Kasus Kegawatdaruratan Asthma

21
PORTOFOLIO KASUS KEGAWAT-DARURATAN ASTHMA BRONCHIALE Disusun oleh : dr. Ari Andriyanto Pembimbing: dr. M. Rusydi Pendamping : dr. Kurniati, SpKK PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

description

portofolio

Transcript of Kasus Kegawatdaruratan Asthma

Page 1: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

PORTOFOLIO KASUS KEGAWAT-DARURATAN

ASTHMA BRONCHIALE

Disusun oleh :

dr. Ari Andriyanto

Pembimbing:

dr. M. Rusydi

Pendamping :

dr. Kurniati, SpKK

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSUD IBNU SINA KABUPATEN GRESIK

2015

Page 2: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

PORTOFOLIO Asthma Bronchiale

No. ID dan Nama Peserta : dr. Ari AndriyantoNo. ID dan Nama Wahana : RSUD Ibnu SinaTopik : Kegawat-daruratanTanggal Kasus : 10 Februari 2015Nama Pasien : Ny. N No. RM : 110XXXTanggal Presentasi : Pendamping : dr. Kurniati, Sp.KKTempat presentasi :Obyektif Presentasi : Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil Deskripsi : Pasien datang dengan keluhan sesak berat sejak, sesak semakin berat bila beraktifitas, nafas berbunyi ngik-ngik, sesak sering kambuh bila terkena debu dan cuaca dingin. Sebelumnya pasien pernah mengalami hal serupa dan membaik bila di terapi uap. Tujuan : Mengetahui pemeriksaan, diagnostik, dan tatalaksana Bahan bahasan Tinjauan

Pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas Diskusi Presentasi & diskusi

E-mail Pos

Data Pasien Nama : Ny.N Umur : 43 tahunAlamat: Desa Cerme Kidul RT4 RW1, Kecamatan Ceme Kabupaten Gresik

No. Registrasi :110xxx

1. Keluhan Utama: SesakAnamnesis:

Pasien datang ke IGD RSUD IBNU SINA Gresik dengan keluhan sesak berat sejak tadi pagi sekitar jam 6 pagi, sesak semakin berat bila beraktifitas sampai berbunyi ngik-ngik, pasien tidak merasakan adanya nyeri dada, bila tidur napas sering berbunyi ngik-ngik, sesak sering kambuh bila terkena debu dan cuaca dingin. Sebelumnya pasien pernah mengalami hal serupa dan membaik bila di terapi uap.

2. Riwayat Penyakit Dahulu: - Riwayat Asma (+) - Riwayat Diabetes Melitus disangkal - Riwayat Hipertensi disangkal3. Riwayat Pengobatan: Pasien tidak memberikan obat untuk keluhannya4. Riwayat keluarga : - Riwayat Asma disangkal - Riwayat Diabetes Melitus disangkal - Riwayat Hipertensi disangkal5. Pemeriksaan Fisik:

STATUS GENERALISVital Sign :TD : 120/60 N : 92 x/menit RR : 30 x/menit So : 36,70C GCS : 456

K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (+)Pupil Bulat IsokorRefleks cahaya (+/+)

Page 3: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

Thorax : Simetris Jantung

Tekanan vena sentralTidak didapatkan distensi vena jugular ekterna

Inspeksi Ictus cordis tampak pada ICS V midclavicular line sinistra Pulsasi jantung tak tampak

Palpasi Iktus cordis teraba di ICS V midclavicular sinistra, kuat angkat Pulsasi teraba di apeks.

Perkusi Batas kanan jantung di ICS IV parasternal line dextra Batas kiri jantung di ICS V midclavicular line sinistra

Auskultasi S1 S2 Single Regular Murmur (-)

Paru : ves/ves, wh +/+, rh -/- Abdomen :

Soepel, flat, BU (+) normal Extrimitas : CRT < 2”

Edema -/- Hangat +/+ -/- +/+

8. Pemeriksaan Penunjang (-)

ASESSMENTAsthma Bronchilae

PLANNINGPDx: -PTx :

- Nebul Ventoline : Pulmicort : Pz 1 : 1 : 1- Tab. Salbutamol 4mg 3x1- Tab. Dexamethasone 0,5mg 3x1

Daftar Pustaka1. http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html (diakses 21 Juni 2015)2. http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/608/597

(diakses 21 Juni 2015)Hasil Pembelajaran

1. Definisi Asthma Bronchiale2. Diagnosa Asthma Bronchiale3. Penatalaksanaan Asthma Bronchiale

Page 4: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

ASTHMA BRONCHIALE

Definisi

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan

elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang

menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-

batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan

napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Patogenesis Asma

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama

sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan

berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada

penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten

maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma

alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.

