Kata Pengantar

29
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan referat Bedah dengan mengambil judul “TRAUMA KEPALA” Tugas ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan Ilmu Bedah di RSUD Soreang. Penyelesaian tugas ini juga tak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka dengan segala kerendahan hati saya haturkan ucapan terima kasih kepada pembimbing dr.Yeppy A.N., Sp.B, FINaCS, MM. Saya sangat menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, oleh karena itu saya berharap kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan tugas ini dan sebagai bekal saya untuk menyusun tugas-tugas lainnya dikemudian hari. Semoga referat ini banyak memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Soreang, 22 Juli 2013 ERMI ATIYAH 1

description

KATA PENGANTAR 1

Transcript of Kata Pengantar

Page 1: Kata Pengantar

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan referat Bedah dengan mengambil judul “TRAUMA KEPALA”

Tugas ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan Ilmu Bedah

di RSUD Soreang. Penyelesaian tugas ini juga tak lepas dari bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak. Maka dengan segala kerendahan hati saya haturkan ucapan terima

kasih kepada pembimbing dr.Yeppy A.N., Sp.B, FINaCS, MM.

Saya sangat menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki,

oleh karena itu saya berharap kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan

tugas ini dan sebagai bekal saya untuk menyusun tugas-tugas lainnya dikemudian hari.

Semoga referat ini banyak memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Soreang, 22 Juli 2013

ERMI ATIYAH

1

Page 2: Kata Pengantar

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit

gawat darurat suatu rumah sakit. ”No head injury is so serious that it should be

despaired of, nor so trivial as to be lightly ignored”, menurut Hippocrates bahwa tidak

ada cedera kepala yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan

tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat

mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat

inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma

yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh

National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis

trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian

paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh dkk, 2009).

Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa

trauma kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas, 2006).

Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding

perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia

65 tahun ke atas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta

lansia di Amerika yang mangalami trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005). Menurut

Kraus (1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda

mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat

kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala

disebabkan oleh terjatuh.

Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan

terjatuh (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami

tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-

anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa. Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3

juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal akibat kekerasan (Bener A

dkk. 2009).

2

Page 3: Kata Pengantar

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

TRAUMA KEPALA

2. 1 Definisi

Trauma kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung

ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan

fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (Asrini, 2008 ).

Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang

tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak

langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)

2.2 Epidemiologi

Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena

peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun

2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga

terbanyak di dunia (Maas AIR dkk, 2008). Insiden cedera kepala di Eropa pada tahun

2010 adalah 500 per 100.000 populasi (Lingsma HF dkk, 2010). Insiden cedera kepala

di Inggris pada tahun 2005 adalah 400 per 100.000 pasien per tahun (Moppett IK dkk,

2007). Langlois et al mendapatkan bahwa lebih dari 1,1 juta orang di Amerika Serikat

menderita cedera kepala setiap tahunnya (Shiroma EJ dkk, 2010). Gururaj et al pada

tahun 2004 mendapatkan bahwa insiden cedera kepala di India setiap tahunnya adalah

160 per 100.000 populasi (Critchley G dkk, 2009).

Data dari kepolisian RI 2009 menyebutkan , sepanjang tahun itu terjadi

sedikitnya 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya, artinya dalam tiap 9,1 menit sekali

terjadi satu kasus kecelakaan. (Departemen perhubungan, 2010).

Di Indonesia, sebagian besar (70%) korban kecelakaan lalu lintas adalah pengendara

sepeda motor dengan golongan umur 15-55 tahun, dan cedera kepala merupakan urutan

pertama dari semua jenis cedera yang dialami korban kecelakaan. Proporsi disabilitas

3

Page 4: Kata Pengantar

(ketidakmampuan) dan angka kematian karena kecelakaan masih cukup tinggi yaitu

sebesar 25% dan upaya untuk mengendalikannya dapat dilakukan melalui tatalaksana

penanganan korban kecelakaan di tempat kejadian kecelakaan maupun setelah sampai di

sarana pelayanan kesehatan. Kejadian ini terjadi seiring meningkat pesatnya jumlah

kendaraan bermotor di Indonesia.

