Kata pengantar

21
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Bahasa Indonesia “Pengaplikasian Teori Kesantunan Di Sekitar Kita” ini dengan lancar dan tepat waktu. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Moh.Fatoni sebagai dosen mata kuliah Bahasa Indonesia, yang telah membimbing dan menasehati penyusun dalam penyusunan makalah ini. Pada dasarnya, makalah ini disusun untuk memenuhi tugas akhir Bahasa Indonesia.Semoga makalah ini dapat bermanfat bagi pembaca dan mulai menerapkan kesantunan dalam berbahasa di kehidupan sehari-hari. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangannya. Oleh karena itu, penyusun menerima kritik dan saran dari pembaca, untuk penyempurnaan dalam penyusunan makalah selanjutnya. Semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca. Malang, Juni 2012 Penyusun

Transcript of Kata pengantar

Page 1: Kata pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun

dapat menyelesaikan makalah Bahasa Indonesia “Pengaplikasian Teori Kesantunan Di Sekitar Kita”

ini dengan lancar dan tepat waktu.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Moh.Fatoni sebagai dosen mata kuliah Bahasa

Indonesia, yang telah membimbing dan menasehati penyusun dalam penyusunan makalah ini.

Pada dasarnya, makalah ini disusun untuk memenuhi tugas akhir Bahasa Indonesia.Semoga

makalah ini dapat bermanfat bagi pembaca dan mulai menerapkan kesantunan dalam berbahasa

di kehidupan sehari-hari.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangannya. Oleh karena itu,

penyusun menerima kritik dan saran dari pembaca, untuk penyempurnaan dalam penyusunan

makalah selanjutnya. Semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

 

Malang, Juni 2012

 

Penyusun

 

 

 

 

 

Page 2: Kata pengantar

 

 

DAFTAR ISI 

KATA PENGANTAR.. 1

DAFTAR ISI 2

BAB I  PENDAHULUAN.. 3

1.1      Latar Belakang. 3

1.2      Rumusan Masalah. 3

1.3.Tujuan. 4

BAB II PEMBAHASAN.. 4

2.1 Definisi Kesantunan. 5

2.2 Defenisi Kesantunan Berbahasa. 6

2.3 Teori-teori Kesantunan Berbahasa. 7

A. Teori Lakoff Lakoff (1972) 7

B. Teori Gu (1990) 8

C.Teori Pranowo. 10

Page 3: Kata pengantar

D.Teori Grice. 11

BAB III  PENUTUP. 18

3.1 Kesimpulan. 18

3.2 Saran. 18

DAFTAR PUSTAKA.. 19

 

 

 

 

 

BAB I PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Pada hakikatnya, bahasa yang dimiliki dan digunakan oleh manusia tidak ada yang lebih baik atau

lebih buruk. Seandainya ada bahasa yang sudah mampu mengungkapkan sebagian besar pikiran

dan perasaan lebih dari bahasa yang lain, bukan karena bahasa itu lebih baik tetapi karena pemilik

dan pemakai bahasa sudah mampu menggali potensi bahasa itu lebih dari yang lain. Jadi yang

Page 4: Kata pengantar

lebih baik bukan bahasanya tetapi kemampuan manusianya. Semua bahasa hakikatnya sama,

yaitu sebagai alatkomunikasi.

Pendapat Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan bahwa bahasa menentukan perilaku

budaya manusia memang ada benarnya. Orang yang ketika berbicara menggunakan pilihan kata,

ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik menandakan bahwa kepribadian orang itu

memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun

berusaha berbahasa secara baik, benar,dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat tidak

mampu menutup-nutupi kepribadian buruknya sehingga muncul pilihan kata, ungkapan, atau

struktur kalimat yang tidak baik dan tidak santun.Dalam kesantunan berbahasa ada beberapa teori

yang mendasarinya yaitu teori Lakoff, teori Yueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice. Pada

makalah ini saya akan membahas contoh fenomena teori kesantunan menurut teori Pranowo di

lingkungan terminal. Hal ini dilatarbelakangi karena terlihat jelas kurangnya kesadaran masyarakat

akan kesantunan berbahasa khususnya di lingkungan terminal.

