Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

25
Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar Studi Kasus di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sumba Timur Lidwina Inge, Stepanus Makambombu and Dewi Novirianti Abstrak Studi kasus di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sumba Timur ini melihat kaitan antara kepemilikan KTP dan akses masyarakat miskin terhadap layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah. Selain sebagai identitas diri, KTP kerap dijadikan sebagai prasyarat bagi akses warga kepada layanan dasar (basic services) yang disediakan oleh pemerintah, antara lain, layanan kesehatan dan bantuan khusus untuk masyarakat miskin. Studi kasus ini berfokus pada berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat sehubungan dengan pembuatan dan kepemilikan KTP. Beberapa kasus menunjukkan, tanpa KTP masyarakat tidak dapat mengakses layanan kesehatan di rumah sakit dan tidak dapat menerima BLT (bantuan langsung tunai) serta beras untuk rakyat miskin (raskin). Memang dalam beberapa kasus, penduduk yang tidak memiliki KTP terbantu dengan surat pengganti sementara yang menunjukkan identitas penduduk, sehingga dapat mengakses bantuan pemerintah. Adapun kendala yang dialami oleh masyarakat dalam pembuatan KTP adalah tidak adanya standard pembuatan KTP baik terkait dengan syarat, biaya maupun jangka waktu pembuatan. Akibatnya, masyarakat mengalami berbagai ketidakadilan dalam proses pembuatan KTP yang pada umumnya berhubungan dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Kebijakan nasionalisasi dan komputerisasi pembuatan KTP yang memusatkan pembuatan KTP di kabupaten dan kota turut memberatkan warga. Untuk memperbaiki prosedur pembuatan KTP, studi kasus ini memberikan rekomendasi agar pemerintah meninjau kebijakan mengenai pembuatan KTP untuk tujuan standardisasi prosedur pembuatan KTP yang kemudian disosialisasikan pada masyarakat. Adapun layanan keliling dalam pembuatan KTP dan peningkatan layanan dasar dalam pembuatan KTP akan membantu penduduk desa dalam proses pembuatan KTP dan akses terhadap layanan publik. I. Pendahuluan I.1. Identitas Hukum, Layanan Dasar, dan Kesejahteraan Penduduk UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, terutama pada bagian Mukadimah 1 dan pasal 2 mengatur bahwa identitas hukum merupakan hak dari setiap penduduk Indonesia. 2 Akan tetapi berdasarkan undang-undang yang sama pula, 1 Bagian Mukadimah, butir1, UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum ...” 2 “Setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh: a. Dokumen Kependudukan; ... ”

Transcript of Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

Page 1: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar Studi Kasus di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sumba Timur

Lidwina Inge, Stepanus Makambombu and Dewi Novirianti

Abstrak Studi kasus di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sumba Timur ini melihat kaitan antara kepemilikan KTP dan akses masyarakat miskin terhadap layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah. Selain sebagai identitas diri, KTP kerap dijadikan sebagai prasyarat bagi akses warga kepada layanan dasar (basic services) yang disediakan oleh pemerintah, antara lain, layanan kesehatan dan bantuan khusus untuk masyarakat miskin. Studi kasus ini berfokus pada berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat sehubungan dengan pembuatan dan kepemilikan KTP. Beberapa kasus menunjukkan, tanpa KTP masyarakat tidak dapat mengakses layanan kesehatan di rumah sakit dan tidak dapat menerima BLT (bantuan langsung tunai) serta beras untuk rakyat miskin (raskin). Memang dalam beberapa kasus, penduduk yang tidak memiliki KTP terbantu dengan surat pengganti sementara yang menunjukkan identitas penduduk, sehingga dapat mengakses bantuan pemerintah. Adapun kendala yang dialami oleh masyarakat dalam pembuatan KTP adalah tidak adanya standard pembuatan KTP baik terkait dengan syarat, biaya maupun jangka waktu pembuatan. Akibatnya, masyarakat mengalami berbagai ketidakadilan dalam proses pembuatan KTP yang pada umumnya berhubungan dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Kebijakan nasionalisasi dan komputerisasi pembuatan KTP yang memusatkan pembuatan KTP di kabupaten dan kota turut memberatkan warga. Untuk memperbaiki prosedur pembuatan KTP, studi kasus ini memberikan rekomendasi agar pemerintah meninjau kebijakan mengenai pembuatan KTP untuk tujuan standardisasi prosedur pembuatan KTP yang kemudian disosialisasikan pada masyarakat. Adapun layanan keliling dalam pembuatan KTP dan peningkatan layanan dasar dalam pembuatan KTP akan membantu penduduk desa dalam proses pembuatan KTP dan akses terhadap layanan publik. I. Pendahuluan I.1. Identitas Hukum, Layanan Dasar, dan Kesejahteraan Penduduk UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, terutama pada bagian Mukadimah1 dan pasal 2 mengatur bahwa identitas hukum merupakan hak dari setiap penduduk Indonesia.2 Akan tetapi berdasarkan undang-undang yang sama pula,

1 Bagian Mukadimah, butir1, UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, “Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum ...”

2 “Setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh: a. Dokumen Kependudukan; ... ”

Page 2: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

identitas hukum juga diatur sebagai kewajiban seluruh penduduk Indonesia. Misalnya, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 13 ayat (1)3 dan pasal 63 ayat (1)4 tentang kewajiban penduduk Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 37/2007 pasal 1 butir 15, KTP adalah identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

Penduduk yang sudah berusia 17 tahun, atau sudah menikah, atau sudah pernah menikah (pasal 63 ayat (5)) yang berpergian tanpa KTP bahkan akan mendapat sanksi berupa denda administratif paling banyak Rp 50.000, sebagaimana diatur dalam pasal 91 ayat (1). Di atas kertas (secara de jure), kewajiban penduduk untuk memiliki KTP ini berlaku seragam dengan prosedur yang seragam pula sebagaimana diatur dalam PP No. 37/2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Kewajiban penduduk Indonesia untuk memiliki identitas hukum, dalam hal ini KTP, menjadi penting untuk dipenuhi mengingat kepemilikan KTP terkait dengan berbagai persoalan identitas hukum lainnya serta secara tidak langsung terkait dengan persoalan kesejahteraan penduduk. Pentingnya kepemilikan atas KTP ini juga didukung oleh temuan Asia Development Bank (ADB) di tiga negara berbeda yaitu Nepal, Kamboja dan Bangladesh (Legal Identity for Inclusive Development 2007). Laporan ADB tersebut menegaskan kaitan kepemilikan identitas hukum dan pemenuhan hak-hak mendasar dari anggota masyarakat terutama warga miskin. Artinya, apabila warga masyarakat memiliki KTP, hak-hak dasar lain tersebut dapat dipenuhi.5 Dengan kata lain, identitas hukum menjamin akses atas kesempatan pendidikan, pekerjaan dan perlindungan hukum dari negara kepada warga miskin, sebagaimana dikutip berikut:

Identitas hukum menjamin diperolehnya sejumlah barang yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan hidup rakyat ... Akses yang lebih besar terhadap layanan, manfaat, dan peluang, perlindungan yang lebih besar atas hak asasi manusia dan keamanan meningkatkan perencanaan pembangunan yang lebih baik dan distribusi sumber daya publik yang lebih legitim dan adil.6 UNDP, dalam ringkasan eksekutif Laporan Komisi Pemberdayaan Hukum

untuk Masyarakat Miskin (Commission on Legal Empowerment of the Poor), juga mencatat beberapa hal penting mengenai identitas hukum. Menurut Komisi, identitas hukum sangat penting untuk menjamin akses terhadap hukum dan keadilan. Sebagai contoh, di beberapa kota di Argentina, sekitar 15 persen dari total warga yang potensial untuk ikut serta dalam program pemberantasan kemiskinan tidak dapat ikut karena tidak memiliki kartu identitas nasional yang sah.7

Penelitian yang menjadi dasar dari tulisan ini berangkat dari hipotesis bahwa, sebagaimana diungkapkan dalam hasil penelitian ADB di atas (2007) dan Komisi Pemberdayaan Hukum untuk Masyarakat Miskin (2007), akses penduduk miskin terhadap bukti pengakuan negara terhadap identitas hukumnya sangat membantu mereka dalam mengakses bantuan dan perlindungan negara, sekalipun tidak berarti langsung membawa mereka pada peningkatan kesejahteraan. Masalahnya adalah

3 Pasal 13: (1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan). 4 Pasal 63 (1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki izin tinggal

tetap yang telah berumur 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP. 5 Vandenabeele dan Lao (2007:viii) 6 Vandenabeele and Lao (2007:5) 7 Komisi Pemberdayaan Hukum untuk Masyarakat Miskin (2007:15)

2

Page 3: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

akses penduduk miskin terhadap bukti pengakuan negara atas identitas hukum, dalam hal ini KTP, terbatas. Akan tetapi mereka memiliki strategi untuk mengakses KTP. Strategi-strategi itu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang identitas hukum yang cukup dan dukungan pihak ketiga.

Berdasarkan fakta adanya keterbatasan pengetahuan penduduk tentang identitas hukum, maka pemberdayaan hukum menjadi penting untuk membantu warga miskin mengakses pengakuan negara terhadap identitas hukum mereka. Pemberdayaan hukum yang dimaksud adalah penggunaan serangkaian pelayanan hukum yang beragam untuk kaum miskin, sebagaimana yang dikemukakan Golub dan McQuay (2001; dikutip dalam Bedner dan Vel 2008). Akan tetapi, pemberdayaan hukum yang dimaksud Golub bukanlah yang perspektifnya masih “ortodoks, berorientasi semata-mata pada institusi Negara” (Golub 2005), melainkan pemberdayaan hukum seperti yang dikatakan John Bruce (2007; dikutip dalam Bedner dan Vel 2008). Caranya adalah memampukan penduduk miskin untuk menyadari hak-hak yang sudah dimiliki dan meraih hak-hak baru dengan menghadapi patologi sistemik yang membuat akses penduduk miskin terhadap hak-haknya terhambat. Kemampuan penduduk miskin untuk menyadari hak-haknya dan meraih hak-hak baru tersebut merupakan akses mereka terhadap keadilan.

Akses terhadap keadilan berdasarkan konsep Cappelletti dan Garth (Bedner dan Vel 2008) baru dapat dikatakan dimiliki orang ketika sistem hukum yang ada dapat menjamin seseorang untuk mampu mempertahankan hak-haknya dan menyelesaikan sengketa yang dihadapinya dengan dukungan negara. Sistem hukum tersebut harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi. Selain itu, sistem hukum tersebut juga harus menjamin dapat dicapainya hasil yang berkeadilan secara sosial maupun individual. Dalam konteks penelitian ini, hal yang sangat berkaitan dengan konsep Cappelletti dan Garth adalah masalah kemampuan penduduk miskin untuk mempertahankan hak-haknya. Hak yang dimaksud adalah hak terhadap identitas hukum dan pengakuan negara serta hak-hak lain yang menyertai atau menjadi akibat dari diperolehnya identitas hukum tersebut.

Akses terhadap keadilan berfokus pada dua tujuan dasar dari sistem hukum – sistem yang dengannya orang dapat membela hak-haknya dan/atau menyelesaikan perselisihan (sengketa) mereka di bawah perlindungan umum negara. Pertama, sistem itu harus dapat diakses secara merata oleh semua, dan kedua, ia harus mengarah pada hasil yang adil secara individual dan sosial.8

Terkait dengan kepemilikan identitas hukum berupa KTP, aturan hukum di

Indonesia mewajibkan agar setiap penduduk memiliki KTP sebagai identitas diri.9 Dalam keseharian, KTP dapat menjadi bukti identitas diri dan dapat digunakan untuk mengakses berbagai layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah seperti layanan kesehatan dan bantuan dana dan beras untuk masyarakat miskin. Studi kasus ini berupaya melihat hubungan antara KTP sebagai bukti identitas diri dan akses masyarakat terhadap layanan mendasar yang disediakan pemerintah. Studi ini mendokumentasikan pengalaman penduduk di Desa Kotabatu, Kabupaten Bogor10

8 Cappelletti dan Garth dalam Bedner dan Vel (2008). 9 Pasal 63 ayat 1 UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan

“Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap, yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin, wajib memiliki KTP.

