Kasus Anak ADHD

download Kasus Anak ADHD

of 21

description

a

Transcript of Kasus Anak ADHD

PRESENTASI KASUS PSIKIATRI ANAK & REMAJA

CASE REPORTAttention Deficit Hyperactivity Disorder

Disusun oleh:Yuni Adriani1102010302Pembimbing:dr. Isa Multazam Noor, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWARUMAH SAKIT JIWA SOEHARTO HERDJAANJAKARTA

An. R, Laki laki berusia 17 tahun datang ke IGD RSJSH datang dengan keluhan marah-marah diantar oleh ayah dan ibunya, anak marah karena ingin dibelikan memori card handphone, sebelumnya anak pernah dirawat di RSJSH karena keluhan yang sama.

I. RIWAYAT PSIKIATRIDiperoleh dari: Alloanamnesis dengan ibu kandung pasien, Ny. A dari suku Chinesse

A. KELUHAN UTAMAAnak datang dengan keluhan marah-marah

B. KELUHAN TAMBAHANAnak sering berkata kasar pada ibunya

C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANGSeorang anak laki-laki berusia 17 tahun datang ke RSJSH dengan keluhan mengamuk karena tidak dibelikan memoricard handphone oleh ibunya, sebelumnya anak juga pernah dirawat dengan keluhan yang sama karena tidak dituruti oleh orang tuanya. menurut orang tuanya, anak tidak lagi melanjutkan sekolahnya, terakhir anak bersekolah sampai kelas 1 SMP lalu berhenti karena anak sering malas berangkat ke sekolah. Sewaktu anak berada di pendidikan TK dan SD, guru di sekolahnya mengaku anak termasuk anak yang sangat aktif, contohnya bila dia tidak pernah mau berbaris bersama dengan temannya dan hanya lari lari sendiri, gurunya juga mengatakan anak kurang bisa menerima pelajaran dan tidak bisa mengerjakan PR, setiap anak mendapatkan PR selalu ibunya yang mengerjakan. Di sekolah anak termasuk anak yang tidak mempunyai banyak teman karena menurut pengakuan ibunya anak sering dibilang aneh karena mondar mandir sendiri, dan berbicara kasar, sehingga temannya menjauhi dirinya. Pada saat anak kelas 1 SMP anak semakin tidak ingin sekolah karena tidak dapat menerima pelajaran dan tidak mempunyai teman, lalu ibu pasien memberhentikan sekolahnya dan sempat membawanya ke RSCM. Menurut ibu pasien kegiatan anak di rumah hanya bermain handphone untuk brwosing forum-forum rohani dan forum dewasa, anak selalu di bantu dalam melakukan aktivitas ksesehariannya seperti mandi, makan, dan memakai baju. Anak belum mampu melakukan aktivitas harian seperti memakai sabuk, melipat baju, memasang kancing baju, dan menggunakan sepatu. Lalu ibu pasien juga mengatakan pasien sering bertindak kasar seperti memukul ayah dan ibunya jika keinginannya tidak terpenuhi. Dan kadang pasien suka membenturkan kepalanya ke tembok jika keinginnannya tidak di kabulkan. Anak mengakui tidak menyukai bermain bola atau bermain seperti anak usia sebayanya, anak lebih senang bermain sendiri dengan handphonenya.

D. RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYAa. Psikiatri dan Penyalahgunaan ZatPasien tidak pernah menyalahgunakan zat sebelumnya.b. Kondisi Medis UmumPasien tidak pernah menderita penyakit medis lain seperti kejang, pingsan dan trauma kepala.c. Riwayat Penyakit dalam KeluargaGangguan kejiwaan pada keluarga pasien disangkal.

E. RIWAYAT KEHIDUPAN PRIBADI1. Periode Prenatal dan PerinatalPada saat mengandung pasien, ibu pasien menerima kehamilannya dengan senang hati. Selama mengandung pasien, dikatakan tidak terdapat permasalahan fisik maupun psikologis pada ibu kandung pasien. Menurut ibu pasien, pasien lahir dengan persalinan normal, cukup bulan, langsung menangis kuat, berat badan 3 kg, panjang badan 48cm, lahir secara normal di sebuah Rumah Sakit bersalin.

