Karya ilmiah3

22
Problem Pendidikan Kita : Terabaikannya Perbedaan Individu Sebagai Landasan Pengembangan Potensi Siswa Disusun Oleh Nama : Supriyadi N I P : 13165024 SMA NEGERI 1 PURWAREJA-KLAMPOK KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH JL RAYA PURWAREJA-KLAMPOK Telp. (0286) 479092 BANJARNEGARA 53474

description

 

Transcript of Karya ilmiah3

Page 1: Karya ilmiah3

Problem Pendidikan Kita : Terabaikannya Perbedaan Individu

Sebagai Landasan Pengembangan Potensi Siswa

Disusun Oleh Nama : Supriyadi N I P : 13165024

SMA NEGERI 1 PURWAREJA-KLAMPOK

KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH JL RAYA PURWAREJA-KLAMPOK Telp. (0286) 479092

BANJARNEGARA 53474

Page 2: Karya ilmiah3

Problema Pendidikan Kita : Terabaikannya Perbedaan Individu

Sebagai Landasan Pengembangan Potensi Siswa

Supriyadi1

Abstrak. Perbedaan individu siswa sangat penting untuk diketahui oleh para pendidik karena dengan memiliki pengetahuan tersebut memudahkan guru dalam memfasilitasi siswa untuk berkembang secara maksimal. Bahkan dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional yang baru juga menegaskan pentingnya memahami siswa sebagai individu agar pendidik bisa melayani dengan baik. Namun benarkah sekolah sebagai institusi yang berkompeten tentang pendidikan sudah dirancang untuk mewadahi siswa dengan perbedaan individu, mengembangkan bakat, minat dan kemampuannya. Banyak pihak-pihak yang mengkritisi terhadap kondisi sekolah yang ada, karena dianggap tidak mempunyai visi yang jelas tehadap siswa. Banyak permasalahan timbul karena kebijakan pendidikan yang tidak memperhatikan siswa sebagai individu, sehingga yang terjadi siswa mendapat perlakuan yang bisa menghambat perkembangan potensinya. Perlakuan demikian ditunjukkan oleh adanya : (1) kelas yang terlalu padat, (2) sistem penilaian, (3) beban siswa yang besar, (4) sistem tidak naik kelas, (5) dikotomi siswa bodoh dan siswa pintar, (6) Lingkungan sekolah yang tidak memadai. Sekolah sebagai Unit Pelaksana Teknis tidak seluruhnya memberikan kontribusi atas kondisi tersebut namun banyak pihak yang terlibat.

Kata kunci : perbedaan individu, kelas padat, sistem penilaian,

beban siswa, sistem tidak naik kelas, dikotomi, lingkungan sekolah.

PENDAHULUAN

Kita ketahui bersama bahwa manusia secara individu adalah berbeda, baik

secara biologis, intelegensi, dan Psikologis. Namun yang perlu mendapat perhatian

apakah perbedaan tersebut sudah digunakan sebagai landasan pendidikan secara utuh.

1. Supriyadi, Guru SMA Negeri 1 Purwareja Klampok, Banjarnegara.

Page 3: Karya ilmiah3

Sehingga setiap siswa mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai sesuai

dengan potensi dirinya.

Di dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003

pasal 12 dinyatakan bahwa setiap peserta didik mendapatkan pelayanan sesuai

dengan bakat, minat, dan kemampuan. Hal ini mengandung maksud bahwa tugas dari

institusi kependidikan adalah memberikan pelayanan kepada siswa agar dapat

mengaktualisasikan dirinya untuk tumbuh dan berkembang sehingga bisa

membentuk manusia sebagaimana yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan

nasional. Implementasi di sekolah diharapkan dominasi peranan guru dalam proses

pembelajaran, paradigmanya sebagai teachers center harus diubah. Bila konsep

layanan yang dikedepankan maka proses pembelajaran harus mengacu pada students

center dengan students learning-nya bukan masalah techers teaching.

Menurut Philip R.E Verson, pada hakikatnya perbedaan-perbedaan individu

adalah perbedaan dalam kesiapan belajar (Hamalik, 2002: 17). Dengan demikian

perbedaan tersebut membawa pengaruh pada pendekatan pengelolaan pendidikan. Ini

maksudnya, sistem pendidikan kita harus mampu mengakomodir kepentingan siswa

dengan baik. Tetapi praktek di sekolah siswa mendapatkan perlakuan yang sangat

buruk, secara pesimis Everet Reiner mengatakan ; “school is dead” Demikian juga

Iwan Illich yang membongkar kebobrokan sekolah dengan “deschooling society”-

nya. Pernyataan keras tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa fungsi sekolah

tidak berfungsi sebagai tempat yang layak untuk belajar, sehingga siswa secara

optimal bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Sarwono Kusuatmaja (K.R.,

8 Mei 1993) mengatakan sistem pendidikan kita mematikan kreativitas.

Dalam atikel ini penulis, pada sisi lain, mencoba mengangkat permasalahan

yang timbul di sekolah sehubungan dengan perbedaan individu. Pembahasan tersebut

diantaranya meliputi : (1) jumlah siswa dalam kelas, (2) sistem penilaian, (3) Beban

siswa yang terlalu besar, (4) sistem tidak naik kelas, (5) dikotomi siswa bodoh dan

siswa pintar, (6) lingkungan sekolah yang tidak memadai.

Page 4: Karya ilmiah3

Tujuan penulisan artkel ini, penulis berharap bisa memberikan masukan

kepada pengambil keputusan untuk menjadikan bahan pertimbangan dalam

menentukan kebijakan. Dan untuk para guru untuk bisa lebih arif memahami

siswanya sehubungan dengan perbedaan individu.

LATAR TEORITIS

Meskipun usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan telah terus menerus

diupayakan namun kenyataannya sampai sekarang belum banyak membuahkan hasil

yang memuaskan. Diakui bahwa banyak faktor yang mempengaruhi ketidak-

berhasilan tersebut. Salah satu faktor yang ikut memberikan kontribusi kegagalan

pendidikan adalah kurang diperhatikannya perbedaan individu siswa.

