Kata Pengantar

41
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan izin-Nya, maka tugas pembuatan referat dengan judul “ DENGUE HEMORRHAGIC FEVER ” dapat selesai pada waktunya. Pembuatan referat ini merupakan salah satu tugas wajib yang harus dikerjakan dalam rangka kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. dr. Donny Gustiawan, SpPD selaku pembimbing referat 2. Dokter-dokter dan pembimbing di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi 3. Serta teman-teman dan pihak-pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap agar apa yang disajikan dalam referat ini bermanfaat bagi kita semua. Bekasi, Desember 2014 1

description

kata pengantar

Transcript of Kata Pengantar

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan

izin-Nya, maka tugas pembuatan referat dengan judul “ DENGUE HEMORRHAGIC

FEVER ” dapat selesai pada waktunya. Pembuatan referat ini merupakan salah satu tugas

wajib yang harus dikerjakan dalam rangka kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit

Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi

Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. dr. Donny Gustiawan, SpPD selaku pembimbing referat

2. Dokter-dokter dan pembimbing di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum

Daerah Kabupaten Bekasi

3. Serta teman-teman dan pihak-pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun

tidak langsung

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap agar apa yang disajikan

dalam referat ini bermanfaat bagi kita semua.

Bekasi, Desember 2014

Penyusun

1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ...…..…………………………………………………………..…3

ANATOMI PANGGUL

1. Definisi ……………………………………………………………………………….4

2. Tujuan ………………………………………………………………………………..4

3. Pelayanan antenatal …………..………………………………………………….…..4

4. 7T …………………………………………………………………………..…….….9

5. Fungsi ANC …………………………………………………………………………15

6. Jadwal kunjungan…………………………………………………………………….16

7. Gejala dan tanda bahaya selama kehamilan ………………………………………....17

Kesimpulan …………………………………………………………………………………..20

Daftar pustaka

2

BAB I

PENDAHULUAN

Demam dengue, Demam berdarah dan Dengue Syok Sindrom telah menjadi masalah

kesehatan masyarakat yang utama di internasional. Selama tiga dekade ini, telah terjadi

peningkatan global dalam frekuensi demam berdarah DF, DBD dan DSS dan epidemi

mereka, dengan seiring bertambahnya kejadian penyakit. Dengue ditemukan di daerah tropis

dan subtropis di seluruh dunia, terutama di daerah perkotaan dan semi-perkotaan. Tidak ada

pengobatan khusus untuk demam berdarah, tapi perawatan medis yang tepat sering

menyelamatkan kehidupan pasien dengan demam berdarah dengue yang lebih serius.1

Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah

penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun

2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan

kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih

merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah

penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya

mobilitas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di

kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang

diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit

ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.

Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae.

DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Dengue.

Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan

Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis)

yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis

serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.2

3

BAB II

DENGUE HEMORRHAGIC FEVER

II.1 DEFINISI

Demam berdarah adalah demam akut yang didefinisikan oleh adanya demam disertai

dua atau lebih manifestasi berikut :

1. Demam yang berlangsung 2-7 hari

2. Bukti pendarahan atau tes tourniquet positif

3. Trombositopenia (≤100,000 sel per mm3)

4. Bukti kebocoran plasma yang ditunjukkan oleh hemokonsentrasi (peningkatan

hematokrit ≥20% di atas rata-rata atau penurunan hematokrit ≥20% dari awal setelah

pemberian terapi penggantian cairan) efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.3

II.2 ETIOLOGI

Virus

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus

dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) yang

sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini mengandung

RNA untai tunggal sebagai genom. Flavivirus merupakan virus dengan ukuran 50 nm

4

terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Virus dengue

genom adalah 11 644 nukleotida panjang, dan terdiri dari tiga gen protein struktural

pengkodean nucleocaprid atau intiprotein (C), protein membran-terkait (M), sebuah

protein amplop (E), dan tujuh protein non-struktural (NS) gen. Di antara protein non-

struktural, amplop glikoprotein, NS1 adalah diagnostik dan patologis penting. Ini

adalah 45 kDa dalam ukuran dan berhubungan dengan haemagglutination virus dan

aktivitas netralisasi. Virus dengue membentuk kompleks yang berbeda dalam genus

Flavivirus berdasarkan karakteristik antigenik dan biologi. Virus dengue membentuk

kompleks yang berbeda dalam genus Flavivirus berdasarkan karakteristik antigenik

dan biologi. Virus dengue mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3,

DEN-4. Infeksi dengan satu serotipe menganugerahkan kekebalan seumur hidup

dengan virus serotipe. Meskipun keempat serotipe antigen sama, mereka cukup

berbeda untuk memperoleh proteksi-silang untuk beberapa bulan setelah infeksi oleh

salah satu dari mereka. Infeksi sekunder dengan serotipe lain atau beberapa infeksi

dengan serotipe yang berbeda menyebabkan bentuk parah dari dengue (DBD / DSS).