2. Periode Masa Bayi (0-1 tahun)Pasien diasuh oleh kedua orang tuanya dengan perasaan senang hati. Pasien juga menjadi seorang anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Pasien mendapatkan ASI selama 2 tahun. Pasien tidak mengalami kesulitan dalam pola makan. Imunisasi dikatakan lengkap (ibu tidak ingat sampai imunisasi apa). Menurut ibunya, tumbuh kembang pasien tidak ada kelainan semuanya dalam batas normal. Pasien dapat berdiri sebelum usia 1 tahun 2 bulan.

3. Periode Masa Batita (1 sampai 3 tahun)Menurut ibu pasien, pasien tumbuh seperti anak seusianya. Saat diasuh, pasien dikatakan tidak rewel dan senang diajak bermain dengan senang bersama keluarga. Tidak ditemukan permasalahan dalam pola makan pada pasien.

4. Periode Pra Sekolah dan Masa Kanak Awal (3 sampai 6 tahun)Menurut ibu pasien, pasien merupakan anak yang periang dan penurut. Dalam bermain dengan teman sebayanya. Pada saat anak usia 3 tahun dan masuk ke play group, pasien cenderung hiperaktif, pasien senang membuat kegaduhan dengan melompat-lompat, berlari-lari, pasien senang bergerak dengan aktif didalam ruangan.

5. Periode Masa Kanak Akhir (7 sampai sekarang)Saat berada di sekolah pasien sangat sering kehilangan alat tulis yang digunakan karena sering lupa dimana meletakkan alat tulis yang telah dipakainya. Dan anak tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah, setelah pulang dari sekolah pasien lebih banyak menghabiskan waktu dengan berada di dalam rumah bermain dengan handphonenya.

6. Riwayat PendidikanPrestasi pasien mulai menurun karena sering mengalami kesulitan dalam kegiatan belajar baik disekolah maupun dirumah. Guru mengatakan bahwa pasien tidak bisa mengikuti pelajaran, terutama matematika dan bahasa inggris. Guru juga melaporkan bahwa diperlukan pengulangan beberapa instruksi supaya pasien bisa menyelesaikan tugasnya.

7. Riwayat KeluargaPasien merupakan anak tunggal. Pedigree : Pasien. 47

8. Riwayat Kehidupan Sekarang Pada saat ini pasien tinggal bersama ibu dan ayah kandungnya

9. Persepsi dan Harapan OrangtuaIbu kandung pasien tidak paham akan apa yang dialami oleh pasien. Ibu kandung berharap perilaku pasien dapat menjadi baik.

10. Persepsi Pasien Tentang Diri dan LingkungannyaSaat pemeriksa menanyakan tentang keadaannya untuk pertama kali, pasien terlihat mendengarkan saat diajak berbicra dan lebih sering bercerita bila di tanya.

II. EVALUASI KELUARGAA. Susunan KeluargaPasien adalah anak tunggal. Saat ini pasien tinggal hanya bersama ayah dan ibunya

B. Riwayat PerkawinanKedua orangtua pasien menikah berdasar atas pilihan sendiri dan mendapat persetujuan dari orang tua masing-masing. Kehidupan perkawinan mereka berjalan dengan yang diharapkan.

C. Fungsi Subsistema. Subsistem Suami-IstriDalam kehidupan rumah tangga, ayah dan ibu kandung pasien hidup rukun. Pernikahan keduanya didasarkan atas keinginan dan pilihan bersama.

b. Subsistem OrangtuaIbu pasien mengatakan sangat menyayangi pasien dan sangat perhatian kepadanya. Tetapi karena pasien anak tunggal, ibu pasien menjadi lebih sayang dan perhatian kepadanya. Hampir semua kemauan pasien dapat dituruti oleh ibu pasien.

c. Subsistem SiblingPasien berstatus sebagai anak tunggal. Pasien dikatakan sangat dekat dengan ibu dan ayahnya

d. Interaksi subsistemPasien hidup dengan ayah ibu pasien, dan orang tua pasien sangat menyayanginya

D. Keadaaan Sosial Ekonomi SekarangKondisi keuangan keluarga pasien dikatakan kurang dalam pembiayaan kehidupan sehari-hari. Sumber penghasilan berasal dari ayah pasien yang bekerja sebagai pedagang

PEMERIKSAAN STATUS MENTAL A. Deskripsi Umum1. PenampilanPasien seorang laki-laki berusia 17 tahun, tinggi sekitar 160 cm dengan berat sekitar 58 kg. Penampilan sesuai dengan usia, kulit sawo matang, rambut warna hitam dipotong pendek dan tampak rapi. Pasien berpakaian rapi dan bersih. Badan terawat dengan baik dengan kuku kaki dan tangan terpotong pendek.