Secara formal sistem pengajaran di Indonesia menggunakan sistem klasikal,

dimana seorang guru dengan minimal 40 siswa. Sudah bisa dipastikan bahwa proses

pengajaran yang sama dengan penilaian yang sama tidak akan membuahkan hasil

yang sama. Sangat disadari oleh guru bahwa siswa merupakan individu-individu yang

berbeda, namun pembelajaran di kelas siswa diperlakukan sama oleh guru. Keadaan

ini terus berlangsung sampai sekarang, akibatnya mutu pendidikan tidak pernah

beranjak naik. Bagaimana mungkin seorang guru melayani individu yang berbeda

sebanyak itu bisa menghasilkan out put yang bermutu.

Individu adalah suatu kesatuan yang masing-masing memiliki ciri khasnya,

dan karena itu tidak ada dua individu yang sama. Perbedaan tersebut meliputi :

pertama segi horizontal : tingkat kecerdasan, abilitas, minat, ingatan, emosi, kemauan

dll, kedua segi vertikal mencakup : bentuk ukuran, kekuatan, dan daya tahan tubuh.

(Hamalik, 2001 : 180)

Untuk mengetahui lebih jauh tentang individu, ada 4 pendekatan konsep diri

yaitu : Individualistik, sosiologis, korporatif dan teistik. ( O’neil, 1981 : 91).

1. Pendekatan Individualistik.

Page 5: Karya ilmiah3

Pendekatan ini memandang diri sebagai sebuah unit psikologis yang relatif punya

ciri-ciri tersendiri, memandang perwujudan “diri” dalam peristilahan yang pada

pokoknya bersifat Aristotelian tradisional.

Pernyataan tersebut di atas tampak tidak jauh berbeda dengan pernyataan

Hamalik. Yang jelas bahwa individu itu mempunyai potensi.yang terus menerus

membuka dan berinteraksi dalam menanggapi kondisi-kondisi yang selalu

berubah. Hal demikian menyebabkan perilaku individu juga berbeda.

2. Pendekatan Sosiologis

Konsep “diri” dipandang bukan sebuah unit psikologis terpisah, melain sebuah

bagian dari fungsi keseluruhan lapangan kekuatan-kekuatan budaya dari mana

“diri” itu dilahirkan.

Hal tersebut sangat berbeda dengan pendekatan individualistik, pendekatan

sosiologis menempatkan indivividu dalam batasan-batasan konsep perwujudan

diri pada tata nilai yang berkembang di masyarakat. Yang demikian perwujudan

diri bukan berarti melenyapkan ia sebagai dirinya, tetapi mencerminkan bahwa

perilaku individu sangatlah besar dipengaruhi oleh budaya di masyarakat.

Sehingga perwujudan diri bukan merupakan hal yang menjadi tujuan utama

tetapi merupakan bagian dari kepentingan yang lebih besar yaitu masyarakat.

3. Pendekatan Korporatif

Sebagaimana di kemukakan oleh Hegel dan Durkheim bahwa kedirian adalah

fenomena suprapersonal , yang terletak pada kesadaran historis segenap budaya

atau bangsa.

Sebagai akibat dari pandangan tersebut perwujudan individu lebur karena

kolektivitas sehingga ciri yang muncul sebagai kekhasan dalam skala kecil

adalah “diri” kelompok, tetapi sebaliknya “diri sejati” sebagai karakter bangsa.

Dengan demikian individu dipandang sebagai bagian dari fungsi kelompok.

4. Pendekatan Teistik

Konsep perwujudan diri teistik menerima kenyataan mendasar tentang adanya

“diri” psikiologis dan “diri” sosiologi. Namun ia mengganggap “diri” yang

Page 6: Karya ilmiah3

pertama dan terutama sebagai sebuah entitas rohaniah yang menemukan

perwujudan penuh dalam subordinasi sukarela ke bawah diri Tuhan yang

personal.

Dalam pepatah jawa : mung sadermo nglampahi tampaknya tepat untuk

mengambarkan pandangan tersebut diatas. Konsep individu sebagai jati diri tidak

ada karena hanya sebagai mata wayang, ada yang menjalankan yaitu Tuhan yang

Maha Besar. Sedangkan puncak dari perwujudan diri ada pada persekutuan

dengan “Diri” yang Mahabesar. Sehingga kesempurnaan yang sejati hanya ada

pada keseluruhan apa yang telah diwahyukan oleh Tuhan yang mempunyai

tujuan-tujuan-Nya tersendiri.

Konsekuensi dari konsep perwujudan diri tersebut tentu mempengaruhi tiap-

tiap individu dalam berperilaku, dan tentu juga dalam memperlakukannya. Pola pikir

masyarakat di negara barat tentu akan berbeda dari masyarakat yang berada di

negara-negara eropa timur yang sosialis. Demikian juga masyarakat dari negara Rusia

yang menganut kolektivitas akan berbeda dari masyarakat Indonesia yang katanya

sosialis-religius. Pandangan masyarakat tentang individu berpengaruh besar terhadap

konsep, paradigma dan sistem pendidikan yang berlaku dimana masyarakat tersebut

berada.

