jajahannya. Konsep negara bangsa yang tak

351 Soetandyo Wignjosoebroto, Masalah Pluralisme Dalam Pemikiran dan Kebijakan

Perkembangan Hukum Nasional (Pengalaman Indonesia), Makalah pada Seminar Nasional

“Pluralisme Hukum : Perkembangan di Beberapa Negara, Sejarah Pemikiran di Indonesia dan

Pergulatannya Dalam Gerakan Pembaharuan Hukum”, pada 21 November 2006 di

Universitas Al-Azhar, Jakarta, hlm. 3

Page 480: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

479

hanya bersifat trans lokal akan tetapi juga teritorial dengan sarana

penertibnya yang disebut hukum nasional yang diunifikasi dan

dikodifikasikan dan serta merta menjadi tertiru setelah merdeka.352

Masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia dewasa ini amat berbeda

dengan apa yang dihadapi para sarjana yang bersemangat nasionalisme

pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Para sarjana itu serempak

menjadi penganjur dipertahankannya hukum adat yang berarti juga

mempertahankan kemajemukan untuk menghadapi hukum Belanda pada

saat itu.353

Kritik keras juga diungkap oleh I Nyoman Nurjaya yang

mengatakan bahwa fenomena konflik yang terjadi secara meluas di

Indonesia beberapa dasawarsa ini merupakan akibat dari konflik nilai

(conflict of values), konflik norma (conflict of norms), dan atau konflik

kepentingan (conflict of interest) dari komunitas-komunitas etnik, agama

maupun golongan dalam masyarakat. Dalam perspektif hukum dan

kebijakan, fenomena konflik itu bersumber dari persoalan diskriminasi

pengaturan dan perlakuan pemerintah terhadap kehidupan masyarakat di

daerah yang cenderung mengabaikan, menggusur, dan bahkan

mematisurikan nilai-nilai, norma-norma hukum rakyat (customary

law/adat law), termasuk religi dan tradisi-tradisi serta kearifan

masyarakat daerah melalui dominasi pemberlakuan dan penegakan

hukum negara (state law) yang bercorak sentralisme hukum (legal

352 Ibid, hlm. 2353 Ibid, hlm. 5

Page 481: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

480

centralism). Paradigma pembangunan hukum (legal development

paradigm) yang dikembangkan oleh pemerintah saat ini harus diganti

dengan paradigma yang bercorak pluralisme hukum (legal pluralisme).354

Polemik hukum di atas memperlihat betapa paradigma hukum

progresif satu sisi “termarjinal dan terbunuh” akibat hegemoni paradigma

hukum positivistik, hierarkis dan sistemik dalam sistem hukum di

Indonesia, tetapi pada sisi yang lain paradigma hukum progresif

tertantang untuk mewujudkan cita-citanya yaitu menghadirkan hukum

untuk manusia, menghadirkan hukum untuk rakyat, demi kebahagian,

kesejahteraan dan martabatnya sebagai manusia yang multikultural.

Suntikan moral untuk bangkitnya kekuatan hukum progresif juga

menggema ditengah banyaknya masyarakat yang menderita akibat hukum

hierarkis yang terlihat suci (transden) hari ini.

Tantangan yang sudah menghadang hukum progresif di Indonesia

ialah kekuatan positifisme hukum yang secara hegemonik telah

membangun struktur hierarkis secara teoritik dan normatif dan juga telah

berhasil membangun jejaring intelektual di berbagai universitas hukum di

Indonesia. Hukum progresif telah menjadi wacana beberapa intelektual

dan beberapa kaum muda, sama halnya dengan wacana-wacana hukum

empirical dan kritis lainnya. Tetapi, kekuatan wacana itu masih sangat

lemah dan gampang terpatahkan dalam debat hukum di ruang-ruang

354 I Nyoman Nurjaya, Pluralisme Hukum Sebagai Instrumen Integrasi Kehidupan

Berbangsa dan Bernegara, dalam Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan… op. cit,

hlm 75-77

Page 482: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

481

struktural. Wacana hukum progresif perlu kekuatan yang lebih besar

hingga sebanding dengan madzhab positivisme baik secara teoritik,

norma-norma, pelaku-pelaku hukum dan jejaring para intelektualnya.

Tantangan utama yang harus didorong untuk mewujudkan usaha

itu ialah menciptakan platform paradigma pembangunan hukum di

Indonesia. Abdul Hakim Garuda Nusantara pada tahun 1983 telah

menggagas tentang strategi pembangunan hukum responsif dan progresif

di Indonesia. Usaha-usaha yang harus dilakukan diantaranya ialah perlu

diciptakan kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan pertumbuhan

sejati kelompok-kelompok kolektif masyarakat lapisan bawah untuk

mengorganisasikan dan memperjuangkan hak-haknya, akses masyarakat

terhadap pengadilan diperkuat, kelompok-kelompok sosial non negara

pemerintah harus bergerak menyadarkan hak-hak masyarakat bawah, dan

pemerintah baik eksekutif dan legislatif penting didorong untuk merespon

kepentingan masyarakat lapisan bawah.355

Dalam konteks pembangunan hukum yang responsif dan progresif

tersebut, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengkritik keras terhadap

paradigma hukum kontinental (rule of law) yang saat ini sesungguhnya

menjadi basis paradigma para penegak hukum, perumus hukum dan

beberapa intelektual hukum di Indonesia. Menurut Abdul Hakim, tipe

tradisi hukum kontinental merupakan model pembangunan hukum yang

ortodoks yang mempunyai ciri-ciri adanya peranan yang sangat dominan

355 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga

Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 24-48

Page 483: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

482

dari lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam

menentukan arah hukum dalam suatu masyarakat. Hukum akhirnya

bersifat positivis-instrumentalis. Hukum menjadi alat yang ampuh bagi

pelaksanaan ideologi dan program negara.356

Kondisi terbalik terjadi pada tipe pembangunan hukum dengan

model hukum adat (common law) yang responsif. Ciri-ciri dari tradisi

model common law ialah adanya peranan besar dari lembaga-lembaga

peradilan dan partisipasi yang luas kelompok-kelompok sosial atau

individu-individu di masyarakat dalam menentukan arah pembangunan

hukum. Keberadaan pemerintah dan parlemen menjadi lebih relatif, dan

adanya tekanan yang timbul dari partisipasi masyarakat luas dan

kedudukannya yang relatif bebas mendorong lembaga peradilan lebih

kreatif dalam menghadapi masalah yang timbul di masyarakat. Peradilan

mempunyai peranan substansial dalam pembangunan hukum.357

Secara historis, dua tipe pembangunan hukum dengan model civil

law dan common law tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya.

John Henry Marryman mengungkapkan, di Inggris dan Amerika Serikat

yang menjadi model tipe hukum common law para hakimnya selalu

menjadi kekuatan yang progresif dan berada di pihak individu dalam

melawan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa, mereka juga

memainkan peranan penting dalam melaksanakan sentralisasi kekuasaan,

356 Ibid, hlm. 27357 Ibid

Page 484: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

483

dan dalam penghancuran feodalisme.358 Berbeda dengan Eropa

Kontinental dimana fakta sejarah mengatakan bahwa kompilasi dan

kodifikasi risalah-risalah dan komentar-komentar hukum karya para

sarjana hukum oleh Kaisar Justianus menjadi kebutuhan hukum

kekaisaran Roma yang besar untuk mengatur penduduk dan wilayahnya

yang luas. Kompilasi dan kodifikasi dilakukan sebagai usaha

memurnikan kembali nilai-nilai hukum Romawi Kuno yang agung dan

dianggap mampu melayani pemerintah dan masyarakat. Ada kepercayaan

dengan memurnikan dan melestarikan nilai-nilai hukum Romawi Kuno

kelangsungan hidup kekaisaran Roma di bawah Justianus akan lebih

terjamin.359

Paradigma pembangunan hukum yang responsif dan progresif

juga disuarakan oleh Artidjo Alkostar. Menurutnya, pembagunan hukum

tidak mungkin hanya dipercayakan dan tergantung kepada penguasa saja,

karena eksistensi hukum tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial.