2. Kesadaran Compos mentis.

3. Sikap terhadap pemeriksaPasien kooperatif, sopan, menjawab pertanyaan dengan baik, konsentrasi kurang.

4. Perilaku dan Aktivitas PsikomotorAktifitas psikomotor selama wawancara, pasien dapat duduk tenang 5. Kemampuan berbicara dan berbahasaPasien berbicara dengan sopan, volume pelan, intonasi rendah, kecepatan normal, lancar dengan irama teratur.

B. Mood, Ekspresi Afektif dan Empati1. Mood: Eutimik 2. Afek: Terbatas3. Keserasian: Serasi.

C. Gangguan PersepsiHalusinasi auditorik dan visual di sangkal.

D. Interaksi orangtua anakPasien terlihat akrab dengan ayah dan ibunya

E. Perpisahan dan Penyatuan KembaliKetika wawancara akan dilakukan secara mandiri dengan pasien, pasien bersikap baik. Pasien duduk di samping pemeriksa dan bersedia menjawab pertanyaan dari pemeriksa. Tidak ditemukan kecemasan, rasa takut atau kekhawatiran pada diri pasien.

F. Proses/ Isi Pikiran Cukup ide.

G. Fantasi dan three wishesKetika di tanyakan mengenai cita-cita, fantasi dan three wishes, pasien mengatakan ingin menjadi supir bis agar bisa membantu orang tuanya

H. InsightTilikan derajat I.

I. Perkiraan Taraf IntelegensiaKemampuan intelegensianya adalah borderline J. Pemeriksaan Diagnostik Lebih Lanjuta. Status internus: keadaan umum gizi cukup dengan penampilan berat badan 58 kg. Tinggi badan 160 cm. Fungsi saluran cerna, pernafasan, dan kardiovaskular dalam batas normal. Tekanan darah tidak dilakukan pemeriksaan, nadi 110 x/menit, suhu: 36,3 C0, dan respirasi 20 x/menit.b. Status neurologikus: kesan dalam batas normal.

III. IKHTISAR TEMUAN BERMAKNATelah dilakukan pemeriksaan An.R, Laki-laki, 17 tahun. Pasien di bawa ke RSJSH oleh ayah dan ibunya karena mengamuk, sebelumnya pernah dirawat di RSJSH sebanyak 4 kali. anak kurang bisa menerima pelajaran dan tidak bisa mengerjakan PR, setiap anak mendapatkan PR selalu ibunya yang mengerjakan. Di sekolah anak termasuk anak yang tidak mempunyai banyak teman karena menurut pengakuan ibunya anak sering dibilang aneh karena mondar mandir sendiri, dan berbicara kasar, sehingga temannya menjauhi dirinya. Menurut ibu pasien kegiatan anak di rumah hanya bermain handphone untuk brwosing forum-forum rohani dan forum dewasa, anak selalu di bantu dalam melakukan aktivitas ksesehariannya seperti mandi, makan, dan memakai baju. Anak belum mampu melakukan aktivitas harian seperti memakai sabuk, melipat baju, memasang kancing baju, dan menggunakan sepatu. Lalu ibu pasien juga mengatakan pasien sering bertindak kasar seperti memukul ayah dan ibunya jika keinginannya tidak terpenuhi. Dan kadang pasien suka membenturkan kepalanya ke tembok jika keinginnannya tidak di kabulkan. Anak mengakui tidak menyukai bermain bola atau bermain seperti anak usia sebayanya, anak lebih senang bermain sendiri dengan handphonenya. Dari pemeriksaan status mental didapatkan pasien laki-laki, penampilan sesuai usia dan tampak rapi. Pasien kooperatif, sopan, menjawab pertanyaan dengan baik, konsentrasi kurang. Aktifitas psikomotor selama wawancara, pasien dapat duduk tenang tetapi respon perilaku lambat. Pasien berbicara dengan sopan, volume pelan, intonasi rendah, kecepatan normal, lancar dengan irama teratur. Mood eutimik, Afek luas, serasi. Perkiraan taraf intelegensia dalam tingkat kecerdasan rata-rata usianya. Status internus dan neurologikus tidak dijumpai masalah.

