Kata Pengantar
-
Upload
chairunnisa-lisa -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
description
Transcript of Kata Pengantar
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
izin-Nya, maka tugas pembuatan referat dengan judul “ DENGUE HEMORRHAGIC
FEVER ” dapat selesai pada waktunya. Pembuatan referat ini merupakan salah satu tugas
wajib yang harus dikerjakan dalam rangka kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit
Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi
Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. dr. Donny Gustiawan, SpPD selaku pembimbing referat
2. Dokter-dokter dan pembimbing di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Bekasi
3. Serta teman-teman dan pihak-pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun
tidak langsung
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap agar apa yang disajikan
dalam referat ini bermanfaat bagi kita semua.
Bekasi, Desember 2014
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ...…..…………………………………………………………..…3
ANATOMI PANGGUL
1. Definisi ……………………………………………………………………………….4
2. Tujuan ………………………………………………………………………………..4
3. Pelayanan antenatal …………..………………………………………………….…..4
4. 7T …………………………………………………………………………..…….….9
5. Fungsi ANC …………………………………………………………………………15
6. Jadwal kunjungan…………………………………………………………………….16
7. Gejala dan tanda bahaya selama kehamilan ………………………………………....17
Kesimpulan …………………………………………………………………………………..20
Daftar pustaka
2
BAB I
PENDAHULUAN
Demam dengue, Demam berdarah dan Dengue Syok Sindrom telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang utama di internasional. Selama tiga dekade ini, telah terjadi
peningkatan global dalam frekuensi demam berdarah DF, DBD dan DSS dan epidemi
mereka, dengan seiring bertambahnya kejadian penyakit. Dengue ditemukan di daerah tropis
dan subtropis di seluruh dunia, terutama di daerah perkotaan dan semi-perkotaan. Tidak ada
pengobatan khusus untuk demam berdarah, tapi perawatan medis yang tepat sering
menyelamatkan kehidupan pasien dengan demam berdarah dengue yang lebih serius.1
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun
2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan
kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah
penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
mobilitas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di
kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit
ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae.
DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Dengue.
Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan
Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis)
yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.2
3
BAB II
DENGUE HEMORRHAGIC FEVER
II.1 DEFINISI
Demam berdarah adalah demam akut yang didefinisikan oleh adanya demam disertai
dua atau lebih manifestasi berikut :
1. Demam yang berlangsung 2-7 hari
2. Bukti pendarahan atau tes tourniquet positif
3. Trombositopenia (≤100,000 sel per mm3)
4. Bukti kebocoran plasma yang ditunjukkan oleh hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit ≥20% di atas rata-rata atau penurunan hematokrit ≥20% dari awal setelah
pemberian terapi penggantian cairan) efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.3
II.2 ETIOLOGI
Virus
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini mengandung
RNA untai tunggal sebagai genom. Flavivirus merupakan virus dengan ukuran 50 nm
4
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Virus dengue
genom adalah 11 644 nukleotida panjang, dan terdiri dari tiga gen protein struktural
pengkodean nucleocaprid atau intiprotein (C), protein membran-terkait (M), sebuah
protein amplop (E), dan tujuh protein non-struktural (NS) gen. Di antara protein non-
struktural, amplop glikoprotein, NS1 adalah diagnostik dan patologis penting. Ini
adalah 45 kDa dalam ukuran dan berhubungan dengan haemagglutination virus dan
aktivitas netralisasi. Virus dengue membentuk kompleks yang berbeda dalam genus
Flavivirus berdasarkan karakteristik antigenik dan biologi. Virus dengue membentuk
kompleks yang berbeda dalam genus Flavivirus berdasarkan karakteristik antigenik
dan biologi. Virus dengue mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3,
DEN-4. Infeksi dengan satu serotipe menganugerahkan kekebalan seumur hidup
dengan virus serotipe. Meskipun keempat serotipe antigen sama, mereka cukup
berbeda untuk memperoleh proteksi-silang untuk beberapa bulan setelah infeksi oleh
salah satu dari mereka. Infeksi sekunder dengan serotipe lain atau beberapa infeksi
dengan serotipe yang berbeda menyebabkan bentuk parah dari dengue (DBD / DSS).
