KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS...

67

Transcript of KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS...

Page 1: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan
Page 2: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

i

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami berhasil menyelesaikan “Riset Operasional Advokasi Keluarga Berencana untuk Meningkatkan Metode Ragam Kontrasepsi di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat” yang dilaksanakan dari Bulan April hingga Mei 2013. Laporan ini berisi hasil studi kualitatif di Kabupaten Sumbawa yang merupakan satu dari enam laporan studi kualitatif di tingkat kabupaten. Enam laporan tersebut berisi informasi terkait Keluarga Berencana di 3 kabupaten di Provinsi Jawa Timur yakni Kabupaten Kediri, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Tuban; serta 3 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Sumbawa. Pengumpulan data dilaksanakan dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Secara garis besar, informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga Berencana, serta pembelajaran yang diperoleh dari desa Metode Kontrasepsi Jangka Panjang tinggi dan rendah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar informasi upaya advokasi dan intervensi untuk meningkatkan ragam kontrasepsi di lokasi penelitian. Berlangsungnya penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Susan Krenn, Direktur Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs

2. Duff Gillespie dari Bill & Melinda Gates Institute for Population and Reproductive Health 3. J. Douglas Strorey, Sarah V. Harland, Priya Emmart dan Jennifer Kreslake dari John

Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs

4. Fitri Putjuk, Eugenita Garot dan Anggita Florenita dari John Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs Indonesia Office

5. Mayun Pudja, Dini Haryati dan Christiana Tri Desintawati dari Cipta Cara Padu Foundation

6. Sabarinah Prasetyo (Direktur) dan seluruh staff Pusat Penelitian Kesehatan UI 7. Ruth Stella, Anwar Fachmy, Cahyowati, Halimatus Sa’diyah, Menik Aryani,

Rosmilawati,dari Universitas Mataram di Provinsi Nusa Tenggara Barat; serta Windhu Purnomo, Irma Prasetyowati, Ni’mal Baroya, Annis Catur Adi, Riris Diana Rachmayanti, Nurul Fitriyah, dan Dini Ririn Andrias dari Universitas Airlangga di Provinsi Jawa Timur

8. Serta semua informan yang bersedia berkontribusi dalam penelitian ini.

Secara khusus, kami memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua peneliti yang terlibat, yakni Agus Dwi Setiawan, Christiana R. Titaley, Dadun, Dini Dachlia, Dwi Astuti Yunita Saputri, Ferdinand Siagian, Heru Suparno, dan Yudarini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Donal Husni, Hafizah, Vetty Yulianty, dan Ade W. Prastyani yang telah membantu proses akhir penyelesaian laporan ini. Kami berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk memajukan program keluarga berencana di Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Jawa Timur. Depok, 31 Maret 2014 Dr. dra. Rita Damayanti, MSPH Peneliti Utama

Page 3: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

ii

RINGKASAN EKSEKUTIF UNTUK KABUPATEN STUDI DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

1. Cakupan KB dan permasalahannya

Secara nasional Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan satu dari tujuh provinsi yang mendapatkan alat kontrasepsi 100% dari tingkat pusat. Hal ini dipicu oleh rendahnya angka Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) NTB dimana provinsi menempati urutan ke 32 dari 33 provinsi di Indonesia. Namun demikian, Provinsi NTB dapat menekan laju pertumbuhan penduduknya dari 1,29 menjadi 1,17, sementara rata-rata laju pertumbuhan penduduk secara nasional berkisar pada angka 1,49. Komitmen pemerintah Provinsi NTB cukup tinggi untuk meningkatkan IPM dengan KB menjadi salah satu prioritas utama. Arahan yang jelas dari pemimpin daerah untuk menjadikan KB menjadi salah satu investasi sumber daya manusia. Saat ini angka penggunaan kontrasepsi aktif adalah 56%, sedikit di bawah angka nasional yaitu 57,9%. Persentase unmet need di Provinsi NTB lebih tinggi (14%) dibandingkan rata-rata nasional (11,4%) (SDKI 2012). Indikator-indikator ini tidak dicatat dan dilaporkan oleh Dinas Kesehatan.

2. Non MKJP versus MKJP

Seperti halnya provinsi lainnya, angka pengguna non-MKJP Provinsi NTB jauh lebih tinggi (86.1%) dibandingkan MKJP (13.9%). Walaupun demikian, cakupan MKJP cenderung meningkat seiring berjalannya waktu. Pada umumnya, kontrasepsi suntik menjadi kontrasepsi yang paling diminati di daerah dengan akses layanan kesehatan yang baik. Walaupun secara teknis kontrasepsi pil lebih mudah penggunaannya, lebih murah dan praktis, kontrasepsi jangka panjang seperti implan lebih diminati di daerah dengan akses yang sulit ke layanan kesehatan. IUD lebih banyak diminati di daerah perkotaan dibandingkan pedesaan. Perempuan di daerah pedesaan cenderung merasa khawatir suami akan mengeluh mengenai IUD dan khawatir akseptor IUD akan mengalami kesulitan saat melakukan pekerjaan berat. Walau jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) yang melakukan sterilisasi masih kecil, penggunaannya diminati di daerah tertentu yang lebih permisif terhadap poligami.

• Mengintensifkan kegiatan KB masal dengan lebih mendorong masyarakat menggukan alat kontrasepsi MKJP dan membatasi alat konstrasepsi non-MKJP.

Rekomendasi:

• Meningkatkan kualitas pemasangan MKJP melalui pelatihan dan praktek pemasangan alat kontrasepsi MKJP seperti IUD dan implan pada petugas pemberi pelayanan kesehatan termasuk BPS.

• Meningkatkan kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) serta promosi MKJP mengenai keuntungan menggunakan MKJP melalui penyuluhan, sharing dan integrasi kegiatan.

3. Kebijakan dan alokasi anggaran

Komitmen provinsi NTB untuk meningkatkan IPM sangat kuat karena NTB saat ini menempati ranking 32 dari 33 provinsi yang ada. Oleh karena itu, program kesehatan dan pendidikan menjadi sektor pembangunan yang diprioritaskan. Komitmen yang kuat dari pusat dengan memberikan alat kontrasepsi untuk seluruh penduduk juga didukung oleh komitmen yang kuat dari daerah, dengan memberikan pelayanan KB gratis di Puskesmas.

Page 4: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

iii

Gubernur Provinsi NTB yang telah terpilih untuk kedua kalinya memiliki kewibawaan untuk memberikan arahan pada seluruh kabupaten terkait program yang meningkatkan IPM dengan membuat Nota Kesepakatan dan moto yang dibuat oleh provinsi. Beberapa jargon yang dikembangkan di tingkat provinsi seperti Generasi Emas, AKINO (angka kematian ibu NOL) membuat kabupaten harus bergerak ke arah yang sama. Dengan perkataan lain, desentralisasi hanya memiliki sedikit dampak terhadap variasi program di tingkat kabupaten terutama dalam konteks pembangunan manusia. Pendanaan untuk program-program ini ditanggung baik oleh provinsi maupun kabupaten.

4. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi

Pengadaan alat kontrasepsi dilakukan di tingkat pusat untuk seluruh penduduk. Perhitungan alat kontrasepsi dilakukan berdasarkan perhitungan target, potensi tahun lalu, angka unmet need, serta ketersediaan budget, yang kemudian menjadi KKP (Kontrak Kinerja Provinsi). Dinas Kesehatan mengeluh bahwa BKKBN kurang memperhatikan hal teknis dalam pendistribusian alat kontrasepsi ke Puskesmas/klinik. Kontrasepsi juga tergolong kelompok obat, sehingga pendistribusian harus berada dalam pengawasan apoteker. Namun bila kegiatan pendistribusian didelegasikan kepada Dinas Kesehatan, maka kemungkinan dapat terjadi keterlambatan. Stok kebutuhan alat kontrasepsi tidak boleh kurang dari dua sampai tiga bulan ke depan. Sejauh ini tidak ada masalah supply yang terjadi. Hanya pendistribusian untuk tempat terpencil sering menjadi masalah. Mekanisme distribusi alat kontrasepsi di tingkat kecamatan ada yang menerapkan kebijakan "satu pintu" melalui Puskesmas, atau "beberapa pintu", dimana PLKB mendistribusikan alat kontrasepsi langsung ke bidan desa dan ke BPS.

• Melibatkan Dinas Kesehatan dalam pendistribusian alat kontrasepsi mulai dari tingkat provinsi hingga Puskesmas. Kebijakan "satu pintu" sebaiknya dilaksanakan dengan Puskesmas bertanggung jawab untuk mendistribusikan alat kontrasepsi, bukan hanya kepada bidan di desa tapi juga kepada bidan praktek swasta. Mekanisme ini membantu Puskesmas dalam melakukan kontrol sistem pelaporan.

Rekomendasi:

5. Pelayanan KB dan pembiayaannya

Pelayanan KB paling sederhana yang dikelola pemerintah dilakukan di tingkat desa oleh bidan desa yang menyediakan pil dan suntik. Pelayanan MKJP seperti implan dan IUD diberikan di Puskesmas, sedangkan pelayanan sterilisasi dilakukan di Rumah Sakit. Unit pelayanan KB dapat berada dibawah naungan pemerintah maupun non-pemerintah. Keterlibatan dan dukungan klinik non-pemerintah terhadap MKJP pun cukup baik, sehingga dapat merupakan perpanjangan tangan pelayanan KB. Dalam kenyataannya, pihak non-pemerintah juga memberikan pelayanan KB melalui klinik atau BPS. Di Provinsi NTB alat kontrasepsi diberikan secara gratis, namun biaya pelayanan dan bahan habis pakai dibebankan kepada pasien. Demikian pula jika ada keluhan tentang efek samping dan pasien membutuhkan obat, maka pasien harus membayar sendiri obatnya. Kika pasien adalah pasien Jamkesmas atau Jamkesda, maka biaya obat ditanggung oleh pemerintah.

Page 5: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

iv

• Meningkatkan keterlibatan sektor swasta dalam pelayanan KB, terutama MKJP, dengan membentuk sistim kerjasama yang saling menguntungkan dan melibatkan mereka dalam Jampersal, Jamkesmas/Jamkesda.

Rekomendasi:

• Memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk mengikuti pelatihan CTU dan konseling untuk selalu memperbarui pengetahuan dan keterampilannya.

• Mendorong disertakannya biaya pelayanan medis MKJP ke dalam skema Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, sehingga pelayanan diberikan kepada seluruh masyarakat tanpa dipungut bayaran (bukan hanya keluarga miskin).

Konseling dilakukan sebelum akseptor memutuskan untuk ber-KB; namun pada umumnya pasien telah memutuskan sendiri jenis alat kontrasepsi yang ingin digunakan berdasarkan penjelasan yang didapat saat ANC atau dari PLKB. Konseling KB juga dilakukan setelah persalinan, dimana pasien dimotivasi untuk mendapatkan pelayanan IUD gratis jika pemasangan dilakukan dalam kurun waktu 40 hari. Dengan masuknya KB pasca persalinan dalam skema Jampersal, maka bidan dapat lebih memotivasi pasien untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi hormonal karena banyaknya efek samping yang terjadi.

Prinsip kafetaria dalam konseling sulit dilaksanakan karena terbatasanya jenis alat kontrasepsi yang tersedia. Jika alat kontrasepsi yang dipilih tidak ada, beberapa pasien terpaksa membeli sendiri atau diminta menunggu hingga alat kontrasepsi ada.

• Melakukan pelatihan ABPK (Alat Bantu Pengambilan Keputusan) bagi bidan, baik bidan swasta maupun yang bekerja di pemerintah.

Rekomendasi:

Standar pelayanan bagi peserta KB baru adalah petugas kesehatan melakukan konseling ke calon akseptor sebelum calon akseptor memutuskan ber-KB. Idealnya, calon akseptor juga sudah dimotivasi oleh PLKB. Dalam kondisi yang ideal, konseling menerapkan prinsip kafetaria, namun pada kenyataannya hal ini sulit dilakukan karena keterbatasan jenis alat kontrasepsi yang tersedia. Dalam konseling ditemukan banyak keluhan terkait non-MKJP yang merupakan kontrasepsi hormonal. MKJP ditemukan belum terlalu populer di masyarakat.

• Melakukan pelatihan konseling bagi yang belum mengikuti pelatihan, dan pelatihan penyegaran bagi yang telah mengikut pelatihan, untuk menekankan pentingnya edukasi terutama terkait alat kontrasespsi MKJP.

Rekomendasi:

6. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia yang memberikan pelayanan KB di Provinsi NTB sudah cukup memadai dengan adanya dokter ahli kandungan tersebar hampir di semua kabupaten dan bidan yang tersebar di desa. Namun untuk PLKB, distribusi tidak merata karena jumlahnya yang kurang dan tidak adanya regenerasi.

• Penambahan tenaga PLKB perlu menjadi perhatian penting bagi pemerintah kabupaten, di samping upaya peningkatan kualitas PLKB.

Rekomendasi:

• Meningkatkan kapasitas PPKBD dan sub-PPKBD untuk membantu PLKB dalam program KB.

Page 6: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

v

Dana pelatihan untuk petugas kesehatan ada di BKKBN, namun selalu berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan yang lebih mengetahui tentang ketenagaan bidan. Pelatihan Contraceptive Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan infeksi, pengetahuan umum tentang kontrasepsi, serta tindakan pemasangan IUD dan implan bagi bidan dan dokter. Pelatihan CTU dilaksanakan dua kali setahun dan tidak termasuk MOP dan MOW. MOP dapat dilakukan dengan dokter umum dan MOW oleh dokter spesialis.

• Mengikusertakan BPS dalam pelatihan CTU dan konseling.

Rekomendasi:

• Mengikutsertakan PLKB dalam pelatihan konseling medis, sehingga PLKB memahami persyaratan medis yang dibutuhkan untuk metode kontrasepsi tertentu.

Terjadi perdebatan tentang kewenangan bidan untuk memasang IUD dan implan karena ada UU kedokteran yang tidak mengizinkan bidan melakukan tindakan medis. Namun di NTB, hal ini tidak terlalu dipermasalahkan. Di daerah terpencil, bidan diperbolehkan menyediakan layanan implan dan IUD. Sementara itu, juga ditemukan perawat yang memberikan pelayanan kontrasepsi suntik.

• Diperlukan adanya kejelasan kewenangan bidan tentang pelayanan KB dengan mempertimbangkan aksesibilitas masyarakat terutama dalam pelayanan MKJP, mengingat sebagaian besar pelayanan KB dilakukan oleh bidan.

Rekomendasi:

7. Kerjasama antar instansi

Ada empat instansi yang terkait dengan KB ditingkat provinsi: BKKBN yang bekerja di sisi demand/permintaan dan bertindak sebagai koordinator, Dinas Kesehatan yang bekerja di sisi supply/pelayanan, Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) dan Program Kesejahteraan Keluarga (PKK). BP3AKB yang didirikan tahun 2008 bukan hanya mengelola kegiatan KB, tapi juga mengelola progam pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Institusi ini memiliki perpanjangan tangan di tingkat kabupaten. Instansi lainn yang tidak kalah pentingnya adalah PKK yang selalu memberikan dukungan pada pelayanan rutin dan momentum KB.

• Meningkatkan koordinasi antar instansi dengan melibatkan Bappeda agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan di tingkat kabupaten.

Rekomendasi:

• Memanfaatkan District Working Group (DWG) sebagai pemicu kerjasama antar instansi, namun tidak tersedianya dana operasional dapat menjadi kendala.

Beberapa klinik swasta telah ikut serta membantu pelayanan KB dengan memperolah alat kontrasepsi dari BKKBN, walaupun pasien tetap membayar jasa medis dan bahan habis pakai.

• Meningkatkan kerjasama dengan klinik swasta atau BPS terutama dalam pelayanan MKJP, dengan membentuk sistim yang saling menguntungkan.

Rekomendasi:

• Mengembangkan mekanisme kerjasama dengan pihak swasta untuk juga menerima akseptor dengan Jamkesda atau Jamkesmas.

Page 7: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

vi

Potensi kerjasama dengan sektor swasta dapat dikembangkan dengan perusahaan padat karya.

• Mengembangkan inovasi kerjasama dengan perusahaan menggunakan skema Corporate Social Responsibility (CSR). Hal ini dapat dilakukan melalui upaya advokasi pada pemerintah daerah yang memiliki pabrik padat karya untuk mengajak pihak swasta agar terlibat dalam program KB misalnya melalui APINDO.

Rekomendasi:

8. Menciptakan kebutuhan

Secara umum, program KB sudah diterima masyarakat baik yang berusia muda maupun yang berusia tua. Meskipun demikian, terdapat faktor budaya mempengaruhi angka akseptor KB, misalnya pandangan masyarakat tentang pentingnya memiliki seorang anak laki-laki dalam keluarga. Hal ini menyebabkan banyak keluarga berhenti menggunakan alat kontrasepsi untuk mendapatkan anak laki-laki yang didambakan.

Masih kuatnya pengaruh agama dan efek samping alat konstrasepsi menghambat keputusan untuk menggunakan alat kontrasepsi, terutama alat kontrasepsi jenis MKJP.

Rekomendasi:

• Mendorong pemerintah daerah dan SKPD yang terkait untuk lebih melibatkan Tuan Guru atau tokoh agama untuk memberikan informasi tentang keuntungan ber-KB dari sisi agama.

• Menggunakan testimoni pasangan yang berhasil menggunakan MKJP.

Untuk menciptakan kebutuhan, BKKBN sering menggunakan momentum KB dengan mengadakan pelayanan KB massal dengan menggunakan organisasi profesi IBI untuk menjadi petugas. Permasalahannya adalah banyak anggota IBI yang juga berstatus pegawai negeri, sehingga ketika mereka bertugas dalam kegiatan momentum tersebut, pelayanan di Puskesmas menjadi terganggu.

• Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan jika BKKBN atau unit KB tingkat kabupaten akan melakukan momentum KB untuk mempromosikan MKJP.

Rekomendasi:

• Disarankan agar BKKBN hanya menggunakan bidan swasta saja saat Momentum KB. • Melaksanakan kegiatan momentum KB hanya di Puskesmas, klinik atau Rumah Sakit

sehingga tidak mengganggu pelayanan dan jika terjadi komplikasi akan lebih mudah menanganinya.

• Menggunakan testimoni atau atau menggunakan teknik dari mulut ke mulut untuk promosi KB MKJP, dimana petugas kesehatan menawarkan MKJP dengan memberi contoh teman atau kerabat yang dikenalnya yang menggunakan MKJP dan tidak mengalami masalah.

• Menyertakan Tuan Guru untuk turut mempromosikan MKJP. 9. Pencatatan dan pelaporan

Di Provinsi NTB, pendataan KB lebih di tangan BKKBN dan jajarannya. Dinas Kesehatan lebih bersikap pasif dan menunggu dari BKKBN. Jika memerlukan data, maka Dinas Kesehatan akan memintanya dari BKKBN. Oleh karena itu, perbedaan angka peserta KB aktif atau angka KB lainnya tidak terlalu dipersoalkan di Provinsi NTB. Namun untuk menetapkan taget, ada perbedaan karena BKKBN menetapkan target berdasarkan PPM (Perkiraan Permintaan Masyarakat) sedangkan Dinas Kesehatan menggunakan data kohort

Page 8: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

vii

berdasarkan PUS. Terkait dengan pencatatan dan pelaporan, bidan desa mengeluhkan adanya beban ganda terkait pencatatan data KB bagi Unit KB dan bagi Dinas Kesehatan dalam register kohort KB.

• Menetapkan kesepakatan mengenai pendataan peserta KB dan adanya satu sistim pelaporan yang didukung oleh kedua instansi, dimulai dari tingkat pusat untuk menghindari beban ganda bidan di desa dan menghindari perbedaan data.

Rekomendasi:

Tidak ada sistim pelaporan dari klinik swasta, kecuali jika mereka mengambil alat kontrasepsi dari BKKBN. Jika bidan swasta adalah PNS, maka mereka akan juga memberikan laporan kepada Dinas Kesehatan.

• Memperbaiki sistim manajemen data sehingga pelayanan klinik swasta dapat ikut terdata.

Rekomendasi:

Page 9: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

viii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................................................i

RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................................................................... ii

UNTUK KABUPATEN STUDI DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ....................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................................................................. viii

DAFTAR TABEL ..................................................................................................................................................................x

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................................................... xi

1. PENDAHULUAN ....................................................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................................................. 1

1.2 Tujuan ................................................................................................................................................................. 2

2. METODOLOGI ........................................................................................................................................................... 3

2.1 Rancangan Penelitian ................................................................................................................................... 3

2.2 Lokasi Penelitian ............................................................................................................................................ 3

2.3 Metode Penelitian ........................................................................................................................................... 4

A. Kerangka sampel .................................................................................................................................. 4

B. Populasi penelitian .............................................................................................................................. 4

C. Pengambilan sampel ........................................................................................................................... 5

D. Metode pengumpulan data ............................................................................................................... 5

E. Kerangka konsep .................................................................................................................................. 8

F. Pedoman diskusi kelompok dan wawancara ............................................................................ 8

G. Data analisis ............................................................................................................................................ 9

H. Etik .............................................................................................................................................................. 9

3. KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI DAERAH STUDI ..................................................................... 11

3.1 Provinsi Jawa Timur .................................................................................................................................. 11

A. Provinsi .................................................................................................................................................. 11

B. Kabupaten Tuban .............................................................................................................................. 12

C. Kabupaten Lumajang ....................................................................................................................... 12

D. Kabupaten Kediri ............................................................................................................................... 12

3.2 Provinsi Nusa Tenggara Barat ................................................................................................................ 13

A. Provinsi .................................................................................................................................................. 13

B. Kabupaten Lombok Barat .............................................................................................................. 14

C. Kabupaten Lombok Timur ............................................................................................................. 14

D. Kabupaten Sumbawa ....................................................................................................................... 14

4. HASIL TEMUAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ................................................................... 16

Page 10: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

ix

4.1 Provinsi Nusa Tenggara Barat ............................................................................................................... 16

A. Pendahuluan ........................................................................................................................................ 16

B. Manajemen program Keluarga Berencana ............................................................................. 17

4.2 Kabupaten Sumbawa ................................................................................................................................. 23

A. Pendahuluan ........................................................................................................................................ 23

B. Manajemen program Keluarga Berencana ............................................................................. 28

C. Pendapat masyarakat ...................................................................................................................... 39

D. Pembelajaran dari desa MKJP tinggi dan rendah ................................................................. 48

4.3 Diskusi Kesimpulan dan Saran Provinsi Nusa Tenggara Barat ............................................... 49

A. Ringkasan hasil penelitian di tingkat provinsi dan kabupaten ...................................... 49

B. Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) ........................... 51

C. Kesimpulan dan saran tingkat provinsi ................................................................................... 52

D. Kesimpulan dan saran tingkat kabupaten .............................................................................. 53

REFERENSI ................................................................................................................................................................... 54

Page 11: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daerah penelitian .................................................................................................................................... 4

Tabel 2.2 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif ..................... 6

Tabel 2.3 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif ..................... 7

Tabel 2.4 Topik utama pertanyaan dalam studi kualitatif .......................................................................... 8

Tabel 4.1 Indikator pencapaian dan target Provinsi Nusa Tenggara Barat ..................................... 16

Tabel 4.2 TFR, Laju pertumbuhan penduduk, CPR dan unmet need Kabupaten Sumbawa ....... 23

Tabel 4.3 Cakupan KB Kabupaten Sumbawa berdasarkan jenis .......................................................... 26

Tabel 4.4 Anggapan masyarakat Kabupaten Sumbawa tentang MKJP dan non-MKJP ................ 27

Tabel 4.5 Pembiayaan Kesehatan Dina Kesehatan Sumbawa menurut sumber 2010 ................ 30

Tabel 4.6 Pembiayaan program kesehatan masyarakat Kabupaten Sumbawa .............................. 30

Tabel 4.7 Harga alat kontrasepsi dan pelayanan beragam jenis KB di Puskesmas dan bidan Kabupaten Sumbawa .......................................................................................................................... 33

Tabel 4.8 Perbandingan jumlah PLKB dan bidan desa di Kabupaten Sumbawa ............................ 35

Tabel 4.9 Ringkasan hasil penelitian kualitatif di Provinsi Nusa Tenggara Barat ......................... 49

Tabel 4.10 Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) .............................. 51

Page 12: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

xi

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Cakupan KB Nasional ........................................................................................................................... 1

Gambar 2.1 Lokasi penelitian .................................................................................................................................... 3

Gambar 2.2 Kerangka sampel studi kualitatif .................................................................................................... 4

Gambar 2.3 Kerangka konsep ................................................................................................................................... 8

Gambar 3.1 Wilayah administratif Provinsi Jawa Timur ............................................................................ 11

Gambar 3.2 Piramida penduduk Provinsi Jawa Timur ................................................................................ 12

Gambar 3.3 Provinsi Nusa Tenggara Barat ....................................................................................................... 13

Gambar 3.4 Piramida penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat ............................................................. 13

Page 13: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

1

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Implementasi program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia.Walaupun demikian, masih ditemukan berbagai tantangan terkait keragaman penggunaan metode kontrasepsi.Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1987-2012 menunjukkan bahwa presentase pasangan yang menggunakan kontrasepsi jangka pendek (suntik dan pil) di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan jenis kontrasepsi jangka panjang dan permanen (MKJP) seperti IUD, implan, dan metode operasi wanita (MOW)/pria (MOP).Lebih jauh lagi, sebagian besar pasangan yang ingin membatasi kehamilan (tidak ingin punya anak lagi) masih memilih menggunakan kontrasepsi pil dan suntik, yang sebenarnya lebih bertujuan untuk menjarangkan kehamilan. Data SDKI 2007 menunjukkan bahwa sebanyak 78% pasangan pengguna kontrasepsi modern menggunakan kontrasepsi jangka pendek (suntik dan pil) dan hanya 27%yang menggunakan kontrasepsi jangka panjang/permanen (Gambar 1.1). Selain rendahnya keragaman kontrasepsi, data SDKI 2007 juga menunjukkan bahwa angka ketidakberlanjutan metode kontrasepsi pil dan suntik lebih tinggi dibandingkan MKJP.Dalam 12 bulan pertama sejak menggunakan alat kontrasepsi, angka ketidakberlanjutan akseptor pil mencapai hampir 40% dan suntik lebih dari 20%, dibandingkan IUD sebesar 10% dan implan yang hanya 5%.