2.3 Anatomi

1. Kulit Kepala (Scalp)

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :

a. Skin atau kulit

b. Connective Tissue atau jaringan penyambung

c. Aponeurosis atau galea aponeurotika

d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

e. Perikranium.

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium

dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala

memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi

kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi

dan anak-anak.

2. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria

khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot

temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar

otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak

dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa

anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus

temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan

serebelum.

3. MeningenSelaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan

yaitu : duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras,

terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari

4

Page 5: Kata Pengantar

kranium. Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka

terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater

dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,

pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus

sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami

robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior

mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari

sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.

Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari

cranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan

laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang

paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada

fosa temporalis (fosa media).

Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus

pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat

erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam

ruang subaraknoid.

4. OtakOtak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri

atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan

duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri

terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara

sering disebut sebagai hemisfer dominan.

Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi

dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan

fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori.

Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.

Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata.

Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang

berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat

5

Page 6: Kata Pengantar

pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis

dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan

defisit neurologis yang berat.

Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan,

terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak,

dan juga kedua hemisfer serebri.

5. Cairan serebrospinal

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan

produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui

foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju

ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam

ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis.

CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.

6. Tentorium

Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial

(terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial

(berisi fosa kranii posterior).

2.4. Fisiologi

Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :

1. Tekanan Intra Kranial

Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan

serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu

tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH O atau 4 sampai 15 mmHg.

Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-

hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari

normal.

Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai

kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan

serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah

6

Page 7: Kata Pengantar

satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh

unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial (Lombardo,2003 ).

2. Hipotesa Monro-Kellie

Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila

salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus

mengkompensasi dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan ).

Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural

dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya

aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap

peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi

mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak ke

arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat

berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap,

mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan

kematian neuronal (Lombardo, 2003).

2.5. Patofisiologi Trauma Kapitis

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera

primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai

akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala

dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala

(Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009 ).

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada

permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada

duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut

lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga

tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio

“countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang

sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana

caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci.

7

Page 8: Kata Pengantar

Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio

coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi

yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan Sidharta,

2008 ).

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara

mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak

(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih

cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak

membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan

(countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan

iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak.

Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal.

Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu

yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.

Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan

aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang

berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.

Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada

suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan

terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya

kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,

menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).

8

Page 9: Kata Pengantar

2.6. Klasifikasi Trauma Kapitis

Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara

praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera,

dan morfologi.

9

Page 10: Kata Pengantar

1. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya

berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya

penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan,

mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara

pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata

ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS

sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan

nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai

cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera

otak ringan.

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari

Traumatic Brain Injury yaitu :

3. Morfologi

a. Fraktur Kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk

garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar

tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window”

10

Page 11: Kata Pengantar

untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak

menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.

Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi

kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur

tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi

cukup berat.

Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut;

1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :

a. Linier

b. Diastase

c. Comminuted

d. Depressed

2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :

a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )

b. Basis cranii ( dasar tengkorak )

3. Keadaan luka, dibedakan atas :

a. Terbuka

b. Tertutup

b. Lesi Intra Kranial

1. Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi

yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin

mengalami amnesia retro/anterograd.

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena

syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada

beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema

dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera

Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang

11

Page 12: Kata Pengantar

buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan

terlihat pada manifestasi klinisnya.

2. Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan

gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di

area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri

meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

3. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini

terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan

subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak

lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.

4. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus

temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri

dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra

serebral yang membutuhkan tindakan operasi.

2.6. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis

Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain:

1. Pemeriksaan kesadaran

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale

(GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu :

pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing

komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3

sedangkan nilai tertinggi adalah 15.

Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi

GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat

GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang

12

Page 13: Kata Pengantar

GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali

pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran

dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi

perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.

13

Page 14: Kata Pengantar

2. Pemeriksaan Pupil

Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan

diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang

terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor

ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera

kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,

kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus

dicatat.