10 Jumlah responden peserta diskusi kelompok terfokus adalah 10 orang untuk FGD dengan peserta para ibu pengantar sekolah dan 10 orang warga masyarakat di Desa Kotabatu. Berdasarkan hasil FGD kemudian dilakukan wawancara mendalam kepada informan sejumlah 17 orang dengan

3

Page 4: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

dan Desa Ndapayami dan Kelurahan Matawai, Kabupaten Sumba Timur11 dalam pembuatan KTP dan dalam mengakses berbagai layanan dasar yang terkait dengan kepemilikan KTP. I.2. Gambaran Penduduk di Kabupaten Bogor dan Sumba Timur Gambaran Desa Kotabatu, Kabupaten Bogor Secara administratif, Desa Kotabatu berada di bawah pemerintahan Kabupaten Bogor, namun secara geografis, letaknya sangat dekat dengan Kota Bogor; hanya berjarak empat kilometer. Sementara, jarak desa yang luasnya 27 ha ini dengan ibu kota Kabupaten Bogor adalah 40 kilometer. Sebagian besar penduduk Kotabatu yang berjumlah 20.179 orang ini bermatapencaharian yang cukup bervariasi, antara lain, sebagai buruh tani, buruh pabrik (sepatu, makanan kecil), penjahit, dan perajin. Pada Desember 2008, Desa Kotabatu mencatat jumlah penduduk yang seharusnya memiliki KTP adalah 13.671, namun 1.497 orang di antaranya belum memiliki KTP. Namun demikian, ada dugaan kuat bahwa jumlah penduduk yang tidak memiliki KTP lebih tinggi dari jumlah yang tercatat itu. Pemerintah daerah setempat kerap mensosialisasikan pentingnya kepemilikan KTP melalui berbagai media (selebaran, spanduk, poster, dan baliho) namun tidak mensosialisasikan standard pembuatan KTP.

Gambaran responden yang ikut serta dalam studi kasus mewakili gambaran umum masyarakat miskin di Desa Kotabatu. Responden rata-rata hanya lulus Sekolah Dasar (SD) atau bahkan tidak lulus, begitu pula anak-anak mereka yang sebagian besar hanya lulus SD, serta kurang lancar membaca dan menulis. Adapun rata-rata pengeluaran rumah tangga responden mencapai Rp 700.000 per bulan, yang mana tidak dapat dipenuhi dengan penghasilan mereka per-bulannya. Sebagian masyarakat miskin desa mengakses Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) atau membeli obat di warung, dan mereka yang memiliki Kaskin (Kartu Asuransi untuk Keluarga Miskin) dapat menggunakannya untuk mengakses layanan kesehatan tanpa biaya (gratis). Sarana air bersih dan sanitasi sangat minim di mana sebagian besar penduduk desa menggunakan air yang berasal dari kolam umum untuk berbagai kebutuhan sehari-hari. Kolam umum berukuran 20 meter kubik, airnya berwarna kehijauan; kolam ini memperoleh air dari mata air yang terletak cukup jauh dan kadang dengan menadah hujan. Tidak semua rumah memiliki akses terhadap aliran listrik; sebagian besar penduduk mengambil aliran listrik dari satu rumah yang telah berlangganan dan membayarnya setiap bulan yakni antara Rp 10.000-Rp 20.000. Kotak 1: Penggolongan Penduduk di Kotabatu12

Kategori Penduduk

Jumlah

Penduduk Dewasa 12.062

berbagai latar belakang pekerjaan, usia, gender, dan pendidikan. Dari Desa Kotabatu 8 orang, Desa Ndapayami 5 orang, dan Kecamatan Matawai 4 orang.

11 Jumlah responden peserta diskusi kelompok terfokus adalah 7 orang di Desa Ndapayami saja sedangkan yang diwawancarai secara mendalam berjumlah 5 orang di Ndapayami dan 3 orang di Matawai..

12 Tabel berdasarkan Data Profil Desa Kotabatu Tahun 2007 yang diperoleh dari Kantor Kelurahan Desa Kotabatu.

4

Page 5: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

Penduduk Dewasa tidak produktif (tidak bekerja) 1.746 Penduduk miskin 3.995 Keluarga miskin 799 Penduduk miskin yang memerlukan kegiatan produktif

2.249

Manusia usia lanjut (manula) atau jompo (dalam Keluarga Miskin) yang perlu mendapat santunan

506

Gambaran Kelurahan Matawai dan Desa Ndapayami, Kabupaten Sumba Timur Desa Ndapayami memiliki luas 38 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 655 orang. Desa ini berjarak sekitar 35 kilometer dari ibu kota kabupaten (Waingapu) yang biasanya ditempuh dengan kendaraan sepeda motor atau ojek dengan biaya Rp 25.000 sekali jalan atau Rp 50.000 untuk ongkos pulang pergi. Fasilitas publik di Ndapayami terdiri dari satu poliklinik desa dan sebuah gedung SD, dan sampai kini, desa ini belum ada listrik. Sebagian besar penduduk memperoleh pendapatan keluarga dari bertanam jagung yang menjadi komoditi utama wilayah ini. Oleh sebab itu, penduduk desa mengandalkan fasilitas publik yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT), beras untuk rakyat miskin (Raskin), dan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Berdasarkan laporan pemerintah desa, jumlah penerima manfaat bantuan pemerintah tersebut mencapai 83,5% keluarga yang meliputi BLT dan Raskin. Sementara itu, penerima Jamkesmas sebanyak 66,7% keluarga.

Adapun di Kelurahan Matawai, jumlah penduduknya lebih padat yakni 5.210 jiwa, yang menempati wilayah seluas sekitar 2,3 kilomter persegi. Akses terhadap berbagai fasilitas publik (kantor Pemda, kesehatan, pendidikan, listrik, dan bahkan air) di Matawai jauh lebih mudah karena hampir seluruh fasilitas publik tersedia. Secara umum, kondisi ekonomi penduduk di Matawai juga lebih baik dibandingkan dengan Ndapayami. Walaupun Matawai berada di wilayah urban tidak berarti kondisi penduduknya lebih baik dibandingkan dengan Ndapayami. Menurut data, penduduk Matawai yang menerima Jamkesmas berkisar 15,8% keluarga, dan yang menerima Raskin 12,53% keluarga.

Kotak 2: Jauhnya Fasilitasi Publik dan Cara Warga Mengatasinya (Pengalaman di Sumba Timur). Kahi Leba, seorang janda (41 tahun) memiliki empat anak. Suaminya meninggal setahun yang lalu. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai petani. Saat ini ia sedang menanggung tiga anak yang masih sekolah, SD, SMP, dan SMA. Kahi Leba telah memiliki KTP yang dibuatnya pada 2008 (ia membutuhkan waktu satu bulan lamanya). Dengan adanya KTP Kahi Leba dapat mengakses berbagai bantuan yang disediakan oleh pemerintah, seperti BLT, Jamkesmas dan pendidikan gratis. Namun karena tidak mungkin untuk menanggung beban hidup ketiga anaknya yang telah bersekolah, dan untuk mengurangi beban hidup maka salah seorang anaknya dititipkan pada orang-tuanya yang tempat tinggalnya tidak jauh dari rumah Kahi Leba. Selain itu, karena di desanya tidak tersedia sekolah tingkat SMP dan SMA maka kedua anaknya dititipkan pada kerabatnya yang tinggal di kota Waingapu untuk melanjutkan pendidikan mereka.

Kendatipun Kahi Leba menganut kepercayaan Marapu (agama lokal) namun dia tidak mengalami perlakuan diskriminatif dalam mengakses berbagai layanan dasar yang disediakan pemerintah setempat. Beruntung biaya pendidikan ketiga anaknya telah ditanggung oleh pemerintah daerah melalui kebijakan pendidikan gratis dari tingkat SD, SMP dan SMA. Walaupun biaya pendidikan anaknya sudah ditanggung pemerintah, tetap saja dia tidak bebas dari biaya lain-lain untuk mendukung pendidikan anak-anaknya. Dalam sebulan tidak kurang dari Rp 100.000 yang harus dikeluarkan untuk biaya lain-lain, seperti buku-buku dan fotokopi. Karena anak-anaknya tinggal jauh darinya, mau tidak mau setiap bulan dia harus pergi untuk menjenguk mereka. Dalam sebulan minimal

5

Page 6: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

1-2 kali dia pergi ke kota untuk melihat anak-anaknya; untuk hal ini tidak kurang dari Rp 100.000 untuk biaya transportasi. Selain mendapatkan jaminan sekolah gratis untuk anak-anaknya, Kahi Leba juga mendapatkan Jamkesmas. Jika Kahi Leba atau anak-anaknya mengalami sakit yang tidak bisa ditangani oleh Polindes (poliknik desa) karena persediaan obat-obatan yang terbatas maka dia harus ke puskesmas terdekat dengan membayar biaya transportasi sebesar Rp 40.000.

Sebagai seorang janda beban hidupnya sungguh berat. Setiap bulannya tidak kurang dari Rp 50.000 yang dibelanjakan untuk sekadar beli kopi, gula, sabun. Beruntung, dia dibantu dengan adanya Raskin yang diperolehnya setiap bulan 30 kg, namun untuk mendapatkanya dia harus membayar Rp 31.000 ke kantor desa. Karena ketiadaan listrik, alat penerangan satu-satunya adalah lampu pelita; untuk itu minimal dia harus mengeluarkan biaya tidak kurang dari Rp 20.000 untuk membeli 4-5 liter minyak tanah yang akan dipakai selama 1-2 bulan.

Dalam konteks regional (provinsi), Kabupaten Sumba Timur termasuk dalam 4 kelompok kabupaten penyumbang angka kemiskinan terbesar dari 21 kabupaten yang ada di NTT.13 Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kemiskinan yang mencapai 39,08 persen. Demikian halnya jika dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang hanya mencapai 60,78 persen berada di bawah rata-rata provinsi yang mencapai 64,8,14 kondisi ini menempatkan Sumba Timur berada dalam 4 kelompok kabupaten dengan IPM terendah dari 21 kabupaten yang ada di NTT15 Ironisnya adalah kendatipun termasuk dalam 4 kelompok kabupaten termiskin dan IPM terendah di NTT, Kabupaten Sumba Timur merupakan kabupaten yang termasuk ke dalam 4 kelompok kabupaten penghasil pendapatan per kapita tertinggi di NTT.16 Ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan pendapatan dan sosial-ekonomi yang cukup besar di antara penduduk Sumba Timur. I.3. Fokus Tulisan Kaitan antara pembuatan dan kepemilikan KTP dengan akses terhadap berbagai layanan dasar merupakan tema sentral dari tulisan hasil studi ini. Pertama, tulisan ini akan membahas upaya penduduk di dua kabupaten dalam pembuatan KTP. Bagian ini akan memaparkan persoalan apa saja yang dihadapi oleh penduduk di dua wilayah tersebut, terutama dalam hal besarnya biaya, syarat, dan jangka waktu pembuatan KTP yang dialami secara berbeda oleh para responden dalam studi kasus. Di sini juga diuraikan faktor yang mempengaruhi dan aktor yang berperan dalam proses pembuatan KTP, baik yang menghambat maupun membantu dalam pembuatan KTP mulai dari tingkat yang terendah (ketua Rukun Tangga, RT) sampai ke tingkat kota kabupaten.