Gambar 1.1 Cakupan KB Nasional

Penggunaan alat kontrasepsi oleh masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk adanya izin dari pasangan, kualitas pelayanan, keramahan pemberi pelayanan kesehatan, dan pengetahuan wanita tentang.Selain itu, tingkat pendapatan, akses terhadap pelayanan, dan kepercayaan yang dianut juga berpengaruh pada besarnya penggunaan KB di suatu daerah (Okech, et. al, 2011).Di Indonesia sendiri, studi BKKBN menunjukkan umur Pasangan Usia Subur (PUS), lama menikah, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal, tingkatan keluarga sejahtera, tujuan ber-KB, dan sumber pelayanan mempengaruhi penggunaan MKJP di Indonesia. Studi kualitatif BKKBN pada tahun 2011 ini juga mengungkapkan banyaknya rumor yang beredar di masyarakat terkait kegagalan IUD menjadi hambatan dalam upaya peningkatan MKJP (BKKBN, 2011). Untuk mempromosikan KB termasuk MKJP di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan memperkuat aspek pelayanan dan aspek

42 45 48 51 52 10 10 9 6 6

0

20

40

60

80

100

1994 1997 2002/3 2007 2012

%

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

Non-MKJP MKJP

Page 14: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

2

penggerakan program KB (menciptakan kebutuhan/demand creation). Pada aspek pelayanan, pemerintah memperkuat kerjasama dengan mitra pelayanan program KB, memastikan ketersediaan sarana-prasarana dan alat kontrasepsi di semua pelayanan kesehatan, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia penyedia pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2013). Dari aspek penggerakkan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), merubah kembali moto “Dua Anak Lebih Baik” ke moto sebelumnya yang lebih popular yaitu “Dua Anak Cukup” untuk menumbuhkan pola pikirkeluarga kecil bahagia sejahtera (BKKBN, 2013). Walaupun demikian, terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan program KB di Indonesia, masih sedikitnya penggunaan MKJP di antara pasangan yang ingin membatasi kehamilan atau tidak ingin hamil menunjukkan masih diperlukannya upaya peningkatan penggunaan keragaman metode/alat kontrasepsi sesuai dengan tujuan penggunaan. Menyikapi hal tersebut, Center for Communication Program of Johns Hopkins University (JHU-CCP) bekerja sama dengan Yayasan Cipta Cara Padu, Kementerian Kesehatan RI, dan BKKBN, serta Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK-UI) mengadakan kegiatan Operational Research (OR) yang diharapkan dapat mendemonstrasikan upaya di tingkat kabupaten dalam meningkatkan ketersediaan dan penggunaan pelayanan Keluarga Berencana di daerah. Kegiatan ini dilakukan di enam kabupaten yaitu Kabupaten Kediri, Tuban, Lumajang (Provinsi Jawa Timur), dan Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur dan Sumbawa (Provinsi Nusa Tenggara Barat). Dalam kegiatan OR ini, pengumpulan data dasar dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Laporan ini hanya mendiskusikan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh PPK UI bekerja sama dengan mitra lokal di masing-masing provinsi. Data dasar ini akan dipergunakan oleh Yayasan Cipta Cara Padu untuk melakukan intervensi advokasi di enam kabupaten tersebut.

1.2 Tujuan A. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan perlaku masyarakat terkait penggunaan alat kontrasepsi Keluarga Berencana.

B. Tujuan khusus

• Untuk mengetahui prevalensi penggunaan kontrasepsi khususnya Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP).

• Untuk menilai pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terkait MKJP. • Untuk mengetahui alasan masyarakat menggunakan atau tidak menggunakan metode

kontrasepsi. • Untuk mengetahui hambatan yang dialami masyarakat dalam mengakses pelayanan

keluarga berencana.

Page 15: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

3

2. METODOLOGI

2.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah dengan informan dan informan kunci. Penelitian kualitatif ini dilakukan sebelum penelitian kuantitatif.

2.2 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakaan di dua provinsi: Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2.1). Di masing-masing provinsi dipilih tiga kabupaten sebagai lokasi penelitian: Kabupaten Tuban, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Lumajang untuk Provinsi Jawa Timur; serta Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Sumbawa untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Gambar 2.2 Lokasi penelitian

Penelitian kualitatif dilaksanakan di dua desa terpilih dari masing-masing kabupaten untuk mewakili gambaran desa dengan tingkat penggunaan MKJP tinggi dan rendah (Tabel 2.1). Data dikumpulkan dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa.

Provinsi Jawa Timur

Provinsi Nusa Tenggara Barat

Page 16: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

4

Tabel 2.1 Daerah penelitian

Provinsi Jawa Timur Kabupaten Kediri Lumajang Tuban Cakupan MKJP Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Kecamatan Pagu Tarokan Tekung Candipuro Rengel Parengan Desa Semanding Tarokan Wonogriyo Jarit Maibit Sidangrejo Provinsi Nusa Tenggara Barat Kabupaten Lombok Barat Lombok Timur Sumbawa Cakupan MKJP Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Kecamatan Kediri Narmada Jerowaru Selong Rhee Seketeng

Desa Banyumulek, Lelede

Dasan Tereng Paro Mas Kelayu

Utara Sampe Seketeng

2.3 Metode Penelitian A. Kerangka sampel

Enam sampai delapan wawancara mendalam dilaksanakan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Selain itu, kurang lebih empat wawancara mendalam dan empat diskusi kelompok diselenggarakan di tingkat desa. Lebih lanjut, kerangka sampel dapat dilihat di Gambar 2.2.

PROVINSI(6 wawancara)

KABUPATEN 1(6 wawancara)

KABUPATEN 2(6 wawancara)

KABUPATEN 3(6 wawancara)

Desa 1(Prevalensi MKJP

rendah)(5 wawancara dan 4

FGDs)

Desa 2(Prevalensi MKJP tinggi)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Kecamatan 1(6 wawancara)

Kecamatan 2(6 wawancara)

Desa 1(Prevalensi MKJP rendah)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Desa 2(Prevalensi MKJP tinggi)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Kecamatan 1(6 wawancara)

Kecamatan 2(6 wawancara)

Desa 1(Prevalensi MKJP rendah)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Desa 2(Prevalensi MKJP tinggi)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Kecamatan 1(6 wawancara)

Kecamatan 2(6 wawancara)

Gambar 2.3 Kerangka sampel studi kualitatif

B. Populasi penelitian

Untuk mengetahui tingkat pengetahan, sikap, dan perilaku terkait penggunaan MKJP, populasi penelitian yang diambil adalah sebagai berikut:

• Wanita menikah (15-49 tahun) bertempat tinggal di lokasi penelitian, memiliki setidaknya satu orang anak, dan yang memenuhi kriteria berikut: a. Menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) b. Menggunakan metode kontrasepsi lain c. Tidak menggunakan metode kontrasepsi jenis apapun (tidak ber-KB)

• Pihak lain yang berperan: a. Suami dari wanita yang menggunakan MKJP

Page 17: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

5

b. Suami dari wanita yang menggunakan metode lain c. Suami dari wanita yang tidak ber-KB d. Pria yang menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi (15-49 tahun) e. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang menggunakan MKJP f. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang menggunakan metode lain g. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang tidak ber-KB

• Pembuat kebijakan atau tokoh masyarakat terkait program keluarga berencana, termasuk: a. Tingkat provinsi: pegawai pemerintah daerah, Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah (Bappeda), BKKBN provinsi, PKK, Ikatan Bidan Nasional (IBI) b. Tingkat kabupaten: wakil bupati, pegawai pemerintah daerah, Bappeda, Badan

Keluarga Berencana (BKB), PKK c. Tingkat kecamatan: kepala kecamatan, BKB, PKK, KUPT-KB d. Tingkat desa: kepala desa dan tokoh masyarakat/agama

• Pemberi layanan kesehatan a. Tingkat provinsi: pegawai dinas kesehatan, pegawai RSUD, pegawai rumah sakit

swasta b. Tingkat kabupaten: pegawai dinas kesehatan, pegawai RSUD, RS swasta c. Tingkat kecamatan: pegawai dinas kesehatan dan bidan koordinator, Bidan Praktek

Swasta (BPS) d. Tingkat desa: petugas lapangan keluarga berencana (PLKB), sub-PPKBD, kader,

bidan desa, BPS.

C. Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dari populasi penelitian menggunakan metode non-probabilitas. Pengambilan sampel di tingkat desa dilakukan dengan meminta bantuan dari kader atau bidan desa. Detail informasi terkait informan disajikan di Tabel 2.2 dan 2.3.

D. Metode pengumpulan data

Penelitian kualitatif ini menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion/FGD) untuk mengumpulkan informasi dari masyarakat. Setiap diskusi kelompok melibatkan enam hingga delapan peserta. FGD dilaksanakan secara terpisah untuk pria dan wanita di tingkat desa. Di setiap desa, dilakukan dua FGD untuk kelompok wanita yang terdiri dari satu FGD ibu yang ber-KB dan satu FGD ibu yang tidak ber-KB. Pada FGD ibu ber-KB, baik ibu yang menggunakan MKJP ataupun metode lain dilibatkan sebagai peserta FGD. Hal serupa juga berlaku untuk FGD pria, satu FGD bapak untuk bapak atau pasangannya yang ber-KB dan satu FGD bapak untuk bapak dan pasangannya yang tidak ber-KB. Lebih lanjut, kategori responden dan metode pengumpulan data dapat dilihat di Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Data dikumpulkan dari total 453 informan yang terdiri atas 237 informan di provinsi Jawa Timur dan 216 informan di provinsi Nusa Tenggara Barat. Lebih lanjut, detail jumlah informan untuk masing-masing kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat disajikan di Tabel 2.2 dan Tabel 2.3.

Page 18: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

6

Tabel 2.2 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif

Provinsi Jawa Timur

Kegiatan Jumlah Informan

Provinsi Jawa Timur

WM: Wakil bupati 1 WM: Pemda 1 WM: Dinkes 1 WM: BKKBN 1 WM: RS swasta 1 WM: IBI 1

Kabupaten Kediri Lumajang Tuban

WM: Pemda 1 1 WM: Bappeda 1 1 1 WM: Dinkes 1 1 1 WM: Institusi KB 1 1 1 WM:PKK Digabung dengan inst KB 1 1 WM: RSUD 1 1 WM: RS swasta 1 1 1 Lainnya 1 Kecamatan Pagu Tarokan Candipuro Tekung Parengan Rengel

WM: Bidan koordinator 1 1 1 1 1 1

WM: KUPT-KB 1 1 1 Sama dengan PLKB

WM: PKK 1 1 1 1 1 1

WM: BPS 1 Sama dengan bidan 1 1 1

Desa Semanding Tarokan Jarit Wonogriyo Sidangrejo Maibit

FGD: Ibu KB 6 8 6 8 8 6 FGD: Ibu non-KB 8 6 6 6 7 6 FGD: Bapak KB 6 8 6 6 7 5 FGD: Bapak non-KB 6 6 6 6 6 6 WM: Kades 1 1 1 1 1 1 WM: kader 1 1 1 1 1 1 WM: Toga/toma 1 1 1 1 1 1 WM: Bidan desa 1 1 1 1 1 1 WM: PLKB Sama dengan KUPT KB 1 1 1 1 WM: ibu/mertua dari PUS KB 1 1 1 1 1 1

WM: ibu/mertua dari PUS non KB 1 1 1 1 1 1

Lainnya 1 1 1 1

Total 82 76 79 WM = Wawancara Mendalam FGD = Focus Group Discussion

Page 19: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

7

Tabel 2.3 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif

Provinsi Nusa Tenggara Barat

Kegiatan Jumlah Informan

Provinsi Nusa Tenggara Barat

WM: Pemda 1 WM: Bappeda 1 WM: Dinkes 1 WM: BKKBN 1 WM: PKK 1 WM: RSUD 1 WM: RS swasta 1 WM: IBI 1

District Sumbawa Lombok Timur Lombok Barat

WM: Pemda 1 1 1 WM: Bappeda 1 1 1 WM: Dinkes 1 1 1 WM: Institusi KB 1 1 1 WM:PKK 1 1 1 WM: RSUD 1 1 1 WM: RS swasta 1 Tidak ada RS swasta Lainnya 1 1

Sub-district: Rhee Seketeng Jerowaru Selong Kediri Narmada

WM: Bidan koordinator 1 1 1 1 1 1 WM: KUPT-KB 1 1 1 1 1 1 WM: PKK 1 1 1 1 1 1 WM: BPS 1 1 1 1 1

Village: Sampe Seketeng Paro Mas Kelayu Utara

Banyumulek, Lalede

Dasan Tereng

FGD: Ibu KB 6 6 6 6 7 6 FGD: Ibu non-KB 6 3 6 5 6 6 FGD: Bapak KB 5 5 6 5 7 6 FGD: Bapak non-KB 3 4 6 6 7 7 WM: Kades 1 1 1 1 1 1 WM: kader 1 1 1 1 1 1 WM: Toga/toma 1 1 1 1 1 1 WM: Bidan desa 1 1 1 1 1 1 WM: PLKB 1 1 1 1 1 1 WM: ibu/mertua dari PUS KB 1 1 1 1 1 1 WM: ibu/mertua dari PUS non KB 1 1 1 1 1

Total 64 76 81 WM = Wawancara Mendalam FGD = Focus Group Discussion

Page 20: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

8

E. Kerangka konsep

Kerangka konsep yang digunakan pada penelitian ini disesuaikan dari Theory of Diffusion of Innovations (Rogers, 1962) dan Health Belief Model (Rosenstock, 1966) yang telah banyak digunakan untuk memprediksi perilaku kesehatan. Kerangka konsep penelitian ini terlihat di Gambar 2.3.

Antecedents Proses

Dampak

Gambar 2.4 Kerangka konsep

F. Pedoman diskusi kelompok dan wawancara

Variabel, indikator, dan metode penilaian pada penelitian ini disajikan di Tabel 2.4. Tabel 2.4 Topik utama pertanyaan dalam studi kualitatif

No Topik Informan

1 Kondisi SES (kuesioner pendek) • Perempuan usia subur • Suami • Ibu atau mertua dari PUS

2 Pengetahuan, pengalaman masyarakat mengenai penggunaan alat kontrasepsi

• Perempuan usia subur • Suami • Ibu atau mertua dari PUS • Tenaga kesehatan • Tokoh masyarakat/agama

3 Faktor pendorong maupun penghambat penggunaan metode kontrasepsi

• Perempuan usia subur • Suami • Tenaga kesehatan

Page 21: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

9

No Topik Informan

• Tokoh masyarakat/agama 4 Pandangan masyarakat mengenai Keluarga

Berencana dan alat/cara kontrasepsi • Perempuan usia subur • Suami • Tenaga kesehatan • Tokoh masyarakat/agama

5 Ketersediaan, keterjangkauan, dan akses untuk mendapatkan alat kontrasepsi

• Perempuan usia subur • Suami • Tenaga kesehatan • Pemerintah daerah dan pemangku

kepentingan lainnya • Tokoh masyarakat/agama

6 Kebijakan KB di daerah tersebut, kerja sama lintas institusi dan sektor terkait program KB, ketersediaan dan keterjangkauan metode kontrasepsi, promosi program KB dan MKJP, sumber pendanaan program KB, SDM yang ada, pelatihan bagi SDM yang ada, pemantauan dan evaluasi.

• Tenaga kesehatan • Pemerintah daerah dan pemangku

kepentingan lainnya • Tokoh masyarakat/agama

G. Data analisis

Semua hasil diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam direkam audio dan kemudian ditranskrip oleh petugas lapangan. Analisis isi dan tematik dilakukan untuk mengidentifikasi tema yang muncul dari transkrip tersebut. Analisis dilakukan secara terpisah untuk setiap provinsi dan kabupaten. Identifikasi tema mengacu kepada tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Secara umum, data analisis yang terkumpul dilakukan dalam beberapa tahapan. Pertama, konseptualisasi informasi yang terkumpul dan identifikasi hasilke dalam beberapa area utama seperti cakupan program KB dan permasalahannya, manajemen program KB, pendapat masyarakat terhadap KB, serta pembelajaran yang diperoleh dari desa MKJP tinggi dan rendah. Proses ini berguna untuk mempermudah analisis selanjutnya ke dalam tema yang teridentifikasi. Kemudian dilakukan penilaian kritis terhadap kondisi program termasuk kekuatan, kelemahan, hambatan, area yang perlu ditingkatkan, dan faktor-faktor yang berhubungan sertaberguna agar dapat diajukan sebagai saran nyata. Selanjutnya, kutipan teks dari transkrip yang relevan diletakkan dibawah tema yang diidentifikasi. Selain itu, untuk meningkatkan kevalidan data, hasil wawancara mendalam dan FGD dianalisis dengan menggunakan: 1. Triangulasi sumber, yakni membandingkan konsistensi hasil yang diperoleh dari berbagai

sumber penelitian. 2. Triangulasi metode, yakni membandingkan konsistensi hasil yang diperoleh dari berbagai

metode pengumpulan data. 3. Triangulasi teori, yakni membandingkan hasil yang diperoleh dengan teori yang ada. H. Etik Perizinan etik untuk penilitian ini diperoleh dari Komite Etik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Izin penelitian juga diperoleh dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri, Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten. Perizinan pelaksanaan studi juga diperoleh dari tingkat desa dan kecamatan.

Page 22: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

10

Dalam pengambilan data, fasilitator FGD dan pewawancara lebih dahulu menjelaskan protokol penelitian kepada informan/peserta FGD. Selain itu, informan dan peserta FGD yang terlibat juga telah mengerti bahwa informasi yang diberikan dalam penelitian ini bersifat rahasia. Untuk itu, informan dan peserta FGD yang terlibat diminta menandatangi informed consent sebelum wawancara mendalam atau FGD dilaksanakan. Informed consent ini berfungsi sebagai bukti kebersediaan informan dan peserta FGD untuk terlibat dalam peneitian serta kebersediaan informan dan peserta FGD bahwa proses wawancara mendalam atau FGD direkam secara audio.

Page 23: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

11

3. KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI DAERAH STUDI

3.1 Provinsi Jawa Timur

A. Provinsi

Provinsi Jawa Timur terletak di bagian timur Pulau Jawa dan berbatasan dengan Pulau Kalimantan, Pulau Bali, perairan terbuka Samudera Indonesia dan Provinsi Jawa Tengah (Gambar 3.1). Provinsi Jawa Timur dari permukaan laut terbagi menjadi 3 bagian dimana sebagian besar (20 kabupaten/kota) terletak di daratan rendah (< 45 meter) dan sisanya tersebar di dataran tinggi dan sedang. Dari sudut kepulauannya, Provinsi Jawa Timur terbagi atas dua bagian besar yaitu Jawa Timur daratan dan Pulau Madura dengan luas wilayah 47.281 km2. Provinsi ini terbagi atas 29 kabupaten dan 9 kota, dengan 658 kecamatan dan 8.497 desa/kelurahan.

Gambar 3.1 Wilayah administratif Provinsi Jawa Timur

Jumlah penduduk di Jawa Timur sebanyak 37.476.757 jiwa(BPS, 2010) dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,76. Perbandingan urban dan rural adalah 47,6% tinggal di perkotaan dan sisanya di perdesaan. Di bawah ini (Gambar 3.2) adalah gambaran dari piramida penduduk di Jawa Timur, yang menggambarkan jumlah penduduk usia anak-anak masih cukup tinggi. Seks rasio di Jawa Timur adalah 98 yang berarti terdapat 98 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Median umur penduduk Provinsi Jawa Timur tahun 2010 adalah 31,03 tahun atau tergolong dalam kategori tua dengan rasio ketergantungan penduduk: 46,33. Dengan kata lain, setiap 100 orang usia produktif terdapat sekitar 46 orang usia tidak produkif, yang menunjukkan banyaknya beban tanggungan penduduk suatu wilayah.

Page 24: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

12

Gambar 3.2 Piramida penduduk Provinsi Jawa Timur

Rata-rata umur kawin pertama penduduk laki-laki di Jawa Timur adalah 26,6 tahun dan perempuan lebih muda empat tahun yakni 22,0 tahun. Di atas kertas, angka ini sudah menunjukkan tercapainya anjuran Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menunda perkawinan hingga usia 25 tahun bagi laki-laki dan 20 tahun bagi perempuan. B. Kabupaten Tuban

Pada bulan Agustus 2005, Kabupaten Tuban mengalami pemekaran kecamatan dari 19 menjadi 20. Jumlah penduduk Kabupaten Tuban pada tahun 2011 adalah 1.258.816, dengan komposisi laki-laki 630.576 jiwa dan perempuan berjumlah 628.240 jiwa. Kepadatan penduduk Kabupaten Tuban meningkat dibandingkan tahun lalu. Kepadatan penduduk tahun 2011 adalah 684 jiwa/km2. Kecamatan yang paling padat adalah Kecamatan Tuban dengan kepadatan 4.297 jiwa/km2 (Kabupaten Tuban Dalam Angka Tahun 2011, BPS Kabupaten Tuban). C. Kabupaten Lumajang

Kabupaten Lumajang memiliki 21 kecamatan yang meliputi 197 desa dan tujuh kelurahan.Jumlah total penduduk di Kabupaten Lumajang adalah 1.006.563 jiwa dengan kepadatan penduduk 567 jiwa/km². Jumlah penduduk pria adalah 490.490 jiwa dan penduduk wanita berjumlah 516.073 jiwa. D. Kabupaten Kediri

Pada tahun 2011, Kabupaten Kediri memiliki 26 kecamatan, 343 desa, dan satu kelurahan (Sumber: Kabupaten Kediri dalam Angka, 2012). Berdasarkan hasil sensus penduduktahun 2000, Proyeksi Penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur menyatakan jumlah penduduk Kabupaten Kediri sebesar 1.546.782 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 771.675 jiwa dan perempuan sebanyak 775.107 jiwa.