Inflamasi Akut

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus,

iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat

dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.

 Reaksi Asma Tipe Cepat

Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi

degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator

seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin

dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan

vasodilatasi.

Page 5: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

  Reaksi Fase Lambat

Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan

pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

Inflamasi Kronik

Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T,

eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.  

Limfosit T

Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T ini

berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-

3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2

dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF

berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.  

Epitel

Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel

epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide

synthase, sitokin atau khemokin.

Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan

tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical,

TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.

Eosinofil

Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik.

Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi.

Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6,

GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan

Page 6: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.

Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic

protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang

toksik terhadap epitel saluran napas.

 Sel Mast

Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE

dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang

mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated

mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara

lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.

Makrofag

Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal

maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat

menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain

berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling.

Peran tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan

TGF-.

AIRWAY REMODELING

Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara

fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan

(repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut

melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama

dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan

jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan

inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme

sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme

tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi,

Page 7: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh

restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan

peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.

Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti

matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor,

protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.

Perubahan struktur yang terjadi :

• Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas

• Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus

• Penebalan membran reticular basal

• Pembuluh darah meningkat

• Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

• Perubahan struktur parenkim

• Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Gambar 1. Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis

Page 8: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari

inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding inflammation).

Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti

hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.

Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama

pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.

Pemikiran Baru Mengenai Patogenesis Asma Dikaitkan Dengan Terjadinya Airway Remodeling

Disadari lingkungan sangat berpengaruh pada terjadinya ataupun perburukan asma.

Peningkatan kekerapan asma adalah akibat perubahan lingkungan yang beraksi pada genotip

asma baik sebagai induksi berkembangnya asma atau memperburuk asma yang sudah terjadi. Di

samping itu dipahami terjadinya kerusakan epitel dan perubahan sifat epitel bronkus pada asma

seperti lebih rentan untuk terjadinya apoptosis akibat oksidan, meningkatnya permeabiliti akibat

pajanan polutan, meningkatnya penglepasan sitokin dan mediator inflamasi dari epitel akibat

pajanan polutan, yang berdampak pada proses inflamasi dan remodeling.

Studi pada binatang percobaan mendapatkan bahwa injuri sel epitel menghasilkan

penglepasan mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi dan profibrogenic growth

factors terutama TGF- dan familinya (fibroblast growth factor, insulin growth factor,

endothelin-1, platelet-derived growth factor, dan sebagainya) yang berdampak pada remodeling.

Dari berbagai mediator tersebut, TGF- adalah paling paling penting karena mempromosi

diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang kemudian akan mensekresi kolagen interstisial,

sedangkan mediator/growth factor lainnya sebagai mitogen otot polos dan sel endotel. TGF-

dan efeknya pada fibroblas dan miofibroblas dimulai pada sel epitel dan diteruskan ke

submukosa. Komunikasi antara sel-sel epitel dan sel-sel mesenkim tersebut dikaitkan dengan

perkembangan embriogenik jalan napas mendatangkan pikiran adanya epithelial mesenchymal

tropic unit (EMTU) yang tetap aktif setelah lahir atau menjadi reaktivasi pada asma dan

menimbulkan remodeling jalan napas pada asma. Berdasrkan pemikirantersebut, inflamasi dan

remodeling yang terjadi pada asma adalah konsekuensi dari peningkatan kecenderungan injuri,

kelemahan penyembuhan luka atau keduanya.

