Karya Ilmiah

30
KARYA ILMIAH SEJARAH PERUNDINGAN LINGGARJATI TUGAS BAHASA INDONESIA Disusun Oleh : Muhammad Taufik Nurwansyah Pendidikan Sejarah B 4415155270 Universitas Negeri Jakarta Fakultas Ilmu Sosial

Transcript of Karya Ilmiah

Page 1: Karya Ilmiah

KARYA ILMIAH

SEJARAH PERUNDINGAN LINGGARJATI

TUGAS BAHASA INDONESIA

Disusun Oleh :

Muhammad Taufik Nurwansyah

Pendidikan Sejarah B

4415155270

Universitas Negeri Jakarta

Fakultas Ilmu Sosial

Program Studi Pendidikan Sejarah

2015

Page 2: Karya Ilmiah

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat

dan hidayah-Nya akhirnya karya ilmiah yang berjudul Sejarah Perundingan Linggarjati telah

selesai.

penulis ingin mengucap banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

menyelesaikan karya ilmiah ini, baik secara langsung ataupun tidak. Serta rasa terima kasih

kepada dosen mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah menularkan banyak ilmunya kepada

penulis sehingga bisa menyusun karya ilmiah ini dengan baik.

Penulis sadar makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu

kritik dan saran dari pembaca sekalian sangat penulis harapkan guna perbaikan pada tulisan

selanjutnya.

Jakarta, Desember 2015

Penulis

Page 3: Karya Ilmiah

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan

1.3 Rumusan Masalah

1.4 Metode Penyusunan Makalah

1.5 Sistematika Uraian

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Terjadinya Perundingan Linggarjati

2.2 Gambaran dan Jalannya Perundingan Linggarjati

2.3 Indonesia Pasca Perundingan Linggarjati

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Lampiran

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Karya Ilmiah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang terletak di Asia Tenggara, yang merdeka pada tanggal 17

Agustus 1945 dengan Ir.Soekarno sebagai presidennya. Pasca Proklamasi kemerdekaan negara

ini diuji oleh banyaknya persoalan dari dasar negara sampai kembali datangnya Belanda yang

tidak mengakui Kemerdekaan Indonesia. Masa Revolusi di Indonesia dimulai dengan masuknya

Sekutu diboncengi oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan

Jepang, dan diakhiri dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember

1949. Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi kabinet,

Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.

1.2 Tujuan

Karya ilmiah ini disusun dengan tujuan diantaranya agar lebih mengetahui dan

memahami mengenai Perundingan Linggarjati.

1.3 Rumusan Masalah

Dalam karya ilmiah ini dapat penulis rumuskan yaitu “Perundingan Linggarjati sebagai

simbol Pengakuan Kedaulatan Negara Indonesia ”. Untuk Membatasi topik pembahasan dalam

karya ilmiah ini, penulis membatasinya dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana Latar Belakang Terjadinya Perundingan Linggarjati

2. Bagaimana Gambaran dan Jalannya Perundingan Linggarjati?

3. Bagaimana Kondisi Indonesia Pasca Perundingan Linggarjati? 

Page 5: Karya Ilmiah

1.4 Metode Penyusunan karya ilmiah

Karya ilmiah ini disusun dengan menggunakan metode kajian pustaka. Dimana sumber-

sumber yang digunakan merupakan sumber-sumber tertulis seperti buku. Metode kajian pustaka

dipilih karena metode ini lebih kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan.

1.5 Sistematika Penyusunan karya ilmiah

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan

1.3 Metode Penyusunan karya ilmiah

1.4 Rumusan Masalah

1.5 Sistematika Uraian

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Keadaan Indonesia Sebelum Terjadinya Perundingan Linggarjati

2.2 Gambaran dan Jalannya Perundingan Linggarjati

2.3 Indonesia Pasca Perundingan Linggarjati

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Page 6: Karya Ilmiah

BAB II

LINGGARJATI : LANGKAH PERTAMA MENUJU DEKOLONISASI INDONESIA

DARI BELANDA

2.1 Keadaan Indonesia sebelum perundingan Linggarjati

Terbentuknya perjanjian Linggarjati tidak dapat dilepaskan dari latar belakang

internasional. Dalam bulan-bulan terakhir peperangan di Pasifik, oleh sekutu diputuskan bahwa

yang diutamakan adalah penyerbuan Jepang. Penyerbuan itu ditugaskan kepada Jenderal

MacArthur, akan tetapi tanggung jawabnya atas seluruh wilayah Hindia-Belanda diserahkan

kepada Laksamana Mountbatten. Setelah Jepang menyerah, Mountbatten berniat untuk sesegera

mungkin menjalankan tugasnya. Akan tetapi MacArthur berkeberatan dan meminta supaya

Mountbatten menunggu sampai Jepang menandatangani dokumen-dokumen penyerahan di

Tokyo karena MacArthur khawatir satuan-satuan Jepang akan mengadakan perlawanan sebelum