Terdapat variasi genetik yang cukup besar dalam setiap serotipe dalam bentuk
filogenetis yang berbeda "sub-tipe" atau "genotipe". Saat ini, tiga sub-tipe dapat
diidentifikasi untuk-DENV 1, enam untuk DENV-2 (salah satu yang ditemukan pada
primata non-manusia), empat untuk DENV-3 dan empat untuk DENV-4, dengan yang
lain DENV-4 yang eksklusif untuk primata non-manusia.1
Gambar 2 : Virus Dengue ( Smith, 2002 )
Vektor
Penyebab DD/DBD adalah oleh virus dengue anggota genus Flavivirus,
diketahui empat serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.
5
Nyamuk penular disebut vektor, yaitu nyamuk Aedes (Ae) dari subgenus Stegomya.
Vektor adalah hewan arthropoda yang dapat berperan sebagai penular penyakit.
Vektor DD dan DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan
nyamuk pemukiman, stadium pradewasanya mempunyai habitat
perkembangbiakan di tempat penampungan air/wadah yang berada di permukiman
dengan air yang relatif jernih. Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan
berkembang biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain : bak
mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan
sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah
perkotaan; sedangkan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air
alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan
sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan,
namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah.
Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih memilih
menghisap darah manusia, disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya
untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus
gonotropik biasanya menghisap darah beberapa kali. Sifat tersebut meningkatkan
risiko penularan DB/DBD di wilayah perumahan yang penduduknya lebih padat,
satu individu nyamuk yang infektif dalam satu periode waktu menggigit akan
mampu menularkan virus kepada lebih dari satu orang.2
Figure 4a: Global distribution of Ae. aegypti
Source: Rogers D.J., Wilson, A.J., Hay, S.L. The global distribution of yellow fever and dengue. Adv. Parasitol.
2006. 62:181–220.
6
Figure 4b: Global distribution of Ae. Albopictus
Source: Rogers D.J., Wilson, A.J., Hay, S.L. The global distribution of yellow fever and dengue. Adv. Parasitol.
2006. 62:181–220.
Gambar 4 : Distribusi nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus
(WHO, 2011)
Depkes RI
7
II.3 EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi demam berdarah diketahui telah terjadi secara terus-menerus selama
tiga abad terakhir di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Epidemi pertama dengue
tercatat di 16.353 di Perancis Hindia Barat, meskipun wabah penyakit kompatibel dengan
demam berdarah, telah dilaporkan di China pada awal 992 AD. Selama abad ke 18, 19 dan
awal abad 20, epidemi penyakit demam berdarah dilaporkan dan dicatat secara global, baik di
daerah tropis serta beberapa daerah beriklim. Di sebagian besar negara Amerika Tengah dan
Selatan, pencegahan penyakit yang efektif dicapai dengan menghilangkan utama vektor
epidemi nyamuk, Aedes aegypti. Di Asia, bagaimanapun pengendalian nyamuk yang
dilakukan keefektifannya tidak pernah tercapai. Sebuah bentuk parah dari demam berdarah,
kemungkinan besar yang menyerupai dengan DBD, muncul di beberapa negara Asia setelah
Perang Dunia II. Selama tahun 1980, kejadian meningkat tajam dan distribusi virus diperluas
ke pulau-pulau Pasifik dan Amerika. Peningkatan penularan penyakit dan frekuensi epidemi
juga hasil dari peredaran beberapa serotipe di Asia. Ini membawa munculnya DBD di
Kepulauan Pasifik, Karibia, dan Amerika Tengah dan Selatan. Dengan demikian, dalam
waktu kurang dari 20 tahun pada tahun 1998, daerah tropis Amerika dan Kepulauan Pasifik
pergi dari bebas dari demam berdarah dengue untuk memiliki masalah / DHF serius.