Page 25: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

13

3.2 Provinsi Nusa Tenggara Barat

A. Provinsi

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki perbatasan di sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Samudera Hindia, sebelah timur dengan Selat Sepadan dan sebelah barat dengan Selat Lombok.NTB terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Secara total NTB memiliki luas wilayah 20.153,15 km2 dengan delapan kabupaten, dua kota, dan 116 kecamatan serta 1.110 desa.

Gambar 3.3 Provinsi Nusa Tenggara Barat

NTB memiliki jumlah penduduk sebesar 4,5 juta jiwa (Profil NTB 2010) dengan tingkat kepadatan penduduk 225 kilometer persegi. Jumlah penduduk usia produktif sebanyak 2,99 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah angkatan kerja berjumlah 2,03 juta jiwa dan yang bukan angkatan kerja sebanyak 968,64 ribu jiwa.

Gambar 3.4 Piramida penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat

Jumlah penduduk miskin NTB pada tahun 2007 sebanyak 25% yang tersebar merata baik diperkotaan maupun pedesaan. Pada tahun 2010 NTB tercatat sebagai provinsi dengan IPM kedua terendah setelah Papua dengan laju pertumbuhan penduduk (2000-2010) sebesar 1,17. Gambaran piramida penduduk di provinsi NTB yang menggambarkan rata-rata usia penduduk berusia 25,4 tahun dapat dilihat di Gambar 3.4 (Sensus, 2010). Angka ini menunjukkan bahwa

Page 26: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

14

penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk kategori menengah (median antara 20-30 tahun). Rasio ketergantungan penduduk NTB adalah 55,5 atau untuk setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) terdapat sekitar 56 orang usia tidak produkif (dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun). Hal ini menunjukkan beban tanggungan penduduk suatu wilayah. Sementara rasio ketergantungan di daerah perkotaan adalah 51,5 dibandingkan dengan daerah perdesaan 58,5. Perkiraan rata-rata umur kawin pertama penduduk laki-laki sebesar 24,8 tahun dan perempuan 22,1 tahun. Di atas kertas tampak bahwa anjuran dari BKKBN untuk usia menikah laki-laki 25 tahun dan perempuan 20 tahun tampaknya telah tercapai. Seks rasio di NTB adalah 94, berarti terdapat 94 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Seks rasio menurut kabupaten/kota yang terendah adalah Kabupaten Lombok Timur sebesar 87 dan tertinggi adalah Kabupaten Sumbawa sebesar 104.

B. Kabupaten Lombok Barat

Presentase wanita berstatus kawin usia 15-49 tahun yang menggunakan alat kontrasepsi KB di Indonesia (KB aktif) adalah sebesar 64,2%. Angka ini diatas angka nasional 61,9% (SDKI 2007 dan 2012 dalam Ringkasan Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2012). Kabupaten Lombok Barat saat ini memiliki 10 kecamatan, 88 desa, dan 657 dusun. C. Kabupaten Lombok Timur

Kabupaten Lombok Timur terdiri dari 20 kecamatan. Pada tahun 2010, jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Lombok Timur tercatat sebanyak 215 desa/kelurahan, sedangkan pada bulan Desember 2011 jumlah desa/kelurahan dimekarkan menjadi 252. Satuan pemerintahan di bawah desa yakni dusun/lingkungan tercatat berjumlah sekitar 1.271 pada akhir tahun. Berdasarkan buku Penduduk Lombok Timur Dalam Angka 2011, jumlah penduduk Kabupaten Lombok Timur tahun 2011 sekitar 1.116.745 jiwa. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 1,01% jika dibandingkan jumlah penduduk tahun 2010. Apabila dirinci menurut jenis kelamin, penduduk Lombok Timur tahun 2011 terdiri dari 519.898 laki-laki dan 596.847 perempuan.Dengan demikian, rasio jenis kelamin penduduk Lombok Timur sebesar 87,11 artinya terdapat 87 laki-laki setiap 100 penduduk perempuan. Sementara itu perkembangan tingkat kepadatan penduduk juga mengalami perubahan dimana pada tahun 2005 Kabupaten Lombok Timur tercatat memiliki 644 jiwa/km2 dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 689 jiwa/km2. Jumlah ini terus meningkat dimana pada tahun 2011 tingkat kepadatan penduduk tercatat menjadi 696 jiwa/km2. Hal ini menunjukkan ketersediaan ruang bagi penduduk di Kabupaten Lombok Timur semakin terbatas. D. Kabupaten Sumbawa

Penduduk Kabupaten Sumbawa pada tahun 2011 berjumlah sekitar 419.989 jiwa, terdiri dari 214.387 laki-laki dan 205.602 perempuan dengan sex rasio 104. Bila jumlah penduduk dibandingkan dengan luas wilayah Kabupaten Sumbawa yakni 6.643,98 km2, maka setiap km2 dihuni oleh 63 jiwa. Ini memperlihatkan penduduk Kabupaten Sumbawa masih jarang. Jika dilihat keadaan masing-masing kecamatan, maka kecamatan Sumbawa merupakan yang terpadat yaitu sebesar 1.269 jiwa/km2, diikuti Kecamatan Alas dan Unter Iwes dengan masing-masing sebesar 231 dan 223 jiwa/km2. Sumbawa mempunyai beberapa wilayah remote dan pulau-pulau kecil yang didiami oleh beberapa etnis yang berbeda, etnis terbesar adalah suku Sumbawa, dan pendatang dari Lombok, Bali serta Jawa.

Page 27: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

15

Kabupaten Sumbawa cukup berhasil melakukan pengendalian laju pertumbuhan penduduk, hal ini terbukti dengan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 (SP-2010) yang menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Sumbawa sebanyak 415,789 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 0,94 % (LLP 2000-2010).

Page 28: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

16

4. HASIL TEMUAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

4.1 Provinsi Nusa Tenggara Barat

A. Pendahuluan

A.1. Cakupan program Keluarga Berencana (KB) dan permasalahannya di Nusa Tenggara Barat

Secara nasional, Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu dari tujuh provinsi dimana alat kontrasepsinya 100% ditanggung oleh pemerintah pusat. Namun demikian NTB berhasil menurunkan Laju Pertumbuhan Penduduknya dari 1.82 menjadi 1.17. Dari data kohort ibu Dinas Kesehatan, CPR adalah 64% dari seluruh PUS, sementara hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menujukkan angka 56,0%. Jenis kontrasepsi tidak dirangkum dan dilaporkan walaupun pada data kohort ibu di tingkat Puskesmas, data tentang jenis kontrasepsi tersedia. Angka unmet need juga tidak tercatat di Dinas Kesehatan sehingga angka yang digunakan adalah angka SDKI, namun BPPKB mengikuti tentang angka unmet need ini.Dinas Kesehatan lebih menekankan pada data tentang komplikasi dan efek samping. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa CPR 56,0 % tidak mampu menekan TFR 2,8? Apakah karena pemakaian alat kontrasepsi masih yang tergolong non-MKJP? Atau karena distribusi alat kontrasepsi yang kurang merata? Atau karena usia kawin pertama yang masih rendah? Tabel di bawah ini memberikan gambaran mengenai pencapaian NTB terkait dengan indikator KB.

Tabel 4.1 Indikator pencapaian dan target Provinsi Nusa Tenggara Barat

Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa pencapaian Provinsi NTB cenderung di bawah rata-rata nasional, seperti misalnya TFR dan CPR (Tabel 4.1). Angka unmet need juga masih masih sekitar 14%, lebih tinggi dari rata-rata nasional (11,4%). Pada umumnya pasangan ini sudah mencoba menggunakan alat kontrasepsi namun karena ada efek sampingnya sehingga mereka takut untuk mencoba yang lain. Terlepas dari ketertinggalan NTB dalam indikator terkait KB, saat ini tampaknya NTB berusaha mengejar ketinggalannya dengan tingginya komitmen dari pemerintah untuk program KB. Pertanyaan penting yang perlu diajukan untuk mendapat gambaran masyarakat terpencil NTB

Indikator Capaian NTB (sumber) Capaian Nasional Target MDGs

Tingkat Pertumbuhan Penduduk

1,17 (Sensus Penduduk 2012)

1,49 (SP, 2010)

1,1

Total Fertility Rate (FTR)

2,8 (SDKI, 2012) 2,6 (SDKI, 2012)

2,1

Contraception Prevalence Rate (CPR)

56% (SDKI, 2012) 57,9 (SDKI, 2012, hasil

sementara)

65%

MKJP 13,9% (SDKI, 2012) Age Specific Fertility Rate (ASFR) untuk 15-19 tahun

48/1000 (SDKI, 2012, hasil

sementara)

30/1000 perempuan

Unmet Need 16,1% (metode baru)

14.0% (metode lama)

(SDKI, 2012) 11,4%

5%

Rata-rata umur pertama menikah

Laki-laki: 24,8

Perempuan 22,1

21 tahun

Page 29: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

17

adalah: • Ibu hamil keberapa? Karena masih banyak ibu di daerah terpencil yang memiliki banyak

anak • Suami keberapa? Karena kawin cerai adalah hal yang umum dilakukan oleh masyarakat di

NTB terutama di pulau Lombok. • Berapa anak yang hidup? Di daerah terpencil, masih sering terjadi kematian bayi karena

fasilitas yang kurang memadai. Usia perkawinan menurut nara sumber rata-rata masih rendah 15-17 tahun, terutama didaerah pantai, namun di perkotaan rata-rata perempuan menikah sudah di atas 20 tahun.Hal ini bertolak belakang dengan data Sensus Penduduk (2010) yang menunjukan usia rata-rata perkawinan pertama adalah 22 untuk perempuan dan 25 untuk laki-laki.

Terlepas dari hal ini, diakui bahwa kesadaran ber-KB untuk pasangan-pasangan muda sudah jauh lebih baik. Pada umumnya pasangan muda baru menggunakan KB jika mereka telah memiliki anak pertama, hal ini disebabkan karena desakan orang tua mereka yang mengharapkan cucu A.2. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) versus Jangka Pendek (non-MKJP)

Data SDKI menunjukkan bahwa suntik merupakan alat kontrasepsi yang paling banyak diminati (36,8%) di NTB, terutama untuk daerah yang aksesnya mudah. Kemudian disusul oleh pil (7,1%), yang rawan gagal, walaupun secara teknis lebih mudah. Non-MKJP masih banyak diminati karena saran suami yang masih ingin punya anak lagi. Jadi jika ingin punya anak lagi lebih mudah untuk dihentikan. Selain ini non-MKJP dianggap masyarakat lebih murah dan praktis. Alat kontrasepsi yang tergolong MKJP seperti IUD dan implan masih kurang diminati. Pengguna IUD hanya 3.8% sementara implan lebih banyak diminati di NTB (5,4%). IUD lebih banyak diminati di perkotaan dan sulit untuk diterima untuk masyarakat pedesaan karena takut atau malu pemasangannya. Rumor bahwa suami mengeluh jika berhubungan seksual juga sering terdengar demikian juga alatnya yang lepas ketika bekerja berat. Implan lebih diminati oleh masyarakat daerah terpencil/pegunungan karena akses tenaga kesehatan sulit. Dengan menggunakan implan maka mereka tidak harus bolak balik ke bidan.Vasektomi ada di daerah tertentu, walaupun belum banyak karena budaya poligami.

B. Manajemen program Keluarga Berencana B.1 Kebijakan dan alokasi anggaran

NTB adalah provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ketiga, terendah setelah Papua, menurut Bapeda, sehingga komitmen pemerintah daearah untuk meningkatkan IPM di NTB sangat kuat. Kesehatan dan pendidikan dianggap sebagai modal utama untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk di NTB. Oleh karena itu pemerintah daerah mencanang kan program pelayanan KB gratis di Puskesmas. Program Keluarga Berencana mendapat perhatian khusus dimana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2014-2018 program KB dibahas secara khusus dengan programnya Generasi Emas NTB. Selain itu Pemerintah daerah juga membentuk Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Kelurga Berencana (BP3AKB) sebagai satuan kegiatan perangkat daerah yang juga turut aktif menggiatkan program KB selain BKKBN yang merupakan perpanjangan tangan pusat. Komitmen pemerintah terlihat dengan meningkatnya anggaran unit ini dari 2 M pada tahun 2012 menjadi 3,5 pada tahun 2014 nanti.

Page 30: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

18

Kebijakan provinsiuntuk mendukung tercapainya MDGs juga cukup kuat. NTB membuat jargon jargon seperti: AKINO atau Angka Kematian Ibu NOL dan Generasi Emas 2025 mengarahkan NTB untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Gubernur NTB, meminta pada bupati untuk ikut serta komit melaksanakan program yang telah dicanangkan provinsi dalam upaya meningkatkan IPM NTB. Misalnya, pada tahun 2009, Gubernur minta komitmen kabupaten untuk sharing dana revitalisasi Posyandu, kebutuhan dana keseluruhan dihitung, lalu dibagi dua, setengah ditanggung provinsi dan setengah lagi ditanggung kabupaten.

Pengusulan anggaran mengikuti proses yagn berlaku umum. Setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menghitung kebutuhan anggarannya dan kemudian diajukan ke Bappeda. Pada umumnya SKPD mengajukan 2-3 kali lebih besar dari pagu yang telah ditetapkan. Kemudian dibahas dengan Bappeda untuk disesuaikan pagu anggaran yang telah ditetapkan untuk masing-masing SKPD.

Pengusulan Anggaran

Pelayanan KB telah diikut sertakan dalam Jamkesmas/Jamkesda. Pihak RS Pemerintah juga mengakui bahwa pasien rujukan semua gratis jika dengan menggunakan skema jampersal.Dari salah seorang narasumber, disebutkan bahwa Bidan Praktek Swasta (BPS) boleh ikut skema Jampersal namun tidak boleh mengambil pasien swasta lagi. Hal ini diakui memberatkan bidan praktek swasta.

Jamkesmas/Jamkesda dan KB

B.2. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi

NTB merupakan salah satu provinsi dengan pengadaan alat kontrasepsi 100% ditanggung oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu baik di tingkat provinsi maupun kabupaten tidak melakukan pengadaan alat kontrasepsi. Perhitungan jumlah alat kontrasepsi yang dibutuhkan dilakukan melalui perhitungan jumlah peserta KB baru, Perkiraan Permintaan Masyarakat. Data-data ini diperoleh dari Puskesmasdengan mengumpulkan data dari klinik (F2 KB) dan pustu-pustunya, kemudian koordinator tingkat kecamatan UPT-KB mengumpulkan data ini dan menyerahkan ke SKPD KB tingkat kabupaten dan kemudian mengkompilasi semua data yang ada.

Mekanisme pengadaan dan peruntukan

Dengan mempertimbangkan angka unmet need dan ketersediaan anggaran operasional, maka angka ini diolah menjadi Kontrak Kinerja Provinsi (KKP) yang harus di capai untuk masing-masing kabupaten. Kebutuhan stok alat kontrasepsi tidak boleh kurang dari 2-3 bulan ke depan. Hingga saat ini belum terjadi kekurangan stok alat kontrasepsi. Sebenarnya seluruh alat kontrasepsi disediakan secara gratis dari pemerintah pusat, namun pada pelaksanannya pelayanan KB tidak seluruhnya diberikan secara gratis di seluruh kabupaten. Misalnya di Kabupaten Lombok Timur, masyarakat yang mau ber-KB diberikan gratis asalkan dilakukan di pelayanan pemerintah seperti Puskesmas dan RS atau Poskesdes. Sedangkan di Lombok Barat, pelayanan KB gratis bagi masyarakat yang memegang kartu jaminan pelayanan (jamkesmas atau askeskin). Sedangkan masyarakat non-Gakin yang datang ke Puskesmas/RS dikenakan biaya pelayanan sesuai ketentuan Perda No.4/2011.

Pendistribusian alat kontrasepsi dari Pusat didistribusikan ke BKKBN provinsi dan dari provinsi didistribusikan ke unit KB tingkat kabupaten. Dari unit KB tingkat kabupaten kemudian didistribusikan ke KUPT KB tingkat kecamatan. Dari tingkat ini ada dua variasi pendistribusian,

Distribusi alat kontrasepsi

Page 31: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

19

yang pertama adalah alat kontrasepsi didistribusikan ke Puskesmas lalu Puskesmas akan mendistribusikan pada bidan di desa dan bidan praktek swasta yang berada di wilayahnya. Variasi ke dua adalah alat kontrasepsi didistribusikan ke Puskesmas, bidan di desa dan Klinik Swasta oleh KUPT KBmelalui PLKB. Persoalannya adalah pendistribusian alat kontrasepsi ke daerah terpencil. Walaupun ada dana untuk mendistribusikan alat kontrasepsi, namun untuk daerah yang terpencil kurang mencukupi. Memahami hal ini, bidan di desa terpencil sering kali secara suka rela memberikan transportasi tambahan ala kadarnya kepada PLKB yang diperoleh dari akseptor. Misalnya di Kabupaten Lombok Timur bidan mengumpulkan Rp. 2000,- dari setiap akseptor suntik untuk diberikan kepada PLKB. Dinas Kesehatan sering mengeluh bahwa BKKBN kurang memperhatikan hal teknis dalam pendistribusian alat kontrasepsi ke klinik/Puskesmas. Alat kontrasepsi juga termasuk obat sehingga pendistribusian harus ada pengawasan dari apoteker.Pernah di coba alat kontrasepsi yang didistribusikan di titipkan ke gudang obat Dinas Kesehatan, tapi hanya bertahan satu tahun saja, karena dianggap menjadi lambat.

Secara umum stok alat kontrasepsi selalu tercukupi karena telah disediakan untuk jangka waktu ketersediaan tiga bulan ke depan.

Kecukupan alat kontrasepsi

Pelaporan stok alat kontrasepsi

Setiap bulan Unit KB tingkat kabupaten mendapatkan informasi dari Puskesmas kecamatan dan koordinator PLKB tentang stok KB yang ada dan kemudian unit KB tingkat kabupaten mengisi form Evaluasi F5 dan melaporkannya ke tingkat provinsi.

B.3. Pelayanan Keluarga Berencana dan pembiayaannya

Secara umum ada tiga tingkat pelayanan KB. Tingkat yang paling dasar adalah Polindes, dimana poli ini hanya dapat melayani KB sederhana seperti KB suntik. Tingkat yang lebih tinggi adalah Puskesmas, dimana klinik ini dapat melayani pemasangan IUD dan implan. Tingkat yang lebih tinggi lagi adalah Rumas Sakit, dimana pelayanan KB yang kompleks seperti Metode Operasi Pria (MOP) dan Metode Operasi Wanita (MOW) hanya dapat dilaksanakan di Rumah Sakit.

Unit Pelayanan KB

Dalam studi ini peneliti mengunjungi salah satu RSB Swasta dimana jumlah pasien perbulan: 26 orang dengan rincian: IUD 22 pasien, MOW 3 pasien dan suntik 1 pasien. Di klinik ini ibu-ibu lebih banyak memilih metode MKJP. RS Pemerintah yang merupakan RS rujukan juga memiliki pola yang sama, dimana pasien yang datang ke RS lebih memilih MKJP. Contoh dari catatan bulan yang lalu adalah IUD postpartum 60 pasien perbulan. Tubektomi kurang lebih 13 pasien perbulan dan vasektomi berkisar antara 7-10 perbulannya.

Untuk biaya pelayanan KB di RS Pemerintah, jika pasien ingin menggunakan kondom, suntik dan pil maka pasien hanya membeli karcis saja, karena alat kontrasepsi tersebut gratis. Namun untuk suntik ada biaya pelayanan medisnya yang dikenakan sebesar Rp. 25.000,-. Di bawah ini adalah biaya pelayanan medis untuk MKJP:

Biaya Pelayanan KB

• Biaya pelayanan medis IUD Rp.75.000,- • Biaya pelayanan medis MOW Rp.2.500.000,- • Biaya pelayanan medis MOP Rp.1.250.000,-

Page 32: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

20

Gambaran biaya pelayanan di RSB Swasta diambil dari salah satu Rumas Sakit Bersalin (RSB) untuk golongan menengah. Pada umumnya pasien yang ingin mendapatkan pelayanan KB adalah pasien yang baru melahirkan. Umumnya mereka diarahkan untuk menggunakan MKJP terutama IUD. Biaya yang dikenakan di RSB untuk IUD hanyalah untuk pelayanan medis saja dan berkisar antara Rp. 300.000,- hingga Rp.400.000,-. RSB ini menghindari penggunaan Norplant atau implan karena mahal. Untuk Lingkaran Biru saja harganya sudah Rp.55.000,-. Untuk biaya tubektomi biayanya antara 1,5 juta- 2 juta karena harus ada tindakan operasi. Pelayanan KB pada bidan praktek swasta, untuk metode suntik gratis karena obatnya diperoleh dari pemerintah, namun pasien dibebani bahan habis pakai karena semua peralatan habis pakai ini harus dibeli. Demikian maka pasien tetap akan ditarik biaya hanya untuk konseling dan barang habis pakai yang dibebankan antara Rp.10.000,- hingga Rp.15.000,-. Namun demikian pasien yang kurang mampu akan diberi biaya khusus sebagai amal atau disarankan untuk menggunakan Jamkesmas/Jamkesda/ Jampersal. RSB atau Klinik swasta lebih mendorong pasiennya untuk memilih MKJP, hal ini dikarenakan efek samping yang hampir tidak ada, berbeda dengan yang hormonal. Pada umumnya semua pasien dikenakan biaya. Sebaliknya di RS umum pemerintah, selama minggu hanya satu orang yang dikenakan biaya, karena RS ini adalah RS rujukan sehingga banyak yang menggunakan jaminan kesehatannya.

Sesuai dengan standarnya, konseling harus dilakukan pada pasangan atau ibu sebelum memutuskan untuk ber-KB, namun pada umumnya pasien yang datang ke RS sudah tau apa yang diinginkan sebab sudah dijelaskan saat Antenatal Care oleh bidan atau mendapat penjelasan dari PLKB.

Konseling KB

Pada RSB Swasta, konseling KB dilakukan terutama setelah persalinan dan umumnya ibu dimotivasi untuk menggunakan IUD. Dokter tidak menyarankan alat kontrasepsi yang hormonal karena banyak efek sampingnya. Untuk RSB swasta hal ini diupayakan untuk dihindari karena pasien akan bolak balik mengeluhkan efek sampingnya. Pada dasarnya prinsip cafetaria harus dilaksanakan, dimana pasien dijelaskan pada semua metode kontrasepsi dan kemudian diminta untuk memutuskan sendiri sesuai dengan pertimbangannya. Namun pada prakteknya hal ini sulit dilaksanakan karena keterbatasan jenis alat kontrasepsi tertentu. Jika alat kontrasepsi yang dipilih sedang tidak ada maka pasien terpaksa membeli sendiri atau diminta menunggu sampai alat kontrasepsinya ada. Namun hal ini memberikan risiko bahwa pasien keberatan untuk membeli atau tidak kembali lagi.

Walaupun alat kontrasepsi gratis, namun jika ada keluhan tentang efek samping dan pasien membutuhkan obat, pasien harus memayar sendiri obatnya kecuali jika pasien Jamkesmas/Jamkesda, maka obat digratiskan.