Terdapat variasi genetik yang cukup besar dalam setiap serotipe dalam bentuk

filogenetis yang berbeda "sub-tipe" atau "genotipe". Saat ini, tiga sub-tipe dapat

diidentifikasi untuk-DENV 1, enam untuk DENV-2 (salah satu yang ditemukan pada

primata non-manusia), empat untuk DENV-3 dan empat untuk DENV-4, dengan yang

lain DENV-4 yang eksklusif untuk primata non-manusia.1

Gambar 2 : Virus Dengue ( Smith, 2002 )

Vektor

Penyebab DD/DBD adalah oleh virus dengue anggota genus Flavivirus,

diketahui empat serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.

5

Nyamuk penular disebut vektor, yaitu nyamuk Aedes (Ae) dari subgenus Stegomya.

Vektor adalah hewan arthropoda yang dapat berperan sebagai penular penyakit.

Vektor DD dan DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor

utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan

nyamuk pemukiman, stadium pradewasanya mempunyai habitat

perkembangbiakan di tempat penampungan air/wadah yang berada di permukiman

dengan air yang relatif jernih. Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan

berkembang biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain : bak

mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan

sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah

perkotaan; sedangkan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air

alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan

sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan,

namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah.

Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih memilih

menghisap darah manusia, disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya

untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus

gonotropik biasanya menghisap darah beberapa kali. Sifat tersebut meningkatkan

risiko penularan DB/DBD di wilayah perumahan yang penduduknya lebih padat,

satu individu nyamuk yang infektif dalam satu periode waktu menggigit akan

mampu menularkan virus kepada lebih dari satu orang.2

Figure 4a: Global distribution of Ae. aegypti

Source: Rogers D.J., Wilson, A.J., Hay, S.L. The global distribution of yellow fever and dengue. Adv. Parasitol.

2006. 62:181–220.

6

Figure 4b: Global distribution of Ae. Albopictus

Source: Rogers D.J., Wilson, A.J., Hay, S.L. The global distribution of yellow fever and dengue. Adv. Parasitol.

2006. 62:181–220.

Gambar 4 : Distribusi nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus

(WHO, 2011)

Depkes RI

7

II.3 EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi demam berdarah diketahui telah terjadi secara terus-menerus selama

tiga abad terakhir di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Epidemi pertama dengue

tercatat di 16.353 di Perancis Hindia Barat, meskipun wabah penyakit kompatibel dengan

demam berdarah, telah dilaporkan di China pada awal 992 AD. Selama abad ke 18, 19 dan

awal abad 20, epidemi penyakit demam berdarah dilaporkan dan dicatat secara global, baik di

daerah tropis serta beberapa daerah beriklim. Di sebagian besar negara Amerika Tengah dan

Selatan, pencegahan penyakit yang efektif dicapai dengan menghilangkan utama vektor

epidemi nyamuk, Aedes aegypti. Di Asia, bagaimanapun pengendalian nyamuk yang

dilakukan keefektifannya tidak pernah tercapai. Sebuah bentuk parah dari demam berdarah,

kemungkinan besar yang menyerupai dengan DBD, muncul di beberapa negara Asia setelah

Perang Dunia II. Selama tahun 1980, kejadian meningkat tajam dan distribusi virus diperluas

ke pulau-pulau Pasifik dan Amerika. Peningkatan penularan penyakit dan frekuensi epidemi

juga hasil dari peredaran beberapa serotipe di Asia. Ini membawa munculnya DBD di

Kepulauan Pasifik, Karibia, dan Amerika Tengah dan Selatan. Dengan demikian, dalam

waktu kurang dari 20 tahun pada tahun 1998, daerah tropis Amerika dan Kepulauan Pasifik

pergi dari bebas dari demam berdarah dengue untuk memiliki masalah / DHF serius.

