Kata pengantar
-
Upload
fikri-bogi-bogi -
Category
Documents
-
view
1.435 -
download
0
Transcript of Kata pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun
dapat menyelesaikan makalah Bahasa Indonesia “Pengaplikasian Teori Kesantunan Di Sekitar Kita”
ini dengan lancar dan tepat waktu.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Moh.Fatoni sebagai dosen mata kuliah Bahasa
Indonesia, yang telah membimbing dan menasehati penyusun dalam penyusunan makalah ini.
Pada dasarnya, makalah ini disusun untuk memenuhi tugas akhir Bahasa Indonesia.Semoga
makalah ini dapat bermanfat bagi pembaca dan mulai menerapkan kesantunan dalam berbahasa
di kehidupan sehari-hari.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangannya. Oleh karena itu,
penyusun menerima kritik dan saran dari pembaca, untuk penyempurnaan dalam penyusunan
makalah selanjutnya. Semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Malang, Juni 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.. 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN.. 3
1.1 Latar Belakang. 3
1.2 Rumusan Masalah. 3
1.3.Tujuan. 4
BAB II PEMBAHASAN.. 4
2.1 Definisi Kesantunan. 5
2.2 Defenisi Kesantunan Berbahasa. 6
2.3 Teori-teori Kesantunan Berbahasa. 7
A. Teori Lakoff Lakoff (1972) 7
B. Teori Gu (1990) 8
C.Teori Pranowo. 10
D.Teori Grice. 11
BAB III PENUTUP. 18
3.1 Kesimpulan. 18
3.2 Saran. 18
DAFTAR PUSTAKA.. 19
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada hakikatnya, bahasa yang dimiliki dan digunakan oleh manusia tidak ada yang lebih baik atau
lebih buruk. Seandainya ada bahasa yang sudah mampu mengungkapkan sebagian besar pikiran
dan perasaan lebih dari bahasa yang lain, bukan karena bahasa itu lebih baik tetapi karena pemilik
dan pemakai bahasa sudah mampu menggali potensi bahasa itu lebih dari yang lain. Jadi yang
lebih baik bukan bahasanya tetapi kemampuan manusianya. Semua bahasa hakikatnya sama,
yaitu sebagai alatkomunikasi.
Pendapat Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan bahwa bahasa menentukan perilaku
budaya manusia memang ada benarnya. Orang yang ketika berbicara menggunakan pilihan kata,
ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik menandakan bahwa kepribadian orang itu
memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun
berusaha berbahasa secara baik, benar,dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat tidak
mampu menutup-nutupi kepribadian buruknya sehingga muncul pilihan kata, ungkapan, atau
struktur kalimat yang tidak baik dan tidak santun.Dalam kesantunan berbahasa ada beberapa teori
yang mendasarinya yaitu teori Lakoff, teori Yueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice. Pada
makalah ini saya akan membahas contoh fenomena teori kesantunan menurut teori Pranowo di
lingkungan terminal. Hal ini dilatarbelakangi karena terlihat jelas kurangnya kesadaran masyarakat
akan kesantunan berbahasa khususnya di lingkungan terminal.
1.2 Rumusan Masalah
Topik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang kajianmengenai penggunaan bahasa
oleh masyarakat Indonesia saat ini berdasarkanteori-teori kesantunan yang telah dikemukakan
oleh beberapa tokoh seperti Lakoff, Yuego Gu, Grice dan Pranowo.
1.3 TujuanMahasiswa dapat membandingkan dan mengkaji penggunaan bahasa Indonesia dengan beberapa
teori kesantunan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi KesantunanFraser dalam Gunarwan (1994) mendefinisikan kesantunan adalah “property associated with
neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”. Dengan kata lain kesantunan adalah
properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si
penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.
Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu pertama, kesantunan itu
adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat
pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja
sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga si
pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga,
kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah
ujaran terdengar santun atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak
melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah di penutur memenuhi kewajibannya
kepada lawan bicaranya itu.
Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu
masyarakat tertentusehingga kesantunansekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh
perilaku sosial. Oleh karena itu,kesantunan ini biasa disebut µtatakrama.Berdasarkan pengertian
tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segidalam pergaulan sehari- hari. :
Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santunatau etiket
dalam pergaulan sehari- hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu
tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat
seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat
memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun
secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses
yang panjang inilebih mengekalkannilai yang diberikan kepadanya.
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempatatau situasi
tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat atau situasi lain.Ketika seseorang
bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yangagak kasar dengan suara
keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamuatau seseorang yang baru dikenal.
Mengecap atau mengunyah makanandengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan
dengan orang banyak di sebuah perjamuan,tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan
apabila dilakukan di rumah.
Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, sepertiantara anak dan
orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antaratuan rumah dan tamu,
antara pria dan wanita, antara murid dan guru, sebagainya.
Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat(bertindak) dan
cara bertutur (berbahasa).
2.2 Defenisi Kesantunan BerbahasaKesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosional penuturnya karena didalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya
dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan
hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing- masing
peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan perkataan lain, baik penutur
maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka.Kesantunan (politeness),
kesopansantunan atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda
verbalatau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya,tidak
hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan
unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dandipergunakannya suatu bahasa
dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma
budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong,
angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya
Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi(komunikator dan
komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus
mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui
tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam
komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut :
1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu
2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu
3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan
4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara.
6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.
Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok
masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang
Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang
Jawa berbeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri
seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya.Beberapa teori yang mendasari kesantunan
berbahasa yaitu teori Lakoff, teoriYueguo Gu, teori Pranowo dan teori Grice
2.3 Teori-teori Kesantunan BerbahasaA. Teori Lakoff Lakoff (1972)Lakoff yang dianggap sebagai ibu teori kesantunan, menghubungkan teorinya dengan teori
kerjasama dari Grice. Selain keempat teori yang telah disebutkan diatas, Lakoff juga
menambahkan beberapa prinsip yang diukur dengan parameter sosial. Dalam prinsip
kesantunannya, menawarkan tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan menjadi santun. Ketiga
kaidah itu adalah :
1.Formalitas
Kaidah formalitas, dimaknai “jangan memaksa” atau “jangan angkuh”.Akibat logis dari kaidah itu
adalah bahwa tuturan yang memaksa dan angkuhmerupakan tuturan yang tidak santun. Tuturan
yang memaksa dan angkuh seperti”Bodoh, percuma kau belajar,” dapat melahirkan reaksi frontal
pada kejiwaan anak, yang eksesnya melahirkan bentuk perilaku yang menjengkelkan. Perilaku
semacam itu, sering menjadi sebab terjadinya KDRT.
2.Ketidaktegasan
Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya bertutur sedemikian rupa sehingga
mitra tuturnya dapat menentukan pilihan. Tuturan”Jika masih bersemangat dan ingin nilaimu baik,
rajin-rajinlah belajar,”sebenarnya merupakan tekanan dari si penutur (dalam konteks itu orang
tua)terhadap mitra tutur (anak). Namun, tekanan itu disampaikan dengan santunkarena
memberikan pilihan kepada anak, sehingga tidak tersinggung dan bersikap menjengkelkan..
3.Persamaan/kesekawanan
Kaidah persamaan/kesekawanan, menyarankan kepada penutur untuk bertindak seolah-olah mitra
tuturnya itu sama, atau dengan kata lain membuatmitra tutur merasa senang. Ujaran “Nilai
rapormu lumayan baik, sebaik semangat belajarmu,” selain sebenarnya mengkritik juga
mengajarkankesantunan kepada anak.
Kesantunan dalam berbahasa menurut Lakoff meliputi :
1.Cara mengungkapkan jarak sosial dan hubungan peran yang berbeda dalamkomunikasi.
2.Penggunaan muka (face) dalam komunikasi, yaitu strategi kesantunan positif danstrategi
kesantunan negatif.
B. Teori Gu (1990)Prinsip kesopanan Yuego Gu berdasar pada nilai kesantunan orang Cinayang mengaitkan
kesantunan dengan norma-norma masyarakat yang bermoral.Kesantunan dalam masyarakat Cina
terikat pada sangsi yang akan diberikan olehmasyarakat apabila kesantunan itu dilanggar dan
bersifat perspektif.
