kasus 3au

55
Laporan kasus EPILEPSI Pembimbing : Pembimbing : Dr. Attiya Rahma,SpS OLEH : Tri Ayu Wulandari S.Ked G1A106043 KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JAMBI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI 2013 1

Transcript of kasus 3au

Page 1: kasus 3au

Laporan kasusEPILEPSI

Pembimbing :Pembimbing : Dr. Attiya Rahma,SpS

OLEH :Tri Ayu Wulandari S.Ked

G1A106043

KEPANITERAAN KLINIK SENIORBAGIAN KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU

NEUROLOGIFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JAMBIRSUD RADEN MATTAHER JAMBI

2013

1

Page 2: kasus 3au

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Kr

Umur : 33 tahun

Alamat : rt 27 Bayung lincir

Pekerjaan : ibu rumah tangga

Masuk bangsal : 9 September

No. RM : 738277

DAFTAR MASALAH

NnnnnkNo Masalah aktif Tanggal Masalah pasif Tanggal

1 Kejang 9-9-2013

2 Nyeri kepala 9-9-2013

B. ANAMNESIS tanggal 18 Maret 2013 (Alloanamnesis)

1. Keluhan Utama : kejang

2. Lokasi : kejang seluruh tubuh

3. Onset : Tiba-tiba kejang saat pasien sedang beraktifitas

4. Kualitas : pasien sering mendapat serangan saat beraktivitas dan saat

pasien banyak masalah, kejang seluruh tubuh, saat kejang pasien tidak sadar,

badan kaku dan bergetar, mata terbuka melotot, keluar air liur, setelah kejang

pasien merasa lemas, kadang timbul nyeri kepala dan tampak seperti orang

bingung serta mengantuk.

5. Kuantitas : dalam 6 bulan terakhir pasien mengalami kejang dengan

frekuensi ± 2 minggu sekali dan berulang. Durasi kejang pasien selama 10-15

menit. 3 jam sebelum ke RSU Raden Mattaher Jambi pada tanggal 9

September 2013 pasien mengalami kejang sebanyak 4 kali, dengan durasi 10-

15 menit, dan diikuti fase istirahat selama ± 10 menit.

6. Kronologis :

± 3 jam SMRS Pasien datang ke IGD RSUD Raden Mataher bersama

keluarga dengan keluhan kejang. Sensasi mencium bau tidak sedap atau sensasi

kerlipan lampu sebelum kejang atau rasa mual sebelum kejang (-). Kejang seluruh

2

Page 3: kasus 3au

tubuh, saat kejang pasien tidak sadar, badan kaku dan bergetar, mata terbuka

melotot, keluar air liur,. Pada saat kejang, pasien tidak sadar. Kejang berhenti

dengan sendirinya. Pasien mengalami kejang sebanyak 4 kali, dengan durasi 10-

15 menit, dan jarak antara kejang yang pertama dan selanjutnya selama ± 10

menit. Setelah kejang pasien merasa lemas. Kelemahan pada anggota gerak (-),

kesulitan dalam bicara/pelo (-). Pasien sering mendapat serangan saat beraktivitas,

timbul nyeri kepala dan tampak seperti orang bingung serta mengantuk. Saat

dibawa ke IGD pasien dalam keadaan bingung dan gelisah.

±6 bulan yll pasien mengalami kejang dengan frekuensi ± 2 minggu sekali

dan berulang. Durasi kejang pasien selama 10-15 menit. Kelemahan anggota

gerak (-), bicara pelo(-). Pasien pertama kali mengalami kejang ± 17 tahun yang

lalu. Umumnya pasien mengalami kejang dengan frekuensi 2 bulan sekali dengan

durasi 15-20 menit. Keluarga tidak membawa pasien berobat dan hanya

mendiamkannya saja. ± 12 tahun yll, keluarga membawa pasien berobat ke poli

syaraf, namun keluarga tidak menyelesaikan pengobatan karena keterbatasan

biaya dan jarak tempuh.

Menurut pengakuan keluarga serangan kejang meningkat saat pasien

sedang hamil. BAB dan BAK seperti biasa saat sebelum menderita kejang.

7. Faktor yang memperberat :

Apabila pasien mengalami kelelahan karena aktivitasnya dan emosi

8. Faktor yang memperingan : beristirahat dari aktivitas.

9. Gejala penyerta : nyeri kepala

10. Riwayat Penyakit Dahulu : asfiksia neonatus (+), pasien pernah mengalami

kejang demam kompleks pada saat usia 6 bulan, riwayat trauma kepala (-),

11. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit serupa.

C. DATA OBYEKTIF

1. Status present

Denyut nadi : 82 x/menit

Tekanan darah : 120/60 mmHg

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 37,00 C

3

Page 4: kasus 3au

2. Status Internus

Kepala : Mesochepal, simetris, ukuran normochepal, penglihatan kabur dan

pendengaran (-)

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar limpa, kaku kuduk (-).

Thorak :

Pulmo

Inspeksi : Simetris, ketinggalan gerak (-)

Palpasi : Ketinggalan gerak (-), vokal fremitus kanan = kiri

Perkusi : Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : iktus kordis tidak teraba

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Inspeksi : Permukaan datar, venektasi tidak ada

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan (-), supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Ekstremitas : Akral hangat, nadi kuat angkat, CRT < 2 detik

3. Status Neurologis

Keadaan Umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis ; GCS : E4V5M6

Orientasi : Orang (baik), Waktu (baik), Tempat (baik), Situasi (baik).

Daya Ingat : Baru (baik), Lama (baik)

SARAF-SARAF OTAK

Kanan Kiri

N I (Olfaktorius)

Daya Penghidu + +

N II (Optikus) Kanan Kiri

Daya penglihatan + +

Pengenalan warna tidak dilakukan tidak dilakukan

4

Page 5: kasus 3au

Medan penglihatan tidak dilakukan tidak dilakukan

N III (Okulomotorius)

Ptosis - -

Gerakan bola mata ke :

Superior + +

Inferior + +

Medial + +

Ukuran pupil 3 mm 3 mm

Bentuk pupil bulat bulat

Reflek cahaya langsung + +

N IV (Troklearis)

Gerak bola mata ke lateral bawah + +

Diplopia - -

N V (Trigeminus)

Menggigit + +

Membuka mulut + +

N VI (Abdusens)

Gerakan mata ke lateral + +

N VII (Facialis)

Kerutan kulit dahi + +

Kedipan mata + +

Mengerutkan dahi + +

Menutup mata + +

N VIII (Akustikus)