Kedua, bagaimana penduduk desa menggunakan KTP untuk mengakses berbagai layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah. Dalam studi kasus ini, akses responden terhadap BLT, Raskin, dan layanan kesehatan publik yang dikelola oleh pemerintah di tingkat desa menjadi contoh pengalaman penduduk desa. Dalam beberapa kasus, responden yang tidak memiliki KTP tidak dapat mengakses layanan dasar tersebut. Namun studi kasus mendokumentasikan adanya bantuan dan dukungan dari aparat di tingkat desa yang menyediakan surat pengganti KTP sementara agar penduduk desa dapat tetap mengakses bantuan pemerintah.

13 Kabupaten yang dimaksud adalah Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya,

Kabupaten Sumba Tengah. 14 BPS Provinsi NTT (2007). 15 Susenas (BPS 2007). 16 Adapun urutan pendapatan per kapita tertinggi adalah: 1. Kota Kupang; 2. Kabupaten Ende;

3. Kabupaten Sikka; 4. Kabupaten Sumba Timur (BPS 2008).

6

Page 7: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

Ketiga, studi ini menyimpulkan bahwa ada relasi antara kepemilikan KTP dan akses masyarakat terhadap berbagai layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah. Namun dalam beberapa kasus, KTP dapat digantikan sementara dengan surat keterangan dari aparat di desa sehingga masyarakat tetap dapat mengakses bantuan dan layanan pemerintah. Adapun pembuatan KTP di kedua wilayah studi menunjukkan tidak adanya acuan yang jelas sehingga menimbulkan syarat, biaya, dan lama waktu pembuatan KTP yang berbeda-beda, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakadilan bagi penduduk yang berupaya membuat KTP. Dukungan dan bantuan khusus aparat pemerintah terhadap penduduk yang ingin membuat KTP hanya bersifat sementara, sehingga pengalaman penduduk tidak sama dalam hal pembuatan KTP. II. Makna KTP: Kesadaran Hukum dan Kebutuhan Jangka Pendek Sebagian besar responden di dua wilayah studi ini pada umumnya menyadari bahwa KTP digunakan sebagai identitas diri dalam melakukan perjalanan. “… KTP misalnya penting kalo kita mau ke mana-mana, maaf ya, misalnya kita lagi jalan sendiri dan terjadi kecelakaan, maka akan mudah dikenali melalui KTP,” ujar Mbadi, tukang ojek di Desa Ndapayami, Kabupaten Sumba Timur. Adapun Ayu, responden di Kabupaten Bogor, menuturkan bahwa ia pernah harus membayar denda karena tidak membawa KTP ketika pergi ke pasar yang hanya berjarak sangat dekat dengan rumah tinggalnya.

Sementara itu, bagi Usep, responden di Kabupaten Bogor, arti penting KTP adalah bukti pengakuan bahwa dirinya adalah warga dari kelurahan setempat. Untuk Usep, tanpa KTP ia tidak dapat mewakili kampungnya dalam pertandingan sepak bola antar-kampung. Agar tetap dapat termasuk dalam tim sepak bola kampungnya, ia membutuhkan KTP atau paling tidak fotokopi KTP. Usep juga menuturkan bahwa KTP selain penting untuk hobinya bermain sepak bola, KTP juga penting dalam rangka memenuhi persyaratan untuk pembuatan buku nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Ketika akan melangsungkan pernikahan dan mendaftarkan rencana pernikahan tersebut di KUA, salah satu syarat yang harus dipenuhi Usep adalah penyerahan fotokopi KTP ke KUA. Namun Iis, istri Usep, tidak perlu menyerahkan KTP, petugas pencatat pernikahan dan penghulu menyatakan bahwa calon isteri hakikatnya akan ikut suami, jadi tidak perlu menyerahkan bukti identitas.

Kotak 3: Beberapa Kegunaan KTP dalam Kehidupan Sehari-hari17

Persyaratan Dokumen yang Diperlukan

Kepentingan/Kebutuhan

KTP dan atau Surat Keterangan (RT,

Kel/Desa)

KTP

Keterangan

Bantuan Langsung Tunai (BLT) √ Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)

Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin) √ Akses dana kelompok yang berasal dari Pemerintah – Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Mencari Pekerjaan √

17 Tabel data dari Kabupaten Sumba Timur.

7

Page 8: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

Pinjaman Bank √ Ikut ujian untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Menggadaikan barang di kantor pegadaian

√ Bisa meminjam KTP orang lain sebagai jaminan

Untuk ikut PEMILU √

Adapun bagi Ujo, memiliki KTP tidak terlalu penting. Ketika ia melakukan perkawinan yang pertama dan kedua, Ujo tidak menggunakan KTP untuk mengajukan permohonan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Ia hanya mengurus surat keterangan dari ketua RT setempat sebagai bukti bahwa ia adalah penduduk setempat. Berbekal surat tersebut ia pergi ke kelurahan untuk mengurus surat keterangan menumpang nikah. Surat ini diperlukan jika seorang laki-laki akan menikah dengan perempuan yang berasal dari kelurahan berbeda. Surat ini hanya diberlakukan sebagai syarat pernikahan bagi orang yang beragama Islam. Sedangkan bagi orang non–muslim, hanya disyaratkan surat pernyataan lajang, baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Dalam beberapa kasus juga muncul isu mengenai Kartu Keluarga (KK) dan akta kelahiran.18 KK menjadi syarat bagi proses pembuatan KTP. Kepemilikan KTP dan KK terkait dengan akta kelahiran, karena merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam proses pembuatan akta kelahiran anak.19 Pada sisi lain, kendatipun KTP sebagai wujud adanya jaminan kepastian hukum tentang identitas seseorang yang bisa diperoleh sejak seseorang berusia 17 tahun atau sudah menikah, namun hal ini tidak serta-merta mendorong warga untuk membuat dan memiliki KTP. KTP dipandang sebagai tanda pengenal atau sebagai penunjuk identitas pribadi dan penunjuk alamat jika terjadi sesuatu pada dirinya, misalnya terjadi kecelakaan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kasus, walaupun usia warga adalah usia yang sudah layak untuk mendapatkan KTP sebagaimana diatur dalam UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, namun mereka tidak selalu segera mengurus pembuatan KTP.

Pengalaman empiris yang diperoleh berdasarkan pengakuan dari petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk & Capil) bahwa umumnya warga yang mengurus KTP adalah ketika warga akan berhubungan dengan urusan-urusan publik tetapi selama tidak bersinggungan dengan urusan-urusan publik mereka tidak akan mengurusnya. Menurut Moses Bastian, petugas pelayanan KTP di Dispenduk & Capil di Kabupaten Sumba Timur, “…umumnya masyarakat yang datang mengurus KTP adalah mereka yang sedang dan akan berhadapan dengan urusan-urusan publik seperti akan mengikuti test penerimaan PNS, akan menerima BLT, ingin meminjam uang di kantor pegadaian, ingin membuka rekening di Bank, untuk urusan kepentingan pengelolaan dana bergulir dalam kelompok (progam PNPM) dan karena akan mengikuti Pemilu.”

18 Adapun yang dimaksud dengan KTP dan KK menurut UU No. 23/2006 adalah: Pasal 1 butir 14 UU No. 23/2006 dan pasal 1 butir 15 PP No. 37/2007: “Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi penduduk

sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal 1 butir 13 UU No. 23/2006 dan pasal 1 butir 14 PP No. 37/2007: “Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang

memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga”. 19 Berdasarkan isi Leaflet dan Pamflet yang diedarkan oleh Bidang Kependudukan Dispenduk

& Capil dan KB Kabupaten Bogor (2008).

8

Page 9: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

Kotak 4: Pengalaman Warga Desa Kotabatu, Kabupaten Bogor, Terkait dengan Kepemilikan KTP

Ayu, perempuan berusia 43 tahun, suku Betawi, lahir di Cempaka Putih, Jakarta. Suami Ayu orang Bogor asli, lahir di Kelurahan Kebon Jahe, Bogor. Mereka berdua adalah pendatang di Desa Kotabatu. Anak pertama Ayu duduk di kelas 6 SD dan yang bungsu duduk di Taman Kanak-Kanak (TKK). Suami Ayu adalah pemain organ tunggal yang berpendapatan tidak tetap. Ayu sendiri adalah ibu rumah tangga. Ketika baru menikah, Ayu dan suaminya tinggal di rumah orang tua suaminya di Kebon Jahe, Bogor. Ayu menceritakan bahwa ia – baik saat tinggal di Cempaka Putih maupun setelah menikah dan tinggal di Kebon Jahe – memiliki KTP Jakarta, sedangkan suaminya memiliki KTP Kelurahan Kebon Jahe. Ayu dan keluarganya pindah ke rumah kontrakan di Desa Kotabatu pada tahun 2005. Saat itu keluarga Ayu tidak terdaftar sebagai penerima BLT, Askeskin (asuransi kesehatan bagi warga miskin atau yang kini disebut sebagai Jamkesmas), dan paket tabung gas gratis. Kemudian Ayu dan suaminya segera mengajukan permohonan membuat KTP setempat pada tahun 2008 ketika ada pemutihan. Menurut Ayu, KTP penting untuk mengakses bantuan dari pemerintah dan sebagai syarat yang harus dipenuhi apabila akan mengajukan permohonan pembuatan akta kelahiran bagi anak. Selain itu, KTP penting bagi Ayu ketika suaminya sakit dan dirawat di Rumah Sakit PMI Bogor. Saat itu ia tidak mampu membayar keseluruhan biaya perawatan, sedangkan keluarganya tidak terdaftar sebagai peserta Jamkesmas. Sebagai jaminan, Ayu meninggalkan KTP-nya di bagian administrasi rumah sakit sampai memperoleh Surat Keterangan Tidak Mampu dari kantor Kepala Desa Kotabatu, sehingga Ayu bisa membayar hanya separuh dari jumlah biaya perawatan rumah sakit.

Hal senada juga disampaikan oleh petugas KCS di Kabupaten Bogor yang menyatakan bahwa sebagian besar penduduk akan mengurus kepemilikan KTP bila mereka ingin membuat akta kelahiran anak atau ketika warga berniat mengurus bantuan, untuk sekolah, atau untuk bekerja. Petugas dinas kependudukan di Kantor Kepala Desa Kotabatu, Pak Koce, juga mengungkapkan, “… wah.., itu dia, paling mereka baru buat KTP, kalo lagi perlu aja, masalah kesadaran warga sih.” Di Kabupaten Bogor, menurut ketua RT kesadaran masyarakat untuk membuat KTP baru muncul jika terkait dengan kepentingan tertentu yang mendesak. Pada saat terdengar isu akan digelontorkan bantuan pemerintah seperti BLT, bantuan gas dan kompor gas gratis, pembuatan Jamkesmas, atau pembagian Raskin. Bahkan juga ketika akan menikah atau ingin mengajukan kredit sepeda motor karena untuk mengajukan hal tersebut diperlukan KTP.

