Kasus Mh Kampus

download Kasus Mh Kampus

of 38

Transcript of Kasus Mh Kampus

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    1/38

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena dengan

    rahmat dan karunia-Nya laporan kasus yang berjudul Morbus

    Hansen ini dapat diselesaikan.

    Laporan kasus ini di susun sebagai tugas yang di laksanakan

    selama mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kulit dan Kelamin

    RSUD Jombang.

    Saya menyadari bahwa penyusunan laporan kasusini masih jauh

    dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran selalu kami harapkan.

    Jombang, 16 Juli 2012

    Penyusun

    1

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    2/38

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ............................................... 1

    DAFTAR ISI ............................................. 2

    BAB I PENDAHULUAN .......................................... 3

    I.1 Definisi .......................................... 4

    I.2 Epidemiologi .......................................... 4

    I.3 Etiologi .......................................... 6

    I.4 Klasifikasi .......................................... 7

    I.5 Patofisiologi .......................................... 9

    I.6 Tanda dan gejala .......................................... 10

    I.7 Diagnosis ......................................... 13

    I.8 Diagnosis banding .......................................... 14

    I.9 Penatalaksanaan .......................................... 15

    I.10 Komplikasi .......................................... 17

    I.11 Prognosis .......................................... 19

    BAB II TINJAUAN KASUS .......................................... 20

    BAB III PEMBAHASAN .......................................... 27

    BAB IV KESIMPULAN .......................................... 36

    DAFTAR PUSTAKA .......................................... 37

    2

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    3/38

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Penyakit kusta merupakan penyakit kronis yang menyerang saraf tepi,

    kulit dan jaringan tubuh lainnya. Cara penularan yang pasti belum diketahui,

    namun menurut sebagian besar para ahli mengatakan penularan dapat melalui

    saluran pernafasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama ). Dimana

    kuman penyakit kusta mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar

    keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu (Mansjoer, 2005).

    Mycob ac terium Leprae ditemukan pertama kali oleh Armaeur

    Hansen di Norwegia pada tahun 1873 dan memiliki sifat basil tahan

    asam dan tahan alkohol, obligat intraseluler, dapat diisolasi dan

    diinokulasi, tetapi tidak dapat dibiakkan, membelah diri antara 12-21

    hari, masa inkubasi rata-rata 3-5 tahun (Asing, 2010).

    Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-

    beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah

    mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk. Pada tahun

    1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi

    kusta tahun 2000. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan640.000 dan 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, Word Health

    Organisation membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia

    terdapat di India, Myanmar, dan Nepal (Depkes RI, 2005).

    Insiden dapat terjadi pada semua umur, tapi jarang ditemukan

    pada bayi, laki -lak i lebih banyak dibanding wani ta.

    3

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    4/38

    Penularan Mycobac te ri um Leprae belum diketahui dengan jelas, tetapi

    diduga menular melalui saluran pernapasan (droplet infection), kontak

    langsung dan berlangsung lama. Faktor- faktor yang mempengaruhi

    penularan penyakit morbus hansen adalah umur , jen is ke lamin, ras ,

    genetik, iklim, lingkungan/sosial ekonomi (Asing, 2010).

    1.1 Definisi

    Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai kusta atau lepra

    adalah penyakit infeksi kronis yg disebabkan oleh Mycobacterium

    leprae, pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu menyerang kulit

    dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit ini

    tersebar di seluruh dunia, terbanyak di daerah tropik dan subtropik

    (Djuanda, 2007).

    1.2 Epidemiologi

    Di Indonesia diketahui 22.175 orang menderita lepra. Indonesia

    merupakan negara ketiga terbanyak penderitanya setelah India dan

    Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk. Walaupun ada

    penurunan yang cukup drastis dari jumlah kasus terdaftar, namun sesungguhnya

    jumlah penemuan kasus baru tidak berkurang sama sekali. Oleh karena itu, selain

    angka prevalensi rate, angka penemuan kasus baru juga merupakan indikator yangharus diperhatikan (Depkes RI,2005).

    Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi tertinggi di provinsi

    Jawa Timur yaitu mencapai 4 per 10.000 penduduk. Selanjutnya provinsi Jawa

    Barat mencapai 3 per 10.000 penduduk dan provinsi Sulawesi Selatan yaitu 2 per

    10.000 penduduk (Depkes RI, 2002).

    4

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    5/38

    Pada pertengahan tahun 2000, Indonesia telah mencapai eliminasi sesuai

    target WHO. Pada tahun 2003, distribusi kusta menurut waktu yaitu Penderita

    terdaftar di Indonesia pada akhir tahun Desember 2003 sebanyak 18.312 penderita

    yang terdiri dari 2.814 PB dan 15.498 MB dengan prevalens rate 0,86 per 10.000

    penduduk terdapat di 10 provinsi, yaitu : Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi

    Selatan, Papua, NAD, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Nusa

    Tenggara Timur (Depkes RI, 2005).

    Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat

    dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah

    yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi

    karena faktor etnik. Demikian pula kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis

    lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu. Sudah

    diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta.

    Hal ini terbukti pada negara negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial

    ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Kusta

    diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3

    minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada umur

    muda dan produktif. Kusta dapat mengenai laki laki maupun perempuan.