Mendengar suara + +

N IX (Glosofaringeus)

Refleks muntah tidak dilakukan tidak dilakukan

Sengau - -

N X (Vagus)

Bersuara + +

Menelan + +

N XI (Asesorius)

Memalingkan kepala + +

Mengangkat bahu + +

5

Page 6: kasus 3au

N XII (Hipoglosus)

Sikap lidah N N

Tremor lidah - -

Menjulurkan lidah + +

EKSTREMITAS

Gerakan : bebas/bebas bebas/bebas

Kekuatan otot : 5/5 5/5

Sensibilitas : baik

Reflek fisiologis :

Refleks patologis :

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

WBC = 5,7 103/mm3

RBC = 4,60 106/mm3

HGB = 14,2 gr/dl

HCT = 41,4 %

PLT = 185 103/mm3

PCT = ,128 %

GDS = 121 mg /dl

Elektrolit

Na = 141,6 mmol/L

K = 3,8 mmol/L

Cl = 113,9 mmol/L

Kimia darah lengkap

Bilirubin total = 0,5 mg/dl

Bilirubin direk = 0,3 mg/dl

Bilirubin indirek = 0,2 mg/dl

Protein total = 7,0 gr/dl

6

+ +

+ +

- -

- -

Page 7: kasus 3au

Albumin = 4,4 gr/dl

Globulin = 2,6 gr/dl

Faal ginjal

Asam urat = 4,0 mg/dl

Ureum = 18,9 mg/dl

Kreatinin = 0,9 mg/dl

Faal lemak

Cholesterol = 133 mg/dl

Trigleserida = 131

HDL = 50 mg/dl

LDL = 76 mg/dl

GDS = 158 mg/dl

E. PEMERIKSAAN ANJURAN

- EEG

- CT SCAN

F. DIAGNOSA

Diagnosa klinis : Epilepsi umum tipe tonic-clonic seizures

Diagnosa topik : korteks serebri

Diagnosa etiologi : Epilepsi sekunder e.c asfiksia neonatus

G. DIAGNOSIS BANDING

Status epileptikus

Ensefalitis

Ensefalomeningitis

Kejang histeria

7

Page 8: kasus 3au

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Epilepsi adalah gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh

terjadinya serangan yang terjadi secara berulang, bersifat spontan (unprovoked) dan

berkala yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal secara berlebihan

pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh beberapa etiologi.

Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan

sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan

berirama.

Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali

saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan occasional

provoked seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemi. Menurut

International League Against Epilepsy, epilepsy dapat didiagnosis setelah mengalami

satu kali kejang, jika seseorang berada dalam kondisi dimana mereka memiliki risiko

tinggi untuk menderita kejang lagi. Kejang pada epilepsy mungkin berhubungan

dengan trauma otak atau kecenderungan keluarga tetapi kebanyakan penyebab

epilepsy tidak diketahui.

Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) merupakan manifestasi klinik dari

bangkitan serupa (stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara

dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik

sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak

akut (unprovoked). Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda

klinik epilepsi yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi,

umur, awitan, jenis bangkitan, faktor pencetus dan kronisitas.

B. ETIOLOGI

Secara umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat timbul jika

terjadinya pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak,

sehingga menyebabkan terganggunya fungsi otak. Ditinjau dari penyebab epilepsi

dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

1. Epilepsi primer/idiopatik (tidak ditemukan penyebabnya)

Pada epilepsi primer, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga

bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-

8

Page 9: kasus 3au

sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Gangguan keseimbangan

kimiawi ini dapat menimbulkan cetusan listrik yang abnormal, tetapi mengapa

tepatnya dapat terjadi suatu kelainan kimiawi yang hanya terjadi sewaktu-

waktu dan menyerang orang-orang tertentu belum diketahui.

2. Epilepsi sekunder (epilepsi yang penyebabnya diketahui)

Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat

dari adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena

dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak

pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak. Penyebab spesifik dari

epilepsi sebagai berikut :

Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin

contohnya ibu mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat merusak

otak janin, minum-minuman alkhohol atau mendapatkan terapi

penyinaran, mengalami infeksi atau mengalami cidera.

Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen y

angmengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.

Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak

Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama

pada anak-anak.

Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak

Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

Penyakit keturunan seperti fenilketonuria, sklerosis tuberosa, dan

neurofibromatosis dapat menimbulkan kejang berulang.

Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini

disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari

normalnya yang diturunkan pada anak. Bila salah satu orangtua atau

saudara kandung menyandang epilepsi, maka kesempatan mendapat

epilepsy pada anak adalah 5%, tetapi bila kedua orang tua menyandang

epilepsi, maka kesempatan anak dengan epilepsi adalah 10%.

Adapun menurut beberapa teori, terjadinya epilepsy dapat disebabkan:

a) Berubahnya keseimbangan neurotransmitter

Neurotransmitter eksitasi di SSP umumnya diwakili oleh asam amino

Glutamat dan sebagian kecil oleh Aspartat. Sedangkan untuk

pengendalian fungsi hambat/pengereman diserahkan pada GABA

9

Page 10: kasus 3au

(Gamma Amino Butiric Acid). Pada orang normal fungsi eksitasi dan

inhibisi berada dalam keadaan yang seimbang. Namun pada epilepsy

diduga terjadi pergeseran keseimbangan ini sehingga fungsi ektasi

menjadi berlebihan, atau sebaliknya terjadi penurunan fungsi inhibisi.

b) Perubahan homeostatic ionic

Menurunnya kemampuan untuk mengatur secara ketat milieu ion

ekstra seluler. Secara teoritis diduga menjadi penyebab terjadinya

seizure. Calcium dan Kalium banyak berperan disini. Namun chloride,

Magnesium dan terkadang Zinc juga punya peranan. Ion-ion ini terlibat

dalam stabilisasi potensial membrane neuron, mengatur pelepasan

neurotransmiiter dan memodulasi respon dari reseptor

neurotransmitter.

c) Penyusunan kembali sirkuit neuronal

Pemutusan perjalanan neuron oleh sebab apapun dapat mengakibatkan

terjadinya perubahan hubungan antar neuron yang dikenal sebagai

Synaptic Rearrangement. Kemampuan untuk menyusun kembali

hubungan antar neuron (synaps) ini adalah normal untuk otak yang

sehat, yang juga terjadi sebagai reaksi terhadapnya adanya jejas

(injury). Penyusunan kembali ini alamiahnya terjadi secara acak,

sehingga lesi yang identik sekalipun tidak selalu mengakibatkan

terjadinya epilepsy, tergantung keseimbanan komposisi antara synaps

yang bersifat inhibisi dan eksitasi. Epilepsy timbul bila synaps yang

bersifat inhibisi berkurang atau synaps yang bersifat eksitasi tumbuh

berlebihan.