1.2  Rumusan Masalah

Topik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang kajianmengenai penggunaan bahasa

oleh masyarakat Indonesia saat ini berdasarkanteori-teori kesantunan yang telah dikemukakan

oleh beberapa tokoh seperti Lakoff, Yuego Gu, Grice dan Pranowo.

1.3 TujuanMahasiswa dapat membandingkan dan mengkaji penggunaan bahasa Indonesia dengan beberapa

teori kesantunan

BAB II PEMBAHASAN

 

Page 5: Kata pengantar

2.1 Definisi KesantunanFraser dalam Gunarwan (1994) mendefinisikan kesantunan adalah “property associated with

neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”. Dengan kata lain kesantunan adalah

properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si

penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.

Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu pertama, kesantunan itu

adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat

pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja

sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga si

pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga,

kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah

ujaran terdengar santun atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak

melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah di penutur memenuhi kewajibannya

kepada lawan bicaranya itu.

Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu

masyarakat tertentusehingga kesantunansekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh

perilaku sosial. Oleh karena itu,kesantunan ini biasa disebut µtatakrama.Berdasarkan pengertian

tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segidalam pergaulan sehari- hari. :

Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santunatau etiket

dalam pergaulan sehari- hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu

tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat

seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat

memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun

secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses

yang panjang inilebih mengekalkannilai yang diberikan kepadanya.

Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat,  tempatatau situasi

tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat atau situasi lain.Ketika seseorang

bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yangagak kasar dengan suara

Page 6: Kata pengantar

keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamuatau seseorang yang baru dikenal.

Mengecap atau mengunyah makanandengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan

dengan orang banyak di sebuah perjamuan,tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan

apabila dilakukan di rumah.

Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, sepertiantara anak dan

orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antaratuan rumah dan tamu,

antara pria dan wanita, antara murid dan guru, sebagainya.

Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat(bertindak) dan

cara bertutur (berbahasa).

 

2.2 Defenisi Kesantunan BerbahasaKesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan

kecerdasan emosional penuturnya karena didalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya

dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan

hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing- masing

peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan perkataan lain, baik penutur

maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka.Kesantunan (politeness),

kesopansantunan atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam

masyarakat. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda

verbalatau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya,tidak

hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan

unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dandipergunakannya suatu bahasa

dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma

budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong,

angkuh, tak acuh, egois, tidak  beradat, bahkan tidak berbudaya

Page 7: Kata pengantar

Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi(komunikator dan

komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus

mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui

tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam

komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut :

1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu

2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu

3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan

4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.

5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara.

6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.

Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok

masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang

Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang

Jawa berbeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa

Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri

seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya.Beberapa teori yang mendasari kesantunan

berbahasa yaitu teori Lakoff, teoriYueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice

 

2.3 Teori-teori Kesantunan BerbahasaA. Teori Lakoff Lakoff (1972)Lakoff yang dianggap sebagai ibu teori kesantunan, menghubungkan teorinya dengan teori

kerjasama dari Grice. Selain keempat teori yang telah disebutkan diatas, Lakoff juga

menambahkan beberapa prinsip yang diukur dengan parameter sosial. Dalam prinsip

Page 8: Kata pengantar

kesantunannya, menawarkan tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan menjadi santun. Ketiga

kaidah itu adalah :

1.Formalitas

Kaidah formalitas, dimaknai “jangan memaksa” atau “jangan angkuh”.Akibat logis dari kaidah itu

adalah bahwa tuturan yang memaksa dan angkuhmerupakan tuturan yang tidak santun. Tuturan

yang memaksa dan angkuh seperti”Bodoh, percuma kau belajar,” dapat melahirkan reaksi frontal

pada kejiwaan anak, yang eksesnya melahirkan bentuk perilaku yang menjengkelkan. Perilaku

semacam itu, sering menjadi sebab terjadinya KDRT.