Prioritas polititical will sebaiknya dicurahkan pada pembangunan

ekonomi dan teknologi dibandingkan dengan pembangunan hukum dan

keadilan. Pembangunan hukum berkorelasi dengan visi kerakyatan,

karena hukum selalu menyangkut tingkah laku (behaviour). Konstruksi

hukum atau Undang-Undang penempatan posisi rakyat sebagai pemegang

peran (role occupat) dan dilacak (trace) secara paradigmatik, apakah

358 John Henry Marryman, The Civil Law Tradition, Stanford University Press,

California, 1969, hlm 17359 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum… Op. Cit, hlm 30

Page 485: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

484

perangkat hukum dan Undang-Undang tersebut telah mempergunakan

paradigma kontrol, sosial, paradigma nilai, paradigma institusi atau atau

paradigma ideologi.360

Perubahan paradigma dalam satu cabang ilmu merupakan satu

yang asasi sehingga tidak statis dan hanya berkutat dengan variabel dan

konsep yang tertinggal ditengah perkembangan sosial dan teknologi yang

cukup pesat. Itulah yang terjadi dengan perkembangan hukum di

Indonesia saat ini. Menurut Artidjo, hukum Indonesia terbelenggu oleh

kapsul positivisme hukum Eropa Kontinental abad 18. Positivisme

hukum tidak peduli dengan keadilan, karena keadilan bukan urusan

hukum positif. Aliran positivisme hukum menekankan kepastian hukum

yang kemudian berakibat pada pertumbuhan hukum Indonesia yang

berjalan tanpa visi dan tidak jelas paradigmanya. Watak hukum Eropa

Kontinental bertradisi tanpa paradigma sosiologi, karena memakai

metode berfikir deduktif seperti kebiasan hukum Romawi. Karakter

hukum Anglo Amerika lebih realistis karena memberi perhatian kepada

yang berkembang dalam dinamikas sosial.361

Kegalauan atas hegemoni paradigma positivisme di Indonesia

juga diungkap oleh Suparman Marzuki. Menurutnya, kegagalan politik

hukum hak asasi manusia di Indonesia merupakan dampak dari belum

360 Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam Moh. Mahfud MD,

dkk (Ed), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1999, hlm 335-

336361 Ibid, hlm. 337-339

Page 486: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

485

hadirnya paradigma hukum responsif di Indonesia. Semestinya

pembuatan hukum hak asasi manusia di Indonesia harus diproses secara

partisipatif dengan substansi yang responsif terhadap kebutuhan dan

aspirasi sosial sesuai dengan realitas hak asasi manusia di Indonesia.

Proses partisipatif mensyaratkan dua hal, yaitu:362

1. DPR meletakkan dirinya sebagai kekuatan politik formal masyarakat,

dan tidak memerankan diri sebagai konseptor Undang-Undang,

apalagi memonopoli proses lahir hingga evaluasi produk perudang-

undangan. Pengambilan keputusan politik bukan hanya aparat negara

dan wakil rakyat, melainkan juga seluruh warganegara berpartisipasi

dalam wacana bersama. Kedaulatan rakyat bukanlah substansi yang

membeku di dalam perkumpulan para wakil rakyat, tetapi juga

terdapat dalam berbagai forum warganegara, organisasi non

pemerintah dan gerakan sosial.

2. Mensyaratkan organisasi masyarakat sipil untuk menjadi kekuatan

intelektual yang mengkaji dan merumuskan kebutuhan hukum

masyarakat. Perpaduan DPR yang sejatinya adalah representasi

(politik) rakyat dengan organisasi masyarakat sipil diproyeksikan

mampu merumuskan substansi hukum HAM yang memiliki kekuatan

perlindungan (to protect), penghormatan (to respect) dan pemenuhan

(to fullfil) HAM yang kontekstual dengan kebutuhan substansial

362 Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum HAM, Pusham UII-Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2011, hlm. 431-432

Page 487: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

486

masyarakat. Bukan produk hukum HAM yang responsif terhadap

demokrasi politik.

Sedangkan dalam konteks penegakan hukum, Suparman Marzuki

menegaskan mendesaknya penegakan hukum yang progresif, yaitu

penegakan hukum yang submisif terhadap sistem yang ada, tetapi lebih

afirmatif (affirmatif law enforcement). Afirmatif berarti keberanian untuk

melakukan pembebasan dari praktek konvensional dan menegaskan

penggunaaan satu cara yang lain, yang menerobos terhadap pakem-

pakem praktek hukum yang telah lama berlangsung. Penegakan hukum

progresif mengharuskan aparatur penegak hukum hak asasi manusia

bersikap realistis, tidak bermukim di menara gading. Mereka harus

mengasah intuisi dengan dengan turun ke bawah menyerap aspirasi yang

berkembang di masyarakat. Para hakim harus menjadi agen perubahan

dan tidak menjadi staf sistem hukum. Mereka harus berani mendobrak

sekat-sekat yang dibangun oleh ideologi-ideologi penindas keadilan

sosial. Mereka harus keluar dari tafsir monolitik karena teks Undang-

Undang hanya memberi ruang penafsiran yang terbatas. Penegakan

hukum progresif lebih mengedepankan konteks ketimbang teks-teks

aturan semata.363

Menurut Suparman, penegakan hukum progresif menempatkan

kepentingan dan kebutuhan manusia/rakyat sebagai titik orientasinya,

karena aparatur penegak hukum harus memiliki kepekaan pada

363 Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan : Politik Hukum HAM Era Reformasi,

Pusham UII, Yogyakarta, 2011, hlm. 269-270

Page 488: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

487

persoalan-persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia.

Salah salah satu persoalan krusial dalam konteks itu ialah

keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas baik

politik, ekonomi, sosial budaya, maupun oleh hukum yang manipulatif.

Dalam kondisi-kondisi tersebut, keberadaan hukum progresif harus

menjadi institusi yang emansipatoris yang membawa pemberdayaan.

Konsep kesamaan (aquality) yang didasarkan pada kolektivitas atau

komunitas (group related equality) dan bukan individu sebagai unit

(individual equality). Aksi-aksi afirmatif penegakan hukum hukum HAM

progresif didukung oleh keinginan untuk mendayagunakan hukum HAM

bagi kepentingan rakyat yang lemah atau rentan.364

Pemikiran beberapa intelektual di atas merupakan representasi

atas kegelisahan atas bangunan sistem dan penegakan hukum yang tidak

responsif dan menawarkan tawaran-tawaran solutif. Sistem yang ada

telah berdampak terhadap marjinalisasi, keterpurukan hukum yang

berdimensi sosial dan banyak masyarakat rentan yang telah menjadi

korbannya. Kegelisahan tersebut juga tercerimin dalam pemikiran-

pemikiran hukum Satjipto Rahardjo. Gumpalan kegagalauanya melihat

hukum yang telah kehilangan relasinya dengan kultur dan struktur

masyarakat mendorongnya untuk mendeklarasikan hukum progresif di

Indonesia. Satjipto menuliskan “kekuatan hukum progresif akan mencari

berbagai cara guna mematahkan kekuatan status quo. Hukum progresif

ialah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan dan

364 Ibid, hlm. 271-272

Page 489: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

488

sistem bukan satu-satunya yang menentukan. Manusia masih bisa

menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada”.365

Berangkat dari ajakan dan kegalauan mendalam Satjipto Rahardjo

tersebut, tantangan besar kekuatan kaum progresif ialah meyakinkan

bahwa terdapat masalah sistemik dan terstruktur dalam bangunan

paradigma hukum kenegaraan di Indonesia. Para intelektual hukum, para

pemangku kebijakan baik legislatif, eksekutif dan yudikatif dan para

aktifis sosial dan hak asasi manusia harus selalu dibangunkan hati nurani

dan kesadarannya untuk merombak struktur hukum yang statis dan telah

menelan banyak korban. Membangkitkan kepekaan nurani dan

mendorong kesadaran atas multi krisis sistem hukum merupakan modal

kuat akan lahirnya generasi yang berparadigma hukum progresif. Pada

saatnya nanti, hukum progresif akan tegak dan akan membebaskan

masyarakat dari ketertindasannya.