Ada 3 aspek perbedaan individu dalam pendidikan : (1) aspek Biologis,

aspek perbedaan intelektual (kognitif), dan aspek perbedaan individu psikologis

(Madhakomala, makalah)

1. Aspek Biologis.

Perilaku manusia itu merupakan hasil belajar, dan faktor penting yang

mempengaruhi perilaku diantaranya adalah motivasi. Menurut Maslow (Djaali,

2000 : 131) kebutuhan yang paling mendasar adalah kebutuhan fisiologis. Apabila

kebutuhan tersebut sudah terpenuhi kebutuhan berikutnya akan muncul dan

merupakan pendorong yang kuat bagi individu dalam berperilaku. Kebutuhan

fisiologis meliputi pangan, sandang dan papan. Aspek kebutuhan fisik merupakan

Page 7: Karya ilmiah3

kebutuhan mutlak yang tidak bisa dihindari, oleh sebab itu aspek fisik harus

menjadi pertimbangan utama dalam kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan kebutuhan tersebut ada beberapa hal yang harus

dipertimbangkan untuk menunjang kebutuhan fisik siswa dalam kegiatan belajar

mengajar di sekolah, diantaranya adalah :

a. Fasilitas sarana dan Prasarana sekolah

Tersedianya fasilitas yang berupa sarana dan prasarana sekolah yang mampu

memfasilitasi potensi siswa untuk mengembangkannya secara maksimal.

Keadaan yang memadai untuk ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, kamar

kecil, dan kantin. Serta yang tak kalah pentingnya adalah sarana-sarana

kegiatan ekstra kurikuler, seperti : pramuka, seni musik, tari, olah raga dll.

b. Lingkungan Fisik sekolah

Kemudian masalah lingkungan fisik sekolah yang nyaman yang

memungkinkan fungsi psikomorik berkembang dengan baik. Desain, letak dan

kondisi bangunan mendukung perkembangan siswa. Ada play ground yang

nyaman dan aman untuk bermain siswa

c. Pengaturan kelompok

Pengelompokan siswa sesuai dengan perbedaan pengelompokan individu serta

memperhatikan jumlah siswa yang ideal untuk pengajaran klasikal. Dengan

demikian sekolah bisa memberikan pelayan secara maksimal kepada siswa

sesuai potensi yang dimiliki.

2. Aspek perbedaan intelektual ( kognitif)

Untuk mengenali dan mendeskripsikan kemampuan intelektual ada beberapa

teori yang diantaranya adalah :

a. Multiple Intelegence

Gardner seorang profesor pendidikan Harvard menyatakan bahwa ternyata

manusia itu mempunyai kecerdasan jamak yang terdiri dari beberapa dimensi

yaitu kecerdasan logis matematis, kecerdasan linguistik verbal, kecerdasan

visual-spatial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinesthetic, kecerdasan

Page 8: Karya ilmiah3

emosional ( intrapersonal dan interpersonal), kecerdasan naturalis, kecerdasan

intuisi, kecerdasan moral, kecerdasan eksistensial, kecerdasan spiritual, dan

lain-lain. (Nggermanto, 2003 : 49)

b. Teori Guilford

Guilford menggambarkan suatu intelegensi manusia dalam suatu bentuk

kubus dengan tiga dimensi, yaitu konten, produk dan operasi. Guilford

membedakan empat kategori konten, yaitu : figural, simbolik, semantic, dan

perilaku; enam kategori produk, yaitu : unit, kelas, hubungan, system,

trasformasi dan implikasi; dan lima kategori operasi, yaitu : kognisi, ingatan,

berpikir divergen, berpikir konvergen, dan evaluasi. Titik perhatian disini

adalah matra operasi karena berkaitan dengan proses belajar-mengajar.

(Munandar, 1999 : 240-241)

3. Aspek Perbedaan Individu Psikologis

Ada dua komponen dasar yaitu minat dan kemandirian seseorang. Minat

dalam proses pembelajaran berkaitan dengan bahan ajar, alat didik, serta kondisi

dan situasi pendidik. Sedangkan kemandirian seseorang tergantung dari upaya

bagaimana membebaskan diri dari belenggu bantuan dan menumbuhkan

keberanian serta percaya diri.( Madhakomala, Makalah.)

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa faktor perbedaan

individu menjadi sangat penting untuk diperhatikan demi keberhasilan pendidikan.

Ke depan paradigma pendidikan yang berorientasi pemerataan dan kuantitas haruslah

diubah menjadi pemerataan dan kualitas. Untuk menuju pada peningkatan mutu

pendidikan, fungsi sekolah sebagai pusat layanan siswa dengan perbedaan

individunya perlu dirumuskan yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan

potensinya secara maksimal. Untuk mendukung hal tersebut sekolah hendaknya

mempertimbangkan 1) jumlah siswa di dalam kelas, 2) sistem penilaian yang

digunakan, 3) beban mata pelajaran yang dipelajari, 4) sistem naik kelas, 5) remedial

learning, dan 6) lingkungan sekolah yang kondusif.

Page 9: Karya ilmiah3

PEMBAHASAN

1. Jumlah Siswa dalam Kelas Terlalu Padat

Sebagai bahan perbandingan, di Quensland, jumlah siswa di dalam kelas

maksimal adalah 30 siswa, dan semakin tingggi levelnya jumlahnya siswa bisa

semakin mengecil. Hal tersebut terjadi karena adanya program pilihan yang diambil

berbeda-beda. Serta ada juga pelaksanaan pembelajaran dengan peserta yang berbeda

untuk setiap mata pelajaran sehingga teman kelasnya berubah-ubah. Keadaan

demikian memungkinkan potensi siswa secara individu, dan minat bisa tersalurkan

sehingga dapat berkembang secara optimal.

Keadaan tersebut di atas, kalau dibandingkan dengan keadaan di Indonesia

terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Sebagai acuan pada pengelolaan kelas

dalam Pedoman Standar Pelayanan Minimal jumlah siswa per kelas maksimal 48

siswa (Diknas, 2003 :63), padahal maksimal 40 siswa saja per-kelasnya sudah dirasa

berat bagi guru dalam mengelolanya. Berdasarkan aturan tersebut, sekolah

cenderung menerima siswa lebih banyak dari 40. Ada 2 hal yang mendasari mengapa

sekolah mengambil keputusan seperti itu, karena (1) angka drop out siswa masih

cukup tinggi terutama untuk siswa-siswa dari pedesaan, (2) semakin besar jumlah

siswa berarti pemasukan dana dari siswa juga semakin besar. Artinya proses KBM di

sekolah bisa dijamin berlangsung lancar, karena sebagian besar dana yang digunakan

oleh sekolah berasal dari masyarakat.