    Menurut catatan sebagian besar Negara didunia kecuali dibeberapa Negara diAfrika menunjukkan bahwa laki laki lebih banyak terserang dari pada wanita

    (DEPKES, 2006).

    5

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    6/38

    Gambar 1. Daerah penyebaran Lepra

    1.3 Etiologi

    Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana

    microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk

    batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies

    Mycobacterium, berukuran panjang 1 8 micro, lebar 0,2 0,5 micro biasanya

    berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan

    asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan

    tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu

    dinamakan sebagai basil tahan asam. Selain banyak membentuk safrifit,

    terdapat juga golongan organisme patogen (misalnya Mycrobacterium

    tuberculosis, Mycrobakterium leprae) yang menyebabkan penyakit menahun

    dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion. Mycobacterium leprae

    belum dapat dikultur pada laboratorium. KumanMycobacterium Leprae menular

    kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui

    pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa

    inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun. Setelah lima tahun, tandatanda

    seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami

    6

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    7/38

    bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi

    sebagaimana mestinya (Melniek, 2001).

    Gambar 2. Mycobacterium Le prae

    1.4 Klasifikasi

    Ditujukan untuk menentukan jenis dan lama pengobatan, serta

    menentukan waktu penderita dinyatakan RFT.

    KLASIFIKASI SPEKTRUM MORBUS HANSENRidley & Jopling TT BT BB BL LLMadrid Tuberkuloid Borderline LepromatosaWHO Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

    Puskesmas PB MB

    Pada tahun 1982 sekelompok ahli WHO mengembangkan klasifikasi

    untuk memudahkan pengobatan dilapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh

    penderita kusta hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu tipe Paucibacillary (PB) dan

    Multibacillary (MB). Dasar dari klasifikasi ini adalah gambaran klinis dan hasil

    pemeriksaan BTA skin smear.

    Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi penyakit kusta menurut WHO

    adalah:

    Tanda utama PB MBBercak kusta Jumlah 1 s/d 5 Jumlah > 5

    Penebalan saraf tepi yang

    disertai dengan gangguan

    Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf

    7

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    8/38

    fungsi

    Sediaan hapusan BTA negatif BTA positif

    Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi penyakit

    kusta adalah:

    Kelainan kulit dan hasil

    pemeriksaaan

    PB MB

    1. Bercak (macula) mati

    rasaa. Ukuran Kecil dan besar Kecil kecil

    b. Distribusi Unilateral atau bilateral

    asimetris

    Bilateral simetris

    c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilatd. Batas Tegas Kurang tegase. Kehilangan rasa pada

    bercak

    Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika

    ada, terjadi pada yang

    sudah lanjutf.Kehilangan kemampuan

    berkeringat, rambut rontok

    pada bercak

    Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika

    ada, terjadi pada yang

    sudah lanjut2. Infiltrata. Kulit Tidak ada Ada, kadang kadang

    tidak adab. Membran mukosa

    (hidung tersumbat,

    perdarahan dihidung)

    Tidak pernah ada Ada, kadang kadang

    tidak ada

    3. Ciri ciri Central healing(penyembuhan

    ditengah)

    - Punched out

    lesion (lesi bentuk

    seperti donat)

    - Madarosis

    - Ginekomasti

    - Hidung pelana

    - Suara sengau

    8

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    9/38

    4. Nodulus Tidak ada Kadang kadang ada5. Deformitas Terjadi dini Biasanya simetris, terjadi

    lambat

    1.5Patofisiologi

    Kuman masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan dan

    kulit yang tidak intak atau tidak utuh. Sumber penularannya adalah

    pender ita kusta yang banyak mengandung kuman (Tipe Mul tibas il er )

    yang belum diobati . Dan ada syaratnya yaitu Prolonged con tac t

    dan intimate. Artinya bisa menular jika terdapat kontak yang lama dan

    intim. Misal dalam satu anggota keluarga, pergaulan sehari-hari.

    Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium

    lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya

    sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh

    dalam sel Schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas

    regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yangprogresif (Depkes RI,

    2000).

    Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan system imunitas selular, dengan

    demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat

    bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.

    Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi system imunitas selular tinggi,

    sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Namun setelah semua

    kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak

    bergerak aktif dan kadang kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila

    infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid

    akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.

    9

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    10/38

    Dimana telah diketahui masa pembelahan diri kuman kusta memerlukan

    waktu yang sangat lama dibandingkan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Oleh karena

    itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata rata 2 5 tahun (Amirudin, 2003).

    1.6 Tanda dan Gejala

    Manisfestasi klinis Morbus Hansen biasanya menunjukkan

    gambaran yang jelas pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup

    ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja. Gejala dan keluhan

    penyak it bergantung pada : multiplikas i dan di seminas i kuman

    Mycobacterium Leprae, respons imun penderita terhadap kuman

    Mycobacterium Leprae, komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan

    saraf perifer. Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun

    terutama mengenai kulit, saraf, dan membran mukosa. Pasien dengan

    penyak it in i dapat dikelompokkan lag i menjad i 'kusta tuberku loid

    (Inggris: paucibacil lary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen

    multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy). Kusta

    multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang

    sering ditemukan (WHO,1988).