Mendasari pendangan hukum progresif tersebut di atas, apabila

dikaitkan dengan substansi ketentuan dalam Pasal 109 ayat (2) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa:

Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak

terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan

merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi

hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut

umum, tersangka atau keluarganya,

365 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif …… Op. Cit. , hlm. 116

Page 490: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

489

dan substansi ketentuan Pasal 260 ayat (1) hurug g Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang

menyatakan bahwa:

Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana,

Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur

di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan

Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,

di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang:

g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti

kedua pasal tersebut tidak memberikan peluang kepada penyidik untuk

menghentikan proses penyidikan yang sedang berjalan walaupun para

pihak yang terlibat dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas dimaksud telah

mendapatkan keadilan yang hakiki, yaitu telah dicapainya perdamaian

yang dibangun melalui mediasi dengan musyawarah mufakat antara

kedua pihak dengan atau tanpa bantuan seorang mediator (oleh penyidik

apabila diminta oleh para pihak) untuk mendapatkan manfaat yang lebih

besar, serta untuk meligitimed perdamaian tersebut kemudian dibuat

Surat Kesepakatan Bersama/Surat Perdamaian, sehingga perangkat

hukum yang demikian adalah masih sangat kental dengan aliran hukum

positivisme yang justru telah menciderai hukum dan keadilan masyarakat

itu sendiri.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, dalam

perkembangannya Polri pada tanggal 19 Desember 2013 telah

Page 491: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

490

memberontak untuk keluar dari “tawanan undang-undang” dan

kemudian memposisikan “hukum itu untuk manusia dan tidak

sebaliknya” sebagaimana kredo yang sering diucapkan oleh Satjipto

Rahardjo dengan melakukan terobosan kreatif (creative breakthrough)

berupa penerbitan Peraturan Kapolri 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara

Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas yang diundangkan di Jakarta pada

tanggal 23 Desember 2013 dengan diketahui oleh Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Amir Syamsudin, termuat dalam

Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1528 dan efektif

berlaku mulai bulan Januari 2014. Dalam Peraturan Kapolri tersebut,

dinyatakan dalam beberapa pasalnya diantaranya adalah sebagai berikut :

Pasal 4

Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:

a. kecelakaan ringan;

b. kecelakaan sedang; dan

c. kecelakaan berat.

Pasal 5

Kecelakaan ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, apabila

mengakibatkan kerusakan kendaraan dan / atau barang.

Pasal 6

Page 492: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

491

(1) Kecelakaan sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b,

apabila mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan /

atau barang.

(2) Luka ringan sebagaimana dimasud pada ayat (1) terdiri atas:

a. luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak

memerlukan perawatan inap di rumah sakit; atau

b. selain yang diklasifikasikan dalam luka berat.

Pasal 7

(1) Kecelakaan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c,

apabila mengakibatkan korban luka berat atau meninggal dunia.

(2) Luka berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau

menimbulkan bahaya maut;

b. tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan

atau pekerjaan;

c. kehilangan salah satu panca indera;

d. menderita cacat berat atau lumpuh;

e. terganggunya daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih;

f. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atau

g. luka yang membutuhkan rawat inap lebih dari 30 (tiga puluh)

hari.

(3) Korban meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri

atas:

a. meninggal dunia di TKP;

Page 493: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

492

b. meninggal dunia dalam perjalanan ke rumah sakit; atau

c. meninggal dunia karena luka yang diderita dalam masa

perawatan selama 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya

kecelakaan lalu lintas.

Pasal 35

(1) Penyidik melakukan penilaian atas hasil olah TKP untuk menentukan

ada atau tidaknya unsur tindak pidana pada kecelakaan lalu lintas

sebagai dasar dilakukan penyidikan.

(2) Penyidik melakukan penyidikan kecelakaan lalu lintas, apabila

terdapat cukup bukti atau terpenuhinya unsur tindak pidana.

(3) Penyidik melakukan penghentian penyidikan kecelakaan lalu lintas,

apabila tidak terdapat cukup bukti atau bukan merupakan tindak

pidana atau batal demi hukum.

(4) Penyidik kecelakaan lalu lintas menyampaikan hasil perkembangan

penyidikan kepada korban atau keluarga korban melalui Surat

Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).

Pasal 36

(1) Penanganan kecelakaan lalu lintas ringan yang terdapat cukup bukti

atau terpenuhinya unsur pidana, dilakukan dengan proses

pemeriksaan singkat.

(2) Proses pemeriksaan singkat pada kecelakaan lalu lintas ringan,

apabila terjadi kesepakatan damai diantara pihak yang terlibat dapat

diselesaikan di luar pengadilan.

Page 494: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

493

Pasal 63

Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Ringan

(1) Kewajiban mengganti kerugian terjadi kesepakatan damai antara para

pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas, untuk menyelesaikan

perkaranya dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan.

(2) Kesepakatan damai diantara pihak yang terlibat kecelakaan lalu

lintas dituangkan ke dalam surat pernyataan kesepakatan damai.

(3) Penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan sebagaimna

dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan selama belum dibuatkan

laporan polisi.

(4) Dalam perkara kecelakaan lalu lintas ringan, apabila unsur-unsur

tindak pidana terpenuhi dan tidak terjadi kesepakatan damai antara

para pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas, maka penyelesaian

perkaranya diselesaikan secara singkat.

(5) Penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) wajib diregister dan surat pernyataan

kesepakatan damai diarsipkan.

Pasal 64

Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Sedang

Dalam perkara kecelakaan lalu lintas sedang, apabila unsur-unsur tindak

pidana terpenuhi, penyelesaian perkaranya diselesaikan dengan acara

singkat.

Pasal 65

Page 495: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

494

Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Sedang

Dalam perkara kecelakaan lalu lintas berat, apabila unsur-unsur tindak

pidana terpenuhi, penyelesaian perkaranya diselesaikan dengan acara

biasa.

Pasal 73

Dasar Penghentian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas

(1) Pertimbangan untuk melakukan penghentian penyidikan kecelakaan

lalu lintas dengan alasan:

(a) tidak cukup bukti; atau

(b) demi hukum.

(2) Penghentian penyidikan kecelakaan lalu lintas dengan alasan demi

hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

(a) tersangka meninggal dunia;

(b) perkara telah melampaui kedaluwarsa; atau

(c) nebis in idem.

Mencermati semangat, substansi, maksud dan tujuan

dikeluarkannya Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun 2013 tersebut,

terlihat jelas bahwa Polri sebenarnya menyadari bahwa posisinya berada

di tengah-tengah antara aliran legal positivisme dan legal progresivisme

dalam rangka penegakan hukum pada pelanggaran hukum perkara

kecelakaan lalu lintas. Polri telah berusaha untuk merespon dalam

memenuhi rasa keadilan masyarakat (gerechtigkeit) tetapi juga memenuhi

kepastian hukum (rechtssicherheit) disamping kemanfaatan

Page 496: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

495

(zweckmassigkeit). Hal ini terlihat pada substansi Pasal 36 dan Pasal 63

Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun 2013 tersebut dimana upaya

penyelesesaian di luar pengadilan hanya diberikan kesempatan secara

hukum dalam hal perkara kecelakaan lalu lintas ringan saja manakala

telah terjadi kesepakatan damai diantara para pihak yang terlibat dalam

kecelakaan lalu lintas tersebut. Sedangkan untuk kecelakaan lalu lintas

sedang dan berat, sesuai bunyi Pasal 64 dan 65 tidak diberi kesempatan

secara hukum kepada para pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas

tersebut untuk dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat dalam

kerangka penyelesaian di luar pengadilan, sehingga hal ini tidak dapat

memberikan payung hukum bagi penyidik, sungguh kungkungan mind set

legal positivisme yang mengutamakan kepastian hukum

(rechtssicherheit) dalam hal ini telah menimbulkan dan sekaligus

menciderai rasa keadilan masyarakat (gerechtigkeit) dan kemanfaatan

(zweckmassigkeit).