Memang benar, pada umumnya penduduk di Desa Kotabatu membuat KTP dengan alasan praktis yakni untuk memudahkan akses terhadap berbagai bantuan pemerintah yakni BLT, Jamkesmas, Raskin, dan bantuan program PNPM. Selain itu, kepemilikan KTP akan memudahkan akses penduduk untuk terlibat dalam berbagai kegiatan di kelurahan atau desa, dan untuk memudahkan akses terhadap pembuatan akta kelahiran anak ataupun surat nikah. III. KTP dan Ketidakadilan III.1. Membuat KTP: Syarat, Biaya, Jangka Waktu, dan Petty Corruption Syarat Di dua wilayah studi, tidak dapat diketahui dengan pasti syarat formal dan tertulis yang konsisten yang harus disiapkan oleh penduduk yang ingin membuat sebuah KTP

9

Page 10: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

baru atau memperbarui KTP mereka. Dalam beberapa kasus yang tercatat di Sumba Timur, seorang pemohon KTP perlu terlebih dahulu memperoleh surat keterangan dari kepala desa atau sekretaris Desa Ndapayami untuk tujuan pembuatan KTP. Namun Kelurahan Matawai menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi warga jika ingin mendapatkan KTP, yaitu: pertama, setiap pemohon harus mendapatkan surat rekomendasi dari ketua RT yang membuktikan bahwa yang bersangkutan adalah benar-benar warga setempat; kedua, pemohon memiliki bukti pembayaran Pajak Bumi Bangunan (PBB) tahun terakhir.20 Berdasarkan berbagai persyaratan yang telah dipenuhi tersebut kelurahan bisa memberikan surat rekomendasi kepada warga yang ingin membuat KTP. Sebagai balasan dari surat rekomendasi ini, kepada setiap pemohon dikenakan sumbangan sukarela.

Adapun di Desa Kotabatu, Kabupaten Bogor, syarat untuk membuat KTP adalah fotokopi KK, fotokopi akta kelahiran bagi mereka yang baru pertama kali membuat KTP, menyerahkan KTP lama bagi mereka yang akan memperbarui KTP mereka, fotokopi akta nikah bagi yang belum berusia 17 tahun, dan surat laporan kehilangan dari kepolisian bagi mereka yang kehilangan KTP. Untuk mengajukan permohonan pembuatan KTP, penduduk perlu menunjukkan KK dan akta kelahiran, dan kadangkala juga sebaliknya, bila ingin membuat KK maka penduduk perlu menunjukkan KTP kepala keluarga (suami) dan istri.

Penduduk kerap tidak terlalu memahami persyaratan pembuatan KTP. Oleh sebab itu, sebagian dari penduduk menyerahkan pembuatan KTP kepada ketua RT atau menunggu proses pemutihan21 dari kecamatan. Pengalaman penduduk di Kotabatu, ketika mereka menyerahkan urusan pembuatan KTP kepada ketua RT setempat, mereka memperoleh surat keterangan sementara yang dapat digunakan sebagai bukti “identitas sementara”. Permintaan bantuan penduduk kepada ketua RT dalam pembuatan KTP menimbulkan tambahan biaya bagi penduduk. Namun mereka mengaku tidak memiliki pilihan, karena mereka tidak terlalu memahami persyaratan pembuatan KTP.

Berbeda dengan yang terjadi pada tingkat desa, misalnya di Desa Ndapayami, birokrasi dan prosedur pembuatan KTP lebih sederhana dan tanpa ada pungutan dari pihak RT maupun desa. Satu-satunya birokrasi yang perlu dilalui oleh warga jika ingin mengurus KTP adalah berhubungan dengan kepala desa dan sekretaris desa. RT/RW tidak memiliki peran yang penting dalam prosedur pembuatan KTP. Tidak berperannya RT/RW di wilayah perdesaan dalam pembuatan KTP justru telah menyederhanakan prosedur pembuatan KTP dibandingkan dengan peran dan fungsi RT/RW di wilayah-wilayah perkotaan. Biaya Sebagaimana syarat pembuatan KTP, tidak ada informasi mengenai biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk. Responden di Kotabatu mengungkapkan mengenai perbedaan biaya pembuatan KTP yang mereka ketahui. Perbedaan biaya pembuatan KTP ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain, adalah jangka waktu pembuatan KTP yang diajukan pemohon. Makin cepat waktu yang diminta pemohon

20 Ketentuan ini sengaja ditetapkan oleh pemerintah kelurahan karena banyak penduduk yang

menunggak pajak bumi dan bangunan. 21 “Pemutihan” dalam proses pembuatan KTP artinya pemerintah membuka kesempatan pada

setiap penduduk (yang belum memiliki KTP) untuk memiliki KTP tanpa memperhatikan status kepemilikan KTP mereka sebelumnya, misalnya KTP telat untuk diperpanjang sehingga menimbulkan denda, penduduk belum memiliki KTP walaupun menurut hukum mereka wajib memilikinya.

10

Page 11: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

untuk diselesaikannya KTP, maka biaya pembuatan yang diminta oleh petugas akan makin mahal. Untuk pembuatan KTP yang akan siap dalam waktu tiga hari kerja, biaya yang dikeluarkan akan berkisar antara Rp 30.000 sampai Rp 35.000. Namun jika lama waktu pembuatan KTP sesuai dengan standard waktu yang ditentukan kelurahan yaitu antara 10 sampai 14 hari kerja atau bahkan satu bulan, maka biaya yang dikenakan berkisar antara Rp 13.000 sampai Rp 15.000 saja. Kotak 5: Biaya Transportasi Lebih Mahal daripada Biaya Pembuatan KTP di Kabupaten Sumba Timur Ndawa Lu (27 tahun) adalah seorang lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Karena memiliki pendidikan yang terbilang memadai untuk tingkat desa, ia diangkat menjadi Kepala Urusan Pembangunan di Desa Ndapayami. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai petani. Ndawa Lu telah memiliki KTP yang diurusnya sejak tanggal 4 Desember 2008 dan selesai pada tanggal 4 Januari 2009. Kurang lebih dibutuhkan waktu 3 minggu untuk mendapatkannya. KTP yang dimilikinya saat ini terbilang cukup mahal. Jika diakumulasi total seluruh pengeluarannya hampir mencapai 10 kali lipat biaya ongkos cetak KTP sebagaimana yang diatur dalam Perda No. 16/2006 tentang retribusi pergantian biaya cetak KTP dan akta catatan sipil. Adapun jenis-jenis pengeluarannya selama mengurus KTP adalah sebagai berikut: 1. Biaya Ojek dari Desa Ndapayami ke Kantor Dispenduk & Capil ----- @ Rp 25.000 x 4 = Rp 100.000 2. Biaya makan, minum dan rokok, PP---------------------------------------- @ Rp 15.000 x 2 = Rp 30.000 3. Biaya administrasi KTP----------------------------------------------------------------- = Rp 15.000 Total biaya-------------------------------------------------------------- = Rp 145.000 Pada kasus lainnya, Katanga Ndawa (32 tahun) adalah salah seorang dari warga Desa Ndapayami yang belum memiliki KTP. Katanga Ndawa mempunyai 2 orang anak yang masih duduk dibangku SD. Penghasilan sehari-hari sebagai petani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, setiap ada jenis bantuan pemerintah yang masuk ke Desa Ndapayami tidak terlewatkan olehnya. Walaupun Katanga Ndawa tidak memiliki KTP namun ia tetap bisa mengakses bantuan-bantuan yang disediakan oleh pemerintah. Hal ini dimungkinkan karena adanya surat rekomendasi sebagai keluarga tidak mampu (pengganti KTP) yang diberikan oleh desa. Sampai sejauh ini dia sudah dua kali mendapatkan surat rekomendasi dari desa. Tidak dimilikinya KTP bukan karena Katanga Ndawa tidak tahu prosedurnya tetapi mengingat biaya transportasi yang sangat mahal membuat dia enggan dan memendam niatnya untuk memiliki KTP. Karena selama ini masih bisa menggunakan surat keterangan untuk mengakses berbagai bantuan pemerintah.

Responden di Kotabatu memberikan reaksi yang beragam terhadap perbedaan

tarif itu. Asep tidak mengeluh, ia hanya berniat akan menunggu pemutihan saja supaya dapat membuat KTP lagi bersama isterinya. Menurut Asep, biaya pembuatan KTP waktu pemutihan lebih murah karena biasanya dilakukan secara massal. Mang Uce, Ayu, Min, Mutia dan Bi Ati, isteri Mang Uce, mengungkapkan bahwa mereka memang membutuhkan KTP tersebut, “jadi, mau apa lagi?” Sikap mereka adalah menerima saja biaya sebesar Rp 25.000 tersebut apabila mengurus KTP lewat ketua RT setempat. Para responden memang paham jika mereka mengurus sendiri pembuatan KTP ke kelurahan dan kecamatan, maka biaya tersebut hanya mencapai Rp 10.000 sampai Rp 15.000. Hanya saja para responden merasa khawatir jika mengurus sendiri, karena tidak mengerti syarat dan prosedurnya. Hanya Hani, penduduk di Kotabatu, yang merasa tidak bermasalah dengan biaya pembuatan KTP yang mencapai Rp 35.000. Penting dicatat bahwa para informan juga tidak tahu tarif pembuatan KTP. Petugas kelurahan dan kecamatan di kantor kecamatan sendiri mengemukakan bahwa biaya administrasi KTP adalah sebesar Rp 2.500 saja, yang dapat dikatakan sebagai “tarif dasar”.

11

Page 12: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

Kotak 6: Biaya Pembuatan KTP Warga Kotabatu di Kabupaten Bogor Metode Pembuatan KTP Biaya Rincian Melalui perantaraan ketua RT Rp 10.000-Rp 35.000

(dengan KK antara Rp 50.000 -100.000).

Biaya pungutan desa Rp 5000 biaya administrasi di kecamatan Rp 5000, biaya pembuatan KTP resmi Rp 2.500, sisanya lain-lain.

Melalui perantaraan petugas kelurahan

Rp 10.000-Rp 15.000 -

Langsung ke kecamatan Rp 10.000 + transportasi Ditambah biaya transpor naik angkutan umum (pulang pergi) No. 03 disambung No. 14 Rp 2000x2x2 untuk satu kali jalan (dan biasanya tidak cukup hanya dua kali datang ke kelurahan/ kecamatan).

Sebagian besar penduduk yang ingin membuat KTP tidak berani melakukan

protes terhadap petugas pemerintah karena takut proses pembuatan KTP mereka akan terhambat. Tampaknya hanya petugas pemerintah yang mengetahui prosedur dan biaya pembuatan KTP. Sayangnya, petugas pemerintah yang memiliki pengetahuan tentang standard biaya pembuatan KTP malah berperan dalam penentuan biaya pembuatan KTP yang “tidak berstandard” itu, seolah-olah tergantung selera dan kondisi saja. Adapun alasan yang digunakan untuk membenarkan besarnya biaya adalah karena adanya beban operasional berupa ongkos jalan ke kecamatan, biaya fotokopi, pungutan daerah, serta sumbangan kegiatan di wilayah setempat.

Berdasarkan pada ketentuan daerah yang berlaku di Kabupaten Sumba Timur, biaya pengurusan KTP adalah sebesar Rp 15.000,22 namun dalam praktiknya justru jauh melampaui biaya yang sesungguhnya. Selain itu, terdapat sejumlah biaya yang tidak bisa dihindari oleh warga yang mau tidak mau harus mereka bayar untuk mendapatkan KTP. Bagi warga desa, harga sebuah KTP jika diakumulasi dengan dengan total biaya yang harus mereka keluarkan bisa mencapai sepuluh kali lipat dari harga resmi sebuah KTP. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya keinginan warga untuk mengurus KTP kendatipun sudah disosialisasikan oleh petugas dari desa maupun kecamatan tentang pentingnya memiliki KTP. Menurut pengakuan warga, alasan mereka tidak mengurus KTP adalah karena biaya pembuatannya yang terlalu mahal khususnya biaya transportasi.23 Bagi warga desa, biaya sebesar Rp 145.000 yang harus dikeluarkan dalam pembuatan KTP lebih baik digunakan untuk membeli bahan makanan.24 Penduduk di Sumba Timur mengindikasikan bahwa selama surat keterangan pengganti KTP masih bisa digunakan maka warga memilih menggunakan surat keterangan tersebut semaksimal mungkin.