    Pada pemeriksaan Morbus Hansen tipe multibasiler lesi kulit

    dapat berupa makula , plak , papul, inf il trat a tau nodus denganpermukaan ha lu s mengkil at , jumla h les i > 5, hi langnya sensas i kurang

    jelas, dan pada pemer iksa an saraf di temukan peneba lan sa raf tep i.

    Penilaian untuk tanda-tanda phisik terdapat pada 3 area umum: lesi

    kutaneus, neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai

    jumlah dan dis tr ibus i le si pada ku li t. Makula hipopigmentas i

    10

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    11/38

    dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang

    pertama kal i muncul, sering juga berupa plak . Berkenaan dengan

    neuropathi, menilai untuk area yang hypoesthesia (sentuhan ringan,

    pinprick , suhu dan anhidros is) , terutama cabang sa raf pe ri fer

    dan saraf kutaneus. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf

    tibia posterior. Saraf lainnya yang pada umumnya mengalami

    kerusakan adalah ulna, median, poplitea lateral, dan saraf facial.

    Disamping keh ilangan sensoris, pas ien dapat juga menga lami

    kelemahan dan kehilangan gerak (Sridharan, 2007).

    Gambar 3. Lesi di kulit penderita Morbus Hansen

    Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra adalah neuropathy

    sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi

    neuropathy motorik murni dapat juga muncul. Mononeuropathy dan

    multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan peroneal

    yang lebih sering terlibat. Neuropathy perifer simetris dapat juga

    timbul. Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk anesthesia,

    tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal, pasien dengan lesi kulit

    yang menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi

    untuk berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris. Deformitas

    11

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    12/38

    yang disebabkan kelemahan dari otot-otot yang diinervasi oleh saraf

    pe rifer yang te rpengaruh. Ge jala sensor is yang berkurang un tuk

    melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia dalam distribusi saraf-

    saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek

    atau diregangkan (Sridharan, 2007).

    Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer

    mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat

    mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh

    rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis

    pa lpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakiba tkan lago ftalmus

    yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian bagian mata

    lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan menyebabkan

    kebutaan. Kerusakan pada mata lebih sering terlihat dengan

    adanya lesi fasial. Lagophthalmos (ketidakmampuan menutup

    mata), hasil keterlibatan dari zigomatik dan cabang-cabang

    temporal dari saraf fasial (nervus cranialis VII). Keterlibatan dari

    cabang ophthalmic dari saraf trigeminal (nervus kranialis V) dapat

    menyebabkan reflek kornea berkurang, mata kering, dan kurang

    berkedip (Lewis ,2008) .1.7 Diagnosis

    Didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis.

    Menurut WHO (1995), Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling

    sedikit harus ditemukan satu tanda cardinal. Bila tidak atau belum dapat

    ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu

    12

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    13/38

    diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat

    ditegakkan atau disingkirkan.

    Tanda utama atau cardinal sign tersebut dapat diperoleh berdasarkan :

    1. Anamnesis. Termasuk didalamnya : keluhan pasien, riwayat kontak

    dengan penderita, latar belakang keluarga misalnya keadaan sosial

    ekonomi.

    2. Pemeriksaan fisik. Lesi hipopigmentasi atau eritematosa ditambah dengan

    gangguan sensitifitas (nyeri, raba, suhu) 5A (anestesi, atropi, achromia,

    anhidrosis, alopesia).Penebalan saraf perifer dan atau nyeri disertai dengan

    gangguan sensoris (tes sensoris menggunakan kapas, jarum, serta tabung

    reaksi berisi air hangat dan dingin) , gangguan motoris (voluntary muscle

    test) dan gangguan otonom (tes Gunawan, tes pilokarpin).

    3. Pemeriksaan bakterioskopis. Dengan pewarnaan Ziehl Neelsen, jumlah

    pengambilan sediaan apus jaringan kulit harus minimum dilaksanakan di

    tiga tempat, yaitu cuping telinga kanan, cuping telinga kiri, dan bercak

    yang paling aktif. Sediaan hapusan kulit perlu dilakukan pada semua orang

    yang dicurigai menderita kusta, semua pasien baru yang didiagnosis secara

    klinis sebagai pasien kusta, semua pasien kusta yang diduga kambuh

    (relaps) atau tersangka kuman kebal (resisten) terhadap obat, semua pasienkusta tiap setahun sekali.

    4. Pemeriksaan histopatologis. Pada sebagian kecil kasus, bilamana diagnosis

    masih meragukan,pemeriksaan histopatologis dapat membantu.

    Pemeriksaan ini sangat membantu khususnya pada anak anak, bilamana

    13

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    14/38

    pemeriksaan saraf sensoris sulit dilakukan, juga pada lesi dini pada tipe

    indeterminate, serta untuk menentukan klasifikasi yang tepat.

    5. Pemeriksaan serologis. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle

    agglutination) untuk mengukur titer antibodi Ig G yang telah terbentuk di

    dalam tubuh pasien. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay),

    ML dipstick (Mycobacterium leprae dipstick).

    1.8 Diagnosis Banding

    Terdapat beberapa diagnosa banding, namun ada hal penting dalam

    menentukan diagnosa banding kusta yaitu : ada macula hipopigmentasi, ada

    daerah anestesi, pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam, ada

    pembengkakan / pengerasan saraf tepi atau cabang cabangnya.