Setiap 10 tahun, jumlah rata-rata tahunan kasus kasus DF / DBD dilaporkan ke WHO terus
tumbuh dengan pesat. Dari tahun 2000 hingga 2008, jumlah rata-rata tahunan kasus adalah 1
656 870, atau hampir tiga setengah kali angka untuk 1990-1999, yang 479 848 kasus
(Gambar 1). Pada tahun 2008, rekor 69 negara dari kawasan WHO Asia Tenggara, Pasifik
Barat dan Amerika melaporkan aktivitas demam berdarah. Ekstensi geografis daerah dengan
transmisi dengue atau aktivitas demam berdarah bangkit telah didokumentasikan di Bhutan,
Nepal, Timor-Leste, Hawaii (USA), Kepulauan Galapagos (Ekuador), Pulau Paskah (Chile),
dan Hong Kong Daerah Administratif Khusus dan Makao Daerah Administratif Khusus
China antara 2001 dan 2004 (Gambar 2). Sembilan wabah dengueoccurred di utara
Queensland, Australia, dalam empat tahun 2005-2008.1
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun
2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan
kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah
penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
8
mobilitas dan kepadatanpenduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di
kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit
ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.2
9
II.4 PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
DBD terjadi pada sebagian kecil pasien demam dengue. Meskipun DBD dapat terjadi
pada pasien yang mengalami infeksi virus dengue untuk pertama kalinya, sebagian besar
kasus DBD terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder. Infeksi sekunder antara terjadinya
DHF / DSS dan infeksi dengue sekunder berimplikasi pada sistem kekebalan tubuh dalam
patogenesis DBD. Baik imunitas bawaan seperti sistem komplemen dan sel NK serta
imunitas adaptif termasuk imunitas humoral dan cellmediated terlibat dalam proses ini.
Peningkatan aktivasi kekebalan, terutama selama infeksi sekunder, menyebabkan respon
sitokin yang berlebihan, ini mengakibatkan perubahan permeabilitas pembuluh darah. Selain
itu, produk virus seperti NS1 mungkin memainkan peran dalam mengatur aktivasi
komplemen dan permeabilitas pembuluh darah. Ciri-ciri DBD adalah permeabilitas pembuluh
darah yang meningkat sehingga terjadi kebocoran plasma, terganggunya volume
intravaskular, dan shock pada kasus yang berat. Kebocoran ini unik karena ada kebocoran
selektif plasma dalam rongga pleura dan peritoneal serta periode kebocoran yang pendek (24-
48 jam). Pemulihan yang cepat pada shock tanpa gejala sisa dan tidak adanya peradangan
pada pleura dan peritoneum menunjukkan perubahan fungsional dalam integritas vaskular
daripada kerusakan struktural endotel sebagai mekanisme yang mendasari. Berbagai sitokin
10
dengan perubahan permeabilitas, meningkatkan efek yang terlibat dalam patogenesis DBD.
Namun, kepentingan relatif sitokin tersebut pada DBD masih belum diketahui. Penelitian
telah menunjukkan bahwa pola respon sitokin mungkin berhubungan dengan pola cross-
pengakuan T-sel dengue tertentu. T-sel lintas-reaktif tampaknya mengalami defisit fungsional
dalam aktivitas sitolitik mereka tetapi mengungkapkan peningkatan produksi sitokin
termasuk TNF-a, IFN-g dan kemokin. Dari catatan, TNF-a telah terlibat dalam beberapa
manifestasi parah termasuk perdarahan dalam beberapa model hewan. Peningkatan
permeabilitas pembuluh darah juga dapat dimediasi oleh aktivasi sistem komplemen.
Peningkatan kadar fragmen komplemen telah didokumentasikan dalam DHF. Beberapa
melengkapi fragmen seperti C3a dan C5a diketahui memiliki efek meningkatkan
permeabilitas. Dalam studi terbaru, NS1 antigen virus dengue telah terbukti untuk mengatur
komplemen aktivasi dan mungkin memainkan peran dalam patogenesis DBD. Tingginya
tingkat viral load pada pasien DBD dibandingkan dengan pasien DF telah dibuktikan dalam
banyak penelitian. Tingkat protein virus, NS1, juga lebih tinggi pada pasien DBD. Derajat
viral load berkorelasi dengan pengukuran keparahan penyakit seperti jumlah efusi pleura dan
trombositopenia, menunjukkan bahwa beban virus dapat menjadi penentu utama keparahan
penyakit.1
Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan
antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan
volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan
volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin
sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai
dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat,
syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya
plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus
syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah
ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang
mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi
ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema. (11)
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif
dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan
11
yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat
dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang
bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan
fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang
bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut
memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau
luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin
atau dibuat keadaan trombositopenia. 4
Bagan 2 : Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran plasma
pada DBD
Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian
besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens
dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya
12
masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme
lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop
membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan
hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat
menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel
endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih
lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan
fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. (11)
Sistem koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan
memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi
memajang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan
fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products
(FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas
antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor
II, dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen da faktor VIII. Hal ini menimbulkan
dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh
konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis
pada DBD dibuktikan dengan penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas
plasminogen. Seluruh penelitian di atas menunjukan bahwa (11) :
1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis
2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi juga DBD
tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan
dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi
syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan
mencolok. Syok dan DIC saling mempengaruhi sehingga penyakit akan
memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ
vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.