Bila disimpulkan, biaya pembuatan KTP yang sangat bervariasi di kedua wilayah studi ini tergantung pada beberapa faktor sebagai berikut: 1. Waktu yang dibutuhkan oleh pemohon – jika pemohon menginginkan pembuatan

KTP yang lebih cepat selesai maka biaya akan menjadi lebih mahal;

22 Perda No. 16/2006, tentang retribusi pergantian biaya cetak KTP dan akta catatan sipil. 23 Katanga Ndawa, wawancara langsung, 31-1-2009. 24 Katanga Ndawa, wawancara langsung, 31-1-2009.

12

Page 13: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

2. Pihak yang membantu mengurus KTP tersebut – misalnya jika mengurus KTP melalui ketua RT, biayanya lebih mahal dibanding pergi sendiri ke kecamatan ataupun kelurahan, namun berkunjung ke kelurahan atau kecamatan kerap menimbulkan tambahan biaya transportasi;

3. Latar belakang pemohon – menurut penuturan ketua RT, pemohon yang berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang cukup tentu tidak akan diwajibkan membayar pungutan RT, meskipun kenyataannya Hani dan Asep di Kabupaten Bogor membayar sama mahal dengan orang lain.

Jangka Waktu

Persoalan lain dalam pembuatan KTP adalah tidak jelasnya jangka waktu pembuatan KTP. Akibatnya warga miskin yang tidak memahami proses dan syarat pembuatan KTP, akan menempuh jangka waktu yang lebih lama dibandingkan yang seharusnya (satu sampai tiga hari). Penduduk miskin kerap terpaksa setuju membayar lebih banyak jika terpaksa harus memiliki KTP secara cepat. Hal ini terjadi, misalnya, karena harus mengurus akta kelahiran anak atau ketika akan mengajukan pendaftaran pernikahan di KUA.

Aturan hukum yang berlaku di Sumba Timur tidak mengatur secara rinci lamanya proses pembuatan KTP.25 Hal ini menyebabkan warga tidak bisa memastikan kapan mereka bisa mendapatkan KTP sejak proses mengajukan berkas persyaratan sampai mendapatkan KTP.26 Kendatipun dalam Perda tidak ada ketentuan yang mengatur tentang hal ini namun berdasarkan pengakuan petugas Dispenduk & Capil biasanya proses pembuatan KTP bisa mencapai empat hari atau jika pemohonnya banyak bisa mencapai dua minggu.27 Sementara itu, dari berbagai pengalaman warga yang pernah mengurus KTP bahwa proses mendapatkan KTP sangat variatif, bisa selesai dalam satu hari atau satu sampai dua minggu bahkan satu bulan.

Tidak adanya batasan waktu pembuatan KTP telah menimbulkan ketidakpastian pada warga. Hal ini khususnya terjadi pada warga desa, sebab jika mereka datang ke Dispenduk & Capil ternyata KTP belum selesai dibuat maka biaya transportasi yang dikeluarkan menjadi sia-sia. Faktor-faktor yang dapat memberikan kepastian waktu pembuatan KTP adalah faktor relasi dan kekuasaan yang akan didiskusikan lebih lanjut di bawah dan faktor uang. Bagi warga yang terdesak oleh masalah-masalah mendesak tidak ada pilihan lain selain menempuh cara ini. Pungutan Liar (Petty Corruption) dalam Pembuatan KTP Penelitian pada kedua wilayah di Sumba Timur menemukan beberapa hal: pertama, birokrasi pembuatan KTP semakin ke kota semakin rumit karena setiap tingkat otoritas memiliki persyaratan yang berbeda-beda. Kedua, biaya pembuatan KTP semakin ke kota semakin bermacam-macam karena masing-masing pemegang otoritas membebani warga dengan berbagai bentuk pungutan liar (Pungli). Di Kelurahan Matawai, untuk mengurus KTP selain harus memenuhi beberapa persyaratan tambahan yang sudah ditetapkan masih ada biaya-biaya tambahan yang

25 Perda kabupaten Sumba Timur No. 16/2006 tentang retribusi pergantian biaya cetak KTP

dan akta catatan sipil dan Perda No. 22/2006 tentang penyelenggaraan pendaftaran penduduk pencatatan sipil dan pengelolaan informasi kependudukan.

26 Menurut Kadispen dan Capil, Kabupaten Kupang, prosedur tetap (Protap) pengurusan KTPN berlaku sampai dengan 14 hari (Pos Kupang, 5-6-2009).

27 Moses Saiputa, wawancara langsung, 31-1-2009.

13

Page 14: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

harus dikeluarkan warga, di mana setiap tingkatan pemberi otoritas memiliki tarif yang berbeda-beda. Umumnya tarif Pungli masuk dalam pos “sumbangan sukarela” mulai dari tingkat RT/RW, kelurahan. Besarannya dapat mencapai Rp 5.000 – Rp 10.000. Bagi warga miskin jumlah tersebut tidak bisa dikatakan kecil karena sangat berarti bagi mereka untuk membeli beberapa kebutuhan penting. Tentang akuntabilitas pemanfaatan dari dana dan hasil Pungli (sumbangan sukarela) apakah masuk kantong aparat pelaksana atau digunakan untuk biaya pembangunan diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya.

Namun, di Desa Ndapayami, birokrasi dan prosedur pembuatan KTP begitu sederhana dan tanpa adanya pungutan dari pihak RT maupun desa. Satu-satunya birokrasi yang perlu dilalui oleh warga jika ingin mengurus KTP adalah kepala desa dan sekretaris desa. RT/RW tidak memiliki peran yang penting dalam prosedur pembuatan KTP. Tidak berperannya RT/RW di wilayah perdesaan dalam pembuatan KTP justru telah menyederhanakan prosedur pembuatan KTP dibandingkan dengan peran dan fungsi RT/RW di wilayah-wilayah perkotaan. III.2. KTP dan Akses terhadap Layanan Dasar Adanya berbagai intervensi dari pemerintah pusat dan daerah seperti BLT, Jamkesmas dan Raskin yang diperuntukkan bagi orang miskin sesungguhnya cukup meringankan beban warga setempat. Misalnya ketidakcukupan pangan yang mereka alami setiap tahunnya dapat ditutupi dengan bantuan-bantuan tersebut. Namun untuk mengakses bantuan-bantuan tersebut ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh warga, misalnya harus dibuktikan dengan surat keterangan sebagai penduduk setempat dari RT/RW atau memiliki KTP. Kotak 7: Penduduk Desa Kotabatu Tidak Dapat Mengakses Layanan Rumah Sakit Jika Tidak Memiliki KTP Setempat Asih, 30 tahun, adalah penduduk Kotabatu yang merupakan pendatang dari Bojonegoro. Sebagai pendatang, Asih dan keluarganya belum mengurus KTP di tempat yang baru karena masa berlaku KTP daerah asal masih berlaku dan belum ada dana untuk mengurus surat pindah dari kampung.

Suatu hari, terjadi kecelakaan di mana anaknya tenggelam di kolam ikan di rumah Asih. Namun nyawa anak tersebut tak tertolong, kemudian Asih dan mertua mengantar anaknya ke rumah sakit. Peneliti mencari orang yang memiliki kendaraan dan minta bantuan untuk mengantar Asih dan anaknya ke rumah sakit. Tiba di rumah sakit, petugas administrasi minta Asih yang sedang histeris untuk mendaftar. Tetapi perempuan malang ini tidak membawa KTP maupun uang. Menurut petugas, jika tidak memiliki KTP atau surat keterangan lain maka Asih tidak dapat menerima layanan Rumah Sakit. Akhirnya dengan meminjam uang dan KTP para pengantar, anak Asih bisa diperiksa dokter, bahkan langsung divisum karena memang sudah meninggal.

Dari dua lokasi studi kasus di Kabupaten Sumba Timur, diperoleh adanya perbedaan perlakuan yang dialami warga. Di Desa Ndapayami untuk mengakses berbagai jenis bantuan pemerintah persyaratannya tidak rumit, di mana pemerintah desanya cukup pengertian. Bagi warga yang tidak memiliki KTP, pemerintahan desa dapat memberikan surat keterangan sebagai penduduk setempat yang berfungsi sebagai identitas pengganti KTP atau sebagai keluarga tidak mampu. Jika dilihat dari aspek fungsinya, surat keterangan pengganti KTP memiliki keterbatasan baik dari aspek masa berlaku maupun wilayah pengakuannya (diakui). Identitas ini hanya berlaku untuk satu jenis bantuan misalnya untuk mendapatkan BLT dan hanya

14

Page 15: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

berlaku di wilayah desa di mana identitas dikeluarkan (Desa Ndapayami). Sementara itu, di Kelurahan Matawai persyaratannya lebih ketat. Setiap warga yang akan mengakses berbagai bantuan yang disediakan oleh pemerintah harus menunjukkan bukti kepemilikan KTP. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan perlakuan yang dialami oleh warga yang tinggal di perkotaan dan perdesaan dalam mengakses bantuan yang sama. Kotak 8: Memiliki KTP tapi Tidak Dapat Mengakses Bantuan Yanti Riri, 25 tahun, ibu dari 2 orang anak laki-laki yang masing-masing berusia 4 dan 2 tahun, tinggal di Kelurahan Matawai. Yanti Riri dan suaminya masih tinggal bersama-sama dengan kedua orang-tuanya. Suaminya adalah seorang tukang bangunan dengan penghasilan yang tidak menentu , sehingga untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum sehari-harinya mereka sangat bergantung pada kedua orang-tuanya. Sementara, Yanti Riri sendiri tidak memiliki pekerjaan. Sebagai keluarga yang hidup dalam kondisi miskin rumah orang tua Yanti Riri juga tidak dilengkapi dengan penerangan listrik dan sarana air bersih.

Pertama kali ia mengurus KTP pada tahun 2007, karena ingin mendapatkan bantuan seperti BLT, Jamkesmas, mendapatkan beras murah dan karena mendengar akan ada Pemilu. Tetapi apa yang terjadi kemudian, harapannya untuk mendapat berbagai bantuan yang disiapkan oleh pemerintah ternyata tidak terpenuhi. Beberapa kali Yati Riri pergi ke kantor kelurahan untuk menanyakan mengapa mereka belum bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah dan sekaligus untuk mendaftarkan diri sebagai keluarga yang tidak mampu, namun sampai dengan saat ini dia belum bisa mengakses berbagai bantuan yang disiapkan oleh pemerintah. Jika anak-anaknya sakit maka Yanti Riri terpaksa harus pergi ke Puskesmas dengan biaya sendiri karena tidak mendapat fasilitas Jamkesmas.