14

Page 15: Kata Pengantar

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak

Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman laserasi

dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk

menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

2.7. Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974

(Jennet dan Teasdale, 1974 dalam Sastrodiningrat, 2007 ). Sejak itu GCS merupakan

tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera kepala. GCS seharusnya

telah diperiksa pada penderita-penderita awal cedera terutama sebelum mendapat obat-

obat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh

yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor

prediksi yang kuat dalam menentukan prognosa ( Alberico dkk, 1987 dalam

Sastrodiningrat, 2007).

Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS

sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS. Pada beberapa

penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada mata yang bengkak dan

setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi prediksi yang kuat;

penderita dengan skor mototrik 1 ( bilateral flaksid ) mempunyai mortalitas 90 %.

Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di atas 60 tahun

merupakan kombinasi yang mematikan (Kelly dkk., 1996 dalam Sastrodiningrat, 2007).

15

Page 16: Kata Pengantar

Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi pengobatan

apapun atau sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat penting (American

Association of Neurological Surgeons, 2000 dalam Sastrodiningrat, 2007).

2.8. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis

a. X-ray Tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar

tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur

karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-

Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department

of Labor and Employment, 2006).

b. CT-Scan

Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam

memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam

Sastrodiningrat, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada

penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih

rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan

penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal.

Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relative

normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK dan dapat

berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam

Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di

batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut

dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang

buruk (Sastrodiningrat, 2007 ).

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai

prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering

luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas

pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai

16

Page 17: Kata Pengantar

prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan

awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk, 1983 dalam

Sastrodiningrat, 2007).

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah

dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk

mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala

ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada

pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.

Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat

masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan

berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala

ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).

2.9. Tatalaksana trauma kepala

Penatalaksanaan cedera kepala ringan:

Observasi atau dirawat di RS : Dipulangkan dari RS :- CT Scan tidak ada - Semua cedera tembus - Riwayat hilang kesadaran - Kesadaran menurun - Riwayat sakit kepala sedang-

berat - Intoksikasi alkohol atau obat2an- Kebocoran likuor - Cedera penyerta yg bermakna - Tidak ada keluarga di rumah - GCS < 15- Defisit neurologis fokal

- Tidak memenuhi kriteria rawat

- Diskusikan kemungkinan kembali ke RS bila memburuk dan berikan lembar observasi

- Jadwalkan untuk kontrol

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANGBila kondisi membaik (90%) : Bila kondisi memburuk (10%) :Pulang dan kontrol Bila penderita tidak mampu melakukan

perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

17

Page 18: Kata Pengantar

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA BERAT:

Def: Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang

menurun (GCS 3-8)

Pemeriksaan dan Penatalaksanaan :

ABCDE

Primary survey dan resusitasi

Secondary survey dan riwayat AMPLE

Rawat pada fasilitas yang mampu melakukan perawatan definitive Bedah Saraf

Reevaluasi neurologis: GCS

Obat-obatan

Tes diagnostik :

CT scan

Ventrikulografi Udara

Angiogram

Terapi Medikamentosa untuk cedera otak:

1.Cairan Intravena

Cairan yang dianjurkan adalah larutan garam fisiologis / Ringer’s Lactate

2.Manitol

Untuk menurunkan TIK yang meningkat.

Dosis : 1 g/kgBB

Indikasi :deteriorasi neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil,

hemiparesis atau hilangnya kesadaran saat pasien dalam

Jangan beri manitol dosis tinggi pada pasien hipotensi

3.Furosemid

diberi bersama manitol untuk menurunkan TIK.

Dosis : 0,3-0,5 mg/kgBB

4.Barbiturat

menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain.

jangan beri pada pasien hipotensi atau hipovolemi

5.Antikonvulsan

Epilepsi pascatrauma berkaitan dengan 3 faktor yaitu :

18

Page 19: Kata Pengantar

- kejang awal yang terjadi pada minggu pertama

- perdarahan intracranial

- fraktur depresi

Fase akut : fenitoin dan fosfenitoin dengan dosis dewasa 1 g dengan kecepatan

tidak melebihi 50 mg/menit diberi secara IV.