2.Ketidaktegasan

Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya bertutur sedemikian rupa sehingga

mitra tuturnya dapat menentukan pilihan. Tuturan”Jika masih bersemangat dan ingin nilaimu baik,

rajin-rajinlah belajar,”sebenarnya merupakan tekanan dari si penutur (dalam konteks itu orang

tua)terhadap mitra tutur (anak). Namun, tekanan itu disampaikan dengan santunkarena

memberikan pilihan kepada anak, sehingga tidak tersinggung dan bersikap menjengkelkan..

3.Persamaan/kesekawanan

Kaidah persamaan/kesekawanan, menyarankan kepada penutur untuk  bertindak seolah-olah mitra

tuturnya itu sama, atau dengan kata lain membuatmitra tutur merasa senang. Ujaran “Nilai

rapormu lumayan baik, sebaik semangat belajarmu,” selain sebenarnya mengkritik juga

mengajarkankesantunan kepada anak.

Kesantunan dalam berbahasa menurut Lakoff meliputi :

1.Cara mengungkapkan jarak sosial dan hubungan peran yang berbeda dalamkomunikasi.

2.Penggunaan muka (face) dalam komunikasi, yaitu strategi kesantunan positif danstrategi

kesantunan negatif.

Page 9: Kata pengantar

B. Teori Gu (1990)Prinsip kesopanan Yuego Gu berdasar pada nilai kesantunan orang Cinayang mengaitkan

kesantunan dengan norma-norma masyarakat yang bermoral.Kesantunan dalam masyarakat Cina

terikat pada sangsi yang akan diberikan olehmasyarakat apabila kesantunan itu dilanggar dan

bersifat perspektif.

Teori kesantunan ini menekankan pada pemenuhan harapan masyarakat mengenaisikap hormat,

kerendahan hati dan ketulusan. Sehingga perilaku individu disesuaikan dengan harapan tersebut.

Kesantunan yang dianut di negara Cina hampir mirip dengan norma-norma sopan santun yang ada

pada masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia juga masih menjunjung nilai kesantunan.

Terutama di daerah pedesaan dan dikota-kota kecil. Apabila ada seseorang yang melanggar norma

maka orangtersebut juga akan mendapat sanksi dari masyarakat. Sanksi yang biasa diterapkan

adalah digunjingkan atau dikucilkan oleh masyarakat. Norma yang harus dipenuhi tidak hanya

terbatas pada perilaku tetapi juga pada tutur kata.Apabila ada seseorang tidak santun dalam

penggunaan bahasa maka orangtersebut akan dianggap tidak sopan dan akan dicap sebagai orang

yang kasar dantidak baik. .Hal tersebut masih sangat terasa di kota-kota kecil dan pinggiran.

Karena orangtua dan lingkungan mengajari untuk menggunakan bahasa yangsantun. Berbeda

dengan lingkungan di kota besar yang masyarakatnya cenderung tak acuh dan banyak orang tua

yang kurang memperhatikan tingkah laku anak-anaknya. Sehingga banyak anak dan remaja yang

tidak mengetahui cara berbahasa Indonesia yang santun

Berdasarkan kesantunan orang Cina, yaitu mengaitkan kesantunan dengan norma-norma

kemasyarakatan yang bermoral. Bersifat preskriptif dalam konsep Cina limao (politeness) dan

terikat pada ancaman sangsi moral dari masyarakat.

1. Nosi muka (face) di dalam konteks cina tidak dianggap sebagai keinginan (want) psikologis,

tetapi sebagai norma-norma kemasyarakatan.

2.Kesantunan tidak bersifat instrumental tetapi bersifat normatif.