Secara pedagogis, jumlah siswa yang relatif besar tidak menguntungkan bagi

terjadinya proses pembelajaran yang kondusif. Hal yang demikian ini disebabkan

karena :

1. Siswa tidak mendapat pelayanan secara maksimal

Besarnya jumlah siswa di dalam kelas, juga menunjukkan besarnya

potensi siswa yang dimilliki, serta besarnya permasalahan yang muncul di dalam

kelas. Potensi siswa adalah beragam, dengan kesiapan untuk berkembang juga

beragam. Bagaimana mungkin seorang guru dalam keadaan terbatas mampu

memberikan pelayanan secara maksimal kepada sejumlah besar siswanya.

Page 10: Karya ilmiah3

Demikian juga untuk permasalahan yang dihadapi oleh sejumlah siswa tidak bisa

dituntaskan, kecuali hanya sebagian kecil saja.

2. Siswa tidak mendapat bimbingan secara merata

Konsekuensi dari jumlah kelas yang besar adalah gaduh dan bising.

Keadaan ini bisa dipahami secara psikologis bahwa kodrat siswa adalah suka

bermain. Siswa yang aktif ini menjadi tidak terarah karena kelas yang besar

hanya dengan seorang guru, ia mengalami kesulitan untuk mengelolanya. Di

dalam standar pelayanan minimal disebutkan bahwa rasio guru dan murid adalah

1:23 (Diknas, 2003 : 75). Akibat dari kelas yang besar adalah hanya sebagian

kecil saja yang mendapatkan bimbingan untuk mengembangkan potensi yang ada

pada diri siswa.

Uraian di atas juga mengandung pengertian bahwa pembelajaran yang

dilakukan dengan sukses hanya untuk sebagian siswa saja. Sedangkan untuk

sebagian besar siswa yang lain terpaksa diabaikan. Alasannya adalah :

a. Tidak memungkinkan guru bisa meng-cover seluruh siswa yang mengalami

kesulitan belajar, mengingat tenaganya terbatas.

b. Guru dibebani oleh target kurikulum, bahwa dalam waktu tertentu ia harus

bisa menyelesaian sampai pembelajaran tertentu.

2. Sistem Penilaian

Di dalam pedoman standar pelayanan minimal disebutkan bahwa : untuk

mengetahui tingkat kemajuan dan keberhasilan belajar siswa dilakukan penilaian

hasil belajar secara berkelanjutan melalui ulangan/ujian harian dan tugas-tugas

mingguan, bulanan, maupun penilaian akhir tahun pelajaran.

Rumus penilaian pada kurikulum 94 untuk nilai pada buku laporan

pendidikan, yang sekarang masih digunakan pada kelas II dan III SMA, adalah :

NR = 2NU + 1RUH . Sedang penilaian pada kurikulum 2004 sudah ada perbaikan 3 tetapi tidak dibahas dalam penulisan ini.

NR = Nilai Rapot

Page 11: Karya ilmiah3

NU = Nilai Ulangan Umum

RUH = Nilai Rata-Rata Ulangan Harian = (3UH) + (1RNT)

4 RNT = Nilai Rata-Rata Tugas

Catatan : Nilai dibulatkan

Sedangkan nilai pembulatan memberikan informasi yang menyesatkan

bagi para orang tua. Misalnya nilai 5.5 dan 6.4, selisih angka tersebut cukup

besar yaitu 0.9 tetapi karena pembulatan kedua nilai tersebut menjadi sama yaitu

6. Jadi Kedua siswa dengan nilai tersebut dianggap mempunyai kemampuan

yang sama, tidak ada bedanya. Namun untuk siswa yang mendapat nilai 5.4 dan

5.5 meskipun selisihnya cuma 0.1 mendapat perlakuan yang sangat tajam karena

nilai berubah menjadi 5 dan 6. Sedangkan nilai 5 menjadi bahan pertimbangan

dalam kenaikan kelas, dan angka 6 menjadi kabur maknanya. Dari contoh

tersebut, nilai rapor dengan pembulatan mengandung kelemahan yang sangat

signifikan.

Rumus penilaian tersebut di atas mencerminkan lebih menekankan pada

pengembangan aspek kognitif. Simpulannya pembelajaran di kelas baru sebatas

transfer pengetahuan. Hal tersebut yang menjadi dasar bagi Sarwono Kusuma

Atmadja untuk mengatakan bahwa sistem pendidikan formal kita tidak dengan

sendirinya akan memacu kreativitas. (KR, 8 Mei 1993)

Pendidikan dan alat evaluasi yang bertujuan untuk mengembangkan

aspek kognitif tidak relevan dan tidak aplikatif dengan kehidupan masyarakat.

Karena transformasi pendidikan salah satunya bertumpu pada reformasi aspek

regulatori pendidikan yang menekankan bahwa tujuan pendidikan itu merupakan

proses pembudayaan yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan inte-

lektual, personal dan sosial peserta didik secara utuh (Zamroni, 2003 : 127-128)

Namun ironisnya kriteria kelulusan untuk siswa SMA untuk tahun ajaran

2003/2004 tidak mengakomodasi konsep pendidikan yang ditunjukkan oleh

Zamroni sebagai seorang birokrat pendidikan. Karena salah satu kriterianya

Page 12: Karya ilmiah3

menyatakan bahwa untuk bisa lulus ujian, siswa cukup mendapat nilai minimal

4,01 untuk seluruh mata pelajaran. Kalau dilihat sepintas tampak seperti ada

kenaikan dari kriteria tahun sebelumnya yang hanya 3,01. Bila ditelusuri lebih

mendalam kriteria kelulusan tahun 2003/2004 bisa diprediksikan berdampak

pada tujuan pendidikan akan menjadi bias, dan terjadi penurunan kualitas.