Jepang resmi menyerah. Para kepala staf Inggris di London setuju dengan MacArthur. Jepang

menandatangani dokumen-dokumen penyerahan pada tanggal 2 September 1945.1

Selaku pemimpin South East Asian Command, Louis Mountbatten dalam tugasnya di

Indonesia berusaha memunculkan kebijakan regionalnya. Dia menganggap konflik Indonesia-

Belanda mirip dengan masalah Indochina-Perancis, tetapi pemerintah Republik Indonesia lebih

kokoh dibandingkan dengan Vietnam. Di samping itu juga karena adanya pemikiran bahwa

Belanda sesungguhnya lebih lemah dibandingkan dengan Perancis di bidang militer ataupun

politik. Masalah yang dihadapi Belanda di Indonesia memang lebih sulit, rumit, dan berlarut-

larut. Sudah bisa dibaca, Belanda yang menjajah Indonesia sebelum perang berusaha kembali

dengan memanfaatkan sekutu sebagai pemenang perang dunia II.2

1 Ali Budiardjo, Perundingan Linggarjati (Kuningan: Pemda kabupaten Kuningan), h. 4.2 Rushdy Hoesein, Terobosan Sukarno Dalam Perundingan Linggarjati (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h. 101.

Page 7: Karya Ilmiah

Pada awal Oktober 1945, kesatuan kecil sipil Belanda tiba. Langkah pertama mereka

adalah membuka kegiatan organisasi Netherlands Indies Civil Administrations (NICA) di

Jakarta. Pada 2 Oktober 1945, pemimpin NICA, Letnan Gubernur Jenderal Dr. Van Mook, tiba

dari Camp Columbia, Brisbane, Australia.3

Di lain kesempatan, Mountbatten telah menentukan garis kebijakan awal di Indonesia,

yakni diantaranya mendesak Belanda agar mau berunding dengan Indonesia. Desakan itu juga

ditujukan, antara lain, agar Letnan Gubernur Jenderal Van Mook mengusahakan dirinya berada

di luar konflik serta mau bertemu dan berbicara dengan pemimpin Indonesia, khususnya dengan

Sukarno. Lalu Mountbatten memerintahkan kepada tentara Inggris yang berada di Indonesia agar

tidak ikut campur tangan dalam perselisihan politik RI dan Belanda (seperti dituntut oleh

Belanda). Tugas tentara Inggris terbatas pada pembebasan tahanan-tahanan sekutu, sipil dan

militer, serta memerintahkan penyerahan tentara Jepang, melucuti dan mengembalikan mereka

ke Jepang.tentara Inggris tidak bertugas menegakkan kembali pemerintah Hindia-Belanda, tetapi

bersedia membantu supaya pihak Belanda dan pihak Indonesia mencapai persetujuan politik.

Lalu bagaimana dengan keadaan tentara Inggris yang sudah mendarat di

Indonesia? Berikut ini dikemukakan penjelasan dari Ali Budiardjo.

Pendaratan satuan-satuan tentara Inggris pada awalnya jarang menimbulkan bentrokan

dengan pemuda-pemuda dari Indonesia, sekalipun mereka sudah panas karena menyangka

Inggris datang untuk menegakkan kembali pemerintah Belanda. Pertempuran baru terjadi di

Surabaya pada saat tentara Inggris mendarat. Ini disebabkan karena tindakan komandannya yang

tidak bijaksana, yaitu dengan menyebarkan selebaran-selebaran, yang berisi perintah untuk

menyerahkan semua senjata yang berada ditangan orang sipil kepada tentara Inggris. Dari

peristiwa tersebut telah menyulut amarah pemuda dan rakyat Indonesia sehingga pertempuran

pada tanggal 10 November 1945 pun tidak terelakkan lagi. Meskipun menghadapi kekuatan

berpengalaman dan bersenjata lengkap, serta dibantu dari laut dan udara, pemuda dan rakyat

Indonesia tetap dapat mempertahankan kota Surabaya selama empat hari.4

2.2 Gambaran dan Jalannya Perundingan Linggarjati3 Ibid.4 Ali Budiardjo, Op.cit., h. 6.

Page 8: Karya Ilmiah

Perjanjian Linggarjati didahului oleh perundingan di Hoge Voluwe, Negeri Belanda, dari

tanggal 14 sampai dengan 24 April 1946. Berdasarkan Suatu rancangan yang disusun oleh

Sjahrir, perdana menteri dalam Kabinet Sjahrir II. Sebelumnya tanggal 10 Februari 1946,

sewaktu Sjahrir menjabat perdana menteri dalam Kabinet Sjahrir I, Van Mook telah

menyampaikan kepada Sjahrir rencana Belanda, yang berisi pembentukan negara

persemakmuran Indonesia, yang terdiri atas kesatuan-kesatuan yang mempunyai otonomi dari

berbagai tingkat negara persemakmuran menjadi bagian dari kerajaan Belanda. Bentuk politik ini

hanya berlaku untuk waktu terbatas, setelah itu peserta dalam kerajaan dapat menentukan apakah

hubungannya akan dilanjutkan berdasarkan kerja sama yang bersifat sukarela.