Sebenarnya sukma dari Pasal 64 dan Pasal 65 Peraturan Kapolri

Nomor 15 Tahun 2013 ini nampaknya masih sangat kuat dipengaruhi oleh

substansi Pasal 109 ayat (2) KUHAP dan Pasal 260 ayat (1) hurug g

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan yang tidak memberikan kesempatan secara hukum kepada para pihak

yang telah mendapatkan keadilannya secara hakiki dalam kecelakaan lalu

lintas baik sedang maupun berat untuk menyelesaian perkara kecelakaan

lalu lintas tersebut secara musyawarah dan mufakat di luar sidang

pengadilan.

Page 497: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

496

Oleh karena itu, berdasarkan pentingnya pelaksanaan restorative

justice dengan mind set legal progresivisme di tingkat penyidikan tindak

pidana lalu lintas, maka dengan mem-breakdown:

1. Pendapat Carl von Savigni yang pada intinya menyatakan bahwa

hukum itu tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama

masyarakat;

2. Pendapat Satjipto Rahardjo yang pada intinya menyatakan bahwa

hukum itu tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif/undang-

undang;

3. Pendapat Gustaf Radbruch yang pada intinya menyatakan bahwa

seorang penegak hukum dalam hal ini adalah polisi, jaksa dan hakim,

dapat mengabaikan hukum tertulis (statutory law/state law) apabila

hukum tertulis tersebut ternyata dalam praktiknya tidak memenuhi

rasa keadilan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat pencari

keadilan;

4. Pelaksanaan Perdamaian dalam perkara pidana yang berlaku di negara

bagian Vermont dalam bentuk Restorative Board/Youth Panels dengan

lembaga pendamping yang disebut Bureau of Justice Assistance

sebagai wisdom internasional;

5. Pelaksanaan wisdom lokal masyarakat Indonesia yang sebagian besar

beragama Islam, yaitu sila kedua dan sila kelima Pancasila, Pasal 28

huruf D UUD Tahun 1945, asas musyawarah dan mufakat berdasarkan

hukum adat yang berlaku bagi masyarakat Indonesia serta kemafaatan

dalam skala luas yang sesuai perspektif Islam.

Page 498: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

497

maka Pasal 109 ayat KUHAP dan Pasal 260 ayat (1) hurug g Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

tersebut perlu direkonstruksi dengan menggunakan pola pikir dan atau

teori Hukum Progresif Perdamaian, sehingga kedua pasal tersebut yang

awalnya berbunyi:

Pasal 109 KUHAP

(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu

peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan

hal itu kepada penuntut umum.

(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat

cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak

pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik

memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau

keluarganya.

(3) Dalam hal penghentian tersebut ayat (2) dilakukan oleh penyidik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b,

pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik

dan penuntut umum.

direkonstruksi sehingga menjadi:

(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu

peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan

hal itu kepada penuntut umum.

(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat

cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak

Page 499: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

498

pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik

memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau

keluarganya.

(3) Dalam perkara kecelakaan lalu lintas, apabila telah terjadi

perdamaian antara para pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu

lintas tersebut, maka dapat dijadikan dasar bagi penyidik untuk

menghentikan proses penyidikan dengan mempertimbangkan segi

keadilan dan kemanusiaan.

(4) Dalam hal penghentian tersebut ayat (2) dilakukan oleh penyidik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b,

pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik

dan penuntut umum.

Pasal 260 ayat (1) hurug g Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana,

Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan berwenang:

g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti

direkonstruksi sehingga menjadi:

Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana,

Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang

Page 500: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

499

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan berwenang:

g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti dan atau

apabila telah terjadi perdamaian antara para pihak yang terlibat

dalam kecelakaan lalu lintas tersebut, maka dapat dijadikan dasar

bagi penyidik untuk menghentikan proses penyidikan dengan

mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Sehingga Pasal 109 KUHAP dan Pasal 260 ayat (1) hurug g

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan hasil dari hasil rokonstruksi tersebut dapat menjawab dan

sekaligus memberikan rasa keadilan masyarakat (gerechtigkeit),

kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherheit)

serta sekaligus memberikan rasa aman dan kenyamanan bagi penyidik

dalam penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas.

Hukum Progresif Perdamaian, berawal dari pendapat Satjipto

Rahardjo dimana hukum dimaknai sebagai suatu “institusi yang bertujuan

untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan

membuat manusia bahagia”366, yang dalam hal ini apabila

diimplementasikan ke dalam sebuah penyelesaian dengan jalan

perdamaian antara para pihak pada perkara kecelakaan lalu lintas adalah

merupakan perangkat hukum yang sangat diharapkan oleh masyarakat

terutama masyarakat yang terlibat dalam kecelakan lalu lintas karena

366Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum, Genta Pulishing,

Yogyakarta, 2009, hlm. 116

Page 501: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

500

dapat merespon kehendak masyarakat yang mendambakan keadilan dan

kemanfaatan yang lebih cepat dan nyata.

Secara komperhensif, rekonstruksi perdamaian dalam

implementasi Restorative Justice di tingkat penyidikan tindak pidana lalu

lintas berdasarkan Hukum Progresif adalah sebagaimana tergambarkan

dalam tabel berikut:

Tabel : 4

Rekonstruksi Perdamaian Dalam Tingkat Penyidikan Tindak Pidana

Lalu Lintas Berdasarkan Hukum Progresif

NO PERIHAL URAIAN

1 Dasar Rekonstruksi Memadukan wisdom lokal berupa Sila ke 2

dan ke 5 Pancasila dengan wisdom

internasional tentang Restorative Board dan

Pasal 28 D UUD 1945

2 Paradigma Hukum Penegakan hukum yang berkeadilan di

bidang tindak pidana lalu lintas yang

berbasis Hukum Progresif

3 Rekonstruksi Pasal

Undang-undang

Pasal 109 ayat (2) Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Pasal

260 ayat (1) huruf g Undang-undang

Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan

Page 502: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

501

4 Konsep Rekonstruksi Perdamaian antara pelaku dan korban

dalam Tindak Pidana Lalu Lintas dapat

dijadikan sebagai dasar untuk penghentian

proses penyidikan Tindak Pidana Lalu

Lintas

5 Subyek Pelaku, korban, polisi dan masyarakat yang

terlibat dalam tindak pidana lalu lintas

6 Tujuan Mewujudkan keadilan bagi pelaku dan

korban yang telah berdamai dalam tindak

pidana lalu lintas

7 Substansi a. Perdamaian yang terjadi antara pelaku

dan korban dalam tindak pidana lalu

lintas dapat dijadikan dasar hukum

untuk menghentikan proses penyidikan;

b. Polisi dapat mewujudkan diskresi

kepolisian berdasarkan nilai keadilan

bagi pelaku dan korban dalam tindak

pidana lalu lintas yang berbasis Hukum

Progresif.