Setiap 10 tahun, jumlah rata-rata tahunan kasus kasus DF / DBD dilaporkan ke WHO terus

tumbuh dengan pesat. Dari tahun 2000 hingga 2008, jumlah rata-rata tahunan kasus adalah 1

656 870, atau hampir tiga setengah kali angka untuk 1990-1999, yang 479 848 kasus

(Gambar 1). Pada tahun 2008, rekor 69 negara dari kawasan WHO Asia Tenggara, Pasifik

Barat dan Amerika melaporkan aktivitas demam berdarah. Ekstensi geografis daerah dengan

transmisi dengue atau aktivitas demam berdarah bangkit telah didokumentasikan di Bhutan,

Nepal, Timor-Leste, Hawaii (USA), Kepulauan Galapagos (Ekuador), Pulau Paskah (Chile),

dan Hong Kong Daerah Administratif Khusus dan Makao Daerah Administratif Khusus

China antara 2001 dan 2004 (Gambar 2). Sembilan wabah dengueoccurred di utara

Queensland, Australia, dalam empat tahun 2005-2008.1

Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah

penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun

2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan

kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih

merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah

penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya

8

mobilitas dan kepadatanpenduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di

kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang

diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit

ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.2

9

II.4 PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS

DBD terjadi pada sebagian kecil pasien demam dengue. Meskipun DBD dapat terjadi

pada pasien yang mengalami infeksi virus dengue untuk pertama kalinya, sebagian besar

kasus DBD terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder. Infeksi sekunder antara terjadinya

DHF / DSS dan infeksi dengue sekunder berimplikasi pada sistem kekebalan tubuh dalam

patogenesis DBD. Baik imunitas bawaan seperti sistem komplemen dan sel NK serta

imunitas adaptif termasuk imunitas humoral dan cellmediated terlibat dalam proses ini.

Peningkatan aktivasi kekebalan, terutama selama infeksi sekunder, menyebabkan respon

sitokin yang berlebihan, ini mengakibatkan perubahan permeabilitas pembuluh darah. Selain

itu, produk virus seperti NS1 mungkin memainkan peran dalam mengatur aktivasi

komplemen dan permeabilitas pembuluh darah. Ciri-ciri DBD adalah permeabilitas pembuluh

darah yang meningkat sehingga terjadi kebocoran plasma, terganggunya volume

intravaskular, dan shock pada kasus yang berat. Kebocoran ini unik karena ada kebocoran

selektif plasma dalam rongga pleura dan peritoneal serta periode kebocoran yang pendek (24-

48 jam). Pemulihan yang cepat pada shock tanpa gejala sisa dan tidak adanya peradangan

pada pleura dan peritoneum menunjukkan perubahan fungsional dalam integritas vaskular

daripada kerusakan struktural endotel sebagai mekanisme yang mendasari. Berbagai sitokin

10

dengan perubahan permeabilitas, meningkatkan efek yang terlibat dalam patogenesis DBD.

Namun, kepentingan relatif sitokin tersebut pada DBD masih belum diketahui. Penelitian

telah menunjukkan bahwa pola respon sitokin mungkin berhubungan dengan pola cross-

pengakuan T-sel dengue tertentu. T-sel lintas-reaktif tampaknya mengalami defisit fungsional

dalam aktivitas sitolitik mereka tetapi mengungkapkan peningkatan produksi sitokin

termasuk TNF-a, IFN-g dan kemokin. Dari catatan, TNF-a telah terlibat dalam beberapa

manifestasi parah termasuk perdarahan dalam beberapa model hewan. Peningkatan

permeabilitas pembuluh darah juga dapat dimediasi oleh aktivasi sistem komplemen.

Peningkatan kadar fragmen komplemen telah didokumentasikan dalam DHF. Beberapa

melengkapi fragmen seperti C3a dan C5a diketahui memiliki efek meningkatkan

permeabilitas. Dalam studi terbaru, NS1 antigen virus dengue telah terbukti untuk mengatur

komplemen aktivasi dan mungkin memainkan peran dalam patogenesis DBD. Tingginya

tingkat viral load pada pasien DBD dibandingkan dengan pasien DF telah dibuktikan dalam

banyak penelitian. Tingkat protein virus, NS1, juga lebih tinggi pada pasien DBD. Derajat

viral load berkorelasi dengan pengukuran keparahan penyakit seperti jumlah efusi pleura dan

trombositopenia, menunjukkan bahwa beban virus dapat menjadi penentu utama keparahan

penyakit.1

Volume Plasma

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan

antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan

volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan

volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin

sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai

dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat,

syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya

plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus

syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah

ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang

mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun

dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi

ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema. (11)

Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif

dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan

11

yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat

dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang

bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan

fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang

bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut

memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau

luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin

atau dibuat keadaan trombositopenia. 4

Bagan 2 : Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran plasma

pada DBD

Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian

besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai

terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens

dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang

dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya

12

masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme

lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop

membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan

hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat

menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel

endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih

lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis

terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan

fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. (11)

Sistem koagulasi dan fibrinolisis

Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan

memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi

memajang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan

fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products

(FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas

antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor

II, dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen da faktor VIII. Hal ini menimbulkan

dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh

konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis

pada DBD dibuktikan dengan penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas

plasminogen. Seluruh penelitian di atas menunjukan bahwa (11) :

1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis

2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi juga DBD

tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan

dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi

syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan

mencolok. Syok dan DIC saling mempengaruhi sehingga penyakit akan

memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ

vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.

3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan

fungsi trombosit dan trombositopeni, sedangkan perdarahan masif ialah akibat

kelainan mekanisme yang lebih komplek seperti trombositopenia, gangguan

faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada

13

kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis

metabolik.

4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan

kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang.

Sistem Komplemen

Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3

proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat

hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini

menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur

klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa

penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan

oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan

anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan stimulasi sel mast untuk melepaskan

histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas

kapiler, pengurangan plasma dan syok hipopolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop

virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh

trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen

juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF),

interferon gama, interleukin (IL-2 dan IL-1). (11)

Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1)

ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun

yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD derajat ringan maupun berat,

(3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit. (11)

Respon Leukosit

Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit

atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Pemeriksaan limfosit plasma biru (LPB)

secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue

mencapai puncak pada hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari

keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD

14

dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan

campuran antara limfosit B dan limfosit T. (11)

PATOGENESIS

Patogenesis DBD dan DSS (Dengue Syok Sindrom) masih merupakan masalah yang

kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi

sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.

Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang

kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang

lebih besar untuk menderita DBD/Berat. (3,11,16)

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous

infection dapat dilihat pada skema yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat

infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi

anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan

transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping

itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat

terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus

kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan

aktivasi sistem komplemen. (3,11)

Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan

permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke

ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai

lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan

adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di

dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat,

akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu,

pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.(3,11)

Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain

mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi

sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan

menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari

perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran

ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan

menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi

trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III

15

mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular

deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga

terjadi penurunan faktor pembekuan.(3,11,16)

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga

walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi

koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin

sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya

syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor

pembekuan (akibat DIC), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.

Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.(3,6,11)

Bagan 3 : Hipotesis secondary heterologus infections yang pertama kali dipublikasikan

oleh Suvatte,1977

Dengue dapat disebabkan oleh salah satu serotipe virus dengue. Umumnya, infeksi

dengan satu serotipe menganugerahkan kekebalan protektif terhadap masa depan yang

serotipe tertentu tetapi tidak terhadap serotipe lainnya. Selanjutnya, ketika terinfeksi untuk

kedua kalinya dengan serotipe yang berbeda, infeksi yang lebih parah dapat terjadi. Hal ini

disebabkan oleh fenomena yang disebut sebagai antibodi tambahan tergantung, di mana

16

antibodi terhadap serotipe pertama meningkatkan infeksi dengan serotipe kedua. Namun,

karena hanya 2% -4% dari individu dengan infeksi dengue sekunder mengembangkan

penyakit parah, antibodi dependent enhancement saja tidak dapat sepenuhnya menjelaskan

proses ini. Saat ini, alasan mengapa hanya beberapa orang mengembangkan infeksi gejala

tidak diketahui, tetapi penelitian aktif sedang dikejar oleh beberapa kelompok untuk

memperjelas mekanisme tersebut. Setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi, virus dengue

masuk ke dalam tubuh dan ulangan dalam sel mononuklear fagosit dari garis keturunan

(makrofag, monosit, dan sel B). Selain itu, infeksi sel mast, sel dendritik, dan sel-sel endotel

yang diketahui terjadi. Masa inkubasi infeksi dengue adalah 7-10 hari. Fase viraemic berikut

di mana pasien menjadi demam dan infeksi.