3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan
fungsi trombosit dan trombositopeni, sedangkan perdarahan masif ialah akibat
kelainan mekanisme yang lebih komplek seperti trombositopenia, gangguan
faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada
13
kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis
metabolik.
4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan
kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang.
Sistem Komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3
proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat
hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini
menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur
klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa
penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan
oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan stimulasi sel mast untuk melepaskan
histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas
kapiler, pengurangan plasma dan syok hipopolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop
virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh
trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen
juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF),
interferon gama, interleukin (IL-2 dan IL-1). (11)
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1)
ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun
yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD derajat ringan maupun berat,
(3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit. (11)
Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit
atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Pemeriksaan limfosit plasma biru (LPB)
secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue
mencapai puncak pada hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari
keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD
14
dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan
campuran antara limfosit B dan limfosit T. (11)
PATOGENESIS
Patogenesis DBD dan DSS (Dengue Syok Sindrom) masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.
Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang
kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang
lebih besar untuk menderita DBD/Berat. (3,11,16)
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada skema yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi
anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping
itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus
kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan
aktivasi sistem komplemen. (3,11)
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke
ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di
dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat,
akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu,
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.(3,11)
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
15
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular
deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga
terjadi penurunan faktor pembekuan.(3,11,16)
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya
syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat DIC), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.(3,6,11)
Bagan 3 : Hipotesis secondary heterologus infections yang pertama kali dipublikasikan
oleh Suvatte,1977
Dengue dapat disebabkan oleh salah satu serotipe virus dengue. Umumnya, infeksi
dengan satu serotipe menganugerahkan kekebalan protektif terhadap masa depan yang
serotipe tertentu tetapi tidak terhadap serotipe lainnya. Selanjutnya, ketika terinfeksi untuk
kedua kalinya dengan serotipe yang berbeda, infeksi yang lebih parah dapat terjadi. Hal ini
disebabkan oleh fenomena yang disebut sebagai antibodi tambahan tergantung, di mana
16
antibodi terhadap serotipe pertama meningkatkan infeksi dengan serotipe kedua. Namun,
karena hanya 2% -4% dari individu dengan infeksi dengue sekunder mengembangkan
penyakit parah, antibodi dependent enhancement saja tidak dapat sepenuhnya menjelaskan
proses ini. Saat ini, alasan mengapa hanya beberapa orang mengembangkan infeksi gejala
tidak diketahui, tetapi penelitian aktif sedang dikejar oleh beberapa kelompok untuk
memperjelas mekanisme tersebut. Setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi, virus dengue
masuk ke dalam tubuh dan ulangan dalam sel mononuklear fagosit dari garis keturunan
(makrofag, monosit, dan sel B). Selain itu, infeksi sel mast, sel dendritik, dan sel-sel endotel
yang diketahui terjadi. Masa inkubasi infeksi dengue adalah 7-10 hari. Fase viraemic berikut
di mana pasien menjadi demam dan infeksi.
Setelah itu, pasien mungkin baik memulihkan atau maju ke fase kebocoran, yang
menyebabkan DBD dan / atau dengue shock syndrome. Puncak viremia plasma berkorelasi
dengan keparahan infeksi dengue. Perbedaan antibodi, sitokin, dan tanggapan T-sel yang
terlihat di antara pasien dengan demam berdarah yang tidak rumit atau DHF / dengue shock
syndrome. Untuk kejelasan deskripsi, ini akan dijelaskan secara terpisah di bawah judul
respon antibodi, respon sitokin, dan tanggapan seluler terhadap virus dengue.