IV. EVALUASI MULTIAKSIALV. Aksis I: F 90-98 Gangguan perilaku dan emosional onset kanak-remaja Aksis II : Kesan fungsi intelektual dalam taraf kecerdasan dibawah Rata-rata dan orang tua terlalu memanjakan anaknya Aksis III: Perlu evaluasi lebih lanjutAksis IV: Terdapat masalah di lingkugan sekolah dalam proses Pembelajaran dan masalah keluarga Aksis V : GAF 70-61

VI. DAFTAR MASALAHOrganobiologik : Tidak ada riwayat genetik dalam keluargaPsikologik: Pasien mudah marah jika keinginan pasien tidak diturutin oleh ibu pasien.Sosial: Kehidupan sosial pasien kurang baik, pasien tidak bisa bergaul dengan temannya

VII. PROGNOSISAd Vitam : bonamAd Funcionam: dubia ad bonamAd sanationam: dubia ad bonam

Hal yang meringankan: Ibu pasien sangat menyayangi anak semata wayangnya, dan memberikan perhatian sepenuhnya .

Hal yang memberatkan: Pasien merupakan anak tunggal, tidak punya saudara kandung lainnya. Anak tidak memiliki teman dekat seperti anak sebaya lainnnya

VIII. PENATALAKSANAANSensori Integrasi adalah kemampuan tubuh untuk menerima atau mengambil stimulus atau input sensori yang kemudian diproses untuk menghasilkan suatu bentuk respon perilaku yang adap tive atau perilaku yang semestinya terjadi sesuai dengan input yang sensori yang masuk.Ada tiga jenis gangguan SI yaitu Sensory Modulation Disorder, Sensory-Based Motor Disorder dan yang ketiga adalah Sensory Discrimination Disorder. Sensory Modulation Disorder (SMD) suatu kondisi dim ana anak merespon input sensory dengan berlebihan dan lebih cepat atau kondisi sebaliknya dimana anak tidak merespon atau sangat lambat merespon terhadap input sensory yang masuk. Juga termasuk kondisi ini adalah ketika anak mengalami kelaparan input sensori sehingga anak mencari-cari input sensory dan kadang-kadang tidak sesuai dengan situasi yang sedang dikerjakan misalnya anak berlari-lari didepan kelas ketika pelajaran sedang berlangsung. Acapkali anak seperti itu diberi label anak nakal dikelasnya entah oleh gurunya atau teman-teman sekelasnya, padahal anak tersebut mengalami gangguan SMD. Sensory-Based Motor Disorder adalah suatu kondisi dimana anak mengalami kesulitan untuk merencanakan, melakukan, dan mempertahankan gerakan yang dikerjakan dengan halus dan terkoordinasi. Misalnya anak kesulitan untuk meloncat satu kaki ke depan atau kebelakang dengan arah diagonal (zig-zag). Gangguan yang lain pada kondisi ini adalah adanya kelemahan otot-otot tubuh sehingga anak kesulitan mengontrol tubuhnya selama bergerak ataumemfiksasi tubuhnya . Sebagai contoh pada anak yang mengalami kesulitan untuk duduk tegak selama menulis, hasil tulisan akan jelek karena gerakan lengan dan tangan tidak bisa terkontrol. Sensory Discrimination Disorder. Gejala menyolok yang terlihat pada gangguan ini adalah anak akan mengalami kesulitan untuk membedakan input sensori yang hampir sama, sehingga anak memerlukan waktu agak lama untuk mengolah informasi