Sementara itu pemerintah Inggris mengangkat seorang diplomat tingkat tinggi, Sir

Archibald Clark Kerr (yang kemudian diberi gelar Lord Inverchapel), untuk bertindak sebagai

ketua dalam perundingan Indonesia-Belanda.

Segera setelah terbentuknya Kabinet Sjahrir II, Sjahrir membuat usul-usul tandingan.

Yang penting dalam usul itu ialah bahwa (a) Republik Indonesia diakui sebagai negara berdaulat

yang meliputi daerah bekas Hindia-Belanda, dan (b) antara negeri Belanda dan RI dibentuk

federasi. Jelaslah bahwa usul ini bertentangan dengan usul Van Mook.

Setelah diadakan perundingan antara Van Mook dan Sjahrir dicapai kesepakatan :

(a) Rancangan persetujuan diberikan bentuk sebagai perjanjian Indonesia Internasional

dengan “Preambule”

(b) Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik atas Pulau Jawa dan

Sumatra.

Pada rapat pleno tanggal 30 Maret 1946 Van Mook menerangkan bahwa rancangannya

merupakan usahanya pribadi tanpa diberi kekuasaan oleh pemerintahannya. Maka diputuskan

bahwa Van Mook akan pergi ke Negeri Belanda, dan kabinet mengirim satu delegasi ke Negeri

Page 9: Karya Ilmiah

Belanda yang terdiri atas Soewandi, Soedarsono dan pringgodigdo. Perundingan diadakan

tanggal 14-24 April 1946. Pada hari pertama ternyata perundingan sudah mencapai deadlock,

karena bentuk perjanjian internasional (treaty) tidak dapat diterima oleh Kabinet Belanda.

Perjanjian internasional akan berarti bahwa RI mempunyai kedudukan yang sama dengan

Belanda di dunia internasional. Padahal, Belanda tetap menganggap dirinya sebagai negara

pemegang kedaulatan atas Indonesia.

Perundingan di Hoge Voluwe merupakan kegagalan, akan tetapi pengalaman yang

diperoleh dari perundingan Hoge Voluwe ternyata berguna dalam perjanjian Linggarjati. Dalam

hal ini, Ali Budiardjo pernah berpandangan tentang perundingan pertama tersebut, bahwa sejak

awal terdapat dua tujuan utama dalam perundingan pertama di Hoge Voluwe, yakni : (1)

berusaha agar Republik Indonesia diakui oleh sebanyak mungkin negara di dunia, sehingga

perjuangan bangsa kita tidak lagi dianggap sebagai “gerakan nasional” dalam suatu negara

jajahan, tetapi sebagai negara yang berdaulat penuh; (2) mempertahankan kekuatan fisik yang

telah dibangun.5

Setelah intermeso yang disebabkan terjadinya kup di Yogya, yang menyebabkan Kabinet

Sjahrir II menyerahkan kekuasaannya kepada presiden Soekarno, maka pada bulan Agustus,

presiden menugaskan Sjahrir kembali untuk membentuk kabinet. Pada tanggal 2 Oktober 1946,

Sjahrir berhasil membentuk kabinetnya, kabinet Sjahrir III. Kabinet membentuk delegasi untuk

berunding dengan pihak Belanda yang terdiri atas Sjahrir, Amir Sjarifudin, Moh. Roem, A.K.

Gani, Leimena, Soesanto Tirtoprojo, Soedarsono dan Arif Budiardjo sebagai sekretaris.

Sementara itu negeri Belanda pada bulan Juli terjadi pergantian kabinet. Perdana menteri

Schermerhorn (Partai Buruh, Partij van den Arbeid) diganti oleh I.J.M. Beel (Partai Rakyat

Katolik). Untuk menyelesaikan persoalan Indonesia, diangkat Suatu komisi dengan undang-

undang yang dinamakan Komisi Jenderal (Commisie Generaal) yang terdiri atas Schermerhorn 5 Ibid., h. 12.

Page 10: Karya Ilmiah

(mantan menteri), Van Poll, De Boer dan F. Sanders sebagai sekjennya, komisi jenderal diberi

wewenang bertindak sebagai wakil khusus tertinggi dan diberi tugas mempersiapkan

pembentukan orde “politik baru di Hindia Belanda”.

Pemerintah Inggris mengangkat Lord Killearn, wakil (Commisioner) khusus Inggris

untuk Asia Tenggara, menggantikan Lord Inverchapel. Terlihat adanya keinginan untuk

mencapai penyelesaian politik baik dari pihak Belanda maupun Inggris.

Pada tanggal 18 September komisi jenderal sampai di Jakarta. Pada tanggal 30 September

Killearn mengadakan makan siang dengan Sjahrir, Schermerhorn dan Wright (wakil Killearn).