3.Muka tidak terancam jika keinginan individu tidak terpenuhi, namun terancam jika individu gagal

memenuhi standar yang ditentukan masyarakat.

Page 10: Kata pengantar

Perilaku individu harus disesuaikan dengan harapan masyarakat mengenaisikap hormat

(respectfulness), sikap rendah hati (modesty), sikap hangat dan tulus(warmth and refinment).

 

 

Ada empat maksim dalam teori Gu:

a.Maksim denigrasi diri yaitu menuntut penutur untuk merendahkan diri danmeninggikan orang

lain.

b.Maksim sapaan yaitu sapalah lawan bicara anda dengan bentuk sapaan yangsesuai.

c.Maksim budi pertimbangan keuntungan nyata pada diri mitra tutur.

d.Maksim kedermawana yaitu tindak saling menjaga kesantunan atau pertimbangankeuntungan

antara penutur dan mitra tutur.

 

C.Teori Pranowo

Pranowo mengungkapkan teori mengenai tanda-tanda komunikasi yang tidak santun. Karena

komunikasi tidak santun sering kali terjadi meskipun ada banyak cara agar dapat berbahasa dan

berkomunikasi dengan santun. Tanda -tanda tersebut antara lain sebagai berikut (Sukmawan,

2009 : 7 ) :

1.Penutur menyatakan kritik secara langsung dan dengan kata -kata kasar.Dalam budaya

Indonesia, terutama budaya jawa selalu menekankan pada unggah- ungguh. Sehingga dalam

bertutur kata dengan orang lain harusdiberi penjelasan terlebih dahulu baru kemudian

mengungkapkan intinya.Sehingga mitra tutur bisa mengerti dan tidak tersinggung dengan apa

yangdituturkan. Apalagi jika hal itu berisi kritikan. Meskipun demikian, adaorang yang tidak

Page 11: Kata pengantar

menyukai hal yang tidak disampaikan secara langsung.Karena terkesan berputar – putar. Jadi lebih

baik jika kritik atau tutur katadisampaikan dengan penjelasan seperlunya dan tidak bertele – tele

sehinggamitra tutur tidak merasa sakit hati dan tidak merasa bosan. Akan tetapi tidak dapat

dipungkiri bahwa banyak masyarakat yang lebih sering secaralangsung mengungkapkan apa yang

dipikirannya.

2.Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur. Seringkali terjadi perselisihan dalam berkomunikasi

yang menimbulkan timbulnya emosi. Orang yangtidak dapat mengendalikan emosinya maka dapat

dipastikan pembicaraanakan berujung pada pertengkaran mulut. Jika demikian maka tutur kata

yangdikeluarkan oleh masing – masing penutur adalah tutur kata yang tidak sopan dan cenderung

kasar. Contoh paling umum yang terjadi adalah padaorang tua dan anak yang memiliki perbedaan

pendapat dan pada pasangan.Untuk itu diperlukan pengendalian emosi yang baik supaya

dapatmengendalikan tutur kata yang akan diucapkan. Sehingga tidak saling menyakiti.

3.Penutur protektif terhadap pendapatnya. Dalam mengeluarkan pendapat , baik dalam forum

formal maupun informal, ada beberapa orang yang terlalungotot dengan pendapatnya pribadi dan

tidak bisa menerima saran, kritik atau sanggahan dari orang lain. Orang yang demikian apabila

pendapatnyadisanggah maka akan menunjukkan raut muka yang tidak senang dan berujung pada

penggunaan tutur kata yang cenderung kasar dan tidak sopan.Meskipun banyak juga orang yang

masih mampu mengendalikan emosi jika pendapatnya disanggah.

4.Penutur sengaja memojokkan mitra tutur dalam bertuturu. Hal ini kadangterjadi jika seseorang

ingin memenangkan pendapatnya dan ingin dianggap benar mengenai pendapatnya tersebut.