yang masuk. Bisa terjadi anak tidak dapat membedakan antara paper clip dan peniti karena bentuknya yang hampir sama. Tanda dan gejala anak dengan gangguan SI ini sangat bervariasi antara satu dengan yang lain. Anak bisa terlihat overload atau Underload sensori. Pada umumnya gejala yang terlihat adalah anak bisa terlalu sensitif atau tidak sensitif terhadap sensori raba, gerakan, penglihatan atau suara, level aktivitas anak terlalu tinggi atau rendah sama sekali,impulsive, meremas-remas tangan/kakai, gangguan atensi/ tidak memperhatikan input sensori yang berada disekelilingnya, mudah terganggu, kesadaran akan nama anggota tubuh lemah, dan ketrampilan motorik kasar dan halus biasanya jelek. Gejala lain adalah otot-otot tubuh lemah (clumsy), sehingga konsekuensi yang terjadi adalah keseimbangan tubuh anak lemah, koordinasi gerak jelek, kemampuan anak anak untuk melakukan gerakan menyilang garis tengah tubuh lemah, kemampuan anak dalam merencanakan suatu gerakan juga lemah, anak mudah capai dan yang terakhir ketrampilan oral motor anak lemah sehingga anak mungkin memiliki kesulitan untuk mengunyah, menggerakkan lidah dan menelan makanan. Gejala lain yang mungkin terlihat adalah anak mengalami kesulitan untuk memperkirakan jarak dengan benda atau orang lain, ritme, timing dan rutinitas anak terganggu dan anak bisa mengalami kesulitan dalam gerakan transisi (pindah dari satu tempat ke tempat yang lain) dan anak tidak suka adanya perubahan. Masalah sensory integrasi Gangguan Vestibular (keseimbangan) Gangguan Taktil (raba) Gangguan Proprioseptif (sendi) Gangguan Visual (penglihatan) Gangguan Auditory (pendengaran) Gangguan Olfaktory (penciuman) Gangguan Gustatory ( rasa )Bila proses S.I. ini berfungsi dengan baik, maka otak dapat berkembang dengan baik, sehingga pada usia sekolah, si anak akan mampu :1. Memberikan reaksi yang baik terhadap berbagai informasi sensorik yang biasa diterima oleh anak sekolah.2. Menunjukan tingkat perkembangan sensori-motor, kognitif, emosi, dan sosialisasi yang sesuai dengan umurnya.3. Menghadapi berbagai tuntutan akademis yang selalu bertambah sejalan dengan bertambahnya umur anak.Dilain pihak, anak-anak yang mengalami gangguan dalam perkembangan Sensory Integration, dengan perkataan lain mengalami masalah Sensory Integration biasanya menunjukkan berbagai masalah dalam belajar dan/atau perilaku. Anak-anak ini mungkin memperlihatkan satu atau lebih dari gejala-gejala dibawah ini : Hambatan prestasi sekolah Kurang percaya diri Masalah emosi dan/atau sosialisasi Tampak terlalu aktif ataupun terlalu pendiam Perhatiannya mudah teralih KIurang dapat mengontrol diri Terlalu peka atau kurang peka terhadap sentuhan, gerakan, suara, dsb. Gerakannya tampak kikuk tidak luwes atau tampak serampangan Hambatan pada perkembangan keterampailan motorik , bicara, dan/atau pengertian bahasa, Kadang-kadang tamapak tidak peduli pada orang sekitarnya.