B.4. Sumber daya manusia

Dinas Kesehatan di NTB memiliki 27 obgyn yang tersebar hampir di semua kabupaten dengan rasio bidan 45,6/100.000, sementara Indonesia 52,2/100.000 penduduk (sumber: Badan PPSDMK 2012 dalam Data/ Informasi Kesehatan Provinsi NTB, 2012), namun demikian bidan cukup tersebar merata. Sementara jumlah PLKB berkurang dan distribusinya juga tidak merata. Tenaga PLKB pada jaman sentralisasi BKKBN sudah banyak yang menjelang pensiun, namun tidak ada pengganti yang cukup berpengalaman. Setelah PLKB dipegang oleh masing-masing

Jumlah tenaga kerja terkait

Page 33: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

21

kabupaten maka perekrutan sudah jarang terjadi. Oleh karena itu PLKB dibantu oleh kader Bina Keluarga Remaja (BKR), Bina Keluarga Balita (BKB) atau PPKBD ditingkat desa dan PPKBD tingkat dusun. Namin demikian insntif yang jang menkdi kecil.

Isu tentang adanya tentang kewenangan bidan untuk memasang IUD dan implan karena adanya UU kedokteran, juga muncul di NTB. Namun untuk daerah terpencil, bidan masih boleh memasang implan atau IUD. Bidan yang memasang IUD atau implan harus berada di bawah pengawasan dokter. Padahal dalam kenyataannya tidak banyak dokter yang tertarik untuk memberikan pelayanan kontrasepsi.

Kewenangan untuk memberikan pelayanan KB

Di NTB bahkan ada perawat yang memberikan pelayanan suntik KB.

Dana pelatihan untuk meningkatkan kualitas pelayanan KB bagi petugas kesehatan ada di BKKBN, namun BKKBN berkoordinasinya dengan dinas kesehatan karena tenagaan bidan berada di bawah pengawasan dinas kesehatan.

Pelatihan

Sejak tahun 2006 RSUmum di NTB telah melakukan pelatihan Contraceptive Training Update (CTU). Untuk tahun 2012 telah dilaksanakan delapan kali pelatihan dengan peserta kurang lebih orang untuk setiap angkatan. Setelah pelatihan dilakukan juga supervisi ketika bidan melakukannya di lapangan. Materi yang diberikan adalah: konseling, pencegahan infeksi, pengetahuan umum tentang kontrasepsi, tindakan pemasangan difokuskan pada IUD dan implan untuk para bidan dan dokter. Dalam pelatihan ini tidak termasuk MOP dan vasektomi. Pelatihan MOP hanya dilakukan untuk dokter spesialis dan MOP untuk dokter umum. Pelatihan ini hanya dilakukan dua kali setahun.

Ikatan Bidan Indonesia (IBI) memperkirakan 30% pelayanan kontrasepsi dilakukan oleh Bidan Praktek Swasta (BPS), karena BPS hampir dapat dikatakan buka 24 jam sehari. IBI mendukung tenaga jika ada momentum KB dengan cara mengkoordinir anggotanya untuk melakukan pelayanan KB, karena dalam kegiatan itu dibutuhkan banyak petugas kesehatan.

Ikatan Bidan Indonesia

B.5. Kerjasama antar instansi

Ada empat institusi yang terkait dengan program KB ditingkat provinsi, yaitu BKKBN yang bekerja di sisi demand/permintaan dan berperan sebagai koordinator, Dinas Kesehatan yang bekerja di sisi supply/pelayanan.BKKBN provinsi adalah merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, namun untuk tingkat kabupaten berada di bawah perintah daerah masing-masing. Selain kedua instansi tersebut, di NTB terdapat pula BP3KB (Badan Pemberdayaan Perempuan Perlinndungan Anak dan KB) yang didirikan didirikan tahun 2008. Namun instansi ini bukan hanya bekerja untuk program KB saja, tapi juga untuk pemberdayaanperempuan dan perlindungan anak. Institusi ini memiliki kepanjangan tangan di tingkat kabupaten. Institusi keempat adalah PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). PKK memberikan dukungan pada pelayanan rutin dan momentum KB seperti yang diselenggarakan dari TNI, Bhayangkari, IBI.

Page 34: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

22

Beberapa klinik swasta telah ikut serta membantu pelayanan KB dengan memperolah alat kontrasepsi dari BKKBN, namun demikian pasien membayar untuk tenaga pelayannya dan bahan habis pakai. Tampaknya keterlibatan klinik swasta dapat lebih ditingkatkan lagi. klinik swasta yang terlibat dapat lebih banyak lagi dilibatkan. IBI memperkirakan 60% kepesertaan KB dari bidan yang bekerja pada pemerintah, sumbangan dari sektor swasta 30% dan 10% dokter atau RS/RSB.

Peran Swasta

Hingga saat ini pelatihan-pelatihan banyak dilakukan untuk bidan di desa atau bidan yang praktik di puskemas, Dinas Kesehatan mengusulkan agar bidan praktek swasta dapat ikut dilatih konseling. B.6. Menciptakan kebutuhan

Untuk meningkatkan MKJP, BKKBN Provinsi dengan menggunakan testimoni pasangan yang menggunakan KB jenis MKJP misalnya MOP atau MOW. Sebab masyarakat lebih percaya jika yang berbicara adalah orang yang telah menggunakan metode kontrasepsi tersebut. BKKBN juga memiliki satu buah Klinik P2KS (Pos Pelayanan Keluarga Sejahtera) disetiap provinsi sebagai klinik percontohan. Tujuan dari klinik ini adalah untuk meningkatkan pertahanan keluarga. Jadi penekanannya bukan pada pelayanan medis, namun pada pelayanan non medis. Karena isu ketahanan keluarga bukan hanya KB jadi klinik ini tidak hanya memberikan konseling KB saja namun juga konseling bagi remaja dan lansia. BKKBN juga memiliki anggaran untuk promosi khusus, walaupun tidak besar, yang berada pada Bidang Advokasi Penggerakan dan Informasi. Umumnya promosi KB berbentuk Baliho, penyuluhan lewat tokoh masyarakat dan tokoh agama, pemutaran film. BKKBN juga memiliki mobil unit penerangan untuk penyuluhan keliling.

Pesan yang dipromosikan oleh BKKBN kembali lagi menjadi dua anak cukup, setelah pesan dua anak lebih baik dianggap tidak tepat. Pesan KB lainnya disampaikan pula pada kelompok Genre (Generasi Berencana), Bina Keluarga Remaja dan Bina Keluarga Lansia.

Untuk menciptakan kebutuhan, BKKBN sering menggunakan momentum KB dengan mengadakan pelayanan KB massal. BKKBN menghubungi IBI untuk menjadi petugasnya. Masalahnya adalah anggota IBI banyak juga yang pegawai negri, sehingga ketika mereka melayani kegiatan tersebut, makan tidak ada di yang melayani di Puskesmas.Pernah terjadi BKKBN minta 500-700 bidan serentak dan hal ini mengganggu pelayanan di Puskesmas. Disarankan agar BKKBN hanya menggunakan bidan swasta saja. B.7. Pencatatan dan pelaporan

Seperti juga di provinsi Jawa Timur, di NTB juga ada dua sistim pencatataan terkait KB, satu adalah dari BKKBN dan satu dari Dinas Kesehatan. Namun di NTB Dinas Kesehatan dalam soal data KB, bersikap lebih bersikap pasif dan menunggu angka dari BKKBN atau jika memerlukan maka Dinas minta data ke BKKBN. Karena itu di NTB masalah perbedaan angka akseptor baru atau indikator lainnya tidak terlalu menonjol. Namun, karena ada rumor bahwa BKKBN akan berada di bawah Kementrian Kesehatan (dimana kepala BKKBN saat ini dilantik oleh menteri Kesehatan), maka Dinas Kesehatan mencoba lebih aktif dalam merekap data.

Page 35: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

23

Dalam sistim pencatatan ini, ada perbedaan data karena perbedaan formulasi yang ditetapkan. BKKB menghitung angka akseptor baru bersarkan berdasarkan PPM (Perkiraan Permintaan Masyarakat) dan dinas menggunakan data kohort berdasarkan PUS. Dalam hal perhitungan, terdapat perbedaan rumus perhitungan untuk akseptor baru. Dinas Kesehatan dalam data kohort ibu menghitung jumlah peserta KB baru dengan denominator jumlah PUS kemudian dikalikan dengan 100%. Sementara BKKBN menghitung jumlah peserta KB baru dibagi dengan Perkiraan Permintaan Masyarakat (PPM) baru dikalikan 100%. Untuk memantau program KB, mekanisme pemantauan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dilakukan setiap tiga bulan sekali. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut, dilakukan validasi data serta pemberian umpan balik bagi Puskesmas.

Untuk mekanisme pemantauan dilakukan umpan balik bulanan dari BPPKB di tingkat kecamatan. Hal ini perlu dilakukan karena kualitas pelaporan dari PLKB masih harus di tingkatkan.

Laporan sektor swasta diambil oleh BPPKB setiap bulannya dengan format Laporan bulanan KB F/II/KB/08. Sektor swasta jika tidak diambil tidak melaporkan, kecuali jika mengambil alat kontrasepsi dari BKKBN.Tenaga kesehatan yang juga PNS dan melakukan praktek swasta pada sore harinya, umumnya membawa laporannya ke dinas kesehatan.

Sektor Swasta

PKK: PKK juga memiliki pendataan tersendiri. Dinas Kesehatan dan Mendagri membuat sistim informasi terpadu (SIP). Dimana PKK memiliki tiga buku wajib pendataan yaitu untuk ibu hamil, ibu nifas dan pencatatan untuk bayi dan ibu yang meninggal dunia.

4.2 Kabupaten Sumbawa

A. Pendahuluan

A.1. Cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya

Di Sumbawa, Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan angka Total Fertility Rate (TFR) 2,61 atau rata-rata seorang ibu memiliki anak 3-4 orang (Tabel 4.2), sedangkan PUS yang menggunakan alat kontrasepsi atau Contraceptive Prevalence Rate (CPR) adalah 62 %. Angka ini relatif baik jika dibandingkan angka nasional dan provinsi. Hasil wawancara mendalam menegaskan bahwa proporsi cakupan peserta KB pada tahun 2012 sudah mencapai 69% dari jumlah pasangan usia subur yang ada (98.234 PUS) dengan CPR 62,41. Berkaitan dengan jumlah anak saat ini, rata-rata diperkirakan satu ibu kecenderungannya hanya punya anak 2-3 orang saja atau mestinya TFRnya di bawah 2,6 %, sedangkan peserta baru semua cara pada tahun 2011 tercatat jumlahnya mencapai 25.413 (SDA, 2012).

Cakupan KB, angka penggunaan kontrasepsi dan unmet need di kabupaten

Tabel 4.2 TFR, Laju pertumbuhan penduduk, CPR dan unmet need Kabupaten Sumbawa

Sumbawa NTB Nasional Total Fertility Rate (TFR) 2.611) 2,83) 2,6 Laju pertumbuhan penduduk 0.941) 1,172) 1,49

Page 36: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

24

Sumbawa NTB Nasional Jumlah PUS 98.234 - - Contraceptive Prevalence Rate (CPR) 62,41%1) 55,1 3) 57,9 Unmet need 14%1) 14%3) 11,4 Usia kawin pertama - L:24,8/P:22,1 P:19

Sumber: 1 Sumbawa Dalam Angka 2012, Sensus 2010; 2 BPS; 3) Survei Demografi Kesehatan Indonesia.

Perhitungan unmet need hanya popular dikalangan pemangku kepentingan BKBPP atau BKKBN, dan tidak banyak diketahui oleh staf SKPD lainnya. Perkiraan angka unmet need tahun 2012 provinsi NTB sekitar 14%, sehingga dibandingkan SDKI 2007 (12,9%) terjadi sedikit peningkatan angka unmet need. Angka unmet need di Sumbawa diperkirakan sama dengan angka Provinsi NTB.

Dari sisi pelayanan, sebenarnya klien tidak pernah tidak dilayani atau tidak ada calon akseptor yang ditolak karena pelayanan selalu tersedia. Di Sumbawa, persediaan alat kontrasepsi cukup, jumlah klinik KB ada 150 klinik KB. Namun, mungkin daerahnya memang tidak terjangkau pelayanan KB atau juga mungkin karena kesadaran masyarakat yang masih rendah. Alasan lain unmet need biasanya adalah usia yang tidak produktif lagi, suami bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri atau memang karena ingin punya anak lagi.

Dalam beberapa kasus unmet need, juga dapat terkait dengan kematian ibu. Pengalaman menunjukkan dari beberapa audit maternal menunjukkan hal tersebut. Menurut informan Dinas Kesehatan (Dinkes), program KB akan sangat bermanfaat untuk merencanakan jumlah anggota keluarga. Jumlah anak terlalu banyak berisiko tinggi terhadap terjadinya kematian ibu. Dari hasil audit yang dilakukan, beberapa kematian terjadi karena ibu sudah punya anak lebih dari lima, bahkan sudah enam atau tujuh kali melahirkan. Beberapa kasus kematian lain karena ibu tidak pernah memperoleh K1-K4 (kunjungan antenatal pertama sampai keempat). Mereka tidak berani datang ke petugas karena takut mendapat teguran dari petugas kesehatan.

Kabupaten

Penerimaan program KB di masyarakat

Semua pemangku kepentingan (stakeholder) menyampaikan bahwa masyarakat Sumbawa diyakini sudah tahu tentang KB, bahkan sebagian besar sudah menganggap KB sebagai salah satu kebutuhan. Hal ini menunjukkan penerimaan masyarakat sudah baik.

Informan BKBPP menyampaikan sebagian besar masyarakat perkotaan sudah mempunyai kesadaran ber-KB yang baik. Namun, masyarakat di daerah pinggiran dan terpencil seperti di pulau-pulau memiliki tingkat pengetahuan KB yang belum sesuai harapan. Menyikapi hal ini, Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) terus melakukan gerakan-gerakan pelayanan bergerak (mobile).

Informan BKBPP juga menyampaikan masih ada berbagai rumor yang tidak mendukung permintaan MKJP dan penanganan kasus gagal KB yang kurang tertata dengan baik tindak lanjutnya. Penanganan kasus efek samping dan gagal KB sangat sensitif dan dapat menimbulkan rumor dan isu negatif pada alat kontrasepsi tertentu dan ini dapat mempengaruhi calon peserta KB, khususnya untuk MKJP. Sejumlah upaya sudah dilakukan seperti pemberian kompensasi sebesar Rp. 500.000,- untuk akseptor gagal KB. Saat ini sedang diusulkan kompensasi lebih besar untuk gagal KB yang membuat akseptor tetap menjadi hamil.

Pelayanan implan dan IUD di sektor swasta terkesan masih mahal sehingga banyak yang enggan menggunakannya. Sedangkan pelayanan di klinik KB pemerintah terkendala karena terbatasnya waktu dan masih adanya rasa kurang percaya pada alat kontrasepsi yang tersedia.

Page 37: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

25

Informan kesehatan menyampaikan keterbatasan persediaan alat kontrasepsi favorit yakni pil dan suntik mendorong kemandirian akseptor. Pada satu sisi, hal ini adalah positif namun pada sisi lain akseptor yang kurang mampu merasa terbebani. Kedua jenis ini dirasa sering kekurangan karena permintaannya selalu tinggi.

Kecamatan

Pemangku kepentingan di tingkat kecamatan seperti Kepala Kecamatan, pembina Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) kecamatan dan Kepala Unit Pelaksana Teknis KB (KUPT KB) kecamatan menyampaikan bahwa penerimaan masyarakat akan program KB sudah baik. Di Kabupaten Sumbawa cakupan program sudah relatif baik. PUS yang aktif ber-KB dilaporkan sudah mencapai 70%, meski ada daerah–daerah yang belum optimal khususnya cakupan kontrasepsi jangka panjang seperti IUD. KUPT KB menyampaikan bahwa dalam dua tahun terakhir Kecamatan Sumbawa selalu terlibat dalam kegiatan-kegiatan momentum. Demikian juga karena di sini ada rumah sakit, setiap persalinan selalu diupayakan untuk langsung mendapatkan layanan kontrasepsi pasca salin. Kegiatan penggerakan KB juga terus dilakukan bersama ketua Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) untuk mendorong warganya mendapatkan layanan KB pada waktu-waktu tertentu. Peran sub PPKBD sangat penting dalam meningkatkan cakupan.

Di Kecamatan Rhee, penerimaan KB juga sudah baik. KUPT KB menyampaikan para ibu sudah menerima program KB dengan baik. Hampir 80% PUS di Desa Sampe sudah ber-KB. Menurut ibu yang menjadi akseptor, dengan ikut KB, ibu bisa membantu suami di ladang dan bisa bekerja, walau sebagian masih menggunakan kontrasepsi jangka pendek. Sebenarnya, mereka bukan tidak mau menggunakan MKJP, namun kebanyakan mereka beralasan masih ingin menambah jumlah anak.

Penerimaan KB di Kecamatan Sumbawa sudah baik. Sebagian besar masyarakat sudah menganggap KB sebagai tuntutan atau kebutuhan. Sebagai daerah urban, penduduk Kabupaten Sumbawa sudah memahami pentingnya program KB bagi pembentukan keluarga sejahtera. Bahkan pilihan alat kontrasepsinya sudah mengarah kepada MKJP, seperti IUD dan implan.

Di kedua kecamatan tempat studi ini dilakukan, tim penggerak PKK juga turut serta membantu program KB melalaui Pokja 4 yang biasanya membantu memberikan penyuluhan ke desa-desa bersama petugas KB. Menurut bidan coordinator, sebagian besar masyarakat sudah paham dan mengerti tentang KB. Namun pilihan mereka masih ke metode jangka pendek, seperti pil dan suntik. Kebanyakan masyarakat enggan menggunakan MKJP karena alasan takut atau malu. Untuk IUD misalnya, yakni metode dengan pemasangan dari dalam, mereka merasa malu. Ada juga yang memberikan alasan terganggu hubungan suami istri, walau kebanyakan bersumber dari cerita-cerita dan rumor. Upaya-upaya momentum cukup banyak dilaksanakan untuk mendorong meningkatnya pemakaian MKJP.

Desa

Kelurahan Seketeng Kecamatan Sumbawa merupakan daerah urban yang berada di tengah pemukiman padat. Menurut Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), kesadaran penduduk Kelurahan Seketeng untuk ber-KB sudah baik. Menurut kelompok bapak yang ber-KB, KB adalah salah satu cara pemerintah untuk mengatur jarak kelahiran anak dan membatasi jumlah anak. Orang tua/mertua telah mendukung program metode KB. Namun demikian, masih ada kelompok yang belum ber-KB. Masyarakat di kampung ini memiliki rencana untuk ikut program KB, tetapi setelah punya anak lagi baru mau KB. Dari hasil Focus Group Discussion (FGD), diketahui masih ada yang masih takut memakai KB padahal sudah merencanakannya. Hal ini dikarenakan masayarakat takut terjadi ketidakcocokan alat kontrasepsi dengan kondisi tubuh. Sebagian masyarakat memang sudah menetapkan tidak merencanakan MKJP karena alasan takut dan ingin segera punya anak lagi.

Page 38: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

26

Di Kelurahan Seketeng, sebagian besar masyarakat sepertinya sudah menganggap KB sebagai suatu kebutuhan. Bidan melaporkan banyak ibu ketika hamil besar sudah mulai berkonsultasi mengenai KB apa yang akan dipakai setelah melahirkan. Kesadaran ini juga bisa dilihat dari sebagian besar masyarakat adalah peserta KB mandiri.

“Seiring dengan kesadaran masyarakat sudah tinggi, tidak perlu cape-cape mengajak, datang sendiri, cukup kuat mandiri jadi mendatangi langsung.” (Lurah, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa) “Rata–rata masyarakat sudah memahami ... Bagaimana arti kebutuhan kehidupan hari-hari, baik keturunan, wawasan masyarakat tentang KB luar biasa jika dibandingkan dengan pulau Lombok… Kalau tidak sala, sejak tahun 90an pemahaman KB masyakat [Seketeng] sudah luar biasa.” (Tokoh masyarakat, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa)

Di Desa Sampe sudah 70% PUS sudah ber-KB. Bahkan tahun ini tidak ada yang mendaftar sekolah karena tidak ada anak usia sekolah baru. Sebagian besar sudah mengerti jenis-jenis alat kontrasepsi, namun pilihan mereka tetap pada kontrasepsi jangka pendek dengan alasan mau punya anak lagi atau karena belum punya anak laki-laki atau perempuan.

A.2. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) versus Jangka Pendek (Non-MKJP)

Dengan maraknya pelaksanaan kegiatan Safari KB dan pelayanan mobile untuk meningkatkan penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) maka terjadi peningkatan jumlah MKJP yang cukup pesat, terutama penggunaan implan (Tabel 4.3).

Kabupaten – Kecamatan

Tabel 4.3 Cakupan KB Kabupaten Sumbawa berdasarkan jenis

Jenis kontrasepsi Sumbawa 1) NTB Nasional Non-MKJP

Suntikan 42,8 36,8 31,9 Pil 22,1 7,1 13,6 Kondom 10,22 0,5 1,8

MKJP Implan 15.1 5,4 3,3 IUD 8,79 3,8 3,9 MOW 0,79 1,4 3.2 MOP 0,09 0,0 0.2

Sumber : 1) Sumbawa Dalam Angka 2012 (Hasil pelayanan peserta KB baru klinik KB tahun 2011) Cakupan MKJP di Sumbawa cukup menggembirakan, angkanya melebihi angka nasional dan hampir tiga kali pencapaian Provinsi NTB. Di Kabupaten Sumbawa, MKJP mencapai 25% sedangkan sisanya adalah non-MKJP. Jumlah akseptor non-MKJP masih jauh lebih banyak daripada akseptor MKJP, namun kecenderungan cakupan MKJP dilaporkan terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. KB pasca salin di RS juga turut berkontribusi dalam meningkatkan jumlah akseptor MKJP khususnya IUD, dari 12 (2008) menjadi 20 (2009) dan 50 (2010) akseptor. Momentum MOW tampaknya juga memberikan andil, dari 63 akseptor (2009) kemudian meningkat 163 akseptor (2010) dan 212 (2011). Jika upaya ini terus berlanjut maka tren MKJP akan terus meningkat.

Page 39: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

27

Tabel 4.4 Anggapan masyarakat Kabupaten Sumbawa tentang MKJP dan non-MKJP

Non-MKJP MKJP

Cara pemasangan

Lebih sederhana dalam pemasangan • Lebih sulit dalam pemasangan, rasa malu • Rasa malu terutama untuk IUD, membuka jalan

lahir

Efek samping dan kenyamanan

Tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari Efek samping ada : kurus, gemuk, mens tidak

teratur

• Khawatir mengganggu pekerjaan sehari-hari • Tidak bisa langsung kerja keras (ke ladang)

Akses dan keterjangkauan

Lebih murah (dalam jangka yang pendek) • Lebih mahal (karena pemasangan pertama biaya cukup tinggi)

Gampang diperoleh, mis. pil • Tidak semudah non-MKJP, terutama pil • Perlu biaya untuk melepas

Kepercayaan

Tidak bertentangan dengan agama

• Lebih memilih alat kontrasepsi yang non-MKJP • Lebih berbahaya – alat kontrasepsi bisa berjalan • Bisa berpindah posisi/tempat • Mengganggu kenyamanan hubungan seksual

(IUD) • Takut terbawa mati

Pilihan alat kontrasepsi di masyarakat terkait dengan banyak hal, seperti ketersediaan pelayanan, akses menuju pelayanan, cara pemasangan, persepsi dan pengetahuan masyarakat, kepercayaan atau rumor yang berkembang, serta kesepakatan dengan pasangan.

Non-MKJP banyak dipilih masyarakat karena memenuhi semua faktor di atas (Tabel 4.4), seperti cara pemasangan mudah, tersedia dimana-mana, dapat diakses dengan mudah. Dari pandangan yang berkembang di masyarakat, non-MKJP dianggap paling kecil risikonya. Pemakaian non-MKJP dianggap praktis dan mudah dihentikan jika ingin punya anak lagi, serta sebagian besar suami tidak keberatan dengan non-MKJP khususnya pil dan suntik karena tidak terlibat secara langsung.