Kasus yang lain terjadi pada saatinterogasi atau pada saat sidang. Penyidik atau pengacara

biasanyamemojokkan saksi atau tersangka untuk dapat mengetahui kebenarannya.Akan tetapi hal

ini biasanya diikuti dengan tindakan dan tutur kata yangkasar oleh penyidik dan menimbulkan

tekanan serta rasa tidak nyaman padamitra tuturnya.

5.Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.Hidup

bermasyarakat selalu didasarkan pada asas kepercayaan. Sekalikeprcayaan itu hilang maka sulit

untuk membangun kembali kepercayaantersebut. Dan bahkan akan menimbulkan rasa curiga.

Contohnya terjadi pada sepasang kekasih. Apabila salah satu pihak mengkhianati kepercayaan

Page 12: Kata pengantar

dari pihak lain maka pihak lain tersebut akan selalu menaruh curiga. Orang tersebut tidak akan

percaya dengan kata-kata pasangannya dan menanggapinya dengan sinis. Sehingga kata-kata

yang dikeluarkan juga menjadi kasar dan sinis

 

D.Teori GriceGrice (1978) mengidentifikasi bahwa komunikasi secara santun harus memperhatikan prinsip kerja

sama. Ketika berkomunikasi, seorang penutur harus memperhatikan :

1.Prinsip kualitas

Jika seseorang menyampaikan informasi kepada orang lain, informasiyang diberikan harus di

dukung dengan data. Dengan dukungan data yangada maka informasi tersebut akan lebih sah dan

memang benar adanya.Sehingga lawan bicara tidak merasa tertipu. Prinsip ini sulit diterapkan

dandilanggar karena memiliki kesan sedikit kaku. Dan mungkin akanmembatasi komunikasi antara

satu orang dengan yang lainnya.

2.Prinsip kuantitas

Artinya kerika berkomunikasi dengan orang lain, yang dikomunikasikan harus sesuai dengan yang

diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang. Prinsip ini menuntut agar seseorang memberi sesuatu

sesuai yang diminta oleh lawan bicara. Misalnya jika lawan bicara menginginkan diberi 1 Kg gula

maka gula yang diberikan juga harus 1 Kg dan tidak dikurangi.Saat ini banyak pedagang yang

melanggar prinsip kuantitas dan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan

pelanggan. Hal inidimaksudkan agar pedagang tersebut memperoleh lebih banyak keuntungan.

Saat ini cukup sulit untuk bisa menerapkan prinsip ini. Karena gayahidup saat ini yang cukup sulit

sehingga banyak orang yang bertutur katadan member informasi yag terkadang kurang dan

bahkan dilebih – lebihkan.Hal ini hanya dimaksudkan agar orang tersebut dipandang sebagai

orangyang pintar dan untuk memperoleh keinginan pribadi.

Page 13: Kata pengantar

3.Prinsip relevansi (hubungan)

Prinsip ini bermakna ketika berkomunikasi dengan orang lain maka harus relevan dan berkaitan

dengan apa yang dibicarakan oleh lawan bicara.Apabila dipikir dengan logika, hal ini memang

benar adanya. Karena percakapan yang tidak relevan dan tidak nyambung tidak akan

menghasilkan apa-apa. Dan malah akan menimbulkan perasaan tidak nyaman pada lawan

bicara.Contoh kasus yang kadang terjadi adalah apabila ada dua orang yangsedang berbicara dan

ada orang lain yang hanya mendengarkan sebagiandan tiba-tiba menanggapi hal tersebut dan

tanggapannya ternyata tidak relevan dengan yang dibicarakan. Kasus yang lain terjadi karena

pembicarakurang jelas dalam menyampaikan apa yang ingin dibicarakan. Sehingga terkadang

lawan bicara menanggapi dengan berbeda

4. Prinsip cara

Prinsip ini berarti ketika berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain harus lah memperhatikan

cara penyampaian. Tidak semua orang dapat menerima cara berbicara yang sama. Orang yang

sensitif tidak bisa diajak  bicara dengan kasar. Tutur kata yang digunakan juga harus dipilih

agar orang tersebut tidak merasa tersinggung. Cara penyampaian informasi kepada orang yang

lebih tua dan kepada orang yang sebaya atau yang lebihmuda juga harus berbeda. Kepada orang

yang lebih tua, cara bicara yangdigunakan haruslah penuh dengan rasa hormat dan halus.