Teori kesantunan ini menekankan pada pemenuhan harapan masyarakat mengenaisikap hormat,
kerendahan hati dan ketulusan. Sehingga perilaku individu disesuaikan dengan harapan tersebut.
Kesantunan yang dianut di negara Cina hampir mirip dengan norma-norma sopan santun yang ada
pada masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia juga masih menjunjung nilai kesantunan.
Terutama di daerah pedesaan dan dikota-kota kecil. Apabila ada seseorang yang melanggar norma
maka orangtersebut juga akan mendapat sanksi dari masyarakat. Sanksi yang biasa diterapkan
adalah digunjingkan atau dikucilkan oleh masyarakat. Norma yang harus dipenuhi tidak hanya
terbatas pada perilaku tetapi juga pada tutur kata.Apabila ada seseorang tidak santun dalam
penggunaan bahasa maka orangtersebut akan dianggap tidak sopan dan akan dicap sebagai orang
yang kasar dantidak baik. .Hal tersebut masih sangat terasa di kota-kota kecil dan pinggiran.
Karena orangtua dan lingkungan mengajari untuk menggunakan bahasa yangsantun. Berbeda
dengan lingkungan di kota besar yang masyarakatnya cenderung tak acuh dan banyak orang tua
yang kurang memperhatikan tingkah laku anak-anaknya. Sehingga banyak anak dan remaja yang
tidak mengetahui cara berbahasa Indonesia yang santun
Berdasarkan kesantunan orang Cina, yaitu mengaitkan kesantunan dengan norma-norma
kemasyarakatan yang bermoral. Bersifat preskriptif dalam konsep Cina limao (politeness) dan
terikat pada ancaman sangsi moral dari masyarakat.
1. Nosi muka (face) di dalam konteks cina tidak dianggap sebagai keinginan (want) psikologis,
tetapi sebagai norma-norma kemasyarakatan.
2.Kesantunan tidak bersifat instrumental tetapi bersifat normatif.
3.Muka tidak terancam jika keinginan individu tidak terpenuhi, namun terancam jika individu gagal
memenuhi standar yang ditentukan masyarakat.
Perilaku individu harus disesuaikan dengan harapan masyarakat mengenaisikap hormat
(respectfulness), sikap rendah hati (modesty), sikap hangat dan tulus(warmth and refinment).
Ada empat maksim dalam teori Gu:
a.Maksim denigrasi diri yaitu menuntut penutur untuk merendahkan diri danmeninggikan orang
lain.
b.Maksim sapaan yaitu sapalah lawan bicara anda dengan bentuk sapaan yangsesuai.
c.Maksim budi pertimbangan keuntungan nyata pada diri mitra tutur.
d.Maksim kedermawana yaitu tindak saling menjaga kesantunan atau pertimbangankeuntungan
antara penutur dan mitra tutur.
C.Teori Pranowo
Pranowo mengungkapkan teori mengenai tanda-tanda komunikasi yang tidak santun. Karena
komunikasi tidak santun sering kali terjadi meskipun ada banyak cara agar dapat berbahasa dan
berkomunikasi dengan santun. Tanda -tanda tersebut antara lain sebagai berikut (Sukmawan,
2009 : 7 ) :
1.Penutur menyatakan kritik secara langsung dan dengan kata -kata kasar.Dalam budaya
Indonesia, terutama budaya jawa selalu menekankan pada unggah- ungguh. Sehingga dalam
bertutur kata dengan orang lain harusdiberi penjelasan terlebih dahulu baru kemudian
mengungkapkan intinya.Sehingga mitra tutur bisa mengerti dan tidak tersinggung dengan apa
yangdituturkan. Apalagi jika hal itu berisi kritikan. Meskipun demikian, adaorang yang tidak
menyukai hal yang tidak disampaikan secara langsung.Karena terkesan berputar – putar. Jadi lebih
baik jika kritik atau tutur katadisampaikan dengan penjelasan seperlunya dan tidak bertele – tele
sehinggamitra tutur tidak merasa sakit hati dan tidak merasa bosan. Akan tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa banyak masyarakat yang lebih sering secaralangsung mengungkapkan apa yang
dipikirannya.