Setelah makan siang Schermerhorn dan Sjahrir berbicara sendiri. Dalam pembicaraan informal

itu, Scermerhorn menguraikan secara garis besar tujuan komisi jenderal dan dibicarakan pula

beberapa hal yang berkenaan dengan acara perundingan. Sjahrir mengemukakan pendapatnya

bahwa sebaiknya delegasi Indonesia dipimpin oleh dwitunggal Soekarno-Hatta.

Ternyata saran ini pada prinsipnya disetujui oleh Schermerhorn. Hal ini merupakan

perubahan besar dalam pandangan politik pemerintah Belanda. Dalam perundingan Hoge

Voluwe, pemerintah Belanda menolak bentuk perjanjian internasional, karena dalam

preambulenya dinyatakan : “…pemerintah Indonesia yang diwakili oleh presidennya,

Ir.Soekarno…” berdasarkan alasan bahwa presiden Soekarno dianggap sebagai “kolaborator

Jepang”. Meskipun banyak orang Belanda tetap memandang Presiden Soekarno seperti itu.

Ternyata pemerintah Belanda melepaskan pandangan yang salah itu. Dengan disetujuinya

Soekarno-Hatta untuk ikut serta dalam perundingan, yang masih dipersoalkan oleh

Schermerhorn hanya tempat berunding. Delegasi Belanda tidak dapat menerima Yogya, sedang

Soekarno-Hatta tidak dapat menerima Jakarta sebagai tempat berunding.

Bagi pihak Indonesia, keikutsertaan Soekarno-Hatta dalam perundingan merupakan

Suatu keberhasilan. Dunia luar dengan demikian akan memandang Republik Indonesia sebagai

negara (meskipun belum diakui secara de jure). Sementara itu pada akhir bulan Desember 1945

Page 11: Karya Ilmiah

keadaan Jakarta telah menjadi sangat berbahaya untuk Soekarno-Hatta, karena serdadu-serdadu

KNIL yang tidak disiplin dan teratur mendarat di Tanjung Priok, sehingga demi keamanan

Presiden dan wakil presiden diputuskan untuk berhjrah ke Yogyakarta. Tempat tersebut adalah

tempat terbaik untuk mengkonsolidasikan kekuatan Republik Indonesia, sementara Sjahrir

ditugaskan untuk mengadakan hubungan dengan dunia luar dan berunding dengan Belanda.

Maka dari itu ketika presiden menerima kabar dari Sjahrir yang dibawa oleh Sudarpo

sebagai kurir mengenai persetujuan pihak Belanda atas keikutsertaan presiden dan wakil

presiden dalam perundingan, presiden dan juga wakil presiden segera menyatakan

ketersediannya dengan syarat perundingan tidak diadakan di Jakarta.

Pendapat Soekarno-Hatta atas perlunya mereka dalam perundingan diperkuat oleh

kunjungan Lord Killearn ke Yogya tanggal 29 Agustus untuk menemui Hatta, Sjahrir dan para

menteri. Presiden tidak ditemui karena sedang sakit. Lord Killearn dalam kunjungannya itu

menerangkan kedudukannya sebagai penengah antara pihak Indonesia dan pihak Belanda dan

bahwa tentara Inggris akan meninggalkan Indonesia pada tanggal 30 November 1946.

Yang perlu diputuskan hanya tinggal tempat perundingan. Atas saran Ibu Maria Ulfah,

menteri sosial yang berasal dari Kuningan dan mengetahui keadaan sekitarnya, kepada Sjahrir

dipilih Linggarjati, Suatu tempat peristirahatan dekat Kuningan yang iklimnya nyaman serta

tidak jauh dari Jakarta dan terletak di daerah RI.

Perundingan politik dimulai di Jakarta, tempatnya bergantian antara istana Rijswijk

(sekarang istana negara) tempat penginapan anggota komisi jenderal dengan tempat kediaman

resmi Sjahrir, Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) 56. Perundingan di tempat

kediaman Sjahrir dipimpin oleh Schermerhorn, sedangkan perundingan di Istana Rijswijk

dipimpin oleh Sjahrir.

Sebagai dasar perundingan di pakai rancangan persetujuan yang merupakan kombinasi

rancangan delegasi Indonesia dan delegasi Belanda. Perundingan di Jakarta diadakan empat kali

dengan yang terakhir tanggal 5 November. Delegasi Republik Indonesia kemudian menuju ke

Page 12: Karya Ilmiah

Yogya untuk memberi laporan kepada presiden, wakil presiden dan kabinet dan setelah itu

berangkat ke Linggarjati.

Delegasi Belanda baru sampai di Linggarjati pukul 11.00 dan karena harus kembali ke

“Banckert” jam setengah lima sore, maka perundingan hari itu hanya singkat saja, yakni tiga

setengah jam. Schermerhorn memutuskan tinggal di Linggarjati karena berpendapat akan

menimbulkan kesan kurang baik pada kalangan Indonesia jika ia kembali ke “Banckert”.