10

Page 11: kasus 3au

3. GANGGUAN FUNGSI LUHUR

Otak merupakan organ untuk berfikir yang dapat terganggu oleh berbagai

sebab seperti stroke. Bagian tertentu otak mernpunyai fungsi khusus, fungsi luhur

dalam keadaan normal merupakan fungsi integritas tertinggi otak yang dapat dinilai.

Gambar 2. Anatomi susunan lapisan otak

Kerusakan otak unilateral akan memberikan gejala berbeda. Hemisfer kiri

merupakan hemisfer dominan untuk orang tangan kanan (right handed). Orang kidal

80% hemisfer dominan tetap dikiri. Kerusakan hemisfer kiri akan memberi gejala

gangguan bahasa / aphasia, sedang hemisfer kanan terutama visuospatial.

Dalam status neurologi, kita mengenal beberapa istilah berikut:

1. Afasia sensorik (afasia Wernicke)

Merupakan gangguan cara berbahasa, dimana penderita kehilangan daya untuk

mengubah kata-kata menjadi suatu faham.

2. Afasia motorik (afasia Broca)

Merupakan gangguan cara berbahasa, dimana penderita kehilangan daya untuk

mengubah suatu faham menjadi kata-kata.

3. Aleksia

Kehilangan daya untuk membaca, meskipun penglihatannya baik (bukan buta

huruf)

4. Agrafia

Kehilangan daya atau kemampuan untuk menulis, walaupun penderita tidak

mengalami lumpuh, tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada gangguan koordinasi,

serta tidak ada gangguan ekstrapiramidal

11

Page 12: kasus 3au

5. Apraksia

Kehilangan daya atau kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan yang

tangkas meskipun penderita tidak mengalami lumpuh, tidak ada gangguan

sensibilitas, tidak ada gangguan koordinasi, serta tidak ada gangguan ekstrapiramidal.

6. Agnosia

Kehilangan daya atau kemampuan untuk mengenal benda-benda walaupun

semua panca indera-nya baik

Gambar 3. Fungsi dan anatomi otak

a. Lobus frontalis

Fungsi lobus frontalis antara lain :

1. presental gyrus merupakan area motor kontralateral dari wajah, lengan, tungkai,

batang.

2. area Brocca's merupakan pusat bicara motorik pada lobus dominan.

3. suplementari motor area untuk gerakan kontralateral kepala dan lirikan mata.

4. area prefrontal merupakan area untuk kepribadian dan inisiatif.

5. lobulus parasental merupakan pusat kontrol inhibisi untuk miksi dan defikasi.

12

Page 13: kasus 3au

Gangguan lobus frontalis antara lain :

1. presentral gyrus: monophlegi atau hemiphlegia

2. area Brocca : disfasia

3. suplementari motor area : paralysis kepala dan gerakan bola mata berlawanan arah

lesi, sehingga kepala dan mata kearah lesi hemisfer

4. area prefrontal: kerusakan sering bilateral karean gangguan aneurisma a.

communican anterior, mengakibatkan gangguan tingkah laku / kehilangan inhibisi.

Ada 3 sindroma prefrontal :

- Sindroma orbitofrontal : disinhibisi. fungsi menilai jelek, emosi labil.

- Sindroma frontal konveksitas : apati. indiferens. pikiran abstrak.

- Sindroma frontal medial: akineti, inkontinen, sparse verbal output

5. Lobulus parasentral : inkontinentia urin at alvi.

b. Lobus parietal

Fungsi lobus parietal antara lain :

1. gyrus postcentral : merupakan kortek sensoris yang menerima jaras afferent dari

posisi, raba dan gerakan pasif.

2. gyrus angularis dan supramarginal : hemisfer dominan merupakan bagian area

bahwa Wernic’s, dimana masukkan auditori dan visual di integrasikan. Lobus non

dominan penting untuk konsep " body imge", dan sadar akan lingkungan luar.

Kemampuan untuk kontruksi bentuk, menghasilkan visual atau ketrampilan

proprioseptik. Lobus dominan berperan pada kemampuan menghitung atau kalkulasi.

Jaras visual radiatio optika melalui bagian dalam lobus parietal.

Gangguan lobus parietal antara lain :

1. gangguan korteks sensoris dominan / non - dominan menyebabkan kelainan sensori

kortikal berupa gangguan : sensasi postural, gerakan pasif, lokalisasi akurat raba

halus, " two points discrimination", astereognosia," sensory inattention"

2. gyrus angularis dan supramarginal : aphasia Wernicke's

3. lobus non - dominan : anosognosia (denies), dressing apraksia, geografikal agnosia,

konstruksional apraksia.

4. lobus dominan : Gerstsman sindroma : left & right disorientasi, finger agnosia,

akalkuli dan agrafia.

5. gangguan radiasio optika : homonim kuadrananopsi bawah.

c. Lobus temporalis

13

Page 14: kasus 3au

Fungsi lobus temporal antara lain :

1. kortek auditori terletak pada permukaan gyrus temporal superior ( = gyrus Heschl).

Hemisfer dominan penting untuk pendengaran bahasa, sedang hemisfer non -

dominan untuk mendengar nada, ritme dan musik.

2. gyrus temporalis media & inferior berperan dalam fungsi belajar & memori.

3. lobus limbic : terletak pada bagian inferior medial lobus temporal, termasuk

hipokampus & gyrus parahipokampus. Sensasi olfaktoris melalui jaras ini, juga

emosi / sifat efektif. Serabut olfaktori berakhir di uncus.

4. jaras visual melalui bagian dalarn lobus temporal sekitar cornu posterior ventrikel

lateral.

Gangguan lobus Temporal antara lain :

1. kortek auditori : tuli kortikal. Lobus dominan ketulian untuk mendengar

pembicaraan atau amusia pada lobus non - dominan

2. gyrus temporal media & infrior : gangguan memori / belajar

3. kerusakan lobus limbic : halusinasi olfaktori seperti pada bangkitan parsial

komplek. Agresif / kelakuan antisosisal, tidak mampu untuk menjaga memori baru.