8 Implikasi Kajian a. Implikasi Perubahan Paradigmatik dari

Polisi yang positivistik menjadi Polisi

yang menemukan keadilan dalam

penyidikan tindak pidana lalu lintas

berbasis Hukum Progresif;

Page 503: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

502

b. Implikasi model dari Perdamaian dalam

penyelesaian tindak pidana lalu lintas

sebagai pengurangan hukuman menjadi

Perdamaian dapat menjadi alasan/dasar

hukum untuk menghentikan proses

penyidikan tindak pidana lalu lintas

guna menemukan keadilan bagi pelaku

dan korban

A. SIMPULAN

Berdasarkan uraian dalam bab-bab terdahulu, berikut disajikan

kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan yang

diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Eksistensi konstruksi perdamaian sebagai payung hukum dalam

implementasi Restorative Justice di tingkat penyidikan tindak pidana

lalu lintas.

a. secara legal praktis “perdamaian” dapat dijadikan payung hukum

dalam implementasi restorative justice di tingkat penyidikan

tindak pidana lalu lintas karena hal tersebut dikehendaki dan bisa

diterima oleh para pihak yang terlibat dalam kecelakaan

lalulintas, penyelesaian secara restorative justice tersebut

didukung oleh pendapat tokoh agama, tokoh masyarakat,

pimpinan DPRD, praktisi hukum (pengacara) dan akademisi,

akan tetapi secara legal formal belum bisa;

Page 504: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

503

b. penyelesaian tindak pidana (kecelakaan) lalu lintas dengan pola

restorative justice di wilayah Polda Jawa Tengah dikatakan”ada”

dan “tiada”, dikatakan “ada” karena berdasarkan keadilan

(gerechtigkeit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit) memang

telah dilaksanakan oleh penyidik Polri atas dasar permintaan

para pihak, dikatakan “tiada” karena berdasarkan kepastian

hukum (rechtssicherheit) tidak ada dasar hukumnya.

c. penerapan restorative justice cukup efektif dalam mempercepat

penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas sehingga dapat

mengurangi penumpukan perkara di tingkat penyidikan, dan hal

itu secara mayoritas dikehendaki oleh mereka yang berperkara

(85,84 %), tanpa pengaruh dari pihak manapun dan keadilan

lebih dirasakan oleh masyarakat.

d. model perdamaian antara korban dan pelaku pada kecelakaan

lalu lintas adalah melalui mediasi, penyidik hanya berpegang

pada Pasal 235 ayat (1) dan (2) serta Pasal 236 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan dan Diskresi Kepolisian, kemanfaatan hukum,

keadilan dan kemanusiaan yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia. Pola keadilan restoratif dalam

penanganan terhadap tindak pidana lalu lintas adalah hukum

untuk manusia, hukum yang berperikemanusiaan, dengan

mengedepankan hati nurani, kemanfaatan hukum dan keadilan.

Page 505: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

504

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan kendala yang dihadapi dalam

konstruksi hukum berkaitan dengan perdamaian sebagai payung

hukum dalam implementasi Restorative Justice di tingkat penyidikan

tindak pidana lalu lintas

a. faktor-faktor yang mempengaruhi :

1) faktor internal:

a) substansi peraturan perundang-undangan;

b) instruksi dari pimpinan;

c) penyidik sebagai penegak hukum;

d) Situasi dalam penyidikan;

2) faktor eksternal adalah perlunya dukungan masyarakat.

b. kendala yang dihadapi, yaitu :

1) masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia;

2) oknum aparat;

3) pengetahuan penyidik;

4) partisipasi para pihak.

Dari kendala-kendala yang dihadapi dalam konstruksi

hukum berkaitan dengan perdamaian sebagai payung hukum

dalam implementasi restorative justice di tingkat penyidikan

tindak pidana lalu lintas adalah kendala yang menonjol adalah di

bidang masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia yang

didalam substansinya belum terdapatnya payung hukum bagi

restorative justice sebagai aturan atau ketetapan yang baku

Page 506: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

505

secara legal formal sebagai salah satu bentuk penyelesaian

perkara tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

Upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam mengatasi

kendala yang terjadi terhadap penerapan restorative justice

terhadap pelaku tindak pidana lalu lintas adalah dengan

mengakomodir suara masyarakat yang terlibat kecelakaan lalu

lintas, dan memberikan masukan kepada pimpinan atau yang

berkompeten dalam pembuatan undang-

undang/peraturan/ketetapan untuk mengesahkan restorative

justice sebagai salah satu cara dalam penyelesaian perkara

kecelakaan lalu lintas dengan alasan lebih manusiawi dan

mengedepankan rasa keadilan dan hati nurani, sehingga akan

didapat payung hukum yang legal dan formal, sebagai wujud

penerapan hukum modern.

Penerapan konsep perdamaian sebagai payung hukum

dalam implementasi restorative justice di tingkat penyidikan

tindak pidana lalu lintas mendapat respon yang sangat positif

dan diterima sebagai suatu keadilan dan sangat dikehendaki oleh

masyarakat khususnya dalam penyelesaian perkara kecelakaan

lalu lintas.

Solusi apabila konsep keadilan restoratif tidak dapat

diterima oleh pihak korban adalah bila diminta, Penyidik dapat

menempatkan diri sebagai mediator atau konsultan dalam

pemecahan masalah yang dilaksanakan secara profesional dan

Page 507: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

506

tidak memihak/netral, namun apabila hal tersebut tetap tidak bisa

diterima, maka secara prosedural Penyidik berwenang untuk

mengajukan/ memproses kasus tersebut sampai ke Pengadilan.

3. Konstruksi perdamaian dalam pelaksanakan restorative justice di

tingkat penyidikan tindak pidana lalu lintas berdasarkan hukum

progresif

a. tetap mengacu pada Pasal 235 dan Pasal 236 Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

dan kemanfaatan hukum, keadilan dan kemanusiaan yang

terdapat pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b. pelaksanakan restorative justice di tingkat penyidikan tindak

pidana lalu lintas pada waktu yang akan datang pola idealnya

menggunakan Hukum Progresif Perdamaian;

c. Hukum Progresif Perdamaian, memandang bahwa hukum adalah

sebagai suatu “institusi yang bertujuan untuk mengantarkan

manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat

manusia bahagia”, yang sangat diharapkan oleh masyarakat

terutama masyarakat yang terlibat dalam kecelakan lalu lintas

yang sudah melakukan musyawarah dan mufakat untuk

mencapai perdamaian. Hukum Progresif Perdamaian dapat

merespon kehendak masyarakat yang terlibat dalam kecelakaan

lalu lintas yang mendambakan keadilan dan kemanfaatan yang

lebih cepat dan nyata.

Page 508: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

507

d. Hukum Progresif Perdamaian, sejalan / cerminan dari :

1) pendapat:

a) Carl von Savigni yang menyatakan bahwa hukum itu

tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang

bersama masyarakat;

b) Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum itu

untuk manusia bukan untuk hukum itu sendiri dan

hukum itu tidak mutlak digerakkan oleh hukum

positif/undang-undang, akan tetapi bergerak pada alas

(landasan) non formal;

c) Gustaf Radbruch yang menyatakan bahwa seorang

penegak hukum dalam hal ini adalah polisi, jaksa dan

hakim, dapat mengabaikan hukum tertulis (statutory

law/state law) apabila hukum tertulis tersebut ternyata

dalam praktiknya tidak memenuhi rasa keadilan

sebagaimana diharapkan oleh masyarakat pencari

keadilan

2) pelaksanaan perdamaian dalam perkara pidana yang berlaku

di negara bagian Vermont dalam bentuk Restorative

Board/Youth Panels dengan lembaga pendamping yang

disebut Bureau of Justice Assistance sebagai wisdom

internasional;

3) pelaksanaan wisdom lokal masyarakat Indonesia sila kedua

dan sila kelima Pancasila, Pasal 28 huruf D UUD Tahun

Page 509: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

508

1945, asas musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum

adat serta kemafaatan dalam skala luas yang sesuai

perspektif Islam.

Maka substansi Pasal 109 ayat KUHAP dan Pasal 260 ayat (1)

huruf g Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan tersebut perlu direkonstruksi dengan

menggunakan pola pikir dan atau teori Hukum Progresif

Perdamaian, sehingga kedua pasal tersebut yang awalnya

berbunyi sebagaimana tabel sebagai berikut:

Tabel : 5

TABEL REKONSTRUKSI PASAL 109 KUHAP

PASAL 109 KUHAP

YG BERLAKU SAAT INI KE DEPAN/IDEALNYA

(1) Dalam hal penyidik telah

mulai melakukan

penyidikan suatu peristiwa

yang merupakan tindak

pidana, penyidik

memberitahukan hal itu

kepada penuntut umum.