Cara pasang MKJP juga masih dirasakan sangat mengganggu privasi karena untuk IUD harus membuka jalan lahir. Cara ini menimbulkan rasa malu dan segan, sehingga kebanyakan ibu mengundurkan naitnya untuk pasang. Untuk implan, cara pasang tidak banyak dikeluhkan namun sebagian merasa takut pada proses pasangan implan di bawah kulit. Kendala lain untuk IUD dan implan adalah setelah pemasangan akspetor harus istirahat dan tidak boleh bekerja berat. Pada ibu yang membantu suami di sawah dan lading, hal ini sangat merugikan karena bisa kehilangan penghasilan atau menghambat pengolahan sawah ladang.

Page 40: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

28

Non-MKJP dianggap sebagai alat kontrasepsi paling praktis dan mudah, baik dalam memperolehnya ataupun dalam mengontrolnya jika mengalami efek samping. Non-MKJP dinilai masyarakat juga mudah dihentikan jika ingin menambah anak.

Desa

“…karena penggunaan suntik lebih praktis dan dalam jangka pendek bisa dikontrol." (Lurah. Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa)

“Suntikan [paling banyak digunakan] …karena saat ingin punya anak bisa [bisa dihentikan], kalau pil dikarenakan kadang malas minumnya [bisa hamil]. Kecuali minumnya bisa 1 kali dalam 1 bulan [pasti banyak yang pilih pil].” (Kader, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

“Yang laing umum pak kalau di sana [dusun baru Desa Seketeng] itu masalah [metode] suntik dan pil.” (Tokoh Masyarakat, Ds. Sampe, Kec.Rhee, Kab.Sumbawa)

Masyarakat kebanyakan takut mencoba MKJP karena takut pada prosesnya dan takut karena informasi negatif yang beredar di masyarakat.

“Betul pak… Menurut pengamatan saya masyarakat takut [MKJP]... Pernah ada cerita di daerah lain ketika berhubungan terganggu sampai terjadi penyakit yang fatal… Makanya dia [ibu-ibu] ketakutan kelihatan seperti itu…kedua mungkin takut sakit.” (Kades, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

B. Manajemen program Keluarga Berencana

B.1. Kebijakan dan alokasi anggaran terkait KB

Program KB di Sumbawa telah menjadi salah satu prioritas. Sejak bidang KB ditetapkan menjadi badan, sudah ada komitmen pemerintah daerah untuk meletakan program KB sebagai salah satu investasi sumber daya manusia, selain pendidikan dan kesehatan. Dalam lima tahun terakhir, komitmen semakin membaik. Sebelumnya, pasca eforia implementasi otonomi daerah, program KB kurang diperhatikan. Beberapa tahun selanjutnya program KB bisa dibilang stagnant. Menurut informan dari BKBPP, setelah Bidang KB menjadi badan, sedikit demi sedikit program KB mulai menggeliat. Ditambah dengan dukungan Bupati program KB menjadi semakin baik. Saat ini program KB diperlakukan sebagai upaya mengembangkan aset masa depan.

Kebijakan

Komitmen terhadap program KB dianggap sebagai hal yang sangat positif oleh jajaran kesehatan karena secara umum KB adalah bagian dari upaya mengatasai masalah kesehatan. Jadi, dukungan yang baik pada program ini juga menguntungkan program kesehatan. Program ini sudah masuk dalam RPJM, yang berarti sudah merupakan prioritas.

Dukungan pimpinan daerah juga mempertegas komitmen untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat Sumbawa mendorong semua sektor terkait untuk turut terlibat membantu pelaksanaan program KB, khususnya sektor kesehatan. Lembaga adat dan lembaga kerukunan agama juga dilibatkan dalam upaya mendekati dam melibatkan masyarakat.

BKBPP bersama dengan berbagai sektor terkait berupaya mengembangkan berbagai kegiatan momentum yang dapat meningkatkan cakupan program KB. Kegiatan bersama itu antara lain kegitan pelayanan KB gratis yang melibatkan Bhayangkari, TNI dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Pimpinan daerah juga dapat menggerakan SKPD untuk mengembangkan program yang dapat dikerjakan bersama. Kabupaten Sumbawa telah mengembangkan program unggulan POSPABKB, yaitu Posyandu yang dikembangkan lebih luas lagi. Program ini dilaksanakan oleh Dinkes dengan keterlibatan semua unsur kecamatan dan desa untuk membuat gugus kendali dalam melaksanakan berabagai kegiatan; sehingga ada keterwakilan semua sektor. Masing –

Page 41: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

29

masing menggunakan dana yang ada di sektornya. POSPABKB adalah pos pelayanan di tingkat desa yang memberikan pelayanan Posyandu, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan KB secara terintegrasi.

Proses penyusunan anggaran KB sebagian besar menjadi tanggung jawab Bidang KB melalui BKBPP. Kemudian rencana tersebut dikonsultasikan bersama dengan bidang Sosial Budaya (Sosbud) Bappeda. Bidang KB dan Sosbud menyusun anggaran berdasarkan informasi indikasi plafon anggaran dari Bappeda dan keuangan Pemerintah daerah (Pemda) Sumbawa, yang biasanya jumlahnya tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya atau maksimal 10 % lebih besar dari tahun sebelumnya. Dengan mengantisipasi pemotongan anggaran dan kegiatan dalam pembahasan anggaran bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan tim anggaran, biasanya usulan anggaran disusun lebih besar dari plafon yang diindikasikan.

Perencanaan anggaran KB

Menurut Pemda, BKBPP tidak perlu melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan. Sepanjang bisa memberikan argumen yang rasional, para pengambil keputusan dapat menerima alasan yang diberikan dan menyetujui usulan yang diajukan.

Anggaran KB, secara sistem formal yang ada, hanya dapat diusulkan oleh BKBPP. Oleh karena itu sektor lain hanya dapat mengusulkan kegiatan ke BKBPP seperti pelatihan bidan dan kegiatan penggerakan dan penyuluhan. Sektor lain dapat menganggarkan kebutuhan mendukung kegiatan KB dengan menyediakan pelengkap pelayanan, seperti Dinkes menyediakan sumber daya manusia dan obat-obatan untuk pelayanan yang bersifat masal. Persoalannya kalau kegiatan tersebut diinformasikan atau direncanakan di tahun sebelumnya kepada sektor terkait, tentu tidak akan menimbulkan masalah. Namun, kegiatan yang dinformasikan ketika tahun berjalan tentu akan menyulitkan.

Di tingkat kecamatan saat ini sudah ada UPT KB yang merupakan SKPD Pemerintah Daerah. Jadi, tiap kecamatan sudah punya dana sendiri untuk menggerakan semua kegiatan pelayanan di kecamatan. Diharapkan kecamatan juga bisa mendukung program KB melalui unit pelayanan teknis di instansinya.

Alokasi anggaran KB di Kabupaten Sumbawa secara umum sudah dianggap memadai. Diluar pengadaaan alat kontrapsepsi yang didukung sepenuhnya oleh pusat, anggaran KB yang ada dinilai cukup menggembirakan. Pemda selalu berupaya menyediakan anggaran untuk pelaksanaan program KB di Kabupaten Sumbawa.

Alokasi anggaran

Anggaran BKBPP Kabupaten Sumbawa tahun 2012 sekitar Rp. 9 Milyar termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp. 1 Milyar. Belum ada laporan mengenai bantuan dari pihak donor dan swasta secara langsung pada program KB ini. Potensi pembiayaan dari swasta hanya dari perusahaan besar seperti Newmont dalam mendukung kegiatan-kegiatan tertentu.

Pemanfaatan anggaran di BKBPP polanya hampir sama dengan beberapa kabupaten lainnya, yaitu 69% atau dua per tiga digunakan untuk belanja rutin seperti gaji dan operasional rutin, sedangkan sisanya untuk belanja modal. Total belanja modal ini mencapai Rp. 3 Milyar dibagi antara bidang Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (PP dan KB).

Sektor kesehatan (Dinas Kesehatan)

Gambaran alokasi anggaran di Dinas kesehatan setiap tahun tidak banyak mengalami perubahan. District Health Account yang dilakukan oleh Dinkes sangat membantu memberikan

Page 42: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

30

informasi untuk memahami pola anggaran pembiayaan di Kabupten Sumbawa. Total anggaran Dinkes pada tahun 2010 berkisar sebesar Rp. 150 Milyar (Tabel 4.5).

Tabel 4.5 Pembiayaan Kesehatan Dina Kesehatan Sumbawa menurut sumber 2010

Sumber Pembiayaan (SP) Total (Rp.) % SB 1.1 Pemerintah Pusat/Kemenkes 500.660.000,00 0,33 SB 1.1.1 APBN Murni 447.470.200,00 0,30 SB 2.1 Donor/Hibah 295.566.575,00 0,20 SB.1.1.1 APBN Murni 25.752.174.621,63 17,06 SB.1.1.3 Donor: Hibah 757.967.200,00 0,50 SB.1.2 Pemerintah Provinsi/Dinkes 1.921.772.650,54 1,27 SB.1.2.1 APBD provinsi murni 2.228.174.612,00 1,48 SB.1.3.1 APBD kabupaten murni 58.128.211.362,18 38,51 SB.1.6 BUMN/BUMD 337.494.000,00 0,22 SB.2.1 Donor/hibah 490.259.900,00 0,32 SB.2.4 Rumah Tangga 60.090.598.598,44 39,81 Grand Total 150.950.349.719,79 100,00

Jika dilihat dari jenis program yang dilaksanakan, maka pengobatan umum berada pada urutan pertama yaitu 35,64%. Urutan kedua diempati program administrasi dan manajemen 27,62%, dan program jaminan kesehatan sebesar 5,61%. Jika dilihat menurut sub-program, pada bagian program Kesehatan masyarakat terdapat alokasi untuk pelayanan KB sekitar Rp. 444 juta (Tabel 4.6). Tabel 4.6 Pembiayaan program kesehatan masyarakat Kabupaten Sumbawa

Jenis Program (PR) Total (Rp.) PR.1 Program Kesehatan Masyarakat 437.482.200,00 PR.1.1 Kesehatan Ibu dan Anak 3.677.040.280,00 PR.1.10 Penyakit menular lain 148.423.400,00 PR.1.11 Penyakit Tidak Menular 260.799.400,00 PR.1.12 Keluarga Berencana 444.778.680,00 PR.1.13 UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) 203.135.000,00 PR.1.14 Kesehatan Remaja 91.100.000,00 PR.1.15 Kesehatan Lingkungan 4.214.030.550,00 PR.1.16 Promosi Kesehatan 268.348.580,00 PR.1.18 Surveilans 44.006.800,00 PR.1.19 Program kesehatan masyarakat lainnya 57.900.000,00 PR.1.2 Gizi 620.803.875,00 PR.1.3 Imunisasi 39.929.000,00 PR.1.4 TBC 112.000.000,00 PR.1.5 Malaria 423.349.175,00 PR.1.6 HIV/AIDS 1.412.000,00 PR.1.8 ISPA 4.276.600,00

Sumber : District Health Account Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa 2011.

Alokasi ini cukup mengembirakan karena memberikan gambaran adanya peran kesehatan dalam pelayanan KB secara finansial. Sayangnya laporan tidak memberikan gambaran lebih detil terkait peruntukan untuk pelayanan keluarga berencana tersebut.

Page 43: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

31

Data pembiayaan kesehatan tahun 2010 menunjukkan alokasi pembiayaan jaminan kesehatan mencapai 5,6% dari total anggaran atau mencapai Rp. 8,4 Milyar. Hal ini mencakup semua pelayanan baik di tingkat satu maupun tingkat dua (Puskesmas dan RS).

Jaminan kesehatan

Program KB dilaporkan sudah masuk dalam jaminan pelayanan keluarga miskin seperti kartu sehat, Jampersal dan Jamkesmas. Namun belum semua pengambil kebijakan paham secara detil mengenai teknis tercakupnya pelayanan KB dalam jaminan kesehatan.

Informasi dari tingkat pelayanan menunjukkan pelayanan KB bagi keluarga miskin pemegang kartu sehat, Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin) atau kartu Jamkesmas dan Jampersal sudah dicakup. Keluarga miskin yang ingin mendapatkan pelayanan KB dapat memperoleh pelayanan gratis selama datang pada jam-jam kerja di fasilitas pelayanan pemerintah seperti Puskesmas, RS, Polindes dan bidan desa dan menunjukkan kartu jaminan atau surat keterangan miskin.

Provider dapat mengklaim setiap pasien dengan jaminan kesehatan Jamkesda, Jamkesmas dan Jampersal ke Dinkes sesuai tarif yang telah ditetapkan. Untuk suntik misalnya, provider dapat mengklaim jasa pelayanan sebesar Rp. 10.000,- per pelayanan.

Dari sisi penerima manfaat, tidak ada kendala sepanjang calon akseptor datang ke pelayanan pemerintah pada jam kerja. Kendalanya biasanya akseptor harus menyediakan waktu cukup panjang untuk pergi ke pelayanan kesehatan pemerintah. Bagi calon akseptor yang berkerja di sawah dan lading, ini sangat memberatkan karena kehilangan kesempatan kerja separuh hari atau bahkan seharian. Akhirnya kebanyakan mengakses pelayanan swasta dan membayar mandiri.

Persoalan lain yang perlu mendapat perhatian adalah tidak semua calon akseptor dicakup oleh jaminan. Dari sisi provider persoalannya kebutuhan bahan dan obat untuk pelayanan belum tentu cukup untuk mencakup semua calon akseptor yang membutuhkan, bila KB memang dicakup oleh jaminan. Hal ini disebabkan kebutuhan bahan dan obat dihitung menurut kategori atau kriteria BKBPP.

Proses klaim kadang cukup merepotkan karena tidak semua pasien datang membawa fotokopi kartu jaminan, seringkali klaim terlewatkan karena enggan mengurus fotokopi dan lain sebagainya. Lamanya turun klaim juga membuat provider enggan melakukan klaim pelayanan dengan jaminan.

B.2. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi

Pada dasarnya semua alat kontrasepsi di pelayanan pemerintah dan klinik KB di Kabupaten Sumbawa bersumber dari BKKBN pusat. Pengadaan dilakukan oleh BKKBN pusat. Kabupaten cukup melakukan permintaan dilakukan oleh BKBPP melalui Provinsi NTB. Permintaan logistik alat kontrasepsi dihitung dengan merekap permintaan dari Ka UPT KB kemudian disesuaikan dengan perkiraan PPM di Kabupaten Sumbawa.

Mekanisme pengadaan

Sebelumnya, alat kontrasepsi BKKBN hanya bisa diakses oleh KS dan Pra KS saja, namun saat ini semua strata masyarakat dapat mengakses semua jenis alat kontrasepsi dari BKKBN, semua strata dapat menggunakan alat kontrasepsi BKKBN baik non-MKJP maupun MKJP. Namun di lapangan, kelompok sosial ekonomi atas secara alami jarang pergi ke Puskesmas, biasanya kelompok ini pergi ke klinik KB mandiri, atau dokter spesialis. Obat-obatan untuk pelayanan KB sepenuhnya ditangani Dinkes. Jika BKPP akan melakukan pelayanan masal dan atau bakti sosial, BKBPP tinggal mengusulkan permintaan tenaga dan obat ke Dinas kesehatan. Sampai sejauh ini semua pelayanan dapat dilakukan dengan kerjasama yang baik.

Page 44: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

32

KB Mandiri

Klinik KB mandiri (Bidan Praktek swasta/klinik bersalin) di Kabupaten Sumbawa membeli alat kontrasepsi sendiri dari distributor/apotek di Sumbawa. Biasanya setiap klinik dan bidan mempunyai detailer (sales distributor obat) masing-masing. Melalui detailer ini biasanya klinik memperoleh alat kontrasepsi. Klinik besar biasanya memesan langsung ke pedagang besar farmasi di Bali atau Lombok, cukup dengan hubungan telepon barang akan dikirim. Dengan adanya bandara, di Sumbawa pengiriman tidak memerlukan waktu lama. Dalam beberapa hari barang sudah bisa diterima. Semua bisa membeli semua jenis alat kontrasepsi dari pedagang besar farmasi dan apotek ini. Namun, sampai sekarang belum ada kegiatan pemantauan dan evaluasi mengenai predaran alat kontrasepsi yang bersumber dari sektor swasta ini. Pemantauan supply dan kualitas alat kontrasepsi sangat penting terkait dengan keberlangsungan program KB di Sumbawa.

Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya rumor dan isu mengenai adanya perbedaan kualitas IUD atau implan dari swasta dan BKKBN. Walaupun alat kontrasepsi mandiri lebih mahal, kualitasnya dianggap lebih baik sehingga ketika calon akseptor berhdapan dengan pilihan kualitas, mau tidak mau ia akan memilih yang kualitasnya lebih bagus walau terpaksa karena harga yang lebih mahal. Persepsi ini tidak hanya ada di masyarakat tetapi juga sudah umum dikalangan provider layanan KB dan bidan.

Dinas kesehatan juga tidak bisa melakukan pemantauan mengenai kualitas dan jumlah alat kontrasepsi karena laporan hanya sampai ke tingkat Puskesmas dan tidak ada tembusan ke Dinkes. Jajaran sektor kesehatan berharap ada baiknya untuk menjamin supply. Kualitas informasi kebutuhan dan supply alat kontrasepsi dapat ditembuskan sampai ke tingkat Dinkes.

Kecukupan alat kontrasepsi

Secara umum dilaporkan tidak ada kekurangan karena mekanisme yang ada semestinya dapat menjamin ketersediaan alat kontrasepsi. Namun pada kenyataannya di lapangan, supply untuk alat kontrasepsi favorit seperti suntik dan pil di beberapa Puskesmas dilaporkan pernah terjadi kekurangan. Walaupun demikian, keadaan ini tidak menghalangi masyarakat memperoleh kedua alat kontrasepsi tersebut karena substitusi kedua alat ini tersedia di fasilitas dan di pasar. Dengan demikian, akseptor non-MKJP terpaksa menggunakan alat kontrasepsi mandiri.

Permintaan MKJP tidak setinggi non-MKJP sehingga persediaan relatif cukup. Fasilitas pelayanan KB di daerah perkotaan memang melaporkan terjadinya kekurangan implan dan IUD, sedangkan di daerah perdesaan persediaan cenderung cukup.

Bila terjadi kelangkaan, biasanya bidan membeli IUD dan implan di apotik. MKJP implan dan IUD yang dibeli oleh klinik/praktek swasta memilki tipe dan merek yang berbeda tipe dan merek. Hal dilakukan untuk memberikan alternatif dan mengatasi rumor pada alat kontrasepsi dari BKKBN. Hal ini juga biasa dilakukan bidan praktek swasta serta bidan desa.

Polindes di Kelurahan Seketeng melaporkan tidak lagi mendapat supply alat kontrasepsi suntik sejak dua tahun terakhir, sedangkan untuk alat kontrasepsi yang lain persediaan cukup. Hal ini terjadi karena permintaan suntik tinggi, mungkin sudah di drop di Puskesmas semua dan sudah habis terserap. Jadi kebanyakan akseptor harus membayar untuk pelayanan suntik jika melakukan pelayanan di Polindes/bidan desa.

Kelangkaan alat kontrasepsi ini menurut jajaran kesehatan di Sumbawa sebenarnya tidak boleh terjadi. Kalau pemerintah serius mau memberikan pelayanan KB secara total maka supply harus dipenuhi. Jika cara perhitungan mau mengacu kepada metode kesehatan, yakni menghitung kebutuhan obat, dapat dipastikan tidak akan ada kelangkaan alat kontrasepsi. Dinas kesehatan biasanya menghitung kebutuhan satu tahun dengan formula: kebutuhan dikali 1,5 kali. Sehingga selalu tersedia obat walau karena estimasinya untuk 1,5 tahun.

Page 45: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

33

Distribusi alat kontrasepsi

Puskesmas mengajukan permintaan alat kontrasepsi dan diserahkan kepada PLKB. Permintaan ini akan direkap oleh KUPT KB kecamatan. BKBPP kemudian mendistribusikan alat kontrasepsi kepada KUPT KB yang kemudian menyerahkannya kepada PLKB. Selanjutnya, PLKB menyerahkan kepada Puskesmas.

Di beberapa lokasi, PLKB juga bertanggung jawab mengelola permintaan dan menyerahkan alat kontrasepsi kepada bidan-bidan desa. Proses distribusi pada bidan desa yang bertempat di daerah cukup terpencil menjadi kendala karena terbatasnya akses jalan, jarak yang jauh dan alat transportrasi.

Puskesmas tidak secara langsung terlibat dalam distribusi alat kontrasepsi BKKBN, demikian juga Dinkes. Dalam pandangan sektor kesehatan, sebaiknya pengelolaan logistik alat kontrasepsi dilakukan oleh sektor kesehatan. BKKBN dapat melakukan pengadaan, tapi Dinkes yang mengelola. Hal ini untuk menghindari kelangkaan dan kecurigaan transaksional alat kontrasepsi.

RS dapat mengajukan permintaan alat kontrasepsi kepada BKBPP dengan bantuan PLKB yang menyerahkan alat kontrasepsi yang diminta ke RS. Pada umumnya, pelayanan di RS adalah KB mandiri kecuali untuk pelayanan Jampersal, MOP dan MOW.

Kabupaten dan kecamatan

Pelayanan Keluarga Berencana dan pembiayaannya

Jumlah klinik KB di Kecamatan Sumbawa mencapai 150 KKB, meliputi klinik pemerintah dan swasta tersebar di 24 kecamatan. Pelayanan KB dapat dilakukan di RSUD, Puskesmas kecamatan, klinik bersalin, Polindes, Pusling dan Bidan Praktek Swasta (BPS). Namun, tidak semua fasilitas melayani semua jenis metode. Puskesmas dan klinik bersalin mampu melakukan semua metode kontrasepsi kecuali metode operasi karena MOW/MOP hanya dapat dilakukan RSUD di Sumbawa.

Bidan praktek di Kecamatan Sumbawa juga menerima distribusi alat kontrasepsi dari BKKBN, khususnya bidan yang melayani persalinan seiring dengan program Jampersal dan pemasangan alat kontrasepsi pasca-salin.

Menurut Perda Kabupaten Sumbawa no. 1 tahun 2012, tarif kunjungan Puskesmas untuk layanan KB non-MKJP di Polindes, Pustu, pusling adalah Rp. 4.000,- . Sedangkan untuk Puskesmas sebesar Rp. 5.000,-; semua di luar harga obat. Jika persediaan ada, maka alat kontrasepsi gratis. Namun, jika alat dan obat tidak tersedia maka akseptor harus membayar untuk pelayanan KB pil 5000,-, suntik Rp. 20.000 sampai Rp. 25.000,-. Untuk pelayanan MKJP pasang dan cabut IUD tidak termasuk alat tarifnya sebesar Rp. 50.000,- sedangkan untuk layanan implan sebesar Rp. 75.000,-.

Tabel 4.7 Harga alat kontrasepsi dan pelayanan beragam jenis KB di Puskesmas dan bidan Kabupaten Sumbawa

Tarif Perda (Puskesmas) (Rp.) KB Mandiri (Rp.) IUD (pasang-cabut) 50.000 150.000 Implan (pasang-cabut) 75000 200.000 Suntikan 5000 20.000-25000 Pil 5000 5000 Kondom - - Vasektomi - -

Page 46: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

34

Pelayanan KB Mandiri di lapangan menunjukkan pemasangan IUD termasuk alat mencapai lebih dari Rp.150.000,- hingga Rp.200.000,-; sedangkan untuk implan mencapai lebih dari Rp. 200.000,-. BKBPP memperkirakan proporsi peserta KB mandiri sekitar 30% dari current user. Angka ini tidak jauh berbeda dengan hasil analisis BKKBN yang menunjukkan bahwa di Provinsi NTB proporsi pada semua strata termasuk Pra-KS dan KS ada sekitar 40,8% pasien KB harus membayar.