Meskipun saat ini banyak anak, remaja dan kaum muda yang kurang memperhatikan cara bertutur

dengan orang yang lebih tua.Contoh kasusnya adalah mahasiswa yang ingin bertemu dengan

dosen pembimbingnya. Seringkali mereka kurang sopan dalam menyampaikan keinginannya

tersebut karena mereka menyamakan berkomunikasi dengan dosen dan berkomunikasi dengan

teman. Hal ini menyebabkan banyak dosen yang merasa tersinggung dan mungkin tidak

menanggapi mahasiswatersebut. Kasus seperti ini dapat terjadi antara lain karena dengan

orangtuanya sendiri mahasiswa tersebut kurang benar cara berbicara dan menganggap seperti

berbicara dengan teman.

Selain keempat prinsip diatas, Grice juga memberikan beberapa pedoman untuk memperlakukan

mitra tutur yaitu sebagai berikut (Sukmawan,2009 : 3 ) :

Page 14: Kata pengantar

1. Jangan memperlakukan mitra tutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur

2. Jangan mengatakan hal -hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang

yang ada kaitannya dengan mitra tutur

3. Jangan mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur sehinggamitra tutur merasa

jatuh harga dirinya

4. Jangan memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihandiri sendiri

5. Maksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur

6. Minimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur dan maksimalkan rasasenang

Prinsip-prinsip kerjasama yang dikemukakan oleh Grice sering kali dilanggar dan diabaikan. Hal ini

dikarenakan kondisi yang memungkinkan untuk memenuhi keempat prinsip tersebut tidak selalu

ada. Bahkan saat ini semakin sulit untuk ditemui. Penyebabnya karena ada keadaan tertentu yang

secara sengaja dilakukan oleh penutur untuk tidak memenuhi prinsip tersebut

Contoh Fenomena Kesantunan Berbahasa Menurut Teori Pranowo

“ Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Terminal “

Mendengar kata pedagang asongan, supir, kondektur, dan calo mungkin sudah tak asing lagi di

telinga kita. Pedagang asongan adalah para pedagang yang biasa menjajakan dagangannya di

sekitar terminal dan di dalam bus-bus. Mereka selalu berupaya untuk menarik pembeli agar

membeli dagangannya, yang kadang juga suka terlihat agak memaksa. Supir adalah para

pengemudi bus atau angkot yang selalu terlihat di lingkungan terminal. Kondektur adalah orang

yang membantu supir untuk menarik penumpang ke dalam angkot atau bus, sedangkan calo

adalah perantara atau reseller.Kata calo kadang bersifat negatif karena apa yang calo lakukan

adalah menggunakan kesempitan orang menjadi suatu kesempatan. Calo juga identik dengan

preman atau penguasa daerah tertentu yang sudah menjadi objek pencariannya.

Di lingkungan terminal, kita terkadang sering mendengar pembicaraan yang diucapkan oleh

pedagang asongan, supir, kondektur, dan para calo yang sering mengucapkan kata-kata kasar.

Penulis sendiri pernah melihat bagaimana para supir angkot atau bus dengan wajah ‘terpaksa’

Page 15: Kata pengantar

memberi sejumlah persenan kepada calo. Mungkin bagi sebagian orang hal yang dilakukan para

calo itu biasa saja, sehingga mereka pantas menerima sejumlah uang.