Setelah itu, pasien mungkin baik memulihkan atau maju ke fase kebocoran, yang

menyebabkan DBD dan / atau dengue shock syndrome. Puncak viremia plasma berkorelasi

dengan keparahan infeksi dengue. Perbedaan antibodi, sitokin, dan tanggapan T-sel yang

terlihat di antara pasien dengan demam berdarah yang tidak rumit atau DHF / dengue shock

syndrome. Untuk kejelasan deskripsi, ini akan dijelaskan secara terpisah di bawah judul

respon antibodi, respon sitokin, dan tanggapan seluler terhadap virus dengue.

II.5 MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Infeksi virus dengue mungkin asimtomatik atau dapat menyebabkan sindrom virus,

demam berdarah (DF), atau demam berdarah dengue (DBD) termasuk dengue shock

syndrome (DSS). Infeksi dengan satu serotipe dengue memberikan kekebalan seumur hidup

dengan serotipe tertentu, tapi di sini hanya jangka pendek proteksi-silang untuk serotipe

lainnya. Manifestasi klinis tergantung pada strain virus dan tuan faktor seperti usia, status

kekebalan, dll.

17

Sindrom Virus

Bayi, anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama untuk

pertama kalinya (yaitu infeksi dengue primer), dapat mengalami demam sederhana dan

terkadang tidak dapat dibedakan dari infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular dapat

menyertai demam atau mungkin muncul selama penurunan suhu badan sampai yg normal.

Gejala pernapasan dan pencernaan bagian atas terjadi pada umumnya.

Demam Berdarah

Demam berdarah (DF) paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan orang dewasa. Hal

ini umumnya terjadi penyakit akut yang disertai demam, dan demam kadang-kadang terjadi

bifasik dengan sakit kepala, mialgia, arthralgia, ruam, leukopenia dan trombositopenia juga

dapat diamati. Meskipun DF mungkin jinak, bisa jadi penyakit melumpuhkan dengan sakit

kepala parah, nyeri otot dan sendi dan tulang terutama pada orang dewasa. Kadang-kadang

perdarahan yang tidak biasa seperti perdarahan gastrointestinal, hypermenorrhea dan

epistaksis bisa terjadi. Di daerah endemis demam berdarah, wabah DF jarang terjadi di

kalangan masyarakat setempat.

Demam berdarah dengue

Demam berdarah berdarah (DBD) lebih sering terjadi pada anak-anak kurang dari 15 tahun di

daerah hiperendemik, berkaitan dengan infeksi dengue berulang. Namun, kejadian DBD pada

orang dewasa meningkat. DBD ditandai dengan onset akut dari demam tinggi dan

berhubungan dengan tanda-tanda dan gejala yang mirip dengan DF pada fase demam awal.

Ada diatesis hemoragik umum seperti tes positif tourniquet (TT), petechiae, mudah memar

dan / atau GI perdarahan pada kasus yang berat. Pada akhir fase demam, ada kecenderungan

untuk mengembangkan hipovolemik syok (dengue shock syndrome) akibat kebocoran

plasma. Sebelumnya bisa terjadi tanda-tanda peringatan seperti muntah terus-menerus, sakit

perut, lesu atau gelisah, mudah marah dan oliguria, penting untuk intervensi dalam mencegah

syok. Ketidakseimbangan hemostasis dan kebocoran plasma adalah keunggulan patofisiologi

18

utama DBD. Trombositopenia dan peningkatan hematokrit / haemoconcentration temuan

konstan sebelum penurunan demam / awal shock. DBD terjadi paling sering pada anak-anak

dengan infeksi dengue sekunder. Ini juga telah didokumentasikan pada infeksi primer

dengan-DENV 1 dan DENV-3, serta pada bayi.

Sindrom dengue

Manifestasi yang tidak biasa pasien dengan keterlibatan organ yang parah seperti hati, ginjal,

otak atau jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue telah semakin dilaporkan pada

kasus DBD dan juga pada pasien demam berdarah yang tidak memiliki bukti kebocoran

plasma. Manifestasi yang tidak biasa mungkin berhubungan dengan koinfeksi, komorbiditas

atau komplikasi syok berkepanjanganatau koinfeksi.