(1) Dalam hal penyidik telah

mulai melakukan

penyidikan suatu peristiwa

yang merupakan tindak

pidana, penyidik

memberitahukan hal itu

kepada penuntut umum.

(2) Dalam hal penyidik

menghentikan penyidikan

(2) Dalam hal penyidik

menghentikan penyidikan

Page 510: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

509

karena tidak terdapat

cukup bukti atau peristiwa

tersebut ternyata bukan

merupakan tindak pidana

atau penyidikan dihentikan

demi hukum, maka

penyidik memberitahukan

hal itu kepada penuntut

umum, tersangka atau

keluarganya.

karena tidak terdapat

cukup bukti atau peristiwa

tersebut ternyata bukan

merupakan tindak pidana

atau penyidikan dihentikan

demi hukum, maka

penyidik memberitahukan

hal itu kepada penuntut

umum, tersangka atau

keluarganya.

(3) Dalam hal penghentian

tersebut ayat (2) dilakukan

oleh penyidik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6

ayat (1) huruf b,

pemberitahuan mengenai

hal itu segera disampaikan

kepada penyidik dan

penuntut umum.

(3) Dalam perkara kecelakaan

lalu lintas, apabila telah

terjadi perdamaian antara

para pihak yang terlibat

dalam kecelakaan lalu

lintas tersebut, maka dapat

dijadikan dasar bagi

penyidik untuk

menghentikan proses

penyidikan dengan

mempertimbangkan segi

keadilan dan kemanusiaan.

(4) Dalam hal penghentian

tersebut ayat (2) dilakukan

Page 511: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

510

oleh penyidik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6

ayat (1) huruf b,

pemberitahuan mengenai

hal itu segera disampaikan

kepada penyidik dan

penuntut umum.

Dan

Tabel : 6

TABEL REKONSTRUKSI PASAL 260 AYAT (1) huruf g

UULAJ

PASAL 260 AYAT (1) Huruf g UULAJ

YG BERLAKU SAAT INI KE DEPAN/IDEALNYA

Dalam hal penindakan

pelanggaran dan penyidikan

tindak pidana, Penyidik

Kepolisian Negara Republik

Indonesia selain yang diatur di

dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana dan

Undang-Undang tentang

Kepolisian Negara Republik

Dalam hal penindakan

pelanggaran dan penyidikan

tindak pidana, Penyidik

Kepolisian Negara Republik

Indonesia selain yang diatur di

dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana dan

Undang-Undang tentang

Kepolisian Negara Republik

Page 512: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

511

Indonesia, di bidang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan berwenang

menghentikan penyidikan jika

tidak terdapat cukup bukti

Indonesia, di bidang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan berwenang

menghentikan penyidikan jika

tidak terdapat cukup bukti dan

atau apabila telah terjadi

perdamaian antara para pihak

yang terlibat dalam kecelakaan

lalu lintas tersebut, maka dapat

dijadikan dasar bagi penyidik

untuk menghentikan proses

penyidikan dengan

mempertimbangkan segi keadilan

dan kemanusiaan.

B. SARAN-SARAN

1. Karena permasalahan hukum yang dihadapi penyidik di masyarakat

berbeda-beda dan beraneka ragam corak dan modelnya, untuk itu

perlu penanganan yang berbeda pula dengan melakukan tindakan

lain berdasarkan hukum menjadi alternatif yang dapat digunakan

oleh penyidik. Subtansi perundang-undangan sekarang belum secara

rigid dan detail mengaturnya, maka dari itu hendaknya pemerintah

memberikan suatu tanggapan yang serius dalam membuat dasar

Page 513: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

512

peraturan yang baik serta rigid bagi tindakan diskresi yang meliputi

ruang berlaku tugas penyidikan, kualifikasi bentuk perkara yang

dapat dilakukan diskresi serta bentuk konsekuensi dari tindakan

diskresi penyidik agar lebih mendapatkan dapat payung hukum yang

sah dan tidak bertentangan dengan hukum. Pengaturan peraturan

yang khusus bagi tindakan diskresi penyidik untuk dijadikan

landasan serta pertimbangan dalam mengambil kebijakan subyektif

dari penyidik selaku pejabat publik Negara bersangkutan demi

kelancaran tugas-tugasnya, supaya tindakan diskresi penyidik

tersebut dapat sah dan kuat secara hukum.

2. Agar pelaksanaan setiap diskresi benar-benar sesuai dengan harapan,

maka baik oleh pelaku (subjek) diskresi maupun sasaran (objek)

diskresi seyogianya harus saling bersedia dan mampu mawas diri.

Kesediaan introspeksi, disamping retrospeksi, diharap dapat

mendorong penggunaan diskresi secara benar, baik dan

bertanggungjawab, sehingga dengan demikian, maka tidak tertutup

kemungkinan bahwa diskresi akan berdampak pada terwujudnya

pemerintahan yang baik.

3. Mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana lalulintas, pada

faktanya telah dikehendaki oleh sebagian besar masyarakat Jawa

Tengah (85,84 %), baik yang terlibat dalam perkara pidana lalu lintas

maupun masyarakat pada umumnya karena hasil mediasi telah dapat

mencerminkan nilai-nilai keadilan bagi para pihak yang nilai

filosofinya sangat tinggi karena telah dapat mengintegrasikan nilai-

Page 514: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

513

nilai keadilan yang sesuai dengan kearifan lokal, sesuai dengan sila

kedua, keempat dan kelima Pancasila akan tetapi belum memiliki

payung hukum, maka dari itu hendaknya :

a. dalam jangka menengah, pemerintah melalui lembaga legislatif

sesegera mungkin membentuk payung hukum mengenai mediasi

penal dengan merekonstruksi Pasal 109 Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Pasal 260 ayat (1) huruf g

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, sehingga kedua pasal tersebut dapat menjawab

dan sekaligus memberikan rasa keadilan masyarakat

(gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan kepastian

hukum (rechtssicherheit).

b. dalam jangka pendek, Kepolisian Negara Republik Indonesia

sesegera mungkin merevisi Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun

2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas

yang memberikan payung hukum untuk pelaksanaan mediasi

penal sebagai alternatif penyelesaian terhadap semua perkara

pidana/kecelakaan lalu lintas guna menjawab pesatnya tuntutan

keadilan masyarakat.

Page 515: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

514

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Literatur

A. Malik Madaniy, Politik Berpayung Fiqh, Yogyakarta: Pustaka Pesantren,2010

Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: YayasanLembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Chandra Pratama, 1996

_________, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Cet IV, Jakarta:Prenada Media Goup, 2012

Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Bandung: Armico, 1992

Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, “Hukum Pidana dalam

Perspektif”. Pdf, Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: UniversitasIndonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif HukumProgresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989

Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995

Andrew Altman, Arguing about Law: an Introduction to Legal Philosophy,ed. 2, Belmont: Wadsworth, 2001

Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu Pendekatandari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavior Jurisprudence) KasusHakim Bismar Siregar, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,2007

Page 516: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

515

Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam Moh. MahfudMD, dkk (Ed), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan,Yogyakarta: UII Press, 1999

Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru vanHoeve, 1996

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Pola Umum PerencanaanHukum dan Perundang-undangan, Bandung: Bina Cipta, 1997

Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Hak Asasi Manusia RI, Tiga DekadeProlegnas dan Peran BPHN, Jakarta, 2008

_________, Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Refleksi DinamikaHukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, Jakarta: PerumPercetakan Negara RI, 2008

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006

Barb Toews, Little Book of Restorative Justice for People in Prison:Rebuilding the Web of Relationships, Intercourse, PA: GoodNooks,2006

Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di LuarPengadilan, Semarang: Pustaka Magister, 2008

_________, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2010

_________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidanadalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana, 2010

Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruangdan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010

Page 517: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

516

_________, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Yogyakarta: GentaPublishing, 2011

Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Binacipta, 1983

Budiman N.P.D Sinaga, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan,Yogyakarta: UII Press, 2004

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansadan Nusamedia, 2004

Carol C. Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali (terj.), Yogyakarta: TiaraWacana, 1993