Kondisi anak dengan gangguan sensory integrasi Autism Spectrum Disorder (ASD) Down Syndrome (DS) Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADD/ADHD) Aspergers Syndrome (AS) Retardasi Mental (RM) Learning Disability (LD) Keterlambatan wicara Gangguan perkembangan (Cerebal Palsy/CP) Developmental delay (DD)

ADHD adalah gangguan yang bersifat heterogen dengan manifestasi klinis yang beragam. Disamping itu, sampai saat ini belum ada satu jenis terapi yang dapat diakui untuk menyembuhkan anak dengan ADHD secara total. Berdasarkan evidence based, tatalaksana ADHD yang terbaik adalah dengan pendekatan komprehensif beralaskan prinsip Multi Treatment Approach (MTA). Dengan pendekatan ini maka anak selain mendapatkan terapi dengan obat, maka juga diberikan terapi psikososial seperti terapi perilaku (modifikasi perilaku), terapi kognitif perilaku dan juga latihan keterampilan social. Disamping itu juga memberikan psikoedukasi kepada orang tua, pengasuh maupun guru yang sehari-harinya berhadapan dengan anak ADHD. (Wiguna, 2010)Tujuan utama dari tatalaksana anak dengan GPPH adalah memperbaiki pola perilaku dan sikap anak dalam menjalankan fungsinya sehari-hari dengan memperbaiki fungsi kontrol diri, sehingga anak mampu untuk memenuhi tugas tanggung jawabnya secara optimal sebagaimana anak seusianya. Tujuan lainnya adalah memperbaiki pola adaptasi dan penyesuaian social anak sehingga terbentuk suatu kemampuan adaptasi yang lebih baik dan matur sesuai dengan tingkat perkembangan anak. (Wiguna, 2010)1. Pendekatan psikofarmakologi pada penanganan anak dengan GPPHPemberian obat pada anak dengan GPPH sudah dimulai sejak kurang lebih 50 tahun yang lalu. Obat yang merupakan pilihan pertama ialah obat golongan psikostimulan. Dikenal ada 3 macam obat golongan psikostimulan, yaitu Golongan metilfenidat (sediaan tablet 10 mg, dan 20 mg) 0,3-0,7/ KgBB/ hari). Golongan deksamfetamin Golongan pamolinBarkley dkk mengatakan bahwa efektivitas pemakaian obat golongan metal fenidat adalah sebesar 60-70% dalam mengurangi gejala hiperaktivitas-impulsivitas dan inatensi. Dengan demikian, pemberian obat jenis psikostimulan ini dikataka cukup efektif dalam mengurangi gejala-gejala GPPH. Efek samping yang sering ditemukan dalam pemakaian obat golongan ini adalah penarikan diri dari lingkungan social, over focus, letargi, agitasi, iritabel, mudah menangis, cemas, sulit tidur, penurunan nafsu makan, sakit kepala, pusing dan timbulnya tics yang tidak ada sebelumnya. Biasanya efek samping ini timbul pada waktu pemakaian pertama kali atau jika terjadi peningkatan dosis obat yang diberikan. Dengan demikian adanya gejala- gejala diatas dapat menandakan bahwa dosis yang diberikan terlalu tinggi. Biasanya gejala efek samping akan hilang dalam beberapa jam setelah obat dihentikan atau diturunkan dosisnya. Penghentian pemakaian obat golongan psikostimulan biasanya dilakukan secara bertahap untuk terjadinya rebound phenomenon. (Wiguna, 2010)Obat golongan antidepresan juga dikatakan bermanfaat dalam membantu anak dengan GPPH. Obat ini bekerja sebagai inhibitor metabolisme dopamine dan norepineprin. Obat anti depresan seperti imipramin dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan untuk mengurangi gejala GPPH, tetapi mempunyai efikasi yang lebih rendah daripada golongan obat psikostimulan. Efek samping kardiovaskuler, neurologic dan anti kolinergik yang ditimbulkan membuat pemakaian obat ini pada anak menjadi terbatas. Obat antidepresan lain yang sering digunakan saat ini ialah obat antidepresan golongan penghambat ambilan serotonin yang bekerja secara spesifik (SSRI= serotonin specific reuptake inhibitor) misalnya flouxetine. Pemberian flouxetin 0,6 mg/KgBB dikatakan memberikan respons sebesar 58% pada anak dengan GPPH yang berusia 7-15 tahun. (Wiguna, 2010)Obat lain yang juga digunakan dalam tatalaksana anak dengan GPPH adalah obat antidepresan golongan penghambat monoamine oksidase, seperti moclobamide dengan dosis 3-5 mg/KgBB/hari yang dibagi dalam 2 dosis pemberian. Obat golongan antipsikotik atipikal seperti risperidone juga dapat digunakan untuk menurunkan perilaku hiperaktivitas dan