II.5 MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
Infeksi virus dengue mungkin asimtomatik atau dapat menyebabkan sindrom virus,
demam berdarah (DF), atau demam berdarah dengue (DBD) termasuk dengue shock
syndrome (DSS). Infeksi dengan satu serotipe dengue memberikan kekebalan seumur hidup
dengan serotipe tertentu, tapi di sini hanya jangka pendek proteksi-silang untuk serotipe
lainnya. Manifestasi klinis tergantung pada strain virus dan tuan faktor seperti usia, status
kekebalan, dll.
17
Sindrom Virus
Bayi, anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama untuk
pertama kalinya (yaitu infeksi dengue primer), dapat mengalami demam sederhana dan
terkadang tidak dapat dibedakan dari infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular dapat
menyertai demam atau mungkin muncul selama penurunan suhu badan sampai yg normal.
Gejala pernapasan dan pencernaan bagian atas terjadi pada umumnya.
Demam Berdarah
Demam berdarah (DF) paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan orang dewasa. Hal
ini umumnya terjadi penyakit akut yang disertai demam, dan demam kadang-kadang terjadi
bifasik dengan sakit kepala, mialgia, arthralgia, ruam, leukopenia dan trombositopenia juga
dapat diamati. Meskipun DF mungkin jinak, bisa jadi penyakit melumpuhkan dengan sakit
kepala parah, nyeri otot dan sendi dan tulang terutama pada orang dewasa. Kadang-kadang
perdarahan yang tidak biasa seperti perdarahan gastrointestinal, hypermenorrhea dan
epistaksis bisa terjadi. Di daerah endemis demam berdarah, wabah DF jarang terjadi di
kalangan masyarakat setempat.
Demam berdarah dengue
Demam berdarah berdarah (DBD) lebih sering terjadi pada anak-anak kurang dari 15 tahun di
daerah hiperendemik, berkaitan dengan infeksi dengue berulang. Namun, kejadian DBD pada
orang dewasa meningkat. DBD ditandai dengan onset akut dari demam tinggi dan
berhubungan dengan tanda-tanda dan gejala yang mirip dengan DF pada fase demam awal.
Ada diatesis hemoragik umum seperti tes positif tourniquet (TT), petechiae, mudah memar
dan / atau GI perdarahan pada kasus yang berat. Pada akhir fase demam, ada kecenderungan
untuk mengembangkan hipovolemik syok (dengue shock syndrome) akibat kebocoran
plasma. Sebelumnya bisa terjadi tanda-tanda peringatan seperti muntah terus-menerus, sakit
perut, lesu atau gelisah, mudah marah dan oliguria, penting untuk intervensi dalam mencegah
syok. Ketidakseimbangan hemostasis dan kebocoran plasma adalah keunggulan patofisiologi
18
utama DBD. Trombositopenia dan peningkatan hematokrit / haemoconcentration temuan
konstan sebelum penurunan demam / awal shock. DBD terjadi paling sering pada anak-anak
dengan infeksi dengue sekunder. Ini juga telah didokumentasikan pada infeksi primer
dengan-DENV 1 dan DENV-3, serta pada bayi.
Sindrom dengue
Manifestasi yang tidak biasa pasien dengan keterlibatan organ yang parah seperti hati, ginjal,
otak atau jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue telah semakin dilaporkan pada
kasus DBD dan juga pada pasien demam berdarah yang tidak memiliki bukti kebocoran
plasma. Manifestasi yang tidak biasa mungkin berhubungan dengan koinfeksi, komorbiditas
atau komplikasi syok berkepanjanganatau koinfeksi.