4. kerusakan radiasio optika : hemianopsi homonim kuadranopia bagian atas.

d. Lobus occipital

Gangguan fungsi lobus occipital antara lain :

1. Lesi Kortikal

Lesi kortikal memberikan gejala homonim dengan / tanpa kelainan macula. Bila

hanya kutub occipital terkena maka kelainan macula dengan penglihatan perifer

normal. Buta kortikal : Karena lesi kortikal yang luas, reflek pupil normal & persepsi

cahaya (- ). Anton's sindroma : Kerusakan striata dan para striata menyebabkan

kelainan interpretasi visual. Pasien tidak sadar buta dan menyangkal. Karena kelainan

arteri cerebri posterior, juga dapat mengikuti hipoksia & hipertensi ensefalopati. Balin

sindroma : tidak bisa melirikkan mata volunteer disertai visual agnosia, karena lesi

parieto-occipital bilateral.

2. Halusinasi visual

Halusinasi karena lesi occipital biasanya sederhana, tampak sebagai pola (zigzag,

kilatan) dan mengisi lapangan hemianopsi, sedang halusinasi karena lobus temporal

berupa bentuk komplek clan mengisi seluruh lapang pandang.

3. Ilusi visual : distoris bentuk, hilangnya warna, makropsia / mikrosia, sering pada

lesi non - dominan.

14

Page 15: kasus 3au

4. Prosopagnosia : pasien mengenal wajah orang tidak bisa menyebutkan namanya.

5. Brocca dysphasia : bicara tak lancar, tertahan, pengertian baik.

6. Wernicke dysphasia: pengertian terganggu, bicara lancar tapi tak bearti,

neologisme, paraphrasia, tulisan jelek.

7. Global dysphasia : bicara tak lancar, pengertian jelek.

4. KEJANG PASCA TRAUMA (Post Traumatic Seizure)

Kejang dapat terjadi segera setelah trauma kepala, hal ini telah dikenal dan

mempunyai karakter yang berbeda dari kejang yang terjadi kemudian. Adapun

klasifikasi kejang karena trauma, yaitu :

a. Immediate seizure

Terjadi dalam beberapa jam sampai 24 jam setelah trauma kepala.

b. Early-post traumatic seizure

Dimana terjadi dalam 7 hari pertama setelah trauma kepala. Hal ini meliputi

5% dari kasus cedera kepala yang dirawat di rumah sakit. Hubungannya sudah

jelas antara kejadian early seizure dengan beratnya trauma kepala. Sepertiga

pasien dengan SDH dan ICH dapat terjadi early seizure. Epidural hematoma

dan fraktur impresi di frontal, temporal atau parietal, cedera otak fokal atau

cedera yang diikuti dengan amnesia lebih dari 24 jam maka kira – kira 10%

akan timbul insiden early seizure. Hal ini juga merupakan prediktor yang

penting untuk resiko timbulnya late post traumatic seizure.

c. Late – post traumatic seizure

Adalah kejang yang terjadi setelah 1 minggu pertama setelah cedera kepala.

Beratnya trauma kepala adalah penentu utama dari timbulnya kejadian ini.

Hampir setengah penderita dengan SDH dan ICH atau luka tembus peluru

akan timbul .

Istilah post – traumatic epilepsy sering saling tukar penggunaannya

dengan istilah post – traumatic seizure, meskipun secara teknis istilah epilepsi

berarti telah terjadi 2 atau lebih seizure yang timbul kemudian tanpa adanya

profokasi. Ada sekitar 20% dari orang yang mengalami satu kali kejang pasca

trauma dan tidak pernah berulang lagi, orang tersebut tidak harus disebut

sebagai epilepsi pasca trauma.

5. EPILEPSI PASCA TRAUMA (Post Traumatic Epilepsi)

15

Page 16: kasus 3au

Epilepsi pasca trauma merupakan bentuk dari late post traumatic seizure yang

berulang. Individu yang mengalami trauma kepala mempunyai resiko untuk

berkembang menjadi epilepsi bila dibandingkan dengan populasi umum. Lima persen

dari semua kasus epilepsi diakibatkan oleh trauma kepala. Meskipun trauma kepala

memiliki kontribusi yang sedikit untuk terjadinya epilepsi, namun apabila

penanganannya tepat maka terjadinya epilepsi dapat dihindarkan.

Early seizure terjadi 2% sampai 5% dari pasien yang menderita trauma kepala,

dan lebih sering terjadi pada anak – anak daripada dewasa. Jika trauma kepala sangat

berat maka insidensi akan meningkat antara 10% - 15% pada dewasa dan 30% - 35%

pada anak – anak. Pada orang dewasa, angka kejadian early seizure yang diikuti oleh

late seizure sebesar 25% - 35%.

Jenis dan keparahan dari trauma kepala juga mempengaruhi terjadinya epilepsi

paska trauma. Faktor resiko terjadinya late seizure ( single atau multiple ) adalah

adanya kontusio otak dengan disertai hematom subdural, fraktur tengkorak,

kehilangan kesadaran, dan amnesia untuk lebih dari 1 hari.

Untuk trauma kepala tertutup, kejadian late seizure pada tahun pertama

sebesar 60% dari total populasi.

Jenis epilepsi yang sering timbul akibat trauma kepala biasanya adalah jenis

tonik klonik, dan untuk jenis absence jarang sekali diakibatkan oleh trauma kepala.

Mekanisme terjadinya epilepsi paska trauma ini masih di selidiki. Banyak ahli

mengatakan bahwa epilepsi ini disebabkan karena adanya sisa darah dari perdarahan

intrakranial yang berada pada parenkim otak. Kemungkinan juga adanya faktor

genetik pada individu untuk berkembangnya epilepsi setelah mengalami trauma

kepala, meskipun bukti – bukti yang menunjang masih sedikit

Patofisiologi

Perubahan struktur dan fisiologis yang menimbulkan kejang pasca trauma

belum begitu banyak dipahami, tetapi faktor yang menginisiasikannya dan

menimbulkan perubahan tersebut sudah diketahui antara lain perubahan struktural,

listrik dan biokimia, hipersensitif post sinap, menurunnya mekanisme inhibisi,

timbunan besi karena perdarahan, faktor genetik dan lain-lain.

Pemeriksaan secara histopatologi dari jaringan otak setelah terjadi trauma

memperlihatkan terjadinya suatu gliosis yang reaktif, axon retraction ball, degenerasi

Wallerian dan formasi mikroglial dalam lesi di massa putih. Mekanisme dari

16

Page 17: kasus 3au

patofisiologinya diketahui melalui 2 cara yaitu karena adanya timbunan besi dan

terjadi aktifasi dari kaskade asam arakidonat.