Di Sumba Timur terdapat kasus yang agak berbeda di mana ada warga yang telah memiliki KTP justru tidak bisa mengakses bantuan yang disiapkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan sistem pencatatan warga yang tidak akuntabel yang dilakukan oleh aparat kelurahan atau RT. Misalnya, ada warga yang mestinya tidak layak mendapatkan bantuan justru mendapatkannya dan sebaliknya. Salah satu warga di Sumba Timur menyatakan, “… menurut pengakuan warga dalam kasus ini pihak aparat (RT) hanya mencatat atau memasukkan orang-orang terdekat yang masih memiliki hubungan kekerabatan.”28 Dalam kasus-kasus tertentu justru aparat desa tidak diperkenankan untuk mengakses beberapa bantuan pemerintah seperti BLT, Raskin dan Jamkesmas karena menurut pemerintah daerah para aparat desa sudah mendapatkan honor dari pemerintah. Kebijakan ini sengaja dilakukan oleh pemerintah daerah supaya hanya warga yang benar-benar miskin dan membutuhkan bantuan yang mendapatkannya.29 Pendekatan KK dalam Distribusi Bantuan yang Bias Gender Kebijakan pemerintah dalam memberikan bantuan kepada warga dengan menggunakan pendekatan kepala keluarga sebagai penerima bantuan telah menyebabkan terjadinya sebuah ketidakadilan khususnya yang dialami oleh kaum perempuan desa. Ketidakadilan ini muncul tidak saja dalam persepsi warga melainkan dalam praktik yang dilakukan oleh pemerintah desa di mana kepala keluarga diidentikan dengan suami (kecuali bagi mereka yang menjanda) atau laki-laki.

28 Yanti Riti, wawacara, 23-2-2009, di Kabupaten Sumba Timur. 29 Walaupun dalam kenyataannya kehidupan ekonomi dari aparat desa tidak lebih baik dari

kehidupan ekonomi warga yang mendapatkan bantuan.

15

Page 16: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

Adanya persepsi dan praktik seperti ini dilatarbelakangi oleh paham budaya patriarki yang selama ini dianut dan direproduksi warga Sumba Timur pada umumnya. Tampaknya, budaya patriarki mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah ketika mereka menggunakan pendekatan kepala keluarga dalam distribusi bantuan seperti BLT dan Raskin.

Penelitian di Sumba Timur menemukan bahwa dalam beberapa kasus pada kepala keluarga yang mendapatkan bantuan pemerintah, pada umumnya hanya para suami (atau yang sebut sebagai kepala keluarga) yang memiliki KTP, sementara para istri mereka tidak memiliki KTP. Kasus ini tidak hanya terjadi pada warga biasa melainkan terjadi juga pada aparat desa. Cara-cara dan pendekatan yang bias gender seperti ini sesungguhnya semakin menempatkan kaum perempuan desa pada posisi yang marginal. Pendekatan seperti ini sesungguhnya berpotensi menghilangkan hak kewarganegaraan kaum perempuan khususnya para istri. IV. Peranan Aktor Lokal Ketika warga desa maupun kelurahan mengurus berbagai persyaratan untuk mendapatkan KTP maupun berbagai bantuan pemerintah terdapat sejumlah aktor yang memegang peran penting. Mereka adalah ketua RT/RW, kepala desa, sekretaris desa/staf kelurahan dan petugas pelayanan KTP di Dispenduk & Capil. Untuk mengurus dan mendapatkan KTP, aktor-aktor tersebut turut menentukan apakah seseorang bisa mendapatkan bantuan atau lancar dalam proses pembuatan KTP atau justru mendapatkan kesulitan. Dalam praktiknya apa yang diperankan oleh aktor-aktor pada kedua wilayah tersebut tampaknya tidak sama.

Peran RT pada tingkat desa dalam konteks sebagaimana disebutkan di atas hampir tidak tampak. Umumnya warga desa tidak mengalami kesulitan karena secara langsung dapat berhubungan dengan kepala desa atau sekretaris desa untuk mendapatkan surat keterangan sebagai pengganti KTP atau surat keterangan lainnya. Pada tingkatan ini kepala desa atau sekretaris desa dapat memberikan sebuah rekomendasi permohonan KTP kepada setiap pemohon KTP untuk selanjutnya bisa dibawa ke kantor dinas kependudukan guna diproses lebih lanjut. Tampaknya proses pengurusan permohonan KTP pada tingkat desa alur birokrasinya lebih sederhana dan tanpa berbagai persyaratan yang memberatkan.

Berbeda dengan pengalaman yang dialami warga kelurahan. Setiap pemohon KTP harus mendapatkan surat rekomendasi dari ketua RT atau RW. Ketua RT/RW akan mengeluarkan surat rekomendasi yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah benar-benar penduduk setempat yang membutuhkan KTP atau bantuan. Dalam kasus ini, Ketua RT/RW menjelma menjadi institusi yang memiliki fungsi sangat vital. Mereka bagaikan “tim seleksi pertama” bagi warga miskin yang membutuhkan bantuan, dan memeriksa apakah warga miskin tersebut benar-benar warga setempat atau tidak. Mereka dianggap paling memahami kondisi warga di sekitarnya sehingga dapat menentukan siapa yang dapat bantuan dan siapa yang tidak. Namun demikian, ada juga warga yang kurang mendukung kebijakan mereka. Menurut warga, dalam beberapa kasus ketua RT/RW memilih orang yang “dekat” atau memiliki hubungan kekerabatan yang diprioritas mendapatkan bantuan sehingga ada warga yang seharusnya layak mendapatkan bantuan justru terabaikan; sebaliknya warga yang tidak layak justru mendapatkannya. Dalam kasus ini, walaupun ketua RT/RW bukan bagian dari struktur pemerintahan tetapi secara fungsional mereka sesungguhnya sedang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dalam pelayanan publik. Sehingga dalam beberapa hal terlihat ketua RT/RW menjadi badan birokrasi sendiri yang

16

Page 17: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

berfungsi sebagai pintu masuk untuk akses warga kepada bantuan. Mereka bisa menentukan adanya sumbangan sukarela atau bisa membebaskan warga dari pungutan-pungutan sejauh ada relasi.

Berdasarkan surat keterangan dari ketua RT/RW, pemohon KTP dapat melanjutkan tahapan berikutnya pada tingkat kelurahan. Pada tingkat kelurahan setiap pemohon KTP harus membawa surat rekomendasi yang diperoleh dari ketua RT/RW untuk ditunjukkan kepada petugas kelurahan. Selama pemohon KTP tidak bisa menunjukkan surat rekomendasi dari RT/RW maka permohonan KTP tidak akan diproses lebih lanjut.

Pada tingkat Dispenduk & Capil, sebagai akhir dari semua tahapan untuk mendapatkan KTP, mereka hanya akan memproses setiap pemohon KTP yang membawa surat rekomendasi dari desa/kelurahan. Setelah semua persyaratan yang berasal dari desa/kelurahan dilengkapi, kepada pemohon KTP akan diberikan formulir yang perlu diisi yang menyatakan bahwa pemohon membutuhkan KTP. Setelah semua persyaratan yang persyaratkan dipenuhi maka pemohon tinggal menunggu panggilan untuk difoto dan setelah itu menunggu diterbitkannya KTP tersebut.

Kasus-kasus yang terjadi di tingkat Desa Ndapayami dan Kelurahan Matawai menunjukkan bahwa peran aparat desa mereka lebih memposisikan diri sebagai “perantara”. Peran mereka sebagai “perantara” yang memperlancar proses mendapatkan hak (akses) dari setiap warga yang membutuhkan bantuan. Sebaliknya, kasus di Kelurahan Matawai memperlihatkan peran aparat kelurahan dan dinas kependudukan adalah sebagai aparat negara yang sudah selayaknya membantu warga. Dalam praktiknya, penerapan berbagai persyaratan birokratis yang diterapkan justru mempersulit warga untuk mendapatkan hak-hak mereka.

Di Desa Kotabatu, penduduk yang kebetulan bekerja di Dispenduk & Capil kantor pemerintah daerah di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor (ibu Adah dan ibu Win) aktif membantu penduduk desa yang ingin membuat KTP atau dokumen identitas hukum lainnya. Karena merasa iba pada penduduk yang tidak dapat membaca dan menulis, ibu Adah dan ibu Win mendistribusikan formulir isian untuk keperluan pemohon akta kelahiran dan membantu mengisi formulir tersebut. Hal itu mereka lakukan terhadap orang-orang yang anaknya baru lahir di wilayah RT tempat mereka tinggal. Ibu Adah maupun ibu Win pada saat yang bersamaan menunjukkan manfaat pembuatan akta kelahiran kepada penduduk Desa Kotabatu. Kerapkali, ibu Adah dan ibu Win membawa serta formulir isian untuk membuat akta kelahiran ketika menjenguk bayi-bayi di desa yang baru lahir: “…sebagai hadiah,” ujar ibu Adah dan ibu Win.

Ketika para pemohon atau pembuat KTP di atas mengalami kesulitan dalam proses pembuatan, ada beberapa pihak yang membantu. Salah satu pihak yang memberikan bantuan bagi warga miskin dalam pembuatan KTP adalah ketua RT di Kotabatu. Ketua RT bersedia membantu warga baik dengan cara mengisikan formulir bagi pemohon KTP yang tidak bisa baca tulis, membuatkan surat keterangan sementara, bahkan bolak balik pergi ke kantor kecamatan untuk minta tanda tangan camat supaya KTP bisa disahkan. Akan tetapi ketua RT juga memungut biaya tertentu, baik untuk kepentingan retribusi RT maupun untuk motif ekonominya sendiri. Meskipun demikian, ada warga yang mengatakan bahwa tidak semua orang yang datang pada ketua RT dipungut biaya lebih (berkisar antara Rp 10.000-Rp 20.000 di luar biaya resmi pembuatan KTP sebesar Rp 15.000). Ketua RT tidak mau memungut biaya lebih bagi pemohon yang bukan merupakan keluarga mampu. Pola Relasi Kuasa

17

Page 18: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

Bagi warga desa maupun kota yang pernah mengurus KTP faktor relasi kuasa menjadi penting untuk dipelihara sebab dapat mempermudah mereka untuk mendapatkan KTP. Memiliki relasi yang baik dengan petugas pelayanan dapat memotong rantai birokrasi yang cukup panjang serta mempersingkat waktu pengurusan KTP yang penuh dengan ketidakpastian serta mengurangi beban pungutan. Warga yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petugas pelayan KTP dan pihak-pihak yang memproses surat permohonan KTP baik yang berada pada tingkat RT/RW, desa/kelurahan maupun kabupaten dapat mempercepat proses pembuatan KTP. Demikian halnya, seperti yang terjadi di Sumba Timur, jika pemohon memiliki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, organisasi masyarakat dan gereja, maka hal itu akan mempermudah proses pengurusan KTP. Dengan memanfaatkan jaringan ini, para pemohon dapat mengabaikan berbagai persyaratan yang seharusnya dipenuhi, atau dibebaskan dari biaya-biaya tambahan yang biasanya dikenakan. Kotak 9: Upaya Warga di Sumba Timur untuk Memperoleh KTP dengan Cepat Ndima Andung (NA), 22 tahun, adalah lulusan SMA tahun 2007 dan masih tinggal bersama-sama dengan kedua orang-tuanya. Belum menikah dan saat ini sementara mencari pekerjaan. Ia pertama kali membuat KTP pada tahun 2008 karena akan mengikuti test penerimaan pegawai di bandar udara Mau Hau. Syarat untuk mengikuti test penerimaan pegawai harus memiliki KTP, surat kelakuan baik dari kepolisian, surat kesehatan dari dokter, fotokopi ijazah.

Prosedur pertama kali yang dilakukan adalah meminta surat keterangan penduduk dari RT. Umumnya untuk mendapatkan surat keterangan setiap pemohon membayar Rp 5000, tetapi karena NA masih memiliki hubungan keluarga dengan ketua RT maka dia dibebaskan dari biaya tersebut. Setelah mendapatkan surat keterangan dari RT, NA pergi ke kantor kelurahan tetapi sesampainya di sana permohonannya ditolak karena ada beberapa persyaratan belum dipenuhi seperti surat pembayaran pajak tanah. Oleh karena orang tua NA belum melunasi PBB tahun terakhir, NA meminjam bukti pembayaran PBB dari “bapak kecil”-nya (paman). Sesungguhnya cara ini di luar daripada prosedur yang berlaku tetapi dimungkinkan karena NA masih memiliki hubungan kekerabatan dengan sekretaris lurah. Di kantor Kelurahan NA dikenakan biaya surat rekomendasi sebesar Rp 7000.