Demam Dengue
Kriteria Klinis (
Tersangka dengue : demam akut disertai dua atau lebih manifestasi :
Sakit kepala
Nyeri retroorbital
Myalgia
Athralgia
Rash
Manifestasi pendarahan
Leukopenia
Serologis : HI antibody titer > 1280, IgG dan IgM pada fase akut dan
konvalesen
Pasti dengue : Kriteria lab
Isolasi virus dengue dari serum atau autopsi
Peningkatan 4 x IgG atau IgM titer pada antigen virus diserum
Penemuan antigen virus pada autopsi jaringan, serum, CSF dengan
metode immunohistokima, imunofloresensi atau ELISA
Deteksi genom virus pada autopsi jaringan, serum atau CSF dengan
PCR
Manifestasi Klinis
19
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal penyakit
biasanya mendadak, disertai gejala prodormal seperti nyeri kepala, nyeri berbagai bagian
tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi,
nyeri pada anggota badan, dan timbulnya ruam. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu
naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat
makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen,
menyebar ke anggota gerak dan muka. (11)
Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul mendadak, disertai kenaikan suhu,
nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang bola mata, punggung, otot, sendi dan disertai rasa
menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu menyerupai pelana kuda
atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua
pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomonik. (11)
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, disamping itu perasaan tidak nyaman di
daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium dini
sering timbul perubahan dalam indra pengecapan. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah
fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam
menghilang secar alisis, disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfe servikal
membesar pada 67-77% kasus. Beberapa sarjana menyebutnya sebagai Castelani’s sign,
sangat patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis
banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. (1)
Demam Berdarah
Kriteria klinis :
Demam akut 2-7 hari, kadang-kadang bifasik
Kecenderungan pendarahan berupa :
- Tes tourniquet positif
- Ptekie, ekimosis, purpura
- Pendarahan mukosa, saluran cerna, tempat penyuntikan
- Hematemesis atau melena
Hepatomegali
Gejala renjatan
- Nadi lemah, cepat dan kecil sampai tidak teraba
- Tekanan nadi < 20 mmHg
- Tekanan darah turun
20
- Kulit teraba dingin dan lembab, terutama daerah akral (ujung hidung,
jari, kaki)
- Sianosis sekitar mulut
Kriteria Lab :
Trombositopenia <100.000/ mm3
Bukti kebocoran plasma dan peningkatan permeabilitas vaskular
dengan manifestasi :
o Peningkatan Ht> 20 % dari baseline sesuai umur dan jenis kelamin
pada populasi tersebut
o Penurunan Ht> 20% setelah terapi cairan
o Tanda kebocoran plasma berupa efusi pleura, asites dan
hipoproteinemia
Diagnosis klinis ditegakkan bila didapatkan >2 gejala klinis dengan trombositopenia
dan hemokonsentrasi.
Dalam kasus dengan syok, hematokrit tinggi dan ditandai trombositopenia mendukung
diagnosis DSS. Sebuah ESR rendah (<10 mm / jam pertama) selama syok membedakan DSS
dari syok septik.
Manifestasi Klinis
Kasus DHF tipikal memiliki 4 ciri gejala utama yaitu : demam tinggi, fenomena
pendarahan, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Pada pemeriksaan lab dapat ditemukan
trombositopenia dan hemokonsentrasi. Perubahan patofisiologis yang menentukan tingkat
keparahan DHF dan membedakan dengan DF adalah plasma leakage yang terlihat sebagai
peningkatan hematokrit, efusi serosa atau hipoproteinemia.
Pada fase awal terjadi demam mendadak, malaise, muntah, nyeri kepala, anoreksia,
dan batuk yang berlangsung selama 2-5 hari. Demam tinggi berlanjut hingga 2-7 hari. Suhu
dapat mencapai 40-41oC. Pada suhu ini bayi rentan terkena kejang demam. Beberapa pasien
mungkin mengeluh sakit tenggorokan, dan faring yang merah dapat terlihat pada
pemeriksaan, namun gejala pilek dan batuk sangat jarang. Dapat juga terlihat injeksi
konjungtiva. Pada fase kedua, pasien merasa dingin, ekstrimitas dingin, batang tubuh terasa
hangat, muka flushing, keringat berlebih, gelisah, iritabel, dan nyeri pada ulu hati. Sering,
ptekie tersebar pada dahi dan ekstrimitas. Ekimosis dapat terlihat, kulit mudah lebam dan
pendarahan pada tempat penyuntikan dapat terjadi. Rash makular atau makulopapular dapat
21
terlihat, juga terdapat sianosis sirkumoral dan periferal. Hati dapat membesar hingga 4-6 cm
di bawah batas costa dan teraba lunak. Pasien juga mengalami nyeri tekan epigastrik dan di
bawah arkus costa atau nyeri perut menyeluruh.