Lalu apa yang akan terjadi jika para supir dan kondektur tersebut tidak memberikan uang yang

tidak sesuai dengan keinginan para calo. Yang terjadi selanjutnya adalah teriakan kata-kata

makian atau kata-kata kasar (sarkasme) yang keluar dari mulut calo tersebut kepada supir dan

kondektur. Sarkasme yang keluar dari mulut calo-calo itu biasanya adalah nama-nama binatang

seperti ‘anjing’, ‘monyet’, ‘babi’ dan sebagainya. Jika supir tidak menerima perkataan yang

dilontarkan calo kadang-kadang mereka pun membalas dengan makian yang lebih kasar, sehingga

sering terjadi “adu mulut” antara para calo, supir, dan kondektur. Hal ini juga sering diikuti oleh

pedagang asongan yang sering menambah suasana menjadi ricuh.

Salah satu fenomena kebahasaan yang penulis dapatkan adalah tuturan yang diucapkan oleh

salah satu calo dan supir angkot di terminal Cicaheum :

Supir : “Yeuh duitna, dua rebu nya?”

Calo : “ Anjing maneh mah ngan sakieu!”

Supir : “ Terus mentana sabaraha? Urang ge can nyetor, teu boga duit sia!”

Calo : “ Mbung nyaho aing mah, sarebu deui atuh!”

Supir : “ Lebok tah duitna, blegug maneh mah!”

Calo : “Eh…dasar supir monyet”.

Fenomena kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa kalimat realisasi kesantunan berbahasa

yang diucapkan oleh calo dan supir angkot di terminal Cicaheum. Penulis akan meneliti fenomena

kebahasaan yang terjadi pada tiga bahasa, yaitu bahasa Sunda, bahasa Jawa (Cirebon), dan

bahasa Indonesia. Banyak hal yang membuat kata-kata kasar keluar dari pemakainya. Sarkasme

itu sendiri kadang bisa memancing kemarahan orang yang dituju, tapi kadang juga tidak

berpengaruh karena itu sudah menjadi hal yang lumrah untuk keduanya.

Dilihat dari sudut penuturnya, bahasa itu berfungsi personal atau pribadi

(Halliday 1973; Finnocchiaro 1974; Jakobson1960 menyebutkan fungsi emotif). Maksudnya, si

penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya

mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu

Page 16: Kata pengantar

menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si

penutur sedih, marah, atau gembira.

Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur

tingkah laku pendengar (Finnocchiaro 1974; Halliday 1973 menyebutkan

fungsi instrumental; dan Jakobson 1960 menyebutkan fungsi retorikal). Disini bahasa itu tidak

hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan

yang dimaui si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-

kalimat yang menyatakan perintah, imbauan, permintaan maupun rayuan.

Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini berfungsi fatik

(Jakobson 1960;Finnocchiaro 1974 menyebutkan interpersonal; dan Halliday 1973

menyebutkan interactional), yaitu fungsi menjadi hubungan, memelihara, memperlihatkan

perasaan bersahabat, atau solidaritas nasional.Dalam masyarakat, bahasa yang digunakan dalam

berkomunikasi sangat beragam. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya

disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena interaksi sosial yang

mereka lakukan beragam.

Berbahasa adalah aktivitas sosial. Di dalam berbahasa juga terdapat etika komunikasi, dan di

dalam etika komunikasi itu sendiri terdapat moral. Moral mempunyai pengertian yang sama

dengan kesusilaan yang memuat ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu

dinilai sebagai perbuatan yang baik atau buruk (Burhanudin Salam, 2001:102). Etika juga bisa

diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana

yang dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri juga sering digunakan dengan kata moral,

susila, budi pekerti dan akhlak (Burhanudin Salam, 2001:102).