Pemasangan KB Kontap (steril) biasanya dilakukan secara gratis di RSUD. Namun, pelayanan ini hanya tersedia bila ada momentum kegiatan pelayanan MOP/MOW oleh BKKBN yang biasanya dilaksanakan setahun satu kali. Pemasangan IUD dan implan saat momentum juga tidak dipungut biaya, baik proses maupun pelayanannya.

Menurut informan bidan kordinator Puskesmas, rata-rata calon akseptor yang datang berusia antara 20- 40 tahun. Biasanya, akseptor lama datang sendiri sedangkan pasien baru biasanya datang bersama ibu atau pasangannya. Pasien pasca-salin biasanya dikonseling pasangan (istri dan suami) saat menanti persalinan.

Secara umum, keterlibatan pria dalam program KB masih rendah. Banyak kaum pria beranggapan KB masih menjadi urusan wanita. Sebagian besar pria menyerahkan keputusan pilihan alat ber-KB kepada istri. Pria baru akan terlibat ketika terjadi efek samping.

Kabupaten Sumbawa berencana mengembangkan pelayanan terpadu KB dengan PAUD dan Posyandu. Kerjasama antar lintas sektor menghasilkan model POSPABKB. Pos ini akan ada di setiap desa, namun untuk tahap pertama direncanakan akan ada satu di tiap Kecamatan. Upaya ini masih membutuhkan dukungan dana dari pemerintah maupun dari swasta seperti dukungan dari kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Sumbawa.

Desa

Pelayanan KB di tingkat desa masih sangat bergantung pada ketersediaan pelayanan termasuk persediaan, keaktifan bidan desa dan PLKB dalam memberikan pelayanan dan pergerakan, serta kesadaran masyarakat.

Di perkotaan, semua pelayanan KB dengan mudah bisa didapatkan di Puskesmas karena akses yang mudah. Sedangkan pelayanan untuk alat kontrasepsi implan dan IUD di perdesaan harus dilakukan di Puskesmas karena keterbatasan sarana dan kapasitas bidan desa dalam pemasangan. Keadaan ini mengurangi keinginan masyarakat untuk pasang MKJP. Ditambah lagi untuk beberapa desa akses jarak yang jauh, alat transportasi terbatas dan jalan yang buruk menghambat niat untuk mencoba.

“Tidak ada hambatan...mudah...tidak ada masalah [memperoleh alat kontrasepsi dan pelayanan.” (Kader, Kel Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa)

”[metode yang lain MKJP] Ada di Puskesmas, sama di pasang di rumah sakit dengan dokter ahli.” (Kader Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Pembiayaan pelayanan KB untuk di perkotaan menurut informan Lurah Seketeng dapat menggunakan Jamkesmas bagi keluarga tidak mampu. Namun, masyarakat yang mampu biasanya membayar sendiri atau KB Mandiri.

“Ya, tapi tetap gratis. Tapi yang dilayani selain praktik itu [pemerintah] yang bayar, tapi segi lewat sini [Jamkesmas] tetap gratis.” (Lurah, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa)

Di perdesaan, masyarakat biasanya mendapatkan layanan di Polindes. Setiap pelayanan ada biayanya, termasuk KB. Untuk suntik, masyarakat sepertinya tidak keberatan dan mampu membayar dari pada harus pergi ke Puskesmas yang jauh, perlu waktu dan biaya.

“Yang saya lihat masih ada biaya [untuk pelayanan KB]… Untuk suntik itu sekitar Rp. 20.000- 25.000. Kalau kepepet kita bahkan pergi ke Kecamatan tempat lain... Tapi orang senang kok pak karena ini [KB] kan sangat dibutuhkan masyarakat…Warga tampak cukup siap, kalau kitalihat

Page 47: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

35

dari bapak-bapak ibu ibu di sini penghasilannya cukup, bisalah kalau untuk suntik 3 bulan sekali.” (Kades, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

B.3. Sumber daya manusia

Sektor Keluarga Berencana

Jumlah tenaga

Dari sektor KB, jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang tersedia di lapangan masih kurang. Idealnya seorang PLKB memegang satu sampai dua desa. Saat ini di Kabupaten Sumbawa rasionya masih 1:3-4. Bahkan ada satu PLKB hanya untuk satu kecamatan. Selain dari masalah jumlah, PLKB yang ada saat ini kurang menguntungkan karena beberapa adalah petugas senior dan tidak lama lagi menjelang masa pensiun. Status kepegawaiannya sudah lama, beberapa bahkan sudah ditarik ke struktural sehingga kekurangan tenaga PLKB lebih terasa.

Jumlah PPKBD dan sub-PPKDB sudah cukup, namun kompetensinya belum semuanya memadai. Saat ini sekitar 90 orang PPKBD dan sub-PPKBD dapat menjangkau wilayah kerja Kabupaten Sumbawa.

Untuk keberlangsungan program KB, kemampuan manajerial dari PLKB perlu ditingkatkan agar mampu mengkoordinir PPKBD dan sub-PPKBD di wilayahnya.

Tabel 4.8 Perbandingan jumlah PLKB dan bidan desa di Kabupaten Sumbawa

Tingkat Petugas Wilayah kerja

Kecamatan Koordinator PLKB (Ka.UPT KB) Kecamatan

PLKB Membawahi 1-2 desa (idealnya)

Desa PPKBD (Petugas Pembantu KB desa)

Membawahi 1 desa

Dusun Sub-PPKBD Membawahi 1 atau lebih dusun

Sektor kesehatan

Untuk sektor kesehatan, jumlah tenaga bidan dianggap sudah memadai. Jumlah bidan mencapai 87 bidan di Puskesmas dan Dinkes (SDA 2012). Dari 165 desa, baru sekitar 85% yang sudah memiliki bidan desa. Akhir-akhir ini diketahui tidak semua bidan desa tinggal di desa yang menjadi wilayah tugas, dengan berbagai alasan seperti tidak ada sarana yang memadai, ikut suami atau mengikuti pendidikan.

Keterampilan dan kompetensi bidan sudah cukup baik, dengan adanya pelatihan CTU (Contraceptive Technology Update), ABPK (Alat Bantu Pengambil Keputusan), Pencatatan dan Pelaporan (RR) dan pelatihan penyegaran lainnya. Namun, belum semua bidan mampu melakuan pemasangan IUD dan implan di desanya karena tidak adanya sarana dan kurang percaya diri.

Bidan desa menyampaikan perlu pelatihan bagi tenaga bidan baru. Pelatihan TOT (Training of Trainer) belum cukup membuat bidan desa percaya diri memberikan pelayanan IUD dan implan.

Page 48: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

36

Pendidikan

Pendidikan dan pelatihan

Informan Bappeda menyampaikan dalam 2 tahun terakhir, Kabupaten Sumbawa berupaya meningkatkan pendidikan bidan dan bidan desa. Saat ini, sudah sekitar 60 orang bidan dan bidan desa mendapatkan kesempatan peningkatan jenjang pendidikan ke D3 atau D4. Untuk masa mendatang, pendidikan bidan tidak lagi sebanyak sekarang namun pemerintah akan memberikan lebih banyak pelatihan-pelatihan dan penyegaran kepada bidan-bidan yang ada.

Program pelatihan

• Bidan

BKBPP secara rutin memberikan penyegaran skill dalam pelayanan KB kepada tenaga kesehatan khususnya Bidan. Salah satunya CTU, pelatihan diberikan oleh tenaga ahli dari BKKBN tingkat provinsi. Jumlah pelatihan dirasa masih kurang oleh pada Bidan, dari satu Puskesmas dan RS paling banyak dua sampai tiga orang yang dilatih dengan harapan bidan yang bersangkutan dapat menularkan pengetahuannya kepada bidan lain melalui TOT di Puskesmas dan rumah sakit masing-masing.

KB Pasca Salin sebagai program baru juga sudah diperkenalkan dan disosialisaikan kepada seluruh bidan di kabupaten Sumbawa. Semua bidan yang memberikan pelayanan persalinan diarahkan untuk memberikan pelayanan KB pasca salin. Dalam praktek di lapangan hanya bidan-bidan senior yang berpengalaman saja yang mau memberikan pelayanan KB pasca salin karena biasanya memerlukan kemampuan memberikan layanan pemasangan implan dan IUD.

Pelatihan lain seperti ABPK, pencatatan dan pelaporan juga sudah lama tidak dilakukan, di lapangan tidak semua bidan desa mempunyai ABPK. Padahal ABPK ini sangat membantu dalam melakukan edukasi dan konseling kepada calon akseptor baru dan lama.

• PLKB

Pelatihan penyegaran untuk PLKB sangat terbatas. Yang ada hanya pembinaan melalui pertemuan pertemuan rutin dengan membahas kasus-kasus dan situasi program KB di wilayah masing-masing. Pertemuan dilaksanakan setiap sebulan sekali di kecamatan dan setiap tiga bulan sekali di tingkat kabupaten.

• Kewenangan untuk memberikan pelayanan KB

Pelayanan KB sepenuhnya menjadi kewenangan tenaga kesehatan, dokter, bidan dan bidan desa yang merupakan ujung tombak pelayanan KB. Di Kabupaten Sumbawa, bidan dan bidan desa masih dapat memberikan pelayanan di dalam dan di luar fasilitas pemerintah (Puskesmas dan RS). Namun, umumnya bidan desa jarang melakukan pemasangan implan dan IUD karena keterbatasan alat dan kemampuan. Bidan desa lebh sering merujuk calon akseptor ke Puskesmas.

Saat ini BKBPP tidak punya bidan sendiri seperti masa BKKBN dulu. Sebagian besar bidan sudah dialihkan ke Dinkes. Kelangkaan bidan di BKBPP ini menyulitkan BKBPP ketika melakukan kegiatan momentum karena harus meminjam ke Dinkes. Dengan semakin sering dan banyaknya kegiatan momentum, maka dirasakan perlu bagi BKBPP untuk kembali mempunyai bidan sendiri untuk membantu kegiatan momentum. Beberapa pilihan masih didiskusikan yaitu menarik kembali bidan KB dari Dinkes, memperpanjang masa kerja bidan yang menjelang pensiun atau merekrut tenaga baru. Menarik kembali bidan KB agak sulit karena sebagian sudah mempunyai posisi mapan di instansi Dinkes atau rumah sakit.

Page 49: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

37

B.4. Kerjasama antar instansi

Kabupaten

Instansi pemerintah

Dengan pemahaman yang sama di semua level pemerintahan tentang KB sebagai upaya untuk melakukan investasi sumber daya manusia di masa depan, maka proses koordinasi lintas sektor yang diarahkan oleh Bappeda, BPPKB dan Dinkes sudah berjalan cukup baik.

SKPD yang dominan terlibat dalam kegiatan KB antara lain Dinkes, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). Secara informal tim penggerak PKK kabupaten juga sering dilibatkan dalam penggerakan calon akseptor. Dukungan politis dari Bupati, DPRD dan tim penggerak PKK kabupaten semakin memudahkan pelaksanaan porgam KB.

Pembagian peran antara BKBPP dan Dinkes sudah cukup jelas. BKBPP berperan melakukan penjaringan dan penggerakan calon akseptor, sedangkan Dinkes melakukan pelayanan dan kendali mutu. Namun, koordinasi masih harus terus dilakukan terutama terkait dengan kendali mutu. Pertama karena sumber alat kontrasepsi berbeda dan dikelola secara terpisah. Ada alat kontrasepsi mandiri atau dibeli sendiri dari apotik dan ada alat kontrasepsi BKKBN. Kedua, pelayanan juga ada dua yaitu pelayanan pemerintah dan pelayanan mandiri. Semua aspek tersebut perlu dicermati dan dikoordiansikan.

Koordinasi pelayanan momentum dan kegiatan insidentil perlu dikoordinasikan lebih baik untuk menghindari benturan antara mengejar kuantitas dan menjaga kualitas. Perhatian terhadap sumber daya manusia pelayanan juga perlu diberikan mengingat kesibukan di tugas rutin.

Kecamatan

Koordinasi antar bidan dan petugas KB di tingkat kecamatan secara umum cukup baik. Pihak kecamatan selalu memberikan dukungan kepada KUPT KB dan Puskesmas untuk melaksanakan program KB.

Tim penggerak PKK kecamatan juga turut terlibat dalam mendorong masyarakat menjadi akseptor KB. Melalui Pokja 4, PKK melakukan kegiatan penyuluhan kepada para ibu dalam berbagai kesempatan. Hasilnya cukup efektif mendorong peningkatan akseptor KB. Dukungan pemerintah kepada PKK juga cukup baik, terlihat dari alokasi anggaran kepada tim PKK kecamatan sebesar Rp.10 juta per tahun yang cukup membantu kegiatan PKK.

Jumlah tenaga PLKB yang terlalu sedikit menjadi kendala dengan beban kerja yang cukup banyak. Dari dua kecamatan yang dikunjungi, Kecamatan Rhee hanya punya 1 PLKB untuk 4 desa (15 Dusun), sedangkan di Kecamatan Sumbawa, Kelurahan Seketeng (setingkat desa) dikelola oleh seorang PLKB.

Kerjasama antara bidan PKM dan PLKB

Kerjasama bidan dan PLKB terlihat cukup baik, bidan dapat meminta bantuan PLKB untuk melakukan kunjungan rumah untuk keperluan Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) untuk meyakinkan calon akseptor. Sebaliknya bila pasien ada keluhan, PLKB dapat mengarahkan akseptor KB ke bidan terdekat

Dalam penyusunan pencatatan dan pelaporan bulanan terkait pelayanan KB dan alat kontrasepsi, bidan melaporkan cakupan penggunaan alat kontrasepsi ke PLKB. Bahkan PLKB terkadang membantu merekap laporan dari fasilitas. Selain berperan melakukan penggerakan calon akseptor dan distribusi alat kontrasepsi, PLKB juga melakukan pendataan PUS tahunan di wilayahnya masing-masing.

Page 50: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

38

Kendala koordinasi terganggu jika daerah cakupan PLKB terlalu luas atau terlalu banyak jangkauannya maka hubungan menjadi agak renggang karena waktu koordinasi menjadi kurang.

Di Sumbawa belum ada RS swasta besar, kebanyakan hanya klinik bersalin swasta. Klinik dan bidan praktek swasta sangat membantu cakupan KB di kabupaten Sumbawa. Cakupan KB sangat terbantu terutama terkait pelayanan mobile MOW dan MOP di RS Swasta.

Sektor swasta

Kerjasama lainnya adalah BKBPP dan Bappeda mencoba menjangkau perusahaan swasta yang ada di wilayah Sumbawa untuk membantu pelaksanaan program terpadu POSPABKB melalui program CSR perusahaan.

B.5. Menciptakan kebutuhan

Sejalan dengan upaya pemerintah menggalakan program KB, sektor terkait kembali giat melakukan promosi, petugas PLKB dan bidan diarahkan untuk memberikan penyuluhan. Informan dari Kelurahan Seketeng menyatakan sekarang banyak petugas yang melakukan penyuluhan KB walau tidak memerinci dari instansi mana.

Promosi program

“Sekarang lebih banyak petugas-petugas memberikan penyuluhan.“ (Lurah, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa)

Informan BKBPP menyampaikan promosi KB tetap dilaksanakan dan bahkan ditingkatkan kerjasama dengan berbagai pihak. Bentuk promosi yang sering dibuat biasanya berupa poster. Namun belum ada promosi khusus melalui radio, TV atau koran. Pendekatan langsung ke masyarakat lebih disukai karena ada interaksi langsung. Khusus untuk promosi MKJP hanya dapat dilakukan dengan melakukan kegiatan momentum. Biasanya kegiatan momentum diawali dengan kegiatan pemutaran film edukasi tentang KB.

Dalam rangka upaya meningkatkan kontrasepsi mantap (kontap) seperti MOW dan MOP, BKBPP terus mengembangkan upaya momentum dengan bantuan berbagai pihak. Momentum untuk MOW dan MOP biasanya datang dari pihak provinsi yang merencanakan kegiatan di kabupaten. Kegiatan momentum semacam ini biasanya bekerja sama dengan RSUD untuk menyediakan tempat dan personel pendukung. Penggerakan biasanya bekerja dengan berbagai pihak seperti TNI, POLRI, PGRI.

Daya tarik utama kegiatan momentum biasanya adalah tidak adanya biaya yang dikeluarkan calon akseptor. Bahkan, dalam beberapa kesempatan calon akspetor mendapatkan layanan istimewa, seperti fasilitas antar jemput dari rumah ke fasilitas dan sebaliknya dan kadang mendapat insentif/pemberian hadiah seperti sembako dan lain-lain.

Kegiatan seperti ini merupakan promosi yang sangat efektif untuk menarik minat calon akseptor sehingga dapat meningkatkan jumlah cakupan secara bermakna dalam tahun berjalan.

Dinkes juga belum merancang promosi program KB secara khusus. Upaya yang sudah dilakukan adalah memberikan penyuluhan kepada masyakat melalui Posyandu atau di Puskesmas. Pelayanan KB bergerak dengan mobil pelayanan keliling juga kerap dilakukan oleh BKBPP dan Puskesmas untuk menjangkau masyarakat di daerah sulit.

Berbagai bentuk saluran komunikasi digunakan untuk menyampaikan program KB kepada masyarakat, antara lain melalui tenaga kesehatan (bidan), petugas PKM, PLKB, PPKBD, sub-PPKBD dan kader PKK. Berbagai cara juga dilakukan untuk menyampaikan pesan yaitu menggunakan bahan KIE di fasilitas kesehatan, kunjungan rumah oleh PLKB, penyuluhan pada pertemuan di balai desa dan sejumlah kegiatan keagamaan.

Page 51: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

39

Di klinik KB, sejumlah informan tenaga kesehatan menyampaikan bahwa provider selalu menerapkan prinsip kafetaria, dimana provider memberikan informasi mengenai alternatif semua alat kontrasepsi. Prinsip kafetaria khususnya diterapkan kepada calon akspetor baru karena biasanya ada kecenderungan akseptor baru maupun lama sudah mempunyai pilihan sendiri. Walaupun demikian, provider tetap memberikan pilihan dan penjelasan mengenai alat kontrasepsi yang tersedia.

Konseling KB

ABPK sangat memebantu dalam pemberian konseling kepada calon akseptor. Namun ketersediaan ABPK khususnya di bidan desa sangat terbatas. Hal ini terjadi karena yang bersangkutan belum mendapatkan pelatihan ABPK.

Menurut informan provider, konseling KB diberikan kepada calon akspetor dengan mempertimbangkan keadaan umum pasien, keadaan klinis dan psikologis, jumlah anak dan keinginan pasien. Provider akan berupaya mengarahkan kepada alat kontrasepsi yang paling sesuai dan cocok dengan faktor–faktor tersebut.

C. Pendapat masyarakat

C.1. Sikap masyarakat

Studi ini menemukan bahwa sebagian besar masyarakat Kabupaten Sumbawa memilki sikap yang positif terhadap program KB. Sejumlah wawancara dengan informan kunci menyatakan, semakin banyak masyarakat yang dengan sukarela menggunakan kontrasepsi KB tanpa adanya paksaan dari pihak lain. Masyarakat sudah melihat KB sabagai salah satu kebutuhan. Di tingkat desa FGD penerimaan masyarakat banyak sudah bagus, baik pada kelompok pengguna alat kontrasepsi maupun yang tidak.

Sikap pasangan usia subur

Peserta FGD PUS menyatakan dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, keluarga kecil lebih mungkin untuk menjadi bahagia dan sejahtera. Umumnya masyarakat desa setuju dengan KB, walaupun masih ada beberapa orang tua yang belum memakai KB. Peserta FGD menyatakan, saat ini semboyan banyak anak banyak rezeki tidak terlalu tepat karena banyak anak justru banyak resiko.

“Orang-orang disini sangat setuju tentang KB, karena bisa mengurangi bayi lahir.” (Ibu KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa]

Ibu yang ber-KB menyampaikan keikutsertaan KB adalah untuk mensejahterakan keluarga melalui perencanaan keluarga dengan menjaga atau mengatur jarak kehamilan. Namun demikian, ada ibu yang tidak ber-KB demi mendapatkan anak dengan jenis kelamin yang diinginkan.

Akseptor KB Informan bapak yang istrinya ikut ber-KB menyatakan program KB sangat membantu masyarakat menurunkan risiko kehamilan, KB juga membantu orang tua untuk dapat mencukupi kebutuhan anak-anaknya, yang pada akhirnya mensejahterakan keluarga.

“Semakin banyak anak makin bayak risikonya… Makin banyak pengeluaran, yang dulunya 10 tempat beras sekarang sudah dikurangi jadi 2 atau 3... Jadi ada penjarangan dan pola makan juga bisa diatur, dari proses KB inilah kita dapatkan pengalaman itu.” (Bapak KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

“Salah satu cara pemerintah mengatur jarak anak... Untuk ngebatasi jumlah kelahiran anak.”(Bapak KB, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa)

Page 52: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

40

Di masyarakat masih ditemukan juga penduduk yang tidak ber-KB. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat sudah menerima progam KB karena sebagian besar masyarakat sudah menggunakan KB.

“Ada 1 atau 2 orang (tidak KB), tapi kebanyakan menggunakan KB.” (Ibu KB, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa]

Non-akseptor KB

Informan bapak non-akseptor menyampaikan masyarakat senang dengan program KB. Namun, tidak semua orang cocok dengan jenis alat kontrasepsi, biaya dan cara memperolehnya. Kendala pengetahuan mengenai program KB, kendala akses menuju tempat dan biaya yang diperlukan menghambat upaya menjadi akseptor KB.

“Masyarakat senang [dengan KB]… Setuju semua soal KB.“ (Bapak non-KB, Ds.Sampe, Kec.Rhee, Kab.Sumbawa)

“Kalau pake KB biayanya kita tidak mampu. Tapi kalau gratis oko, bayar diloketnya 5 ribu, kalau diperhitungkan ada 30 ribu. Bayar transport kesana bisa sampai 10 ribu. Lebih enak disini [pake obat tradisional]." (Bapak non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Beberapa ibu merencanakan memakai KB jika sudah memiliki anak lagi. Namun, ada pula ibu yang tidak merencanakan pakai KB karena takut dan memang tidak pernah pakai KB sebelumnya karena terus ingin mendapatkan anak laki-laki.

“Harus [punya anak laki-laki] karena kalau sudah kawin siapa teman kita dirumah. Nanti masa tua sapa yang liat [urus] kita, kalau tidak punya menantu.” (Ibu non-KB, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa)

Kelompok orang tua ternyata juga sangat mendukung anakya ikut progam KB. Peserta FGD bapak ber-KB menyatakan orang tua sangat senang melihat keadaan keluarga anak-anaknya saat ini, tidak seperti dialami oleh orang tuanya. Demikian juga dengan infroman mertua yang menyatakan setuju anak dan menantunya ikut KB.

Sikap orang tua

“Pernah orang tua bilang - saya ini bersembilan saudara- coba dulu ada KB katanya, kalau ada KB seperti ini bahagia kita lihat.” (Bapak KB, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa) “Tidak ada yang tidak setuju [dengan penggunaan KB].” (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

“Semua anak harus KB, itu saran saya untuk anak saya, jangan banyak anak seperti saya." (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

C.2. Pengetahuan alat kontrasepsi

Pengetahuan masyarakat mengenai alat kontrasepsi bervariasi menurut kelompok masyarakat. Pada kelompok ibu akseptor atau yang pernah menggunakan KB sebagian, besar sudah banyak yang mengetahui tentang alat kontrasepsi. Namun, bapak/suami belum banyak tahu detil jenis dan cara pengunaan alat kontrasepsi. Pada kelompok ibu non akseptor, sebagian ibu sudah mengetahui dan sebagian lagi tidak mengerti jenis dan cara pemakaian alat kontrasepsi.