Page 9: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

 Teori TH-2 dan EMTU

Teori lingkungan, terjadinya remodeling pada asma serta tidak cukupnya sitokin

proinflamasi untuk menjelaskan remodeling tersebut dan percobaan binatang yang menunjukkan

peran EMTU mendatangkan pemikiran baru pada patogenesis asma

Dipahami asma adalah inflamasi`kronik jalan napas melalui mekanisme Th-2. Akan

tetapi berbagai sitokin yang merupakan hasil aktivasi Th-2 (sitokin Il-13, Il-4) yang dianggap

berperan penting dalam remodeling adalah berinteraksi dengan sel epitel mediatornya dalam

menimbulkan remodeling. Sitokin proinflamasi tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan

remodeling tetapi .interaksinya dengan sel epitel dan mediatornya adalah mekanisme yang dapat

menjelaskan terjadinya airway remodeling pad aasma. Sehingga dirumuskan suatu postulat

bahwa kerusak sel epitel dan sitokin-sitokin TH-2 beraksi bersama-sama dalam menimbulkan

gangguan fungsi EMTU yang menghasilkan aktivasi miofibroblas dan induksi respons inflamasi

dan remodeling sebagai karakteristik asma kronik.

 

Page 10: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

Derajat Asma

Diagnosa

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani

dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal

untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan

saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk

dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus

udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat

membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru

normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat

berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis,

dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma,

diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.

Page 11: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung

ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan

eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat

perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah

pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat

asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak

kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu

rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak

barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh

serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat

yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid. Gejala-gejala kunci untuk

menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam Tabel 2.

Page 12: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

Pemeriksaan Klinis

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan

adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering

ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi

dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher,

perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.

Pemeriksaan Penunjang

1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk

menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat

tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru.

Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma

diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan

dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis

obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk

pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita

yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma

4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE

spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji

alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi

dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat

dilakukan (pada dermographism).

5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak

berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri

bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas

dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinophil dalam sputum, dan kadar

Page 13: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi

menunjukkan hubungan antara jumlah eosinophil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP)

dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat

menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB

dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan

nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada

penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek

alergi tanpa asma.

Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya

berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi.

Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit.

Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani,

inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.

Penatalaksanaan Asma Bertujuan:

1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat

2. Mencegah eksaserbasi akut

3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4. Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya

5. Menghindari efek samping obat

6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel

7. Meminimalkan kunjngan ke gawat darurat Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter

dan pasien adalah hal yang penting sebagai dasar penatalaksanaan. Diharapkan agar dokter

selalu bersedia mendengarkan keluhan pasien, itu merupakan kunci keberhasilan

pengobatan. Komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu

mengembangkan hubungan dokter pasien, identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap

Page 14: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

faktor risiko, penilaian, pengobatan dan monitor asma serta penatalaksanaan asma

eksaserbasi akut.

Tatalaksana

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu:

1. Penatalaksanaan Asma Akut

Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera,

Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Kemampuan

pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar pasien dapat

mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke dokter. Dilakukan penilaian

berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala,pemeriksaan fisis dan bila

memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat. Pada

prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium yang dapat

menyebabkan keter-lambatan dalam pengobatan/tindakan.

2. Penatalaksanaan Asma Kronik

Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan asma secara

mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan asma. Anti inflamasi

merupakan pengobatan rutin yang yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah

serangan dikenal sebagai pengontrol, Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan

untuk mengatasi eksaserbasi/serangan.

Ciri-ciri asma terkontrol:

1. Tanpa gejala harian atau 2x/minggu

2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian

3. Tanpa gejala asma malam

4. Tanpa pengobatan pelega atau 2x/minggu

5. Fungsi paru normal atau hampir normal

Page 15: Kasus Kegawatdaruratan Asthma

6. Tanpa eksaserbasi

Ciri-ciri asma tidak terkontrol

1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)

2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut

3. Kebutuhan obat pelega meningkat.

Pengendalian asma bertujuan:

1. Meningkatkan kemandirian pasien dalam upaya pencegahan asma

2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma

3. Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko asma

4. Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai standar/kriteria

5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma

6. Menurunnya angka kematian akibat asma