Demam Dengue

Kriteria Klinis (

Tersangka dengue : demam akut disertai dua atau lebih manifestasi :

Sakit kepala

Nyeri retroorbital

Myalgia

Athralgia

Rash

Manifestasi pendarahan

Leukopenia

Serologis : HI antibody titer > 1280, IgG dan IgM pada fase akut dan

konvalesen

Pasti dengue : Kriteria lab

Isolasi virus dengue dari serum atau autopsi

Peningkatan 4 x IgG atau IgM titer pada antigen virus diserum

Penemuan antigen virus pada autopsi jaringan, serum, CSF dengan

metode immunohistokima, imunofloresensi atau ELISA

Deteksi genom virus pada autopsi jaringan, serum atau CSF dengan

PCR

Manifestasi Klinis

19

Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal penyakit

biasanya mendadak, disertai gejala prodormal seperti nyeri kepala, nyeri berbagai bagian

tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi,

nyeri pada anggota badan, dan timbulnya ruam. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu

naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat

makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen,

menyebar ke anggota gerak dan muka. (11)

Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul mendadak, disertai kenaikan suhu,

nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang bola mata, punggung, otot, sendi dan disertai rasa

menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu menyerupai pelana kuda

atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua

pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomonik. (11)

Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, disamping itu perasaan tidak nyaman di

daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium dini

sering timbul perubahan dalam indra pengecapan. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah

fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam

menghilang secar alisis, disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfe servikal

membesar pada 67-77% kasus. Beberapa sarjana menyebutnya sebagai Castelani’s sign,

sangat patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis

banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. (1)

Demam Berdarah

Kriteria klinis :

Demam akut 2-7 hari, kadang-kadang bifasik

Kecenderungan pendarahan berupa :

- Tes tourniquet positif

- Ptekie, ekimosis, purpura

- Pendarahan mukosa, saluran cerna, tempat penyuntikan

- Hematemesis atau melena

Hepatomegali

Gejala renjatan

- Nadi lemah, cepat dan kecil sampai tidak teraba

- Tekanan nadi < 20 mmHg

- Tekanan darah turun

20

- Kulit teraba dingin dan lembab, terutama daerah akral (ujung hidung,

jari, kaki)

- Sianosis sekitar mulut

Kriteria Lab :

Trombositopenia <100.000/ mm3

Bukti kebocoran plasma dan peningkatan permeabilitas vaskular

dengan manifestasi :

o Peningkatan Ht> 20 % dari baseline sesuai umur dan jenis kelamin

pada populasi tersebut

o Penurunan Ht> 20% setelah terapi cairan

o Tanda kebocoran plasma berupa efusi pleura, asites dan

hipoproteinemia

Diagnosis klinis ditegakkan bila didapatkan >2 gejala klinis dengan trombositopenia

dan hemokonsentrasi.

Dalam kasus dengan syok, hematokrit tinggi dan ditandai trombositopenia mendukung

diagnosis DSS. Sebuah ESR rendah (<10 mm / jam pertama) selama syok membedakan DSS

dari syok septik.

Manifestasi Klinis

Kasus DHF tipikal memiliki 4 ciri gejala utama yaitu : demam tinggi, fenomena

pendarahan, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Pada pemeriksaan lab dapat ditemukan

trombositopenia dan hemokonsentrasi. Perubahan patofisiologis yang menentukan tingkat

keparahan DHF dan membedakan dengan DF adalah plasma leakage yang terlihat sebagai

peningkatan hematokrit, efusi serosa atau hipoproteinemia.

Pada fase awal terjadi demam mendadak, malaise, muntah, nyeri kepala, anoreksia,

dan batuk yang berlangsung selama 2-5 hari. Demam tinggi berlanjut hingga 2-7 hari. Suhu

dapat mencapai 40-41oC. Pada suhu ini bayi rentan terkena kejang demam. Beberapa pasien

mungkin mengeluh sakit tenggorokan, dan faring yang merah dapat terlihat pada

pemeriksaan, namun gejala pilek dan batuk sangat jarang. Dapat juga terlihat injeksi

konjungtiva. Pada fase kedua, pasien merasa dingin, ekstrimitas dingin, batang tubuh terasa

hangat, muka flushing, keringat berlebih, gelisah, iritabel, dan nyeri pada ulu hati. Sering,

ptekie tersebar pada dahi dan ekstrimitas. Ekimosis dapat terlihat, kulit mudah lebam dan

pendarahan pada tempat penyuntikan dapat terjadi. Rash makular atau makulopapular dapat

21

terlihat, juga terdapat sianosis sirkumoral dan periferal. Hati dapat membesar hingga 4-6 cm

di bawah batas costa dan teraba lunak. Pasien juga mengalami nyeri tekan epigastrik dan di

bawah arkus costa atau nyeri perut menyeluruh.