FGD bapak tidak ber-KB menyatakan bahwa persoalan KB semestinya menjadi urusan perempuan bukan persoalan laki-laki. Mereka merasa tidak terlibat jadi tidak tahu mengetahui detil KB. Kondisi ini menegaskan kenyataan di lapangan bahwa perempuanlah yang banyak diberikan tanggung jawab melakukan KB meskipun keputusan dibuat bersama suami. Dengan kata lain, peran laki-laki dalam KB masih rendah.

“Menurut saya itu hanya untuk di pertanyaan KB sama perempun saja, karena kita tidak tahu. Perempuan saja yang mengerjakannya. Seandainya kita yang kerjakan kemungkinan tahu.” (Bapak non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Page 53: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

41

Sebagian besar ibu dalam FGD dapat menyebutkan alat kontrasepsi non-MKJP, khususnya pil dan suntik. Kondom juga banyak disebutkan namun masyarakat terkesan tidak akrab dengan kondom. Bahkan ada bapak di desa yang belum pernah melihat kondom secara langsung seumur hidupnya.

Pengetahuan Non-MKJP pada PUS dan orang tua/mertua

“Kami hanya tau cara pakai suntik dan pil, yaitu suntik 3 bulan sekali dan pil tiap malam.” (Ibu non-KB Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa]

Hampir semua kelompok informan mengetahui bahwa pil harus dikonsumsi setiap hari agar tidak terjadi kehamilan. Pil merupakan alat kontrasepsi yang paling umum dan banyak digunakan karena relatif murah. Dari sisi pengetahuan informan pria, baik akseptor maupun non akseptor, juga mengetahui cara menggunakan pil KB.

“[Pil digunakan bagaimana] diminum tiap hari, haid juga lancar.” (Ibu KB Kel.Seketeng, Kec.Sumbawa, Kab.Sumbawa)

“Kalau pil bukannya tidak mau di pakai, karena suka dilupa kalau 3 bulan 1 pil bisa. Tapi yang tiap hari kadang suka lupa.” (Bapak non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Suntik adalah alat kontrasepsi hormonal yang paling banyak di gunakan selain pil. Semua ibu yang pernah menjadi akseptor KB menyampaikan bahwa suntik lebih bisa diandalkan daripada pil dan bisa dihentikan jika ingn menambah anak.

“1 bulan 1 kali kalau yang dipakai di rumah saya tapi tidak tau kalau yang lain…” (Bapak non KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab.Sumbawa] “Kami di desa rata-rata memakai suntik, kalau pil suka lupa. Tidak ada kerugian, manfaatnya bisa mengatur jumlah anak. Keuntungan, bisa di hentikan kalao mau punya anak.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec.Rhee, Kab. Sumbawa)

“[cara pakai suntikan] 3 bulan sekali, 1 bulan sekali.” (Ibu KB, Kel. Seketeng, Kec.Sumbawa, Kab. Sumbawa)

Kondom juga dikenal oleh semua akseptor walau masih ada yang belum pernah melihat kondom sebelumnya. Diskusi pada kelompok ibu dan bapak baik yang ber-KB dan belum ber-KB paham bahwa kondom adalah alat kontrasepsi untuk pria.

Namun demikian, pemahaman mengenai cara menggunakan kondom yang benar belum dimiliki oleh sebagian besar informan karena tidak pernah menggunakannya sebagai alat KB utama. Kondisi ini terungkap dari hasil wawancara dengan sejumlah informan. Sejumlah rumor mengenai cara pakai dan pengalaman pakai kondom yang kurang mendukung banyak beredar di masyarakat. Selain itu, kondom juga terstigma sebagai alat kontrasepsi pada hubungan seksual komersial.

“Kondom digunakan pada laki-laki.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab.Sumbawa)

“Suka ditakut-takutin katanya suka masuk kedalam.” (Ibu non-KB, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa)

“Tidak enak, takut terlepas.” (Bapak non-KB, Ds.Sampe, Kec.Rhee, Kab.Sumbawa)

“[pengguna] kurang, karena kondom lebih cendrung pada laki-laki yang sifatnya komersil. Ada tapi kurang lah. Tidak terlalu kita dengar.” (Lurah, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa)

Informan dari kelompok usia lebih tua (mertua) juga mampu menyebutkan sejumlah alat kontrasepsi non-MKJP, namun tidak semua paham detil alat kontrasepsinya.

“..suntik, kondom, pil, implan, IUD… pil (dipakai) tiap malam.” (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Page 54: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

42

Studi ini menemukan bahwa umumnya PUS sudah mengetahui berbagai jenis MKJP. Namun khusus MOW dan MOP banyak pertanyaan muncul seputar metode kontrasepsi ini. Kontrasepsi IUD dan implan banyak diwarnai oleh isu dan cerita negatif. Informan bidan kerap menemukan cerita mengenai IUD yang berpindah tempat, bisa sampai ke “jantung”, implan yang hilang (sulit ditemukan) ketika akan dicabut, IUD menganggu hubungan seks serta efek samping yang dilebihkan-lebihkan. Hal lain untuk IUD adalah proses pemasangannya dianggap sangat pribadi karena melalui vagina. Sedangkan untuk implan karena harus ada tindakan medis di lengan.

Pengetahuan MKJP pada PUS dan orang tua/mertua

Di masyarakat cerita yang lebih banyak berkembang adalah cerita negatif dibanding cerita positif atau pengetahuan yang benar tentang IUD. Sehingga, kebanyakan ibu yang belum pernah menggunakan menjadi ragu dan takut memasang IUD. Selain itu, proses pemasangan melalui vagina dan efek sampingnya juga menjadi pertimbangan.

“Saya tidak berani memakai alat KB itu, takut tidak cocok. Iya takut memakai, selain itu susah mendapatkan.” (Ibu non-KB Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Dari sisi efek samping, MKJP lebih sering dikeluhkan pada awal-awal pemasangan. Menurut ibu, MKJP seperti IUD dan implan menghalangi mereka bekerja berat di ladang atau di rumah pada awal pemasangan. Efek samping ini tidak ada pada alat kontrasepsi non-MKJP.

Ada juga yang takut menggunakan MKJP, takut terlalu lama dipakai dan terbawa saat meninggal. Dan pemakaian MKJP harus di Puskesmas, susah transportasi menuju ke Puskesmas. Kader desa menyatakan masyarakat desa sangat menyukai alat kontraasepsi jangka pendek, mereka merasa non-MKJP lebh praktis dan gampang dikontrol.

“Kami di desa rata-rata memakai suntik, kalau pil suka lupa, kalau yang seperti implan, IUD, tidak tersedia di bu bidan dan harus ke kecamatan. Transportasinya susah.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

“Saya tidak berani memakai alat KB itu, takut tidak cocok dan harus ke Puskesmas pergi melepas dan memasang.” (Ibu KB, Ds.Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Dari sisi akses, non-MKJP jauh lebih mudah. Dari segi harga, menurut padangan para ibu penggunanya non-MKJP dianggap murah dalam jangka pendek. Sedangkan untuk MKJP, harganya bisa jauh lebih mahal pada awal pemasangan. Untuk penduduk di pedesaan, pengeluaran tersebut cukup besar. Untuk non-MKJP jika ingin berhenti tidak ada biaya sedangkan untuk MKJP perlu uang untuk pencabutan.

Informan orang tua masih ada yang belum paham mengenai MKJP. Biasanya mereka hanya tahu non-MKJP seperti suntik dan pil saja, apalagi pada orang tua yang tidak pernah KB sebelumnya.

“Saya tidak tau alat itu, yang saya tau cuman suntik sama pil karena saya tidak pernah pakai KB.” (Ibu/mertua PUS non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa]

C.3. Penerimaan jenis alat kontrasepsi

Berdasarkan teori diffusion of innovation, beberapa karakteristik yang berhubungan dengan alat kontrasepsi dikelompokkan ke dalam: (1) keuntungan relatif; (2) kompatibilitas; (3) kepraktisan dan kemudahan penggunaan; (4) kemungkinan bisa mencoba; dan (5) hasil yang nyata, seperti yang diuraikan berikut ini:

Page 55: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

43

Metode kontrasepsi suntik dan pil masih merupakan metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Sumbawa, sedangkan satu alat kontrasepsi non-MKJP lain yang sedikit sekali didiskusikan adalah kondom.

Non-MKJP

Keuntungan relatif

Pil adalah alat kontrasepsi yang termurah dari semua metode pelayanan KB, dengan cukup Rp. 5.000,- dapat digunakan selama satu bulan. Sedangkan alat KB suntik memerlukan Rp. 20.000- 30.000 per sekali suntik, untuk satu atau tiga bulan. Dalam jangka pendek biaya, ini relatif lebih murah dibandingkan metode lain.

Namun demikian, non-MKJP seperti pil dan suntik adalah metode hormonal sehingga rawan terjadinya efek samping pada beberapa orang. Penggunaan alat KB ini pada beberapa orang dapat menimbulkan gangguan hormonal baik ringan, sedang maupun berat.

“[pakai pil] banyak keputihan, ibu bidan suruh ganti.” (Ibu KB, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa) “…pakai suntikan haid tidak lancar, badan juga sakit pegel-pegel.” (Ibu KB, Kel.Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa)

Alat non-MKJP mudah diperoleh karena tersedia di failitas KB manapun. Di Puskesmas bahkan dapat diperoleh dengan Rp. 5000, - jika persediaan masih ada. Setiap akseptor biasanya punya tempat favorit masing-masing untuk mendapatkan pelayanan KB, meskipun harus membayar.

“Iya, suntik lebih praktis, bayar 25 ribu, bu bidan yang datang ke rumah.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa]

Kompatibilitas

Dari sisi konteks sosial budaya, agama dan privasi, non-MKJP lebh mudah diterima karena tidak ada buka aurat pada saat pemasangan. Pil KB tidak ada hambatan sama sekali dengan budaya dan agama sedangkan suntik dilakukan oleh bidan dengan pembukaan aurat yang minimal.

Non-MKJP dirasa lebih cocok oleh masyarakat sehingga paling banyak digunakan. Sepanjang tidak ada efek samping yang berat seperti keputihan berat dan menstruasi tidak teratur, tidak ada hambatan dari suami untuk menggunakan non-MKJP.

Kepraktisan dan kemudahan penggunaan

Pemakaian alat kontrasepsi kondom dan pil sama sekali tidak ada kerumitan. Suntik hanya sedikit rumit karena harus melakukan suntik ulangan KB sebulan/tiga bulan sekali ke bidan atau fasilitas. Kelemahannnya adalah perlu kedisiplinan dan kepatuhan untuk meminum pil setiap hari dan tidak boleh lupa tanggal suntik ulangan.

Kemungkinan untuk mencoba

Pil lebih sedikit dipilih untuk kemungkinan dicoba dibandingkan suntik, sedangkan kondom bukan merupakan pilihan dengan alasan tidak enak dan takut lepas.

Non-MKJP dipilih karena menurut informan ibu sedang tidak ber-KB mudah diganti bila tidak cocok, cukup dihentikan saja tidak perlu dating ke fasilitas. Demikian juga jika ingin menambah anak tinggal hentikan saja minum pil dan suntik ualangannya. Suntikan paling banyak dipilih oleh kelompok ibu yang tidak ber-KB sebagai alat kontrasepsi berikutnya setelah mendapatkan tambahan anak atau jika ingin ber-KB.

“Iya saya juga akan memakai KB suntik.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Page 56: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

44

“…tapi kita mau (KB), besok nyusul pake suntikan,… kalau gini rasa ber-KB udah 2 anak saya, bukan 5.” (Ibu non-KB, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa)

Hasil yang nyata

Non-MKJP menurut informan pasti hasilnya yaitu bisa mencegah kehamilan, kecuali untuk orang yang lupa minum atau lupa suntik ulangan. Efek samping pil dan suntik lebih berat dibandingkan MKJP, hanya kondom yang tidak ada efek samping sama sekali.

Sejumlah alasan penggunaan MKJP di Kabupaten Sumbawa disampaikan oleh beberapa informan. Informan yang menggunakan MKJP menyebutkan bahwa alasan menggunakan MKJP adalah ingin membatasi kehamilan atau berhenti melahirkan sama sekali.

Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP)

Keuntungan relatif

Dari sisi ekonomis jangka pendek, terlihat MKJP lebih mahal dibandingkan dengan non-MKJP. Sedangkan diantara MKJP, perbedaan biaya pelayanan tidak jauh berbeda kecuali untuk metode operasi.

Kenyamanan dalam jangka panjang juga lebih menarik masyarakat jika dibandingkan dengan non-MKJP karena tidak perlu melakukan kunjungan ulangan dalam waktu dekat.

“Mungkin mahal kalau implan dan IUD.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec.Rhee, Kab. Sumbawa) “Pasti tidak akan hamil karena lama jangka waktunya.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Pada kelompok penduduk ekonomi bawah di pedesaan, khususnya penduduk di daerah terpencil, KB masih di luar jangkauan. Walaupun mekanisme jaminan sudah tersedia, namun belum semua masyarakat bisa mengakses pelayanan ini karena beberapa penyebab, seperti tidak adanya supply yang cukup, akses dan masalah transportasi.

“Kalau pake KB biayanya kita tidak mampu. Tapi kalau gratis oke.“ (Bapak non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa]

“... tetapi bu bidan tidak mempersiapkan dan kalau mau pake [MKJP] ke Puskesmas serta harus di pesan dulu.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Kompatibilitas

MKJP sebagai alat kontrasepsi jangka panjang sangat menarik minat karena dalam jangka panjang lebih ekonomis. Namun dari sisi kecocokan dengan pemakainya, masyarakat menilai selalu ada saja efek sampingnya, walaupun kecil.

“Saya pernah pake IUD, tapi tidak cocok, menstruasi terus jadi takut, nanti kalau men bisa kurus.” (Ibu non-KB, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa]

Dari sisi agama, ada kepercayaan bahwa orang yang sudah meninggal tidak boleh membawa benda asing dalam tubuhnya. Ada kelompok masyarakat yang mengidentikkan alat KB dengan benda asing ini, walau sebenarnya benda asing yang dimaksud dalam agama adalah benda yang ditanamkan dalam tubuh dengan tujuan di luar aturan agama seperti ‘susuk’ dan benda sejenisnya dari dukun.

“Cuma karena lama, sapa tahu saya meninggal alatnya masih di pasang, itu buat saya takut memakai.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab.Sumbawa)

Page 57: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

45

Dari sisi pemasangan IUD sangat mengganggu privasi, karena harus membuka vagina. Oleh karena itu tokoh agama dan mensyarakat mensyaratkan sebaiknya hanya bidan yang melakukan pemasangan IUD.

Kepraktisan dan kemudahan penggunaan

Bagi masyarakat khususnya di desa, KB MKJP seperti IUD dan implan tidak mudah didapatkan atau dipasang. Ketakutan efek samping juga menjadi ketakutan tersendiri dan jika terjadi maka harus melakukan tindakan pelepasan alat yang sangat tidak efisien bagi penduduk desa karena harus kembali ke Puskesmas dan kembali membayar.

“Saya tidak berani memakai alat KB itu, takut tidak cocok dan harus ke Puskesmas pergi melepas dan memasang… Takut memakai, selain itu susah mendapatkan dan bu bidan [bidan desa] belum bisa pasang selain suntik dan pil,… Jauh juga pasangnya di Puskesmas kecamatan. Biaya ke sana mahal.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Pada metode KB MKJP, MOP dan MOW tidak mudah untuk didapat karena harus mendaftar ke Puskesmas dan didaftarkan dulu di BKBPP dan menunggu kegiatan momentum agar gratis, karena jika menghendaki segera biaya pelayanan di rumah sakit yang tidak terjangkau masyarakat.

Kemungkinan untuk mencoba

Kemungkinan masyarakat mencoba, baik memulai baru atau beralih dari metode lain, sangat kecil, Hanya pada penduduk dengan karakteristik tertentu, seperti pengalaman traumatis orang terdekat, kesadaran dan komitmnen yang tinggi untuk ikut mensejahterakan keluarga saja mau mencoba MKJP, khususnya pada MOP dan MOW.

“Kurang tahu bu, karena takut yang lama. Saya tidak mau memakai.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Hasil yang nyata

Dari sisi keberhasilan pencegahan kehamilan, MKJP jauh lebih baik dibandingkan dengan metode lain khususnya MOP dan MOW. Selain itu, jika sudah melalui fase awal/kritis pemasangan efek samping jauh lebih kecil.

C.4. Proses pengambilan keputusan

Keterlibatan suami dan istri dalam pengambilan keputusan

Pengambil keputusan dalam ber-KB

Studi ini tidak menemukan istri yang memutuskan sendiri menggunakan KB. Minimal istri mengutarakan keinginan menggunakan KB kemudian pilihan alat kontrasepsi diputuskan sendiri bersama bidan. Seorang ibu memutuskan menggunakan MOW setelah keinginan mempunyai anak laki-laki terpenuhi.

“Tidak, cocok pakai pil. Tapi pas tau punya anak laki-laki langsung steril.” (Ibu KB, Kel. Seketeng, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Suami memutuskan sendiri menggunakan KB biasanya karena pengalaman pribadi. Seorang informan menyampaikan memutuskan menggunakan MOP karena istri dan anaknya sempat mengalami kritis pasca saat persalinan terakhir. Informan lain memutuskan ber-KB karena merasa sudah cukup tua untuk punya anak lagi dan keadaan ekonomi yang pas-pasan.

Page 58: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

46

Umumnya keputusan menggunakan atau tidak menggunakan alat KB adalah keputusan bersama istri dengan suami, walaupun inisiatif biasanya datang dari pihak istri. Setelah melahirkan ada konseling dan saran dari penolong persalinan, biasanya istri berinisatif akan menggunakan alat kontrasepsi.

“Keinginan bersama, sebelumnya bicara dulu sama suami… tidak ada (yang memepngaruhi), itu keputusan suami istri.” (Ibu non-KB, Kel. Seketeng, Kec.Sumbawa, Kab.Sumbawa]

“Tidak ada, keputusan berdua.” (Bapak non- KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Peran orang tua dalam pengambilan keputusan

Orang tua atau mertua sekarang tidak banyak mempengaruhi keputusan anak atau menantu ber-KB. Menurut sejumlah informan, biasanya keputusan ber-KB adalah kesepakatan antara anak atau menantu bersama-sama suaminya atau istrinya. Orang tua dan mertua sangat mendukung upaya anak dan menantu ber-KB. Menurut salah satu informan, orang tua dengan KB MKJP lebih baik pada ibu yang berisiko ketika melahirkan.

“Kemauan sendiri, sama sepakat sama suaminya.” (Ibu/mertua PUS KB, Ds.Sampe, Kec.Rhee, Kab. Sumbawa)

“Saya lebih suka dia pake yang panjang panjang, kasian dia lahirannya tidak lewat pintu [cesar].” (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Informan ibu yang tidak ber-KB menyatakan sebenarnya mereka paham konsekuensi tidak ber-KB. Mereka khawatir akan terjadi kehamilan lagi. Salah satu informan ibu terpaksa menggunakan KB tradisional dengan jamu-jamuan di kampungnya untuk mencegah kehamilan. Informan enggan menggunakan KB karena takut efek samping dan suami yang kurang setuju mengeluarkan biaya minimal Rp.30.000,- untuk ber-KB suntik setiap suntik, sedangkan untuk menggunakan metode lain takut.

Keyakinan terhadap berkurangnya risiko jika ber-KB

“Sebenarnya takut kelolosan. “(Ibu non-KB, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa) “Sebenarnya takut tidak pakai KB, tapi saya pakai alat tradisional [minum jamu] karena pasti akan hamil terus.... Iya, pasti akan sering terjadi kehamilan.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Kehamilan yang tidak diinginkan semestinya bukan satu-satunya kekhawatiran. Menurut ibu yang ber-KB, jika tidak ber-KB kecukupan asupan untuk anak menjadi kurang karena harus dibagi dengan banyak anak. Akibatnya, anak-anak menjadi kurang gizi. Terkadang usia anak masih kecil sudah punya adik lagi.

“Keterbatasan makanan karena banyak anggota keluarga…kurang gizi...anak masih kecil [sudah ada adiknya].” (Ibu KB, Kel. Seketeng, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa)

Informan orang tua menyampaikan bahwa pendidikan anak sekarang sangat mahal karena itu pembatasan jumlah anak sangat diperlukan agar anak mendapat pendidikan yang baik.

Hambatan informasi di daerah perdesaan sangat terasa jika dibandingkan di daerah perkotaan. Terbatasnya informasi tentang suatu alat kontrasepsi menghambat PUS untuk menimbang dan mencoba alat kontrasepsi baru. Hambatan lain dalam pengambilan keputusan adalah berkembangnya atau hidupnya informasi negatif mengenai alat kontrasepsi tertentu seperti IUD dan implan. Sebuah upaya untuk mengurangi informasi negatif ini perlu dilakukan melalui tindakan nyata, seperti secepatnya mangatasi efek samping akseptor dan memberikan kenyamanan agar efek samping tidak mengemuka.

Hambatan dalam pengambilan keputusan

Hambatan akses

Page 59: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

47

Hambatan akses dalam pelayanan KB sangat beragam, meliputi ketersediaan supply di level pelayanan, akses transportasi dan keterjangkauan pelayanan. Dalam supply alat kontrasepsi suntik, masyarakat memang dihadapkan pada pilihan yang terbatas. Walau sebenarnya tidak ada yang tahu animo pada alat kontrasepsi tersebut. Sekarang ini calon akseptor bisa saja punya pilihan pil karena hanya ada pil yang tersedia, memilih KB suntik karena saat itu hanya itu yang selalu tersedia di petugas. Oleh karena itu, KB mandiri di suatu tempat dianggap sebuah keberhasilan namun dipihak lain masyarakat menilai seharusnya KB ini gratis.

“Itu pak jadi mungkin kekurangan ini dimanfaatkan petugas juga untuk mendorong ke mandiri, tapi disisi lain masyarakat memandang seharusnya saya mandapat yang ini [gratis], jadi ini yg tak tuntas karena persediaan yang under estimate.” (Dinas Kesehatan, Kab Sumbawa) “[Informasi MKJP dari?] bu bidan dan PLKB, tetapi bu bidan tidak mempersiapkan dan kalau mau pake [MKJP] ke Puskesmas serta harus di pesan dulu.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa) “Kalau pil itu bu, kita suka lupa, kalau kondom di sini tidak tersedia dan yang lain [IUD dan implan] itu bu susah kita mendapatkannya, biaya mahal ke kecamatan, lebih baik suntik di bu bidan praktis dan dikontrol.” (Ibu non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Hambatan norma

Hambatan norma dan agama dalam progam KB tidak lagi menjadi persoalan besar di Sumbawa. Upaya mengedukasi tokoh agama dan masyarakat terus dilakukan. Koordinasi dan sosialisasi lintas sektor dan lintas agama sudah dilakukan pada tingkatan institusi. Tokoh agama dan tokoh masyarakat sudah menerima dan mendukung dengan baik program KB demi peningkatan kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Sumbawa.

Namun demikian, hambatan di tingkat masyarakat masih terjadi. Kepercayaan bahwa alat kontrasepsi yang ditanam dalam tubuh adalah benda asing yang semestinya tidak boleh dibawa mati masih ada.

Kebiasaan masyarakat untuk mendapatkan jenis kelamin anak laki laki dan perempuan dalam satu keluarga juga menghambat upaya pembatasan jumlah anak. Di masyarakat Kabupaten Sumbawa, terutama di desa, masih banyak enggan ber-KB karena ingin menambah anak dengan jenis kelamin yang belum dimiliki (biasanya laki-laki).

Hambatan ekonomi

Dalam program KB, upaya merekrut akseptor baru bukanlah hal mudah, khususnya jika terkait dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hal utama yang menjadi pertimbangan adalah berapa besar pengorbanan yang harus dikeluarkan masyarakat untuk memperoleh layanan KB.

Bagi beberapa penduduk desa biaya sebesar Rp. 50.000,- plus kesempatan karena meninggalkan pekerjaan adalah sangat besar.