Sementara itu, delegasi Indonesia pagi-pagi berkumpul ditempat kediaman Sjahrir untuk

mempersiapkan perundingan hari itu. Pasal-pasal rancangan persetujuan dibahas dan

direncanakan alasan-alasan yang akan diusulkan. Perundingan hari itu berjalan sangat alot dan

berlangsung hampir 9 jam. Dua soal tidak dapat dicapai kesepakatannya, yakni soal perwakilan

Republik Indonesia di luar negeri dan soal kedaulatan Negara Indonesia Serikat. Dalam soal

pertama, terutama Sjahrir, mendesak supaya Belanda menerima usul bahwa Republik Indonesia

mempunyai wakil-wakilnya sendiri diluar negeri. Ia berusaha meyakinkan pihak Belanda bahwa

perwakilan ini terkait pada di akuinya Republik secara de facto, yang sudah disetujui oleh pihak

Belanda. Seperti diterangkan oleh Ali Budiardjo diatas, bahwa :

salah satu tujuan utama pimpinan Republik dalam perundingan ialah pengakuan oleh negara-negara di luar negeri. Tanpa pengakuan, maka mustahil bagi Republik mempunyai perwakilan di negara-negara itu dan hal itu akan ditafsirkan bahwa Indonesia tetap bergantung pada negara penjajahnya.6

Malam itu atas undangan presiden, delegasi Belanda berkunjung pada presiden di

Kuningan. Dalam kesempatan itu hadir wakil presiden, A.K. Gani, dan Amir Syarifuddin. Sjahrir

tidak hadir karena sangat lelah dan mengira kunjungan Belanda hanya sebagai kunjungan

kehormatan.

Atas pertanyaan presiden mengenai jalannya perundingan, Van Mook menjelaskan

bahwa tercapai kesepakatan mengenai satu soal saja yakni usul delegasi Indonesia untuk

mengubah kata “merdeka” di belakang kata “berdaulat” artinya, yang diusulkan oleh delegasi

Indonesia adalah agar NIS akan menjadi negara berdaulat. Lebih lanjut Ia menerangkan bahwa

6 Ali Budiardjo, Loc.cit.

Page 13: Karya Ilmiah

selama perundingan delegasi Belanda berkeberatan atas perubahan itu, tetapi setelah dibicarakan

antara mereka sendiri, mereka akhirnya dapat menyetujui usul pihak Indonesia.

Van Mook tidak mengutarakan bahwa masih ada soal lain yang belum dipecahkan, yakni

perwakilan Republk Indonesia di luar negeri. Tetapi Ia kemudian segera menanyakan kepada

presiden apakah dengan diterimanya oleh pihak Belanda perubahan “merdeka” menjadi

“berdaulat” presiden dapat menyetujui rancangan perjanjian seluruhnya. Atas pertanyaan itu

presiden menjawab dengan nada antusias bahwa Ia dapat menyetujuinya. Pertemuan tersebut

kemudian berakhir.

A.K. Gani dan Amir Sjarifuddin segera melaporkan kepada Sjahrir. Ia sangat

menyesalkan bahwa presiden sudah menyetujui rancangan perjanjian Linggarjati, padahal soal

perwakilan Republik di luar negeri belum diputuskan. Tetapi Sjahrir tunduk pada keputusan

presiden. Maka waktu Schermerhorn datang dan mengusulkan untuk diadakan rapat pleno dan

diketuai Killearn, Sjahrir pun menyetujuinya. Rapat pleno diadakan pada pukul 10.30 malam

dengan Killearn sebagai ketua rapat yang menyatakan kegembiraannya atas tercapainya

kesepakatan kedua delegasi.

Hari berikutnya tanggal 13 November, diadakan rapat antara kedua delegasi. Sebelumnya

Sjahrir telah bertemu dengan presiden Soekarno yang tampak santai. Ia hanya mengusulkan agar

dimasukkan dalam rancangan perjanjian satu pasal yakni pasal mengenai arbitrase, yang diterima

oleh Schermerhorn. Dengan dimasukannya pasal arbitrase terbukti pada dunia luar bahwa

Republik Indonesia dan negeri Belanda sederajat. Komisi jenderal kemudian berangkat ke

Jakarta.

Pagi tanggal 15 November diadakan rapat antara kedua delegasi di Istana Rijswijk.

Dalam rapat itu dimasukkan pasal 17 mengenai arbitrase. Sorenya naskah dalam Bahasa Belanda

diparaf di rumah Sjahrir dan pada tanggal 18 diparaf naskah Bahasa Indonesia dan Bahasa

Inggris.