Laserasi korteks serebri atau kontusio menyebabkan keluarnya sel darah

merah kemudian terjadi hemolisis dan timbunan sel darah merah. Besi dilepaskan dari

hemoglobin dan transferin. Besi dan komponen lainnya telah diketahui mempengaruhi

peningkatan kalsium di dalam sel. Aktifasi kaskade asam arakidonat menimbulkan

pembentukkan DAG (diacylglycerol) dan IP3 (inositoltidyl phospytate). Peningkatan

IP3 menyebabkan pelepasan kalsium intrasel dan memodifikasi kanal kalsium yang

akhirnya akan meningkatkan konsentrasi kalsium dalam sel dan hal ini menimbulkan

kerusakkan eksitotoksis dari sel neuron. Sel yang mati dan reaktif gliosis dapat

menimbulkan formasi jaringan parut glia, hal ini akan membentuk episenter dari

fokus yang hipereksitasi. Fokus epileptogenik ini terbentuk kira-kira 8 minggu setelah

terjadinya trauma kepala.

6. KLASIFIKASI EPILEPSI

Bentuk serangan epilepsi bermacam-macam. Pada sebagian besar penderita

epilepsi didapatkan penurunan kesadaran atau kesadaran menghilang sewaktu

serangan. Menghilangnya kesadaran ini dapat disertai oleh gerakan-gerakan motorik.

Serangan epilepsi dapat dibagi menjadi dua ketegori yaitu serangan parsial dan

serangan umum. Apabila awal serangan hanya melibatkan area otak yang terbatas

(localized) maka serangan epilepsi disebutkan sebagai serangan parsial. Sementara itu

apabila awal serangan melibatkan kedua hemisferium otak maka serangan epilepsi

disebut sebagai serangan umum.

Klasifikasi epilepsi berdasarkan International League Against Epilepsi (ILAE

1981) :

I. Epilepsi Parsial (fokal, local), kesadaran tidak berubah

Epilepsi parsial adalah serangan epilepsi yang bangkit akibat lepas

muatan listrik di suatu daerah di korteks serabut (terdapat suatu fokus

di korteks serebri).

a. Serangan parsial sederhana (tanpa hilangnya kesadaran)

i. Dengan gejala motorik

Fokus epilepsi biasanya pada girus presentralis lobus

frontalis (pusat motorik). Kejang dimulai dari ibu jari,

meluas ke seluruh tangan, lengan, muka, dan tungkai.

17

Page 18: kasus 3au

kadang-kadang berhenti pada satu sisi. Akan tetapi bila

rangsangannya sangat kuat maka menjadi kejang umum

yang disebut Jackson motoric epilepsy.

ii. Dengan gejala sensorik

Fokus epilepsi di girus postsentralis lobus parietalis.

Penderita merasa kesemutan pada daerah ibu jari,

lengan, muka dan tungkai, tanpa kejang motoris, yang

dapat meluas ke sisi yang lain. Disebut dengan Jackson

sensoric epilepsy.

iii. Dengan gejala autonom

iv. Dengan gejala psikis

Gambar 4. Kejang parsial sederhana

b. Serangan parsial kompleks (kesadaran menurun)

Epilepsi parsial komplek adalah epilepsi parsial yang disertai

dengan gangguan kesadaran. Tanda-tanda yang menonjol

terutama adalah gejala psikis dan automatisme, disebut juga

epilepsi psikomotor. Pada epilepsi jenis ini, meskipun penderita

mengalami gangguan kesadaran, akan tetapi masih bisa

melakukan gerakan otomatis seperti mengunyah, menguap,

18

Page 19: kasus 3au

menggunakan pakaian, mandi, naik sepeda dan lain-lain.

Epiliepsi jenis ini dibagi menjadi :

- Berasal dari parsial sederhana dan berkembang

kepenurunan kesadaran.

- Dengan penurunan kesadaran sejak awal.

Gambar 5. Kejang Partial Kompleks

c. Serangan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)

Adanya perubahan dari serangan parsial sederhana dan

serangan parsial komplek menjadi serangan umum (biasanya

grandmal).

II. Serangan umum

Pada kelompok ini gambaran klinik ataupun perubahan EEG

menunjukkan bahwa dari awalnya cetusan epileptic melibatkan kedua

hemisfer dengan serentak dan tidak ada petunjuk adanya suatu fokus

epileptic di korteks serebri. Adapun jenis epilepsi serangan umum ini

dibagi menjadi:

a. Absence seizures (petit mal)

Pada epilepsi ini tidak terdapat kejang. Epilepsi ini ditandai

oleh terjadinya gangguan kesadaran dalam waktu singkat (6-10

detik), sehingga penderita tidak sampai jatuh. Penderita berhenti

dari aktivitasnya, seakan-akan melamun, kemudian melakukan

19

Page 20: kasus 3au

aktivitas kembali. Serangan ini terkadang dapat mencapai 10-20

kali dalam sehari. Epilepsi petit mal sering terdapat pada anak-

anak, sehingga sering dimarahi gurunya karena melamun.

Gambar 6. Absence seizure

b. Myoclonic seizures

Banyak terdapat pada anak-anak. Saat serangan, terjadi

gangguan kesadaran sebentar, disertai gerakan involunter yang

aneh dari sekelompok otot, terutama pada tubuh bagian atas (bahu

dan lengan) yang disebut dengan myoclonic  jerking.

Gambar 7. Myoclonic seizure

c. Clonic seizures

d. Tonic seizurese

e. Tonic clonic seizures (grand mal)

20

Page 21: kasus 3au

Merupakan bentuk yang paling sering dijumpai. Aura tidak

terdapat pada grand mal, namun bila ada aura berarti bukan grand

mal murni, karena aura adalah suatu tanda fokal. Serangan dimulai

dengan fase tonik selama 30 detik dilanjutkan dengan fase klonik

selama 60 detik, kemudian terjadi fase post iktal selama 15-30

menit.

Fase tonik

Semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita tampak

mengejan sehingga wajah tampak merah. Kemudian

penderita menahan nafas (apnea) selama 30 detik, pada

akhir masa ini terjadi sianosis, tekanan darah meningkat,

pupil melebar, refleks patologis positif.

Fase klonik

Terjadi kejang ritmik, penderita bernafas kembali, kadang-

kadang lidah tergigit, sehingga ludah bercampur darah

(buih kemerahan). Pada fase ini wajah menjadi normal

kembali, tekanan darah menurun dan tanda vital membaik.

Fese post iktal

Setelah kejang penderita tertidur. Waktu bangun penderita

mula-mula mengalami disorientasi, tetapi beberapa menit

setelah fase ini penderita menjadi normal kembali dan

berjalan seperti biasa.