2.Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur. Seringkali terjadi perselisihan dalam berkomunikasi
yang menimbulkan timbulnya emosi. Orang yangtidak dapat mengendalikan emosinya maka dapat
dipastikan pembicaraanakan berujung pada pertengkaran mulut. Jika demikian maka tutur kata
yangdikeluarkan oleh masing – masing penutur adalah tutur kata yang tidak sopan dan cenderung
kasar. Contoh paling umum yang terjadi adalah padaorang tua dan anak yang memiliki perbedaan
pendapat dan pada pasangan.Untuk itu diperlukan pengendalian emosi yang baik supaya
dapatmengendalikan tutur kata yang akan diucapkan. Sehingga tidak saling menyakiti.
3.Penutur protektif terhadap pendapatnya. Dalam mengeluarkan pendapat , baik dalam forum
formal maupun informal, ada beberapa orang yang terlalungotot dengan pendapatnya pribadi dan
tidak bisa menerima saran, kritik atau sanggahan dari orang lain. Orang yang demikian apabila
pendapatnyadisanggah maka akan menunjukkan raut muka yang tidak senang dan berujung pada
penggunaan tutur kata yang cenderung kasar dan tidak sopan.Meskipun banyak juga orang yang
masih mampu mengendalikan emosi jika pendapatnya disanggah.
4.Penutur sengaja memojokkan mitra tutur dalam bertuturu. Hal ini kadangterjadi jika seseorang
ingin memenangkan pendapatnya dan ingin dianggap benar mengenai pendapatnya tersebut.
Kasus yang lain terjadi pada saatinterogasi atau pada saat sidang. Penyidik atau pengacara
biasanyamemojokkan saksi atau tersangka untuk dapat mengetahui kebenarannya.Akan tetapi hal
ini biasanya diikuti dengan tindakan dan tutur kata yangkasar oleh penyidik dan menimbulkan
tekanan serta rasa tidak nyaman padamitra tuturnya.
5.Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.Hidup
bermasyarakat selalu didasarkan pada asas kepercayaan. Sekalikeprcayaan itu hilang maka sulit
untuk membangun kembali kepercayaantersebut. Dan bahkan akan menimbulkan rasa curiga.
Contohnya terjadi pada sepasang kekasih. Apabila salah satu pihak mengkhianati kepercayaan
dari pihak lain maka pihak lain tersebut akan selalu menaruh curiga. Orang tersebut tidak akan
percaya dengan kata-kata pasangannya dan menanggapinya dengan sinis. Sehingga kata-kata
yang dikeluarkan juga menjadi kasar dan sinis
D.Teori GriceGrice (1978) mengidentifikasi bahwa komunikasi secara santun harus memperhatikan prinsip kerja
sama. Ketika berkomunikasi, seorang penutur harus memperhatikan :
1.Prinsip kualitas
Jika seseorang menyampaikan informasi kepada orang lain, informasiyang diberikan harus di
dukung dengan data. Dengan dukungan data yangada maka informasi tersebut akan lebih sah dan
memang benar adanya.Sehingga lawan bicara tidak merasa tertipu. Prinsip ini sulit diterapkan
dandilanggar karena memiliki kesan sedikit kaku. Dan mungkin akanmembatasi komunikasi antara
satu orang dengan yang lainnya.
2.Prinsip kuantitas
Artinya kerika berkomunikasi dengan orang lain, yang dikomunikasikan harus sesuai dengan yang
diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang. Prinsip ini menuntut agar seseorang memberi sesuatu
sesuai yang diminta oleh lawan bicara. Misalnya jika lawan bicara menginginkan diberi 1 Kg gula
maka gula yang diberikan juga harus 1 Kg dan tidak dikurangi.Saat ini banyak pedagang yang
melanggar prinsip kuantitas dan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan
pelanggan. Hal inidimaksudkan agar pedagang tersebut memperoleh lebih banyak keuntungan.