Dosis pemeliharaan : 100 mg/8jam

Invasif

Kriteria sederhana sebagai patokan indikasi operasi adalah :

1. Lesi massa intra atau ekstra aksial yang menyebabkan pergeseran garis tengah

yang mmelebihi 5mm

2. Lesi massa ekstra aksial yang tebalnya melebihi 5 mm tabula interna tengkorak

dan berkaitan dengan pereseran arteri serebri anterior atau media

3. Lesi massa ekstra aksial bilateral melebihi 5mm

4. Lessi massa intra aksial lobus temporalis menyebabkan elevasi hebat dari arteri

serebri media atau mennyebabkan pergeseran garis tengah.

2.10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prognosis Cedera Kepala

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators

(2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan

terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis. Skor

Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas

pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada GCS 3

dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi dianggap

sebagai 3.

19

Page 20: Kata Pengantar

DAFTAR PUSTAKAAmerican College of Surgeons, 2004. Cedera Kepala dalam : American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. IKABI, 167 – 186.

Asrini,S., 2008. Peranan Post Traumatic Amnesia (PTA) dan Parameter Laboratorium sebagai Prediktor Terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan – Sedang. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik. Available from : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789. [Accessed 13 Juli 2013]

Bener A, Rahman YS, Mitra B. 2009. Incidence and severity of head and neck injuries in victims of road traffic crashes: In an economically developed country. Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [Acessed 14 Juli 2013].

Brain Injury Association of Michigan, 2005. Traumatic Brain Injury ProviderTraining Manual. Michigan Department Of Community Health

Burns, J.Jr., and Hauser, W.A., 2003. The Epidemiology of Traumatic Brain Injury :A Review. Epilepsia, Suppl 10 : 2-10.

Critchley G, Memon A. Epidemiology of Head Injury in head injury: a multidisciplinary approach, ed. Peter C. Whitfield, Elfyn O. Thomas, Fiona Summers, Maggie Whyte and Peter J. Hutchinson. Cambridge University Press. 2009. P 1-9.

Dahlan, M. Sopiyudin., 2008. Langkah-langkah Membuat Proposal PenelitianBidang Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Sagung Seto.

Dawodu, S., T., 2009. Traumatic Brain Injury (TBI)-Definition, Epidemiology,Pathopysiology.Available from : www.medscape.com/viewarticle/706300 [Accesed 14 Juli 2013 ]

Division of Workers Compensation, 2006. Traumatic Brain Injury MedicalTreatment Guidelines. State of Colorado Department of Labor and Employment

Karbakhsh M, Zandi NS, Rouzrokh M, Zarei MR, 2009. Injury epidemiology in

Kermanshah: the National Trauma Project in Islamic Republic of Iran. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [Acessed 13 Juli 2013]

Kirsch, T.D., and Lipinski, C.A., 2004. Head Injury. Dalam : Tintinalli, J.E., Kelen,G.D., and Stapczynski, J.S., Emergency Medicine A Compeherensive Study Guide.McGraw-Hill, 1557 – 1569.

Lingsma HF, Roozenbeek B, Steyerberg EW, Murray GD, Maas AIR. Early prognosis in traumatic brain injury: from prophecies to predictors. Lancet Neurol. 2010; 9: 543-54.

Lombardo, M.C.,2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Dalam : Price, S.A., dan Wilson,L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.

20

Page 21: Kata Pengantar

Maas AIR, Stocchetti N, Bullock R. Moderate and severe traumatic brain injury in adults. Lancet Neurol. 2008; 7: 728-41.

Moppett IK. Traumatic brain injury: assessment, resuscitation and early management. Br J Anaesth. 2007; 99: 18-31.

MRC CRASH Trial Collaborator, 2008. Predicting Outcome After Traumatic BrainInjury : practical prognostic models based on large cohort of international patients. BMJ, 336 : 425 – 429. Available from : http://www.bmj.com/cgi/content/full/bmj.39461.643438.25

Sjamsuhidajat R, dan Jong WD., 2003, Trauma dan Bencama: Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta; 89-117

Shiroma EJ, Ferguson PL, Pickelsimer EE. Prevalence of traumatic brain injury in an offender population: a meta analysis. J Head Trauma Rehabil. 2010; 27: 1-10.

21