21

Page 22: kasus 3au

Gambar 8. Generalized Tonic-Clonic seizure

f. Atonic seizures (astatic seizures)

Penderita secara mendadak kehilangan tonus otot. Hal ini dapat

mengenai bagian tubuh maupun seluruh tubuh misalnya tiba-tiba

kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot leher atau secara

tiba-tiba penderita terjatuh karena penderita kehilangan tonus otot

tubuh. Serangan ini berlangsung singkat yang disebut dengan drop

attack.

Gambar 9. Atonic seizure

III. Serangan epilepsi yang tak terklasifikasikan.

Misalnya : gerakan ritmis pada mata, gerakan mengunyah dan

berenang.

22

Page 23: kasus 3au

Selain klasifikasi diatas, terdapat klasifikasi berdasarkan

ILAE1989, dimana klasifikasi ini berkaitan dengan: (1) lokasi kelainan;

(2) epilepsi umum dan berbagai syndrome epilepsi berurutan sesuai

dengan peningkatan luhur; (3) epilepsy dan syndrome yang tidak dapat

ditentukan focal ataupun umum; (4) sindrom khusus. Adapun

pembagian menurut ILAE 1989 yaitu:

I. Berkaitan dengan lokasi

a. Idiopatik (primer)

Epilepsi benigna gelombang paku daerah sentro temporal

(Childhood epilepsy with centrotemporal spikes)

Epilepsi benigna gelombang daerak paroksismal daerah

oksipital.

Epilepsy membaca (primary reading epilepsy)

b. Simptomatik (sekunder)

Epilepsy parsial kontinua kronik pada anak-anak (sindrom

kojenikow)

Sindrom bangkitan. Dipresipitasi rangsangan (kurang tidur,

alcohol, obat, hiperventilasi, epilepsy refleks, stimulasi

fungsikortikal tinggi, membaca)

Epilepsy lobus temporal

Epilepsy lobus frontal

Epilepsy lobus parietal

Epilepsy lobus oksipital

c. Kriptogenik

II. Epilepsy umum dan sindorme epilepsy berurutan umur

a. Idiopatik (primer)

Kejang neonatus familial beningna

Kejang neonatus benigna

Kejang epilepsy mioklonik pada bayi

Epilepsy Absan anak

Epilepsy Absan remaja

Epilepsy mioklonik remaja

Epilepsy bangkitan tonik-klonik saat terjaga

Epilepsy umum idiopatik lain

23

Page 24: kasus 3au

Epilepsy tonik-klonik dipresipitasi aktivitas tertentu

b. Kriptogenik/ simptomatik berurutan sesuai peningkatan usia

Sindom west (spasme infantile dan spasme salam)

Sindrom lennox-gastaut

Epilepsy mioklonik astatik

Epilepsy Absan mioklonik

c. Simptomatik

i. Etiologi non spesifik

-Enselofati mioklonik dini

-Eselofati infantile dini dengan brust suppression

-Epilepsy simptomatik lainnya

ii. Etiologi spesifik

-Bangkitan epilepsy komplikasi penyakit

III. Epilepsy dan syndrome yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum

a. Bangkitan umum dan fokal

-Bangkitan neonatal

-Epilepsy mioklonik berat pada bayi

-Epilepsy spike wave selama tidur dalam

-Epilespi afasia

-Epilepsy tidak terklasifikasikan

b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

IV. Sindrom khusus

a. Kejang demam

b. Bangkitan kejang/ status epileptikus hanya sekali (Isolated)

c. Bangkitan hanya pada kejadian Metabolik akut, atau toksis,alcohol,

obat-obatan, eklampsia, hiperglikemia non ketotik.

d. Bangkitan dengan pencetus spesifik (epilepsy reflektorik)

7. PATOFISIOLOGI

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling

berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan

bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.

Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan

baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi

24

Page 25: kasus 3au

kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan

bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme

pengaturan ini adalah :

- Glutamat, yang merupakan neurotransmitter eksitatori otak

- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory

neurotransmitter.

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan

asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,

dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida.Neurotransmiter ini hubungannya dengan

epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.

Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di

area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang

disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok

kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh

neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut

terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi

yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.

Gambar 10. Patofisiologi Epilepsi

8. FAKTOR PENCETUS

25

Page 26: kasus 3au

Adapun berbagai faktor yang dapat mencetuskan timbulnya epilepsi, antara

lain :

1. Kurang tidur

Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas sel-sel otak sehingga dapat mencetuskan

serangan

2. Stres emosional

Stress dapat meningkatkan frekuensi serangan.

3. Infeksi

Infeksi biasanya disertai demam. Dan demam inilah yang merupakan pencetus

serangan karena demam dapat mencetuskan terjadinya perubahan kimiawi dalam

otak, sehingga mengaktifkan sel-sel otak yang dapat menimbulkan serangan.

4. Obat-obat tertentu

Beberapa obat dapat menimbulkan serangan seperti penggunaan obat-obat anti

depresan trisiklik, obat tidur (sedative) atau fenotiasin. Begitu pula menghentikan

obat penenang mendadak seperti barbiturate da valium dapat mencetuskan kejang.

5. Alkohol

Alcohol dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinyaserangan. Biasanya

peminum alcohol juga mengalami kekurangan tidur sehingga memperburuk

keadaan.

6. Perubahan hormonal

Pada masa haid dapat terjadi perubahan siklus hormone (berupa peningkatan

kadar estrogen) dan stress, dan hal ini diduga merupakan pencetus

terjadinya serangan.

7. Terlalu lelah

Terlalu lelah atau stress fisik dapat menimbulkan hiperventilasi dimana terjadi

peningkatan kadar CO2 dalam darah yang mengakibatkan terjadinya penciutan

pembuluh darah otak yang dapat merangsang terjadinya serangan epilepsi.

8. Fotosensitif

Ada beberapa dari penderita epilepsi yang sensitive terhadap kerlipan/ kilatan

sinar pada kisaran 10-15 Hz. Hal itu ditemukan pada tempat diskotik ataupun pada

pesawat televisi.

26

Page 27: kasus 3au

9. DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis. Akan tetapi pada

beberapa kasus epilepsy ditemukan beberapa pertanda pada kejang epilepsy antara

lain:

Gejala yang dialami penderita sebelum kejang. Ditemukannya aura,

takikardia, pusing ringan, mengencangkan dada, dan beberapa mengalami

gerakan lambat sebelum kejang.