Saat ini cukup sulit untuk bisa menerapkan prinsip ini. Karena gayahidup saat ini yang cukup sulit
sehingga banyak orang yang bertutur katadan member informasi yag terkadang kurang dan
bahkan dilebih – lebihkan.Hal ini hanya dimaksudkan agar orang tersebut dipandang sebagai
orangyang pintar dan untuk memperoleh keinginan pribadi.
3.Prinsip relevansi (hubungan)
Prinsip ini bermakna ketika berkomunikasi dengan orang lain maka harus relevan dan berkaitan
dengan apa yang dibicarakan oleh lawan bicara.Apabila dipikir dengan logika, hal ini memang
benar adanya. Karena percakapan yang tidak relevan dan tidak nyambung tidak akan
menghasilkan apa-apa. Dan malah akan menimbulkan perasaan tidak nyaman pada lawan
bicara.Contoh kasus yang kadang terjadi adalah apabila ada dua orang yangsedang berbicara dan
ada orang lain yang hanya mendengarkan sebagiandan tiba-tiba menanggapi hal tersebut dan
tanggapannya ternyata tidak relevan dengan yang dibicarakan. Kasus yang lain terjadi karena
pembicarakurang jelas dalam menyampaikan apa yang ingin dibicarakan. Sehingga terkadang
lawan bicara menanggapi dengan berbeda
4. Prinsip cara
Prinsip ini berarti ketika berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain harus lah memperhatikan
cara penyampaian. Tidak semua orang dapat menerima cara berbicara yang sama. Orang yang
sensitif tidak bisa diajak bicara dengan kasar. Tutur kata yang digunakan juga harus dipilih
agar orang tersebut tidak merasa tersinggung. Cara penyampaian informasi kepada orang yang
lebih tua dan kepada orang yang sebaya atau yang lebihmuda juga harus berbeda. Kepada orang
yang lebih tua, cara bicara yangdigunakan haruslah penuh dengan rasa hormat dan halus.
Meskipun saat ini banyak anak, remaja dan kaum muda yang kurang memperhatikan cara bertutur
dengan orang yang lebih tua.Contoh kasusnya adalah mahasiswa yang ingin bertemu dengan
dosen pembimbingnya. Seringkali mereka kurang sopan dalam menyampaikan keinginannya
tersebut karena mereka menyamakan berkomunikasi dengan dosen dan berkomunikasi dengan
teman. Hal ini menyebabkan banyak dosen yang merasa tersinggung dan mungkin tidak
menanggapi mahasiswatersebut. Kasus seperti ini dapat terjadi antara lain karena dengan
orangtuanya sendiri mahasiswa tersebut kurang benar cara berbicara dan menganggap seperti
berbicara dengan teman.
Selain keempat prinsip diatas, Grice juga memberikan beberapa pedoman untuk memperlakukan
mitra tutur yaitu sebagai berikut (Sukmawan,2009 : 3 ) :
1. Jangan memperlakukan mitra tutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur
2. Jangan mengatakan hal -hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang
yang ada kaitannya dengan mitra tutur
3. Jangan mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur sehinggamitra tutur merasa
jatuh harga dirinya
4. Jangan memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihandiri sendiri
5. Maksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur
6. Minimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur dan maksimalkan rasasenang
Prinsip-prinsip kerjasama yang dikemukakan oleh Grice sering kali dilanggar dan diabaikan. Hal ini
dikarenakan kondisi yang memungkinkan untuk memenuhi keempat prinsip tersebut tidak selalu
ada. Bahkan saat ini semakin sulit untuk ditemui. Penyebabnya karena ada keadaan tertentu yang
secara sengaja dilakukan oleh penutur untuk tidak memenuhi prinsip tersebut
Contoh Fenomena Kesantunan Berbahasa Menurut Teori Pranowo
“ Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Terminal “
Mendengar kata pedagang asongan, supir, kondektur, dan calo mungkin sudah tak asing lagi di
telinga kita. Pedagang asongan adalah para pedagang yang biasa menjajakan dagangannya di
sekitar terminal dan di dalam bus-bus. Mereka selalu berupaya untuk menarik pembeli agar
membeli dagangannya, yang kadang juga suka terlihat agak memaksa. Supir adalah para
pengemudi bus atau angkot yang selalu terlihat di lingkungan terminal. Kondektur adalah orang
yang membantu supir untuk menarik penumpang ke dalam angkot atau bus, sedangkan calo
adalah perantara atau reseller.Kata calo kadang bersifat negatif karena apa yang calo lakukan
adalah menggunakan kesempitan orang menjadi suatu kesempatan. Calo juga identik dengan
preman atau penguasa daerah tertentu yang sudah menjadi objek pencariannya.