2.3 Indonesia pasca perundingan Linggarjati

Setelah naskah diparaf, timbul pelbagai macam tanggapan dari masyarakat Indonesia, ada

yang pro dan ada pula yang kontra. Mengenai masalah ini, Sutan Sjahrir menyatakan harapannya

Page 14: Karya Ilmiah

agar naskah persetujuan dapat diterima, sehingga tenaga 75 juta rakyat dapat digunakan dengan

lebih rasional.7

Beberapa partai politik menyatakan menentang yaitu Masyumi, partai Nasional Indonesia

(PNI), Partai Wanita, Angkatan Comunis Muda (Acoma), Partai Rakyat Indonesia, Laskar

Rakyat Jawa Barat, Partai Rakyat Jelata, sedangkan yang mendukung adalah PKI, Pesindo, BTI,

Lasykar Rakyat, Partai Buruh, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katholik. Dewan

pusat kongres pemuda menyatakan tidak menentukan sikap terhadap naskah persetujuan demi

menjaga persatuan di kalangan organisasi mereka yang berbentuk federasi. Golongan yang

menolak Linggarjati bergabung di dalam Benteng Republik Indonesia, yang terdiri dari partai

serta organisasi tersebut di atas.

Pertentangan pendapat mengenai pro dan kontra naskah berlangsung terus. Untuk

mendobrak jalan buntu pemerintah bertindak untuk mengubah perimbangan kekuatan di dalam

KNIP supaya cenderung kepada sikap pro Linggarjati. Pada bulan Desember dikeluarkan

peraturan Presiden No.6/1946, yang bertujuan untuk menambah anggota Komite Nasional

Indonesia Pusat. Peraturan Presiden No. 6 ini menggariskan pembebasan para pejabat negara

yang aktif sebagai anggota KNIP, seruan kepada partai-partai politik besar untuk memilih calon-

calonnya sejumlah dua kali lipat jumlah hak perwakilan mereka dalam KNIP, serta penambahan

wakil-wakil dari daerah di luar Jawa dan Madura.

Peraturan Presiden ini juga mendapat tantangan keras dari partai-partai yang anti

Linggarjati termasuk PNI dan Masyumi. Kedua partai besar itu berpendapat bahwa Peraturan

Presiden tersebut tidak sah, karena setelah ada kabinet, Presiden tidak boleh melakukan tindakan

7 R.P. Soejono dan R.Z. Leirisa, Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 212.

Page 15: Karya Ilmiah

yang bersifat legislatif. Mereka juga menggugat bahwa dalam membuat peraturan itu Badan

Pekerja KNIP tidak diajak berunding. Hal ini mereka anggap pemerkosaan terhadap hak-hak

rakyat. Namun, partai-partai pemerintah, khususnya Partai Sosialis, menyatakan bahwa

Peraturan Presiden tersebut adalah sah berdasarkan hak prerogatif Presiden, meskipun Badan

Pekerja KNIP juga menentang keras peraturan tersebut. Oleh karena BP KNIP menolak untuk

mengesahkan PP tersebut, pemerintah berusaha meminta pengesahan dalam sidang pleno KNIP.

Sidang diadakan di Malang dari tanggal 25 Februari sampai 5 Maret 1947. Dari pidato-pidato

yang disampaikan oleh anggota KNIP pemerintah menyimpulkan bahwa PP itu akan ditolak.

Untuk menyelamatkannya, wakil presiden Hatta menyampaikan pidato yang memberikan kepada

KNIP hanya dua pilihan: menerima PP atau mencari presiden dan wakil presiden baru. Hatta

mengancam bahwa Ia dan presiden Soekarno akan mengundurkan diri kalau PP itu ditolak.8

Akhirnya sidang menerima Peraturan Presiden tersebut, dan pada tanggal 28 Februari

1947 dilantik sejumlah 232 anggota baru KNIP. Dengan penambahan suara itu pemerintah

berhasil memperoleh dukungan dari KNIP utuk meratifikasi persetujuan Linggarjati. Akhirnya,

pada tanggal 25 Maret 1947 naskah Persetujuan itu ditandatangani oleh kedua delegasi yang

mewakili pemerintah masing-masing.

Sekalipun Persetujuan Linggarjati telah ditandatangani, hubungan Indonesia-Belanda

tidak bertambah baik. Perbedaan tafsir mengenai beberapa pasal persetujuan Linggarjati, menjadi

pangkal perselisihan. Apalagi, pihak Belanda secara terang-terangan melanggar gencatan senjata

yang telah diumumkan bersama pada tanggal 12 Februari 1947, seminggu sebelum persetujuan

Linggarjati ditandatangani. Pada tanggal 27 Mei 1947 komisi jenderal menyampaikan nota

8 Ibid., h.213.

Page 16: Karya Ilmiah

kepada pemerintah RI melalui misi Idenburgh. Nota tersebut harus dijawab oleh pemerintah RI

dalam tempo dua minggu. Isi nota tersebut adalah:

1. Membentuk pemerintahan peralihan bersama;

2. Mengadakan garis demiliterisasi dan menghentikan pengacauan-pengacauan di

daerah yang bergabung dalam konferensi Malino, seperti NIT, Kalimantan, Bali, dan

sebagainya;

3. Mengadakan pembicaraan bersama mengenai pertahanan negara. untuk membangun

pertahanan yang modern, sebagian Angkatan darat, laut, dan udara Belanda akan

tetap tinggal di Indonesia;

4. Membentuk alat kepolisian yang dapat melindungi kepentingan dalam dan luar

negeri;

5. Mengawasi secara bersama hasil-hasil perkebunan dan devisa.

Pada tanggal 8 Juni 1947 pemerintah RI menyampaikan nota balasan yang terdiri atas

empat pokok, meliputi pemerintahan peralihan/politik, masalah militer, masalah ekonomi, dan

masalah-masalah lainnya.