agresivitas, walaupun demikian belum banyak penelitian penelitian yang mengungkapkan hasilnya. Obat lainnya yang dapat digunakan adalah obat antikonvulsan seperti golonga carbamazepin dan obat antihipertensi seperti klonidin juga dikatakan bermanfaat dalam mengurangi gejala GPPH pada anak. (Wiguna, 2010)2. Pendekatan psikososial pada penanganan anak dengan GPPH (Wiguna, 2010)a. Adanya pelatihan keterampilan social bagi anak dengan GPPH. Sebagaimana diketahui bahwa anak dengan GPPH seringkali juga disertai dengan perilaku agresivitas dan impulsivitas. Kondisi ini membuat mereka tidak mampu untuk menjalin relasi yang optimal dengan teman-teman sebayanya. Dampak yang cukup sering terjadi ialah mereka disingkirkan oleh kelompok teman sebayanya dan kesulitan untuk mencari teman baru. Hal lain adalah seringnya mereka menjadi kambing hitam karena tanpa sadar teman, guru atau lingkungan cenderung member label negative terhadap perilaku mereka sehari-hari. Tidak jarang mereka juga seringkali diperdaya oleh teman-teman mereka. Semua hal ini membuat beban anak-anak GPPH akan bertambah berat. Oleh karena itu diperlukan suatu pelatihan keterampilan social bagi mereka, dengan harapan mereka akan lebih mengerti norma social yang berlaku dan berperilaku serta bereaksi sesuai dengan norma yang ada.b. Edukasi bagi orang tua dan guru. Banyak orang tua dan guru merasa belum mengerti akan GPPH sepenuhnya. Kondisi ini membuat mereka ragu akan diagnosis maupun tatalaksana yang dianjurkan. Untuk itu sangat dianjurkan untuk anak dengan GPPH beserta orang tua dan guru mendapat suatu bentuk terapi perilaku yang disebut modifikasi perilaku.c. Modifikasi perilaku merupakan suatu teknik terapi perilaku dengan menggunakan prinsip ABC (Antecedent Behaviour, and Consequence). Antecedent adalah semua bentuk sikap, perilaku dan juga kondisi yang terjadi sebelum anak menampilkan perilaku tertentu, misalnya cara orang tua/guru memberikan instruksi pada anak. Behavior adalah perilaku yang ditampilkan oleh anak (yang sebenarnya ingin diubah) dan Consequence adalah reaksi orang tua/guru yang terjadi setelah anak menunjukkan perilaku tertentu. Dalam modifikasi perilaku maka orang tua dan guru diharapkan untuk merubah antecedents dan juga consequentnya sehingga diharapkan anak juga dapat merubah perilaku yang tadinya kurang adaptif menjadi lebih adaptif dengan lingkungan sekitarnya. Teknik ini pada umumnya membutuhkan waktu yang cukup lama dan sebaiknya dijalankan secara konsisten, sehingga hasilnya akan tampak lebih jelas.d. Selain itu edukasi dan pelatihan pada guru merupakan hal sangat penting karena salah satu permasalahan utama pada anak dengan GPPH adalah permasalahan akademik. Selain itu, pelatihan dan edukasi ini juga akan menghindari terjadinya stigmatisasi pada anak dengan GPPH, sehingga menghindari adanya anggapan buruk terhadap anak-anak ini, misalnya cap sebagai anak nakal, bandel atau malas dsb. Pendekatan sekolah merupakan hal yang sangat penting mengingat bahwa sebagian besar waktu anak dihabiskan di sekolah. Tingkat pemahaman guru yang baik akan GPPH ini diharapkan akan meningkatkan kemampuan guru dalam mengempati sikap, perilaku dan reaksi emosi anak didik mereka yang mengalami GPPH. Untuk memenuhi kebutuhan ini maka perlu dipertimbangkan untuk mengembangkan upaya kesehatan mental di sekolah yang melibatkan guru kelas, orang tua, konselor, psikolog dan juga psikiater anak.e. Kebutuhan akan kelompok dukungan keluarga (family support group) atau kelompok antar orang tua. Puotiniemi dan Kyngas (2002) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa adanya kelompok dukungan orang tua yang memiliki permasalahan yang sama akan meningkatkan daya penyesuaian serta reaksi yang lebih positif terhadap anak mereka. Di dalam kelompok ini, orang tua akan merasa lebih nyaman dan secara terbuka dapat mengemukakan masalah yang dihadapi anak mereka, serta lebih mudah mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Dengan adanya kondisi ini maka orang tua akan mendapat dukungan emosional dari sesame orang tua dan mengurangi penderitaan yang dialami dan belajar dari pengalaman praktis dari pada orang tua lainnya.