Sementara itu, secara sederhana Prof. I. R. Poedjowijatna (1986), mengatakan bahwa sasaran etika

khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja. Dengan demikian,

dapat disimpulkan bahwa realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal banyak yang

tidak mengandung etika. Dalam berkomunikasi, tidak akan pernah lepas dengan adanya pola

berbahasa yang diucapkan kasar, baik berupa olok-olok atau sindiran yang menyakitkan hati.

Seperti tuturan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur tidak

mengandung unsur kesantunan berbahasa. Misal, mudah marah, kata-katanya kasar, dan bersifat

memaksa saat meminta uang karena mereka merasa penguasa tempat tersebut.

Page 17: Kata pengantar

Suparno menjelaskan dalam artikelnya, bahwa ragam bahasa yang tidak santun ini menjadi hal

yang lazim diucapkan. Sarkasisasi tersebut justru menjadikan keakraban tanpa sekat strata,

sehingga mereka yang menggunakan ragam bahasa tersebut dapat menikmatinya dengan senang

dan bangga hati.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 18: Kata pengantar

 

 

BAB III  PENUTUP3.1 KesimpulanDalam berkomunikasi dengan orang lain hendaknya mempunyai sopan santun, sehingga orang

yang berkomunikasi dengan kita akan terasa nyaman dan senang. Berbicara santun tidak harus

dengan menggunakan bahasa baku, karena belum tentu menurut orang kita berbicara dengan

santun. Banyak teori yang telah menyebutkan mengenai cara-cara bertutur kata yang santun

dengan orang lain. Meskipun demikian,  masih terdapat beberapa orangyang dengan sengaja

maupun tidak sengaja bertutur kata yang tidak sopan dan kasar terhadap orang lain. Apalagi

dengan gaya hidup yang ada saat ini. Ada pun teori dari beberapa pakar yang menjelaskan

tentang bagaimana berbicara dengan santun, yang antara lain di kemukaan Lakoff, YueguoGu,

Pranowo dan Grice. Teori yang mereka kemukakan tidak menyebutkan bahwa berbicara yang

santun harus dengan bahasa baku, tetapi mereka menjelaskan  kesantunan dalam berbicara ini

dengan aspek-aspek yang sesuai dengan kehidupan sehari-sehari sehingga mudah untuk kita

terapkan.

3.2 SaranDengan adanya makalah ini, diharapkan agar para pembaca dapat menggunakan bahasa

Indonesia yang baik dimana pun mereka berada.

Dalam penulisan makalah ini, banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu saya sangat

mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca khususnya dari Bapak Moh. Fatoni selaku dosen

Bahasa Indonesia saya. Mohon maaf Pak jika isi makalah saya tanpa sengaja terdapat beberapa

kesamaan dengan beberapa teman yang lain. Itu merupakan unsur ketidaksengajaan kami, karena

kata kunci yang digunakan di internet kemungkinan sama dan buku yang kami pinjam dari

perpustakaan sama

Page 19: Kata pengantar

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, A. S. 1993.Kajian Tindak Tutur.Surabaya: Usaha Nasional

Jasmine. 2010. Prinsip Kerja Sama dan Kesantunan,

(online),(http://jasminealmaghribi.blogspot.com/2010/02/prinsip-kerja-sama-n-kesantunan.html,

diakses 10 Juni 2012)

Pranowo, dkk. 2004.Kesantunan Berbahasa para Politisi di Media Massa. Yogyakarta :Universitas

Sanata Dharma

Sukmawan,sony. 2009 . Simfoni Bahasa Indones ia . Malang:Universitas Brawijaya

Wahab, Abdul. 1995.Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya : AirlanggaUniversity

Press.

Warsito.2010. Prinsip Sopan Santun (Macam – macam

Maksim).http:// blogewongbledug.blogspot.com /2010/03/prinsip-sopan-santun-macam-macam

maksim.html, diakses  10 Juni 2012

 

 Name (required)

 Mail (will not be published) (required)

 Website

Page 20: Kata pengantar

 CAPTCHA Code *newer posts

older posts

Submit Comment