Dalam masalah politik pemerintah menyatakan bersedia mengakui Negara Indonesia

Timur sekalipun pembentukannya tidak selaras dengan Linggarjati. Status Borneo harus

dibicarakan bersama oleh RI-Belanda. RI tetap diakui sebagaimana termaktub dalam persetujuan

Linggarjati. Dalam bidang militer pemerintah RI menyetujui demiliterisasi daerah demarkasi

antara kedua pihak dengan menyerahkan penjagaan zona bebas militer itu kepada polisi. Peta

demarkasi dikembalikan pada situasi 24 Januari 1947. Ternyata kedua belah pihak harus

diundurkan dari daerah demarkasi ke kota garnisun masing-masing, penyelenggaraan pasal 16

tentang pertahanan Indonesia Serikat, adalah urusan Negara Indonesia Serikat sebagai kewajiban

nasional dan pada dasarnya harus dilakukan oleh tentara nasional sendiri. Gendarmerie bersama

ditolak.

Sementara itu, terjadi lagi krisis politik. Pada tanggal 27 Juni 1947 Sjahrir mengundurkan

diri sebagai Perdana Menteri. Kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Menteri Amir

Sjarifuddin, terbentuk pada tanggal 3 Juli 1947. Seperti Sjahrir, Amir pun berusaha mendekati

tuntutan Belanda. Namun, Belanda tetap tidak puas. Pada tanggal 15 Juli mereka menyampaikan

nota yang bersifat ultimatif. Selain mengulang tuntutan untuk membentuk Gendarmerie bersama.

Page 17: Karya Ilmiah

Belanda menuntut pula agar paling lambat tanggal 16 Juli RI harus mengehentikan semua bentuk

permusuhan dan TNI harus mengundurkan diri sejauh sepuluh kilometer dari batas daerah yang

diduduki Belanda. Pengunduran itu sudah harus selesai selambat-lambatnya pada tanggal 17 Juli

1947. Nota yang bersifat ultimatif itu tidak pernah dijawab oleh Kabinet Amir Sjarifuddin. Pada

tanggal 21 Juli 1947 Belanda akhirnya melancarkan agresi militer pertama.

Demikianlah, meskipun pihak Belanda mengatakan saat melaksanakan agresinya bahwa

persetujuan Linggarjati masih berlaku, tetapi persetujuan Linggarjati yang mana?, seperti yang

dijelaskan oleh Rushdy Hoesein bahwa, “sejak muncul istilah Linggarjati yang disandangi,

timbul pendapat bahwa sesungguhnya ada dua Linggarjati. Pertama, Linggarjati yang disetujui

dan diparaf bersama oleh delegasi Indonesia dan Belanda pada 15 November 1946 dan kedua,

Linggarjati yang diberi interpretasi sendiri oleh Belanda dan ditambah keterangan pidato menteri

seberang lautan Jonkman di muka parlemennya pada 10 dan 19 Desember 1946. Naskah ini

dikenal sebagai Aangeklede Linggarjati atau “linggarjati yang disandangi”.9

BAB III

KESIMPULAN

Perundingan Indonesia-Belanda yang berlangsung dari 22 Oktober 1946 sampai 16

November 1946 dikenal sebagai Perundingan Linggarjati. Perundingan yang menghasilkan

9 Rushdy Hoesein, Op.cit., h. 284.

Page 18: Karya Ilmiah

Persetujuan Linggarjati yang diparaf pada 15 November 1946 dan ditandatangani pada 25 Maret

1947 itu penting dan menentukan.

Sebelum perundingan, Perdana Menteri Sutan Sjahrir sebagai ketua delegasi Indonesia

pernah memberitahukan delegasi Belanda, kalau perundingan gagal, ia akan meletakkan jabatan.

Prof. Ir. W. Schermerhorn selaku ketua delegasi Belanda juga menyatakan, jika perundingan

gagal, ia akan kembali ke negeri Belanda. Dengan perkataan lain, kalau perundingan Indonesia-

Belanda pada akhir tahun 1946 tersebut terhenti atau menemui jalan buntu, persetujuannya akan

mengalami kegagalan.

Karena perundingan di Jakarta ternyata berjalan alot dan banyak soal yang mengganjal,

pada perundingan informal 5 November 1946, atas kesepakatan kedua delegasi, Indonesia-

Belanda, dan penengah Inggris, Lord Killearn, diusahakan untuk melibatkan Sukarno-Hatta

bertempat di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat.