Di lingkungan terminal, kita terkadang sering mendengar pembicaraan yang diucapkan oleh
pedagang asongan, supir, kondektur, dan para calo yang sering mengucapkan kata-kata kasar.
Penulis sendiri pernah melihat bagaimana para supir angkot atau bus dengan wajah ‘terpaksa’
memberi sejumlah persenan kepada calo. Mungkin bagi sebagian orang hal yang dilakukan para
calo itu biasa saja, sehingga mereka pantas menerima sejumlah uang.
Lalu apa yang akan terjadi jika para supir dan kondektur tersebut tidak memberikan uang yang
tidak sesuai dengan keinginan para calo. Yang terjadi selanjutnya adalah teriakan kata-kata
makian atau kata-kata kasar (sarkasme) yang keluar dari mulut calo tersebut kepada supir dan
kondektur. Sarkasme yang keluar dari mulut calo-calo itu biasanya adalah nama-nama binatang
seperti ‘anjing’, ‘monyet’, ‘babi’ dan sebagainya. Jika supir tidak menerima perkataan yang
dilontarkan calo kadang-kadang mereka pun membalas dengan makian yang lebih kasar, sehingga
sering terjadi “adu mulut” antara para calo, supir, dan kondektur. Hal ini juga sering diikuti oleh
pedagang asongan yang sering menambah suasana menjadi ricuh.
Salah satu fenomena kebahasaan yang penulis dapatkan adalah tuturan yang diucapkan oleh
salah satu calo dan supir angkot di terminal Cicaheum :
Supir : “Yeuh duitna, dua rebu nya?”
Calo : “ Anjing maneh mah ngan sakieu!”
Supir : “ Terus mentana sabaraha? Urang ge can nyetor, teu boga duit sia!”
Calo : “ Mbung nyaho aing mah, sarebu deui atuh!”
Supir : “ Lebok tah duitna, blegug maneh mah!”
Calo : “Eh…dasar supir monyet”.
Fenomena kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa kalimat realisasi kesantunan berbahasa
yang diucapkan oleh calo dan supir angkot di terminal Cicaheum. Penulis akan meneliti fenomena
kebahasaan yang terjadi pada tiga bahasa, yaitu bahasa Sunda, bahasa Jawa (Cirebon), dan
bahasa Indonesia. Banyak hal yang membuat kata-kata kasar keluar dari pemakainya. Sarkasme
itu sendiri kadang bisa memancing kemarahan orang yang dituju, tapi kadang juga tidak
berpengaruh karena itu sudah menjadi hal yang lumrah untuk keduanya.
Dilihat dari sudut penuturnya, bahasa itu berfungsi personal atau pribadi
(Halliday 1973; Finnocchiaro 1974; Jakobson1960 menyebutkan fungsi emotif). Maksudnya, si
penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya
mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu
menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si
penutur sedih, marah, atau gembira.
Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur
tingkah laku pendengar (Finnocchiaro 1974; Halliday 1973 menyebutkan
fungsi instrumental; dan Jakobson 1960 menyebutkan fungsi retorikal). Disini bahasa itu tidak
hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan
yang dimaui si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-
kalimat yang menyatakan perintah, imbauan, permintaan maupun rayuan.
Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini berfungsi fatik
(Jakobson 1960;Finnocchiaro 1974 menyebutkan interpersonal; dan Halliday 1973
menyebutkan interactional), yaitu fungsi menjadi hubungan, memelihara, memperlihatkan
perasaan bersahabat, atau solidaritas nasional.Dalam masyarakat, bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi sangat beragam. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya
disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena interaksi sosial yang
mereka lakukan beragam.
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Di dalam berbahasa juga terdapat etika komunikasi, dan di
dalam etika komunikasi itu sendiri terdapat moral. Moral mempunyai pengertian yang sama
dengan kesusilaan yang memuat ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu
dinilai sebagai perbuatan yang baik atau buruk (Burhanudin Salam, 2001:102). Etika juga bisa
diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana
yang dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri juga sering digunakan dengan kata moral,
susila, budi pekerti dan akhlak (Burhanudin Salam, 2001:102).
Sementara itu, secara sederhana Prof. I. R. Poedjowijatna (1986), mengatakan bahwa sasaran etika
khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal banyak yang
tidak mengandung etika. Dalam berkomunikasi, tidak akan pernah lepas dengan adanya pola
berbahasa yang diucapkan kasar, baik berupa olok-olok atau sindiran yang menyakitkan hati.
Seperti tuturan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur tidak
mengandung unsur kesantunan berbahasa. Misal, mudah marah, kata-katanya kasar, dan bersifat
memaksa saat meminta uang karena mereka merasa penguasa tempat tersebut.
Suparno menjelaskan dalam artikelnya, bahwa ragam bahasa yang tidak santun ini menjadi hal
yang lazim diucapkan. Sarkasisasi tersebut justru menjadikan keakraban tanpa sekat strata,
sehingga mereka yang menggunakan ragam bahasa tersebut dapat menikmatinya dengan senang
dan bangga hati.
BAB III PENUTUP3.1 KesimpulanDalam berkomunikasi dengan orang lain hendaknya mempunyai sopan santun, sehingga orang
yang berkomunikasi dengan kita akan terasa nyaman dan senang. Berbicara santun tidak harus
dengan menggunakan bahasa baku, karena belum tentu menurut orang kita berbicara dengan
santun. Banyak teori yang telah menyebutkan mengenai cara-cara bertutur kata yang santun
dengan orang lain. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa orangyang dengan sengaja
maupun tidak sengaja bertutur kata yang tidak sopan dan kasar terhadap orang lain. Apalagi
dengan gaya hidup yang ada saat ini. Ada pun teori dari beberapa pakar yang menjelaskan
tentang bagaimana berbicara dengan santun, yang antara lain di kemukaan Lakoff, YueguoGu,
Pranowo dan Grice. Teori yang mereka kemukakan tidak menyebutkan bahwa berbicara yang
santun harus dengan bahasa baku, tetapi mereka menjelaskan kesantunan dalam berbicara ini
dengan aspek-aspek yang sesuai dengan kehidupan sehari-sehari sehingga mudah untuk kita
terapkan.
3.2 SaranDengan adanya makalah ini, diharapkan agar para pembaca dapat menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dimana pun mereka berada.
Dalam penulisan makalah ini, banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca khususnya dari Bapak Moh. Fatoni selaku dosen
Bahasa Indonesia saya. Mohon maaf Pak jika isi makalah saya tanpa sengaja terdapat beberapa
kesamaan dengan beberapa teman yang lain. Itu merupakan unsur ketidaksengajaan kami, karena
kata kunci yang digunakan di internet kemungkinan sama dan buku yang kami pinjam dari
perpustakaan sama
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, A. S. 1993.Kajian Tindak Tutur.Surabaya: Usaha Nasional
Jasmine. 2010. Prinsip Kerja Sama dan Kesantunan,
(online),(http://jasminealmaghribi.blogspot.com/2010/02/prinsip-kerja-sama-n-kesantunan.html,
diakses 10 Juni 2012)
Pranowo, dkk. 2004.Kesantunan Berbahasa para Politisi di Media Massa. Yogyakarta :Universitas
Sanata Dharma
Sukmawan,sony. 2009 . Simfoni Bahasa Indones ia . Malang:Universitas Brawijaya
Wahab, Abdul. 1995.Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya : AirlanggaUniversity
Press.
Warsito.2010. Prinsip Sopan Santun (Macam – macam
Maksim).http:// blogewongbledug.blogspot.com /2010/03/prinsip-sopan-santun-macam-macam
maksim.html, diakses 10 Juni 2012
Name (required)
Mail (will not be published) (required)
Website
CAPTCHA Code *newer posts
older posts
Submit Comment