KATA PENGANTAR - … file · Web viewIlmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain...

22
MAKALAH ALIRAN DALAM ILMU KALAM KLASIK (MU’TAZILAH) Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah : Ilmu Kalam Dosen Pengampu : Cecep Hilman, S.Pd.I, M.Pd Oleh kelompok 5 (Lima) : Eneng Sofa Prameswara Hanipa Muzdalipah SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUKABUMI

Transcript of KATA PENGANTAR - … file · Web viewIlmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain...

MAKALAH ALIRAN DALAM ILMU KALAM

KLASIK (MU’TAZILAH)

Diajukan untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Cecep Hilman, S.Pd.I, M.Pd

Oleh kelompok 5 (Lima) :

Eneng Sofa Prameswara

Hanipa Muzdalipah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUKABUMI

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Jl. Lio Balandongan Simagalih (Beugeg) No. 74 Kel. Cikondang Kec. Citamiang

Kota Sukabumi 2018/2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat, taufik,

serta hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “ALIRAN

DALAM ILMU KALAM KLASIK MU’TAZILAH”.

Dalam penyusunannya penulis memperoleh banyak bantuan serta

dukungan dari berbagai pihak oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih

kepada Dosen Pengampu Bapak Cecep Hilman, kepada orang tua, dan segenap

keluarga besar yang telah memberikan dorongan agar tetap maju, serta teman

mahasiswa yang telah memberikan semangat. Dari sanalah kesuksesan berawal,

semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada

langkah yang lebih baik lagi.

Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan

kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

kritik yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis

berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Sukabumi, 04 Oktober 2018

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................

A. Latar Belakang Masalah..............................................................................

B. Rumusan Masalah.........................................................................................

C. Tujuan Penulisan Makalah..........................................................................

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................

A. Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah...................................................

B. Ajaran aliran Mu’tazilah.............................................................................

1. At-Tauhid...................................................................................................

2. Al-adl..........................................................................................................

3. Al-Wa’d wa al-wa’id.................................................................................

4. Al-Manzilah bain al-manzilatain.............................................................

5. Al-Amr bin Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar...................................

C. Tokoh-tokoh Mu’tazilah...............................................................................

a.      Wasil bin’ Ata al-Ghazzal (80-131 H atau 699 M)................................

b.      Abu Al-Huzail Al-Allaf (135- 226 H atau 753- 840 M)........................

c.       Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam (wafat 231 H atau 845 M)................

d. Mu’ammar bin Abbad as-Sulmay (wafat 220 H/ 835 M)....................

e. Bisyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M)........................................

f.    Jahiz Amr bin Bahr (wafat 255 H/ 808M).............................................

BAB III PENUTUP...................................................................................................

A. Kesimpulan....................................................................................................

B. Saran..............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain ilmu

ushuludin, ilmu tauhid, fiqh al-akbar, dan teologi islam. Disebut ilmu

ushuluddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama (ushuludin),

disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah SWT.

Secara historis ilmu kalam bersumber pada al-qur’an, hadits,

pemikiran manusia, dan instink. Ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang

mempunyai obyek tersendiri, tersistematiskan, dan mempunyai

metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Musthafa Abd Ar-Raziq bahwa

ilmu ini bermula ditangan pemikir Mu’tazilah, Abu Hasyim, dan

kawannya Imam Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.

Menurut Harum Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu

oleh persoalan politik. Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam

yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa

yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari islam dan siapa

yang masih tetap dalam islam.

Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam

yaitu: Aliran khawarij, aliran murji’ah,dan aliran mu’tazilah. Dan dengan

itu makalah kami akan menjelaskan mengenai aliran mu’tazilah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang munculnya Mu’tazilah?

2. Apa saja ajaran-ajaran Mu’tazilah?

3. Siapa saja tokoh pendiri Mu’tazilah?

C. Tujuan Penulisan Makalah

1. Mengetahui latar belakang munculnya Mu’tazilah.

2. Mengetahui ajaran-ajaran Mu’tazilah.

3. Mengetahui tokoh-tokoh pendiri Mu’tazilah.

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti

“berpisah” atau “memisahkan diri”. Secara teknis, istilah Mu’tazilah dapat

menunjuk pada dua golongan.

Golongan pertama (Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik

murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khusunya dalam

arti sikap yang lunak dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi

Thalib dan lawan-lawanya, terutama Mu’awiyah, Aisyah dan Abdullah bin

Zubair. Menurut penulis, golongan yang netral politik masa inilah yang

sesungguhnya disebut kaum mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri

dari pertikaian masalah khilafah.