CF Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah danBentuk-bentuk Konstitusi Dunia, diterjemahkan dari Modern PoliticalConstitution: an Introduction to the Comparative Study of TheirHistory and Existing Form, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004

Chairul Huda, Dari Tiada Tanpa Kesalahan Menuju Kepada TiadaPertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: PrenadaMedia, 2006

Christopher W. Moore, Mediasi Lingkungan, Jakarta: ICEL dan CDRAssociates, 1995

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa danBagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama, 2008

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Buku Ichtiar,1962

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia danPenerapannya, Jakarta: Alumni AHM- PTHM, 1982

Page 518: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

517

Edward L. Rubin, Legislative Methodology: Some Lessons from the Truth inLending Act, 80GEI.L/233, 1991

Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung: PenerbitLubuk Agung, 2011

Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta: Rangkang Education,2010

Hans Kalsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum NormatifSebagai Ilmu Empirik-Deskriptif, Tanpa Tempat: Rimdi Press, 1995

Harifin A. Tumpa,” Apa yang Diharapkan Masyarakat dari Seorang Hakim”,Varia Peradilan, Tahun XXV, No. 298, September, 2010

Helmut Schoeck, Envy: A Theory of Social Behavior, terj. Michael Glennydan Betty Ross, London: Secker and Warburg, 1969

Indah Sri Utari, Persepsi Polisi Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam KonteksPenegakan Hukum di Poltabes Semarang (Suatu Studi Sosiologi),Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1997

Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998

_________, Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta: Kantor Pengacara &Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, 2002

Ismail Muhammad Syah, et al, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara& Departemen Agama RI, 1998

J. Landis, “Statutes and the Sourches of Law”, dalam “Harvard Legal EssaysWritten in Honor and Presented to Joseph Hendri Beale and SamuelWilliston”, Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1934

Page 519: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

518

J. B. Daliyo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum : Buku Panduang Mahasiswa,Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utma, 1996

J.C.T Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007

Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dariKUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, terj.Tristam P. Moeliono, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000

Jeremy Bentham, Introduction to the Principles of Morals and Legislation,Out Line of New System of Logic, Deontology, dan Theory ofLegislation¸ terjemahan Teori Perundang-Undangan Prinsip-PrinsipLegislasi Hukum Perdata dan Hukum Pidana, terj. Nurhadi, Bandung:Nuansa Media dan Nuansa, 2006

John Henry Marryman, The Civil Law Tradition, California: StanfordUniversity Press, 1969

John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University Press, 1973,yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzandan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006

Joko Purwono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan RI, UNS, 1993

Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung: CV Pustaka Setia,2011

Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam HukumPidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan danPerkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002

Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2002

Page 520: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

519

Lili Rajidi dam IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Sistem, Bandung: RemajaRosdakarya, 2003

Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia, Teori, Praktik danPermasalahannya, Bandung: Mandar Maju, 2005

M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian),Jakarta: Pradnya Paramita, 1991

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Disertasi, Semarang:Universitas Diponegoro, 2003

_________, Sistim Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide dasar Double TrackSystem dan Implementasinya, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,Jakarta: PT. Sarana Bakti Semesta, 1985

_________, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan danPenyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997

Macquarie Library, The Macquarie Dictionary, Australia, 1985

Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; TerapiParadigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia,Yogyakarta: Antony Lib bekerjasama LSHP, 2009

Mahmutarom, Rekonstruksi Konsep Keadilan, Undip Semarang, 2009

Majjid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, Baltimore and London :The Johns Hopkins University Press, 1984

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta:Universitas Indonesia, 1995

Page 521: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

520

Mark Umbreit, “Introduction: Restorative Justice Through Victim OffenderMediation”, dalam The Handbook of Victim Offender Mediation: AnEssential Guide to Practice and Research, ed. UMbreit, SanFransisco: M., Jossey Bass, 2001b

Mark Umbreit dan Robert B. Coates, “The Impact of Victim OffenderMediation: Two Decades of Research”, dalam The Handbook ofVictim Offender Mediation: An Essential Guide to Practice andResearch, ed. UMbreit, San Fransisco: M., Jossey Bass, 2001b

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam HukumPidana, Medan: USU Press, 2010

Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi dan Tax AmnestyDalam Penegakan Hukum, Jakarta: Referensi, 2012

Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalahdan Atas Persamaan Kedudukan dalam Hukum, Bandung: PT.Alumni, 2003

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993

_________, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawab dalam Hukum Pidana,Yogyakarta: Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas GadjahMada, 2000

Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif; Sistem PeradilanTerpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi) Kapita Selekta.Yogyakarta: Galangpress, 2008

Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu : Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigmadan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2005

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,Bandung: Alumni, 1992

Page 522: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

521

Munawar Kholil, et.al., Silabus dan Teaching Material Pilihan PenyelesaianSengketa(PPS)/Alternative Dispute Resolution (ADR), Jakarta: FHUI-Proyek ELIPS, 1988

Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim dalam MenanganiSuatu Perkara Pidana, Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia,1987

Nurcholis Madjid, Islam Kemanusiaan dan Kemoderenan, Doktrin danPeradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Jakarta,Yayasan Wakaf Paramadina, Cetakan kedua, 1992

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008

Peter Noll, Gesetsgebungslehre, Reinbek: Rohwohlt, 1973

Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung: Nusamedia,2011

Philipus Mandiri Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987

Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi POLRI),Surabaya: Laksbang Mediatama, 2007

R. Subekti dan R. Citro Sudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Jakarta: PT. Pradnya Paramitra, 2005

Raikhan Rashyd, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet I, Jakarta: CV.Rajawali, 1991

Ricardo Simartana, Pluralisme Hukum, Mengapa Perlu? dalam DonnyDonardono (Ed), Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia,Jakarta: HuMa, 2007

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006

Page 523: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

522

Rodney A. Ellis dan Karen M. Sowers, Juvenile Justice Practice: AcrossDisciplinary Approach to Intervention, Belmont: Wadsworth, 2001

Roescoe Pound, dikutip oleh R. Abdussalam, Penegakan Hukum di LapanganOleh Polri, Jakarta: Dinas Hukum Polri, 1997

Roeslan Saleh, Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan dalamHukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1985

_________, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Jakarta: AksaraBaru, 1987

_________, Masih Saja Tentang Kesalahan, Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1994

Romli Atmasasmita,”Sinergi Kerja Polri Dan Kejaksaan Agung Dalam SistemPeradilan Pidana di Indonesia,” Makalah disampaikan pada SeminarHubungan Polisi – Jaksa: Menuju Integrasi, di Auditorium BumiPutera –Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ. Indonesia, Depok,17 April 2008

Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Belajar,2009

Salim, Hukum Kontrak, Teori dan Teknis Penyusunan Kontrak, Jakarta: SinarGrafika, 2006

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: suatu Tinjauan TeoritisSerta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Bandung: Alumni, 1983

_________, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983

_________, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi”, makalahdisampaikan dalam Seminar Nasional Menggugat PemikiranPositivisme di Era Reformasi, PDIH, UNDIP, Semarang, 22 Juli 2000

_________, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2003

Page 524: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

523

_________, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,Muhammadiyah University Press, 2004

_________, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,2006

_________, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis Tentang PergulatanManusia dan Hukum, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007

_________, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Malang: BayumediaPublishing, 2009

_________, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: GentaPublishing, 2009

_________, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta:Genta Publishing, 2009

_________, Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Genta Publising, 2010

Soejono Koesoemo Siswoero, Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum,Semarang: UNDIP, 1979

________, Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai AliranFilsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya DenganPembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia, Pidato PengukuhanGuru Besar, Semarang: UNDIP, 30 Maret 1989

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normaif, SuatuPengantar Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003

Soerjono Soekanto, Pengertian Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1982

_________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986

Page 525: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

524

_________, Polisi Dan Lalu Lintas Analisis Menurut Sosiologi Hukum,Bandung: Mandar Maju, 1990

_________, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Citra AdityaBakti, 1991

_________, Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Soetandyo Wigyosubroto, Hukum, Paradigma, Metode dan DinamikaMasalahnya, Jakarta: Huma, 2002