Fase kritis terjadi pada akhir fase demam. Setelah demam selama 2-7 hari terjadi
penurunan suhu yang diikuti oleh tanda-tanda gangguan sirkulasi yaitu : berkeringat, gelisah,
ekstrimitas dingin, respirasi cepat, nadi lemah, cepat, kecil dan suara jantung redup. Sekitar
20-30% penyakit DBD mengalami komplikasi shock (dengue shock syndrome). Kurang dari
10% pasien mengalami ekimosis atau pendarahan saluran cerna, biasanya setelah periode
syok yang tidak terkoreksi. Setelah fase krisis selama 24-36 jam, penyembuhan terjadi
dengan cepat terutama pada anak-anak. Suhu dapat menjadi normal selama fase syok. Pada
fase penyembuhan sering terjadi bradikardi dan ventricular ekstrasistol.
Klasifikasi Derajat Penyakit DBD
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-
satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di
kulit dan atau perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat
dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan
anak tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat
diraba dan tekanan darah tidak terukur.
22
Kriteria :
Seluruh kriteria DBD ditambah tanda-tanda kegagalan sirkulasi berupa :
Nadi cepat dan lemah
Tekanan nadi sempit (<20 mmHg)
Hipotensi
Ekstremitas dingin dan lembab serta penurunan kesadaran
Manifestasi Klinis
Kondisi pasien mengalami perburukan setelah demam 2-7 hari. Gejala gangguan
sirkulasi utama yang muncul adalah : kulit yang menjadi dingin, nadi cepat, terdapat sianosis
sirkumoral. Pasien awalanya letargis namun dengan cepat dapat menjadi gelisah pada fase
kritis syok. Nyeri akut abdomen sering dikeluhkan pada fase awal syok. DSS memiliki ciri
nadi yang cepat dan tekanan nadi yang sempit (< 20 mmHg) atau hipotensi yang diikuti
ekstrimitas yang dingin dan gelisah. Pasien beresiko meninggal jika terapi tidak tepat.
Kebanyakan pasien tetap sadar hingga fase akhir penyakit. Durasi syok berlangsung sangat
singkat, pasien dapat meninggal dalam 12-24 jam atau membaik dengan cepat. Efusi pleura
dan asites dapat dideteksi pada pemeriksaan fisik. Syok yang tidak terkoreksi menyebabkan
komplikasi pendarahan gastrointestinal dan metabolik asidosis. Pasien dengan pendarahan
intrakranial dapat mengalami kejang dan menjadi koma. Ensefalopati dapat terjadi akibat
gangguan elektrolit atau akibat pendarahan intrakranial.(1)
Fase pemulihan berlangsung cepat dalam 2-3 hari, meskipun asites dan efusi pleura
dapat tetap ada. Tanda prognosis yang baik adalah membaiknya output urin dan kembalinya
nafsu makan. Pada fase pemulihan sering ditemukan bradikardia dan aritmia dan rash
konfluen yang menyisakan sedikit kulit normal. Gejala biasanya hanya berlangsung selama 7-
10 hari. (1)
II.6 DIAGNOSIS BANDING
24
Diagnosis banding dari DF meliputi berbagai macam penyakit umum di wilayah :
Diagnosis banding dari Demam berdarah dengue dan dengue shock syndrome
Perubahan patofisiologi utama yang menentukan keparahan DBD dan
membedakannya dari DF dan demam berdarah virus lainnya adalah hemostasis normal dan
kebocoran plasma selektif dalam rongga pleura dan perut. Perjalanan klinis DBD diawali
dengan kenaikan suhu yang mendadak disertai dengan adanya kemerahan di wajah dan gejala
lain yang menyerupai demam berdarah, seperti anoreksia, muntah, sakit kepala, dan otot atau
nyeri sendi. Beberapa pasien DBD mengeluh sakit tenggorokan dan faring dapat ditemukan
pada pemeriksaan. Ketidaknyamanan epigastrium, nyeri pada perut bagian kanan, dan nyeri
perut umu. Suhu biasanya tinggi dan dalam kebanyakan kasus terus seperti itu untuk 2-7 hari
sebelum jatuh ke tingkat normal atau di bawah normal. Kadang-kadang suhu bisa setinggi 40
° C, dan kejang demam dapat terjadi. Pola demam bifasik dapat diamati.