Golongan kedua (mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan

teologis yang berkembang dikalangan khawarij dan murji’ah karena

peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat

dengan golongan khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir

kepada orang yang berbuat dosa besar.

Nama “Mu’tazilah” bukan ciptaan orang-orang Mu’tazilah sendiri,

tetapi diberikan oleh orang-orang lain. Orang-orang Mu’tazilah

menamakan dirinya “ahli keadilan dan keesaan” (ahlul adli wat tauhid).

 Nama Mu’tazilah  diberikan karena:

a.       Orang-orang Mu’tazilah menyalahi pendapat sebagian besar

ummat karena mereka (orang-orang Mu’tazilah) mengatakan bahwa

orang fasik, yaitu orang yang melakukan dosa besar, tidak mu’min

tidak pula kafir.

b.      Wasilbin Ata’, pendiri aliran Mu’tazilah berbeda pendapat

dengan gurunya yaitu Hasan Basri, dalam soal tersebut diatas,

karenanya ia memisahkan diri dari pelajaran yang diadakan gurunya

dan berdiri sendiri kemudian mendapat pengikut banyak. Kemudian

Hasan Basri berkata “Wasil telah memisahkan diri dari kami”, sejak

saat itu maka wasil dan teman-temanya disebut “golongan yang

memisahkan diri” (Mu’tazilah)

c.       Ahmad Amin dalam bukunya (Fajar Islam 1/344) berpendapat

bahwa mula-mula memberikan nama “Mu’tazilah” adalah orang-orang

Yahudi, pada abad ke empat atau ketiga sebelum lahir Isa timbulah

golongan Yahudi “PHARISSE”yang artinya “memisahkan diri” (dari

bahasa Ibrani, parash; to separate). Sebutan ini dipakai untuk orang

Mu’tazilah, bahwa pharisse mirip dengan golongan mu’tazilah,

yaitu  bahwa semua perbuatan bukan Tuhan yang mengadakanya.

Akan tetapi pendapat ini kurang tepat,karena  motif berdirinya

golongan pharisse berlainan dengan motif berdirinya golongan

mu’tazilah.

Golongan-golongan yang mempengaruhi aliran Mu’tazilah :

a.       John of Damascus (676-749)

Teori ini mengatakan bahwa Tuhan zat yang baik, menjadi sumber

segala kebaikan dan tidak dapat mengerjakan keburukan. Tuhan tidak

mempunyai sifat-sifat yang bias menimbulkan pengertian bilangan,

gambaran-gambaran yang dilakukan oleh kitab suci ketika

membicarakan Tuhan hanyalah sebagai lambang semata,agar manusia

dapat mudah memahaminya, manusia bebas berbuat dan memilih

yang  karenanya ia diminta pertanggungan jawab.

b.      Tsabit Bin Qurroh

Diambil dari teori pemujaan kekuatan akal, dengan akal pikiran

semata-mata manusia mengetahui adanya Tuhan, dengan akal pikiran

pula ia dapat mengetahui baik dan buruk, dan dari Tsabit pula diambil

pula cara-cara pembenaran agama dengan alasan-alasan fikiran.

B. Ajaran aliran Mu’tazilah

Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khomsah

yaitu:

1. At-Tauhid

At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dalam

intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam

islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah tauhid memiliki

arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang

dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Oleh karena itu, hanya

dialah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah

terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).

Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), mu’tazilah menolak

konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan

Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat

bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satupun yang menyerupai-Nya. Dia

Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui, dan sebagainya.

Namun mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat

melainkan dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang

melekat. Bila sifat tuhan yang qadim, berarti ada dua yang qadim,

yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin ata, seperti dikutip oleh Asy-

Syahrastani mengatakan, “siapa yang mengatakan sifat yang qadim

berarti telah menduakan Tuhan.” Ini tidak dapat diterima karna

merupakan perbuatan syirik.

Doktrin tauhid mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak

ada satupun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebaliknya,

tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tuhan adalah immater. Oleh

karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang

mengesakan adanya kejisiman Tuhan, bagi mu’tazilah, tidak dapat

diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Mahasuci Tuhan dari

penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya, mu’tazilah

menolak antropomorfisme.

2. Al-adl

Ajaran dasat mu’tazilah adalah al-adl yang berarti Tuhan Maha

Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk

menunjukan kesempurnaan. Karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah

pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar

adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini

sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan

dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (Ash-shalah) dan

terbaik (Al-ashlah) dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu

adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian, Tuhan terikat

dengan janji-Nya.

Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal

antara lain:

a). Perbuatan Manusia

Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan

perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaaan

Tuhan, baik secara langsung maupun tidak. Manusia benar-

benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya baik atau

buruk, akan tetapi perlu diketahui tuhan hanya menyuruh dan

menghendaki yang baik bukan yang buruk.

b). Berbuat baik dan terbaik

Dalam istilah arab berbuat baik dan terbaik disebut Ash-

Shalah wa Al-Ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan

untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Menurut An-

Nazzam salah satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat

berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan ,

kemurahan, dan kepengasihan Tuhan yaitu sifat-sifat yang

layak baginya.

c). Mengutus Rasul

Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban

Tuhan karena alasan-alasan berikut ini.

(1). Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia an hal itu

tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada

mereka.

(2). Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan

untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. Asy-

Syu’ara [26]:29). Cara yang terbaik untukmaksud tersebut

adalah dengan pengutusan rasul.

(3). Tujuan diciptakan manusia untuk beribadah kepada-

Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain

mengutus rasul.

3. Al-Wa’d wa al-wa’id

Al-Wa’d wa Al-wa’di berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha

Adil dan Maha Bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan

Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala

surga bagi yang berbuat baik (Al-muthi) dan mengancam dengan siksa

neraka atas orang yang durhaka (Al-Ashi). Begitu pula janji Tuhan

untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti

benar adanya.

Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik

akan dibalas dengan kebaikan, siapapun akan berbuat jahat akan

dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih.

Ajaran ke tiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain

menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan

menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang sudah bertobat

nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia tobat.

Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk

neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar sedangkan terhadap

dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya. Ajaran ini tampaknya

bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan

perbuatan dosa.

4. Al-Manzilah bain al-manzilatain

Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab

mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin)

yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, khawarij

menganggap orang tersebut sebagai orang kafir bahkan musyik,

sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan

dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi dosa

tersebut diampuni Tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Ata (pendiri

mazhab mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut berada

diantara dua posisi (Al-Manzilah bain al-manzilatain). Karna ajaran

inilah, Wasil bin Ata dan sahabatnya Amir bin Ubaid harus

memisahkan diri (i’tizal) dari majelis gurunya, Hasan Al Basri.

Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhab nya.

Menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat

dikatakan sebagai mukmin mutlak. Hal ini karena keimanan menurut

adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan

pembenaaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan

kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak

karna ia masih percaya kepada Tuhan , rasu-Nya, dan mengerjakan

pekerjaan yang baik. Hanya saja kalau meninggal sebelum bertaubat ,

ia dimasukkan ke neraka dan kekal didalamnya. Orang mukmin masuk

surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasik pun dimasukkan ke

neraka, hanya saja siksaanya lebih ringan dari pada orang kafir.

Mengapa ia tidak dimasukkan ke surga dengan “kelas” yang lebih

rendah dari mukmin sejati? Tampaknya disini mu’tazilah ingin

mendorong agar manusia tidak menyepelekan perbuatan dosa,

terutama dosa besar.

5. Al-Amr bin Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar

Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan

melarang kemunkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakkan kepada

kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari

keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan

perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan

mencegahnya dari kejahatan.

 Beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam ber-

amar ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah

seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu:

(1)   Ia mengetahui perbuatan yang harus itu ma’ruf dan yang

dilarang itu munkar.

(2)   Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan

orang.

(3)   Ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf atau nahi

munkar  tidak akan membawa madharat yang lebih besar.

(4)   Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakanya

tidak akan membahayakan diri dan hartanya.

Perbedaan madzhab mu’tazilah dengan madzhab lain mengenai

ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaanya. Menurut

mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk

mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan

yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran ajarannya.

C. Tokoh-tokoh Mu’tazilah

a. Wasil bin’ Ata al-Ghazzal (80-131 H atau 699 M)

Ia adalah pendiri aliran mu’tazilah dan yang meletakkan ajaran-

ajaran yang lima yang menjadi dasar semua golongan mu’tazilah.

Kebanyakan pendapat-pendapatnya belum matang.

b. Abu Al-Huzail Al-Allaf (135- 226 H atau 753- 840 M)

Ia menjadi pemimpin aliran mu’tazilah basrah. Ia mempelajari

buku-buku Yunani dan banyak terpengaruh dengan buku-buku itu. Karena

dialah aliran mu’tazilah mengalami kepesatan. Pendapat-pendapanya

antara lain:

1). Tentang aradl, dinamakan ardl bukan karena mendatang pada

benda-benda, karena banayak aradl yang terdapat bukan pada

benda, seperti waktu, abadi dan hancur. Ada aradl yang abadi dan

ada yang tidak abadi.

2). Menetapkan adanya bagian-bagian yang tidak dapat dibagi-bagi

lagi.