“Kalau pake KB biayanya kita tidak mampu. Tapi kalau gratis oke.” (Bapak non-KB Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

“Mungkin mahal kalau implan dan iud, jauh juga pasangnya di Puskesmas kecamatan. Biaya ke sana mahal.”(Ibu non-KB Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

“Bayar diloketnya 5 ribu, kalau diperhitungkan ada 30 ribu. Bayar transport kesana bisa sampai 10 ribu. Lebih enak disini.” (Bapak non-KB, Ds. Sampe, Kec. Rhee, Kab. Sumbawa)

Upaya mendekatkan pelayanan ke masyarakat bukan menjadi jaminan untuk membuat layanan menjadi murah. Ketika supply tidak tersedia, maka substitusi yang lebih mahal menjadi pilihan, dan ketika masyarakat tidak bisa menjangkau pelayanan tersebut maka terjadilah unmet need.

Page 60: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

48

Investasi SDM juga perlu dilakukan agar ada peningkatan kapasitas bidan desa sehingga dapat melakukan pelayanan IUD dan implan tanpa harus melakukan rujukan ke Puskesmas.

D. Pembelajaran dari desa MKJP tinggi dan rendah

Program KB di Kabupaten Sumbawa mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah. Dukungan lintas sektor dan pembiayaan program KB membuat program KB mampu meningkatkan kinerjanya. Leadership pimpinan daerah sangat membantu menggerakan dukungan kepada program KB di Kabupaten Sumbawa.

Keterlibatan tim PPK Kabupaten dinilai sangat efektif untuk mendorong tim penggerak PKK kecamatan terlibat aktif dalam program KB di wilayahnya masing-masing.

Jumlah PLKB di Kabupaten Sumbawa saat ini dinilai sangat kurang, hal ini menimbulkan beban kerja yang berlebih, khususnya pada wilayah kecamatan dengan jumlah desa yang cukup banyak. Cakupan MKJP Desa Sampe memang lebih rendah dibandingkan Kelurahan Seketeng. Saat ini Desa Sampe dikelola langsung oleh Kepala UPT KB yang merangkap sebagai PLKB di empat desa.

Kinerja PLKB masih cukup baik, namun beberapa sudah cukup senior sehingga pergerakan tidak seaktif sebelumnya. Di daerah perkotaan, kendala ini tidak terasa karena banyak sumber informasi tentang KB yang bisa diakses masyarakat. Namun di daerah atau desa terpencil, hal ini menjadi kendala karena terbatasnya akses dan sumber informasi yang bisa diakses masyarakat.

Karakteristik masyarakat di Sumbawa sudah mulai heterogen. Di samping penduduk Sumbawa, saat ini banyak pendatang yang berasal dari Jawa, Bali, Lombok dan Sulawesi. Masyarakat Sumbawa umumnya sudah mempunyai kesadaran untuk menunda usia pernikahan dan mendahulukan pendidikan. Masyarakat pendatang yang umumnya dari kalangan berpendidikan lebih rendah mempunyai usia menikah lebih muda.

Masyarakat di daerah perkotaan lebih suka MKJP karena kesibukan pekerjaan, sedangkan dari daerah remote dan terpencil lebih suka jangka pendek. Alasan penduduk di daerah terpencil enggan menggunakan IUD dan implan karena jika terjadi efek samping, mereka harus ke Puskesmas untuk mencabut kembali, yang berarti kembali menghabiskan waktu, uang dan tenaga. Jadi pilihannya lebih baik jangka pendek karena tersedia di desa, meskipun harus membayar. Lebih baik menggunakan jangka pendek yang dekat rumah ketimbang harus membayar lebih mahal untuk MKJP tapi belum tentu cocok. Ini menyebabkan masyarakat enggan beralih ke MKJP. Di daerah pulau-pulau justru terjadi yang sebaliknya. Mereka enggan bolak balik ke provider, jadi lebih memilih MKJP seperti implan. Aksesibilitas, penanganan efek samping dan keterjangkauan biaya layanan mempengaruhi pilihan alat kontrasepsi.

Kinerja petugas kesehatan, dalam hal ini bidan, terbilang baik khususnya pada tingkat Puskesmas. Namun pada tingkat Polindes, ada beberapa bidan desa yang tidak tinggal di desa lagi karena berbagai alasan. Kendala pelayanan pada bidan desa yang tidak punya fasilitas dan kapasitas melakukan pemasangan IUD, terlepas dari apakah ada aturan yang mengharuskan melakukan pemasangan IUD dan implan di Puskesmas, menyebabkan masyarakat desa harus mengakses pelayanan di Puskesmas yang relatif jauh dari tempat tinggalnya.

Kinerja petugas kesehatan

Hambatan ketersediaan pada alat kontrasepsi favorit seperti suntik juga menjadi kendala tersendiri karena akibatnya calon akseptor harus membayar alat kontrasepsi yang dibeli bidan, yang berakibat KB terkesan mahal. Pada sebagian penduduk desa, Rp.30.000,- per tiga bulan

Sosial ekonomi masyarakat

Page 61: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

49

masih relatif mahal. Untuk MKJP, calon akseptor harus memesan dan menunggu terlebih dahulu agar memperoleh alat kontrasepsi yang gratis serta menentukan waktu jadwal pelayanan dan pemasangan di Puskesmas. Untuk mendapatkan pelayanan MKJP di Puskesmas, calon akseptor harus meninggalkan pekerjaan selama satu hari penuh di ladang atau sawah karena jauhnya lokasi fasilitas dari desa.

4.3 Diskusi Kesimpulan dan Saran Provinsi Nusa Tenggara Barat A. Ringkasan hasil penelitian di tingkat provinsi dan kabupaten

Selain melakukan wawancara pada pemangku kepentingan ditingkat provinsi, penelitian kualitatif juga dilakukan di tingkat kabupaten. Tiga kabupaten terpilih adalah Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur dan Sumbawa. Di bawah ini ditampilkan matriks ringkasan dari hasil penelitian kualitatif, dimana laporan lebih rinci untuk masing-masing kabupaten akan diuraikan pada bagian selanjutnya. Tabel 4.9 Ringkasan hasil penelitian kualitatif di Provinsi Nusa Tenggara Barat

No. Topik bahasan Provinsi Kabupaten Lombok Barat Lombok Timur Sumbawa

A. Gambaran umum cakupan KB 1. Cakupan KB dan

permasalah annya

• Alat kontrasepsi untuk semua masyarakat NTB ditanggung dari Pusat

• Prioritas meningkatkan IPM

• Komitment tinggi

• Alat kontrasepsi untuk semua masyarakat NTB ditanggung dari Pusat

• Prioritas meningkatkan IPM

• Komitmen tinggi • Kawin usia muda,

cerai adalah biasa

• Alat kontrasepsi untuk semua masyarakat NTB ditanggung dari Pusat

• Prioritas meningkatkan IPM

• Komitmen tinggi • Tingkat kawin

cerai tinggi, sehingga jumlah anak menjadi banyak juga

• Alat kontrasepsi untuk semua masyarakat NTB ditanggung dari Pusat

• Prioritas meningkatkan IPM

• Komitmen tinggi • Budaya kawin cerai

jarang

2. Persepsi tentang MKJP versus non-MKJP

• Masyarakat masih lebih menyukai non-MKJP

• Tren MKJP naik sedikit

• Pola preferensi jenis KB: Perkotaan non-MKJP Desa terpencil lebih didorong MKJP (akses susah)

• Tren MKJP naik banyak terutama implan

• Daerah terpencil untuk masyarakat nelayan lebih sulit diubah ke MKJP

• Tren MKJP naik • Pola preferensi jenis

KB: Perkotaan preferensi desa terpencil (akses susah) lebih didorong MKJP

B. Manajemen program KB 1. Kebijakan dan

alokasi anggaran

• Gubernur bisa memegang komitmen kabupaten dan mengikatnya dengan kesepakatan

• Bupati komit, setiap bulan akan memantau semua program termasuk KB

• Alokasi dana BKBPP: Penekanan pada program masyarakat

• Bupati komit dengan program KB anggaran BPPKB selalu dipenuhi misalnya: Kantor UPTKB kecamatan untuk koord PLKB dibangun kantor asal ada lahannya, petugas diberi sepeda motor dan laptop

• Bupati komit dengan program KB

• Dana untuk BKBPP cukup

2. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi

• Pengadaan dari Pusat

• Dinkes menyarankan agar distribusi lewat Dinkes, namun hanya bertahan setahun.

• Pengadaan dari Pusat

• Dua cara di kecamatan: lewat Puskesmas di apotiknya atau gudang atau melalui KUPTKB tingkat kecamatan

• Pengadaan dari Pusat

• Distribusi alat kontrasepsi lewat PLKB ke desa sehingga ada kebiasaan bidan memberikan transport untuk

• Pengadaan dari pusat

• Dikahawatirkan masih terjadi transaksi dalam pendistribusian alat kontrasepsi lewat PLKB ke desa, walau sudah disediakan

Page 62: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

50

No. Topik bahasan Provinsi Kabupaten Lombok Barat Lombok Timur Sumbawa

daerah-daerah yang jauh

• Dana distribusi PLKB Rp. 1 juta

dana transportasi • Persediaan pil dan

suntik kurang karena masih banyak diminati

3. Pelayanan KB • Sektor swasta mendukung MKJP

• Swasta mendukung MKJP walau belum didukung BPPKB untuk alat KIEnya

• Klinik swasta bersifat faith based organization

• BPS mendukung MKJP

• Di tingkat RS MKJP sangat terungkit dengan adanya Jampersal dan IUD pasca persalinan

4. Sumber Daya Manusia

• 1 bidan untuk 1 desa • 1 PLKB untuk 1-2

desa tidak ada regenerasi

• Kewenangan bidan tidak ada masalah, kecuali KB pasca plasenta harus yang dilatih

• Pelatihan CTU baru 30%

• Jumlah bidan cukup

• PLKB kurang karena pemekaran wilayah, 125 PLKB untuk 254 desa

• Kewenangan bidan tidak ada masalah

• Pelatihan CTU baru 30%

• Bidan yang belum dilatih berlatih pada bidan terlatih untuk KB pasca plasenta

• Perawat banyak yang memberikan pelayanan suntik KB

• 165 desa 68% tercover bidan

• Ada rencana untuk mengaktifkan bidan KB

• PLKB sangat kurang 1:4

• Pelatihan CTU baru 30%

5. Kerjasama antar institusi

• Dinkes, BP3KB, BKKBN

• BKKBN dianggap kurang koordinasi terutama untuk pelatihan

• BKKBN merasa lebih inferior secara struktural

• Koordinasi baik, tidak ada masalah di lapangan

• BKBPP tidak ada masalah juga

• Koordinasi baik • Pilar utama KB:

PKK, Dinkes dan BP2KB

• Koordinasi baik • Pilar utama KB: PKK,

Dinkes dan BKBPP terutama dalam mendukung momentum KB

• Potensi CSR Newmount untuk membiayai posBKB

6. Menciptakan kebutuhan

• Anggaran promosi KB ada di BKKBN walau tidak besar

• Penggunaan momentum KB oleh BKKBN untuk promosi mengganggu dinkes karena tenaga yang digunakan bidan Puskesmas juga

• Pemutaran film sebelum pelayanan dinamis (bidan serempak datang ke Poskesdes untuk MKJP)

• Dinkes unggulannya kelas ibu hamil dan KB pasca persalinan dipromosikan

• Khotbah Jumat juga membahas mengenai KB

• Grebeg pasar: Model ini tidak disukai dinkes; banyak keluhan karena kualitas pelayanan kurang

• Hari kesatuan gerak PKK, dinkes dan KB setahun sekali pelayanan masal

• Ulang tahun CBO pelayanan masal

• PLKB dan kader bersama-sama memantau ibu hamil dan menyarankan KB

• Selaparang TV untuk tiap dinas

• Pemutaran film

• Pospa BKB: Integrasi Posyandu, Paud dan KB

• Momentum KB • Penyuluhan oleh

bidan mulai digencarkan kembali

• Belum ada promosi khusus baik dari dinas maupun unit KB terutama untuk MKJP

• Blusukan ibu Bupati/PKK Kabupaten dijadikan sarana untuk promosi MKJP dengan membawa pasangan KB Lestari

7. Pencatatan dan

pelaporan

• Yang dicatat BKBBN lengkap, tapi Dinkes hanya KB aktif dan KB baru tidak dibagi perkatagori alat. Unmet need tidak ada, fokus pada kegagalan

• Puskesmas punya data alat kontrasepsi (F2KB) namun untuk dilaporkan ke BKKBN

• Puskesmas punya data alat kontrasepsi (F2KB) namun untuk dilaporkan ke BKKBN

• Puskesmas punya data alat kontrasepsi (F2KB) namun untuk dilaporkan ke BKKBN

Page 63: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

51

B. Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi)

Tabel di bawah ini merupakan rangkuman perspektif masyarakat terhadap alat kontrasepsi. Berikut uraian perspektif masyarakat dari sisi keuntungan relatif, kenyamanan, kepraktisan, kemungkinan dicoba dan hasil yang nyata. Semakin banyak perspektif positif yang muncul di masyarakat, umumnya alat kontrasepsi tersebut semakin digemari dan digunakan. Tabel 4.10 Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi)

Penilaian masyarakat Alat kontrasepsi

Pil Suntik Kondom IUD Implan MOW MOP

Keuntungan relatif

Murah dalam jangka pendek +++ + ++ +/- +/-- +/--- +/---

Mudah diperoleh +++ ++ + + + +/-- +/--

Kenyamanan dalam penggunaan + - + + ++ ++

Kompatibilitas

Tidak perlu buka aurat +++ + --- ++ --- --- Banyak digunakan di masyarakat/keluarga ++ +++ -- ++ + - -

Tidak dilarang suami/istri ++ + +/-- +/- +/--- +/---

Tidak dilarang agama + + +/-- +/-- +/-- +/--

Kepraktisan dan kemudahan penggunaaan

Tidak perlunya kepatuhan --- -- + + ++ ++

Tidak perlu digunakan tiap hari --- + + + ++ ++ Mudah digunakan (tidak perlu operasi) +++ ++ +++ - -- --- ---

Kemungkinan bisa mencoba

Gampang berganti/berhenti +++ ++ +++ - -- --- ---

Hasil yang nyata

Keberhasilan --- -- + + ++ ++

Tanpa efek samping -- -- +/- +/-- +/-- +/-- Berdasarkan perspektif klien, metode kontrasepsi jangka pendek (non-MKJP) seperti pil dan suntik dinilai mudah diperoleh, murah, tidak perlu buka aurat, banyak digunakan masyarakat, mudah digunakan (tidak perlu operasi atau tindakan invasif) dan mudah berganti ke alat kontrasepsi lain bila menginginkannya atau bila ingin hamil lagi. Sedangkan pada metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) seperti IUD, implan dan MOW, ditemukan adanya larangan dari suami. Hal ini berbeda dengan pil dan suntik yang secara umum tidak ditemui adanya larangan tersebut. Berdasarkan kepraktisannya, pil dinilai masih membutuhkan kepatuhan untuk minum setiap hari dan tingkat keberhasilan pil dinilai rendah. Sebagian informan menilai bahwa IUD dan implan cukup murah (bagi akseptor KB pemerintah), namun sebagian lain menyatakan cukup mahal (untuk akseptor KB mandiri). IUD dan implan mudah diperoleh, namun dalam pemasangan membutuhkan tindakan yang invasif oleh karena itu masyarakat cenderung takut untuk menggunakannya. Kedua alat kontrasepsi ini juga diasosiasikan dengan berbagai efek samping. Dibandingkan non-MKJP, akseptor IUD dan implan

Page 64: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

52

disebutkan akan lebih sulit berganti alat bila suatu saat ingin memiliki anak. Tingkat keberhasilan IUD dan implan dinilai lebih baik dibandingkan non-MKJP. Diantara MKJP, informan yang menggunakan MOW/MOP berpendapat bahwa alat kontrasepsi yang digunakan cukup nyaman, hanya diperlukan sekali tindakan. MOW/MOP tidak memerlukan kepatuhan dan ketelatenan seperti non-MKJP yang harus diminum setiap hari atau disuntik secara rutin. Bagi akseptor KB Mandiri, tarif MOW dan MOP tergolong mahal. Kedua metode kontrasepsi ini disebutkan memiliki tingkat keberhasilan yang paling tinggi, namun hampir tidak dapat berganti atau bila suatu saat akseptor ingin memiliki anak. Ditemukan adanya penilaian sebagian kecil masyarakat bahwa memasang MKJP (IUD, implan dan MOW/MOP) bertentangan dengan norma dan agama. Penilaian ini berkaitan dengan pendapat KB sebagai upaya menghalangi kehamilan sedangkan kehamilan merupakan ibadah, dan pendapat terkait memasang IUD memperlihatkan aurat kepada orang lain. Umumnya informan menyadari bahwa dari aspek kepraktisan, MKJP dinilai lebih praktis karena tidak perlu harus mengingat waktu pemakaian. Namun dari aspek cara penggunaannya, pil dan suntik dinilai lebih praktis karena penggunaannya bisa dihentikan kapan saja. Pil dan suntik dinilai gampang untuk dicoba, mudah diperoleh, dan murah. Sebaliknya, IUD, implan dan MOW/ MOP dinilai cukup repot untuk dipasang. Alat ini tidak untuk dicoba karena akan repot melepasnya kembali bila ada masalah. Namun demikian, mereka umumnya mengetahui bahwa MKJP lebih berhasil mencegah kehamilan dibanding non-MKJP. C. Kesimpulan dan saran tingkat provinsi

Komitmen Provinsi NTB untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sangat kuat. Karena itu program kesehatan dan pendidikan menjadi sektor pembangunan yang diutamakan di provinsi ini. Gubernur saat ini cukup memiliki kewibawaan untuk mengatur seluruh kabupaten terkait program-program guna untuk meningkatkan IPM dengan membuat Nota Kesepakatan dan moto yang dibuat oleh provinsi. Dengan perkataan lain desentralisasi sedikit berdampak terhadap variasi program di tingkat kabupaten.

Kesimpulan

Ada empat institusi yang terkait dengan program KB di tingkat provinsi. BKKBN yang bekerja di sisi demand dan berperan sebagai koordinator. Dinas Kesehatan (Dinkes) bekerja di sisi supply/pelayanan. BP3KB (Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan KB) yang selain terkait dengan program KB, juga menangani pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Institusi keempat adalah PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). PKK memberikan dukungan pada pelayanan rutin dan momentum KB. Dinkes dan BPPKB di tingkat provinsi harus diperkuat sehingga tidak ada tumpang tindih kegiatan. Selain itu, sektor swasta belum banyak dilibatkan dalam program KB. Koordinasi antara BKKBN.

Saran

• District Working Group (DWG) dapat digunakan sebagai pemicu kerjasama antar instansi, namun kendalanya adalah tidak tersedianya dana operasional.

• Mengembangkan mekanisme kerjasama dengan pihak swasta untuk menerima peserta Jamkesda atau Jamkesmas.

• Mengkaji dan memutuskan kewenangan bidan sehingga tidak merugikan pelayanan KB serta membuat aturan untuk perawat dalam kaitannya dengan pelayanan KB.

Page 65: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

53

D. Kesimpulan dan saran tingkat kabupaten

Keluarga Berencana (KB) sudah menjadi prioritas di Provinsi Kabupaten Sumbawa karena adanya arahan yang kuat dari pemimpin daerah yang menjadikan KB menjadi salah satu investasi sumber daya manusia. Di provinsi ini, cakupan MKJP cenderung meningkat, walaupun sebagian besar masyarakat masih menyukai non-MKJP seperti suntik dan pil.

Kesimpulan

Instansi yang terlibat dalam KB di Kabupaten Sumbawa diantaranya Dinkes dan BKBPP. Pembagian peran antara BKBPP dan Dinkes sudah cukup jelas, BKBPP berperan melakukan penjaringan dan penggerakan calon akseptor sedangkan Dinkes melakukan pelayanan dan kendali mutu. Namun masih ditemukan kurangnya koordinasi antara Dinkes dan BKBPP khususnya terkait penyediaan dan distribusi alat kontrasepsi. Selain itu, juga ditemukan kurangnya kerjasama dan kemitraan dengan sektor terkait dan asosiasi/profesi dalam mengembangkan kegiatan momentum KB guna mendorong MKJP.

• Komunikasi antara Dinkes dan dan BKBPP perlu lebih transparan dan terbuka sehingga koordinasi menjadi lebih baik.

Saran

• Meningkatkan KIE dan promosi mengenai keuntungan menggunakan MKJP melalui penyuluhan, sharing dan integrasi kegiatan.

• Meningkatkan pelaksanaan pelatihan untuk menyegarkan kembali pengetahuan Bidan dan PLKB.

• Penambahan tenaga PLKB sangat diperlukan mengingat makin berkurangnya tenaga PLK, karena sudah banyak yang akan pensiun.

• Advokasi untuk penyediaan dana pembiayaan semua jasa pelayanan KB melalui jaminan sosial/Askeskin/ Jamkesmas.

Page 66: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

54

REFERENSI Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (Mei 17 2013). Aktifkan kembali

kampanye "Dua Anak Cukup". http://www.bkkbn.go.id/View Berita.aspx? BeritaID=813.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2012). Petunjuk teknis tata cara pelaksanaan pelayanan kontrasepsi program kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Jakarta: BKKBN.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2011). Analisis lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP di enam wilayah Indonesia.Jakarta: BKKBN

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2012). Laporan pendahuluan Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2012. Jakarta: BKKBN

BKKBN NTB. (2009). Selayang pandang program KB nasional, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Lombok Barat. (2013). Laporan bulanan pengendalian lapangan tingkat kabupaten/kota, Sistem Informasi Kependudukan dan Keluarga (Siduga) Bulan Februari 2013. Lombok Barat: BKBPP

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Kediri. (2013). Rapat kerja daerah (Rakerda) tahun 2013. Kediri: BPPKB

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kemenkes RI

Badan Pusat Statistik. (2010). Survei Sosial Ekonomi Nasional 2010. http://sirusa.bps.go.id/index.php?r=sd/view&kd=1558&th=2010

Badan Pusat Statistik. (2010). Laporan eksekutif hasil Sensus Penduduk 2010.

Badan Pusat Statistik et.al. (Desember 2012). Laporan pendahuluan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang. (2012). Kabupaten Lumajang dalam angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat. (2011). Lombok Barat dalam angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur. (2011). Lombok Timur dalam angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. (2012). Sumbawa dalam angka

Badan Pusat Statistik KabupatenTuban. (2011). Kabupaten Tuban dalam angka.

Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri. (2011). Profil kesehatan Kabupaten Kediri Tahun 2010.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Data informasi kesehatan Provinsi JawaTimur

Okech, Timothy C., et.al. (2011). Empirical analysis of determinants of demand for family palnning services in Kenya's city slums. Global Journal of Health Science Vol.3, No.2, October 2011

Pemerintah Dearah Lombok Timur. (2011). Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2013). Ringkasan eksekutif data dan informasi kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. (Juni 13, 2013). Program KB Nasional perlu dukungan semua pihak. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/2321-program-kb-nasional-perlu-dukungan-semua-pihak.html

Page 67: KATA PENGANTAR - Yayasan Cipta · Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan

55

Rogers, M. Everett. (1962). Diffusion of innovations. Illinois: Free Press of Glencoe

Rosenstock, IM. (1966). Why people use health services, Milbank Memorial Fund Quarterly 44, 94-124, 1966.

Rosenstock IM. (1974). Historical origins of the health belief model, Health Education Monographs 2:328-335, 1974.

Satriani. (2012). Pergeseran makna perkawinan adat dalam masyarakat Sasak. http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-lokal/629-amak-bangkol-inak-bangkol-dan-merariq-pergeseran-makna-perkawinan-adat-dalam-masyarakat-sasak.html

United Nations Development Program. (2008). Millennium Development Goals. Jakarta: UNDPhttp://www.undp.or.id/pubs/docs/Let%20Speak%20Out%20for%20MDGs%20-%20ID.pdf