IX. DISKUSI ADHD merupakan gangguan neurobehavioral yang paling sering pada masa anak anak. Biasanya pertama kali di diagnosis pada saat anak anak. Anak dengan ADHD memiliki masalah dalam memusatkan perhatian, mengontrol tingkah laku dan pada beberapa kasus disertai dengan hiperaktivitas.Penentuan diagnosis pasien ini berdasarkan pada kriteria diagnosis yang tersusun dalam DSM IV. Dari 5 kriteria utama yang tercantum dalam criteria tersebut pasien ini memenuhi beberapa kriteria diantaranya : Gejala tidak mampu memusatkan perhatian : sering tidak mendengarkan pada waktu diajak bicara langsung, perhatiannya sering mudah dialihkan oleh rangsangan dari luar Gejala hiperaktivitas dan impulsivitas : sering tangan dan kakinya tidak bisa diam atau tidak bisa duduk diam, sering meninggalkan tempat dimana diharapkan untuk diam di tempat, sering berlari atau memanjat secara berlebihan, sering mengalami kesulitan bermain atau mengikuti kegiatan waktu senggang dengan tenang. Gejala hiperaktif-impulsivitas atau tidak mampu memusatkan perhatian telah ada sebelum usia 7 tahun Kegagalan yang ditimbulkan oleh gejala gejala tersebut tampak pada dua atau lebih tempat Didapatkan bukti yang jelas adanya kegagalan yang bermakna secara klinis pada fungsi sosial, akademik dan okupasionalTujuan : Memperbaiki pola perilaku, pola adaptasi dan penyesuaian sosialMulti treatment approach (MTA) : Terapi obat, psikososial, kognitif dan ketrampilan sosial1. Psikofarmakologi Obat golongan psikosimultan Golongan metilfenidat Golongan deksamefetamin Golongan pamolin2. Psikososial Pelatihan ketrampilan sosial untuk anak Edukasi orangtua dan guru Modifiksi perilaku ABCDimana hal tersebut sebagian diantaranya telah terjadi pada saat masih batita. Berdasarkan pada hal tersebut maka pasien ini didiagnosis ADHD.Selama ini pasien mendapatkan terapi risperidon 2x2mg, THP 2x2mg, lorazepam 2mg 1x1 cth, aripriprazol syr 1x10mg. Menurut pengakuan ayah pasien selama minum obat keluhan hiperaktifitas mulai berkurang, namun setelah obatnya habis pasien mulai kambuh lagi. Hal ini yang membuat ayah pasien membawa pasien ke RSJSHTerapi farmakologi pilihan untuk pasien dengan ADHD ialah golongan metilfenidat. Dengan golongan obat ini memiliki efektivitas sebesar 60-70% dalam mengurangi gejala hiperaktivitas-impulsivitas dan inatensi. Dapat juga digunakan obat obatan golongan antidepresan (SSRI dan MAOI) sebagai inhibitor metabolism dopamine dan norepinefrin. Obat golongan antipsikotik atipikal juga dapat digunakan untuk menurunkan perilaku hiperaktivitas dan agresivitas.Atas dasar ini pemberian terapi farmakologi yang diberikan cukup tepat untuk mengurangi gejala ADHD dan juga disertai terapi psikososial dengan upaya bersama dari orang-orang sekitar pasien dibantu oleh tenaga kesehatan seperti dokter spesialis anak dan psikiater. Pendekatan yang dapat dilakukan diantaranya; Adanya pelatihan keterampilan social bagi anak, Edukasi bagi orang tua dan guru, Modifikasi perilaku merupakan suatu teknik terapi perilaku dengan menggunakan prinsip ABC (Antecedent Behaviour, and Consequence) serta dukungan dari orang orang terdekat.

DAFTAR PUSTAKA

emedicine. (2010). Retrieved desember 22, 2010, from emedicinehealth: http://www.emedicinehealth.com/attention_deficit_hyperactivity_disorder/article_em.htmPhillips, D. S., & Mersch, J. (2010). Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Retrieved Desember 25, 2010, from Medicinet.com: http://www.medicinenet.com/attention_deficit_hyperactivity_disorder_adhd/article.htmSaputro, D. (2009). ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder). Jakarta: CV. Sagung Seta.Wiguna, T. (2010). Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH). In S. D. Elvira, & G. Hadisukanto (Eds.), Buku Ajar Psikiatri (pp. 441-454). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.Ayres, J.A. (2005). Sensory Integration and The Child: Understanding Hidden Sensory Challenges (25th Anniversary Ed.). L.A.: Western Psychological Service.Bundy, A.C., Lane, S.J. & Murray, E.A. (2002). Sensory Integration Approach: Theory and Practice (2nd ed.). Philadelphia: F.A. Davis CompanyGreenspan, S.I. (1985): First Feeling: Milestones in The Emotional Development of Your Baby and Child, New Zealand, Penguin Group.

10