Pertama, kriteria kelulusan tahun ajaran 2002/2003 masih memper-

timbangkan penilaian pada mata pelajaran Agama dan PPKn sebagai pendidikan

mental spiritual bukan aspek kognitif belaka. Karena dalam mata pelajaran

tersebut lebih banyak ditanamkan nilai atau value yang dijunjung tinggi oleh

bangsa Indonesia sehingga perolehan nilainya tidak boleh kurang dari 6,0. Untuk

kriteria kelulusan tahun sekarang minimal cukup dengan 4,01, artinya agama dan

PPKn tidak dipandang secara utuh namun sudah dianggap sebagai pengetahuan

saja.

Kedua, kriteria kelulusan tahun 2002/2003 masih mempetimbangkan nilai

rata-rata dari seluruh mata pelajaran, berarti bisa ditafsirkan bahwa mata

pelajaran lain terutama bidang science seperti Fisika, Kimia dan Biologi tetap

dianggap penting. Kelemahannya adalah terjadi pengkatrolan nilai pada mata

pelajaran tersebut karena kawatir nilai siswa tidak mencapai rata-rata 6.0, dengan

asumsi bila ada siswa yang mendapatkan nilai 3,01 dari tiga mata pelajaran ujian

nasional yang soalnya dibuat oleh Pusat. Untuk tahun ajaran 2003/2004 dengan

standar 4,01 dipandang cukup berat oleh sekolah berdasarkan pertimbangan data

perolehan nilai kelulusan siswa pada tahun sebelumnya. Keadaan tersebut sangat

mencemaskan terhadap semua pihak.Maka diambillah jalan pintas yang dianggap

tepat sebagai solusi untuk menghindari banyaknya siswa yang tidak lulus, yaitu

sekolah cukup memfokuskan kepada ketiga mata pelajaran ujian nasional yang

soalnya dibuat oleh Pusat. Begitu cemasnya, sehingga mata pelajaran yang lain

diabaikan karena nilainya bisa “dikelola” sendiri. Konsekuensinya

pengembangan intelektual siswa dalam bidang science tidak mendapatkan porsi

yang memadai, dan disinilah letak kebiasan pendidikan di sekolah.

Page 13: Karya ilmiah3

3. Beban belajar siswa yang terlalu besar

Di dalam Human Right for Peace (Mayor, 1997 : 9) disebutkan bahwa

untuk menghadapi bahaya globalisasi maka kita hendaklah memberi tekanan

pada bentuk-bentuk belajar dan berpikir kritis yang memungkinkan individu

memahami perubahan lingkungan, menciptakan pengetahuan baru, dan

membentuk nasib mereka sendiri.

Dalam pengertian tersebut guru dituntut untuk lebih kreatif dalam

kegiatan pembelajaran sehingga memungkinkan siswa bisa berpikir secara kritis

sebagai dasar pembentukan nasib mereka sendiri. Kalau kita membicarakan

tentang nasib siswa, sesuatu yang besar ikut memberikan andil adalah potensi

diri siswa itu sendiri Kita ketahui bersama bahwa siswa mempunyai potensi

yang berbeda-beda. Potensi dalam diri siswa akan bisa berkembang msiswaala

siswa sudah terfokus pada mata pelajaran yang sesuai dengan minat dan

bakatnya. Dengan demikian akan terjadi ada mata pelajaran yang tidak relevan

dengan pengembangan potensi siswa.

Di dalam ruang kelas siswa belajar dengan banyak mata pelajaran, serta

harus dikuasai semuanya dengan baik. Dibawah ini saya kutipkan susunan

program pengajaran untuk kelas I dan II di SMA.(Kurikulum 94)

(1) Pendidikan Pancasila dan kewargenegaraan;

(2) Pendidikan agama;

(3) Bahasa dan Sastra Indonesia;

(4) Sejarah Nasional dan Sejarah Umum;

(5) Bahasa Inggris;

(6) Pendidikan Jasmani dan Kesehatan

(7) Matematika

(8) IPA, terdiri dari : Fisika, Biologi, dan Kimia;

(9) IPS, terdiri dari : Ekonomi, Sosiologi dan Geografi

(10) Pendidikan Seni

Page 14: Karya ilmiah3

Siswa sangat menyadari bahwa ia harus belajar sebanyak 14 mata

pelajaran tersebut dengan baik bila tidak ingin dikatakan gagal. Kondisi ini tentu

memaksa siswa menyebarkan perhatiannya. Seluruh mata pelajaran mendapatkan

porsi yang sama dalam belajar sehingga terjadi pembuangan energi untuk mata

pelajaran tertentu yang tidak mendukung potensi siswa untuk berkembang. Dan

bila siswa hanya memfokuskan pada mata pelajaran tertentu saja, siswa dianggap

mempunyai perilaku yang menyimpang.

Sistem pendidikan kita tidak memperkenankan siswa untuk memilih

sesuai dengan potensi, bakat dan minatnya untuk belajar secara intensif. Seorang

siswa yang mempunyai minat pada bidang kedokteran misalnya dengan suka rela

harus juga belajar ekonomi, atau seorang ingin jadi ekonom harus belajar biologi.

Hal demikian merupakan beban ekstra yang harus dipikul oleh siswa.

4. Sistem tidak naik kelas

Siswa dikatakan berhasil dalam menempuh pembelajarannya, pada

kurikulum 94, bila siswa tersebut menguasai seluruh mata pelajaran yang harus

ditempuh dengan kriteria sebagai berikut :

1) Tidak ada nilai 5 untuk mata pelajaran : PPKn, Agama, Bahasa Indonesia.

2) Nilai rata-rata untuk seluruh mata pelajaran minimal 6.0

3) Nilai kurangnya tidak boleh lebih dari 5

4) Tidak ada nilai 3

Kriteria tersebut masih tetap digunakan meskipun kriteria kelulusan untuk

tahun pelajaran 2002/2003 lebih rendah . Untuk mata pelajaran bahasa Indonesia

dalam kriteria kelulusan, siswa bisa lulus bila mendapat nilai minimal 3.01.