Fase penyembuhan
25
Diuresis dan kembalinya nafsu makan adalah tanda-tanda pemulihan dan indikasi
untuk menghentikan penggantian volume. Temuan umum dalam pemulihan termasuk
bradikardia sinus atau aritmia dan karakteristik konfluen berdarah ruam petekie seperti yang
dijelaskan untuk demam berdarah. Pemulihan pada pasien dengan atau tanpa syok biasanya
singkat dan lancar. Bahkan dalam kasus-kasus dengan kejutan besar, setelah syok dapat
diatasi dengan pengobatan yang tepat pasien sembuh dalam waktu 2 - 3 hari. Namun, mereka
yang telah lama syok dan kegagalan multiorgan akan memerlukan pengobatan khusus dan
mengalami pemulihan lebih lama. Perlu dicatat bahwa angka kematian dalam kelompok ini
akan menjadi tinggi bahkan dengan pengobatan khusus.
II.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
II. 8 TERAPI
II.9 PROGNOSIS
KESIMPULAN
Antenatal Care merupakan perawatan atau asuhan yang diberikan kepada ibu hamil
sebelum kelahiran, yang berguna untuk memfasilitasi hasil yang sehat dan positif bagi ibu
hamil maupun bayinya dengan jalan menegakkan hubungan kepercayaan dengan ibu,
26
mendeteksi komplikasi yang dapat mengancam jiwa, mempersiapkan kelahiran dan
memberikan pendidikan kesehatan. Asuhan Antenatal itu sendiri penting unuk menjamin
proses alamiah kelahiran berjalan normal dan sehat, baik kepada ibu maupun bayi yang akan
dilahirkan.
Tujuan dari asuhan Antenatal Care adalah untuk memantau kemajuan kehamilan dan
memastikan kesehatan ibu serta tumbuh kembang bayi, juga untuk meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan fisik, mental dan sosial ibu. Disamping itu Antenatal Care juga
bertujuan untuk mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang
mungkin terjadi selama hamil termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan
pembedahan, mempersiapkan persalinan yang cukup bulan, melahirkan dengan selamat baik
ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mngkin, mempersiapkan ibu agar masa nifas
berjalan normal dan pemberian ASI ekslusif, mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam
menerima kesehatan bayi agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Oleh karenanya sangat penting bagi setiap ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan
kehamilan secara teratur, yang bermanfaat untuk memonitor kesehatan ibu hamil dan
bayinya, sehingga bila terdapat permasalahan dapat diketahui secepatnya dan diatasi sedini
mungkin pada masa hamil, pemeriksaan rutin selama kehamilan sangat penting untuk
memonitor perkembangan kehamilan. Temu Wicara dengan dokter sangatlah penting untuk
mengklasifikasikan apakah ibu hamil dalam status kehamilan resiko tinggi, oleh karena itu,
setiap ibu hamil harus memeriksa diri secara teratur dan mendapat pelayanan kebidanan yang
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Asih Y. S.Kp. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan
Pengendalian.World Health Organization. Edisi 2. Jakarta. 1998.
2. Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Edisi 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan:Jakarta; 2004.
3. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. Nelson Textbook of Pediatric. Ed 18. Saunders.
2007.
4. Purnama, S. Gede. 2010. Pengendalian Vektor DBD. Denpasar : Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana.
5. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin
Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13
6. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi
Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003.
Surabaya : AirlanggaUniversity Press 2004.h.1-9
8. Suhendro dkk.Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; Juni 2006. Hal. 1709-13.
9. World Health Organization.Dengue hemorrhagic fever. Diagnosis, treatment,
prevention and control. Second Edition. Geneva: WHO; 1997.
10. World Health Organization.Dengue hemorrhagic fever. Guideline for Diagnosis,
Treatment, Prevention and Control. WHO; 2009.
11. WHO. 2011. Conprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorraghic Fever. India : WHO
28