Setelah semua urusan pada tingkat kelurahan selesai NA pergi ke kantor Dispenduk dan Capil. Di kantor Dispenduk, NA membayar Rp 75.000 untuk pengurusan KTP dan KK. Sebenarnya harga normal untuk biaya pembuatan KTP dan KK masing-masing Rp 15.000 tetapi karena NA membutuhkan KTP dalam waktu yang cepat dia menyodorkan sejumlah Rp 75.000 kepada petugas. Walaupun sesungguhnya petugas yang mengurus KTP tidak meminta dalam jumlah tersebut, tetapi sepertinya sudah ada rasa “tahu sama tahu” (saling pengertian); jika membutuhkan KTP dalam waktu yang cepat maka harus ada tambahan biaya. Hasilnya, waktu yang dibutuhkan untuk mengurus KTP dan KK hanya 1 hari saja. Sementara pengalaman waktu kedua orang-tuanya mengurus KTP dengan harga normal waktu yang dibutuhkan sampai mendapatkan KTP adalah satu minggu.

Kasus lainnya Maramba Meha (32 tahun) adalah seorang tokoh gereja yang memiliki kedudukan sebagai seorang guru Injil dari cabang sebuah gereja besar di kota Waingapu. Pengalamannya mengurus KTP sangat mudah, cepat dan murah. Tidak melalui birokrasi yang berbelit-belit dan biaya yang mahal. Waktu pembuatan KTP hanya 1 hari dan harganya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Perda. Proses yang demikian cepat dan murah ini dimungkinkan karena Maramba Meha mengenal seorang petugas pembuat KTP di kantor Dispenduk. Secara kebetulan petugas pembuat KTP adalah seorang tokoh gereja dari gereja induk yang membuka cabangnya di tempat Maramba Meha melayani. V. Kebijakan terkait KTP V.1. Ketidakadilan dalam Penerapan Kebijakan

18

Page 19: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

Dengan ditetapkannya bahwa kepemilikan atas identitas hukum merupakan hak penduduk Indonesia dan untuk itu diperlukan bukti, yang menjadi kewajiban penduduk Indonesia untuk memilikinya, antara lain dalam bentuk KTP. Artinya, kewajiban melakukan pembuktian tersebut terletak pada masing-masing penduduk Indonesia. Pembebanan kewajiban kepada penduduk ini pada pelaksanaannya di lapangan menjadi hambatan bagi penduduk miskin dalam mengakses haknya untuk memperoleh bukti identitas hukum. Hal ini terjadi karena penduduk, terutama yang miskin, tidak sepenuhnya memahami prosedur pembuatan KTP baik dalam bentuk persyaratan maupun biaya resminya. Selain itu juga terdapat begitu banyak aturan tentang pembuatan KTP ini dari tingkat nasional sampai tingkat kelurahan. Bahkan, ketua RT masing-masing tempat memiliki kebijakan yang berbeda terkait dengan masalah prosedur pembuatan KTP.

Aturan pada level nasional yang terkait dengan masalah pembuatan KTP adalah UU No. 23/2006 dan PP No. 37/2007 sebagai peraturan pelaksanaannya. Peraturan ini pada dasarnya hanya mengatur mengenai kewajiban penduduk memiliki bukti identitas hukum. Akan tetapi, peraturan ini tidak secara eksplisit melindungi hak-hak penduduk atas pengakuan identitas mereka oleh negara kecuali dalam pasal 2 dari UU No. 23/2006. Kotak 10: Aturan Hukum di Kabupaten Bogor terkait dengan Prosedur Pembuatan KTP

Aturan daerah yang terkait dengan masalah pembuatan KTP dalam konteks Kotabatu – Kecamatan Ciomas – Kabupaten Bogor mencakup:

• Peraturan Bupati Bogor No. 25/2007 tentang Dispensasi Pencatatan Kelahiran di Kabupaten Bogor;

• Peraturan Bupati Bogor No. 2/2008 tentang Dispensasi Pendaftaran Penduduk Warga Negara Indonesia di Kabupaten Bogor;

• SE (Surat Edaran) Bupati tentang Surat Pindah dan Surat Keterangan Datang; • SE Bupati tentang SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan).

Peraturan-peraturan pada tingkat daerah sangat sedikit mengatur hak penduduk. Kebanyakan tentang kewajiban mereka atau tentang masalah teknis seperti misalnya SE tentang SIAK. Kecuali pasal 1 Peraturan Bupati Bogor No. 25/2007 tentang Dispensasi Pencatatan Kelahiran di Kabupaten Bogor mengenai kelonggaran batas waktu pencatatan sampai dengan 1 tahun setelah kelahiran anak dan pasal 2 dari Peraturan Bupati Bogor No. 2/2008 tentang Dispensasi Pendaftaran Penduduk Warga Negara Indonesia di Kabupaten Bogor mengenai kelonggaran batas waktu pendaftaran dan pengurusan KTP bagi warga yang pindah ke Bogor sampai dengan enam bulan.

Di lain pihak, tidak diperoleh peraturan mengenai standard resmi jangka waktu pembuatan KTP maupun tentang biaya resmi pembuatan KTP. Padahal aturan tersebut penting untuk menjamin berlangsungnya prosedur hukum yang adil dan berlaku sama bagi seluruh penduduk yang mengajukan permohonan untuk memiliki KTP. Sebagai akibat dari tidak jelasnya standard resmi jangka waktu pembuatan KTP maka terjadi variasi dalam hal lama waktu prosedur pembuatan. Dalam peraturan perundangan tercantum hanya satu hari tapi fakta di lapangan, para informan mengalami lama waktu pembuatan antara satu hari sampai dengan satu bulan. Akan

19

Page 20: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

tetapi, rata-rata responden menjawab bahwa jangka waktu pembuatan yang normal adalah 2 minggu. Variasi jangka waktu pembuatan KTP ini, oleh petugas pemerintah, bahkan dijadikan cara untuk “mempermainkan” biaya resmi pembuatan KTP. Rentang waktu pembuatan KTP oleh petugas, diatur sedemikian rupa tergantung pada kebutuhan pemohon KTP dan harga yang dapat dibayar pemohon tersebut. Secara resmi di Bogor dikatakan oleh petugas kecamatan, biaya standard pembuatan KTP hanya Rp 2.500. Akan tetapi pada kenyataanya, para informan mengatakan bahwa mereka harus membayar antara Rp 15.000-Rp 35.000.

Di sisi lain, terkait dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang dalam mengajukan permohonan pembuatan KTP, ternyata terjadi juga variasi yang berbeda antara aturan hukum dan praktik pelaksanaannya. Untuk pembuatan KTP, berdasarkan UU No. 23/2006 diperlukan kelengkapan berupa: KK, akta kelahiran, surat nikah (untuk penduduk bukan orang asing). Akan tetapi di Kotabatu, KTP tetap dapat diproses pembuatannya tanpa semua surat-surat tersebut asalkan ada rekomendasi RT. Rekomendasi tersebut berbentuk surat keterangan sementara yang diberi cap dan tanda tangan ketua RT.

Pemberlakuan KTP Nasional (KTPN) sejak 2006, dengan menggunaan sistem komputerisasi dalam proses pengolahan administrasi kependudukan, telah membawa berbagai dampak. Pada satu sisi dengan sistem komputerisasi proses pengolahan administrasi kependudukan menjadi lebih cepat dan efisien. Tetapi pada sisi yang lain perubahan ini telah membawa dampak lain khususnya bagi warga masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan. Sebelum adanya kebijakan KTP nasional, kantor kecamatan menjadi pusat pelayanan KTP. Setiap pemohon KTP cukup mendatangi kantor kecamatan yang relatif lebih dekat dengan desa mereka; bahkan ada pengalaman warga, justru petugas kecamatan yang mendatangi dan mendata setiap pemohon KTP untuk diproses lebih lanjut. Tetapi sejak adanya kebijakan KTPN di mana pelayannya dipusatkan tingkat kabupaten, timbul berbagai masalah bagi warga desa. Bagi warga desa, ternyata perubahan teknologi ini menjadi salah satu penyebab mahalnya biaya yang harus dikeluarkan warga dalam upaya mendapatkan KTP.

Di Sumba Timur terdapat Perda No. 16/2006 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil. Dari judul dan substansinya sangat jelas bahwa Perda ini mengatur tentang penggantian biaya cetak KTP yang harus dibayar oleh setiap pemohon KTP di tempat pelayanan. Dalam implementasinya, tempat pelayanan yang dimaksudkan oleh Perda ini adalah tempat pelayanan akhir yaitu Dispenduk & Capil, di mana besarnya biaya penggantian ongkos cetak sebesar Rp 15.000. Perda ini sama sekali tidak memasukkan proses pembuatan KTP sebagai sebuah rangkaian proses yang dimulai dari tingkat RT, RW, desa atau kelurahan sampai pada kabupaten dengan segala konsekuensinya. Dalam kenyataannya, masing-masing tingkatan otoritas ini memegang peran penting dalam mempersiapkan berbagai dokumen tentang asal-usal dan identitas seseorang. Konsekuensinya, masing-masing pemegang otoritas wilayah membuat kebijakan sendiri-sendiri yang sungguh berakibat lebih besarnya beban yang harus ditanggung oleh warga dalam mengurus KTP.

Pada sisi lain, Perda ini juga tidak mengatur tentang lamanya waktu pembuatan sebuah KTP. Hal ini sesungguhnya berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi warga yang ingin membuat KTP. Bagi warga desa, kondisi ini semakin mempersulit posisi mereka, karena sekali mereka datang ke kota, mereka harus pastikan bahwa KTP sudah selesai sehingga biaya yang harus mereka keluarkan tidak sia-sia, mengingat mahalnya biaya transportasi yang harus mereka keluarkan. Dalam kondisi yang demikian, kepastian itu hanya ada di tangan petugas yang

20

Page 21: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

melayani KTP; apakah dia ingin cepat atau tidak dalam memproses sebuah KTP, atau dengan kata lain, jika ingin mendapatkan KTP dengan cepat maka warga harus siap membayar lebih daripada ketentuan yang diatur dalam Perda.

Perbedaan antara substansi aturan dengan fakta empirik disebabkan oleh beberapa hal. Pertama adalah aspek geografis. Misalnya jarak yang jauh antara desa pemohon KTP dengan kantor kelurahan, sehingga pemohon terpaksa mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membuat KTP. Kedua adalah aspek ekonomis. Daerah membutuhkan masukan bagi kas daerah sehingga pemohon KTP dibebankan untuk menyumbang bagi kas daerah dalam bentuk penambahan biaya pembuatan KTP sebagaimana terungkap di Desa Kotabatu. Ketiga adalah aspek sosial budaya. Sikap-sikap aparat kelurahan dalam melakukan pelayanan kepada warga masih dipengaruhi oleh faktor perasaan “orang kita dan bukan orang kita” (dalam kasus Ayu di Kabupaten Bogor, sebagai pendatang ia merasa diperlakukan tidak adil; sedangkan dalam kasus Mang Uce, ia merasa bahwa ketua RT yang bukan penduduk asli setempat menarik ongkos yang besarnya berbeda bagi penduduk).