    Tipe I (macula hipopigmentasi) : pitiriasis versikolor, vitiligo, pitiriasis

    rosea, dermatitis, seboroika atau dengan liken simpleks kronik.

    Tipe TT (macula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea corporis,

    psoriasis, lupus eritematosus tipe discoid, atau pitiriasis rosea.

    Tipe BT, BB, BL (infiltrate merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas,

    atau psoriasis.

    Tipe LL (bentuk nodula) : lupus eritematous sistemik, dermatomiositis,

    atau erupsi obat.1.9 Penatalaksanaan

    Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai

    penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan

    penderita, dan mencegah timbulnya cacat. Dalam program pemberantasan kusta di

    seluruh dunia termasuk di Indonesia dianjurkan memakai regimen MDT

    14

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    15/38

    meskipun obat obat baru yang ditemukan tampaknya memberi harapan yang

    lebih cerah karena obat obat baru ini masih dalam evaluasi uji klinis.

    Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu

    mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan

    antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah

    penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson

    adalah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan

    vertigo.

    Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan

    reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan

    transpor dari NA/K ATPase. Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi

    berwarna ungu kehitaman, warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut

    dihentikan, diare, nyeri lambung.

    Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja

    dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri

    dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan

    nefrotoksik. Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas

    Ferrosus untuk penderita kusta dengan anemia berat. Vitamin A, untuk

    penderita kusta dengan kekeringan kulit dan bersisik (ichtyosis) (Djuanda ,2007).

    Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen

    pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO adalah sebagai berikut:

    Penderita Pauci Baciler (PB) Dewasa

    15

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    16/38

    Pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas)

    adalah 2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600 mg) dan 1 tablet DDS 100 mg.

    Pengobatan harian : hari 2 28 adalah 1 tablet DDS 100 mg.

    Lama pengobatan: 6 blister diminum selama 6 9 bulan.

    Penderita Multi Baciler (MB) Dewasa

    Pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas)

    adalah 2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600), 3 tablet Lamprene @ 100 mg

    (300 mg) dan 1 tablet DDS 100 mg.

    Pengobatan harian : hari 2 28 adalah 1 tablet lamprene 50 mg dan 1

    tablet DDS 100 mg.

    Lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12 18 bulan.

    Gambar 6. Multi Drug Treatmen Morbus Hansen tipe MB

    1.10 Komplikasi

    Komplikasi dari lepra merupakan perbandingan dari luka akibat respon

    host terhadap Mycobacterium leprae, berawal dari kerusakan saraf perifer atau

    insufisiensi vena. Didapatkan satu dari empat atau satu dari tiga penderita baru

    16

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    17/38

    yang di diagnosis lepra, pada beberapa penderita disabilitas kronis sekunder

    sampai kerusakan saraf yang ireversibel, biasanya didapatkan komplikasi pada

    tangan dan kaki, atau pada mata. Kolaps hidung pada LL berawal dari kontraktur

    akibat scarpada jaringan, yang mana menggantikan tulang dan kartilago (Rea &

    Modlin, 2008).

    a) Disabilitas okuler (mata)

    Exposure keratitis mungkin didaptkan pada beberapa kasus termasukdry

    eye, corneal insensitivity, dan lagoftalmus. Keratitis dan lesi pada segmen

    anterior, yang tersering iritis, dapat mengakibatkan kebutaan (Rea & Modlin,

    2008).

    b) Disabilitas tangan dan kaki

    Kelemahan dikarenakan kehilangan inervasi pada muskulus adalah dengan

    jelas dapat menyebabkan kelumpuhan. Kehilangan sensasi perlindungan

    masih belum jelas, tapi bukan berarti tidak ada. Ketika benda tajam atau benda

    panas tidak bisa dirasakan, seperti bila ada luka atau cedera. Karena cedera

    akan lebih berbahaya pada penderita dengan penurunan sensasi dibandingkan

    dengan yang normal. Karena infeksi tidak dapat memberikan sinyal tanda

    bahaya, karena sensasi rasa dan nyeri sudah hilang, luka atau cedera akan

    semakin luas tanpa diketahui oleh penderita (Rea & Modlin, 2008).Siklus yang berulang dari luka atau cedera dan infeksi, dikarenakan

    kehilangan perlindungan dari sensasi nyeri, merupakan sumber dari destruksi

    jaringan yang parah pada lepra. Sekunder kontraktur dari kelemahan muskulus

    atau formasi dari scar dapat mengakibatkan deformitas yang lebih parah.

    Charcots joints merupakan salah satu bentukan deformitas. Kekeringan dari

    17

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    18/38

    palmar atau telapak kaki dikarenakan adanya masalah pada komponen dari

    saraf simpatis. Insufisiensi vena mengakibatkan dermatitis statis sampai ulkus

    pada kaki (Rea & Modlin, 2008).

    Mutilasi juga dapat terjadi akibat dari hilangnya sensibilitas rasa dan nyeri,

    sehingga bila ada infeksi atau cedera sering tidak diketahui dan memberikan

    prognosis yang buruk pada beberapa bagian tubuh, terutama ekstremitas

    (Basuki, 2009).

    Kebutaan pada Lepra Mutilasi pada Lepra

    1.11 Prognosis

    Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi

    lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik.

    Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang

    ba ik (Si regar , 2005).