Disini tampak ada kontradiksi yang mencolok yaitu untuk naik kelas siswa harus

mendapat nilai minimal 6, tetapi untuk lulus cukup dengan nilai 3,01.

Kejadian yang mengherankan bahwa meskipun siswa mendapat beban

yang berat harus mempelajari 14 mata pelajaran, dan model sitem penilaian yang

timpang karena lebih condong pada segi kognitifnya, secara keseluruhan untuk

Page 15: Karya ilmiah3

ketiga mata pelajaran tersebut tidak ada siswa yang mendapatkan nilai kurang

dari 6.0. Hal demikian sudah menjadi doktrin dari bapak/ibu guru bahwa ketiga

pelajaran tersebut hukumnya “wajib” dan terpenting untuk dipelajari siswa dari

SD sampai dengan SMA. Sedangkan mata pelajaran yang lain merupakan

“sunah” dalam batas tertentu. Disini terjadi pergeseran arah pendidikan di

sekolah.

Meskipun kriteria kenaikan kelas yang cukup berat bagi siswa, pada

kenyataannya hampir semua siswa naik kelas. Keadaan ini menarik untuk dikaji,

apa yang menyebabkan mereka tampak menjadi siswa-siswa pintar. Ada

beberapa kemungkinan yang menyebabkan hampir semua siswa naik kelas :

1). Adanya kepentingan sekolah : Ada anggapan bahwa sekolah dengan jumlah

siswa yang tidak naik cukup banyak pada masa sekarang sekolahnya

dianggap kurang bermutu.

2). Ada aturan secara tidak tertulis mengenai kepatutan jumlah siswa yang tidak

naik kelas, dengan kritetria prosentase tergantung pada sekolah masing-

masing.

3). Adanya kerawanan terhadap keamanan sekolah, bila jumlah yang tidak naik

cukup besar. Fakta dilapangan membuktikan beberapa siswa mengamuk

tidak puas karena tidak naik kelas

Dampak dari ketiga alasan tersebut terjadilah “manajemen nilai” sehingga

bisa dipastikan hampir 99 % naik kelas. Kemudian yang terlihat di dalam buku

laporan pendidikan kemampuan mereka tampak merata. Dan orang tua pun

senang meskipun secara legal dibohongi laporannya.

Dari uraian diatas sistem tidak naik kelas merupakan tekanan kepada

siswa untuk belajar seluruh mata pelajaran secara merata, mereka harus

menyebarkan perhatiannya untuk seluruh mata pelajaran baik suka atau tidak

suka, penting atau tidak untuk kehidupan kelak. Siswa tidak punya pilihan untuk

belajar yang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Dan hasilnya siswa menjadi

generalis yang canggung, bukan spesialis yang profesional. Oleh karena itu

Page 16: Karya ilmiah3

sistem tidak naik kelas merupakan hambatan bagi siswa untuk berkembang

sesuai dengan potensi yang dimiliki.

5. Dikotomi siswa bodoh dan siswa pintar

Albert Einstein oleh gurunya dikatakan tidak akan pernah berhasil di

bidang apapun. Winston Churchill sangat lemah dalam pekerjaan rumah. Thomas

Alva Edison sering dihukum oleh gurunya hanya karena seringnya dia bertanya.

Einstein, Churchill, dan Edison memiliki gaya belajar khas yang tidak sesuai

dengan gaya sekolah mereka. Namun, kebanyakan sekolah kita diselenggarakan

dengan asumsi setiap orang itu identik. (Driden dan Vos, Terjemahan Baiquni,

2002 : 341) . Dengan demikian masalah krusial yang dihadapi guru adalah

bagaimana guru dapat memahami dan melayani siswa serta memperlakukannya

secara tepat sesuai perbedaan individunya.

Mengenai penjelasan bagaimana guru dapat melayani serta

memperlakukan siswanya adalah masih bersifat kabur, apakah siswa yang punya

minat besar pada fisika mendapat toleransi bila tidak tertarik pada sejarah; atau

perbedaan individu siswa sebagai landasan pengelompokan dalam belajar, atau

juga dengan perbedaan individu merupakan landasan bagi guru dalam mendesain

pembelajarannya. Tetapi apa yang terjadi di kelas, siswa mendapat perlakuan

yang sama yaitu mereka dipaksa oleh setiap guru mata pelajaran untuk belajar

sekuat tenaga. Akibatnya bisa dibayangkan kalau mereka yang berkemampuan

beda mempelajari 14 mata pelajaran, sebagian tentu akan kehabisan energi, dan

bagi yang tidak berpotensi akhirnya mendapat stempel “siswa bodoh”.

Individu mungkin bisa diibaratkan sebuah bateri dengan banyak sel, yang

masing-masing sel mempunyai potensi yang berbeda, ada yang tinggi dan ada

yang rendah. Dengan demikian tentu rasanya tidak bijak hanya karena belum

siap untuk belajar Biologi dan Kimia, seorang siswa mendapatkan julukan siswa

bodoh. Kondisi ini malah menjadikan masalah baru bagi si siswa, karena secara

psikologis terbebani sehingga menghambat perkembangan jiwanya.

Page 17: Karya ilmiah3

6. Lingkungan Sekolah yang Tidak Memadai

Secara sederhana sekolah adalah suatu wadah dimana siswa dapat belajar

untuk mengaktualisasi diri sehingga potensinya berkembang secara optimal. Ini

berarti sekolah merupakan fasilitas bagi siswa. Sehingga konsep pedagogis

mengenai letak dan bangunan sekolah selalu mendapat pertimbangan yang

mendalam.

Kondisi sekolah yang nyaman, sejuk, higienis dan memberikan keluasaan

bergerak, dan bebas dari kekerasan adalah kondisi yang sangat diidamkan.

Namun karena perkembangan jaman nilai tentang tempat belajarpun juga

berubah. Hal demikian tampak dengan berdirinya gedung-gedung megah

bertingkat memenuhi lokasi sekolah baik untuk SMA, SMP bahkan SD, yang

secara fisik hendak menunjukkan bahwa disini (pada sekolah tersebut) siswa

mendapatkan sekolah dengan sarana yang sangat megah, padahal sesungguhnya

siswa tidak mendapat manfaat dari kemegahan kecuali pelayanan yang memadai

sesuai dengan perkembangan jiwa siswa.

Dalam pendidikan, segala aspek yang berkaitan dengan mendidik dan

mengajar tentu tidak terlepas dari umur perkembangan siswa. Tidak bisa

diabaikan bahwa aktivitas siswa di sekolah sangat dinamis, dan hal tersebut

sangat bermanfaat bagi perkembangan fisiknya . Hal demikian relevan untuk

siswa SD bahkan siswa SMA. Bila siswa mengikuti alur dan tempo

perkembangan fisik yang normal, guru hendaknya memikirkan untuk

mempersiapkan lingkungan yang nyaman untuk siswa, bermain dengan mereka

dalam perilaku yang normal, dan berfikir sedikit tentang apa yang sesungguhnya

terjadi pada yang menjadi dasar harian untuk meneruskan pertumbuhan dan

perkembangan. (Miller, 1996 : 2009).

Banyak dijumpai, kondisi yang ada kontradiksi dengan kepentingan

pendidikan siswa karena tidak memberikan ruang gerak serta sarana yang

memadai. Sekolah tidak memiliki playground yang cukup aman untuk bermain,

karena betonisasi. Konsep tentang pelayanan terhadap siswa menjadi

menyimpang karena prioritas berubah untuk mempermak perwajahan sekolah

untuk jual tampang, sehingga mengabaikan substansinya. Menjadi fakta bahwa

keadaan yang tampak dari luar tidak bisa dianggap sebagai cermin keadaan di

dalam. Hal tersebut terjadi karena wawasan kepala sekolah dan atau warga

sekolah tidak memahami fungsi sekolah secara komprehensif.

Page 18: Karya ilmiah3

PENUTUP

A. Simpulan

Fungsi sekolah yang menyimpang dari substansinya sebagai pusat pelayanan

pendidikan siswa telah berlangsung cukup lama. Konsekuensi dari kemerosotan

pendidikan tersebut produknya adalah sumber daya manusia yang rendah. Akar

permasalahanya beragam yang diantaranya :

1. Potensi siswa tidak bisa berkembang maksimal dengan jumlah siswa yang terlalu

padat karena bantuan layanan terbatas. Siswa dengan perbedaan individunya

memerlukan treatment yang berbeda dalam mensikapinya. Karena kultur sekolah

dan kepentingan luas, keadaan tersebut sulit diubah.

2. Adanya rumusan penilaian yang lebih menekankan aspek kognitif akibatnya

pendidikan di sekolah baru sebatas transfer pengetahuan yang jauh dari

pendidikan nilai (Value). Produk yang dihasilkan adalah siswa bisa menjadi

pintar namun kering nuraninya .

3. Jumlah mata pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa terlalu banyak, tentu akan

sangat menguras energi. Siswa merasa terpaksa belajar karena memang dituntut

oleh aturan, dan bisa diprediksikan mereka tentu tidak maksimal belajar. Oleh

karena itu siswa menjadi siswa generalis yang canggung karena tidak menguasai

ilmu pengetahuan secara mendalam tetapi hanya pada bagian luarnya saja.

Padahal tuntutan kehidupan ke depan yang dibutuhkan adalah spesialis yang

profesional, menguasai pengetahuan secara mendalam dan luas.

4. Siswa berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki dan menentukan pilihan

hidup sesuai dengan minatnya. Tetapi sekolah kita tidak memberikan tempat pada

siswa untuk memilih, semua mata pelajaran wajib dipelajari dan semuanya

penting bagi siswa. Hal demikian tentu kontradiksi dengan potensi dan minat

siswa yang beragam. Mata pelajaran yang sesuai dengan potensi dan minatnya

tentu akan mendapat porsi yang lebih banyak untuk dipelajari sehingga yang lain

bisa diabaikan karena tidak ada sangkut paut dengan kehidupannya, oleh karena

Page 19: Karya ilmiah3

itu dimungkinkan siswa tidak menguasai mata pelajaran tertentu yang

mengakibatkan siswa tidak naik kelas. Sistem tidak naik kelas bisa dianggap

menghambat karier hidup siswa, tidak memungkinkan siswa mendapat peluang

untuk menguasai mata pelajaran tertentu secara luas dan mendalam.

5. Perbedaan individu di dalam kelas adalah perbedaan kesiapan untuk menerima

pelajaran. Dari konsep tersebut bisa dipahami bahwa siswa punya potensi yang

berbeda-beda dalam masalah waktu. Dengan demikian perkembangan siswa

berbeda menurut kesiapannya, sehingga tidak bisa ditarik kesimpulan bahwa

seseorang adalah bodoh atau pintar tetapi membutuhkan waktu.

6. Pemahaman sekolah sebagai wahana pendidikan belum sepenuhnya dipahami

secara komprehensif karena sering terjadi pengembangan sekolah kurang

memperhatikan aspek edukatifnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan ketiadaan

master plan di sekolah. Perencanaan yang lemah dan kurangnya wawasan kepala

sekolah dan warga sekolah menyebabkan pengelolaan lingkungan yang asal-

asalan.

B. Saran-saran

Kemerosotan pendidikan yang disebabkan oleh tidak berfungsinya sekolah

secara maksimal memberikan andil yang besar terhadap rendahnya sumber daya

manusia. Meskipun diketahui bahwa banyak faktor yang ikut menentukan kualitas

pendidikan, keberadaan sekolah sebagai lembaga formal adalah faktor kunci yang

harus mendapat perhatian serius. Fungsi sekolah harus dikembalikan sebagai pusat

layanan kepada siswa, yang diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Jumlah siswa tiap ruang dibatasi maksimal 30 siswa. Namun hal tersebut

membawa konsekuensi terhadap pemasukan keuangan sekolah. Untuk

mengantasipasi masalah pembiayaan, agar sekolah tidak kolep maka harus ada

perhitungan education cost standard tiap siswa Dengan demikian bisa diketahui

berapa besar kekurangannya. Hal demikian merupakan masukan bagi para

Page 20: Karya ilmiah3

pengambil kebijakan untuk mengelola pendidikan agar pendidikan itu meningkat

kualitasnya.

2. Orientasi pembelajaran yang lebih menekankan pada teaching sentries harus

segera digantikan dengan learning sentries. Kebiasaan yang sudah mapan

dilakukan oleh guru akan sangat sulit untuk merubahnya, terlebih bagi guru

senior. Keuntungan dari perubahan tersebut akan bisa meminimalkan adanya

menejemen nilai. Campur tangan kepala sekolah yang kuat diperlukan untuk

membangun iklim keterbukaan agar bisa menerima sesuatu yang baru menjadi

budaya sekolah.

3. Pada kurikulum 1994 sistem evaluasi lebih menekankan pada aspek kognitif.

Faktanya bisa ditelusuri melalui format-format penilaian dengan tidak ada ruang

untuk aspek psikomotor dan afektif. Khusus untuk mata pelajaran Agama, PPKn

dan Bahasa muncul ketimpangan karena tidak memperhatikan aspek nilai (value)

yang didalamnya termasuk etika dan estetika. Kelemahan lain dari penilaian yang

berlangsung sangat lama adalah adanya pembulatan pada nilai 5,5 menjadi nilai

6, sehingga nilai tersebut kabur maknanya. Sistem tidak naik kelas lebih banyak

merugikan siswa karena campur tangan sekolah begitu besar dalam urusan

menejemen nilai.

4. Jumlah mata pelajaran yang harus dipelajari sebaiknya dikurangi untuk tiap level

kelas namun bisa diberi alternatif mata pelajaran pilihan. Sehingga siswa bisa

mengembangkan potensinya sesuai bakat dan minat. Karena perhatian siswa

terfokus pada bidang yang digeluti sesuai dengan pilihan yang menunjang pilihan

hidupnya kelak.

5. Kemerdekaan untuk memilih pilihan hidup hendaknya dihargai. Tentu dari sekian

mata pelajaran ada yang tidak disukai oleh siswa konsekuensinya siswa kurang

bersemangat untuk mempelajarinya. Bila hal tersebut terjadi pada salah satu mata

pelajaran yang menurut kriteria kenaikan kelas tidak naik kelas akan menghambat

pengembangan potensi sesuai dengan pilihannya. Disini hendaknya nilai yang ada

Page 21: Karya ilmiah3

dalam buku laporan ditulis apa adanya sehingga orang tua siswa mendapat

informasi yang sebenarnya dan tidak perlu ada siswa yang tinggal kelas.

6. Bahwa perbedaan individu adalah masalah kesiapan siswa, pada dasarnya siswa

mempunyai potensi. Permasalahan munculnya potensi siswa tergantung masalah

waktu. Akibatnya terjadi perbedaan penguasaan materi antara siswa satu dengan

lainnya. Dengan demikian remedial learning, bukan remedial test, menjadi sangat

penting dalam pembelajaran.

7. Pendidik hendaknya menyadari dengan perbedaan individu siswa. Karena

perbedaan potensi tersebut akan menjadi bahan pertimbangan pada kegiatan

belajar mengajar dan evaluasi belajar. Dan diharapkan dengan memahami

perbedaan individu bisa diterima oleh guru sebagai mana adanya untuk dijadikan

landasan dalam merancang pembelajaran yang efektif.

8. Konsep lingkungan sekolah yang luas dan nyaman perlu direncanakan sejak awal.

Kenyamanan sekolah tidak terletak pada bangunan yang kelihatan megah dari

luar namun terletak pada fungsi bagi terpenuhinya kebutuhan siswa. Udara yang

sejuk karena pepohonan, WC dan ruang kelas yang bersih, kantin yang higienis,

playgound yang memadai adalah sebagaian yang dibutuhkan oleh siswa.

Page 22: Karya ilmiah3

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Pedoman Penyusunan standar pelayanan minimal penyelengaraan persekolahan Bidang Pendidilan dasar dan menengah, Jakarta : Direktorat Dikdasmen.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Biro Hukum dan Organisasi Sekretaris Jendral Depdiknas.

Djaali, H. 2000. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Program Pascasarjana, UNJ. Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung : Sinar Baru

Algensindo. Hamalik, Oemar.2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : PT Bumi Aksara. Madhakomala. Mengenal Perbedaan Individusebagai landasan penyelenggaraan

Pendidikan. Makalah Kuliah Pascasarjana. Mayor, Fedrico.The Human Right to Peace : Declaration by the Director-General,

terjemahan oleh W.P. Napitupulu. Jakarta : Kantor UNESCO Miller, Regina. 1996. The Developmentally Appropriate Inclusive Classroom in early

Education. USA : Delmar Publishers Inc. Munandar, Utami. 1999. Kreativitas dan Keberbakatan : Strategi mewujudkan

Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama . Nggermanto, Agus. 2003. Quantum Quotient. Bandung : Nuansa. O’neil, Williaam F. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Terjemahan Omi Intan

Naomi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Surakhmad, Winarno.2003. Pendidikan untuk besok, Hari ini dalam Pendidikan

Nasional dalam Perspektif Global . Editor Suyatno Dkk. Jakarta : UHAMKA Pres.

Zamroni. 2003. Pendidikan untuk Demokrasi : Tantangan menuju civil society.

Yogyakarta : Bigraf Publishing.