Selain itu, dalam pelaksanaan pengaturan mengenai pembuatan KTP, ternyata terdapat tumpang tindih pengaturan antara aturan negara-aturan daerah-dengan aturan yang dibuat sendiri oleh petugas setempat (bisa dikategorikan sebagai bidang-bidang sosial semi otonom). Keragaman aturan ini terjadi di semua lokus studi ini. Keragaman aturan tersebut terlihat antara lain dalam hal biaya pembuatan KTP dan syarat-syarat yang diberlakukan di masing-masing tempat bagi pengajuan pembuatan KTP. V.2. Menyederhanakan Persyaratan, Menunda-nunda Masalah Dispenduk & Capil sebagai pemegang otoritas tertinggi yang menerbitkan KTP telah membuat sebuah kebijakan yang sesungguhnya cukup meringankan warga dalam mengurus KTP. Kendatipun kebijakan ini sifatnya tidak tertulis namun secara faktual diterapkan, yaitu dengan menyederhanakan persyaratan bagi setiap pemohon KTP. Jika mengacu pada Peraturan Menteri dalam Negeri No. 28/200530 serta petunjuk teknisnya bahwa ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap pemohon KTP, antara lain akta nikah (bagi yang sudah menikah atau pernah kawin) dan akta kelahiran. Dalam praktiknya, kedua syarat ini tidak dijadikan persyaratan utama yang harus penuhi oleh pemohon KTP tetapi setiap pemohon KTP cukup membawa surat rekomendasi dari desa dan KK. “Jika pemerintah daerah konsisten dengan ketentuan yang ada maka akan banyak penduduk [masyarakat Sumba Timur] yang tidak bisa memperoleh KTP karena ada banyak orang yang belum memiliki kedua dokumen tersebut.”31

Kendatipun telah dilakukan upaya-upaya penyederhanaan terhadap persyaratan pembuatan KTP, namun kebijakan ini belum mampu menarik minat masyarakat untuk membuat KTP. Bagi warga desa, kebijakan penyederhanaan ini tidak serta-merta dapat menyelesaikan masalah utama yang selama ini mereka alami, yaitu jauhnya pusat pelayanan KTP dengan permukiman penduduk. Seharusnya kebijakan penyederhanaan persyaratan pembuatan KTP disertai dengan kebijakan mendekatkan pelayanan kepada warga, yaitu dengan mendesetralisasikan pembuatan KTP pada tingkat kecamatan sebagaimana yang pernah berlaku sebelum adanya kebijakan KTPN.

30 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Penduduk dan Pencatatan Sipil Daerah 31 Sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala Bidang Kependudukan pada Dispenduk & Capil,

Moses Basthian Saiputa.

21

Page 22: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

Penyederhanaan proses pembuatan KTP ini sesungguhnya hanya bersifat menunda-nunda masalah dan merupakan bentuk cara berpikir pemerintah daerah yang pragmatis. Dengan mengabaikan akta nikah atau akta kelahiran sebagai prasyarat untuk mengakses KTP, warga terdorong untuk mengabaikan pentingnya dokumen-dokumen tersebut. Padahal dokumen-dokumen itu sangat penting demi kepastian status hukum warga negara dan demi terlindunginya jaminan negara terhadap warganya. Dokumen tersebut adalah petunjuk atau tanda tentang peristiwa penting (kelahiran dan perkawinan) yang terjadi dalam wilayah negara yang perlu dicatat dalam administrasi kependudukan. Namun dengan adanya kebijakan penyederhaan prasyarat, seolah-olah KTP menjadi lebih penting daripada akta nikah dan akta kelahiran. Padahal dalam banyak kasus, kedua dokumen ini sangat penting; contohnya, untuk melanjutkan pendidikan pada berbagai jenjang pendidikan, salah satu persyaratannya adalah bahwa setiap orang harus bisa menunjukkan akta kelahiran. Dalam kasus ini, tampaknya pemerintah lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek warga namun mengabaikan kepentingan jangka panjangnya. VI. Kesimpulan dan Rekomendasi VI.1. Kesimpulan Setiap penduduk di Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas dan telah menikah wajib memiliki KTP sebagai salah satu bentuk identitas diri yang sah menurut hukum. Namun cukup banyak anggota masyarakat terutama penduduk desa di dua wilayah studi yang belum memiliki kesadaran untuk memiliki KTP.

Adapun kepemilikan KTP di kedua wilayah yang menjadi lokasi studi ini dirasakan penting ketika penduduk yang bersangkutan ingin mengakses fasilitas atau layanan dasar seperti BLT, Raskin, Jamkesmas, dan program PNPM atau ketika penduduk berniat membuat KK, akta kelahiran anak, dan akses pendidikan gratis. KTP juga diperlukan sebagai syarat untuk melaksanakan pernikahan, mencari pekerjaan, menggadaikan barang, dan ikut dalam Pemilu. Oleh sebab itu, cukup banyak penduduk desa yang tidak terlalu peduli terhadap kepemilikan KTP, kecuali ketika mereka merasa berkepentingan dalam mengakses berbagai layanan dasar dan sumber daya lokal.

Pada dasarnya, terdapat keterkaitan yang erat antara kepemilikan KTP dan akses masyarakat miskin terhadap berbagai sumber daya dan layanan dasar. Namun relasi ini tidak absolut, sebagaimana terlihat di Sumba Timur: kepala Desa Ndapayami dapat memberikan surat keterangan sementara sebagai pengganti KTP untuk masyarakat yang belum memiliki KTP dan berniat mengakses berbagai bantuan terutama BLT dan Raskin. Sebaliknya, pengalaman penduduk Desa Kotabatu menunjukkan fungsi KTP yang sangat besar bagi penduduk desa yang ingin mengakses layanan dasar seperti berbagai bantuan pemerintah dan layanan Rumah Sakit. Untuk mengakses layanan Rumah Sakit, KTP merupakan syarat utama yang harus diajukan oleh masyarakat.

Namun proses pembuatan KTP bagi penduduk desa bukanlah hal yang selalu mudah dilakukan. Para responden di dua wilayah studi menunjukkan indikasi beberapa hambatan pembuatan KTP yang disebabkan oleh tidak adanya standard pembuatan KTP yang jelas dan sosialisasi yang baik. Pada akhirnya, penduduk harus menanggung beban biaya yang besarnya tidak sama dan jangka waktu pembuatan KTP tergantung pada jumlah biaya yang dikeluarkan pemohon. Ketidakjelasan

22

Page 23: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

standard pembuatan biaya KTP menimbulkan Pungli yang tidak dapat diawasi mengingat ketiadaan standard prosedur pembuatan KTP yang dapat dengan mudah diketahui oleh publik. Selain itu, reformasi kebijakan KTP nasional yang mengubah pusat pembuatan KTP dari tingkat kecamatan ke kantor kabupaten berimplikasi pada bertambah besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk desa yang tinggal jauh dari ibu kota kabupaten sebagaimana penduduk Desa Kotabatu dan Ndapayami.

Secara umum, layanan dasar yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan pembuatan KTP masih lemah, sebagaimana diindikasikan oleh para responden studi kasus ini yang mengeluh mengenai biaya dan jangka waktu pembuatan KTP. Responden mengusulkan beberapa hal sehubungan dengan perbaikan layanan dasar, misalnya pemerintah perlu membuat meja khusus untuk layanan pembuatan KTP dan pemutihan proses pembuatan KTP. Sebaliknya, pemerintah daerah kerap menyalahkan penduduk desa yang tidak mau membuat KTP kecuali bila mereka memiliki kepentingan untuk mengakses berbagai layanan publik. Namun upaya yang dilakukan pemerintah hanyalah melakukan sosialisasi tentang pentingnya memiliki KTP dan tidak atau belum menyebarkan informasi mengenai standard pembuatan KTP termasuk biaya yang dikeluarkan, juga mengenai wewenang kantor pemerintah daerah sehubungan dengan pembuatan KTP.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat miskin, terutama yang berada di pedesaan, tidak memiliki KTP. Di satu sisi, hal itu karena kurangnya kesadaran akan pentingnya KTP sebagai bukti identitas hukum mereka, di sisi lain karena kesulitan ekonomi dan hambatan geografis dalam pembuatannya. Kurangnya kesadaran itu merupakan indikasi akan lemahnya kinerja pemerintah dalam mensosialisasikan pentingnya KTP bagi status hukum kewargaan seseorang. Sementara, kesulitan ekonomi dan hambatan geografis tampaknya tidak menjadi pertimbangan institusi pemerintah di segala level dalam menetapkan aturan dan prosedur untuk mengakses pembuatan dan kepemilikan KTP. Situasi yang carut marut ini menjadi sangat tampak ketika ada program “layanan dasar khusus” seperti BLT dan raskin, di luar layanan dasar lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dll, di mana KTP yang merupakan prasyarat dengan mudahnya “dilewatkan” demi alasan praktis dan pragmatis. Hal itu kelihatnya menampilkan empati dari petugas terhadap masyarakat miskin untuk memperoleh BLT atau raskin – tanpa KTP, melainkan hanya dengan surat pengganti sementara. Solusi seperti itu hanyalah tindakan penyelesaian sementara yang menunda-nunda masalah. KTP memang bukan satu-satunya dokumen legal bagi status kewarganegaraan seseorang, namun dalam segala aspek, KTP sangat penting. KTP semestinya tidak hanya dilihat sebagai “alat” bagi pemenuhan layanan dasar lain, melainkan merupakan salah satu substansi dari layanan dasar. Sebagai substansi layanan dasar, maka akses terhadap KTP seharusnya bukan sekadar dibuka pada saat ada kepentingan mendadak atau urusan penting. Akan tetapi penting untuk secara kontinyu dilakukan penyelenggaraan pembuatan KTP dengan prosedur yang lebih mudah bagi setiap warga. Dengan kata lain prosedur pembuatan KTP harus disediakan secara murah, mudah diakses oleh warga, dan cepat. VI.2. Rekomendasi

1. Perlu ada tinjauan kebijakan tingkat nasional dan lokal terkait dengan pembuatan KTP untuk tujuan standardisasi prosedur pembuatan KTP dengan dasar hukum yang jelas;

23

Page 24: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

2. Standard prosedur pembuatan KTP perlu disosialisasikan secara luas dan efektif ke berbagai kalangan masyarakat sampai di tingkat desa. Sosialisasi pembuatan KTP harus mencakup standard pembuatan KTP dan bukan sekadar “pentingnya” KTP bagi setiap penduduk desa;

3. Perlu diadakan “meja layanan khusus” di kantor Pemda kabupaten untuk pembuatan KTP bagi warga dengan prosedur yang transparan;

4. Pemerintah perlu lebih pro-aktif dalam pembuatan KTP misalnya melalui layanan keliling (mobile services) yang dapat menjangkau desa-desa yang berjarak jauh dari ibu kota kabupaten;

5. Peningkatan kapasitas dan monitoring kinerja aparat pemerintah dalam pelayanan publik termasuk pembuatan KTP.

24

Page 25: Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar

25

Referensi John Bruce 2007 Legal Empowerment of the Poor: From Concepts to Assessment.

http://www.ardinc.com/upload/photos/676LEP_Phase_II_FINAL.pdf, accessed on 4-3-2009.

Vandenabeele, Caroline & Christine V. Lao (ed) 2007 Law and Policy Reform at the Asian Development Bank 2007: Legal

Identity for Inclusive Development. Asian Development Bank: Phillipines. Komisi Pemberdayaan Hukum untuk Masyarakat Miskin 2007 Memberdayakan Hukum bagi Semua: Ringkasan Eksekutif .Justice for the

Poor. World Bank. Adriaan Bedner dan Jacqueline Vel 2009 Conceptual Paper no. 1: Access to Justice and Rule of Law. Van

Vollenhoven Institute, draft 5 April 2009 BPS Sumba Timur 2008 Sumba Timur dalam Angka.