    18

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    19/38

    BAB II

    TINJAUAN KASUS

    1. Identitas Pasien

    Nama : Ny. Siti Chalimah

    Jenis Kelamin : perempuan

    Umur : 59 tahun

    Alamat : Mojowarno - Jombang

    Agama : Islam

    Status Perkawinan : Kawin

    Pendidikan Terakhir : SD

    Pekerjaan : PedagangSuku Bangsa : Jawa

    No.RM : 12/95/36

    Tanggal Pemeriksaan : 14-06-2012

    2. Anamnesis

    Keluhan Utama : Ada benjolah di wajah

    19

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    20/38

    Riwayat Penyakit Sekarang :

    Perempuan usia 59, datang ke poli kulit dan kelamin dengan

    keluhan utama adanya benjolan diwajah sejak 2 bulan yang lalu semakin

    lama benjolan sekakin banyak dan semakin besar. Pasien mengeluhkan mati

    rasa pada ujung ujung jari kaki, tangan dan telinga 2 minggu yang lalu.

    Sudah berobat ke puskesmas diberikan paket obat yang diminum setiap hari

    selama satu bulan. Obat berwarna merah dan putih, dan penggunaan obat

    sudah berhenti sejak 10 hari yang lalu.

    Riwayat Penyakit dahulu :

    Pasien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit seperti ini

    sebelumnya.

    Riwayat penyakit keluarga :

    Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami

    keluhan serupa.

    Riwayat sosial :

    Tidak ada yang mengalami seperti ini di tempat kerja dan

    lingkungan rumahnya.

    3. Pemeriksaan Fisik

    Status Generalis :

    Keadaan Umum : Baik

    Kesadaran : Compos mentis

    Hygiene : kurang

    Gizi : Cukup

    Nadi : -

    20

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    21/38

    RR : -

    Kepala : Sesuai status dermatologis

    Leher : Sesuai status dermatologis

    Thorax : Sesuai status dermatologis

    Axilla : dbn

    Abdomen : dbn

    Ektremitas : Sesuai status dermatologis

    Status Lokalis

    a. Lokasi:

    Pada regio fasialis, regio nasalis, regio auricularis dextra dan sinistra

    Effloresensi :

    Pada regio fascialis didapatkan nodul eritematosa multiple batas

    tegas, ukuran bervariasi, pada regio hidung didapatkan hidung pelana

    dengan nodul eritematosa berbatas tegas, pada regio auricularis

    didapatkan nodul eritematosa disertai infiltrate.

    21

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    22/38

    b. Lokasi

    Pada regio ekstremitas superior

    Effloresensi :

    Didapatkan makula eritematosa

    c. Lokasi

    Pada regio ekstremitas inferior

    22

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    23/38

    Effloresensi :

    Didapatkan nodul hiperpigmentasi dengan ukuran 2x2cm, dan

    likenifikasi (+)

    d. Lokasi

    Pada regio thorax

    Effloresensi :

    Didapatkan makula eritematosa dengan batas jelas ukuran

    bervariasi.

    23

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    24/38

    4. Pemeriksaan Penunjang

    Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

    5. Problem list

    Adanya perubahan warna kulit yang anastesi

    Telinga terasa tebal

    Lesi yang khas berupa nodul eritematosa, infiltrat

    Ujung jari kaki dan tangan mati rasa

    6. Assasement

    Diagnosa: MH tipe MB

    Differential diagnosa : Eritema nodusum karena penyakit rheuma,

    tuberculosis dan sarcoidosis.

    7. Initial Planing

    Initial diagnosa : Tidak dilakukan

    Initial terapi

    R/ Rifampisin tab 600 mg No. I

    sekaligus (di depan petugas)

    R/ Lamprene tab 300 mg No. I

    sekaligus (di depan petugas)

    24

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    25/38

    R/ DDS tab 100 mg No. I

    1 dd tab I

    R/ DDS tab 100 mg No. XXX

    1 dd tab I

    R/ Lamprene 50 mg No. XXX

    1 dd tab I

    R/ vitamin B1 100 mg No. XXX

    1 dd tab I

    Monitoring

    Keluhan pasien

    Progres lesi

    Sekunder infeksi

    Penyulit (kecatatan)

    Edukasi

    Penjelasan mengenai penyakit, penyebabnya, dan

    pengobatannya, serta komplikasi.

    Pengobatan diberikan selama 12 dosis (bulan) dan

    diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan , dan pasien kontrol

    teratur setiap bulan.

    Obat harus diminum secara rutin.

    Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini dapat

    menular kepada orang lain melalui sekret hidung pasien dan kontak

    yang lama dan terus menerus antara kulit pasien dengan orang lain.

    25

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    26/38

    BAB III

    PEMBAHASAN

    Perempuan usia 59 tahun, datang ke poli kulit dan kelamin dengan keluhan

    utama adanya benjolan diwajah sejak 2 bulan yang lalu semakin lama benjolan

    sekakin banyak dan semakin besar. Pasien mengeluhkan mati rasa pada ujung ujung jari kaki, tangan dan telinga 2 minggu yang lalu. Sudah berobat ke

    puskesmas diberikan paket obat yang diminum setiap hari selama satu bulan. Obat

    berwarna merah dan putih, dan penggunaan obat sudah berhenti sejak 10 hari

    yang lalu.