_________, Masalah Pluralisme Dalam Pemikiran dan KebijakanPerkembangan Hukum Nasional (Pengalaman Indonesia), Makalahpada Seminar Nasional “Pluralisme Hukum : Perkembangan diBeberapa Negara, Sejarah Pemikiran di Indonesia dan PergulatannyaDalam Gerakan Pembaharuan Hukum”, pada 21 November 2006 diUniversitas Al-Azhar, Jakarta

S.R. Sianturi dan Mompang Panggabean, Hukum Penitensia di Indonesia,Bandung: Alumni, 1996

SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,Jakarta: Alumni AHAEM-PTHAEM, 1986

Sri Endah Wahyuningsih, Mata Kuliah Penunjuang Disertasi, PerbandinganHukum Pidana dari perspektif Religious Law System, UNISSULAPress, 2012

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung:Alumni, 1992

Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas HukumUndip, 1990

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1991

Page 526: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

525

Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum HAM, Yogyakarta: Pusham UII-Pustaka Pelajar, 2011

_________, Robohnya Keadilan : Politik Hukum HAM Era Reformasi,Yogyakarta: Pusham UII, 2011

Suparmin, Model Polisi Pendamai Dari Perspektif Alternative DisputeResolution (ADR) (Studi Penyelesaian Konflik Antar Partai Politik).Semarang: Undip Press dengan Wahid Hasyim University Press, 2012

Suteki, Alternative Dispute Resolution (ADR) Dalam Sistem PeradilanPidana Khususnya Tindak Pidana Ringan (TIPIRING). Paperdisampaikan di Polda Jawa Tengah, Semarang, 1 Desember 2010

Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase, ProsesPelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000

Teungku Muhammad Hasby Ash-shiddieqy, Al Bayan, Tafsir Penjelas Al-Qur'anul Karim, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cet VIII,Yogyakarta: Kanisius, 1995

Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermansa, 1997

United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, New York:United Nations Publication, 2006

Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum AcaraPerdata, Jakarta: PT. Bineka Cipta, 1993

Vigilijus Sadauskas, Transport: Traffic Safety Strategies, Vilnius GediminasTechnical University, Volume XVIII No. 2, Februari 2003

W.J.S. Poerwa Darminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet, Ke-8,Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 1985

Page 527: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

526

William M. Evan, “Value Conflict in the law of Evidence”, dalam SocialStructure and Law, London: Sage Publications, 1990

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung:Refika Aditama, 2003

YM Immanuel Patrio, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi,Bandung: Keni Media, 2012

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, 1977

Zainal Abidin Fareid, HA, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta : 2007

Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan AngkutanJalan

UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentangDisiplin Anggota Polri

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun2010 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada TingkatKepolisian Daerah

Page 528: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

527

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun2010 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada TingkatKepolisian Resor

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun2013 Tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas

SK KAPOLRI No.Pol. Skep/1205/IX/2000 Tentang Himpunan Juklak danJuknis Tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana, tanggal 11September 2000

Kongres PBB 9 Tahun 1995 (Dokumen A/Conf 169/6)

Laporan Konggres PBB The Prevention of Crime and the Treatment ofOffenders

International Penal Reform Conference Tahun 1999 di London

Deklarasi Wina, Konggres PBB 10 Tahun 2000, The EV Council FrameworkDecision-Mediation in Criminal Case

Ecosoc Resolusi 2002/12, Basic Principle on the Use of Restorative JusticeProgram Mes in Criminal Matters

Internet

Adiranus E. Meliala, 2006, “Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisidan Potensinya di Indonesia”, dikutip darihttp:/www.adrianusmeliala.com

http://diqa-butar-butar.blogspot.com/2011/09/teori-teori-keadilan.html

http://kartikarahmah2406.wordpress.com/2012/12/02/teori-keadilan-sosial

Page 529: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

528

http://ugun-guntari.blogspot.com/2011/02/teori- keadilan-perspektif-hukum.html

Mahfud MD. “Penegakan Keadilan di Pengadilan”http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=26 (diakses 20 Mei 2013)

Mu’in Abdul Kadir, Rekonstruksi Hukum, dalamwww.fatkhulmuin1983’s.weblog.com

Rocky Marbun, “Membangun Restorative Justice dan Penal Mediation dalamSistem Peradilan Pidana”, http: www.wordpres.com, diunduh pada 2Oktober 2012

Septina Ayu Handayani, Pandangan Monistis dan Dualistis Hukum Pidana,dalam aurockefeller.blogspot.com

Viktimologi, www.replaz.blogspot.com

www/http Monang Pardede, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, aksestanggal 25 Desember 2012

www//http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article, di akses 27Desember 2012

www.lppm.undip.ac.id Umi Rozah Dosen Fakultas Hukum UniversitasDiponegoro Semarang, Membangun Mediasi Penal, PembaharuanHukum, Hukum Pidana ,Tahun 2009

Majalah dan Sumber Lain

Abdullah, Amin, “al-Ta’wil al-‘Ilmi: Kearah Perubahan ParadigmaPenafsiran Kitab Suci”, Jurnal Al-jami’ah IAIN Sunan Kalijaga,Volume 39, No. 2, Juli – Desember 2001,

Page 530: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

529

A.M. Mujahidin, Hukum Progresif: Jalan Keluar dari Keterpurukan Hukum diIndonesia, Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 257, April, 2007

Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, disampaikan untuk Kuliah Umumdi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 18 Agustus 1997

__________;“Beberapa Catatan tentang Penafsiran”Varia Peradilan, TahunXXIV, No. 285 Agustus, 2009

_________, Makalah Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalam PenyelesaianSengketa Di Luar Pengadilan, Materi Perkuliahan Program Doktoral

Erman Rajagukguk, Perlu Pembaharuan Hukum dan Profesi Hukum, PidatoPengukuhan Sebagai Guru Besar Hukum, Suara Pembaharuan

Fatahillah A. Syukur, Contrains Hampering The Implementation ofIndonesian Court Annexed Mediation and Some Proposed Solution,Paper presented at the 4th Asia Pacific Mediation Forum Conference,2008

Fitriana K. Ratnaningsih, Pelaksanaan Diskresi Oleh Polisi DalamPenyidikan di Polwiltabes Semarang, Skripsi Fakultas Ilmu SosialUniversitas Negeri Semarang, 2006

Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu GugatanTerhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, PidatoPengukuhan Guru Besar, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003

Jimly Asshiddiqie. ”Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum diIndonesia” makalah Disampaikan pada acara Seminar “MenyoalMoral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas HukumUniversitas Gadjah Mada, 17 Februari 2006

Kuat Puji Prayitno,”Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia(Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto)”,Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 3 September 2012

Page 531: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara

530

Muhammad Mustofa, ”Hak Asasi Manusia: Diskresi Kepolisian danRestorative Justice di Indonesia dalam Rangka Penegakan Hukum danKetertiban Sosial”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. II, ed. 35,Tahun 2005

N. A. Ridwan, “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, Ibda P3M STAINPurwokerto, Vol 5 No. 1, 2007

Sartini. “Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati”, JurnalFilsafat Jilid 37, Nomor 2, 2004

Satjipto Rahardjo, Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif, Makalahdalam Seminar Nasional Hukum Progresif I. Diselenggarakan olehFakultas Hukum Universitas Diponegoro bekerja sama denganProgram Doktor Ilmu Hukum dan Fakultas Hukum UniversitasTrisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007

Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana yang BerbasisRestorative Justie makalah disampaikan dalam kegiatan Focus GroupDiscussion (FGD) tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMANPIDANA DALAM UNDANG-UNDANG DILUAR KUHP”,diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan HukumNasional Badan Pembinaan Hukum Nasional /BPHN DepartementHukum dan HAM, di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010

Page 532: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara
Page 533: KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal Justice Sestem), yang tidak menutup kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara