Artikel Ilmiah/Karya Ilmiah/Karya Seni/Buku Yang Dihasilkan ...
KARYA ILMIAH (DIAN)
Transcript of KARYA ILMIAH (DIAN)
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 1/17
HUBUNGAN STATUS EKONOMI
DENGAN KENAIKAN ANGKA PENDERITA
GIZI BURUK
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 2/17
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
KRISIS ekonomi (krismon) yang melanda Indonesia sejak Agustus 1997 membawa akibat
luar biasa bagi kehidupan mayoritas bangsa Indonesia. Puluhan juta jiwa langsung terperosok di bawah garis-garis kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pada tahun 1998,
lebih dari 79 juta jiwa atau 40 persen penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Angka ini
melonjak jauh dibandingkan 20-25 juta jiwa sebelum krismon. BPS melakukan koreksi pada
tahun 1999 dengan menyatakan, lebih dari 49 juta jiwa berada di bawah gariss kemiskman.
Sebagai dampak krismon ada yang memperkirakan bakal terjadinya generasi yang hilang
(lostgeneration).
Jika angka di atas dijadikan ukuran, maka jumlah masyarakat sangat miskin melonjak dua
kali lipat akibat krismon. Jumlah 49 juta jiwa tidaklah kecil, karena berarti satu di antara
empat penduduk Indonesia tergolong sangat miskin. Dengan patokan garis kemiskinan yang
dipakai di Indonesia masih sangat rendah jika patokan itu dinaikkan sedikit saja, maka jumlah
masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan akan jauh lebih besar.Besarnya kenaikan angka kemiskinan ini berkaitan langsung dengan merosotnya kualitas
kehidupan. Krismon telah membawa perubahan dahsyat pada harga barang-barang kebutuhan
pokok, jasa pokok (listrik, air, sekolah, pengobatan, dan sebagainya ), dan berbagai
kebutuhan lain. Sementara itu, pada saat bersamaan, puluhan juta keluarga justru harus
bergumul dengan pemutusan hubungan kerja (PHK), pemotongan gaji, dan dampak negatif
lain akibat krismon.
Akibatnya, jutaan keluarga terpaksa menurunkan kualitas kehidupan
mereka agar dapat bertahan hidup di masa krisis. Kualitas makanan
diturunkan. Anak berumur di bawah lima tahun (balita) makin kurang
mendapat susu karena harga susu melambung. Mereka juga tidak
mendapat perawatan kesehatan memadai, karena makin tak terjangkaunya harga obat-obatan.
Survei Sosial Hasil Ekonomi Nasional (Susenas) 1998 menunjukkan,
sekitar 2,4 juta anak balita menderita gizi buruk, 7,0 juta balita menderita
kurang energi protein (KEP), 7,5 juta ibu usia 15-45 menderita kurang
gizi. Sekitar 17.200 ibu meninggal saat melahirkan (Sekitar satu ibu per
dua jam), 4,3, juta bayi meninggal saat dilahirkan dan sekitar 305.000
balita meninggal sebelum ulang tahun kelima (Kompas, 5 Oktober 1999).
Muramnya kondisi kesehatan anak-anak Indonesia ini pararel dengan
kegiatan sekolah mereka. Krismon berkepanjangan membawa dampak
negatif yang luar biasa bagi ank-anak usia sekolah. Sebelum krismon (Kompas, 14 Agustus
1996). Angka putus sekolah sudah mencapai 1,2 juta tiap tahun untuk tingkat SD dan450.000 per tahun SLTP.
Menurut Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin (Kompas, 28
Juni 2000), jumlah anak putus sekolah di tingkat SD dan menengah meningkat cukup tajam.
Jumlah anak SD yang putus sekolah pada tahun 1997 sebanyak 833.000 dan tahun 1998
meningkat 10,27 persen menjadi 919.000 anak Sedangkan anak SLTP yang mengalami putus
sekolah meningkat dari 365.000 anak pada tahun 1997 menjadi 643.000 pada tahun 1998,
atau meningkat 76 persen.
Dalam banyak kasus, anak-anak putus sekolah terpaksa memasuki dunia kerja. Mereka
dipaksa mencari uang untuk meringankan beban keluarga. Banyak di antara mereka yang
bekerja dalam kondisi yang tidak sepatutnya dialami oleh anak-anak. Ribuan anak-anak,
misalnya, saat ini banting-tulang bekerja di jermal-jermal di pantai timur Sumatera Utara, dipabrik-pabrik bahan kimia berbahaya di Jawa Barat dan provinsi lain, atau menjadi pembantu
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 3/17
rumah tangga di kota-kota besar bahkan di luar negeri. Mereka di hadapkan pada pekerjaan
yang berisiko sangat tinggi bagi kesehatan badan dan jiwa. Tidak jarang mereka menjadi
korban pelecehan seksual.
Sementara itu akhir-akhir ini kita melihat meningkatnya kriminalitas yang dilakukan oleh
anak-anak. Di Jakarta, misalnya telah terjadi beberapa kali pembajakan bus kota oleh
sekelompok anak sekolah. Anak-anak sekolah itu juga merampas barang-barang dan uangpara penumpang. Baik pemerintah maupun lembaga-lembaga non pemerintah telah berupaya
mengurangi dampak negatif krismon terhadap anak-anak. Program bantuan beasiswa,
bantuan pangan melalui program jaring pengaman sosial, bantuan pengobatan melalui JPS
bidang kesehatan, program makanan tambahan, dan program-program makanan tambahan,
dan program-program sejenis mulai dijalankan sejak akhir tahun 1997. Akan tetapi segala
upaya yang telah dilakukan tampaknya baru berhasil menjangkau sebagian kecil dari mereka
yang menderita akibat krismon.
Krisis ekonomi telah membawa dampak negatif yang demikian luar biasa bagi jutaan anak
Indonesia. Tragedi kemanusiaan ini sepatutnya kita kaji ulang dan mencari upaya melakukan
perbaikan pada waktu mendatang. Termasuk pengungsi yang jumlahnya masih ratusan ribu
jiwa, akibat konflik berkepanjangan di beberapa daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Krisis Moneter & Persoalan Gizi
Jauh sebelum krisis ekonomi dan politik melan¬da bangsa ini, persoalan gizi sudah
berlangsung dengan empat masalah klasik : kekurangan energi protein, anemia karena
kekurangan zat besi, gangguan akibat kekurangan lodium, sampai kekurang¬an vitamin A.
Sebagian besar maslah itu terjadi karena keku¬rangan zat gizi mikro, sehingga tidak selalu
tampak secara fisik dan sering disebut sebagai hidden hunger atau kelaparan tersembunyi.Banyak penduduk, karena keterbatasan pengetahuan dan ekonominya, tidak menyadari dan
kalaupun tahu tidak
punya kemampuan mengintervensinya. Padahal, dampaknya terhadap kualitas sumberdaya
manusia amatlah luar biasa.
Data sebelum krisis menunjukkan, persentase ibu hamil yang mengalami anemia mencapai
74 persen. Ini berarti hampir tiga di antara empat ibu hamil menderita kurang darah. Anemia
adalah salah satu pemicu perdarahan, yang mcnyebabkan banyak ibu meninggal saat
melahirkan. Tidak heran bila angka kematian ibu sampai saat ini masih tinggi di Indonesia,
390 per 100.000 kelahiran hidup.
Kekurangan zat besi pada ibu tentu saja berpengaruh besar pada anak yang dikandungnya.
Ponpon S Idjradinata, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FakultasKedokteran Universitas Padjadjaran tahun 1997, menyebutkan sudah terbukti bahwa
lambatnya peningkatan berat badan bayi banyak disebabkan oleh kekurangan zat besi.
Hasil penelitian juga menunjukkan, ada defisit pada indeks perkembangan mental dan indeks
perkembangan psikomotor pada bayi yang kekurangan zat besi. Bahkan secara klinis tampak
bayi kekurangan zat besi iritabel, apacis, dan kurang perhatian terhadap lingkungan
sekitarnya. Sementara gangguan akibat kekurangan yodium melanda sekitar 30 juta
penduduk Indonesia yang bermukim di 6.500 desa di 26 prnvinsi.
Ibu hamil yang kekurangan yodium bisa mengalami keguguran, bayi lahir mati, atau bayi
terkena kelainan kongenital, gangguan mental, dan kretin. Sementara anak-anak yang
mengalami kekurangan yodium akan menjadi bodoh, lemah, dan tidak produktif.
Sedang survei kekurangan vitamin A tahun 1992 menunjukkan, meski prevalensinya sudah dibawah cut off point WHO tiga propinsi di kawasan timur Indonesia masih menempati urutan
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 4/17
tertinggi yaitu Sulawesi Selatan (2,9 persen), Maluku (0,8 persen), dan Sulawesi Tenggara
(0,6 persen).
Kekurangan vitamin A tidak hanya berdampak pada gangguan mata seperti xerophthalmia
tetapi juga meningkatkan angka morbiditas (kesakitan) dan angka mortalitas (kematian)
karena membuat anak-anak rentan infeksi.
Situasi ini secara umum makin buruk setelah krisis ekonomi melanda. Survei Sosial EkonomiNational 1998 melaporkan, sekitar 2,4 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) menderita
gizi buruk.
Dampak jangka pendek dari kurang gizi adalah tingginya angka morbiditas dan mortalitas,
karena kekurangan gizi membuat daya tahan tubuh menurun yang pada akhirnya bisa
menyebabkan kematian. Menurut WHO faktor gizi merupakan 54 persen kontributor
penyebab kematian.
Dampak jangka panjangnya adalah rendahnya kualitas sumber daya
manusia generasi mendatang dilihat dari kecerdasan, kreativitas dan produktivitas.
Pengukuran 1Q penderita gizi buruk setelah mereka mencapai usia sekolah menunjukkan, IQ
mereka 10 – 15 persen lebih rendah dan anak pada komunitas yang sama namun bukan
penderita gizi buruk.
2. Dampak Krisis Terhadap Status Gizi
Masalah gizi utama Indonesia ialah kurang energi protein (KEP), anemi karena kekurangan
zat besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY) dan kurang vitamin A (KYA). Masyarakat
yang rentan terhadap keku¬rangan gizi terutama bayi, balita dan ibu hamil.
Anemi, GAKY dan KVA disebabkan oleh kekurangan zat gizi mikro sehingga tidak selalu
tampak secara fisik sehingga disebut juga hidden hunger atau kelaparan tersembunyi.
Ketiga faktor tersebut penduduk miskin, lapangan kerja, dan urbanisasi berperan cukup
signifikan dalam proses meningkatnya jumlah anak kurang gizi. Daerah slum area di
perkotaan merupakan kantung-kantung anak yang kurang gizi. Krisis ekonomi dan politik
merupakan akar masalah terhadap terjadinya kemerosotan status gizi.
Data pengunjung Klinik Gizi Puslitbang Gizi seluruhnya penderita gizi buruk memberi
gambaran tentang dampak krisis terhadap status gizi. Mulai dari tahun 1992 sampai 1996
sudah terjadi kecenderungan penurunan jumlah pengunjung kasus gizi buruk, sesuatu yang
menggembirakan. Namun sejak terjadinya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 yang
disusul dengan krisis ekonomi, terjadi kenaikan yang tajam banyaknya anak gizi buruk
pengunjung klinik gizi. Data pe¬ngunjung kasus gizi buruk di klinik Puslitbang Gizi rupanya
terkait dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan, sehingga sampai tahun 1999 masih
tergambar terjadinya kenaikan kasus gizi buruk.
Hal yang menarik bila dibandingkan dengan angka tingkat nasional tentang masalah
kekurangan gizi ialah angka total anak balita yang kurang gizi (kurang, sedang, dan buruk)turun dari 35,6 persen pada tahun 1992 menjadi 26,5 persen pada tahun 1999. Laju
penurunan prevalensi kurang gizi sekitar dua persen dipandang cukup baik menurut para ahli
internasional. Namun prevalensi gizi buruk sudah mulai naik pada tahun 1995, dan
selanjutnya hanya mengalami penu¬runan sedikit sejak krisis moneter yang disusul krisis
ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Dari data nasinal ini tampaknya proses pemiskinan
untuk lapisan masyarakat tingkat bawah sudah mulai terjadi pada tahun 1995.
Pekerjaan orangtua penderita gizi buruk pengunjung klinik Gizi sekitar 60 persen adalah
buruh, dengan istri yang umumnya tidak bekerja dan jumlah anggota keluarga rata-rata tujuh
orang. Ketahanan pangan seperti yang diharapkan sukar dilakukan bagi keluarga ini karena :
• Kecilnya penghasilan
• Sebagian besar tidak mempunyai pekarangan untuk ditanami ber¬bagai sayuran sepertianjuran Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 5/17
• Situasi rumah tangga tidak memungkinkan keluarga menyimpan bahan makanan, kecuali
beras untuk beberapa hari.
3. Dampak Jangka Pendek Dan Jangka Panjang Dari Kekurangan Gizi
Dampak jangka pendek dari kurang gizi ini ialah tingginya angka morbiditas (kesakitan) dan
mortalitas (kematian). Kekurangan zat gizi menyebabkan turunnya daya tahan tubuhsehingga kelompok yang rentan, terutama bayi dan anak balita, akan mudah terserang
berbagai penyakit infeksi. Tingginya kejadian infeksi menyebabkan tingginya angka
kematian. (Lihat Diagram 1).
Dampak jangka panjang ialah rendahnya kualitas sumber daya manusia generasi yang akan
datang dilihat dari kecerdasan, kreativitas dan produktivitas sehingga merupakan generasi
yang tidak mampu bersaing secara global atau disebut juga generasi yang hilang sewaktu
mereka mencapai dewasa.
Berbagai hasil penelitian mutakhir bagi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan
mungkin juga penderita gizi buruk, lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit
degeneratif seperti diabet tipe II, tekanan darah tinggi dan mungkin stroke bila mereka
melewati masa dewasa.
4. Masalah Pencapaian Kecukupan Gizi Pada Anak Dari Keluarga Miskin
Hasil pemantauan status gizi mengungkapkan sudah terjadinya ketidak normalan
pertumbuhan anak (growth faltering) pada usia enam bulan. Terjadinya growth faltering ini
menggambarkan konsumsi makanan yang diberikan pada anak tidak mencukupi, sehingga
menderita kurang gizi, atau kurang energi protein (KEP). Mengatasinya dapat berupa :
• Gizi buruk bila berat badan <60 persen nilai median
• Gizi kurang tingkat sedang, bila berat badan menurut umur 60 -70 persen nilai median
• Gizi kurang tingkat ringan bila berat badan menurut umur 70-80 persen nilai median
• Gizi baik bila berat badan menurut umur 80 persen atau lebih dari nilai median.Untuk menilai status gizi dapat pula digunakan z-skor yakni berdasarkan rata-rata simpang
baku atau standar deviasi. Gizi buruk bila lebih besar dari -3 SD, gizi kurang antara -2,5
sampai -3SD.
Terjadinya growth faltering menggambarkan sebagian keluarga tidak dapar memberi
makanan pada anaknya sesuai kebutuhan. Hal ini dapat disebabkan.
• Kemiskinan
• Ketidaktahuan
• Anak kurang nafsu makan, karena menderita penyakit infeksi
Anak yang kurang gizi, apabila yang cukup berat, sudah mengalami kelainan berbagai organ
yang berperan dalam metabolisme makanan, demikian juga perubahan berbagai hormon
insulin, hormon pertumbuhan, hormon tiroksin dan sebagainya .Karena itu rehabilitasi anak kurang gizi, terutama gizi buruk, harus dilakukan secara gradual
atau bertahap. Pemberian zat gizi berlebihan secara mendadak dapat berakibat fatal. Karena
itu peran pemberian pendidikan / penyuluhan gizi kepada orangtua dari penderita gizi buruk
sangat penting dan diberikan dengan telaten.
Karena masalah kemiskinan dan minimnya pengetahuan dari orang¬tua penderita gizi buruk,
maka penjelasan perlu dilakukan dengan hati-hati dan disesuaikan dengan tingkat penyerapan
pengetahuan dan keadaan rumah tangga. Pada tahap awal mereka perlu dibantu dengan
pemberian makanan pendamping ASI yang sudah siap pakai dengan cuma-cuma sampai
keadaan anak cukup stabil.
Menurut data yang ada di Klinik Gizi hanya 9,8 persen penderita gizi buruk yang tanpa
menderita infeksi. Dengan kenyataan ini maka pada awal rehabilitasi gizi buruk perlu diberiobat-obatan untuk penyembuhan penyakit infeksinya. Bila penyakit infeksinya belum sembuh
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 6/17
biasanya anak tidak punya nafsu makan.
Kadar gizi yang dilibatkan untuk membantu penanganan gizi buruk perlu mendapat
pengetahuan tambahan sedikitnya dua hal, yakni cara mengetahui bahwa seorang anak
menderita gizi buruk dan cara pemberi¬an makanan pendamping ASI yang dilakukan secara
bertahap.
5. Hak Memperoleh Pelayanan Kesehatan Dan Makanan Bergizi Bagi Anak
Convention on the Rights of the Child-1989 menyatakan adalah hak asasi setiap anak untuk
memperoleh derajat kesehatan yang baik serta makanan yang cukup, terutama makanan
bergizi. Karena memperoleh makanan yang bergizi merupakan hak setiap anak, maka
program perbaikan masalah gizi seharusnya menjadi prioritas utama.
Meskipun memperoleh makanan bergizi merupakan hak setiap anak. namun yang menjadi
pertanyaan :
• Sampai seberapa jauh pemerintah dari segi dana mampu menangani masalah ini
• Bagaimana memberdayakan masyarakat ikut membantu mengatasi masalah ini
Menurut pengalaman Klinik Gizi, untuk rehabilitasi anak penderita gizi buruk dengan rawat
jalan dibutuhkan dana sekitar Rp 150.000, untuk pelayanan kesehatan dan obat-obatan, sertasekitar Rp 100.000 untuk makanan tambahan yang bergizi. Bila jumlah penderita 1,7 juta
anak, maka untuk rehabilitasi mereka diperlukan dana Rp 375 milyar per tahun. Penderita
gizi kurang sekitar tiga kali penderita gizi buruk atau sekitar lima juta anak balita. Bila untuk
rehabilitasi penderita gizi kurang, diperlukan dana Rp 100.000 (untuk makanan tambahan
saja) maka diperlukan dana sekitar Rp 500 milyar per tahun.
Untuk mencegah meningkatnya kasus gizi kurang dan gizi buruk perlu dilakukan strategi
kebijakan :
• Revivalisasi Posyandu • Memantapkan kewaspadaan gizi
• Pemberdayaan keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan ke¬mampuan mengatasi
masalah pangan dan gizi di rumah tangga.
• Sesuai dengan paradigma sehat yakni promotif lebih penting pula pendekatan menyeluruh
dari perbaikan gizi yang berbasis makanan, suplementasi dan fortifikasi.
• Dengan diberlakukannya otonomi daerah masing-masing daerah tingkat II akan
mengembangkan strategi kebijakan yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan kemampuan
daerah.
Untuk mengatasi masalah anemi, GAKY dan KVA diperlukan supiementasi (pil besi untuk
anemi, minyak beryodium untuk GAKY dan kapsul vitamin A dosis tinggi untuk KYA) dan
fortifikasi. Suple¬mentasi zat gizi yang diperlukan merupakan pilihan terbaik sebelum
masyarakat dapat mengatasi dan makanan sehari-hari.
Tags: balita, bayi, ekonomi, gizi, kelaparan, krisis, perekonomian, sehat, tubuh, vitamin,
yodium, zat besi
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 7/17
PENDAHULUAN
Krisis yang melanda perekonomian Indonesia pada pertengahan tahun 1997,
bersamaan dengan kekeringan panjang, telah berpengaruh negatif terhadap kondisi makro
ekonomi secara menyeluruh dan khususnya terhadap kesejahteraan penduduk. Jumlah
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dipercaya telah meningkat secara drastis
karena dampak krisis tersebut. Data dan hasil Sensus mini Desember 1998 mengindikasikan
suatu kenaikan besar pada insiden kemiskinan dari periode sebelum krisis (1996) ke keadaan
akhir 1998.
Besarnya dampak krisis terhadap kemiskinan pada awalnya diperdebatkan antara
berbagai metodologi pengukuran, khususnya untuk estimasi tahun 1998, masalah pentingyang perlu ditelaah adalah proses dari pengaruh krisis terhadap peningkatan jumlah
penduduk miskin di Indonesia. Krisis dipercaya telah memperburuk insiden kemiskinan
terutama melalui kenaikan drastis harga-harga kebutuhan pokok dan komoditi-komoditi
lainnya karena depresiasi nilai rupiah yang sangat cepat antara paruh kedua tahun 1998.
Kenaikan harga-harga ini khususnya terhadap barang-barang input produksi impor, telah
menyebabkan kontraksi sektor-sektor riil (dan sektor formal secara umum). Situasi ini
kemudian diikuti oleh menjamurnya insiden kebangkrutan dan kegagalan bisnis, khususnyayang tergantung pada sumber-sumber dan komponen dari luar negeri. Sebagai akibatnya,
tekanan pada kesempatan kerja di sektor informal perkotaan menjadi semakin besar,
permintaan atas barang-barang dan jasa-jasa melemah, dan tingkat produksi serta
pendapatan dari pertanian di perdesaan cenderung menurun drastis (Irawan dan Romdiati,
2000).
Lebih lanjut Irawan dan Romdiati (2000) mengungkapkan bahwa semua faktor
tersebut pada gilirannya mengakibatkan suatu penurunan yang drastis pada pendapatan dan
daya beli dari mayoritas penduduk. Memahami proses dampak krisis seperti ini,
memburuknya angka kemiskinan adalah konsekuensi logis. Proses “pemiskinan” ini
melibatkan mereka yang sebelum krisis mempunyai tingkat kesejahteraan, seperti
ditunjukkan oleh rata-rata pengeluaran per kapita, sedikit di atas garis kemiskinan.
Kelompok penduduk ini sering diistilahkan sebagai near poor yang mempunyai tingkat
kesejahteraan sangat rawan terhadap perubahan sumber penghasilan dan tingkat pendapatan
mereka serta terhadap gejolak harga-harga kebutuhan pokok. Kondisi ini menyebabkan
sebagian masyarakat tidak mampu mengakses pangan dan pada akhirnya berpengaruh
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 8/17
terhadap keadaan gizi masyarakat yang dapat digambarkan secara nyata pada kelompok
rawan gizi terutama anak balita (termasuk bayi) serta ibu hamil dan menyusui.
KONDISI PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
Profesor Simon Kuznets, salah satu ekonom besar yang pernah memenangkan hadiah
Nobel dibidang ekonomi pada tahun 1971 atas usahanya mempelopori pengukuran dan
analisis atas sejarah pertumbuhan pendapatan nasional negara-negara maju, telah
memberikan suatu definisi mengenai pertumbuhan ekonomi (economic growth) suatu
negara. Menurut Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka
panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada
penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya
kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan) dan
ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro, 2000).
Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian ekonomi makro adalah penambahan produk
domestik bruto (PDB), yang berarti peningkatan pendapatan nasional (Julianery, 2002).
Petumbuhan ekonomi ada dua bentuk: extensively yaitu dengan penggunaan banyak
sumberdaya (seperti fisik, manusia atau natural capital) atau intensively yaitu dengan
penggunaan sejumlah sumberdaya yang lebih efisien (lebih produktif). Ketika pertumbuhan
ekonomi dicapai dengan menggunakan banyak tenaga kerja, hal tersebut tidak menghasilkan
pertumbuhan pendapatan per kapita. Namun ketika pertumbuhan ekonomi dicapai melalui
penggunaan sumberdaya yang lebih produktif, termasuk tenaga kerja, hal tersebut
menghasilkan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-
rata masyarakat.
Kondisi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1986 sampai akhir tahun
1996 dalam kondisi cukup baik. Keadaan rupiah stabil dengan depresiasi antara tiga dan
empat persen. Kondisi nilai tukar yang relatif stabil ini membawa pertumbuhan ekonomi
negeri ini berkisar antara tujuh dan delapan persen per tahun. Memasuki tahun 1997 para
pengamat ekonomi optimis perekonomian Indonesia akan tumbuh pesat. Bank Dunia
meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesisa sekitar 8,2%. Patokan angka ini lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya yang mencapai 7,82%.
Julianery (2002) mengungkapkan bahwa dari dalam negeri, Lembaga Penyelidikan Ekonomi
dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) memperkirakan laju
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 9/17
pertumbuhan ekonomi turun menjadi 7,36%. Kemudian lembaga ini melakukan proyeksi
lain dan menghitung pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai 6,4%.
Sumber : BPS 2002 dan Kompas Maret 2003
Gambar 1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (%) 1980 - 2003
Kebenaran ramalan angka pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan tersebut tidak
terbukti dan tidak satupun yang menghitung angka pertumbuhan ekonomi di tahun 1997
setepat 4,70%. Semua asumsi tertolak sebab tidak ada yang mengira nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika akan jatuh. Pada tanggal 11 Juli 1997 nilai rupiah menjadi Rp
2.430 setelah di tahun 1996 berada di tingkat Rp2.383. Sampai akhir tahun 1997 keadaan
rupiah tidak stabil, sebentar naik dan tak lama kemudian turun lagi, akhirnya rupiah ditutup
pada nilai Rp 4.650. Nilai rupiah yang tidak bisa dikendalikan itu menyulitkan seluruh
aktivitas ekonomi.
Indonesia memasuki tahun 1998 dalam kondisi ekonomi yang sulit dan inflasi yang
melambung menjadi 11,05. Pergantian kepala pemerintahan dari Suharto ke B.J. Habibie,
pada tanggal 21 Mei 1998 tidak cukup kuat menahan jatuhnya rupiah. Di tahun tersebut
rupiah mengalami depresiasi hampir 80 % dan inflasi melonjak menjadi 77.63%. Kondisi
ini mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi
berada pada – 13,13%. Salah satu sektor produksi yang mengalami kemerosotan paling
dalam adalah industri pengolahan, yang sebelumnya dijadikan andalan ekspor nonmigas
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 10/17
yang memiliki laju pertumbuhan per tahun sedikitnya 10%. Penyebab merosotnya industri
pengolahan adalah rendahnya kemampuan belanja masyarakat dan kegiatan ekonomi yang
lesu yang akhirnya mengakibatkan permintaan terhadap hasil produk ini berkurang.
Disamping itu tingginya suku bunga pinjaman, dana kredit dari perbankan nasional yang
terbatas dan harga bahan baku impor yang melonjak tinggi akibat dari rendahnya nilai rupiah
serta penolakan bank-bank luar negeri terhadap surat pemberitahuan kredit dari bank
nasional menghambat kegiatan industri. Pada akhirnya banyak perusahan yang harus tutup
usaha dan mengakibatkan tingginya angka pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini
mengakibatkan sebagian besar masyarakat kehilangan pekerjaan dan pendapatan serta secara
langsung meningkatkan jumlah penduduk miskin yang tidak mampu menjangkau kebutuhan
pokoknya.
Meskipun belum lancar, kegiatan ekonomi mulai berjalan kembali di tahun 1999 dan
hasilnya mulai menunjukkan pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebesar 0,79%. Ditahun ini inflasi turun menjadi 2,01% dan kurs menguat pada nilai Rp
7.100. Kegiatan perekonomian mulai bergerak lebih cepat di tahun 2000, sehingga
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi menjadi 4,90%. Namun pada tahun 2001, angka
pertumbuhan ekonomi tersebut turun menjadi 3,32% dan sekarang (tahun 2003)
pertumbuhan ekonomi sekitar 3,4%. Kurs rupiah yang turun menjadi Rp 10.400 turut
berpengaruh terhadap turunnya pertumbuhan masing-masing lapangan usaha.
PERKEMBANGAN INSIDEN KEMISKINAN
Pengkajian berdasarkan data Susenas menunjukkan peningkatan jumlah penduduk
miskin dari 22,5 juta jiwa tahun 1996 menjadi 49,5 juta tahun 1998. Pada tahun 1999,
jumlah penduduk miskin sebesar 37,5 juta jiwa. Tingkat kemiskinan di perkotaan meningkat
dari 12% tahun 1996 menjadi 26% tahun 1998. Namun demikian jumlah penduduk miskin
terbesar tetap berada di pedesaan, yaitu diperkirakan sebesar 32 juta jiwa pada tahun 1998
dan 25 juta jiwa pada tahun 1999 (Tabor, Soekirman dan Martianto, 2000).
Lebih jauh, kenaikan substansial pada kemiskinan absolut pada periode Februari
1996 – Desember 1998 dalam kenyataannya juga berkaitan dengan perubahan drastis pada
garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Dibandingkan tahun 1996, garis
kemiskinan pada tahun 1998 meningkat sekitar 153,5% (dari Rp38.246 menjadiRp96.959/kapita/bulan) dan 165,5% (dari Rp27.413 menjadi Rp72.780/kapita/bulan)
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 11/17
masing-masing di perkotaan dan di pedesaan. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai nominal
dari pengeluaran yang dibayar oleh seseorang per bulan untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya pada Desember 1998 telah berlipat lebih dari dua kali dibandingkan nilai pada
Februari 1996. Besarnya kenaikan garis kemiskinan tersebut konsisten dengan meroketnya
harga-harga, khususnya komoditi makanan pada periode yang sama, dan sebagian kenaikan
karena pendefinisian kembali pada paket non-makanan dalam garis kemiskinan. Dari
Februari 1996 ke Desember 1998, tingkat inflasi dilaporkan sebesar 98,64% untuk indek
umum, dan 148,6% untuk kelompok makanan (Irawan dan Romdiati, 2000).
Angka kemiskinan yang diukur dengan head-count ratio, di Jawa Barat cenderung
lebih tinggi dari pada di Sumatera, tetapi angka tertinggi terdapat di wilayah lain khususnya
Indonesia bagian timur. Dengan menggunakan standar 1998, angka kemiskinan di Jawa-
Bali meningkat 17,3 persen pada 1996 menjadi 24,2 persen pada Desember 1998,
dibandingkan dengan angka di Sumatera yang meningkat 14,2 persen menjadi 17,4 persen,
dan di pulau lainnya yang meningkat dari 22,6 persen menjadi 32,0 persen pada periode
yang sama (BPS, 2000). Dilihat dari perkembangan jumlah penduduk miskin secara absolut,
daerah perkotaan di ketiga wilayah ini menunjukkan peningkatan yang lebih besar selama
periode tersebut dibandingkan dengan yang terjadi di daerah pedesaan. Di Jawa-Bali,
jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 80 persen di perkotaan, dibanding 27 persen di
pedesaan, selama 1996-Desember 1998. Peningkatan di Sumatera tercatat lebih kecil yaitu
64 persen dan 18 persen, sedangkan di pulau-pulau lainnya kenaikan adalah 116,7 persen
dan 37,8 persen di masing-masing daerah perkotaan dan pedesaan selama periode yang
sama. Temuan ini mengindikasikan bahwa dampak krisis ekonomi terhadap peningkatan
insiden kemiskinan terlihat lebih besar di perkotaan dari pada di pedesaan, terutama di
wilayah perkotaan Indonesia bagian timur dan Jawa-Bali. Hal ini diduga karena
ketergantungan pada sektor formal dan tingkat kenaikan harga-harga lebih tinggi diperkotaan dari pada di pesedaan, sehingga penduduk kota lebih cepat merasakan dampak
krisis. Di samping itu daerah pedesaan terutama di Sumatera dan beberapa provinsi di
Sulawesi yang banyak mengandalkan tanaman perkebunan untuk ekspor, diperkirakan justru
menikmati dampak positif akibat kenaikan kurs dollar (Raharto dan Romdiati, 2000).
STATUS GIZI PENDUDUK INDONESIA
Status gizi merupakan salah satu determinan utama status kesehatan penduduk.
Salah satu indikator status gizi penduduk yang rendah adalah tingginya prevalensi gizi
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 12/17
kurang dan gizi buruk pada anak bawah lima tahun (balita) yang didasarkan pada berat
badan menurut umur (BB/U). Menurut Jahari dkk (2000), prevalensi gizi kurang pada anak
balita (usia 0 – 59 bulan) secara nasional menurun dari 36,2% di tahun 1989 menjadi 29,8%
di tahun 1995 dengan kecepatan penurunan 1,0% per tahun, dan turun lagi dari 29,8% di
tahun 1995 menjadi 28,3% di tahun 1998 dengan kecepatan penurunan 0,5% per tahun.
Selanjutnya dari tahun 1998 ke tahun 1999 prevalensi gizi kurang turun dari 28,3% menjadi
25,4% dengan kecepatan penurunan 2,9% per tahun (Gambar 2). Penurunan prevalensi gizi
kurang dari tahun 1999-2000 kembali kecil yaitu dari 25,4% menjadi 24,7% atau penurunan
sebesar 0,7% (Jahari dan Sumarno, 2002). Penurunan prevalensi gizi kurang tersebut
dijumpai baik di daerah kota maupun desa. Penurunan prevalensi gizi kurang yang kecil
dari tahun 1995 ke tahun 1998 tidak seperti yang diharapkan karena prevalensi gizi kurang
di Indonesia masih tergolong tinggi. Bila kecepatan penurunan prevalensi dipertahankan
1,0% per tahun seperti yang terjadi antara tahun 1989 dan tahun 1995, maka prevalensi gizi
kurang yang diharapkan tahun 1998 adalah sebesar 26,8%. Perbedaan antara prevalensi
yang ditemukan (28,3%) dan yang diharapkan (25,8%) pada tahun 1998 tersebut
memberikan indikasi tentang adanya masalah gizi.
Sumber : Susenas 2000
Gambar 2. Prevalensi gizi kurang ( < -2.0 SD z_BBU) pada anak umur 0-56 bulan menurut
daerah dan tahun
Prevalensi gizi kurang di Indonesia pada tahun 1998 masih lebih tinggi dari
prevalensi gizi kurang di negara-negara tetangga (Malaysia, Philippina, dan Thailand) yang
besarnya sekitar 20% pada tahun yang sama. Lebih lanjut, prevalensi gizi kurang pada tahun2000 masih tergolong tinggi dari target penurunan menjadi 18% pada akhir 2000.
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 13/17
Menurut data Susenas (2001) prevalensi gizi kurang sedikit berbeda dari yang
dikemukakan oleh Jahari dkk (2000). Data gizi kurang menurun dari 31,2%; 28,3%; 20,0%;
19,0% dan 18,3% berturut-turut dari dari tahun 1989; 1992; 1995; 1998 dan 1999. Tetapi
untuk kasus gizi buruk terjadi peningkatan pada tahun 1989 dari 6,3% menjadi 11,4% tahun
1995 (Gambar 3).
Sumber : Susenas 1989 - 1999
Gambar 3. Prevalensi Gizi Kurang (BBR) dan Gizi Buruk (BBSR) pada Anak Balita
Masalah gizi memiliki etiologi yang sangat komplek, tidak saja dipengaruhi oleh
intake zat gizi dan keadaan kesehatan individu tetapi juga berkaitan erat dengan dengan
keadaan sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu meningkatnya prevalensi gizi buruk
yang diikuti dengan menurunnya prevalensi gizi kurang tingkat ringan memberikan indikasi
makin melebarnya kesenjangan keadaan ekonomi antara masyarakat miskin dan masyarakat
kaya.
KAITAN PERTUMBUHAN EKONOMI, KEMISKINAN DAN STATUS GIZI
Selama periode pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, jumlah penduduk miskin
di Indonesia menurun dengan pesat dari sekitar 54,2 juta orang (40,1% terhadap total
penduduk) pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta orang (11,3%) pada tahun 1996. Akan tetapi,
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 14/17
pencapaian atas penurunan kemiskinan ini terimbas oleh krisis ekonomi yang melanda
Indonesia sejak pertengahan 1997. Bersamaan dengan meningkatnya harga-harga dan
penurunan rata-rata pendapatan karena dampak krisis, laju pertumbuhan ekonomi menurun
drastis menjadi – 13,13% pada tahun 1998 dibandingkan 7,82% pada tahun 1996. Jumlah
penduduk miskin mencapai sekitar 49,5 juta orang (24,23%) pada Desember 1998, atau
suatu kenaikan absolut sebesar 27 juta orang dibandingkan dengan kondisi tahun 1996 (22,5
juta orang).
Irawan dan Romdiati (2000) mengemukakan bahwa krisis ekonomi yang dilihat dari
menurunnya laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah menyebabkan bertambahnya
jumlah penduduk miskin, melalui beberapa mekanisme yang kesemuanya menyebabkan
penurunan drastis pada pendapatan dan daya beli dari mayoritas penduduk, khususnya
golongan bawah. Menurunnya pendapatan secara negatif berdampak pada kualitas dan pola
konsumsi rumah tangga. Dengan tingkat pendapatan yang sangat terbatas, banyak rumah
tangga miskin terpaksa merubah pola makanan pokoknya ke barang paling kurang dengan
jumlah yang berkurang. Sementara di beberapa kasus, seperti yang ditemukan oleh Irawan
(1998), penurunan tajam pada pendapatan telah menyebabkan banyak rumah tangga menjadi
sangat nestapa karena mereka mengalami kesulitan untuk membeli makanan, penurunan ini
umumnya mengakibatkan berubahnya pola pengeluaran konsumsi dengan proporsi lebih
besar untuk kebutuhan makanan dibandingkan untuk kebutuhan bukan makanan, seperti
untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Pada studi lainnya, Irawan (1999) juga
menemukan bahwa mayoritas penduduk pedesaan cenderung merubah pola konsumsi
makanan, baik kualitas maupun kuantitas, seperti dari nasi ke jagung atau umbi-umbian, dan
dari sebanyak 3 kali ke 1 atau 2 kali makan sehari.
Adanya keterkaitan status gizi dan pembangunan ekonomi juga dikemukakan oleh
Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan dalam Soekirman, 2000. Dalam salah satu pidatonya
dikatakan bahwa, “Gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan
pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, melindungi kesehatannya dan meletakkan
pondasi untuk masa depan produktivitas anak”. Pernyataan ini memperkuat hasil riset para
pakar gizi dan kesehatan mengenai adanya kaitan antara pangan, gizi, kesehatan dan
pembangunan ekonomi. Mekanisme hubungan tersebut digambarkan secara sederhana oleh
Martorell (1998) yang terlihat pada Gambar 4. Terjadinya perbaikan ekonomi maka akan
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 15/17
mengurangi kemiskinan dan selanjutnya akan meningkatkan status gizi serta meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (SDM) dan produktivitas.
Kemiskinan
Berkurang
Ekonomi
Meningkat
Peningkatan
Produktivitas
Investasi Sektor Sosial
(Gizi, Kes, Pendidikan)
Peningkatan Kualitas SDM
Perbaikan
Status Gizi Anak
Gambar 4. Keterkaitan antara Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Status Gizi
(Martorell, 1998)
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 16/17
PENUTUP
Sejalan dengan mulai terjadinya pertumbuhan ekonomi yang positif yang ditandai
dengan stabilnya harga-harga komoditi dasar, jumlah penduduk miskin pada Februari 1999
diperkirakan sedikit menurun menjadi sekitar 48,4 juta orang (23,55% dari total penduduk),
diikuti dengan suatu penurunan tajam yaitu sekitar 37,5 juta orang pada Agustus 1999. Hal
ini berarti bahwa terdapat suatu pengurangan sebesar 12 juta orang miskin selama periode
Desember 1998 – Agustus 1999. Baik di perkotan maupun di pedesaan, jumlah penduduk
miskin juga menurun drastis pada Agustus 1999, yaitu masing-masing mencapai 12,4 juta
orang (15,09%) dan 25,1 juta orang (20,22%). Standar minimum untuk kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang dipergunakan dalam pendefinisian garis kemiskinan
untuk data Februati dan Agustus 1999 adalah sama dengan yang diaplikasikan pada data
Desember 1998. Oleh karena itu, penurunan sebesar 12 juta orang miskin selama periode
Desember 1998 – Agustus 1999 hampir pasti dipengaruhi oleh deflasi harga-harga,
khususnya komoditi makanan, yang mencapai – 5,58 persen selama periode tersebut. Angka
inflasi untuk komoditi bukan makanan cenderung untuk menurun sejak Maret 1999, dan
mencapai kurang dari 3 persen selama periode yang sama. Sementara angka inflasi/deflasi
seperti yang diukur dengan perubahan indek harga konsumen (CPI) mewakili perubahan
harga-harga di perkotaan, indek harga konsumen yang dibayar oleh petani untuk konsumsi
rumah tangga dapat merefleksikan perubahan harga-harga di pedesaan. Indek ini dari 14
provinsi yang dicakup secara rata-rata mengalami suatu penurunan sebesar 5,82 persen
selama periode Februari – Juli 1999.
Satu hal perlu dicatat bahwa variasi regional pada angka kemiskinan cenderung
merefleksikan adanya perbedaan pembanguan sosial, tingkat dan pola pertumbuhan ekonomi
dan pertumbuhan jumlah penduduk antar wilayah. Variasi juga mengindikasikan adanya
perbedaan pada karakteristik kemiskinan, latar belakang sosial dan budaya, serta
kemampuan wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan untuk menghapuskan
kemiskinan. Bagaimanapun perbedaan-perbedaan pada pembangunan sosial-budaya dan
ekonomi ini tidak tampak dengan kentara pada insiden kemiskinan, khususnya antara Jawa-
Bali dan luar Jawa-Bali (BPS dan UNDP, 1999). Memasuki era tahun 1990-an, Bank Dunia
memberikan prioritas pinjaman kepada negara berkembang untuk melakukan investasi di
bidang gizi melalui pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
5/14/2018 KARYA ILMIAH (DIAN) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/karya-ilmiah-dian 17/17
BPS and UNDP (1999). Crisis, Poverty and Human Development in Indonesia 1998. BPS-
UNDP, Jakarta.
BPS. 2000. Peta dan Pekembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia. Paper.
Irawan, P.B. and A. Susanto. 1999. Impact of the Economic Crisis on the Number of Poor
People, paper dipresentasikan pada International Seminar on Agricultura Sector During the Turbulence of Economic Crisis: Lessons and Future Directions. The
Centre for agro-Socioeconomic Research, Agency for Agricultural Research and
Development of Agriculture, Bogor, 17 – 18 February 1999.
Irawan, P,B & H, Romdiati. 2000. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Kemiskinan dan
Beberapa Implikasinya untuk Strategi Pembangunan. Prosiding Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi VII. LIPI, Jakarta.
Irawan, P.B. 1998. Analisis Studi Data Kualitatif: Hasil Survei Dampak Krisis Terhadap
Ketahanan Ekonomi Rumahtangga di Pedesaan. Jakarta: BPS-UNDP, mimeo.
Irawan, P.B. 1999. Analisis Perkembangan dan Dimensi Kemiskinan. Jakarta: BPS-
UNDP, mimeo.
Jahari, A.B. dan Sumarno. 2002. Status Gizi Penduduk Indonesia. Artikel dalam Majalah
Pangan, Media Komunikasi dan Informasi. Puslitbang Bulog, Jakarta.
Jahari, A.B. Sandjaja, S. Herman, Soekirman, I. Jusat, F. Jalal, D. Latief dan Atmarita.
2000. Status Gizi Balita di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis. Prosiding
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI, Jakarta.
Julianery, B.E. 2002. Produk Domestik Bruto. Makalah dalam Indonesia dalam Krisis
1997 – 2002. Kompas, Jakarta.
Martorell, R. 1998. Nutrition, Human Capital and National Economic Development.
Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. LIPI, Jakarta.
Raharto, A & H, Romdiati. 2000. Identifikasi Rumah Tangga Miskin. Prosiding
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI, Jakarta.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Tabor, S. Soekirman dan D. Martianto. 2000. Keterkaitan antara Krisis Ekonomi,
Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi. Widya karya Nasional Pangan dan Gizi VII.
LIPI, Jakarta.
Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. (Alih bahasa: Haris
Munandar). Erlangga, Jakarta.