    26

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    27/38

    Dari pemeriksaan fisik di regio facialis dan auricularis didapatkan nodul

    eritematosa multipel batas tegas, ukuran bervariasi, infiltrat (+), Facies leolina

    (+), Madarosis (+), penebalan cuping telinga (+), pada regio nasalis didapatkan

    hidung pelana dengan nodul eritematosa batas tegas, di regio dorsum pedis dextra

    didapatkan nodul eritematosa batas tegas ukuran 2 x 2 cm, dan pada regio

    thorax didapatkan macula eritematosa batas tegas ukuran bervariasi. Pada

    pemeriksaan syaraf, didapatkan gangguan sensibilitas terhadap nyeri dan rasa raba

    pada lesi, pemeriksaan N.aurikularis magnus (+), N.ulnaris (+), N.tibialis

    posterior (+). Pasien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit seperti ini

    sebelumnya. Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami

    keluhan serupa dan begitu juga tetangga dekat dan teman d tempat kerja tidak ada

    yang mengalami keluhan serupa.

    Dari identitas didapatkan perempuan usia 59 tahun, dari jenis perempuan,

    kurang sesuai karena angka kejadian kusta lebih sering terjadi pada laki-laki

    dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Berdasarkan usia

    penderita, usia saat didiagnosa kusta lebih dari 15 tahun merupakan faktor risiko

    terjadinya reaksi kusta, sedangkan umur kurang dari 15 tahun cenderung lebih

    sedikit mengalami reaksi kusta. Hal ini disebabkan karena dalam sistem imun

    anak, Th2 diduga kuat mampu mengatasi terjadinya infeksi sehingga frekuensireaksi kusta lebih kecil terjadi pada anak. Sedangkan pada orang dewasa

    ketersediaan sel T memori lebih banyak dan menyebabkan frekuensi terjadinya

    reaksi kusta lebih tinggi dan dapat memicu reaksi silang antara antigen M. leprae

    dengan antigen non M. leprae seperti M. Tuberculosis (Kosasih et al, 2001)

    (Ranque B, 2004).

    27

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    28/38

    Dari anamnesa yang didapat, dengan keluhan ada benjolan di wajah

    semakin lama semakin banyak dan semakin besar sejak 2 bulan yang lalu, telinga

    terasa tebal, kulit kering, dan timbul bercak kemerahan dikulit. Pasien

    mengeluhkan mati rasa pada ujung ujung jari kaki, tangan dan telinga. Sudah

    berobat ke puskesmas diberikan paket obat yang diminum setiap hari selama satu

    bulan. Obat berwarna merah dan putih, dan penggunaan obat sudah berhenti sejak

    10 hari yang lalu, hal ini sesuai dengan teori bahwa pada Morbus Hansen tipe

    MB dimana gejala klinis yang timbul adalah berupa macula eritematus, anastesi

    tidak jelas, simetris (jumlah >5). Pasien juga mengeluh telinga terasa tebal, dalam

    teori disebutkan bahwa kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh

    kuman M. Leprae, yang menyerang syaraf tepi (primer), kulit dan jaringan tubuh

    yang lain kecuali system saraf pusat. Gejala yang muncul pada pasien ini

    menunjukkan pada pasien ini terjadi gangguan pada saraf tepi yang mengenai

    sensibilitas berupa penebalan saraf yang seharusnya juga dilakukan pemeriksaan

    untuk menentukan sensibilitas raba, suhu atau nyeri yang terkena secara pasti

    (Kosasih et al, 2001) (M.Yulianto L, 2005).

    Dari anamnesa pasien juga mengaku tidak pernah mengalami keluhan

    seperti ini sebelumnya. Begitu juga dengan tetangga rumah dan di tempat kerja

    tidak ada yang mengalami penyakit ini. Hal ini kurang sesuai teori menyebutkanbahwa cara penularan masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan

    anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat,

    anggapan yang kedua adalah secara inhalasi, sebab M. Leprae masih dapat hidup

    beberapa hari dalam droplet (Kosasih et al, 2001).

    28

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    29/38

    Dari pemeriksaan fisik di regio facialis didapatkan nodul eritematosa

    multiple batas tegas, ukuran bervariasi, pada regio nasalis didapatkan hidung

    pelana dengan nodul eritematosa berbatas tegas, pada regio auricularis didapatkan

    nodul eritematosa disertai infiltrate. Hal ini sesuai teori yang mengatakan bahwa

    gejala klinis yang muncul pada kusta tipe MB dan reaksi kusta tipe LL memiliki

    jumlah lesi yang sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa

    batas jelas, berkilap dan pada stadium dini tidak ditemukan anastesi dan

    anhidrosis (Kosasih et al, 2001).

    Distribusi lesi khas, yakni diwajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping

    telinga, sedangkan dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan,

    punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut

    tampak penebalan kulit yang progresif, disertai anhidrosis pada kulit, cuping

    telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina

    yang dapat disertai madarosis, iritis, keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi

    deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkhitis yang

    selanjutnya dapat menejadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan

    gejala stocking and glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul

    makula dan papula baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada

    stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin ataufibrosis uang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki. Penyakit

    ini bisa menjadi progresif bila tanpa pengobatan (Kosasih et al, 2001).

    Berdasarkan keluhan dan teori diatas dapat diketahui bahwa pasien ini

    mengalami penyakit kusta (Morbus Hansen) yang lebih mengarah pada tipe MB

    29

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    30/38

    (Multibasiler) karena bentukan dari lesinya yaitu terdapat makula eritematosa,

    nodul eritematosa, infiltrat pada telinga.

    Diagnosis bandingnya antara lain

    eritema nodusum karena penyakit rheuma

    Tuberculosis

    Sarcoidosis

    Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Namun

    pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan menggunakan pewarnaan Ziehl

    Nielsen, dengan sediaan diambil dari kedua cuping telinga, positif bila ditemukan

    kumanMycobacterium leprae.

    Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :

    1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif

    2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik, kecuali tidak

    ditemukan lesi di tempat lain.

    3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu

    ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul

    4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah :

    a. Cuping telinga kiri/kanan.

    b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain.

    5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena :

    a. Tidak menyenangkan pasien.

    b. Positif palsu karena ada mikobacterium lain.

    c. Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lender hidung

    apabila sediaan apus kulit negatif.

    30

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    31/38

    d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung

    lebih dahulu negatif daripada sediaan kulit di tempat lain

    6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :

    a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta.

    b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien

    kusta.

    c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena

    tersangka kuman resisten terhadap obat.

    d. Semua pasien MB setiap satu tahun sekali.

    7. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,

    yaitu Zeihl Neelsen atau Kinyoun-Gabett.

    8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu

    cara zig zag, huruf z, dan setengah/seperempat lingkaran. Bentuk

    kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-

    pecah (fragmented), granular (granulates), globus, dan clumps

    (Mansjoer, 2005).

    Sediaan yang telah dicat dilihat dibawah mikroskop dengan pembesaran

    100x, kemudian ditentukan bentuk kuman :

    1. Solid / utuh, bila : a. Dinding sel tidak putusb. Mengambil zat warna secara merata

    c. Panjang kuman 4-5 kali lebar

    d. Ujung tumpul

    2. Fragmented / pecah-pecah

    3. Granular (seperti titik-titik tersusun garis atau berkelompok)

    31

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    32/38

    4. Globus (dapat bentuk solid,fragmentedataugranular)

    5. Clump (bentukgranular, membentuk pulau) (Listiawan, 2005).

    Kepadatan kuman dinyatakan dalam :

    1. Indeks bakteri : Ukuran semi kuantitatif dengan nilai 1+ sampai 6+

    (Listiawan, 2005).

    Indeks Bakteri (IB)

    Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan

    hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi

    hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley

    sebagai berikut (Mansjoer, 2005) :

    0 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

    +1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

    +2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang

    +3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

    +4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

    +5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

    +6 Bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang (Mansjoer,

    2005).

    2. Indeks morfologi : Merupakan presentasi bentuk utuh/solid terhadapseluruh Basil Tahan Asam (Listiawan, 2005).

    Indeks morfologi (IM)

    Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM

    digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi

    32

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    33/38

    hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat

    (Mansjoer, 2005).

    Diagnosis pada pasien ini adalah MH tipe MB, dengan kita menemukan

    tanda cardinal. Dari pemeriksaan fisik di regio facialis dan auricularis didapatkan

    nodul eritematosa multipel batas tegas, ukuran bervariasi, infiltrat (+), Facies

    leolina (+), Madarosis (+), penebalan cuping telinga (+), pada regio nasalis

    didapatkan hidung pelana dengan nodul eritematosa batas tegas, di regio dorsum

    pedis dextra didapatkan nodul eritematosa batas tegas ukuran 2 x 2 cm, dan

    pada regio thorax didapatkan macula eritematosa batas tegas ukuran bervariasi.

    Pada pemeriksaan syaraf, didapatkan gangguan sensibilitas terhadap nyeri dan

    rasa raba pada lesi, pemeriksaan N.aurikularis magnus (+), N.ulnaris (+),

    N.tibialis posterior (+). Pada teori dijelaskan bahwa Berdasarkan WHO pada

    tahun 1997, diagnosis berdasarkan adanya tanda utama atau cardinal sign berupa

    kelainan kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa dengan anastesi yang jelas,

    kelainan syaraf tepi berupa penebalan syaraf dengan anastesi, dan hapusan kulit

    positif untuk kuman tahan asam.

    Penyulit pada penyakit ini meliputi sekunder infeksi, reaksi, dan

    kecacatan. Diagnosa banding pada kasus ini adalah eritema nodusum pada

    tuberculosis merupakan klasifikasi pada tuberculosis kutis tipe tuberkulidberbentuk garnuloma dan ulseronodulus yang memiliki gambaran klinis kelainan

    kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada ekstrimitas bagian ekstensor

    diatasnya terdapat eritema.

    33

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    34/38

    Terapi yang diberikan pada kasus ini adalah dirujuk ke puskesmas daerah

    pasien tinggal untuk obat yang dikonsumsi secara rutin setiap hari, dengan

    harapan terapi yang diberi puskesmas tepat yaitu:

    R/ Rifampicin tab 600mg No I

    1 dd tab I (minum depan petugas)

    R/ Lamprene tab 300mg No I

    1 dd tab I(minum depan petugas) _______________________________

    R/ DDS tab 100mg No. I

    1 dd tab I

    R/ DDS tab 100mg No. XXX

    1 dd tab I

    R/ Lamprene tab 50mg No. XXX

    1 dd tab I

    R/ Vitamin B1 tab 100mg No. XXX

    1 dd tab I

    Pengobatan kusta sesuai dengan yang direkomendasikan oleh

    WHO/DEPKES RI untuk klasifikasi Morbus Hansen tipe Multi Basiler (MB)

    dengan memakai regimen pengobatan MDT= multi drug treatment. Kegunaan

    MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,

    mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka

    putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi

    persistensi kuman kusta dalam jaringan. Dosis MDT : Ri fampicin 600 mg/

    bu lan , Lamprene 300 mg/bu lan , DDS 100mg/bulan , di tambah dengan

    34

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    35/38

    Lampren 50 mg/har i dan DDS 100 mg/har i. Setelah selesai minum 12 dosis

    obat ini, dinyatakan berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah berhenti

    minum obat dilakukan secara pasif untuk Morbus Hanses tipe MB selama 5

    tahun.

    BAB IV

    KESIMPULAN

    Perempuan usia 59 tahun, datang ke poli kulit dan kelamin dengan keluhan utama

    adanya benjolan diwajah sejak 2 bulan yang lalu semakin lama benjolan sekakin

    banyak dan semakin besar. Pasien mengeluhkan mati rasa pada ujung ujung jari

    35

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    36/38

    kaki, tangan dan telinga 2 minggu yang lalu. Sudah berobat ke puskesmas

    diberikan paket obat yang diminum setiap hari selama satu bulan. Obat berwarna

    merah dan putih, dan penggunaan obat sudah berhenti sejak 10 hari yang lalu.

    Dari pemeriksaan fisik di regio facialis dan auricularis didapatkan nodul

    eritematosa batas tegas, ukuran bervariasi, infiltrat (+), Facies leolina (+),

    Madarosis (+) di region dorsum pedis dextra didapatkan nodul eritematosa batas

    tegas ukuran 2 x 2 cm dan pada regio thorax didapatkan macula eritematosa

    batas tegas ukuran bervariasi. Pada pemeriksaan syaraf, didapatkan gangguan

    sensibilitas terhadap nyeri dan rasa raba pada lesi, pemeriksaan N.aurikularis

    magnus (+), N.ulnaris (+), N tibialis posterior (+). Pasien mengatakan tidak

    pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Pasien mengatakan tidak ada

    anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa, tetangga dan teman kerjanya

    juga tidak ada yang mengalami keluhan serupa.

    Diagnosa pasien ini adalah pasien mengalami penyakit kusta (Morbus

    Hansen) yang lebih mengarah pada tipe MB (Multibasiler). Terapi yang diberikan

    pada kasus ini adalah Rifampisin, Lamprene, DDS, dan vitamin B1, obat yang

    dikonsumsi secara rutin setiap hari.

    DAFTAR PUSTAKA

    Amirudin D, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis Penyakit Kusta. In : Daili S, MenaldiS, Ismiarto S, Nilasari H. Kusta. 2nd ed. Jakarta : FKUI; 2003. p. 12-31,66-74.

    Asing I. Morbus Hansen (kusta/lepra). Askep gangguanmuskuloskeletal. 2010

    Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta

    36

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    37/38

    Depkes RI,Buku Panduan Pelaksanaan Program P2 Kusta Bagi Unit PelayananKesehata. Dit. Jen PPM & PL. Jakarta. 2002b.

    Depkes RI , Buku Pedoman Pemberantasan Program P2 Kusta. Dit. Jen PPM &

    PLP. Jakarta. 2002c.

    Depkes RI ,Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2dan PL. Jakarta.. 2005d.

    Depkes RI, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. 2006. p. 4-80.

    Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan SitiAisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima.Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007

    ;73- 88.

    Hasibuan. T,W.A. Kadri. Epidemiologi Kusta dan Program PemberantasanPenyakit Kusta ; Berita Epidemiologi Buletin Epidemiological

    Edisi Mei 1990, Ditjen. Jakarta.

    Kosasih A, Wisnu M, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Kusta. In : Adhi Djuanda.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Jakarta : FKUI; 2005.p.73-88.

    Lewis Felisa S, Conologue T, Harrop E. Leprosy: mycobacterial infection. 2008.

    Melniek, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Unair. Surabaya.

    Rea TH, Modlin RL,Leprosy. In:Freedberg M, Eisen AZ, Wolff K,Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, et al editors, Fitzpatricksdermatology in general medicine, 6th edition. New york.McGraw-Hill, 2003

    Rea, TH. & Modlin, R. L. Leprosy. IN WOLF, K., GOLDSMITH, L. A.,KATZ, S. I., GILCHREST, B. A., PALLER, A. S. & LEFFELL, D. J.

    (Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Seventh ed.

    New York, McGraw Hill Medical 2008.Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to Immunity.

    International Journal of Leprosy, 1966; 34 : 255-273

    Siregar, RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta; EGC. 2005 ;155

    Sridharan R, Lorenzo NZ. Neuropathy of leprosy. 2007.

    Tim Penyusun. Manual Pemberantasan Penyakit Menular ; Kusta/Lepra, Edisike-17. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan

    Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, 2000.

    37

  • 7/29/2019 Kasus Mh Kampus

    38/38

    World Health Organization. WHO Expert Committee on LeprosySix Report. World Health Organization, Geneva. 1988