Perundingan selanjutnya di Linggarjati berlangsung mulai 11 November 1946 sampai

dengan 13 November 1946. Kedua delegasi membahas konsep persetujuan yang dibuat delegasi

Belanda dan diserahkan pada 3 November 1946. Hasilnya, antara lain, disetujui ditetapkannya

dengan pasti status dan kedaulatan RI secara de facto atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera.

Selanjutnya, pihak RI dan Belanda setuju akan dibentuknya negara dengan sistem pemerintahan

federal bernama Negara Indonesia Serikat (NIS). Mereka kemudian juga setuju dibentuknya

perserikatan Indonesia-Belanda bernama Uni Indonesia-Belanda. Disetujui pula NIS yang akan

dibentuk itu memiliki wilayah di bekas Hindia Belanda dan sebagaimana usul Sjahrir untuk

menggantikan kata vrije staat (negara merdeka) pada konsep Belanda dengan kata souvereigne

staat (negara berdaulat) pada naskah persetujuan yang disepakati. Padahal, istilah awalnya

ditolak Belanda.

Perundingan Indonesia-Belanda yang menghasilkan persetujuan Linggarjati sangat

penting bagi bangsa Indonesia, paling sedikit ada lima hal, yaitu :

1. Persetujuan Linggarjati merupakan kesepakatan internasional pertama yang dihasilkan oleh

Republik Indonesia dan kerajaan Belanda.

Page 19: Karya Ilmiah

2. Persetujuan ini dilaksanakan hanya oleh delegasi RI dan delegasi kerajaan Belanda tanpa

campur tangan pihak Inggris.

3. Tampaknya Inggris berhasil memengaruhi Belanda agar bersepakat dengan Indonesia guna

menyelesaikan dekolonisasi dengan cepat melalui perundingan.

4. Persetujuan Linggarjati merupakan pemikiran dasar semua persetujuan yang kemudian

dilaksanakan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda, yang akhirnya berhasil

menyelesaikan masalah dekolonisasi pada tahun 1949.

5. Persetujuan Linggarjati bisa dicapai dengan tuntas karena keputusan yang diambil Presiden

Sukarno dan wakil Presiden Hatta dalam perundingan informal dengan delegasi Belanda

yang dipimpin oleh Prof. Ir. W. Schermerhorn pada 12 November 1946 malam di Kuningan.

Rupanya, pernyataan Presiden Sukarno dan wakil Presiden Hatta yang menyetujui

konsep terakhir persetujuan Indonesia-Belanda dan berjanji akan mempertaruhkan jabatan,

kekuasaan, dan martabat mereka untuk mengegolkan hasil perundingan Linggarjati guna

ratifikasi di siding paripurna parlemen RI (KNIP) menggambarkan bahwa Sukarno-Hatta

merupakan tokoh-tokoh Republik Indonesia, pendukung utama dan telah melakukan terobosan

dalam perundingan Indonesia-Belanda di Linggarjati, Kuningan, pada November 1946, sehingga

pada akhirnya Naskah Linggarjati dapat disetujui dan diterima pihak Indonesia.

Tampaknya hal itu berkaitan dengan keputusan tentara Inggris untuk meninggalkan Jawa

dan Sumatera paling lambat 30 November 1946. Padahal, tentara Belanda sejak minggu pertama

Oktober 1946 sudah mengeluarkan pernyataan, jika sampai 30 November 1946 belum tercapai

kesepakatan politik, tentara Belanda akan menyerbu Yogyakarta.

Memang sejal awal tahun 1946 tentara Belanda dalam jumlah besar secara berangsur-

angsur telah diizinkan Inggris memasuki luar Jawa dan Sumatera. Di samping itu, masih banyak

lagi yang menunggu di Irian Jaya, Malaka, dan Australia. Itu artinya akan terjadi perang besar

antara Indonesia dan Belanda. Disadari oleh pemerintah RI bahwa secara fisik amat berat bagi

TRI (kemudian menjadi TNI) untuk melawan tentara Belanda. Kalau terjadi perang, ini akan

Page 20: Karya Ilmiah

menelan korban yang tidak sedikit di pihak rakyat. Kemungkinan besar karena baying-bayang

perang yang tidak seimbang itulah yang mendorong Sukarno-Hatta mengambil keputusan

penting di Kuningan untuk menerima naskah persetujuan. Sebaliknya, kalau perundingan

diplomasi Indonesia-Belanda bisa berakhir sukses, kedudukan RI menjadi lebih kuat, terutama

karena campur tangan kekuatan politik internasional dalam proses dekolonisasi di Indonesia.

Sejarah membuktikan, perjuangan diplomasi Indonesia merupakan ujung tombak

penyelesaian dekolonisasi sekaligus menggambarkan bahwa bangsa Indonesia yang bersatu

mampu mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Penyerahan kedaulatan

pada 27 Desember 1949 hanya sekedar kenyataan politik bahwa pernyataan kemerdekaan itu

telah diakui dunia internasional.