Fase kritis terjadi pada akhir fase demam. Setelah demam selama 2-7 hari terjadi

penurunan suhu yang diikuti oleh tanda-tanda gangguan sirkulasi yaitu : berkeringat, gelisah,

ekstrimitas dingin, respirasi cepat, nadi lemah, cepat, kecil dan suara jantung redup. Sekitar

20-30% penyakit DBD mengalami komplikasi shock (dengue shock syndrome). Kurang dari

10% pasien mengalami ekimosis atau pendarahan saluran cerna, biasanya setelah periode

syok yang tidak terkoreksi. Setelah fase krisis selama 24-36 jam, penyembuhan terjadi

dengan cepat terutama pada anak-anak. Suhu dapat menjadi normal selama fase syok. Pada

fase penyembuhan sering terjadi bradikardi dan ventricular ekstrasistol.

Klasifikasi Derajat Penyakit DBD

Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-

satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet.

Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di

kulit dan atau perdarahan lain.

Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat

dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau

hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan

anak tampak gelisah.

Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat

diraba dan tekanan darah tidak terukur.

22

Dengue Shock Syndrome (DSS)

23

Kriteria :

Seluruh kriteria DBD ditambah tanda-tanda kegagalan sirkulasi berupa :

Nadi cepat dan lemah

Tekanan nadi sempit (<20 mmHg)

Hipotensi

Ekstremitas dingin dan lembab serta penurunan kesadaran

Manifestasi Klinis

Kondisi pasien mengalami perburukan setelah demam 2-7 hari. Gejala gangguan

sirkulasi utama yang muncul adalah : kulit yang menjadi dingin, nadi cepat, terdapat sianosis

sirkumoral. Pasien awalanya letargis namun dengan cepat dapat menjadi gelisah pada fase

kritis syok. Nyeri akut abdomen sering dikeluhkan pada fase awal syok. DSS memiliki ciri

nadi yang cepat dan tekanan nadi yang sempit (< 20 mmHg) atau hipotensi yang diikuti

ekstrimitas yang dingin dan gelisah. Pasien beresiko meninggal jika terapi tidak tepat.

Kebanyakan pasien tetap sadar hingga fase akhir penyakit. Durasi syok berlangsung sangat

singkat, pasien dapat meninggal dalam 12-24 jam atau membaik dengan cepat. Efusi pleura

dan asites dapat dideteksi pada pemeriksaan fisik. Syok yang tidak terkoreksi menyebabkan

komplikasi pendarahan gastrointestinal dan metabolik asidosis. Pasien dengan pendarahan

intrakranial dapat mengalami kejang dan menjadi koma. Ensefalopati dapat terjadi akibat

gangguan elektrolit atau akibat pendarahan intrakranial.(1)

Fase pemulihan berlangsung cepat dalam 2-3 hari, meskipun asites dan efusi pleura

dapat tetap ada. Tanda prognosis yang baik adalah membaiknya output urin dan kembalinya

nafsu makan. Pada fase pemulihan sering ditemukan bradikardia dan aritmia dan rash

konfluen yang menyisakan sedikit kulit normal. Gejala biasanya hanya berlangsung selama 7-

10 hari. (1)

II.6 DIAGNOSIS BANDING

24

Diagnosis banding dari DF meliputi berbagai macam penyakit umum di wilayah :

Diagnosis banding dari Demam berdarah dengue dan dengue shock syndrome

Perubahan patofisiologi utama yang menentukan keparahan DBD dan

membedakannya dari DF dan demam berdarah virus lainnya adalah hemostasis normal dan

kebocoran plasma selektif dalam rongga pleura dan perut. Perjalanan klinis DBD diawali

dengan kenaikan suhu yang mendadak disertai dengan adanya kemerahan di wajah dan gejala

lain yang menyerupai demam berdarah, seperti anoreksia, muntah, sakit kepala, dan otot atau

nyeri sendi. Beberapa pasien DBD mengeluh sakit tenggorokan dan faring dapat ditemukan

pada pemeriksaan. Ketidaknyamanan epigastrium, nyeri pada perut bagian kanan, dan nyeri

perut umu. Suhu biasanya tinggi dan dalam kebanyakan kasus terus seperti itu untuk 2-7 hari

sebelum jatuh ke tingkat normal atau di bawah normal. Kadang-kadang suhu bisa setinggi 40

° C, dan kejang demam dapat terjadi. Pola demam bifasik dapat diamati.