Gejala pada saat kejang. Gejala yang dialami oleh seseorang selama kejang

tergantung di mana di otak gangguan dalam aktivitas listrik terjadi. Sebagian

gejala saat kejang yaitu dapat ditemukan deficit kognisi antara lain: probelma

persepsi, antensi, emosi, praxis, atau bicara. Disitorsi memori dapat bersifat

negative seperti gangguan formasi dan pengulangan memori dan dapat pula

bersifat positif seperti déjà vu. Dan juga status memori perludipertimbangkan,

karena terkadang pasien merasa takut, rasapuas, cemas, gembira, dan sedih

yang tidak dapat diterangkan dengan sensasi primer.

Gejala setelah kejang. Pada fase ini, keadaan otak sudah mulai pulih. Dapat

ditemukan gejala kerugian sementara memori, biasanya memori jangka

pendek.

Sedangkan untuk gejala klinisnya sendiri, sebaiknya dicari tentang deskripsi

kejang, biasanya dari saksi karena pasien tidak sadar akan gejalanya. (Prof. Chandra,

1994)

10. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGIS

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang

dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien

yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk

mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya

dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak

kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular

seperti sinkop kardiovaskular. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah

yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas

luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah

ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin

27

Page 28: kasus 3au

dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh karena

pemberian fenobarbital jangka lama.

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, koordinasi, saraf kranialis,

fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti

hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papil edema mungkin

dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas.

Adanya nistagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari

obat anti epilepsi seperti karbamazepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil

mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi. Mioklonus yang makin

memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral

automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis

ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus

kontralateral dilobus temporalis.

2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik

ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum

elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” ,

kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat

berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila

dicurigai adanya “ drug abuse”.

3. PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan

elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan

perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan

stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan

laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa

alasan sebagai berikut :

a. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi

pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil

pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis,

mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali

sindrom epilepsi.

b. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola

epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung

28

Page 29: kasus 3au

diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz

spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang

spesifik.

c. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat

menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan

kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini

selalu dilakukan dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan

keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :

1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan

kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang

epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya

meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap

memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil

wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.

2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan

adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-

orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat

digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.

3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG

mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus

pada pasien epilepsi anak.

4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan

epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran

epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat

membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam

serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.

4. PEMERIKSAAN VIDEO-EEG

Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis

epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada

pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi,

atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan

terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan

apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama

29

Page 30: kasus 3au

perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70%

dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi

(Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).

5. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic

Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya

kelainan struktural diotak

Indikasi CT Scan kepala adalah:

- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan

struktural di otak.

- Perubahan serangan kejang.

- Ada defisit neurologis fokal.

- Serangan kejang parsial.

- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.

- Untuk persiapan operasi epilepsi.

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun

demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak

pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding

dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis

hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun

epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan.

Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan

minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan sagital.

11. PENATALAKSANAAN

1. Tujuan Terapi

Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk

pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun

mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa

upaya antara lain : menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan,

mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian,

dan mencegah timbulnya efek samping OAE. Dalam mengobati epilepsi kita

harus memperhatikan bahwa selain pengobatan medisional, harus juga

memberikan bimbingan psikis pada penderita.

30

Page 31: kasus 3au

Yang penting dalam memberikan obat antiepilepsi adalah mempertimbangkan

antara lain :

Efek samping

Tipe Kejang

Umur

Latar belakang

Pengobatan epilepsi baiknya dilakukan sedini mungkin, yaitu setelah

penderita mengalami satu serangan. Dan karena pengobatan epilepsi merupakan

pengobatan jangka panjang maka sebaiknya diberi pengarahan yang jelas dan

praktis.

2. Prinsip Terapi Farmakologi

Pemberian OAE menurunkan risiko separuh kekambuhan. Pengobatan dini

dengan OAE mengubah prognosis epilepsi. Prognostik epilepsi diprediksi dengan

banyaknya bangkitan dalam 6 bulan pertama sesudah diagnose ditegakkan dan

respon terhadap OAE pertama. OAE dapat langsung diberikan sesudah serangan

pertama bangkitan dalam keadaan berikut :

a. Pasien telah mengalami serangan myoclonic

b. Absan atau bangkitan parsial sebelumnya

c. Congenital neurogical deficit

d. Pasien takut risiko kekambuhan

Keputusan pemberian OAE bila :

Diagnosis epilepsi telah dipastikan

Setelah pasien dan atau keluarganya telah menerima penjelasan tentang

tujuan pengobatan.

Pasien dan atau keluarganya setuju dengan jenis dan dosis OAE.

Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai

dengan jenis epilepsi. Monoterapi mempunyai keuntungan efektif, sederhana,

kurang toksisitas, kemungkinan interaksi OAE sedikit dan murah. Pengobatan

epilepsy dimulai dengan dosis rendah, kemudian tingkatkan dosis secara perlahan-

lahan. Dosis baru boleh dinaikkan bila kadar obat di serum stabil. Umumnya

kadar obat baru stabil setelah 5 kali waktu paruh obat tersebut. Obat–obat utama

untuk epilepsi yang ada di Indonesia antara lain Phenytoin (Dilantin),

Carbamazepine (Tegretol), Valproate (Depakote). Pemilihan obat bergantung dari

jenis seizurenya, selain pertimbangan-pertimbangan lain:

31

Page 32: kasus 3au

a) Grand Mal

Drug of Choice adalah Difenilhidantoin. Hal ini karena obat tersebut

efektif, murah, dan mempunyai efek samping minimal. Kecuali untuk wanita

hamil tidak dianjurkan. Dosis 3 x 100 mg (dewasa), dimulai dengan 3 x 60

mg, kemudian setiap 5 hari dosis ditingkatkan. Bila penggunaan

Difenilhidantoin tidak menolong, maka dianjurkan pemakaian Karbamazepin

atau sodium valproat. Bila penggunaan obat tersebut masih refrakter maka

ditambah dengan Flunarizin.

b) Epilepsi Parsial

Drug of Choice adalah Karbamazepine. Dosis 3 x 200 mg (dewasa),

dimulai dengan 3 x 100 mg. Bila Karbamazepin tidak menolong maka

dianjurkan untuk menggunakan Difenilhidantoin atau sodium valproat. Bila

masih belum menolong maka digunakan Flunarizin. Efek samping dari

penggunaan Karbamazepin yang paling ditakuti adalah terjadinya

Sindroma Steven Johnson.

c) Mioklonik atau Petit mal

Drug of Choice adalah Sodium Valproat, karena hingga sekarang

Ektosuksimid sulit didapatkan di Indonesia. Dosis 3 x 300 mg (4 x 300mg),

dimulai dengan 3 x 100mg. Bila masih belum menolong maka dianjurkan

untuk menggunakan Klonazepam. Hati-hati pada penggunaan Valproat karena

mempunyai sifat hepatotoksik, terutamabila digunakan kepada anak-anak yang

berusia kurang dari 2 tahun.