3). Gerak dan diam, benda yang banyak bagian-bagianya bisa

bergerak dengan satu bagian yang bergerak. Menurut

mutakallimin. Hanya itu sendiri yang bergerak.

4). Hakekat manusia, hakekatnya adalah badanya, bukan

jiwanya  (nafs atau rukh)

5). Gerak penghuni surga dan neraka, gerak- gerik mereka akan

menjadi ketenangan (diam). Didalam ketenangan ini terkumpul

semua kesenangan dan siksaan.

6). Qadr, manusia biasa mengadakan perbuatan-perbuatannya di

dunia, akan tetapi kalau sudah berada di akhirat tidak berkuasa

lagi.

7). Khabar tentang sesuatu yang dapat dicapai panca indra hanya

bisa diterima apabila diberitakan oleh 20 orang sekurang-

kurangnya, seorang diantara nya dari ahli surga ( golongan

Mu’tazilah).

c. Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam (wafat 231 H atau 845 M)

Ia adalah murid Abu Huzail  al-Allaf, orang terkemuka, lancar

bicara, banyak mendalami filsafat dan banyak karanganya. Beberapa

pendapatnya berlainan dengan orang-orang Mu’tazilah lainya. Pendapat-

pendapatnya antara lain:

1). Tentang benda (jisim); selain gerak, semua yang ada disebut

jisim, termasuk warna dan bau.

2). Tidak mengakui adanya bagian yang tidak dapat dibagi. Ia

mengatakan bahwa sesuatu bagian bagaimanapun kecilnya dapat di

bagi-bagi.

3). Tidak ada “diam” diam hanyalah istilah bahasa, pada

hakekatnya semua yang ada bergerak.

4). Hakekat manusia, hakekat manusia adalah jiwanya, bukan

badanya,  badan adalah penjara jiwa, kalua lepas dari badan akan

kembali ke alamnya.

5). Berkumpulnya contradictie dalam suatu tempat, menunjukkan

adanya Tuhan.

6). Teori sembunyi (kumun)

     Semua makhluk dijadikan Tuhan sekaligus dalam waktu yang

sama.

7). Berita yang benar adalah yang diriwayatkan oleh imam

ma’sum.

8). I’jaz Qur’an (daya pelemah) terletak pada pemberitaan hal-hal

yang gaib.

d. Mu’ammar bin Abbad as-Sulmay (wafat 220 H/ 835 M)

Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad.

pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama

dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan

benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang

pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika

sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan

oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil

ciptaan Tuhan.

e. Bisyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M)

Pendapatnya antara lain, siapa yang taubat dari sesuatu dosa besar

kemudian mengerjakan dosa besar lagi, ia akan menerima siksa yang

pertama juga, sebab taubatnya dapat diterima dengan syarat tidak

mengulangi lagi. Dengan perkataan lain, siksanya akan berlipat ganda.

f. Jahiz Amr bin Bahr (wafat 255 H/ 808M)

Ia terkenal tajam penanya,banyak karanganya dan gemar membaca

buku-buku filsafat, terutama filsafat alam.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kemunculan aliran mu’tazilah dalam pemikiran teologi islam

diawali oleh masalah yaitu mengenai status pelaku dosa besar, apakah

masih beriman atau telah menjadi kafir. Kelima ajaran dasar mu’tazilah

dalam al ushul al khamsah adalah at-tauhid (pengesaan tuhan), al-adl

(keadilan tuhan), al-wa’ad wa al-wa’id (janji dan ancaman tuhan), al

manzilah bain al manzilatain (posisi diantara dua posisi), al amr bi al

ma’ruf wa al nahy an al munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah

kemungkaran).

Tokoh tokoh Mu’tazilah antara lain, Wasil bin’ Ata al-Ghazzal,

Abu Al-Huzail Al-Allaf, Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam, Mu’ammar bin

Abbad as-Sulmay, Bisyr bin al-Mu’tamir, Jahiz Amr bin Bahr.

B. Saran

Dengan demikian sebagai penulis makalah ini kami meminta saran

dan kritik karena masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki agar

teman-teman mahasiswa yang membaca ataupun Dosen yang

membimbing agar memberikan masukan demi kesempurnaan penulisan

Makalah yang berjudul ”Aliran Mu’tazilah”.

DAFTAR PUSTAKA

Rozak Abdul dan Anwar Rosihon. 2012. Ilmu Kalam. Bandung. Pustaka Setia

Hanafi  Ahmad. 1995.Theologi Islam (Ilmu Kalam).   Jakarta. Pustaka Setia.

[1] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, CV Pustaka

Setia, 2012, hlm. 77.

[2] Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), Pustaka Setia, hlm. 39

[3] Ibid., 46