Fase penyembuhan

25

Diuresis dan kembalinya nafsu makan adalah tanda-tanda pemulihan dan indikasi

untuk menghentikan penggantian volume. Temuan umum dalam pemulihan termasuk

bradikardia sinus atau aritmia dan karakteristik konfluen berdarah ruam petekie seperti yang

dijelaskan untuk demam berdarah. Pemulihan pada pasien dengan atau tanpa syok biasanya

singkat dan lancar. Bahkan dalam kasus-kasus dengan kejutan besar, setelah syok dapat

diatasi dengan pengobatan yang tepat pasien sembuh dalam waktu 2 - 3 hari. Namun, mereka

yang telah lama syok dan kegagalan multiorgan akan memerlukan pengobatan khusus dan

mengalami pemulihan lebih lama. Perlu dicatat bahwa angka kematian dalam kelompok ini

akan menjadi tinggi bahkan dengan pengobatan khusus.

II.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

II. 8 TERAPI

II.9 PROGNOSIS

KESIMPULAN

Antenatal Care merupakan perawatan atau asuhan yang diberikan kepada ibu hamil

sebelum kelahiran, yang berguna untuk memfasilitasi hasil yang sehat dan positif bagi ibu

hamil maupun bayinya dengan jalan menegakkan hubungan kepercayaan dengan ibu,

26

mendeteksi komplikasi yang dapat mengancam jiwa, mempersiapkan kelahiran dan

memberikan pendidikan kesehatan. Asuhan Antenatal itu sendiri penting unuk menjamin

proses alamiah kelahiran berjalan normal dan sehat, baik kepada ibu maupun bayi yang akan

dilahirkan.

Tujuan dari asuhan Antenatal Care adalah untuk memantau kemajuan kehamilan dan

memastikan kesehatan ibu serta tumbuh kembang bayi, juga untuk meningkatkan dan

mempertahankan kesehatan fisik, mental dan sosial ibu. Disamping itu Antenatal Care juga

bertujuan untuk mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang

mungkin terjadi selama hamil termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan

pembedahan, mempersiapkan persalinan yang cukup bulan, melahirkan dengan selamat baik

ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mngkin, mempersiapkan ibu agar masa nifas

berjalan normal dan pemberian ASI ekslusif, mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam

menerima kesehatan bayi agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Oleh karenanya sangat penting bagi setiap ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan

kehamilan secara teratur, yang bermanfaat untuk memonitor kesehatan ibu hamil dan

bayinya, sehingga bila terdapat permasalahan dapat diketahui secepatnya dan diatasi sedini

mungkin pada masa hamil, pemeriksaan rutin selama kehamilan sangat penting untuk

memonitor perkembangan kehamilan. Temu Wicara dengan dokter sangatlah penting untuk

mengklasifikasikan apakah ibu hamil dalam status kehamilan resiko tinggi, oleh karena itu,

setiap ibu hamil harus memeriksa diri secara teratur dan mendapat pelayanan kebidanan yang

optimal.

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

27

1. Asih Y. S.Kp. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan

Pengendalian.World Health Organization. Edisi 2. Jakarta. 1998.

2. Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di

Indonesia. Edisi 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal

Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan:Jakarta; 2004.

3. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. Nelson Textbook of Pediatric. Ed 18. Saunders.

2007.

4. Purnama, S. Gede. 2010. Pengendalian Vektor DBD. Denpasar : Program Studi Ilmu

Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana.

5. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin

Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13

6. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi

Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia

7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003.

Surabaya : AirlanggaUniversity Press 2004.h.1-9

8. Suhendro dkk.Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.

Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; Juni 2006. Hal. 1709-13.

9. World Health Organization.Dengue hemorrhagic fever. Diagnosis, treatment,

prevention and control. Second Edition. Geneva: WHO; 1997.

10. World Health Organization.Dengue hemorrhagic fever. Guideline for Diagnosis,

Treatment, Prevention and Control. WHO; 2009.

11. WHO. 2011. Conprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and

Dengue Haemorraghic Fever. India : WHO

28