32

Page 33: kasus 3au

Penghentian obat merupakan suatu keputusan yang sulit,karena :

Dapat terjadi relaps terutama pada bangkitan parsial dan secondary

generalized seizures.

Ulangan (relaps) kejang setelah obat dihentikan sering terjadi bila terdapat

suatu kelainan neurologis atau psikiatris, atau bila terdapat kelainan dari

struktur otak (tumor).

Karena itu penghentian obat dilakukan secara perlahan bila :

a. Bebas bangkitan selama tiga tahun.

b. Menderita kejang umum primer.

c. Tidak ada kelainan neurologis psikiatris

d. Waktu datang untuk berobat belum lama menderita kejang.

e. EEG normal.

Bila faktor-faktor ini tidak dipenuhi maka sebaiknya obat dihentikan setelah 4-

5 tahun bebas kejang. Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar

kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut :

Semakin tua usia kemungkinan timbulnya kekambuhan makin tinggi

Epilepsi simtomatik

33

Page 34: kasus 3au

Gambaran EEG yang abnormal

Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita. Epilepsi mioklonik

pada anak adalah yang paling sering kambuh.

Mendapat terapi lebih dari 10 tahun

12. PROGNOSIS

Prognosis tergantung dari :

1. Bentuk epilepsi : Epilepsi mioklonik lebih sulit untuk diobati.

2. Umur penderita : Kejang yang mulai pada neonatus prognosis lebih jelek.

3. Kelainan Neurologis, prognosis lebih jelek.

4. Adanya penyakit hepar, prognosis lebih jelek

BAB III

34

Page 35: kasus 3au

PEMBAHASAN

Dari anamnesis didapatkan data bahwa pasien ± 3 jam SMRS Pasien datang ke IGD

RSUD Raden Mataher bersama keluarga dengan keluhan kejang. Kejang seluruh tubuh, saat

kejang pasien tidak sadar, badan kaku dan bergetar, mata terbuka melotot, keluar air liur,

Sensasi mencium bau tidak sedap atau sensasi kerlipan lampu sebelum kejang atau rasa mual

sebelum kejang (-). Pada saat kejang, pasien tidak sadar. Kejang berhenti dengan sendirinya.

Lama kejang ±15 menit. Setelah kejang pasien merasa lemas. Kelemahan pada anggota gerak

(-), kesulitan dalam bicara(-). Pasien sering mendapat serangan saat beraktivitas, kadang

timbul nyeri kepala dan tampak seperti orang bingung serta mengantuk. Saat dibawa ke IGD

pasien dalam keadaan bingung dan gelisah.

Pasien pertama kali mengalami kejang ± 17 tahun yang lalu. Umumnya pasien

mengalami kejang dengan frekuensi 2 bulan sekali dengan durasi 15-30 menit. Keluarga

tidak membawa pasien berobat dan hanya mendiamkannya saja. ± 12 tahun yll, keluarga

membawa pasien berobat ke poli syaraf, namun keluarga tidak menyelaikan pengobatan

karena keterbatasan biaya dan jarak tempuh.

Menurut pengakuan keluarga serangan kejang meningkat saat pasien sedang hamil.

BAB dan BAK seperti biasa saat sebelum menderita kejang.

Dari pemeriksaan fisik, untuk tanda-tanda vital pasien semua dalam batas normal.

Hanya saja pasien dalam keadaan gelisah, yang disertai gangguan orientasi dan daya ingat.

Dari pemeriksaan status neurologis dan status internus dalam batas normal. Reflek fisiologis

pasien positif dan reflek patologis pasien negatif.

Diagnosis epilepsi ditegakkan dari anamnesis yang didapatkan yaitu pasien

mengalami kejang berulang sejak 17 tahun yang lalu. Pasien mengalami kejang seluruh tubuh

selama 10-15 menit tanpa disertai adanya meningeal sign serta demam. Pasien mengalami

riwayat asfiksia neonatus.

Pada pasien ini diberikan terapi beberapa obat yaitu :

a.Fenitoin

Fenitoin merupakan obat golongan antiepilepsi. Mekanisme kerja utamanya

pada korteks motoris yaitu menghambat penyebaran aktivitas kejang.

Kemungkinan hal ini disebabkan peningkatan pengeluaran natrium dari neuron dan

fenitoin cenderung menstabilkan ambang rangsang terhadap hipereksitabilitas yang

35

Page 36: kasus 3au

disebabkan perangsangan berlebihan atau kemampuan perubahan lingkungan di

mana terjadi penurunan bertahap ion natrium melalui membran. Ini termasuk

penurunan potensiasi paska tetanik pada sinaps. Fenitoin menurunkan aktivitas

maksimal pusat batang otak yang berhubungan dengan fase tonik dari kejang tonik-

klonik (grand mal). Waktu paruh plasma setelah pemberian oral rata-rata adalah 22

jam (antara 7-42 jam). Fenitoin diindikasikan untuk mengontrol keadaan kejang

tonik-klonik(grand mal) dan serangan psikomotor “temporal lobe”. Kontra indikasi

pada pasien dengan sejarah hipersensitif terhadap fenitoin atau produk hidantoin

lain.

b.asam folat

Dianjurkan untuk memberi asam folat 5 mg/hari untuk mengantisipasi terjadinya

kelainan neural tube. Menurut penelitian, pasien yang mengkonsumsi fenitoin

dapat menurunkan kadar folat, sehingga pada pasien ini diberikan asam folat untuk

mencegah rendahnya kadar folat.

DAFTAR PUSTAKA

36

Page 37: kasus 3au

1. Bahrudin M, Dasar-Dasar Neurologi, Malang, 2008.

2. Chandra B, Neurologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK Unair,Surabaya, 1994

3. Ginsberg L., 2007 Lecture Notes Neurology, Erlangga Medical Series

4. Mardjono M,Prof,Dr dan Sidharta dan Sidharta Priguna, Prof, Dr .Neurologi Klinis

Dasar. Jakarta, 2009

5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996, Gadjah Mada University Press

6. Gejala Kejang Epilepsi. 6 Februari 2012.

http://www.news-medical.net/health/Epileptic-Seizure-Symptoms(28Indonesian).aspx

37